BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang"

Transkripsi

1 BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Pertumbuhan penduduk di daerah perkotaan secara alami akan menimbulkan masalah. Permasalahan utama yang terjadi di kota adalah masalah permukiman manusia, yang pada umumnya disebabkan oleh pembangunan dan semakin meningkatnya laju pertumbuhan penduduk. Laju pertumbuhan penduduk disebabkan adanya pertumbuhan penduduk secara alami dan migrasi dari desa ke kota yang berlebihan serta urbanisasi yang tidak terkendali. Kota merupakan pusat kegiatan manusia dan menawarkan berbagai kesempatan yang lebih baik dari perdesaan sehingga migrasi dari desa ke kota menyebabkan pertambahan jumlah penduduk diperkotaan makin meningkat dibandingkan pertambahan jumlah penduduk di perdesaan. Laju pertumbuhan penduduk yang berkembang cepat akan berimplikasi pada semakin besarnya kebutuhan ruang untuk tempat tinggal, ekonomi, dan ruang untuk fasilitas lainnya. Pertumbuhan ini mendorong adanya permukiman baru dan akan menghadapi masalah keterbatasan ruang dan faktor sosial ekonomi penghuninya, sehingga permukiman kondisinya berbeda-beda. Penambahan bangunan dalam pertumbuhannya akan mengalami perubahan diantaranya kepadatan dan keteraturan bangunan. Perubahan ini berpengaruh terhadap kualitas permukiman (Hadi, 2002). Kualitas permukiman yang mengalami perubahan secara cepat mendorong untuk diterbitkannya kebijakan perkotaan dalam hal pengelolaan, pemantauan dan evaluasi kualitas lingkungan permukiman perkotaan. Studi penentuan kualitas permukiman perkotaan memerlukan data yang terkait dengan variabel kualitas lingkungan. Data yang diperlukan dapat diperoleh dengan berbagai cara antara lain dengan pengamatan langsung di lapangan, dan melalui teknologi penginderaan jauh. Pengamatan langsung di lapangan umumnya memerlukan waktu, tenaga, dan biaya yang relatif besar, mengingat wilayah perkotaan yang sangat padat dan ramai. Untuk 1

2 2 itu diperlukan suatu metode untuk mengatasi kendala tersebut yaitu dengan menggunakan data penginderaan jauh. Dengan adanya data penginderaan jauh, diharapkan dapat mengkaji kualitas permukiman didaerah perkotaan dan dapat dijadikan alternatif untuk pemecahan masalah tersebut. Salah satu produk penginderaan jauh yang dapat digunakan untuk mengetahui tingkat kualitas lingkungan permukiman adalah dengan menggunakan citra WorldView-2. Citra WorldView-2 mempunyai keunggulan dalam hal resolusi spasialnya yang lebih detail dibandingkan dengan beberapa citra yang lainnya. Adapun resolusi spasial pada citra WorldView-2 ini yaitu 0,46 m untuk pankromatik dan 1,84 m untuk multispektral sehingga menyajikan ketelitian data yang cukup detil. Resolusi spasial pada citra WorldView-2 ini dapat mempengaruhi tingkat kedetailan obyek, yang mana semakin halus resolusi spasialnya maka semakin detail kenampakan obyek yang disajikan sehingga citra WorldView-2 ini dapat digunakan untuk mengidentifikasi permukiman dengan baik. Identifikasi permukiman yang dapat digunakan meliputi kepadatan bangunan, pola bangunan, lebar jalan yang dapat digunakan untuk parameter dalam menentukan kualitas permukiman. Selain data penginderaan jauh untuk mengidentifikasi kualitas permukiman di daerah penelitian didasarkan pada parameter-parameter penentu kualitas permukiman. Proses identifikasi dilakukan dengan memanfaatkan perangkat lunak Sistem Informasi Geografis (SIG) karena dapat menggabungkan data, mengatur data dan melakukan analisis data spasial, melakukan transformasi koordinat, interpretasi secara on screen, digitasi, dan analisis data yang akan menghasilkan keluaran yang dapat dijadikan acuan dalam pengambilan keputusan pada penelitian ini. Kecamatan Umbulharjo dipilih menjadi daerah penelitian karena wilayah ini merupakan salah satu wilayah dengan pertumbuhan paling pesat di Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta. Wilayah ini terbagi menjadi tujuh Kelurahan yang meliputi Kelurahan Semaki, Kelurahan Mujamuju, Kelurahan Tahunan, Kelurahan Warungboto, Kelurahan Pandeyan, Kelurahan Sorosutan, dan Kelurahan Giwangan. Selain itu, wilayah ini memiliki karakteristik yang khas dengan laju pertumbuhan yang cepat dan mempunyai tingkat kerapatan permukiman yang cukup tinggi. Hal ini ditunjukan oleh keberadaan berbagai obyek vital dan muncul kawasan permukiman baru, sehingga meningkatkan kegiatan transportasi. Dengan banyaknya pendatang

3 3 yang tinggal dan bermukim pada wilayah ini, maka kualitas lingkungan permukiman perkotaan perlu diperhatikan. I.2. Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang masalah, maka dapat dirumuskan sebagai berikut : 1. Bagaimana kondisi kualitas permukiman perkotaan di daerah penelitian pada tahun 2013 berdasarkan parameter-parameter penentu tingkat kualitas permukiman yang diturunkan dari citra WorldView-2? 2. Bagaimana ketelitian hasil interpretasi berdasarkan parameter-parameter penentu kualitas permukiman di daerah penelitian? I.3. Cakupan Penelitian Cakupan penelitian yang mendasari penelitian ini adalah : 1. Menggunakan parameter-parameter penentu kualitas lingkungan permukiman dari Ditjen Cipta Karya Departemen Pekerjaan Umum tahun 2000, yang terdiri atas kepadatan permukiman, lebar jalan, pohon pelindung jalan, kondisi permukaan jalan, tata letak bangunan, dan lokasi permukiman. 2. Metode penilaian kualitas lingkungan permukiman menggunakan metode pengharkatan. I.4. Tujuan Penelitian Tujuan dari penelitian ini adalah mengkaji kualitas lingkungan permukiman di daerah penelitian berdasarkan parameter-parameter penentu kualitas permukiman yang diturunkan dari citra WorldView-2. Penelitian ini diharapkan dapat : I.5. Manfaat Penelitian

4 4 1. Memberikan masukkan dan pertimbangan bagi pemerintah daerah untuk program perencanaan, penataan dan pengelolaan permukiman, serta untuk menentukan kebijakan dalam kaitannya dengan permukiman. 2. Memberikan masukkan bagi perencanaan kota dan developer yang akan membangun permukiman. 3. Sebagai masukkan untuk penataan lingkungan perkotaan agar sesuai dengan rencana tata ruang. 4. Digunakan oleh peneliti selanjutnya untuk mengembangkan aplikasi penginderaan jauh khususnya untuk studi permukiman terutama dalam kajian kualitas permukiman. I.6. Tinjauan Pustaka Pribawanti (2008) melakukan penelitian untuk mengetahui kualitas permukiman menggunakan citra satelit Ikonos Level Geo mode Pan Sharpened untuk studi kasus wilayah kecamatan Gondokusuman. Parameter interpretasi yang digunakan meliputi kepadatan permukiman, tata letak permukiman, lebar jalan masuk permukiman, kondisi permukaan jalan masuk permukiman, pohon pelindung jalan, lokasi permukiman. Parameter survei lapangan meliputi banjir, sumber air bersih, sanitasi, saluran air hujan, tempat pembuangan sampah, sekolah, saluran air limbah. Hasil yang diperoleh adalah peta sebaran kualitas permukiman. Metode yang digunakan adalah metode kombinasi antara parameter interpretasi dan survei lapangan. Safitri (2007) melakukan penelitian untuk mengidentifikasi kualitas permukiman menggunakan citra satelit Ikonos Level Geo mode Pan Sharpened untuk studi kasus wilayah kecamatan Joyosuran dan Semanggi yang temasuk dalam kecamatan Pasar Kliwon Kota Surakarta. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui ketelitian hasil identifikasi parameter kualitas permukiman dan menyajikan hasil yang diperoleh dalam bentuk peta tingkat kualitas permukiman. Parameter yang digunakan meliputi kepadatan permukiman, tata letak permukiman, lebar jalan masuk permukiman, kondisi permukaan jalan masuk permukiman, pohon pelindung jalan, lokasi permukiman, dan ukuran bangunan dan kualitas atap bangunan.

5 5 Metode yang digunakan adalah dengan pengharkatan tertimbang dengan pemberian harkat pada setiap parameter yang digunakan. Indrabinawan (2004) melakukan penelitian untuk menegtahui kualitas lingkungan permukiman dalam hubungannya dengan nilai tanah menggunakan citra Ikonos. Parameter interpretasi yang digunakan meliputi kepadatan permukiman, ukuran bangunan, tata letak bangunan, aksesbilitas, lokasi permukiman, dan tutupan vegetasi. Parameter secara terestrial meliputi sanitasi, saluran air hujan, tempat pembuangan sampah, sekolah. Hasil yang diperoleh kemudian digunakan untuk mengetahui nilai tanah. Penelitian yang akan dilakukan ini adalah melakukan kajian kondisi kualitas lingkungan permukiman perkotaan di wilayah Kecamatan Umbulharjo Kota Yogyakarta dengan menggunakan parameter-parameter penentu kualitas lingkungan permukiman melalui interpretasi citra yang meliputi kepadatan permukiman, lebar jalan permukiman, lokasi permukiman terhadap sumber polusi/ bahaya, pohon pelindung jalan, kondisi permukaan jalan permukiman, tata letak bangunan permukiman. Data yang digunakan adalah data citra satelit WorldView-2 multispektral yang dimanfaatkan sebagai dasar untuk mengekstrak informasi parameter-parameter kualitas lingkungan permukiman dan sebagai dasar untuk membuat peta persebaran kualitas lingkungan permukiman. Kajian kondisi kualitas lingkungan permukiman dilakukan dengan melihat keterkaitan antara parameter-parameter yang mempengaruhi kualitas lingkungan permukiman. Metode yang digunakan adalah dengan metode pengharkatan berjenjang dimana dalam metode ini setiap parameter kualitas permukiman diberikan harkat pada setiap parameter penentu kualitas yang digunakan kemudian dikalikan dengan bobotnya. I.7. Landasan Teori I.7.1. Penginderaan Jauh Penginderaan jauh atau remote sensing merupakan suatu ilmu dan seni untuk memperoleh data dan informasi dari suatu obyek di permukaan bumi dengan menggunakan alat yang tidak berhubungan langsung dengan obyek yang dikajinya (Lillesand dan Ralph, 2002). Penginderaan jauh menggunakan alat (sensor) dan

6 6 wahana (platform) untuk menganalisis atau mengindera obyek yang ada di bumi dari jarak yang jauh. Wahana (platform) yang digunakan biasanya seperti satelit, pesawat udara, balon udara dan lainnya. Data hasil penginderaan atau perekaman merupakan data yang masih mentah (raw) yang perlu dianalisis terlebih dahulu untuk dapat menjadi suatu informasi. Data hasil penginderaan jauh dapat berupa citra dan non citra. Citra penginderaan jauh merupakan gambaran yang mirip dengan wujud aslinya atau paling tidak berupa gambaran planimetriknya, bersifat miltiguna atau multi-disiplin (Purwadhi, 2001). Data penginderaan jauh dapat digunakan dalam berbagai bidang pengguna seperti kependudukan, pemetaan, pertanian, kehutanan, industri, serta penggunaan lain yang berhubungan dengan kondisi fisik permukaan bumi. Konsep dasar penginderaan jauh terdiri atas beberapa komponen yang meliputi sumber tenaga, atmosfer, interaksi tenaga dan objek di permukaan bumi, sensor, sistem pengolahan data, dan berbagai pengguna data. Konsep dasar penginderaan jauh dan penggunaannya dapat dilihat pada Gambar I.1. Gambar I.1. Sistem Penginderaan Jauh (Anonim, 2011) Konsep dasar penginderaan jauh terdiri dari beberapa komponen yang meliputi: a. Sumber energi Sumber energi dibedakan menjadi dua yaitu matahari yang disebut dengan sistem penginderaan jauh pasif dan yang berasal dari sumber energi buatan yang disebut dengan sistem penginderaan jauh aktif.

