BAB II TINJAUAN PUSTAKA

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "BAB II TINJAUAN PUSTAKA"

Transkripsi

1 6 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Rinosinusitis Kronis Definisi Rinosinusitis kronis merupakan salah satu penyakit kronis yang paling sering dijumpai, mempengaruhi 4-28 % populasi di Eropa dan Amerika Serikat. Penyakit ini secara signifikan menurunkan kualitas hidup penderitanya dan merupakan masalah sosioekonomi dalam masyarakat. Pasien dengan rinosinusitis berulang atau kronis dilaporkan mengalami penurunan kesehatan secara umum dan vitalitas jika dibandingkan dengan populasi umum (Dlugaszewska, et al., 2015). Rinosinusitis kronis merupakan gangguan klinis yang meliputi infeksi heterogen dan kondisi inflamasi yang mempengaruhi sinus paranasal. Menurut sejarah, sinusitis merupakan terminologi yang umum digunakan untuk inflamasi pada sinus paranasal. Terminologi ini perlahan-lahan ditinggalkan dan lebih disukai istilah rinosinusitis karena inflamasi hidung hampir selalu bersamaan dengan inflamasi sinus paranasal. Namun tetap masih ada kontroversi mengenai definisi dan diagnosis dari semua bentuk rinosinusitis. Hal ini dikarenakan pada kenyataannya bahwa rinosinusitis kronis mencakup spektrum penyakit yang memiliki penyebab yang banyak dan berbagai pengobatan yang tepat (Schlosser dan Woodworth, 2009). Rinosinusitis menurut American Academy of Otolaryngology-Head and Neck Surgery (AAO-HNS) pada tahun 1996 berdasarkan durasi tanda dan gejala klinis dibagi menjadi akut (lebih dari 4 minggu), subakut (4 sampai 12 6

2 7 minggu), kronis (lebih dari 12 minggu), akut rekuren ( 4 episode per tahun dan setiap episodenya berlangsung hingga 7 sampai 10 hari dan tanpa intervensi terhadap tanda rinosinusitis kronis), dan kronis eksaserbasi akut (rinosinusitis kronis memburuk tiba-tiba, kembali pada keadaan awal setelah terapi). Untuk praktisnya, sebagian besar praktisi lebih suka membagi menjadi 2 kategori, rinosinusitis akut dan kronis. Penting untuk diperhatikan bahwa rinosinusitis akut dapat berkembang menjadi rinosinusitis kronis pada beberapa kasus. Bagaimanapun juga, rinosinusitis akut biasanya merupakan infeksi dari alam, sedangkan yang kronis mungkin disebabkan oleh berbagai proses inflamasi. Rinosinusitis kronis paling sering dibagi menjadi kategori pasien dengan perubahan mukosa hiperplastik dengan polip dan tanpa polip (Schlosser dan Woodworth, 2009) Kekerapan Penelitian Munir (2006) terhadap 35 penderita rinosinusitis kronik yang menjalani operasi tahun di RSUP H. Adam Malik, Medan mendapatkan kelompok umur terbanyak adalah tahun sebanyak 34,3%, sedangkan jumlah penderita perempuan sebanyak 20 penderita (57%) dan laki-laki sebanyak 15 penderita (43%). Penelitian Multazar (2011) mengenai penderita rinosinusitis kronik di poliklinik THT-KL RS. H. Adam Malik Medan periode Januari 2008 sampai dengan Desember 2008, menjumpai 296 penderita rinosinusitis kronis dengan tindakan operasi terbanyak adalah bedah sinus endoskopi fungsional sebanyak 54 penderita (80,6%), diikuti antrostomi (11,94%), CWL (5,97%) dan trepanasi sinus frontal sebesar 1,49%. Dewi (2013) dalam penelitiannya mengenai penderita rinosinusitis kronik yang menjalani tindakan bedah sinus endoskopik fungsional di RSUP H. Adam Malik Medan tahun menjumpai 111 penderita yang

3 8 terdiri dari 59 penderita rinosinusitis kronik tanpa polip dan 52 penderita rinosinusitis kronik dengan polip Etiologi dan patofisiologi Rinosinusitis kronis memiliki banyak penyebab yang terdiri dari infeksi (virus, bakteri dan jamur), anatomi, alergi, disfungsi mukosilier kongenital (misalnya fibrosis kistik, diskinesia siliari primer atau didapat) dan gangguan sistemik. Adanya bakteri di dalam hidung dan sinus paranasal pada populasi rinosinusitis kronis telah dapat dibuktikan, dan kebanyakan praktisi percaya bahwa bakteri memiliki peranan pada sebagian besar kasus. Apakah bakteri memiliki peranan secara langsung atau tidak langsung dalam perkembangan rinosinusitis kronis belum dapat ditentukan secara pasti (Schlosser dan Woodworth, 2009). a. Progresi dari rinosinusitis akut Kondisi yang mempengaruhi rinosinusitis kronis sama dengan infeksi akut dalam hal faktor ekstrinsik, intrinsik, sistemik dan faktor lokal penjamu. Selanjutnya, episode berulang dari rinosinusitis akut pada akhirnya dapat menyebabkan disfungsi mukosa dan infeksi kronis. Gejala pada rinosinusitis kronis lebih bervariasi dibanadingkan dengan rinosinusitis akut. Rinosinusitis kronis secara khas mengalami disregulasi mukosa yang luas dan proses inflamasi kronis yang sangat sulit untuk diterapi. Penyakit ini sering tahan terhadap terapi obat-obatan dan pembedahan yang tersedia saat ini. Kortikosteroid sistemik lebih sering digunakan pada rinosinusitis kronis, oleh karena penyakit ini mempunyai komponen inflamasi kronis yang mendasari secara signifikan. Selanjutnya rinosinusitis akut secara histologi menunjukkan proses eksudatif yang ditandai dengan inflamasi neutrofilik dan nekrosis, sedangkan rinosinusitis kronis merupakan proses proliferatif yang paling sering ditandai dengan menebalnya membran mukosa dan lamina propria.

4 9 Karena rinosinusitis akut hampir selalu merupakan infeksi, ini ditandai dengan normal inflamasi tipe T helper 1 (Th1) yang berhubungan dengan dikeluarkannya neutrofil sebagai tipe sel predominan untuk melawan infeksi. Sementara itu tipe inflamasi infeksius ini predominan pada rinosinusitis kronis sekunder terhadap fibrosis kistik, diskinesia siliari dan rinosinusitis yang berasal dari infeksi gigi, kebanyakan rinosinusitis kronis memiliki respon inflamasi tipe atopi (Th2) dimana eosinofil merupakan sel inflamasi yang predominan pada rinosinusitis kronis atopi maupun non atopi (Schlosser dan Woodworth, 2009). b. Faktor anatomi Pada beberapa kasus, rinosinusitis kronis berkembang dari infeksi bakteri kronis pada rongga sinus dengan adanya obstruksi ostium anatomis. Abnormalitas anatomis menyebabkan penyempitan saluran yang mengakibatkan seseorang dapat mengalami rinosinusitis kronis, terutama dengan adanya beberapa macam inflamasi yang dapat berulang kembali. Beberapa variasi anatomi yang juga dapat menyebabkan seseorang menderita rinosinusitis kronis termasuk diantaranya sel Haller (infundibular), jalur pengaliran sinus frontal yang sempit karena sel ager nasi ataupun sel frontal yang besar. Sekali ostium tersumbat, terjadi hipoksia lokal pada rongga sinus dan sekresi sinus menumpuk. Hal ini menyebabkan terbentuknya lingkungan yang cocok untuk perkembangan bakteri yang cepat. Toksin bakteri dan mediator endogen selanjutnya merusak terutama epitel respiratori bersilia dan akibatnya terjadi penurunan mucociliary clearance. Terjadi lingkaran setan dengan tertahannya hasil sekresi dan infeksi lebih lanjut (Schlosser dan Woodworth, 2009).

5 10 c. Disfungsi mukosilier Mucociliary clearance merupakan hal yang penting khususnya dalam menjaga homeostasis sinus paranasal. Gerakan silia epitel mengeluarkan alergen, bakteri dan polutan yang terperangkap pada mukus atau lapisan jeli dari lapisan mukosilier melalui jalur drainase alami. Sisa mukus pada cairan perisilier atau lapisan sol yang memungkinkan eliminasi yang cepat dari sekresi yang kental. Mucociliary clearance dapat diganggu oleh rusaknya fungsi siliari yang disebabkan oleh faktor intrinsik dan ekstrinsik atau perubahan kekentalan dan produksi mukus. Faktor intrinsik yang dapat menyebabkan disfungsi silia diantaranya diskinesia siliari primer atau sindrom Kartagener. Faktor ekstrinsik yang dapat mengganggu mucociliary clearance diantaranya trauma oleh iritan lingkungan, mediator endogen dari inflamasi, atau trauma operasi. Pasien dengan fibrosis kistik memiliki kekentalan mukus yang tinggi sebagai proses sekunder dari perubahan transpor air dan elektrolit. Lapisan jeli dan sol dari lapisan mukus juga dipengaruhi, dengan demikian menghalangi pengeluaran bakteri. Iritan yang berasal dari udara, alergen, paparan udara dingin, ataupun infeksi virus pada saluran pernafasan atas dapat meningkatkan produksi mukus dan melampaui kecepatan mucociliary clearance. Semua faktor-faktor ini dapat menyebabkan penumpukan mukus di dalam sinus, menurunkan pengeluaran bakteri dan menciptakan lingkungan yang cocok untuk perkembangan bakteri (Schlosser dan Woodworth, 2009). d. Inflamasi tulang Penelitian baru-baru ini menyatakan bahwa tulang mungkin dapat berperan aktif dalam proses penyakit ini; inflamasi yang berhubungan dengan RSK dapat menyebar melalui sistem Haversian di dalam tulang. Angka perubahan tulang pada RSK sama seperti pada osteomyelitis. Selanjutnya,

6 11 operasi yang menginduksi infeksi baik dengan Staphylococcus aureus atau pun Pseudomonas aeruginosa dapat menginduksi semua perubahan klasik dari osteomyelitis dan menginduksi perubahan inflamasi kronik di sepanjang mukosa pada jarak yang signifikan dari daerah infeksi. Oleh karena itu, inflamasi tulang mungkin merupakan faktor penting dalam penyebaran perubahan inflamasi kronis dan dapat menjelaskan kekebalan terhadap terapi medis. Masih belum jelas, apakah tulang menjadi terinfeksi dengan bakteri atau terapi medis. Namun masih belum jelas apakah tulang benarbenar menjadi terinfeksi dengan bakteri atau perubahan yang diamati benarbenar reaktif (Schlosser dan Woodworth, 2009). e. Sinusitis dentogen Patologi pada gigi dapat menyebabkan sinusitis pada sinus maksila dengan penyebaran selanjutnya ke sinus yang berdekatan. Patologi ini dapat berupa infeksi gigi, abses akar gigi, fistel oro-antral dan prosedur operasi pada mulut yang menimbulkan sinusitis. Pasien-pasien ini khususnya membutuhkan terapi, baik terapi pada mulut maupun sinus untuk mengeradikasi infeksi (Schlosser dan Woodworth, 2009). f. Biofilm Pada kasus sinusitis dengan episode berulang, koloni dari berbagai macam mikroba cenderung terbentuk pada sinus. Oleh karena itu, saat ini diduga bahwa biofilm bakteri sebagai salah satu faktor etiopatologi yang memiliki peranan dalam terjadinya rinosinusitis kronis (Dlugaszewska, et al., 2015). Penelitian yang terbaru membuktikan bahwa P. aeruginosa membentuk biofilm pada sinus, yang mungkin menyebabkan penyakit pada sinus yang membandel. Bakteri yang menghasilkan bifilm merupakan

