BAB VI PENUTUP. 1. Imunitas Kepala Negara dalam Hukum Internasional. Meski telah diatur dalam hukum internasional dan hukum kebiasaan
|
|
- Hadi Kusuma
- 6 tahun lalu
- Tontonan:
Transkripsi
1 BAB VI PENUTUP A. Kesimpulan 1. Imunitas Kepala Negara dalam Hukum Internasional Meski telah diatur dalam hukum internasional dan hukum kebiasaan internasional, penegakan hukum terhadap imunitas kepala negara baik pada pengadilan nasional maupun pengadilan internasional memiliki kendalanya masing-masing. Kendala-kendala penegakan hukum pada pengadilan nasional biasanya lebih kepada praktek-praktek pengadilan sebelumnya serta aturan-aturan hukum nasional yang berlaku dalam negara tersebut. Sedangkan pada pengadilan internasional lebih kepada aturan-aturan yang saling membatasi serta pertimbangan dan keputusan hakim terhadap suatu kasus. Dalam kasus Augusto Pinochet pada House of Lord Inggris, meski telah di tangkap berdasarkan yurisdiksi universal, Pinochet tetap mengklaim bahwa dirinya memiliki imunitas di bawah hukum kebiasaan internasional. Penemuanpenemuan hukum baru yang akhirnya membuat Pinochet dapat diadili dan diputuskan untuk di ekstradisi, meski pada penerapannya putusan tersebut tidak dilaksanakan berhubungan dengan alasan kesehatan yang dia alami. Kasus Pinochet pada House of Lord Inggris merupakan kasus yang berperan penting dalam perkembangan hukum pidana internasional, karena kasus Pinochet merupakan preseden yang hampir selalu di rujuk dan dijadikan dasar pertimbangan dalam pengambilan keputusan pada pengadilan nasional dan 177
2 pengadilan internasional, khususnya jika berhubungan dengan imunitas kepala negara. Lain halnya dengan kasus Robert Mugabe pada U.S District Court. Meski sejak tahun 1976 Amerika Serikat telah mengudangkan Foreign Soverein Immunity Act (FSIA) yang di dalamnya jelas mengatur mengenai batasan imunitas negara, U.S Federal District Court cenderung menggunakan suggestion of immunity dari pemerintahnya sebagai dasar pertimbangan. Putusan bahwa Mugabe memiliki imunitas dibawah hukum internasional yang berarti pengadilan tersebut tidak memiliki yurisdiksi untuk mengadili dirinya, mengakibatkan peradilan kasus ini tidak sampai pada pembahasan mengenai kejahatan internasional yang dituduhkan padanya yang seperti pada kasus Pinochet, mungkin dapat membatasi imunitas yang dimiliki olenya. Selanjutnya pada kasus Mahinda Rajapaksa di Melbourne Magistrates Court Australia, hukum di Australia memberikan kesempatan kepada warganya untuk melakukan penuntutan atas dasar yurisdiksi universal. Namun berdasarkan Pasal (1) Criminal Code Act 1995, proses penuntutan tidak dapat dilaksanakan tanpa persetujuan tertulis dari Attorney-General. Disini Attorney- General memiliki peran yang penting dalam penuntutan pelaku kejahatan internasional, karena tanpa persetujuan tertulis yang dikeluarkan olehnya penuntutan tidak dapat dilaksanakan. Pada kasus Rajapaksa, Attorney-General menyatakan bahwa penuntutan terhadap tidak dapat dilanjutkan karena hal tersebut akan bertentangan dengan hukum Australia dan akan melanggar kewajiban Australia dibawah hukum 178
3 internasional. Kasus-kasus pada pengadilan Australia sebelumnya dimana pengadilan tidak pernah melakukan penuntutan ataupun persidangan terhadap seorang kepala negara menjadi pertimbangan Attorney-General. Jika pada kasus Pinochet para hakim melaksanakan pengadilan sehingga menemukan penemuan hukum baru yang menyatakan bahwa imunitas ratione materiae bisa dibatasi apabila tertuduh melakukan pelanggaran yang masuk kategori ius cogens, kasus Rajapaksa membuktikan bahwa yurisdiksi universal saja tidak cukup bagi pengadilan nasional untuk mengadili seorang kepala negara yang memiliki imunitas di bawah hukum internasional. Tidak hanya pada pengadilan nasional, penerapan imunitas kepala negara juga menjadi kendala dalam pengadilan internasional. Meski hukum internasional telah mengatur bahwa seorang kepala negara dapat diadili oleh pengadilan internasional, khususnya pengadilan pidana internasional yang dalam aturannya tidak mengenal relevasi jabatan resmi serta imunitas yang dimiliki berdasarkan jabatan tersebut, namun pada beberapa kasus di pengadilan internasional, penegakan hukum terhadap seorang kepala negara atau mantan kepala negara menghadapi kendalanya masing-masing. Pada kasus Milosevic di ICTY, permasalahan utama yang dialami pengadilan tersebut ialah persoalan yurisdiksi yang dipertanyakan oleh para pihak yang terkait, baik tertuduh bahkan pemerintah Yugoslavia itu sendiri. Keabsahan pembentukan pengadilan tersebut dipertanyakan karena hanyalah merupakan pengadilan bentukan dari resolusi Dewan Keamanan. Pembuktian akan status ICTY sebagai pengadilan bentukan PBB berdasarkan Kekuatan Bab VII Piagam 179
4 PBB akhirnya menjadi dasar hukum dalam menjalankan proses peradilan. Pembelaan mengenai imunitas mantan kepala negara yang dimiliki Milosevic, ditolak secara tegas oleh ICTY. Meski belum bisa dikatakan berhasil sepenuhnya dalam mengadili kepala negara atau mantan kepala negara, namun ICTY telah membuktikan bahwa relevansi jabatan dan imunitas yang dimiliki berdasarkan jabatan tersebut tidak berlaku pada pengadilan pidana internasional Selanjutnya pada kasus Yerodia Ndombasi pada Mahkamah Internasional, Mahkamah memutuskan bahwa statusnya sebagai Menteri Luar Negeri Kongo memberikannya imunitas yang membuat pengadilan Belgia tidak memiliki yurisdiksi untuk mengadili dirinya. Hal tersebut menunjukan bahwa, yurisdiksi universal tidak cukup untuk mengadili seorang pelaku kejahatan internasional, karena pertimbangan para hakim dalam Mahkamah tersebut merupakan faktor utama dalam pengambilan keputusan. Putusan Mahkamah Internasional ini menjadi pukulan bagi pengadilan pidana internasional karena putusannya jelas bertentangan dengan aturan dalam penegakan hukum pidana internasional. Putusan kasus Yerodia (Arrest Warrant Case) ini kemudian sering digunakan dalam pembelaan kasus-kasus yang berhubungan dengan imunitas yang dimiliki oleh kepala negara ataupun state official. Contoh terakhir ialah kasus Omar Al-Basir pada ICC. Meskipun ICC merupakan mahkamah pidana internasional yang dalam aturannya jelas tidak mengenal adanya relevansi jabatan resmi serta imunitas yang dimiliki karena jabatan tersebut, tapi ternyata aturan tersebut di batasi oleh aturan lain dalam 180
