BAB II SEJARAH PEMBENTUKAN, STRUKTUR DAN YURIDIKSI INTERNATIONAL CRIMINAL COURT. Dalam bab ini penulis akan mencoba memaparkan mengenai International

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "BAB II SEJARAH PEMBENTUKAN, STRUKTUR DAN YURIDIKSI INTERNATIONAL CRIMINAL COURT. Dalam bab ini penulis akan mencoba memaparkan mengenai International"

Transkripsi

1 BAB II SEJARAH PEMBENTUKAN, STRUKTUR DAN YURIDIKSI INTERNATIONAL CRIMINAL COURT Dalam bab ini penulis akan mencoba memaparkan mengenai International Criminal Court yang akan dibagi kedalam beberapa sub bab untuk memudahkan penulisan yaitu: sejarah pembentukan International Criminal Court (ICC), struktur dan prinsip-prinsip dasar yang terdapat di dalam tubuh ICC, wilayah yuridiksi ICC, Statuta Roma sebagai dasar hukum ICC serta beberapa kasus yang pernah ditangani oleh ICC yaitu di Kenya, Darfur dan Uganda. A. Sejarah Pembentukan International Criminal Court International Criminal Court (ICC) atau Mahkamah Pidana Internasional merupakan sebuah lembaga peradilan internasional yang bersifat tetap dan independen dengan kedudukannya yang berada diluar tubuh Perserikatan Bangsa- Bangsa. ICC didirikan berdasarkan Statuta Roma 1998 dengan tujuan utama adalah untuk dapat mengadili individu yang melakukan pelanggaran berat terhadap hukum kemanusiaan internasional. Sejarah pembentukan ICC diawali sejak kejahatan-kejahatan yang terjadi selama Perang Dunia II yang telah memicu dibentuknya tribunal militer yang dikenal dengan Nurenberg Tribunal melalui London Agreement untuk mengadili 1

2 para penjahat perang Nazi. Demikian juga pada tahun 1946, Negara-Negara sekutu menyepakati suatu piagam yang membentuk International Military Tribunal untuk Timur Jauh yang dikenal dengan Tokyo Tribunal untuk mengadili para penjahat perang Jepang selama Perang Dunia II. 1 Terbentuknya Nurenberg Tribunal dan Tokyo Tribunal menjadi awal kesadaran terhadap pentingnya membentuk sebuah lembaga peradilan internasional yang bersifat permanen dan independen untuk dapat mengadili pelaku kejahatan kemanusiaan dan menghilangkan hak impunitas tidak terkecuali bagi kepala Negara dan diplomat yang dapat membebaskannya untuk diadili didalam pengadilan. Tujuan utamanya adalah untuk menghentikan segala bentuk kejahatan kemanusiaan seperti genosida, penghapusan suatu etnis dan juga kejahatan perang yang dilakukan oleh individu. Berdasarkan hal tersebut, Majelis Umum PBB membentuk sebuah komisi untuk menyiapkan proposal yang berhubungan dengan pembentukan sebuah peradilan internasional. Secara bertahap sejak tahun 1949 sampai tahun 1954, Komisi Hukum Internasional PBB melakukan persiapan pembentukan draft Statuta yang berisi tentang pembentukan suatu mahkamah pidana internasional. Perjalanan pembentukan ICC sempat mengalami penundaan akibat adanya perbedaan pendapat dari para anggota Komisi Hukum International PBB dalam menyiapkan draft Statuta bagi pembentukan suatu mahkamah pidana internasional. 2 1 Boer Mauna, Hukum Internasional Pengertian, Peranan dan Fungsi dalam Era Dinamika Global, P.T. Alumni, Bandung, 2013, hlm Ibid. 2

3 Pada bulan Desember tahun 1989, Trinidad dan Tobago kembali meminta kepada Komisi Hukum Internasional untuk melanjutkan pembahasan mengenai pembentukan mahkamah pidana internasional. 3 Dalam usulannya, Trinidad dan Tobago juga mengusulkan untuk menyertakan penjualan narkoba dan obat-obatan terlarang lainnya agar dapat masuk kedalam salah satu pelanggaran berat yang menjadi yuridiksi mahkamah pidana internasional untuk dapat diadili secara serius. Kejahatan kemanusiaan nyatanya tidak juga berhenti setelah berakhirnya Perang Dunia Kedua. Pada tahun 1993, terjadi konflik di Negara bekas Yugoslavia yang menjadi perhatian masyarakat internasional. Konflik yang terjadi di wilayah bekas Yugoslavia membuat Dewan Keamanan PBB memutuskan untuk membentuk sebuah peradilan Ad Hoc bernama International Criminal Tribunal for the Former Yugoslavia (ICTY) atas kejahatan perang, kejahatan kemanusiaan, genosida dan pembersihan etnis yang terjadi di wilayah tersebut. Tidak berhenti disitu, Dewan Keamanan PBB kembali membentuk pengadilan Ad Hoc untuk Rwanda bernama The International Criminal Tribunal for Rwanda (ICTR) untuk melakukan penuntutan terhadap orang-orang yang dianggap bertanggung jawab atas genosida dan kejahatan kemanusiaan serius lainnya yang berada di wilayah teritorial Rwanda. 4 3 Overview, Rome Statute of the International Criminal Court, diakses pada 29 Desember 2016 pukul WIB 4 The ICTR in Brief, United Nations Mechanism for International Criminal Tribunals, diakses pada 29 Desember 2016 pukul WIB 3

4 Di tahun 1994, Komisi Hukum Internasional PBB berhasil menyelesaikan draft Statuta dan kembali mengajukan draft tersebut kepada Majelis Umum PBB untuk mendapat persetujuan. Menindaklanjuti draft Statuta yang telah dibuat oleh Komisi Hukum Internasional, Majelis Umum PBB memutuskan untuk membentuk Komisi Ad Hoc pembentukan International Criminal Court. Setelah Majelis Umum PBB mempertimbangkan laporan dari komisi, Majelis Umum PBB membentuk sebuah panitia persiapan pembentukan ICC atau The Preparatory Committe on the Establishment of an International Criminal Court untuk kemudian mempersiapkan konferensi diplomatik yang akan membahas mengenai persetujuan pada draft Statuta yang telah disempurnakan. Pada tahun 1998, diselenggarakan The United Nations Diplomatic Conference of Plenipotentiaries tentang Pembentukan suatu Mahkamah Pidana Internasional yang berlangsung dari tanggal 15 Juni sampai 17 Juli 1998 di Markas Besar FAO di Roma, Itali. Konferensi tersebut dihadiri oleh 160 Negara termasuk Indonesia, 33 Organisasi Internasional dan sebanyak 236 NGO s. Statuta Mahkamah Pidana Internasional tersebut diterima melalui pemungutan suara pada tanggal 17 Juli 1998 oleh 120 Negara, 7 menentang dan 21 abstain. 5 Berdasarkan Statuta Roma 1998 tersebut terbentuklah sebuah mahkamah pidana internasional yang bersifat permanen dan independen dan mulai menjalankan fungsinya secara efektif setelah diratifikasi oleh 60 Negara pada 5 Boer Mauna, loc. cit. 4

5 tanggal 11 April 2002 dengan kantor utama yang saat ini bertempat di Hague, Belanda. B. Struktur dan Prinsip-Prinsip Dasar ICC 1. Struktur Organisasi ICC Sebagai sebuah mahkamah pidana internasional, ICC menggunakan beberapa bahasa dalam forum resminya. Adapun bahasa resmi yang digunakan adalah bahasa Inggris, Perancis, Arab, China, Rusia dan Spanyol. Sesuai dengan pasal 36 Statuta, terdapat 18 hakim di dalam ICC yang dipilih dari Negara-Negara anggota Statuta Roma. Dalam Statuta pasal 36 mengenai kualifikasi hakim, hakim-hakim dipilih dari orang-orang yang memiliki karakter moral, rasa keadilan dan integritas yang tinggi dan memiliki kualifikasi yang dipersyaratkan dari Negara-Negara anggota bagian untuk menempati jabatan tertinggi di Negara masing-masing. Masa jabatan hakim terbagi atas 9 tahun, 6 tahun dan 3 tahun dan dapat dipilih kembali kecuali bagi hakim yang telah menerima masa jabatan selama 9 tahun. Kantor utama ICC bertempat di Hague, Belanda. Namun dalam menjalankan persidangan apabila tidak dapat dilakukan peradilan di kantor pusat, maka ICC dapat menempati sebuah Negara untuk dapat menjalankan persidangan bila dianggap perlu. Sampai saat ini ada 6 kantor yang bertempat di Negara lain yaitu di Kinshasa dan Bunia (Republik Demokratik Kongo), Kampala (Uganda), Bangui (Republik Afrika Tengah), Nairobi (Kenya) dan Abidjan (Côte d'ivoire). 5

6 Berdasarkan pasal 34 Statuta Roma, ICC memiliki struktur bagian yang terdiri sebagai berikut: a. Pimpinan (Presidency) b. Divisi Banding, Divisi Peradilan dan Divisi Pra-Peradilan (An Appeals Division, a Tribunal Division and a Pre-Trial Division) c. Jaksa Penuntut (the Office of the Prosecutor) d. Kepaniteraan (the Registry) Dalam menjalankan tugasnya, hakim yang telah terpilih dituntut untuk melaksanakan tugasnya secara penuh atau bekerja full-time sejak hari pengangkatan sebagai hakim. Bagian Pimpinan (Presidency) merupakan pemimpin dari seluruh hakim yang dipilih melalui pemilihan absolut oleh 18 hakim lainnya dengan masa jabatan 3 tahun dan dapat dipilih kembali. Pimpinan ICC dipimpin oleh 3 hakim yaitu 1 Presiden dan 2 wakil Presiden. Jabatan Presidency ICC saat ini dipimpin oleh hakim Silvia Fernandez de Gurmendi (Argentina) bersama 2 wakilnya yaitu hakim Joyce Aluoch (Kenya) dan Kuniko Ozaki (Jepang). 6 6 The Presidency, International Criminal Court, diakses pada 4 Januari 2017 pukul WIB 6

