KINERJA PENGELOLAAN REPONG DAMAR DITINJAU DARI ASPEK EKOLOGI, SOSIAL DAN EKONOMI DELFY LENSARI

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "KINERJA PENGELOLAAN REPONG DAMAR DITINJAU DARI ASPEK EKOLOGI, SOSIAL DAN EKONOMI DELFY LENSARI"

Transkripsi

1 KINERJA PENGELOLAAN REPONG DAMAR DITINJAU DARI ASPEK EKOLOGI, SOSIAL DAN EKONOMI DELFY LENSARI SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2011

2 PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis Kinerja Pengelolaan Repong Damar Ditinjau dari Aspek Ekologi, Ekonomi dan Sosial adalah karya saya dengan arahan komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun yang tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini. Bogor, Agustus 2011 Delfy Lensari NRP. P

3 ABSTRACT DELFY LENSARI. Performance of Repong Damar Management based on Ecological, Social and Economic Aspects. Under direction of HARIYADI and NURHENI WIJAYANTO During economic crisis, various products obtained from the agroforestry by people community, have very important significance. One example of agroforestry practice is repong damar in the coastal areas of Krui (Lampung) which produces damar (Shorea javanica K & V). This research studied the level of performance of repong damar management by the people community, ecological, social and economic aspects. This research used descriptive method, with quantitative and qualitative approach. Results of this research on the ecological aspects showed that repong damar vegetation resembled natural forest ecosystem with indicator of plant species diversity which was considerably high, for fruit and resin producers. Social aspect showed that repong damar possessed land with status of ownership right, possessed by one family. Labor system in repong damar utilized work force mostly from family members, so that the management system of repong damar tended to be traditional system itspect which contained values of local wisdom which constitutes the characteristic features of repong damar management by the community. Economic aspect showed that contribution by repong damar to community income was considerably large, namely 65% on the average, with income per capita as large as Rp /year, per person. This showed that contribution of repong damar toward total income of the community was considerably high. Key words: Repong Damar, ecological aspect, social aspect, economic aspect

4 RINGKASAN DELFY LENSARI. Kinerja pengelolaan Repong Damar ditinjau dari aspek ekologi, sosial dan ekonomi. Dibimbing oleh HARIYADI dan NURHENI WIJAYANTO Sumberdaya hutan mempunyai fungsi terhadap kehidupan manusia, baik secara langsung, maupun secara tidak langsung. Oleh karena itu, keberadaannya perlu dipertahankan. Namun dengan semakin padatnya jumlah penduduk, semakin meningkat pula tekanan terhadap sumberdaya hutan. Kerusakan hutan tersebut disebabkan oleh berbagai faktor, yaitu akibat penebangan liar, kebakaran hutan dan penyerobotan kawasan hutan oleh masyarakat. Hal ini dimungkinkan karena masyarakat yang berada di sekitar kawasan hutan belum diikutsertakan dalam pengamanan kawasan hutan. Salah satu cara untuk mengurangi kerusakan hutan adalah diikutsertakan masyarakat dalam memelihara hutan misalnya dengan sistem agroforestri. Sistem agroforestri selalu ada interaksi ekologi, sosial dan ekonomi. Salah satu contoh agroforestri tersebut adalah Repong Damar di Pesisir Krui Lampung yang menghasilkan produk getah damar (S. javanica). Dengan demikian dalam penelitian ini akan dikaji sejauh mana kinerja pengelolaan Repong Damar bagi masyarakat dari aspek ekologi, sosial dan ekonomi. Penelitian dilakukan di Desa Penengahan, Kecamatan Pesisir Tengah Krui, Kabupaten Lampung Barat, Provinsi Lampung selama 2 bulan. Populasi penelitian adalah masyarakat (petani damar) dengan jumlah responden sebesar 35 KK. Penelitian ini menggunakan metode penelitian deskriptif dengan pendekatan kuantitatif dan kualitatif. Parameter aspek ekologi yang diukur adalah kerapatan jenis, kerapatan relatif jenis, frekuensi jenis, frekuensi relatif jenis, dominansi jenis, dominansi relatif jenis, dan Indeks Nilai Penting (INP). Analisis vegetasi dilakukan dengan kegiatan inventarisasi dengan menggunakan metode jalur berpetak. Parameter aspek sosial yang diukur adalah persepsi masyarakat terhadap pengembangan pengelolaan Repong Damar, status kepemilikan, luas lahan, ketenagakerjaan, kelembagaan, dan manajemen pengelolaan Repong Damar. Pengukuran data aspek sosial dengan menggunakan Skala Likert. Parameter aspek ekonomi yang diukur adalah pendapatan dari usaha mengelola Repong Damar (dalam Rp. per tahun), pendapatan di luar usaha mengelola Repong Damar (dalam Rp. per tahun), dan pendapatan per kapita (dalam Rp. per tahun). Dari aspek ekologi menunjukan bahwa INP damar (S. javanica) menunjukkan kecenderungan menurun dari tingkat pohon ke tingkat semai, namun permudaan alami damar di Pesisir Tengah Krui cukup baik. Hal ini ditunjukkan oleh Kerapatan Relatif (KR) jenis damar yang cenderung meningkat dari tingkat pohon (20,83%) ke tingkat semai (30%). Penurunan INP damar dari tingkat pohon ke tingkat semai berkaitan dengan keberadaan jenis campuran. Aspek sosial bahwa sebagian besar masyarakat Desa Penengahan memiliki persepsi yang sama yaitu setuju tentang pengembangan Repong Damar. Persepsi ini dapat disebabkan oleh masyarakat masih memiliki anggapan bahwa Repong Damar merupakan warisan nenek moyang yang harus dipertahankan. Akan tetapi perlu adanya keterlibatan dari pemerintah dalam membantu masyarakat mengelola Repong Damar. Repong Damar Desa Penengahan merupakan tanah warisan dalam bentuk penguasaan hak milik perorangan yang memiliki luas lahan 0,5-1,75 ha dengan ketenagakerjaan dari anggota keluarga dan tenaga upahan. Kelembagaan petani Repong

5 Damar sudah terbentuk yakni bergabung dengan kelompok tani tanaman pertanian dibawah bimbingan Dinas Pertanian Kabupaten Lampung Barat. Manajemen pengelolaan Repong Damar yang terbagi oleh permudaan/penanaman (Permudaan/penanaman bibit untuk mengganti tanaman yang mati/tumbang), pemeliharaan dengan cara menyeleksi tanaman keras yang tumbuh liar diganti dengan tanaman yang bernilai ekonomis tinggi, dan menghilangkan tanaman parasit yang biasa mengganggu tanaman kebun, pemanenan dengan cara mengambil getah damar (menyadap) pohon damar yang sudah berumur 20 tahun, pemilihan kualitas getah damar dilakukan dengan cara penapian dan pengayakan serta mensortasi getah damar sehingga didapatkan kualitas getah damar yaitu kualitas A (2-4 cm) berwarna kuning bening, kualitas B (1-2 cm) berwarna kuning bening, kualitas C (0,5-1 cm) berwarna agak kotor, kualitas KK/DE (sisa sortasi berupa damar kecil-kecil atau debu). Jalur pemasaran getah damar di daerah Pesisir Krui dimulai dari petani Repong Damar yang baru menyadap getah damar, kemudian getah damar tersebut dijual kepada pedagang penghadang (tengkulak) yang sudah menanti di daerah perbatasan antara desa dengan Repong Damar, kemudian tengkulak tersebut menjual getah damar ke pedagang pengumpul yang berada di desa. Petani Repong Damar juga dapat menjual langsung kepada pedagang pengumpul yang berada di desa. Dari pedagang pengumpul, getah damar kemudian dijual ke pedagang besar yang berada di Pasar Krui. Dari pedagang besar yang berada di Pasar Krui getah damar tersebut dijual ke pengusaha-pengusaha besar yang ada di Bandar Lampung, Jakarta, dan kota-kota besar lainnya atau dijual ke eksportir. Petani Repong Damar di Desa Penengahan memiliki rata-rata pendapatan dari Repong Damar sebesar Rp /KK/tahun, Pendapatan di luar Repong Damar berkisar antara Rp /KK/tahun sampai dengan Rp /KK/tahun dan rata-rata pendapatan per kapita masyarakat di Desa Penengahan adalah sebesar Rp /orang/tahun atau Rp /orang/bulan. Faktor yang mempengaruhi aspek ekonomi tersebut adalah jumlah anggota rumah tangga, luas lahan Repong Damar, dan sumber pendapatan masyarakat yang berbeda-beda. Kata kunci : Repong Damar, aspek ekologi, aspek sosial, aspek ekonomi

6 @ Hak cipta milik IPB, Tahun 2011 Hak Cipta dilindungi Undang-Undang Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah, dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini dalam bentuk apapun tanpa izin IPB.

7 KINERJA PENGELOLAAN REPONG DAMAR DITINJAU DARI ASPEK EKOLOGI, SOSIAL DAN EKONOMI DELFY LENSARI Tesis Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2011

8 Dosen penguji luar: Dr. Ir. Leti Sundawati, M. For. Sc

9 Judul Tesis : Kinerja Pengelolaan Repong Damar Ditinjau dari Aspek Ekologi, Sosial dan Ekonomi Nama : Delfy Lensari NRP : P Disetujui, Komisi Pembimbing Dr. Ir. Hariyadi, MS Ketua Prof. Dr. Ir. Nurheni Wijayanto, MS Anggota Diketahui Ketua Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan Dekan Sekolah Pascasarjana IPB Prof. Dr. Ir. Cecep Kusmana, MS Dr. Ir. Dahrul Syah, M.Sc.Agr Tanggal ujian : 22 Juli 2011 Tanggal Lulus :

10 PRAKATA Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah Yang Maha Kuasa, atas segala karunia-nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan, yang merupakan syarat dalam menyelesaikan studi pada Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan, Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Judul penelitian adalah Kinerja Pengelolaan Repong Damar ditinjau dari Aspek Ekologi, Sosial dan Ekonomi Penyusunan karya ilmiah ini berhasil diselesaikan, tidak terlepas dari bantuan berbagai pihak, untuk itu penulis mengucapkan terimakasih kepada semua pihak yang telah membantu baik moril maupun spirituil. Semoga karya ilmiah bermanfaat. Amin Bogor, Agustus 2011 Delfy Lensari

11 UCAPAN TERIMA KASIH Penelitian dan penyusunan tesis ini tidak lepas dari bantuan berbagai pihak. Penulis mengucapkan terima kasih kepada: 1. Bapak Dr. Ir. Hariyadi, MS dan Prof. Dr. Ir Nurheni Wijayanto, MS. Terima kasih atas bimbingan, bantuannya sehingga tesis ini selesai. Semoga Allah SWT mencatatnya sebagai amal jariyah yang pahalanya akan terus mengalir. Amin 2. Spesial kepersembahkan tesis ini untuk Bapak, Ibu, Defty Ekya Sari, Anggi Pangestu, Topik Samil, Abdurrahman Royyan Asy-Syamil, dan keluarga semuanya di Liwa dan Banyumas. Semoga bisa menambah kebahagiaan dan kebanggaan, walaupun belum seberapa dibanding apa yang telah berikan. Mohon do a agar selalu diberi keistiqomahan, untuk selalu bisa memberikan arti bagi kehidupan seperti yang diharapkan. Terus tumbuh walau di tengah keterbatasan. Semoga dengan karya ini, bisa kupersembahkan surga untuk semuanya. Amin 3. Wisma Mardiyah (Ajeng Widayanti, Puji Handayani, Ai Rosah Aisah, Sri Hastuti A, Saftari dan Desi) terima kasih atas semuanya. Semoga Allah SWT akan mengganti kebaikan yang telah diberikan dengan sesuatu yang lebih baik. 4. Teman-teman PSL Terimakasih atas ukhuwah selama ini. Semoga Allah SWT mempertemukan kita di surga FirdausNya. Amin 5. Teman-teman AKU Tanbiyaskur, Riri Ezraneti, dan yang lainnya. Terima kasih telah menjadi episode indah dalam kehidupan Saya. Semoga tetap terjalin ukhuwah dan Allah mempertemukan kita dalam surga firdausnya. Amin Semoga tesis ini dapat bermanfaat bagi pihak-pihak yang membutuhkan. Bogor, Agustus 2011

12 RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Liwa, Lampung Barat pada tanggal 18 Mei 1985, anak kedua dari tiga bersaudara dari pasangan Bapak Sudarman dan Ibu Rosada Mursalin. Penulis memulai pendidikan di Sekolah Dasar Negeri I Sukau pada tahun 1992/1997 dan dilanjutkan ke Sekolah Dasar Sebarus pada tahun 1997/1998 dan lulus pada tahun 1998/1999. Pada tahun 1998/1999 penulis masuk ke MTsN I Liwa dan lulus pada tahun 2001/2002. Selanjutnya penulis melanjutkan ke SMUN I Liwa pada tahun 2001/2002 dan berhasil lulus pada tahun 2004/2005. Penulis diterima di Institut Pertanian Bogor pada tahun 2004/2005 lewat jalur USMI di Departemen Silvikultur Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor dan lulus pada tahun Pada tahun 2009/2010 penulis masuk pada Sekolah Pascasarjana IPB, Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan. Untuk memperoleh gelar Magister Sains, penulis menyelesaikan tesis dengan judul Kinerja Pengelolaan Repong Damar Ditinjau Dari Aspek Ekologi, Sosial Dan Ekonomi, Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan, Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor di bawah bimbingan Dr. Ir. Hariyadi, MS dan Prof. Dr. Ir. Nurheni Wijayanto, MS.

13 DAFTAR ISI Halaman DAFTAR GAMBAR... xiii DAFTAR TABEL... xiv DAFTAR LAMPIRAN... xv I. PENDAHULUAN Latar Belakang Perumusan Masalah Kerangka Pemikiran Tujuan Penelitian Manfaat Penelitian... 7 II. TINJAUAN PUSTAKA Agroforestri Definisi agroforestri Keuntungan agroforestri Klasifikasi sistem agroforestri Sistem agroforestri Repong Damar Deskripsi Repong Damar Sejarah pembentukan III. METODE PENELITIAN Lokasi dan Waktu Penelitian Bahan dan Alat Penelitian Populasi dan Sampel Prosedur Penelitian Cara pengambilan data Parameter yang diukur Analisis Data Analisis data aspek ekologi Analisis data aspek sosial Analisis data aspek ekonomi Penelitian Sebelumnya IV. KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN Letak, Batas dan Luas Wilayah Kabupaten Lampung Barat Topografi Iklim Hidrologi Geomorfologi Vegetasi dan Satwa Kependudukan... 32

14 V. HASIL DAN PEMBAHASAN Karakteristik Responden Umur Tingkat pendidikan responden Pekerjaan sampingan responden Jumlah anggota keluarga responden Sejarah Repong Damar Aspek Ekologi Pengelolaan Repong Damar Struktur horizontal Aspek Sosial Pengelolaan Repong Damar Perspsi masyarakat tentang pengembangan pengelolaan Repong Damar Permasalahan pengelolaan Repong Damar Luas dan status kepemilikan lahan Ketenagakerjaan pengelolaan Repong Damar Kelembagaan pengelolaan Repong Damar Manajemen pengeloaan Repong Damar Aspek Ekonomi Pengelolaan Repong Damar Kontribusi Repong Damar terhadap pendapatan masyarakat VI. KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan Saran DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN... 65

15 DAFTAR GAMBAR Halaman 1. Bagan alir kerangka pemikiran penelitian Peta Repong Damar di Pesisir, Kabupaten Lampung Barat, Lampung Sketsa lokasi petak ukur Pola budidaya Repong Damar di Wilayah Pesisir, Kabupaten Lampung Barat Repong Damar tua yang terbangun bersama tanaman pertanian lainnya (sawah) di Wilayah Desa Penengahan Pepat ( lubang getah damar) Uring (mengerok sebagian kulit dasar kayu damar pada ujung atas pepat) Peralatan dalam menyadap getah damar (a) Ambon, (b) Kapak patil, (c) Ember, dan (d) Babalang Cara petani damar melilit ambon pada batang damar Cara pemilahan kualitas getah damar Kualitas getah damar Jalur pemasaran damar dari Krui... 55

16 DAFTAR TABEL Halaman 1. Klasifikasi pokok sistem agroforestri Jenis data, sumber data, teknik pengumpulan data dan keluaran Bobot jawaban Skala Likert Kedudukan penelitian ini terhadap penelitian sebelumnya Keadaan tanah di Kabupaten Lampung Barat Kepadatan penduduk Krui menurut kecamatan Sebaran umur responden Sebaran tingkat pendidikan responden Tahapan pembentukan Repong Damar Indeks Nilai Penting (INP) Semai masing-masing jenis di Repong Damar Desa Penengahan (2.000 m 3 ) Indeks Nilai Penting (INP) Pancang masing-masing jenis di Repong Damar Desa Penengahan (2.000 m 3 ) Indeks Nilai Penting (INP) Tiang masing-masing jenis di Repong Damar Desa Penengahan (2.000 m 3 ) Indeks Nilai Penting (INP) pohon masing-masing jenis di Repong Damar Desa Penengahan (2.000 m 3 ) Rata-rata interpretasi jawaban responden tentang persepsi pengembangan masyarakat terhadap pengembangan pengelolaan Repong Damar berdasarkan aspek ekologi, sosial dan ekonomi Kriteria dan prasyarat kebijakan yang diharapkan Biaya pengelolaan Repong Damar Rata-rata pendapatan masyarakat dari Repong Damar di Desa Penengahan Rata-rata pendapatan perkapita masyarakat di Desa Penengahan Rata-rata kontribusi pendapatan dari Repong Damar di Desa Penengahan... 58

17 DAFTAR LAMPIRAN Halaman 1. Data umum responden Desa Penengahan Interpretasi jawaban responden tentang persepsi masyarakat terhadap pengembangan pengelolaan Repong Damar berdasarkan aspek ekologi Interpretasi jawaban responden tentang persepsi masyarakat terhadap pengembangan pengelolaan Repong Damar berdasarkan aspek ekologi Interpretasi jawaban responden tentang persepsi masyarakat terhadap pengembangan pengelolaan Repong Damar berdasarkan aspek ekologi Luas lahan, pendapatan total/tahun, kontribusi Repong Damar, dan pendapatan per kapita per tahun Daftar istilah... 71

18 I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia dikenal memiliki potensi sumberdaya alam yang tinggi dan hal itu telah diakui oleh negara-negara lain di dunia, terutama tentang potensi keanekaragaman hayati yang amat kaya dan khas. Potensi keanekaragaman hayati yang tinggi ini telah menjadi andalan bagi sebagian besar pembangunan di Indonesia. Sumberdaya hutan mempunyai fungsi terhadap kehidupan manusia, baik secara langsung, maupun secara tidak langsung. Oleh karena itu, keberadaannya perlu dipertahankan. Namun dengan semakin padatnya jumlah penduduk, semakin meningkat pula tekanan terhadap sumberdaya hutan, terutama disebabkan oleh jumlah tenaga kerja yang tidak seimbang dengan kesempatan kerja yang tersedia, sehingga kerusakan hutan masih terjadi dimana-mana, baik di kawasan hutan lindung, hutan produksi, maupun di kawasan taman nasional. Kerusakan hutan tersebut disebabkan oleh berbagai faktor, yaitu akibat penebangan liar, kebakaran hutan dan penyerobotan kawasan hutan oleh masyarakat. Hal ini dimungkinkan karena masyarakat yang berada di sekitar kawasan hutan belum diikutsertakan dalam pengamanan kawasan hutan. Sesuai Undang-Undang No. 41 tahun 1999 tentang Kehutanan, terkandung makna bahwa keberpihakan masyarakat terhadap pembangunan kehutanan sangat dominan, terutama masyarakat setempat. Hal ini tercermin dari program kehutanan bidang sosial dimana salah satu kegiatannya adalah kegiatan agroforestri yang melibatkan peranan masyarakat setempat. Agroforestri adalah nama kolektif untuk sistem dan teknologi penggunaan lahan, yakni tanaman berkayu (pohon, perdu, palmae, bambu dan sebagainya) ditanam secara sengaja pada unit manajemen lahan yang sama dengan tanaman pertanian dan/atau ternak, baik dalam pengaturan spasial atau dalam urutan temporal. Menurut Lundgren dan Raintree, diacu dalam Nair (1993) di dalam sistem agroforestri senantiasa terjadi interaksi ekologi, sosial maupun ekonomi di antara komponen-komponennya.

