YURISDIKSI DAN "ADMINISSmILITY" PENGADILAN PIDANA INTERNASIONAL'

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "YURISDIKSI DAN "ADMINISSmILITY" PENGADILAN PIDANA INTERNASIONAL'"

Transkripsi

1 Yurisdiksi dan Admissibility Pengadilan Pidana Inle17U1Sional 313 YURISDIKSI DAN "ADMINISSmILITY" PENGADILAN PIDANA INTERNASIONAL' Muladi Penulis artikel ini mengulas yurisdiksi dan administrasi Pengadilan Pidana Internasional (International Criminal Court). Pembentukan Pengadilan Pidana Internasional tersebut didasarkan atas Statuta Rorna tentang Pidana lnternasional Pembahasan yurisdiksi ICC dikaitkan dengan pokok perkara, waktu, teritorial dan personal. Pembahasan administrasi ICC, misalnya, dikaitkan dengan apakah suatu kasus dapat diterirna atau tidak. Pengantar Langkah untuk memidana para pelaku kejahatan perang (war criminals) sudah dikenal sejak zaman Yunani kuno atas dasar pandangan dan kepercayaan yang bersumber pada agama dan filsafat. Hal ini menumbuhkan keyakinan adanya nilai-nilai kemanusiaan yang bersifat fundamental yang tak dapat dilanggar. Pada tahun 1474 seorang yang bernama Peter von Hagenbach telah dipidana mati (dipenggal kepalanya), karena telah melakukan kekejaman (atrocities) dalam pendudukan kota Breisach. Dalam perang saudara (civil war) Amerika terdapat larangan dilakukannya perilaku tidak manusiawi dengan ancaman pidana berat termasuk pidana mati. Dapat dicatat bahwa Konvensi Den Haag tahun 1899 dan 1907 merupakan kodifikasi pertama tentang hukum perang, 1 Disampaikan pacta Lokakarya tentang Pembahasan Statuta Roma 1998 (lcc). Hotel Millenium, Jakarta, Oktober Nomor 4 Tahun 2001

2 314 Hukum dan Pembangunan yang lebih menekankan pada kewajiban dan tugas negara~negara serta tidak dimaksudkan untuk menciptakan pertanggungjawaban pidana secara individual. Baru dalam pengadilan penjahat perang di Nuremberg hal ini diterapkan. Perjuangan untuk membentuk Pengadilan Pidana Internasional (International Criminal Court = fcc) telah dimulai 50 tahun yang lalu untuk mengadili pelanggaran HAM berat seperti "genocid". Hal ini nampak dari Resolusi Majelis Umum PBB No. 260 tanggal 9 Desember 1948, yang mengadopsi "Convention on the Prevention and Punishment of the Crime of Genocid". Di sini antara lain ditekankan betapa pentingnya kerjasama internasional untuk membebaskan manusia dari perbuatan~ perbuatan kejam dan menyebabkan penderitaan yang luar biasa bagi kemanusiaan. Kerjasama internasional di sini berkaitan dengan usul tentang kemungkinan adanya "international penal tribunal" atau "international judicial organ" dan untuk itu ditugaskan kepada "the International Law Commission" (llc) untuk mengkajinya. Dalam hal ini Prof. Bassiouni bahkan menyatakan bahwa perjuangan tersebut sudah dimulai sejak tahun 1919 sebagai akibat Perang Dunia I. Selanjutnya dipersiapkan suatu komite untuk mempersiapkan proposal. Rencana Statuta selesai pada tallun 1951 yang kemudian direvisi pada tahun Penundaan pembahasan oleh Majelis Umum PBB terjadi akibat masih adanya persoalan yang berkaitan dengan definisi Agresi (Agression). Pada bulan Desember 1989 Majelis Umum PBB minta ILC untuk mengkaji kemungkinan yurisdiksi ICC mencak.'up juga perdagangan obat bius (drug trafficking). Selanjutnya pada tahun 1993 ketika konflik di bekas Jugoslavia merebak, muncul dakwaan telah terjadinya "war crimes. crimes against humanity and genocide" bahkan dalam bentuk "ethnic cleansing". Hal ini lebih mendorong usaha untuk mengkahiri penderitaan manusia yang meluas. Dibentuklah kemudian apa yang dinamakan "the ad hoc International Criminal Tribunal for the Former Yugoslavia" untuk mengadili para pelanggar. Tidak lama setelah itu ILC telah menyelesaikan Rancangan Statuta ICC dan pada tahun 1994 Rancangan ini disarnpaikan kepada Majelis Umum PBB. Majelis kemudian membentuk Komite ad hoc untuk pembentukan ICC yang mengadakan rapat dua kali pada tahun Selanjutnya Majelis Umum membentuk Komite Persiapan llmuk mempersiapkan "consolidated draft text" dalam rangka konperensi diplomatik. Kornite persiapan ini bertemu mulai tahun 1996~ 1998, dan Oktober - Desember 200]

3 Yurisdiksi dan Admissibility Pengadilan Pidana lnternasional 315 pada sidang terakhir bulan Maret dan April 1998 teks Rancangan berhasil disempurnakan. Pada sidang yang ke-52, MU PBB memuruskan untuk menyelenggarakan "UN Diplomatic Conference of Penipotentiaris on the Establishment of an ICC" di Roma mulai tanggal 15 luni sampai 17 luli 1998 untuk menuntaskan dan mengadopsi konvensi tentang pembentukan ICC tersebut, yang kemudian terkenal dengan nama The Rome Statue of the ICC, UN Doc. AlCon! J 83/9 (17 luli 1998). Urgensi Keberadaan ICC Dalam rangka operasionalisasinya, efektivitas penerapan Statuta ICC tidak terlepas dari "legal spirit" yang menggambarkan mengapa ICC diperlukan. Dalam hal ini ada "general spirit" berupa semangat universal untuk mengamankan penghormatan terhadap HAM (hak asasi manusia) dan kebebasan dasar (fundamental freedom). Lebih-Iebih di dalam situasi konflik. Di samping spirit yang bersifat umum tersebut, ada spirit yang bersifat kj1usus (specific spirit) sebagai berikut : (a) Menciptakan keadilan bagi semuanya (to achieve justice for all). Hal ini dilandasi oleh kenyataan bahwa ICC sebenamya merupakan "the missing link" dalam sistem hukum internasional. Apa yang dinamakan the International Court of Justice (ICJ) di Den Haag, mempunyai kewenangan untuk menangani kasus-kasus antar negara (cases between States), bukan individual dan ICC menangani mekanisme penegakan hukum yang berkaitan dengan pertanggung jawab pidana individual (individual responsibility) yang dituduh melakukan pelanggaran HAM be rat (gross violation of human rights) ; (b) Untuk mengakhiri apa yang disebut "impunity" (sikap mengabaikan tanpa mernberi hukuman); Pada masa lalu apa yang dinarnakan "the principle of individual criminal accountability" dalam pelanggaran HAM berat dianggap sebagai sesuatu yang monumental (cornerstone) dalam hukum pidana internasional. Hal ini harus diterapkan secara merata dan tanpa perkecualian karena hierarchi, baik di lingkungan pemerintahan sipil maupun militer (constitutional responsible rulers, public officials or private individuals); Nomar 4 Tahun 2001

4 316 Hukum dan Pembangunan (c) Untuk membantu mengakhiri konflik. Keberadaan pengadilan kriminal internasional ini, sebagaimana pengadilan-pengadilan ad hoc semacam (Fromer Jugoslavia, Rwanda), diharapkan dapat menimbulkan efek pencegahan (deterrent effect) dan mengakhiri pelbagai konflik yang terjadi (misalnya "ethnic conflict") yang disertai dengan kekerasan dan kekejaman; (d) Untuk memperbaiki kekurangan dan kelemahan (deficiencies) dari pelbagai pengadilan ad hoc yang ada; Pelbagai pengadilan ad hoc yang telah digelar (misalnya Fromer Jugoslavia dan Rwanda), banyak dikritik karena memberlakukan keadilan selektif (selective justice). Seharusnya harus diterapkan secara konsisten di tempat lain seperti Kamboja dan lain-lain. Keterlambatan pembentukan mahkamah ad hoc mempunyai implikasi yuridis yang berat seperti hilang atau hancurnya barang-barang dan alat bukti, larinya tersangka, para saksi sudah pindah dan su lit dicari, atau diintimidasi. Investigasi menjadi sangat mahal dan kehendak politik untuk memberi mandat menjadi sangat lemah. Keterbatasan mahkamah ad hoc atas dasar waktu dan tempat mempersulit keleluasaan penegakan hukum. Sebagai contoh adalah terjadinya pembunuhan terhadap ribuan pengungsi konflik etnik di Rwanda, tetapi mandat Mahkamah ad hoc untuk Rwanda terbatas untuk kasus-kasus yang terjadi setelah itu. (e) Mengambil alih, seandainya lembaga peradilan pidana nasional tidak mau atau tidak mampu berbuat (unwilling or unable to act). Secara normal lembaga nasional harus diberi kesempatan pertama untuk menangani kasus pelanggaran HAM berat. Namun dalam situasi konflik, baik internal atau internasional, lembaga-lembaga peradilan nasional seringkali tidak mau dan tidak mampu berbuat, baik karena harus mengadili warganegaranya sendiri yang kadang-kadang posisinya sangat tinggi ataupun karena ketidakberdayaan (collapsed) lembaga peradilan terse but seperti yang terjadi di Rwanda; (f) Untuk mencegah timbulnya kejadian serupa di masa datang. Kecuali beberapa pengadilan mil iter setelah Perang Dunia II dan. Pengadilan ad hoc untuk bekas Jugoslavia dan Rwanda, seringkali pelanggar HAM berat di mas a lalu lolos dari proses pengadilan. Dengan demikian "effective deterrence" tujuan utama pembentukan ICC. Oktober - Desember 2001

