BAB I PENDAHULUAN. Pembentukan Mahkamah Pidana Internasional (International. Criminal Court) merupakan upaya masyarakat internasional dalam

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "BAB I PENDAHULUAN. Pembentukan Mahkamah Pidana Internasional (International. Criminal Court) merupakan upaya masyarakat internasional dalam"

Transkripsi

1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pembentukan Mahkamah Pidana Internasional (International Criminal Court) merupakan upaya masyarakat internasional dalam menanggulangi kejahatan-kejahatan luar biasa yang mengancam perdamaian dan keamanan internasional serta mengancanm kesejahteraan dunia. Hal ini juga dilatarbelakangi dengan melihat keberhasilan Mahkamah Pidana Militer untuk Bekas Yugoslavia (International Criminal Tribunal for the Former Yugoslavia ICTY) dan Mahkamah Pidana Militer untuk Rwanda (International Criminal Tribunal for Rwanda ICTR) yang terbukti menjadi pengadilan-pengadilan ad-hoc yang secara luas diterima oleh masyarakat internasional, gagasan untuk membentuk suatu mahkamah pidana permanen terhadap pelanggaran berat hak asasi manusia, kembalihidup. Secara historis gagasan untuk menciptakan mahkamah kejahatan international yang bersifat permanen telah muncul dalam waktu yang cukup lama. Biarpun gagasan ini sempat beku selama Perang Dingin, 1

2 dinamika intelektual untuk membentuk kerangka mahkamah pidana international tetap berlangsung. 1 Hal tersebut ada karena semakin banyaknya pelanggaran hak asasi manusia yang tergolong dalam kategori kejahatan paling serius terhadap hak asasi manusia, sehingga ada upaya untuk membentuk mahkamah pidana yang bersifat permanen yang mempunyai yurisdiksi atas para pelakupelanggaran berat hak asasi manusia yang menjadi perhatian masyarakat internasional. Esensi dari pembentukan Mahkamah Pidana Internasional adalah bahwa kejahatan paling serius yang menjadi perhatian internasional secara keseluruhan, tidak boleh lepas dari penuntutan dan hukuman. Mahkamah Pidana Internasional adalah lembaga peradilan pidana internasional permanen. Dengan demikian, pembentukan Mahkamah Pidana Internasional tidak bersifat temporer (sementara), dengan kata lain pembentukannya bukan khusus untuk mengadili kejahatan yang terjadi disuatu tempat atau negara tertentu, yang selalu dikaitkan dengan peristiwa tertentu seperti pengadilan-pengadilan ad-hoc sebelumnya Pengadilan Nuremberg (Nuremberg Trial), Pengadilan Tokyo (Tokyo Trial), Mahkamah Pidana Militer untuk Bekas Yugoslavia dan Mahkamah Pidana Militer untuk Rwanda. 1 Arie Siswanto, 2005, Yurisdiksi Material Mahkamah Kejahatan Internasional, Ghalia Indonesia, Bogor, hlm. 8. 2

3 Sebagaimana dalam Statuta Roma (the Rome Statute of the International Criminal Court), Mahkamah Pidana Internasional bertujuan untuk mengakhiri impunitas bagi pelaku pelanggaran berat hak asasi manusia dan memberikan andil bagi pencegahan terjadinya kejahatan paling serius terhadap hak asasi manusia menurut hukum internasional, serta menjamin penghormatan abadi bagi diberlakukannya keadilan internasional, serta mendukung pencapaian tujuan dan prinsip Piagam Perserikatan Bangsa-Bangsa. Yurisdiksi Mahkamah Pidana Internasional meliputi kejahatan genosida (crimes of genoside), kejahatan terhadap kemanusiaan (crimes against humanity), kejahatan perang (war crimes), dan kejahatan agresi (crimes of aggression). Mengacu pada substansi konsideran yang termuat dalam Pembukaan Statuta Roma, secara jelas tampak bahwa pembentukan Mahkamah Pidana Internasional sebenarnya memiliki latar belakang yang sama dengan pengadilan-pengadilanpidana internasional adhocsebelumnya, yang dapat dipandang sebagai institusionalisasi gagasan anti-impunitas yang memiliki dimensi keadilan retributif dan prevensi atau pencegahan kejahatan.bagian Pembukaan Statuta Roma 17 Juli 1998 yang menjadi dasar pembentukan Mahkamah Pidana Internasional secara eksplisit menegaskan bahwa para pelaku pelanggaran berat hak asasi manusia yang menyangkut perhatian masyarakat internasional secara keseluruhan, tidak seharusnya berlalu tanpa dihukum dan penghukuman 3

4 secara efektif harus dilakukan melalui tindakan-tindakan pada tingkat nasional dan melalui peningkatan kerjasama internasional. Salah satu prinsip dasar yang dianut dalam Statuta Roma adalah bersifat komplemeter. Artinya, terjadinya kejahatan yang menjadi yurisdiksi Mahkamah Pidana Internasional, maka pengadilan terhadap pelaku terlebih dulu diserahkan kepada hukum nasional negara di mana kejahatan dilakukan. Apabila negara yang bersangkutan tidak mau (unwilling) atau tidak dapat (unable) mengadili pelaku kejahatan tersebut, maka pengadilan terhadap pelaku dilakukan oleh Mahkamah Pidana Internasional. 2 Mahkamah Pidana Internasional bersifat pelengkap terhadap yurisdiksi pengadilan nasional. Maksudnya, Mahkamah Pidana Internasional memiliki yurisdiksi terhadap kejahatan-kejahatan internasional paling serius (terhadap hak asasi manusia) dan sebagai pelengkap sistem pengadilan pidana nasional, apabila sistem pengadilan nasional tidak efektif atau tidak tersedia, maka Mahkamah Pidana Internasionaldapat melaksanakan yurisdiksinya dalam menuntut dan mengadili pelaku kejahatan internasional dalam yurisdiksi Mahkamah Pidana Internasional. Prinsip pelengkap ini merupakan suatu mekanisme pendekatan yang seimbang yang dimaksudkan guna memberikan kesempatan terlebih dahulu kepada negara-negara untuk memenuhi kewajiban-kewajibannya 2 Eddy Hiariej., 2009, Pengantar Hukum Pidana Internasional, Erlangga, Jakarta, hlm

5 sebagai suatu negara yang mengatur dan menjalankan organisasi negara sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku dan mempunyai kekuasaan yang tidak terikat dan tidak tunduk pada kekuatan lain kecuali atas ketentuan-ketentuan yang telah ditetapkan, seperti ketentuan internasional.dengan demikian, sesungguhnya tidak ada kedaulatan negara yang dilanggar, justru malah asas komplementer iniselaras dengan prinsip kedaulatan negara. Prinsip tersebut sebagaimana diatur dalam Pasal 17 Statuta Romayang menyatakan bahwa Mahkamah Pidana Internasional tidak berfungsi untuk menggantikan pengadilan nasional suatu negara melainkan ketika negara tidak mau (unwilling) dan tidak mampu (unable) melaksanakan kewajiban penghukuman terhadap pelaku kejahatan yang termasuk dalam yurisdiksi Mahkamah Pidana Internasional, maka Mahkamah Pidana Internasional dapat melaksanakan yurisdiksinya. Prinsip ini merupakan jaminan bahwa Mahkamah Pidana Internasional bertujuan untuk mengefektifkan sistem pengadilan pidana nasional suatu negara. Yurisdiksi Mahkamah Pidana Internasional dilaksanakan dan dilakukan oleh Jaksa Penuntut independen apabila negara peserta (Statuta Roma) menyerahkan yurisdiksi kejahatan kepada Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa atau kepada Jaksa Penuntut sendiri. Namun, yang menjadi permasalahan adalah jika suatu negara dimana terjadi kejahatan paling serius terhadap hak asasi manusia, tidak bersedia 5

6 menyerahkan pelaku atau tidak bersedia memberikan informasi mengenai kejahatan yang terjadi kepadajaksa Penuntut, yang disebabkan adanya doktrin kedaulatan negara, karena tidak mau hukum negaranya dicampuri oleh negara lain terlebih menyerahkan pelakunya untuk diadili oleh Mahkamah Pidana Internasional, yang umumnya (para pelaku) adalah mereka yang saat kejahatan terjadi mempunyai kekuasaan di dalam negara bersangkutan dan eksistensinyacukup kuat untuk mempengaruhi kebijakan nasional negara tersebut. Di sisi lain, ketika negara bersangkutan ternyata tidak dapat memberikan perlindungan hak-hak asasi warga negaranya, atau di dalam negaranya terjadi pelanggaran berat hak asasi manusia, dapatkah negara tersebut melakukan penuntutan dan mengadili pelakunya secara independen dan tidak memihak. Di sisi lain kejahatan paling serius terhadap hak asasi manusiabiasanya dilakukan atas penyalahgunaan kekuasaan dan kewenangan dari negara, lalu apakah negara tersebut mau dan mampu untuk mengadili pelakunya. Terlebih jika pelakunya adalah individu yang saat terjadi kejahatan berkedudukan sebagai pejabat negara atau individu, bukan pejabat negara, namun menjalankan tugas yang diperintahkan oleh (pejabat) negara. Pada saat negara menyatakan mau dan mampu menuntut dan mengadili pelaku tersebut, maka Mahkamah Pidana Internasional harus menghormatinya dan tidak melaksanakan yurisdiksinya terhadap kejahatan yang merupakan yurisdiksi Mahkamah Pidana Internasional. Namun, 6