7 12 organisasi kompleks dari bakteri yang melekat pada permukaan. Biofilm sangat kompleks, merupakan struktur tiga dimensi dari bakteri hidup, yang secara in vivo membentuk menara dan lapisan organisme hidup yang dibungkus oleh polisakarida. Mereka dapat menyerang pertahanan tubuh penjamu dan menunjukkan penurunan kepekaan terapi antibiotik baik secara lokal maupun secara sistemik. Bertahannya biofilm disebabkan oleh metode pertumbuhannya. P. aeruginosa berkembang dalam mikrokoloni yang dikelilingi oleh matriks ekstraseluler dari alginat eksopolisakarida. Biofilm yang terbentuk pada permukaan mukosa disebut dengan biofilm mukosa, bakteri penghasil biofilm yang terbentuk pada lingkungan khusus dari mukosa bersilia, dimana daerah ini merupakan daerah yang diharapkan memiliki proteksi terhadap formasi biofilm (Schlosser dan Woodworth, 2009) Diagnosa Berdasarkan European Position Paper on Rhinosinusitis and Nasal Polyps 2012 rinosinusitis kronis dengan atau tanpa polip nasi pada dewasa didefinisikan sebagai inflamasi pada hidung dan sinus paranasal yang ditandai dengan dua atau lebih gejala dengan satu diantaranya berupa hidung tersumbat atau adanya sekret pada hidung (anterior / posterior nasal drip) yang disertai dengan nyeri wajah atau berkurang / hilang penciuman selama 12 minggu. Gejala tersebut harus didukung oleh gambaran pada endoskopi berupa polip nasi dan / atau sekret mukopurulen terutama berasal dari meatus media dan / atau edema atau obstruksi mukosa terutama pada meatus media, dan / atau perubahan pada gambaran CT scan berupa perubahan mukosa dalam kompleks ostiomeatal dan / atau sinus (Fokkens, et al., 2012).

8 Biofilm Secara Umum Biofilm didefinisikan sebagai komunitas mikroba dalam bentuk sesil yang ditandai dengan sel-sel yang secara ireversibel melekat pada substratum atau satu sama lainnya. Mereka tertanam dalam matriks substansi polimer ekstraseluler (EPS) yang mereka hasilkan, dan menunjukkan perubahan fenotip berhubungan dengan tingkat pertumbuhan dan transkripsi gen (Donlan dan Costerton, 2002; Foreman, at al., 2009; Hassan, et al., 2011). Secara alami 99% bakteri dalam bentuk sesil, hanya 1% yang dalam bentuk planktonik, dalam keadaan bebas mengambang (Keir, Pedelty dan Swift, 2011). Meskipun sebagian besar bakteri di alam ada sebagai biofilm, namun sebagian besar infeksi bakteri akut dalam bentuk planktonik, bakteri yang bebas bergerak (Ferguson dan Stolz, 2005). Biofilm dan bentuk planktonik dari spesies bakteri yang sama dijumpai berbeda dalam hal transkripsi gen dan ekspresi fenotip. Biofilm tidak hanya terbatas pada bakteri, patogen jamur juga mampu memproduksi biofilm (Costerton, et al., 2003; Keir, Pedelty dan Swift, 2011; Sanglard, 2002). Berdasarkan publikasi oleh National Institutes of Health, lebih dari 80% dari semua infeksi melibatkan biofilm. Biofilm berhubungan dengan banyak kondisi medis termasuk diantaranya alat-alat medis yang terpasang lama, plak gigi, infeksi saluran pernapasan atas, peritonitis, dan infeksi urogenital. Baik bakteri gram positif maupun gram negatif memiliki kemampuan untuk membentuk biofilm. Bakteri yang sering terlibat termasuk diantaranya Enterococcus faecalis, Staphylococcus aureus, Staphylococcus epidermidis, Streptococcus viridans, Escherichia coli, Klebsiella pneumoniae, Proteus mirabilis dan Pseudomonas aeruginosa (Donlan, 2001; Hassan, et al., 2011; Reid, 1999).

9 14 Proses pembentukan biofilm terdiri dari perlekatan (attachment), pertumbuhan (growth) dan pelepasan (detachment) (gambar 2.1). Perlekatan awalnya reversibel dan berdasarkan pada daya tarik elektrostatik. Namun, permukaan bakteri mediasi protein dan pembentukan struktur penahan oleh beberapa sel menyebabkan adesi ireversibel (Costerton, Montanaro dan Arciola, 2004; Keir, Pedelty dan Swift, 2011). Pada bakteri Pseudomonas, tahap ini difasilitasi oleh pili tipe IV. Hal ini diperlukan untuk aktivitas berkerut dan juga untuk membantu akses ke mukosa saluran napas hidung (Keir, Pedelty dan Swift, 2011; Sun, et al., 2013). Gambar 2.1. Formasi biofilm. sel individu melekat di permukaan (1), substansi polimer ekstraseluler diproduksi perlekatan menjadi ireversibel (2), biofilm matang dan berkembang (3 dan 4), sel tunggal keluar dari biofilm (5) (Keir, Pedelty dan Swift, 2011)

10 15 Proses perlekatan bakteri pada substratum dan pertumbuhan bakteri hingga beban yang cukup diakibatkan oleh sinyal kimia yang terkoordinasi di antara sel, yang dikenal sebagai quorum sensing (Keir, Pedelty dan Swift, 2011; Singh, et al., 2000; Sun, et al., 2013). Bakteri gram positif menghasilkan γ-butyrolactones dan 'auto-inducing peptida'; bakteri gram negatif menghasilkan N-acylated homoserine lactones, kuinolon dan dipeptida siklik. Senyawa ini berjalan melalui difusi dan berinteraksi dengan permukaan bakteri tetangga dan / atau reseptor intraseluler (gambar 2.2) (Dunn dan Handelsman, 2002; Keir, Pedelty dan Swift, 2011; Sun, et al., 2013). Gambar 2.2. Quorum sensing: sel sesil dalam biofilm berkomunikasi satu sama lain via quorum sensing untuk membangun mikrokoloni dan menjaga saluran air tetap terbuka (Levchenko, at al., 2015) Komunikasi ini mengakibatkan induksi gen, peningkatan regulasi protom, dan akhirnya produksi dari ekstraseluler, substansi polimer yang terdiri dari polisakarida, asam nukleat dan protein (Keir, Pedelty dan Swift, 2011; Sun, et al., 2013 Sutherland, 2001). Substansi ini membentuk matriks, menyediakan ekosistem yang cocok dengan kebutuhan kolini biofilm, yaitu

11 16 mengurangi kebutuhan nutrisi dan oksigen; memediasi untuk adesi ke permukaan; perlindungan dari kondisi eksternal yang tidak menguntungkan; lingkungan anaerobik yang menguntungkan; dan pembentukan saluran air yang memungkinkan pengeluaran produk limbah dan transportasi nutrisi (Chole dan Faddis, 2003; Keir, Pedelty dan Swift, 2011; Sun, et al., 2013). Pelepasan (detachment) bakteri dari biofilm terjadi karena kekuatan eksternal, atau dengan proses yang aktif segera setelah tingkat kematangan kritis tercapai. Pelepasan biofilm dapat difasilitasi oleh konduksi gerakan fisik seperti gelombang, oleh degradasi enzimatik dari matriks ekstraseluler dan oleh modulasi adesi permukaan (Keir, Pedelty dan Swift, 2011; Sun, et al., 2013). Produk dari proses pelepasan merangsang pelepasan lebih lanjut dari bakteri planktonik. Embolisasi bakteri ke daerah lain kemudian dapat terjadi, memungkinkan seluruh proses untuk mulai lagi. (Keir, Pedelty dan Swift, 2011; Sanclement, et al., 2005; Sun, et al., 2013). Mikroorganisme yang tumbuh di dalam biofilm secara intrinsik lebih tahan terhadap agen antimikroba dibandingkan sel planktonik. Resistensi terhadap antibiotik ini dapat meningkat hingga 1000 kali lipat (Hassan, et al., 2011; Keir, Pedelty dan Swift, 2011; Sun, et al., 2013). Hal ini terjadi melalui beberapa mekanisme. Dalam biofilm, kontak antar sel diantara mikroorganisme tetangga memfasilitasi pertukaran plasmid yang mudah, memungkinkan evolusi dari resistensi antibiotik (Donlan, 2002; Keir, Pedelty dan Swift, 2011). Selain itu, biofilm dapat menghasilkan β-laktamase yang menonaktifkan antibiotik β-laktam, matriks bermuatan negatif juga menolak aminoglikosida bermuatan positif. Akhirnya, pertumbuhan bakteri yang relatif lambat dalam biofilm mengganggu efektivitas antimikroba, yang mana obatobatan tersebut lebih efektif dalam membunuh sel yang berkembang secara cepat (Keir, Pedelty dan Swift, 2011; Walters, et al., 2003).

12 Biofilm pada Rinosinusitis Kronis Rinosinusitis kronis merupakan penyakit yang sering dijumpai pada bagian telinga hidung tenggorok kepala dan leher. Patogenesisnya belum sepenuhnya ditemukan. Teori multifaktor yang secara luas diterima diantaranya adalah infeksi (bakteri, jamur, virus), abnormalitas anatomi dari kompleks ostiomeatal, hipersensitivitas, disfungsi sistem mukosiliar. Pada beberapa tahun belakangan ini penelitian tentang bakteri pada rinosinusitis kronis melaporkan nilai positif sebanyak 32,5% sampai 96%, mengindikasikan adanya hubungan antara rinosinusitis kronis dengan bakteri (Yildirun, et al., 2004; You, et al., 2011). Beberapa peneliti mengemukakan bahwa biofilm adalah penyebab yang umum dari infeksi persisten kronis (Bendouah, et al., 2006; You, et al., 2011). Bakteri biofilm terdiri dari polimer ekstraseluler yang disekresi oleh bakteri dan mozaik bakteri di dalamnya, bakteri biofilm ini memiliki karakteristik angka pertumbuhan yang lambat, resisten terhadap antibiotik yang kuat, kemampuan mentransfer gen secara bersamaan. Sekali biofilm terbentuk resistensi terhadap antibiotik meningkat 500 sampai 1000 kali dibandingkan dengan daerah yang bebas bakteri (Tewart dan Costerton, 2001; You, et al., 2011). Peran biofilm sebagai etiologi patologis utama pada rinosinusitis kronis dapat membantu menjelaskan manifestasi klinis dari penyakit. Pada rinosinusitis kronis perubahan mukosa mengakibatkan kondisi yang baik untuk pertumbuhan biofilm. Sekali biofilm terbentuk, dapat menyebabkan resisten terhadap pertahanan tubuh host dan terapi eksternal dikarenakan antigen yang terus-menerus ada dan perkembangan proses inflamasi kronis (Harvey dan Lund, 2007; Keir, Pedelty dan Swift, 2011).