5 Yurisdiksi dan Admissibility Pengadilan Pidana Internasional 317 Menurut Prof. M. Cherrif Bassiouni (sering diberi predikat sebagai "father of the ICC), tanggal 17 Juni 1998 yaitu saat diadopsinya Statuta ICC, tidak hanya merupakan "point of arrival", tetapi juga merupakan saat keberangkatan menuju suatu tujuan baru yaitu ber!akunya Statuta ICC secara efektif (the entry into force) melalui ratiflkasi 60 negara. Hal ini jelas merupakan kontribusi yang visioner kepada "an international rule of law". Jangkauan Statuta Statuta ICC yang oleh Scabas disebut sebagai "a benchmark in the progressive development of international human rigahts", dan oleh seorang penulis yang lain Johansen dinamakan "the most important institutional innovation since the founding of the United Nations", mengatur substansi yang sangat lengkap, baik yang mengatur hukum pidana materiil, hukum pidana formil, maupun hukum adminstrasi. Sistematikanya adal:ih sebagai berikut : Preamble Part 1 Establisment of the Court (Art. 1-4); Part 2 Jurisdiction, Admissibility and Applicable Law (Art. 5-21); Part 3 General Principles of Criminal Law (Art ); Part 4 Composition and Administration of the Court (Art ); Part 5 Investigation and Prosecution (Art ); Part 6 The Trial (Art ); Part 7 Penalties (Art ); Part 8 Appeal and Revision (Art ); Part 9 International Cooperation and Judicial Assistance (Art ); Part 10 Enforcement (Art ); Part 11 Assembly of State Parties (Art. 112); Part 12 Financing (Art ); Part 13 Final Clauses (Art ). Namar 4 Tahun 2001

6 318 Hukum dnn Pembangunan Yurisdiksi ICC Di atas telah disinggung bahwa ICC yang akan berkedudukan di Den Haag Belanda akan menjadi pelengkap dari the International Court of Justice (ICJ) yang sudah ada di sana, yakni suatu pengadilan yang mengadili perselisihan antar negara sebagai negara. Di lain pihak ICC berkaitan dengan proses penuntutan dan pemidanaan terhadap individual. Bahkan terbuka luas peran serta individual sebagai korban (Art. 68 Statuta ICC). Yurisdiksi merupakan parameter hukum (legal parameters) yang berkaitan dengan pelbagai situasi yang berkaitan dengan dilakukannya kejahatan dan dapat dijadikan pedoman bagi bekerjanya atau berjalannya pengadilan. Yurisdiksi ICC berkaitan dengan pelbagai parameter sebagai berikut : 1. Yurisdiksi yang berkaitan dengan pokok perkara (Subjecr maller jurisdiction) (ratione materiae); Hal ini menunjuk kepada perlbagai kejahatan sangat be rat (the most serious crimes) dalam hal mana ICC berwenang untuk memprosesnya. Kejahatan-kejahatan tersebut adalah : Genocida (the crimes of genocide), kejahatan terhadap kemanusiaan (crimes against humanity), kejahatan perang (war crimes) dan agresi (the crimes of aggression). (Art. 5.1) Pada Art. 5.2 dinyatakan bahwa sepanjang mengenai kejahatan agresi, Pengadilan hanya akan menetapkan yurisdiksinya setelah ada kesepakatan terhadap definisi kejahatan agresi dan kondisi-kondisi yang memungkinkan Pengadilan menerapkan yurisdiksinya dalam kerangka Pasal 121 dan 123 Statuta yang mengatur tentang amandemen melalui "Review Conference" yang dapat dilakukan setelah 7 (tujuh) tahun sejak berlakunya secara efektif Statuta ICe. Catatan : Untuk memperjelas unsur-unsur kejahatan terkait, dapat dikaji rumusan Rancangan final tentang "the elements of crimes" dari laporan Komite Persiapan ICC. 2. Turisdiksi yang berkaitan dengan waktu (Temporal jurisdiction) (ratione temporis). Berbeda dengan beberapa tribunal ad hoc sebelumnya yang memungkinkan kewenangan tribunal untuk menerapkan prinsip retro- Oktober - Desember 200J

7 Yurisdiksi dan Admissibility Pengailiian Pidann Internasiannl 319 aktif dengan alasan keadilan atau atas dasar penerapan hukum kebiasaan internasional. Hans Kelsen misalnya saja dalam hal ini menyatakan bahwa as as nullum crimen merupakan asas keadilan (principle of justice) dan membiarkan tokoh-tokoh NAZI bebas tanpa pemidanaan adalah sesuatu yang tidak adil (unjust). ICC secara tegas menerapkan asas legalitas yang tidak memungkinkan penerapan peraturan berlaku surut (nullum crimen nulla poena sine lege). (Art. 11 (1) dan Art. 24). Kritik terhadap ICC tentang hal ini diserahkan jawabannya kepada pengadilan nasional masing-masing dan apabila dilakukan oleh negaranegara yang jumlahnya banyak, tidak mustahil dilakukan amandemen sesuai prosedur yang berlaku yang diatur dalam Art. 121 dan 123 Statuta (universal jurisdiction). Berlakunya asas legalitas tersebut mengandung perkecuajian yang dialur dalam Art. 12 (3) jo Art. 11 (2) yaitu apabila negara yang bersangkutan telah membuat suatu pernyataan (ad hoc declaration) yang diajukan pada Panitera bahwa negara tersebut dapat menenma pelaksanaan yurisdiksi oleh Pengadilan yang berkaitan dengan kejahatan yang bersangkutan yang dilakukan pada masa lalu, sesuai dengan Bagian 9 Statuta (International Cooperation and Judicial Assistance). Asas legalitas ini dalam konteks yang berbeda juga tersurat dan tersirat dalam Art 22 dan 23 Statuta ICC. Terhadap kejahatan-kejahatan yang sudah dimulai sebelum Statuta berlaku secara efektif dan berlanjut sesudahnya (continuous crimes), maka penyelesaiannya sepenuhnya pada pertimbangan Pengadilan. 3. Yurisdiksi territorial (space/territorial jurisdiction) (ratione loci); Asas ini diatur dalam Art. 12 (2) (a) yang menegaskan bahwa Pengadilan mempunyai yurisdiksi terhadap kejahatan-kejahatan yang dilakukan di dalam wilayah negara peserta, tanpa mempertimbangkan kewarganegaraan si pelaku. Pengadilan juga mempunyai yurisdiksi terhadap kejahatan yang dilakukan di dalam wilayah negara-negara yang menerima yurisdiksinya atas dasar pernyataan ad hoc (ad hoc declaration) dan di atas wilayah yang ditentukan oleh Dewan Keamanan Territorial atau wilayah diperjuas tidak hanya mencakup daratan. Di dalam Statuta ICC konsep wilayah mencakup pula kapal (on board vessel) dan pesawat terbang (aircraft) yang didaftarkan di negara peserta. Namar 4 Tahun 200]

8 320 Hukum df1n Pembangunan 4. Yurisdiksi personaijindividual (personnaljurisdiction) (ratione personae); Di dalam Art 12 (2) (b) diatur bahwa ICC mempunyai yurisdiksi terhadap warganegara peserta yang dituntut atas suatu kejahatan (the State of which the person accused of the crime is a national). Atas dasar Art 12 (3) sebagaimana dikemukakan di atas, ICC dapat juga mempunyai yurisdiksi warganegara bukan peserta yang telah menerima yurisdiksi yang bersifat ad hoc (Art. 12 (3) ) atau mengikuti keputusan Dewan Keamanan PBB. Dalam Art. 27 (Irrelevance of official capacity) ditentukan bahwa dalam pertanggungjawaban pidana dan pemidanaan Statuta berlaku sarna bagi siapa saja (shall equally to all persons) tanpa membedakan kapasitas pejabat di suatu negara apakah sebagai "Head of State or Goverment", anggota parlemen atau pejabat pemerintah yang lain. Bahkan imunitas yang melekat pada seseorang atas dasar hukum internasional (mis. Para diplomat) dalam hal ini tidak menghalangi yurisdiksi ICC (shall not bar the Court from exercising its jurisdiction over such a person) (Art. 27(2) ). Selanjutnya Art 28 seeara tegas mengatur "Responsibility of" commanders and other superiors". Komandan militer dan atasan tidak lepas dari pertanggungjawaban pidana terhadap kejahatan yang dilakukan oleh kekuatan-kekuatan di bawah komando dan kontrol efektifnya, atau bawahannya, khususnya apabila mereka gagal untuk mengambil tindakan yang diperlukan untuk meneegah atau menekan perbuatan itu atau untuk mengajukan si pelaku kepada yang berwenang untuk penyidikan dan penuntutan, padahal ia tahu atau seharusnya tahu bahwa si pelaku sedang melakukan kejahatan. Termasuk dalam hal ini perbuatan berupa "disregarded information" yang menjurus pada kejahatan omisionis. (Art. 28 (2) (a). Pengeeualian dalam yurisdiksi (exclusion of jurisdiction) diatur dalam Pasal 26 Statuta, yaitu terhadap orang yang masih berada di bawah usia 18 tahun pada saat melakukan kejahatan yang dituduhkan. Selain itu terdapat suatu pasal yang "highly controversial" dan dinilai oleh sebagaian negara sebagai sebuah eaeat bagi kekuasaan kehakiman yang merdeka dan tidak memihak (a blemish on the independence and impartiality of the Court). Pasal tersebut adalah pasal 16 yang mengatur tentang Penangguhan penyidikan dan penuntutan (Defferal of investigation or prosecution) selama duabelas bulan (bisa diperbaharui) alas permintaan Dewan Keamanan PBB setelah mengadopsi OklOber - Desember 200!

