IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "IV. HASIL DAN PEMBAHASAN"

Transkripsi

1 IV. HASIL DAN PEMBAHASAN A. PEMILAHAN CEPAT ISOLAT LOKAL Staphylococcus aureus Pemilahan cepat isolat ditujukan untuk menyeleksi isolat Staphylococcus aureus yang mengalami penurunan mendekati dua siklus log pada pemanasan suhu 54 0 C selama 35 menit. Penurunan jumlah mikroba > 2 sikus log mengindikasikan bahwa isolat yang diujikan tidak cukup tahan panas. Berdasarkan hasil percobaan, terlihat bahwa jumlah mikroba pada fase log akhir berkisar antara 1,2x10 8-1,5x10 9 CFU/ml. Jadi, jumlah mikroba awal pada menstruum pemanas berkisar antara 1,2x10 7-1,5x10 8 CFU/ml karena telah mengalami pengenceran Kedelapan isolat Staphylococcus aureus yang diuji dengan pemanasan pada suhu 54 C selama 35 menit mengalami penurunan log jumlah mikroba (Gambar 7.) Gambar 7. Penurunan jumlah Staphylococcus aureus (log CFU/ml) setelah pemanasan 54 C selama 35 menit Penurunan logaritma jumlah bakteri berbanding terbalik dengan ketahanan panasnya. Semakin kecil penurunan logaritma jumlah bakteri berarti semakin tinggi ketahanan panas bakteri. Terlihat bahwa penurunan log mikroba masing-masing kelompok isolat Staphylococcus aureus hampir seragam kecuali pada isolat asal nasi uduk. Isolat Staphylococcus aureus asal ayam suwir dan jari tangan mengalami penurunan log berturutturut sekitar dua siklus log dan empat siklus log setelah pemanasan. Penurunan siklus log untuk isolat asal nasi uduk lebih bervariasi berkisar antara 2-4 siklus log. Isolat ayam suwir AS2 relatif lebih tahan panas dibandingkan dengan isolat lainnya. Isolat NU3 lebih tahan terhadap pemanasan dibandingkan dengan isolat NU1 dan NU2. Penurunan log NU3 sebesar 2,61 siklus log. Isolat dari jari tangan pekerja menunjukkan penurunan siklus log yang cukup besar yaitu 3,88 siklus log untuk J1 dan 4,22 siklus log untuk J2. Jadi, isolat dari jari tangan lebih rentan terhadap pemanasan. Penelitian sebelumnya menunjukkan bahwa Staphylococcus aureus akan mengalami penurunan log jika dipanaskan pada suhu 54 0 C selama 35 menit (Tabel 9). 23

2 Namun, penelitian tersebut menggunkan heating menstruum yang berbeda seperti susu skim, susu murni, buffer fosfat, whey keju cheddar dan susu kambing. Beberapa isolat mengalami penurunan jumlah mikroba yang cukup ekstrim > 6 siklus log seperti pada isolat S-1, B-120, BP3, dan isolat hasil penelitian Eden et al. (1973). Namun beberapa isolat lainnya mengalami penurunan jumlah mikroba < 3 siklus misalnya pada isolat MS 149, 196E, 161-C, S-18, 237, dan isolat Staphylococcus aureus campuran. Isolat Staphylococcus Tabel 9. Penurunan logaritma beberapa isolat Staphylococcus aureus pada heating menstruum berbeda aureus Heating Menstruum a (Thomas et al., 1966), b (Walker dan Harmon, 1966), c (Eden et al., 1977), d (Parented dan Mazzatura, 1991), e (Kennedy et al., 2005) Penurunan logaritma untuk kedelapan isolat hasil penelitian berkisar antara 2-4 siklus log. Menurut Jay (2006) selama pemanasan sel mikroba dan spora bakteri dapat mengalami heat shock, injured subletal, atau kematian. Heat shock adalah penurunan daya D 54 (menit) Penurunan log pada pemanasan 54 C selama 35 menit AS2 TSB 19,52 1,84 NU3 TSB 13,40 2,61 MS 149 a susu skim 32,3 1,08 196E a susu skim 51,65 0, C b S-1 b Fosfat bufer 16,22 2,16 Susu murni 9,78 3,58 Susu Skim 16,28 2,15 Whey keju cheddar 9,72 3,60 Fosfat bufer 1,55 22,58 Susu murni - Susu Skim 2,03 17,24 Whey keju cheddar 2,12 16,51 B-120 b Fosfat bufer 1,08 32,4 Susu murni 0,80 43,75 S-18 b Fosfat bufer 5,97 5,86 Susu murni 16,47 2,12 Firstenbeg-Eden c Susu skim 3,73 9,38 BP3 d Susu kambing 237 d Susu kambing 5,3 6,6 17,68 2,03 Campuran e1 TSB 28,51 1,26 Campuran e2 TSB 30,71 1,40 24

3 tahan bakteri. Heat injured dapat menyebabkan kehilangan sifat permeabilitas dari membran sel, meningkatkan sensitifitas terhadap beberapa komponen senyawa. Kerusakan subletal terlihat dari rusaknya membran sel, dinding sel, terputusnya ikatan DNA, degradasi RNA ribosom dan denaturasi enzim. Kematian terjadi karena kerusakan vital komponen vital dan struktural. 1. Isolat Staphylococcus aureus Asal Ayam Suwir Gambar 8. menyajikan data jumlah penurunan log isolat Staphylococcus aureus asal ayam suwir. Pemanasan dilakukan pada suhu 54 C selama 35 menit. Jumlah mikroba awal untuk isolat ayam suwir berkisar antara 7,5x10 7-1,5x10 8. Pemanasan menurunkan jumlah mikroba pada ketiga isolat yang diuji. Setelah pemanasan jumlah mikroba menurun menjadi 5,0x10 5-2,5x10 6. Gambar 8. Jumlah Staphylococcus aureus asal ayam suwir (log CFU/ml) sebelum dan setelah pemanasan pada suhu 54 C selama 35 menit. Terlihat bahwa isolat AS2 mengami penurunan siklus log 1,84. Log mikroba awal isolat AS3 sebesar 8,18. Akan tetapi, setelah pemanasan jumlahnya menurun menjadi 5,70 sehingga isolat AS3 mengalami penurunan log sebesar 2,20 siklus. Isolat AS4 berkurang jumlahnya dari 7,88 menjadi 6,28 sehingga mengalami penurunan siklus log sebesar 1,60. Kesemua isolat asal ayam suwir mengalami penurunan logaritma mendekati dua siklus log. Nilai ini mendekati penurunan log pada isolat Staphylococcus aureus 161- C, S-18 dan 237 d (Tabel 9.). Ketiga isolat sebenarnya dapat menjadi kandidat untuk uji ketahanan panas utama karena mengalami penurunan mendekati 2 siklus log. Dari hasil ini dipilih isolat AS2 untuk diuji lebih lanjut. 2. Isolat Staphylococcus aureus Asal Nasi Uduk Jumlah mikroba awal isolat Staphylococcus aureus asal nasi uduk berkisar antara 6,9x10 7-1,1x10 8 CFU/ml. Pemanasan pada suhu 54 C selama 35 menit menyebabkan jumlah mikroba berkurang 7,1x10 3-1,7x10 5 CFU/ml. Penurunan jumlah siklus log setelah pemanasan pada suhu 54 C selama 35 menit untuk ketiga isolat Staphylococcus aureus NU1, NU2, dan NU3 berturut-turut sebesar 3,91; 4,19; dan 2,61. Isolat NU1 mengalami penurunan jumlah log dari 7,88 menjadi 3,97. Penurunan jumlah log dari 8,04 menjadi 3,85 terjadi pada isolat NU2. Sedangkan isolat NU3 mengalami 25

4 penurunan log dari 7,84 menjadi 5,23. Terlihat bahwa hanya isolat NU3 yang mengalami penurunan logaritama sekitar dua siklus (Gambar 9). Jadi, isolat ini akan diuji lanjut pada uji ketahanan panas utama. Gambar 9. Jumlah Staphylococcs aureus asal nasi uduk (log CFU/ml) sebelum dan setelah pemanasan pada suhu 54 C selama 35 menit 3. Isolat Staphylococcus aureus Asal Jari Tangan Berbeda dengan isolat ayam suwir dan nasi uduk, isolat dari jari tangan yang diuji pada tahap ini relatif tidak tahan panas. Pemanasan pada suhu 54 C selama 35 menit menurunkan jumlah mikroba sikitar 4 siklus log untuk kedua jenis isolat (Gambar 10). Jumlah mikroba awal pada kedua isolat berkisar antara 1,2x10 7-7,5x10 7 CFU/ml. Isolat J1 mengalami penuruan log sebesar 3,88 siklus sedangkan isolat J2 menurun sebanyak 4,23 siklus. Penurunan logaritma yang cukup besar pada isolat jari tangan berkaitan dengan kondisi asal isolat. Rata-rata suhu badan manusia mencapai C. Suhu ini adalah suhu optimum bagi pertumbuhan Staphylococcus aureus. Pada suhu ini Staphylococcs aureus tidak mendapatkan paparan panas pendahuluan sehingga isolatnya pun tidak mengalami peningkatan ketahanan panas (Jay, 2000). Berdasarkan hasil ini, kedua isolat tidak lolos untuk uji utama ketahanan panas karena penurunan logaritama sangat jauh dari dua siklus log. Gambar 10. Jumlah Staphylococcus aureus (log CFU/ml) asal jari tangan sebelum dan setelah pemanasan pada suhu 54 C selama 35 menit 26