13 18 Penelitian yang dilakukan oleh Ramadan dkk mengambil spesimen mukosa dari sinus etmoid dan maksila dari 5 kasus yang didiagnosa dengan rinosinusitis kronis semuanya menunjukkan biofilm positif, yang terlihat di bawah mikroskop elektron dan kebanyakan seperti biofilm Staphylococcus aureus. Semua kasus menunjukkan derajat abnormalitas permukaan mukosa yang berbeda, susunan silia yang tidak teratur atau bahkan tidak ada silia dan sel goblet (Ramadan, Sanclement dan Thomas, 2005; You, et al., 2011). Sanclement dkk meneliti 30 kasus rinosinusitis kronis yang menjalani bedah sinus endoskopik fungsional dan 4 kasus kontrol (3 kasus septoplasty dan 1 kasus rinore cairan serebrospinal). Bakteri biofilm dijumpai pada 24 kasus dari kelompok rinosinusitis (80%), sedangkan pada kelompok kontrol tidak dijumpai biofilm (Sanclement, et al., 2005; You, et al., 2011). Zhang dkk meneliti 12 spesimen mukosa pasien rinosinusitis kronis, yang menunjukkan angka biofilm positif sebanyak 83,3% dan biofilm tersebut dijumpai pada semua fase yaitu perlekatan, perkembangan dan pelepasan (You, et al., 2011; Zhang, et al., 2008). Hasil-hasil penelitian tersebut mengindikasikan bahwa biofilm kemungkinan terlibat dalam patogenesis rinosinusitis kronis (You, et al., 2011). Boase dkk pada tahun 2013 menemukan Staphylococcus aureus sebagai organisme yang paling banyak dijumpai pada pasien rinosinusitis kronis (61%), diikuti oleh Staphylococcus epidermidis (55%), dan Propionibacterium acnes (37%). Nocardia asteroides (24%), Haemophilus influenzae (13%) dan Pseudomonas aeruginosa (8%) lebih sedikit terdeteksi (Boase, et al., 2013). Stephenson dkk menemukan Haemophilus influenzae sebanyak 17% pada pasien rinosinusitis kronis, berbeda dengan penelitian belakangan ini yang menggunakan FISH (fluorescent in situ hybridisation) mengemukakan Haemophilus influenzae sebagai organisme dominan pada rinosinusitis kronis (Sanderson, Leid dan Hunsaker, 2006). Studi molekular

14 19 terbaru menemukan Pseudomonas aeruginosa sebagai organisme dominan pada pasien rinosinusitis kronis. Perbedaan profil organisme antar studi menggambarkan variasi daerah, pola penggunaan antimikroba, perbedaan metodologi, atau gambaran keparahan penyakit (Boase, et al., 2013). Dengan menggunakan berbagai macam teknik pencitraan, biofilm telah dijumpai pada mukosa sinonasal dari pasien rinosinusitis kronis (Cryer, et al., 2004; Ferguson dan Stolz, 2005; Sanderson, Leid dan Hunsaker, 2006). Lebih lanjut lagi, adanya biofilm telah dihubungkan dengan sinusitis yang gejala klinisnya lebih buruk (Bendouah, et al., 2006; Foreman, et al., 2009). Temuan ini direplikasikan pada studi baru-baru ini dimana dijumpai pasien rinosinusitis kronis dengan biofilm positif memiliki skor gejala klinis yang lebih buruk secara signifikan dibandingkan dengan yang nonbiofilm. Tetapi tidak ada perbedaan antara skor CT Lund-Mackay, yang menguatkan kurangnya korelasi antara skor gejala dan pemeriksaan radiologis terhadap keparahan penyakit (Foreman, et al., 2009). Terdapat peningkatan bukti bahwa biofilm memiliki peranan penting pada beberapa penyakit inflamasi kronis. Deteksi biofilm pada pasien rinosinusitis kronis yang menjalani FESS sangatlah penting karena sangat berhubungan dengan kegagalan terapi dan gejala yang menetap (prognosis) dan terapi yang akan diberikan (Hong, et al., 2014). 2.4 Pemeriksaan Biofilm Ada beberapa teknik pemeriksaan biofilm, teknik yang telah distandarisasi sangat penting sekali dikembangkan. Berbagai metode telah distandarisasi pada beberapa laboratorium, metode-metode ini diantaranya metode lempeng kultur jaringan, metode tabung, metode agar merah kongo,

15 20 liquid-interface coverslip assay, scanning mikroskop elektron, transmission mikroskop elektron dan pemeriksaan dengan mikroskop cahaya atau fluoresens. Masing-masing metode mempunyai kekurangannya masingmasing, misalnya scanning mikroskop elektron dan transmission mikroskop elektron fiksasinya sulit dan merupakan suatu tantangan dalam membedakan antara mukus, gumpalan darah dan biofilm, sedangkan confocal scanning laser microscopy yang digunakan bersamaan dengan fluorescent in-situ hybridisation membutuhkan waktu yang lebih lama untuk memprosesnya (Mathur, et al., 2006; Taj, et al., 2012; Hong, et al., 2014). Saat ini baku emas untuk mengidentifikasi adanya biofilm adalah confocal scanning laser microscopy yang digunakan bersamaan dengan fluorescent in-situ hybridisation (FISH) (Keir, Pedelty dan Swift, 2011). Hong dkk dalam penelitiannya terhadap 55 orang pasien rinosinusitis kronis yang menjalani bedah sinus endoskopi fungsional mendeteksi biofilm menggunakan pewarnaan hematoxylin eosin dengan 3 observer independent, menyimpulkan bahwa pewarnaan hematoxylin eosin dalam mendeteksi biofilm dapat menjadi metode yang praktis dan murah (Hong, et al., 2013). Toth dkk dalam penelitiannya terhadap 50 pasien rinosinusitis kronis dan 12 orang yang menjalani septoplasti tanpa rinosinusitis kronis sebagai kontol negatif mendeteksi adanya biofilm bakteri dengan pewarnaan hematoxylin eosin dan menyimpulkan bahwa pewarnaan hematoxylin eosin merupakan metode yang kuat dan terpercaya dalam mendeteksi biofilm bakteri pada rinosinusitis kronis (Toth, et al., 2011). Hochstim dkk dalam penelitiannya yang membandingkan antara pemeriksaan dengan pewarnaan hematoxylin eosin dengan fluorescent insitu hybridisation menyatakan bahwa pewarnaan hematoxylin eosin

16 21 merupakan prediktor akurat terhadap ada atau tidak adanya biofilm pada semua kasus dengan FISH sebagai standar kontrolnya dimana sensitivitasnya 78% dan spesifisitasnya 93% (Boase, et al., 2013; Hochstim, et al., 2010). Pada pemeriksaan dengan pewarnaan hematoxylin eosin mukosa yang diambil dari sinus etmoid difiksasi dalam formalin 4% selama 48 jam. Kemudian diwarnai dengan hematoxylin eosin dengan menggunakan prosedur patologi standar. Secara singkatnya, potongan mukosa dideparafinisasi dalam xylene (2x5 menit) dan direhidrasi secara berturutturut selama 1 menit dicuci dengan ethanol 100%, 96%, 80%, dan 70%. Kemudian diwarnai dengan hematoxylin selama 2 menit, dicuci dengan air suling, dicuci dengan asam hidroklorida 0,1% dalam 50% ethanol, dicuci dengan air keran selama 15 menit, diwarnai dengan eosin selama 1 menit, dan dicuci lagi dengan air suling. Slide-nya kemudian didehidrasi dengan ethanol 95% dan 100% secara berurutan diikuti dengan xylene (2x5 menit) dan ditutup dengan coverslip. Kemudian slide dianalisa dengan menggunakan mikroskop cahaya dengan pembesaran 20x dan 40x. Secara histologis biofilm tampak sebagai bentuk yang ireguler dari kelompok bakteri basofilik kecil, substansi ekstrapolimer, dan sisa eritrosit dan leukosit yang terperangkap pada permukaan epitel (gambar 2.3). Sampel diklasifikasikan menjadi, memiliki biofilm yang luas bila terdapat keterlibatan 50% atau lebih dari permukaan mukosa yang dianalisa, sedangkan bila kurang dari 50% diklasifikasikan sebagai biofilm positif, atau bila tidak ada dikatakan sebagai biofilm negatif (Hochstim, et al., 2010).

17 22 Gambar 2.3. Biofilm dengan pewarnaan hematoxylin eosin (Hochstim, et al., 2010) Sangat disayangkan confocal scanning laser microscopy merupakan peralatan yang tidak murah, tidak tersedia luas dan sulit untuk diaplikasikan praktek klinis sehari-hari (Hochstim, et al., 2010; Toth, et al., 2011; Hong, et al., 2014). Namun dikarenakan terdapat peningkatan bukti bahwa biofilm berperan penting dalam banyak penyakit kronis, maka penting untuk mengidentifikasi metode yang lebih mudah dan lebih murah untuk meneliti biofilm pada sampel klinis. Ketersediaan pewarnaan hematoxylin eosin yang luas dalam laboratorium patologi klinik membuatnya menjadi metode yang sangat praktis untuk mendeteksi biofilm dalam praktek klinis (Hochstim, et al., 2010; Toth, et al., 2011; Natili, 2014). Pewarnaan hematoxylin eosin dapat menginvestigasi lapisan jaringan dan arsitektur mikroskopisnya. Identifikasi mikrobiologi dari agen infeksi berbeda yang terlibat dalam formasi biofilm memerlukan pemeriksaan kultur bakteri. Biofilm sangat penting untuk dideteksi karena berhubungan erat dengan kegagalan terapi dan gejala yang menetap (Toth, et al., 2011).

