5. HASIL DAN PEMBAHASAN

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "5. HASIL DAN PEMBAHASAN"

Transkripsi

1 5. HASIL DAN PEMBAHASAN Kelayakan Lahan Budidaya Tambak Udang Kualitas Tanah Kualitas tanah merupakan persyaratan yang memegang peranan yang sangat penting dalam menentukan baik tidaknya tanah dijadikan sebagai lahan pertambakan udang. Tanah yang baik tidak hanya mampu menahan air, akan tetapi juga harus mampu menyediakan berbagai unsur hara untuk makanan alami udang yang dibudidayakan. Parameter kualitas tanah yang digunakan sebagai syarat minimal untuk budidaya tambak udang yaitu tekstur tanah, ph, kandungan bahan organik, unsur hara dan kandungan pirit. Sedangkan parameter pendukung kualitas tanah untuk kegiatan budidaya tambak udang yaitu ph FOX, KTK, Kation (K, Ca, Na, dan Mg), TSA, TAA, dan redoks. Nilai parameter kualitas tanah dapat dilihat pada Tabel 13,14, dan 15. Tabel 13. Parameter kualitas tanah di wilayah pesisir Kecamatan Mangara Bombang Parameter Satuan Kedalaman tanah (cm) Nilai yang direkomendasikan 0 0 > 0-40 *) ph F 7.3 ± ± (H O) ( ) ( ) Redoks mev ± (-377) (-3.00) ± (-366)-(-7.00) + 10 mev (-) + 50 mev BO- % 3.86 ± ± % (C organik ( ) ( ) N Total % 0. ± ± ( ) ( ) P O5 mg/l ± ± mg/l ( ) ( ) Pirit % 0.51 ± ± 0.51 < % ( ) ( ) Pasir % ± ± ( ) ( ) Liat % ± ± ( ) ( ) Debu % 4.57 ± 10.5 ( ) 3.4 ± ( ) - Sumber: Hasil analisis laboratorium tanah Balai Riset Perikanan Budidaya Air Payau Maros (008) dan Stasiun Penelitian Tanah Maros (008) Ket : *) Poernomo (199) ; Widigdo (00); Taslihan A et al. (003)

2 Tabel 14. Paramater kualitas tanah (KTK, K, Ca, Na, dan Mg) di wilayah pesisir Kecamatan Mangara Bombang Parameter Satuan Nilai yang diperoleh Nilai yang direkomendasikan *) Kapasitas Tukar me/100 g ± > 0 me/100 g Kation (KTK) ( ) K me/100 g 3.7 ±.9 ( ) me/100 g (> 500 mg/l) Ca me/100 g 3.70 ± 5.88 ( ) me/100 g (> 1.00 mg/l) Na me/100 g 38.8 ± me/100 g ( ) Mg me/100 g.45 ± ( ) me/100 g (> 500 mg/l) Sumber: Hasil analisis laboratorium tanah Balai Riset Perikanan Budidaya Air Payau Maros (008) dan Stasiun Penelitian Tanah Maros (008) Ket : *) Poernomo (199); Widigdo (00); Taslihan A et al. (003) Tabel 15. Parameter kualitas tanah (ph FOX, TPA dan TAA) di wilayah pesisir Kecamatan Mangara Bombang Parameter Satuan Kedalaman tanah (cm) Nilai yang direkomendasikan *) 0 0 > 0 40 phfox ± ±.7 - ( ) ( ) TPA mol H + /th ± ± < 600 moh ( ) ( ) H + /ton TAA mol H + /th.36 ± ± < 40 H + /ton ( ) ( ) Sumber: Hasil analisis laboratorium tanah Balai Riset Perikanan Budidaya Air Payau Maros (008) dan Stasiun Penelitian Tanah Maros (008) Ket : TPA = Total potential acidity; TAA = Total actual acidity ; phfox = Post Oxidation ph of Soil Sample ; *) Mustafa et al. (004) Penjelasan masing masing parameter kualitas tanah hasil pengukuran sebagai berikut : Derajat Keasaman Tanah (ph H O) Tanah yang produktif untuk dijadikan tambak adalah tanah yang mempunyai ph netral sampai basa, dimana tanah seperti ini kaya akan garam nutrien yang dapat merangsang pertumbuhan pakan alami. ph tanah berpengaruh

3 terhadap kesuburan air tambak karena menentukan kelarutan unsur hara dalam air (Widigdo 00). Pada Tabel 13 terlihat bahwa hasil pengukuran langsung dilapangan diperoleh nilai ph F (H O) yang cukup tinggi baik tanah tambak kedalaman 0 0 cm dan > 0 40 cm masing masing 7.3 ± 0.35 ( ) dan 7.08 ± 0.63 ( ). Hal ini menunjukkan bahwa tingkat kemasaman aktif tambak relatif rendah pada saat pengukuran dilakukan. Setelah dioksidasi dengan larutan peroksida (H O ) 30 % terjadi penurunan tajam hingga ph mencapai 1.44 (kedalaman 0-0 cm) dan 1.30 (kedalaman > 0 40 cm) (Tabel 15). Hal ini menjadi informasi yang menarik tentang adanya potensi kemasaman yang masih tersimpan dalam partikel tanah tambak yang sewaktu waktu dapat bangkit jika didukung oleh kondisi alamiah atau bisa juga disebabkan oleh perlakuan pembudidaya tambak, terutama pada saat proses pengeringan dan penggalian/pembalikan tanah. Hasil pengukuran menunjukkan nilai parameter phf (H O) tanah tambak masih layak untuk budidaya tambak udang sesuai dengan nilai yang direkomendasikan yaitu (Ilyas et al.1987; Boyd dan Musig 199; Poernomo 199; Baliao 000; Taslihan et al.003). Tanah tambak dengan ph antara digolongkan oleh Karthik et al. (005) sebagai slight karena nilai ph tanah tersebut tergolong baik dan penghambatnya sangat mudah sekali diatasi (Pantjara dan Sahib 008; Mustafa dan Rachmansyah 008). Tekstur Tanah Komposisi partikel tanah tambak di wilayah pesisir Kecamatan Mangara Bombang (kedalaman 0 0 cm) terdiri partikel pasir berkisar antara % (60.67 ± 1.3), partikel debu berkisar antara % (4,57 ± 10,5), dan partikel liat berkisar antara % (14.76 ± 13.34). Sedangkan komposisi partikel tanah tambak (kedalaman > 0 40 cm) terdiri dari partikel pasir berkisar antara % (65.05 ± 14.3), partikel debu berkisar antara % (3.4 ± 11.34), dan partikel liat berkisar antara % (11.71 ± 13.41) (Tabel 13).

4 Hasil analisis struktur tanah berdasarkan tingkat sodisitas tanah dengan menggunakan persamaan SAR (Sodium Adsorbtion Rate) = Na + x [0.5 (Ca + + Mg + )] -0.5 = X me.1-1, diperoleh nilai SAR (Sodium Adsorbsium Rate) sebesar 7.39 me.1-1. Nilai ini menunjukkan bahwa struktur tanah tambak di wilayah pesisir Kecamatan Mangara Bombang tergolong struktur tanah fasa sodik (Buring P 1983; Ahern 1998). Pada tanah dengan struktur fasa sodik, konsentrasi natrium (Na) yang tinggi pada kompleks jerapan tanah dapat menyebabkan rusaknya struktur tanah. Akibat lebih lanjut agregat tanah yang merupakan daya kohesi internal tanah akan menjadi lemah sehingga tanah mudah hancur (Buringh P 1983; Ahern 1998). Kondisi struktur tanah seperti ini masih dapat dilakukan pembuatan kontruksi tambak serta saluran irigasi, dengan syarat pematang tambak dan saluran irigasi harus dibuat agak lebih lebar (Mustafa dan Rachmansyah 008; Afrianto dan Liviawaty 1991; Taslihan et al. 003). Selain itu, dipergunakan juga kontruksi penahan pematang tambak. Pada tambak udang intensif, penguatan kontruksi pematang tambak dapat mempergunakan bilah bilah bambu atau semen yang ditempatkan pada sisi bagian dalam dan luar pematang tambak. Penguatan ini dimaksudkan agar tambak dapat digunakan dalam jangka waktu yang lama. Sedangkan pada tambak tradisional, penguatan kontruksi pematang tambak dapat dilakukan dengan menanam mangrove dibagian sisi dalam dan luar pematang tambak dan saluran irigasi. Mangrove dengan perakaran yang kuat diharapkan dapat memperkuat kontruksi pematang dan saluran irigasi sehingga tidak mudah rusak.

5 Gambar 5. Penggunaan bilah bilah bambu pada tambak udang di Kecamatan Mangara Bombang serta alternatif penguatan kostruksi pematang baik dengan melapisi dinding pematang dengan semen maupun dengan melakukan penanaman mangrove disekitar pematang tambak (perakaran mangrove yang kuat diharapkan memperkuat pematang tambak) C-Organik Tanah Hasil pengukuran kandungan C - organik tanah tambak (kedalaman 0 0 cm) berkisar antara % (3.86 ± 4.44) dan kandungan C organik tanah tambak (kedalaman > 0 0 cm) berkisar antara % (4.79 ± 4.48) (Tabel 13). Kandungan bahan organik tanah tambak ini masih layak untuk budidaya udang berdasarkan nilai yang direkomendasikan yaitu % (Poernomo 199; Widigdo 00). Pada tambak yang nilai kandungan bahan organiknya masih rendah masih diperlukan penambahan pupuk organik sedangkan pada tambak yang nilai kandungan bahan organiknya sudah layak atau sesuai tidak diperlukan lagi penambahan pupuk organik. Keberadaan bahan organik tanah dapat meningkatkan kapasitas tukar kation (KTK) serta daya serap tanah terhadap basa basa (Soepardi 1983; Hanafiah 004). Kandungan bahan organik tanah sangat mempengaruhi pertumbuhan algae dasar, karena merupakan sumber nitrogen, dimana makin tinggi kandungan bahan organik tanah maka

6 makin tinggi pula jumlah nitrogen yang terdapat dalam tanah sehingga pertumbuhan algae dasar akan semakin baik Tetapi di sisi lain, kandungan bahan organik tanah yang berlebihan dapat membahayakan komoditas yang dibudidayakan, karena dalam proses penguraian algae dasar yang mati selalu membutuhkan oksigen dan akibatnya akan menimbulkan gas beracun seperti CO, H S, dan NH 3 (Boyd 1995). Nitrogen (N-Total) dan Fosfor (P O 5 ) Hasil pengukuran kandungan nitrogen (N-total) tanah tambak (kedalaman 0 0 cm) berkisar antara % (0. ± 0.0) dan kandungan nitrogen (N-total) tanah tambak (kedalaman > 0 40 cm) berkisar antara % (0.17 ± 0.19)(Tabel 13). Kandungan nitrogen (N-total) tanah tambak ini tergolong rendah atau kurang subur untuk budidaya udang dari nilai yang direkomenasikan yaitu % (Poernomo 199; Widigdo 00). Karena itu, masih diperlukan pengolahan tanah serta pemberian pupuk untuk meningkatkan kandungan nitrogen (N-total) tanah. Kandungan nitrogen merupakan salah satu petunjuk tingkat kesuburan tanah tambak, karena makin besar kandungan unsur nitrogen dalam tanah, maka makin tinggi pertumbuhan algae dasar di tambak (Soepardi 1983; Effendi 003; Hanafiah 004). Kandungan fosfor (P O 5 ) tanah tambak (kedalaman 0 0 cm) berkisar antara mg/l ( ± 15.87) dan kandungan fosfor (P O 5 ) tanah tambak (kedalaman > 0 40 cm) berkisar antara mg/l ( ± )(Tabel 13). Kandungan fosfor (P O 5 ) tanah tambak di wilayah pesisir Kecamatan Mangara Bombang cukup tinggi, dimana kandungan fosfor yang sesuai atau ideal berkisar antara mg/l. Ketersediaan fosfat lebih besar 60 mg/l dalam tanah tambak dapat digolongkan sebagai slight atau tergolong baik dengan faktor pembatas yang sangat mudah diatasi (Karthik et al. 005). Kapasitas Tukar Kation (KTK) Hasil pengukuran Kapasitas Tukar Kation (KTK) tanah tambak berkisar antara me/100 g (30.58 ± 15.00)(Tabel 14). Unsur Kapasitas Tukar Kation (KTK) ini penting dalam budidaya tambak udang, karena menentukan kemampuan tanah dalam mengabsorbsi elektrolit elektrolit, seperti NH4, sulfida,

7 serta unsur unsur lain yang bersifat racun yang membahayakan bagi organisme yang dibudidayakan. Nilai Kapasitas Tukar Kation (KTK) tanah tambak di wilayah pesisir Kecamatan Mangara Bombang masih tergolong cukup baik untuk budidaya tambak udang berdasarkan nilai yang direkomendasikan yaitu > 0 me/100 g (Poernomo 199; Widigdo 00). Unsur Hara Makro (K, Ca, Na, dan MG) Ketersediaan unsur hara makro seperti K, Ca, Na, dan Mg dalam tanah merupakan indikator tingkat kesuburan tanah. Hasil pengukuran kandungan Kalium (K) tanah tambak berkisar antara me/100 g (3.7 ±.9)(Tabel 14). Nilai Kalium (K) tanah tambak di wilayah pesisir Kecamatan Mangara Bombang sebagian besar tergolong cukup tinggi untuk budidaya tambak udang dari nilai yang direkomendasikan yaitu me/100 g (> 500 mg/l) (Poernomo 199; Widigdo 00). Sumber utama Kalium (K) berasal dari air laut yang masuk ke dalam tambak udang bersamaan dengan terjadinya waktu pasang. Kalium (K) ini dapat diserap oleh algae dasar dalam bentuk K dimana fungsi utama Kalium (K) ini adalah untuk pembentukan karbohidrat dan khlorofil bagi algae dasar. Kandungan Kalium (K) dalam tanah tambak dapat digunakan untuk menduga produktivitas algae dasar di tambak. Hasil pengukuran kandungan Kalsium (Ca) dalam tanah tambak berkisar antara me/100 g (3.70 ± 5.88)(Tabel 14). Kandungan Kalsium (Ca) tanah tambak di wilayah pesisir Kecamatan Mangara Bombang tergolong cukup tinggi untuk budidaya tambak udang dari nilai yang direkmendasikan yaitu me/100 g ( >1.00 mg/l) (Poernomo 199; Widigdo 00). Ketersediaan Kalsium (Ca) ini akan berpengaruh langsung terhadap kualitas serta proses moulting (pergantian kulit) udang di tambak. Unsur Kalsium (Ca) ini akan dimanfaatkan juga oleh algae dasar dalam bentuk Ca ++ + dari tanah, Hasil pengukuran kandungan Natrium (Na) tanah tambak bervariasi antara me/100 g (38.8 ± 37.18)(Tabel 14). Nilai Natrium (Na) yang diperoleh tergolong cukup tinggi bagi budidaya tambak udang dari nilai yang direkomendasikan yaitu me/100 g. Peningkatan unsur Natrium (Na) dalam tanah dapat merubah struktur tanah tambak dan selanjutnya juga dapat mempengaruhi pertumbuhan komoditas yang dibudidayakan (Giap et al. 005)..

8 Hasil analisis unsur Magnesium (Mg) diperoleh bervariasi antara me/100g (.45 ± 13.57)(Tabel 14). Nilai kandungan Magnesium (Mg) ini tergolong tinggi untuk budidaya tambak udang dari nilai yang direkomendasikan yaitu me/100 g ( > 500 mg/l) (Poernomo 199 ;Widigdo 00). Redoks Potensial dan Kandungan Pirit Tanah Hasil pengukuran redoks potensial tanah tambak (kedalaman 0 0 cm) berkisar antara (377)-(3.00) mev ( ± 10.65) dan tanah tambak (kedalaman > 0 40 cm) berkisar antara (-366) (-7.00) mev ( ± 118.0)(Tabel 13). Nilai redoks potensial pada tambak intensif tergolong cukup baik untuk budidaya tambak udang sedangkan nilai redoks potensial pada tambak tradisional cukup rendah, dimana nilai dimana redoks potensial yang sesuai untuk budidaya tambak udang yaitu +10 mev (-) + 50 mev (Taslihan et al. 003; Widigdo 00). Pada tanah tambak intensif proses pengeringan serta pengolahan tanah dilakukan dengan baik sedangkan pada sebagian besar tambak tradisional proses pengeringan dan pengolahan tanah tidak dilakukan secara maksimal sehingga tambak biasanya masih terendam air. Tanah yang terendam air biasanya menyebabkan pori pori tanah terisi air sehingga kekurangan oksigen dan tanah cenderung bersifat reduktif. Apabila kondisi ini berlangsung lama akan menyebabkan terbentuknya besi ferro, sulfida, CO dan asam organik yang dapat meracuni udang yang dibudidayakan. Meningkatnya redoks potensial dalam tanah juga disebabkan oleh pengaruh O atmosfir yang masuk ke dalam tanah, yang awalnya dalam keadaan tereduksi menjadi teroksidasi kembali, dimana kondisi ini menghasilkan H + dan merupakan sumber kemasaman tanah (Simpson dan Pedini 1985 diacu dalam Hanafiah 005). Hasil pengukuran kandungan pirit tanah tambak (kedalaman 0 0 cm) bervariasi antara 0, % (0.51 ± 0.65) dan kandungan pirit tanah tambak (kedalaman > 0-40 cm) bervariasi antara % (0.45 ± 0.51)(Tabel 13). Pirit terbentuk karena adanya besi dan bahan organik tanah serta adanya sulfat yang diubah menjadi sulfida oleh mikroba (Pantjara dan Sahib 008). Nilai kandungan pirit ini merupakan faktor ekstrim yang dapat membahayakan kehidupan organisme budidaya (Poernomo 199). Kandungan pirit tanah tambak di wilayah pesisir Kecamatan Mangara masih tergolong layak untuk budidaya

9 tambak udang sesuai dengan nilai yang direkomendasikan < % (Poernomo 199; Widigdo 00). Kandungan pirit yang tinggi berpotensi untuk meningkatkan Fe + dan SO = 4 serta memasamkan air tambak (Pantjara dan Sahib 008; Mustafa dan Rachmansyah 008). Total Kemasaman Aktual dan Potensial Tanah Total kemasaman potensial/total potential acidity (TPA) tanah tambak (kedalaman 0 0 cm) bervariasi antara ( ± 35.65) dan Total kemasaman potensial/total potential acidity (TPA) tanah tambak (kedalaman > 0 40 cm) bervariasi antara (34.10 ± 63.83) mol H + /ton (Tabel 15). Sedangkan total kemasaman aktual/total Actual Acidity (TAA) tanah tambak (kedalaman 0 0 cm) bervariasi antara (.36 ± 7.54) mol H + /ton dan total kemasaman akual/ Total Actual Acidity (TAA) tanah tambak (kedalaman > 0 40 cm) bervariasi antara (4.79 ± 13.35) mol H + /ton (Tabel 15). Nilai kemasaman potensial Total potential acidity (TPA) yang sesuai untuk budidaya tambak udang < 600 moh H + /ton dan nilai kemasaman aktual /Total Actual Acidity (TAA) tanah tambak yang sesuai untuk budidaya tambak udang < 40 H + /ton (Mustafa et al. 004). Berdasarkan hal ini, maka nilai kemasaman potensial dan kemasaman aktual tanah tambak di wilayah pesisir Kecamatan Mangara Bombang sebagian besar masih berada dalam batas yang layak untuk budidaya udang. Ada beberapa nilai total kemasaman potensial/total potential acidity (TPA) dan kemasaman aktual /Total Actual Acidity (TAA) yang tinggi, karena sampel tanah tersebut di ambil pada daerah hutan mangrove yang dikonversi menjadi lahan pertambakan. Pada kondisi tambak yang berada pada bekas lahan mangrove dapat diaplikasikan teknik remediasi (pengapuran) untuk menetralkan total potensi kemasaman yang ada. Kebutuhan kapur diestimasi dengan pendekatan Ahern (1998) bahwa untuk 1 mol CaCO 3 akan menetralkan mol H + (1 mol CaCO 3 = g), 1 mol H SO 4 adalah ekuivalen dengan mol H +, sehingga 1 bagian CaCO 3 = 1 bagian H SO 4 (berat). Untuk nilai rata rata Total potential acidity (TPA) mol H + /ton, maka akan dibutuhkan sebanyak mol CaCO 3 atau kg CaCO 3 untuk menetralkan rata rata 1 ton tanah tambak.

10 Secara umum parameter kualitas tanah di wilayah pesisir Kecamatan Mangara Bombang mendukung untuk kegiatan budidaya tambak udang berdasarkan kriteria (Poernomo 199; Boyd dan Musig 199; Ilyas el al. 1997; Baliao 000; Widigdo 00; Taslihat et al. 003; Mustafa et al. 004) Kesesuaian Lahan Budidaya Tambak Udang Kegiatan budidaya tambak udang di wilayah Kecamatan Mangara Bombang sangat ditentukan oleh penilaian kesesuaian lahannya. Analisis kesesuaian lahan untuk pengembangan budidaya tambak udang didasarkan pada beberapa parameter yang disesuaikan dengan kondisi spesifik wilayah pesisir Kecamatan Mangara Bombang dengan menggunakan pendekatan Index Overlay Model. Proses penentuan kesesuaian lahan dilakukan dengan membandingkan parameter penentu kesesuaian lahan dengan kondisi eksisting, melalui teknik tumpang susun (overlay) dan analisis tabular dengan Sistem Informasi Geografis (SIG). Perencanaan ruang secara spasial ini akan menempatkan kegiatan budidaya tambak udang sesuai dengan karakteristik wilayah pesisir Kecamatan Mangara Bombang, sehingga diharapkan dapat menghasilkan produksi yang optimal dan berkelanjutan. Penetapan kawasan jalur hijau (green belt) di sekitar wilayah pantai maupun sungai terlebih dahulu dilakukan sebelum ditentukan kawasan yang dialokasikan untuk kegiatan pertambakan udang intensif/semi intensif dan tradisional/tradisional plus. Keputusan Presiden (Keppres) No. 3 tahun 199 tentang pengelolaan kawasan lindung dijelaskan bahwa untuk pengelolaan hutan mangrove ditetapkan beberapa ketentuan sebagai berikut : (a) perlindungan terhadap sempadan pantai dilakukan untuk melindungi wilayah pantai dari kegiatan yang mengganggu kelestarian fungsi pantai yaitu berupa daratan yang lebarnya minimal 100 meter dari titik pasang tertinggi ke arah darat (pasal 13 dan 14), atau paling sedikit selebar 130 x rata rata tunggang pasang purnama (MHHWS), dan (b) perlindungan terhadap sempadan sungai untuk melindungi sungai agar fungsi sungai dan kualitas airnya tidak terganggu, yaitu sekurang kurangnya 100 meter dari kiri - kanan sungai besar dan 50 meter kiri - kanan sungai kecil atau meter dari sungai yang terletak di kawasan pemukiman (pasal 15 dan 16).

11 Berdasarkan hal ini dan dengan mempertimbangkan kondisi pasang surut di wilayah pesisir Kecamatan Mangara Bombang sebesar meter (hasil analisis, 008), maka kawasan pantai selebar kurang lebih 130 meter dari garis pantai ke arah darat tidak dialokasikan sebagai kawasan pertambakan udang, dimana kawasan ini dijadikan sebagai kawasan sempadan pantai (green belt). Kemudian kawasan selebar 50 meter di kiri dan kanan sungai dialokasikan sebagai kawasan sempadan sungai. Selain itu, pemukiman penduduk, mangrove, jalan yang berada di kawasan studi juga tidak dialokasikan untuk pertambakan udang. Total luas wilayah Kecamatan Mangara Bombang ha, terdiri dari ha (tambak, semak belukar, tegalan, kebun, pemukiman, hutan mangrove, dan sawah) dan penutupan perairan ha (sungai)(bpn Provinsi Sulawesi Selatan 008; Hasil analisis SIG 008) Kesesuaian lahan budidaya tambak udang intensif/semi intensif Penilaian kesesuaian lahan sebagai faktor penentu dalam pengembangan usaha tambak udang intensif/semi intensif di wilayah pesisir Kecamatan Mangara Bombang didasarkan atas beberapa parameter kesesuaian sebagai berikut: kemiringan lahan, kandungan liat tanah, penggunaan lahan, ketinggian lahan, jarak dari pantai, jarak dari sungai, salinitas, kedalaman solum tanah, ph tanah, bahan organik tanah, dan pirit tanah SELAT MAKASSAR KECAMATAN MAPPAKASUNGGU KECAMATAN PALOBANGKENG SELATAN KABUPATEN JENEPONTO KEMIRINGAN LAHAN 0- % > 10 % > - 10 % Pemukiman Sungai Laut Batas Kecamatan Batas Kabupaten Jalan lokal Sungai N W S E SELAT MAKASSAR KECAMATAN MAPPAKASUNGGU KECAMATAN PALOBANGKENG SELATAN KABUPATEN JENEPONTO KANDUNGAN LIAT TANAH % > % > % > % > % > % > % > % > % Pemukiman Sungai Laut Batas Kecamatan Batas Kabupaten Sungai Jalan lokal W N E TELUK LAIKANG TELUK LAIKANG S Kilometers Sumber : Peta Rupa Bumi Indonesia (RBI)/010-4 dan (Skala 1:50.000) Peta Lingkungan Pantai Indonesia (LPI)/010- dan (Skala 1 : ) Peta Kemampuan Tanah Kab. Takalar, BPN Prop.Sulawesi Selatan (008) Citra Landsat 7 ETM+, Path Row 114/064 (005) Kilometers Sumber : Peta Rupa Bumi Indonesia (RBI)/010-4 dan (Skala 1 : ) Peta Lingkungan Pantai Indonesia (LPI)/010- dan (Skala 1 : ) Citra Landsat 7 ETM+, Path Row 114/064 (005) Hasil Analisis Data Lapangan (008) Layer kemiringan lahan Layer kandungan liat tanah

12 SELAT MAKASSAR KECAMATAN MAPPAKASUNGGU KEAMATAN PALOBANGKENG SELATAN KABUPATEN JENEPONTO PENGGUNAAN LAHAN Kebun campuran Mangrove Pemukiman Sawah Semak belukar Tambak Tegalan Sungai Laut Jalan lokal Batas Kecamatan Sungai Batas Kabupaten N W E KECAMATAN MAPPAKASUNGGU SELAT MAKASSAR KECAMATAN PALOBANGKENG SELATAN KABUPATEN JENEPONTO KETINGGIAN LAHAN m > m > m > m Pemukiman Sungai Laut Batas Kecamatan Batas Kabupaten Sungai Jalan lokal N W E S S TELUK LAIKANG TELUK LAIKANG Kilometers Sumber : Peta Rupa Bumi Indonesia (RBI)/010-4 dan (Skala 1 : ) Peta Lingkungan Pantai Indonesia (LPI)/010- dan (Skala 1 :50.000) Peta Penggunaan Lahan Kab.Takalar, BPN Prop.Sul-Sel (008) Peta Administrasi Kab. Takalar (006) Citra Landsat 7 ETM+, Path Row 114/064 (005) Kilometers Sumber : Peta Rupa Bumi Indonesia (RBI)/010-4 dan (Skala 1 : ) Peta Lingkungan Pantai Indonesia (LPI)/010- dan (Skala 1 : ) Peta Kemampuan Tanah Kab. Takalar,BPN Prop. Sul-Sel (008) Citra Landsat 7 ETM+, Path Row 114/064 (005) Hasil Analisis Data Lapangan (008) Layer penggunaan lahan Layer ketinggian lahan JARAK DARI PANTAI 300 m 600 m 900 m 100 m Garis pantai W N E JARAK DARI SUNGAI 00 m 400 m 600 m Sungai W N S E S Kilometers Sumber : Peta Rupa Bumi Indonesia (RBI)/010-4 dan (Skala 1 : ) Peta Lingkungan Pantai Indonesia (LPI)/010- dan (Skala 1 : ) Citra Landsat 7 ETM+, Path Row 114/064 Hasil Pengamatan Lapangan (008) Kilometers Sumber : Peta Rupa Bumi Indonesia (RBI)/010-4 dan 010-5(Skala 1 : ) Peta Lingkungan Pantai Indonesia (LPI)/010- dan 010-5(Skala 1 : ) Citra Landsat 7 ETM+, Path Row 114/064 (005) Hasil Pengamatan Lapangan (008) Layer jarak dari pantai Layer jarak dari sungai SELAT MAKASSAR KECAMATAN MAPPAKASUNGGU KECAMATAN PALOBANGKENG SELATAN KABUPATEN JENEONTO SALINITAS o/oo > o/oo > o/oo > o/oo > o/oo > o/oo > o/oo > o/oo > o/oo Pemukiman Sungai Laut Batas Kecamatan Batas Kabupaten Sungai Jalan lokal N SELAT MAKASSAR KECAMATAN MAPPAKASUNGGU KECAMATAN PALOBANGKENG SELATAN KABUPATEN JENEPONTO KEDALAMAN SOLUM TANAH cm > cm > cm > cm > cm > cm > cm > cm > cm Pemukiman Sungai Laut Batas Kecamatan Batas Kabupaten Jalan lokal Sungai N W E W E S S TELUK LAIKANG TELUK LAIKANG Kilometers Sumber : Peta Rupa Bumi Indonesia (RBI)/010-4 dan (Skala 1 :50.000) Peta Lingkungan Pantai Indonesia (LPI)/010- dan (Skala 1 :50.000) Citra Landsat 7 ETM+, Path Row 114/064 (005) Hasil Analisis Data Lapangan (008) Kilometers Sumber : Peta Rupa Bumi Indonesia (RBI)/010-4 dan (Skala 1 : ) Peta Lingkungan Pantai Indonesia (LPI)/010- dan (Skala 1 : ) Peta Kemampuan Tanah Kab. Takalar, BPN Prop.Sul-Sel (008) Citra Landsat 7 ETM+, Path Row 114/064 (005) Hasil Analisis Data Lapangan (008) Layer salinitas Layer kedalaman solum tanah

13 KECAMATAN MAPPAKASUNGGU KECAMATAN PALOBANGKENG SELATAN KABUPATEN JENEPONTO ph TANAH > > > > > > > > N Pemukiman Sungai Laut Batas Kecamatan Batas Kabupaten Jalan lokal Sungai KECAMATAN MAPPAKASUNGGU KECAMATAN PALOBANGKENG SELATAN KABUPATEN JENEPONTO BAHAN ORGANIK TANAH % > % > % > % > % > % > % > % > % N Pemukiman Sungai Laut Batas Kecamatan Batas Kabupaten Jalan lokal Sungai SELAT MAKASSAR W S E SELAT MAKASSAR W S E TELUK LAIKANG TELUK LAIKANG Kilometers Sumber : Peta Rupa Bumi Indonesia (RBI)/010-4 dan (Skala 1 : ) Peta Lingkungan Pantai Indonesia (LPI)/010- dan (Skala 1 : ) Citra Landsat 7 ETM+, Path Row 114/064 (005) Hasil Analisis Data Lapangan (008) Kilometers Sumber : Peta Rupa Bumi Indonesia (RBI)/010-4 dan (Skala 1 : ) Peta Lingkungan Pantai Indonesia (LPI)/010- dan (Skala 1 : ) Citra Landsat 7 ETM+, Path Row 114/064 (005) Hasil Analisis Data Lapangan (008) Layer ph tanah Layer bahan organik tanah KECAMATAN MAPPAKASUNGGU KECAMATAN PALOBANGKENG SELATAN PIRIT TANAH % > % > % > % > % > % > % > % > % Pemukiman Sungai Laut Batas Kecamatan Batas Kabupaten Jalan lokal Sungai KABUPATEN JENEPONTO N SELAT MAKASSAR W S E TELUK LAIKANG Kilometers Sumber : Peta Rupa Bumi Indonesia (RBI)/010-4 dan (Skala 1 : ) Peta Lingkungan Pantai Indonesia (LPI)/010- dan (Skala 1 : ) Citra Landsat 7 ETM+, Path Row 114/064 (005) Hasil Analisis Data Lapangan (008) Layer pirit tanah Gambar 6. Layer/peta tematik analisis kesesuaian lahan tambak udang intensif/semi intensif di wilayah pesisir Kecamatan Mangara Bombang Proses tumpangsusun masing masing parameter kesesuaian lahan tambak udang intensif/semi intensif dapat dilihat pada Gambar 7 di bawah ini :

14 Kemiringan lahan Kandungan liat Penggunaan lahan Ketinggian lahan Jarak dari pantai (Buffer 300,600,900,100 m) Jarak dari sungai (Buffer 00,400,600 m) Salinitas Kedalaman solum tanah ph tanah Bahan organik tanah Pirit tanah Luas lahan yang sesuai untuk tambak udang intensif/semi intensif Gambar 7. Layer dan tahapan operasi tumpang susun (overlay operation) kesesuaian lahan tambak udang udang intensif/semi intensif Nilai indeks tumpangsusun dan luas area dalam setiap proses tumpang susun kesesuaian lahan tambak udang intensif/semi intensif dapat dilihat pada Tabel 16. Tabel 16. Nilai indeks tumpang susun dan luas area dalam setiap proses tumpang susun kesesuaian lahan tambak udang intensif/semi intensif Tumpang susun (overlay) Indeks tumpang susun Luas area (ha) SS S KS SS S KS KLKLT KLKLTPL KLKLTPLKTL

15 KLKLTPLKTLJP KLKLTPLKTLJPJS KLKLTPLKTLJPJSS KLKLTPLKTLJPJSS KST KLKLTPLKTLJPJSS KSTpHT KLKLTPLKTLJPJSS KSTpHTBOT KLKLTPLKTLJPJSS KSTpHTBOTPT Sumber : Hasil analisis SIG (008) Ket: KL = Kemiringan lahan; KLT = Kandungan liat tanah; PL = Penggunaan lahan; KTL = Ketinggian lahan; JP = Jarak dari pantai; JS = Jarak dari sungai; S = Salinitas ; KST = Kedalaman solum tanah; pht = ph tanah; BOT = Bahan organik tanah; PT = Pirit tanah. SS = Sangat sesuai; S = Sesuai; KS = Kurang sesuai Grafik proses tumpangsusun kesesuaian lahan tambak udang intensif/semi intensif dapat dilihat pada Gambar Sangat sesuai (SS) Sesuai (S) Kurang sesuai (KS) Indeks SS Indeks S Indeks KS 0 KLKLT KLKLTPL KLKLTPLKTL KLKLTPLKTLJP KLKLTPLKTLJPJS KLKLTPLKTLJPJSS KLKLTPLKTLJPJSSKST KLKLTPLKTLJPJSSKSTpHT KLKLTPLKTLJPJSSKSTpHTBOT KLKLTPLKTLJPJSSKSTpHTBOTPT Gambar 8. Grafik proses tumpangsusun kesesuaian lahan tambak udang intensif/semi intensif di wilayah pesisir Kecamatan Mangara Bombang Ket: KL = Kemiringan lahan; KLT = Kandungan liat tanah; PL = Penggunaan lahan; KTL = Ketinggian lahan; JP = Jarak dari pantai; JS = Jarak dari sungai; S = Salinitas ; KST = Kedalaman solum tanah; pht = ph tanah; BOT = Bahan organik tanah; PT = Pirit tanah. 0.00

16 Peta kesesuaian lahan tambak udang intensif/semi intensif dapat dilihat pada Gambar SELAT MAKASSAR KECAMATAN MAPPAKASUNGGU KECAMATAN PALOBANGKENG SELATAN TELUK LAIKANG KABUPATEN JENEPONTO PETA KESESUAIAN LAHAN TAMBAK UDANG INTENSIF/SEMI INTENSIF DI WILAYAH PESISIR KECAMATAN MANGARA BOMBANG Kesesuaian : Sangat sesuai ( ha) Sesuai ( ha) Kurang sesuai ( ha) Pemanfaatan lain Sempadan pantai dan sungai Pemukiman Mangrove Laut Sungai besar Sungai kecil Jalan Batas kecamatan Batas kabupaten N W E S Peta Indeks Kilometers Sumber : Peta Rupa Bumi Indonesia (RBI)/010-4 dan (Skala 1 : ) Peta Lingkungan Pantai Indonesia(LPI)/010- dan (Skala 1 : ) Peta Penggunaan Lahan Kabupaten Takalar, BPNProvinsi Sul-Sel (008) Peta Kemampuan Tanah Kabupaten Takalar, BPNProvinsi Sul-Sel (008) Citra Landsat 7 ETM+, Path Row 114/064 (005) Hasil Analisis Data Lapangan (008) Gambar 9. Peta kesesuaian lahan budidaya tambak udang intensif/semi intensif di wilayah pesisir Kecamatan Mangara Bombang (sumber : Hasil analisis SIG 008) Kesesuaian lahan budidaya tambak udang tradisional/tradisional plus Penilaian kesesuaian lahan sebagai faktor penentu dalam pengembangan usaha tambak udang tradisional/tradisional plus di wilayah pesisir Kecamatan Mangara Bombang juga didasarkan atas beberapa parameter kesesuaian sebagai berikut: kemiringan lahan, kandungan liat tanah, penggunaan lahan, ketinggian lahan, jarak dari pantai, jarak dari sungai, salinitas, kedalaman solum tanah, ph tanah, bahan organik tanah, dan pirit tanah. Parameter yang digunakan sebagai dasar penilaian kesesuaian lahan tambak udang tradisional/tradisional plus di wilayah pesisir Kecamatan Mangara Bombang pada dasarnya sama dengan

17 parameter yang digunakan untuk budidaya tambak intensif/semi intensif. Perbedaan terdapat pada nilai dari setiap parameter yang digunakan dan disesuaikan dengan kondisi fisik wilayah pesisir Kecamatan Mangara Bombang untuk pengembangan budidaya tambak udang tradisional/tradisional plus SELAT MAKASSAR KECAMATAN MAPPAKASUNGGU KECAMATAN PALOBANGKENG SELATAN KABUPATEN JENEPONTO KEMIRINGAN LAHAN 0- % > 10 % > - 10 % Pemukiman Sungai Laut Batas Kecamatan Batas Kabupaten Jalan lokal Sungai N W S E SELAT MAKASSAR KECAMATAN MAPPAKASUNGGU KECAMATAN PALOBANGKENG SELATAN KABUPATEN JENEPONTO KANDUNGAN LIAT TANAH % > % > % > % > % > % > % > % > % Pemukiman Sungai Laut Batas Kecamatan Batas Kabupaten Sungai Jalan lokal W N E TELUK LAIKANG TELUK LAIKANG S Kilometers Sumber : Peta Rupa Bumi Indonesia (RBI)/010-4 dan (Skala 1:50.000) Peta Lingkungan Pantai Indonesia (LPI)/010- dan (Skala 1 : ) Peta Kemampuan Tanah Kab. Takalar, BPN Prop.Sulawesi Selatan (008) Citra Landsat 7 ETM+, Path Row 114/064 (005) Kilometers Sumber : Peta Rupa Bumi Indonesia (RBI)/010-4 dan (Skala 1 : ) Peta Lingkungan Pantai Indonesia (LPI)/010- dan (Skala 1 : ) Citra Landsat 7 ETM+, Path Row 114/064 (005) Hasil Analisis Data Lapangan (008) Layer kemiringan lahan Layer kandungan liat tanah SELAT MAKASSAR KECAMATAN MAPPAKASUNGGU KEAMATAN PALOBANGKENG SELATAN KABUPATEN JENEPONTO PENGGUNAAN LAHAN Kebun campuran Mangrove Pemukiman Sawah Semak belukar Tambak Tegalan Sungai Laut Jalan lokal Batas Kecamatan Sungai Batas Kabupaten N W E KECAMATAN MAPPAKASUNGGU SELAT MAKASSAR KECAMATAN PALOBANGKENG SELATAN KABUPATEN JENEPONTO KETINGGIAN LAHAN m > m > m > m Pemukiman Sungai Laut Batas Kecamatan Batas Kabupaten Sungai Jalan lokal N W E S S TELUK LAIKANG TELUK LAIKANG Kilometers Sumber : Peta Rupa Bumi Indonesia (RBI)/010-4 dan (Skala 1 : ) Peta Lingkungan Pantai Indonesia (LPI)/010- dan (Skala 1 :50.000) Peta Penggunaan Lahan Kab.Takalar, BPN Prop.Sul-Sel (008) Peta Administrasi Kab. Takalar (006) Citra Landsat 7 ETM+, Path Row 114/064 (005) Kilometers Sumber : Peta Rupa Bumi Indonesia (RBI)/010-4 dan (Skala 1 : ) Peta Lingkungan Pantai Indonesia (LPI)/010- dan (Skala 1 : ) Peta Kemampuan Tanah Kab. Takalar,BPN Prop. Sul-Sel (008) Citra Landsat 7 ETM+, Path Row 114/064 (005) Hasil Analisis Data Lapangan (008) Layer penggunaan lahan Layer ketinggian lahan JARAK DARI PANTAI 00 m 400 m 600 m Garis pantai N JARAK DARI SUNGAI 100 m 00 m 300 m Sungai W S E W N E S Kilometers Sumber : Peta Rupa Bumi Indonesia (RBI)/010-4 dan (Skala 1 : ) Peta Lingkungan Pantai Indonesia (LPI)/010- dan (Skala 1 : ) Citra Landsat 7 ETM+, Path Row 114/064 (005) Hasil Pengamatan Lapangan (008) Kilometers Sumber : Peta Rupa Bumi Indonesia (RBI)/010-4 dan (Skala 1 : ) Peta Lingkungan Pantai Indonesia (LPI)/010- dan (Skala 1 : ) Citra Landsat 7 ETM+, Path Row 114/064 (005) Hasil Pengamatan Lapangan (008) Layer jarak dari pantai Layer jarak dari sungai

18 SELAT MAKASSAR KECAMATAN MAPPAKASUNGGU KECAMATAN PALOBANGKENG SELATAN KABUPATEN JENEONTO SALINITAS o/oo > o/oo > o/oo > o/oo > o/oo > o/oo > o/oo > o/oo > o/oo Pemukiman Sungai Laut Batas Kecamatan Batas Kabupaten Sungai Jalan lokal N SELAT MAKASSAR KECAMATAN MAPPAKASUNGGU KECAMATAN PALOBANGKENG SELATAN KABUPATEN JENEPONTO KEDALAMAN SOLUM TANAH cm > cm > cm > cm > cm > cm > cm > cm > cm Pemukiman Sungai Laut Batas Kecamatan Batas Kabupaten Jalan lokal Sungai N W E W E S S TELUK LAIKANG TELUK LAIKANG Kilometers Sumber : Peta Rupa Bumi Indonesia (RBI)/010-4 dan (Skala 1 :50.000) Peta Lingkungan Pantai Indonesia (LPI)/010- dan (Skala 1 :50.000) Citra Landsat 7 ETM+, Path Row 114/064 (005) Hasil Analisis Data Lapangan (008) Kilometers Sumber : Peta Rupa Bumi Indonesia (RBI)/010-4 dan (Skala 1 : ) Peta Lingkungan Pantai Indonesia (LPI)/010- dan (Skala 1 : ) Peta Kemampuan Tanah Kab. Takalar, BPN Prop.Sul-Sel (008) Citra Landsat 7 ETM+, Path Row 114/064 (005) Hasil Analisis Data Lapangan (008) Layer salinitas Layer kedalaman solum tanah KECAMATAN MAPPAKASUNGGU KECAMATAN PALOBANGKENG SELATAN KABUPATEN JENEPONTO ph TANAH > > > > > > > > N Pemukiman Sungai Laut Batas Kecamatan Batas Kabupaten Jalan lokal Sungai KECAMATAN MAPPAKASUNGGU KECAMATAN PALOBANGKENG SELATAN KABUPATEN JENEPONTO BAHAN ORGANIK TANAH % > % > % > % > % > % > % > % > % N Pemukiman Sungai Laut Batas Kecamatan Batas Kabupaten Jalan lokal Sungai SELAT MAKASSAR W S E SELAT MAKASSAR W S E TELUK LAIKANG TELUK LAIKANG Kilometers Sumber : Peta Rupa Bumi Indonesia (RBI)/010-4 dan (Skala 1 : ) Peta Lingkungan Pantai Indonesia (LPI)/010- dan (Skala 1 : ) Citra Landsat 7 ETM+, Path Row 114/064 (005) Hasil Analisis Data Lapangan (008) Kilometers Sumber : Peta Rupa Bumi Indonesia (RBI)/010-4 dan (Skala 1 : ) Peta Lingkungan Pantai Indonesia (LPI)/010- dan (Skala 1 : ) Citra Landsat 7 ETM+, Path Row 114/064 (005) Hasil Analisis Data Lapangan (008) Layer ph tanah Layer bahan organik tanah KECAMATAN MAPPAKASUNGGU KECAMATAN PALOBANGKENG SELATAN PIRIT TANAH % > % > % > % > % > % > % > % > % Pemukiman Sungai Laut Batas Kecamatan Batas Kabupaten Jalan lokal Sungai KABUPATEN JENEPONTO N SELAT MAKASSAR W S E TELUK LAIKANG Kilometers Sumber : Peta Rupa Bumi Indonesia (RBI)/010-4 dan (Skala 1 : ) Peta Lingkungan Pantai Indonesia (LPI)/010- dan (Skala 1 : ) Citra Landsat 7 ETM+, Path Row 114/064 (005) Hasil Analisis Data Lapangan (008) Layer pirit tanah Gambar 30. Layer/peta tematik analisis kesesuaian lahan tambak udang tradisional/tradisional plus di wilayah pesisir Kecamatan Mangara Bombang.

