BAB I PENDAHULUAN. Kejahatan genosida dan kejahatan kemanusiaan adalah kejahatankejahatan

Transkripsi

1 BAB I PENDAHULUAN 1. Latar Belakang Kejahatan genosida dan kejahatan kemanusiaan adalah kejahatankejahatan serius terhadap hak asasi manusia, selain kejahatan perang. Kejahatankejahatan tersebut secara langsung berkaitan dengan perdamaian dan keamanan internasional. Ketiga prototipe kejahatan tersebut merupakan pelanggaran hak asasi manusia yang berat. Dalam konteks hukum nasional Indonesia, kejahatan genosida dan kejahatan terhadap kemanusiaan disebut sebagai pelanggaran hak asasi manusia yang berat. Kejahatan-kejahatan tersebut dikualifikasikan sebagai delicta jure gentium 1 dan merupkan pengingkaran terhadap jus cogens 2. Pada hakikatnya jure gentium atau jus gentium diterjemahkan sebagai law of nations atau le droit des gens atau hukum bangsa-bangsa. Istilah tersebut berasal dari hukum Romawi yang berlaku bagi seluruh penduduk Romawi termasuk daerah-daerah yang menjadi kekuasaan Romawi. Menurut M. Cherif Bassiouni dalam Introduction To International Criminal Law, Sebagaimana yang 1 Eddy O.S Hiariej, 2009, Pengantar Hukum Pidana Internasional, Erlangga, Jakarta, hlm Henry J. Steiner & Philip Alston, 2000, International Human Rights In Context : Law, Politics Morals, Oxford University Press, New York, hlm

2 dikutip oleh Eddy O.S Hiariej, disamping istilah jure gentium atau jus gentium juga terdapat istilah jus naturale atau hukum alam yang berasal dari para filsuf Yunani, Plato dan Aristoteles. Baik jus naturale maupun jus gentium, keduanya menggambarkan sistem nilai pada saat itu. Dalam kaitannya dengan kejahatan, khususnya kejahatan terhadap penduduk Romawi saat itu dipandang sebagai ancaman terhadap jure gentium. Oleh karena itu bajak laut yang dianggap sebagai salah satu kejahatan internasional tertua biasanya disebut dengan istilah piracy de jure gentium. Selanjutnya untuk menyebut kejahatan terhadap masyarakat internasional atau terhadap hukum bangsa-bangsa dikenallah istilah delicta jure gentium. Istilah delicta jure gentium untuk menggantikan istilah hostis humanis generis yang berasal dari istilah lain yang lebih tua yaitu commune hostis homien atau musuh umat manusia. Istilah tersebut berasal dari Cicero yang tercermin dalam hukum Romawi abad ke 16. Istilah-istilah tersebut diberikan kepada pelaku kejahatan internasional. Sedangkan jus Cogens adalah hukum pemaksa yang harus ditaati oleh bangsa-bangsa beradab di dunia sebagai prinsip dasar yang umum dalam hukum internasional yang berkaitan dengan moral. Salah satu jus cogens adalah deklarasi universal tentang hak asasi manusia yang dikeluarkan oleh Perserikatan Bangsa- Bangsa pada tanggal 10 Desember Kembali kepada, kejahatan genosida dan kejahatan terhadap kemanusiaan, dalam konteks hukum pidana internasional tidak terdapat satu pun definisi atau pengertian yang baku mengenai apa yang dimaksud dengan kejahatan serius terhadap hak asasi manusia atau pelanggaran hak asasi manusia yang berat. Akan 2

3 tetapi, bila dilihat dari jenis kejahatan internasional, maka eksistensi kejahatan yang berkaitan dengan perlindungan dan penegakan hak asasi manusia berasal dari sejarah perkembangan konvensi mengenai hak asasi manusia. Selain itu masih ada jenis kejahatan internasional yang eksistensinya berasal dari kebiasaan yang berkembang di dalam praktek hukum kebiasaan internasional dan kejahatan internasional yang eksistensinya berasal dari konvensi-konvensi internasional lainnya 3. Kejahatan internasional yang berasal dari hukum kebiasaan internasional seperti piracy, sedangkan kejahatan internasional yang berasal dari konvesi internasional lainnya seperti kejahatan pemalsuan uang dan peredaran uang palsu 4. Kendatipun berdasarkan eksistensi kejahatan internasional, kejahatan yang berkaitan dengan perlindungan dan penegakan hak asasi manusia tergolong baru, namun dari hierarchi kejahatan internasional, kejahatan yang berkaitan dengan perlindungan dan penegakan hak asasi manusia menempati hierarchi yang paling pertama. M. Cherif Bassiouni membagi tingkatan kejahatan internasional menjadi tiga. Pertama, kejahatan internasional yang disebut sebagai 3 Romli Atmasasmita, 2000, Pengantar Hukum Pidana Internasional, Refika, Bandung, hlm.40 4 International Convention For The Suppression Of Counterfeiting Currency, Geneve, April 20,

