4 HASIL DAN PEMBAHASAN

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "4 HASIL DAN PEMBAHASAN"

Transkripsi

1 HASIL DAN PEMBAHASAN Cemaran B. cereus pada Cook-chill Foods Reaksi B. cereus pada media selektif MYP adalah permukaan koloni kering, rata, berwarna merah jambu-lavender dengan dikelilingi zona terang karena presipitasi kuning telur, dan resisten terhadap polymixin. Menurut Peng et al. () kelompok Bacillus spp. yang juga tumbuh di media selektif MYP dan memperlihatkan reaksi positifterhadap kuning telur adalah B. thuringiensis, B. mycoides, B. anthracis dan B. laterosporis. Sampel yang berasal dari refrigerator pendingin (~5 o C) dari tempat penjualan di minimarket langsung diuji tanpa dilakukan pemanasan ulang. Analysis of Variance (ANOVA) dilakukan untuk menguji pengaruh jenis cookchill foods dan hari penyimpanan terhadap nilai log CFU/g bakteri. Hasil ANOVA menunjukkan bahwa jenis cook-chill foods dan hari penyimpanan berpengaruh nyata (p<.) terhadap log CFU/g total bakteri dan B. cereus (Lampiran ). Uji lanjutan setelah ANOVA kemudian diperlukan untuk mengetahui lebih lanjut perbedaan mean (rataan) log CFU/g antara jenis cook-chill foods (spaghetti bolognaise dan nasi ayam lada hitam) dan hari penyimpanan (hari ke- dan hari ke-) dengan uji lanjut Duncan. Hasil analisis cemaran pada sampel spaghetti bolognaise dan nasi ayam lada hitam dapat dilihat pada Tabel. Pada hari pertama produk dijual di minimarket, spaghetti bolognaise mempunyai nilai angka lempeng total (ALT) 5.8 log CFU/g, begitu juga dengan nasi ayam lada hitam pada batch pertama. Pada pengukuran selanjutnya di batch yang berbeda (selang minggu), spaghetti bolognaise dan nasi ayam lada hitam mempunyai nilai ALT yang sama juga, yaitu sebesar 5. log CFU/g pada hari penyimpanan pertama. Tabel Hasil analisis cemaran (angka lempeng total dan B. cereus) pada spaghetti bolognaise dan nasi ayam lada hitam Angka Lempeng Total B. cereus Sampel Hari Nilai Log (CFU/g) Spaghetti Bolognaise Nasi Ayam Lada Hitam a.7 +.9a 6. +.b. +.8a a + a b.7 +.a * Rataan pada kolom yang sama yang diikuti oleh huruf yang berbeda adalah berbeda nyata (p<.5) ** + Nilai deviasi standar Selanjutnya nilai ALT diukur kembali pada spaghetti bolognaise dan nasi ayam lada hitam yang dijual pada hari terakhir penyimpanan di minimarket (hari ke-). Pada hari terakhir penyimpanan ini, nilai ALT pada spaghetti bolognaise dan nasi ayam lada hitam mengalami peningkatan sebesar log daripada hari

2 penyimpanan pertama menjadi log CFU/g pada spaghetti bolognaise dan log CFU/g pada nasi ayam lada hitam. Berdasarkan uji ANOVA pada p <.5 (Lampiran ), didapatkan hasil bahwa jenis cook-chill foods (spaghetti bolognaise dan nasi ayam lada hitam) tidak berbeda nyata (p>.5) terhadap nilai log ALT, akan tetapi hari penyimpanan (hari ke- dan hari ke-) menunjukkan hasil yang berbeda nyata (p<.5). Berdasarkan hasil analisis bisa disimpulkan bahwa hari penyimpanan berpengaruh nyata terhadap nilai log ALT (total mikroba), sedangkan jenis cook-chill foods tidak berpengaruh nyata terhadap nilai log ALT. Selain uji ALT, juga dilakukan analisis cemaran B. cereus pada spaghetti bolognaise dan nasi ayam lada hitam. Pada hari pertama penjualan, spaghetti bolognaise terpapar B. cereus sebesar rata-rata 5 CFU/g pada batch pertama dan rata-rata CFU/g pada batch kedua. Dari delapan sampel spaghetti bolognaise yang diuji, tujuh sampel positif terpapar B. cereus (87.5%). Pada sampel nasi ayam lada hitam, pada pengujian hari pertama, koloni B. cereus tidak terdeteksi pada media MYP agar baik pada batch pertama dan batch kedua (%) atau < CFU/g ( log CFU/g). Koloni yang tumbuh di atas media MYP pada sampel nasi ayam lada hitam pada hari pertama penyimpanan umumnya adalah koloni bakteri lain yang bukan B. cereus yang menyebabkan media MYP agar menjadi berwarna kuning. Pada hari ketiga penyimpanan di minimarket, 75% sampel nasi ayam lada hitam mulai menunjukkan positif tercemar B. cereus, sehingga menghasilkan nilai rata-rata log.8 CFU/g pada batch pertama, dan rata-rata log. CFU/g pada batch kedua, sehingga didapat hasil rata-rata.7 log CFU/g pada hari ke-. Uji ANOVA pada Lampiran menunjukkan bahwa jenis cook-chill foods (spaghetti bolognaise dan nasi ayam lada hitam) dan hari penyimpanan tidak memberikan pengaruh nyata pada nilai log B. cereus, karena nilai F hitung lebih besar daripada sigma (p>.). Menurut NSW Food Authorithy (9) untuk produk siap santap, hasil ALT log >5 CFU/g tergolong dalam kategori unsatisfactory (tidak memuaskan) (Lampiran ), sedangkan total B. cereus log - CFU/g masih dalam batas marginal (di antara satisfactory dan unsatisfactory). Pada dasarnya seharusnya secara teori produk cook-chill foods sedianya bisa langsung disantap oleh konsumen karena produk tersebut sudah dimasak sebelumnya (cooked) dan disimpan pada suhu dingin (chilled). Proses pemanasan ulang pada cook-chill foods pada awalnya dimaksudkan lebih untuk meningkatkan kualitas organoleptik daripada untuk menghancurkan patogen. Akan tetapi, berdasarkan hasil analisis cemaran ini, maka bisa dikatakan bahwa produk cook-chill foods yang diteliti (spaghetti bolognaise dan nasi ayam lada hitam) ini sebaiknya tidak langsung dimakan, dan sangat disarankan untuk dipanaskan kembali sebelum dikonsumsi. Proses pemanasan ulang yang sebelumnya lebih ditujukan untuk meningkatkan kualitas organoleptik pada akhirnya dilakukan juga untuk mengurangi atau memusnahkan pathogen yang tumbuh pada cook-chill foods (spaghetti bolognaise dan nasi ayam lada hitam). Produk cook-chill foods bisa dikatakan tidak terlindungi. Mayoritas dari produk ini mengandung a w dan ph yang tinggi, kandungan garam yang rendah dan tanpa pengawet. Beberapa peneliti telah melaporkan resiko keamanan pangan yang diasosiasan dengan kemampuan strain proteolitik C. botulinum (tipe B, E, dan F) untuk bertahan selama proses pemanasan singkat dan kemudian tumbuh

3 pada produk cook-chill foods yang dikemas vakum. Apabila ada kasus kontaminasi setelah proses produksi (kemasan bocor atau kontaminasi selama pengemasan) psikrotropik patogen lainnya yang signifikan adalah Listeria monocytogenes. Pada o C fase lag dari berbagai macam bakteri patogen non-spora seperti Listeria monocytogenes adalah sekitar minggu dengan waktu generasi jam (Mossel & Struijk, 99). Akan tetapi proses pemanasan selama menit pada 7 o C sudah cukup untuk mencapai reduksi 6D dari L. monocytogenes (Gaze et al., 989). Salah satu yang patut diperhatikan ada cook-chill foods adalah pada saat proses penyimpanan dan distribusi. Temperatur yang berlaku bisa bervariasi dan efek dari jangkauan temperatur harus dipertimbangkan (Rybka-Rodgers, ). Hal lain yang turut berbahaya adalah adalah temperatur penyimpanan yang tidak sesuai (> o C). Dalam suatu penelitian pada nasi masak yang disimpan pada temperatur dan 8 o C, ditemukan level B. cereus yang tinggi dan juga terbentuk toksin pada hari ke- dan ke-6 masa penyimpanan, di mana hanya ada sedikit perubahan pada kualitas organoleptiknya. Dengan semakin populernya produk pangan siap saji, fakta bahwa temperatur yang tidak sesuai bisa terjadi pada level produsen, retail, dan konsumen, penelitian lebih lanjut tentang pertumbuhan B. cereus pada produk tersebut sangat vital (Cronin & Wilkinson, 9). Proses pemasakan yang diaplikasikan pada produksi cook-chill foods bisa menginaktivasi spora, sehingga bisa memicu germinasi dan meningkatkan kemungkinan multiplikasi sel vegetatif. Oleh sebab itu dibutuhkan proses pendinginan yang cepat, diikuti dengan penyimpanan pada temperatur refrigreasi untuk mencegah berkembangbiaknya sel vegetatif ke level yang membahayakan keamanan produk pangan. Refrigerasi adalah faktor utama untuk mengontrol patogenpada makanan, hanya penyimpanan di bawah o C yang bisa memastikan bahwa pertumbuhan patogen seperti B. cereus tidak dimungkinkan.menurut Andersson et al. (995) peningkatan konsentrasi B. cereus sangat tinggi pada saat temperatur penyimpanan hanya dinaikkan o C dari 6 o C ke 8 o C. Selain itu, tidak seperti pabrik pengolahan makanan, kebanyakan bisnis yang berbasis katering tidak mempunyai banyak pengetahuan atau saran tentang keamanan pangan, atau kontrol higienitas dalam proses produksi yang baik. Rendahnya automatisasi meningkatkan kemungkinan adanya kesalahan pekerja (human error). Contoh masalah yang bisa ditemukan adalah: tidak meratanya distribusi temperatur pada ruangan dingin, alat pendingin, dan penangas air; atau pekerja yang tidak ahli bisa melupakan langkah produksi yang penting atau rentan (Rocourt, 996). Karena adanya tantangan pada keamanan teknologi produk cookchill foods, telah mengakibatkan fakta bahwa beberapa produsen makanan kemasan seperti Eurest di Australia, lebih memilih untuk membekukan produknya daripada hanya mendinginkannya. Pada kasus lain di Inggris, 8% dari produk cook-chill foods dengan teknologi sous vide adalah produk beku (Sheard, 995). Pertumbuhan B. cereus pada Cook-chill Foods Pada penelitian tahap kedua dilakukan challenge test dengan cara menginokulasi spora dan sel vegetatif pada spaghetti bolognaise dan nasi ayam lada hitam. Pada Tabel dapat dilihat bahwa spora dan sel vegetatif B. cereus bisa tumbuh dengan laju yang lebih cepat pada spaghetti bolognaise daripada nasi