5 B. STUDI KETAHANAN PANAS ISOLAT Staphylococcus aureus HASIL PEMILAHAN CEPAT ISOLAT 1. Nilai D Pengujian ketahanan panas dilakukan untuk isolat Staphylococcus aureus AS2, NU3 dan ATCC Isolat ATCC disertakan dalam pengujian sebagai pembanding. Jumlah mikroba awal bakteri pada heating menstruum TSB berkisar antara 4,6x10 7-2,1x10 8 CFU/ml. Penurunan jumlah bakteri berbanding lurus terhadap lama waktu pemanasan. Berdasarkan hasil penelitian diketahui bahwa isolat AS2 memiliki nilai D pada suhu 53, 54, 55, dan 56 C berturut-turut sebesar 19,47±1,33; 13,42±0,13; 6,59±0,85, dan 5,17±0,26 menit. Isolat NU3 memiliki nilai D pada suhu 53, 54, 55, dan 56 C masing-masing 64,59± 2,95, 23,83± 0,80, 14,3±0,78, dan 8,78±0,92 menit. Isolat ATCC memiliki nilai 53, 54, 55, dan 56 C berturut-turut sebesar 22,00± 1,02, 15,31± 1,16, 11,12±0,52, dan 7,53±1,76 menit. Persamaan linier kurva penurunan logaritma bakteri menghasilkan nilai r 2 sekitar 0,92-0,98. Kurva penurunan logaritma untuk isolat AS2, NU3, dan ATCC dapat dilihat pada Gambar

6 Gambar 11. Penurunan logaritma jumlah mikroba isolat Staphylococcus aureus AS2, NU3, dan ATCC (log CFU/ml) yang dipanaskan pada suhu 53, 54, 55, dan 56 C selama waktu tertentu Isolat Staphylococcus aureus NU3 memiliki nilai D 53, D 54, D 55, dan D 56 lebih tinggi dibandingkan dengan isolat AS2 dan ATCC Nasi uduk biasanya disimpan dalam termos nasi setelah pemanasan (Apriyadi, 2010). Penyimpanan pada suhu hangat ini memberikan paparan panas pendahuluan sehingga isolat NU3 lebih tahan panas daripada isolat lainnya (Jay, 2000). Penyimpanan ayam suwir biasanya terjadi pada suhu ruang sehingga tidak memberikan efek ketahanan panas yang tinggi. Isolat ATCC merupakan isolat klinis yang berasal dari tubuh manusia yang bersuhu C. Suhu ini merupakan suhu optimum pertumbuhan Staphylococcus aureus. Kondisi pertumbuhan optimum tidak memberikan efek ketahanan panas yang lebih tinggi. Nilai D 53, D 54, D 55, dan D 56 isolat Staphylococcus aureus AS2, NU3, dan ATCC lebih besar daripada isolat Staphylococcus aureus hasil percobaan (Walker dan Harmon, 1966). Keduanya menyelidiki ketahanan panas strain Staphylococcus aureus S- 18 dan B-120 pada buffer fosfat dan susu murni. Nilai D yang lebih kecil pada fosfat buffer mungkin berkaitan dengan kandungan nutrisi pada medium pemanas yang digunakan. Menurut Jay (2006) komposisi (karbohidrat, protein, lemak, dan padatan terlarut), a w (kelembaban), ph, dan zat antimikroba berpengaruh sangat besar terhadap kerusakan mikroba selama pemanasan. Secara umum, karbohidrat, protein, lemak, dan total padatan terlarut memberikan perlindungan bagi mikroba untuk melawan pemanasan. Ketahanan panas yang besar sebanding dengan peningkatan konsentrasi karbohidrat, protein, lemak, dan total padatan terlarut. Mikroorganisme dalam makanan yang mempunyai ukuran partikel kecil tersuspensi lebih mudah rusak oleh panas daripada dalam makanan padat atau gumpalan. Nilai D Staphylococcus aureus S-18 dan B-120 juga lebih kecil dibandingkan dengan dengan isolat NU3, AS2, dan ATCC padahal isolat tersebut diuji dengan menggunakan heating mensruum kaya nutrisi seperti susu murni. Isolat S-18 diisolasi dari susu sapi yang terkena penyakit mastitis sedangkan isolat B-120 diisolasi dari makanan penyebab keracunan. Tampak bahwa kandungan nutrisi pada medium pemanas tidak begitu berpengaruh terhadap ketahanan panas bakteri. Kemungkinan perbedaan daya tahan terhadap panas berhubungan dengan sifat isolat atau strain. Spesies dan strain yang berbeda juga memiliki sensitifitas panas yang berbeda pula (Jay, 2006). 28

7 Nilai D 55 untuk isolat AS2 dan ATCC lebih rendah dibandingkan dengan nilai D 55 isolat campuran Staphylococcus aureus percobaan Kennedy (2005). Isolat campuran tersebut memiliki D 55 sebesar 13,0 menit. Tingginya nilai D 55 isolat campuran Staphylococcus aureus berkaitan dengan pengaruh kondisi lingkungan asal isolat. Isolat campuran tersebut diisolasi dari lingkungan yang kurang mendukung pertumbuhan bakteri yaitu refrigerator. Kondisi lingkungan yang dingin bisa memicu stress bakteri sehingga bakteri mensintesis heat shock protein. Produksi heat shock protein ini memberikan perlindungan bagi bakteri dan dapat meningkatkan ketahanan panas (Ray dan Bhunia, 2008). Eden et al. (1977) mempelajari ketahanan panas strain Staphylococcus aureus yang diisolasi dari susu mentah dengan metode tabung kapiler. Nilai D 55 isolat tersebut sebesar 3,11 menit. Nilai ini juga lebih rendah daripada nilai D 55 isolat NU3, AS2, dan ATCC Ketahanan Staphylococcus aureus isolat BP3 dan isolat 237 dalam susu kambing dipelajari oleh Parente and Mazzatura (1991). Isolat BP3 memiliki D 55 yang lebih kecil daripada isolat NU3, AS2, dan ATCC yaitu sebesar 3,30. Namun, isolat kedua yaitu strain 237 memiliki D 55 sebesar 10,60 menit. Nilai ini hampir sama dengan D 55 isolat NU3 dan ATCC tetapi lebih tinggi daripada isolat AS2. Nilai D 54 isolat AS2, dan NU3 pada uji utama ketahanan panas berbeda dengan nilai D 54 kedua isolat pada tahap pemilahan cepat isolat. Pada tahap pemilahan cepat nilai D 54 isolat AS2, dan NU3 berturut-turut sebesar 19,52 dan 13,40 menit. Akan tetapi, nilai D 54 isolat AS2, dan NU3 sebesar 13,42 dan 23,83 menit. Perbedaan nilai yang berbeda ini terjadi karena pemilahan cepat isolat dilakukan dengan satu kali ulangan sedangkan pada uji ketahanan panas utama dilakukan dengan dua kali ulangan. Selain itu, media pemupukan yang berbeda juga berperan terhadap perbedaan nilai D tersebut. Pada pemilahan cepat isolat digunakan media pemupukan TSA sedangkan pada uji utama ketahanan panas digunakan media selektif BPA. Dapat disimpulkan bahwa pemilahan cepat isolat dengan menggunakan media TSA dan satu kali ulangan menghasilkan nilai D 54 yang kurang akurat dibandingkan dengan uji ketahanan panas dengan menggunakan media BPA yang ditambahkan egg yolk tellurite. 2. Nilai Z Isolat Staphylococcus aureus AS2, NU3, dan ATCC Nilai D dari setiap mikroba memiliki sensitivitas yang berbeda terhadap perubahan suhu. Sensitivitas nilai D terhadap suhu sering dinyatakan dengan nilai Z, yaitu perubahan suhu yang diperlukan untuk merubah nilai D sebesar 90% atau 1 siklus (Tolledo et al., 1991). Kurva nilai Z dibuat dengan cara memplotkan suhu sebagai sumbu x dengan log nilai D sebagai sumbu y. Hasil penelitian menunjukkan bahwa isolat Staphylococcus aureus AS2 memiliki nilai Z sebesar 4,74-5,10 C. Nilai Z isolat Staphylococcus aureus NU3 adalah 3,37-3,7 C. Isolat ATCC memiliki nilai Z sebesar 5,59-6,06 C (Gambar 12.). Dari hasil ini diketahui bahwa nilai Z terkecil dimiliki oleh isolat NU3. Dapat disimpulkan bahwa Staphylococcus aureus isolat NU3 lebih sensitif terhadap perubahan suhu dibandingkan dengan isolat AS2 dan ATCC Dari kurva Nilai Z dapat diketahui karakteristik kecendurangan ketahanan panas mikroba. Berdasarkan Gambar 12. dapat diketahui bahwa nilai ketahanan panas isolat Staphylococcus aureus NU3 lebih tinggi daripada isolat AS2, dan ATCC pada suhu 53, 54, 55, dan 56 C. Hal ini tidak selalu terjadi apabila suhu pemanasan berubah. Dengan menyamakan persamaan 29

