V. GAMBARAN UMUM INDUSTRI GULA DI INDONESIA

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "V. GAMBARAN UMUM INDUSTRI GULA DI INDONESIA"

Transkripsi

1 V. GAMBARAN UMUM INDUSTRI GULA DI INDONESIA 5.1 Industri Pergulaan Indonesia Menurut KPPU (2010) bahwa gula terdiri dari beberapa jenis, dilihat dari keputihannya melalui standar ICUMSA (International Commission for Uniform Methods of Sugar Analysis). Semakin putih gula maka semakin kecil nilai ICUMSA dalam skala internasional unit (IU) seperti berikut ini Raw Sugar Raw sugar adalah gula mentah berbentuk kristal berwarna kecoklatan dengan bahan bakun dari tebu. Untuk menghasilkan produk ini dibutuhkan proses sebagai berikut : Tebu Giling Nira Evaporator - kristal merah (raw sugar). Menurut KPPU (2010) bahwa raw sugar ini memiliki nilai ICUMSA sekitar UI. Gula tipe ini adalah produksi gula setengah jadi dari pabrik penggilingan tebu yang tidak memiliki unit pemutihan yang biasanya jenis gula inilah yang banyak diimpor untuk nantinya diubah menjadi gula kristal putih ataupun gula rafinasi Refined Sugar Refined sugar atau gula rafinasi merupakan hasil olahan lebih lanjut dari gula mentah atau raw sugar melalui proses defikasi yang tidak dapat langsung dikonsumsi oleh manusia sebelum diproses lebih lanjut. Gula rafinasi dihasilkan melalui tahapan produksi yaitu : raw sugar preparation affination carbonasi penyaringan pertukaran ion evaporasi sentrifugal gula rafinasi pengemasan. Hal yang membedakan antara gula kristal putih dengan gula rafinasi adalah gula rafinasi menggunakan proses carbonasi sedangkan gula kristal putih menggunakan proses sulfitasi. Gula rafinasi mempunyai standar mutu khusus yaitu mutu 1 yang memiliki nilai ICUMSA < 45 dan mutu 2 yang memiliki nilai ICUMSA Gula rafinasi ini adalah bahan baku yang digunakan untuk industri makanan dan minuman. Pendistribusian gula rafinasi dilakukan secara khusus, dimana distributor gula rafinasi terlebih dahulu harus mendapatkan persetujuan serta penunjukan dari pabrik gula rafinasi yang kemudian disahkan oleh kementerian 44

2 perindustrian. Hal ini dilakukan agar tidak terjadi kebocoran gula rafinasi ke rumah tangga Gula Kristal Putih Gula kristal putih memiliki nilai ICUMSA antara IU. Kementerian perindustrian mengelompokkan gula kristal putih menjadi tiga bagian yaitu gula kristal putih 1 dengan nilai ICUMSA 250, gula kristal putih 2 dengan nilai ICUMSA , dan gula kristal putih 3 dengan nilai ICUMSA Semakin tinggi nilai ICUMSA maka semakin coklat warna dari gula tersebut serta rasanya semakin manis. Gula tipe ini umumnya digunakan untuk konsumen rumah tangga dan diproduksi oleh pabrik-pabrik gula yang dekat dengan perkebunan tebu dengan cara menggiling dan melakukan proses pemutihan, yaitu dengan sulfitasi. Berikut rangkain prosesnya : Tebu Gilingan Nira Evaporator Kristal Sentrifugal Sulfitasi Gula kristal putih/ gula pasir. 5.2 Kondisi Industri Gula Saat Ini Perkembangan Luas Areal, Produktivitas, dan Produksi Tebu Pemerintah menyadari bahwa usaha peningkatan produksi gula di Jawa makin sulit karena harus bersaing dengan tanaman pangan. Untuk mengatasi hal tersebut, pemerintah sejak awal tahun 1980-an telah melakukan perluasan lahan tanaman tebu dan pabrik ke luar pulau Jawa, seperti Sumatera Utara, Sumatera Selatan, Lampung, Kalimantan Selatan, dan Sulawesi Selatan. Tetapi kenyataan pada saat ini menunjukkan bahwa kecuali Lampung, pabrik-pabrik gula tersebut belum ada yang optimal kinerjanya. Menurut Utomo dan Soelistyari (1988), bahwa yang menjadi masalah adalah bukan kekurangan lahan untuk menanam tebu, tetapi karena lahan yang tersedia kurang cocok untuk ditanami tanaman tebu. Hal tersebut dikarenakan sifat tanahnya yang tidak cocok sehingga produksinya yang diperoleh rendah. Utomo dan Soelistyari (1988) juga menjelaskan lahan di luar Jawa adalah tergolong podsolik merah kuning. Jadi, pada tanah ini tanaman tebu mempunyai kesempatan besar untuk dikembangkan. Tetapi perlu dikemukakan bahwa tanah podsolik merah kuning merupakan tanah yang memiliki banyak faktor pembatas 45

3 yang menjadi kendala, baik dalam pemanfaatannya maupun usaha menjaga kelestarian produktivitasnya. Podsolik merah kuning terdapat di daerah dengan curah hujan tinggi. Telah mengalami pelapukan yang lanjut dan pelindian yang amat jauh, miskin hara tanaman, struktur tanah tidak mantap sehingga status pertaniannya rendah (Soeprapto, 1983). Luas areal tebu di Indonesia secara umum berfluktuasi dengan kecenderungan meningkat dari tahun 2000 hingga tahun Namun, sebelumnya terjadi penurunan luas areal tanam adalah pada tahun 1999 sebesar 9,91 persen, yang kemudian diikuti penurunan pada tahun Adapun alasan terjadinya penurunan tersebut adalah akibat dihapuskannya kebijakan TRI dan konversi lahan (Dirjen Perkebunan, 2006). Penurunan luas areal tersebut berdampak pada penurunan produksi tebu sebesar 12,59 persen, dari 71,84 ton/ha pada tahun 1998 menjadi 62,80 ton/ha pada tahun Adapun pada tahun 2011, luas lahan pengembangan tebu di Indonesia naik sebesar 7,66 persen dari tahun sebelumnya, yang mencapai ha pada tahn tersebut. Menurut Dewan Gula Indonesia (2011), bahwa luas lahan tersebut tersebar di beberapa dearah, antara lain: Jawa Timur dengan ha, Lampung dengan ha, Jawa Tengah dengan ha, Jawa Barat dengan ha, Sulawesi Selatan dengan ha, Sumatera Selatan dengan ha, Sumatera Utara dengan ha, Gorontalo dengan ha, dan DIY dengan ha. Dilihat dari angka tersebut dapat dikatakan bahwa pulau Jawa masih menjadi daerah penyangga produksi tebu di Indonesia dengan ha atau 60,8 persen luas lahan pengembangan tebu di Indonesia. Hal ini harus dihindari karena sulit apabila pemerintah hanya mengandalkan satu daerah penyangga produksi gula untuk menyukseskan program swasembada gula tahun Adapun terjadinya kenaikan luas lahan pengembangan tebu pada tahun 2011 dikarenakan program pemerintah terkait swasembada gula tahun 2014 sehingga pemerintah berusaha untuk memperluas lahan tebu petani. Akan tetapi pada tahun tersebut produksi tebu malah menurun sebesar 11,38 persen dari tahun sebelumnya. Hal ini dikarenakan faktor beyond control yaitu faktor cuaca yang 46

4 tidak menentu, dimana pada tahun tersebut curah hujan yang tinggi sehingga kuantitas tebu yang dihasilkan menjadi lebih sedikit. Tabel 4. Pertumbuhan Luas Areal, Produksi Tebu, Produktivitas Tebu, dan Rendemen di Indonesia Tahun Tahun Luas Areal Produksi Tebu Produktivitas Tebu Rendemen Total (Ha) Pertumb uhan Total (Ton) Pertum buhan Total (Ton/Ha) Pertum buhan ,36-6, , ,75 71,25-20,27 8, , ,47 71,55 0,43 6, , ,96 70,93-0,87 7, , ,27 72,48 2,19 7, , ,78 71,84-0,88 5, , ,25 62,80-12,59 6, , ,29 70,54 12,33 7, , ,81 73,12 3,66 6, , ,38 72,80-0,44 6, , ,37 67,41-7,41 7, , ,17 77,68 15,23 7, , ,82 81,84 5,36 7, , ,23 76,26-6,81 7, , ,37 77,41 1,50 7, , ,32 75,50-2,47 8, , ,41 76,10 0,79 7, , ,38 81,80 7,49 6, , ,38 67,30-17,73 7,35 Sumber: Dewan Gula Indonesia, 2012 (Diolah) Produksi gula juga berfluktuasi dari tahun ke tahun dengan kecenderungan mulai ada peningkatan, kecuali tahun 1999, 2003 dan Pada tahun 1999 terjadi penurunan karena adanya penurunan lahan produksi tebu. Penurunan ini disumbang oleh efek kebijakan pemerintah terkait TRI dan konversi lahan. Pada tahun 2003 terjadi penurunan produksi tebu sebesar 11,37 persen, sehingga menurunkan produksi gula sebesar 6,72 persen. Hal ini terjadi akibat masalah ketersediaan air menurut ruang dan waktu serta pengelolaan sumberdaya iklim yang memegang peranan penting dalam proses produksi tebu, khususnya pada lahan kering. Pada tahun tersebut, sebagian besar tanaman tebu lahan kering yang ditanam periode Mei hingga September mengalani cekaman air (water stress) pada fase kritis yaitu fase pembentukan tunas dan pertumbuhan vegetatif. 47