7 7 b. Atmosfer Jalur transmisi gelombang elektromagnetik dilakukan melalui atmosfer. Atmosfer bersifat sebagai penyerap, penghantar, penghambur atau penghambat energi yang sampai ke obyek dan ke sensor. c. Obyek di atas permukaan bumi Merupakan obyek yang ada di atas permukaan bumi yang akan dikaji atau diteliti. d. Interaksi antara gelombang elektromagnetik dan obyek Pada aplikasi penginderaan jauh didarat maupun di air, pantulan atau pancaran radiasi gelombang elektromagnetik akan memberikan karakteristik obyek (jenis obyek yang dikaji). Pantulan atau pancaran terjadi ketika radiasi mengenai obyek kemudian diterima dan direkam oleh sensor yang akan menghasilkan gambar yang berbentuk citra. e. Sensor Sensor disebut sebagai alat perekam yang bisa berupa kamera udara dan scanner. Sensor menerima dan merekam radiasi yang datang dari obyek. Sensor pada dasarnya dapat dibedakan atas dua bagian, yaitu kamera atau sensor fotografi dan sensor bukan kamera atau non-fotografi. Kamera beroperasi pada bagian spektrum tampak mata, sedangkan sensor non-fotografi dapat beroperasi pada bagian spektrum yang jauh dan luas yakni dari sinar X hingga panjang gelombang radio. Sensor dapat dibawa oleh pesawat terbang yang hasilnya berupa foto udara, citra radar dan satelit. f. Perolehan dan penggunaan data Perolehan data penginderaan jauh dapat dilakukan dengan interpretasi secara manual maupun digital dan data penginderaan jauh dapat dimanfaatkan oleh pengguna untuk aplikasi penginderaan jauh. Perkembangannya perolehan data penginderaan jauh melalui satelit menawarkan beberapa keunggulan dibandingkan melalui melalui pemotretan udara, antara lain dari segi harga, periode perekaman daerah yang sama, serta kombinasi saluran spektral (band) yang lebih sesuai untuk aplikasi tertentu (Danoedoro, 1996). Saat ini telah beredar banyak jenis satelit yang diluncurkan oleh banyak negara. Mulai

8 8 dari negara maju seperti Amerika Serikat, Kanada, Perancis, Jepang, Rusia, dan negara-negara besar lainnya. Berbagai satelit yang diluncurkan menawarkan resolusi spasial yang bervariasi, dari reoslusi rendah hingga resolusi tinggi. Resolusi spasial merupakan kemampuan sensor mendeteksi ukuran terkecil obyek di bumi untuk membedakan diantara dua obyek yang berdekatan pada citra (Sabins, 1997). Semakin kecil ukuran obyek terkecil yang dapat terdeteksi, maka semakin halus atau semakin tinggi resolusinya. Begitu pula sebaliknya, semakin besar ukuran obyek terkecil yang dapat terdeteksi, maka semakin kasar atau rendah resolusinya. Satelit yang digunakan pada teknologi penginderaan jauh banyak yang mengarah pada peningkatan resolusi yang cukup tinggi untuk memperoleh informasi yang akurat. Dengan resousi spasial yang cukup tinggi, maka objek-objek seperti bangunan, jembatan, jalan serta infraktruktur lain dapat terlihat secara detail dan jelas, sehingga dapat digunakan dalam pemetaan dalam skala besar, digunakan untuk perencanaan perkotaan, dapat digunakan untuk mengkaji kualitas lingkungan permukiman dan sebagainya. Salah satu jenis satelit dengan resolusi yang cukup tinggi yang digunakan pada sistem penginderaan jauh adalah satelit WorldView-2. Satelit WorldView-2 diluncurkan pada tanggal 8 Oktober 2009 di Vandenberg Air Force Base, California dengan masa operasi sekitar 7,25 tahun. Satelit ini mempunyai resolusi spasial lebih tinggi yaitu 0,46 m untuk pankromatik dan 1,84 m untuk multispektral. Satelit WorldView-2 didesain untuk efisiensi dan keakuratan citra untuk area yang luas dengan kemampuan keakurasi mampu merekam lebih dari 975 ribu km 2 data citra satelit per harinya dengan tinggi orbit 770 km dan periode orbit 100 menit. Dengan kemampuan seperti itu, satelit WorldView-2 merupakan sumber data yang memberikan keadaan up to date dari suatu wilayah (Anonim, 2013). Kenampakan satelit WorldView-2 dapat dilihat pada Gambar I.2. dan karaketristik satelit WorldView-2 dapat dilihat pada Tabel I.1.

9 9 Gambar I.2. Satelit WorldView-2 Tabel I.1. Karakteristik satelit WorldView-2 (Digital Globe, 2013) No. Karakteristik Spesifikasi 1 Peluncuran Tanggal : 8 Oktober 2009 Roket Peluncur : Delta 7920 Lokasi Peluncuran : Vandenberg Air Force Base, California 2 Orbit Tinggi : 770 kilometer Sun synchronous, jam 10:30 am descending node Periode orbit : 100 menit 3 Masa operasi 7,25 tahun, meliputi seluruh yang terpakai dan yang mengalami penyusutan (mis. bahan bakar). 4 Dimensi satelit, bobot, dan power 4,3 meter tinggi x 2,5 meter lebar, 7,1 meter lebar panel energi surya Bobot : 2800 kilogram 3,2 kw panel surya, 100 Ahr battery

10 10 Tabel I.1. ( lanjutan ) No. Karateristik Spesifikasi 5 Sensor Bands a. Pankromatik b. 8 Multispektral: - 4 standard colors: blue, green, red, near-ir 1-4 new colors: coastal, yellow, red edge, near-ir 2 6 Resolusi Sensor (GSD = Pankromatik : 0,46 meter GSD pada nadir Ground Sample Distance) 0,52 meter GSD pada 20 off-nadir Multispektral: 1,84 meter GSD pada nadir 2,08 meter GSD pada 20 off-nadir 7 Dynamic Range 11-bit per pixel 8 Lebar Sapuan 16,4 kilometer pada nadir 9 Kapasitas penyimpanan 2199 gigabit 10 Perekaman per orbit 524 gigabit 11 Maksimal area terekam pada sekali lintas 65,6 km x 110 km mono 48 km x 110 km stereo 12 Putaran ke lokasi yg sama 1,1 hari pada 1 meter GSD atau kurang 3,7 hari pada 20 off-nadir atau kurang (0,52 meter GSD) 13 Ketelitian lokasi (CE 90) a. 6,5m CE90, dengan perkiraan antara 4,6 s/d 10,7 meter CE90, di luar pengaruh terrain dan off-nadir b. 2,0 m jika menggunakan registrasi titik kontrol tanah Citra satelit WorldView-2 memiliki keuntungan yaitu : 1. Menyajikan detail image yang cukup tinggi untuk pembuatan peta skala besar. 2. Memberikan kemampuan dalam mendeteksi perubahan-perubahan yang kecil, pemetaan dan analisis citra secara multispektral.

11 11 3. Memiliki kemampuan dalam pengumpulan, penyimpanan dan pengiriman data serta waktu kunjungan kembali (revisit time) sangat singkat, sehingga update image secara keseluruhan bisa dilakukan lebih sering dibandingkan dengan satelit-satelit lainnya. I.7.2. Rektifikasi Citra Rektifikasi adalah suatu proses melakukan transformasi data dari suatu sistem grid menggunakan suatu transformasi geometrik, yakni pemberian koordinat pada citra berdasarkan koordinat hasil survei lapangan atau koordinat yang telah ada pada suatu peta maupun dari citra yang sudah kegeoreferensi yang mencakup area yang sama (Lillesand dan Ralph, 2002). Oleh karena posisi piksel pada citra output tidak sama dengan posisi input (aslinya), maka piksel-piksel yang digunakan untuk mengisi citra yang baru harus diresampling kembali. Resampling adalah suatu proses melakukan ekstrapolasi nilai data untuk piksel-piksel pada grid yang baru dari nilai piksel citra aslinya. Ketelitian hasil transformasi ditentukan dari besarnya kesalahan menengah rata-rata atau RMS Error. Semakin kecil nilai RMS Error maka semakin teliti pula hasil rektifikasi. RMS Error digambarkan sebagai suatu jarak pada suatu koordinat sumber, apabila koordinat data file berupa koordinat sumber maka nilai RMS Error merupakan suatu jarak lebar piksel dengan tingkat pergeseran dalam penentuan titik kontrol yang ditunjukan oleh besarnya nilai RMS Error. Model matematika yang dapat digunakan untuk menghitung distorsi atau pergeseran adalah dengan menghitung nilai RMS Error dari masing-masing titik kontrol. Rumus perhitungan nilai RMS Error untuk setiap titik kontrol adalah sebagai berikut : RMSerror = (x x org ) 2 + y y org ) 2...(1.1) Keterangan : x,y merupakan koordinat hitungan pada citra original dalam satuan piksel.

