BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang"

Transkripsi

1 BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Kebutuhan tanah setiap tahunnya semakin meningkat seiring dengan pertumbuhan penduduk yang cukup tinggi. Pertumbuhan penduduk disebabkan oleh beberapa faktor seperti arus urbanisasi dan pertumbuhan secara alami. Kebutuhan akan lingkungan, tempat tinggal yang baik dan kegiatan perekonomian masyarakat, memerlukan ruang dalam pelaksanaannya, sementara luas tanah relatif tetap. Hal ini membuat manusia dituntut untuk melakukan pengelolaan penggunaan lahan secara efektif dan efisien untuk mendapatkan hasil yang optimum. Pengelolaan penggunaan lahan harus berawal dari perencanaan yang matang dengan mempertimbangkan segala parameter yang terkait dan saling mempengaruhi satu sama lainnya (Syahid, 2003). Daerah perkotaan identik dengan jumlah penduduk yang tinggi dan penggunaan lahan didominasi oleh lahan terbangun. Tingginya jumlah penduduk ini mengakibatkan kebutuhan penduduk akan ruang terutama ruang yang semakin tinggi terutama untuk lahan terbangun. Hal ini pada akhirnya akan menjadi pemicu terjadinya konversi lahan dari lahan non terbangun menjadi lahan terbangun (Anonim, 2012). Tujuan dari penataan ruang dimaksudkan untuk mencapai kondisi aman, nyaman, produktif dan berkelanjutan. Untuk dapat menjaga konsistensi dari pemanfaatan ruang terhadap rencana tata ruang wilayah, setiap pemerintah kota memerlukan upaya pemantauan terhadap pemanfaatan ruang yang berjalan serta mengevaluasi kesesuaian dari pemanfaatan ruang terhadap rencana tata ruang wilayahnya (Anonim, 2007). Kondisi tata ruang Kota Yogyakarta yang telah ada sekarang merupakan bagian dari perencanaan dari pihak Bappeda Kota Yogyakarta. Sehingga untuk membuktikan apakah kondisi tersebut sesuai atau mengalami perubahan maka dilakukan evaluasi. Adapun evaluasi yang dilakukan menggunakan satelit 1

2 2 WorldView-2 tahun 2013 sebab merupakan citra resolusi tinggi yang tersedia saat ini untuk studi kasus Kota Yogyakarta. Penelitian ini dilakukan sebagai upaya mengevaluasi penggunaan lahan di Kota Yogyakarta. Hasilnya, dapat digunakan sebagai referensi serta acuan bagi institusi-institusi terkait untuk pengambilan keputusan dalam rencana pembangunan wilayah di Kota Yogyakarta selanjutnya. I.2. Tujuan Penelitian Tujuan dari penelitian ini adalah mengevaluasi RTRW untuk wilayah Kota Yogyakarta dengan memanfaatkan citra WorldView-2 tahun I.3. Manfaat Penelitian Ada beberapa manfaat dari penelitian ini, manfaat-manfaat tersebut antara lain : 1. Memberikan informasi berupa evaluasi dari pelaksanaan RTRW Kota Yogyakarta dan sebagai referensi serta acuan bagi institusi-institusi terkait untuk pengambilan keputusan dalam rencana pembangunan wilayah Kota Yogyakarta selanjutnya. 2. Untuk mengetahui tingkat keberhasilan pada pelaksanaan periode yang direncanakan. I.4. Batasan Masalah Penelitian yang akan dilakukan tidak seutuhnya mencakup seluruh Kota Yogyakarta. Wilayah yang akan dievaluasi hanya meliputi daerah yang tercakup dalam radius citra WorldView-2 hasil rekaman tahun Penelitian ini lebih ditekankan pada aspek evaluasi RTRW dari citra WorldView-2 yang terdiri dari 12 kelas. I.5. Tinjauan Pustaka Evaluasi suatu tata ruang dipengaruhi oleh banyak faktor. Salah satu faktor yang mempengaruhi adalah penggunaan tanah yang tidak terkendali. Untuk

3 3 membuktikan evaluasi tersebut, maka Syahid (2003) melakukan penelitian evaluasi RUTRK (Rencana Umum Tata Ruang Kota) menggunakan citra Ikonos Level Geo untuk sebagian Kota Tasikmalaya. Metode yang digunakan adalah survei lapangan yang kemudian hasilnya dicocokkan dengan hasil interpretasi. Hasil yang diperoleh dari penelitian ini dalam bentuk peta yang memperlihatkan luas penggunaan lahan di Kota Tasikmalaya yang telah sejalan dengan RUTRK. Selain faktor penggunaan tanah juga dipengaruhi oleh faktor pertumbuhan penduduk. Sabngiarso (2008) pernah melakukan penelitian rencana detail tata ruang di Kota Semarang dengan memanfaatkan citra Quickbird. Hasil dari penelitian ini menunjukkan terjadinya ketimpangan dalam distribusi penduduk, pertumbuhan penduduk dan perkembangan areal terbangun di wilayah penelitian. I.6. Landasan Teori I.6.1. Penginderaan Jauh Penginderaan jauh menurut Lillesand dan Kiefer (2004) merupakan ilmu dan seni untuk memperoleh informasi tentang obyek, daerah, atau gejala dengan jalan menganalisis menggunakan kaidah ilmiah data yang diperoleh dengan menggunakan alat tanpa kontak langsung terhadap obyek, daerah, atau gejala yang dikaji. Sedangkan menurut Lindgran dalam Sutanto (1994) mengemukakan bahwa penginderaan jauh adalah teknik yang dikembangkan untuk perolehan data dan analisis tentang informasi kebumian. Sistem penginderaan jauh terdiri atas sumber energi, sensor, obyek yang diamati, serta media perambatan energinya. Konsep penginderaan jauh didasarkan pada pengukuran energi gelombang elektromagnetik yang dihasilkan oleh suatu obyek yang bisa ditangkap oleh suatu perangkat yang disebut sensor. Sensor ditempatkan pada suatu platform bergerak yang biasanya berupa pesawat ataupun satelit. Karakteristik obyek dapat dibedakan berdasarkan perbedaan pantulan energi elektromagnetik yang diterima oleh sensor. Setiap obyek yang berbeda jenisnya akan memberikan respon yang berbeda pula terhadap gelombang elektromagnetik yang mengenainya, karena setiap obyek memiliki keunikan sifat

4 4 refleksi dan emisinya. Salah satu output dari sistem penginderaan jauh adalah citra digital (Widiastuti, 2013). Harintaka (2007) menjelaskan bahwa citra adalah penyajian fungsi intensitas cahaya f (x,y) dalam ruang dua dimensi, f (x,y) menyatakan nilai intensitas cahaya, x menunjukan posisi baris sedangkan y menunjukkan posisi kolomnya. Citra berupa matrik-matrik dengan elemen terkecilnya adalah piksel yang menunjukkan nilai spektral suatu obyek. Gambar I.1 menggambarkan tentang konsep penginderaan jauh. Gambar I.1 Konsep penginderaan jauh (National Space Development Agency of Japan, 1996 dalam (Widiastuti, 2013)) Platform penginderaan jauh dirancang untuk beberapa tujuan khusus. Tipe sensor, platform, penerima data, pengirim serta pemrosesan dipilih sesuai dengan tujuan tersebut. Perkembangan perolehan data penginderaan jauh melalui satelit menawarkan beberapa keunggulan dibandingkan melalui pemotretan udara, antara lain dari segi harga, periode perekaman daerah yang sama, serta kombinasi saluran spektral yang lebih sesuai untuk aplikasi tertentu (Danoedoro, 1996). Saat ini telah beredar banyak jenis satelit yang diluncurkan oleh banyak negara. Mulai 8 dari negara maju seperti Amerika Serikat, Kanada, Perancis, Jepang, Rusia, dan negara-negara besar lainnya. Berbagai satelit yang diluncurkan menawarkan resolusi spasial yang bervariasi, dari resolusi rendah hingga resolusi

5 5 tinggi. Resolusi spasial merupakan kemampuan sensor mendeteksi ukuran terkecil obyek di bumi untuk membedakan diantara dua obyek yang berdekatan pada citra (Sabins, 1997 dalam Nosicca, 2015). Worldview-2 merupakan salah satu jenis satelit beresolusi tinggi yang menyediakan 8 sensor spektral dari gelombang tampak hingga inframerah jarak dekat. Satelit ini diluncurkan menggunakan roket Delta 7920 pada tanggal 8 Oktober 2009 di Vandenberg Air Force Base, California. Setiap sensor yang dibawa pada satelit ini dipusatkan pada jarak partikular dari spektrum gelombang elektromagnetik yang sensitif menuju partikular objek yang ada di permukaan bumi (Anonim, 2010). Kenampakan satelit WorldView-2 terdapat pada gambar I.2 dan karakteristiknya dapat dilihat pada tabel I.1. Gambar I.2 Satelit WorldView-2 (Anonim, 2010) Tabel I.1 Tabel karakteristik WorldView-2 (Anonim, 2010) No. Karakteristik Spesifikasi 1 Peluncuran 2 Wahana Roket Delta Orbit 8 Oktober, 2009 Vandenberg Air Force Base, California Ketinggian: 770 km Tipe: Sun synchronous, 10:30 am descending node