4 ayam lada hitam. Selain itu ternyata pada suhu 5 o C ternyata pertumbuhan sel vegetatif selama hari masih bisa ditekan di bawah log CFU/g. Tingkat pertumbuhan sebesar kurang lebih log CFU/g ini hampir sama dengan laju pertumbuhan B. cereus pada spaghetti bolognaise dan nasi ayam lada hitam pada penyimpanan retail. Nasi dan spaghetti memiliki ph yang netral dan sebagian besar mengandung karbohidrat, dan juga mengandung protein dan vitamin. Oleh karena itu nasi dan spaghetti yang telah dimasak merupakan media yang sangat cocok untuk pertumbuhan bakteri. Tabel Pertumbuhan sel vegetatif dan spora B. cereus pada spaghetti bolognaise dan nasi ayam lada hitam yang disimpan pada suhu 5 o C Hari Penyimpanan Nasi Ayam Lada Hitam Spaghetti Bolognaise Σ B. cereus (Log CFU/g) Spora Sel Vegetatif Spora Sel Vegetatif Inaktivasi Sel Vegetatif dan Spora B. cereus Dengan menggunakan oven microwave yang berdaya 85 watt, pemanasan selama detik bisa menurunkan sel vegetatif B. cereus sebesar log (Gambar ) pada nasi ayam lada hitam. Sedangkan dengan menggunakan oven microwave Mitsubishi yang berdaya watt, hanya dapat mengurangi sel vegetatif sebesar hanya sebesar log pada waktu selama detik (Gambar 6). Selain itu bisa dilihat bahwa spora B. cereus lebih sulit untuk dihancurkan daripada sel vegetatifnya (Gambar 5). Kim et al. (9) menuturkan bahwa inaktivasi sempurna spora B. licheniformis bisa dicapai selama 9 menit dengan menggunakan oven microwave.5 kw dan 6 menit pada kw, sedangkan dibutuhkan waktu 5 menit bagi air mendidih untuk menginaktivasi spora B. licheniformis seluruhnya.

5 Log CFU/g Gambar Perubahan nilai log CFU/g sel vegetatif B. cereus pada cook-chill foods yang dipanaskan dengan oven microwave 85 watt. - - spaghetti bolognaise - - nasi ayam lada hitam 6 5 Log CFU/g Gambar 5 Perubahan nilai log CFU/g spora B. cereus pada cook-chill foods yang dipanaskan dengan oven microwave 85 watt. - - spaghetti bolognaise - - nasi ayam lada hitam

6 5 Log CFU/g Gambar 6 Perubahan nilai log CFU/g sel vegetatif B. cereus pada cook-chill foods yang dipanaskan dengan oven microwave watt. - - spaghetti bolognaise - - nasi ayam lada hitam Spora merupakan representasi dari bentuk metabolisme dorman dari organisme yang berasal dari sel vegetatif. Pembentukan spora biasanya diinduksi karena adanya restriksi dari satu atau lebih nutrisi (Setlow and Johnson, 997) dan merupakan suatu bentuk pertahanan diri pada lingkungan yang keras. Spora yang berasal dari bakteri bisa mempunyai efek yang signifikan pada makanan karena ketahanannya pada berbagai macam perlakuan proses pengolahan dan pengawetan pada makanan (Ray, 5). Absorbsi energi dari oven microwave dan frekuensi radio bisa meningkatkan temperatur makanan cukup tinggi untuk menginaktivasikan mikroorganisme untuk efektif pasteurisasi atau sterilisasi. Sudah banyak studi dilakukan untuk melihat efek pemanasan oven microwave terhadap mikroorganisme patogen di makanan. Bakteri yang dilaporkan bisa dinaktivasi dengan pemanasan oven microwave antara lain Bacillus cereus, Campylobacter jejuni, Clostridium perfringens, patogenic Eschericia coli, Enterococcus, Listeria monocytogenes, Staphylococcus aureus (Atmaca et al., 996), bakteri asam laktat (Kim et al., 997), dan Salmonella (Lu et al., ). Bakteri patogen telah dilaporkan bisa diinaktivasi pada berbagai macam jenis makanan, seperti pada daging ayam, daging sapi, produk ikan dan babi, susu, dan telur, akan tetapi Heddleson & Dorres (99) melaporkan bahwa pasteurisasi susu di rumah mengundang banyak masalah dan berpotensi bahaya karena adanya pemanasan yang tidak seragam dan kurangnya standarisasi pada oven microwave di level rumah tangga. Beberapa studi juga mendemonstrasikan bahwa pengukuran internal temperatur pada produk daging terkadang tidak mengindikasikan bahwa terjadi inaktivasi Salmonella yang diinokulasikan pada permukaan daging yang disebabkan oleh rendahnya temperatur pada permukaan produk (Schnepf & Barbeau, 989). Suatu penelitian melaporkan bahwa pemanasan dengan oven microwave selama menit pada nasi yang disimpan pada 8 o C dapat memusnahkan sel vegetatif beserta reduksi endospora sebesar hampir log unit (Cronin & Wilkinsson, 9). Ada dua mekanisme yang ditawarkan untuk menjelaskan mekanisme inaktivasi mikroorganisme oleh oven microwave. Yang pertama adalah oven microwave menginaktivasi mikrorganisme sepenuhnya oleh panas dengan

7 6 mekanisme yang bisa dibandingkan dengan proses pemanasan konvensional, seperti denaturasi enzim, protein, asam nukleat, dan komponen vital lainnya, dan juga disrupsi membrane (Heddleson & Doores, 99). Mekanisme lain yang diajukan adalah mekanisme inaktivasi mikroorganisme oleh oven microwave juga meliputi efek non termal. Ada empat teori yang digunakan untuk menjelaskan inaktivasi non termal oleh oven microwave atau pasteurisasi dingin, yaitu: pemanasan selektif, elektroporasi, runtuhnya membran sel, dan coupling medan magnet (Kim et al., 9). Ada beberapa faktor yang menyebabkan ketahanan panas pada spora bakteri, faktor utama adalah karena adanya dehidrasi dan mineralisasi dari bagian inti spora, dan adanya protein larut asam kecil small acid soluble proteins (SASP) yang melindungi DNA (Setlow & Johnson, 997). Pada B. cereus, sporanya relatif tahan panas, walaupun nilai D cenderung bervariasi. Rentang nilai D adalah,-5, menit walaupun telah diobservasi ada beberapa variasi tergantung strain yang berbeda (Batt, 999). Nilai D spora B. cereus bervariasi antara,-,5 menit (z=7,9-9,9 o C) untuk spora yang disuspensi pada buffer fosfat pada ph 7. Pada umumnya spora dari B. cereus yang psikrotropik lebih tidak tahan panas daripada spora dari strain mesofilik (Riemann & Crievel, 6). Germinasi spora berlangsung cepat dan pada beberapa strain germinasi bisa terjadi dalam jangka waktu menit dan frekuensinya bisa sampai % (Batt, 999). Pada medium di laboratorium, dilaporkan bahwa germinasi bisa terjadi pada --59 o C; pada nasi, temperatur untuk germinasi bervariasi antara 5-5 o C (Kramer & Gilbert, 989). Sangat tidak praktis untuk mengeliminasi spora dari makanan karena B. cereus hadir secara luas di lingkungan dan bisa bertahan pada produk pangan kering pada masa penyimpanan yang lama. Oleh karena itu, kontrol biasanya diarahkan pada pencegahan germinasi spora, dan mencegah perkembangbiakan menjadi populasi besar. Untuk mencapai hal tersebut, pangan yang sudah dimasak harus secara cepat dan efisien didinginkan dan kemudian dipanaskan secara menyeluruh sebelum disajikan kembali (Setlow & Johnson, 997). Kebocoran asam nukleat Menurut Lin et al. (), senyawa yang terdeteksi pada panjang gelombang 6 adalah asam nukleat dan turunannya, yaitu nukleotida sedangkan pada panjang gelombang 8 nm adalah protein. Keberadaan asam nukleat pada suspensi spora mengindikasikan pelepasan komponen utama karena adanya kerusakan pada membran dalam spora. Dalam penelitian bisa dilihat bahwa air mendidih tidak menyebabkan kebocoran asam nukleat dan protein sebesar oven microwave pada spora (Gambar 7 dan 8), akan tetapi pada sel vegetatif efek pemanasan dengan oven microwave dan air mendidih terhadap kebocoran asam nukleat dan protein hampir serupa.