7 ketentuan tersebut jangan sampai menyebabkan tidak dilakukannya penuntutan terhadap kejahatan tersebut, dan pelakunya dibiarkan tidak dihukum, sehingga terjadi penyalahgunaan kekuasaan dan kewenangan oleh negara. Artinya, pelaku adalah mereka yang memiliki kekuasaan di dalam negaranya, sehingga ada dominasi politik. Asas ne bis in idem atau double jeopardy principle merupakan prinsip bahwa tidak akan dituntut atau diadili untuk kedua kali atas perkara (peristiwa) yang sama, sehingga hal ini bertentangan jika putusan pengadilan berupa suatu putusan bebas dan putusan itu tidak menyentuh rasa keadilan masyarakat (internasional), maka tidak bisa dituntut atau diadili kembaliatas perkara (peristiwa) yang sama, hal ini menciptakan praktik impunitas. Asas tersebut (ne bis in idem) juga merupakan asas yang dianut oleh semua negara dan diakui juga dalam ketentuan internasional. Salah satu ketentuan internasional yang mengatur asas ne bis in idem terdapat pada Pasal 14 ayat (7) International Covenant on Civil and Political Rights (ICCPR) yang menyatakan bahwa No one shall be liable to be tried or punished again for an offence for which he has already been finally convicted or acquitted in accordance with the law and penal procedure of each country. Artinya, tidak seorang pun dapat dipertanggungjawabkan untuk diadili atau dihukum lagi atas kejahatan di mana ia telah dihukum atau dibebaskan, sesuai dengan hukum pidana dan hukum acara pidana nasional masing-masing negara. Asas ne bis in idem 7

8 memberikan kepastian hukum dari suatu negara terhadap proses pengadilan atas perkara tertentu yang telah diputus. 1. Rumusan Masalah Berdasarkan uraian latar belakang di atas, penulis merumuskan permasalahan sebagai berikut: a. Bagaimanakah yurisdiksi Mahkamah Pidana Internasional menurut Pasal 17 Statuta Roma? b. Bagaimanakah asas ne bis in idem dalam hukum pidana internasional berkaitan dengan Pasal 17 Statuta Roma? 2. Keaslian Penelitian Tesis Muhammad Arif Sahlepi pada Program Pascasarjana Universitas Sumatera Utara (USU) berjudul Asas Ne Bis in Idem dalam Hukum Pidana (Kasus Putusan Pengadilan Negeri Medan Nomor 1384/Pid.B/PN.Mdn/2004 juncto Putusan Pengadilan Negeri Medan Nomor 3259/Pid.B/PN.Mdn/2008), dengan rumusan masalah: a. Apa landasan filosofi dan yuridis dari asas ne bis in idem dalam hukum pidana? b. Bagaimana sebuah putusan dikategorikan ne bis in idem? 8

9 c. Bagaimana pertimbangan hakim dalam penerapan asas ne bis in idem dalam Putusan Pengadilan Negeri Medan Nomor1384/Pid.B/PN.Mdn/2004 juncto Putusan Pengadilan Negeri Medan Nomor 3259/Pid.B/PN.Mdn/2008? Kesimpulan tesis Sahlepi, adalah: a. Landasan filosofi dari lahirnya asas ne bis in idem dalam hukum pidana adalah adanya jaminan kepastian hukum. Dengan adanya kepastian hukum berarti bahwa hukum bekerja, sehingga setiap orang mengetahui yang mana dan sampai batas mana yang merupakan hak dan kewajibannya. Landasan Yuridis dari asas ne bis in idem adalah Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) terdapat pada Pasal 76 dan Surat Edaran Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 03 Tahun 2002 tentang Penanganan Perkara yang Berkaitan dengan Asas Ne Bis in Idem. b. Putusan yang dapat dikategorikan sebagai ne bis in idem adalah putusan hakim dalam perkara pidana yang berbentuk: 1) putusan bebas (vrijspraak); 2) putusan pelepasan/pembebasan dari segala tuntutan hukum (ontslag van rechtsvervolging); dan 3) putusan pemidanaan (veroordeling). c. Pertimbangan hakim dalam Putusan Pengadilan Negeri Medan Nomor 1384/Pid.B/PN.Mdn/2004 juncto Putusan Pengadilan 9

10 Negeri Medan Nomor 3259/Pid.B/PN.Mdn/2008, penulis menyimpulkan telah tepat dan benar dalam penerapan hukumnya sehingga putusan tersebut saling berkaitan atau bertalian antara satu dengan (putusan) lainnya, dengan berdasarkan unsur subjektif dan unsur objektif dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, yakni putusan tersebut berbentuk ne bis in idem, yaitu putusan sebelumnya sudah pernah diperiksa, diadili, dan telah diputus di pengadilan negeri yang sama dan telah mempunyai kekuatan hukum tetap (in kracht van gewijsde) dan yang tetap berhubungan dengan tindak pidana yang sama. Skripsi Erikson Hasiholan Gultom pada Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada Yogyakarta berjudul Tinjauan Hukum Internasional terhadap Kompetensi Mahkamah Pidana Internasional dalam Mengadili Individu-Individu yang Bertanggungjawab atas Terjadinya Kejahatan Terhadap Kemanusiaan dan Relevansinya dengan Peradilan Kasus Timor-Timur Sekitar Masa Referendum, dengan permasalahan: a. Bagaimana tinjauan hukum internasional terhadap kompetensi Mahkamah Pidana Internasional dalam mengadili individuindividu yang bertanggung jawab atas terjadinya kejahatan terhadap kemanusiaan? b. Bagaimana relevansi Mahkamah Pidana Internasional bagi kasus kejahatan terhadap kemanusiaan di Timor-Timur sekitar 10

11 masa referendum dan proses pengadilan terhadap individuindividu yang bertanggung jawab atas terjadinya kasus tersebut? c. Bagaimana dengan suatu Pengadilan Internasional untuk atau peradilan ulang atas kasus kejahatan terhadap kemanusiaan di Timor-Timur ditinjau dari segi hukum internasional? Kesimpulan Skripsi Hasiholan secara keseluruhan : Mahkamah Pidana Internasional memiliki kompetensi dan yurisdiksi konstitusional-internasional untuk mengadili individuindividu yang bertanggung jawab atas terjadinya kejahatan terhadap kemanusiaan, kejahatan yang menurut Statuta Roma, berarti setiap tindakan pembunuhan, pemusnahan, perbudakan, atau perbuatan-perbuatan lain yang ditetapkan di dalam pasal 7, apabila dilakukan sebagai bagian dari suatu serangan (me)luas atau sistematik yang ditujukan kepada kelompok populasi sipil secara sengaja. Dasarnya adalah realita bahwa hukum internasional telah menetapkan bahwa kejahatan terhadap kemanusiaan adalah suatu kejahatan yang merupakan keprihatinan dan tragedi bagi masyarakat internasional secara keseluruhan, karenanya telah pula dianggap menjadi atau sebagai urusan masyarakat internasional secara keseluruhan sehingga termasuk ke dalam yurisdiksi Mahkamah. statuta Roma, traktat-traktat multilateral lainnya dan 11

12 hukum kebiasaan internasional yang ebrnilai positif bagi penegakkan hukum HAM telah menegaskan dan menyimpulkan demikian secara gradual. Kompetensi Mahkamah Pidana Internasional dilengkapi pula dengan kapasitas dan personalitas hukum dan yurisdiksi internasional agar mampu melaksanakan dan mencapai fungsifungsi dan tujuan-tujuannya. Dalam dan untuk hal ini, mahkamah dapat menjalankan kompetensinya, sebagaimana ditetapkan dalam statuta, atas wilayah setiap negara peserta dan, dengan perjanjian khusus, atas wilayah suatu negara lainnya, maksudnya negara buka peserta. Berdasarkan prinsip pelengkap yang ditetapkan oleh Statuta ini, Mahkamah bisa berperan aktif menjalankan kompetensinya tersebut apabila, dalam suatu kasus, sistem pengadilan nasional negara yang bersangkutan nyata-nyata telah gagal memenuhi kewajibannya dalam mengadili kasus kejahatan HAM. Artinya pengadilan nasional yang dimaksud tidak mampu dan atau tidak mau melakukan secara sungguh-sungguh dan adil proses penyidikan, penuntutan dan pengadilan terhadap individu-individu yang bertanggungjawab akan terjadinya kejahatan HAM, termasuk kejahatan terhadap kemanusiaan. Prinsip pelengkap ini merupakan suatu mekanisme penyeimbang yang dimaksud untuk memberikan kesempatan terlebih dahulu kepada mekanisme nasional dari 12

