TESIS CRUDE ANTIGEN CYSTISERCUS TAENIA SAGINATA ISOLAT BALI UNTUK DETEKSI SISTISERKOSIS PADA SAPI HERTATI ANRIANI LUBIS

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "TESIS CRUDE ANTIGEN CYSTISERCUS TAENIA SAGINATA ISOLAT BALI UNTUK DETEKSI SISTISERKOSIS PADA SAPI HERTATI ANRIANI LUBIS"

Transkripsi

1 TESIS CRUDE ANTIGEN CYSTISERCUS TAENIA SAGINATA ISOLAT BALI UNTUK DETEKSI SISTISERKOSIS PADA SAPI HERTATI ANRIANI LUBIS PROGRAM PASCASARJANA KEDOKTERAN HEWAN UNIVERSITAS UDAYANA DENPASAR 2013 i

2 CRUDE ANTIGEN CYSTICERCUS TAENIA SAGINATA ISOLAT BALI UNTUK DETEKSI SISTISERKOSIS PADA SAPI Tesis untuk Memperoleh Gelar Magister pada Program Magister, Program Studi Kedokteran Hewan Program Pascasarjana Universitas Udayana HERTATI ANRIANI LUBIS NIM PROGRAM MAGISTER PROGRAM STUDI KEDOKTERAN HEWAN PROGRAM PASCASARJANA UNIVERSITAS UDAYANA DENPASAR 2013 ii

3 Lembar Pengesahan TESIS INI TELAH DISETUJUI TANGGAL 28 AGUSTUS 2013 Pembimbing I, Pembimbing II, Prof.Dr.drh.Nyoman Sadra Dharmawan, MS Prof.Dr.drh. I Made Damriyasa, MS NIP NIP Mengetahui, Ketua Program Kedokteran Hewan Direktur Program Pascasarjana Program Pascasarjana Universitas Udayana Universitas Udayana Prof. Dr. drh. I Ketut Puja, M.Kes Prof. Dr. dr. A. A. Raka Sudewi, Sp. S(K) NIP NIP iii

4 Tesis Ini telah Diuji pada Tanggal 28 Agustus 2013 Panitia Penguji Tesis berdasarkan SK Rektor Universitas Udayana, No...Tanggal Ketua : Prof. Dr. drh. Nyoman Sadra Dharmawan, MS. Anggota : 1. Prof. Dr. drh. I Made Damriyasa, MS. 2. Prof. Dr. drh. I Ketut Puja, M.Kes. 3. Dr. drh. Nyoman Adi Suratma, MP. 4. Prof. Dr. drh. I Ketut Berata, M.Si. iv

5 DAFTAR RIWAYAT HIDUP Penulis Hertati Anriani Lubis dilahirkan pada tanggal 24 Januari 1988 di Kota Padangsidimpuan, Sumatera Utara. Penulis merupakan anak ketiga dari tiga bersaudara, putri dari pasangan suami istri Zufri Efendi Lubis dan Rosmaini Daulay. Penulis menempuh pendidikan Sekolah Dasar di SDN 23 Padangsidimpuan dan menamatkan pendidikan tahun 2000, Pendidikan Sekolah Menengah Pertama di SMPN 3 Padangsidimpuan, diselesaikan pada tahun 2003, Pendidikan Sekolah Menengah Atas di SMAN 2 Padangsidimpuan, diselesaikan pada tahun Selanjutnya penulis menempuh pendidikan di kedokteran Kedokteran Hewan Universitas Udayana, menyelesaikan pendidikan Sarjana Kedokteran Hewan (SKH) Tahun 2011 dan menyelesaikan Pendidikan Profesi Dokter Hewan Tahun Penulis diterima menjadi mahasiswa Program Magister Program Studi S2 Kedokteran Hewan di Universitas Udayana Pada Tahun Selanjutnya penulis melakukan penelitian di Laboratorium Balai Besar Veteriner Denpasar berjudul Crude Antigen Cysticercus Taenia Saginata Isolat Bali untuk Deteksi Sistiserkosis pada Sapi. Penelitian ini dibuat sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Kedokteran Hewan pada Program Magister Program Studi S2 Kedokteran Hewan Program Pascasarjana Universitas Udayana. v

6 UCAPAN TERIMA KASIH Puji syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa yang telah memberikan rahmat-nya sehingga penulisan tesis ini dapat diselesaikan. Pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada Prof. Dr. drh. Nyoman Sadra Dharmawan, MS. selaku pembimbing I yang dengan penuh perhatian telah memberikan dorongan, semangat, bimbingan dan saran selama penulis mengikuti Program Magister, khususnya dalam penyelesaian tesis ini. Terima kasih yang sebesar-besarnya pula penulis sampaikan kepada Prof. Dr. drh.i Made Damriyasa, MS. selaku Dekan Fakultas Kedokteran Hewan Universitas Udayana yang juga bertindak sebagai Pembimbing II yang penuh perhatian dan kesabaran telah memberikan bimbingan dan saran kepada penulis. Ucapan yang sama ditujukan kepada Rektor Universitas Udayana, Prof. Dr. dr. I Made Bakta, Sp.PD. (KHOM) atas kesempatan dan fasilitas yang diberikan kepada penulis untuk mengikuti dan menyelesaikan pendidikan Program Magister di Universitas Udayana. Ucapan terima kasih juga ditujukan kepada Direktur Program Pascasarjana Universitas Udayana Prof. Dr. dr. A.A Raka Sudewi, Sp.S(K) atas kesempatan yang diberikan kepada penulis untuk menjadi mahasiswa Program Magister pada Program Pascasarjana Universitas Udayana. Terima kasih penulis sampaikan kepada Prof. Dr. drh. I Ketut Puja, M.Kes. selaku Ketua Program Studi S2 Kedokteran Hewan Program Pascasarjana Universitas Udayana dan juga sebagai penguji tesis, atas kesempatan yang diberikan untuk belajar di Program Studi yang dipimpinnya dan kesediaannya menjadi penguji. vi

7 Ucapan terima kasih yang sebesar-besarnya juga penulis sampaikan kepada para penguji tesis lainnya, yaitu Dr. drh. Nyoman Adi Suratma, M.P. dan Prof. Dr. drh. I Ketut Berata, M.Si. yang telah memberikan masukan, saran dan sanggahan sehingga tesis ini dapat terwujud seperti ini. Ucapan terima kasih yang tulus juga penulis sampaikan kepada para dosen yang telah membimbing penulis dalam mengikuti pendidikan Program Magister pada Program Studi Kedokteran Hewan Program Pascasarjana Univesitas Udayana. Pada kesempatan ini secara khusus penulis menyampaikan ucapan terima kasih kepada drh. I Wayan Masa Tenaya, M.Phil, Ph.D. yang telah meluangkan waktu memberikan bimbingan dalam pelaksanaan penelitian di laboratorium. Ucapan terima kasih yang tulus penulis sampaikan kepada orang tua penulis yaitu bapak Zufri Efendi Lubis dan Ibu Rosmaini Daulay yang telah memberikan dukungan dan perhatian dalam penulisan tesis ini. Keluarga terutama kakak dan keponakan yang dengan penuh pengorbanan telah memberikan penulis kesempatan untuk lebih berkonsentrasi menyelesaikan tesis ini. Terima kasih juga kepada Mariana Kresty Ferdinandez, Wa Ode Santa Monica yang telah banyak membantu dan memberikan saran kepada penulis. Kepada drh. Pratiwi Devi GM yang menjadi rekan dalam suka dan duka selama penelitian dan penulisan tesis dan teman-teman lain yang tidak bisa disebutkan satu persatu yang telah banyak membantu hingga terwujudnya tesis ini. Semoga Tuhan Yang Maha Esa selalu melimpahkan anugrah-nya kepada semua pihak yang telah membantu pelaksanaan dan penyelesaian Tesis ini, serta kepada penulis dan keluarga. vii

8 ABSTRAK CRUDE ANTIGEN CYSTICERCUS TAENIA SAGINATA ISOLAT BALI UNTUK DETEKSI SISTISERKOSIS PADA SAPI Telah dilakukan penelitian dengan tujuan mengevaluasi antigen Cysticercus T. saginata untuk deteksi sistisekosis pada sapi. Antigen Cysticercus T. saginata yang digunakan adalah isolat lokal yang diperoleh dari hasil infeksi eksperimental Taenia saginata asal Bali. Penelitian dilakukan dengan optimalisasi ELISA (Enzime Linked Immunosorbent Assay) terhadap antigen dengan cara penentuan konsentrasi optimal antigen, pengenceran serum serta pengenceran konjugat. Hasil penelitian menunjukkan bahwa Cysticercus T. saginata isolat Bali bersifat antigenik dan dapat digunakan untuk mendeteksi sistiserkosis pada sapi, dengan konsentrasi optimal antigen 2 µg/ml, pengenceran optimal serum 1:80 dan pengenceran konjugat 1:4000. Kata kunci: Cysticercus T. saginata, Antigen, ELISA. viii

9 ABSTRACT THE USE OF TAENIA SAGINATA CYSTICERCUS CRUDE ANTIGEN (BALI ISOLATE) FOR THE DETECTION OF CATTLE CYSTICERCOSIS The purpose of this study was to evaluate Taenia saginata cystisercus antigen for the detection of cattle cysticercosis. Taenia saginata Cysticercus antigen derived from local isolates, obtained from the experimental infection of Taenia saginata tape worms from Bali. The research was done by ELISA (Enzime Linked Immunosorbent Assay) optimization by determining the optimal concentration of antigen, optimal dilutions of serum and optimal dilutions of conjugate. The results showed that Taenia saginata Cysticercus crude antigen (Bali isolate) are antigenic and can be used to detect cattle cysticercosis. Optimal concentration of antigen: 2 ug/ml, optimal dilutions of serum: 1:80 and optimal dilution of conjugate: 1:4000. Keywords: Taenia saginata cysticercus, Antigen, ELISA. ix

10 RINGKASAN Cysticercus T. saginata adalah larva atau fase metacestoda dari cacing pita T. saginata. Sapi akan terinfeksi sistiserkosis bila menelan telur atau proglotid T. saginata yang dikeluarkan manusia lewat feses. Manusia terinfeksi taeniasis bila mengonsumsi daging sapi yang tidak dimasak atau di masak kurang matang yang mengandung Cysticercus T. Saginata. Kejadian infeksi T.saginata pada manusia di Bali relatif banyak ditemukan pada keluarga yang gemar mengonsumsi daging sapi mentah berupa lawar. Data kejadian sistiserkosis pada sapi di Bali sampai sekarang belum pernah dilaporkan. Penelitian ini dilakukan dengan tujuan untuk pengembangan teknik diagnostik sistiserkosis pada sapi bali dengan menggunakan metode ELISA. Protein antigen Cystisercus T. saginata yang digunakan pada penelitian ini adalah isolat lokal yang diperoleh dari hasil infeksi eksperimental T. saginata asal Bali. Prosedur awal penelitian ini dimulai dengan mengekstraksi protein, konsentrasi protein dengan menggunakan kit, diperoleh hasil 113µg/ml. Selanjutnya, untuk mengevaluasi kemampuan antigen Cystisercus T. saginata isolat lokal dirancang konsentrasi dan pengenceran dalam beberapa tingkatan sebagai ulangan. Konsentrasi dan pengenceran optimal diperoleh dari selisih optical density (OD) yang meliputi: titrasi optimal antigen, titrasi optimal serum dan titrasi optimal konjugat antara kontrol positif dan kontrol negatif. Hasil penelitian menunjukkan bahwa crude antigen Cysticercus T. saginata mempunyai sifat antigenik yang dapat digunakan sebagai antigen dalam uji imunologis untuk mendeteksi antibodi sistiserkosis T. saginata pada sapi. Hasil optimalisasi ELISA memperlihatkan bahwa nilai optimal konsentrasi antigen adalah 2µg/ml dengan nilai optical density 0.164, pengenceran optimal serum adalah 1:80 dengan nilai optical density dan pengenceran optimal konjugat adalah 1:4000 dengan nilai optical density Berdasarkan hasil penelitan yang dilakukan tersebut dapat disimpulkan bahwa crude antigen Cysticercus T. saginata isolat lokal Bali dapat dimanfaatkan untuk mendeteksi sistiserkosis pada sapi. Disarankan untuk melakukan penelitian lebih lanjut, khususnya untuk mengetahui adanya reaksi silang dengan parasit lain. Selain itu, perlu dikembangkan kemungkinan penggunaan crude antigen Cysticercus T. saginata isolat Bali untuk deteksi sistiserkosis pada manusia. x

11 DAFTAR ISI Halaman SAMPUL DALAM... i PRASYARAT GELAR... LEMBAR PERSETUJUAN... PENETAPAN PANITIA PENGUJI... UCAPAN TERIMA KASIH... ABSTRAK... ABSTRACT... RINGKASAN... DAFTAR ISI... DAFTAR GAMBAR... DAFTAR LAMPIRAN... ii iii iv vii viii ix x xi xiv xv BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Rumusan Masalah Tujuan Penelitian Manfaat Penelitian... 4 BAB II TINJAUAN PUSTAKA T.saginata Respon Imun pada Infeksi Parasit Kekebalan terhadap Parasit Komponen Imunitas yang Berperan terhadap Parasit Faktor-Faktor Antigenitas Uji Imunologis xi

12 BAB III KERANGKA BERPIKIR, KONSEP, DAN HIPOTESIS PENELITIAN 3.1 Kerangka Berpikir Kerangka Konsep BAB IV METODE PENELITIAN Rancangan Penelitian Lokasi dan Waktu Penelitian Bahan Penelitian Instrumen Penelitian Prosedur Penelitian Ekstraksi Protein Optimalisasi ELISA Titrasi Protein Titrasi Serum Titrasi Konjugat Pemeriksaan ELISA pada Serum Analisa Data BAB V HASIL PENELITIAN Hasil Titrasi Antigen Hasil Titrasi Sampel Serum Hasil Titrasi Konjugat BAB VI PEMBAHASAN BAB VII SIMPULAN DAN SARAN Simpulan Saran DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN xii

13 DAFTAR GAMBAR Halaman 1. Siklus Hidup Taenia sp Prinsip kerja ELISA Konsep Penelitian Prosedur Penelitian Titrasi Antigen Titrasi Serum Titrasi Konjugat Optical density ELISA serum kontrol positif dan kontrol negatif pada berbagai pengenceran konjugat xiii

14 DAFTAR LAMPIRAN Halaman 1. Perhitungan Konsentrasi Crude Antigen Cysticercus T. saginata Tahapan Optimalisasi ELISA Dokumentasi Laboratorium Pengenceran pada Plate ELISA xiv

15 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Cystisercus T. saginata merupakan bentuk larva cacing pita T. saginata. Sapi akan terinfeksi sistiserkosis bila menelan telur atau proglotid T. saginata yang dikeluarkan manusia lewat feses. Manusia terinfeksi taeniasis bila mengonsumsi daging sapi yang tidak dimasak atau di masak kurang matang yang mengandung Cysticercus T. Saginata. Menurut Soulsby (1982), Cysticercus T. saginata berukuran 6-9 mm dengan diameter sekitar 5 mm. Kista ini paling sering dijumpai pada otot masseter, jantung dan diafragma. Kejadian sistiserkosis pada sapi kebanyakan diperoleh dari laporan pemeriksaan kesehatan daging yang biasanya tidak seluruh negara melakukannya (Dharmawan, 2009). Sementara laporan tentang kejadian taeniasis pada manusia di Bali dilaporkan secara periodik. Di Bali Kabupaten Gianyar, prevalensinya mencapai 27,5% (Wandra et al., 2006; 2007; 2011). Upaya penanggulangan sistiserkosis dan taeniasis sebenarnya tidak sulit, salah satunya dengan memutus siklus hidup parasit dengan menekan sumber infeksinya pada sapi. Permasalahannya sampai sekarang data tentang kejadian sistiserkosis pada sapi di Bali tidak ada atau belum pernah dilaporkan. Hal ini akibat dari sulitnya melakukan diagnosis sistiserkosis pada hewan hidup. Pada hewan besar diagnosis harus dilakukan secara post mortem dengan pemeriksaan kesehatan daging. Sistiserkosis dapat dideteksi pada lidah sapi dengan melakukan palpasi, bila positif akan teraba benjolan/nodul di bawah jaringan kulit atau 1

