PENGARUH MODEL PEMBELAJARAN MAKE A MATCH TERHADAP HASIL BELAJAR IPA SISWA KELAS V SD NEGERI GUGUS IV KABUPATEN BULELENG TAHUN PELAJARAN 2016/2017

Transkripsi

1 PENGARUH MODEL PEMBELAJARAN MAKE A MATCH TERHADAP HASIL BELAJAR IPA SISWA KELAS V SD NEGERI GUGUS IV KABUPATEN BULELENG TAHUN PELAJARAN 2016/2017 Putu Filma Yesiana 1, I. Ketut Gading 2, Putu Nanci Riastini 3 1,3 Jurusan PGSD, 2 Jurusan BK, FIP Universitas Pendidikan Ganesha Singaraja, Indonesia agus.filma@yahoo.com 1, ketutgading35@gmail.com 2, cerm_currie@yahoo.com 3 Abstrak Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui perbedaan hasil belajar IPA kelompok siswa yang mendapatkan perlakuan model pembelajaran make a match dan kelompok siswa yang tidak mendapatkan perlakuan model pembelajaran make a match. Jenis penelitian ini adalah penelitian eksperimen semu dengan rancangan post-test only control group design. Populasi dari penelitian ini adalah seluruh kelompok siswa kelas V SD di Gugus IV Kecamatan Buleleng tahun pelajaran 2016/2017, sebanyak 6 kelas. Sampel diambil dengan cara random sampling sebanyak 2 kelas, sehingga diperoleh kelas V SD Negeri 1 Penglatan sebagai kelas eksperimen dan kelas V SD Negeri 2 Alasangker sebagai kelas kontrol. Data yang dikumpulkan dalam penelitian ini adalah hasil belajar IPA. Bentuk tes hasil belajar IPA yang digunakan adalah pilihan ganda. Untuk menguji hipotesis digunakan uji-t. Hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat perbedaan hasil belajar IPA kelompok siswa yang mendapatkan perlakuan model pembelajaran make a match dan kelompok siswa yang tidak mendapatkan perlakuan model pembelajaran make a match. Hal ini ditunjukkan oleh t hitung (5,45) > t tabel (2,000). Selanjutnya, terdapat pula perbedaan skor rata-rata yang diperoleh antara kelompok siswa yang mendapatkan perlakuan model pembelajaran make a match yaitu 18,8 dan kelompok siswa yang tidak mendapatkan perlakuan model pembelajaran make a match yaitu 12,21. Berdasarkan temuan di atas, disimpulkan bahwa model pembelajaran make a match berpengaruh terhadap hasil belajar IPA pada siswa kelas V SD di Gugus IV Kecamatan Buleleng. Kata kunci: model pembelajaran make a match, hasil belajar. Abstract This study aims to determine differences in learning outcomes IPA group of students who receive treatment learning models make a match and a group of students who did not receive treatment model of learning make a match. This research is a quasiexperimental research design with post-test only control group design. The population of this research is the whole group of fifth grade students of elementary schools in Cluster IV District of Buleleng in the academic year 2016/2017, a total of six classes. Samples were taken by means of random sampling as much as 2 classes, in order to obtain class V SD Negeri 1 Penglatan as an experimental class and class V SD Negeri 2 Alasangker as the control class. The data collected in this study is the result of learning science. Shape science achievement test used is multiple choice. To test the hypothesis used t- test. The results showed that there are differences in learning outcomes IPA group of students who receive treatment learning models make a match and a group of students who did not receive treatment model of learning make a match. This is demonstrated by thitung (5.45)> t table (2.000). Furthermore, there are also differences in the average score obtained between groups of students who receive treatment learning models make a match that is 18.8 and the group of students who did not receive treatment 1

2 model of learning make a match that is 12,21. Based on the above findings, it was concluded that the learning model make a match affects the outcome of learning science in elementary fifth grade students in Cluster IV District of Buleleng. Keywords: learning model make a match, the result of learning. PENDAHULUAN Pendidikan merupakan tolak ukur kemajuan suatu bangsa. Bangsa yang maju adalah bangsa yang mengutamakan pendidikan. Hal ini diakui oleh semua orang maupun suatu bangsa demi kelangsungan masa depannya. Demikian halnya dengan Indonesia yang menaruh harapan besar terhadap pendidikan dalam perkembangan masa depan bangsa ini, karena dari sanalah tunas muda harapan bangsa sebagai generasi penerus dibentuk (Tim Penyusun, 2006). Mengingat pentingnya pendidikan bagi