BAB III METODE PENELITIAN

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "BAB III METODE PENELITIAN"

Transkripsi

1 32 BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Jenis / Desain Penelitian lintang. Penelitian ini bersifat observasional analitik dengan desain potong 3.2 Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian ini dilakukan di Departemen Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok Bedah Kepala Leher Rumah Sakit (RS) Haji Adam Malik Medan, RS Haji Mina Medan dan RS Grand Medistra Lubuk Pakam mulai bulan Februari 2016 sampai dengan sampel terpenuhi. Pemeriksaan biofilm bakteri dengan pewarnaan hematoxylin eosin dilakukan di Departemen Patologi Anatomi Fakultas Kedokteran, pemeriksaan kultur bakteri dan uji kepekaan antibiotik dilakukan di Departemen Mikrobiologi Fakultas Kedokteran. 3.3 Populasi, Sampel dan Besar Sampel Populasi Populasi penelitian ini adalah penderita rinosinusitis kronis yang menjalani tindakan bedah sinus endoskopi fungsional di RS Haji Adam Malik Medan, RS Haji Mina Medan dan RS Grand Medistra Lubuk Pakam mulai bulan Februari 2016 sampai dengan sampel terpenuhi. 32

2 Sampel Sampel penelitian adalah penderita rinosinusitis kronis yang menjalani tindakan bedah sinus endoskopi fungsional yang kemudian diambil jaringan dari sinus maksila dan atau etmoidnya serta dilakukan swab pada meatus medianya di RS Haji Adam Malik Medan, RS Haji Mina Medan dan RS Grand Medistra Lubuk Pakam yang memenuhi kriteria inklusi pada bulan Februari 2016 sampai dengan sampel terpenuhi. Kriteria inklusi: a. Penderita rinosinusitis kronis dimana sinus yang terlibat minimal sinus maksila atau sinus etmoid yang menjalani tindakan bedah sinus endoskopi fungsional. b. Pada penderita rinosinusitis kronis bilateral sampel diambil dari sisi sinus yang paling banyak terinfeksi. c. Bersedia diikutsertakan dalam penelitian dan menandatangani formulir persetujuan mengikuti penelitian. Kriteria eksklusi a. Mukosa yang tidak adekuat untuk analisis b. Swab yang tidak adekuat untuk analisis Besar sampel Besar sampel dihitung dengan menggunakan rumus: Zα po (1-po) + Zβ pa (1-pa) n = eterangan: pa - po 2

3 34 Keteragan: n = Jumlah sampel minimal yang diperlukan Zα = Kesalahan tipe 1 = 1,96 po = Proporsi kultur bakteri (+) pada populasi yang tidak beresiko atau dengan biofilm (-) = 79% = 0,79 (Foreman, et al., 2009) Zβ = Kesalahan tipe 2 = 0,842 pa = propprsi kultur bakteri (+) pada penderita dengan biofilm (+) pa-po = 20% = 0,20 pa-0,79 = 0,20 pa = 0,99 n = 1,96 0,79x0,21 + 0,842 0,99x0,01 2 0,2 n = 19,45 = 20 Besar sampel minimal yang dibutuhkan adalah Teknik pengambilan sampel Pengambilan sampel penelitian adalah secara non probability consecutive sampling yaitu setiap pasien yang memenuhi kriteria penelitian dimasukkan ke dalam penelitian sampai kurun waktu tertentu hingga jumlah sampel yang diperlukan terpenuhi (Sastroasmoro, 1995).

4 Variabel Penelitian Variabel independent: biofilm. Variabel dependent: kultur bakteri. 3.5 Definisi Operasional Rinosinusitis kronis adalah inflamasi pada mukosa hidung dan sinus paranasal selama lebih dari 12 minggu (Fokkens, et al., 2012) Bedah sinus endoskopik fungsional adalah teknik bedah minimal invasif dimana sel-sel udara pada sinus dan ostiumnya dibuka dengan cara tampak langsung (Slack dan Bates, 1998) Polip adalah pembengkakan mukosa yang berbentuk seperti anggur, lembut, licin dan mobile (Schlosser dan Woodworth, 2009) Biofilm adalah komunitas mikroba dalam bentuk sesil yang ditandai dengan sel-sel yang secara ireversibel melekat pada substratum atau satu sama lainnya (Donlan dan Costerton, 2002; Foreman, at al., 2009; Hassan, et al., 2011). Ada beberapa teknik pemeriksaan biofilm, salah satu diantaranya adalah pemeriksaan dengan pewarnaan hematoxylin eosin (Mathur, et al., 2006; Taj, et al., 2012). Pemeriksaan biofilm dengan pewarnaan hematoxylin eosin memerlukan alat-alat sebagai berikut: a. 1 set alat untuk pemeriksaan dengan pewarnaan hematoxylin eosin b. Mikroskop cahaya Olympus Cx19 (Germany) Pemeriksaan biofilm dengan pewarnaan hematoxylin eosin memerlukan bahan-bahan sebagai berikut: a. Xylene

5 36 b. Ethanol 70%, 80%, 95%, 96%, 100% c. Hematoxylin eosin d. Air suling e. Asam hidroklorida 0,1% Pemeriksaan biofilm dilakukan pada jaringan mukosa sinus maksila dan atau sinus etmoid Kultur bakteri adalah suatu pemeriksaan menanam dan melakukan isolasi bakteri pada media perbenihan dari spesimen untuk mengetahui spesies bakteri (Iswara, 1987). Alat yang diperlukan: a. 1 set alat untuk pemeriksaan kultur bakteri b. 1 set alat untuk pewarnaan gram c. Inkubator bakteriologis d. mikroskop Bahan yang diperlukan: a. Transport swabs (Oxoid) b. Agar darah c. Agar Mac Conkey d. Zat warna ungu kristal e. Air keran f. Larutan lugol g. Alkohol 96% h. Fuchsin-air (safranin) Pemeriksaan kultur bakteri dilakukan pada swab meatus media Uji kepekaan antibiotik adalah suatu pemeriksaan untuk mengetahui apakah bakteri peka (susceptible), kurang peka (intermediate) atau tidak peka (resistant) terhadap suatu antibiotik (Iswara, 1987).

6 37 Alat yang diperlukan: a. 1 set alat untuk pemeriksaan uji kepekaan antibiotik b. Penggaris Bahan yang diperlukan: a. Agar Muller Hinton b. Cakram antibiotik 3.6 Alat Ukur Alat Lampu kepala merk Ryne dan alat THT rutin merk Renz Alat penghisap sekret (suction) merk Thomas Medipump tipe 1132 GL 1 set alat endoskopi 1 set alat untuk pemeriksaan dengan pewarnaan hematoxylin eosin Mikroskop cahaya Olympus Cx19 (Germany) 1 set alat untuk pemeriksaan kultur bakteri 1 set alat untuk pewarnaan gram Inkubator bakteriologis 1 set alat untuk pemeriksaan uji kepekaan antibiotik Penggaris Formulir persetujuan ikut penelitian Catatan medis penderita dan status penelitian penderita Bahan Formalin 4% Xylene Ethanol 70%, 80%, 95%, 96%, 100% Hematoxylin eosin Air suling Asam hidroklorida 0,1%

7 38 Transport swabs (Oxoid) Agar darah Agar Mac Conkey Zat warna ungu kristal Air keran Larutan lugol Alkohol 96% Fuchsin-air (safranin) agar Muller Hinton Cakram antibiotik Cara kerja Semua subyek penelitian yang telah memenuhi kriteria inklusi durante operasi diambil swab pada meatus medianya menggunakan transport swab dan jaringan mukosa sinus maksila dan atau sinus etmoid diambil menggunakan forcep yang kemudian difiksasi dalam formalin 4% selama 48 jam. Bahan swab diproses 2-4 jam setelah sampel diambil untuk kultur bakteri. Dan dilakukan uji kepekaan antibiotik pada semua bakteri yang terisolasi. Jaringan mukosa sinus maksila dan atau etmoid kemudian diwarnai dengan hematoxylin eosin dengan menggunakan prosedur patologi standar. Pemeriksaan dengan pewarnaan hematoxylin eosin dilakukan dengan cara: potongan mukosa dideparafinisasi dalam xylene (2x5 menit) dan direhidrasi secara berturut-turut selama 1 menit dicuci dengan ethanol 100%, 96%, 80%, dan 70%. Kemudian diwarnai dengan hematoxylin selama 2 menit, dicuci dengan air suling, dicuci dengan asam hidroklorida 0,1% dalam 50% ethanol, dicuci dengan air keran selama 15 menit, diwarnai dengan eosin selama 1 menit, dan dicuci lagi dengan air suling. Slide-nya kemudian didehidrasi dengan ethanol 95% dan 100% secara berurutan diikuti

8 39 dengan xylene (2x5 menit) dan ditutup dengan coverslip. Kemudian slide dianalisa dengan mikroskop cahaya Olympus Cx19 (Germany) dengan pembesaran 20x dan 40x. Hasil pemeriksaan pemeriksaan dengan pewarnaan hematoxylin eosin: dengan pewarnaan hematoxylin eosin rutin biofilm tampak sebagai bentuk yang ireguler dari kelompok bakteri basofilik kecil, substansi ekstrapolimer, dan sisa eritrosit dan leukosit yang terperangkap pada permukaan epitel. Sampel diklasifikasikan menjadi, biofilm positif bila terdapat keterlibatan permukaan mukosa yang dianalisa dan biofilm negatif bila tidak ada keterlibatan permukaan mukosa yang dianalisa. Gambar 3.1. Pewarnaan hematoxylin eosin, kiri: tampak epitel respiratori bersilia yang normal, kanan: tampak kelompok bakteri basofilik kecil pada permukaan epitel (Hochstim, et al., 2010) Pemeriksaan kultur bakteri dilakukan dengan cara: swab yang diambil dari meatus media kemudian diinokulasi pada agar darah dan agar Mac Conkey. Lalu diinkubasi pada 37 o C selama 24 jam dalam inkubator bakteriologis. Setelah itu lempeng agar diperiksa apakah ada pertumbuhan koloni bakteri. Selanjutnya dilakukan

