BAB I PENDAHULUAN I.1

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "BAB I PENDAHULUAN I.1"

Transkripsi

1 BAB I PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang Otonomi daerah di Indonesia lahir seiring bergulirnya era reformasi di penghujung era 90-an. Krisis ekonomi yang bermula dari tahun 1977 telah mengubah sistem pengelolaan negara dari sentralisasi menjadi desentralisasi. Desentralisasi berkembang menjadi isu yang penting dalam berbagai diskusi tentang sistem pemerintahan yang efektif dan efisien, baik di negara berkembang maupun negara maju. Untuk memperkuat asas desentralisasi tersebut, hal terpenting yang harus diperhatikan yaitu batas-batas kekuasaan daerah tersebut. Dengan adanya penegasan dan penetapan batas ini, maka pemerintah provinsi, kabupaten/kota maupun desa dapat mengatur daerahnya sendiri berdasarkan asas otonomi daerah. Isu batas wilayah daerah muncul dengan diterbitkannya UU No. 22/1999 yang telah diperbaharui menjadi UU No. 32/2004 menyebutkan bahwa perlunya penetapan dan penegasan batas daerah, dalam hal ini provinsi dan kabupaten/kota. Selain penetapan dan penegasan batas daerah di kabupaten/kota, penetapan dan penegasan batas juga perlu dilakukan untuk wilayah desa. Batas wilayah desa satu dengan lainnya harus sesuai dan harus ditetapkan oleh banyak pihak yang kemudian dituangkan dalam suatu peta batas desa. Penetapan dan penegasan batas desa dapat mempertegas cakupan wilayah administrasi yakni memberi pemerintah daerah suatu cakupan wilayah kewenangan. Hal ini juga dapat memberikan banyak manfaat seperti menghindari adanya overlapping pengaturan tata ruang daerah, memberi kejelasan daftar pemilih untuk pemilu, hingga memberikan kejelasan perijinan pengelolaan sumber daya alam. Salah satu metode di dalam penetapan dan penegasan batas wilayah yaitu dengan menggunakan metode kartometrik. Mengacu kepada Permendagri No.76 tahun 2012, metode kartometrik adalah penelusuran/penarikan garis batas pada peta kerja dan pengukuran/penghitungan posisi titik, jarak dan luas cakupan wilayah dengan menggunakan peta dasar dan peta-peta lain sebagai pelengkap. Peta dasar 1

2 2 yang digunakan dapat berupa citra atau foto daerah yang bersangkutan, oleh karena itu diperlukan ketelitian di dalam penginterpretasian citra. Dewasa ini, citra/foto memiliki banyak jenis mulai dari yang memiliki resolusi spasial yang tinggi hingga resolusi spasial yang rendah, harga yang tinggi atau bahkan yang dapat diunduh secara gratis. Citra/foto sebagai peta dasar dengan metode kartometrik ini sangat memiliki peranan penting di dalam menentukan hasil ketelitian batas yang ditentukan. Metode kartometrik ini diharapkan dapat mempercepat penetapan dan penegasan batas desa, dikarenakan metode ini dapat mengurangi kegiatan survei lapangan yang biasanya memerlukan dana yang besar dan waktu yang relatif lama, khususnya pada daerah yang luas dan berbukit serta memiliki segmen batas wilayah yang cukup panjang. I.2. Identifikasi Masalah Berdasarkan latar belakang, dapat dirangkum beberapa identifikasi masalah pada penelitian ini sebagai berikut: 1. Banyaknya jenis peta dasar yang digunakan pada deliniasi batas menjadi pertimbangan di dalam pemilihan penggunaan wahana peta dasar untuk efektivitas dan efisiensi pekerjaan. 2. Perlu adanya pembaharuan batas desa pada daerah penelitian, mengingat sering terjadi bencana alam yang dapat mengakibatkan perubahan/pergeseran titik-titik batas desa. 3. Daerah penelitian yang luas serta memiliki segmen batas yang panjang ini sangat cocok sebagai bahan penelitian untuk penerapan metode kartometrik untuk penegasan dan penetapan batasnya. I.3. Pertanyaan Penelitian Pertanyaan yang muncul pada penelitian ini adalah: 1. Seberapa besar pengaruh ketelitian spasial dari dua wahana peta dasar (peta orthophoto dan citra satelit) yang digunakan? 2. Seberapa besar perbedaan titik-titik batas yang dihasilkan dari kedua wahana peta dasar yang digunakan?

3 3 I.4. Cakupan Penelitian Cakupan pada penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Deliniasi batas dilakukan secara langsung di atas peta, dengan membandingkan garis batas yang dihasilkan dari dua wahana peta dasar (peta orthophoto dan citra satelit) yang digunakan. 2. Perbedaan batas yang diteliti hanya pada daerah perbatasan kedua desa. 3. Pekerjaan yang dilakukan meliputi penentuan batas desa, pengecekan titik batas di lapangan, hingga pembuatan peta batas desa. I.5. Tujuan Tujuan yang ingin dicapai pada penelitian ini adalah : 1. Mengetahui seberapa besar perbedaan titik-titik batas dari hasil deliniasi batas dengan menggunakan peta orthophoto dan citra GoogleEarth sebagai peta dasar. 2. Menghasilkan peta batas desa. I.6. Manfaat Penelitian ini diharapkan dapat dijadikan sebagai bahan pertimbangan di dalam penentuan batas secara kartometrik, khususnya batas desa. Hasil dari penelitian ini juga diharapkan dapat digunakan oleh pihak yang berwenang untuk pengelolaan desa seperti Camat, Bupati, Gubernur dan pihak lainnya. Diharapkan pula pekerjaan ini dapat memberikan peta batas desa terbaru. I.7. Landasan Teori I.7.1. Batas Daerah Mengacu pada undang-undang nomor 32 tahun 2004 pasal 4 ayat (2), bahwa daerah dibentuk dengan undang-undang pembentukan daerah yang di dalamnya mencakup nama, cakupan wilayah, batas, ibukota, kewenangan menyelenggarakan urusan pemerintah, penunjukan pejabat kepala daerah, pengisian keanggotaan DPRD, pengalihan kepegawaian, pendanaan, peralatan, dan dokumen, serta perangkat daerah. Pada Permendagri Nomor 27 Tahun 2006 Pasal 1 ayat 3 menyebutkan bahwa desa adalah kesatuan masyarakat hukum yang mempunyai

4 4 batas-batas wilayah yang berwenang mengatur dan mengurus urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia. Berdasarkan Permendagri No. 76 tahun 2012, batas daerah di darat adalah pembatas wilayah administrasi pemerintahan antar daerah yang merupakan rangkaian titik-titik koordinat yang berada pada permukaan bumi dapat berupa tandatanda alam seperti punggung gunung atau pegunungan (watershed), median atau as sungai dan/atau unsur buatan di lapangan yang dituangkan dalam bentuk peta. Penegasan batas daerah di darat dapat dilakukan melalui tahapan: 1. Penyiapan dokumen, meliputi: a. Peraturan perundang-undangan tentang pembentukan daerah; b. Peta dasar; dan/atau c. Dokumen lain yang berkaitan dengan batas wilayah administrasi yang disepakati para pihak. 2. Pelacakan batas, dapat dilakukan dengan metode kartometrik yang dapat disertai dengan survei lapangan. Hasil dari pelacakan batas ini dapat berupa daftar titik-titik koordinat batas. 3. Pengukuran dan penentuan posisi batas, tahapan ini dapat dilakukan melalui pengambilan/ekstraksi titik-titik koordinat batas dengan interval tertentu pada peta kerja dan/atau hasil survei lapangan. 4. Pembuatan peta batas, dapat dilakukan dengan tahapan sebagai berikut : a. Pembuatan kerangka peta batas dengan skala dan interval tertentu yang memuat minimal 1 segmen batas; b. Melakukan kompilasi dan generalisasi dari peta RBI, hasil survei lapangan, serta data citra dalam format digital; dan c. Penambahan informasi isi dan tepi peta batas. Penggambaran peta batas merupakan rangkaian kegiatan penetapan batas yang sangat penting untuk dipertimbangkan. Penggambaran peta batas desa dilakukan setelah seluruh rangkaian deliniasi batas desa telah disepakati oleh pihak yang berbatasan dengan desa tersebut. Penggambaran peta batas desa dapat dilakukan melalui prosedur berikut (Handoyo, 2003): 1. Asumsi pertama adalah bahwa telah tersedia Peta Dasar Wilayah Desa.