19 Proses tumpangsusun kesesuaian lahan tambak udang tradisional/tradisional plus dapat dilihat pada Gambar 31. Kemiringan lahan Kandungan liat Penggunaan lahan Ketinggian lahan Jarak dari pantai (Buffer 00,400,600 m) Jarak dari sungai (Buffer 100,00,300 m) Salinitas Kedalaman solum tanah ph tanah Bahan organik tanah Pirit tanah Luas lahan yang sesuai untuk tambak udang tradisional/tradisional plus Gambar 31. Layer dan tahapan operasi tumpangsusun (overlay operation) kesesuaian lahan tambak udang udang tradisional/tradisional plus Nilai indeks tumpang susun dan luas area dalam setiap proses tumpang susun kesesuaian lahan tambak udang tradisional/tradisional plus dapat dilihat pada Tabel 17. Tabel 17. Nilai indeks tumpang susun dan luas area dalam setiap proses tumpang susun kesesuaian lahan tambak udang tradisional/tradisional plus Tumpang susun (overlay) Indeks tumpang susun Luas area (ha) SS S KS SS S KS KLKLT KLKLTPL

20 KLKLTPLKTL KLKLTPLKTLJP KLKLTPLKTLJPJS KLKLTPLKTLJPJSS KLKLTPLKTLJPJSS KST KLKLTPLKTLJPJSS KSTpHT KLKLTPLKTLJPJSS KSTpHTBOT KLKLTPLKTLJPJSS KSTpHTBOTPT Sumber : Hasil analisis SIG (008) Ket: KL = Kemiringan lahan; KLT = Kandungan liat tanah; PL = Penggunaan lahan; KTL = Ketinggian lahan; JP = Jarak dari pantai; JS = Jarak dari sungai; S = Salinitas; KST = Kedadalam solum tanah; pht = ph tanah; BOT = Bahan organik tanah; PT = Pirit tanah. SS = Sangat sesuai; S = Sesuai; KS = Sangat sesuai Grafik proses tumpangsusun kesesuaian lahan tambak udang tradisional/tradisional plus dapat dilihat pada Gambar KLKLT KLKLTPL KLKLTPLKTL KLKLTPLKTLJP KLKLTPLKTLJPJS KLKLTPLKTLJPJSS KLKLTPLKTLJPJSSKST KLKLTPLKTLJPJSSKSTpHT KLKLTPLKTLJPJSSKSTpHTBOT KLKLTPLKTLJPJSSKSTpHTBOTPT Sangat sesuai (KS) Sesuai (S) Kurang sesuai (KS) Indeks SS Indeks S Indeks KS Gambar 3. Grafik proses analisis spasial kesesuaian lahan tambak udang tradisional/tradisional plus di wilayah pesisir Kecamatan Mangara Bombang Ket: KL = Kemiringan lahan; KLT = Kandungan liat tanah; PL = Penggunaan lahan; KTL = Ketinggian lahan; JP = Jarak dari pantai; JS = Jarak dari sungai; S = Salinitas; KST = Kedadalam solum tanah; pht = ph tanah; BOT = Bahan organik tanah; PT = Pirit tanah. SS = Sangat sesuai; S = Sesuai; KS = Sangat sesuai

21 Peta kesesuaian lahan tambak udang tradisional/tradisional plus dapat dilihat pada Gambar SELAT MAKASSAR KECAMATAN MAPPAKASUNGGU KECAMATAN PALOBANGKENG SELATAN KABUPATEN JENEPONTO PETA KESESUAIAN LAHAN TAMBAK UDANG TRADISIONAL/TRADISIONAL PLUS DI WILAYAH PESISIR KECAMATAN MANGARA BOMBANG Kesesuaian: Sangat sesuai ( ha) Sesuai ( ha) Kurang sesuai ( ha) Pemanfaatan lain Pemukiman Mangrove Sempadan pantai pantai dan sungai Laut mangara bombang betul.shp Sungai besar Sungai kecil Jalan Batas kecamatan Batas kabupaten N TELUK LAIKANG W E S Peta Indeks Kilometers Sumber : Peta Rupa Bumi Indonesia (RBI)/010-4 dan010-5 (Skala 1 : ) Peta Lingkungan Pantai Indonesia (LPI)/010-dan (Skala 1 : ) Peta Penggunaan Lahan Kabupaten Takalar, BPN Provinsi Sul-Sel (008) Peta Kemampuan Tanah Kabupaten Takalar, BPN Provinsi Sul-Sel (008) Citra Landsat 7 ETM+, Path Row 114/064 (005) Hasil Analisis Data Lapangan (008) Gambar 33. Peta kesesuaian lahan budidaya tambak udang tradisional/tradisional plus di wilayah pesisir Kecamatan Mangara Bombang (sumber: Hasil analisis SIG 008) Setelah seluruh tema (parameter) di tumpangsusunkan (overlay) baik tambak udang intensif/semi intensif maupun tema (parameter) tradisional/tradisional plus yang dihasilkan peta kesesuaian lahan tambak udang intensif/semi intensif dan tradisional/tradisional plus. Kemudian dilakukan tumpang susun (overlay) antara peta kesesuaian lahan tambak udang intensif /semi intensif dengan peta kesesuaian lahan tambak udang tradisional/tradisional plus. Hasil tumpangsusun (overlay) kedua peta ini akan diperoleh peta komposit kesesuaian lahan tambak udang intensif/semi intensif dan tradisional/tradisional plus di wilayah pesisir Kecamatan Mangara Bombang. Peta komposit kesesuaian

22 lahan tambak udang intensif/semi intensif dan tradisional/tradisional plus dapat dilihat pada Gambar KECAMATAN MAPPAKASUNGGU SELAT MAKASSAR TELUK LAIKANG KECAMATAN PALOBANGKENG SELATAN KABUPATEN JENEPONTO PETA KOMPOSIT KESESUAIAN LAHAN TAMBAK UDANG INTENSIF/SEMI INTENSIF DI WILAYAH PESISIR KECAMATAN MANGARA BOMBANG Kesesuaian: Sangat sesuai intensif/semi intensif ( ha) Sesuai intensif/semi intensif ( ha) Sangat sesuai tradisional/tradisional plus ( ha) Sesuai tradisional/tradisional plus ( ha) Kurang sesuai intensif/semi intensif dan tradisional/tradisional plus ( ha) Pemanfaatan lain Pemukiman Mangrove Semapadan pantai dan sungai Laut Sungai besar Sungai kecil Jalan W N S Batas kecamatan Batas kabupaten E Peta Indeks Kilometers Sumber: Peta Rupa Bumi Indonesia (RBI)/010-4 dan010-5 (Skala 1 : ) Peta Lingkungan Pantai Indonesia (LPI)/010-dan (Skala 1 : ) Peta Penggunaan Lahan Kabupaten Takalar, BPNProvinsi Sul-Sel (008) Peta Kemampuan Tanah Kabupaten Takalar, BPNProvinsi Sul-Sel (008) Peta Administrasi Kabupaten Takalar (006) Citra Landsa 7 ETM+, Path Row 114/064 (005) Hasil Analisis Data Lapangan (008) Gambar 34. Peta komposit kesesuaian lahan budidaya tambak udang intensif/semi intensif dan tradisional/tradisional plus di wilayah pesisir Kecamatan Mangara Bombang (sumber : Hasil analisis SIG 008) Berdasarkan overlay kedua peta (komposit) diperoleh luas yang sangat sesuai (SS) untuk tambak udang intensif/semi intensif seluas ha, sesuai (S) seluas ha, dan kurang sesuai (KS) seluas ha. Sedangkan luas lahan yang sangat sesuai (SS) untuk tambak udang tradisional/tradisional plus seluas ha, sesuai (S) seluas ha, dan kurang sesuai (KS) seluas ha. Hasil overlay juga diperoleh luas lahan yang kurang sesuai (KS) untuk tambak udang intensif/semi intensif masuk kategori sangat sesuai (SS) untuk tambak udang tradisional/tradisional plus seluas ha dan masuk kategori sesuai (S) untuk tambak udang tradisional/tradisional plus seluas ha (total ha). Sedangkan luas lahan yang kurang sesuai (S3) untuk

23 intensif/semi intensif dan tradisional/tradisional plus seluas ha. Nilai Indeks Overlay Model (IOM) dapat dilihat pada Tabel 18. Tabel 18.Nilai index overlay model (IOM) kesesuaian lahan tambak udang intensif/semi intensif dan tradisional/tradisional plus di wilayah pesisir Kecamatan Mangara Bombang Nilai Index Overlay Model (IOM) Kelas Kesesuaian Sangat Sesuai (SS) Sesuai (S) Kurang Sesuai (KS) Sumber : Hasil analisis (008) Pengembangan budidaya tambak udang baik intensif/semi intensif serta tradisional/tradisional plus di wilayah pesisir Kecamatan Mangara Bombang tidak hanya memperhitungkan aspek kelayakan atau kesesuaian lahan berdasarkan karakteristik dan kondisi biogeofosik wilayah, akan tetapi juga harus memperhitungkan aspek daya dukung lingkungan agar keberlanjutan produktivitas budidaya tetap terjaga. 5.. Karakteristik Biofisik dan Kualitas Air Karakteristik Biofisik Pasang surut Pola pasang surut yang terjadi di wilayah pesisir Kecamatan Mangara Bombang dapat mengakibatkan terjadinya perbedaan volume pantai yang akan memberikan perubahan terhadap luas ketinggian permukaan air. Volume air wilayah pesisir Kecamatan Mangara Bombang akan mengalami penambahan pada saat terjadinya pasang tinggi yaitu pada bulan penuh (purnama) dan volume air akan mengalami penurunan pada saat surut terendah yaitu pada bulan gelap. Adanya aksi pasang surut yang terjadi dapat menyebabkan terjadinya perbedaan volume air disuatu perairan serta terjadinya perbedaan ketinggian muka perairan (Bishop 1984). Tinggi pasang surut dipengaruhi oleh posisi bulan, dimana tinggi pasang berbeda antara bulan penuh (purnama) dengan bulan setengah (sabit) dan selain itu pula, perbedaan tinggi pasang juga dipengaruhi oleh lokasi perairan tersebut berada (Pariwono 1997). Data pasang surut perairan pesisir Kecamatan Mangara Bombang hasil pengukuran lapangan selama 15 hari (15 x 4 jam)

24 dianalisis dengan menggunakan metoda Admiralty untuk mendapatkan konstanta harmonis pasang surut. Nilai konstanta harmonis pasang surut dapat dilihat pada Tabel 19. Tabel 19. Nilai konstanta hamonis pasang surut di wilayah pesisir Kecamatan Mangara Bombang Komponen harmonik A (cm) Fase (g) Keterangan *) pasang surut SO Titik muka air laut rata rata M 8 47 Amplitudo komponen pasut ganda utama yang disebabkan oleh gaya tarik bulan S 4 76 Amplitudo komponen pasut ganda utama yang disebabkan oleh gaya tarik matahari N 8 39 Komponen pasut akibat variasi bulanan jarak bumi-bulan K Amplitudo komponen pasut tunggal utama yang disebabkan oleh gaya tarik bulan dan matahari O Amplitudo komponen pasut tunggal utama yang disebabkan oleh gaya tarik bulan M MS K P Komponen utama diurnal matahari Sumber : Hasil analisis, 008 Ket : *) Pugh (1987) Nilai Formhazl (F) diperoleh sebesar yang menunjukkan bahwa tipe pasang surut wilayah perairan pesisir Kecamatan Mangara Bombang adalah campuran dengan tipe ganda lebih menonjol, dimana dalam satu hari terjadi dua kali pasang dan dua kali surut dengan tinggi pasang pertama tidak sama dengan tinggi pasang kedua. Hasil penghitungan nilai rata rata tinggi pasang surut pada waktu pasang tertinggi (spring tide) adalah cm ( m atau mendekati 1 m) dan pada waktu pasang terendah (neap tide) adalah 7.91 cm (0.791 m). Nilai tunggang pasang surut ini dapat digunakan untuk penentuan dasar pelataran tambak agar tidak lebih tinggi dari Mean Sea Level (MSL), sehingga

25 0 pengisian air dan pengeringan tambak dapat dilakukan dengan baik. Selain itu, untuk menentukan elevasi lahan yang layak untuk budidaya tambak udang tadisional/tradisional plus dengan asumsi 100% pengisian air dilakukan secara gravitasi. Nilai tunggang pasang surut di wilayah pesisir Kecamatan Mangara Bombang ini tergolong rendah, dimana kisaran pasang surut yang ideal untuk tambak udang adalah antara m (Yamashita & Sutardjo 1977 diacu dalam Mustafa dan Tarunamulia 008). Sedangkan menurut Asbar (005), pasang surut ideal untuk budidaya tambak tradisional adalah 1.30 m. Berdasarkan nilai tunggang pasang surut di Kecamatan Mangara Bombang ( m atau mendekati 1 m), maka ketinggian 0 meter dari MSL masih bisa menerima suplai air laut dari pasang surut walaupun dengan menggunakan bantuan pompa terbatas untuk membantu memaksimalkan proses pengisian dan pengeringan air tambak. Sedangkan untuk ketinggian > meter sudah tidak layak untuk budidaya tambak udang tradisional/tradisional plus. Lokasi tambak udang juga sebaiknya tidak terlalu jauh atau dekat dengan sumber air, karena kegiatan budidaya tambak udang khususnya teknologi tradisional/tradisional plus hanya mengandalkan kondisi pasang surut untuk pengisian air kedalam tambak udang (Poernomo 1988). Sedangkan teknologi intensif dan semi intensif walaupun dalam proses pengisian maupun pergantian air menggunakan pompa akan tetapi efisiensi biaya harus tetap diperhitungkan. Jarak dari sumber air, tidak hanya berpengaruh terhadap kuantitas air, tetapi juga kualitas air. Tambak dengan jarak dari sumber air yang jauh tidak hanya kualitas airnya yang kurang memadai tetapi juga kuantitas air yang kurang mencukupi sehingga berpengaruh pada produksi udang (Poernomo 1989; Suyanto dan Mujiman 003). Tipe pasang surut perairan pesisir Kecamatan Mangara Bombang dapat dilihat pada Gambar Tinggi Muka Air (cm) Waktu Pengamatan (Hari) Gambar 35. Tipe pasang surut perairan pesisir Kecamatan Mangara Bombang

26 Sedangkan karakteristik pasang surut perairan pesisir Kecamatan Mangara Bombang dapat dilihat pada Tabel 0. Tabel 0. Karakteristik pasang surut di perairan pesisir Kecamatan Mangara Bombang Tidal Formula *) Tunggang Pasang Level HAT (AM + AS + AK1 + AO1)-Z MHHWS (AK1+AO1) + AS+AM - Z Spring MHHWN AK1+AS+AM Z Neap tide tide MSL cm cm MLLWN MLLWS Chart datum AO1 + AS + AM Z0 AS + AM Z0 MSL Z Z0 = (AK1 + AO1+AM+AS) Sumber : Hasil analisis ( 008) Ket : *) Pugh (1987) High Average Tide (HAT) ; Mean High Higher Water Spring (MHHWS); Mean High Higher Water Neap (MHHWN); Mean Sea Level (MSL); Mean Low Lower Water Neap (MLLWN); Mean Low Lower Water Spring (MLLWS); Chart Datum = Muka Surutan Peta Kecepatan Arus Kecepatan arus perairan pesisir Kecamatan Mangara Bombang hasil pengukuran lapangan pada musim kemarau yang disebabkan oleh pasang surut sebesar m/dt. Kecepatan arus tertinggi terjadi pada saat pasang (0.81 m/dt) terjadi pada pukul WITA dan kecepatan arus tertinggi pada saat surut (0.14 m/dt) terjadi pada pukul 1.00 WITA. Sedangkan kecepatan arus pada musim hujan sebesar m/dt. Kecepatan arus tertinggi terjadi pada waktu pasang (0.49 m/dt) terjadi pada pukul WITA dan kecepatan arus tertinggi pada saat surut (0,195 m/dt) terjadi pada pukul WITA (lampiran 3). Arus yang terjadi ini pada umumnya disebabkan oleh angin dan arah angin, dimana arus akan berubah ubah tergantung pada kondisi pasang surut.

27 Kedalaman Perairan Hasil pengukuran kedalaman perairan pesisir Kecamatan Mangara Bombang bervariasi antara m (4.9 ± 3.37) sedangkan di dalam Teluk Laikang bervariasi antara m (4.96 ± 3.7). Topografi dasar perairan pesisir Kecamatan Mangara Bombang tergolong landai dengan bentuk dasar perairan mempunyai banyak cekungan (berlubang) yang berpotensi sebagai jerapan atau bertumpuknya limbah organik. Topografi dasar perairan pesisir Kecamatan Mangara Bombang dapat dilihat pada Gambar 36. (a) Gambar 36. (b) (a)topografi dasar perairan pesisir Kecamatan Mangara Bombang; (b)topografi dasar perairan bagian dalam Teluk Laikang 5... Kualitas Air Parameter fisik kimia perairan Kualitas air merupakan persyaratan yang sangat penting dan juga menjadi salah satu faktor yang menentukan keberhasilan kegiatan budidaya tambak udang. Hasil pengukuran parameter kualitas air dapat dilihat pada Tabel 1,,3,dan 4.

28 Tabel 1. Hasil analisis parameter kualitas air perairan pantai dan sungai Parameter Stasiun Pengukuran Nilai Perairan Pantai (P) Sungai (S) Ambang Batas Suhu (oc) 8.58 ± ± Salinitas (o/oo) ± ± DO (mg/l) 5.88 ± ± 0.88 > 3 ph 8.07 ± ± BOD 5 (mg/l) 0.74 ± ± 0.83 < 5 TSS (mg/l) ± ± BOT (mg/l) ± ± Kekeruhan (NTU) ± ± 4.4 < 30 NH 3 -N (mg/l) ± ± < 1.0 NO-N (mg/l) ± ± NO 3 -N (mg/l) ± ± PO 4 -P (mg/l) ± ± Sumber: Hasil analisis laboratorium kualitas air Balai Riset Perikanan Budidaya Air Payau Maros (008); Jumlah sampel (n) perairan pesisir 40 sampel dan sungai 8 sampel (total 48 sampel) Keterangan *): Melampaui batas yang diperbolehkan untuk kegiatan budidaya tambak udang berdasarkan kriteria Boyd (1990), Poernomo (199); Wedmeyer (1996); Widigdo (00); Soewardi (00); dan MenKLH (004). Tabel. Hasil analisis parameter kualitas air tambak udang intensif dan saluran pembuangan (outlet) Parameter Stasiun Pengukuran Nilai Tambak Intensif (TI) Saluran pembuangan intensif/outlet (OI) Ambang Batas Suhu (oc) 8.77 ±.89 9,1 ± Salinitas (o/oo) 3.66 ± ,19 ± DO (mg/l) 7.01 ± ,67 ± 1.03 > 3 ph 8.18 ± ,03 ± BOD 5 (mg/l) 1.3 ± ± 0.43 < 5 TSS (mg/l) 135 ± ,88 ± BOT (mg/l) 8.49 ± ,61 ± Kekeruhan (NTU) 3.68 ± ,74 ± < 30 NH 3 -N (mg/l) ± ± < 1.0 NO-N (mg/l) 0.147± ± NO 3 -N (mg/l) ± ± PO 4 -P (mg/l) ± ± Sumber: Hasil analisis laboratorium kualitas air Balai Riset Perikanan Budidaya Air Payau Maros (008); Jumlah sampel (n) tambak intensif 8 sampel dan saluran pembuangan/outlet 8 sampel (total 16 sampel) Keterangan *): Melampaui batas yang diperbolehkan untuk kegiatan budidaya tambak udang berdasarkan kriteria Boyd (1990); Poernomo (199); Wedmeyer (1996); Widigdo (00); Soewardi (00); dan MenKLH (004).

29 Tabel 3. Hasil analisis parameter kualitas air tambak udang tradisional dan saluran pembuangan (outlet) Parameter Stasiun Pengukuran Nilai Tambak tradisional (TT) Saluran pembuangan/outlet (OT) Ambang Batas Suhu (oc) 9.57 ± ±, Salinitas (o/oo) ± ± 6, DO (mg/l) 6.60± ± 0.5 > 3 ph 8.16± ± BOD 5 (mg/l) 1.17 ± ± 0.5 < 5 TSS (mg/l) ± ± BOT (mg/l).80 ± ± Kekeruhan (NTU) 9.69 ± ±.8 < 30 NH 3 -N (mg/l) ± ± < 1.0 NO-N (mg/l) ± ± NO 3 -N (mg/l) ± ± PO 4 -P (mg/l) ± ± Sumber: Hasil analisis laboratorium kualitas air Balai Riset Perikanan Budidaya Air Payau Maros (008); Jumlah sampel (n) tambak tradisional 8 sampel dan saluran pembuangan 8 sampel (total 16 sampel) Keterangan *): Melampaui batas yang diperbolehkan untuk kegiatan budidaya tambak udang berdasarkan kriteria Boyd (1990); Poernomo (199); Wedmeyer (1996); Widigdo (00); Soewardi (00); dan MenKLH (004). Tabel 4. Hasil analisis parameter kualitas air perairan pesisir berdasarkan musim Parameter Musim Nilai Kemarau Hujan Ambang Batas Suhu (oc) 8.6 ± ± Salinitas (o/oo) ± ± DO (mg/l) 5.86 ± ± 1.50 > 3 ph 7.97 ± ± BOD 5 (mg/l) 1.5 ± ± 0.18 < 5 TSS (mg/l) ± ± 59.34*) 5 80 BOT (mg/l).19 ± ± Kekeruhan (NTU) 11.0 ± ± < 30 NH 3 -N (mg/l) ± ± < 1.0 NO-N (mg/l) 0.15 ± ± NO 3 -N (mg/l) ± ± PO 4 -P (mg/l) ± ± Sumber: Hasil analisis laboratorium kualitas air Balai Riset Perikanan Budidaya Air Payau Maros (008); Jumlah sampel (n) musim kemarau 0 sampel dan musim hujan 0 sampel (total 40 sampel) Keterangan*): Melampaui batas yang diperbolehkan untuk kegiatan budidaya tambak udang berdasarkan kriteria Boyd (1990); Poernomo (199); Wedmeyer (1996); Widigdo (00); Soewardi (00); dan MenKLH (004).

30 Penjelasan masing masing parameter kualitas pengukuran sebagai berikut : Suhu Suhu air merupakan faktor lingkungan yang berpengaruh pada metabolisme, konsumsi oksigen, pertumbuhan dan sintasan udang yang dibudidayakan, dimana semakin tinggi suhu perairan maka proses metabolisme semakin semakin cepat demikian pula sebaliknya (Pan Lu-Qing et al. 007). Peningkatan suhu 10 o C, akan meningkatkan konsumsi oksigen organisme sekitar 3 kali lipat, disisi lain peningkatan suhu ini dapat mengurangi kelarutan oksigen dalam perairan (Nontji 1993). Suhu yang relatif tinggi dapat merubah sifat fisika dan kimia perairan yang mengakibatkan kehidupan organisme terganggu (Nybakken 199; 1998). Menurut Boyd (1998), suhu optimal yang diperlukan oleh biota atau organisme yang hidup didaerah tropis berkisar antara 5 35 o C. Hasil pengukuran suhu perairan tambak udang intensif dan tradisional masing masing sebesar 8.77 ±.89 o C dan 9.57 ± 0.76 o C (Tabel dan 3). Suhu perairan tambak udang intensif (16 eko/m ) (4 jam pengukuran) berkisar antara o C, dimana suhu tertinggi pada siang hari jam (8.90 o C) dan suhu terendah pada pagi hari jam (6.53 o C). Sedangkan suhu perairan tambak udang intensif (50 ekor/m ) (4 jam pengukuran) berkisar antara o C, dimana suhu perairan tertinggi pada siang menjelang sore hari jam (8.35 o C) dan suhu perairan tambak terendah pada pagi hari jam (6.71 o C). Suhu perairan tambak udang tradisional (4 jam pengukuran) berkisar antara o C, dimana suhu tertinggi pada siang hari yaitu jam (9.05 o C) dan suhu terendah pada subuh hari yaitu jam (7.30 o C). Hasil pengukuran suhu pada perairan pantai dan sungai masing masing sebesar 8.58 ±.71 o C dan 6.74 ± o C (Tabel 1). Suhu ini masih tergolong sesuai untuk budidaya udang berdasarkan nilai yang direkomendasikan yaitu 1 3 o C dan suhu optimumnya antara 9 30 o C (Boyd 1990; Poernomo 199; Widigdo 00; Soewardi 00).

31 Salinitas Parameter salinitas memiliki pengaruh langsung terhadap parameter lainnya di dalam perairan. Salinitas dapat mempengaruhi kelarutan oksigen perairan, kadar fosfat serta proses osmoregulasi organisme perairan. Salinitas air dapat menjadi faktor pembatas dalam budidaya tambak pada musim kemarau dan menjadi tidak bermasalah pada musim hujan (Mustafa dan Rachmansyah 008). Hasil pengukuran salinitas perairan tambak udang intensif dan tradisional masing masing sebesar 3.66 ± 1.96 o /oo dan ± 1.38 o /oo (Tabel dan 3). Salinitas perairan tambak udang intensif (16 ekor/m ) (4 jam pengukuran) berkisar antara o/oo, dimana salinitas tertinggi menjelang sore hari jam (3.95 o/oo) dan salinitas terendah pada pagi hari jam (3.77 o/oo). Salinitas perairan tambak udang intensif (50 ekor/m ) (4 jam pengukuran) berkisar antara o/oo, dimana salinatas tertinggi pada siang hari jam 1.00 (33,97 o/oo) dan salinitas terendah pada dinihari jam 0.00 (3.15 o/oo). Salinitas perairan tambak tradisonal (4 jam pengukuran) berkisar antara o C, dimana salinitas tertinggi pada malam hari jam (33.48 o C) dan salinitas terendah pada subuh menjelang pagi yaitu jam (3.59 o C). Hasil pengukuran salinitas pada perairan sungai dan pantai masing masing sebesar ± 3.77 o /oo dan ± 4.00 o /oo (Tabel 1). Salinitas hasil pengukuran masih berada dalam kisaran yang diperkenankan untuk budidaya udang berdasarkan nilai yang direkomendasikan yaitu 5 35 o /oo dan untuk pertumbuhan optimum diperlukan salinitas 15-5 o /oo (Boyd 1990; Poernomo 199; Widigdo 00; Soewardi 00). Derajat Keasaman (ph) Air Fluktuasi ph dalam air berhubungan dengan aktivitas fitoplankton serta tanaman air lainnya dalam menggunakan CO selama proses fotosintesis. Secara alami ph dipengaruhi oleh konsentrasi CO dan senyawa bersifat asam, dimana ph biasanya meningkat pada siang hari seiring dengan menurunnya konsentrasi CO. Hasil pengukuran ph perairan tambak udang intensif dan tradisional masing masing sebesar 8.18 ± 0.33 dan 8.16 ± 0.36 (Tabel dan 3). ph

32 perairan tambak udang intensif (16 ekor/m ) (4 jam pengukuran) berkisar antara , dimana ph tertinggi pada siang menjelang sore hari jam (8.33) dan ph terendah pada sore hari jam (8.01). ph perairan tambak udang intensif (50 ekor/m ) (4 jam pengukuran) berkisar antara , dimana ph perairan tertinggi pada menjelang sore hari jam (7.34) dan ph perairan terendah pada pagi hari jam (6.9). ph perairan tambak tradisional (4 jam pengukuran) berkisar antara , dimana ph tertinggi pada siang hari yaitu jam ( 8.17) dan ph terendah pada dini hari yaitu jam dan subuh hari yaitu jam Hasil pengukuran ph pada perairan sungai dan pantai masing masing sebesar 7.79 ± 0.43 dan 8.07 ± 0.41 (Tabel 1). ph hasil pengukuran masih dalam kisaran yang sesuai untuk budidaya udang yaitu dengan kisaran optimum (Poernomo 199; Widigdo 00; Soewardi 00; MenKLH 004). Oksigen Terlarut Oksigen yang terlarut dalam air berasal dari proses fotosintesis oleh fitoplankton dan tumbuhan air lainnya serta difusi dari udara (APHA 1989). Difusi oksigen dari atmosfer ke perairan berlangsung relatif lambat walaupun terjadi pergolakan massa air, sehingga sumber oksigen terlarut yang berasal dari difusi oksigen hanya sekitar 35 % (Effendi 003). Oksigen terlarut ini sangat penting bagi kehidupan organisme budidaya untuk pernapasan dan mengoksidasi bahan organik didalam tambak. Pencemaran limbah organik dapat menyebabkan menurunnya kandungan oksigen terlarut dalam perairan (Connel dan Miller 1995 diacu dalam Efendi 003). Rendahnya oksigen terlarut berpengaruh terhadap fungsi biologis organisme budidaya dan akan berakibat terhadap lambatnya pertumbuhan. Menurut Lee et al. (1978) bahwa kandungan oksigen terlarut pada suatu perairan dapat digunakan sebagai indikator kualitas perairan dan terbagi dalam empat kategori, yaitu: 1) kadar oskigen terlarut > 6 mg/l kategori tidak tercemar sampai tercemar sangat ringan; ) kadar oskigen terlarut antara termasuk kategori tercemar ringan; 3) kadar oksigen terlarut mg/l termasuk kategori tercemar sedang; dan 4) kadar oksigen terlarut <.0 termasuk kategori tercemar berat.

33 Hasil pengukuran kandungan oksigen terlarut pada perairan tambak udang intensif dan tradisional masing masing sebesar 7.01 ± 1.31 mg/l dan 6.60 ± 1.09 mg/l (Tabel dan 3). Kandungan oksigen terlarut tambak udang intensif (16 ekor/m ) (4 jam pengukuran)berkisar antara mg/l, dimana kandungan oksigen terlarut tertinggi pada siang hari jam (6.40 mg/l) dan kandungan oksigen terlarut terendah pada dinihari jam (3.97 mg/l). Kandungan oksigen terlarut tambak udang intensif (50 ekor/m ) (4 jam pengukuran) berkisar antara mg/l, dimana kandungan oksigen terlarut tertinggi pada siang hari jam (5.53 mg/l) dan kandungan oksigen terendah pada malam hari jam (3.1 mg/l). Tambak udang tradisional (4 jam pengukuran) diperoleh kandungan oksigen terlarut berkisar antara mg/l, dimana kandungan oksigen terlarut tertinggi pada siang hari yaitu jam 1.00 (6.53 mg/l) dan kandungan oksigen terlarut terendah pada malam hari yaitu jam 0.00 (5.01 mg/l). Hasil pengukuran kandungan oksigen terlarut pada perairan sungai dan pantai masing masing sebesar 6.0 ± 0.88 mg/l dan 5.88 ± 1.4 mg/l (Tabel 1). Kandungan oksigen terlarut hasil pengukuran masih sesuai atau dalam batas toleransi untuk budidaya udang yaitu > 3 mg/l (3-10 mg/l) and optimum 4-7 mg/l (Boyd 1990; Poernomo 199; Wedmeyer 1996; Widigdo 00). Sedangkan berdasarkan tingkat pencemeran, perairan pesisir Kecamatan Mangara Bombang termasuk dalam kategori belum tercemar sampai tercemar ringan sehingga masih layak digunakan untuk budidaya udang. Total Suspended Solid (TSS) Kandungan total suspended solid (TSS) dalam perairan secara tidak langsung akan mempengaruhi kehidupan organisme, karena dapat meningkatkan kekeruhan perairan dan mempengaruhi proses fotosintesis. Sedangkan pengaruh langsung dapat mengganggu kehidupan dan perkembangan biota serta dapat menyebabkan kematian biota karena dapat menutup insang dan menghambat saluran pernapasan (APHA 1989; Davis dan Cornwell, 1991 diacu dalam effendi 003). Hasil pengukuran kandungan total suspended solid (TSS) pada tambak udang intensif dan tradisional masing masing 135 ± mg/l dan ± 1.4 mg/l(tabel dan 3). Kandungan total suspended solid (TSS) yang tinggi

34 pada tambak udang intensif disebabkan pemberian pakan buatan (pellet) yang tidak termakan (uneaten food) berupa sisa pakan dan hasil metabolisme berupa feaces yang terlarut dalam air tambak (Boyd 1998; Johnsen et al.1993; Primavera dan Apud 1994). Pada tingkat budidaya intensif, kebutuhan akan nutrisi tergantung pada pakan buatan (pellet) dan apabila pakan buatan (pellet) yang diberikan banyak yang tidak termakan (uneaten food) maka akan menyebabkan tingginya kandungan bahan organik dalam tambak udang sehingga kandungan TSS dalam perairan tambak udang juga akan meningkat. Tingginya kandungan total suspended solid (TSS) pada tambak udang intensif mengakibatkan kandungan total suspended solid (TSS) pada saluran pembuangan juga cukup tinggi yaitu sebesar ± mg/l sedangkan pada saluran pembuangan tambak udang tradisional sebesar 55.5 ± mg/l (Tabel dan 3). Hasil pengukuran kandungan total suspended solid (TSS) perairan pantai sebesar ±.19 mg/l dan sungai sebesar ± mg/l (Tabel 1). Kandungan TSS ini masih dalam batas toleransi untuk budidaya tambak udang berdasarkan nilai yang direkomendasikan yaitu 5 80 mg/l (Widigdo 00; MenKLH 004). Kebutuhan Oksigen Biokimia (Biochemical Oxygen Demand/BOD 5 ) BOD5 merupakan salah satu indikator pencemaran organik pada suatu perairan. Perairan yang mempunyai nilai BOD 5 tinggi mengindikasikan bahwa perairan tersebut telah tercemar oleh bahan organik. BOD 5 mengindikasikan jumlah bahan organik perairan yang mudah diuraikan secara biologis serta jumlah oksigen yang dibutuhkan untuk proses dekomposisi (Widigdo 00 ; Davis dan Cornwell 1991 diacu dalam Effendi 003). Bahan organik yang diuraikan secara biologis melibatkan bakteri melalui sistem oksidasi aerobik dan anaerobik. Proses oksidasi aerobik akan menyebabkan terjadinya penurunan oksigen terlarut sampai pada tingkat terendah dan mengakibatkan kondisi perairan menjadi anaerob yang berdampak terhadap kematian organisme. Boyd (1990) mendefinisikan BOD 5 sebagai jumlah oksigen dikonsumsi oleh proses respirasi aerob dalam botol yang diinkubasi pada suhu sekitar 0 o C selama lima hari dalam keadaan tanpa cahaya. Tingkat pencemaran suatu perairan dapat dilihat berdasarkan nilai BOD dan terbagi dalam 4 (empat) kategori (Lee et al.1978) : (1). Nilai BOD 5 <.9 5

35 mg/l termasuk kategori tidak tercemar; () nilai BOD 5 antara 3,0 5.0 mg/l termasuk kategori tercemar ringan; (3) nilai BOD 5 antara mg/l termasuk kategori tercemar sedang; dan (5) nilai BOD 5 > 15 mg/l termasuk kategori tercemar berat. Hasil pengukuran BOD 5 pada tambak udang intensif dan tradisional masing masing 1.3 ± 0.56 mg/l dan 1.08 ± 0.43 mg/l (Tabel dan 3), sedangkan pada perairan pantai dan sungai masing masing sebesar 0.74 ± 0.7 mg/l dan 1.31 ± 0.83 mg/l (Tabel 1). BOD 5 ini masih sesuai untuk budidaya udang berdasarkan nilai yang direkomendasikan yaitu < 5 mg/l (MenKLH 004). Berdasarkan tingkat pencemaran, dapat disimpulkan bahwa perairan pesisir Kecamatan Mangara Bombang tergolong tidak tercemar, sehingga masih layak digunakan untuk budidaya udang. Ammonia (NH 3 -N) Kadar ammonia (NH3-N) pada perairan alami biasanya kurang dari 0.1 mg/l (McNeely et al diacu dalam Effendi 003) dan apabila kadar ammonia (NH 3 -N) perairan melebihi 0. mg/l, maka perairan tersebut akan sedikit berpengaruh bagi beberapa jenis biota yang sangat sensitif (Sawyer dan McCarty 1978 diacu dalam Effendi 003). Kadar ammonia (NH 3 -N) yang tinggi merupakan indikasi adanya pencemaran bahan organik yang berasal dari limbah domestik, limpasan (run off) pertanian dan peternakan. Pada umumnya, fitoplankton lebih banyak menyerap ammonia (NH 3 N) dibandingkan dengan nitrat (NO 3 -N), karena lebih banyak dijumpai diperairan, baik dalam kondisi aerobik maupun anaerobik (Welch 1980). Hasil pengukuran kandungan perairan tambak udang intensif dan tradisional masing masing sebesar ± mg/l dan ± mg/l (Tabel dan 3), sedangkan kandungan ammonia (NH3-N) pada perairan pantai dan sungai masing masing sebesar ± mg/l dan ± mg/l (Tabel 1). Kandungan ammonia (NH 3 -N) masih dalam batas yang aman untuk budidaya udang berdasarkan nilai yang direkomendasikan yaitu < 1.0 mg/l (Boyd 1990; Poernomo 199; Wedmeyer 1996; Widigdo 00; MenKLH 004).