9 40 pewarnaan gram pada bakteri yang tumbuh untuk melihat morfologinya. Setelah bakteri difiksasi pada gelas objek kemudian dituangkan zat warna ungu kristal di atas sediaan selama 1-5 menit. Lalu sediaan dicuci dengan air keran selama 5-10 detik, kemudian digenangi dengan larutan lugol selama 1 menit, setelah itu dicuci kembali dengan air keran (5-10 detik). Selanjutnya sediaan dicelup dan digoyang dalam bak berisi alkohol 96% selama 30 detik. Sediaan dicuci dengan air keran kembali. Lalu digenangi dengan fuchsin-air (safranin) selama 1-2 menit, dan dicuci kembali dengan air keran, lalu keringkan di udara. Setelah kering, sediaan dilihat di bawah mikroskop dengan pembesaran 1000x. Pemeriksaan uji kepekaan antibiotik kemudian dilakukan pada semua bakteri yang terisolasi dengan menggunakan metode difusi lempeng Kirby Bauer pada agar Muller Hinton menggunakan lempeng antibiotik Hi media. Cakram antibiotik diletakkan pada permukaan lempeng agar dengan bantuan pinset steril dan ditekan sedikit agar melekat dengan baik, lalu dieramkan pada suhu 37 o C selama jam. Kemudian daerah hambatan di sekitar cakram antibiotik yang tidak ditumbuhi oleh koloni bakteri diukur diameternya dalam milimeter dengan penggaris lalu disesuaikan dengan tabel modified Kirby Bauer method. 3.7 Teknik Pengumpulan Data Data primer diambil dari lembar pemeriksaan dan hasil pemeriksaan terhadap subyek penelitian di Departemen Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok Bedah Kepala Leher RS Haji Adam Malik Medan, RS Haji Mina Medan dan RS Grand Medistra Lubuk Pakam. Data mengenai biofilm bakteri diperoleh dari hasil pemeriksaan dengan pewarnaan hematoxylin eosin terhadap jaringan dari sinus maksila dan

10 41 atau sinus etmoid di Departemen Patologi Anatomi Fakultas Kedokteran. Dan data mengenai hasil kultur bakteri dan uji kepekaan antibiotik diperoleh dari pemeriksaan yang dilakukan di Departemen Mikrobiologi Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara. 3.8 Analisis Data Analisis data dalam penelitian ini menggunakan program Statistical Packet for The Social and Science (SPSS) kemudian disajikan dalam bentuk tabel dan diagram. Analisis univariat untuk data deskriptif. Analisis bivariat digunakan untuk melihat hubungan antar variabel. Variabel katagorik menggunakan uji Chi Square pada taraf kepercayaan 95% dan variabel numerik menggnakan uji T Independent bila data berdistribusi normal, bila tidak normal digunakan uji Mann Whitney. Uji normalitas menggunakan uji Shapiro Willk. 3.9 Hipotesa Statistik H1 : terdapat hubungan antara ekspresi biofilm bakteri dengan kultur bakteri.

11 Kerangka Kerja Pasien rinosinusitis kronis yang menjalani tindakan bedah sinus endoskopi fungsional Mukosa sinus maksila dan atau sinus etmoid diambil menggunakan forcep Swab dari meatus media Sampel dilakukan pemeriksaan patologi anatomi dengan pewarnaan hematoxylin eosin Sampel dilakukan pemeriksaan kultur bakteri Biofilm Spesies bakteri Uji kepekaan antibiotik Antibiotik yang sensitif Pengumpulan dan analisa data

12 Jadwal Penelitian NO Jenis Kegiatan 1. Persiapan proposal 2. Presentasi proposal 3. Pengumpulan data 4. Pengolahan data dan pembuatan laporan 5. Laporan hasil Waktu I II III IV V

13 32 BAB IV HASIL PENELITIAN Penelitian diikuti oleh sebanyak 32 orang pasien rinosinusitis kronik yang telah memenuhi krinteria inklusi. Pasien dengan jenis kelamin lakilaki berjumlah 18 orang (56,3%), dengan rerata usia 37,44 tahun. subyek dengan kebiasaan merokok terdapat sebanyak 9 orang (28,1%). Keluhan pasien terbanyak adalah hidung tersumbat sebanyak 30 orang (93,8%), diikuti keluhan sekret hidung (75%), nyeri wajah (68,8%) dan gangguan penciuman (53,1%). Hasil pemeriksaan bakteri menunjukkan dari 32 sampel, semuanya dijumpai kultur bakteri positif (100%), dimana 21 sampel diantaranya dengan biofilm positif (65,6%) Tabel 4.1 Karakteristik Subyek Penelitian Karakteristik Subyek n = 32 Jenis Kelamin, n (%) Laki-laki 18 (56,3) Perempuan 14 (43,8) Usia, rerata (SB), tahun 37,44 (15,63) Merokok, n (%) Ya 9 (28,1) Tidak 23 (71,9) Keluhan, n (%) Hidung tersumbat 30 (93,8) Sekret hidung 24 (75) Nyeri wajah 22 (68,8) Gangguan penciuman 17 (53,1) Polip 11 (34,4) Hasil Kultur Bakteri, n (%) Gram Positif 21 (65,6) Gram Negatif 11 (34,4) 44

14 33 Tabel 4.2 Perbedaan Keberadaan Bakteri berdasarkan Karakteristik Demografi Bakteri Karakteristik Demografi Gram (+) Gram (-) p* n = 21 n = 11 Jenis Kelamin, n (%) Laki-laki 12 (66,7) 6 (33,3) 1,000 a Perempuan 9 (64,3) 5 (35,7) Usia, rerata (SB), tahun 37,76 (15,99) 36,82 (15,66) 0,874 b Merokok, n (%) Ya 5 (55,6) 4 (44,4) 0,681 a Tidak 16 (69,6) 7 (30,4) Lama Gejala, rerata (SB), bulan 35,14 (40) 15,55 (11,35) 0,433 c a Fisher s Exact, b T Test, c Mann Whitney Tabel 4.2 menyajikan perbedaan hasil pemeriksan bakteri berdasarkan karakterisik demografi subyek yaitu jenis kelamin, usia, kebiasaan merokok dan lama gejala keluhan rinosinusitis. Tidak ditemukan perbedaan yang signifikan hasil pemeriksaan bakteri berdasarkan karakteristik demografi (p>0,05).

15 34 Tabel 4.3 Perbedaan Keberadaan Bakteri berdasarkan Gejala/Keluhan Rinosinusitis Kronis Bakteri Gejala/Keluhan Gram (+) Gram (-) p* n = 21 n = 11 Hidung tersumbat, n (%) Ada 20 (66,7) 10 (33,3) 1,000 a Tidak ada 1 (50) 1 (50) Sekret hidung, n (%) Ada 16 (66,7) 8 (33,7) 1,000 a Tidak ada 5 (62,5) 3 (37,5) Nyeri wajah, n (%) Ada 14 (63,6) 8 (36,4) 1,000 a Tidak ada 7 (70) 3 (30) Gangguan Penciuman, n (%) Ada 11 (64,7) 6 (35,3) 0,907 b Tidak ada 10 (66,7) 5 (33,3) Polip, n (%) Ada 6 (54,5) 5 (45,5) 0,442 a Tidak ada 15 (71,4) 6 (28,6) a Chi Square, b Fisher s Exact Tabel 4.3 menyajikan perbedaan hasil pemeriksan bakteri berdasarkan karakterisik demografi subyek berdasarkan gejala/keluhan rhinosinusitis kronis. Hasil analisis juga menunjukkan bahwa tidak ditemukan perbedaan hasil pemeriksaan bakteri yang signifikan berdasarkan gejala/keluhan rinosinusitis kronis (p>0,05).

16 35 Tabel 4.4 Hubungan Biofilm dan Keberadaan Bakteri Biofilm Positif Kultur Bakteri Negatif Positif 21 - Negatif 11 - Tabel 4.4 menyajikan hubungan biofilm dan keberadaan bakteri dimana dari semua sampel baik biofilm positif maupun biofilm negatif hasil kultur bakterinya positif. Tabel 4.5 Hubungan Biofilm dengan Keberadaan Bakteri Gram Positif dan Gram Negatif Bakteri Biofilm Gram (+) Gram (-) p* n = 21 n = 11 Positif 15 (71,4) 6 (28,6) 0,442 Negatif 6 (54,5) 5 (45,5) *Fisher s Exact Hasil studi menunjukkan dari 21 orang subyek dengan biofilm positif terdapat 15 orang (71,4%) ditemukan bakteri gram positif, dan dari 11 subyek dengan biofilm negatif ditemukan 6 orang (54,5%) bakteri gram positif. Hasil analisis menggunakan uji fisher s exact ditemukan tidak terdapat hubungan yang signifikan antara hasil biofilm positif dengan hasil pemeriksaan bakteri (p=0,442, p>0,05).

17 36 Tabel 4.6 Distribusi Isolasi Bakteri Gram Positif Organisme Jumlah Persentase n = 21 Staphylococcus epidermidis 16 76,19 Staphylococcus aureus 5 23,81 Tabel 4.6 menyajikan distribusi bakteri gram positif dimana dari 21 sampel bakteri, Staphylococcus epidermidis merupakan bakteri gram positif yang paling banyak dijumpai (76,19%), diikuti oleh Staphylococcus aureus (23,81%). Tabel 4.7 Tes Sensitifitas Bakteri Gram Positif Antibiotik Sensitifitas (%) Amoxicillin - Clavulanat 90,48 Ciprofloxacin 90,48 Cefotaxime 85,71 Chloramfenicol 80,95 Gentamicin 76,19 Eritromicin 61,90 Tetrasiklin 61,90 Clindamicin 57,14 Amoxicillin 52,38 Ampicilin 28,57 Dari tabel 4.7 menunjukkan hasil tes sensitifitas pada bakteri gram positif, dimana Ciprofloxacin (90,48%) dan Amoxicilin-Clavulanat (90,48%)

18 37 merupakan antibiotik yang paling tinggi sensitifitasnya pada isolasi bakteri gram positif, diikuti oleh Cefotaxime (85,71%). Tabel 4.8 Distribusi Isolasi Bakteri Gram Negatif Organisme Jumlah Persentase n = 11 Escherichia coli 2 18,18 Acinetobacter baumannii 1 9,09 Klebsiella pneumonia 7 63,64 Pseudomonas aeruginosa 1 9,09 Tabel 4.8 menyajikan distribusi bakteri gram negatif dimana dari 11 sampel bakteri, Klebsiella pneumonia merupakan bakteri gram negatif yang paling banyak dijumpai (63,64%), diikuti oleh Escherichia coli (18,18%). Tabel 4.9 Tes Sensitifitas Bakteri Gram Negatif Antibiotik Sensitivitas (%) Ciprofloxacin 100 Imipenem 100 Cefoperazone 90,91 Ceftazidin 90,91 Tetrasiklin 72,73 Chlorampenicol 63,64 Cotrimoxazole 63,64 Gentamicin 63,64 Ampicilin 9,09