5 5 2. Jika peta dasar tersebut belum tersedia, maka perlu dilakukan pengadaan terlebih dahulu dengan cara: a. Penggambaran ulang dari peta rupa bumi wilayah desa atau peta dasar lain yang ada; atau b. Pengukuran terestris wilayah desa; atau c. Penggambaran dengan media foto udara; atau d. Penggambaran dari interpretasi citra atau foto udara. 3. Urutan tahapan penggambaran adalah: a. Penggambaran lembar grid. b. Penggambaran detail rupa bumi. c. Penggambaran batas desa: i. Batas berupa unsur-unsur alam atau buatan ditegaskan melalui penggambaran delineasinya, ii. Batas berupa titik-titik terukur koordinatnya, dan diberi simbol yang sesuai, iii. Peta batas desa selesai. 4. Penggambaran dilakukan bersama atau disetujui bersama oleh kedua desa yang berbatasan. 5. Verifikasi peta batas desa oleh Camat. Pemasangan pilar batas merupakan salah satu rangkaian kegiatan penegasan batas. Pemasangan pilar batas diperlukan untuk kepentingan pemastian koordinat batas. Berdasarkan Permendagri nomor 76 tahun 2012 menyebutkan bahwa pilar batas atau pilar batas utama (PBU) adalah bangunan fisik di lapangan yang menandai batas daerah. Berdasarkan fungsinya, pilar batas dibedakan menjadi tiga macam, yaitu: 1. Pilar batas tipe A, merupakan pilar batas untuk wilayah provinsi, 2. Pilar batas tipe B, merupakan pilar batas untuk wilayah kabupaten/kota, dan 3. Pilar batas tipe C, merupakan pilar batas untuk wilayah kecamatan. Tiap tipe pilar batas memiliki ukuran konstruksi yang berbeda-beda. Mengacu pada Permendagri nomor 76 tahun 2012, bentuk dan ukuran pilar batas adalah sebagai berikut:

6 6 1. Pilar batas tipe A memiliki ukuran 50 cm x 50 cm x 100 cm di atas tanah dan kedalaman 150 cm di bawah tanah. 2. Pilar batas tipe B memiliki ukuran 40 cm x 40 cm x 75 cm di atas tanah dan kedalaman 100 cm di bawah tanah. 3. Pilar batas tipe C memiliki ukuran 30 cm x 30 cm x 50 cm di atas tanah dan kedalaman 75 cm di bawah tanah. Sebagai tanda pemisah batas desa digunakan pilar batas tipe D yang marupakan pilar perapatan. Berdasarkan Permendagri nomor 1 tahun 2006, pilar batas tipe D memiliki ukuran 20 cm x 20 cm x 25 cm di atas tanah dan kedalaman 75 cm di bawah tanah. Gambar I.1 merupakan contoh gambar pilar batas tipe D. Gambar I.1. Ilustrasi pilar batas tipe D (Sumber: Lampiran Permendagri nomor 1 tahun 2006) Gambar I.2. Ilustrasi konstruksi pilar batas antara (PBA) (Sumber: Lampiran Permendagri nomor 1 tahun 2006)

7 7 Pada pengaplikasiannya, pilar batas tidak selalu dapat dipasang sesuai rencana. Pemasangan pilar batas dapat dilakukan perapatan antara PBU dengan memasang pilar batas antara (PBA) sesuai dengan kebutuhan dan kondisi lapangan. PBA dipasang dengan ukuran 20 cm x 20 cm x 20 cm di atas tanah dan kedalaman 50 cm di bawah tanah. Ilustrasi konstruksi PBA dapat dilihat seperti Gambar I.2. I.7.2. Metode Kartometrik Mengacu pada Permendagri No. 76 tahun 2012, metode kartometrik adalah penulusuran/penghitungan posisi titik, jarak serta luas cakupan wilayah dengan menggunakan peta dasar dan peta-peta lain sebagai pelengkap. Pengukuran dan pelacakan batas dengan menggunakan metode kartometrik dilakukan secara langsung di atas peta dasar dengan cara menarik garis batas daerah secara manual dan melakukan survei lapangan jika diperlukan. Survei lapangan dapat dilakukan untuk obyek batas di peta yang sulit untuk diidentifikasi, hal ini berguna untuk memastikan kevalidasian hasil pengukuran. Maling (1989) menyampaikan bahwa terdapat empat jenis pengukuran yang menjadi dasar teknik kartometrik sebagai berikut: 1. Pengukuran jarak, 2. Pengukuran luas, 3. Penentuan arah, dan 4. Penghitungan jumlah obyek yang terdapat pada peta. Suatu pengukuran dapat dibedakan menjadi dua jenis. Maling (1989) menyampaikan terdapat dua jenis pengukuran berdasarkan cara mengukurnya, yaitu: 1. Metode klasik, pengukuran yang menggunakan alat bantu ukur untuk pengukuran obyek di peta. 2. Metode probabilitas, pengukuran yang menggunakan landasan-landasan teori dan penerapan sampling menggunakan metode statistik. Peta dasar yang digunakan untuk identifikasi titik-titik batas secara kartometrik harus memiliki sistem proyeksi yang sama, sehingga dapat mengurangi resiko timbulnya konflik batas antara daerah-daerah yang berbatasan. Permendagri nomor 76 tahun 2012 memberikan standarisasi secara nasional untuk datum geodetik, elipsoid referensi, sistem proyeksi serta skala peta dasar yang akan digunakan untuk penetapan batas daerah seperti terlampir pada tabel I.1.

8 8 Tabel I.1 Standarisasi nasional teknis penetapan batas daerah No. Sistem Spesifikasi 1 Datum horizontal DGN 95 2 Elipsoid referensi WGS Skala peta 1: : Sistem proyeksi peta Transverse Mercator (TM) 5 Sistem grid Universal Transverse Mercator 6 Ketelitian Planimetris 0.5 mm (diukur di atas peta) (Sumber : Permendagri Nomor 76 Tahun 2012) I Batas alam. Batas alam merupakan detil-detil alam pada peta yang dinyatakan sebagai batas daerah. Penggunaan detil batas alam pada peta akan memudahkan penegasan batas daerah. Detil pada peta yang dapat digunakan sebagai batas alam ialah sungai, danau/kawah, dan perbukitan/pegunungan. Penarikan garis batas dapat diasumsikan untuk mendapatkan garis batas awal. Sebagai contoh, untuk obyek sungai yang menjadi batas daerah, dapat diasumsikan dengan penarikan batas pada as sungai seperti pada Gambar I.3. T.3 T.1 Keterangan: Gambar I.3. Penggambaran sungai sebagai batas daerah (Sumber: Lampiran Permendagri Nomor 76 Tahun 2012) Titik batas Garis batas Jika garis batas memotong tepi sungai, maka perlu dilakukan pengukuran koordinat titik batas pada tepi sungai tersebut (T.1 dan T.3) dan untuk as sungai yang menjadi batas dua daerah atau lebih, maka perlu dilakukan pengukuran koordinat

9 9 titik batas pada tengah sungai (T.2). Pengukuran koordinat titik-titik batas tersebut dapat dilakukan secara kartometrik. I Batas buatan. Batas buatan merupakan unsur-unsur buatan manusia pada peta yang digunakan sebagai batas daerah. Selain penggunaan detil batas alam, penegasan batas daerah juga dapat menggunakan unsur-unsur buatan manusia, seperti: jalan, rel kereta api, saluran irigasi, pilar dan sebagainya. Penentuan garis batas dengan unsur buatan juga memiliki prinsip yang sama pada batas alam. Sebagai contoh, untuk batas daerah berupa jalan dapat diasumsikan dengan penarikan garis batas pada as jalan maupun tepi jalan seperti pada Gambar I.4. DAERAH A DAERAH B T DAERAH C (a) DAERAH A DAERAH C DAERAH B Keterangan : T Titik batas (simpul) T Garis batas (b) Gambar I.4. (a) Penggambaran as jalan sebagai batas daerah; (b) Pengambaran tepi jalan sebagai batas daerah (Sumber: Lampiran Permendagri Nomor 76 Tahun 2012)

10 10 I.7.3. Data Penginderaan Jauh Penginderaan jauh atau remote sensing merupakan suatu ilmu dan seni untuk memperoleh data dan informasi dari suatu obyek di permukaan bumi dengan menggunakan alat yang tidak berhubungan langsung dengan obyek yang dikajinya (Lillesand dan Ralph, 2002). Penginderaan jauh menggunakan alat (sensor) dan wahana (platform) untuk menganalisis atau mengindera obyek yang ada di bumi dari jarak yang jauh. Wahana (platform) yang digunakan biasanya seperti satelit, pesawat udara, balon udara dan lainnya. Data hasil penginderaan atau perekaman merupakan data yang masih mentah (raw) yang perlu dianalisis terlebih dahulu untuk dapat menjadi suatu informasi. Data penginderaan jauh merupakan gambaran yang mirip dengan wujud aslinya atau paling tidak berupa gambaran planimetriknya, bersifat miltiguna atau multi-disiplin. Data penginderaan jauh dapat digunakan dalam berbagai bidang pengguna seperti kependudukan, pemetaan, pertanian, kehutanan, industri, serta penggunaan lain yang berhubungan dengan kondisi fisik permukaan bumi. I Foto udara. Aspek fotogrametri, yang penting diketahui dalam foto udara adalah ukuran dan tanda tepi foto udara, skala foto udara, jalur terbang, serta besarnya tampalan (overlap dan sidelap) dengan foto lainnya. Purwadhi dan Tjaturahono (2008) mengatakan bahwa skala foto udara dapat diperhitungkan dengan cara: 1. Membandingkan obyek pada foto udara dengan obyek di lapangan. 2. Membandingkan obyek yang sama dengan peta yang sudah mempunyai skala. 3. Skala foto udara dapat dihitung berdasarkan rumus: S = f : H...(I.1) Keterangan: S : skala foto udara f : panjang fokus H : tinggi terbang pesawat Skala pada foto udara merupakan skala rata-rata, hal ini dikarenakan foto udara menggunakan proyeksi sentral sebagai akibat adanya fokus kamera. Selain foto udara dengan wahana perekaman foto udara, data penginderaan jauh lainnya dapat

11 11 berupa citra satelit dengan wahana perekaman satelit. Gambar I.5 mengilustrasikan teknologi perekaman data penginderaan jauh. B A Gambar I.5. Ilustrasi penginderaan jauh (Qi, 1996) Keterangan : A Ilustrasi perekaman menggunakan pesawat udara B Ilustrasi perekaman menggunakan citra satelit Berdasarkan spektrum elektromagnetik yang digunakan pada saat perekaman obyek di permukaan bumi, citra foto udara dapat dibedakan sebagai berikut: 1. Foto pankromatik Foto udara ini sering disebut foto udara konvensional. Ciri foto pankromatik adalah menggunakan spektrum warna yang memiliki kesamaan dengan mata manusia, sehingga baik untuk mendeteksi pencemaran air, kerusakan banjir, penyebarab air tanah, dan air permukaan. 2. Foto ultraviolet Foto udara ini menggunakan spektrum ultraviolet dekat dengan panjang gelombang 0,29 mikrometer. 3. Foto ortokromatik Foto udara ini menggunakan spektrum tampak dari saluran biru hingga sebagian hijau (0,4 0,56 mikrometer). Ciri foto ortokromatik adalah banyak objek yang tampak lebih jelas. Foto ini bermanfaat untuk studi pantai karena memiliki film yang peka terhadap objek di bawah permukaan air hingga