9 Yurisdiksi dan Admissibility Pengadilan Pidana fnternasianal 321 resolusi atas dasar Chapter VII Piagam PBB. Yang penting dalam hal ini Dewan Keamanan (Security Councif) harus menentukan adanya "a threat to the peace", "a breach 0/ the peace" or an "act of aggression" sebagaimana diatur dalam Art. 39 Piagam PBB (Charter 0/ the.united Nations). ICC tidak boleh enggan untuk menilai alasan tersebut. Hal ini juga disebut sebagai "Security Council veto o/prosecution". Admissibility ICC Berbeda dengan yirisdiksi, 'admissibility" merupakan diskresi pada tahap lanjutan untuk menentukan apakah perkara yang berada di bawah yurisdiksi ICC dapat diadili oleh ICC. Akan nampak di sini hubungan yang kompleks antara sistem hukum nasional dan ICC. Hubungan tersebut bersifat komplementer sebagaimana ditegaskan di dalam Paragraf 10 Preamble Statuta ditegaskan bahwa "the ICC established under this Statute shall be complementary to national crimillal jurisdictions". Hal ini ditegaskan kembali dalam Art. I Statuta. Istilah "complementary" ini menggantikan istilah yang digunakan tribunal ad hoc yaitu "primacy" yang mengandung arti bahwa yurisdiksi pengadilan internasional merupakan hak. Dalam Art. 17 (1) ditegaskan bahwa ICC menentukan bahwa suatu kasus tak dapat diterima (inadmissible) apabila: (a) kasus tersebut sedang disidik dan dituntut oleh Negara yang memiliki yurisdiksi atas kasus tersebut, keeuali Negara tersebut sungguhsungguh (genuinely) tidak mau (unwilling) atau tidak mampu (unable) melakukan penyidikan dan penuntutan; (b) Kasus tersebut telah disidik oleh Negara yang memiliki yurisdiksi atas kasus tersebut, dan Negara tersebut telah memutuskan untuk tidak menuntut orang yang terlibat, keeuali keputusan tersebut sebagai akibat ketidakmauan (unwilllingness) atau ketidakmampuan (inability) Negara yang sungguh-sungguh (genuinely) untuk menuntut. (Catatan: Penafsiran kata-kata sungguh-sungguh (genuinely) sepenuhnya diserahkan pada penilaian ICC); (e) Si pelaku telah diadili atas dasar perbuatan yang sarna (ne bis in idem), kecuali terjadi apa yang dinamakan peradilan pura-pura (sham proceeding) sebagai berikut : Namar 4 Tahun 200f

10 322 Hukum dan Pembangunan - proses peradilan dimaksudkan untuk tujuan melindungi (shielding) si pelaku dari pertanggungjawaban pidana atas kejahatan di bawah yurisdiksi ICC; atau - proses peradilan tidak dilaksanakan secara merdeka (independently) atau tidak bersifat memihak (impartially) sesuai dengan normanorma "due process" yang diakui oleh hukum internasional dan tidak konsisten dengan tujuan untuk mengadili si pelaku. Art. 20 (3). (d) kasus tersebut tidak eukup gawat (memadai) untuk memberikan pembenaran langkah-langkah lanjutan pengadilan. Ukuran untuk menentukan ketidakmauan (unwillingness) terdapat dalam Art. 17 (2) yang mencakup standar-standar sebagai berikut: (a) proses peradilan yang telah atau sedang dilakukan atau diputuskan ditujukan untuk melindungi si pelaku dari pertanggungjawaban pidana; (b) Terjadi keterlambatan proses peradilan yang tak dapat dibenarkan (unjust delay); (e) Proses peradilan tidak dilaksanakan seeara merdeka dan tidak ll1emillak. Selanjutnya pad a Art. 17 (3) terdapat ukuran untuk ll1enentukan ketidakmampuan (inability) dalam kasus-kasus tertentu, yakni apabila Pengadilan (ICC) mempertimbangkan bahwa terjadi kegagalan seeara menyeluruh atau substansial atau ketiadaanlketidaksediaan sistem pengadilan nasional untuk menemukan tersangka atau bukti-bukti dan kesaksian atau tidak mampu untuk menyelenggarakan proses peradilan. Penutup Dalam hal ini perlu dihayati apa yang dikatakan oleh Prof. Cherif Bassiouni bahwa berhasil atau tidaknya ICC dalam ll1eneapai tujuannya sedikit banyak akan tergantung pada langkah-langkah ICC yang bernuansa "predictability, consistency, publicly perceived fairness, and when appropriate it must have the courage and wisdom to temper the harsness of the law, with understanding and compassion". Oktober - Desember 200/

11 Yurisdiksi dan Admissibility Pengadi/an Pidana Incemasional 323 Daftar Pustaka Association Internationale de Droit Penal, ICC Ratification and National Implementing Legislation, eres, Bassiouni, M Cherif, Crime Against Humanity in International Criminal Law, Martinus Nijhoff Pub!., London, Charter of the United Nations and Statute of the International Court of Justice, UN, New York, Forum Asia, Regional Workshop on the ICC, Bangkok, Thailand, June Gutman, Roy and Rieff, David, Crimes of War, What the Public Should Know, WW Norton & Company, New York, Report of the Preparatory Commission for the ICC, Part 2 (Finalized Draft Text of the Elements of Crimes. Robertson, Geoffrey, Crime Against Humanity, A Struggle for Global Justice, The Penguin Press, Rome Statute oflcc, 17 July Steiner, Henry J. And Alston, Philip, International Human Rights in Context, Law, Politics, Morals, Clarendon Press, Oxford, Schabas, A, William, An Introduction to the International Criminal Court, Cambridge University Press, Nomor 4 Tahun 2001

PENGADILAN PIDANA INTERNASIONAL

PENGADILAN PIDANA INTERNASIONAL PENGADILAN PIDANA INTERNASIONAL PENGADILAN PIDANA INTERNASIONAL AD HOC IMT NUREMBERG IMT TOKYO ICTY ICTR SIERRA LEONE CAMBODIA TIMOR TIMUR / INDONESIA IMT - NUREMBERG NOVEMBER 1945 SEPTEMBER 1946 22 TERDAKWA

Lebih terperinci

BAB III KESIMPULAN DAN SARAN. tuntutan. Jadi peradilan internasional diselenggarakan untuk mencegah pelaku

BAB III KESIMPULAN DAN SARAN. tuntutan. Jadi peradilan internasional diselenggarakan untuk mencegah pelaku 55 BAB III KESIMPULAN DAN SARAN A. Kesimpulan Setelah diuraikan dalam bab-bab sebelumnya, maka dapat disimpulkan bahwa Peradilan internasional baru akan digunakan jika penyelesaian melalui peradilan nasional

Lebih terperinci

BAB V PENUTUP. 1. Yurisdiksi Mahkamah Pidana Internasional dalam Pasal 17 Statuta Roma

BAB V PENUTUP. 1. Yurisdiksi Mahkamah Pidana Internasional dalam Pasal 17 Statuta Roma BAB V PENUTUP A. Kesimpulan 1. Yurisdiksi Mahkamah Pidana Internasional dalam Pasal 17 Statuta Roma merupakan wujud dari Prinsip Komplemeter dari badan yudisial tersebut. Pasal tersebut mengatur terhadap

Lebih terperinci

4/8/2013. Mahkamah Pidana Internasional

4/8/2013. Mahkamah Pidana Internasional Mahkamah Pidana Internasional Sekilas tentang Mahkamah Pidana Internasional (ICC) Mahkamah Pidana Internasional (International Criminal Court - ICC) didirikan berdasarkan Statuta Roma tanggal 17 Juli 1998,

Lebih terperinci

Bab IX MEKANISME PENEGAKAN HUKUM HUMANITER

Bab IX MEKANISME PENEGAKAN HUKUM HUMANITER Bab IX MEKANISME PENEGAKAN HUKUM HUMANITER 9.1. Perkembangan Dalam Hukum Humaniter Salah satu aspek penting dari suatu kaidah hukum yaitu mengenai penegakannya (law enforcement). Suatu perangkat hukum

Lebih terperinci

INTERNATIONAL MILITARY TRIBUNAL NUREMBERG

INTERNATIONAL MILITARY TRIBUNAL NUREMBERG PENGADILAN HAM A. INTERNATIONAL MILITARY TRIBUNAL (IMT) NUREMBERG B. INTERNATIONAL MILITARY TRIBUNAL FOR THE FAR EAST (IMTFE TOKYO C. INTERNATIONAL TRIBUNAL FOR THE PROSECUTION OF PERSONS RESPONSIBLE FOR

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Hukum Humaniter Internasional bertujuan untuk memanusiawikan perang agar korban

BAB I PENDAHULUAN. Hukum Humaniter Internasional bertujuan untuk memanusiawikan perang agar korban BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Permasalahan Hukum Humaniter Internasional bertujuan untuk memanusiawikan perang agar korban akibat perang seminimal mungkin dapat dikurangi. Namun implementasinya,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Kejahatan genosida dan kejahatan kemanusiaan adalah kejahatankejahatan

BAB I PENDAHULUAN. Kejahatan genosida dan kejahatan kemanusiaan adalah kejahatankejahatan BAB I PENDAHULUAN 1. Latar Belakang Kejahatan genosida dan kejahatan kemanusiaan adalah kejahatankejahatan serius terhadap hak asasi manusia, selain kejahatan perang. Kejahatankejahatan tersebut secara

Lebih terperinci

RUANG LINGKUP PENGAJARAN HAM DI PERGURUAN TINGGI

RUANG LINGKUP PENGAJARAN HAM DI PERGURUAN TINGGI RUANG LINGKUP PENGAJARAN HAM DI PERGURUAN TINGGI Oleh : Artidjo Alkostar I. Latar Belakang Pemikiran Sesuai dengan luasnya wadah pengartian HAM (Hak Asasi Manusia), maka diskursus tentang HAM dapat direspon

Lebih terperinci

MAKALAH. Pengadilan HAM dan Hak Korban Pelanggaran Berat HAM. Oleh: Eko Riyadi, S.H., M.H.

