GAYA PENGASUHAN, KONSEP DIRI, MOTIVASI BELAJAR DAN PRESTASI BELAJAR SISWA SMA PADA BERBAGAI MODEL PEMBELAJARAN HERTI HERNIATI

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "GAYA PENGASUHAN, KONSEP DIRI, MOTIVASI BELAJAR DAN PRESTASI BELAJAR SISWA SMA PADA BERBAGAI MODEL PEMBELAJARAN HERTI HERNIATI"

Transkripsi

1 1 GAYA PENGASUHAN, KONSEP DIRI, MOTIVASI BELAJAR DAN PRESTASI BELAJAR SISWA SMA PADA BERBAGAI MODEL PEMBELAJARAN HERTI HERNIATI DEPARTEMEN ILMU KELUARGA DAN KONSUMEN FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2011

2 3 ABSTRACT HERTI HERNIATI. Parenting style, self-concept, motivation and academic achievement of high school students on various learning models. Supervised by MELLY LATIFAH and ISTIQLALIYAH MUFLIKHATI. The aims of this study were to analyze parenting styles, self-concept, learning and achievement motivation of high school students. The study focused of acceleration, international, and regular class. The study involved 86 eleventh grade students who purposively selected (26 students of acceleration class, 30 students of international class, and 30 students of regular class). The primary data (parenting style, self-concept, and motivation) was collected using structured questionnaires. Student s achievement data was collected through student s report cards. Data was analyzed with descriptive and inferential analysis. The result showed that more than half sample perceived authoritarian parenting style. About of 97,7 percent samples have positive self-concept. Accelerated class tend to have extrinsic learning motivation, while the international and regular classes tend to be intrinsic. Accelerated classes have higher the cognitive and psychomotor achievement than international and regular class. The correlation test showed the relationships between authoritarian and authoritative parenting style with self-concept, authoritative parenting style with intrinsic motivation, authoritarian parenting style with cognitive achievement, and self-concept with motivation. The research also showed a negatively relation between intrinsic motivation and academic achievement. Keywords : parenting styles, self-concept, motivation, and academic achievement. ABSTRAK HERTI HERNIATI. Gaya pengasuhan, konsep diri, motivasi belajar dan prestasi belajar siswa SMA pada berbagai model pembelajaran. Dibimbing oleh MELLY LATIFAH dan ISTIQLALIYAH MUFLIKHATI. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis gaya pengasuhan, konsep diri, motivasi dan prestasi belajar siswa SMA. Penelitian ini difokuskan pada kelas akselerasi, SBI, dan reguler. Penelitian ini melibatkan 86 siswa SMA kelas XI yang dipilih secara purposive (26 siswa akselerasi, 30 siswa SBI dan 30 siswa reguler). Pengambilan data (gaya pengasuhan, konsep diri, dan motivasi belajar) dilakukan dengan teknik pelaporan diri menggunakan bantuan kuesioner. Data prestasi siswa dikumpulkan melalui rapor siswa. Data dianalisis dengan analisis deskriptif dan inferensia. Hasil penelitian menunjukkan bahwa lebih dari separuh contoh memiliki persepsi gaya pengasuhan otoriter. Sebanyak 97,7 persen contoh memiliki konsep diri positif. Siswa akselerasi memiliki motivasi belajar yang cenderung bersifat ekstrinsik, sedangkan siswa SBI dan reguler cenderung intrinsik. Contoh pada kelas akselerasi memiliki prestasi kognitif dan psikomotorik yang lebih tinggi dibanding kelas SBI dan reguler. Hasil uji korelasi menunjukkan terdapat hubungan antara gaya pengasuhan otoriter dan otoritatif dengan konsep diri, gaya pengasuhan otoritatif dengan motivasi intrinsic, gaya pengasuhan otoriter dengan prestasi (kognitif), dan konsep diri dengan motivasi belajar. Selain itu hasil penelitian juga menunjukkan adanya hubungan negatif motivasi intrinsik dengan prestasi belajar (kognitif dan psikomotorik). Kata kunci: gaya pengasuhan, konsep diri, motivasi, dan prestasi belajar

3 4 RINGKASAN HERTI HERNIATI. Gaya Pengasuhan, Konsep Diri, Motivasi Belajar dan Prestasi Belajar Siswa SMA pada berbagai Model Pembelajaran. Dibimbing oleh MELLY LATIFAH dan ISTIQLALIYAH MUFLIKHATI. Model pembelajaran muncul sebagai upaya untuk meningkatkan mutu pendidikan dan salah satu parameter yang digunakan untuk mengukur tingkat keberhasilan pendidikan adalah prestasi belajar. Lingkungan keluarga merupakan salah satu faktor eksternal yang memperngaruhinya yang di dalamnya termasuk adalah cara atau gaya pengasuhan orangtua. Lingkungan keluarga pun menjadi faktor pembentuk konsep diri anak berdasarkan pengalaman yang diperolehnya melalui interaksi dengan orangtua. Selanjutnya konsep diri yang baik dan lingkungan keluarga akan membentuk motivasi anak untuk pencapaian prestasi atau keberhasilannya. Secara umum penelitian ini bertujuan untuk menganalisis gaya pengasuhan, konsep diri, motivasi belajar dan prestasi belajar siswa SMA pada berbagai model pembelajaran. Adapun tujuan khusus dalam penelitian ini yaitu: 1) mengidentifikasi karakteristik keluarga dan karakteristik contoh kelas akselerasi, SBI dan reguler, 2) mengidentifikasi gaya pengasuhan, konsep diri, motivasi dan prestasi belajar siswa kelas akselerasi, SBI, dan reguler, 3) menganalisis hubungan karakteristik keluarga dan karakteristik contoh dengan gaya pengasuhan, 4) menganalisis hubungan antara gaya pengasuhan, konsep diri, motivasi dan prestasi belajar siswa. Disain penelitian ini adalah cross sectional study. Penelitian berlokasi di dua SMA di Bogor yang dipilih secara purposive dengan pertimbangan kedua sekolah tersebut memiliki karakteristik dan model pembelajaran yang berbeda. Penelitian dilaksanakan selama dua bulan mulai April hingga Mei Penentuan contoh dalam penelitian ini juga dipilih secara purposive. Contoh dalam penelitian sebanyak 86 orang siswa kelas XI yang terdiri dari 26 siswa akselerasi, 30 siswa SBI, dan 30 siswa reguler. Data yang dikumpulkan dalam penelitian ini terdiri dari data primer dan data sekunder. Data primer terdiri dari karakteristik keluarga dan contoh, persepsi gaya pengasuhan, konsep diri, dan motivasi belajar yang dikumpulkan melalui teknik self report dengan alat bantu kuesioner. Data sekunder meliputi nilai rapor siswa dan keadaan umum sekolah. Analisis data dalam penelitian ini meliputi analisis deskriptif dan inferensia (uji korelasi, uji beda one way anova dan kruskal wallis). Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa siswa akselerasi memiliki usia yang cenderung muda dibandingkan dengan siswa kelas SBI dan reguler (p<0,05). Lebih dari separuh contoh dalam penelitian ini merupakan anak sulung dan memiliki keluarga yang masuk dalam kategori keluarga sedang. Sebagian besar usia ayah dan ibu tergolong pada kategori dewasa madya atau kisaran usia (41-60 tahun). Lebih dari separuh orangtua contoh kelas akselerasi dan SBI memiliki pendidikan tamat perguruan tinggi sedangkan orangtua contoh kelas reguler sebagian besarnya memiliki pendidikan tamat SMA. Meskipun terdapat perbedaan latar belakang pendidikan, namun ayah contoh dari ketiga kelas memiliki pekerjaan yang sama yaitu bekerja pada bidang swasta dan sebagian besar ibu contoh pada ketiga kelas tidak bekerja atau hanya sebagai ibu rumah tangga saja.

4 Lebih dari separuh keluarga contoh kelas akselerasi dan SBI memiliki pendapatan diatas Rp ,00 sedangkan sebagian besar keluarga contoh kelas reguler memiliki pendapatan berkisar antara Rp ,00 sampai dengan Rp ,00. Hasil penelitian menunjukkan bahwa lebih dari separuh contoh memiliki persepsi gaya pengasuhan orangtua yang otoriter. Hampir seluruh contoh memiliki konsep diri yang positif. Contoh pada kelas akselerasi cenderung memiliki motivasi belajar yang bersifat ekstrinsik, sedangkan kelas SBI dan reguler cenderung memiliki motivasi belajar yang bersifat intrinsik. Contoh pada kelas akselerasi memiliki prestasi yang lebih tinggi dibanding kelas SBI dan reguler terutama dalam aspek kognitif dan psikomotoriknya. Sebaliknya, contoh pada kelas reguler memiliki prestasi (afektif) yang lebih tinggi dibandingkan contoh pada kelas akselerasi dan SBI. Hasil uji korelasi menunjukkan bahwa terdapat hubungan antara gaya pengasuhan otoriter dan otoritatif dengan konsep diri, gaya pengasuhan otoritatif dengan motivasi intrinsik, dan gaya pengasuhan otoriter dengan prestasi (kognitif). Selain itu, hasil penelitian juga menunjukkan adanya hubungan konsep diri dengan motivasi belajar dan motivasi intrinsik berhubungan negatif dengan prestasi belajar (kognitif dan psikomotorik). Mengingat hasil penelitian tersebut, maka disarankan kepada orangtua agar menerapkan gaya pengasuhan yang memberikan arahan yang jelas kepada anak agar membantu mengembangkan konsep diri yang positif. Selain itu juga diharapkan kepada orangtua dan sekolah untuk memberikan dukungan kepada anak sehingga memiliki motivasi yang tinggi baik intrinsik maupun ekstrinsik dan meningkatkan motivasi untuk belajar sehingga mencapai prestasi yang tinggi. 5

5 2 PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN SUMBER INFORMASI Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi Gaya Pengasuhan, Konsep Diri, Motivasi Belajar dan Prestasi Belajar Siswa SMA pada berbagai Model Pembelajaran adalah karya saya dengan arahan dari dosen pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam daftar pustaka di bagian akhir skripsi ini. Bogor, November 2011 Herti Herniati NIM I

6 7 GAYA PENGASUHAN, KONSEP DIRI, MOTIVASI BELAJAR DAN PRESTASI BELAJAR SISWA SMA PADA BERBAGAI MODEL PEMBELAJARAN HERTI HERNIATI Skripsi sebagai salah satu syarat untuk memperoleh Sarjana Sains pada Departemen Ilmu Keluarga dan Konsumen Fakultas Ekologi Manusia Institut Pertanian Bogor DEPARTEMEN ILMU KELUARGA DAN KONSUMEN FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2011

7 6 Hak Cipta milik IPB, Tahun 2011 Hak Cipta dilindungi undang-undang 1. Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah. b. Pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB. 2. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis dalam bentuk apapun tanpa izin IPB.

8 8 Judul Nama NIM : Gaya Pengasuhan, Konsep Diri, Motivasi Belajar dan Prestasi Belajar Siswa SMA pada Berbagai Model Pembelajaran : Herti Herniati : I Disetujui, Ir. Melly Latifah, M.Si Pembimbing I Dr. Istiqlaliyah Muflikhati, M.Si Pembimbing II Diketahui, Dr. Ir. Hartoyo, M.Sc Ketua Depertemen Ilmu Keluarga dan Konsumen Tanggal Lulus :

9 9 PRAKATA Puji syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT karena berkat rahmat, dan karunia-nya penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul Gaya Pengasuhan, Konsep Diri, Motivasi Belajar dan Prestasi Belajar Siswa SMA pada Berbagai Model Pembelajaran. Banyak orang yang berperan dan berjasa dalam perjalanan pendidikan dan penulisan skripsi ini. Dalam kesempatan ini saya ingin menghaturkan ucapan terimakasih kepada: 1. Ir. Melly Latifah, MSi dan Dr. Ir Istiqlaliyah Muflikhati, MSi sebagai pembimbing skripsi yang terus memberikan bimbingan dan saran selama penulisan, serta nasihatnasihat yang dapat membuka wawasan serta menjadi motivator untuk menghadapi masa depan. 2. Dr. Ir. Euis Sunarti, MS sebagai pembimbing akademik yang telah memberikan bimbingan, nasihat dan motivasi kepada penulis selama menempuh pendidikan di perguruan tinggi. 3. Dr. Ir. Herien Puspitawati, MSc. MSc sebagai dosen penguji yang telah bersedia menguji dan memberikan saran kepada penulis untuk menyempurnakan skripsi ini. 4. Pihak sekolah kelas akselerasi, SBI, dan reguler yang telah memberikan izin kepada penulis dan bersedia untuk dijadikan sebagai lokasi serta contoh penelitian. 5. Orangtua yang telah mendukung dan memotivasi penulis untuk terus melakukan yang terbaik bagi diri sendiri dan orang lain. Bapak Sukayat, MMPd dan Ibu Neneng Juhriah, merekalah orangtua yang tiada hentinya berjuang dan berdoa serta memberikan motivasi, baik dukungan moril maupun material untuk mendukung penulis selama menempuh pendidikan dan penyelesaian skripsi. Adik tersayang Rista Yulia yang selalu memberikan semangat dan keceriaan. 6. Teman-teman seperjuangan Restu Dwi Prihatina, Dinda Ayu Novariandhini, Nur Rochimah, Umu Rosidah, Karnila Sari, Puspita Herawati, Walfitri Yani, Nurul Millah dan Sari Cipta dan teman-teman IKK 44 atas persahabatan dan kebersamaan selama menempuh pendidikan di perguruan tinggi. Akhir kata, semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi yang membutuhkan segala informasi yang terdapat di dalamnya. Bogor, November 2011 Herti Herniati

10 10 DAFTAR ISI Halaman PENDAHULUAN... 1 Latar Belakang... 1 Perumusan Masalah... 3 Tujuan Penelitian... 6 Kegunaan Penelitian... 6 TINJAUAN PUSTAKA... 7 Karakteristik Individu... 7 Karakteristik Keluarga... 8 Remaja Gaya Pengasuhan Konsep Diri Motivasi Belajar Prestasi Belajar Model Pembelajaran KERANGKA PEMIKIRAN METODE PENELITIAN Desain, Lokasi, dan Waktu Teknik Penarikan Contoh Jenis dan Teknik Pengumpulan Data Pengolahan dan Analisis Data Definisi Operasional HASIL PENELITIAN Gambaran Umum Lokasi Penelitian Karakteristik Keluarga Karakteristik Contoh Gaya Pengasuhan Konsep Diri Motivasi Belajar Prestasi Belajar Hubungan Karakteristik Keluarga dan Contoh dengan Gaya Pengasuhan Hubungan Gaya Pengasuhan dengan Konsep Diri Hubungan Gaya Pengasuhan dengan Motivasi Belajar Hubungan Konsep Diri dengan Motivasi Belajar Hubungan Gaya Pengasuhan, Konsep Diri, dan Motivasi Belajar dengan Prestasi Belajar PEMBAHASAN Keterbatasan penelitian 68 SIMPULAN DAN SARAN Simpulan Saran DAFTAR PUSTAKA... 71

11 11 DAFTAR TABEL Halaman 1. Jenis dan cara pengumpulan data Jenis dan pengkategorian data Sebaran contoh berdasarkan usia orangtua Sebaran contoh berdasarkan tingkat pendidikan orangtua Sebaran contoh berdasarkan jenis pekerjaan orangtua Sebaran contoh berdasarkan pendapatan keluarga Sebaran contoh berdasarkan usia contoh Sebaran contoh berdasarkan gaya pengasuhan Sebaran contoh berdasarkan konsep diri fisik Sebaran contoh berdasarkan konsep diri etik moral Sebaran contoh berdasarkan konsep diri personal Sebaran contoh berdasarkan konsep diri keluarga Sebaran contoh berdasarkan konsep diri dimensi sosial Sebaran contoh berdasarkan konsep diri Sebaran contoh berdasarkan motivasi intrinsik Sebaran contoh berdasarkan motivasi ekstrinsik Sebaran contoh berdasarkan motivasi (total) Sebaran contoh berdasarkan prestasi belajar Koefisien korelasi karakteristik keluarga dan contoh dengan gaya 57 pengasuhan Sebaran gaya pengasuhan berdasarkan konsep diri Sebaran gaya pengasuhan berdasarkan motivasi intrinsik Sebaran gaya pengasuhan berdasarkan motivasi ekstrinsik Sebaran gaya pengasuhan berdasarkan motivasi (total) Sebaran konsep diri berdasarkan motivasi intrinsik Sebaran konsep diri berdasarkan motivasi ekstrinsik Sebaran konsep diri berdasarkan motivasi (total) Koefisien korelasi gaya pengasuhan, konsep diri, dan motivasi dengan prestasi belajar. 63

12 12 DAFTAR GAMBAR Halaman 1. Kerangka pemikiran Cara penarikan contoh Sebaran contoh berdasarkan besar keluarga Sebaran contoh berdasarkan jenis kelamin Sebaran contoh berdasarkan urutan kelahiran DAFTAR LAMPIRAN Halaman 1. Sebaran jawaban contoh pada instrumen persepsi gaya pengasuhan Sebaran jawaban contoh pada instrumen konsep diri Sebaran jawaban contoh pada instrumen motivasi belajar Hasil uji beda one way anova dan post hoc tests usia ibu pada tiga kelompok (akselerasi, SBI, dan reguler.. 5. Hasil uji beda one way anova dan post hoc tests pendapatan keluarga pada tiga kelompok (akselerasi, SBI, dan reguler. 6. Hasil uji beda one way anova dan post hoc tests usia contoh pada tiga kelompok (akselerasi, SBI, dan reguler.. 7. Hasil uji beda one way anova dan post hoc tests konsep diri dimensi tingkah laku keluarga pada tiga kelompok (akselerasi, SBI, dan reguler 8. Hasil uji beda one way anova dan post hoc tests motivasi intrinsik pada tiga kelompok (akselerasi, SBI,dan reguler. 9. Hasil uji beda one way anova dan post hoc tests prestasi pada tiga kelompok (akselerasi, SBI, dan reguler. 10. Hasil uji kruskal wallis pendidikan orangtua pada tiga kelompok (akselerasi, SBI, dan reguler Hasil uji korelasi karakteristik dengan gaya pengasuhan Hasil uji korelasi antar gaya pengasuhan konsep diri, motivasi belajar, prestasi belajar, dan model pembelajaran

13 1 PENDAHULUAN Latar Belakang Dalam upaya meningkatkan Sumberdaya Manusia (SDM) yang berkualitas, bidang pendidikan memegang peranan yang penting. Pendidikan diharapkan mampu meningkatkan mutu pendidikan, dan martabat manusia Indonesia. Upaya meningkatkan SDM dilakukan melalui upaya sadar lewat jalur pendidikan dasar, pendidikan menengah, dan pendidikan tinggi. Pendidikan menengah, salah satunya ditempuh melalui Sekolah Menengah Atas (SMA) sebagai tingkat pendidikan lanjutan dari Sekolah Menengah Pertama (SMP). Peningkatan mutu pendidikan tersebut juga muncul sebagai tuntutan karena semakin berkembangnya ilmu pengetahuan dan teknologi. Remaja merupakan salah satu sumberdaya manusia penting sebagai pelaksana dalam transformasi teknologi dan informasi yang akan datang tentunya perlu mendapat perhatian dalam bidang pendidikan yang tidak bisa lepas dari sasaran upaya peningkatan mutu pendidikan. Menurut Semiawan (2002) peningkatan mutu pendidikan dapat dilakukan dengan melakukan perbaikan, perubahan dan pembaharuan terhadap faktor-faktor yang mempengaruhi keberhasilan pendidikan. Munculnya program-program belajar yang diselenggarakan sekolah, seperti adanya program kelas SBI dan akselerasi disamping kelas reguler merupakan upaya untuk meningkatkan mutu pendidikan yang diharapkan dapat mendorong prestasi dan keberhasilan siswa. Kelas internasional lebih digambarkan pada kelas yang dirintis dengan kurikulum lokal namun dengan taraf internasional, diperuntukkan bagi siswa yang berbakat, mempunyai potensi, dan ditunjang sejumlah fasilitas yang berbeda dibanding kelas reguler. Program akselerasi diperuntukkan bagi siswa yang memiliki kecerdasan di atas rata-rata, yang membutuhkan program berdiferensiasi atau pendidikan khusus di luar jangkauan apa yang diberikan dalam program sekolah biasa (Semiun 2006). Adanya kelas akselerasi tersebut dianggap sebagai solusi terbaik untuk memenuhi kebutuhan bagi siswa dengan Intelligence Quotient (IQ) tinggi, karena sesuai pendapat Terman diacu dalam Hawadi (2004) yang menyatakan bahwa

14 2 siswa dengan IQ diatas normal akan superior dalam kesehatan, penyesuaian sosial, dan sikap moral. Salah satu parameter yang digunakan untuk mengukur tingkat keberhasilan pendidikan adalah prestasi belajar siswa. Prestasi belajar adalah hasil suatu penilaian dibidang pengetahuan, keterampilan, dan sikap sebagai hasil belajar yang dinyatakan dalam bentuk nilai (Winkel 1989). Menurut Dalyono (2001) prestasi belajar dipengaruhi oleh dua faktor yaitu faktor internal dan faktor eksternal. Faktor internal yaitu faktor yang berasal dari dalam manusia yang terdiri dari faktor fisiologis (karena sakit, karena kurang sehat, karena cacat tubuh), dan faktor psikologis (intelegensi, bakat, minat, motivasi dan faktor kesehatan mental). Faktor eksternal yaitu faktor yang berasal dari luar diri manusia yang terdiri dari lingkungan keluarga, lingkungan sekolah dan lingkungan masyarakat dan mass media. Lingkungan keluarga memang tidak dapat dipungkiri memiliki pengaruh yang sangat besar terhadap pertumbuhan dan perkembangan anak. Keluarga merupakan tempat pendidikan yang pertama dan utama bagi anak. Selain itu keluarga juga merupakan fondasi primer bagi perkembangan anak, karena keluarga merupakan tempat anak untuk menghabiskan sebagian besar waktu dalam kehidupannya. Pendidikan dalam keluarga merupakan dasar dari pendidikan di sekolah. Bloom (1976) menyatakan bahwa lingkungan keluarga dan faktor luar sekolah telah secara luas berpengaruh terhadap siswa. Siswa hidup di kelas pada suatu sekolah relatif singkat, sebagian besar waktunya dipergunakan siswa untuk bertempat tinggal di rumah. Keluarga telah mengajarkan anak berbahasa, kemampuan untuk belajar dari orang dewasa dan beberapa kualitas dan kebutuhan berprestasi, kebiasaan bekerja dan perhatian terhadap tugas yang merupakan dasar terhadap pekerjaan di sekolah. Sebagai unit terkecil masyarakat, keluarga melalui pola asuh orang tua secara kuat sangat mempengaruhi tingkat perkembangan individu dalam pencapaian kesuksesan atau kegagalan dalam pergaulan dalam masyarakat. Keadaan keluarga yang harmonis akan menimbulkan rasa nyaman dan aman. Perasaan nyaman tersebut meningkatkan motivasi atau menjadikan anak

15 3 bersemangat melakukan sesuatu untuk dirinya dan orang lain, tidak terkecuali dalam hal belajar. Rasa aman muncul pada saat orang tua dapat menghargai keberadaan anak dan paham tentang bagaimana pengasuhan yang tepat untuk anak. Rasa aman yang tertanam tersebut akan menimbulkan suatu kepercayaan pada diri sendiri dan mampu memandang keadaan diri sendiri (konsep diri). Pada masa remaja yang kondisi perkembangannya masih labil memungkinkan terbentuknya konsep diri positif bila didukung oleh lingkungan sosial dan keluarga. Dalam pencarian identitas diri diharapkan remaja dapat membentuk konsep dirinya yang positif karena akan berpengaruh terhadap pemikirannya, perilakunya, serta pendidikan dalam pencapaian prestasi belajar (Santrock 2007). Dalam melakukan sesuatu, bersikap serta bertindak motivasi diperlukan untuk memaksimalkan tujuan individu. Menurut Gunarsa dan Gunarsa (2004) motivasi adalah dorongan atau kehendak yang menyebabkan timbulnya semacam kekuatan agar seseorang itu berbuat atau bertindak, dengan kata lain bertingkah laku. Tumbuhnya motivasi dalam diri seseorang senantiasa dilandasi oleh adanya kesadaran diri berkenaan dengan hakikat dan keberadaan kehidupannya masingmasing. Selain adanya motivasi, konsep diri yang ada pada remaja juga menentukan prestasi belajarnya. Hal ini berpengaruh terhadap pendidikan yang dilakukan oleh remaja. Perumusan Masalah Salah satu permasalahan yang dihadapi oleh bangsa kita adalah masih rendahnya kualitas pendidikan pada setiap jenjang. Banyak hal yang telah dilakukan untuk meningkatkan mutu pendidikan nasional, salah satunya adalah pelaksanaan program akselerasi dan kelas internasional dari sekolah yang bertaraf internasional. Upaya tersebut dilatarbelakangi oleh penyediaan fasilitas bagi siswa yang memiliki kemampuan akademik diatas rata-rata agar potensi dapat berkembang secara maksimal dan tidak terjadi underachiever (suatu kondisi kemampuan intelektual tinggi/luar biasa yang tidak terlayani secara makasimal, berakibat pada penurunan kinerja intelektual) (Farmer 1993). Hasil penelitian Departemen Pendidikan Nasional tahun 2001 menemukan bahwa pada 20 SMA

16 4 unggulan di Indonesia terdapat 21,75 persen siswa dengan kecerdasan umum prestasinya di bawah rerata sedangkan para siswa yang tergolong berkemampuan dan berkecerdasan luar biasa sebesar 9,7 persen. Pada hasil temuan sebelumnya juga diungkapkan bahwa masih tinggi siswa yang dikategorikan berbakat istimewa mengalami underachiever pada SD dan SMP (2-5%) dan SMA sebesar delapan persen (Depdikbud 1997). Namun apakah dengan adanya program akselerasi dan SBI benar-benar dapat meminimalisasi underachiever dan dapat memotivasi siswa sehingga mereka menjadi lulusan dengan prestasi yang tinggi? Menurut Southern dan Jones (1991) disamping memiliki kelebihan, program akselerasi juga memiliki sejumlah dampak negatif yang merugikan, diantaranya di bidang akademis, penyesuaian emosional, dan penyesuaian sosial. Pada bidang akademis, siswa dimungkinkan tidak dapat menyesuaikan diri dengan tuntutan-tuntutan baru, tertinggal dari teman sebayanya, dan menjadi siswa yang gagal. Hal tersebut dikarenakan isi pelajaran yang diberikan terlalu jauh atau terlalu tinggi untuk siswa. Selain itu juga siswa akan kekurangan kesempatan untuk mengembangkan kreativitas dan kemampuan berfikirnya. Pada bidang penyesuaian emosional, dengan adanya dorongan untuk berprestasi secara konstan menjadikan siswa akselerasi frustasi dan pada penyesuaian sosialnya frekuensi hubungan siswa akaselerasi dengan teman sebayanya akan berkurang. Hasil penelitian Ary (2005) menyebutkan bahwa siswa akselerasi cenderung mendapat labelling dari masyarakat sebagai anak pintar, hal tersebut dapat membentuk konsep diri yang positif dan negatif, tergantung siswa mempersepsikan labelling tersebut. Siswa yang mempersepsikannya sebagai sesuatu yang positif akan terbentuk menjadi konsep diri yang positif untuk selanjutnya dapat meningkatkan motivasi untuk meraih prestasi dan sebaliknya. Penelitian Kusumawardhani (2000) terhadap siswa SMA kelas akselerasi dan reguler, menunjukkan hasil bahwa terdapat perbedaan yang signifikan tentang konsep belajar dan motivasi belajar antara siswa kelas akselerasi dengan siswa kelas reguler. Hal ini menunjukkan bahwa siswa akselerasi memiliki konsep belajar dan motivasi yang efektif lebih tinggi mempengaruhi proses belajar mereka dibandingkan dengan siswa kelas reguler.

17 5 Permasalahan lain yang muncul adalah masih banyaknya siswa yang berpotensi dan memiliki kecerdasan di atas rata-rata di kelas akselerasi (IQ minimal 130) dan internasional namun tidak berprestasi (underachiever) (Munandar 2004). Padahal tujuan dari dilaksanakannya program akselerasi dan kelas SBI juga untuk meningkatkan mutu pendidikan serta prestasi siswa. Permasalahan tersebut mungkin disebabkan oleh faktor-faktor lain yang mempengaruhi prestasi belajar seperi gaya pengasuhan orangtua, konsep diri, dan motivasi belajar siswa. Setiap orangtua pasti menginginkan anak-anaknya menjadi manusia yang pandai, cerdas dan berakhlak. Akan tetapi banyak orangtua yang tidak menyadari bahwa caranya mendidik membuat anak merasa tidak diperhatikan, dibatasi kebebasannya. Menurut Slameto (2003) bahwa salah satu yang mempengaruhi prestasi belajar anak adalah lingkungan keluarga termasuk didalamnya pengasuhan yang dilakukan oleh orangtua kepada anak. Hal ini berkaitan dengan peran orangtua dalam memikul tugas dan tanggung jawab sebagai pendidik, guru dan pemimpin bagi anak-anaknya. Interaksi anak dengan orangtua atau lingkungannya akan membentuk konsep diri. Konsep diri tersebut dapat berhubungan atau bahkan mempengaruhi prestasi karena dengan adanya konsep diri yang positif atau tinggi maka siswa akan mampu mengarahkan tindakannya dengan tepat sehingga dapat meningkatkan prestasi belajar. Menurut hasil penelitian Gunawan (2010), siswa yang memandang dan mempersepsikan bahwa dirinya memiliki kemampuan yang baik, percaya diri untuk mengembangkan segala potensi yang dimiliki kemungkinan tidak akan mengalami kesulitan untuk meraih prestasi belajar. Berdasarkan hal tersebut jelas bahwa pencapaian prestasi seorang siswa tidak terlepas dari faktor-faktor yang mempengaruhinya, diantaranya adalah faktor internal (dalam diri siswa) dan faktor ekternal (dari luar diri siswa). Berdasarkan paparan tersebut, maka yang menjadi pertanyaan peneliti adalah: 1. Bagaimana karakteristik siswa dan karakteristik keluarga pada kelas akselerasi, SBI dan reguler? 2. Bagaimana gaya pengasuhan, konsep diri, motivasi dan prestasi belajar siswa pada kelas akselerasi, SBI dan reguler?