12 12 kedalaman kurang lebih 20 meter, sehingga baik untuk survei vegetasi karena daun hijau tergambar dengan kontras. 4. Foto inframerah asli Foto udara ini menggunakan spektrum inframerah dekat dengan panjang gelombang 0,9 1,2 mikrometer. Ciri foto inframerah asli adalah dapat mencapai bagian dalam daun, sehingga rona pada foto inframerah tidak ditentukan warna daun tetapi oleh sifat jaringannya, sehingga baik untuk mendeteksi berbagai jenis tanaman termasuk tanaman yang sehat atau yang sakit. 5. Foto inframerah termodifikasi Foto udara ini menggunakan inframerah dekat dan sebagia spectrum tampak pada saluran merah dan sebagian saluran hijau. I Citra satelit. Teknologi penginderaan jauh satelit memiliki karakteristik tersendiri dibandingkan dengan teknik fotogrametri. Purwadhi dan Tjaturahono (2008) menyampaikan karakteristik data penginderaan jauh satelit meliputi: 1. Resolusi spasial, yaitu ukuran obyek terkecil yang masih dapat terdeteksi atau jarak minimum dua obyek agar kedua obyek tersebut dapat terdeteksi terpisah oleh sensor. 2. Lebar sapuan (Swath Width), yaitu lebar permukaan bumi yang direkam secara sekaligus pada satu saat perekaman. 3. Resolusi spektral, yaitu jumlah kanal spektral dan makin sempitnya tiap-tiap kanal spektral tersebut. 4. Resolusi temporal, yaitu periode waktu (standar) satelit kembali berada di atas tempat yang sama di bumi. 5. Resolusi radiometrik, yaitu menyatakan tingkat kedetilan data yang pada umumnya adalah 8-bit atau berjenjang dari tingkat 0 sampai tingkat 255. Resolusi spasial merupakan kemampuan sensor mendeteksi ukuran terkecil obyek di bumi untuk membedakan diantara dua obyek yang berdekatan pada citra (Sabins, 1997). Obyek terkecil ini disajikan dalam sebuah piksel. Setiap piksel diwakili oleh luas persegi empat pada citra yang tergantung pada kemampuan sensor untuk memisahkan obyek yang berbeda ukurannya. Apabila suatu obyek dilakukan pengambilan gambar yang mempunyai ukuran luas aslinya 30 m x 30 m dan ditampilkan pada citra satelit dengan ukuran 1 piksel maka citra satelit tersebut mempunyai resolusi spasial 30 m, dengan kata lain apabila citra mempunya resolusi

13 13 spasial 30 m, maka 1 piksel pada citra satelit mewakili luasan 30 m x 30 m. Terdapat beberapa jenis citra satelit sebagai berikut (Sabins, 1997): 1. Satelit Landsat Satelit ini terbagi dalam dua generasi yakni generasi pertama dan generasi kedua. Generasi pertama adalah satelit Landsat 1 sampai Landsat 3, generasi ini merupakan satelit percobaan (eksperimental) sedangkan satelit generasi kedua (Landsat 4 dan Landsat 5) merupakan satelit operasional. Satelit Aster 2. Satelit NOAA (National Oceanic and Atmospheric Administration) Konfigurasi satelit NOAA adalah pada ketinggian orbit km, inklinasi sekitar 98,7 98,9, mempunyai kemampuan mengindera suatu daerah 2 x dalam 24 jam (sehari semalam). 3. Satelit Ikonos Ikonos adalah satelit milik Space Imaging (USA) yang diluncurkan bulan September 1999 dan menyediakan data untuk tujuan komersial. 4. Satelit Quickbird Satelit ini memiliki dua sensor utama yaitu pankromatik dan multispektral. Quickbird diluncurkan pada bulan Oktober 2001 di California AS. Quickbird memiliki empat saluran (band). 5. Satelit SPOT Satelit ini mengusung pengindera HRV (SPOT 1,2,3,4) kemudian dikembangkan menjadi HRG (SPOT 5). Satelit ini mengorbit pada ketinggian 830km, dengan inklinasi orbit 80 o. 6. Satelit ALOS ALOS (Advanced Land Observing Satellite) diluncurkan pada tanggal 24 Januari 2006 oleh Jepang. ALOS adalah satelit pemantau lingkungan yang busa dimanfaatkan untuk kepentingan kartografi, observasi wilayah, pemantauan bencana alam dan survey sumberdaya alam. 7. Satelit GeoEye GeoEye-1 merupakan satelit pengamat bumi yang pembuatannya disponsori oleh Google dan National Geospatial-Intelligence Agency (NGA) yang diluncurkan pada 6 September 2008 dari Vandenberg Air Force Base, California, AS. Satelit ini mampu memetakan gambar dengan resolusi

14 14 gambar yang sangat tinggi dan merupakan satelit komersial dengan pencitraan gambar tertinggi yang ada di orbit bumi saat ini. 8. Satelit WorldView Satelit WorldView-2 adalah satelit generasi terbaru dari Digitalglobe yang diluncurkan pada tanggal 8 Oktober Citra Satelit yang dihasilkan selain memiliki resolusi spasial yang tinggi juga memiliki resolusi spectral yang lebih lengkap dibandingkan produk citra sebelumnya. Resolusi jenis-jenis citra diatas tertera pada Tabel I.2. Satelit Landsat Aster Ikonos Quickbird SPOT ALOS GeoEye WorldView Tabel 1.2. Jenis citra satelit dan resolusinya Resolusi Spektral Spasial Temporal Radiometrik TM1 TM5 30 m TM7 16 hari 8-bit TM6 120 m VNIR 15 m 8-bit SWIR 30 m 16 hari TIR 90 m 12-bit Multispektral 4 m Pankromatik 1 m 3 hari 16-bit Band1 ( ) µm Band 2 ( ) 2,5 m µm Band 3 ( ) 3 hari 16-bit µm Band 4 ( ) 0,6 m µm Pan ( ) µm Multispektral 20 m Pankromatik 10 m 26 hari 8-bit Multispektral 10 m Pankromatik 2,5 m 2 hari 8-bit Multispektral 1,65 m Pankromatik 0,41 m 98 menit 16-bit Multispektral 1,84 m Pankromatik 0,46 m - 0,5 3,7 hari 11-bit m (Sumber: Sabins, 1997)

15 15 Skala peta merupakan hal terpenting di dalam penggunaan citra satelit. Tobler (1987) menyebutkan bahwa terdapat hubungan matematis antara skala dengan resolusi citra itu sendiri, bahwa dengan membagi penyebut dari skala peta dengan 1000, maka nilai tersebut merupakan resolusi spasial citra. Ukuran piksel dari citra merupakan setengah dari hasil perhitungan resolusinya. Secara matematis dapat ditulis dengan rumus: S = p*2* (i.2) Keterangan: S: skala citra p: ukuran piksel (meter) Secara umum, analisis citra dapat dilakukan dengan dua cara, yaitu analisis secara visual dan analisis secara digital. Este (1974) menyatakan bahwa analisis citra atau yang biasa disebut interpretasi citra merupakan perbuatan mengkaji foto udara atau citra dengan maksud untuk mengidentifikasi obyek dan menilai arti pentingnya obyek tersebut. Interpretasi secara visual (menggunakan mata manusia) menggunakan unsur-unsur interpretasi, diantaranya rona/warna, bentuk, ukuran, pola, tekstur, tinggi, bayangan, situs, dan asosiasi. I.7.4. Peta Dasar Berdasarkan Permendagri No. 27 Tahun 2006, Peta dasar adalah peta yang menyajikan unsur-unsur alam dan atau buatan manusia yang berada di permukaan bumi digambarkan pada suatu bidang datar dengan skala penomoran, proyeksi dan georeferensi tertentu. Peta dasar dapat digunakan sebagai wahana penarikan garis batas wilayah. Peta dasar yang dapat digunakan dalam penentuan batas di daerah darat dapat berupa peta rupa bumi Indonesia (RBI), peta pendaftaran tanah, peta blok, atau berdasarkan foto udara dan citra satelit. Mangacu kepada Permendagri No. 76 Tahun 2012, peta dasar yang digunakan untuk penentuan batas daerah laut dapat berupa: 1. Peta Rupa Bumi Indonesia (Peta RBI), 2. Peta Lingkungan Laut Nasional (Peta LLN), 3. Peta Lingkungan Pantai Indonesia (Peta LPI), serta 4. Peta Laut

16 16 Pada penentuan batas daerah provinsi di laut menggunakan Peta LLN dan Peta Laut, sedangkan untuk batas daerah kabupaten/kota di laut menggunakan Peta LPI dan Peta Laut. Pada daerah yang belum tercakup Peta LLN maupun Peta LPI, menggunakan Peta RBI dan Peta Laut dengan skala terbesar yang tersedia bagi daerah yang bersangkutan. I.7.5. Koreksi Geometrik Citra digital memiliki kesalahan-kesalahan geometrik sehingga tidak dapat digunakan secara langsung sebagai peta dasar tanpa dilakukan koreksi terlebih dahulu. Lillesand dan Ralph (2002) menyampaikan bahwa koreksi geometrik diimplementasikan ke dalam dua langkah prosedur. Pertama, kesalahan sistematik atau kesalahan yang dapat diprediksi dan harus dipertimbangkan. Kedua, kesalahan acak atau kesalahan yang tidak dapat diprediksi dan harus dipertimbangkan. Kesalahan sistematik dapat dikoreksi dengan cara mengaplikasikan rumus yang dapat dimodelkan dari sumber kesalahan itu sendiri secara matematik. Sedangkan kesalahan acak serta residu dari kesalahan sistematik yang tidak diketahui dapat dikoreksi dengan mendistribusikan titik kontrol tanah (GCP) secara baik ke dalam peta. Ilustrasi distribusi GCP tertera pada Gambar I.6 (Kumar, 1997). (a) (b) (c) Gambar I.6. (a) Distribusi GCP yang menyebar tetapi tidak cukup; (b) Distribusi GCP yang tidak menyebar dan buruk; (c) Distribusi yang menyebar dengan baik Keterangan : GCP (Ground Control Point)

17 17 GCP merupakan titik yang telah diketahui lokasinya yang dapat dicantumkan dalam citra digital secara akurat. Koordinat GCP dapat diketahui dengan mengukur dari peta atau melakukan pengamatan GPS di lapangan. Data lokasi GCP tersebut kemudian dianalisis untuk mendapatkan nilai koreksi atau root mean square error (RMSE). Rumus untuk menghitung nilai RMSE adalah sebagai berikut (Pouncey dkk, 1999): RMSE = Keterangan:...(I.3) RMSE = root mean square error X,Y = Koordinat tujuan X o,y o = Koordinat asal I.8. Hipotesis Hipotesis pada penelitian ini adalah deliniasi menggunakan peta orthophoto sebagai peta dasar dapat menghasilkan posisi titik batas yang lebih akurat daripada citra GoogleEarth jika dibandingkan dengan peta batas desa yang telah ada sebelumnya.