36 Nitrit (NO ) Nitrit merupakan peralihan antara ammonia (NH3-N) dan nitrat (NO 3 -N) melalui proses nitrifikasi dan antara nitrat dan gas nitrogen melalui proses denitrifikasi. Proses denitrifikasi berlangsung dalam kondisi anaerob. Pada proses denitrifikasi, gas N yang dapat terlepas dilepaskan dari dalam air ke udara. Keneradaan nitrit menggambarkan berlangsungnya proses biologis perombakan bahan organik yang mempunyai kadar oksigen terlarut rendah (Effendi 003). Di perairan alami, kandungan nitrit (NO-N) biasanya ditemukan dalam jumlah yang sangat sedikit lebih sedikit dari nitrat (NO 3 -N) dan bersifat tidak stabil dengan keberadaa oksigen, karena nitrit (NO -N) ini langsung dioksidasi menjadi nitrat (NO 3 -N). Pada umumnya, perairan alami mengandung NO sekitar mg/l (Canadian Council of Resource and Environment Ministers, 1987 diacu dalam Effendi 003) dan jarang melebihi 1 mg/l (Sawyer dan McCarty 1978, diacu dalam Effendi 003). Seperti halnya ammonia (NH 3 -N), nitrit (NO - N) juga beracun terhadap udang/ikan, senyawa nitrit (NO -N) dapat mengoksidasikan besi (Fe) di dalam hemoglobin dan mengakibatkan kemampuan darah untuk mengikat oksigen terlarut akan menurun (Poernomo 1988). Pada udang yang darahnya mengandung tembaga (Cu) (hemocyanin) mungkin terjadi oksidasi Cu oleh NO dan memberikan akibat yang sama seperti pada udang (Smith dan Russo 1975 dalam Poernomo 1989). Hasil pengukuran kandungan Nitrit (NO) perairan tambak udang intensif dan tradisional masing masing sebesar ± mg/l dan ± mg/l (Tabel dan 3). Sedangkan Kandungan nitrit (NO N) pada perairan pantai dan sungai masing masing sebesar ± mg/l dan ± mg/l (Tabel 1). Kandungan nitrit (NO N) masih dalam batas yang aman untuk budidaya udang berdasarkan nilai yang direkomendasikan yaitu < 0.5 mg/l (Boyd 1990; Poernomo 199; Wedmeyer 1996; Widigdo 00; MenKLH 004 Nitrat (NO 3 -N) Nitrat (NO3-N) merupakan bentuk utama nitrogen di perairan alami dan juga sebagai sumber pertumbuhan tanaman air dan algae. Nitrat (NO 3 -N) mudah larut dalam air dan bersifat stabil (Effendi 003). Senyawa nitrat (NO 3 -N)

37 dihasilkan dari proses oksidasi sempurna senyawa nitrogen di perairan. Nitrifikasi merupakan proses ammnonia menjadi nitrit dan nitrat adalah proses yang sangat penting dalam siklus nitrogen yang berlangsung pada kondisi aerob. Oksidasi ammonia menjadi nitrit dilakukan oleh bakteri Nitrosomonas, sedangkan oksidasi nitrit menjadi nitrat dilakukan oleh bakteri Nitrobacter. Kedua jenis bakteri ini merupakan bakteri kemotrofik, yaitu bakteri yang mendapatkan energi dari proses kimiawi. Hasil pengukuran kandungan nitrat (NO 3 -N) perairan tambak udang intensif dan tradisional masing masing sebesar ± mg/l dan ± mg/l(tabel dan 3). Sedangkan kandungan nitrat (NO 3 -N) pada perairan pantai dan sungai masing masing sebesar ± mg/l dan ± mg/l (Tabel 1). Hasil pengukuran kandungan nitrat (NO 3 -N) pada musim hujan lebih tinggi jika dibandingkan pada musim kemarau (Tabel 4). Hal ini disebabkan karena nitrogen oksida yang berupa nitrat (NO 3 ) yang terdapat diatmosfir akan turun ke bumi bersama air hujan, dimana air hujan mengandung NO 3 sekitar 0. mg/l (Effendi 003). Apabila suatu perairan menunjukkan kadar nitrat lebih dari 5 mg/l ( > 5 mg/l), maka perairan tersebut mengalami pencemaran limbah antropogenik yang berasal dari aktivitas manusia dan sisa kotoran hewan. Kadar nitrat (NO lebih dari mg/l dapat mengakibatkan terjadinya eutrofikasi (pengayaan) perairan, yang selanjutnya dapat menstimulir pertumbuhan algae dan tumbuhan air secara pesat (blooming). Pada perairan yang menerima limpasan air dari daerah pertanian yang banyak mengandung pupuk, maka kadar nitrat dapat mencapai mg/l (Davis dan Cornwell, 1991 diacu dalam Effendi 003). Kandungan nitrat (NO3-N) yang terdapat dalam suatu perairan, dapat dikelompokkan berdasarkan tingkat kesuburannya, yaitu perairan oligotrofik mempunyai kandungan nitrat (NO 3 -N) antara 0 1 mg/l, perairan mesotrofik mempunyai kandungan nitrat (NO 3 -N) antara 1 5 mg/l, dan perairan eutrofik mempunyai kandungan nitrat (NO 3 -N) antara 5 50 mg/l (Volenweider dan Wetzel 1975 diacu dalam Effendi 003). Berdasarkan hal ini, maka kandungan nitrat (NO 3 -N) masih dalam batas yang layak untuk budidaya udang dan kondisi 3 -N) yang

38 perairan pesisir Kecamatan Mangara Bombang tidak mengarah kepada terjadinya proses pengayaan (eutrofikasi). Lebih jelasnya siklus nitrogen dalam perairan tambak dapat dilihat pada Gambar 37. -Tanaman Air - Fitoplankton - Zooplankton - Hewan kecil - Ikan/udang - Hewan besar NITRAT Reduksi Anaerob NITRIT Reduksi Anaerob NH 3 /NH 4 Oksidasi (Nitrobacter) Oksidasi (Nitrosomonas) DEKOMPOSISI - Limbah Organik (sisa pakan dan feses) - Hewan/tanaman mati EKSKRESI MELALUI INSANG IKAN/UDANG PUPUK -UREA -ZA Siklus Nitrogen dalam air tambak Gambar 37. Siklus nitrogen dalam perairan tambak (sumber : Gunarto 007) Dari gambar 37 terlihat bahwa ammonia (NH 3 -N), nitrit (NO -N) dan, nitrat (NO 3 -N) merupakan senyawa hasil sampingan dari proses perombakan bahan organik yang bersifat racun bagi organisme budidaya, dimana tingkat keracunan akan semakin tinggi apabila ph mencapai > 9.0. Sedangkan untuk siklus nitrogen di perairan dapat dilihat pada Gambar 38. Bakteri, jamur algae N Atm N terlarut 1 5 Atmosfir Air HNO 3 Nitrat 4 HNO Nitrit 3 NH 3 Amonia Tumbuhan Protein Hewan Protein Eksresi Produk Setengah jadi Bakteri Perombak Gambar 38. Siklus nitrogen di perairan ( Sumber : Welch 1980) Keterangan : 1. Bakteri penghasil nitrit;. Bakteri penghasil ammonia; 3. Nitrosomonas javanica dan Nitrosomonas europaea; 4. Bakteri Nitrobacter agile dan Nitrobacter wingradskyi; 5. Bakteri penghasil N bebas.

39 Fosfat (PO 4 -P) Fosfat (PO4-P) dapat menjadi faktor pembatas, baik secara temporal maupun secara spasial, karena sumber sumber fosfat lebih sedikit dibandingkan dengan sumber nitrogen di perairan (Raymont 1980; Effendi 003). Senyawa fosfat merupakan unsur zat hara yang dapat dijadikan sebagai petunjuk kesuburan perairan dan dibutuhkan oleh organisme untuk pertumbuhan dan perkembangannya salah satunya adalah fitoplankton. Fosfat (PO 4 -P) merupakan faktor pembatas produktivitas primer dan merepresentasikan nutrien fosfat (P) terlarut. Kandungan fosfat (PO 4 P) pada perairan alami jarang melebihi 1 mg/l (Boyd 1995). Hasil pengukuran kandungan fosfat (PO4-P) perairan tambak udang intensif dan tradisional masing masing sebesar ± mg/l dan ± mg/l (Tabel dan 3), sedangkan hasil pengukuran kandungan fosfat (PO 4 -P) pada perairan pantai dan sungai masing masing sebesar ± mg/l dan ± mg/l (Tabel 1). Hasil pengukuran kandungan fosfat (PO 4 -P) ini masih berada dalam batas kisaran nilai yang direkomendasikan untuk budidaya udang yaitu mg/l (Boyd 1990; Poernomo 199; Wedmeyer 1996; Widigdo 00; MenKLH 004). Berdasarkan kadar fosfat, perairan diklasifikasikan menjadi tiga, yaitu : perairan oligrotofik yang mempunyai kadar fosfat mg/l, perairan mesotrofik mempunyai kadar fosfat mg/l dan perairan eutrofik mempunyai kadar fosfat mg/l (Wetzel 1975 diacu dalam Effendi 003). Hal ini berarti perairan pesisir Kecamatan Mangara Bombang termasuk dalam perairan mesotrophyc dengan tingkat kesuburan sedang. Kekeruhan Nilai kekeruhan pada tambak udang intensif dan tradisional masing masing sebesar 3.68 ± NTU dan 9.69 ± 3.41 NTU (Tabel dan 3), sedangkan pada perairan pantai dan sungai masing masing sebesar ± NTU dan 1.4 ± 4.43 NTU(Tabel 1). Nilai kekeruhan ini masih dalam batas toleransi untuk budidaya tambak udang. Pada musim kemarau nilai kekeruhan perairan pantai berkisar antara NTU (11.0 ± 1.18) dan

40 pada musim hujan nilai kekeruhan perairan berkisar antara NTU (5.83 ± 15.06)(Tabel 4). Tingkat kekeruhan yang tergolong tinggi pada musim hujan disebabkan karena terjadinya proses pengadukan dasar perairan akibat adanya aktivitas gelombang sehingga menyebabkan perairan pesisir Kecamatan Mangara Bombang menjadi keruh. Hal ini dapat dilihat dari nilai rata rata kandungan TSS yang juga tergolong tinggi yaitu ± mg/l (Tabel 4). Canter (1997, diacu dalam Bahtiar 1994; Effendi 003) menyatakan bahwa terdapat hubungan yang positif antara nilai padatan tersuspensi dengan nilai kekeruhan suatu perairan, dimana semakin tinggi nilai padatan tersuspensi (TSS), maka akan semakin tinggi nilai kekeruhan dan akan memberikan pengaruh terhadap kepentingan perikanan budidaya (Alabaster dan Lloyd 198, diacu dalam Effendi 003). Kondisi TSS yang cukup tinggi ini menyebabkan pembudidaya tambak udang di wilayah pesisir Kecamatan Mangara Bombang pada saat memasuki puncak musim hujan menghentikan operasional budidaya sampai memasuki peralihan ke musim kemarau (Hasil wawancara dan pengamatan lapangan 008). Operasionalisasi kegiatan budidaya udang pada puncak musim hujan dapat dilakukan dengan syarat melakukan treatment air laut sebelum digunakan sebagai media dalam petak pemeliharaan. Selain itu, dapat pula diupayakan meminimalisasi proses pergantian air tambak (less water exchange) atau tanpa pergantian air tambak (zero water excange). Secara umum kualitas air di wilayah pesisir Kecamatan Mangara Bombang masih layak atau mendukung untuk kegiatan budidaya tambak udang berdasarkan kriteria Boyd (1990), Poernomo (199), Wedmeyer (1996), Widigdo (00), Soewardi (00) dan MenKLH (004) Korelasi antara parameter kualitas air dengan stasiun pengamatan Hasil analisis korelasi menunjukkan bahwa TSS berkorelasi positif dengan kekeruhan, BOT, dan NO 3 -N, namun berkorelasi negatif dengan DO. Korelasi antara sumbu utama pertama (F1) dan sumbu utama kedua (F) merepresentasikan bahwa stasiun pengamatan XIII, XIV, dan XVIII dicirikan dengan BOD dan BOT yang tinggi sedangkan stasiun pengamatan XVI, dan XVII

41 dicirikan dengan TSS, kekeruhan dan NO 3 -N yang tinggi dengan kandungan DO yang rendah. Stasiun pengamatan ini merupakan daerah pertambakan dan saluran pembuangan (outlet) yang merupakan tempat terakumulasinya limbah organik. Stasiun II, III, IV,VII,VIII, dan X dicirikan dengan salinitas, ph, PO 4 -P, dan NO -N yang tinggi, dimana stasiun ini merupakan daerah perairan pesisir (36 b). Ketiga sumbu utama pertama merepresentasikan % dari seluruh informasi parameter yang diamati. Hal ini berarti bahwa % data hasil analisis dapat diterangkan sampai sumbu utama ketiga. Ketiga sumbu utama masing masing menjelaskan 7.5 % (F1), 3.35 % (F), dan % (F3) dengan nilai akar ciri masing masing 3.7 (F1),.80 (F) dan 1.7 (F3). Sumbu utama pertama (F1) dicirikan (TSS, kekeruhan, NO3-N, BOT, dan BOD), sumbu utama kedua (F) dicirikan (salinitas, suhu, NO -N, NH 3 -N, dan PO 4 -P) (Gambar 39a). Sedangkan pada sumbu utama ketiga (F3) dicirikan (ph, suhu, salinitas, dan DO) (Gambar 40 a) a PO4-P NH3-N Salinitas Suhu NO-N NO3-N Kekeruhan TSS 0 ph BOT -0.5 DO BOD axis 1 (8% ) --> b. 5 4 XVII III II PO4-P Salinitas NH3-N Suhu NO-N VII IV VIII ph XVIII X I DO V VI XV IX XVI NO3-N TSS Kekeruhan XIII BOT XIV BOD XI XII axe 1 (8% ) --> Gambar 39. (a) Lingkaran grafik korelasi paramater fisik-kimia perairan pada sumbu 1 dan ; (b) Proyeksi stasiun pengamatan pada Sumbu 1 dan. a ph 0.5 Salinitas DO Suhu TSS BOD5 BOT 0 PO4-P NH3-N Kekeruhan NO-N NO3-N -0.5

42 b. 3.5 XIV XIII 1.5 VII ph XV 1 VIII Salinitas DO XVI 0.5 IX Suhu TSS BOD5 BOT II VI PO4-P NH3-N NO-NX V XVIII Kekeruhan NO3-N -1 I III IV XI XII XVII axe 1 (8% ) --> Gambar 40. (a) Lingkaran grafik korelasi paramater fisik-kimia perairan pada sumbu 1 dan 3; (b) Proyeksi stasiun pengamatan pada sumbu 1 dan Keragaan Budidaya Tambak Udang Monitoring terhadap kegiatan budidaya tambak udang intensif di Kecamatan Mangara Bombang dilakukan selama satu musim tanam (MT) atau satu siklus produksi. Hasil monitoring selama penelitian menunjukkan bahwa pada budidaya tambak udang intensif dengan luas petak tambak 3750 m (komoditas udang vannamei), padat penebaran 16 ekor/m dengan lama pemeliharaan 110 hari mampu memproduksi udang sebesar kg udang/0.375 ha dengan nilai FCR (Food Conversion Ratio) sebesar 1.47 yang artinya untuk menghasilkan udang sebesar 1 kg membutuhkan pakan sebesar 1.47 kg. Sedangkan tambak udang intensif (komoditas udang vannamei) dengan luas petak tambak 4000 m, padat penebaran 50 ekor/m dengan lama pemeliharaan 93 hari mampu memproduksi udang sebesar kg/0.4 ha dengan nilai FCR (Food Conversion Ratio) sebesar Budidaya tambak udang semi intensif (komoditas udang vannamei) dengan luas petak 5000 m, padat penebaran 5

43 ekor/m dengan lama pemeliharaan 95 hari mampu memproduksi udang sebesar kg/0.5 ha dengan nilai FCR 1.31 (Gunarto 007). Budidaya tambak udang tradisional plus (komoditas udang vannamei) dengan luas tambak 900 m, padat tebar 8 ekor/m dengan lama pemeliharaan 110 hari menghasilkan produksi udang sebesar kg/0.09 ha atau kg/ha (Erfan dan Mangampa 007). Pada tambak udang tradisional plus ini pemberian pakan dimulai pada hari ke 71 setelah dilakukan penebaran benur dalam tambak. Sedangkan Budidaya tambak udang tradisional dengan luas petak tambak m dengan padat penebaran ekor/m, dengan lama pemeliharaan 10 hari menghasilkan produksi udang rata rata sebesar 300 kg. Karakteristik tambak udang di wilayah pesisir Kecamata Mangara Bombang dapat dilihat pada Tabel 5. Tabel 5.Karakteristik Budidaya Tambak Udang berdasarkan Tingkat Teknologi Budidaya di Kecamatan Mangara Bombang Parameter Tingkat Teknologi Budidaya Tambak Udang 1) Intensif ) Intensif Semi Tradisional Tradisio 3) Intensif 4) Plus 5) - nal Luas petak tambak (m ) 3750 Padat penebaran (ekor/m ) Jumlah pakan (kg) Kelangsungan hidup (%) Produksi (kg) kg/ha kg/ha kg/ha kg/ha FCR Lama Pemeliharaan (hari) Pergantian air ditambak (%) 3 % (bln 1 dan ); 10 % (bln 3); 15 % (bln 4) 3 % (bln 1 dan ); 10 % (bln 3); 15 % (bln 4) 3 % (bln 1); 5 % (bln ); 10 % (bln 3 dan 4) Pasang surut Pasang surut Sumber :Hasil monitoring (008) 1), ), 5) ; Gunarto (007) 3) ; Erfan dan Mangampa (007) 4)

44 Pada budidaya tambak udang tradisional plus dan tradisional ketersediaan pakan alami merupakan salah satu faktor yang menentukan keberhasilan budidaya. Pakan alami di tambak didominasi oleh detritus, sisa binatang, diatom, Cyanobacteria dan alga hijau (Gunarto 007). Kontribusi pakan alami termasuk fitoplankton pada udang yang dibudidayakan yaitu melalui rantai makanan, dimana udang memanfatkan makrofauna seperti kekerangan yang kecil, gasteropoda, meiofauna misalnya polychaeta, amphipoda dan harpaticoid copepoda dan juga pada meiobenthos seperti bacteria dan detritus (Castille et al.1993). Peningkatan pakan alami dalam tambak udang tradisional plus dapat dilakukan dengan cara pemupukan. Menurut Amin et al. (199) pemupukan dimaksudkan sebagai usaha pemberian nutrien kedalam tanah atau tambak dengan tujuan untuk meningkatkan daya dukung perairan guna menghasilkan pakan alami bagi makroorganisme. Selanjutnya Huet (1978) juga mengatakan bahwa dengan melakukan pemupukan susulan secara periodik dalam jumlah tertentu kedalam perairan akan merangsang pertumbuhan fitoplankton sehingga mempengaruhi kesuburan perairan Kuantifikasi Terhadap Faktor yang Berpengaruh pada Daya Dukung Lingkungan Kuantifikasi Volume Total Air yang Tersedia di Perairan Pesisir (V tot ) Kemampuan perairan pesisir Kecamatan Mangara Bombang dalam mengencerkan limbah tambak udang ditentukan oleh seberapa besar volume air laut yang tersedia di perairan pesisir. Volume air yang tersedia tersebut selalu mengalami pergantian dari pasang yang satu ke pasang berikutnya sehingga diharapkan mempunyai kualitas yang baik untuk kegiatan budidaya tambak udang. Volume air laut yang tersedia diperairan pesisir baik pada saat pasang maupun pada saat surut merupakan volume total air yang tersedia diperairan pesisir untuk mengencerkan limbah tambak. Kuantifikasi volume air yang tersedia diperairan pesisir menggunakan pendekatan Widigdo dan Pariwono (003), dimana volume air yang tersedia di perairan pesisir di pengaruhi oleh kisaran pasang surut, frekuensi pasang surut,

45 panjang garis pantai, kemiringan dasar perairan, dan jarak pengambilan air untuk keperluan tambak udang. Hasil pengukuran kemiringan dasar perairan dapat dilihat pada Tabel 6 Tabel 6.Hasil pengukuran kemiringan dasar perairan pesisir Kecamatan Mangara Bombang Posisi pengukuran (UTM) Derajat ( o ) tg θ X Y Rata rata Sumber : Hasil pengukuran lapangan (008) Berdasarkan hasil pengukuran lapangan diperoleh kisaran pasang surut meter (15 hari pengamatan) dengan frekuensi (F) kali sehari yang didasarkan pada tipe pasang surut di Kecamatan Mangara Bombang yang bersifat campuran dengan dominansi semidiurnal, jarak dari garis pantai (waktu pasang) hingga lokasi pengambilan air laut untuk keperluan tambak (854 m), panjang garis pantai 38 km (Dinas Perikanan dan Kelautan Kabupaten Takalar 008; Hasil analisis SIG, 008), dan rata-rata kemiringan dasar perairan hasil pengukuran lapangan (0.174). Kondisi fisik perairan pesisir Kecamatan Mangara Bombang dapat dilihat pada Tabel 7. Tabel 7. Kondisi fisik perairan pesisir Kecamatan Mangara Bombang No. Parameter Nilai Pengamatan 1. Panjang garis pantai 38 km ( m). Rata- rata kemiringan dasar perairan pesisir Jarak pengambilan air untuk keperluan tambak 854 m 4. Kisaran pasang surut m 5. Pola pasang surut kali pasang dan kali surut Sumber : Hasil pengamatan (008) Pipa pengambilan air laut untuk operasionalisasi budidaya tambak udang dapat dilihat pada Gambar 41.

46 Gambar 41. Pipa pengambilan (intake) air laut untuk budidaya tambak udang di wilayah pesisir Kecamatan Mangara Bombang Berdasarkan parameter diatas dan hasil penghitungan, diperoleh volume air yang tersedia diperairan pesisir Kecamatan Mangara Bombang untuk mengencerkan limbah dalam satu siklus pasang surut sebesar m 3. Frekuensi pasang surut perairan pesisir Kecamatan Mangara Bombang kali/hari, sehingga volume total air yang tersedia diperairan pesisir (V tot ) Kecamatan Mangara Bombang untuk mengencerkan limbah menjadi sebesar x m 3 = m 3. Hasil penghitungan diperoleh waktu tinggal (retention time) volume massa air di perairan pesisir per siklus pasang surut yaitu.0 jam. Oleh karena frekuensi pasang surut di wilayah pesisir Kecamatan Mangara Bombang kali/hari, maka waktu tinggal volume massa air menjadi x.0 jam = 4.0 jam Kuantifikasi Limbah Tambak Udang (Internal Loading) Kuantifikasi limbah organik dalam bentuk TSS Kuantifikasi beban limbah dari budidaya tambak udang hanya dilakukan pada teknologi intensif, semi intensif dan tradisonal plus sedangkan untuk teknologi tradisional tidak dilakukan. Pada teknologi budidaya tambak udang intensif, menggunakan pakan buatan (pellet) selama pemeliharaan untuk memacu pertumbuhan udang. Sedangkan untuk budidaya tambak dengan teknologi tradisional hanya mengandalkan pakan alami dan tidak menggunakan pakan buatan (pellet) selama masa pemeliharaan.

47 Pakan buatan yang diberikan selama masa pemeliharaan ini merupakan salah satu pemicu terjadinya penurunan kualitas lingkungan perairan karena tidak seluruh pakan tersebut dapat dimanfatkan oleh udang dan sisa yang tidak termanfatkan tersebut akan menjadi limbah organik dan merupakan penyebab menurunnya kualitas perairan (Mc Donald et al.1996; Horowitz dan Horowitz 000). Selanjutnya Chen dan Lin (1989) menyatakan kadar TSS akan tinggi pada waktu panen, terutama pada volume 0-5 % limbah akhir tambak. Karena itu sebaiknya menggunakan pakan dengan kualitas yang baik sehingga kegiatan budidaya tambak menjadi lebih efisien. Beban limbah organik tambak udang intensif dengan luas 3750 m (16 ekor/m ) dalam bentuk Total Suspended Solid (TSS) yang dibuang ke lingkungan perairan pesisir mulai dilakukan pada hari ke 1 sampai hari ke 110 (akhir masa pemeliharaan). Kuantitas pakan dan limbah organik dalam bentuk TSS dapat dilihat pada Gambar 4. Jumlah pakan dan limbah (kg) Pakan (kg) TSS (mg/l) TSS (kg) Lama pemeliharaan (hari) Koncentrasi limbah (mg/l) Gambar 4. Kuantitas pakan dan limbah TSS yang dihasilkan dari kegiatan budidaya tambak udang intensif (16 ekor/m ) dan luas tambak udang (3750 m ) selama satu siklus pemeliharaan. Konsentrasi TSS tertinggi sebesar mg/l ditemukan pada hari ke- 61 dengan jumlah atau bobot limbah yang dibuang sebesar kg TSS. Pada akhir masa pemeliharaan (panen) yaitu hari ke 110, dilakukan pengeringan tambak dengan cara membuang seluruh air tambak (volume 3750 m 3 ) ke

48 lingkungan perairan, dimana pada saat pembuangan seluruh volume air tambak, konsentasi TSS tambak udang sebesar mg/l dengan jumlah atau bobot TSS yang dibuang ke lingkungan perairan pesisir sebesar kg TSS. Total jumlah atau bobot harian TSS mulai hari ke sebesar kg TSS/0.375 ha. Sedangkan total jumlah atau bobot TSS sampai akhir masa pemeliharaan (panen) sebesar kg TSS/0.375 ha. Berdasarkan hasil penghitungan diatas, maka jumlah limbah organik tambak udang dalam bentuk TSS yang dibuang dan masuk ke lingkungan perairan pesisir selama satu musim tanam (MT) per satuan luas (ha) sebesar kg TSS/ha. Tambak udang intensif dengan luas 4000 m (50 ekor/m ) menghasilkan beban limbah organik dalam bentuk Total Suspended Solid (TSS) yang dibuang kelingkungan perairan pesisir mulai pada hari ke 1 sampai hari ke 93 (akhir masa pemeliharaan). Kuantitas pakan dan limbah organik dalam bentuk TSS dapat dilihat pada Gambar Jumlah pakan dan limbah (kg) TSS (mg/l) Pakan (kg) TSS (kg) Konsentrasi limbah (mg/l) Lama pemeliharaan (hari) 0 Gambar 43. Kuantitas pakan dan limbah TSS yang dihasilkan dari kegiatan budidaya tambak udang intensif (50 ekor/m ) dan luas tambak udang (4.000 m ) selama satu siklus pemeliharaan. Konsentrasi TSS tertinggi sebesar mg/l ditemukan pada hari ke- 61 dengan jumlah atau bobot limbah TSS yang dibuang sebesar 5.68 kg TSS. Pada akhir masa pemeliharaan (panen) yaitu pada hari ke 93, dilakukan

49 pengeringan tambak dengan cara membuang seluruh air tambak (volume 4000 m 3 ) ke lingkungan perairan. Pada saat pembuangan seluruh volume air tambak, konsentasi limbah TSS tambak udang sebesar mg/l dengan jumlah atau bobot limbah TSS yang dibuang ke lingkungan perairan pesisir sebesar kg TSS. Total jumlah atau bobot harian limbah TSS mulai hari ke 1 9 sebesar kg TSS/0.4 ha. Sedangkan total jumlah atau bobot limbah TSS sampai akhir masa pemeliharaan (panen) sebesar kg TSS/0.4 ha. Berdasarkan hasil penghitungan diatas, maka jumlah limbah organik tambak udang dalam bentuk TSS yang dibuang dan masuk kelingkungan perairan pesisir selama satu musim tanam (MT) per satuan luas (ha) sebesar kg TSS/ha. Pada tambak udang semi intensif dengan luas 5000 m (5 ekor/m ) menghasilkan beban limbah organik dalam bentuk Total Suspended Solid (TSS) yang dibuang ke lingkungan perairan pesisir mulai pada hari ke 1 sampai hari ke 95 (akhir masa pemeliharaan). Kuantitas pakan dan limbah organik dalam bentuk TSS dapat dilihat pada Gambar 44. Jumlah pakan dan limbah (kg) TSS (mg/l) Pakan (kg) TSS (kg) Konsentrasi limbah (mg/l) Lama pemeliharaan (hari) 0 Gambar 44. Kuantitas pakan dan limbah TSS yang dihasilkan dari kegiatan budidaya tambak udang semi intensif (5 ekor/m ) dan luas tambak udang (5.000 m ) selama satu siklus pemeliharaan. Konsentrasi TSS tertinggi sebesar mg/l ditemukan pada hari ke- 61 dengan jumlah atau bobot limbah TSS yang dibuang sebesar kg TSS. Pada akhir masa pemeliharaan (panen) yaitu pada hari ke 95, dilakukan

50 pengeringan tambak dengan cara membuang seluruh air tambak (volume 5000 m 3 ) ke lingkungan perairan. Pada saat pembuangan seluruh volume air tambak, konsentasi limbah TSS tambak udang sebesar 1.55 mg/l dengan jumlah atau bobot limbah TSS yang dibuang ke lingkungan perairan pesisir sebesar kg TSS. Total jumlah atau bobot harian limbah TSS mulai hari ke 1 94 sebesar kg TSS/0.5 ha. Sedangkan total jumlah atau bobot limbah TSS sampai akhir masa pemeliharaan (panen) sebesar kg TSS/0.5 ha. Berdasarkan hasil penghitungan diatas, maka jumlah limbah organik tambak udang dalam bentuk TSS yang dibuang dan masuk kelingkungan perairan pesisir selama satu musim tanam (MT) per satuan luas (ha) sebesar kg TSS/ha. Tambak udang tradisional plus (8 ekor /m ) menghasilkan beban limbah organik dalam bentuk Total Suspended Solid (TSS) yang dibuang ke lingkungan perairan pesisir sebesar kg TSS/ha. Limbah TSS tambak udang intensif (16 ekor/m ), intensif (50 ekor/m ), semi intensif (5 ekor/m ), dan tradisional plus (8 ekor/m ) dapat dilihat pada Tabel 8. Tabel 8. Limbah organik tambak udang dalam bentuk TSS berdasarkan tingkat teknologi di wilayah pesisir Kecamatan Mangara Bombang Tingkat teknologi Budidaya Limbah organik dalam bentuk TSS Tambak Udang (kg/ha/mt) Intensif (16 ekor/m ) kg TSS/ha/MT Intensif (50 ekor/m ) kg TSS/ha/MT Semi intensif (5 ekor/m ) kg TSS/ha/MT Tradisional plus (8 ekor/m ) kg TSS/ha/MT Sumber : Hasil analisis (008) Jumlah limbah organik dalam bentuk TSS dari kegiatan budidaya tambak udang diatas akan dibuang dan masuk ke lingkungan perairan pesisir serta berpotensi mencemari perairan pesisir. Konsentrasi TSS harian di perairan pesisir sangat tergantung dari volume total air sebagai penerima limbah (V tot ), jumlah limbah tambak udang yang dibuang (kondisi saat ini), pola pasang surut, serta laju pengenceran (flushing time) (Gowen et al.1989, diacu dalam Barg 199). Asumsi yang digunakan dalam estimasi konsentrasi TSS di perairan pesisir Kecamatan Mangara Bombang pada kondisi saat ini, yaitu: (1) buangan limbah TSS berasal dari kegiatan budidaya tambak udang intensif (padat tebar 16 ekor/m dan 50 ekor/m ) selama satu musim tanam (MT), sedangkan buangan limbah organik dari

51 kegiatan lain di abaikan dan; () proses pergantian air (water exchange) bulan 1 dan sebanyak 3 %, bulan 3 sebanyak 10 %, dan bulan 4 sebanyak 15 %. Volume total air yang tersedia diperairan pesisir Kecamatan Mangara Bombang (V tot ) sebesar m 3 sedangkan laju pengenceran (flushing time) hasil analisis diperoleh.78 hari (dibulatkan.8 hari) atau flushing ratenya 19 kali/tahun. Berdasarkan hasil analisis diperoleh konsentrasi TSS harian yang berada di perairan pesisir mulai hari pertama sampai hari ke 110 mengalami peningkatan. Pada hari kedua konsentrasi TSS sebesar mg/l dan pada akhir pemeliharaan konsentrasi total TSS di perairan pesisir sebesar mg/l. Pada hari ke-61, konsentrasi total TSS di perairan pesisir sebesar mg/l. Kemudian pada hari ke 93, dimana tambak udang intensif (50 ekor/m melakukan panen dan membuang seluruh air tambak yang mengandung limbah TSS ke lingkungan perairan pesisir, sehingga konsentrasi TSS mengalami peningkatan menjadi mg/l. Begitu pula pada hari ke 110, dimana tambak udang intensif (16 ekor/m ) melakukan pemanenan dan membuang seluruh volume air tambak yang mengandung TSS ke lingkungan perairan sehingga konsentrasi TSS di perairan pesisir mengalami peningkatkan menjadi mg/l (Gambar 71). Konsentrasi total TSS ini masih dibawah konsentrasi TSS yang diperbolehkan untuk budidaya sebesar 80 mg/l (Wedmeyer 1996; Widigdo 00; Soewardi 00 dan; MenKLH 004). Estimasi total konsentrasi limbah organik dalam bentuk TSS di perairan pesisir akibat buangan limbah organik dalam benuk TSS tambak udang dapat dilihat pada Tabel 9. ) Tabel 9. Estimasi total konsentrasi limbah TSS harian di perairan pesisir Kecamatan Mangara Bomban akibat buangan limbah tambak udang pada kondisi saat ini. Metoda Flushing Konsentrasi Pustaka Pergantian pasang surut : DLR = (V pt -V st )/ (T x V pt ) Vpt = volume perairan saat pasang tertinggi (m 3 ) Vst = volume perairan saat surut terendah (m 3 ) T = frekuensi pasang surut dalam sehari Time F = 1/DLR DLR = 0.36 FT =.78 hari atau Flushing rate = 19 kali/tahun limbah Saat ini Hari ke 1 : mg/l Hari ke 61 : mg/l Hari ke -93 : mg/l Hari ke 110 : Barg (199) Kelayakan kualitas air budidaya : 80 mg/l (Wedmeyer 1996;Widigdo

52 mg/l 00; MenKLH 004). Sumber : Hasil analisis (008) Kuantifikasi limbah nitrogen (TN btu ) dan phosfor (TP btu ) tambak udang Beberapa data penunjang yang digunakan dalam pendugaan beban limbah nitrogen (TN) dan phosfor (TP) dari budidaya tambak udang di Kecamatan Mangara Bombang sebagai berikut: Jenis dan jumlah pakan, kandungan protein pakan, kandungan nitrogen dan phosfor pakan, kandungan nitrogen dan phosfor udang, produksi udang serta luas lahan tambak udang yang diusahakan saat ini. Pakan yang digunakan dalam budidaya tambak udang intensif di Kecamatan Mangara Bombang merupakan pakan komersil yang diproduksi oleh salah satu perusahaan pakan di Jawa Timur. Budidaya tambak udang intensif dengan padat penebaran 16 ekor/m /0.375 ha menggunakan jenis pakan Luxindo 391 (starter), Mini Luxindo 39 (grower); Big Luxindo 39 (grower), Pelet No I (finisher); STP.FA P1 (Finisher). Hasil analisis proksimat pakan udang (16 ekor/m ), proksimat udang (16 ekor/m dan 50 ekor/m ), dan proksimat pakan udang (50 ekor/m ) dapat dilihat pada Tabel 30,31, dan 3 di bawah ini : Tabel 30. Hasil analisis proksimat pakan udang (16 ekor/m ) No KS Komposisi (%) Kad Kad PK LK SK BE N P Air Abu TN 1 Star PLC (391) MC (39) 3 BC (39) 4. Pellet No I 5 STP FA P1 Rataan Maks

53 Min Stdv Sumber : Hasil analisis laboratoriun nutrisi Balai Riset Perikanan Budidaya Air Payau Maros (008) Ket: PLC = PL crumble; MC = Mini crumble; PK = Protein kasar; LK = lemak kasar; SK = Serat kasar; KS = Kode sampel Tabel 31. Hasil analisis proksimat udang (16 ekor/m dan 50 ekor/m ) Padat KS Komposisi (%) tebar Kad Kad PK LK SK BETN N P Air Abu 16 U ekor/m 50 U ekor/m Sumber : Hasil analisis laboratoriun nutrisi Balai Riset Perikanan Budidaya Air Payau Maros (008) Ket: PLC = PL crumble; MC = Mini crumble; PK = Protein kasar; LK = lemak kasar; SK = Serat kasar; KS = Kode sampel Tabel 3. Hasil analisis proksimat pakan udang ( 50 ekor/m ) No KS Komposisi (%) Kad Kad PK LK SK BETN N P Air Abu 1. PV PV PV P1 4. PV P Rataan Maks Min Stdv Sumber: Hasil analisis laboratorium nutrisi Balai Riset Perikanan Budidaya Air Payau Maros (008) Ket: PLC = PL crumble; MC = Mini crumble; PK = Protein kasar; LK = lemak kasar; SK = Serat kasar; KS = Kode sampel Hasil analisis proksimat pakan (16 ekor/m ) diperoleh kandungan protein pakan bervariasi antara % ( ±.4 ). Pada pemeliharaan bulan 1 kandungan protein pakan sebesar 4 % (Luxindo 391-starter),37.81 % untuk pemeliharaan bulan ke (Mini Luxindo 39-grower),37.45 % untuk pemeliharaan bulan ke 3 ( Big Luxindo 39-grower), % untuk pemeliharaan bulan ke 4 (Pellet No I dan STP.FA P1-finisher). Pada umumnya kebutuhan protein

54 pakan menurun dengan meningkatkan ukuran dan umur udang (Halver 1989; Boonyaratpalin 1991). Kandungan nitrogen pakan berkisar antara % sedangkan kandungan phosphor pakan berkisar antara %. Phosfor merupakan elemen esensial yang dibutuhkan untuk pertumbuhan normal udang (Phillips et al. 1993) dan organisme hidup lainnya, dimana keberadaannya dalam badan air dalam bentuk partikel maupun terlarut. Sedangkan hasil analisis proksimat udang (16 ekor/m ) diperoleh kandungan nitrogen dan phosfor udang masing masing sebesar 7.77 % dan 0.95 %, sedangkan hasil analisis proksimat udang (padat tebar 50 ekor/m ) diperoleh kandungan nitrogen dan phosfor masing masing sebesar 5.68 % dan 0.54 %. Pada budidaya tambak udang intensif dengan padat penebaran 50 ekor/m /0.4 ha menggunakan jenis pakan PV 1 dan PV (starter), PV-P1 (grower), dan PV-P (Finisher). Hasil analisis proksimat pakan diperoleh kandungan protein pakan berkisar antara % (39.78 ± 0.33). Pada pemeliharaan bulan 1 (PV 1 dan starter) kandungan protein pakan %, pemeliharaan bulan ke (PV-P1- grower) kandungan protein pakan %, dan untuk pemeliharaan bulan ke 3 (PV-P-finisher) kandungan protein pakan %. Kandungan nitrogen pakan berkisar antara % (6.15 ± 0.19), sedangkan kandungan phosfor pakan berkisar antara % (1.7 ± 0.3). Berdasarkan data di atas, kemudian dilakukan pendugaan beban limbah nitrogen (TN) dan phosfor (TP) yang berasal dari kegiatan budidaya tambak udang di Kecamatan Mangara Bombang menggunakan metoda yang dikembangkan oleh Ackefors dan Enell (1990 diacu dalam Barg 199), sebagai berikut : Budidaya tambak udang intensif (16 ekor/m ) menghasilkan limbah nitrogen (TN) dan phosfor (TP) masing masing sebesar kg N/0.375 ha/mt atau kg N/ha/MT dan kg P/0.375 ha/mt atau kg P/ha/MT. Luas tambak udang intensif (16 ekor/m ) yang terdapat di Kecamatan Mangara Bombang seluas 7.0 ha, sehingga diperoleh total limbah nitrogen (TN) tambak udang intensif (16 ekor/m )

55 sebesar kg N atau ton N dan total limbah phosfor (TP) diperoleh sebesar kg P atau 8.83 ton P. Budidaya tambak udang intensif (50 ekor/m ) menghasilkan limbah nitrogen (TN) dan phosfor (TP) masing masing sebesar kg N/0.4 ha/mt atau 3.4 kg N/ha/MT dan dan kg P/0.4 ha/mt atau 91.8 kg P/ha/MT. Luas tambak udang intensif (50 eko/m ) yang terdapat di wilayah pesisir Kecamatan Mangara Bombang seluas 8.78 ha, sehingga diperoleh total limbah nitrogen (TN) tambak udang intensif (50 ekor/m ) sebesar 89.7 kg N atau.83 ton N dan total limbah phosfor (TP) diperoleh sebesar kg P atau 0.80 ton P. Budidaya tambak udang semi intensif (5 ekor/m ) dapat menghasilkan limbah nitrogen (TN) dan phosfor (TP) masing - masing sebesar 70.5 kg N/0.5 ha/mt atau kg N/ha/MT dan kg P/0.5 ha/mt atau 30.6 kg P/ha/MT. Budidaya tambak udang tradisional plus (8 ekor/m ) dapat menghasilkan limbah nitrogen (TN) dan phosfor (TP) masing masing sebesar 58.4 kg N/ha/MT dan 1.70 kg P/ha/MT. Tabel 33. Pendugaan beban limbah N dan P dari budidaya tambak udang Luas Tambak Padat Tebar Total N (TNtu) Total P (TP tu ) udang intensif (ha) (ekor/m ) (ton) (ton) Total limbah N dan P Tambak Udang Sumber: Hasil analisis (008) Beban limbah nitrogen (TN) dan phosfor (TP) dari kegiatan budidaya tambak udang dalam penelitian ini (FCR 1.47) lebih tinggi dibandingkan yang dilaporkan oleh Boyd (1999) yaitu untuk memproduksi 1 ton udang pada FCR 1.5 akan dihasilkan limbah nitrogen (TN) antara kg N dan phosphor (TP) antara kg P dan akan meningkat seiring dengan meningkatkan produktivitas udang dan meningkatnya FCR (Teicher-Coddington et al. 1996). Hasil studi Briggs dan Funge-Smith (1994), memperoleh beban limbah TN dari budidaya tambak udang di Thailand mencapai 10.3 kg N/ton produksi udang.