18 6 3. Bagaimana hubungan karakteristik keluarga dan karakteristik contoh dengan gaya pengasuhan orangtua? 4. Adakah hubungan antara gaya pengasuhan, konsep diri, motivasi, dan prestasi belajar siswa? Tujuan Tujuan Umum Secara umum penelitian ini bertujuan untuk menganalisis gaya pengasuhan, konsep diri, motivasi belajar dan prestasi belajar siswa pada kelas akselerasi, SBI, dan reguler. Tujuan Khusus 1. Mengidentifikasi karakteristik contoh dan karakteristik keluarga pada kelas akselerasi, SBI, dan reguler. 2. Mengidentifikasi gaya pengasuhan, konsep diri, motivasi, dan prestasi belajar siswa pada kelas akselerasi, SBI, dan reguler. 3. Menganalisis hubungan karakteristik keluarga dan karakteristik contoh dengan gaya pengasuhan. 4. Menganalisis hubungan antara gaya pengasuhan, konsep diri, motivasi, dan prestasi belajar siswa. Kegunaan Penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat bagi berbagai pihak terkait. Bagi peneliti, penelitian ini diharapkan dapat memberikan kesempatan untuk mengembangkan pemikiran dan keilmuan yang telah diterima di bangku kuliah terutama dalam bidang perkembangan anak. Bagi institusi IPB, penelitian ini diharapkan dapat menyumbang referensi baru bagi civitas akademika khususnya di bidang perkembangan anak. Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi bagi pihak sekolah, dan orang tua mengenai hubungan antara gaya pengasuhan, konsep diri, motivasi belajar dan prestasi belajar, Selain itu, penelitian ini juga diharapkan dapat menjadi referensi bagi mahasiswa atau peneliti yang tertarik dengan topik penelitian sejenis.

19 7 TINJAUAN PUSTAKA Karakteristik Indvidu Umur Menurut L.Kohlberg diacu dalam Gunarsa dan Gunarsa (2004), anak menjalani tahap perkembangan secara berurutan. Setiap tahap selanjutnya lebih majemuk daripada tahap sebelumnya. Tahap-tahap ini berkaitan dengan usia anak. Anak yang lebih tua diharapkan berada pada tahap yang lebih tinggi. Kecepatan anak dalam menjalani dan melalui tahap-tahap perkembangan ini tidak sama, tergantung dari inteligensi dan pengaruh sosial. Usia anak dapat mempengaruhi perkembangan fisik dan psikologis anak. Pada usia tertentu emosi dapat berkurang dan bertambah. Dengan meningkatnya usia, semua emosi diekspresikan secara lebih lunak karena mereka harus mempelajari reaksi orang lain terhadap luapan emosi yang berlebihan (Hurlock 1980) Jenis Kelamin Jenis kelamin anak mempengaruhi perkembangan secara langsung dan tidak langsung. Pengaruh langsung berasal dari kondisi hormon yang mempengaruhi timbulnya perbedaan dalam perkembangan fisik dan psikologis anak perempuan dan laki-laki. Pengaruh tidak langsung dari jenis kelamin terhadap perkembangan timbul dari kondisi lingkungan. Individu laki-laki dan perempuan pertama kali dibentuk oleh keluarga, selanjutnya oleh kelompok teman sebaya dan sekolah serta kelak oleh kelompok masyarakat sesuai dengan jenis kelaminnya (Hurlock 1991). Lebih lanjut Hurlock (1980) menyatakan jenis kelamin individu penting bagi perkembangan selama hidupnya karena setiap tahunnya individu mengalami peningkatan tekanan-tekanan budaya dari para orangtua, guru, kelompok sebaya dan masyarakat yyang mempengaruhi perkembangan pola-pola sikap dan perilaku yang dipandang sesuai bagi kelompok jenis kelaminnya. Selain itu, pengalaman belajar juga ditentukan oleh jenis kelamin individu. Di rumah, di sekolah, dan di dalam kelompok bermain, individu belajar apa yang dianggap pantas untuk anggota-anggota jenis kelamin mereka. Sikap orangtua pun menjadi hal terpenting

20 8 sehubungan dengan jenis kelamin individu Penelitian tentang kecenderungan jenis kelamin yang disukai menunjukkan bahwa anggapan tradisional yang lebih menyukai anak laki-laki terlebih sebagai anak pertama, masih banyak ditemukan. Kuatnya pemilihan jenis kelamin tertentu akan mempengaruhi sikap-sikap orangtua yang selanjutnya mempengaruhi perilaku mereka kepada anak dan hubungan mereka dengan anak. Urutan Kelahiran Urutan kelahiran memiliki peranan yang penting dalam hubungan antar saudara sekandung. Individu yang lahir lebih dulu digambarkan lebih berorientasi dewasa, penolong, mengalah, lebih cemas, mampu mengendalikan diri, dan kurang agresif dibandingkan saudara sekandung mereka. Tuntutan orangtua dan standar yang tinggi ditetapkan bagi anak sulung agar dapat meraih keberhasilan (Santrock 2003). Beberapa penelitian terhadap anak-anak yang lebih besar, remaja-remaja dan orang-orang dewasa dari berbagai posisi urutan menunjukkan betapa posisi urutan dapat menjadi faktor yang kuat dalam menentukan jenis penyesuaian sosial yang harus dilakukan individu sepanjang rentang kehidupannya. Kenyataannya menunjukkan bahwa anak pertama cenderung lebih cerdas dan berprestasi lebih tinggi daripada adik-adiknya. Akan tetapi di pihak lain sedikit bukti yang menunjukkan bahwa hal tersebut disebabkan karena perbedaan waktu lahir, melainkan disebabkan oleh kondisi-kondisi lingkungan yang mendorong pengembangan intelektual anak. Anak pertama tidak hanya memperolah lebih banyak rangsangan intelektual daripada anak-anak yang lahir kemudian, tetapi mereka juga memperoleh kesempatan lebih banyak untuk mengembangkan kemampuan-kemampuan mereka daripada adik-adiknya (Hurlock 1980). Karakteristik Keluarga Pengertian dan Teori Keluarga Keluarga adalah suatu kelompok dari orang-orang yang disatukan oleh ikatan perkawinan, darah dan adopsi serta berkomunikasi satu sama lain yang menimbulkan peranan-peranan sosial bagi suami istri, ayah dan ibu, putra dan putri, saudara laki-laki dan perempuan serta merupakan pemelihara kebudayaan bersama (Bergest dan Locke 1960). Menurut Undang Undang nomor 10 tahun

21 9 1992, keluarga adalah unit terkecil dalam masyarakat yang terdiri dari suami, istri atau suami istri dan anaknya atau ayah dan anaknya atau ibu dan anaknya. Salah satu teori yang melandasi institusi keluarga adalah teori struktural fungsional. Pendekatan teori struktural fungsional mengakui adanya segala keragaman dalam kehidupan sosial yang kemudian diakomodasikan dalam fungsi sesuai dengan posisi seseorang dalam struktur sebuah sistem. Pendekatan struktural fungsional ini menekankan pada keseimbangan sistem yang stabil dalam keluarga dan kestabilan sistem sosial dalam masyarakat. Konsep keseimbangan mengarah kepada konsep homeostasis suatu organisme yaitu suatu kemampuan untuk memelihara stabilitas agar kelangsungan suatu sistem tetap terjaga dengan baik meskipun di dalamnya mengakomodasi adanya adaptasi dengan lingkungan (Megawangi 1999). Lebih lanjut Megawangi (1999) menyatakan bahwa penerapan teori struktural fungsional dalam konteks keluarga terlihat dari struktur dan aturan yang diterapkan. Aspek struktural menciptakan keseimbangan sebah sistem sosial yang tertib (social order). Ketertiban keluarga akan tercipta jika ada struktur atau strata dalam keluarga, dimana masing-masing mengetahui peran dan posisinya serta patuh pada nilai yang melandasi struktur tersebut. Pada aspek fungsional, arti aspek diakitkan dengan bagaimana sebuah sistem dalam masyarakat atau keluarga dapat berhubungan menjadi satu kesatuan yang solid. Kepentingan paternalistik sosial (struktur) harus diinternalisasikan sejak individu dilahirkan karena merupakan suatu mekanisasi sosial agar seorang anak mengetahui posisi dan kedudukannya, sehingga ia akan mendapatkan tempat dalam masyarakat kelak setelah dewasa. Anak merupakan bagian dari suatu keluarga, lingkungan di sekitar kehidupan anak tergambar melalui teori bioekologi Bronfenbrenner. Bronfenbrenner (1974) dalam teori bioekologinya (bioecological theory) menjelaskan cakupan berbagai proses yang saling berinteraksi dan mempengaruhi perkembangan individu. Setiap organisme biologis berkembang dalam konteks sistem ekologi yang mendukung atau mengekang perkembangannya. Menurut Bronfenbrenner, perkembangan muncul melalui berbagai proses rutin yang semakin kompleks, aktif, interaksi dua arah antara individu yang berkembang dan

22 10 lingkungan terdekatnya. Proses tersebut dimulai dari lingkungan rumah, sekolah, tempat kerja, dan lingkungan luar tempat tinggal yang berhubungan dengan lembaga-lembaga sosial seperti pola-pola budaya dan sejarah yang mempengaruhi keluarga, sekolah dan hampir seluruh aspek kehidupan individu. Selanjutnya Bronfenbrenner mengidentifikasi lima sistem kontekstual yang saling berhubungan, mulai dari yang paling dekat hingga yang terluas, yaitu mikrosistem (suatu lingkungan dimana anak berinteraksi sehari-hari, dan bertatap muka dengan orang lain), mesosistem (hubungan antara dua atau lebih mikrosistem), eksosistem (hubungan antara dua atau lebih lingkungan yang salah satunya mengendalikan anak), makrosistem (keseluruhan pola budaya suatu masyarakat), dan kronosistem (pengaruh waktu pada sistem perkembangan yang lain). Tingkat pendidikan Pendidikan orang tua merupakan salah satu faktor penting dalam tumbuh kembang anak. Keterlibatan seseorang dalam proses pendidikan atau tingkat pendidikan yang dicapainya akan mempengaruhi dan membentuk cara, pola, dan kerangka berpikir, persepsi, pemahaman, dan kepribadiannya (Gunarsa dan Gunarsa 2004). Lebih lanjut Gunarsa dan Gunarsa (2004) menyatakan bahwa potensi yang dimiliki oleh setiap orang berbeda-beda untuk satu orang ke orang lain. Ada yang memiliki potensi lebih tinggi pada segi-segi kualitas fisik (kesegaran jasmani, kesehatan, serta daya tahan fisik sehingga dapat melakukan kegiatan yang produktif), sementara yang lain mempunyai potensi yang lebih pada segi kualitas nonfisik (kualitas kepribadian,kecerdasan, ketahanan mental, dan kemandirian). Pendapatan Keluarga Keadaan sosial ekonomi dapat mempengaruhi kehidupan keluarga. Ekonomi dalam keluarga dapat digunakan salah satunya sebagai pemeliharaan anak dalam keluarga. Keadaan ekonomi keluarga yang cukup menyebabkan orangtua lebih mempunyai waktu untuk membimbing anak karena orangtua tidak lagi memikirkan tentang keadaan ekonomi yang kurang (Hurlock 1980). Menurut Gunarsa dan Gunarsa (2001) tingkat pendapatan yang rendah akan menyebabkan orangtua memperlakukan anak dengan kurang perhatian dan tidak memiliki waktu untuk membimbing anak karena terlalu memikirkan keadaan ekonominya.

23 11 Besar Keluarga Kepadatan anggota keluarga dapat mengganggu pola dan corak hubungan antar anggota keluarga sehingga muncul berbagai reaksi seperti otoriter, acuh tak acuh, sikap tersaing dan tersisih. Hal tersebut dapat menimbulkan ketegangan yang dapat berakibat buruk pada perilaku antar anggota keluarga itu sendiri (Gunarsa & Gunarsa 2004). Hurlock (1980) mengungkapkan bahwa jumlah keluarga mempengaruhi hubungan antara orang tua dengan anak. Anak yang berasal dari keluarga besar memiliki hubungan yang kurang erat dengan orang tuanya karena perhatian dari orang tua terbagi. Semakin besar keluarga maka akan semakin sedikit waktu yang dikeluarkan orang tua untuk merawat dan mengasuh anak. Pekerjaan Orangtua Masyarakat Indonesia masa kini telah menerima perempuan untuk berkarya di luar rumah baik untuk bekerja mencari nafkah maupun untuk melakukan aktivitas dalam masyarakat. Menurut Rowatt (1990) diacu dalam Supriyantini (2002) menyatakan pekerjaan seorang suami tidaklah berkurang walaupun istrinya juga turut bekerja. Pekerjaan suami bahkan terlihat bertambah sibuk jika istrinya tidak bekerja. Banyak suami secara eksplisit dan implisit mengharapkan peran sitri menjadi suatu sistem pendukung bagi pekerjaan mereka. Remaja Santrock (2003) mengartikan remaja (adolescence) sebagai masa perkembangan transisi antara masa anak dan masa dewasa yang mencakup perubahan biologis, kognitif dan sosial-emosional. Masa remaja dimulai sekitar usia 10 sampai 13 tahun dan berakhir antara usia 18 dan 22 tahun. Perubahan biologis, kognitif, dan sosial-emosional yang terjadi berkisar dari perkembangan fungsi seksual, proses berfikir abstrak sampai kemandirian. Lebih lanjut Santrock menggambarkan bahwa masa remaja terdiri atas remaja awal dan remaja akhir. Remaja awal (early adolescence) diperkirakan sama dengan masa sekolah menengah pertama dan mencakup perubahan pubertas yang tinggi. Remaja akhir (late adolescence) menunjuk pada masa sekitar setelah 15 tahun. Minat pada karir, pacaran, dan ekplorasi identitas seringkali lebih nyata dalam masa remaja akhir dibandingkan dengan dalam masa remaja awal.

24 12 Disamping pertumbuhan fisik yang pesat, remaja juga mengalami perkembangan kognitif. Berdasarkan teori perkembangan kognitif Piaget (Santrock 2007), remaja berada pada tahap formal operasional yang merupakan tahap akhir dari perkembangan kognisi. Remaja umumnya sudah mampu berfikir secara abstrak, hipotetis, menggunakan logika, membedakan antara fakta dan fantasi, mengelola perasaan, dan juga berpikir secara deduktif maupun induktif. Pada tahapan kognitif formal operasional ini remaja mampu mempertimbangkan semua kemungkinan untuk menyelesaikan suatu masalah dan mempertanggung jawabkannya berdasarkan suatu hipotesis atau preposisi (Santrock 2007). Namun demikian, perkembangan kognitif remaja belum matang, terbukti dengan adanya egosentrisme pada remaja. Hal ini dikarenakan tidak semua remaja dapat menjadi pemikir formal operasional sepenuhnya karena pengaruh subjektifitas dalam diri yang masih sangat kuat (Santrock 2007). Selain pertumbuhan fisik dan pematangan organ reproduksi serta perkembangan kognitif dan moral, remaja juga mengalami perkembangan sosial. Menurut teori Psikososial Erickson (Santrock 2002), pada masa remaja seorang individu sedang mengembangkan sikap Identity vs. Identity Confusion. Artinya, pada masa remaja seorang individu berada pada fase belajar untuk menguasai fungsi fisik maupun psikisnya. Pada fase Identity vs Identity Confusion remaja menjalani perasaan atau kesadaran akan jati dirinya. Remaja dihadapkan pada berbagai hal yang menyangkut keberadaan dirinya, masa depannya, peran-peran sosialnya dalam keluarga dan masyarakat serta kehidupan beragama (Yusuf 2005). Lebih lanjut dijelaskan bahwa apabila pada fase ini remaja berhasil memahami dirinya, peranperannya, dan makna hidup beragama, maka ia akan menemukan jati dirinya, dalam arti ia akan memiliki kepribadian yang sehat. Sebaliknya, apabila gagal, maka ia akan mengalami kebingungan atau kekacauan (confusion). Suasana kebingungan ini berdampak kurang baik bagi remaja, remaja akan cenderung kurang baik dalam menyesuaikan dirinya sendiri ataupun orang lain. Keseluruhan pertumbuhan dan perkembangan remaja tersebut dapat berjalan dengan maksimal dengan adanya dukungan dari lingkungan remaja. Prestasi yang dimiliki atau

25 13 diraih oleh remaja tidak bisa dilepaskan dari dorongan untuk berprestasi (Gunarsa & Gunarsa 2004). Dorongan berprestasi adalah sesuatu yang ada dan menjadi ciri dari kepribadian seseorang remaja, sesuatu mengenai apa yang ada dan dibawa dari lahir. Namun, di pihak lain dorongan berprestasi ternyata dalam banyak hal adalah sesuatu yang ditumbuhkan, dikembangkan, hasil dari mempelajari melalui interaksi dengan lingkungan (Gunarsa & Gunarsa 2004). Gunarsa dan Gunarsa (2004) juga menjelaskan bahwa dorongan berprestasi pada remaja sangat penting diperhatikan. Hal ini dikarenakan remaja yang memiliki dorongan berprestasi tinggi adalah modal dalam asset suatu bangsa yang sedang membangun dan kaitannya dengan penggalian sumber daya manusia. Gaya Pengasuhan Gunarsa dan Gunarsa (2004) menyebutkan bahwa pengasuhan adalah interaksi yang terjadi antara pengasuh dengan yang diasuh, meliputi bimbingan, arahan dan pengawasan terhadap aktivitas sehari-hari yang berlangsung secara rutin, sehingga terbentuk suatu pola yang diarahkan untuk mengubah tingkah laku sesuai dengan keinginan pendidik atau pengasuh. Pengasuhan orangtua terhadap anak berlangsung melalui ucapan, perintah-perintah yang diberikan secara langsung untuk menunjukkan apa yang seharusnya diperhatikan atau dilakukan oleh anak. Dengan demikian, sikap dan perilaku orangtua dijadikan sebagai patokan untuk ditiru, kemudian apa yang ditiru akan diterapkan dalam dirinya. Oleh karena itu, suasana hubungan antar anggota keluarga dapat mempengaruhi kualitas pengasuhan, dimana hubungan yang harmonis dalam keluarga dapat menumbuhkan suasana yang kondusif bagi terselenggaranya pengasuhan yang berkualitas. Menurut Hastuti (2008) pengasuhan adalah interaksi orangtua terhadap anaknya yang didalamnya meliputi pemeliharaan, perlindungan, pemberian kasih sayang dan pengarahan kepada anak. Sedangkan gaya pengasuhan itu sendiri merupakan cara berinteraksi orangtua terhadap anak yang paling menonjol dan dominan dalam berhubungan dengan anak. Di bidang pendidikan, orangtua memiliki pengaruh besar terhadap prestasi akademik anak. Adapun peran yang dapat orangtua lakukan untuk menunjang

26 14 prestasi akademik anak antara lain, menyediakan tempat yang kondusif di rumah untuk anak belajar, menyediakan buku-buku referensi sebagai sarana pembelajaran anak, mengatur waktu kegiatan anak, memperhatikan kegiatan anak di rumah dan di sekolah (Papalia & Olds 2009). Selain peran yang telah disebutkan, peran pengasuhan tidak kalah penting dalam mempengaruhi prestasi akademik anak. Hasil penelitian Nguyen dan Cheung (2009) menunjukkan bahwa secara umum, ayah cenderung menerapkan gaya pengasuhan melalui otoritas dan merangsang realitas anak. Sedangkan ibu cenderung memberi kesenangan pada keinginan anak untuk memberi dorongan pada anak. Akan tetapi pada dasarnya dalam mengasuh anak, ayah dan ibu harus memiliki filosofi manajemen yang sama. Hawadi (2001) menyatakan bahwa orangtua yang efektif adalah orangtua yang senantiasa terlibat dalam pendidikan dan informasi yang berkaitan dengan pendidikan anak termasuk bertemu dengan guru di awal tahun pelajaran. Oleh karena itu, partisipasi orangtua terhadap belajar anak merupakan sumbangan yang signifikan pada prestasi anak. Baumrind (1972) diacu dalam Goleman (1997) merekomendasikan tiga tipe pengasuhan yang dikaitkan dengan aspek yang berbeda dalam tingkah laku sosial anak, yaitu otoriter, otoritatif, dan permissif. Otoriter, yaitu terdapat banyak pembatasan dan mengharapkan ketaatan tingkah laku tanpa memberi penjelasan kepada anak-anak. Orangtua yang memiliki gaya pengasuhan seperti ini berusaha membentuk, mengendalikan, dan mengevaluasi perilaku serta sikap anak berdasarkan serangkaian standar mutlak, nilai-nilai kepatuhan, menghormati otoritas, kerja, tradisi, tidak saling memberi dan menerima dalam komunikasi verbal. Orangtua kadang-kadang menolak anak dan sering menerapkan hukuman. Otoritatif, yaitu menentukan batas-batas tetapi jauh lebih luwes, memberi penjelasan kepada anak mereka, dan memberi kehangatan. Orangtua yang memiliki gaya pengasuhan seperti ini berusaha mengarahkan anaknya secara rasional, berorientasi pada masalah yang dihadapi, menghargai komunikasi yang saling memberi dan menerima, menjelaskan alasan rasional yang mendasari tiaptiap permintaan atau disiplin tetapi juga menggunakan kekuasaan bila perlu. Mengharapkan anak untuk mematuhi orang dewasa tetapi juga mengharapkan anak untuk mandiri dan mengarahkan diri sendiri, saling menghargai antara anak

27 15 dan orangtua, memperkuat standar-standar perilaku. Orangtua tidak mengambil posisi mutlak, tetapi juga tidak mendasarkan pada kebutuhan anak semata. Permissif, yaitu orangtua bersikap hangat dan komunikatif terhadap anakanak mereka tetapi memberikan sedikit pembatasan terhadap tingkah laku. Orangtua yang memiliki gaya pengasuhan seperti ini berusaha berperilaku menerima dan bersikap positif terhadap impuls (dorongan emosi), keinginankeinginan, dan perilaku anaknya, hanya sedikit menggunakan hukuman, berkonsultasi kepada anak, hanya sedikit memberi tanggung jawab rumah tangga, membiarkan anak untuk mengatur aktivitasnya sendiri dan tidak mengontrol, berusaha mencapai sasaran tertentu dengan memberikan alasan, tetapi tanpa menunjukkan kekuasaan. Gaya pengasuhan menunjukkan kepribadian orangtua dan teknik yang dilakukan saat berhubungan sehari-hari dengan anak yang diasuhnya. Teori yang ada telah memperlihatkan bukti-bukti gaya pengasuhan otoritatif sebagai gaya pengasuhan paling efektif dan efisien dalam membentuk kualitas anak. Konsep Diri Konsep diri adalah cara individu dalam melihat pribadinya secara utuh, menyangkut fisik, emosi, intelektual, sosial, dan spiritual. Termasuk di dalamnya adalah persepsi individu dengan orang lain maupun lingkungannya, nilai-nilai yang berkaitan dengan pengalaman dan objek, serta tujuan, harapan, dan keinginannya (Fitts 1971). Definisi lain dari konsep diri disebutkan oleh Gunawan (2005), yang menyatakan bahwa konsep diri merupakan persepsi atau pandangan seseorang terhadap dirinya sendiri, yang terbentuk melalui pengalaman hidup dan interaksinya dengan lingkungan dan juga karena pengaruh dari orang-orang yang dianggap penting atau dijadikan panutan. Konsep diri merupakan fondasi yang sangat penting untuk keberhasilan. Bukan hanya keberhasilan di bidang akademis, melainkan yang lebih penting adalah keberhasilan hidup. Orang yang memiliki konsep diri yang buruk akan sangat sulit berhasil dan hanya akan menjalani hidup sebagai manusia rata-rata. Pembentukan konsep diri dimulai sejak anak masih kecil (balita) dimana anak belajar dari lingkungannya. Dalam proses pembelajaran itu secara perlahan

28 16 tetapi pasti konsep diri anak mulai terbentuk. Namun, masa kritis pembentukan konsep diri justru terjadi saat anak memasuki sekolah dasar (Gunawan 2005). Konsep diri diperjelas selama masa remaja akhir ketika anak muda mengatur konsep diri sendiri di sekitar nilai, tujuan, dan kompetensi yang didapat selama masa kanak-kanak. Menurut Sunaryo (2002) beberapa hal yang penting dan perlu dipahami terkait konsep diri, yaitu: konsep diri dipelajari melalui pengalaman dan interaksi individu dengan orang lain, berkembang secara bertahap, positif ditandai dengan kemampuan intelektual, negatif ditandai dengan hubungan individu dan hubungan sosial yang maladaptif, penguasaan lingkungan terbentuk karena peran keluarga, dan penerimaan keluarga akan kemampuan anak sesuai dengan perkembangannya sangat mendorong aktualisasi diri dan kesadaran akan potensi dirinya. Fitts (1971) menyatakan bahwa terdapat dua dimensi yaitu dimensi eksternal dan dimensi internal. Dimensi internal terdiri dari: (1) diri identitas (the identity self) yang merupakan aspek yang paling dasar dari konsep diri, merupakan label dan simbol yang dikenakan pada diri oleh seseorang untuk menjelaskan dirinya dan membentuk identitasnya. Setiap elemen dari identitas akan mempengaruhi cara seseorang mempersepsikan dunia fenomenologisnya, yaitu cara ia merespon terhadap dunianya atau berinteraksi dengan dunianya dan observasi serta penilaian yang ia buat mengenai dirinya bila ia berfungsi. Elemenelemen identitas terus bertambah mengikuti tumbuh dan meluasnya kemampuan, kegiatan seseorang, keanggotaan kelompok dan sumber-sumber identifikasi; (2) diri pelaku (the behavioral self), seseorang melakukan sesuatu sesuai dorongan stimuli internal dan eksternal. Konsekuensi perilaku tersebut mempengaruhi kelanjutan atau disudahinya perilaku itu sendiri, juga menentukan apakah suatu perilaku akan diabstraksikan, disimbolisasikan dan digabungkan ke dalam diri identitas; (3) diri penilai (the judging self ), interaksi antara diri identitas dan diri pelaku serta integrasinya ke dalam konsep diri melibatkan diri penilai. Salah satu kapasitas manusia adalah kemampuan untuk sadar akan dirinya serta mengamati dirinya dalam bertindak dan menilai diri sendiri diri penilai berfungsi sebagai pengamat, penetap standar, pengkhayal, pembanding, dan terutama sebagai penilai

29 17 Dimensi eksternal merupakan bagian-bagian diri dengan macam-macam label seperti diri fisik, diri etik moral, diri pribadi, diri keluarga, dan diri sosial. Dimensi eksternal diri banyaknya tergantung dari peran-peran, kegiatan-kegiatan dan nilai-nilai dari orang bersangkutan, namun yang paling umum adalah kelima diri tersebut. Hubungan antara Konsep Diri dengan Prestasi Belajar Konsep diri terbentuk melalui proses belajar sejak masa pertumbuhan seorang manusia kecil hingga dewasa. Lingkungan, pengalaman dan pola asuh orangtua turut memberikan pengaruh yang signifikan terhadap konsep diri yang terbentuk (Rini 2002). Dalam proses belajar mengajar dibutuhkan konsep diri yang positif untuk mencapai prestasi akademik yang tinggi, karena konsep diri berkorelasi dengan prestasi, motivasi dan tujuan pribadi. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa dari berbagai karakteristik siswa yang tidak mampu mencapai prestasi akademik yang tinggi erat hubungannya dengan rendahnya konsep diri yang dimiliki. Area yang paling konsisten sehubungan dengan rendahnya konsep diri dalam berprestasi adalah rendahnya self image, dan buruknya self esteem yang berpengaruh terhadap perilaku (Tarmidi 2006). Selanjutnya hasil penelitian Rola (2006) menunjukkan bahwa salah satu faktor yang mempengaruhi prestasi individu adalah konsep diri yang dimilikinya. Jika individu menganggap dirinya mampu melakukan sesuatu maka individu tersebut akan berusaha untuk mencapai apa yang diinginkannya, sehingga terdapat hubungan positif antara konsep diri terhadap prestasi belajar. Motivasi Belajar Menurut Nasution (2003) motivasi adalah segala daya yang mendorong seseorang untuk melakukan sesuatu. Sedangkan menurut Ahmadi dan Supriyono (2004), motivasi sebagai faktor inner (batin) berfungsi menimbulkan, mendasari dan mengarahkan perbuatan belajar. Motivasi adalah suatu dorongan kehendak yang menyebabkan seseorang melakukan suatu perbuatan untuk mencapai tujuan tertentu. Melalui motivasi diharapkan siswa memiliki usaha untuk membangun kondisi sehingga memiliki keinginan dan minat serta bersedia melakukan sesuatu. Dalam belajar, tingkat ketekunan siswa sangat ditentukan oleh adanya motif dan

30 18 kuat lemahnya motivasi belajar yang ditimbulkan oleh motif tersebut. Dalam kenyataannya semakin besar motif yang ada dalam diri seseorang, akan semakin kuat motivasi belajarnya (Halim 2005). Motif yang ada pada setiap orang dalam melakukan suatu kegiatan dapat berbeda satu sama lain. Selain itu, seseorang dapat mempunyai motif lebih dari satu jenis. Menurut Santrock (2008) terdapat dua macam motivasi, yaitu motivasi ekstrinsik dan intrinsik. Motivasi ekstrinsik adalah melakukan sesuatu untuk mendapatkan sesuatu yang lain (cara untuk mencapai tujuan) dan sering dipengaruhi oleh insentif eksternal seperti imbalan dan hukuman. Lebih lanjut Sardiman (2006) menyatakan motivasi ekstrinsik dapat juga dikatakan sebagai bentuk motivasi yang di dalamnya aktivitas belajar dimulai dan diteruskan berdasarkan dorongan dari luar yang tidak secara mutlak berkaitan dengan aktivitas belajar. Motivasi intrinsik merupakan motivasi internal untuk melakukan sesuatu demi sesuatu itu sendiri (tujuan itu sendiri) (Santrock 2007). Sedangkan menurut Sardiman (2006) Motivasi intrinsik adalah motif-motif yang aktif atau berfungsinya tidak perlu dirangsang dari luar karena dalam diri setiap individu sudah ada dorongan untuk melakukan sesuatu. Seorang siswa melakukan belajar karena didorong tujuan ingin mendapatkan pengetahuan, nilai dan keterampilan. Menurut Dimyati (2002) ada empat hal yang mempengaruhi motivasi dalam belajar adalah cita-cita atau aspirasi siswa, kemampuan siswa, kondisi siswa, dan kondisi lingkungan siswa. Cita-cita. Motivasi belajar tampak dalam keinginan seseorang sejak kecil, seperti keinginan belajar makan, berjalan dan sebagainya, keinginan berhasilnya keinginan tersebut menumbuhkan kemauan untuk selanjutnya menjadi rangsangan cita-cita di masa depannya. Tumbuhnya cita-cita yang dibarengi dengan perkembangan akal, moral, kemauan, bahasa, perkembangan kepribadian dan nilai-nilai kehidupan. Cita-cita akan memperkuat motivasi belajar baik internal maupun eksternal, sebab terciptanya cita-cita akan mewujudkan motivasi diri. Kemampuan siswa. Keinginan seorang anak perlu dibarengi dengan kemampuan mencapainya keinginan tersebut. Misal seperti anak yang berkeinginan untuk pandai membaca. Dalam rangka mewujudkan keinginannya