7 Bagian mahkamah selanjutnya adalah pembagian Divisi-divisi dalam ICC. Divisi ini dibentuk setelah terpilihnya para hakim mahkamah yang menjalankan tugas dan tanggung jawabnya. 7 Susunan divisi-divisi ICC yaitu: - Divisi banding yang terdiri dari seorang Ketua (Presiden) dengan empat orang hakim. - Divisi peradilan yang terdiri dari tidak kurang dari enam orang hakim. - Divisi Pra-Peradilan yang terdiri dari tidak kurang dari enam orang hakim. 8 Kantor Jaksa Penuntut atau The Office of The Prosecutor (OTP) merupakan sebuah organ yang yang independen yang berdiri diluar daripada tubuh mahkamah. OTP bertanggung jawab untuk menguji perkara dan melakukan penuntutan terhadap individu yang bertanggung jawab dibawah wilayah yuridiksi mahkamah yaitu kejahatan perang, kejahatan kemanusiaan dan genosida. Masa jabatan OTP adalah 9 tahun dan tidak dapat diangkat kembali apabila masa jabatan telah berakhir. 9 Bagian Kepaniteraan (the registery) bertanggung jawab terhadap hal-hal yang bersifat non-yudisial, administrasi dan pelayanan ICC termasuk bertanggung jawab pada peran yang lebih spesifik seperti hal-hal yang berhubungan dengan korban, surat perintah penangkapan dan penahanan. Masa jabatan bagian 7 Anis Widyawati, Hukum Pidana Internasional, Sinar Grafika, Jakarta Timur, 2014, hlm Ibid., hlm Office of The Prosecutor, International Criminal Court, diakses pada 4 Januari 2017 pukul WIB. 7

8 kepaniteraan adalah lima tahun yang dapat dipilih kembali dengan satu kali pengulangan. 10 Panitera dipimpin oleh Kepala Panitera yang akan menggunakan fungsinya dibawah kewenangan dari Presiden Mahkamah. Dalam membantu tugasnya, panitera membentuk beberapa unit di dalam Bagian Kepaniteraan itu sendiri, seperti unit korban dan unit saksi, hal tersebut berguna dalam membantu mahkamah untuk melaksanakan tugasnya yaitu mengadili pelaku kejahatan internasional Prinsip-Prinsip Dasar ICC Prinsip-prinsip dasar di dalam tubuh ICC berguna sebagai landasan dalam menjalankan tugas dan fungsi ICC dalam melakukan peradilan dan penahan terhadap terdakwa. Adapun prinsip-prinsip dasar ICC, adalah sebagai berikut: a. Prinsip Komplementer Berdasarkan Pasal 1 Statuta, prinsip komplenter ini dijelaskan di dalam mukadimahnya bahwa ICC hanya bersifat sebagai pelengkap dari yuridiksi tindak pidana tingkat nasional. Artinya, ICC hanya berperan sebagai pelengkap dan tidak menggantikan keberadaan dan peranan dari yuridiksi pidana nasional suatu Negara. Dimuatnya prinsip komplementer ini merupakan pengakuan terhadap prinsip kedaulatan Negara dan harapan masyarakat internasional agar sistem hukum 10 Antonio Cassese, The Oxford Companion to International Criminal Justice, Oxford University Press, 2009, hlm Anis Widyawati, op. Cit. Hlm

9 nasional memuat pengaturan hukum untuk mengadili dan menghukum tindakan pidana yang menjadi perhatian internasional. 12 b. Prinsip Penerimaan Prinsip penerimaan berkaitan dengan diterima atau ditolaknya suatu kasus oleh ICC. Selanjutnya dibawah rubrik admissibility (masalah penerimaan perkara) seperti yang tercantum di dalam Pasal 17 Statuta yang merujuk kepada hubungan yang kompleks antara sistem hukum nasional dan ICC. 13 ICC dapat menolak melakukan pengadilan terhadap suatu kasus apabila: - Kasus tersebut sedang diperiksa oleh Negara yang merupakan yuridiksi kasus tersebut, kecuali Negara tidak bersedia (unwilling) atau tidak mampu (unable) melaksanakan penyidikan atau penuntutan pada kasus tersebut. - Kasus tersebut telah diselidiki oleh Negara yang memiliki yuridiksi atas kasus tersebut dan Negara telah memutuskan untuk tidak melakukan penuntutan terhadap orang tersebut, kecuali keputusan tersebut dihasilkan dari ketidaksediaan atau ketidakmampuan dari Negara untuk melaksanakannya. 12 Boer Mauna, op. Cit. hlm Ibid. 9

10 - Orang yang bersangkutan telah diadili untuk perbuatan yang sama dengan perbuatan yang menjadi dasar tuntutan mahkamah seperti disebut dalam pasal 20 Ayat 3 Statuta. - Kasus tersebut tidak cukup berat untuk memerlukan tindakan lebih lanjut dari mahkamah. 14 c. Prinsip Otomatis Prinsip Otomatis merupakan pelaksanaan yuridiksi mahkamah atas segala tindakan pidana yang tercantum di dalam Statuta Roma tahun Pada prinsip ini, Mahkamah tidak memerlukan persetujuan sebelumnya dari Negara pihak. Semua Negara secara otomatis menerima yuridiksi mahkamah atas semua tindakan pidana setelah Negara tersebut menjadi pihak pada Statuta seperti yang disebut dalam paragraf 12 Ayat 1 Statuta. Sedangkan di dalam Pasal 12 Ayat 2 Statuta, mahkamah dapat melakukan yuridiksinya apabila kejahatan terjadi di wilayah Negara pihak Statuta dan orang yang melakukan tindak pidana tersebut merupakan warga Negara dari Negara anggota Statuta. 15 d. Prinsip Ratione Temporis (Yuridiksi Temporal) Prinsip ini berkaitan dengan waktu berlakunya yuridiksi atas tindak kejahatan yang dilakukan setelah dibentuknya Statuta Roma Artinya, ICC 14 Statuta Roma, Pasal Ibid, hlm

11 tidak dapat melakukan pengadilan bagi tindak kejahatan yang terjadi sebelum terciptanya Statuta Roma. Bagi Negara yang telah menjadi anggota Statuta setelah Statuta terbentuk, maka Mahkamah memiliki yuridiksi terhadap kejahatankejahatan yang terjadi di Negara anggota tersebut. 16 e. Prinsip Nullum Crimen Sine Lege Pengertian prinsip Nullum Crimen Sine Lege terdapat didalam pasal 22 Statuta yang menjelaskan bahwa tidak seorangpun dapat bertanggung jawab secara pidana berdasarkan statuta kecuali tindakan pidana tersebut terjadi di dalam yuridiksi ICC. 17 Dan didalam pasal 23, disebutkan bahwa seseorang yang telah didakwa oleh ICC hanya dapat dijatuhi hukuman sesuai dengan Statuta Roma. 18 f. Prinsip Ne bis in idem Prinsip ini terdapat dalam Pasal 20 Statuta bahwa seseorang tidak dapat dituntut lagi di Mahkamah atas tindak pidana yang sama yang telah diputuskan atau dibebaskan oleh Mahkamah. Seseorang tidak dapat diadili lagi oleh Mahkamah lain untuk suatu tindak pidana sebagaimana yang disebutkan dalam pasal 5 dimana tindak pidana itu telah diputuskan dengan putusan pidana atau telah dibebaskan oleh Mahkamah Ibid, hlm Ibid. 18 Statuta Roma, Pasal Boer Mauna, op. Cit. hlm

12 g. Prinsip Ratione Loci (Yuridiksi Teritorial) Prinsip Ratione Loci merupakan prinsip berkenaan dengan yuridiksi ICC atas kejahatan yang dilakukan di wilayah Negara-Negara pihak dengan tidak melihat status kewarganegaraan dari pelaku seperti yang tercantum di dalam Pasal 12 Ayat 2(a) Statuta. ICC juga mempunyai yuridiksi atas kejahatan-kejahatan yang dilakukan di wilayah Negara-negara yang menerima yuridiksinya atas dasar ad hoc dan wilayah yang ditunjuk oleh Dewan Keamanan PBB. 20 h. Prinsip Tanggung Jawab Pidana Secara Individual Prinsip ini tertuang dalam Pasal 25 Statuta, Mahkamah mempunyai yuridiksi atas individu-individu sebagai natural person. Seseorang yang melakukan suatu tindak pidana di wilayah yuridiksi mahkamah bertanggung jawab secara pribadi dan dapat dihukum sesuai dengan Statuta. Ketentutan ini merupakan cerminan untuk menghukum dan mengadili individu dan bukan Negara. Kejahatan terhadap hukum internasional dilakukan oleh individu dan bukan entitas abstrak. Hal ini menegaskan bahwa hanya dengan menghukum individu yang melakukan kejahatan, maka hukum internasional dapat sepenuhnya ditegakan seperti yang dikatakan di dalam Pengadilan Nuremberg tahun Ibid. 21 Ibid. 12

13 i. Prinsip Praduga Tidak Bersalah Prinsip praduga tidak bersalah ini merupakan prinsip yang mengatakan bahwa seseorang harus dianggap tidak bersalah sampai Mahkamah memutuskan hasil bahwa orang tersebut telah melakukan suatu kejahatan sesuai dengan Pasal 66 Statuta bahwa setiap orang dianggap tidak bersalah sampai terbukti bersalah di depan mahkamah sesuai dengan hukum yang berlaku. 22 j. Prinsip Veto Dewan Keamanan untuk Menghentikan Penuntutan Dewan Keamanan PBB memiliki hak untuk mencegah mahkamah dalam melaksanakan yuridiksinya sesuai dengan Pasal 16 Statuta. Menurut pasal tersebut, tidak ada penyelidikan atau penuntutan yang dapat dimulai atau dilaksanakan sesuai Statuta untuk jangka waktu 12 bulan, setelah Dewan Keamanan dalam resolusinya yang dibuat menurut Bab VII Piagam, meminta mahkamah untuk menangguhkan penyidikan atau penuntutan. 23 C. Yuridiksi International Criminal Court ICC memiliki yuridiksi dalam menyelesaikan perkara terhadap kejahahatan internasional yang terjadi di suatu Negara. Definisi dari kejahatan internasional atau international crimes itu sendiri belum memiliki definisi yang baku disebabkan oleh adanya perbedaan pendapat mengenai jenis kejahatan maupun batasan kejahatan 22 Ibid, hlm Ibid. 13

14 tersebut dianggap sebagai sebuah kejahatan internasional. Kejahatan international menurut Bassiouni adalah setiap tindakan yang ditetapkan di dalam konvensikonvensi multilateral dan diikuti oleh sejumlah Negara dan di dalamnya terdapat salah satu dari kesepuluh karakteristik tindak pidana. 24 Kesepuluh karakteristik tersebut terdiri dari: 1) Pengakuan secara eksplisit tindakan-tindakan yang dipandang sebagai kejahatan hukum internasional; 2) Pengakuan secara implisit sifat-sifat pidana dari tindakan-tindakan tertentu dengan menetapkan suatu kewajiban untuk menghukum, mencegah, menuntut, menjatuhi hukuman atau pidananya; 3) Kriminalis dalam tindakan-tindakan tertentu; 4) Kewajiban atau hak untuk menuntut; 5) Kewajiban atau hak untuk mempidana tindakan tertentu; 6) Kewajiban atau hak mengekstradiksi; 7) Kewajiban atau hak untuk bekerjasama di dalam penuntutan, pemidanaan termasuk bantuan yudisial di dalam proses pemidanaan; 8) Penetapan suatu dasar-dasar yuridiksi kriminal; 24 M. Cherif Bassiouni, International Criminal Law, Dobbs Ferry, New York: Transnational, 1986, hlm 2. 14