5 Tabel 5. Pertumbuhan Produksi Gula dan Produktivitas Gula Tahun Tahun Produksi Gula Produktivitas Gula Total (Ton) Pertumbuhan Total (Ton/Ha) Pertumbuhan , ,37 5,71-3, ,39 4,98-12, ,11 5,19 4, ,57 5,68 9, ,89 3,94-30, ,20 4,37 10, ,57 4,96 13, ,06 5,01 1, ,39 5,02 0, ,72 4,84-3, ,73 5,95 22, ,27 5,87-1, ,91 5,82-0, ,12 5,71-1, ,45 6,19 8, ,96 6,20 0, ,61 5,29-14, ,62 4,95-6,43 Sumber: Dewan Gula Indonesia, 2012 Kekeringan yang terjadi berdampak lebih besar pada penurunan produksi tebu dibandingkan dengan fase pembentukan gula maupun fase pematangan. Kondisi tersebut berdampak terhadap penurunan produksi per satuan luas secara signifikan, meskipun secara kuantitas rendemen meningkat. Kondisi yang terjadi sesuai dengan riset FAO (1997), bahwa kehilangan hasil akibat kekeringan (water stress) secara kuantitatif dapat mencapai 40 persen dari potensi produksinya apabila terjadi pada fase kritis tanaman. Pada tahun 2010, yang terjadi adalah penurunan produksi gula yang cukup besar dari tahun sebelumnya sebesar 15,61 persen dari tahun Hal ini dikarenakan dampak anomali iklim, dimana curah hujan yang tinggi di sepanjang tahun tersebut. Kejadian ini tidak terjadi di Indonesia, tapi di negara-negara produsen gula, seperti Thailand. Faktor beyond control ini memang sulit diantisipasi karena bersifat risiko murni. Penurunan produksi gula dikarenakan menurunnya rendemen sebesar 1,36 persen dari tahun 2009 atau setara penurunan produksi gula sebesar ton dari tahun sebelumnya 48

6 5.2.2 Kebutuhan Konsumsi dan Impor Gula Gula merupakan salah satu dari sembilan kebutuhan pokok di Indonesia dan memiliki peranan yang krusial dalam stabilitas ekonomi Indonesia. Komoditas ini memiliki peranan penting dalam hal pemenuhan kebutuhan masyarakat dan industri makanan dan minuman yang berbahan baku dari produk olahan tebu ini. Kebutuhan gula di Indonesia berbanding lurus dengan angka jumlah penduduk Indonesia dan industri makanan dan minuman, sehingga penting bagi Indonesia membangun dan melindungi industri gula secara baik dan benar agar tidak berdampak kepada stabilitas ekonomi Indonesia akibat gejolak harga dan ketersedian gula di pasar konsumen akhir atau industri makanan dan minuman. Terlihat pada Tabel 9 bahwa tingkat konsumsi gula nasional meningkat dan begitu pula pada nilai impor gula, dengan catatan pada tahun 2008 terdapat penurunan yang terjadi pada konsumsi dan berdampak juga pada penurunan impor, akan tetapi hal ini tidak membuat konsumsi dan impor gula menurun peda tahun-tahun berikutnya. Secara rata-rata konsumsi pada periode 2006 hingga 2010 adalah mencapai 4,59 juta ton per tahunnya dengan rata-rata pertumbuhan konsumsi 4,65 persen. Angka di atas adalah respon atas kenaikan pertumbuhan penduduk Indonesia per tahunnya sebesar 1,34 persen. Tabel 6. Konsumsi dan Impor Gula Indonesia Tahun Tahun Konsumsi Impor Jumlah (Juta Ton) Pertumbuhan Jumlah (Juta Ton) Pertumbuhan Proporsi Impor ,30 1,71 39, ,70 9,30 2,84 66,08 60, ,34-7,66 2,04-28,17 47, ,54 4,61 2,75 34,80 60, ,10 12,33 2,91 5,82 57,06 Rata-rata per tahun 4,59 4,65 2,45 19,63 52,87 Sumber: Dewan Gula Indonesia, 2011 (diolah) Importasi gula yang begitu besar terjadi pada tahun 1999 yaitu sebesar 2,18 juta ton atau 65 persen dari kebutuhan untuk konsumsi nasional. Kemudian, dilihat pada periode tahun 2006 hingga 2010, proporsi impor gula terhadap 49

7 konsumsi gula total tidak lebih dari 60 persen atau lebih rendah keadaanya dari tahun 1999, dengan rata-rata persentase impor dengan kebutuhan konsumsi nasional per tahunnya mencapai 52,97 persen. Adapun negara-negara yang memasok gula ke Indonesia yaitu Thailand, Brazil, dan India. Akan tetapi ini, fakta harus segera direspon oleh pihak-pihak terkait industri gula nasional karena berarti lebih dari setengah kebutuhan konsumsi gula nasional bergantung kepada importasi sehingga apabila terjadi gejolak pasokan dari negara pengimpor tersebut maka industri gula domestik akan sangat terganggu dan mengancam stabilitas ekonomi nasional karena gula merupakan salah satu komoditas pokok di Indonesia. Untuk mengatur importasi ini pemerintah telah mengeluarkan peraturan yaitu keputusan menperindag No.643/MPP/KEP/2002 tanggal 23 September 2002 yang mengatur jalannya impor gula nasional. Adapun isi keputusan tersebut adalah hak impor gula pasir hanya diberikan kepada kalangan perusahaan gula yang dalam proses produksinya menggunakan lebih dari 75 persen bahan baku dari petani tebu. Tetapi implementasi kebijakan tersebut belum sesuai dengan harapan akibat ketidakjelasan jumlah persediaan gula nasional. Untuk melindungi petani, pemerintah memberi syarat impor gula dapat dilaksanakan apabila harga gula petani sudah di atas Rp 3.100/kg. Pembatasan impor yang hanya dilakukan oleh importir produsen adalah usaha untuk dapat mengatur keseimbangan stok antara gula lokal dengan gula impor. Namun, efektifitas kebijakan pembatasan gula impor tersebut masih harus dipertanyakan mengingat banyaknya kasus penyelundupan dan manipulasi dokumen impor gula Harga Gula Harga gula merupakan indikator faktual yang mencerminkan kinerja pasar gula yang baik, antara tingkat konsumsi dengan ketersediaan pasokan gula. Apabila harga gula mengalami gejolak berarti terjadi masalah antara tingkat konsumsi atau ketersediaan pasokan gula. Harga gula di tingkat retail atau eceran terus naik tiap tahunnya. Dilihat dari data harga eceran tahun 2008 hingga 2011, bahwa terjadi kenaikan harga rata-rata yang cukup tinggi pada tahun 2009 yang mencapai 35 persen, hal ini dikarenakan tidak tercapainya sasaran produksi gula 50

8 tahun 2008 akibat berkurangnya areal pengusahaan tebu rakyat menyusul kurang kondusifnya harga tahun Tabel 7. Perbandingan Harga Bulanan Gula Domestik pada Tahun Bulan Harga (Rp/Kg) Januari Februari Maret April Mei Juni Juli Agustus September Oktober November Desember Rata-rata harga per tahun Pertumbuhan rata-rata - 35,0 23,9-1,1 Sumber : Kementerian Perdagangan, 2012 (diolah) Selain itu, faktor agroklimat pada tahun 2009 juga menjadi penyebab kenaikan gula domestik, mulai dari kelembaban tinggi yang menstimulasi pembungaan tebu lebih cepat dan berakibat stagnasi pertumbuhan, hujan berkepanjangan saat awal giling dengan dampak ketidaklancaran angkutan tebu dari kebun ke pabrik, hingga kemarau esktrim panas setelah Agustus 2009 yang berimplikasi terhadap penurunan berat tebu. Akan tetapi pada tahun 2011 terjadi penurunan harga rata-rata gula domestik sebesar 1,1 persen. Hal ini terjadi karena adanya kenaikan produksi gula dunia, peningkatan tingkat rendemen domestik, dan peningkatan luas lahan tebu nasional. Ketiga hal tersebut terjadi pada buan Februari hingga Mei sehinggapada medio bulan-bulan tersebut harga gula domestik turun yang membuat rata-rata harga gula domestik pada tahun 2011 menjadi lebih rendah 1,1 persen dibandingkan tahun Pada Tabel 10, terlihat pada bulan Januari tahun 2011 adalah posisi tertinggi harga gula domestik yang mencapai harga Rp Pada bulan Januari, harga rata-rata gula di 33 kota pada Januari 2011 naik sebesar 0,3 persen jika dibandingkan dengan Desember Perubahan rata-rata harga bulanan 51

9 adalah sebesar 3,4 persen. Jika dilihat per kota, fluktuasi harga berbeda antar wilayah. Hingga 31 Januari 2011, produksi gula nasional sebesar ,2 ton. Stok fisik GKP di gudang sebesar ton (67% milik pedagang; 27,7 % milik PG dan 5,3% milik petani). Harga gula dunia terus naik karena permintaan yang tinggi dari Indonesia, Rusia, Belarusia dan Kazahktan, serta pasokan yang berkurang dari Australia dan Brasil. Untuk bulan Mei tahun 2011 adalah bulan dengan harga gula domestik terendah pada tahun tersebut. Adapun secara rata-rata nasional, fluktuasi harga gula pada bulan Mei 2011 relatif stabil yang diindikasikan oleh perubahan ratarata harga bulanan adalah sebesar 3,4 persen. Harga gula domestik mengalami penurunan yang didukung faktor-faktor antara lain: tingkat rendemen tebu lebih tinggi dari tingkat rendemen tahun lalu,luas areal lahan tebu diperkirakan meningkat hektar menjadi ton dan harga tender gula mengalami penurunan. Harga gula dunia mengalami penurunan dikarenakan produksi gula di Meksiko naik sebesar 13 persen dibanding periode yang sama tahun kemarin. 5.3 Kebijakan Pergulaan Indonesia Pemerintah merupakan elemen terpenting dalam pengembangan industri gula Indonesia. Pada kontribusinya dalam industri gula nasional, pemerintah telah banyak menerapkan instrumen kebijakan dalam industri tersebut. Kebijakan industri gula Indonesia sangat luas dimensinya, mulai dari sektor input, produksi, distribusi, hingga harga gula. Adapun kebijakan pergulaan Indonesia yang dijelaskan adalah kebijakan pergulaan Indonesia yang ada pada satu setengah dekade kebelakang yaitu medio tahun 1997 hingga tahun Padamedio tahun 1997 hingga 1998, ketika terjadi resesi ekonomi, perekonomian Indonesia banyak dikendalikan oleh International Moneter Fund (IMF). Sebagai salah satu persyaratan dalam Letter of Intent (LoI) IMF dan pemerintah Indonesia adalah membebaskan perdagangan pangan termasuk gula yang selama itu dipegang oleh Bulog. Untuk memenuhi tuntutan itu, maka pemerintah melakukan reformasi di bidang tataniaga gula dengan mengeluarkan Keppres No. 45/11/1997 yang membatasi wewenang Bulog hanya untuk komoditas beras dan gula. Pemerintah juga mengeluarkan kebijakan Inpres No. 52

