II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Sejarah Singkat ASEAN-China Free Trade Area dan Penurunan Tingkat Tarif di Indonesia
|
|
- Hartanti Hartono
- 6 tahun lalu
- Tontonan:
Transkripsi
1 13 II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Sejarah Singkat ASEAN-China Free Trade Area dan Penurunan Tingkat Tarif di Indonesia ACFTA (ASEAN-China Free Trade Area) adalah kesepakatan dari negara-negara ASEAN untuk membentuk suatu kawasan perdagangan bebas dengan negara China. Pada bulan November 2001 melalui ASEAN-China Summit di Bandar Sri Begawan-Brunei Darussalam, China menawarkan sebuah proposal ASEAN-China Free Trade Area untuk jangka waktu 10 tahun ke depan. Lima bidang kunci kerjasama adalah pertanian, telekomunikasi, pengembangan sumberdaya manusia, investasi antar-negara, dan pengembangan di sekitar area sungai Mekong. Pertemuan ini ditindaklanjuti pada bulan November 2002 dengan penandatanganan The Framework Agreement on A Comprehensive Economic Cooperation (CEC) yang dihadiri oleh Menteri Ekonomi negara-negara ASEAN dan China. Naskah ini menjadi landasan bagi pembentukan ACFTA. Kesepakatan CEC dalam pertemuan tersebut juga mengandung tiga pilar yaitu liberalisasi, fasilitasi, dan kerjasama ekonomi. Liberalisasi meliputi perdagangan bebas barang, jasa, dan investasi dalam kawasan ACFTA. Namun, dalam kesepakatan tersebut juga diberikan differential treatment and flexibility bagi negara-negara anggota ASEAN yang belum berkembang seperti Kamboja, Laos, Myanmar, dan Vietnam. Peserta ASEAN-China Summit pada bulan November 2004 menandatangani naskah The Framework Agreement on Trade in Good yang berlaku pada 1 Juli Berdasarkan kesepakatan ini, enam negara ASEAN (Indonesia, Thailand, Malaysia, Singapura, Filipina, Brunei Darussalam, dan China) sepakat melakukan penurunan tarif secara bertahap dengan target penurunan tarif hingga nol persen. Untuk negara ASEAN yang diberikan differential treatment and flexibility akan mengikuti kesepakatan ACFTA pada tahun Adapun secara rinci tahapan peristiwa yang akhirnya mencetuskan ACFTA dimana mempengaruhi kesepakatan pemerintah Indonesia terhadap perdagangan bebas dengan ASEAN-China disajikan pada Tabel 1.
2 14 Tabel 1. Tahapan Perjalanan ASEAN Free Trade Area dan ASEAN-China Free Trade Area Waktu Peristiwa 1991 Kesepakatan AFTA (dipercepat menjadi tahun 2001) (Desember) The People s Republic of China (PRC) secara resmi menjadi mitra dialog ASEAN Joint Statement kepala negara: ASEAN-PRC sebagai sahabat dan mitra yang saling percaya menyongsong abad 21 Pada KTT ASEAN-PRC para kepala negara menyepakati 2000 (November) gagasan pembentukan ACFTA 2001 (Maret) Pembentukan ASEAN-China Economic Expert Group Pada KTT ASEAN-China para kepala negara menandatangani Framework Agreement on Comprehensive Economic Cooperation between ASEAN and PRC 2003 Perundingan ACFTA dimulai dan selesai bulan Juni 2004 Bali Concord (proposal Indonesia ASEAN Community" 2003 diterima): AFTA menjadi bagian dari ASEAN Economic Community (AEC) 2004 (November) Kesepakatan ACFTA untuk barang ditandatangani 2007 Sumber : Basri (2010) Kesepakatan ASEAN Charter dan AEC Blue Print ditandatangani 2008 (Desember) ASEAN Charter berlaku Perjalanan ACFTA hingga disetujui pemerintah Indonesia cukup lama yaitu dimulai pada tahun Ketika ASEAN menyepakati China sebagai rekan saing dalam perdagangan bebas, secara tidak langsung kesepakatan ini mengarahkan sistem ekonomi negara anggota ASEAN bertransformasi ke sistem ekonomi liberalis China. Tujuan dari Framework Agreement ACFTA ini adalah (1) memperkuat dan meningkatkan kerjasama ekonomi, perdagangan dan investasi kedua pihak, (2) meliberalisasikan perdagangan barang, jasa, dan investasi, (3) mencari area baru dan mengembangkan kerjasama ekonomi yang saling menguntungkan kedua pihak, dan (4) memfasilitasi integrasi ekonomi yang lebih efektif dengan negara anggota baru ASEAN dan menjembatani gap yang ada di kedua belah pihak. Selain itu, kedua pihak juga menyepakati untuk memperkuat dan meningkatkan kerjasama ekonomi melalui (1) penghapusan tarif dan hambatan non tarif dalam perdagangan barang, (2) liberalisasi secara progresif perdagangan jasa, dan (3) membangun rezim investasi yang kompetitif dan terbuka dalam kerangka ACFTA.
3 15 Penurunan dan penghapusan tarif perdagangan barang, telah disepakati melalui tiga skenario yaitu (1) Early Harvest Programme (EHP), (2) Normal Track Programme, dan (3) Sensitive dan Highly Sensitive. EHP bertujuan untuk mempercepat implementasi penurunan tarif produk dimana program penurunan tarif bea masuk dilakukan secara bertahap dan efektif dimulai pada 1 Januari 2004 bagi produk EHP dan menjadi nol persen pada 1 Januari Cakupan produk yang masuk ke dalam EHP adalah produk yang masuk ke dalam Chapter 01 s/d 08 yaitu hewan hidup (01), daging dan produk daging dikonsumsi (02), ikan (03), dairy product atau produk susu (04), produk hewan lainnya (05),tumbuhan (06), sayuran dikonsumsi kecuali jagung manis (07), dan buah-buahan dikonsumsi (08). Jumlah kelompok EHP meliputi 530 pos tarif (HS 10 digit), sementara produk produk spesifik yang ditentukan melalui kesepakatan bilateral antara lain kopi, minyak kelapa (CPO), bubuk kakao, barang dari karet, dan perabotan. Penurunan tarif bea masuk pada Normal Track Programme dimulai sejak tanggal 20 Juli 2005, yang menjadi nol persen pada tahun 2010, dengan fleksibilitas pada produk-produk yang akan menjadi nol persen pada tahun Adapun produk-produk dalam kelompok Sensitive, akan dilakukan penurunan tarif mulai tahun 2012, dengan penjadwalan bahwa maksimun tarif bea masuk 20 persen pada tahun 2012 dan akan menjadi 0-5 persen mulai tahun Komoditas yang masuk daftar High Sensitive List (HSL) seperti beras, jagung, kedelai, dan gula, tarif bea masuknya akan diturunkan atau dihapuskan menjadi 0-50 persen mulai 1 Januari 2015 (Kementerian Keuangan, 2011). Preferensi penurunan tarif untuk ketiga skenario tersebut disepakati melalui Pengaturan Surat Keterangan Asal Barang (SKA) dengan ketentuan kandungan lokal ACFTA sebesar 40 persen yang secara operasional menggunakan SKA Form E. Penurunan dan penghapusan tarif bea masuk dalam skema ACFTA dilakukan secara bertahap. Hal ini dimaksudkan untuk tetap menjaga kepentingan perlindungan terhadap produk Indonesia yang dianggap belum mampu untuk bersaing dengan produk negara peserta FTA. Penurunan tarif di Indonesia telah dilakukan secara sepihak sejak era reformasi. Hal ini terjadi atas dorongan IMF sewaktu Indonesia dilanda krisis pada tahun 1997 yang mengharuskan Indonesia untuk lebih terbuka pada
4 16 perdagangan. Pada prosesnya penurunan tarif di Indonesia dilakukan secara bertahap yaitu dari rata-rata 6 persen, 4 persen di tahun 2008 kemudian dari 4 persen ke 3 persen tahun 2009, dan memasuki tahun 2010 menjadi nol persen melalui Normal Track pada perdagangan ACFTA (Pasaribu, 2010) Profil Struktur Industri Gula Indonesia Gula terdiri dari beberapa jenis yang dilihat dari tingkat keputihannya melalui standar ICUMSA (Internatioal Commission for Uniform Methods of Sugar Analysis). Semakin putih gula maka semakin kecil nilai ICUMSA dalam skala internasional unit (IU) sebagai berikut : Raw Sugar (Gula Mentah) Raw sugar adalah gula mentah yang berbentuk kristal berwarna kecokelatan dengan bahan baku dari tebu. Gula mentah ini merupakan gula setengah jadi dari pabrik-pabrik penggilingan tebu yang tidak mempunyai unit pemutihan. Jenis gula gula mentah ini yang paling banyak diimpor untuk diolah menjadi gula kristal putih ataupun gula kristal rafinasi. Untuk menghasilkan gula mentah diperlukan proses dari penilaian tebu penggilingan pemurnian nira penguapan pengkristalan merah (gula mentah). Refined Sugar (Gula Kristal Rafinasi) Gula kristal rafinasi ini merupakan hasil olahan lebih lanjut dari gula mentah. Adapun tahapan produksi gula kristal rafinasi yaitu dari raw sugar preparation affination karbonasi penyaringan pertukaran ion evaporasi sentrifugal gula kristal rafinasi pengemasan. Pemasaran gula kristal rafinasi dilakukan secara khusus oleh distributor gula khusus yang telah mendapat persetujuan serta penunjukan dari pabrik gula kristal rafinasi yang disahkan oleh Departemen Perindustrian. Pemenuhan gula kristal rafinasi dalam negeri sebelum tahun 2000 dilakukan melalui impor. Namun dengan ekspektasi harga yang terus meningkat dan produksi dula dalam negeri yang menurun, pada tahun mulai terdapat tiga pelaku usaha gula kristal rafinasi. Kemudian pada tahun usaha industri gula kristal rafinasi bertambah menjadi 7 pelaku usaha, dan bertambah lagi di tahun 2009 menjadi 8 pelaku usaha yang mempu mempunyai