56 Rachmansyah et al (005) mendapatkan beban limbah nitrogen (TN) dan phosfor (TP) dari budidaya tambak intensif sebesar 74.5 kg N/ha dan kg P/ha. Selanjutnya, Deb (1998) juga melaporkan bahwa loading nitrogen (TN) dari tambak intensif di Bangladesh dapat mencapai 565 kg N, dimana diperkirakan sekitar 3 % (130 kg N) menjadi nitrogen inorganik yang terlarut dalam buangan air, sisanya tertinggal dalam bentuk partikel dalam sedimen yang akan dibuang pada setiap akhir pemeliharaan, sedangkan total limbah phosphor (TP) diperkirakan mencapai 70 kg P, dimana 57 % dalam bentuk terlarut inorganik. Jumlah buangan nitrogen dari tambak udang komersial akan meningkat seiring dengan meningkatnya feeding rate dan level protein pakan (Teichert- Coddington et al. 1996). Produksi limbah nitrogen (TN) dan phosphor (TP) dari budidaya udang ditentukan oleh nilai FCR, kandungan protein, dan kadar air pakan (Green et al. 1997; Boyd 1999). Kibria et al. (1996) mendapatkan hubungan yang linier antara laju kehilangan phosphor dengan FCR, dimana kehilangan phosphor per ton pakan dengan nilai FCR 1.0, 1.5 dan.0 masing masing adalah 13.43, 0.14 dan 6.86 kg P/ton pakan Kuantifikasi Limbah Selain Tambak Udang/antropogenik (Ekstenal Loading) Pendugaan beban limbah nitrogen (TN sbtu ) dan phosfor (TP sbtu ) dari kegiatan selain tambak udang/antropogenik (external loading) mengacu pada metoda yang dikembangkan oleh Land Ocean Interaction in the Coastal Zone (LOICZ) Project (McGlone, /MNODE / Methods/powerpoint/ppt.htm). Hasil pengamatan yang dilakukan selama penelitian terhadap sumber limbah yang terkait dengan kegiatan manusia di sekitar wilayah pesisir Kecamatan Mangara Bombang. Aktivitas yang cukup penting yang memberikan kontribusi beban limbah adalah rumah tangga, peternakan, dan pertanian. Hasil penelitian Kesaulija (1989) memperoleh tingkat erosi lahan sawah dan tegalan masing masing 3.56 ton/ha/th dan ton/ha/th. Penghitungan total limbah nitrogen (TN) dan phosfor (TP) masing masing buangan limbah merupakan hasil perkalian antara level kegiatan dan

57 koefisien limbah. Limbah yang berasal dari kegiatan selain tambak udang dapat dilihat pada Tabel 34. Tabel 34. Sumber limbah yang berasal dari kegiatan selain tambak udang/antropogenik (external loading) di sekitar wilayah pesisir Kecamatan Mangara Bombang No Aktivitas Level Kegiatan 1. Rumah Tangga orang. Peternakan a. Sapi/kerbau/kuda b. Kambing c. Ayam 3345 ekor 539 ekor ekor 3. Perikanan budidaya (Hatchery) 5 juta ekor 4. Erosi lahan pertanian a. Sawah b. Tegalan Sumber: ha ha Kabupaten Takalar dalam Angka (007); BPN Propinsi Sulawesi Selatan (008); Hasil analisis SIG (008).

58 Tabel 35.Pendugaan beban limbah selain tambak udang/antropogenik (external loading) di wilayah pesisir Kecamatan Mangara Bombang Kegiatan selain Koefisien Limbah Pustaka Level Total N(kg/th) Total P(kg/th) DIN DIP tambak udang (KL) Kegiatan(LK) (LK x KL) (LK x KL) (mol /th) (mol/th) Rumah Tangga a. Limbah padat 1.86 kgn/org/th 1 7) org kgp/org/th 7) org b. Sampah 4 kgn/org/th org 7) kgp/org/th 3 7) org kgp/org/th 3 7) org c. Detergen Peternakan a. Sapi/kerbau/kuda b. Kambing c. Ayam Akuakultur Hatchery 43.8 kgn/ekor/th 113 kgp/ekor/th 4 kgn/ekor/th 1.5 kgp/ekor/th 0.3 kgn/ekor/th 0.7 kgp/ekor/th.1 kgn/jt ekor/th 0.05 kgn/jt ekor/th ekor 3345 ekor 539 ekor 539 ekor ekor ekor 7) 5 juta ekor 7) 5 juta ekor 7) 7) 7) 7) 7) 7) Pertanian Erosi lahan 1.68 kg N/ton 8) pertanian 0.04 kg P/ton 8) Jumlah Sumber : 1) Sogreah (1974); ) Padilla et al. (1997); 3) World Bank (1993); 4) WHO (1993); 5)Valiela et al. (1997); 6) Rachmansyah (003); 7) Kecamatan Mangara Bombang dalam angka (007); 8) Kesaulija (1988)

59 Tabel 35 di atas menunjukkan bahwa jumlah total beban limbah nitrogen (TN organik) yang dihasilkan dari kegiatan selain budidaya tambak udang/antropogenik di sekitar wilayah pesisir Kecamatan Mangara Bombang pada saat ini sebesar kg N/th atau mol/th (Dissolved Inorganic Nitrogen-DIN) dan jumlah total beban limbah phosphor (TP organik) sebesar kg P/th atau mol/th (Dissolved Inorganic Phosphate- DIP). Jumlah beban limbah nitrogen (TN organik) dan phosphor (TP organik) terbesar bersumber dari kegiatan pertanian sebesar kg N/th atau mol/th (Dissolved Inorganic Nitrogen-DIN) dan kg P/th atau 5.48 mol/th (Dissolved Inorganic Phosphate-DIP). Kemudian dari kegiatan peternakan sebesar kg N/th atau mol/th (Dissolved Inorganic Nitrogen-DIN) dan kg P/th atau mol/th (Dissolved Inorganic Phosphate-DIP). Selanjutnya yang bersumber dari pemukiman sebesar kg N/th atau mol/th (Dissolved Inorganic Nitrogen-DIN) dan kg P/th atau 338 mol/th (Dissolved Inorganic Phosphate-DIP). Sedangkan kontribusi terkecil bersumber dari kegiatan perikanan (hatchery) sebesar kg N/th atau 0.78 mol/th (Dissolved Inorganic Nitrogen-DIN) dan 3 kg P/th atau 0.01 mol/th (Dissolved Inorganic Phosphate-DIP) Kualitas Sedimen Tambak Udang dan Substrat Tanah Dasar Perairan Kualitas Sedimen Tambak Udang Sedimen (sludge) memegang peranan yang penting dalam keseimbangan budidaya tambak udang karena befungsi sebagai buffer terhadap konsentrasi nutrien air tambak udang (Chien et al. 1988). Avnimelech et al (1984) mengatakan bahwa lapisan sedimen tambak udang dari permukaan sampai beberapa sentimeter mengandung nutrien yang lebih tinggi dibandingkan di kolom air didalamnya. Sedimen yang mengendap di dasar tambak ini akan terbuang keluar bersamaan dengan pengeluaran air tambak pada saat pergantian air dan sebagian besar terbuang pada saat panen. Sedimen yang terbuang ini berpotensi mencemari lingkungan perairan pesisir. Sedimen tambak udang yang dihasilkan selama pemeliharaan dapat dilihat pada Gambar 45.

60 Gambar 45. Sedimen tambak udang intensif di wilayah pesisir Kecamatan Mangara Bombang (Hasil pengamatan lapangan 008) Hasil analisis sedimen tambak udang intensif (16 ekor/m ) pada akhir pemeliharaan diperoleh kandungan bahan organik antara % (7.89 ± 5.15), kandungan Nitrogen (N-total) sebesar % (0.11 ± 0.05) dan kandungan Phosfor (P-total) sebesar % (.4 ± 0.11). Kualitas sedimen udang intensif (16 ekor/m) dapat dilihat pada Tabel 36. Tabel 36. Kualitas sedimen tambak udang intensif (16 ekor/m ) Parameter Nilai Nilai yang direkomendasikan*) BO (C- organik) % (7.89 ± 5.15) 4 0 % (%) N-total (%) % (0.11 ± P-total (%) % (.4 ± 0.11) - Sumber: Hasil analisis laboratorium tanah Balai Riset Perikanan Budidaya Air Payau Maros (008) dan Stasiun Kualitas Tanah Maros (008) Ket : *) Poernomo (199); Widigdo (00); Taslihan A et al. (003) Sedangkan hasil analisis sedimen tambak udang intensif (50 ekor/m ) diperoleh kandungan bahan organik pada 30 hari pemeliharaan (1 bulan) sebesar % (7.78 ± 0.44), pada 60 hari pemeliharaan ( bulan) sebesar % (10.71±1.7), pada 90 hari pemeliharaan (3 bulan) sebesar % (9.50 ±.44), dan lebih dari 90 hari pemeliharaan (memasuki bulan ke- 4) sampai menjelang panen sebesar % (10.00 ± 1.34). Kandungan

61 Phosfor (P-total) pada 30 hari pemeliharaan (1 bulan) sebesar % (1.71 ± 0.44), pada 60 hari pemeliharaan ( bulan) sebesar % (.05 ± 0.14), pada umur 90 hari pemeliharaan (3 bulan) sebesar (1.8 ± 0.37), dan lebih dari 90 hari pemeliharaan (memasuki bulan ke-4) sampai menjelang panen sebesar % (.4 ±.95). Kandungan Nitrogen (N-total) pada 30 hari pemeliharaan (1 bulan) sebesar % (0.76 ± 0.33), pada 60 hari pemeliharaan ( bulan) sebesar % (0.61 ± 0.03), pada 90 hari pemeliharaan (3 bulan) sebesar % (1.09 ± 0.13), dan lebih dari 90 hari pemeliharaan (memasuki bulan ke-4) sampai menjelang panen sebesar % (1.59 ± 0.13). Laju sedimen tambak udang pada 30 hari pemeliharaan (1 bulan) sebesar g/m /hari (8.09± 3.97), pada 60 hari pemeliharaan ( bulan) sebesar g/m /hari (17.06 ±3.04), pada 90 hari pemeliharaan (3 bulan) sebesar g/m /hari (74.73 ±15.39), dan lebih dari 90 hari pemeliharaan (memasuki bulan ke-4) sampai menjelang panen sebesar g/m /hari ( ± 48.01).Kualitas sedimen tambak udang intensif dapat dilihat pada Tabel 37,38,39,dan 40. Tabel 37. Kualitas sedimen tambak udang intensif (50 ekor/m ) (30 hari pemeliharan) Parameter Nilai Nilai yang direkomendasikan*) BO (C- organik) % (7.78 ± 0.44) 4 0 % (%) N-total (%) % (0.76 ± 0.33) P-total (%) % (1.71 ± 0.44) - Laju sedimentasi g/m /hari - (g/m /hari) (8.09 ± 3.97) Sumber: Hasil analisis laboratorium tanah Balai Riset Perikanan Budidaya Air Payau Maros (008) dan Stasiun Kualitas Tanah Maros (008) Ket : *) Poernomo (199); Widigdo (00); Taslihan A et al. (003)

62 Tabel 38. Kualitas sedimen tambak udang intensif (50 ekor/m ) (60 hari pemeliharan) Parameter Nilai Nilai yang direkomendasikan*) BO (C- organik) % (10.71 ± 1.7) 4 0 % (%) N-total (%) % (0.61 ± 0.03) P-total (%) % (.05 ± 0.14) - Laju sedimentasi g/m /hari - (g/m /hari) (17.06±3.04) Sumber :Hasil analisis laboratorium tanah Balai Riset Perikanan Budidaya Air Payau Maros (008) dan Stasiun Kualitas Tanah Maros (008) Ket : *) Poernomo (199); Widigdo (00); Taslihan A et al. (003) Tabel 39. Kualitas sedimen tambak udang intensif (50 ekor/m ) (90 hari pemeliharan) Parameter Nilai Nilai yang direkomendasikan*) BO (C- organik) % (9.50 ±.44) 4 0 % (%) N-total (%) % (1.09 ± 0.13) P-total (%) (1.8 ± 0.37) - Laju sedimentasi g/m /hari - (g/m /hari) (74.73±15.39) Sumber: Hasil analisis laboratorium tanah Balai Riset Perikanan Budidaya Air Payau Maros (008) dan Stasiun Kualitas Tanah Maros (008) Ket : *) Poernomo (199) ; Widigdo (00); Taslihan A et al. (003) Tabel 40. Kualitas sedimen tambak udang intensif (50 ekor/m ) (>90 hari pemeliharan) Parameter Nilai Nilai yang direkomendasikan*) BO (C- organik) % (10.00 ± 1.34) 4 0 % (%) N-total (%) % (1.59 ± 0.13) P-total (%) % (.4 ±.95) - Laju sedimentasi g/m /hari - (g/m /hari) ( ± 48.01) Sumber: Hasil analisis laboratorium tanah Balai Riset Perikanan Budidaya Air Payau Maros (008) dan Stasiun Kualitas Tanah Maros (008) Ket : *) Poernomo (199); Widigdo (00); Taslihan A et al. (003) Berdasarkan hasil analisis di atas menunjukkan rata rata kandungan bahan organik sedimen tambak udang intensif (16 ekor/m ) tergolong tinggi, begitu pula pada tambak udang intensif (50 ekor/m ) yang kandungan bahan organik sedimennya juga mengalami peningkatan sampai akhir pemeliharaan.

63 Walaupun terjadi peningkatan bahan organik dalam sedimen tambak udang, akan tetapi kandungan bahan organik tersebut masih dalam batas yang diperkenankan untuk budidaya udang yaitu 4 0 % (Poernomo 199; Widigdo 00). Pola kandungan N organik sedimen tambak udang intensif (50 ekor/m ), pada awal pemeliharaan masih rendah, kemudian pada bulan kedua naik lagi (tertinggi) lalu menurun pada bulan ketiga dan meningkat kembali pada bulan keempat. Sedangkan untuk kandungan N organik sedimen tambak udang intensif (16 ekor/m ) sampai akhir pemeliharaan juga cukup tinggi. Kandungan N organik sedimen tambak dalam penelitian ini lebih tinggi dari hasil penelitian Riyadi et al. (008) yang menemukan nilai N-organik sedimen tambak udang pada saat pengeringan tambak sebesar 0.10 %, kemudian 0.1 % saat penebaran benih udang, pada umur 30 hari kandungan N-organik sedimen mencapai 0.15 %, kemudian 0.19 % pada umur 60 hari dan 0.0 % pada saat udang berumur 90 hari. Selanjutnya hasil penelitian Martin et al. (1998) menemukan lebih dari 38 % dari total input nitrogen terakumulasi di sedimen dasar tambak. Kandungan phosfor sedimen tambak udang intensif (50 ekor/m ) juga cenderung mengalami peningkatan seiring dengan bertambahnya umur pemeliharaan, begitu pula dengan kandungan phospor sedimen tambak udang intensif (16 ekor/m ) yang juga cukup tinggi sampai akhir pemeliharaan. Hal ini menunjukkan bahwa phosfor dari pakan udang yang diberikan selama budidaya terakumulasi di sedimen tambak udang intensif (Paez-Osuna et al.1999). Hasil penelitian Rachmansyah et al. (005) memperoleh input phosfor dalam tambak udang vannamei terdiri atas ± 0.4 % dari pakan, 7.73 ± 0.19 % pupuk, 4.05 ± 0.5 % inflow dan media probiotik <1 %. Sementara komposisi output phosfor didominasi oleh lumpur ± 6.59 %, kemudian udang yang dipanen 15.±0.85 % dan outflow 3.09 ± 0.6 %. Jumlah phosfor yang tidak terhitung tidak akan dapat terdeteksi secara analitik jika tergabung ke dalam lumpur (Boyd 1995). Mekanisme hilangnya P di tambak akibatkan oleh afinitas lumpur yang kuat untuk mengikat fosfor tersebut atau melalui proses denitrifikasi di dalam sedimen tambak (Shrestha dan Lin 1996; Lin et al. 1997; Teichert-Coddington et al. 1997).

64 Laju sedimen dalam tambak udang juga mengalami peningkatan mulai hari ke-30 sampai akhir pemeliharaan.laju sedimen tambak udang yang diperoleh pada penelitian ini lebih rendah dibandingkan dengan hasil penelitian yang dilaporkan oleh Fahrur dan Yulianingsih (006) yang mendapatkan laju sedimen dalam tambak udang intensif vannamei kepadatan 54 ekor/m yaitu berkisar antara g/m /hari, kepadatan 58 ekor/m berkisar antara g/m /hari dan kepadatan 104 ekor/m diperoleh laju sedimen tambak udang berkisar antara g/m /hari. Clifford (1998) menyatakan bahwa pada tambak intensif akan dihasilkan sedimen organik sebesar 0.8 kg bahan kering/m /hari. Laju sedimentasi di dalam tambak selama 100 pemeliharaan udang vannamei dengan perlakuan jumlah kincir berbeda mencapai (33.71 ± 03.0)gr bahan kering/m /hari (Rachmansyah et al. 005). Selanjutnya Lemonnier dan Brizard (001) juga melaporkan bahwa rata-rata laju sedimen tambak udang musiman sekitar 00 ton/ha dengan ketebalan lapisan atas/permukaan sedimen berkisar g/ml, dengan bagian dasar tambak udang yang tertutupi oleh sedimen yang baru terdeposit berkisar 5 36 % dari bagian tambak udang. Peningkatan laju sedimen dalam tambak udang dipegaruhi oleh kecepatan arus air, semakin rendah kecepatan arus air (cm/detik) maka laju sedimen dalam tambak udang semakin tinggi terutama pada bagian tengah tambak udang. Wyban dan Sweeny (1991) melaporkan, pada kecepatan arus 3 cm/detik diperoleh laju sedimentasi sebesar 30 g/m /hari, kecepatan arus 10 cm/detik diperoleh laju sedimentasi sebesar 180 g/m /hari dan pada kecepatan arus cm/detik diperoleh laju sedimentasi sebesar 10 g/m /hari. Lebih lanjut dikatakan bahwa sedimen dalam tambak udang mulai terlihat pada minggu ke-5 saat siklus pemeliharaan udang dan pada saat sedimen yang terakumulasi cukup banyak (sekitar 0 cm), maka sedimen dikeluarkan melalui central drain. Pakan buatan (pellet) merupakan faktor pengelolaan yang sangat berpengaruh nyata terhadap peningkatan ketebalan lumpur pada dasar tambak tambak udang intensif (Meagaung et al. 000). Lebih lanjut dikatakan bahwa pakan buatan sangat potensial menyebabkan akumulasi bahan organik pada tanah

65 dasar tambak udang intensif, karena terlihat dari jenis rantai karbon yang dimiliki pakan buatan (C 9 - C 9 ) mendekati jenis rantai karbon sedimen tambak udang intensif pasca panen (C 10 C 8 ). Sumber akumulasi sedimen di dalam tambak udang berasal dari pakan yang tidak termakan, feses, plankton/diatom yang mati dan membusuk, erosi tanah tambak dan jasad renik merupakan bagian dari sedimen (Hopkins et al. 1994). Lin dan Nash (1996) melakukan estimasi bahwa sekitar 6 % nitrogen dan 4 % phosfor dari pakan yang diberikan selama budidaya terakumulasi di sedimen tambak udang intensif. Sementara Funge-Smith dan Briggs (1998) mendapatkan sedimen yang terakumulasi di dasar tambak udang mengandung 4 % nitrogen dari pakan dan 84 % phosfor. Selanjutnya Wu (1995) melaporkan bahwa sekitar 1 % N, 53 % P, dan 3 % C pakan yang masuk dalam sistem budidaya akan terakumulasi di dasar sebagai sedimen. Penggunaan pakan yang berkualitas dan penggunaan probotik sangat membantu mengurangi tingginya kandungan bahan organik dalam tambak. Pakan yang berkualitas serta pengelolaan pakan yang baik (tepat ukuran dan waktu pemberian pakan) akan mengurangi jumlah pakan tidak termakan sehingga pakan yang mengendap di dasar tambak akan semakin sedikit. Pengalaman perikanan budidaya periode tahun , dimana telah dilakukan perbaikan kualitas pakan dan rasionalisasi kebutuhan N dan P pakan yaitu dengan menurunkan kandungan N pakan dari 7.8 % menjadi 6.8 % dan kandungan P pakan dari 1.7 % menjadi 0.7 %. Perbaikan kualitas pakan ini akhirnya dapat menurunkan konversi pakan dari.08 menjadi 1.5 dan limbah yang dihasilkan dari 13 kg N dan 31 kg P/ton produksi menjadi 55 kg N dan 4.8 kg P/ton produksi (Enell 1995). Pengunaan probiotik dapat menurunkan senyawa metabolit toksit (amoniak, nitrit, dan H S), memperbaiki atau mempertahankan kualitas air dan dasar tambak, membantu menstabilkan air tambak (mempercepat pembentukan warna air/plankton serta menjaga kestabilan plankton), mengurangi pencemaran organik, menurunkan atau menekan keberadaan bakteri yang merugikan seperti vibrio, serta meningkatkan efisiensi produksi tambak udang (Sutanto et al. 00; Pitoyo 00).

66 5.5.. Kualitas Substrat Tanah Dasar Perairan Hasil analisis kualitas dan komposisi tekstur tanah dasar perairan pesisir dapat dilihat pada Tabel 41 dan 4. Tabel 41. Kualitas substrat tanah dasar perairan pesisir di Kecamatan Mangara Bombang Parameter Nilai Nilai yang direkomendasikan*) BO (C- organik) % (0.94 ± 0.80) 4 0 % (%) N-Total (%) % (0.09 ± 0.06) P O 5 (Bray II) mg/l mg/l ( ± 100.0). Sumber: Hasil analisis laboratorium tanah Balai Riset Perikanan Budidaya Air Payau Maros (008) dan Stasiun Kualitas Tanah Maros (008) Ket : *) Poernomo (1991) ; Widigdo (00); Taslihan A et al. (003) Tabel 4. Komposisi tekstur substrat tanah dasar perairan pesisir Kecamatan Mangara Bombang Parameter Nilai Kelas Tekstur Liat % (1.67 ± 1.85) Pasir Sumber: Debu % (14.56 ± 14.88) Pasir % (83.78 ± 16.36), Lempung berpasir Pasir berlempung Hasil analisis laboratorium tanah Balai Riset Perikanan Budidaya Air Payau Maros (008) dan Stasiun Kualitas Tanah Maros (008) Kandungan C-organik substrat tanah dasar perairan di Kecamatan Mangara Bombang berkisar antara % (0.94 ± 0.80), nitrogen (N-Total) berkisar antara % (0.09 ± 0.06) dan, kandungan phosfor masing masing untuk P O 5 berkisar antara mg/l ( ± 100.0). Hasil analisis komposisi tekstur substrat tanah dasar perairan pesisir diperoleh persentase partikel substrat tanah yang tertinggi yaitu pasir sebesar % (83.78 ± 16.36), kemudian partikel debu sebesar % (14.56 ± 14.88), dan liat sebesar ,00 % (1.67 ± 1.85). Berdasarkan komposisi tekstur ini, maka kelas tekstur substrat tanah dasar perairan pesisir Kecamatan Mangara Bombang terdiri dari pasir, lempung berpasir, dan pasir berlempung. Pada Tabel 41 dan 4 bahwa kandungan bahan organik substrat tanah dasar perairan pesisir Kecamatan Mangara Bombang tergolong rendah dan masih berada dalam kisaran yang diperkenankan yaitu 4 0 % (Poernomo 199; Widigdo 00; Taslihan et al. 003). Hal ini menunjukkan bahwa partikel organik

67 yang berasal dari limbah tambak dan lahan atas tidak banyak menutupi lapisan permukaan sedimen akibat adanya gerakan massa air terus menerus sehingga yang mengendap jumlahnya sedikit (sebagian besar partikel organik limbah tetap berada dalam bentuk tersuspensi). Nyabakken (199) menyatakan bahwa pantai dengan substrat dominan pasir dengan arus yang kuat cenderung mempunyai kandungan bahan organik yang lebih rendah jika dibandingkan dengan perairan yang bersubstrat lumpur yang disebabkan perairan yang bersubstrat pasir tidak mempunyai kemampuan mengikat dan mengakumulasi partikel organik yang ada Daya Dukung Lingkungan Perairan Pesisir Pendugaaan daya dukung lingkungan di wilayah pesisir Kecamatan Mangara Bombang untuk pengembangan budidaya tambak udang menggunakan 3 (tiga) metode pendekatan sebagai berikut : Metode 1. Pendekatan daya dukung lingkungan berdasarkan volume total air laut penerima limbah (V tot ) dan laju penurunan limbah organik tambak udang Volume total air laut yang tersedia di perairan pesisir (V tot ) Kecamatan Mangara Bombang untuk mengencerkan limbah sebesar m 3 dan nilai laju penurunan limbah organik tambak udang sebesar mg/l/hari (Sitorus 004), sehingga jumlah limbah organik maksimum yang dapat ditampung oleh perairan pesisir Kecamatan Mangara Bombang sebesar ton/hari. Beban limbah organik dalam bentuk TSS yang dihasilkan dari tambak udang intensif (16 ekor/m ) sebesar ton/ha, tambak udang intensif (50 ekor/m ) sebesar ton/ha, tambak udang semi intensif (5 ekor/m ) sebesar ton/ha, dan tambak udang tradisional plus (8 ekor/m ) sebesar ton/ha. Daya dukung lingkungan berdasarkan volume total air laut penerima limbah dan laju penurunan limbah organik tambak udang dapat dilihat pada Tabel 43. Tabel 43. Daya dukung lingkungan berdasarkan volume total air laut penerima limbah (V tot ) dan laju penurunan limbah organik tambak udang

68 Tekonologi Budidaya Tambak Udang Jumlah buangan limbah organik (ton/ha) Daya tampung limbah organik perairan pesisir (ton/hari) Luas tambak udang sesuai dengan daya dukung lingkungan (ha)*) Daya dukung produksi (ton)*) Intensif (16 ekor/m ) Intensif (50 ekor/m ) Semi intensif (5 ekor/m ) Tradisional plus (8 ekor/m ) Sumber: Hasil analisis (008) Keterangan :*) Dominan dipengaruhi oleh beban limbah organik dalam bentuk TSS dan laju penurunan limbah organik tambak udang Tabel 43 di atas dapat dijelaskan bahwa luas tambak udang yang dapat dikembangkan sesuai dengan daya dukung lingkungan, yaitu: (1) Jika hanya dikembangkan tambak udang intensif (16 ekor/m ) seluas ha dengan daya dukung produksi sebesar ton udang/mt; () Jika hanya dikembangkan tambak udang intensif (50 ekor/m ) seluas ha dengan daya dukung produksi sebesar ton udang/mt; (3) Jika hanya dikembangkan tambak udang semi intensif (5 ekor/m ) seluas ha dengan daya dukung produksi sebesar ton udang/mt; (4) Jika hanya dikembangkan tambak udang tradisional plus (8 ekor/m ) seluas.5 ha dengan daya dukung produksi sebesar ton udang/mt. Metoda. Pendekatan daya dukung lingkungan berdasarkan kapasitas ketersediaan oksigen terlarut dalam kolom air untuk menguraikan limbah organik Kapasitas ketersediaan oksigen terlarut dalam kolom air dihitung dengan mengacu pada modifikasi formula yang dikemukakan oleh Willoughby (1968 diacu dalam Meade 1989) dan Boyd (1990), yaitu selisih antara konsentrasi oksigen terlarut yang tersedia dalam kolom air perairan pesisir (O ka ) dengan

69 konsentrasi oksigen (O ) terlarut minimal yang dikehendaki oleh organisme budidaya (O aq ). Kandungan oksigen terlarut yang tersedia dalam kolom air akibat pasang surut digunakan untuk memenuhi kebutuhan oksigen terlarut minimal dalam sistem budidaya. Kandungan oksigen terlarut yang tersisa dikolom air, kemudian digunakan untuk menguraikan limbah organik yang berada di lingkungan perairan pesisir (Willoughby 1968 diacu dalam Meade 1989; Boyd 1990; Wedmeyer 1996). Hasil pengukuran kandungan oksigen terlarut peraian pesisir setiap jam selama 4 jam pada 5 (lima) stasiun pengukuran sebagai berikut: pada stasiun D nilai rata rata kandungan oksigen terlarut sebesar 6.13 mg/l, dimana kandungan oksigen terlarut maksimum diperoleh pada pukul WITA dan oksigen terlarut minimum diperoleh pada pukul.00 WITA. Pada stasiun D, nilai rata rata kandungan oksigen terlarut diperairan pesisir selama 4 jam sebesar 6.99 mg/l, dimana kandungan oksigen terlarut maksimum diperoleh pada pukul 1.00 WITA dan oksigen terlarut minimum diperoleh pada pukul WITA. Pada stasiun D 3, nilai rata rata kandungan oksigen terlarut diperairan pesisir selama 4 jam sebesar 6.55 mg/l, dimana kandungan oksigen terlarut maksimum diperoleh pada pukul 1.00 WITA dan oksigen terlarut minimum diperoleh pada pukul 3.00 WITA. Pada stasiun D 4, nilai rata rata kandungan oksigen terlarut diperairan pesisir selama 4 jam sebesar 6.51 mg/l, dimana kandungan oksigen terlarut maksimum diperoleh pada pukul WITA dan oksigen terlarut minimum diperoleh pada pukul WITA. Pada stasiun D 5, nilai rata rata kandungan okigen terlarut diperairan pesisir selama 4 jam sebesar 6.64 mg/l, dimana kandungan oksigen terlarut maksimum diperoleh pada pukul WITA dan oksigen terlarut minimum diperoleh pada pukul 3.00 WITA. Nilai rata rata kandungan oksigen terlarut pada kelima stasiun pengukuran (D 1, D,D 3,D 4 dan D 5 ) sebesar 6.56 mg/l (O kolom air ). 1 Tabel 44. Kandungan oksigen terlarut di perairan pesisir Kacamatan Mangara Bombang per jam selama 4 jam pada 5 (lima) stasiun pengukuran

70 Waktu Stasiun Pengukuran Pengukuran D 1 D D3 D4 D5 Rata-rata (jam) (mg/l) (mg/l) (mg/l) ( mg/l) (mg/l) (mg/l) WITA WITA WITA WITA WITA WITA WITA WITA WITA WITA WITA WITA WITA WITA WITA WITA WITA WITA WITA WITA WITA WITA WITA WITA WITA Rataan Maks Min Stdv Sumber : Hasil pengukuran lapangan (008) Grafik kandungan oksigen di perairan pesisir Kecamatan Mangara Bombang dapat dilihat pada Gambar 46. Konsentrasi Oksigen Terlarut (mg/l) WITA WITA WITA WITA 0.00 WITA 1.00 WITA.00 WITA 3.00 WITA WITA WITA 0.00 WITA WITA WITA WITA WITA WITA WITA WITA WITA WITA 1.00 WITA WITA WITA WITA WITA Waktu pengukuran (jam) St D1 St D St D3 St D4 St D5 Rata - rata Gambar 46. Kandungan oksigen terlarut (DO) perairan pesisir Kecamatan Mangara Bombang pada 5 stasiun pengukuran (D 1,D,D 3,D 4,D 5 ) (hasil pengukuran per jam selama 4 jam)

71 Hasil penelitian Widigdo (00), Soewardi (00); Poernomo (199), Boyd (1989), Wedemeyer (1996); Rachmansyah et al. (005) menyimpulkan bahwa kadar minimum oksigen terlarut untuk budidaya udang sebesar 3 mg/l (O aq ), sehingga selisih antara oksigen terlarut yang tersedia di kolom air perairan pesisir (O ka ) dengan oksigen terlarut minimum yang dibutuhkan oleh organisme budidaya (O aq ) sebesar 3.56 mg/l. Volume total air yang tersedia di perairan pesisir (V tot ) Kecamatan Mangara Bombang sebesar m 3 dan flushing time (FT).78 hari ( dibulatkan.8 hari) Berdasarkan nilai oksigen minimum yang dibutuhkan udang (Oaq) dan rata rata oksigen terlarut hasil pengukuran selama 4 jam pada 5 stasiun (D 1,D,D 3,D 4, dan D 5 ),volume total air yang tersedia (V tot ) serta flushing time (FT) diperoleh nilai kapasitas ketersediaan oksigen terlarut dalam kolom air sebesar m 3 /.78 x 3.56 mg/l = kg O /hari. Jumlah atau kadar oksigen terlarut yang dibutuhkan untuk menguraikan beban limbah limbah organik yang masuk dan berada diperairan pesisir adalah 0. kg O /kg limbah organik (Willioghby, 1968 diacu dalam Meade 1989), sehingga kemampuan perairan pesisir Kecamatan Mangara Bombang untuk menampung limbah organik sebesar kgo /0. = kg limbah organik/hari. Hasil analisis diperoleh jumlah limbah organik dalam bentuk TSS tambak udang intensif (16 ekor/m ) yang dibuang ke perairan pesisir Kecamatan Mangara Bombang per satuan luas (ha) sebesar kg TSS/ha/MT, tambak udang intensif (50 ekor/m ) sebesar kg TSS/ha/MT, tambak udang semi intensif (5 ekor/m ) sebesar kg TSS/ha/MT, dan tambak udang tradisional plus (8 ekor/m ) sebesar kg TSS/ha/MT. Daya dukung lingkungan berdasarkan ketersediaan oksigen terlarut dalam kolom air dapat dilihat pada Tabel 45.

72 Tabel 45. Daya dukung lingkungan berdasarkan kapasitas ketersediaan oksigen terlarut dalam kolom air untuk menguraikan limbah organik Teknologi budidaya tambak udang Jumlah buangan limbah organik (kg/ha/mt) Daya tampung limbah organik perairan pesisir Luas tambak udang sesuai daya dukung lingkungan(ha) *) Daya dukung produksi (ton/mt) *) Intensif (16 ekor/m ) Intensif (50 ekor/m ) Semi intensif (5 ekor/m ) Tradisional plus (kg/hari) (8 ekor/m ) Sumber : Hasil analisis (008) Keterangan :*) Dominan dipengaruhi oleh beban limbah organik dalam bentuk TSS dan ketersediaan oksigen terlarut perairan pesisir Tabel 45 di atas dapat dijelaskan bahwa luas tambak udang yang dapat dikembangkan sesuai dengan daya dukung lingkungan, yaitu: (1) Jika hanya dikembangkan tambak udang intensif (16 ekor/m ) seluas ha dengan daya dukung produksi sebesar ton udang/mt; () Jika hanya dikembangkan tambak udang intensif (50 ekor/m ) seluas ha dengan daya dukung produksi sebesar ton udang/mt; (3) Jika hanya dikembangkan tambak udang semi intensif (5 ekor/m ) seluas ha dengan daya dukung produksi sebesar 88.4 ton udang/mt; (4) Jika hanya dikembangkan tambak udang tradisional plus (8 ekor/m ) seluas ha dengan daya dukung produksi sebesar ton udang/mt. Metoda 3. Pendugaan daya dukung lingkungan berdasarkan kapasitas asimilasi perairan terhadap beban limbah N dan P Pendugaan daya dukung lingkungan melalui kapasitas asimilasi perairan terhadap beban limbah N dan P, didasarkan pada kelayakan kualitas air yang diperkenankan untuk kegiatan budidaya tambak. Kelayakan kualitas air yang

73 diperkenankan untuk budidaya tambak udang yaitu untuk nitrogen (TN) sebesar 1.0 mg/l dan untuk phosfor (TP) sebesar 0.5 mg/l (Poernomo 199; Wedmeyer 1996; Boyd 1989; Widigdo 00). Beban limbah N ambien (TN amb ) dan limbah P ambien (TP amb ) di perairan pesisir Hasil pengukuran kualitas air menunjukkan bahwa konsentrasi total nitrogen (TN) dan phosfor (TP) yang berada diperairan pesisir baik pada musim kemarau dan musim hujan rata-rata sebesar 0,1306 mg/l dan 0,051 mg/l. Berdasarkan hasil pengukuran ini, maka total limbah nitrogen ambien (TN amb ) dan limbah phosfor ambien (TP amb ) yang berada di perairan pesisir Kecamatan Mangara Bombang sebesar ton N dan 6.61 ton P. Beban limbah dan konsentrasi N dan P serta kapasitas asimilasi perairan terhadap limbah nitrogen (TN) dan phosfor (TP) dapat dilihat pada Tabel 46 dan 47 di bawah ini : CTN Tabel 46. Beban limbah dan konsentrasi nitrogen (TN) dan phosfor (TP) di perairan pesisir Kecamatan Mangara Bombang L A ST TU Total V tot (Ton) (Ton) (Ton) Limbah (m 3 ) dan CTP (Ton) (mg/l) (1) () (3) (4) (5 = ) (6) (7= 5/6*10 6 ) N P Sumber: Hasil analisis (008) Ket: L = Limbah; A = Ambien; ST = Selain tambak udang; TU = Tambak udang;ctn = Konsentrasi total limbah N; CTP = Konsentrasi total limbah P; V tot = Volome total perairan pesisir Tabel 47. Pendugaan kapasitas asimilasi perairan pesisir Kecamatan Mangara Bombang terhadap nitrogen (TN) dan phosfor (TP) L CN kkb dan CP kkb (mg/l) TN kkb dan TPkkb (ton) KN kkb dan KPkkb (ton) TL (ton) Kapasitas produksi tambak udang setelah ada beban limbah N dan P (ton) KPN dan (KPP) (ton) N *) P *)

74 Konsentrasi limbah diperkenankan : Beban limbah masih ditolerir : Kosentrasi N (CN d ) = KN kkb CTN LN d = ton ton = 1.0 mg/l 0.46 mg/l = ton N = 0.54 mg/l Konsentrasi P (CP d ) = KP kkb CTP LP d = ton ton = 0.5 mg/l 0.13 mg/l = ton P = 0.37 mg/l Sumber : Hasil analisis (008) Keterangan : *) setiap produksi 1 ton udang menghasilkan limbah kg N dan kg P (Hasil analisis 008); L = Limbah; TN kkb = Kapasitas asimilasi N sesuai dengan nilai kelayakan kualitas air untuk budidaya; TP kkb = Kapasitas asimilasi P sesuai dengan nilai kelayakan kualitas air untuk budidaya; TL = Total limbah nitrogen dan phosfor; KPN = Kapasitas produksi yang masih diperkenankan berdasarkan beban limbah nitrogen; KPP = Kapasitas produksi yang masih diperkenankan berdasarkan beban limbah phosfor. Hasil analisis menunjukkan bahwa kapasitas asimilasi nitrogen (TN) dan phosfor (TP) perairan pesisir Kecamatan Mangara Bombang berdasarkan nilai kelayakan kualitas air untuk budidaya masing masing sebesar ton N (1.0 mg/l) dan ton P (0.5 mg/l). Sedangkan total beban limbah nitrogen (TN) dan phosfor (TP) yang masuk ke lingkungan perairan pesisir baik yang berasal dari kegiatan budidaya tambak udang maupun selain budidaya tambak udang dapat mencapai ton N (0.46 mg/l) dan ton P (0.13 mg/l). Berdasarkan hal ini, maka beban limbah nitrogen (TN) dan phosfor (TP) yang masih diperkenankan masing masing sebesar ton N (kapasitas produksi yang masih diperkenankan sebesar ton udang) dan ton P (kapasitas produksi yang masih diperkenankan sebesar ton udang). Dari ketiga metode pendekatan daya dukung lingkungan di atas dapat disimpulkan bahwa limbah organik dari berbagai kegiatan di wilayah pesisir termasuk budidaya tambak udang dapat ditampung oleh perairan pesisir Kecamatan Mangara Bombang tanpa mengakibatkan perairan pesisir Kecamatan Mangara Bombang tercemar. Salah satu penyebab penurunan kualitas lingkungan perairan pesisir dari kegiatan budidaya tambak udang adalah 35 % dari total pakan yang diberikan yang akan menjadi limbah organik (Primavera dan Apud 1994).

75 Oleh karena itu, pendekatan daya dukung lingkungan untuk pengembangan budidaya tambak udang di wilayah pesisir Kecamatan Mangara Bombang didasarkan pada beban limbah organik. Kapasitas asimilasi perairan pesisir terhadap limbah organik dengan metode pendekatan (dua) sebesar kg limbah oganik/hari dianggap paling konservatif atau cukup aman (safe) dibandingkan dengan kapasitas asimilasi perairan pesisir terhadap limbah organik berdasarkan metode pendekatan metode 1 (satu) sebesar ton/hari. Sedangkan pada metode pendekatan 3 (tiga), kapasitas asimilasi limbah yang diperoleh lebih ditujukan sebagai batasan maksimum beban limbah yang diperkenankan dan hanya mengacu pada batasan maksimum yang diperkenankan baik untuk nitrogen (TN) maupun phosfor (TP). Berdasarkan hal di atas, maka dalam menentukan alokasi lahan optimal untuk pengembangan budidaya tambak udang (intensif, semi intensif dan tradisional plus) di wilayah Pesisir Kecamatan Mangara Bombang didasarkan pada kapasitas asimilasi perairan terhadap limbah organik sebesar kg /hari sebagai faktor pembatas daya dukung lingkungan Kombinasi Teknologi Budidaya Berdasarkan Daya Dukung Lingkungan Kombinasi luas tambak udang perteknologi budidaya didasarkan pada jumlah total limbah organik tambak udang yang dihasilkan (limbah selain tambak udang/antropogenik di abaikan) serta kapasitas produksi pada kondisi daya dukung lingkungan. Jumlah limbah organik maksimal pada batasan daya dukung lingkungan sebesar kg/hari, dengan kapasitas produksi yaitu :(1) tambak udang tradisional plus (8 ekor/m ) ton/mt; () tambak udang semi intensif (5 ekor/m ) 88.4 ton/mt; (3) tambak udang intensif (50 ekor/m ) ton/mt; dan (4) tambak udang intensif (16 ekor/m ) ton/mt. Hasil perhitungan dari ketiga teknologi budidaya udang (tradisional, semi intensif, dan tradisional plus) diperoleh kombinasi luas tambak udang yang masih dalam batasan daya dukung lingkungan, yaitu 50% usaha budidaya tradisional plus (8 ekor/m ) dengan luas ha; kemudian 30 % untuk teknologi semi intensif (5 ekor/m ) dengan luas lahan ha; 10 % budidaya intensif (50

76 ekor/m ) dengan luas lahan ha; dan 10 % budidaya tambak udang intensif (16 ekor/m ) dengan luas 8.96 ha ( total luas tambak udang ha dengan produksi udang yang dihasilkan ton/mt). Tabel 48. Luas tambak dan produksi udang pada berbagai kombinasi dalam batas daya dukung lingkungan Persen -tase Tradisional plus Luas (ha) Persentase Semi Intensif Luas (ha) Intensif Intensif Luas (50 ekor/m ) (16 ekor/m ) tambak Persentase Luas (ha) Persentase Luas (ha) (ha) DDP (Ton/ MT) TLO (kg/mt) 100 % % - 0 % % % % - 0 % % - 0 % % % % - 0 % - 0 % % % % 35.79,5 % 8.66,5 % % % % % % % % % % % ,5 % ,5 % % % % % % % % % % % ,5 % ,5 % % % % % % % % % % % % % % 0 50 % % % % 0 48 % % % Keterangan : DDP = Daya dukung produksi ; TLO = Total limbah organik 5.8.Kebutuhan Luasan Hutan Mangrove untuk Pengembangan Budidaya Tambak Udang Kegiatan budidaya tambak udang yang sesuai dengan daya dukung lingkungan akan memberikan dampak yang positif terhadap keberlanjutan produktivitas budidaya udang dan juga terhadap kualitas lingkungan perairan pesisir Kecamatan Mangara Bombang. Kondisi ini lebih mendukung dan luas tambak udang yang akan dikembangkan dapat meningkat, jika difungsikannya kembali hutan mangrove dengan baik sebagai jalur hijau (green belt) dan juga sebagai penyaring (biofilter) sehingga dapat mengurangi beban limbah dari kegiatan tambak udang yang masuk ke lingkungan perairan pesisir Kecamatan Mangara Bombang. Menurut Kautsky et al. (1997) untuk mendukung usaha budidaya tambak secara intensif tetap lestari, maka dalam 1 m luasan budidaya tambak diperlukan luasan mangrove minimal 9.6 m untuk menyerap limbah organik yang dihasilkan dari kegiatan budidaya tambak. Hutan mangrove dapat menyerap nutrien 71 kg N/ha/th dan 0 kg P/ha/th (Paez-Osuna et al.1998).