8 garis kurva Z antar dua isolat dapat diketahui kecenderungan ketahanan panas mikroba. Perpotongan kurva nilai Z isolat NU3 dengan AS2 dan ATCC berturut-turut terjadi pada suhu 57,62 C, dan 55,9 C. Sedangkan perpotongan isolat AS2 dengan ATCC terjadi pada suhu 50,32 C. Dua mikroba memiliki ketahanan panas yang sama pada suhu perpotongan yang dihasilkan dari dua persamaan nilai Z (Tolledo, 1991). Jadi isolat NU3 dan AS2 mempunyai ketahanan panas yang sama pada 57,62 C. Pada suhu pemanasan <57,62 C isolat NU3 lebih tahan terhadap pemanasan daripada isolat AS2. Namun, ketahanan panas isolat NU3 lebih kecil dibandingkan dengan isolat AS2 pada pemanasan suhu > 57,62 C. Hal yang sama juga berlaku untuk isolat lainnya. persamaan linier nilai Z isolat NU3, y = -0,297x + 17,50 persamaan linier nilai Z isolat AS2, y = -0,196x + 11,68 persamaan linier nilai Z isolat ATCC 25923, y = -0,165x + 10,12 Gambar 12. Kurva Z-value Isolat AS2, NU3, dan ATCC Nilai Z Staphylococcus aureus hasil penilitian cukup bervariasi seperti pada hasil penelitian sebelumnya. Nilai Z hasil percobaan Stumbo (1973) adalah 4,6-6,7 C untuk pemanasan Staphylococcus aureus pada pangan pasteurisasi. Terlihat bahwa isolat AS2 dan ATCC masuk dalam range nilai Z percobaan Stumbo. Namun, nilai Z isolat NU3 (3,3-3,37 C) lebih kecil daripada isolat Stumbo. Eden et al. (1977) mendapatkan nilai Z sebesar 9,46 C, sedangkan isolat campuran Staphylococcus aureus hasil penelitian Kennedy (2005) memiliki nilai Z sebesar 7,70-8,0. Nilai ini jauh lebih besar dibandingkan dengan nilai Z isolat NU3, AS2, dan ATCC Isolat yang diperoleh dari hasil penelitian lebih sensitif terhadap terhadap perubahan suhu daripada isolat campuran dan isolat hasil percobaan Eden et al. (1977) (Tabel 7.). Nilai Z Staphylococcus aureus hasil penelitian serupa dengan nilai Z bakteri lainnya yaitu mendekati 5 0 C dengan menggunakan heating menstruum kaya protein seperti daging ayam, chicken broth, TSB dan lain-lain (Tabel 10). Namun, nilai Z Staphylococcus aureus AS2, NU3, dan ATCC lebih kecil dibandingkan dengan 30

9 Staphylococcus epidermidis. Jika dibandingkan dengan nilai Z bakteri laiinya pada heating menstruum susu nilai Z Staphylococcus aureus lebih kecil dibandingkan dengan bakteri psikotrof seperti Listeria monocynogenes, Yersinia enterocolitica, dan Pseudomonas fragi. Nilai ini juga lebih kecil daripada nilai Z bakteri Salmonella spp, Campylobacter jejuni, Eschericia coli, dan Lactobacillus lactis. Terlihat juga bahwa spora bakteri Clostridium botulinum dan Bacillus cereus memiliki nilai Z yang lebih tinggi daripada isolat lokal AS2, NU3 dan ATCC (Tabel 6.) Tabel 10. Perbandingan nilai Z untuk isolat Staphylococcus aureus AS2, NU3,dan ATCC dengan bakteri lain pada heating menstruum kaya protein Mikroorganisme Heating menstruum Nilai Z ( C) isolat Staphylococcus aureus AS2 TSB 4,74-5,10 isolat Staphylococcus aureus NU3 TSB 3,37-3,7 isolat Staphylococcus aureus ATCC TSB 5,59-6,06 Campylobacter jejuni a Daging ayam 5,81 Salmonella b Daging ayam 5,35 Listeria monocytogenes b Daging ayam 5,11 Salmonella typhimurium c Chicken broth 5,80 Salmonella enteritidis c Chicken broth 5,86 Yersinia enterolitica d Minced beef 5,1 S. epidermidis e Daging ayam 7,46 Escherichia coli O-157 f breaded pork patties 5,43 a (Blankenship et al., 1982), b (Murphy et al., 2004), c (Jenuja et al., 2001), d (Bolton et al., 2000), e (Bertolatti et al., 2001), f (Osaili et al., 2007) Nilai Z untuk isolat Staphylococcus aureus AS2, NU3, dan ATCC jauh lebih rendah dibandingkan dengan nilai Z komponen kimia dan reaksi kimia (Tabel 11.). Nilai Z untuk ketiga isolat Staphylococcus aureus 3,37-6,06 C. Artinya, menaikkan suhu pemanasan 3,37-6,06 C akan mampu menurunkan waktu untuk pemanasan untuk inaktivasi mikroba sebesar satu siklus logaritma. Dengan waktu pemanasan yang sama, laju penurunan mutu kimiawi akan lebih kecil. Menurut (Toledo, 1991), proses pemanasan (sterilisasi atau pasteurisasi) pada suhu tinggi secara umum lebih disukai, karena akan mengurangi waktu proses dan efek letalitas yang sama tetapi dapat meminimalkan kerusakan zat gizi. Pemanasan pada suhu tinggi tidak akan cukup untuk menginaktivasi enzim. Oleh karena itu, inaktivasi enzim biasanya dilakukan selama blansir atau prapemanasan sebelum proses sterilisasi (Toledo, 1991) 31

10 Tabel 11. Perbandingan nilai Z untuk isolat Staphylococcus aureus AS2, NU3,dan ATCC dengan komponen kimia dan reaksi kimia Substansi Nilai Z ( C) isolat Staphylococcus aureus AS2 4,74-5,10 isolat Staphylococcus aureus NU3 3,37-3,7 isolat Staphylococcus aureus ATCC ,59-6,06 Enzim * Tripsin inhibitor * 60 Vitamin * Asam folat * 66 Tiamin wortel * 27 Tiamin pear * 21,2 B12 * 50 Pigmen * Klorofil bayam * 92 Lisin * 38 Reaksi Mailard * 45 * (Toledo, 1991) C. EVALUASI KECUKUPAN TERMAL PROSES PEMASAKAN PADA WARUNG SIAP SANTAP DI DESA BABAKAN RAYA 1. Survei Suhu dan Waktu Pemasakan pada Warung Siap Santap Survei dilakukan di lingkungan kampus IPB. Dari hasil survei diketahui bahwa rata-rata penjual pangan siap santap memanaskan makanan pada suhu diatas 70 C. Pada umumnya pemasakan bakso dan soto serta penanakan nasi uduk dilakukan pada suhu mendekati titik didih air. Penggorengan dilakukan pada suhu yang lebih tinggi sekitar 160 C. (Tabel 12.). Setelah didapatkan persamaan nilai Z, dilakukan ekstrapolasi untuk mendapatkan nilai D 73 dan D 92. Ekstrapolasi pada suhu 92 karena proses perebusan biasanya dilakukan pada suhu C. Sedangkan untuk proses penumisan ekstrapolasi dilakukan pada suhu 73 0 C. Untuk penggorengan, ekstraplasi dilakukan pada suhu C. Hasil ekstrapolasi ini akan digunakan untuk menentukan kecukupan proses pemanasan pada tahap selanjutnya. 32

11 Tabel 12. Kombinasi suhu dan waktu pemanasan di warung pangan siap santap di lingkungan kampus IPB. No Nama Warung Warteg Dodo Tenda Kuning Nama Penjual Ibu Dodo Bahan yang Dipanaskan Semur Jengkol Suhu dan Lama Pemasakan Perebusan 92 C selama 1 jam Ibu Ika Siomay Perebusan 86 C terus menerus 3. Perwira Ibu Ramsik Soto Daging Perebusan daging 92 C selama 3 jam 4. Bakso Favorit 5. RM Padang Andalas Mas Doel Bakso Perebusan 96 C selama 1 jam Ibu Zanimar 7. Bara 3 Ibu Tini Nasi Uduk dekat Ciber Bara 3 ujung Soto H Iyas Warung Salsabila Ibu Narsih 12. Wartono 13. Amirudin 14. Bara 4 Ikan Bakar Ayam Bakar Ayam Srundeng Nasi Uduk Nasi Biasa Soto Daging Pembakaran 73 C selama 10 menit Perebusan 94 C selama 2 jam, Pembakaran 5-6 menit Perebusan 94 C selama 1 jam, Pencampuran srundeng 95 C selama 1 jam Pengaronan 95 C selama 30 menit, Pengukusan 82 C selama 33 menit Pengaronan 94 C selama 28 menit, Pengukusan 83 C selama 25 menit Perebusan daging 95 C selama 3 jam, Mba Yani Tumis Kacang Penumisan 73 C selama 5-10 menit Ibu Oon Suganda Tempe dan tahu Kentang kering Gado gado Ketoprak Penggorengan 2-3 menit, 165 C Penggorengan 2-3 menit, 165 C Pengukusan, 89 C selama 5 menit Pengukusan, 89 C selama 5 menit 15. Bantolo P Raharjo Bakso Perebusan 95 C selama 1 jam 16. Sawargi Ibu Yeti Opor Ayam Balado Terong Ikan Goreng tepung Perebusan 95 C selama 1 jam Penumisan 73 C selama 5-10 menit Penggorengan 162 C selama 5 menit 33