BAB I PENDAHULUAN. I.1. Latar belakang

BAB I PENDAHULUAN. I.1. Latar belakang BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar belakang Reformasi tahun 1998 membuka kesempatan seluas-luasnya bagi daerah dalam mengatur urusan rumah tangganya sendiri. Berbagai peraturan perundangundangan diterbitkan

Lebih terperinci

KOMPONEN PENGINDERAAN JAUH. Sumber tenaga Atmosfer Interaksi antara tenaga dan objek Sensor Wahana Perolehan data Pengguna data

KOMPONEN PENGINDERAAN JAUH. Sumber tenaga Atmosfer Interaksi antara tenaga dan objek Sensor Wahana Perolehan data Pengguna data PENGINDERAAN JAUH KOMPONEN PENGINDERAAN JAUH Sumber tenaga Atmosfer Interaksi antara tenaga dan objek Sensor Wahana Perolehan data Pengguna data Lanjutan Sumber tenaga * Alamiah/sistem pasif : sinar matahari

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH KABUPATEN MUARA ENIM NOMOR 11 TAHUN 2007 TENTANG PENETAPAN DAN PENEGASAN BATAS DESA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN DAERAH KABUPATEN MUARA ENIM NOMOR 11 TAHUN 2007 TENTANG PENETAPAN DAN PENEGASAN BATAS DESA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PERATURAN DAERAH KABUPATEN MUARA ENIM NOMOR 11 TAHUN 2007 TENTANG PENETAPAN DAN PENEGASAN BATAS DESA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI MUARA ENIM Menimbang : bahwa sebagai pelaksanaan ketentuan

Lebih terperinci

GEOGRAFI. Sesi PENGINDERAAN JAUH : 3 A. CITRA NONFOTO. a. Berdasarkan Spektrum Elektromagnetik

GEOGRAFI. Sesi PENGINDERAAN JAUH : 3 A. CITRA NONFOTO. a. Berdasarkan Spektrum Elektromagnetik GEOGRAFI KELAS XII IPS - KURIKULUM GABUNGAN 10 Sesi NGAN PENGINDERAAN JAUH : 3 A. CITRA NONFOTO Citra nonfoto adalah gambaran yang dihasilkan oleh sensor nonfotografik atau sensor elektronik. Sensornya

Lebih terperinci

PENGUKURAN GROUND CONTROL POINT UNTUK CITRA SATELIT CITRA SATELIT RESOLUSI TINGGI DENGAN METODE GPS PPP

PENGUKURAN GROUND CONTROL POINT UNTUK CITRA SATELIT CITRA SATELIT RESOLUSI TINGGI DENGAN METODE GPS PPP PENGUKURAN GROUND CONTROL POINT UNTUK CITRA SATELIT CITRA SATELIT RESOLUSI TINGGI DENGAN METODE GPS PPP Oleh A. Suradji, GH Anto, Gunawan Jaya, Enda Latersia Br Pinem, dan Wulansih 1 INTISARI Untuk meningkatkan

Lebih terperinci

METODOLOGI. Gambar 4. Peta Lokasi Penelitian

METODOLOGI. Gambar 4. Peta Lokasi Penelitian 22 METODOLOGI Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian dilakukan di Kota Sukabumi, Jawa Barat pada 7 wilayah kecamatan dengan waktu penelitian pada bulan Juni sampai November 2009. Pada lokasi penelitian

Lebih terperinci

KARAKTERISTIK CITRA SATELIT Uftori Wasit 1

KARAKTERISTIK CITRA SATELIT Uftori Wasit 1 KARAKTERISTIK CITRA SATELIT Uftori Wasit 1 1. Pendahuluan Penginderaan jarak jauh merupakan salah satu teknologi penunjang pengelolaan sumber daya alam yang paling banyak digunakan saat ini. Teknologi

Lebih terperinci

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.1252, 2012 BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA KEMENTERIAN DALAM NEGERI. Wilayah Batas Daerah. Penegasan. Pedoman. PERATURAN MENTERI DALAM NEGERI REPUBLIK INDONESIA NOMOR 76 TAHUN 2012 TENTANG PEDOMAN

Lebih terperinci

ISSN Jalan Udayana, Singaraja-Bali address: Jl. Prof Dr Soemantri Brodjonogoro 1-Bandar Lampung

ISSN Jalan Udayana, Singaraja-Bali  address: Jl. Prof Dr Soemantri Brodjonogoro 1-Bandar Lampung ISSN 0216-8138 73 SIMULASI FUSI CITRA IKONOS-2 PANKROMATIK DENGAN LANDSAT-7 MULTISPEKTRAL MENGGUNAKAN METODE PAN-SHARPEN UNTUK MENINGKATKAN KUALITAS CITRA DALAM UPAYA PEMANTAUAN KAWASAN HIJAU (Studi Kasus

Lebih terperinci

Citra Satelit IKONOS

Citra Satelit IKONOS Citra Satelit IKONOS Satelit IKONOS adalah satelit inderaja komersiil pertama yang dioperasikan dengan tingkat ketelitian 1 meter untuk model pankromatik dan 4 meter untuk model multispektral yang merupakan

Lebih terperinci

5. PEMBAHASAN 5.1 Koreksi Radiometrik

5. PEMBAHASAN 5.1 Koreksi Radiometrik 5. PEMBAHASAN Penginderaan jauh mempunyai peran penting dalam inventarisasi sumberdaya alam. Berbagai kekurangan dan kelebihan yang dimiliki penginderaan jauh mampu memberikan informasi yang cepat khususnya

Lebih terperinci

PENGINDERAAN JAUH. --- anna s file

PENGINDERAAN JAUH. --- anna s file PENGINDERAAN JAUH copyright@2007 --- anna s file Pengertian Penginderaan Jauh Beberapa ahli berpendapat bahwa inderaja merupakan teknik yang dikembangkan untuk memperoleh data di permukaan bumi, jadi inderaja

Lebih terperinci

INTERPRETASI CITRA IKONOS KAWASAN PESISIR PANTAI SELATAN MATA KULIAH PENGINDERAAN JAUH OLEH : BHIAN RANGGA J.R NIM : K

INTERPRETASI CITRA IKONOS KAWASAN PESISIR PANTAI SELATAN MATA KULIAH PENGINDERAAN JAUH OLEH : BHIAN RANGGA J.R NIM : K INTERPRETASI CITRA IKONOS KAWASAN PESISIR PANTAI SELATAN MATA KULIAH PENGINDERAAN JAUH OLEH : BHIAN RANGGA J.R NIM : K 5410012 PENDIDIKAN GEOGRAFI FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN UNIVERSITAS SEBELAS

Lebih terperinci

BAB III PELAKSANAAN PENELITIAN

BAB III PELAKSANAAN PENELITIAN BAB III PELAKSANAAN PENELITIAN Pada bab ini akan dijelaskan mengenai alat dan bahan yang digunakan dalam penelitian ini serta tahapan-tahapan yang dilakukan dalam mengklasifikasi tata guna lahan dari hasil

Lebih terperinci

Bab IV ANALISIS. 4.1 Hasil Revisi Analisis hasil revisi Permendagri no 1 tahun 2006 terdiri dari 2 pasal, sebagai berikut:

Bab IV ANALISIS. 4.1 Hasil Revisi Analisis hasil revisi Permendagri no 1 tahun 2006 terdiri dari 2 pasal, sebagai berikut: Bab IV ANALISIS Analisis dilakukan terhadap hasil revisi dari Permendagri no 1 tahun 2006 beserta lampirannya berdasarkan kaidah-kaidah keilmuan Geodesi, adapun analalisis yang diberikan sebagai berikut:

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penginderaan jauh didefinisikan sebagai proses perolehan informasi tentang suatu obyek tanpa adanya kontak fisik secara langsung dengan obyek tersebut (Rees, 2001;

Lebih terperinci

MENTERI DALAM NEGERI REPUBLIK INDONESIA PERATURAN MENTERI DALAM NEGERI REPUBLIK INDONESIA NOMOR 141 TAHUN 2017 TENTANG PENEGASAN BATAS DAERAH

MENTERI DALAM NEGERI REPUBLIK INDONESIA PERATURAN MENTERI DALAM NEGERI REPUBLIK INDONESIA NOMOR 141 TAHUN 2017 TENTANG PENEGASAN BATAS DAERAH SALINAN MENTERI DALAM NEGERI REPUBLIK INDONESIA PERATURAN MENTERI DALAM NEGERI REPUBLIK INDONESIA NOMOR 141 TAHUN 2017 TENTANG PENEGASAN BATAS DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI DALAM NEGERI