77 Selanjutnya, Robertson and Phillips (1994 diacu dalam Chowdury et al. 001) melaporkan bahwa untuk 1 ha tambak udang intensif dan semi intensif diperlukan masing masing 7. ha dan.4 ha hutan mangrove untuk menyerap nitrogen (N) sedangkan untuk menyerap phospor (P) diperlukan masing masing 1.7 ha dan.8 ha hutan mangrove. Tabel 49.Luas hutan mengrove yang dibutuhkan untuk pengembangan budidaya tambak udang di wilayah pesisir Kecamatan Mangara Bombang Teknologi Reboibudidaya dan sasi padat tebar (ha) (ekor/m ) Intensif (16 dan 50) Luas tambak udang (ha) Luas mangrove/ ha tambak udang (ha) *) Luas mengrove dibutuhkan (ha) Luas hutan mangrove eksisting (ha) **) Kondisi saat ini (N) (P) Kondisi daya dukung lingkungan Intensif (16) (N) (P) Intensif (50) (N) , (P) Semi intensif (5) (N) (P) Tradisional plus (8) Kondisi optimal hasil simulasi sistem dinamik (direkomendasikan) Intensif (16) (N) (P) Intensif (50) (N) (P) Semi intensif (5) (N) (P) Tradisional plus(8) Kondisi optimal hasil simulasi sistem dinamik (alternatif) Intensif (N) (16) (P) Intensif (N) (50) (P) Semi intensif (5) (N) (P) Tradisional plus(8) Sumber : Hasil analisis (008) Keterangan :*) Robertson and Phillips (1994 diacu dalam Chowdury et al. 001) **)Dinas Perikanan dan Kelautan Kab. Takalar (008) ; Hasil analisis SIG (008) Tabel 49 diatas menunjukkan bahwa pada kondisi saat ini diperlukan luas hutan mangrove untuk menetralisir limbah nitrogen dan phosphor masing

78 masing ha dan ha. Luas hutan mangrove yang terdapat di wilayah pesisir Kecamatan Mangara Bombang ha, sehingga masih diperlukan penambahan luas hutan mangrove (reboisasi) seluas ha (N) dan ha (P). Jika dikembangkan tambak udang intensif (padat tebar 16 ekor/m ) seluas ha, maka diperlukan luas hutan mangrove untuk menetralisir limbah nitrogen dan phosphor masing masing ha dan ha. Luas hutan mangrove yang terdapat di wilayah pesisir Kecamatan Mangara Bombang ha, sehingga masih diperlukan penambahan hutan mangrove (reboisasi) seluas ha (N) dan ha (P). Jika dikembangkan tambak udang intensif (padat tebar 50 ekor/m ) seluas ha, maka diperlukan luas hutan mangrove (reboisasi) untuk menetralisir limbah nitrogen dan phosphor masing masing ha dan ha dan masih perlu penambahan hutan mangrove seluas ha (N) dan ha (P). Jka dikembangkan pengembangan tambak udang semi intensif seluas ha, maka diperlukan luas hutan mangrove (reboisasi) untuk menetralisir limbah nitrogen dan phosphor masing masing ha dan ha. Luas hutan mangrove yang terdapat di wilayah pesisir Kecamatan Mangara Bombang ha, sehingga masih perlu penambahan hutan mangrove seluas ha (N) dan ha (P). Hasil simulasi sistem dinamik (direkomendasikan) diperoleh luas optimal tambak udang intensif (16 ekor/m ) seluas 6.6 ha, intensif (50 ekor/m ) seluas ha, semi intensif (5 ekor/m ) seluas 8.36 ha, dan tradisional plus (8 ekor/m ) seluas ha. Pada kondisi ini diperlukan hutan mangrove seluas ha untuk menentralisir limbah nitrogen dan phosphor. Luas hutan mangrove yang terdapat di wilayah pesisir Kecamatan Mangara Bombang ha, sehingga masih perlu penambahan hutan mangrove seluas ha. Hasil simulasi sistem dinamik (alternatif) diperoleh luas optimal tambak udang intensif (16 ekor/m ) seluas 1.48 ha, intensif (50 ekor/m ) seluas ha, semi intensif (5 ekor/m ) seluas ha, dan tradisional plus (8 ekor/m )

79 seluas 36.1 ha. Pada kondisi ini diperlukan hutan mangrove untuk menentralisir limbah nitrogen dan phosphor dari tambak udang seluas ha. Luas hutan mangrove yang terdapat di wilayah pesisir Kecamatan Mangara Bombang ha, sehingga masih perlu penambahan hutan mangrove seluas ha 5.9. Kelayakan Usaha Budidaya Tambak Udang Dalam penelitian ini, analisis kelayakan usaha dilakukan pada setiap kegiatan budidaya tambak udang yang terdapat di wilayah pesisir Kecamatan Mangara Bombang baik teknologi budidaya tambak udang intensif maupun teknologi tradisional. Analisis kelayakan usaha dilakukan terdiri dari: analisis pendapatan usaha, kelayakan usaha per musim tanam atau per siklus produksi (RC), waktu pengembalian modal (Payback Period), Net Present Value (NPV), Benefit Cost Ratio (B/C), dan Internal Rate of Return (IRR) Tambak udang intensif (16 ekor/m ) Investasi awal yang dibutuhkan untuk budidaya tambak udang intensif ini adalah Rp Biaya operasional yang dikeluarkan sebesar Rp /ha/MT atau Rp ,-/ha/th yang terdiri dari biaya tetap (fixed cost) sebesar Rp /ha/mt atau Rp ,-/ha/th dan biaya tidak tetap (variable cost) sebesar Rp /ha/MT atau Rp /ha/th. Hasil panen udang mencapai kg/mt atau kg/ha/mt, dimana harga udang rata-rata ditingkat pembudidaya sebesar Rp , maka penerimaan dari hasil penjualan sebesar Rp /ha/MT atau /ha/tahun. Pajak penghasilan (PPH 10 %) sebesar Rp /MT atau /tahun, sehingga penerimaan bersih dari hasil penjualan sebesar Rp /ha/MT atau /ha/tahun. Jika dibandingkan dengan biaya operasional dikeluarkan maka usaha budidaya tambak udang intensif (16 ekor/m ) menghasilkan keuntungan Rp /ha/MT atau Rp /ha/th. Berdasarkan hasil analisis diperoleh nilai R/C 1.45 dan Payback period sebesar.95 tahun, yang berarti bahwa dari nilai investasi dan keuntungan yang diperoleh maka waktu pengembalian modalnya.95 tahun. Kemudian untuk mengetahui prospek usaha budidaya tambak udang intensif (padat tebar 16

80 ekor/m ) dilakukan kajian dengan menggunakan kriteria investasi yang terdiri dari Net Present Value (NPV), Net Benefit Cost Ratio ( Net B/C) dan Internal Rate of Return (IRR). Hasil analisis kelayakan usaha budidaya tambak udang intensif (16 ekor/m ) dapat dilihat pada Tabel 50. Tabel 50.Hasil analisis usaha budidaya tambak udang intensif (16 ekor/m ) di wilayah pesisir Kecamatan Mangara Bombang No. Uraian Nilai 1. Investasi awal Rp ,-. Total biaya tetap (fixed cost) Rp /ha/MT Rp /ha/th 3. Total biaya tidak tetap (variable cost) Rp /ha/MT Rp /ha/th 4. Total biaya Rp /ha/MT Rp /ha/th 5. Total penerimaan hasil penjualan udang Rp /ha/MT Rp /ha/tahun 6. Total penerimaan bersih hasil penjualan Rp /ha/MT setelah dipotong pajak (PPH 10 %) Rp /ha/th 7. Kuntungan bersih Rp /ha/MT Rp /ha/th 8. R/C Payback period (PP).95 tahun 10. NPV Rp Net B/C IRR % 13. Discount factor (DF) 0 % Sumber : Hasil analisis (008) Perhitungan ini menggunakan cashflow selama 10 tahun (pertimbangan umur ekonomis usaha budidaya) dan discount factor sebesar 0 % (asumsi tingkat suku bunga bank/discount rate 18 0 % per tahun). Net Present Value (NPV) diperoleh sebesar Rp yang berarti bahwa hasil bersih yang diperoleh selama 10 tahun ke depan yang dihitung dengan nilai uang saat ini adalah sebesar Rp (produksi udang, total biaya yang dikeluarkan, serta keuntungan usaha yang diperoleh sama setiap tahunnya). Berdasarkan nilai Net Present Value (NPV) ini, maka dapat dikatakan bahwa secara finansial untuk kegiatan usaha budidaya tambak udang intensif (16 ekor/m ) secara finansial memberikan manfaat bersih yang positif (menguntungkan). Net Benefit Cost Ratio (Net B/C) diperoleh sebesar 1.53 yang berarti bahwa usaha budidaya tambak udang dengan semi intensif ini memberikan

81 manfaat bersih sebesar 1.56 kali lipat dari biaya yang dikeluarkan. Sedangkan nilai Internal Rate of Return (IRR) yang diperoleh sebesar % yang berarti bahwa tingkat keuntungan atas investasi bersih yang ditanam sebesar % (seluruh keuntungan yang diperoleh ditanam kembali pada tahun berikutnya). Dari semua kriteria investasi di atas yaitu NPV, IRR, dan Net B/C, dapat dikatakan bahwa usaha budidaya tambak udang intensif (16 ekor/m ) di wilayah pesisir Kecamatan Mangara Bombang layak untuk dijalankan Tambak udang intensif ( 50 ekor/m ) Investasi awal yang dibutuhkan untuk budidaya tambak udang intensif ini adalah Rp Biaya operasional yang dikeluarkan sebesar Rp /ha/MT atau Rp /ha/th yang terdiri dari biaya tetap (fixed cost) sebesar Rp /ha/MT atau /ha/th dan biaya tidak tetap (variable cost) sebesar Rp /ha/MT atau Rp /ha/th. Hasil panen udang mencapai kg/mt atau kg/ha/mt, dimana harga udang rata-rata ditingkat pembudidaya sebesar Rp , maka penerimaan dari hasil penjualan sebesar Rp /ha/MT atau Rp /ha/tahun. Pajak penghasilan (PPH 10 %) sebesar Rp /MT atau /tahun, sehingga penerimaan bersih dari hasil penjualan sebesar Rp /ha/MT atau Rp /ha/th. Jika dibandingkan dengan biaya operasional dikeluarkan maka usaha budidaya tambak udang intensif ini menghasilkan keuntungan Rp /ha/MT atau Rp /ha/th. Berdasarkan hasil analisis diperoleh nilai R/C yaitu 1.4 dan Payback period (PbP) sebesar.01 tahun, yang berarti bahwa dari nilai investasi dan keuntungan yang diperoleh maka waktu pengembalian modalnya (paybac period) adalah.01 tahun. Kemudian untuk mengetahui prospek usaha budidaya tambak udang intensif (50 ekor/m ) dilakukan kajian dengan menggunakan kriteria investasi yang terdiri dari Net Present Value (NPV), Net Benefit Cost Ratio ( Net B/C) dan Internal Rate of Return (IRR). Hasil analisis kelayakan usaha budidaya tambak udang intensif (50 ekor/m ) dapat dilihat pada Tabel 51.

82 Tabel 51. Hasil analisis usaha budidaya tambak udang intensif (50 ekor/m ) di wilayah pesisir Kecamatan Mangara Bombang No. Uraian Nilai 1. Investasi awal Rp ,-. Total biaya tetap (fixed cost) Rp /ha/MT Rp /ha/th 3. Total biaya tidak tetap (variable cost) Rp /ha/MT Rp /ha/th. 4. Total biaya Rp ,-/ha/MT Rp /ha/th 5. Total penerimaan hasil penjualan udang Rp /ha/MT Rp /ha/tahun 6. Total penerimaan bersih hasil penjualan setelah dipotong pajak (PPH 10 %) Rp /ha/MT Rp /ha/th 7. Kuntungan bersih Rp /ha/MT Rp /ha/th 8. R/C Payback period (PP).01 tahun 10. NPV Rp Net B/C.00 1 IRR % 13. Discount factor (DF) 0 % Sumber : Hasil analisis (008) Perhitungan ini dengan menggunakan cashflow selama 10 tahun (pertimbangan umur ekonomis usaha budidaya) serta tingkat suku bunga sebesar 0 % (asumsi tingkat suku bunga bank/discount rate 18 0 % per tahun), maka diperoleh nilai Net Present Value (NPV) sebesar Rp , yang berarti bahwa hasil bersih yang diperoleh selama 10 tahun ke depan, yang dihitung dengan nilai udang saat ini adalah sebesar Rp (asumsi tingkat produksi, biaya, serta keuntungan yang diperoleh sama untuk setiap tahunnya). Berdasarkan nilai Net Present Value (NPV) ini, maka dapat dikatakan bahwa secara finansial untuk kegiatan usaha budidaya tambak udang intensif (50 ekor/m ) memberikan manfaat bersih yang positif (menguntungkan). Net Benefit Cost Ratio ( Net B/C) diperoleh sebesar.0 yang berarti bahwa usaha budidaya tambak udang intensif ini memberikan manfaat bersih sebesar.0 kali lipat dari biaya yang dikeluarkan. Sedangkan nilai Internal Rate of Return (IRR) yang diperoleh sebesar % yang berarti bahwa tingkat keuntungan atas investasi bersih yang ditanam sebesar % apabila seluruh keuntungan yang diperoleh ditanam kembali pada tahun berikutnya. Dari semua kriteria investasi di atas yaitu NPV, IRR, dan Net B/C, maka dapat dikatakan bahwa usaha budidaya

83 tambak udang intensif (50 ekor/m ) di wilayah pesisir Kecamatan Mangara Bombang layak untuk dijalankan Tambak udang tradisional Investasi awal yang dibutuhkan untuk budidaya tambak udang tradisional ini adalah Rp Biaya operasional yang dikeluarkan sebesar Rp /ha/MT atau Rp /ha/th yang terdiri dari biaya tetap (fixed cost) sebesar Rp /ha/MT dan biaya tidak tetap (variable cost) sebesar Rp /ha/MT. Hasil panen udang mencapai 300 kg/ha/mt, dimana harga udang rata-rata ditingkat pembudidaya sebesar Rp , maka penerimaan dari hasil penjualan sebesar Rp /ha/MT atau Rp /ha/tahun. Pajak penghasilan (PPH 10 %) sebesar Rp /ha/MT atau /ha/tahun, sehingga penerimaan bersih dari hasil penjualan sebesar Rp /ha/MT atau Rp /ha/th. Jika dibandingkan dengan biaya operasional dikeluarkan maka usaha budidaya tambak udang tradisional ini menghasilkan keuntungan Rp /ha/MT atau Rp /ha/th. Berdasarkan hasil analisis, diperoleh nilai R/C budidaya tambak udang teknologi tradisional yaitu 1.9 dan payback period dan diperoleh nilai sebesar 3.54 tahun. Dari hasil analisis yang dilakukan maka dapat dikatakan bahwa usaha budidaya tambak udang tradisional di wilayah pesisir Kecamatan Mangara Bombang cukup menguntungkan apabila dilihat dari sisi ekonomi. Net Benefit Cost Ratio ( Net B/C) diperoleh sebesar 1.0 yang berarti bahwa usaha budidaya tambak udang tradisional ini memberikan manfaat bersih sebesar 1.0 kali lipat dari biaya yang dikeluarkan. Net Present Value (NPV) sebesar Rp , yang berarti bahwa hasil bersih yang diperoleh selama 10 tahun ke depan, yang dihitung dengan nilai udang saat ini adalah sebesar Rp (produksi udang, total biaya yang dikeluarkan, serta keuntungan yang diperoleh sama setiap tahunnya). Sedangkan nilai Internal Rate of Return (IRR) yang diperoleh sebesar 5.66 % yang berarti bahwa tingkat keuntungan atas investasi bersih yang ditanam sebesar 5.66 % apabila seluruh keuntungan yang diperoleh ditanam kembali pada tahun berikutnya. Hasil analisis kelayakan usaha budidaya tambak udang tradisional dapat dilihat pada Tabel 5.

84 Tabel 5. Hasil analisis usaha budidaya tambak udang tradisional di wilayah pesisir Kecamatan Mangara Bombang No. Uraian Nilai 1. Investasi awal Rp Total biaya tetap (fixed cost) Rp /ha/MT Rp /ha/th 3. Total biaya tidak tetap (variable cost) Rp /ha/MT Rp /ha/th 4. Total biaya Rp /ha/MT Rp /ha/th 5. Total penerimaan hasil penjualan udang Rp /ha/MT Rp /ha/tahun 6. Total penerimaan bersih hasil penjualan Rp /ha/MT setelah dipotong pajak (PPH 10 %) Rp /ha/th 7. Kuntungan bersih Rp /ha/MT Rp /ha/th 8. R/C Payback period (PP) 3.54 tahun 10. NPV Rp Net B/C IRR 5.66 % 13. Discount factor (DF) 0 % Sumber : Hasil analisis (008) Dari semua kriteria investasi di atas yaitu NPV, IRR, dan Net B/C, maka dapat dikatakan bahwa usaha budidaya tambak udang tradisional di wilayah pesisir Kecamatan Mangara Bombang layak untuk dijalankan Pengelolaan Kincir Optimal untuk Efisiensi Biaya Operasional Budidaya Udang Berdasarkan Ketersediaan Oksigen Terlarut (input dan output) Kincir sangat penting peranannya dalam manajemen budidaya udang, selain sebagai pemasok oksigen terlarut juga sebagai pembuang oksigen dari tambak apabila terjadi kondisi lewat jenuh. Kondisi oksigen lewat jenuh ini sering terjadi pada siang hari dengan kepadatan fitoplankton yang tinggi, seiring dengan lama pemeliharaan udang. Sebaliknya pada malam hari, ketersediaan oksigen terlarut sering mengalami deplesi akibat bertambahnya biomassa udang di tambak dan meningkatnya respirasi fitoplankton (Rachmansyah et al. 005). Pengelolaan kincir optimal berdasarkan pendugaan ketersediaan oksigen terlarut (input dan output) dalam tambak udang menggunakan data data penunjang dalam proses estimasi. Data data penunjang yang digunakan dapat dilihat pada Tabel 53.

85 Tabel 53. Data data yang digunakan dalam estimasi ketersediaan dan keseimbangan oksigen terlarut (input dan output) dalam tambak udang Parameter Satuan Nilai Oksigen hasil Fotosintesis 1) mg/l/hari (1.15 ± 3.56) ) Respirasi kolom air mg/l/hari (15.13 ± 7.30) 3) Konsumsi oksigen sedimen go/m /jam (0.11 ± 0.04) 4) Konsumsi oksigen udang vannamei kgo/ton/ja m (0.76 ± 0.35) 5) Transfer oksigen kincir (standar) kgo/kwh ) Koreksi kejenuhan oksigen terlarut ) Oksigen badan air perairan pesisir mg/l ) Tenaga listrik kincir kwh/hp Oksigen ambien tambak udang mg/l (50 ekor/m 9) ) (4.89 ± 0.6) Oksigen ambien tambak udang mg/l (16 ekor/m 10) ) (4.8 ± 0.8) 11) Pergantian air tambak udang intensif % 3 % (bln 1 dan ); 10 %(bln 3); 15 % (bln 4) Sumber: Rachmansyah et al (008) 1) ) 3) 4) ; Riyanto (1989), Boyd (1991), McIntosh (000) 5) 6) 8) ; Hasil pengukuran lapangan (008) 7) 9) 10) ; Widigdo dan Soewardi (00) 10), Hasil pengamatan lapangan (008) 11); Pengelolaan Kincir Optimal Tambak Udang Intensif (50 ekor/m ) Pengelolan kincir optimal tambak udang intensif (50 ekor/m ) didasarkan pada estimasi ketersediaan dan keseimbangan oksigen dalam sistem budidaya tambak udang yang sangat ditentukan oleh adanya input dan output oksigen. Berdasarkan hasil analisis selama pemeliharaan, diperoleh oksigen terlarut yang tersedia (input oksigen) dalam tambak udang berkisar kg O /hari (73.68 ± 14.48). Input oksigen terlarut ini berasal dari oksigen ambien tambak sebesar kg O /hari (19.54 ±.50), inflow (air yang dimasukkan pada saat pergantian air) sebesar kg O /hari (1.67 ± 1.00) dan hasil fotosintesis sebesar kg O /hari (5.47 ± 14.4). Oksigen terlarut yang dimanfaatkan (output oksigen) dalam tambak udang selama pemeliharaan sebesar kg O/hari (85.46 ± 43.43). Oksigen terlarut dalam sistem tambak yang dimanfaatkan oleh udang sebesar

86 kg O /hari (14.99 ± 10.96), outflow (air yang dibuang saat pergantian air) sebesar kg O /hari (1.05 ± 0.63), respirasi kolom air sebesar kg O /hari (60.0 ± 31.30), dan respirasi sedimen sebesar kg O /hari (9.40 ± 1.87) kg O /hari kg O /hari (1.67 ± 1.00) (1.05 ± 0.63) Inflow Outflow kg O /hari 1.8 kg O/kw-h (14.99 ± 10.96) (kondisi standar) Konsumsi udang Koreksi kejenuhan oksigen : kg O /hari (60.0 ± 31.30) kg O /hari (5.47 ± 14.4) Respirasi kolom air Fotosintesis kg O /hari (9.40 ± 1.87) Konsumsi sedimen (Ambien) kg O /hari (19.54 ±.50) Gambar 47. Keseimbangan input dan output oksigen dalam sistem tambak udang intensif (50 ekor/m ) di wilayah pesisir Kecamatan Mangara Bombang DO (kg/hari) DO Ambien DO Inflow DO Fotosintesis DO dalam tambak udang DO LOK DO (kg/hari) DO Outflow DO Respirasi kolom air DO Konsumsi Udang DO Sedimen DO Output DO LOK Lama pemeliharaan (hari) Lama pemeliharaan (hari) Input oksigen terlarut Output oksigen terlarut Gambar 48. Input dan output oksigen terlarut dalam tambak udang intensif (50 ekor/m ) selama masa pemeliharaan (sumber: Hasil analisis 008)

87 Berdasarkan input dan output oksigen, kemudian dilakukan estimasi pengelolaan kincir yang optimal sesuai dengan kebutuhan dan ketersediaan oksigen terlarut dalam tambak udang, sebagai berikut: Pengoperasian 1 buah kincir (kekuatan 1 HP) pada awal pemeliharaan sampai dengan hari ke 8 cukup dilakukan 4 jam/hari, dimana sampai hari ke 8 baik input oksigen maupun output oksigen cukup meningkat (input kg O /hari dan output kg O /hari). Pada hari ke 9 kincir 1 dioperasikan selama 4-1 jam/hari untuk mempertahankan dan meningkatkan oksigen sampai hari ke 57 (input kgo/hari dan output kg O /hari) Pada hari ke 58, input oksigen terlarut mencapai kg O/hari sedangkan output oksigen terlarut mencapai kg O /hari sehingga terjadi defisit oksigen sebesar 1.03 kg O /hari. Hal ini menunjukkan bahwa input oksigen terlarut mulai tidak sebanding dengan kebutuhan oksigen terlarut dalam tambak udang. Pada hari ke 58 perlu dilakukan pengoperasian kincir. Mulai hari ke-58 pengoperasian kincir selama 1 16 jam/hari dan kincir 1 selama 4 1 jam/hari. Pengoperasian kincir (bertenaga 1 HP) hanya mampu mempertahankan dan meningkatkan oksigen sampai hari ke 67 (input15.14 kg O/hari dan output kg O /hari), dimana pada hari ke 68 terjadi defisit oksigen sebesar -1.5 kg O /hari (input kg O /hari dan output kgo /hari) Pada hari ke-68 perlu dilakukan pengoperasian kincir 3 selama 16 0 jam (kincir 1 selama 4-1 jam/hari, kincir selama 1-16 jam/hari). Pengoperasian 3 buah kincir dengan tenaga masing masing 1 HP mampu mempertahankan dan menyeimbangkan oksigen terlarut dalam tambak udang sampai akhir masa pemeliharaan (input kg O/hari dan output kg O /hari) Ketersediaan oksige terlarut dalam tambak udang intensif (50 ekor/m ) dengan pengelolaan kincir optimal dapat dilihat pada Gambar 48.

88 DO (kg/hari) DO Output 1 Kincir DO LOK DO (kg/hari) DO Output Kincir DO LOK DO (kg/hari) DO Output 3 Kincir DO LOK Lama pemeliharaan (hari) Lama pemeliharaan (hari) Lama pemeliharaan (hari) 1 kincir kincir 3 kincir Gambar 49. Ketersediaan oksigen terlarut dalam tambak udang intensif (50 ekor/m ) dengan pengelolaan optimal 3 kincir selama peneliharaan (sumber : Hasil analisis 008) Pembudidaya tambak udang intensif (50 ekor/m ) di wilayah pesisir Kecamatan Mangara Bombang bahwa selama pemeliharaan udang menggunakan 3 buah kincir (1 kincir berkekuatan 1 HP), dimana pada hari ke 1 s/d hari 30 dioperasionalkan 1 buah kincir selama 4 jam/hari. Mulai hari ke 30 dioperasionalkan lagi kincir selama 4 jam/hari sampai akihir pemeliharaan. Pada kondisi ini, mulai awal sampai akhir pemeliharaan menggunakan tenaga listrik sebesar kwh/mt atau kwh/ii MT, dimana setiap produksi 1 kg udang menggunakan tenaga listrik sebesar 1.67 kwh/kg udang/mt atau 3.34 kwh/kg udang/ii MT. Sedangkan dengan pengelolaan kincir berdasarkan estimasi input dan output oksigen terlarut, mulai awal sampai akhir pemeliharaan menggunakan tenaga listrik sebesar kwh/mt atau kwh/ii MT, dimana setiap produksi 1 kg udang menggunakan tenaga listirk sebesar 0.63 kwh/kg udang/mt atau 1.6 kwh/kg udang/ii MT. Besarnya selisih atau efisiensi penggunaan tenaga listrik untuk operasionalisasi kincir pada kondisi saat ini dan berdasarkan estimasi input dan output oksigen adalah sebesar kwh/mt atau kwh/ii MT, dimana untuk produksi 1 kg udang terjadi selisih atau efisiensi sebesar 1.04 kwh/kg udang/mt atau.08 kwh/kg udang/ii MT. Biaya penggunaan tenaga listrik yang dikeluarkan pada kondisi saat ini untuk operasionalisasi kincir per musim tanam (MT) sebesar kwh x Rp 640,-/kwh (TDL Subsidi) = RP /MT atau Rp /II MT. Sedangkan berdasarkan estimasi keseimbangan input dan output oksigen terlarut, biaya yang dikeluarkan untuk operasionalisasi kincir per musim tanam (MT)

89 sebesar x Rp 640/kwh (TDL Subsidi) = Rp /MT atau Rp /II MT. Berdasarkan hal ini, maka terjadi selisih atau efisiensi biaya penggunaan tenaga listrik untuk kincir sebesar : Rp /MT /MT = Rp /MT atau Rp /II MT. Selanjutnya jika menggunakan tarif dasar listrik (TDL) non subsidi sebesar Rp 1380 (PLN 008), maka biaya yang dikeluarkan untuk operasionalisasi kincir per musim tanam (MT) pada kondisi saat ini sebesar kwh x Rp 1380/kwh = Rp /MT atau Rp /II MT. Sedangkan berdasarkan estimasi keseimbangan input dan output oksigen terlarut, biaya yang dikeluarkan untuk operasionalisasi kincir per musim tanam (MT) sebesar x Rp 1380/kwh = Rp /MT atau Rp /II MT. Selisih atau efisiensi biaya penggunaan tenaga listrik untuk kincir sebesar : Rp ,-/MT /MT = Rp /MT atau Rp /II MT. Perbandingan pengelolaan dan pemanfatan kincir pada kondisi saat ini dan berdasarkan estimasi ketersediaan dan keseimbangan oksigen terlarut (input output) dapat dilihat pada Tabel 54 dan 55. Tabel 54.Perbandingan pengelolaan dan pemanfatan kincir pada kondisi saat ini dan berdasarkan estimasi ketersediaan dan keseimbangan oksigen terlarut (input output) (TDL subsidi ) Kondisi Keterangan Estimasi inputoutput Keterangan saat ini oksigen Jumlah kincir 3 kincir Jumlah kincir 3 kincir 1 HP kwh 1 HP kwh Penggunaan tenaga listrik kincir Biaya penggunaan tenaga listrik kincir Efisiensi penggunaan tenaga listrik kincir Efisiensi biaya penggunaan tenaga listrik kincir kwh/mt atau kwh/ii MT RP /MT atau Rp /II MT. Penggunaan tenaga listrik kincir Biaya penggunaan tenaga listrik kincir kwh/mt atau kwh/ii MT Rp /MT atau Rp /II MT kwh/mt atau kwh/ii MT Rp /MT atau Rp /II MT.

90 Tingkat produksi udang Tenaga listrik kincir per kg udang Efisiensi tenaga listrik kincir/kg udang kg udang /HP Tingkat produksi udang 1.67 kwh/kg udang/mt atau 3.34 kwh/kg udang/ii MT Sumber : Hasil analisis (008) Tenaga listrik/ kg udang kg udang/hp 0.63 kwh/kg udang/mt atau 1.6 kwh/kg udang/ii MT 1.04 kwh/kg udang/mt atau.08 kwh/kg udang/ii MT Tabel 55.Perbandingan pengelolaan dan pemanfatan kincir pada kondisi saat ini dan berdasarkan estimasi ketersediaan dan keseimbangan oksigen terlarut (input output) (TDL non subsidi) Kondisi Keterangan Estimasi inputoutput Keterangan saat ini oksigen Jumlah kincir 3 kincir Jumlah kincir 3 kincir 1 HP kwh 1 HP kwh Penggunaan kwh/mt atau Penggunaan tenaga listrik kwh/ii MT tenaga listrik Biaya penggunaan tenaga listrik Efisiensi penggunaan tenaga listrik Efisiensi biaya penggunaan tenaga listrik Tingkat produksi udang Tenaga listrik kincir per kg udang RP /MT Rp /II MT. Biaya penggunaan tenaga listrik kwh/mt atau kwh/ii MT Rp /MT atau Rp /II MT kg udang /HP Tingkat produksi udang 1.67 kwh/kg udang/mt atau 3.34 kwh/kg udang/ii MT Efisiensi tenaga listrik kincir/kg udang Sumber : Hasil analisis (008) Tenaga listrik/ kg udang kwh/mt atau kwh/ii MT Rp /MT atau Rp /II MT kg udang/hp 0.63 kwh/kg udang/mt atau 1.6 kwh/kg udang/ii MT 1.04 kwh/kg udang/mt atau.08 kwh/kg udang/ii MT

91 Hasil analisis di atas, jika dikaitkan dengan tingkat kelayakan usaha, maka total biaya yang dikeluarkan menurun menjadi sebesar Rp /ha/MT atau Rp /ha/th. Sedangkan keuntungan yang diperoleh meningkat menjadi sebesar Rp /ha/MT atau Rp /ha/th, dengan nilai R/C 1.47 dan Payback period selama 1.87 tahun. Net Present Value (NPV) sebesar Rp (produksi udang, total biaya yang dikeluarkan, dan keuntungan yang diperoleh sama setiap tahunnya) dan Net Benefit Cost Ratio (Net B/C) sebesar.36. Sedangkan nilai Internal Rate of Return (IRR) yang diperoleh sebesar 5.93 %. Tabel 56.Hasil analisis usaha budidaya tambak udang intensif (50 ekor/m ) di wilayah pesisir Kecamatan Mangara Bombang jika dilakukan pengelolaan kincir optimal No. Uraian Nilai 1. Investasi awal Rp Total biaya tetap (fixed cost) Rp /ha/MT Rp /ha/th 3. Total biaya tidak tetap (variable cost) Rp /ha/MT Rp /ha/th 4. Total biaya Rp /ha/MT Rp /ha/th 5. Total penerimaan hasil penjualan udang Rp /ha/MT Rp /ha/tahun 6. Total penerimaan bersih hasil Rp /ha/MT penjualan setelah dipotong pajak Rp /ha/th (PPH 10 %) 7. Kuntungan bersih Rp /ha/MT Rp /ha/th 8. R/C Payback period (PP) 1.81 tahun 10. NPV Rp Net B/C.36 1 IRR 5.93 % 13. Discount factor (DF) 0 % Sumber : Hasil analisis (008) Pengelolaan Kincir Optimal Tambak Udang Intensif (16 ekor/m ) Berdasarkan hasil analisis selama pemeliharaan, diperoleh oksigen terlarut yang tersedia (input oksigen) dalam tambak udang berkisar kg O /hari (66.93 ± 1,96). Input oksigen terlarut ini berasal dari oksigen ambien tambak sebesar kg O /hari (18.08 ± 3.07), inflow (air yang

92 dimasukkan pada saat pergantian air) sebesar kg O /hari (1.74 ± 1.19) dan hasil fotosintesis sebesar kg O /hari (46.95 ± 13.35). Oksigen terlarut yang dimanfaatkan (output oksigen) dalam sistem tambak udang selama pemeliharaan sebesar kg O/hari (115.7 ± 54.10). Oksigen terlarut dalam tambak udang yang dimanfaatkan oleh udang sebesar kg O /hari (47.38 ± 7.9), outflow (air yang dibuang saat pergantian air) sebesar kg O /hari (1. ± 0.83), respirasi kolom air sebesar kg O /hari (56.74 ± 7.37), dan konsumsi sedimen sebesar kg O /hari (10.8 ± 3.87). Data input dan output oksigen terlarut ini menggambarkan ketersediaan dan keseimbangan pemanfaatan oksigen terlarut dalam budidaya tambak udang kg O /hari kg O /hari (1.74 ± 1.19) (1. ± 0,80) Inflow Outflow kg O /hari 1.8 kg O/kw-h (47.38 ± 7.79) (kondisi standar) Konsumsi udang Koreksi kejenuhan oksigen : kg O /hari (56.74 ± 7.37) kg O /hari (46.95 ± 13.35) Respirasi kolom air Fotosintesis (F) kg O /hari ( 10.8 ± 3.87) Konsumsi sedimen (Ambient) 14,85 4,19 kg O /hari (18,08 ± 3,07) Gambar 50. Keseimbangan input dan output oksigen dalam tambak udang intensif (16 ekor/m ) di wilayah pesisir Kecamatan Mangara Bombang

93 DO (kg/hari) Lama pemeliharaan (hari) DO Ambien DO Inflow DO Fotosintesis DO dalam tambak udang DO LOK DO (kg/hari) Lama pemeliharaan (hari) DO Outflow DO Respirasi kolom air DO Konsumsi Udang DO Sedimen DO Output DO LOK Input oksigen terlarut Output oksigen terlarut Gambar 51. Input dan output oksigen terlarut dalam tambak udang intensif (16 ekor/m ) selama masa pemeliharaan (sumber : Hasil analisis 008) Berdasarkan data dan informasi ini dilakukan estimasi pengelolaan atau pemanfaatan kincir yang optimal selama proses budidaya udang sebagai berikut : Pengoperasian 1 buah kincir (kekuatan 1 HP) pada awal pemeliharaan sampai dengan hari ke-6 cukup dilakukan 4 jam/hari, dimana sampai hari ke-6 baik input oksigen maupun output oksigen cukup meningkat (input 9.19 kgo /hari dan output kgo /hari). Mulai hari ke-7 pengoperasian kincir ke-1 ditingkatkan menjadi 4 5 jam/hari untuk mempertahankan oksigen sampai hari ke-45 (input kgo/hari dan output kgo/hari). Pada hari ke 46, input oksigen terlarut mencapai kg O /hari sedangkan output oksigen terlarut mencapai kg O /hari sehingga terjadi defisit oksigen sebesar.13 kg O /hari. Hal ini menunjukkan bahwa input oksigen terlarut mulai tidak sebanding dengan kebutuhan oksigen terlarut dalam tambak udang. Pada hari ke 46 perlu dilakukan pengoperasian kincir ke- selama 5 1 jam/hari (kincir 1 selama 4-5 jam/hari). Pengoperasian kincir (bertenaga 1 HP) hanya mampu mempertahankan dan meningkatkan oksigen terlarut sampai hari ke 54, dimana pada hari ke-55 terjadi defisit oksigen terlarut sebesar -1,8 kg O/hari (input kgo /hari dan output kgo /hari). Pada hari ke-55 perlu dilakukan pengoperasian kincir ke-3 selama 1 16 jam/hari (kincir 1 selama 4 5 jam/hari dan kincir selama 5 1 jam/hari). Pengoperasian 3 kincir hanya mampu meningkatkan dan mempertahankan oksigen terlarut sampai hari ke-65, dimana pada hari ke-66 terjadi defisit

94 oksigen terlarut sebesar.4 kg O /hari (input kgo /hari dan output kgo /hari). Pada hari ke-66 perlu dilakukan pengoperasian kincir ke 4,5, dan 6 selama 16 4 jam/hari (kincir 1 selama 4 5 jam/hari, kincir selama 5 1 jam/hari, kincir 3 selama 1 16 jam/hari). Pengoperasian 6 kincir hanya mampu meningkatkan oksigen terlarut sampai pada hari ke 99, dimana pada hari ke 100 terjadi defisit oksigen sebesar 4.43 kgo/hari (input kgo /hari dan output kgo /hari). Pada hari ke-100 dilakukan pengoperasian kincir ke- 7 selama 9 jam/hari (kincir 1 selama 4 5 jam/hari, kincir selama 5 1 jam/hari, kincir 3 selama 1 16 jam/hari, kincir selama 16 4 jam/hari). Pengoperasian 7 kincir hanya mampu meningkatkan dan mempertahankan oksigen selama 3 hari (sampai hari ke 10) dan hari ke -103 terjadi defisit oksigen sebesar kgo/hari (input kgo /hari dan output kgo /hari). Pada hari ke-103 dioperasikan kincir ke-8 selama 9 jam/hari (kincir 1 selama 4 5 jam/hari, kincir selama 5 1 jam/hari, kincir 3 selama 1 16 jam/hari, kincir selama 16 4 jam/hari, kincir 7 selama 9 jam/hari), dimana pengoperasian 8 kincir hanya mampu meningkatkan dan mempertahankan oksigen terlarut sampai hari ke 104 dan pada hari ke-105 terjadi defisit oksigen terlarut sebesar kgo/hari (input kgo /hari dan output kgo /hari). Mulai hari ke-105 dioperasikan kincir ke-9 selama 9 jam/hari (kincir 1 selama 4 5 jam/hari, kincir selama 5 1 jam/hari, kincir 3 selama 1 16 jam/hari, kincir selama 16 4 jam/hari, kincir 7 selama 9 jam/hari, kincir 8 selama 9 jam/hari). Pengoperasian 9 kincir mampu meningkatkan dan mempertahankan oksigen terlarut sampai hari ke Pada hari ke-108 terjadi defisit oksigen terlarut sebesar kgo/hari (input kg O /hari dan output kg O /hari). Pada hari ke-109 dioperasikan kincir ke-10 selama 9 jam/hari ((kincir 1 selama 4 5 jam/hari, kincir selama 5 1 jam/hari, kincir 3 selama 1 16 jam/hari, kincir selama 16 4 jam/hari, kincir 7 selama 9 jam/hari, kincir 8 selama 9 jam/hari, kincir 9 selama 9 jam/hari), dimana pengoperasian

95 10 buah kincir dengan tenaga masing masing 1 HP mampu mempertahankan dan menyeimbangkan oksigen terlarut dalam tambak udang sampai akhir masa pemeliharaan DO (kg/hari) DO Output 1 kincir DO LOK DO (kg/hari) DO Output kincir DO LOK DO (kg/hari) DO Output 3 kincir DO LOK Lama pemeliharaan (hari) Lama pemeliharaan (hari) Lama pemeliharaan (hari) 1 kincir kincir 3 kincir DO (kg/hari) DO Output 4 kincir DO LOK DO (kg/hari) 150 DO Output 5 kincir DO LOK DO (kg/hari) DO Output 6 kincir DO LOK Lama pemeliharaan (hari) Lama pemeliharaan (hari) Lama pemeliharaan (hari) 4 kincir 5 kincir 6 kincir DO (kg/hari) DO Output 7 kincir DO LOK DO (kg/hari) DO Output 8 kincir DO LOK DO (kg/hari) DO Output 9 kincir DO LOK Lama pemeliharaan (hari) Lama pemeliharaan (hari) Lama pemeliharaan (hari) 7 kincir 8 kincir 9 kincir DO (kg/hari) DO Output 10 kincir DO LOK Lama pemeliharaan (hari) 10 kincir Gambar 5. Ketersediaan oksigen terlarut dalam tambak udang intensif (16 ekor/m ) dengan pengelolaan optimal 10 kincir selama masa pemeliharaan (sumber : Hasil analisis 008)

96 Pembudidaya tambak udang intensif (16 ekor/m ) di wilayah pesisir Kecamatan Mangara Bombang selama pemeliharaan udang menggunakan 10 buah kincir (1 kincir berkekuatan 1 HP), dimana pada hari ke 1 s/d hari 30 dioperasionalkan buah kincir selama 4 jam/hari. Mulai hari ke 30 dioperasionalkan 8 buah kincir selama 4 jam/hari sampai akihir pemeliharaan (Hasil wawancara dan pengamatan lapangan 008). Berdasarkan hasil analisis diperoleh pengelolaan kincir (berkekuatan 1 HP) pada kondisi saat ini, mulai awal sampai akhir pemeliharaan menggunakan tenaga listrik sebesar kwh/mt atau kwh/ii MT. Pada kondisi eksisting, setiap produksi 1 kg udang menggunakan tenaga listrik sebesar.5 kwh/kg udang/mt atau 4.49 kwh/kg udang/ii MT. Sedangkan dengan pengelolaan kincir berdasarkan estimasi ketersediaan dan keseimbangan oksigen terlarut (input dan output), maka mulai awal sampai akhir pemeliharaan menggunakan tenaga listrik sebesar kwh/mt atau kwh/ii MT, dimana setiap produksi 1 kg udang menggunakan tenaga listirk sebesar 0.64 kwh/kg udang/mt atau 1.8 kwh/kg udang/ii MT. Besarnya selisih atau efisiensi penggunaan tenaga listrik untuk operasionalisasi kincir pada kondisi saat ini dan berdasarkan estimasi input dan output oksigen adalah sebesar kwh/mt atau kwh/ii MT, dimana untuk produksi 1 kg udang terjadi selisih atau efisiensi sebesar 1.61 kwh/kg udang/mt atau 3. kwh/kg udang/ii MT. Pada kondisi saat ini, biaya penggunaan tenaga listrik kwh/mt kwh dan apabila digunakan tarif dasar listrik (TDL) subsidi sebesar Rp 640/kwh (PLN 008), maka biaya yang dikeluarkan untuk operasionalisasi kincir per musim tanam (MT) sebesar kwh x Rp 640/kwh = Rp /MT atau Rp /II MT. Sedangkan berdasarkan estimasi keseimbangan input dan output oksigen terlarut dalam tambak udang, biaya yang dikeluarkan untuk operasionalisasi kincir per musim tanam (MT) sebesar kwh x Rp 640 = Rp /MT atau Rp /II MT. Berdasarkan hal ini, maka terjadi efisiensi penggunaan tenaga listrik untuk kincir sebesar : Rp /MT Rp /MT = Rp /MT atau Rp /II MT.