8 7 5 Absorbansi 6 (nm) 5 6 Gambar 7 Kebocoran asam nukleat sel vegetatif B. cereus pada A 6 yang dipanaskan dengan oven microwave dan air mendidih. - - oven microwave 85 watt - - air mendidih Absorbansi 8 (nm) Gambar 8 Kebocoran protein pada sel vegetatif B. cereus pada A8 nm yang dipanaskan dengan oven microwave dan air mendidih. - - oven microwave 85 watt - - air mendidih Absorbansi 6 (nm) Gambar 9 Kebocoran asam nukleat spora B. cereus pada A oven microwave 85 watt - - air mendidih

9 8 Absorbansi 8 (nm) Gambar. Kebocoran asam nukleat pada spora B. cereus pada A oven microwave 85 watt - - air mendidih Kim et al. (9) juga melaporkan hal yang senada, walaupun begitu bisa dilihat bahwa air mendidih masih bisa menghambat outgrowth spora B. cereus (Gambar ) dan pertumbuhan sel vegetatif B. cereus (Gambar ). Walaupun penggunaan moist heat sudah digunakan secara luas untuk membunuh spora, mekanisme spesifik dan target penghancuran spora oleh metode ini masih belum jelas (Coleman et al., 7). Kakita et al. (995) melaporkan bahwa iradiasi microwave menghancurkan DNA yang terletak jauh di dalam inti, hal tersebut tidak terjadi pada pemanasan basah (moist heating). Rendahnya tingkat kebocoran asam nukleat dengan air mendidih kemungkinan disebabkan karena DNA spora dilindungi dengan baik karena mengandung protein spora larut asam yang kecil (Coleman et al., 7). Oleh sebab itu kemungkinan terjadi kerusakan pada protein spora atau protein spesifik yang rusak karena perlakuan pemanasan basah, atau karena terjadi kebocoran DPA (dipicolinic acid) atau juga karena ada enzim penting yang menjadi tidak aktif atau terdenaturasi (Setlow, 6). Spora yang diekspos dengan oven microwave memberikan dampak yang lebih besar terhadap ultra struktur spora daripada spora yang didihkan. Perlakuan dengan oven microwave memisahlan mantel luar dari mantel dalam dan menghancurkan mantel luar. Selain itu terjadi hidrolisis korteks dan Log CFU/g

10 9 Gambar Perubahan nilai log CFU/g sel vegetatif suspensi B. cereus yang dipanaskan dengan oven microwave 85 watt dan air mendidih. - - oven microwave 85 watt - - air mendidih Log CFU/g Gambar Perubahan nilai Log CFU/g suspensi spora B. cereus yang dipanaskan dengan oven microwave dan air mendidih. - - oven microwave 85 watt - - air mendidih pembengkakkan, sama seperti spora yang didihkan. Selain itu adanya perubahan pada integritas struktural dan permeabilitas dari membran sel dan dinding sel mungkin bisa menyebabkan kerusakan pada metabolisme sel sehingga akhirnya menyebabkan kematian sel (Kim et al., 9). Kim et al. (9) melaporkan bahwa pada pemanasan dengan suhu tinggi dengan oven microwave, diobservasi bahwa terjadi gangguan pada membran bagian dalam dan runtuhnya mantel spora, dan efek ini tidak terlihat pada perebusan atau otoklaf. Selain itu Celandroni et al. (9) melaporkan pada Bacillus subtilis yang terpapar pada oven microwave watt menunjukkan kebocoran protein dan DNA dari spora yang lebih signifikan daripada perebusan yang menunjukkan adanya cedera pada struktur spora.vaid dan Bishop (998) juga melaporkan bahwa spora B. megaterium, B. stearotermophillus, dan C. sporogenes yang sangat tahan panas pada pemanasan konvensional menjadi terfragmen pada pemanasan dengan oven microwave. Masih belum dimengerti dengan pasti mengapa spora menjadi terfragmen pada kondisi tersebut, tetapi itu mungkin karena adanya peningkatan tekanan internal di dalam inti spora. Food Safety Objective pada Cook-chill Foods Menurut rekomendasi NSW Food Authorithy (9), disarankan bahwa cemaran B. cereus pada produk pangan yang siap dikonsumsi yang dianggap satisfactory (memuaskan) adalah apabila jumlahnya <x CFU/g. Oleh sebab itu, dalam penelitian ini, FSO B. cereus ditetapkan sebesar FSO log CFU/g dan untuk total mikroba, FSO-nya adalah sebesar < log CFU/g. Setelah FSO ditentukan, performance objective (PO) perlu dijalankan agar FSO bisa diraih. Dengan menggunakan data yang diperoleh dari challenge test dan FSO yang

11 direkomendasikan, dapat disajikan masing-masing delapan skenario PO yang berbeda untuk produk cook-chill foods, khususnya untuk spaghetti bolognaise dan nasi ayam lada hitam terhadap total mikroba dan B. cereus. Pada Tabel 5 disajikan delapan skenario yang berbeda untuk spaghetti bolognaise. Pada skenario - oven microwave yang digunakan adalah oven microwave SHARP yang berdaya 85 watt. Dengan menggunakan oven microwave yang berdaya 85 watt, FSO dari spaghetti bolognaise bisa tercapai karena pemanasan dengan oven microwave tersebut bisa mereduksi total mikroba dan B. cereus sebanyak hampir log. Pada skenario 5-8 (Tabel 5), FSO untuk total mikroba pada spaghetti bolognaise tidak bisa tercapai apabila yang digunakan adalah oven microwave MITSUBISHI yang berdaya watt apabila spaghetti bolognaise yang dijual pada hari terakhir penyimpanan (hari ke-) dipanaskan sesuai dengan suhu yang direkomendasikan pada kemasan, yaitu selama menit. Tabel 5 Performance objective (PO) dan evaluasi Food safety objective (FSO) pada spaghetti bolognaise dengan skenario yang berbeda Skenario Bahaya H o produk setelah produksi ΣI Pertumbuhan pada penyimpanan ΣR PO FSO Produk diterima/ ditolak Total Mikroba 5.7*. < Diterima Total Mikroba 5.7*. < Diterima B. cereus.7* -.7 < Diterima B. cereus.7* -.7 < Diterima 5 Total Mikroba 5.95**.5 < Diterima 6 Total Mikroba 5.95**.5 < Ditolak 7 B. cereus.95**.5 < Diterima 8 B. cereus.95**.5 < Diterima * Oven microwave SHARP 85 watt dengan pemanasan selama 5 detik (spaghetti bolognaise) ** Oven microwave MITSUBISHI RR-T watt dengan pemanasan selama 5 detik (spaghetti bolognaise) Tabel 6 Performance objective (PO) dan evaluasi Food safety objective (FSO) pada nasi ayam lada hitam dengan skenario yang berbeda Skenario Bahaya H o produk setelah produksi ΣI Pertumbuhan pada penyimpanan ΣR PO FSO Produk diterima/ ditolak Total Mikroba 5.*.7 Diterima Total Mikroba 5.*.7 Diterima B. cereus.* -.7 Diterima B. cereus.* -.7 Diterima 5 Total Mikroba 5.9**.6 < Diterima 6 Total Mikroba 5.9**.6 < Ditolak 7 B. cereus.9**.6 < Diterima 8 B. cereus.9**.6 < Diterima * Oven microwave SHARP 85 watt dengan pemanasan selama menit (nasi ayam lada hitam) ** Oven microwave MITSUBISHI RR-T watt dengan pemanasan menit (nasi ayam lada hitam)