kemajuan suatu bangsa, maka di sekolah diajarkan berbagai pelajaran yang memiliki fungsi masing-masing dalam memajukan pendidikan.salah satu dari pelajaran tersebut adalah pelajaran Ilmu Pengetahuan Alam (IPA). IPA mempunyai peranan penting dalam dunia pendidikan. Hal ini dikarenakan IPA sangat erat kaitannya dengan kehidupan sehari-hari. Dengan mempelajari IPA, seseorang akan mengetahui tentang peristiwa-peristiwa atau gejala-gejala yang terjadi di alam (Tim Penyusun, 2006). Selain mempelajari tentang gejala-gejala di alam, IPA juga mempelajari tentang perkembangan teknologi yang nantinya dapat menciptakan SDM yang mampu mengembangkan negaranya. Berdasarkan paparan pentingnya IPA bagi siswa, termasuk siswa sekolah dasar (SD), maka pembelajaran IPA harus dilaksanakan sebaik-baiknya di seluruh jenjang pendidikan terutama pada jenjang pendidikan SD. Menurut Djojosoediro (2010) menyatakan bahwa pembelajaran IPA akan mengajarkan siswa untuk memupuk sikap ilmiah siswa sejak dini dan menerapkan metode ilmiah. Pelibatan siswa secara langsung dalam pembelajaran di kelas, membimbing siswa untuk menemukan, dan merekonstruksi pengetahuannya sendiri akan membuat siswa aktif berminat belajar. Jika minat belajar telah tumbuh, maka akan berdampak positif terhadap hasil belajar. Namun sayangnya, hasil belajar siswa dibanyak SD masih menjadi permasalahan serius yang harus segera ditangani. Sebagai bukti berdasarkan studi dokumen pada tanggal 11 Juni 2016 hasil belajar IPA pada tingkat sekolah dasar, salah satunya di SD Negeri Gugus IV yang dapat dilihat pada tabel sebagai berikut. Tabel 1. Nilai Rata-rata Hasil Ulangan Umum IPA Semester Genap Kelas IV di Gugus IV Kabupaten Buleleng Tahun Pelajaran 20115/2016 No Nama Sekolah Dasar KKM Rata-Rata 1 SD Negeri 1 Penglatan 65 62,5 2 SD Negeri 2 Penglatan 63 60,5 3 SD Negeri 3 Penglatan 65 60,5 4 SD Negeri 1 Alasangker 67 61,5 5 SD Negeri 2 Alasangker 66 60,5 6 SD Negeri 3 Alasangker 68 61,5 Berdasarkan tabel di atas, rata-rata hasil ulangan umum 130 siswa berada di bawah 65, atau di bawah kriteria ketuntasan minimal yang ditetapkan oleh sekolah. Hal ini berarti 100% rata-rata nilai hasil ulangan umum siswa berada di bawah standar. Rendahnya hasil belajar tersebut disebabkan oleh beberapa hal, yaitu: a. Guru masih menggunakan pembelajaran konvensional sehingga siswa cenderung 2

3 pasif dan pembelajaran menjadi kurang menarik. b. Pembelajaran yang masih berpusat pada guru. Hal ini terlihat dari pembelajaran yang terjadi lebih didominasi oleh guru. c. Guru kurang memberikan kesempatan kepada siswa untuk bekerja dalam kelompok kecil. Hal ini berdampak pada kurangnnya keaktifan siswa selama proses pembelajaran. d. Pembelajaran hanya berdasarkan buku teks dan penjelasan dari guru sehingga interaksi pembelajaran kurang efektif. e. Guru tidak menggunakan media pembelajaran saat mengajar sehingga minat belajar siswa kurang. Berdasarkan permasalahan tersebut, maka perlu diadakan pembaharuan dalam sistem pembelajaran yang dilaksanakan pada kelas tersebut. Sistem pembelajaran hendaknya dirancang sedemikian rupa, sehingga proses belajar dapat berlangsung dengan kondusif agar terjadi peningkatan aktivitas dan hasil belajar siswa pada mata pelajaran IPA. Penciptaan kegiatan pembelajaran yang lebih interaktif dan aktif sangat diperlukan. Hal ini dimaksudkan agar siswa benar-benar belajar bermakna. Mengacu pada paparan tersebut, salah satu solusi yang didapat dilakukan adalah menerapkan model pembelajaran inovatif yang memenuhi karakteristik di atas. Model pembelajaran yang dimaksud yaitu model pembelajaran make a match. Menurut Isjoni (2010:78), model pembelajaran make a match merupakan model pembelajaran yang dikembangkan Lorna Curran. Ciri utama model make a match adalah siswa diminta mencari pasangan kartu yang merupakan jawaban dan pertanyaan materi tertentu dalam pembelajaran. Salah satu keunggulan model ini adalah siswa mencari pasangan sambil belajar mengenai suatu konsep atau topik dalam suasana yang menyenangkan. Karakteristik model pembelajaran ini adalah memiliki hubungan yang erat dengan karakteristik siswa yang gemar bermain. Pelaksanaan model make a match harus didukung dengan keaktifan siswa untuk bergerak mencari pasangan dengan kartu yang sesuai antara jawaban atau pertanyaan dalam kartu tersebut. Pembelajaran yang demikian membuat siswa aktif dalam