4 international crimes adalah bagian dari jus cogens 5. Tipikal dan karakter dari international crime berkaitan dengan perdamaian dan keamanan manusia serta nilai-nilai kemanusiaan yang fundamnetal. Termasuk dalam international crime antara lain adalah genosida, kejahatan terhadap kemanusiaan dan kejahatan perang 6. Kedua, kejahatan internasional yang disebut sebagai international delicts. Tipikal dan karakter international delicts berkaitan dengan kepentingan internasional yang dilindungi meliputi lebih dari satu negara atau korban dan kerugian yang timbul berasal lebih dari satu negara. Termasuk dalam international delitcs adalah pembajakan pesawat udara, pembiayaan terorisme, perdagangan obat-obatan terlarang secara melawan hukum dan kejahatan terhadap petugas Perserikatan Bangsa-Bangsa. Ketiga, kejahatan internasional yang disebut dengan istilah international infractions. Dalam hukum pidana internasional secara normatif, international infractions tidak termasuk dalam kategori international crime dan intetrnational delicts. Kejahatan yang tercakup dalam 5 Jus Cogens adalah hukum pemaksa yang harus ditaati oleh bangsa-bangsa beradab di dunia sebagai prinsip dasar yang umum dalam hukum internasional yang berkaitan dengan moral. Lihat dalam Henry J. Steiner & Philip Alston, 2000, International Human Rights In Context : Law, Politics Morals, Oxford University Press, New York, hlm M. Cherif Bassiouni, 2003, Introduction To International Criminal Law, Transnational Publisher, Inc. Ardsley, New York, hlm

5 international infractions antara lain adalah pemalsuan dan peredaran uang palsu serta penyuapan terhadap pejabat publik asing 7. Inetrnasionalisasi kejahatan meliputi salah satu dari lima unsur. Pertama, tingkah laku yang dilarang berkaibat signifikan terhadap kepentingan internasional, khususnya perdamian dan keamanan internasional. Kedua, tingkah laku yang dilarang merupakan perbuatan yang buruk dan dianggap mengancam nilai-nilai yang dianut bersama oleh masyarakat dunia, termasuk apa yang telah dianggap oleh sejarah sebagai tingkah laku yang menyentuh nurani kemanusiaan. Ketiga, tingkah laku yang dilarang memiliki implikasi transnasional yang melibatkan atau mempengaruhi lebih dari satu negara dalam perencanaan, persiapan atau perbuatannya, baik melalui keragaman kewarganegaraan para pelaku kejahatan atau korban atau perlengkapan yang digunakan melebihi batasbatas negara. Keempat, tingkah laku yang membahayakan perlindungan terhadap kepentingan internasional atau terhadap orang yang dilindungi secara internasional. Kelima, tingkah laku tersebut melanggar kepentingan internasional yang dilindungi namun tidak sampai pada tahap yang disebut pada poin pertama dan kedua, namun karena sifat dasarnya, tingkah laku tersebut dapat dicegah dan ditekan melalui kriminalisasi internasional 8. 7 Ibid, hlm Ibid, hlm

6 Kembali kepada terminologi pelanggaran hak asasi manusia yang berat, kendatipun tidak ada definisi yang baku, namun kejahatan internasional yang oleh Bassiouni dikualifikasikan sebagai international crime meliputi genosida, kejahatan terhadap kemanusiaan dan kejahatan perang adalah inhumane act yang secara universal diakui oleh bangsa-bangsa beradab di dunia. Dalam berbagai instrumen internasional banyak istilah yang digunakan untuk menunjukan tingkat keseriusan kejahatan-kejahatan tersebut, namun tidak ada satupun istilah yang menyebutkan kejahatan-kejahatan tersebut sebagai pelanggaran hak asasi manusia yang berat (gross violation of human rights). Dalam konteks hukum nasional di Indonesia, berdasarkan Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 Tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia hanya ada dua kejahatan yang dikualifikasikan sebagai Pelanggaran Berat Hak Asasi Manusia, masing-masing adalah genosida dan kejahatan terhadap kemanusiaan. Perihal instrumen hukum nasional yang tersedia di Indonesia, ada dua masalah yang perlu mendapat perhatian serius yakni, terkait dengan sistem peradilan pidana dan perangkat hukum (regulasi) yang ada. Kedua masalah tersebut perlu dikemukakan di sini karena relevansinya dengan kemauan dan kemampuan negara untuk menangani warisan masa lalu berupa sejumlah kasus pelanggaran berat hak asasi manusia dan menentukan landasan hukum yang lebih bernuansa kepastian dan keadilan bagi perlindungan hak asasi manusia di masa yang akan datang sehingga dapat mencegah terjadinya kasus-kasus serupa. Akan tetapi dalam menanggulangi pelanggaran hak asasi manusia di Indonesia ada satu kelemahan yang terbangun selama ini, yaitu adanya dikotomi 6