5 Statuta Roma yang menyatakan bahwa yurisdiksi ICC terbatas pada anggota ICC maupun kepada mereka yang telah meratifikasi Statuta Roma. Peraturan yang saling membatasi dalam Statuta Roma tersebut berdampak besar bagi penegakan hukum yang dilaksanakan oleh ICC. Pada saat dikeluarkannya surat penangkapan terhadap Al-Bashir oleh ICC, status Al-Bashir masih merupakan kepala negara Sudan. Sudan yang merasa bukan anggota ICC serta tidak meratifikasi Statuta Roma menolak bekerjasama dengan ICC untuk menangkap serta mengadili Al-Bashir. Selain itu Sudan dalam hal ini tidak mau melepaskan imunitas yang dimiliki oleh Al-Bashir sehingga ICC maupun negara lain yang ingin memberlakukan yurisdiksi universal untuk membantu ICC dalam menangkap dan menyerahkan Al-Bashir tidak bisa melaksanakan penangkapan maupun peradilan terhadap dirinya. Hal tersebut membuktikan bahwa ICC sebagai Mahkamah Pidana Internasional yang permanen dan memiliki kekuatan hukum tetap, ternyata masih memiliki kendala dalam penegakan hukum terhadap seorang kepala negara. Jadi meskipun telah ada peraturan yang jelas baik dari hukum internasional maupun hukum pidana internasional, penegakan pidana internasional terhadap imunitas kepala negara baik dalam pengadilan nasional maupun pengadilan internasional masih bisa dikatakan belum berhasil sepenuhya. 181
6 2. Imunitas Kepala Negara pada Pengadilan Hybrid Pengadilan hybrid adalah pengadilan yang merupakan campuran dari hukum internasional dan hukum internasional yang pada awalnya dibentuk di Cambodia sebagai upaya dalam mengadili pelaku pelanggaran ham yang terjadi di Cambodia pada saat itu. Berdasarkan namanya, karakteristik pengadilan hybrid adalah sebagai berikut: 1. Merupakan perpaduan antara hukum internasional dan hukum nasional negara yang berkepentingan 2. Pelaksanaan pengadilan biasanya di negara tempat terjadinya kejahatan yang akan disidangkan 3. Pengadilan hybrid dibentuk secara spesifik untuk mengadili beberapa orang pelaku yang diduga melakukan kejahatan serius seperti kejahatan perang, genosida atau kejahatan terhadap kemanusiaan 4. Hakim pengadilan hybrid merupakan hakim gabungan dari pengadilan internasional dan hakim nasional negara yang bersangkutan 5. Hanya merupakan pengadilan Ad-Hoc karena fokusnya hanya untuk mengadili pelaku kejahatan yang telah terjadi di suatu negara/lokasi tertentu. Pada perkembangannya pengadilan hybrid terbentuk karena ada unwilling dan unable baik dari negara-negara maupun masyarakat internasional untuk mengadili para pelaku kejahatan internasional. Pertimbangan lain dibentuknya pengadilan hybrid adalah untuk mempermudah pemeriksaan bukti serta para 182
7 saksi, juga agar masyarakat setempat dapat memahami kejahatan yang terjadi sekaligus memungkinkan terjadinya efek pencegahan, rekonsiliasi, dan pembalasan yang layak. Status pengadilan hybrid yang merupakan pengadilan pengadilan campuran merupakan kelemahan dari pengadilan ini, karena mengakibatkannya tidak memiliki kekuasaan memaksa negara-negara lain untuk bekerja sama menangkap atau mengekstardisi pelaku kejahatan internasional serta pengeluaran biaya yang cukup besar dalam pelaksanaan pengadilan. Selain itu, masalah yurisdiksi atau keabsahan dari pengadilan hybrid juga selalu menjadi masalah utama yang dibahas ketika dimulainya pengadilan. Status suatu pengadilan hybrid apakah merupakan pengadilan nasional atau pengadilan internasional menjadi masalah ketika diperhadapkan dengan kasus yang melibatkan kepala negara ataupun mantan kepala negara. Pengadilan hybrid harus dapat membuktikan bahwa pengadilan tersebut merupakan pengadilan internasional agar dapat melaksanakan yurisdiksinya untuk mengadili kepala negara atau mantan kepala negara. Contoh dari masalah tersebut yang terjadi pada kasus Charles Taylor pada Special Court of Sierra Leone ( SCSL ). Isu utama pada sidang awal kasus ini ialah yurisdiksi SCSL terhadap Charles Taylor. Pembela Taylor menyatakan bahwa SCSL merupakan pengadilan nasional karena tidak memiliki kekuatan Bab VII Piagam PBB dan hanya dibentuk berdasarkan perjanjian antara PBB dan Pemerintah Sierra Leone, dan sebagai pengadilan nasional SCSL tidak memiliki yurisdiksi untuk mengadili Charles Taylor. Pembela menambahkan bahwa Liberia bukanlah negara anggota 183
8 perjanjian tersebut, sehingga tidak wajib untuk mengikuti ketentuan yang diatur dalam Statuta SCSL, serta SCSL harus menghormati imunitas dari mantan kepala negara yang bukan anggotanya. Dengan menunjukan fakta-fakta hukum yang ada serta peraturan-peraturan yang terkait akhirnya SCSL dapat membuktikan bahwa SCSL merupakan pengadilan internasional dan memiliki yurisdiksi untuk mengadili Charles Taylor. Dalam hal imunitas yang dimiliki Charles Taylor baik itu imunitas ratione personae ketika dia masih menjabat dan imunitas ratione materiae ketika statusnya telah menjadi mantan kepala negara Liberia, kedua imunitas tersebut tidak berlaku dalam pengadilan pidana internasional. Ide pokok dalam suatu Pengadilan pidana Internasional bukanlah mengenai siapa yang diadili atau akan diadili, namun lebih kepada jenis kejahatan apa yang terbukti dilakukan oleh si tertuduh. Kasus Taylor menunjukan bahwa, status dari pengadilan hybrid apakah merupakan pengadilan nasional atau pengadilan internasional sangat berpengaruh dalam hal menentukan yurisdiksi yang dimiliki pengadilan tersebut untuk mengadili kepala negara atau mantan kepala negara. Imunitas kepala negara yang menjadi kendala dalam beberapa pengadilan hybrid sebelumnya menjadi masalah yang muda setelah suatu pengadilan hybrid menyatakan bahwa pengadilan tersebut merupakan pengadilan internasional dan memiliki yurisdiksi atas kasus tersebut. Keberhasilan SCSL dalam mengadili dan memberikan hukuman kepada Charles Taylor menunjukan bahwa pengadilan hybrid telah berhasil dalam 184
9 prakteknya sebagai sistem penegakan hukum pidana internasional yang salah tujuannya adalah mengakhiri impunitas. Oleh karenanya pengadilan hybrid menjadi suatu jalan keluar terhadap penegakan pidana internasional yang melibatkan seorang kepala negara, mantan kepala negara ataupun high state official. Putusan hakim dalam kasus Charles Taylor pada Special Court for Sierra Leone ini dapat dijadikan bahan pertimbangan oleh hakim pada pengadilan-pengadilan hybrid yang akan datang, khususnya dalam penegakan hukum pidana internasional bagi kepala-kepala negara Afrika yang dikenal kebal akan tuntutan hukum. B. Saran 1. Kepada PBB ataupun Mahkamah Pidana Internasional untuk membentuk suatu instrumen hukum yang khusus mengatur mengenai pembatasan akan imunitas yang dimiliki oleh kepala negara atau state official serta instrumen yang khusus mengatur mengenai ius cogens, apa itu ius cogens serta kejahatan-kejahatan apa yang masuk dalam kriteria ius cogens ini. Menurut saya bila telah dibentuk aturan hukum yang jelas mengenai hal-hal tersebut, nantinya tidak akan ada lagi pengecualian dalam mengadili seorang seorang kepala negara atau mantan kepala negara baik di pengadilan nasional, pengadilan internasional maupun di pengadilan hybrid. 2. Dan khusus untuk pengadilan hybrid, penentuan status pengadilan tersebut sejak awal sebagai pengadilan internasional walaupun pengadilan tersebut merupakan campuran dengan pengadilan nasional. Penentuan status 185