13 negara untuk memenuhi kewajiban-kewajiban mereka berdasarkan hukum internasional dalam penegakkan HAM. Konsekuensinya, bilamana pemenuhan tersebut gagal maka mekanisme internasional (akan) mengambil alih pelaksanaan pemenuhan kewajiban hukumnya (masing-masing) dalam penegakkan hukum Ham dan kemanusiaan. Hal ini berlaku baik bagi negara peserta maupun bukan negara peserta. Kompetensi Mahkamah Pidana Internasional dalam mengadili individu-individu yang bertanggungjawab atas terjadinya kejahatan terhadap kemanusiaan didasarkan pada Pasal 5 ayat (1), Pasal 4 dan Pasal 7 Statuta Roma sebagai dasar legal formal internasional dan selain itu, jus cogens, hukum kebiasaan internasional yang relevan-konstruktif bagi penegakan hukum HAM, keadilan, doktrin-doktrin yang relecan-kosntruktif bagi penegakan hukum Ham serta yurisdiksi universal bagi penegakan HAM. Dasar-dasar ini satu sama lain bersifat setara dan harus disinergikan oleh Mahkamah dan komunitas dunia dalam menjalankan kompetensinya ini dan menegakkan HAM. Kompetensi itu sendiri mengikat seluruh anggota komunitas internasional tanpa pengecualian. Untuk kasus kejahatan terhadap kemanusiaan yang telah terjadi di Timor-Timur, seperti pembunuhan serampangan ratusan warga Timtim, penyiksaan, intimidasi, perkosaan, penculikan, 13

14 deportasi paksa, dan perbuatan-perbuatan lainnya di masa sekitar referendum 1999, tidak menutup kemungkinan masih tetap ada kemungkinan bagi Mahkamah Pidana Internasional untuk melaksanakan kompetensi dan yurisdiksinya tersebut terhadap kasus ini, karena faktanya telah terpenuhi persyaratan materiil yang ditetapkan oleh Statuta roma baginya. Dalam konteks kasus Timor-Timur, Pengadilan Ham ad hoc secara obyektif dinilai telah gagal melaksanakan kewajiban mengadili individu-individu yang bertanggung jawab akan terjadinya rangkaian kejahatan terhadap kemanusiaan di Timtim. Berbagai hasil temuan dan analisa komprehensif telah mebuktikan dan menyimpulkan bahwa terdapat kelemahan-kelemahan yang fundamental dalam proses hukum untuk kasus tersebut. Kelemahan-kelemahan tersebut antara lain; tidak ada komitmen Ham pemerintah, regulasi yang dari perspektif HAM sangat itdak memadai dan membelenggu, sumber daya Hakim-hakim dn jaksajaksa yang sangat tidak memenuhi kualifikasi untuk mengaidli dan menuntut kasus-kasus pelanggaran HAM, dan kelemahankelemahan yang mendasar berkaitan dengan saksi-saksi. Kelemahan ini tidak boleh dan tidak mungkin untuk ditolerir apalagi dibiarkan. Karena itu, berdasarkan hukum internasional, kasus tersebut memenuhi persyaratan-persyaratan untuk dan harus diadili 14

15 kembali. Pengambilalihan atau intervensi Mahkamah Pidana Internasional untuk mngadili kembali kasus Timor-Timur tersebut tidak melanggar prinsip-prinsip fundamental hukum internasional, termasuk jus cogens dan asas ne bis in idem atau pelarangan double jeopardy. Pengulangan kembali proses pengadilan atas kasus tersebut justru merupakan kewajiban yang bersifat erga omnes bagi setiap atau seluruh komunitas dunia dan menurut hukum internasional harus direalisasikan. Pengulangan yang dimaksud juga selaras dengan jus cogens. Sedangkan Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi atau Komisi Kebenaran dan Persahabatan bukan lagi merupakan suatu solusi yang tepat untuk konteks Pengadilan kasus Timor-Timur ini. Lembaga ini tidak memenuhi kualifikasi-kualifikasi penting yang harus terpenuhi baginya untuk menangani kasus Timtim tersebut. Pemaksaan otoritas lembaga tersebut atas kasus Timtim adalah dan merupakan pelanggaran serius terhadap hukum internasional. Perbedaan tesis Sahlepi dengan penelitian ini adalah tesis Sahlepi meneliti tentang penerapan asas ne bis in idem dalam hukum pidana nasional khususnya Indonesia, sedangkan tesis ini meneliti secara normatif tentang yurisdiksi Mahkamah Pidana Internasional terhadap kejahatan 15

16 paling serius terhadap kemanusiaan atau pelanggaran berat hak asasi manusia yang merupakan yurisdiksi material daripada Mahkamah Pidana Internasional, yang pernah diadili oleh pengadilan nasional dari negara yang mempunyai yurisdiksi terhadap kejahatan tersebut, dalam kaitannya dengan asas ne bis in idem yang bersifat relatif sebagaimana dianut oleh Statuta Roma dan Mahkamah Pidana Internasional, dihubungkan dengan asas komplementer yang memberikan kesempatan pertama kepada negara bersangkutan untuk mengadili kejahatan yang telah terjadi, terlebih dahulu. Terhadap skripsi Hasiholan, penulis berpendapat bahwa perbedaan skripsi Hasiholan dengan penelitian ini adalah pada skripsi tersebut titik berat pada dua hal: a. Kejahatan terhadap kemanusiaan yang terjadi sebelum Statuta Roma berlaku efektif dan sebelum Mahkamah Pidana Internasional (permanen) dibentuk, dengan mengingat Statuta Roma dan Mahkamah Pidana Internasional menganut asas legalitas absolut, sehingga ketentuan Statuta Roma tidak mungkin diberlakukan untuk surut, dan karenanya Mahkamah Pidana Internasional tidak berwenang mengadili (ulang). Sedangkan penelitian yang dilakukan penulis fokus pada asas komplementer dikaitkan dengan unwilling dan unable dalam mengadili pelanggaran berat hak asasi manusia, dengan kata lain, dalam hal terjadinya praktik impunitas. 16

17 b. Secara spesifik ditujukan terhadap kejahatan serius terhadap hak asasi manusia yang terjadi di Timor-Timur Pasca-Jajak Pendapat, sedangkan penelitian tesis ini bersifat lebih umum dalam rangka menemukan parameter penerapan asas ne bis in idem relatif, sehingga Mahkamah Pidana Internasional dapat mengadili ulang suatu pelanggaran berat hak asasi manusia yang pernah diadili oleh pengadilan nasional yang memiliki kompetensi terhadap kejahatan tersebut tetapi mengadili dengan maksud melindungi pelaku atau tidak mampu mengadili secara adil. c. Secara spesifik hanya ditujukan kepada kejahatan terhadap kemanusiaan, sedangkan penelitian penulis tidak terbatas kepada kejahatan terhadap kemanusiaan saja, tetapi meliputi semua kejahatan yang menjadi yurisdiksi Mahkamah Pidana Internasional. 3. Manfaat Penelitian a. Manfaat Teoritis Penelitian ini diharapkan dapat memberikan deskripsi tentang asas ne bis in idem dalam hukum pidana internasional dan yurisdiksi Mahkamah Pidana Internasional berkaitan dengan Pasal 17 Statuta Roma. b. Manfaat Praktis 17

18 Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat praktismengenaiyurisdiksi Mahkamah Pidana Internasionaldalam kaitannya dengan Pasal 17 Statuta Roma. B. Tujuan penelitian 1. Mengetahui dan menganalisis yurisdiksi Mahkamah Pidana Internasional berkaitan dengan Pasal 17 Statuta Roma. 2. Mengetahui dan menganalisis asas ne bis in idem dalam hukum pidana Internasional berkaitan dengan Pasal 17 Statuta Roma. 18

BAB V PENUTUP. 1. Yurisdiksi Mahkamah Pidana Internasional dalam Pasal 17 Statuta Roma

BAB V PENUTUP. 1. Yurisdiksi Mahkamah Pidana Internasional dalam Pasal 17 Statuta Roma BAB V PENUTUP A. Kesimpulan 1. Yurisdiksi Mahkamah Pidana Internasional dalam Pasal 17 Statuta Roma merupakan wujud dari Prinsip Komplemeter dari badan yudisial tersebut. Pasal tersebut mengatur terhadap

Lebih terperinci

BAB III KESIMPULAN DAN SARAN. tuntutan. Jadi peradilan internasional diselenggarakan untuk mencegah pelaku

BAB III KESIMPULAN DAN SARAN. tuntutan. Jadi peradilan internasional diselenggarakan untuk mencegah pelaku 55 BAB III KESIMPULAN DAN SARAN A. Kesimpulan Setelah diuraikan dalam bab-bab sebelumnya, maka dapat disimpulkan bahwa Peradilan internasional baru akan digunakan jika penyelesaian melalui peradilan nasional

Lebih terperinci

PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 26 TAHUN 2000 TENTANG PENGADILAN HAK ASASI MANUSIA

PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 26 TAHUN 2000 TENTANG PENGADILAN HAK ASASI MANUSIA PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 26 TAHUN 2000 TENTANG PENGADILAN HAK ASASI MANUSIA I. UMUM Bahwa hak asasi manusia yang tercantum dalam Undang-Undang Dasar 1945, Deklarasi Universal

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Hukum Humaniter Internasional bertujuan untuk memanusiawikan perang agar korban