12 Pada Tabel 6, dapat dilihat bahwa FSO nasi ayam lada hitam masih dapat tercapai apabila nasi ayam lada hitam dipanaskan dengan oven microwave 85 watt selama detik, baik untuk produk yang dijual pada hari pertama walaupun hari terakhir penyimpanan. Pada skenario 5-8, oven microwave watt hanya dapat mereduksi log.9 CFU/g apabila spaghetti bolognaise dipanaskan selama 5 detik. Spaghetti bolognaise yang dijual hari pertama mempunyai nilai cemaran total mikroba sebanyak log 5 CFU/g, oleh sebab itu FSO untuk nasi ayam lada hitam masih bisa tercapai. Akan tetapi, FSO tidak bisa tercapai pada hari terakhir penyimpanan karena total mikroba sudah tumbuh menjadi log 6 CFU/g. Cook-chill foods membutuhkan kontrol dan pengawasan dalam tingkat tinggi selama proses produksi dan distribusi untuk memenuhi dan menjaga kualitas dan keamanan yang dibutuhkan. Karena banyak mikroorganisme yang bisa tumbuh pada temperatur refrigerator, sangat penting untuk mengontrol jumlah mikroorganisme pada bahan baku dan juga produk seminimum mungkin (Baird-Parker, 99). Level FSO/PO yang sesuai untuk setiap patogen pada saat suatu produk dikonsumsi harus ditetapkan tidak hanya bergantung pada keterbatasan pemanasan dengan oven microwave, akan tetapi kontribusi dari sistem manajemen makanan untuk meminimalisasi kontaminasi pada saat makanan diproduksi. Berdasarkan hasil dari penelitian yang dilakukan dapat dikatakan bahwa keamanan dari produk cook-chill foods bergantung sebagian besar pada tingkat kontaminasi awal dari bahan baku mentah, rekontaminasi selama proses produksi, kemasan, masa simpan, dan juga pemanasan dengan oven microwave.

TEKNOLOGI HASIL TERNAK. Kuliah ke 2

TEKNOLOGI HASIL TERNAK. Kuliah ke 2 TEKNOLOGI HASIL TERNAK Kuliah ke 2 METODE PRESERVASI DAGING, SUSU DAN TELUR 1. Penggunaan panas atau PROSES TERMAL (THERMAL PROCESSING) 2. Penurunan suhu atau PENDINGINAN DAN PEMBEKUAN (COOLING AND FREEZING)

Lebih terperinci

3 METODE PENELITIAN. Bahan

3 METODE PENELITIAN. Bahan 10 FSO bisa berdasarkan pada analisis terhadap risiko terjadinya gangguan kesehatan masyarakat yang diasosiasikan dengan bahaya (hazard) pada makanan, yang bisa didapat dari saran dari expert, panel terlatih

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN 26 HASIL DAN PEMBAHASAN Kesempurnaan Susu UHT/Uji Kekeruhan (Aschaffenburg test) Pengujian dilakukan terhadap 30 sampel susu UHT dari Australia dengan merek A sebanyak 15 sampel, dan merek B sebanyak 15

Lebih terperinci

PASTEURISASI. Teti Estiasih - THP - FTP - UB 1

PASTEURISASI. Teti Estiasih - THP - FTP - UB 1 PASTEURISASI Teti Estiasih - THP - FTP - UB 1 DEFINISI Merupakan perlakuan panas yang bertujuan membunuh mikroba patogen dan pembusuk, serta inaktivasi enzim Proses termal pada produk pangan dengan tujuan

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN Produksi Bakteriosin HASIL DAN PEMBAHASAN Bakteriosin merupakan senyawa protein yang berasal dari Lactobacillus plantarum 2C12. Senyawa protein dari bakteriosin telah diukur konsentrasi dengan menggunakan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Susu merupakan produk hewani yang umum dikonsumsi oleh manusia mulai dari anak-anak hingga dewasa karena kandungan nutrisinya yang lengkap. Menurut Codex (1999), susu

Lebih terperinci

BAB IV RESPONS MIKROBIA TERHADAP SUHU TINGGI

BAB IV RESPONS MIKROBIA TERHADAP SUHU TINGGI BAB IV RESPONS MIKROBIA TERHADAP SUHU TINGGI FAKTOR YANG HARUS DIPERHATIKAN: 1. Mikrobia penyebab kerusakan dan mikrobia patogen yang dimatikan. 2. Panas tidak boleh menurunkan nilai gizi / merusak komponen

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG

BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Pengawetan dengan suhu rendah bertujuan untuk memperlambat atau menghentikan metabolisme. Hal ini dilakukan berdasarkan fakta bahwa respirasi pada buah dan sayuran tetap

Lebih terperinci

PENDAHULUAN Latar Belakang

PENDAHULUAN Latar Belakang 1 PENDAHULUAN Latar Belakang Balai Besar Karantina Pertanian Soekarno-Hatta (BBKPSH) merupakan unit pelaksana teknis (UPT) lingkup Badan Karantina Pertanian yang berkedudukan di Bandara Udara Internasional

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. permen soba alga laut Kappaphycus alvarezii disajikan pada Tabel 6.

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. permen soba alga laut Kappaphycus alvarezii disajikan pada Tabel 6. 4.1 Angka Lempeng Total (ALT) BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN Angka lempeng total mikroba yang diperoleh dari hasil pengujian terhadap permen soba alga laut Kappaphycus alvarezii disajikan pada Tabel 6. Tabel

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. yaitu berkisar jam pada suhu ruang 27 C. Salah satu alternatif untuk

I. PENDAHULUAN. yaitu berkisar jam pada suhu ruang 27 C. Salah satu alternatif untuk I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Mie basah merupakan produk pangan yang terbuat dari terigu dengan atau tanpa penambahan bahan pangan lain dan bahan tambahan pangan yang diizinkan, berbentuk khas mie (Badan

Lebih terperinci

Faktor yang mempengaruhi keracunan makanan. Kontaminasi Pertumbuhan Daya hidup

Faktor yang mempengaruhi keracunan makanan. Kontaminasi Pertumbuhan Daya hidup Marselinus Laga Nur Faktor yang mempengaruhi keracunan makanan Kontaminasi Pertumbuhan Daya hidup Bacilus cereus Gram-positif Aerobik membentuk endospora Tahan terhadap panas kering dan disinfektan kimia

Lebih terperinci

PENGAWETAN PANGAN. Oleh: Puji Lestari, S.TP Widyaiswara Pertama

PENGAWETAN PANGAN. Oleh: Puji Lestari, S.TP Widyaiswara Pertama Oleh: Puji Lestari, S.TP Widyaiswara Pertama PENGAWETAN PANGAN I. PENDAHULUAN Makanan merupakan kebutuhan pokok bagi setiap manusia, karena didalamnya terkandung senyawa-senyawa yang sangat diperlukan

Lebih terperinci

Pengawetan dengan Suhu Tinggi

Pengawetan dengan Suhu Tinggi Pengawetan dengan Suhu Tinggi Pengawetan dengan suhu tinggi adalah salah satu dari sekian banyak metode pengawetan makanan yang sering digunakan. Metode ini sebenarnya sudah sangat familier dalam aktivitas

Lebih terperinci

SEBAGAI ANTIBAKTERI TERHADAP SEL VEGETATIF DAN SPORA

SEBAGAI ANTIBAKTERI TERHADAP SEL VEGETATIF DAN SPORA BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Makanan merupakan kebutuhan pokok bagi manusia. Manusia membutuhkan nutrisi yang bersumber dari makanan agar tubuh tetap sehat dan bugar sehingga dapat menjalankan

Lebih terperinci

Prinsip pengawetan. Mencegah/memperlambat kerusakan mikrobial. Mencegah/memperlambat laju proses dekomposisi (autolisis) bahan pangan

Prinsip pengawetan. Mencegah/memperlambat kerusakan mikrobial. Mencegah/memperlambat laju proses dekomposisi (autolisis) bahan pangan PENGAWETAN MAKANAN DENGAN SUHU TINGGI DAN SUHU RENDAH Pengertian Pengawetan makanan salah satu cara pengolahan pangan yg sering dilakukan untuk mencegah kerusakan bahan pangan & menjaga kualitasnya. Cara

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Nilai konsumsi tahu tersebut lebih besar bila dibandingkan dengan konsumsi

BAB I PENDAHULUAN. Nilai konsumsi tahu tersebut lebih besar bila dibandingkan dengan konsumsi BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang Tahu merupakan makanan yang biasa dikonsumsi bukan hanya oleh masyarakat Indonesia tetapi juga masyarakat Asia lainnya. Masyarakat Indonesia sudah sangat lama mengkonsumsi

Lebih terperinci

BLANSING PASTEURISASI DAN STERIISASI

BLANSING PASTEURISASI DAN STERIISASI PENGOLAHAN TERMAL I BLANSING PASTEURISASI DAN STERIISASI TIM DOSEN PENGAMPU BRAWIJAYA UNIVERSITY 2013 outline 1 PENDAHULUAN 4 STERILISASI 3 PASTEURISASI 2 BLANCHING PENDAHULUAN MERUPAKAN PROSES THERMAL

Lebih terperinci

Teti Estiasih - THP - FTP - UB

Teti Estiasih - THP - FTP - UB 1 2 Merupakan proses thermal yang menggunakan suhu Blansing: perlakuan pendahuluan pada buah dan sayuran Pasteurisasi dan sterilisasi merupakan proses pengawetan pangan 3 Blansing air panas Blansing uap