10 pengadilan hybrid ini akan sangat berguna dalam jalannya peradilan khususnya dalam menetapkan yurisdiksi pengadilan yang melibatkan seorang kepala negara, mantan kepala negara ataupun high state official. 186
BAB V PENUTUP. 1. Yurisdiksi Mahkamah Pidana Internasional dalam Pasal 17 Statuta Roma
BAB V PENUTUP A. Kesimpulan 1. Yurisdiksi Mahkamah Pidana Internasional dalam Pasal 17 Statuta Roma merupakan wujud dari Prinsip Komplemeter dari badan yudisial tersebut. Pasal tersebut mengatur terhadap
Lebih terperinciPENGADILAN PIDANA INTERNASIONAL
PENGADILAN PIDANA INTERNASIONAL PENGADILAN PIDANA INTERNASIONAL AD HOC IMT NUREMBERG IMT TOKYO ICTY ICTR SIERRA LEONE CAMBODIA TIMOR TIMUR / INDONESIA IMT - NUREMBERG NOVEMBER 1945 SEPTEMBER 1946 22 TERDAKWA
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. Hukum Humaniter Internasional bertujuan untuk memanusiawikan perang agar korban
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Permasalahan Hukum Humaniter Internasional bertujuan untuk memanusiawikan perang agar korban akibat perang seminimal mungkin dapat dikurangi. Namun implementasinya,
Lebih terperinci4/8/2013. Mahkamah Pidana Internasional
Mahkamah Pidana Internasional Sekilas tentang Mahkamah Pidana Internasional (ICC) Mahkamah Pidana Internasional (International Criminal Court - ICC) didirikan berdasarkan Statuta Roma tanggal 17 Juli 1998,
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. enforcement system (sistem penegakan langsung) dan indirect enforcement
1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Penegakan hukum pidana internasional pada hakekatnya adalah diskusi tentang hukum pidana internasional dalam pengertian formil. Artinya, yang akan di bahas
Lebih terperinciBab IX MEKANISME PENEGAKAN HUKUM HUMANITER
Bab IX MEKANISME PENEGAKAN HUKUM HUMANITER 9.1. Perkembangan Dalam Hukum Humaniter Salah satu aspek penting dari suatu kaidah hukum yaitu mengenai penegakannya (law enforcement). Suatu perangkat hukum
Lebih terperinciTanggung Jawab Komando Dalam Pelanggaran Berat Hak Asasi Manusia Oleh : Abdul Hakim G Nusantara
Tanggung Jawab Komando Dalam Pelanggaran Berat Hak Asasi Manusia Oleh : Abdul Hakim G Nusantara Impunitas yaitu membiarkan para pemimpin politik dan militer yang diduga terlibat dalam kasus pelanggaran
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. negara-negara lain yang yang diderita oleh banyak orang di negara-negara lain
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Praktek penyelenggaran negara dewasa ini berkembang ke arah demokrasi dan perlidungan Hak Asasi Manusaia (HAM). Masalah HAM mengemuka pada setiap kehidupan penyelenggaraan
Lebih terperinciTujuan pendirian Negara Indonesia tertuang dalam Pembukaan UUD 1945:
Jakarta 14 Mei 2013 Tujuan pendirian Negara Indonesia tertuang dalam Pembukaan UUD 1945: a. Pertama, dimensi internal dimana Negara Indonesia didirikan dengan tujuan untuk melindungi segenap Bangsa Indonesia
Lebih terperinciPrinsip "Jus Cogens" dalam Hukum Internasional
Prinsip "Jus Cogens" dalam Hukum Internasional Mochammad Tanzil Multazam Universitas Muhammadiyah Sidoarjo "Adalah norma yang memaksa dan mengikat pembentuk hukum internasional" Prinsip jus cogens oleh
Lebih terperinciKEGAGALAN INTERNATIONAL CRIMINAL COURT (ICC) DALAM PENYELESAIAN KONFLIK SUDAN RESUME. Disusun oleh : PETRUS CORNELIS DEPA
KEGAGALAN INTERNATIONAL CRIMINAL COURT (ICC) DALAM PENYELESAIAN KONFLIK SUDAN RESUME Disusun oleh : PETRUS CORNELIS DEPA 151060046 JURUSAN ILMU HUBUNGAN INTERNASIONAL FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN POLITIK UNIVERSITAS
Lebih terperinciPengadilan Rakyat Internasional Kasus 1965
Sepuluh Hal yang Perlu Anda Ketahui Tentang Pengadilan Rakyat Internasional Kasus 1965 Banyak kesalahpahaman terjadi terhadap Pengadilan Rakyat Internasional. Berikut sepuluh hal yang belum banyak diketahui
Lebih terperinciKonvensi Internasional mengenai Penindasan dan Penghukuman Kejahatan Apartheid
Konvensi Internasional mengenai Penindasan dan Penghukuman Kejahatan Apartheid disetujui dan terbuka untuk penandatanganan dan ratifikasi oleh Resolusi Majelis Umum 3068 (XXVIII) 30 November 1973 Negara-negara
Lebih terperinciKEABSAHAN SUDAN SELATAN SEBAGAI NEGARA MERDEKA BARU DALAM PERSPEKTIF HUKUM INTERNASIONAL
KEABSAHAN SUDAN SELATAN SEBAGAI NEGARA MERDEKA BARU DALAM PERSPEKTIF HUKUM INTERNASIONAL Oleh: Sakti Prasetiya Dharmapati I Dewa Gede Palguna I Made Budi Arsika Program Kekhususan Hukum Internasional dan
Lebih terperinciPENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 26 TAHUN 2000 TENTANG PENGADILAN HAK ASASI MANUSIA
PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 26 TAHUN 2000 TENTANG PENGADILAN HAK ASASI MANUSIA I. UMUM Bahwa hak asasi manusia yang tercantum dalam Undang-Undang Dasar 1945, Deklarasi Universal
Lebih terperinciA. LATAR BELAKANG MASALAH
BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG MASALAH Kasus pelanggaran terhadap hilangnya hak-hak dasar individu merupakan sebuah fenomena yang masih banyak berlangsung di berbagai Negara di dunia. Bentuk pelanggaran
Lebih terperinciMENEGAKKAN TANGGUNG JAWAB MELINDUNGI: PERAN ANGGOTA PARLEMEN DALAM PENGAMANAN HIDUP WARGA SIPIL
MENEGAKKAN TANGGUNG JAWAB MELINDUNGI: PERAN ANGGOTA PARLEMEN DALAM PENGAMANAN HIDUP WARGA SIPIL Resolusi disahkan oleh konsensus* dalam Sidang IPU ke-128 (Quito, 27 Maret 2013) Sidang ke-128 Inter-Parliamentary
Lebih terperinciEksistensi Konvensi Jenewa di Masa Depan
Eksistensi Konvensi Jenewa di Masa Depan Menilai dari jumlah korban sipil dan penyebaran teror terhadap warga sipil terutama rakyat Gaza yang dilakukan oleh Israel selama konflik sejak tahun 2009 lalu
Lebih terperinciDAFTAR ISI. Maksud, Tujuan dan Kerangka Penulisan Buku...3 BAGIAN I BAB I EVOLUSI PEMIKIRAN DAN SEJARAH PERKEMBANGAN HAK ASASI MANUSIA...