18 Penatalaksanaan Biofilm Penatalaksanaan pasien dengan rinosinusitis kronis merupakan suatu tantangan bagi dokter spesialis telinga hidung tenggorok, karena banyaknya faktor yang terlibat dalam patofisiologi dari penyakit ini. Faktor lingkungan termasuk berbagai macam mikroorganisme dan interaksi dengan pejamu bertanggung jawab terhadap gejala dari rinosinusitis kronis. Adanya biofilm pada pasien dengan rinosinusitis kronis bertanggung jawab terhadap hasil yang buruk setelah terapi bedah dengan FESS (Dlugaszewska, et al., 2015). Penatalaksanaan standar rinosinusitis kronis pada orang dewasa saat ini yang direkomendasikan oleh kelompok studi Rinologi PERHATI-KL meliputi pemberian antibiotik, dekongestan oral, kortikosteroid dan mukolitik disertai terapi tambahan irigasi hidung. Penatalaksanaan terhadap rinosinusitis kronis yang disebabkan oleh biofilm juga sama (Mangunkusumo, 2011). Meskipun komunitas medis telah mengetahui bahwa banyak penyakit dan infeksi yang disebabkan oleh biofilm, namun kebanyakan peneliti meyakini bahwa biofilm sulit atau tidak mungkin dimusnahkan, terutama sel yang membentuk lapisan bagian dalam dari biofilm yang tebal. Kebanyakan tulisan tentang biofilm menyatakan bahwa biofilm resisten terhadap antibiotik yang diberikan secara standar. Beberapa peneliti telah berulang kali mencoba memusnahkan biofilm dengan memberikan kepada pasien antibiotik dengan dosis tinggi dan secara konstan. Namun sayangnya ketika diberikan dengan dosis tinggi, antibiotik tersebut dapat melemahkan biofilm sementara, tetapi tidak dapat menghancurkannya (Deb, et al., 2014). Kemampuan biofilm dalam mentoleransi antibiotik dalam dosis tinggi ini dikarenakan oleh beberapa faktor, yaitu kurangnya penetrasi antibiotik ke dalam matriks dari biofilm; di dalam biofilm bakteri secara fisiologis berubah

19 24 dari bentuk planktonis yang aktif menjadi immobile dan tidak berkembang di dalam biofilm, sementara antibiotik lebih efektif dalam menghancurkan sel yang sedang berkembang aktif; adanya perubahan lingkungan kecil di dalam biofilm sepert ph dan kadar oksigen yang dapat menurunkan aktivitas agen antimikroba; adanya perubahan ekspresi gen organisme di dalam biofilm; dan berkurangnya fenotip spesifik dari biofilm (Aziz dan Aeron, 2014). Antibiotik hanya efektif melawan biofilm bila diberikan dengan cara yang sangat spesifik. Selanjutnya, hanya antibiotik tertentu yang efektif terhadap biofilm. Contohnya, beberapa penelitian menunjukkan bahwa penetrasi dari Oxacillin, Cefotaxime (β-laktamase) dan Vancomycin (glikopeptida) berkurang seccara signifikan terhadap biofilm Staphylococcus aureus dan Streptococcus epidermidis sedangkan Amikacin (aminoglikosida) dan Ciprofloxacin (fluorokuinolon) tidak terpengaruh. Setelah beberapa dekade penelitian, yang kebanyakan berasal dari molecular modeling data, Marshall adalah orang pertama yang menciptakan regimen antibiotik yang secara efektif mentarget dan menghancurkan biofilm, yang disebut dengan Marshall Protocol. Yang utama dari Marshall Protocol ini adalah fakta bahwa biofilm dapat dimusnahkan sampai tuntas dengan pemberian antibiotik bakteriostatik spesifik yang diberikan dalam dosis rendah dan berpulsasi. Pemberian antibiotik dengan dosis standar hanya dapat memusnahkan bakteri dalam bentuk planktonis saja tetapi menyisakan persister (Deb, et al., 2014). Persister adalah subpopulasi kecil dari bakteri di dalam biofilm yang berdiferensiasi menjadi sel dorman (Aziz dan Aeron, 2014). Antibiotik dalam dosis rendah dan berpulsasi ini diberikan dengan cara pertama-tama antibiotik diberikan lalu kemudian dihentikan sementara setelah itu diberikan lagi. Pemberian antibiotik yang pertama kali dapat memusnahkan sebagian besar sel biofilm dan menyisakan persister. Penghentian antibiotik memungkinkan populasi persister untuk mulai berkembang. Karena

20 25 pemberian antibiotik dihentikan sementara, persister yang tersisa tidak dapat berkembang lebih lanjut lagi dikarenakan sel persister tersebut kehilangan fenotipnya (bentuk dan properti biokimianya), artinya sel persister tersebut tidak dapat berubah kembali menjadi bentuk biofilm. pemberian antibiotik yang kedua selanjutnya dapat memusnahkan sel persister yang tetap dalam bentuk planktonis (Deb, et al., 2014). Antibiotik yang digunakan dalam Marshall Protocol umumnya antibiotik yang bersifat bakteriostatik, seperti Eritromisin, Azitromisin ataupun golongan makrolida lainnya. Dosis yang diberikan adalah di bawah dari dosis minimal terapi yang lazim digunakan dengan pemberian selama tidak kurang dari 2 bulan, misalkan Azitromisin diberikan di bawah dosis 250mg. Selain itu pasien juga mengkonsumsi Olmesartan (Benicar) yang dapat mengikat dan mengaktifkan vitamin D receptor (VDR), sehingga memperbaharui kemampuan tubuh untuk, mengaktifkan sistem imun. Olmesartan diberikan dengan dosis 40mg 4x sahari, terkadang dapat ditingkatkan hingga tiap 4 jam sekali (Proal, 2008; Trister, 2015). Dari beberapa penelitian didapatkan bahwa larutan cuci hidung (larutan saline) yang dicampur dengan 1% sampo bayi pada rinosinusitis kronis memberikan hasil yang baik dibandingkan dengan yang hanya diberi larutan saline. Chiu dkk pada tahun 2008 mendapatkan 60% pasien menunjukkan perkembangan hasil yang lebih baik pada keringnya post nasal drip dan kekentalan mukus. Hal ini disebabkan oleh karena sampo bayi mengandung surfaktan (Chiu, et al., 2008). Pada beberapa tahun belakangan ini, pendekatan anti-biofilm baru telah dikembangkan sebagai alternatif dari terapi antibiotik klasik, diantaranya antimikroba peptida, enzim yang melemahkan matriks biofilm, bakteriofag, terapi ultrasonik, quorum sensing inhibitors, agen anti adesi. Pemahaman

21 26 yang mendalam mengenai mekanisme resistensi biofilm terhadap antimikroba akan sangat bermanfaat dalam mengembangkan agen antibiofilm baru yang inovatif (Aziz dan Aeron, 2014; Chen, Yu dan Sun, 2013; Sun, et al., 2013). 2.6 Kultur Bakteri dan Uji Kepekaan Antibiotik Mikroorganisme memiliki peranan penting dalam menyebabkan rinosinusitis kronis, sehingga agen antimikroba merupakan terapi primer. Namun antimikroba yang diberikan adalah secara empiris tidak berdasarkan pada hasil isolasi dan sensitifitas mikroorganisme, sehingga dapat menyebabkan terjadinya peningkatan insiden resistensi pada beberapa mikroorganisme dan membuat penanganan dari infeksi ini menjadi lebih rumit. Data mikrobiologi yang terperinci sangat diperlukan dalam memandu penatalalaksanaan sinusitis kronis (Udayasri dan Radhakumari, 2016). Pasien dengan rinosinusitis kronis mengkonsumsi antibiotik dalam jangka waktu lama, hal ini dapat menyebabkan terjadinya resistensi. Bersamaan dengan pasien yang tidak patuh terhadap pengobatan, penggunaan obat yang tidak efisien, konsumsi obat dengan dosis yang salah, dan penggunaan antibiotik yang tidak bijaksana, semuanya berkontribusi terhadap rendahnya sensitifitas mikroorganisme terhadap antibiotik (Araujo, et al., 2007). Metode aspirasi dan biopsi mukosa sinus maksila sebelumnya dipakai sebagai baku emas dalam menentukan mikroorganisme yang terlibat pada rinosinusitis. Namun, teknik tersebut memiliki beberapa kekurangan dimana tidak dapat menggambarkan data mikrobiologi dari sinus etmoid, frontal dan sfenoid. Sedangkan beberapa teknik minimal invasif untuk memperoleh

22 27 bahan kultur dari sinus paranasal seperti swab hidung dan nasofaring tidak dapat dipercaya karena tingginya angka kontaminasi dari koloni mikroorganisme. Endoskopi hidung memungkinkan untuk mengidentifikasi adanya perubahan struktur yang menyebabkan pasien menderita rinosinusitis kronis dan melihat daerah drainase dari sinus paranasal. Prosedur ini dapat dilakukan dengan mudah dengan anestesi lokal di praktek klinis, dengan ketidaknyamanan yang minimal. Lebih lanjut lagi, pengambilan sampel kultur dari meatus media dengan bantuan endoskopi dapat mewakili langkah utama dalam menangani infeksi berulang pada hidung dan sinus paranasal, membantu dalam pemilihan antibiotik yang sesuai berdasarkan hasil kultur (Araujo, et al., 2007; Udayasri dan Radhakumari, 2016). Sensitifitas kultur sekret dari meatus media dengan bantuan endoskopi hidung dapat dinilai dengan membandingkannya dengan punksi dari maksila. Araujo dkk dalam penelitiannya pada 16 pasien dijumpai 73% mikroorganisme yang sama pada kedua kultur. Hasil yang sama juga dilaporkan oleh Orobello dkk dengan hasil yang sama sebanyak 83% antara meatus media dan antrum maksila. Gold dan Tami membandingkan sampel dari meatus media dan sinus maksila dari 18 pasien dengan rinosinusitis kronis dan dijumpai kesamaan sebanyak 85%. Klossek dkk menyimpulkan bahwa keakuratan pengumpulan sampel dengan endoskopi hidung mendekati 80%. Bassiouni dkk dalam penelitiannya menyimpulkan tidak terdapat perbedaan yang bermakna antara mikrobiota dari jaringan mukosa dan sampel swab. Penelitian-penelitian tersebut di atas menyatakan bahwa kultur meatus media dengan endoskopi merupakan alternatif yang lebih baik dibandingkan dengan punksi antrum, dimana efektif dalam mengidentifikasi patogen dan metode diagnostik yang non invasif untuk etiologi rinosinusitis (Araujo, et al., 2007; Bassiouni, et al., 2015).

23 28 You dkk dalam penelitiannya terhadap 90 spesimen menjumpai 64 (71,1 %) biofilm positif dan dari kultur bakteri dijumpai 61 bakteri yang terisolasi, dimana 98,4 % merupakan bakteri aerob. Kultur bakteri positif pada 60 (66,7 %) dari 90 pasien. Terdapat hubungan yang bermakna antara ekspresi biofilm dan kultur bakteri (You, et al., 2011). Boase dkk dalam penelitiannya terhadap 38 penderita rinosinusitis kronis dimana dilakukan pengambilan mukosa sinus etmoid untuk pemeriksaan biofilm dan swab meatus media untuk kultur bakteri, mendapatkan hasil kultur positif sebanyak 73% dengan rata-rata 1,3 organisme per pasien yang terdeteksi dan 12 organisme berbeda yang teridentifikasi. Mereka juga menyimpulkan bahwa hasil deteksi biofilm dengan pemeriksaan FISH dan kultur bakteri berhubungan pada kebanyakan organisme, dan selanjutnya kultur cenderung dipilih untuk organisme yang cepat berkembang (Boase, et al., 2013). Dlugaszewska dkk dalam penelitiannya mendapatkan hasil dari sampel mikrobiologi yang diambil dari pasien rinosinusitis kronis mikroorganisme yang paling sering terisolasi adalah Staphylococcus epidermidis (41,2 %) yang diikuti oleh Coagulase-negative cocci (16,1 %). Nigro dkk mengisolasi Coagulase-negative cocci sebanyak 12,1 %, sedangkan Mantovani dkk mengisolasi Staphylococcus epidermidis pada 13,9 % pasien rinosinusitis kronis (Dlugaszewska, et al., 2015). Udayasri dan Radhakumari dalam penelitiannya mendapatkan bakteri gram positif lebih peka terhadap Ciprofloxacin (90%) dan Clindamycin (90%) dan semua bakteri yang terisolasi 100% sensitif terhadap Vancomycin (Udayasri dan Radhakumari, 2016).