Lebih terperinci

MENU STANDAR KOMPETENSI KOMPETENSI DASAR MATERI SOAL REFERENSI

MENU STANDAR KOMPETENSI KOMPETENSI DASAR MATERI SOAL REFERENSI Arif Supendi, M.Si MENU STANDAR KOMPETENSI KOMPETENSI DASAR MATERI SOAL REFERENSI STANDAR KOMPETENSI Memahami pemanfaatan citra penginderaan jauh ( PJ ) dan Sistem Informasi Geografi KOMPETENSI DASAR Menjelaskan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN BAB I. PENDAHULUAN

BAB I PENDAHULUAN BAB I. PENDAHULUAN BAB I PENDAHULUAN BAB I. PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Menurut Badan Pusat Statistik (2014), Indonesia memiliki 17.504 pulau dan luas daratan mencapai 1.910.931,32 km 2. Karena kondisi geografisnya yang

Lebih terperinci

JENIS CITRA

JENIS CITRA JENIS CITRA PJ SENSOR Tenaga yang dipantulkan dari obyek di permukaan bumi akan diterima dan direkam oleh SENSOR. Tiap sensor memiliki kepekaan tersendiri terhadap bagian spektrum elektromagnetik. Kepekaannya

Lebih terperinci

2016, No Indonesia Nomor 2514); 3. Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 7, Tamba

2016, No Indonesia Nomor 2514); 3. Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 7, Tamba BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.1038, 2016 KEMENDAGRI. Batas Desa. Pedoman. Pencabutan. PERATURAN MENTERI DALAM NEGERI REPUBLIK INDONESIA NOMOR 45 TAHUN 2016 TENTANG PEDOMAN PENETAPAN DAN PENEGASAN

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penginderaan jauh yaitu berbagai teknik yang dikembangkan untuk perolehan dan analisis informasi tentang bumi. Informasi tersebut berbentuk radiasi elektromagnetik

Lebih terperinci

PERBEDAAN INTERPRETASI CITRA RADAR DENGAN CITRA FOTO UDARA

PERBEDAAN INTERPRETASI CITRA RADAR DENGAN CITRA FOTO UDARA PERBEDAAN INTERPRETASI CITRA RADAR DENGAN CITRA FOTO UDARA I. Citra Foto Udara Kegiatan pengindraan jauh memberikan produk atau hasil berupa keluaran atau citra. Citra adalah gambaran suatu objek yang

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Lahan dan Penggunaan Lahan Pengertian Lahan

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Lahan dan Penggunaan Lahan Pengertian Lahan II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Lahan dan Penggunaan Lahan 2.1.1 Pengertian Lahan Pengertian lahan tidak sama dengan tanah, tanah adalah benda alami yang heterogen dan dinamis, merupakan interaksi hasil kerja

Lebih terperinci

SENSOR DAN PLATFORM. Kuliah ketiga ICD

SENSOR DAN PLATFORM. Kuliah ketiga ICD SENSOR DAN PLATFORM Kuliah ketiga ICD SENSOR Sensor adalah : alat perekam obyek bumi. Dipasang pada wahana (platform) Bertugas untuk merekam radiasi elektromagnetik yang merupakan hasil interaksi antara

Lebih terperinci

ULANGAN HARIAN PENGINDERAAN JAUH

ULANGAN HARIAN PENGINDERAAN JAUH ULANGAN HARIAN PENGINDERAAN JAUH 01. Teknologi yang terkait dengan pengamatan permukaan bumi dalam jangkauan yang sangat luas untuk mendapatkan informasi tentang objek dipermukaan bumi tanpa bersentuhan

Lebih terperinci

Bab III KAJIAN TEKNIS

Bab III KAJIAN TEKNIS Bab III KAJIAN TEKNIS 3.1 Persiapan Penelitian diawali dengan melaksanakan studi literatur. Studi literatur dilakukan terhadap hal-hal yang berkaitan dengan: a. Konsep batas daerah b. Perundang-undangan

Lebih terperinci

MENTERI DALAM NEGERI REPUBLIK INDONESIA

MENTERI DALAM NEGERI REPUBLIK INDONESIA SALINAN MENTERI DALAM NEGERI REPUBLIK INDONESIA PERATURAN MENTERI DALAM NEGERI REPUBLIK INDONESIA NOMOR 45 TAHUN 2016 TENTANG PEDOMAN PENETAPAN DAN PENEGASAN BATAS DESA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA,

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 10 TAHUN 2000 TENTANG TINGKAT KETELITIAN PETA UNTUK PENATAAN RUANG WILAYAH PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 10 TAHUN 2000 TENTANG TINGKAT KETELITIAN PETA UNTUK PENATAAN RUANG WILAYAH PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 10 TAHUN 2000 TENTANG TINGKAT KETELITIAN PETA UNTUK PENATAAN RUANG WILAYAH PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA Menimbang : bahwa untuk melaksanakan ketentuan Pasal

Lebih terperinci

ISTILAH DI NEGARA LAIN

ISTILAH DI NEGARA LAIN Geografi PENGERTIAN Ilmu atau seni untuk memperoleh informasi tentang obyek, daerah atau gejala dengan jalan menganalisis data yang diperoleh dengan menggunakan alat tanpa kontak langsung terhadap obyek

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN I.1

BAB I PENDAHULUAN I.1 BAB I PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang Kabupaten Lamadau di Provinsi Kalimantan Tengah dibentuk pada tahun 2002 melalui Undang-Undang Nomor 5 tahun 2002 tentang pembentukan Kabupaten Katingan, Kabupaten

Lebih terperinci

penginderaan jauh remote sensing penginderaan jauh penginderaan jauh (passive remote sensing) (active remote sensing).

penginderaan jauh remote sensing penginderaan jauh penginderaan jauh (passive remote sensing) (active remote sensing). Istilah penginderaan jauh merupakan terjemahan dari remote sensing yang telah dikenal di Amerika Serikat sekitar akhir tahun 1950-an. Menurut Manual of Remote Sensing (American Society of Photogrammetry

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Lahan, Penggunaan Lahan dan Perubahan Penggunaan Lahan

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Lahan, Penggunaan Lahan dan Perubahan Penggunaan Lahan II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Lahan, Penggunaan Lahan dan Perubahan Penggunaan Lahan Lahan adalah suatu wilayah daratan yang ciri-cirinya menerangkan semua tanda pengenal biosfer, atsmosfer, tanah geologi,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Era Teknologi merupakan era dimana informasi serta data dapat didapatkan dan ditransfer secara lebih efektif. Perkembangan ilmu dan teknologi menyebabkan kemajuan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Perkembangan pembangunan pada suatu negara dapat dijadikan sebagai tolak ukur kualitas dari pemerintahan suatu negara. Pembangunan wilayah pada suatu negara dapat

Lebih terperinci

INTERPRETASI CITRA SATELIT LANDSAT

INTERPRETASI CITRA SATELIT LANDSAT INTERPRETASI CITRA SATELIT LANDSAT Tujuan: Mahasiswa dapat mengidentifikasi objek yang ada pada citra landsat Mahasiswa dapat mendelineasi hasil interpretasi citra landsat secara teliti Mahasiswa dapat

Lebih terperinci

q Tujuan dari kegiatan ini diperolehnya peta penggunaan lahan yang up-to date Alat dan Bahan :

q Tujuan dari kegiatan ini diperolehnya peta penggunaan lahan yang up-to date Alat dan Bahan : MAKSUD DAN TUJUAN q Maksud dari kegiatan ini adalah memperoleh informasi yang upto date dari citra satelit untuk mendapatkan peta penggunaan lahan sedetail mungkin sebagai salah satu paramater dalam analisis

Lebih terperinci

Analisis Ketelitian Objek pada Peta Citra Quickbird RS 0,68 m dan Ikonos RS 1,0 m

Analisis Ketelitian Objek pada Peta Citra Quickbird RS 0,68 m dan Ikonos RS 1,0 m Jurnal Rekayasa LPPM Itenas No. 3 Vol. XIV Institut Teknologi Nasional Juli September 2010 Analisis Ketelitian Objek pada Peta Citra Quickbird RS 0,68 m dan Ikonos RS 1,0 m BAMBANG RUDIANTO Jurusan Teknik

Lebih terperinci

Analisis Ketelitian Geometric Citra Pleiades 1A untuk Pembuatan Peta Dasar Lahan Pertanian (Studi Kasus: Kecamatan Socah, Kabupaten Bangkalan)

Analisis Ketelitian Geometric Citra Pleiades 1A untuk Pembuatan Peta Dasar Lahan Pertanian (Studi Kasus: Kecamatan Socah, Kabupaten Bangkalan) JURNAL TEKNIK ITS Vol. 5, 2, (2016) ISSN: 2337-3539 (2301-9271 Print) A375 Analisis Ketelitian Geometric Citra untuk Pembuatan Peta Dasar Lahan Pertanian (Studi Kasus: Kecamatan Socah, Kabupaten Bangkalan)

Lebih terperinci

PENGGUNAAN HIGH TEMPORAL AND SPASIAL IMAGERY DALAM UPAYA PENCARIAN PESAWAT YANG HILANG

PENGGUNAAN HIGH TEMPORAL AND SPASIAL IMAGERY DALAM UPAYA PENCARIAN PESAWAT YANG HILANG PENGGUNAAN HIGH TEMPORAL AND SPASIAL IMAGERY DALAM UPAYA PENCARIAN PESAWAT YANG HILANG Oleh : Yofri Furqani Hakim, ST. Ir. Edwin Hendrayana Kardiman, SE. Budi Santoso Bidang Pemetaan Dasar Kedirgantaraan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Peta merupakan representasi dari permukaan bumi baik sebagian atau keseluruhannya yang divisualisasikan pada bidang proyeksi tertentu dengan menggunakan skala tertentu.

