BAB I PENGANTAR 1.1. Latar Belakang

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "BAB I PENGANTAR 1.1. Latar Belakang"

Transkripsi

1 BAB I PENGANTAR 1.1. Latar Belakang Pada saat ini teknologi penginderaan jauh (PJ) telah mengalami perkembangan yang sangat pesat, hal ini ditunjukkan dengan semakin beragamnya jenis wahana, sensor dan sistem penginderaan jauh yang ada, diiringi dengan semakin luasnya lingkup aplikasi teknologi ini. Salah satu misi dikembangkannya penginderaan jauh adalah untuk merekam data pada permukaan bumi, sehingga data tersebut dapat digunakan untuk inventarisasi dan evaluasi pemanfaatan kekayaan alam yang tersimpan di bumi. Pada era globalisasi (era informasi) permintaan akan data citra penginderaan jauh untuk berbagai bidang terus meningkat. Penggunaan data tersebut tidak hanya terbatas pada kalangan khusus (scientific purposes) tetapi juga para pengguna umum (operational user). Penggunaan data penginderaan jauh untuk kalangan khusus biasanya dilakukan oleh kalangan militer dan ilmuwan. Para pengguna umum lebih berorientasi pada nilai bisnis, sedangkan pengguna khusus lebih mementingkan pada aspek pengembangan ilmu. Teknologi penginderaan jauh menghasilkan berbagai jenis citra yang direkam dengan berbagai sensor (multisensor) yang mampu menghasilkan citra dengan berbagai resolusi (multiresolusi). Selanjutnya citra penginderaan jauh diproses dan diinterpretasi guna menghasilkan data dan informasi yang bermanfaat untuk aplikasi di bidang pertanian, kehutanan, arkeologi, geografi, geologi, perencanaan wilayah, mitigasi bencana dan bidangbidang lainnya. Sejalan dengan perkembangan teknologi penginderaan jauh, pada saat ini di dunia berkembang dengan pesat teknologi sistem informasi geografis (SIG). Pada tahun 1970-an sistem informasi geografis mengalami perkembangan yang sedemikian luar biasa terkait dengan jumlah dan volume data yang sebagian besar dalam format data digital yang berasal dari data penginderaan jauh, data sensus, dan data statistik dari berbagai lembaga/badan/institusi/organisasi yang ada. Sistem informasi geografis diyakini merupakan salah satu teknologi yang

2 dipandang mampu untuk menangani masalah data tersebut dalam kerangka membangun suatu bank data atau basis data yang dapat dimanfaatkan semaksimal mungkin untuk berbagai tujuan, salah satunya dalam hal ini adalah untuk pemodelan bidang pertanian. Pembangunan Nasional Bangsa Indonesia di sektor pertanian masih merupakan sektor penggerak, sedangkan sektor industri ditumbuhkan sebagai komplemen bagi pertumbuhan sektor pertanian. Peningkatan produktivitas sektor pertanian ditujukan untuk meningkatkan pendapatan petani yang merupakan faktor pendorong untuk meningkatkan permintaan hasil industri. Oleh karena itu kebijakan yang langsung mempengaruhi pengembangan komoditas perdagangan hasil pertanian perlu ditetapkan secara tepat dan bijaksana. Aspek pertama adalah kebijakan yang memperkuat struktur organisasi sektor pertanian, yaitu yang berkaitan dengan peningkatan produktivitas lahan, pengembangan usaha, penumbuhan dan pengembangan kelembagaan pertanian (kelembagaan pemerintah, kelembagaan tani, kelembagaan sosial ekonomi kemasyarakatan, dan sebagainya), peningkatan kualitas sumber daya manusia, pelayanan penelitian dan penyuluhan. Aspek kedua, adalah kebijakan yang berkaitan dengan peningkatan efisiensi dan daya saing komoditas pertanian, baik di pasar domestik maupun pasar global, yaitu meliputi kebijakan perpajakan, subsidi, pengendalian terhadap beberapa input dan output, serta kebijakan yang mempengaruhi harga antara lain pengaturan bunga Bank, upah tenaga kerja dan nilai tukar rupiah (Departemen Pertanian RI, 2005) Untuk menunjang pengembangan sektor pertanian, informasi tentang jumlah panen sangat diperlukan untuk berbagai kepentingan. Departemen pertanian memerlukan informasi tersebut untuk tujuan administratif, seperti untuk membuat aturan, menentukan harga, atau perdagangan. Perusahaan swasta terutama yang berkaitan dengan perdagangan hasil pertanian sangat memerlukan data panen untuk keperluan marketing dan persediaan/cadangan. Di tingkat petani sendiri informasi tersebut diperlukan untuk menghitung harga jual produknya. Sebagai negara berkembang dengan hampir 240 juta penduduk, maka Indonesia mempunyai masalah yang cukup besar di dalam penyediaan pangan

3 bagi penduduknya. Kebijakan pemerintah pada masa Orde Baru yang menjadikan beras sebagai makanan pokok untuk seluruh rakyat Indonesia membawa konsekuensi permintaan beras menjadi sangat tinggi. Badan Ketahanan Pangan Nasional memprediksi produksi gabah nasional pada tahun 2006 sebesar 54,66 juta ton dengan rendemen 63,2 %, sehingga menghasilkan beras sebesar juta ton. Pada tahun yang sama diprediksi kebutuhan pangan nasional mencapai 30,910 ton beras, sehingga terdapat surplus sebesar ton (Prabowo, 2006). Apabila dicermati angka-angka produksi dan kebutuhan beras nasional tersebut seharusnya Indonesia sudah swasembada beras dan bahkan dapat mengekspor beras. Namun pada kenyataannya pada tahun 2006 Indonesia masih mengimpor beras sebesar ton (Harian Kompas, 2006). Data produksi dan kebutuhan pangan Indonesia pada tahun 2012 menunjukkan kondisi yang mirip dengan tahun Arifin (2012) menyatakan bahwa dengan metode estimasi yang digunakan Pemerintah dan Badan Pusat Statistik (BPS), Indonesia memiliki surplus beras sekitar 6 juta ton. Produksi padi sampai 1 Juli 2011 diramalkan mencapai 68 juta ton gabah kering giling (GKG) (atau setara 39,2 juta ton beras dengan laju konversi 0,57. Konsumsi beras 139,15 kg per kapita, maka total konsumsi beras 237,6 juta penduduk Indonesia seharusnya 33 juta ton, sehingga selisih produksi dengan konsumsi mencapai 6 juta ton. Meski secara hitungan matematis dan ramalan Indonesia mengalami surplus beras namun disisi lain Badan Pusat Statistik mencatat sejak januari hingga Agustus 2011 Bulog sebagai badan stabilisator telah melakukan impor beras dengan jumlah impor beras yang masuk ke Indoensia mencapai 1,62 juta ton dengan nilai US$ 861,23 juta (Arifin, 2012). Berdasarkan kenyataan yang ada, pertanyaan besar yang patut dilontarkan, yaitu apakah data produksi beras yang ada itu benar-benar sesuai dengan jumlah beras yang ada di lapangan. Jika ternyata data produksi beras yang merupakan tanaman pangan paling penting di Indonesia belum begitu baik, bagaimana dengan tanaman pertanian lainnya seperti tembakau? Padahal disadari bersama bahwa data produksi tersebut merupakan salah satu landasan penting dalam perencanaan kebijakan di sektor pangan.

4 Perhitungan produksi beras yang dilakukan Badan Pusat Statistik (BPS) selama ini tidak mencerminkan angka riil produksi beras yang sebenarnya sehingga perlu diperbaiki. Ini merupakan tantangan bagi BPS untuk mengubah cara perhitungan produksi berasnya yang belum berubah sejak 1980-an. Perlu ada perbaikan basis perhitungan dan luas panen. Jika perhitungan yang dilakukan BPS tersebut tidak dilakukan perbaikan, akan terjadi angka produksi beras yang semu. Apabila masih didasarkan perhitungan itu, angka produksi beras mengalami kenaikan terus meskipun terjadi perubahan kondisi alam (biogeofisik). Selama ini BPS tidak memperhitungkan kondisi biogeofisik dan berapa persen luas tanam yang rusak akibat bencana alam seperti banjir (Arifin, 2008). Badan Pusat Statistik dan Departemen Pertanian Republik Indonesia barupaya untuk memperbaiki sistem perhitungan produksi tanaman pertanian nasional dengan pendekatan teknologi yang lebih modern dengan tujuan untuk meminimalisasi terjadinya kesalahan estimasi produksi tanaman pertanian pada masa mendatang. Alternatif metode perhitungan produksi yang sedang dibahas BPS bersama dengan Deptan dan Kantor Menko Perekonomian adalah penggunaan teknologi penginderaan jauh melalui pemanfaatan data yang diperoleh dari citra satelit (Prabowo, 2006). Selain padi, salah satu tanaman pertanian penting bagi Indonesia adalah tembakau. Indonesia merupakan salah satu dari 10 besar produsen utama tembakau di dunia. Sumbangan tembakau terhadap perekonomian nasional cukup tinggi, berdasarkan data yang ada pada tahun 2002 penerimaan cukai dari tembakau mencapai Rp. 23,30 triliun, penyerapan tenaga kerja 3,5 juta orang pada sektor pertanian, orang pada sektor industri, orang pada sektor jasa. Luas tanam tembakau di Indonesia rata-rata hektar per tahun dengan produksi tembakau mencapai ton/tahun ( ; jam WIB). Mengingat nilai ekonomisnya yang sangat tinggi dan ketergantungan banyak orang serta sektor pada tanaman ini, maka sistem perhitungan produksi tembakau juga merupakan masalah yang sangat penting.