12 12 xorg, yorg merupakan koordinat (baris dan kolom) titik kontrol pada citra dalam satuan piksel. I.7.3. Interpretasi Citra Satelit Interpretasi atau penafsiran citra penginderaan jauh merupakan perbuatan mengkaji citra dengan maksud untuk mengidentifikasi, mengenali obyek yang tergambar dalam citra, dan menilai arti pentingnya obyek tersebut (Purwadhi, 2001). Pengenalan obyek merupakan bagian vital dalam interpretasi citra. Tanpa dikenali identitas dan jenis obyek yang tergambar pada citra, tidak mungkin dilakukan analisis untuk memecahkan masalah yang sedang dihadapi. Prinsip pengenalan obyek pada citra berdasarkan atas penyidikan karakteristiknya atau atributnya pada citra. Karakteristik obyek yang tergambar pada citra dan digunakan untuk mengenali obyek disebut interpretasi citra. Karakteristik obyek yang tergambar pada citra dapat dikenali berdasarkan unsur-unsur interpretasi seperti rona atau warna, bentuk, tekstur, pola, bayangan, ukuran, situs, dan asosiasi kenampakan obyek. Unsur interpretasi tersebut dapat dibagi berdasarkan empat tingkat kerumitan dengan cara berjenjang membentuk susunan piramida. Secara berjenjang, unsur- unsur tersebut dilihat pada Gambar I.3. Gambar I.3. Susunan Hirarki Unsur Interpretasi Lillesand dan Ralphr (2002) menyatakan bahwa terdapat 8 unsur interpretasi citra yang meliputi: 1. Rona atau warna

13 13 Rona adalah tingkat kegelapan atau tingkat kecerahan obyek pada citra, dengan demikian rona merupakan tingkatan dari hitam ke putih atau sebaliknya. Sedangkan warna adalah wujud yang tampak oleh mata dengan menggunakan spektrum sempit yang lebih sempit dari spektrum tampak, menunjukkan tingkat kegelapan yang beragam warna biru, hijau, kuning, merah, jingga dan lainnya. 2. Bentuk Bentuk merupakan variabel kualitatif yang memerlukan konfigurasi atau kerangka suatu obyek. Bentuk merupakan atribut yang jelas sehingga banyak obyek yang dapat dikenali berdasarkan bentuknya saja. Ada dua istilah dalam bahasa inggris yang artinya bentuk yaitu shape dan form. Shape adalah bentuk luar atau bentuk umum, sedangkan form adalah susunan atau struktur yang bentuknya lebih rinci. Contoh : gedung perkantoran biasanya berbentuk huruf I, L, atau U, pohon kelapa berbentuk bintang, sedangkan pinus berbentuk kerucut. 3. Ukuran Ukuran adalah atribut obyek yang antara lain berupa jarak, luas, tinggi, lereng, dan volume. Karena ukuran obyek pada citra merupakan fungsi skala, maka di dalam memanfaatkan ukuran sebagai unsur interpretasi citra harus selalu diingat skalanya. Contoh : ukuran suatu bangunan dibedakan apakah rumah hunian, kantro, atau pabrik. Rumah hunian biasanya ukurannya relatif lebih kecil dibandingkan dengan perkantoran atau pabrik. 4. Tekstur Tekstur adalah frekuensi perubahan rona pada citra atau pengulangan rona kelompok obyek yang terlalu kecil untuk dibedakan secara individual yang sering dinyatakan dengan wujud kasar, halus dan bercak-bercak. Contoh : hutan biasanya tampak bertekstur kasar, belukar bertekstur sedang, semak bertekstur halus, permukaan air bertekstur halus, tanaman pekarangan bertekstur kasar, dan sawah bertekstur halus. 5. Pola Pola adalah letak atau susunan kerungan merupakan ciri yang menandai bagi banyak obyek bentukan manusia dan bagi beberapa obyek alamiah yang membentuk susunan keruangan. Contoh : perumahan real estate dikenali dengan

14 14 pola yang teratur, sedangkan perkampungan menyebar dikenali dengan pola tidak teratur 6. Bayangan Bayangan bersifat menyembunyikan detail atau obyek yang berada di daerah gelap. Obyek atau gejala yang terletak di daerah bayangan pada umumnya tidak tampak sama sekali atau kadang-kadang tampak samar. Meskipun demikian, bayangan sering merupakan kunci pengenalan yang penting bagi beberapa obyek yang justru lebih tampak dari bayangan. Contoh : cerobong asap pabrik, menara, bak air yang dipasang tinggi, lereng yang terjal akan nampak dari bayangan 7. Situs Situs merupakan letak suatu obyek terhadap obyek lain di sekitarnya. Situs bukan merupakan ciri obyek langsung melainkan dalam kaitannya dengan lingkungan di sekitarnya. Misalnya letak kota terhadap wilayah kota, letak suatu bangunan terhadap persil tanahnya. Contoh : kompleks permukiman biasanya memanjang di sepanjang jalan, situs kebun kopi terletak di tanah miring karena tanaman kopi memerlukan pengaturan air yang baik dan lain sebagainya. 8. Asosiasi Asosiasi adalah merupakan keterkaitan antara obyek yang satu dengan obyek yang lainnya, karena ada keterkaitan maka keberadaan suatu obyek pada citra sering sebagai petunjuk adanya obyek yang lain. Contoh : obyek lapangan sepak bola berasosiasi dengan tiang gawang, bila ada tribun penonton maka obyek tersebut merupakan stadion besar. Dengan menggunakan kedelapan unsur interpretasi tersebut, terdapat beberapa unsur penutup lahan yang mudah dikenali pada citra satelit, terutama bangunan yang berukuran besar, terpisah jelas dari bangunan disekitarnya dan ditandai dengan adanya identitas yang jelas (Sutanto, 1994), antara lain : 1) Lapangan olahraga A. Lapangan sepak bola biasanya memiliki ciri-ciri sebagai berikut : a) Rona cerah dengan tekstur halus dan seragam (rumput) b) Ukuran kurang lebih 100 m x 80 m c) Kadang terlihat gawangnya (nampak dari bayangan) B. Lapangan tenis biasanya memiliki ciri-ciri sebagai berikut :

15 15 a) Rona cerah dengan bentuk persegi panjang b) Ukuran kurang lebih 18 m x 36 m c) Dikelilingi pagar (nampak dari bayangan) d) Kadang dilengkapi dengan bangunan kecil (kamar kecil) C. Kolam renang biasanya memiliki ciri-ciri sebagai berikut : a) Rona gelap dengan banyak air b) Dikelilingi dengan pagar tembok (nampak dari bayangan) c) Bangunan rumah di dalam pagar tembok 2) Stasiun kereta api biasanya memiliki ciri-ciri sebagai berikut : a) Nampak jalur jalan kereta api dengan kenampakan garis sejajar b) Nampak gerbong kereta api c) Bangunan yang terpisah dengan bangunan sekitarnya 3) Pasar biasanya memiliki ciri-ciri sebagai berikut : a) Bentuk dan ukuran atap bangunan yang seragam b) Jarak antar tiap atap relatif rapat dan teratur c) Pengelompokan kendaraan di dekatnya 4) Rumah sakit biasanya memiliki ciri-ciri sebagai berikut : a) Bentuk dan ukuran atap bangunan yang besar dan seragam b) Jarak antar tiap bangunan teratur dan tidak teratur c) Ruang terbuka hijau diisi dengan rumput dan tanaman hias d) Terletak ditepi jalan besar 5) Gedung sekolah biasanya memiliki ciri-ciri sebagai berikut : a) Ukuran bangunan besar dan berkelompok b) Bentuk bangunan biasanya U, L atau bentuk khusus lainnya c) Terdapat halaman yang cukup luas atau dekat dengan lapangan olahraga 6) Tempat ibadah A. Masjid biasanya memiliki ciri-ciri sebagai berikut : a) Berukuran relatif besar b) Berbentuk bujur sangkar atau mendekati bujur sangkar c) Atap bagian tengah lebih tinggi dari atap rumah bertingkat satu d) Kadang terdapat makam di bagian baratnya, terutama untuk masjid lama B. Gereja biasanya memiliki ciri-ciri sebagai berikut :

16 16 a) Berukuran relatif besar dari rumah pada umumnya b) Terdapat bangunan runcing tinggi di bagian depan 7) Hotel biasanya memiliki ciri-ciri sebagai berikut : a) Berukuran relatif besar b) Halaman depan cukup luas dengan tempat parkir c) Terletak di tepi jalan besar d) Kelompok kendaraan sering nampak di bagian depan 8) Terminal bus atau taksi memiliki ciri-ciri sebagai berikut : a) Terkumpulnya jenis kendaraan tertentu dalam deretan berjajar b) Kadang terdapat bangunan memanjang didekatnya 9) Perumahan dengan pola teratur biasanya memiliki ciri-ciri sebagai berikut : Perumahan dengan pola teratur biasanya nampak jelas dari bentuk atau ukurannya yang seragam serta jarak yang sama. Dapat dikenali dengan mudah meskipun ukuran perumahannya kecil. 10) Pabrik biasanya memiliki ciri-ciri sebagai berikut : a) Berukuran besar b) Jarak antar tiap bangunan relatif kecil atau dengan ruang kosong sekecil mungkin c) Jalan masuk memadai untuk kendaraan berukuran besar seperti truk bahkan trem d) Terdapat gedung yang sering nampak dari ukuran yang besar serta bentuk bangunan yang berbeda terhadap bangunan yang lain. 11) Jalan, jembatan dan sungai biasanya memiliki ciri-ciri sebagai berikut: a) Jembatan dapat dikenali dengan bayangan serta ukuran yang relatif sempit dari jalan b) Jalan berona cerah dan lebarnya seragam c) Sungai berona gelap dan lebarnya serta arahnya tidak teratur 12) Makam biasanya memiliki ciri-ciri sebagai berikut : a) Rona cerah dan tidak seragam b) Tekstur agak kasar c) Sering nampak bangunan kecil-kecil menyerupai rumah

17 17 Interpretasi citra dibedakan menjadi dua macam yaitu interpretasi secara digital dan interpretasi secara visual. Interpretasi citra secara digital adalah interpretasi dengan mengklasifikasikan piksel berdasarkan nilai spektralnya, klasifikasi dilakukan berdasarkan berbagai cara statistik. Interpretasi citra secara visual meliputi tahapan membaca, analisis, klasifikasi. Membaca citra meliputi kegiatan deteksi, pengenalan dan identifikasi, kegiatan deteksi semata-mata hanya melihat secara umum ada tidaknya suatu obyek dalam citra. Pekerjaan interpretasi dimulai dari pengkajian terhadap semua obyek yang sesuai dengan tujuan. Pada tahap interpretasi ini dilakukan dengan dua proses yaitu dengan penyadapan data untuk interpretasi suatu blok permukiman dan identifikasi obyek yang digunakan untuk parameter penentu nilai kualitas lingkungan permukiman. Interpretasi visual dilakukan dengan menggunakan perangkat lunak ArcGIS versi 10.1 untuk kemudian dilakukan digitasi on screen terhadap kenampakan obyek yang terdapat pada citra. Kenampakan obyek yang digitasi dibedakan menjadi dua yaitu kenampakan obyek rumah mukim diwakili oleh blok permukiman dan kenampakan obyek bukan rumah mukim diwakili oleh blok non permukiman. Dalam interpretasi daerah permukiman, Ditjen Cipta Karya Departemen Pekerjaan Umum (2000) menetapkan kriteria permukiman apabila lebih dari 80 % bangunan berupa rumah mukim. Keberhasilan interpretasi ini berdasarkan pada kemampuan seorang analisis/interpreter untuk mengidentifikasi karakteristik fisik atribut lahan yang relevan dan menghubungkan dengan penggunaan sumber daya lokal tersebut. I.7.4. Lingkungan Permukiman Kawasan permukiman adalah bagian dari lingkungan hidup di luar kawasan lindung, baik berupa kawasan perkotaan maupun perdesaan, yang berfungsi sebagai lingkungan tempat tinggal atau lingkungan hunian dan tempat kegiatan yang mendukung perikehidupan dan penghidupan (Undang-Undang No.4 tahun 1992). Permukiman adalah bagian dari lingkungan hunian yang terdiri atas lebih dari satu satuan perumahan yang mempunyai prasarana, sarana, utilitas umum, serta mempunyai penunjang kegiatan fungsi lain di kawasan perkotaan atau kawasan