31 19 untuk membaca, anak harus diperkenalkan kepada jenis huruf dan seperangkat tata eja abjadnya. Kondisi siswa. Kondisi kesehatan jasmani dan rohani seorang siswa akan mempengaruhi tingkat keinginan untuk melakukan sesuatu, seperti dalam kondisi sakit, seorang siswa akan malas belajar, dan sebaliknya ketika seorang siswa dalam keadaan sehat, maka keinginan untuk belajar dan melakukannya terlihat cukup tinggi. Kondisi lingkungan siswa. Kondisi lingkungan yang ada di sekeliling siswa sangat berpengaruh besar terhadap munculnya motivasi, baik lingkungan keluarga, sekolah dan lingkungan tempat dimana ia bersosialisasi. Pandangan di atas sangat menekankan bahwa kompetensi dan kondisi yang ada dalam diri siswa selain faktor yang timbul dari luar diri siswa itu sendiri, ternyata dalam proses belajar sangat memerlukan dukungan lain berupan harapan atau bahkan tujuan yang hendak dicapai dari perbuatan belajar yang dilakukan agar benar-benar menghasilkan berbagai aspek dan indikator yang sesuai atau yang diinginkan dari perbuatan belajarnya selama perbuatan atau kegiatan belajar itu mengarah pada perubahan-perubahan pribadi siswa secara positif. Prestasi Belajar Secara psikologis, belajar merupakan suatu proses perubahan yaitu perubahan tingkah laku sebagai hasil dari interaksi dengan lingkungannya dalam memenuhi kebutuhan hidupnya. Pengertian belajar yaitu suatu proses usaha yang dilakukan oleh seseorang secara keseluruhan, sebagai hasil pengalamannya sendiri dalam interaksi dengan lingkungannya (Slameto 2003). Sudjana (2000) menyatakan bahwa belajar adalah suatu proses yang ditandai dengan adanya perubahan pada diri seseorang. Perubahan sebagai hasil dari proses belajar dapat ditunjukkan dalam berbagai bentuk seperti perubahan pengetahuan, pemahaman, sikap dan tingkah laku, keterampilan, kecakapan, kebiasaan serta perubahan-perubahan aspek lain yang ada pada individu belajar. Seorang guru harus menetapkan batas minimal keberhasilan belajar siswa untuk mengetahui tinggi rendahnya tingkat prestasi siswa. Menurut Syah (2004) ada beberapa alternatif norma pengukuran tingkat keberhasilan siswa setelah mengikuti proses belajar mengajar. Diantara norma-norma pengukuran tersebut

32 20 adalah norma skala angka dari nol sampai sepuluh dan norma skala angka dari nol sampai seratus. Angka terendah yang menyatakan kelulusan atau keberhasilan belajar (passing grade) skala nol (0) sampai sepuluh (10) adalah 5,5 atau 6, sedangkan untuk skala nol (0) sampai seratus (100) adalah 55 atau 60. Pada prinsipnya jika seorang siswa dapat meneyelesaikan lebih dari setengah instrumen evaluasi dengan benar, siswa dianggap telah memenuhi target minimal keberhasilan belajar. Penilaian prestasi belajar ini meliputi aspek kognitif, afektif dan psikomotorik. Evaluasi prestasi kognitif dapat dilakukan dengan berbagai cara baik dengan tes tertulis maupun dengan tes lisan dan perbuatan. Evaluasi prestasi afektif dapat dilakukan dengan menggunakan skala likert dan atau diferensial semantik yang tujuannya untuk mengidentifikasi kecenderungan sikap siswa mulai sangat setuju, ragu-ragu, tidak setuju dan sangat tidak setuju terhadap sesuatu yang harus direspon. Evaluasi prestasi psikomotor dapat dilakukan dengan mengobservasi perilaku jasmaniah siswa dicatat dalam format observasi ketrampilan melakukan pekerjaan tertentu. Faktor-faktor yang mempengaruhi prestasi belajar dapat digolongkan ke dalam dua faktor yaitu, faktor internal (faktor fisiologis dan psikologis) dan faktor eksternal (lingkungan keluarga, lingkungan sekolah dan lingkungan sosial). Metode belajar yang dilaksanakan seorang anak, akan menentukan hasil belajar. Jika hasil yang diperoleh tidak memuaskan, dapat karena sifat malas belajar seorang anak atau sikap orangtua yang memperhatikan rasa kecewa atau menekan anak. Namun sebaliknya, anak akan berhasil dalam belajar, apabila orangtua mendampingi, membimbing serta mendorong dalam mencapai prestasi yang memuaskan (Gunarsa & Gunarsa 2004). Hubungan antara Pengasuhan terhadap Prestasi Belajar Pengasuhan yang diterapkan orangtua (ibu) berpengaruh pada prestasi belajar seseorang. Menurut Rohner (1986), pengasuhan ibu dengan penuh kasih sayang, hangat akan membuat anak lebih terampil dalam mengelola emosi, bergaul, dan meningkatkan dalam bidang akademis. Menurut Steinberg (1993), orangtua yang hangat terlibat penerimaan secara langsung dapat mempengaruhi

33 21 pencapaian prestasi seorang anak di sekolahnya didukung pula hasil penelitian bahwa remaja yang orangtuanya menerima, terlibat dan demokratis memberi skor lebih tinggi dalam ukuran prestasi akademik. Hubungan antara ibu dengan anak dengan penuh kasih sayang akan mendorong anak untuk memotivasi dalam mencapai prestasi belajar (Gunarsa & Gunarsa 2001). Zanden (1993) menyatakan bahwa anak yang memiliki orangtua yang bahagia dalam perkawinannya lebih memiliki rasa aman secara emosional, sehingga tampak lebih memiliki kesempatan untuk mengambangkan intelektual, sebaliknya perselisihan perkawinan yang menghantarkan pada perpisahan dapat menciptakan kecenderungan antisosial pada anak-anak yang menyebabkan mereka ditolak guru dan gagal di sekolah. Begitu pula menurut Djamarah (2002), bahwa anak yang sulit dalam prestasi belajar di sekolah disebabkan oleh hubungan suami istri yang penuh dengan ketegangan, tidak harmonis, dan penuh dengan konflik. Model Pembelajaran Akselerasi Program percepatan belajar atau akselerasi, merupakan bagian kebijakan pendidikan jalur formal pada program layanan khusus peserta didik yang memiliki potensi kecerdasan dan keberbakatan akademik istimewa. Semiawan dalam Gunarsa (2004) membagi dua pengertian akselerasi, yang pertama adalah akselerasi sebagai model pembelajaran dan yang kedua adalah akselerasi kurikulum atau akselerasi program. Perumusan pertama menunjuk pada siswa yang dapat melompat kelas. Sementara itu, perumusan yang kedua menunjuk pada peningkatan kecepatan waktu dalam menguasai materi yang dilakukan dalam kelas khusus, kelompok khusus, atau sekolah khusus dalam waktu tertentu. Menurut Semiawan (2002) kurikulum yang sesuai dengan karakter anak yang berkemampuan kecerdasan di atas rata-rata telah didiskusikan dan disusun oleh pusat pengembangan kurikulum sejak Sebelum uji coba pelaksanaan program anak berbakat dilaksanakan tahun 1984, kurikulum berdeferensiasi telah dibuat. Dengan adanya hal tersebut kemampuan guru harus selalu ditingkatkan, misalnya kecekatan dalam hal menganalisis kurikulum sesuai perkembangan anak

34 22 dan kebutuhan penanjakan kemampuan fikir atau mental anak dan membuat anak senang belajar. Kurikulum yang digunakan pada program akselerasi adalah kurikulum nasional dan muatan lokal, yang dimodifikasi dengan penekanan pada materi yang esensi dan dikembangkan melalui sistem pembelajaran yang dapat memacu dan mewadahi integrasi pengembangan spiritual, logika, etika, dan estetika serta mengembangkan kemampuan berfikir holistik, kreatif, sistemik, linier, dan konvergen utuk memenuhi tuntutan masa kini dan masa depan. Dengan demikian kurikulum program akselerasi adalah kurikulum yang diberlakukan untuk satuan pendidikan yang bersangkutan, sehingga lulusan program akselerasi memiliki kualitas dan standar kompetensi yang sama dengan lulusan program reguler. Perbedaannya hanya terletak pada waktu keseluruhan yang ditempuh dalam menyelesaikan pendidikannya lebih cepat bila dibanding dengan program reguler (Semiawan 2002). Kurikulum akselerasi ini dikembangkan secara diferensiatif. Artinya kurikulum yang digunakan disesuaikan dengan kemampuan yang dimiliki oleh siswa. Diferensiasi dalam kurikulum akselerasi menurut Cledening dan Davies, (1983) diacu dalam Hawadi (2001) adalah isi pelajaran yang menunjuk pada konsep dan proses kognitif tingkat tinggi, strategi intruksional yang akomodatif dengan gaya belajar anak berbakat dan rencana yang memfasilitasi kinerja siswa. Proses pembelajaran siswa akselerasi sama dengan siswa reguler. Jika peserta didik akselerasi dikumpulkan dalam satu kelas tersendiri maka guru dan siswa dapat menerapkan berbagai strategi belajar. Ciri dominan proses belajar yang khas pada siswa akselerasi adalah pembelajaran individual atau mandiri lebih kontras dilaksanakan daripada siswa reguler. Sekolah Bertaraf Internasional Adanya kebijakan tentang sekolah bertaraf internasional didasarkan pada landasan hukum yaitu Undang-undang Sistem Pendidikan Nasional Pasal 50 ayat 3 yang didalamnya menyatakan bahwa pemerintah atau pemerintah daerah mengembangkan satu satuan pendidikan pada semua jenjang pendidikan dikembangkan menjadi satuan pendidikan yang bertaraf internasional (Anonim, 2006).

35 23 Salah satu tujuan pembangunan sekolah bertaraf internasional adalah untuk meningkatkan daya saing bangsa. Penyelenggaraan SBI didasari filosofi eksistensialisme dan esensialisme (fungsionalisme). Filosofi eksistensialisme berkeyakinan bahwa pendidikan harus menyuburkan dan mengembangkan eksistensi peserta didik seoptimal mungkin melalui fasilitas yang dilaksanakan melalui proses pendidikan yang bermartabat, pro-perubahan, kreatif, inovatif, dan eksperimentif), menumbuhkan dan mengembangkan bakat, minat, dan kemampuan peserta didik (Haryana 2007). Lebih lanjut Haryana (2007) menyebutkan bahwa terdapat karakteristik untuk menjadi sekolah internasional dan juga memiliki beberapa ciri dalam proses pembelajarannya. Sekolah atau madrasah internasional adalah yang sudah memenuhi seluruh Standar Nasional Pendidikan (SNP) dan diperkaya dengan mengacu pada standar pendidikan salah satu negara anggota Organization for Economic Co-operation and Development (OECD) dan/atau negara maju lainnya yang mempunyai keunggulan tertentu dalam bidang pendidikan, sehingga memiliki daya saing di forum internasional. Ciri-ciri proses pembelajaran, penilaian, dan penyelenggaraan SBI sebagai berikut: (1) pro-perubahan, yaitu proses pembelajaran yang mampu menumbuhkan dan mengembangkan daya kreasi, inovasi, nalar, dan eksperimentasi untuk menemukan kemungkinan-kemungkinan baru, a joy of discovery; (2) menerapkan model pembelajaran aktif, kreatif, efektif, dan menyenangkan yang semuanya telah memiliki standar internasional; (3) menerapkan proses pembelajaran berbasis TIK pada semua mata pelajaran; (4) proses pembelajaran menggunakan bahasa Inggris, khususnya mata pelajaran sains, matematika, dan teknologi; (5) proses penilaian dengan menggunakan model penilaian sekolah unggul dari negara anggota OECD dan/atau negara maju lainnya, dan (6) dalam penyelenggaraan SBI harus menggunakan standar manajemen internasional.

36 25 KERANGKA PEMIKIRAN Keluarga memiliki peran yang besar dalam mengembangkan sumber daya manusia yang berkualitas. Keluarga adalah lingkungan pertama dan utama bagi seorang individu, karena keluarga adalah lingkungan eksternal pertama yang dikenal begitu individu baru dilahirkan di dunia. Seluruh kebutuhan primer bagi seseorang untuk hidup dan bertahan hidup ditentukan oleh kemampuan keluarga untuk memenuhi hidupnya. Oleh karena itu, karakteristik keluarga, yang meliputi besar keluarga, pendidikan orangtua, pendapatan keluarga dan pekerjaan orangtua, menentukan bagaimana pertumbuhan dan perkembangan anak, disamping karakteristik anak itu sendiri seperti umur, jenis kelamin dan urutan kelahiran. Pada teori bioekologi Bronfrenbenner (1974), anak merupakan salah sebuah unsur dalam suatu lingkungan. Berbagai proses saling berinteraksi dan mempengaruhi perkembangan anak, proses tersebut dimulai dari lingkungan terdekat anak yang menjadi tempat anak tumbuh berkembang membentuk pola dan kebiasaan hidup sehari-hari atau tempat dimana anak saling berinteraksi di rumah, sekolah dan dalam kehidupan bertetangga (mikrosistem). Antara dua atau lebih lingkungan mikrosistem tersebut akan saling berhubungan dan didalamnya terdapat keterlibatan anak (mesosistem). Selanjutnya anak secara tidak langsung akan berinteraksi dengan lingkungan lembaga atau institusi yang akan mempengaruhinya (eksosistem) juga berinteraksi dengan lingkungan yang secara tidak langsung akan mempengaruhinya (makrosistem). Perubahan dan keberlanlanjutan yang berlangsung sepanjang waktu juga akan turut mempengaruhi kehidupan anak, seperti masuknya anak ke sekolah formal, pubertas, pernikahan, dan lain-lain (kronosistem). Karakteristik keluarga dan individu akan menentukan gaya pengasuhan di lingkungan keluarga. Selanjutnya pengasuhan yang diterapkan keluarga akan membentuk perilaku dan juga pengalaman-pengalaman dari interaksi orang tua anak selanjutnya dipelajari oleh anak dan akan membentuk konsep diri anak. Konsep diri dipelajari melalui pengalaman dan interaksi individu dengan orang lain terutama dengan lingkungan terdekatnya (Fitts 1971). Perlakuan-perlakuan yang diberikan orang tua terhadap anak akan membekas hingga anak menjelang

37 26 dewasa dan membawa pengaruh terhadap konsep diri, baik konsep diri ke arah positif atau ke arah negatif. Konsep diri yang diperoleh dari hasil suatu pembelajaran atau pengalaman merupakan faktor psikologis yang dapat mendorong motivasi belajar untuk mencapai prestasi. Apabila konsep diri yang dimiliki siswa merupakan konsep diri positif, maka akan timbul keyakinan bahwa dirinya bisa dan mampu sehingga memungkinkan dirinya untuk termotivasi belajar dan meraih prestasi. Sebaliknya, jika konsep diri negatif yang dimiliki, maka siswa akan memandang negatif dirinya dan akan merasa bahwa dirinya tidak mampu sehingga kurang memiliki motivasi untuk belajar dan meraih prestasi. Motivasi belajar berhubungan dengan prestasi belajar, karena dengan memiliki motivasi dalam belajar siswa akan percaya pada kemampuannya, cenderung untuk berjuang mencapai prestasi yang lebih tinggi. Dengan adanya motivasi belajar untuk meraih prestasi yang tinggi maka siswa akan mampu meningkatkan prestasi belajarnya. Menurut Winkel (1991) diacu dalam Slameto (2003) menyatakan bahwa prestasi belajar berhubungan dan dipengaruhi oleh faktor internal (intelegensi, motivasi belajar, minat, bakat, sikap, konsep diri, dan kondisi fisik) dan faktor eksternal (lingkungan keluarga, lingkungan sekolah, dan lingkungan masyarakat). Kerangka pemikiran yang menggambarkan hubungan karakteristik keluarga, karakteristik individu, gaya pengasuhan, konsep diri, motivasi belajar dan prestasi belajar disajikan pada Gambar 1.

38 27 Karakteristik keluarga: - Besar keluarga - Pendidikan orangtua - Pendapatan keluarga Karakteristik individu: - Umur - Jenis kelamin - Urutan kelahiran Gaya pengasuhan: - Otoriter - Permisif - Otoritatif Motivasi belajar: - Intrinsik - Ekstrinsik Konsep diri: - Positif - Negatif Prestasi belajar: - Kognitif - Psikomotorik - Afektif Lingkungan Sekolah: - Model pembelajaran (akselerasi, SBI, reguler) Gambar 1 Kerangka pemikiran hubungan karakteristik individu, karakteristik keluarga, gaya pengasuhan, konsep diri, motivasi belajar, dan prestasi belajar 27

39 29 METODE Desain, Lokasi dan Waktu Penelitian ini dilaksanakan dengan menggunakan desain cross sectional study. Penelitian dilakukan di dua Sekolah Menengah Atas Negeri di Kota Bogor, terdiri dari tiga kelas yaitu kelas akselerasi, SBI dan reguler. Penentuan tempat sekolah yang dijadikan lokasi penelitian dilakukan secara sengaja (purposive) dengan pertimbangan sekolah pertama yang menerapkan program akselerasi di Kota Bogor dan kelas SBI, sedangkan sekolah kedua, memiliki karakteristik sekolah yang berbeda sehingga dapat dijadikan sebagai pembanding. Penelitian dilaksanakan selama dua bulan mulai April hingga Mei Teknik Penarikan Contoh Populasi penelitian ini adalah siswa SMA di dua sekolah Kota Bogor. Contoh dari penelitian ini adalah siswa kelas XI di dua sekolah tersebut dengan pertimbangan siswa kelas XI telah memiliki pengalaman belajar di SMA relatif lama dibanding kelas X, tetapi tidak disibukkan dengan persiapan Ujian Akhir Nasional seperti kelas XII. Penentuan kelas akselerasi (hanya terdapat 1 kelas), SBI (dipilih 1 kelas dari 7 kelas) dan reguler (dipilih 1 kelas dari 5 kelas) dilakukan secara purposive. Dalam satu kelas yang dipilih memiliki jumlah siswa sebanyak 26 siswa pada kelas akselerasi, 32 siswa kelas SBI, dan 39 siswa kelas reguler, kemudian dilakukan pemilihan kembali untuk menjadi contoh. Total jumlah contoh untuk penelitian ini sebanyak 86 contoh, yang terdiri atas 26 contoh dari kelas akselerasi, 30 contoh kelas SBI dan 30 contoh dari kelas reguler yang dipilih secara purposive pula. Cara pengambilan contoh dapat dilihat pada Gambar 2. Jenis dan Teknik Pengumpulan Data Jenis data yang dikumpulkan meliputi data primer dan data sekunder. Data primer dikumpulkan melalui teknik self report dengan alat bantu kuesioner yang diisi oleh contoh setelah mendapat penjelasan dari peneliti. Data primer meliputi karakteristik keluarga (besar keluarga, pendidikan orangtua, pekerjaan orangtua, pendapatan keluarga), karakteristik contoh (umur, urutan kelahiran dan jenis kelamin), gaya pengasuhan, konsep diri, dan motivasi belajar. Data sekunder

40 30 meliputi prestasi belajar dan keadaan umum sekolah yang diperoleh dari pihak sekolah. Jenis dan cara pengumpulan data disajikan dalam Tabel 1. Kota Bogor Purposive SMA X Bogor SMA Y Bogor Purposive Kelas Akselerasi (26 siswa) Kelas SBI (7 kelas = 224 siswa) Kelas Reguler (5 kelas = 195 siswa) Purposive Kelas IPA (1 kelas) Kelas IPA (1 kelas) Kelas IPA (1 kelas) Purposive n=26 n=30 n=30 Purposive Gambar 2 Bagan cara pengambilan contoh Tabel 1 Jenis dan cara pengumpulan data Jenis Data Variabel Alat Bantu Skala Data Karakteristik keluarga: - Besar keluarga Rasio Kuesioner Primer - Pendidikan orangtua Ordinal - Pekerjaan orangtua - Pendapatan orangtua Nominal Rasio Primer Primer Karakteristik individu - Umur - Jenis kelamin - Urutan kelahiran Gaya Pengasuhan Kuesioner Kuesioner Rasio Nominal Ordinal Ordinal Primer Konsep diri Kuesioner Ordinal Primer Motivasi belajar Kuesioner Ordinal Sekunder Prestasi belajar Jumlah siswa Keadaan umum sekolah Rapor siswa Rasio

41 31 Sebelum digunakan untuk pengumpulan data penelitian, kuesioner yang sudah disusun diuji coba pada 10 siswa kelas XI. Hasil uji coba tersebut akan menentukan reliabilitas dari kuesioner yang digunakan. Uji coba kuesioner sebelum pengumpulan data dilakukan, untuk mengetahui pilihan bentuk kuesioner (pertanyaan dan pernyataan), kedalaman pertanyaan, ketepatan pemilihan kata, dapat tidaknya suatu pertanyaan ditanyakan, dapat tidaknya suatu pertanyaan dijawab, pilihan jawaban yang dimungkinkan, serta lama maksimal pengisian kuesioner. Persepsi gaya pengasuhan orangtua diukur menggunakan kuesioner yang dikembangkan oleh Latifah (2009), mengenai persepsi gaya pengasuhan orangtua yang terbagi menjadi tiga tipe, yaitu: otoriter, permisif, dan otoritatif. Ketiga persepsi gaya pengasuhan orangtua ini terdiri dari dimensi demandingness (kontrol) dan responsiveness (kehangatan). Variabel ini terdiri atas 27 pertanyaan dengan skala Likert 1-4 dengan keterangan 1=tidak pernah; 2=hampir tidak pernah; 3=sering; 4=sangat sering/selalu. Reliabilitas kuesioner persepsi gaya pengasuhan memiliki nilai cronbach alpha 0,704. Konsep diri diukur menggunakan kuesioner berbentuk skala yang mengacu pada alat skala konsep diri yaitu Tennessee Self-Concept Scale (TSCS) yang disusun oleh Fitts (1971) dan dimodifikasi oleh Hapsari (2001), mengenai konsep diri remaja yang terdiri dari 15 dimensi, yaitu: identitas diri fisik, tingkah laku fisik, kepuasan diri fisik, identitas diri etik moral, tingkah laku etik moral, kepuasan etik moral, identitas diri personal, tingkah laku diri personal, kepuasan diri personal, identitas diri keluarga, tingkah laku diri keluarga, kepuasan diri keluarga, identitas diri sosial, tingkah laku diri sosial, dan kepuasan diri sosial. Setiap dimensi yang diukur terdapat dua sifat item yaitu pernyataan yang bersifat positif (favorable) dan pernyataan bersifat negatif (unfavorable).variabel konsep diri ini terdiri atas 50 pertanyaan dengan keterangan 1=sangat tidak sesuai dengan diri saya; 2=tidak sesuai dengan diri saya; 3=sesuai dengan diri saya; 4=sangat sesuai dengan diri saya. Reliabilitas kuesioner konsep diri memiliki nilai cronbach alpha 0,845. Motivasi belajar diukur menggunakan kuesioner yang mengacu pada Rahmaisya (2011) yang merujuk pada (Pelletier,et al.1995) dan dimodifikasi

42 32 peneliti, mengenai motivasi belajar yang terdiri dari motivasi intrinsik dan motivasi ekstrinsik. Variabel motivasi belajar ini terdiri atas 30 pertanyaan dengan skala Likert dengan keterangan: STS=sangat tidak setuju; TS=tidak setuju; S=setuju; SS=sangat setuju. Reliabilitas kuesioner persepsi motivasi belajar memiliki nilai cronbach alpha 0,805. Jenis Data Karakteristik Contoh Urutan anak Karakteristik Keluarga Usia orangtua Tingkat pendidikan Pekerjaan orangtua Besar keluarga Tabel 2 Jenis data dan pengkategorian data Sulung Tengah Bungsu Kategori Pengukuran Dewasa muda (18-40 tahun) Dewasa madya (41-60 tahun) Dewasa lanjut (>60 tahun) Tidak tamat SD SD/sederajat SMP/sederajat SMA/sederajat D1/D2/D3 S1/S2/S3 - Tidak bekerja - Wiraswasta - PNS - Swasta - ABRI Keluarga besar ( 8 orang) Keluarga sedang (5-7 orang) Keluarga kecil (< 4 orang) - Buruh - Pensiunan - Dokter - Supir Tingkat pendapatan Rp ,00 Rp ,00 Rp ,00 Rp ,00 Rp ,00 Rp ,00 Rp ,00 Rp ,00 Rp ,00 >Rp ,00 Konsep diri Gaya pengasuhan Motivasi belajar (intrinsik dan ekstrinsik) Prestasi belajar Kognitif Psikomotorik Afektif Positif Negatif Otoriter Permissif Otoritatif Rendah (<60) Sedang (60-80) Tinggi (>80) Rendah (<60) Sedang (60-80) Tinggi (>80)

43 33 Pengolahan dan Analisis Data Data yang diperoleh diolah dan dianalisis secara deskriptif dan inferensial. Proses pengolahan data meliputi editing, coding, entryng, scoring, dan cleaning data. Pengontrolan kualitas data dilakukan melalui uji reliabilitas instrumen gaya pengasuhan, konsep diri, motivasi belajar dengan metode Cronbach s Alpha. Data persepsi gaya pengasuhan mengacu kepada standar baku yang telah dimodifikasi sesuai dengan penelitian. Standar baku yang dijadikan acuan adalah gaya pengasuhan dimensi arahan Baumrind. Penilaian terhadap data persepsi gaya pengasuhan, yaitu semakin tinggi persentase dari skor yang diperoleh pada suatu gaya pengasuhan tertentu maka semakin orangtua menerapkan gaya pengasuhan tersebut. Penentuan gaya pengasuhan paling dominan yang diterapkan ini didasarkan pada jawaban dari masing-masing pertanyaan yang kemudian masingmasing dijumlahkan dan dibagi dengan jumlah skor maksimal pada masingmasing jenis pengasuhan dimensi arahan (ototiter, permissif, dan otoritatif), kemudian dipersentasekan dan dikategorikan. Sistem skoring dibuat konsisten untuk variabel motivasi belajar, yaitu semakin tinggi skor maka semakin positif nilai variabelnya. Penentuannya didasarkan pada jawaban dari masing-masing pertanyaan yang kemudian masingmasing dijumlahkan dan dibagi dengan jumlah skor maksimal pada masingmasing variabel, kemudian dipersentasekan dan dikategorikan. Pengkategorian terdiri dari tiga kategori yaitu: rendah (<60), sedang (60-80), dan tinggi ( 80). Sistem skoring dibuat konsisten untuk variabel konsep diri, yaitu semakin tinggi skor maka semakin positif nilai variabelnya. Setelah itu dijumlahkan dan dipersentasekan, selanjutnya dikategorikan dengan teknik skoring menggunakan interval kelas. Interval Kelas (A)= Skor Maks (NT) Skor Min (NR) Jumlah Kategori Keterangan: A = Interval Kelas NR = Skor Minimal NT = Skor Maksimal

44 34 Kategori: Negatif Positif : NR sampai NR+A : (NR+A)+ 1 sampai NR+2A Prestasi belajar dilihat dari rata-rata nilai rapor mata pelajaran B.Indonesia, B.inggris, IPA, IPS, Matematika, Pendidikan Agama, Jasmani, TIK dan PKN dari semester satu kelas sepuluh sampai semester 1 kelas sebelas. Nilai rapor dilihat dari aspek kognitif, psikomotorik dan afektif. Nilai kognitif dan psikomotorik berupa angka sedangkan nilai afektif berupa predikat. Dalam pengolahannya, penilaian kognitif dan psikomotorik dikategorikan menjadi tiga kategori, rendah (<60), sedang (60-80), tinggi ( 80). Nilai afektif diberi skor sebagai berikut: yaitu A=4, B=3, C=2, D=1. Selanjutnya skor afektif dijumlahkan dan dirata-rata kemudian dikategorikan menjadi tinggi ( 3,1), sedang (2,1-3,0), rendah (1,0-2,0). Analisis hubungan antar variabel secara statistik deskriptif digunakan tabulasi silang (Crosstab). Analisis secara statistik inferensial yang digunakan sebagai berikut: 1. Uji Beda a. Uji One Way Anova untuk membandingkan karakterikstik keluarga dan karakteristik contoh (yang memiliki skala data rasio), konsep diri, motivasi belajar dan prestasi belajar siswa kelas akselerasi, SBI dan reguler. b. Uji Kruskal Wallis untuk membandingkan karakteristik keluarga dan contoh (yang memiliki skala data ordinal) serta gaya pengasuhan siswa kelas akselerasi, SBI dan reguler. 2. Uji korelasi a. Uji korelasi Spearman untuk menganalisis hubungan karakteristik keluarga yang memiliki jenis skala data ordinal dengan gaya pengasuhan. b. Uji korelasi Chi-Square untuk menganalisis hubungan jenis kelamin contoh dengan gaya pengasuhan. c. Uji ini Pearson untuk mengetahui hubungan antar variabel (gaya pengasuhan, konsep diri, motivasi belajar dan prestasi belajar). Definisi Operasional Model Pembelajaran adalah program sekolah yang diikuti contoh, meliputi kelas akselerasi, SBI dan reguler.

45 35 Pendidikan Orangtua adalah tingkat pendidikan formal yang pernah ditempuh orangtua contoh (ayah dan ibu). Pekerjaan Orangtua adalah aktivitas fisik yang dilakukan orangtua contoh (ayah dan ibu) sebagai sumber mata pencaharian keluarga, meliputi buruh, wiraswasta, swasta, Pegawai Negeri Sipil (PNS), pensiunan, ibu rumah tangga, dokter, supir dan ABRI. Pendapatan Keluarga adalah penghasilan per bulan yang diperoleh ayah dan ibu serta anggota keluarga lain dalam keluarga yang dinilai dengan rupiah. Besar Keluarga adalah jumlah anggota keluarga yang terdiri dari ayah, ibu, anak dan anggota keluarga lainnya, dinyatakan dalam jumlah orang. Gaya Pengasuhan Orangtua adalah persepsi contoh tentang bagaimana orangtua melakukan interaksi dengan contoh, meliputi otoriter, permissif, dan otoritatif yang diukur berdasarkan persepsi remaja. Gaya Pengasuhan Otoriter adalah orangtua bersikap kaku terhadap anak, mengharapkan ketaatan tingkah laku tanpa memberi penjelasan, banyak dan menetapkan batasan bagi anak. Gaya Pengasuhan Permisif adalah bersikap hangat dan komunikatif terhadap anak tetapi memberikan pembatasan yang sedikit pada tingkah laku. Gaya Pengasuhan Otoritatif adalah orangtua yang memberi kehangatan, lebih luwes dalam menetapkan batasan dan disertai penjelasan pada anak. Konsep Diri adalah evaluasi terhadap domain diri yang spesifik serta berkaitan dengan ide, pikiran, kepercayaan serta keyakinan yang diketahui dan dipahami oleh individu tentang dirinya. Konsep Diri Positif adalah jika siswa penuh percaya diri, terlihat optimis dan selalu bersikap positif terhadap segala sesuatu, juga terhadap kegagalan yang dialaminya. Konsep Diri Negatif adalah jika siswa meyakini dan memandang bahwa dirinya lemah, tidak berdaya, tidak dapat berbuat apa-apa, tidak kompeten, gagal, malang, tidak menarik, tidak disukai dan kehilangan daya tarik terhadap hidup. Motivasi belajar adalah hal yang mendorong contoh untuk melakuan kegiatan belajar, dinyatakan dalam skor.