5 Manajemen sumberdaya pertanian pada berbagai skala (nasional, regional dan lokal) terkait dengan dua isyu utama yaitu; memelihara dan meningkatkan keuntungan finansial (biasanya dinyatakan dengan produktivitas) dan pemeliharaan serta pelestarian dalam jangka panjang. Manajemen SDA tersebut pada berbagai tingkat sangat tergantung pada informasi yang dikumpulkan dari pengukuran lapangan, peta-peta tematik pendukung, telepon dan sarana transportasi yang merupakan metode utama untuk mentransfer informasi. Metode ini dapat bekerja dengan baik untuk manajemen sumberdaya secara lokal namun memiliki keterbatasan untuk skala nasional dan regional, dimana diperlukan banyak tenaga dan mahal (Mc Cloy, 1987). Bidang ini memungkinkan penekanan pada penerapan teknologi tinggi seperti teknologi penginderaan jauh. Liputan yang komprehensif dari sisi spasial dan temporal data penginderaan jauh menawarkan informasi yang dinamis tentang kondisi biogeofisik wilayah yang tidak hanya dapat digunakan untuk pengelolaan, namun juga dapat digunakan untuk monitoring lingkungan dan perencanaan ke depan pada berbagai skala. Salah satu keunggulan data penginderaan jauh adalah sebagai pemutakhir data (dinamika data) pada penyusunan basis data. Dengan mengintegrasikan data dinamik pada citra penginderaan jauh dengan data statik pendukung (seperti data tanah, ketinggian, dsb.) dalam teknologi sistem informasi geografis, informasi yang dikumpulkan dari tiap bagian tersebut dapat ditajamkan (Graetz, 1990). Aplikasi penginderaan jauh dan sistem informasi geografis di bidang estimasi produksi pertanian di Indonesia maupun di dunia sudah banyak dilaksanakan. Penelitian-penelitian tersebut sudah menggunakan berbagai citra penginderaan jauh seperti Landsat TM, Landsat ETM+, ASTER dan ALOS. Ditinjau dari karakteristik resolusi yang dimiliki oleh ketiga citra tersebut maka terdapat beberapa perbedaan dalam resolusi spasial, spektral dan temporalnya. Citra Landsat 7 ETM+ mempunyai resolusi spektral 8 band, resolusi spasial 15/30/60 m dan resolusi temporal 16 hari; (b) Citra Aster VNIR memiliki resolusi spektral 3 band, resolusi spasial 15 meter, dan resolusi temporal 16 hari; serta (c) Citra ALOS AVNIR-2 memiliki resolusi spektral 4 band, resolusi spasial 10 m dan resolusi temporal 46 hari. Untuk resolusi radiometrik ketiga citra tersebut

6 sama, yaitu 8 bit atau memiliki nilai spektral Ditinjau dari resolusi spektralnya untuk ketiga citra tersebut memiliki resolusi yang hampir sama untuk band biru, hijau, merah dan inframerah dekat. Frekwensi untuk spektrum panjang gelombang yang digunakan pada masing-masing citra berada pada rentang 1 sampai dengan THz. Perbedaan yang utama terdapat pada resolusi spasialnya, dimana citra Landsat 7 ETM+ pada band biru, hijau, merah dan inframerah dekat memiliki resolusi spasial 30 meter, ASTER VNIR pada band yang sama memiliki resolusi 15 meter, sedangkan ALOS AVNIR-2 pada band yang sama memiliki resolusi spasial 10 meter atau yang terbaik dari ketiganya. Perbedaan berikutnya terletak pada resolusi temporal dari ketiganya, yaitu : citra Landsat 7 ETM+ dan ASTER VNIR memiliki resolusi temporal 16 hari, sedangkan citra ALOS AVNIR-2 memiliki resolusi temporal 46 hari. Perbandingan resolusi pada ketiga citra disajikan pada tabel 1.1. Tabel 1.1. Perbandingan Resolusi Citra Landsat 7 ETM+, ASTER VNIR dan ALOS AVNIR-2 Jenis Sensor Resolusi Citra Spasial Spektral Temporal Radiometrik (μm) Landsat 7 ETM+ 16 hari 8 bit (0 255) Enhanced Thematic Mapper+ 30 m (multispektral) 60 m (termal) 15 m (pankromatik) 0,45 0,52 (B) 0,53 0,61 (H) 0,63 0,69 (M) 0,78 0,69 (IRD) 1,55 1,75 (IRM) 10,4 12,5 (IRT) 2,09 2,35 (IRM) 0,52 0,90 (P) ASTER Visible and 15 m 0,52 0,60 (H) 16 hari 8 bit VNIR Near Infrared (multispektral) 0,63 0,69 (M) 0,76 0,86 (IRD) (0 255) Radiomater ALOS Advanced 10 m 0,42 0,50 (B) 46 hari 8 bit AVNIR- Visible and (multispektral) 0,52 0,60 (H) (0 255) 2 Near Infrared 0,61 0,69 (M) 0,76 0,89 (IRD) Radiometer- 2 Keterangan : B = band biru, H = band hijau, M = band merah, IRD = band inframerah dekat, IRT = band inframerah tengah, P = band pankromatik

7 Untuk metode/teknik interpretasi citra yang digunakan untuk mendapatkan hasil estimasi produksi pertanian juga sudah menggunakan berbagai metode penginderaan jauh, namun sebagian besar diantaranya menggunakan metode transformasi indeks vegetasi. Sebagian besar penelitian yang dilakukan menggunakan citra resolusi menengah (Heru Murti, 1997; Fang, 1998; Lewis et al., 1998; Danoedoro dkk., 1999; Singh et al., 2003; Lobel et al., 2003; Mkhabela, et al., 2004; Akbari et al., 2006; Duchemin et al., 2007; Pan, et al., 2008; Yuksel, et. al., 2008; Estoque, et al., 2011; dan Khoiriah, et al. 2012). Sebagian besar penelitian yang telah dilakukan mengambil lokasi lahan pertanian yang homogen, mempunyai luasan cukup besar dengan kondisi tanaman dan kondisi lingkungan yang relatif sama. Aspek yang masih perlu ditajamkan dari penelitian-penelitian yang sudah pernah dilakukan adalah pemanfaatan teknologi ini untuk estimasi produksi pertanian pada lahan pertanian yang memiliki kondisi biogeofisik sangat heterogen dalam ukuran lahan dan kepemilikan lahan serta kondisi lingkungannya. Data hasil ekstraksi dari citra penginderaan jauh memiliki kelebihan dalam hal waktu pengamatan yang real time dan kecilnya human error dibandingkan dengan data pengamatan langsung di lapangan. Dalam terapannya secara operasional penggunaan data penginderaan jauh juga memiliki kelebihan antara lain memberikan data spesifik yang terkadang tidak dapat diberikan dari sumber data lainnya, pengumpulan data tanpa banyak kerja lapangan dengan hasil yang lebih cepat dan murah serta memungkinkan pengumpulan data pada medan yang tidak memungkinkan untuk dijangkau secara terestrial (Howard, 1991) Permasalahan Dalam pertanian modern, prediksi panen yang akurat merupakan faktor ekonomi yang sangat penting (Husson, 1997). Selama ini seringkali ditemukan ketidakakuratan dan ketidakkonsistenan data pertanian baik yang menyangkut kondisi biogefisik lahan pertanian, luas lahan pertanian hingga produktivitas dan produksi tanaman petanian. Meskipun telah dilakukan kegiatan pengumpulan data

8 secara periodik namun kegiatan verifikasi dan validasi di lapangan jarang dilakukan secara lebih teliti. Untuk itu dibutuhkan pertimbangan karakteristik biogeofisik lahan sebagai suatu sistem pengumpulan data spasial tanaman pertanian dan pendugaan produksi tanaman pertanian yang lebih akurat sebagai dasar dalam pengambilan keputusan dalam melakukan prediksi luas panen dan produksi sebagai dasar dalam perencanaan stok/cadangan pangan nasional. Manajemen pertanian yang tepat memerlukan informasi atau data yang tepat dan akurat. Informasi tersebut harus disajikan pada skala yang dapat menangkap variabilitas dan reaksi yang mempengaruhi produksi dan keuntungan ekonomi. Selain itu frekuensi informasi yang teratur serta kesiapan untuk dikirim secara kontinyu dan terbaru sangat bermanfaat untuk membuat keputusan dalam manajemen pertanian (Schellberg et al., 2008). Ketersediaan data atau informasi yang akurat dan mutakhir merupakan bagian terpenting dalam membangun suatu sistem informasi pertanian yang akurat untuk mendukung perencanaan yang tepat. Dalam kaitan ini dibutuhkan suatu basis data yang tidak hanya lengkap tetapi juga mudah diakses serta didukung oleh perangkat yang handal. Mengacu pada konsep kecepatan, akurasi, kemutakhiran dan konsistensi data atau informasi untuk suatu kegiatan atau perencanaan dan pengambilan keputusan yang tepat, maka pemanfaatan teknologi penginderaan jauh dan sistem informasi geografis di bidang pertanian adalah sangat mendukung. Salah satu masalah yang dialami dalam pemanfaatan citra penginderaan jauh di Indonesia adalah jenis citra yang dapat diakses dengan biaya murah dan ketersediaan datanya. Citral Landsat merupakan salah satu citra yang sangat populer dan banyak digunakan di Indonesia semenjak era berkembangnya citra satelit penginderaan jauh. Citra Landsat MSS, Landsat TM, sampai dengan Landsat ETM+ sudah banyak dimanfaatakan dalam berbagai bidang terapan di Indonesia karena memiliki resolusi spektral dan spasial yang sesuai disamping harganya yang cukup murah dan ketersediaannya yang memadai. Dibandingkan dengan kedua jenis citra Landsat yang lain, resolusi spasial Landsat 7 ETM+ dirasakan sangat tepat dimanfaatkan dalam bidang pertanian di Indonesia yang