7 peradilan sipil militer yang kompetensinya didasarkan pada pelaku dan bukan pada jenis perbuatannya. Dengan adanya kelemahan semacam itu, konsekuensinya kemampuan sistem peradilan kita untuk menuntaskan kasuskasus pelanggaran hak asasi manusia di masa lalu terutama yang melibatkan pihak militer, baik secara individu maupun secara institusi sangat diragukan. Ketika rezim orde baru berkuasa di bawah kepemimpinan Soeharto, pihak militer mendominasi kehidupan politik di Indonesia. Hal ini mengakibatkan keterlibatan pihak militer di dalam pengelolaan kekuasaan negara yang menimbulkan dampak berupa terjadinya penyalahgunaan kekuasaan, politik kekerasan dan pelanggaran hak asasi manusia. Ketika aparat militer terlibat dalam politik kekerasan dan pelanggaran hukum berdasarkan sistem peradilan pidana yang ada di Indonesia mereka harus diproses oleh badan peradilan militer, apapun jenis pelanggaran hukum yang terjadi, termasuk pelanggaran hak asasi manusia. Sistem peradilan militer yang kompetensinya didasarkan pada pelakunya dan bukan pada jenis perbuatannya telah membuktikan bahwa mekanisme seperti ini memang sangat efektif untuk menegakkan pelanggaran-pelanggaran terhadap garis komando dan disiplin ketentaraan. Namun demikian, pada saat yang sama, mekanisme peradilan militer seperti ini juga terbukti sangat efektif untuk melanggengkan impuniti bagi perbuatan pidana (seperti : pembunuhan, penyiksaan, penculikan) dan kasus-kasus pelanggaran hak asasi manusia yang sangat berat. Diukur berdasarkan standar keadilan universal, proses hukum seperti 7

8 ini jelas tidak memenuhi rasa keadilan, sebab para pelaku kejahatan tetap terbebas dari hukuman. Dalam kaitannya dengan Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 Tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia, terdapat sejumlah permasalahan yang dapat diperdebatkan, salah satu diantaranya pengadopsian secara partial jenis pelanggaran berat hak asasi manusia dari Statuta Roma ke dalam Undang-Undang Pengadilan HAM yang hanya terbatas pada the crimes of genocide dan crimes against humanity justru akan mengeliminasi pengungkapan pelanggaran berat hak asasi manusia yang dikategorikan sebagai war crimes yang dapat terjadi secara simultan dengan jenis pelanggaran berat hak asasi manusia lainnya (Kasus Aceh dan kasus-kasus di daerah operasi militer lainnya). Dalam penegakan hukum pidana internasional, secara teoretis dibagi menjadi direct enforcement system (sistem penegakan langsung) dan indirect enforcement system (sistem penegakan tidak langsung). Akan tetapi dalam perkembangannya terdapat apa yang disebut dengan hybrid model atau model campuran yang mengakomodasi penegakan hukum pidana internasional melalui hukum pidana nasional dan hukum internasional. Penegakan hukum pidana internasional secara tidak langsung atau indirect enforcement system adalah penegakan hukum pidana internasional melalui hukum pidana nasional masingmasing negara di mana kejahatan internasional tersebut terjadi. Dalam konteks Indonesia, indirect enforcement system pernah dilakukan dalam mengadili Kasus Pelanggaran Hak Asasi Manusia Yang Berat (Pelanggaran HAM Yang Berat) pasca-jajak pendapat di Tim-Tim. 8