Lebih terperinci

MIKRO FOOD F

MIKRO FOOD F EFEKTIVITAS PEMANASANN GELOMBANG MIKRO TERHADAP INAKTIVASI Bacillus cereus UNTUK MENCAPAI FOOD SAFETY OBJECTIVE PADA COOK-CHILL FOODS MELINDA FITRIANAA F251090211 SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUTT PERTANIAN

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI

BAB II LANDASAN TEORI BAB II LANDASAN TEORI A. Tinjauan Pustaka 1. Nasi Uduk Makanan pokok sebagian besar penduduk Indonesia adalah nasi. Menurut Kristiatuti dan Rita (2004) makanan pokok adalah makanan yang dapat dikonsumsi

Lebih terperinci

PENGOLAHAN DAN PENGAWETAN PANGAN DENGAN SUHU TINGGI SITI AMINAH FIKKES - UNIMUS

PENGOLAHAN DAN PENGAWETAN PANGAN DENGAN SUHU TINGGI SITI AMINAH FIKKES - UNIMUS PENGOLAHAN DAN PENGAWETAN PANGAN DENGAN SUHU TINGGI SITI AMINAH FIKKES - UNIMUS KLASIFIKASI TEKNOLOGI PANGAN KLASIFIKASI BERDASARKAN TUJUAN menciptakan makanan yang aman mengendalikan kontaminasi yaitu

Lebih terperinci

PENDAHULUAN Latar Belakang

PENDAHULUAN Latar Belakang PENDAHULUAN Latar Belakang Air susu ibu merupakan makanan terbaik bagi bayi jika ditinjau dari, komposisi zat gizinya, dimana zat gizi yang terdapat dalam air susu ibu ini sangat kompleks, tetapi ketersediaan

Lebih terperinci

BABI PENDAHULUAN. Rawon merupakan salah satu makanan khas Jawa Timur yang mudah

BABI PENDAHULUAN. Rawon merupakan salah satu makanan khas Jawa Timur yang mudah BABI PENDAHULUAN BABI PENDAHULUAN 1.1 Latar Be1akang Rawon merupakan salah satu makanan khas Jawa Timur yang mudah didapatkan di mana saja, mulai dari warung-warung kecil hingga restoran-restoran besar.

Lebih terperinci

KERACUNAN PANGAN AKIBAT BAKTERI PATOGEN

KERACUNAN PANGAN AKIBAT BAKTERI PATOGEN KERACUNAN PANGAN AKIBAT BAKTERI PATOGEN Pangan merupakan kebutuhan esensial bagi setiap manusia untuk pertumbuhan maupun mempertahankan hidup. Namun, dapat pula timbul penyakit yang disebabkan oleh pangan.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Susu merupakan bahan makanan yang bergizi tinggi karena mengandung

BAB I PENDAHULUAN. Susu merupakan bahan makanan yang bergizi tinggi karena mengandung BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Susu merupakan bahan makanan yang bergizi tinggi karena mengandung zat-zat makanan yang lengkap dan seimbang seperti protein, lemak, karbohidrat, mineral, dan vitamin

Lebih terperinci

Pengalengan buah dan sayur. Kuliah ITP

Pengalengan buah dan sayur. Kuliah ITP Pengalengan buah dan sayur Kuliah ITP Kompetensi Mahasiswa memahami teknologi pengalengan atau pembotolan sederhana dan mutakhir, prinsip dan perubahan yang terjadi serta dampak pengalengan atau pembotolan

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI

BAB II LANDASAN TEORI BAB II LANDASAN TEORI A. Tinjauan Pustaka 1. Nasi Goreng Beras merupakan salah satu sumber makanan pokok yang biasa dikonsumsi masyarakat, khususnya masyarakat Indonesia. Beras sebagaimana bulir serealia

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Identifikasi Masalah, (1.3) Tujuan Penelitian, (1.4) Manfaat Penelitian, (1.5)

I. PENDAHULUAN. Identifikasi Masalah, (1.3) Tujuan Penelitian, (1.4) Manfaat Penelitian, (1.5) I. PENDAHULUAN Bab ini menguraikan mengenai: (1.1) Latar Belakang Penelitian, (1.2) Identifikasi Masalah, (1.3) Tujuan Penelitian, (1.4) Manfaat Penelitian, (1.5) Kerangka Pemikiran, (1.6) Hipotesis Penelitian

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. dan cepat mengalami penurunan mutu (perishable food). Ikan termasuk komoditi

I. PENDAHULUAN. dan cepat mengalami penurunan mutu (perishable food). Ikan termasuk komoditi I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Bahan pangan mentah merupakan komoditas yang mudah rusak sejak dipanen. Bahan pangan mentah, baik tanaman maupun hewan akan mengalami kerusakan melalui serangkaian reaksi

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN 31 HASIL DAN PEMBAHASAN Mikroba Patogen dan Pembusuk Potensial Identifikasi mikroba target dilakukan dengan mengidentifikasi cemaran mikroba di dalam nata de coco, yaitu dengan melakukan analisis mikrobiologi

Lebih terperinci

MIKROORGANISME DALAM PENGEMAS ASEPTIK PENGENDALIAN MUTU MIKROORGANISME PANGAN KULIAH MIKROBIOLOGI PANGAN PERTEMUAN KE-12

MIKROORGANISME DALAM PENGEMAS ASEPTIK PENGENDALIAN MUTU MIKROORGANISME PANGAN KULIAH MIKROBIOLOGI PANGAN PERTEMUAN KE-12 MIKROORGANISME DALAM PENGEMAS ASEPTIK PENGENDALIAN MUTU MIKROORGANISME PANGAN KULIAH MIKROBIOLOGI PANGAN PERTEMUAN KE-12 MIKROORGANISME MAKANAN DAN KEMASAN Bahan pangan mempunyai mikroflora spesifik yang

Lebih terperinci

BAB 7. MIKROBIOLOGI HASIL PERIKANAN. 7.1 Jenis-jenis Mikroba Pada Produk Perikanan

BAB 7. MIKROBIOLOGI HASIL PERIKANAN. 7.1 Jenis-jenis Mikroba Pada Produk Perikanan BAB 7. MIKROBIOLOGI HASIL PERIKANAN 7.1 Jenis-jenis Mikroba Pada Produk Perikanan Jumlah dan jenis populasi mikroorganisme yang terdapat pada berbagai produk perikanan sangat spesifik. Hal ini disebabkan

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Derajat kesehatan masyarakat merupakan salah satu indikator harapan hidup

BAB 1 PENDAHULUAN. Derajat kesehatan masyarakat merupakan salah satu indikator harapan hidup BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Derajat kesehatan masyarakat merupakan salah satu indikator harapan hidup manusia yang harus dicapai, untuk itu diperlukan upaya-upaya dalam mengatasi masalah kesehatan

Lebih terperinci

BAKTERI PENCEMAR MAKANAN. Modul 3

BAKTERI PENCEMAR MAKANAN. Modul 3 BAKTERI PENCEMAR MAKANAN Modul 3 PENDAHULUAN Di negara maju 60% kasus keracunan makanan akibat Penanganan makanan yg tidak baik Kontaminasi makanan di tempat penjualan Di negara berkembang tidak ada data

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. mineral. Susu adalah suatu cairan yang merupakan hasil pemerahan dari sapi atau

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. mineral. Susu adalah suatu cairan yang merupakan hasil pemerahan dari sapi atau 4 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Susu Susu merupakan bahan pangan yang baik bagi manusia karena mengandung zat gizi yang tinggi, yaitu karbohidrat, protein, lemak, vitamin dan mineral. Susu adalah suatu

Lebih terperinci

1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 18 1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Enterobacter sakazakii (Cronobacter spp.) merupakan patogen oportunistik dan emerging yang dilaporkan dapat menyebabkan radang otak (meningitis), radang usus (necrotizing

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN Pemeriksaan Pencemaran Kuman Listeria monocytogenes

HASIL DAN PEMBAHASAN Pemeriksaan Pencemaran Kuman Listeria monocytogenes HASIL DAN PEMBAHASAN Tiga puluh sampel keju impor jenis Edam diambil sebagai bahan penelitian. Sampel keju impor diambil didasarkan pada frekuensi kedatangan keju di Indonesia, dilakukan di Instalasi Karantina

Lebih terperinci

DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN

DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN DAFTAR PUSTAKA... 70 LAMPIRAN DAFTAR TABEL Tabel 2.1. komposisi Kimia Daging Tanpa Lemak (%)... 12 Tabel 2.2. Masa Simpan Daging Dalam Freezer... 13 Tabel 2.3. Batas Maksimum Cemaran Mikroba Pada Pangan...