5 17 kemampuan pasokan industri rafinasi mencapai sekitar 2 juta ton per tahun. Berdasarkan data KPPU (2010) pelaku usaha dalam industri gula kristal rafinasi antara lain : 1. PT Angles Product, Bojonagara, Serang-Banten 2. PT Jawamanis, Cilegon-Banten 3. PT Sentra Usahatama Jaya, Cilegon-Banten 4. PT Permata Dunia Sukses Utama, Cilacap-Jawa Tengah 5. PT Dharmapala Usaha Sukses, Cilacap-Jawa Tengah 6. PT Sugar Labinta 7. PT Makassar Tene 8. PT Duta Sugar International. Pelaku industri gula kristal rafinasi dalam negeri sepenuhnya mengimpor gula mentah untuk kemudian diolah menjadi gula kristal rafinasi. Adanya peningkatan jumlah pabrik gula dalam negeri juga meningkatkan jumlah gula mentah yang diimpor setiap tahunnya. Berikut ini adalah data peningkatan impor gula mentah untuk memenuhi kebutuhan industri dalam negeri yang membutuhkan gula kristal rafinasi. Tabel 2. Jumlah Impor Gula Mentah di Indonesia Tahun Tahun Perusahaan Rekomendasi (ton) Izin Impor (ton) Jumlah (ton) Sumber : GAPMMI, 2010 Industri yang menjadi konsumen gula kristal rafinasi antara lain industri makanan, minuman, dan farmasi. Sejak tahun 2002 hingga September 2008 pemerintah memperbolehkan industri makanan dan minuman mengimpor sendiri gula kristal rafinasi. Namun seiring dengan berkembangnya industri gula kristal rafinasi dalam negeri dan terus menurunnya harga dunia gula kristal rafinasi yang ternyata berimbas kepada petani gula, maka kemudian pada bulan September 2008 pemerintah membatasi impor gula kristal rafinasi yang dilakukan oleh industri makanan dan minuman. Industri makanan dan minuman tersebut
6 18 kemudian diarahkan untuk melakukan pembelian gula kristal rafinasi dari produk pabrik gula kristal rafinasi dalam negeri. Gula Kristal Putih (Gula Pasir) Gula kristal putih merupakan gula yang paling banyak digunakan untuk rumah tangga dan diproduksi oleh pabrik-pabrik gula di dekat perkebunan tebu dengan cara menggiling tebu dan melakukan proses pemutihan. Gula kristal putih dikelompokkan menjadi tiga bagian yaitu gula kristal putih ICUMSA 250, Gula kristal putih 2 dengan nilai ICUMSA , dan Gula kristal putih 3 dengan nilai ICUMSA Semakin tinggi nilai ICUMSA maka warna gula akan semakin cokelat dan rasanya akan semakin manis. Tahapan proses memproduksi gula kristal putih antara lain tebu gilingan nira evaporator kristal sentrifugal sulfitasi gula kristal putih (gula pasir). Pelaku industri gula kristal putih didominasi oleh BUMN, yaitu PTPN dan RNI dengan jumlah sebanyak hampir 10 perusahaan yang tersebar di Pulau Jawa dan Sumatera. Produksi gula kristal putih di dalam negeri sebagian besar berasal dari enam pelaku usaha saja, yaitu PTPN IX, PTPN X, PTPN XI, RNI, Gunung Madu, dan Sugar Group. Secara keseluruhan pangsa produksi gula kristal putih dapat dilihat dalam gambar berikut : (13) (10) 1.78% (11) 1.42% (12) 1.36% 0.98% (9) 4.15% (08) 5.59% (07) 6.16% (06) 6.24% 0.84% (14) 0.38% (15) 18.96% (01) (05) 8.61% 18.72% (02) (4) 9.16% 15.64% (03) (01) Sugar Grop (02) PTPN X (03) PTPN XI (04) PT Gula Madu Plant (05) PT RNI (06) PT Kebon Agung (07) PTPN IX (08) PTPN VII (09) PT RNI II (10) PT Pemuka Sakti Manis Indah (11) PT Madubaru (12) PTPN II (13) PTPN XIV (14) PT Gorontalo (15) PT Laju Perdana Indah Sumber : Dewan Gula Indonesia, 2010 Gambar 1. Pangsa Produksi Gula Kristal Putih Perusahaan di Indonesia Tahun 2009
7 19 Berdasarkan gambar tersebut dapat diketahui bahwa PTPN X, PTPN XI, dan Sugar Group merupakan tiga pemain utama yang masing-masing pangsa produksinya di tahun 2009 yaitu persen, persen, dan persen. Sugar Group merupakan satu-satunya perusahaan yang telah efisien dalam industri gula sehingga perusahaan ini mampu menjadi leader dalam industri gula kristal putih. Kemampuan industri gula swasta didukung oleh teknologi modern dan pola usaha integratif yang telah dijalankan, sehingga terbukti mampu memberikan daya saing yang tinggi Kebijakan Pemerintah terhadap Industri Pergulaan Indonesia Industri gula merupakan salah satu industri perkebunan tertua dan terpenting Indonesia. Industri pergulaan di Indonesia dimulai pada tahun 1673 yaitu sejak berdirinya pabrik gula tebu pertama di Batavia. Sejarah menunjukkan bahwa Indonesia pernah mengalami era kejayaan industri gula pada tahun 1930 dimana jumlah pabrik gula yang beroperasi adalah 179 pabrik gula, produktivitas sekitar 14.8 persen dan rendemen mencapai 11.0 persen hingga 13.8 persen. Produksi puncak pernah mencapai sekitar 3 juta ton dan ekspor gula mencapai sekitar 2.4 juta ton. Hal ini didukung oleh kemudahan dalam memperoleh lahan yang subur, tenaga kerja murah, prioritas irigasi, dan disiplin dalam penerapan teknologi (Sudana, 2000). Sepanjang sejarahnya, industri gula termasuk produk yang paling teregulasi diantara produk-produk lainnya. Industri gula merupakan salah satu yang tingkat distorsinya paling tinggi. Hal ini dikarenakan disamping gula termasuk dalam produk pokok yang bernilai strategis dalam kebutuhan masyarakat, struktur pasar gula oligopoli. Dikatakan ologopoli sebab sekalipun perkebunan tebu diusahakan oleh ribuan petani namun produksi gula hanya dihasilkan oleh puluhan pemain yaitu pabrik gula nasional yang bernaung dibawah pengusahaan negara maupun swasta. Sebagai komoditas yang strategis, pemerintah telah menerapkan berbagai kebijakan yang memiliki efek langsung maupun tidak langsung terhadap industri pergulaan nasional. Kebijakan yang diterapkan pemerintah tersebut tidak hanya berkaitan dengan input, produksi, dan pemasaran saja tetapi sudah mencakup
8 20 dimensi yang cukup luas hingga pada kebijakan harga dan kebijakan impor. Kebijakan yang mempengaruhi pasang surut industri pergulaan nasional disajikan pada Tabel 3. Tabel 3. Rezim Kebijakan Pergulaan Nasional Kebijakan Perihal Tujuan INPRES No. 9 Tahun 1975, 22 April 1975 Kepmen Perdagangan dan Koperasi No.122/Kp/III/81, 12 Maret 1981 Kepmenkeu No. 342/KMK.011/1987 Intensifikasi tebu (TRI) Tata niaga gula pasir dalam negeri Penetapan harga gula pasir produksi dalam negeri dan impor Peningkatan produksi gula serta peningkatan petani tebu Menjamin kelancaran pengadaan dan penyaluran gula pasir serta peningkatan pendapatan petani Menjamin stabilitas harga, devisa, serta kesesuaian pendapatan petani dan pabrik UU No.12/1992 Inpres No 5 Tahun 1997, 29 Desember 1997 Budidaya tanaman Program pengembangan tebu rakyat Memberikan kebebasan kepada petani untuk menanam komoditas sesuai dengan prospek pasar Pemberian peranan pada pelaku bisnis dalam rangka perdagangan bebas Inpres No. 5/1998, 21 Januari 1998 Kep Menperindag No. 25 /MPP/Kep/1/1998 Kepmenperindag No. 505/MPP/Kep/10/1998 Kepmenhtbun No. 282/Kpts-IX/1999, 7 Mei 1999 Penghentian pelaksanaan Inpres No. 5/1997 Komoditas yang diatur tata niaga impornya Perdagangan dan distribusi minyak goreng dan gula pasir Penetapan harga provenue gula pasir produksi petani Kebebasan pada petani untuk memilih komoditas sesuai dengan Inpres No. 12/1992 Tata niaga impor gula untuk menjaga kelancaran arus barang dilakukan oleh importir produsen (IP) Perdagangan dan distribusi gula pasir hasil produksi PT Perkebunan Nusantara/PT Rajawali Nusantara Indonesia ditetapkan oleh Menteri Perindustrian dan Perdagangan Menghindari kerugian petani dan mendorong peningkatan produksi
9 21 Kep Menperindag No. 230/MPP/Kep/6/1999, 4 Juni 1999 Kep Menperindag No. 364/MPP/Kep/8/1999, 5 Agustus 1999 Kep Menperindag No. 717/MPP/Kep/12/1999 Kepmenkeu No. 568/KMK.01/1999 Kepmenkeu No. 324/KMK.01/ Juli 2002 Kep Menperindag No. 643/MPP/Kep/9/2002, 23 September 2002 SK Menperindag No. 527/MPP/Kep/9/2004, 17 September 2004 Kepmen Perdagangan No.02/M/Kep/XII/ 2004, 7 Desember 2004 Mencabut Kepmenperindag No. 505/MPP/Kep/10/1998 Tata niaga impor gula Pencabutan tata niaga impor gula dan beras Penetapan tarif bea masuk atas impor beras dan gula Perubahan bea masuk Tata niaga impor gula Ketentuan impor gula Perubahan atas keputusan menteri perindustrian dan perdagangan No. 527/MPP/Kep/9/2004 tentang impor gula Menciptakan iklim perdagangan minyak goreng dan gula pasir yang berorientasi pasar Pengurangan beban anggaran pemerintah melalui impor gula dengan pembatasa jumlah importir dan izin impor hanya untuk importir produsen Impor gula dan beras dapat dilaksanakan oleh importir umum Untuk menjaga kepentingan petani dan konsumen tarif bea masuk atas impor gula sebesar 20 persen (gula mentah) dan 25 persen (gula kristal putih) Peningkatan efektivitas bea masuk melalui penggantian dari tarif ad-valorem menjadi tarif spesifik Pembatasan pelaku impor gula hanya menjadi importir gula produsen dan importir gula terdaftar untuk peningkatan pendapatan petani/produsen. Pembatasan pelaku impor gula, jumlah pasokan gula impor, kualitas gula, waktu impor dan harga penyangga atau penjamin Ketentuan bahwa impor dapat dilakukan jika harga gula kristal putih di tingkat petani mencapai di atas Rp per kilogram dan atau apabila produksi atau persediaan gula kristal putih tidak mencukupi kebutuhan