BAB I PENDAHULUAN. Hukum Humaniter Internasional bertujuan untuk memanusiawikan perang agar korban BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Permasalahan Hukum Humaniter Internasional bertujuan untuk memanusiawikan perang agar korban akibat perang seminimal mungkin dapat dikurangi. Namun implementasinya,

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) adalah negara hukum ( rechtsstaat) dan bukan

I. PENDAHULUAN. Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) adalah negara hukum ( rechtsstaat) dan bukan I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) adalah negara hukum ( rechtsstaat) dan bukan sebagai negara yang berdasarkan atas kekuasaan ( machtsstaat). Tidak ada institusi

Lebih terperinci

Tanggung Jawab Komando Dalam Pelanggaran Berat Hak Asasi Manusia Oleh : Abdul Hakim G Nusantara

Tanggung Jawab Komando Dalam Pelanggaran Berat Hak Asasi Manusia Oleh : Abdul Hakim G Nusantara Tanggung Jawab Komando Dalam Pelanggaran Berat Hak Asasi Manusia Oleh : Abdul Hakim G Nusantara Impunitas yaitu membiarkan para pemimpin politik dan militer yang diduga terlibat dalam kasus pelanggaran

Lebih terperinci

Tujuan pendirian Negara Indonesia tertuang dalam Pembukaan UUD 1945:

Tujuan pendirian Negara Indonesia tertuang dalam Pembukaan UUD 1945: Jakarta 14 Mei 2013 Tujuan pendirian Negara Indonesia tertuang dalam Pembukaan UUD 1945: a. Pertama, dimensi internal dimana Negara Indonesia didirikan dengan tujuan untuk melindungi segenap Bangsa Indonesia

Lebih terperinci

MAKALAH. Pengadilan HAM dan Hak Korban Pelanggaran Berat HAM. Oleh: Eko Riyadi, S.H., M.H.

MAKALAH. Pengadilan HAM dan Hak Korban Pelanggaran Berat HAM. Oleh: Eko Riyadi, S.H., M.H. TRAINING RULE OF LAW SEBAGAI BASIS PENEGAKAN HUKUM DAN KEADILAN Hotel Santika Premiere Hayam Wuruk - Jakarta, 2 5 November 2015 MAKALAH Pengadilan HAM dan Hak Korban Pelanggaran Berat HAM Oleh: Eko Riyadi,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Kejahatan genosida dan kejahatan kemanusiaan adalah kejahatankejahatan

BAB I PENDAHULUAN. Kejahatan genosida dan kejahatan kemanusiaan adalah kejahatankejahatan BAB I PENDAHULUAN 1. Latar Belakang Kejahatan genosida dan kejahatan kemanusiaan adalah kejahatankejahatan serius terhadap hak asasi manusia, selain kejahatan perang. Kejahatankejahatan tersebut secara

Lebih terperinci

INTERNATIONAL MILITARY TRIBUNAL NUREMBERG

INTERNATIONAL MILITARY TRIBUNAL NUREMBERG PENGADILAN HAM A. INTERNATIONAL MILITARY TRIBUNAL (IMT) NUREMBERG B. INTERNATIONAL MILITARY TRIBUNAL FOR THE FAR EAST (IMTFE TOKYO C. INTERNATIONAL TRIBUNAL FOR THE PROSECUTION OF PERSONS RESPONSIBLE FOR

Lebih terperinci

PENGADILAN PIDANA INTERNASIONAL

PENGADILAN PIDANA INTERNASIONAL PENGADILAN PIDANA INTERNASIONAL PENGADILAN PIDANA INTERNASIONAL AD HOC IMT NUREMBERG IMT TOKYO ICTY ICTR SIERRA LEONE CAMBODIA TIMOR TIMUR / INDONESIA IMT - NUREMBERG NOVEMBER 1945 SEPTEMBER 1946 22 TERDAKWA

Lebih terperinci

Perbedaan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual dengan Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia

Perbedaan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual dengan Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia 3 Perbedaan dengan Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia Bagaimana Ketentuan Mengenai dalam tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia? Menurut hukum internasional, kejahatan

Lebih terperinci

PENERAPAN ASAS NE BIS IN IDEM DALAM HUKUM PIDANA INTERNASIONAL

PENERAPAN ASAS NE BIS IN IDEM DALAM HUKUM PIDANA INTERNASIONAL PENERAPAN ASAS NE BIS IN IDEM DALAM HUKUM PIDANA INTERNASIONAL oleh Made Putri Saraswati A.A. Gede Oka Parwata Bagian Hukum Internasional Fakultas Hukum Universitas Udayana ABSTRACT Ne bis in idem principle

Lebih terperinci

Pengadilan Rakyat Internasional Kasus 1965

Pengadilan Rakyat Internasional Kasus 1965 Sepuluh Hal yang Perlu Anda Ketahui Tentang Pengadilan Rakyat Internasional Kasus 1965 Banyak kesalahpahaman terjadi terhadap Pengadilan Rakyat Internasional. Berikut sepuluh hal yang belum banyak diketahui

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. negara-negara lain yang yang diderita oleh banyak orang di negara-negara lain

BAB I PENDAHULUAN. negara-negara lain yang yang diderita oleh banyak orang di negara-negara lain BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Praktek penyelenggaran negara dewasa ini berkembang ke arah demokrasi dan perlidungan Hak Asasi Manusaia (HAM). Masalah HAM mengemuka pada setiap kehidupan penyelenggaraan

Lebih terperinci

c. Menyatakan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 27

c. Menyatakan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 27 RINGKASAN PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 006/PUU- IV/2006 TENTANG UNDANG-UNDANG NOMOR 27 TAHUN 2004 TENTANG KOMISI KEBENARAN DAN REKONSILIASI TANGGAL 7 DESEMBER 2006 1. Materi muatan ayat, Pasal dan/atau

Lebih terperinci

UU Pengadilan Hak Asasi Manusia: Sebuah Tinjauan

UU Pengadilan Hak Asasi Manusia: Sebuah Tinjauan UU Pengadilan Hak Asasi Manusia: Sebuah Tinjauan Ifdhal Kasim Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (ELSAM) A. Pengantar 1. Pengadilan Hak Asasi Manusia Ad Hoc untuk Timor Timur tingkat pertama telah berakhir.

Lebih terperinci

MAKALAH INDONESIAN HUMAN RIGHTS LEGISLATION. Oleh: Ifdhal Kasim Ketua Komnas HAM RI, Jakarta

MAKALAH INDONESIAN HUMAN RIGHTS LEGISLATION. Oleh: Ifdhal Kasim Ketua Komnas HAM RI, Jakarta PEMERKUATAN PEMAHAMAN HAK ASASI MANUSIA UNTUK HAKIM SELURUH INDONESIA Hotel Santika Makassar, 30 Mei 2 Juni 2011 MAKALAH INDONESIAN HUMAN RIGHTS LEGISLATION Oleh: Ifdhal Kasim Ketua Komnas HAM RI, Jakarta

Lebih terperinci

RESUME PERMOHONAN PERKARA Nomor 006/PUU-IV/2006 Perbaikan Tgl 25 April 2006

RESUME PERMOHONAN PERKARA Nomor 006/PUU-IV/2006 Perbaikan Tgl 25 April 2006 RESUME PERMOHONAN PERKARA Nomor 006/PUU-IV/2006 Perbaikan Tgl 25 April 2006 I. PEMOHON 1. Asmara Nababan, SH. Ketua (ELSAM) ( Pemohon I) 2. Ibrahim Zakir. Ketua (KONTRAS) (Pemohon II) 3. Ester Indahyani

Lebih terperinci

Bab IX MEKANISME PENEGAKAN HUKUM HUMANITER

Bab IX MEKANISME PENEGAKAN HUKUM HUMANITER Bab IX MEKANISME PENEGAKAN HUKUM HUMANITER 9.1. Perkembangan Dalam Hukum Humaniter Salah satu aspek penting dari suatu kaidah hukum yaitu mengenai penegakannya (law enforcement). Suatu perangkat hukum

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN UMUM MENGENAI KEJAHATAN KEMANUSIAAN SEBAGAI BENTUK PELANGGARAN HAM BERAT MENURUT HUKUM INTERNASIONAL

BAB II TINJAUAN UMUM MENGENAI KEJAHATAN KEMANUSIAAN SEBAGAI BENTUK PELANGGARAN HAM BERAT MENURUT HUKUM INTERNASIONAL BAB II TINJAUAN UMUM MENGENAI KEJAHATAN KEMANUSIAAN SEBAGAI BENTUK PELANGGARAN HAM BERAT MENURUT HUKUM INTERNASIONAL A. Pengertian Kejahatan Kemanusiaan Kejahatan terhadap kemanusiaan pertama kali muncul

Lebih terperinci

4/8/2013. Mahkamah Pidana Internasional

4/8/2013. Mahkamah Pidana Internasional Mahkamah Pidana Internasional Sekilas tentang Mahkamah Pidana Internasional (ICC) Mahkamah Pidana Internasional (International Criminal Court - ICC) didirikan berdasarkan Statuta Roma tanggal 17 Juli 1998,