Lebih terperinci

KONTAMINASI DAN FOODBORNE (PERSPEKTIF SANITASI)

KONTAMINASI DAN FOODBORNE (PERSPEKTIF SANITASI) KONTAMINASI DAN FOODBORNE (PERSPEKTIF SANITASI) Asep Awaludin Prihanto, S.Pi, MP FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN UNIVERSITAS BRAWIJAYA 2011 Kontaminasi tergantung dari tipe seafood, kualitas air untuk

Lebih terperinci

: Clostridium perfringens

: Clostridium perfringens Clostridium perfringens Oleh : Fransiska Kumala W 078114081 / B Clostridium perfringens adalah salah satu penyebab utama infeksi luka berakibat gangrene gas. Seperti banyak clostridia, organisme ini banyak

Lebih terperinci

Pengolahan dengan Suhu Tinggi

Pengolahan dengan Suhu Tinggi Program Studi Teknologi Pangan Internationally Recognized Undergraduate Program by IFT & IUFoST FTP 200 Pengantar Teknologi Pertanian Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan Fakultas Teknologi Pertanian Institut

Lebih terperinci

ASPEK MIKROBIOLOGIS PENGEMASAN MAKANAN

ASPEK MIKROBIOLOGIS PENGEMASAN MAKANAN ASPEK MIKROBIOLOGIS PENGEMASAN MAKANAN Anna Rakhmawati,M.Si Jurusan Pendidikan Biologi FMIPA UNY Email:anna_rakhmawati@uny.ac.id Bahan makanan merupakan salah satu kebutuhan primer manusia yang penting

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN. Tabel 5. Jumlah Bakteri Asam Laktat pada Media Susu Skim.

HASIL DAN PEMBAHASAN. Tabel 5. Jumlah Bakteri Asam Laktat pada Media Susu Skim. HASIL DAN PEMBAHASAN Persiapan Penelitian Persiapan penelitian meliputi pembiakan kultur pada media susu skim. Pembiakan kultur starter pada susu skim dilakukan untuk meningkatkan populasi kultur yang

Lebih terperinci

2015 AKTIVITAS ANTIBAKTERI EKSTRAK BIJI

2015 AKTIVITAS ANTIBAKTERI EKSTRAK BIJI BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Makanan seperti nasi, roti, sayur mayur dan lainnya bila disimpan terlalu lama tanpa pengawetan akan mengalami kerusakan atau basi. Kerusakan makanan ini dapat terjadi

Lebih terperinci

I PENDAHULUAN. menerapkan gelombang elektromagnetik, yang bertujuan untuk mengurangi

I PENDAHULUAN. menerapkan gelombang elektromagnetik, yang bertujuan untuk mengurangi I PENDAHULUAN 1.1.Latar Belakang Iradiasi merupakan salah satu jenis pengolahan bahan pangan yang menerapkan gelombang elektromagnetik, yang bertujuan untuk mengurangi kehilangan akibat kerusakan dan pembusukan.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Salah satu metode yang umum digunakan untuk mengolah susu mentah sehingga aman dikonsumsi adalah pasteurisasi. Pasteurisasi akan membunuh seluruh mikroorganisme patogen

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN 8 media violet red bile agar (VRB). Sebanyak 1 ml contoh dipindahkan dari pengenceran 10 0 ke dalam larutan 9 ml BPW 0.1% untuk didapatkan pengenceran 10-1. Pengenceran 10-2, 10-3, 10-4, 10-5 dan 10-6

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Perkembangan bakteri semakin hari semakin tidak dapat terkontrol. Peralatan

I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Perkembangan bakteri semakin hari semakin tidak dapat terkontrol. Peralatan I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Dokter, perawat dan juga pasien memiliki resiko tinggi berkontak dengan mikroorganisme patogen seperti bakteri, virus dan jamur selama perawatan. Perkembangan bakteri

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. (a) (b) (c) (d) Gambar 1. Lactobacillus plantarum 1A5 (a), 1B1 (b), 2B2 (c), dan 2C12 (d) Sumber : Firmansyah (2009)

TINJAUAN PUSTAKA. (a) (b) (c) (d) Gambar 1. Lactobacillus plantarum 1A5 (a), 1B1 (b), 2B2 (c), dan 2C12 (d) Sumber : Firmansyah (2009) TINJAUAN PUSTAKA Lactobacillus plantarum Bakteri L. plantarum termasuk bakteri dalam filum Firmicutes, Ordo Lactobacillales, famili Lactobacillaceae, dan genus Lactobacillus. Lactobacillus dicirikan dengan

Lebih terperinci

Bahan pada pembuatan sutra buatan, zat pewarna, cermin kaca dan bahan peledak. Bahan pembuatan pupuk dalam bentuk urea.

Bahan pada pembuatan sutra buatan, zat pewarna, cermin kaca dan bahan peledak. Bahan pembuatan pupuk dalam bentuk urea. Langkah 3 Penggunaan formalin: Pembunuh kuman sehingga dimanfaatkan untuk pembersih: lantai, kapal, gudang, pakaian. Pembasmi lalat dan berbagai serangga lain. Bahan pada pembuatan sutra buatan, zat pewarna,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Ikan merupakan sumber protein, lemak, vitamin dan mineral yang

BAB I PENDAHULUAN. Ikan merupakan sumber protein, lemak, vitamin dan mineral yang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Ikan merupakan sumber protein, lemak, vitamin dan mineral yang sangat baik. Ikan juga mengandung asam lemak, terutama asam lemak omega-3 yang sangat penting

Lebih terperinci

Nova Nurfauziawati VI. PEMBAHASAN

Nova Nurfauziawati VI. PEMBAHASAN VI. PEMBAHASAN Praktikum yang dilaksanakan pada 23 Mei 2011 mengenai pengujian mikroorganisme termodurik pada produk pemanasan. Praktikum ini dilakukan agar praktikan dapat membuat perhitungan SPC dan

Lebih terperinci

PENENTUAN WAKTU TINGGAL OPTIMUM PASTEURISASI SUSU DENGAN PLATE HEAT EXCHANGER

PENENTUAN WAKTU TINGGAL OPTIMUM PASTEURISASI SUSU DENGAN PLATE HEAT EXCHANGER PENENTUAN WAKTU TINGGAL OPTIMUM PASTEURISASI SUSU DENGAN PLATE HEAT EXCHANGER Ninik Lintang Edi Wahyuni Teknik Kimia - Politeknik Negeri Bandung Jl Gegerkalong Hilir Ciwaruga, Bandung 40012 Telp/fax :

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Ultra High Temperature merupakan pemanasan bahan pangan dengan temperatur di antara 135 C hingga 150 C selama 2 5 detik [1]. Proses sterilisasi UHT mampu membunuh spora

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Makanan adalah salah satu kebutuhan dasar manusia dan merupakan hak

BAB I PENDAHULUAN. Makanan adalah salah satu kebutuhan dasar manusia dan merupakan hak BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Makanan adalah salah satu kebutuhan dasar manusia dan merupakan hak asasi setiap orang untuk keberlangsungan hidupnya. Makanan adalah unsur terpenting dalam menentukan

Lebih terperinci

Prinsip-prinsip Penanganan dan Pengolahan Bahan Agroindustri

Prinsip-prinsip Penanganan dan Pengolahan Bahan Agroindustri Prinsip-prinsip Penanganan dan Pengolahan Bahan Agroindustri PENANGANAN Jenis Kerusakan Bahan Pangan Kerusakan mikrobiologis Kerusakan mekanis Kerusakan fisik Kerusakan biologis Kerusakan kimia Kerusakan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG

BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Makanan berperan penting dalam kehidupan makhluk hidup sebagai sumber tenaga, pembangun bahkan penyembuh penyakit. Sumber makanan yang dibutuhkan oleh tubuh mengandung

Lebih terperinci

PENGAWETAN. Pengawetan Termal Pengawetan Non Thermal. Teknologi Pengolahan Hasil Pertanian. Pengolahan Non Thermal 1. Pengolahan Non Thermal

PENGAWETAN. Pengawetan Termal Pengawetan Non Thermal. Teknologi Pengolahan Hasil Pertanian. Pengolahan Non Thermal 1. Pengolahan Non Thermal Pengolahan Non Thermal PENGAWETAN Pengawetan Termal Pengawetan Non Thermal Tujuan Pengolahan Pangan Termal Mematikan bakteri patogen & organisme pembusuk Merubah tekstur, warna, rasa Meningkatkan daya

Lebih terperinci

Analisis Kandungan Mikroba Pada Permen Soba Alga Laut Kappaphycus Alvarezii Selama Penyimpanan

Analisis Kandungan Mikroba Pada Permen Soba Alga Laut Kappaphycus Alvarezii Selama Penyimpanan Analisis Kandungan Mikroba Pada Permen Soba Alga Laut Kappaphycus Alvarezii Selama Penyimpanan 1,2 Srinildawaty Badu, 2 Yuniarti Koniyo, 3 Rully Tuiyo 1 badu_srinilda@yahoo.com 2 Jurusan Teknologi Perikanan,

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN IV. HASIL DAN PEMBAHASAN A. PENELITIAN PENDAHULUAN Pada penelitian pendahuluan dilakukan kajian pembuatan manisan pala untuk kemudian dikalengkan. Manisan pala dibuat dengan bahan baku yang diperoleh dari

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA Bakteri Asam Laktat

TINJAUAN PUSTAKA Bakteri Asam Laktat TINJAUAN PUSTAKA Bakteri Asam Laktat Sifat yang terpenting dari bakteri asam laktat adalah memiliki kemampuan untuk memfermentasi gula menjadi asam laktat. Berdasarkan tipe fermentasi, bakteri asam laktat