97 Perbandingan pengelolaan dan pemanfatan kincir pada kondisi saat ini dan berdasarkan estimasi ketersediaan dan keseimbangan oksigen terlarut (input output) dapat dilihat pada Tabel 57. Tabel 57. Perbandingan pengelolaan dan pemanfatan kincir pada kondisi saat ini dan berdasarkan estimasi ketersediaan dan keseimbangan oksigen terlarut (input output) (TDL subsidi) Kondisi Keterangan Estimasi inputoutput Keterangan saat ini oksigen Jumlah kincir 10 kincir Jumlah kincir 10 kincir 1 HP kwh 1 HP kwh Penggunaan Penggunaan tenaga tenaga listrik kwh/mt atau listrik kincir kincir kwh/ii MT MT Biaya Rp Biaya penggunaan penggunaan /MT atau tenaga listrik kincir tenaga listrik Rp kincir /II MT. Efisiensi tenaga listrik kwh/mt atau kwh/ii MT kincir Efisiensi biaya penggunaan Rp /MT atau Rp /II MT. tenaga listrik kincir Tingkat kg Tingkat produksi kg produksi udang udang /HP udang udang/hp Tenaga listrik Tenaga listrik/ kincir per kg kg udang udang.5 kwh/kg udang/mt atau 4.50 kwh/kg udang/ii MT kwh/mt atau kwh/ii Rp /MT atau Rp /II MT 0.64 kwh/kg udang/mt atau 1.8 kwh/kg udang/ii MT. Efisiensi tenaga listrik 1.61 kwh/kg udang/mt atau 3. kwh/kg udang/ii MT kincir/kg udang Sumber : Hasil analisis (008) Selanjutnya, jika menggunakan dasar listrik (TDL) non subsidi sebesar Rp 1380 (PLN 008), maka biaya yang dikeluarkan untuk operasionalisasi kincir per musim tanam (MT) pada kondisi saat ini sebesar kwh x Rp 1380/kwh = Rp /MT atau Rp /II MT. Berdasarkan estimasi keseimbangan input dan output oksigen terlarut, biaya yang dikeluarkan untuk operasionalisasi kincir per musim tanam (MT) sebesar kwh x Rp 1380 =

98 Rp /MT atau Rp /II MT. Berdasarkan hal ini, maka terjadi efisiensi penggunaan tenaga listrik untuk kincir sebesar : Rp /MT Rp /MT= Rp /MT atau Rp /II MT. Perbandingan pengelolaan dan pemanfatan kincir pada kondisi saat ini dan berdasarkan estimasi ketersediaan dan keseimbangan oksigen terlarut (input output) dapat dilihat pada Tabel 58. Tabel 58.Perbandingan pengelolaan dan pemanfatan kincir pada kondisi saat ini dan berdasarkan estimasi ketersediaan dan keseimbangan oksigen terlarut (input output) (TDL non subsisdi) Kondisi Keterangan Estimasi inputoutput Keterangan saat ini oksigen Jumlah kincir 10 kincir Jumlah kincir 10 kincir 1 HP kwh 1 HP kwh Penggunaan Penggunaan tenaga listrik kwh/mt atau tenaga listrik kincir kincir kwh/ii MT Biaya Rp Biaya penggunaan /MT atau penggunaan tenaga listrik Rp tenaga listrik kincir 934/II MT kincir Efisiensi tenaga listrik kwh/mt atau kwh/ii MT kincir Efisiensi biaya penggunaan Rp /MT atau Rp /II MT. listrik kincir Tingkat produksi udang Tenaga listrik kincir per kg udang kg udang /HP.5 kwh/kg udang/mt atau 4.50 kwh/kg udang/ii MT Tingkat produksi udang Tenaga listrik/ kg udang kwh/mt atau kwh/ii MT Rp /MT atau Rp /II MT kg udang/hp 0.64 kwh/kg udang/mt atau 1.8 kwh/kg udang/ii MT. Efisiensi tenaga listrik 1.61 kwh/kg udang/mt atau 3. kwh/kg udang/ii MT kincir/kg udang Sumber : Hasil analisis (008) Hasil analisis di atas, jika dikaitkan dengan tingkat kelayakan usaha, maka total biaya operasional budidaya yang dikeluarkan menurun menjadi sebesar Rp /ha/MT atau Rp /ha/th. Sedangkan keuntungan yang

99 diperoleh meningkat menjadi sebesar Rp /ha/MT atau Rp /ha/th, dengan nilai R/C 1.5 dan Payback period selama.66 tahun. Net Present Value (NPV) sebesar Rp (produksi udang, total biaya yang dikeluarkan, dan keuntungan yang diperoleh sama setiap tahunnya) dan Net Benefit Cost Ratio (Net B/C) sebesar Sedangkan nilai Internal Rate of Return (IRR) yang diperoleh sebesar %. Hasil analisis kelayakan usaha tambak udang intensif (16 ekor/m ) berdasarkan pengelolaan kincir optimal dapat dilihat pada Tabel 59. Tabel 59. Hasil analisis usaha budidaya tambak udang intensif (16 ekor/m ) di wilayah pesisir Kecamatan Mangara Bombang jika dilakukan pengelolaan kincir optimal No. Uraian Nilai 1. Investasi awal Rp ,-. Total biaya tetap (fixed cost) Rp /ha/MT Rp /ha/th 3. Total biaya tidak tetap (variable cost) Rp /ha/MT Rp /ha/th 4. Total biaya Rp /ha/MT Rp /ha/th 5. Total penerimaan hasil penjualan udang Rp /ha/MT Rp /ha/tahun 6. Total penerimaan bersih hasil Rp /ha/MT penjualan setelah dipotong pajak Rp /ha/th (PPH 10 %) 7. Kuntungan bersih Rp /ha/MT Rp /ha/th 8. R/C Payback period (PP).66 tahun 10. NPV Rp Net B/C IRR % 13. Discount factor (DF) 0 % Sumber : Hasil analisis (008) Dari Gambar 48 dan 51 terlihat bahwa, proses fotosintensis memegang peranan penting dalam memasok oksigen terlarut dalam tambak udang dan kelarutannya dipengaruhi oleh kepadatan fitolankton, lama pencahayaan, suhu, salinitas, dan tingkat kejenuhan oksigen yang terlarut dalam air. Pasokan oksigen yang berasal dari fotosintesis akan meningkat seiring dengan lama pemeliharaan udang, kemudian cenderung menurun diakhir masa pemeliharaan. Penurunan ini

100 diduga terkait dengan adanya perubahan kepadatan fitoplankton yang berkembang dalam tambak udang. Kemudian kebutuhan oksigen untuk respirasi kolom air cenderung meningkat sampai akhir pemeliharaan, karena diduga terkait dengan perkembangan populasi baik fitoplankton maupun zooplankton serta mikrooganisme perairan lainnya didalam tambak udang. Kepadatan fitoplankton diduga mempunyai peran yang cukup besar dalam proses respirasi dalam kolom air terutama pada malam hari, dimana saat itu proses fotosintesis tidak terjadi. Karena itu, pada malam hari sebaiknya kincir dioperasionalkan dengan jumlah jam operasional yang lebih lama dibandingkan pada siang hari. Selanjutnya kebutuhan oksigen sedimen juga cenderung mengalami peningkatan sampai akhir pemeliharaan. Hal ini diduga terkait dengan semakin meningkatnya kandungan bahan organik dalam tambak udang sebagai akibat adanya sisa pakan dan feses yang mengendap di dasar tambak. Proses dekomposisi bahan organik tersebut membutuhkan oksigen yang menyebabkan nilai kebutuhan oksigen sedimen semakin meningkat pula. Selain itu, aplikasi bakteri probiotik dan bakteri pengurai lainnya yang bersifat aerob juga memerlukan oksigen untuk hidupnya yang memberikan pengaruh pada ketersediaan oksigen terlarut dalam tambak udang. Konsumsi oksigen udang juga semakin meningkat disebabkan ukuran udang yang semakin besar sehingga bobot biomassa udang di tambak semakin tinggi dan membutuhkan oksigen terlarut yang lebih besar (Gunarto 007). Konsumsi oksigen udang vannamei di tambak dipengaruhi oleh bobot individu udang, suhu air, dan salinitas, dimana semakin besar bobot udang, konsumsi oksigen semakin tinggi, akan tetapi akan relatif stabil setelah udang mencapai bobot > 3 gr/individu (Rachmansyah et al. 008). Penempatan kincir yang tepat perlu juga menjadi perhatian untuk memaksimalkan daerah tambak teroksigenasi dan meminimalkan daerah tambak yang defisit oskigen (Rachmansyah et al.005). Jumlah dan penempatan aerator merupakan hal kritis untuk menghasilkan pola arus dan mempertahankan level oksigen terlarut dalam air tambak udang, dimana arus dalam tambak udang perlu dipertahankan antara m/menit agar material organik tetap berada dalam

101 kondisi tersuspensi dan apabila kecepatan arus kurang dari 6 m/menit, maka material organik akan mengendap didasar tambak udang (McIntosh 000). Semakin banyak jumlah kincir yang digunakan, maka akan semakin besar kandungan TSS air tambak, sebagai akibat gerusan tanah pematang serta pengadukan dan pelarutan bahan organik dari dasar tambak. Sirkulasi air dalam tambak sebagai akibat operasionalisasi kincir yang berlebihan akan mempengaruhi pengikisan dan pelarutan tanah pematang tambak sehingga meningkatkan kekeruhan dan siltasi (McIntosh 000). Pada penelitian ini diperoleh tingkat produksi udang (16 ekor/m ) sebesar kg/hp dan tingkat produksi udang (50 ekor/m ) sebesar kg/hp. McIntosh (000) melaporkan bahwa tambak udang vannamei tanpa pergantian air selama pemeliharaan dapat memproduksi sekitar 550 kg udang /HP kincir. Selanjutnya Rachmansyah et al (005) juga melaporkan bahwa tingkat produksi tambak udang dengan perlakuan kincir diperoleh 594 kg/hp, perlakukan 3 kincir diperoleh sebesar 496 kg/hp, dan perlakukan 4 kincir diperoleh sebesar 30 kg/hp Serapan Tenaga Kerja Aktual Pengembangan Budidaya Tambak Udang Pada Kondisi Daya Dukung Luas tambak udang yang dapat dikembangkan di wilayah pesisir Kecamatan Mangara Bombang sesuai dengan daya dukung lingkungan yaitu tambak udang intensif (16 ekor/m ) seluas ha, intensif (50 ekor/m ) seluas ha, semi intensif seluas (5 ekor/m ) ha, dan tradisional plus (8 ekor/m ) ha. Hasil wawancara dengan pembudidaya tambak udang di wilayah pesisir Kecamatan Mangara Bombang bahwa jumlah tenaga kerja aktual yang dibutuhkan pada teknologi budidaya tambak udang intensif per satuan luas lahan (ha) yaitu 4 orang. Hasil penelitian Asbar (005) menjelaskan bahwa tambak udang semi intensif dan tradisional plus memerlukan tenaga kerja masing masing dan 1 orang per satuan luas (ha) dengan jumlah jam kerja efektif /hari (JKE) sebesar 8 jam/hari. Hasil analisis serapan tenaga kerja pengembangan budidaya tambak udang berdasarkan luas lahan pada kondisi daya dukung dapat dilihat pada Tabel 60

102 Tabel 60. Serapan tenaga kerja aktual pengembangan budidaya tambak udang per teknologi budidaya berdasarkan luas lahan pada kondisi daya dukung lingkungan di wilayah pesisir Kecamatan Mangara Bombang Teknologi Budidaya Tambak Udang Luas tambak udang pada kondisi daya dukung lingkungan (ha) Intensif (16 ekor/m ) Intensif (50 ekor/m ) Semi intensif (5 ekor/m ) Tradisional plus (8 ekor/m ) Sumber : Hasil analisis (008) Kebutuhan tenaga kerja aktual per satuan luas lahan (orang/ha) Jumlah tenaga kerja aktual yang diserap (orang) Serapan tenaga kerja aktual (HOK/th) Berdasarkan Tabel 60 di atas menunjukkan bahwa jika dikembangkan tambak udang intensif (16 ekor/m ) seluas ha, maka jumlah tenaga kerja aktual yang diserap sebesar 358 orang atau HOK/th. Jika dikembangkan tambak udang (50 ekor/m ) seluas ha, maka jumlah tenaga kerja aktual yang diserap sebesar 1385 orang atau HOK/th. Jika dikembangkan tambak udang semi intensif (5 ekor/m ) seluas ha, maka jumlah tenaga kerja aktual yang diserap sebesar 143 orang atau HOK/th. Jika dikembangkan tambak udang tradisional plus (8 ekor/m ) seluas ha, maka jumlah tenaga kerja aktual yang diserap sebesar 1695 orang atau HOK/th. Saat ini total jumlah tenaga kerja yang bekerja pada kegiatan budidaya tambak udang intensif di wilayah pesisir Kecamatan Mangara Bombang berjumlah 144 orang atau HOK/th. Jika dikembangkan tambak udang intensif (16 ekor/m ), masih dapat menyerap tenaga kerja aktual sebesar 14 orang atau HOK/th. Jika dikembangkan tambak udang intensif (50 ekor/m ), masih dapat menyerap tenaga kerja aktual sebesar 141 orang atau HOK/th. Jika dikembangkan tambak udang semi intensif (5 ekor/m ), masih dapat menyerap tenaga kerja aktual sebesar 188 orang atau

103 HOK/th. Jika dikembangkan tambak udang tradisional plus (8 ekor/m ), masih apat menyerap tenaga kerja aktual sebesar 1551 orang atau HOK/th. 5.1.Pemanfaatan Wilayah Pesisir Secara Optimal untuk Pengembangan Budidaya Tambak Udang Pendekatan sistem dinamik ini dikembangkan sebagai alat analisis untuk dapat dimanfaatkan oleh pengambil kebijakan dalam memformulasikan pengembangan perikanan budidaya tambak udang secara tepat dan optimal. Model umum keterkaitan antar sub model dapat dilihat pada Gambar 53. Gambar 53. Model umum keterkaitan antar sub model Sistem dinamik ini dikembangkan dengan mengacu dari beberapa parameter ilmiah yang diperoleh melalui hasil penelitian serta menggunakan data dari referensi yang terkait. Sistem dinamik ini dioperasionalkan pada berbagai skala waktu dan intensitas kegiatan budidaya tambak udang sehingga dapat

104 diprediksi konsekuensi atau respon dari sistem yang dipelajari akibat intervensi manusia. Oleh karena itu, sistem dinamik dapat digunakan untuk pemahaman, pendugaaan, dan optimasi alokasi sumberdaya perikanan budidaya tambak udang pada batas minimum resiko kerusakan lingkungan atau degradasi lingkungan yang lebih luas. Nilai atau informasi dasar yang digunakan dalam sistem dinamik optimasi pengembangan budidaya tambak udang di wilayah pesisir Kecamatan Mangara Bombang dapat dilihat pada Tabel 61. Tabel 61. Nilai atau informasi dasar yang digunakan dalam sistem dinamik optimasi pengembangan budidaya tambak udang di wilayah pesisir Kecamatan Mangara Bombang No Parameter Nilai Sumber data 1. Kisaran pasang surut m Penelitian ini Panjang garis pantai m Dinas Perikanan dan Kelautan Kab. Takalar, 008; Hasil analisis SIG, 008) 3 Kemiringan pantai 9.75 o (tg θ 0.174) Penelitian ini 4. Jarak pengambilan air 854 m Penelitian ini untuk keperluan air tambak udang 5. Pola pasang surut (nilai Formzal 1,5687) kali pasang dan kali surut Penelitian ini 6. Volume total perairan m Penelitian ini pesisir (V tot ) 7. Densitas tebar : a. Intensif 16 ekor/m Hasil monitoring (008) b. Intensif 50 ekor/m Hasil monitoring (008) c. Semi intensif 5 ekor/m Gunarto (007) d. Tradisional plus 8 ekor/900 m Erfan dan Mangampa (007) 8. MBW (Mean Body Weight) awal tebar dan akhir pemeliharaan : a.intensif (16 ekor/m ) 0.01 gram/ekor dan Hasil monitoring (008) gram/ekor b. Intensif (50 ekor/m ) 0.01 gram/ekor dan Hasil monitoring (008) 1.9 gram/ekor c. Semi intensif 0.05 gram/ekor dan Gunarto (007) 11.5 gram/ekor d. Tradisional plus 0.05 gram/ekor dan 1.77 gram/ekor Erfan dan Mangampa (007) 9. Survival Rate (SR) : a. Intensif ( 16 ekor/m ) % Hasil monitoring (008) b. Intensif (50 ekor/m ) % Hasil monitoring (008) c. Semi intensif (5 88,80 % Hasil monitoring (008) ekor/m ) d.tradisional plus ( % Hasil monitoring (008) ekor/m )

105 1 Limbah pakan (TSS) 35 % Primavera (1994), Boyd (1999) 13. N Pakan (16 ekor/m ) 6.16 % Hasil analisis proksimat (008) P Pakan (16 ekor/m ) 1.59 % Hasil analisis proksimat (008) N Retensi (16 ekor/m ) 7.77 % Hasil analisis proksimat (008) P Retensi (16 ekor/m ) 1.4 % Hasil analisis proksimat (008) 14 N Pakan (50 ekor/m ) 6.15 % Hasil analisis proksimat (008) P Pakan (50 ekor/m ) 1.7 % Hasil analisis proksimat (008) N Retensi (50 ekor/m ) 4.68 % Hasil analisis proksimat (008) P Retensi (50 ekor/m ) 0.98 % Hasil analisis proksimat (008) 15 N Pakan 5.6 % (semi intensif dan tradisional plus) P Pakan 1. % (semi intensif dan tradisional plus) N Retensi 7 % Boyd (1999) (semi intensif dan tradisional plus) P Retensi.73 % (semi intensif dan tradisional plus) 17. Kecernaan N Pakan 37.3 % Rachmansyah et al.(005) Vannamei 18 Kecernaan P pakan % Rachmansyah et al.(005) Vannamei 19. Oksigen terlarut tersedia di perairan pesisir (4 jam) untuk menguraikan 3.65 mg/l/hari Hasil pengamatan (008) limbah organik 0. Limbah selain tambak N (organik): udang/antropogenik kg/th DIN: kg/th Hasil analisis (008) P (organik): kg/th DIP: 1. Batasan daya dukung lingkungan (limbah organik) kg/th kg limbah organik/hari Hasil analisis (008)

106 Rp /kg Rp /kg Biaya produksi intensif (16 ekor/m ) udang Rp /kg udang (kincir optimal) Biaya produksi intensif (50 ekor/m ) udang Rp /kg udang (kincir optimal) Biaya produksi semi Rp 0 000/kg intensif (5 ekor/m ) Biaya produksi tradisio- Rp /kg nal plus (8 ekor/m ) udang 3. Harga jual udang Rp /kg Vannamei di tingkat udang pembudidaya udang 4. Tenaga kerja aktual/ha Intensif Semi intensif Tradisional plus 4 orang/ha orang/ha 1 orang/ha Hasil analisis (008) Hasil analisis (008) Gunarto (007) Erfan dan Mangampa (008) Hasil pengamatan lapangan (008) Asbar (005); Hasil pengamatan lapangan (008) 5 Jam kerja efektir/hari 8 jam/hari Hasil wawancara (008) 6 Pergantian air tambak udang : Intensif : Semi intensif : Tradisional plus : 3 % (bln 1 dan ); 10 % (bln 3); 15 % (bln 4) 3 % (bln 1); 5 % (bln ); 10 % (bln 3 dan 4) Pasang surut Hasil pengamatan lapangan (008); Widigdo dan Soewardi (00) Beberapa asumsi yang digunakan dalam sistem dinamik optimasi pengembangan budidaya tambak udang di wilayah pesisir Kecamatan Mangara Bombang, yaitu : Tipe model yang digunakan adalah kompartemen yaitu variabel didefinisikan dan dikuantifikasi dimana waktu sebagai faktor penentu. Padat penebaran, dosis pakan, lama pemeliharaan, pertumbuhan udang (MBW), dan Survival Rate (SR) untuk tambak udang intensif sesuai yang terdapat dilokasi penelitian yaitu tambak udang intensif (16 ekor/m ) dan tambak udang intensif (50 ekor/m ). Sedangkan tambak udang semi intensif (5 ekor/m ) berdasarkan hasil penelitian Gunarto (007) dan tradisional plus (8 ekor/m ) berdasarkan hasil penelitian Erfan dan Mangampa (007). Tambak udang inensif (16 ekor/m ), intensif (50 ekor/m ), semi intensif (5 ekor/m ), dan tradisional plus (8 ekor/m ) melakukan penebaran udang dan

107 pembuangan limbah ke lingkungan perairan secara bersamaan (pertimbangan resiko lingkungan maksimum). Buangan limbah organik yang masuk ke lingkungan perairan pesisir merupakan akumulasi limbah organik yang berasal dari kegiatan budidaya tambak udang yaitu setiap kg pakan yang diberikan akan terurai menjadi limbah organik sebesar 35 % (Primavera dan Apud 1994; Boyd et al. 1998) dan buangan limbah selain tambak udang/antropogenik (external loading) di sekitar wilayah pesisir Kecamatan Mangara Bombang (San Diego- McGlone et al.1999) Batasan maksimum limbah organik yang dapat ditampung oleh perairan pesisir tanpa melampaui daya dukung lingkungan sebesar kg limbah organik/hari. Dinamika yang ada merupakan nilai hasil pengamatan dari setiap parameter selama penelitian. Sub model pengembangan tambak udang secara optimal di wilayah pesisir Kecamatan Mangara Bombang dapat dilihat pada Gambar 54 s/d Sub Model Beban Limbah Sub model ini dibangun berdasarkan dosis pakan, % N pakan, % P pakan, % N udang, % P udang, % N (cerna udang), % P (cerna udang), jumlah pakan yang tidak termakan (uneaten food), jumlah pakan termakan (eaten food), limbah selain tambak udang/antropogenik (external loading), waktu pemeliharaan (rearing period), volume tambak udang, dan volume air tambak yang dibuang. Sub model ini menggambarkan akumulasi beban limbah organik yang masuk ke lingkungan perairan pesisir baik dari kegiatan tambak udang dan selain tambak udang/antropogenik selama satu siklus pemeliharaan udang (MT).

108 Gambar 54.Konsep sub model limbah budidaya tambak udang Keterangan : Dosis pakan per ha per hari = jumlah pakan per hari intensif (16 ekor/m ) Dosis pakan per ha per hari 50 = jumlah pakan per hari intensif (50 ekor/m ) Dosis pakan per ha hari SI = jumlah pakan per hari semi intensif (5 ekor/m ) Pakan TP = jumlah pakan tradisional plus (8 ekor/m ) Tot L organik 16 = total limbah organik tambak udang intensif (16 ekor/m ) Tot L organik 50 = total limbah organik tambak udang intensif (50 ekor/m ) Tot organik SI = total limbah organik tambak udang semi intensif (5 ekor/m ) Tot organik TP = total limbah organik tambak udang tradisional plus (8 ekor/m ) LSTU = Beban limbah selain tambak udang/antropogenik

109 5.1.. Sub Model Daya Dukung Lingkungan Sub model ini dibangun berdasarkan volume total air laut tersedia (V tot ) (kisaran pasang surut, kemiringan dasar perairan, frekuensi pasang surut, panjang garis pantai, dan jarak dari garis pantai pada air pasang ke arah laut sampai lokasi intake air laut untuk keperluan tambak udang), oksigen terlarut kolom air perairan pesisir, dan oksigen terlarut minimal organisme budidaya, masukan limbah tambak udang per teknologi budidaya dan selain tambak udang/antropogenik (external loading). Sub model ini menggambarkan kemampuan perairan atau kapasitas asimilasi perairan terhadap limbah organik. Gambar 55. Konsep sub model daya dukung lingkungan Keterangan : FT = Flushing Time K pantai = kemiringan dasar perairan pesisir Jang air pasang = jarak dari garis pantai (waktu pasang) hingga kelokasi pengambilan air laut (sea water intake) untuk keperluan tambak O organik = jumlah oksigen terlarut untuk menguraikan limbah organik Vot = Volume total air tersedia di perairan pesisir O terlarut = kandungan oksigen terlarut perairan pesisir Total limbah organik = total limbah organik tambak udang DDL MTD = penurunan daya dukung lingkungan perairan pesisir Batasan DDL = batasan daya dukung lingkungan limbah organik perairan pesisir LSTU = Beban limbah selain tambak udang

110 Sub Model Teknologi Budidaya Sub model ini dibangun berdasarkan respon pertumbuhan udang (bobot udang),sintasan (SR), padat penebaran udang, dan jumlah atau dosis pakan harian. Gambar 56. Konsep sub model teknologi budidaya udang Keterangan : PT 16 = padat tebar tambak udang intensif (16 ekor/m ) SR 16 = survival rate tambak udang intensif (16 ekor/m ) MBW = mean body weight udang tambak intensif (16 ekor/m ) PT 50 = padat tebar tambak udang intensif (50 ekor/m ) SR 50 = survival rate tambak udang intensif (50 ekor/m ) MWB 50 = mean body weight udang tambak intensif (50 ekor/m ) PT SI = padat tebar tambak udang semi intensif (5 ekor/m ) SR SI = survival rate tambak udang intensif (5 ekor/m ) PT TP = padat tebar tambak udang tradisional plus (8 ekor/m ) SR TP = survival rate tambak udang tradisional plus (8 ekor/m ) Panen BU 16 = produksi tambak udang intensif (16 ekor/m ) MBW TP = mean body weight udang tambak tradisional plus (8 ekor/m ) Panen BU 50 = produksi tambak udang intensif (50 ekor/m ) Panen BU SI = produksi tambak udang semi intensif (5 ekor/m ) Panen BU TP = produksi tambak udang tradisional plus (8 ekor/m ) Total pakan 16= total pakan tambak udang intensif (16 ekor/m ) Total pakan 50= total pakan tambak udang intensif (50 ekor/m ) Total pakan SI = total pakan tambak udang semi intensif (5 ekor/m ) Pkn TP = total pakan tambak udang tradisional plus (8 ekor/m )

111 Sub Model Ekonomi Sub model ekonomi (pendapatan usaha) dibangun untuk memberikan gambaran tingkat keuntungan (pendapatan usaha) tambak udang selama satu siklus pemeliharaan (MT) yang dipengaruhi oleh tingkat produksi udang, biaya produksi (total cost), dan harga udang ditingkat pembudidaya selama satu siklus pemeliharaan (MT). Gambar 57. Konsep sub model ekonomi budidaya tambak udang Keterangan : TC 16 = total biaya produksi tambak udang intensif (16 ekor/m ) TC 50 = total biaya produksi tambak udang intensif (50 ekor/m ) TC SI = total biaya produksi tambak udang semi intensif (5 ekor/m ) TC TP = total biaya produksi tambak udang tradisional plus (8 ekor/m ) TCK 16 = total biaya produksi tambak udang intensif (16 ekor/m pengelolaan kincir optimal TCK 50 = total biaya produksi tambak udang intensif (50 ekor/m Pengelolaan kincir optimal Pendapatan I 16 = total hasil penjualan udang intensif (16 ekor/m ) Pendapatan I 50 = total hasil penjualan udang intensif (50 ekor/m ) Pendapatan SI = total hasil penjualan udang semi intensif (5 ekor/m ) Pendapatan TP = total hasil penjualan udang tradisional plus (8 ekor/m ) PDU 16 = keuntungan tambak udang intensif (16 ekor/m ) PDU 50= keuntungan usaha tambak udang intensif (50 ekor/m ) PDU SI = keuntungan usaha tambak udang semi intensif (5 ekor/m ) PDU TP= keuntungan usaha tambak udang tradisional plus (8 ekor/m ) ) dengan ) dengan

112 PDUK 16 = keuntungan usaha tambak udang intensif (16 ekor/m ) dengan pengelolaan kincir optimal PDUK50 = keuntungan usaha tambak udang intensif (50 ekor/m ) dengan pengelolaan kincir optimal PD 16 = kontribusi tambak udang intensif (16 ekor/m ) ke daerah PD 50 = kontribusi tambak udang intensif (50 ekor/m ) ke daerah PD SI = kontribusi tambak udang semi intensif (5 ekor/m ) ke daerah PD TP = kontribusi tambak udang tradisional plus (8 ekor/m ) ke daerah PDK16 = kontribusi tambak udang intensif (16 ekor/m ) dengan pengelolaan kincir optimal PDK 50 = kontribusi tambak udang intensif (50 ekor/m ) dengan pengelolaan kincir optimal Sub Model Tenaga Kerja Sub model ini dibangun untuk menggambarkan total tenaga kerja (orang) atau HOK/th yang dapat diserap secara aktual dari pengembangan tambak udang yang dipengaruhi oleh jumlah jam kerja efektif per hari, kebutuhan tenaga kerja aktual per ha, luas tambak udang, jumlah musim tanam per tahun, dan lama pemeliharaan (rearing period). Gambar 58. Konsep sub model tenaga kerja Keterangan : TK16 = serapan tenaga kerja aktual tambak udang intensif (16 ekor/m )(orang) TK 50 = serapan tenaga kerja aktual tambak udang intensif (50 ekor/m ) (orang) TK SI = serapan tenaga kerja aktual tambak udang semi intensif (5 ekor/m (orang) )

113 TK TP = serapan tenaga kerja aktual tambak udang tradisional plus (8 ekor/m ) (orang) HOK16 = serapan tenaga kerja aktual tambak udang intensif (16 ekor/m )(HOK/th) HOK 50 = serapan tenaga kerja aktual tambak udang intensif (50 ekor/m )(HOK/th) HOK SI = serapan tenag kerja aktual tambak udang semi intensif (5 ekor/m )(HOK/th) HOK TP = serapan tenaga kerja aktual tambak udang tradisional plus (8 ekor/m ) (HOK/th) Validasi Model Model divalidasi dengan membandingkan perfomansi model hasil simulasi dari beberapa peubah dengan hasil penghitungan lapangan dengan menggunakan pengujian secara statistik (Sushil 1993; Hartrisari 007) atau dengan mencari tingkat kesalahan relatifnya (Kartono et al. 008). Perbandingan dilakungan terhadap produksi biomassa udang, jumlah pakan yang digunakan, jumlah produksi limbah organik dalam bentuk TSS, nitrogen dan phosphor yang dihasilkan dari kegiatan budidaya tambak udang. Uji statistik menggunakan bantuan perangkat lunak SPSS versi 1. Perbandingan antara hasil simulasi model dengan penghitungan lapangan sebagai berikut : Produksi biomassa udang intensif (16 ekor/m ) Total produksi biomassa udang hasil penghitungan lapangan pada hari ke 10 sebesar kg, hari ke 0 sebesar 38.4 kg, hari ke 30 sebesar 3647 kg, hari ke 40 sebesar kg, hari ke 50 sebesar kg, hari ke 60 sebesar kg, hari ke 70 sebesar kg, hari ke 80 sebesar kg, hari ke 90 sebesar kg, hari ke 100 sebesar kg, hari ke 110 sebesar kg. Hasil simulasi model diperoleh total produksi biomassa udang pada hari ke 10 sebesar kg, hari ke 0 sebesar kg, hari ke 30 sebesar kg, hari ke 40 sebesar kg, hari ke 50 sebesar kg, hari ke 60 sebesar kg, hari ke 70 sebesar kg, hari ke 80 sebesar kg, hari ke 90 sebesar kg, hari ke 100 sebesar kg, dan hari ke 110 sebesar kg. Hasil uji statistik (uji t beda nyata) menunjukkan bahwa antara hasil penghitungan lapangan dengan simulasi model tidak berbeda nyata (db = 10, t = 1.699, α > 0.05)

114 Pakan intensif (16 ekor/m ) Jumlah total pakan yang digunakan selama pemeliharaan hasil penghitungan lapangan sebesar kg. Jumlah pakan harian hasil penghitungan lapangan pada hari ke 10 sebesar 5.87 kg, hari ke 0 sebesar kg, hari ke 30 sebesar kg, hari ke 40 sebesar kg, hari ke 50 sebesar kg, hari ke 60 sebesar kg, hari ke 70 sebesar 94.1 kg, hari ke 80 sebesar kg, hari ke 90 sebesar kg, hari ke 100 sebesar kg, hari ke 110 sebesar kg. Hasil simulasi model diperoleh jumlah total pakan yang digunakan sampai akhir pemeliharaan sebesar kg. Total pakan harian pada hari ke 10 sebesar kg, hari ke 0 sebesar kg, hari ke 30 sebesar kg, hari ke 40 sebesar kg, hari ke 50 sebesar kg, hari ke 60 sebesar kg, hari ke 70 sebesar 94.1 kg, hari ke 80 sebesar kg, hari ke 90 sebesar kg, hari ke 100 sebesar kg, dan hari ke 110 sebesar kg. Hasil uji statistik (uji t beda nyata) menunjukkan bahwa antara hasil penghitungan lapangan dengan simulasi model tidak berbeda nyata (db = 10, t = 0.858, α > 0.05) Limbah organik intensif (16 ekor/m ) (TSS, N dan P) Jumlah total limbah organik dalam bentuk TSS yang dihasilkan sampai akhir pemeliharaan hasil penghitungan lapangan sebesar kg. Total limbah organik harian hasil penghitungan lapangan pada hari ke 10 sebesar.84 kg, hari ke 0 sebesar 9.61 kg, hari ke 30 sebesar 19.3 kg, hari ke 40 sebesar kg, hari ke 50 sebesar kg, hari ke 60 sebesar kg, hari ke 70 sebesar kg, hari ke 80 sebesar kg, hari ke 90 sebesar kg, hari ke 100 sebesar kg, dan hari ke 110 sebesar kg. Hasil simulasi model diperoleh total limbah organik dalam bentuk TSS sampai akhir pemeliharaan sebesar kg. Total limbah organik harian hasil simulasi model pada hari ke 10 sebesar.8 kg, hari ke 0 sebesar 9.55 kg, hari ke 30 sebesar 19.7 kg, hari ke 40 sebesar 33.9 kg, hari ke 50 sebesar kg, hari ke 60 sebesar kg, hari ke 70 sebesar kg, hari ke 80 sebesar kg, hari ke 90 sebesar kg, hari ke 100 sebesar kg, dan hari ke 110 sebesar kg. Hasil uji statistik (uji t beda nyata) menunjukkan bahwa

115 antara hasil penghitungan lapangan dengan simulasi model tidak berbeda nyata (db = 10, t = 0.558, α > 0.05). Total limbah nitrogen (TN) dari sisa pakan hasil penghitungan lapangan sebesar kg, kemudian dari feses sebesar kg, dan dari eksresi sebesar kg. Hasil simulasi model diperoleh total limbah nitrogen (TN) dari sisa pakan sebesar kg, kemudian dari feses kg, dan dari eksresi sebesar kg. Hasil uji statistik (uji t beda nyata) menunjukkan bahwa antara hasil penghitungan lapangan dengan simulasi model tidak berbeda nyata (db =, t = 1.614, α > 0.05). Total limbah phosphor (TP) dari sisa pakan hasil penghitungan lapangan sebesar kg, kemudian dari feses sebesar 00.8 kg, dan dari eksresi sebesar kg. Hasil simulasi model diperoleh total limbah phosphor dari sisa pakan sebesar kg, kemudian dari feses 10.9 kg, dan dari eksresi sebesar 6.97 kg. Hasil uji statistik (uji t beda nyata) menunjukkan bahwa antara hasil penghitungan lapangan dengan simulasi model tidak berbeda nyata (db =, t = 0.510, α > 0.05). Produksi biomassa udang intensif (50 ekor/m ) Total produksi biomassa udang hasil penghitungan lapangan pada hari ke 10 sebesar kg, hari ke 0 sebesar kg, hari ke 30 sebesar 971 kg, hari ke 40 sebesar kg, hari ke 50 sebesar kg, hari ke 60 sebesar kg, hari ke 70 sebesar kg, hari ke 80 sebesar kg, hari ke 90 sebesar kg, dan hari ke 93 sebesar kg. Hasil simulasi model diperoleh total produksi biomassa udang pada hari ke 10 sebesar kg, hari ke 0 sebesar kg, hari ke 30 sebesar kg, hari ke 40 sebesar kg, hari ke 50 sebesar 68.3 kg, hari ke 60 sebesar kg, hari ke 70 sebesar kg, hari ke 80 sebesar kg, hari ke 90 sebesar kg, dan hari ke 93 sebesar kg. Hasil uji statistik (uji t beda nyata) menunjukkan bahwa antara hasil penghitungan lapangan dengan simulasi model tidak berbeda nyata (db = 9, t = 0.53, α > 0.05)

116 Pakan intensif (50 ekor/m ) Jumlah total pakan yang digunakan sampai akhir pemeliharaan hasil penghitungan lapangan sebesar kg. Jumlah pakan harian pada hari ke 10 sebesar 5.41 kg, hari ke 0 sebesar 0.45 kg, hari ke 30 sebesar kg, hari ke 40 sebesar kg, hari ke 50 sebesar kg, hari ke 60 sebesar kg, hari ke 70 sebesar kg, hari ke 80 sebesar kg, hari ke 90 sebesar kg, hari ke 93 sebesar 15.5 kg. Hasil simulasi model diperoleh jmlah pakan yang digunakan sampai akhir pemeliharaan sebesar kg. Total pakan harian pada hari ke 10 sebesar 5.43 kg, hari ke 0 sebesar 0.45 kg, hari ke 30 sebesar kg, hari ke 40 sebesar 64.7 kg, hari ke 50 sebesar kg, hari ke 60 sebesar kg, hari ke 70 sebesar kg, hari ke 80 sebesar kg, hari ke 90 sebesar kg, dan hari ke 93 sebesar kg. Hasil uji statistik (uji t beda nyata) menunjukkan bahwa antara hasil penghitungan lapangan dengan simulasi model tidak berbeda nyata (db = 9, t = 0.979, α > 0.05) Limbah organik intensif (50 ekor/m ) (TSS, N, dan P) Jumlah total limbah organik dalam bentuk TSS yang dihasilkan sampai akhir pemeliharaan hasil penghitungan lapangan sebesar kg. Total limbah organik harian hasil penghitungan lapangan pada hari ke 10 sebesar 0.61 kg, hari ke 0 sebesar kg, hari ke 30 sebesar kg, hari ke 40 sebesar kg, hari ke 50 sebesar kg, hari ke 60 sebesar kg, hari ke 70 sebesar kg, hari ke 80 sebesar kg, hari ke 90 sebesar kg, dan hari ke 93 sebesar kg. Hasil simulasi model diperoleh jumlah total limbah organik yang dihasilkan sampai akhir pemeliharaan sebesar kg. Total limbah organik harian hasil simulasi model pada hari ke 10 sebesar 0.70 kg, hari ke 0 sebesar 1.19 kg, hari ke 30 sebesar 3.71 kg, hari ke 40 sebesar 7.84 kg, hari ke 50 sebesar 1.73 kg, hari ke 60 sebesar kg, hari ke 70 sebesar kg, hari ke 80 sebesar kg, hari ke 90 sebesar kg dan hari ke 93 sebesar Hasil uji statistik (uji t beda nyata) menunjukkan bahwa antara hasil penghitungan lapangan dengan simulasi model tidak berbeda nyata (db = 9, t = 1.883, α > 0.05) Total limbah nitrogen (TN) dari sisa pakan hasil penghitungan lapangan sebesar kg, kemudian dari feses sebesar kg, dan dari eksresi sebesar