16 2 intramuskular. Menurut Gonzalez et al. (2006), palpasi merupakan satu-satunya cara deteksi ante mortem pada hewan yang diduga terinfeksi sistiserkosis di negara berkembang, namun memiliki sensitifitas yang rendah. Pengembangan ujiuji imunodiagnostik untuk mendeteksi adanya agen penyakit tersebut telah dilakukan mulai puluhan tahun lalu. Teknik-teknik yang telah dikembangkan tersebut ternyata memberi kemudahan dalam penggunaan reagen dan prosedur pengerjaannya (Iskandar et al., 2005). Selama ini uji-uji diagnostik yang dikembangkan untuk mendeteksi keberadaan sistiserkosis pada hewan diantaranya adalah uji serologi dengan metode enzyme linked immunosorbent assay (ELISA). Pengembangkan ELISA untuk mendeteksi keberadaan Cysticercus cellulosae melalui pemeriksaan antibodi anti-cysticercus cellulosae pada serum telah berhasil dilakukan pada tahun (Sato et al., 2003). Harrison et al. (2005) menyatakan untuk menunjukkan sebaran infeksi Cysticercus bovis dalam suatu wilayah dengan wabah infeksi tinggi, metode ELISA dinilai cocok sebagai salah satu uji serodiagnosis. Dorny et al. (2002) melaporkan perbedaan sensitifitas dan spesifisitas beberapa uji untuk deteksi sistiserkosis. Pemeriksaan dengan teknik palpasi lidah memiliki sensitifitas 16,1% dan spesifisitas 100%, pemeriksaan post mortem memiliki sensitifitas 38,7% dan spesifisitas 100%, uji ELISA untuk deteksi antibodi memiliki sensitifitas 45,2% dan spesifisitas 88,2%, dan uji ELISA untuk deteksi antigen memiliki sensitifitas 64,5% dan spesifisitas 91,2%.

17 3 Dari laporan tersebut, terlihat bahwa ELISA merupakan uji dengan tingkat sensitifitas dan spesifisitas yang terbaik dibandingkan teknik metode diagnosis lainnya. Penelitian ini dilakukan dengan tujuan untuk pengembangan teknik diagnostik sistiserkosis pada sapi bali dengan menggunakan metode ELISA. Tahap awal akan dicari berapa konsentrasi optimal antigen yang berasal dari protein Cysticercus T. saginata isolat lokal Bali, berapa pengenceran optimal serum dan konjugat yang efektif digunakan untuk mendeteksi keberadaan Cysticercus T. saginata pada sapi terinfeksi. 1.2 Rumusan Masalah Pada penelitian ini akan digunakan uji ELISA. Permasalahan yang diungkapkan adalah untuk mengetahui kemampuan antigen Cystisercus T. saginata dalam mendeteksi sistiserkosis. Dalam uji ini ada 3 komponen penting yang ingin diketahui, antara lain: a. berapa konsentrasi optimal protein Cysticercus T. saginata isolat Bali untuk deteksi sistiserkosis pada sapi, b. berapa pengenceran optimal serum yang dipakai mendeteksi sistiserkosis pada sapi, c. berapa konsentrasi optimal konjugat yang dipakai mendeteksi sistiserkosis pada sapi.

18 4 1.3 Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan memperoleh uji diagnostik untuk mendeteksi sistiserkosis pada sapi dengan uji ELISA menggunakan crude antigen isolat lokal. Secara khusus penelitian ini bertujuan untuk: a. mengetahui konsentrasi optimal protein Cysticercus T. saginata isolat Bali yang dapat dipakai sebagai antigen untuk mendeteksi sistiserkosis pada sapi, b. mengetahui pengenceran optimal dari serum yang akan diperiksa untuk tujuan deteksi sistiserkosis pada sapi, dan c. untuk mengetahui konsentrasi optimal konjugat yang dapat dipakai untuk tujuan deteksi sistiserkosis pada sapi. 1.4 Manfaat penelitian Manfaat dari penelitian yang dilakukan adalah menyediakan antigen spesifik berasal dari isolat lokal Bali untuk dipakai mendeteksi antibodi Cystisercus T. saginata pada sapi Bali. Dengan kata lain, menyediakan metode diagnostik serologis yang mudah dapat diterapkan secara ante mortem untuk diagnosis sistiserkosis pada sapi.

19 BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Taenia saginata Taenia merupakan salah satu cacing pita yang termasuk dalam kerajaan Animalia, filum Platyhelminthes, kelas Cestoda, bangsa Cyclophyllidea, famili Teniidae. Anggota-anggotanya dikenal sebagai parasit vertebrata penting yang menginfeksi manusia, babi, sapi, dan kerbau (Soulsby, 1982). Panjang dan tubuh taenia terdiri atas rangkaian segmen-segmen yang masing-masing disebut proglotid (Huges et al., 1993). Kepala cacing pita disebut skoleks dan memiliki alat isap (sucker) yang mempunyai tonjolan (rostelum). Larva dari cacing taenia disebut metacestoda, menyebabkan penyakit sistiserkosis pada hewan. Terdapat tiga spesies penting cacing pita Taenia, yaitu T. solium, T. saginata, dan T. asiatica (Flisser et al., 2005). Ketiga spesies Taenia ini dianggap penting karena dapat menyebabkan penyakit pada manusia, yang dikenal dengan istilah taeniasis. Hospes definitif T. saginata adalah manusia dan predileksinya dalam usus halus. Bentuk belum dewasa ditemukan pada sapi. Cacing pita T. saginata memiliki ukuran panjang 5-10 meter, pernah dilaporkan lebih dari 15 meter. Skoleks Taenia in tidak dipersenjatai. Proglotid memiliki percabangan uterus lateral berjumlah buah. Pada setiap proglotid bunting terdapat lebih dari 100 telur. Cacing T. saginata menjadi dewasa setelah minggu sekitar 2 bulan (Wandra et al, 2006). Bentuk belum dewasa adalah Cystisercus dan tempat predileksinya pada jantung, otot rangka, lemak, hati, maseter, diafragma, lidah (Soulsby, 1982). 5

20 6 Diagnosis taeniasis bisa dilakukan dengan menemukan dan mengidentifikasi proglotid atau telur cacing dalam feses di bawah mikroskop. Telur cacing Taenia berbentuk spherical, berwarna coklat dan mengandung embrio. Telur cacing ini bisa ditemukan di feses dengan pemeriksaan menggunakan metode uji apung. Proglotid Taenia dapat dibedakan dari cacing pita lainnya dengan cara membedakan morfologinya. Cacing Taenia juga bisa diidentifikasi berdasarkan skoleks dan proglotidnya (Iskandar et al., 2005). Wandra et al (2007) menyatakan cacing dewasa akan melepaskan segmen gravid yang paling ujung dan bisa pecah didalam usus, sehingga telur cacing dapat dijumpai pada feses penderita. Apabila telur cacing yang keluar bersama feses mengkontaminasi tanaman rumput dan termakan oleh ternak sapi, telur cacing kemudian akan pecah didalam usus sapi (hospes perantara) dan mengakibatkan lepasnya onkosfer (Margono et al., 2006). Dengan bantuan kait, onkosfer mampu menembus dinding usus, masuk kedalam aliran darah, lalu menyebar ke organ-organ tubuh sapi, terutama ke otot lidah, leher, jantung dan otot-otot gerak. Dalam waktu minggu akan berubah menjadi bentuk Cystisercus. Siklus hidup lengkap T. saginata tersebut dapat dilihat pada Gambar 1.

21 7 Gambar 1. Siklus hidup Taenia sp. ( 2.2 Respon Imun pada Infeksi Parasit Kebal dalam parasitologi berarti bebas relatif dari infeksi atau infestasi parasit. Parasit biasanya menyebabkan infeksi yang bersifat kronis. Terjadinya kronisitas karena lemahnya kekebalan alami dan kemampuan parasit untuk menghindarkan diri atau mempertahankan diri terhadap respon kekebalan spesifik. Kemampuan ini dapat bersifat toksik serta dapat menimbulkan resistensi, sehingga berakibat pencegahan dengan pemberian obat dalam jangka waktu panjang tidak memuaskan (Mehlhorn, 1998). Menetapnya parasit dalam tubuh menimbulkan reaksi imunologik yang kronis mengakibatkan kerusakan jaringan dan regulasi imunitas yang abnormal. Menurut Ketobapadah (2011) mekanisme antibodi spesifik dalam mengontrol parasit antara lain: a) netralisasi, antibodi mempunyai kemampuan menetralisasi

22 8 parasit secara langsung setelah berikatan dengan substansi yang bersifat toksik yang dikeluarkan oleh parasit dan parasit sendiri; b) lisis, melalui komplemen dimana antibodi bereaksi dengan antigen membran parasit mengaktifkan komplemen jalur klasik. Komplemen tersebut adalah C6, C7, C8, C9 yang dapat merusak membran parasit Sprozoit dari Plasmodium, Tripanosoma dan cacing usus; dan c) peningkatan fagositosis dan antibody dependent cell cytotoxicity (ADCC) Kekebalan Terhadap Parasit Infeksi cacing parasitik berjalan kronis yang diakibatkan oleh lemahnya pertahanan alamiah dan kemampuan mengelak dari pertahanan immunologi spesifik inang definitif (Tiuria, 2004). Cacing-cacing tertentu berusaha untuk menghindar dari reaksi imunologik dengan mengubah antigen permukaannya atau melapisi permukaannya dengan protein inang definitif, misalnya dengan glikoprotein molekul MHC (Major Histocompatibility Complex) dan IgG sehingga dianggap sebagai self component. Cacing parasitik dapat juga mengekspresikan ectoenzyme yang dapat merombak antibodi sehingga mencegah terjadinya ADCC. Menurut Pratama (2012) kekebalan ada dua macam, yaitu: 1. Kekebalan Bawaan (Non Sspesifik), disebabkan oleh a) spesifisitas inang; b) sifat karakteristik fisik inang; c) sifat biokimia yang khas; d) kebiasaan inang; e) genetis. 2. Kekebalan didapat (Spesifik), dibagi dua yaitu: a) didapat secara pasif; b) didapat secara aktif : kekebalan seluler dan kekebalan humoral.

23 Komponen Imunitas yang Berperan Terhadap Parasit Komponen-komponen yang berperan dalam parasit, menurut Tiuria (2004) ada enam. Pertama: Antibodi IgE dan Eosinofil. Ig E memiliki afinitas yang tinggi terhadap sel mast dan sel basofil. Pada saat inang terinfeksi parasit, maka level Ig E dalam serum akan meningkat. Parasit yang masuk dalam lumen usus, pertama kali akan dirusak oleh Ig G akibat adanya peradangan dan antigen spesifik. Peradangan ini terjadi diperantarai oleh peran Ig E dan mekanisme tanggap kebal sitotoksisitas seluler tergantung antibodi (ADCC). Mekanisme tersebut mengakibatkan Ig E melekat pada permukaan cacing. Selanjutnya terjadi perlekatan sel eosinofil melalui reseptor Fc yang menimbulkan teraktivasinya sel Eosinofil sehingga mensekresikan protein yang bersifat toksik untuk cacing parasitik. Pada saat berikatan tersebut, sel Eosinofil mendegranulasi dan melepaskan kandungan granulanya pada kutikula cacing. Kandungan granulanya antara lain superoksida, hidrogen peroksida, lisofosfolipase dan fosfolipase D. Kecenderungan sel Eosinofil melepaskan peroksidase ekstraseluler menunjukkan bahwa peran utamanya adalah pertahanan jaringan terhadap invasi parasit. Kedua: IgG dan Eosinofil dapat menyelimuti parasit sehingga eosinofil cepat mendekat serta Eosinofil mengeluarkan peroksidase dan enzim preoteolitik lain dari granulanya yang dapat menyebabkan parasit mati atau rusak. Ketiga: IgE dan Makrofag. IgE memperantarai magrofag sehingga bisa berikatan dengan larva. Akibatnya larva bisa dihancurkan oleh makrofag. Keempat: Antibodi dan Komplemen. Reaksi Ag dan Ab membentuk komplek Ag-Ab yang dapat mengaktivasi komplemen sehingga memudahkan eosinofil melakukan fagositosis

24 10 terhadap parasit. Kelima: Antibodi dan Reaksi Hipersensitifitas Tipe I. Antibodi dirangsang oleh antigen parasit yang bersifat lokal sehingga terbentuk antibodi lokal terutama IgE dan timbul reaksi lokal hipersensitifitas tipe I akibatnya permeabilitas pembuluh darah meningkat sehingga memudahkan IgG keluar mencapai tempat infeksi untuk menangkap dan menghilangkan parasit. Contoh: Trichomonas foetus, T. vaginalis, larva cacing pada usus, reaksi self cure pada Haemonchus dan Oestertagia. Keenam: Limfosit T dan Makrofag Faktor-Faktor Antigenitas Antigen adalah substansi yang dapat dikenali dan diikat dengan baik oleh sistem imun. Antigen dapat berasal dari organisme (bakteri, virus, jamur dan parasit) atau molekul asing bagi tubuh. Tidak setiap bagian dari antigen dapat berinteraksi dengan molekul sistem imun. Bagian dari antigen secara langsung berikatan dengan molekul reseptor (seperti antibodi) yang dikenal dengan epitop. Hal ini menandakan bahwa antigen mempunyai beberapa epitop (Emantoko, 2001). Antigen (antigenitas) membangkitkan respon imun baik respon imun seluler maupun humoral yang merangsang sel B atan sel T atau keduanya. Antigen disebut juga dengan imunogen. Sifat sebagai antigenitas kecuali ditentukan oleh sifat asing dan berat molekul dari determinan antigen, masih dipengaruhi oleh beberapa faktor (Dorta, 2000). Faktor-faktor tersebut adalah: a) Spesies (misalnya zat dekstran, suatu polimer dari glukosa, bersifat antigen pada manusia dan tikus tetapi tidak bersifat antigen pada kelinci dan marmut). b) Jenis (di dalam suatu spesies binatang percobaan ditemukan perbedaan antara beberapa

25 11 jenis spesies itu ditinjau dari sudut kemampuan untuk mengenal suatu bahan sebagai antigen). c) Cara dan dosis, dimana cara pemberian dosis suntikan dan waktu yang berlalu diantara dua suntikan dapat mempengaruhi pembentukan antibodi selain jumlah antigen itu sendiri. d) Adjuvan yaitu bahan yang berupa emulsi yang mampu memperkuat antigen dalam kemampuannya merangsang terbentuknya antibodi. Sifat adjuvan memberi proteksi pada antigen terhadap eliminasi tidak spesifik dari bahan dan dapat menyebabkan pembentukan antibodi dalam jangka panjang karena pelepasan antigen secara bertahap. Contoh adjuvan: emulsi air-minyak presipitat aluminium, emulsi partikel bentonit, dan minyak mineral, air dan lanolin dan ditambahkan dengan kuman mikobakterium yang dimatikan dengan pemanasan. e) Keasingan dimana tingkat keasingan antigen akan berpengaruh terhadap daya imunogennya. Makin asing molekul makin tinggi daya imunogennya. f) Ukuran Molekul yaitu zat-zat yag masuk ke dalam tubuh yang memiliki berat molekul kurang dari akan menyebabkan terjadi imunogenik lemah atau tidak imunogenik sama sekali. g) Kompleksitas. Faktorfaktor yang mempengaruhi kompleksitas imunogen meliputi baik sifat fisik maupun kimia molekul. Keadaan agregasi molekul misalnya dapat mempengaruhi imunogenitas. Larutan proten-protein monometrik dapat benar-benar merangsang terjadinya keadaan refraktair atau tolerans bila berada dalam bentuk monometrik, tetapi sangat imunogen bila berada dalam polimetrik atau keadaan agregasi. h). Bentuk-bentuk (Conformation). Tidak adanya bentuk dari molekul tertentu yang imunogen. Polipeptid linear atau bercabang, karbohidrat linear atau bercabang, serta protein globular, semuanya mampu merangsang terjadinya respon imun.