18 18 perdesaan. Permukiman dalam Pedoman Perencanaan Lingkungan Permukiman diartikan sebagai suatu tempat dimana terdapat rumah-rumah tempat tinggal penduduk atau salah satu sarana hunian yang erat dengan tata kehidupan masyarakat. I.7.5. Kualitas Lingkungan Permukiman Menurut UU No. 4 tahun 1992, permukiman adalah bagian dari lingkungan hidup di luar dari kawasan lindung, baik yang berupa kawasan perkotaan maupun pedesaan yang berfungsi sebagai lingkungan tempat tinggal atau lingkungan hunian dan tempat kegiatan yang mendukung perikehidupan dan penghidupan. Satuan lingkungan permukiman adalah kawasan perumahan dalam berbagai bentuk dan ukuran dengan penataan tanah dan ruang, prasarana dan sarana lingkungan yang terstruktur. Kualitas lingkungan permukiman adalah derajat kemampuan nyata suatu lingkungan permukiman untuk memenuhi kebutuhan (Hadi 2002). Untuk menilai kualitas permukiman ada dua cara yaitu dengan terestrial dan menggunakan penginderaan jauh. Penilaian secara terestrial yaitu dengan melakukan survei langsung ke lapangan untuk memperoleh informasi, sedangkan teknik penginderaan jauh yaitu dengan memanfaatkan citra satelit ataupun foto udara. Penentu kualitas permukiman dalam penelitian ini mengacu pada penilaian kualitas permukiman berdasarkan Ditjen Cipta Karya Departemen Pekerjaan Umum (2000). I.7.6. Penilaian Parameter Kualitas Lingkungan Permukiman Penilaian parameter kualitas lingkungan permukiman adalah dengan menggunakan metode pengharkatan. Metode pengharkatan ini merupakan pemberian harkat atau nilai pada setiap satuan unit pemetaan. Metode pengharkatan yang digunakan adalah metode pengharkatan berjenjang dimana dalam metode ini setiap parameter kualitas permukiman diberikan harkat pada setiap parameter penentu kualitas yang digunakan kemudian dikalikan dengan bobotnya. Bobot berfungsi untuk menilai besar kecilnya pengaruh parameter terhadap penilaian kualitas permukiman, dimana besarnya berkisar satu sampai tiga. Bobot bernilai satu menunjukkan bahwa

19 19 parameter tersebut berpengaruh kecil terhadap kualitas permukiman, sedangkan nilai tiga berpengaruh besar terhadap kualitas permukiman. Menurut Ditjen Cipta Karya Departemen Pekerjaan Umum (2000) besarnya nilai masing-masing bobot parameter kualitas lingkungan permukiman dapat dilihat pada Tabel I.2 berikut ini : Tabel I.2. Bobot parameter kualitas lingkungan permukiman (Ditjen Cipta Karya, 2000) No Parameter Bobot 1 Kepadatan Permukiman 3 2 Lebar jalan 3 3 Kondisi permukaan jalan masuk permukiman 2 4 Lokasi permukiman 2 5 Pohon pelindung jalan 2 6 Tata letak bangunan permukiman 1 Penjelasan dari masing-masing parameter yang digunakan adalah sebagai berikut : 1. Kepadatan permukiman dinilai berdasarkan kepadatan bangunan dalam satuan blok permukiman. Dasar perhitungan kepadatan rumah adalah dengan menghitung prosentase luas atap terhadap luas blok permukiman. Area yang memiliki tingkat kepadatan yang relatif homogen akan dimasukkan pada satuan unit permukiman yang sama. Dari perhitungan kepadatan permukiman tersebut, selanjutnya diklasifikasikan berdasarkan Tabel I.3.

20 20 Tabel I.3. Klasifikasi dan harkat parameter kepadatan permukiman (Ditjen Cipta Karya, 2000) Kriteria Klasifikasi Harkat Kepadatan rumah pada suatu unit permukiman termasuk Baik 3 jarang (kepadatan < 40%) Kepadatan rumah pada suatu unit permukiman termasuk Sedang 2 sedang (kepadatan 40%-60%) Kepadatan rumah pada suatu unit permukiman termasuk padat (kepadatan > 60%) Buruk 1 2. Lebar jalan diartikan sebagai lebar jalan yang menghubungkan jalan lingkungan permukiman dengan jalan utamanya. Penilaian parameter ini dimaksudkan untuk mengetahui mudah tidaknya transportasi dari, ke dan dalam blok permukiman yang bersangkutan. Klasifikasi untuk parameter ini dapat dilihat pada Tabel I.4. Tabel I.4. Klasifikasi dan harkat parameter lebar jalan (Ditjen Cipta Karya, 2000) Kriteria Klasifikasi Harkat Lebar jalan > 5 m Baik 3 Lebar jalan antara 4m-5m Sedang 2 Lebar jalan < 4m Buruk 1 3. Lokasi permukiman diartikan sebagai letak suatu blok permukiman terhadap pusat kegiatan yang terkait dengan sumber populasi/bahaya. Dasar penilaian atas parameter ini adalah atas dasar jauh dekatnya suatu unit permukiman dengan pusat atau inti kota, dimana yang pada umumnya menjadi pusat keramaian adalah jalan utama, kawasan perdagangan, dan jasa. Selain itu juga berkaitan dengan sumber polusi atau bahaya bencana. Penentuan jarak permukiman terhadap bahaya bencana pada daerah penelitian adalah dekatnya dengan sungai. Penentuan jarak permukiman yang baik terhadap bahaya bencana sungai berdasarkan pada Undang-Undang No. 38 tahun 2011 tentang

21 21 sepadan sungai. Menurut Undang-Undang tersebut daerah sepadan sungai bertanggul di kawasan perkotaan adalah minimal 3 m dari kaki tanggul, namun jika sungai tidak bertanggul minimal 5 m dari kaki tanggul. Sehingga untuk jarak permukiman yang baik terhadap bahaya sungai yaitu berada di antara radius > 100 m untuk sungai besar dan > 50 m untuk sungai kecil. Klasifikasi untuk parameter ini dapat dilihat pada Tabel I.5. Tabel I.5. Klasifikasi dan harkat parameter lokasi permukiman (Ditjen Cipta Karya, 2000) Kriteria Klasifikasi Harkat Baik, bila lokasi permukiman jauh dari polusi atau Baik 3 bencana dan masih dekat dengan kota Sedang, bila lokasi permukiman tidak terpengaruh Sedang 2 secara langsung dengan kegiatan sumber polusi atau bencana Buruk, bila lokasi permukiman dekat dengan sumber polusi atau bencana. Buruk 1 4. Kondisi permukaan jalan permukiman merupakan permukaan badan jalan yang dibedakan atas bahan pengeras jalan tersebut. Dasar perhitungannya didasarkan pada prosentase dari kondisi jalan yang telah diperkeras dengan aspal atau telah di semen terhadap seluruh jalan pada satuan unit permukiman. Cara menginterpretasinya dengan memperhatikan rona pada obyek yang diamati, cara penilaian kondisi permukaan jalan masuk permukiman dibedakan pada Tabel I.6.

22 22 Tabel I.6. Klasifikasi dan harkat parameter kondisi permukaan jalan (Ditjen Cipta Karya, 2000) Kriteria Klasifikasi Harkat >50% jalan yang ada pada unit permukiman diperkeras Baik 3 dengan aspal atau semen 25%-50% jalan yang ada pada unit permukiman Sedang 2 diperkeras dengan aspal atau semen <25% jalan yang ada pada unit permukiman diperkeras dengan aspal atau semen Buruk 1 5. Pohon pelindung jalan adalah terdapatnya jajaran pohon yang ada di kiri kanan jalan pada suatu blok permukiman. Dasar perhitungan pohon pelindung didasarkan pada prosentase dari jumlah tutupan kanopi daun pada kanan kiri jalan dibandingkan dengan luas blok permukiman. Klasifikasi dan harkat pohon pelindung jalan dapat dilihat dalam Tabel I.7. Tabel I.7. Klasifikasi dan harkat parameter pohon pelindung jalan (Ditjen Cipta Karya, 2000) Kriteria Klasifikasi Harkat > 50% jalan yang ada pada unit permukiman di kanan Baik 3 kirinya ada pohon pelindung jalan 25%-50% jalan yang ada pada unit permukiman di Sedang 2 kanan kirinya ada pohon pelindung jalan < 25% jalan yang ada pada unit permukiman di kanan kirinya ada pohon pelindung jalan Buruk 1 6. Tata letak bangunan dapat dilihat dengan jelas melalui pola bangunan yang ada pada satuan blok permukiman. Bangunan permukiman yang memiliki ukuran relatif sama dan letaknya mengikuti pola teratur, maka bangunan tersebut akan dikelompokkan pada satuan unit permukiman yang sama. Tata letak bangunan diperoleh dengan membandingkan dan menginterpretasikan bangunan yang

23 23 tertata teratur dalam blok permukiman. Dari membandingkan dan menginterpretasikan tata letak bangunan tersebut, selanjutnya diklasifikasikan berdasarkan Tabel I.8. Tabel I.8. Klasifikasi dan harkat parameter tata letak bangunan (Ditjen Cipta Karya, 2000) Kriteria Klasifikasi Harkat > 50% bangunan yang ada pada suatu unit permukiman Baik 3 tertata teratur (teratur) 25%-50% bangunan yang ada pada suatu unit Sedang 2 permukiman tertata teratur (semi teratur) < 25% bangunan yang ada pada suatu unit permukiman tertata teratur (tidak teratur) Buruk 1 Penentuan kualitas permukiman dilakukan dengan menilai kondisi parameterparameter kualitas lingkungan permukiman dari data hasil interpretasi yang telah didigitasi dan telah diberi nilai harkat untuk masing-masing parameter tersebut kemudian dikalikan dengan bobot dari masing-masing parameter dalam setiap satuan blok. Penilaian kualitas permukiman dilakukan setelah pengharkatan semua parameter kualitas lingkungan permukiman selesai di input dalam tabel atribut. Penentu klas kualitas lingkungan didasarkan pada jumlah skor total. Perolehan skor total didapatkan dari hasil penjumlahan dan perkalian harkat masing-masing parameter penentu dengan bobotnya. Harkat Total Citra = (Ax3) + (Bx1) + (Cx2) + (Dx3) + (Ex2) + (Fx2)...(1.2) Keterangan: A : Harkat kepadatan permukiman B : Harkat tata letak bangunan C : Harkat pohon pelindung jalan D : Harkat lebar jalan E : Harkat kondisi permukaan jalan F : Harkat lokasi permukiman

24 24 Hasil dari perhitungan bobot diperoleh jumlah skor tertinggi dan terendah sehingga dapat diketahui selisihnya (range). Berdasarkan pendekatan ini maka klasifikasi kualitas permukiman diperoleh dengan persamaan sebagai berikut : Ci = R: K...(1.3) Keterangan: Ci: interval kelas R: range (nilai ini diperoleh dari selisih skor total tertinggi - skor total terendah) K: Jumlah kelas ( tiga kelas tingkatan, yaitu baik, sedang dan buruk) Menurut ketentuan Ditjen Cipta Karya Departemen Pekerjaan Umum, klasifikasi kualitas permukiman minimal dibagi menjadi tiga klas yang berdasarkan pada hasil perhitungan pada skor total pada suatu unit permukiman dengan pembagi skor total pada masing-masing klas. Pembagian klas dapat dilihat pada Tabel I.9 berikut ini : Tabel I.9. Klasifikasi klas kualitas permukiman Klas Klas kualitas permukiman Total harkat pada tiap klas I Kualitas baik II Kualitas sedang III Kualitas buruk I.7.8. Uji Ketelitian Uji ketelitian merupakan tahapan kegiatan yang sangat penting dilakukan oleh peneliti data penginderaan jauh sebelum melakukan analisis lebih lanjut. Uji ketelitian bertujuan untuk mengetahui tingkat ketelitian data hasil klasifikasi sebelum digunakan untuk analisis kualitas lingkungan permukiman. Ada beberapa cara yang digunakan untuk uji ketelitian ( Short, 1982) yaitu : 1. Cek lapangan pada titik-titik terpilih. 2. Pendugaan kesesuaian antara citra dengan peta acuan atau foto.