MAKALAH. Pengadilan HAM dan Hak Korban Pelanggaran Berat HAM. Oleh: Eko Riyadi, S.H., M.H. TRAINING RULE OF LAW SEBAGAI BASIS PENEGAKAN HUKUM DAN KEADILAN Hotel Santika Premiere Hayam Wuruk - Jakarta, 2 5 November 2015 MAKALAH Pengadilan HAM dan Hak Korban Pelanggaran Berat HAM Oleh: Eko Riyadi,

Lebih terperinci

UU Pengadilan Hak Asasi Manusia: Sebuah Tinjauan

UU Pengadilan Hak Asasi Manusia: Sebuah Tinjauan UU Pengadilan Hak Asasi Manusia: Sebuah Tinjauan Ifdhal Kasim Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (ELSAM) A. Pengantar 1. Pengadilan Hak Asasi Manusia Ad Hoc untuk Timor Timur tingkat pertama telah berakhir.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. negara-negara lain yang yang diderita oleh banyak orang di negara-negara lain

BAB I PENDAHULUAN. negara-negara lain yang yang diderita oleh banyak orang di negara-negara lain BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Praktek penyelenggaran negara dewasa ini berkembang ke arah demokrasi dan perlidungan Hak Asasi Manusaia (HAM). Masalah HAM mengemuka pada setiap kehidupan penyelenggaraan

Lebih terperinci

ATURAN PERILAKU BAGI APARAT PENEGAK HUKUM

ATURAN PERILAKU BAGI APARAT PENEGAK HUKUM ATURAN PERILAKU BAGI APARAT PENEGAK HUKUM Diadopsi oleh Resolusi Sidang Umum PBB No. 34/169 Tanggal 17 Desember 1979 Pasal 1 Aparat penegak hukum di setiap saat memenuhi kewajiban yang ditetapkan oleh

Lebih terperinci

PENGANTAR HUKUM ACARA PENGADILAN HAK ASASI MANUSIA. R. Herlambang Perdana Wiratraman Fakultas Hukum Universitas Airlangga Surabaya, 2 Juni 2008

PENGANTAR HUKUM ACARA PENGADILAN HAK ASASI MANUSIA. R. Herlambang Perdana Wiratraman Fakultas Hukum Universitas Airlangga Surabaya, 2 Juni 2008 PENGANTAR HUKUM ACARA PENGADILAN HAK ASASI MANUSIA R. Herlambang Perdana Wiratraman Fakultas Hukum Universitas Airlangga Surabaya, 2 Juni 2008 Pokok Bahasan Apa prinsip-prinsip dan mekanisme hukum acara

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN UMUM MENGENAI KEJAHATAN KEMANUSIAAN SEBAGAI BENTUK PELANGGARAN HAM BERAT MENURUT HUKUM INTERNASIONAL

BAB II TINJAUAN UMUM MENGENAI KEJAHATAN KEMANUSIAAN SEBAGAI BENTUK PELANGGARAN HAM BERAT MENURUT HUKUM INTERNASIONAL BAB II TINJAUAN UMUM MENGENAI KEJAHATAN KEMANUSIAAN SEBAGAI BENTUK PELANGGARAN HAM BERAT MENURUT HUKUM INTERNASIONAL A. Pengertian Kejahatan Kemanusiaan Kejahatan terhadap kemanusiaan pertama kali muncul

Lebih terperinci

Tujuan pendirian Negara Indonesia tertuang dalam Pembukaan UUD 1945:

Tujuan pendirian Negara Indonesia tertuang dalam Pembukaan UUD 1945: Jakarta 14 Mei 2013 Tujuan pendirian Negara Indonesia tertuang dalam Pembukaan UUD 1945: a. Pertama, dimensi internal dimana Negara Indonesia didirikan dengan tujuan untuk melindungi segenap Bangsa Indonesia

Lebih terperinci

PENGADILAN PIDANA INTERNASIONAL DAN RANCANGAN UNDANG-UNDANG PENGADILAN HAK ASASI MANUSIA

PENGADILAN PIDANA INTERNASIONAL DAN RANCANGAN UNDANG-UNDANG PENGADILAN HAK ASASI MANUSIA PENGADILAN PIDANA INTERNASIONAL DAN RANCANGAN UNDANG-UNDANG PENGADILAN HAK ASASI MANUSIA Prof. DR. Romli Atmasasmita [Direktur Jenderal Administrasi Hukum Umum] Sejarah Singkat Persiapan Pembentukan International

Lebih terperinci

A. LATAR BELAKANG MASALAH

A. LATAR BELAKANG MASALAH BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG MASALAH Kasus pelanggaran terhadap hilangnya hak-hak dasar individu merupakan sebuah fenomena yang masih banyak berlangsung di berbagai Negara di dunia. Bentuk pelanggaran

Lebih terperinci

Tanggung Jawab Komando Dalam Pelanggaran Berat Hak Asasi Manusia Oleh : Abdul Hakim G Nusantara

Tanggung Jawab Komando Dalam Pelanggaran Berat Hak Asasi Manusia Oleh : Abdul Hakim G Nusantara Tanggung Jawab Komando Dalam Pelanggaran Berat Hak Asasi Manusia Oleh : Abdul Hakim G Nusantara Impunitas yaitu membiarkan para pemimpin politik dan militer yang diduga terlibat dalam kasus pelanggaran

Lebih terperinci

MAKALAH INDONESIAN HUMAN RIGHTS LEGISLATION. Oleh: Ifdhal Kasim Ketua Komnas HAM RI, Jakarta

MAKALAH INDONESIAN HUMAN RIGHTS LEGISLATION. Oleh: Ifdhal Kasim Ketua Komnas HAM RI, Jakarta PEMERKUATAN PEMAHAMAN HAK ASASI MANUSIA UNTUK HAKIM SELURUH INDONESIA Hotel Santika Makassar, 30 Mei 2 Juni 2011 MAKALAH INDONESIAN HUMAN RIGHTS LEGISLATION Oleh: Ifdhal Kasim Ketua Komnas HAM RI, Jakarta

Lebih terperinci

BAB III PENEGAKAN HUKUM ATAS KEJAHATAN PERANG

BAB III PENEGAKAN HUKUM ATAS KEJAHATAN PERANG BAB III PENEGAKAN HUKUM ATAS KEJAHATAN PERANG 3.1 Tanggung Jawab atas Kejahatan Perang 3.1.1 Pertanggungjawaban negara Pertanggungjawaban negara muncul akibat dari prinsip persamaan dan kedaulatan negara

Lebih terperinci

SILABUS DAN SATUAN ACARA PERKULIAHAN. Dr. SRI LESTARININGSIH, SH. MH. Dr. NURINI APRILIANDA, SH. MH. BAMBANG SUDJITO, SH. MH.

SILABUS DAN SATUAN ACARA PERKULIAHAN. Dr. SRI LESTARININGSIH, SH. MH. Dr. NURINI APRILIANDA, SH. MH. BAMBANG SUDJITO, SH. MH. SILABUS DAN SATUAN ACARA PERKULIAHAN Nama Mata Kuliah Bobot sks Tim Penyusun : HUKUM PIDANA INTERNASIONAL : 2 sks : ALFONS ZAKARIA, SH. LLM. Dr. SRI LESTARININGSIH, SH. MH. Dr. NURINI APRILIANDA, SH. MH.

Lebih terperinci

Keywords : Iconoclast, International Law, International Criminal Court

Keywords : Iconoclast, International Law, International Criminal Court PENGHANCURAN BENDA BUDAYA (ICONOCLAST) SEBAGAI KEJAHATAN TERHADAP KEMANUSIAAN Oleh: Made Panji Wilimantara Pembimbing I: Prof. Dr. I Made Pasek Diantha, S.H., M.S Pembimbing II: I Made Budi Arsika, S.H.,

Lebih terperinci

ABSTRAK. Kata kunci : Yurisdiksi, Mahkamah Pidana Internasional, Komplementaris, Negara Bukan Peserta

ABSTRAK. Kata kunci : Yurisdiksi, Mahkamah Pidana Internasional, Komplementaris, Negara Bukan Peserta YURISDIKSI MAHKAMAH PIDANA INTERNASIONAL (INTERNATIONAL CRIMINAL COURT) TERHADAP NEGARA BUKAN PESERTA STATUTA ROMA (Danel Aditia Situngkir, BP. 1121211040, PK Hukum Internasional, Program Pascasarjana

Lebih terperinci

KEGAGALAN INTERNATIONAL CRIMINAL COURT (ICC) DALAM PENYELESAIAN KONFLIK SUDAN RESUME. Disusun oleh : PETRUS CORNELIS DEPA

KEGAGALAN INTERNATIONAL CRIMINAL COURT (ICC) DALAM PENYELESAIAN KONFLIK SUDAN RESUME. Disusun oleh : PETRUS CORNELIS DEPA KEGAGALAN INTERNATIONAL CRIMINAL COURT (ICC) DALAM PENYELESAIAN KONFLIK SUDAN RESUME Disusun oleh : PETRUS CORNELIS DEPA 151060046 JURUSAN ILMU HUBUNGAN INTERNASIONAL FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN POLITIK UNIVERSITAS

Lebih terperinci

PELAKSANAAN INTERVENSI HAK ASASI MANUSIA DALAM KONFLIK BERSENJATA NON INTERNASIONAL DI DARFUR

PELAKSANAAN INTERVENSI HAK ASASI MANUSIA DALAM KONFLIK BERSENJATA NON INTERNASIONAL DI DARFUR PELAKSANAAN INTERVENSI HAK ASASI MANUSIA DALAM KONFLIK BERSENJATA NON INTERNASIONAL DI DARFUR Oleh Elinia Reja Purba I Gede Pasek Eka Wisanajaya I Made Budi Arsika Program Kekhususan Hukum Internasional