117 93.95 kg. Hasil simulasi model diperoleh total limbah nitrogen (TN) dari sisa pakan sebesar kg, kemudian dari feses kg, dan dari eksresi sebesar kg. Hasil uji statistik (uji t beda nyata) menunjukkan bahwa antara hasil penghitungan lapangan dengan simulasi model tidak berbeda nyata (db =, t = 0.930, α > 0.05). Total limbah phosphor (TP) dari sisa pakan hasil penghitungan lapangan sebesar kg, kemudian dari feses sebesar kg, dan dari eksresi sebesar 1.0 kg. Hasil simulasi model diperoleh total limbah phosphor dari sisa pakan sebesar kg, kemudian dari feses kg, dan dari eksresi sebesar 1.96 kg. Hasil uji statistik (uji t beda nyata) menunjukkan bahwa antara hasil penghitungan lapangan dengan simulasi model tidak berbeda nyata (db =, t = 0.416, α > 0.05). Produksi biomassa udang semi intensif (5 ekor/m ) Total produksi biomassa udang hasil penghitungan lapangan pada hari ke 10 sebesar kg, hari ke 0 sebesar kg, hari ke 30 sebesar kg, hari ke 40 sebesar kg, hari ke 50 sebesar kg, hari ke 60 sebesar kg, hari ke 70 sebesar kg, hari ke 80 sebesar kg, hari ke 90 sebesar kg, dan hari ke 93 sebesar kg. Hasil simulasi model diperoleh total produksi biomassa udang pada hari ke 10 sebesar kg, hari ke 0 sebesar kg, hari ke 30 sebesar kg, hari ke 40 sebesar kg, hari ke 50 sebesar kg, hari ke 60 sebesar kg, hari ke 70 sebesar kg, hari ke 80 sebesar kg, hari ke 90 sebesar kg, dan hari ke 93 sebesar kg. Hasil uji statistik (uji t beda nyata) menunjukkan bahwa antara hasil penghitungan lapangan dengan simulasi model tidak berbeda nyata (db = 9, t = 0.364, α > 0.05) Pakan harian semi intensif (5 ekor/m ) Jumlah total pakan yang digunakan sampai akhir pemeliharaan hasil penghitungan lapangan sebesar kg. Jumlah pakan harian pada hari ke 10 sebesar 3.0 kg, hari ke 0 sebesar 9.0 kg, hari ke 30 sebesar kg, hari ke 40 sebesar 7.0 kg, hari ke 50 sebesar kg, hari ke 60 sebesar kg, hari ke 70 sebesar kg, hari ke 80 sebesar 6.00 kg, hari ke 90 sebesar 6.00 kg, hari ke 93 sebesar 6.00 kg. Hasil simulasi model diperoleh jumlah pakan yang digunakan sampai akhir pemeliharaan sebesar kg. Jumlah pakan harian

118 hasil simulasi model pada hari ke 10 sebesar 3.05 kg, hari ke 0 sebesar 9.1 kg, hari ke 30 sebesar kg, hari ke 40 sebesar 7.18 kg, hari ke 50 sebesar kg, hari ke 60 sebesar kg, hari ke 70 sebesar kg, hari ke 80 sebesar 6.0 kg, hari ke 90 sebesar 6.01 kg, hari ke 95 sebesar 6.00 kg. Hasil penghitungan lapangan dengan simulasi model tidak terdapat perbedaan (db = 9, t = 0.764, α > 0.05) Limbah organik semi intensif (5 ekor/m ) (TSS, N, dan P) Jumlah total limbah organik yang dihasilkan sampai akhir pemeliharaan hasil penghitungan lapangan sebesar kg. Total limbah organik harian hasil penghitungan lapangan pada hari ke 10 sebesar 0.1 kg, hari ke 0 sebesar 0.77 kg, hari ke 30 sebesar 1.67 kg, hari ke 40 sebesar 5.1 kg, hari ke 50 sebesar 8.15 kg, hari ke 60 sebesar kg, hari ke 70 sebesar 0.04 kg, hari ke 80 sebesar.4 kg, hari ke 90 sebesar.61 kg, dan hari ke 95 sebesar 15.5 kg. Hasil simulasi model diperoleh jumlah total limbah organik yang dihasilkan sampai akhir pemeliharaan sebesar kg. Total limbah organik harian hasil simulasi model pada hari ke 10 sebesar 0.33 kg, hari ke 0 sebesar 0.85 kg, hari ke 30 sebesar 1.7 kg, hari ke 40 sebesar 5.1 kg, hari ke 50 sebesar 9.05 kg, hari ke 60 sebesar 1.03 kg, hari ke 70 sebesar 1.81 kg, hari ke 80 sebesar.4 kg, hari ke 90 sebesar.61 kg dan hari ke 95 sebesar Hasil uji statistik (uji t beda nyata) menunjukkan bahwa antara hasil penghitungan lapangan dengan simulasi model tidak berbeda nyata (db = 9, t = 0.979, α > 0.05) Total limbah nitrogen (TN) dari sisa pakan hasil penghitungan lapangan sebesar 8.4 kg, kemudian dari feses sebesar 7.3 kg, dan dari eksresi sebesar 39.9 kg. Hasil simulasi model diperoleh total limbah nitrogen (TN) dari sisa pakan sebesar 8.81 kg, kemudian dari feses 7.40 kg, dan dari eksresi sebesar kg. Hasil uji statistik (uji t beda nyata) menunjukkan bahwa antara hasil penghitungan lapangan dengan simulasi model tidak berbeda nyata (db =, t = 0.37, α > 0.05). Total limbah phosphor (TP) dari sisa pakan hasil penghitungan lapangan sebesar 6.06 kg, kemudian dari feses sebesar 0. kg, dan dari eksresi sebesar 4.36 kg. Hasil simulasi model diperoleh total limbah phosphor dari sisa pakan sebesar 5.94 kg, kemudian dari feses kg, dan dari eksresi sebesar 4.8 kg.

119 Hasil uji statistik (uji t beda nyata) menunjukkan bahwa antara hasil penghitungan lapangan dengan simulasi model tidak berbeda nyata (db =, t = 1.056, α > 0.05) Produksi biomassa udang tradisional plus (8 ekor/m ) Total produksi biomassa udang hasil penghitungan lapangan pada hari ke 10 sebesar 4.49 kg, hari ke 0 sebesar kg, hari ke 30 sebesar kg, hari ke 40 sebesar kg, hari ke 50 sebesar kg, hari ke 60 sebesar kg, hari ke 70 sebesar kg, hari ke 80 sebesar kg, hari ke 90 sebesar kg, hari ke 100 sebesar kg, hari ke 110 sebesar kg. Hasil simulasi model diperoleh total produksi biomassa udang pada hari ke 10 sebesar 7.75 kg, hari ke 0 sebesar kg, hari ke 30 sebesar kg, hari ke 40 sebesar kg, hari ke 50 sebesar kg, hari ke 60 sebesar 50 kg, hari ke 70 sebesar kg, hari ke 80 sebesar kg, hari ke 90 sebesar kg, hari ke 100 sebesar kg, dan hari ke 110 sebesar kg. Hasil uji statistik (uji t beda nyata) menunjukkan bahwa antara hasil penghitungan lapangan dengan simulasi model tidak berbeda nyata (db = 10, t = 1.310, α > 0.05) Pakan harian tradisional plus (8 ekor/m ) Jumlah total pakan yang digunakan sampai akhir pemeliharaan hasil penghitungan lapangan sebesar 1394 kg. Jumlah pakan harian pada hari ke 70 sebesar kg, hari ke 80 sebesar 41.5 kg, hari ke 90 sebesar kg, hari ke 100 sebesar kg, dan hari ke 110 sebesar kg. Hasil simulasi model diperoleh jumlah pakan yang digunakan sampai akhir pemeliharaan sebesar kg. Total pakan harian hasil simulasi model pada hari ke 70 sebesar kg, pada hari ke 80 sebesar kg, hari ke 30 sebesar kg, hari ke 100 sebesar kg, dan hari ke 110 sebesar 40.5 kg. Hasil penghitungan lapangan dengan simulasi model tidak terdapat perbedaan (db = 4, t = 0.49, α > 0.05) Limbah organik (8 ekor/m ) (TSS, N, dan P) Jumlah total limbah organik dalam bentuk TSS yang dihasilkan selama pemeliharaan hasil penghitungan lapangan sebesar kg dan hasil simulasi model diperoleh total limbah organik dalam bentuk TSS sebesar kg. Hasil

120 penghitungan lapangan dengan simulasi model tidak berbeda nyata (kesalahan relatif sangat kecil yaitu 0.0 %). Total nitrogen (TN) hasil penghitungan lapangan dari sisa pakan sebesar kg, kemudian dari feses sebesar.98 kg, dan dari hasil eksresi kg. Hasil simulasi model diperoleh total limbah nitrogen (TN) dari sisa pakan sebesar kg, kemudian dari feses sebesar 9.1 kg, dan hasil eksresi sebesar kg. Hasil uji statistik (uji t beda nyata) menunjukkan bahwa antara hasil penghitungan lapangan dengan simulasi model tidak berbeda nyata (db =, t = 0.810, α > 0.05) Total limbah phosphor (TP) dari sisa pakan hasil penghitungan lapangan sebesar.51 kg, kemudian dari feses sebesar 8.38 kg, dan dari hasil eksresi sebesar 1.81 kg. Hasil simulasi model diperoleh total limbah phosphor (TP) dari sisa pakan sebesar.44 kg, dari feses sebesar 8.14 kg, dan dari hasil eksresi 1.75 kg. Hasil uji statistik (uji t beda nyata) menunjukkan bahwa antara hasil penghitungan lapangan dengan simulasi model tidak berbeda nyata (db =, t = 1.11, α > 0.05) Limbah selain tambak udang/antropogenik (external loading) Jumlah total limbah selain tambak udang/antropogenik (external loading) yang masuk ke lingkungan perairan pesisir dalam bentuk N (organik) sebesar kg N/th atau kg N/th (DIN) (selama hari pemeliharaan kg N atau kg dalam bentuk DIN). Sedangkan dalam bentuk P (organik) sebesar kg N/th atau kg N/th (DIP) (selama hari pemeliharaan kg N atau 50.0 kg N dalam bentuk DIP). Hasil simulasi model diperoleh total limbah selain tambak udang/antropogenik dalam bentuk N (organik) selama hari pemeliharaan sebesar kg N atau kg N (DIN) dan dalam bentuk P (organik) sebesar kg N atau 50.0 kg P (DIP). Hasil uji statistik (uji t beda nyata) menunjukkan bahwa antara hasil penghitungan lapangan dengan simulasi model tidak berbeda nyata (db = 3, t = 0.408, α > 0.05). Dari hasil evaluasi secara keseluruhan dapat disimpulkan bahwa model yang dibangun memberikan hasil yang bersesuaian dengan kondisi nyata. Tidak terdapat perbedaan nyata secara statistik antara prediksi model dengan data

121 lapangan (data empirik) mengindikasikan bahwa model yang dibangun dapat digunakan untuk memprediksi total limbah, produksi udang, dan pakan yang digunakan. Adanya perbedaan nilai yang terjadi antara hasil penghitungan lapangan dan hasil simulasi model walaupun secara analisis statistik tidak berbeda nyata disebabkan oleh waktu penghitungan. Hasil simulasi model mengacu pada perbedaan waktu harian (dt) sedangkan hasil pengukuran lapangan dilakukan berdasarkan hasil sampling secara berkala dengan interval 10 hari. Dengan demikian, prediksi model lebih mencirikan proses biologi yang terjadi dalam sistem budidaya udang Simulasi Skenario Pemanfatan Wilayah Pesisir Kecamatan Mangara Bombang Secara Optimal Sebagai Dasar Pengambilan Kebijakan Pengembangan Budidaya Tambak Udang Skenario sebagai dasar pengambilan keputusan dilakukan dengan simulasi sebagai rancangan kebijakan yang mungkin dilakukan dalam kondisi nyata (real world) berdasarkan pada model sistem dinamik yang dibuat. Dalam hal ini dilakukan perubahan pada peubah tertentu yang terdapat di dalam model sistem dinamik, sehingga skenario yang dibuat dapat disimulasikan. Variabel indikator (indicator variable) dalam simulasi model sistem dinamik yaitu beban limbah organik (sub model beban limbah), perubahan luasan tambak udang dan produksi udang (sub model teknologi budidaya), pendapatan usaha dan pendapatan daerah (sub model ekonomi), dan tenaga kerja (sub model tenaga kerja). Variabel pembatas (limiting variable) adalah daya dukung lingkungan limbah organik (sub model daya dukung lingkungan). Variabel keputusan (decision variable) adalah beban limbah selain tambak udang /antropogenik (external loading). Alasan yang mendasari beban limbah selain tambak udang/antropogenik (external loading) yang menjadi komponen dalam skenario pengembangan budidaya tambak udang karena masukan limbah selain tambak udang/antropogenik (external loading) dapat memberikan pengaruh terhadap akumulasi limbah organik yang masuk dan berada di lingkungan perairan pesisir disamping tambak udang itu sendiri. Akumulasi limbah organik yang masuk dan melebihi kemampuan perairan pesisir untuk mengasimilasi akan berdampak pada penurunan kualitas lingkunan perairan sehingga berdampak pula terhadap keberlanjutan produkstivitas budidaya udang

122 itu sendiri. Beberapa skenario yang dilakukan dalam simulasi sistem dinamik optimasi ini yaitu Skenario 1. Kontribusi limbah selain tambak udang/antropogenik yang masuk ke lingkungan perairan pesisir pada kondisi saat ini Skenario. Kontribusi limbah selain tambak udang/antropogenik yang masuk ke lingkungan perairan pesisir Kecamatan Mangara Bombang meningkat 10 % dari kondisi saat ini Skenario 3. Kontribusi limbah selain tambak udang/antropogenik yang masuk ke lingkungan perairan pesisir Kecamatan Mangara Bombang meningkat 5 % dari kondisi saat ini Skenario 4. Kontribusi limbah selain tambak udang/antropogenik yang masuk ke lingkungan perairan pesisir Kecamatan Mangara Bombang meningkat 50 % dari kondisi saat ini. Skenario 5.Kontribusi limbah selain tambak udang/antropogenik yang masuk ke kelingkungan perairan pesisir Kecamatan Mangara Bombang turun 15 % dari kondisi saat ini. Hasil simulasi dari beberapa skenario yang digunakan sebagai berikut : Skenario 1. Hasil simulasi menunjukkan, total limbah organik yang masuk dan berada di lingkungan perairan pesisir Kecamatan Mangara Bombang mulai hari ke 1 sampai akhir pemeliharaan mengalami peningkatan. Pada hari ke 93, total limbah organik sebesar kg, kemudian pada hari ke-95 sebesar kg, dan pada hari ke-110 sebesar kg. Peningkatan limbah organik yang masuk dan berada di lingkungan perairan pesisir Kecamatan Mangara Bombang, mengakibatkan alokasi luas lahan tambak udang untuk masing masing teknologi juga mengalami penurunan sesuai dengan kondisi limbah oganik di perairan pesisir. Pada skenario ini, alokasi luas tambak udang yang bisa diusahakan secara optimal sampai akhir pemeliharaan yaitu intensif (16 ekor/m ) seluas 6.6 ha, intensif (50 ekor/m ) seluas ha, semi intensif (5 ekor/m ) seluas 8.36 ha, dan tradisional plus (8 ekor/m ) seluas ha.

123 Gambar 59. Total limbah organik dan luas tambak udang optimal sampai akhir pemeliharaan (skenario 1: kontribusi limbah selain tambak udang/antropogenik pada kondisi saat ini) Luas optimal tambak udang intensif (16 ekor/m ), intensif (50 ekor/m ), semi intensif (5 ekor/m ) dan tradisional plus ( 8 ekor/m ) bisa menghasilkan total produksi udang sampai akhir pemeliharaan masing masing sebesar kg, kg, kg, kg (total produksi udang intensif, semi intensif, dan tradisional plus sebesar kg udang). Gambar 60. Produksi udang sampai akhir pemeliharaan pada kondisi luas tambak udang optimal (Skenario 1: kontribusi limbah selain tambak udang/antropogenik pada kondisi saat ini) Total pendapatan usaha tambak udang intensif (16 ekor/m ) sampai akhir pemeliharaan pada kondisi luas tambak udang optimal sebesar Rp , tambak udang intensif (50 ekor/m ) sebesar Rp , tambak udang semi intensif (5 ekor/m ) sebesar Rp dan tambak udang tradisional plus (8 ekor/m ) sebesar (total pendapatan usaha luas

124 optimal tambak udang intensif, semi intensif, dan tradisional plus sebesar Rp ). Jika dilakukan pengelolaan kincir secara optimal, maka pendapatan usaha tambak udang intensif (16 ekor/m ) mengalami peningkatan menjadi sebesar Rp dan pendapatan usaha tambak udang intensif (50 ekor/m ) meningkat menjadi sebesar Rp (total pendapatan usaha optimal tambak udang intensif, semi intensif, dan tradisional plus meningkat menjadi sebesar Rp ). Pendapatan usaha Pendapatan usaha (tanpa pengelolaan kincir) (pengelolaan kincir ) Gambar 61. Pendapatan usaha tambak udang pada kondisi luas tambak udang optimal (Skenario 1: kontribusi limbah selain tambak udang/antropogenik pada kondisi saat ini) Total kontribusi pendapatan yang diberikan ke daerah dari tambak udang intensif (16 ekor/m ) pada kondisi luas tambak udang optimal sebesar Rp , tambak udang intensif (50 ekor/m ) sebesar Rp , tambak udang semi intensif (5 ekor/m ) sebesar , dan tambak udang tradisional plus (8 ekor/m ) sebesar Rp (total kontribusi pendapatan ke daerah tambak udang intensif, semi intensif, dan tradisional plus sebesar Rp ). Jika dilakukan pengelolaan kincir secara optimal, maka kontribusi pendapatan ke daerah dari tambak udang intensif (16 ekor/m ) mengalami peningkatan menjadi sebesar Rp dan kontribusi dari tambak udang intensif (50 ekor/m ) meningkat menjadi sebesar Rp (total pendapatan usaha optimal tambak udang intensif, semi intensif, dan tradisional plus meningkat menjadi sebesar Rp ).

125 Kontribusi pendapatan ke daerah (tanpa pengelolaan kincir) Kontribusi pendapatan ke daerah (pengelolaan kincir) Gambar 6. Kontribusi pendapatan ke daerah pada kondisi luas tambak udang optimal (Skenario 1: kontribusi limbah selain tambak udang/antropogenik pada kondisi saat ini) Tenaga kerja aktual yang dapat diserap tambak udang intensif (16 ekor/m ) pada kondisi luas tambak udang optimal sebesar 106 orang atau HOK/th, tambak udang intensif (50 ekor/m ) sebesar 578 orang atau HOK/th, tambak udang semi intensif (5 ekor/m ) sebesar 564 orang atau HOK/th, dan tambak udang tradisional plus (8 ekor/m ) sebesar 503 orang atau HOK/th (total tenaga kerja aktual optimal tambak udang intensif, semi intensif, dan tradisional plus sebesar orang atau HOK/th). Gambar 63. Serapan tenaga kerja aktual pada kondisi luas tambak udang optimal (orang) (Skenario 1: kontribusi limbah selain tambak udang/antropogenik pada kondisi saat ini) 6. Hasil simulasi sistem dinamik dengan skenario 1 dapat dilihat pada Tabel

126 Tabel 6.Hasil simulasi sistem dinamik pengembangan tambak udang optimal (Skenario 1: kontribusi limbah selain tambak udang/antropogenik pada kondisi saat ini) Variabel Hasil simulasi sistem dinamik Total limbah organik : Hari ke 93 : kg Hari ke-95 : kg Hari ke -110 : kg Alokasi luas tambak optimal : Intensif (16 ekor/m ) Intensif (50 ekor/m ) Semi intensif (5 ekor/m ) Tradisional plus (8 ekor/m ) : : : : 6.6 ha ha 8.36 ha ha Total produksi udang : kg udang Total pendapatan usaha : Rp (tanpa pengelolaan kincir) Total pendapatan usaha : Rp (pengelolaan kincir) Total kontribusi pendapatan ke daerah (tanpa pengelolaan kincir) : Rp Total kontribusi pendapatan ke daerah : Rp (pengelolaan kincir) Total tingkat serapan tenaga kerja : orang atau HOK/th Sumber : Hasil simulasi sistem dinamik (009) Skenario. Hasil simulasi menunjukkan, total limbah organik yang masuk dan berada di lingkungan perairan pesisir Kecamatan Mangara Bombang mulai hari ke 1 sampai akhir pemeliharaan mengalami peningkatan. Pada hari ke hari ke 93, total limbah organik sebesar kg, kemudian pada hari ke-95 sebesar kg, dan hari ke-110 sebesar kg. Peningkatan limbah organik yang masuk dan berada di lingkungan perairan pesisir Kecamatan Mangara Bombang, mengakibatkan alokasi luas lahan tambak udang untuk masing masing teknologi juga mengalami penurunan sesuai dengan kondisi limbah oganik di perairan pesisir. Pada skenario ini, alokasi luas tambak udang yang bisa diusahakan secara optimal sampai akhir pemeliharaan yaitu intensif (16 ekor/m ) seluas 1.48 ha, intensif (50 ekor/m ) seluas ha, semi intensif (5 ekor/m ) seluas ha, dan tradisional plus (8 ekor/m ) seluas 36.1 ha.

127 Gambar 64. Total limbah organik dan luas tambak udang optimal sampai akhir pemeliharaan (skenario : kontribusi limbah selain tambak udang/antropogenik meningkat 10 % dari kondisi saat ini) Luas optimal tambak udang intensif (16 ekor/m ), intensif (50 ekor/m ), semi intensif (5 ekor/m ) dan tradisional plus ( 8 ekor/m ) bisa menghasilkan total produksi udang sampai akhir pemeliharaan masing masing sebesar kg, kg, kg, kg (total produksi udang intensif, semi intensif, dan tradisional plus sebesar kg udang). Gambar 65. Produksi udang sampai akhir pemeliharaan pada kondisi luas tambak udang optimal (Skenario : kontribusi limbah selain tambak udang/antropogenik meningkat 10 % dari kondisi saat ini) Total pendapatan usaha tambak udang intensif (16 ekor/m ) sampai akhir pemeliharaan pada kondisi luas tambak udang optimal sebesar Rp , tambak udang intensif (50 ekor/m ) sebesar Rp , tambak udang semi intensif (5 ekor/m ) sebesar Rp , dan tambak udang tradisional plus (8 ekor/m ) sebesar Rp (total pendapatan usaha

128 tambak udang intensif, semi intensif, dan tradisional plus sebesar Rp ). Jika dilakukan pengelolaan kincir secara optimal, maka pendapatan usaha tambak udang intensif (16 ekor/m ) mengalami peningkatan menjadi sebesar Rp dan pendapatan usaha tambak udang intensif (50 ekor/m ) meningkat menjadi sebesar Rp (total pendapatan usaha optimal tambak udang intensif, semi intensif, dan tradisional plus meningkat menjadi sebesar Rp ). Pendapatan usaha Pendapatan usaha (tanpa pengelolaan kincir) (pengelolaan kincir ) Gambar 66. Pendapatan usaha tambak udang pada kondisi luas tambak udang optimal (Skenario : kontribusi limbah selain tambak udang/antropogenik meningkat 10 % dari kondisi saat ini) Total kontribusi pendapatan yang diberikan ke daerah dari tambak udang intensif (16 ekor/m ) pada kondisi luas tambak udang optimal sebesar Rp , tambak udang intensif (50 ekor/m ) sebesar Rp , tambak udang semi intensif (5 ekor/m ) sebesar Rp , dan tambak udang tradisional plus (8 ekor/m ) sebesar Rp (total kontribusi pendapatan ke daerah tambak udang intensif, semi intensif, dan tradisional plus sebesar Rp ). Jika dilakukan pengelolaan kincir secara optimal, maka kontribusi pendapatan ke daerah dari tambak udang intensif (16 ekor/m ) mengalami peningkatan menjadi sebesar Rp dan kontribusi dari tambak udang intensif (50 ekor/m ) meningkat menjadi sebesar Rp (total pendapatan usaha optimal tambak udang intensif, semi intensif, dan tradisional plus meningkat menjadi sebesar Rp ).

129 Kontribusi pendapatan ke daerah (tanpa pengelolaan kincir) Kontribusi pendapatan ke daerah (pengelolaan kincir) Gambar 67. Kontribusi pendapatan ke daerah pada kondisi luas tambak udang optimal (Skenario : kontribusi limbah selain tambak udang/antropogenik meningkat 10 % dari kondisi saat ini) Total tenaga kerja aktual yang dapat diserap tambak udang intensif (16 ekor/m ) pada kondisi luas tambak udang optimal sebesar 49 orang atau HOK/th, tambak udang intensif (50 ekor/m ) sebesar 359 orang atau HOK/th, tambak udang semi intensif (5 ekor/m ) sebesar 336 orang atau HOK/th, dan tambak udang tradisional plus (8 ekor/m ) sebesar 36 orang atau HOK/th (total tenaga kerja intensif, semi intensif, dan tradisional plus sebesar 981 orang atau HOK/th). Gambar 68. Serapan tenaga kerja aktual pada kondisi luas tambak udang optimal (orang atau HOK/th) (Skenario : kontribusi limbah selain tambak/ antropogenik udang meningkat 10 % dari kondisi saat ini) 63. Hasil simulasi sistem dinamik dengan skenario dapat dilihat pada Tabel

130 Tabel 63.Hasil simulasi sistem dinamik pengembangan tambak udang optimal (Skenario : kontribusi limbah selain tambak udang/ antropogenik meningkat 10 % dari kondisi saat ini) Variabel Hasil simulasi sistem dinamik Total limbah organik : Hari ke 93 : kg Hari ke-95 : kg Hari ke -110 : kg Total produksi biomassa udang : kg udang Alokasi luas tambak optimal : Intensif (16 ekor/m ) Intensif (50 ekor/m ) Semi intensif (5 ekor/m ) Tradisional plus (8 ekor/m ) : : : : 1.48 ha ha ha 36.1 ha Total pendapatan usaha : Rp (tanpa pengelolaan kincir optimal) Total pendapatan usaha : Rp (pengelolaan kincir optimal) Total kontribusi pendapatan ke daerah : Rp (tanpa pengelolaan kincir optimal) Total kontribusi pendapatan ke daerah : Rp (pengelolaan kincir optimal) Total tingkat serapan tenaga kerja : 981 orang atau HOK/th Sumber : Hasil simulasi sistem dinamik (009) Skenario 3. Hasil simulasi menunjukkan, total limbah organik yang masuk dan berada di lingkungan perairan pesisir Kecamatan Mangara Bombang mulai hari ke 1 sampai akhir pemeliharaan mengalami peningkatan. Pada hari ke hari ke 93, total limbah organik sebesar kg, kemudian pada hari ke-95 sebesar kg, dan hari ke-110 sebesar kg. Peningkatan limbah organik yang masuk dan berada di lingkungan perairan pesisir Kecamatan Mangara Bombang, mengakibatkan alokasi luas lahan tambak udang untuk masing masing teknologi juga mengalami penurunan sesuai dengan kondisi limbah oganik di perairan pesisir. Pada skenario ini, alokasi luas tambak udang optimal yang bisa diusahakan sampai akhir pemeliharaan yaitu intensif (16 ekor/m ) seluas 0 ha, intensif (50 ekor/m ) seluas 8.56 ha, semi intensif (5 ekor/m ) seluas ha, dan tradisional plus (8 ekor/m ) seluas 0 ha.

131 Gambar 69. Total limbah organik dan luas tambak udang optimal sampai akhir pemeliharaan (skenario 3: kontribusi limbah selain tambak udang/ antropogenik meningkat 5 % dari kondisi saat ini) Luas optimal tambak udang intensif (50 ekor/m ), semi intensif (5 ekor/m ) bisa menghasilkan total produksi udang sampai akhir pemeliharaan masing masing sebesar kg dan kg (total produksi udang intensif dan semi intensif sebesar kg udang). Gambar 70. Produksi udang sampai akhir pemeliharaan pada kondisi luas tambak udang optimal (Skenario 3: kontribusi limbah selain tambak udang/ antropogenik meningkat 5 % dari kondisi saat ini) Total pendapatan usaha tambak udang intensif (50 ekor/m ) pada kondisi luas tambak udang optimal sebesar Rp dan tambak udang semi intensif (5 ekor/m ) sebesar Rp (total keuntungan tambak udang intensif dan semi intensif sebesar ). Jika dilakukan pengelolaan kincir secara optimal, maka pendapatan usaha tambak udang intensif (50 ekor/m ) meningkat menjadi sebesar Rp (total pendapatan usaha optimal tambak udang intensif dan semi intensif meningkat menjadi sebesar Rp ).

132 Pendapatan usaha (tanpa pengelolaan kincir) Pendapatan usaha (pengelolaan kincir) Gambar 71. Total pendapatan usaha budidaya tambak udang pada kondisi luas tambak udang optimal (Skenario 3: kontribusi limbah selain tambak udang/ antropogenik meningkat 5 % dari kondisi saat ini) Total kontribusi pendapatan yang diberikan ke daerah dari tambak udang intensif (50 ekor/m ) pada kondisi luas tambak udang optimal sebesar Rp dan tambak udang semi intensif (5 ekor/m ) sebesar Rp (total kontribusi pendapatan ke daerah tambak udang intensif dan semi intensif sebesar Rp ). Jika dilakukan pengelolaan kincir secara optimal, maka kontribusi pendapatan ke daerah dari tambak udang intensif (50 ekor/m ) meningkat menjadi sebesar Rp (total pendapatan usaha optimal tambak udang intensif dan semi intensif meningkat menjadi sebesar Rp ). Kontribusi pendapatan ke daerah (tanpa pengelolaan kincir) Kontribusi pendapatan ke daerah (pengelolaan kincir) Gambar 7. Kontribusi pendapatan ke daerah pada kondisi luas tambak udang optimal (Skenario 3: kontribusi limbah selain tambak udang/ antropogenik meningkat 5 % dari kondisi saat ini) Total tenaga kerja aktual yang dapat diserap tambak udang intensif (50 ekor/m ) sebesar 114 orang atau ,18 HOK/th dan tambak udang semi

133 intensif (5 ekor/m ) sebesar 87 orang atau HOK/th (total tenaga kerja intensif, semi intensif, dan tradisional plus sebesar 01 orang atau HOK/th). Gambar 73. Serapan tenaga kerja aktual pada kondisi luas tambak udang optimal (Skenario 3: kontribusi limbah selain tambak udang/ antropogenik meningkat 5 % dari kondisi saat ini) 64. Hasil simulasi sistem dinamik dengan skenario 3 dapat dilihat pada Tabel Tabel 64.Hasil simulasi sistem dinamik pengembangan tambak udang optimal (Skenario 3: kontribusi limbah selain tambak udang/ antropogenik meningkat 5 % dari kondisi saat ini ) Variabel Hasil simulasi sistem dinamik Total limbah organik : Hari ke 93 : kg Hari ke-95 : kg Hari ke -110 : kg Total produksi biomassa udang : kg Alokasi luas tambak optimal : Intensif (16 ekor/m ) Intensif (50 ekor/m ) Semi intensif (5 ekor/m ) Tradisional plus (8 ekor/m ) : : : : 0 ha 8.56 ha ha 0 ha Total pendapatan usaha : Rp (tanpa pengelolaan kincir) Total pendapatan usaha Rp (pengelolaan kincir) Total kontribusi pendapatan ke daerah Rp (tanpa pengelolaan kincir) Total kontribusi ke daerah : Rp (pengelolaan kincir) Total tingkat serapan tenaga kerja : 01 orang atau HOK/th Sumber : Hasil simulasi sistem dinamik (009)

134 Skenario 4. Hasil simulasi skenario 4 menunjukkan total limbah organik yang masuk dan berada dilingkungan perairan pesisir pada hari ke-8 sebesar kg dan hari ke-83 total limbah organik yang berada di lingkungan perairan pesisir sebesar kg. Peningkatan limbah organik yang masuk dan berada di lingkungan perairan pesisir Kecamatan Mangara Bombang, mengakibatkan alokasi luas lahan tambak udang untuk masing masing teknologi juga mengalami penurunan sesuai dengan kondisi limbah oganik di perairan pesisir. Pada skenario ini, kegiatan budidaya tambak udang baik untuk intensif (16 ekor/m ), intensif (50 ekor/m ), semi intensif (5 ekor/m ),dan tradisional plus (8 ekor/m ) tidak dapat dialokasikan karena masukan limbah organik ke lingkungan perairan pesisi telah melampaui kapasitas asimilasi atau telah melampaui daya dukung lingkungan sehingga tidak akan memberikan dampak sosial ekonomi kepada masyarakat baik pendapatan usaha, penyerapan tenaga kerja maupun kontribusi pendapatan ke daerah. Gambar 74. Total limbah organik dan luas tambak udang sampai akhir pemeliharaan (skenario 4: kontribusi limbah selain tambak udang/ antropogenik meningkat 50 % dari kondisi saat ini) Gambar 75. Produksi udang sampai akhir pemeliharaan (Skenario 4: limbah selain tambak udang/ antropogenik meningkat 50 % dari kondisi saat ini)

135 Pendapatan usaha (tanpa pengelolaan kincir) Pendapatan usaha (pengelolaan kincir) Gambar 76. Total pendapatan usaha budidaya tambak udang pada kondisi luas tambak udang optimal (Skenario 4: kontribusi limbah selain tambak udang/ antropogenik meningkat 50 % dari kondisi saat ini) Kontribusi pendapatan ke daerah (tanpa pengelolaan kincir) Kontribusi pendapatan ke daerah (pengelolaan kincir) Gambar 77. Kontribusi pendapatan ke daerah pada kondisi luas tambak udang optimal (Skenario 4: kontribusi limbah selain tambak udang/ antropogenik meningkat 50 % dari kondisi saat ini) Gambar 78. Serapan tenaga kerja aktual pada kondisi luas tambak udang optimal (Skenario 4: kontribusi limbah selain tambak udang/ antropogenik meningkat 50 % dari kondisi saat ini) 65. Hasil simulasi sistem dinamik dengan skenario 4 dapat dilihat pada Tabel

136 Tabel 65.Hasil simulasi sistem dinamik pengembangan tambak udang optimal (Skenario 4: kontribusi limbah selain tambak udang meningkat 50 % dari kondisi saat ini) Variabel Hasil simulasi sistem dinamik Total limbah organik : Hari ke-8 : kg Hari ke -83 : kg (melampaui kapasitas asimilasi perairan pesisir terhadap limbah organik) Total produksi biomassa udang : 0 kg udang Luas tambak optimal : Intensif (16 ekor/m ) Intensif (50 ekor/m ) Semi intensif (5 ekor/m ) Tradisional plus (8 ekor/m ) : : : : 0 ha 0 ha 0 ha 0 ha Total pendapatan usaha : Rp 0 (tanpa pengelolaan kincir) Total pendapata usaha Rp 0 (pengelolaan kincir) Total kontribusi pendapatan ke daerah Rp 0 (tanpa pengelolaan kincir) Total kontribusi pendapatan ke daerah : Rp 0 (pengelolaan kincir) Total tingkat serapan tenaga kerja : 0 orang atau 0 HOK/th Sumber : Hasil simulasi sistem dinamik (009) Skenario 5. Hasil simulasi menunjukkan, total limbah organik yang masuk dan berada di lingkungan perairan pesisir Kecamatan Mangara Bombang mulai hari ke 1 sampai akhir pemeliharaan mengalami peningkatan. Pada hari ke 93, total limbah organik sebesar kg, kemudian pada hari ke-95 sebesar kg, dan pada hari ke-110 sebesar kg. Peningkatan limbah organik yang masuk dan berada di lingkungan perairan pesisir Kecamatan Mangara Bombang, mengakibatkan alokasi luas lahan tambak udang untuk masing masing teknologi juga mengalami penurunan sesuai dengan kondisi limbah oganik di perairan pesisir. Pada skenario ini, alokasi luas tambak udang yang bisa diusahakan secara optimal sampai akhir pemeliharaan yaitu intensif (16 ekor/m ) seluas 58.6 ha, intensif (50 ekor/m ) ha, semi intensif ha, dan tradisional plus ha.