25 25 3. Analisis statistik. 4. Perhitungan matriks konfusi Berdasarkan ketelitian klasifikasi terdapat kriteria sebagai berikut : 1. Rata-rata ketelitian > 85 %. 2. Kesalahan komisi < 20 %. Dalam penelitian ini uji ketelitian dilakukan lebih ditekankan untuk kebenaran dilapangan terhadap parameter-parameter hasil klasifikasi citra, yaitu parameter hasil klasifikasi citra terhadap lingkungan permukiman yang digunakan untuk mengenali dan memetakan kualitas lingkungan permukiman. Metode yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah uji ketelitian klasifikasi (Matrix Confusion) yang disajikan dalam bentuk matriks uji ketelitian hasil klasifikasi dan ketelitian seluruh hasil klasifikasi seperti Tabel I.10. berikut ini: Kategori hasil interpretasi Tabel I.10. Uji ketelitian klasifikasi (Short, 1982) A B C Lain -lain A Jumlah Omisi % Komisi % Ketelitian = 42% B = 21% C = 17% Lain-lain Jumlah = 6% = 16% = 17% = 25% = 12% pemetaan = 50% = 68% = 67% = 84% Keterangan : 1. Ketelitian seluruh hasil interpretasi = x 100% = 83 % 284

26 26 2. Ketelitian pemetaan (Kp) untuk suatu kelas X adalah : jumlah obyek X yang benar jumlah obyek X yang benar + jumlah omosi obyek X + jumlah komisi obyek X 3. Jumlah omisi obyek X = jumlah semua obyek bukan X pada baris X 4. Jumlah komisi obyek X = jumlah semua obyek bukan X pada lajur X Alasan menggunakan metode ini karena lebih efektif dalam menyatakan ketelitian setiap kategori klas, disamping itu juga dapat diketahui kesalahan omisi dan komisi serta kesalahan pemetaan masing-masing klas. I.8. Hipotesis Hipotesis dari penelitian ini adalah kualitas lingkungan permukiman di Kecamatan Umbulharjo Kota Yogyakarta mempunyai kualitas lingkungan klas sedang. Hal ini karena faktor dari parameter penentu kualitas lingkungan permukiman mempunyai kualitas sedang sehingga kualitas lingkungan di Kecamatan Umbulharjo masuk dalam kondisi kualitas sedang.

RINGKASAN MATERI INTEPRETASI CITRA

RINGKASAN MATERI INTEPRETASI CITRA Lampiran 1 Ringkasan Materi RINGKASAN MATERI INTEPRETASI CITRA 1 Pengertian Intepretasi Citra Inteprtasi Citra adalah kegiatan menafsir, mengkaji, mengidentifikasi, dan mengenali objek pada citra, selanjutnya

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pembangunan dan laju pertumbuhan penduduk yang meningkat cepat selalu membawa perubahan, salah satunya adalah perubahan pada tingkat kualitas lingkungan. Laju pertumbuhan

Lebih terperinci

ULANGAN HARIAN PENGINDERAAN JAUH

ULANGAN HARIAN PENGINDERAAN JAUH ULANGAN HARIAN PENGINDERAAN JAUH 01. Teknologi yang terkait dengan pengamatan permukaan bumi dalam jangkauan yang sangat luas untuk mendapatkan informasi tentang objek dipermukaan bumi tanpa bersentuhan

Lebih terperinci

Interpretasi Citra dan Foto Udara

Interpretasi Citra dan Foto Udara Interpretasi Citra dan Foto Udara Untuk melakukan interpretasi citra maupun foto udara digunakan kreteria/unsur interpretasi yaitu terdiri atas rona atau warna, ukuran, bentuk, tekstur, pola, bayangan,

Lebih terperinci

ISTILAH DI NEGARA LAIN

ISTILAH DI NEGARA LAIN Geografi PENGERTIAN Ilmu atau seni untuk memperoleh informasi tentang obyek, daerah atau gejala dengan jalan menganalisis data yang diperoleh dengan menggunakan alat tanpa kontak langsung terhadap obyek

Lebih terperinci

INTERPRETASI CITRA SATELIT LANDSAT

INTERPRETASI CITRA SATELIT LANDSAT INTERPRETASI CITRA SATELIT LANDSAT Tujuan: Mahasiswa dapat mengidentifikasi objek yang ada pada citra landsat Mahasiswa dapat mendelineasi hasil interpretasi citra landsat secara teliti Mahasiswa dapat

Lebih terperinci

INTERPRETASI CITRA IKONOS KAWASAN PESISIR PANTAI SELATAN MATA KULIAH PENGINDERAAN JAUH OLEH : BHIAN RANGGA J.R NIM : K

INTERPRETASI CITRA IKONOS KAWASAN PESISIR PANTAI SELATAN MATA KULIAH PENGINDERAAN JAUH OLEH : BHIAN RANGGA J.R NIM : K INTERPRETASI CITRA IKONOS KAWASAN PESISIR PANTAI SELATAN MATA KULIAH PENGINDERAAN JAUH OLEH : BHIAN RANGGA J.R NIM : K 5410012 PENDIDIKAN GEOGRAFI FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN UNIVERSITAS SEBELAS

Lebih terperinci

GEOGRAFI. Sesi PENGINDERAAN JAUH : 5. A. IDENTIFIKASI CITRA PENGINDERAAN JAUH a. Identifikasi Fisik

GEOGRAFI. Sesi PENGINDERAAN JAUH : 5. A. IDENTIFIKASI CITRA PENGINDERAAN JAUH a. Identifikasi Fisik GEOGRAFI KELAS XII IPS - KURIKULUM GABUNGAN 12 Sesi NGAN PENGINDERAAN JAUH : 5 A. IDENTIFIKASI CITRA PENGINDERAAN JAUH a. Identifikasi Fisik 1. Hutan Hujan Tropis Rona gelap Pohon bertajuk, terdiri dari

Lebih terperinci

PERBEDAAN INTERPRETASI CITRA RADAR DENGAN CITRA FOTO UDARA

PERBEDAAN INTERPRETASI CITRA RADAR DENGAN CITRA FOTO UDARA PERBEDAAN INTERPRETASI CITRA RADAR DENGAN CITRA FOTO UDARA I. Citra Foto Udara Kegiatan pengindraan jauh memberikan produk atau hasil berupa keluaran atau citra. Citra adalah gambaran suatu objek yang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penginderaan jauh didefinisikan sebagai proses perolehan informasi tentang suatu obyek tanpa adanya kontak fisik secara langsung dengan obyek tersebut (Rees, 2001;

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penginderaan jauh yaitu berbagai teknik yang dikembangkan untuk perolehan dan analisis informasi tentang bumi. Informasi tersebut berbentuk radiasi elektromagnetik

Lebih terperinci

KOMPONEN PENGINDERAAN JAUH. Sumber tenaga Atmosfer Interaksi antara tenaga dan objek Sensor Wahana Perolehan data Pengguna data

KOMPONEN PENGINDERAAN JAUH. Sumber tenaga Atmosfer Interaksi antara tenaga dan objek Sensor Wahana Perolehan data Pengguna data PENGINDERAAN JAUH KOMPONEN PENGINDERAAN JAUH Sumber tenaga Atmosfer Interaksi antara tenaga dan objek Sensor Wahana Perolehan data Pengguna data Lanjutan Sumber tenaga * Alamiah/sistem pasif : sinar matahari

Lebih terperinci

Citra Satelit IKONOS

Citra Satelit IKONOS Citra Satelit IKONOS Satelit IKONOS adalah satelit inderaja komersiil pertama yang dioperasikan dengan tingkat ketelitian 1 meter untuk model pankromatik dan 4 meter untuk model multispektral yang merupakan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG

BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG Seiring dengan berkembangnya permintaan akan pemetaan suatu wilayah dalam berbagai bidang, maka semakin berkembang pula berbagai macam metode pemetaan. Dengan memanfaatkan

Lebih terperinci

LAPORAN PENELITIAN. Oleh: Dyah Respati Suryo Sumunar

LAPORAN PENELITIAN. Oleh: Dyah Respati Suryo Sumunar LAPORAN PENELITIAN KAJIAN KUALITAS LINGKUNGAN PERMUKIMAN KOTA YOGYAKARTA BAGIAN SELATAN DENGAN FOTO UDARA PANKROMATIK HITAM PUTIH DAN SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS Oleh: Dyah Respati Suryo Sumunar Penelitian

Lebih terperinci

SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS,

SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS, Integrasi GISdan Inderaja Penginderaan jauh (remote sensing) adalah ilmu dan ketrampilan untuk memperoleh informasi tentang obyek, daerah, atau fenomena melalui analisis data yang diperoleh dengan suatu

Lebih terperinci

PENGINDERAAN JAUH. --- anna s file

PENGINDERAAN JAUH. --- anna s file PENGINDERAAN JAUH copyright@2007 --- anna s file Pengertian Penginderaan Jauh Beberapa ahli berpendapat bahwa inderaja merupakan teknik yang dikembangkan untuk memperoleh data di permukaan bumi, jadi inderaja

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI 3.1 Waktu dan Tempat 3.2 Alat dan Data 3.3 Tahapan Pelaksanaan

BAB III METODOLOGI 3.1 Waktu dan Tempat 3.2 Alat dan Data 3.3 Tahapan Pelaksanaan 15 BAB III METODOLOGI 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian ini dilaksanakan mulai bulan Juli sampai dengan April 2011 dengan daerah penelitian di Kabupaten Bogor, Kabupaten Sukabumi, dan Kabupaten Cianjur,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Di era globalisasi saat ini, perkembangan suatu daerah semakin pesat seiring dengan meningkatnya jumlah penduduk dan kebutuhan sarana prasarana. Akibatnya, pembangunan

Lebih terperinci

Seminar Nasional Pendayagunaan Informasi Geospatial Untuk Optimalisasi Otonomi Daerah 2013 ISBN:

Seminar Nasional Pendayagunaan Informasi Geospatial Untuk Optimalisasi Otonomi Daerah 2013 ISBN: ANALISIS KUALITAS LINGKUNGAN PERMUKIMAN MENGGUNAKAN CITRA QUICKBIRD DI KECAMATAN KOTAGEDE KOTA YOGYAKARTA Tyastiti Nugraheni, Agus Dwi Martono, Aditya Saputra Fakultas Geografi Universitas Muhammadiyah

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Lahan dan Penggunaan Lahan Pengertian Lahan

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Lahan dan Penggunaan Lahan Pengertian Lahan II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Lahan dan Penggunaan Lahan 2.1.1 Pengertian Lahan Pengertian lahan tidak sama dengan tanah, tanah adalah benda alami yang heterogen dan dinamis, merupakan interaksi hasil kerja