Lebih terperinci

BAB VI PENUTUP. 1. Imunitas Kepala Negara dalam Hukum Internasional. Meski telah diatur dalam hukum internasional dan hukum kebiasaan

BAB VI PENUTUP. 1. Imunitas Kepala Negara dalam Hukum Internasional. Meski telah diatur dalam hukum internasional dan hukum kebiasaan BAB VI PENUTUP A. Kesimpulan 1. Imunitas Kepala Negara dalam Hukum Internasional Meski telah diatur dalam hukum internasional dan hukum kebiasaan internasional, penegakan hukum terhadap imunitas kepala

Lebih terperinci

PENERAPAN ASAS NE BIS IN IDEM DALAM HUKUM PIDANA INTERNASIONAL

PENERAPAN ASAS NE BIS IN IDEM DALAM HUKUM PIDANA INTERNASIONAL PENERAPAN ASAS NE BIS IN IDEM DALAM HUKUM PIDANA INTERNASIONAL oleh Made Putri Saraswati A.A. Gede Oka Parwata Bagian Hukum Internasional Fakultas Hukum Universitas Udayana ABSTRACT Ne bis in idem principle

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) adalah negara hukum ( rechtsstaat) dan bukan

I. PENDAHULUAN. Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) adalah negara hukum ( rechtsstaat) dan bukan I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) adalah negara hukum ( rechtsstaat) dan bukan sebagai negara yang berdasarkan atas kekuasaan ( machtsstaat). Tidak ada institusi

Lebih terperinci

BAB II ATURAN-ATURAN HUKUM INTERNASIONAL TENTANG PEROMPAKAN. A. Perompakan Menurut UNCLOS (United Nations Convention on the

BAB II ATURAN-ATURAN HUKUM INTERNASIONAL TENTANG PEROMPAKAN. A. Perompakan Menurut UNCLOS (United Nations Convention on the BAB II ATURAN-ATURAN HUKUM INTERNASIONAL TENTANG PEROMPAKAN A. Perompakan Menurut UNCLOS (United Nations Convention on the Law of the Sea) Dalam Konvensi Hukum Laut Perserikatan Bangsa-bangsa (United Nation

Lebih terperinci

Bahan Masukan Laporan Alternatif Kovenan Hak Sipil dan Hak Politik (Pasal 10) PRAKTEK-PRAKTEK PENANGANAN ANAK BERKONFLIK DENGAN HUKUM DALAM KERANGKA

Bahan Masukan Laporan Alternatif Kovenan Hak Sipil dan Hak Politik (Pasal 10) PRAKTEK-PRAKTEK PENANGANAN ANAK BERKONFLIK DENGAN HUKUM DALAM KERANGKA Bahan Masukan Laporan Alternatif Kovenan Hak Sipil dan Hak Politik (Pasal 10) PRAKTEK-PRAKTEK PENANGANAN ANAK BERKONFLIK DENGAN HUKUM DALAM KERANGKA SISTEM PERADILAN PIDANA ANAK (JUVENILE JUSTICE SYSTEM)

Lebih terperinci

PENERAPAN YURISDIKSI UNIVERSAL MELALUI MEKANISME EKSTRADISI ATAS KEJAHATAN TERHADAP KEMANUSIAAN (CRIMES AGAINTS HUMANITY)

PENERAPAN YURISDIKSI UNIVERSAL MELALUI MEKANISME EKSTRADISI ATAS KEJAHATAN TERHADAP KEMANUSIAAN (CRIMES AGAINTS HUMANITY) PENERAPAN YURISDIKSI UNIVERSAL MELALUI MEKANISME EKSTRADISI ATAS KEJAHATAN TERHADAP KEMANUSIAAN (CRIMES AGAINTS HUMANITY) SKRIPSI Diajukan Kepada Fakultas Hukum Untuk Melengkapi Tugas-Tugas dan Syarat-Syarat

Lebih terperinci

BAB II SEJARAH PEMBENTUKAN, STRUKTUR DAN YURIDIKSI INTERNATIONAL CRIMINAL COURT. Dalam bab ini penulis akan mencoba memaparkan mengenai International

BAB II SEJARAH PEMBENTUKAN, STRUKTUR DAN YURIDIKSI INTERNATIONAL CRIMINAL COURT. Dalam bab ini penulis akan mencoba memaparkan mengenai International BAB II SEJARAH PEMBENTUKAN, STRUKTUR DAN YURIDIKSI INTERNATIONAL CRIMINAL COURT Dalam bab ini penulis akan mencoba memaparkan mengenai International Criminal Court yang akan dibagi kedalam beberapa sub

Lebih terperinci

PENGADILAN HAK ASASI MANUSIA DAN MAHKAMAH PIDANA INTERNASIONAL (ICC)

PENGADILAN HAK ASASI MANUSIA DAN MAHKAMAH PIDANA INTERNASIONAL (ICC) PENGADILAN HAK ASASI MANUSIA DAN MAHKAMAH PIDANA INTERNASIONAL (ICC) Hartanto Dosen Fakultas Hukum Universitas Widya Mataram Yogyakarta Abstract Completion toward the gross violations of human rights basically

Lebih terperinci

NASKAH PUBLIKASI PENERAPAN ASAS NE BIS IN IDEM

NASKAH PUBLIKASI PENERAPAN ASAS NE BIS IN IDEM NASKAH PUBLIKASI PENERAPAN ASAS NE BIS IN IDEM DALAM PENEGAKAN HUKUM PIDANA INTERNASIONAL DITINJAU DARI PASAL 17 STATUTA ROMA TAHUN 1998 TENTANG MAHKAMAH PIDANA INTERNASIONAL DALAM MENYELESAIKAN KASUS

Lebih terperinci

KAJIAN TERHADAP PELANGGARAN HAK ASASI MANUSIA YANG BERAT MENURUT UU NO.26 TAHUN 2000 TENTANG PENGADILAN HAM O L E H :

KAJIAN TERHADAP PELANGGARAN HAK ASASI MANUSIA YANG BERAT MENURUT UU NO.26 TAHUN 2000 TENTANG PENGADILAN HAM O L E H : KARYA ILMIAH KAJIAN TERHADAP PELANGGARAN HAK ASASI MANUSIA YANG BERAT MENURUT UU NO.26 TAHUN 2000 TENTANG PENGADILAN HAM O L E H : DR. WEMPIE JH. KUMENDONG, SH, MH NIP. : 19580724 1987031003 KEMENTERIAN

Lebih terperinci

Prinsip "Jus Cogens" dalam Hukum Internasional

Prinsip Jus Cogens dalam Hukum Internasional Prinsip "Jus Cogens" dalam Hukum Internasional Mochammad Tanzil Multazam Universitas Muhammadiyah Sidoarjo "Adalah norma yang memaksa dan mengikat pembentuk hukum internasional" Prinsip jus cogens oleh

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pembentukan Mahkamah Pidana Internasional (International. Criminal Court) merupakan upaya masyarakat internasional dalam

BAB I PENDAHULUAN. Pembentukan Mahkamah Pidana Internasional (International. Criminal Court) merupakan upaya masyarakat internasional dalam BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pembentukan Mahkamah Pidana Internasional (International Criminal Court) merupakan upaya masyarakat internasional dalam menanggulangi kejahatan-kejahatan luar

Lebih terperinci

LEGALITAS PENGGUNAAN BOM CURAH (CLUSTER BOMB) PADA AGRESI MILITER ISRAEL KE PALESTINA DALAM PERSPEKTIF HUKUM HUMANITER INTERNASIONAL

LEGALITAS PENGGUNAAN BOM CURAH (CLUSTER BOMB) PADA AGRESI MILITER ISRAEL KE PALESTINA DALAM PERSPEKTIF HUKUM HUMANITER INTERNASIONAL LEGALITAS PENGGUNAAN BOM CURAH (CLUSTER BOMB) PADA AGRESI MILITER ISRAEL KE PALESTINA DALAM PERSPEKTIF HUKUM HUMANITER INTERNASIONAL Oleh: Alan Kusuma Dinakara Pembimbing: Dr. I Gede Dewa Palguna SH.,

Lebih terperinci

MENGENAL ICC. Mahkamah Pidana International. Koalisi Masyarakat Sipil untuk Mahkamah Pidana Internasional. Seri Buku Saku

MENGENAL ICC. Mahkamah Pidana International. Koalisi Masyarakat Sipil untuk Mahkamah Pidana Internasional. Seri Buku Saku MENGENAL ICC Mahkamah Pidana International Koalisi Masyarakat Sipil untuk Mahkamah Pidana Internasional Seri Buku Saku MENGENAL ICC Mahkamah Pidana International 2009 Diterbitkan oleh: Koalisi Masyarakat

Lebih terperinci

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA UNDANG-UNDANG NOMOR 5 TAHUN 1998 TENTANG PENGESAHAN CONVENTION AGAINST TORTURE AND OTHER CRUEL, INHUMAN OR DEGRADING TREATMENT OR PUNISHMENT (KONVENSI MENENTANG PENYIKSAAN DAN PERLAKUAN ATAU PENGHUKUMAN

Lebih terperinci

MAHKAMAH PIDANA INTERNASIONAL, KEADILAN BAGI GENERASI MENDATANG

MAHKAMAH PIDANA INTERNASIONAL, KEADILAN BAGI GENERASI MENDATANG Seri Kursus HAM untuk Pengacara XI Tahun 2007 Materi : International Criminal Court (ICC) MAHKAMAH PIDANA INTERNASIONAL, KEADILAN BAGI GENERASI MENDATANG Jerry Flower 1 Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA. Presiden Republik Indonesia,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA. Presiden Republik Indonesia, Copyright (C) 2000 BPHN UU 5/1998, PENGESAHAN CONVENTION AGAINST TORTURE AND OTHER CRUEL, INHUMAN OR DEGRADING TREATMENT OR PUNISHMENT (KONVENSI MENENTANG PENYIKSAAN DAN PERLAKUAN ATAU PENGHUKUMAN LAIN