Lebih terperinci

Daftar Pustaka. Glosarium

Daftar Pustaka. Glosarium Glosarium Daftar Pustaka Glosarium Deklarasi pembela HAM. Pernyataan Majlis Umum PBB yang menyatakan bahwa setiap orang mempunyai hak secara sen-diri sendiri maupun bersama sama untuk ikut serta dalam

Lebih terperinci

BAB VI PENUTUP. 1. Imunitas Kepala Negara dalam Hukum Internasional. Meski telah diatur dalam hukum internasional dan hukum kebiasaan

BAB VI PENUTUP. 1. Imunitas Kepala Negara dalam Hukum Internasional. Meski telah diatur dalam hukum internasional dan hukum kebiasaan BAB VI PENUTUP A. Kesimpulan 1. Imunitas Kepala Negara dalam Hukum Internasional Meski telah diatur dalam hukum internasional dan hukum kebiasaan internasional, penegakan hukum terhadap imunitas kepala

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. enforcement system (sistem penegakan langsung) dan indirect enforcement

BAB I PENDAHULUAN. enforcement system (sistem penegakan langsung) dan indirect enforcement 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Penegakan hukum pidana internasional pada hakekatnya adalah diskusi tentang hukum pidana internasional dalam pengertian formil. Artinya, yang akan di bahas

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 26 TAHUN 2000

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 26 TAHUN 2000 UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 26 TAHUN 2000 TENTANG PENGADILAN HAK ASASI MANUSIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa hak asasi manusia merupakan

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 26 TAHUN 2000 TENTANG PENGADILAN HAK ASASI MANUSIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 26 TAHUN 2000 TENTANG PENGADILAN HAK ASASI MANUSIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 26 TAHUN 2000 TENTANG PENGADILAN HAK ASASI MANUSIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa hak asasi manusia merupakan

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 26 TAHUN 2000 TENTANG PENGADILAN HAK ASASI MANUSIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 26 TAHUN 2000 TENTANG PENGADILAN HAK ASASI MANUSIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 26 TAHUN 2000 TENTANG PENGADILAN HAK ASASI MANUSIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa hak asasi manusia merupakan

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 26 TAHUN 2000 TENTANG PENGADILAN HAK ASASI MANUSIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 26 TAHUN 2000 TENTANG PENGADILAN HAK ASASI MANUSIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA Menimbang : UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 26 TAHUN 2000 TENTANG PENGADILAN HAK ASASI MANUSIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, a. bahwa hak asasi manusia merupakan

Lebih terperinci

PENERAPAN YURISDIKSI UNIVERSAL MELALUI MEKANISME EKSTRADISI ATAS KEJAHATAN TERHADAP KEMANUSIAAN (CRIMES AGAINTS HUMANITY)

PENERAPAN YURISDIKSI UNIVERSAL MELALUI MEKANISME EKSTRADISI ATAS KEJAHATAN TERHADAP KEMANUSIAAN (CRIMES AGAINTS HUMANITY) PENERAPAN YURISDIKSI UNIVERSAL MELALUI MEKANISME EKSTRADISI ATAS KEJAHATAN TERHADAP KEMANUSIAAN (CRIMES AGAINTS HUMANITY) SKRIPSI Diajukan Kepada Fakultas Hukum Untuk Melengkapi Tugas-Tugas dan Syarat-Syarat

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA (UU) NOMOR 26 TAHUN 2000 (26/2000) TENTANG PENGADILAN HAK ASASI MANUSIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA (UU) NOMOR 26 TAHUN 2000 (26/2000) TENTANG PENGADILAN HAK ASASI MANUSIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA (UU) NOMOR 26 TAHUN 2000 (26/2000) TENTANG PENGADILAN HAK ASASI MANUSIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa hak asasi manusia

Lebih terperinci

A. LATAR BELAKANG MASALAH

A. LATAR BELAKANG MASALAH BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG MASALAH Kasus pelanggaran terhadap hilangnya hak-hak dasar individu merupakan sebuah fenomena yang masih banyak berlangsung di berbagai Negara di dunia. Bentuk pelanggaran

Lebih terperinci

Memutus Rantai Pelanggaran Kebebasan Beragama Oleh Zainal Abidin

Memutus Rantai Pelanggaran Kebebasan Beragama Oleh Zainal Abidin Memutus Rantai Pelanggaran Kebebasan Beragama Oleh Zainal Abidin Saat ini, jaminan hak asasi manusia di Indonesia dalam tataran normatif pada satu sisi semakin maju yang ditandai dengan semakin lengkapnya

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 26 TAHUN 2000 TENTANG PENGADILAN HAK ASASI MANUSIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 26 TAHUN 2000 TENTANG PENGADILAN HAK ASASI MANUSIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 26 TAHUN 2000 TENTANG PENGADILAN HAK ASASI MANUSIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa hak asasi manusia merupakan

Lebih terperinci

Undang-Undang Republik Indonesia. Nomor 26 Tahun Tentang. Pengadilan Hak Asasi Manusia BAB I KETENTUAN UMUM

Undang-Undang Republik Indonesia. Nomor 26 Tahun Tentang. Pengadilan Hak Asasi Manusia BAB I KETENTUAN UMUM Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 26 Tahun 2000 Tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam Undang-undang ini yang dimaksud dengan : 1. Hak Asasi Manusia adalah seperangkat

Lebih terperinci

Konvensi tentang Pencegahan dan Penghukuman Kejahatan Genosida

Konvensi tentang Pencegahan dan Penghukuman Kejahatan Genosida Konvensi tentang Pencegahan dan Penghukuman Kejahatan Genosida Disetujut dan diusulkan untuk penandatanganan dan ratiftkasi atau aksesi dengan resolusi Majelis Umum 260 A (HI), 9 December 1948 Negara-negara

Lebih terperinci

PENGADILAN HAK ASASI MANUSIA DAN MAHKAMAH PIDANA INTERNASIONAL (ICC)

PENGADILAN HAK ASASI MANUSIA DAN MAHKAMAH PIDANA INTERNASIONAL (ICC) PENGADILAN HAK ASASI MANUSIA DAN MAHKAMAH PIDANA INTERNASIONAL (ICC) Hartanto Dosen Fakultas Hukum Universitas Widya Mataram Yogyakarta Abstract Completion toward the gross violations of human rights basically

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 26 TAHUN 2000 TENTANG PENGADILAN HAK ASASI MANUSIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 26 TAHUN 2000 TENTANG PENGADILAN HAK ASASI MANUSIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 26 TAHUN 2000 TENTANG PENGADILAN HAK ASASI MANUSIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa hak asasi manusia merupakan

Lebih terperinci

Konvensi Internasional mengenai Penindasan dan Penghukuman Kejahatan Apartheid

Konvensi Internasional mengenai Penindasan dan Penghukuman Kejahatan Apartheid Konvensi Internasional mengenai Penindasan dan Penghukuman Kejahatan Apartheid disetujui dan terbuka untuk penandatanganan dan ratifikasi oleh Resolusi Majelis Umum 3068 (XXVIII) 30 November 1973 Negara-negara

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 26 TAHUN 2000 TENTANG PENGADILAN HAK ASASI MANUSIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 26 TAHUN 2000 TENTANG PENGADILAN HAK ASASI MANUSIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 26 TAHUN 2000 TENTANG PENGADILAN HAK ASASI MANUSIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa hak asasi manusia merupakan

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 26 TAHUN 2000 TENTANG PENGADILAN HAK ASASI MANUSIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 26 TAHUN 2000 TENTANG PENGADILAN HAK ASASI MANUSIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 26 TAHUN 2000 TENTANG PENGADILAN HAK ASASI MANUSIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa hak asasi manusia merupakan

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 26 TAHUN 2000 TENTANG PENGADILAN HAK ASASI MANUSIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 26 TAHUN 2000 TENTANG PENGADILAN HAK ASASI MANUSIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 26 TAHUN 2000 TENTANG PENGADILAN HAK ASASI MANUSIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa hak asasi manusia merupakan

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 26 TAHUN 2000 TENTANG PENGADILAN HAK ASASI MANUSIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 26 TAHUN 2000 TENTANG PENGADILAN HAK ASASI MANUSIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 26 TAHUN 2000 TENTANG PENGADILAN HAK ASASI MANUSIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa hak asasi manusia merupakan

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA (UU) NOMOR 26 TAHUN 2000 (26/2000) TENTANG PENGADILAN HAK ASASI MANUSIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA (UU) NOMOR 26 TAHUN 2000 (26/2000) TENTANG PENGADILAN HAK ASASI MANUSIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA (UU) NOMOR 26 TAHUN 2000 (26/2000) TENTANG PENGADILAN HAK ASASI MANUSIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa hak asasi manusia

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA (UU) NOMOR 26 TAHUN 2000 (26/2000) TENTANG PENGADILAN HAK ASASI MANUSIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA (UU) NOMOR 26 TAHUN 2000 (26/2000) TENTANG PENGADILAN HAK ASASI MANUSIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA (UU) NOMOR 26 TAHUN 2000 (26/2000) TENTANG PENGADILAN HAK ASASI MANUSIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa hak asasi manusia

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kurang atau tidak memperoleh kasih sayang, asuhan bimbingan dan