26 12 Meskipun demikian antibodi yang dibentuk dari aneka macam kombinasi struktur adalah sangat spesifik dan dapat dengan cepat mengenal perbedaan-perbedaan ini. Bila bentuk antigen berubah, antibodi dirangsang dalam bentuk aslinya yang tidak bergabung lagi. i) Muatan (charge) imunogenitas tidak terbatas pada molekuler tertentu, tidak terbatas pada molekuler tertentu, zat-zat yang bermuatan positif, negatif, dan netral dapat imunogen. Namun demikian imunogen tanpa muatan akan memunculkan antibodi yang tanpa kekuatan. Telah terbukti bahwa imunitas dengan beberapa imunogen bermuatan positif akan menghasilkan imunogen bermuatan negatif. j) Kemampuan masuk. Kemampuan masuk suatu kelompok determinan pada sistem pengenalan akan menentukan hasil respon imun. Perkembangan baru-baru ini telah memungkinkan penelitian untuk mempersiapkan polipeptid imunogenik sintetik yang berisi sejumlah asam amino terbatas dan yang susunan kimianya dapat ditentukan. 2.3 Uji Imunologis Imunologi adalah ilmu yang mempelajari struktur dan fungsi sistem kekebalan tubuh. Imunologi membuat kemajuan besar menjelang akhir abad ke-19, melalui perkembangan yang pesat, pada penelitian imunitas humoral dan kekebalan seluler karya Paul Ehrlich yang mengusulkan teori rantai-sisi untuk menjelaskan spesifisitas reaksi antigen-antibodi (Goldsby et al., 2000). Adapun macam-macam pemeriksaan teknik imunologi antara lain: a) Radioimmunoassay (RIA) didasarkan pada reaksi antara antibodi dengan berbagai konsentrasi antigen, digunakan untuk menentukan antigen tunggal/antibodi dalam cairan biologis. Teknik pemeriksaan untuk menentukan antibodi/antigen dengan reagen yang

27 13 bertanda zat radioaktif. b) Imunohistochemisty untuk medeteksi antigen seluler dengan menggunakan antibodi, dimana mempelajari struktur/komponen sel/jaringan yang berfungsi sebagai antigen. c) Imunoflurense merupakan metode imunologi mendeteksi atibodi dari berbagai kelas imunoglobulin dalam serum, saliva dan cairan otak. Prinsip mereaksikan antibodi dan antigen spesifik dan anti antibodi berlabel FIT (flurense isothiocyonat). d) Enzim-linked immune sorbent assay (ELISA) atau dalam bahasa indonesianya disebut sebagai uji penentuan kadar immunosorben taut-enzim, merupakan teknik pengujian serologi yang didasarkan pada prinsip interaksi antara antibodi dan antigen (Satria, 2012). Pada awalnya, teknik ELISA hanya digunakan dalam bidang imunologi untuk mendeteksi keberadaan antigen maupun antibodi dalam suatu sampel seperti dalam pendeteksian antibodi IgM, IgG, dan IgA pada saat terjadi infeksi. Namun, seiring dengan perkembangan ilmu pengetahuan, teknik ELISA juga diaplikasikan dalam bidang patologi tumbuhan, kedokteran, dll (Brandt et al., 1992). Teknik ELISA pertama kali diperkenalkan pada tahun 1971 oleh Peter Perlmann dan Eva Engvall. Teknik ELISA ini digunakan dalam bidang imunologi (ELISA konvensional) untuk menganalisis interaksi antara antigen dan antibodi di dalam suatu sampel, dimana interaksi tersebut ditandai dengan menggunakan suatu enzim yang berfungsi sebagai pelopor/reporter/signal.

28 14 Gambar 2. Prinsip Kerja ELISA ( ) Prinsip kerja ELISA menurut Satria (2012) seperti diilustrasikan pada Gambar 2 diatas, adalah sebagai berikut: a) Siapkan plate ELISA dan plate layout serta coating antigen yaitu serum : coating buffer (1:1), bungkus dengan alumunium foil dan inkubasi dalam suhu 4 o C selama semalam kemudian buang cuci dengan PBS-Tween. b) Coating blocking buffer (supaya menutupi antigen yang tidak diinginkan) 1% BSA-PBS 100 µl dan bungkus dengan alumunium foil serta inkubasikan selama 1 jam pada suhu ruangan kemudian buang dan cuci dengan PBS-Tween. c) Coating antibodi primer (mengikat antigen spesifik yang sudah di coating sebelumnya) yaitu (leptin-rabbun Pab : blocking Buffer (1: 500) dan bungkus dengan alumunium foil serta inkubasikan selama 2 jam pada suhu ruangan kemudian buang dan cuci dengan PBS-Tween. d) Coating antibodi sekunder (untuk mengikat antibodi spesifik yang sudah di coating sebelumnya, dan memberikan tempat untuk molekul pewarnanya) antara lain: Anti rabbit IgG Biotin konjugat : PBS (1:1000) dan bungkus dengan alumunium foil kemudian inkubasikan selama 1 jam pada suhu ruangan dan buang dan cuci dengan PBS-

29 15 Tween. e) Coating enzim yaitu SAHRP : PBS (1:1000) dan bungkus dengan alumunium foil serta inkubasikan selama 1 jam pada suhu ruangan kemudian buang dan cuci dengan PBS-Tween. f) Substrat dan stop solution yaitu teteskan substrat Tetramethyl benzydine (TMB) 50 µl dan inkubasi selama 30 menit dalam suhu ruangan serta tambahkan H2SO4 50 µl kemudian inkubasikan selama 10 menit pada suhu ruangan. Dalam perkembangan selanjutnya, selain digunakan sebagai uji kualitatif untuk mengetahui keberadaan suatu antibodi atau antigen dengan menggunakan antibodi atau antigen spesifik, teknik ELISA juga dapat diaplikasikan dalam uji kuantitatif untuk mengukur kadar antibodi atau antigen yang diuji dengan menggunakan alat bantu berupa spektrofotometer atau dengan cara menentukan jumlah penambahan atau kadar antibodi atau antigen, sehingga dapat dibuat suatu kurva standard kadar antibodi atau antigen yang tidak diketahui dapat ditentukan (Ariputuamijaya, 2011). ELISA dibedakan menjadi dua jenis, yaitu competitive assay yang menggunakan konjugat antigen enzim atau konjugat antibodi enzim, dan non-competitive assay yang menggunakan dua antibodi. Pada ELISA noncompetitive assay, antibodi kedua akan dikonjugasikan dengan enzim sebagai indikator. Teknik kedua ini seringkali disebut sebagai "sandwich" ELISA (Yong et al., 1993). Untuk melakukan teknik "sandwich" ELISA, diperlukan beberapa tahap yang meliputi (Satria, 2012): a) well dilapisi atau ditempeli antigen, b) sampel (antibodi) yang ingin diuji ditambahkan, c) ditambahkan antibodi kedua yang dikonjugasikan dengan enzim tertentu seperti peroksidase alkali. Antibodi kedua ini akan menempel pada antibodi sampel sebelumnya, d) dimasukkan

30 16 substrat enzim yang dapat menimbulkan warna tertentu saat bereaksi, e) intensitas warna campuran diukur dengan spektrofotometer yang disebut ELISA reader hingga mendapatkan hasil berupa optical density (OD). Beberapa kelebihan dari teknik ELISA, antara lain (Ariputuamijaya, 2011): a) teknik pengerjaan relatif sederhana, b) relatif ekonomis (karena jenis antibodi yang digunakan hanya satu saja, sehingga menghemat biaya untuk membeli banyak jenis antibodi), c) hasil memiliki tingkat sensitivitas yang cukup tinggi, d) dapat digunakan untuk mendeteksi keberadaan antigen walaupun kadar antigen tersebut sangat rendah (hal ini disebabkan sifat interaksi antara antibodi atau antigen yang bersifat sangat spesifik). Dalam teknik ELISA terdapat juga kekurangan (Satria, 2012) antara lain: a) Jenis antibodi yang dapat digunakan pada uji dengan teknik ELISA ini hanya jenis antibodi monoklonal (antibodi yang hanya mengenali satu antigen). b) Harga antibodi monoklonal relatif lebih mahal daripada antibodi poliklonal.

31 BAB III KERANGKA BERPIKIR DAN KERANGKA KONSEP PENELITIAN 3.1 Kerangka Berpikir Sistiserkosis adalah penyakit parasitik yang disebabkan oleh larva dari cacing pita yang disebut Cystisercus. Salah satu Cystisercus yang ditemukan pada sapi adalah Cystisercus T. saginata. Hospes defenitif cacing pita T. saginata adalah manusia. Penyakitnya disebut taeniasis, merupakan zoonosis penting yang dapat menimbulkan masalah kesehatan. Parasit ini pada ternak mengakibatkan kerugian ekonomi karena daging yang terinfeksi tidak layak dikonsumsi dan harus dimusnakan (Dharmawan et al, 2013). Penyakit ini sering timbul di negara-negara berkembang yang sanitasi lingkungannya buruk serta ditemukan banyak hewan berkeliaran tidak dikandangkan. Taeniasis bersifat endemis di beberapa daerah di Indonesia. Tiga daerah endemis utama di Indonesia adalah Bali, Papua, dan Sumatra Utara. Taeniasis dan sistiserkosis juga ditemukan di beberapa wilayah, seperti Timor, Flores, Sulawesi Utara, Kalimantan Selatan dan Sumatra Selatan (Simanjuntak et al., 1997; Margono et al., 2006; Wandra et al., 2007; Dharmawan et al., 2012). Hasil survei yang dilakukan di Bali pada menemukan 80 kasus taeniasis T. saginata dari 660 orang yang diperiksa (Wandra et al., 2011). Dalam penanganan taeniasis sistiserkosis diperlukan adanya metode yang mudah dan dapat dipercaya secara akurat. Untuk mencegah penyebaran sistiserkosis dan taeniasis diperlukan pengembangan uji imunodiagnostik untuk mendeteksi keberadaan agen penyakit, terutama dalam hal mendukung diagnosis klinis neurosistiserkosis pada manusia. Beberapa metode serologi yang telah 17

32 18 dicobakan untuk mendeteksi adanya Cystisercus adalah indirect haemaglutination test (IHA) dan double diffusion agar, immunoelectrophoresis, enzyme-linked immunosorbent assay (ELISA) dan radioimmunoassay (RIA). Diantara metode tersebut, ELISA ternyata merupakan uji yang paling banyak digunakan (da Silva et al., 2000; Pinto et al., 2000; Husain et al., 2001; Das et al., 2002). ELISA adalah suatu teknik biokimia yang terutama digunakan dalam bidang imunologi untuk mendeteksi adanya antibodi atau antigen dalam suatu sampel. ELISA telah digunakan sebagai alat diagnostik dalam bidang medis, patologi tumbuhan, dan juga berbagai bidang industri (Satria, 2012). ELISA dapat mengevaluasi adanya antigen dan antibodi dalam suatu sampel, karenanya merupakan metode yang sangat berguna untuk menentukan konsentrasi antibodi dalam serum dan juga untuk mendeteksi adanya antigen (Sarmoko, 2011). Metode ini merupakan metode serologi yang paling banyak digunakan mendeteksi sistiserkosis pada manusia dan ternak (Cho et al., 1992; Yong et al., 1993). Teknik tersebut umumnya memberikan hasil yang baik (Cho et al., 1992; Yong et al., 1993). Bahkan dewasa ini, telah umum diketahui bahwa laporan tentang epidemiologi kejadian sistiserkosis di beberapa negara, datanya diperoleh dari pemeriksaan serologis (Carrique-Mas et al., 2001; Subahar et al., 2001; Bragazza et al., 2002; Dorny et al., 2002; Ito et al., 2002). Bukan berarti metode serologi ini sudah sempurna. Diperlukan antigen yang cocok agar uji memberi nilai sensitifitas dan spesifisitas tinggi. Penelitian ini bertujuan mengembangkan metode diagnostik yang dapat dipakai mendeteksi sistiserkosis pada hewan hidup menggunakan antigen spesifik

33 19 yang berasal dari isolat lokal Bali. Dengan kata lain, menyediakan metode diagnostik serologis yang mudah dapat diterapkan secara ante mortem untuk diagnosa sistiserkosis pada sapi. 3.2 Kerangka Konsep Berdasarkan kerangka berpikir di atas yang dilandasi oleh kepustakaan dan dasar teori, maka dapat disusun kerangka konsep seperti tergambar pada Gambar 3 berikut.

34 20 Sapi Bali Daging Darah Cystisercus T. saginata Serum Antigen Antibodi ELISA Optimalisasi Protein Optimalisasi Serum Optimalisasi Konjugat Gambar 3. Konsep Penelitian

35 BAB IV METODE PENELITIAN 4.1 Rancangan Penelitian Penelitian ini dirancang untuk mengevaluasi kemampuan antigen Cystisercus T. saginata isolat lokal dalam mendeteksi sistiserkosis pada sapi menggunakan uji ELISA. Untuk mengevaluasi antigen tersebut dirancang konsentrasi dan pengenceran dalam beberapa tingkatan sebagai ulangan. Konsentrasi dan pengenceran optimal diperoleh dari selisih optical density (OD) antara kontrol positif dan kontrol negatif. 4.2 Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian dilaksanakan di Laboratorium Balai Besar Veteriner Denpasar. pada bulan Mei 2013-Juli Bahan Penelitian Bahan yang digunakan dalam penelitian ini diantaranya adalah Cysticercus T. saginata yang diperoleh dari hasil eksperimental pada sapi bali yang diinfeksi dengan Taenia saginata (Dharmawan et al., 2012). Bahan lainnya adalah: serum positif, serum negatif, konjugat (IgG-Peroxidase antibody produced in rabbit (Sigma), substrat ABTS mengandung 2,2 azino-di-(3-ethylbenzthiazoline-6- sulfonic acid) hydrogen peroxydase (BIORAD), PBS, PBS-Tween, Aquades, Susu skim 5 %, Larutan stopper (oxalic acid), coating buffer (0,1M larutan karbonat ph 9,6), Alkohol 70 % dan tissue. 21

36 Instrumen Penelitian Peralatan yang digunakan pada penelitian adalah pipet (multi chanel µl single chanel 2-20 µl), vortex, refrigarator 4 o C, ELISA washer, tabung 1.5 ml, inkubator, komputer, kamera, erlenmeyer, corong, spuite, spektofotometrik, sentrifus, kit (invitrogen). 4.5 Prosedur Penelitian Langkah-langkah yang ditempuh dalam penelitian ini dapat dijelaskan secara singkat dalam kerangka penelitian seperti Gambar 4 di bawah ini.

