Pembuktian : Tanggungjawab Komando

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "Pembuktian : Tanggungjawab Komando"

Transkripsi

1 Pembuktian : Tanggungjawab Komando I. Pendahuluan Saat ini Pengadilan HAM Tanjung Priok telah memasuki tahap pembuktian, yaitu tahap pemeriksaan saksi. Bahkan, dalam salah satu berkas, yaitu berkas perkara R. Butar- Butar pada hari Rabu tanggal 31 April 2004 telah memasuki tahap pembacaan tuntutan pidana (requisitor) dari jaksa penuntut umum. Namun, secara keseluruhan tidak terdapat peningkatan kualitas dalam proses persidangan di Pengadilan HAM Tanjung Priok ini. Banyaknya saksi yang mencabut keterangan, beberapa saksi yang dalam memberikan keterangan sering mengungkapkan opini atau pendapat pribadi serta minimnya barang bukti yang diajukan jaksa penuntut umum merupakan faktor yang cukup mempengaruhi tidak adanya perbaikan kualitas dalam Pengadilan HAM Tanjung Priok. Salah satu dakwaan yang diajukan jaksa penuntut umum kepada para terdakwa, khususnya Pranowo dan Butar-Butar adalah mengenai tanggungjawab komando. Dimana dalam dakwaannya jaksa penuntut umum menyatakan bahwa kedua terdakwa ini merupakan komandan militer yang mempunyai bawahan atau anak buah yang telah melakukan pelanggaran HAM yang berat. Namun, sampai saat ini, dalam persidangan belum terungkap secara jelas apakah ada anak buah kedua terdakwa ini yang telah melakukan pelanggaran HAM berat 1, sehingga kedua terdakwa ini patut untuk dimintai pertanggungjawaban atas pelanggaran HAM berat yang telah dilakukan bawahan atau anak buahnya sebagaimana yang didakwakan jaksa penuntut umum. Disamping itu, dalam proses pembuktian, saksi-saksi yang dihadirkan jaksa penuntut umum, belum dapat secara detail menjelaskan hubungan antara bawahan para terdakwa dan bagaimana rantai komando antara para terdakwa dengan anak buahnya tersebut. Proses pembuktian yang tidak berjalan dengan baik ini akan berakibat pada tidak dapat dihukumnya para terdakwa karena tidak terbuktinya pelanggaran terhadap pasal-pasal yang didakwakan. Pengalaman pengadilan HAM ad Hoc kasus pelanggaran HAM berat Timor-timur menunjukkan bahwa salah satu faktor kegagalan melakukan penghukuman adalah tidak terbuktinya pelanggaran terhadap pasal 42 (1) UU No. 26 tahun 2000 yang sering dikenal sebagai delik tanggung jawab komando. Sulitnya membuktikan adanya tanggung jawab komando terhadap para terdakwa karena kompleksitas regulasi dan acuan fakta yang akan menunjukkan apakah seorang komandan dapat dimintakan pertanggungjawaban pidana atau tidak. Pasal 42 (1) UU No. 26 tahun 2000 sebagai salah satu regulasi yang mengatur mengenai pertanggungjawaban komando tidak cukup memberikan pengertian dan batas-batasan tentang bagaimana pasal 42 (1) tersebut diterapkan atau bagaimana penjelasan atas unsur-unsur tanggungjawab komando tersebut. Hal ini menyebabkan banyaknya 1 Adapun bawahan R. Butar-Butar, yakni Kapten Sriyanto dan Sutrisno Mascung, saat ini masih dalam proses pemeriksaan di pengadilan. Sedangkan untuk Pranowo tidak ada bawahannya yang diajukan sebagai terdakwa ke pengadilan HAM. 1

2 putusan pengadilan HAM ad hoc Timor-timur yang berbeda satu dengan lainnya dan dengan fakta yang sama, kadangkala putusan bisa berbeda hanya karena perbedaan penafsiran atas delik yang tidak jelas. Oleh karena itulah, sangat penting untuk menyoroti bagaimana konteks tanggung jawab komando ini dimaknai dan akan dibuktikan dalam pengadilan HAM ad hoc Tanjung Priok ini. Konsekuensi pembuktian terhadap terdakwa yang terkait dengan pasal tanggung jawab komando ini harus dibuktikannya seluruh unsur atau element kejahatan baik pembuktian mengenai adanya kejahatan terhadap kemanusiaan dan pelakunya juga harus dibuktikan adalah bagaimana terdakwa dalam posisi saat itu dapat bertanggung jawab dan dapat bertanggung jawab secara pidana. Meskipun terbukti bahwa terjadi pelanggaran ham berat yang berupa kejahatan terhadap kemanusiaan tetapi tidak dapat membuktikan adanya penanggung jawab pelanggaran ham tersebut akan mengakibatkan tidak ada penghukuman atas pelanggaran ham berat yang terjadi sebagaimana beberapa kasus dalam pengadilan HAM ad Hoc Timor-timur. Laporan ini akan secara spesifik menyoroti mengenai proses pembuktian pertanggungjawaban komando di dalam Pengadilan HAM Tanjung Priok, terutama dalam berkas perkara R. Butar-Butar. Bagaimana para pihak - hakim, penasehat hukum dan terutama jaksa penuntut umum- berusaha untuk menggali bukti-bukti mengenai struktur komando, rantai komando, posisi terdakwa pada saat peristiwa terjadi, dan keterlibatan bawahan terdakwa dalam peristiwa pelanggaran HAM berat Tanjung Priok. Disamping fakta-fakta yang terungkap di persidangan, laporan ini juga akan memaparkan secara singkat mengenai konsep tanggungjawab komando menurut teori dan praktek peradilan yang telah digelar sebelumnya, yakni Pengadilan HAM Ad Hoc Tim-tim dan praktek pengadilan internasional. II. Konteks Kasus Terdakwa R.A. Butar Butar 2.1. Posisi Terdakwa R. Butar-Butar Pada Saat Peristiwa Tanjung Priok Terdakwa R. Butar-Butar menjabat Dandim (Komandan Kodim) 0502 Jakarta Utara pada tahun , dimana tugas pokok Dandim sebagai Komando Teritorial adalah untuk pembinaan wilayah 2, sehingga tercipta kondisi yang kondusif di wilayah Jakarta Utara. Disamping menjabat sebagai Dandim, terdakwa juga menjabat sebagai Dansatpamwil 3 yang bertugas untuk melakukan pengamanan dan keamanan seluruh wilayah Jakarta Utara. Sebagai Dandim, terdakwa langsung berada dibawah dan bertanggungjawab kepada Pangdam Jaya. Sedangkan sebagai Dansatpamwil, terdakwa berada dibawah dan bertanggungjawab kepada Pangkopkamtibda Laksusda Jaya. Disamping menjabat sebagai Dandim dan Daansatpamwil, terdakwa juga menjabat sebagai Ketua Muspida Jakarta Utara 4. 2 Transkrip pemeriksaan terdakwa R.Butar-Butar dalam Pengadilan HAM Ad Hoc Tanjung Priok tanggal 24 Maret 2004 hal 18 3 Ibid, hal 14 4 Ibid, hal 38 2

3 Berkaitan dengan peristiwa Tanjung Priok yang terjadi pada tanggal 12 September 1984, pada saat itu terdakwa sedang berada di PPL tenis Pluit dalam rangka pertandingan persahabatan tenis lapangan. Terdakwa baru mengetahuinya ketika ada laporan dari Kasi Ops Kodim Kapten Sriyanto yang melaporkan bahwa ada ancaman yang dilakukan Amir Biki kepada Kodim bahwa akan melakukan penyerangan apabila permintaan Amir Biki dkk tidak diperhatikan oleh Dandim, yakni untuk membebaskan 4 (empat) orang yang ditahan di Kodim 5. Dengan adanya ancaman tersebut, terdakwa langsung melaporkannya kepada Kodam yang dalam hal ini diterima oleh As Intel Kol. Sampurno dan As Ops Kodam Jaya6. Dan dari laporannya diperoleh petunjuk bahwa keempat orang tahanan yang merupakan titipan dari Polres tersebut belum dapat dilepaskan, karena belum diperiksa oleh Polres Jakarta Utara 7. Selanjutnya setelah menerima petunjuk As Intel dan As Ops Kodam Jaya, terdakwa mengajukan permintaan perkuatan pasukan Yon Arhanudse 06, dan selanjutnya terdakwa memerintahkan Kapten Sriyanto untuk : Pertama, mengamankan obyek-obyek vital seperti Pertamina Plumpang, Mapolres dan Makodim Jakarta Utara. Kedua, berkoordinasi dan berdialog dengan pimpinan dan rombongan massa dari pihak Amir Biki. Ketiga, melaporkan semua kegiatan di lapangan secara langsung melalui radio/ht8. Dari lapangan, melalui HT, terdakwa mendengar bunyi tembakan, kemudian terdakwa menanyakan hal tersebut kepada Kapten Sriyanto, dan dijawab oleh Kapten Sriyanto bahwa itu suara tembakan. Selanjutnya terdakwa memerintahkan Kapten Sriyanto untuk menghentikan penembakan-penembakan yang dilakukan anak buahnya Dakwaan Terhadap Terdakwa R. Butar-Butar Dakwaan terhadap Mayjend TNI (Purn). Rudolf A. Butar-Butar berisi dakwaan untuk bertanggung jawab secara pidana atas pelanggaran ham berat yang dilakukan bawahannya (tanggung jawab komando). Terdakwa sebagai atasan, yaitu Komandan Kodim 0502 Jakarta Utara tidak melakukan pengendalian efektif secara patut dan benar dengan mengabaikan informasi yang menunjukkan bahwa bawahannya sedang 5 Surat dakwaan hal 5 para 2 6 Transkrip, Op Cit hal 4 7 Ibid, hal 17 8 Surat dakwaan hal 5 para 4 9 Transkrip, Op Cit hal 17. Namun, yang menarik dari keterangan terdakwa tersebut, disatu sisi Kapten Sriyanto telah menyerahkan pasukannya kepad Kaspuskodalops Polres Jakarta Kapten Sidahuruk, disisi lain terdakwa melalui Kapten Sriyanto masih juga memberikan perintah-perintah kepada pasukannya yang telah di-bko-kan kepada Polres Jakarta Utara. 3