15 9) Referensi suatu pembentukan suatu pengadilan pidana internasional; 10) Penghapusan alasan-alasan perintah atasan. 25 Sedangkan Wayan Parthiana mengatakan bahwa kejahatan internasional menunjukan adanya suatu peristiwa kejahatan yang bersifat internasional. Pengertian internasional dalam hal ini adalah dalam pengertian luas, meliputi, internasional umum atau global, regional ataupun bilateral atau multilateral. Dengan kata lain yang menyangkut kepentingan seluruh atau sebagian besar Negara di dunia, bahkan kepentingan seluruh umat manusia, dapat pula hanya kepentingan Negara satu kawasan, atau hanya menyangkut kepentingan dari dua atau lebih Negara saja. 26 ICC memiliki yuridiksi yang terbagi ke dalam empat kategori yaitu genocide, crimes against humanity, war crimes dan aggression. a. Kejahatan Genosida (Genocide) Kejahatan genosida dijelaskan di dalam Statuta Roma pasal 6 bahwa genosida merupakan suatu perbuatan yang dilakukan dengan niat untuk menghancurkan, baik secara keseluruhan ataupun sebagian suatu Negara, suku, ras ataupun suatu kelompok agama yang dilakukan dengan bentuk-bentuk seperti: Ibid., hlm I Wayan Parthiana, Hukum Pidana Internasional, Yrama Widya: Bandung, 2015, hlm 15

16 - Membunuh anggota kelompok - Menyebabkan luka parah atau atau merusak mental kelompok - Dengan sengaja melukai jiwa anggota kelompok yang menyebabkan luka fisik sebagian ataupun keseluruhan - Melakukan upaya-upaya pemaksaan untuk mencegah kelahiran anak suatu kelompok - Memindahkan anak secara paksa dari suatu kelompok ke kelompok lainnya 27 Secara umum kejahatan genosida merupakan tindakan terencana yang ditujukan untuk mengancurkan eksistensi dasar dari bangsa atau kelompok sebuah entitas, yang diarahkan pada individu-individu yang menjadi anggota kelompok bersangkutan. 28 Kejahatan genosida merupakan tindakan pidana serius yang harus ditangani dan harus dihentikan mengingat terjadinya genosida dapat memusnahkan eksistensi suatu Negara, kelompok etnis atau suatu kelompok agama baik di Negara tersebut atau terhadap masyarakat internasional. Dokumen tentang kejahatan yang menjadi yuridiksi ICC mensyaratkan bahwa perbuatan genosida terjadi dalam konteks sebuah bentuk nyata atau manifest pattern dari perbuatan yang serupa ditujukan terhadap kelompok atau merupakan 27 Statuta Roma, Pasal Anis Widyawati, op.cit. hal

17 perbuatan yang dapat mengakibatkan pemusnahan. Kesengajaan untuk membunuh hanya sedikit anggota kelompok bukan merupakan genosida. Namun yang menjadi catatan adalah bukan jumlah dari banyaknya korban tetapi kesengajaan dari pelaku untuk memusnahkan sejumlah besar anggota kelompok. 29 b. Kejahatan Kemanusiaan (Crimes Against Humanity) Kejahatan Kemanusiaan menurut Statuta Roma Pasal 7 adalah beberapa perbuatan yang dilakukan sebagai bagian dari upaya penyebarluasan atau penyerangan langsung yang ditujukan terhadap penduduk sipil yang dilakukan secara tersusun dan sistematis. Perbuatan tersebut berupa: - Pembunuhan; - Pemusnahan; - Perbudakan; - Pengusiran atau pemindahan penduduk secara paksa; - Perampasan kemerdekaan atau perampasan kebebasan fisik lain secara sewenang-wenang yang melanggar asas-asas ketentuan pokok hukum internasional; 29 Muladi, Statuta Roma Tahun 1998 Tentang Mahkamah Pidana Internasional dalam Kerangka Hukum Pidana Internasional dan Implikasinya Terhadap Hukum Pidana Nasional, P.T. Alumni, Bandung, 2011, hlm

18 - Penyiksaan; - Perkosaan, perbudakan seksual, pelacuran secara paksa, pemaksaan kehamilan, pemandulan atau sterilisasi secara paksa atau bentuk-bentuk kekerasan seksual lain yang setara; - Penganiayaan terhadap suatu kelompok tertentu atau perkumpulannya yang didasari persamaan politik, ras, kebangsaan, etnis, budaya, agama, jenis kelamin atau alasan lain yang telah diakui secara universal sebagai hal yang dilarang menurut hukum internasional; - Penghilangan orang secara paksa; - Kejahatan apartheid; - Tindakan-tindakan lain yang tidak berperikemanusiaan, dilakukan dengan sengaja menyebabkan penderitaan terhadap tubuh atau mental atau kesehatan fisik. c. Kejahatan Perang (War Crimes) Pengertian kejahatan perang di dalam Statuta Roma Pasal 8 merujuk kepada Konvensi Jenewa tanggal 12 Agustus 1949 bahwa yang termasuk ke dalam kategori kejahatan perang adalah dengan melakukan tindakan-tindakan sebagai berikut: (i) Pembunuhan dengan sengaja; 18

19 (ii) Penyiksaan dan perlakuan tidak manusiawi, termasuk percobaan biologi; (iii) Perbuatan yang sengaja dilakukan untuk mengakibatkan penderitaan yang dalam atau luka fisik maupun kesehatan yang serius; (iv) Perusakan secara luas dan perampasan milik seseorang, tidak berdasarkan keperluan militer dan dilakukan dengan cara melawan hukum dan tidak beraturan; (v) Pemaksaan terhadap tawanan perang atau orang yang dilindungi lainnya untuk melayani dibawah ancaman kekuasaan musuh; (vi) Upaya untuk menghalang-halangi yang dilakukan dengan sengaja terhadap tawanan perang atau orang yang dilindungi dimana mereka memiliki hak untuk mendapatkan keadilan yang sewajarnya; (vii) Deportasi dengan cara belawanan dengan hukum atau pemindahan penahanan dengan melawan hukum (viii) Penyanderaan. d. Kejahatan Agresi (Aggression) Kejahatan agresi merupakan salah satu bagian dari wilayah yuridiksi ICC. Namun di dalam Statuta tidak ada penjelasan secara rinci mengenai pengertian kejahatan agresi itu sendiri. Boer Mauna mengatakan: 19

20 Sepanjang menyangkut kejahatan agresi, belum ada kesepakatan mengenai definisinya atau tindakan-tindakan pidana apa saja yang dapat dikategorikan sebagai agresi mengingat tidak cukupnya waktu untuk membahas selama berlangsungnya Konferensi di Roma. Lagi pula tidak mudah dari segi hukum internasional untuk mendefinisikan tindakan apa sebenarnya yang termasuk dalam definisi agresi tersebut. Sungguh sulit untuk membuat definisi tentang agresi yang dapat diterima oleh semua pihak. 30 D. Statuta Roma Sebagai Dasar Hukum ICC Statuta Roma merupakan hasil dari sebuah perjanjian kesepakatan Negara- Negara di dunia untuk membentuk Mahkamah Pidana Internasional yang didalamnya berisi pasal-pasal, prinsip, aturan dan prosedur pembuatan keputusan yang diadopsi guna menjadi dasar hukum ICC dalam menjalankan tugas dan fungsinya. ICC didirikan atas kesepakatan Negara-Negara anggota untuk menandatangani Statuta Roma yang menjadi perjanjian dasar ICC yang disahkan di dalam Konferensi Diplomatik Perserikatan Bangsa-Bangsa pada tanggal 17 Juli 1998 dan mulai berlaku sejak 1 Juli Statuta Roma berisi tentang penjelasan dan perincian mengenai fungsi dan peranan ICC sebagai sebuah lembaga peradilan internasional yang bersifat permanen dan bersifat komplementer yaitu hanya sebagai pelengkap dari pengadilan nasional suatu Negara yang dianggap tidak mampu (unable) dan tidak 30 Boer Maona, op. Cit. Hlm

21 mau (unwilling). Di dalam statuta roma juga terdapat prinsip-prinsip dasar yang dianut oleh ICC dalam melakukan peradilan, struktur organisasi ICC, serta berisi hak-hak tersangka dan korban dalam di dalam pengadilan. Statuta Roma mengatur batas-batas wilayah yuridiksi mahkamah yang hanya memiliki wewenang dalam melakukan peradilan terhadap kerjahatan internasional yang dianggap berat saja. Wewenang ICC yaitu mengadili kejahatan genocide, crimes against humanity, war crimes dan aggression. Statuta Roma dianggap sebagai pelengkap dari dasar-dasar pengadilan hukum Ad Hoc sebelumnya dan diharapkan dapat mampu menjalankan tugasnya secara efektif dan dapat menyelesaikan perkara utamanya dalam mengentikan kejahatan kemanusiaan, kejahatan perang dan genosida yang masih terjadi di beberapa Negara yang seolah tidak mendapat perhatian internasional untuk segera diatasi. Diresmikannya Statuta Roma menjadi batasan waktu bagi ICC dalam melakukan sebuah pengadilan. Hanya kasus yang terjadi setelah diresmikannya Statuta Roma yang dapat ditangani oleh ICC. Artinya, apabila terdapat suatu kasus yang terjadi sebelum diresmikannya Statuta Roma, maka ICC tidak dapat menindaklanjuti perkara tersebut. 21

22 E. Kasus-Kasus yang Pernah Ditangani ICC 1. ICC Pada Kasus Kenya Pada bulan Maret tahun 2010 ICC mulai melakukan investigasi terhadap kasus yang terjadi di Kenya. Peristiwa yang terjadi di Kenya merupakan sebuah dugaan terhadap kejahatan kemanusiaan (crimes against humanity) yang terjadi pasca pemilihan umum pada akhir tahun 2007 dan awal Tindakan kejahatan kemanusiaan tersebut terjadi di beberapa wilayah Kenya yaitu Nairobi, North Rift Valley, Central Rift Valley, South Rift Valley, Provinsi Nyanza dan Provinsi di bagian barat. Tindakan kejahatan kemanusiaan yang terjadi di sebagian wilayah Kenya telah mengakibatkan 1000 orang terbunuh, 900 orang diperkosa dan mengalami kekerasan seksual, orang terlantar dan 3500 orang harus menjalani perawatan secara serius. 31 Dalam menangani perkara kejahatan kemanusiaan yang terjadi di Kenya, ICC menyebutkan empat orang yang diduga bertanggung jawab atas kejahatan kemanusiaan yang terjadi pasca pemilu 2007 tersebut. Presiden terpilih Kenya, Kenya Uhuru Kenyatta, Wakil Presiden terpilih William Ruto, serta Barassa, Gicheru dan Bett ialah daftar nama yang diduga bertanggung jawab atas konflik tersebut diakses pada 13 Januari 2017 pukul WIB 22