6 6 Tabel I.1 (lanjutan) No. Karakteristik Spesifikasi 4 Waktu orbit mengelilingi bumi 100 menit 5 Band citra Pankromatik : µm Multispektral, terdiri atas : Coastal : µm Merah : µm Biru : µm Red Edge : µm Hijau : µm IR1-dekat : µm Kuning : µm IR2-dekat : µm 6 Resolusi citra 7 Dynamic range 11 bit per piksel 8 Lebar sapuan 16.4 km pada nadir 9 Max contiguous area collected in a single pass 10 Pengulangan orbit Pankromatik: 0.46 m pada nadir, 0.52 m pada 20 o offnadir Multispektral: 1.85 m pada nadir, 2.07 m pada 20 o offnadir 65.6 km x 110 km mono pada nadir 48 km x 110 km stereo pada nadir 1.1 hari pada 1 m GSD atau kurang 3.7 hari pada 20 o off-nadir atau kurang (0.52 m GSD) I.6.2. Rektifikasi Citra Rektifikasi adalah suatu proses melakukan transformasi data dari suatu sistem grid menggunakan suatu transformasi geometrik. Pekerjaan rektifikasi dengan cara pemberian koordinat pada citra berdasarkan koordinat hasil survei lapangan atau koordinat yang telah ada pada suatu peta maupun dari citra yang sudah tergeoreferensi yang mencakup area yang sama (Lillesand dan Ralph, 2002). Akibat proses transformasi koordinat akan terjadi pergeseran di dalam penentuan titik kontrol yang besarnya ditunjukkan dengan Nilai Root Mean Square Error (RMSE). Nilai RMSE ialah nilai yang menunjukkan tingkat akurasi geometrik yang dilakukan atau merupakan ukuran ketelitian dari GCP (Ground Control Point) yang diekspresikan dengan ukuran piksel. Semakin kecil nilai RMSE maka akan semakin baik pula penempatan atau identifikasi GCP pada

7 7 citra. Nilai RMSE untuk setiap titik dapat dihitung dengan persamaan matematika berikut (Jensen, 1996). RMSE = (x x orig ) 2 + y y orig ) 2...(1.1) Dalam hal ini : x,y : Koordinat titik GCP dalam sistem koordinat peta. xorig, yorig : Koordinat titik GCP dalam sistem koordinat citra. Hasil hitungan nilai RMSE dari seluruh titik kontrol yang ada, dimungkinkan untuk mengetahui titik kontrol yang memiliki kesalahan terbesar serta memperoleh jumlah total RMSE. Pada koreksi geometrik ini, RMSE yang diperoleh tidak boleh melebihi dari 0,5 piksel yang artinya rata-rata posisi hasilhasil koreksi yang menyimpang kurang dari 0,5 x ukuran piksel dalam kenyataan di lapangan (Jensen, 1996). Model transformasi yang umum digunakan untuk rektifikasi citra satelit adalah model matematika polinomial. Berikut rumusan transformasi interpolasi polinomial yang digunakan dari orde satu hingga orde tiga (Jensen, 1996). 1. Transformasi Polinomial orde satu (Affine) x = a(1)x + a(2)y + a(3) y = a(4)x + a(5)y + a(6)..(1) dimana : X, Y : Koordinat sistem tanah x,y : Koordinat pada citra a(1),....a(6) : Parameter polinomial 2. Transformasi polinomial orde dua x = a(1)x + a(2)y + a(3)xy + a(4)x 2 + a(5) Y 2 + a(6) y = a(7)x + a(8)y + a(9)xy + a(10)x 2 + a(11)y 2 + a(12)..(2) dimana : a(1).a(12) : Parameter polinomial

8 8 3. Transformasi polinomial orde tiga x=a(1)x+a(2)y+a(3)xy+a(4)x 2 +a(5)y 2 +a(6)x 2 Y+a(7)XY 2 +a(8)x 3 +a(9)y 3 a(10) y=a(11)x+a(12)y+a(13)xy+a(14)x 2 +a(15)y 2 +a(16)x 2 Y+a(17)XY 2 +a(18)x 3 +a(19)y 3 +a(20).(3) dimana : a(1)..a(20) : Parameter polinomial I.6.3. Resampling Langkah selanjutnya adalah melakukan resampling/interpolasi nilai spektral, yaitu teknik penyadapan derajat nilai kecerahan (Brightness Value/BV) piksel dari posisinya di citra yang belum terkoreksi ke geometrik ke posisinya yang baru di citra yang telah terkoreksi geometrik. Teknik interpolasi dapat dilakukan dengan beberapa algoritma, yaitu nearest neighbor, bilinier interpolation dan cubic convolution (Danoedoro, 1996). Algoritma tetangga terdekat (nearest neighbor) diterapkan hanya dengan mengambil kembali nilai dari piksel terdekat yang telah bergeser ke posisi baru, kemudian dirata-rata secara proporsional. Algoritma bilinier interpolation diterapkan dengan mempertimbangkan keempat nilai piksel yang berdekatan untuk kemudian dirata-rata secara proporsional sesuai dengan jaraknya terhadap posisi baru. Persamaannya menurut Jensen (1996) sebagai berikut : BV wt = 4 k=l 4 k=l (Z 2 k/d k) (l/d 2 k )... (4) Dalam hal ini : BVwt : nilai piksel baru hasil interpolasi Zk : nilai-nilai piksel di sekitar titik penempatan pusat piksel baru Dk 2 : kuadrat jarak dari titik yang dimaksud Sedang algoritma cubic convolution menggunakan prinsip seperti algoritma bilinier interpolation tetapi dengan mempertimbangkan 16 piksel di sekitarnya (Danoedoro, 1996).

9 9 I.6.4. Interpretasi Citra Satelit Sutanto (1992) menjelaskan bahwa hasil proses penginderaan jauh sistem satelit berbentuk citra digital pengolahannya dapat dibagi menjadi dua metode, yaitu : 1. Analisis data secara visual adalah analisis dengan cara mengenali ciri-ciri obyek yang terdapat pada citra berupa bentuk, ukuran, rona, warna, pola, bayangan, situs dan asiosiasi. 2. Analisis data secara numerik yaitu analisis data dengan cara pengenalan pola spektral. Pola spektral merupakan karakteristik spektral yang dinyatkkan dalam dua dimensi yaitu nilai digital pada tiap tipe piksel. Dalam analisis secara numerik dibutuhkan komputer yang memiliki kapasitas penyimpanan yang besar dan juga melibatkan hitungan statistik. Pengenalan obyek merupakan bagian vital dalam interpretasi citra. Tanpa dikenali identitas dan jenis obyek yang tergambar pada citra, tidak mungkin dilakukan analisis untuk memecahkan masalah yang sedang dihadapi. Prinsip pengenalan obyek pada citra berdasarkan atas penyidikan karakteristiknya atau atributnya pada citra (Nosicca, 2015). Unsur interpretasi terbagi atas empat tingkatan kerumitan yang membentuk susunan piramida berjenjang yang dapat dilihat pada gambar I.3. Gambar I.3 Susunan hirarki unsur interpretasi citra (Estes et al, 1983 dalam Sutanto, 1992)

10 10 Sutanto (1992) menyatakan bahwa terdapat unsur-unsur interpretasi yang digunakan dalam interpretasi citra secara visual, yaitu: 1. Warna (tone) Warna merupakan tingkat kegelapan atau tingkat kecerahan obyek pada citra. Rona pada foto pankromatik merupakan atribut bagi obyek yang berinteraksi dengan seluruh spektrum tampak yang sering disebut sinar putih, yaitu spektrum dengan panjang gelombang ( µm). Di dalam penginderaan jauh, spektrum demikian disebut spektrum lebar. Jadi rona merupakan tingkatan dari hitam ke putih atau sebaliknya. Sedangkan warna merupakan wujud yang tampak oleh mata dengan menggunakan spektrum sempit, lebih sempit dari spektrum tampak. 2. Bentuk (shape) Bentuk merupakan variabel kualitatif yang memberikan konfigurasi atau kerangka suatu obyek. Bentuk merupakan atribut yang jelas, sehingga banyak obyek yang dapat dikenali berdasarkan bentuknya saja. 3. Ukuran (size) Ukuran merupakan atribut obyek yang antara lain berupa jarak, luas, tinggi, lereng dan volume. 4. Tekstur (texture) Tekstur merupakan frekuensi perubahan rona pada citra atau pengulangan rona kelompok obyek yang terlalu kecil untuk dibedakan secara individual. 5. Pola atau susunan keruangan (pattern) Pola merupakan ciri yang menandai bagi banyak obyek bentukan manusia dan bagi beberapa obyek alamiah. 6. Bayangan (shadow) Bayangan bersifat menyembunyikan detail obyek yang berada di daerah gelap. Obyek atau gejala yang terletak di daerah bayangan pada umumnya tidak tampak sama sekali atau kadang-kadang tampak samar-samar. Meskipun demikian, bayangan merupakan kunci pengenalan yang penting bagi beberapa obyek yang justru lebih tampak dari bayangan.