9 memiliki wilayah sangat luas. Demikian pula dengan resolusi spektralnya yang terdiri dari 7 saluran multispektral dan 1 saluran pankromatik. Namun sayang, mulai bulan mei 2003 citra ini (Landsat 7 ETM+) mengalami kerusakan pada sensornya sehingga citra yang dihasilkan memiliki kualitas radiometrik yang tidak begitu baik. Bersamaan dengan berakhirnya era Landsat 7 ETM+ tersebut, pada saat ini muncul beberapa citra penginderaan jauh yang memiliki spesifikasi radiometrik dan geometrik hampir sama. Dua diantara citra-citra tersebut adalah ASTER dan ALOS. Meskipun keduanya didesain hampir sama dengan citra Landsat 7 ETM+, namun ketersediaan data kedua citra tersebut belum sebanyak citra Landsat, harga dari kedua citra tersebut juga lebih tinggi dari ciitra Landsat dan penelitian yang menggunakan keduanya belum banyak dilakukan sehingga kehandalan kedua citra tersebut sebagai pengganti citra Landsat 7 ETM+ masih perlu dibuktikan. Dengan argumentasi tentang kelebihan dan kelemahan ketiga citra tersebut, maka masih diperlukan penjajagan pemanfaatan ketiganya untuk diaplikasikan dalam bidang pertanian. Integrasi teknologi penginderaan jauh dan sistem informasi geografis sebagai suatu sistem informasi spasial dapat membantu mengatasi masalah ini dalam hal : (a) memperoleh informasi luas tanam secara lebih akurat, (b) menyajikan zonasi produktivitas per satuan lahan, dan (c) membuat prediksi produksi pertanian pada tahun mendatang melalui analisis spasial perubahan penggunaan lahan yang terjadi pada data seri. Guna mendukung peran penginderaan jauh dan sistem informasi geografis dalam mengatasi masalah penyediaan basis data nasional produksi pertanian perlu dikembangkan berbagai macam pemodelan spasial untuk estimasi produksi pertanian. Metode estimasi produksi yang dapat dikembangkan menggunakan aplikasi data penginderaan jauh adalah pendekatan spektral dan pendekatan spasial ekologis. Pendekatan spektral mengandalkan model-model pendekatan transformasi indeks vegetasi. Pendekatan spasial lebih bertumpu pada fenomena spasial ekologis hasil interaksi karakteristik bentanglahan suatu wilayah dengan spesies yang dapat ( sesuai ) ditanam dan pola bercocok tanam (termasuk rotasi

10 tanam) yang ada. Pendekatan ini juga disebut sebagai pendekatan spasial ekologis, dan biasanya dilakukan berdasarkan hasil interpretasi visual citra melalui analisis medan (Danoedoro dkk, 1999). Berdasarkan beberapa penelitian tentang estimasi produksi yang telah dilakukan terungkap bahwa banyak faktor yang mempengaruhi ketelitian hasil estimasi. Secara garis besar faktor-faktor itu dapat dikelompokkan menjadi faktor iklim, faktor kondisi fisik lahan dan faktor tanaman. Oleh karena itu, pengetahuan mendalam tentang hubungan yang erat antara produksi tanaman dengan faktor iklim, kondisi fisik lahan dan faktor tanaman penting untuk dipertimbangkan. Tidak hanya untuk menjelaskan fluktuasi produksi tahunan, namun juga untuk membatasi zona-zona tertentu yang dapat ditanami dengan suatu jenis tanaman tertentu (Sequin, 1981). Dalam melakukan estimasi produksi pertanian menggunakan bantuan citra penginderaan jauh maka faktor-faktor iklim, kondisi fisik lahan dan kondisi tanaman masih perlu ditambah lagi dengan faktor pemilihan citra penginderaan jauh yang digunakan. Secara metodologis setiap penelitian yang mengaplikasikan teknologi penginderaan jauh, pemilihan citra penginderaan jauh yang sesuai dengan kajian merupakan keharusan. Berdasarkan uraian di atas, permasalahan penelitian yang muncul adalah : (a) Pada saat ini citra penginderaan jauh tersedia dalam berbagai jenis dengan resolusi spasial dan spektral yang bervariasi namun belum digunakan secara optimal untuk estimasi produksi pertanian. (b) Karakteristik medan di Indonesia pada umumnya dan di daerah penelitian pada khususnya sangat bervariasi. Karakteristik medan tersebut memiliki pengaruh besar terhadap kondisi lahan pertanian di dalamnya. (c) Metode-metode estimasi produksi pertanian dari data penginderaan jauh yang ada pada saat ini sebagian besar menggunakan pendekatan spektral yang disusun di negara-negara barat yang memiliki kondisi berbeda dengan Indonesia. (d) Perlu dibuat suatu model spasial untuk estimasi produksi pertanian yang tidak hanya bertumpu pada informasi spektral citra namun melibatkan faktor

11 biogeofisik lahan dan faktor tanaman yang dapat diterapkan untuk berbagai kondisi wilayah. Kondisi yang melatarbelakangi timbulnya permasalahan penelitian tersebut adalah kenyataan bahwa lahan pertanian yang ada di daerah penelitian tersebar di seluruh wilayah dengan karakteristik medan yang sangat bervariasi. Lahan sawah sebagai contoh dapat ditemui pada medan yang berupa dataran sampai dengan medan yang berbukit dan bahkan bergunung. Kondisi seperti itu tentu saja berakibat pada perbedaan nilai produksi dan produktivitas tanaman pertanian antar tiap wilayah. Atas dasar permasalahan-permasalahan penelitian yang timbul di atas, peneliti memilih judul disertasi : Pemodelan Spasial Untuk Estimasi Produksi Padi Dan Tembakau Berdasarkan Citra Multiresolusi (Kasus Untuk Produksi Padi di Kabupaten Wonosobo dan Sragen, serta Produksi Tembakau di Kabupaten Temanggung, Provinsi Jawa Tengah) Keaslian Penelitian Berbagai penelitian di bidang penginderaan jauh sudah banyak dilakukan baik yang bersifat penelitian dasar maupun terapan. Dalam bidang pertanian, pemanfaatan data dan teknologi penginderaan jauh sudah mulai dirasakan pemanfaatannya. Pemanfaatan tersebut mulai dari pengenalan terhadap jenis-jenis tanaman pertanian, pengamatan terhadap pertumbuhan tanaman, pengamatan terhadap kondisi tanaman (stres, penyakit), sampai dengan perhitungan terhadap produksi tanaman. Khusus untuk aplikasi penginderaan jauh dalam menghitung produksi tanaman atau hasil panen, dalam beberapa tahun terakhir mulai mendapat perhatian yang lebih karena hasil panen tanaman pertanian memegang peranan yang penting bagi suatu negara, khususnya yang masih bergantung pada sektor pertanian seperti Indonesia. Hal ini diperkuat oleh Steinmetz et al. (1990), Reddya and Pachepsky (2000), serta Bastiaanssen and Ali, (2003) yang menyatakan bahwa Produksi tanaman adalah sebuah identitas penting suatu lahan pertanian. Pada skala kecil atau pada tingkat petani, produksi mempunyai peranan penting dalam menentukan pendapatan petani dan konsumsi rumah tangga. Pada

12 skala regional sampai dengan global, jumlah total produksi menentukan harga pangan dan kebijakan perdagangan. No Peneliti, Tahun 1 Heru Murti, 1997 Tabel 1.2. Perbandingan Penelitian ini dengan Penelitian Sejenis Tujuan Metode Data Hasil Estimasi produksi tembakau 2 Fang, 1998 Pemetaan lahan sawah di China 3 Lewis et al., Danoedoro dkk., Heru Murti, Singh et al., 2003 Estimasi produksi jagung di Kenya Estimasi produksi tanaman pertanian yang meliputi : tembakau, padi dan bawang merah Mengembangkan metode koreksi topografi untuk memperbaiki kualitas citra penginderaan jauh Estimasi produksi gandum di Hayana State, India Pendekatan spektral (NDVI, RVI, TVI, Penisbahan 1-4) dan pendekatan ekologi bentanglahan klasifikasi multispektral beracuan transformasi indeks vegetasi empiris (NDVI) Integrasi Pendekatan spektral dengan pendekatan spasial ekologis (ekologi bentanglahan) Koreksi dengan model : (a) Cosine Corecction, (b) The Minnaert Correction (c) Indeks vegetasi (a) simple random sampling technique/srs, (b) usual remote sensing technique/rst and (c) the proposed spatial sampling technique using remote sensing and GIS/PSST Landsat 5 TM Landsat 5 TM Landsat 5 TM Landsat 5 TM Landsat ETM+ IRS Ketelitian estimasi produksi menggunakan pendekatan elkologi bentanglahan mencapai 96 %, sedangkan untuk pendekatan spektral tidak memperoleh hasil Ketelitian pemetaan sawah mencapai 90% Ketelitian hasil estimasi produksi jagung berdasarkan transformasi NDVI mencapai 95 % Ketelitian hasil estimasi adalah produksi : a. Padi : 91,4 % b. Bawang merah : 65,7 % c. Tembakau : 98,1 % Pemanfaatan koreksi topografi terhadap citra Landsat ETM+ untuk wilayah yang reliefnya heterogen terbukti dapat meningkatkan ketelitian interpretasi citra penginderaan jauh Ketelitian hasil estimasi produksi berdasarkan model transformasi : a. SRS : 92,48 % b. RST : 97,03 % c. PSST : 98,98 %