46 36 Motivasi Intrinsik adalah dorongan untuk melakukan sesuatu yang muncul dari dalam diri contoh tanpa adanya rangsangan atau pengaruh dari luar diri contoh. Motivasi Ekstrinsik adalah dorongan untuk melakukan sesuatu yang muncul karena pengaruh dari luar diri, misal karena ada imbaan atau hukuman. Prestasi belajar adalah rata-rata nilai rapor untuk 15 mata pelajaran dari semester satu kelas sepuluh sampai semester 1 kelas sebelas. Prestasi kognitif adalah nilai rapor untuk mata pelajaran yang bersifat akademis dan dinyatakan dengan angka. Prestasi psikomotoik adalah nilai rapor yang diperoleh dari hasil praktikum mata pelajaran tertentu dan dinyatakan dengan angka. Prestasi afektif adalah nilai rapor yang diperoleh berdasarkan sikap atau minat siswa terhadap mata pelajaran dan dinyatakan dalam huruf mutu.

47 37 HASIL PENELITIAN Gambaran Umum Lokasi Penelitian Penelitian ini dilakukan di dua sekolah berbeda di Kota Bogor dan melibatkan tiga kelas yaitu kelas akselerasi, SBI dan reguler Kelas akselerasi dan SBI berasal dari sekolah yang sama, sedangkan kelas reguler diambil dari sekolah yang berbeda. Sekolah yang menjadi lokasi penelitian ini, mulai tahun ajaran 2002/2003 diberi kepercayaan oleh Dinas Pendidikan Kota Bogor untuk membuka kelas akselerasi yaitu kelas percepatan untuk siswa dapat menyelesaikan pendidikan di SMA dalam waktu hanya dua tahun saja. Program akselerasi ini dilatarbelakangi oleh perlunya mengubah strategi pelayanan pembelajaran guna memberi pelayanan sesuai dengan minat dan kemampuan siswa dan mengelompokkan siswa dalam kelas akselerasi. Karena layanan pembelajaran yang menyamaratakan kemampuan siswa dirasa bertentangan dengan kenyataan bahwa setiap orang memiliki potensi dan kemampuan yang berbeda. Tujuannya adalah memberikan layanan kepada anak berbakat untuk mewujudkan bakat dan kemampuannya secara optimal, memberikan kesempatan kepada siswa untuk dapat mengembangkan kreativitas secara optimal dan menyelesaikan pendidikan lebih awal selama dua tahun. Strategi pembelajaran yang dilakukan adalah siswa dilayani secara individual, adanya bimbingan konseling, pelaksanaan program remedial, sekali sebulan diadakan belajar di luar sekolah, dan siswa yang hasil belajarnya kurang dari tujuh dipindahkan ke kelas reguler. Selain program akselerasi, di sekolah tersebut juga menyelenggarakan kelas Sekolah Bertaraf Internasional (SBI). Latar belakang penyelenggaraannya adalah adanya keinginan untuk menjadi wadah dalam upaya mewujudkan inovasi di bidang pendidikan yang mencetak lulusan berdaya saing tinggi, daya saing internasional. Program pendidikannya adalah lama peserta didik selama 3 tahun, menggunakan bahasa pengantar bilingual dan model pembelajaran mendorong siswa kreatif, inovasi, dinamis dan mandiri. Didukung oleh fasilitas belajar seperti: ruang kelas yang memenuhi standar internasional, pembelajaran berbasis ICT, laboratorium IPA dan bahasa, tersedia akses internet, serta ruang multi media.

48 38 Lokasi penelitian yang kedua adalah sekolah yang hanya memiliki kelas reguler dan tidak menyelenggarakan program akselerasi maupun SBI. Sekolah tersebut didirikan pada tanggal 5 Oktober 1994 yang diresmikan oleh kepala kantor Wilayah Pendidikan dan Kebudayaan Provinsi Jawa Barat. Memiliki luas areal sebesar 5000 m2 dengan luas bangunan 1267 m2, terdiri dari 52 ruangan yang 16 diantaranya merupakan ruang kelas. Untuk mendukung aktivitas akademik dan non akademik sekolah tersebut dibina oleh 57 guru tetap, delapan guru tidak tetap, sepuluh orang tata usaha, tiga orang keamanan, satu orang pegawai perpustakaan, dan satu orang pegawai kebersihan. Jumlah siswa yang terdaftar sampai tahun ajaran 2009/2010 adalah kelas X berjumlah 360 orang, kelas X1 sebanyak 358 orang dan kelas XII sejumlah 360 orang. Sekolah tersebut memiliki sejumlah prestasi baik di bidang akademik maupun non akademik. Adapun visi dari sekolahnya adalah menjadi sekolah yang nyaman dengan sumberdaya manusia yang berkualitas dan berwawasan teknologi berlandaskan iman dan taqwa. Sedangkan misinya adalah meningkatkan prestasi akademik lulusan, membentuk peserta didik yang berakhlak mulia dan berbudi pekerti luhur, meningkatkan prestasi ekstrakurikuler, menumbuhkan minat baca, meningkatkan kemampuan berbahsa inggris, meningkatkan wawasan teknologi bagi pendidik dan peserta didik. Memiliki tujuan umum yaitu meningkatkan pengetahuan siswa untuk melanjutkan pendidikan pada jenjang pendidikan tinggi dan mampu mengembangkan diri sejalan dengan perkembangan ilmu pengetahuan, teknologi dan seni. Selain itu juga meningkatkan kemampuan siswa sebagai anggota masyarakat dalam mengadakan hubungan timbal balik dengan lingkungan sosial, budaya dan alam. Karakteristik Keluarga Usia Orangtua Usia orangtua dalam penelitian ini mengacu pada pembagian usia menurut Hurlock (1980) yang terdiri dari tiga kategori, yaitu dewasa muda (18-40 tahun), dewasa madya (41-60 tahun), dan dewasa akhir (>60 tahun). Tabel 3 menunjukkan bahwa hampir seluruh ayah contoh pada ketiga kelompok masuk dalam kategori usia madya (96,2% pada kelas akselerasi, 86,6% pada kelas SBI

49 39 dan 93,3% pada kelas reguler). Hasil uji beda one way anova menunjukkan bahwa tidak ada perbedaan (p>0,05) usia ayah contoh pada ketiga kelompok contoh. Tabel 3 Sebaran contoh berdasarkan usia orangtua Usia Akselerasi SBI Reguler Total n % n % n % n % Ayah Dewasa muda (18-40 tahun) 1 3, ,7 3 3,4 Dewasa madya (41-60 tahun) 25 96, , , ,9 Dewasa lanjut (>60 tahun) , ,3 Total ,4* ,6* Min-maks (tahun) Rataan ± standar deviasi 47,77±5,078 50,21±6, ,73±3, ,18±5,308 Ibu p value 0,900 Dewasa muda (18-40 tahun) 2 7,7 2 6,7 8 26, ,9 Dewasa madya (41-60 tahun) 24 92, , , ,1 Dewasa lanjut (>60 tahun) 0 0,0 0 0,0 0 0,0 0 0,0 Total Min-maks (tahun) Rataan ± standar deviasi ,19±3, ,43±4, ,83±2, ,80±3,922 p value 0,001** Keterangan: *=dua orang ayah contoh kelas SBI telah meninggal **=signifikan pada level 0,05 Usia ibu contoh pada ketiga kelas pun memiliki kategori yang sama, yaitu ketiganya masuk pada kategori dewasa madya (92,3% pada kelas akselerasi, 93,3% pada kelas RSBI dan 73,3% pada kelas reguler). Terdapat perbedaan yang nyata (p<0,05) antara kelas SBI dengan kelas reguler berdasarkan hasil uji beda one way anova. Usia ibu contoh kelas SBI lebih tinggi dibandingkan dengan usia ibu contoh kelas reguler (dapat dilihat pada lampiran 4). Tingkat Pendidikan Orangtua Pendidikan orangtua contoh berkisar antara tidak tamat SD sampai dengan tamat perguruan tinggi. Pendidikan ayah contoh dalam penelitian ini umumnya adalah tamat perguruan tinggi. Tabel 4 menunjukkan bahwa lebih dari separuh contoh dari kelas akselerasi (73,1%) dan SBI (63,3%) paling banyak memiliki ayah yang tamat perguruan tinggi (sarjana), sedangkan 50 persen contoh dari kelas reguler memiliki ayah yang tamat SMA. Contoh dari kelas reguler lebih

50 40 banyak yang memiliki ayah tidak meneruskan ke perguruan tinggi (63,4%) jika dibandingkan dengan kelas akselerasi (11,5%) dan kelas SBI (30%). Berdasarkan hasil uji beda kruskal wallis, terdapat perbedaan (p<0,05) tingkat pendidikan antara ayah contoh dari kelas akselerasi dengan kelas SBI, dan kelas reguler. Ayah contoh pada kelas akselerasi memiliki tingkat pendidikan yang lebih tinggi dibandingkan dengan ayah contoh pada kelas SBI dan reguler (dapat dilihat pada lampiran 10). Tabel 4 Sebaran contoh berdasarkan tingkat pendidikan orangtua Tingkat Pendidikan Akselerasi SBI Reguler Total n % n % n % n % Ayah Tidak tamat SD 0 0, ,0 0 0,0 SD/sederajat 0 0,0 0 0,0 2 6,7 2 2,3 SMP/sederajat 0 0,0 1 3,3 2 6,7 3 3,5 SMA/sederajat 3 11,5 6 20, , ,9 D1/D2/D3 4 15,4 2 6,7 1 3,3 7 8,2 S1/S2/S , , , ,8 Total ,9* ,7* p value 0,001** Ibu Tidak tamat SD 0 0,0 0 0,0 0 0,0 0 0,0 SD/sederajat 0 0,0 2 6,7 3 10,0 5 5,8 SMP/sederajat 0 0,0 0 0,0 7 23,3 7 8,1 SMA/sederajat 3 11, , , ,1 D1/D2/D3 5 19,2 2 6,7 2 6,7 9 10,5 S1/S2/S , ,3 3 10, ,5 Total p value 0,000** Keterangan: *=dua orang ayah contoh kelas SBI telah meninggal, **=signifikan pada level 0,05 Tidak jauh berbeda dengan pendidikan ayah, pendidikan ibu contoh dari kelas akselerasi sebanyak 69,2 persen merupakan tamatan perguruan tinggi (sarjana), sedangkan separuh contoh kelas reguler memiliki ibu dengan pendidikan tamat SMA. Hampir separuh ibu contoh (43,3%) pada kelas SBI merupakan tamatan SMA dan perguruan tinggi. Contoh dari kelas reguler memiliki ibu yang berpendidikan sampai tamat SMA dan tidak meneruskan ke perguruan tinggi lebih banyak (83,3%) dibandingkan dengan kelas SBI dan kelas akselerasi. Hasil uji beda kruskal wallis menunjukkan bahwa terdapat perbedaan

51 41 (p<0,05) antara pendidikan ibu contoh pada ketiga kelas. Ibu contoh pada kelas akselerasi memiliki tingkat pendidikan yang lebih tinggi dibandingkan dengan tingkat pendidikan ibu contoh kelas SBI dan reguler (dapat dilihat pada lampiran 10). Jenis Pekerjaan Orangtua Jenis pekerjaan ayah contoh cukup beragam, Tabel 5 menunjukkan bahwa ayah contoh pada ketiga kelas memiliki pekerjaan utama paling banyak di bidang swasta (46,2% pada kelas akselerasi, 36,7% pada kelas SBI dan 40% pada kelas reguler). Tabel 5 Sebaran contoh berdasarkan jenis pekerjaan orangtua Pekerjaan Ayah Akselerasi SBI Reguler Total n % n % n % n % Ayah Tidak bekerja 0 0,0 1 3,3 0 0,0 1 1,2 Wiraswasta 1 3,8 6 20,0 3 10, ,6 PNS 11 42,3 7 23,3 9 30, ,4 Swasta 12 46, , , ,7 ABRI 0 0,0 2 6,7 3 10,0 5 5,8 Buruh 0 0,0 0 0,0 2 6,7 2 2,3 Pensiunan 1 3,8 1 3,3 0 0,0 2 2,3 Dokter 1 3,8 0 0,0 0 0,0 1 1,2 Supir 0 0,0 0 0,0 1 3,3 1 1,2 Total * 93,3* ,7* Ibu Tidak bekerja 8 30, , , ,5 Wiraswasta 3 11,5 2 6,7 1 3,3 6 7,0 PNS 7 26,9 8 26,7 2 6, ,7 Swasta 7 26,9 2 6,7 0 0,0 9 10,5 ABRI 0 0,0 0 0,0 0 0,0 0 0,0 Buruh 0 0,0 0 0,0 0 0,0 0 0,0 Pensiunan 0 0,0 0 0,0 0 0,0 0 0,0 Dokter 1 3,8 1 3,3 0 0,0 2 2,3 Supir 0 0,0 0 0,0 0 0,0 0 0,0 Total Keterangan: *=dua orang ayah contoh kelas SBI telah meninggal Pekerjaan ibu contoh dari ketiga kelas pun memiliki kategori yang sama, yaitu paling banyak ibu contoh dari ketiga kelas tidak bekerja. Namun, jika dilihat dari status pekerjaannya, ibu contoh dari kelas akselerasi (69,1%) dan kelas SBI

52 42 (43,3%) lebih banyak yang bekerja dibandingkan dengan kelas reguler (10%) (Tabel 5). Besar Keluarga Besar keluarga dalam penelitian ini mengacu pada pembagian besar keluarga menurut Hurlock (1980) yang dibagi menjadi tiga kategori yaitu, keluarga kecil ( 4 orang), keluarga sedang (5-7 orang) dan keluarga besar ( 8 orang). Gambar 3 menunjukkan bahwa lebih dari separuh contoh pada ketiga kelas masuk dalam kategori keluarga sedang dan kelas SBI paling banyak masuk dalam kategori keluarga sedang dibandingkan kelas akselerasi dan kelas reguler yaitu sebesar 73,3%. Pada ketiga kelas tidak terdapat contoh yang masuk dalam kategori keluarga besar dan hasil uji beda one way anova, menunjukkan tidak terdapat perbedaan (p>0,05) besar keluarga antara ketiga kelas. 73,30% 42,30% 57,70% 26,70% 53,30% 46,70% keluarga kecil keluarga sedang keluarga besar 0% 0% 0% Akselerasi SBI Reguler Gambar 3 Sebaran contoh berdasarkan besar keluarga (n=86) Tingkat Pendapatan Tingkat pendapatan yang diamati dalam penelitian ini adalah pendapatan keluarga yaitu penjumlahan dari pendapatan setiap anggota keluarga. Perbedaan latar belakang pendidikan berhubungan dengan pendapatan keluarga (dapat dilihat pada lampiran 11), hal ini juga terlihat dari perbedaan (p<0,05) pendapatan yang dimiliki oleh keluarga contoh pada ketiga kelas. Keluarga contoh kelas akselerasi dan SBI memiliki pendapatan yang lebih tinggi dibandingkan dengan keluarga contoh pada kelas reguler (dapat dilihat pada lampiran 5). Lebih dari separuh keluarga contoh kelas akselerasi dan SBI memiliki pendapatan diatas Rp ,00 sedangkan sebagian besar keluarga contoh kelas reguler memiliki

53 43 pendapatan berkisar antara Rp ,00 hingga Rp ,00. Kelas akselerasi dan SBI dengan segala fasilitas yang lebih baik dibandingkan dengan kelas reguler menyebabkan biaya untuk pendidikannya pun lebih mahal dibandingkan dengan kelas reguler, sehingga sangat wajar apabila contoh pada kelas akselerasi dan SBI berasal dari keluarga dengan pendapatan yang tinggi. Tabel 6 Sebaran contoh berdasarkan pendapatan keluarga per bulan Akselerasi SBI Reguler Total Pendapatan keluarga/bulan n % n % n % n % Rp ,00 0 0,0 0 0,0 1 3,3 1 1,2 Rp ,00 - Rp ,00 0 0,0 2 6,7 7 23,3 9 10,5 Rp ,00 - Rp ,00 0 0,0 2 6,7 3 10,0 5 5,8 Rp ,00 - Rp ,00 1 3,8 3 10, , ,3 Rp ,00 Rp , ,9 5 16,7 3 10, ,4 >Rp , , ,0 6 20, ,8 Total p value 0,000* Keterangan: *= signifikan pada level 0,05 Jenis Kelamin Karakteristik Contoh Contoh dari penelitian ini berjumlah 86 orang yang terdiri dari tiga kelas berbeda. Sebanyak 26 orang kelas akselerasi, 30 orang kelas SBI dan 30 orang kelas reguler. Ketiga kelas tersebut memiliki latar belakang yang berbeda karena berasal dari dua sekolah yang berbeda. Gambar 4 menunjukkan bahwa contoh pada ketiga kelas paling banyak berjenis kelamin perempuan (61,5% pada kelas akselerasi, 60,0% pada kelas SBI dan 66,7% pada kelas reguler). 61,50% 60% 66,70% 38,50% 40% 33,30% laki-laki perempuan Akselerasi SBI Reguler Gambar 4 Sebaran contoh berdasarkan jenis kelamin (n=86).

54 44 Usia Contoh Contoh masuk dalam kategori remaja yang berkisar antara 14 tahun sampai dengan 18 tahun. Berdasarkan teori perkembangan kognitif Piaget (Santrock 2007) remaja berada pada tahap formal operasional yang merupakan tahap akhir dari perkembangan kognisi. Menurut teori psikososial Erickson (Santrock 2002) pada masa remaja seorang individu sedang mengembangkan sikap Identity vs Identity Confusion. Artinya pada masa remaja seorang individu berada pada fase belajar untuk menguasai fungsi fisik maupun psikisnya dan pada fase ini remaja menjalani perasaan atau kesadaran akan jati dirinya.. Tabel 7 menunjukkan bahwa lebih dari separuh contoh (65,4%) pada kelas akselerasi berusia 15 tahun. Sedangkan kelas SBI dan reguler memiliki paling banyak jumlah contoh dengan usia yang sama (16 tahun) yaitu sebesar 53,3 persen. Usia paling muda adalah 14 tahun dan terdapat pada kelas akselerasi (3,8%) dan usia contoh paling tinggi adalah 18 tahun berada pada kelas SBI (3,3%). Usia contoh kelas akselerasi lebih muda dibandingkan dengan kelas SBI dan reguler, hal ini diduga karena terdapat contoh pada kelas akselerasi ketika SMP merupakan siswa akselerasi pula. Perbedaan tersebut didukung oleh hasil uji beda one way anova yang menunjukkan bahwa terdapat perbedaan (p<0,05) usia contoh kelas akselerasi dengan dua kelas lainnya. Tabel 7 Sebaran contoh berdasarkan usia contoh Usia Akselerasi SBI Reguler Total n % n % n % n % 14 tahun 1 3,8 0 0,0 0 0,0 1 1,2 15 tahun 17 65,4 0 0,0 0 0, ,7 16 tahun 8 30, , , ,5 17 tahun 0 0, , , ,4 18 tahun 0 0,0 1 3,3 0 0,0 1 1,2 Total Min-mak (tahun) Rataan ± standar deviasi 15,27±0,533 16,50±0,572 16,47±0,507 16,12±0,773 P value 0,000* Keterangan: *=signifikan pada level 0,05

55 45 Urutan Contoh dalam Keluarga Contoh pada ketiga kelas merupakan anak sulung dan contoh pada kelas akselerasi paling banyak masuk dalam kategori anak sulung dibandingkan contoh pada kelas akselerasi dan kelas SBI yaitu sebesar 61,5 persen. Pada kelas SBI terdapat contoh yang merupakan anak tengah dan bungsu dengan jumlah yang sama yaitu sebesar 26,7 persen (Gambar 5) 61,50% 46,60% 50% 15.40% 23,10% 26,70% 26,70% 26,70% 23,30% anak sulung anak tengah anak bungsu Akselerasi SBI Reguler Gambar 5 Sebaran contoh berdasarkan urutan kelahiran (n=86). Gaya Pengasuhan Gaya pengasuhan yang dipakai dalam penelitian ini adalah gaya pengasuhan menurut Baumrind (1972) diacu dalam Goleman (1997) yang terdiri dari tiga tipe gaya pengasuhan yaitu: otoriter, permissif dan otoritatif. Tabel 8 menunjukkan bahwa lebih dari separuh contoh pada kelas akselerasi (69,2%) dan kelas reguler (60,0%) memiliki persepsi gaya pengasuhan orangtua yang otoriter. Sedangkan 46,7 persen contoh pada kelas SBI memiliki persepsi gaya pengasuhan orangtua yang otoritatif. Pada ketiga kelas tidak terdapat perbedaan (p>0,05) persepsi gaya pengasuhan orangtua berdasarkan hasil uji beda kruskal wallis. Tabel 8 Sebaran contoh berdasarkan gaya pengasuhan Kategori Akselerasi SBI Reguler Total n % n % n % n % Otoriter 18 69, , , ,0 Permissif 2 7,7 3 10,0 2 6,7 7 8,1 Otoritatif 6 23, , , ,9 Total p value 0,471

56 46 Secara keseluruhan, sebagian besar contoh memiliki persepsi gaya pengasuhan yang otoritatif, artinya anak dibesarkan dengan kehangatan yang rendah tetapi memiliki kontrol yang sangat tinggi. Hal ini dapat terlihat dari jawaban contoh (lampiran 1), sebesar 64,0 persen contoh menjawab sangat sering terhadap pernyataan orangtua memberikan hukuman tanpa memberi kesempatan kepada contoh untuk menjelaskan duduk persoalannya (otoriter, kontrol tinggi). Lebih dari separuh contoh (60,5%) contoh menjawab sangat sering atau selalu terhadap pernyataan orangtua menentukan dengan siapa contoh harus bergaul, tanpa mempertimbangkan perasaannya (otoriter, kontrol tinggi dan kehangatan rendah) dan terdapat 60,5 persen contoh yang menjawab sangat sering terhadap pernyataan orangtua memaksa contoh untuk mengikuti les tambahan tanpa memperhatikan kegiatan ia yang lain (otoriter, kehangatan rendah dan kontrol tinggi). Selain itu juga lebih dari separuh contoh (57,0%) menjawab sering terhadap pernyataan orangtua membebaskan kemapa pun contoh pergi sesuai dengan kebutuhannya (permissif, kehangatan tinggi dan kontrol rendah). Sebanyak 65,1 persen contoh menjawab sering terhadap pernyataan orangtua akan mentoleransi perbedaan pendapat antara contoh dan orangtuanya (otoritatif, kehangatan dan kontrol tinggi). Hasil penelitian ini senada dengan hasil penelitian Hassan (Elias & Yee 2009) yang menunjukkan bahwa sebagain besar pelajar di Kelantan Malaysia mempersepsikan gaya pengasuhan orangtuanya adalah otoriter. Hasil yang sama juga dikemukakan oleh Dornbusch, et al. (Elias & Yee 2009) bahwa orangtua di beberapa keluarga Asia dan percampuran Asia-Amerika yang tinggal di Amerika cenderung menerapkan gaya pengasuhan yang otoriter dibandingkan dengan gaya pengasuhan yang otoritatif. Hal ini dikarenakan keluarga Asia-Amerika merupakan kelompok minoritas di Amerika, sehingga orangtua merasa perlu untuk menjaga identitas dari negara asalnya (Lim dalam Elias & Yee 2009). Namun hasil yang berbeda ditunjukkan oleh penelitian dari Rahmaisya (2011) yang menunjukkan bahwa sebagian besar siswa SMA mempersepsikan gaya pengasuhan orangtuanya adalah otoritatif yang berarti sebagian besar contoh diasuh oleh orangtuanya dengan kontrol dan kehangatan yang tinggi.

57 47 Konsep Diri Konsep diri merupakan pandangan seseorang terhadap dirinya sendiri, termasuk didalammya persepsi individu dengan orang lain maupun lingkungannya. Fitts (1971) juga menyatakan bahwa terdapat dua dimensi diri yaitu dimensi internal diri yang terdiri dari tiga bagian (pengamatan identitas, tingkah laku dan kepuasan) dan dimensi eksternal yang terdiri dari lima bagian (fisik, etik moral, personal, keluarga dan sosial). Kedua dimensi ini beserta bagian-bagian diri yang ada saling berhubungan membentuk suatu kepribadian. Dimensi fisik. Dimensi fisik merupakan persepsi individu mengenai dirinya yang berhubungan dengan keadaan secara fisik seperti kesehatan jasmani dan penampilan Tabel 9 menunjukkan bahwa pada bagian identitas diri fisik, tingkah laku fisik, dan kepuasan diri fisik, lebih dari separuh contoh masuk dalam kategori yang positif. Kepuasan diri fisik memiliki persentase kategori positif yang lebih besar dibandingkan dengan bagian tingkah laku fisik dan identitas diri fisik, yaitu sebesar 83,7 persen dan sisanya 16, 3 persen masuk dalam kategori yang negatif. Hasil uji beda one way annova menunjukkan bahwa tidak terdapat perbedaan (p>0,05) identitas diri fisik, tingkah laku fisik, dan kepuasan diri fisik. Tabel 9 Sebaran contoh berdasarkan konsep diri dimensi fisik Dimensi Akselerasi SBI Reguler Total n % n % n % n % Identitas diri fisik positif 14 53, , , ,4 negatif 12 46,2 5 16,7 5 16, ,6 Total p value 0,084 Tingkah laku diri fisik positif 16 61, , , ,3 negatif 10 38,5 8 26, , ,7 Total p value 0,372 Kepuasan diri fisik positif 22 84, , , ,7 negatif 4 15,4 5 16,7 5 16, ,3 Total p value 0,546 Total Dimensi Fisik positif 18 69, , ,9 negatif 8 30,7 5 16, ,1 Total p value 0,232

58 48 Dimensi etik moral. Dimensi etik moral merupakan persepsi individu terhadap dirinya yang berhubungan dengan suatu hal yang seharusnya dan tidak seharusnya dilakukan sesuai dengan norma dan aturan yang berlaku di sekitarnya (konsep moral baik dan tidak baik). Hampir seluruh contoh (95,3%) memiliki identitas diri etik moral yang masuk pada kategori positif dan tidak ada satu pun contoh dari kelas reguler yang masuk dalam kategori negatif. Begitu pun pada bagian kepuasan etik moral, hampir seluruh contoh (95,3%) masuk dalam kategori yang positif dan tidak ada contoh dari kelas SBI yang masuk dalam kategori negatif. Pada bagian tingkah laku etik moral, lebih dri separuh contoh (74,4%) memiliki kategori yang positif dan sisanya (25,6%) masuk dalam kategori yang negatif. Hasil uji beda one way annova menunjukkan bahwa tidak terdapat perbedaan (p>0,05) identitas diri etik moral, tingkah laku etik moral, dan kepuasan diri etik moral contoh pada ketiga kelas (Tabel 10). Tabel 10 Sebaran contoh berdasarkan konsep diri dimensi etik moral Dimensi Akselerasi SBI Reguler Total n % n % n % n % Identitas diri etik moral positif 24 92, , ,3 negatif 2 7,7 2 6,7 0 0,0 4 4,7 Total p value 0,536 Tingkah laku diri etik moral positif 17 65, , , ,4 negatif 9 34, ,3 3 10, ,6 Total p value 0,477 Kepuasan diri etik moral positif 23 88, , ,3 negatif 3 11,5 0 0,0 1 3,3 4 4,7 Total p value 0,211 Total Dimensi Etik Moral positif 24 92, , ,5 negatif 2 7,7 1 3,3 0 0,0 3 3,5 Total p value 0,722

59 49 Dimensi personal. Dimensi personal merupakan persepsi individu terhadap dirinya yang berhubungan dengan afeksi atau perasaan yang sebenarnya ada di dalam dirinya, tidak terlihat namun dapat dirasakan. Tabel 11 menunjukkan bahwa lebih dari separuh contoh memiliki kategori yang positif untuk identitas diri personal, tingkah laku diri personal, dan kepuasan diri personal. Kepuasan diri personal memiliki persentase kategori positif yang lebih besar dibandingkan dengan identitas diri dan tingkah laku diri personal, yaitu sebesar 81,4 persen dan pada kategori negatif nya memiliki persentase yang lebih kecil yaitu sebesar 18,6 persen. Berdasarkan hasil uji beda, tidak ditemukan perbedaan (p>0,05) antara indentitas diri personal, tingkah laku diri personal, dan kepuasan diri personal. Tabel 11 Sebaran contoh berdasarkan konsep diri dimensi personal. Dimensi Akselerasi SBI Reguler Total n % n % n % n % Identitas diri personal positif 22 84, , , ,2 negatif 4 15, ,3 3 10, ,8 Total p value 0,488 Tingkah laku diri personal positif 21 80, , , ,9 negatif 5 19,2 8 26,7 6 20, ,1 Total p value 0,763 Kepuasan diri personal positif 21 80, , , ,4 negatif 5 19,2 5 16,7 6 20, ,6 Total p value 0,956 Total Dimensi Personal positif 22 84, , , ,4 negatif 4 15,4 8 26,7 4 13, ,6 Total p value 0,623 Dimensi keluarga. Dimensi keluarga merupakan persepsi individu yang berhubungan dengan penilaian diri atas keberadaannya di lingkungan keluarga, persepsi dirinya terhadap keberadaan anggota keluarga lainnya dan juga pandangan atas penilaian anggota keluarga terhadap dirinya. Hampir separuh contoh memiliki identitas diri keluarga, tingkah laku diri keluarga, dan kepuasan diri keluarga yang positif dengan masing-masing persentase 93 persen, 91,9