Lebih terperinci

PENGONTROLAN MIKROBA DALAM MAKANAN MIKROBIOLOGI MAKANAN PROGRAM STUDI MIKROBIOLOGI SEKOLAH ILMU DAN TEKNOLOGI HAYATI INSTITUT TEKNOLOGI BANDUNG

PENGONTROLAN MIKROBA DALAM MAKANAN MIKROBIOLOGI MAKANAN PROGRAM STUDI MIKROBIOLOGI SEKOLAH ILMU DAN TEKNOLOGI HAYATI INSTITUT TEKNOLOGI BANDUNG PENGONTROLAN MIKROBA DALAM MAKANAN MIKROBIOLOGI MAKANAN PROGRAM STUDI MIKROBIOLOGI SEKOLAH ILMU DAN TEKNOLOGI HAYATI INSTITUT TEKNOLOGI BANDUNG Pengendalian pertumbuhan mikroba Pengendalian pertumbuhan

Lebih terperinci

Penambahan jumlah sel pada bakteri dilakukan secara biner (membelah diri) yaitu dari 1 sel membelah menjadi 2 sel yang identik dengan sel induk

Penambahan jumlah sel pada bakteri dilakukan secara biner (membelah diri) yaitu dari 1 sel membelah menjadi 2 sel yang identik dengan sel induk Firman Jaya 2 Diartikan sebagai penambahan jumlah sel Penambahan jumlah sel pada bakteri dilakukan secara biner (membelah diri) yaitu dari 1 sel membelah menjadi 2 sel yang identik dengan sel induk 3 4

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. digunakan untuk meningkatkan aktivitas proses komposting. Bioaktivator

II. TINJAUAN PUSTAKA. digunakan untuk meningkatkan aktivitas proses komposting. Bioaktivator 7 II. TINJAUAN PUSTAKA A. Bioaktivator Menurut Wahyono (2010), bioaktivator adalah bahan aktif biologi yang digunakan untuk meningkatkan aktivitas proses komposting. Bioaktivator bukanlah pupuk, melainkan

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN. Tabel 5. Rataan Nilai Warna (L, a, b dan HUE) Dendeng Sapi dengan Metode Perlakuan Curing yang Berbeda

HASIL DAN PEMBAHASAN. Tabel 5. Rataan Nilai Warna (L, a, b dan HUE) Dendeng Sapi dengan Metode Perlakuan Curing yang Berbeda HASIL DAN PEMBAHASAN Karakteristik Warna Dendeng Sapi Warna merupakan salah satu indikator fisik yang dapat mempengaruhi konsumen terhadap penerimaan suatu produk. Derajat warna menunjukkan tingkat warna

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. juga mengandung beberapa jenis vitamin dan mineral. Soeparno (2009)

I. PENDAHULUAN. juga mengandung beberapa jenis vitamin dan mineral. Soeparno (2009) I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Daging merupakan bahan pangan yang penting dalam pemenuhan kebutuhan gizi manusia. Selain mutu proteinnya tinggi, daging juga mengandung asam amino essensial yang lengkap

Lebih terperinci

III. METODOLOGI PENELITIAN

III. METODOLOGI PENELITIAN III. METODOLOGI PENELITIAN A. BAHAN DAN ALAT 1. Bahan Bahan-bahan yang digunakan dalam penelitian ini antara lain media penyegaran mikroba, media pertumbuhan, media pemupukan mikroba, pengencer, medium

Lebih terperinci

Pengawetan dengan garam, asam dan gula

Pengawetan dengan garam, asam dan gula Pengawetan dengan garam, asam dan gula Pengawetan dengan garam Garam berperan sebagai penghambat selektif pada mikroorganisme pencemar tertentu. Efek garam: saat aktivitas air menurun mikroorganisme terhambat.

Lebih terperinci

I PENDAHULUAN. Bab ini menjelaskan mengenai : (1) Latar Belakang Penelitian, (2) Identifikasi Masalah, (3) Maksud dan Tujuan Penelitian, (4) Manfaat

I PENDAHULUAN. Bab ini menjelaskan mengenai : (1) Latar Belakang Penelitian, (2) Identifikasi Masalah, (3) Maksud dan Tujuan Penelitian, (4) Manfaat I PENDAHULUAN Bab ini menjelaskan mengenai : (1) Latar Belakang Penelitian, (2) Identifikasi Masalah, (3) Maksud dan Tujuan Penelitian, (4) Manfaat Penelitian, (5) Kerangka Pemikiran, (6) Hipotesis Penelitian,

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Bakteri 1. Pengertian Bakteri Bakteri adalah mikroorganisme bersel tunggal yang tidak terlihat oleh mata, tetapi dengan bantuan mikroskop, mikroorganisme tersebut akan nampak.

Lebih terperinci

PERUBAHAN-PERUBAHAN YANG TERJADI PADA SUSU, TELUR DAN DAGING PASCA PANEN

PERUBAHAN-PERUBAHAN YANG TERJADI PADA SUSU, TELUR DAN DAGING PASCA PANEN PERUBAHAN-PERUBAHAN YANG TERJADI PADA SUSU, TELUR DAN DAGING PASCA PANEN Pertemuan Minggu ke 6 Kelas B Juni Sumarmono & Kusuma Widayaka ILMU PASCAPANEN PETERNAKAN 2017 Kualitas Baik Edible (dapat dimakan)

Lebih terperinci

VI. PENGAWETAN MAKANAN MENGGUNAKAN SUHU TINGGI

VI. PENGAWETAN MAKANAN MENGGUNAKAN SUHU TINGGI VI. PENGAWETAN MAKANAN MENGGUNAKAN SUHU TINGGI Penggunaan suhu tinggi untuk pengawetan makanan secara umum dapat digolongkan menjadi 2 kategori yaitu : pasteurisasi dan sterilisasi. - Pasteurisasi - Pasteurisasi

Lebih terperinci

2016 ACARA I. BLANCHING A. Pendahuluan Proses thermal merupakan proses pengawetan bahan pangan dengan menggunakan energi panas. Proses thermal digunak

2016 ACARA I. BLANCHING A. Pendahuluan Proses thermal merupakan proses pengawetan bahan pangan dengan menggunakan energi panas. Proses thermal digunak PETUNJUK PRAKTIKUM TEKNOLOGI PENGOLAHAN PANGAN II Disusun oleh : Nur Aini Condro Wibowo Rumpoko Wicaksono UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN FAKULTAS PERTANIAN PURWOKERTO 2016 ACARA I. BLANCHING A. Pendahuluan

Lebih terperinci

Pendinginan dan Pembekuan. Kuliah ITP

Pendinginan dan Pembekuan. Kuliah ITP Pendinginan dan Pembekuan Kuliah ITP Kompetensi Mahasiswa memahami teknologi pendinginan dan pembekuan, prinsip dan perubahan yang terjadi serta dampak pendinginan dan pembekuan terhadap mutu pangan Indikator

Lebih terperinci

Pengawetan Bahan Nabati dan Hewani. 1. Pengertian Pengawetan Bahan Nabati dan Hewani

Pengawetan Bahan Nabati dan Hewani. 1. Pengertian Pengawetan Bahan Nabati dan Hewani Pengawetan Bahan Nabati dan Hewani 1. Pengertian Pengawetan Bahan Nabati dan Hewani Bahan makanan umumny mudah rusak (perishable). Perhatikan saja, buah-buahan dan sayuran yang kita panen. Kita dapat melihat

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. apabila tidak ditangani secara benar. Kerusakan bahan pangan tersebut

I. PENDAHULUAN. apabila tidak ditangani secara benar. Kerusakan bahan pangan tersebut I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Bahan pangan pada umumnya mudah mengalami kerusakan apabila tidak ditangani secara benar. Kerusakan bahan pangan tersebut dapat terjadi karena faktor internal dan eksternal.