12 2. Penentuan Kecukupan Termal Proses Pemasakan pada Warung Siap Santap di Desa Babakan Raya Ekstrapolasi dilakukan untuk menentukan keefektifan proses pemanasan yang biasa dilakukan masyarakat berdasarkan hasil survei. Dari nilai ekstrapolasi ini akan ditentukan jumlah penurunan Staphylococcus aureus selama pemasakan dengan menggunakan rumus log (N 0 /N t ) = t T /D T. Simbol t T menyatakan lama pemasakan sedangkan simbol D T menunjukkan nilai D hasil ekstrapolasi. Nilai D 73 dan D 92 hasil ekstrapolasi dapat dilihat pada (Table 13). Tampak bahwa pemanasan makanan pada suhu 73 C selama 0, ,011 menit mampu membunuh bakteri Staphylococcus aureus sebesar satu siklus log. Pemanasan pada suhu 92 C mampu membunuh mikroba satu siklus log selama 1,5x ,93 x10-6 menit. Jika diinginkan penurunan jumlah Staphylococcus aureus sebesar 12D (12 siklus log) dan 5D (5 siklus log), dibutuhkan pemanasan pada suhu 92 C masing-masing selama 0,132 menit (0,011x12 menit) dan 0,055 menit (0,011x5 menit). Tabel 13. Ekstrapolasi persamaan nilai Z isolat Staphylococcus aureus AS2, NU3, dan ATCC untuk menentukan D 73 dan D 92 Isolat Nilai D 73 (menit) Nilai D 92 (menit) Nilai D 162 (menit) NU3 (ulangan 1) 0,0002 1,62x10-9 5,75x10-28 NU3 (ulangan 2) 0, ,5x ,43x10-31 AS2 (ulangan 1) 0,001 1,25 x10-7 2,13x10-22 AS2 (ulangan 2) 0,002 4,4 x10-7 8,47x10-21 ATCC (ulangan 1) 0,006 1,93 x10-6 3,52x10-19 ATCC (ulangan 2) 0,011 8,70 x10-6 2,45x10-17 Jika dibandingkan dengan ketahanan panas komponen kimia, nilai D 73 dan D 92 komponen kimia lebih tinggi daripada nilai D 73 dan D 92 isolat lokal Staphylococcus aureus. Hasil Ekstrapolasi persamaan nilai Z isolat lokal dengan komponen kimia dapat dilihat pada (Tabel 14). Dari tabel tersebut tampak bahwa senyawa kimia memiliki nilai D 73 dan D 92 yang jauh lebih tinggi daripada isolat Staphylococcus aureus AS2, NU3, dan ATCC Jadi proses penumisan dan perebusan pada suhu 73 dan 92 0 C menurunkan konsentrasi senyawa kimia lebih kecil dibandingkan dengan penurunan jumlah baketeri. Tabel 14. Nilai D 73 dan D 92 beberapa komponen kimia dan reaksi kimia Isolat Nilai D 73 (menit) Nilai D 92 (menit) Enzim 59,17 16,96 Tripsin inhibitor 84,24 40,63 Vitamin 400,56 jam 57,31 jam Asam folat 10,44 hari 5,38 hari Tiamin wortel 159,2 jam 31,50 Tiamin pear 507,65 jam 64,47 jam B12 17,77 hari 7,41 hari 34

13 Pigmen 243,43 109,89 Klorofil bayam 43,33 26,93 Lisin 241,58 76,39 Reaksi Mailard 52,74 hari 19,95 (Toledo, 1991) Pemanasan pada suhu 92 C selama satu jam mampu mereduksi jumlah mikroba sebesar 6,9x10 6 siklus log. Penumisan pada suhu 73 C selama 5 menit mengurangi jumlah mikroba sebesar 454,5 siklus log. Penggorengan pada suhu 162 C selama dua menit mampu mereduksi Staphylococcus aureus 8,62x Jumlah awal Staphylococcus aureus pada nasi rames sebesar 1,0x10 3 CFU/gr (Hartini, 2001). Karena pengolahan dan komposisi nasi uduk serupa dengan nasi rames, jumlah awal Staphylococcus aureus pada nasi uduk berarti 1,0x10 3 CFU/gr. Dengan mengasumsikan bahwa satu bungkus nasi uduk memiliki berat 100 gram, dapat diketahui bahwa jumlah Staphylococcus aureus pada nasi uduk sebesar 1,0x10 3 x100 CFU/bungkus (1,0x10 5 CFU/bungkus). Jumlah Staphylococcus aureus setelah pemanasan pada suhu 92 C selama lima menit, penumisan pada suhu 73 C selama lima menit dan pengorengan pada suhu pada suhu 162 C mampu dieduksi sampai level yang sangat rendah (<1:10 449,5 ) CFU/bungkus (Tabel 15). Sebagai contoh, jika peluang keberadaan Staphylococcus aureus setelah penanakan nasi uduk pada suhu 92 0 C selama 60 menit sebesar 1:10 6,9x(10^6) dapat didefiisikan bahwa dari 10 6,9x(10^6) nasi uduk yang diproduksi terdapat satu bungkus nasi uduk yang mengandung Staphylococcus aureus. Tampak bahwa resiko keberadaan Staphylococcus aureus dalam bahan pangan setelah proses perebusan, penumisan, dan peggorengan sangat kecil. Standar maksimum Staphylococcus aureus pada bahan pangan yang tidak dikemas menurut New Hamshire Guidline adalah 1x10 2 CFU/gr (Shapton, 1993) sedangkan menurut BPOM (2004) adalah sebesar 0-5x10 3 CFU/gr. Karena satu bungkus nasi uduk diasumsikan memiliki berat 100 gr, batas cemaran maksimum Staphylococcus aureus pada nasi uduk berarti sebesar 5x10 3 x100 gr (5x10 5 CFU/bungkus). Berdasarkan Tabel 15. terlihat bahwa proses pemasakan makanan di warung siap santap Desa Babakan Raya efektif untuk mereduksi jumlah mikroba sampai level yang tidak membahayakan (<5x10 5 CFU/bungkus). Tabel 15. Penurunan log Staphylococcus aureus dan jumlah Staphylococcus aureus setelah proses pemasakan pada suhu dan waktu tertentu Proses Pemasakan Suhu ( 0 C) Waktu Penurunan Log Jumlah Mikroba (S) Peluang S. aureus setelah pemanasan (N t ) (CFU/bungkus) Keefektifan Proses Pemasakan Perebusan 92 1 jam 6,9x10 6 1:10 6,9x(10^6) Efektif Penumisan menit 454,5 1:10 449,5 Efektif Penggorengan menit 8,2x :10 8,2x(10^16) Efektif 35

III. METODOLOGI PENELITIAN

III. METODOLOGI PENELITIAN III. METODOLOGI PENELITIAN A. BAHAN DAN ALAT 1. Bahan Bahan-bahan yang digunakan dalam penelitian ini antara lain media penyegaran mikroba, media pertumbuhan, media pemupukan mikroba, pengencer, medium

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. A. Staphylococcus aureus

TINJAUAN PUSTAKA. A. Staphylococcus aureus II. TINJAUAN PUSTAKA A. Staphylococcus aureus Staphylococcus aureus adalah bakteri non motil, gram positif, berbentuk bulat, dan biasanya bergerombol seperti anggur dalam bentuk tidak teratur, berpasangan,

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN Produksi Bakteriosin HASIL DAN PEMBAHASAN Bakteriosin merupakan senyawa protein yang berasal dari Lactobacillus plantarum 2C12. Senyawa protein dari bakteriosin telah diukur konsentrasi dengan menggunakan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Nilai konsumsi tahu tersebut lebih besar bila dibandingkan dengan konsumsi

BAB I PENDAHULUAN. Nilai konsumsi tahu tersebut lebih besar bila dibandingkan dengan konsumsi BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang Tahu merupakan makanan yang biasa dikonsumsi bukan hanya oleh masyarakat Indonesia tetapi juga masyarakat Asia lainnya. Masyarakat Indonesia sudah sangat lama mengkonsumsi

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 5 BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Makanan Makanan diperlukan untuk kehidupan karena makanan merupakan salah satu kebutuhan pokok bagi kehidupan manusia. Makanan berfungsi untuk memelihara proses tubuh dalam

Lebih terperinci

BAB IV RESPONS MIKROBIA TERHADAP SUHU TINGGI

BAB IV RESPONS MIKROBIA TERHADAP SUHU TINGGI BAB IV RESPONS MIKROBIA TERHADAP SUHU TINGGI FAKTOR YANG HARUS DIPERHATIKAN: 1. Mikrobia penyebab kerusakan dan mikrobia patogen yang dimatikan. 2. Panas tidak boleh menurunkan nilai gizi / merusak komponen

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. (a) (b) (c) (d) Gambar 1. Lactobacillus plantarum 1A5 (a), 1B1 (b), 2B2 (c), dan 2C12 (d) Sumber : Firmansyah (2009)

TINJAUAN PUSTAKA. (a) (b) (c) (d) Gambar 1. Lactobacillus plantarum 1A5 (a), 1B1 (b), 2B2 (c), dan 2C12 (d) Sumber : Firmansyah (2009) TINJAUAN PUSTAKA Lactobacillus plantarum Bakteri L. plantarum termasuk bakteri dalam filum Firmicutes, Ordo Lactobacillales, famili Lactobacillaceae, dan genus Lactobacillus. Lactobacillus dicirikan dengan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. dan cepat mengalami penurunan mutu (perishable food). Ikan termasuk komoditi

I. PENDAHULUAN. dan cepat mengalami penurunan mutu (perishable food). Ikan termasuk komoditi I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Bahan pangan mentah merupakan komoditas yang mudah rusak sejak dipanen. Bahan pangan mentah, baik tanaman maupun hewan akan mengalami kerusakan melalui serangkaian reaksi

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Daging sapi didefinisikan sebagai semua jaringan hewan dan semua produk

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Daging sapi didefinisikan sebagai semua jaringan hewan dan semua produk 4 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Daging Sapi Daging sapi didefinisikan sebagai semua jaringan hewan dan semua produk hasil pengolahan jaringan-jaringan tersebut yang sesuai untuk dimakan serta tidak menimbulkan

Lebih terperinci

Prinsip pengawetan. Mencegah/memperlambat kerusakan mikrobial. Mencegah/memperlambat laju proses dekomposisi (autolisis) bahan pangan