Daftar Isi v DAFTAR ISI DAFTAR ISI...v PENGANTAR PENERBIT...xv KATA PENGANTAR Philip Alston...xvii Franz Magnis-Suseno...xix BAGIAN PENGANTAR Maksud, Tujuan dan Kerangka Penulisan Buku...3 BAGIAN I BAB
Lebih terperinciBAB III KESIMPULAN DAN SARAN. tuntutan. Jadi peradilan internasional diselenggarakan untuk mencegah pelaku
55 BAB III KESIMPULAN DAN SARAN A. Kesimpulan Setelah diuraikan dalam bab-bab sebelumnya, maka dapat disimpulkan bahwa Peradilan internasional baru akan digunakan jika penyelesaian melalui peradilan nasional
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. Dalam hukum internasional seorang kepala negara, perwakilan diplomatik
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Dalam hukum internasional seorang kepala negara, perwakilan diplomatik ataupun pejabat tinggi negara memiliki imunitas yang membuatnya kebal dari yurisdiksi hukum negara
Lebih terperinciBAB IV PENUTUP. 26 tahun 2000 tentang Pengadilan HAM, Pasal 7, yang meliputi ; adalah persoalan yang serius dan extraordinary, maka juga perlu
BAB IV PENUTUP A. Kesimpulan Pelanggaran Ham berat sebagaimana tertuang dalam UU No. 26 tahun 2000 tentang Pengadilan HAM, Pasal 7, yang meliputi ; kejahatan genosida dan kejahatan terhadap kemanusiaan,
Lebih terperinciPENGADILAN HAK ASASI MANUSIA DAN MAHKAMAH PIDANA INTERNASIONAL (ICC)
PENGADILAN HAK ASASI MANUSIA DAN MAHKAMAH PIDANA INTERNASIONAL (ICC) Hartanto Dosen Fakultas Hukum Universitas Widya Mataram Yogyakarta Abstract Completion toward the gross violations of human rights basically
Lebih terperinciMAHKAMAH PIDANA INTERNASIONAL, KEADILAN BAGI GENERASI MENDATANG
Seri Kursus HAM untuk Pengacara XI Tahun 2007 Materi : International Criminal Court (ICC) MAHKAMAH PIDANA INTERNASIONAL, KEADILAN BAGI GENERASI MENDATANG Jerry Flower 1 Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat
Lebih terperincic. Menyatakan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 27
RINGKASAN PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 006/PUU- IV/2006 TENTANG UNDANG-UNDANG NOMOR 27 TAHUN 2004 TENTANG KOMISI KEBENARAN DAN REKONSILIASI TANGGAL 7 DESEMBER 2006 1. Materi muatan ayat, Pasal dan/atau
Lebih terperinciKonvensi tentang Pencegahan dan Penghukuman Kejahatan Genosida
Konvensi tentang Pencegahan dan Penghukuman Kejahatan Genosida Disetujut dan diusulkan untuk penandatanganan dan ratiftkasi atau aksesi dengan resolusi Majelis Umum 260 A (HI), 9 December 1948 Negara-negara
Lebih terperinciKONVENSI MENENTANG PENYIKSAAN DAN PERLAKUAN ATAU PENGHUKUMAN LAIN YANG KEJAM, TIDAK MANUSIAWI DAN MERENDAHKAN MARTABAT MANUSIA
KONVENSI MENENTANG PENYIKSAAN DAN PERLAKUAN ATAU PENGHUKUMAN LAIN YANG KEJAM, TIDAK MANUSIAWI DAN MERENDAHKAN MARTABAT MANUSIA Diterima dan terbuka untuk penandatanganan, ratifikasi dan aksesi olah Resolusi
Lebih terperinciMAKALAH. Pengadilan HAM dan Hak Korban Pelanggaran Berat HAM. Oleh: Eko Riyadi, S.H., M.H.