10 5/1997, yang bertujuan untuk mengoptimalkan sinergi dan peran tebu rakyat, perusahaan pekebunan, dan koperasi dalam pengembangan industri gula. Hal ini dilakukan karena pada saat itu kinerja pergulaan nasional mengalami penurunan, dari segi areal lahan, produktivitas, maupun produksi. Pada tahun 1998, pemerintah mengeluarkan lagi Keppres No. 19/1/1998 yang membatasi wewenang Bulog hanya untuk komoditas beras. Keppres tersebut ditindaklanjuti oleh Kepmen Perindustrian dan Perdaganangan No. 25/1/1998 dan No. 505/10/1998 yang mengatur tataniaga impor gula menurut mekanisme pasar dan oleh importir umum. Pada setahun Inpres No. 5/1997 itu diterapkan, kemudian dicabut dan digantikan dengan Inpres No. 5/1998 yang menghentikan program pengembangan tebu rakyat dengan alasan untuk membebaskan petani menanam komoditas yang paling menguntungkan sesuai dengan UU No.12 Tahun Hal ini menurunkan minat petani untuk menanam tebu dan beralih ke komoditas lain yang lebih menguntungkan, seperti tanaman pangan. Pada Mei tahun 1999, pemerintah mengeluarkan Peraturan No.282/Kpts- IX/1999 mengenai penetapan harga provenue gula pasir produksi petani sebesar Rp.2.500/Kg dan menyediakan dana talangan sebesar Rp.456 milyar. Kebijakan ini mengatur tataniaga gula pasir yang bertujuan untuk menghindari kerugian petani dan mendorong peningkatan produksi tebu. Pada bulan Juni tahun 1999, pemerintah mencabut Kepmen Perindustrian dan Perdagangan No. 505/10/1998 dengan alasan untuk menciptakan iklim perdagangan yang berorienrasi pasar. Selanjutnya pada bulan Agustus di tahun yang sama pemerintah melalui Menteri Perindustrian dan Perdagangan mengeluarkan Peraturan No. 364/MPP/Kep/VIII/1999 mengenai tataniaga impor gula, dimana impor gula hanya dapat dilaksanakan oleh pabrik gula di Jawa sebagai impor produsen (IP) melalu perijinan. Kebijakan ini bertujuan untuk mengurangi beban anggaran melalui impor gula oleh produsen. Dalam waktu empat bulan, kebijakan itu dicabut kembali melalui Kepmen Perindustrian dan Perdagangan No. 717/12/1999 yang memberlakukan impor gula oleh importir umum. Pada waktu yang bersamaan, pemerintah juga mengeluarkan Keputusan Menteri Keuangan No. 568/12/1999 yang meberlakukan tarif bea masuk impor sebesar 20 persen untuk gula tebu dan 25 persen untuk gula bit yang diberlakukan sejak 1 Januari

11 Akan tetapi kebijakan ini belum mampu menahan masuknya gula impor, sehingga kemudian pada tahun 2000 pemerintah kembali mengeluarkan kebijakan penetapan harga provenue gula pasir dengan Kepmen Kehutanan dan Perkebunan No. 145/6/2008. Kebijakan ini dilakukan untuk menghindarkan kerugian petani tebu dan meningkatkan gairah menanam tebu dan taraf hidup petani serta menjaga kepentingan konsumen. Kebijakan ini meningkatkan harga provenue gula petani menjadi sebesar Rp.2.600/Kg dengan menyediakan dana talangan sebesar Rp. 859 milyar. Dana tangan tersebut hanya diberikan dalam periode dua tahun, sementara itu masih terdapat banyak gula impor yang masuk, khususnya raw sugar, melalui fasilitas keringanan bea masuk 0 persen yang ditetapkan SK Menkeu No. 301/2000. Selanjutnya pada tahun tersebut juga pemerintah mengeluarkan Keppres No. 109 Tahun 2000 tentang Dewan Gula Nasional. Kebijakan yang merupakan awal terbentuknya Dewan Gula Nasional, yang bertujuan meningkatkan efisiensi dan produktivitas inudstri gula serta pemberdayaan petani gula memiliki dayasaing di pasar global. Pemerintah memasukkan unsur petani, perusahaan gula, lembaga konsumen, penyalur, pekerja, perguruan tinggi, dan pemerintah dalam pembentukan Dewan Gula Indonesia. Pada tahun 2002, pemerintah mengeluarkan peraturan No. 456/MPP/Kep/VI/2002 yang merupakan kebijakan tataniaga impor gula kasar (raw sugar) dikarenakan adanya peningkatan impor gula kasar yang melebihi kebutuhan industri dalam negeri. Kebijakan ini bertujuan untuk mengatur tataniaga impor gula kasar dalam rangka perlindungan konsumen dari konsumsi gula kasar. Selain kebijakan tatniaga impor, pada tahun 2002 pemerintah juga mengeluarkan Peraturan No. 324/KMK.01/2002 yang berisikan perubahan tarif bea masuk atas impor gula yang merupakan kebijakan tataniaga gula impor yang meliputi gula kasar, gula kristal putih, dan gula rafinasi. Hal ini dikarenakan dalam rangka mendukung program restrukturisasi industri gula nasional dengan tetap memperhatikan kepentingan petani tebu dan konsumen gula, sehinnga dipandang perlu mengubah tarif bea masuk atas impor gula. Pada tahun 2004, pemerintah mengeluarkan Peraturan No. 61/MPP/Kep/II/2004 yang berisikan perdagangan gula antar pulau. Kebijakan ini 54

12 dilatarbelakangi oleh momentum dalam menunjang pelaksanaan tata niaga impor gula serta untuk menjamin pasokan dan stabilitas harga gula, perlindungan terhadap industri gula dalam negeri, petani tebu dan konsumen, perlu mengatur perdagangan gula antar pulau. Tujuan dari kebijakan ini adalah untuk menunjang pelaksanaan tata niaga impor gula serta untuk menjamin pasokan dan stabilitas harga gula, perlindungan terhadap industri gula dalam negeri, petani tebu dan konsumen. Pada bulan Mei tahun 2004, peraturan No. 61/MPP/Kep/II/2004 diubah degnan menggunakan Peraturan No. 334/MPP/Kep/V/2004. Perubahan ini dikarenakan untuk encapai tujuan dan sasaran pengaturan perdagangan gula antar pulau sebagaimana dimaksud dalam Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan Nomor 61/MPP/Kep/2/2004 tentang Perdagangan Gula Antar Pulau dan untuk lebih memudahkan pendistribusian gula sesuai dengan penggunaan dan atau pemanfaatannya, dipandang perlu mengubah beberapa ketentuan sebagaimana diatur dalam Keputusan Menteri dimaksud. Tujuannya adalah untuk mencapai tujuan dan sasaran pengaturan perdagangan gula antar pulau dan untuk lebih memudahkan pendistribusian gula sesuai dengan penggunaan dan atau pemanfaatannya. Selain pemerintah mengatur perdagangan gula antar pulau, pada tahun 2004 pemerintah juga mengeluarkan Peraturan No.57/2004. Peraturan tersebut merupakan kebijakan yang terkait dengan penetapan gula sebagai barang dalam pengawasan. Kebijakan ini didasarkan karena gula merupakan komoditas yang mempunyai nilai strategis bagi ketahanan pangan dan peningkatan pertumbuhan perekonomian masyarakat Indonesia sehingga diperlukan kebijakan yang bersifat pengawasan terhadap Komoditas tersebut. Kebijakan ini bertujuan untuk mewujudkan program pemerintah untuk menciptakan swasembada gula dan meningkatkan pendapatan petani tebu. Pada tahun tersebut terjadi kasus pengadaan gula yang berasal dari impor secara tidak sah dan telah menimbulkan kerugian yang sangat besar pada pendapatan petani tebu/produsen gula dalam negeri. Sehingga pemerintah harus mengeluarkan kebijakan terkait penanganan gula impor yang tidak sah. Kebijakan tersebut adalah Peraturan No.58/2004 yang berisi penanganan gula yang diimpor secara tidak sah, bertujuan untuk mewujudkan program swasembada gula dan 55

13 meningkatkan pendapatan petani tebu. Selain adanya peraturan mengenai penanganan gula impor yang tidak sah, pada tahun 2004 pemerintah juga mengeluarkan Peraturan No. 527/MPP/Kep/IX/2004 yang berisikan ketentuan impor gula. Kebijakan ini didasari oleh momentum pemerintah dalam mewujudkan ketahanan pangan dan peningkatan pertumbuhan perekonomian masyarakat Indonesia serta menciptakan swasembada gula dan meningkatkan daya saing serta pendapatan petani tebu dan industri gula, sehingga perlu diambil upaya untuk menjaga pasokan gula sebagai bahan baku dan konsumsi yang berasal dari impor. Terjadi perubahan sebanyak dua kali untuk peraturan ini yaitu dengan dikeluarkannya Peraturan No. 02/M/Kep/XII/2004 dan Peraturan No.18/M- DAG/PER/IV/2007. Pada Peraturan No. 02/M/Kep/XII/2004 berisikan perubahan dari Peraturan No. 527/MPP/Kep/IX/2004, alasannya adalah dalam rangka mewujudkan efektivitas kebijakan serta kelancaran pelaksanaan importasi gula, khususnya berkenaan dengan importasi gula kristal putih (Plantation White Sugar), dipandang perlu untuk lebih memperhatikan kondisi dan kelaziman yang berlaku di bidang pergulaan internasional yang menyangkut perhitungan bilangan ICUMSA atas gula kristal putih (Plantation White Sugar). Untuk itu perlu dilakukan perubahan bilangan ICUMSA Gula Kristal Putih (Plantation White Sugar) yang dapat diimpor sebagaimana diatur dalam ketentuan Pasal 7 Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan No. 527/MPP/Kep/9/2004 tentang Ketentuan Impor Gula. Kemudian pada tahun 2007 pemerintah mengeluarkan Peraturan No. 18/M-DAG/PER/IV/2007 yang mengubah Peraturan No. 527/MPP/Kep/IX/2004 dengan alasan bahwa terjadi perkembangan harga gula Kristal putih di luar negeri saat ini cenderung menurun. Dengan mempertimbangkan berbagai kepentingan baik petani tebu, industri pengguna gula sebagai bahan baku/penolong maupun masyarakat selaku konsumen gula, maka dipandang perlu dilakukan perubahan atas Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan No. 527/MPP/Kep/IX/2004 tentang Ketentuan Impor Gula yaitu penetapan harga Gula Kristal Putih (Plantation White Sugar) di tingkat petani dengan Peraturan Menteri Perdagangan. 56