23 ICC memutuskan untuk mengentikan pengadilan kepada terdakwa William Ruto pada bulan April 2016 dengan mengatakan bahwa tidak adanya bukti yang cukup yang menunjukan keterlibatan Ruto terhadap konflik yang terjadi pasca pemilihan umum tahun ICC juga mengatakan bahwa tidak akan ada sidang baru atau sidang lanjutan baik di dalam ICC ataupun di dalam pengadilan nasional untuk mengadili Wakil Presiden Kenya ini. 32 Presiden Kenyatta bersitegas bahwa dia tidak bersalah dan bertanggung jawab terhadap konflik yang terjadi pasca pemilu. Dalam persidangan mengadili Presiden Kenya, Kenyatta, para jaksa menyatakan bahwa Kenya telah menghalangi upaya-upaya ICC untuk mengumpulkan barang bukti, termasuk diantaranya catatan percakapan telepon, pajak dan rekening bank Kenyatta. 33 Putusan yang sama diberikan oleh ICC kepada Presiden Kenya, Uhuru Muigai Kenyatta. Pada tahun 2015, ICC memutuskan untuk menghentikan proses persidangan Kenyatta dan akan menghentikan untuk mengirimkan surat perintah untuk mengadili persidangan Ruto and Sang case: ICC Trial Chamber V(A) terminates the case without prejudice to re-prosecution in future, Press Release : 5 April 2016, ICC-CPI PR1205, diakses pada 13 Januari 2017 pukul WIB 33 ICC Batalkan Kasus Presiden Kenya, diakses pada 13 Januari 2017 pukul WIB 34 Kenyatta case: Trial Chamber V(B) terminates the proceedings, Press Release 2015, ICC-CPI PR1099, diakses pada 13 Januari 2017 pukul WIB 23

24 2. ICC pada Kasus Darfur Dugaan adanya kejahatan genosida, kejahatan perang dan kejahatan kemanusiaan di Darfur membuat PBB mengambil tindakan tegas dengan membawa kasus ini kepada ICC pada bulan Maret ICC mulai melakukan investigasi terkait adanya dugaan kejahatan tersebut pada bulan Juni tahun Darfur bukan merupakan anggota Negara yang turut menandatangani Statuta Roma, tetapi ICC masih dapat melakukan pengadilan terhadap Darfur atas usulan permintaan PBB kepada ICC untuk memperkarakan kasus tersebut. Adapun orang-orang yang dianggap bertanggung jawab terhadap kejahatan kemanusiaan yang terjadi di Darfur adalah Ahmad Muhammad Harun, Ali Muhammad Ali Abd-Al-Rahman yang ditangkap pada 27 April 2007, Omar Hassan Ahmad Al Bashir yang ditangkap pada 4 Maret 2009 dan 12 Juli 2010, Bahr Idriss Abu Garda, Abdallah Banda Abakaer Nourain, Abdel Raheem Muhammad Hussein. Kasus Darfur merupakan kasus pertama yang ditangani oleh ICC atas permintaan dari PBB dan juga kasus pertama ICC melakukan pengadilan terhadap Negara bukan anggota Statuta Roma. Disamping itu, konflik yang terjadi di Darfur juga merupakan konflik pertama ICC yang menangani kasus kejahatan genosida diakses pada 13 Januari 2017 pukul

25 Pemerintah Sudan dituduh memobilisir milisi Arab untuk menyerang penduduk sipil Afrika di Darfur, sejak pemberontak mengangkat senjata di tahun Presiden Sudan, Omar Al-Bashir dituduh bertanggung jawab telah melakukan genosida, kejahatan kemanusiaan dan kejahatan perang yang terjadi di Darfur. PBB memperkirakan ada sekitar 300 ribu orang meninggal dan dua juta orang meninggalkan rumah mereka akibat konflik yang terjadi di Darfur sejak tahun Atas dugaan tersebut, ICC mengeluarkan surat permintaan penangkapan terhadap Presiden Sudan pada 4 Maret 2009 dan sekaligus untuk pertama kalinya ICC melakukan penangkapan kepada kepala Negara. 37 Hal tersebut membuktikan bahwa ICC sesuai dengan tujuannya yaitu menghilangkan impunitas bagi kepala Negara untuk tidak bisa terlepas dari tanggung jawab atas tindakan kejahatan yang dilakukan. 3. ICC Pada Kasus Uganda ICC mulai melakukan investigasi pada kasus Uganda sejak bulan Juli tahun 2004 setelah Pemerintah Uganda menyerahkan kasus tersebut kepada ICC. Kelompok Lord Ressistance Army (LRA) dituduh telah melakukan kejahatan 36 Al-Bashir Dituduh Genosida, diakses pada 13 Januari 2017 pukul WIB 37 ICC issues a warrant of arrest for Omar Al Bashir, President of Sudan, Press Release: 4 Maret 2009, ICC-CPI PR394, 20al%20bashir_%20president%20of%20sudan diakses pada 14 Januari 2017 pukul WIB 25

26 perang dan kejahatan kemanusiaan terhadap rakyat Uganda. Bahkan anggota LRA sendiri menjadi korban atas kekejaman yang dilakukan oleh pemimpinnya. 38 Pada pertengahan tahun 2002, kelompok LRA melakukan kampanye untuk melakukan penyerangan terhadap warga sipil yang berada di Uganda. Kelompok LRA juga melakukan perekruitan secara paksa anak-anak dibawah umur untuk menjadi anggota LRA. Atas peristiwa tersebut, pada tanggal 13 Oktober 2005, ICC mengeluarkan surat perintah penangkapan keada lima pemimpin LRA yaitu Josep Kony, Vincent Otti, Raska Lukwiya, Okot Odhiambo and Dominic Ongwen diakses pada 14 Januari 2017 pukul WIB. 39 Warrant of Arrest unsealed against five LRA Commanders, Press Release: 14 Oktober 2005, ICC-CPI , 20commanders diakses pada 14 Januari 2017 pukul 00:25 WIB. 26

4/8/2013. Mahkamah Pidana Internasional

4/8/2013. Mahkamah Pidana Internasional Mahkamah Pidana Internasional Sekilas tentang Mahkamah Pidana Internasional (ICC) Mahkamah Pidana Internasional (International Criminal Court - ICC) didirikan berdasarkan Statuta Roma tanggal 17 Juli 1998,

Lebih terperinci

BAB V PENUTUP. 1. Yurisdiksi Mahkamah Pidana Internasional dalam Pasal 17 Statuta Roma

BAB V PENUTUP. 1. Yurisdiksi Mahkamah Pidana Internasional dalam Pasal 17 Statuta Roma BAB V PENUTUP A. Kesimpulan 1. Yurisdiksi Mahkamah Pidana Internasional dalam Pasal 17 Statuta Roma merupakan wujud dari Prinsip Komplemeter dari badan yudisial tersebut. Pasal tersebut mengatur terhadap

Lebih terperinci

A. LATAR BELAKANG MASALAH

A. LATAR BELAKANG MASALAH BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG MASALAH Kasus pelanggaran terhadap hilangnya hak-hak dasar individu merupakan sebuah fenomena yang masih banyak berlangsung di berbagai Negara di dunia. Bentuk pelanggaran

Lebih terperinci

MAKALAH. Pengadilan HAM dan Hak Korban Pelanggaran Berat HAM. Oleh: Eko Riyadi, S.H., M.H.

MAKALAH. Pengadilan HAM dan Hak Korban Pelanggaran Berat HAM. Oleh: Eko Riyadi, S.H., M.H. TRAINING RULE OF LAW SEBAGAI BASIS PENEGAKAN HUKUM DAN KEADILAN Hotel Santika Premiere Hayam Wuruk - Jakarta, 2 5 November 2015 MAKALAH Pengadilan HAM dan Hak Korban Pelanggaran Berat HAM Oleh: Eko Riyadi,

Lebih terperinci

Bab IX MEKANISME PENEGAKAN HUKUM HUMANITER

Bab IX MEKANISME PENEGAKAN HUKUM HUMANITER Bab IX MEKANISME PENEGAKAN HUKUM HUMANITER 9.1. Perkembangan Dalam Hukum Humaniter Salah satu aspek penting dari suatu kaidah hukum yaitu mengenai penegakannya (law enforcement). Suatu perangkat hukum

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Hukum Humaniter Internasional bertujuan untuk memanusiawikan perang agar korban

BAB I PENDAHULUAN. Hukum Humaniter Internasional bertujuan untuk memanusiawikan perang agar korban BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Permasalahan Hukum Humaniter Internasional bertujuan untuk memanusiawikan perang agar korban akibat perang seminimal mungkin dapat dikurangi. Namun implementasinya,

Lebih terperinci

INTERNATIONAL MILITARY TRIBUNAL NUREMBERG

INTERNATIONAL MILITARY TRIBUNAL NUREMBERG PENGADILAN HAM A. INTERNATIONAL MILITARY TRIBUNAL (IMT) NUREMBERG B. INTERNATIONAL MILITARY TRIBUNAL FOR THE FAR EAST (IMTFE TOKYO C. INTERNATIONAL TRIBUNAL FOR THE PROSECUTION OF PERSONS RESPONSIBLE FOR

Lebih terperinci

PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 26 TAHUN 2000 TENTANG PENGADILAN HAK ASASI MANUSIA

PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 26 TAHUN 2000 TENTANG PENGADILAN HAK ASASI MANUSIA PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 26 TAHUN 2000 TENTANG PENGADILAN HAK ASASI MANUSIA I. UMUM Bahwa hak asasi manusia yang tercantum dalam Undang-Undang Dasar 1945, Deklarasi Universal

Lebih terperinci

RANCANGAN KESIMPULAN/KEPUTUSAN

RANCANGAN KESIMPULAN/KEPUTUSAN RANCANGAN LAPORAN SINGKAT RAPAT PANJA KOMISI III DPR-RI DENGAN KEPALA BADAN PEMBINAAN HUKUM NASIONAL (BPHN) DALAM RANGKA PEMBAHASAN DIM RUU TENTANG KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PIDANA ---------------------------------------------------