9 Berdasarkan Undang-Undang Pengadilan Hak Asasi Manusia terdapat sejumlah problematika antara lain : Pertama, pengadosian sebagian kejahatan sebagaimana yang termaktub dalam Statuta Roma seperti yang telah disinggung di atas. Kedua, pemberlakuan surut undang-undang tersebut terhadap kejadian di masa lampau. Ketiga, tidak adanya ketentuan mengenai daluarsa. Keempat, adanya intervensi politik dalam pembentukan pengadilan hak asasi manusia adhoc dalam rangka mengadili kejahatan genosida dan kejahatan terhadap kemanusiaan di masa lampau. 2. Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang permasalahan di atas, adapun rumusan masalah dalam pemulisan hukum ini adalah : 1. Apakah hakikat kejahatan genosida dan kejahatan terhadap kemanusiaan? 2. Bagaimanakah penerapan indirect enforcement system dalam penyelesaian kejahatan genosida dan kejahatan terhadap kemanusiaan? 3. Hambatan-hambatan apa saja yang diperoleh dalam penerapan indirect enforcement system terhadap penyelesaian kejahatan genosida dan kejahatan terhadap kemanusiaan? 9

10 3. Tujuan Penelitian 1. Untuk mengetahui apakah hakikat kejahatan genosida dan kejahatan terhadap kemanusiaan. 2. Untuk mengetahui bagaimana penerapan indirect enforcement system dalam penyelesaian kejahatan genosida dan kejahatan terhadap kemanusiaan. 3. Untuk mengetahui hambatan-hambatan apa saja yang diperoleh dalam penerapan indirect enforcement system terhadap penyelesaian kejahatan genosida dan kejahatan terhadap kemanusiaan. 4. Manfaat Penelitian Kegunaan penelitian dalam penulisan hukum ini dibagi menjadi kegunaan akademik dan kegunaan praktis. 1. Kegunaan akademik bertujuan untuk mendalami hakikat kejahatan genosida dan kejahatan terhadap kemanusiaan serta untuk mengetahui bagaimana penyelesaiannya dengan menerapkan indirect enforcement system. Kegunaan akademik lainnya diharapkan dengan penulisan hukum ini dapat menambah wawasan akademik mengenai pelanggaran berat hak asasi manusia dan 10

11 untuk mencegah kejahatan-kejahatan serupa di masa yang akan datang. 2. Keguanaan praktis adalah untuk memenuhi syarat kelulusan sebagai sarjana hukum di Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada. 5. Keaslian Penelitian Berdasarkan penelusuran Penulis, ada beberapa skripsi yang berkaitan dengan topik kejahatan genosida dan kejahatan terhadap kemanusiaan adalah sebagai berikut : 1. Penulisan hukum oleh Zainal Abidin pada tahun 2001 dengan judul Pelanggaran Hak Asasi Manusia Berat Dan Pengaturannya Menurut Undang-Undang Nomor 26 Tahun Adapun permasalahan dalam penulisan hukum tersebut adalah : Pertama, bagaimanakah perbandingan antara tindak pidana yang masuk dalam kategori pelanggaran hak asasi manusia yang berat menurut Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 dibandingkan dengan pelanggaran hak asasi manusia yang berat menurut hukum internasional. Kedua, Mengapa Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 hanya mengatur tentang genosida dan kejahatan terhadap kemanusiaan. 11

12 2. Penulisan hukum oleh Erikson Hasiholan pada tahun 2005 dengan judul Tinjauan Hukum Internasional Terhadap Kompetensi Mahkamah Pidana Internasional Dalam Mengadili Individu- Individu Yang Bertanggung Jawab Atas Terjadinya Kejahatan Terhadap Kemanusiaan Dan Relevansinya Dengan Peradilan Kasus Timor-Timur Sekitar masa Referendum Adapun permasalahan dalam penulisan hukum tersebut adalah : Pertama, bagaimana tinjauan hukum internasional terhadap kompetensi Mahkamah Pidana Internasional dalam mengadili individuindividu yang bertanggung jawab atas terjadinya kejahatan terhadap kemanusiaan. Kedua, bagaimana relevansi Mahkamah Pidana Internasional bagi kasus kejahatan terhadap kemanusiaan di Timor Timur sekitar masa referendum dan proses pengadilan terhadap individu-individu yang bertanggung jawab atas terjadinya kasus tersebut. Ketiga, bagaimana dengan suatu pengadilan internasional untuk atau peradilan ulang atas kasus kejahatan terhadap kemanusiaan di Timor Timur ditinjau dari segi hukum internasional. Perbedaan kedua penulisan hukum tersebut dengan penulisan hukum ini adalah bahwa penulisan hukum ini selain mengulas tentang hakikat kejahatan genosida dan kejahatan terhadap kemanusiaan, juga menganalisis bagaimana penerapan indirect enforcement system dalam menyelesaikan kedua kejahatan tersebut dalam sistem hukum Indonesia. 12