10 22 Kep Menperindag No. 08/M-DAG/ Per/4/2005 Permendag No. 18/M- DAG/PER/4/2007 Permenkeu No. 86/PMK.010/2005 Permentan No. 57/Permentan/KU.430/7/ 2007 Perubahan atas Keputusan Menteri Perdagangan No.02/M/Kep/XII/200 4 tentang perubahan atas Keputusan Menperindag No. 527/2004 tentang impor gula Perubahan atas keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan No. 27/MPP/Kep/9/2004 tentang ketentuan impor gula Keringanan tarif bea masuk atas impor gula Pedoman pelaksanaan kredit ketahanan Pangan dan Energi Ketentuan impor gula tidak hanya mengatur tentang harga patokan tetapi juga jumlah pasokan Ketentuan bahwa impor dapat dilakukan jika harga gula kristal putih di tingkat petani mencapai di atas Rp per kilogram dan apabila produksi atau persediaan gula kristal putih tidak mencukupi kebutuhan Gula tebu dengan ICUMSA minimal 1200 IU bea masuk menjadi Rp 250 per kilogram dan gula bit, gula murni menjadi Rp 530 per kilogram Besar kredit untuk usahatani tebu Rp Permendag No. 19/M- DAG/PER/5/2008 Perubahan atas keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan No. 27/MPP/Kep/9/2004 tentang ketentuan impor gula Ketentuan bahwa impor dapat dilakukan jika harga gula kristal putih di tingkat petani mencapai di atas Rp per kilogram dan atau apabila produksi atau persediaan gula kristal putih tidak mencukupi kebutuhan Permenperind No.83/M- IND/Per/11/2008 Permenperind No. 91/M- IND/PER/11/2008 Pemberlakuaan Standar Nasional Indonesia (SNI) gula kristal rafinasi Program Restrukturisasi Mesin/Peralatan Pabrik Gula Penggunaan sertifikat produk tanda standart nasional secara wajib agar menghasilkan gula kristal rafinasi yang sesuai dengan persyaratan SNI Dalam rangka mendukung revitalisasi pabrik gula melalui keringanan pembiayaan pembelian mesin/peralatan pabrik gula guna peningkatan kapasitas produksi gula nasional
11 23 Permenperind No.95/M- IND/PER/11/2008 Penunjukan Lembaga Penilaian Kesesuaian dalam rangka Penerapan/Pemberlak uan dan Pengawasan Standar Nasional Indonesia (SNI) Gula Kristal Rafinasi Untuk melaksanakan sertifikasi dan pengujian mutu produk gula kristal rafinasi Permendag No. 560/M- DAG/PER/4/2009 SK Mendag No.111/M- DAG/2/2009 Permenkeu No.150/PMK.011/ September 2009 Permenperind No. 44/M- IND/PER/4/2010 Perubahan atas keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan No. 27/MPP/Kep/9/2004 tentang ketentuan impor gula Penyempurnaan petunjuk pendistribusian gula kristal rafinasi Penetapan tarif bea masuk atas impor gula Perubahan Kedua Atas Peraturan Menteri Perindustrian Nomor 91/M- IND/PER/11/2008 tentang Program Restrukturisasi Mesin/Peralatan Pabrik Gula Ketentuan bahwa impor dapat dilakukan jika harga gula kristal putih di tingkat petani mencapai di atas Rp per kilogram dan apabila produksi atau persediaan gula kristal putih tidak mencukupi kebutuhan Memberi kepastian dan kejelasan bagi semua pihak yang terlibat distribusi gula kristal rafinasi Menjaga stabilitas harga gula dalam negeri tarif bea masuk atas impor gula kristal rafinasi Rp 400 per kilogram dan gula mentah Rp 150 per kilogram Memperluas peserta program restrukturisasi mesin/peralatan pabrik gula dengan syarat pabrik gula tidak memproduksi gula kristal rafinasi, mengganti sebagian/seluruh komponen peralatan dengan teknologi yang lebih baik Sumber : Sudana et al.(2002) dan Susila (2005a), KPPU (2010), Kementerian Perindustrian (2008), Kementerian Perdagangan (2009), dan Kementerian Keuangan (2009) Pada masa pra 1975 sebagian tanaman tebu diusahakan oleh pabrik gula di atas tanah persewaan. Tarif sewa tanah untuk tanaman tebu setiap tahun ditetapkan oleh pemerintah yang sekaligus meliputi persewaan tanah untuk tanaman tebu, dan tembakau. Penetapan tarif sewa tanah yang rendah setiap tahun menimbulkan masalah karena pemilik tanah hilang minatnya untuk menyewakan
12 24 tanahnya pada pabrik gula. Apabila ditetapkan terlalu tinggi, maka biaya pokok produksi gula akan menjadi tinggi pula. Amang (1993) menjelaskan bahwa pada tahun 1975 melalui Inpres No. 9 Tahun 1975 pemerintah menghapus sistem sewa tanah dan menggantikannya dengan sistem Tebu Rakyat Intensifikasi (TRI). Dalam sistem ini diintrodusir paket kredit dan input yang bertujuan mendorong petani perorangan bergantung dalam suatu kelompok untuk menanam tebu ditanahnya. Pada sistem TRI ini juga dimaksudkan agar terdapat suatu pemisahan yang jelas antara tanggung jawab produsen tebu (dilakukan oleh petani) dan pengolahan tebu menjadi gula pasir (oleh pabrik gula). Pada tahun 1980 pemerintah melakukan modifikasi sistem TRI dengan memberikan pengarahan kepada pabrik gula untuk memberi bimbingan dan bantuan langsung kepada petani melalui Koperasi Unit Desa (KUD) baik dalam hal penyediaan benih, pengelolaan lahan, panen, dan proses pengangkutan. Namun demikian, Hariyati (2003) mengemukakan bahwa sejak dikeluarkannya Inpres No. 9 Tahun 1975 telah merubah sejarah baru yang merombak sistem persewaan perkebunan menjadi sistem tebu rakyat. Sejak saat itu kehadiran petani sebagai partner pabrik gula menyebabkan terjadinya pemisahan tanggung jawab, produksi, dan pengolahan, sehingga dalam produksi gula terbagi menjadi dua segi yaitu produksi tebu dan industri pengolahannya. Pelaku utama dalam produksi gula terbagi menjadi petani dan pabrik gula sehingga kebijakan produksi gula tidak boleh terlepas dari perilaku keduanya. Harapan bahwa kehidupan ekonomi petani dapat meningkat melalui program TRI tidak terwujud. Selama pelaksanaan Inpres No. 9 Tahun 1975 segala hal menyangkut tebu mulai dari penyediaan lahan, proses tebang, dan angkut tebu serta penggilingan diatur dan dikuasai KUD yang ditunjuk pemerintah. Akibatnya petani menjadi pihak yang dirugikan, tingkat keuntungan yang diperoleh petani dari tanaman tebu lebih kecil daripada jenis tanaman lain, sehingga secara psikologis petani kehilangan kebebasan untuk mengolah lahan pertaniannya sendiri. Menyikapi perkembangan yang negatif akan pelaksanaan TRI serta seiring dengan semakin menurunnya produksi gula nasional dan tingkat kebutuhan konsumsi gula nasional yang terus meningkat pemerintah kemudian mencabut Inpres No. 9 Tahun Pencabutan kebijakan ini diikuti dengan
13 25 Keputusan Menperindang No. 25/MPP/Kep/I/1998 yang intinya menetapkan BULOG tidak lagi menangani perdagangan gula. Hafsah (2003) menyatakan penerbitan keputusan ini terjadi karena adanya keterikatan Indonesia dengan IMF (Internasional Monetary Fund) dengan Letter of Intent-nya terutama tentang pelaksanaan butir nomor 44 dari Letter of Intent tersebut tentang pembebasan tata niaga komoditi pertanian termasuk gula, yang harus dilakukan sejak Januari Pada tahun 1999 ketika krisis ekonomi Indonesia mulai membaik harga gula dalam negeri mengalami penurunan. Hal ini disebabkan harga gula dunia yang terus menurun, nilai tukar rupiah yang menguat serta tidak adanya tarif impor. Keputusan pemerintah Indonesia untuk mencabut monopoli BULOG dalam pengadaan gula dan menerapkan tarif impor gula sebesar nol persen mengakibatkan industri gula lokal terancam. Kenyataannya pada saat itu, gula impor lebih murah daripada harga gula lokal menunjukkan ketidakefisienan dari industri gula lokal di Indonesia sehingga banyak pabrik gula domestik terancam bangkrut karena tidak dapat bersaing dengan gula impor. Wibowo (2009) menyatakan kebijakan tersebut telah membawa ekonomi pertebuan nasional berada pada titik nadir menuju liberalisasi yang menekan produksi tebu petani. Tidak ada langkah tegas dari pemerintah untuk merevitalisasi agribisnis tebu sehingga parameter produksi dan produktivitas serta nilai tambah agribisnis berbasis tebu benar-benar menunjukkan kinerja yang memprihatinkan. Pemerintah mengeluarkan SK Menhutbun No. 228/KPTS-IV/1999 untuk melindungi produsen dalam negeri dengan menetapkan harga provenue gula sebesar Rp per kilogram. Namun, kebijakan ini tidak didukung oleh rencana dan tindak lanjut dari pemerintah sehingga kebijakan ini menjadi tidak efektif. Sebagai contoh, ketika pemerintah menetapkan kebijakan ini ternyata pemerintah dan BUMN perkebunan tidak memiliki dana yang memadai. Akibatnya kebijakan tersebut tidak terealisasi dan harga gula petani masih mengalami ketidakpastian. Pemerintah kemudian mengambil jalan keluar dengan mengeluarkan SK Menperindag No. 364/MPP/Kep/8/1999 dengan melakukan pembatasan jumlah impor dan hanya memberikan izin impor kepada importir produsen. Melalui kebijakan ini pemerintah mampu mengendalikan volume impor sehingga harga gula dalam negeri dan kesejahteraan petani dapat ditingkatkan.