14 Kemudian pada tahun 2008, pemerintah kembali mengubah Peraturan No. 527/MPP/Kep/IX/2004 dengan Peraturan No.19/M-DAG/PER/V/2008. Hal ini dilakukan karena adanya kenaikan harga bahan bakar minyak menyebabkan kenaikan biaya produksi GKP di dalam negeri sehingga harga gula di tingkat petani sebesar Rp.4.900, sebagaimana tercantum pada Peraturan Mendag No.18/M-DAG/PER/4/2007 dipandang tidak sesuai lagi. Untuk melakukan penyesuaian harga di tingkat petani perlu mempertimbangkan upaya efisiensi dan produktivitas (rendemen gula) sesuai dengan program revitalisasi industri gula di dalam negeri. Dengan mempertimbangkan berbagai kepentingan baik petani tebu, industri pengguna gula maupun masyarakat selaku konsumen, maka dipandang perlu dilakukan perubahan atas Keputusan Menperindag No. 572/MRP/Kep/9/2004 tentang ketentuan impor gula. Pada tahun 2010, pemerintah mengeluarkan Peraturan N0. 11/M- IND/PER/1/2010 yang berisi perubahan atas Peraturan Menteri Perindustrian Nomor 116/M-Ind/Perl10/2009 Tentang Peta Panduan (Road Map) Pengembangan Klaster Industri Gula. Latar belakang kebijakan ini adalah pencapaian pengembangan klaster industri gula sebagaimana ditetapkan dalam Peraturan Menteri Perindustrian Nomor 116/M-IND/PER/10/2009, perlu menyempurnakan Rencana Aksi Revitalisasi Industri Gula sebagaimana dimaksud dalam Peta Panduan yang ditetapkan dengan mengubah Peraturan Menteri dimaksud. Tujuannya adalah untuk mencapai pengembangan klastr industri gula dalam peta panduan. Pada tahun yang sama, pemerintah juga mengeluarkan Peraturan No.12/M-IND/1/2010 mengenai tim pelaksana rencana aksi revitalisasi industri gula dengan dimensi kebijakannya adalah on farm dan off farm. Hal ini didasari oleh pelaksanaan Rencana Aksi Revitalisasi Industri Gula sebagaimana ditetapkan dalam Peraturan Menteri Perindustrian Nomor. 116/MIND/PER/10/2009 tentang Peta Panduan Klaster Industri Gula yang diubah dengan Peraturan Menteri Perindustrian Nomor 11 IM-IND/PERI serta evaluasi, pengkajian dan perumusan Peta Panduan dimaksud sesuai dengan ketentuan Pasal 6 Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 28 Tahun 2008, perlu membentuk Tim Pelaksana. 57

15 Selain Peraturan No.12/M-IND/1/2010, pemerintah juga mengeluarkan Peraturan No. 20/M-DAG/PER/5/2010 yang berisikan penetapan harga patokan petani gula kristal putih. Kebijakan ini dilatarbelakangi oleh pertama, dalam rangka mewujudkan ketahanan pangan, menciptakan swasembada gula dan meningkatkan daya saing serta pendapatan petani tebu dan industri gula perlu dilakukan upaya untuk menjaga persediaan dan stabilitas harga Gula Kristal Putih. Kedua, untuk melaksanakan ketentuan Pasal 7 ayat (5) Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan Nomor 527/MPP/Kep/9/2004 tentang Ketentuan Impor Gula dan memperhatikan surat Menteri Pertanian selaku Ketua Dewan Gula Indonesia Nomor 97/PP.2010/M/3/2010 tanggal 3 Maret 2010 perihal Usulan Besaran HPP Gula Petani Tahun 2010, perlu menetapkan Harga Patokan Petani (HPP) Gula Kristal Putih (Plantation White Sugar). Ketiga, dalam Penetapan HPP perlu mempertimbangkan upaya peningkatan efisiensi dan produktivitas (rendemen gula) sesuai dengan program revitalisasi industri gula di dalam negeri. Pada tahun 2011, pemerintah mengeluarkan Peraturan no.19 tahun 2011 yang berisi pengesahan International Sugar Agreement tahun Peraturan tersebut bertujuan untuk meningkatkan kerja sama internasional yang berkaitan degan pergulaan dunia dan isu-isu yang terkait dengan gula, serta dalam rangka memajukan industri gula nasional. Kemudian, selain peraturan No.19 tahun 2011 tersebut, pemerintah juga mengeluarkan kebijakan terkait Penetapan Harga Patokan Petani (HPP) Gula Kristal Putih (Plantation White Sugar) dalam rangka mewujudkan ketahanan pangan, menciptakan swasembada gula, dan meningkatkan daya saing serta jaminan pendapatan petani tebu dan industri gula, perlu dilakukan upaya untuk menjaga persediaan dan stabilitas harga Gula Kristal Putih (Plantation White Sugar). 58

V. GAMBARAN UMUM KONDISI PERGULAAN NASIONAL, LAMPUNG DAN LAMPUNG UTARA

V. GAMBARAN UMUM KONDISI PERGULAAN NASIONAL, LAMPUNG DAN LAMPUNG UTARA 59 V. GAMBARAN UMUM KONDISI PERGULAAN NASIONAL, LAMPUNG DAN LAMPUNG UTARA 5.1. Perkembangan Kondisi Pergulaan Nasional 5.1.1. Produksi Gula dan Tebu Produksi gula nasional pada tahun 2000 sebesar 1 690

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Budidaya tebu adalah proses pengelolaan lingkungan tumbuh tanaman

TINJAUAN PUSTAKA. Budidaya tebu adalah proses pengelolaan lingkungan tumbuh tanaman 24 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Usahatani Tebu 2.1.1 Budidaya Tebu Budidaya tebu adalah proses pengelolaan lingkungan tumbuh tanaman sehingga tanaman dapat tumbuh dengan optimum dan dicapai hasil yang diharapkan.

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Gula merupakan salah satu komoditas perkebunan strategis Indonesia baik

I. PENDAHULUAN. Gula merupakan salah satu komoditas perkebunan strategis Indonesia baik I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Gula merupakan salah satu komoditas perkebunan strategis Indonesia baik dari dimensi ekonomi, sosial, maupun politik. Indonesia memiliki keunggulan komparatif sebagai

Lebih terperinci

V. KERAGAAN INDUSTRI GULA INDONESIA

V. KERAGAAN INDUSTRI GULA INDONESIA 83 V. KERAGAAN INDUSTRI GULA INDONESIA 5.1. Luas Areal Perkebunan Tebu dan Produktivitas Gula Hablur Indonesia Tebu merupakan tanaman yang ditanam untuk bahan baku gula. Tujuan penanaman tebu adalah untuk

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Di Indonesia gula merupakan komoditas terpenting nomor dua setelah

I. PENDAHULUAN. Di Indonesia gula merupakan komoditas terpenting nomor dua setelah I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Di Indonesia gula merupakan komoditas terpenting nomor dua setelah beras. Gula menjadi begitu penting bagi masyarakat yakni sebagai sumber kalori. Pada umumnya gula digunakan

Lebih terperinci

ABSTRAK DAN EXECUTIVE SUMMARY PENELITIAN PEMBINAAN PERAN INDUSTRI BERBASIS TEBU DALAM MENUNJANG SWASEMBADA GULA NASIONAL.

ABSTRAK DAN EXECUTIVE SUMMARY PENELITIAN PEMBINAAN PERAN INDUSTRI BERBASIS TEBU DALAM MENUNJANG SWASEMBADA GULA NASIONAL. ABSTRAK DAN EXECUTIVE SUMMARY PENELITIAN PEMBINAAN PERAN INDUSTRI BERBASIS TEBU DALAM MENUNJANG SWASEMBADA GULA NASIONAL Peneliti: Fuat Albayumi, SIP., M.A NIDN 0024047405 UNIVERSITAS JEMBER DESEMBER 2015

Lebih terperinci

stabil selama musim giling, harus ditanam varietas dengan waktu kematangan yang berbeda. Pergeseran areal tebu lahan kering berarti tanaman tebu

stabil selama musim giling, harus ditanam varietas dengan waktu kematangan yang berbeda. Pergeseran areal tebu lahan kering berarti tanaman tebu PEMBAHASAN UMUM Tujuan akhir penelitian ini adalah memperbaiki tingkat produktivitas gula tebu yang diusahakan di lahan kering. Produksi gula tidak bisa lagi mengandalkan lahan sawah seperti masa-masa

Lebih terperinci

PENDAHULUAN Latar Belakang

PENDAHULUAN Latar Belakang PENDAHULUAN Latar Belakang Industri gula adalah salah satu industri bidang pertanian yang secara nyata memerlukan keterpaduan antara proses produksi tanaman di lapangan dengan industri pengolahan. Indonesia

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Tabel 1. Perkembangan Konsumsi Gula Tahun Periode

I. PENDAHULUAN. Tabel 1. Perkembangan Konsumsi Gula Tahun Periode 1 I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Gula termasuk salah satu komoditas strategis dalam perekonomian Indonesia. Dengan luas areal rata-rata 400 ribu ha pada periode 2007-2009, industri gula berbasis tebu

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. 1 Universitas Indonesia

BAB 1 PENDAHULUAN. 1 Universitas Indonesia BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Pertanian merupakan sektor utama perekonomian dari sebagian besar negara-negara berkembang. Indonesia merupakan salah satu negara berkembang dengan sektor

Lebih terperinci

Perkembangan Harga Beras, Terigu Dan Gula Di Indonesia Tahun 2008 Selasa, 31 Maret 2009

Perkembangan Harga Beras, Terigu Dan Gula Di Indonesia Tahun 2008 Selasa, 31 Maret 2009 Perkembangan Harga Beras, Terigu Dan Gula Di Indonesia Tahun 2008 Selasa, 31 Maret 2009 Sembilan bahan pokok (Sembako) merupakan salah satu masalah vital dalam suatu Negara. Dengan demikian stabilitasnya