Lebih terperinci

2. TINJAUAN PUSTAKA Pemanfaatan Citra Satelit Untuk Pemetaan Perairan Dangkal

2. TINJAUAN PUSTAKA Pemanfaatan Citra Satelit Untuk Pemetaan Perairan Dangkal 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Pemanfaatan Citra Satelit Untuk Pemetaan Perairan Dangkal Data kedalaman merupakan salah satu data dari survei hidrografi yang biasa digunakan untuk memetakan dasar lautan, hal

Lebih terperinci

BAB III TAHAPAN PENETAPAN DAN PENEGASAN BATAS KEWENANGAN WILAYAH LAUT DAERAH

BAB III TAHAPAN PENETAPAN DAN PENEGASAN BATAS KEWENANGAN WILAYAH LAUT DAERAH BAB III TAHAPAN PENETAPAN DAN PENEGASAN BATAS KEWENANGAN WILAYAH LAUT DAERAH Dalam kajian penentuan batas kewenangan wilayah laut Provinsi Nusa Tenggara Barat menggunakan dua prinsip yaitu, pertama mengacu

Lebih terperinci

SIDANG TUGAS AKHIR RG

SIDANG TUGAS AKHIR RG SIDANG TUGAS AKHIR RG 091536 KAJIAN KETELITIAN PLANIMETRIS CITRA RESOLUSI TINGGI PADA GOOGLE EARTH UNTUK PEMBUATAN PETA DASAR SKALA 1: 10000 KECAMATAN BANJAR TIMUR KOTA BANJARMASIN NOORLAILA HAYATI 3507100044

Lebih terperinci

KAJIAN KETELITIAN KOREKSI GEOMETRIK DATA SPOT-4 NADIR LEVEL 2 A STUDI KASUS: NUSA TENGGARA TIMUR

KAJIAN KETELITIAN KOREKSI GEOMETRIK DATA SPOT-4 NADIR LEVEL 2 A STUDI KASUS: NUSA TENGGARA TIMUR Majalah Sains dan Teknologi Dirgantara Vol. 3 No. 3 September 2008:132-137 KAJIAN KETELITIAN KOREKSI GEOMETRIK DATA SPOT-4 NADIR LEVEL 2 A STUDI KASUS: NUSA TENGGARA TIMUR Muchlisin Arief, Kustiyo, Surlan

Lebih terperinci

PERANAN TEKNOLOGI PENGINDERAAN JAUH DALAM MEMPERCEPAT PEROLEHAN DATA GEOGRAFIS UNTUK KEPERLUAN PEMBANGUNAN NASIONAL ABSTRAK

PERANAN TEKNOLOGI PENGINDERAAN JAUH DALAM MEMPERCEPAT PEROLEHAN DATA GEOGRAFIS UNTUK KEPERLUAN PEMBANGUNAN NASIONAL ABSTRAK PERANAN TEKNOLOGI PENGINDERAAN JAUH DALAM MEMPERCEPAT PEROLEHAN DATA GEOGRAFIS UNTUK KEPERLUAN PEMBANGUNAN NASIONAL Rokhmatuloh Departemen Geografi FMIPA Universitas Indonesia Kampus UI Depok 16424, Tel/Fax.

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

BAB III METODOLOGI PENELITIAN BAB III METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Persiapan Tahap persiapan merupakan tahapan penting dalam penelitian ini. Proses persiapan data ini berpengaruh pada hasil akhir penelitian. Persiapan yang dilakukan meliputi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Di era globalisasi saat ini, perkembangan suatu daerah semakin pesat seiring dengan meningkatnya jumlah penduduk dan kebutuhan sarana prasarana. Akibatnya, pembangunan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 3 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Penginderaan Jauh Penginderaan jauh adalah ilmu dan seni untuk memperoleh informasi tentang suatu obyek, daerah, atau fenomena melalui analisis data yang diperoleh dengan

Lebih terperinci

BAB III PENGOLAHAN DATA ALOS PRISM

BAB III PENGOLAHAN DATA ALOS PRISM BAB III PENGOLAHAN DATA ALOS PRISM 3.1 Tahap Persiapan Pada tahap persiapan, dilakukan langkah-langkah awal berupa : pengumpulan bahan-bahan dan data, di antaranya citra satelit sebagai data primer, peta

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG

BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG Seiring dengan berkembangnya permintaan akan pemetaan suatu wilayah dalam berbagai bidang, maka semakin berkembang pula berbagai macam metode pemetaan. Dengan memanfaatkan

Lebih terperinci

STATUS BATAS WILAYAH ADMINISTRATIF KABUPATEN KLATEN. Klaten, 21 Oktober 2015

STATUS BATAS WILAYAH ADMINISTRATIF KABUPATEN KLATEN. Klaten, 21 Oktober 2015 STATUS BATAS WILAYAH ADMINISTRATIF KABUPATEN KLATEN Klaten, 21 Oktober 2015 Kabupaten Klaten merupakan bagian dari Kawasan Andalan Subosukawonosraten dgn arahan pengembangan kawasan andalan pertanian,

Lebih terperinci

Analisis Ketelitian Geometric Citra Pleiades 1B untuk Pembuatan Peta Desa (Studi Kasus: Kelurahan Wonorejo, Surabaya)

Analisis Ketelitian Geometric Citra Pleiades 1B untuk Pembuatan Peta Desa (Studi Kasus: Kelurahan Wonorejo, Surabaya) Analisis Ketelitian Geometric Citra Pleiades 1B untuk Pembuatan Peta Desa (Studi Kasus: Kelurahan Wonorejo, Surabaya) Iva Nurwauziyah, Bangun Muljo Sukojo, Husnul Hidayat Jurusan Teknik Geomatika, Fakultas

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN 11 BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian ini dilaksanakan selama dua bulan yaitu bulan Juli-Agustus 2010 dengan pemilihan lokasi di Kota Denpasar. Pengolahan data dilakukan di Laboratorium

Lebih terperinci

BAB IV ANALISIS 4.1 Analisis Terhadap Citra Satelit yang digunakan 4.2 Analisis Terhadap Peta Rupabumi yang digunakan

BAB IV ANALISIS 4.1 Analisis Terhadap Citra Satelit yang digunakan 4.2 Analisis Terhadap Peta Rupabumi yang digunakan BAB IV ANALISIS 4.1 Analisis Terhadap Citra Satelit yang digunakan Citra SPOT 4 dan IKONOS yang digunakan merupakan dua citra yang memiliki resolusi spasial yang berbeda dimana SPOT 4 memiliki resolusi

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI 3.1 Waktu dan Tempat 3.2 Alat dan Data 3.3 Tahapan Pelaksanaan

BAB III METODOLOGI 3.1 Waktu dan Tempat 3.2 Alat dan Data 3.3 Tahapan Pelaksanaan 15 BAB III METODOLOGI 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian ini dilaksanakan mulai bulan Juli sampai dengan April 2011 dengan daerah penelitian di Kabupaten Bogor, Kabupaten Sukabumi, dan Kabupaten Cianjur,

Lebih terperinci

11/25/2009. Sebuah gambar mengandung informasi dari obyek berupa: Posisi. Introduction to Remote Sensing Campbell, James B. Bab I

11/25/2009. Sebuah gambar mengandung informasi dari obyek berupa: Posisi. Introduction to Remote Sensing Campbell, James B. Bab I Introduction to Remote Sensing Campbell, James B. Bab I Sebuah gambar mengandung informasi dari obyek berupa: Posisi Ukuran Hubungan antar obyek Informasi spasial dari obyek Pengambilan data fisik dari

Lebih terperinci

III. METODOLOGIPENELITIAN Waktu dan Tempat. Penelitian ini telah dilakukan tepatnya pada Agustus 2008, namun penyusunan

III. METODOLOGIPENELITIAN Waktu dan Tempat. Penelitian ini telah dilakukan tepatnya pada Agustus 2008, namun penyusunan III. METODOLOGIPENELITIAN 3.1. Waktu dan Tempat Penelitian ini telah dilakukan tepatnya pada Agustus 2008, namun penyusunan laporan kembali dilakukan pada bulan Agustus hingga September 2009. Pengamatan

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Dalam Pasal 12 Undang-undang Kehutanan disebutkan bahwa. penyusunan rencana kehutanan. Pembentukan wilayah pengelolaan hutan

TINJAUAN PUSTAKA. Dalam Pasal 12 Undang-undang Kehutanan disebutkan bahwa. penyusunan rencana kehutanan. Pembentukan wilayah pengelolaan hutan TINJAUAN PUSTAKA KPH (Kesatuan Pengelolaan Hutan) Dalam Pasal 12 Undang-undang Kehutanan disebutkan bahwa perencanaan kehutanan meliputi inventarisasi hutan, pengukuhan kawasan hutan, penatagunaan kawasan

Lebih terperinci

LEMBAGA PENERBANGAN DAN ANTARIKSA NASIONAL

LEMBAGA PENERBANGAN DAN ANTARIKSA NASIONAL LEMBAGA PENERBANGAN DAN ANTARIKSA NASIONAL Sumber Energi Resolusi (Spasial, Spektral, Radiometrik, Temporal) Wahana Metode (visual, digital, otomatisasi) Penginderaan jauh adalah ilmu pengetahuan dan

Lebih terperinci

PERATURAN BADAN INFORMASI GEOSPASIAL NOMOR 12 TAHUN 2017 TENTANG PEDOMAN PEMETAAN WILAYAH MASYARAKAT HUKUM ADAT DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN BADAN INFORMASI GEOSPASIAL NOMOR 12 TAHUN 2017 TENTANG PEDOMAN PEMETAAN WILAYAH MASYARAKAT HUKUM ADAT DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PERATURAN BADAN INFORMASI GEOSPASIAL NOMOR 12 TAHUN 2017 TENTANG PEDOMAN PEMETAAN WILAYAH MASYARAKAT HUKUM ADAT DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA KEPALA BADAN INFORMASI GEOSPASIAL, Menimbang : a. bahwa

Lebih terperinci

Analisa Ketelitian Geometric Citra Pleiades Sebagai Penunjang Peta Dasar RDTR (Studi Kasus: Wilayah Kabupaten Bangkalan, Jawa Timur)