mengikuti pembelajaran sehingga mempunyai pengalaman belajar yang bermakna. Dengan demikian, hasil belajar IPA yang didapat siswa lebih bagus dan memuaskan. Model pembelajaran make a match adalah sistem pembelajaran yang mengutamakan penanaman kemampuan social terutama kemampuan bekerja sama, kemampuan berinteraksi disamping kemampuan berpikir cepat melalui permainan mencari pasangan dengan dibantu kartu (Wahab, 2007:56). Selain itu juga model pembelajaran make a match merupakan model pembelajaran dimana guru menyiapkan kartu yang berisi soal atau permasalahan dan menyiapkan kartu jawaban kemudian siswa mencari pasangan kartunya. Salah satu keunggulan teknik ini adalah siswa mencari pasangan sambil belajar mengenai suatu konsep atau topik dalam suasana yang menyenangkan (Suyatno, 2009:72). Model ini bisa digunakan dalam pelajaran dan untuk semua tingkatan usia. Menurut Rusman (2011) menyatakan bahwa karakteristik model pembelajaran Make a match adalah memiliki hubungan yang erat dengan karakteristik siswa yang gemar bermain. Pelaksanaan model make a match harus didukung dengan keaktifan siswa untuk bergerak mencari pasangan dengan kartu yang sesuai dengan jawaban atau pertanyaan dalam kartu tersebut. Siswa yang pembelajarannya dengan model make a match aktif dalam mengikuti pembelajaran sehingga dapat mempunyai pengalaman belajar yang bermakna Pada model pembelajaran make a match Lie (2010:56) menyatakan langkahlangkah model pembelajaran make a match sebagai berikut : 1) Guru menyiapkan beberapa konsep/topik yang cocok untuk sesi review (satu sisi kartu soal dan satu sisi berupa kartu jawaban beserta gambar). 2) Setiap peserta didik mendapat satu kartu dan memikirkan. 3) Peserta didik mencari pasangan yang mempunyai kartu yang cocok dengan kartunya (kartu soal/kartu jawaban), peserta didik yang dapat mencocokkan 3

4 kartunya sebelum batas waktu diberi point. 4) Setelah itu babak dicocokkan lagi agar tiap peserta didik mendapat kartu yang berbeda dari sebelumnya. Model pembelajaran make a match ini dirancang untuk menumbuhkan minat siswa untuk belajar karena model ini sangat menarik. Dalam proses pembelajaran, model make a match ini terkandung unsur bermain sehingga siswa mendapat pengalaman belajar yang bermakna dan menyenangkan. Kelebihan model pembelajaran make a match sebagai berikut: a) suasana kegembiraan akan tumbuh dalam proses pembelajaran, b) kerjasama antar sesama siswa terwujud dengan dinamis, c) munculnya dinamika gotong royong yang merata di seluruh siswa. Sementara kelebihan mobel pembelajaran make a match sebagai berikut: a) diperlukan bimbingn dari guru untuk melaksanakan pembelajaran, b) suasana kelas menjadi gaduh sehingga dapat mengganggu kelas lain, c) guru perlu persianan bahan dan alat yang memadai (Shohimin, 2013 : 9). Mengingat masalah tersebut sangat penting, maka dilakukan penelitian dengan tujuan untuk mengetahui pengaruh hasil belajar IPA antara kelompok siswa yang mendapatkan perlakuan model pembelajaran Make A Match dan kelompok siswa yang tidak mendapatkan perlakuan model pembelajaran Make A Match pada siswa kelas V SD Negeri Gugus IV Kabupaten Buleleng tahun pelajaran 2016/2017. METODE Jenis penelitian yang dilakukan adalah eksperimen semu (quasi experimen). Penelitian ini dilakukan pada semester ganjil tahun ajaran 2016/2017. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh model pembelajaran make a match terhadap hasil belajar IPA siswa kelas V. Pengaruh tersebut diteliti dengan memberikan perlakuan eksperimental berupa penerapan model pembelajaran Make A Match pada kelas eksperimen dan model pembelajaran bukan make a match pada kelas kontrol. Setelah perlakuan, kedua kelompok diberikan post-test. Hasil dari post-test, kedua kelompok dibandingkan untuk mengetahui pengaruh model pembelajaran make a match terhadap hasil belajar IPA siswa kelas V. Desain penelitian ini disebut Nonequivalent post-test only control group design. Desain ini dapat dilihat pada Tabel 2. Tabel 2. Desain Penelitian Kelompok Perlakuan Post-Test E X O 1 K - O 2 (Sugiyono, 2010:85) Keterangan : E = Kelompok Eksperimen, K = Kelompok Kontrol, X = Perlakuan, yaitu pembelajaran dengan model pembelajaan make a match, - = Tidak mendapatkan perlakuan model pembelajaran make a match, O 1 = Post-test untuk kelompok eksperimen, O 2 =Posttes tuntuk kelompok kontrol. Penelitian ini dilakukan di Gugus IV semester ganjil tahun pelajaran 2016/2017. Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh kelas V SD Negeri di Gugus IV Kabupaten Buleleng berjumlah 6 kelas. SD Negeri di Gugus IV Kabupaten buleleng berjumlah 6 SD, sehingga jumlah kelas IV berjumlah 6 kelas. Populasi berjumlah 6 SD di Gugus IV Kabupaten Buleleng yaitu 130 orang. Komposisi masing-masing kelas disajikan pada tabel 3. 4