BAB I PENDAHULUAN. kurang atau tidak memperoleh kasih sayang, asuhan bimbingan dan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Anak adalah bagian yang tidak terpisahkan dari keberlangsungan hidup manusia dan keberlangsungan bangsa dan negara. Dalam konstitusi Indonesia, anak memiliki peran strategis

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Sejak diumumkannya Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia Universal Declaration of

I. PENDAHULUAN. Sejak diumumkannya Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia Universal Declaration of I. PENDAHULUAN A. Latar belakang Sejak diumumkannya Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia Universal Declaration of Human Rights pada tahun 1948 telah terjadi perubahan arus global di dunia internasional

Lebih terperinci

MENEGAKKAN TANGGUNG JAWAB MELINDUNGI: PERAN ANGGOTA PARLEMEN DALAM PENGAMANAN HIDUP WARGA SIPIL

MENEGAKKAN TANGGUNG JAWAB MELINDUNGI: PERAN ANGGOTA PARLEMEN DALAM PENGAMANAN HIDUP WARGA SIPIL MENEGAKKAN TANGGUNG JAWAB MELINDUNGI: PERAN ANGGOTA PARLEMEN DALAM PENGAMANAN HIDUP WARGA SIPIL Resolusi disahkan oleh konsensus* dalam Sidang IPU ke-128 (Quito, 27 Maret 2013) Sidang ke-128 Inter-Parliamentary

Lebih terperinci

BAB III PENANGANAN PELANGGARAN BERAT HAM MENURUT UNDANG-UNDANG NOMOR 26 TAHUN 2000

BAB III PENANGANAN PELANGGARAN BERAT HAM MENURUT UNDANG-UNDANG NOMOR 26 TAHUN 2000 45 BAB III PENANGANAN PELANGGARAN BERAT HAM MENURUT UNDANG-UNDANG NOMOR 26 TAHUN 2000 A. Pengertian HAM dan Pelanggaran Berat HAM Manusia oleh Tuhan Yang Maha Esa dianugerahi akal dan nurani yang memberikan

Lebih terperinci

*12269 UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA (UU) NOMOR 26 TAHUN 2000 (26/2000) TENTANG PENGADILAN HAK ASASI MANUSIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

*12269 UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA (UU) NOMOR 26 TAHUN 2000 (26/2000) TENTANG PENGADILAN HAK ASASI MANUSIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA Copyright (C) 2000 BPHN UU 26/2000, PENGADILAN HAK ASASI MANUSIA *12269 UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA (UU) NOMOR 26 TAHUN 2000 (26/2000) TENTANG PENGADILAN HAK ASASI MANUSIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG

Lebih terperinci

DAFTAR ISI. Maksud, Tujuan dan Kerangka Penulisan Buku...3 BAGIAN I BAB I EVOLUSI PEMIKIRAN DAN SEJARAH PERKEMBANGAN HAK ASASI MANUSIA...

DAFTAR ISI. Maksud, Tujuan dan Kerangka Penulisan Buku...3 BAGIAN I BAB I EVOLUSI PEMIKIRAN DAN SEJARAH PERKEMBANGAN HAK ASASI MANUSIA... Daftar Isi v DAFTAR ISI DAFTAR ISI...v PENGANTAR PENERBIT...xv KATA PENGANTAR Philip Alston...xvii Franz Magnis-Suseno...xix BAGIAN PENGANTAR Maksud, Tujuan dan Kerangka Penulisan Buku...3 BAGIAN I BAB

Lebih terperinci

PELANGGARAN HAM YANG BERAT. Muchamad Ali Safa at

PELANGGARAN HAM YANG BERAT. Muchamad Ali Safa at PELANGGARAN HAM YANG BERAT Muchamad Ali Safa at PELANGGARAN HAM setiap perbuatan seseorang atau kelompok orang termasuk aparat negara baik disengaja maupun tidak sengaja, atau kelalaian yang secara melawan

Lebih terperinci

RANCANGAN KESIMPULAN/KEPUTUSAN

RANCANGAN KESIMPULAN/KEPUTUSAN RANCANGAN LAPORAN SINGKAT RAPAT PANJA KOMISI III DPR-RI DENGAN KEPALA BADAN PEMBINAAN HUKUM NASIONAL (BPHN) DALAM RANGKA PEMBAHASAN DIM RUU TENTANG KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PIDANA ---------------------------------------------------

Lebih terperinci

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA Teks tidak dalam format asli. Kembali: tekan backspace LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No. 208, 2000 (Penjelasan dalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4026) UNDANG-UNDANG REPUBLIK

Lebih terperinci

PENGANTAR HUKUM ACARA PENGADILAN HAK ASASI MANUSIA. R. Herlambang Perdana Wiratraman Fakultas Hukum Universitas Airlangga Surabaya, 2 Juni 2008

PENGANTAR HUKUM ACARA PENGADILAN HAK ASASI MANUSIA. R. Herlambang Perdana Wiratraman Fakultas Hukum Universitas Airlangga Surabaya, 2 Juni 2008 PENGANTAR HUKUM ACARA PENGADILAN HAK ASASI MANUSIA R. Herlambang Perdana Wiratraman Fakultas Hukum Universitas Airlangga Surabaya, 2 Juni 2008 Pokok Bahasan Apa prinsip-prinsip dan mekanisme hukum acara

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. kebebasan, baik yang bersifat fisik maupun pikiran. Oleh karena itu, Undang-Undang Dasar

I. PENDAHULUAN. kebebasan, baik yang bersifat fisik maupun pikiran. Oleh karena itu, Undang-Undang Dasar I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Salah satu hak asasi manusia (selanjutnya disingkat HAM) yang utama adalah hak atas kebebasan, baik yang bersifat fisik maupun pikiran. Oleh karena itu, Undang-Undang Dasar

Lebih terperinci

PENDIDIKAN PANCASILA DAN KEWARGANEGARAAN by DANIEL ARNOP HUTAPEA, S.Pd PERTEMUAN KE-3

PENDIDIKAN PANCASILA DAN KEWARGANEGARAAN by DANIEL ARNOP HUTAPEA, S.Pd PERTEMUAN KE-3 PENDIDIKAN PANCASILA DAN KEWARGANEGARAAN by DANIEL ARNOP HUTAPEA, S.Pd PERTEMUAN KE-3 Pelanggaran HAM Menurut Undang-Undang No.39 tahun 1999 pelanggaran hak asasi manusia adalah setiap perbuatan seseorang

Lebih terperinci

KAJIAN TERHADAP PELANGGARAN HAK ASASI MANUSIA YANG BERAT MENURUT UU NO.26 TAHUN 2000 TENTANG PENGADILAN HAM O L E H :

KAJIAN TERHADAP PELANGGARAN HAK ASASI MANUSIA YANG BERAT MENURUT UU NO.26 TAHUN 2000 TENTANG PENGADILAN HAM O L E H : KARYA ILMIAH KAJIAN TERHADAP PELANGGARAN HAK ASASI MANUSIA YANG BERAT MENURUT UU NO.26 TAHUN 2000 TENTANG PENGADILAN HAM O L E H : DR. WEMPIE JH. KUMENDONG, SH, MH NIP. : 19580724 1987031003 KEMENTERIAN

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Kerangka Teori 1. Tinjauan mengenai Upaya Hukum Menurut ketentuan dalam Pasal 1 angka 12 KUHAP, yang dimaksud dengan upaya hukum adalah Hak terdakwa atau penuntut umum untuk

Lebih terperinci

Tindak Pidana Hak Asasi Manusia dalam RKUHP

Tindak Pidana Hak Asasi Manusia dalam RKUHP Seri Position Paper Reformasi KUHP No. #5/2007 Tindak Pidana Hak Asasi Manusia dalam RKUHP Penulis: Sriwiyanti Eddyono Zainal Abidin ELSAM dan Aliansi Nasional Reformasi KUHP Jakarta 2007 1 Tindak Pidana

Lebih terperinci

PENJELASAN ATAS PERATURAN PEMERINTAH PENGGANTI UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2002 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA TERORISME

PENJELASAN ATAS PERATURAN PEMERINTAH PENGGANTI UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2002 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA TERORISME PENJELASAN ATAS PERATURAN PEMERINTAH PENGGANTI UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2002 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA TERORISME UMUM Sejalan dengan Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945,

Lebih terperinci

PENGADILAN HAK ASASI MANUSIA DAN MAHKAMAH PIDANA INTERNASIONAL (ICC) Zulkarnain 1 * Abstract

PENGADILAN HAK ASASI MANUSIA DAN MAHKAMAH PIDANA INTERNASIONAL (ICC) Zulkarnain 1 * Abstract 1 PENGADILAN HAK ASASI MANUSIA DAN MAHKAMAH PIDANA INTERNASIONAL (ICC) Zulkarnain 1 * Abstract Completion toward the gross violations of human rights basically refers to the principle of exhaustion of

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. diperbincangkan dan dilansir media massa di seluruh dunia saat ini. Definisi terorisme

BAB I PENDAHULUAN. diperbincangkan dan dilansir media massa di seluruh dunia saat ini. Definisi terorisme BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Terorisme adalah kata dengan beragam interpretasi yang paling banyak diperbincangkan dan dilansir media massa di seluruh dunia saat ini. Definisi terorisme sampai saat