24 Cara Pemeriksaan Kultur Bakteri dan Uji Kepekaan Antibiotik Sekret pada meatus media diambil dengan menggunakan transport swabs (Oxoid) yang diusapkan langsung di meatus media hingga kapas pada bagian ujungnya basah dengan bantuan endoskopi. Sampel kemudian dikirim ke laboratorium mikrobiologi dan diproses 2-4 jam setelah sampel diambil (Araujo, et al., 2007; Uhliarova, et al., 2014). Sampel kemudian diinokulasi pada agar darah dan agar Mac Conkey. Lalu diinkubasi pada 37 o C selama 24 jam dalam inkubator bakteriologis. Setelah itu lempeng agar diperiksa apakah ada pertumbuhan koloni bakteri. Selanjutnya dilakukan pewarnaan gram pada bakteri yang tumbuh untuk melihat morfologinya. Setelah bakteri difiksasi pada gelas objek kemudian dituangkan zat warna ungu kristal di atas sediaan selama 1-5 menit. Lalu sediaan dicuci dengan air keran selama 5-10 detik, kemudian digenangi dengan larutan lugol selama 1 menit, setelah itu dicuci kembali dengan air keran (5-10 detik). Selanjutnya sediaan dicelup dan digoyang dalam bak berisi alkohol 96% selama 30 detik. Sediaan dicuci dengan air keran kembali. Lalu digenangi dengan fuchsin-air (safranin) selama 1-2 menit, dan dicuci kembali dengan air keran, lalu keringkan di udara. Setelah kering, sediaan dilihat di bawah mikroskop dengan pembesaran 1000x (Iswara, 1987; Udayasri dan Radhakumari, 2016). Uji kepekaan antibiotik dilakukan pada semua bakteri yang terisolasi dengan menggunakan metode difusi cakram Kirby Bauer pada agar Muller Hinton menggunakan cakram antibiotik Hi media. Cakram antibiotik diletakkan pada permukaan lempeng agar dengan bantuan pinset steril dan ditekan sedikit agar melekat dengan baik, lalu dieramkan pada suhu 37 o C selama jam. Kemudian daerah hambatan di sekitar cakram antibiotik yang tidak ditumbuhi oleh koloni bakteri diukur diameternya dalam milimeter

25 30 dengan penggaris lalu disesuaikan dengan tabel modified Kirby Bauer method (Iswara, 1987; Udayasri dan Radhakumari, 2016).

26 Kerangka Konsep Quorum sensing Sel bakteri melekat di permukaaan Pertumbuhan bakteri hingga beban yang cukup Biofilm Pelepasan bakteri dari biofilm Toksin bakteri dan mediator endogen Epitel respiratori bersilia rusak Infeksi lebih lanjut Mucocilliary clearance terganggu Sekresi sinus menumpuk Progresi dari rinosinusitis akut Sinusitis dentogen Rinosinusitis kronis Faktor anatomi Disfungsi mukosilier Inflamasi tulang

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN 32 BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Jenis / Desain Penelitian lintang. Penelitian ini bersifat observasional analitik dengan desain potong 3.2 Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian ini dilakukan di Departemen

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Rinosinusitis kronis (RSK) adalah penyakit inflamasi mukosa hidung dan sinus paranasal yang berlangsung lebih dari 12 minggu. Pengobatan RSK sering belum bisa optimal

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. endoskopis berupa polip atau sekret mukopurulen yang berasal dari meatus

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. endoskopis berupa polip atau sekret mukopurulen yang berasal dari meatus BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang kronik (RSK) merupakan inflamasi mukosa hidung dan sinus paranasal dengan jangka waktu gejala 12 minggu, ditandai oleh dua atau lebih gejala, salah satunya berupa hidung

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Anatomi Hidung 2.1.1 Hidung luar Hidung berbentuk piramid dengan puncaknya di atas dan di bagian bawah terdapat dasar. Piramid hidung terdiri dari tulang dan tulang rawan yang

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. terjadi di Indonesia, termasuk dalam daftar jenis 10 penyakit. Departemen Kesehatan pada tahun 2005, penyakit sistem nafas

BAB 1 PENDAHULUAN. terjadi di Indonesia, termasuk dalam daftar jenis 10 penyakit. Departemen Kesehatan pada tahun 2005, penyakit sistem nafas BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Penyakit infeksi saluran nafas atas akut yang sering terjadi di Indonesia, termasuk dalam daftar jenis 10 penyakit terbanyak di rumah sakit. Menurut laporan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Dasar diagnosis rinosinusitis kronik sesuai kriteria EPOS (European

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Dasar diagnosis rinosinusitis kronik sesuai kriteria EPOS (European BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Dasar diagnosis rinosinusitis kronik sesuai kriteria EPOS (European Position Paper on Rhinosinusitis and Nasal Polyposis) 2012 adalah inflamasi hidung dan sinus paranasal

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. pakar yang dipublikasikan di European Position Paper on Rhinosinusitis and Nasal

BAB 1 PENDAHULUAN. pakar yang dipublikasikan di European Position Paper on Rhinosinusitis and Nasal BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sinusitis adalah peradangan pada salah satu atau lebih mukosa sinus paranasal. Sinusitis juga dapat disebut rinosinusitis, menurut hasil beberapa diskusi pakar yang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. Rinosinusitis kronis merupakan inflamasi kronis. pada mukosa hidung dan sinus paranasal yang berlangsung

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. Rinosinusitis kronis merupakan inflamasi kronis. pada mukosa hidung dan sinus paranasal yang berlangsung BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Rinosinusitis kronis merupakan inflamasi kronis pada mukosa hidung dan sinus paranasal yang berlangsung selama minimal 12 minggu berturut-turut. Rinosinusitis kronis

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. diperantarai oleh lg E. Rinitis alergi dapat terjadi karena sistem

BAB 1 PENDAHULUAN. diperantarai oleh lg E. Rinitis alergi dapat terjadi karena sistem BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Definisi Rinitis Alergi (RA) menurut ARIA (Allergic Rhinitis and its Impact on Asthma) merupakan reaksi inflamasi pada mukosa hidung akibat reaksi hipersensitivitas

Lebih terperinci

Keywords : P. aeruginosa, gentamicin, biofilm, Chronic Supurative Otitis Media

Keywords : P. aeruginosa, gentamicin, biofilm, Chronic Supurative Otitis Media Keywords : P. aeruginosa, gentamicin, biofilm, Chronic Supurative Otitis Media xv BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Otitis media supuratif kronik (OMSK) adalah dampak dari episode otitis media akut

Lebih terperinci

BAB 3 METODOLOGI PENELITIAN

BAB 3 METODOLOGI PENELITIAN BAB 3 METODOLOGI PENELITIAN 3.1. Desain Penelitian Desain penelitian dalam penelitian ini adalah desain cross-sectional (potong lintang) dengan menggunakan data sekunder, yaitu data hasil uji kepekaan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Rinitis alergi (RA) adalah penyakit yang sering dijumpai. Gejala utamanya

BAB I PENDAHULUAN. Rinitis alergi (RA) adalah penyakit yang sering dijumpai. Gejala utamanya 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang Rinitis alergi (RA) adalah penyakit yang sering dijumpai. Gejala utamanya adalah bersin, hidung beringus (rhinorrhea), dan hidung tersumbat. 1 Dapat juga disertai

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. paranasal dengan jangka waktu gejala 12 minggu, ditandai oleh dua atau lebih

BAB I PENDAHULUAN. paranasal dengan jangka waktu gejala 12 minggu, ditandai oleh dua atau lebih BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Rinosinusitis kronik (RSK) merupakan inflamasi mukosa hidung dan sinus paranasal dengan jangka waktu gejala 12 minggu, ditandai oleh dua atau lebih gejala, salah satunya

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. hidung dan sinus paranasal ditandai dengan dua gejala atau lebih, salah

BAB I PENDAHULUAN. hidung dan sinus paranasal ditandai dengan dua gejala atau lebih, salah BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Menurut European Position Paper on Rhinosinusitis and Nasal Polyps (EPOS) 2012, rinosinusitis kronis didefinisikan sebagai suatu radang hidung dan sinus paranasal

Lebih terperinci

BAB 3 KERANGKA PENELITIAN

BAB 3 KERANGKA PENELITIAN BAB 3 KERANGKA PENELITIAN 3.1 Kerangka Konseptual Dari hasil tinjauan kepustakaan serta kerangka teori tersebut serta masalah penelitian yang telah dirumuskan tersebut, maka dikembangkan suatu kerangka

Lebih terperinci

25 Universitas Indonesia

25 Universitas Indonesia 3. METODOLOGI PENELITIAN 3.1. Desain Penelitian Penelitian ini menggunakan desain potong lintang (cross-sectional) untuk mengetahui pola resistensi bakteri terhadap kloramfenikol, trimethoprim/ sulfametoksazol,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. berbagai sumber infeksi, seperti: gigi, mulut, tenggorok, sinus paranasal, telinga

BAB I PENDAHULUAN. berbagai sumber infeksi, seperti: gigi, mulut, tenggorok, sinus paranasal, telinga BAB I PENDAHULUAN A. Latar belakang Abses leher dalam adalah terkumpulnya nanah (pus) di dalam ruang potensial yang terletak di antara fasia leher dalam, sebagai akibat penjalaran dari berbagai sumber

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Secara fisiologis hidung berfungsi sebagai alat respirasi untuk mengatur

BAB 1 PENDAHULUAN. Secara fisiologis hidung berfungsi sebagai alat respirasi untuk mengatur BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Secara fisiologis hidung berfungsi sebagai alat respirasi untuk mengatur kondisi udara dengan mempersiapkan udara inspirasi agar sesuai dengan permukaan paru-paru,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. karakteristik dua atau lebih gejala berupa nasal. nasal drip) disertai facial pain/pressure and reduction or loss of

BAB I PENDAHULUAN. karakteristik dua atau lebih gejala berupa nasal. nasal drip) disertai facial pain/pressure and reduction or loss of BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Menurut European Position Paper on Rhinosinusitis and Nasal Polyps (EP3OS) tahun 2012, rinosinusitis didefinisikan sebagai inflamasi pada hidung dan sinus paranasalis