Prinsip pengawetan. Mencegah/memperlambat kerusakan mikrobial. Mencegah/memperlambat laju proses dekomposisi (autolisis) bahan pangan PENGAWETAN MAKANAN DENGAN SUHU TINGGI DAN SUHU RENDAH Pengertian Pengawetan makanan salah satu cara pengolahan pangan yg sering dilakukan untuk mencegah kerusakan bahan pangan & menjaga kualitasnya. Cara

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI

BAB II LANDASAN TEORI BAB II LANDASAN TEORI A. Tinjauan Pustaka 1. Nasi Uduk Makanan pokok sebagian besar penduduk Indonesia adalah nasi. Menurut Kristiatuti dan Rita (2004) makanan pokok adalah makanan yang dapat dikonsumsi

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI

BAB II LANDASAN TEORI BAB II LANDASAN TEORI A. Tinjauan Pustaka 1. Nasi Goreng Beras merupakan salah satu sumber makanan pokok yang biasa dikonsumsi masyarakat, khususnya masyarakat Indonesia. Beras sebagaimana bulir serealia

Lebih terperinci

Prinsip-prinsip Penanganan dan Pengolahan Bahan Agroindustri

Prinsip-prinsip Penanganan dan Pengolahan Bahan Agroindustri Prinsip-prinsip Penanganan dan Pengolahan Bahan Agroindustri PENANGANAN Jenis Kerusakan Bahan Pangan Kerusakan mikrobiologis Kerusakan mekanis Kerusakan fisik Kerusakan biologis Kerusakan kimia Kerusakan

Lebih terperinci

BAB 7. MIKROBIOLOGI HASIL PERIKANAN. 7.1 Jenis-jenis Mikroba Pada Produk Perikanan

BAB 7. MIKROBIOLOGI HASIL PERIKANAN. 7.1 Jenis-jenis Mikroba Pada Produk Perikanan BAB 7. MIKROBIOLOGI HASIL PERIKANAN 7.1 Jenis-jenis Mikroba Pada Produk Perikanan Jumlah dan jenis populasi mikroorganisme yang terdapat pada berbagai produk perikanan sangat spesifik. Hal ini disebabkan

Lebih terperinci

KETAHANAN PANAS ISOLAT LOKAL Staphylococcus aureus SKRIPSI. Juli Hadiyanto F

KETAHANAN PANAS ISOLAT LOKAL Staphylococcus aureus SKRIPSI. Juli Hadiyanto F KETAHANAN PANAS ISOLAT LOKAL Staphylococcus aureus SKRIPSI Juli Hadiyanto F240601952 FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2011 17 THERMAL RESISTANCE OF LOCAL ISOLATES OF Staphylococcus

Lebih terperinci

Pengalengan buah dan sayur. Kuliah ITP

Pengalengan buah dan sayur. Kuliah ITP Pengalengan buah dan sayur Kuliah ITP Kompetensi Mahasiswa memahami teknologi pengalengan atau pembotolan sederhana dan mutakhir, prinsip dan perubahan yang terjadi serta dampak pengalengan atau pembotolan

Lebih terperinci

BABI PENDAHULUAN. Rawon merupakan salah satu makanan khas Jawa Timur yang mudah

BABI PENDAHULUAN. Rawon merupakan salah satu makanan khas Jawa Timur yang mudah BABI PENDAHULUAN BABI PENDAHULUAN 1.1 Latar Be1akang Rawon merupakan salah satu makanan khas Jawa Timur yang mudah didapatkan di mana saja, mulai dari warung-warung kecil hingga restoran-restoran besar.

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. mineral. Susu adalah suatu cairan yang merupakan hasil pemerahan dari sapi atau

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. mineral. Susu adalah suatu cairan yang merupakan hasil pemerahan dari sapi atau 4 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Susu Susu merupakan bahan pangan yang baik bagi manusia karena mengandung zat gizi yang tinggi, yaitu karbohidrat, protein, lemak, vitamin dan mineral. Susu adalah suatu

Lebih terperinci

TEKNOLOGI HASIL TERNAK. Kuliah ke 2

TEKNOLOGI HASIL TERNAK. Kuliah ke 2 TEKNOLOGI HASIL TERNAK Kuliah ke 2 METODE PRESERVASI DAGING, SUSU DAN TELUR 1. Penggunaan panas atau PROSES TERMAL (THERMAL PROCESSING) 2. Penurunan suhu atau PENDINGINAN DAN PEMBEKUAN (COOLING AND FREEZING)

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. yaitu berkisar jam pada suhu ruang 27 C. Salah satu alternatif untuk

I. PENDAHULUAN. yaitu berkisar jam pada suhu ruang 27 C. Salah satu alternatif untuk I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Mie basah merupakan produk pangan yang terbuat dari terigu dengan atau tanpa penambahan bahan pangan lain dan bahan tambahan pangan yang diizinkan, berbentuk khas mie (Badan

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN. Tabel 5. Jumlah Bakteri Asam Laktat pada Media Susu Skim.

HASIL DAN PEMBAHASAN. Tabel 5. Jumlah Bakteri Asam Laktat pada Media Susu Skim. HASIL DAN PEMBAHASAN Persiapan Penelitian Persiapan penelitian meliputi pembiakan kultur pada media susu skim. Pembiakan kultur starter pada susu skim dilakukan untuk meningkatkan populasi kultur yang

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA Sifat Umum Susu

TINJAUAN PUSTAKA Sifat Umum Susu TINJAUAN PUSTAKA Sifat Umum Susu Susu adalah sekresi yang dihasilkan oleh mammae atau ambing hewan mamalia termasuk manusia dan merupakan makanan pertama bagi bayi manusia dan hewan sejak lahir (Lukman

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN Pengujian Kemurnian Bakteri L. plantarum dan Patogen

HASIL DAN PEMBAHASAN Pengujian Kemurnian Bakteri L. plantarum dan Patogen HASIL DAN PEMBAHASAN Pengujian Kemurnian Bakteri L. plantarum dan Patogen Penelitian diawali dengan tahap persiapan dan pemurnian kembali dari keempat kultur bakteri asam laktat (BAL) yaitu Lactobacillus

Lebih terperinci

PASTEURISASI. Teti Estiasih - THP - FTP - UB 1

PASTEURISASI. Teti Estiasih - THP - FTP - UB 1 PASTEURISASI Teti Estiasih - THP - FTP - UB 1 DEFINISI Merupakan perlakuan panas yang bertujuan membunuh mikroba patogen dan pembusuk, serta inaktivasi enzim Proses termal pada produk pangan dengan tujuan

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. kelebihan berat badan, anemia, dan sebagainya (Rahal et al., 2014). Sayuran

BAB 1 PENDAHULUAN. kelebihan berat badan, anemia, dan sebagainya (Rahal et al., 2014). Sayuran BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sayuran merupakan sumber vitamin, mineral, air, protein, lemak, serat, dan asam amino yang paling mudah didapatkan dengan harga terjangkau. Mengkonsumsi sayuran hijau

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA Bakteri Asam Laktat

TINJAUAN PUSTAKA Bakteri Asam Laktat TINJAUAN PUSTAKA Bakteri Asam Laktat Sifat yang terpenting dari bakteri asam laktat adalah memiliki kemampuan untuk memfermentasi gula menjadi asam laktat. Berdasarkan tipe fermentasi, bakteri asam laktat

Lebih terperinci

Pengawetan dengan Suhu Tinggi

Pengawetan dengan Suhu Tinggi Pengawetan dengan Suhu Tinggi Pengawetan dengan suhu tinggi adalah salah satu dari sekian banyak metode pengawetan makanan yang sering digunakan. Metode ini sebenarnya sudah sangat familier dalam aktivitas

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Salah satu metode yang umum digunakan untuk mengolah susu mentah sehingga aman dikonsumsi adalah pasteurisasi. Pasteurisasi akan membunuh seluruh mikroorganisme patogen

Lebih terperinci

SEBAGAI ANTIBAKTERI TERHADAP SEL VEGETATIF DAN SPORA

SEBAGAI ANTIBAKTERI TERHADAP SEL VEGETATIF DAN SPORA BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Makanan merupakan kebutuhan pokok bagi manusia. Manusia membutuhkan nutrisi yang bersumber dari makanan agar tubuh tetap sehat dan bugar sehingga dapat menjalankan

Lebih terperinci

Faktor yang mempengaruhi keracunan makanan. Kontaminasi Pertumbuhan Daya hidup

Faktor yang mempengaruhi keracunan makanan. Kontaminasi Pertumbuhan Daya hidup Marselinus Laga Nur Faktor yang mempengaruhi keracunan makanan Kontaminasi Pertumbuhan Daya hidup Bacilus cereus Gram-positif Aerobik membentuk endospora Tahan terhadap panas kering dan disinfektan kimia

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pangan fungsional adalah pangan olahan yang mengandung satu atau lebih komponen fungsional yang berdasarkan kajian ilmiah mempunyai fungsi fisiologis tertentu, terbukti

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN IV. HASIL DAN PEMBAHASAN A. PENELITIAN PENDAHULUAN Pada penelitian pendahuluan dilakukan kajian pembuatan manisan pala untuk kemudian dikalengkan. Manisan pala dibuat dengan bahan baku yang diperoleh dari

Lebih terperinci

PERUBAHAN-PERUBAHAN YANG TERJADI PADA SUSU, TELUR DAN DAGING PASCA PANEN

PERUBAHAN-PERUBAHAN YANG TERJADI PADA SUSU, TELUR DAN DAGING PASCA PANEN PERUBAHAN-PERUBAHAN YANG TERJADI PADA SUSU, TELUR DAN DAGING PASCA PANEN Pertemuan Minggu ke 6 Kelas B Juni Sumarmono & Kusuma Widayaka ILMU PASCAPANEN PETERNAKAN 2017 Kualitas Baik Edible (dapat dimakan)

Lebih terperinci

PENDAHULUAN Latar Belakang

PENDAHULUAN Latar Belakang 1 PENDAHULUAN Latar Belakang Balai Besar Karantina Pertanian Soekarno-Hatta (BBKPSH) merupakan unit pelaksana teknis (UPT) lingkup Badan Karantina Pertanian yang berkedudukan di Bandara Udara Internasional

Lebih terperinci

PENGARUH PRAKTIK PENYIMPANAN DAN PEMANASAN ULANG DENGAN OVEN

PENGARUH PRAKTIK PENYIMPANAN DAN PEMANASAN ULANG DENGAN OVEN SKRIPSI PENGARUH PRAKTIK PENYIMPANAN DAN PEMANASAN ULANG DENGAN OVEN MICROWAVE TERHADAP PERTUMBUHAN Staphylococcus aureus DALAM BEBERAPA PANGAN TRADISIONAL INDONESIA Oleh : REYNETHA RAWENDRA F24104127

Lebih terperinci

DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN

DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN DAFTAR PUSTAKA... 70 LAMPIRAN DAFTAR TABEL Tabel 2.1. komposisi Kimia Daging Tanpa Lemak (%)... 12 Tabel 2.2. Masa Simpan Daging Dalam Freezer... 13 Tabel 2.3. Batas Maksimum Cemaran Mikroba Pada Pangan...