13 Lanjutan Tabel Lobel et al., Mkhabela, et al., Akbari et al., Beeri and Peled, Duchemin et al., Pan et al., Yuksel, et. al., 2008 Estimasi produksi jagung, gandum, dan kedelai di Yaqui Valley, Mexico Menguji kemampuan NDVI untuk mengestimasi produksi jagung dan menentukan waktu estimasi yang tepat Menguji kemampuan citra penginderaan jauh untuk klasifikasi penutup lahan dan jenis-jenis tanaman pertanian Menyusun suatu model untuk monitoring tanaman pertanian menggunakan data multiwaktu menyusun suatu model pertumbuhan tanaman yang sederhana untuk monitoring produksi gandum 1) Membandingkan ketelitian QB dan Landsat TM untuk pemetaan produksi tanaman, (2) Estimasi variasi spasial produksi tanaman berdasarkan data QB dan (3) Validasi hasil estimasi metode PEM Memetakan penutup/penggunaan lahan pada citra ASTER dalam bentuk top-ofatmosphere reflectance (TOA) transformasi indeks vegetasi empiris (NDVI) transformasi indeks vegetasi (NDVI) klasifikasi multispektral beracuan PWY (predicted wheat yield formula) Model menggunakan metode GLAI (green leaf area index), DAM (dry above ground phytomass) and GY (grain yield) menggunakan metode PEM (Production Efficiency Model) dan transformasi indeks vegetasi (NDVI, SR) Konversi citra ASTER VNIR dari radiance menjadi reflektance kemudian menklasifikasikan menggunakan klasifikasi beracuan Landsat 5 TM dan Landsat 7 ETM+ NOAA AVHRR Landsat 7 ETM+ FU IR format kecil ( nm, rs : 100 cm) Landsat 5 TM Quickbird Landsat 5 TM ASTER VNIR Ketelitian hasil estimasi adalah : a. jagung : 58 % b. gandum : 97 % kedelai : 97 % Ketelitian hasil estimasi produksi berkisar %, dengan waktu estimasi terbaik antara minggu ke- 3 Januari sd minggu ke-2 Februari Ketelitian hasil klasifikasi penutup lahan dan jenisjenis tanaman pertanian mencapai % Model dapat membuat rekomendasi kurang dari 45 jam dan monitoring tanaman menggunakan penginderaan jauh dapat lebih menguntungkan dibanding cara tradisional Model yang disusun mempunyai ketelitian untuk monitoring produksi gandum dengan ketelitian lebih dari 90 % Penggunaan citra QB dapat meningkatkan ketelitian hasil estimasi dibanding Landsat TM dan ketelitian hasil estimasi produksi mencapai 92,7 % Ketelitian pemetaan penutup/penggunaan lahan berdasarkan analisis citra ASTER VNIR mencapai 83,20%

14 Lanjutan Tabel Estoque, et al., Khoiriah, et al Heru Murti, 2013 Memetakan penutup/penggunaan lahan dan menganalisis pola penggunaan lahannya Membandingkan tingkat ketelitian hasil klasifikasi penggunaan lahan yang bersumber dari citra ASTER VNIR dan hasil fusi citra ASTER VNIR dengan PALSAR Menyusun model spasial untuk estimasi produksi tanaman pertanian yang meliputi : padi dan tembakau Klasifikasi penutup/ penggunaan lahan menggunakan metode klasifikasi maximum likelihod Klasifikasi multispektral maximum likelihood pada citra ASTER VNIR dan citra hasil fusi ASTER VNIR dengan PALSAR Pemodelan Spasial berdasarkan pendekatan spektral dan spasial-ekologis dari citra penginderaan jauh ALOS AVNIR-2 ASTER VNIR, PALSAR Landsat 7 ETM+, ASTER, ALOS Ketelitian pemetaan penutup/penggunaan lahan berdasarkan analisis citra ALOS AVNIR mencapai 89,10% Tidak ada perbedaan yang signifikan terhadap hasil klasifikasi penggunaan lahan yang bersumber dari citra ASTER VNIR dan citra hasil fusi ASTER VNIR dengan PALSAR Ketelitian interpretasi lahan pertanian sebagai basis perhitungan estimasi produksi berkisar 89,36% - 95,00% Ketelitian hasil estimasi produksi pertanian lebih dari 85%. Berdasarkan studi pustaka yang telah dilakukan, terdapat beberapa penelitian dalam penginderaan jauh dengan aplikasi untuk bidang pertanian. Penelitian-penelitian tersebut disajikan dalam tabel 1.2. Untuk menunjukkan keaslian penelitian dalam disertasi ini dilakukan perbandingan antara penelitian yang sudah pernah ada dengan penelitian yang dilakukan. Perbedaan-perbedaan yang mendasar antara penelitian yang dilakukan sebelumnya dengan penelitian yang dilakukan oleh penulis dapat dibedakan menurut metode penelitian, jenis citra penginderaan jauh yang digunakan dan kondisi geografis daerah penelitian. Ditinjau dari metode penelitian yang digunakan, penelitian ini mempunyai perbedaan mendasar dengan penelitian sebelumnya. Kebanyakan pada penelitianpenelitian yang telah dilakukan tersebut digunakan teknik transformasi indeks vegetasi empiris dan non empiris dengan metode relasi empiris antara nilai indeks citra dengan nilai kerapatan vegetasi di lapangan (Lobell et al., 1994; Lewis et al., 1998; Singh, 2003; Mkhabela, et al., 2004; Beeri and Peled, 2007; Duchemin at al., 2007; Pan et al., 2008; Yuksei, et al., 2008; Estoque, et al., 2011, Khoiriah, et

15 al., 2012). Pada penelitian ini disamping menggunakan model indeks vegetasi empiris dan non empiris, dipertimbangkan pula faktor spasial-ekologis kondisi biogeofisik lahan untuk mempertajam hubungan antara transformasi indeks vegetasi dengan produksi di lapangan. Metode awal (survei pendahuluan) untuk penjajagan aplikasi citra penginderaan jauh telah dikerjakan oleh Heru Murti (1997) dan Danoedoro, dkk (1999), namun perbedaan utama ada pada pendekatan spasial ekologis yang digunakan. Pada penelitian sebelumnya digunakan pendekatan ekologi bentanglahan yang bertumpu pada aspek bentuklahan, sedangkan untuk disertasi ini digunakan pendekatan sosio-biogeofisik dalam menyusun zona agroekologi. Dalam disertasi ini disusun pemodelan spasial dalam ekstraksi informasi produksi tanaman pertanian menggunakan teknologi penginderaan jauh. Dalam pemetaan penggunaan lahan pertanian, penelitian yang dilakukan oleh Fang (1998) dan Akbari et al. (2006) menggunakan metode klasifikasi multispektral murni, sedangkan dalam disertasi ini digunakan klasifikasi multispektral yang diintegrasikan dengan kondisi ekologi-bentanglahan daerah penelitian menggunakan bantuan matriks dua dimensi. Ditinjau dari aspek data yang digunakan, perbedaan disertasi ini dengan penelitian terdahulu adalah bila penelitian yang telah ada sebagian besar menggunakan citra Landsat 4/5 TM, Landsat 7 ETM+ ataupun SPOT, maka pada disertasi ini digunakan citra Landsat 7 ETM+, Terra ASTER, dan ALOS yang masih relatif baru dan masih jarang digunakan untuk bidang pertanian di Indonesia. Perbedaan yang lainnya dari disertasi ini terhadap penelitian terdahulu adalah bahwa penelitian-penelitian terdahulu sebagian besar menggunakan citra penginderaan jauh dengan pendekatan monosensor, sedangkan pada disertasi ini digunakan citra penginderaan jauh multisensor dan multiresolusi. Wilayah yang dijadikan lokasi untuk penelitian ini juga mempunyai perbedaan yang cukup signifikan dibandingkan dengan lokasi pada penelitian yang terdahulu. Sebagian besar penelitian yang telah dilakukan mengambil lokasi lahan pertanian yang homogen, mempunyai luasan cukup besar dengan kondisi tanaman dan kondisi lingkungan yang relatif sama, sedangkan untuk disertasi ini kondisi biogeofisik lahan pertaniannya sangat heterogen dalam ukuran lahan dan