5 Tabel 3. Distribusi Populasi Penelitian No Anggota Populasi Banyak Siswa 1 Kelas V SD N 1 Penglatan 30 2 Kelas V SD N 2 Penglatan 16 3 Kelas VSD N 3 Penglatan 19 4 Kelas V SD N 1 Alasangker 23 5 Kelas V SD N 2 Alasangker 28 6 Kelas V SD N 3 Alasangker 14 Teknik pengambilan sampel yang digunakan dalam penelitian ini adalah teknik random sampling yaitu dengan cara undian. Menurut Agung (2011:48) menyatakan teknik random sampling adalah "teknik dengan mencampur subjek-subjek di dalam populasi sehingga semua subjek dianggap sama dan mendapat hak yang sama untuk memperoleh kesempatan dipilih menjadi anggota sampel". Untuk menentukan sampel diperlukan uji kesetaraan. Hal ini dilakukan untuk mengetahui kesetaraan hasil belajar siswa SD di Gugus IV Kabupaten Buleleng setara atau belum, maka terlebih dahulu dilakukan uji kesetaraan dengan menggunakan uji ANAVA A. Setelah didapatkan hasil yang setara, maka ditentukanlah kelas kontrol dan kelas eksperimen yang dilakukan dengan teknik undian. Melalui proses pengundian tersebut, diperoleh kelas eksperimen yaitu kelompok siswa kelas V SD Negeri 1 Penglatan. Kemudian, kelompok siswa kelas V SD Negeri 2 Alasangker menjadi kelas kontrol. Data sangat penting keberadaannya untuk menjawab permasalahan penelitian, sehingga data yang diperoleh haruslah data yang valid dan reliabel.berkaitan dengan permasalahan yang dikaji dalam penelitian ini, maka data yang diperlukan yaitu data tentang hasil belajar ranah kognitif.untuk mengumpulkan data tentang hasil belajar IPA ranah kognitif digunakan metode tes. Metode tes dilakukan dengan membagikan sejumlah tes untuk mengukur hasil belajar IPA kedua kelompok. Dalam penelitian ini terdapat satu jenis data yang diperlukan yaitu data hasil belajar IPA ranah kognitif. Berdasarkan jenis data tersebut, maka instrumen yang dipakai untuk mengumpulkan data adalah berupa tes hasil belajar IPA. Tes hasil belajar IPA disusun berdasarkan tujuan pembelajaran dan kurikulum.tes hasil belajar IPA yang digunakan adalah dalam bentuk tes objektif.tes diberikan setelah perlakuan pembelajaran dilakukan. Untuk mengukur variabel hasil belajar ranah kognitif digunakan tes. Penyusunan tes berpedoman pada kisi-kisi yang dikembangkan. Instrumen yang digunakan untuk memperoleh data tentang hasil belajar IPA dalam penelitian ini berupa tes objektif (pilihan ganda) dengan satu jawaban benar yang berjumlah 25 butir soal. Setiap soal disertai dengan empat alternative jawaban (a, b, c, dan d) yang akan dipilih siswa. Setiap butir item diberikan skor 1 untuk siswa yang menjawab benar dan skor 0 untuk siswa yang menjawab salah. Skor setiap jawaban kemudian dijumlahkan dan jumlah tersebut merupakan skor variabel hasil belajar IPA. Rentang skor ideal yang diperoleh siswa Skor 0 merupakan skor minimal ideal dan skor 25 merupakan skor maksimal ideal tes hasil belajar IPA. Instrumen penelitian tersebut terlebih dahulu dianalisis dengan menggunakan uji: validitas isi, validitas tes, reliabilitas tes, tingkat kesukaran, dan daya beda tes. Berdasarkan uji validitas isi, nilai validasi isi (content validity) menggunakan rumus Gregory adalah semua soal diterima oleh kedua pakar. Secara kuantitatif diperoleh hasil 1,00, artinya tes berada pada kategori koefisien validitas isi sangat tinggi. Berdasarkan hasil validitas butir soal yang dilakukan di 3 SD yaitu SD Negeri 1 Penglatan, SD Negeri 2 Penglatan, dan SD Negeri 3 Penglatan dengan jumlah responden 64 orang diperoleh jumlah butir soal yang valid adalah 25 soal dari 30 soal yang diuji cobakan. Butir tes yang valid digunakan sebagai post-test. Berdasarkan hasil 5