Lebih terperinci

Haris Dianto Darwindra BAB VI PEMBAHASAN

Haris Dianto Darwindra BAB VI PEMBAHASAN Haris Dianto Darwindra BAB VI PEMBAHASAN Berbagai jenis makanan dan minuman yang dibuat melalui proses fermentasi telah lama dikenal. Dalam prosesnya, inokulum atau starter berperan penting dalam fermentasi.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dapat digunakan sebagai pangan, pakan, maupun bahan baku industri.

BAB I PENDAHULUAN. dapat digunakan sebagai pangan, pakan, maupun bahan baku industri. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kacang kedelai merupakan salah satu tanaman multiguna, karena dapat digunakan sebagai pangan, pakan, maupun bahan baku industri. Kedelai adalah salah satu tanaman jenis

Lebih terperinci

b. Bahan pangan hewani bersifat lunak dan lembek sehingga mudah terpenetrasi oleh faktor tekanan dari luar.

b. Bahan pangan hewani bersifat lunak dan lembek sehingga mudah terpenetrasi oleh faktor tekanan dari luar. pengertian Bahan Pangan Hewani dan Nabati dan pengolahannya Secara garis besar, bahan pangan dapat dikelompokkan menjadi dua yaitu bahan pangan asal tumbuhan (nabati) dan bahan pangan asal hewan (hewani).

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Derajat kesehatan masyarakat merupakan salah satu indikator harapan hidup

BAB 1 PENDAHULUAN. Derajat kesehatan masyarakat merupakan salah satu indikator harapan hidup BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Derajat kesehatan masyarakat merupakan salah satu indikator harapan hidup manusia yang harus dicapai, untuk itu diperlukan upaya-upaya dalam mengatasi masalah kesehatan

Lebih terperinci

SUSU. b. Sifat Fisik Susu Sifat fisik susu meliputi warna, bau, rasa, berat jenis, titik didih, titik beku, dan kekentalannya.

SUSU. b. Sifat Fisik Susu Sifat fisik susu meliputi warna, bau, rasa, berat jenis, titik didih, titik beku, dan kekentalannya. SUSU a. Definisi Susu Air susu termasuk jenis bahan pangan hewani, berupa cairan putih yang dihasilkan oleh hewan ternak mamalia dan diperoleh dengan cara pemerahan (Hadiwiyoto, 1983). Sedangkan menurut

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Makanan adalah salah satu kebutuhan dasar manusia dan merupakan hak

BAB I PENDAHULUAN. Makanan adalah salah satu kebutuhan dasar manusia dan merupakan hak BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Makanan adalah salah satu kebutuhan dasar manusia dan merupakan hak asasi setiap orang untuk keberlangsungan hidupnya. Makanan adalah unsur terpenting dalam menentukan

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN 8 media violet red bile agar (VRB). Sebanyak 1 ml contoh dipindahkan dari pengenceran 10 0 ke dalam larutan 9 ml BPW 0.1% untuk didapatkan pengenceran 10-1. Pengenceran 10-2, 10-3, 10-4, 10-5 dan 10-6

Lebih terperinci

BLANSING. Teti Estiasih - PS ITP - THP - FTP - UB

BLANSING. Teti Estiasih - PS ITP - THP - FTP - UB BLANSING DEFINISI Merupakan proses termal yang menggunakan suhu 75-95 C selama 1-10 menit TUJUAN Mendapatkan kualitas yang baik untuk sayuran yang akan dikeringkan, dikalengkan atau dibekukan Menurunkan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Identifikasi Masalah, (1.3) Tujuan Penelitian, (1.4) Manfaat Penelitian, (1.5)

I. PENDAHULUAN. Identifikasi Masalah, (1.3) Tujuan Penelitian, (1.4) Manfaat Penelitian, (1.5) I. PENDAHULUAN Bab ini menguraikan mengenai: (1.1) Latar Belakang Penelitian, (1.2) Identifikasi Masalah, (1.3) Tujuan Penelitian, (1.4) Manfaat Penelitian, (1.5) Kerangka Pemikiran, (1.6) Hipotesis Penelitian

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Protein (KEP). KEP merupakan suatu keadaan seseorang yang kurang gizi

BAB I PENDAHULUAN. Protein (KEP). KEP merupakan suatu keadaan seseorang yang kurang gizi BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Salah satu masalah gizi yang utama di Indonesia adalah Kurang Energi Protein (KEP). KEP merupakan suatu keadaan seseorang yang kurang gizi disebabkan oleh rendahnya

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Susu merupakan produk hewani yang umum dikonsumsi oleh manusia mulai dari anak-anak hingga dewasa karena kandungan nutrisinya yang lengkap. Menurut Codex (1999), susu

Lebih terperinci

Nova Nurfauziawati VI. PEMBAHASAN

Nova Nurfauziawati VI. PEMBAHASAN VI. PEMBAHASAN Praktikum yang dilaksanakan pada 23 Mei 2011 mengenai pengujian mikroorganisme termodurik pada produk pemanasan. Praktikum ini dilakukan agar praktikan dapat membuat perhitungan SPC dan

Lebih terperinci

Dr. Dwi Suryanto Prof. Dr. Erman Munir Nunuk Priyani, M.Sc.

Dr. Dwi Suryanto Prof. Dr. Erman Munir Nunuk Priyani, M.Sc. BIO210 Mikrobiologi Dr. Dwi Suryanto Prof. Dr. Erman Munir Nunuk Priyani, M.Sc. Kuliah 6. NUTRISI DAN MEDIA Kebutuhan dan syarat untuk pertumbuhan, ada 2 macam: fisik suhu, ph, dan tekanan osmosis. kimia

Lebih terperinci

PENGAWETAN PANGAN. Oleh: Puji Lestari, S.TP Widyaiswara Pertama

PENGAWETAN PANGAN. Oleh: Puji Lestari, S.TP Widyaiswara Pertama Oleh: Puji Lestari, S.TP Widyaiswara Pertama PENGAWETAN PANGAN I. PENDAHULUAN Makanan merupakan kebutuhan pokok bagi setiap manusia, karena didalamnya terkandung senyawa-senyawa yang sangat diperlukan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. tomat dapat dijadikan sebagai bahan dasar kosmetik atau obat-obatan. Selain

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. tomat dapat dijadikan sebagai bahan dasar kosmetik atau obat-obatan. Selain 4 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Tanaman Tomat Tanaman tomat merupakan komoditas yang multiguna. Tidak hanya berfungsi sebagai sayuran dan buah saja, tomat juga sering dijadikan pelengkap bumbu, minuman

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN Pemeriksaan Kemurnian Isolat Bakteri Asam Laktat dan Bakteri Patogen Indikator Morfologi Sel

HASIL DAN PEMBAHASAN Pemeriksaan Kemurnian Isolat Bakteri Asam Laktat dan Bakteri Patogen Indikator Morfologi Sel HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil yang diperoleh pada penelitian ini diawali dengan pemeriksaan karakteristik morfologi dan kemurnian isolat bakteri yang digunakan. Isolat bakteri yang digunakan adalah BAL indigenous

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN. Tabel 5. Rataan Nilai Warna (L, a, b dan HUE) Dendeng Sapi dengan Metode Perlakuan Curing yang Berbeda

HASIL DAN PEMBAHASAN. Tabel 5. Rataan Nilai Warna (L, a, b dan HUE) Dendeng Sapi dengan Metode Perlakuan Curing yang Berbeda HASIL DAN PEMBAHASAN Karakteristik Warna Dendeng Sapi Warna merupakan salah satu indikator fisik yang dapat mempengaruhi konsumen terhadap penerimaan suatu produk. Derajat warna menunjukkan tingkat warna

Lebih terperinci

Nova Nurfauziawati VI. PEMBAHASAN

Nova Nurfauziawati VI. PEMBAHASAN VI. PEMBAHASAN Praktikum yang dilaksanakan pada tanggal 23 Mei 2011 mengenai pengaruh suhu penyimpanan beku terhadap mikroba pada bahan pangan. Praktikum ini dilaksanakan agar praktikan dapat mengerjakan

Lebih terperinci

PAPER BIOKIMIA PANGAN

PAPER BIOKIMIA PANGAN PAPER BIOKIMIA PANGAN BAB I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Ilmu kimia terkait erat dengan kehidupan manusia sehari-hari. Mulai dari urusan sandang dan pangan, bahan bakar, obat-obatan sampai bahan konstruksi