Lebih terperinci

Catatan Koalisi Perempuan Indonesia terhadap Putusan Mahkamah Konstitusi Perkara Nomor 46/PUU-XIV/2016

Catatan Koalisi Perempuan Indonesia terhadap Putusan Mahkamah Konstitusi Perkara Nomor 46/PUU-XIV/2016 Catatan Koalisi Perempuan Indonesia terhadap Putusan Mahkamah Konstitusi Perkara Nomor 46/PUU-XIV/2016 DPR & PRESIDEN PERLU MEMPERHATIKAN PERTIMBANGAN HUKUM MAHKAMAH KONSTITUSI DALAM MERUMUSKAN PASAL KESUSILAAN

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN Y ANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN Y ANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 1998 TENTANG PENGESAHAN CONVENTION AGAINST TORTURE AND OTHER CRUEL, INHUMAN OR DEGRADING TREATMENT OR PUNISHMENT (KONVENSI MENENTANG PENYIKSAAN DAN PERLAKUAN

Lebih terperinci

Konvensi tentang Pencegahan dan Penghukuman Kejahatan Genosida

Konvensi tentang Pencegahan dan Penghukuman Kejahatan Genosida Konvensi tentang Pencegahan dan Penghukuman Kejahatan Genosida Disetujut dan diusulkan untuk penandatanganan dan ratiftkasi atau aksesi dengan resolusi Majelis Umum 260 A (HI), 9 December 1948 Negara-negara

Lebih terperinci

Panduan Perencanaan Pemantauan Persidangan Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (ELSAM)

Panduan Perencanaan Pemantauan Persidangan Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (ELSAM) Panduan Perencanaan Pemantauan Persidangan Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (ELSAM) I. Pengantar Pemantauan persidangan (trial monitoring) adalah salah satu bagian penting dalam advokasi Hak Asasi

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA PENGESAHAN UNITED NATIONS CONVENTION AGAINST CORRUPTION, 2003 DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA Menimbang PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, : a. bahwa dalam rangka mewujudkan

Lebih terperinci

Sejarah Konvensi menentang Penyiksaan dan Perlakuan atau Hukuman lain yang Kejam, Tidak Manusiawi atau Merendahkan Martabat Manusia telah diadopsi ole

Sejarah Konvensi menentang Penyiksaan dan Perlakuan atau Hukuman lain yang Kejam, Tidak Manusiawi atau Merendahkan Martabat Manusia telah diadopsi ole Konvensi Menentang Penyiksaan dan Perlakuan atau Hukuman lain yang Kejam, Tidak Manusiawi atau Merendahkan Martabat Manusia I Made Agung Yudhawiranata Dermawan Mertha Putra Sejarah Konvensi menentang Penyiksaan

Lebih terperinci

KONTEKS SOSIAL, EKONOMI, POLITIK DAN HUKUM PENGAJARAN HAK ASASI MANUSIA 1

KONTEKS SOSIAL, EKONOMI, POLITIK DAN HUKUM PENGAJARAN HAK ASASI MANUSIA 1 KONTEKS SOSIAL, EKONOMI, POLITIK DAN HUKUM PENGAJARAN HAK ASASI MANUSIA 1 Ifdhal Kasim 1. Dengan tema konteks sosial, ekonomi, politik dan hukum pengajaran hak asasi manusia, yang diberikan kepada saya,

Lebih terperinci

KATA PENGANTAR. Segala puji syukur penulis panjatkan hanya bagi Tuhan Yesus Kristus, oleh karena

KATA PENGANTAR. Segala puji syukur penulis panjatkan hanya bagi Tuhan Yesus Kristus, oleh karena KATA PENGANTAR Segala puji syukur penulis panjatkan hanya bagi Tuhan Yesus Kristus, oleh karena anugerah-nya yang melimpah, kemurahan dan kasih setia yang besar akhirnya penulis dapat menyelesaikan penulisan

Lebih terperinci

PELANGGARAN KEDAULATAN NEGARA TERKAIT TINDAKAN SPIONASE DALAM HUBUNGAN DIPLOMASI INTERNASIONAL

PELANGGARAN KEDAULATAN NEGARA TERKAIT TINDAKAN SPIONASE DALAM HUBUNGAN DIPLOMASI INTERNASIONAL PELANGGARAN KEDAULATAN NEGARA TERKAIT TINDAKAN SPIONASE DALAM HUBUNGAN DIPLOMASI INTERNASIONAL Oleh Ngakan Kompiang Kutha Giri Putra I Ketut Sudiartha Bagian Hukum Internasional Fakultas Hukum Universitas

Lebih terperinci

Eksistensi Konvensi Jenewa di Masa Depan

Eksistensi Konvensi Jenewa di Masa Depan Eksistensi Konvensi Jenewa di Masa Depan Menilai dari jumlah korban sipil dan penyebaran teror terhadap warga sipil terutama rakyat Gaza yang dilakukan oleh Israel selama konflik sejak tahun 2009 lalu

Lebih terperinci

KEDUDUKAN MAHKAMAH INTERNASIONAL DALAM MENGADILI PERKARA KEJAHATAN KEMANUSIAAN. Rubiyanto ABSTRACT

KEDUDUKAN MAHKAMAH INTERNASIONAL DALAM MENGADILI PERKARA KEJAHATAN KEMANUSIAAN. Rubiyanto ABSTRACT ISSN : NO. 0854-2031 KEDUDUKAN MAHKAMAH INTERNASIONAL DALAM MENGADILI PERKARA KEJAHATAN KEMANUSIAAN * Rubiyanto ABSTRACT The main matter, a case can be investigated trial by International court of justice

Lebih terperinci

: KRISDIANA KATIANDAGHO

: KRISDIANA KATIANDAGHO JURNAL ILMIAH KEWENANGAN MAHKAMAH PIDANA INTERNASIONAL UNTUK MENGADILI PELAKU KEJAHATANPELANGGARAN HAM BERAT DALAM SUATU NEGARA TANPA ADANYA PERMINTAAN DARI NEGARA TUAN RUMAH Disusun oleh : KRISDIANA KATIANDAGHO

Lebih terperinci

TANGGUNG JAWAB NEGARA TERHADAP KEJAHATAN TERORISME YANG MELEWATI BATAS-BATAS NASIONAL NEGARA-NEGARA

TANGGUNG JAWAB NEGARA TERHADAP KEJAHATAN TERORISME YANG MELEWATI BATAS-BATAS NASIONAL NEGARA-NEGARA TANGGUNG JAWAB NEGARA TERHADAP KEJAHATAN TERORISME YANG MELEWATI BATAS-BATAS NASIONAL NEGARA-NEGARA Windusadu Anantaya I Dewa Gede Palguna I Gede Putra Ariana Program Kekhususan Hukum Internasional dan

Lebih terperinci

PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 26 TAHUN 2000 TENTANG PENGADILAN HAK ASASI MANUSIA

PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 26 TAHUN 2000 TENTANG PENGADILAN HAK ASASI MANUSIA PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 26 TAHUN 2000 TENTANG PENGADILAN HAK ASASI MANUSIA I. UMUM Bahwa hak asasi manusia yang tercantum dalam Undang-Undang Dasar 1945, Deklarasi Universal

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pengenalan Crimes Againts humanity ( Kejahatan terhadap

BAB I PENDAHULUAN. Pengenalan Crimes Againts humanity ( Kejahatan terhadap BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pengenalan Crimes Againts humanity ( Kejahatan terhadap Kemanusiaan), pertama kali mulai dikenal dan telah menjadi hukum internasional positif yakni, setelah terjadi

Lebih terperinci

RESUME PERMOHONAN PERKARA Nomor 006/PUU-IV/2006 Perbaikan Tgl 25 April 2006

RESUME PERMOHONAN PERKARA Nomor 006/PUU-IV/2006 Perbaikan Tgl 25 April 2006 RESUME PERMOHONAN PERKARA Nomor 006/PUU-IV/2006 Perbaikan Tgl 25 April 2006 I. PEMOHON 1. Asmara Nababan, SH. Ketua (ELSAM) ( Pemohon I) 2. Ibrahim Zakir. Ketua (KONTRAS) (Pemohon II) 3. Ester Indahyani

Lebih terperinci

DAFTAR ISI. Maksud, Tujuan dan Kerangka Penulisan Buku...3 BAGIAN I BAB I EVOLUSI PEMIKIRAN DAN SEJARAH PERKEMBANGAN HAK ASASI MANUSIA...