37 23 Ekstraksi Protein Optimalisasi ELISA Titrasi Protein Titrasi Serum Titrasi Konjugat Pemeriksaan ELISA Penentuan Nilai Optimal Antigen, Serum, Kunjugat Analisis Data Gambar 4. Prosedur Penelitian Ekstraksi Protein Antigen diperoleh dengan cara ekstraksi protein Cystisercus T. saginata. Ekstraksi dilakukan dengan cara menghomogenkan kista. Selanjutnya homogenat disentrifus dengan kecepatan 1500 RPM selama 15 menit. Supernatan diambil dan

38 24 ditampung dalam satu tabung 10 ml kemudian ditambahkan penicilin IU dan streptomisin µg/ml. Konsentrasi protein dihitung dengan menggunakan kit invitrogen diperoleh hasil 113µg/ml. Protein antigen Cystisercus T. saginata ini disimpan pada suhu -20 o C sampai akan digunakan Optimalisasi ELISA Optimalisasi ELISA dilakukan dengan tujuan untuk mengetahui konsentrasi optimal antigen, pengenceran optimal serum dan pengenceran optimal konjugat. Dalam penelitian ini optimalisasi ELISA meliputi titrasi protein, titrasi serum kontrol positif dan negatif serta titrasi konjugat Titrasi Protein Larutan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pelapisan larutan 0.1 M karbonat ph 9.6. Titrasi protein dilakukan mulai dari konsentrasi 50 µg/ml diencerkan sampai 0.1 µg/ml dimasukkan ke dalam plate ELISA. Kemudian diinkubasi pada suhu 4 o C selama 15 jam. Selanjutnya dilakukan uji ELISA sehingga diperoleh konsentrasi antigen yang optimal Titrasi Serum Serum positif dan serum negatif diencerkan dengan PBS-Tween 20 dimulai dari pengenceran 1 : 10 sampai 1:100 pada plate ELISA. Selanjutnya dilakukan inkubasi selama 1 jam pada suhu 37 o C. Proses uji ELISA dilanjutkan sampai diperoleh pengenceran serum yang optimal.

39 Titrasi Konjugat Titrasi konjugat dilakukan pada uji ELISA dengan menggunakan konsentrasi antigen yang diperoleh pada poin dan pengenceran serum diperoleh pada poin Titrasi Konjugat yang digunakan dalam penelitian ini dimulai dari pengenceran 1: 3000 sampai 1:5000. Selanjutnya dilakukan inkubasi selama 1 jam pada suhu 37 o C. Proses uji ELISA dilanjutkan sampai diperoleh pengenceran konjugat yang optimal Pemeriksaan ELISA pada serum Sembilan puluh enam well polystyrene ELISA plate dilapisi dengan crude antigen dengan konsentrasi protein yang optimal, kemudian diinkubasi selama 15 jam pada suhu 4 O C dengan konsentrasi sesuai dengan hasil titrasi antigen. Setelah inkubasi dicuci dengan ELISA washer 3 kali dengan PBS-Tween 20 (PBS-0,5 Tween). Sampel serum diencerkan PBS-0,5 Tween sesuai dengan hasil titrasi sampel kemudian diinkubasi selama 1 jam pada temperatur kamar, setelah inkubasi dicuci lagi sebanyak 3 kali dengan PBS-0,5 Tween. Selanjutnya ditambahkan konjugat dengan pengenceran sesuai dengan hasil titrasi dan diinkubasi selama 1 jam pada suhu 37 o C. Setelah dilakukan pencucian 3 kali dengan PBS-0,5 Tween maka dilakukan penambahan substrat yang mengandung 2,2 azino-di-(3-ethylbenzthiazoline-6-sulfonic acid ) dan 0,0012% hydrogen peroxydase. Setelah inkubasi pada ruang gelap selama 15 menit. Optical density kemudian dibaca pada ELISA-reader pada 405 nm. Dari hasil pembacaan tersebut kemudian ditentukan index OD.

40 Analisa Data Data yang berupa nilai optical density (OD) dari serum kontrol positif dan serum kontrol negatif dibandingkan, lalu disajikan dalam bentuk grafik. Konsentrasi dan pengenceran optimal diperoleh dari selisih masing-masing nilai OD tersebut

41 BAB V HASIL PENELITIAN Hasil optimalisasi ELISA pada penelitian ini dinyatakan dalam bentuk konsentrasi optimal antigen, pengenceran optimal serum dan pengenceran optimal konjugat. Untuk menentukan konsentrasi dan pengenceran optimal ketiga parameter tersebut telah dilakukan penghitungan titrasi menggunakan uji ELISA. 5.1 Hasil Titrasi Antigen Titrasi dimaksudkan untuk menentukan konsentrasi antigen yang optimal, dilakukan dengan pelapisan antigen. Antigen yang digunakan berasal dari crude antigen Cystisercus T. saginata isolat Bali. Konsentrasi terakhir untuk optimalisasi dibuat dalam empat tingkatan yaitu 1 µg/ml, 2 µg/ml, 3 µg/ml, dan 4 µg/ml. Serum kontrol positif diperoleh dari serum sapi yang terinfeksi Cystisercus T. saginata secara buatan (Dharmawan et al., 2012). Serum kontrol negatif diperoleh dari pedet yang dipotong di RPH Pesanggaran. Hasil optical density (OD) antigen dengan uji ELISA pada penelitian ini dapat dilihat pada Gambar 6. Dari hasil tersebut diketahui bahwa antigen optimal ada pada konsentrasi 2 µg/ml. 27

42 28 Gambar 6: Optical density ELISA serum kontrol positif dan kontrol negatif pada berbagai pengenceran antigen. 5.2 Hasil Titrasi Sampel Serum Pengenceran serum kontrol positif dan serum kontrol negatif dibuat secara seri yaitu 1:10, 1:20, 1:30, 1:40, 1:50, 1:60, 1:70, 1:80, 1:90 dan 1:100. Pengenceran dilakukan dengan menambahkan serum kontrol positif dan kontrol negatif dengan PBS-Tween 20. Pada penelitian ini, dari hasil optical density (OD) uji ELISA titrasi serum kontrol positif dan serum kontrol negatif, diketahui pengenceran optimal serum ada pada pengenceran 1:80. Selanjutnya hasil OD titrasi serum pengenceran 1:80 tersebut, dapat digambarkan seperti berikut (Gambar 7).

43 29 Gambar 7 : Optical density ELISA serum kontrol positif dan serum kontrol negatif pada berbagai pengenceran. 5.3 Hasil Titrasi Konjugat Mengacu pada penelitian yang sama, namun menggunakan cairan Cysticercus bovis sebagai antigen, Dharmawan et al. (2009) telah melakukan pengenceran konjugat bertingkat, yaitu 1:3000, 1:4000 dan 1:5000. Tingkatan pengenceran yang sama digunakan pada penelitian ini. Hasil penelitian menunjukkan bahwa nilai OD titrasi konjugat seperti pada Gambar 8. Dari ketiga pengenceran konjugat tersebut diperoleh pengenceran paling optimal pada 1:400

44 30 Gambar 8: Optical density ELISA serum kontrol positif dan kontrol negatif pada berbagai pengenceran konjugat.

45 BAB VI PEMBAHASAN Penelitian ini dilakukan untuk kepentingan uji diagnostik sistiserkosis pada sapi, dengan mengevaluasi kemampuan crude antigen Cysticercus T. saginata isolat Bali sebagai antigen. Langkah awal dilakukan dengan optimalisasi ELISA dengan cara menetapkan konsentrasi optimal antigen, pengenceran optimal serum dan pengenceran optimal konjugat. Hasil penelitian menunjukkan bahwa nilai optimal yang diperoleh untuk konsentrasi antigen, pengenceran serum dan pengenceran konjugat berturut-turut sebagai berikut: antigen 2 µg/ml, serum 1:80 dan konjugat 1:4000. Hasil penelitian ini tidak jauh berbeda dengan penelitian yang dilakukan Dharmawan et al., (2010) yang mendeteksi sistiserkosis pada sapi dengan menggunakan cairan kista T. saginata sebagai antigen. Dharmawan et al., (2010) melaporkan bahwa pengenceran optimal yang diperoleh untuk antigen adalah 1:60; pengenceran optimal serum 1:80 dan pengenceran konjugat 1:4000. Jika hasil penelitian ini dibandingkan dengan penelitian Kandil et al. (2012) yang menggunakan crude antigen T. saginata untuk diagnosis sistiserkosis pada sapi, ada sedikit perbedaan. Dari hasil checkerboard titration yang dilakukannya, Kandil et al. (2012) menemukan konsentrasi optimal antigen adalah 5µg/ ml. Sementara, Rodriguez et al. (2009) yang melakukan penelitian deteksi antigen T. solium menggunakan ELISA dan deteksi antibodi anti T. solium menggunakan enzyme-linked immunotransfer blot (EITB) pada sampel serum dan sampel cairan cerebrospinal pasien neurosistiserkosis, melaporkan bahwa deteksi 31

46 32 antigen dengan ELISA lebih baik untuk cairan cerebrospinal dibandingkan sampel serum. Pengenceran optimal serum yang dilakukan untuk penelitiannya adalah 1:50 (Rodriguez et al. 2009). Menurut Minozzo et al. (2008) yang mengungkapkan crude antigen Cysticercus T. crassiceps efektif untuk deteksi neurosistiserkosis pada manusia di Brazil, ternyata menggunakan pengenceran optimal antigen 1:500, pengenceran optimal serum 1:800 dan pengenceran optimal konjugat 1:4000. Pada penelitian ini, rentang selisih OD dari serum kontrol positif dan serum kontrol negatif relatif rendah. Hal ini kemungkinan disebabkan sampel serum kontrol negatif yang digunakan berasal dari Rumah Potong Hewan Pesanggaran Denpasar. Walaupun sapi-sapi yang diambil darahnya diyakini bebas sistiserkosis, belum tentu bebas dari infeksi parasit lainnya. Menurut Pinto et al. (2000) yang menjadi kendala utama dalam uji serologi adalah adanya reaksi silang. Huebner (2004) menyatakan reaksi silang (cross-reactivity) terjadi apabila ada dua antigen yang memiliki epitop yang identik atau antibodi yang spesifik untuk satu epitop juga mengikat epitop lain yang tidak berhubungan tetapi memiliki sifat kimia yang sama. Dharmawan (2009) melaporkan Hydatida cyst, Multiceps multiceps, Taenia spp. dan Schistosoma spp. masing-masing menunjukkan reaksi silang dengan antibodi Cystisercus. Tetapi, dengan cara pemurnian antigen, diketahui bahwa suatu antigen yaitu antigen B (Ag B), memperlihatkan reaksi imunologi yang baik (Das et al., 2002). Penggunaan Antigen ini 80% mampu mendeteksi sistiserkosis tanpa kelihatan adanya reaksi silang. Dari hasil penelitian Cheng dan

47 33 Ko, seperti dilaporkan oleh Dharmawan (2009) diketahui bahwa antigen-antigen yang memberi reaksi silang itu, terdistribusi terutama pada tegumen Taenia. Hal yang sama juga diungkapkan Kandil et al. (2012) yang menyebutkan bahwa dalam studi yang dilakukannya, tingginya persentase serum positif yang terinfeksi T. saginata kemungkinan karena adanya reaksi silang dengan parasit taenia lain. Sehingga hal ini membutuhkan adanya penelitian lebih lanjut. Mehlhorn (1998) menyatakan bahwa pada saat inang definitif terinfeksi parasit, inang tersebut akan terpapar materi antigenik asal parasit yang terdiri dari antigen permukaan, antigen ekskretori-sekretori dan antigen somatik. Kompleksitas antigen parasit mengakibatkan interaksi antara parasit dan inang definitif. Lebih lanjut dinyatakan bahwa reaksi silang tidak hanya terjadi antara genus dan famili parasit, tetapi juga dengan spesies (Mehlhorn, 1998). Sebagai peran penting dalam immunodiagnosis, Mehlhorn (1998) juga melaporkan meskipun sebagian dari antigen asal parasit bisa merangsang tanggap kebal protektif inang definitif, namun sebagian lain tidak berfungsi untuk mengembangkan tanggap kebal tersebut. Dari hasil penelitian ini dapat dinyatakan bahwa crude antigen Cysticercus T. saginata isolat Bali mampu digunakan untuk mendeteksi sistiserkosis pada sapi. Dengan tersedianya antigen isolat lokal, akan memudahkan melakukan seroprevalensi kejadian sistiserkosis pada sapi di Bali pada khususnya, di Indonesia pada umumnya. Menurut Allepuz et al. (2012) penentuan seroprevalensi kejadian sistiserkosis pada sapi memberi nilai yang lebih tinggi dibandingkan hanya dengan mengandalkan pemeriksaan inspeksi visual post

48 34 mortem. Walaupun demikian, hasil penelitian ini masih perlu dievaluasi dan dikembangkan untuk mengetahui adanya reaksi silang. Di samping itu, crude antigen Cysticercus T. saginata isolat Bali perlu diteliti kemungkinannya untuk dipakai mendeteksi sistiserkosis pada manusia. Karena menurut Oliveira et al. (2007) metacestoda T. saginata telah terbukti dapat digunakan sebagai alternatif antigen dalam diagnosis neurosistiserkosis pada manusia.

49 BAB VII SIMPULAN DAN SARAN 7.1 Simpulan Dari hasil penelitian ini dapat disimpulkan bahwa crude antigen Cystisercus T. saginata isolat Bali mempunyai sifat antigenik yang dapat digunakan sebagai antigen untuk mendeteksi antibodi sistiserkosis pada sapi. Optimalisasi ELISA menunjukkan bahwa nilai optimal untuk konsentrasi antigen adalah 2 µg/ml, pengenceran optimal serum adalah 1:80 dan pengenceran optimal konjugat adalah 1: Saran Penelitian terkait penggunaan crude antigen Cysticercus T. saginata isolat Bali untuk deteksi sistiserkosis pada sapi perlu dilanjutkan, khususnya untuk mengetahui adanya reaksi silang dengan parasit lain. Selain itu, perlu dikembangkan kemungkinan penggunaan crude antigen Cysticercus T. saginata isolat Bali untuk deteksi sistiserkosis pada manusia. 35

50 DAFTAR PUSTAKA Allepuz, A., Gabriel, S., Dorny, P., Napp, J.F., Vilar, M.J., Lives, L., Picart, L., Ortuna, A Comparison of Bovine Cystisercosis Prevalene Detected by Antigen ELISA and Visual Inspection in the North East of Spain. Research in Veterinary Science 92: Ariputuamijaya Macam-macam Tekhnik Pelabelan Antibodi Pada ELISA. [Accessed 2013 Feb 26] Available from: URL: Brandt, J.R., Geerts, S., Deken, D., Kumar, V., Brijs, L., and Falla, N A Monoclonal Antibody-Based ELISA for Detection of Circulating Excretory Secretory antigens in Taenia saginata Cysticercosis. Int. J. Parasitol. 22: Bragazza, L.M., Vas, A.J., Passos, A.D., Takayanagui, O.M., Nakamura, P.M., Espindola, N.M., Pardini, A., Bueno, E.C Frequency of Serum anti- Cysticercus Antibodies in the population of rural Brazilian community (Cassia Dos Coqueiros, SP) determined by ELISA and immunoblotting using Taenia crassiceps antigens. Rev. Inst. Med. Trop. 44 (1): Carrique-Mas, J., Iihoshi, N., Widdowson, M.A., Roca, Y., Morales, G., Quiroga, J., Cejas, F., Caihura, M., Ibarra, R., Edelsten, M An epidemiological study of Taenia solium cysticercuosis in a rural population in the Bolivian Chaco. Acta Trop. 80 (3): Cho, S.Y., Kong, Y., Kim, S.I., and Kang, S.Y Measurement of 150 kda protein of Taenia Solium metacestoda by enzyme-linked immuno electrotranfer blot technique. Korean J. Parasitol. 30(4): Das, S., Mahajan, R.C., Ganguly, N.K., Sawhney, I.M., Dhawan, V., Malla, N Detection of antigen B of Cysticercus cellulosae in cerebrospinal fluid for the diagnosis of human neurocysticercosis. Trop Med Int Health. 7 (1): Da Silva, A.D., Quagliato, E.M., Rossi, C.L A quantitative enzymelinked immunosorbent assay (ELISA) for the immunodiagnosis of neurocysticercosis using a purified fraction from Taenia solium cysticerci. Diagn Microbiol Infec Dis. 37 (2): Dharmawan, N.S Fenomena penyakit cacing pita daging babi di Bali dan peran laboratorium klinik dalam menegakkan diagnosis. Dalam Pemikiran Kritis Guru Besar Universitas Udayana. Bidang Agrokomplek. Tim Editor BPMU. Udayana University Press. 1(2):