4 melakukan atau baru saja melakukan pelanggaran ham berat serta tidak mengambil tindakan yang layak dan diperlukan untuk menghentikan perbuatan tersebut (pasal 42 ayat (1) huruf a dan b. Adapun pelanggaran ham berat yang didakwakan adalah kejahatan terhadap kemanusiaan (pasal 7 UU No 26 Tahun 2000) berupa pembunuhan (pasal 9 huruf a), penganiayaan (pasal 9 huruf h) dan perampasan kemerdekaan secara sewenangwenang (pasal 9 huruf e) Konsekuensi atas beban pembuktian pembuktian Dengan melihat posisi terdakwa dan surat dakwaan yang diajukan kepada terdakwa, maka beban pembuktian yang harus dilakukan oleh jaksa penuntut umum adalah berkaitan dengan hubungan terdakwa dengan pasukan atau anak buah terdakwa yang telah melakukan kejahatan kemanusiaan, disamping membuktikan bahwa kejahatan terhadap kemanusiaan yang didakwakan kepada terdakwa telah terbukti. Dalam konteks terdakwa sebagai seorang Komandan Kodim, dimana terdakwa sebagai seorang komandan tidak melakukan pengendalian terhadap anak buahnya yang melakukan penembakan sehingga menimbulkan korban baik meninggal maupun lukaluka dalam hal ini pasukan Arhanudse 06 yang di BKO kan dan anak buah terdakwa yang melakukan perampasan kemerdekaan secara sewenang-wenang. Dengan dicantumkannya Tuntutan (Requisitor) Terhadap R. Butar-Butar Sesuai dengan sistematika proses persidangan, maka setelah pembacaan dakwaan dan proses pembuktian, maka Jaksa Penuntut Umum berkewajiban untuk membuktikan unsur-unsur kejahatan yang didakwakannya berdasarkan fakta-fakta yang terungkap di persidangan. Uraian di bawah ini akan mencermati bagaimana Jaksa Penuntut Umum membuktikan unsur-unsur penting dalam Pelanggaran HAM yang berat yang didakwakan kepada R. Butar-Butar. Dalam tuntutannya, pertama-tama jaksa penuntut umum menyatakan bahwa dakwaan yang diajukan kepada terdakwa merupakan dakwaan yang bersifat kumulasi, yaitu telah melanggar : Pertama : Pasal 42 ayat 1 huruf a dan b jis pasal 7 huruf b, pasal 9 huruf a, pasal 37 UU No. 26 tahun 2000 Kedua : Pasal 42 ayat 1 huruf a dan b jis pasal 7 huruf b, pasal 9 huruf h, pasal 40 UU No. 26 tahun 2000 Ketiga : Pasal 42 ayat 1 huruf a dan b jis pasal 7 huruf b, pasal 9 huruf e UU No. 26 tahun 2000 Selanjutnya jaksa penuntut umum menguraikan unsur-unsur yang akan dibuktikannya dari dakwaan yang diajukan kepada terdakwa, yaitu : 4

5 1. Komandan militer dapat dipertanggungjawabkan terhadap tindak pidana yang berada didalam yurisdiksi Pengadilan HAM 2. Mempunyai pasukan, mempunyai komando dan pengendalian yang efektif terhadap bawahannya, tidak melakukan pengendalian terhadap pasukannya secara patut. 3. Mengetahui atau dasar keadaan saat itu seharusnya mengetahui bahwa pasukannya sedang melakukan atau baru saja melakukan pelangggaran hak asasi manusia yang berat. 4. Tidak melakukan tindakan yang layak dan diperlukan dalam ruang lingkup kekuasaannya untuk mencegah atau menghentikan perbuatan tersebut atau menyerahkan pelakunya kepada pejabat yang berwenang untuk dilakukan penyelidikan, penyidikan dan penuntutan. 5. Kejahatan kemanusiaan dalam bentuk serangan yang meluas atau sistematik yang diketahuinya serangan tersebut berupa pembunuhan; penganiayaan dan perampasan kemerdekaan secara sewenang-wenang. Unsur Pertama Komandan militer dapat dipertanggungjawabkan terhadap tindak pidana yang berada didalam yurisdiksi Pengadilan HAM. Terhadap unsur pertama ini, dalam analisa yuridisnya jaksa penuntut umum menyimpulkan bahwa terdakwa R. Butar-Butar sebagai Komandan Kodim 0502 dapat dipertanggungjawabkan secara pidana terhadap pelanggaran HAM berat yang dilakukan oleh bawahannya yang berada dibawah pengendaliannya yang efektif. Hal ini terungkap di persidangan bahwa selain menjabat sebagai Komandan Kodim 0502 Jakarta Utara, terdakwa juga menjabat sebagai Dansubgar dan Dansatpamwil Jakarta Utaraa, yang mempunyai anak buah. Selain itu, pada tanggal 12 September 1984 terdakwa sebagai Komandan Kodim telah menerima BKO dari Batalyon Arhanudse 06 ditugaskan untuk menghadang massa yang melakukan demonstrasi ke Makodim dan Mapolres Jakarta Utara, dimana terhadap pasukan yang melakukan penghadangan, yaitu Regu III dari Batalyon Arhanudse 06 terdakwa sebagai Komandan Kodim berhak untuk memerintahkan dan sekaligus bertanggungjawab terhadap pasukan yang berada dibawah kendalinya tersebut 10. Unsur Kedua Mempunyai pasukan, mempunyai komando dan pengendalian yang efektif terhadap bawahannya, tidak melakukan pengendalian terhadap pasukannya secara patut. Terhadap unsur kedua ini, jaksa penuntut umum menyatakan bahwa sebagai seorang Komandan Kodim merangkap Dansubgar dan Komandan Satuan Pengamanan Wilayah (Dansatpamwil) Jakarta Utara sebenarnya terdakwa mempunyai komando dan pengendalian yang efektif terhadap pasukannya, baik pasukan organik maupun pasukan yang di-bko-kan ke Makodim 0502 Jakarta Utara. III. Pertanggungjawaban Komando (Command Responsibility) 10 Surat Tuntutan No Reg. Perkara : 02/HAM/TJ. Priok/09/03, hal 135 5