Lebih terperinci

V. KONDISI PERKEMBANGAN INDUSTRI GULA RAFINASI INDONESIA

V. KONDISI PERKEMBANGAN INDUSTRI GULA RAFINASI INDONESIA V. KONDISI PERKEMBANGAN INDUSTRI GULA RAFINASI INDONESIA 4.4. Sejarah Perkembangan Industri Gula Rafinasi Industri gula rafinasi mulai berdiri di Indonesia pada tahun 1996. Pabrik gula dalam negeri sebelum

Lebih terperinci

I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Gula merupakan salah satu komoditas pertanian yang telah ditetapkan Indonesia sebagai komoditas khusus (special product) dalam forum perundingan Organisasi Perdagangan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. sektor yang mempunyai peranan yang cukup strategis dalam perekonomian

I. PENDAHULUAN. sektor yang mempunyai peranan yang cukup strategis dalam perekonomian 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Salah satu sasaran pembangunan nasional adalah pertumbuhan ekonomi dengan menitikberatkan pada sektor pertanian. Sektor pertanian merupakan salah satu sektor

Lebih terperinci

YOGYAKARTA, 9 SEPTEMBER 2017 FGD "P3GI" 2017

YOGYAKARTA, 9 SEPTEMBER 2017 FGD P3GI 2017 IMPLEMENTASI INSENTIF PERATURAN BAHAN BAKU MENTERI RAW PERINDUSTRIAN SUGAR IMPORNOMOR 10/M-IND/3/2017 UNTUK PABRIK DAN GULA KEBIJAKAN BARU DAN PEMBANGUNAN PABRIK PERLUASAN PG BARU DAN YANG PENGEMBANGAN

Lebih terperinci

V. EKONOMI GULA. dikonsumsi oleh masyarakat. Bahan pangan pokok yang dimaksud yaitu gula.

V. EKONOMI GULA. dikonsumsi oleh masyarakat. Bahan pangan pokok yang dimaksud yaitu gula. V. EKONOMI GULA 5.1. Ekonomi Gula Dunia 5.1.1. Produksi dan Konsumsi Gula Dunia Peningkatan jumlah penduduk dunia berimplikasi pada peningkatan kebutuhan terhadap bahan pokok. Salah satunya kebutuhan pangan

Lebih terperinci

KEPUTUSAN MENTERI PERINDUSTRIAN DAN PERDAGANGAN REPUBLIK INDONESIA. NOMOR : 527/MPP/Kep/9/2004 TENTANG KETENTUAN IMPOR GULA

KEPUTUSAN MENTERI PERINDUSTRIAN DAN PERDAGANGAN REPUBLIK INDONESIA. NOMOR : 527/MPP/Kep/9/2004 TENTANG KETENTUAN IMPOR GULA KEPUTUSAN MENTERI PERINDUSTRIAN DAN PERDAGANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : 527/MPP/Kep/9/2004 TENTANG KETENTUAN IMPOR GULA MENTERI PERINDUSTRIAN DAN PERDAGANGAN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: Mengingat:

Lebih terperinci

KINERJA PRODUKSI DAN HARGA KEDELAI SERTA IMPLIKASINYA UNTUK PERUMUSAN KEBIJAKAN PERCEPATAN PENCAPAIAN TARGET SUKSES KEMENTERIAN PERTANIAN

KINERJA PRODUKSI DAN HARGA KEDELAI SERTA IMPLIKASINYA UNTUK PERUMUSAN KEBIJAKAN PERCEPATAN PENCAPAIAN TARGET SUKSES KEMENTERIAN PERTANIAN KINERJA PRODUKSI DAN HARGA KEDELAI SERTA IMPLIKASINYA UNTUK PERUMUSAN KEBIJAKAN PERCEPATAN PENCAPAIAN TARGET SUKSES KEMENTERIAN PERTANIAN I. PENDAHULUAN 1. Salah satu target utama dalam Rencana Strategis

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1. Latar Belakang Gula merupakan salah satu komoditi strategis bagi perekonomian Indonesia, karena merupakan salah satu dari sembilan

I. PENDAHULUAN 1. Latar Belakang Gula merupakan salah satu komoditi strategis bagi perekonomian Indonesia, karena merupakan salah satu dari sembilan I. PENDAHULUAN 1. Latar Belakang Gula merupakan salah satu komoditi strategis bagi perekonomian Indonesia, karena merupakan salah satu dari sembilan bahan pokok yang dikonsumsi oleh masyarakat Indonesia.

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI PERDAGANGAN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI PERDAGANGAN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN MENTERI PERDAGANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : 19/M DAG/PER/5/2008 TENTANG PERUBAHAN KELIMA ATAS KEPUTUSAN MENTERI PERINDUSTRIAN DAN PERDAGANGAN NOMOR 527/MPP/Kep/9/2004 TENTANG KETENTUAN IMPOR

Lebih terperinci

IX. KESIMPULAN DAN SARAN

IX. KESIMPULAN DAN SARAN 203 IX. KESIMPULAN DAN SARAN 9.1. Kesimpulan Berdasarkan hasil penelitian yang telah dikemukakan di atas, maka dapat ditarik beberapa kesimpulan sebagai berikut : 1. Analisis terhadap faktor-faktor yang

Lebih terperinci

I PENDAHULUAN. Tabel 1. Data Kandungan Nutrisi Serealia per 100 Gram

I PENDAHULUAN. Tabel 1. Data Kandungan Nutrisi Serealia per 100 Gram I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Kekayaan sumber daya alam dalam bidang pertanian merupakan keunggulan yang dimiliki Indonesia dan perlu dioptimalkan untuk kesejahteraan rakyat. Pertanian merupakan aset

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Agribisnis Gula Subsistem Input Subsistem Usahatani

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Agribisnis Gula Subsistem Input Subsistem Usahatani II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Agribisnis Gula 2.1.1 Subsistem Input Subsistem input merupakan bagian awal dari rangkaian subsistem yang ada dalam sistem agribisnis. Subsistem ini menjelaskan pasokan kebutuhan

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA DAN LANDASAN TEORI

TINJAUAN PUSTAKA DAN LANDASAN TEORI TINJAUAN PUSTAKA DAN LANDASAN TEORI Tinjauan Pustaka Bahan baku proses pabrik gula adalah tanaman yang banyak mengandung gula. Kandungan gula dalam tanaman ini berasal dari hasil proses asimilasi yang

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. di Pulau Jawa. Sementara pabrik gula rafinasi 1 yang ada (8 pabrik) belum

BAB 1 PENDAHULUAN. di Pulau Jawa. Sementara pabrik gula rafinasi 1 yang ada (8 pabrik) belum BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia mempunyai potensi menjadi produsen gula dunia karena didukung agrokosistem, luas lahan serta tenaga kerja yang memadai. Di samping itu juga prospek pasar

Lebih terperinci

KAJIAN KEBIJAKAN HPP GABAH DAN HET PUPUK MENDUKUNG PENINGKATAN KETAHANAN PANGAN DAN PENDAPATAN PETANI

KAJIAN KEBIJAKAN HPP GABAH DAN HET PUPUK MENDUKUNG PENINGKATAN KETAHANAN PANGAN DAN PENDAPATAN PETANI KAJIAN KEBIJAKAN HPP GABAH DAN HET PUPUK MENDUKUNG PENINGKATAN KETAHANAN PANGAN DAN PENDAPATAN PETANI Pendahuluan 1. Situasi perberasan yang terjadi akhir-akhir ini (mulai Maret 2008) dicirikan dengan

Lebih terperinci

-2- Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1994 tentang Pengesahan Agreement Establishing The World Trade Organization (Persetujuan Pembentukan Or

-2- Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1994 tentang Pengesahan Agreement Establishing The World Trade Organization (Persetujuan Pembentukan Or No. 2000, 2015 BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA KEMENDAG. Impor. Gula. Pencabutan. PERATURAN MENTERI PERDAGANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 117/M-DAG/PER/12/2015 TENTANG KETENTUAN IMPOR GULA DENGAN RAHMAT

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. negara (Krugman dan Obstfeld, 2009). Hampir seluruh negara di dunia melakukan

BAB I PENDAHULUAN. negara (Krugman dan Obstfeld, 2009). Hampir seluruh negara di dunia melakukan BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG Perekonomian negara-negara di dunia saat ini terkait satu sama lain melalui perdagangan barang dan jasa, transfer keuangan dan investasi antar negara (Krugman dan Obstfeld,

Lebih terperinci

KEBIJAKAN GULA UNTUK KETAHANAN PANGAN NASIONAL

KEBIJAKAN GULA UNTUK KETAHANAN PANGAN NASIONAL KEMENTERIAN KOORDINATOR BIDANG PEREKONOMIAN KEBIJAKAN GULA UNTUK KETAHANAN PANGAN NASIONAL KEMENTERIAN KOORDINATOR BIDANG PEREKONOMIAN 28 Oktober 2013 1. KEBIJAKAN KETAHANAN PANGAN NASIONAL 2 Ketersediaan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. beras, jagung dan umbi-umbian menjadikan gula sebagai salah satu bahan

BAB I PENDAHULUAN. beras, jagung dan umbi-umbian menjadikan gula sebagai salah satu bahan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Gula merupakan komoditi penting bagi masyarakat Indonesia bahkan bagi masyarakat dunia. Manfaat gula sebagai sumber kalori bagi masyarakat selain dari beras, jagung

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Masalah konsumsi beras dan pemenuhannya tetap merupakan agenda

BAB I PENDAHULUAN. Masalah konsumsi beras dan pemenuhannya tetap merupakan agenda BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah konsumsi beras dan pemenuhannya tetap merupakan agenda penting dalam pembangunan ekonomi Indonesia. Beras merupakan makanan pokok utama penduduk Indonesia

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Beras merupakan bahan pangan pokok bagi sebagian besar penduduk

BAB I PENDAHULUAN. Beras merupakan bahan pangan pokok bagi sebagian besar penduduk BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Beras merupakan bahan pangan pokok bagi sebagian besar penduduk Indonesia yang memberikan energi dan zat gizi yang tinggi. Beras sebagai komoditas pangan pokok dikonsumsi