19 Implikasi pengertian agroforestri di atas (Nair 1993) adalah agroforestri selalu melibatkan dua atau lebih spesies tanaman (atau tanaman dan ternak). Setidaknya salah satu diantara komponen tersebut adalah tanaman berkayu, sistem agroforestri selalu mempunyai dua atau lebih output, siklus agroforestri selalu lebih dari satu tahun, sistem agroforestri yang paling sederhana adalah lebih kompleks baik secara ekologi, ekonomi, dan sosial. Masyarakat di berbagai daerah di Indonesia telah menciptakan dan melestarikan sistem-sistem yang tepat guna, yang memadukan tradisi pengelolaan hutan dengan perkembangan pertanian. Sistem ini menggunakan struktur-struktur hutan buatan pada lahan-lahan pertanian. Sistem tersebut sering disebut dengan hutan, kebun, Agroforest. Agroforest pada umumnya menghasilkan berbagai produk antara lain kayu, getah, buah-buahan, kayu bakar serta bahan-bahan lain dari tanaman. Pada saat krisis ekonomi beragam produk yang dihasilkan tersebut bagi penduduk desa memiliki arti dan peran ekologi, sosial dan ekonomi yang sangat penting, apalagi produk yang dihasilkan diantaranya merupakan produk ekspor (Wijayanto 2002). Salah satu contoh agroforestri tersebut adalah Repong Damar di Pesisir Krui Lampung yang menghasilkan produk getah damar dari tanaman damar (Shorea javanica K&V). Agroforestri dapat menjadi model produksi kayu dan non kayu yang menarik. Bagi pembangunan pertanian, sistem-sistem agroforestri menyediakan model pertanian komersil, menguntungkan dan berkesinambungan dan sesuai dengan keadaan petani, seperti halnya Repong Damar di Pesisir Krui dimana menggabungkan antara tanaman kehutanan yaitu damar (S. javanica) dan tanaman pertanian (buah-buahan). Sistem-sistem agroforestri terjadi interaksi ekologi, ekonomi dan sosial budaya. Aspek ekologi agroforestri memiliki keuntungan berkurangnya tekanan terhadap hutan, sehingga akan lebih banyak pepohonan hutan yang dimanfatkan sebagai pelindung daerah perbukitan, daur ulang unsur hara yang lebih efisien dengan terdapatnya perakaran pohon yang sangat dalam, perlindungan terhadap lahan berlereng tinggi dengan adanya pengelolaan lahan yang stabil, berkurangnya aliran permukaan, pencucian hara dan erosi tanah karena adanya akar dan batang pepohonan yang menghalangi proses-proses tersebut, perbaikan mikroklimat seperti

20 menurunnya suhu permukaan tanah dan berkurangnya evaporasi tanah karena adanya naungan dan humus, meningkatkan jumlah unsur hara karena adanya penambahan dan dekomposisi bahan organik yang jatuh ke atas permukaan tanah, perbaikan struktur tanah karena adanya penambahan senyawa organik dari lapisan terdekomposisi secara konstan. Aspek sosial agroforestri memiliki keuntungan misalnya perbaikan standar kehidupan masyarakat dengan adanya pekerjaan sepanjang waktu dan pendapatan yang berkesinambungan, perbaikan nilai gizi dan kesehatan karena lebih banyaknya kuantitas dan keanekaragaman bahan pangan yang akan diperoleh, stabilisasi dan perbaikan komunitas di daerah dataran tinggi melalui pengurangan kebutuhan lahan perpindahan untuk usaha tani. Aspek ekonomi agroforestri memiliki keuntungan, hasil yang beragam berupa pangan, kayu bakar, makanan ternak pupuk dan bahan bangunan sehingga dapat meningkatkan pendapatan masyarakat, mengurangi kemungkinan terjadinya kegagalan panen yang bisa terjadi pada pertanaman monokultur, menaikkan pendapatan petani karena ada penambahan hasil dari jenis tanaman yang berbeda. Keberhasilan Repong Damar merupakan hasil interaksi positif antara dinamika biologi, pengetahuan, teknik, dan sistem kelembagaan masyarakat setempat. Dengan demikian dalam penelitian ini akan dikaji sejauh mana kinerja pengelolaan Repong Damar bagi masyarakat dari aspek ekologi, sosial dan ekonomi. 1.2 Perumusan Masalah Repong Damar merupakan salah satu contoh agroforestri yang sering dijumpai di sepanjang daerah Pesisir Krui, Kabupaten Lampung Barat Provinsi Lampung. Budidaya getah damar merupakan aktivitas utama bidang kehutanan bagi sebagian besar masyarakat Pesisir Krui termasuk juga di Desa Pengengahan. Damar (S. javanica) adalah pohon hutan yang tergolong meranti-merantian yang menghasilkan getah bernilai ekonomis. Pengelolaan Repong Damar di Pesisir Krui, Lampung merupakan salah satu contoh nyata dari kemampuan masyarakat dalam mengelola hutan secara berkelanjutan. Aspek ekonomi Repong Damar dalam jangka panjang yang telah mampu menghidupi ribuan orang warga masyarakat Pesisir Krui, aspek ekologi

21 Repong Damar menghasilkan keseimbangan lingkungan baik dari sumber air dan keadaan iklim mikro yang bisa dirasakan oleh masyarakat setempat, dan secara aspek sosial Repong Damar merupakan kebun warisan. Sistem pengelolaan hutan damar yang terbentuk di Pesisir Krui telah memungkinkan kegiatan pemeliharaan sumberdaya hutan. Hutan damar merupakan penopang utama sistem produksi tradisional di desa dan secara tidak langsung telah turut memelihara dan melindungi keanekaragaman hayati asli dataran rendah Krui. Bentuk, fungsi, dan perkembangan Repong Damar di Pesisir Krui dipengaruhi oleh berbagai kriteria ekologis, sosial dan ekonomi di antaranya sifat dan ketersediaan sumber daya di hutan, arah dan besarnya tekanan manusia terhadap sumberdaya hutan, organisasi dan dinamika usaha tani yang dilaksanakan, sifat dan kekuatan adat istiadat setempat, dan tekanan kependudukan, sifat hubungan antara masyarakat setempat dengan dunia luar, perilaku ekologis dari unsur-unsur pembentuk agroforestri, stabilitas struktur agroforestri dan cara-cara pelestarian yang dilakukan. Namun menurut Dinas Kehutanan dan PSDA Kabupaten Lampung Barat dan Pusat LITBANG Hutan dan Konservasi (2005) menyatakan bahwa Kecamatan Pesisir Tengah dan Pesisir Selatan dalam kurun waktu 7 tahun terakhir wilayah tersebut telah terjadi perubahan/penurunan dalam luasan dan keadaan penutupannya. Hal ini disebabkan oleh terjadinya penurunan rata-rata luasan Repong Damar tiap desa selama kurun waktu 7 tahun terakhir, dari hasil perhitungan sampai dengan 1998 atas 53 desa terdapat di Wilayah Pesisir (Pesisir Utara, Tengah, dan Selatan) diketahui luasan seluruhnya ha (de Foresta et al. 2000). Dibandingkan dengan luasan hasil pengamatan tahun 2005 dari 30 desa yang berada di Pesisir Tengah dan Selatan sekitar ha. Hal ini menunjukkan bahwa luasan Repong Damar tiap desa selama kurun waktu tersebut telah mengalami pengurangan ratarata seluas 533,9 ha (± 60%) atau sekitar 76,3 ha (8,7 %) setiap tahun. Berdasarkan hal tersebut, maka rumusan masalah di dalam penelitian ini adalah: 1. Bagaimana kondisi vegetasi yang ada di Repong Damar Desa Penengahan saat ini? 2. Bagaimana persepsi masyarakat Desa Penengahan terhadap permasalahan dan pengembangan Repong Damar?

22 3. Bagaimana peran Repong Damar memberikan kontribusi pendapatan masyarakat Desa Penengahan saat ini? 1.3 Kerangka Pemikiran Hutan dan manusia sejak awal peradaban ditandai dengan adanya hubungan saling ketergantungan, karena hutan merupakan sumber bahan kehidupan dasar yang diperlukan oleh manusia seperti air, energi, makanan, protein, udara bersih, dan perlindungan. Umumnya hal ini juga terjadi pada penduduk di Desa Penengahan yang menggantungkan kebutuhan hidup berasal dari hasil pekerjaan budidaya pertanian dan hasil hutan dari Repong Damar. Menurut Sistem Hutan Kerakyatan (1995) menyatakan bahwa pada tahun 1995 atau 15 tahun yang lalu tidak kurang dari 79% penduduk yang tersebar di 66% Wilayah Pesisir Krui memiliki dan menggantungkan kehidupan mereka terhadap Repong Damar. Selain itu juga Repong Damar memiliki arti penting bagi masyarakat misalnya terciptanya kesempatan kerja dari pengusahaan Repong Damar, disamping hasil utama yang berupa getah damar misalnya pada saat memanen damar, membuat lubang sadapan pada pohon damar, pedagang pengumpul yang berdomisili di kebun, pada saat mengangkut damar, pada saat memilah damar berdasarkan kualitasnya, buruh bongkar muat damar truk atau kendaraan pengumpul damar dan sopir truk, dan tenaga pemetik buah ketika musim buah tiba. Repong Damar memiliki fungsi sebagai lapangan pekerjaan. Dari hasil budidaya damar masyarakat telah mendapat manfaat langsung secara ekonomi yang cukup baik dalam bentuk pendapatan (finansial) untuk memenuhi kebutuhan hidupnya maupun manfaat tidak langsung dengan terbinanya kesinambungan budidaya secara turun temurun. Oleh karena itu, budidaya damar tidak dapat dipisahkan dari nilai kehidupan sosial-ekonomi masyarakat Pesisir Krui. Dari hasil penelitian, diketahui bahwa pendapatan rata-rata perkapita masyarakat Pesisir Krui di atas 80% berasal dari produksi getah dengan PDB 14,5 milyar rupiah (Michon 1991, Dupain 1994, de Foresta dan Michon 1995). Dalam hal ini negara juga mendapatkan devisa luar negeri karena getah damar termasuk salah satu komoditi export (Wijayanto 2002). Sedemikian pentingnya arti Repong Damar bagi

23 masyarakat, maka muncul suatu peraturan untuk tidak menebang pohon damar baik di kebun milik sendiri atau milik orang lain, kecuali dengan ijin pemerintah yaitu kepala desa. Ijin tersebut harus didapatkan tanpa melihat apakah kayu yang diambil ditujukan untuk kebutuhan sendiri atau dijual. Surat ijin tersebut merupakan aturan yang berawal dari hukum adat. Sistem Hutan Kerakyatan (1995) menyatakan bahwa selain manfaatmanfaat di atas masyarakat di sekitar mendapatkan manfaat lingkungan seperti pemanfaatan tanaman-tanaman sebagai obat, kayu bakar, kayu untuk bahan bangunan, sumber buah-buahan dan persediaan air sepanjang tahun. Kebun damar dengan susunan vegetasi yang bertingkat mampu mempertahankan fungsi hidrologinya. Di dalam Repong Damar juga hidup bermacam-macam jenis satwa mulai dari jenis burung, binatang buas dan lain sebagainya. Selain itu juga masyarakat di sekitar Repong Damar walaupun musim kemarau panjang masih merasa hidup nyaman dengan udaranya yang bersih terhindar dari berbagai polusi. Namun pada saat ini tingkat perkembangan penduduk di Indonesia yang terus meningkat selalu dihadapkan pada berbagai masalah yang diantaranya adalah tingkat pendapatan yang rendah, serta masalah dalam hal pemanfaatan lahan. Selain itu persepsi yang positif dari masyarakat dalam keberhasilan kegiatan agroforestri sangat diperlukan agar dapat terjaga kelestarian fungsi dan kemampuan sumberdaya hutan dan ekosistemnya dan sekaligus meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Dalam kenyataan di lapangan petani damar tidak dapat dipisahkan dengan masyarakat dan sistem sosialnya. Oleh karena itu, persepsi petani damar selain dipengaruhi oleh faktor-faktor seperti umur, ekonomi, tingkat pendidikan formal, status sosial, pengalaman, pemahaman tentang Repong Damar, keaktifan, kelembagaan, tokoh masyarakat, dan kebijakan pemerintah. Pemerintah Kabupaten Lampung Barat (2011) menyatakan bahwa ancaman terbesar terhadap keberadaan Repong Damar di Kecamatan Pesisir Krui, Kabupaten Lampung Barat, Provinsi Lampung adalah konversi menjadi peruntukan lain, sehingga membuat kawasan ini rentan terhadap tekanan dari luar seperti keinginan membangun perkebunan kelapa sawit. Selain itu juga Repong Damar belum diakuinya status kepemilikan tanah masyarakat setempat selaku pemilik kebun damar oleh pemerintah, karena pada dasarnya untuk mengembangkan agroforest

24 sebagai sebuah pengelolaan sumberdaya alam secara berkesinambungan maka dibutuhkan jaminan kepastian hak petani dan penggarapnya dalam jangka panjang. Hancurnya sistem agroforestri di Indonesia terjadi pada saat negara mengembangkan inisiatif menolak dan mengabaikan penguasaan dan hak-hak masyarakat setempat atas lahan dan sumberdaya agroforestri. Pengakuan secara hukum atas hak masyarakat terhadap lahan agroforestri merupakan hal yang sangat penting. Agroforestri tidak hanya melindungi sumberdaya yang ada pada saat ini tetapi juga pengembangan agroforestri sebagai alternatif yang dapat diterima dalam rangka pengelolaan sumberdaya hutan secara terpadu oleh masyarakat setempat. Disamping itu mulai pudar nilai akan kebanggaan memiliki kebun damar sebagai warisan nenek moyang yang harus dijaga, dan keberadaan tanaman damar di pesisir Kabupaten Lampung Barat terancam punah sehubungan penebangan pohon yang terus berlangsung. Hal ini disebabkan oleh rendahnya harga damar di pasaran. Dengan demikian dalam penelitian ini akan dikaji sejauh mana kinerja pengelolaan Repong Damar dari aspek ekologi, sosial dan ekonomi. 1.4 Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan : 1. Menganalisis kinerja pengelolaan Repong Damar ditinjau dari aspek ekologi 2. Menganalisis kinerja pengelolaan Repong Damar ditinjau dari aspek sosial 3. Menganalisis kinerja pengelolaan Repong Damar ditinjau dari aspek ekonomi 1.5 Manfaat Penelitian Manfaat penelitian ini diharapkan dapat memberikan masukan bagi instansi kehutanan dalam upaya meningkatkan pengelolaan Repong Damar di Kecamatan Pesisir Tengah umumnya, di Desa Penengahan khususnya, Provinsi Lampung.

25 Repong Damar Kebijakan 1. Peraturan pemerintah 2. Peraturan adat Kelembagaan (organisasi) Modalitas 1. Tingkat kesejahteraan 2. Tingkat pendidikan Ekologi Sosial Ekonomi - Kondisi Vegetasi di Repong Damar - Persepsi masyarakat terhadap pengelolaan Repong Damar - Pendapatan masyarakat - Kontribusi Repong Damar Ancaman - Konversi menjadi peruntukan lain (kelapa sawit) - Status kepemilikan lahan - Pudarnya nilai kebanggaan memiliki repong damar - Penebangan pohon damar Solusi Berkembangnya pengelolaan Repong Damar Gambar 1. Kerangka Pemikiran Penelitian

26 II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Agroforestri Definisi agroforestri Dalam Bahasa Indonesia, kata agroforestry dikenal dengan istilah wanatani atau agroforestri yang arti sederhananya adalah menanam pepohonan di lahan pertanian. Menurut de Foresta et al. (2000) menyatakan bahwa agroforestri menggabungkan ilmu kehutanan dan agronomi, serta memadukan usaha kehutanan dengan pembangunan pedesaan untuk menciptakan keselarasan antara intensifikasi pertanian dan pelestarian hutan. Agroforestri merupakan ciptaan manusia yang dikembangkan dalam rangka pengembangan dan pelestarian sumber daya hutan, dan bukan merupakan upaya pengelolaan hutan alam. Menurut de Foresta et al. (2000) menyatakan bahwa agroforestri memiliki struktur yang serupa dengan hutan alam, umumnya agroforestri memiliki penampilan seperti hutan alam primer atau sekunder karena dominasi pepohonan dan keanekaragaman tetumbuhan yang pada tahap awalnya berasal dari hutan alam, agroforestri dapat secara keliru dianggap sebagai hutan alam. Agroforestri merupakan satu persekutuan hidup satuan-satuan biologi dan proses-proses yang dapat direproduksi dalam jangka panjang. Menurut Vergara (1982) agroforestri meskipun tidak selalu merupakan paket teknologi yang penting dalam program-program social forestry. Social forestry pada dasarnya bertujuan untuk memenuhi kebutuhan dasar manusia di pedesaan dari hutan yaitu fuel, fodder, food, timber, income, environtment. Social forestry pada prinsipnya mempunyai tiga tujuan yaitu: a. Tujuan produksi yaitu berusaha memberikan hasil maksimal produk dan jasa hutan yang didefinisikan secara tradisional oleh masyarakat setempat b. Tujuan ekuiti yakni distribusi faedah produk dan jasa hutan c. Tujuan partisipasi yaitu menghubungkan alokasi hak dan tanggung jawab dalam pengelolaan hutan.

27 Sasaran pokok dari ketiga prinsip di atas adalah untuk mencapai kemakmuran masyarakat atas kekayaan yang ada dilingkungan sekitar. Ada empat tujuan dari agroforestri yaitu: a. Untuk menciptakan keseimbangan yang harmonis antara konservasi sumberdaya alam dengan produksi b. Untuk mengurangi kesenjangan antara pasokan (supply) dan permintaan c. Untuk pelaksanaan program tata guna lahan yang berdasarkan pertimbangan ekologi, sosial, ekonomi, dan demografi d. Untuk mencegah kerusakan lebih lanjut Agroforestri diharapkan berguna bagi daerah tropika, sebagai usaha mencegah perluasan tanah tandus, dan kerusakan kesuburan tanah, dan mendorong pelestarian sumberdaya hutan. Agroforestri juga diharapkan berguna bagi peningkatan mutu pertanian serta intensifikasi dan diversifikasi silvikultur Keuntungan agroforestri Vergara (1982) mengatakan bahwa keuntungan-keuntungan dari sistem pertanaman agroforestri adalah: a. Aspek ekologi: 1. Berkurangnya tekanan terhadap hutan, sehingga akan lebih banyak pepohonan hutan yang dimanfatkan sebagai pelindung daerah perbukitan 2. Daur ulang unsur hara yang lebih efisien dengan terdapatnya perakaran pohon yang sangat dalam 3. Perlindungan terhadap lahan berlereng tinggi dengan adanya pengelolaan lahan yang stabil 4. Berkurangnya aliran permukaan, pencucian hara dan erosi tanah karena adanya akar dan batang pepohonan yang menghalangi proses-proses tersebut 5. Perbaikan mikroklimat seperti menurunnya suhu permukaan tanah dan berkurangnya evaporasi tanah karena adanya naungan dan humus 6. Meningkatkan jumlah unsur hara karena adanya penambahan dan dekomposisi bahan organik yang jatuh ke atas permukaan tanah

28 b. Aspek sosial 1. Perbaikan standar kehidupan masyarakat dengan adanya pekerjaan sepanjang waktu dan pendapatan yang berkesinambungan 2. Perbaikan nilai gizi dan kesehatan karena lebih banyaknya kuantitas dan keanekaragaman bahan pangan yang akan diperoleh 3. Stabilisasi dan perbaikan komunitas di daerah dataran tinggi melalui pengurangan kebutuhan lahan perpindahan untuk usaha tani. c. Aspek ekonomi 1. Hasil yang beragam berupa pangan, kayu bakar, makanan ternak pupuk dan bahan bangunan 2. Mengurangi kemungkinan terjadinya kegagalan panen yang bisa terjadi pada pertanaman monokultur 3. Menaikkan pendapatan petani karena ada penambahan hasil dari jenis tanaman yang berbeda Klasifikasi sistem agroforestri Tipe sistem agroforestri sangat beragam dan kompleks dalam sifat dan fungsinya. Oleh karena itu, pengklasifikasian sistem-sistem agroforestri dalam berbagai kategori sangat diperlukan untuk mengevaluasi, memahami dan memperbaiki sistem-sistem yang telah ada. Menurut Nair (1993) menyatakan bahwa istilah sistem agroforestri berbeda dengan teknologi agroforestri. Sistem agroforestri mencakup bentuk-bentuk agroforestri yang banyak dilaksanakan di suatu daerah atau merupakan suatu pemanfaatan lahan yang sudah umum dilakukan di suatu daerah. Sedangkan istilah teknologi agroforestri digunakan untuk menunjukkan adanya perbaikan atau inovasi yang biasanya berasal dari hasil penelitian dan digunakan untuk mengembangkan hasil-hasil yang baik dalam mengelola sistem-sistem agroforestri yang telah ada. Dengan demikian, sistem agroforestri meliputi bentuk-bentuk asli praktek agroforestri (indigenous agroforestry). Sedangkan teknologi agroforestri menghasilkan bentuk agroforestri yang telah diperbaiki (improved agroforestry) misalnya: improved fallow, alley cropping, multi purpose trees on farm lands, dan sebagainya.