Lebih terperinci

MAKALAH INDONESIAN HUMAN RIGHTS LEGISLATION. Oleh: Ifdhal Kasim Ketua Komnas HAM RI, Jakarta

MAKALAH INDONESIAN HUMAN RIGHTS LEGISLATION. Oleh: Ifdhal Kasim Ketua Komnas HAM RI, Jakarta PEMERKUATAN PEMAHAMAN HAK ASASI MANUSIA UNTUK HAKIM SELURUH INDONESIA Hotel Santika Makassar, 30 Mei 2 Juni 2011 MAKALAH INDONESIAN HUMAN RIGHTS LEGISLATION Oleh: Ifdhal Kasim Ketua Komnas HAM RI, Jakarta

Lebih terperinci

PENGADILAN PIDANA INTERNASIONAL

PENGADILAN PIDANA INTERNASIONAL PENGADILAN PIDANA INTERNASIONAL PENGADILAN PIDANA INTERNASIONAL AD HOC IMT NUREMBERG IMT TOKYO ICTY ICTR SIERRA LEONE CAMBODIA TIMOR TIMUR / INDONESIA IMT - NUREMBERG NOVEMBER 1945 SEPTEMBER 1946 22 TERDAKWA

Lebih terperinci

KEGAGALAN INTERNATIONAL CRIMINAL COURT (ICC) DALAM PENYELESAIAN KONFLIK SUDAN RESUME. Disusun oleh : PETRUS CORNELIS DEPA

KEGAGALAN INTERNATIONAL CRIMINAL COURT (ICC) DALAM PENYELESAIAN KONFLIK SUDAN RESUME. Disusun oleh : PETRUS CORNELIS DEPA KEGAGALAN INTERNATIONAL CRIMINAL COURT (ICC) DALAM PENYELESAIAN KONFLIK SUDAN RESUME Disusun oleh : PETRUS CORNELIS DEPA 151060046 JURUSAN ILMU HUBUNGAN INTERNASIONAL FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN POLITIK UNIVERSITAS

Lebih terperinci

BAB VI PENUTUP. 1. Imunitas Kepala Negara dalam Hukum Internasional. Meski telah diatur dalam hukum internasional dan hukum kebiasaan

BAB VI PENUTUP. 1. Imunitas Kepala Negara dalam Hukum Internasional. Meski telah diatur dalam hukum internasional dan hukum kebiasaan BAB VI PENUTUP A. Kesimpulan 1. Imunitas Kepala Negara dalam Hukum Internasional Meski telah diatur dalam hukum internasional dan hukum kebiasaan internasional, penegakan hukum terhadap imunitas kepala

Lebih terperinci

Perbedaan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual dengan Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia

Perbedaan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual dengan Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia 3 Perbedaan dengan Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia Bagaimana Ketentuan Mengenai dalam tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia? Menurut hukum internasional, kejahatan

Lebih terperinci

PENDIDIKAN PANCASILA DAN KEWARGANEGARAAN by DANIEL ARNOP HUTAPEA, S.Pd PERTEMUAN KE-3

PENDIDIKAN PANCASILA DAN KEWARGANEGARAAN by DANIEL ARNOP HUTAPEA, S.Pd PERTEMUAN KE-3 PENDIDIKAN PANCASILA DAN KEWARGANEGARAAN by DANIEL ARNOP HUTAPEA, S.Pd PERTEMUAN KE-3 Pelanggaran HAM Menurut Undang-Undang No.39 tahun 1999 pelanggaran hak asasi manusia adalah setiap perbuatan seseorang

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN UMUM MENGENAI KEJAHATAN KEMANUSIAAN SEBAGAI BENTUK PELANGGARAN HAM BERAT MENURUT HUKUM INTERNASIONAL

BAB II TINJAUAN UMUM MENGENAI KEJAHATAN KEMANUSIAAN SEBAGAI BENTUK PELANGGARAN HAM BERAT MENURUT HUKUM INTERNASIONAL BAB II TINJAUAN UMUM MENGENAI KEJAHATAN KEMANUSIAAN SEBAGAI BENTUK PELANGGARAN HAM BERAT MENURUT HUKUM INTERNASIONAL A. Pengertian Kejahatan Kemanusiaan Kejahatan terhadap kemanusiaan pertama kali muncul

Lebih terperinci

PELANGGARAN HAM YANG BERAT. Muchamad Ali Safa at

PELANGGARAN HAM YANG BERAT. Muchamad Ali Safa at PELANGGARAN HAM YANG BERAT Muchamad Ali Safa at PELANGGARAN HAM setiap perbuatan seseorang atau kelompok orang termasuk aparat negara baik disengaja maupun tidak sengaja, atau kelalaian yang secara melawan

Lebih terperinci

Konvensi Internasional mengenai Penindasan dan Penghukuman Kejahatan Apartheid

Konvensi Internasional mengenai Penindasan dan Penghukuman Kejahatan Apartheid Konvensi Internasional mengenai Penindasan dan Penghukuman Kejahatan Apartheid disetujui dan terbuka untuk penandatanganan dan ratifikasi oleh Resolusi Majelis Umum 3068 (XXVIII) 30 November 1973 Negara-negara

Lebih terperinci

Konvensi tentang Pencegahan dan Penghukuman Kejahatan Genosida

Konvensi tentang Pencegahan dan Penghukuman Kejahatan Genosida Konvensi tentang Pencegahan dan Penghukuman Kejahatan Genosida Disetujut dan diusulkan untuk penandatanganan dan ratiftkasi atau aksesi dengan resolusi Majelis Umum 260 A (HI), 9 December 1948 Negara-negara

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. enforcement system (sistem penegakan langsung) dan indirect enforcement

BAB I PENDAHULUAN. enforcement system (sistem penegakan langsung) dan indirect enforcement 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Penegakan hukum pidana internasional pada hakekatnya adalah diskusi tentang hukum pidana internasional dalam pengertian formil. Artinya, yang akan di bahas

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 26 TAHUN 2000 TENTANG PENGADILAN HAK ASASI MANUSIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 26 TAHUN 2000 TENTANG PENGADILAN HAK ASASI MANUSIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA Menimbang : UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 26 TAHUN 2000 TENTANG PENGADILAN HAK ASASI MANUSIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, a. bahwa hak asasi manusia merupakan

Lebih terperinci

Tujuan pendirian Negara Indonesia tertuang dalam Pembukaan UUD 1945:

Tujuan pendirian Negara Indonesia tertuang dalam Pembukaan UUD 1945: Jakarta 14 Mei 2013 Tujuan pendirian Negara Indonesia tertuang dalam Pembukaan UUD 1945: a. Pertama, dimensi internal dimana Negara Indonesia didirikan dengan tujuan untuk melindungi segenap Bangsa Indonesia

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 26 TAHUN 2000 TENTANG PENGADILAN HAK ASASI MANUSIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 26 TAHUN 2000 TENTANG PENGADILAN HAK ASASI MANUSIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 26 TAHUN 2000 TENTANG PENGADILAN HAK ASASI MANUSIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa hak asasi manusia merupakan

Lebih terperinci

Tanggung Jawab Komando Dalam Pelanggaran Berat Hak Asasi Manusia Oleh : Abdul Hakim G Nusantara

Tanggung Jawab Komando Dalam Pelanggaran Berat Hak Asasi Manusia Oleh : Abdul Hakim G Nusantara Tanggung Jawab Komando Dalam Pelanggaran Berat Hak Asasi Manusia Oleh : Abdul Hakim G Nusantara Impunitas yaitu membiarkan para pemimpin politik dan militer yang diduga terlibat dalam kasus pelanggaran

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 26 TAHUN 2000 TENTANG PENGADILAN HAK ASASI MANUSIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 26 TAHUN 2000 TENTANG PENGADILAN HAK ASASI MANUSIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 26 TAHUN 2000 TENTANG PENGADILAN HAK ASASI MANUSIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa hak asasi manusia merupakan

Lebih terperinci

Pengadilan Rakyat Internasional Kasus 1965

Pengadilan Rakyat Internasional Kasus 1965 Sepuluh Hal yang Perlu Anda Ketahui Tentang Pengadilan Rakyat Internasional Kasus 1965 Banyak kesalahpahaman terjadi terhadap Pengadilan Rakyat Internasional. Berikut sepuluh hal yang belum banyak diketahui

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) adalah negara hukum ( rechtsstaat) dan bukan

I. PENDAHULUAN. Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) adalah negara hukum ( rechtsstaat) dan bukan I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) adalah negara hukum ( rechtsstaat) dan bukan sebagai negara yang berdasarkan atas kekuasaan ( machtsstaat). Tidak ada institusi

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 2006 TENTANG PENGESAHAN INTERNATIONAL CONVENTION FOR THE SUPPRESSION OF TERRORIST BOMBINGS, 1997 (KONVENSI INTERNASIONAL PEMBERANTASAN PENGEBOMAN OLEH TERORIS,

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 26 TAHUN 2000 TENTANG PENGADILAN HAK ASASI MANUSIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 26 TAHUN 2000 TENTANG PENGADILAN HAK ASASI MANUSIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 26 TAHUN 2000 TENTANG PENGADILAN HAK ASASI MANUSIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa hak asasi manusia merupakan

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 26 TAHUN 2000 TENTANG PENGADILAN HAK ASASI MANUSIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 26 TAHUN 2000 TENTANG PENGADILAN HAK ASASI MANUSIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 26 TAHUN 2000 TENTANG PENGADILAN HAK ASASI MANUSIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa hak asasi manusia merupakan

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 26 TAHUN 2000 TENTANG PENGADILAN HAK ASASI MANUSIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 26 TAHUN 2000 TENTANG PENGADILAN HAK ASASI MANUSIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 26 TAHUN 2000 TENTANG PENGADILAN HAK ASASI MANUSIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa hak asasi manusia merupakan

Lebih terperinci

Undang-Undang Republik Indonesia. Nomor 26 Tahun Tentang. Pengadilan Hak Asasi Manusia BAB I KETENTUAN UMUM

Undang-Undang Republik Indonesia. Nomor 26 Tahun Tentang. Pengadilan Hak Asasi Manusia BAB I KETENTUAN UMUM Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 26 Tahun 2000 Tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam Undang-undang ini yang dimaksud dengan : 1. Hak Asasi Manusia adalah seperangkat

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA (UU) NOMOR 26 TAHUN 2000 (26/2000) TENTANG PENGADILAN HAK ASASI MANUSIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA (UU) NOMOR 26 TAHUN 2000 (26/2000) TENTANG PENGADILAN HAK ASASI MANUSIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA (UU) NOMOR 26 TAHUN 2000 (26/2000) TENTANG PENGADILAN HAK ASASI MANUSIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa hak asasi manusia