11 11 7. Situs (site) Situs ialah lokasi suatu obyek dalam hubungannya dengan lingkungan sekitar, misalnya letak kota (fisik) terhadap wilayah kota, atau letak suatu bangunan terhadap suatu persil tanahnya. 8. Asosiasi (association) Asosiasi dapat diartikan sebagai keterkaitan antara obyek yang satu dengan obyek yang lain. Maka terlihatnya suatu obyek pada citra sering merupakan petunjuk bagi adanya obyek lain. Dengan menggunakan kedelapan unsur interpretasi tersebut, menurut Sutanto (1994) terdapat beberapa unsur penutup lahan yang mudah dikenali pada citra satelit, terutama bangunan yang berukuran besar, terpisah jelas dari bangunan di sekitarnya dan ditandai dengan adanya identitas yang jelas. Berikut penjelasan dari unsur-unsur tersebut : 1. Lapangan olahraga A. Lapangan sepak bola biasanya memiliki ciri-ciri sebagai berikut : a) Rona cerah dengan tekstur halus dan seragam (rumput) b) Ukuran kurang lebih 100 m x 80 m c) Kadang terlihat gawangnya (nampak dari bayangan) B. Lapangan tenis biasanya memiliki ciri-ciri sebagai berikut : a) Rona cerah dengan bentuk persegi panjang b) Ukuran kurang lebih 18 m x 36 m c) Dikelilingi pagar (nampak dari bayangan) C. Kolam renang biasanya memiliki ciri-ciri sebagai berikut : a) Rona gelap dengan banyak air b) Dikelilingi dengan pagar tembok (nampak dari bayangan) c) Bangunan rumah di dalam pagar tembok 2. Stasiun kereta api biasanya memiliki ciri-ciri sebagai berikut : a) Nampak jalur jalan kereta api dengan kenampakan garis sejajar b) Nampak gerbong kereta api c) Bangunan yang terpisah dengan bangunan sekitarnya 3. Pasar biasanya memiliki ciri-ciri sebagai berikut :

12 12 a) Bentuk dan ukuran atap bangunan yang seragam b) Jarak antar tiap atap relatif dan teratur c) Pengelompokan kendaraan di dekatnya 4. Rumah sakit biasanya memiliki ciri-ciri sebagai berikut : a) Bentuk dan ukuran atap bangunan yang besar dan seragam b) Jarak antar tiap bangunan teratur dan tidak teratur c) Ruang terbuka hijau diisi dengan rumput dan tanaman hias d) Terletak ditepi jalan besar 5. Gedung sekolah biasanya memiliki ciri-ciri sebagai berikut : a) Ukuran bangunan besar dan berkelompok b) Bentuk bangunan biasanya U, L atau bentuk khusus lainnya c) Terdapat halaman yang cukup luas atau dekat dengan lapangan olahraga 6. Tempat ibadah A. Masjid biasanya memiliki ciri-ciri sebagai berikut : a) Berukuran relatif besar b) Berbentuk bujur sangkar atau mendekati bujur sangkar c) Atap bagian tengah lebih tinggi dari atap rumah bertingkat satu d) Kadang terdapat makam di bagian ibaratnya, terutama untuk masjid lama B. Gereja biasanya memiliki ciri-ciri sebagai berikut : a) Berukuran relatif besar dari rumah pada umumnya b) Terdapat bangunan runcing tinggi di bagian depan 7. Hotel biasanya memiliki ciri-ciri sebagai berikut : a) Berukuran relatif besar b) Halaman depan cukup luas dengan tempat parkir c) Terletak di tepi jalan besar d) Kelompok kendaraan sering nampak di bagian depan 8. Terminal bus atau taksi memiliki ciri-ciri sebagai berikut : a) Terkumpulnya jenis kendaraan tertentu dalam deretan berjajar b) Kadang terdapat bangunan memanjang didekatnya

13 13 9. Perumahan dengan pola teratur biasanya memiliki ciri-ciri sebagai berikut: Perumahan dengan pola teratur biasanya nampak jelas dari bentuk atau ukurannya yang seragam serta jarak yang sama. Dapat dikenali dengan mudah meskipun ukuran perumahannya kecil. 10. Pabrik biasanya memiliki ciri-ciri sebagai berikut : a) Berukuran besar b) Jarak antar tiap bangunan relatif kecil atau dengan ruang kosong sekecil mungkin c) Jalan masuk memadai untuk kendaraan berukuran besar seperti truk bahkan trem d) Terdapat gedung yang sering nampak dari ukuran yang besar serta bentuk bangunan yang berbeda terhadap bangunan yang lain 11. Jalan, jembatan dan sungai biasanya memiliki ciri-ciri sebagai berikut : a) Jembatan dapat dikenali dengan bayangan serta ukuran yang relatif sempit dari jalan b) Jalan berona cerah dan lebarnya seragam c) Sungai berona gelap dan lebarnya serta arahnya tidak teratur 12. Makam biasanya memiliki ciri-ciri sebagai berikut : a) Rona cerah dan tidak seragam b) Tekstur agak kasar c) Sering nampak bangunan kecil-kecil menyerupai rumah I.6.5. Analisis Spasial dengan Proses Overlay Prahasta (2001) menyebutkan bahwa terdapat dua jenis fungsi analisis dalam sistem informasi geospasial yang umum digunakan, yaitu fungsi analisis spasial dan fungsi analisis atribut. Fungsi analisis spasial yang di dalam sistem informasi geografis spasial yang umum digunakan adalah analisis overlay (tumpang susun). Overlay merupakan teknik penggabungan dua atau lebih data grafis untuk diperoleh data grafis baru yang memiliki satuan unit pemetaan gabungan dari data grafis tersebut (Suharyadi, 1993).

14 14 Analisis spasial pada penelitian ini dilakukan dengan menggunakan perangkat lunak ArcGIS 10. I.6.6. Skema Klasifikasi Tata Ruang Skema klasifikasi adalah alur atau tahapan pelaksanaan suatu kegiatan sedangkan klasifikasi adalah penggolongan obyek ke dalam masing-masing kelas berdasarkan kriteria tertentu (Kartini, 1999 dalam Widiastuti, 2013). Sistem klasifikasi tata ruang yang digunakan dalam penelitian ini adalah sistem klasifikasi penggunaan kota karena wilayah yang diinterpretasi merupakan wilayah kota. Klasifikasi penggunaan tanah untuk pembuatan peta penggunaan tanah dilakukan dengan mengelompokkannya ke dalam kelas penggunaan tanah dengan mengacu pada sistem klasifikasi tertentu. Pemilihan skema klasifikasi adalah pemilihan (kelas) yang akan diambil/dipergunakan dalam proses klasifikasi. Penentuan klasifikasi diperlukan karena tidak semua kelas yang ada bisa diperoleh dari suatu citra karena setiap citra memiliki tingkat resolusi yang berbeda (Sabngiarso, 2008). Menurut Anderson (USGS, 1976) mengklasifikasikan penggunaan tanah/penutup lahan pada Level 1 dan Level II yang disajikan pada tabel I.2 berikut : Tabel I.2 Skema klasifikasi penggunaan lahan menurut Anderson (USGS, 1976) LEVEL I LEVEL II 1. Urban or built-up land 1.1 Residental 1.2 Commercial and Services 1.3 Transportation, communications and utilities 1.4 Industrial and commercial complexes 1.5 Mixed and commercial complexes 1.6 Mixed urban or built-up land 1.7 Other urban or built-up land 2. Agricultural land 2.1 Cropland and pasture 2.2 Orchard, groves, vineyards, nurseries, and

15 15 Tabel I.2. (lanjutan) ornamental holticultural areas 2.3 Confined feedings operations 2.4 Other agricultural land 3. Range land 3.1 Herbaceous rangeland 3.2 Shrub-brusland rangeland 3.3 Mixed rangeland 4. Forest land 4.1 Deciduous forest land 4.2 Evergreen forest land 4.3 Mixed forest land 5. Water 5.1 Stream and canal 5.2 Lakes 5.3 Reservoirs 5.4 Bays and estuaries 6. Wet land 6.1 Forested wet land 6.2 Nonforested wet land 7. Barren land 7.1 Dry salt flats 7.2 Beaches 7.3 Sandy areas other than beaches 7.4 Bare exposed rock 7.5 Strip mines, quarries, and gravel pits 7.6 Transitional areas 7.7 Mixed barren land 8. Tundra 8.1 Shrub and brush tundra 8.2 Herbaceous tundra 8.3 Bare ground tundra 8.4 Wet tundra 8.5 Mixed tundra 9. Perennial snow or ice 9.1 Perennial snowfields 9.2 Glaciers Malingreau (1982) dalam Sabngiarso (2008) membuat klasifikasi penggunaan tanah sekaligus penutup tanah yang ada di dalamnya. Klasifikasi penggunaan tanah menurut Malingreau dibagi menjadi empat golongan utama, yaitu : 1. Air. 2. Daerah vegetasi. 3. Daerah tak bervegetasi.

16 16 4. Permukiman dan bangunan. Klasifikasi penggunaan tanah sesuai dengan Peraturan Daerah Kota Yogyakarta Nomor 2 Tahun 2010 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Kota Yogyakarta Tahun meliputi : 1. Budaya. 2. Kesehatan. 3. Kuburan. 4. Pariwisata. 5. Pendidikan. 6. Perdagangan dan Jasa. 7. Perkantoran. 8. Perumahan. 9. Rekreasi dan Olahraga. 10. Ruang Terbuka Hijau (RTH). 11. Sarana Transportasi. 12. Industri Mikro Kecil dan Menengah. Adapun skema klasifikasi yang digunakan dalam penelitian ini berdasarkan penggunaan lahan yang ada pada peta digital RTRW yang diperoleh dari BAPPEDA Kota Yogyakarta yang terdiri atas 12 kelas. I.6.7. Rencana Tata Ruang Wilayah Berdasarkan Undang-Undang No. 24 tahun 1992, pengertian tata ruang adalah wujud struktural dan pola pemanfaatan ruang, baik direncanakan maupun tidak. Ruang menurut UU No. 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang, adalah wadah yang meliputi ruang darat, ruang laut, dan ruang udara, termasuk ruang di dalam bumi sebagai satu kesatuan wilayah, tempat manusia dan makhluk lain hidup, melakukan kegiatan, dan memelihara kelangsungan hidupnya. Sedangkan penataan ruang menurut Perda Kota Yogyakarta No.2 Tahun 2010 Bab I pasal 1 menjelaskan bahwa penataan ruang adalah suatu sistem proses perencanaan tata ruang, pemanfaatan ruang dan pengendalian pemanfaatan ruang.