14 26 Kebijakan importir produsen tersebut ternyata masih kurang efektif, baik untuk mengangkat harga gula di pasar domestik maupun mengontrol volume impor. Walau tidak ada data pendukung yang memadai, kegagalan tersebut terutama disebabkan oleh stok gula dalam negeri sudah terlalu banyak serta masih adanya gula impor ilegal. Situasi ini membuat harga gula di pasar domestik tetap melemah. Desakan petani dan pabrik gula terhadap pemerintah untuk melindungi industri gula dalam negeri semakin kuat (Dewan Gula Indonesia, 1999). Dalam jangka waktu 4 bulan melalui surat keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan No. 717/MPP/Kep/12/1999 pemerintah mencabut tata niaga impor gula dan beras yang mulai berlaku sejak tanggal 1 Januari 2000, sehingga perdagangan komoditas gula diserahkan kepada mekanisme pasar. Melalui surat Keputusan Menteri Keuangan No. 568/KMK.01/1999 yang mulai diberlakukan sejak 1 Januari 2000 maka semua importir baik importir umum (IU) maupun importir produsen (IP) termasuk BULOG diperbolehkan mengimpor gula dengan ketentuan dikenakan bea masuk sebesar 20 persen untuk gula mentah dan 25 persen untuk gula kristal putih. Namun, karena dirasa tarif advalorem tersebut kurang efektif maka melalui Keputusan Menteri Keuangan No. 324/KMK.01/2002 tarif tersebut diganti menjadi tarif spesifik yaitu Rp per kilogram untuk gula mentah dan Rp per kilogram untuk gula putih. Tingkat tarif ini terus berlaku hingga tahun Pada tahun 2004 dalam rangka mendukung program akselerasi pemerintah melakukan perbaikan terhadap kebijakan sebelumnya, yaitu dengan menerbitkan Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan No. 527/MPP/Kep/9/2004 dimana pemerintah kembali melibatkan BUMN seperti BULOG dan PT Perusahaan Perdagangan Indonesia dalam perdagangan gula di Indonesia. BULOG mempunyai peran sebagai distributo tunggal untuk memasarkan gula milik PTPN dan PT Rajawali Nusantara Indonesia (RNI) melalui jaringannya yang tersebar diseluruh Indonesia. Ketentuan impor gula yang tertuang dalam SK Menperindag No. 527/2004 telah mendatangkan permasalahan baru dalam industri pergulaan nasional. Hal ini mengingat dalam kebijakan tersebut pemerintah membagi pemasaran gula menjadi gula kristal putih dan gula kristal rafinasi. KPPU (2010) menyatakan
15 27 bahwa segmentasi pasar yang dilakukan oleh pemerintah menyebabkan tidak seimbangnya pasokan dan permintaan. Pemisahan yang dilakukan untuk menjaga gula kristal putih diatas Harga Dasar Gula (HDG) tidak efektif sebab adanya perbedaan harga yang cukup signifikan. Kondisi ini yang membuat gula kristal rafinasi yang seringkali dimaksudkan untuk kepentingan industri banyak ditemukan beredar dipasaran. Target produksi gula konsumsi tahun 2009 tidak tercapai, sedangkan sebagian stok gula konsumsi nasional diserap oleh industri makanan dan minuman skala kecil dan menengah serta rumah tangga, sehingga terjadi lonjakan harga di pasar dunia maupun di pasar domestik. Industri makanan dan minuman skala kecil dan menengah sebelumnya menggunakan pasokan gula kristal rafinasi. Oleh karena itu, pada tahun 2009 pemerintah menetapkan penurunan tarif bea masuk impor gula kristal rafinasi dan gula mentah melalui revisi peraturan Menteri Keuangan No. 150/PMK.011/2009, dimana tarif bea masuk gula kristal rafinasi turun 49.4 persen menjadi Rp per kilogram dari sebelumnya Rp per kilogram dan gula mentah dari Rp per kilogram menjadi Rp per kilogram. Pemerintah memperpanjang pemberlakuan tarif bea masuk tersebut hingga April Tata niaga penyaluran gula nasional pada tahun 2010 dan 2011 tidak tertata dengan baik sekalipun pemerintah telah secara serius mengatur distribusi gula kristal rafinasi melalui Surat Keputusan Menteri Perdagangan No.111/M- DAG/2/2009 tentang penyempurnaan petunjuk pendistribusian gula. Penyaluran gula kristal rafinasi tidak lagi langsung ditujukan kepada industri pengguna tetapi melalui distributor, sehingga gula kristal rafinasi impor banyak yang masuk ke pasar konsumsi rumah tangga dan industri kecil. Pemerintah tidak melakukan sistem pengawasan yang baik terhadap peredaran gula kristal rafinasi di pasar umum. Hal ini menunjukkan ketidakseriusan pemerintah dalam mewujudkan swasembada gula. Target untuk swasembada gula sebenarnya telah dicanangkan oleh pemerintah pada tahun 2002 pemerintah untuk tercapai pada tahun Namun kemudian target tersebut mundur menjadi tahun 2008, lalu mundur lagi menjadi tahun 2009 walaupun dengan catatan swasembada hanya untuk gula konsumsi
16 28 masyarakat atau gula kristal putih dan bukan untuk industri. Kegagalan target swasembada gula ini produksi gula nasional yang tidak mampu memenuhi kebutuhan nasional dan kurang ketertarikan investor dalam menanamkan modal di sektor perkebunan tebu di Indonesia. Bahkan saat ini target swasembada dicanangkan oleh pemerintah tercapai pada tahun Kebijakan Pergulaan di Negara-Negara Anggota ASEAN-China Free Trade Area Perkembangan ekonomi dunia saat ini telah mengarah pada keterbukaan hubungan ekonomi antar bangsa. Dewasa ini, dunia melihat ASEAN sebagai kawasan yang strategis. ASEAN mampu membuktikan diri sebagai perhimpunan yang mampu menciptakan stabilitas di kawasannya serta mampu meningkatkan kekuatan ekonominya. Salah satu mitra dagang terbesar ASEAN adalah China. Kesepakatan perdagangan yang tengah dijalankan oleh kedua pihak tersebut tentunya hanya akan memberikan dampak negatif apabila kedua belah pihak tidak mampu melindungi produk dalam negerinya. Demikian halnya untuk komoditas pertanian seperti gula yang juga menjadi bagian dari kesepakatan perdagangan bebas ASEAN-China. Masing-masing negara ASEAN yang memproduksi gula dan China yang selain produsen juga pengimpor gula turut menerapkan kebijakannya untuk melindungi dan meningkatkan kapasitas produksi gula. Thailand Kebijakan industri gula di Thailand dijalankan oleh Thai Cane and Sugar Board yang memiliki keanggotaan petani (grower), pabrik gula (miller) dan pemerintah. Dalam berusahatani, para petani tebu di Thailand mendapat bantuan kredit dari bank dengan bunga di bawah harga pasar. Besarnya kredit ini disesuaikan dengan nilai kontrak penyerahan tebu ke pabrik. Hafsah (2003) menyatakan bahwa Thailand telah menetapkan kebijaksanaan pasar domestik dan impor gulanya dengan cara membagi produksi gula domestik menjadi tiga kuota yaitu kuota A untuk pasar domestik, kuota B untuk ekspor, dan kuota C untuk kelebihan kuota A dan B. Dalam pelaksanaannya jumlah kuota A ditetapkan oleh pemerintah Thailand, sedangkan kuota B untuk ekspor gula dilakukan oleh Thai Cane and Sugar Board. Penetapan harga tebu petani dilakukan oleh pemerintah deengan menggunakan total penerimaan pabrik
17 29 gula dari kuota A dan kuota B sebagai dasar perhitungannya. Tidak hanya itu, harga gula domestik juga ditunjang oleh pengenaan tarif bea masuk impor sebesar 65 persen untuk volume impor dengan minimum akses sebesar ton dan pemberlakuan tarif sebesar 104 persen untuk impor gula diatas minimum akses. Filipina Filipina merupakan salah satu contoh negara yang mempunyai kebijakan pembangunan gula nasional yang komprehensif, saling terkait dan konsisten satu dengan yang lainnya baik di tingkat makro hingga mikro maupun nasional hingga daerah. Sama halnya dengan Indonesia, Filipina juga mencanangkan program swasembada gula sehingga agribisnis gula tidak terlepas dari perhatian utama pemerintahnya. Pambudy, et al. (2005) menyatakan bahwa Filipina mempunyai kemampuan untuk menciptakan lapangan kerja sebanyak 5 juta orang dalam agribisnis gula. Luas lahan tebu Filipina saat ini mencapai 368 ribu hektar dengan produktivitas rata-rata yang baru mencapai 60 ton per hektar yang masih jauh lebih rendah dari produktivitas tebu di Thailand yang mencapai 180 ton per hektar. Namun demikian, data hingga bulan Juni 2003 menunjukkan bahwa produksi gula di Filipina sudah mencapai 2.12 juta ton. Pencapaian jumlah produksi gula yang cepat ini menjadikan target swasembada gula di Filipina tercapai pada tahun 2003, lebih cepat dari target yang dicanangkan yaitu tahun Pemerintah Filipina membebankan tanggung jawab pergulaan pada Sugar Regulatory Administration (SRA) yang bertanggung jawab langsung kepada Presiden. Lembaga ini mempunyai kemampuan untuk mengikat semua institusi yang terlibat dalam agribisnis gula di Filipina. Lembaga ini mempunyai mandat meningkatkan pertumbuhan dan pengembangan sektor industri gula nasional dengan lebih meningkatkan partisipasi sektor swasta serta meningkatkan kesejahteraan para buruh gula ( Kebijakan umum yang diterapkan untuk melindungi industri gula di Filipina antara lain : 1. Free enterprise, yaitu baik penduduk lokal maupun asing dapat berpartisipasi dalam perdagangan gula selama mempunyai kapabilitas keuangan dan memenuhi persyaratan yang ditetapkan oleh pemerintah.
18 30 2. Gula yang diproduksi didalam negeri diprioritaskan untuk memenuhi kebutuhan domestik dan prioritas berikutnya untuk memenuhi kuota ekspor gula ke Amerika Serikat 3. Impor gula diusahakan dalam bentuk raw sugar agar dapat memberikan keuntungan padarefiners. Impor gula harus dididasarkan atas Executive Order yang diterbitkan oleh Presiden atas rekomendasi Departemen Pertanian untuk kemudian ditenderkan diantara traders. Selain kebijakan umum, pemerintah Filipina juga melakukan proteksi terhadap pasar pergulaan nasionalnya dengan menjaga harga pasar domestik relatif tinggi melalui kebijakan tarif bea impor. Upaya lain yang telah dilakukan oleh pemerintah Filipina adalah dengan menetapkan minimum akses sebesar 150 ribu ton dengan tarif 50 persen dan sebesar 80 persen untuk impor gula atas minimun akses. Sedangkan untuk impor gula di negara ASEAN pemerintah memberlakukan tarif preferensi sebesar 65 persen (Hafsah, 2003). China Industri gula China memiliki sejarah panjang dan telah mengalami perubahan yang signifikan dalam beberapa tahun ini. Industri gula China telah tumbuh lebih dari 300 persen sejak reformasi ekonomi dimulai pada tahun Pertumbuhan industri pergulaan di China disertai dengan berbagai tekanan baik internal maupun eksternal yang telah mengakibatkan restrukturisasi mesin dan peralatan pabrik gula yang signifikan di dalam negeri. Pemerintah China berupaya untuk mengejar pengembangan industri gula melalui serangkaian kebijakan yang ditujukan untuk meningkatkan surplus produsen dan petani, peningkatan kualitas produk gula dan perlindungan yang besar bagi lingkungan. Manajemen teknologi yang kreatif dan inovatif menjadi sarana utama pencapaian pengembangan industri gula China (Zhu, et al. 2007). Perkembangan konsumsi yang lebih tinggi daripada produksi membuat China saat ini menjadi salah satu konsumen gula terbesar di dunia. Sekalipun China merupakan negara importir, namun pemerintah China juga memberikan kebijakan proteksi dan promosi untuk industri pergulaannya. Dalam merumuskan kebijakannya pemerintah China melibatkan State Development and Reform Commission (SDRC) yang bertanggung jawab membuat perencanaan
19 31 pembangunan industri gula jangka panjang, State Economic and Trade Commision (SETC) yang bertanggung jawab terhadap pengendalian produksi, kementerian pertanian yang bertanggung jawab langsung terhadap pengaturan lahan tebu, Kementerian perdagangan yang mengatur ekspor dan impor gula, serta China Sugar Association yang membantu pemerintah dalam melaksanakan pengendalian kebijakan makro dan masukan bagi pengembangan industri gula. Adapun serangkaian kebijakan yang telah dilakukan oleh pemerintah China dalam mendukung industri pergulaannya antara lain (Pambudy, et al. 2005) : 1. Menerapkan sistem tanggung jawab produksi keluarga di wilayah pedesaan yang membangkitkan antusiasme para petani tebu untuk meningkatkan produksi. 2. Memberikan insentif berupa pangan kepada petani tebu untuk menjamin kecukupan pangan dan menjaga agar tetap menanam tebu. 3. Memberikan subsidi berupa pembangunan irigasi pada lahan-lahan yang ditanami tebu dan pembukaan lahan kering dataran tinggi untuk dijadikan lahan tebu. 4. Melepaskan seluruh kendali pembelian dan kontrak penjualan gula pada mekanisme pasar. 5. Menerapkan pajak pendapatan yang cukup tinggi terhadap pabrik gula sebesar 33 persen dan PPN sebesar 17 persen. 6. Menerapkan kebijakan proteksi dengan menerapkan kuota impor pada tahun 2003 sebesar 1.85 juta ton, dan tahun 2004 sebesar 1.94 juta ton dengan tarif sebesar 30 persen untuk gula putih dan 20 persen untuk gula mentah. Impor diatas kuota yang telah ditetapkan dikenakan tarif impor sebesar 76 persen. Pemerintah China juga tengah menerapkan konsep pembangunan keberlanjutan untuk industri gula. Li, et al. (2006) menjelaskan konsep pembangunan berkelanjutan industri gula China dilakukan sedemikian rupa sehingga produksi berada dalam kondisi yang seimbang dengan untuk input sumberdaya yang terbarukan seperti energi. Dorongan ini dilakukan dengan menekankan pada pengurangan dampak negatif lingkungan yang signifikan terkait dengan produksi gula di China dan seluruh dunia. Sebagai bagian dari tujuan jangka panjangnya, pemerintah China juga akan melakukan penekanan pada