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA (UU) NOMOR 26 TAHUN 2000 (26/2000) TENTANG PENGADILAN HAK ASASI MANUSIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA (UU) NOMOR 26 TAHUN 2000 (26/2000) TENTANG PENGADILAN HAK ASASI MANUSIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA (UU) NOMOR 26 TAHUN 2000 (26/2000) TENTANG PENGADILAN HAK ASASI MANUSIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa hak asasi manusia

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA www.bpkp.go.id UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 2006 TENTANG PENGESAHAN INTERNATIONAL CONVENTION FOR THE SUPPRESSION OF TERRORIST BOMBINGS, 1997 (KONVENSI INTERNASIONAL PEMBERANTASAN PENGEBOMAN

Lebih terperinci

PENGADILAN HAK ASASI MANUSIA DAN MAHKAMAH PIDANA INTERNASIONAL (ICC)

PENGADILAN HAK ASASI MANUSIA DAN MAHKAMAH PIDANA INTERNASIONAL (ICC) PENGADILAN HAK ASASI MANUSIA DAN MAHKAMAH PIDANA INTERNASIONAL (ICC) Hartanto Dosen Fakultas Hukum Universitas Widya Mataram Yogyakarta Abstract Completion toward the gross violations of human rights basically

Lebih terperinci

Pelanggaran Hak Asasi Manusia yang berat adalah pelanggaran sebagaimana dimaksud

Pelanggaran Hak Asasi Manusia yang berat adalah pelanggaran sebagaimana dimaksud 15 Pelanggaran Hak Asasi Manusia yang berat adalah pelanggaran sebagaimana dimaksud dalam undang-undang ini. Adapun jenis-jenis pelanggaran Hak Asasi Manusia yang berat, sebagai berikut: 1. Kejahatan Genosida

Lebih terperinci

BAB III KESIMPULAN DAN SARAN. tuntutan. Jadi peradilan internasional diselenggarakan untuk mencegah pelaku

BAB III KESIMPULAN DAN SARAN. tuntutan. Jadi peradilan internasional diselenggarakan untuk mencegah pelaku 55 BAB III KESIMPULAN DAN SARAN A. Kesimpulan Setelah diuraikan dalam bab-bab sebelumnya, maka dapat disimpulkan bahwa Peradilan internasional baru akan digunakan jika penyelesaian melalui peradilan nasional

Lebih terperinci

*12269 UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA (UU) NOMOR 26 TAHUN 2000 (26/2000) TENTANG PENGADILAN HAK ASASI MANUSIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

*12269 UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA (UU) NOMOR 26 TAHUN 2000 (26/2000) TENTANG PENGADILAN HAK ASASI MANUSIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA Copyright (C) 2000 BPHN UU 26/2000, PENGADILAN HAK ASASI MANUSIA *12269 UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA (UU) NOMOR 26 TAHUN 2000 (26/2000) TENTANG PENGADILAN HAK ASASI MANUSIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG

Lebih terperinci

MAHKAMAH PIDANA INTERNASIONAL, KEADILAN BAGI GENERASI MENDATANG

MAHKAMAH PIDANA INTERNASIONAL, KEADILAN BAGI GENERASI MENDATANG Seri Kursus HAM untuk Pengacara XI Tahun 2007 Materi : International Criminal Court (ICC) MAHKAMAH PIDANA INTERNASIONAL, KEADILAN BAGI GENERASI MENDATANG Jerry Flower 1 Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat

Lebih terperinci

I. UMUM. 1. Latar Belakang Pengesahan

I. UMUM. 1. Latar Belakang Pengesahan PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 2006 TENTANG PENGESAHAN INTERNATIONAL CONVENTION FOR THE SUPPRESSION OF TERRORIST BOMBINGS, 1997 (KONVENSI INTERNASIONAL PEMBERANTASAN PENGEBOMAN

Lebih terperinci

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA Teks tidak dalam format asli. Kembali: tekan backspace LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No. 208, 2000 (Penjelasan dalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4026) UNDANG-UNDANG REPUBLIK

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 26 TAHUN 2000

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 26 TAHUN 2000 UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 26 TAHUN 2000 TENTANG PENGADILAN HAK ASASI MANUSIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa hak asasi manusia merupakan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. negara-negara lain yang yang diderita oleh banyak orang di negara-negara lain

BAB I PENDAHULUAN. negara-negara lain yang yang diderita oleh banyak orang di negara-negara lain BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Praktek penyelenggaran negara dewasa ini berkembang ke arah demokrasi dan perlidungan Hak Asasi Manusaia (HAM). Masalah HAM mengemuka pada setiap kehidupan penyelenggaraan

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 26 TAHUN 2000 TENTANG PENGADILAN HAK ASASI MANUSIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 26 TAHUN 2000 TENTANG PENGADILAN HAK ASASI MANUSIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 26 TAHUN 2000 TENTANG PENGADILAN HAK ASASI MANUSIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa hak asasi manusia merupakan

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 26 TAHUN 2000 TENTANG PENGADILAN HAK ASASI MANUSIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 26 TAHUN 2000 TENTANG PENGADILAN HAK ASASI MANUSIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 26 TAHUN 2000 TENTANG PENGADILAN HAK ASASI MANUSIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa hak asasi manusia merupakan

Lebih terperinci

Eksistensi Konvensi Jenewa di Masa Depan

Eksistensi Konvensi Jenewa di Masa Depan Eksistensi Konvensi Jenewa di Masa Depan Menilai dari jumlah korban sipil dan penyebaran teror terhadap warga sipil terutama rakyat Gaza yang dilakukan oleh Israel selama konflik sejak tahun 2009 lalu

Lebih terperinci

Penyiksaan dalam RUU KUHP: Beberapa catatan kritis

Penyiksaan dalam RUU KUHP: Beberapa catatan kritis Penyiksaan dalam RUU KUHP: Beberapa catatan kritis Indriaswati Dyah Saptaningrum Seminar Sehari Perlindungan HAM Melalui Hukum Pidana Hotel Nikko Jakarta, 5 Desember 2007 Konvensi Menentang penyiksaan

Lebih terperinci

PENEGAKAN HAK ASASI MANUSIA DI INDONESIA

PENEGAKAN HAK ASASI MANUSIA DI INDONESIA PENEGAKAN HAK ASASI MANUSIA DI INDONESIA Disajikan dalam kegiatan pembelajaran untuk Australian Defence Force Staff di Balai Bahasa Universitas Pendidikan Indonesia di Bandung, Indonesia 10 September 2007

Lebih terperinci

MENEGAKKAN TANGGUNG JAWAB MELINDUNGI: PERAN ANGGOTA PARLEMEN DALAM PENGAMANAN HIDUP WARGA SIPIL

MENEGAKKAN TANGGUNG JAWAB MELINDUNGI: PERAN ANGGOTA PARLEMEN DALAM PENGAMANAN HIDUP WARGA SIPIL MENEGAKKAN TANGGUNG JAWAB MELINDUNGI: PERAN ANGGOTA PARLEMEN DALAM PENGAMANAN HIDUP WARGA SIPIL Resolusi disahkan oleh konsensus* dalam Sidang IPU ke-128 (Quito, 27 Maret 2013) Sidang ke-128 Inter-Parliamentary

Lebih terperinci

KAJIAN TERHADAP PELANGGARAN HAK ASASI MANUSIA YANG BERAT MENURUT UU NO.26 TAHUN 2000 TENTANG PENGADILAN HAM O L E H :

KAJIAN TERHADAP PELANGGARAN HAK ASASI MANUSIA YANG BERAT MENURUT UU NO.26 TAHUN 2000 TENTANG PENGADILAN HAM O L E H : KARYA ILMIAH KAJIAN TERHADAP PELANGGARAN HAK ASASI MANUSIA YANG BERAT MENURUT UU NO.26 TAHUN 2000 TENTANG PENGADILAN HAM O L E H : DR. WEMPIE JH. KUMENDONG, SH, MH NIP. : 19580724 1987031003 KEMENTERIAN

Lebih terperinci

Telah menyetujui sebagai berikut: Pasal 1. Untuk tujuan Konvensi ini:

Telah menyetujui sebagai berikut: Pasal 1. Untuk tujuan Konvensi ini: LAMPIRAN II UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 2006 TENTANG PENGESAHAN INTERNATIONAL CONVENTION FOR THE SUPPRESSION OF TERRORIST BOMBINGS, 1997 (KONVENSI INTERNASIONAL PEMBERANTASAN PENGEBOMAN

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 26 TAHUN 2000 TENTANG PENGADILAN HAK ASASI MANUSIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 26 TAHUN 2000 TENTANG PENGADILAN HAK ASASI MANUSIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 26 TAHUN 2000 TENTANG PENGADILAN HAK ASASI MANUSIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa hak asasi manusia merupakan

Lebih terperinci

UU Pengadilan Hak Asasi Manusia: Sebuah Tinjauan

UU Pengadilan Hak Asasi Manusia: Sebuah Tinjauan UU Pengadilan Hak Asasi Manusia: Sebuah Tinjauan Ifdhal Kasim Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (ELSAM) A. Pengantar 1. Pengadilan Hak Asasi Manusia Ad Hoc untuk Timor Timur tingkat pertama telah berakhir.