51 37 Dharmawan, N.S., Dwinata, I.M., Damriyasa, I.M Evaluasi Cairan Kista Taenia saginata untuk uji Serologi Taenia Saginata sistiserkosis. Prosiding Seminar Hasil Penelitian Hibah Stategis Nasional Lembaga Penelitian Universitas Udayana Dharmawan, N.S., Dwinata, I.M., Swastika, K., Damriyasa, I.M., Oka, I.B.M., Agustina, K.K Studi biologi perkembangan metacestoda Taenia saginata pada sapi Bali. Prosiding Seminar Nasional Peningkatan Produksi dan Kualitas Daging Sapi Bali Nasional Bali, 14 September Dharmawan, NS, Dwinata, IM, Swastika, K, Damriyasa, IM., Oka,I.B.M., Astawa, I.N.M Protein Spesifik Cairan Kista Cystisercus bovis pada Sapi Bali yang Diinfeksi dengan Taenia saginata. J.vet. 14(1): Dorny, P., Gabriel, N., Speybroeck., and Vercuysse, J A sero epidemiological study of Taenia saginata cysticercosis in Zambia cattle. Vet. Parasitol.104: Dorta, S Pengenalan Molekul Antigen. [Accessed 2013 Jul 19] Available from: URL: doc/ Molekul-Pengenalan-Antigen. Emantoko, S Antibodi Rekombinan: Perkembangan terbaru dalam Tekhnologi Antibodi. Unitas. 9(2): Flisser, A., Correa, D., Avilla, G., and Marvilla, P Biology of Taenia solium, Taenia saginata and Taenia saginata asiática. In: Murrel. K.D. (Ed.) WHO/FAO/OIE guidelines for the surveillance, prevention and control of taeniosis/cisticercosis. Paris, France Goldsby, R.A., Kindt, T.J., Osborne, B.A Kuby Immunology. Ed ke-4. New York : WH Freeman & Co Gonzalez, L.M., N. Villalobos., Montero, E., Morales, J., Sanz, R.A., Muro, A., Harrison, L.J., Parkhouse, R.M., and Garate, T Differential molecular identification of Taeniid spp. And Sarcocystis spp. cysts isolated from infected pigs and cattle. Vet. Parasitol. 142: Harrison, L.J., Grate, T., Brsyce, D., Ganzalez, M., Foster, L.M., Wamae, L.W., and Onyango, J.A Vaccination of cattle against Taenia saginata cysticercosis using an oncospheral adhesion protein (HP6). 37 (2):

52 38 Huebner J Antibody-antigen interactions and measurements of immunologic reactions. Di dalam : Pier GB, Lyczak JB, Wetzler LM, editor. Immunology, infection, and immunity. Washington, DC : ASM Press Huges, G., Hoque, M., Tewes, M.S., Wright, S.H., and Harrison, J.S seroepidemiological study of Taenia saginata cysticercosis in Swiszerland. Res. Vet. Sci. 55: Husain, N., Jyotsna., Bagchi, M., Huasain, M., Mishra, M.K., Gupta, S Evaluation of Cysticercus fasciolaris antigen for immunodiagnosis of neurocysticercosis. Neurol India. 49 (4): Iskandar, T., Subekti, D.T., dan Suhardono Isolasi Antigen Sistiserkosis Pada Babi dan sapi. Seminar nasional tekhnologi peternakan dan veteriner. Balai Penelitian Veteriner; Bogor. Ito, A., Sako, Y., Ishikawa, Y., Nakao, M., Nakaya, K., Yamasaki, H Differential serodiagnosis for alveolar echinococcosisby Em18-immunoblot and Em18-ELISA in Japan and China. In P. Craig and Z. Pawlowski (Eds.) Cestode Zoonoses: Echinococcosis and Cysticercosis An Emergent and Global Problem. IOS Press. Amsterdam Kandil, M., Mona, S., Mahmoud., Shalaby, H.A Value of Taenia Saginata Crude Antigen in Diagnosis of Bovine Cystisercosis With Reference ti its Characterization. Global Veterinaria. 9(4): Ketobapadah Respon imunitas terhadap tubuh parasit. [Accessed 2013 Feb 26] Available from: URL: ketobapadah.com/2011/04/responsimunitas-tubuh-terhadap-parasit.html. Margono, S.S., Wandra, T., Swasono, M.F., Murni, S., Craig, P.S., Ito, A Taeniasis cysticercosis in Papua (Irian Jaya), Indonesia. Parasitol. Intl. 55: S143-S148. Mehlhorn, H Parasitology in Focus. Springer-Verlag Berlin Heidelberg. Germany. Miller, M Taeniasaginata. [Accessed 2013 Nov 26] Available from: URL:. tapewrm1.jpg. Minozzo, C.J., Moura, de.j., Almeida, M.S., Soccol, T.V Crude Antigen from Taenia Crassiceps Cystisercus used As Heterologous Antigen in ELISA and In EITB for Neurocysticercosis Diagnosis of Patient from Parana- Brazil. Braz.arch.biol.technol. 51(6):

53 39 Oliveira, B.H., Machhado, A.G., Cabral, D.D., Juliana, M., Cruz, C Application of Taenia saginata metacestodes as an alternative antigen for the Serological Diagnosis of Human Neurocysticercosis. Parasitol Res. 101: Pinto, P.S., Vaz, A.J., Germano, P.M., Nakamura, P.M Performance of the ELISA test for swine cysticercosis using antigens of Taenia solium and Taenia crassiceps cysticerci. Vet Parasitol. 88 (1-2): Pratama, S Reaksi imun terhadap infeksi bakteri dan parasit. [Accessed 2013 Mar 26] Available from: URL: Rodriquez, S., Dorny, P., Victor, C.W, Tsang, E., Pretell, J., Brandt, J., Andres, G., Lescano., Gonzalez, A.E., Gilman, H.R., Garcia, H.H Detection of Taenia solium Antigens and Anti T. solium Antibodies in Paired Serum and Cerebrospinal Fluid Samples from Patient With Intraparenchymal or Extraparenchymal Neurocysticercosis. JID. 199: Sarmoko Tinjauan tentang ELISA. [Accessed 2013 Feb 23] Available from: URL: wordpress.com/ 2011/06/28/tinjauan-tentang-elisa. Sato, M.O., Yamasaki, H., Sako, Y., Nakao, M., Plancarte, A., Kassuku, A.A., Dorny, P., Geerts, S., Benitez-Ortis, W., Hashiguchi, Y Evaluation of tongue inspection and serology for diagnosis of Taenia solium cysticercosis inswine: usefulness of ELISA using purified glycoproteins and recombinant antigen. Vet. Parasitol. 111, Satria, A ELISA (Enzyme-Linked Immunosorbent Assay). Program Magister Ilmu Biomedik. Fakultas Kedokteran Universitas Brawijaya; Malang. Simanjuntak, G.M., Margono, S.S., Okamoto, M., Ito, A Taeniais/cysticercosis in Indonesia as an emerging diseases. Parasitol Today. 13: Soulsby, E.J.L Helminths, Arthropods and Protozoaof Domesticated Animals, Seventh Edition. Balliere, London. Subahar, R., Hamid, A., Purba, W., Wandra, T., Karma. C., Sako, Y., Margono, S.S., Craig, P.S., Ito, A Taenia solium infection in Irian Jaya (West Papua), Indonesia: a pilot serological survey of human and porcine cysticercosis in Jayawijaya District. Trans R Soc Trop Med Hyg. 95:

54 40 Tiuria, R Immunologi penyakit parasiter metazoa dan prospek pengembangan vaksin. Prosiding Seminar Parasitologi dan Toksikologi Veteriner. Institut Pertanian Bogor. Wandra, T., Sutisna, P., Dharmawan, N.S., Margono, S.S, Sudewi, R., Suroso, T., Craig, P.S., and Ito, A High prevalence of Taenia saginata taeniasis and status of Taenia solium cysticercosis in Bali, Indonesia, Trans R Soc Trop Med Hyg. 100: Wandra, T., Margono, S.S., Gafar, M.S., Saragih, J.M., Sutisna, P., Dharmawan, N.S., Raka Sudewi, A.A., Depary, A.A., Yulfi, H., Darlan, D.M., Samad, I., Okamoto, M., Sato, M.O., Yamasaki, H., Nakaya, K., Craig, P.C., Ito, A Taeniasis/cysticercosis in Indonesia, Southeast Asian J Trop Med Public Health. 38 (1): ). Wandra, T., Raka Sudewi, A.A., Swastika, I.K., Sutisna, P., Dharmawan, N.S., Yulfi, H., Darlan, D.M., Kapti, I.N., Samaan, G., Sato, O.M., Okamoto, M., Sako, Y., Ito, A Taeniasis / Cysticercosis in Bali, Indonesia. Southeast Asian J. Trop. Med. Public Health. 42 (4): Yong, T.S., Yeo, I.S., Seo, J.H., Chang, J.K., and Jeong, G.H Serodiagnosis of cysticercosisby ELISA-inhibition test using monoclonal antibodies. Korean J. Parasitol. 32(2):

55 LAMPIRAN 41

56 42 Lampiran 1. Perhitungan Konsentrasi Crude Antigen Cystisercus T.saginata Perhitungan konsentrasi dilakukan dengan invitrogen. Adapun tahapan yang dilakukan untuk penghitungan konsentrasi antigen Cystisercus T.saginata adalah sebagai berikut: a. Pembuatan buffer working solution dengan cara mengambil 1194 µl buffer solution. b. Masukkan masing masing 190 µl ke dalam ependorf. c. Ependorf I diisi standart 0 µg/µl (P1) sebanyak 10 µg/µl, ependorf II diisi standart 200 µg/µl (P2), ependorf III diisi standart 400 µg/µl (P3) dan ependorf IV diisi crude antigen yang diencerkan 100 x (10µl antigen + 90 µl PBS) sebanyak 10 µl+ 190 working solution d. Vortex ke empat ependorf selama 2-3 detik. e. Inkubasi ke empat ependorf pada suhu ruang selama 15 menit. f. Step pembacaan ependorf (read tube) pada fluorometer. g. Masukkan ependorf yang diisi standart 0 µg/µl ke dalam flurometer (tanda bulatan hitam). h. Tekan GO. i. Setelah muncul kata complete lanjut dengan memasukkan ependorf yang diisi standart 200 µg/µl. j. Demikian pula untuk ependorf yang berisi standart µg/µl. k. Masukkan ependorf yang berisi sampel (crude antigen) l. Tekan GO m. Baca hasil kemudian dikalikan dengan faktor pengenceran (100x).

57 43 Lampiran 2. Tahapan optimalisasi ELISA Dengan menggunakan crude antigen Cystisercus T.saginata isolat Bali yang dilakukan sebagai berikut: a. Couting buffer dan penyimpanan antigen yang telah dicouting pada suhu 4 o C. b. Pencucian dengan ELISA washer sebanyak 3 kali. c. Bloking dengan susu skim 5 %. d. Penambahan serum positif dan negatif dengan pengenceran yang telah ditentukan. e. Inkubasi 1 jam pada suhu 37 o C dan pencucian 3 kali. f. Penambahan konjugat dengan pengenceran yang telah ditentukan. g. Inkubasi 1 jam pada suhu 37 o C dan pencucian 3 kali. h. Penambahan substrat dan terakhir pembacaan pada ELISA reader.

58 44 Lampiran 3. Dokumentasi Laboratorium Gambar 1. Cystisercus T.saginata Gambar 2. Ekstraksi antigen Gambar 3. Buffer wolking solution Gambar 4. Invitrogen Gambar 5. Couting buffer Gambar 6. ELISA washer

59 45 Gambar 7. Pengenceran serum (+)dan serum (-) Gambar 8. Konjugat Gambar 9. Substrat Gambar 10. Plate ELISA Gambar 11. ELISA reader Lampiran 4. Pengenceran pada plate ELISA

ABSTRAK. Kata kunci: Cysticercus cellulosae, crude antigen, ELISA

ABSTRAK. Kata kunci: Cysticercus cellulosae, crude antigen, ELISA ABSTRAK Sistiserkosis merupakan penyakit parasitik yang disebabkan oleh larva stadium metacestoda cacing pita yang disebut Cysticercus. Cysticercus yang ditemukan pada babi adalah Cysticercus cellulosae

Lebih terperinci

Crude Antigen Cystisercus Taenia Saginata Isolat Bali untuk Deteksi Sistiserkosis pada Sapi

Crude Antigen Cystisercus Taenia Saginata Isolat Bali untuk Deteksi Sistiserkosis pada Sapi Jurnal Ilmu dan Kesehatan Hewan, Pebruari 2014 Vol 2 No 1: 13-21 Crude Antigen Cystisercus Taenia Saginata Isolat Bali untuk Deteksi Sistiserkosis pada Sapi Crude Antigen of Taenia saginata Cysticercus

Lebih terperinci

NI MADE AYUDININGSIH ASTITI SUDEWI NIM

NI MADE AYUDININGSIH ASTITI SUDEWI NIM TESIS PREVALENSI SISTISERKOSIS PADA BABI YANG DIPOTONG DI RUMAH POTONG HEWAN DENPASAR DAN TEMPAT PEMOTONGAN HEWAN TRADISIONAL DI KARANGASEM SERTA EVALUASI UJI ELISA YANG DIGUNAKAN NI MADE AYUDININGSIH

Lebih terperinci

Deteksi Antibodi terhadap Cysticercus Cellulosae pada Babi Lokal yang Dipotong di Tempat Pemotongan Babi Panjer, Denpasar

Deteksi Antibodi terhadap Cysticercus Cellulosae pada Babi Lokal yang Dipotong di Tempat Pemotongan Babi Panjer, Denpasar Deteksi Antibodi terhadap Cysticercus Cellulosae pada Babi Lokal yang Dipotong di Tempat Pemotongan Babi Panjer, Denpasar (ANTIBODY DETECTION TOWARD CYSTICERCUS CELLULOSAE ON LOCAL PIG THAT SLAUGHTERED

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN HASIL DAN PEMBAHASAN Pengujian Serum dan Kuning Telur Hasil AGPT memperlihatkan pembentukan garis presipitasi yang berwarna putih pada pengujian serum dan kuning telur tiga dari sepuluh ekor ayam yang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kelangsungan hidup cacing parasitik yang ditunjang oleh pola hidup kesehatan

BAB I PENDAHULUAN. kelangsungan hidup cacing parasitik yang ditunjang oleh pola hidup kesehatan 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Karakteristik fisik wilayah tropis seperti Indonesia merupakan surga bagi kelangsungan hidup cacing parasitik yang ditunjang oleh pola hidup kesehatan masyarakatnya

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. berabad-abad lalu. Beberapa sinonim sapi bali yaitu Bos javanicus, Bos banteng

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. berabad-abad lalu. Beberapa sinonim sapi bali yaitu Bos javanicus, Bos banteng 6 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Sapi Bali Sapi bali berasal dari banteng (Bibos banteng) yang telah didomestikasi berabad-abad lalu. Beberapa sinonim sapi bali yaitu Bos javanicus, Bos banteng dan Bos sondaicus.