29 Kriteria yang paling jelas dan mudah dipakai dalam pengklasifikasian sistem Agroforestri adalah sebagai berikut (Nair 1993): 1) Pengaturan komponen-komponennya menurut waktu dan tempat Þ struktur, 2) Kepentingan dan peran komponen Þ fungsi, 3) Tujuan produksi atau hasil sistem Þ output, 4) Karakter sosial ekonominya Þ dasar sosial ekonomi, 5) Basis ekologinya Þ dasar ekologi. Klasifikasi pokok sistem agroforestri disajikan pada Tabel Sistem agroforestri Menurut de Foresta et al. (2000) mengatakan bahwa agroforestri di Indonesia dapat digolongkan menjadi 2 sistem agroforestri yaitu: Sistem agroforestri sederhana Sistem agroforestri sederhana adalah perpaduan-perpaduan konvensional yang terdiri atas sejumlah kecil unsur atau sering juga dikenal sebagai skema agroforestri klasik. Contoh tanaman yang bisa ditanam di sistem ini adalah tanaman yang memiliki peran ekonomi (kelapa, karet, jati, kopi, pisang, coklat dan lain sebagainya), peran ekologi (dadap dan petai cina) serta tanaman musiman (padi, jagung, sayur mayur, rerumputan). Bentuk agroforestri sederhana yang paling banyak dibahas adalah tumpang sari yang merupakan sistem taungnya. Sistem-sistem agroforestri sederhana juga menjadi ciri umum pada pertanian komersil misalnya kopi diselingi dengan tanaman dadap, yang menyediakan naungan bagi kopi dan kayu bakar bagi petani.

30 Tabel 1. Klasifikasi pokok sistem agroforestri. Pengelompokan berdasarkan struktur dan fungsi komponen agroforestri Struktur (asal dan susunan komponen kayu) Asal komponen Susunan komponen 1. Spasial/ruang - Campuran tanaman yang padat, misal: pekarangan. - Campuran terpisah, misal: pada kebanyakan tanaman HMT. - Strip - Lebar strip lebih dari satu pohon. - Tanaman batas - Pada sudut-sudut ladang. - Agrisilvikultur (tanaman pertanian dan tanaman kayu, termasuk shrub). - Silvopastoral (ternak dan tanaman kayu). - Agrosilvopastoral (tanaman pertanian, ternak dan tanaman kayu). - Lainnya (multipurpose tree lots, apiculture, aquaculture, dll.) Sumber: Nair Temporal/waktu - Coincident - Concomitant - Overlapping - Sequential (separate) - Interpolated Fungsi (output dari komponen kayu) Fungsi produksi - Pangan - HMT - Kayu bakar - Produksi lain Fungsi lindung - Windbreak - Sabuk hijau - Konservasi tanah - Konservasi air tanah - Kesuburan tanah - Peneduh (tanaman pertanian, ternak, manusia). Pengelompokan berdasarkan penyebaran dan pengelolaan agroforestri Kesesuaian Level sosialekonomi dan lingkungan agroekologis manajemen - Dataran rendah tropika. - Dataran tinggi tropika ( > m dpl, Malaysia). - Dataran rendah subtropis (misal: daerah savana di Afrika, Cerrado di Amerika Selatan). - Dataran tinggi subtropis (misal: di Kenya dan Ethiopia). Berdasarkan tingkat input teknologi: - Input rendah (marginal) - Input sedang - Input tinggi Berdasarkan hubungan cost/benefit: - Komersial - Peralihan - Subsisten

31 Sistem agroforestri kompleks (agroforest) Sistem agroforestri kompleks atau agroforest adalah sistem-sistem yang terdiri dari sejumlah besar unsur pepohonan, perdu, tanaman musiman dan atau rumput. Penampakan fisik dan dinamika di dalamnya mirip dengan ekosistem hutan alam primer maupun sekunder. Sistem agroforestri kompleks bukanlah hutan-hutan yang ditata lambat laun melalui transformasi ekosistem secara alami, melainkan kebun-kebun yang ditanam melalui proses perladangan. Berdasarkan sudut pandang pelestarian lingkungan kemiripan struktur dan penampilan fisik agroforest dengan hutan alam merupakan suatu keunggulan. Seperti halnya pada sistem-sistem agroforestri sederhana, sumberdaya air dan tanah dilindungi dan dimanfaatkan, tetapi lebih dari itu pada agroforest sejumlah besar keanekaragaman flora dan fauna asal hutan alam tetap berkembang. Contoh agroforest di Indonesia adalah di Provinsi Kalimantan Barat yang mana masyarakat Dayak membangun agroforest dengan pohon Dipterokarpa (Dipterocarpaceae) penghasil buah tengkawang sebagai jenis utama, desa-desa di Provinsi Maluku dikelilingi oleh kebun-kebun yang memadukan pohon-pohon rempah tradisional yang berasal dari hutan seperti pala dan cengkeh dengan pohon kenari yang juga asal hutan, penduduk Krui di Lampung Barat mendomestifikasi jenis pohon Dipetrocarpa penghasil damar. 2.2 Repong Damar Deskripsi Repong Damar Menurut Lubis (1997) menyatakan bahwa Repong menurut orang Krui adalah sebidang lahan yang diatasnya tumbuh beranekaragam jenis tanaman produktif, umumnya tanaman tua (perennial crops), seperti damar, duku, durian, petai, jengkol, tangkil, manggis, kandis, dan lain sebagainya yang dipelihara karena memiliki nilai ekonomis. Disebut Repong Damar karena pohon damar merupakan tegakan yang dominan jumlahnya pada setiap bidang Repong.

32 2.2.2 Sejarah Pembentukan Orang Krui menyebut hutan alam dengan istilah Pulan dan wanatani damar dengan istilah Repong. Struktur vertikal dan ekosistem Pulan dan Repong tidak jauh berbeda. Keduanya ditandai oleh tingginya keanekaragaman biota alam yang menjadi komponennya. Komposisi mosaik Pulan dan Repong yang menghampar hijau kini telah menutupi gugusan perbukitan di sepanjang pantai barat Provinsi Lampung hingga ke batas Taman Nasional Bukit Barisan Selatan (TNBBS) di sebelah utara dan timur laut (Lubis 1997). Dari aspek teknis budidaya, tahap-tahap penanaman tanaman produktif (mulai dari tanaman subsisten sampai tanaman tua) berikut perawatannya, di sengaja atau tidak disengaja oleh petani, ternyata berlangsung dalam kondisi ekologis yang sesuai dan saling mendukung satu sama lain. Sehingga proses-proses produksi yang terkait dalam seluruh tahapan pengembangan Repong bisa membuahkan efisiensi penggunaan faktor-faktor produksi. Pada gilirannya, kegiatan produktif yang berlangsung secara bertahap itu akan memberikan kontribusi ekonomi bagi petani secara terus-menerus dalam jangka panjang. Getah damar yang dipanen secara berkala memberi pendapatan tunai secara rutin untuk nafkah keluarga. Dari tanaman Repong juga bisa diperoleh hasil lainnya seperti kayu bakar, bahan bangunan dan juga beragam jenis tumbuhan obat (Lubis 1997). Menurut Michon et al. (1998) menjelaskan bahwa secara ekologis fase perkembangan Repong Damar menyerupai tahapan suksesi hutan alam dengan segala keuntungan ekologisnya, seperti perlindungan tanah, evolusi iklim mikro, dan lain sebagainya. Dari segi teknis budidaya, tahap-tahap penanaman tanaman produktif, mulai dari tanaman subsisten sampai tanaman tua yang mana perawatannya disengaja atau tidak oleh petani yang berlangsung dalam kondisi ekologis yang sesuai dan saling mendukung satu sama lain. Sehingga proses-proses produksi yang terkait dalam seluruh tahapan pengembangan Repong Damar bisa membuahkan efisiensi penggunaan faktor-faktor produksi. Menurut Lubis (1997) menyatakan bahwa tradisi pembukaan lahan hutan yang dilakukan oleh masyarakat Krui secara garis besar dapat dibedakan atas tiga fase produktif yang ketiganya berlangsung di ruang fisik yang sama, namun berada

33 pada ruang yang berbeda dalam perspektif kognitif masyarakat Krui. Ketiga fase tersebut adalah: 1. Fase Dakhak (ladang) adalah fase ketika lahan siap tanam mulai ditanami dengan tanaman-tanaman subsistensi, seperti padi dan palawija. 2. Fase Kebun adalah fase bagi tanaman muda (annual crop) yang mana berkebun merupakan alasan utama dalam pengambilan keputusan untuk membuka lahan hutan. 3. Fase Repong dimana masyarakat Krui mulai menanamkan lahan pertaniannya dengan Repong apabila keragaman jenis tanaman yang tumbuh di dalamnya sudah terpenuhi, yang pada umumnya mulai didominasi oleh tanaman keras. Proses penanaman tersebut berlangsung secara simultan semasa pemeliharaan tanaman kebun.

34 III. METODE PENELITIAN 3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian dilakukan di Desa Penengahan, Kecamatan Pesisir Tengah, Kabupaten Lampung Barat, Provinsi Lampung (Gambar 2). Penelitian dilaksanakan pada bulan Januari sampai dengan Februari Bahan dan Alat Penelitian Alat dan bahan yang diperlukan dalam penelitian ini adalah, phiband atau pita diameter, haga hypsometer, kompas, patok, tali rafia atau tambang, buku pengenal vegetasi, golok, tally sheet, alat tulis, dan daftar kuisioner. 3.3 Populasi dan Sampel Populasi penelitian adalah masyarakat (petani damar) yang terlibat dalam kegiatan agroforestri di Desa Penengahan, Kecamatan Pesisir Krui Tengah, Kabupaten Lampung Barat, Provinsi Lampung. Responden ditentukan secara purposive sampling yaitu penentuan sampel mempertimbangkan kriteria-kriteria yang telah dibuat terhadap obyek yang sesuai dengan tujuan penelitian. Dalam hal ini penelitian dilakukan pada petani damar dengan kriteria petani damar yang berpengalaman dan belum berpengalaman, umur dan tingkat pendidikan. Menurut Arikunto (1996), apabila jumlah populasi lebih dari 100, maka jumlah contoh yang dapat diambil adalah 10-15% dari populasi tersebut. Pada lokasi penelitian yaitu Desa Penengahan responden yang memenuhi kriteria adalah sebanyak 348 kepala keluarga, maka jumlah responden dalam penelitian ini adalah sebesar 10% dari keseluruhan jumlah petani damar pada Desa Penengahan sehingga jumlah responden yang diambil sebanyak 35 Kepala Keluarga.

35 Gambar 2. Peta Repong Damar di Krui, Kabupaten Lampung Barat, Provinsi Lampung

36 3.4. Prosedur Penelitian Penelitian ini menggunakan metode penelitian deskriptif dengan pendekatan kuantitatif dan kualitatif. Hal ini dimaksudkan agar penelitian ini dapat menggambarkan status, data, kondisi tertentu dari Repong Damar di lokasi penelitian dan masyarakat Desa Penengahan yang telah mengembangkan sistem agroforestri di lokasi penelitian secara sistematis, faktual dan akurat sesuai fakta yang ada di lapangan. Pendekatan kuantitatif dilakukan dengan menggunakan metode kuisioner, pengamatan dan pengukuran data lapangan. Pendekatan kualitatif dilakukan dengan mengunakan studi pustaka Cara pengambilan data Data yang diambil terbagi atas tiga aspek yaitu aspek ekologi, aspek sosial dan aspek ekonomi (Tabel 2). Selain ketiga aspek tersebut data penunjang lainnya yang diambil seperti data sejarah perkembangan Repong Damar dan data manajemen pengelolaan Repong Damar.

37 Tabel 2. Jenis data, sumber data, teknik pengumpulan data dan keluaran No Jenis Data Sumber Data Teknik Pengumpulan Data Aspek Ekologi 1 Analisis Vegetasi Primer Analisis Vegetasi (metode jalur berpetak) 2 Persepsi masyarakat terhadap pengembangan pengelolaan Repong Damar Keluaran Analisis vegetasi, Informasi Indeks Nilai Penting (INP) Apek Sosial Primer Kuisioner Informasi masyarakat tentang pengembangan pengelolaan Repong Damar 3 Status Kepemilikan, Primer Luas Lahan, Ketenagakerjaan, Kelembagaan, dan Manajemen pengelolaan Repong Damar 4 Pendapatan yang diperoleh masyarakat dalam mengelola Repong Damar, pendapatan yang diperoleh masyarakat di luar usaha mengelola Repong Damar, dan pendapatan per kapita masyarakat dan Sekunder Wawancara, Dokumen, Laporan Penelitian. Aspek Ekonomi Primer Kuisioner dan Wawancara Informasi tentang Repong Damar Informasi pendapatan masyarakat a. Data aspek ekologi Pada aspek ekologi data yang diambil adalah data analisis vegetasi, data yang diperlukan berupa data komposisi jenis (kerapatan jenis, frekuensi jenis, dominansi jenis, dan INP). Analisis vegetasi dilakukan kegiatan inventarisasi dengan membuat Petak Ukur (PU) dengan menggunakan metode jalur berpetak (Gambar 3) dengan luas petak ukur adalah m 3 karena dilokasi penelitian

38 memiliki vegetasi yang homogen. Pada masing-masing petak pengamatan tersebut dibuat petak contoh dan sub petak contoh dengan ukuran: 1. Tingkat pohon yang memiliki diameter > 20 cm di petak ukuran 20 x 20 m 2. Tingkat tiang yang memiliki diameter cm di petak ukuran 10 x 10 m 3. Tingkat pancang yang memiliki tinggi >1,5 m dengan berdiameter 2-10 cm di petak ukuran 5 x 5 m 4. Tingkat semai yang memiliki tinggi maksimal 1,5 m di petak ukuran 2 x 2 m Sumber : Indriyanto 2008 Gambar 3. Sketsa lokasi petak ukur b. Data aspek sosial Pada aspek sosial, data yang diambil berasal dari petani damar Desa Penengahan sebagai responden. Data aspek sosial pengelolaan Repong Damar yang dikumpulkan adalah persepsi masyarakat sekarang terhadap pengembangan pengelolaan Repong Damar, status kepemilikan, luas lahan, ketenagakerjaan, kelembagaan, dan manajemen pengelolaan Repong Damar. c. Data aspek ekonomi Pada aspek ekonomi data yang diambil berasal dari petani damar sebagai responden. Data aspek ekonomi yang dikumpulkan adalah data mengenai kegiatan perekonomian di lingkungan Repong Damar yang meliputi: kegiatan pemanfaatan Repong Damar berupa nilai guna dan fungsi dari Repong Damar sebagai kontribusi pendapatan masyarakat Desa Penengahan dari Repong Damar.

39 3.4.2 Parameter yang diukur Parameter yang diamati dalam penelitian ini adalah: 1. Aspek ekologi. a) Kerapatan jenis b) Kerapatan relatif jenis c) Frekuensi jenis d) Frekuensi relatif jenis e) Dominansi jenis f) Dominansi relatif jenis g) Indeks Nilai Penting (INP) 2. Aspek sosial a) Persepsi masyarakat terhadap pengembangan pengelolaan Repong Damar b) Status kepemilikan c) Luas lahan d) Ketenagakerjaan e) Kelembagaan f) Manajemen pengelolaan Repong Damar 3. Aspek ekonomi. a) Pendapatan usaha mengelola Repong Damar di Desa Penengahan (dalam Rp/tahun). b) Pendapatan di luar usaha mengelola Repong Damar di Desa Penengahan (dalam Rp/tahun). c) Pendapatan per kapita (dalam Rp/tahun).

40 3.5 Analisis Data Analisis data aspek ekologi Analisis data aspek ekologi dianalisis berdasarkan kondisi vegetasi. Kondisi vegetasi Repong Damar yang dianalisis adalah komposisi dan struktur jenisnya didasarkan pada perhitungan besaran kuantitatif, yaitu : a. Kerapatan jenis b. Kerapatan relatif jenis c. Frekuensi jenis d. Frekuensi relatif jenis e. Dominansi jenis f. Dominansi relatif jenis g. Indeks Nilai Penting (INP) Perhitungan nilai-nilai kuantitatif di atas dihitung dengan rumus Indriyanto (2008): - Kerapatan jenis = - Kerapatan Relatif (KR) = x 100% - Frekuensi jenis = - Frekuensi Relatif = x 100% - Dominansi jenis = - Dominansi Relatif = x 100% - Indeks Nilai Penting = KR + FR + DR Analisis data aspek sosial Data aspek sosial pengelolaan Repong Damar yang dikumpulkan adalah persepsi masyarakat terhadap pengembangan pengelolaan Repong Damar, status kepemilikan, luas lahan, ketenagakerjaan, kelembagaan, dan manajemen pengelolaan Repong Damar. Persepsi masyarakat terhadap pengembangan

41 pengelolaan Repong Damar yang akan di lakukan pengukuran data dengan cara penilaian kuisioner yaitu dengan memberikan bobot nilai pada masing-masing jawaban pertanyaan (Tabel 3). Sedangkan data status kepemilikan, luas lahan, ketenagakerjaan, kelembagaan, dan manajemen Repong Damar di analisis secara deskriptif. Tabel 3. Bobot jawaban Skala Likert Skala Likert Bobot nilai Sangat setuju 5 Setuju 4 Tidak tahu 3 Tidak setuju 2 Sangat tidak setuju 1 Cara mengukur skor dan persentase penggolongan skor penilaian adalah sebagai berikut: a. Cara menghitung skor Skor = frekuensi x bobot nilai Jumlah skor = Jumlah skor skala penilaian 1 sampai dengan 5 b. Cara penghitungan persentase penggolongan skor penilaian Penggolongan skor penilaian dilakukan berdasarkan skor ideal, dimana nilainya tergantung pada jumlah responden yang ingin dilihat. Misalnya jika dibandingkan dengan jumlah keseluruhan responden pada penelitian ini adalah berjumlah 35 maka, Skor ideal (skor tertinggi) = 35 x bobot tertinggi Skor terendah = 35 x 5 = 175 (sangat setuju) = 35 x bobot terendah = 35 x 1 = 35 (sangat tidak setuju) Sehingga persentase penggolongan skor penilaian adalah: Jumlah skor jumlah skor x 100% = x 100% Skor ideal 175

42 Sedangkan kriteria interpretasi skor berdasarkan persentase kelompok responden: 1. 0%-20% : sangat tidak setuju 2. 21%-40% : tidak setuju 3. 41%-60% : ragu-ragu 4. 61%-80% : setuju 5. 81%-100% : sangat setuju Analisis data aspek ekonomi Data aspek ekonomi pengelolaan Repong Damar yang dikumpulkan adalah data mengenai kegiatan perekonomian yang meliputi: kegiatan pemanfaatan Repong Damar berupa nilai guna dan fungsi Repong Damar sebagai kontribusi pendapatan dari Repong Damar akan dianalisis dengan menggunakan pendekatan rumus pendapatan dari usaha mengelola sistem agroforestri menurut Hadisapoetra (1973) sebagai berikut: j å Lu = ( PixYi) - å I = l i= l j Ci Keterangan: Lu = Pendapatan usaha mengelola sistem agroforestri. Pi = Harga komoditi ke-i. Yi = Hasil produksi komoditi ke-i Ci = Biaya yang dikeluarkan dalam mengelola sistem agroforestri ke-i. i = 1, 2, 3... j Dengan mengetahui jumlah penerimaan bersih (Inu) dari usaha di luar mengelola Repong Damar dapat diketahui kontribusi hasil pengelolaan agroforestri terhadap masyarakat yang diasumsikan dengan rumus Hadisapoetra (1973):

43 K = Lu ( Lu + Inu) x100% Keterangan: K Lu Inu = Kontribusi usaha pengelolaan agroforestri. = Pendapatan usaha pengelolaan agroforestri. = Pendapatan di luar usaha pengelolaan agroforestri. Selain itu akan dianalisis mengenai pendapatan perkapita masyarakat dengan membandingkan pendapatan total keseluruhan dalam satu tahun terhadap jumlah anggota keluarga (jiwa) yang masih menjadi tanggungan (Hadisapoetra 1973).