20 32 pemanfaatan produk hilir yang selama ini hanya dikenal sebagai limbah. Sehingga, arah industri gula di China akan melalui proses produksi yang dikenal dengan 3P atau Planting-Processing-Production Cycle Tinjauan Studi Terdahulu Sanjaya (2009) dalam penelitiannya menunjukkan bahwa peningkatan produksi tebu Indonesia jauh lebih responsif jika dilakukan dengan pendekatan intensifikasi, artinya peningkatan penawaran dilakukan dengan meningkatkan produktivitas tanaman tebu. Hal tersebut dapat dilakukan dengan menetapkan kebijakan-kebijakan terkait dengan kebijakan harga faktor-faktor input produksi produk pertanian seperti kebijakan harga pupuk, harga pestisida, dan tingkat upah buruh. Berdasarkan nilai elastisitas penawaran tebu di Indonesia, jumlah penawaran tebu pada tahun 2025 mendatang diproyeksikan sebesar juta ton sedangkan proyeksi jumlah kebutuhan total tebu nasional adalah sebesar juta ton sehingga pada tahun 2025 dapat disimpulkan bahwa program swasembada gula dapat tercapai. Studi mengenai liberalisasi perdagangan gula yang dikaji oleh Hariyati (2003) menyatakan bahwa penerapan liberalisasi gula ditandai dengan penghapusan tarif diikuti dengan pelepasan tata niaga gula yang berarti stok gula sama dengan nol. Kondisi ini berdampak pada penurunan penawaran secara drastis sebesar 35.9 persen dan kenaikan harga gula domestik sebesar 14.3 persen, kenaikan harga gula petani sebesar 10.6 persen meningkatkan produksi gula. Pemenuhan kebutuhan nasional yang dilakukan dengan impor menyebabkan meningkatnya impor gula sebesar 34.5 persen. Kenaikan impor gula indonesia menyebabkan kenaikan harga impor dunia sehingga juga akan mengakibatkan kenaikan harga gula dunia. Refomasi tarif telah menjadi isu penting di awal dekade kedua sejah abad 20. Tarif yang tinggi dipercaya menjadi penyebab kekacauan ekonomi pada beberapa negara. Ellison, et al. (1995) mempelajari voting Kongres Reformasi Tarif untuk gula pada tahun 1912 untuk menyelidiki pengaruh para konstituen terhadap kebijakan perdagangan terutama kebijakan tarif. Hasil studi yang diperoleh kongres reformasi tarif tersebut terjadi karena adanya sebuah gerakan
21 33 nasional yang memang menginginkan reformasi tarif. Akibat dari hal inilah yang kemudian membuat sebagian kalangan menilai bahwa legislator atau para konstituen memiliki tingkat visibilitas dan akuntabilitas politik yang tinggi dalam pengaturan sebuah kebijakan perdagangan. Selain itu, sifat dari industri gula dan tarif gula itu sendiri menyebabkan munculnya sekelompok produsen yang ingin bersaing. Dalam mengevaluasi efektivitas dari kelompok-kelompok ini, penulis menjelaskan bahwa mereka hanya terkonsentrasi pada pencarian keuntungan yang relatif kurang penting peranannya dalam industri gula. Terbentuknya kelompokkelompok ini merupakan dampak yang timbul dari kebijakan pemerintah terhadap kebijakan penurunan tarif itu sendiri. Lebih lanjut studi mengenai tarif juga dikaji oleh Malian dan Saptana (2003) yang menyatakan bahwa penetapan tarif impor gula sebesar Rp per kilogram untuk gula tebu (raw sugar) dan Rp per kilogram untuk gula putih (refined sugar) dalam kondisi harga gula dunia yang rendah dan nilai tukar rupiah yang makin menguat, belum cukup merangsang petani untuk meningkatkan produksi dan kualitas pasokan tebu. Tanpa adanya perubahan kebijakan atau kebijakan tambahan bagi petani tebu, maka pendapatan bersih petani tebu relatif tidak meningkat. Dengan asumsi harga gula dunia sebesar US$ 225 per ton, nilai tukar rupiah antara Rp sampai Rp , rendemen tebu 6.00 persen sampai 6.50 persen dan kepada petani diberikan management fee sebesar 20 persen, maka tarif spesifik yang dipandang layak bagi petani tebu berkisar antara Rp per kilogram hingga Rp per kilogram. Hutabarat (2011) menganalisis dampak pemotongan tarif dalam kerangka Kesepakatan Perdagangan Bebas ASEAN-China. Metode analisis keseimbangan umum yang dilakukan menggunakan dua skenario yaitu (1) liberalisasi penuh (pemotongan tarif sebesar 100 persen) pada seluruh produk pertanian ASEAN dan China dan (2) liberalisasi penuh pada seluruh produk yang diperdagangkan ASEAN dan China. Pada skenario (1) memberikan hasil tingkat kesejahteraan masyarakat menurun sebesar Rp miliar tetapi pada skenario (2) tingkat kesejahteraan meningkat sebesar Rp triliun. Untuk kegiatan ekspor, jumlah ekspor hasil olahan pertanian menurun sebesar 0.74 persen sampai persen pada skenario (1), sedangkan pada skenario (2) ekspor seluruh produk pertanian
22 34 menurun sebesar 0.6 persen sampai persen. Untuk impor produk olahan pertanian pada skenario (1) meningkat antara 0.06 persen sampai 2.62 persen dan pada skenario (2) impor untuk seluruh produk pertanian meningkat antara 0.43 persen sampai 4.08 persen kecuali gandum menurun 0.15 persen. Sehingga skenario liberalisasi penuh bagi komoditas yang diperdagangkan di sektor pertanian belum tentu diikuti dengan perbaikan pada produksi dan ekspor komoditas andalannya. Hadi dan Nuryanti (2005) dalam penelitiannya menjelaskan bahwa kebijakan perdagangan yang diperlukan untuk pengembangan perekonomian gula nasional ke depan antara lain (1) mempertahankan kebijakan proteksi dengan pengenaan tarif Rp per kilogram untuk gula mentah dan Rp per kilogram untuk gula putih yang dikombinasikan dengan pengaturan, pengawasan, dan pembatasan impor, (2) berjuang bersama negara yang tergabung dalam kelompok G-33 agar negara-negara maju dan berkembang tertentu menurunkan subsidi ekspor dan subsidi domestik secara signifikan, dan (3) melakukan upayaupaya perbaikan efisiensi industri gula nasional, baik pada tingkat budidaya tebu maupun proses pengolahan di pabrik gula. Hasil studi simulasi kebijakan dalam suatu model ekonometrik industri gula domestik yang dilakukan oleh Susila (2005b), menunjukkan bahwa dalam situasi perdagangan yang distorsif, kebijakan yang berkaitan langsung dengan harga output lebih efektif dibandingkan kebijakan yang berkaitan dengan input, guna mendukung pengembangan industri gula Indonesia. Kebijakan harga provenue lebih efektif bila dibandingkan dengan tariff-rate quota, tarif impor, dan subsidi input. Terhadap kebijakan pemerintah, perkebunan rakyat lebih responsif dibandingkan dengan perkebunan milik negara dan perkebunan swasta. Implikasi kebijakan dari penelitian ini adalah menciptakan medan persaingan yang lebih adil, industri gula Indonesia masih memerlukan dukungan kebijakan pemerintah. Kebijakan harga provenue, tarif impor, tarif rate quota, dan subsidi input merupakan beberapa pilihan kebijakan guna pengembangan industri gula Indonesia.
23 35 Hasil penelitian Abidin (2000) tentang liberalisasi perdagangan gula menyatakan bahwa setiap perubahan dalam harga dunia atau tingkat proteksi akan mempengaruhi harga ekspor maupun impornya. Sebagian besar negara eksportir (70 persen) memberikan subsidi ekspor antara 8 persen sampai 102 persen dan 30 persen negara eksportir memberlakukan pajak ekspor antara 6 persen sampai 52 persen yang berarti bahwa negara eksportir pada umumnya merangsang ekspor melalui subsidi. Sedangkan di negara importir, sebagian negara importir (54 persen) memberikan subsidi impor antara 17 persen sampai 48 persen dan 46 persen negara importir lainnya memberlakukan pajak impor atau bea masuk sebesar 7 persen sampai 173 persen. Ini menunjukkan adanya kepentingan yang sangat beragam dari negara eksportir maupun importir yang saling memberlakukan proteksi kepentingan negaranya. Suparno (2004) yang melakukan penelitian tentang evaluasi perubahan kesejahteraan petani tebu pasca liberalisasi perdagangan gula dari tahun menjelaskan bahwa kebijakan penghapusan tata niaga gula oleh BULOG menurunkan kesejahteraan bersih (net walfare) masyarakat. Hal ini dikarenakan kenaikan harga eceran gula dapat menurunkan daya beli konsumen yang dipicu oleh intervensi IMF melalui pengurangan subsidi. Selain itu, kenaikan impor gula sebesar 20 persen yang disebabkan penurunan tarif impor nol persen menyebabkan penurunan kesejahteraan baik dari sisi konsumen maupun produsen. Walaupun terjadi kenaikan penerimaan pemerintah, namun tidak mampu mengkompensasi penurunan kesejahteraan tersebut.
I. PENDAHULUAN. Gula merupakan salah satu komoditas perkebunan strategis Indonesia baik
I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Gula merupakan salah satu komoditas perkebunan strategis Indonesia baik dari dimensi ekonomi, sosial, maupun politik. Indonesia memiliki keunggulan komparatif sebagai
Lebih terperinciTINJAUAN PUSTAKA. Budidaya tebu adalah proses pengelolaan lingkungan tumbuh tanaman
24 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Usahatani Tebu 2.1.1 Budidaya Tebu Budidaya tebu adalah proses pengelolaan lingkungan tumbuh tanaman sehingga tanaman dapat tumbuh dengan optimum dan dicapai hasil yang diharapkan.
Lebih terperinciIX. KESIMPULAN DAN SARAN
203 IX. KESIMPULAN DAN SARAN 9.1. Kesimpulan Berdasarkan hasil penelitian yang telah dikemukakan di atas, maka dapat ditarik beberapa kesimpulan sebagai berikut : 1. Analisis terhadap faktor-faktor yang
Lebih terperinciV. GAMBARAN UMUM KONDISI PERGULAAN NASIONAL, LAMPUNG DAN LAMPUNG UTARA
59 V. GAMBARAN UMUM KONDISI PERGULAAN NASIONAL, LAMPUNG DAN LAMPUNG UTARA 5.1. Perkembangan Kondisi Pergulaan Nasional 5.1.1. Produksi Gula dan Tebu Produksi gula nasional pada tahun 2000 sebesar 1 690
Lebih terperinciTabel 1.1. Konsumsi Beras di Tingkat Rumah Tangga Tahun Tahun Konsumsi Beras*) (Kg/kap/thn)
I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Sektor pertanian merupakan sektor penting dalam pembangunan ekonomi nasional. Peran strategis sektor pertanian digambarkan dalam kontribusi sektor pertanian dalam
Lebih terperinciII TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Harga Gula Domestik
II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Harga Gula Domestik Menurut Susila (2005), Indonesia merupakan negara kecil dalam perdagangan dunia dengan pangsa impor sebesar 3,57 persen dari impor gula dunia sehingga Indonesia
Lebih terperinciV. KERAGAAN INDUSTRI GULA INDONESIA
83 V. KERAGAAN INDUSTRI GULA INDONESIA 5.1. Luas Areal Perkebunan Tebu dan Produktivitas Gula Hablur Indonesia Tebu merupakan tanaman yang ditanam untuk bahan baku gula. Tujuan penanaman tebu adalah untuk
Lebih terperinciV. GAMBARAN UMUM INDUSTRI GULA DI INDONESIA
V. GAMBARAN UMUM INDUSTRI GULA DI INDONESIA 5.1 Industri Pergulaan Indonesia Menurut KPPU (2010) bahwa gula terdiri dari beberapa jenis, dilihat dari keputihannya melalui standar ICUMSA (International
Lebih terperinciI. PENDAHULUAN. ASEAN sebagai organisasi regional, kerjasama ekonomi dijadikan sebagai salah
17 I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang ASEAN terbentuk pada tahun 1967 melalui Deklarasi ASEAN atau Deklarasi Bangkok tepatnya pada tanggal 8 Agustus 1967 di Bangkok oleh Wakil Perdana Menteri merangkap
Lebih terperinciABSTRAK DAN EXECUTIVE SUMMARY PENELITIAN PEMBINAAN PERAN INDUSTRI BERBASIS TEBU DALAM MENUNJANG SWASEMBADA GULA NASIONAL.