17 17 Menurut Menteri Pekerjaan Umum No. 16 Pasal 1 tahun 2009 bahwa rencana tata ruang wilayah dideskripsikan sebagai hasil perencanaan tata ruang pada wilayah yang merupakan kesatuan geografis beserta segenap unsur terkait yang batas dan sistemnya ditentukan berdasarkan aspek administratif. Sesuai dengan Rencana Tata Ruang Wilayah Kota Yogyakarta, maka Kota Yogyakarta sebagai ibukota dan pusat pemerintahan Daerah Istimewa Yogyakarta harus menjaga keasrian, keterpaduan pembangunan dan pengembangan wilayahnya. Kota Yogyakarta yang merupakan pusat pertumbuhan ekonomi memiliki dampak pada daerah sekitarnya sehingga perlu menata ruang sehingga kualitas ruang dapat terjaga keberlanjutannya. Pengertian Rencana Tata Ruang menurut Peraturan Daerah Kota Yogyakarta No.2 Tahun 2010 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Kota Yogyakarta tahun 2010 sampai dengan tahun 2029 adalah sebagai berikut : 1. Rencana Tata Ruang Wilayah yang selanjutnya disingkat dengan RTRW adalah Rencana Tata Ruang Wilayah Kota Yogyakarta (Bab I pasal 1). 2. Ruang lingkup Rencana Tata Ruang Wilayah Kota Yogyakarta mencakup strategi pelaksanaan pemanfaatan ruang wilayah kota sampai dengan batas ruang daratan, ruang perairan, dan ruang udara sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku (Bab II pasal 2). 3. RTRW disusun berazaskan: manfaat, kelestarian, keterpaduan, berkelanjutan, keterbukaan, persamaan, keadilan, perlindungan dan kepastian hukum, keberdayagunaan dan keberhasilgunaan, kebersamaan dan kemitraan, perlindungan kepentingan umum, akuntabilitas (Bab III pasal 3). 4. Tujuan penataan ruang kota adalah mewujudkan (Bab IV pasal 6) : a. Ruang wilayah daerah yang aman, nyaman, produktif dan berkelanjutan. b. Keterpaduan perencanaan tata ruang wilayah Nasional, Provinsi dan Daerah.

18 18 c. Keterpaduan pengendalian pemanfaatan ruang daerah dalam rangka memberikan perlindungan fungsi ruang dan mengurangi dampak negatif terhadap lingkungan. d. Terselenggaranya pengaturan pemanfaatan ruang kawasan lindung dan kawasan budidaya. e. Terciptanya ruang-ruang kota yang mendukung nilai-nilai sejarah, budaya, maupun tradisi kehidupan masyarakat Yogyakarta. f. Terwujudnya peluang-peluang berusaha bagi seluruh sektor ekonomi lemah, melalui penentuan dan pengarahan ruang-ruang kota untuk kegunaan kegiatan usaha dan pelayanan tertentu beserta pengendaliannya. g. Keterpaduan pengendalian pemanfaatan ruang daerah dalam rangka memberikan perlindungan kehidupan dan penghidupan termasuk perlindungan atas bencana, untuk mewujudkan kesejahteraan umum. Dalam rangka melaksanakan pembangunan Kota Yogyakarta dengan ruang yang terbatas dan pemahaman masyarakat yang berkembang terhadap pentingnya penataan ruang sehingga diperlukan penyelenggaraan penataan ruang yang transparan, efektif dan partisipatif agar terwujud ruang yang aman, nyaman, produktif dan berkelanjutan. Sehubungan hal ini maka disusunlah konsep dan strategi pemanfaatan ruang wilayah nasional dan provinsi ke dalam Rencana Tata Ruang Wilayah Kota Yogyakarta yang disesuaikan dengan potensi dan kondisi yang ada di daerah tersebut. I.6.8. Uji Ketelitian Klasifikasi Uji ketelitian dapat dilakukan dengan beberapa tahap. Sutanto (1994) menjelaskan metode uji ketelitian klasifikasi dapat dilakukan dengan menggunakan point sampling accuracy, dengan tahapan sebagai berikut : 1. Melakukan pengecekan lapangan pada beberapa titik uji/sampel yang dipilih dari setiap klas obyek. 2. Menilai kecocokan hasil klasifikasi dengan kondisi sebenarnya di lapangan.

19 19 3. Membuat matrik perhitungan setiap kesalahan pada kelas obyek hasil klasifikasi sehingga diketahui tingkat ketelitiannya. Uji ketelitian dengan menggunakan matrik konfusi yang sering digunakan karena dapat menghitung kesalahan omisi dan komisi sehingga lebih menjelaskan pada ketelitian yang diperoleh. Penelitian ini menggunakan metode uji ketelitian klasifikasi (confusion matrix) yang ditampilkan dalam bentuk matrik konfusi seperti tabel I.3 berikut : Tabel I.3. Matrik konfusi hasil interpretasi dan pemetaan (Short, 1982) Interpretasi Cek lapangan A B C D Jumlah Omisi Komisi Ketelitian pemetaan A /43 7/43 25/( ) = 50% B /63 11/63 50/( ) = 68% C /72 18/72 60/( ) = 67% D /106 13/ /( ) = 84% Jumlah Keterangan : 1. Ketelitian klasifikasi keseluruhan = X 100 % = 83 %

20 20 2. Ketelitian pemetaan (Kp) untuk suatu kelas X adalah : Kp = Jumlah obyek X yang benar Jumlah obyek X yang benar + Jumlah omisi obyek X + Jumlah komisis obyek X 3. Jumlah omisi obyek X = Jumlah semua obyek bukan X pada baris X 4. Jumlah komisi obyek X = Jumlah semua obyek bukan X pada lajur X Tingkat ketelitian suatu uji klasifikasi dikatakan baik jika memenuhi syarat tertentu yang tergantung pada tujuan klasifikasinya. Pada umumnya, ketelitian yang disyaratkan adalah : (1) rata-rata ketelitian > 85 %, dan (2) kesalahan yang berisikan matrik konfusi hasil perhitungan (Short, 1982). I.7. Hipotesis Hipotesis dari penelitian ini adalah RTRW yang telah disusun dan direncanakan belum seutuhnya sesuai dengan kondisi sebenarnya.

BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Pertumbuhan penduduk di daerah perkotaan secara alami akan menimbulkan masalah. Permasalahan utama yang terjadi di kota adalah masalah permukiman manusia, yang pada

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Lahan, Penggunaan Lahan dan Perubahan Penggunaan Lahan

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Lahan, Penggunaan Lahan dan Perubahan Penggunaan Lahan II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Lahan, Penggunaan Lahan dan Perubahan Penggunaan Lahan Lahan adalah suatu wilayah daratan yang ciri-cirinya menerangkan semua tanda pengenal biosfer, atsmosfer, tanah geologi,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Di era globalisasi saat ini, perkembangan suatu daerah semakin pesat seiring dengan meningkatnya jumlah penduduk dan kebutuhan sarana prasarana. Akibatnya, pembangunan

Lebih terperinci

Interpretasi Citra dan Foto Udara

Interpretasi Citra dan Foto Udara Interpretasi Citra dan Foto Udara Untuk melakukan interpretasi citra maupun foto udara digunakan kreteria/unsur interpretasi yaitu terdiri atas rona atau warna, ukuran, bentuk, tekstur, pola, bayangan,

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN 14 BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Waktu dan Tempat Kegiatan penelitian dilaksanakan pada bulan Mei sampai dengan September dengan mengambil lokasi penelitian di wilayah Kecamatan Cikalong, Tasikmalaya (Gambar

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penginderaan jauh didefinisikan sebagai proses perolehan informasi tentang suatu obyek tanpa adanya kontak fisik secara langsung dengan obyek tersebut (Rees, 2001;

Lebih terperinci

INTERPRETASI CITRA IKONOS KAWASAN PESISIR PANTAI SELATAN MATA KULIAH PENGINDERAAN JAUH OLEH : BHIAN RANGGA J.R NIM : K

INTERPRETASI CITRA IKONOS KAWASAN PESISIR PANTAI SELATAN MATA KULIAH PENGINDERAAN JAUH OLEH : BHIAN RANGGA J.R NIM : K INTERPRETASI CITRA IKONOS KAWASAN PESISIR PANTAI SELATAN MATA KULIAH PENGINDERAAN JAUH OLEH : BHIAN RANGGA J.R NIM : K 5410012 PENDIDIKAN GEOGRAFI FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN UNIVERSITAS SEBELAS

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penginderaan jauh yaitu berbagai teknik yang dikembangkan untuk perolehan dan analisis informasi tentang bumi. Informasi tersebut berbentuk radiasi elektromagnetik

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penginderaan jauh merupakan ilmu pengetahuan, teknologi, dan seni perolehan informasi objek di permukaan Bumi melalui hasil rekamannya (Sutanto,2013). Objek di permukaan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. pada radius 4 kilometer dari bibir kawah. (http://berita.plasa.msn.com

BAB I PENDAHULUAN. pada radius 4 kilometer dari bibir kawah. (http://berita.plasa.msn.com BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Gunung Sinabung terus menunjukkan peningkatan aktivitas vulkanologi. Awan hitam dan erupsi terus terjadi, 5.576 warga dievakuasi. Evakuasi diberlakukan setelah pada