Lebih terperinci

ANALISIS PERKEMBANGAN HARGA GULA

ANALISIS PERKEMBANGAN HARGA GULA ANALISIS PERKEMBANGAN HARGA GULA I. DINAMIKA HARGA 1.1. Harga Domestik 1. Jenis gula di Indonesia dibedakan menjadi dua kelompok, yaitu Gula Kristal Putih (GKP) dan Gula Kristal Rafinasi (GKR). GKP adalah

Lebih terperinci

Upaya Peningkatan Produksi dan Produktivitas Gula dalam Perspektif Perusahaan Perkebunan Negara

Upaya Peningkatan Produksi dan Produktivitas Gula dalam Perspektif Perusahaan Perkebunan Negara Upaya Peningkatan Produksi dan Produktivitas Gula dalam Perspektif Perusahaan Perkebunan Negara Oleh : Adi Prasongko (Dir Utama) Disampaikan : Slamet Poerwadi (Dir Produksi) Bogor, 28 Oktober 2013 1 ROAD

Lebih terperinci

I Ketut Ardana, Hendriadi A, Suci Wulandari, Nur Khoiriyah A, Try Zulchi, Deden Indra T M, Sulis Nurhidayati

I Ketut Ardana, Hendriadi A, Suci Wulandari, Nur Khoiriyah A, Try Zulchi, Deden Indra T M, Sulis Nurhidayati BAB V ANALISIS KEBIJAKAN SEKTOR PERTANIAN MENUJU SWASEMBADA GULA I Ketut Ardana, Hendriadi A, Suci Wulandari, Nur Khoiriyah A, Try Zulchi, Deden Indra T M, Sulis Nurhidayati ABSTRAK Swasembada Gula Nasional

Lebih terperinci

CUPLIKAN KEPUTUSAN MENTERI PERINDUSTRIAN DAN PERDAGANGAN REPUBLIK INDONESIA. Nomor: 643/MPP/Kep/9/2002 TENTANG TATA NIAGA IMPOR GULA.

CUPLIKAN KEPUTUSAN MENTERI PERINDUSTRIAN DAN PERDAGANGAN REPUBLIK INDONESIA. Nomor: 643/MPP/Kep/9/2002 TENTANG TATA NIAGA IMPOR GULA. CUPLIKAN KEPUTUSAN MENTERI PERINDUSTRIAN DAN PERDAGANGAN REPUBLIK INDONESIA Nomor: 643/MPP/Kep/9/2002 TENTANG TATA NIAGA IMPOR GULA Pasal 1 Dalam Keputusan ini yang dimaksud dengan: 1. Gula Kristal Mentah/Gula

Lebih terperinci

LAPORAN AKHIR KAJIAN KEBIJAKAN DAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN INDUSTRI GULA UNTUK MENDUKUNG SWASEMBADA GULA

LAPORAN AKHIR KAJIAN KEBIJAKAN DAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN INDUSTRI GULA UNTUK MENDUKUNG SWASEMBADA GULA LAPORAN AKHIR KAJIAN KEBIJAKAN DAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN INDUSTRI GULA UNTUK MENDUKUNG SWASEMBADA GULA Oleh: Supriyati Sri Hery Susilowati Ashari Mohamad Maulana Yonas Hangga Saputra Sri Hastuti

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Salah satu sasaran pembangunan nasional adalah pertumbuhan ekonomi dengan

I. PENDAHULUAN. Salah satu sasaran pembangunan nasional adalah pertumbuhan ekonomi dengan I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Salah satu sasaran pembangunan nasional adalah pertumbuhan ekonomi dengan menitikberatkan pada sektor pertanian. Sektor pertanian merupakan salah satu sektor yang mempunyai

Lebih terperinci

KEPUTUSAN MENTERI PERINDUSTRIAN DAN PERDAGANGAN. NOMOR : 643/MPP/Kep/9/2002 TENTANG TATA NIAGA IMPOR GULA

KEPUTUSAN MENTERI PERINDUSTRIAN DAN PERDAGANGAN. NOMOR : 643/MPP/Kep/9/2002 TENTANG TATA NIAGA IMPOR GULA KEPUTUSAN MENTERI PERINDUSTRIAN DAN PERDAGANGAN NOMOR : 643/MPP/Kep/9/2002 TENTANG TATA NIAGA IMPOR GULA MENTERI PERINDUSTRIAN DAN PERDAGANGAN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa peningkatan pasokan

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN. Latar Belakang

1 PENDAHULUAN. Latar Belakang 1 PENDAHULUAN Latar Belakang Pabrik gula merupakan salah satu industri yang strategis di Indonesia karena pabrik gula bermanfaat untuk memenuhi kebutuhan pangan pokok, kebutuhan industri lainnya, dan penyedia

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. 1. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN. 1. Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1. Latar Belakang Indonesia memiliki potensi menjadi produsen gula dunia karena dukungan agroekosistem, luas lahan, dan tenaga kerja. Disamping itu prospek pasar gula di Indonesia cukup

Lebih terperinci

4. ANALISIS SISTEM 4.1 Kondisi Situasional

4. ANALISIS SISTEM 4.1 Kondisi Situasional 83 4. ANALISIS SISTEM 4.1 Kondisi Situasional Produktivitas gula yang cenderung terus mengalami penurunan disebabkan efisiensi industri gula secara keseluruhan, mulai dari pertanaman tebu hingga pabrik

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. Tabel 1. Perkembangan PDB Hortikultura Tahun Komoditas

PENDAHULUAN. Tabel 1. Perkembangan PDB Hortikultura Tahun Komoditas I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Subsektor hortikultura berperan penting dalam mendukung perekonomian nasional. Hal ini dapat dilihat melalui nilai Produk Domestik Bruto (PDB). Produk Domestik Bruto (PDB)

Lebih terperinci

ANALISIS KEBIJAKAN PENENTUAN HARGA PEMBELIAN GABAH 1)

ANALISIS KEBIJAKAN PENENTUAN HARGA PEMBELIAN GABAH 1) 74 Pengembangan Inovasi Pertanian 1(1), 2008: 74-81 Erizal Jamal et al. ANALISIS KEBIJAKAN PENENTUAN HARGA PEMBELIAN GABAH 1) Erizal Jamal, Hendiarto, dan Ening Ariningsih Pusat Analisis Sosial Ekonomi

Lebih terperinci

II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Harga Gula Domestik

II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Harga Gula Domestik II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Harga Gula Domestik Menurut Susila (2005), Indonesia merupakan negara kecil dalam perdagangan dunia dengan pangsa impor sebesar 3,57 persen dari impor gula dunia sehingga Indonesia

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN. Latar Belakang

1 PENDAHULUAN. Latar Belakang 1 PENDAHULUAN Latar Belakang Pembangunan pertanian memiliki peran strategis dalam menunjang perekonomian Indonesia. Sektor pertanian berperan sebagai penyedia bahan pangan, pakan ternak, sumber bahan baku

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Jagung merupakan komoditi yang penting bagi perekonomian Indonesia,

BAB I PENDAHULUAN. Jagung merupakan komoditi yang penting bagi perekonomian Indonesia, BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Jagung merupakan komoditi yang penting bagi perekonomian Indonesia, kebutuhan jagung di Indonesia mengalami peningkatan, yaitu lebih dari 10 juta ton pipilan kering

Lebih terperinci

ANALISIS STRATEGI BERSAING GULA RAFINASI (Studi pada PT. Jawamanis Rafinasi, Cilegon, Banten) OLEH SITI FAJAR ISNAWATI H

ANALISIS STRATEGI BERSAING GULA RAFINASI (Studi pada PT. Jawamanis Rafinasi, Cilegon, Banten) OLEH SITI FAJAR ISNAWATI H ANALISIS STRATEGI BERSAING GULA RAFINASI (Studi pada PT. Jawamanis Rafinasi, Cilegon, Banten) OLEH SITI FAJAR ISNAWATI H34066114 PROGRAM SARJANA PENYELENGGARAAN KHUSUS AGRIBISNIS DEPARTEMEN AGRIBISNIS

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pertanian merupakan salah satu sektor utama di negara ini. Sektor tersebut

BAB I PENDAHULUAN. Pertanian merupakan salah satu sektor utama di negara ini. Sektor tersebut 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Pertanian merupakan salah satu sektor utama di negara ini. Sektor tersebut memiliki peranan yang cukup penting bila dihubungkan dengan masalah penyerapan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. sektor pertanian merupakan sektor yang mendasari kehidupan setiap

BAB I PENDAHULUAN. sektor pertanian merupakan sektor yang mendasari kehidupan setiap 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Sektor pertanian masih memegang peranan penting bagi perekonomian nasional. Hal tersebut dikarenakan beberapa alasan, pertama, sektor pertanian merupakan

Lebih terperinci

ANALISIS DESKRIPTIF PENETAPAN HARGA PADA KOMODITAS BERAS DI INDONESIA

ANALISIS DESKRIPTIF PENETAPAN HARGA PADA KOMODITAS BERAS DI INDONESIA BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penduduk Indonesia yang setiap tahun bertambah sehingga permintaan beras mengalami peningkatan juga dan mengakibatkan konsumsi beras seringkali melebihi produksi. Saat

Lebih terperinci

V. GAMBARAN UMUM KERAGAAN BAWANG MERAH Perkembangan Produksi Bawang Merah di Indonesia

V. GAMBARAN UMUM KERAGAAN BAWANG MERAH Perkembangan Produksi Bawang Merah di Indonesia 58 V. GAMBARAN UMUM KERAGAAN BAWANG MERAH 5.1. Perkembangan Produksi Bawang Merah di Indonesia Bawang merah sebagai sayuran dataran rendah telah banyak diusahakan hampir di sebagian besar wilayah Indonesia.