16 kepemilikan lahan serta kondisi lingkungannya. Hal ini masih ditambah dengan pertimbangan keinginan petani yang tidak seragam dalam menentukan suatu jenis tanaman pertanian yang dibudidayakan. Penelitian ini juga merupakan lanjutan dari penelitian yang telah dilaksanakan oleh penulis. Diawali pada tahun 1994 dengan melakukan penelitian tentang pemanfaatan citra penginderaan jauh dan sistem informasi geografis untuk estimasi produksi tanaman tembakau di wilayah Kabupaten Temanggung menggunakan pendekatan spektral dan pendekatan spasial ekologis. Dari dua pendekatan yang digunakan tersebut, pendekatan spektral tidak dapat memberikan hasil estimasi produksi seperti yang diharapkan. Permasalahan yang menjadi temuan dalam penelitian tersebut adalah kondisi daerah penelitian yang heterogen topografinya memberikan pengaruh terhadap nilai pantulan citra Landsat TM, sehingga idealnya perlu dilakukan koreksi topografi sebelum citra tersebit digunakan. Hal ini mendorong penulis untuk melakukan penelitian lanjutan untuk mencoba menyusun model untuk koreksi topografi yang dilaksanakan pada tahun Hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa koreksi topografi dapat meningkatkan ketelitian hasil interpretasi citra. Dalam penelitian ini dilakukan pembuktian apakah pemberian koreksi topografi dapat meningkatkan keteilian estimasi produksi tanaman pertanian, baik pada pendekatan spektral maupun pendekatan spasial ekologis Sumbangan Bagi Pengembangan Ilmu Pengetahuan dan Pembangunan Berdasarkan tinjauan akademik, hasil penelitian ini diharapkan dapat mengembangkan konsep dan pemodelan spasial dalam pemanfaatan teknologi penginderaan jauh, dalam hal teknik koreksi radiometrik citra, teknik pemrosesan citra penginderaan jauh, dan teknik pemetaan penggunaan lahan, serta untuk lebih memperkaya pengetahuan tentang aplikasi data penginderaan jauh di bidang pertanian, khususnya untuk estimasi produksi. Berdasarkan tinjauan pembangunan, hasil penelitian ini diharapkan dapat memecahkan masalah penyediaan data produksi hasil pertanian dalam bentuk

17 pembuatan model estimasi produksi pertanian yang lebih aplikatif dan teliti, guna mendukung kebutuhan basis data nasional bagi perencanaan dan kebijakan di bidang pangan. Penelitian ini juga diharapkan dapat melahirkan konsep dan landasan pemikiran baru tentang pembangunan basis data nasional di bidang pertanian dan penelitian-penelitian sejenis untuk berbagai komoditas pertanian yang terdapat di seluruh Indonesia Tujuan Penelitian Tujuan penelitian ini adalah untuk : 1. Menguji ketelitian interpretasi (posisi dan isi) terhadap pemanfaatan citra penginderaan jauh untuk pemetaan penggunaan lahan pertanian yang ditanami padi dan tembakau; 2. Menyusun model spasial berbasis citra penginderaan jauh menggunakan pendekatan spektral untuk estimasi produksi tanaman padi dan tembakau; dan 3. Menyusun model spasial berbasis citra penginderaan jauh menggunakan pendekatan spasial ekologis untuk estimasi produksi tanaman padi dan tembakau.

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Lahan merupakan sumberdaya alam yang bersifat langka karena jumlahnya tidak bertambah, tetapi kebutuhan terhadap lahan selalu meningkat. Alih fungsi lahan pertanian

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang 1.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN Teh merupakan salah satu komoditi subsektor perkebunan yang memiliki berbagai peranan dan manfaat. Teh dikenal memiliki kandungan katekin (antioksidan alami) yang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Gambar 1.1. Persebaran Lahan Produksi Kelapa Sawit di Indonesia Sumber : Badan Koordinasi dan Penanaman Modal

BAB I PENDAHULUAN. Gambar 1.1. Persebaran Lahan Produksi Kelapa Sawit di Indonesia Sumber : Badan Koordinasi dan Penanaman Modal BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Indonesia merupakan sebuah negara kepulauan dengan jumlah penduduk pada tahun 2014 sebanyak 237.641.326 juta jiwa, hal ini juga menempatkan Negara Indonesia

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Hasil sensus jumlah penduduk di Indonesia, dengan luas wilayah kurang lebih 1.904.569 km 2 menunjukkan adanya peningkatan jumlah penduduk, dari tahun 2010 jumlah penduduknya

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Indonesia merupakan negara agraris dimana sebagian besar penduduknya bekerja sebagai petani. Berdasarkan sensus penduduk tahun 2010, jumlah penduduk yang bermata pencaharian

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Tanaman kelapa sawit (Elaeis guineensis Jacq.) merupakan tanaman perkebunan utama di Indonesia. Kelapa sawit menjadi komoditas penting dikarenakan mampu memiliki rendemen

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penggunaan lahan merupakan hasil kegiatan manusia baik yang berlangsung secara siklus atau permanen pada sumberdaya lahan alami maupun buatan guna terpenuhinya kebutuhan

Lebih terperinci

SENSOR DAN PLATFORM. Kuliah ketiga ICD

SENSOR DAN PLATFORM. Kuliah ketiga ICD SENSOR DAN PLATFORM Kuliah ketiga ICD SENSOR Sensor adalah : alat perekam obyek bumi. Dipasang pada wahana (platform) Bertugas untuk merekam radiasi elektromagnetik yang merupakan hasil interaksi antara

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Teknologi satelit penginderaan jauh merupakan salah satu metode pendekatan penggambaran model permukaan bumi secara terintegrasi yang dapat digunakan sebagai data dasar

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Era Teknologi merupakan era dimana informasi serta data dapat didapatkan dan ditransfer secara lebih efektif. Perkembangan ilmu dan teknologi menyebabkan kemajuan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1.Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1.Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1.Latar Belakang Sumberdaya alam ialah segala sesuatu yang muncul secara alami yang dapat digunakan untuk pemenuhan kebutuhan manusia pada umumnya. Hutan termasuk kedalam sumber daya

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penginderaan jauh yaitu berbagai teknik yang dikembangkan untuk perolehan dan analisis informasi tentang bumi. Informasi tersebut berbentuk radiasi elektromagnetik

Lebih terperinci

PENGARUH RESOLUSI SPASIAL PADA CITRA PENGINDERAAN JAUH TERHADAP KETELITIAN PEMETAAN PENGGUNAAN LAHAN PERTANIAN DI KABUPATEN WONOSOBO

PENGARUH RESOLUSI SPASIAL PADA CITRA PENGINDERAAN JAUH TERHADAP KETELITIAN PEMETAAN PENGGUNAAN LAHAN PERTANIAN DI KABUPATEN WONOSOBO PENGARUH RESOLUSI SPASIAL PADA CITRA PENGINDERAAN JAUH TERHADAP KETELITIAN PEMETAAN PENGGUNAAN LAHAN PERTANIAN DI KABUPATEN WONOSOBO The Influence Of Spatial Resolution In Land Use Mapping Accuracy Sigit

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kandungan air kanopi (Canopy Water Content) sangat erat kaitannya dalam kajian untuk mengetahui kondisi vegetasi maupun kondisi ekosistem terestrial pada umumnya. Pada

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kawasan perkotaan adalah wilayah yang mempunyai kegiatan utama bukan pertanian dengan susunan fungsi kawasan sebagai tempat permukiman perkotaan, pemusatan dan distribusi

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

I. PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pangan merupakan kebutuhan yang paling mendasar bagi sumberdaya manusia suatu bangsa. Untuk mencapai ketahanan pangan diperlukan ketersediaan pangan dalam jumlah dan kualitas

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pembangunan daerah memiliki peranan penting dalam menunjang pembangunan nasional. Pada masa Orde baru pembangunan nasional dikendalikan oleh pemerintah pusat, sedangkan

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Dalam Pasal 12 Undang-undang Kehutanan disebutkan bahwa. penyusunan rencana kehutanan. Pembentukan wilayah pengelolaan hutan

TINJAUAN PUSTAKA. Dalam Pasal 12 Undang-undang Kehutanan disebutkan bahwa. penyusunan rencana kehutanan. Pembentukan wilayah pengelolaan hutan TINJAUAN PUSTAKA KPH (Kesatuan Pengelolaan Hutan) Dalam Pasal 12 Undang-undang Kehutanan disebutkan bahwa perencanaan kehutanan meliputi inventarisasi hutan, pengukuhan kawasan hutan, penatagunaan kawasan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pesatnya pertumbuhan penduduk dan pembangunan pada suatu wilayah akan berpengaruh terhadap perubahan suatu kawasan. Perubahan lahan terbuka hijau menjadi lahan terbangun

Lebih terperinci

q Tujuan dari kegiatan ini diperolehnya peta penggunaan lahan yang up-to date Alat dan Bahan :

q Tujuan dari kegiatan ini diperolehnya peta penggunaan lahan yang up-to date Alat dan Bahan : MAKSUD DAN TUJUAN q Maksud dari kegiatan ini adalah memperoleh informasi yang upto date dari citra satelit untuk mendapatkan peta penggunaan lahan sedetail mungkin sebagai salah satu paramater dalam analisis

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN I.I

BAB I PENDAHULUAN I.I BAB I PENDAHULUAN I.I Latar belakang Ketersediaan produksi pangan dunia pada saat sekarang sedang menurun. Hal ini erat kaitannya dengan adanya beberapa faktor, antara lain : konversi komoditas pangan

Lebih terperinci

5. PEMBAHASAN 5.1 Koreksi Radiometrik

5. PEMBAHASAN 5.1 Koreksi Radiometrik 5. PEMBAHASAN Penginderaan jauh mempunyai peran penting dalam inventarisasi sumberdaya alam. Berbagai kekurangan dan kelebihan yang dimiliki penginderaan jauh mampu memberikan informasi yang cepat khususnya

Lebih terperinci

APLIKASI PENGINDERAAN JAUH DAN SIG UNTUK ESTIMASI PRODUKSI PADI BERDASARKAN POLA TANAM DI KABUPATEN BANTUL

APLIKASI PENGINDERAAN JAUH DAN SIG UNTUK ESTIMASI PRODUKSI PADI BERDASARKAN POLA TANAM DI KABUPATEN BANTUL APLIKASI PENGINDERAAN JAUH DAN SIG UNTUK ESTIMASI PRODUKSI PADI BERDASARKAN POLA TANAM DI KABUPATEN BANTUL Surya Fajar Hidayat, Sigit Heru Murti Kartografi dan Penginderaan Jauh Fakultas Geografi UGM ABSTRAK

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Lahan merupakan bentang permukaan bumi yang dapat bermanfaat bagi manusia baik yang sudah dikelola maupun belum. Untuk itu peran lahan cukup penting dalam kehidupan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang Berdasarkan Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999, bahwa mangrove merupakan ekosistem hutan, dengan definisi hutan adalah suatu ekosistem hamparan lahan berisi sumber daya

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. sebagai dasar pembangunan sektor-sektor lainnya. Sektor pertanian memiliki

I. PENDAHULUAN. sebagai dasar pembangunan sektor-sektor lainnya. Sektor pertanian memiliki 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pertanian merupakan sektor yang penting dalam pembangunan Indonesia, yaitu sebagai dasar pembangunan sektor-sektor lainnya. Sektor pertanian memiliki peranan penting

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Teh merupakan salah satu komoditas unggulan Negara Indonesia. Berdasarkan data Direktorat Jendral Perkebunan (2014), perkebunan teh di Indonesia mencapai 121.034 Ha

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Ancaman perubahan iklim sangat menjadi perhatian masyarakat dibelahan dunia manapun. Ancaman dan isu-isu yang terkait mengenai perubahan iklim terimplikasi dalam Protokol

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kondisi penggunaan lahan dinamis, sehingga perlu terus dipantau. dilestarikan agar tidak terjadi kerusakan dan salah pemanfaatan.