6 analisis reliabilitas tes terhadap 25 butir tes yang digunakan, diperoleh nilai reliabilitas tes yaitu 0,79 artinya bahwa reliabilitas tes berada pada kualifikasi tinggi. Jadi, tes hasil belajar IPA tersebut dianggap layak untuk digunakan dalam penelitian. Berdasarkan uji tingkat kesukaran tes diperoleh Pp = 0,69, sehingga perangkat tes yang digunakan termasuk kriteria sedang. Hasil analisis terhadap 25 butir tes diperoleh 14 butir tes yang memiliki tingkat kesukaran sedang dan 11 butir tes yang berada pada tingkat kesukaran mudah. Dalam penelitian ini, tes yang digunakan harus memiliki kriteria daya beda mulai dari cukup baik sampai sangat baik. Berdasarkan hasil uji daya beda tes diperoleh Dp = 0,46, sehingga perangkat tes yang digunakan termasuk kriteria baik. Hasil analisis terhadap 25 butir tes diperoleh 6 butir tes yang berkualifikasi sangat baik, 5 butir tes yang berkualifikasi baik, 13 butir tes yang berkualifikasi cukup baik, dan 1 butir tes yang berkualifikasi kurang baik. Data yang dikumpulkan dalam penelitian ini adalah data hasil belajar IPA. Data ini dianalisis menggunakan statistik deskriptif dan statistik inferensial. Statistik deskriptif berfungsi untuk mengelompokkan data, menggarap, memaparkan serta menyajikan hasil olahan. Selanjutnya,statistik inferensial berfungsi untuk menggeneralisasikan hasil penelitian yang dilakukan pada sampel bagi populasi. Statistik inferensial ini digunakan untuk menguji hipotesis melalui uji-t (polled varians), yang diawali dengan analisis prasyarat berupa uji normalitas dan uji homogenitas varians data. Dalam penelitian ini data disajikan dalam bentuk grafik poligon. Sebelum melakukan uji hipotesis, ada beberapa persyaratan yang harus dipenuhi dan perlu dibuktikan. Persyaratan yang dimaksud yaitu: (1) data yang dianalisis harus berdistribusi normal, (2) mengetahui data yang dianalisis bersifat homogen atau tidak. Kedua prasyarat tersebut harus dibuktikan terlebih dahulu, maka untuk memenuhi hal tersebut dilakukanlah uji prasyarat analisis dengan melakukan uji normalitas dan uji homogenitas. Dalam melakukan uji prasyarat digunakan uji-t (polled varians) dengan taraf signifikansi 5%. HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil Pemaparan hasil-hasil penelitian meliputi deskripsi umum data hasil penelitian kelompok eksperimen dan kelompok kontrol, uji prasyarat analisis, dan pengujian hipotesis. Objek dalam penelitian ini adalah perbedaan hasil belajar IPA siswa sebagai hasil perlakuan antara penerapan pembelajaran make a match dan pembelajaran bukan make a match. Penelitian ini menggunakan rancangan post test only group design dengan uji-t sebagai alat untuk menganalisis data. Dengan demikian, data dalam penelitian ini dikelompokkan menjadi: 1) hasil belajar IPA siswa yang mendapatkan perlakuan model pembelajaran make a match, 2) hasil belajar IPA siswa yang tidak mendapatkan perlakuan model pembelajaran make a match. Adapun hasil analisis data statistik deskriptif disajikan pada Tabel 3. Tabel 3. Deskripsi Data hasil belajar Kelompok Eksperimen dan Kelompok Kontrol Statistik Kelompok Eksperimen Kelompok Kontrol Mean 18,8 12,21 Median 19,23 11,75 Modus 20,65 11,73 Varians 16,43 19,95 Standar Deviasi 4,05 4,46 6

7 Berdasarkan tabel di atas, diketahui kelompok eksperimen memilik mean =18,8, median = 19,23, dan modus = 20,65 yang berarti Mo >Md > M (20,65 > 19,23 > 18,8) dan termasuk ke dalam juling negatif yang menunjukkan bahwa sebagian besar skor cenderung tinggi. Untuk menentukan tinggi rendahnya hasil belajar IPA siswa kelas eksperimen digunakan kriteria rata-rata ideal dan standar deviasi ideal yang diklasifikasikan dalam lima kategori. Berdasarkan perhitungan yang dilakukan dengan mengikuti kriteria tersebut, maka diperoleh hasil yang disajikan dalam tabel 4. Tabel 4. Kriteria penentuan tinggi rendahnya hasil belajar IPA siswa yang mendapatkan perlakuan model pembelajaran Make a Match Rentangan Skor Klarifikasi/Prediksi 18,78 x 24,94 Sangat Tinggi 14,58 x 18,74 Tinggi 10,42 x 14,58 Sedang 7,50 x 10,42 Rendah 0,02 x 6,26 Sangat Rendah Berdasarkan hasil konversi, diperoleh bahwa skor rata-rata hasil belajar IPA siswa kelompok eksperimen dengan mean (M) = 18,8 tergolong kriteria tinggi. Sedangkan kelompok kontrol memiliki mean = 12,21, median = 11,75, dan modus = 11,73 yang berarti Mo < Me < M (11,73 < 11,75 < 12,21) dan termasuk ke dalam juling positif yang menunjukkan bahwa sebagian besar skor cenderung rendah. Untuk menentukan tinggi rendahnya hasil belajar IPA siswa kelas kontrol digunakan kriteria rata-rata ideal dan standar deviasi ideal yang diklasifikasikan dalam lima kategori. Berdasarkan perhitungan yang dilakukan dengan