DAFTAR ISI. Maksud, Tujuan dan Kerangka Penulisan Buku...3 BAGIAN I BAB I EVOLUSI PEMIKIRAN DAN SEJARAH PERKEMBANGAN HAK ASASI MANUSIA... Daftar Isi v DAFTAR ISI DAFTAR ISI...v PENGANTAR PENERBIT...xv KATA PENGANTAR Philip Alston...xvii Franz Magnis-Suseno...xix BAGIAN PENGANTAR Maksud, Tujuan dan Kerangka Penulisan Buku...3 BAGIAN I BAB

Lebih terperinci

KERTAS KERJA Indonesia Menuju Ratifikasi Statuta Roma Tentang Mahkamah Pidana Internasional Tahun 2008

KERTAS KERJA Indonesia Menuju Ratifikasi Statuta Roma Tentang Mahkamah Pidana Internasional Tahun 2008 ICC Assembly of States Parties Meeting Ruang sidang ICC KERTAS KERJA Indonesia Menuju Ratifikasi Statuta Roma Tentang Mahkamah Pidana Internasional Tahun 2008 I. Sekilas Tentang Mahkamah Pidana Internasional

Lebih terperinci

RANCANGAN LAPORAN SINGKAT RAPAT DENGAR PENDAPAT UMUM KOMISI III DPR RI DENGAN

RANCANGAN LAPORAN SINGKAT RAPAT DENGAR PENDAPAT UMUM KOMISI III DPR RI DENGAN RANCANGAN LAPORAN SINGKAT RAPAT DENGAR PENDAPAT UMUM KOMISI III DPR RI DENGAN Prof. DR. HIKMAHANTO JUWANA, SH., DR. ANGGI AULINA, DAN WAHYUDI DJAFAR (ELSAM) -------------------------------------------------------------

Lebih terperinci

Lex et Societatis, Vol. II/No. 8/Sep-Nov/2014

Lex et Societatis, Vol. II/No. 8/Sep-Nov/2014 PELANGGARAN HAK ASASI MANUSIA YANG BERAT DALAM UNDANG-UNDANG NOMOR 26 TAHUN 2000 TENTANG PENGADILAN HAK ASASI MANUSIA 1 Oleh: Pretty Grace Tjahjadi Setiawan 2 Abstrak Tujuan dilakukannya penelitian ini

Lebih terperinci

PENGADILAM HAM DI INDONESIA 1

PENGADILAM HAM DI INDONESIA 1 PENGADILAM HAM DI INDONESIA 1 Oleh: M. Abdul Kholiq,SH.MHum. 2 Ada 3 (Tiga) Aspek Kajian (Sub Sillaby) sesuai TOR Panitia: 1. Selintas tentang Hubungan Hukum HAM dan Hukum Pidana Internasional 2. Masalah

Lebih terperinci

KEDUDUKAN ORGANISASI INTERNASIONAL DALAM MAHKAMAH INTERNASIONAL

KEDUDUKAN ORGANISASI INTERNASIONAL DALAM MAHKAMAH INTERNASIONAL KEDUDUKAN ORGANISASI INTERNASIONAL DALAM MAHKAMAH INTERNASIONAL Oleh Vici Fitriati SLP. Dawisni Manik Pinatih Bagian Hukum Internasional Fakultas Hukum Universitas Udayana ABSTRAK Penulisan ini berjudul

Lebih terperinci

PELANGGARAN HAM YANG BERAT. Muchamad Ali Safa at

PELANGGARAN HAM YANG BERAT. Muchamad Ali Safa at PELANGGARAN HAM YANG BERAT Muchamad Ali Safa at PELANGGARAN HAM setiap perbuatan seseorang atau kelompok orang termasuk aparat negara baik disengaja maupun tidak sengaja, atau kelalaian yang secara melawan

Lebih terperinci

Penyiksaan dalam RUU KUHP: Beberapa catatan kritis

Penyiksaan dalam RUU KUHP: Beberapa catatan kritis Penyiksaan dalam RUU KUHP: Beberapa catatan kritis Indriaswati Dyah Saptaningrum Seminar Sehari Perlindungan HAM Melalui Hukum Pidana Hotel Nikko Jakarta, 5 Desember 2007 Konvensi Menentang penyiksaan

Lebih terperinci

INSTRUMEN HUKUM INTERNASIONAL HAK ASASI MANUSIA

INSTRUMEN HUKUM INTERNASIONAL HAK ASASI MANUSIA INSTRUMEN HUKUM INTERNASIONAL HAK ASASI MANUSIA Malahayati Kapita Selekta Hukum Internasional October 24, 2015 Kata Pengantar Syukur Alhamdulillah, segala puji bagi Allah SWT yang telah memberikan kekuatan

Lebih terperinci

Training Metode Pendekatan Pengajaran, Penelitian, Penulisan Disertasi dan Pencarian Bahan Hukum HAM Bagi Dosen-Dosen Hukum HAM

Training Metode Pendekatan Pengajaran, Penelitian, Penulisan Disertasi dan Pencarian Bahan Hukum HAM Bagi Dosen-Dosen Hukum HAM Makalah Training Metode Pendekatan Pengajaran, Penelitian, Penulisan Disertasi dan Pencarian Bahan Hukum HAM Bagi Dosen-Dosen Hukum HAM Bali, 16 17 Maret 2009 PENGADILAM HAM DI INDONESIA Oleh : M. Abdul

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 11 TAHUN 2005 TENTANG PENGESAHAN INTERNATIONAL COVENANT ON ECONOMIC, SOCIAL AND CULTURAL RIGHTS

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 11 TAHUN 2005 TENTANG PENGESAHAN INTERNATIONAL COVENANT ON ECONOMIC, SOCIAL AND CULTURAL RIGHTS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 11 TAHUN 2005 TENTANG PENGESAHAN INTERNATIONAL COVENANT ON ECONOMIC, SOCIAL AND CULTURAL RIGHTS (KOVENAN INTERNASIONAL TENTANG HAK-HAK EKONOMI, SOSIAL DAN BUDAYA)

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 2006 TENTANG PENGESAHAN INTERNATIONAL CONVENTION FOR THE SUPPRESSION OF TERRORIST BOMBINGS, 1997 (KONVENSI INTERNASIONAL PEMBERANTASAN PENGEBOMAN OLEH TERORIS,

Lebih terperinci

Hukum Pidana Internasional. Tolib Effendi

Hukum Pidana Internasional. Tolib Effendi Hukum Pidana Internasional Tolib Effendi Komponen Penilaian 1. Tugas I (10%) 2. UTS (25%) 3. Tugas II (15%) 4. UAS (35%) 5. Kehadiran (5%) 6. Aktivitas di Kelas (10%) Pokok Bahasan 1. Sejarah Hukum Pidana

Lebih terperinci

HUKUM HUMANITER INTERNASIONAL KONFLIK BERSENJATA NON-INTERNASIONAL

HUKUM HUMANITER INTERNASIONAL KONFLIK BERSENJATA NON-INTERNASIONAL HUKUM HUMANITER INTERNASIONAL KONFLIK BERSENJATA NON-INTERNASIONAL Malahayati Kapita Selekta Hukum Internasional October 10, 2015 Kata Pengantar Syukur Alhamdulillah, segala puji bagi Allah SWT yang telah

Lebih terperinci

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.324, 2013 KEMENTERIAN PERTAHANAN. Hukum. Humaniter. Hak Asasi Manusia. Penyelenggaraan Pertahanan Negara. Penerapan. PERATURAN MENTERI PERTAHANAN REPUBLIK INDONESIA

Lebih terperinci

PENGADILAN HAK ASASI MANUSIA DAN MAHKAMAH PIDANA INTERNASIONAL (ICC) Zulkarnain 1 * Abstract

PENGADILAN HAK ASASI MANUSIA DAN MAHKAMAH PIDANA INTERNASIONAL (ICC) Zulkarnain 1 * Abstract 1 PENGADILAN HAK ASASI MANUSIA DAN MAHKAMAH PIDANA INTERNASIONAL (ICC) Zulkarnain 1 * Abstract Completion toward the gross violations of human rights basically refers to the principle of exhaustion of

Lebih terperinci

PERLINDUNGAN PENGUNGSI SURIAH KORBAN GERAKAN NEGARA ISLAM IRAK AN SURIAH DI NEGARA-NEGARA EROPA. Oleh : Nandia Amitaria

PERLINDUNGAN PENGUNGSI SURIAH KORBAN GERAKAN NEGARA ISLAM IRAK AN SURIAH DI NEGARA-NEGARA EROPA. Oleh : Nandia Amitaria PERLINDUNGAN PENGUNGSI SURIAH KORBAN GERAKAN NEGARA ISLAM IRAK AN SURIAH DI NEGARA-NEGARA EROPA Oleh : Nandia Amitaria Pembimbing I : Prof. Dr. I Made Pasek Diantha, SH.,MH Pembimbing II : I Made Budi

Lebih terperinci

Pada pokoknya Hukum Internasional menghendaki agar sengketa-sengketa antar negara dapat diselesaikan secara damai he Hague Peace

Pada pokoknya Hukum Internasional menghendaki agar sengketa-sengketa antar negara dapat diselesaikan secara damai he Hague Peace Pasal 2 (3) dari Piagam PBB - Semua anggota wajib menyelesaikan perselisihan internasional mereka melalui cara-cara damai sedemikian rupa sehingga perdamaian, keamanan dan keadilan internasional tidak

Lebih terperinci

RISALAH SIDANG PERKARA NO. 3/PUU-V/2007 PERIHAL PENGUJIAN UU NOMOR 22 TAHUN 1997 TENTANG NARKOTIKA TERHADAP UUD 1945 ACARA PEMERIKSAAN PENDAHULUAN (I)

RISALAH SIDANG PERKARA NO. 3/PUU-V/2007 PERIHAL PENGUJIAN UU NOMOR 22 TAHUN 1997 TENTANG NARKOTIKA TERHADAP UUD 1945 ACARA PEMERIKSAAN PENDAHULUAN (I) MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA --------------------- RISALAH SIDANG PERKARA NO. 3/PUU-V/2007 PERIHAL PENGUJIAN UU NOMOR 22 TAHUN 1997 TENTANG NARKOTIKA TERHADAP UUD 1945 ACARA PEMERIKSAAN PENDAHULUAN

Lebih terperinci

c. Menyatakan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 27

c. Menyatakan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 27 RINGKASAN PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 006/PUU- IV/2006 TENTANG UNDANG-UNDANG NOMOR 27 TAHUN 2004 TENTANG KOMISI KEBENARAN DAN REKONSILIASI TANGGAL 7 DESEMBER 2006 1. Materi muatan ayat, Pasal dan/atau

Lebih terperinci

Kata Kunci : Perang, Perwakilan Diplomatik, Perlindungan Hukum, Pertanggungjawaban