60 50 persen, dan 86 persen. Tidak ada satu pun contoh dari kelas akselerasi yang memiliki identitas diri keluarga yang negatif dan tidak ada pula contoh yang memiliki tingkah laku diri negatif dari kelas reguler. Hasil uji beda one way annova menunjukkan bahwa terdapat perbedaan (p<0,05) tingkah laku diri contoh pada ketiga kelas. Kelas reguler memiliki tingkah laku diri keluarga yang lebih tinggi dibandingkan dengan tingkah laku diri keluarga contoh pada kelas akselerasi dan SBI (dapat terlihat pada lampiran 7). Tabel 12 Sebaran contoh berdasarkan konsep diri dimensi keluarga Dimensi Akselerasi SBI Reguler Total n % n % n % n % Identitas diri keluarga positif , , ,0 negatif 0 0,0 3 10,0 3 10,0 6 7,0 Total p value 0,212 Tingkah laku diri keluarga positif 22 84, , ,9 negatif 4 15,4 3 10,0 0 0,0 7 8,1 Total p value 0,041* Kepuasan diri keluarga positif 23 76, , , ,0 negatif 3 11,5 8 26,7 1 3, ,0 Total p value 0,655 Total Dimensi Keluarga positif 25 96, , ,7 negatif 1 3,8 1 3,3 0 0,0 2 2,3 Total p value 0,658 Keterangan: *=signifikan pada level 0,05 Dimensi sosial. Dimensi sosial merupakan persepsi individu mengenai hubungan dirinya dengan lingkungan sosialnya. Hampir seluruh contoh memiliki identitas diri sosial dan kepuasan diri sosial yang positif dengan persentase identitas diri sosial lebih besar dibandingkan dengan kepuasan diri sosial, yaitu sebesar 93 persen. Berbeda dengan identitas diri dan kepuasan diri sosial, pada tingkah laku diri sosial kebanyakan contoh berada dalam kategori yang negatif, yaitu sebesar 70,9 persen dan hanya 29,1 persen yang masuk dalam kategori positif. Hasil uji beda one way annova menunjukkan bahwa tidak terdapat

61 51 perbedaan (p>0,05) identitas diri sosial, tingkah laku diri sosial, dan kepuasan diri sosial pada ketiga kelas. Tabel 13 Sebaran contoh berdasarkan konsep diri dimensi sosial Dimensi Akselerasi SBI Reguler Total n % n % n % n % Identitas diri sosial positif 24 92, , , ,0 negatif 2 7,7 3 10,0 1 3,3 6 7,0 Total p value 0,102 Tingkah laku diri sosial positif 9 34,6 9 30,0 7 23, ,1 negatif 17 65, , , ,9 Total p value 0,553 Kepuasan diri sosial positif 23 88, , , ,0 negatif 3 11,5 5 6,7 4 13, ,0 Total p value 0,823 Total Dimensi Sosial positif 25 96, ,8 negatif 1 3,8 0 0,0 0 0,0 1 1,2 Total p value 0,255 Semua dimensi, lebih dari separuh contoh masuk dalam kategori yang positif, terkecuali pada dimensi tingkah laku diri sosial. Sebanyak 70,9 persen memiliki tingkah laku diri sosial yang negatif dan sisanya masuk dalam kategori yang positif. Dimensi etik moral, keluarga dan sosial yang positif memiliki persentase yang lebih besar dibandingkan dengan dimensi lainnya. Hal tersebut menunjukkan bahwa contoh memiliki kepuasan yang tinggi terhadap sikap dengan lingkungan luar dan interaksi sosialnya serta contoh mampu mengenali keberadaan diri dan hubungan di dalam keluarganya. Sesuai dengan yang dikemukakan oleh Hurlock (1980) bahwa remaja akan selalu berusaha memperbaiki diri, menonjolkan apa yang dia miliki untuk pendapatkan penilaian yang baik serta penerimaan dari kelompok sosialnya. Lebih lanjut Hurlock menyatakan remaja membentuk kode moral berdasarkan konsep benar dan salah, mereka akan terus mencari kekonsistenan konsep benar yang salah demi memperoleh dukungan sosial. Remaja akan merasa

62 52 bersalah bila menyadari bahwa perilakunya tidak memenuhi harapan sosial kelompoknya. Dalam hubungan dengan keluarga, seorang remaja yang mempunyai hubungan yang erat dengan seorang anggota keluarga akan mengidentifikasikan diri dengan orang tersebut dan ingin mengembangkan pola kepribadian yang sama. Bila tokoh tersebut sesama jenis, remaja akan tertolong untuk mengembangkan konsep diri yang layak untuk sesama jenisnya. Konsep diri. Hampir seluruh contoh (97,7%) memiliki konsep diri yang positif. Hal ini berarti bahwa hampir seluruh contoh memiliki persepsi yang baik terhadap dirinya sendiri, juga dapat mengenali dirinya dengan baik. Hanya terdapat 2,3 persen contoh yang memiliki konsep diri negatif berada pada kelas akselerasi dan SBI. Tidak ada satu orang contoh pun dari kelas regular yang memiliki konsep diri yang negatif. Hal ini menunjukkan bahwa konsep diri yang dimiliki oleh contoh pada ketiga kelas cukup baik dan contoh dapat mengenali serta memahami dirinya sendiri dengan baik pula. Hasil penelitian ini sejalan dengan hasil penelitian Sukmanti (2005) yang menyatakan bahwa remaja memiliki konsep diri yang cenderung positif. Remaja yang memiliki konsep diri yang positif dapat memahami dan menerima sejumlah fakta yang sangat bermacam-macam tentang dirinya sendiri, akan tetapi bukan berarti dirinya tidak pernah kecewa terhadap dirinya sendiri. Selain dapat menerima dirinya sendiri, remaja yang memiliki konsep diri positif juga dapat menerima penilaian orang lain. Hasil uji beda one way anova menunjukkan bahwa tidak terdapat perbedaan (p>0,05) konsep diri contoh diantara ketiga kelas (Tabel 14). Tabel 14 Sebaran contoh berdasarkan konsep diri Konsep Diri Akselerasi SBI Reguler Total n % n % n % n % positif 25 96, , ,7 negatif 1 3,8 1 3,3 0 0,0 2 2,3 Total p value 0,827 Motivasi Belajar Motivasi belajar merupakan suatu dorongan yang mengarahkan seseorang untuk melakukan suatu perbuatan yaitu dalam hal ini mengarahkan kepada perbuatan belajar. Menurut Santrock (2007) terdapat dua macam motivasi, yaitu

63 53 motivasi ekstrinsik dan intrinsik. Motivasi ekstrinsik adalah melakukan sesuatu untuk mendapatkan sesuatu yang lain (cara untuk mencapai tujuan) dan sering dipengaruhi oleh insentif eksternal seperti imbalan dan hukuman. Motivasi intrinsik merupakan motivasi internal untuk melakukan sesuatu demi sesuatu itu sendiri (tujuan itu sendiri). Motivasi intrinsik. Tabel 15 menunjukkan bahwa lebih dari separuh contoh pada ketiga kelas memiliki motivasi intrinsik yang masuk dalam kategori sedang. Walaupun ketiganya berada dalam kategori yang sama, kelas akselerasi memiliki persentase yang lebih besar dibandingkan dengan kelas SBI dan reguler, yaitu sebasar 88,4 persen. Tidak ada satu orang contoh pun dari kelas SBI yang masuk dalam kategori rendah. Hasil uji beda one way annova menunjukkan bahwa terdapat perbedaan (p<0,05) motivasi intrinsik diantara ketiga kelas. Motivasi intrinsik contoh pada kelas reguler dan kelas SBI lebih tinggi dibandingkan dengan motivasi intrinsik contoh pada kelas akselerasi (dapat terlihat pada lampiran 8). Tabel 15 Sebaran contoh berdasarkan motivasi intrinsik Motivasi Intrinsik Akselerasi SBI Reguler Total n % n % n % n % rendah (<60) 1 3,8 0 0,0 1 3,3 2 2,3 sedang (60-80) 23 88, , , ,4 tinggi (>80) 2 7,7 8 26, , ,3 Total Min-maks Rataan±standar deviasi 43,35±4,039 47,60±4,628 47,83±4,749 46,40±4,888 p value 0,000* Keterangan: *=signifikan pada level 0,05 Motivasi ekstrinsik. Pada motivasi ekstrinsik, lebih dari separuh contoh ada ketiga kelas masuk dalam kategori sedang, dan kelas akselerasi memiliki persentase yang lebih besar dibanding dua kelas lainnya, yaitu sebesar 84,6 persen. Sebesar 15,4 persen contoh pada kelas akselerasi yang memiliki motivasi ektrinsik masuk dalam kategori tinggi. Tidak ada satu orang contoh pun pada ketiga kelas yang masuk dalam kategori rendah. Berdasarkan hasil uji beda one way annova, tidak ditemukan perbedaan (p>0,05) motivasi ektrinsik pada ketiga contoh.

64 54 Tabel 16 Sebaran contoh berdasarkan motivasi ekstrinsik Motivasi Ekstrinsik Akselerasi SBI Reguler Total n % n % n % n % rendah (<60) 0 0,0 0 0,0 0 0,0 0 0,0 sedang (60-80) 22 84, , , ,4 tinggi (>80) 4 15,4 6 20,0 6 20, ,6 Total Min-maks Rataan±standar deviasi 46,12±4,484 45,40±4,065 45,33±3,367 45,59±3,942 p value 0,724 Motivasi. Tabel 17 menunjukkan bahwa lebih dari separuh contoh pada ketiga kelas memiliki motivasi belajar yang masuk dalam kategori sedang. Walaupun ketiganya berada dalam kategori yang sama, kelas akselerasi memiliki persentase yang lebih besar dalam kategori sedang dibandingkan dengan kelas SBI dan kelas akselerasi yaitu sebesar 84,6 persen. Berdasarkan hasil uji beda one way anova tidak terdapat perbedaan (p>0,05) motivasi belajar diantara ketiga kelas. Tabel 17 Sebaran contoh berdasarkan motivasi Kategori Akselerasi SBI Reguler Total n % n % n % n % rendah (<60) 0 0,0 0 0,0 0 0,0 0 0,0 sedang (60-80) 22 84, , , ,0 tinggi (>80) 4 15, , , ,0 Total Min-maks Rataan±standar deviasi 89.46± ± ± ±7.469 p value 0,120 Menurut Ahmadi dan Supriyono (2004), motivasi sebagai faktor inner (batin) berfungsi menimbulkan, mendasari, dan mengarahkan perbuatan belajar. Sejalan dengan pernyataan Halim (2005) bahwa dalam belajar,tingkat ketekunan siswa sangat ditentukan oleh adanya motif dan kuat lemahnya motivasi belajar yang ditimbulkan oleh motif tersebut. Dalam kenyataannya semakin besar motif yang ada dalam diri seseorang akan semakin kuat motivasi belajarnya. Prestasi Belajar Prestasi belajar merupakan hasil belajar yang diperoleh dari kegiatan pembelajaran di sekolah yang bersifat kognitif dan biasanya ditentukan melalui pengukuran dan penilaian, lazimnya ditunjukkan dengan nilai tes atau angka yag

65 55 diberikan oleh guru. Prestasi siswa yang dalam penelitian ini diamati dari tiga aspek yaitu kognitif, psikomotorik, dan afektif serta pengukurannya menggunakan nilai rapor siswa. Tabel 18 Sebaran contoh berdasarkan prestasi belajar Kategori Akselerasi SBI Reguler Total n % n % n % n % Kognitif rendah (<60) 0 0,0 0 0,0 0 0,0 0 0,0 sedang (60-80) 0 0, , ,7 tinggi (>80) ,3 0 0, ,3 Total Min-maks Rataan±standar deviasi 83,07±1,840 80,30±2,050 76,93±0,868 79,65±2,990 p value 0,000* Psikomotorik rendah (<60) 0 0,0 0 0,0 0 0,0 0 0,0 sedang (60-80) 0 0,0 1 3, ,0 tinggi (>80) ,7 0 0, ,0 Total Min-maks Rataan±standar deviasi 84,00±0,864 81,16±0,936 77,79±0,779 80,84±2,662 p value 0,000* Afektif rendah (<60) 0 0,0 0 0,0 0 0,0 0 0,0 sedang (60-80) 0 0,0 0 0,0 0 0,0 0 0,0 tinggi (>80) Total Min-maks 3,3-3,8 3,1-3,8 3,5-3,9 3,1-3,9 Rataan±standar deviasi 3,57±0,171 3,40±0,171 3,72±0,119 3,56±0,201 p value 0,000* Keterangan: * = signifikan pada level 0,05 Seluruh contoh pada kelas akselerasi memiliki prestasi belajar (kognitif, psikomotorik, dan afektif) yang tergolong dalam kategori tinggi. Seluruh contoh kelas reguler berada dalam kategori sedang (kognitif dan psikomotorik) dan prestasi afektifnya berada dalam kategori tinggi. Kelas SBI memiliki prestasi psikomotorik dan afektif yang tergolong pada kategori tinggi, sedangkan prestasi kognitifnya berada dalam kategori sedang yaitu sebesar 56,7 persen. Hasil uji beda one way anova menunjukkan bahwa terdapat perbedaan (p<0,05) prestasi antara kelas akselerasi, kelas SBI dan kelas reguler. Kelas akselerasi memiliki

66 56 prestasi yang lebih tinggi dibandingkan dengan kelas SBI dan reguler dalam aspek kognitif dan psikomotorik, sebaliknya dalam aspek afektif kelas reguler memiliki prestasi yang lebih tinggi dibandingkan dengan kelas akselerasi dan SBI (dapat terlihat pada lampiran 9). Hal tersebut diduga karena adanya perbedaan lingkungan atau metode pembelajaran serta kemampuan terhadap penguasaan materi antara kelas akselerasi dengan kelas SBI dan reguler. Pada dasarnya program akselerasi merupakan layanan khusus peserta didik yang memiliki potensi kecerdasan dan keterbakatan akademik istimewa serta memungkinkan siswa untuk mempercepat penguasaan bahan-bahan secara tuntas (Hawadi et al. 2001). Hubungan antar Variabel Hubungan Karakteristik Keluarga dan Karakteristik Contoh dengan Gaya Pengasuhan Hasil uji korelasi menunjukkan bahwa secara keseluruhan tidak terdapat hubungan antara karakteristik keluarga dan karakteristik contoh dengan gaya pengasuhan. Akan tetapi, jika dilihat berdasarkan tipe gaya pengasuhannya, terdapat hubungan negatif antara usia ayah dengan gaya pengasuhan permissif. Artinya, semakin tinggi usia ayah maka gaya pengasuhan yang diterapkan semakin tidak permissif. Hal ini diduga terkait dengan usia yang dimiliki orangtua dalam penelitian ini merupakan usia yang tergolong dalam kategori dewasa madya. Menurut Hurlock (1980) usia dewasa madya merupakan usia yang biasanya memiliki anak dalam tahap usia remaja dan salah satu tugas perkembangan usia madya yang berkaitan dengan kehidupan keluarga adalah membantu anak remaja untuk menjadi orang dewasa yang bertanggungjawab dan bahagia. Melihat pernyataan tersebut, maka diduga orangtua terutama ayah masih menerapkan kontrol terhadap anaknya yang dilakukan untuk melatih anaknya menjadi seorang yang dewasa dan bertanggungjawab. Terlebih dalam tahapan remaja, individu lebih terpengaruh oleh lingkungan teman sebayanya dan tidak sedikit bahaya yang mengancam selama berada pada tahapan remaja, sehingga orangtua terutama ayah lebih menerapkan kontrol untuk melindunginya.

67 57 Karakteristik keluarga yang juga berhubungan dengan tipe gaya pengasuhan adalah status pekerjaan ibu. Status pekerjaan ibu berhubungan negatif dengan gaya pengasuhan permissif. Hal ini menggambarkan ibu yang bekerja cenderung menerapkan gaya pengasuhan yang semakin tidak permissif dibandingkan ibu yang tidak bekerja. Long dan Long (1983) diacu dalam Santrock (2007) mengemukakan hasil penelitiannya bahwa sebagian besar remaja yang memperlihatkan kenakalan, penggunaan obat dan alkohol, serta permasalahan di sekolah adalah mereka yang kurang memiliki pengawasan dan tanpa batasan dari orangtua tua karena ibu yang bekerja (latchkey). Kurangnya pengawasan orangtua pada jam-jam setelah sekolah dimana orangtua masih bekerja merupakan salah satu masalah utama dewasa ini. Orangtua perlu memberikan perhatian khusus pada bagaimana kehidupan mereka dapat dipantau dengan efektif. Pemantauan orangtua dan pengasuhan orangtua yang bersifat otoritatif dapat membantu remaja untuk dapat lebih mampu mengatasi permasalahan remaja, khususnya menolak pengaruh dari teman sebaya. Melihat kenyataan tersebut, diduga ibu contoh yang bekerja memiliki rasa kekhawatiran dan peduli yang masih tinggi terhadap contoh sehingga ibu mengurangi gaya pengasuhan yang permissif dan meskipun ibu bekerja tetap menerapkan kontrol serta pengawasan terhadap contoh. Tabel 19 Koefisien korelasi antara karakteristik keluarga dan contoh dengan gaya pengasuhan Variabel Tipe Gaya Pengasuhan Otoriter Permissif Otoritatif Besar keluarga 0,103 0,048 0,028-0,070 Usia ayah -0,069-0,271* 0,039 0,014 Usia ibu -0,039-0,052-0,075-0,148 Pendidikan ayah 0,150 0,019 0,050 0,056 Pendidikan ibu -0,054-0,093-0,182 0,027 Status pekerjaan ibu -0,078-0,243* -0,186 0,070 Pendapatan keluarga per -0,203 0,064 0,115 0,044 bulan Jenis Kelamin 0,029* 0,356 0,376 0,143 Keterangan: * = Signifikan pada selang kepercayaan 95% ** = Signifikan pada selang kepercayaan 99%

68 58 Hasil uji korelasi juga menunjukkan adanya hubungan antara jenis kelamin dengan gaya pengasuhan otoiter. Hal ini diduga karena orangtua yang memiliki anak perempuan memiliki kekhawatiran yang lebih besar dibandingkan dengan orangtua yang memiliki anak laki-laki, sehingga orangtua yang memiliki anak perempuan bersikap lebih ketat dalam mengawasi anak perempuannya dan memperhatikan perilaku mereka lebih dekat. Papini dan Sebby (1988) diacu dalam Santrock (2003) menyatakan orangtua memperlakukan anak laki-laki lebih mandiri daripada anaka perempuan, dan lebih memperhatikan tentang kerawanan seksual anak perempuan yang mengakibatkan orangtua terus memperhatikan perilaku mereka lebih dekat dan memastikan bahwa anak perempuannya diawasi. Keluarga yang memiliki anak remaja perempuan menunjukkan bahwa mereka mengalami lebih banyak konflik tentang seks, pemilihan teman, dan jam malam daripada keluarga yang memiliki anak remaja laki-laki. Hubungan Gaya Pengasuhan dengan Konsep Diri Hasil penelitian menunjukkan bahwa gaya pengasuhan berhubungan dengan konsep diri (r=0,041; α=0,05) dan jika dilihat berdasarkan tipe gaya pengasuhannya pun terdapat hubungan antara gaya pengasuhan otoriter dengan konsep diri dan gaya pengasuhan otoritatif juga berhubungan dengan konsep diri. Artinya semakin orangtua menerapkan gaya pengasuhan yang cenderung otoriter, maka konsep diri contoh semakin positif. Demikian pula dengan orangtua yang menerapkan gaya pengasuhan yang cenderung otoritatif, maka semakin positif pula konsep diri yang dimiliki contoh. Persamaan yang dimiliki antara gaya pengasuhan otoriter dan otoritatif terletak pada adanya arahan yang diberikan kepada anak, hal tersebut lah yang diduga berhubungan dengan konsep diri. Arahan yang diberikan oleh orangtua yang otoriter dan otoritatif meskipun disampaikan dengan cara yang berbeda, dapat menjadi pegangan anak untuk menentukan suatu sikap terhadap dirinya, sehingga dapat mengenali dan mempercayai dirinya. Menurut Baumrind (1967), gaya pengasuhan orangtua yang otoritatif bersikap terbuka, fleksibel dan memberikan kesempatan kepada anaknya untuk dapat tumbuh dan berkembang dengan peraturan yang rasional. Sementara itu anak yang dibesarkan dengan gaya pengasuhan otoriter cenderung menunjukkan sikap patuh dan akan menyesuaikan

69 59 dirinya pada standar-standar tingkah laku yang sudah diterapkan oleh orangtuanya, namun dibalik itu sesungguhnya mereka merasa menderita dengan kehilangan rasa percaya diri dan pada umumnya lebih tertekan dan lebih menderita secara somatik dibandingkan kelompok teman sebayanya. Tabel 20 menunjukkan bahwa hampir seluruh contoh (92,8%) yang memiliki konsep diri yang positif, dibesarkan oleh orang tua dengan gaya pengasuhan yang cenderung otoriter dan otoritatif. Tidak ada contoh satu orang pun yang dibesarkan dengan gaya pengasuhan otoritatif yang memiliki konsep diri negatif. Tabel 20 Sebaran gaya pengasuhan berdasarkan konsep diri Konsep diri Gaya pengasuhan positif negatif r n % n % Otoriter 48 57,1 1 50,0 0,272* Permissif 6 7,2 1 50,0 0,057 Otoritatif 30 35,7 0 0,0 0,235* Total ,041* Keterangan: * = signifikan pada level 0,05 Hubungan Gaya Pengasuhan dengan Motivasi Belajar Menurut Dimyati (2002) motivasi belajar mudah diperkuat salah satunya oleh kondisi rumah beserta hubungan yang terdapat di dalamnya, yaitu interaksi orangtua dengan anak dan bagaimana orangtua memperlakukan anak. Hasil uji korelasi dalam penelitian ini menunjukkan bahwa gaya pengasuhan otoritatif berkorelasi positif dengan motivasi intrinsik (r=0,297, α=0,01). Artinya, semakin orangtua menerapkan gaya pengasuhan yang cenderung otoritatif maka semakin besar pula motivasi yang datang dari diri sendiri. Hampir separuh contoh (45%) dari contoh yang memiliki motivasi intrinsik tinggi dibesarkan dengan gaya pengasuhan yang cenderung otoritatif, dan tidak ada satu orang contoh pun yang dibesarkan dengan gaya pengasuhan otoritatif memiliki motivasi intrinsik yang rendah.

70 60 Tabel 21 Sebaran gaya pengasuhan berdasarkan motivasi intrinsik Motivasi Intrinsik Gaya pengasuhan rendah sedang tinggi r n % n % n % Otoriter 1 50, , ,0 0,065 Permissif 1 50,0 5 7,8 1 5,0 0,127 Otoritatif 0 0, ,8 9 45,0 0,297** Total ,156 Keterangan: ** = signifikan pada level 0,01 Tidak terdapat hubungan antara gaya pengasuhan otoriter, permissif, maupun otoritatif dengan motivasi ekstrinsik. Contoh yang memiliki motivasi ekstrinsik dengan kategori tinggi, dibesarkan dengan gaya pengasuhan orangtua yang cenderung otoriter dan otoritatif. Sebanyak 10 persen contoh yang memiliki motivasi ekstrinsik sedang berasal dari orangtua dengan gaya pengasuhan yang cenderung permissif. Tidak ada contoh satu orang pun yang memiliki motivasi ektrinsik yang masuk dalam kategori rendah. Tabel 22 Sebaran gaya pengasuhan berdasarkan motivasi ekstrinsik Motivasi Ekstrinsik Gaya pengasuhan Rendah sedang tinggi r n % n % n % Otoriter 0 0, ,1 9 56,3-0,089 Permissif 0 0, ,0 0,018 Otoritatif 0 0, ,9 7 43,7 0,075 Total ,151 Secara umum, motivasi belajar tidak berhubungan dengan gaya pengasuhan. Akan tetapi jika dilihat berdasarkan tipe gaya pengasuhan, motivasi belajar berhubungan positif dengan gaya pengasuhan otoritatif. Artinya semakin orangtua menerapkan gaya pengasuhan yang otoritatif, maka motivasi belajar semakin tinggi. Hal tersebut diduga karena dengan gaya pengasuhan orangtua yang terbuka, fleksibel, menerapkan kehangatan kepada anak menimbulkan suasana yang nyaman, sehingga anak pun merasa nyaman pada saat belajar. Selain itu orangtua yang menerapkan gaya pengasuhan otoritatif memungkinkan untuk memberikan dukungan bagi anaknya sehingga hal tersebut menjadi salah satu motivasi eksternal anak. Namun hasil penelitian ini tidak sejalan dengan hasil penelitian Irmawati (2004) yang menunjukkan bahwa gaya pengasuhan yang lebih

71 61 dapat mendorong anak untuk sebuah pencapaian prestasi atau belajar adalah gaya pengasuhan otoriter yang mengarahkan anak kepada tujuan dengan kontrol dan kekuasaan yang dimiliki orangtua. Lebih dari separuh contoh (59,7%) contoh yang memiliki motivasi belajar dalam kategori sedang dibesarkan oleh orangtua yang memiliki gaya pengasuhan cenderung otoriter. Sedangkan separuh contoh (50%) yang memiliki motivasi belajar tinggi berasal dari keluarga dengan orangtua yang memiliki gaya pengasuhan cenderung otoritatif. Tidak ada satu orang pun contoh yang memiliki motivasi belajar dalam kategori rendah. Tabel 23 Sebaran gaya pengasuhan berdasarkan motivasi Motivasi Gaya pengasuhan Rendah sedang Tinggi r n % N % n % Otoriter 0 0, , ,0-0,004 Permissif 0 0,0 7 11,3 0 0,0 0,092 Otoritatif 0 0, , ,0 0,233* Total 0 0, ,181 Keterangan: ** = signifikan pada level 0,05 Hubungan Konsep Diri dengan Motivasi Belajar Hasil uji korelasi menunjukkan bahwa terdapat hubungan positif antara konsep diri dengan motivasi intrinsik (r=0,522; α=0,01). Artinya semakin positif konsep diri yang dimiliki contoh, maka semakin tinggi motivasi yang muncul dari dalam dirinya sendiri. Contoh yang cenderung memiliki motivasi intrinsik yang tergolong dalam kategori sedang dan tinggi merupakan contoh yang memiliki konsep diri yang positif. Tidak ada contoh satu orang pun yang memiliki konsep diri negatif dengan motivasi ekstrinsik yang rendah dan tinggi. Tabel 24 Sebaran konsep diri berdasarkan motivasi intrinsik Motivasi Intrinsik Konsep Diri rendah sedang tinggi n % n % n % positif , negatif 0 0,0 2 3,1 0 0,0 Total Keterangan: ** = signifikan pada level 0,01 r 0,522**

72 62 Terdapat hubungan positif antara konsep diri dengan motivasi ekstrinsik (r=0,306; α=0,01). Artinya semakin positif konsep diri yang dimiliki contoh, maka semakin tinggi pula motivasi ekstrinsik yang dimilikinya. Contoh yang cenderung memiliki motivasi ekstrinsik yang tergolong dalam kategori sedang dan tinggi merupakan contoh yang memiliki konsep diri yang positif. Tidak ada contoh satu orang pun yang memiliki motivasi ekstrinsik yang rendah dan tidak ada satu orang pun contoh dengan konsep diri yang negatif memiliki motivasi ekstrinsik yang rendah atau pun tinggi. Tabel 25 Sebaran konsep diri berdasarkan motivasi ekstrinsik Motivasi Ekstrinsik Konsep Diri rendah sedang tinggi r n % n % n % Positif 0 0, , Negatif 0 0,0 2 2,9 0 0,0 0,306** Total 0 0, Keterangan: ** = signifikan pada level 0,01 Moss dan Kegen diacu dalam Calhoun & Acocella (1990) menyatakan bahwa keinginan untuk berhasil juga dipengaruhi oleh konsep diri yang dimiliki individu. Uji korelasi dalam penelitian ini menunjukkan bahwa terdapat hubungan positif antara konsep diri dengan motivasi belajar. Ini berarti semakin positif konsep diri yang dimiliki contoh maka akan semakin tinggi pula motivasi yang dimilikinya. Apabila individu percaya bahwa dirinya mampu untuk melakukan sesuatu maka akan termotivasi untuk melakukan hal tersebut sehingga berpengaruh dalam bertingkah laku. Tabel 26 menunjukkan bahwa seluruh contoh yang memiliki motivasi belajar tinggi adalah contoh yang memiliki konsep diri yang positif. Hanya terdapat 3,2 persen contoh yang memiliki konsep diri negatif dan memiliki motivasi belajar yang masuk dalam kategori sedang. Tabel 26 Sebaran konsep diri berdasarkan motivasi Motivasi Konsep Diri rendah sedang tinggi n % n % n % Positif 0 0, , Negatif 0 0,0 2 3,2 0 0,0 Total 0 0, Keterangan: ** = signifikan pada level 0,01 r 0,501**

73 63 Hubungan Gaya Pengasuhan, Konsep Diri, dan Motivasi Belajar dengan Prestasi Belajar Gunarsa dan Gunarsa (2004) mengemukakan bahwa cara orangtua bertindak sebagai orangtua yang melakukan pola asuh terhadap anak memegang peranan penting dalam menanamkan dan membina motivasi belajar meraih prestasi pada anak dan remaja. Selain itu juga konsep diri turut berperan dalam mendorong individu untuk meraih prestasi melalui persepsi terhadap kemampuan yang dimilikinya. Pernyataan tersebut tidak sejalan dengan penelitian ini karena secara umum hasil uji korelasi menunjukkan tidak terdapat korelasi antara gaya pengasuhan, konsep diri, dan motivasi belajar dengan prestasi. Jika dilihat berdasarkan tipe gaya pengasuhan, hasil uji korelasi menunjukkan bahwa terdapat hubungan antara gaya pengasuhan otoriter dengan prestasi (kognitif). Artinya semakin orangtua menerapkan gaya pengasuhan yang cenderung otoriter maka semakin tinggi pula prestasi (kognitif) nya. Hal ini diduga karena orang tua menerapkan sejumlah peraturan atau tuntutan dan disiplin yang tinggi untuk belajar kepada contoh, sehingga contoh berusaha untuk memenuhi tuntutan orangtua dan belajar dengan giat untuk mendapatkan nilai atau prestasi yang tinggi. Hasil penelitian juga menemukan hubungan negatif antara motivasi intrinsik dengan prestasi (kognitif dan psikomotorik). Artinya semakin tinggi motivasi intrinsiknya, maka prestasi (kognitif dan psikomotorik) nya semakin kecil. Hasil tersebut berbeda dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Asih (2007) menunjukkan bahwa terdapat hubungan antara motivasi dengan prestasi belajar siswa. Tabel 27 Koefisien korelasi gaya pengasuhan, konsep diri, dan motivasi belajar dengan prestasi belajar Variabel Prestasi Belajar Kognitif Psikomotorik Afektif Gaya pengasuhan otoriter 0,230* 0,201 0,087 Gaya pengasuhan permissif 0,032 0,048-0,137 Gaya pengasuhan otoritatif 0,131 0,052-0,049 Gaya pengasuhan 0,029 0,096-0,004 Konsep diri -0,065-0,023 0,000 Motivasi intrinsik -0,217* -0,256* 0,145 Motivasi ekstrinsik 0,038 0,007 0,026 Motivasi -0,169 0,174 0,184 Keterangan: * = signifikan pada level 0,05