19 38 Dari tabel 4.9 menunjukkan hasil tes sensitifitas pada bakteri gram negatif, dimana Ciprofloxacin (100%) dan Imipenem (100%) merupakan antibiotik yang paling tinggi sensitifitasnya pada isolasi bakteri gram negatif, diikuti oleh Cefoperazone (90,91%) dan Ceftazidin (90,91%). Tabel 4.10 Distribusi Isolasi Bakteri Pada Sampel Biofilm Positif Organisme Jumlah Persentase n = 21 Bakteri Gram (+): - Staphylococcus epidermidis 12 57,14 - Staphylococcus Aureus 4 19,65 Bakteri Gram (-): - Acinetobacter baumannii 1 4,76 - Klebsiella pneumonia 3 14,29 - Pseudomonas aeruginosa 1 4,76 Tabel 4.10 menyajikan distribusi bakteri pada sampel biofilm positif dimana dari 21 sampel, Staphylococcus epidermidis merupakan bakteri gram positif yang paling banyak dijumpai (57,14%), diikuti oleh Staphylococcus aureus (19,65%). Bakteri gram negatif yang paling banyak dijumpai adalah Klebsiella pneumonia (14,29%). Tabel 4.11 Distribusi Isolasi Bakteri Pada Sampel Biofilm Negatif Organisme Jumlah Persentase n = 11 Bakteri Gram (+): - Staphylococcus epidermidis 4 36,36 - Staphylococcus Aureus 1 9,09 Bakteri Gram (-): 2 18,18 - Escherichia coli - Klebsiella pneumonia 4 36,36

20 39 Tabel 4.11 menyajikan distribusi bakteri pada sampel biofilm negatif dimana dari 11 sampel bakteri, Staphylococcus epidermidis dan Klebsiela pneumonia merupakan bakteri yang paling banyak dijumpai (36,36%). Tabel 4.12 Tes Sensitifitas Bakteri Pada Sampel Biofilm Positif dan Biofilm Negatif Sensitifitas (%) Jenis Antibiotik Biofilm (+) Biofilm (-) Gram (+) Gram (-) Gram (+) Gram (-) Ciprofloxacin 86, Imipenem Amoxicilin - Clavulanat 86, Cefotaxime Cefoperazone Ceftazidin Chloramfenicol 86,67 66,67 66,67 60 Gentamicin 73,33 66,67 83,33 60 Tetrasiklin 66,67 83, Clindamicin Eritromicin 53,30-83,33 - Amoxicillin 40-83,33 - Cotrimoxazole Ampicilin 20 16, Dari tabel 4.12 menunjukkan hasil tes sensitifitas pada bakteri gram positif, sampel biofilm positif dimana Ciprofloxacin, Chlorampenicol, dan Imipenem merupakan antibiotik yang paling tinggi sensitifitasnya pada isolasi bakteri gram positif (86,67%), diikuti oleh Cefotaxime (80%). Hasil tes sensitifitas pada bakteri gram negatif sampel biofilm positif dimana

21 40 Ciprofloxacin, Cefoperazone, Ceftazidin, dan Imipenem merupakan antibiotik yang paling tinggi sensitifitasnya pada isolasi bakteri gram negatif (100%), diikuti oleh Tetrasiklin (83,33%). Hasil tes sensitifitas pada bakteri gram positif sampel biofilm negatif dimana Ciprofloxacin, Amoxicillin-Clavulanat, Cefotaxim dan Clindamicin merupakan antibiotik yang paling tinggi sensitifitasnya pada isolasi bakteri gram positif (100%), diikuti oleh Gentamicin, Amoxicilin dan Eritromicin yaitu 83,33%. Hasil tes sensitifitas pada bakteri gram negatif, sampel biofilm negatif dimana Ciprofloxacin, Ampicilin dan Imipenem merupakan antibiotik yang paling tinggi sensitifitasnya pada isolasi bakteri gram negatif (100%), diikuti oleh Cotrimoxazole, Cefoperazone dan Ceftazidin yaitu 80%.

22 32 BAB V PEMBAHASAN Rinosinusitis kronis merupakan salah satu penyakit kronis yang paling sering dijumpai, mempengaruhi 4-28 % populasi di Eropa dan Amerika Serikat. Penyakit ini secara signifikan menurunkan kualitas hidup penderitanya dan merupakan masalah sosioekonomi dalam masyarakat. Pasien dengan rinosinusitis berulang atau kronis dilaporkan mengalami penurunan kesehatan secara umum dan vitalitas jika dibandingkan dengan populasi umum (Dlugaszewska, et al., 2015). Rinosinusitis kronis memiliki banyak penyebab yang terdiri dari infeksi (virus, bakteri dan jamur), anatomi, alergi, disfungsi mukosilier kongenital (misalnya fibrosis kistik, diskinesia siliari primer atau didapat) dan gangguan sistemik. Adanya bakteri di dalam hidung dan sinus paranasal pada populasi rinosinusitis kronis telah dapat dibuktikan, dan kebanyakan praktisi percaya bahwa bakteri memiliki peranan pada sebagian besar kasus. Apakah bakteri memiliki peranan secara langsung atau tidak langsung dalam perkembangan rinosinusitis kronis belum dapat ditentukan secara pasti (Schlosser dan Woodworth, 2009). Berdasarkan publikasi oleh National Institutes of Health, lebih dari 80% dari semua infeksi melibatkan biofilm. Biofilm berhubungan dengan banyak kondisi medis termasuk diantaranya alat-alat medis yang terpasang lama, plak gigi, infeksi saluran pernapasan atas, peritonitis, dan infeksi urogenital. Baik bakteri gram positif maupun gram negatif memiliki kemampuan untuk membentuk biofilm (Donlan, 2001; Hassan, et al., 2011; Reid, 1999). 53

23 33 Pada kasus sinusitis dengan episode berulang, koloni dari berbagai macam mikroba cenderung terbentuk pada sinus. Oleh karena itu, saat ini diduga bahwa biofilm bakteri sebagai salah satu faktor etiopatologi yang memiliki peranan dalam terjadinya rinosinusitis kronis (Dlugaszewska, et al., 2015). Deteksi biofilm pada pasien rinosinusitis kronis yang menjalani FESS sangatlah penting karena sangat berhubungan dengan kegagalan terapi dan gejala yang menetap (prognosis) dan terapi yang akan diberikan (Hong, et al., 2014). Saat ini baku emas untuk mengidentifikasi adanya biofilm adalah confocal scanning laser microscopy yang digunakan bersamaan dengan fluorescent in-situ hybridization (FISH) (Keir, Pedelty dan Swift, 2011). Sangat disayangkan confocal scanning laser microscopy merupakan peralatan yang tidak murah dan tidak tersedia luas. Namun dikarenakan terdapat peningkatan bukti bahwa biofilm berperan penting dalam banyak penyakit kronis, maka penting untuk mengidentifikasi metode yang lebih mudah dan lebih murah untuk meneliti biofilm pada sampel klinis. Ketersediaan pewarnaan hematoxylin-eosin yang luas dalam laboratorium patologi klinik membuatnya menjadi metode yang sangat praktis untuk mendeteksi biofilm dalam praktek klinis (Hochstim, et al., 2010; Natili dan Leipzig, 2014). Pewarnaan hematoxylin-eosin dapat menginvestigasi lapisan jaringan dan arsitektur mikroskopisnya. Identifikasi mikrobiologi dari agen infeksi berbeda yang terlibat dalam formasi biofilm memerlukan pemeriksaan kultur bakteri. Biofilm sangat penting untuk dideteksi karena berhubungan erat dengan kegagalan terapi dan gejala yang menetap (Toth, et al., 2011). Penatalaksanaan pasien dengan rinosinusitis kronis merupakan suatu tantangan bagi dokter spesialis telinga hidung tenggorok, karena banyaknya faktor yang terlibat dalam patofisiologi dari penyakit ini. Faktor lingkungan termasuk berbagai macam mikroorganisme dan interaksi dengan pejamu

24 34 bertanggung jawab terhadap gejala dari rinosinusitis kronis. Adanya biofilm pada pasien dengan rinosinusitis kronis bertanggung jawab terhadap hasil yang buruk setelah terapi bedah dengan FESS (Dlugaszewska, et al., 2015). Mikroorganisme memiliki peranan penting dalam menyebabkan rinosinusitis kronis, sehingga agen antimikroba merupakan terapi primer. Namun anbtimikroba yang diberikan adalah secara empiris tidak berdasarkan pada hasil isolasi dan sensitifitas mikroorganisme, sehingga dapat menyebabkan terjadinya peningkatan insiden resistensi pada beberapa mikroorganisme dan membuat penanganan dari infeksi ini menjadi lebih rumit. Data mikrobiologi yang terperinci sangat diperlukan dalam memandu penatalalaksanaan sinusitis kronis (Udayasri dan Radhakumari, 2016). Pasien dengan rinosinusitis kronis mengkonsumsi antibiotik dalam jangka waktu lama, hal ini dapat menyebabkan terjadinya resistensi. Bersamaan dengan pasien yang tidak patuh terhadap pengobatan, penggunaan obat yang tidak efisien, konsumsi obat dengan dosis yang salah, dan penggunaan antibiotik yang tidak bijaksana, semuanya berkontribusi terhadap rendahnya sensitifitas mikroorganisme terhadap antibiotik (Araujo, et al., 2007). Berdasarkan karakteristik subyek penelitian sebanyak 32 pasien, didapati pada pasien rinosinusitis kronis jumlah penderita dengan jenis kelamin laki-laki lebih banyak dibandingkan perempuan dengan rasio 1,29:1. Penelitian oleh Boase dkk yang melibatkan 38 penderita rinosinusitis kronis juga mendapati jumlah laki-laki lebih tinggi dibandingkan perempuan dengan rasio 1,37:1. Rasio yang lebih tinggi didapati pada penelitian oleh Foreman dkk dengan jumlah sampel 50 pasien dengan rasio 1,5:1. Dan penelitian oleh You dkk dengan jumlah sampel 90 pasien mendapati rasio laki-laki dan wanita sebesar 1,78:1.