Lebih terperinci

PENGARUH PRAKTIK PENYIMPANAN DAN PEMANASAN ULANG DENGAN OVEN

PENGARUH PRAKTIK PENYIMPANAN DAN PEMANASAN ULANG DENGAN OVEN SKRIPSI PENGARUH PRAKTIK PENYIMPANAN DAN PEMANASAN ULANG DENGAN OVEN MICROWAVE TERHADAP PERTUMBUHAN Staphylococcus aureus DALAM BEBERAPA PANGAN TRADISIONAL INDONESIA Oleh : REYNETHA RAWENDRA F24104127

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 5 BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Makanan Makanan diperlukan untuk kehidupan karena makanan merupakan salah satu kebutuhan pokok bagi kehidupan manusia. Makanan berfungsi untuk memelihara proses tubuh dalam

Lebih terperinci

PERATURAN KEPALA BADAN PENGAWAS OBAT DAN MAKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 2016 TENTANG PERSYARATAN PANGAN STERIL KOMERSIAL

PERATURAN KEPALA BADAN PENGAWAS OBAT DAN MAKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 2016 TENTANG PERSYARATAN PANGAN STERIL KOMERSIAL BADAN PENGAWAS OBAT DAN MAKANAN REPUBLIK INDONESIA PERATURAN KEPALA BADAN PENGAWAS OBAT DAN MAKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 2016 TENTANG PERSYARATAN PANGAN STERIL KOMERSIAL DENGAN RAHMAT TUHAN

Lebih terperinci

Karakteristik mutu daging

Karakteristik mutu daging Karakteristik mutu daging Oleh: Elvira Syamsir (Tulisan asli dalam Kulinologi Indonesia edisi Maret 2011) Mutu merupakan gabungan atribut produk yang dinilai secara organoleptik dan digunakan konsumen

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN IV. HASIL DAN PEMBAHASAN A. PEMILAHAN CEPAT ISOLAT LOKAL Staphylococcus aureus Pemilahan cepat isolat ditujukan untuk menyeleksi isolat Staphylococcus aureus yang mengalami penurunan mendekati dua siklus

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN HASIL DAN PEMBAHASAN Sifat Fisik Daging Kualitas karkas dan daging dipengaruhi oleh faktor sebelum dan setelah pemotongan. Faktor sebelum pemotongan yang dapat mempengaruhi kualitas daging antara lain

Lebih terperinci

2016, No Nomor 227, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5360); 4. Peraturan Pemerintah Nomor 69 Tahun 1999 tentang Label dan Ikl

2016, No Nomor 227, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5360); 4. Peraturan Pemerintah Nomor 69 Tahun 1999 tentang Label dan Ikl No.1144, 2016 BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA BPOM. Pangan Steril Komersial. Persyaratan. PERATURAN KEPALA BADAN PENGAWAS OBAT DAN MAKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 2016 TENTANG PERSYARATAN PANGAN

Lebih terperinci

Haris Dianto Darwindra 240210080133 BAB VI PEMBAHASAN

Haris Dianto Darwindra 240210080133 BAB VI PEMBAHASAN BAB VI PEMBAHASAN Pada praktikum ini membahas mengenai Kurva Pertumbuhan Mikroorganisme Selama Proses Aging Keju. Keju terbuat dari bahan baku susu, baik susu sapi, kambing, atau kerbau. Proses pembuatannya

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Escherichia coli adalah bakteri yang merupakan bagian dari mikroflora yang

I. PENDAHULUAN. Escherichia coli adalah bakteri yang merupakan bagian dari mikroflora yang I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Escherichia coli adalah bakteri yang merupakan bagian dari mikroflora yang secara normal ada dalam saluran pencernaan manusia dan hewan berdarah panas. E. coli termasuk

Lebih terperinci

Kata Kunci :Ronto, jumlah mikroba, kadar air, kadar garam

Kata Kunci :Ronto, jumlah mikroba, kadar air, kadar garam HUBUNGAN ANTARA KADAR GARAM DAN KADAR AIR TERHADAP PERTUMBUHAN MIKROBA PADA MAKANAN TRADISIONAL RONTO DARI KOTABARU KALIMANTAN SELATAN Meiliana Sho etanto Fakultas Farmasi Meilianachen110594@gmail.com

Lebih terperinci

PENGENDALIAN MIKROORGANISME

PENGENDALIAN MIKROORGANISME PENGENDALIAN MIKROORGANISME 1 MIKROORGANISME Menimbulkan penyakit Infeksi ringan-berat- kematian Mencemari makanan, minuman, kosmetik, obat dan sediaan farmasi Perubahan secara kimia Tidak dapat dikonsumsi

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. 1. Hasil pengukuran Nilai OD pada Media NB. Tabel 1. Pengukuran Nilai OD pada Media NB. Waktu OD (Optical Density)

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. 1. Hasil pengukuran Nilai OD pada Media NB. Tabel 1. Pengukuran Nilai OD pada Media NB. Waktu OD (Optical Density) BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN A. Hasil dan Pembahasan. 1. Hasil pengukuran Nilai OD pada Media NB Tabel 1. Pengukuran Nilai OD pada Media NB. Waktu OD (Optical Density) inkubasi D75 D92 D110a 0 0,078 0,073

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. kelebihan berat badan, anemia, dan sebagainya (Rahal et al., 2014). Sayuran

BAB 1 PENDAHULUAN. kelebihan berat badan, anemia, dan sebagainya (Rahal et al., 2014). Sayuran BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sayuran merupakan sumber vitamin, mineral, air, protein, lemak, serat, dan asam amino yang paling mudah didapatkan dengan harga terjangkau. Mengkonsumsi sayuran hijau

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. makhluk hidup. Umumnya bakteri hidup secara berkoloni dan hidup. berkumpul di dalam suatu medium yang sama (Zaif, 2006).

I. PENDAHULUAN. makhluk hidup. Umumnya bakteri hidup secara berkoloni dan hidup. berkumpul di dalam suatu medium yang sama (Zaif, 2006). 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Bakteri merupakan mikroorganisme yang hidup di air, udara, tanah dan makhluk hidup. Umumnya bakteri hidup secara berkoloni dan hidup berkumpul di dalam suatu medium yang

Lebih terperinci

Draft PERATURAN KEPALA BADAN PENGAWAS OBAT DAN MAKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR TAHUN 2015 TENTANG PERSYARATAN PANGAN STERIL KOMERSIAL

Draft PERATURAN KEPALA BADAN PENGAWAS OBAT DAN MAKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR TAHUN 2015 TENTANG PERSYARATAN PANGAN STERIL KOMERSIAL Draft PERATURAN KEPALA BADAN PENGAWAS OBAT DAN MAKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR TAHUN 2015 TENTANG PERSYARATAN PANGAN STERIL KOMERSIAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA KEPALA BADAN PENGAWAS OBAT DAN MAKANAN

Lebih terperinci

Dr. Dwi Suryanto Prof. Dr. Erman Munir Nunuk Priyani, M.Sc.

Dr. Dwi Suryanto Prof. Dr. Erman Munir Nunuk Priyani, M.Sc. BIO210 Mikrobiologi Dr. Dwi Suryanto Prof. Dr. Erman Munir Nunuk Priyani, M.Sc. Kuliah 6. NUTRISI DAN MEDIA Kebutuhan dan syarat untuk pertumbuhan, ada 2 macam: fisik suhu, ph, dan tekanan osmosis. kimia

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN HASIL DAN PEMBAHASAN Perhitungan sampel berdasarkan jumlah susu pasteurisasi yang diimpor dari Australia pada tahun 2011 yaitu 39 570.90 kg, sehingga jumlah sampel yang diuji dalam penelitian ini sebanyak

Lebih terperinci

SUSU. b. Sifat Fisik Susu Sifat fisik susu meliputi warna, bau, rasa, berat jenis, titik didih, titik beku, dan kekentalannya.

SUSU. b. Sifat Fisik Susu Sifat fisik susu meliputi warna, bau, rasa, berat jenis, titik didih, titik beku, dan kekentalannya. SUSU a. Definisi Susu Air susu termasuk jenis bahan pangan hewani, berupa cairan putih yang dihasilkan oleh hewan ternak mamalia dan diperoleh dengan cara pemerahan (Hadiwiyoto, 1983). Sedangkan menurut

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. A. Pasteurisasi dan Pendinginan Secara umum proses pasteurisasi adalah suatu proses pemanasan yang relatif

II. TINJAUAN PUSTAKA. A. Pasteurisasi dan Pendinginan Secara umum proses pasteurisasi adalah suatu proses pemanasan yang relatif II. TINJAUAN PUSTAKA A. Pasteurisasi dan Pendinginan Secara umum proses pasteurisasi adalah suatu proses pemanasan yang relatif cukup rendah (umumnya dilakukan pada suhu di bawah 100 o C) dengan tujuan

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. amino esensial yang lengkap dan dalam perbandingan jumlah yang baik. Daging broiler

PENDAHULUAN. amino esensial yang lengkap dan dalam perbandingan jumlah yang baik. Daging broiler PENDAHULUAN A. Latar Belakang dan Masalah Daging broiler merupakan komoditas yang banyak diperdagangkan dan sangat diminati oleh konsumen karena merupakan sumber protein hewani yang memiliki kandungan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pangan fungsional adalah pangan olahan yang mengandung satu atau lebih komponen fungsional yang berdasarkan kajian ilmiah mempunyai fungsi fisiologis tertentu, terbukti

Lebih terperinci

Homogenisasi, Separasi, Susu Steril

Homogenisasi, Separasi, Susu Steril PENGOLAHAN SUSU Homogenisasi, Separasi, Susu Steril Materi 10 TATAP MUKA KE-10 Semester Genap 2015-2016 BAHAN KULIAH TEKNOLOGI HASIL TERNAK Laboratorium Teknologi Hasil Ternak Fakultas Peternakan Universitas

Lebih terperinci

PETUNJUK PENGISIAN KATEGORISASI TINGKAT RISIKO PENILAIAN DAN PENDAFTARAN ULANG

PETUNJUK PENGISIAN KATEGORISASI TINGKAT RISIKO PENILAIAN DAN PENDAFTARAN ULANG PETUNJUK PENGISIAN KATEGORISASI TINGKAT RISIKO PENILAIAN DAN PENDAFTARAN ULANG Pengembangan aplikasi e-registration pangan olahan untuk kategorisasi tingkat risiko penilaian dan notifikasi pendaftaran

Lebih terperinci