TRAINING RULE OF LAW SEBAGAI BASIS PENEGAKAN HUKUM DAN KEADILAN Hotel Santika Premiere Hayam Wuruk - Jakarta, 2 5 November 2015 MAKALAH Pengadilan HAM dan Hak Korban Pelanggaran Berat HAM Oleh: Eko Riyadi,
Lebih terperinciHPI PEMAKAIAN HUKUM ASING PERTEMUAN XIII, XIV & XV. By Malahayati, SH, LLM
HPI 1 PEMAKAIAN HUKUM ASING PERTEMUAN XIII, XIV & XV By Malahayati, SH, LLM TOPIK 2 PEMAKAIAN HUKUM ASING PELAKSANAAN PUTUSAN PUTUSAN PAILIT PUTUSAN ARBITRASE ICC 3 International Chamber of Commerce, Paris;
Lebih terperinci1. Beberapa rumusan pidana denda lebih rendah daripada UU Tipikor
Lampiran1: Catatan Kritis Terhadap RKUHP (edisi 2 Februari 2018) 1. Beberapa rumusan pidana denda lebih rendah daripada UU Tipikor Serupa dengan semangat penerapan pidana tambahan uang pengganti, pidana
Lebih terperinciBEBERAPA MODEL LEMBAGA PERLINDUNGAN SAKSI
BEBERAPA MODEL LEMBAGA PERLINDUNGAN SAKSI Supriyadi Widodo Eddyono 1 1 Tulisan ini digunakan untuk bahan pengantar diskusi FGD III perlindungan saksi dan Korban yang diinisiasi oleh ICW-KOMMNAS PEREMPUAN-ELSAM
Lebih terperinciKONVENSI MENENTANG PENYIKSAAN DAN PERLAKUAN ATAU PENGHUKUMAN LAIN YANG KEJAM, TIDAK MANUSIAWI DAN MERENDAHKAN MARTABAT MANUSIA
KONVENSI MENENTANG PENYIKSAAN DAN PERLAKUAN ATAU PENGHUKUMAN LAIN YANG KEJAM, TIDAK MANUSIAWI DAN MERENDAHKAN MARTABAT MANUSIA Diterima dan terbuka untuk penandatanganan, ratifikasi dan aksesi olah Resolusi
Lebih terperinciPEDOMAN TENTANG PERANAN PARA JAKSA. Disahkan oleh Kongres Perserikatan Bangsa-Bangsa. Kedelapan. Tentang Pencegahan Kejahatan dan Perlakukan terhadap
PEDOMAN TENTANG PERANAN PARA JAKSA Disahkan oleh Kongres Perserikatan Bangsa-Bangsa Kedelapan Tentang Pencegahan Kejahatan dan Perlakukan terhadap Pelaku Kejahatan Havana, Kuba, 27 Agustus sampai 7 September
Lebih terperinciPENGADILAN HAK ASASI MANUSIA DAN MAHKAMAH PIDANA INTERNASIONAL (ICC) Zulkarnain 1 * Abstract
1 PENGADILAN HAK ASASI MANUSIA DAN MAHKAMAH PIDANA INTERNASIONAL (ICC) Zulkarnain 1 * Abstract Completion toward the gross violations of human rights basically refers to the principle of exhaustion of
Lebih terperinciNASKAH PUBLIKASI PENERAPAN ASAS NE BIS IN IDEM
NASKAH PUBLIKASI PENERAPAN ASAS NE BIS IN IDEM DALAM PENEGAKAN HUKUM PIDANA INTERNASIONAL DITINJAU DARI PASAL 17 STATUTA ROMA TAHUN 1998 TENTANG MAHKAMAH PIDANA INTERNASIONAL DALAM MENYELESAIKAN KASUS
Lebih terperinciINTERNATIONAL MILITARY TRIBUNAL NUREMBERG
PENGADILAN HAM A. INTERNATIONAL MILITARY TRIBUNAL (IMT) NUREMBERG B. INTERNATIONAL MILITARY TRIBUNAL FOR THE FAR EAST (IMTFE TOKYO C. INTERNATIONAL TRIBUNAL FOR THE PROSECUTION OF PERSONS RESPONSIBLE FOR
Lebih terperinciTelah menyetujui sebagai berikut: Pasal 1. Untuk tujuan Konvensi ini:
LAMPIRAN II UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 2006 TENTANG PENGESAHAN INTERNATIONAL CONVENTION FOR THE SUPPRESSION OF TERRORIST BOMBINGS, 1997 (KONVENSI INTERNASIONAL PEMBERANTASAN PENGEBOMAN
Lebih terperinciBAB III PENEGAKAN HUKUM ATAS KEJAHATAN PERANG
BAB III PENEGAKAN HUKUM ATAS KEJAHATAN PERANG 3.1 Tanggung Jawab atas Kejahatan Perang 3.1.1 Pertanggungjawaban negara Pertanggungjawaban negara muncul akibat dari prinsip persamaan dan kedaulatan negara
Lebih terperinciPENERAPAN YURISDIKSI UNIVERSAL MELALUI MEKANISME EKSTRADISI ATAS KEJAHATAN TERHADAP KEMANUSIAAN (CRIMES AGAINTS HUMANITY)
PENERAPAN YURISDIKSI UNIVERSAL MELALUI MEKANISME EKSTRADISI ATAS KEJAHATAN TERHADAP KEMANUSIAAN (CRIMES AGAINTS HUMANITY) SKRIPSI Diajukan Kepada Fakultas Hukum Untuk Melengkapi Tugas-Tugas dan Syarat-Syarat
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. Pembentukan Mahkamah Pidana Internasional (International. Criminal Court) merupakan upaya masyarakat internasional dalam
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pembentukan Mahkamah Pidana Internasional (International Criminal Court) merupakan upaya masyarakat internasional dalam menanggulangi kejahatan-kejahatan luar
Lebih terperinciCONTOH SOAL DAN JAWABAN UKG PKN SMP Berikut ini contoh soal beserta jawaban Uji Kompetensi Guru PKn SMP
CONTOH SOAL DAN JAWABAN UKG PKN SMP 2013 Berikut ini contoh soal beserta jawaban Uji Kompetensi Guru PKn SMP Perhatian : Jawaban tertera pada kalimat yang ditulis tebal. 1. Di bawah ini merupakan harapan-harapan
Lebih terperinciMENGENAL ICC. Mahkamah Pidana International. Koalisi Masyarakat Sipil untuk Mahkamah Pidana Internasional. Seri Buku Saku
MENGENAL ICC Mahkamah Pidana International Koalisi Masyarakat Sipil untuk Mahkamah Pidana Internasional Seri Buku Saku MENGENAL ICC Mahkamah Pidana International 2009 Diterbitkan oleh: Koalisi Masyarakat
Lebih terperinciBAB II SEJARAH PEMBENTUKAN, STRUKTUR DAN YURIDIKSI INTERNATIONAL CRIMINAL COURT. Dalam bab ini penulis akan mencoba memaparkan mengenai International
BAB II SEJARAH PEMBENTUKAN, STRUKTUR DAN YURIDIKSI INTERNATIONAL CRIMINAL COURT Dalam bab ini penulis akan mencoba memaparkan mengenai International Criminal Court yang akan dibagi kedalam beberapa sub
Lebih terperinciHUKUM INTERNASIONAL DAN MEKANISME PENYELESAIAN SENGKETA INTERNASIONAL
HUKUM INTERNASIONAL DAN MEKANISME PENYELESAIAN SENGKETA INTERNASIONAL Oleh : IKANINGTYAS, SH.LLM Fakultas Hukum Universitas Brawijaya 1 Pengertian Hk. Internasional ialah keseluruhan kaedah dan asas yang
Lebih terperinciBab 3 Hak Asasi Manusia A. Pengertian HAM, HAM adalah hak dasar yang dimilki manusia sejak manusia dilahirkan. Ada dan melekat pada diri setiap