44 3.6 Penelitian Sebelumnya Penelitian mengenai Repong Damar di Pesisir Krui, Kabupaten Lampung Barat, Provinsi Lampung telah dilakukan oleh beberapa peneliti. Pada Tabel 4 disajikan kedudukan penelitian ini terhadap penelitian-penelitian sebelumnya. Tabel 4. Kedudukan penelitian ini terhadap penelitian sebelumnya Peneliti Tahun Topik Hasil Bagja Hidayat 2000 Dampak pengelolaan Repong Pengelolaan Repong Damar Damar di Pesisir Krui terhadap (Shorea javanica K&V) ekonomi wilayah kabupaten mempunyai dampak yang Dati II Lampung Barat positif terhadap perekonomian wilayah Kabupaten Lampung Barat Herry Pramono 2000 Ketergantungan masyarakat terhadap Repong Damar di Pesisir Krui Lampung Barat Repong Damar memiliki peranan yang cukup dalam menambah pendapatan rumah tangga (56%) Soni Trison 2001 Kajian Kelayakan usaha sistem Pengelolaan Repong Damar mata kucing (Shorea javanica K&V) di Krui Lampung Berdasarkan analisis kelayakan usaha, usaha Repong Damar layak diusahakan. Tjahjo Tri Hartono 2001 Kajian Metodologi Mengenai Identifikasi Ekologis Tingkat Kebutuhan Cahaya berbagai Jenis tumbuhan di tingkat anakan dan pohon dewasa di damar Agroforest (studi kasus di Krui, Lampung Barat) Komposisi jenis anakan pohon ditingkat komunitas terbukti dipengaruhi oleh tingkat intensitas cahaya lingkungan. Nurheni Wijayanto 2001 Faktor dominan dalam sistem pengelolaan hutan kemasyarakatan : studi kasus di Repong Damar, pesisir Krui Lampung Keberhasilan sistem pengelolaan Repong Damar sangat dipengaruhi oleh faktorfaktor ekologi, ekonomi bisnis dan sosial budaya. M. Rizon 2005 Profil Kandungan karbon pada setiap fase pengelolaan lahan hutan oleh masyarakat menjadi Repong Damar Kandungan karbon tegakan Repong Damar adalah ,98 Kg C/ha Duryat 2006 Dimensi tegakan dan pengaruh peubah tempat tumbuh terhadap produksi damar mata kucing (Shorea javanica K&V) di Krui Lampung Barat Beberapa peubah dimensi tegakan dan peubah tempat tumbuh berkorelasi nyata dengan produksi damar di Pesisir Krui Lampung Barat Jimmy Manesa 2009 Ketahanan Pangan Rumah Tangga di Desa Penghasil damar Kabupaten Lampung Barat Hanya 33,33% rumah tangga pemilik Repong, dan 23,33% rumah tangga bukan pemilik repong yang tergolong tahan pangan.

45 IV. KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN 4.1 Letak, Batas, Dan Luas Wilayah Kabupaten Lampung Barat Menurut Pemerintah Kabupaten Lampung Barat (2011) bahwa Kabupaten Lampung Barat dengan ibukota Liwa merupakan pemekaran dari Kabupaten Lampung Utara yang ditetapkan dengan Undang-Undang no 6 tahun 1991 tanggal 16 Juli Letak Kabupaten Lampung Barat pada koordinat : Lintang Selatan : Bujur Timur : Batas Wilayah Kabupaten Lampung Barat adalah sebagai berikut: 1. Sebelah Utara, berbatasan dengan Propinsi Bengkulu 2. Sebelah Timur, berbatasan dengan Kabupaten Lampung Utara dan Kabupaten Tenggamus, dan Kabupaten Lampung Tengah 3. Sebelah Selatan, berbatasan dengan Samudera Hindia dan Selat Sunda 4. Sebelah Barat, bebatasan dengan Samudera Hindia Kabupaten Lampung Barat secara administratif meliputi 25 kecamatan, 7 kelurahan dan 250 desa. 4.2 Topografi Menurut Pemerintah Kabupaten Lampung Barat (2011) bahwa berdasarkan bentuk Wilayah Kabupaten Lampung Barat dibagi menjadi 3 wilayah topografi sebagai berikut: 1. Daerah dataran rendah, yaitu daerah berketinggian meter dari permukaan laut 2. Daerah berbukit, yaitu daerah berketinggian diatas meter dari permukaan laut 3. Daerah pengunungan, yaitu daerah berketinggian di atas meter dari permukaan laut Pesisir Selatan, sebagaimana keadaan topografi Wilayah Pesisir umumnya sebagian besar merupakan wilayah dataran dengan ketinggian kurang dari 600 m dpl. Keadaan tersebut sangat jelas pada areal Repong Damar di Kecamatan Pesisir Selatan, hampir seluruhnya (92,3%) merupakan wilayah dataran dan hanya

46 sebagian kecil saja (3,8%) merupakan lahan miring dan curam, keadaan sangat berbeda dengan areal Repong yang berada di Wilayah Kecamatan Pesisir Tengah yang mana antara repong yang datar dan miring relatif sama. Keadaan wilayah sepanjang pantai pesisir barat umumnya datar sampai berombak dengan kemiringan 3% sampai 5%. Bagian barat laut Kabupaten Lampung Barat terdapat gunung-gunung dan bukit, yaitu Gunung Panggung (1.808 m), Bukit Palawan (1.735 m), dan Gunung Talabjan (1.413 m), Bagian Selatan terdapat beberapa gunung dan bukit, yaitu Bukit Penetoh (1.166 m) Bukit Bawanggutung (1.042 m), Gunung Sekincau (1.718 m). Pegunungan Labuhan Balak (1.313 m), dan Bukit Sipulang (1.315 m). Bagian Timur dan Utara terdapat Gunung Pesagih (2.127 m), Gunung Sabhallah (1.623 m), Gunung Ulumajus (1.789 m), Gunung Siguguk (1.779 m), dan Bukit Penetaan (1.688 m). Topografi Pesisir Krui bervariasi antara daratan pantai sampai daratan tinggi (pegunungan). Komposisi lekukan bumi di Wilayah Pesisir Krui sekitar 25% terdiri dari daratan pantai Samudera Hindia, dan menaik sekitar 75% menuju pegunungan Bukit Barisan Selatan. Topografi Pesisir Krui diperkaya dengan banyaknya aliran sungai seperti Way Jambu, Way Olor, Way Hanuan, Way Palembang, Way Karwi, Way Tebakak, Way Pemancar dan lain-lain. 4.3 Iklim Menurut Pemerintah Kabupaten Lampung Barat (2011) bahwa iklim disuatu tempat sangat ditentukan oleh beberapa faktor, antara lain curah hujan, hari hujan, evaporasi, temperatur, transpirasi dan kecepatan angin. Hal tersebut erat kaitannya dengan keadaan topografi, vegetasi, maupun ketinggian suatu tempat. Menurut Oldeman dan Las Devies, daerah Lampung Barat memiliki dua tipe iklim yaitu: 1. Tipe Iklim A : Terdapat di sebelah Barat Taman Nasional Bukit Barisan Selatan 2. Tipe Iklim B : Terdapat di sebelah Timur Taman Nasional Bukit Barisan Selatan. Kelembaban udara di daerah ini tergolong basah (udic). Kelembaban berkisar antara % dengan curah hujan tahunan yang tinggi, yaitu >2.000 mm. Regim suhu berkisar dari panas (isohypothermic) pada dataran pantai (di bagian

47 barat) sampai dingin (isimesic) di daerah perbukitan. Sedangkan curah hujan dibagi menjadi 3 (tiga) kriteria yaitu : 1. Curah Hujan antara s/d mm/tahun. 2. Curah Hujan antara s/d mm/tahun. 3. Curah Hujan antara s/d mm/tahun. 4.4 Hidrologi Menurut Pemerintah Kabupaten Lampung Barat (2011) bahwa Wilayah Lampung Barat di bagian barat kaya akan sungai-sungai yang mengalir dan berjalur pendek, dengan pola aliran dendritik yang menyebabkan daerah ini ditandai dengan jarangnya banjir, Delta marine ditandai dengan agregat kasar hasil endapan aluvial vulkanik. Hal ini menyebabkan bila air membesar, maka muara sungai sering berlimpah (meander). Sungai-sungai yang berukuran pendek dan mengalir di lereng terjal sangat potensial dikembangkan untuk irigasi, kecuali yang sudah mengalir di daerah delta pantai walau masih terkena pengaruh pasang surut. Bagian Timur Lampung Barat merupakan daerah tangkapan air (catcment area), sungai-sungai yang mengalir ke arah laut, antara lain Way Besai, Way Seputih dan lain-lain. Proses erosi yang sudah lanjut, besarnya material yang terangkut sedimen menyebabkan makin cepatnya pemiskinan hara di wilayah ini. 4.5 Geomorfologi Menurut Pemerintah Kabupaten Lampung Barat (2011) bahwa formasi geologi yang menyusun Wilayah Lampung Barat meliputi formasi alluvium, gamping koral, batuan gunung api kuartier, Batuan Gunung Api, Bintuhan, Ranau, Semung, Lemau, Hulusimpang, Bal, Batuan Terobosan, Lakitan, Simpang Aur dan Formasi Seblat. Untuk fisiografis Wilayah Pesisir Kabupaten Lampung Barat didominasi oleh Teras Marin seluas ha (54,1%), Aluvial seluas ha (21%) dan Marin seluas ha (12%). Sebagian besar tanah di Kabupaten Lampung barat didominasi oleh jenis Entisol, Enceptisol dan Ultisol. Daerah pesisir ditempati oleh endapan alluvial sungai dan pantai, endapan vulkanik dari beberapa formasi, dan batuan gamping (Tabel 5). Daerah ini berada pada ketinggian 0-50 m dpl. Daerah ini relatif sempit, memanjang sepanjang pantai. Daerah yang berhadapan langsung dengan Samudera Indonesia ini, seperti

48 umumnya pantai Barat Sumatera dan Pantai Selatan Jawa, dipengaruhi oleh gempa bawah laut yang dapat mengakibatkan gelombang tsunami. Daerah pegunungan yang merupakan punggung Bukit Barisan, ditempati oleh vulkanik quarter dari beberapa formasi. Daerah ini berada pada ketinggian 50 sampai > m dpl. Daerah ini dilalui oleh sesar Semangka, dengan lebar zona sebesar ± 20 km. Pada beberapa tempat dijumpai beberapa aktifitas vulkanik dan pemunculan panas bumi. Tabel 5. Keadaan tanah di Kabupaten Lampung Barat Sistem Tanah Ketinggian (m dpl) Terdapat Alluvial Sepanjang jalur Daerah Aliran Sungai Pesisir Selatan, Pesisir Tengah dan Pesisir Utara dan sebelah Selatan Gunung Sekincau (Suoh) Marine 0-20 Daerah yang terkena pasang surut berlumpur, beting pantai, dan cekungan antar pantai Teras Marine 0-20 Sepanjang pesisir pantai barat dengan variasi lereng 3-5 % Vulkan Lereng pegunungan/ perbukitan dengan kelerengan curam (lebih dari 30 %) Perbukitan Lereng pegunungan vulkan Pegunungan dan Plato Lereng pegunungan vulkan dengan kelerengan curam (lebih dari 30 %). Sumber : Pemerintah Kabupaten Lampung Barat, 2011 Bahan Pembentuk Endapan sungai dan hasil alluvial atau koliviasi Dari bahan endapan laut yang tersusun halus sampai kasar Tufa masam dan batuan sediment Bahan induk andesitis dan basal Bahan vulkan, sedimen, plutonik masam, batuan metamorf yang ditutupi oleh bahan tufa masam ranau Bahan vulkan tersier, plutonik masam, metamorf dan tufa masam. Susunan batuan dan sifat-sifat fisiknya, struktur geologi, dan bentuk topografik yang membentuk daerah ini menyebabkan daerah ini cukup rentan terhadap berbagai jenis bencana alam, seperti gempa bumi, tanah longsor, dan erosi kuat. Daerah bergelombang berada pada ketinggian m dpl, ditempati

49 oleh endapan vulkanik quarter. Daerah ini relatif aman terhadap gempa, namun pada bagian yang berlereng terjal masih dijumpai longsor. Berdasarkan kondisi fisik demikian, dalam konteks kerentanan terhadap bencana alam Wilayah Kabupaten Lampung Barat dapat dibagi menjadi 3 (tiga) zona utama yaitu : 1. Zona I, daerah pesisir, dengan ancaman bencana alam gempa bawah laut dan tsunami, namun relatif aman terhadap gerakan tanah (tanah longsor). 2. Zona II, daerah pegunungan, yang relatif paling rentan terhadap bencana seperti tanah longsor, erosi kuat, dan gempa bumi yang juga berperan memicu longsor. 3. Zona III, daerah bergelombang, relatif paling aman meskipun tingkat erodibilitas tanahnya kurang lebih sama dengan Zona II, dan pada beberapa tempat masih dimungkinkan terkena longsor. 4.6 Vegetasi dan Satwa Menurut Dinas Kehutanan dan PSDA Kabupaten Lampung Barat dan Pusat LITBANG Hutan dan Konservasi (2005) menyatakan bahwa vegetasi yang menutupi kawasan Repong Damar di Pesisir Krui Lampung Barat didominasi oleh spesies damar mata kucing (S. javanica). Jenis tumbuhan lain yang memperkaya keanekaragaman tumbuhan adalah jenis-jenis tanaman buah-buahan tanaman seperti duku, durian, petai, jengkol, jambu bol, dan lain sebagainya. Sementara pada kawasan Taman Nasional Bukit Barisan Selatan vegetasi yang mendominasi adalah Famili Dipterocarpaceae, Lauraceae, Myrtaceae, dan Fegaceae antara lain Quercus sp. Sebagaian besar satwa liar yang hidup di Repong Damar Krui adalah dari jenis mamalia. Beberapa diantaranya merupakan satwa yang keberadaannya dilindungi karena terancam punah. Jenis satwa tersebut antara lain kubung (Cynocephalus variegatus), tupai tanah (Tupaia glis), lalangga (Ratuta bicolor), landak (Hystrix brachyura), beruang (Helarctos malayanus), harimau (Panthera tigris sumatrae), alimawung hitam (Panthera pardus melas), tenuk (Tapirus indicus), badak (Dicerorhinus sumatraensis) dan lain-lain. 4.7 Kependudukan Pesisir Krui meliputi tiga kecamatan, yaitu Kecamatan Pesisir Selatan, Pesisir Tengah, dan Pesisir Utara. Luas wilayah dan kepadatan penduduk ketiga

50 kecamatan tersebut berbeda-beda. Diantara ketiga kecamatan tersebut Pesisir Selatan merupakan kecamatan dengan wilayah paling luas dengan kepadatan penduduk terendah. Sedangkan Pesisir Tengah memiliki wilayah paling kecil dengan kepadatan tertinggi, secara lengkap disajikan pada Tabel 6. Tabel 6. Kepadatan penduduk Krui menurut kecamatan Kecamatan Luas (km 2 ) Jumlah Penduduk Kepadatan (Jiwa) (Jiwa/km 2 ) Pesisir Selatan 2.100, Pesisir Tengah 172, Pesisir Utara 634, Sumber: Biro Pusat Statistik Lampung Barat, 2005 Penduduk Wilayah Pesisir Krui Lampung Barat terdiri dari penduduk asli (Lampung) dan penduduk pendatang dari luar daerah seperti Sunda, Jawa, Bali, Madura, Palembang dan Bengkulu. Sebagian besar penduduk (99,6%) beragama Islam, dan 0,4% sisanya menyebar merata sebagai pemeluk agama Kristen, Budha, Hindu, dan penganut aliran kepercayaan. Berdasarkan mata pencaharian, sebagian besar penduduk desa di Pesisir Krui adalah petani, terutama petani damar. Selain itu juga bekerja sebagai buruh tani, penyadap (pengunduh damar), pegawai negeri, pertukangan dan wiraswasta (Biro Pusat Statistik Lampung Barat 2005).

51 V. HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1 Karakteristik Responden Umur Umur responden dalam penelitian ini bervariasi, dari umur termuda hingga yang berumur tua. Umur termuda yang menjadi responden adalah 35 tahun, sedangkan yang tertua adalah 60 tahun. Pada Tabel 7 disajikan persentase sebaran umur responden. Tabel 7. Sebaran umur responden Umur Jumlah Persentase (%) Jumlah Berdasarkan Tabel 7 diketahui bahwa umur responden yang terbanyak pada kelompok umur rata-rata tahun sebanyak 29%, sedangkan umur responden yang sedikit pada kelompok umur rata-rata tahun sebanyak 9%. Hal ini diduga karena Repong Damar diwariskan kepada anak tertua laki-laki, sehingga orang tua tidak lagi merawat Repong Damar Tingkat pendidikan responden Sebagaimana umumnya masyarakat di daerah yang jauh dari pusat kota atau pusat pendidikan, maka tingkat pendidikan masyarakat di Desa Penengahan juga masih tergolong rendah. Masyarakat yang pernah menempuh pendidikan bervariasi antara yang terendah yaitu tamat pendidikan SD hingga yang tertinggi tingkat Sarjana. Tabel 8 disajikan persentase sebaran tingkat pendidikan responden. Tabel 8. Sebaran tingkat pendidikan responden. Pendidikan Jumlah Persentase (%) SD SLTP 9 26 SLTA 4 11 S1 2 6 Jumlah

52 Berdasarkan Tabel 8 diketahui bahwa sebagian besar responden memiliki tingkat pendidikan SD sebanyak 57%, responden yang memiliki tingkat pendidikan SLTP sebanyak 26%, responden yang memiliki tingkat pendidikan SLTA sebanyak 11% dan responden yang memiliki tingkat pendidikan sarjana (S1) sebanyak 6%. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa rata-rata pendidikan responden masih rendah Pekerjaan sampingan responden Pekerjaan sampingan responden sebagian besar adalah sebagai petani sawah yaitu sebanyak 97%, sedangkan sisanya adalah sebagai pedagang yaitu sebanyak 3% (Lampiran 1) Jumlah anggota keluarga responden Jumlah anggota keluarga responden sebagian besar berkisar 1-5 orang yaitu sebanyak 63%, sedangkan sisanya adalah jumlah anggota keluarga berkisar 6-7 orang yaitu sebanyak 37% (Lampiran 1). Besar kecilnya jumlah anggota keluarga dapat mempengaruhi distribusi pendapatan yang diperoleh oleh masyarakat dari Repong Damar. 5.2 Sejarah Repong Damar Menurut de Foresta et al. (2000) bahwa pohon damar (S. javanica) telah dibudidayakan oleh masyarakat Pesisir Krui sejak zaman Belanda sekitar 120 tahun yang lalu dan telah menjadi salah satu bagian dari sistem usaha tani masyarakat lokal melalui budidaya campuran pohon hutan (damar) dengan beberapa komoditas pertanian baik tanaman semusim (seperti padi) dan tanaman tahunan lain (seperti kopi, lada, dan buah-buahan). Masyarakat setempat (budaya lokal) dalam membangun hutan damar dengan cara menebang (tanaman non-damar tidak bermanfaat/tanaman pengganggu tanaman damar), dan menanam bibit alam damar lokal dan berladang secara simultan (hutan rakyat) atau dengan cara membiarkan hutan terbentuk alami dan penanaman pada sebagian kecil areal (pada kawasan hutan). Kegiatan budidaya ini dilakukan secara teratur sistematik melalui tahapan (dalam tahun) berjenjang jenis (tanaman semusim keras/pertanian-damar) disajikan pada Tabel 9.