ABSTRAK DAN EXECUTIVE SUMMARY PENELITIAN PEMBINAAN PERAN INDUSTRI BERBASIS TEBU DALAM MENUNJANG SWASEMBADA GULA NASIONAL Peneliti: Fuat Albayumi, SIP., M.A NIDN 0024047405 UNIVERSITAS JEMBER DESEMBER 2015
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia dikenal sebagai negara agraris karena memiliki kekayaan alam yang berlimpah, terutama di bidang sumber daya pertanian seperti lahan, varietas serta iklim yang
Lebih terperinciI. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang
1 I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Sektor pertanian mempunyai peranan yang cukup penting dalam kegiatan perekonomian di Indonesia. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (2011), dapat dilihat bahwa kontribusi
Lebih terperinciI. PENDAHULUAN. pertanian berperan besar dalam menjaga laju pertumbuhan ekonomi nasional. Di
I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sektor pertanian merupakan salah satu sektor yang tangguh dalam perekonomian dan memiliki peran sebagai penyangga pembangunan nasional. Hal ini terbukti pada saat Indonesia
Lebih terperinciV. KONDISI PERKEMBANGAN INDUSTRI GULA RAFINASI INDONESIA
V. KONDISI PERKEMBANGAN INDUSTRI GULA RAFINASI INDONESIA 4.4. Sejarah Perkembangan Industri Gula Rafinasi Industri gula rafinasi mulai berdiri di Indonesia pada tahun 1996. Pabrik gula dalam negeri sebelum
Lebih terperinci... Hubungi Kami : Studi Potensi Bisnis dan Pelaku Utama Industri GULA di Indonesia, Mohon Kirimkan. eksemplar. Posisi : Nama (Mr/Mrs/Ms)
Hubungi Kami 021 31930 108 021 31930 109 021 31930 070 marketing@cdmione.com J ika industri gula dalam negeri tidak segera dibenahi, bisa saja Indonesia akan menjadi importir gula mentah terbesar di dunia
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. Berdasarkan sudut pandang ilmu ekonomi, motivasi hubungan antar negara
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Berdasarkan sudut pandang ilmu ekonomi, motivasi hubungan antar negara dianggap sebagai proses alokasi sumber daya ekonomi antar negara dalam rangka meningkatkan derajat
Lebih terperinciII. TINJAUAN PUSTAKA
11 II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Kebijakan Tarif Bawang Merah Sejak diberlakukannya perjanjian pertanian WTO, setiap negara yang tergabung sebagai anggota WTO harus semakin membuka pasarnya. Hambatan perdagangan
Lebih terperinciV. EKONOMI GULA. dikonsumsi oleh masyarakat. Bahan pangan pokok yang dimaksud yaitu gula.
V. EKONOMI GULA 5.1. Ekonomi Gula Dunia 5.1.1. Produksi dan Konsumsi Gula Dunia Peningkatan jumlah penduduk dunia berimplikasi pada peningkatan kebutuhan terhadap bahan pokok. Salah satunya kebutuhan pangan
Lebih terperinciASEAN FREE TRADE AREA (AFTA) Lola Liestiandi & Primadona Dutika B.
ASEAN FREE TRADE AREA (AFTA) Lola Liestiandi & Primadona Dutika B. Outline Sejarah dan Latar Belakang Pembentukan AFTA Tujuan Strategis AFTA Anggota & Administrasi AFTA Peranan & Manfaat ASEAN-AFTA The
Lebih terperinciI. PENDAHULUAN. Tabel 1. Perkembangan Konsumsi Gula Tahun Periode
1 I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Gula termasuk salah satu komoditas strategis dalam perekonomian Indonesia. Dengan luas areal rata-rata 400 ribu ha pada periode 2007-2009, industri gula berbasis tebu
Lebih terperinci4. KEBIJAKAN KEDELAI NASIONAL
4. KEBIJAKAN KEDELAI NASIONAL 4.1. Konsep Kebijakan Kebijakan dapat diartikan sebagai peraturan yang telah dirumuskan dan disetujui untuk dilaksanakan guna mempengaruhi suatu keadaan, baik besaran maupun
Lebih terperinciI. PENDAHULUAN. Di Indonesia gula merupakan komoditas terpenting nomor dua setelah
I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Di Indonesia gula merupakan komoditas terpenting nomor dua setelah beras. Gula menjadi begitu penting bagi masyarakat yakni sebagai sumber kalori. Pada umumnya gula digunakan
Lebih terperinciANALISIS STRATEGI BERSAING GULA RAFINASI (Studi pada PT. Jawamanis Rafinasi, Cilegon, Banten) OLEH SITI FAJAR ISNAWATI H
ANALISIS STRATEGI BERSAING GULA RAFINASI (Studi pada PT. Jawamanis Rafinasi, Cilegon, Banten) OLEH SITI FAJAR ISNAWATI H34066114 PROGRAM SARJANA PENYELENGGARAAN KHUSUS AGRIBISNIS DEPARTEMEN AGRIBISNIS
Lebih terperinciYOGYAKARTA, 9 SEPTEMBER 2017 FGD "P3GI" 2017
IMPLEMENTASI INSENTIF PERATURAN BAHAN BAKU MENTERI RAW PERINDUSTRIAN SUGAR IMPORNOMOR 10/M-IND/3/2017 UNTUK PABRIK DAN GULA KEBIJAKAN BARU DAN PEMBANGUNAN PABRIK PERLUASAN PG BARU DAN YANG PENGEMBANGAN
Lebih terperinciBAB 1 PENDAHULUAN. di Pulau Jawa. Sementara pabrik gula rafinasi 1 yang ada (8 pabrik) belum
BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia mempunyai potensi menjadi produsen gula dunia karena didukung agrokosistem, luas lahan serta tenaga kerja yang memadai. Di samping itu juga prospek pasar
Lebih terperinciI PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang
I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Gula merupakan salah satu komoditas pertanian yang telah ditetapkan Indonesia sebagai komoditas khusus (special product) dalam forum perundingan Organisasi Perdagangan
Lebih terperinciI. PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Indonesia memiliki potensi alamiah yang berperan positif dalam
1 I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia memiliki potensi alamiah yang berperan positif dalam pengembangan sektor pertanian sehingga sektor pertanian memiliki fungsi strategis dalam penyediaan pangan
Lebih terperinciI. PENDAHULUAN. khususnya bagi sektor pertanian dan perekonomian nasional pada umumnya. Pada
I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Subsektor peternakan merupakan salah satu sumber pertumbuhan baru khususnya bagi sektor pertanian dan perekonomian nasional pada umumnya. Pada tahun 2006 Badan Pusat
Lebih terperinciI. PENDAHULUAN. dalam hal lapangan pekerjaan. Hal ini dapat dilihat pada Tabel 1.
I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Indonesia merupakan negara agraris yang sebagian penduduknya bermata pencaharian di sektor pertanian. Menurut data BPS (2010), jumlah penduduk yang bekerja di sektor
Lebih terperinciTINJAUAN PUSTAKA DAN LANDASAN TEORI
TINJAUAN PUSTAKA DAN LANDASAN TEORI Tinjauan Pustaka Bahan baku proses pabrik gula adalah tanaman yang banyak mengandung gula. Kandungan gula dalam tanaman ini berasal dari hasil proses asimilasi yang
Lebih terperinciI. PENDAHULUAN. Salah satu sasaran pembangunan nasional adalah pertumbuhan ekonomi dengan
I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Salah satu sasaran pembangunan nasional adalah pertumbuhan ekonomi dengan menitikberatkan pada sektor pertanian. Sektor pertanian merupakan salah satu sektor yang mempunyai
Lebih terperinciPeranan Pertanian di Dalam Pembangunan Ekonomi. Perekonomian Indonesia
Peranan Pertanian di Dalam Pembangunan Ekonomi Perekonomian Indonesia Peran Pertanian pada pembangunan: Kontribusi Sektor Pertanian: Sektor Pertanian dalam Pembangunan Ekonomi Pemasok bahan pangan Fungsi
Lebih terperinciI. PENDAHULUAN. sektor yang mempunyai peranan yang cukup strategis dalam perekonomian
1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Salah satu sasaran pembangunan nasional adalah pertumbuhan ekonomi dengan menitikberatkan pada sektor pertanian. Sektor pertanian merupakan salah satu sektor
Lebih terperinci4. ANALISIS SISTEM 4.1 Kondisi Situasional
83 4. ANALISIS SISTEM 4.1 Kondisi Situasional Produktivitas gula yang cenderung terus mengalami penurunan disebabkan efisiensi industri gula secara keseluruhan, mulai dari pertanaman tebu hingga pabrik
Lebih terperinciI. PENDAHULUAN. hambatan lain, yang di masa lalu membatasi perdagangan internasional, akan
I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pada era globalisasi saat ini, di mana perekonomian dunia semakin terintegrasi. Kebijakan proteksi, seperi tarif, subsidi, kuota dan bentuk-bentuk hambatan lain, yang
Lebih terperinci1. PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang
1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pariwisata saat ini telah menjadi salah satu motor penggerak ekonomi dunia terutama dalam penerimaan devisa negara melalui konsumsi yang dilakukan turis asing terhadap
Lebih terperinciI. PENDAHULUAN. penting dalam perekonomian nasional. Ditinjau dari kontribusinya terhadap
I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Sektor pertanian sampai saat ini masih mempunyai peranan yang cukup penting dalam perekonomian nasional. Ditinjau dari kontribusinya terhadap pendapatan nasional, sektor
Lebih terperinci4. Membentuk komite negara-negara penghasil minyak bumi ASEAN. Badan Kerjasama Regional yang Diikuti Negara Indonesia
Badan Kerjasama Regional yang Diikuti Negara Indonesia 1. ASEAN ( Association of South East Asian Nation Nation) ASEAN adalah organisasi yang bertujuan mengukuhkan kerjasama regional negara-negara di Asia
Lebih terperinciDISAMPAIKAN OLEH : DIREKTUR JENDERAL INDUSTRI AGRO PADA RAPAT KERJA KEMENTERIAN PERINDUSTRIAN TAHUN 2013 JAKARTA, FEBRUARI 2013 DAFTAR ISI
DISAMPAIKAN OLEH : DIREKTUR JENDERAL AGRO PADA RAPAT KERJA KEMENTERIAN PERAN TAHUN 2013 JAKARTA, FEBRUARI 2013 DAFTAR ISI I. KINERJA AGRO TAHUN 2012 II. KEBIJAKAN PENGEMBANGAN AGRO III. ISU-ISU STRATEGIS
Lebih terperinciIndustrialisasi Sektor Agro dan Peran Koperasi dalam Mendukung Ketahanan Pangan Nasional. Kementerian Perindustrian 2015
Industrialisasi Sektor Agro dan Peran Koperasi dalam Mendukung Ketahanan Pangan Nasional Kementerian Perindustrian 2015 I. LATAR BELAKANG 2 INDUSTRI AGRO Industri Agro dikelompokkan dalam 4 kelompok, yaitu
Lebih terperinciSTUDI KASUS PERMASALAHAN KOMODITAS KEDELAI DALAM PEREKONOMIAN INDONESIA
STUDI KASUS PERMASALAHAN KOMODITAS KEDELAI DALAM PEREKONOMIAN INDONESIA BAB I PENDAHULUAN Indonesia dikenal sebagai negara agraris karena berkah kekayaan alam yang berlimpah, terutama di bidang sumber
Lebih terperinciAKSELERASI INDUSTRIALISASI TAHUN Disampaikan oleh : Sekretaris Jenderal Kementerian Perindustrian
AKSELERASI INDUSTRIALISASI TAHUN 2012-2014 Disampaikan oleh : Sekretaris Jenderal Kementerian Perindustrian Jakarta, 1 Februari 2012 Daftar Isi I. LATAR BELAKANG II. ISU STRATEGIS DI SEKTOR INDUSTRI III.