BAB I PENDAHULUAN. kondisi penggunaan lahan dinamis, sehingga perlu terus dipantau. dilestarikan agar tidak terjadi kerusakan dan salah pemanfaatan. BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Pembangunan sangat diperlukan untuk kelanjutan hidup manusia. Kemajuan pembangunan di suatu wilayah sejalan dengan peningkatan jumlah pertumbuhan penduduk yang diiringi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Hutan mangrove merupakan komunitas vegetasi pantai tropis, yang didominasi oleh beberapa spesies pohon mangrove yang mampu tumbuh dan berkembang pada

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sumatera Utara memiliki luas total sebesar 181.860,65 Km² yang terdiri dari luas daratan sebesar 71.680,68 Km² atau 3,73 % dari luas wilayah Republik Indonesia. Secara

Lebih terperinci

Image Fusion: Trik Mengatasi Keterbatasan Citra

Image Fusion: Trik Mengatasi Keterbatasan Citra Image Fusion: Trik Mengatasi Keterbatasan itra Hartanto Sanjaya Pemanfaatan cita satelit sebagai bahan kajian sumberdaya alam terus berkembang, sejalan dengan semakin majunya teknologi pemrosesan dan adanya

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Hutan hujan tropis merupakan salah satu dari tipe ekosistem yang ada di dunia dan dicirikan melalui suatu liputan hutan yang cenderung selalu hijau disepanjang musim.

Lebih terperinci

PENCAPAIAN SURPLUS 10 JUTA TON BERAS PADA TAHUN 2014 DENGAN PENDEKATAN DINAMIKA SISTEM (SYSTEM DYNAMICS)

PENCAPAIAN SURPLUS 10 JUTA TON BERAS PADA TAHUN 2014 DENGAN PENDEKATAN DINAMIKA SISTEM (SYSTEM DYNAMICS) BAB II PENCAPAIAN SURPLUS 10 JUTA TON BERAS PADA TAHUN 2014 DENGAN PENDEKATAN DINAMIKA SISTEM (SYSTEM DYNAMICS) Agung Prabowo, Hendriadi A, Hermanto, Yudhistira N, Agus Somantri, Nurjaman dan Zuziana S

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. ditunjukkan oleh besarnya tingkat pemanfaatan lahan untuk kawasan permukiman,

BAB I PENDAHULUAN. ditunjukkan oleh besarnya tingkat pemanfaatan lahan untuk kawasan permukiman, BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Perkembangan kota yang ditunjukkan oleh pertumbuhan penduduk dan aktivitas kota menuntut pula kebutuhan lahan yang semakin besar. Hal ini ditunjukkan oleh besarnya tingkat

Lebih terperinci

ZONASI KONDISI KAWASAN HUTAN NEGARA DI DIENG DAN ARAHAN PENGELOLAAN YANG BERWAWASAN LINGKUNGAN T U G A S A K H I R. Oleh : INDIRA PUSPITA L2D

ZONASI KONDISI KAWASAN HUTAN NEGARA DI DIENG DAN ARAHAN PENGELOLAAN YANG BERWAWASAN LINGKUNGAN T U G A S A K H I R. Oleh : INDIRA PUSPITA L2D ZONASI KONDISI KAWASAN HUTAN NEGARA DI DIENG DAN ARAHAN PENGELOLAAN YANG BERWAWASAN LINGKUNGAN T U G A S A K H I R Oleh : INDIRA PUSPITA L2D 303 291 JURUSAN PERENCANAAN WILAYAH DAN KOTA FAKULTAS TEKNIK

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penginderaan jauh merupakan ilmu pengetahuan, teknologi, dan seni perolehan informasi objek di permukaan Bumi melalui hasil rekamannya (Sutanto,2013). Objek di permukaan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Sumber daya lahan yang terdapat pada suatu wilayah, pada dasarnya

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Sumber daya lahan yang terdapat pada suatu wilayah, pada dasarnya BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Sumber daya lahan yang terdapat pada suatu wilayah, pada dasarnya merupakan modal dasar pembangunan yang perlu digali dan dimanfaatkan dengan memperhatikan karakteristiknya.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN I-1

BAB I PENDAHULUAN I-1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sawah merupakan media atau sarana untuk memproduksi padi. Sawah yang subur akan menghasilkan padi yang baik. Indonesia termasuk Negara agraris yang sebagian wilayahnya

Lebih terperinci

KARAKTERISTIK CITRA SATELIT Uftori Wasit 1

KARAKTERISTIK CITRA SATELIT Uftori Wasit 1 KARAKTERISTIK CITRA SATELIT Uftori Wasit 1 1. Pendahuluan Penginderaan jarak jauh merupakan salah satu teknologi penunjang pengelolaan sumber daya alam yang paling banyak digunakan saat ini. Teknologi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Jumlah penduduk di Indonesia terus bertambah setiap tahun. Laju pertumbuhan penduduk Indonesia tidak menunjukkan peningkatan, justru sebaliknya laju pertumbuhan penduduk

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. permukaan lahan (Burley, 1961 dalam Lo, 1995). Konstruksi tersebut seluruhnya

II. TINJAUAN PUSTAKA. permukaan lahan (Burley, 1961 dalam Lo, 1995). Konstruksi tersebut seluruhnya 5 II. TINJAUAN PUSTAKA A. Penutupan Lahan dan Perubahannya Penutupan lahan menggambarkan konstruksi vegetasi dan buatan yang menutup permukaan lahan (Burley, 1961 dalam Lo, 1995). Konstruksi tersebut seluruhnya

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Penginderaan jauh merupakan teknologi penyadap dan produksi data citra digital permukaan bumi telah mengalami perkembangan sejak 1960-an. Hal ini dibuktikan dengan

Lebih terperinci

PEMANFAATAN CITRA ASTER DIGITAL UNTUK ESTIMASI DAN PEMETAAN EROSI TANAH DI DAERAH ALIRAN SUNGAI OYO. Risma Fadhilla Arsy

PEMANFAATAN CITRA ASTER DIGITAL UNTUK ESTIMASI DAN PEMETAAN EROSI TANAH DI DAERAH ALIRAN SUNGAI OYO. Risma Fadhilla Arsy PEMANFAATAN CITRA ASTER DIGITAL UNTUK ESTIMASI DAN PEMETAAN EROSI TANAH DI DAERAH ALIRAN SUNGAI OYO Risma Fadhilla Arsy Abstrak : Penelitian di Daerah Aliran Sungai Oyo ini bertujuan mengesktrak parameter

Lebih terperinci

Evaluasi Indeks Urban Pada Citra Landsat Multitemporal Dalam Ekstraksi Kepadatan Bangunan

Evaluasi Indeks Urban Pada Citra Landsat Multitemporal Dalam Ekstraksi Kepadatan Bangunan Sukristiyanti et al. / Jurnal Riset Geologi dan Pertambangan Jilid 17 No.1 ( 2007) 1-10 1 Evaluasi Indeks Urban Pada Citra Landsat Multitemporal Dalam Ekstraksi Kepadatan Bangunan SUKRISTIYANTI a, R. SUHARYADI

Lebih terperinci

11/25/2009. Sebuah gambar mengandung informasi dari obyek berupa: Posisi. Introduction to Remote Sensing Campbell, James B. Bab I

11/25/2009. Sebuah gambar mengandung informasi dari obyek berupa: Posisi. Introduction to Remote Sensing Campbell, James B. Bab I Introduction to Remote Sensing Campbell, James B. Bab I Sebuah gambar mengandung informasi dari obyek berupa: Posisi Ukuran Hubungan antar obyek Informasi spasial dari obyek Pengambilan data fisik dari

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang 1.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN Realitas dinamika kehidupan pada masa lalu, telah meninggalkan jejak dalam bentuk nama tempat yang menggambarkan tentang kondisi tempat berdasarkan sudut filosofi,

Lebih terperinci

Lampiran 1. Peta klasifikasi penutup lahan Kodya Bogor tahun 1997

Lampiran 1. Peta klasifikasi penutup lahan Kodya Bogor tahun 1997 LAMPIRAN Lampiran 1. Peta klasifikasi penutup lahan Kodya Bogor tahun 1997 17 Lampiran 2. Peta klasifikasi penutup lahan Kodya Bogor tahun 2006 18 Lampiran 3. Peta sebaran suhu permukaan Kodya Bogor tahun