Lebih terperinci

ACARA I SIMULASI PENGENALAN BEBERAPA UNSUR INTERPRETASI

ACARA I SIMULASI PENGENALAN BEBERAPA UNSUR INTERPRETASI ACARA I SIMULASI PENGENALAN BEBERAPA UNSUR INTERPRETASI Oleh: Nama Mahasiswa : Titin Lichwatin NIM : 140722601700 Mata Kuliah : Praktikum Penginderaan Jauh Dosen Pengampu : Alfi Nur Rusydi, S.Si., M.Sc

Lebih terperinci

UNSUR DAN TEKNIK INTERPRETASI CITRA INDERAJA DARI GOOGLE EARTH

UNSUR DAN TEKNIK INTERPRETASI CITRA INDERAJA DARI GOOGLE EARTH UNSUR DAN TEKNIK INTERPRETASI CITRA INDERAJA DARI GOOGLE EARTH Oleh: Bambang Syaiful Hadi JURUSAN PENDIDIKAN GEOGRAFI FIS UNY 1. RONA Rona adalah tingkat kegelapan atau tingkat kecerahan obyek pada citra

Lebih terperinci

GEOGRAFI. Sesi PENGINDERAAN JAUH : 1 A. PENGERTIAN PENGINDERAAN JAUH B. PENGINDERAAN JAUH FOTOGRAFIK

GEOGRAFI. Sesi PENGINDERAAN JAUH : 1 A. PENGERTIAN PENGINDERAAN JAUH B. PENGINDERAAN JAUH FOTOGRAFIK GEOGRAFI KELAS XII IPS - KURIKULUM GABUNGAN 08 Sesi NGAN PENGINDERAAN JAUH : 1 A. PENGERTIAN PENGINDERAAN JAUH Penginderaan jauh (inderaja) adalah cara memperoleh data atau informasi tentang objek atau

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Tiap-tiap negara mempunyai pertimbangan berbeda mengenai penetapan suatu wilayah yang disebut kota. Pertimbangan itu dipengaruhi oleh beberapa variasi kewilayahan

Lebih terperinci

GEOGRAFI. Sesi PENGINDERAAN JAUH : 3 A. CITRA NONFOTO. a. Berdasarkan Spektrum Elektromagnetik

GEOGRAFI. Sesi PENGINDERAAN JAUH : 3 A. CITRA NONFOTO. a. Berdasarkan Spektrum Elektromagnetik GEOGRAFI KELAS XII IPS - KURIKULUM GABUNGAN 10 Sesi NGAN PENGINDERAAN JAUH : 3 A. CITRA NONFOTO Citra nonfoto adalah gambaran yang dihasilkan oleh sensor nonfotografik atau sensor elektronik. Sensornya

Lebih terperinci

MATERI 4 : PENGENALAN TATAGUNALAHAN DI GOOGLE EARTH

MATERI 4 : PENGENALAN TATAGUNALAHAN DI GOOGLE EARTH MATERI 4 : PENGENALAN TATAGUNALAHAN DI GOOGLE EARTH 1. Tata Guna Lahan 2. Identifikasi Menggunakan Foto Udara/ Citra Identifikasi penggunaan lahan menggunakan foto udara/ citra dapat didefinisikan sebagai

Lebih terperinci

SISTEM INFORMASI GEOGRAFI. Data spasial direpresentasikan di dalam basis data sebagai vektor atau raster.

SISTEM INFORMASI GEOGRAFI. Data spasial direpresentasikan di dalam basis data sebagai vektor atau raster. GEOGRAFI KELAS XII IPS - KURIKULUM GABUNGAN 14 Sesi NGAN SISTEM INFORMASI GEOGRAFI A. MODEL DATA SPASIAL Data spasial direpresentasikan di dalam basis data sebagai vektor atau raster. a. Model Data Vektor

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Lahan, Penggunaan Lahan dan Perubahan Penggunaan Lahan

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Lahan, Penggunaan Lahan dan Perubahan Penggunaan Lahan II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Lahan, Penggunaan Lahan dan Perubahan Penggunaan Lahan Lahan adalah suatu wilayah daratan yang ciri-cirinya menerangkan semua tanda pengenal biosfer, atsmosfer, tanah geologi,

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN BAB III METODE PENELITIAN A. Metode Penelitian Menurut Arikunto (1988), metode penelitian adalah cara yang digunakan oleh peneliti dalam mengumpulkan data penelitiannya. Data yang dikumpulkan bisa berupa

Lebih terperinci

JENIS CITRA

JENIS CITRA JENIS CITRA PJ SENSOR Tenaga yang dipantulkan dari obyek di permukaan bumi akan diterima dan direkam oleh SENSOR. Tiap sensor memiliki kepekaan tersendiri terhadap bagian spektrum elektromagnetik. Kepekaannya

Lebih terperinci

q Tujuan dari kegiatan ini diperolehnya peta penggunaan lahan yang up-to date Alat dan Bahan :

q Tujuan dari kegiatan ini diperolehnya peta penggunaan lahan yang up-to date Alat dan Bahan : MAKSUD DAN TUJUAN q Maksud dari kegiatan ini adalah memperoleh informasi yang upto date dari citra satelit untuk mendapatkan peta penggunaan lahan sedetail mungkin sebagai salah satu paramater dalam analisis

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Dewasa ini perkembangan fisik penggunaan lahan terutama di daerah perkotaan relatif cepat dibandingkan dengan daerah perdesaan. Maksud perkembangan fisik adalah penggunaan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. listrik harus bisa men-supplay kebutuhan listrik rumah tangga maupun

BAB I PENDAHULUAN. listrik harus bisa men-supplay kebutuhan listrik rumah tangga maupun BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Energi listrik merupakan energi utama yang digunakan hampir diseluruh sisi kehidupan manusia saat ini dimana semua aktifitas manusia berhubungan dengan energi listrik.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Kebutuhan tanah setiap tahunnya semakin meningkat seiring dengan pertumbuhan penduduk yang cukup tinggi. Pertumbuhan penduduk disebabkan oleh beberapa faktor seperti

Lebih terperinci

5. PEMBAHASAN 5.1 Koreksi Radiometrik

5. PEMBAHASAN 5.1 Koreksi Radiometrik 5. PEMBAHASAN Penginderaan jauh mempunyai peran penting dalam inventarisasi sumberdaya alam. Berbagai kekurangan dan kelebihan yang dimiliki penginderaan jauh mampu memberikan informasi yang cepat khususnya

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Lahan merupakan bentang permukaan bumi yang dapat bermanfaat bagi manusia baik yang sudah dikelola maupun belum. Untuk itu peran lahan cukup penting dalam kehidupan

Lebih terperinci

2. TINJAUAN PUSTAKA Pemanfaatan Citra Satelit Untuk Pemetaan Perairan Dangkal

2. TINJAUAN PUSTAKA Pemanfaatan Citra Satelit Untuk Pemetaan Perairan Dangkal 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Pemanfaatan Citra Satelit Untuk Pemetaan Perairan Dangkal Data kedalaman merupakan salah satu data dari survei hidrografi yang biasa digunakan untuk memetakan dasar lautan, hal

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. I.1. Latar belakang

BAB I PENDAHULUAN. I.1. Latar belakang BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar belakang Reformasi tahun 1998 membuka kesempatan seluas-luasnya bagi daerah dalam mengatur urusan rumah tangganya sendiri. Berbagai peraturan perundangundangan diterbitkan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penginderaan jauh merupakan ilmu pengetahuan, teknologi, dan seni perolehan informasi objek di permukaan Bumi melalui hasil rekamannya (Sutanto,2013). Objek di permukaan

Lebih terperinci

METODE SURVEI DESKRIPTIF UNTUK MENGKAJI KEMAMPUAN INTERPRETASI CITRA PADA MAHASISWA PENDIDIKAN GEOGRAFI FKIP UNIVERSITAS TADULAKO

METODE SURVEI DESKRIPTIF UNTUK MENGKAJI KEMAMPUAN INTERPRETASI CITRA PADA MAHASISWA PENDIDIKAN GEOGRAFI FKIP UNIVERSITAS TADULAKO METODE SURVEI DESKRIPTIF UNTUK MENGKAJI KEMAMPUAN INTERPRETASI CITRA PADA MAHASISWA PENDIDIKAN GEOGRAFI FKIP UNIVERSITAS TADULAKO Risma Fadhilla Arsy Dosen Pendidikan Geografi FKIP Universitas Tadulako

Lebih terperinci

PENGINDERAAN JAUH D. SUGANDI NANIN T

PENGINDERAAN JAUH D. SUGANDI NANIN T PENGINDERAAN JAUH D. SUGANDI NANIN T PENGERTIAN Penginderaan Jauh atau Remote Sensing merupakan suatu ilmu dan seni untuk memperoleh data dan informasi dari suatu objek dipermukaan bumi dengan menggunakan

Lebih terperinci

PEMANFAATAN CITRA QUICKBIRD DAN SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS UNTUK ZONASI KERENTANAN KEBAKARAN PERMUKIMAN KASUS DI KOTA BANDUNG BAGIAN BARAT

PEMANFAATAN CITRA QUICKBIRD DAN SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS UNTUK ZONASI KERENTANAN KEBAKARAN PERMUKIMAN KASUS DI KOTA BANDUNG BAGIAN BARAT PEMANFAATAN CITRA QUICKBIRD DAN SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS UNTUK ZONASI KERENTANAN KEBAKARAN PERMUKIMAN KASUS DI KOTA BANDUNG BAGIAN BARAT Lili Somantri Jurusan Pendidikan Geografi, FPIPS, UPI, L_somantri@ymail.com

Lebih terperinci

PENGGUNAAN CITRA GEOEYE-1 DAN SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS UNTUK PEMETAAN KUALITAS LINGKUNGAN PERMUKIMAN DI KECAMATAN NGAGLIK, KABUPATEN SLEMAN

PENGGUNAAN CITRA GEOEYE-1 DAN SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS UNTUK PEMETAAN KUALITAS LINGKUNGAN PERMUKIMAN DI KECAMATAN NGAGLIK, KABUPATEN SLEMAN PENGGUNAAN CITRA GEOEYE-1 DAN SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS UNTUK PEMETAAN KUALITAS LINGKUNGAN PERMUKIMAN DI KECAMATAN NGAGLIK, KABUPATEN SLEMAN Denny Noviandi Wiratama dennydidon@gmail.com Barandi Sapta

Lebih terperinci

ISSN Jalan Udayana, Singaraja-Bali address: Jl. Prof Dr Soemantri Brodjonogoro 1-Bandar Lampung

ISSN Jalan Udayana, Singaraja-Bali  address: Jl. Prof Dr Soemantri Brodjonogoro 1-Bandar Lampung ISSN 0216-8138 73 SIMULASI FUSI CITRA IKONOS-2 PANKROMATIK DENGAN LANDSAT-7 MULTISPEKTRAL MENGGUNAKAN METODE PAN-SHARPEN UNTUK MENINGKATKAN KUALITAS CITRA DALAM UPAYA PEMANTAUAN KAWASAN HIJAU (Studi Kasus

Lebih terperinci

III. BAHAN DAN METODE

III. BAHAN DAN METODE 11 III. BAHAN DAN METODE 3.1. Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian dilakukan di Kecamatan Depok Kabupaten Sleman yang terdiri dari Desa Caturtunggal, Desa Maguwoharjo dan Desa Condongcatur (Gambar 3).