6 3.2 Tanggungjawab Komando Dalam UU No. 26 tahun 2000 Ketentuan dalam UU No.26/2000 merumuskan delik tanggung jawab komando (command responsibility) dalam pasal 42 ayat (1). Ketentuan mengenai tanggung jawab komando ini mengacu pada pasal 28 Statuta Roma (mahkamah Pidana Internasional yang dengan sedikit perubahan dijabarkan kembali dalam rumusan seperti yang tertuang dalam UU No. 26/2000 tersebut. Namun pasal 42 ayat (1) UU No. 26/2000 ini mempunyai beberapa kelemahan dengan konsekuensi hukum yang besar. Rumusan tanggungjawab komando dalam pasal ini dijabarkan sebagai berikut: Komandan militer atau seseorang yang secara aktif bertindak sebagai komandan militer dapat dipertanggungjawabkan tehadap tindak pidana yang berada dalam yurisdiksi pengadilan ham, yang dilakukan oleh pasukan yang berada di bawah komando dan pengendaliannya yang efektif atau dibawah kekuasaan dan pengendaliannya yang efektif dan tindak pidana tersebut merupakan akibat dari tidak dilakukannya pengendalian secara patut, yaitu : a) komandan militer atau seseorang tersebut mengetahui atau atas dasar keadaan saat itu seharusnya mengetahui bahwa pasukan tersebut sedang melakukan atau baru saja melakukan pelanggaran ham yang berat, dan b) komandan militer atau seseorang tersebut tidak melakukan tindakan yang layak dan diperlukan dalam ruang lingkup kekuasaannya untuk mencegah atau menghentikan perbuatan tersebut atau menyerahkan pelakunya kepada pejabat yang berwenang untuk dilakukan penyelidikan, penyidikan dan penuntutan. Berdasarkan pengaturan yang demikian ada beberapa kelemahan dalam rumusan pasal 42 (1) UU No. 26/2000 tersebut, kelemahan itu adalah : komando militer atau seseorang yang secara efektif bertindak sebagai komando militer dapat dipertanggungjawabkan terhadap tindak pidana yang berada dalam yurisdiksi pengadilan HAM, yang dilakukan oleh pasukan yang berada dibawah komando dan pengendaliannya yang efektif, Pengertian di atas, yang menggunakan kata dapat (should) dan bukannya akan atau harus (shall), secara implisit menegaskan bahwa tanggung jawab komando dalam kasus pelanggaran berat hak asasi manusia yang diatur melalui UU No.26/2000 ini bukanlah sebuah hal yang bersifat otomatis dan wajib. Pasal ini secara tegas menguatkan pengertian kejahatan terhadap kemanusiaan dalam pasal 9 yang cenderung ditujukan pada pelaku langsung di lapangan. Dengan demikian Jaksa Penuntut Umum harus dapat menunjukkan dan membuktikan adanya keperluan (urgensi) untuk mengadili para penanggung jawab komando, dan bukan hanya pelaku lapangan saja. Lebih lanjut, pasal 42 ayat 1 (a) mensyaratkan penanggung jawab komando untuk seharusnya mengetahui bahwa pasukan tersebut sedang melakukan atau baru saja melakukan pelanggaran hak asasi manusia yang berat. Padahal, sumber dari pasal spesifik tersebut, yaitu pasal 28 ayat 1 (a) Statuta Roma secara tegas menyatakan bahwa komandan militer 6

7 seharusnya mengetahui bahwa pasukan tersebut melakukan atau hendak melakukan kejahatan 11 Distorsi ini mengabaikan adanya kewajiban dari pemegang tanggung jawab komando untuk mencegah terjadinya kejahatan. Meskipun dalam pasal 42 ayat 1 (b) pengabaian ini dikoreksi dengan kalimat komando militer tersebut tidak melakukan tindakan yang layak dan diperlukan dalam ruang lingkup kekuasaannya untuk mencegah dan menghentikan perbuatan tersebut,.namun tidak ada definisi dan batasan yang tegas tentang apa yang layak dan perlu dilakukan oleh penanggung jawab komando. 12 Selain itu, pasal ini berimplikasi pada pengadilan terpaksa menekankan fokus perhatiannya pada proses, yaitu apakah tindakan yang dilakukan sudah layak atau tidak, apakah perlu atau tidak (obligation of conduct), dan secara otomatis mengabaikan pada kenyataan apakah tindakan yang diambil oleh penanggung jawab komando berhasil mencegah dan menghentikan kejahatan atau tidak (obligation of result). Padahal, selain harus bertanggung jawab jika menjadi pelaku langsung, penganjur, atau penyerta, seorang atasan seharusnya juga bertanggung jawab secara pidana atas kelalaian melaksanakan tugas (dereliction of duty) dan kealpaan (negligence). Standar hukum kebiasaan internasional untuk kealpaan dan kelalaian dalam arti yang luas menyatakan bahwa seorang atasan bertanggung jawab secara pidana jika: (1) ia seharusnya mengetahui (should have had knowledge) bahwa pelanggaran hukum telah dan atau sedang terjadi, atau akan terjadi dan dilakukan oleh bawahannya; (2) ia mempunyai kesempatan untuk mengambil tindakan; dan (3) ia gagal mengambil tindakan korektif yang seharusnya dilakukan sesuai keadaan yang ada atau terjadi saat itu. 13 Tentang apakah seseorang tersebut seharusnya mengetahui harus diuji sesuai keadaan yang terjadi dan dengan melihat juga orang/pejabat lain yang setara dengan tertuduh. Berbagai kelemahan rumusan dalam pasal 42 (1) UU No. 26/2000 dilanjutkan dengan tidak adanya penjelasan yang memadai atas pasal tersebut. Implikasi atas tidak adanya penjelasan yang memadai atas rumusan tersebut akan berakibat pada tafsir yang berbeda antara majelis hakim, jaksa bahkan penasehat hukum terdakwa dalam melakukan pembuktian atas suatu perkara yang berkenaan dengan tanggung jawab komando tersebut. 11 Pasal 28 ayat 1 (a) Statuta Roma: That military commander or person either knew or, owing to the circumstances at the time, should have known that the forces were committing or about to commit such crimes; (garis bawah dari penulis) 12 Batasan definitif tanggung jawab komando yang kabur ini juga diulangi pada pasal 42 ayat 2 yang mengatur tentang tanggung jawab atasan (polisi dan pejabat sipil). 13 Lihat artikel Jordan J. Paust Superior Orders and Command Responsibility dalam M Cherif Bassiouni (ed.), International Criminal Law, Volume I, Kluwer International, 1999, hal ; Lihat juga artikel Anthony D Amato, Superior Orders vs Command Responsibility, American Journal of International Law, edisi 80 (1986), hal. 604, ; Penjelasan yang lebih panjang lebar dapat dilihat pada tulisan William Eckhardt, Command Criminal Responsibility: A Plea for a Workable Standard, Military Law Review, edisi 97 (1982). 7

8 3.3 Praktek Pengadilan HAM Ad Hoc Tim-tim 4.1. Keterangan Saksi a. Sriyanto b. Herry Siswoyo 4.2. Keterangan Terdakwa IV. Analisis 4.3. Keterangan Ahli a. PLT Sihombing b. Hikmahanto Juwono 4.5. Dokumen Pengadilan/Alat Bukti lainnya V. Kesimpulan dan Rekomendasi 8

PENGANTAR HUKUM ACARA PENGADILAN HAK ASASI MANUSIA. R. Herlambang Perdana Wiratraman Fakultas Hukum Universitas Airlangga Surabaya, 2 Juni 2008

PENGANTAR HUKUM ACARA PENGADILAN HAK ASASI MANUSIA. R. Herlambang Perdana Wiratraman Fakultas Hukum Universitas Airlangga Surabaya, 2 Juni 2008 PENGANTAR HUKUM ACARA PENGADILAN HAK ASASI MANUSIA R. Herlambang Perdana Wiratraman Fakultas Hukum Universitas Airlangga Surabaya, 2 Juni 2008 Pokok Bahasan Apa prinsip-prinsip dan mekanisme hukum acara

Lebih terperinci

Progres Report #1 Pengadilan HAM Tanjung Priok

Progres Report #1 Pengadilan HAM Tanjung Priok Progres Report #1 Pengadilan HAM Tanjung Priok LEMBAGA STUDI DAN ADVOKASI MASYARAKAT () Jl. Siaga II No. 31 Pejaten Barat, Jakarta 12510 Indonesia Telp : (021) 7972662, 79192564 Fax : (021) 79192519 Website

Lebih terperinci

UU Pengadilan Hak Asasi Manusia: Sebuah Tinjauan

UU Pengadilan Hak Asasi Manusia: Sebuah Tinjauan UU Pengadilan Hak Asasi Manusia: Sebuah Tinjauan Ifdhal Kasim Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (ELSAM) A. Pengantar 1. Pengadilan Hak Asasi Manusia Ad Hoc untuk Timor Timur tingkat pertama telah berakhir.

Lebih terperinci

Melihat Tiga Tuntutan Jaksa Pengadilan HAM Tanjung Priok

Melihat Tiga Tuntutan Jaksa Pengadilan HAM Tanjung Priok PROGRES REPORT #7 MONITORING PENGADILAN TANJUNG PRIOK Melihat Tiga Tuntutan Jaksa Pengadilan HAM Tanjung Priok Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat Jalan siaga II No 31 Pejaten Barat Jakarta 12510 Indonesia

Lebih terperinci

Final Progress Report Pengadilan HAM Tanjung Priok : Gagal Melakukan Penuntutan yang Efektif 1

Final Progress Report Pengadilan HAM Tanjung Priok : Gagal Melakukan Penuntutan yang Efektif 1 Final Progress Report Pengadilan HAM Tanjung Priok : Gagal Melakukan Penuntutan yang Efektif 1 BAB I Pendahuluan Pengadilan HAM Jakarta Pusat yang berwenang memeriksa dan mengadili perkara pelanggaran

Lebih terperinci

Perbedaan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual dengan Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia

Perbedaan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual dengan Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia 3 Perbedaan dengan Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia Bagaimana Ketentuan Mengenai dalam tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia? Menurut hukum internasional, kejahatan