25 35 Rata-rata umur subyek penelitian ini adalah 37 tahun. Studi oleh Udayasri dkk menyebutkan bahwa insiden rinosinusitis kronis paling sering dijumpai pada kelompok umur tahun, sebanyak 65%. Studi oleh D. Shrestha dkk juga melaporkan bahwa insiden rinosinusitis kronis terbanyak didapati pada kelompok umur tahun, sebanyak 68%. Biofilm positif pada penelitian ini dijumpai pada 21 dari 32 sampel pasien (65,6%). Hampir sama dengan yang didapati oleh Hochstim dkk dalam penelitiannya yang mendapatkan insiden biofilm positif sebanyak 62% yaitu 15 orang dari 24 sampel. Hong dkk dalam penelitiannya mendeteksi biofilm pada 28 pasien dari 55 sampel (50,9%) lebih kecil bila dibandingakan dengan penelitian ini. Berbeda dengan Hochstim dkk dan Hong dkk, beberapa penelitian berikut ini memperoleh hasil yang lebih tinggi, penelitian yang dilakukan oleh You dkk dengan jumlah sampel 90 orang menjumpai insiden biofilm positif sebesar 71,1%. Penelitian yang dilakukan oleh Foreman dkk pada 50 orang penderita rinosinusitis kronis mendapati insiden biofilm positif sebesar 72%, angka yang relatif sama dengan You dkk. Insiden biofilm yang lebih tinggi dilaporkan oleh Sanclement dkk yang melibatkan 30 orang, sebesar 80%, dan penelitian oleh Zhang dkk sebesar 83,3%. Peran biofilm sebagai etiologi patologis utama pada rinosinusitis kronis dapat membantu menjelaskan manifestasi klinis dari penyakit. Sekali biofilm terbentuk, dapat menyebabkan resisten terhadap pertahanan tubuh host dan terapi eksternal dikarenakan antigen yang terus-menerus ada dan perkembangan proses inflamasi kronis (Harvey dan Lund, 2007; Keir, Pedelty dan Swift, 2011). Lebih lanjut lagi, adanya biofilm telah dihubungkan dengan sinusitis yang gejala klinisnya lebih buruk (Bendouah, et al., 2006; Foreman, et al., 2009). Temuan ini direplikasikan pada studi baru-baru ini dimana dijumpai pasien rinosinusitis kronis dengan biofilm positif memiliki skor gejala

26 36 klinis yang lebih buruk secara signifikan dibandingkan dengan yang nonbiofilm (Foreman, et al., 2009). Gejala yang paling sering dijumpai pada penderita rinosinusitis kronis pada penelitian ini adalah hidung tersumbat (93,8%), diikuti oleh sekret hidung (75%), nyeri wajah (68,8%), dan penciuman berkurang (53,1%). Penemuan ini sesuai dengan penelitian dari You dkk yang juga menjumpai keluhan hidung tersumbat (98,9%) sebagai keluhan terbanyak, diikuti dengan sekret hidung (96,7%), penciuman berkurang (53,3%), nyeri wajah (50%). Hal yang berbeda didapati oleh Udayasri dkk yang mendapati bahwa keluhan sekret hidung (95,2%) adalah keluhan yang paling sering didapati, diikuti oleh hidung tersumbat (94,4%), nyeri wajah (56%), dan penciuman berkurang (6,4%). Penelitian oleh D. Shrestha dkk juga melaporkan bahwa sekret hidung (90%) adalah keluhan terbanyak, diikuti oleh hidung tersumbat (88%). Nasal polip pada penelitian ini dijumpai pada 11 dari 32 orang (34,4%). Angka yang tidak jauh berbeda dengan penelitian oleh Udayasri dkk sebesar 32% dan penelitian oleh Goel dkk sebesar 32,5%. Hasil pemeriksaan bakteri pada penelitian ini menunjukkan dari 32 sampel, semuanya dijumpai kultur bakteri positif (100%), dimana 21 sampel diantaranya dengan biofilm positif (65,6%). Walaupun semua sampel kultur bakterinya positif namun tidak semua bakteri dalam bentuk biofilm tetapi ada juga yang dalam bentuk planktonis (bakteri yang bebas bergerak). Disamping itu, bukan hanya bakteri yang dapat membentuk biofilm tetapi patogen jamur juga mampu memproduksi biofilm (Costerton, et al., 2003; Keir, Pedelty dan Swift, 2011; Sanglard, 2002). Bakteri gram positif yang terbanyak dijumpai pada penelitian ini adalah Staphylococcus epidermidis sebanyak 76,19% diikuti oleh Staphylococcus aureus 23,81%. Udayasri dkk pada penelitiannya mendapatkan

27 37 Staphylococcus aureus yang terbanyak yaitu 43,92% diikuti oleh Staphylococcus coagulase negatif 24,29%. Araujo dkk memperoleh Staphylococcus aureus sebagai bakteri gram positif terbanyak 31%, diikuti oleh Staphylococcus coagulase negatif 23% dan Streptococcus pneumonia 13%. Foreman dkk melaporkan Staphylococcus aureus sebagai bakteri terbanyak yaitu 40%. Kamath dkk juga mendapatkan Staphylococcus aureus yang terbanyak yaitu 43%. Diantara bakteri gram negatif yang terbanyak dijumpai pada penelitian ini adalah Klebsiella pneumonia sebanyak 63,64%. Sama dengan yang didapatkan oleh Udayasri dkk dimana Klebsiella species juga merupakan bakteri gram negatif terbanyak, dijumpai sebanyak 11,21%. Kamath dkk juga mendapatkan Klebsiella species sebagai bakteri gram negatif terbanyak (9%). Bakteri gram negatif lain yang dijumpai pada penelitian ini adalah Escherichia coli (18,18%), Pseudomonas aeruginosa (9,09%) dan Acinetobacter baumannii (9,09%). Udayasri dkk juga menemukan Escherichia coli dalam penelitiannya sebanyak 7,47%. Berdasarkan publikasi oleh National Institutes of Health, baik bakteri gram-positif maupun gram-negatif memiliki kemampuan untuk membentuk biofilm. Bakteri yang sering terlibat termasuk diantaranya Enterococcus faecalis, Staphylococcus aureus, Staphylococcus epidermidis, Streptococcus viridans, Escherichia coli, Klebsiella pneumoniae, Proteus mirabilis dan Pseudomonas aeruginosa (Donlan, 2001; Hassan, et al., 2011; Reid, 1999). Perbedaan profil organisme antar studi menggambarkan variasi daerah, pola penggunaan antimikroba, perbedaan metodologi, atau gambaran keparahan penyakit (Boase, et al., 2013). Pada penelitian ini didapatkan bakteri gram positif sensitif terhadap Ciprofloxacin dan Amoxicillin-Clavulanat yaitu sebanyak 90,48%, diikuti oleh Cefotaxim 85,71%, Chloramfenicol 80,95%, dan Gentamicin 76,19%. Hampir

28 38 sama dengan yang diperoleh oleh Udayasri dkk yang mendapatkan semua bakteri gram positif sensitif terhadap Vancomycin (100%), diikuti oleh Ciprofloxacin (90%), Clindamycin (90%) dan Gentamicin (60%). Semua bakteri gram negatif pada penelitian ini sensitif terhadap Imipenem dan Ciprofloxacin (100%), diikuti oleh Ceftazidin dan Cefoperazone sebanyak 90.91%. Udayasri dkk, M. Hashemi dkk dan Jee dkk juga mendapatkan semua bakteri gram negatif sensitif terhadap Imipenem (100%). Pada sampel dengan biofilm positif bakteri yang paling banyak dijumpai adalah Staphylococcus epidermidis (57,14%), diikuti oleh Staphylococcus aureus (19,65%). Temuan ini tidak mengejutkan karena bakteri gram positif adalah penyebab terbanyak dari sampel biofilm positif sebesar 71,43%. Dari hasil tes isolasi bakteri pada sampel dengan biofilm positif, hasil sensitifitas antibiotik tidak jauh berbeda dengan hasil keseluruhan. Ciprofloxacin tetap menjadi antibiotik yang paling tinggi tingkat sensitifitas nya baik pada bakteri gram positif (86,67%) maupun bakteri gram negatif (100%).

29 39 BAB VI KESIMPULAN DAN SARAN 6.1 Kesimpulan Tidak terdapat hubungan yang signifikan antara ekspresi biofilm bakteri dengan kultur bakteri Bakteri yang terbanyak menyebabkan rinosinusitis kronis adalah bakteri gram positif, dimana Staphylococcus epirdermidis menjadi bakteri penyebab yang tertinggi Pada pasien dengan biofilm positif, Staphylococcus epidermidis juga menjadi bakteri penyebab yang utama Ciprofloxacin merupakan antibiotik dengan tingkat sensitifitas tertinggi pada penderita rinosinusitis kronis, baik pada bakteri gram positif maupun gram negatif Pada penderita dengan biofilm positif, Ciprofloxacin juga menjadi antibiotik dengan tingkat sensitifitas tertinggi baik pada bakteri gram positif maupun gram negatif. 60

30 Saran Sebaiknya pasien rinosinusitis kronis yang menjalani tindakan bedah sinus endoskopi fungsional dilakukan kultur bakteri dan uji sensitifitas agar penatalaksanaan pasien dengan rinosinusitis kronis dapat optimal Antibiotik Ciprofloxacin dapat menjadi terapi antibiotik empiris pada pasien dengan rinosinusitis kronis.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 6 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Rinosinusitis Kronis 2.1.1 Definisi Rinosinusitis kronis merupakan salah satu penyakit kronis yang paling sering dijumpai, mempengaruhi 4-28 % populasi di Eropa dan Amerika

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Rinosinusitis kronis (RSK) adalah penyakit inflamasi mukosa hidung dan sinus paranasal yang berlangsung lebih dari 12 minggu. Pengobatan RSK sering belum bisa optimal

Lebih terperinci

BAB IV METODE PENELITIAN. Ilmu Kesehatan Anak, dan Ilmu Kesehatan Masyarakat.