Lebih terperinci

METODOLOGI. Gambar 4. Peta Lokasi Penelitian

METODOLOGI. Gambar 4. Peta Lokasi Penelitian 22 METODOLOGI Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian dilakukan di Kota Sukabumi, Jawa Barat pada 7 wilayah kecamatan dengan waktu penelitian pada bulan Juni sampai November 2009. Pada lokasi penelitian

Lebih terperinci

RINGKASAN MATERI INTEPRETASI CITRA

RINGKASAN MATERI INTEPRETASI CITRA Lampiran 1 Ringkasan Materi RINGKASAN MATERI INTEPRETASI CITRA 1 Pengertian Intepretasi Citra Inteprtasi Citra adalah kegiatan menafsir, mengkaji, mengidentifikasi, dan mengenali objek pada citra, selanjutnya

Lebih terperinci

ULANGAN HARIAN PENGINDERAAN JAUH

ULANGAN HARIAN PENGINDERAAN JAUH ULANGAN HARIAN PENGINDERAAN JAUH 01. Teknologi yang terkait dengan pengamatan permukaan bumi dalam jangkauan yang sangat luas untuk mendapatkan informasi tentang objek dipermukaan bumi tanpa bersentuhan

Lebih terperinci

5. PEMBAHASAN 5.1 Koreksi Radiometrik

5. PEMBAHASAN 5.1 Koreksi Radiometrik 5. PEMBAHASAN Penginderaan jauh mempunyai peran penting dalam inventarisasi sumberdaya alam. Berbagai kekurangan dan kelebihan yang dimiliki penginderaan jauh mampu memberikan informasi yang cepat khususnya

Lebih terperinci

GEOGRAFI. Sesi PENGINDERAAN JAUH : 5. A. IDENTIFIKASI CITRA PENGINDERAAN JAUH a. Identifikasi Fisik

GEOGRAFI. Sesi PENGINDERAAN JAUH : 5. A. IDENTIFIKASI CITRA PENGINDERAAN JAUH a. Identifikasi Fisik GEOGRAFI KELAS XII IPS - KURIKULUM GABUNGAN 12 Sesi NGAN PENGINDERAAN JAUH : 5 A. IDENTIFIKASI CITRA PENGINDERAAN JAUH a. Identifikasi Fisik 1. Hutan Hujan Tropis Rona gelap Pohon bertajuk, terdiri dari

Lebih terperinci

III. BAHAN DAN METODE

III. BAHAN DAN METODE 11 III. BAHAN DAN METODE 3.1. Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian dilakukan di Kecamatan Depok Kabupaten Sleman yang terdiri dari Desa Caturtunggal, Desa Maguwoharjo dan Desa Condongcatur (Gambar 3).

Lebih terperinci

BAB III METODA. Gambar 3.1 Intensitas total yang diterima sensor radar (dimodifikasi dari GlobeSAR, 2002)

BAB III METODA. Gambar 3.1 Intensitas total yang diterima sensor radar (dimodifikasi dari GlobeSAR, 2002) BAB III METODA 3.1 Penginderaan Jauh Pertanian Pada penginderaan jauh pertanian, total intensitas yang diterima sensor radar (radar backscattering) merupakan energi elektromagnetik yang terpantul dari

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI 3.1 Waktu dan Tempat 3.2 Alat dan Data 3.3 Tahapan Pelaksanaan

BAB III METODOLOGI 3.1 Waktu dan Tempat 3.2 Alat dan Data 3.3 Tahapan Pelaksanaan 15 BAB III METODOLOGI 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian ini dilaksanakan mulai bulan Juli sampai dengan April 2011 dengan daerah penelitian di Kabupaten Bogor, Kabupaten Sukabumi, dan Kabupaten Cianjur,

Lebih terperinci

PERBEDAAN INTERPRETASI CITRA RADAR DENGAN CITRA FOTO UDARA

PERBEDAAN INTERPRETASI CITRA RADAR DENGAN CITRA FOTO UDARA PERBEDAAN INTERPRETASI CITRA RADAR DENGAN CITRA FOTO UDARA I. Citra Foto Udara Kegiatan pengindraan jauh memberikan produk atau hasil berupa keluaran atau citra. Citra adalah gambaran suatu objek yang

Lebih terperinci

GEOGRAFI. Sesi PENGINDERAAN JAUH : 3 A. CITRA NONFOTO. a. Berdasarkan Spektrum Elektromagnetik

GEOGRAFI. Sesi PENGINDERAAN JAUH : 3 A. CITRA NONFOTO. a. Berdasarkan Spektrum Elektromagnetik GEOGRAFI KELAS XII IPS - KURIKULUM GABUNGAN 10 Sesi NGAN PENGINDERAAN JAUH : 3 A. CITRA NONFOTO Citra nonfoto adalah gambaran yang dihasilkan oleh sensor nonfotografik atau sensor elektronik. Sensornya

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Penginderaan jauh merupakan ilmu yang semakin berkembang pada masa sekarang, cepatnya perkembangan teknologi menghasilkan berbagai macam produk penginderaan jauh yang

Lebih terperinci

PENGINDERAAN JAUH. --- anna s file

PENGINDERAAN JAUH. --- anna s file PENGINDERAAN JAUH copyright@2007 --- anna s file Pengertian Penginderaan Jauh Beberapa ahli berpendapat bahwa inderaja merupakan teknik yang dikembangkan untuk memperoleh data di permukaan bumi, jadi inderaja

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. permukaan lahan (Burley, 1961 dalam Lo, 1995). Konstruksi tersebut seluruhnya

II. TINJAUAN PUSTAKA. permukaan lahan (Burley, 1961 dalam Lo, 1995). Konstruksi tersebut seluruhnya 5 II. TINJAUAN PUSTAKA A. Penutupan Lahan dan Perubahannya Penutupan lahan menggambarkan konstruksi vegetasi dan buatan yang menutup permukaan lahan (Burley, 1961 dalam Lo, 1995). Konstruksi tersebut seluruhnya

Lebih terperinci

ISTILAH DI NEGARA LAIN

ISTILAH DI NEGARA LAIN Geografi PENGERTIAN Ilmu atau seni untuk memperoleh informasi tentang obyek, daerah atau gejala dengan jalan menganalisis data yang diperoleh dengan menggunakan alat tanpa kontak langsung terhadap obyek

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Lahan dan Penggunaan Lahan Pengertian Lahan

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Lahan dan Penggunaan Lahan Pengertian Lahan II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Lahan dan Penggunaan Lahan 2.1.1 Pengertian Lahan Pengertian lahan tidak sama dengan tanah, tanah adalah benda alami yang heterogen dan dinamis, merupakan interaksi hasil kerja

Lebih terperinci

Citra Satelit IKONOS

Citra Satelit IKONOS Citra Satelit IKONOS Satelit IKONOS adalah satelit inderaja komersiil pertama yang dioperasikan dengan tingkat ketelitian 1 meter untuk model pankromatik dan 4 meter untuk model multispektral yang merupakan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 3 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Penginderaan Jauh Penginderaan jauh adalah ilmu dan seni untuk memperoleh informasi tentang suatu obyek, daerah, atau fenomena melalui analisis data yang diperoleh dengan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Dewasa ini perkembangan fisik penggunaan lahan terutama di daerah perkotaan relatif cepat dibandingkan dengan daerah perdesaan. Maksud perkembangan fisik adalah penggunaan

Lebih terperinci

KOMPONEN PENGINDERAAN JAUH. Sumber tenaga Atmosfer Interaksi antara tenaga dan objek Sensor Wahana Perolehan data Pengguna data

KOMPONEN PENGINDERAAN JAUH. Sumber tenaga Atmosfer Interaksi antara tenaga dan objek Sensor Wahana Perolehan data Pengguna data PENGINDERAAN JAUH KOMPONEN PENGINDERAAN JAUH Sumber tenaga Atmosfer Interaksi antara tenaga dan objek Sensor Wahana Perolehan data Pengguna data Lanjutan Sumber tenaga * Alamiah/sistem pasif : sinar matahari

Lebih terperinci

SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS,

SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS, Integrasi GISdan Inderaja Penginderaan jauh (remote sensing) adalah ilmu dan ketrampilan untuk memperoleh informasi tentang obyek, daerah, atau fenomena melalui analisis data yang diperoleh dengan suatu

Lebih terperinci

BAB III PELAKSANAAN PENELITIAN

BAB III PELAKSANAAN PENELITIAN BAB III PELAKSANAAN PENELITIAN Pada bab ini akan dijelaskan mengenai alat dan bahan yang digunakan dalam penelitian ini serta tahapan-tahapan yang dilakukan dalam mengklasifikasi tata guna lahan dari hasil

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. I.1. Latar belakang

BAB I PENDAHULUAN. I.1. Latar belakang BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar belakang Reformasi tahun 1998 membuka kesempatan seluas-luasnya bagi daerah dalam mengatur urusan rumah tangganya sendiri. Berbagai peraturan perundangundangan diterbitkan