Lebih terperinci

BAB I. PENDAHULUAN. Staphylococcus aureus, merupakan masalah yang serius, apalagi didukung kemampuan

BAB I. PENDAHULUAN. Staphylococcus aureus, merupakan masalah yang serius, apalagi didukung kemampuan BAB I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Munculnya strain bakteri yang resisten terhadap banyak antibiotik termasuk bakteri Staphylococcus aureus, merupakan masalah yang serius, apalagi didukung kemampuan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. yang muncul membingungkan (Axelsson et al., 1978). Kebingungan ini tampaknya

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. yang muncul membingungkan (Axelsson et al., 1978). Kebingungan ini tampaknya BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Banyak kendala yang sering dijumpai dalam menentukan diagnosis peradangan sinus paranasal. Gejala dan tandanya sangat mirip dengan gejala dan tanda akibat infeksi saluran

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. yang mana tidak hanya terkait dengan persoalan estetika, tetapi juga

BAB I PENDAHULUAN. yang mana tidak hanya terkait dengan persoalan estetika, tetapi juga BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kesehatan gigi dan mulut merupakan bagian dari kesehatan tubuh secara umum yang mana tidak hanya terkait dengan persoalan estetika, tetapi juga dapat menimbulkan masalah

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. oleh reaksi alergi pada pasien atopi yang sebelumnya sudah. mediator kimia ketika terjadi paparan ulangan pada mukosa hidung

BAB 1 PENDAHULUAN. oleh reaksi alergi pada pasien atopi yang sebelumnya sudah. mediator kimia ketika terjadi paparan ulangan pada mukosa hidung BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Rhinitis alergi adalah penyakit inflamasi yang disebabkan oleh reaksi alergi pada pasien atopi yang sebelumnya sudah tersensitisasi dengan alergen yang sama

Lebih terperinci

BAB IV HASIL PENELITIAN. Penelitian eksperimental telah dilakukan pada penderita rinosinusitis

BAB IV HASIL PENELITIAN. Penelitian eksperimental telah dilakukan pada penderita rinosinusitis BAB IV HASIL PENELITIAN Penelitian eksperimental telah dilakukan pada penderita rinosinusitis kronik yang berobat di Poliklinik Ilmu Kesehatan THT-KL. Selama penelitian diambil sampel sebanyak 50 pasien

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Bakteremia didefinisikan sebagai keberadaan kuman dalam darah yang dapat berkembang menjadi sepsis. Bakteremia seringkali menandakan penyakit yang mengancam

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN UKDW. jika menembus permukaan kulit ke aliran darah (Otto, 2009). S. epidermidis

BAB I PENDAHULUAN UKDW. jika menembus permukaan kulit ke aliran darah (Otto, 2009). S. epidermidis BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Staphylococcus epidermidis merupakan flora normal,bersifat komensal pada permukaan kulit dan membran mukosa saluran napas atas manusia. Bakteri ini diklasifikasikan

Lebih terperinci

3. METODOLOGI PENELITIAN

3. METODOLOGI PENELITIAN 3. METODOLOGI PENELITIAN 3.1. Desain Penelitian Desain penelitian dalam penelitian ini adalah desain cross-sectional (potong lintang) dengan menggunakan data sekunder, yaitu data hasil uji kepekaan bakteri

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kehidupan manusia tidak dapat lepas dari keberadaan mikroorganisme. Lingkungan di mana manusia hidup terdiri dari banyak jenis dan spesies mikroorganisme. Mikroorganisme

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Sinus Paranasalis (SPN) terdiri dari empat sinus yaitu sinus maxillaris,

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Sinus Paranasalis (SPN) terdiri dari empat sinus yaitu sinus maxillaris, 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Sinus Paranasalis (SPN) terdiri dari empat sinus yaitu sinus maxillaris, sinus frontalis, sinus sphenoidalis dan sinus ethmoidalis. Setiap rongga sinus ini

Lebih terperinci

GAMBARAN KUALITAS HIDUP PENDERITA SINUSITIS DI POLIKLINIK TELINGA HIDUNG DAN TENGGOROKAN RSUP SANGLAH PERIODE JANUARI-DESEMBER 2014

GAMBARAN KUALITAS HIDUP PENDERITA SINUSITIS DI POLIKLINIK TELINGA HIDUNG DAN TENGGOROKAN RSUP SANGLAH PERIODE JANUARI-DESEMBER 2014 1 GAMBARAN KUALITAS HIDUP PENDERITA SINUSITIS DI POLIKLINIK TELINGA HIDUNG DAN TENGGOROKAN RSUP SANGLAH PERIODE JANUARI-DESEMBER 2014 Oleh: Sari Wulan Dwi Sutanegara 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN

Lebih terperinci

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN. Penelitian eksperimental telah dilakukan pada penderita rinosinusitis

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN. Penelitian eksperimental telah dilakukan pada penderita rinosinusitis BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Hasil Penelitian Penelitian eksperimental telah dilakukan pada penderita rinosinusitis kronik yang berobat di Poliklinik Ilmu Kesehatan THT-KL RSUD Dr. Moewardi

Lebih terperinci

BAB I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian. Rinosinusitis kronis disertai dengan polip hidung adalah suatu penyakit

BAB I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian. Rinosinusitis kronis disertai dengan polip hidung adalah suatu penyakit BAB I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Rinosinusitis kronis disertai dengan polip hidung adalah suatu penyakit inflamasi yang melibatkan mukosa hidung dan sinus paranasal, dapat mengenai satu

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. I.1 Latar Belakang. Otitis media supuratif kronik (OMSK) merupakan. suatu kondisi di mana terjadi peradangan pada mukosa

BAB I PENDAHULUAN. I.1 Latar Belakang. Otitis media supuratif kronik (OMSK) merupakan. suatu kondisi di mana terjadi peradangan pada mukosa BAB I PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang Otitis media supuratif kronik (OMSK) merupakan suatu kondisi di mana terjadi peradangan pada mukosa telinga bagian tengah (auris media), tuba eustachius, dan antrum

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Infeksi merupakan peristiwa masuknya mikroorganisme ke suatu bagian di dalam tubuh yang secara normal dalam keadaan steril (Daniela, 2010). Infeksi dapat disebabkan

Lebih terperinci

Analisis Hayati KEPEKAAN TERHADAP ANTIBIOTIKA. Oleh : Dr. Harmita

Analisis Hayati KEPEKAAN TERHADAP ANTIBIOTIKA. Oleh : Dr. Harmita Analisis Hayati KEPEKAAN TERHADAP ANTIBIOTIKA Oleh : Dr. Harmita Pendahuluan Dewasa ini berbagai jenis antimikroba telah tersedia untuk mengobati penyakit yang disebabkan oleh mikroorganisme. Zat anti

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang ISK merupakan keadaan tumbuh dan berkembang biaknya kuman dalam saluran kemih meliputi infeksi di parenkim ginjal sampai infeksi di kandung kemih dengan jumlah bakteriuria

Lebih terperinci

Rhinosinusitis. Bey Putra Binekas

Rhinosinusitis. Bey Putra Binekas Rhinosinusitis Bey Putra Binekas Anatomi Fisiologi Sebagai pengatur kondisi udara Sebagai penahan suhu Membantu keseimbangan kepala Membantu resonansi suara Sebagai peredam perubahan tekanan udara Membantu

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang 1 BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang Keberhasilan suatu perawatan endodontik bergantung pada triad endodontik yang terdiri dari preparasi, pembentukan dan pembersihan, sertaobturasi dari saluran akar

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. jamur, dan parasit (Kemenkes RI, 2012; PDPI, 2014). Sedangkan infeksi yang

BAB 1 PENDAHULUAN. jamur, dan parasit (Kemenkes RI, 2012; PDPI, 2014). Sedangkan infeksi yang BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pneumonia merupakan penyakit infeksi saluran napas bawah akut pada parenkim paru. Pneumonia disebabkan oleh mikroorganisme seperti bakteri, virus, jamur, dan parasit

Lebih terperinci

Famili : Picornaviridae Genus : Rhinovirus Spesies: Human Rhinovirus A Human Rhinovirus B

Famili : Picornaviridae Genus : Rhinovirus Spesies: Human Rhinovirus A Human Rhinovirus B RHINOVIRUS: Bila Anda sedang pilek, boleh jadi Rhinovirus penyebabnya. Rhinovirus (RV) menjadi penyebab utama dari terjadinya kasus-kasus flu (common cold) dengan presentase 30-40%. Rhinovirus merupakan

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Papilloma sinonasal diperkenalkan oleh Ward sejak tahun 1854, hanya mewakili

BAB 1 PENDAHULUAN. Papilloma sinonasal diperkenalkan oleh Ward sejak tahun 1854, hanya mewakili 1 BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Tumor rongga hidung dan sinus paranasal atau disebut juga tumor sinonasal adalah tumor yang dimulai dari dalam rongga hidung atau sinus paranasal di sekitar hidung.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. I.1. Latar Belakang. Salah satu penyebab kematian tertinggi di dunia. adalah infeksi. Sekitar lima puluh tiga juta kematian

BAB I PENDAHULUAN. I.1. Latar Belakang. Salah satu penyebab kematian tertinggi di dunia. adalah infeksi. Sekitar lima puluh tiga juta kematian BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Salah satu penyebab kematian tertinggi di dunia adalah infeksi. Sekitar lima puluh tiga juta kematian di seluruh dunia pada tahun 2002, sepertiganya disebabkan oleh

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Salah satu penyebab tingginya angka kematian di Indonesia maupun di dunia adalah penyakit infeksi (Priyanto, 2009). Penyakit infeksi dapat disebabkan oleh

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. sinus yang disebabkan berbagai macam alergen. Rinitis alergi juga merupakan

BAB I PENDAHULUAN. sinus yang disebabkan berbagai macam alergen. Rinitis alergi juga merupakan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Rinitis alergi merupakan inflamasi kronis mukosa saluran hidung dan sinus yang disebabkan berbagai macam alergen. Rinitis alergi juga merupakan masalah kesehatan global

Lebih terperinci

BAB IV METODE PENELITIAN. Ilmu Kesehatan Anak, dan Ilmu Kesehatan Masyarakat.