Kata Kunci : Perang, Perwakilan Diplomatik, Perlindungan Hukum, Pertanggungjawaban PENGATURAN PERLINDUNGAN HUKUM BAGI PERWAKILAN DIPLOMATIK DI WILAYAH PERANG Oleh : Airlangga Wisnu Darma Putra Putu Tuni Cakabawa Landra Made Maharta Yasa Program Kekhususan Hukum Internasional dan Hukum

Lebih terperinci

PENERAPAN PRINSIP MIRANDA RULE SEBAGAI PENJAMIN HAK TERSANGKA DALAM PRAKTIK PERADILAN PIDANA DI INDONESIA

PENERAPAN PRINSIP MIRANDA RULE SEBAGAI PENJAMIN HAK TERSANGKA DALAM PRAKTIK PERADILAN PIDANA DI INDONESIA PENERAPAN PRINSIP MIRANDA RULE SEBAGAI PENJAMIN HAK TERSANGKA DALAM PRAKTIK PERADILAN PIDANA DI INDONESIA Oleh : I Dewa Bagus Dhanan Aiswarya Putu Gede Arya Sumerthayasa Bagian Hukum Acara Fakultas Hukum

Lebih terperinci

VIENNA CONVENTION ON THE LAW OF TREATIES 1969

VIENNA CONVENTION ON THE LAW OF TREATIES 1969 VIENNA CONVENTION ON THE LAW OF TREATIES 1969 Konvensi Wina 1969 terdiri dari dua bagian, yaitu bagian Pembukaan/Konsideran (Preambule) dan bagian isi (Dispositive), serta Annex dan dilengkapi dengan dua

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 2006 OF TERRORIST BOMBINGS, 1997 (KONVENSI INTERNASIONAL PEMBERANTASAN PENGEBOMAN OLEH TERORIS, 1997) DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK

Lebih terperinci

PENYELESAIAN SENGKETA INTERNASIONAL SECARA DAMAI. Dewi Triwahyuni

PENYELESAIAN SENGKETA INTERNASIONAL SECARA DAMAI. Dewi Triwahyuni PENYELESAIAN SENGKETA INTERNASIONAL SECARA DAMAI Dewi Triwahyuni DASAR HUKUM Pencegahan penggunaan kekerasan atau terjadinya peperangan antar negara mutlak dilakukan untuk terhindar dari pelanggaran hukum

Lebih terperinci

Konvensi Internasional mengenai Penindasan dan Penghukuman Kejahatan Apartheid

Konvensi Internasional mengenai Penindasan dan Penghukuman Kejahatan Apartheid Konvensi Internasional mengenai Penindasan dan Penghukuman Kejahatan Apartheid disetujui dan terbuka untuk penandatanganan dan ratifikasi oleh Resolusi Majelis Umum 3068 (XXVIII) 30 November 1973 Negara-negara

Lebih terperinci

TANGGUNG JAWAB KOMANDO

TANGGUNG JAWAB KOMANDO TANGGUNG JAWAB KOMANDO Disampaikan Oleh Fadillah Agus pada Lokakarya yang diselenggarakan oleh PUSHAM UII, Yogyakarta, Hotel Jogja Plaza, 23-27 Januari 2006 1 BENTUK-BENTUK PERTANGGUNG JAWABAN PELANGGARAN

Lebih terperinci

HAK VETO DEWAN KEAMANAN PERSERIKATAN BANGSA-BANGSA DALAM KAITAN DENGAN PRINSIP PERSAMAAN KEDAULATAN

HAK VETO DEWAN KEAMANAN PERSERIKATAN BANGSA-BANGSA DALAM KAITAN DENGAN PRINSIP PERSAMAAN KEDAULATAN HAK VETO DEWAN KEAMANAN PERSERIKATAN BANGSA-BANGSA DALAM KAITAN DENGAN PRINSIP PERSAMAAN KEDAULATAN Oleh: Sulbianti Pembimbing I : I Made Pasek Diantha Pembimbing II: Made Mahartayasa Program Kekhususan

Lebih terperinci

Tentang Pengadilan HAM Internasional 1

Tentang Pengadilan HAM Internasional 1 Tentang Pengadilan HAM Internasional 1 Agung Yudhawiranata, S.IP., LL.M. 2 Pengantar Statuta dan praktek pengadilan Tokyo, Nuremberg, ICTY, ICTR, dan Statuta Roma adalah sumber hukum internasional terpenting

Lebih terperinci

Perbedaan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual dengan Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia

Perbedaan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual dengan Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia 3 Perbedaan dengan Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia Bagaimana Ketentuan Mengenai dalam tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia? Menurut hukum internasional, kejahatan

Lebih terperinci

DALAM PERSPEKTIF HUKUM INTERNASIONAL (PUTUSAN ICJ NOMOR 143 TAHUN

DALAM PERSPEKTIF HUKUM INTERNASIONAL (PUTUSAN ICJ NOMOR 143 TAHUN ABSTRAK TINJAUAN YURIDIS TERHADAP PERLINDUNGAN HAK ASASI MANUSIA DALAM TRAKTAT PERDAMAIAN (PEACE TREATY) TAHUN 1947 ANTARA ITALIA DAN JERMAN BERDASARKAN PRINSIP JUS COGENS DALAM PERSPEKTIF HUKUM INTERNASIONAL

Lebih terperinci

SURAT TERBUKA UNTUK KETUA DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA TERHADAP PROPOSAL RANCANGAN UNDANG-UNDANG TINDAK PIDANA ANTITERORISME

SURAT TERBUKA UNTUK KETUA DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA TERHADAP PROPOSAL RANCANGAN UNDANG-UNDANG TINDAK PIDANA ANTITERORISME AI Index: ASA 21/ 8472/2018 Yth. Muhammad Syafii Ketua Panitia Khusus Revisi Undang Undang Anti-Terorisme dari Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI) Kompleks Gedung Dewan Perwakilan Rakyat

Lebih terperinci

KEKUATAN MENGIKAT RESOLUSI DEWAN KEAMANAN PBB DALAM PENYELESAIAN SENGKETA INTERNASIONAL

KEKUATAN MENGIKAT RESOLUSI DEWAN KEAMANAN PBB DALAM PENYELESAIAN SENGKETA INTERNASIONAL KEKUATAN MENGIKAT RESOLUSI DEWAN KEAMANAN PBB DALAM PENYELESAIAN SENGKETA INTERNASIONAL Oleh I Komang Oka Dananjaya Progam Kekhususan Hukum Internasional Fakultas Hukum Universitas Udayana ABSTRACT The

Lebih terperinci

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR TAHUN TENTANG PENGESAHAN UNITED NATIONS CONVENTION AGAINST CORRUPTION, 2003 (KONVENSI PERSERIKATAN BANGSA-BANGSA ANTI KORUPSI, 2003) DENGAN RAHMAT TUHAN

Lebih terperinci

Pengadilan Rakyat Internasional Kasus 1965

Pengadilan Rakyat Internasional Kasus 1965 Sepuluh Hal yang Perlu Anda Ketahui Tentang Pengadilan Rakyat Internasional Kasus 1965 Banyak kesalahpahaman terjadi terhadap Pengadilan Rakyat Internasional. Berikut sepuluh hal yang belum banyak diketahui

Lebih terperinci

Pembuktian : Tanggungjawab Komando

Pembuktian : Tanggungjawab Komando Pembuktian : Tanggungjawab Komando I. Pendahuluan Saat ini Pengadilan HAM Tanjung Priok telah memasuki tahap pembuktian, yaitu tahap pemeriksaan saksi. Bahkan, dalam salah satu berkas, yaitu berkas perkara

Lebih terperinci

PERADILAN PIDANA ANAK DI INDONESIA DAN INSTRUMEN INTERNASIONAL PERLINDUNGAN ANAK SERTA PENERAPANNYA

PERADILAN PIDANA ANAK DI INDONESIA DAN INSTRUMEN INTERNASIONAL PERLINDUNGAN ANAK SERTA PENERAPANNYA PERADILAN PIDANA ANAK DI INDONESIA DAN INSTRUMEN INTERNASIONAL PERLINDUNGAN ANAK SERTA PENERAPANNYA Penulis: Dr. Nandang Sambas, S. H., M.H. Edisi Pertama Cetakan Pertama, 2013 Hak Cipta 2013 pada penulis,

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 29 TAHUN 1999 TENTANG PENGESAHAN INTERNATIONAL CONVENTION ON THE ELIMINATION OF ALL FORMS OF RACIAL DISCRIMINATION 1965 (KONVENSI INTERNASIONAL TENTANG PENGHAPUSAN

Lebih terperinci

HUKUM PIDANA TRANSNASIONAL. Transnasional Internasional Dr. Trisno Raharjo, S.H. M.Hum.

HUKUM PIDANA TRANSNASIONAL. Transnasional Internasional Dr. Trisno Raharjo, S.H. M.Hum. HUKUM PIDANA TRANSNASIONAL Transnasional Internasional Dr. Trisno Raharjo, S.H. M.Hum. HUKUM PIDANA INTERNASIONAL Bassiouni (1986): suatu hasil pertemuan pemikiran dua disiplin hukum yang muncul dan berkembang

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA www.bpkp.go.id UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 2006 TENTANG PENGESAHAN INTERNATIONAL CONVENTION FOR THE SUPPRESSION OF TERRORIST BOMBINGS, 1997 (KONVENSI INTERNASIONAL PEMBERANTASAN PENGEBOMAN

Lebih terperinci

Norway, di Yogyakarta tanggal September 2005

Norway, di Yogyakarta tanggal September 2005 HUKUM HUMANITER INTERNASIONAL DAN KEJAHATAN PERANG Dipresentasikan oleh : Fadillah Agus Disampaikan dalam Training, Training Hukum HAM bagi Dosen Pengajar Hukum dan HAM di Fakultas Hukum pada Perguruan

Lebih terperinci