53 Tabel 9. Tahapan pembentukan Repong Damar Tahun ke- Perkembangan 1 Pembukaan dan pembakaran vegetasi petak lahan (bisa rimba, belukar, atau alang-alang) dan penanaman padi pertama, juga sayuran dan buah-buahan seperti pisang dan pepaya. 2 Penanaman padi seri kedua, dan penanaman kopi diantara tanaman padi tersebut 3 sampai 7 atau 8 Penanaman padi tidak dilakukan lagi, bibit damar diambil dari petak pembibitan lalu ditanam di sela-sela tanaman kopi. Ladang juga ditanami bibit pepohonan buah-buahan, penghasil kayu dan lain-lain. Panen kopi pertama berlangsung pada tahun keempat dengan hasil sekitar 600 kg/ha, panen kopi berikutnya terus dilakukan hingga tiga atau empat tahun kemudian dan hasilnya menurun menjadi sekitar 100 kg/ha, setelah itu kebun ditinggalkan. 8 sampai Pohon-pohon damar berkembang diantara kopi mulai rusak, vegetasi sekunder mulai tumbuh, petani mengendalikan pertumbuhannya dengan penyiangan berkala. Buah-buahan (nangka, durian, duku dan lain-lain) dan kayu (kayu perkakas, kayu bangunan) mulai dipanen seperlunya. 20 ke atas Penyadapan pertama getah pohon damar. Repong Damar dikembangkan terus menerus melalui pengayaan rumpang dan penganekaragaman alami Sumber: de Foresta et al. (2000) Secara skematik dari proses/tahapan budidaya Repong Damar yang dilakukan disajikan pada Gambar 4.

54 Gambar 4. Pola budidaya Repong Damar di Wilayah Pesisir Krui Kabupaten Lampung Barat (de Foresta et al. 2000) Dari pengamatan lapangan, hutan damar yang terbentuk dengan pola bertahap dan berselang jarak/waktu dan bertingkat tumbuhan (antara tanaman semusim tanam tahunan damar) sangat sulit dibedakan antara hutan alam damar (pada kawasan) dengan Repong Damar karena kedua-duanya sama-sama membentuk tegakan hutan yang berlapis, sebagai pembeda hanyalah jenis tanaman pencampur (komponen komunitas jenis-jenisnya). Dalam perkembangannya, sepintas dengan pola tahapan di atas hutan yang terbentuk mempunyai keanekaragaman hayati minimum (hanya damar dan buah-buahan) namun dalam perjalanannya dan perkembangannya melalui keputusan petani muncul dengan pengkayaan jenis (yang bernilai ekonomis) berikutnya kemudian setelah pohon dewasa tegakan terbentuk memberi peluang/menyediakan lingkungan atau celah-celah yang nyaman bagi berkembangnya spesies tumbuhan hutan melalui penyebaran alami (bahkan tidak menutup kemungkinan terjadi pengkayaan alami dengan spesies yang baru yang bernilai ekonomis (menurut pilihan petani berikutnya) dan memberi naungan dan makan bagi satwa hutan yang datang dari hutan sekitar. Oleh karena proses pemeliharaan (pembebasan dari tanaman pengganggu) umumnya dilakukan hanya

55 sekitar pohon damar, maka tumbuhan lain yang dianggap tidak mengganggu akan tumbuh dan berkembang biak sehingga setelah beberapa dekade (bisa dalam dekade 20 tahunan pertama atau berikutnya) akan mencapai keseimbangan antara kebebasan (regenerasi) dan pengelolaan terpadu (pilihan/pengkayaan jenis) yang mungkin tidak akan disadari oleh petani bahwa kebun yang dikelola tersebut telah mencapai tingkat keanekaragaman yang tinggi. Menurut de Foresta dan Michon (1995), kebun damar yang terbentuk bukan merupakan perkebunan monokultur tetapi mempunyai pola ekosistem hutan alam dengan keanekaragaman flora dengan luasan struktur vertikal berjenjang dan keanekaragaman fauna dengan pola meniru hutan alam (Gambar 5). Gambar 5. Repong Damar tua yang terbangun bersama tanaman pertanian lainnya (sawah) di Wilayah Penengahan. Budidaya Repong Damar ini dilakukan secara turun temurun dan terkait dengan sistem adat setempat. Atas dasar tersebut, maka pengelolaan Repong Damar oleh masyarakat Pesisir merupakan bagian kehidupan yang terkait erat dengan nilai kehidupan sosial-ekonomi masyarakatnya.

56 5.3 Aspek Ekologi Pengelolaan Repong Damar Struktur horizontal Struktur tegakan horizontal merupakan istilah untuk menggambarkan sebaran jenis pohon dengan dimensi diameter pohon dalam suatu kawasan. Pengetahuan stuktur tegakan memberikan informasi dinamika populasi jenis kelompok baik dari semai, pancang, tiang maupun pohon. Struktur horizontal didefinisikan sebagai banyaknya pohon per satuan luas pada setiap kelas diameternya. Struktur horizontal terkait dengan kerapatan, frekuensi dan dominansi jenis tanaman. Dengan menggunakan rumus Soerianegara dan Indrawan (1980), penjumlahan ketiga komponen tersebut akan dapat menggambarkan keadaan kuantitatif vegetasi hutan masing-masing jenis yang terdapat di dalam hutan yang dinyatakan dalam bentuk Indeks Nilai Penting (INP). Penguasaan areal oleh jenis tanaman tertentu dilakukan dengan menghitung INP, jenis yang mempunyai INP tertinggi adalah jenis yang menguasai areal tertentu. Kerapatan jenis yaitu banyaknya individu suatu jenis dalam suatu luasan pengamatan. Besarnya nilai kerapatan suatu jenis tanaman terhadap jenis yang lain dapat dilihat dari kerapatan relatifnya. Frekuensi suatu jenis menunjukan penyebaran pada suatu areal. Pengetahuan tentang jumlah dan distribusi atau frekuensi dari permudaan jenis-jenis pohon yang penting dapat dijadikan dasar dalam menduga komposisi dan volume tegakan pada masa yang akan datang (Soerianegara dan Indrawan 2002). Nilai frekuensi dipengaruhi oleh nilai kerapatan, jika tinggi nilainya maka kerapatannya juga tinggi asalkan jenis tanaman tersebut tidak mengelompok. Nilai dominansi suatu jenis tanaman merupakan perbandingan proyeksi tajuk tanaman tersebut terhadap areal tertentu dan bisa dihitung dengan menggunakan luas bidang dasar setinggi dada dan besarnya nilai dominansi suatu jenis terhadap nilai dominansi jenis tanaman yang lain merupakan dominansi relatif (Soerianegara dan Indrawan 1980). Dominansi suatu jenis dapat digunakan untuk mengetahui jenis-jenis yang paling berperan dalam suatu komunitas di suatu area. Berdasarkan hasil pengamatan dan pencatatan jenis, tinggi dan diameter pada tanaman penyusun komponen Repong Damar dapat dijelaskan lebih lanjut sebagai berikut.

57 Semai Semai adalah tumbuhan yang memiliki tinggi maksimal 1,5 m. Hasil penelitian di Repong Damar ditemukan ada 7 jenis tanaman disajikan pada Tabel 10. Tabel 10. Indeks Nilai Penting (INP) tingkat semai masing-masing jenis di Repong Damar Desa Penengahan (2.000 m 3 ) No Nama jenis K KR 1 Pulai (Alstonia scholaris L R. Br) ,2 6,25 11,25 2 Kayu Afrika (Maesopsis eminii) ,6 18,75 43,75 3 Damar (S. javanica) , Laban (Vitex pubescens Vahl) ,2 6,25 11,25 5 Petai (Parkia speciosa Hassk) ,6 18,75 33,75 6 Kayu Manis (Cynamomus Spp) ,2 6,25 11,25 7 Sungkai (Peronema canescens) ,6 18,75 33,75 Jumlah , Keterangan: K : Kerapatan, KR: Kerapatan Relatif, F: Frekuensi, FR: Frekuensi Relatif, D: Dominansi, DR: Dominansi Relatif, INP: Indeks Nilai Penting Berdasarkan Tabel 10 di atas dapat diketahui bahwa Damar (S. javanica) merupakan jenis semai yang memiliki Kerapatan Relatif (KR), Frekuensi Relatif (FR) dan Indeks Nilai Penting (INP) yang tertinggi yaitu masing-masing sebesar 30%, 25%, dan 55%. Hal ini menunjukkan bahwa Damar merupakan jenis tanaman yang mendominasi atau menguasai ruang di dalam komunitas tersebut. Hal ini disebabkan karena jenis tersebut mempunyai kesesuaian tempat tumbuh yang baik serta mempunyai daya tahan hidup yang baik pula jika dibandingkan dengan jenis lain yang ada dalam komunitas tersebut. (%) F FR (%) INP (%) Pancang Pancang adalah tumbuhan yang memiliki tinggi lebih dari 1,5 m dan diameter 2-10 cm. Hasil penelitian di Repong Damar ditemukan ada 7 jenis tanaman yang termasuk dalam kategori pancang disajikan pada Tabel 11.

58 Tabel 11. Indeks Nilai Penting (INP) tingkat pancang Repong Damar Desa Penengahan (2.000 m 3 ) No Nama jenis K KR (%) masing-masing jenis di F FR (%) INP (%) 1 Damar (S. javanica) ,8 22,22 46,22 2 Mangga (Mangifera indica L) ,4 11,11 19,11 3 Petai (P. speciosa) ,78 59,78 4 Sungkai (P. canescens) ,6 16,67 28,67 5 Rambutan (Nephelium lappaceum) ,2 5,56 9,56 6 Kayu Afrika (M. eminii) ,4 11,11 23,11 7 Durian (Durio zibethinus) ,2 5,56 13,56 Jumlah , Keterangan: K : Kerapatan, KR: Kerapatan Relatif, F: Frekuensi, FR: Frekuensi Relatif, D: Dominansi, DR: Dominansi Relatif, INP: Indeks Nilai Penting Berdasarkan Tabel 11 di atas dapat diketahui bahwa tanaman Petai (P. speciosa) memiliki nilai Kerapatan Relatif (KR), Frekuensi Relatif (FR) dan Indeks Nilai Penting (INP) tertinggi yang memiliki nilai masing-masing 32%, 27,78% dan 59,78%. Hal ini menunjukkan bahwa tanaman Petai merupakan jenis tanaman yang paling dominan pada tingkat pancang Tiang Tiang adalah tumbuhan yang memiliki diameter antara cm. Hasil penelitian di Repong Damar ditemukan ada 12 jenis tanaman yang termasuk ke dalam kelompok tiang disajikan pada Tabel 12.

59 Tabel 12. Indeks Nilai Penting (INP) tingkat tiang masing-masing jenis di Repong Damar Desa Penengahan (2.000 m 3 ) No Nama Jenis K KR 1 Jengkol (Pithecellobium jiringa Prain) 10 3,85 0,20 4,76 0,13 2,86 11,47 2 Jambu air (Eugenia aquea Burm. F) 10 3,85 0,20 4,76 0,14 3,15 11,76 3 Petai (P. speciosa) 30 11,54 0,60 14,29 0,75 16,83 42,65 4 Damar (S. javanica) 60 23, ,81 1,10 24,68 71,56 5 Rambutan (N. lappaceum) 70 26,92 0,60 14,29 1,04 23,29 64,50 6 Mangga (M. indica) 20 7,69 0,40 9,52 0,25 5,57 22,79 7 Pulai (A. scholaris) 10 3,85 0,20 4,76 0,17 3,78 12,39 8 Durian (D. zibethinus) 10 3,85 0,20 4,76 0,27 6,02 14,62 9 Jambu bol (Eugenia mallacensis L) 10 3,85 0,20 4,76 0,13 2,86 11,47 10 Laban (V. pubescens) 10 3,85 0,20 4,76 0,20 4,47 13,08 11 Salam (Eguania polyantha Miq) 10 3,85 0,20 4,76 0,19 4,29 12,90 12 Duku (Lansium domesticum Corr) 10 3,85 0,20 4,76 0,10 2,19 10,80 Jumlah Keterangan: K : Kerapatan, KR: Kerapatan Relatif, F: Frekuensi, FR: Frekuensi Relatif, D: Dominansi, DR: Dominansi Relatif, INP: Indeks Nilai Penting Berdasarkan Tabel 12 di atas diketahui bahwa jenis Damar (S. javanica) merupakan tanaman yang memiliki nilai Frekuensi Relatif (FR), Dominansi Relatif (DR), dan Indeks Nilai Penting (INP) yang tertinggi dibandingkan dengan jenis tanaman yang lainnya yaitu masing-masing sebesar 23,81%, 24,68% dan 71,56%. Hal ini menunjukkan bahwa Damar merupakan tanaman yang sering dijumpai disetiap petak ukur dan menguasai dalam komunitas tersebut dibandingkan dengan jenis yang lainnya. Besar kecilnya dominansi suatu jenis tergantung besarnya luas bidang dasar (lbds) setinggi dada. Dominansi relatif merupakan penguasaan jenis pohon terhadap jenis pohon lainnya dalam komunitas sehingga populasi jenis lain (%) relatif akan berkurang dalam jumlah dan daya hidupnya. Tanaman Rambutan (N. lappaceum) memiliki nilai Kerapatan Relatif (KR) yang tertinggi dibandingkan dengan jenis tanaman yang lainnya yaitu sebesar 26,92%. Hal ini menunjukkan bahwa Rambutan merupakan tanaman yang memiliki jumlah yang banyak dibandingkan tanaman yang lainnya. F FR (%) D DR (%) INP (%)

60 Pohon Pohon adalah suatu tanaman yang memiliki diameter lebih dari 20 cm. Hasil penelitian di Repong Damar ditemukan ada 8 jenis tanaman yang termasuk ke dalam kelompok pohon disajikan pada Tabel 13. Tabel 13. Indeks Nilai Penting (INP) tingkat pohon masing-masing jenis di Repong Damar Desa Penengahan (2.000 m 3 ) No Nama Jenis K KR (%) 1 Pulai (A. scholaris) 35 29,17 0,60 16,67 3,23 25,26 71,10 2 Damar (S. javanica) 25 20, ,78 4,73 36,96 85,58 3 Duku (L. domesticum) 15 12,50 0,60 16,67 1,27 9,96 39,13 4 Rambutan (N. lappaceum) 10 8,33 0,20 5,56 0,46 3,60 17,48 5 Petai (P. speciosa) 10 8,33 0,40 11,11 1,48 11,60 31,04 6 Manggis (Garsinia mangostana) 5 4,17 0,20 5,56 0,46 3,56 13,29 7 Durian (D. zibethinus) 5 4,17 0,20 5,56 0,32 2,52 12,24 8 Sungkai (P. canescens) 15 12,50 0,40 11,11 0,84 6,54 30,15 Jumlah , , Keterangan: K : Kerapatan, KR: Kerapatan Relatif, F: Frekuensi, FR: Frekuensi Relatif, D: Dominansi, DR: Dominansi Relatif, INP: Indeks Nilai Penting F FR (%) D DR (%) INP (%) Berdasarkan Tabel 13 di atas diketahui bahwa jenis Damar (S. javanica) merupakan tanaman yang memiliki nilai Frekuensi Relatif (FR), Dominansi Relatif (DR), dan Indeks Nilai Penting (INP) yang tertinggi dibandingkan dengan jenis tanaman yang lainnya yaitu masing-masing sebesar 27,78%, 36,96% dan 85,58%. Pada penelitian Duryat (2006) yang dilaksanakan di Pesisir Krui (Kecamatan Pesisir Utara, Pesisir Tengah, dan Pesisir Selatan) menghasilkan INP tertinggi tingkat pohon juga pada jenis Damar yaitu mencapai 165,051%. Hal ini menunjukkan bahwa Damar merupakan jenis yang mendominasi dibandingkan dengan tanaman yang lainnya. Menurut Indriyanto (2008), besarnya INP suatu jenis memperlihatkan peranan suatu jenis dalam komunitas. Suatu jenis yang memiliki nilai INP lebih besar dibandingkan dengan jenis lainnya menandakan bahwa suatu jenis pada komunitas tersebut dikatakan mendominasi atau menguasai ruang di dalam komunitas tersebut. Hal ini disebabkan jenis tersebut mempunyai kesesuaian tempat tumbuh yang baik serta mempunyai daya tahan hidup yang baik pula jika dibandingkan dengan jenis lain yang ada dalam komunitas tersebut. Selain itu

61 dominansi dari suatu spesies menggambarkan survival suatu jenis dalam suatu komunitas. Jenis-jenis yang selalu dominan pada tiap tingkatan vegetasi relatif dapat dikatakan memiliki daya survival yang tinggi. INP damar menunjukkan kecendrungan menurun dari fase pohon ke semai, namun permudaan alami damar di Pesisir Krui Tengah cukup baik. Hal ini ditunjukkan oleh kerapatan jenis damar yang cendrung meningkat dari fase pohon (20,83%) ke fase semai (30%). Penurunan INP damar dari fase pohon ke fase semai berkaitan dengan keberadaan jenis campuran. Semakin rendah fase pertumbuhan, maka akan semakin beragam dan semakin banyak jumlah dan jenis tumbuhan campurannya. Semakin tinggi nilai INP suatu jenis, berarti semakin besar dominansi jenis tersebut pada tempat tumbuhnya. Berdasarkan Tabel beberapa jenis tanaman Jengkol (P. jiringa), Jambu air (E. aquea), Jambu bol (E. mallacensis), Salam (E. polyantha), Duku (L. domesticum), Manggis (G. Mangostana ) mengalami persaingan sehingga permudaan alaminya terganggu. Hal ini disebabkan oleh terjadinya persaingan antara individu jenis tanaman baik antarspesies yang sama maupun antarspesies berbeda yang disebabkan kebutuhan yang sama misalnya dalam hal hara mineral, tanah, air, cahaya dan ruang tumbuh (Indriyanto, 2008). Jenis tanaman Pulai (A. scholaris), Damar (S. javanica), Laban (V. pubescens), Petai (P. speciosa), Sungkai (P. canescens), Mangga (M. indica), Rambutan (N. lappaceum), Durian (D. zibethinus) mampu hidup bersaing dengan jenis tanaman-tanaman lain. Hal ini disebabkan karena jenis tanaman tersebut memiliki pertumbuhan yang kuat, dan menjadi spesies yang dominan atau lebih berkuasa dibandingkan jenis lainnya. Menurut Indriyanto (2008) bahwa pohonpohon yang tinggi akan menjadi pohon pemenang dan menguasai pohon-pohon lain yang lebih rendah. 5.4 Aspek Sosial Pengelolaan Repong Damar Persepsi masyarakat tentang pengembangan pengelolaan Repong Damar Persepsi merupakan suatu pendapat, sikap dan perilaku yang bersifat pribadi dan subyektif namun mempunyai arti penting dan kedudukan yang kuat dalam diri setiap manusia (Adiputro, 1999). Hasil interpretasi jawaban responden

62 tentang persepsi masyarakat dalam pengembangan pengelolaan Repong Damar berdasarkan aspek ekologi, sosial dan ekonomi (Lampiran 2, 3, dan 4). Rata-rata interpretasi jawaban responden tentang persepsi masyarakat terhadap pengembangan pengelolaan Repong Damar berdasarkan aspek ekologi, sosial dan ekonomi disajikan pada Tabel 14. Tabel 14. Rata-rata interpretasi jawaban responden tentang persepsi masyarakat terhadap pengembangan pengelolaan Repong Damar berdasarkan aspek ekologi, sosial dan ekonomi. No Aspek Skor Persentase Interpretasi 1 Ekologi 145,25 83,25 Sangat setuju 2 Sosial 118,31 67,56 Setuju 3 Ekonomi Sangat setuju Rata-rata 138,52 79,27 Setuju Berdasarkan Tabel 14 di atas menunjukkan sebagian besar masyarakat memiliki persepsi yang sama yaitu setuju tentang pengembangan Repong Damar. Persepsi ini dapat disebabkan masyarakat masih memiliki anggapan bahwa Repong (kebun) Damar merupakan warisan nenek moyang yang harus dipertahankan. Akan tetapi perlu adanya keterlibatan dari pemerintah dalam membantu masyarakat mengelola Repong Damar. Keterlibatan pemerintah dalam membantu masyarakat dalam mengelola Repong Damar masih kurang yang dapat dilihat dari masyarakat menjawab pertanyaan frekuensi penyuluhan yang diadakan pemerintah masih sangat jarang. Selain itu beberapa masyarakat beranggapan bahwa Repong Damar akan punah yang disebabkan oleh harga getah damar yang relatif rendah jika dibandingkan dengan harga bahan pangan pokok beras Permasalahan pengelolaan Repong Damar Repong Damar merupakan bentuk pemanfaatan lahan pedesaan di Pesisir Krui, Lampung Barat yang relatif mapan. Repong Damar ini tetap dipertahankan sejak dahulu sampai sekarang. Pada saat ini keberadaan Repong Damar memang masih survive karena masyarakat sangat menyadari arti penting Repong Damar sebagai investasi masa depan, tetapi ketika terjadi pertambahan penduduk pada masa yang akan datang keberadaan Repong Damar menjadi terancam. Selain itu harga getah damar yang mengalami penurunan terus dibandingkan dengan harga