74 65 PEMBAHASAN Contoh dalam penelitian ini adalah siswa SMA kelas XI yang terdiri dari tiga kelas yaitu kelas akselerasi, SBI dan reguler. Penelitian ini menemukan hasil bahwa sebagian besar contoh pada kelas SBI memiliki persepsi gaya pengasuhan otoritatif, sedangkan lebih dari separuh contoh pada kelas akselerasi dan reguler memiliki persepsi gaya pengasuhan orangtua yang otoriter. Orangtua yang memiliki gaya pengasuhan otoriter berusaha membentuk, mengendalikan, dan mengevaluasi perilaku serta sikap anak berdasarkan serangkaian standar mutlak, nilai-nilai kepatuhan, menghormati otoritas kerja, tradisi, tidak saling memberi dan menerima dalam komunikasi verbal serta terkadang orangtua menolak anak dan sering menerapkan hukuman (Baumrind 1972 diacu dalam Goleman 1997). Sejumlah tuntutan orangtua, penerapan disiplin yang tinggi serta menjunjung nilai-nilai kepatuhan yang terdapat dalam gaya pengasuhan otoritatif yang diterapkan orangtua terhadap contoh pada kelas akselerasi, memacu mereka untuk belajar lebih giat dan mendapatkan prestasi yang baik. Hal ini terbukti dengan hasil uji korelasi dalam penelitian ini yang menunjukkan bahwa gaya pengasuhan otoritatif yang diterapkan berhubungan positif dengan prestasi kognitifnya. Hal tersebut sejalan dengan hasil penelitian Irmawati (2004) yang menunjukkan bahwa gaya pengasuhan yang lebih dapat mendorong anak untuk sebuah pencapaian prestasi atau belajar adalah gaya pengasuhan otoriter yang mengarahkan anak kepada tujuan dengan kontrol dan kekuasaan yang dimiliki orangtua. Hasil penelitian juga menunjukkan bahwa gaya pengasuhan otoritatif berhubungan dengan motivasi intrinsik. Orangtua yang menerapakan gaya pengasuhan otoritatif memungkinkan untuk memberikan kehangatan dalam keluarga dan memberikan dukungan bagi anaknya sehingga hal tersebut membangkitkan motivasi dari dalam diri contoh. Hal ini sejalan dengan hasil penelitian Rahmaisya (2011) yang menunjukkan bahwa gaya pengasuhan orangtua yang otoritatif berhubungan nyata positif dengan motivasi berprestasi. Kualitas pola interaksi dan gaya pengasuhan orangtua yang otoritatif akan memunculkan keberanian, motivasi, dan kemandirian anak-anaknya dalam menghadapi masa depannya (Santrock 2003). Gaya pengasuhan yang diterapkan

75 66 akan menciptakan suatu pengalaman dan membentuk konsep diri individu. Pada penelitian ini ditemukan adanya hubungan antara gaya pengasuhan otoriter dan otoritatif berhubungan dengan konsep diri. Hal ini menggambarkan bahwa semakin orangtua menerapkan gaya pengasuhan yang cenderung otoriter dan otoritatif maka konsep diri contoh akan semakin positif. Sejalan dengan yang dikemukakan oleh Desmita (2009) bahwa lingkungan, pengalaman, dan pola asuh orangtua turut memberi pengaruh yang signifikan terhadap pembentukan konsep diri seseorang. Berdasarkan hasil tersebut maka jelas bahwa pengalaman dan interaksi yang terjadi melalui gaya pengasuhan dipelajari oleh anak untuk membentuk dan mengembangkan konsep diri. Pada penelitian ini contoh kelas akselerasi memiliki konsep diri yang positif, hasil tersebut sesuai dengan hasil penelitian Ary (2005) terhadap konsep diri siswa akselerasi menunjukkan bahwa siswa akselerasi memiliki konsep diri yang positif karena label sebagai anak pintar yang diterima dari lingkungan tidak dipersepsikan secara negatif atau dijadikan beban, akan tetapi digunakan sebagai landasan untuk menyelesaikan tanggung jawab secara lebih baik. Ternyata tidak hanya contoh kelas akselerasi yang memiliki konsep diri positif, tetapi sebagian besar contoh pada kelas SBI dan reguler pun memiliki konsep diri yang positif. Berarti sebagaian besar contoh pada penelitian ini memiliki pengetahuan yang baik terhadap dirinya dan mampu mempersepsikan dirinya secara tepat. Menurut Fitts (1971) individu dengan konsep diri yang positif dapat menerima sejumlah fakta yang sangat bermacam-macam tentang dirinya sendiri, dan tahu apa kekuatan serta kelemahannya juga mengetahui apa yang dihargai dalam hidupnya. Dengan demikian individu tersebut memiliki pengetahuan yang tepat tentang dirinya sendiri. Lebih lanjut Fitts menyatakan bahwa individu yang memiliki pengetahuan yang tepat tentang dirinya juga mengetahui kemampuan diri akan merancang sejumlah tujuan yang realistis. Rasa optimis yang dimiliki akan mengarahkan dan memotivasinya untuk melakukan perbuatan guna mencapai tujuannya. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa terdapat hubungan positif antara konsep diri dengan motivasi belajar. Sejalan dengan hasil penelitian Rola (2006), bahwa terdapat hubungan antara konsep diri dengan motivasi belajar bersifat positif yang

76 67 berarti semakin positif konsep diri maka semakin tinggi motivasi belajar meraih prestasi yang dimiliki remaja. Sebaliknya, semakin negatif konsep diri yang dimiliki remaja, maka semakin rendah motivasi belajar meraih prestasi yang dimilikinya. Fernald dan Fernald (1999) menyatakan jika individu menganggap bahwa dirinya mampu untuk melakukan sesuatu maka individu tersebut akan berusaha untuk mencapai apa yang diinginkannya. Berdasarkan motivasi belajar, penelitian ini menunjukkan hasil bahwa contoh kelas akselerasi memiliki motivasi eksternal yang lebih tinggi dibandingkan dengan kelas SBI dan reguler, sedangkan kelas SBI dan reguler cenderung memiliki motivasi yang bersifat intrinsik. Hal tersebut diduga karena pada kelas akselerasi, contoh lebih termotivasi karena adanya pengaruh teman sekelas dan sistem sekolah (kelas) itu sendiri. Kelas akselerasi berisi semua siswa yang memiliki kecerdasan diatas rata-rata, sehingga memungkinkan terjadi persaingan diantara mereka dan menyebabkan timbulnya motivasi belajar pada siswa untuk mengungguli nilai teman lainnya. Menurut Gunarsa dan Gunarsa (2004), suasana kompetitif secukupnya, yang sehat dan konstruktif antar teman sebaya dapat memacu dorongan berprestasi. Selain itu, sekolah juga menetapkan standar nilai yang tinggi bagi kelas akselerasi dan disertai sejumlah peraturan lainnya sehingga memacu siswa untuk belajar sebaik mungkin untuk mendapatkan nilai yang tinggi dan memenuhi standar sehingga bisa tetap bertahan berada pada kelas akselerasi. Gunarsa dan Gunarsa (2004) mengemukakan bahwa keseluruhan sekolah sebagai sistem sosial khusus dengan semua faktor yang membentuknya termasuk guru dengan keterampilan mengajar dan melaksanakan tugas-tugas mengajar sesuai dengan kurikulum, teman-teman sekolah dengan berbagai corak dan kualitas kemampuan, saran dan prasarana pendidikan, semuanya mengambil bagian dalam menanamkan dan mengembangkan motivasi belajar. Penelitian ini menunjukkan bahwa contoh kelas akselerasi memiliki motivasi yang cenderung bersifat eksternal ternyata memiliki prestasi kognitif yang lebih tinggi dibandingkan dengan kelas SBI dan reguler yang memiliki motivasi belajar cenderung bersifat internal. Sehingga hasil uji korelasi pun menunjukkan adanya hubungan negatif antara motivasi intrinsik dengan prestasi

77 68 kognitif dan psikomotorik. Adi dalam Gunarsa dan Gunarsa (2006) mengemukakan bahwa motivasi memang berkaitan erat dengan prestasi, akan tetapi di dalamnya terdapat faktor lain yang tidak boleh diabaikan yaitu kemampuan atau potensi siswa. Siswa yang memiliki motivasi tinggi bisa saja kurang mencapai prestasi karena potensi yang dimilikinya sebenarnya kurang memadai, atau bahkan motivasi dan kemampuan tinggi tetapi prestasi yang diraih tetap kurang memuaskan. Contoh kelas akselerasi memang memiliki prestasi kognitif dan psikomotorik yang lebih tinggi dibandingkan dengan contoh kelas SBI dan reguler, akan tetapi pada aspek afektifnya contoh kelas akselerasi justru memiliki prestasi yang paling rendah. Hal tersebut terbukti dengan hasil uji beda yang menunjukkan bahwa terdapat perbedaan (p<0,05) pada aspek afektif, dimana kelas reguler memiliki prestasi afektif yang lebih tinggi dibandingkan dengan contoh kelas SBI dan reguler. Selain itu juga dapat terlihat melalui hasil uji korelasi yang menunjukkan adanya hubungan negatif antara prestasi afektif dengan dengan model pembelajaran (pada lampiran 12). Dengan demikian kelas akselerasi, SBI, dan reguler masing-masing memiliki kelebihan dan kekurangan. Kelas akselerasi yang dipandang sebagai kelas paling ideal dengan siswa unggul di dalamnya, ternyata tetap memiliki kekurangan dan kelemahan. Keterbatasan Penelitian Penelitian ini memiliki keterbatasan dalam pengambilan contoh. Penentuan lokasi dan penentuan contoh dalam penelitian ini dilakukan secara purposive. Dari satu kelas akselerasi, tujuh kelas SBI dan lima kelas reguler, kelas yang dijadikan kerangka contoh ditentukan oleh pihak sekolah karena mengingat adanya penyesuaian jadwal belajar dan kesediaan guru mata pelajaran yang waktunya digunakan untuk penelitian ini. Pada akhirnya ditetapkan kelas XI akselerasi, XI IPA 1 SBI dan kelas XI IPA 1 reguler sebagai kerangka contoh penelitian. Sehingga dengan proses penentuan sampling yang demikian, kesimpulan yang dihasilkan dari penelitian ini tidak dapat digeneralisasikan, atau hanya berlaku untuk yang dijadikan sebagai lokasi penelitian.

78 69 SIMPULAN DAN SARAN Simpulan Penelitian ini menunjukkan bahwa lebih dari separuh contoh memiliki persepsi gaya pengasuhan orangtua yang otoriter. Hampir seluruh contoh memiliki konsep diri yang positif dan untuk motivasi belajar kelas akselerasi memiliki motivasi yang cenderung bersifat ekstrinsik, sedangkan SBI dan reguler memiliki motivasi yang cenderung bersifat intrinsik. Contoh pada kelas akselerasi memiliki prestasi yang lebih tinggi dibanding kelas SBI dan reguler dalam aspek kognitif dan psikomotorik, sedangkan pada aspek afektif kelas reguler memiliki prestasi yang lebih tinggi dibandingkan kelas akselerasi dan SBI. Hal ini didukung dengan hasil uji beda yang menyatakan bahwa terdapat perbedaan prestasi belajar antara kelas akselerasi dengan kelas SBI dan reguler. Hasil uji korelasi menunjukkan bahwa karakteristik orangtua yang berhubungan dengan gaya pengasuhan adalah usia ayah dan status pekerjaan ibu. Usia ayah dan status pekerjaan ibu berhubungan negatif dengan gaya pengasuhan permissif. Sedangkan untuk karakteristik contoh, jenis kelamin berhubungan negatif dengan gaya pengasuhan otoriter. Terdapat hubungan positif antara gaya pengasuhan otoriter dan otoritatif dengan konsep diri, gaya pengasuhan otoritatif dengan motivasi belajar intrinsik dan gaya pengasuhan otoriter dengan prestasi (kognitif). Selain itu juga hasil penelitian menunjukkan adanya hubungan positif antara konsep diri dengan motivasi belajar dan motivasi intrinsik berhubungan negatif dengan prestasi belajar (kognitif dan psikomotorik). Saran Berdasarkan penelitian ditemukan bahwa terdapat hubungan antara gaya pengasuhan otoriter dan otoritatif dengan konsep diri sehingga untuk membantu mengembangkan konsep diri yang positif, orangtua perlu memberikan suatu arahan yang jelas untuk anak bagaimana dirinya harus bersikap agar anak mampu mengambil suatu keputusan dan percaya akan kemampuan dirinya serta tidak merasa kebingungan.

79 70 Siswa pada kelas SBI dan reguler cenderung memiliki motivasi yang bersifat intrinsik, sehingga sekolah diharapkan juga mendorong untuk menumbuhkan dan meningkatkan motivasi ekstrinsiknya pula karena kedua motivasi tersebut penting untuk mendukung pencapaian prestasi. Hal ini dapat dilakukan dengan menerapkan metode yang lebih bervariasi dalam kegiatan belajar mengajar sehingga siswa lebih termotivasi dalam belajar. Penelitian ini tidak menunjukkan adanya perbedaan gaya pengasuhan, konsep, diri, dan motivasi belajar yang nyata diantara ketiga kelas, maka untuk penelitian selanjutnya diharapkan untuk memilih contoh yang lebih beragam sehingga diharapkan menghasilkan hasil analisis yang lebih baik.

80 71 DAFTAR PUSTAKA Adi J Aspirasi pada Remaja. Di dalam: Gunarsa SD, Gunarsa YSD, editor. Psikologi Perkembangan Anak dan Remaja. Jakarta (ID): Gunung Mulia Ahmadi A, Supriyono W Psikologi Belajar. Jakarta (ID): Rineka Cipta. Ary WB Hubungan Konsep Diri dengan Penyesuaian Sosial Siswa Kelas Akselerasi di SMP Negeri 2 dan SMP PL Domenico Savio Semarang. [skripsi]. Semarang (ID): Fakultas Psikologi. Universitas Diponegoro Asih E Pengaruh motivasi, metode pembelajaran, lingkungan sekolah, dan lingkungan keluarga terhadap prestasi belajar akuntansi siswa kelas X SMK Bina Negara Gubug Kabupaten Grobogan. [skripsi] Semarang (ID): Jurusan Akuntansi. Fakultas Ekonomi. Universitas Negeri Semarang. Bergest EW, Locke HJ The Family, Ed ke-2. New York (US): American Book Company. Bloom BS Human Characteristics and School Learning. New York (US): McGraw-Hill Bronfenbrenner U A Report on Longitudinal Evaluations of Preschool Programs, Vol.II: Is Early Intervention Effective? Washington, D,C: Office of Child Development, DHEW. Calhoun F, Acocella, Joan R Psikologi Tentang Penyesuaian dan Hubungan Kemanusiaan Edisi Ketiga. Semarang (ID): Ikip Semarang Press. Dalyono M Psikologi Pendidikan..Jakarta (ID): PT Rineka Cipta. [Depdikbud] Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Undang-undang RI Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Jakarta (ID): WIPRESS. [Depdikbud] Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Laporan Penelitian: Profil siswa SD/SLTP yang Memerlukan layanan khusus dan yang berkesulitan belajar. Balitbang. Jakarta. [Depdiknas] Departemen Pendidikan Nasional, Laporan Penelitian SMU Unggulan di Indonesia, Balitbang, Jakarta. Desmita Psikologi Perkembangan Peserta Didik. Bandung (ID): PT Remaja Rosdakarya. Djamarah SB Psikologi Belajar. Jakarta (ID): PT Rineka Cipta Dimyati Belajar dan Pembelajaran. Jakarta (ID) : Rineka Cipta. Elias H, Yee TH Relationship between Perceived Paternal & Maternal Parenting Style & Student Academic Achievement in Selected Secondary School. Europian Journal of Social Science, 9.2 Farmer, D Gifted Children Need Helf A Guide for Parents and Tea- cher. New South Wales: Association for Gifted & Talented Children Inc.

81 72 Fernald L, Dodge, Fernald, Peter s Introducing to Psycology (5 th edition). India : AITBS Publisher&Distributor. Fitts WH The Self Concept & Actalization (Studies on the Self Concept & Rehabilitation). Library of Congress Catalog Card Number. Grand Mo.RD-2419-G Goleman D Kecerdasan Emosional: Mengapa EI Lebih Penting dari IQ. Jakarta (ID): PT Gramedia Pustaka Utama. Gunarsa SD, Gunarsa YSD Psikologi Praktis: Anak, Remaja dan Keluarga. Jakarta (ID): Gunung Mulia Psikologi Praktis: Anak, Remaja dan Keluarga. Jakarta (ID): Gunung Mulia. Gunawan Pengaruh Keharmonisan keluarga dan Rasa Percaya Diri terhadap Prestasi Belajar PKn Siswa Kelas VIII SLTP Negeri III Kebakkramat Karanganyar Tahun Pelajaran 2009/2010 [skripsi]. Surakarta (ID). Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan, Universitas Muhannadiyah Surakarta. Gunawan Konsep diri Berpengaruh terhadap Diri. [internet] [diunduh 2011 januari 10]. Tersedia pada: Gunawan/html. Halim T Belajar Secara Efektif. Jakarta (ID): Puspa Swara. Hapsari SMD Hubungan antara konsep diri dengan prestasi belajar pada remaja akhir. [skripsi] Depok (ID): Fakultas Psikologi. Universitas Indonesia. Haryana K Konsep Sekolah Bertaraf Internasional. Jakarta (ID): Direktorat Pembinaan Sekolah Menengah Pertama. Hastuti D Pengasuhan: Teori dan Prinsip serta Aplikasinya di Indonesia. Bogor (ID): Departemen Ilmu Keluarga dan Konsumen. Fakultas Ekologi Manusia.IPB. Hawadi RA Psikologi Perkembangan Anak: Mengenal Sifat, Bakat, dan Kemampuan Anak. Jakarta (ID): PT.Grasindo., Wiharjdo RSD, Wiyono M Kurikulum Berdiferensiasi. Jakarta (ID): Grasindo. Hurlock E Psikologi Perkembangan. Istiwidayanti, Soejarwo, penerjemah; Sijabat RM, editor. Jakarta (ID): Erlangga. Terjemahan dari: Developmental Psychology Perkembangan Anak. Jilid I.Tjandrasa M, Zakarsih M, penerjemah; Dharma A, editor. Jakarta (ID): Erlangga. Terjemahan dari: Child Development. Irmawati Prestasi dan pola pengasuhan pada suku bangsa batak toba di Desa Paepareran II Tapanuli Utara. [skripsi] Sumatera Utara (ID):

82 73 Program Studi Psikologi. Fakultas Kedokteran. Universitas Sumatera Utara. Latifah M Instrumen Persepsi Gaya Pengasuhan. Departemen Ilmu Keluarga dan Konsumen, Fakultas Ekologi Manusia, Institut Pertanian Bogor. Megawangi R Membiarkan Berbeda? Sudut Pandang Baru tentang Relasi Gender. Bandung (ID): Mizan Pustaka. Munandar U Pengembangan Kreativitas Anak Berbakat. Jakarta (ID): Penerbit Rineka Cipta. Nasution Berbagai Pendekatan dalam Proses Belajar dan Mengajar. Jakarta (ID): Bumi Aksara. Nguyen PV, Cheung M Parenting Styles as Perceived by Vietnamese American Adolescences. Psychology Journal Papalia DE, Old SW Human Development: Perkembangan Manusia. Marswendi B, penerjemah; Widyaningrum R, editor. Jakarta (ID): Salemba Humanika. Rahmaisya R Pengaruh persepsi gaya pengasuhan orangtua dan konsep diri terhadap motivasi berprestasi atlet muda di SMA Negeri Ragunan Jakarta. [skripsi] Bogor (ID): Departemen Ilmu Keluarga dan Konsumen. Fakultas Ekologi Manusia. Institut Pertanian Bogor. Rini F Konsep Diri Terhadap Prestasi. [internet] [diunduh 2011 Februari 17]. Tersedia dari: Rola F Hubungan Konsep Diri dengan Motivasi Berprestasi pada Remaja. [skripsi] Sumatera Utara (ID): Program Studi Psikologi. Fakultas Kedokteran. Universitas Sumatera Utara. Santrock JW Life Span Development: Perkembangan Masa Hidup. Damanik, J, Chusairi a, penerjemah; Kristiaji, WC., Sumiharti, Y, editor. Jakarta (ID): Erlangga Perkembangan Remaja. Adelar BS, Saragih S, penerjemah; Kristiadji, Sumiharti Y, editor. Jakarta (ID): Erlangga. Terjemahan dari: Adolescence Remaja, edisi kesebelas. Widyasinta B, penerjemah; Hardani, editor. Jakarta (ID): Penerbit Erlangga. Terjemahan dari: Adolescence, Eleventh Ed. Sardiman AM Interaksi dan Motivasi Belajar Mengajar. Jakarta (ID): PT. Raja Grafindo Persada. Semiawan CR, Alim D Petunjuk Layanan Dan Pembinaan Kecerdasan Anak Bandung (ID): PT Remaja Rosdakarya. Semiun Y Kesehatan Mental 2: Gangguan-gangguan Kepribadian, Reaksireaksisimtom Khusus, Gangguan Penyesuaian Diri, Anak-Anak Luar Biasa, dan Gangguan Mental yang Berat. Yogyakarta (ID): Kanisius.

83 74 Slameto Belajar dan Faktor-faktor Yang Mempengaruhinya. Jakarta (ID): Rineka Cipta. Southern WT, Jones ED Academi Acceleration of Gifted Children. New York (US): Teachers College Press. Sudjana Manajemen Program Pendidikan. Bandung (ID): Falah Production. Sukmanti PP Hubungan antara konsep keharmonisan keluarga dengan konsep diri siswa kelas II di SMA Negeri 1 Kejobong Purbalingga Tahun Pelajaran 2004/2005. [skripsi] Semarang (ID): Jurusan Bimbingan dan Konseling. Fakultas Ilmu Pendidikan. UNS. Sunaryo Psikologi untuk Keperawatan. Jakarta (ID): Buku Kedokteran EGC. Supriyantini S Hubungan antara Pandangan Peran Gender dengan Keterlibatan Suami dalam Kegiatan Rumah Tangga. [internet] [diunduh 2011 Mei 27]. Tersedia pada: Syah M Psikologi Belajar. Jakarta (ID): RajaGrafindo Persada. Winkel, Psikologi Pengajaran. Jakarta (ID): Gramedia Yusuf LNS Psikologi Perkembangan anak dan Remaja. Bandung (ID): PT.Remaja Resdaya Karya. Zanden JWV Human Development (edisike-5). New York (US): Mc.Graww Hill.Inc.

84 LAMPIRAN 75

85 77 Lampiran 1 Sebaran jawaban contoh pada instrumen persepsi gaya pengasuhan orangtua No Pernyataan Pilihan OTORITER 1 (%) 2 (%) 3 (%) 4 (%) 1 Orangtua memberikan hukuman tanpa memberi 0 5,8 30,2 64,0 kesempatan saya menjelaskan duduk persoalannya (1a) 2 Orang tua menuntut saya mendapatkan prestasi yang baik namun mengabaikan apa saja yang saya butuhkan (1b) 3,5 19,8 39,5 37,2 3 Orang tua mengharuskan saya melaksanakan segala keputusan yang telah diambilnya (1b) 5,8 36,0 39,5 18,6 4 Orangtua menyuruh untuk mengerjakan sesuatu sesuai dengan keinginan mereka tanpa boleh membantah (1a) 5 Orang tua menentukan dengan siapa saya harus bergaul, tanpa mempertimbangkan perasaan saya (1b) 6 Orang tua memaksa saya untuk mengikuti les tambahan tanpa memperhatikan kegiatan saya yang lain (1b) 2,3 18,6 48,8 30,2 2,3 4,7 32,6 60,5 1,2 15,1 23,3 60,5 7 Orang tua menuntut saya berperilaku baik 44,2 48,8 4,7 2,3 sehari-hari di sekolah (1a) 8 Setiap kebijakan orang tua tidak bisa ditolak, 3,5 36,0 40,7 19,8 walaupun saya tidak menyukainya (1a) PERMISIF 10 Orang tua membebaskan kemana pun saya pergi sesuai dengan kebutuhan saya (2a) 2,3 27,9 57,0 12,8 11 Orang tua tidak mengekang saya untuk melakukan kegiatan-kegiatan apapun yang saya lakukan pada waktu senggang saya (2a) 12 Orang tua tidak menerapkan aturan apapun di rumah atau di sekolah sehingga saya bebas melakukan apa saja (2a) 8,1 16,3 41,9 33,7 40,7 37,2 18,6 3,5 13 Orang tua membebaskan pergaulan saya tanpa 33,7 38,4 23,3 4,7 ada batasan (2a) 15 Orang tua tidak ikut campur dengan siapa saya 24,4 38,4 30,2 7,0 berteman (2a) 16 Saya merasa orang tua menuruti apapun yang 9,3 40,7 37,2 12,8 saya inginkan (2b) 17 Saya bebas melakukan apa saja dan selau 31,4 44,2 24,4 0 dituruti (2a) 18 Orang tua suka membiarkan segala hal yang 19,8 50,0 25,6 4,7 saya lakukan (2a) 20 Ketika di rumah, orang tua tidak pernah menyarankan jam berapa saya harus tidur atau jam berapa saya harus bangun pagi (2a) 32,6 36,0 24,4 7,0 21 Orang tua selalu mengalah dan mengikuti keinginan saya (2b) 8,1 50,0 37,2 4,7

86 78 Lampiran 1 (lanjutan) No Pernyataan Pilihan 1 (%) 2 (%) 3 (%) OTORITATIF 22 Saya dapat berdiskusi tentang apapun dengan 2,3 20,9 45,3 31,4 orang tua (3b) 23 Orang tua memberikan sanksi sesuai dengan 7,0 33,7 46,5 12,8 perbuatan saya (3a) 24 Orang tua akan memberikan peringatan terlebih dahulu sebelum menjatuhkan sanksi kepada saya (3a) 4 (%) 3,5 9,3 64,0 23,3 1,2 12,8 65,1 20,9 2,3 24,4 47,7 25,6 25 Orang tua akan mentoleransi perbedaan pendapat antara saya dan orang tua (3b) 26 Jika saya terlihat sedang sedih, orang tua menanyakannya (3b) 27 Orang tua tanpa ragu bekerjasama dengan saya 2,3 7,0 41,9 48,8 dalam memutuskan masalah penting menyangkut masa depan saya (3b) 28 Orang tua bersedia mendengarkan keluhan saya (3b) 2,3 8,1 59,3 30,2 29 Jika orang tua melarang saya untuk melakukan 0 8,1 54,7 37,2 sesuatu, maka dibarengi dengan alasan di balik larangan itu (3a) 30 Orang tua menanyakan kabar saya melalui telepon atau pesan singkat melalui telepon genggam (3b) 11,6 15,1 44,2 29,1 Dikembangkan oleh Latifah (2009) Keterangan: 1= tidak pernah; 2=hampir tidak pernah; 3= sering; 4= sangat sering/selalu; a= dimensi demandingness; b= dimensi responsiveness.