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Lahan dan Penggunaan Lahan Pengertian Lahan

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Lahan dan Penggunaan Lahan Pengertian Lahan II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Lahan dan Penggunaan Lahan 2.1.1 Pengertian Lahan Pengertian lahan tidak sama dengan tanah, tanah adalah benda alami yang heterogen dan dinamis, merupakan interaksi hasil kerja

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Berdasarkan UU Nomor 7 Tahun 1996 tentang pangan, ketahanan pangan merupakan kondisi terpenuhinya pangan bagi rumah tangga yang tercermin dari tersedianya pangan yang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Republik Indonesia merupakan negara kepulauan terbesar di dunia. Indonesia memiliki kurang lebih 17.508 pulau (Indonesia.go.id). Wilayah Indonesia didominasi laut dengan

Lebih terperinci

I PENDAHULUAN. Tabel 1. Data Kandungan Nutrisi Serealia per 100 Gram

I PENDAHULUAN. Tabel 1. Data Kandungan Nutrisi Serealia per 100 Gram I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Kekayaan sumber daya alam dalam bidang pertanian merupakan keunggulan yang dimiliki Indonesia dan perlu dioptimalkan untuk kesejahteraan rakyat. Pertanian merupakan aset

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Peta merupakan representasi dari permukaan bumi baik sebagian atau keseluruhannya yang divisualisasikan pada bidang proyeksi tertentu dengan menggunakan skala tertentu.

Lebih terperinci

JURNAL GEOGRAFI Media Pengembangan Ilmu dan Profesi Kegeografian

JURNAL GEOGRAFI Media Pengembangan Ilmu dan Profesi Kegeografian JURNAL GEOGRAFI Media Pengembangan Ilmu dan Profesi Kegeografian http://journal.unnes.ac.id/sju/index.php/ujet ESTIMASI PRODUKTIVITAS PADI MENGGUNAKAN TEKNIK PENGINDERAAN JAUH DALAM MENDUKUNG PROGRAM SWASEMBADA

Lebih terperinci

Sarono Sigit Heru Murti B.S

Sarono Sigit Heru Murti B.S ESTIMASI PRODUKSI PADI DENGAN MENGGUNAKAN NDVI (NORMALIZED DIFFERENCE VEGETATION INDEXS) PADA LAHAN SAWAH HASIL SEGMENTASI CITRA ALOS DI KABUPATEN KARANGANYAR Sarono sarono34@gmail.com Sigit Heru Murti

Lebih terperinci

Gambar 11. Citra ALOS AVNIR-2 dengan Citra Komposit RGB 321

Gambar 11. Citra ALOS AVNIR-2 dengan Citra Komposit RGB 321 V. HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1. Analisis Spektral Citra yang digunakan pada penelitian ini adalah Citra ALOS AVNIR-2 yang diakuisisi pada tanggal 30 Juni 2009 seperti yang tampak pada Gambar 11. Untuk dapat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Provinsi Jawa Tengah merupakan salah satu daerah di Indonesia yang memiliki kekayaan sumberdaya ekonomi melimpah. Kekayaan sumberdaya ekonomi ini telah dimanfaatkan

Lebih terperinci

Produksi Padi Tahun 2005 Mencapai Swasembada

Produksi Padi Tahun 2005 Mencapai Swasembada 47 Produksi Padi Tahun 2005 Mencapai Swasembada Abstrak Berdasarkan data resmi BPS, produksi beras tahun 2005 sebesar 31.669.630 ton dan permintaan sebesar 31.653.336 ton, sehingga tahun 2005 terdapat

Lebih terperinci

Gambar 1. Satelit Landsat

Gambar 1. Satelit Landsat 3 II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Penginderaan Jauh Penginderaan jauh adalah ilmu dan seni untuk memperoleh informasi tentang suatu objek, daerah, atau fenomena melalui analisis data yang diperoleh dengan suatu

Lebih terperinci

Aplikasi Penginderaan Jauh Untuk Monitoring Perubahan Ruang Terbuka Hijau (Studi Kasus : Wilayah Barat Kabupaten Pasuruan)

Aplikasi Penginderaan Jauh Untuk Monitoring Perubahan Ruang Terbuka Hijau (Studi Kasus : Wilayah Barat Kabupaten Pasuruan) Aplikasi Penginderaan Jauh Untuk Monitoring Perubahan Ruang Terbuka Hijau (Studi Kasus : Wilayah Barat Kabupaten Pasuruan) Ardiawan Jati, Hepi Hapsari H, Udiana Wahyu D Jurusan Teknik Geomatika, Fakultas

Lebih terperinci

ANALISA KESEHATAN VEGETASI MANGROVE BERDASARKAN NILAI NDVI (NORMALIZED DIFFERENCE VEGETATION INDEX ) MENGGUNAKAN CITRA ALOS

ANALISA KESEHATAN VEGETASI MANGROVE BERDASARKAN NILAI NDVI (NORMALIZED DIFFERENCE VEGETATION INDEX ) MENGGUNAKAN CITRA ALOS ANALISA KESEHATAN VEGETASI MANGROVE BERDASARKAN NILAI NDVI (NORMALIZED DIFFERENCE VEGETATION INDEX ) MENGGUNAKAN CITRA ALOS Oleh : Tyas Eka Kusumaningrum 3509 100 001 LATAR BELAKANG Kawasan Pesisir Kota

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1.Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1.Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1.Latar Belakang Dalam pembangunan pertanian, beras merupakan komoditas yang memegang posisi strategis. Beras dapat disebut komoditas politik karena menguasai hajat hidup rakyat Indonesia.

Lebih terperinci

BAB II. TINJAUAN PUSTAKA

BAB II. TINJAUAN PUSTAKA DAFTAR ISI Halaman HALAMAN JUDUL... i HALAMAN PENGESAHAN... ii HALAMAN PERNYATAAN... iii KATA PENGANTAR... iv DAFTAR ISI... vi DAFTAR TABEL... ix DAFTAR GAMBAR... x DAFTAR LAMPIRAN... xii ABSTRACT... xiii

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Pangan merupakan kebutuhan yang mendasar (basic need) bagi setiap

I. PENDAHULUAN. Pangan merupakan kebutuhan yang mendasar (basic need) bagi setiap I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pangan merupakan kebutuhan yang mendasar (basic need) bagi setiap manusia untuk dapat melakukan aktivitas sehari-hari guna mempertahankan hidup. Pangan juga merupakan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Indonesia adalah negara yang memiliki iklim tropis, serta tidak lepas dari pengaruh angin muson barat maupun angin muson timur. Dalam kondisi normal, angin muson barat

Lebih terperinci

Indeks Vegetasi Bentuk komputasi nilai-nilai indeks vegetasi matematis dapat dinyatakan sebagai berikut :

Indeks Vegetasi Bentuk komputasi nilai-nilai indeks vegetasi matematis dapat dinyatakan sebagai berikut : Indeks Vegetasi Bentuk komputasi nilai-nilai indeks vegetasi matematis dapat dinyatakan sebagai berikut : NDVI=(band4 band3)/(band4+band3).18 Nilai-nilai indeks vegetasi di deteksi oleh instrument pada

Lebih terperinci

PROSPEK TANAMAN PANGAN

PROSPEK TANAMAN PANGAN PROSPEK TANAMAN PANGAN Krisis Pangan Pangan merupakan kebutuhan dasar manusia yang pemenuhannya menjadi hak asasi setiap rakyat Indonesia dalam mewujudkan sumber daya manusia yang berkualitas untuk melaksanakan

Lebih terperinci

ANALISIS FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PRODUKSI DAN IMPOR KEDELAI DI INDONESIA. Oleh : RIKA PURNAMASARI A

ANALISIS FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PRODUKSI DAN IMPOR KEDELAI DI INDONESIA. Oleh : RIKA PURNAMASARI A ANALISIS FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PRODUKSI DAN IMPOR KEDELAI DI INDONESIA Oleh : RIKA PURNAMASARI A14302053 PROGRAM STUDI EKONOMI PERTANIAN DAN SUMBERDAYA FAKULTAS PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Perumusan Masalah

BAB I PENDAHULUAN Perumusan Masalah 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pertumbuhan jumlah penduduk yang cukup tinggi di dunia khususnya Indonesia memiliki banyak dampak. Dampak yang paling mudah dijumpai adalah kekurangan lahan. Hal

Lebih terperinci

Rancangan Standar Kompetensi Kerja Nasional Indonesia (RSKKNI) Bidang Informasi Geospasial SKKNI IG 2016 SUB-BIDANG PENGINDERAAN JAUH PROJO DANOEDORO

Rancangan Standar Kompetensi Kerja Nasional Indonesia (RSKKNI) Bidang Informasi Geospasial SKKNI IG 2016 SUB-BIDANG PENGINDERAAN JAUH PROJO DANOEDORO Rancangan Standar Kompetensi Kerja Nasional Indonesia (RSKKNI) Bidang Informasi Geospasial SUB-BIDANG PENGINDERAAN JAUH PROJO DANOEDORO PUSPICS/Departemen Sains Informasi Geografis, Fakultas Geografi UGM

Lebih terperinci

METODOLOGI. Gambar 4. Peta Lokasi Penelitian

METODOLOGI. Gambar 4. Peta Lokasi Penelitian 22 METODOLOGI Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian dilakukan di Kota Sukabumi, Jawa Barat pada 7 wilayah kecamatan dengan waktu penelitian pada bulan Juni sampai November 2009. Pada lokasi penelitian