Lebih terperinci

PENGUKURAN GROUND CONTROL POINT UNTUK CITRA SATELIT CITRA SATELIT RESOLUSI TINGGI DENGAN METODE GPS PPP

PENGUKURAN GROUND CONTROL POINT UNTUK CITRA SATELIT CITRA SATELIT RESOLUSI TINGGI DENGAN METODE GPS PPP PENGUKURAN GROUND CONTROL POINT UNTUK CITRA SATELIT CITRA SATELIT RESOLUSI TINGGI DENGAN METODE GPS PPP Oleh A. Suradji, GH Anto, Gunawan Jaya, Enda Latersia Br Pinem, dan Wulansih 1 INTISARI Untuk meningkatkan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Saat ini kota-kota besar di Indonesia mengalami perkembangan yang sangat pesat dalam bidang industri, sarana transportasi, perluasan daerah pemukiman dan lain sebagainya.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Kegiatan pembangunan membawa perubahan dalam berbagai aspek kehidupan manusia dan lingkungan di sekitarnya. Kegiatan pembangunan meningkatkan kebutuhan manusia akan lahan.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Sistem transportasi adalah suatu kesatuan dari elemen elemen, komponen komponen yang saling mendukung dan bekerja sama dalam pengadaan transportasi yang memiliki jangkaun

Lebih terperinci

JURNAL TEKNIK ITS Vol. 5, No. 2, (2016) ISSN: ( Print)

JURNAL TEKNIK ITS Vol. 5, No. 2, (2016) ISSN: ( Print) A703 Analisa Ketelitian Geometrik Citra Pleiades 1A dan Worldview-2 untuk Pembuatan Peta Dasar Rencana Detail Tata Ruang Perkotaan (Studi Kasus: Surabaya Pusat) Ricko Buana Surya, Bangun Muljo Sukojo,

Lebih terperinci

KOREKSI GEOMETRIK. Tujuan :

KOREKSI GEOMETRIK. Tujuan : Tujuan : KOREKSI GEOMETRIK 1. rektifikasi (pembetulan) atau restorasi (pemulihan) citra agar kordinat citra sesuai dengan kordinat geografi 2. registrasi (mencocokkan) posisi citra dengan citra lain atau

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pada waktu sekarang dalam perekonomian manapun di permukaan bumi ini tumbuh dan berkembang berbagai macam lembaga keuangan. Semua lembaga keuangan tersebut mempunyai

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Era Teknologi merupakan era dimana informasi serta data dapat didapatkan dan ditransfer secara lebih efektif. Perkembangan ilmu dan teknologi menyebabkan kemajuan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN I.1

BAB I PENDAHULUAN I.1 BAB I PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang Otonomi daerah di Indonesia lahir seiring bergulirnya era reformasi di penghujung era 90-an. Krisis ekonomi yang bermula dari tahun 1977 telah mengubah sistem pengelolaan

Lebih terperinci

UNSUR DAN TEKNIK INTERPRETASI CITRA INDERAJA DARI GOOGLE EARTH

UNSUR DAN TEKNIK INTERPRETASI CITRA INDERAJA DARI GOOGLE EARTH UNSUR DAN TEKNIK INTERPRETASI CITRA INDERAJA DARI GOOGLE EARTH Oleh: Bambang Syaiful Hadi JURUSAN PENDIDIKAN GEOGRAFI FIS UNY 1. RONA Rona adalah tingkat kegelapan atau tingkat kecerahan obyek pada citra

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN 11 BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian ini dilaksanakan selama dua bulan yaitu bulan Juli-Agustus 2010 dengan pemilihan lokasi di Kota Denpasar. Pengolahan data dilakukan di Laboratorium

Lebih terperinci

MATERI 4 : PENGENALAN TATAGUNALAHAN DI GOOGLE EARTH

MATERI 4 : PENGENALAN TATAGUNALAHAN DI GOOGLE EARTH MATERI 4 : PENGENALAN TATAGUNALAHAN DI GOOGLE EARTH 1. Tata Guna Lahan 2. Identifikasi Menggunakan Foto Udara/ Citra Identifikasi penggunaan lahan menggunakan foto udara/ citra dapat didefinisikan sebagai

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Perkembangan pembangunan pada suatu negara dapat dijadikan sebagai tolak ukur kualitas dari pemerintahan suatu negara. Pembangunan wilayah pada suatu negara dapat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG

BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG Seiring dengan berkembangnya permintaan akan pemetaan suatu wilayah dalam berbagai bidang, maka semakin berkembang pula berbagai macam metode pemetaan. Dengan memanfaatkan

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

BAB III METODOLOGI PENELITIAN BAB III METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Persiapan Tahap persiapan merupakan tahapan penting dalam penelitian ini. Proses persiapan data ini berpengaruh pada hasil akhir penelitian. Persiapan yang dilakukan meliputi

Lebih terperinci

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1 Identifikasi Tutupan Lahan di Lapangan Berdasarkan hasil observasi lapangan yang telah dilakukan di Kabupaten Humbang Hasundutan, Kabupaten Tapanuli Utara, dan Kabupaten

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Tanah merupakan materi yang terdiri dari agregat (butiran) padat yang tersementasi (terikat secara kimia) satu sama lain serta dari bahan bahan organik yang telah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. terjangkau oleh daya beli masyarakat (Pasal 3, Undang-undang No. 14 Tahun 1992

BAB I PENDAHULUAN. terjangkau oleh daya beli masyarakat (Pasal 3, Undang-undang No. 14 Tahun 1992 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Transportasi jalan diselenggarakan dengan tujuan untuk mewujudkan lalu lintas dan angkutan jalan dengan selamat, aman, cepat, tertib dan teratur, nyaman dan efisien,

Lebih terperinci

Analisis Ketelitian Geometric Citra Pleiades 1B untuk Pembuatan Peta Desa (Studi Kasus: Kelurahan Wonorejo, Surabaya)

Analisis Ketelitian Geometric Citra Pleiades 1B untuk Pembuatan Peta Desa (Studi Kasus: Kelurahan Wonorejo, Surabaya) Analisis Ketelitian Geometric Citra Pleiades 1B untuk Pembuatan Peta Desa (Studi Kasus: Kelurahan Wonorejo, Surabaya) Iva Nurwauziyah, Bangun Muljo Sukojo, Husnul Hidayat Jurusan Teknik Geomatika, Fakultas

Lebih terperinci

III. BAHAN DAN METODE PENELITIAN

III. BAHAN DAN METODE PENELITIAN III. BAHAN DAN METODE PENELITIAN 3. 1 Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian dilakukan di Kota Bekasi (Gambar 1) dan analisis data dilakukan di studio Bagian Perencanaan dan Pengembangan Wilayah, Departemen

Lebih terperinci

JENIS CITRA

JENIS CITRA JENIS CITRA PJ SENSOR Tenaga yang dipantulkan dari obyek di permukaan bumi akan diterima dan direkam oleh SENSOR. Tiap sensor memiliki kepekaan tersendiri terhadap bagian spektrum elektromagnetik. Kepekaannya

Lebih terperinci

Bab II Tinjauan Pustaka

Bab II Tinjauan Pustaka 8 Bab II Tinjauan Pustaka II.1. Penelitian terdahulu Wiantoko,M, 2005, melakukan penelitian perubahan obyek bangunan PBB untuk pemeliharan data obyek PBB, dengan membandingkan peta bangunan dengan citra

Lebih terperinci

III. BAHAN DAN METODE

III. BAHAN DAN METODE III. BAHAN DAN METODE 3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian dilaksanakan di daerah Daerah Aliran Sungai (DAS) Cipunagara dan sekitarnya, Jawa Barat (Gambar 1). DAS Cipunagara berada dibawah pengelolaan

Lebih terperinci

BAB III BAHAN DAN METODE

BAB III BAHAN DAN METODE BAB III BAHAN DAN METODE 3.1 Waktu dan Lokasi Waktu penelitian dilaksanakan mulai bulan Mei sampai dengan Juni 2013 dengan lokasi penelitian meliputi wilayah Pesisir Utara dan Selatan Provinsi Jawa Barat.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. listrik harus bisa men-supplay kebutuhan listrik rumah tangga maupun

BAB I PENDAHULUAN. listrik harus bisa men-supplay kebutuhan listrik rumah tangga maupun BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Energi listrik merupakan energi utama yang digunakan hampir diseluruh sisi kehidupan manusia saat ini dimana semua aktifitas manusia berhubungan dengan energi listrik.

Lebih terperinci

Gambar 11. Citra ALOS AVNIR-2 dengan Citra Komposit RGB 321

Gambar 11. Citra ALOS AVNIR-2 dengan Citra Komposit RGB 321 V. HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1. Analisis Spektral Citra yang digunakan pada penelitian ini adalah Citra ALOS AVNIR-2 yang diakuisisi pada tanggal 30 Juni 2009 seperti yang tampak pada Gambar 11. Untuk dapat

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN BAB III METODE PENELITIAN A. Metode Penelitian Menurut Arikunto (1988), metode penelitian adalah cara yang digunakan oleh peneliti dalam mengumpulkan data penelitiannya. Data yang dikumpulkan bisa berupa

Lebih terperinci

Analisa Ketelitian Geometric Citra Pleiades Sebagai Penunjang Peta Dasar RDTR (Studi Kasus: Wilayah Kabupaten Bangkalan, Jawa Timur)

Analisa Ketelitian Geometric Citra Pleiades Sebagai Penunjang Peta Dasar RDTR (Studi Kasus: Wilayah Kabupaten Bangkalan, Jawa Timur) A411 Analisa Ketelitian Geometric Citra Pleiades Sebagai Penunjang Peta Dasar RDTR (Studi Kasus: Wilayah Kabupaten Bangkalan, Jawa Timur) Wahyu Teo Parmadi dan Bangun Muljo Sukojo Jurusan Teknik Geomatika,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Tiap-tiap negara mempunyai pertimbangan berbeda mengenai penetapan suatu wilayah yang disebut kota. Pertimbangan itu dipengaruhi oleh beberapa variasi kewilayahan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Di bumi terdapat kira-kira 1,3 1,4 milyar km³ air : 97,5% adalah air laut, 1,75% berbentuk es dan 0,73% berada di daratan sebagai air sungai, air danau, air tanah,