Lebih terperinci

KEJAKSAAN AGUNG R I PENUNTUT UMUM AD HOC PERKARA PELANGGARAN HAM YANG BERAT DI TANJUNG PRIOK JAKARTA UTARA SURAT DAKWAAN

KEJAKSAAN AGUNG R I PENUNTUT UMUM AD HOC PERKARA PELANGGARAN HAM YANG BERAT DI TANJUNG PRIOK JAKARTA UTARA SURAT DAKWAAN KEJAKSAAN AGUNG R I PENUNTUT UMUM AD HOC PERKARA PELANGGARAN HAM YANG BERAT DI TANJUNG PRIOK JAKARTA UTARA Untuk Keadilan SURAT DAKWAAN Nomor Reg. Perkara: 02/HAM/TJ.PRIOK/09/2003. ATAS NAMA TERDAKWA :

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 26 TAHUN 2000 TENTANG PENGADILAN HAK ASASI MANUSIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 26 TAHUN 2000 TENTANG PENGADILAN HAK ASASI MANUSIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA Menimbang : UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 26 TAHUN 2000 TENTANG PENGADILAN HAK ASASI MANUSIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, a. bahwa hak asasi manusia merupakan

Lebih terperinci

Bagian IV VONIS BEBAS UNTUK KAUM BERSENJATA

Bagian IV VONIS BEBAS UNTUK KAUM BERSENJATA Bagian IV VONIS BEBAS UNTUK KAUM BERSENJATA A. Mengadili Butar-Butar Setelah menjalani 120 hari persidangan, akhirnya pada 30 April 2004, Majelis Hakim Pengadilan Ad Hoc HAM menghukum R.A. Butar Butar

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) adalah negara hukum ( rechtsstaat) dan bukan

I. PENDAHULUAN. Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) adalah negara hukum ( rechtsstaat) dan bukan I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) adalah negara hukum ( rechtsstaat) dan bukan sebagai negara yang berdasarkan atas kekuasaan ( machtsstaat). Tidak ada institusi

Lebih terperinci

Undang-Undang Republik Indonesia. Nomor 26 Tahun Tentang. Pengadilan Hak Asasi Manusia BAB I KETENTUAN UMUM

Undang-Undang Republik Indonesia. Nomor 26 Tahun Tentang. Pengadilan Hak Asasi Manusia BAB I KETENTUAN UMUM Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 26 Tahun 2000 Tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam Undang-undang ini yang dimaksud dengan : 1. Hak Asasi Manusia adalah seperangkat

Lebih terperinci

Preliminary Conclusive Report

Preliminary Conclusive Report Preliminary Conclusive Report Pengadilan Hak Asasi Manusia Ad Hoc Kasus Tanjung Priok Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat [ELSAM] Jl Siaga II No 31 Pejatien Barat, Jakarta 12510 Telp (021) 7972662, 79192564

Lebih terperinci

MASUKAN KOALISI PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN ATAS PERUBAHAN UU NO. 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN.

MASUKAN KOALISI PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN ATAS PERUBAHAN UU NO. 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN. MASUKAN KOALISI PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN ATAS PERUBAHAN UU NO. 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN 26 Juni 2014 No Rumusan RUU Komentar Rekomendasi Perubahan 1 Pasal 1 Dalam Undang-Undang

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 26 TAHUN 2000

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 26 TAHUN 2000 UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 26 TAHUN 2000 TENTANG PENGADILAN HAK ASASI MANUSIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa hak asasi manusia merupakan

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 26 TAHUN 2000 TENTANG PENGADILAN HAK ASASI MANUSIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 26 TAHUN 2000 TENTANG PENGADILAN HAK ASASI MANUSIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 26 TAHUN 2000 TENTANG PENGADILAN HAK ASASI MANUSIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa hak asasi manusia merupakan

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 26 TAHUN 2000 TENTANG PENGADILAN HAK ASASI MANUSIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 26 TAHUN 2000 TENTANG PENGADILAN HAK ASASI MANUSIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 26 TAHUN 2000 TENTANG PENGADILAN HAK ASASI MANUSIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa hak asasi manusia merupakan

Lebih terperinci

MAKALAH. Pengadilan HAM dan Hak Korban Pelanggaran Berat HAM. Oleh: Eko Riyadi, S.H., M.H.

MAKALAH. Pengadilan HAM dan Hak Korban Pelanggaran Berat HAM. Oleh: Eko Riyadi, S.H., M.H. TRAINING RULE OF LAW SEBAGAI BASIS PENEGAKAN HUKUM DAN KEADILAN Hotel Santika Premiere Hayam Wuruk - Jakarta, 2 5 November 2015 MAKALAH Pengadilan HAM dan Hak Korban Pelanggaran Berat HAM Oleh: Eko Riyadi,

Lebih terperinci

Tanggung Jawab Komando Dalam Pelanggaran Berat Hak Asasi Manusia Oleh : Abdul Hakim G Nusantara

Tanggung Jawab Komando Dalam Pelanggaran Berat Hak Asasi Manusia Oleh : Abdul Hakim G Nusantara Tanggung Jawab Komando Dalam Pelanggaran Berat Hak Asasi Manusia Oleh : Abdul Hakim G Nusantara Impunitas yaitu membiarkan para pemimpin politik dan militer yang diduga terlibat dalam kasus pelanggaran

Lebih terperinci

PENDIDIKAN PANCASILA DAN KEWARGANEGARAAN by DANIEL ARNOP HUTAPEA, S.Pd PERTEMUAN KE-3

PENDIDIKAN PANCASILA DAN KEWARGANEGARAAN by DANIEL ARNOP HUTAPEA, S.Pd PERTEMUAN KE-3 PENDIDIKAN PANCASILA DAN KEWARGANEGARAAN by DANIEL ARNOP HUTAPEA, S.Pd PERTEMUAN KE-3 Pelanggaran HAM Menurut Undang-Undang No.39 tahun 1999 pelanggaran hak asasi manusia adalah setiap perbuatan seseorang

Lebih terperinci

POSISI KASUS; HAMBATAN DAN PERMASALAHAN

POSISI KASUS; HAMBATAN DAN PERMASALAHAN POSISI KASUS; HAMBATAN DAN PERMASALAHAN Kasus pelanggaran HAM Berat LATAR BELAKANG Paksa reformasi 1998, nilai nilai HAM dan kewajiban pemenuhan, penghormatan dan perlindungan HAM telah menjadi menjadi

Lebih terperinci

PENDAPAT HUKUM ( DISSENTING OPINION )

PENDAPAT HUKUM ( DISSENTING OPINION ) PENDAPAT HUKUM ( DISSENTING OPINION ) I. Pendahuluan 1. Mengingat sidang permusyawaratan Majelis Hakim tidak dapat dicapai mufakat bulat sebagaimana diatur di dalam pasal 19 ayat ( 5 ) Undang-Undang Nomor

Lebih terperinci

PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 26 TAHUN 2000 TENTANG PENGADILAN HAK ASASI MANUSIA

PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 26 TAHUN 2000 TENTANG PENGADILAN HAK ASASI MANUSIA PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 26 TAHUN 2000 TENTANG PENGADILAN HAK ASASI MANUSIA I. UMUM Bahwa hak asasi manusia yang tercantum dalam Undang-Undang Dasar 1945, Deklarasi Universal

Lebih terperinci

Briefing Pers Menyongsong Pembentukan Pengadilan HAM Ad Hoc Untuk Kasus Penghilangan Orang Secara Paksa 1997/1998

Briefing Pers Menyongsong Pembentukan Pengadilan HAM Ad Hoc Untuk Kasus Penghilangan Orang Secara Paksa 1997/1998 Briefing Pers Menyongsong Pembentukan Pengadilan HAM Ad Hoc Untuk Kasus Penghilangan Orang Secara Paksa 1997/1998 Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (ELSAM) Jakarta, 7 November 2009 I. Pendahuluan Menjelang

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 26 TAHUN 2000 TENTANG PENGADILAN HAK ASASI MANUSIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 26 TAHUN 2000 TENTANG PENGADILAN HAK ASASI MANUSIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 26 TAHUN 2000 TENTANG PENGADILAN HAK ASASI MANUSIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa hak asasi manusia merupakan

Lebih terperinci

KEJAKSAAN AGUNG R I PENUNTUT UMUM AD HOC PERKARA PELANGGARAN HAM YANG BERAT DI TANJUNG PRIOK JAKARTA UTARA SURAT DAKWAAN

KEJAKSAAN AGUNG R I PENUNTUT UMUM AD HOC PERKARA PELANGGARAN HAM YANG BERAT DI TANJUNG PRIOK JAKARTA UTARA SURAT DAKWAAN 1 KEJAKSAAN AGUNG R I PENUNTUT UMUM AD HOC PERKARA PELANGGARAN HAM YANG BERAT DI TANJUNG PRIOK JAKARTA UTARA Untuk Keadilan SURAT DAKWAAN Nomor Reg. Perkara: 04/HAM/TJ.PRIOK/09/2003. ATAS NAMA TERDAKWA

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 26 TAHUN 2000 TENTANG PENGADILAN HAK ASASI MANUSIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 26 TAHUN 2000 TENTANG PENGADILAN HAK ASASI MANUSIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 26 TAHUN 2000 TENTANG PENGADILAN HAK ASASI MANUSIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa hak asasi manusia merupakan