Lebih terperinci

Remote Sensing KKNI 2017

Remote Sensing KKNI 2017 Remote Sensing KKNI 2017 JOB DESC/ JENJANG/ SIKAP KERJA Asisten Operator/ 3/ 6 Operator/ 4/ 13 UNJUK KERJA (UK) INTI URAIAN UNJUK KERJA (UK) PILIHAN URAIAN BIAYA SERTIFIKASI M.71IGN00.161.1 Membaca Peta

Lebih terperinci

BAB II TEORI DASAR. Beberapa definisi tentang tutupan lahan antara lain:

BAB II TEORI DASAR. Beberapa definisi tentang tutupan lahan antara lain: BAB II TEORI DASAR 2.1 Tutupan Lahan Tutupan Lahan atau juga yang biasa disebut dengan Land Cover memiliki berbagai pengertian, bahkan banyak yang memiliki anggapan bahwa tutupan lahan ini sama dengan

Lebih terperinci

Gambar 1.1 Siklus Hidrologi (Kurkura, 2011)

Gambar 1.1 Siklus Hidrologi (Kurkura, 2011) BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Air merupakan kebutuhan yang mutlak bagi setiap makhluk hidup di permukaan bumi. Seiring dengan pertambahan penduduk kebutuhan air pun meningkat. Namun, sekarang

Lebih terperinci

BAB PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Tanah merupakan tubuh alam yang menyelimuti permukaan bumi dan merupakan sumberdaya yang sangat penting bagi makhluk hidup. Tanah mempunyai kemampuan untuk mendukung

Lebih terperinci

PENGEMBANGAN DATA DAN INFORMASI TATA RUANG KABUPATEN/KOTA BERBASIS CITRA SATELIT DAN GIS PENGANTAR Pesatnya perkembangan teknologi informasi membawa perubahan yang besar di berbagai bidang termasuk bidang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. sumberdaya lahan (Sitorus, 2011). Pertumbuhan dan perkembangan kota

BAB I PENDAHULUAN. sumberdaya lahan (Sitorus, 2011). Pertumbuhan dan perkembangan kota BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Penggunaan lahan berhubungan erat dengan dengan aktivitas manusia dan sumberdaya lahan (Sitorus, 2011). Pertumbuhan dan perkembangan kota dipengaruhi oleh adanya

Lebih terperinci

ANALISIS DESKRIPTIF PENETAPAN HARGA PADA KOMODITAS BERAS DI INDONESIA

ANALISIS DESKRIPTIF PENETAPAN HARGA PADA KOMODITAS BERAS DI INDONESIA BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penduduk Indonesia yang setiap tahun bertambah sehingga permintaan beras mengalami peningkatan juga dan mengakibatkan konsumsi beras seringkali melebihi produksi. Saat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kelapa sawit merupakan tanaman komersial di daerah tropis yang terdapat di Pantai Barat Afrika, wilayah tropis Amerika Latin, Pasifik Selatan, dan Asia Tenggara serta

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. (Riyadi, 2002). Dalam komponen pengeluaran konsumsi masyarakat Indonesia

I. PENDAHULUAN. (Riyadi, 2002). Dalam komponen pengeluaran konsumsi masyarakat Indonesia I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Beras merupakan makanan pokok dari 98 persen penduduk Indonesia (Riyadi, 2002). Dalam komponen pengeluaran konsumsi masyarakat Indonesia beras mempunyai bobot yang paling

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Tanah merupakan materi yang terdiri dari agregat (butiran) padat yang tersementasi (terikat secara kimia) satu sama lain serta dari bahan bahan organik yang telah

Lebih terperinci

Analisis Indeks Vegetasi Menggunakan Citra Satelit FORMOSAT-2 Di Daerah Perkotaan (Studi Kasus: Surabaya Timur)

Analisis Indeks Vegetasi Menggunakan Citra Satelit FORMOSAT-2 Di Daerah Perkotaan (Studi Kasus: Surabaya Timur) JURNAL TEKNIK POMITS Vol. X, No. X, (Apr, 2013) ISSN: 2301-9271 1 Analisis Indeks Vegetasi Menggunakan Citra Satelit FORMOSAT-2 Di Daerah Perkotaan (Studi Kasus: Surabaya Timur) Agneszia Anggi Ashazy dan

Lebih terperinci

PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Sektor pertanian memiliki peranan strategis dalam struktur pembangunan perekonomian nasional. Selain berperan penting dalam pemenuhan kebutuhan pangan masyarakat, sektor

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. perekonomian nasional. Peran terpenting sektor agribisnis saat ini adalah

I. PENDAHULUAN. perekonomian nasional. Peran terpenting sektor agribisnis saat ini adalah I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sektor agribisnis merupakan sektor ekonomi terbesar dan terpenting dalam perekonomian nasional. Peran terpenting sektor agribisnis saat ini adalah kemampuannya dalam menyerap

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Dewasa ini perkembangan fisik penggunaan lahan terutama di daerah perkotaan relatif cepat dibandingkan dengan daerah perdesaan. Maksud perkembangan fisik adalah penggunaan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia dikenal sebagai negeri agraris yaitu negara dengan mata pencaharian utama adalah bertani. Makin berkembangnya bidang teknologi dan kesehatan sepuluh tahun

Lebih terperinci

GAMBARAN UMUM PROVINSI LAMPUNG dan SUBSIDI PUPUK ORGANIK

GAMBARAN UMUM PROVINSI LAMPUNG dan SUBSIDI PUPUK ORGANIK 34 IV. GAMBARAN UMUM PROVINSI LAMPUNG dan SUBSIDI PUPUK ORGANIK 4.1 Gambaran Umum Provinsi Lampung Lintang Selatan. Disebelah utara berbatasan dengann Provinsi Sumatera Selatan dan Bengkulu, sebelah Selatan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Kota besar akan mengalami perkembangan, dimana perkembangan tersebut berdampak pada daerah disekitarnya. Salah satu dampak yang terjadi adalah munculnya istilah kota

Lebih terperinci

I PENDAHULUAN. Pembangunan pertanian memiliki peran yang strategis dalam perekonomian

I PENDAHULUAN. Pembangunan pertanian memiliki peran yang strategis dalam perekonomian I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pembangunan pertanian memiliki peran yang strategis dalam perekonomian nasional. Peran strategis pertanian tersebut digambarkan melalui kontribusi yang nyata melalui pembentukan

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN 11 BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian ini dilaksanakan selama dua bulan yaitu bulan Juli-Agustus 2010 dengan pemilihan lokasi di Kota Denpasar. Pengolahan data dilakukan di Laboratorium

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Sektor Pertanian memegang peran stretegis dalam pembangunan

BAB I PENDAHULUAN. Sektor Pertanian memegang peran stretegis dalam pembangunan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sektor Pertanian memegang peran stretegis dalam pembangunan perekonomian nasional dan patut menjadi sektor andalan dan mesin penggerak pertumbuhan ekonomi karena sektor

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia merupakan negara yang rawan terjadi kekeringan setiap tahunnya. Bencana kekeringan semakin sering terjadi di berbagai daerah di Indonesia dengan pola dan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Hutan merupakan suatu kesatuan ekosistem berupa hamparan lahan berisi sumber daya alam hayati yang didominasi pepohonan dalam persekutuan alam lingkungannya, yang satu

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. 2.1 Kekeringan

II. TINJAUAN PUSTAKA. 2.1 Kekeringan II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Kekeringan Kekeringan (drought) secara umum bisa didefinisikan sebagai kurangnya persediaan air atau kelembaban yang bersifat sementara secara signifikan di bawah normal atau volume

Lebih terperinci

Tabel 1.1. Konsumsi Beras di Tingkat Rumah Tangga Tahun Tahun Konsumsi Beras*) (Kg/kap/thn)

Tabel 1.1. Konsumsi Beras di Tingkat Rumah Tangga Tahun Tahun Konsumsi Beras*) (Kg/kap/thn) I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Sektor pertanian merupakan sektor penting dalam pembangunan ekonomi nasional. Peran strategis sektor pertanian digambarkan dalam kontribusi sektor pertanian dalam

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN Jumlah penduduk Indonesia dalam beberapa tahun terakhir mengalami peningkatan yang cukup signifikan. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik pada tahun 1990 jumlah penduduk

Lebih terperinci

IV. METODOLOGI 4.1. Waktu dan Lokasi

IV. METODOLOGI 4.1. Waktu dan Lokasi 31 IV. METODOLOGI 4.1. Waktu dan Lokasi Waktu yang dibutuhkan untuk melaksanakan penelitian ini adalah dimulai dari bulan April 2009 sampai dengan November 2009 yang secara umum terbagi terbagi menjadi

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Indonesia selama ini dikenal sebagai negara yang memiliki sumber daya alam

I. PENDAHULUAN. Indonesia selama ini dikenal sebagai negara yang memiliki sumber daya alam I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia selama ini dikenal sebagai negara yang memiliki sumber daya alam yang melimpah, sehingga sering disebut sebagai negara agraris yang memiliki potensi untuk mengembangkan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pangan adalah segala sesuatu yang berasal dari sumber hayati dan air baik yang diolah maupun tidak diolah yang diperuntukan sebagai makanan atau minuman bagi konsumsi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang 1.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN Kawasan perkotaan cenderung mengalami pertumbuhan yang dinamis (Muta ali, 2011). Pertumbuhan populasi selalu diikuti dengan pertumbuhan lahan terbangun sebagai tempat

Lebih terperinci