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pertambahan penduduk daerah perkotaan di negara-negara berkembang,

BAB I PENDAHULUAN. Pertambahan penduduk daerah perkotaan di negara-negara berkembang, BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pertambahan penduduk daerah perkotaan di negara-negara berkembang, termasuk Indonesia, masih cukup tinggi. Salah satu penyebab adanya laju pertambahan penduduk

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kondisi penggunaan lahan dinamis, sehingga perlu terus dipantau. dilestarikan agar tidak terjadi kerusakan dan salah pemanfaatan.

BAB I PENDAHULUAN. kondisi penggunaan lahan dinamis, sehingga perlu terus dipantau. dilestarikan agar tidak terjadi kerusakan dan salah pemanfaatan. BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Pembangunan sangat diperlukan untuk kelanjutan hidup manusia. Kemajuan pembangunan di suatu wilayah sejalan dengan peningkatan jumlah pertumbuhan penduduk yang diiringi

Lebih terperinci

Anita Dwijayanti, Teguh Hariyanto Jurusan Teknik Geomatika FTSP-ITS, Kampus ITS Sukolilo, Surabaya,

Anita Dwijayanti, Teguh Hariyanto Jurusan Teknik Geomatika FTSP-ITS, Kampus ITS Sukolilo, Surabaya, Evaluasi Tutupan Lahan Terhadap Rencana Detil Tata Ruang Kota (RDTRK) Surabaya Pada Citra Resolusi Tinggi Dengan EVALUASI TUTUPAN LAHAN PERMUKIMAN TERHADAP RENCANA DETIL TATA RUANG KOTA (RDTRK) SURABAYA

Lebih terperinci

IV. PENGINDERAAN JAUH

IV. PENGINDERAAN JAUH IV. PENGINDERAAN JAUH 1. PENGERTIAN PENGINDERAAN JAUH Sabins (1996) dalam Kerle, et al. (2004) Penginderaan jauh adalah ilmu untuk memperoleh, mengolah dan menginterpretasi citra yang telah direkam yang

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. Citra Quickbird untuk menperoleh data variabel penelitian. Digunakan teknik

BAB III METODE PENELITIAN. Citra Quickbird untuk menperoleh data variabel penelitian. Digunakan teknik BAB III METODE PENELITIAN A. Desain Penelitian Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini memanfaatkan Citra Quickbird untuk menperoleh data variabel penelitian. Digunakan teknik interpretasi

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 3 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Penginderaan Jauh Penginderaan jauh adalah ilmu dan seni untuk memperoleh informasi tentang suatu obyek, daerah, atau fenomena melalui analisis data yang diperoleh dengan

Lebih terperinci

11/25/2009. Sebuah gambar mengandung informasi dari obyek berupa: Posisi. Introduction to Remote Sensing Campbell, James B. Bab I

11/25/2009. Sebuah gambar mengandung informasi dari obyek berupa: Posisi. Introduction to Remote Sensing Campbell, James B. Bab I Introduction to Remote Sensing Campbell, James B. Bab I Sebuah gambar mengandung informasi dari obyek berupa: Posisi Ukuran Hubungan antar obyek Informasi spasial dari obyek Pengambilan data fisik dari

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Jumlah penduduk di Indonesia terus bertambah setiap tahun. Laju pertumbuhan penduduk Indonesia tidak menunjukkan peningkatan, justru sebaliknya laju pertumbuhan penduduk

Lebih terperinci

Tabel 1.1 Tabel Jumlah Penduduk Kecamatan Banguntapan Tahun 2010 dan Tahun 2016

Tabel 1.1 Tabel Jumlah Penduduk Kecamatan Banguntapan Tahun 2010 dan Tahun 2016 BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG Tempat tinggal merupakan salah satu aspek penting dalam kehidupan karena merupakan salah satu kebutuhan primer manusia. Tempat tinggal menjadi sarana untuk berkumpul,

Lebih terperinci

TEKNOLOGI PENGINDERAAN JAUH (REMOTE SENSING) Oleh : Lili Somantri

TEKNOLOGI PENGINDERAAN JAUH (REMOTE SENSING) Oleh : Lili Somantri TEKNOLOGI PENGINDERAAN JAUH (REMOTE SENSING) Oleh : Lili Somantri 1. Pengertian Penginderaan Jauh Menurut Lilesand et al. (2004) mengatakan bahwa penginderaan jauh adalah ilmu dan seni untuk memperoleh

Lebih terperinci

PENGOLAHAN CITRA DIGITAL

PENGOLAHAN CITRA DIGITAL PENGOLAHAN CITRA DIGITAL Aditya Wikan Mahastama mahas@ukdw.ac.id Sistem Optik dan Proses Akuisisi Citra Digital 2 UNIV KRISTEN DUTA WACANA GENAP 1213 v2 Bisa dilihat pada slide berikut. SISTEM OPTIK MANUSIA

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. pada radius 4 kilometer dari bibir kawah. (http://berita.plasa.msn.com

BAB I PENDAHULUAN. pada radius 4 kilometer dari bibir kawah. (http://berita.plasa.msn.com BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Gunung Sinabung terus menunjukkan peningkatan aktivitas vulkanologi. Awan hitam dan erupsi terus terjadi, 5.576 warga dievakuasi. Evakuasi diberlakukan setelah pada

Lebih terperinci

PEMANFAATAN CITRA PENGINDERAAN JAUH DAN SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS UNTUK KAJIAN PERUBAHAN PENGGUNAN LAHAN DI KECAMATAN UMBULHARJO KOTA YOGYAKARTA

PEMANFAATAN CITRA PENGINDERAAN JAUH DAN SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS UNTUK KAJIAN PERUBAHAN PENGGUNAN LAHAN DI KECAMATAN UMBULHARJO KOTA YOGYAKARTA PEMANFAATAN CITRA PENGINDERAAN JAUH DAN SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS UNTUK KAJIAN PERUBAHAN PENGGUNAN LAHAN DI KECAMATAN UMBULHARJO KOTA YOGYAKARTA Sudaryanto 1), Melania Swetika Rini 2) Abstrak: Penelitian

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. terjangkau oleh daya beli masyarakat (Pasal 3, Undang-undang No. 14 Tahun 1992

BAB I PENDAHULUAN. terjangkau oleh daya beli masyarakat (Pasal 3, Undang-undang No. 14 Tahun 1992 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Transportasi jalan diselenggarakan dengan tujuan untuk mewujudkan lalu lintas dan angkutan jalan dengan selamat, aman, cepat, tertib dan teratur, nyaman dan efisien,

Lebih terperinci

III. BAHAN DAN METODE

III. BAHAN DAN METODE III. BAHAN DAN METODE 3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian dilaksanakan di daerah Daerah Aliran Sungai (DAS) Cipunagara dan sekitarnya, Jawa Barat (Gambar 1). DAS Cipunagara berada dibawah pengelolaan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Hasil sensus jumlah penduduk di Indonesia, dengan luas wilayah kurang lebih 1.904.569 km 2 menunjukkan adanya peningkatan jumlah penduduk, dari tahun 2010 jumlah penduduknya

Lebih terperinci

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1 Identifikasi Tutupan Lahan di Lapangan Berdasarkan hasil observasi lapangan yang telah dilakukan di Kabupaten Humbang Hasundutan, Kabupaten Tapanuli Utara, dan Kabupaten

Lebih terperinci

BAB II TEORI DASAR. Beberapa definisi tentang tutupan lahan antara lain:

BAB II TEORI DASAR. Beberapa definisi tentang tutupan lahan antara lain: BAB II TEORI DASAR 2.1 Tutupan Lahan Tutupan Lahan atau juga yang biasa disebut dengan Land Cover memiliki berbagai pengertian, bahkan banyak yang memiliki anggapan bahwa tutupan lahan ini sama dengan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Pertumbuhan penduduk khususnya di wilayah perkotaan dipengaruhi dari berbagai faktor-faktor yang menyebabkan suatu daerah menjadi padat penduduknya. Hal ini akan menimbulkan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1.Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1.Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1.Latar Belakang Kota adalah sebuah bentang budaya yang ditimbulkan oleh unsurunsur alami dan non-alami dengan gejala pemusatan penduduk yang cukup besar dan corak kehidupan yang bersifat

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. permukaan lahan (Burley, 1961 dalam Lo, 1995). Konstruksi tersebut seluruhnya

II. TINJAUAN PUSTAKA. permukaan lahan (Burley, 1961 dalam Lo, 1995). Konstruksi tersebut seluruhnya 5 II. TINJAUAN PUSTAKA A. Penutupan Lahan dan Perubahannya Penutupan lahan menggambarkan konstruksi vegetasi dan buatan yang menutup permukaan lahan (Burley, 1961 dalam Lo, 1995). Konstruksi tersebut seluruhnya

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Pemetaan Sawah Baku 2.2. Parameter Sawah Baku

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Pemetaan Sawah Baku 2.2. Parameter Sawah Baku II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Pemetaan Sawah Baku Mega isu pertanian pangan dan energi, mencakup: (1) perbaikan estimasi produksi padi, dari list frame menuju area frame, (2) pemetaan lahan baku sawah terkait

Lebih terperinci

JURNAL TEKNIK POMITS Vol. X, No. X, (2013) ISSN: ( Print) 1 II. METODOLOGI PENELITIAN

JURNAL TEKNIK POMITS Vol. X, No. X, (2013) ISSN: ( Print) 1 II. METODOLOGI PENELITIAN JURNAL TEKNIK POMITS Vol. X,. X, (2013) ISSN: 2337-3539 (2301-9271 Print) 1 Studi Identifikasi Perubahan Obyek dengan Memanfaatkan Citra Resolusi Tinggi (Studi Kasus Unit Pengembangan Rungkut Surabaya)

Lebih terperinci

SAMPLING DAN KUANTISASI

SAMPLING DAN KUANTISASI SAMPLING DAN KUANTISASI Budi Setiyono 1 3/14/2013 Citra Suatu citra adalah fungsi intensitas 2 dimensi f(x, y), dimana x dan y adalahkoordinat spasial dan f pada titik (x, y) merupakan tingkat kecerahan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Kawasan perkotaan adalah kawasan yang mempunyai kegiatan utama bukan pertanian, dengan susunan fungsi kawasan sebagai tempat permukiman perkotaan, dengan susunan fungsi

Lebih terperinci

BAB II DASAR TEORI - 7 -

BAB II DASAR TEORI - 7 - BAB II DASAR TEORI 2.1 Data Jumlah Penduduk untuk Perencanaan Penduduk merupakan salah satu faktor yang dapat mempengaruhi pembangunan di suatu negara, khususnya dalam hal perencanaan. Dapat dikatakan

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. lahan dengan data satelit penginderaan jauh makin tinggi akurasi hasil

TINJAUAN PUSTAKA. lahan dengan data satelit penginderaan jauh makin tinggi akurasi hasil 4 TINJAUAN PUSTAKA Makin banyak informasi yang dipergunakan dalam klasifikasi penutup lahan dengan data satelit penginderaan jauh makin tinggi akurasi hasil klasifikasinya. Menggunakan informasi multi

Lebih terperinci

11. TINJAUAN PUSTAKA Konse~ Dasar Linukunuan Permukiman Kota

11. TINJAUAN PUSTAKA Konse~ Dasar Linukunuan Permukiman Kota 11. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Konse~ Dasar Linukunuan Permukiman Kota Pengertian lingkungan, menurut Undang-undang Republik Indonesia no. 4 tahun 1982 "kesatuan ruang dengan semua benda, daya, keadaan, dan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN I.1