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 26 TAHUN 2000 TENTANG PENGADILAN HAK ASASI MANUSIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 26 TAHUN 2000 TENTANG PENGADILAN HAK ASASI MANUSIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 26 TAHUN 2000 TENTANG PENGADILAN HAK ASASI MANUSIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa hak asasi manusia merupakan

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 26 TAHUN 2000 TENTANG PENGADILAN HAK ASASI MANUSIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 26 TAHUN 2000 TENTANG PENGADILAN HAK ASASI MANUSIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 26 TAHUN 2000 TENTANG PENGADILAN HAK ASASI MANUSIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa hak asasi manusia merupakan

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 26 TAHUN 2000 TENTANG PENGADILAN HAK ASASI MANUSIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 26 TAHUN 2000 TENTANG PENGADILAN HAK ASASI MANUSIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 26 TAHUN 2000 TENTANG PENGADILAN HAK ASASI MANUSIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa hak asasi manusia merupakan

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA (UU) NOMOR 26 TAHUN 2000 (26/2000) TENTANG PENGADILAN HAK ASASI MANUSIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA (UU) NOMOR 26 TAHUN 2000 (26/2000) TENTANG PENGADILAN HAK ASASI MANUSIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA (UU) NOMOR 26 TAHUN 2000 (26/2000) TENTANG PENGADILAN HAK ASASI MANUSIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa hak asasi manusia

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA (UU) NOMOR 26 TAHUN 2000 (26/2000) TENTANG PENGADILAN HAK ASASI MANUSIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA (UU) NOMOR 26 TAHUN 2000 (26/2000) TENTANG PENGADILAN HAK ASASI MANUSIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA (UU) NOMOR 26 TAHUN 2000 (26/2000) TENTANG PENGADILAN HAK ASASI MANUSIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa hak asasi manusia

Lebih terperinci

KEJAKSAAN AGUNG REPUBLIK INDONESIA PENUNTUT UMUM AD HOC PERKARA PELANGGARAN HAM BERAT DI TANJUNG PRIOK SURAT DAKWAAN

KEJAKSAAN AGUNG REPUBLIK INDONESIA PENUNTUT UMUM AD HOC PERKARA PELANGGARAN HAM BERAT DI TANJUNG PRIOK SURAT DAKWAAN KEJAKSAAN AGUNG REPUBLIK INDONESIA PENUNTUT UMUM AD HOC PERKARA PELANGGARAN HAM BERAT DI TANJUNG PRIOK P29 UNTUK KEADILAN SURAT DAKWAAN Nomor Reg. Perkara: 03 /HAM/TJ-PRIOK/ 09 / 2003 I. TERDAKWA Nama

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Dasar 1945 menetapkan bahwa Negara

I. PENDAHULUAN. Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Dasar 1945 menetapkan bahwa Negara I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Dasar 1945 menetapkan bahwa Negara Indonesia adalah negara hukum, pernyataan demikian membawa konsekuensi bahwa hukum hendaknya dapat

Lebih terperinci

Evaluasi Kritis Atas Kelemahan UU Peradilan HAM 1

Evaluasi Kritis Atas Kelemahan UU Peradilan HAM 1 Evaluasi Kritis Atas Kelemahan UU Peradilan HAM 1 Oleh : Budi Santoso 2 Dari proses peradilan HAM ad hoc Kasus Timor Timur Pasca Jajak Pendapat yang telah berlangsung hingga sekarang ini kita telah bisa

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 3 TAHUN 2002 TENTANG

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 3 TAHUN 2002 TENTANG PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 3 TAHUN 2002 TENTANG KOMPENSASI, RESTITUSI, DAN REHABILITASI TERHADAP KORBAN PELANGGARAN HAK ASASI MANUSIA YANG BERAT PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang

Lebih terperinci

*12269 UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA (UU) NOMOR 26 TAHUN 2000 (26/2000) TENTANG PENGADILAN HAK ASASI MANUSIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

*12269 UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA (UU) NOMOR 26 TAHUN 2000 (26/2000) TENTANG PENGADILAN HAK ASASI MANUSIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA Copyright (C) 2000 BPHN UU 26/2000, PENGADILAN HAK ASASI MANUSIA *12269 UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA (UU) NOMOR 26 TAHUN 2000 (26/2000) TENTANG PENGADILAN HAK ASASI MANUSIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG

Lebih terperinci

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA Teks tidak dalam format asli. Kembali: tekan backspace LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No. 208, 2000 (Penjelasan dalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4026) UNDANG-UNDANG REPUBLIK

Lebih terperinci

PENGADILAN HAM DI INDONESIA: PROSEDUR DAN PRAKTEK * Agung Yudhawiranata

PENGADILAN HAM DI INDONESIA: PROSEDUR DAN PRAKTEK * Agung Yudhawiranata PENGADILAN HAM DI INDONESIA: PROSEDUR DAN PRAKTEK * Agung Yudhawiranata 1. Latar belakang pembentukan Kondisi penegakan dan perlindungan hak asasi manusia semakin memprihatinkan terutama semakin maraknya

Lebih terperinci

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.789, 2014 BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA BNPT. Kerjasama. Penegak Hukum. Penanganan Tindak Pidana. Terorisme PERATURAN KEPALA BADAN NASIONAL PENANGGULANGAN TERORISME REPUBLIK INDONESIA NOMOR PER-04/K.BNPT/11/2013

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 26 TAHUN 2000 TENTANG PENGADILAN HAK ASASI MANUSIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 26 TAHUN 2000 TENTANG PENGADILAN HAK ASASI MANUSIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 26 TAHUN 2000 TENTANG PENGADILAN HAK ASASI MANUSIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa hak asasi manusia merupakan

Lebih terperinci

Putusan Sela Daud Sihombing Tanggal 14 Juni 2004

Putusan Sela Daud Sihombing Tanggal 14 Juni 2004 Putusan Sela Daud Sihombing Tanggal 14 Juni 2004 Putusan sela Putusan Sela Nomor 2/A/Abepura/02/2004 demi keadilan terhadap kasus Abepura. Majelis Hakim pengadilan Hak Asasi Manusia pada pengadilan negeri

Lebih terperinci

Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (ELSAM) Progress Report II Monitoring Pengadilan HAM Adhoc Untuk Perkara Pelanggaran Berat HAM di Timor Timur

Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (ELSAM) Progress Report II Monitoring Pengadilan HAM Adhoc Untuk Perkara Pelanggaran Berat HAM di Timor Timur Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (ELSAM) Progress Report II Monitoring Pengadilan HAM Adhoc Untuk Perkara Pelanggaran Berat HAM di Timor Timur I. Pengantar Pada bulan April 2002, masing-masing Majelis

Lebih terperinci

MAKALAH INDONESIAN HUMAN RIGHTS LEGISLATION. Oleh: Ifdhal Kasim Ketua Komnas HAM RI, Jakarta

MAKALAH INDONESIAN HUMAN RIGHTS LEGISLATION. Oleh: Ifdhal Kasim Ketua Komnas HAM RI, Jakarta PEMERKUATAN PEMAHAMAN HAK ASASI MANUSIA UNTUK HAKIM SELURUH INDONESIA Hotel Santika Makassar, 30 Mei 2 Juni 2011 MAKALAH INDONESIAN HUMAN RIGHTS LEGISLATION Oleh: Ifdhal Kasim Ketua Komnas HAM RI, Jakarta

Lebih terperinci

PROGRESS REPORT IX. Pemantauan Pengadilan HAM Ad Hoc Perkara Pelanggaran HAM berat di Timor-timur. Jakarta, 20 Desember 2002.

PROGRESS REPORT IX. Pemantauan Pengadilan HAM Ad Hoc Perkara Pelanggaran HAM berat di Timor-timur. Jakarta, 20 Desember 2002. PROGRESS REPORT IX Pemantauan Pengadilan HAM Ad Hoc Perkara Pelanggaran HAM berat di Timor-timur Jakarta, 20 Desember 2002. KEJAHATAN TERHADAP KEMANUSIAAN TANPA PENANGGUNG JAWAB Lembaga Studi dan Advokasi

Lebih terperinci

BAB III PENYAJIAN DATA KEJAHATAN KEMANUSIAAN DALAM DESKRIPSI UU NO. 26 TAHUN 2000 TENTANG PENGADILAN HAM

BAB III PENYAJIAN DATA KEJAHATAN KEMANUSIAAN DALAM DESKRIPSI UU NO. 26 TAHUN 2000 TENTANG PENGADILAN HAM 39 BAB III PENYAJIAN DATA KEJAHATAN KEMANUSIAAN DALAM DESKRIPSI UU NO. 26 TAHUN 2000 TENTANG PENGADILAN HAM A. Deskripsi Undang Undang No. 26 Tahun 2000 1. Ketentuan Umum Ketentuan umum terdapat dalam