Lebih terperinci

DAFTAR ISI Halaman HALAMAN JUDUL

DAFTAR ISI Halaman HALAMAN JUDUL DAFTAR ISI Halaman HALAMAN JUDUL HALAMAN PENGESAHAN.. HALAMAN PENGESAHAN.. RIWAYAT HIDUP.. i ABSTRAK... ii ABSTRACT.. iii UCAPAN TERIMAKASIH. iv DAFTAR ISI....... vi DAFTAR GAMBAR... viii DAFTAR TABEL

Lebih terperinci

Dr. Ir. Rarah R. A. Maheswari, DEA Dr. Ir. Sutrisno, MAgr Ir. Abu Bakar, MS

Dr. Ir. Rarah R. A. Maheswari, DEA Dr. Ir. Sutrisno, MAgr Ir. Abu Bakar, MS APLIKASI MEDAN PULSA LISTRIK TEGANGAN TINGGI (HIGH PULSE ELECTRIC C FIELD) SEBAGAI SALAH SATU CARA MEMPERTAHANKAN KUALITAS FISIK, KIMIA DAN MIKROBIOLOGIS SUSU SEGAR Tim Peneliti : Dr. Ir. Rarah R. A. Maheswari,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG

BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Makanan berperan penting dalam kehidupan makhluk hidup sebagai sumber tenaga, pembangun bahkan penyembuh penyakit. Sumber makanan yang dibutuhkan oleh tubuh mengandung

Lebih terperinci

Yoghurt Sinbiotik - Minuman Fungsional Kaya Serat Berbasis Tepung Pisang

Yoghurt Sinbiotik - Minuman Fungsional Kaya Serat Berbasis Tepung Pisang AgroinovasI Yoghurt Sinbiotik - Minuman Fungsional Kaya Serat Berbasis Tepung Pisang Pisang kaya akan karbohidrat dan mempunyai kandungan gizi yang baik yaitu vitamin (provitamin A, B dan C) dan mineral

Lebih terperinci

2015 AKTIVITAS ANTIBAKTERI EKSTRAK BIJI

2015 AKTIVITAS ANTIBAKTERI EKSTRAK BIJI BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Makanan seperti nasi, roti, sayur mayur dan lainnya bila disimpan terlalu lama tanpa pengawetan akan mengalami kerusakan atau basi. Kerusakan makanan ini dapat terjadi

Lebih terperinci

bio.unsoed.ac.id I. PENDAHULUAN

bio.unsoed.ac.id I. PENDAHULUAN I. PENDAHULUAN Yoghurt merupakan minuman yang dibuat dari susu sapi dengan cara fermentasi oleh mikroorganisme. Yoghurt telah dikenal selama ribuan tahun dan menarik banyak perhatian dalam beberapa tahun

Lebih terperinci

BLANSING PASTEURISASI DAN STERIISASI

BLANSING PASTEURISASI DAN STERIISASI PENGOLAHAN TERMAL I BLANSING PASTEURISASI DAN STERIISASI TIM DOSEN PENGAMPU BRAWIJAYA UNIVERSITY 2013 outline 1 PENDAHULUAN 4 STERILISASI 3 PASTEURISASI 2 BLANCHING PENDAHULUAN MERUPAKAN PROSES THERMAL

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Latar Belakang. untuk memenuhi hampir semua keperluan zat-zat gizi manusia. Kandungan yang

BAB I PENDAHULUAN. Latar Belakang. untuk memenuhi hampir semua keperluan zat-zat gizi manusia. Kandungan yang 1 BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Susu dan produk olahannya merupakan pangan asal hewan yang kaya akan zat gizi, seperti protein, lemak, laktosa, mineral dan vitamin yang dibutuhkan untuk memenuhi hampir

Lebih terperinci

Teti Estiasih - THP - FTP - UB

Teti Estiasih - THP - FTP - UB 1 2 Merupakan proses thermal yang menggunakan suhu Blansing: perlakuan pendahuluan pada buah dan sayuran Pasteurisasi dan sterilisasi merupakan proses pengawetan pangan 3 Blansing air panas Blansing uap

Lebih terperinci

VI. PENGAWETAN MAKANAN MENGGUNAKAN SUHU TINGGI

VI. PENGAWETAN MAKANAN MENGGUNAKAN SUHU TINGGI VI. PENGAWETAN MAKANAN MENGGUNAKAN SUHU TINGGI Penggunaan suhu tinggi untuk pengawetan makanan secara umum dapat digolongkan menjadi 2 kategori yaitu : pasteurisasi dan sterilisasi. - Pasteurisasi - Pasteurisasi

Lebih terperinci

Haris Dianto Darwindra 240210080133 BAB VI PEMBAHASAN

Haris Dianto Darwindra 240210080133 BAB VI PEMBAHASAN BAB VI PEMBAHASAN Pada praktikum ini membahas mengenai Kurva Pertumbuhan Mikroorganisme Selama Proses Aging Keju. Keju terbuat dari bahan baku susu, baik susu sapi, kambing, atau kerbau. Proses pembuatannya

Lebih terperinci

pangan fungsional yang beredar di pasaran. Salah satu pangan fungsional yang

pangan fungsional yang beredar di pasaran. Salah satu pangan fungsional yang III. KERANGKA PIKIRAN DAN HIPOTESIS 3.1. Kerangka Pikiran Kesadaran masyarakat akan pentingnya kesehatan memicu banyaknya produk pangan fungsional yang beredar di pasaran. Salah satu pangan fungsional

Lebih terperinci

Haris Dianto Darwindra BAB VI PEMBAHASAN

Haris Dianto Darwindra BAB VI PEMBAHASAN BAB VI PEMBAHASAN Dalam praktikum ini yaitu mengisolasi bakteri Propionibacterium dari keju. Keju sendiri merupakan makanan yang dibuat dari dadih susu yang dipisahkan, yang diperoleh dengan penggumpalan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Jambi) ataupun yang berasal dari daging seperti sosis dan urutan/bebontot

I. PENDAHULUAN. Jambi) ataupun yang berasal dari daging seperti sosis dan urutan/bebontot I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masyarakat Indonesia telah banyak mengenal produk pangan fermentasi antara lain yang berasal dari susu seperti yogurt, keju, es krim dan dadih (produk olahan susu fermentasi

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. Penelitian ini merupakan penelitian observasional laboratorik.

BAB III METODE PENELITIAN. Penelitian ini merupakan penelitian observasional laboratorik. BAB III METODE PENELITIAN A. Jenis Penelitian Penelitian ini merupakan penelitian observasional laboratorik. B. Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian dilakukan pada bulan Oktober Desember 2014 bertempat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. oleh manusia. Sumber protein tersebut dapat berasal dari daging sapi,

BAB I PENDAHULUAN. oleh manusia. Sumber protein tersebut dapat berasal dari daging sapi, BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Daging merupakan salah satu sumber protein yang sangat dibutuhkan oleh manusia. Sumber protein tersebut dapat berasal dari daging sapi, kerbau, kuda, domba, kambing,

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. permen soba alga laut Kappaphycus alvarezii disajikan pada Tabel 6.

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. permen soba alga laut Kappaphycus alvarezii disajikan pada Tabel 6. 4.1 Angka Lempeng Total (ALT) BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN Angka lempeng total mikroba yang diperoleh dari hasil pengujian terhadap permen soba alga laut Kappaphycus alvarezii disajikan pada Tabel 6. Tabel

Lebih terperinci

PENENTUAN WAKTU TINGGAL OPTIMUM PASTEURISASI SUSU DENGAN PLATE HEAT EXCHANGER

PENENTUAN WAKTU TINGGAL OPTIMUM PASTEURISASI SUSU DENGAN PLATE HEAT EXCHANGER PENENTUAN WAKTU TINGGAL OPTIMUM PASTEURISASI SUSU DENGAN PLATE HEAT EXCHANGER Ninik Lintang Edi Wahyuni Teknik Kimia - Politeknik Negeri Bandung Jl Gegerkalong Hilir Ciwaruga, Bandung 40012 Telp/fax :

Lebih terperinci

I PENDAHULUAN. (2) Identifikasi Masalah, (3) Maksud dan Tujuan Penelitian, (4) Manfaat

I PENDAHULUAN. (2) Identifikasi Masalah, (3) Maksud dan Tujuan Penelitian, (4) Manfaat I PENDAHULUAN Bab ini menjelaskan mengenai : (1) Latar Belakang Penelitian, (2) Identifikasi Masalah, (3) Maksud dan Tujuan Penelitian, (4) Manfaat Penelitian, (5) Kerangka Pemikiran, (6) Hipotesis Penelitian,

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. juga mengandung beberapa jenis vitamin dan mineral. Soeparno (2009)

I. PENDAHULUAN. juga mengandung beberapa jenis vitamin dan mineral. Soeparno (2009) I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Daging merupakan bahan pangan yang penting dalam pemenuhan kebutuhan gizi manusia. Selain mutu proteinnya tinggi, daging juga mengandung asam amino essensial yang lengkap

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Penelitian, (6) Hipotesis Penelitian dan (7) Tempat dan Waktu Penelitian.