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 26 TAHUN 2000 TENTANG PENGADILAN HAK ASASI MANUSIA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 26 TAHUN 2000 TENTANG PENGADILAN HAK ASASI MANUSIA 1 UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 26 TAHUN 2000 TENTANG PENGADILAN HAK ASASI MANUSIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA Menimbang : a. bahwa hak asasi manusia merupakan

Lebih terperinci

KOVENAN INTERNASIONAL TENTANG HAK SIPIL DAN POLITIK 1 MUKADIMAH

KOVENAN INTERNASIONAL TENTANG HAK SIPIL DAN POLITIK 1 MUKADIMAH KOVENAN INTERNASIONAL TENTANG HAK SIPIL DAN POLITIK 1 MUKADIMAH Negara-negara Pihak pada Kovenan ini, Menimbang bahwa, sesuai dengan prinsip-prinsip yang diproklamasikan pada Piagam Perserikatan Bangsa-Bangsa,

Lebih terperinci

BAB III PERTANGGUNGJAWABAN KEJAHATAN TERHADAP GENDER DALAM HUKUM INTERNASIONAL. pemeriksaan dan pengumpulan data, informasi, dan temuan lainnya untuk

BAB III PERTANGGUNGJAWABAN KEJAHATAN TERHADAP GENDER DALAM HUKUM INTERNASIONAL. pemeriksaan dan pengumpulan data, informasi, dan temuan lainnya untuk BAB III PERTANGGUNGJAWABAN KEJAHATAN TERHADAP GENDER DALAM HUKUM INTERNASIONAL A. Pembuktian dengan Investigasi Investigasi adalah Upaya penelitian, penyelidikan, pengusutan, pencarian, pemeriksaan dan

Lebih terperinci

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA TENTANG PENGADILAN TINDAK PIDANA HAK ASASI MANUSIA YANG PALING SERIUS DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA TENTANG PENGADILAN TINDAK PIDANA HAK ASASI MANUSIA YANG PALING SERIUS DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA 20 Des 2010 RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR TAHUN TENTANG PENGADILAN TINDAK PIDANA HAK ASASI MANUSIA YANG PALING SERIUS DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang

Lebih terperinci

PENGADILAN HAK ASASI MANUSIA DAN MAHKAMAH PIDANA INTERNASIONAL (ICC) Zulkarnain 1 * Abstract

PENGADILAN HAK ASASI MANUSIA DAN MAHKAMAH PIDANA INTERNASIONAL (ICC) Zulkarnain 1 * Abstract 1 PENGADILAN HAK ASASI MANUSIA DAN MAHKAMAH PIDANA INTERNASIONAL (ICC) Zulkarnain 1 * Abstract Completion toward the gross violations of human rights basically refers to the principle of exhaustion of

Lebih terperinci

STATUTA ROMA MAHKAMAH PIDANA INTERNASIONAL

STATUTA ROMA MAHKAMAH PIDANA INTERNASIONAL STATUTA ROMA STATUTA ROMA MAHKAMAH PIDANA INTERNASIONAL Disahkan oleh Konferensi Diplomatik Perserikatan Bangsa-Bangsa Duta Besar Berkuasa Penuh tentang Pembentukan Mahkamah Pidana Internasional pada tanggal

Lebih terperinci

perkebunan kelapa sawit di Indonesia

perkebunan kelapa sawit di Indonesia Problem HAM perkebunan kelapa sawit di Indonesia Disampaikan oleh : Abdul Haris Semendawai, SH, LL.M Dalam Workshop : Penyusunan Manual Investigasi Sawit Diselenggaran oleh : Sawit Watch 18 Desember 2004,

Lebih terperinci

Prinsip "Jus Cogens" dalam Hukum Internasional

Prinsip Jus Cogens dalam Hukum Internasional Prinsip "Jus Cogens" dalam Hukum Internasional Mochammad Tanzil Multazam Universitas Muhammadiyah Sidoarjo "Adalah norma yang memaksa dan mengikat pembentuk hukum internasional" Prinsip jus cogens oleh

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA (UU) NOMOR 26 TAHUN 2000 (26/2000) TENTANG PENGADILAN HAK ASASI MANUSIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA (UU) NOMOR 26 TAHUN 2000 (26/2000) TENTANG PENGADILAN HAK ASASI MANUSIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA (UU) NOMOR 26 TAHUN 2000 (26/2000) TENTANG PENGADILAN HAK ASASI MANUSIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa hak asasi manusia

Lebih terperinci

BAB IV PERANAN DAN IMPLEMENTASI PERAN INTERNATIONAL CRIMINAL COURT DI REPUBLIK DEMOKRATIK KONGO

BAB IV PERANAN DAN IMPLEMENTASI PERAN INTERNATIONAL CRIMINAL COURT DI REPUBLIK DEMOKRATIK KONGO BAB IV PERANAN DAN IMPLEMENTASI PERAN INTERNATIONAL CRIMINAL COURT DI REPUBLIK DEMOKRATIK KONGO Pada bab ini penulis akan mencoba memaparkan mengenai apa peran dan bagaimana implementasi peranan International

Lebih terperinci

NASKAH PUBLIKASI PENERAPAN ASAS NE BIS IN IDEM

NASKAH PUBLIKASI PENERAPAN ASAS NE BIS IN IDEM NASKAH PUBLIKASI PENERAPAN ASAS NE BIS IN IDEM DALAM PENEGAKAN HUKUM PIDANA INTERNASIONAL DITINJAU DARI PASAL 17 STATUTA ROMA TAHUN 1998 TENTANG MAHKAMAH PIDANA INTERNASIONAL DALAM MENYELESAIKAN KASUS

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. internasional, negara harus memiliki syarat-syarat yang harus dipenuhi yaitu,

BAB I PENDAHULUAN. internasional, negara harus memiliki syarat-syarat yang harus dipenuhi yaitu, BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Negara merupakan salah satu subjek hukum internasional. Sebagai subjek hukum internasional, negara harus memiliki syarat-syarat yang harus dipenuhi yaitu, salah satunya

Lebih terperinci

KEDUDUKAN MAHKAMAH INTERNASIONAL DALAM MENGADILI PERKARA KEJAHATAN KEMANUSIAAN. Rubiyanto ABSTRACT

KEDUDUKAN MAHKAMAH INTERNASIONAL DALAM MENGADILI PERKARA KEJAHATAN KEMANUSIAAN. Rubiyanto ABSTRACT ISSN : NO. 0854-2031 KEDUDUKAN MAHKAMAH INTERNASIONAL DALAM MENGADILI PERKARA KEJAHATAN KEMANUSIAAN * Rubiyanto ABSTRACT The main matter, a case can be investigated trial by International court of justice

Lebih terperinci

KONVENSI MENENTANG PENYIKSAAN DAN PERLAKUAN ATAU PENGHUKUMAN LAIN YANG KEJAM, TIDAK MANUSIAWI DAN MERENDAHKAN MARTABAT MANUSIA

KONVENSI MENENTANG PENYIKSAAN DAN PERLAKUAN ATAU PENGHUKUMAN LAIN YANG KEJAM, TIDAK MANUSIAWI DAN MERENDAHKAN MARTABAT MANUSIA KONVENSI MENENTANG PENYIKSAAN DAN PERLAKUAN ATAU PENGHUKUMAN LAIN YANG KEJAM, TIDAK MANUSIAWI DAN MERENDAHKAN MARTABAT MANUSIA Diterima dan terbuka untuk penandatanganan, ratifikasi dan aksesi olah Resolusi

Lebih terperinci

SMA JENJANG KELAS MATA PELAJARAN TOPIK BAHASAN XII (DUA BELAS) PENDIDIKAN KEWARGANEGARAAN KASUS PELANGGARAN HAM

SMA JENJANG KELAS MATA PELAJARAN TOPIK BAHASAN XII (DUA BELAS) PENDIDIKAN KEWARGANEGARAAN KASUS PELANGGARAN HAM JENJANG KELAS MATA PELAJARAN TOPIK BAHASAN SMA XII (DUA BELAS) PENDIDIKAN KEWARGANEGARAAN KASUS PELANGGARAN HAM A. Substansi Hak Asasi Manusia dalam Pancasila Salah satu karakteristik hak asasi manusia

Lebih terperinci

NOMOR 26 TAHUN 2000 TENTANG PENGADILAN HAK ASASI MANUSIA

NOMOR 26 TAHUN 2000 TENTANG PENGADILAN HAK ASASI MANUSIA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 26 TAHUN 2000 TENTANG PENGADILAN HAK ASASI MANUSIA Menimbang: DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, a. bahwa hak asasi manusia merupakan

Lebih terperinci

b. bahwa Komisi Yudisial mempunyai peranan penting dalam usaha mewujudkan

b. bahwa Komisi Yudisial mempunyai peranan penting dalam usaha mewujudkan UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 22 TAHUN 2004 TENTANG KOMISI YUDISIAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia adalah

Lebih terperinci

UMUM. 1. Latar Belakang Pengesahan

UMUM. 1. Latar Belakang Pengesahan PENJELASAN ATAS RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6 TAHUN 2006 TENTANG PENGESAHAN INTERNATIONAL CONVENTION FOR THE SUPPRESSION OF THE FINANCING OF TERRORISM, 1999 (KONVENSI INTERNASIONAL

Lebih terperinci

PENDAPAT HUKUM ( DISSENTING OPINION )

PENDAPAT HUKUM ( DISSENTING OPINION ) PENDAPAT HUKUM ( DISSENTING OPINION ) I. Pendahuluan 1. Mengingat sidang permusyawaratan Majelis Hakim tidak dapat dicapai mufakat bulat sebagaimana diatur di dalam pasal 19 ayat ( 5 ) Undang-Undang Nomor

Lebih terperinci

Pada pokoknya Hukum Internasional menghendaki agar sengketa-sengketa antar negara dapat diselesaikan secara damai he Hague Peace

Pada pokoknya Hukum Internasional menghendaki agar sengketa-sengketa antar negara dapat diselesaikan secara damai he Hague Peace Pasal 2 (3) dari Piagam PBB - Semua anggota wajib menyelesaikan perselisihan internasional mereka melalui cara-cara damai sedemikian rupa sehingga perdamaian, keamanan dan keadilan internasional tidak

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 22 TAHUN 2004 TENTANG KOMISI YUDISIAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 22 TAHUN 2004 TENTANG KOMISI YUDISIAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 22 TAHUN 2004 TENTANG KOMISI YUDISIAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia adalah

Lebih terperinci

KONVENSI MENENTANG PENYIKSAAN DAN PERLAKUAN ATAU PENGHUKUMAN LAIN YANG KEJAM, TIDAK MANUSIAWI DAN MERENDAHKAN MARTABAT MANUSIA

KONVENSI MENENTANG PENYIKSAAN DAN PERLAKUAN ATAU PENGHUKUMAN LAIN YANG KEJAM, TIDAK MANUSIAWI DAN MERENDAHKAN MARTABAT MANUSIA KONVENSI MENENTANG PENYIKSAAN DAN PERLAKUAN ATAU PENGHUKUMAN LAIN YANG KEJAM, TIDAK MANUSIAWI DAN MERENDAHKAN MARTABAT MANUSIA Diterima dan terbuka untuk penandatanganan, ratifikasi dan aksesi olah Resolusi

Lebih terperinci

PENGADILAN HAK ASASI MANUSIA DI INDONESIA

PENGADILAN HAK ASASI MANUSIA DI INDONESIA Seri Bahan Bacaan Kursus HAM untuk Pengacara XI Tahun 2007 PENGADILAN HAK ASASI MANUSIA DI INDONESIA Zainal Abidin, S.H. Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat Jl Siaga II No 31 Pejaten Barat, Jakarta 12510

Lebih terperinci

BAB III PENANGANAN PELANGGARAN BERAT HAM MENURUT UNDANG-UNDANG NOMOR 26 TAHUN 2000

BAB III PENANGANAN PELANGGARAN BERAT HAM MENURUT UNDANG-UNDANG NOMOR 26 TAHUN 2000 45 BAB III PENANGANAN PELANGGARAN BERAT HAM MENURUT UNDANG-UNDANG NOMOR 26 TAHUN 2000 A. Pengertian HAM dan Pelanggaran Berat HAM Manusia oleh Tuhan Yang Maha Esa dianugerahi akal dan nurani yang memberikan