Lebih terperinci

IV. METODOLOGI 4.1. Waktu dan Lokasi

IV. METODOLOGI 4.1. Waktu dan Lokasi 31 IV. METODOLOGI 4.1. Waktu dan Lokasi Waktu yang dibutuhkan untuk melaksanakan penelitian ini adalah dimulai dari bulan April 2009 sampai dengan November 2009 yang secara umum terbagi terbagi menjadi

Lebih terperinci

Anita Dwijayanti, Teguh Hariyanto Jurusan Teknik Geomatika FTSP-ITS, Kampus ITS Sukolilo, Surabaya,

Anita Dwijayanti, Teguh Hariyanto Jurusan Teknik Geomatika FTSP-ITS, Kampus ITS Sukolilo, Surabaya, Evaluasi Tutupan Lahan Terhadap Rencana Detil Tata Ruang Kota (RDTRK) Surabaya Pada Citra Resolusi Tinggi Dengan EVALUASI TUTUPAN LAHAN PERMUKIMAN TERHADAP RENCANA DETIL TATA RUANG KOTA (RDTRK) SURABAYA

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Lahan merupakan bentang permukaan bumi yang dapat bermanfaat bagi manusia baik yang sudah dikelola maupun belum. Untuk itu peran lahan cukup penting dalam kehidupan

Lebih terperinci

ISSN Jalan Udayana, Singaraja-Bali address: Jl. Prof Dr Soemantri Brodjonogoro 1-Bandar Lampung

ISSN Jalan Udayana, Singaraja-Bali  address: Jl. Prof Dr Soemantri Brodjonogoro 1-Bandar Lampung ISSN 0216-8138 73 SIMULASI FUSI CITRA IKONOS-2 PANKROMATIK DENGAN LANDSAT-7 MULTISPEKTRAL MENGGUNAKAN METODE PAN-SHARPEN UNTUK MENINGKATKAN KUALITAS CITRA DALAM UPAYA PEMANTAUAN KAWASAN HIJAU (Studi Kasus

Lebih terperinci

PENGOLAHAN CITRA DIGITAL

PENGOLAHAN CITRA DIGITAL PENGOLAHAN CITRA DIGITAL Aditya Wikan Mahastama mahas@ukdw.ac.id Sistem Optik dan Proses Akuisisi Citra Digital 2 UNIV KRISTEN DUTA WACANA GENAP 1213 v2 Bisa dilihat pada slide berikut. SISTEM OPTIK MANUSIA

Lebih terperinci

11/25/2009. Sebuah gambar mengandung informasi dari obyek berupa: Posisi. Introduction to Remote Sensing Campbell, James B. Bab I

11/25/2009. Sebuah gambar mengandung informasi dari obyek berupa: Posisi. Introduction to Remote Sensing Campbell, James B. Bab I Introduction to Remote Sensing Campbell, James B. Bab I Sebuah gambar mengandung informasi dari obyek berupa: Posisi Ukuran Hubungan antar obyek Informasi spasial dari obyek Pengambilan data fisik dari

Lebih terperinci

Bab III Pelaksanaan Penelitian

Bab III Pelaksanaan Penelitian 24 Bab III Pelaksanaan Penelitian III.1. Kerangka pikir Penelitian melakukan perancangan usulan metode dengan menggantikan peta penggunaan tanah kabupaten / kota dengan citra quickbird untuk meningkatkan

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. Metode penelitian atau metodologi suatu studi adalah rancang-bangun

BAB III METODE PENELITIAN. Metode penelitian atau metodologi suatu studi adalah rancang-bangun 49 BAB III METODE PENELITIAN A. Metode Penelitian Metode penelitian atau metodologi suatu studi adalah rancang-bangun (design) menyeluruh untuk menyelesaikan masalah penelitian (Sutanto,1999) sedangkan

Lebih terperinci

ACARA I SIMULASI PENGENALAN BEBERAPA UNSUR INTERPRETASI

ACARA I SIMULASI PENGENALAN BEBERAPA UNSUR INTERPRETASI ACARA I SIMULASI PENGENALAN BEBERAPA UNSUR INTERPRETASI Oleh: Nama Mahasiswa : Titin Lichwatin NIM : 140722601700 Mata Kuliah : Praktikum Penginderaan Jauh Dosen Pengampu : Alfi Nur Rusydi, S.Si., M.Sc

Lebih terperinci

BAB II TEORI DASAR. Beberapa definisi tentang tutupan lahan antara lain:

BAB II TEORI DASAR. Beberapa definisi tentang tutupan lahan antara lain: BAB II TEORI DASAR 2.1 Tutupan Lahan Tutupan Lahan atau juga yang biasa disebut dengan Land Cover memiliki berbagai pengertian, bahkan banyak yang memiliki anggapan bahwa tutupan lahan ini sama dengan

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA Konsep Dasar Penginderaan Jauh

TINJAUAN PUSTAKA Konsep Dasar Penginderaan Jauh 4 TINJAUAN PUSTAKA Konsep Dasar Penginderaan Jauh Penginderaan jauh adalah ilmu dan seni untuk memperoleh informasi tentang suatu objek, daerah, dan fenomena melalui analisis data yang diperoleh dari suatu

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Peta merupakan representasi dari permukaan bumi baik sebagian atau keseluruhannya yang divisualisasikan pada bidang proyeksi tertentu dengan menggunakan skala tertentu.

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. Bahan dan alat yang dibutuhkan dalam interpretasi dan proses pemetaan citra

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. Bahan dan alat yang dibutuhkan dalam interpretasi dan proses pemetaan citra 67 BAB III METODOLOGI PENELITIAN A. Bahan dan Alat Bahan dan alat yang dibutuhkan dalam interpretasi dan proses pemetaan citra satelit ke dalam peta tematik antara lain sebagai berikut : 1. Bahan a. Data

Lebih terperinci

Tabel 1.1 Tabel Jumlah Penduduk Kecamatan Banguntapan Tahun 2010 dan Tahun 2016

Tabel 1.1 Tabel Jumlah Penduduk Kecamatan Banguntapan Tahun 2010 dan Tahun 2016 BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG Tempat tinggal merupakan salah satu aspek penting dalam kehidupan karena merupakan salah satu kebutuhan primer manusia. Tempat tinggal menjadi sarana untuk berkumpul,

Lebih terperinci

PEMANFAATAN CITRA PENGINDERAAN JAUH DAN SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS UNTUK KAJIAN PERUBAHAN PENGGUNAN LAHAN DI KECAMATAN UMBULHARJO KOTA YOGYAKARTA

PEMANFAATAN CITRA PENGINDERAAN JAUH DAN SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS UNTUK KAJIAN PERUBAHAN PENGGUNAN LAHAN DI KECAMATAN UMBULHARJO KOTA YOGYAKARTA PEMANFAATAN CITRA PENGINDERAAN JAUH DAN SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS UNTUK KAJIAN PERUBAHAN PENGGUNAN LAHAN DI KECAMATAN UMBULHARJO KOTA YOGYAKARTA Sudaryanto 1), Melania Swetika Rini 2) Abstrak: Penelitian

Lebih terperinci

Analisis Ketelitian Geometric Citra Pleiades 1A untuk Pembuatan Peta Dasar Lahan Pertanian (Studi Kasus: Kecamatan Socah, Kabupaten Bangkalan)

Analisis Ketelitian Geometric Citra Pleiades 1A untuk Pembuatan Peta Dasar Lahan Pertanian (Studi Kasus: Kecamatan Socah, Kabupaten Bangkalan) JURNAL TEKNIK ITS Vol. 5, 2, (2016) ISSN: 2337-3539 (2301-9271 Print) A375 Analisis Ketelitian Geometric Citra untuk Pembuatan Peta Dasar Lahan Pertanian (Studi Kasus: Kecamatan Socah, Kabupaten Bangkalan)

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN I.1.

BAB I PENDAHULUAN I.1. BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Dinamika kependudukan terus berjalan. Jumlah penduduk terus bertambah, pembangunan makin kompleks dan berskala besar, tuntutan peningkatan kualitas hidup terus meningkat,

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. menjadi suatu kawasan hunian yang berwawasan lingkungan dengan suasana. fungsi dalam tata lingkungan perkotaan (Nazaruddin, 1996).