Lebih terperinciV GAMBARAN UMUM PERKEMBANGAN DAN IMPOR KEDELAI INDONESIA
V GAMBARAN UMUM PERKEMBANGAN DAN IMPOR KEDELAI INDONESIA 5.1. Sejarah Perkembangan Kedelai Indonesia Sejarah masuknya kacang kedelai ke Indonesia tidak diketahui dengan pasti namun kemungkinan besar dibawa
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang
1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia merupakan negara agraris yang memiliki sumber daya alam yang beraneka ragam dan memiliki wilayah yang cukup luas. Hal ini yang membuat Indonesia menjadi
Lebih terperinciIX. KESIMPULAN DAN SARAN. Penggunaan model oligopolistik dinamik untuk mengestimasi fungsi
IX. KESIMPULAN DAN SARAN 9.1. Kesimpulan Penggunaan model oligopolistik dinamik untuk mengestimasi fungsi permintaan dan relasi penawaran gula menghasilkan parameter estimasi yang konsisten dengan teori
Lebih terperinciDUKUNGAN SUB SEKTOR PERKEBUNAN TERHADAP PELAKSANAAN KEBIJAKAN
DUKUNGAN SUB SEKTOR PERKEBUNAN TERHADAP PELAKSANAAN KEBIJAKAN INDUSTRI NASIONAL Direktur Jenderal Perkebunan disampaikan pada Rapat Kerja Revitalisasi Industri yang Didukung oleh Reformasi Birokrasi 18
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. Sebagai negara berkembang, Indonesia memiliki laju pertumbuhan
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Sebagai negara berkembang, Indonesia memiliki laju pertumbuhan penduduk yang pesat. Sensus Penduduk tahun 2010 mencatat bahwa laju pertumbuhan penduduk Indonesia adalah
Lebih terperinciPosisi Pertanian yang Tetap Strategis Masa Kini dan Masa Depan Jumat, 22 Agustus 2014
Posisi Pertanian yang Tetap Strategis Masa Kini dan Masa Depan Jumat, 22 Agustus 2014 Sektor pertanian sampai sekarang masih tetap memegang peran penting dan strategis dalam perekonomian nasional. Peran
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. Gula merupakan salah satu komoditas strategis dalam perekonomian
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Gula merupakan salah satu komoditas strategis dalam perekonomian Indonesia dan salah satu sumber pendapatan bagi para petani. Gula juga merupakan salah satu kebutuhan
Lebih terperinciI. PENDAHULUAN. Pertanian merupakan sektor potensial yang memegang peranan penting
1 I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pertanian merupakan sektor potensial yang memegang peranan penting dalam pembangunan Indonesia. Hal ini didasarkan pada kontribusi sektor pertanian yang tidak hanya
Lebih terperinciI. PENDAHULUAN. Indonesia menurut lapangan usaha pada tahun 2010 menunjukkan bahwa sektor
1 I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Sektor pertanian merupakan sektor strategis dalam pembangunan perekonomian nasional seperti dalam hal penyerapan tenaga kerja dan sumber pendapatan bagi masyarakat
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. beras, jagung dan umbi-umbian menjadikan gula sebagai salah satu bahan
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Gula merupakan komoditi penting bagi masyarakat Indonesia bahkan bagi masyarakat dunia. Manfaat gula sebagai sumber kalori bagi masyarakat selain dari beras, jagung
Lebih terperinciI. PENDAHULUAN. Pembangunan sektor pertanian saat ini telah mengalami perubahan
I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pembangunan sektor pertanian saat ini telah mengalami perubahan orientasi yaitu dari orientasi peningkatan produksi ke orientasi peningkatan pendapatan dan kesejahteraan.
Lebih terperinciBAB 1 PENDAHULUAN. (AEC) merupakan salah satu bentuk realisasi integrasi ekonomi dimana ini
BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) / ASEAN Economic Community (AEC) merupakan salah satu bentuk realisasi integrasi ekonomi dimana ini merupakan agenda utama negara
Lebih terperinciI. PENDAHULUAN. Indonesia menjadi salah satu negara yang memiliki areal perkebunan yang luas.
I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Indonesia menjadi salah satu negara yang memiliki areal perkebunan yang luas. Komoditas yang ditanami diantaranya kelapa sawit, karet, kopi, teh, kakao, dan komoditas
Lebih terperinciI. PENDAHULUAN. penyerapan tenaga kerja dengan melibatkan banyak sektor, karena
I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kopi merupakan salah satu komoditas ekspor yang mampu menciptakan penyerapan tenaga kerja dengan melibatkan banyak sektor, karena pengusahaannya dimulai dari kebun sampai
Lebih terperinciPERGERAKAN HARGA CPO DAN MINYAK GORENG
67 VI. PERGERAKAN HARGA CPO DAN MINYAK GORENG Harga komoditas pertanian pada umumnya sangat mudah berubah karena perubahan penawaran dan permintaan dari waktu ke waktu. Demikian pula yang terjadi pada
Lebih terperinciBAB IV GAMBARAN UMUM PEREKONOMIAN INDONESIA. negara selain faktor-faktor lainnya seperti PDB per kapita, pertumbuhan ekonomi,
BAB IV GAMBARAN UMUM PEREKONOMIAN INDONESIA 4.1 Perkembangan Laju Inflasi di Indonesia Tingkat inflasi merupakan salah satu indikator fundamental ekonomi suatu negara selain faktor-faktor lainnya seperti
Lebih terperinciANALISIS FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PRODUKSI DAN IMPOR KEDELAI DI INDONESIA. Oleh : RIKA PURNAMASARI A
ANALISIS FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PRODUKSI DAN IMPOR KEDELAI DI INDONESIA Oleh : RIKA PURNAMASARI A14302053 PROGRAM STUDI EKONOMI PERTANIAN DAN SUMBERDAYA FAKULTAS PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR
Lebih terperinciKINERJA PRODUKSI DAN HARGA KEDELAI SERTA IMPLIKASINYA UNTUK PERUMUSAN KEBIJAKAN PERCEPATAN PENCAPAIAN TARGET SUKSES KEMENTERIAN PERTANIAN
KINERJA PRODUKSI DAN HARGA KEDELAI SERTA IMPLIKASINYA UNTUK PERUMUSAN KEBIJAKAN PERCEPATAN PENCAPAIAN TARGET SUKSES KEMENTERIAN PERTANIAN I. PENDAHULUAN 1. Salah satu target utama dalam Rencana Strategis
Lebih terperinciI. PENDAHULUAN. perekonomian nasional bagi banyak negara di dunia. Semakin terbuka suatu
I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Perdagangan internasional memiliki peranan penting sebagai motor penggerak perekonomian nasional bagi banyak negara di dunia. Semakin terbuka suatu negara terhadap arus
Lebih terperinciKebijakan Proteksi Impor yang Salah Sasaran Luqmannul Hakim
Kebijakan Proteksi Impor yang Salah Sasaran Luqmannul Hakim Dapatkah manusia bertahan hidup tanpa pangan? Rasanya mustahil. Pangan selalu menjadi kebutuhan hidup dasar yang harus dipenuhi oleh setiap orang
Lebih terperinciPENDAHULUAN. unik yang berbeda dengan komoditi strategis lain seperti beras. Di satu sisi gula
PENDAHULUAN Latar Belakang Gula pasir merupakan suatu komoditi strategis yang memiliki kedudukan unik yang berbeda dengan komoditi strategis lain seperti beras. Di satu sisi gula pasir merupakan salah
Lebih terperinciBAB II TINJAUAN PUSTAKA, LANDASAN TEORI, KERANGKA PEMIKIRAN DAN HIPOTESIS PENELITIAN
21 BAB II TINJAUAN PUSTAKA, LANDASAN TEORI, KERANGKA PEMIKIRAN DAN HIPOTESIS PENELITIAN 2.1 Tinjauan Pustaka 2.1.1 Tanaman Apel Apel adalah jenis buah-buahan, atau buah yang dihasilkan dari pohon buah
Lebih terperinciII. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Agribisnis Gula Subsistem Input Subsistem Usahatani
II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Agribisnis Gula 2.1.1 Subsistem Input Subsistem input merupakan bagian awal dari rangkaian subsistem yang ada dalam sistem agribisnis. Subsistem ini menjelaskan pasokan kebutuhan
Lebih terperinciANALISIS PERKEMBANGAN HARGA GULA
ANALISIS PERKEMBANGAN HARGA GULA I. DINAMIKA HARGA 1.1. Harga Domestik 1. Jenis gula di Indonesia dibedakan menjadi dua kelompok, yaitu Gula Kristal Putih (GKP) dan Gula Kristal Rafinasi (GKR). GKP adalah
Lebih terperinciBAB IV PENUTUP. IV.1 Kesimpulan
95 BAB IV PENUTUP IV.1 Kesimpulan Dengan masuknya China ke dalam ASEAN Free Trade Area akan meningkatkan pemasukan dari masing-masing negara anggota, karena pangsa pasar China yang begitu besar, dan begitu
Lebih terperinciI. PENDAHULUAN. zaman penjajahan) yang sebenarnya merupakan sistem perkebunan Eropa.