Lebih terperinci

UNSUR-UNSUR S TANGGUNG GJAWAB A KOMANDAN

UNSUR-UNSUR S TANGGUNG GJAWAB A KOMANDAN UNSUR-UNSUR S TANGGUNG GJAWAB A KOMANDAN A Oleh: Rudi M. Rizki Disampaikan dalam Training, Training Hukum HAM bagi Dosen Pengajar Hukum dan HAM di Fakultas Hukum pada Perguruan Tinggi Negeri dan Swasta

Lebih terperinci

UNSUR-UNSUR TANGGUNG JAWAB KOMANDAN. Rudi M. Rizki, S.H., LL.M

UNSUR-UNSUR TANGGUNG JAWAB KOMANDAN. Rudi M. Rizki, S.H., LL.M UNSUR-UNSUR TANGGUNG JAWAB KOMANDAN Rudi M. Rizki, S.H., LL.M Makalah ini disampaikan dalam Training Hukum HAM untuk Dosen Pengajar Hukum HAM di Fakultas Hukum Negeri dan Swasta di Indonesia, diselenggarakan

Lebih terperinci

PENGADILAN HAK ASASI MANUSIA DI INDONESIA

PENGADILAN HAK ASASI MANUSIA DI INDONESIA Seri Bahan Bacaan Kursus HAM untuk Pengacara XI Tahun 2007 PENGADILAN HAK ASASI MANUSIA DI INDONESIA Zainal Abidin, S.H. Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat Jl Siaga II No 31 Pejaten Barat, Jakarta 12510

Lebih terperinci

Perbedaan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual dengan Undang Undang Nomor 44 Tahun 2008 tentang Pornografi

Perbedaan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual dengan Undang Undang Nomor 44 Tahun 2008 tentang Pornografi 6 Perbedaan dengan Undang Undang Nomor 44 Tahun 2008 tentang Pornografi Bagaimana Ketentuan Mengenai dalam Undang Undang Nomor 44 Tahun 2008 tentang Pornografi? Undang Undang Nomor 44 Tahun 2008 tentang

Lebih terperinci

DAFTAR ISTILAH. : International Criminal Tribunal for the. former Yugoslavia : Ikatan Keluarga Korban Tanjung Priok

DAFTAR ISTILAH. : International Criminal Tribunal for the. former Yugoslavia : Ikatan Keluarga Korban Tanjung Priok ABRI : Angkatan Bersenjata Republik AD : Angkatan Darat ALM : Almarhum ARHANUD : Artileri Pertahanan Udara ASINTEL : Asistan Intelijen BA : Bachelor of Arts BABINKUM : Badan Pembinaan Hukum BABINSA : Badan

Lebih terperinci

PENGADILAN HAK ASASI MANUSIA

PENGADILAN HAK ASASI MANUSIA Jamuan Ilmiah tentang Hukum Hak Asasi Manusia bagi Tenaga Pendidik Akademi Kepolisian Semarang Jogjakarta Plaza Hotel, 16 18 Mei 2017 MAKALAH PENGADILAN HAK ASASI MANUSIA Oleh: Dr. Suparman Marzuki, S.H.,

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA (UU) NOMOR 26 TAHUN 2000 (26/2000) TENTANG PENGADILAN HAK ASASI MANUSIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA (UU) NOMOR 26 TAHUN 2000 (26/2000) TENTANG PENGADILAN HAK ASASI MANUSIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA (UU) NOMOR 26 TAHUN 2000 (26/2000) TENTANG PENGADILAN HAK ASASI MANUSIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa hak asasi manusia

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. yang bertujuan mengatur tata tertib dalam kehidupan masyarakat.

BAB I PENDAHULUAN. yang bertujuan mengatur tata tertib dalam kehidupan masyarakat. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Negara kesatuan Republik Indonesia adalah negara hukum yang berlandaskan pada Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945 (UUD 1945). Negara juga menjunjung tinggi

Lebih terperinci

Presiden, DPR, dan BPK.

Presiden, DPR, dan BPK. BAB I PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG KPK adalah lembaga negara yang dibentuk dengan tujuan meningkatkan daya guna dan hasil guna terhadap upaya pemberantasan tindak pidana korupsi. KPK bersifat independen

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Tindak pidana korupsi merupakan salah satu kejahatan yang merusak moral

I. PENDAHULUAN. Tindak pidana korupsi merupakan salah satu kejahatan yang merusak moral I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Tindak pidana korupsi merupakan salah satu kejahatan yang merusak moral bangsa dan merugikan seluruh lapisan masyarakat, sehingga harus dilakukan penyidikan sampai

Lebih terperinci

MONITORING PENGADILAN HAK ASASI MANUSIA KASUS TANJUNG PRIOK

MONITORING PENGADILAN HAK ASASI MANUSIA KASUS TANJUNG PRIOK PROGRES REPORT #2 MONITORING PENGADILAN HAK ASASI MANUSIA KASUS TANJUNG PRIOK ELSAM Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat Jalan siaga II No 31 Pejaten Barat Jakarta 12510 Indonesia Tel : (62-61) 797 2662,

Lebih terperinci

NOMOR 26 TAHUN 2000 TENTANG PENGADILAN HAK ASASI MANUSIA

NOMOR 26 TAHUN 2000 TENTANG PENGADILAN HAK ASASI MANUSIA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 26 TAHUN 2000 TENTANG PENGADILAN HAK ASASI MANUSIA Menimbang: DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, a. bahwa hak asasi manusia merupakan

Lebih terperinci

BAB II PRAPERADILAN DALAM SISTEM PERADILAN PIDANA INDONESIA. A. Sejarah Praperadilan dalam Sistem Peradilan Pidana di Indonesia

BAB II PRAPERADILAN DALAM SISTEM PERADILAN PIDANA INDONESIA. A. Sejarah Praperadilan dalam Sistem Peradilan Pidana di Indonesia BAB II PRAPERADILAN DALAM SISTEM PERADILAN PIDANA INDONESIA A. Sejarah Praperadilan dalam Sistem Peradilan Pidana di Indonesia Sebelum berlakunya Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana

Lebih terperinci

PENJATUHAN PIDANA BERSYARAT DAN MASALAHNYA SERTA KAITANNYA DENGAN PEMBINAAN DISIPLIN PRAJURIT DI KESATUANNYA

PENJATUHAN PIDANA BERSYARAT DAN MASALAHNYA SERTA KAITANNYA DENGAN PEMBINAAN DISIPLIN PRAJURIT DI KESATUANNYA PENJATUHAN PIDANA BERSYARAT DAN MASALAHNYA SERTA KAITANNYA DENGAN PEMBINAAN DISIPLIN PRAJURIT DI KESATUANNYA 1. PENDAHULUAN Fakta dalam praktek peradilan pidana sering ditemukan pengadilan menjatuhkan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Hukum berkembang mengikuti perubahan zaman dan kebutuhan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Hukum berkembang mengikuti perubahan zaman dan kebutuhan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Hukum berkembang mengikuti perubahan zaman dan kebutuhan manusia. Salah satu unsur yang menyebabkan adanya perubahan dan perkembangan hukum adalah adanya ilmu pengetahuan,

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. a. Pengertian, Kedudukan, serta Tugas dan Wewenang Kejaksaan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. a. Pengertian, Kedudukan, serta Tugas dan Wewenang Kejaksaan BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Kerangka Teori 1. Tinjauan Umum Tentang Kejaksaan a. Pengertian, Kedudukan, serta Tugas dan Wewenang Kejaksaan Undang-undang No. 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia,

Lebih terperinci

INTERNATIONAL MILITARY TRIBUNAL NUREMBERG

INTERNATIONAL MILITARY TRIBUNAL NUREMBERG PENGADILAN HAM A. INTERNATIONAL MILITARY TRIBUNAL (IMT) NUREMBERG B. INTERNATIONAL MILITARY TRIBUNAL FOR THE FAR EAST (IMTFE TOKYO C. INTERNATIONAL TRIBUNAL FOR THE PROSECUTION OF PERSONS RESPONSIBLE FOR

Lebih terperinci

HAK-HAK YANG DILUPAKAN Kompensasi, Restitusi dan Rehabilitasi Korban Pelanggaran HAM Berat Pada pengadilan HAM

HAK-HAK YANG DILUPAKAN Kompensasi, Restitusi dan Rehabilitasi Korban Pelanggaran HAM Berat Pada pengadilan HAM PROGRES REPORT #6 MONITORING PENGADILAN TANJUNG PRIOK HAK-HAK YANG DILUPAKAN Kompensasi, Restitusi dan Rehabilitasi Korban Pelanggaran HAM Berat Pada pengadilan HAM Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat

Lebih terperinci

DEPARTEMEN HUKUM PIDANA

DEPARTEMEN HUKUM PIDANA TINJAUAN YURIDIS KEWENANGAN DALAM PENYELIDIKAN DAN PENYIDIKAN TERHADAP PELANGGARAN HAK ASASI MANUSIA (HAM) YANG BERAT MENURUT UNDANG-UNDANG NOMOR 26 TAHUN 2000 TENTANG PENGADILAN HAK ASASI MANUSIA (STUDI