BAB I PENDAHULUAN I.1 BAB I PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang Otonomi daerah di Indonesia lahir seiring bergulirnya era reformasi di penghujung era 90-an. Krisis ekonomi yang bermula dari tahun 1977 telah mengubah sistem pengelolaan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Era Teknologi merupakan era dimana informasi serta data dapat didapatkan dan ditransfer secara lebih efektif. Perkembangan ilmu dan teknologi menyebabkan kemajuan

Lebih terperinci

Bab II Tinjauan Pustaka

Bab II Tinjauan Pustaka 8 Bab II Tinjauan Pustaka II.1. Penelitian terdahulu Wiantoko,M, 2005, melakukan penelitian perubahan obyek bangunan PBB untuk pemeliharan data obyek PBB, dengan membandingkan peta bangunan dengan citra

Lebih terperinci

ANALISIS KESESUAIAN LAHAN UNTUK PERMUKIMAN DENGAN MEMANFAATKAN TEKNIK PENGINDERAAN JAUH DAN SIG (Studi Kasus: Kecamatan Umbulharjo, Yogyakarta)

ANALISIS KESESUAIAN LAHAN UNTUK PERMUKIMAN DENGAN MEMANFAATKAN TEKNIK PENGINDERAAN JAUH DAN SIG (Studi Kasus: Kecamatan Umbulharjo, Yogyakarta) ANALISIS KESESUAIAN LAHAN UNTUK PERMUKIMAN DENGAN MEMANFAATKAN TEKNIK PENGINDERAAN JAUH DAN SIG (Studi Kasus: Kecamatan Umbulharjo, Yogyakarta) TUGAS AKHIR Oleh: SUPRIYANTO L2D 002 435 JURUSAN PERENCANAAN

Lebih terperinci

V. HASIL DAN PEMBAHASAN

V. HASIL DAN PEMBAHASAN V. HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1 Analisis Citra 5.1.1 Kompilasi Citra Penelitian menggunakan citra Quickbird yang diunduh dari salah satu situs Internet yaitu, Wikimapia. Dalam hal ini penulis memilih mengambil

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Tanah merupakan materi yang terdiri dari agregat (butiran) padat yang tersementasi (terikat secara kimia) satu sama lain serta dari bahan bahan organik yang telah

Lebih terperinci

Gambar 11. Citra ALOS AVNIR-2 dengan Citra Komposit RGB 321

Gambar 11. Citra ALOS AVNIR-2 dengan Citra Komposit RGB 321 V. HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1. Analisis Spektral Citra yang digunakan pada penelitian ini adalah Citra ALOS AVNIR-2 yang diakuisisi pada tanggal 30 Juni 2009 seperti yang tampak pada Gambar 11. Untuk dapat

Lebih terperinci

Evaluasi Ketelitian Luas Bidang Tanah Dalam Pengembangan Sistem Informasi Pertanahan

Evaluasi Ketelitian Luas Bidang Tanah Dalam Pengembangan Sistem Informasi Pertanahan Evaluasi Ketelitian Luas Bidang Tanah Dalam Pengembangan Sistem Informasi Pertanahan (studi kasus : Kecamatan Sedati, Kabupaten Sidoarjo) Arwan Putra Wijaya 1*, Teguh Haryanto 1*, Catharina N.S. 1* Program

Lebih terperinci

METODOLOGI. Gambar 4. Peta Lokasi Penelitian

METODOLOGI. Gambar 4. Peta Lokasi Penelitian 22 METODOLOGI Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian dilakukan di Kota Sukabumi, Jawa Barat pada 7 wilayah kecamatan dengan waktu penelitian pada bulan Juni sampai November 2009. Pada lokasi penelitian

Lebih terperinci

III. BAHAN DAN METODE PENELITIAN

III. BAHAN DAN METODE PENELITIAN III. BAHAN DAN METODE PENELITIAN 3. 1 Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian dilakukan di Kota Bekasi (Gambar 1) dan analisis data dilakukan di studio Bagian Perencanaan dan Pengembangan Wilayah, Departemen

Lebih terperinci

KAJIAN CITRA RESOLUSI TINGGI WORLDVIEW-2

KAJIAN CITRA RESOLUSI TINGGI WORLDVIEW-2 KAJIAN CITRA RESOLUSI TINGGI WORLDVIEW-2 SEBAGAI PENUNJANG DATA DASAR UNTUK RENCANA DETAIL TATA RUANG KOTA (RDTRK) Heri Setiawan, Yanto Budisusanto Program Studi Teknik Geomatika, FTSP, ITS-Sukolilo, Surabaya,

Lebih terperinci

Gambar 1. Satelit Landsat

Gambar 1. Satelit Landsat 3 II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Penginderaan Jauh Penginderaan jauh adalah ilmu dan seni untuk memperoleh informasi tentang suatu objek, daerah, atau fenomena melalui analisis data yang diperoleh dengan suatu

Lebih terperinci

BAB III METODA. Gambar 3.1 Intensitas total yang diterima sensor radar (dimodifikasi dari GlobeSAR, 2002)

BAB III METODA. Gambar 3.1 Intensitas total yang diterima sensor radar (dimodifikasi dari GlobeSAR, 2002) BAB III METODA 3.1 Penginderaan Jauh Pertanian Pada penginderaan jauh pertanian, total intensitas yang diterima sensor radar (radar backscattering) merupakan energi elektromagnetik yang terpantul dari

Lebih terperinci

Jurnal Gea, Jurusan Pendidikan Geografi, vol. 8, No. 2, Oktober 2008

Jurnal Gea, Jurusan Pendidikan Geografi, vol. 8, No. 2, Oktober 2008 PEMANFAATAN TEKNIK PENGINDERAAN JAUH UNTUK MENGIDENTIFIKASI KERENTANAN DAN RISIKO BANJIR Oleh : Lili Somantri, S.Pd. M.Si ABSTRAK Banjir adalah bencana alam yang sering terjadi setiap musim hujan. Bencana

Lebih terperinci

PEMANFAATAN TEKNIK PENGINDERAAN JAUH UNTUK MENGIDENTIFIKASI KERENTANAN DAN RISIKO BANJIR. Oleh : Lili Somantri*)

PEMANFAATAN TEKNIK PENGINDERAAN JAUH UNTUK MENGIDENTIFIKASI KERENTANAN DAN RISIKO BANJIR. Oleh : Lili Somantri*) PEMANFAATAN TEKNIK PENGINDERAAN JAUH UNTUK MENGIDENTIFIKASI KERENTANAN DAN RISIKO BANJIR Oleh : Lili Somantri*) Abstrak Banjir adalah bencana alam yang sering terjadi setiap musim hujan. Bencana ini tidak

Lebih terperinci

III. BAHAN DAN METODE

III. BAHAN DAN METODE 10 III. BAHAN DAN METODE 3.1. Tempat Dan Waktu Penelitian Penelitian dilakukan di laboratorium dan di lapang. Pengolahan citra dilakukan di Bagian Penginderaan Jauh dan Informasi Spasial dan penentuan

Lebih terperinci

PEMANFAATAN CITRA IKONOS UNTUK MENGIDENTIFIKASI KERUSAKAN BANGUNAN AKIBAT GEMPA BUMI. Oleh : Lili Somantri

PEMANFAATAN CITRA IKONOS UNTUK MENGIDENTIFIKASI KERUSAKAN BANGUNAN AKIBAT GEMPA BUMI. Oleh : Lili Somantri PEMANFAATAN CITRA IKONOS UNTUK MENGIDENTIFIKASI KERUSAKAN BANGUNAN AKIBAT GEMPA BUMI Oleh : Lili Somantri Abstrak Indonesia merupakan negara yang sangat rawan bencana, baik karena faktor alam maupun karena

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Sistem transportasi adalah suatu kesatuan dari elemen elemen, komponen komponen yang saling mendukung dan bekerja sama dalam pengadaan transportasi yang memiliki jangkaun

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

BAB III METODOLOGI PENELITIAN BAB III METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Persiapan Tahap persiapan merupakan tahapan penting dalam penelitian ini. Proses persiapan data ini berpengaruh pada hasil akhir penelitian. Persiapan yang dilakukan meliputi

Lebih terperinci

LEMBAGA PENERBANGAN DAN ANTARIKSA NASIONAL

LEMBAGA PENERBANGAN DAN ANTARIKSA NASIONAL LEMBAGA PENERBANGAN DAN ANTARIKSA NASIONAL Sumber Energi Resolusi (Spasial, Spektral, Radiometrik, Temporal) Wahana Metode (visual, digital, otomatisasi) Penginderaan jauh adalah ilmu pengetahuan dan

Lebih terperinci

Bab III Pelaksanaan Penelitian

Bab III Pelaksanaan Penelitian 24 Bab III Pelaksanaan Penelitian III.1. Kerangka pikir Penelitian melakukan perancangan usulan metode dengan menggantikan peta penggunaan tanah kabupaten / kota dengan citra quickbird untuk meningkatkan

Lebih terperinci

BAB 2 LANDASAN TEORI 2.1. Sistem Remote Sensing (Penginderaan Jauh)

BAB 2 LANDASAN TEORI 2.1. Sistem Remote Sensing (Penginderaan Jauh) BAB 2 LANDASAN TEORI 2.1. Sistem Remote Sensing (Penginderaan Jauh) Remote Sensing didefinisikan sebagai ilmu untuk mendapatkan informasi mengenai obyek-obyek pada permukaan bumi dengan analisis data yang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Pengantar Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Pengantar Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Pengantar 1.1.1 Latar Belakang Kota adalah sebuah bentang budaya yang ditimbulkan oleh unsur-unsur alami dan non alami dengan gejala-gejala pemusatan penduduk yang cukup besar dan

Lebih terperinci

EVALUASI PEMANFAATAN RUANG DI KECAMATAN UMBULHARJO KOTA YOGYAKARTA TUGAS AKHIR

EVALUASI PEMANFAATAN RUANG DI KECAMATAN UMBULHARJO KOTA YOGYAKARTA TUGAS AKHIR EVALUASI PEMANFAATAN RUANG DI KECAMATAN UMBULHARJO KOTA YOGYAKARTA TUGAS AKHIR Oleh: YUSUF SYARIFUDIN L2D 002 446 JURUSAN PERENCANAAN WILAYAH DAN KOTA FAKULTAS TEKNIK UNIVERSITAS DIPONEGORO SEMARANG 2007

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Sebagaimana keadaan di negara-negara lain, industri keuangan di Indonesia kini tengah mengalami perubahan yang mendasar. Perubahan yang mendasar tersebut terjadi

Lebih terperinci

MENU STANDAR KOMPETENSI KOMPETENSI DASAR MATERI SOAL REFERENSI

MENU STANDAR KOMPETENSI KOMPETENSI DASAR MATERI SOAL REFERENSI Arif Supendi, M.Si MENU STANDAR KOMPETENSI KOMPETENSI DASAR MATERI SOAL REFERENSI STANDAR KOMPETENSI Memahami pemanfaatan citra penginderaan jauh ( PJ ) dan Sistem Informasi Geografi KOMPETENSI DASAR Menjelaskan

Lebih terperinci