Lebih terperinci

PENDAPAT KOMISI PENGAWAS PERSAINGAN USAHA NOMOR 15/KPPU/PDPT/VII/2015 TENTANG

PENDAPAT KOMISI PENGAWAS PERSAINGAN USAHA NOMOR 15/KPPU/PDPT/VII/2015 TENTANG PENDAPAT KOMISI PENGAWAS PERSAINGAN USAHA NOMOR 15/KPPU/PDPT/VII/2015 TENTANG PEMBERITAHUAN PENGAMBILALIHAN (AKUISISI) SAHAM PERUSAHAAN ALVEAN SUGAR S.L OLEH COPERSUCAR S.A LATAR BELAKANG 1. Berdasarkan

Lebih terperinci

2017, No Peraturan Pemerintah Nomor 14 Tahun 2015 tentang Rencana Induk Pembangunan Industri Nasional Tahun (Lembaran Negara Repub

2017, No Peraturan Pemerintah Nomor 14 Tahun 2015 tentang Rencana Induk Pembangunan Industri Nasional Tahun (Lembaran Negara Repub BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.460, 2017 KEMENPERIN. Pembangunan Industri Gula. Fasilitas Memperoleh Bahan Baku PERATURAN MENTERI PERINDUSTRIAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 10/M-IND/PER/3/2017 TENTANG

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. sangat subur dan memiliki iklim yang baik untuk perkebunan tebu. Kepala Pusat

BAB I PENDAHULUAN. sangat subur dan memiliki iklim yang baik untuk perkebunan tebu. Kepala Pusat BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian Negara Indonesia merupakan negara yang mempunyai kekayaan sumber daya alam yang melimpah. Hal ini terbukti dengan keadaan tanah Indonesia yang sangat subur

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. 1. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN. 1. Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1. Latar Belakang Pertanian merupakan kegiatan pengelolaan sumber daya untuk menghasilkan bahan pangan, bahan baku untuk industri, obat ataupun menghasilkan sumber energi. Pertanian merupakan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Pulau Jawa merupakan wilayah pusat pertumbuhan ekonomi dan industri.

I. PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Pulau Jawa merupakan wilayah pusat pertumbuhan ekonomi dan industri. I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pulau Jawa merupakan wilayah pusat pertumbuhan ekonomi dan industri. Seiring dengan semakin meningkatnya aktivitas perekonomian di suatu wilayah akan menyebabkan semakin

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Sektor pertanian di Indonesia masih memegang peranan penting dari keseluruhan

I. PENDAHULUAN. Sektor pertanian di Indonesia masih memegang peranan penting dari keseluruhan I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang dan Masalah Sektor pertanian di Indonesia masih memegang peranan penting dari keseluruhan perekonomian nasional. Hal ini dapat ditunjukkan dari banyaknya penduduk dan tenaga

Lebih terperinci

Analisis Faktor Produktivitas Gula Nasional dan Pengaruhnya Terhadap Harga Gula Domestik dan Permintaan Gula Impor. Lilis Ernawati

Analisis Faktor Produktivitas Gula Nasional dan Pengaruhnya Terhadap Harga Gula Domestik dan Permintaan Gula Impor. Lilis Ernawati Analisis Faktor Produktivitas Gula Nasional dan Pengaruhnya Terhadap Harga Gula Domestik dan Permintaan Gula Impor Lilis Ernawati 5209100085 Dosen Pembimbing : Erma Suryani S.T., M.T., Ph.D. Latar Belakang

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. unik yang berbeda dengan komoditi strategis lain seperti beras. Di satu sisi gula

PENDAHULUAN. unik yang berbeda dengan komoditi strategis lain seperti beras. Di satu sisi gula PENDAHULUAN Latar Belakang Gula pasir merupakan suatu komoditi strategis yang memiliki kedudukan unik yang berbeda dengan komoditi strategis lain seperti beras. Di satu sisi gula pasir merupakan salah

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. pertanian berperan besar dalam menjaga laju pertumbuhan ekonomi nasional. Di

I. PENDAHULUAN. pertanian berperan besar dalam menjaga laju pertumbuhan ekonomi nasional. Di I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sektor pertanian merupakan salah satu sektor yang tangguh dalam perekonomian dan memiliki peran sebagai penyangga pembangunan nasional. Hal ini terbukti pada saat Indonesia

Lebih terperinci

2015, No Perdagangan Antarpulau Gula Kristal Rafinasi; Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen (Lembaran

2015, No Perdagangan Antarpulau Gula Kristal Rafinasi; Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen (Lembaran No.1520, 2015 BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA KEMENDAG. Gula Kristal Rafinasi. Perdagangan. Antarpulau. PERATURAN MENTERI PERDAGANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 74/M-DAG/PER/9/2015 TENTANG PERDAGANGAN ANTARPULAU

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. yang putih dan terasa manis. Dalam bahasa Inggris, tebu disebut sugar cane. Tebu

BAB I PENDAHULUAN. yang putih dan terasa manis. Dalam bahasa Inggris, tebu disebut sugar cane. Tebu BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Tanaman perkebunan merupakan salah satu tanaman yang prospektif untuk dikembangkan di Indonesia. Letak geografis dengan iklim tropis dan memiliki luas wilayah yang

Lebih terperinci

LAPORAN AKHIR REVITALISASI SISTEM DAN USAHA AGRIBISNIS GULA

LAPORAN AKHIR REVITALISASI SISTEM DAN USAHA AGRIBISNIS GULA LAPORAN AKHIR REVITALISASI SISTEM DAN USAHA AGRIBISNIS GULA Oleh: A. Husni Malian Erna Maria Lokollo Mewa Ariani Kurnia Suci Indraningsih Andi Askin Amar K. Zakaria Juni Hestina PUSAT PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN

Lebih terperinci

PERATURAN GUBERNUR JAWA TENGAH NOMOR 51 TAHUN 2014 TENTANG PENGAWASAN PEREDARAN GULA KRISTAL RAFINASI DI JAWA TENGAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN GUBERNUR JAWA TENGAH NOMOR 51 TAHUN 2014 TENTANG PENGAWASAN PEREDARAN GULA KRISTAL RAFINASI DI JAWA TENGAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PERATURAN GUBERNUR JAWA TENGAH NOMOR 51 TAHUN 2014 TENTANG PENGAWASAN PEREDARAN GULA KRISTAL RAFINASI DI JAWA TENGAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR JAWA TENGAH, Menimbang : a. bahwa dalam rangka

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Ubi kayu mempunyai peran cukup besar dalam memenuhi kebutuhan pangan

I. PENDAHULUAN. Ubi kayu mempunyai peran cukup besar dalam memenuhi kebutuhan pangan 1 I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang dan Masalah Ubi kayu mempunyai peran cukup besar dalam memenuhi kebutuhan pangan maupun mengatasi ketimpangan ekonomi dan pengembangan industri. Pada kondisi rawan pangan,

Lebih terperinci

ANALISIS FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PRODUKSI DAN IMPOR KEDELAI DI INDONESIA. Oleh : RIKA PURNAMASARI A

ANALISIS FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PRODUKSI DAN IMPOR KEDELAI DI INDONESIA. Oleh : RIKA PURNAMASARI A ANALISIS FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PRODUKSI DAN IMPOR KEDELAI DI INDONESIA Oleh : RIKA PURNAMASARI A14302053 PROGRAM STUDI EKONOMI PERTANIAN DAN SUMBERDAYA FAKULTAS PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Dilihat dari Sumber Daya Alam (SDA) dan iklimnya, Indonesia memiliki

BAB I PENDAHULUAN. Dilihat dari Sumber Daya Alam (SDA) dan iklimnya, Indonesia memiliki BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Dilihat dari Sumber Daya Alam (SDA) dan iklimnya, Indonesia memiliki keunggulan dalam bidang pertanian dan perkebunan. Salah satu keunggulan sebagai produsen

Lebih terperinci

BAB IV GAMBARAN UMUM PEREKONOMIAN INDONESIA. negara selain faktor-faktor lainnya seperti PDB per kapita, pertumbuhan ekonomi,

BAB IV GAMBARAN UMUM PEREKONOMIAN INDONESIA. negara selain faktor-faktor lainnya seperti PDB per kapita, pertumbuhan ekonomi, BAB IV GAMBARAN UMUM PEREKONOMIAN INDONESIA 4.1 Perkembangan Laju Inflasi di Indonesia Tingkat inflasi merupakan salah satu indikator fundamental ekonomi suatu negara selain faktor-faktor lainnya seperti

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Gula merupakan salah satu komoditas strategis dalam perekonomian

BAB I PENDAHULUAN. Gula merupakan salah satu komoditas strategis dalam perekonomian BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Gula merupakan salah satu komoditas strategis dalam perekonomian Indonesia dan salah satu sumber pendapatan bagi para petani. Gula juga merupakan salah satu kebutuhan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Pembangunan nasional merupakan rangkaian upaya pembangunan yang

I. PENDAHULUAN. Pembangunan nasional merupakan rangkaian upaya pembangunan yang 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang dan Masalah Pembangunan nasional merupakan rangkaian upaya pembangunan yang berkesinambungan yang meliputi seluruh kehidupan masyarakat, bangsa, dan negara untuk melaksanakan

Lebih terperinci

V GAMBARAN UMUM PERKEMBANGAN DAN IMPOR KEDELAI INDONESIA

V GAMBARAN UMUM PERKEMBANGAN DAN IMPOR KEDELAI INDONESIA V GAMBARAN UMUM PERKEMBANGAN DAN IMPOR KEDELAI INDONESIA 5.1. Sejarah Perkembangan Kedelai Indonesia Sejarah masuknya kacang kedelai ke Indonesia tidak diketahui dengan pasti namun kemungkinan besar dibawa

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Tahun Produksi Impor

I. PENDAHULUAN. Tahun Produksi Impor I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Gula merupakan komoditas strategis dalam perekonomian Indonesia karena tergolong dalam kelompok bahan pokok untuk konsumsi seharihari. Pada tahun 2010, total konsumsi

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA, LANDASAN TEORI, KERANGKA PEMIKIRAN, DAN HIPOTESIS PENELITIAN

TINJAUAN PUSTAKA, LANDASAN TEORI, KERANGKA PEMIKIRAN, DAN HIPOTESIS PENELITIAN TINJAUAN PUSTAKA, LANDASAN TEORI, KERANGKA PEMIKIRAN, DAN HIPOTESIS PENELITIAN Tinjauan Pustaka Gula terdiri dari beberapa jenis dilihat dari keputihannya melalui standar ICUMSA (International Commision

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. tebu, tembakau, karet, kelapa sawit, perkebunan buah-buahan dan sebagainya. merupakan sumber bahan baku untuk pembuatan gula.