Lebih terperinci

1. Beberapa rumusan pidana denda lebih rendah daripada UU Tipikor

1. Beberapa rumusan pidana denda lebih rendah daripada UU Tipikor Lampiran1: Catatan Kritis Terhadap RKUHP (edisi 2 Februari 2018) 1. Beberapa rumusan pidana denda lebih rendah daripada UU Tipikor Serupa dengan semangat penerapan pidana tambahan uang pengganti, pidana

Lebih terperinci

BAB III IMPLEMENTASI KETERANGAN AHLI DALAM PEMERIKSAAN PERKARA PIDANA DI TINGKAT PENYIDIKAN

BAB III IMPLEMENTASI KETERANGAN AHLI DALAM PEMERIKSAAN PERKARA PIDANA DI TINGKAT PENYIDIKAN BAB III IMPLEMENTASI KETERANGAN AHLI DALAM PEMERIKSAAN PERKARA PIDANA DI TINGKAT PENYIDIKAN A. Hal-Hal Yang Menjadi Dasar Penyidik Memerlukan Keterangan Ahli Di Tingkat Penyidikan Terkait dengan bantuan

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 26 TAHUN 2000 TENTANG PENGADILAN HAK ASASI MANUSIA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 26 TAHUN 2000 TENTANG PENGADILAN HAK ASASI MANUSIA 1 UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 26 TAHUN 2000 TENTANG PENGADILAN HAK ASASI MANUSIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA Menimbang : a. bahwa hak asasi manusia merupakan

Lebih terperinci

Jakarta, September xiv

Jakarta, September xiv SEKAPUR SIRIH Buku berjudul Reproduksi Ketidakadilan Masa Lalu: Catatan Perjalanan Membongkar Kejahatan HAM Tanjung Priok 1984 ini merupakan catatan dokumentasi KontraS terhadap pemantauan Pengadilan HAM

Lebih terperinci

RINGKASAN SKRIPSI/ NASKAH PUBLIKASI TANGGUNG JAWAB KEJAKSAAN DALAM PRA PENUNTUTAN UNTUK MENYEMPURNAKAN BERKAS PERKARA PENYIDIKAN

RINGKASAN SKRIPSI/ NASKAH PUBLIKASI TANGGUNG JAWAB KEJAKSAAN DALAM PRA PENUNTUTAN UNTUK MENYEMPURNAKAN BERKAS PERKARA PENYIDIKAN RINGKASAN SKRIPSI/ NASKAH PUBLIKASI TANGGUNG JAWAB KEJAKSAAN DALAM PRA PENUNTUTAN UNTUK MENYEMPURNAKAN BERKAS PERKARA PENYIDIKAN Diajukan oleh: JEMIS A.G BANGUN NPM : 100510287 Program Studi Program Kekhususan

Lebih terperinci

Makalah Daluwarsa Penuntutan (Hukum Pidana) BAB I PENDAHULUAN

Makalah Daluwarsa Penuntutan (Hukum Pidana) BAB I PENDAHULUAN Makalah Daluwarsa Penuntutan (Hukum Pidana) BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sesuai dengan apa yang tertuang dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana bahwa wewenang penghentian penuntutan ditujukan kepada

Lebih terperinci

PEMERIKSAAN PERKARA DESERSI SECARA IN ABSENSIA DI PERSIDANGAN

PEMERIKSAAN PERKARA DESERSI SECARA IN ABSENSIA DI PERSIDANGAN PEMERIKSAAN PERKARA DESERSI SECARA IN ABSENSIA DI PERSIDANGAN 1. Hakikat Tindak Pidana Desersi Oleh: Mayjen TNI Drs. Burhan Dahlan SH. MH. Tindak pidana desersi merupakan tindak pidana yang secara khusus

Lebih terperinci

SURAT TUNTUTAN (REQUISITOIR) DALAM PROSES PERKARA PIDANA

SURAT TUNTUTAN (REQUISITOIR) DALAM PROSES PERKARA PIDANA SURAT TUNTUTAN (REQUISITOIR) DALAM PROSES PERKARA PIDANA Disusun dan Diajukan Untuk Melengkapi Syarat Guna Memperoleh Gelar Sarjana Hukum Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Surakarta Disusun Oleh

Lebih terperinci

KEJAKSAAN AGUNG R I PENUNTUT UMUM AD HOC PERKARA PELANGGARAN HAM YANG BERAT DI TANJUNG PRIOK JAKARTA UTARA SURAT DAKWAAN

KEJAKSAAN AGUNG R I PENUNTUT UMUM AD HOC PERKARA PELANGGARAN HAM YANG BERAT DI TANJUNG PRIOK JAKARTA UTARA SURAT DAKWAAN KEJAKSAAN AGUNG R I PENUNTUT UMUM AD HOC PERKARA PELANGGARAN HAM YANG BERAT DI TANJUNG PRIOK JAKARTA UTARA Untuk Keadilan SURAT DAKWAAN Nomor Reg. Perkara: 01/HAM/TJ.PRIOK/08/2003. ATAS NAMA TERDAKWA :

Lebih terperinci

Jenewa III, Pasal 146 Konvensi Jenewa IV tahun 1949 adalah: 1. Menetapkan undang-undang yang diperlukan untuk memberikan sanksi pidana

Jenewa III, Pasal 146 Konvensi Jenewa IV tahun 1949 adalah: 1. Menetapkan undang-undang yang diperlukan untuk memberikan sanksi pidana 2 Indonesia meratifikasi berbagai instrumen internasional tentang HAM, seperti ratifikasi Indonesia terhadap keempat Konvensi Jenewa 1949 dengan Undang- Undang Nomor 59 Tahun 1958, Konsekuensi tersebut,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. sering terjadi penyimpangan-penyimpangan terhadap norma-norma pergaulan. tingkat kejahatan atau tindak pidana pembunuhan.

BAB I PENDAHULUAN. sering terjadi penyimpangan-penyimpangan terhadap norma-norma pergaulan. tingkat kejahatan atau tindak pidana pembunuhan. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Dalam pergaulan hidup manusia, baik individu maupun kelompok sering terjadi penyimpangan-penyimpangan terhadap norma-norma pergaulan hidup, terutama norma hukum yang

Lebih terperinci

BAB III KESIMPULAN DAN SARAN. tuntutan. Jadi peradilan internasional diselenggarakan untuk mencegah pelaku

BAB III KESIMPULAN DAN SARAN. tuntutan. Jadi peradilan internasional diselenggarakan untuk mencegah pelaku 55 BAB III KESIMPULAN DAN SARAN A. Kesimpulan Setelah diuraikan dalam bab-bab sebelumnya, maka dapat disimpulkan bahwa Peradilan internasional baru akan digunakan jika penyelesaian melalui peradilan nasional

Lebih terperinci

Pelanggaran Hak Asasi Manusia yang berat adalah pelanggaran sebagaimana dimaksud

Pelanggaran Hak Asasi Manusia yang berat adalah pelanggaran sebagaimana dimaksud 15 Pelanggaran Hak Asasi Manusia yang berat adalah pelanggaran sebagaimana dimaksud dalam undang-undang ini. Adapun jenis-jenis pelanggaran Hak Asasi Manusia yang berat, sebagai berikut: 1. Kejahatan Genosida

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Pembunuhan berencana dalam KUHP diatur dalam pasal 340 adalah Barang

I. PENDAHULUAN. Pembunuhan berencana dalam KUHP diatur dalam pasal 340 adalah Barang I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pembunuhan berencana dalam KUHP diatur dalam pasal 340 adalah Barang siapa sengaja dan dengan rencana lebih dahulu merampas nyawa orang lain, diancam karena pembunuhan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. tercipta pula aturan-aturan baru dalam bidang hukum pidana tersebut. Aturanaturan

BAB I PENDAHULUAN. tercipta pula aturan-aturan baru dalam bidang hukum pidana tersebut. Aturanaturan BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah Globalisasi menyebabkan ilmu pengetahuan kian berkembang pesat termasuk bidang ilmu hukum, khususnya dikalangan hukum pidana. Banyak perbuatan-perbuatan baru yang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Hukum Pidana di Indonesia merupakan pedoman yang sangat penting dalam mewujudkan suatu keadilan. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) adalah dasar yang kuat

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. setiap individu, sehingga setiap orang memiliki hak persamaan dihadapan hukum.