TINJAUAN PUSTAKA. menjadi suatu kawasan hunian yang berwawasan lingkungan dengan suasana. fungsi dalam tata lingkungan perkotaan (Nazaruddin, 1996). 5 TINJAUAN PUSTAKA Penghijauan Kota Kegiatan penghijauan dilaksanakan untuk mewujudkan lingkungan kota menjadi suatu kawasan hunian yang berwawasan lingkungan dengan suasana yang asri, serasi dan sejuk

Lebih terperinci

Analisis Ketelitian Objek pada Peta Citra Quickbird RS 0,68 m dan Ikonos RS 1,0 m

Analisis Ketelitian Objek pada Peta Citra Quickbird RS 0,68 m dan Ikonos RS 1,0 m Jurnal Rekayasa LPPM Itenas No. 3 Vol. XIV Institut Teknologi Nasional Juli September 2010 Analisis Ketelitian Objek pada Peta Citra Quickbird RS 0,68 m dan Ikonos RS 1,0 m BAMBANG RUDIANTO Jurusan Teknik

Lebih terperinci

METODE PENELITIAN. Lokasi dan Waktu Penelitian

METODE PENELITIAN. Lokasi dan Waktu Penelitian 12 METODE PENELITIAN Lokasi dan Waktu Penelitian Lokasi yang diteliti adalah wilayah pesisir Kabupaten Karawang (Gambar 3), yang secara administratif berdasarkan Undang-Undang Republik Indonesia nomor

Lebih terperinci

INTERPRETASI CITRA SATELIT LANDSAT

INTERPRETASI CITRA SATELIT LANDSAT INTERPRETASI CITRA SATELIT LANDSAT Tujuan: Mahasiswa dapat mengidentifikasi objek yang ada pada citra landsat Mahasiswa dapat mendelineasi hasil interpretasi citra landsat secara teliti Mahasiswa dapat

Lebih terperinci

Jurnal Gea, Jurusan Pendidikan Geografi, vol. 8, No. 2, Oktober 2008

Jurnal Gea, Jurusan Pendidikan Geografi, vol. 8, No. 2, Oktober 2008 PEMANFAATAN TEKNIK PENGINDERAAN JAUH UNTUK MENGIDENTIFIKASI KERENTANAN DAN RISIKO BANJIR Oleh : Lili Somantri, S.Pd. M.Si ABSTRAK Banjir adalah bencana alam yang sering terjadi setiap musim hujan. Bencana

Lebih terperinci

PEMANFAATAN TEKNIK PENGINDERAAN JAUH UNTUK MENGIDENTIFIKASI KERENTANAN DAN RISIKO BANJIR. Oleh : Lili Somantri*)

PEMANFAATAN TEKNIK PENGINDERAAN JAUH UNTUK MENGIDENTIFIKASI KERENTANAN DAN RISIKO BANJIR. Oleh : Lili Somantri*) PEMANFAATAN TEKNIK PENGINDERAAN JAUH UNTUK MENGIDENTIFIKASI KERENTANAN DAN RISIKO BANJIR Oleh : Lili Somantri*) Abstrak Banjir adalah bencana alam yang sering terjadi setiap musim hujan. Bencana ini tidak

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Waduk Sermo adalah satu-satunya waduk yang berada di D.I. Yogyakarta. Luasnya kurang-lebih 157 ha, terletak di Desa Hargowilis, Kokap, Kabupaten Kulon Progo, D.I.

Lebih terperinci

TEKNOLOGI PENGINDERAAN JAUH (REMOTE SENSING) Oleh : Lili Somantri

TEKNOLOGI PENGINDERAAN JAUH (REMOTE SENSING) Oleh : Lili Somantri TEKNOLOGI PENGINDERAAN JAUH (REMOTE SENSING) Oleh : Lili Somantri 1. Pengertian Penginderaan Jauh Menurut Lilesand et al. (2004) mengatakan bahwa penginderaan jauh adalah ilmu dan seni untuk memperoleh

Lebih terperinci

III. BAHAN DAN METODE

III. BAHAN DAN METODE 10 III. BAHAN DAN METODE 3.1. Tempat Dan Waktu Penelitian Penelitian dilakukan di laboratorium dan di lapang. Pengolahan citra dilakukan di Bagian Penginderaan Jauh dan Informasi Spasial dan penentuan

Lebih terperinci

Gambar 1. Satelit Landsat

Gambar 1. Satelit Landsat 3 II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Penginderaan Jauh Penginderaan jauh adalah ilmu dan seni untuk memperoleh informasi tentang suatu objek, daerah, atau fenomena melalui analisis data yang diperoleh dengan suatu

Lebih terperinci

III. METODOLOGI. Gambar 2. Peta Orientasi Wilayah Penelitian. Kota Yogyakarta. Kota Medan. Kota Banjarmasin

III. METODOLOGI. Gambar 2. Peta Orientasi Wilayah Penelitian. Kota Yogyakarta. Kota Medan. Kota Banjarmasin III. METODOLOGI 3.1. Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian ini dilaksanakan mulai dari bulan Maret sampai bulan November 2009. Objek penelitian difokuskan pada wilayah Kota Banjarmasin, Yogyakarta, dan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kondisi penggunaan lahan dinamis, sehingga perlu terus dipantau. dilestarikan agar tidak terjadi kerusakan dan salah pemanfaatan.

BAB I PENDAHULUAN. kondisi penggunaan lahan dinamis, sehingga perlu terus dipantau. dilestarikan agar tidak terjadi kerusakan dan salah pemanfaatan. BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Pembangunan sangat diperlukan untuk kelanjutan hidup manusia. Kemajuan pembangunan di suatu wilayah sejalan dengan peningkatan jumlah pertumbuhan penduduk yang diiringi

Lebih terperinci

PEMANFAATAN CITRA IKONOS UNTUK MENGIDENTIFIKASI KERUSAKAN BANGUNAN AKIBAT GEMPA BUMI. Oleh : Lili Somantri

PEMANFAATAN CITRA IKONOS UNTUK MENGIDENTIFIKASI KERUSAKAN BANGUNAN AKIBAT GEMPA BUMI. Oleh : Lili Somantri PEMANFAATAN CITRA IKONOS UNTUK MENGIDENTIFIKASI KERUSAKAN BANGUNAN AKIBAT GEMPA BUMI Oleh : Lili Somantri Abstrak Indonesia merupakan negara yang sangat rawan bencana, baik karena faktor alam maupun karena

Lebih terperinci

GEOGRAFI. Sesi PENGINDERAAN JAUH : 1 A. PENGERTIAN PENGINDERAAN JAUH B. PENGINDERAAN JAUH FOTOGRAFIK

GEOGRAFI. Sesi PENGINDERAAN JAUH : 1 A. PENGERTIAN PENGINDERAAN JAUH B. PENGINDERAAN JAUH FOTOGRAFIK GEOGRAFI KELAS XII IPS - KURIKULUM GABUNGAN 08 Sesi NGAN PENGINDERAAN JAUH : 1 A. PENGERTIAN PENGINDERAAN JAUH Penginderaan jauh (inderaja) adalah cara memperoleh data atau informasi tentang objek atau

Lebih terperinci

Indeks Vegetasi Bentuk komputasi nilai-nilai indeks vegetasi matematis dapat dinyatakan sebagai berikut :

Indeks Vegetasi Bentuk komputasi nilai-nilai indeks vegetasi matematis dapat dinyatakan sebagai berikut : Indeks Vegetasi Bentuk komputasi nilai-nilai indeks vegetasi matematis dapat dinyatakan sebagai berikut : NDVI=(band4 band3)/(band4+band3).18 Nilai-nilai indeks vegetasi di deteksi oleh instrument pada

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Bab ini berisi tentang latar belakang, tujuan, dan sistematika penulisan. BAB II KAJIAN LITERATUR

BAB I PENDAHULUAN. Bab ini berisi tentang latar belakang, tujuan, dan sistematika penulisan. BAB II KAJIAN LITERATUR BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Citra yang direkam oleh satelit, memanfaatkan variasi daya, gelombang bunyi atau energi elektromagnetik. Selain itu juga dipengaruhi oleh cuaca dan keadaan atmosfer

Lebih terperinci

Pemetaan Perubahan Garis Pantai Menggunakan Citra Penginderaan Jauh di Pulau Batam

Pemetaan Perubahan Garis Pantai Menggunakan Citra Penginderaan Jauh di Pulau Batam Pemetaan Perubahan Garis Pantai Menggunakan Citra Penginderaan Jauh di Pulau Batam Arif Roziqin 1 dan Oktavianto Gustin 2 Program Studi Teknik Geomatika, Politeknik Negeri Batam, Batam 29461 E-mail : arifroziqin@polibatam.ac.id

Lebih terperinci

SISTEM INFORMASI GEOGRAFI. Data spasial direpresentasikan di dalam basis data sebagai vektor atau raster.

SISTEM INFORMASI GEOGRAFI. Data spasial direpresentasikan di dalam basis data sebagai vektor atau raster. GEOGRAFI KELAS XII IPS - KURIKULUM GABUNGAN 14 Sesi NGAN SISTEM INFORMASI GEOGRAFI A. MODEL DATA SPASIAL Data spasial direpresentasikan di dalam basis data sebagai vektor atau raster. a. Model Data Vektor

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Kawasan perkotaan adalah kawasan yang mempunyai kegiatan utama bukan pertanian, dengan susunan fungsi kawasan sebagai tempat permukiman perkotaan, dengan susunan fungsi

Lebih terperinci

BAB IV ANALISIS 4.1 Analisis Terhadap Citra Satelit yang digunakan 4.2 Analisis Terhadap Peta Rupabumi yang digunakan

BAB IV ANALISIS 4.1 Analisis Terhadap Citra Satelit yang digunakan 4.2 Analisis Terhadap Peta Rupabumi yang digunakan BAB IV ANALISIS 4.1 Analisis Terhadap Citra Satelit yang digunakan Citra SPOT 4 dan IKONOS yang digunakan merupakan dua citra yang memiliki resolusi spasial yang berbeda dimana SPOT 4 memiliki resolusi

Lebih terperinci

SAMPLING DAN KUANTISASI

SAMPLING DAN KUANTISASI SAMPLING DAN KUANTISASI Budi Setiyono 1 3/14/2013 Citra Suatu citra adalah fungsi intensitas 2 dimensi f(x, y), dimana x dan y adalahkoordinat spasial dan f pada titik (x, y) merupakan tingkat kecerahan

Lebih terperinci