Analisa Ketelitian Geometric Citra Pleiades Sebagai Penunjang Peta Dasar RDTR (Studi Kasus: Wilayah Kabupaten Bangkalan, Jawa Timur) A411 Analisa Ketelitian Geometric Citra Pleiades Sebagai Penunjang Peta Dasar RDTR (Studi Kasus: Wilayah Kabupaten Bangkalan, Jawa Timur) Wahyu Teo Parmadi dan Bangun Muljo Sukojo Jurusan Teknik Geomatika,

Lebih terperinci

BAB IV PENGOLAHAN DATA

BAB IV PENGOLAHAN DATA BAB IV PENGOLAHAN DATA 4.1 Koreksi Geometrik Langkah awal yang harus dilakukan pada penelitian ini adalah melakukan koreksi geometrik pada citra Radarsat. Hal ini perlu dilakukan karena citra tersebut

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI DALAM NEGERI NOMOR 27 TAHUN 2006 TENTANG PENETAPAN DAN PENEGASAN BATAS DESA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI DALAM NEGERI,

PERATURAN MENTERI DALAM NEGERI NOMOR 27 TAHUN 2006 TENTANG PENETAPAN DAN PENEGASAN BATAS DESA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI DALAM NEGERI, PERATURAN MENTERI DALAM NEGERI NOMOR 27 TAHUN 2006 TENTANG PENETAPAN DAN PENEGASAN BATAS DESA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI DALAM NEGERI, Menimbang Mengingat : bahwa untuk melaksanakan ketentuan

Lebih terperinci

Bab 5 HASIL-HASIL PENGINDERAAN JAUH. Pemahaman Peta Citra

Bab 5 HASIL-HASIL PENGINDERAAN JAUH. Pemahaman Peta Citra Bab 5 HASIL-HASIL PENGINDERAAN JAUH Pemahaman Peta Citra 80 5.1. PENDAHULUAN Materi Hasil-Hasil Penginderaan Jauh merupakan materi lanjutan dari materi Pengantar Penginderaan Jauh. Jika pada materi sebelumnya

Lebih terperinci

PENGEMBANGAN DATA DAN INFORMASI TATA RUANG KABUPATEN/KOTA BERBASIS CITRA SATELIT DAN GIS PENGANTAR Pesatnya perkembangan teknologi informasi membawa perubahan yang besar di berbagai bidang termasuk bidang

Lebih terperinci

REMOTE SENSING AND GIS DATA FOR URBAN PLANNING

REMOTE SENSING AND GIS DATA FOR URBAN PLANNING REMOTE SENSING AND GIS DATA FOR URBAN PLANNING Jarot Mulyo Semedi disampaikan pada: Workshop Continuing Professional Development (CPD) Ahli Perencanaan Wilayah dan Kota Jakarta, 7 Oktober 2016 Isi Presentasi

Lebih terperinci

Bab I Pendahuluan. I.1. Latar Belakang

Bab I Pendahuluan. I.1. Latar Belakang 1 Bab I Pendahuluan I.1. Latar Belakang Identifikasi merupakan langkah strategis dalam menyukseskan suatu pekerjaan. (Supriadi, 2007). Tujuan pemerintah dalam rangka penertiban dan pendayagunaan tanah

Lebih terperinci

JURNAL TEKNIK POMITS Vol. X, No. X, (Juni, 2013) ISSN:

JURNAL TEKNIK POMITS Vol. X, No. X, (Juni, 2013) ISSN: JURNAL TEKNIK POMITS Vol. X, No. X, (Juni, 2013) ISSN: 2301-9271 1 Kajian Updating Peta Menggunakan Data Dasar Citra Satelit Worldview-2 dan Kota Surabaya Skala 1:5000 (Studi Kasus: dan Anyar) Cherie Bhekti

Lebih terperinci

ACARA IV KOREKSI GEOMETRIK

ACARA IV KOREKSI GEOMETRIK 65 ACARA IV KOREKSI GEOMETRIK A. TUJUAN: 1) Mahasiswa mampu melakukan koreksi geometric pada foto udara maupun citra satelit dengan software ENVI 2) Mahasiswa dapat menemukan berbagai permasalahan saat

Lebih terperinci

Satelit Landsat 8, Landsat Data Continuity Mission Pengolahan Citra Digital

Satelit Landsat 8, Landsat Data Continuity Mission Pengolahan Citra Digital Satelit Landsat 8, Landsat Data Continuity Mission A. Satelit Landsat 8 Satelit Landsat 8, Landsat Data Continuity Mission Landsat 8 merupakan kelanjutan dari misi Landsat yang untuk pertama kali menjadi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Lahan merupakan bentang permukaan bumi yang dapat bermanfaat bagi manusia baik yang sudah dikelola maupun belum. Untuk itu peran lahan cukup penting dalam kehidupan

Lebih terperinci

Evaluasi Ketelitian Luas Bidang Tanah Dalam Pengembangan Sistem Informasi Pertanahan

Evaluasi Ketelitian Luas Bidang Tanah Dalam Pengembangan Sistem Informasi Pertanahan Evaluasi Ketelitian Luas Bidang Tanah Dalam Pengembangan Sistem Informasi Pertanahan (studi kasus : Kecamatan Sedati, Kabupaten Sidoarjo) Arwan Putra Wijaya 1*, Teguh Haryanto 1*, Catharina N.S. 1* Program

Lebih terperinci

JURNAL TEKNIK ITS Vol. 5, No. 2, (2016) ISSN: ( Print)

JURNAL TEKNIK ITS Vol. 5, No. 2, (2016) ISSN: ( Print) A703 Analisa Ketelitian Geometrik Citra Pleiades 1A dan Worldview-2 untuk Pembuatan Peta Dasar Rencana Detail Tata Ruang Perkotaan (Studi Kasus: Surabaya Pusat) Ricko Buana Surya, Bangun Muljo Sukojo,

Lebih terperinci

Pemanfaatan Citra Penginderaan Jauh ( Citra ASTER dan Ikonos ) Oleh : Bhian Rangga JR Prodi Geografi FKIP UNS

Pemanfaatan Citra Penginderaan Jauh ( Citra ASTER dan Ikonos ) Oleh : Bhian Rangga JR Prodi Geografi FKIP UNS Pemanfaatan Citra Penginderaan Jauh ( Citra ASTER dan Ikonos ) Oleh : Bhian Rangga JR Prodi Geografi FKIP UNS A. Pendahuluan Di bumi ini tersebar berbagai macam fenomena fenomena alam yang sudah diungkap

Lebih terperinci

SPESIFIKASI PENYAJIAN PETA RDTR

SPESIFIKASI PENYAJIAN PETA RDTR SPESIFIKASI PENYAJIAN PETA RDTR i Daftar isi Daftar isi... 1 Prakata... 3 1 Ruang lingkup... 4 2 Istilah dan definisi... 4 2.1 Istilah Teknis Perpetaan... 4 2.2 Istilah Tata Ruang... 5 3 Penyajian Muka

Lebih terperinci

Bab II Tinjauan Pustaka

Bab II Tinjauan Pustaka 11 Bab II Tinjauan Pustaka II.1. Penelitian Terdahulu Beberapa penelitian terdahulu mengenai penerapan teknologi penginderaan jauh citra resolusi tinggi sebagai media untuk memetakan suatu daerah antara

Lebih terperinci

PETA TERESTRIAL: PEMBUATAN DAN PENGGUNAANNYA DALAM PENGELOLAAN DATA GEOSPASIAL CB NURUL KHAKHIM

PETA TERESTRIAL: PEMBUATAN DAN PENGGUNAANNYA DALAM PENGELOLAAN DATA GEOSPASIAL CB NURUL KHAKHIM PETA TERESTRIAL: PEMBUATAN DAN PENGGUNAANNYA DALAM PENGELOLAAN DATA GEOSPASIAL CB NURUL KHAKHIM UU no. 4 Tahun 2011 tentang INFORMASI GEOSPASIAL Istilah PETA --- Informasi Geospasial Data Geospasial :

Lebih terperinci

3. BAHAN DAN METODE. Penelitian yang meliputi pengolahan data citra dilakukan pada bulan Mei

3. BAHAN DAN METODE. Penelitian yang meliputi pengolahan data citra dilakukan pada bulan Mei 3. BAHAN DAN METODE 3.1. Waktu dan Tempat Penelitian yang meliputi pengolahan data citra dilakukan pada bulan Mei sampai September 2010. Lokasi penelitian di sekitar Perairan Pulau Pari, Kepulauan Seribu,

Lebih terperinci

PENETAPAN DAN PENEGASAN BATAS WILAYAH DESA KAUMAN KECAMATAN KARANGREJO PROPINSI JAWA TIMUR

PENETAPAN DAN PENEGASAN BATAS WILAYAH DESA KAUMAN KECAMATAN KARANGREJO PROPINSI JAWA TIMUR PENETAPAN DAN PENEGASAN BATAS WILAYAH DESA KAUMAN KECAMATAN KARANGREJO PROPINSI JAWA TIMUR Oleh : Bilal Ma ruf (1), Sumaryo (1), Gondang Riyadi (1), Kelmindo Andwidono Wibowo (2) (1) Dosen Jurusan Teknik

Lebih terperinci

menunjukkan nilai keakuratan yang cukup baik karena nilai tersebut lebih kecil dari limit maksimum kesalahan rata-rata yaitu 0,5 piksel.

menunjukkan nilai keakuratan yang cukup baik karena nilai tersebut lebih kecil dari limit maksimum kesalahan rata-rata yaitu 0,5 piksel. Lampiran 1. Praproses Citra 1. Perbaikan Citra Satelit Landsat Perbaikan ini dilakukan untuk menutupi citra satelit landsat yang rusak dengan data citra yang lainnya, pada penelitian ini dilakukan penggabungan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Hasil sensus jumlah penduduk di Indonesia, dengan luas wilayah kurang lebih 1.904.569 km 2 menunjukkan adanya peningkatan jumlah penduduk, dari tahun 2010 jumlah penduduknya