63 bahan pangan pokok beras. Hal ini disebabkan karena masyarakat beranggapan bahwa getah damar merupakan hasil perkebunan bukan hasil hutan non kayu. Masyarakat Desa Penengahan beranggapan bahwa tanaman damar (S. javanica) merupakan tanaman perkebunan yang ditanam oleh masyarakat bukan tanaman yang tumbuh sendiri seperti halnya tanaman-tanaman hutan. Keberadaan dan keberlanjutan kawasan hutan damar di Desa Penengahan, Kecamatan Pesisir Krui Tengah sangat bergantung pada upaya-upaya penduduk setempat dalam memelihara dan mempertahankan Repong Damar mereka. Relatif rendahnya penghasilan yang diperoleh dari Repong Damar yang bisa mendorong para petani damar akan meninggalkan Repong Damar mereka pada masa yang akan datang. Bila ini berlangsung terus, maka masyarakat dalam mempertahankan Repong Damar tentunya akan berkurang, apalagi periode menunggu panen cukup lama sekitar 20 tahun, masyarakat (generasi muda) Desa Penengahan akan memilih konversi lahan menjadi perkebunan sawit, kopi ataupun karet. Dukungan dan kebijakan pemerintah daerah untuk membantu pengembangan Repong Damar sudah ada namun belum optimal. Dukungan dan kebijakan pemerintah hendaknya berorientasi pada upaya untuk memperkuat keberadaan Repong Damar dan mengurangi segala bentuk intervensi terutama dalam hal-hal teknis yang sebenarnya menjadi domain dari masyarakat. Selain itu, proses penyusunan kebijakan yang dibuat harus transparan, partisipatif melalui mekanisme yang bottom-up untuk menampung aspirasi masyarakat. Tabel 15 menyajikan kriteria dan prasyarat kebijakan yang diharapkan. Tabel 15. Kriteria dan prasyarat kebijakan yang diharapkan Aspek Substansi Proses penyusunan Kriteria dan Prasyarat - Akomodatif terhadap aspirasi dari bawah - Memperjelas status pelaku subyek lain yang diatur - Memberikan bentuk insentif ekonomi sehingga tercipt self interest untuk berlangsungnya learning process - Mengurangi bahkan menghilangkan unsur-unsur ketidakpastian - Tidak diskriminatif - Tidak multi interpretatif - Tidak mengandung unsur-unsur single perception yang sempit - Menggunakan pendekatan bottom up process - Memperhatikan perbedaan dan keragaman kondisi lapangan yang ada

64 - Menerapkan azas demokrasi - Menerapkan azas transparansi, partisipasi Sumber: Suharjito et al Luas dan status kepemilikan lahan Luas lahan Repong Damar yang terbentuk pada umumnya berhubungan dengan luas Repong yang menjadi cikal bakal terbentuknya sistem agroforest. Luas lahan Repong Damar yang dimiliki masyarakat berkisar antara 0,5 sampai 1,75 ha. Luas lahan Repong Damar yang dimiliki masyarakat sebagian besar berstatus sebagai tanah waris dalam bentuk penguasaan hak milik perorangan yang dimiliki oleh satu keluarga Ketenagakerjaan pengelolaan Repong Damar Tenaga kerja yang digunakan dalam mengelola Repong Damar sebagian besar berasal dari anggota keluarga (ayah, ibu dan anak). Selain itu, mereka terkadang menggunakan tenaga upahan. Tenaga kerja upahan ini diperlukan pada kegiatan pembersihan gulma, pemanenan getah damar, pengangkutan getah damar, dan pemanenan buah-buahan. Besarnya biaya masing-masing kegiatan tersebut disajikan pada Tabel 16. Tabel 16. Biaya pengelolaan Repong Damar/KK Kegiatan Biaya (Rp) Pembersihan repong (kebun) sebelum panen Pemanenan Pengangkutan Berdasarkan Tabel 16 di atas bahwa biaya pengelolaan Repong Damar dalam kegiatan pembersihan Repong Damar sebelum panen adalah Rp , kegiatan ketika panen adalah Rp , dan kegiatan pengangkutan getah damar adalah Rp Besarnya biaya yang dikeluarkan tergantung pada tenaga upahan yang digunakan, akan tetapi jika anggota keluarga juga membantu dalam memelihara Repong Damar maka biaya yang dikeluarkan juga relatif lebih rendah Kelembagaan pengelolaan Repong Damar

65 Kelembagaan formal petani getah Damar sudah terbentuk. Kelompok tani getah damar bergabung dengan kelompok tani tanaman pertanian. Kelompok tani ini berada di bawah bimbingan Dinas Pertanian Kabupaten Lampung Barat Manajemen pengelolaan Repong Damar Manajemen pengelolaan Repong Damar yang dibahas disini menyangkut manajemen untuk sub-sistem Repong Damar. Adapun untuk manajemen pengelolaan Repong Damar dapat dijelaskan sebagai berikut: Manajemen permudaan/penanaman Penanaman bibit dilakukan dengan tujuan untuk mengganti tanaman yang mati atau tumbang atau untuk ditanam di Repong yang baru. Pada umumnya bibit sangat peka pada saat penanaman, terutama apabila tempat tumbuhnya yang baru kurang cahaya. Ada beberapa cara khusus untuk menanam damar yang biasa dilakukan dengan memperhatikan kondisi lingkungan fisik Repong yaitu: 1. Benih disebarkan langsung ditempat yang miring. 2. Benih disemaikan terlebih dahulu. Penyemaian dilakukan di polybag yang telah diisi dengan tanah dan satu biji damar. Sekitar 28 hari, biji damar menjadi kecambah. Setelah tumbuh sampai setinggi satu jengkal, bibit damar mulai dipindahkan ke Repong. 3. Bibit damar diperoleh dari tanaman damar yang tumbuh sendiri di Repong Damar, langsung dicabut dan ditanam pada tempat yang telah direncanakan. Diantara cara-cara tersebut, yang dianggap lebih baik adalah cara persemaian, karena kemungkinan hidup akan menjadi lebih besar dan bibit dapat dipilih yang lebih unggul yaitu dari pohon-pohon damar yang banyak menghasilkan getah Manajemen pemeliharaan Setelah pohon non damar (buah-buahan) menghasilkan, perawatan terhadap pohon damar lebih rutin dilakukan sambil memetik tanaman yang sudah berbuah. Perawatan pohon damar tersebut dilakukan dengan menyeleksi tanaman keras yang

66 tumbuh liar, yaitu jenis pohon-pohon yang dianggap kurang bernilai ekonomi, diganti dengan tanaman keras yang dianggap petani bernilai ekonomi tinggi. Ada sejenis tanaman parasit yang biasa mengganggu pertumbuhan tanaman kebun. Parasit ini, biasa disebut bayit, melilit batang tanaman dan mengambil sari makanan dari tanaman yang dililitnya melalui akar. Bayit biasanya dihilangkan dengan memangkas bagian ujung bawah atau pangkalnya. Selain parasit, tanaman perkebunan juga terancam oleh penyakit parang yang menyerang batang, ranting dan daun tanaman. Penyakit ini menyerang tanaman damar muda, sekitar 5 tahunan, yang daunnya masih lebar. Parang dihilangkan dengan cara membuang daun yang terserang atau memotong keseluruhan ranting yang sudah terserang Manajemen pemanenan Proses pengambilan getah damar mata kucing dilakukan dengan cara menyadap dari pohon sehingga diperoleh getah damar. Pohon damar biasanya mulai diambil getahnya saat mencapai usia 20 tahun. Pada usia demikian getah yang dihasilkan sebenarnya belum mencapai puncak produksi. Puncak itu dapat dicapai ketika pohon damar berusia sekitar 30 tahun. Untuk memperoleh getah damar batang pohon damar dilubangi permukaannya. Kegiatan ini disebut dengan memepat. Memepat batang damar dilakukan dengan alat kapak. Kedalaman ideal batang yang dilubangi adalah sekitar 4 cm dan luas permukaannya 5 cm. Pohon damar muda (usia tahun) jumlah lubang yang dibuat secara horizontal adalah 23 dan bagi damar tua (usia 30 tahun lebih) berjumlah 45 lubang, sedangkan secara vertikal jarak antar lubang kira-kira satu hasta orang dewasa. Jumlah lubang secara vertikal dalam satu pohon adalah sekitar buah. Dengan demikian pada setiap pohon damar rata-rata akan dilubangi antara pepat (jumlah lubang sadap). Jumlah pepat lebih mencerminkan baik atau tidaknya perawatan yang diberikan. Pohon yang kurang mendapat perawatan yang baik akan mengakibatkan pohon damar sakit, sehingga jumlah pepat yang dibuat menjadi tidak optimal, akibatnya produktivitas pohon akan turun. Bentuk pepat (Gambar 6) lebih kurang segitiga dengan luas alas sekitar 5 cm dan dalamnya 4 cm. Bentuk segitiga dimaksudkan agar getah yang menetas akan

67 tertampung di alasnya, dan menjaga agar lubang yang satu dengan yang lain tidak bertemu. Gambar 6. Pepat ( lubang getah damar) Cara mengambil getah damar dari alas lubang dilakukan dengan hati-hati, sehingga tidak memperbesar lubang ke arah samping melainkan ke atas yaitu dengan membuat uring (mengerok sebagian kulit dasar kayu damar pada ujung atas pepat) (Gambar 7). Gambar 7. Uring (mengerok sebagian kulit dasar kayu damar pada ujung atas pepat) Lubang yang baru harus dibiarkan selama 3 bulan. Jika sebelum 3 bulan getah damar sudah diambil maka pohon damar tidak akan mengeluarkan getah damar sama sekali atau hanya dalam jumlah yang sedikit. Getah damar yang diambil adalah getah damar yang sudah menggumpal. lain: Alat-alat (Gambar 8) yang dibutuhkan dalam menyadap getah damar antara

68 1. Ambon, yaitu sabuk pengaman yang terbuat dari rotan yang dianyam. Tali tersebut diikat melingkar pada pohon damar yang diambil getahnya 2. Tembilung, adalah wadah yang digunakan untuk menempatkan getah damar yang baru diambil dari pohon atau bisa juga diganti dengan menggunakan ember atau alat penampung lainnya. Alat ini terbuat dari selendang atau pembungkus buah pinang yang berbentuk keranjang dengan ukuran tinggi 30 cm, diameter 25 cm. Cara penggunaannya digantungkan pada tangan kiri penyadap getah damar. 3. Kapak patil, adalah semacam kapak kecil untuk menyadap maupun untuk mengambil getah damar dari lubang tarik. 4. Babalang, adalah wadah yang digunakan untuk tempat mengumpulkan getah damar dari tembilung. Bentuknya bulat panjang seperti keranjang muatan kg. Damar yang digunakan oleh para petani merupakan getah kering bercampur serpihan kayu atau ranting, tanah, dan getah tersebut disebut damar asalan. Gambar 8. Peralatan dalam menyadap damar (a) Ambon, (b) Kapak patil, (c) Ember, dan (d) Babalang Teknik memanjat dalam mengambil getah damar adalah dengan cara melilit ambon pada batang damar dan tubuh pengambil (Gambar 9).

69 Gambar 9. Cara petani damar melilit ambon pada batang damar Ambon ini berfungsi sebagai penyanggah berat badan orang yang naik pohon damar. Dengan demikian posisi tubuh si pengambil damar adalah berdiri, lubang pada batang damar digunakan sebagai tumpuan kedua kaki, tubuh disanggah ambon, tangan kanan memegang kapak untuk mengambil getah damar yang sudah mengkristal, dan tangan kiri memegang tembilung tempat getah damar yang baru diambil Pemilahan kualitas getah damar Di warung (gudang/tempat penampungan damar) pedagang pengumpul di desa, onggokan damar asalan atau laburan dipilah dengan cara pengayakan, penampian, dan pemilihan/pemungutan tangan ke dalam kategori kualitas (Gambar 10). Gambar 10. Cara pemilahan kualitas damar

70 Pemilahan ini, pedagang pengumpul mempekerjakan anggota rumah tangga dan tetangga sekampung maupun sedesa. Cara pemilahan kualitas getah damar (Gambar 11) dengan tahapan sebagai berikut: 1. Getah damar diayak menggunakan ayakan kayu dengan jaring-jaring ayakan yang dibuat dari anyaman bambu sebesar 3x3 cm atau yang disebut ayakan A. Ayakan ini berbentuk bujur sangkar. Pengayakan ini menghasilkan getah damar kualitas A, yaitu getah yang ukurannya besar. Getah damar A ini ditempatkan sendiri dan dipisahkan dari getah damar yang lain yang keluar dari ayakan A tadi. 2. Getah damar yang telah diayak tadi, kemudian diayak lagi dengan ayakan B yang mempunyai luas jaring-jaring 2x2 cm. Hasil ayakan adalah getah damar kualitas B yang memiliki ukuran relatif kecil dibandingkan dengan kualitas A. 3. Getah damar yang keluar dari ayakan B, diayak lagi dengan ayakan C yang mempunyai luas jaring-jaring 1x1 cm. Hasil ayakan adalah damar kualitas C yang memiliki ukuran relatif kecil dibandingkan dengan kualitas B. 4. Getah damar yang keluar dari ayakan C, diayak lagi dengan ayakan abu atau debu (luas jaring-jaring ayakan 1x1 mm). Hasil ayakan adalah getah damar adalah getah damar kualitas KK/DE, berupa butiran-butiran kecil. Getah damar DE ditempatkan tersendiri dan dipisahkan dari debu yang keluar dari ayakan ini. Gambar 11. Kualitas getah damar

PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia dikenal memiliki potensi sumberdaya alam yang tinggi dan hal itu telah diakui oleh negara-negara lain di dunia, terutama tentang potensi keanekaragaman hayati

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Agroforestri Definisi agroforestri

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Agroforestri Definisi agroforestri II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Agroforestri 2.1.1 Definisi agroforestri Dalam Bahasa Indonesia, kata agroforestry dikenal dengan istilah wanatani atau agroforestri yang arti sederhananya adalah menanam pepohonan

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN

III. METODE PENELITIAN III. METODE PENELITIAN 3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian dilakukan di Desa Penengahan, Kecamatan Pesisir Tengah, Kabupaten Lampung Barat, Provinsi Lampung (Gambar 2). Penelitian dilaksanakan pada

Lebih terperinci

AGROFORESTRI PENDAHULUAN. Apa itu Agroforestri? Cakupan pembahasan agroforestri

AGROFORESTRI PENDAHULUAN. Apa itu Agroforestri? Cakupan pembahasan agroforestri AGROFORESTRI Ellyn K. Damayanti, Ph.D.Agr. M.K. Ekoteknologi Konservasi Tumbuhan Bogor, 19 Maret 2013 PENDAHULUAN Apa itu Agroforestri? Agro/agriculture; forestry Nama bagi sistem-sistem dan teknologi

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Hutan Rakyat 2.1.1. Pengertian Dalam UU No. 41 tahun 1999, hutan rakyat merupakan jenis hutan yang dikelompokkan ke dalam hutan hak. Hutan hak merupakan hutan yang berada di

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. hutan yang dialih-gunakan menjadi lahan usaha lain. Agroforestry adalah salah

PENDAHULUAN. hutan yang dialih-gunakan menjadi lahan usaha lain. Agroforestry adalah salah PENDAHULUAN Latar Belakang Alih-guna lahan hutan menjadi lahan pertanian disadari menimbulkan banyak masalah seperti penurunan kesuburan tanah, erosi, kepunahan flora dan fauna, banjir, kekeringan dan

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. berinteraksi dalam satu sistem (pohon, tanaman dan atau ternak) membuat

II. TINJAUAN PUSTAKA. berinteraksi dalam satu sistem (pohon, tanaman dan atau ternak) membuat 8 II. TINJAUAN PUSTAKA A. Agroforestri Sistem agroforestri memiliki karakter yang berbeda dan unik dibandingkan sistem pertanian monokultur. Adanya beberapa komponen berbeda yang saling berinteraksi dalam

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Agroforestry 2.1.1. Definisi Agroforestry Agroforestry adalah suatu nama kolektif untuk sistem-sistem penggunaan lahan teknologi, dimana tanaman keras berkayu (pohon-pohonan,

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. kehidupan mulai dari tanaman keras, non kayu, satwa, buah-buahan, satuan budi

TINJAUAN PUSTAKA. kehidupan mulai dari tanaman keras, non kayu, satwa, buah-buahan, satuan budi TINJAUAN PUSTAKA Pengelolaan Hutan Berbasis Masyarakat Hutan rakyat adalah hutan yang pengelolaannya dilaksanakan oleh organisasi masyarakat baik pada lahan individu, komunal (bersama), lahan adat, maupun

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. menggabungkan unsur tanaman dan pepohonan. Agroforestri adalah suatu

II. TINJAUAN PUSTAKA. menggabungkan unsur tanaman dan pepohonan. Agroforestri adalah suatu II. TINJAUAN PUSTAKA A. Agroforestri Hairiah, dkk (2003) mendefinisikan agroforestri merupakan suatu cabang ilmu pengetahuan di bidang pertanian dan kehutanan yang mencoba menggabungkan unsur tanaman dan

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Berdasarkan Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, sumber daya alam hayati yang didominasi oleh pepohonan dalam

II. TINJAUAN PUSTAKA. Berdasarkan Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, sumber daya alam hayati yang didominasi oleh pepohonan dalam 7 II. TINJAUAN PUSTAKA A. Hutan Marga dan Hutan Rakyat 1. Hutan Marga Berdasarkan Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, hutan adalah suatu kesatuan ekosistem berupa hamparan lahan berisi

Lebih terperinci

PENDAHULUAN Latar Belakang

PENDAHULUAN Latar Belakang 15 PENDAHULUAN Latar Belakang Perubahan lingkungan daerah tropik berkaitan erat dengan pembukaan hutan dan lahan yang menyebabkan erosi, kepunahan flora dan fauna serta terjadinya perluasan lahan kritis.

Lebih terperinci

ANALISIS KOMPOSISI JENIS DAN STRUKTUR TEGAKAN DI HUTAN BEKAS TEBANGAN DAN HUTAN PRIMER DI AREAL IUPHHK PT

ANALISIS KOMPOSISI JENIS DAN STRUKTUR TEGAKAN DI HUTAN BEKAS TEBANGAN DAN HUTAN PRIMER DI AREAL IUPHHK PT ANALISIS KOMPOSISI JENIS DAN STRUKTUR TEGAKAN DI HUTAN BEKAS TEBANGAN DAN HUTAN PRIMER DI AREAL IUPHHK PT. SARMIENTO PARAKANTJA TIMBER KALIMANTAN TENGAH Oleh : SUTJIE DWI UTAMI E 14102057 DEPARTEMEN MANAJEMEN

Lebih terperinci

BAB IV METODOLOGI 4.1 Waktu dan Tempat Penelitian 4.2 Bahan dan Alat 4.3 Metode Pengambilan Data Analisis Vegetasi

BAB IV METODOLOGI 4.1 Waktu dan Tempat Penelitian 4.2 Bahan dan Alat 4.3 Metode Pengambilan Data Analisis Vegetasi BAB IV METODOLOGI 4.1 Waktu dan Tempat Penelitian Kegiatan penelitian ini dilaksanakan mulai bulan April sampai bulan Juni tahun 2009, pada areal hutan produksi perusahaan pemegang Izin Usaha Pemanfaatan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. dan menjadi suatu sistem yang menguntungkan adalah sistem agroforestri.