BAB IV METODE PENELITIAN. Ilmu Kesehatan Anak, dan Ilmu Kesehatan Masyarakat. BAB IV METODE PENELITIAN 4.1 Ruang lingkup penelitian Disiplin ilmu yang terkait dalam penelitian ini adalah Ilmu Mikrobiologi, Ilmu Kesehatan Anak, dan Ilmu Kesehatan Masyarakat. 4.2 Tempat dan waktu

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Penyakit Paru Obstruksi Kronis (PPOK) menurut Global Initiative of

BAB 1 PENDAHULUAN. Penyakit Paru Obstruksi Kronis (PPOK) menurut Global Initiative of BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penyakit Paru Obstruksi Kronis (PPOK) menurut Global Initiative of Chronic Obstructive Lung Diseases (GOLD) merupakan penyakit yang dapat cegah dan diobati, ditandai

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. mampu memproduksi matriks ekstraseluler yang disebut Extracelluler Polymeric

BAB 1 PENDAHULUAN. mampu memproduksi matriks ekstraseluler yang disebut Extracelluler Polymeric BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Biofilm merupakan koloni bakteri yang terstruktur, saling menempel dan mampu memproduksi matriks ekstraseluler yang disebut Extracelluler Polymeric Substance (EPS)

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. dipisahkan dengan praktik kedokteran modern. Saat ini penggunaan kateter

BAB 1 PENDAHULUAN. dipisahkan dengan praktik kedokteran modern. Saat ini penggunaan kateter BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penggunaan kateter intravena sudah menjadi hal yang tidak dapat dipisahkan dengan praktik kedokteran modern. Saat ini penggunaan kateter intravena merupakan bagian

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Infeksi saluran kemih (ISK) merupakan salah satu jenis infeksi yang paling sering

BAB I PENDAHULUAN. Infeksi saluran kemih (ISK) merupakan salah satu jenis infeksi yang paling sering BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang Infeksi saluran kemih (ISK) merupakan salah satu jenis infeksi yang paling sering ditemukan dalam praktek klinik (Hvidberg et al., 2000). Infeksi saluran kemih (ISK)

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Rinitis alergi (RA) merupakan suatu inflamasi pada mukosa rongga hidung

BAB I PENDAHULUAN. Rinitis alergi (RA) merupakan suatu inflamasi pada mukosa rongga hidung BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Rinitis alergi (RA) merupakan suatu inflamasi pada mukosa rongga hidung yang disebabkan oleh reaksi hipersensitivitas tipe I yang dipicu oleh alergen tertentu.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Bakteremia adalah keberadaan bakteri pada darah yang dapat mengakibatkan sepsis (Tiflah, 2006). Sepsis merupakan infeksi yang berpotensi mengancam jiwa yang

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN TEORI. sehat, baik itu pasien, pengunjung, maupun tenaga medis. Hal tersebut

BAB II TINJAUAN TEORI. sehat, baik itu pasien, pengunjung, maupun tenaga medis. Hal tersebut BAB II TINJAUAN TEORI 2.1 Infeksi Nosokomial Rumah sakit adalah tempat berkumpulnya orang sakit dan orang sehat, baik itu pasien, pengunjung, maupun tenaga medis. Hal tersebut menyebabkan rumah sakit berpeluang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. I.1 Latar Belakang. Otitis media supuratif kronik (OMSK) adalah suatu. infeksi kronis pada telinga tengah yang diikuti

BAB I PENDAHULUAN. I.1 Latar Belakang. Otitis media supuratif kronik (OMSK) adalah suatu. infeksi kronis pada telinga tengah yang diikuti BAB I PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang Otitis media supuratif kronik (OMSK) adalah suatu infeksi kronis pada telinga tengah yang diikuti perforasi pada membran timpani dengan riwayat keluarnya cairan bening

Lebih terperinci

Mekanisme Pertahanan Tubuh. Kelompok 7 Rismauzy Marwan Imas Ajeung P Andreas P Girsang

Mekanisme Pertahanan Tubuh. Kelompok 7 Rismauzy Marwan Imas Ajeung P Andreas P Girsang Mekanisme Pertahanan Tubuh Kelompok 7 Rismauzy Marwan Imas Ajeung P Andreas P Girsang Imunitas atau kekebalan adalah sistem mekanisme pada organisme yang melindungi tubuh terhadap pengaruh biologis luar

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Infeksi merupakan masalah yang paling banyak dijumpai pada kehidupan sehari-hari. Kasus infeksi disebabkan oleh bakteri atau mikroorganisme patogen yang masuk

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Mukosa rongga mulut merupakan lapisan epitel yang meliputi dan melindungi

BAB I PENDAHULUAN. Mukosa rongga mulut merupakan lapisan epitel yang meliputi dan melindungi BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Mukosa rongga mulut merupakan lapisan epitel yang meliputi dan melindungi rongga mulut. Lapisan ini terdiri dari epitel gepeng berlapis baik yang berkeratin maupun

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Penyakit paru obstruktif kronik atau yang biasa disebut PPOK merupakan

BAB 1 PENDAHULUAN. Penyakit paru obstruktif kronik atau yang biasa disebut PPOK merupakan BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Penyakit paru obstruktif kronik atau yang biasa disebut PPOK merupakan salah satu jenis dari penyakit tidak menular yang paling banyak ditemukan di masyarakat dan

Lebih terperinci

BAB 4 HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB 4 HASIL DAN PEMBAHASAN BAB 4 HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Subjek Penelitian Dari data pasien infeksi saluran kemih (ISK) yang diperiksa di Laboratorium Mikrobiologi Klinik FKUI pada jangka waktu Januari 2001 hingga Desember 2005

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah telinga, hidung, dan tenggorokan merupakan masalah yang sering terjadi pada anak anak, misal otitis media akut (OMA) merupakan penyakit kedua tersering pada

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Farmasi dalam kaitannya dengan Pharmaceutical Care harus memastikan bahwa

I. PENDAHULUAN. Farmasi dalam kaitannya dengan Pharmaceutical Care harus memastikan bahwa I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pharmaceutical Care adalah salah satu elemen penting dalam pelayanan kesehatan dan selalu berhubungan dengan elemen lain dalam bidang kesehatan. Farmasi dalam kaitannya

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Keberhasilan terapi saluran akar bergantung pada debridement

BAB I PENDAHULUAN. Keberhasilan terapi saluran akar bergantung pada debridement BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Keberhasilan terapi saluran akar bergantung pada debridement chemomechanical pada jaringan pulpa, debris pada dentin, dan penggunaan irigasi terhadap infeksi mikroorganisme.

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. (simptoms kurang dari 3 minggu), subakut (simptoms 3 minggu sampai

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. (simptoms kurang dari 3 minggu), subakut (simptoms 3 minggu sampai 8 BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Sinusitis Sinusitis adalah proses peradangan atau infeksi dari satu atau lebih pada membran mukosa sinus paranasal dan terjadi obstruksi dari mekanisme drainase normal. 9,15

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN Mengkudu (Morinda citrifolia) merupakan tanaman khas Indonesia yang telah dimanfaatkan untuk berbagai pengobatan. Beberapa bagian tanaman tersebut telah mengalami pengujian

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Infeksi pada saluran napas merupakan penyakit yang umum terjadi pada

BAB I PENDAHULUAN. Infeksi pada saluran napas merupakan penyakit yang umum terjadi pada BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Infeksi pada saluran napas merupakan penyakit yang umum terjadi pada masyarakat. Infeksi saluran napas berdasarkan wilayah infeksinya terbagi menjadi infeksi saluran

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. Penelitian ini dilaksanakan di Poliklinik Ilmu Kesehatan THT-KL RSUD

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. Penelitian ini dilaksanakan di Poliklinik Ilmu Kesehatan THT-KL RSUD BAB III METODOLOGI PENELITIAN A. Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di Poliklinik Ilmu Kesehatan THT-KL RSUD Dr. Moewardi Surakarta. Penelitian dilakukan sampai jumlah sampel terpenuhi.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG. minor walaupun belum secara jelas diutarakan jenis dan aturan penggunaanya

BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG. minor walaupun belum secara jelas diutarakan jenis dan aturan penggunaanya 1 BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Standart Pelayanan Medis Rumah Sakit DR Sardjito menetapkan penggunaan antiseptik sebagai tindakan yang dilakukan sebelum dan saat perawatan bedah mulut minor walaupun

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pneumonia hingga saat ini masih tercatat sebagai masalah kesehatan yang utama di negara berkembang (Setyati dkk., 2012). Pneumonia dapat terjadi sepanjang

Lebih terperinci

OSTEOMIELITIS. Rachmanissa

OSTEOMIELITIS. Rachmanissa OSTEOMIELITIS Rachmanissa 1301-1208-0028 DEFINISI Osteomielitis adalah Infeksi pada tulang Page 2 KLASIFIKASI Hematogeous osteomyelitis (20%) bakteremia menyebar ke tulang - Akut - kronik Contigous osteomyelitis

Lebih terperinci

BAB III METODE DAN PENELITIAN. Penelitian ini dilaksanakan di Poliklinik THT-KL RSUD Dr. Moewardi

BAB III METODE DAN PENELITIAN. Penelitian ini dilaksanakan di Poliklinik THT-KL RSUD Dr. Moewardi BAB III METODE DAN PENELITIAN A. Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di Poliklinik THT-KL RSUD Dr. Moewardi Surakarta, Poliklinik THT-KL RSUD Karanganyar, Poliklinik THT-KL RSUD Boyolali.

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Tuberkulosis (TB) adalah suatu penyakit infeksi menular yang disebabkan

I. PENDAHULUAN. Tuberkulosis (TB) adalah suatu penyakit infeksi menular yang disebabkan I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Tuberkulosis (TB) adalah suatu penyakit infeksi menular yang disebabkan oleh kuman Mycobacterium tuberculosis. Penularan langsung terjadi melalui aerosol yang mengandung

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Dalam beberapa tahun terakhir, angka kejadian penyakit infeksi

BAB 1 PENDAHULUAN. Dalam beberapa tahun terakhir, angka kejadian penyakit infeksi 21 BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG PENELITIAN Dalam beberapa tahun terakhir, angka kejadian penyakit infeksi semakin meningkat, termasuk angka kejadian infeksi nosokomial. 1 Infeksi nosokomial merupakan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. paranasaldengan jangka waktu gejala 12 minggu, ditandai oleh dua atau lebih gejala, salah

BAB I PENDAHULUAN. paranasaldengan jangka waktu gejala 12 minggu, ditandai oleh dua atau lebih gejala, salah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang (RSK) merupakaninflamasi mukosa hidung dan sinus paranasaldengan jangka waktu gejala 12 minggu, ditandai oleh dua atau lebih gejala, salah satunya berupa hidung tersumbat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Infeksi Saluran Pernafasan Akut (ISPA) adalah penyakit saluran pernapasan atas atau bawah yang bersifat akut, biasanya menular, yang dapat menimbulkan berbagai spektrum

Lebih terperinci

dan menjadi dasar demi terwujudnya masyarakat yang sehat jasmani dan rohani.

dan menjadi dasar demi terwujudnya masyarakat yang sehat jasmani dan rohani. 1 BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Upaya peningkatan kesehatan masyarakat merupakan tanggung jawab bersama dan menjadi dasar demi terwujudnya masyarakat yang sehat jasmani dan rohani. Indonesia masih

Lebih terperinci

2.3 Patofisiologi. 2.5 Penatalaksanaan

2.3 Patofisiologi. 2.5 Penatalaksanaan 2.3 Patofisiologi Otitis media dengan efusi (OME) dapat terjadi selama resolusi otitis media akut (OMA) sekali peradangan akut telah teratasi. Di antara anak-anak yang telah memiliki sebuah episode dari

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. yang paling utama untuk mempertahankan kehidupan (Volk dan Wheeler, 1990).