BAB IV METODE PENELITIAN. Ilmu Kesehatan Anak, dan Ilmu Kesehatan Masyarakat. BAB IV METODE PENELITIAN 4.1 Ruang lingkup penelitian Disiplin ilmu yang terkait dalam penelitian ini adalah Ilmu Mikrobiologi, Ilmu Kesehatan Anak, dan Ilmu Kesehatan Masyarakat. 4.2 Tempat dan waktu

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. terjadi di Indonesia, termasuk dalam daftar jenis 10 penyakit. Departemen Kesehatan pada tahun 2005, penyakit sistem nafas

BAB 1 PENDAHULUAN. terjadi di Indonesia, termasuk dalam daftar jenis 10 penyakit. Departemen Kesehatan pada tahun 2005, penyakit sistem nafas BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Penyakit infeksi saluran nafas atas akut yang sering terjadi di Indonesia, termasuk dalam daftar jenis 10 penyakit terbanyak di rumah sakit. Menurut laporan

Lebih terperinci

25 Universitas Indonesia

25 Universitas Indonesia 3. METODOLOGI PENELITIAN 3.1. Desain Penelitian Penelitian ini menggunakan desain potong lintang (cross-sectional) untuk mengetahui pola resistensi bakteri terhadap kloramfenikol, trimethoprim/ sulfametoksazol,

Lebih terperinci

BAB 3 METODOLOGI PENELITIAN

BAB 3 METODOLOGI PENELITIAN BAB 3 METODOLOGI PENELITIAN 3.1. Desain Penelitian Desain penelitian dalam penelitian ini adalah desain cross-sectional (potong lintang) dengan menggunakan data sekunder, yaitu data hasil uji kepekaan

Lebih terperinci

Keywords : P. aeruginosa, gentamicin, biofilm, Chronic Supurative Otitis Media

Keywords : P. aeruginosa, gentamicin, biofilm, Chronic Supurative Otitis Media Keywords : P. aeruginosa, gentamicin, biofilm, Chronic Supurative Otitis Media xv BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Otitis media supuratif kronik (OMSK) adalah dampak dari episode otitis media akut

Lebih terperinci

BAB IV HASIL PENELITIAN. Penelitian eksperimental telah dilakukan pada penderita rinosinusitis

BAB IV HASIL PENELITIAN. Penelitian eksperimental telah dilakukan pada penderita rinosinusitis BAB IV HASIL PENELITIAN Penelitian eksperimental telah dilakukan pada penderita rinosinusitis kronik yang berobat di Poliklinik Ilmu Kesehatan THT-KL. Selama penelitian diambil sampel sebanyak 50 pasien

Lebih terperinci

3. METODOLOGI PENELITIAN

3. METODOLOGI PENELITIAN 3. METODOLOGI PENELITIAN 3.1. Desain Penelitian Desain penelitian dalam penelitian ini adalah desain cross-sectional (potong lintang) dengan menggunakan data sekunder, yaitu data hasil uji kepekaan bakteri

Lebih terperinci

BAB IV METODE PENELITIAN. 1. Pengambilan data berupa sampel swab nasofaring dan kuesioner diadakan di

BAB IV METODE PENELITIAN. 1. Pengambilan data berupa sampel swab nasofaring dan kuesioner diadakan di BAB IV METODE PENELITIAN 4.1 Ruang Lingkup Penelitian Disiplin ilmu yang terkait dalam penelitian ini adalah Ilmu Mikrobiologi, Ilmu Kesehatan Anak, Ilmu Kesehatan Masyarakat. 4.2 Tempat dan waktu penelitian

Lebih terperinci

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN. Penelitian eksperimental telah dilakukan pada penderita rinosinusitis

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN. Penelitian eksperimental telah dilakukan pada penderita rinosinusitis BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Hasil Penelitian Penelitian eksperimental telah dilakukan pada penderita rinosinusitis kronik yang berobat di Poliklinik Ilmu Kesehatan THT-KL RSUD Dr. Moewardi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. menggambarkan kolonisasi kuman penyebab infeksi dalam urin dan. ureter, kandung kemih dan uretra merupakan organ-organ yang

BAB I PENDAHULUAN. menggambarkan kolonisasi kuman penyebab infeksi dalam urin dan. ureter, kandung kemih dan uretra merupakan organ-organ yang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Infeksi saluran kemih (ISK) adalah istilah umum untuk menggambarkan kolonisasi kuman penyebab infeksi dalam urin dan pada struktur traktus urinarius. (1) Saluran

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. pakar yang dipublikasikan di European Position Paper on Rhinosinusitis and Nasal

BAB 1 PENDAHULUAN. pakar yang dipublikasikan di European Position Paper on Rhinosinusitis and Nasal BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sinusitis adalah peradangan pada salah satu atau lebih mukosa sinus paranasal. Sinusitis juga dapat disebut rinosinusitis, menurut hasil beberapa diskusi pakar yang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. berbagai sumber infeksi, seperti: gigi, mulut, tenggorok, sinus paranasal, telinga

BAB I PENDAHULUAN. berbagai sumber infeksi, seperti: gigi, mulut, tenggorok, sinus paranasal, telinga BAB I PENDAHULUAN A. Latar belakang Abses leher dalam adalah terkumpulnya nanah (pus) di dalam ruang potensial yang terletak di antara fasia leher dalam, sebagai akibat penjalaran dari berbagai sumber

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. jamur, dan parasit (Kemenkes RI, 2012; PDPI, 2014). Sedangkan infeksi yang

BAB 1 PENDAHULUAN. jamur, dan parasit (Kemenkes RI, 2012; PDPI, 2014). Sedangkan infeksi yang BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pneumonia merupakan penyakit infeksi saluran napas bawah akut pada parenkim paru. Pneumonia disebabkan oleh mikroorganisme seperti bakteri, virus, jamur, dan parasit

Lebih terperinci

Analisis Hayati KEPEKAAN TERHADAP ANTIBIOTIKA. Oleh : Dr. Harmita

Analisis Hayati KEPEKAAN TERHADAP ANTIBIOTIKA. Oleh : Dr. Harmita Analisis Hayati KEPEKAAN TERHADAP ANTIBIOTIKA Oleh : Dr. Harmita Pendahuluan Dewasa ini berbagai jenis antimikroba telah tersedia untuk mengobati penyakit yang disebabkan oleh mikroorganisme. Zat anti

Lebih terperinci

BAB III METODE DAN PENELITIAN. Penelitian ini dilaksanakan di Poliklinik THT-KL RSUD Dr. Moewardi

BAB III METODE DAN PENELITIAN. Penelitian ini dilaksanakan di Poliklinik THT-KL RSUD Dr. Moewardi BAB III METODE DAN PENELITIAN A. Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di Poliklinik THT-KL RSUD Dr. Moewardi Surakarta, Poliklinik THT-KL RSUD Karanganyar, Poliklinik THT-KL RSUD Boyolali.

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Ruang Lingkup Penelitian 3.1.1 Ruang Lingkup Ilmu Disiplin ilmu yang terkait dengan penelitian ini adalah Mikrobiologi dan Ilmu Kesehatan Anak. 3.1.2. Ruang Lingkup Lokasi

Lebih terperinci

BAB 3 KERANGKA PENELITIAN

BAB 3 KERANGKA PENELITIAN BAB 3 KERANGKA PENELITIAN 3.1 Kerangka Konseptual Dari hasil tinjauan kepustakaan serta kerangka teori tersebut serta masalah penelitian yang telah dirumuskan tersebut, maka dikembangkan suatu kerangka

Lebih terperinci

III. METODOLOGI PENELITIAN. Desain penelitian ini adalah penelitian eksperimental laboratorik dengan

III. METODOLOGI PENELITIAN. Desain penelitian ini adalah penelitian eksperimental laboratorik dengan III. METODOLOGI PENELITIAN 3. 1. Desain Penelitian Desain penelitian ini adalah penelitian eksperimental laboratorik dengan metode difusi Kirby-Bauer (Triatmodjo, 2008). Hasil penelitian diperoleh dengan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. endoskopis berupa polip atau sekret mukopurulen yang berasal dari meatus

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. endoskopis berupa polip atau sekret mukopurulen yang berasal dari meatus BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang kronik (RSK) merupakan inflamasi mukosa hidung dan sinus paranasal dengan jangka waktu gejala 12 minggu, ditandai oleh dua atau lebih gejala, salah satunya berupa hidung

Lebih terperinci

BAB IV METODOLOGI PENELITIAN. Penelitian ini meliputi bidang Mikrobiologi klinik dan infeksi.

BAB IV METODOLOGI PENELITIAN. Penelitian ini meliputi bidang Mikrobiologi klinik dan infeksi. BAB IV METODOLOGI PENELITIAN 4.1 Ruang Lingkup Penelitian Penelitian ini meliputi bidang Mikrobiologi klinik dan infeksi. 4.2 Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilakukan di RSUP Dr. Kariadi Semarang.Penelitian

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. hidung dan sinus paranasal ditandai dengan dua gejala atau lebih, salah

BAB I PENDAHULUAN. hidung dan sinus paranasal ditandai dengan dua gejala atau lebih, salah BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Menurut European Position Paper on Rhinosinusitis and Nasal Polyps (EPOS) 2012, rinosinusitis kronis didefinisikan sebagai suatu radang hidung dan sinus paranasal

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. Rinosinusitis kronis merupakan inflamasi kronis. pada mukosa hidung dan sinus paranasal yang berlangsung

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. Rinosinusitis kronis merupakan inflamasi kronis. pada mukosa hidung dan sinus paranasal yang berlangsung BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Rinosinusitis kronis merupakan inflamasi kronis pada mukosa hidung dan sinus paranasal yang berlangsung selama minimal 12 minggu berturut-turut. Rinosinusitis kronis

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Infeksi pada saluran napas merupakan penyakit yang umum terjadi pada

BAB I PENDAHULUAN. Infeksi pada saluran napas merupakan penyakit yang umum terjadi pada BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Infeksi pada saluran napas merupakan penyakit yang umum terjadi pada masyarakat. Infeksi saluran napas berdasarkan wilayah infeksinya terbagi menjadi infeksi saluran

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang ISK merupakan keadaan tumbuh dan berkembang biaknya kuman dalam saluran kemih meliputi infeksi di parenkim ginjal sampai infeksi di kandung kemih dengan jumlah bakteriuria

Lebih terperinci

BAB 4 METODE PENELITIAN. Divisi Infeksi dan Mikrobiologi Klinik. Penelitian ini dilakukan di PICU dan HCU RS Dr. Kariadi Semarang pada

BAB 4 METODE PENELITIAN. Divisi Infeksi dan Mikrobiologi Klinik. Penelitian ini dilakukan di PICU dan HCU RS Dr. Kariadi Semarang pada BAB 4 METODE PENELITIAN 4.1 Ruang Lingkup Penelitian Ruang lingkup penelitian ini adalah Ilmu Kesehatan Anak, khususnya Divisi Infeksi dan Mikrobiologi Klinik. 4.2 Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian

Lebih terperinci

BAB 4 HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB 4 HASIL DAN PEMBAHASAN BAB 4 HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Subjek Penelitian Dari data pasien infeksi saluran kemih (ISK) yang diperiksa di Laboratorium Mikrobiologi Klinik FKUI pada jangka waktu Januari 2001 hingga Desember 2005

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN. 3.1 Jenis dan Rancangan Penelitian Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif laboratorik dengan

III. METODE PENELITIAN. 3.1 Jenis dan Rancangan Penelitian Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif laboratorik dengan III. METODE PENELITIAN 3.1 Jenis dan Rancangan Penelitian Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif laboratorik dengan pendekatan cross sectional, menggunakan metode difusi dengan memakai media Agar

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Dasar diagnosis rinosinusitis kronik sesuai kriteria EPOS (European

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Dasar diagnosis rinosinusitis kronik sesuai kriteria EPOS (European BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Dasar diagnosis rinosinusitis kronik sesuai kriteria EPOS (European Position Paper on Rhinosinusitis and Nasal Polyposis) 2012 adalah inflamasi hidung dan sinus paranasal

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Rinitis alergi (RA) adalah penyakit yang sering dijumpai. Gejala utamanya

BAB I PENDAHULUAN. Rinitis alergi (RA) adalah penyakit yang sering dijumpai. Gejala utamanya 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang Rinitis alergi (RA) adalah penyakit yang sering dijumpai. Gejala utamanya adalah bersin, hidung beringus (rhinorrhea), dan hidung tersumbat. 1 Dapat juga disertai

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Infeksi saluran kemih (ISK) merupakan salah satu jenis infeksi yang paling sering

BAB I PENDAHULUAN. Infeksi saluran kemih (ISK) merupakan salah satu jenis infeksi yang paling sering BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang Infeksi saluran kemih (ISK) merupakan salah satu jenis infeksi yang paling sering ditemukan dalam praktek klinik (Hvidberg et al., 2000). Infeksi saluran kemih (ISK)

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. bermakna (Lutter, 2005). Infeksi saluran kemih merupakan salah satu penyakit

BAB 1 PENDAHULUAN. bermakna (Lutter, 2005). Infeksi saluran kemih merupakan salah satu penyakit BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Infeksi saluran kemih (ISK) merupakan istilah umum untuk berbagai keadaan tumbuh dan berkembangnya bakteri dalam saluran kemih dengan jumlah yang bermakna (Lutter,

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. Penelitian ini dilaksanakan di Poliklinik Ilmu Kesehatan THT-KL RSUD

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. Penelitian ini dilaksanakan di Poliklinik Ilmu Kesehatan THT-KL RSUD BAB III METODOLOGI PENELITIAN A. Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di Poliklinik Ilmu Kesehatan THT-KL RSUD Dr. Moewardi Surakarta. Penelitian dilakukan sampai jumlah sampel terpenuhi.

Lebih terperinci

METODELOGI PENELITIAN. Umum DR. H. Abdul Moeloek Bandar Lampung dan Laboratorium. Mikrobiologi Fakultas Kedokteran Universitas Lampung dalam waktu 4

METODELOGI PENELITIAN. Umum DR. H. Abdul Moeloek Bandar Lampung dan Laboratorium. Mikrobiologi Fakultas Kedokteran Universitas Lampung dalam waktu 4 27 III. METODELOGI PENELITIAN A. Tempat dan waktu penelitian Penelitian dilaksanakan di Laboratorium Kesehatan Daerah, Rumah Sakit Umum DR. H. Abdul Moeloek Bandar Lampung dan Laboratorium Mikrobiologi

Lebih terperinci

III. METODELOGI PENELITIAN. Desain penelitian ini adalah penelitian deskriptif laboratorik dengan

III. METODELOGI PENELITIAN. Desain penelitian ini adalah penelitian deskriptif laboratorik dengan 23 III. METODELOGI PENELITIAN A. Desain Penelitian Desain penelitian ini adalah penelitian deskriptif laboratorik dengan melakukan pengamatan secara makroskopis dan mikroskopis mengetahui pola mikroorganisme

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN 1 BAB III METODE PENELITIAN A. Jenis dan Rancangan Penelitian Jenis penelitian ini adalah analitik observasional yaitu penelitian diarahkan untuk menjelaskan suatu keadaan atau situasi bagaimana dan mengapa

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. I.1 Latar Belakang. Otitis media supuratif kronik (OMSK) adalah suatu. infeksi kronis pada telinga tengah yang diikuti

BAB I PENDAHULUAN. I.1 Latar Belakang. Otitis media supuratif kronik (OMSK) adalah suatu. infeksi kronis pada telinga tengah yang diikuti BAB I PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang Otitis media supuratif kronik (OMSK) adalah suatu infeksi kronis pada telinga tengah yang diikuti perforasi pada membran timpani dengan riwayat keluarnya cairan bening

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN UKDW. jika menembus permukaan kulit ke aliran darah (Otto, 2009). S. epidermidis

BAB I PENDAHULUAN UKDW. jika menembus permukaan kulit ke aliran darah (Otto, 2009). S. epidermidis BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Staphylococcus epidermidis merupakan flora normal,bersifat komensal pada permukaan kulit dan membran mukosa saluran napas atas manusia. Bakteri ini diklasifikasikan

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN digilib.uns.ac.id BAB III METODE PENELITIAN A. Desain Penelitian Penelitian ini menggunakan jenis penelitian deskriptif dengan pendekatan epidemiologi klinik. B. Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Dalam beberapa tahun terakhir, angka kejadian penyakit infeksi

BAB 1 PENDAHULUAN. Dalam beberapa tahun terakhir, angka kejadian penyakit infeksi 21 BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG PENELITIAN Dalam beberapa tahun terakhir, angka kejadian penyakit infeksi semakin meningkat, termasuk angka kejadian infeksi nosokomial. 1 Infeksi nosokomial merupakan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. I.1 Latar Belakang. Otitis Media Supuratif Kronik (OMSK) merupakan. infeksi telinga tengah kronis berdurasi lebih dari tiga

BAB I PENDAHULUAN. I.1 Latar Belakang. Otitis Media Supuratif Kronik (OMSK) merupakan. infeksi telinga tengah kronis berdurasi lebih dari tiga BAB I PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang Otitis Media Supuratif Kronik (OMSK) merupakan infeksi telinga tengah kronis berdurasi lebih dari tiga bulan yang diawali oleh episode otitis media akut, ditandai dengan

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. mungkin akan terus meningkat prevalensinya. Rinosinusitis menyebabkan beban

BAB 1 PENDAHULUAN. mungkin akan terus meningkat prevalensinya. Rinosinusitis menyebabkan beban BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Rinosinusitis merupakan penyakit inflamasi yang sering ditemukan dan mungkin akan terus meningkat prevalensinya. Rinosinusitis menyebabkan beban ekonomi yang tinggi

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. kejadian VAP di Indonesia, namun berdasarkan kepustakaan luar negeri

PENDAHULUAN. kejadian VAP di Indonesia, namun berdasarkan kepustakaan luar negeri BAB I PENDAHULUAN PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Ventilator associated pneumonia (VAP) adalah bentuk infeksi nosokomial yang paling sering ditemui di unit perawatan intensif (UPI), khususnya pada

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. dengan pendekatan cross-sectional terhadap data sekunder berupa rekam

BAB III METODE PENELITIAN. dengan pendekatan cross-sectional terhadap data sekunder berupa rekam BAB III METODE PENELITIAN 3.1. Desain Penelitian Penelitian yang dilaksanakan adalah penelitian analitik observasional dengan pendekatan cross-sectional terhadap data sekunder berupa rekam medis yang diperoleh

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dalam morbiditas dan mortalitas pada anak diseluruh dunia. Data World

BAB I PENDAHULUAN. dalam morbiditas dan mortalitas pada anak diseluruh dunia. Data World BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar belakang Pneumonia merupakan penyakit infeksi paru paru yang berperan dalam morbiditas dan mortalitas pada anak diseluruh dunia. Data World Health Organization (WHO) tahun

Lebih terperinci

BAB IV METODE PENELITIAN. Ruang lingkup keilmuan dalam penelitian ini adalah bidang Ilmu. Mikrobiologi Klinik dan ilmu penyakit infeksi.

BAB IV METODE PENELITIAN. Ruang lingkup keilmuan dalam penelitian ini adalah bidang Ilmu. Mikrobiologi Klinik dan ilmu penyakit infeksi. BAB IV METODE PENELITIAN 4.1 Ruang Lingkup Penelitian 4.1.1 Ruang lingkup keilmuan Ruang lingkup keilmuan dalam penelitian ini adalah bidang Ilmu Mikrobiologi Klinik dan ilmu penyakit infeksi. 4.1.2 Ruang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Infeksi merupakan peristiwa masuknya mikroorganisme ke suatu bagian di dalam tubuh yang secara normal dalam keadaan steril (Daniela, 2010). Infeksi dapat disebabkan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. paranasal dengan jangka waktu gejala 12 minggu, ditandai oleh dua atau lebih

BAB I PENDAHULUAN. paranasal dengan jangka waktu gejala 12 minggu, ditandai oleh dua atau lebih BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Rinosinusitis kronik (RSK) merupakan inflamasi mukosa hidung dan sinus paranasal dengan jangka waktu gejala 12 minggu, ditandai oleh dua atau lebih gejala, salah satunya

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. pneumonia, mendapatkan terapi antibiotik, dan dirawat inap). Data yang. memenuhi kriteria inklusi adalah 32 rekam medik.