Bab 3 Hak Asasi Manusia A. Pengertian HAM, HAM adalah hak dasar yang dimilki manusia sejak manusia dilahirkan. Ada dan melekat pada diri setiap manusia dan bersifat Universal B. Jenis jenis HAM -Menurut
Lebih terperinciRESUME SKRIPSI. Dalam pergaulan internasional setiap negara tidak. bisa melepaskan diri dari hubungan atau kerjasama antar
RESUME SKRIPSI Dalam pergaulan internasional setiap negara tidak bisa melepaskan diri dari hubungan atau kerjasama antar negara yang melintasi batas negara. Sebagian besar negara-negara di dunia saling
Lebih terperinciMendorong Komitmen Indonesia Meratifikasi Statuta Roma untuk Memperkuat Perlindungan Hak Asasi Manusia
Koalisi Masyarakat Sipil Untuk Mahkamah Pidana Internasional Coalition for the International Criminal Court Kerangka Acuan Seminar Nasional Memperingati Hari Keadilan Internasional Sedunia 17 Juli 2012
Lebih terperinciPerbedaan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual dengan Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia
3 Perbedaan dengan Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia Bagaimana Ketentuan Mengenai dalam tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia? Menurut hukum internasional, kejahatan
Lebih terperinciMAKALAH INDONESIAN HUMAN RIGHTS LEGISLATION. Oleh: Ifdhal Kasim Ketua Komnas HAM RI, Jakarta
PEMERKUATAN PEMAHAMAN HAK ASASI MANUSIA UNTUK HAKIM SELURUH INDONESIA Hotel Santika Makassar, 30 Mei 2 Juni 2011 MAKALAH INDONESIAN HUMAN RIGHTS LEGISLATION Oleh: Ifdhal Kasim Ketua Komnas HAM RI, Jakarta
Lebih terperinciBAB V PENUTUP. A. Kesimpulan. Berdasarkan kesimpulan dari pembahasan di atas mengenai. perlindungan pihak ICRC ditinjau dari Konvensi Jenewa 1949 dan
BAB V PENUTUP A. Kesimpulan Berdasarkan kesimpulan dari pembahasan di atas mengenai perlindungan pihak ICRC ditinjau dari Konvensi Jenewa 1949 dan Protokol tambahannya serta sumber hukum lain yang menguatkan
Lebih terperinciLEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA
No.49, 2015 LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA PENGESAHAN. Perjanjian. Ekstradisi. Papua Nugini. (Penjelasan Dalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5674) UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
Lebih terperinciPRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 41 TAHUN 2004 TENTANG TATA CARA PENGANGKATAN DAN PEMBERHENTIAN HAKIM AD-HOC PENGADILAN HUBUNGAN INDUSTRIAL DAN HAKIM AD-HOC PADA MAHKAMAH AGUNG PRESIDEN REPUBLIK
Lebih terperinciUNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6 TAHUN 2015 TENTANG
SALINAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6 TAHUN 2015 TENTANG PENGESAHAN PERJANJIAN EKSTRADISI ANTARA REPUBLIK INDONESIA DAN PAPUA NUGINI (EXTRADITION TREATY BETWEEN THE REPUBLIC OF INDONESIA AND
Lebih terperinciLEGALITAS PENGGUNAAN BOM CURAH (CLUSTER BOMB) PADA AGRESI MILITER ISRAEL KE PALESTINA DALAM PERSPEKTIF HUKUM HUMANITER INTERNASIONAL
LEGALITAS PENGGUNAAN BOM CURAH (CLUSTER BOMB) PADA AGRESI MILITER ISRAEL KE PALESTINA DALAM PERSPEKTIF HUKUM HUMANITER INTERNASIONAL Oleh: Alan Kusuma Dinakara Pembimbing: Dr. I Gede Dewa Palguna SH.,
Lebih terperinciRESUME PERMOHONAN PERKARA Nomor 006/PUU-IV/2006 Perbaikan Tgl 25 April 2006
RESUME PERMOHONAN PERKARA Nomor 006/PUU-IV/2006 Perbaikan Tgl 25 April 2006 I. PEMOHON 1. Asmara Nababan, SH. Ketua (ELSAM) ( Pemohon I) 2. Ibrahim Zakir. Ketua (KONTRAS) (Pemohon II) 3. Ester Indahyani
Lebih terperinciDENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6 TAHUN 2015 TENTANG PENGESAHAN PERJANJIAN EKSTRADISI ANTARA REPUBLIK INDONESIA DAN PAPUA NUGINI (EXTRADITION TREATY BETWEEN THE REPUBLIC OF INDONESIA AND THE INDEPENDENT
Lebih terperinciPerlindungan dari Kejahatan Penghilangan Paksa Oleh Zainal Abidin (Deputi Direktur Direktorat Pengembangan Sumber Daya HAM ELSAM)
Perlindungan dari Kejahatan Penghilangan Paksa Oleh Zainal Abidin (Deputi Direktur Direktorat Pengembangan Sumber Daya HAM ELSAM) They're dancing with the missing, They're dancing with the dead, They dance
Lebih terperinciTINJAUAN MATA KULIAH...
iii Daftar Isi TINJAUAN MATA KULIAH... xi MODUL 1: RUANG LINGKUP HUKUM PIDANA INTERNASIONAL 1.1 Istilah Hukum Pidana Internasional... 1.2 Latihan... 1.16 Rangkuman... 1.16 Tes Formatif 1... 1.18 Pengertian
Lebih terperinciKONTEKS SOSIAL, EKONOMI, POLITIK DAN HUKUM PENGAJARAN HAK ASASI MANUSIA 1
KONTEKS SOSIAL, EKONOMI, POLITIK DAN HUKUM PENGAJARAN HAK ASASI MANUSIA 1 Ifdhal Kasim 1. Dengan tema konteks sosial, ekonomi, politik dan hukum pengajaran hak asasi manusia, yang diberikan kepada saya,
Lebih terperinciPENGANTAR HUKUM ACARA PENGADILAN HAK ASASI MANUSIA. R. Herlambang Perdana Wiratraman Fakultas Hukum Universitas Airlangga Surabaya, 2 Juni 2008
PENGANTAR HUKUM ACARA PENGADILAN HAK ASASI MANUSIA R. Herlambang Perdana Wiratraman Fakultas Hukum Universitas Airlangga Surabaya, 2 Juni 2008 Pokok Bahasan Apa prinsip-prinsip dan mekanisme hukum acara
Lebih terperinciKOVENAN INTERNASIONAL TENTANG HAK SIPIL DAN POLITIK 1 MUKADIMAH
KOVENAN INTERNASIONAL TENTANG HAK SIPIL DAN POLITIK 1 MUKADIMAH Negara-negara Pihak pada Kovenan ini, Menimbang bahwa, sesuai dengan prinsip-prinsip yang diproklamasikan pada Piagam Perserikatan Bangsa-Bangsa,
Lebih terperinciSILABUS DAN SATUAN ACARA PERKULIAHAN. Dr. SRI LESTARININGSIH, SH. MH. Dr. NURINI APRILIANDA, SH. MH. BAMBANG SUDJITO, SH. MH.