mengikuti kriteria tersebut, maka diperoleh hasil yang disajikan dalam tabel 5. Tabel 5. Kriteria Penentuan Tinggi Rendah Hasil Belajar IPA yang tidak mendapatkan perlakuan Model Pembelajaran Make a Match Rentangan Skor Klarifikasi/Prediksi 18,78 x 24,94 Sangat Tinggi 14,58 x 18,74 Tinggi 10,42 x 14,58 Sedang 7,50 x 10,42 Rendah 18,78 x 24,94 Sangat Rendah Berdasarkan hasil konversi, diperoleh bahwa skor rata-rata hasil belajar IPA siswa kelompok kontrol dengan mean (M) = 12,21 tergolong kriteria sedang Teknik statistik yang digunakan untuk analisis data penelitian ini adalah statistik deskriptif untuk mengetahui kualitas hasil belajar post-test siswa dan statistik inferensial untuk menguji hipotesis penelitian. Sebelum data penelitian ini dianalisis dengan statistik inferensial (uji-t), terlebih dahulu dilakukan pengujian terhadap persyaratanpersyaratan yang diperlukan terhadap sebaran data hasil penelitian. Uji prasyarat analisis meliputi dua hal, yaitu uji normalitas dan uji homogenitas varians. 7

8 Sebelum melakukan uji hipotesis maka harus dilakukan beberapa uji prasyarat. terhadap sebaran data yang meliputi uji normalitas. Uji normalitas data dilakukan pada keseluruhan unit analisis yaitu kelompok siswa yang mendapatkan perlakuan model pembelajaran make a match dan kelompok siswa yang tidak mendapatkan perlakuan model pembelajaran make a match. Pada penelitian ini, uji normalitas data dilakukan menggunakan rumus Chi-Kuadrat data hasil post-test kelompok eksperimen (χ 2 hitung ) adalah 0,763 pada taraf signifikan 5% dan db 6 1 = 5 diketahui χ 2 tabel = 11,070, ini berarti bahwa χ 2 hitung < χ 2 tabel maka data hasil post-test kelompok eksperimen berdistribusi normal. Sedangkan Chi-Square data hasil posttest kelompok kontrol (χ 2 hitung) adalah sebesar pada taraf signifikan 5% dan db = 7 1 = 6 diketahui χ 2 tabel = 12,592, ini berarti bahwa χ 2 hitung < χ 2 maka data hasil post-test kelompok tabel kontrol berdistribusi normal. Setelah melakukan uji prasyarat yang pertama yaitu uji normalitas, selanjutnya dilakuka uji prasyarat yang ke dua yaitu uji homogenitas. Uji homogenitas dilakukan dengan pengelompokan berdasarkan model pembelajaran make a match dan model pembelajaran bukan make a match. Untuk menghitung uji homogenitas digunakan rumus uji-f, dengan kriteria pengujian data homogen jika F hitung< F tabel. Pengujian dilakukan pada taraf signifikansi 5 % dengan derajat kebebasan untuk pembilang V 1 = n 1 1 dan derajat kebebasan untuk penyebut V 2 = n 2 1. Hasil uji homogenitas varians data hasil post-test kelompok eksperimen dan kontrol dengan db = 30/28 dan taraf signifikansi 5% (α 0,05) diketahui F tabel = 1,87dan F hitung = 1,21. Hal ini berarti F hitung < F tabel dan varians 1 = varians 2 sehingga post-test hasil belajar siswa homogen. Ringkasan hasil uji homogenitas disajikan pada tabel 6. Tabel 6. Ringkasan Uji Homogenitas Varians Kelas Penelitian F hitung F tabel (5%) Keterangan Kelompok Eksperimen dan Kelompok Kontrol 1,21 1,87 Homogen Hipotesis penelitian yang diuji adalah Terdapat perbedaan hasil belajar IPA yang signifikan antara kelompok siswa yang mendapat perlakuan model pembelajaran Make A Match dan kelompok siswa yang tidak mendapatkan perlakuan model pembelajaran Make A Match pada siswa kelas V SD di Gugus IV Kabupaten Buleleng pada tahun pelajaran 2016/2017. Uji hipotesis ini menggunakan uji t independent sampel tak berkorelasi. Data hasil belajar dalam pembelajaran IPA kelompok eksperimen dan kelompok kontrol adalah normal dan varians kelompok eksperimen dan kelompok kontrol adalah homogen. Selain itu jumlah siswa pada setiap kelas berbeda, baik itu kelas eksperimen maupun kelas kontrol, maka pada uji-t sampel tak berkorelasi ini digunakan rumus uji-t polled varians. Adapun hasil analisis untuk uji-t dapat disajikan pada Tabel 7. Keterampilan Berpikir Kritis dalam Pembelajaran IPA Kelompok Eksperimen 16,43 30 Kelompok Kontrol 19,95 28 Tabel 7. Hasil uji Hipotesis N X Db t hitung t tabel Kesimpulan 56 5,45 2,000 H 0 ditolak 8