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. pneumonia, mendapatkan terapi antibiotik, dan dirawat inap). Data yang. memenuhi kriteria inklusi adalah 32 rekam medik. BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN Penelitian ini mengevaluasi tentang penggunaan antibiotik pada pasien pneumonia di RSU PKU Muhammadiyah Bantul. Dari hasil penelitian yang telah dilakukan terdapat 79 rekam

Lebih terperinci

BAB 3 METODE PENELITIAN

BAB 3 METODE PENELITIAN BAB 3 METODE PENELITIAN 3.1. Jenis dan Rancangan Penelitian Jenis penelitian yang dilakukan adalah penelitian analitik dengan design study potong lintang (crossectional study). 3.2. Tempat dan Waktu Penelitian

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Bakteremia didefinisikan sebagai keberadaan kuman dalam darah yang dapat berkembang menjadi sepsis. Bakteremia seringkali menandakan penyakit yang mengancam

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN. Penelitian ini merupakan penelitian observasional laboratorik untuk mengetahui

III. METODE PENELITIAN. Penelitian ini merupakan penelitian observasional laboratorik untuk mengetahui III. METODE PENELITIAN A. Desain Penelitian Penelitian ini merupakan penelitian observasional laboratorik untuk mengetahui pertumbuhan mikroorganisme pengganti Air Susu Ibu di Unit Perinatologi Rumah Sakit

Lebih terperinci

BAB 4 METODOLOGI PENELITIAN

BAB 4 METODOLOGI PENELITIAN 22 BAB 4 METODOLOGI PENELITIAN 4.1 Ruang lingkup penelitian Penelitian ini dilakukan dalam ruang lingkup Bagian/ SMF Obstetri dan Ginekologi dan Mikrobiologi Fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro/

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. sinus yang disebabkan berbagai macam alergen. Rinitis alergi juga merupakan

BAB I PENDAHULUAN. sinus yang disebabkan berbagai macam alergen. Rinitis alergi juga merupakan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Rinitis alergi merupakan inflamasi kronis mukosa saluran hidung dan sinus yang disebabkan berbagai macam alergen. Rinitis alergi juga merupakan masalah kesehatan global

Lebih terperinci

III. METODOLOGI PENELITIAN. Penelitian ini merupakan penelitian analitik-observasional dengan desain

III. METODOLOGI PENELITIAN. Penelitian ini merupakan penelitian analitik-observasional dengan desain 49 III. METODOLOGI PENELITIAN A. Rancangan Penelitian Penelitian ini merupakan penelitian analitik-observasional dengan desain penelitian cross sectional yang bertujuan untuk menggali apakah terdapat perbedaan

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Ruang Lingkup Penelitian 3.1.1 Ruang Lingkup Keilmuan Ruang lingkup keilmuan pada penelitian ini mencakup bidang Ilmu Penyakit Dalam dan Ilmu Bedah. 3.1.2 Ruang Lingkup Waktu

Lebih terperinci

Hasil Uji Kepekaan Bakteri Yang Diisolasi Dari Sputum Penderita Infeksi Saluran Pernafasan Bawah Di Poliklinik BP 4 Medan

Hasil Uji Kepekaan Bakteri Yang Diisolasi Dari Sputum Penderita Infeksi Saluran Pernafasan Bawah Di Poliklinik BP 4 Medan Hasil Uji Kepekaan Bakteri Yang Diisolasi Dari Sputum Penderita Infeksi Saluran Pernafasan Bawah Di Poliklinik BP 4 Medan R.S. Parhusip Bagian Paru Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara PENDAHULUAN

Lebih terperinci

sex ratio antara laki-laki dan wanita penderita sirosis hati yaitu 1,9:1 (Ditjen, 2005). Sirosis hati merupakan masalah kesehatan yang masih sulit

sex ratio antara laki-laki dan wanita penderita sirosis hati yaitu 1,9:1 (Ditjen, 2005). Sirosis hati merupakan masalah kesehatan yang masih sulit BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Spontaneous Bacterial Peritonitis (SBP) tidak hanya disebabkan oleh asites pada sirosis hati melainkan juga disebabkan oleh gastroenteritis dan pendarahan pada saluran

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. I.1. Latar Belakang. Salah satu penyebab kematian tertinggi di dunia. adalah infeksi. Sekitar lima puluh tiga juta kematian

BAB I PENDAHULUAN. I.1. Latar Belakang. Salah satu penyebab kematian tertinggi di dunia. adalah infeksi. Sekitar lima puluh tiga juta kematian BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Salah satu penyebab kematian tertinggi di dunia adalah infeksi. Sekitar lima puluh tiga juta kematian di seluruh dunia pada tahun 2002, sepertiganya disebabkan oleh

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Penyakit infeksi adalah penyakit yang disebabkan oleh masuk dan berkembang biaknya

BAB 1 PENDAHULUAN. Penyakit infeksi adalah penyakit yang disebabkan oleh masuk dan berkembang biaknya BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penyakit infeksi adalah penyakit yang disebabkan oleh masuk dan berkembang biaknya mikroorganisme yaitu bakteri, virus, jamur, prion dan protozoa ke dalam tubuh sehingga

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Penyakit Paru Obstruksi Kronis (PPOK) menurut Global Initiative of

BAB 1 PENDAHULUAN. Penyakit Paru Obstruksi Kronis (PPOK) menurut Global Initiative of BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penyakit Paru Obstruksi Kronis (PPOK) menurut Global Initiative of Chronic Obstructive Lung Diseases (GOLD) merupakan penyakit yang dapat cegah dan diobati, ditandai

Lebih terperinci

BAB 4 HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB 4 HASIL DAN PEMBAHASAN BAB 4 HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Hasil Dari kurun waktu tahun 2001-2005 terdapat 2456 isolat bakteri yang dilakukan uji kepekaan terhadap amoksisilin. Bakteri-bakteri gram negatif yang menimbulkan infeksi

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. diperantarai oleh lg E. Rinitis alergi dapat terjadi karena sistem

BAB 1 PENDAHULUAN. diperantarai oleh lg E. Rinitis alergi dapat terjadi karena sistem BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Definisi Rinitis Alergi (RA) menurut ARIA (Allergic Rhinitis and its Impact on Asthma) merupakan reaksi inflamasi pada mukosa hidung akibat reaksi hipersensitivitas

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN. menggunakan media Mannitol Salt Agar (MSA). pada tenaga medis di ruang Perinatologi dan Obsgyn Rumah Sakit Umum

III. METODE PENELITIAN. menggunakan media Mannitol Salt Agar (MSA). pada tenaga medis di ruang Perinatologi dan Obsgyn Rumah Sakit Umum 38 III. METODE PENELITIAN 3.1 Jenis dan Rancangan Penelitian Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif laboratorik dengan pendekatan cross sectional, menggunakan metode difusi dengan memakai media

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Infeksi merupakan masalah yang paling banyak dijumpai pada kehidupan sehari-hari. Kasus infeksi disebabkan oleh bakteri atau mikroorganisme patogen yang masuk

Lebih terperinci

BAB 1. Infeksi terkait dengan perawatan kesehatan melalui pemasangan alat-alat medis

BAB 1. Infeksi terkait dengan perawatan kesehatan melalui pemasangan alat-alat medis BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Infeksi terkait dengan perawatan kesehatan melalui pemasangan alat-alat medis yang invasif di Instalasi Perawatan Intensif merupakan salah satu faktor penting yang

Lebih terperinci

BAB IV METODE PENELITIAN

BAB IV METODE PENELITIAN BAB IV METODE PENELITIAN 4.1 Ruang lingkup penelitian Mulut. Lingkup disiplin ilmu penelitian ini adalah Ilmu Kesehatan Gigi dan 4.2 Tempat dan waktu penelitian Penelitian ini dilakukan di Rumah Sakit

Lebih terperinci

BAB IV METODOLOGI PENELITIAN

BAB IV METODOLOGI PENELITIAN 21 BAB IV METODOLOGI PENELITIAN 4.1 Ruang Lingkup Penelitian 4.1.1 Ruang Lingkup Keilmuan Penelitian ini mencakup ilmu bidang Obstetri dan Ginekologi, dan Mikrobiologi Klinik. 4.1.2 Ruang Lingkup Tempat

Lebih terperinci

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN. Penelitian ini dilakukan di apotek Mega Farma Kota Gorontalo pada tanggal

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN. Penelitian ini dilakukan di apotek Mega Farma Kota Gorontalo pada tanggal 4.1 Hasil Penelitian BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN Penelitian ini dilakukan di apotek Mega Farma Kota Gorontalo pada tanggal 30 Mei-29 Juni tahun 2013. Dengan menggunakan tehnik accidental sampling,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. satunya bakteri. Untuk menanggulangi penyakit infeksi ini maka digunakan

BAB I PENDAHULUAN. satunya bakteri. Untuk menanggulangi penyakit infeksi ini maka digunakan BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Penyakit infeksi merupakan salah satu penyakit yang menyerang manusia yang disebabkan oleh berbagai macam mikroba patogen, salah satunya bakteri. Untuk menanggulangi

Lebih terperinci

BAB 3 METODE PENELITIAN

BAB 3 METODE PENELITIAN BAB 3 METODE PENELITIAN 3.1. Desain Penelitian Penelitian ini merupakan suatu studi analitik observasional dengan desain cross sectional (potong lintang). Dalam penelitian ini dilakukan pembandingan kesimpulan

Lebih terperinci

BAB III KERANGKA KONSEP PENELITIAN DAN DEFENISI OPERASIONAL. Isolat Pseudomonas aeruginosa

BAB III KERANGKA KONSEP PENELITIAN DAN DEFENISI OPERASIONAL. Isolat Pseudomonas aeruginosa BAB III KERANGKA KONSEP PENELITIAN DAN DEFENISI OPERASIONAL 3.1. Kerangka Konsep Penelitian Berdasarkan tujuan penelitian diatas maka kerangka konsep dalam penelitian ini adalah : Isolat Pseudomonas aeruginosa

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif laboratorium dengan metode

BAB III METODE PENELITIAN. Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif laboratorium dengan metode 25 BAB III METODE PENELITIAN A. Desain Penelitian Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif laboratorium dengan metode difusi Kirby bauer. Penelitian di lakukan di Laboratorium Mikrobiologi Fakultas

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Mikroorganisme penyebab penyakit infeksi disebut juga patogen

BAB 1 PENDAHULUAN. Mikroorganisme penyebab penyakit infeksi disebut juga patogen BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penyakit infeksi adalah penyakit yang disebabkan oleh masuk dan berkembang biaknya mikroorganisme yaitu bakteri, virus, jamur, prion dan protozoa ke dalam tubuh sehingga

Lebih terperinci

II. METODE PENELITIAN

II. METODE PENELITIAN II. METODE PENELITIAN 2.1 Metode Pengambilan Data 2.1.1 Lokasi dan waktu penelitian Penelitian ini dilakukan di Laboratorium Mikrobiologi Jurusan Biologi Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. Penelitian dilakukan di Laboratorium Mikrobiologi Analis Kesehatan

BAB III METODE PENELITIAN. Penelitian dilakukan di Laboratorium Mikrobiologi Analis Kesehatan BAB III METODE PENELITIAN A. Desain Penelitian Desain penelitian yang akan dilakukan menggunakan metode deskriptif. B. Tempat dan waktu Penelitian Penelitian dilakukan di Laboratorium Mikrobiologi Analis

Lebih terperinci

BAB 4 METODOLOGI PENELITIAN. Telinga, Hidung, dan Tenggorok Bedah Kepala dan Leher, dan bagian. Semarang pada bulan Maret sampai Mei 2013.