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN 20 HASIL DAN PEMBAHASAN Prevalensi Sistiserkosis pada Serum Contoh Total Penelitian ini memeriksa serum babi sebanyak 39 contoh (Tabel 1). Babi yang diambil serumnya dalam penelitian ini berasal dari peternakan

Lebih terperinci

BAB 2 TI JAUA PUSTAKA

BAB 2 TI JAUA PUSTAKA BAB 2 TI JAUA PUSTAKA 2.1. Infeksi Cacing Pita 2.1.1. Definisi Infeksi cacing pita atau taeniasis ialah penyakit zoonosis parasiter yang disebabkan cacing pita yang tergolong dalam genus Taenia (Taenia

Lebih terperinci

Taenia saginata dan Taenia solium

Taenia saginata dan Taenia solium Taenia saginata dan Taenia solium Mata kuliah Parasitologi Disusun Oleh : Fakhri Muhammad Fathul Fitriyah Ina Isna Saumi Larasati Wijayanti Sri Wahyuni Kelompok 6 DIV KESEHATAN LINGKUNGAN TAKSONOMI Taenia

Lebih terperinci

Seroprevalensi Sistiserkosis pada Babi Lokal yang Dipotong di Tempat Pemotongan Babi Penatih, Denpasar

Seroprevalensi Sistiserkosis pada Babi Lokal yang Dipotong di Tempat Pemotongan Babi Penatih, Denpasar Seroprevalensi Sistiserkosis pada Babi Lokal yang Dipotong di Tempat Pemotongan Babi Penatih, Denpasar (SEROPREVALENCE OF PIG CYSTICERCOSIS AT THE SLAUGHTERHOUSE IN PENATIH, DENPASAR ) I Ketut Suada 1,

Lebih terperinci

BAB III. BAHAN DAN METODE PENELITIAN

BAB III. BAHAN DAN METODE PENELITIAN 8 BAB III. BAHAN DAN METODE PENELITIAN 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian ini dilaksanakan selama dua bulan mulai Juli sampai dengan Agustus 2010. Pemeliharaan ayam broiler dimulai dari Day Old Chick (DOC)

Lebih terperinci

Evaluasi Uji ELISA dengan Serum Lapangan sebagai Crude Antigen di Bali. Evaluation of ELISA Test using Field Serum as a crude antigen in Bali

Evaluasi Uji ELISA dengan Serum Lapangan sebagai Crude Antigen di Bali. Evaluation of ELISA Test using Field Serum as a crude antigen in Bali Jurnal Ilmu dan Kesehatan Hewan, Pebruari 2014 Vol 2 No 1: 31-38 Evaluasi Uji ELISA dengan Serum Lapangan sebagai Crude Antigen di Bali Evaluation of ELISA Test using Field Serum as a crude antigen in

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Infeksi Taenia saginata 2.1.1. Definisi Taenia saginata merupakan cacing pita termasuk subkelas Cestoda, kelas Cestoidea, dan filum Platyhelminthes. Hospes definitif Taenia

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Latar Belakang. protozoa Toxoplasma gondii, infeksi parasit ini dijumpai di seluruh dunia

BAB I PENDAHULUAN. Latar Belakang. protozoa Toxoplasma gondii, infeksi parasit ini dijumpai di seluruh dunia BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Toksoplasmosis adalah penyakit zoonosis yang disebabkan parasit protozoa Toxoplasma gondii, infeksi parasit ini dijumpai di seluruh dunia (Kijlstra dan Jongert, 2008).

Lebih terperinci

Mekanisme Pertahanan Tubuh. Kelompok 7 Rismauzy Marwan Imas Ajeung P Andreas P Girsang

Mekanisme Pertahanan Tubuh. Kelompok 7 Rismauzy Marwan Imas Ajeung P Andreas P Girsang Mekanisme Pertahanan Tubuh Kelompok 7 Rismauzy Marwan Imas Ajeung P Andreas P Girsang Imunitas atau kekebalan adalah sistem mekanisme pada organisme yang melindungi tubuh terhadap pengaruh biologis luar

Lebih terperinci

Penggunaan Crude Antigen Cysticercus cellulosae Isolat Bali Untuk Optimalisasi Uji ELISA

Penggunaan Crude Antigen Cysticercus cellulosae Isolat Bali Untuk Optimalisasi Uji ELISA Penggunaan Crude Antigen Cysticercus cellulosae Isolat Bali Untuk Optimalisasi Uji ELISA (BALI ISOLATE S Cysticercus cellulosae CRUDE ANTIGEN USEMENT FOR ELISA TEST OPTIMALIZATION) Inti Sari Pati R U Sianturi

Lebih terperinci

MENJELASKAN STRUTUR DAN FUNGSI ORGAN MANUSIA DAN HEWAN TERTENTU, KELAINAN/ PENYAKIT YANG MUNGKIN TERJADI SERTA IMPLIKASINYA PADA SALINGTEMAS

MENJELASKAN STRUTUR DAN FUNGSI ORGAN MANUSIA DAN HEWAN TERTENTU, KELAINAN/ PENYAKIT YANG MUNGKIN TERJADI SERTA IMPLIKASINYA PADA SALINGTEMAS MENJELASKAN STRUTUR DAN FUNGSI ORGAN MANUSIA DAN HEWAN TERTENTU, KELAINAN/ PENYAKIT YANG MUNGKIN TERJADI SERTA IMPLIKASINYA PADA SALINGTEMAS KD 3.8. Menjelaskan mekanisme pertahanan tubuh terhadap benda

Lebih terperinci

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4. HASIL DAN PEMBAHASAN Konsentrasi immunoglobulin Y (IgY) yang diperoleh dalam penelitian ini adalah 9,57 mg/ml dan immunoglobulin G (IgG) adalah 3,75 mg/ml. Pada penelitian ini, antibodi yang dilapiskan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. I.1 Latar Belakang. menelan stadium infektif yaitu daging yang mengandung larva sistiserkus.

BAB I PENDAHULUAN. I.1 Latar Belakang. menelan stadium infektif yaitu daging yang mengandung larva sistiserkus. BAB I PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang Taeniasis merupakan penyakit infeksi yang terjadi pada manusia karena menelan stadium infektif yaitu daging yang mengandung larva sistiserkus. Penyebab taeniasis yaitu

Lebih terperinci

DIAGNOSIS SECARA MIKROBIOLOGI : METODE SEROLOGI. Marlia Singgih Wibowo School of Pharmacy ITB

DIAGNOSIS SECARA MIKROBIOLOGI : METODE SEROLOGI. Marlia Singgih Wibowo School of Pharmacy ITB DIAGNOSIS SECARA MIKROBIOLOGI : METODE SEROLOGI Marlia Singgih Wibowo School of Pharmacy ITB Pendahuluan Berbagai metode telah dikembangkan untuk mendeteksi berbagai penyakit yang disebabkan oleh mikroba

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. Penelitian ini dilakukan di Laboratorium Parasitologi Veteriner dan

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. Penelitian ini dilakukan di Laboratorium Parasitologi Veteriner dan BAB III METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilakukan di Laboratorium Parasitologi Veteriner dan Laboratorium Biomolekuler Fakultas Kedokteran Hewan Universitas Airlangga,

Lebih terperinci

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Hasil Sebanyak 173 dan 62 contoh serum sapi dan kambing potong sejumlah berasal dari di provinsi Jawa Timur, Tengah dan Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY), Barat, Jakarta dan

Lebih terperinci

RESPON AYAM LOKAL DI BALI DAN LOHMAN BROWN TERHADAP INFEKSI Ascaridia galli

RESPON AYAM LOKAL DI BALI DAN LOHMAN BROWN TERHADAP INFEKSI Ascaridia galli TESIS RESPON AYAM LOKAL DI BALI DAN LOHMAN BROWN TERHADAP INFEKSI Ascaridia galli ANAK AGUNG ISTRI AGUNG MIRAH DWIJA PROGRAM PASCASARJANA UNIVERSITAS UDAYANA DENPASAR 2016 TESIS RESPON AYAM LOKAL DI BALI

Lebih terperinci

METODOLOGI PENELITIAN. Tempat dan Waktu Penelitian. Bahan dan Alat Penelitian

METODOLOGI PENELITIAN. Tempat dan Waktu Penelitian. Bahan dan Alat Penelitian 14 METODOLOGI PENELITIAN Tempat dan Waktu Penelitian Tempat penelitian dilakukan di Laboratorium Unit Pelayanan Mikrobiologi Terpadu, Bagian Mikrobiologi Kesehatan, Departemen Ilmu Penyakit Hewan dan Kesehatan

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Klasifikasi, Morfologi dan Daur Hidup Taenia sp.

TINJAUAN PUSTAKA. Klasifikasi, Morfologi dan Daur Hidup Taenia sp. 4 TINJAUAN PUSTAKA Klasifikasi, Morfologi dan Daur Hidup Taenia sp. Klasifikasi dan Morfologi Taenia sp didalam klasifikasi taksonomi termasuk ke dalam kelas Eucestoda, ordo Taeniidae, famili Taeniidae

Lebih terperinci

CATATAN SINGKAT IMUNOLOGI

CATATAN SINGKAT IMUNOLOGI CATATAN SINGKAT IMUNOLOGI rina_susilowati@ugm.ac.id Apakah imunologi itu? Imunologi adalah ilmu yang mempelajari sistem imun. Sistem imun dipunyai oleh berbagai organisme, namun pada tulisan ini sistem

Lebih terperinci

RPKPS Rencana Program Kegiatan Pembelajaran Semester Dan Bahan Ajar IMUNUNOLOGI FAK Oleh : Dr. EDIATI S., SE, Apt

RPKPS Rencana Program Kegiatan Pembelajaran Semester Dan Bahan Ajar IMUNUNOLOGI FAK Oleh : Dr. EDIATI S., SE, Apt RPKPS Rencana Program Kegiatan Pembelajaran Semester Dan Bahan Ajar IMUNUNOLOGI FAK 3821 Oleh : Dr. EDIATI S., SE, Apt FAKULTAS FARMASI UNIVERSITAS GADJAH MADA 2003 Nama Mata Kuliah : Imunologi Kode /

Lebih terperinci

Imunologi Dasar dan Imunologi Klinis

Imunologi Dasar dan Imunologi Klinis Imunologi Dasar dan Imunologi Klinis i ii Imunologi Dasar dan Imunologi Klinis Imunologi Dasar dan Imunologi Klinis iii iv Imunologi Dasar dan Imunologi Klinis IMONOLOGI DASAR DAN IMONOLOGI KLINIS Penulis:

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. disebabkan oleh mikroorganisme Salmonella enterica serotipe typhi yang

I. PENDAHULUAN. disebabkan oleh mikroorganisme Salmonella enterica serotipe typhi yang 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Demam tifoid akut merupakan penyakit infeksi akut bersifat sistemik yang disebabkan oleh mikroorganisme Salmonella enterica serotipe typhi yang dikenal dengan Salmonella

Lebih terperinci

SISTEM IMUN. Pengantar Biopsikologi KUL VII

SISTEM IMUN. Pengantar Biopsikologi KUL VII SISTEM IMUN Pengantar Biopsikologi KUL VII SISTEM KEKEBALAN TUBUH Imunologi : Ilmu yang mempelajari cara tubuh melindungi diri dari gangguan fisik, kimiawi, dan biologis. . SISTEM IMUN INNATE : Respon

Lebih terperinci

IMUNITAS HUMORAL DAN SELULER

IMUNITAS HUMORAL DAN SELULER BAB 8 IMUNITAS HUMORAL DAN SELULER 8.1. PENDAHULUAN Ada dua cabang imunitas perolehan (acquired immunity) yang mempunyai pendukung dan maksud yang berbeda, tetapi dengan tujuan umum yang sama, yaitu mengeliminasi

Lebih terperinci

RESPON PERTAHANAN TERHADAP MIKROBIA PATOGEN

RESPON PERTAHANAN TERHADAP MIKROBIA PATOGEN BAB 10 RESPON PERTAHANAN TERHADAP MIKROBIA PATOGEN 10.1. PENDAHULUAN Virus, bakteri, parasit, dan fungi, masing-masing menggunakan strategi yang berbeda untuk mengembangkan dirinya dalam hospes dan akibatnya

Lebih terperinci

PROSEDUR TETAP PENGAMATAN EKSPRESI PROTEIN DENGAN METODE IMUNOSITOKIMIA

PROSEDUR TETAP PENGAMATAN EKSPRESI PROTEIN DENGAN METODE IMUNOSITOKIMIA Halaman 1 dari 7 FARMASI UGM Dokumen nomor : 0201200 Tanggal : 24 Maret 2009 URAIAN DIBUAT OLEH DIPERIKSA OLEH DIPERIKSA OLEH DISETUJUI OLEH Jabatan Staf Staf Supervisor Pimpinan Paraf Nama Aditya Fitriasari

Lebih terperinci

LAPORAN PRAKTIKUM TEKNIK ELISA PEMERIKSAAN KUANTITATIF MANNAN BINDING LECTIN PADA PLASMA DARAH

LAPORAN PRAKTIKUM TEKNIK ELISA PEMERIKSAAN KUANTITATIF MANNAN BINDING LECTIN PADA PLASMA DARAH LAPORAN PRAKTIKUM TEKNIK ELISA PEMERIKSAAN KUANTITATIF MANNAN BINDING LECTIN PADA PLASMA DARAH NAMA PRAKTIKAN : Amirul Hadi KELOMPOK : I HARI/TGL. PRAKTIKUM : Kamis, 9 Januari 2014 I. TUJUAN PRAKTIKUM

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kronik dan termasuk penyakit hati yang paling berbahaya dibandingkan dengan. menularkan kepada orang lain (Misnadiarly, 2007).