I. PENDAHULUAN. dan menjadi suatu sistem yang menguntungkan adalah sistem agroforestri. 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Salah satu sistem pemanfaatan lahan yang optimal dalam menghasilkan produk dan menjadi suatu sistem yang menguntungkan adalah sistem agroforestri. Agroforestri menurut

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN Latar Belakang

I. PENDAHULUAN Latar Belakang I. PENDAHULUAN Latar Belakang Pembangunan dibidang kehutanan saat ini terus ditingkatkan dan diarahkan untuk menjamin kelangsungan tersedianya hasil hutan, demi kepentingan pembangunan industri, perluasan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Pembangunan pertanian merupakan salah satu tindakan yang mendukung untuk

I. PENDAHULUAN. Pembangunan pertanian merupakan salah satu tindakan yang mendukung untuk 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pembangunan pertanian merupakan salah satu tindakan yang mendukung untuk menopang perekonomian nasional. Pembangunan pertanian yang baik untuk Negara Indonesia adalah

Lebih terperinci

KOMPOSISI TEGAKAN SEBELUM DAN SESUDAH PEMANENAN KAYU DI HUTAN ALAM

KOMPOSISI TEGAKAN SEBELUM DAN SESUDAH PEMANENAN KAYU DI HUTAN ALAM KOMPOSISI TEGAKAN SEBELUM DAN SESUDAH PEMANENAN KAYU DI HUTAN ALAM Muhdi Staf Pengajar Program Studi Teknologi Hasil Hutan Departemen Kehutanan USU Medan Abstract A research was done at natural tropical

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Dalam Undang-Undang RI No. 41 tahun 1999, hutan rakyat adalah hutan yang

II. TINJAUAN PUSTAKA. Dalam Undang-Undang RI No. 41 tahun 1999, hutan rakyat adalah hutan yang 4 II. TINJAUAN PUSTAKA A. Hutan Rakyat Dalam Undang-Undang RI No. 41 tahun 1999, hutan rakyat adalah hutan yang tumbuh diatas tanah yang dibebani hak milik (Departeman Kehutanan dan Perkebunan, 1999).

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN. Desa Pesawaran Indah ini merupakan salah satu desa yang semua penduduknya

III. METODE PENELITIAN. Desa Pesawaran Indah ini merupakan salah satu desa yang semua penduduknya 19 III. METODE PENELITIAN A. Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di Desa Pesawaran Indah, Kecamatan Padang Cermin, Kabupaten Pesawaran. Lokasi ini dipilih secara sengaja dikarenakan

Lebih terperinci

KERAGAMAN JENIS ANAKAN TINGKAT SEMAI DAN PANCANG DI HUTAN ALAM

KERAGAMAN JENIS ANAKAN TINGKAT SEMAI DAN PANCANG DI HUTAN ALAM KARYA TULIS KERAGAMAN JENIS ANAKAN TINGKAT SEMAI DAN PANCANG DI HUTAN ALAM OLEH : DIANA SOFIA H, SP, MP NIP 132231813 FAKULTAS PERTANIAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA 2007 KATA PENGANTAR Syukur Alhamdulillah,

Lebih terperinci

AGROFORESTRY : SISTEM PENGGUNAAN LAHAN YANG MAMPU MENINGKATKAN PENDAPATAN MASYARAKAT DAN MENJAGA KEBERLANJUTAN

AGROFORESTRY : SISTEM PENGGUNAAN LAHAN YANG MAMPU MENINGKATKAN PENDAPATAN MASYARAKAT DAN MENJAGA KEBERLANJUTAN AGROFORESTRY : SISTEM PENGGUNAAN LAHAN YANG MAMPU MENINGKATKAN PENDAPATAN MASYARAKAT DAN MENJAGA KEBERLANJUTAN Noviana Khususiyah, Subekti Rahayu, dan S. Suyanto World Agroforestry Centre (ICRAF) Southeast

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Tentang Tata Hutan dan Penyusunan Rencana Pengelolaan Hutan, serta

II. TINJAUAN PUSTAKA. Tentang Tata Hutan dan Penyusunan Rencana Pengelolaan Hutan, serta II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Kesatuan Pengelolaan Hutan (KPH) Berdasarkan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 6 Tahun 2007 Tentang Tata Hutan dan Penyusunan Rencana Pengelolaan Hutan, serta Pemanfaatan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Berkurangnya hutan tropis untuk kepentingan pertanian terkait dengan upayaupaya

I. PENDAHULUAN. Berkurangnya hutan tropis untuk kepentingan pertanian terkait dengan upayaupaya I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Berkurangnya hutan tropis untuk kepentingan pertanian terkait dengan upayaupaya masyarakat sekitar hutan untuk memenuhi kebutuhan pangan. Khusus di Propinsi Lampung, pembukaan

Lebih terperinci

BAB I. PENDAHULUAN. Agroforestri: ilmu baru, teknik lama. Penanaman berbagai jenis. pohon dengan atau tanpa tanaman semusim (setahun) pada sebidang

BAB I. PENDAHULUAN. Agroforestri: ilmu baru, teknik lama. Penanaman berbagai jenis. pohon dengan atau tanpa tanaman semusim (setahun) pada sebidang BAB I. PENDAHULUAN Deskripsi Singkat Pokok Bahasan : Pengantar Agroforestri Waktu : 1 (satu) kali tatap muka pelatihan Tujuan : Agar Praja mampu menjelaskan definisi, ruang lingkup, tujuan dan sasaran

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 6 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Hutan Rakyat 2.1.1. Pengertian Hutan Rakyat Hutan secara singkat dan sederhana didefinisikan sebagai suatu ekosistem yang didominasi oleh pohon (Suharjito, 2000). Menurut

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. berbagai kebutuhan hidupnya. Manfaat hutan bagi manusia diantaranya menghasilkan

BAB I PENDAHULUAN. berbagai kebutuhan hidupnya. Manfaat hutan bagi manusia diantaranya menghasilkan 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Manusia dalam perkembangannya memanfaatkan hutan untuk memenuhi berbagai kebutuhan hidupnya. Manfaat hutan bagi manusia diantaranya menghasilkan kayu bangunan, hasil

Lebih terperinci

KEPUTUSAN MENTERI KEHUTANAN NOMOR 47 / KPTS-II / 1998 TENTANG

KEPUTUSAN MENTERI KEHUTANAN NOMOR 47 / KPTS-II / 1998 TENTANG KEPUTUSAN MENTERI KEHUTANAN NOMOR 47 / KPTS-II / 1998 TENTANG PENUNJUKAN KAWASAN HUTAN LINDUNG DAN HUTAN PRODUKSI TERBATAS SELUAS ± 29.000 (DUA PULUH SEMBILAN RIBU) HEKTAR DI KELOMPOK HUTAN PESISIR, DI

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Hutan secara konsepsional yuridis dirumuskan di dalam Pasal 1 Ayat (1)

TINJAUAN PUSTAKA. Hutan secara konsepsional yuridis dirumuskan di dalam Pasal 1 Ayat (1) TINJAUAN PUSTAKA Definisi Hutan Hutan secara konsepsional yuridis dirumuskan di dalam Pasal 1 Ayat (1) Undang-undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan. Menurut Undangundang tersebut, hutan adalah suatu

Lebih terperinci

METODE PENELITIAN. Lokasi dan Waktu Penelitian

METODE PENELITIAN. Lokasi dan Waktu Penelitian METODE PENELITIAN Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian dilakukan di dalam areal Hak Pengusahaan Hutan (HPH) PT. Sari Bumi Kusuma, Unit S. Seruyan, Kalimantan Tengah. Areal hutan yang dipilih untuk penelitian

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. masyarakat dengan memperhatikan tiga prinsip yaitu secara ekologi tidak merusak. waktu, aman dan terjangkau bagi setiap rumah tangga.

I. PENDAHULUAN. masyarakat dengan memperhatikan tiga prinsip yaitu secara ekologi tidak merusak. waktu, aman dan terjangkau bagi setiap rumah tangga. I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pembangunan sektor pertanian, perkebunan dan kehutanan bertujuan untuk perbaikan kesejahteraan masyarakat melalui peningkatan pendapatan masyarakat dengan memperhatikan

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Pada tahun 1924 kawasan hutan Way Kambas ditetapkan sebagai daerah hutan

II. TINJAUAN PUSTAKA. Pada tahun 1924 kawasan hutan Way Kambas ditetapkan sebagai daerah hutan II. TINJAUAN PUSTAKA A. Taman Nasional Way Kambas Pada tahun 1924 kawasan hutan Way Kambas ditetapkan sebagai daerah hutan lindung. Pendirian kawasan pelestarian alam Way Kambas dimulai sejak tahun 1936

Lebih terperinci

STUDI EVALUASI PENETAPAN KAWASAN KONSERVASI TAMAN NASIONAL BUKIT TIGAPULUH (TNBT) KABUPATEN INDRAGIRI HULU - RIAU TUGAS AKHIR

STUDI EVALUASI PENETAPAN KAWASAN KONSERVASI TAMAN NASIONAL BUKIT TIGAPULUH (TNBT) KABUPATEN INDRAGIRI HULU - RIAU TUGAS AKHIR STUDI EVALUASI PENETAPAN KAWASAN KONSERVASI TAMAN NASIONAL BUKIT TIGAPULUH (TNBT) KABUPATEN INDRAGIRI HULU - RIAU TUGAS AKHIR Oleh: HERIASMAN L2D300363 JURUSAN PERENCANAAN WILAYAH DAN KOTA FAKULTAS TEKNIK

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. alam dan jasa lingkungan yang kaya dan beragam. Kawasan pesisir merupakan

BAB I PENDAHULUAN. alam dan jasa lingkungan yang kaya dan beragam. Kawasan pesisir merupakan BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Wilayah pesisir merupakan kawasan yang memiliki potensi sumber daya alam dan jasa lingkungan yang kaya dan beragam. Kawasan pesisir merupakan salah satu sistem ekologi

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Hutan secara konsepsional yuridis dirumuskan di dalam Pasal 1 Ayat (1)

TINJAUAN PUSTAKA. Hutan secara konsepsional yuridis dirumuskan di dalam Pasal 1 Ayat (1) TINJAUAN PUSTAKA Definisi Hutan Hutan secara konsepsional yuridis dirumuskan di dalam Pasal 1 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan. Menurut Undang- Undang tersebut, hutan adalah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dengan sifat dan ciri yang bervariasi, dan di dalam tanah terjadi kompetisi antara

BAB I PENDAHULUAN. dengan sifat dan ciri yang bervariasi, dan di dalam tanah terjadi kompetisi antara BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Tanah merupakan habitat yang komplek untuk organisme. Dibandingkan dengan media kultur murni di laboratorium, tanah sangat berbeda karena dua hal utama yaitu pada kondisi

Lebih terperinci

Menengok kesuksesan Rehabilitasi Hutan di Hutan Organik Megamendung Bogor Melalui Pola Agroforestry

Menengok kesuksesan Rehabilitasi Hutan di Hutan Organik Megamendung Bogor Melalui Pola Agroforestry Menengok kesuksesan Rehabilitasi Hutan di Hutan Organik Megamendung Bogor Melalui Pola Agroforestry Oleh : Binti Masruroh Rehabilitasi Hutan dan Lahan (RHL) menurut Undang Undang Republik Indonesia Nomor

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN. Penelitian dilakukan juni sampai dengan Juli 2013 di zona pemanfaatan terbatas,

III. METODE PENELITIAN. Penelitian dilakukan juni sampai dengan Juli 2013 di zona pemanfaatan terbatas, 16 III. METODE PENELITIAN A. Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian dilakukan juni sampai dengan Juli 2013 di zona pemanfaatan terbatas, Resort Way Kanan, Satuan Pengelolaan Taman Nasional 1 Way Kanan,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. I.I Latar Belakang. Pertambahan penduduk merupakan faktor utama pendorong bagi upaya

BAB I PENDAHULUAN. I.I Latar Belakang. Pertambahan penduduk merupakan faktor utama pendorong bagi upaya BAB I PENDAHULUAN I.I Latar Belakang Pertambahan penduduk merupakan faktor utama pendorong bagi upaya pemanfaatan sumber daya alam khususnya hutan, disamping intensitas teknologi yang digunakan. Kehutanan

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA Sistem Agroforestri Istilah agroforestri mulai mendapat perhatian dunia internasional secara global sejak tahun 1970-an (van Maydel

TINJAUAN PUSTAKA Sistem Agroforestri Istilah agroforestri mulai mendapat perhatian dunia internasional secara global sejak tahun 1970-an (van Maydel TINJAUAN PUSTAKA Sistem Agroforestri Istilah agroforestri mulai mendapat perhatian dunia internasional secara global sejak tahun 1970-an (van Maydel 19850. Ada banyak pengertian dan batasan agroforestri.

Lebih terperinci

V. HASIL DAN PEMBAHASAN

V. HASIL DAN PEMBAHASAN V. HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1 Karakteristik Responden 5.1.1 Umur Umur responden dalam penelitian ini bervariasi, dari umur termuda hingga yang berumur tua. Umur termuda yang menjadi responden adalah 35 tahun,

Lebih terperinci

KEANEKARAGAMAN JENIS BURUNG DI BERBAGAI TIPE DAERAH TEPI (EDGES) TAMAN HUTAN RAYA SULTAN SYARIF HASYIM PROPINSI RIAU DEFRI YOZA

KEANEKARAGAMAN JENIS BURUNG DI BERBAGAI TIPE DAERAH TEPI (EDGES) TAMAN HUTAN RAYA SULTAN SYARIF HASYIM PROPINSI RIAU DEFRI YOZA KEANEKARAGAMAN JENIS BURUNG DI BERBAGAI TIPE DAERAH TEPI (EDGES) TAMAN HUTAN RAYA SULTAN SYARIF HASYIM PROPINSI RIAU DEFRI YOZA SEKOLAH PASCA SARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2006 PERNYATAAN MENGENAI

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN. Penelitian ini dilakukan di Bukit Gunung Sulah Kelurahan Gunung Sulah

III. METODE PENELITIAN. Penelitian ini dilakukan di Bukit Gunung Sulah Kelurahan Gunung Sulah III. METODE PENELITIAN A. Waktu dan Lokasi Penelitian Penelitian ini dilakukan di Bukit Gunung Sulah Kelurahan Gunung Sulah Kecamatan Sukarame Kota Bandar Lampung (Gambar 2) pada bulan Juli sampai dengan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. jenis salak yang terdapat di Indonesia, yakni : salak Jawa Salacca zalacca

I. PENDAHULUAN. jenis salak yang terdapat di Indonesia, yakni : salak Jawa Salacca zalacca I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Salak merupakan salah satu buah tropis yang banyak diminati orang karena memiliki keunggulan baik dari segi rasa maupun penampilan buahnya. Ada 3 (tiga) jenis salak yang

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Habitat merupakan lingkungan tempat tumbuhan atau satwa dapat hidup dan berkembang biak secara alami. Kondisi kualitas dan kuantitas habitat akan menentukan komposisi,

Lebih terperinci

IV. METODE PENELITIAN

IV. METODE PENELITIAN IV. METODE PENELITIAN 4.1 Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian tentang karakteristik habitat Macaca nigra dilakukan di CA Tangkoko yang terletak di Kecamatan Bitung Utara, Kotamadya Bitung, Sulawesi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sebagaimana yang tercantum dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2010-2014, pemerintah menetapkan bahwa dalam kerangka pencapaian pembangunan

Lebih terperinci

Paket INFORMASI DAMPAK HUTAN TANAMAN TERHADAP LINGKUNGAN

Paket INFORMASI DAMPAK HUTAN TANAMAN TERHADAP LINGKUNGAN Paket INFORMASI DAMPAK HUTAN TANAMAN TERHADAP LINGKUNGAN Jenis Bambang Lanang Kajian Dampak Hutan Tanaman Jenis Penghasil Kayu Terhadap Biodiversitas Flora, Fauna, dan Potensi Invasif Paket Informasi Dampak

Lebih terperinci

PERAN MODEL ARSITEKTUR RAUH DAN NOZERAN TERHADAP PARAMETER KONSERVASI TANAH DAN AIR DI HUTAN PAGERWOJO, TULUNGAGUNG NURHIDAYAH

PERAN MODEL ARSITEKTUR RAUH DAN NOZERAN TERHADAP PARAMETER KONSERVASI TANAH DAN AIR DI HUTAN PAGERWOJO, TULUNGAGUNG NURHIDAYAH PERAN MODEL ARSITEKTUR RAUH DAN NOZERAN TERHADAP PARAMETER KONSERVASI TANAH DAN AIR DI HUTAN PAGERWOJO, TULUNGAGUNG NURHIDAYAH SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2009 PERNYATAAN MENGENAI

Lebih terperinci

BAB III KERANGKA BERPIKIR DAN KONSEP PENELITIAN. Mangrove merupakan ekosistem peralihan, antara ekosistem darat dengan

BAB III KERANGKA BERPIKIR DAN KONSEP PENELITIAN. Mangrove merupakan ekosistem peralihan, antara ekosistem darat dengan 29 BAB III KERANGKA BERPIKIR DAN KONSEP PENELITIAN 3.1. Kerangka Berpikir Mangrove merupakan ekosistem peralihan, antara ekosistem darat dengan ekosistem laut. Mangrove diketahui mempunyai fungsi ganda

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 68 TAHUN 1998 TENTANG KAWASAN SUAKA ALAM DAN KAWASAN PELESTARIAN ALAM PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 68 TAHUN 1998 TENTANG KAWASAN SUAKA ALAM DAN KAWASAN PELESTARIAN ALAM PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 68 TAHUN 1998 TENTANG KAWASAN SUAKA ALAM DAN KAWASAN PELESTARIAN ALAM PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa kawasan suaka alam dan kawasan pelestarian

Lebih terperinci

STRUKTUR DAN KOMPOSISI VEGETASI DALAM SISTEM AGROFORESTRI HASIL HUTAN BUKAN KAYU (HHBK) MULTI STRATA DI TAMAN HUTAN RAYA WAN ABDUL RACHMAN LAMPUNG

STRUKTUR DAN KOMPOSISI VEGETASI DALAM SISTEM AGROFORESTRI HASIL HUTAN BUKAN KAYU (HHBK) MULTI STRATA DI TAMAN HUTAN RAYA WAN ABDUL RACHMAN LAMPUNG STRUKTUR DAN KOMPOSISI VEGETASI DALAM SISTEM AGROFORESTRI HASIL HUTAN BUKAN KAYU (HHBK) MULTI STRATA DI TAMAN HUTAN RAYA WAN ABDUL RACHMAN LAMPUNG Nanang Herdiana, E. Martin, B. Winarno, A. Nurlia dan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. pada pulau. Berbagai fungsi ekologi, ekonomi, dan sosial budaya dari

BAB I PENDAHULUAN. pada pulau. Berbagai fungsi ekologi, ekonomi, dan sosial budaya dari BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Penelitian Hutan merupakan bagian penting di negara Indonesia. Menurut angka resmi luas kawasan hutan di Indonesia adalah sekitar 120 juta hektar yang tersebar pada

Lebih terperinci

KOMPOSISI DAN STRUKTUR VEGETASI HUTAN LOA BEKAS KEBAKARAN 1997/1998 SERTA PERTUMBUHAN ANAKAN MERANTI

KOMPOSISI DAN STRUKTUR VEGETASI HUTAN LOA BEKAS KEBAKARAN 1997/1998 SERTA PERTUMBUHAN ANAKAN MERANTI KOMPOSISI DAN STRUKTUR VEGETASI HUTAN LOA BEKAS KEBAKARAN 1997/1998 SERTA PERTUMBUHAN ANAKAN MERANTI (Shorea spp.) PADA AREAL PMUMHM DI IUPHHK PT. ITCI Kartika Utama KALIMANTAN TIMUR YULI AKHIARNI DEPARTEMEN

Lebih terperinci

ASPEK Agroforestry JENIS: BAMBANG LANANG GELAM

ASPEK Agroforestry JENIS: BAMBANG LANANG GELAM ASPEK Agroforestry JENIS: BAMBANG LANANG GELAM Program : Pengelolaan Hutan Tanaman Judul RPI : Pengelolaan Hutan Tanaman Penghasil Kayu Pertukangan Koordinator RPI : Drs. Riskan Efendi, MSc. Judul Kegiatan

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA

II. TINJAUAN PUSTAKA II. TINJAUAN PUSTAKA A. Hutan Kemasyarakatan Berdasarkan Keputusan Menteri Kehutanan dan perkebunan No. 677/Kpts-II/1998, hutan kemasyarakatan adalah hutan negara yang dicadangkan atau ditetapkan oleh

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Hutan Rakyat dan Agroforestry. maupun lahan yang dikuasai oleh negara. Hutan rakyat tersusun dari satuan

TINJAUAN PUSTAKA. Hutan Rakyat dan Agroforestry. maupun lahan yang dikuasai oleh negara. Hutan rakyat tersusun dari satuan TINJAUAN PUSTAKA Hutan Rakyat dan Agroforestry Hutan rakyat adalah hutan yang pengelolaannya dilaksanakan oleh organisasi masyarakat baik pada lahan individu, komunal (bersama), lahan adat, maupun lahan

Lebih terperinci

BAB I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang BAB I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia merupakan salah satu negara tropis yang memiliki tingkat keanekaragaman hayati yang tinggi, baik flora maupun fauna yang penyebarannya sangat luas. Hutan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. melalui perluasan areal menghadapi tantangan besar pada masa akan datang.