Lebih terperinci

LAMPIRAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 1994 TENTANG PENGESAHAN PERJANJIAN EKSTRADISI ANTARA REPUBLIK INDONESIA DAN AUSTRALIA

LAMPIRAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 1994 TENTANG PENGESAHAN PERJANJIAN EKSTRADISI ANTARA REPUBLIK INDONESIA DAN AUSTRALIA LAMPIRAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 1994 TENTANG PENGESAHAN PERJANJIAN EKSTRADISI ANTARA REPUBLIK INDONESIA DAN AUSTRALIA PERJANJIAN EKSTRADISI ANTARA REPUBLIK INDONESIA DAN AUSTRALIA

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6 TAHUN 2006 TENTANG PENGESAHAN INTERNATIONAL CONVENTION FOR THE SUPPRESSION OF THE FINANCING OF TERRORISM, 1999 (KONVENSI INTERNASIONAL PEMBERANTASAN PENDANAAN TERORISME,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pembentukan Mahkamah Pidana Internasional (International. Criminal Court) merupakan upaya masyarakat internasional dalam

BAB I PENDAHULUAN. Pembentukan Mahkamah Pidana Internasional (International. Criminal Court) merupakan upaya masyarakat internasional dalam BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pembentukan Mahkamah Pidana Internasional (International Criminal Court) merupakan upaya masyarakat internasional dalam menanggulangi kejahatan-kejahatan luar

Lebih terperinci

MASUKAN KOALISI PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN ATAS PERUBAHAN UU NO. 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN.

MASUKAN KOALISI PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN ATAS PERUBAHAN UU NO. 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN. MASUKAN KOALISI PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN ATAS PERUBAHAN UU NO. 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN 26 Juni 2014 No Rumusan RUU Komentar Rekomendasi Perubahan 1 Pasal 1 Dalam Undang-Undang

Lebih terperinci

Lex Privatum Vol. V/No. 8/Okt/2017

Lex Privatum Vol. V/No. 8/Okt/2017 KEWENANGAN ICC (INTERNATIONAL CRIMINAL COURT) DALAM MELAKUKAN PENEGAKAN HUKUM TERHADAP KEJAHATAN KEMANUSIAAN 1 Oleh : Olivia 2 ABSTRAK Penelitian ini dilakukan dengan tujuan untuk mengetahui bagaimana

Lebih terperinci

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.293, 2014 POLHUKAM. Saksi. Korban. Perlindungan. Perubahan. (Penjelasan Dalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5602) UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA

Lebih terperinci

BAB IV ANALISIS FIQH SIYASAH TERHADAP PENANGANAN PELANGGARAN BERAT HAM

BAB IV ANALISIS FIQH SIYASAH TERHADAP PENANGANAN PELANGGARAN BERAT HAM 73 BAB IV ANALISIS FIQH SIYASAH TERHADAP PENANGANAN PELANGGARAN BERAT HAM A. Analisis Penanganan Pelanggaran Berat HAM menurut Undang- Undang Nomor 26 Tahun 2000 Sebagaimana telah disinggung pada pembahasan

Lebih terperinci

SILABUS DAN SATUAN ACARA PERKULIAHAN. Dr. SRI LESTARININGSIH, SH. MH. Dr. NURINI APRILIANDA, SH. MH. BAMBANG SUDJITO, SH. MH.

SILABUS DAN SATUAN ACARA PERKULIAHAN. Dr. SRI LESTARININGSIH, SH. MH. Dr. NURINI APRILIANDA, SH. MH. BAMBANG SUDJITO, SH. MH. SILABUS DAN SATUAN ACARA PERKULIAHAN Nama Mata Kuliah Bobot sks Tim Penyusun : HUKUM PIDANA INTERNASIONAL : 2 sks : ALFONS ZAKARIA, SH. LLM. Dr. SRI LESTARININGSIH, SH. MH. Dr. NURINI APRILIANDA, SH. MH.

Lebih terperinci

Muchamad Ali Safa at INSTRUMEN NASIONAL HAK ASASI MANUSIA

Muchamad Ali Safa at INSTRUMEN NASIONAL HAK ASASI MANUSIA Muchamad Ali Safa at INSTRUMEN NASIONAL HAK ASASI MANUSIA UUD 1945 Tap MPR Nomor III/1998 UU NO 39 TAHUN 1999 UU NO 26 TAHUN 2000 UU NO 7 TAHUN 1984 (RATIFIKASI CEDAW) UU NO TAHUN 1998 (RATIFIKASI KONVENSI

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6 TAHUN 2006 TENTANG

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6 TAHUN 2006 TENTANG UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6 TAHUN 2006 TENTANG PENGESAHAN INTERNATIONAL CONVENTION FOR THE SUPPRESSION OF THE FINANCING OF TERRORISM, 1999 (KONVENSI INTERNASIONAL PEMBERANTASAN PENDANAAN TERORISME,

Lebih terperinci

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR TAHUN TENTANG PENGESAHAN PERJANJIAN BANTUAN TIMBAL BALIK DALAM MASALAH PIDANA ANTARA REPUBLIK INDONESIA DAN REPUBLIK SOSIALIS VIET NAM (TREATY ON MUTUAL

Lebih terperinci

DAFTAR ISI. Maksud, Tujuan dan Kerangka Penulisan Buku...3 BAGIAN I BAB I EVOLUSI PEMIKIRAN DAN SEJARAH PERKEMBANGAN HAK ASASI MANUSIA...

DAFTAR ISI. Maksud, Tujuan dan Kerangka Penulisan Buku...3 BAGIAN I BAB I EVOLUSI PEMIKIRAN DAN SEJARAH PERKEMBANGAN HAK ASASI MANUSIA... Daftar Isi v DAFTAR ISI DAFTAR ISI...v PENGANTAR PENERBIT...xv KATA PENGANTAR Philip Alston...xvii Franz Magnis-Suseno...xix BAGIAN PENGANTAR Maksud, Tujuan dan Kerangka Penulisan Buku...3 BAGIAN I BAB

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 22 TAHUN 2004 TENTANG KOMISI YUDISIAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 22 TAHUN 2004 TENTANG KOMISI YUDISIAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 22 TAHUN 2004 TENTANG KOMISI YUDISIAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia adalah

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 22 TAHUN 2004 TENTANG KOMISI YUDISIAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 22 TAHUN 2004 TENTANG KOMISI YUDISIAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 22 TAHUN 2004 TENTANG KOMISI YUDISIAL Menimbang: DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, a. bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia adalah

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2006 TENTANG BANTUAN TIMBAL BALIK DALAM MASALAH PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2006 TENTANG BANTUAN TIMBAL BALIK DALAM MASALAH PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2006 TENTANG BANTUAN TIMBAL BALIK DALAM MASALAH PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa negara Republik

Lebih terperinci

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No. 277, 2015 PENGESAHAN. Perjanjian. Bantuan Timbal Balik. Viet Nam. (Penjelasan Dalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5766). UNDANG-UNDANG REPUBLIK

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 26 TAHUN 2000 TENTANG PENGADILAN HAK ASASI MANUSIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 26 TAHUN 2000 TENTANG PENGADILAN HAK ASASI MANUSIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 26 TAHUN 2000 TENTANG PENGADILAN HAK ASASI MANUSIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa hak asasi manusia merupakan

Lebih terperinci

NOMOR 26 TAHUN 2000 TENTANG PENGADILAN HAK ASASI MANUSIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

NOMOR 26 TAHUN 2000 TENTANG PENGADILAN HAK ASASI MANUSIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA 1 UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 26 TAHUN 2000 TENTANG PENGADILAN HAK ASASI MANUSIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA Menimbang : a. bahwa hak asasi manusia merupakan

Lebih terperinci

BAB III KEJAHATAN KEMANUSIAAN SEBAGAI KEJAHATAN INTERNASIONAL. A. Tinjauan Umum mengenai Kejahatan Internasional

BAB III KEJAHATAN KEMANUSIAAN SEBAGAI KEJAHATAN INTERNASIONAL. A. Tinjauan Umum mengenai Kejahatan Internasional 51 BAB III KEJAHATAN KEMANUSIAAN SEBAGAI KEJAHATAN INTERNASIONAL A. Tinjauan Umum mengenai Kejahatan Internasional Hukum Humaniter atau lengkapnya disebut International Humanitarian Law Applicable in Armed

Lebih terperinci

PENGANTAR HUKUM ACARA PENGADILAN HAK ASASI MANUSIA. R. Herlambang Perdana Wiratraman Fakultas Hukum Universitas Airlangga Surabaya, 2 Juni 2008

PENGANTAR HUKUM ACARA PENGADILAN HAK ASASI MANUSIA. R. Herlambang Perdana Wiratraman Fakultas Hukum Universitas Airlangga Surabaya, 2 Juni 2008 PENGANTAR HUKUM ACARA PENGADILAN HAK ASASI MANUSIA R. Herlambang Perdana Wiratraman Fakultas Hukum Universitas Airlangga Surabaya, 2 Juni 2008 Pokok Bahasan Apa prinsip-prinsip dan mekanisme hukum acara

Lebih terperinci

PERJANJIAN ANTARA REPUBLIK INDONESIA DAN REPUBLIK RAKYAT CHINA MENGENAI BANTUAN HUKUM TIMBAL BALIK DALAM MASALAH PIDANA

PERJANJIAN ANTARA REPUBLIK INDONESIA DAN REPUBLIK RAKYAT CHINA MENGENAI BANTUAN HUKUM TIMBAL BALIK DALAM MASALAH PIDANA PERJANJIAN ANTARA REPUBLIK INDONESIA DAN REPUBLIK RAKYAT CHINA MENGENAI BANTUAN HUKUM TIMBAL BALIK DALAM MASALAH PIDANA Republik Indonesia dan Republik Rakyat China (dalam hal ini disebut sebagai "Para

Lebih terperinci

MENGENAL ICC. Mahkamah Pidana International. Koalisi Masyarakat Sipil untuk Mahkamah Pidana Internasional. Seri Buku Saku

MENGENAL ICC. Mahkamah Pidana International. Koalisi Masyarakat Sipil untuk Mahkamah Pidana Internasional. Seri Buku Saku MENGENAL ICC Mahkamah Pidana International Koalisi Masyarakat Sipil untuk Mahkamah Pidana Internasional Seri Buku Saku MENGENAL ICC Mahkamah Pidana International 2009 Diterbitkan oleh: Koalisi Masyarakat

Lebih terperinci