BAB I PENDAHULUAN. kronik dan termasuk penyakit hati yang paling berbahaya dibandingkan dengan. menularkan kepada orang lain (Misnadiarly, 2007). BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Hepatits B disebabkan oleh virus hepatitis B (HBV) yang termasuk virus DNA, yang menyebakan nekrosis hepatoseluler dan peradangan (WHO, 2015). Penyakit Hepatitis B

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN PUSTAKA. pertama kali saat terjadinya perang di Crimea, Malta pada tahun Gejala

BAB II KAJIAN PUSTAKA. pertama kali saat terjadinya perang di Crimea, Malta pada tahun Gejala 5 BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Etiologi Brucellosis Penyakit keguguran / keluron menular pada hewan ternak kemungkinan telah ada sejak berabad-abad lalu seperti deskripsi dari Hippocrates dan mewabah pertama

Lebih terperinci

SISTEM IMUN (SISTEM PERTAHANAN TUBUH)

SISTEM IMUN (SISTEM PERTAHANAN TUBUH) SISTEM IMUN (SISTEM PERTAHANAN TUBUH) FUNGSI SISTEM IMUN: Melindungi tubuh dari invasi penyebab penyakit; menghancurkan & menghilangkan mikroorganisme atau substansi asing (bakteri, parasit, jamur, dan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. seluruh dunia (Dastkhosh et al,2014). WHO memperkirakan orang

BAB I PENDAHULUAN. seluruh dunia (Dastkhosh et al,2014). WHO memperkirakan orang 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1.Latar Belakang Rabies merupakan penyakit zoonosis yang mematikan dan tersebar di seluruh dunia (Dastkhosh et al,2014). WHO memperkirakan 70.000 orang meninggal setiap tahun karena

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Hepatitis B (VHB). Termasuk famili Hepadnavirus ditemukan pada cairan tubuh

BAB I PENDAHULUAN. Hepatitis B (VHB). Termasuk famili Hepadnavirus ditemukan pada cairan tubuh BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Penyakit peradangan hati akut atau menahun disebabkan oleh virus Hepatitis B (VHB). Termasuk famili Hepadnavirus ditemukan pada cairan tubuh seperti saliva, ASI, cairan

Lebih terperinci

Prevalensi Trematoda pada Sapi Bali yang Dipelihara Peternak di Desa Sobangan, Kecamatan Mengwi, Kabupaten Badung

Prevalensi Trematoda pada Sapi Bali yang Dipelihara Peternak di Desa Sobangan, Kecamatan Mengwi, Kabupaten Badung Prevalensi Trematoda pada Sapi Bali yang Dipelihara Peternak di Desa Sobangan, Kecamatan Mengwi, Kabupaten Badung THE PREVALENCE OF TREMATODES IN BALI CATTLE BREEDERS REARED IN THE SOBANGAN VILLAGE, MENGWI

Lebih terperinci

Respon imun adaptif : Respon humoral

Respon imun adaptif : Respon humoral Respon imun adaptif : Respon humoral Respon humoral dimediasi oleh antibodi yang disekresikan oleh sel plasma 3 cara antibodi untuk memproteksi tubuh : Netralisasi Opsonisasi Aktivasi komplemen 1 Dua cara

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Gambar 2 Partikel TICV berbentuk seperti benang, memanjang (filamentous) dan lentur (flexuous) (Liu et al. 2000)

TINJAUAN PUSTAKA. Gambar 2 Partikel TICV berbentuk seperti benang, memanjang (filamentous) dan lentur (flexuous) (Liu et al. 2000) 4 TINJAUAN PUSTAKA Tomato infectious chlorosis virus Tomato infectious chlorosis virus (TICV) diklasifikasikan dalam famili Closteroviridae yang terdiri dari 2 genus yaitu Closterovirus dan Crinivirus

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN Keberadaan antibodi sebagai respon terhadap vaksinasi dapat dideteksi melalui pengujian dengan teknik ELISA. Metode ELISA yang digunakan adalah metode tidak langsung. ELISA

Lebih terperinci

ADLN - Perpustakaan Unair

ADLN - Perpustakaan Unair BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Penelitian Perkembangan populasi kuda di Indonesia belum mencapai keadaan yang menggembirakan bahkan Di Jawa Timur pada tahun 2001 terjadi penurunan populasi ternak

Lebih terperinci

LAPORAN PRAKTIKUM TEKNIK ELISA PEMERIKSAAN KUANTITATIF MANNAN BINDING LECTIN (MBL) PADA PLASMA DARAH

LAPORAN PRAKTIKUM TEKNIK ELISA PEMERIKSAAN KUANTITATIF MANNAN BINDING LECTIN (MBL) PADA PLASMA DARAH LAPORAN PRAKTIKUM TEKNIK ELISA PEMERIKSAAN KUANTITATIF MANNAN BINDING LECTIN (MBL) PADA PLASMA DARAH NAMA PRAKTIKAN : Ichwan Alamsyah Lubis KELOMPOK : 2 GROUP : Pagi ( 8. 1. Wib ) HARI/TGL. PRAKTIKUM :

Lebih terperinci

TEORI SISTEM IMUN - SMA KELAS XI SISTEM IMUN PENDAHULUAN

TEORI SISTEM IMUN - SMA KELAS XI SISTEM IMUN PENDAHULUAN TEORI SISTEM IMUN - SMA KELAS XI SISTEM IMUN PENDAHULUAN Sistem Imun merupakan semua mekanisme pertahanan yang dapat dimobilisasi oleh tubuh untuk memerangi berbagai ancaman invasi asing. Kulit merupakan

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN Reaksi Antiserum terhadap TICV pada Jaringan Tanaman Tomat

HASIL DAN PEMBAHASAN Reaksi Antiserum terhadap TICV pada Jaringan Tanaman Tomat 14 HASIL DAN PEMBAHASAN Reaksi Antiserum terhadap TICV pada Jaringan Tanaman Tomat Reaksi antiserum TICV terhadap partikel virus yang terdapat di dalam jaringan tanaman tomat telah berhasil diamati melalui

Lebih terperinci

Tabel 1 Nilai (rataan ± SD) PBBH, FEC, dan gambaran darah domba selama masa infeksi Parameter Amatan Domba

Tabel 1 Nilai (rataan ± SD) PBBH, FEC, dan gambaran darah domba selama masa infeksi Parameter Amatan Domba 3 Diferensiasi SDP dilakukan berbasis preparat ulas darah total. Darah diulas di preparat kemudian difiksasi dengan metanol selama 2 menit. Preparat ulas darah diwarnai menggunakan pewarna giemsa selama

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN HASIL DAN PEMBAHASAN Pengujian Uji Serum (Rapid Test) Pada Ikan Mas Yang Diberikan Pelet Berimunoglobulin-Y Anti KHV Dengan Dosis rendah Ig-Y 5% (w/w) Ikan Mas yang diberikan pelet berimunoglobulin-y anti

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Latar Belakang. Penyakit Surra merupakan penyakit pada ternak yang disebabkan oleh

BAB I PENDAHULUAN. Latar Belakang. Penyakit Surra merupakan penyakit pada ternak yang disebabkan oleh 1 BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Penyakit Surra merupakan penyakit pada ternak yang disebabkan oleh protozoa Trypanosoma evansi. Penyakit ini juga menyerang hewan domestik dan hewan liar. Parasit ini

Lebih terperinci

3. METODE PENELITIAN

3. METODE PENELITIAN 3. METODE PENELITIAN 3.1. Tempat dan Waktu Penelitian 3.1.1. Tempat Penelitian telah dilaksanakan di laboratorium BKP Kelas II Cilegon untuk metode pengujian RBT. Metode pengujian CFT dilaksanakan di laboratorium

Lebih terperinci

SOAL UTS IMUNOLOGI 1 MARET 2008 FARMASI BAHAN ALAM ANGKATAN 2006

SOAL UTS IMUNOLOGI 1 MARET 2008 FARMASI BAHAN ALAM ANGKATAN 2006 SOAL UTS IMUNOLOGI 1 MARET 2008 FARMASI BAHAN ALAM ANGKATAN 2006 1. Imunitas natural :? Jawab : non spesifik, makrofag paling berperan, tidak terbentuk sel memori 2. Antigen : a. Non spesifik maupun spesifik,

Lebih terperinci

SISTEM IMUN SPESIFIK. Lisa Andina, S.Farm, Apt.

SISTEM IMUN SPESIFIK. Lisa Andina, S.Farm, Apt. SISTEM IMUN SPESIFIK Lisa Andina, S.Farm, Apt. PENDAHULUAN Sistem imun spesifik adalah suatu sistem yang dapat mengenali suatu substansi asing yang masuk ke dalam tubuh dan dapat memacu perkembangan respon

Lebih terperinci

BAHAN DAN METODE Waktu dan Tempat Penelitian Hewan coba Metode Penelitian 1 Isolasi dan Produksi Antigen E/S Fasciola gigantica

BAHAN DAN METODE Waktu dan Tempat Penelitian Hewan coba Metode Penelitian 1 Isolasi dan Produksi Antigen E/S Fasciola gigantica BAHAN DAN METODE Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian dilaksanakan pada bulan September 2009 hingga Februari 2010. Penelitian dilakukan di kandang pemeliharaan hewan coba Fakultas Kedokteran Hewan Institut

Lebih terperinci

LAPORAN PRAKTIKUM. ELISA (Enzyme Linked Immune-sorbent Assay ) - NITA ANDRIANI LUBIS. TANGGAL PRAKTIKUM: Kamis, 9 Januari 2014, pukul

LAPORAN PRAKTIKUM. ELISA (Enzyme Linked Immune-sorbent Assay ) - NITA ANDRIANI LUBIS. TANGGAL PRAKTIKUM: Kamis, 9 Januari 2014, pukul LAPORAN PRAKTIKUM ELISA (Enzyme Linked Immune-sorbent Assay ) NAMA PRAKTIKAN : - DEBBY MIRANI LUBIS - NITA ANDRIANI LUBIS TANGGAL PRAKTIKUM: Kamis, 9 Januari 2014, pukul 09.00-17.00 WIB I. TUJUAN PRAKTIKUM:

Lebih terperinci

TEKNIK IMUNOLOGI. Ika Puspita Dewi

TEKNIK IMUNOLOGI. Ika Puspita Dewi TEKNIK IMUNOLOGI Ika Puspita Dewi 1 ELISA Enzyme Linked Immuno-Sorbent Assay 2 ELISA ELISA Test yang dirancang berdasarkan prinsip imunologi (Antigen antibodi) mengunakan label enzim yang dapat ditujukan

Lebih terperinci

GAMBARAN KLINIS SAPI BALI YANG TERINFEKSI. CACING Fasciola spp SKRIPSI

GAMBARAN KLINIS SAPI BALI YANG TERINFEKSI. CACING Fasciola spp SKRIPSI GAMBARAN KLINIS SAPI BALI YANG TERINFEKSI CACING Fasciola spp SKRIPSI Diajukan untuk Melengkapi Tugas Tugas dan Memenuhi Persyaratan untuk Mencapai GelarSarjanaKedokteranHewan Diajukan Oleh EkaWidyana

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Ascaris lumbricoides Manusia merupakan hospes beberapa nematoda usus. Sebagian besar nematoda ini menyebabkan masalah kesehatan masyarakat Indonesia (FKUI, 1998). Termasuk dalam

Lebih terperinci

Pada dasarnya morfologi cacing dewasa terdiri dari : - Kepala/scolec, - Leher, -Strobila,

Pada dasarnya morfologi cacing dewasa terdiri dari : - Kepala/scolec, - Leher, -Strobila, CESTODA JARINGAN Cacing dalam kelas Cestoidea disebut juga cacing pita karena bentuk tubuhnya yang panjang dan pipih menyerupai pita. Cacing ini tidak mempunyai saluran pencernaan ataupun pembuluh darah.

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Sistiserkosis dan taeniasis merupakan penyakit zoonosis yang disebabkan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Sistiserkosis dan taeniasis merupakan penyakit zoonosis yang disebabkan 1 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Sistiserkosis Sistiserkosis dan taeniasis merupakan penyakit zoonosis yang disebabkan oleh cacing cestoda. Sistiserkosis merupakan penyakit karena infeksi C. cellulosae pada

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. CESTODA Cacing pita termasuk subkelas Cestoda, kelas Cestoidea, filum

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. CESTODA Cacing pita termasuk subkelas Cestoda, kelas Cestoidea, filum BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. CESTODA Cacing pita termasuk subkelas Cestoda, kelas Cestoidea, filum Platyhelminthes. Cacing dewasa menempati saluran usus vertebrata dan larvanya hidup dijaringan vertebrata

Lebih terperinci

SEROPREVALENSI DAN FAKTOR RISIKO BRUCELLOSIS PADA SAPI DI KABUPATEN PINRANG DAN ENREKANG, PROVINSI SULAWESI SELATAN

SEROPREVALENSI DAN FAKTOR RISIKO BRUCELLOSIS PADA SAPI DI KABUPATEN PINRANG DAN ENREKANG, PROVINSI SULAWESI SELATAN SEROPREVALENSI DAN FAKTOR RISIKO BRUCELLOSIS PADA SAPI DI KABUPATEN PINRANG DAN ENREKANG, PROVINSI SULAWESI SELATAN Tesis untuk Memperoleh Gelar Magister pada Program Magister, Program Studi Kedokteran

Lebih terperinci

RESPON IMUN ANAK BABI PASCA VAKSINASI HOG CHOLERA DARI INDUK YANG TELAH DIVAKSIN SECARA TERATUR ABSTRAK

RESPON IMUN ANAK BABI PASCA VAKSINASI HOG CHOLERA DARI INDUK YANG TELAH DIVAKSIN SECARA TERATUR ABSTRAK RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Kota Denpasar, 13 Desember 1993. Penulis merupakan anak kedua dari dua bersaudara, dari pasangan Bapak I Made Wirtha dan Ibu dr. Ni Putu Partini Penulis menyelesaikan

Lebih terperinci

FIRST LINE DEFENCE MECHANISM

FIRST LINE DEFENCE MECHANISM Pengertian Sistem Pertahanan Tubuh Pertahanan tubuh adalah seluruh sistem/ mekanisme untuk mencegah dan melawan gangguan tubuh (fisik, kimia, mikroorg) Imunitas Daya tahan tubuh terhadap penyakit dan infeksi

Lebih terperinci

IV HASIL DAN PEMBAHASAN

IV HASIL DAN PEMBAHASAN IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Re-Karakterisasi Isolat Bakteri Re-karakterisasi bakteri pada biakan agar darah serta hasil uji gula-gula (biokimia) menggunakan Kit Microgen TM GN-ID Identification dapat dilihat

Lebih terperinci

REAKSI ANTIGEN-ANTIBODI DAN KAITANNYA DENGAN PRINSIP DASAR IMUNISASI. Oleh : Rini Rinelly, (B8A)

REAKSI ANTIGEN-ANTIBODI DAN KAITANNYA DENGAN PRINSIP DASAR IMUNISASI. Oleh : Rini Rinelly, (B8A) REAKSI ANTIGEN-ANTIBODI DAN KAITANNYA DENGAN PRINSIP DASAR IMUNISASI Oleh : Rini Rinelly, 1306377940 (B8A) REAKSI ANTIGEN DAN ANTIBODI Pada sel B dan T terdapat reseptor di permukaannya yang berguna untuk

Lebih terperinci

UCAPAN TERIMAKASIH. Puji syukur penulis panjatkan kehadapan Ida Sang Hyang Widhi Wasa Tuhan

UCAPAN TERIMAKASIH. Puji syukur penulis panjatkan kehadapan Ida Sang Hyang Widhi Wasa Tuhan UCAPAN TERIMAKASIH Puji syukur penulis panjatkan kehadapan Ida Sang Hyang Widhi Wasa Tuhan Yang Maha Esa, karena berkat rahmatnya disertasi dengan berjudul : Karakteristik Protein Imunogenik Cairan Kista

Lebih terperinci

LISNA UNITA, DRG.M.KES DEPARTEMEN BIOLOGI ORAL

LISNA UNITA, DRG.M.KES DEPARTEMEN BIOLOGI ORAL LISNA UNITA, DRG.M.KES DEPARTEMEN BIOLOGI ORAL MEKANISME PERTAHANAN IMUN DAN NON IMUN SALIVA SALIVA Pembersihan secara mekanik Kerja otot lidah, pipi dan bibir mempertahankan kebersihan sisi-sisi mulut

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. sampai pada saat makanan tersebut siap untuk dikonsumsi oleh konsumen. adalah pengangkutan dan cara pengolahan makanan.