BAB 4 METODOLOGI PENELITIAN. Telinga, Hidung, dan Tenggorok Bedah Kepala dan Leher, dan bagian. Semarang pada bulan Maret sampai Mei 2013. 28 BAB 4 METODOLOGI PENELITIAN 4.1 Ruang Lingkup Penelitian Ruang lingkup penelitian ini mencakup bidang Ilmu Kesehatan Telinga, Hidung, dan Tenggorok Bedah Kepala dan Leher, dan bagian pulmonologi Ilmu

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Penyakit paru obstruktif kronik atau yang biasa disebut PPOK merupakan

BAB 1 PENDAHULUAN. Penyakit paru obstruktif kronik atau yang biasa disebut PPOK merupakan BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Penyakit paru obstruktif kronik atau yang biasa disebut PPOK merupakan salah satu jenis dari penyakit tidak menular yang paling banyak ditemukan di masyarakat dan

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. yang paling utama untuk mempertahankan kehidupan (Volk dan Wheeler, 1990).

BAB 1 PENDAHULUAN. yang paling utama untuk mempertahankan kehidupan (Volk dan Wheeler, 1990). BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Udara sebagai salah satu komponen lingkungan merupakan kebutuhan yang paling utama untuk mempertahankan kehidupan (Volk dan Wheeler, 1990). Udara dapat dikelompokkan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dengan imunitas pejamu, respon inflamasi, dan respon koagulasi (Hack CE,

BAB I PENDAHULUAN. dengan imunitas pejamu, respon inflamasi, dan respon koagulasi (Hack CE, BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Sepsis adalah puncak interaksi kompleks mikroorganisme penyebab infeksi dengan imunitas pejamu, respon inflamasi, dan respon koagulasi (Hack CE, 2000).The American College

Lebih terperinci

BAB 4 METODE PENELITIAN. Pulmonologi serta Ilmu Mikrobiologi Klinik.

BAB 4 METODE PENELITIAN. Pulmonologi serta Ilmu Mikrobiologi Klinik. BAB 4 METODE PENELITIAN 4.1. Ruang lingkup penelitian Ruang lingkup penelitian ini meliputi bidang Ilmu Penyakit Dalam divisi Pulmonologi serta Ilmu Mikrobiologi Klinik. 4.2. Tempat dan waktu penelitian

Lebih terperinci

BAB 4 METODE PENELITIAN. Kelompok penelitian dibagi menjadi dua kelompok sebagai berikut:

BAB 4 METODE PENELITIAN. Kelompok penelitian dibagi menjadi dua kelompok sebagai berikut: BAB 4 METODE PENELITIAN 4.1. Rancangan Penelitian Penelitian ini merupakan penelitian dengan desain eksperimental. Kelompok penelitian dibagi menjadi dua kelompok sebagai berikut: Kelompok I : chlorhexidine

Lebih terperinci

BAB IV METODE PENELITIAN. Penyakit Gigi dan Mulut dan Ilmu Penyakit Dalam.

BAB IV METODE PENELITIAN. Penyakit Gigi dan Mulut dan Ilmu Penyakit Dalam. BAB IV METODE PENELITIAN 4.1 Ruang lingkup penelitian Ruang lingkup keilmuan dalam penelitian ini meliputi Ilmu Penyakit Gigi dan Mulut dan Ilmu Penyakit Dalam. 4.2 Tempat dan waktu penelitian Penelitian

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Ruang Lingkup Penelitian Ruang lingkup penelitian ini termasuk dalam bidang Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin dan Mikrobiologi. 3.2 Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian dilakukan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kematian di negara-negara berkembang termasuk Indonesia, sebagai akibatnya

BAB I PENDAHULUAN. kematian di negara-negara berkembang termasuk Indonesia, sebagai akibatnya 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Penyakit infeksi masih menempati urutan teratas penyebab kesakitan dan kematian di negara-negara berkembang termasuk Indonesia, sebagai akibatnya terjadi penderitaan

Lebih terperinci

BAB III METODE DAN PENELITIAN. A. Tempat dan Waktu Penelitian. Penelitian ini dilaksanakan di Poliklinik Ilmu Kesehatan THT-KL RSUD

BAB III METODE DAN PENELITIAN. A. Tempat dan Waktu Penelitian. Penelitian ini dilaksanakan di Poliklinik Ilmu Kesehatan THT-KL RSUD BAB III METODE DAN PENELITIAN A. Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di Poliklinik Ilmu Kesehatan THT-KL RSUD Dr. Moewardi Surakarta, RSUD Karanganyar, RSUD Sukoharjo, dan RSUD Boyolali.

Lebih terperinci

DAFTAR ISI.. HALAMAN JUDUL... HALAMAN PENGESAHAN. HALAMAN MOTTO. HALAMAN PERSEMBAHAN. DEKLARASI.. KATA PENGANTAR... DAFTAR TABEL.

DAFTAR ISI.. HALAMAN JUDUL... HALAMAN PENGESAHAN. HALAMAN MOTTO. HALAMAN PERSEMBAHAN. DEKLARASI.. KATA PENGANTAR... DAFTAR TABEL. DAFTAR ISI Halaman HALAMAN JUDUL... HALAMAN PENGESAHAN. HALAMAN MOTTO. HALAMAN PERSEMBAHAN. DEKLARASI.. KATA PENGANTAR... DAFTAR ISI.. DAFTAR GAMBAR. DAFTAR TABEL. DAFTAR LAMPIRAN INTISARI.... i iii.iv

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan metode descriptive analitic

BAB III METODE PENELITIAN. Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan metode descriptive analitic 27 BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Desain Penelitian Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan metode descriptive analitic karena tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui kualitas mikrobiologi

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN BAB III METODE PENELITIAN A. Desain Penelitian Penelitian ini merupakan penelitian kuantitatif dengan pendekatan cross-sectional untuk menguji efektivitas antiseptik menurut waktu kontak udara luar berdasarkan

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Karsinoma laring adalah keganasan pada laring yang berasal dari sel epitel laring.

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Karsinoma laring adalah keganasan pada laring yang berasal dari sel epitel laring. BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Karsinoma laring adalah keganasan pada laring yang berasal dari sel epitel laring. Lebih dari 90% penderita karsinoma laring memiliki gambaran histopatologi karsinoma

Lebih terperinci

BAB IV METODE PENELITIAN

BAB IV METODE PENELITIAN BAB IV METODE PENELITIAN 4.1 Ruang lingkup penelitian Ruang lingkup penelitian ini adalah bidang Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok Bedah Kepala dan Leher. 4.2 Tempat dan waktu penelitian Penelitian

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. bentuk nodul-nodul yang abnormal. (Sulaiman, 2007) Penyakit hati kronik dan sirosis menyebabkan kematian 4% sampai 5% dari

BAB I PENDAHULUAN. bentuk nodul-nodul yang abnormal. (Sulaiman, 2007) Penyakit hati kronik dan sirosis menyebabkan kematian 4% sampai 5% dari BAB I PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG PENELITIAN Sirosis hati adalah merupakan perjalanan akhir berbagai macam penyakit hati yang ditandai dengan fibrosis. Respon fibrosis terhadap kerusakan hati bersifat

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Anatomi Hidung 2.1.1 Hidung luar Hidung berbentuk piramid dengan puncaknya di atas dan di bagian bawah terdapat dasar. Piramid hidung terdiri dari tulang dan tulang rawan yang

Lebih terperinci

UJI-UJI ANTIMIKROBA. Uji Suseptibilitas Antimikrobial. Menggunakan cakram filter, mengandung sejumlah antibiotik dengan konsentrasi tertentu

UJI-UJI ANTIMIKROBA. Uji Suseptibilitas Antimikrobial. Menggunakan cakram filter, mengandung sejumlah antibiotik dengan konsentrasi tertentu UJI-UJI ANTIMIKROBA KIMIA BIOESAI PS-S2 KIMIA IPB 2014 Uji Suseptibilitas Antimikrobial Metode Difusi Menggunakan cakram filter, mengandung sejumlah antibiotik dengan konsentrasi tertentu Metode Dilusi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penyakit infeksi adalah salah satu penyebab meningkatnya angka morbiditas dan mortalitas secara signifikan, khususnya pada individu yang mudah terserang penyakit, dengan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Infeksi neonatal merupakan penyebab penting morbiditas, lamanya tinggal di rumah sakit, dan kematian pada bayi. 1 Pola penyakit penyebab kematian menunjukkan bahwa

Lebih terperinci

BAB I. PENDAHULUAN. Staphylococcus aureus, merupakan masalah yang serius, apalagi didukung kemampuan

BAB I. PENDAHULUAN. Staphylococcus aureus, merupakan masalah yang serius, apalagi didukung kemampuan BAB I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Munculnya strain bakteri yang resisten terhadap banyak antibiotik termasuk bakteri Staphylococcus aureus, merupakan masalah yang serius, apalagi didukung kemampuan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. karakteristik dua atau lebih gejala berupa nasal. nasal drip) disertai facial pain/pressure and reduction or loss of

BAB I PENDAHULUAN. karakteristik dua atau lebih gejala berupa nasal. nasal drip) disertai facial pain/pressure and reduction or loss of BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Menurut European Position Paper on Rhinosinusitis and Nasal Polyps (EP3OS) tahun 2012, rinosinusitis didefinisikan sebagai inflamasi pada hidung dan sinus paranasalis

Lebih terperinci

BAB IV METODE PENELITIAN. Ruang lingkup keilmuan penelitian ini meliputi Ilmu Penyakit Gigi dan

BAB IV METODE PENELITIAN. Ruang lingkup keilmuan penelitian ini meliputi Ilmu Penyakit Gigi dan BAB IV METODE PENELITIAN 4.1 Ruang lingkup penelitian Ruang lingkup keilmuan penelitian ini meliputi Ilmu Penyakit Gigi dan Mulut. 4.2 Tempat dan waktu penelitian Tempat penelitian adalah di Rumah Sakit

Lebih terperinci