SILABUS DAN SATUAN ACARA PERKULIAHAN Nama Mata Kuliah Bobot sks Tim Penyusun : HUKUM PIDANA INTERNASIONAL : 2 sks : ALFONS ZAKARIA, SH. LLM. Dr. SRI LESTARININGSIH, SH. MH. Dr. NURINI APRILIANDA, SH. MH.
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. warga negaranya atau orang yang berada dalam wilayahnya. Pelanggaran atas
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Setiap negara di dunia ini memiliki hukum positif untuk memelihara dan mempertahankan keamanan, ketertiban dan ketentraman bagi setiap warga negaranya atau orang yang
Lebih terperinciPERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 41 TAHUN 2004 TENTANG
PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 41 TAHUN 2004 TENTANG TATA CARA PENGANGKATAN DAN PEMBERHENTIAN HAKIM AD-HOC PENGADILAN HUBUNGAN INDUSTRIAL DAN HAKIM AD-HOC PADA MAHKAMAH AGUNG PRESIDEN REPUBLIK
Lebih terperinciUU Pengadilan Hak Asasi Manusia: Sebuah Tinjauan
UU Pengadilan Hak Asasi Manusia: Sebuah Tinjauan Ifdhal Kasim Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (ELSAM) A. Pengantar 1. Pengadilan Hak Asasi Manusia Ad Hoc untuk Timor Timur tingkat pertama telah berakhir.
Lebih terperinciI. PENDAHULUAN. Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) adalah negara hukum ( rechtsstaat) dan bukan
I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) adalah negara hukum ( rechtsstaat) dan bukan sebagai negara yang berdasarkan atas kekuasaan ( machtsstaat). Tidak ada institusi
Lebih terperinciHukum Pidana Internasional. Tolib Effendi
Hukum Pidana Internasional Tolib Effendi Komponen Penilaian 1. Tugas I (10%) 2. UTS (25%) 3. Tugas II (15%) 4. UAS (35%) 5. Kehadiran (5%) 6. Aktivitas di Kelas (10%) Pokok Bahasan 1. Sejarah Hukum Pidana
Lebih terperinciAKTA TUNTUTAN KESALAHAN
AKTA TUNTUTAN KESALAHAN PERDATA OLEH PIHAK ASING (Alien Tort Claims Act) Exxon Mobil dan PT Arun Nicola Colbran Norwegian Centre for Human Rights Disampaikan pada Workshop Pertanggungjawaban sosial Disampaikan
Lebih terperinciDAFTAR ISI. Halaman KATA PENGANTAR i. DAFTAR ISI ii
DAFTAR ISI KATA PENGANTAR i DAFTAR ISI ii Bab I Latar belakang Ekstradisi, Pengertian dan Perkembangan Ekstradisi 1 1.1 Latar Belakang Timbulnya Ekstradisi 1 1.2 Pengertian dan Perkembangan Ekstradisi
Lebih terperinciMEMUTUSKAN : BAB I KETENTUAN UMUM. Pasal 1
PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 41 TAHUN 2004 TENTANG TATA CARA PENGANGKATAN DAN PEMBERHENTIAN HAKIM AD-HOC PENGADILAN HUBUNGAN INDUSTRIAL DAN HAKIM AD-HOC PADA MAHKAMAH AGUNG PRESIDEN REPUBLIK
Lebih terperinciFAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN 2011
PERANAN PERSERIKATAN BANGSA-BANGSA TERHADAP PELANGGARAN HAM BERAT DI MYANMAR DAN IMPLIKASINYA TERHADAP PERDAMAIAN DUNIA SKRIPSI Diajukan Untuk Melengkapi Tugas Akhir Memenuhi Syarat-Syarat Untuk Memperoleh
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. dan pelaksanaan HAM lebih banyak dijadikan objek power game diantara blokblok
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Promosi dan proteksi Hak Asasi Manusia (HAM) boleh dikatakan telah menjadi agenda internasional. Jika sebelumnya, selama lebih dari 40 tahun, ide dan pelaksanaan HAM
Lebih terperinciPENGADILAN KEJAHATAN GENOSIDA DAN KEJAHATAN TERHADAP KEMANUSIAAN DI INDONESIA
PENGADILAN KEJAHATAN GENOSIDA DAN KEJAHATAN TERHADAP KEMANUSIAAN DI INDONESIA ENNY SOEPRAPTO O PhD Disampaikan padaacaraacara TRAINING HAK ASASI MANUSIA BAGI PENGAJAR HUKUM DAN HAM, diselenggarakan oleh
Lebih terperinciHukum Pidana Internasional
1 Hukum Pidana Internasional P. Burgess 1 Sejarah Latar belakang konsep tanggung jawab inidividu dalam hukum internasional, yaitu ide bahwa hukum internasional dapat menimpakan tanggung jawab secara langsung
Lebih terperinciKONVENSI INTERNASIONAL TENTANG PERLINDUNGAN TERHADAP SEMUA ORANG DARI TINDAKAN PENGHILANGAN SECARA PAKSA
KONVENSI INTERNASIONAL TENTANG PERLINDUNGAN TERHADAP SEMUA ORANG DARI TINDAKAN PENGHILANGAN SECARA PAKSA Mukadimah Negara-negara peserta Konvensi ini, Menimbang, kewajiban negara-negara dalam Piagam Perserikatan
Lebih terperinciKonvensi Menentang Penyiksaan dan Perlakuan atau Hukuman Lain yang Kejam, Tidak Manusiawi, dan Merendahkan Martabat Manusia
Konvensi Menentang Penyiksaan dan Perlakuan atau Hukuman Lain yang Kejam, Tidak Manusiawi, dan Merendahkan Martabat Manusia (Resolusi No. 39/46 disetujui oleh Majelis Umum pada 10 Desember 1984) Majelis
Lebih terperinci: KRISDIANA KATIANDAGHO
JURNAL ILMIAH KEWENANGAN MAHKAMAH PIDANA INTERNASIONAL UNTUK MENGADILI PELAKU KEJAHATANPELANGGARAN HAM BERAT DALAM SUATU NEGARA TANPA ADANYA PERMINTAAN DARI NEGARA TUAN RUMAH Disusun oleh : KRISDIANA KATIANDAGHO
Lebih terperinciKeywords : Iconoclast, International Law, International Criminal Court
PENGHANCURAN BENDA BUDAYA (ICONOCLAST) SEBAGAI KEJAHATAN TERHADAP KEMANUSIAAN Oleh: Made Panji Wilimantara Pembimbing I: Prof. Dr. I Made Pasek Diantha, S.H., M.S Pembimbing II: I Made Budi Arsika, S.H.,
Lebih terperinciDENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 2006 TENTANG PENGESAHAN INTERNATIONAL CONVENTION FOR THE SUPPRESSION OF TERRORIST BOMBINGS, 1997 (KONVENSI INTERNASIONAL PEMBERANTASAN PENGEBOMAN OLEH TERORIS,
Lebih terperincinasionalitas Masing-masing negara menganut kaidah yang berbeda-beda mengenai nasionalitas, misal: ius sangunis, ius soli.