BAB I PENDAHULUAN. sampai pada saat makanan tersebut siap untuk dikonsumsi oleh konsumen. adalah pengangkutan dan cara pengolahan makanan. BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Sanitasi makanan adalah salah satu usaha pencegahan yang menitik beratkan kegiatan dan tindakan yang perlu untuk membebaskan makanan dari segala bahaya yang dapat

Lebih terperinci

3. BAHAN DAN METODE 3.1 Tempat Penelitian 3.2 Metode Penelitian Persiapan dan Pemeliharaan Kelinci sebagai Hewan Coba

3. BAHAN DAN METODE 3.1 Tempat Penelitian 3.2 Metode Penelitian Persiapan dan Pemeliharaan Kelinci sebagai Hewan Coba 3. BAHAN DAN METODE 3.1 Tempat Penelitian Penelitian dilaksanakan di Laboratorium Terpadu Immunologi, Departemen Ilmu Penyakit Hewan dan Kesehatan Masyarakat Veteriner dan Kandang Terpadu, Fakultas Kedokteran

Lebih terperinci

Ciri-ciri umum cestoda usus

Ciri-ciri umum cestoda usus Ciri-ciri umum cestoda usus Bentuk tubuh pipih, terdiri dari kepala (scolex) dilengkapi dengan sucker dan tubuh (proglotid) Panjang antara 2-3m Bersifat hermaprodit Hidup sebagai parasit dalam usus vertebrata

Lebih terperinci

ABSTRAK. Kata kunci: Ascaridia galli, antigen ekskretori/sekretori, ELISA ABSTRACT

ABSTRAK. Kata kunci: Ascaridia galli, antigen ekskretori/sekretori, ELISA ABSTRACT PENGUKURAN ANTIBODI AYAM PETELUR YANG DIIMUNISASI DENGAN ANTIGEN EKSKRETORI/SEKRETORI STADIUM L 3 Ascaridia galli MELALUI UJI ENZYME LINKED IMMUNOSORBANT ASSAY 46 ABSTRAK Tujuan penelitian ini adalah untuk

Lebih terperinci

ASUHAN KEPERAWATAN PADA PASIEN DENGAN GANGGUAN. SISTEM IMUNITAS

ASUHAN KEPERAWATAN PADA PASIEN DENGAN GANGGUAN. SISTEM IMUNITAS ASUHAN KEPERAWATAN PADA PASIEN DENGAN GANGGUAN. SISTEM IMUNITAS Asuhan Keperawatan Pada Pasien dengan Gangguan Sistem Immunitas Niken Andalasari Sistem Imunitas Sistem imun atau sistem kekebalan tubuh

Lebih terperinci

SISTEM IMUN. ORGAN LIMFATIK PRIMER. ORGAN LIMFATIK SEKUNDER. LIMPA NODUS LIMFA TONSIL. SUMSUM TULANG BELAKANG KELENJAR TIMUS

SISTEM IMUN. ORGAN LIMFATIK PRIMER. ORGAN LIMFATIK SEKUNDER. LIMPA NODUS LIMFA TONSIL. SUMSUM TULANG BELAKANG KELENJAR TIMUS SISTEM IMUN. ORGAN LIMFATIK PRIMER. ORGAN LIMFATIK SEKUNDER. LIMPA NODUS LIMFA TONSIL. SUMSUM TULANG BELAKANG KELENJAR TIMUS Sistem Imun Organ limfatik primer Sumsum tulang belakang Kelenjar timus Organ

Lebih terperinci

BAHAN DAN METODE Waktu dan Tempat Penelitian Alat dan Bahan Metodologi

BAHAN DAN METODE Waktu dan Tempat Penelitian Alat dan Bahan Metodologi BAHAN DAN METODE Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian ini dilakukan pada periode waktu Juni 007 sampai dengan Juni 008 di Instalasi Karantina Hewan (IKH) Balai Besar Karantina Hewan Soekarno Hatta dan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Susu formula yang diberikan kepada bayi sebagai pengganti ASI, kerap kali memberikan efek samping yang mengganggu kesehatan bayi seperti alergi. Susu formula secara

Lebih terperinci

MAKALAH SEROLOGI DAN IMUNOLOGI

MAKALAH SEROLOGI DAN IMUNOLOGI MAKALAH SEROLOGI DAN IMUNOLOGI ANTIGEN DAN ANTIBODI DISUSUN OLEH : Kelompok : I (Satu) 1. Abdullah Halim (12 01 01 001) 2. Andera Meka Susu (12 01 01 002) 3. Andrean Revinaldy (12 01 01 003) 4. Andri Rinaldi

Lebih terperinci

PROSEDUR TETAP UJI KOMBINASI DENGAN AGEN KEMOTERAPI

PROSEDUR TETAP UJI KOMBINASI DENGAN AGEN KEMOTERAPI Halaman 1 dari 7 FARMASI UGM Dokumen nomor : 0201300 Tanggal : 24 Maret 2009 URAIAN DIBUAT OLEH DIPERIKSA OLEH DIPERIKSA OLEH DISETUJUI OLEH Jabatan Staf Staf Supervisor Pimpinan Paraf Nama Aditya Fitriasari

Lebih terperinci

CANCER CHEMOPREVENTION RESEARCH CENTER FAKULTAS FARMASI UGM

CANCER CHEMOPREVENTION RESEARCH CENTER FAKULTAS FARMASI UGM Hal. 1 dari 8 Dokumen nomor : 0301301 Tanggal : Mengganti nomor : 0201300 Tanggal : 24 Maret 2009 URAIAN DIBUAT OLEH DIPERIKSA OLEH DIPERIKSA OLEH DISETUJU OLEH Jabatan Staf Staf Supervisor Pimpinan Paraf

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN HASIL DAN PEMBAHASAN Penurunan jumlah ookista dalam feses merupakan salah satu indikator bahwa zat yang diberikan dapat berfungsi sebagai koksidiostat. Rataan jumlah ookista pada feses ayam berdasarkan

Lebih terperinci

KONSEP DASAR IMUNOLOGI

KONSEP DASAR IMUNOLOGI KONSEP DASAR IMUNOLOGI Oleh : DR. I Ketut Sudiana,MS Staf Pengajar : Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga Program Pascasarjana Universitas Airlangga TUJUAN DARI PENULISAN INI ADALAH UNTUK MEMBANTU

Lebih terperinci

Deskripsi. IMUNOGLOBULIN YOLK (IgY) ANTI Canine parvovirus MURNI UNTUK TERAPI INFEKSI VIRUS PARVO PADA ANJING

Deskripsi. IMUNOGLOBULIN YOLK (IgY) ANTI Canine parvovirus MURNI UNTUK TERAPI INFEKSI VIRUS PARVO PADA ANJING 1 I Gst Ayu Agung Suartini(38) FKH - Universitas Udayana E-mail: gaa.suartini@gmail.com Tlf : 081282797188 Deskripsi IMUNOGLOBULIN YOLK (IgY) ANTI Canine parvovirus MURNI UNTUK TERAPI INFEKSI VIRUS PARVO

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Hepatitis merupakan penyakit inflamasi dan nekrosis dari sel-sel hati yang dapat

BAB I PENDAHULUAN. Hepatitis merupakan penyakit inflamasi dan nekrosis dari sel-sel hati yang dapat BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Hepatitis merupakan penyakit inflamasi dan nekrosis dari sel-sel hati yang dapat disebabkan oleh infeksi virus. Telah ditemukan lima kategori virus yang menjadi agen

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. menyerang hewan jenis unggas. Ascaridia galli merupakan cacing parasit yang

BAB I PENDAHULUAN. menyerang hewan jenis unggas. Ascaridia galli merupakan cacing parasit yang 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Cacing gelang Ascaridia galli merupakan cacing parasit yang umum menyerang hewan jenis unggas. Ascaridia galli merupakan cacing parasit yang dalam kehidupannya mengalami

Lebih terperinci

LAPORAN PRAKTIKUM METABOLISME GLUKOSA, UREA, DAN TRIGLISERIDA (TEKNIK SPEKTROFOTOMETRI)

LAPORAN PRAKTIKUM METABOLISME GLUKOSA, UREA, DAN TRIGLISERIDA (TEKNIK SPEKTROFOTOMETRI) LAPORAN PRAKTIKUM METABOLISME GLUKOSA, UREA, DAN TRIGLISERIDA (TEKNIK SPEKTROFOTOMETRI) Nama : Mesrida Simarmata (147008011) Islah Wahyuni (14700811) Tanggal Praktikum : 17 Maret 2015 Tujuan Praktikum

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN 29 BAB III METODE PENELITIAN A. Tempat dan waktu penelitian Tempat penelitian: a. Tempat pemeliharaan dan induksi hewan dilakukan di kandang hewan percobaan Laboratorium Histologis Fakultas Kedokteran

Lebih terperinci

CANCER CHEMOPREVENTION RESEARCH CENTER FAKULTAS FARMASI UGM

CANCER CHEMOPREVENTION RESEARCH CENTER FAKULTAS FARMASI UGM Hal. 1 dari 5 Dokumen nomor : 0301501 Tanggal : Mengganti nomor : 0201300 Tanggal : 24 Maret 2009 URAIAN DIBUAT OLEH DIPERIKSA OLEH DIPERIKSA OLEH DISETUJU OLEH Jabatan Staf Staf Supervisor Pimpinan Paraf

Lebih terperinci

CANCER CHEMOPREVENTION RESEARCH CENTER FAKULTAS FARMASI UGM. Dokumen nomor : CCRC Tanggal : Mengganti nomor : - Tanggal : -

CANCER CHEMOPREVENTION RESEARCH CENTER FAKULTAS FARMASI UGM. Dokumen nomor : CCRC Tanggal : Mengganti nomor : - Tanggal : - Hal. 1 dari 8 URAIAN DIBUAT OLEH DIPERIKSA OLEH DIPERIKSA OLEH DISETUJU OLEH Jabatan Staf CCRC Staf CCRC Supervisor CCRC Pimpinan CCRC Paraf Nama Sendy Junedi Adam Hermawan Muthi Ikawati Edy Meiyanto Tanggal

Lebih terperinci

PROSEDUR TETAP UJI PENGAMATAN PROLIFERASI SEL (DOUBLING TIME)

PROSEDUR TETAP UJI PENGAMATAN PROLIFERASI SEL (DOUBLING TIME) Halaman 1 dari 5 FARMASI UGM Dokumen nomor : CCRC0201500 Tanggal : 24 Maret 2009 URAIAN DIBUAT OLEH DIPERIKSA OLEH DIPERIKSA OLEH DISETUJUI OLEH Jabatan Staf CCRC Staf CCRC Supervisor CCRC Pimpinan CCRC

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah Ketika tubuh terpajan oleh suatu antigen atau benda asing,

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah Ketika tubuh terpajan oleh suatu antigen atau benda asing, BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Ketika tubuh terpajan oleh suatu antigen atau benda asing, secara otomatis tubuh akan memberi tanggapan berupa respon imun. Respon imun dibagi menjadi imunitas

Lebih terperinci

PEMBAHASAN Jumlah dan Komposisi Sel Somatik pada Kelompok Kontrol

PEMBAHASAN Jumlah dan Komposisi Sel Somatik pada Kelompok Kontrol 30 PEMBAHASAN Jumlah dan Komposisi Sel Somatik pada Kelompok Kontrol Sel somatik merupakan kumpulan sel yang terdiri atas kelompok sel leukosit dan runtuhan sel epitel. Sel somatik dapat ditemukan dalam

Lebih terperinci

RIWAYAT HIDUP. Penulis menyelesaikan pendidikan sekolah dasar pada tahun 2005 di SDN 1

RIWAYAT HIDUP. Penulis menyelesaikan pendidikan sekolah dasar pada tahun 2005 di SDN 1 RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Kabupaten Gianyar, 11 Nopember 1993, merupakan anak pertama dari dua bersaudara, dari pasangan Bapak I Ketut Ardika dan Ibu Ni Wayan Suarni. Penulis menyelesaikan pendidikan

Lebih terperinci

CANCER CHEMOPREVENTION RESEARCH CENTER FAKULTAS FARMASI UGM

CANCER CHEMOPREVENTION RESEARCH CENTER FAKULTAS FARMASI UGM Hal. 1 dari 7 URAIAN DIBUAT OLEH DIPERIKSA OLEH DIPERIKSA OLEH DISETUJU OLEH Jabatan Staf Staf Supervisor Pimpinan Paraf Nama Dyaningtyas Dewi PP Rifki Febriansah Adam Hermawan Edy Meiyanto Tanggal 20

Lebih terperinci

BAB II KOMPONEN YANG TERLIBAT DALAM SISTEM STEM IMUN

BAB II KOMPONEN YANG TERLIBAT DALAM SISTEM STEM IMUN BAB II KOMPONEN YANG TERLIBAT DALAM SISTEM STEM IMUN Sel yang terlibat dalam sistem imun normalnya berupa sel yang bersirkulasi dalam darah juga pada cairan lymph. Sel-sel tersebut dapat dijumpai dalam

Lebih terperinci

LAPORAN PRAKTIKUM METABOLISME GLUKOSA, UREA, DAN TRIGLISERIDA (TEKNIK SPEKTROFOTOMETRI)

LAPORAN PRAKTIKUM METABOLISME GLUKOSA, UREA, DAN TRIGLISERIDA (TEKNIK SPEKTROFOTOMETRI) LAPORAN PRAKTIKUM METABOLISME GLUKOSA, UREA, DAN TRIGLISERIDA (TEKNIK SPEKTROFOTOMETRI) Nama : Mesrida Simarmata (147008011) Islah Wahyuni (14700824) Tanggal Praktikum : 17 Maret 2015 Tujuan Praktikum

Lebih terperinci

Immunology Pattern in Infant Born with Small for Gestational Age

Immunology Pattern in Infant Born with Small for Gestational Age Immunology Pattern in Infant Born with Small for Gestational Age Dr. Nia Kurniati, SpA (K) Manusia mempunyai sistem pertahanan tubuh yang kompleks terhadap benda asing. Berbagai barrier diciptakan oleh

Lebih terperinci

BAB VI PEMBAHASAN. Mencit Balb/C yang digunakan dalam penelitian ini diperoleh dari. Laboratorium Biomedik Fakultas Kedokteran Universitas Muhamadiyah

BAB VI PEMBAHASAN. Mencit Balb/C yang digunakan dalam penelitian ini diperoleh dari. Laboratorium Biomedik Fakultas Kedokteran Universitas Muhamadiyah BAB VI PEMBAHASAN Mencit Balb/C yang digunakan dalam penelitian ini diperoleh dari Laboratorium Biomedik Fakultas Kedokteran Universitas Muhamadiyah Yogyakarta. Banyaknya mencit yang digunakan adalah 24

Lebih terperinci

BAB PENDAHULUAN 1.1. Kedudukan dan Reran Imunologi dalam Ilmu Kefarmasian Imunologi imunitas alami dan imunitas perolehan.

BAB PENDAHULUAN 1.1. Kedudukan dan Reran Imunologi dalam Ilmu Kefarmasian Imunologi imunitas alami dan imunitas perolehan. BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Kedudukan dan Reran Imunologi dalam Ilmu Kefarmasian Untuk mengerti bagaimana kedudukan dan peran imunologi dalam ilmu kefarmasian, kita terlebih dahulu harus mengetahui apakah yang

Lebih terperinci

Dokumen nomor : CCRC Tanggal : 23 April 2013 Mengganti nomor : CCRC Tanggal : 26 Februari 2009

Dokumen nomor : CCRC Tanggal : 23 April 2013 Mengganti nomor : CCRC Tanggal : 26 Februari 2009 Hal. 1 dari 8 URAIAN DIBUAT OLEH DIPERIKSA OLEH DIPERIKSA OLEH DISETUJU OLEH Jabatan Staf Staf Supervisor Pimpinan Paraf Nama Herwandhani Putri Edy Meiyanto Tanggal 23 April 2013 PROTOKOL UJI SITOTOKSIK

Lebih terperinci