BAB 1 PENDAHULUAN. yang paling utama untuk mempertahankan kehidupan (Volk dan Wheeler, 1990). BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Udara sebagai salah satu komponen lingkungan merupakan kebutuhan yang paling utama untuk mempertahankan kehidupan (Volk dan Wheeler, 1990). Udara dapat dikelompokkan

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. patogen pada manusia. Sekitar 30% dari populasi manusia dikolonisasi oleh

BAB 1 PENDAHULUAN. patogen pada manusia. Sekitar 30% dari populasi manusia dikolonisasi oleh BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Staphylococcus aureus (S. aureus) merupakan bakteri komensal dan patogen pada manusia. Sekitar 30% dari populasi manusia dikolonisasi oleh Staphylococcus aureus, umumnya

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. bentuk nodul-nodul yang abnormal. (Sulaiman, 2007) Penyakit hati kronik dan sirosis menyebabkan kematian 4% sampai 5% dari

BAB I PENDAHULUAN. bentuk nodul-nodul yang abnormal. (Sulaiman, 2007) Penyakit hati kronik dan sirosis menyebabkan kematian 4% sampai 5% dari BAB I PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG PENELITIAN Sirosis hati adalah merupakan perjalanan akhir berbagai macam penyakit hati yang ditandai dengan fibrosis. Respon fibrosis terhadap kerusakan hati bersifat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Universitas Sumatera Utara

BAB I PENDAHULUAN. Universitas Sumatera Utara BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Gastritis adalah suatu kondisi medis yang ditandai dengan peradangan pada lapisan lambung. Berbeda dengan dispepsia,yang bukan merupakan suatu diagnosis melainkan suatu

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Definisi Karies Gigi dan S-ECC Karies gigi merupakan penyakit infeksi pada jaringan keras gigi yang menyebabkan demineralisasi. Demineralisasi terjadi akibat kerusakan jaringan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. penurunan sistem imun (Vahdani, et al., 2012). Infeksi nosokomial dapat terjadi

I. PENDAHULUAN. penurunan sistem imun (Vahdani, et al., 2012). Infeksi nosokomial dapat terjadi I. PENDAHULUAN Pseudomonas aeruginosa merupakan bakteri patogen oportunistik penting yang menyebabkan infeksi nosokomial terutama pada pasien yang mengalami penurunan sistem imun (Vahdani, et al., 2012).

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. pada saluran napas yang melibatkan banyak komponen sel dan elemennya, yang sangat mengganggu, dapat menurunkan kulitas hidup, dan

BAB 1 PENDAHULUAN. pada saluran napas yang melibatkan banyak komponen sel dan elemennya, yang sangat mengganggu, dapat menurunkan kulitas hidup, dan 1 BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Asma dan rinosinusitis adalah penyakit yang amat lazim kita jumpai di masyarakat dengan angka prevalensi yang cenderung terus meningkat selama 20-30 tahun terakhir.

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. akar selama atau sesudah perawatan endodontik. Infeksi sekunder biasanya

I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. akar selama atau sesudah perawatan endodontik. Infeksi sekunder biasanya I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Perawatan endodontik merupakan bagian dari perawatan pulpa gigi yang bertujuan untuk menjaga kesehatan pulpa baik secara keseluruhan maupun sebagian serta menjaga kesehatan

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. mukosa rongga mulut. Beberapa merupakan penyakit infeksius seperti sifilis,

BAB 1 PENDAHULUAN. mukosa rongga mulut. Beberapa merupakan penyakit infeksius seperti sifilis, BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sejumlah penyakit penting dan serius dapat bermanifestasi sebagai ulser di mukosa rongga mulut. Beberapa merupakan penyakit infeksius seperti sifilis, tuberkulosis,

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 4 BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Infeksi saluran kemih Infeksi saluran kemih atau yang sering kita sebut dengan ISK adalah istilah yang dipakai untuk menyatakan adanya invasi mikroorganisme pada saluran kemih

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Kavitas oral ditempati oleh bermacam-macam flora mikroba, yang berperan

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Kavitas oral ditempati oleh bermacam-macam flora mikroba, yang berperan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kavitas oral ditempati oleh bermacam-macam flora mikroba, yang berperan mayor dari ekosistem yang kompleks ini yaitu dental plak yang berkembang secara alami pada jaringan

Lebih terperinci

memfasilitasi sampel dari bagian tengah telinga, sebuah otoscope, jarum tulang belakang, dan jarum suntik yang sama-sama membantu. 4.

memfasilitasi sampel dari bagian tengah telinga, sebuah otoscope, jarum tulang belakang, dan jarum suntik yang sama-sama membantu. 4. KONSEP MEDIK A. Pengertian Mastoiditis Mastoiditis adalah inflamasi mastoid yang diakibatkan oleh suatu infeksi pada telinga tengah, jika tak diobati dapat terjadi osteomielitis. Mastoiditis adalah segala

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Infeksi nosokomial merupakan infeksi yang didapat selama pasien dirawat di

I. PENDAHULUAN. Infeksi nosokomial merupakan infeksi yang didapat selama pasien dirawat di 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Infeksi nosokomial merupakan infeksi yang didapat selama pasien dirawat di rumah sakit 3 x 24 jam. Secara umum, pasien yang masuk rumah sakit dan menunjukkan tanda infeksi

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Apendisitis akut merupakan penyebab akut abdomen yang paling sering memerlukan

BAB 1 PENDAHULUAN. Apendisitis akut merupakan penyebab akut abdomen yang paling sering memerlukan BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Apendisitis akut merupakan penyebab akut abdomen yang paling sering memerlukan tindakan pembedahan. Keterlambatan dalam penanganan kasus apendisitis akut sering menyebabkan

Lebih terperinci

PATOGENISITAS MIKROORGANISME

PATOGENISITAS MIKROORGANISME PATOGENISITAS MIKROORGANISME PENDAHULUAN Pada dasarnya dari seluruh m.o yg terdapat di alam, hanya sebagian kecil saja yg patogen maupun potensial patogen. Patogen adalah organisme yg menyebabkan penyakit

Lebih terperinci

BAB 6 PEMBAHASAN. pneumonia yang terjadi pada pasien dengan bantuan ventilasi mekanik setelah 48

BAB 6 PEMBAHASAN. pneumonia yang terjadi pada pasien dengan bantuan ventilasi mekanik setelah 48 BAB 6 PEMBAHASAN VAP (ventilatory acquired pneumonia) adalah infeksi nosokomial pneumonia yang terjadi pada pasien dengan bantuan ventilasi mekanik setelah 48 jam. 4,8,11 Insiden VAP bervariasi antara

Lebih terperinci

ASUHAN KEPERAWATAN PADA PASIEN DENGAN GANGGUAN. SISTEM IMUNITAS

ASUHAN KEPERAWATAN PADA PASIEN DENGAN GANGGUAN. SISTEM IMUNITAS ASUHAN KEPERAWATAN PADA PASIEN DENGAN GANGGUAN. SISTEM IMUNITAS Asuhan Keperawatan Pada Pasien dengan Gangguan Sistem Immunitas Niken Andalasari Sistem Imunitas Sistem imun atau sistem kekebalan tubuh

Lebih terperinci

DIAGNOSIS CEPAT (RAPID DIAGNOSIS) DENGAN MENGGUNAKAN TES SEDERHANA DARI SEKRET HIDUNG PADA PENDERITA RINOSINUSITIS

DIAGNOSIS CEPAT (RAPID DIAGNOSIS) DENGAN MENGGUNAKAN TES SEDERHANA DARI SEKRET HIDUNG PADA PENDERITA RINOSINUSITIS ARTIKEL PENELITIAN DIAGNOSIS CEPAT (RAPID DIAGNOSIS DENGAN MENGGUNAKAN TES SEDERHANA DARI SEKRET HIDUNG PADA PENDERITA RINOSINUSITIS Siti Masliana Siregar 1 1 Departemen Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorokan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. oleh berbagai spesies mikroorganisme, yang dalam konsentrasi rendah. mampu menghambat pertumbuhan mikroorganisme lainnya.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. oleh berbagai spesies mikroorganisme, yang dalam konsentrasi rendah. mampu menghambat pertumbuhan mikroorganisme lainnya. BAB II TINJAUAN PUSTAKA 1. Antibiotik Antibiotik adalah suatu substansi kimia yang diperoleh atau dibentuk oleh berbagai spesies mikroorganisme, yang dalam konsentrasi rendah mampu menghambat pertumbuhan

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. mungkin akan terus meningkat prevalensinya. Rinosinusitis menyebabkan beban

BAB 1 PENDAHULUAN. mungkin akan terus meningkat prevalensinya. Rinosinusitis menyebabkan beban BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Rinosinusitis merupakan penyakit inflamasi yang sering ditemukan dan mungkin akan terus meningkat prevalensinya. Rinosinusitis menyebabkan beban ekonomi yang tinggi

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN. Penelitian ini merupakan penelitian observasional laboratorik untuk mengetahui

III. METODE PENELITIAN. Penelitian ini merupakan penelitian observasional laboratorik untuk mengetahui III. METODE PENELITIAN A. Desain Penelitian Penelitian ini merupakan penelitian observasional laboratorik untuk mengetahui pertumbuhan mikroorganisme pengganti Air Susu Ibu di Unit Perinatologi Rumah Sakit

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Dermatitis Atopik (DA) adalah penyakit inflamasi pada kulit yang bersifat kronis dan sering terjadi kekambuhan. Penyakit ini terjadi akibat adanya kelainan pada fungsi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Penyakit periodontal adalah penyakit yang umum terjadi dan dapat ditemukan

BAB I PENDAHULUAN. Penyakit periodontal adalah penyakit yang umum terjadi dan dapat ditemukan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penyakit periodontal adalah penyakit yang umum terjadi dan dapat ditemukan pada 90% dari populasi dunia. Penyakit periodontal merupakan salah satu penyakit gigi dan

Lebih terperinci

bahan yang diperoleh adalah tetap dalam isopropil alkohol dan udara kering menengah diikuti oleh budidaya pada Sabouraud agar.

bahan yang diperoleh adalah tetap dalam isopropil alkohol dan udara kering menengah diikuti oleh budidaya pada Sabouraud agar. Kehadiran Candida sebagai anggota flora komensal mempersulit diskriminasi keadaan normal dari infeksi. Sangat penting bahwa kedua temuan klinis dan laboratorium Data (Tabel 3) yang seimbang untuk sampai

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. besar infeksi saluran kemih yang terkait kateter berasal dari flora normal pasien sendiri dan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. besar infeksi saluran kemih yang terkait kateter berasal dari flora normal pasien sendiri dan 18 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Pendahuluan Dari hasil studi didapatkan bahwa saluran kemih merupakan sumber yang paling umum dari infeksi nosokomial, terutama saat katerisasi kandung kemih. Hampir sebagian

Lebih terperinci