NEGARA DAN INDIVIDU NASIONALITAS Merupakan status hukum keanggotaan kolektivitas individu-individu yang tindakannya, keputusan-keputusannya dan kebijaksanaannya dijamin melalui konsep hukum negara yang
Lebih terperinciLex Privatum Vol. V/No. 8/Okt/2017
KEWENANGAN ICC (INTERNATIONAL CRIMINAL COURT) DALAM MELAKUKAN PENEGAKAN HUKUM TERHADAP KEJAHATAN KEMANUSIAAN 1 Oleh : Olivia 2 ABSTRAK Penelitian ini dilakukan dengan tujuan untuk mengetahui bagaimana
Lebih terperinciPEDOMAN PRAKTISI ASEAN
RESPON PENEGAK HUKUM TERHADAP KEJAHATAN TINDAK PIDANA PERDAGANGAN ORANG: PEDOMAN PRAKTISI ASEAN Bagian Satu Hal-hal tentang Pembuktian A. Memperkuat Kerangka Kerja Hukum 1. Segala bentuk perdagangan orang
Lebih terperinci: Public International Law: Contemporary Principles and Perspectives Penulis buku : Gideon Boas Penerbit :
RESENSI BUKU Judul : Public International Law: Contemporary Principles and Perspectives Penulis buku : Gideon Boas Penerbit : Bahasa : Inggris Jumlah halaman : x + 478 Tahun penerbitan : 2012 Pembuat resensi
Lebih terperinciDENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
www.bpkp.go.id UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 2006 TENTANG PENGESAHAN INTERNATIONAL CONVENTION FOR THE SUPPRESSION OF TERRORIST BOMBINGS, 1997 (KONVENSI INTERNASIONAL PEMBERANTASAN PENGEBOMAN
Lebih terperinciKomisi Nasional HAM kerangka hukum dan mekanisme penegakan hukum HAM. Dr. Herlambang P Wiratraman Fakultas Hukum Universitas Airlangga 26 Mei 2015
Komisi Nasional HAM kerangka hukum dan mekanisme penegakan hukum HAM Dr. Herlambang P Wiratraman Fakultas Hukum Universitas Airlangga 26 Mei 2015 Poin pembelajaran Konteks kelahiran Komnas HAM Dasar pembentukan
Lebih terperinciUNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 26 TAHUN 2000 TENTANG PENGADILAN HAK ASASI MANUSIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 26 TAHUN 2000 TENTANG PENGADILAN HAK ASASI MANUSIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa hak asasi manusia merupakan
Lebih terperinciKepentingan Amerika Serikat Membantu Uganda Memerangi LRA Dengan. Recovery Act
Kepentingan Amerika Serikat Membantu Uganda Memerangi LRA Dengan Terlibat Dalam Lord's Resistance Army Disarmament and Northern Uganda Recovery Act Lord s Resistance Army (LRA) suatu kelompok pemberontak
Lebih terperinciPENDAPAT HUKUM ( DISSENTING OPINION )
PENDAPAT HUKUM ( DISSENTING OPINION ) I. Pendahuluan 1. Mengingat sidang permusyawaratan Majelis Hakim tidak dapat dicapai mufakat bulat sebagaimana diatur di dalam pasal 19 ayat ( 5 ) Undang-Undang Nomor
Lebih terperinciBAB 1 PENDAHULUAN. perairan yang sangat luas. Kondisi wilayah ini dikenal dengan Archipelago State atau
1 BAB 1 PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Indonesia merupakan Negara kepulauan terbesar di dunia dengan wilayah perairan yang sangat luas. Kondisi wilayah ini dikenal dengan Archipelago State atau dalam bahasa
Lebih terperinciDENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6 TAHUN 2006 TENTANG PENGESAHAN INTERNATIONAL CONVENTION FOR THE SUPPRESSION OF THE FINANCING OF TERRORISM, 1999 (KONVENSI INTERNASIONAL PEMBERANTASAN PENDANAAN TERORISME,
Lebih terperinciI. UMUM. 1. Latar Belakang Pengesahan
PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 2006 TENTANG PENGESAHAN INTERNATIONAL CONVENTION FOR THE SUPPRESSION OF TERRORIST BOMBINGS, 1997 (KONVENSI INTERNASIONAL PEMBERANTASAN PENGEBOMAN
Lebih terperinciUNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 26 TAHUN 2000 TENTANG PENGADILAN HAK ASASI MANUSIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 26 TAHUN 2000 TENTANG PENGADILAN HAK ASASI MANUSIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa hak asasi manusia merupakan
Lebih terperinciUNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 26 TAHUN 2000 TENTANG PENGADILAN HAK ASASI MANUSIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 26 TAHUN 2000 TENTANG PENGADILAN HAK ASASI MANUSIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa hak asasi manusia merupakan
Lebih terperinciUNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 26 TAHUN 2000 TENTANG PENGADILAN HAK ASASI MANUSIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 26 TAHUN 2000 TENTANG PENGADILAN HAK ASASI MANUSIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa hak asasi manusia merupakan
Lebih terperinciUNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 26 TAHUN 2000 TENTANG PENGADILAN HAK ASASI MANUSIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 26 TAHUN 2000 TENTANG PENGADILAN HAK ASASI MANUSIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa hak asasi manusia merupakan
Lebih terperinciUNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA (UU) NOMOR 26 TAHUN 2000 (26/2000) TENTANG PENGADILAN HAK ASASI MANUSIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA (UU) NOMOR 26 TAHUN 2000 (26/2000) TENTANG PENGADILAN HAK ASASI MANUSIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa hak asasi manusia
Lebih terperinciUNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA (UU) NOMOR 26 TAHUN 2000 (26/2000) TENTANG PENGADILAN HAK ASASI MANUSIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA (UU) NOMOR 26 TAHUN 2000 (26/2000) TENTANG PENGADILAN HAK ASASI MANUSIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa hak asasi manusia
Lebih terperinciATURAN PERILAKU BAGI APARAT PENEGAK HUKUM
ATURAN PERILAKU BAGI APARAT PENEGAK HUKUM Diadopsi oleh Resolusi Sidang Umum PBB No. 34/169 Tanggal 17 Desember 1979 Pasal 1 Aparat penegak hukum di setiap saat memenuhi kewajiban yang ditetapkan oleh
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. faktor sumber daya manusia yang berpotensi dan sebagai generasi penerus citacita
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Setiap anak adalah bagian dari penerus generasi muda yang merupakan faktor sumber daya manusia yang berpotensi dan sebagai generasi penerus citacita perjuangan bangsa
Lebih terperinciBagian 2: Mandat Komisi
Bagian 2: Mandat Komisi Bagian 2: Mandat Komisi...1 Bagian 2: Mandat Komisi...2 Pendahuluan...2 Batasan waktu...3 Persoalan-persoalan dengan relevansi khusus...3 Makna berkaitan dengan konflik politik...3
Lebih terperinci