BAB I PENDAHULUAN. tebu, tembakau, karet, kelapa sawit, perkebunan buah-buahan dan sebagainya. merupakan sumber bahan baku untuk pembuatan gula. 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian Pertumbuhan perekonomian Indonesia dibangun dari berbagai sektor, salah satu sektor tersebut adalah sektor perkebunan. Berbagai jenis perkebunan yang dapat

Lebih terperinci

III. KERANGKA PEMIKIRAN

III. KERANGKA PEMIKIRAN III. KERANGKA PEMIKIRAN 3.1. Kerangka Pemikiran Teoritis 3.1.1. Analisis Berlian Porter Dayasaing diidentikkan dengan produktivitas atau tingkat output yang dihasilkan untuk setiap input yang digunakan.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pangan merupakan komoditas yang tidak bisa dilepaskan dari kebijakan ekonomi suatu negara, karena pangan merupakan kebutuhan yang sangat vital bagi kehidupan manusia.

Lebih terperinci

PROGRAM PENINGKATAN PRODUKSI DAN PRODUKTIVITAS GULA

PROGRAM PENINGKATAN PRODUKSI DAN PRODUKTIVITAS GULA PROGRAM PENINGKATAN PRODUKSI DAN PRODUKTIVITAS GULA Disampaikan oleh: Direktur Jenderal Perkebunan pada Acara Semiloka Gula Nasional 2013 Peningkatan Produksi dan Produktivitas Gula dalam Mewujudkan Ketahanan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Indonesia memiliki potensi alamiah yang berperan positif dalam

I. PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Indonesia memiliki potensi alamiah yang berperan positif dalam 1 I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia memiliki potensi alamiah yang berperan positif dalam pengembangan sektor pertanian sehingga sektor pertanian memiliki fungsi strategis dalam penyediaan pangan

Lebih terperinci

POLITIK KETAHANAN PANGAN MENUJU KEMANDIRIAN PERTANIAN

POLITIK KETAHANAN PANGAN MENUJU KEMANDIRIAN PERTANIAN POLITIK KETAHANAN PANGAN MENUJU KEMANDIRIAN PERTANIAN Emlan Fauzi Pangan merupakan kebutuhan yang paling mendasar dari suatu bangsa. Mengingat jumlah penduduk Indonesia yang sudah mencapai sekitar 220

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN Latar Belakang

I. PENDAHULUAN Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1. Latar Belakang Saat ini perekonomian domestik tidak bisa berdiri sendiri melainkan dipengaruhi juga oleh kondisi ekonomi global. Pengalaman telah menunjukkan bahwa pada triwulan III tahun

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Gula pasir merupakan kebutuhan pokok strategis yang memegang peran

BAB I PENDAHULUAN. Gula pasir merupakan kebutuhan pokok strategis yang memegang peran BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Gula pasir merupakan kebutuhan pokok strategis yang memegang peran penting di sektor pertanian, khususnya sub sektor perkebunan dalam perekonomian nasional, yaitu sebagai

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. perusahaan untuk menghasilkan suatu barang. Pentingnya masalah

BAB I PENDAHULUAN. perusahaan untuk menghasilkan suatu barang. Pentingnya masalah BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Produktivitas merupakan salah satu faktor penting yang digunakan dalam pengukuran kinerja suatu perusahaan. Produktivitas memberikan gambaran pada perusahaan dalam

Lebih terperinci

DUKUNGAN SUB SEKTOR PERKEBUNAN TERHADAP PELAKSANAAN KEBIJAKAN

DUKUNGAN SUB SEKTOR PERKEBUNAN TERHADAP PELAKSANAAN KEBIJAKAN DUKUNGAN SUB SEKTOR PERKEBUNAN TERHADAP PELAKSANAAN KEBIJAKAN INDUSTRI NASIONAL Direktur Jenderal Perkebunan disampaikan pada Rapat Kerja Revitalisasi Industri yang Didukung oleh Reformasi Birokrasi 18

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pangan merupakan komoditas penting dan strategis bagi bangsa Indonesia karena pangan merupakan salah satu kebutuhan pokok manusia dimana dalam pemenuhannya menjadi tanggung

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Sejarah Singkat ASEAN-China Free Trade Area dan Penurunan Tingkat Tarif di Indonesia

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Sejarah Singkat ASEAN-China Free Trade Area dan Penurunan Tingkat Tarif di Indonesia 13 II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Sejarah Singkat ASEAN-China Free Trade Area dan Penurunan Tingkat Tarif di Indonesia ACFTA (ASEAN-China Free Trade Area) adalah kesepakatan dari negara-negara ASEAN untuk membentuk

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

I. PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pangan merupakan kebutuhan yang paling mendasar bagi sumberdaya manusia suatu bangsa. Untuk mencapai ketahanan pangan diperlukan ketersediaan pangan dalam jumlah dan kualitas

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Penelitian. Indonesia merupakan negara agraris dimana pertanian memegang peranan

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Penelitian. Indonesia merupakan negara agraris dimana pertanian memegang peranan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian Indonesia merupakan negara agraris dimana pertanian memegang peranan penting pada perekonomian nasional. Untuk mengimbangi semakin pesatnya laju pertumbuhan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia dikenal sebagai negara agraris karena memiliki kekayaan alam yang berlimpah, terutama di bidang sumber daya pertanian seperti lahan, varietas serta iklim yang

Lebih terperinci

STUDI KASUS PERMASALAHAN KOMODITAS KEDELAI DALAM PEREKONOMIAN INDONESIA

STUDI KASUS PERMASALAHAN KOMODITAS KEDELAI DALAM PEREKONOMIAN INDONESIA STUDI KASUS PERMASALAHAN KOMODITAS KEDELAI DALAM PEREKONOMIAN INDONESIA BAB I PENDAHULUAN Indonesia dikenal sebagai negara agraris karena berkah kekayaan alam yang berlimpah, terutama di bidang sumber

Lebih terperinci

PERGERAKAN HARGA CPO DAN MINYAK GORENG

PERGERAKAN HARGA CPO DAN MINYAK GORENG 67 VI. PERGERAKAN HARGA CPO DAN MINYAK GORENG Harga komoditas pertanian pada umumnya sangat mudah berubah karena perubahan penawaran dan permintaan dari waktu ke waktu. Demikian pula yang terjadi pada

Lebih terperinci

Menuju Kembali Masa Kejayaan Industri Gula Indonesia Oleh : Azmil Chusnaini

Menuju Kembali Masa Kejayaan Industri Gula Indonesia Oleh : Azmil Chusnaini Tema: Menjamin Masa Depan Swasembada Pangan dan Energi Melalui Revitalisasi Industri Gula Menuju Kembali Masa Kejayaan Industri Gula Indonesia Oleh : Azmil Chusnaini Indonesia pernah mengalami era kejayaan

Lebih terperinci

KINERJA MAKRO PEMBANGUNAN PERTANIAN 2005

KINERJA MAKRO PEMBANGUNAN PERTANIAN 2005 KINERJA MAKRO PEMBANGUNAN PERTANIAN 2005 A. Produk Domestik Bruto Pertanian Dua fenomena besar, yaitu krisis ekonomi dan El-nino, yang melanda Indonesia telah menimbulkan goncangan pada hampir semua sektor

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia menjadi komoditas pangan yang dapat mempengaruhi kebijakan politik

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia menjadi komoditas pangan yang dapat mempengaruhi kebijakan politik BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Beras merupakan makanan pokok di Indonesia. Beras bagi masyarakat Indonesia menjadi komoditas pangan yang dapat mempengaruhi kebijakan politik di negara ini. Gejolak

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Sektor pertanian memegang peranan penting dalam pembangunan perekonomian di Indonesia. Hal ini dikarenakan sebagian besar masyarakat Indonesia menggantungkan hidupnya

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. keanekaragaman hayati yang sangat besar (mega biodiversity) berupa sumber

I. PENDAHULUAN. keanekaragaman hayati yang sangat besar (mega biodiversity) berupa sumber 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang dan Masalah Republik Indonesia merupakan negara kepulauan yang memiliki kekayaan keanekaragaman hayati yang sangat besar (mega biodiversity) berupa sumber daya hewan

Lebih terperinci

Menteri Perindustrian Dan Perdagangan Republik Indonesia. KEPUTUSAN MENTERI PERINDUSTRIAN DAN PERDAGANGAN NOMOR : 364/MPP/Kep/8/1999 TENTANG

Menteri Perindustrian Dan Perdagangan Republik Indonesia. KEPUTUSAN MENTERI PERINDUSTRIAN DAN PERDAGANGAN NOMOR : 364/MPP/Kep/8/1999 TENTANG Menteri Perindustrian Dan Perdagangan Republik Indonesia KEPUTUSAN MENTERI PERINDUSTRIAN DAN PERDAGANGAN NOMOR : 364/MPP/Kep/8/1999 TENTANG TATA NIAGA IMPOR GULA MENTERI PERINDUSTRIAN DAN PERDAGANGAN REPUBLIK

Lebih terperinci

I PENDAHULUAN. [3 Desember 2009] 1 Konsumsi Tempe dan Tahu akan Membuat Massa Lebih Sehat dan Kuat.

I PENDAHULUAN. [3 Desember 2009] 1 Konsumsi Tempe dan Tahu akan Membuat Massa Lebih Sehat dan Kuat. I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Kedelai merupakan salah satu komoditas pangan strategis di Indonesia. Arti strategis tersebut salah satunya terlihat dari banyaknya kedelai yang diolah menjadi berbagai

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Produksi adalah menciptakan, menghasilkan, dan membuat. Kegiatan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Produksi adalah menciptakan, menghasilkan, dan membuat. Kegiatan BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Teori Produksi Produksi adalah menciptakan, menghasilkan, dan membuat. Kegiatan produksi tidak akan dapat dilakukan kalau tidak ada bahan yang memungkinkan dilakukannya proses

Lebih terperinci

BAB 3. GAMBARAN UMUM IMPOR GULA INDONESIA DAN KEBIJAKAN PENGENAAN BEA MASUK ATAS GULA (PMK No.150/PMK.011/2009)

BAB 3. GAMBARAN UMUM IMPOR GULA INDONESIA DAN KEBIJAKAN PENGENAAN BEA MASUK ATAS GULA (PMK No.150/PMK.011/2009) BAB 3 GAMBARAN UMUM IMPOR GULA INDONESIA DAN KEBIJAKAN PENGENAAN BEA MASUK ATAS GULA (PMK No.150/PMK.011/2009) 3.1. Impor 3.1.1. Dasar Kebijakan 1. Undang-undang Nomor 7 Tahun 1994 tentang pengesahan persetujuan

Lebih terperinci