87 79 Lampiran 2 Sebaran jawaban contoh pada instrumen konsep diri No Pernyataan Pilihan Identitas diri fisik (%) (%) (%) (%) 1 Kesehatan saya tidak mengganggu kegiatan saya (xa,f) 5,8 25,6 52,3 16,3 2 Saya merasa senang dengan penampilan saya (xa,f) 1,2 12,8 66,3 19,8 3 Saya merasa diri saya acak-acakan (xa,uf) 23,3 34,9 32,6 9,3 Tingkah laku diri fisik 4 Saya ingin merubah beberapa bagian dari tubuh saya (ya,uf) 24,4 37,7 26,7 11,6 5 Badan saya tidak sesehat seperti yang saya inginkan (ya,uf) 22,1 39,5 27,9 10,5 6 Saya merasa diri saya kurang menarik (ya,uf) 15,1 52,3 26,7 5,8 Kepuasan diri fisik 7 Saya berusaha menjaga kesehatan jasmani dengan 0 5,8 52,3 41,9 sebaik-baiknya (za,f) 8 Saya sering merasa kurang percaya diri (za,uf) 8,1 43,0 45,3 3,5 9 Saya sulit tidur nyenyak (za,uf) 22,1 52,3 19,8 5,8 Identitas diri etik moral 10 Saya orang yang dapat bertenggang rasa (xb,f) 0 4,7 82,6 4,7 11 Saya cenderung orang yang kurang bermoral (xb,uf) 46,5 48,8 3,5 1,2 12 Saya orang yang rajin beribadah (xb,f) 0 19,8 73,3 19,8 Tingkah laku etik moral 13 Saya merasadiri saya sering berbohong (yb,uf) 8,1 48,8 37,2 5,8 14 Saya merasa puas dalam hubungan saya dengan 0 36,0 51,2 12,8 Tuhan (yb,f) 15 Dalam kehiduopan sehari-hari, saya taat menjalankan 0 17,4 67,4 15,1 perintah agama saya (yb,f) Kepuasan etik moral 16 Saya berusaha untuk memperbaiki kebiasaan saya 0 5,8 62,8 31,4 bila saya mengetahui bahwa hal itu jelek (zb,f) 17 Saya menggunakan cara-cara yang tidak jujur agar 48,8 46,5 3,5 1,2 dapat maju (zb,uf) 18 Saya merasa hidup ini suram (zb,uf) 52,3 38,4 5,8 3,5 Identits diri personal 19 Dalam bertindak saya mudah kehabisan akal (xc,uf) 20,9 50,0 26,7 2,3 20 Saya orang yang tenang dan mudah bergaul (xc,f) 2,3 14,0 69,8 14,0 21 Saya orang yang mudah menyimpan dendam (xc,uf) 41,9 45,3 7,0 5,8 22 Saya orang yang tidak berterus terang (xc,uf) 18,6 50,0 25,6 5,8 23 Saya mudah marah (xc,uf) 8,1 40,7 41,9 9,3 24 Saya selalu bersemangat dalam menjalani hidup (xc,f) 0 9,3 61,6 29,1 Tingkah laku diri personal 25 Sekarang ini saya merasa telah mudah menyerah (yc,uf) 18,6 66,3 15, Saya suka menunda pekerjaan yang seharusnya 20,9 58,1 19,8 1,2 dikerjakan hari ini (yc,uf) 27 Saya cenderung tidak menghiraukan diri sendiri (yc,uf) 2,3 25,6 55,8 16,3 28 Kadang-kadang bila saya kurang enak badan, saya 10,5 52,3 36,0 1,2 menjadi mudah marah (yc,uf) 29 Saya seramah seperti yang seharusnya (yc,f) 10,5 38,4 33,7 17,4

88 80 Lampiran 2 (lanjutan) No Pernyataan Pilihan Kepuasan diri personal (%) (%) (%) (%) 30 Saya sering mengubah pendirian (zc,uf) 19,8 40,7 38,4 1,2 31 Saya cenderung melakukan sesuatu tanpa piker 19,8 39,5 37,2 3,5 panjang (zc,uf) 32 Saya selalu berusaha dapat memecahlan persolan 0 4,7 64,0 31,4 saya (zc,f) Identitas diri keluarga 33 Saya merasa tidak dipedulikan teman-teman saya (xd,uf) 31,4 54,7 12,8 1,2 34 Saya seorang anggota keluarga yang bahagia (xd,f) 0 10,5 60,5 29,1 35 Saya memiliki keluarga yang selalu membantu saya 0 9,3 37,2 53,5 dalam kesulitan (xd,f) Tingkah laku diri keluarga 36 Saya mudah tersinggung akan hal-hal yang dikatakan 19,8 47,7 20,9 11,6 orang-orang di rumah mengenai diri saya (yd,f) 37 Saya bersikap sebagaimana seharusnya terhadap 0 11,6 62,8 25,6 orang-orang dewasa (yd,f) 38 Saya merasa tidak begitu mencintai orang-orang 58,1 38,4 1,2 2,3 yang yang serumah dengan saya (yd,uf) Kepuasan diri keluarga 39 Saya sangat memperhatikan orang-orang di rumah (zd,f) 0 20,9 60,5 18,6 38,4 52,3 7,0 2,3 40 Saya berusaha bertindak adil terhadap teman-teman dan orang-orang di rumah (zd,f) 41 Saya tidak pernah memahami orang-orang di rumah (zd,f) 0 4,7 60,5 34,9 1,2 25,6 67,4 5,8 1,2 15,1 67,4 16,3 42 Saya berusaha memuaskan orang-orang di rumah dengan memenuhi keinginan mereka (zd,f) 43 Saya membantu tugas-tugas di rumah dengan senang hati ( zd,f) Identitas diri sosial 44 Saya populer di kalangan pria (xe,f) 5,8 53,5 37,2 3,5 45 Saya orang yang suka berteman (xe,f) 0 2,3 51,2 46,5 46 Saya merasa tidak nyaman berada di antara orangorang 32,6 57,0 10,5 0 di sekitar saya (xe,uf) Tingkah laku diri sosial 47 Saya berusaha menyenangkan orang lain, tetapi tidak 0 2,3 75,6 22,1 berlebihan (ye,f) 48 Seharusnya saya dapat lebih sopan terhadap orang 4,7 11,6 68,6 15,1 lain (ye,uf) Kepuasan diri sosial 49 Saya berusaha memahami pendapat orang lain (ze,f) 1,2 2,3 65,1 31,4 50 Saya sulit memaafkan orang lain (ze,uf) 40,7 43,0 10,5 5,8 Diacu pada skala konsep diri Tennessee Self-Concept Scale (TSCS) yang dikembangkan oleh Fitts (1971) dan dimodifikasi oleh Hapsari (2001). Keterangan: 1= sama sekali tidak sesuai dengan dirisaya; 2= tidak sesuai dengan diri saya; 3= sesuai dengan diri saya; 4= sangat sesuai dengan diri saya; uf= unfavorable; f= favorable

89 81 Lampiran 3 Sebaran jawaban contoh pada instrumen motivasi belajar No Pernyataan Pilihan Instrinsik STS TS S (%) (%) (%) SS (%) 1. Saya ingin tahu dan belajar pelajaran yang belum 1,2 9,3 54,7 34,9 saya ketahui sebelumnya 2. Saya mendapatkan banyak pengetahuan dan 1,2 11,6 40,7 46,5 pengalaman tentang pelajaran yang saya pelajari di sekolah 3. Saya ingin meningkatkan kemampuan dan 0 7,0 58,1 34,9 keterampilan di bidang akademik 4. Saya melakukan aktivitas belajar yang saya sukai 0 3,5 65,1 31,4 dengan penuh semangat 5. Saya berkomitmen dengan aktivitas belajar yang saya 1,2 11,6 59,3 27,9 lakukan 6. Saya yakin bahwa saya akan sukses di bidang yang 0 2,3 64,0 33,7 saya tekuni sekarang 7. Sekolah merupakan cara untuk berinteraksi dengan 0 8,1 59,3 32,6 orang lain 8. Saya ingin mempelajari banyak hal yang mungkin 1,2 50,0 47,7 98,8 berguna bagi kehidupan saya 9. Saya ingin menunjukkan kemampuan yang saya 1,2 1,2 50,0 47,7 miliki pada orang banyak 10 Saya berusaha keras mempelajari sesuatu yang belum saya kuasai 0 7,0 70,9 22,1 11. Saya tidak mudah menyerah saat dihadapkan pada 4,7 30,2 53,5 11,6 soal-soal yang sulit 12. Saya selalu berusaha untuk menjadi juara kelas 0 10,5 69,8 19,8 13. Saya yakin akan menjadi juara 0 36,0 51,2 12,8 14. Saya tidak perlu diingatkan untuk belajar 12,8 38,4 37,2 11,6 15. Belajar merupakan kebutuhan bagi saya 5,8 22,1 55,8 16,3 Ekstrinsik 16. Orang di sekitar saya yang mempengaruhi saya untuk 0 3,5 67,4 29,1 berprestasi 17. Jika saya mampu mencapai target, saya ingin 0 17,4 59,3 23,3 mendapatkan hadiah/bonus 18. Saya ingin menang dan menjadi juara diantara 0 2,3 61,6 36,0 teman-teman 19. Belajar di sekolah merupakan salah satu cara untuk 0 3,5 73,3 23,3 mengembangkan aspek lain dalam diri saya 20. Saya tidak mau mengecewakan orangtua saya denagn nilai-nilai yang tidak memuaskan 1,2 4,7 43,0 51,2 21 Saya merasa bersemangat untuk mencapai prestasi karena orangtua saya mendukung secara penuh 1,2 5,8 62,8 30,2 22. Saya bersaing dalam pelajaran karena tidak ingin 2,3 4,7 65,1 27,9 kalah dari teman-teman 23. Guru selalu mengingatkan saya untuk terius belajar 0 2,3 72,1 25,6 24. Guru selalu memberikan arahan agar saya bisa terus berprestasi 0 12,8 60,5 26,7

90 82 Lampiran 3 (lanjutan) No Pernyataan Pilihan Ekstrinsik STS TS S (%) (%) (%) SS (%) 25. Wali kelas selalu mendukung saya untuk berprestasi 0 10,5 64,0 25,6 di bidang akademik maupun non akademik 26. Saya bersemangat belajar ketika ada imbalan 5,8 44,2 38,4 11,6 27. Saya mempelajari sesuatu yang memang harus saya 1,2 11,6 55,8 31,4 pelajari 28. Saya suka merasa terpaksa saat belajar 7,0 40,7 43,0 9,3 29. Saya masuk sekolah ini karena pilihan orangtua 22,1 41,9 29,1 7,0 30. Saya sering merasa bahwa belajara adalah tuntutan 4,7 19,8 58,1 17,4 Diacu pada Rahmaisya (2011) yang merujuk pada Pelletier, et.al. dan dimodifikasi oleh peneliti. Keterangan: STS= sangat tidak setuju; TS= tidak setuju; S= setuju; SS= sangat setuju

91 83 Lampiran 4 Hasil uji beda one way anova dan post hoc tests usia ibu pada tiga kelompok contoh (kelas akselerasi, SBI, dan reguler) Anova Usia Ibu Sum of Squares Df Mean Square F Sig. Between Groups Within Groups Total Post Hoc Tests (I) Kelas (J) Kelas Mean Difference (I-J) Std. Error Sig. 95% Confidence Interval Lower Bound Upper Bound Scheffe akselerasi SBI reguler SBI akselerasi reguler * reguler akselerasi SBI * Bonferroni akselerasi SBI reguler SBI akselerasi reguler * reguler akselerasi Keterangan: * = signifikan pada level 0,05 SBI *

92 84 Lampiran 5 Hasil uji beda one way anova dan post hoc tests pendapatan keluarga pada tiga kelompok contoh (kelas akselerasi, SBI, dan reguler) Anova Pendapatan Sum of Squares Df Mean Square F Sig. Between Groups Within Groups Total (I) Kelas (J) Kelas Post Hoc Tests Mean Difference (I-J) Std. Error Sig. 95% Confidence Interval Lower Bound Upper Bound Scheffe akselerasi SBI reguler * SBI akselerasi reguler * reguler akselerasi * SBI * Bonferroni akselerasi SBI reguler * SBI akselerasi reguler * reguler akselerasi * SBI * Keterangan: * = signifikan pada level 0,05

93 85 Lampiran 6 Hasil uji beda one way anova dan post hoc tests usia contoh pada tiga kelompok contoh (kelas akselerasi, SBI, dan reguler) Anova Usia contoh Sum of Squares Df Mean Square F Sig. Between Groups Within Groups Total (I) Kelas (J) Kelas Post Hoc Tests Mean Difference (I-J) Std. Error Sig. 95% Confidence Interval Lower Bound Upper Bound Scheffe akselerasi SBI * reguler * SBI akselerasi * reguler reguler akselerasi * SBI Bonferroni akselerasi SBI * reguler * SBI akselerasi * reguler reguler akselerasi * Keterangan: * = signifikan pada level 0,05 SBI

94 86 Lampiran 7 Hasil uji beda one way anova dan post hoc tests konsep diri dimensi tingkah laku keluarga pada tiga kelompok contoh (kelas akselerasi, SBI, dan reguler) Anova Konsep diri Tingkah laku diri keluarga Sum of Squares Df Mean Square F Sig. Between Groups Within Groups Total Total Post Hoc Tests 95% Confidence (I) (J) Mean Interval KODES KODES Difference Std. Lower Upper Dependent Variable KLH KLH (I-J) Error Sig. Bound Bound Tingkah laku diri keluarga Scheffe akselerasi SBi reguler * SBi akselerasi reguler reguler akselerasi.877 * SBI Bonferroni akselerasi SBI reguler * SBI akselerasi reguler reguler akselerasi.877 * SBI Keterangan: * = signifikan pada level 0,05

95 87 Lampiran 8 Hasil uji beda one way anova dan post hoc tests motivasi intrinsik pada tiga kelompok contoh (kelas akselerasi, SBI, dan reguler) Anova Motivasi intrinsik Sum of Squares Df Mean Square F Sig. Between Groups Within Groups Total Post Hoc Tests 95% Confidence (I) (J) Mean Interval KODES KODES Difference Std. Lower Upper KLH KLH (I-J) Error Sig. Bound Bound Scheffe akselerasi SBI * reguler * SBI akselerasi * reguler reguler akselerasi * SBI Bonferroni akselerasi SBI * reguler * SBI akselerasi * reguler reguler akselerasi * SBI Keterangan: * = signifikan pada level 0,05

96 88 Lampiran 9 Hasil uji beda one way anova dan post hoc tests prestasi pada tiga kelompok contoh (kelas akselerasi, SBI, dan reguler) Anova Prestasi kognitif Sum of Squares df Mean Square F Sig. Between Groups Within Groups Total (I) KODESK LH (J) KODESK LH Post Hoc Tests Mean Difference (I- J) Std. Error Sig. 95% Confidence Interval Lower Bound Upper Bound akselerasi SBI * Reguler * SBI akselerasi * Reguler * Reguler akselerasi * SBI * Keterangan: * = signifikan pada level 0,05 Anova Prestasi psikomotor Sum of Squares Df Mean Square F Sig. Between Groups Within Groups Total (I) KODESK LH (J) KODESK LH Post Hoc Tests Mean Difference (I- J) Std. Error Sig. 95% Confidence Interval Lower Bound Upper Bound akselerasi SBI * Reguler * SBI akselerasi * Reguler * Reguler akselerasi * SBI * Keterangan: * = signifikan pada level 0,05

97 89 Lampiran 9 (lanjutan) Prestasi afektif Between Groups Anova Sum of Squares Df Mean Square F Sig Within Groups Total (I) KODESK LH (J) KODESK LH Post Hoc Test Mean Difference (I- J) Std. Error Sig. 95% Confidence Interval Lower Bound Upper Bound akselerasi SBI.161 * Reguler * SBI akselerasi * Reguler * Reguler akselerasi.150 * SBI.311 * Keterangan: * = signifikan pada level 0,05

98 90 Lampiran 10 Hasil uji beda kruskal wallis pendidikan orangtua pada tiga kelompok (kelas akselerasi, SBI, dan reguler) Kruskal-Wallis Test Kelas n Mean Rank Pendidikan ayah Akselerasi SBI Regular Total 84 Test Statistics a,b Pendidikan ayah Chi-Square Df 2 Asymp. Sig..001 Keterangan: a= Kruskal Wallis Test b= Grouping Variable: Kelas Kruskal-Wallis Test Kelas n Mean Rank Pendidikan ibu Akselerasi SBI Regular Total 86 Test Statistics a,b Pendidikan ibu Chi-Square Df 2 Asymp. Sig..000 Keterangan: a= Kruskal Wallis Test b= Grouping Variable: Kelas

99 91 Lampiran 11 Hasil uji korelasi karakteristik dengan gaya pengasuhan Variabel Besar keluarga Pendapatan keluarga Status pekerjaan ibu Pendidikan ayah Pendidikan ibu Besar keluarga 1 Pendapatan keluarga 0,005 1 Status pekerjaan -0,175 0,345** 1 ibu Pendidikan ayah -0,184 0,303** 0,261* 1 Pendidikan ibu -0,116 0,366** 0,507** 0,584** 1 Umur Ayah -0,190 0,345** -0,016 0,146 0,151 1 Umur Ayah Umur Ibu Jenis kelamin Gaya pengasuhan otoriter Gaya pengasuhan permissif Gaya pengasuhan otoritatif Umur Ibu 0,170 0,138 0,261* 0,045 0,335** 0,105 1 Jenis 1-0,114-0,002 0,116-0,058 0,025 0,133 0,179 kelamin Gaya 0,150 pengasuhan otoriter 0,103 0,032-0,047-0,054-0,069-0,039-0,267* 1 Gaya 0,019 pengasuhan permissif 0,048-0,224* -0,289** -0,093-0,271* -0,052 0,165 0,264* 1 Gaya 0,050 pengasuhan 0,028 0,043-0,180-0,182 0,039-0,075-0,040 0,324** 0,270* 1 otoritatif Gaya pengasuhan (total) -0,070 0,115 0,007 0,056-0,027 0,014-0,148 0,143-0,300** -0,038 0,543** 1 Keterangan: * = Signifikan pada selang kepercayaan 95% ** = Signifikan pada selang kepercayaan 99% Gaya pengasuhan (total) 91

100 92 92 Lampiran 12 Hasil uji korelasi antar gaya pengasuhan, konsep diri, motivasi belajar, prestasi belajar, dan model pembelajaran Variabel Konsep diri 1 Gaya pengasuhan otoriter Gaya pengasuhan permissif Gaya pengasuhan otoritatif Gaya pengasuhan (total) Motivasi intrinsik Motivasi ekstrinsik Motivasi (total) Prestasi kognitif Prestasi psikomotor Prestasi afektif Model pembelajaran Konsep diri 0,272* 1 Gaya pengasuhan otoriter 0,057 0,264* 1 Gaya pengasuhan permissif 0,235* 0,324** 0,270* 1 Gaya pengasuhan otoritatif 0,041* -0,300** -0,038 0,543** 1 Gaya pengasuhan (total) 0,522** 0,065 0,127 0,297** 0,143 1 Motivasi intrinsik 0,306** -0,089 0,018 0,075 0,197 0,437** 1 Motivasi ekstrinsik 0,501** -0,004 0,092 0,233* 0,196 0,881** 0,810** 1 Motivasi (total) -0,065 0,230* 0,032 0,131-0,029-0,217* 0,038-0,122 1 Prestasi kognitif -0,023 0,201 0,048 0,052-0,096-0,256* 0,087-0,121 0,929** 1 Prestasi psikomotor 0,000 0,087-0,137-0,049-0,04 0,145 0,026 0,108 0,028-0, ,079 0,130 0,058 0,107 0,024-0,276* 0,056-0,165 0,801** 0,826** -0,574** 1 Keterangan: * = Signifikan pada selang kepercayaan 95% ** = Signifikan pada selang kepercayaan 99% Prestasi afektif Model pembelajaran

101 93 RIWAYAT PENULIS Penulis adalah anak pertama dari dua bersaudara dari pasangan Bapak Sukayat, MMPd dan Ibu Neneng Juhriah yang lahir di Sukabumi pada tanggal 31 Desember Pada tahun 2007 penulis berhasil lulus dari Sekolah Menengah Atas Negeri 1 Jampangkulon, Sukabumi. Pada tahun 2007 penulis diterima di Institut Pertanian Bogor melalui jalur Undangan Seleksi Masuk IPB (USMI) dan diterima di Departemen Ilmu Keluarga dan Konsumen, Fakultas Ekologi Manusia pada tahun Penulis aktif dalam organisasi Himpunan Mahasiswa Keluarga Ilmu Keluaga dan Konsumen (HIMAIKO) pada periode dan periode sebagai staf. Selain itu penulis mengikuti berbagai kepanitiaan seperti Family and Consumer Day, Conference of Human Ecology in Indonesia, Volunteer Musyawarah Nasional Alumni Institut Pertanian Bogor, Masa Perkenalan Departemen dan Fakultas serta berbagai kegiatan HIMAIKO, penulis juga berkesempatan mendapat beasiswa Peningkatan Prestasi Akademik (PPA) pada tahun

PENDAHULUAN Latar Belakang

PENDAHULUAN Latar Belakang 1 PENDAHULUAN Latar Belakang Dalam upaya meningkatkan Sumberdaya Manusia (SDM) yang berkualitas, bidang pendidikan memegang peranan yang penting. Pendidikan diharapkan mampu meningkatkan mutu pendidikan,

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA Karakteristik Indvidu Umur Jenis Kelamin

TINJAUAN PUSTAKA Karakteristik Indvidu Umur Jenis Kelamin 7 TINJAUAN PUSTAKA Karakteristik Indvidu Umur Menurut L.Kohlberg diacu dalam Gunarsa dan Gunarsa (2004), anak menjalani tahap perkembangan secara berurutan. Setiap tahap selanjutnya lebih majemuk daripada

Lebih terperinci

HASIL PENELITIAN Gambaran Umum Lokasi Penelitian

HASIL PENELITIAN Gambaran Umum Lokasi Penelitian 37 HASIL PENELITIAN Gambaran Umum Lokasi Penelitian Penelitian ini dilakukan di dua sekolah berbeda di Kota Bogor dan melibatkan tiga kelas yaitu kelas akselerasi, SBI dan reguler Kelas akselerasi dan

Lebih terperinci

PENGARUH PEMENUHAN TUGAS PERKEMBANGAN KELUARGA DENGAN ANAK USIA REMAJA TERHADAP PENCAPAIAN TUGAS PERKEMBANGAN REMAJA. Lia Nurjanah

PENGARUH PEMENUHAN TUGAS PERKEMBANGAN KELUARGA DENGAN ANAK USIA REMAJA TERHADAP PENCAPAIAN TUGAS PERKEMBANGAN REMAJA. Lia Nurjanah PENGARUH PEMENUHAN TUGAS PERKEMBANGAN KELUARGA DENGAN ANAK USIA REMAJA TERHADAP PENCAPAIAN TUGAS PERKEMBANGAN REMAJA Lia Nurjanah DEPARTEMEN ILMU KELUARGA DAN KONSUMEN FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA INSTITUT

Lebih terperinci

METODE Desain, Lokasi dan Waktu Teknik Penarikan Contoh Jenis dan Teknik Pengumpulan Data

METODE Desain, Lokasi dan Waktu Teknik Penarikan Contoh Jenis dan Teknik Pengumpulan Data 29 METODE Desain, Lokasi dan Waktu Penelitian ini dilaksanakan dengan menggunakan desain cross sectional study. Penelitian dilakukan di dua Sekolah Menengah Atas Negeri di Kota Bogor, terdiri dari tiga

Lebih terperinci

HUBUNGAN KARAKTERISTIK KELUARGA DAN PEER GROUP DENGAN KARAKTER DAN PERILAKU BULLYING REMAJA KARINA

HUBUNGAN KARAKTERISTIK KELUARGA DAN PEER GROUP DENGAN KARAKTER DAN PERILAKU BULLYING REMAJA KARINA HUBUNGAN KARAKTERISTIK KELUARGA DAN PEER GROUP DENGAN KARAKTER DAN PERILAKU BULLYING REMAJA KARINA DEPARTEMEN ILMU KELUARGA DAN KONSUMEN FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2012 Hak Cipta

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI. tersebut mempelajari keadaan sekelilingnya. Perubahan fisik, kognitif dan peranan

BAB II LANDASAN TEORI. tersebut mempelajari keadaan sekelilingnya. Perubahan fisik, kognitif dan peranan BAB II LANDASAN TEORI A. KEMANDIRIAN REMAJA 1. Definisi Kemandirian Remaja Kemandirian remaja adalah usaha remaja untuk dapat menjelaskan dan melakukan sesuatu yang sesuai dengan keinginannya sendiri setelah

Lebih terperinci

HASIL BELAJAR KOGNITIF BIOLOGI DIPREDIKSI DARI EMOTIONAL QUOTIENT

HASIL BELAJAR KOGNITIF BIOLOGI DIPREDIKSI DARI EMOTIONAL QUOTIENT HASIL BELAJAR KOGNITIF BIOLOGI DIPREDIKSI DARI EMOTIONAL QUOTIENT (EQ) DAN KESIAPAN BELAJAR SISWA KELAS X SMA NEGERI 7 SURAKARTA TAHUN PELAJARAN 2011/2012 SKRIPSI Oleh : RESTY HERMITA NIM K4308111 FAKULTAS

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Manusia adalah makhluk hidup yang senantiasa berkembang dan

BAB I PENDAHULUAN. Manusia adalah makhluk hidup yang senantiasa berkembang dan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Manusia adalah makhluk hidup yang senantiasa berkembang dan mengalami perubahan-perubahan bertahap dalam hidupnya. Sepanjang rentang kehidupannya tersebut,

Lebih terperinci

METODE PENELITIAN Disain, Tempat, dan Waktu Cara Pemilihan Contoh

METODE PENELITIAN Disain, Tempat, dan Waktu Cara Pemilihan Contoh METODE PENELITIAN Disain, Tempat, dan Waktu Penelitian ini berjudul Konsep Diri, Kecerdasan Emosional, Tingkat Stres, dan Strategi Koping Remaja pada Berbagai Model Pembelajaran di SMA. Disain penelitian

Lebih terperinci

golongan ekonomi menengah. Pendapatan keluarga rata-rata berada pada kisaran lima jutaan rupiah perbulan dengan sebagian besar ayah bekerja sebagai

golongan ekonomi menengah. Pendapatan keluarga rata-rata berada pada kisaran lima jutaan rupiah perbulan dengan sebagian besar ayah bekerja sebagai PEMBAHASAN Penelitian ini didasarkan pada pentingnya bagi remaja mempersiapkan diri untuk memasuki masa dewasa sehingga dapat mengelola tanggung jawab pekerjaan dan mampu mengembangkan potensi diri dengan

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA Keluarga Nilai Anak

TINJAUAN PUSTAKA Keluarga Nilai Anak 7 TINJAUAN PUSTAKA Keluarga Keluarga merupakan tempat pertama dan utama dimana seorang anak dididik dan dibesarkan. Berdasarkan Undang-undang nomor 52 tahun 2009, keluarga adalah unit terkecil dalam masyarakat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Dalam dua dasawarsa terakhir ini, perubahan yang terjadi dalam berbagai

BAB I PENDAHULUAN. Dalam dua dasawarsa terakhir ini, perubahan yang terjadi dalam berbagai BAB I PENDAHULUAN 1. 1. Latar Belakang Masalah Dalam dua dasawarsa terakhir ini, perubahan yang terjadi dalam berbagai sektor kehidupan semakin pesat, sebagai dampak dari faktor kemajuan di bidang teknologi

Lebih terperinci

TINGKAT PERKEMBANGAN NILAI MORAL, MOTIVASI BELAJAR, KECERDASAN INTRAPERSONAL, DAN KECERDASAN INTERPERSONAL SISWA SMA PADA BERBAGAI MODEL PEMBELAJARAN

TINGKAT PERKEMBANGAN NILAI MORAL, MOTIVASI BELAJAR, KECERDASAN INTRAPERSONAL, DAN KECERDASAN INTERPERSONAL SISWA SMA PADA BERBAGAI MODEL PEMBELAJARAN TINGKAT PERKEMBANGAN NILAI MORAL, MOTIVASI BELAJAR, KECERDASAN INTRAPERSONAL, DAN KECERDASAN INTERPERSONAL SISWA SMA PADA BERBAGAI MODEL PEMBELAJARAN NADIA NANDANA LESTARI DEPARTEMEN ILMU KELUARGA DAN

Lebih terperinci

RATIH DEWI PUSPITASARI K

RATIH DEWI PUSPITASARI K HUBUNGAN ANTARA IQ, MOTIVASI BELAJAR DAN PEMANFAATAN SARANA PRASARANA PEMBELAJARAN DENGAN HASIL BELAJAR KOGNITIF BIOLOGI SISWA KELAS X SMA NEGERI 7 SURAKARTA SKRIPSI Oleh: RATIH DEWI PUSPITASARI K4308021

Lebih terperinci

PENGARUH GAYA PENGASUHAN DAN POLA ASUH AKADEMIK TERHADAP PRESTASI SISWA SMP PADA DAERAH PANTAI DAN PEGUNUNGAN DI KABUPATEN FAKFAK PAPUA BARAT

PENGARUH GAYA PENGASUHAN DAN POLA ASUH AKADEMIK TERHADAP PRESTASI SISWA SMP PADA DAERAH PANTAI DAN PEGUNUNGAN DI KABUPATEN FAKFAK PAPUA BARAT PENGARUH GAYA PENGASUHAN DAN POLA ASUH AKADEMIK TERHADAP PRESTASI SISWA SMP PADA DAERAH PANTAI DAN PEGUNUNGAN DI KABUPATEN FAKFAK PAPUA BARAT ULFAH MUSHLIHA ADHANI PUARADA DEPARTEMEN ILMU KELUARGA DAN

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. itu kebutuhan fisik maupun psikologis. Untuk kebutuhan fisik seperti makan,

BAB I PENDAHULUAN. itu kebutuhan fisik maupun psikologis. Untuk kebutuhan fisik seperti makan, BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Setiap manusia memiliki serangkaian kebutuhan yang harus dipenuhi baik itu kebutuhan fisik maupun psikologis. Untuk kebutuhan fisik seperti makan, minum, pakaian

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Isni Agustiawati,2014

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Isni Agustiawati,2014 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pendidikan merupakan keharusan bagi manusia serta mempunyai peran yang sangat penting dalam meningkatkan kualitas sumber daya manusia, baik sebagai makhluk individu

Lebih terperinci

DEPARTEMEN ILMU KELUARGA DAN KONSUMEN FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR

DEPARTEMEN ILMU KELUARGA DAN KONSUMEN FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR i ANALISIS MANAJEMEN KEUANGAN, TEKANAN EKONOMI, STRATEGI KOPING DAN TINGKAT KESEJAHTERAAN KELUARGA NELAYAN DI DESA CIKAHURIPAN, KECAMATAN CISOLOK, KABUPATEN SUKABUMI HIDAYAT SYARIFUDDIN DEPARTEMEN ILMU

Lebih terperinci

BAB I. Kekerasan Dalam Rumah Tangga atau KDRT diartikan setiap perbuatan. terhadap seseorang terutama perempuan yang berakibat timbulnya kesengsaraan

BAB I. Kekerasan Dalam Rumah Tangga atau KDRT diartikan setiap perbuatan. terhadap seseorang terutama perempuan yang berakibat timbulnya kesengsaraan BAB I 1.1 Latar Belakang Masalah Kekerasan Dalam Rumah Tangga atau KDRT diartikan setiap perbuatan terhadap seseorang terutama perempuan yang berakibat timbulnya kesengsaraan atau penderitaan secara fisik,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Masa Remaja merupakan suatu fase transisi dari anak-anak menjadi dewasa

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Masa Remaja merupakan suatu fase transisi dari anak-anak menjadi dewasa BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Masa Remaja merupakan suatu fase transisi dari anak-anak menjadi dewasa (Passer & Smith, 2008). Fase remaja menunjukkan perkembangan transisional yang pesat

Lebih terperinci

Kerangka pemikiran oprasional analisis self-esteem, self-efficacy, motivasi belajar dan prestasi akademik siswa disajikan pada gambar 1.

Kerangka pemikiran oprasional analisis self-esteem, self-efficacy, motivasi belajar dan prestasi akademik siswa disajikan pada gambar 1. 20 KERANGKA PEMIKIRAN Menurut seorang pakar ekologi keluarga yaitu Bronfenbrener menyatakan bahwa anak adalah salah sebuah unsur dalam lingkungan. Hal tersebut ditinjau dari sudut pandang dalam perpsektif

Lebih terperinci

PENDAHULUAN Latar Belakang

PENDAHULUAN Latar Belakang 1 PENDAHULUAN Latar Belakang Remaja merupakan generasi penerus bangsa. Remaja memiliki tugas untuk melaksanakan pembangunan dalam upaya meningkatkan kualitas dari suatu bangsa. Kualitas bangsa dapat diukur

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pendidikan merupakan tonggak pembangunan sebuah bangsa. Kemajuan. dan kemunduran suatu bangsa dapat diukur melalui pendidikan yang

BAB I PENDAHULUAN. Pendidikan merupakan tonggak pembangunan sebuah bangsa. Kemajuan. dan kemunduran suatu bangsa dapat diukur melalui pendidikan yang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Pendidikan merupakan tonggak pembangunan sebuah bangsa. Kemajuan dan kemunduran suatu bangsa dapat diukur melalui pendidikan yang diselenggarakan di dalamnya.