I. PENDAHULUAN. melalui perluasan areal menghadapi tantangan besar pada masa akan datang. I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Upaya peningkatan produksi tanaman pangan khususnya pada lahan sawah melalui perluasan areal menghadapi tantangan besar pada masa akan datang. Pertambahan jumlah penduduk

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Sumber daya alam merupakan titipan Tuhan untuk dimanfaatkan sebaikbaiknya

I. PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Sumber daya alam merupakan titipan Tuhan untuk dimanfaatkan sebaikbaiknya I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sumber daya alam merupakan titipan Tuhan untuk dimanfaatkan sebaikbaiknya bagi kesejahteraan manusia. Keberadaan sumber daya alam dan manusia memiliki kaitan yang sangat

Lebih terperinci

ANALISIS PENGELUARAN ENERGI PEKERJA PENYADAPAN KOPAL DI HUTAN PENDIDIKAN GUNUNG WALAT KABUPATEN SUKABUMI JAWA BARAT AVIANTO SUDIARTO

ANALISIS PENGELUARAN ENERGI PEKERJA PENYADAPAN KOPAL DI HUTAN PENDIDIKAN GUNUNG WALAT KABUPATEN SUKABUMI JAWA BARAT AVIANTO SUDIARTO ANALISIS PENGELUARAN ENERGI PEKERJA PENYADAPAN KOPAL DI HUTAN PENDIDIKAN GUNUNG WALAT KABUPATEN SUKABUMI JAWA BARAT AVIANTO SUDIARTO DEPARTEMEN HASIL HUTAN FAKULTAS KEHUTANAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2007

Lebih terperinci

Restorasi Organik Lahan. Aplikasi Organik Untuk Pemulihan Biofisik Lahan & Peningkatan Sosial Ekonomi Melalui Penerapan Agroforestri.

Restorasi Organik Lahan. Aplikasi Organik Untuk Pemulihan Biofisik Lahan & Peningkatan Sosial Ekonomi Melalui Penerapan Agroforestri. Restorasi Organik Lahan Aplikasi Organik Untuk Pemulihan Biofisik Lahan & Peningkatan Sosial Ekonomi Melalui Penerapan Agroforestri Ex-Tambang Restorasi Perubahan fungsi lahan pada suatu daerah untuk pertambangan,

Lebih terperinci

PENDAHULUAN Latar Belakang

PENDAHULUAN Latar Belakang 22 PENDAHULUAN Latar Belakang Fenomena kerusakan sumberdaya hutan (deforestasi dan degradasi) terjadi di Indonesia dan juga di negara-negara lain, yang menurut Sharma et al. (1995) selama periode 1950-1980

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dalam Suginingsih (2008), hutan adalah asosiasi tumbuhan dimana pohonpohon

BAB I PENDAHULUAN. dalam Suginingsih (2008), hutan adalah asosiasi tumbuhan dimana pohonpohon BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Definisi atau pengertian tentang hutan menurut Dengler (1930) dalam Suginingsih (2008), hutan adalah asosiasi tumbuhan dimana pohonpohon atau tumbuhan berkayu lainya

Lebih terperinci

BAB I. PENDAHULUAN A.

BAB I. PENDAHULUAN A. BAB I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Hutan merupakan ekosistem alami yang sangat kompleks dan juga merupakan salah satu gudang plasma nutfah tumbuhan karena memiliki berbagai spesies tumbuhan. Selain itu,

Lebih terperinci

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1. Kondisi Umum Agroforestri di Lokasi Penelitian Lahan agroforestri di Desa Bangunjaya pada umumnya didominasi dengan jenis tanaman buah, yaitu: Durian (Durio zibethinus),

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. kadang-kadang tidak mencukupi (Ekstensia, 2003). Peran sektor pertanian di Indonesia terlebih di Sumatera Utara

PENDAHULUAN. kadang-kadang tidak mencukupi (Ekstensia, 2003). Peran sektor pertanian di Indonesia terlebih di Sumatera Utara PENDAHULUAN Latar Belakang Pertanian merupakan sektor yang penting bagi bangsa Indonesia. Pertanian merupakan mata pencaharian sebagian besar masyarakat Indonesia, sampai saat ini merupakan salah satu

Lebih terperinci

KAJIAN SUMBERDAYA EKOSISTEM MANGROVE UNTUK PENGELOLAAN EKOWISATA DI ESTUARI PERANCAK, JEMBRANA, BALI MURI MUHAERIN

KAJIAN SUMBERDAYA EKOSISTEM MANGROVE UNTUK PENGELOLAAN EKOWISATA DI ESTUARI PERANCAK, JEMBRANA, BALI MURI MUHAERIN KAJIAN SUMBERDAYA EKOSISTEM MANGROVE UNTUK PENGELOLAAN EKOWISATA DI ESTUARI PERANCAK, JEMBRANA, BALI MURI MUHAERIN DEPARTEMEN MANAJEMEN SUMBERDAYA PERAIRAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN INSTITUT

Lebih terperinci

Oleh : Sri Wilarso Budi R

Oleh : Sri Wilarso Budi R Annex 2. The Training Modules 1 MODULE PELATIHAN RESTORASI, AGROFORESTRY DAN REHABILITASI HUTAN Oleh : Sri Wilarso Budi R ITTO PROJECT PARTICIPATORY ESTABLISHMENT COLLABORATIVE SUSTAINABLE FOREST MANAGEMENT

Lebih terperinci

IDENTIFIKASI LAHAN KRITIS DALAM KAITANNYA DENGAN PENATAAN RUANG DAN KEGIATAN REHABILITASI LAHAN DI KABUPATEN SUMEDANG DIAN HERDIANA

IDENTIFIKASI LAHAN KRITIS DALAM KAITANNYA DENGAN PENATAAN RUANG DAN KEGIATAN REHABILITASI LAHAN DI KABUPATEN SUMEDANG DIAN HERDIANA IDENTIFIKASI LAHAN KRITIS DALAM KAITANNYA DENGAN PENATAAN RUANG DAN KEGIATAN REHABILITASI LAHAN DI KABUPATEN SUMEDANG DIAN HERDIANA PROGRAM STUDI ILMU PERENCANAAN WILAYAH SEKOLAH PASCA SARJANA INSTITUT

Lebih terperinci

PENYEBARAN, REGENERASI DAN KARAKTERISTIK HABITAT JAMUJU (Dacrycarpus imbricatus Blume) DI TAMAN NASIONAL GEDE PANGARANGO

PENYEBARAN, REGENERASI DAN KARAKTERISTIK HABITAT JAMUJU (Dacrycarpus imbricatus Blume) DI TAMAN NASIONAL GEDE PANGARANGO 1 PENYEBARAN, REGENERASI DAN KARAKTERISTIK HABITAT JAMUJU (Dacrycarpus imbricatus Blume) DI TAMAN NASIONAL GEDE PANGARANGO RESTU GUSTI ATMANDHINI B E 14203057 DEPARTEMEN SILVIKULTUR FAKULTAS KEHUTANAN

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN Latar Belakang. dan hutan tropis yang menghilang dengan kecepatan yang dramatis. Pada tahun

I. PENDAHULUAN Latar Belakang. dan hutan tropis yang menghilang dengan kecepatan yang dramatis. Pada tahun I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Seiring dengan perkembangan teknologi dan peningkatan kebutuhan hidup manusia, tidak dapat dipungkiri bahwa tekanan terhadap perubahan lingkungan juga akan meningkat

Lebih terperinci

KONSERVASI SUMBERDAYA ALAM DAN PENGELOLAAN LINGKUNGAN OLEH : MOCHAMAD HADI LAB EKOLOGI & BIOSISTEMATIK JURUSAN BIOLOGI FMIPA UNDIP

KONSERVASI SUMBERDAYA ALAM DAN PENGELOLAAN LINGKUNGAN OLEH : MOCHAMAD HADI LAB EKOLOGI & BIOSISTEMATIK JURUSAN BIOLOGI FMIPA UNDIP KONSERVASI SUMBERDAYA ALAM DAN PENGELOLAAN LINGKUNGAN OLEH : MOCHAMAD HADI LAB EKOLOGI & BIOSISTEMATIK JURUSAN BIOLOGI FMIPA UNDIP Pengertian Konservasi Konservasi sumber daya alam adalah penghematan penggunaan

Lebih terperinci

BAB III METODELOGI PENELITIAN. Penelitian ini dilakukan pada bulan Januari 2017 hingga bulan Februari

BAB III METODELOGI PENELITIAN. Penelitian ini dilakukan pada bulan Januari 2017 hingga bulan Februari 3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian BAB III METODELOGI PENELITIAN Penelitian ini dilakukan pada bulan Januari 2017 hingga bulan Februari 2017 yang berada di Resort Bandealit, SPTN Wilayah II, Taman Nasional

Lebih terperinci

III. METODOLOGI PENELITIAN

III. METODOLOGI PENELITIAN III. METODOLOGI PENELITIAN A. Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian ini dilakukan di hutan hujan tropika yang berlokasi di areal IUPHHK PT. Suka Jaya Makmur, Kalimantan Barat. Penelitian dilaksanakan

Lebih terperinci

III. METODOLOGI PENELITIAN. Penelitian dilaksanakan pada Mei - Juli Lokasi penelitian adalah di kawasan

III. METODOLOGI PENELITIAN. Penelitian dilaksanakan pada Mei - Juli Lokasi penelitian adalah di kawasan III. METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Waktu dan Lokasi Penelitian Penelitian dilaksanakan pada Mei - Juli 2014. Lokasi penelitian adalah di kawasan hutan mangrove pada lahan seluas 97 ha, di Pantai Sari Ringgung

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. masyarakat Kota Bandar Lampung dan Kabupaten Pesawaran. Selain itu taman

I. PENDAHULUAN. masyarakat Kota Bandar Lampung dan Kabupaten Pesawaran. Selain itu taman I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Taman Hutan Raya Wan Abdul Rachman merupakan wilayah sistem penyangga kehidupan terutama dalam pengaturan tata air, menjaga kesuburan tanah, mencegah erosi, menjaga keseimbangan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 4 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Hutan Berdasarkan pasal 1 ayat (1) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1967, arti hutan dirumuskan sebagai Suatu lapangan tetumbuhan pohon-pohonan yang secara keseluruhan merupakan

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Hutan kemasyarakatan atau yang juga dikenal dengan community forestry

TINJAUAN PUSTAKA. Hutan kemasyarakatan atau yang juga dikenal dengan community forestry TINJAUAN PUSTAKA Pengertian hutan kemasyarakatan Hutan kemasyarakatan atau yang juga dikenal dengan community forestry memiliki beberapa pengertian, yaitu : 1. Hutan kemasyarakatan menurut keputusan menteri

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Taman nasional adalah kawasan pelestarian alam yang mempunyai ekosistem asli

I. PENDAHULUAN. Taman nasional adalah kawasan pelestarian alam yang mempunyai ekosistem asli ` I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Taman nasional adalah kawasan pelestarian alam yang mempunyai ekosistem asli dan dikelola dengan sistem zonasi. Kawasan ini dimanfaatkan untuk tujuan penelitian, ilmu

Lebih terperinci

V. INDIKATOR-INDIKATOR EKOSISTEM HUTAN MANGROVE

V. INDIKATOR-INDIKATOR EKOSISTEM HUTAN MANGROVE V. INDIKATOR-INDIKATOR EKOSISTEM HUTAN MANGROVE Berdasarkan tinjauan pustaka yang bersumber dari CIFOR dan LEI, maka yang termasuk dalam indikator-indikator ekosistem hutan mangrove berkelanjutan dilihat

Lebih terperinci

GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN

GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN V GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN 5.1 Gambaran Umum Kabupaten Kerinci 5.1.1 Kondisi Geografis Kabupaten Kerinci terletak di sepanjang Bukit Barisan, diantaranya terdapat gunung-gunung antara lain Gunung

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pengelolaan sumberdaya hutan pada masa lalu banyak menimbulkan kerugian baik secara sosial, ekonomi, dan ekologi. Laju angka kerusakan hutan tropis Indonesia pada

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Daerah aliran sungai (DAS) merupakan sistem yang kompleks dan terdiri dari komponen utama seperti vegetasi (hutan), tanah, air, manusia dan biota lainnya. Hutan sebagai

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Paradigma pembangunan berkelanjutan mengandung makna bahwa pengelolaan sumberdaya alam untuk memenuhi kebutuhan sekarang tidak boleh mengurangi kemampuan sumberdaya

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. fungsi pokok sebagai hutan konservasi yaitu kawasan pelestarian alam untuk

II. TINJAUAN PUSTAKA. fungsi pokok sebagai hutan konservasi yaitu kawasan pelestarian alam untuk 5 II. TINJAUAN PUSTAKA A. Taman Hutan Raya Wan Abdul Rachman Taman Hutan Raya (Tahura) adalah hutan yang ditetapkan pemerintah dengan fungsi pokok sebagai hutan konservasi yaitu kawasan pelestarian alam

Lebih terperinci

V. HASIL DAN PEMBAHASAN. buah-buahan (kelapa, pisang, MPTS). Klasifikasi untuk komposisi tanaman

V. HASIL DAN PEMBAHASAN. buah-buahan (kelapa, pisang, MPTS). Klasifikasi untuk komposisi tanaman 41 V. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Komposisi Jenis Tanaman Agroforestri Komposisi tanaman yang menjadi penyusun kebun campuran ini terdiri dari tanaman pertanian (padi, kakao, kopi, cengkeh), tanaman kayu,

Lebih terperinci

PENDAHULUAN Latar Belakang

PENDAHULUAN Latar Belakang 19 PENDAHULUAN Latar Belakang Kebun campuran sebagai salah satu contoh sistem agroforestry kompleks merupakan suatu sistem pemanfaatan lahan berbasiskan pada pengetahuan tradisional masyarakat yang telah

Lebih terperinci

POLA PENGELOLAAN HUTAN RAKYAT PADA LAHAN KRITIS (Studi Kasus di Kecamatan Pitu Riawa Kabupaten Sidrap Sulawesi Selatan) Oleh : Nur Hayati

POLA PENGELOLAAN HUTAN RAKYAT PADA LAHAN KRITIS (Studi Kasus di Kecamatan Pitu Riawa Kabupaten Sidrap Sulawesi Selatan) Oleh : Nur Hayati POLA PENGELOLAAN HUTAN RAKYAT PADA LAHAN KRITIS (Studi Kasus di Kecamatan Pitu Riawa Kabupaten Sidrap Sulawesi Selatan) Oleh : Nur Hayati Ringkasan Penelitian ini dilakukan terhadap anggota Kelompok Tani

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Hutan adalah suatu lapangan pertumbuhan pohon-pohon yang secara. keseluruhan merupakan persekutuan hidup alam hayati beserta alam

TINJAUAN PUSTAKA. Hutan adalah suatu lapangan pertumbuhan pohon-pohon yang secara. keseluruhan merupakan persekutuan hidup alam hayati beserta alam TINJAUAN PUSTAKA Pengertian Hutan Hutan adalah suatu lapangan pertumbuhan pohon-pohon yang secara keseluruhan merupakan persekutuan hidup alam hayati beserta alam lingkungannya, dan ditetapkan oleh pemerintah

Lebih terperinci

STUDI PEMANFAATAN HASIL HUTAN OLEH MASYARAKAT SEKITAR TAMAN NASIONAL MANUSELA

STUDI PEMANFAATAN HASIL HUTAN OLEH MASYARAKAT SEKITAR TAMAN NASIONAL MANUSELA STUDI PEMANFAATAN HASIL HUTAN OLEH MASYARAKAT SEKITAR TAMAN NASIONAL MANUSELA (Studi Kasus : Desa Horale, Desa Masihulan, Desa Air Besar, Desa Solea dan Desa Pasahari) WISYE SOUHUWAT DEPARTEMEN KONSERVASI

Lebih terperinci

ANALISIS KEBUTUHAN LUAS LAHAN PERTANIAN PANGAN DALAM PEMENUHAN KEBUTUHAN PANGAN PENDUDUK KABUPATEN LAMPUNG BARAT SUMARLIN

ANALISIS KEBUTUHAN LUAS LAHAN PERTANIAN PANGAN DALAM PEMENUHAN KEBUTUHAN PANGAN PENDUDUK KABUPATEN LAMPUNG BARAT SUMARLIN ANALISIS KEBUTUHAN LUAS LAHAN PERTANIAN PANGAN DALAM PEMENUHAN KEBUTUHAN PANGAN PENDUDUK KABUPATEN LAMPUNG BARAT SUMARLIN SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2009 PERNYATAAN MENGENAI TESIS

Lebih terperinci

PENGAMBILAN KEPUTUSAN PEMILIHAN JENIS TANAMAN DAN POLA TANAM DI LAHAN HUTAN NEGARA DAN LAHAN MILIK INDRA GUMAY FEBRYANO

PENGAMBILAN KEPUTUSAN PEMILIHAN JENIS TANAMAN DAN POLA TANAM DI LAHAN HUTAN NEGARA DAN LAHAN MILIK INDRA GUMAY FEBRYANO PENGAMBILAN KEPUTUSAN PEMILIHAN JENIS TANAMAN DAN POLA TANAM DI LAHAN HUTAN NEGARA DAN LAHAN MILIK Studi Kasus di Desa Sungai Langka Kecamatan Gedong Tataan Kabupaten Pesawaran Propinsi Lampung INDRA GUMAY

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Dalam perkembangan kehidupan dan peradaban manusia, hutan semakin

BAB I PENDAHULUAN. Dalam perkembangan kehidupan dan peradaban manusia, hutan semakin BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Dalam perkembangan kehidupan dan peradaban manusia, hutan semakin banyak dimanfaatkan untuk memenuhi kebutuhan hidup manusia. Pemanfaatan hutan dilakukan dengan cara

Lebih terperinci

ANALISIS PENGELUARAN ENERGI PEKERJA PENYADAPAN KOPAL DI HUTAN PENDIDIKAN GUNUNG WALAT KABUPATEN SUKABUMI JAWA BARAT AVIANTO SUDIARTO

ANALISIS PENGELUARAN ENERGI PEKERJA PENYADAPAN KOPAL DI HUTAN PENDIDIKAN GUNUNG WALAT KABUPATEN SUKABUMI JAWA BARAT AVIANTO SUDIARTO ANALISIS PENGELUARAN ENERGI PEKERJA PENYADAPAN KOPAL DI HUTAN PENDIDIKAN GUNUNG WALAT KABUPATEN SUKABUMI JAWA BARAT AVIANTO SUDIARTO DEPARTEMEN HASIL HUTAN FAKULTAS KEHUTANAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2007

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 4 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Industri dan Kawasan Industri Berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 2009 tentang Kawasan Industri, industri adalah kegiatan ekonomi yang mengolah bahan mentah, bahan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. berbagai kegiatan yang mengancam eksistensi kawasan konservasi (khususnya

BAB I PENDAHULUAN. berbagai kegiatan yang mengancam eksistensi kawasan konservasi (khususnya BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Manusia dan kawasan konservasi memiliki korelasi yang kuat. Suatu kawasan konservasi memiliki fungsi ekologi, ekonomi, dan sosial sedangkan manusia memiliki peran

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Karet di Indonesia merupakan salah satu komoditas penting perkebunan. selain kelapa sawit, kopi dan kakao. Karet ikut berperan dalam

I. PENDAHULUAN. Karet di Indonesia merupakan salah satu komoditas penting perkebunan. selain kelapa sawit, kopi dan kakao. Karet ikut berperan dalam 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang dan Masalah Karet di Indonesia merupakan salah satu komoditas penting perkebunan selain kelapa sawit, kopi dan kakao. Karet ikut berperan dalam menyumbangkan pendapatan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Hutan rakyat memiliki peran yang penting sebagai penyedia kayu. Peran hutan rakyat saat ini semakin besar dengan berkurangnya sumber kayu dari hutan negara. Kebutuhan

Lebih terperinci

Gambar 2 Peta lokasi penelitian.

Gambar 2 Peta lokasi penelitian. 0 IV. METODE PENELITIAN A. Lokasi dan Waktu Penelitian ini dilaksanakan di wilayah Bidang Pengelolaan Wilayah III Bengkulu dan Sumatera Selatan, SPTN V Lubuk Linggau, Sumatera Selatan, Taman Nasional Kerinci

Lebih terperinci