9 Berdasarkan tabel di atas, diperoleh t hit adalah 5,45. Harga t tab pada taraf signifikansi 5% dan db = 56 adalah Hal ini berarti, t hit lebih besar dari t tab (t hit = 5,45 > 2,000), sehingga H 0 ditolak dan H I diterima. Dengan demikian, terdapat perbedaan yang signfikan pada hasil belajar IPA antara kelompok siswa yang mendapat perlakuan model pembelajaran make a match dan kelompok siswa yang tidak mendapat perlakuan model pembelajaran make a match pada siswa kelas V SD Negeri Gugus IV Kabupaten Buleleng Tahun Pelajaran 2016/2017. Pembahasan Berdasarkan deskripsi data hasil penelitian, siswa dengan perlakuan model pembelajaran make a match memiliki hasil belajar IPA yang lebih tinggi dibandingkan dengan siswa yang tidak mendapatkan perlakuan model pembelajaranmake a match. Tinjauan ini didasarkan pada ratarata skor hasil belajar IPA siswa dan hasil análisis uji-t. Rata-rata skor hasil belajar IPA siswa yang mendapatkan perlakuan model pembelajaran make a match adalah 18,8 lebih besar daripada rata rata skor hasil belajar siswa tidak mendapatkan perlakuan dengan model pembelajaran make a match yaitu 12,21. Selanjutnya berdasarkan analisis data menggunakan uji t, diketahui t hitung = 5,45 dan t tabel (db = 56 pada taraf signifikansi 5%) = 2,000. Hasil perhitungan tersebut menunjukkan bahwa t hitung lebih besar dari t tabel (t hitung> t tabel). Perbedaan yang signifikan pada hasil belajar IPA antara kelompok siswa yang mendapatkan perlakuan model pembelajaran make a match dan kelompok siswa yang tidak mendapatkan perlakuan model pembelajaran make a match disebabkan karena beberapa hal. Pertama, pada pembelajaran dengan model pembelajaran make a match, siswa ditugaskan untuk mencari pasangan berdasarkan kartu yang dipegang setelah mempelajari konsep. Bagi siswa yang dapat mencari pasangan dari kartu yang dipegang dengan benar sebelum batas waktu yang ditentukan akan diberikan poin. Pembelajaran demikian membuat siswa menjadi aktif dan senang. Kondisi ini membuat siswa mau belajar mandiri dan saling bekerjasama dengan temannya. Hal ini berarti minat belajar siswa menjadi lebih baik. Adanya minat belajar menyebabkan hasil belajar lebih baik. Pendapat ini sejalan dengan pendapat Suyatno (2009), yang menyatakan bahwa model pembelajaran make a match merupakan kegiatan pembelajaran dimana siswa mencari pasangan sambil belajar mengenai suatu konsep atau topik dalam suasana yang menyenangkan. Selanjutnya Nashar (2004), yang menyatakan bahwa minat belajar yang dimiliki oleh anak dalam setiap pembelajaran sangat berperan untuk meningkatkan hasil belajar siswa dalam mata pelajaran tertentu, artinya semakin tinggi minat belajar siswa semakin tinggi pula hasil belajar yang diperoleh. Kedua, pemberian reward berupa poin untuk siswa yang menemukan pasangan kartu yang dipegang. Membuat anak lebih bersemangat dan meningkatkan motivasi siswa dalam proses pembelajaran. Dengan motivasi belajar siswa yang meningkat, maka hasil belajar siswa pun menjadi optimal. Pendapat ini sejalan dengan pendapat Jaelani (2011), yang menyatakan bahwa adanya motivasi yang baik dalam belajar akan menunjukkan hasil yang baik pula. Dengan adanya usaha yang tekun dan didasari motivasi yang baik, maka siswa dapat mencapai tujuannya dengan hasil belajar yang optimal. Ketiga, penggunaan media dalam pembelajaran berupa gambar untuk mempermudah guru menjelaskan suatu topik. Siswa pun menjadi lebih mudah untuk memahami topik yang dijelaskan oleh guru. Dengan penggunaan media dalam pembelajaran membuat siswa lebih aktif dalam pembelajaran dan dapat meningkatkan minat belajar siswa, sehingga hasil belajar siswa menjadi lebih baik. Pendapat ini sejalan dengan pendapat Arsyad (2010), yang menyatakan bahwa pemakaian media pembelajaran dalam proses belajar mengajar dapat membangkitkan keinginan dan minat yang baru, membangkitkan motivasi dan rangsangan kegiatan belajar. 9

10 Keberhasilan ini didukung oleh keberhasilan penelitian yang dilakukan oleh Atini (2013), dengan judul Penerapan Model Pembelajaran Make A Match Berbasis Budaya Lokal Bali untuk Meningkatkan Hasil Belajar IPA Siswa Kelas V SD N 2 Cempaga pada semester 1 Tahun Pelajaran 2013/2014. Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukannya, setelah menerapkan model make a match, hasil belajar IPA pada siswa kelas V SD N 2 Cempaga mengalami peningkatan. Sebelum diberikan tindakan penelitian, rata-rata hasil belajar siswa hanya sebesar 45,5. Pada siklus I, rata-rata hasil belajar IPA siswa menjadi sebesar 60,5, dan pada siklus II meningkat menjadi 82,5. Hasil penelitian ini juga diperkuat oleh Suandayani (2012), dengan judul Pengaruh Model Pembelajaran Make A Match berbasis Media Lingkungan Terhadap Hasil Belajar IPA Siswa Kelas IV Sekolah Dasar Gugus II Kecamatan Kuta Utara Tahun Pelajaran 2012/2013. Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukannya, setelah menerapkan model make a match, hasil belajar IPA pada siswa kelas IV Sekolah Dasar Gugus II Kecamatan Kuta Utara mengalami peningkatan. Hasil penelitiannya menunjukkan bahwa terdapat perbedaan hasil belajar IPA antara siswa yang mengikuti pembelajaran dengan model pembelajaran Make A Match dan Media lingkungan dan siswa yang mengikuti pembelajaran konvensional. Rata-rata hasil belajar kelas eksperimen lebih tinggi daripada kelas kontrol, yakni 24,7 untuk kelas ekperimen dan 19,3 untuk kelas kontrol. Dengan demikian hasil belajar siswa yang mendapatkan perlakuan model pembelajaran make a match lebih tinggi dibandingkan siswa yang tidak mendapatkan perlakuan model pembelajaran make a match pada mata pelajaran IPA kelas V di Gugus IV Kabupaten Buleleng tahun pelajaran 2016/2017. Hal ini disebabkan karena model pembelajaran make a match menuntut siswa agar mampu memahami suatu materi dengan menggunakan kartu pasangan. Selain itu, model pembelajaran make a match ini menuntut setiap siswa aktif dan cekatan untuk mencari pasangan kartu yang dipegang. Hal ini membuat pembelajaran menjadi lebih menyenangkan sehingga dapat meningkatkan hasil belajar siswa. PENUTUP Berdasarkan rumusan masalah dan pembahasan di atas, maka simpulan penelitian ini adalah sebagai berikut. Terdapat perbedaan hasil belajar IPA yang signifikan antara kelompok siswa yang mendapatkan perlakuan model pembelajaran make a match dan kelompok siswa yang tidak mendapatkan perlakuan model pembelajaran make a match pada siswa kelas V SD di Gugus IV Kabupaten Buleleng pada semester ganjil tahun pelajaran 2016/2017. Hal ini dapat dilihat rata-rata skor hasil belajar IPA siswa yang mendapatkan perlakuan model pembelajaran make a match adalah 18,8 dan rata rata skor hasil belajar siswa yang tidak mendapatkan perlakuan model pembelajaran make a match adalah 12,21. Berdasarkan analisis data menggunakan uji t, diketahui t hitung = 5,45 dan t tabel (db = 56 dan taraf signifikansi 5%) = 2,000. Berkenaan dengan simpulan yang diperoleh, maka beberapa saran yang dapat diajukan adalah sebagai berikut. 1. Penelitian ini menunjukkan bahwa hasil belajar IPA siswa yang mendapatkan perlakuan model pembelajaran make a match lebih baik daripada hasil belajar IPA siswa yang tidak mendapatkan perlakuan model pembelajaran make a match. Untuk itu, hendaknya para guru menggunakan model pembelajaran make a match dalam pembelajaran sehingga tercapai tujuan pembelajaran yang diharapkan. 2. Kepala Sekolah hendaknya tetap memantau dan memberikan pengarahan bagi para guru agar proses belajar mengajar di kelas aktif dan menyenangkan bagi siswa melalui strategi, tehnik, dan model pembelajaran yang inovatif. 3. Penelitian lanjutan yang berkaitan dengan model pembelajaran make a match perlu dilakukan. Untuk itu, peneliti lain hendaknya dapat melakukan penelitian sejenis dengan variabel yang 10

11 berbeda dan sampel yang lebih luas agar diperoleh temuan-temuan baru yang berkaitan dengan model pembelajaran make a match. DAFTAR RUJUKAN Abdul Azis Wahab Metode dan Model-model Mengajar. Bandung:Alfabeta CV Agung, A. A. Gede Metodologi Penelitian Pendidikan: Suatu pengantar. Singaraja: Undiksha, Singaraja. Agung, A. A. Gede Pengantar Evaluasi Pendidikan: Suatu pengantar. Singaraja: Undiksha, Singaraja. Anita Lie Cooperative Learning. Jakarta:PT Grasindo Djojosoediro, Wasih Pengembangan dan Pembelajaran IPA SD. Tersedia pada ew/microsoft+ Word+- +ipa_unit1_1_pdf.pdf.diakses 02 Februari Isjoni Pembelajaraan Kooperatif. Yogyakarta : Pustaka Pelajar. Jaelani Teori Motivasi Belajar. Jakarta: Rajawali Press Nashar. Drs Peranan Motivasi dan Kemampuan Awal dalam Kegiatan Pembelajaran. Jakarta : Delia Press. Penyusun,Tim Buku Ajar Pendidikan Sains D2 PGSD. Singaraja : Undiksha Rusman Model-model Pembelajaran Mengembangkan Profesionalisme Guru. Jakarta: PT. Rajagrafindo Persada. Shohimin, A Model Pembelajaran Inovatif dalam Kurikulum Yogyakarta:Ar-Ruzz Media Sugiyono Metode Penelitian Pendidikan Pendekatan Kuantitatif, dan R&D. Bandung: Alfabeta Metode Penelitian Kuantitatif Kualitatif dan R&D. Bandung: Alfabeta. Suyatno Menjelajah Pembelajaran Inovatif. Sidoarjo:Masmedia Buana Pustaka. 11