I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Perkebunan merupakan sistem perekonomian pertanian komersil yang bercorak kolonial. Sistem Perkebunan ini dibawa oleh perusahaan kapitalis asing (pada zaman penjajahan)
Lebih terperinciMenerjang Arus Globalisasi ACFTA dan Masa Depan Ekonomi Politik Indonesia
Menerjang Arus Globalisasi ACFTA dan Masa Depan Ekonomi Politik Indonesia Tahun 2001, pada pertemuan antara China dan ASEAN di Bandar Sri Begawan, Brunei Darussalam, Cina menawarkan sebuah proposal ASEAN-China
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Penelitian. Indonesia merupakan negara agraris dimana pertanian memegang peranan
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian Indonesia merupakan negara agraris dimana pertanian memegang peranan penting pada perekonomian nasional. Untuk mengimbangi semakin pesatnya laju pertumbuhan
Lebih terperinciBAB VI DAMPAK ASEAN PLUS THREE FREE TRADE AREA TERHADAP PEREKONOMIAN INDONESIA
81 BAB VI DAMPAK ASEAN PLUS THREE FREE TRADE AREA TERHADAP PEREKONOMIAN INDONESIA Negara-negara yang tergabung dalam ASEAN bersama dengan Cina, Jepang dan Rep. Korea telah sepakat akan membentuk suatu
Lebih terperinci1 PENDAHULUAN. Latar Belakang
1 PENDAHULUAN Latar Belakang Pembangunan pertanian memiliki peran strategis dalam menunjang perekonomian Indonesia. Sektor pertanian berperan sebagai penyedia bahan pangan, pakan ternak, sumber bahan baku
Lebih terperinciTERM OF REFERENCE (TOR) PENUNJUKAN LANGSUNG TENAGA PENDUKUNG PERENCANAAN PENGEMBANGAN PENANAMAN MODAL DI BIDANG AGRIBISNIS TAHUN ANGGARAN 2012
1 TERM OF REFERENCE (TOR) PENUNJUKAN LANGSUNG TENAGA PENDUKUNG PERENCANAAN PENGEMBANGAN PENANAMAN MODAL DI BIDANG AGRIBISNIS TAHUN ANGGARAN 2012 I. PENDAHULUAN Pengembangan sektor agribisnis sebagai salah
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. Masalah konsumsi beras dan pemenuhannya tetap merupakan agenda
BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah konsumsi beras dan pemenuhannya tetap merupakan agenda penting dalam pembangunan ekonomi Indonesia. Beras merupakan makanan pokok utama penduduk Indonesia
Lebih terperinciKAJIAN KEBIJAKAN HPP GABAH DAN HET PUPUK MENDUKUNG PENINGKATAN KETAHANAN PANGAN DAN PENDAPATAN PETANI
KAJIAN KEBIJAKAN HPP GABAH DAN HET PUPUK MENDUKUNG PENINGKATAN KETAHANAN PANGAN DAN PENDAPATAN PETANI Pendahuluan 1. Situasi perberasan yang terjadi akhir-akhir ini (mulai Maret 2008) dicirikan dengan
Lebih terperinciVII. ANALISIS DAYA SAING USAHATANI JAGUNG
VII. ANALISIS DAYA SAING USAHATANI JAGUNG 7.1. Profitabilitas Privat dan Sosial Analisis finansial dan ekonomi usahatani jagung memberikan gambaran umum dan sederhana mengenai tingkat kelayakan usahatani
Lebih terperinciASEAN ( Association of Southeast Asia Nations ) adalah organisasi yang dibentuk oleh perkumpulan Negara yang berada di daerah asia tenggara
ASEAN ( Association of Southeast Asia Nations ) adalah organisasi yang dibentuk oleh perkumpulan Negara yang berada di daerah asia tenggara ASEAN didirikan di Bangkok 8 Agustus 1967 oleh Indonesia, Malaysia,
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. tebu, tembakau, karet, kelapa sawit, perkebunan buah-buahan dan sebagainya. merupakan sumber bahan baku untuk pembuatan gula.
1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian Pertumbuhan perekonomian Indonesia dibangun dari berbagai sektor, salah satu sektor tersebut adalah sektor perkebunan. Berbagai jenis perkebunan yang dapat
Lebih terperinciBAB III TUJUAN, SASARAN, PROGRAM DAN KEGIATAN
BAB III TUJUAN, SASARAN, PROGRAM DAN KEGIATAN 3.1 Telaahan Terhadap Kebijakan Nasional Berdasarkan Renstra Kementerian Pertanian Tahun 2010 2014 (Edisi Revisi Tahun 2011), Kementerian Pertanian mencanangkan
Lebih terperinciI. PENDAHULUAN. menghadapi tantangan yang sangat kompleks dalam memenuhi kebutuhan pangan
I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Indonesia sebagai negara dengan jumlah penduduk yang besar menghadapi tantangan yang sangat kompleks dalam memenuhi kebutuhan pangan penduduknya. Oleh karena itu, kebijakan
Lebih terperinciI. PENDAHULUAN. penyediaan lapangan kerja, pemenuhan kebutuhan konsumsi dalam negeri, bahan
I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Indonesia merupakan negara yang memiliki kekayaan sumberdaya alam yang melimpah, terutama pada sektor pertanian. Sektor pertanian sangat berpengaruh bagi perkembangan
Lebih terperinciAnalisis Penyebab Kenaikan Harga Beras
Analisis Kebijakan 1 Analisis Penyebab Kenaikan Harga Beras Analisis Penyebab Kenaikan Harga Beras Ada dua pendapat mengenai faktor penyebab kenaikan harga beras akhirakhir ini yaitu : (1) stok beras berkurang;
Lebih terperinciI. PENDAHULUAN 1. Latar Belakang Gula merupakan salah satu komoditi strategis bagi perekonomian Indonesia, karena merupakan salah satu dari sembilan
I. PENDAHULUAN 1. Latar Belakang Gula merupakan salah satu komoditi strategis bagi perekonomian Indonesia, karena merupakan salah satu dari sembilan bahan pokok yang dikonsumsi oleh masyarakat Indonesia.
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. Sektor pertanian mempunyai peranan yang cukup penting dalam kegiatan
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sektor pertanian mempunyai peranan yang cukup penting dalam kegiatan perekonomian di Indonesia, hal ini dapat dilihat dari kontribusinya terhadap Produk Domestik Bruto
Lebih terperinciPROGRES PELAKSANAAN REVITALISASI PERTANIAN
PROGRES PELAKSANAAN REVITALISASI PERTANIAN Pendahuluan 1. Dalam rangka pelaksanaan Revitalisasi Pertanian (RP) Departemen Pertanian telah dan sedang melaksanakan berbagai kebijakan yang meliputi : (a)
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. yang putih dan terasa manis. Dalam bahasa Inggris, tebu disebut sugar cane. Tebu
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Tanaman perkebunan merupakan salah satu tanaman yang prospektif untuk dikembangkan di Indonesia. Letak geografis dengan iklim tropis dan memiliki luas wilayah yang
Lebih terperinciPENDAHULUAN 1. Latar Belakang
I. PENDAHULUAN 1. Latar Belakang Perdagangan internasional merupakan salah satu pendorong peningkatan perekonomian suatu negara. Perdagangan internasional, melalui kegiatan ekspor impor memberikan keuntungan
Lebih terperinciPerkembangan Harga Beras, Terigu Dan Gula Di Indonesia Tahun 2008 Selasa, 31 Maret 2009
Perkembangan Harga Beras, Terigu Dan Gula Di Indonesia Tahun 2008 Selasa, 31 Maret 2009 Sembilan bahan pokok (Sembako) merupakan salah satu masalah vital dalam suatu Negara. Dengan demikian stabilitasnya
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pertanian merupakan sektor yang sangat penting dalam perekonomian nasional. Oleh karena itu, pembangunan ekonomi nasional abad ke- 21, masih akan tetap berbasis pertanian
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. Pada dasarnya manusia tidak dapat hidup sendiri, demikian halnya dengan
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Pada dasarnya manusia tidak dapat hidup sendiri, demikian halnya dengan negara karena setiap negara membutuhkan negara lain untuk memenuhi kebutuhan rakyatnya
Lebih terperinciII TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pendekatan Penelitian Sistem Usaha Pertanian dan Agribisnis
II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pendekatan Penelitian Sistem Usaha Pertanian dan Agribisnis Pada awalnya penelitian tentang sistem pertanian hanya terbatas pada tahap budidaya atau pola tanam, tetapi pada tahun
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. Tabel 1.1 Jumlah Unit Usaha Kota Bandung Tahun
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Gambaran Umum Objek Penelitian 1.1.1 Potensi UMKM Kota Bandung Usaha Mikro Kecil dan Menengah (UMKM) di kota Bandung yang semakin berkembang ternyata membuat jumlah unit usaha tetap
Lebih terperinci1 PENDAHULUAN Latar Belakang
1 PENDAHULUAN Latar Belakang Kakao merupakan salah satu komoditas perkebunan potensial untuk dikembangkan menjadi andalan ekspor. Menurut ICCO (2012) pada tahun 2011, Indonesia merupakan produsen biji
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. internasional untuk memasarkan produk suatu negara. Ekspor dapat diartikan
BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Ekspor merupakan salah satu bagian penting dalam perdagangan internasional untuk memasarkan produk suatu negara. Ekspor dapat diartikan sebagai total penjualan barang
Lebih terperinciKEBIJAKAN DAN STRATEGI OPERASIONAL PENGEMBANGAN BIOINDUSTRI KELAPA NASIONAL
KEBIJAKAN DAN STRATEGI OPERASIONAL PENGEMBANGAN BIOINDUSTRI KELAPA NASIONAL Gamal Nasir Direktorat Jenderal Perkebunan PENDAHULUAN Kelapa memiliki peran strategis bagi penduduk Indonesia, karena selain
Lebih terperinciDAMPAK PERDAGANGAN BEBAS ASEAN CINA BAGI PEREKONOMIAN INDONESIA (Studi Kasus : Dampak pada Tekstil dan Produk Tekstil Indonesia (TPT))
DAMPAK PERDAGANGAN BEBAS ASEAN CINA BAGI PEREKONOMIAN INDONESIA (Studi Kasus : Dampak pada Tekstil dan Produk Tekstil Indonesia (TPT)) Resume Muhammad Akbar Budhi Prakoso 151040071 JURUSAN ILMU HUBUNGAN
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. ASEAN. CAFTA dibuat untuk mengurangi bahkan menghapuskan hambatan
BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang CAFTA merupakan perjanjian area perdagangan bebas antara China dan ASEAN. CAFTA dibuat untuk mengurangi bahkan menghapuskan hambatan perdagangan barang tarif maupun
Lebih terperinciPOLITIK KETAHANAN PANGAN MENUJU KEMANDIRIAN PERTANIAN
POLITIK KETAHANAN PANGAN MENUJU KEMANDIRIAN PERTANIAN Emlan Fauzi Pangan merupakan kebutuhan yang paling mendasar dari suatu bangsa. Mengingat jumlah penduduk Indonesia yang sudah mencapai sekitar 220
Lebih terperinciKEBIJAKAN PEMERINTAH dalam EKONOMI PERTANIAN
KEBIJAKAN PEMERINTAH dalam EKONOMI PERTANIAN Jumlah Penduduk di Indonesia 3 Juta/Th PERTANIAN DI INDONESIA Penghasil biji-bijian nomor 6 di dunia Penghasil beras nomor 3 setelahchina dan India Penghasil
Lebih terperinciTESIS. Untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan Guna Mencapai Derajat Sarjana S-2 PROGRAM STUDI MAGISTER MANAJEMEN AGRIBISNIS.
EVALUASI KEBIJAKAN BONGKAR RATOON DAN KERAGAAN PABRIK GULA DI JAWA TIMUR TESIS Untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan Guna Mencapai Derajat Sarjana S-2 PROGRAM STUDI MAGISTER MANAJEMEN AGRIBISNIS Diajukan
Lebih terperinci