Lebih terperinci

Penerapan Tindak Pidana Ringan (Studi Putusan Pengadilan Negeri Kisaran Nomor 456/Pid.B/2013/PN.Kis)

Penerapan Tindak Pidana Ringan (Studi Putusan Pengadilan Negeri Kisaran Nomor 456/Pid.B/2013/PN.Kis) Penerapan Tindak Pidana Ringan (Studi Putusan Pengadilan Negeri Kisaran Nomor 456/Pid.B/2013/PN.Kis) 1. Dany Try Hutama Hutabarat, S.H.,M.H, 2. Suriani, S.H.,M.H Program Studi Ilmu Hukum, Fakultas Hukum,

Lebih terperinci

Bab 3 Hak Asasi Manusia A. Pengertian HAM, HAM adalah hak dasar yang dimilki manusia sejak manusia dilahirkan. Ada dan melekat pada diri setiap

Bab 3 Hak Asasi Manusia A. Pengertian HAM, HAM adalah hak dasar yang dimilki manusia sejak manusia dilahirkan. Ada dan melekat pada diri setiap Bab 3 Hak Asasi Manusia A. Pengertian HAM, HAM adalah hak dasar yang dimilki manusia sejak manusia dilahirkan. Ada dan melekat pada diri setiap manusia dan bersifat Universal B. Jenis jenis HAM -Menurut

Lebih terperinci

BAB IV ANALISIS FIQH SIYASAH TERHADAP PENANGANAN PELANGGARAN BERAT HAM

BAB IV ANALISIS FIQH SIYASAH TERHADAP PENANGANAN PELANGGARAN BERAT HAM 73 BAB IV ANALISIS FIQH SIYASAH TERHADAP PENANGANAN PELANGGARAN BERAT HAM A. Analisis Penanganan Pelanggaran Berat HAM menurut Undang- Undang Nomor 26 Tahun 2000 Sebagaimana telah disinggung pada pembahasan

Lebih terperinci

ATURAN PERILAKU BAGI APARAT PENEGAK HUKUM

ATURAN PERILAKU BAGI APARAT PENEGAK HUKUM ATURAN PERILAKU BAGI APARAT PENEGAK HUKUM Diadopsi oleh Resolusi Sidang Umum PBB No. 34/169 Tanggal 17 Desember 1979 Pasal 1 Aparat penegak hukum di setiap saat memenuhi kewajiban yang ditetapkan oleh

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 2006 TENTANG PENGESAHAN INTERNATIONAL CONVENTION FOR THE SUPPRESSION OF TERRORIST BOMBINGS, 1997 (KONVENSI INTERNASIONAL PEMBERANTASAN PENGEBOMAN OLEH TERORIS,

Lebih terperinci

DAFTAR ISI. Halaman KATA PENGANTAR i. DAFTAR ISI ii

DAFTAR ISI. Halaman KATA PENGANTAR i. DAFTAR ISI ii DAFTAR ISI KATA PENGANTAR i DAFTAR ISI ii Bab I Latar belakang Ekstradisi, Pengertian dan Perkembangan Ekstradisi 1 1.1 Latar Belakang Timbulnya Ekstradisi 1 1.2 Pengertian dan Perkembangan Ekstradisi

Lebih terperinci

PENGADILAN HAK ASASI MANUSIA DI INDONESIA

PENGADILAN HAK ASASI MANUSIA DI INDONESIA Seri Bahan Bacaan Kursus HAM untuk Pengacara XI Tahun 2007 PENGADILAN HAK ASASI MANUSIA DI INDONESIA Zainal Abidin, S.H. Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat Jl Siaga II No 31 Pejaten Barat, Jakarta 12510

Lebih terperinci

MENGENAL ICC. Mahkamah Pidana International. Koalisi Masyarakat Sipil untuk Mahkamah Pidana Internasional. Seri Buku Saku

MENGENAL ICC. Mahkamah Pidana International. Koalisi Masyarakat Sipil untuk Mahkamah Pidana Internasional. Seri Buku Saku MENGENAL ICC Mahkamah Pidana International Koalisi Masyarakat Sipil untuk Mahkamah Pidana Internasional Seri Buku Saku MENGENAL ICC Mahkamah Pidana International 2009 Diterbitkan oleh: Koalisi Masyarakat

Lebih terperinci

NOMOR 26 TAHUN 2000 TENTANG PENGADILAN HAK ASASI MANUSIA

NOMOR 26 TAHUN 2000 TENTANG PENGADILAN HAK ASASI MANUSIA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 26 TAHUN 2000 TENTANG PENGADILAN HAK ASASI MANUSIA Menimbang: DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, a. bahwa hak asasi manusia merupakan

Lebih terperinci

RUANG LINGKUP PENGAJARAN HAM DI PERGURUAN TINGGI

RUANG LINGKUP PENGAJARAN HAM DI PERGURUAN TINGGI RUANG LINGKUP PENGAJARAN HAM DI PERGURUAN TINGGI Oleh : Artidjo Alkostar I. Latar Belakang Pemikiran Sesuai dengan luasnya wadah pengartian HAM (Hak Asasi Manusia), maka diskursus tentang HAM dapat direspon

Lebih terperinci

PENDAPAT HUKUM ( DISSENTING OPINION )

PENDAPAT HUKUM ( DISSENTING OPINION ) PENDAPAT HUKUM ( DISSENTING OPINION ) I. Pendahuluan 1. Mengingat sidang permusyawaratan Majelis Hakim tidak dapat dicapai mufakat bulat sebagaimana diatur di dalam pasal 19 ayat ( 5 ) Undang-Undang Nomor

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 26 TAHUN 2000 TENTANG PENGADILAN HAK ASASI MANUSIA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 26 TAHUN 2000 TENTANG PENGADILAN HAK ASASI MANUSIA 1 UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 26 TAHUN 2000 TENTANG PENGADILAN HAK ASASI MANUSIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA Menimbang : a. bahwa hak asasi manusia merupakan

Lebih terperinci

MENJAWAB GUGATAN TERHADAP KEWENANGAN KOMISI PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI OLEH: Rudy Satriyo Mukantardjo (staf pengajar hukum pidana FHUI) 1

MENJAWAB GUGATAN TERHADAP KEWENANGAN KOMISI PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI OLEH: Rudy Satriyo Mukantardjo (staf pengajar hukum pidana FHUI) 1 MENJAWAB GUGATAN TERHADAP KEWENANGAN KOMISI PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI OLEH: Rudy Satriyo Mukantardjo (staf pengajar hukum pidana FHUI) 1 1 Tulisan disampaikan dalam acara Forum Expert Meeting

Lebih terperinci

NOMOR 26 TAHUN 2000 TENTANG PENGADILAN HAK ASASI MANUSIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

NOMOR 26 TAHUN 2000 TENTANG PENGADILAN HAK ASASI MANUSIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA 1 UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 26 TAHUN 2000 TENTANG PENGADILAN HAK ASASI MANUSIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA Menimbang : a. bahwa hak asasi manusia merupakan

Lebih terperinci

Negara Republik Indonesia dibentuk dengan tujuan untuk melindungi segenap bangsa

Negara Republik Indonesia dibentuk dengan tujuan untuk melindungi segenap bangsa PENYELESAIAN PELANGGARAN HAM DI INDONESIA MENURUT UU NO. 26 TAHUN 2000 TENTANG PEN PENYELESAIAN PELANGGARAN HAM DI INDONESIA MENURUT UU NO. 26 TAHUN 2000 TENTANG PENGADILAN HAM ABSTRACT DELFINA GUSMAN,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. nasional. Adanya ketidakseimbangan antara perlindungan terhadap. korban kejahatan dengan perlindungan terhadap pelaku, merupakan

BAB I PENDAHULUAN. nasional. Adanya ketidakseimbangan antara perlindungan terhadap. korban kejahatan dengan perlindungan terhadap pelaku, merupakan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Perlindungan korban kejahatan dalam sistem hukum nasional sepertinya belum mendapatkan perhatian yang serius. Hal ini terlihat dari sedikitnya hak-hak korban

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. negara hukum. Negara hukum merupakan dasar Negara dan pandangan. semua tertib hukum yang berlaku di Negara Indonesia.