BAB 1 PENDAHULUAN. setiap individu, sehingga setiap orang memiliki hak persamaan dihadapan hukum. BAB 1 PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG MASALAH Dalam Negara Hukum, negara mengakui dan melindungi hak asasi manusia setiap individu, sehingga setiap orang memiliki hak persamaan dihadapan hukum. Persamaan

Lebih terperinci

PELANGGARAN HAM YANG BERAT. Muchamad Ali Safa at

PELANGGARAN HAM YANG BERAT. Muchamad Ali Safa at PELANGGARAN HAM YANG BERAT Muchamad Ali Safa at PELANGGARAN HAM setiap perbuatan seseorang atau kelompok orang termasuk aparat negara baik disengaja maupun tidak sengaja, atau kelalaian yang secara melawan

Lebih terperinci

Konstruksi Tindak Pidana Dalam Pelanggaran Berat Hak Asasi Manusia * Agung Yudhawiranata

Konstruksi Tindak Pidana Dalam Pelanggaran Berat Hak Asasi Manusia * Agung Yudhawiranata Konstruksi Tindak Pidana Dalam Pelanggaran Berat Hak Asasi Manusia * Agung Yudhawiranata Pendahuluan Bagian ini akan menjelaskan tentang konsep pelanggaran berat menurut hukum internasional dan dalam wacana

Lebih terperinci

Putusan Nomor 02/Pid. HAM/AD HOC/2003/PN Jakarta Pusat.

Putusan Nomor 02/Pid. HAM/AD HOC/2003/PN Jakarta Pusat. Putusan Nomor 02/Pid. HAM/AD HOC/2003/PN Jakarta Pusat. Demi keadilan Ketuhanan Yang Maha Esa pengadilan hak asasi manusia ad hoc pada pengadilan hak asasi manusia Jakarta Pusat yang memeriksa dan mengadili

Lebih terperinci

Pengertian Kejahatan Terhadap Kemanusiaan

Pengertian Kejahatan Terhadap Kemanusiaan PENDAPAT HUKUM (.DISSENTING OPINION ) I. Pendahuluan 1. Mengingat sidang permusyawaratan Majelis Hakim tidak dapat dicapai mufakat bulat sebagaimana diatur di dalam pasal 19 ayat ( 5 ) Undang- Undang Nomor

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2006 TENTANG BANTUAN TIMBAL BALIK DALAM MASALAH PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2006 TENTANG BANTUAN TIMBAL BALIK DALAM MASALAH PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2006 TENTANG BANTUAN TIMBAL BALIK DALAM MASALAH PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa negara Republik

Lebih terperinci

BAB V PENUTUP. 1. Yurisdiksi Mahkamah Pidana Internasional dalam Pasal 17 Statuta Roma

BAB V PENUTUP. 1. Yurisdiksi Mahkamah Pidana Internasional dalam Pasal 17 Statuta Roma BAB V PENUTUP A. Kesimpulan 1. Yurisdiksi Mahkamah Pidana Internasional dalam Pasal 17 Statuta Roma merupakan wujud dari Prinsip Komplemeter dari badan yudisial tersebut. Pasal tersebut mengatur terhadap

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. kebebasan, baik yang bersifat fisik maupun pikiran. Oleh karena itu, Undang-Undang Dasar

I. PENDAHULUAN. kebebasan, baik yang bersifat fisik maupun pikiran. Oleh karena itu, Undang-Undang Dasar I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Salah satu hak asasi manusia (selanjutnya disingkat HAM) yang utama adalah hak atas kebebasan, baik yang bersifat fisik maupun pikiran. Oleh karena itu, Undang-Undang Dasar

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. penetapan status tersangka, bukanlah perkara yang dapat diajukan dalam

BAB I PENDAHULUAN. penetapan status tersangka, bukanlah perkara yang dapat diajukan dalam BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pengajuan permohonan perkara praperadilan tentang tidak sahnya penetapan status tersangka, bukanlah perkara yang dapat diajukan dalam sidang praperadilan sebagaimana

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 26 TAHUN 2000 TENTANG PENGADILAN HAK ASASI MANUSIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 26 TAHUN 2000 TENTANG PENGADILAN HAK ASASI MANUSIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 26 TAHUN 2000 TENTANG PENGADILAN HAK ASASI MANUSIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa hak asasi manusia merupakan

Lebih terperinci

TUGAS PANCASILA KASUS PELANGGARAN HAM DAN PENYESAIANNYA OLEH : MUKHLISIIN BUDIDAYA PERAIRAN(A)

TUGAS PANCASILA KASUS PELANGGARAN HAM DAN PENYESAIANNYA OLEH : MUKHLISIIN BUDIDAYA PERAIRAN(A) TUGAS PANCASILA KASUS PELANGGARAN HAM DAN PENYESAIANNYA OLEH : MUKHLISIIN 1504113414 BUDIDAYA PERAIRAN(A) LABORATORIUM EKOLOGI DAN MANAJEMEN LINGKUNGAN PERAIRAN FAKULTAN PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN UNIVERSITAS

Lebih terperinci

BAB II KEWENANGAN JAKSA DALAM SISTEM PERADILAN DI INDONESIA. diatur secara eksplisit atau implisit dalam Undang-undang Dasar 1945, yang pasti

BAB II KEWENANGAN JAKSA DALAM SISTEM PERADILAN DI INDONESIA. diatur secara eksplisit atau implisit dalam Undang-undang Dasar 1945, yang pasti BAB II KEWENANGAN JAKSA DALAM SISTEM PERADILAN DI INDONESIA 1. Wewenang Jaksa menurut KUHAP Terlepas dari apakah kedudukan dan fungsi Kejaksaan Republik Indonesia diatur secara eksplisit atau implisit

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. A. Tata Cara Pelaksanaan Putusan Pengadilan Terhadap Barang Bukti

II. TINJAUAN PUSTAKA. A. Tata Cara Pelaksanaan Putusan Pengadilan Terhadap Barang Bukti II. TINJAUAN PUSTAKA A. Tata Cara Pelaksanaan Putusan Pengadilan Terhadap Barang Bukti Mengenai pengembalian barang bukti juga diatur dalam Pasal 46 KUHAP. Hal ini mengandung arti bahwa barang bukti selain

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. (rechtsstaat), tidak berdasarkan atas kekuasaan belaka (machtsstaat). Indonesia

BAB I PENDAHULUAN. (rechtsstaat), tidak berdasarkan atas kekuasaan belaka (machtsstaat). Indonesia BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Negara Indonesia adalah Negara yang berdasarkan atas hukum (rechtsstaat), tidak berdasarkan atas kekuasaan belaka (machtsstaat). Indonesia menerima hukum sebagai

Lebih terperinci

Perlindungan Saksi di Pengadilan HAM dan Beberapa Masalahnya 1

Perlindungan Saksi di Pengadilan HAM dan Beberapa Masalahnya 1 Perlindungan Saksi di Pengadilan HAM dan Beberapa Masalahnya 1 Supriyadi Widodo Eddyono 2 Pengantar Perlindungan saksi yang di praktekkan selama ini dalam kasus-kasus Hak Asasi Manusia di Indonesia sebenarnya

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pemeriksaan suatu perkara pidana di dalam suatu proses peradilan pada

BAB I PENDAHULUAN. Pemeriksaan suatu perkara pidana di dalam suatu proses peradilan pada BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pemeriksaan suatu perkara pidana di dalam suatu proses peradilan pada hakekatnya adalah bertujuan untuk mencari kebenaran materiil (materiile waarheid) terhadap perkara

Lebih terperinci

NOMOR 26 TAHUN 2000 TENTANG PENGADILAN HAK ASASI MANUSIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

NOMOR 26 TAHUN 2000 TENTANG PENGADILAN HAK ASASI MANUSIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA 1 UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 26 TAHUN 2000 TENTANG PENGADILAN HAK ASASI MANUSIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA Menimbang : a. bahwa hak asasi manusia merupakan

Lebih terperinci

P U T U S A N NOMOR: PUT / 61-K / PM.II-10 / AD / IX / 2009

P U T U S A N NOMOR: PUT / 61-K / PM.II-10 / AD / IX / 2009 PENGADILAN MILITER II-10 S E M A R A N G P U T U S A N NOMOR: PUT / 61-K / PM.II-10 / AD / IX / 2009 DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA. PENGADILAN MILITER II-10 Semarang yang bersidang

Lebih terperinci

MEKANISME PENYELESAIAN KASUS KEJAHATAN KEHUTANAN

MEKANISME PENYELESAIAN KASUS KEJAHATAN KEHUTANAN MEKANISME PENYELESAIAN KASUS KEJAHATAN KEHUTANAN POLTABES LOCUSNYA KOTA BESAR KEJAKSAAN NEGERI KOTA PENGADILAN NEGERI PERISTIWA HUKUM PENGADUAN LAPORAN TERTANGKAP TANGAN PENYELIDIKAN, PEYIDIKAN BAP Berdasarkan

Lebih terperinci

PEMBAHASAN RANCANGAN UNDANG - UNDANG TENTANG PERAMPASAN ASET * Oleh : Dr. Ramelan, SH.MH

PEMBAHASAN RANCANGAN UNDANG - UNDANG TENTANG PERAMPASAN ASET * Oleh : Dr. Ramelan, SH.MH 1 PEMBAHASAN RANCANGAN UNDANG - UNDANG TENTANG PERAMPASAN ASET * I. PENDAHULUAN Oleh : Dr. Ramelan, SH.MH Hukum itu akal, tetapi juga pengalaman. Tetapi pengalaman yang diperkembangkan oleh akal, dan akal

Lebih terperinci