Lebih terperinci

PERANAN CITRA SATELIT ALOS UNTUK BERBAGAI APLIKASI TEKNIK GEODESI DAN GEOMATIKA DI INDONESIA

PERANAN CITRA SATELIT ALOS UNTUK BERBAGAI APLIKASI TEKNIK GEODESI DAN GEOMATIKA DI INDONESIA PERANAN CITRA SATELIT ALOS UNTUK BERBAGAI APLIKASI TEKNIK GEODESI DAN GEOMATIKA DI INDONESIA Atriyon Julzarika Alumni Teknik Geodesi dan Geomatika, FT-Universitas Gadjah Mada, Angkatan 2003 Lembaga Penerbangan

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN. Penelitian dilaksanakan di Taman Hutan Raya Wan Abdul Rachman (Tahura

III. METODE PENELITIAN. Penelitian dilaksanakan di Taman Hutan Raya Wan Abdul Rachman (Tahura III. METODE PENELITIAN A. Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian dilaksanakan di Taman Hutan Raya Wan Abdul Rachman (Tahura WAR). Berdasarkan administrasi pemerintahan Provinsi Lampung kawasan ini berada

Lebih terperinci

MENGGAMBAR BATAS DESA PADA PETA

MENGGAMBAR BATAS DESA PADA PETA MENGGAMBAR BATAS DESA PADA PETA Edisi : I Tahun 2003 KERJASAMA ANTARA DEPARTEMEN DALAM NEGERI DENGAN BADAN KOORDINASI SURVEI DAN PEMETAAAN NASIONAL Cibogo, April 2003 MENGGAMBAR BATAS DESA PADA PETA Oleh:

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. permukaan lahan (Burley, 1961 dalam Lo, 1995). Konstruksi tersebut seluruhnya

II. TINJAUAN PUSTAKA. permukaan lahan (Burley, 1961 dalam Lo, 1995). Konstruksi tersebut seluruhnya 5 II. TINJAUAN PUSTAKA A. Penutupan Lahan dan Perubahannya Penutupan lahan menggambarkan konstruksi vegetasi dan buatan yang menutup permukaan lahan (Burley, 1961 dalam Lo, 1995). Konstruksi tersebut seluruhnya

Lebih terperinci

ASPEK GEOSPASIAL DALAM DELINEASI BATAS WILAYAH KOTA GORONTALO: Studi Kasus dalam Pemutakhiran Data Batas Wilayah

ASPEK GEOSPASIAL DALAM DELINEASI BATAS WILAYAH KOTA GORONTALO: Studi Kasus dalam Pemutakhiran Data Batas Wilayah ASPEK GEOSPASIAL DALAM DELINEASI BATAS WILAYAH KOTA GORONTALO: Studi Kasus dalam Pemutakhiran Data Batas Wilayah (Geospatial Aspects in the Borders Delineation of Gorontalo City: A Case Study on Updating

Lebih terperinci

SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS,

SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS, Integrasi GISdan Inderaja Penginderaan jauh (remote sensing) adalah ilmu dan ketrampilan untuk memperoleh informasi tentang obyek, daerah, atau fenomena melalui analisis data yang diperoleh dengan suatu

Lebih terperinci

PERBANDINGAN RESOLUSI SPASIAL, TEMPORAL DAN RADIOMETRIK SERTA KENDALANYA

PERBANDINGAN RESOLUSI SPASIAL, TEMPORAL DAN RADIOMETRIK SERTA KENDALANYA PERBANDINGAN RESOLUSI SPASIAL, TEMPORAL DAN RADIOMETRIK SERTA KENDALANYA Oleh : Amelia Oktaviani dan Yarjohan Prodi Ilmu Kelautan Mahasiwa Ilmu Kelautan Universitas Bengkulu *E-mail : ameliaoktaviani049@gmail.com

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. pada radius 4 kilometer dari bibir kawah. (http://berita.plasa.msn.com

BAB I PENDAHULUAN. pada radius 4 kilometer dari bibir kawah. (http://berita.plasa.msn.com BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Gunung Sinabung terus menunjukkan peningkatan aktivitas vulkanologi. Awan hitam dan erupsi terus terjadi, 5.576 warga dievakuasi. Evakuasi diberlakukan setelah pada

Lebih terperinci

TEORI DASAR INTERPRETASI CITRA SATELIT LANDSAT TM7+ METODE INTERPRETASI VISUAL ( DIGITIZE SCREEN) Oleh Dwi Nowo Martono

TEORI DASAR INTERPRETASI CITRA SATELIT LANDSAT TM7+ METODE INTERPRETASI VISUAL ( DIGITIZE SCREEN) Oleh Dwi Nowo Martono TEORI DASAR INTERPRETASI CITRA SATELIT LANDSAT TM7+ METODE INTERPRETASI VISUAL ( DIGITIZE SCREEN) Oleh Dwi Nowo Martono I. PENGANTAR Penginderaan jauh adalah ilmu dan teknik untuk memperoleh informasi

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. ini didefenisikan oleh Parker pada tahun 1962, pada symposium pertama tentang

TINJAUAN PUSTAKA. ini didefenisikan oleh Parker pada tahun 1962, pada symposium pertama tentang TINJAUAN PUSTAKA Sejarah Penginderaan Jauh Istilah penginderaan jauh dikenalkan di Amerika Serikat pada akhir tahun 1950-an untuk menarik dana dari instansi survei kelautan Amerika Serikat. Istilah ini

Lebih terperinci

LAPORAN PRAKTIKUM MATA KULIAH PENGOLAHAN CITRA DIGITAL

LAPORAN PRAKTIKUM MATA KULIAH PENGOLAHAN CITRA DIGITAL LAPORAN PRAKTIKUM MATA KULIAH PENGOLAHAN CITRA DIGITAL Georeferencing dan Resizing Enggar Budhi Suryo Hutomo 10301628/TK/37078 JURUSAN S1 TEKNIK GEODESI FAKULTAS TEKNIK UNIVERSITAS GADJAH MADA 2015 BAB

Lebih terperinci

GEOGRAFI. Sesi PENGINDERAAN JAUH : 1 A. PENGERTIAN PENGINDERAAN JAUH B. PENGINDERAAN JAUH FOTOGRAFIK

GEOGRAFI. Sesi PENGINDERAAN JAUH : 1 A. PENGERTIAN PENGINDERAAN JAUH B. PENGINDERAAN JAUH FOTOGRAFIK GEOGRAFI KELAS XII IPS - KURIKULUM GABUNGAN 08 Sesi NGAN PENGINDERAAN JAUH : 1 A. PENGERTIAN PENGINDERAAN JAUH Penginderaan jauh (inderaja) adalah cara memperoleh data atau informasi tentang objek atau

Lebih terperinci

Kebijakan Pemprov Banten Mengenai Penegasan Batas Daerah

Kebijakan Pemprov Banten Mengenai Penegasan Batas Daerah Kebijakan Pemprov Banten Mengenai Penegasan Batas Daerah Pemerintah Provinsi Banten hingga pertengahan tahun 2015 ini telah menyelesaikan penegasan atas 20 segmen batas daerah di delapan kabupaten/kota

Lebih terperinci

Noorlaila Hayati, Dr. Ir. M. Taufik Program Studi Teknik Geomatika, FTSP-ITS, Surabaya, 60111, Indonesia

Noorlaila Hayati, Dr. Ir. M. Taufik Program Studi Teknik Geomatika, FTSP-ITS, Surabaya, 60111, Indonesia KAJIAN KETELITIAN PLANIMETRIS CITRA RESOLUSI TINGGI PADA GOOGLE EARTH UNTUK PEMBUATAN PETA DASAR SKALA 1: 10000 KECAMATAN BANJAR TIMUR KOTA BANJARMASIN Noorlaila Hayati, Dr. Ir. M. Taufik Program Studi

Lebih terperinci

BAB III TINJAUAN UMUM PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN MENGENAI BATAS WILAYAH DESA

BAB III TINJAUAN UMUM PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN MENGENAI BATAS WILAYAH DESA BAB III TINJAUAN UMUM PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN MENGENAI BATAS WILAYAH DESA A. Dasar Hukum Pembagian Wilayah 1. UUD 1945 Hasil Amandemen Kerangka Yuridis mengenai pembagian wilayah dapat dilihat pada

Lebih terperinci

Bab I Pendahuluan. I.1 Latar Belakang

Bab I Pendahuluan. I.1 Latar Belakang 1 Bab I Pendahuluan I.1 Latar Belakang Kegiatan pengukuran dan pemetaan bidang tanah memerlukan acuan arah dan informasi geospasial. Diperlukan peta dasar pendaftaran dan peta kerja yang dapat dijadikan

Lebih terperinci

RINGKASAN MATERI INTEPRETASI CITRA

RINGKASAN MATERI INTEPRETASI CITRA Lampiran 1 Ringkasan Materi RINGKASAN MATERI INTEPRETASI CITRA 1 Pengertian Intepretasi Citra Inteprtasi Citra adalah kegiatan menafsir, mengkaji, mengidentifikasi, dan mengenali objek pada citra, selanjutnya

Lebih terperinci

BUPATI MAJENE PERATURAN DAERAH KABUPATEN MAJENE NOMOR 8 TAHUN 2012 TENTANG PENETAPAN DAN PENEGASAN BATAS DESA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

BUPATI MAJENE PERATURAN DAERAH KABUPATEN MAJENE NOMOR 8 TAHUN 2012 TENTANG PENETAPAN DAN PENEGASAN BATAS DESA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI MAJENE PERATURAN DAERAH KABUPATEN MAJENE NOMOR 8 TAHUN 2012 TENTANG PENETAPAN DAN PENEGASAN BATAS DESA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI MAJENE, Menimbang: a. bahwa dalam rangka pelaksanaan

Lebih terperinci