BAB I PENDAHULUAN. negara hukum. Negara hukum merupakan dasar Negara dan pandangan. semua tertib hukum yang berlaku di Negara Indonesia. 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Negara Indonesia dikenal sebagai Negara Hukum. Hal ini ditegaskan pula dalam UUD 1945 Pasal 1 ayat (3) yaitu Negara Indonesia adalah negara hukum. Negara hukum

Lebih terperinci

Pelanggaran Hak Asasi Manusia yang berat adalah pelanggaran sebagaimana dimaksud

Pelanggaran Hak Asasi Manusia yang berat adalah pelanggaran sebagaimana dimaksud 15 Pelanggaran Hak Asasi Manusia yang berat adalah pelanggaran sebagaimana dimaksud dalam undang-undang ini. Adapun jenis-jenis pelanggaran Hak Asasi Manusia yang berat, sebagai berikut: 1. Kejahatan Genosida

Lebih terperinci

Penyiksaan dalam RUU KUHP: Beberapa catatan kritis

Penyiksaan dalam RUU KUHP: Beberapa catatan kritis Penyiksaan dalam RUU KUHP: Beberapa catatan kritis Indriaswati Dyah Saptaningrum Seminar Sehari Perlindungan HAM Melalui Hukum Pidana Hotel Nikko Jakarta, 5 Desember 2007 Konvensi Menentang penyiksaan

Lebih terperinci

PENGADILAN HAK ASASI MANUSIA (Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang Nomor 1 Tahun 1999) PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PENGADILAN HAK ASASI MANUSIA (Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang Nomor 1 Tahun 1999) PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : PENGADILAN HAK ASASI MANUSIA (Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang Nomor 1 Tahun 1999) PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, a. bahwa hak asasi manusia merupakan hak dasar yang secara kodrati

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. atributif dan peraturan normatif. Peraturan hukum atributif

BAB I PENDAHULUAN. atributif dan peraturan normatif. Peraturan hukum atributif BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Kaedah hukum yang berbentuk peraturan dibedakan menjadi peraturan atributif dan peraturan normatif. Peraturan hukum atributif ialah yang memberikan kewenangan

Lebih terperinci

SMA JENJANG KELAS MATA PELAJARAN TOPIK BAHASAN XII (DUA BELAS) PENDIDIKAN KEWARGANEGARAAN KASUS PELANGGARAN HAM

SMA JENJANG KELAS MATA PELAJARAN TOPIK BAHASAN XII (DUA BELAS) PENDIDIKAN KEWARGANEGARAAN KASUS PELANGGARAN HAM JENJANG KELAS MATA PELAJARAN TOPIK BAHASAN SMA XII (DUA BELAS) PENDIDIKAN KEWARGANEGARAAN KASUS PELANGGARAN HAM A. Substansi Hak Asasi Manusia dalam Pancasila Salah satu karakteristik hak asasi manusia

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Hukum adalah sesuatu yang sangat sulit untuk didefinisikan. Terdapat

BAB I PENDAHULUAN. Hukum adalah sesuatu yang sangat sulit untuk didefinisikan. Terdapat BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Hukum adalah sesuatu yang sangat sulit untuk didefinisikan. Terdapat bermacam-macam definisi Hukum, menurut P.Moedikdo arti Hukum dapat ditunjukkan pada cara-cara

Lebih terperinci

CONTOH SOAL DAN JAWABAN UKG PKN SMP Berikut ini contoh soal beserta jawaban Uji Kompetensi Guru PKn SMP

CONTOH SOAL DAN JAWABAN UKG PKN SMP Berikut ini contoh soal beserta jawaban Uji Kompetensi Guru PKn SMP CONTOH SOAL DAN JAWABAN UKG PKN SMP 2013 Berikut ini contoh soal beserta jawaban Uji Kompetensi Guru PKn SMP Perhatian : Jawaban tertera pada kalimat yang ditulis tebal. 1. Di bawah ini merupakan harapan-harapan

Lebih terperinci

MAHKAMAH PIDANA INTERNASIONAL, KEADILAN BAGI GENERASI MENDATANG

MAHKAMAH PIDANA INTERNASIONAL, KEADILAN BAGI GENERASI MENDATANG Seri Kursus HAM untuk Pengacara XI Tahun 2007 Materi : International Criminal Court (ICC) MAHKAMAH PIDANA INTERNASIONAL, KEADILAN BAGI GENERASI MENDATANG Jerry Flower 1 Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat

Lebih terperinci

PENEGAKAN HAK ASASI MANUSIA DI INDONESIA

PENEGAKAN HAK ASASI MANUSIA DI INDONESIA PENEGAKAN HAK ASASI MANUSIA DI INDONESIA Disajikan dalam kegiatan pembelajaran untuk Australian Defence Force Staff di Balai Bahasa Universitas Pendidikan Indonesia di Bandung, Indonesia 10 September 2007

Lebih terperinci

KEDUDUKAN MAHKAMAH INTERNASIONAL DALAM MENGADILI PERKARA KEJAHATAN KEMANUSIAAN. Rubiyanto ABSTRACT

KEDUDUKAN MAHKAMAH INTERNASIONAL DALAM MENGADILI PERKARA KEJAHATAN KEMANUSIAAN. Rubiyanto ABSTRACT ISSN : NO. 0854-2031 KEDUDUKAN MAHKAMAH INTERNASIONAL DALAM MENGADILI PERKARA KEJAHATAN KEMANUSIAAN * Rubiyanto ABSTRACT The main matter, a case can be investigated trial by International court of justice

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN UMUM PENEGAKKAN HUKUM DAN PENGUJIAN KENDARAAN BERMOTOR

BAB II TINJAUAN UMUM PENEGAKKAN HUKUM DAN PENGUJIAN KENDARAAN BERMOTOR BAB II TINJAUAN UMUM PENEGAKKAN HUKUM DAN PENGUJIAN KENDARAAN BERMOTOR 2.1 Pengertian penegakan hukum. Mengenai pengertian dari penegakan hukum menunjuk pada batasan pengertian dari para sarjana. Identifikasi

Lebih terperinci

Institute for Criminal Justice Reform

Institute for Criminal Justice Reform UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 21 TAHUN 2007 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA PERDAGANGAN ORANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa setiap orang

Lebih terperinci

KEGAGALAN INTERNATIONAL CRIMINAL COURT (ICC) DALAM PENYELESAIAN KONFLIK SUDAN RESUME. Disusun oleh : PETRUS CORNELIS DEPA

KEGAGALAN INTERNATIONAL CRIMINAL COURT (ICC) DALAM PENYELESAIAN KONFLIK SUDAN RESUME. Disusun oleh : PETRUS CORNELIS DEPA KEGAGALAN INTERNATIONAL CRIMINAL COURT (ICC) DALAM PENYELESAIAN KONFLIK SUDAN RESUME Disusun oleh : PETRUS CORNELIS DEPA 151060046 JURUSAN ILMU HUBUNGAN INTERNASIONAL FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN POLITIK UNIVERSITAS

Lebih terperinci

EKSISTENSI SAKSI MAHKOTA KAITANNYA DENGAN SPLITSING DALAM PEMBUKTIAN PERKARA PIDANA

EKSISTENSI SAKSI MAHKOTA KAITANNYA DENGAN SPLITSING DALAM PEMBUKTIAN PERKARA PIDANA EKSISTENSI SAKSI MAHKOTA KAITANNYA DENGAN SPLITSING DALAM PEMBUKTIAN PERKARA PIDANA oleh Sang Ayu Ditapraja Adipatni I Wayan Sutarajaya I Wayan Bela Siki Layang Bagian Hukum Acara Fakultas Hukum Universitas

Lebih terperinci

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG RAHASIA NEGARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG RAHASIA NEGARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG RAHASIA NEGARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa kedaulatan, keutuhan, dan keselamatan

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 26 TAHUN 2000 TENTANG PENGADILAN HAK ASASI MANUSIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 26 TAHUN 2000 TENTANG PENGADILAN HAK ASASI MANUSIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 26 TAHUN 2000 TENTANG PENGADILAN HAK ASASI MANUSIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa hak asasi manusia merupakan

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA www.bpkp.go.id UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 2006 TENTANG PENGESAHAN INTERNATIONAL CONVENTION FOR THE SUPPRESSION OF TERRORIST BOMBINGS, 1997 (KONVENSI INTERNASIONAL PEMBERANTASAN PENGEBOMAN

Lebih terperinci

KEABSAHAN SUDAN SELATAN SEBAGAI NEGARA MERDEKA BARU DALAM PERSPEKTIF HUKUM INTERNASIONAL

KEABSAHAN SUDAN SELATAN SEBAGAI NEGARA MERDEKA BARU DALAM PERSPEKTIF HUKUM INTERNASIONAL KEABSAHAN SUDAN SELATAN SEBAGAI NEGARA MERDEKA BARU DALAM PERSPEKTIF HUKUM INTERNASIONAL Oleh: Sakti Prasetiya Dharmapati I Dewa Gede Palguna I Made Budi Arsika Program Kekhususan Hukum Internasional dan

Lebih terperinci

(Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang Nomor 1 Tahun 1999)

(Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang Nomor 1 Tahun 1999) PENGADILAN HAK ASASI MANUSIA (Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang Nomor 1 Tahun 1999) PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa hak asasi manusia merupakan hak dasar yang secara kodrati

Lebih terperinci

PEMBAHASAN RANCANGAN UNDANG - UNDANG TENTANG PERAMPASAN ASET * Oleh : Dr. Ramelan, SH.MH

PEMBAHASAN RANCANGAN UNDANG - UNDANG TENTANG PERAMPASAN ASET * Oleh : Dr. Ramelan, SH.MH 1 PEMBAHASAN RANCANGAN UNDANG - UNDANG TENTANG PERAMPASAN ASET * I. PENDAHULUAN Oleh : Dr. Ramelan, SH.MH Hukum itu akal, tetapi juga pengalaman. Tetapi pengalaman yang diperkembangkan oleh akal, dan akal

Lebih terperinci