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI. rendah atau tinggi. Penilaian tersebut terlihat dari penghargaan mereka terhadap

BAB II LANDASAN TEORI. rendah atau tinggi. Penilaian tersebut terlihat dari penghargaan mereka terhadap BAB II LANDASAN TEORI II. A. Harga Diri II. A. 1. Definisi harga diri Harga diri merupakan evaluasi individu terhadap dirinya sendiri secara rendah atau tinggi. Penilaian tersebut terlihat dari penghargaan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Sebagai makhluk sosial, manusia dituntut untuk mampu mengatasi segala masalah yang timbul sebagai akibat dari interaksi dengan lingkungan sosial dan harus mampu menampilkan

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORITIS

BAB II LANDASAN TEORITIS BAB II LANDASAN TEORITIS 2.1 Kesiapan Kerja 2.1.1 Pengertian kesiapan kerja Menurut Anoraga (2009) kerja merupakan bagian yang paling mendasar atau esensial dari kehidupan manusia. Sebagai bagian yang

Lebih terperinci

ANALISIS FAKTOR-FAKTOR YANG BERPENGARUH TERHADAP SIKAP DAN PERILAKU MEMBELI BUKU BAJAKAN PADA MAHASISWA IPB PUSPA WIDYA UTAMI

ANALISIS FAKTOR-FAKTOR YANG BERPENGARUH TERHADAP SIKAP DAN PERILAKU MEMBELI BUKU BAJAKAN PADA MAHASISWA IPB PUSPA WIDYA UTAMI ANALISIS FAKTOR-FAKTOR YANG BERPENGARUH TERHADAP SIKAP DAN PERILAKU MEMBELI BUKU BAJAKAN PADA MAHASISWA IPB PUSPA WIDYA UTAMI DEPARTEMEN ILMU KELUARGA DAN KONSUMEN FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA INSTITUT PERTANIAN

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. di bidang tekhnologi, ilmu pengetahuan, ekonomi, dan pendidikan. Perubahan

BAB I PENDAHULUAN. di bidang tekhnologi, ilmu pengetahuan, ekonomi, dan pendidikan. Perubahan BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Pada tahun-tahun terakhir terjadi perubahan yang semakin pesat dalam berbagai sektor kehidupan. Perubahan tersebut terjadi sebagai dampak dari kemajuan di

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Perkembangan sosial anak telah dimulai sejak bayi, kemudian pada masa kanak-kanak dan selanjutnya pada masa remaja. Hubungan sosial anak pertamatama masih sangat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Pada masa transisi yang terjadi di kalangan masyarakat, secara khusus

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Pada masa transisi yang terjadi di kalangan masyarakat, secara khusus 16 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pada masa transisi yang terjadi di kalangan masyarakat, secara khusus remaja seakan-akan merasa terjepit antara norma-norma yang baru dimana secara sosiologis, remaja

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Manusia adalah individu yang selalu belajar. Individu belajar berjalan, berlari,

BAB I PENDAHULUAN. Manusia adalah individu yang selalu belajar. Individu belajar berjalan, berlari, BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG MASALAH Manusia adalah individu yang selalu belajar. Individu belajar berjalan, berlari, dan lain-lain. Setiap tugas dipelajari secara optimal pada waktu-waktu tertentu

Lebih terperinci

PENDAHULUAN Latar Belakang

PENDAHULUAN Latar Belakang PENDAHULUAN Latar Belakang Kebijakan pembangunan pendidikan tahun 2010-2014 memuat enam strategi, yaitu: 1) perluasan dan pemerataan akses pendidikan usia dini bermutu dan berkesetaraan gender, 2) perluasan

Lebih terperinci

Menurut Knox (1985) terdapat tiga faktor yang menentukan kesiapan menikah, yaitu usia menikah, pendidikan, dan rencana karir. Pada dasarnya usia

Menurut Knox (1985) terdapat tiga faktor yang menentukan kesiapan menikah, yaitu usia menikah, pendidikan, dan rencana karir. Pada dasarnya usia 57 PEMBAHASAN Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui kesiapan menikah dan pelaksanaan tugas perkembangan keluarga dengan anak usia prasekolah. Penelitian ini dilakukan pada keluarga yang memiliki anak

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Manusia merupakan makhluk hidup yang unik, tidak ada seorang individu yang sama persis dengan individu yang lain. Salah satunya adalah dalam hal kecepatan dan kemampuan

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Remaja 2.1.1 Pengertian Remaja Pada umumnya remaja didefiniskan sebagai masa peralihan atau transisi dari masa anak-anak menuju masa dewasa yang berjalan antara umur 12 tahun

Lebih terperinci

SKRIPSI. Oleh : SITI FATIMAH NIM K

SKRIPSI. Oleh : SITI FATIMAH NIM K KONTRIBUSI IQ (INTELLIGENCE QUOTIENT) DAN EQ (EMOTIONAL QUOTIENT) TERHADAP HASIL BELAJAR KOGNITIF BIOLOGI SISWA KELAS X SMA NEGERI 7 SURAKARTA TAHUN PELAJARAN 2011/2012 SKRIPSI Oleh : SITI FATIMAH NIM

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Penyelenggaraan pendidikan yang dilaksanakan di Indonesia dari masa ke

BAB I PENDAHULUAN. Penyelenggaraan pendidikan yang dilaksanakan di Indonesia dari masa ke BAB I PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG MASALAH Penyelenggaraan pendidikan yang dilaksanakan di Indonesia dari masa ke masa lebih banyak bersifat klasikal-massal, yaitu berorientasi kepada kuantitas untuk

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Setiap manusia pasti melewati tahap-tahap perkembangan yaitu masa bayi, masa kanak-kanak, masa remaja, dan masa dewasa. Namun ada suatu masa dimana individu

Lebih terperinci

SELF-ESTEEM, SELF-EFFICACY, MOTIVASI BELAJAR DAN PRESTASI AKADEMIK SISWA SMA PADA BERBAGAI MODEL PEMBELAJARAN. Dinda Ayu Novariandhini I

SELF-ESTEEM, SELF-EFFICACY, MOTIVASI BELAJAR DAN PRESTASI AKADEMIK SISWA SMA PADA BERBAGAI MODEL PEMBELAJARAN. Dinda Ayu Novariandhini I SELF-ESTEEM, SELF-EFFICACY, MOTIVASI BELAJAR DAN PRESTASI AKADEMIK SISWA SMA PADA BERBAGAI MODEL PEMBELAJARAN Dinda Ayu Novariandhini I24070034 DEPARTEMEN ILMU KELUARGA DAN KONSUMEN FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Ibu adalah sosok yang penuh pengertian, mengerti akan apa-apa yang ada

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Ibu adalah sosok yang penuh pengertian, mengerti akan apa-apa yang ada BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Pendidikan Formal Ibu 1. Pengertian Ibu Ibu adalah sosok yang penuh pengertian, mengerti akan apa-apa yang ada pada diri anaknya dalam hal mengasuh, membimbing dan mengawasi

Lebih terperinci

METODE PENELITIAN. Gambar 2 Kerangka Penarikan Contoh Penelitian. Purposive. Kecamatan Bogor Barat. Purposive. Kelurahan Bubulak

METODE PENELITIAN. Gambar 2 Kerangka Penarikan Contoh Penelitian. Purposive. Kecamatan Bogor Barat. Purposive. Kelurahan Bubulak 25 METODE PENELITIAN Disain, Lokasi, dan Waktu Penelitian Disain yang digunakan dalam penelitian ini adalah kombinasi antara cross sectional study, yaitu penelitian yang hanya dilakukan pada satu waktu

Lebih terperinci

HUBUNGAN ANTARA POLA ASUH DEMOKRATIS ORANGTUA DENGAN PRESTASI BELAJAR SISWA KELAS SATU SEKOLAH DASAR PROGRAM FULLDAY

HUBUNGAN ANTARA POLA ASUH DEMOKRATIS ORANGTUA DENGAN PRESTASI BELAJAR SISWA KELAS SATU SEKOLAH DASAR PROGRAM FULLDAY HUBUNGAN ANTARA POLA ASUH DEMOKRATIS ORANGTUA DENGAN PRESTASI BELAJAR SISWA KELAS SATU SEKOLAH DASAR PROGRAM FULLDAY NASKAH PUBLIKASI Diajukan Kepada Fakultas Psikologi Universitas Muhammadiyah Surakarta

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pendidikan merupakan salah satu aspek yang penting bagi kehidupan

BAB I PENDAHULUAN. Pendidikan merupakan salah satu aspek yang penting bagi kehidupan 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Pendidikan merupakan salah satu aspek yang penting bagi kehidupan manusia. Pendidikan nasional di Indonesia memiliki tujuan sebagaimana tertulis dalam Undang-Undang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Di dalam kehidupannya, individu sebagai makhluk sosial selalu

BAB I PENDAHULUAN. Di dalam kehidupannya, individu sebagai makhluk sosial selalu BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Di dalam kehidupannya, individu sebagai makhluk sosial selalu berhubungan dengan lingkungannya dan tidak dapat hidup sendiri. Ia selalu berinteraksi dengan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. pembangunan negara di segala bidang. Agar mendapatkan manusia yang

BAB I PENDAHULUAN. pembangunan negara di segala bidang. Agar mendapatkan manusia yang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Sebagai negara yang sedang berkembang, Indonesia sangat memerlukan sumber daya manusia yang berkualitas untuk mendukung perkembangan dan pembangunan negara

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Manusia adalah individu yang unik dan terus mengalami perkembangan di

BAB I PENDAHULUAN. Manusia adalah individu yang unik dan terus mengalami perkembangan di BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Manusia adalah individu yang unik dan terus mengalami perkembangan di sepanjang kehidupannya sejalan dengan pertambahan usianya. Manusia merupakan individu

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI. yang terbentuk melalui pengalaman-pengalaman yang diperoleh dari interaksi

BAB II LANDASAN TEORI. yang terbentuk melalui pengalaman-pengalaman yang diperoleh dari interaksi BAB II LANDASAN TEORI 2.1. Konsep Diri 2.1.1. Pengertian Konsep diri Konsep diri merupakan gambaran yang dimiliki seseorang tentang dirinya, yang terbentuk melalui pengalaman-pengalaman yang diperoleh

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. mencapai kedewasaan sesuai dengan norma-norma yang ada dalam

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. mencapai kedewasaan sesuai dengan norma-norma yang ada dalam BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Pola Asuh Orangtua Pola asuh orangtua merupakan interaksi antara anak dan orangtua selama mengadakan kegiatan pengasuhan. Pengasuhan ini berarti orangtua mendidik, membimbing,

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN TEORI. dibaca dalam media massa. Menurut Walgito, (2000) perkawinan

BAB II KAJIAN TEORI. dibaca dalam media massa. Menurut Walgito, (2000) perkawinan 6 BAB II KAJIAN TEORI 2.1. Pernikahan 2.1.1. Pengertian Pernikahan Pernikahan merupakan suatu istilah yang tiap hari didengar atau dibaca dalam media massa. Menurut Walgito, (2000) perkawinan adalah nikah,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dalam menunjukkan bahwa permasalahan prestasi tersebut disebabkan

BAB I PENDAHULUAN. dalam menunjukkan bahwa permasalahan prestasi tersebut disebabkan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Permasalahan terbesar yang dihadapi siswa adalah masalah yang berkaitan dengan prestasi, baik akademis maupun non akademis. Hasil diskusi kelompok terarah yang

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA Remaja

TINJAUAN PUSTAKA Remaja TINJAUAN PUSTAKA Remaja Istilah remaja berasal dari bahasa latin yaitu adolescence yang berarti tumbuh menjadi dewasa. Namun saat ini adolescence memiliki arti yang lebih luas mencakup kematangan mental,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dan pendidikan tinggi (http://id.wikipedia.org). Mengenyam pendidikan pada

BAB I PENDAHULUAN. dan pendidikan tinggi (http://id.wikipedia.org). Mengenyam pendidikan pada BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Pemerintah Indonesia berusaha meningkatkan mutu pendidikan formal. Pendidikan formal adalah jalur pendidikan yang terstruktur dan berjenjang yang terdiri atas

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Lingkungan belajar dalam keluarga adalah merupakan lingkungan belajar yang pertama bagi anak untuk mendapatkan

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Lingkungan belajar dalam keluarga adalah merupakan lingkungan belajar yang pertama bagi anak untuk mendapatkan BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Lingkungan belajar dalam keluarga adalah merupakan lingkungan belajar yang pertama bagi anak untuk mendapatkan berbagai hal, berperan memberikan warna dalam pembentukan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. mengembangkan perilaku maupun sikap yang diinginkan. Pendidikan dapat

BAB I PENDAHULUAN. mengembangkan perilaku maupun sikap yang diinginkan. Pendidikan dapat BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pendidikan merupakan suatu usaha atau kegiatan yang dijalankan secara sengaja, teratur dan terprogram dengan tujuan untuk mengubah dan mengembangkan perilaku maupun

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN TEORI Pengertian Tugas-tugas Perkembangan Remaja. Menurut Havighurst (dalam Syaodih : 161) mengatakan bahwa:

BAB II KAJIAN TEORI Pengertian Tugas-tugas Perkembangan Remaja. Menurut Havighurst (dalam Syaodih : 161) mengatakan bahwa: BAB II KAJIAN TEORI 2.1. Kajian Teori 2.1.1. Pengertian Tugas-tugas Perkembangan Remaja Menurut Havighurst (dalam Syaodih. 2009.: 161) mengatakan bahwa: Definisi tugas perkembangan adalah suatu tugas yang

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Remaja merupakan masa peralihan dari masa anak-anak ke masa dewasa.

BAB 1 PENDAHULUAN. Remaja merupakan masa peralihan dari masa anak-anak ke masa dewasa. BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Remaja merupakan masa peralihan dari masa anak-anak ke masa dewasa. Masa ini sering disebut dengan masa pubertas. Istilah pubertas juga istilah dari adolescent yang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Masa remaja adalah masa transisi dari masa anak menuju masa dewasa, dan

BAB I PENDAHULUAN. Masa remaja adalah masa transisi dari masa anak menuju masa dewasa, dan BAB I PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang Masalah Masa remaja adalah masa transisi dari masa anak menuju masa dewasa, dan dalam masa transisi itu remaja menjajaki alternatif dan mencoba berbagai pilihan sebagai

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI. berhubungan dengan orang lain. Stuart dan Sundeen (dalam Keliat,1992).

BAB II LANDASAN TEORI. berhubungan dengan orang lain. Stuart dan Sundeen (dalam Keliat,1992). BAB II LANDASAN TEORI 2.1 Konsep Diri 2.1.1 Pengertian Konsep Diri Konsep diri adalah semua ide, pikiran, kepercayaan dan pendirian diketahui individu tentang dirinya dan mempengaruhi individu dalam berhubungan

Lebih terperinci

KECERDASAN EMOSI PESERTA DIDIK PADA KELAS AKSELERASI DI SMP NEGERI 1 PURWOKERTO

KECERDASAN EMOSI PESERTA DIDIK PADA KELAS AKSELERASI DI SMP NEGERI 1 PURWOKERTO KECERDASAN EMOSI PESERTA DIDIK PADA KELAS AKSELERASI DI SMP NEGERI 1 PURWOKERTO EMOTIONAL INTELLIGENCE IN CLASS STUDENTS ACCELERATION IN SMP NEGERI 1 PURWOKERTO Oleh : Dwi Hartoko Aji *) Retno Dwiyanti**)

Lebih terperinci

PENDAHULUAN Latar Belakang

PENDAHULUAN Latar Belakang PENDAHULUAN Latar Belakang Masih banyak sekolah yang menerapkan betapa pentingnya kecerdasan IQ (Intelligence Question) sebagai standar dalam kegiatan belajar mengajar. Biasanya, kegiatan belajar mengajar

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Riesa Rismawati Siddik, 2014 Kontribusi pola asuh orangtua terhadap pembentukan konsep diri remaja

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Riesa Rismawati Siddik, 2014 Kontribusi pola asuh orangtua terhadap pembentukan konsep diri remaja BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Remaja adalah usia seseorang yang sedang dalam masa transisi yang sudah tidak lagi menjadi anak-anak, dan tidak bisa juga dinilai dewasa, saat usia remaja ini anak ingin

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pendidikan telah menjadi penopang dalam meningkatkan sumber. daya manusia untuk pembangunan bangsa. Whiterington (1991, h.

BAB I PENDAHULUAN. Pendidikan telah menjadi penopang dalam meningkatkan sumber. daya manusia untuk pembangunan bangsa. Whiterington (1991, h. 17 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pendidikan telah menjadi penopang dalam meningkatkan sumber daya manusia untuk pembangunan bangsa. Whiterington (1991, h. 12) menyatakan bahwa pendidikan

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN PUSTAKA, KERANGKA PEMIKIRAN DAN HIPOTESIS

BAB II KAJIAN PUSTAKA, KERANGKA PEMIKIRAN DAN HIPOTESIS 8 BAB II KAJIAN PUSTAKA, KERANGKA PEMIKIRAN DAN HIPOTESIS 2.1. Kajian Pustaka 2.1.1. Penyesuaian Diri Penyesuaian berarti adaptasi yang dapat mempertahankan eksistensinya atau bisa bertahan serta memperoleh

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. ketidakmampuan. Orang yang lahir dalam keadaan cacat dihadapkan pada

BAB I PENDAHULUAN. ketidakmampuan. Orang yang lahir dalam keadaan cacat dihadapkan pada BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Setiap orang ingin lahir dalam keadaan normal, namun pada kenyataannya ada orang yang dilahirkan dengan keadaan cacat. Bagi orang yang lahir dalam keadaan cacat

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Pola Penggunaan Jejaring Sosial

TINJAUAN PUSTAKA. Pola Penggunaan Jejaring Sosial 5 TINJAUAN PUSTAKA Pola Penggunaan Jejaring Sosial Internet merupakan jaringan dunia terbesar yang menghubungkan berbagai jaringan komputer dengan berbagai jenis komputer di seluruh dunia. Jaringan-jaringan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pengadaan Proyek

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pengadaan Proyek BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pengadaan Proyek Anak merupakan karunia Tuhan Yang Maha Esa, yang senantiasa harus dijaga dan dipelihara karena dalam dirinya melekat harkat, martabat, dan hak-hak

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Dalam menjalani kehidupannya, seorang individu akan melewati beberapa

BAB I PENDAHULUAN. Dalam menjalani kehidupannya, seorang individu akan melewati beberapa BAB I PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang Masalah Dalam menjalani kehidupannya, seorang individu akan melewati beberapa tahap perkembangan. Keseluruhan tahap perkembangan itu merupakan proses yang berkesinambungan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pendidikan merupakan sebuah media penghantar individu untuk menuju masa depan yang lebih baik. Pendidikan merupakan salah satu solusi atau upaya yang dibuat agar dapat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. akan tergantung pada orangtua dan orang-orang yang berada di lingkungannya

BAB I PENDAHULUAN. akan tergantung pada orangtua dan orang-orang yang berada di lingkungannya BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Setiap manusia dilahirkan dalam kondisi yang tidak berdaya. Individu akan tergantung pada orangtua dan orang-orang yang berada di lingkungannya dan ketergantungan

Lebih terperinci

BAB 2 LANDASAN TEORI. Teori yang akan dibahas dalam bab ini adalah teori mengenai self-efficacy dan

BAB 2 LANDASAN TEORI. Teori yang akan dibahas dalam bab ini adalah teori mengenai self-efficacy dan BAB 2 LANDASAN TEORI Teori yang akan dibahas dalam bab ini adalah teori mengenai self-efficacy dan prestasi belajar. 2.1 Self-Efficacy 2.1.1 Definisi self-efficacy Bandura (1997) mendefinisikan self-efficacy

Lebih terperinci

Dalam keluarga, semua orangtua berusaha untuk mendidik anak-anaknya. agar dapat menjadi individu yang baik, bertanggungjawab, dan dapat hidup secara

Dalam keluarga, semua orangtua berusaha untuk mendidik anak-anaknya. agar dapat menjadi individu yang baik, bertanggungjawab, dan dapat hidup secara BABI PENDAHULUAN BABI PENDAHULUAN 1.1. LA TAR BELAKANG MASALAH Dalam keluarga, semua orangtua berusaha untuk mendidik anak-anaknya agar dapat menjadi individu yang baik, bertanggungjawab, dan dapat hidup

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. laku spesifik yang bekerja secara individu dan bersama sama untuk mengasuh

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. laku spesifik yang bekerja secara individu dan bersama sama untuk mengasuh BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 1. Pola Asuh 1.1 Definisi Pengasuhan adalah kegiatan kompleks yang mencakup berbagai tingkah laku spesifik yang bekerja secara individu dan bersama sama untuk mengasuh anak (Darling,

Lebih terperinci

PENDAHULUAN Latar Belakang

PENDAHULUAN Latar Belakang 15 PENDAHULUAN Latar Belakang Sumberdaya manusia (SDM) yang berkualitas merupakan modal dasar untuk mewujudkan manusia seutuhnya dan masyarakat seluruhnya. Hal ini berarti bahwa kualitas sumberdaya manusia

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. beradaptasi di tengah kehidupan masyarakat yang lebih luas.

BAB I PENDAHULUAN. beradaptasi di tengah kehidupan masyarakat yang lebih luas. BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Keluarga merupakan sumber kepribadian seseorang. Di dalam keluarga dapat ditemukan berbagai elemen dasar yang dapat membentuk kepribadian seserang. Tidak dapat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah 2014

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah 2014 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Layanan bimbingan pada dasarnya upaya peserta didik termasuk remaja untuk mengatasi masalah-masalah yang dihadapi termasuk masalah penerimaan diri. Bimbingan

Lebih terperinci

ILMU KELUARGA DAN PERKEMBANGAN ANAK

ILMU KELUARGA DAN PERKEMBANGAN ANAK Meraih masa depan berkualitas bersama Sekolah Pascasarjana IPB ILMU KELUARGA DAN PERKEMBANGAN ANAK Ketua Program Studi/Koordinator Mayor: Dr. Ir. Herien Puspitawati, M.Sc., M.Sc Staf Pengajar: Prof. Dr.

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI

BAB II LANDASAN TEORI BAB II LANDASAN TEORI 2.1 Pola Asuh Orang Tua 2.1.1 Pengertian Pola Asuh Orang Tua Menurut Hurlock (1999) orang tua adalah orang dewasa yang membawa anak ke dewasa, terutama dalam masa perkembangan. Tugas

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Kebutuhan mencari pasangan hidup untuk melanjutkan keturunan akan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Kebutuhan mencari pasangan hidup untuk melanjutkan keturunan akan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Kebutuhan mencari pasangan hidup untuk melanjutkan keturunan akan menjadi prioritas dalam hidup jika seseorang sudah berada di usia yang cukup matang dan mempunyai

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. sesuai dengan posisi sosial yang diberikan baik secara formal maupun

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. sesuai dengan posisi sosial yang diberikan baik secara formal maupun BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Peran Ayah 1. Definisi Peran Peran adalah serangkaian perilaku yang diharapkan pada seseorang sesuai dengan posisi sosial yang diberikan baik secara formal maupun informal (Supartini,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. tersebut terbentang dari masa bayi, kanak-kanak, remaja, dewasa, hingga masa

BAB I PENDAHULUAN. tersebut terbentang dari masa bayi, kanak-kanak, remaja, dewasa, hingga masa BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Sepanjang rentang kehidupannya individu mempunyai serangkaian tugas perkembangan yang harus dijalani untuk tiap masanya. Tugas perkembangan tersebut terbentang

Lebih terperinci

PENDAHULUAN Latar Belakang

PENDAHULUAN Latar Belakang PENDAHULUAN Latar Belakang Keberhasilan pembangunan nasional suatu bangsa ditentukan oleh ketersediaan Sumberdaya Manusia (SDM) yang berkualitas, yaitu SDM yang memiliki fisik yang tangguh, mental yang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. kebutuhan dibentuk oleh lima kebutuhan konatif (conative needs), yang memiliki karakter

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. kebutuhan dibentuk oleh lima kebutuhan konatif (conative needs), yang memiliki karakter BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Prestasi menjadi suatu hal yang sangat didambakan oleh banyak orang di era globalisasi saat ini. Ketika seseorang mampu mencapai prestasi yang baik maka akan memunculkan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Pentingnya perilaku asertif bagi setiap individu adalah untuk memenuhi

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Pentingnya perilaku asertif bagi setiap individu adalah untuk memenuhi BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pentingnya perilaku asertif bagi setiap individu adalah untuk memenuhi segala kebutuhan dan keinginan dan keinginan, misalnya dalam bersosialisasi dengan lingkungan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. adolescence yang berasal dari kata dalam bahasa latin adolescere (kata

BAB I PENDAHULUAN. adolescence yang berasal dari kata dalam bahasa latin adolescere (kata BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Secara psikologis perubahan merupakan situasi yang paling sulit untuk diatasi oleh seseorang, dan ini merupakan ciri khas yang menandai awal masa remaja. Dalam perubahannya,

Lebih terperinci

Perkembangan Sepanjang Hayat

Perkembangan Sepanjang Hayat Modul ke: Perkembangan Sepanjang Hayat Memahami Masa Perkembangan Remaja dalam Aspek Psikososial Fakultas PSIKOLOGI Hanifah, M.Psi, Psikolog Program Studi Psikologi http://mercubuana.ac.id Memahami Masa

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. pengaruhi oleh kematangan emosi baik dari suami maupun istri. dengan tanggungjawab dan pemenuhan peran masing-masing pihak yang

BAB 1 PENDAHULUAN. pengaruhi oleh kematangan emosi baik dari suami maupun istri. dengan tanggungjawab dan pemenuhan peran masing-masing pihak yang BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pernikahan bagi manusia merupakan hal yang penting, karena dengan menikah seseorang akan memperoleh keseimbangan hidup baik secara biologis, psikologis maupun secara

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Rini Restu Handayani, 2013

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Rini Restu Handayani, 2013 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pendidikan merupakan hal terpenting dalam kehidupan manusia, melalui pendidikan individu berharap untuk selalu berkembang dan mewujudkan diri. Ini artinya setiap

Lebih terperinci

BAB II. Tinjauan Pustaka

BAB II. Tinjauan Pustaka BAB II Tinjauan Pustaka Dalam bab ini peneliti akan membahas tentang tinjauan pustaka, dimana dalam bab ini peneliti akan menjelaskan lebih dalam mengenai body image dan harga diri sesuai dengan teori-teori

Lebih terperinci

MENJADI ORANGTUA TERBAIK UNTUK ANAK DENGAN METODE PENGASUHAN YANG TEPAT

MENJADI ORANGTUA TERBAIK UNTUK ANAK DENGAN METODE PENGASUHAN YANG TEPAT MENJADI ORANGTUA TERBAIK UNTUK ANAK DENGAN METODE PENGASUHAN YANG TEPAT Dwi Retno Aprilia, Aisyah Program Studi PGPAUD Fakultas Ilmu Pendidikan Universitas Negeri Malang, Jalan Semarang 5 Malang Email:

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar belakang Masalah. dilihat dari beberapa sekolah di beberapa kota di Indonesia, sekolah-sekolah

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar belakang Masalah. dilihat dari beberapa sekolah di beberapa kota di Indonesia, sekolah-sekolah BAB I PENDAHULUAN A. Latar belakang Masalah Perhatian terhadap anak berbakat khususnya di Indonesia sekarang ini sudah memperlihatkan perkembangan yang cukup baik. Perkembangan ini dapat dilihat dari beberapa

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Anak usia 0-6 tahun disebut juga sebagi usia kritis dalam rentang perkembangan

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Anak usia 0-6 tahun disebut juga sebagi usia kritis dalam rentang perkembangan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Anak usia 0-6 tahun disebut juga sebagi usia kritis dalam rentang perkembangan dan merupakan usia emas dalam proses perkembangan anak. Apabila pada masa tersebut anak

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Berbicara tentang siswa sangat menarik karena siswa berada dalam kategori

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Berbicara tentang siswa sangat menarik karena siswa berada dalam kategori BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Berbicara tentang siswa sangat menarik karena siswa berada dalam kategori usia remaja yang tidak pernah lepas dari sorotan masyarakat baik dari sikap, tingkah laku,

Lebih terperinci

ANALISIS POLA AKTIVITAS, TINGKAT KELELAHAN DAN STATUS ANEMIA SERTA PENGARUHNYA TERHADAP PRESTASI BELAJAR SISWA WIWIK WIDAYATI

ANALISIS POLA AKTIVITAS, TINGKAT KELELAHAN DAN STATUS ANEMIA SERTA PENGARUHNYA TERHADAP PRESTASI BELAJAR SISWA WIWIK WIDAYATI ANALISIS POLA AKTIVITAS, TINGKAT KELELAHAN DAN STATUS ANEMIA SERTA PENGARUHNYA TERHADAP PRESTASI BELAJAR SISWA WIWIK WIDAYATI SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2009 PERNYATAAN MENGENAI

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Masa usia sekolah dasar merupakan masa akhir kanak-kanak yang. berkisar antara enam tahun sampai dua belas tahun, dimana anak mulai

BAB I PENDAHULUAN. Masa usia sekolah dasar merupakan masa akhir kanak-kanak yang. berkisar antara enam tahun sampai dua belas tahun, dimana anak mulai BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masa usia sekolah dasar merupakan masa akhir kanak-kanak yang berkisar antara enam tahun sampai dua belas tahun, dimana anak mulai meninggalkan ketergantungannya pada

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Pesatnya perkembangan ilmu pengetahuan dan kemajuan teknologi tidak

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Pesatnya perkembangan ilmu pengetahuan dan kemajuan teknologi tidak BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pesatnya perkembangan ilmu pengetahuan dan kemajuan teknologi tidak selalu membawa kebaikan bagi kehidupan manusia, kehidupan yang semakin kompleks dengan tingkat stressor

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN PUSTAKA A. Perilaku Konsumtif 1. Pengertian Perilaku Konsumtif Menurut Schiffman & Kanuk (2004), konsumen yang melakukan pembelian dipengaruhi motif emosional seperti hal-hal yang bersifat

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Prestasi Belajar 1. Pengertian Prestasi Belajar Menurut Guidena (2011) prestasi belajar merupakan suatu kemampuan atau keberhasilan belajar individu terhadap materi pelajaran

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. dan perempuan dalam masyarakat, sebagai contoh perempuan tidak lagi

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. dan perempuan dalam masyarakat, sebagai contoh perempuan tidak lagi BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pada saat ini banyak terjadi pergeseran peran atau kedudukan antara lakilaki dan perempuan dalam masyarakat, sebagai contoh perempuan tidak lagi semata-mata

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN TEORITIS

BAB II TINJAUAN TEORITIS BAB II TINJAUAN TEORITIS 2.1 Remaja 2.1.1 Definisi Remaja Masa remaja adalah periode transisi perkembangan antara masa kanak-kanak dengan masa dewasa, yang melibatkan perubahan biologis, kognitif, dan

Lebih terperinci