BAB I PENDAHULUAN. Penelitian, (6) Hipotesis Penelitian dan (7) Tempat dan Waktu Penelitian. BAB I PENDAHULUAN Bab ini menguraikan mengenai: (1) Latar Belakang Masalah, (2) Identifikasi Masalah, (3) Maksud dan Tujuan Penelitian, (4) Manfaat Penelitian, (5) Kerangka Penelitian, (6) Hipotesis Penelitian

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI. A. Waktu dan Tempat. B. Alat dan Bahan. C. Prosedur Penelitian

BAB III METODOLOGI. A. Waktu dan Tempat. B. Alat dan Bahan. C. Prosedur Penelitian BAB III METODOLOGI A. Waktu dan Tempat Penelitian telah dilakukan pada bulan Agustus dan November 2011, yang berlokasi di Laboratorium Teknik Pengolahan Pangan dan Hasil Pertanian, Departemen Teknik Mesin

Lebih terperinci

BAB III MATERI DAN METODE. pada suhu 70 C terhadap total bakteri, ph dan Intensitas Pencoklatan susu telah

BAB III MATERI DAN METODE. pada suhu 70 C terhadap total bakteri, ph dan Intensitas Pencoklatan susu telah 13 BAB III MATERI DAN METODE Penelitian dengan judul pengaruh variasi periode pemanasan pada suhu 70 C terhadap total bakteri, ph dan Intensitas Pencoklatan susu telah dilaksanakan sejak tanggal 11 April

Lebih terperinci

Penambahan jumlah sel pada bakteri dilakukan secara biner (membelah diri) yaitu dari 1 sel membelah menjadi 2 sel yang identik dengan sel induk

Penambahan jumlah sel pada bakteri dilakukan secara biner (membelah diri) yaitu dari 1 sel membelah menjadi 2 sel yang identik dengan sel induk Firman Jaya 2 Diartikan sebagai penambahan jumlah sel Penambahan jumlah sel pada bakteri dilakukan secara biner (membelah diri) yaitu dari 1 sel membelah menjadi 2 sel yang identik dengan sel induk 3 4

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. 1. Aktivitas antimikroba pada ekstrak sambiloto terhadap pertumbuhan

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. 1. Aktivitas antimikroba pada ekstrak sambiloto terhadap pertumbuhan BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN A. Hasil 1. Aktivitas antimikroba pada ekstrak sambiloto terhadap pertumbuhan Staphylococcus aureus Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan melalui 3 kali pengulangan perlakuan

Lebih terperinci

Metode Pengukuran Spektrofotometri (Bergmeyer et al. 1974) Pembuatan Media Heterotrof Media Heterotrof Padat. Pengaruh ph, Suhu, Konsentrasi dan

Metode Pengukuran Spektrofotometri (Bergmeyer et al. 1974) Pembuatan Media Heterotrof Media Heterotrof Padat. Pengaruh ph, Suhu, Konsentrasi dan 4 Metode Penelitian ini dilakukan pada beberapa tahap yaitu, pembuatan media, pengujian aktivitas urikase secara kualitatif, pertumbuhan dan pemanenan bakteri, pengukuran aktivitas urikase, pengaruh ph,

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. produk yang praktis dan digemari adalah chicken nugget. Chicken nugget

I. PENDAHULUAN. produk yang praktis dan digemari adalah chicken nugget. Chicken nugget I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Saat ini gaya hidup serta pola konsumsi makanan pada masyarakat, terutama masyarakat perkotaan, terhadap selera produk pangan yang cenderung lebih menyukai sesuatu yang

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Kacang merah atau kacang jogo tergolong pangan nabati. Kacang merah

TINJAUAN PUSTAKA. Kacang merah atau kacang jogo tergolong pangan nabati. Kacang merah II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Kacang Merah Kacang merah atau kacang jogo tergolong pangan nabati. Kacang merah atau kacang jogo ini mempunyai nama ilmiah yang sama dengan kacang buncis, yaitu Phaseolus vulgaris

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG

BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Pengawetan dengan suhu rendah bertujuan untuk memperlambat atau menghentikan metabolisme. Hal ini dilakukan berdasarkan fakta bahwa respirasi pada buah dan sayuran tetap

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA Bakteriofage

TINJAUAN PUSTAKA Bakteriofage TINJAUAN PUSTAKA Bakteriofage Bakteriofage merupakan virus yang menginfeksi bakteri, ditemukan secara terpisah oleh Frederick W. Twort di Inggris pada tahun 1915 dan oleh Felix d Herelle di Institut Pasteur

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. Alat dan bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah sebagai

BAB III METODE PENELITIAN. Alat dan bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah sebagai BAB III METODE PENELITIAN 3.1. Alat dan Bahan Alat dan bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: 3.1.1 Alat Alat- alat yang digunakan dalam penelitian ini antara lain : peralatan

Lebih terperinci

PERTUMBUHAN MIKROORGANISME

PERTUMBUHAN MIKROORGANISME PERTUMBUHAN MIKROORGANISME 2 pertumbuhan Diartikan sebagai penambahan jumlah sel Penambahan jumlah sel pada bakteri dilakukan secara biner (membelah diri) yaitu dari 1 sel membelah menjadi 2 sel yang identik

Lebih terperinci

I PENDAHULUAN. Bab ini menjelaskan mengenai : (1) Latar Belakang Penelitian, (2) Identifikasi Masalah, (3) Maksud dan Tujuan Penelitian, (4) Manfaat

I PENDAHULUAN. Bab ini menjelaskan mengenai : (1) Latar Belakang Penelitian, (2) Identifikasi Masalah, (3) Maksud dan Tujuan Penelitian, (4) Manfaat I PENDAHULUAN Bab ini menjelaskan mengenai : (1) Latar Belakang Penelitian, (2) Identifikasi Masalah, (3) Maksud dan Tujuan Penelitian, (4) Manfaat Penelitian, (5) Kerangka Pemikiran, (6) Hipotesis Penelitian,

Lebih terperinci

4 HASIL DAN PEMBAHASAN

4 HASIL DAN PEMBAHASAN HASIL DAN PEMBAHASAN Cemaran B. cereus pada Cook-chill Foods Reaksi B. cereus pada media selektif MYP adalah permukaan koloni kering, rata, berwarna merah jambu-lavender dengan dikelilingi zona terang

Lebih terperinci

1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 18 1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Enterobacter sakazakii (Cronobacter spp.) merupakan patogen oportunistik dan emerging yang dilaporkan dapat menyebabkan radang otak (meningitis), radang usus (necrotizing

Lebih terperinci

PENDAHULUAN Latar Belakang

PENDAHULUAN Latar Belakang PENDAHULUAN Latar Belakang Air susu ibu merupakan makanan terbaik bagi bayi jika ditinjau dari, komposisi zat gizinya, dimana zat gizi yang terdapat dalam air susu ibu ini sangat kompleks, tetapi ketersediaan

Lebih terperinci

Analisis Hayati KEPEKAAN TERHADAP ANTIBIOTIKA. Oleh : Dr. Harmita

Analisis Hayati KEPEKAAN TERHADAP ANTIBIOTIKA. Oleh : Dr. Harmita Analisis Hayati KEPEKAAN TERHADAP ANTIBIOTIKA Oleh : Dr. Harmita Pendahuluan Dewasa ini berbagai jenis antimikroba telah tersedia untuk mengobati penyakit yang disebabkan oleh mikroorganisme. Zat anti

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh daya antibakteri

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh daya antibakteri BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN A. Hasil Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh daya antibakteri ekstrak etanol daun ciplukan (Physalis angulata L.) dalam bentuk sediaan obat kumur terhadap bakteri

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 7 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Sejarah Susu Kuda Sumbawa Kuda Sumbawa dikenal sebagai ternak penghasil susu yang dapat dikonsumsi oleh manusia. Orang-orang mengenalnya dengan sebutan susu kuda. Susu kuda

Lebih terperinci

Pengolahan dengan suhu tinggi

Pengolahan dengan suhu tinggi Pengolahan dengan suhu tinggi Kompetensi dasar Mahasiswa memahami teknologi pemanasan sederhana dan mutakhir, prinsip dan perubahan yang terjadi serta dampak pemanasan terhadap mutu pangan Indikator Setelah

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. penting dalam pemenuhan kebutuhan gizi, karena memiliki protein yang

I. PENDAHULUAN. penting dalam pemenuhan kebutuhan gizi, karena memiliki protein yang I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang dan Masalah Daging ayam merupakan salah satu bahan pangan yang memegang peranan cukup penting dalam pemenuhan kebutuhan gizi, karena memiliki protein yang berkualitas tinggi

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN Karakteristik Morfologi Sel dan Pewarnaan Gram

HASIL DAN PEMBAHASAN Karakteristik Morfologi Sel dan Pewarnaan Gram HASIL DAN PEMBAHASAN Karakteristik Morfologi Sel dan Pewarnaan Karakteristik morfologi L. plantarum yang telah didapat adalah positif, berbentuk batang tunggal dan koloni berantai pendek. Karakteristik

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN 26 HASIL DAN PEMBAHASAN Kesempurnaan Susu UHT/Uji Kekeruhan (Aschaffenburg test) Pengujian dilakukan terhadap 30 sampel susu UHT dari Australia dengan merek A sebanyak 15 sampel, dan merek B sebanyak 15

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. pengukuran zona hambat yang berikut ini disajikan dalam Tabel 2 : Ulangan (mm) Jumlah Rata-rata

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. pengukuran zona hambat yang berikut ini disajikan dalam Tabel 2 : Ulangan (mm) Jumlah Rata-rata BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 1.1 Hasil Dari penelitian yang dilakukan sebanyak 3 kali pengulangan, diperoleh hasil pengukuran zona hambat yang berikut ini disajikan dalam Tabel 2 : Tabel 2 : Hasil pengukuran

Lebih terperinci

Pengawetan dengan garam, asam dan gula

Pengawetan dengan garam, asam dan gula Pengawetan dengan garam, asam dan gula Pengawetan dengan garam Garam berperan sebagai penghambat selektif pada mikroorganisme pencemar tertentu. Efek garam: saat aktivitas air menurun mikroorganisme terhambat.

Lebih terperinci