137 Gambar 79. Total limbah organik sampai akhir pemeliharaan (skenario 5: kontribusi limbah selain tambak udang/ antropogenik turun 15 % dari kondisi saat ini) Luas optimal tambak udang intensif (16 ekor/m ), intensif (50 ekor/m ), semi intensif (5 ekor/m ) dan tradisional plus ( 8 ekor/m ) bisa menghasilkan total produksi udang sampai akhir pemeliharaan masing masing sebesar kg, , kg, kg (total produksi udang intensif, semi intensif, dan tradisional plus sebesar kg udang). Gambar 80. Produksi udang sampai akhir pemeliharaan pada kondisi luas tambak udang optimal (Skenario 5: kontribusi limbah selain tambak udang/ antropogenik turun 15 % dari kondisi saat ini) Total pendapatan usaha tambak udang intensif (16 ekor/m ) sampai akhir pemeliharaan pada kondisi luas tambak udang optimal sebesar Rp , tambak udang intensif (50 ekor/m ) sebesar Rp , tambak udang semi intensif (5 ekor/m ) sebesar Rp dan tambak udang tradisional plus (8 ekor/m ) sebesar (total pendapatan usaha luas optimal tambak udang intensif, semi intensif, dan tradisional plus sebesar Rp ). Jika dilakukan pengelolaan kincir secara optimal, maka pendapatan usaha tambak udang intensif (16 ekor/m ) mengalami peningkatan menjadi sebesar Rp dan pendapatan usaha tambak udang intensif (50 ekor/m ) meningkat menjadi sebesar Rp (total pendapatan usaha

138 optimal tambak udang intensif, semi intensif, dan tradisional plus meningkat menjadi sebesar Rp ). Pendapatan usaha (tanpa pengelolaan kincir) Pendapatan usaha (pengelolaan kincir Gambar 81. Total pendapatan usaha budidaya tambak udang pada kondisi luas tambak udang optimal (Skenario 5: kontribusi limbah selain tambak udang/ antropogenik turun 15 % dari kondisi saat ini) Total kontribusi pendapatan yang diberikan ke daerah dari tambak udang intensif (16 ekor/m ) pada kondisi luas tambak udang optimal sebesar Rp , tambak udang intensif (50 ekor/m ) sebesar Rp , tambak udang semi intensif (5 ekor/m ) sebesar Rp , dan tambak udang tradisional plus (8 ekor/m ) sebesar Rp (total kontribusi pendapatan ke daerah tambak udang intensif, semi intensif, dan tradisional plus sebesar Rp ). Jika dilakukan pengelolaan kincir secara optimal, maka kontribusi pendapatan ke daerah dari tambak udang intensif (16 ekor/m ) mengalami peningkatan menjadi sebesar Rp dan kontribusi dari tambak udang intensif (50 ekor/m ) meningkat menjadi sebesar Rp (total pendapatan usaha optimal tambak udang intensif, semi intensif, dan tradisional plus meningkat menjadi sebesar Rp ). Kontribusi pendapatan ke daerah (tanpa pengelolaan kincir) Kontribusi pendapatan ke daerah (pengelolaan kincir) Gambar 8. Kontribusi pendapatan ke daerah pada kondisi luas tambak udang optimal (orang atau HOK/th) (Skenario 5: kontribusi limbah selain tambak udang/ antropogenik turun 15 % dari kondisi saat ini)

139 Total tenaga kerja aktual yang dapat diserap pada kondisi luas tambak udang optimal yaitu tambak udang intensif (16 ekor/m ) sebesar 34 orang atau HOK/th, tambak udang intensif (50 ekor/m ) sebesar 101 orang atau HOK/th, tambak udang semi intensif (5 ekor/m ) sebesar 106 orang atau HOK/th, dan tambak udang tradisional plus (8 ekor/m ) sebesar 1108 orang atau HOK/th (total tenaga kerja intensif, semi intensif, dan tradisional plus sebesar 338 orang atau HOK/th). Gambar 83. Serapan tenaga kerja aktual pada kondisi luas tambak udang optimal (orang atau HOK/th) (Skenario 5: kontribusi limbah selain tambak udang/ antropogenik turun 15 % dari kondisi saat ini) 66. Hasil simulasi sistem dinamik dengan skenario 5 dapat dillihat pada Tabel Tabel 66.Hasil simulasi sistem dinamik pengembangan tambak udang optimal (Skenario 5: kontribusi limbah selain tambak udang/ antropogenik turun 15 % dari kondisi saat ini) Variabel Hasil simulasi sistem dinamik Total limbah organik : Hari ke 93 : kg Hari ke-95 : kg Hari ke -110 : kg Total produksi biomassa udang : kg udang Luas tambak optimal : Intensif (16 ekor/m ) Intensif (50 ekor/m ) Semi intensif (5 ekor/m ) Tradisional plus (8 ekor/m ) : : : : 58.6 ha ha ha ha Total pendapatan usaha : Rp (tanpa pengelolaan kincir) Total pendapatan usaha : Rp (pengelolaan kincir) Total kontribusi pendapatan ke daerah : Rp (tanpa pengelolaan kincir) Total kontribusi pendapatan ke daerah : Rp (pengelolaan kincir) Total tingkat serapan tenaga kerja : 338 orang atau HOK/th Sumber : Hasil simulasi sistem dinamik (009)

4. KONDISI UMUM WILAYAH PENELITIAN

4. KONDISI UMUM WILAYAH PENELITIAN 4. KONDISI UMUM WILAYAH PENELITIAN Kecamatan Mangarabombang merupakan salah satu Kecamatan yang berada di wilayah pesisir Kabupaten Takalar. Secara geografis, kecamatan Mangara Bombang berada pada posisi

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil analisis tanah lokasi penelitian disajikan pada Lampiran 1. Berbagai sifat kimia tanah yang dijumpai di lokasi

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil analisis tanah lokasi penelitian disajikan pada Lampiran 1. Berbagai sifat kimia tanah yang dijumpai di lokasi IV. HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil analisis tanah lokasi penelitian disajikan pada Lampiran 1. Berbagai sifat kimia tanah yang dijumpai di lokasi penelitian terlihat beragam, berikut diuraikan sifat kimia

Lebih terperinci

V. HASIL DAN PEMBAHASAN

V. HASIL DAN PEMBAHASAN V. HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1. Kondisi Umum Saat Ini Faktor Fisik Lingkungan Tanah, Air, dan Vegetasi di Kabupaten Kutai Kartanegara Kondisi umum saat ini pada kawasan pasca tambang batubara adalah terjadi

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN HASIL DAN PEMBAHASAN Keadaan Umum Penelitian Penanaman rumput B. humidicola dilakukan di lahan pasca tambang semen milik PT. Indocement Tunggal Prakasa, Citeurep, Bogor. Luas petak yang digunakan untuk

Lebih terperinci

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1 Sifat Fisik Tanah Sifat fisik tanah yang di analisis adalah tekstur tanah, bulk density, porositas, air tersedia, serta permeabilitas. Berikut adalah nilai masing-masing

Lebih terperinci

PERAN BAHAN ORGANIK DAN TATA AIR MIKRO TERHADAP KELARUTAN BESI, EMISI CH 4, EMISI CO 2 DAN PRODUKTIVITAS PADI DI LAHAN SULFAT MASAM RINGKASAN

PERAN BAHAN ORGANIK DAN TATA AIR MIKRO TERHADAP KELARUTAN BESI, EMISI CH 4, EMISI CO 2 DAN PRODUKTIVITAS PADI DI LAHAN SULFAT MASAM RINGKASAN PERAN BAHAN ORGANIK DAN TATA AIR MIKRO TERHADAP KELARUTAN BESI, EMISI CH 4, EMISI CO 2 DAN PRODUKTIVITAS PADI DI LAHAN SULFAT MASAM RINGKASAN Tanah sulfat masam merupakan tanah dengan kemasaman yang tinggi

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN. perlakuan Pupuk Konvensional dan kombinasi POC 3 l/ha dan Pupuk Konvensional

HASIL DAN PEMBAHASAN. perlakuan Pupuk Konvensional dan kombinasi POC 3 l/ha dan Pupuk Konvensional IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Hasil Analisis Tanah Awal Data hasil analisis tanah awal disajikan pada Tabel Lampiran 2. Berdasarkan Kriteria Penilaian Sifat Kimia dan Fisika Tanah PPT (1983) yang disajikan

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN 13 IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Karakteristik Kimia Abu Terbang PLTU Suralaya Abu terbang segar yang baru diambil dari ESP (Electrostatic Precipitator) memiliki karakteristik berbeda dibandingkan dengan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 3 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Pengertian Tanah Tanah adalah kumpulan benda alam di permukaan bumi yang tersusun dalam horison-horison, terdiri dari campuran bahan mineral, bahan organik, air dan udara,

Lebih terperinci

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN 13 BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1 Hasil Penelitian 5.1.1 Sifat Kimia Tanah Data sekunder hasil analisis kimia tanah yang diamati yaitu ph tanah, C-Org, N Total, P Bray, kation basa (Ca, Mg, K, Na), kapasitas

Lebih terperinci

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN 13 BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1. Hasil 5.1.1. Sifat Kimia Tanah Variabel kimia tanah yang diamati adalah ph, C-organik, N Total, P Bray, Kalium, Kalsium, Magnesium, dan KTK. Hasil analisis sifat kimia

Lebih terperinci

PENENTUAN LUAS, POTENSI DAN KESESUAIAN LAHAN TAMBAK DI SULAWESI SELATAN MELALUI PEMANFAATAN DATA SATELIT PENGINDERAAN JAUH

PENENTUAN LUAS, POTENSI DAN KESESUAIAN LAHAN TAMBAK DI SULAWESI SELATAN MELALUI PEMANFAATAN DATA SATELIT PENGINDERAAN JAUH Penentuan luas, potensi dan kesesuaian lahan tambak di Sulawesi Selatan... (Akhmad Mustafa) PENENTUAN LUAS, POTENSI DAN KESESUAIAN LAHAN TAMBAK DI SULAWESI SELATAN MELALUI PEMANFAATAN DATA SATELIT PENGINDERAAN

Lebih terperinci

BAB V. HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB V. HASIL DAN PEMBAHASAN 19 BAB V. HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1. Sifat Fisik Tanah 5.1.1. Bobot Isi dan Porositas Total Penambahan bahan organik rumput signal pada lahan Kathryn belum menunjukkan pengaruh baik terhadap bobot isi (Tabel

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Tanaman kopi merupakan tanaman yang dapat mudah tumbuh di Indonesia. Kopi

II. TINJAUAN PUSTAKA. Tanaman kopi merupakan tanaman yang dapat mudah tumbuh di Indonesia. Kopi II. TINJAUAN PUSTAKA A. Tanaman Kopi Tanaman kopi merupakan tanaman yang dapat mudah tumbuh di Indonesia. Kopi merupakan tanaman dengan perakaran tunggang yang mulai berproduksi sekitar berumur 2 tahun

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN IV. HASIL DAN PEMBAHASAN Ciri Kimia dan Fisik Tanah Sebelum Perlakuan Berdasarkan kriteria penilaian ciri kimia tanah pada Tabel Lampiran 5. (PPT, 1983), Podsolik Jasinga merupakan tanah sangat masam dengan

Lebih terperinci

IV HASIL DAN PEMBAHASAN

IV HASIL DAN PEMBAHASAN IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Hasil 4.1.1 Karakteristik Tanah Awal Podsolik Jasinga Hasil analisis kimia dan fisik Podsolik Jasinga disajikan pada Tabel 4. Berdasarkan kriteria PPT (1983), Podsolik Jasinga

Lebih terperinci

ANALISIS TANAH SEBAGAI INDIKATOR TINGKAT KESUBURAN LAHAN BUDIDAYA PERTANIAN DI KOTA SEMARANG

ANALISIS TANAH SEBAGAI INDIKATOR TINGKAT KESUBURAN LAHAN BUDIDAYA PERTANIAN DI KOTA SEMARANG ANALISIS TANAH SEBAGAI INDIKATOR TINGKAT KESUBURAN LAHAN BUDIDAYA PERTANIAN DI KOTA SEMARANG Rossi Prabowo 1*,Renan Subantoro 1 1 Jurusan Agrobisnis, Fakultas Pertanian, Universitas Wahid Hasyim Semarang

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 4 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Siklus dan Neraca Nitrogen (N) Menurut Hanafiah (2005 :275) menjelaskan bahwa siklus N dimulai dari fiksasi N 2 -atmosfir secara fisik/kimiawi yang meyuplai tanah bersama

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Data Hujan Curah hujan adalah jumlah air yang jatuh dipermukaan tanah datar selama periode tertentu di atas permukaan horizontal bila tidak terjadi evaporasi, run off dan

Lebih terperinci

Praktikum M.K. Oseanografi Hari / Tanggal : Dosen : 1. Nilai PASANG SURUT. Oleh. Nama : NIM :

Praktikum M.K. Oseanografi Hari / Tanggal : Dosen : 1. Nilai PASANG SURUT. Oleh. Nama : NIM : Praktikum M.K. Oseanografi Hari / Tanggal : Dosen : 1. 2. 3. Nilai PASANG SURUT Nama : NIM : Oleh JURUSAN PERIKANAN FAKULTAS PERTANIAN UNIVERSITAS SULTAN AGENG TIRTAYASA 2015 MODUL 5. PASANG SURUT TUJUAN

Lebih terperinci

Pemantauan Kerusakan Lahan untuk Produksi Biomassa

Pemantauan Kerusakan Lahan untuk Produksi Biomassa Pemantauan Kerusakan Lahan untuk Produksi Biomassa Rajiman A. Latar Belakang Pemanfaatan lahan memiliki tujuan utama untuk produksi biomassa. Pemanfaatan lahan yang tidak bijaksana sering menimbulkan kerusakan

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. menunjang pertumbuhan suatu jenis tanaman pada lingkungan dengan faktor

II. TINJAUAN PUSTAKA. menunjang pertumbuhan suatu jenis tanaman pada lingkungan dengan faktor II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Kesuburan Tanah Kesuburan tanah adalah kemampuan suatu tanah untuk menyediakan unsur hara, pada takaran dan kesetimbangan tertentu secara berkesinambung, untuk menunjang pertumbuhan

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN HASIL DAN PEMBAHASAN Karakteristik Latosol (Oxic Distrudept) Darmaga Berdasarkan kriteria sifat kimia tanah menurut PPT (1983) (Lampiran 2), karakteristik Latosol (Oxic Distrudept) Darmaga (Tabel 2) termasuk

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penambangan batubara dapat dilakukan dengan dua cara: yaitu penambangan dalam dan penambangan terbuka. Pemilihan metode penambangan, tergantung kepada: (1) keadaan

Lebih terperinci

ANALISA PENCEMARAN LIMBAH ORGANIK TERHADAP PENENTUAN TATA RUANG BUDIDAYA IKAN KERAMBA JARING APUNG DI PERAIRAN TELUK AMBON

ANALISA PENCEMARAN LIMBAH ORGANIK TERHADAP PENENTUAN TATA RUANG BUDIDAYA IKAN KERAMBA JARING APUNG DI PERAIRAN TELUK AMBON ANALISA PENCEMARAN LIMBAH ORGANIK TERHADAP PENENTUAN TATA RUANG BUDIDAYA IKAN KERAMBA JARING APUNG DI PERAIRAN TELUK AMBON OLEH : CAROLUS NIRAHUA NRP : 000 PROGRAM PASCASARJANA BIDANG KEAHLIAN TEKNIK MANAJEMEN

Lebih terperinci

SIFAT KIMIA TANAH LANJUTAN SIFAT KIMIA TANAH

SIFAT KIMIA TANAH LANJUTAN SIFAT KIMIA TANAH SIFAT KIMIA TANAH LANJUTAN SIFAT KIMIA TANAH 4. Phosphor (P) Unsur Fosfor (P) dlm tanah berasal dari bahan organik, pupuk buatan & mineral 2 di dlm tanah. Fosfor paling mudah diserap oleh tanaman pd ph

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Hasil Analisis Contoh Tanah Hasil analisa sudah diketahui pada Tabel 4.1 dapat dikatakan bahwa tanah sawah yang digunakan untuk penelitian ini memiliki tingkat kesuburan

Lebih terperinci

V. HASIL DAN PEMBAHASAN. A. Kondisi Eksisting Fisiografi Wilayah Studi. wilayahnya. Iklim yang ada di Kecamatan Anak Tuha secara umum adalah iklim

V. HASIL DAN PEMBAHASAN. A. Kondisi Eksisting Fisiografi Wilayah Studi. wilayahnya. Iklim yang ada di Kecamatan Anak Tuha secara umum adalah iklim V. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Kondisi Eksisting Fisiografi Wilayah Studi Kecamatan Anak Tuha, Kabupaten Lampung Tengah terdiri dari 12 desa dengan luas ± 161,64 km2 dengan kemiringan kurang dari 15% di setiap

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN HASIL DAN PEMBAHASAN Analisis Tanah Hasil analisis contoh tanah pada lokasi percobaan dapat dilihat pada Tabel 2. Berdasarkan hasil analisis tanah pada lokasi percobaan, tingkat kemasaman tanah termasuk

Lebih terperinci

KAJIAN BIOFISIK LAHAN HUTAN MANGROVE DI KABUPATEN ACEH TIMUR ISWAHYUDI

KAJIAN BIOFISIK LAHAN HUTAN MANGROVE DI KABUPATEN ACEH TIMUR ISWAHYUDI KAJIAN BIOFISIK LAHAN HUTAN MANGROVE DI KABUPATEN ACEH TIMUR ISWAHYUDI SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2008 DAFTAR ISI DAFTAR ISI DAFTAR TABEL DAFTAR GAMBAR... DAFTAR LAMPIRAN xi xv

Lebih terperinci

PENDAHULUAN Latar Belakang

PENDAHULUAN Latar Belakang PENDAHULUAN Latar Belakang Kawasan pesisir Teluk Bone yang terajut oleh 15 kabupaten/kota di Provinsi Sulawesi Selatan dan Sulawesi Tenggara dan membentang sepanjang kurang lebih 1.128 km garis pantai

Lebih terperinci

LAMPIRAN. Lampiran 1. Data hasil analisis laboratorium parameter kalium tukar dari tiap titik sampel. Kontrol I II III

LAMPIRAN. Lampiran 1. Data hasil analisis laboratorium parameter kalium tukar dari tiap titik sampel. Kontrol I II III LAMPIRAN Lampiran 1. Data hasil analisis laboratorium parameter kalium tukar dari tiap titik sampel Kontrol 0-20 0.12 0.25 0.94 20-40 0.34 0.41 0.57 40-60 0.39 0.45 0.50 60-80 0.28 0.39 0.57 80-100 0.23

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. lahan budidaya sehingga dapat meningkatkan jumlah lapangan kerja untuk

TINJAUAN PUSTAKA. lahan budidaya sehingga dapat meningkatkan jumlah lapangan kerja untuk II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Sistem Budidaya Tambak Kegiatan budidaya tambak merupakan pemanfaatan wilayah pesisir sebagai lahan budidaya sehingga dapat meningkatkan jumlah lapangan kerja untuk masyarakat

Lebih terperinci

TATACARA PENELITIAN. A. Tempat dan Waktu Penelitian. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Juni Oktober 2015 dan dilakukan

TATACARA PENELITIAN. A. Tempat dan Waktu Penelitian. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Juni Oktober 2015 dan dilakukan 22 TATACARA PENELITIAN A. Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Juni Oktober 2015 dan dilakukan di lapangan dan di laboratorium. Pengamatan lapangan dilakukan di empat lokasi

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Tanah Sawah. tanaman padi sawah, dimana padanya dilakukan penggenangan selama atau

TINJAUAN PUSTAKA. Tanah Sawah. tanaman padi sawah, dimana padanya dilakukan penggenangan selama atau TINJAUAN PUSTAKA Tanah Sawah Lahan sawah adalah lahan yang dikelola sedemikian rupa untuk budidaya tanaman padi sawah, dimana padanya dilakukan penggenangan selama atau sebagian dari masa pertumbuhan padi.

Lebih terperinci

IV. SIFAT - SIFAT KIMIA TANAH

IV. SIFAT - SIFAT KIMIA TANAH IV. SIFAT - SIFAT KIMIA TANAH Komponen kimia tanah berperan terbesar dalam menentukan sifat dan ciri tanah umumnya dan kesuburan tanah pada khususnya. Bahan aktif dari tanah yang berperan dalam menjerap

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pembangunan yang merupakan suatu proses perubahan untuk meningkatkan taraf hidup manusia tidak terlepas dari aktifitas pemanfaatan sumberdaya alam (Bengen 2004). Peluang

Lebih terperinci

Pengaruh ph tanah terhadap pertumbuhan tanaman

Pengaruh ph tanah terhadap pertumbuhan tanaman Pengaruh ph tanah terhadap pertumbuhan tanaman 1. Menentukan mudah tidaknya ion-ion unsur hara diserap oleh tanaman. Pada umumnya unsur hara akan mudah diserap tanaman pada ph 6-7, karena pada ph tersebut

Lebih terperinci

dan (3) pemanfaatan berkelanjutan. Keharmonisan spasial mensyaratkan bahwa dalam suatu wilayah pembangunan, hendaknya tidak seluruhnya diperuntukkan

dan (3) pemanfaatan berkelanjutan. Keharmonisan spasial mensyaratkan bahwa dalam suatu wilayah pembangunan, hendaknya tidak seluruhnya diperuntukkan KERANGKA PEMIKIRAN Dasar teori yang digunakan dalam penelitian ini mengacu pada konsep pembangunan berkelanjutan, yaitu konsep pengelolaan dan konservasi berbasis sumberdaya alam serta orientasi perubahan

Lebih terperinci

V. HASIL DAN PEMBAHASAN. A. Kondisi Eksisting Fisiografi Wilayah Studi

V. HASIL DAN PEMBAHASAN. A. Kondisi Eksisting Fisiografi Wilayah Studi V. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Kondisi Eksisting Fisiografi Wilayah Studi Desa Panapalan, Kecamatan Tengah Ilir terdiri dari 5 desa dengan luas 221,44 Km 2 dengan berbagai ketinggian yang berbeda dan di desa

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN 14 III. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Hasil 4.1.1. Sifat Kimia dan Fisik Latosol Darmaga Sifat kimia dan fisik Latosol Darmaga yang digunakan dalam percobaan ini disajikan pada Tabel 2. Tabel 2. Sifat Kimia

Lebih terperinci

V. HASIL DAN PEMBAHASAN. A. Kondisi Eksisting Fisiografi Wilayah Studi. 8 desa merupakan daerah daratan dengan total luas 2.466,70 hektar.

V. HASIL DAN PEMBAHASAN. A. Kondisi Eksisting Fisiografi Wilayah Studi. 8 desa merupakan daerah daratan dengan total luas 2.466,70 hektar. V. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Kondisi Eksisting Fisiografi Wilayah Studi Kecamatan Jepara terdiri dari 16 desa, 8 desa merupakan daerah pantai dan 8 desa merupakan daerah daratan dengan total luas 2.466,70

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 16 IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1.1 Analisis Tanah Awal Karakteristik Latosol Cimulang yang digunakan dalam percobaan disajikan pada Tabel 2 dengan kriteria ditentukan menurut acuan Pusat Peneltian Tanah

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Ultisols merupakan salah satu jenis tanah di Indonesia yang mempunyai sebaran

I. PENDAHULUAN. Ultisols merupakan salah satu jenis tanah di Indonesia yang mempunyai sebaran I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang dan Masalah Ultisols merupakan salah satu jenis tanah di Indonesia yang mempunyai sebaran luas, mencapai 45.794.000 ha atau sekitar 25% dari total luas daratan Indonesia.

Lebih terperinci

BAB 3 KIMIA TANAH. Kompetensi Dasar: Menjelaskan komponen penyusun, sifat fisika dan sifat kimia di tanah

BAB 3 KIMIA TANAH. Kompetensi Dasar: Menjelaskan komponen penyusun, sifat fisika dan sifat kimia di tanah Kimia Tanah 23 BAB 3 KIMIA TANAH Kompetensi Dasar: Menjelaskan komponen penyusun, sifat fisika dan sifat kimia di tanah A. Sifat Fisik Tanah Tanah adalah suatu benda alami heterogen yang terdiri atas komponenkomponen

Lebih terperinci

Analisis Kesesuaian Lahan Wilayah Pesisir Kota Makassar Untuk Keperluan Budidaya

Analisis Kesesuaian Lahan Wilayah Pesisir Kota Makassar Untuk Keperluan Budidaya 1 Analisis Kesesuaian Lahan Wilayah Pesisir Kota Makassar Untuk Keperluan Budidaya PENDAHULUAN Wilayah pesisir merupakan ruang pertemuan antara daratan dan lautan, karenanya wilayah ini merupakan suatu

Lebih terperinci

V. HASIL DAN PEMBAHASAN

V. HASIL DAN PEMBAHASAN V. HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1 Hasil Penelitian Parameter pertumbuhan yang diamati pada penelitian ini adalah diameter batang setinggi dada ( DBH), tinggi total, tinggi bebas cabang (TBC), dan diameter tajuk.

Lebih terperinci

Gambar 3. Lahan Hutan di Kawasan Hulu DAS Padang

Gambar 3. Lahan Hutan di Kawasan Hulu DAS Padang Gambar 3. Lahan Hutan di Kawasan Hulu DAS Padang Gambar 4. Lahan Kebun Campuran di Kawasan Hulu DAS Padang Gambar 5. Lahan Kelapa Sawit umur 4 tahun di Kawasan Hulu DAS Padang Gambar 6. Lahan Kelapa Sawit

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Tanah adalah lapisan permukaan bumi yang secara fisik berfungsi sebagai tempat tumbuh dan berkembangnya akar sebagai penopang tumbuhnya tanaman dan penyuplai kebutuhan

Lebih terperinci

, NO 3-, SO 4, CO 2 dan H +, yang digunakan oleh

, NO 3-, SO 4, CO 2 dan H +, yang digunakan oleh TINJAUAN PUSTAKA Penggenangan Tanah Penggenangan lahan kering dalam rangka pengembangan tanah sawah akan menyebabkan serangkaian perubahan kimia dan elektrokimia yang mempengaruhi kapasitas tanah dalam

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Pengaruh Pemberian dan Terhadap Sifat sifat Kimia Tanah Penelitian ini mengevaluasi pengaruh pemberian amelioran bahan humat dan abu terbang terhadap kandungan hara tanah

Lebih terperinci

PENGUJIAN PUPUK TULANG AYAM SEBAGAI BAHAN AMELIORASI TERHADAP PERTUMBUHAN TANAMAN SORGHUM DAN SIFAT- SIFAT KIMIA TANAH PODZOLIK MERAH KUNING PEKANBARU

PENGUJIAN PUPUK TULANG AYAM SEBAGAI BAHAN AMELIORASI TERHADAP PERTUMBUHAN TANAMAN SORGHUM DAN SIFAT- SIFAT KIMIA TANAH PODZOLIK MERAH KUNING PEKANBARU PENGUJIAN PUPUK TULANG AYAM SEBAGAI BAHAN AMELIORASI TERHADAP PERTUMBUHAN TANAMAN SORGHUM DAN SIFAT- SIFAT KIMIA TANAH PODZOLIK MERAH KUNING PEKANBARU Oleh : Sri Utami Lestari dan Azwin ABSTRAK Pemilihan

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Syarat Tumbuh Tanaman Kelapa Sawit Kelapa sawit adalah tumbuhan hutan yang dibudidayakan. Tanaman ini memiliki respon yang

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Syarat Tumbuh Tanaman Kelapa Sawit Kelapa sawit adalah tumbuhan hutan yang dibudidayakan. Tanaman ini memiliki respon yang II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Syarat Tumbuh Tanaman Kelapa Sawit Kelapa sawit adalah tumbuhan hutan yang dibudidayakan. Tanaman ini memiliki respon yang baik sekali terhadap kondisi lingkungan hidup dan perlakuan

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA

II. TINJAUAN PUSTAKA 3 II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Sifat Fisika Kimia Abu Terbang Abu terbang adalah bagian dari sisa pembakaran batubara berupa bubuk halus dan ringan yang diambil dari tungku pembakaran yang mempergunakan bahan

Lebih terperinci

VII. KEHARAAN DAN PEMUPUKAN

VII. KEHARAAN DAN PEMUPUKAN VII. KEHARAAN DAN PEMUPUKAN Ubi kayu menghasilkan biomas yang tinggi sehingga unsur hara yang diserap juga tinggi. Jumlah hara yang diserap untuk setiap ton umbi adalah 4,2 6,5 kg N, 1,6 4,1 kg 0 5 dan

Lebih terperinci

I. TINJAUAN PUSTAKA. produk tanaman yang diinginkan pada lingkungan tempat tanah itu berada.

I. TINJAUAN PUSTAKA. produk tanaman yang diinginkan pada lingkungan tempat tanah itu berada. I. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Kesuburan Tanah Kesuburan tanah adalah kemampuan suatu tanah untuk menghasilkan produk tanaman yang diinginkan pada lingkungan tempat tanah itu berada. Produk tanaman tersebut dapat

Lebih terperinci

SYARAT TUMBUH TANAMAN KAKAO

SYARAT TUMBUH TANAMAN KAKAO SYARAT TUMBUH TANAMAN KAKAO Sejumlah faktor iklim dan tanah menjadi kendala bagi pertumbuhan dan produksi tanaman kakao. Lingkungan alami tanaman cokelat adalah hutan tropis. Dengan demikian curah hujan,

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Survei dan Pemetaan Tanah. memetakan tanah dengan mengelompokan tanah-tanah yang sama kedalam satu

TINJAUAN PUSTAKA. Survei dan Pemetaan Tanah. memetakan tanah dengan mengelompokan tanah-tanah yang sama kedalam satu TINJAUAN PUSTAKA Survei dan Pemetaan Tanah Tujuan survey dan pemetaan tanah adalah mengklasifikasikan dan memetakan tanah dengan mengelompokan tanah-tanah yang sama kedalam satu satuan peta tanah yang

Lebih terperinci

ADLN-Perpustakaan Universitas Airlangga BAB I PENDAHULUAN. yang besar bagi kepentingan manusia (Purnobasuki, 2005).

ADLN-Perpustakaan Universitas Airlangga BAB I PENDAHULUAN. yang besar bagi kepentingan manusia (Purnobasuki, 2005). BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Indonesia sebagai negara megabiodiversitas memiliki diversitas mikroorganisme dengan potensi yang tinggi namun belum semua potensi tersebut terungkap. Baru

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1.Latar Belakang Sayuran merupakan tanaman hortikultura yang memiliki peran sebagai sumber vitamin dan mineral.

I. PENDAHULUAN 1.1.Latar Belakang Sayuran merupakan tanaman hortikultura yang memiliki peran sebagai sumber vitamin dan mineral. I. PENDAHULUAN 1.1.Latar Belakang Sayuran merupakan tanaman hortikultura yang memiliki peran sebagai sumber vitamin dan mineral. Sayuran juga dibutuhkan masyarakat sebagai asupan makanan yang segar dan

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 13 IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Karakteristik Tanah Awal Seperti umumnya tanah-tanah bertekstur pasir, lahan bekas tambang pasir besi memiliki tingkat kesuburan yang rendah. Hasil analisis kimia pada tahap

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. legend of soil yang disusun oleh FAO, ultisol mencakup sebagian tanah Laterik

TINJAUAN PUSTAKA. legend of soil yang disusun oleh FAO, ultisol mencakup sebagian tanah Laterik TINJAUAN PUSTAKA Ultisol Ultisol adalah tanah mineral yang berada pada daerah temprate sampai tropika, mempunyai horison argilik atau kandik dengan lapisan liat tebal. Dalam legend of soil yang disusun

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4. 1. Pertumbuhan Tanaman 4. 1. 1. Tinggi Tanaman Pengaruh tiap perlakuan terhadap tinggi tanaman menghasilkan perbedaan yang nyata sejak 2 MST. Berdasarkan Tabel 3 dapat dilihat

Lebih terperinci

BAB V. EVALUASI HASIL PENELITIAN Evaluasi Parameter Utama Penelitian Penilaian Daya Dukung dengan Metode Pembobotan 124

BAB V. EVALUASI HASIL PENELITIAN Evaluasi Parameter Utama Penelitian Penilaian Daya Dukung dengan Metode Pembobotan 124 DAFTAR ISI Halaman Judul Halaman Persetujuan Kata Pengantar Pernyataan Keaslian Tulisan Daftar Isi Daftar Tabel Daftar Gambar Daftar Peta Daftar Lampiran Intisari Abstract i ii iii iv v ix xi xii xiii

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Melon ( Cucumis melo L) merupakan salah satu jenis sayuran buah yang memiliki

I. PENDAHULUAN. Melon ( Cucumis melo L) merupakan salah satu jenis sayuran buah yang memiliki 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang dan Masalah Melon ( Cucumis melo L) merupakan salah satu jenis sayuran buah yang memiliki nilai ekonomi dan prospek pasar yang cukup besar. Komoditas ini diminati oleh

Lebih terperinci

VALIDASI LUAS LAHAN DAN PROFIL TAMBAK DI KABUPATEN BERAU

VALIDASI LUAS LAHAN DAN PROFIL TAMBAK DI KABUPATEN BERAU 505 Validasi luas lahan dan profil tambak di Kabupaten Berau (Mudian Paena) VALIDASI LUAS LAHAN DAN PROFIL TAMBAK DI KABUPATEN BERAU ABSTRAK Mudian Paena, Hasnawi, dan Akhmad Mustafa Balai Riset Perikanan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. menyebabkan kerusakan dan kerugian bagi masyarakat di sekitar

I. PENDAHULUAN. menyebabkan kerusakan dan kerugian bagi masyarakat di sekitar I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang dan Masalah Tragedi lumpur Lapindo Brantas terjadi pada tanggal 29 Mei 2006 yang telah menyebabkan kerusakan dan kerugian bagi masyarakat di sekitar Desa Renokenongo (Wikipedia,

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Survei dan Pemetaan Tanah. Pemetaan adalah proses pengukuran, perhitungan dan penggambaran

TINJAUAN PUSTAKA. Survei dan Pemetaan Tanah. Pemetaan adalah proses pengukuran, perhitungan dan penggambaran TINJAUAN PUSTAKA Survei dan Pemetaan Tanah Survei tanah adalah serangkaian kegiatan yang dilakukan untuk dapat membedakan tanah satu dengan yang lain yang kemudian disajikan dalam suatu peta (Tamtomo,

Lebih terperinci

DASAR ILMU TANAH. Bab 5: Sifat Kimia Tanah

DASAR ILMU TANAH. Bab 5: Sifat Kimia Tanah DASAR ILMU TANAH Bab 5: Sifat Kimia Tanah ph tanah Pertukaran Ion Kejenuhan Basa Sifat Kimia Tanah Hampir semua sifat kimia tanah terkait dengan koloid tanah Koloid Tanah Partikel mineral atau organik

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN 16 HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil Keadaan Umum Penelitian dilakukan pada bulan April-Agustus 2010. Penanaman kedelai dilakukan pada bulan Mei 2010. Pada bulan tersebut salinitas belum mempengaruhi pertumbuhan

Lebih terperinci

V. HASIL DAN PEMBAHASAN

V. HASIL DAN PEMBAHASAN V. HASIL DAN PEMBAHASAN Terdapat 11 profil tanah yang diamati dari lahan reklamasi berumur 0, 5, 9, 13 tahun dan lahan hutan. Pada lahan reklamasi berumur 0 tahun dan lahan hutan, masingmasing hanya dibuat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Tujuan dari pertanian organik itu sendiri diantaranya untuk menghasilkan produk

BAB I PENDAHULUAN. Tujuan dari pertanian organik itu sendiri diantaranya untuk menghasilkan produk 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pertanian organik merupakan suatu kegiatan budidaya pertanian yang menggunakan bahan-bahan alami serta meminimalisir penggunaan bahan kimia sintetis yang dapat merusak

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA A.

II. TINJAUAN PUSTAKA A. II. TINJAUAN PUSTAKA A. Tanaman Durian 1. Karakteristik tanaman durian Durian (Durio zibethinus Murr.) merupakan salah satu tanaman hasil perkebunan yang telah lama dikenal oleh masyarakat yang pada umumnya

Lebih terperinci

III. BAHAN DAN METODE. Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Lapang Terpadu Fakultas Pertanian

III. BAHAN DAN METODE. Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Lapang Terpadu Fakultas Pertanian III. BAHAN DAN METODE 3.1 Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Lapang Terpadu Fakultas Pertanian Universitas Lampung pada bulan Mei-Agustus 2015 di 5 unit lahan pertanaman

Lebih terperinci

6. IMPLIKASI PENGEMBANGAN BUDIDAYA TAMBAK UDANG BERKELANJUTAN BERBASIS DAYA DUKUNG DI WILAYAH PESISIR KECAMATAN MANGARA BOMBANG

6. IMPLIKASI PENGEMBANGAN BUDIDAYA TAMBAK UDANG BERKELANJUTAN BERBASIS DAYA DUKUNG DI WILAYAH PESISIR KECAMATAN MANGARA BOMBANG 6. IMPLIKASI PENGEMBANGAN BUDIDAYA TAMBAK UDANG BERKELANJUTAN BERBASIS DAYA DUKUNG DI WILAYAH PESISIR KECAMATAN MANGARA BOMBANG Pengembangan budidaya tambak udang di wilayah pesisir Kecamatan Mangara Bombang

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Tanaman kedelai termasuk family leguminosae yang banyak varietasnya.

II. TINJAUAN PUSTAKA. Tanaman kedelai termasuk family leguminosae yang banyak varietasnya. 7 II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Tanaman Kedelai (Glycine max L. Merr) Tanaman kedelai termasuk family leguminosae yang banyak varietasnya. Susunan morfologi kedelai terdiri dari akar, batang, daun, bunga dan

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Ultisol merupakan salah satu jenis tanah di Indonesia yang mempunyai

II. TINJAUAN PUSTAKA. Ultisol merupakan salah satu jenis tanah di Indonesia yang mempunyai II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Sifat dan Ciri Tanah Ultisol Ultisol merupakan salah satu jenis tanah di Indonesia yang mempunyai sebaran luas, mencapai 45.794.000 ha atau sekitar 25% dari total luas daratan

Lebih terperinci

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN 4.1 Hasil Penelitian Berdasarkan hasil analisis sidik ragam menunjukkan bahwa media tanam yang digunakan berpengaruh terhadap berat spesifik daun (Lampiran 2) dan

Lebih terperinci

DASAR ILMU TA AH Ba B b 5 : : S i S fa f t t K i K mia T a T nah

DASAR ILMU TA AH Ba B b 5 : : S i S fa f t t K i K mia T a T nah DASAR ILMU TA AH Bab 5: Sifat Kimia Tanah ph tanah Pertukaran Ion Kejenuhan Basa Sifat Kimia Tanah Hampir semua sifat kimia tanah terkait dengan koloid tanah Koloid Tanah Partikel mineral atau organik

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kacang tanah adalah salah satu jenis palawija yang dapat ditanam di sawah atau di ladang. Budidaya kacang tanah tidak begitu rumit, dan kondisi lingkungan setempat yang

Lebih terperinci

DASAR-DASAR ILMU TANAH

DASAR-DASAR ILMU TANAH DASAR-DASAR ILMU TANAH OLEH : WIJAYA FAKULTAS PERTANIAN UNIVERSITAS SWADAYA GUNUNG JATI CIREBON 2011 SIFAT KIMIA TANAH IV. SIFAT KIMIA TANAH 5.1 Koloid Tanah Koloid tanah adalah partikel atau zarah tanah

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Sifat Kimia Hasil analisis sifat kimia tanah sebelum diberi perlakuan dapat dilihat pada lampiran 2. Penilaian terhadap sifat kimia tanah yang mengacu pada kriteria Penilaian

Lebih terperinci

DASAR-DASAR ILMU TANAH

DASAR-DASAR ILMU TANAH DASAR-DASAR ILMU TANAH OLEH : WIJAYA FAKULTAS PERTANIAN UNIVERSITAS SWADAYA GUNUNG JATI CIREBON 2009 SIFAT KIMIA TANAH IV. SIFAT KIMIA TANAH 5.1 Koloid Tanah Koloid tanah adalah partikel atau zarah tanah

Lebih terperinci

ANALISIS KESESUAIAN LAHAN RAWA PASANG SURUT UNTUK TAMBAK. SITI YULIAWATI DOSEN KOPERTIS WILAYAH I Dpk UNIVERSITAS DHARMAWANGSA MEDAN

ANALISIS KESESUAIAN LAHAN RAWA PASANG SURUT UNTUK TAMBAK. SITI YULIAWATI DOSEN KOPERTIS WILAYAH I Dpk UNIVERSITAS DHARMAWANGSA MEDAN ANALISIS KESESUAIAN LAHAN RAWA PASANG SURUT UNTUK TAMBAK SITI YULIAWATI DOSEN KOPERTIS WILAYAH I Dpk UNIVERSITAS DHARMAWANGSA MEDAN LAHAN RAWA PASANG SURUT Merupakan lahan yang dipengaruhi oleh gerakan

Lebih terperinci

PENDAHULUAN Latar Belakang

PENDAHULUAN Latar Belakang PENDAHULUAN Latar Belakang Pertambangan timah di Indonesia dimulai pada abad ke-18. Sejak tahun 1815 penambangan timah di pulau Bangka dilaksanakan oleh pemerintah Hindia Belanda dan berlanjut sampai PT.

Lebih terperinci

BAB I. PENDAHULUAN A.

BAB I. PENDAHULUAN A. BAB I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kelapa Sawit (Elaeis guineensis Jacq) merupakan salah satu primadona tanaman perkebunan yang memiliki prospek pengembangan cukup cerah, Indonesia memiliki luas areal

Lebih terperinci

Lampiran 1. Nama unsur hara dan konsentrasinya di dalam jaringan tumbuhan (Hamim 2007)

Lampiran 1. Nama unsur hara dan konsentrasinya di dalam jaringan tumbuhan (Hamim 2007) Lampiran 1. Nama unsur hara dan konsentrasinya di dalam jaringan tumbuhan (Hamim 2007) Unsur Hara Lambang Bentuk tersedia Diperoleh dari udara dan air Hidrogen H H 2 O 5 Karbon C CO 2 45 Oksigen O O 2

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA A. Kesuburan Tanah

II. TINJAUAN PUSTAKA A. Kesuburan Tanah II. TINJAUAN PUSTAKA A. Kesuburan Tanah Kesuburan tanah adalah kualitas tanah dalam hal kemampuannya untuk menyediakan unsur hara yang cocok dalam jumlah yang cukup serta dalam keseimbangan yang tepat

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Beras merupakan bahan pangan yang dikonsumsi hampir seluruh penduduk

I. PENDAHULUAN. Beras merupakan bahan pangan yang dikonsumsi hampir seluruh penduduk I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang dan Masalah Beras merupakan bahan pangan yang dikonsumsi hampir seluruh penduduk Indonesia. Perkembangan produksi tanaman pada (Oryza sativa L.) baik di Indonesia maupun

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Karakteristik Ultisol

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Karakteristik Ultisol 18 II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Karakteristik Ultisol Ultisol merupakan tanah-tanah yang mempunyai horizon argilik atau kandik dengan nilai kejenuhan basa rendah. Kejenuhan basa (jumlah kation basa) pada

Lebih terperinci

PETUNJUK LAPANGAN (PETLAP) PENGOLAHAN LAHAN

PETUNJUK LAPANGAN (PETLAP) PENGOLAHAN LAHAN PETUNJUK LAPANGAN (PETLAP) PENGOLAHAN LAHAN BADAN PENYULUHAN DAN PENGEMBANGAN SDM PERTANIAN PUSAT PELATIHAN PERTANIAN 2015 1 PETUNJUK LAPANGAN (PETLAP) PENGOLAHAN LAHAN A. DEFINISI Adalah pengolahan lahan

Lebih terperinci

KAJIAN KUALITAS AIR UNTUK AKTIFITAS DI DAERAH ALIRAN SUNGAI (DAS) KRUENG ACEH Susi Chairani 1), Siti Mechram 2), Muhammad Shilahuddin 3) Program Studi Teknik Pertanian 1,2,3) Fakultas Pertanian, Universitas

Lebih terperinci

V ASPEK EKOLOGIS EKOSISTEM LAMUN

V ASPEK EKOLOGIS EKOSISTEM LAMUN 49 V ASPEK EKOLOGIS EKOSISTEM LAMUN 5.1 Distribusi Parameter Kualitas Perairan Karakteristik suatu perairan dan kualitasnya ditentukan oleh distribusi parameter fisik dan kimia perairan yang berlangsung

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. A. Material Vulkanik Merapi. gunung api yang berupa padatan dapat disebut sebagai bahan piroklastik (pyro = api,

TINJAUAN PUSTAKA. A. Material Vulkanik Merapi. gunung api yang berupa padatan dapat disebut sebagai bahan piroklastik (pyro = api, II. TINJAUAN PUSTAKA A. Material Vulkanik Merapi Abu vulkanik adalah bahan material vulkanik jatuhan yang disemburkan ke udara saat terjadi suatu letusan dan dapat jatuh pada jarak mencapai ratusan bahkan

Lebih terperinci

Nur Rahmah Fithriyah

Nur Rahmah Fithriyah Nur Rahmah Fithriyah 3307 100 074 Mengandung Limbah tahu penyebab pencemaran Bahan Organik Tinggi elon Kangkung cabai Pupuk Cair Untuk mengidentifikasi besar kandungan unsur hara N, P, K dan ph yang terdapat

Lebih terperinci

KERUSAKAN MANGROVE SERTA KORELASINYA TERHADAP TINGKAT INTRUSI AIR LAUT (STUDI KASUS DI DESA PANTAI BAHAGIA KECAMATAN MUARA GEMBONG KABUPATEN BEKASI)

KERUSAKAN MANGROVE SERTA KORELASINYA TERHADAP TINGKAT INTRUSI AIR LAUT (STUDI KASUS DI DESA PANTAI BAHAGIA KECAMATAN MUARA GEMBONG KABUPATEN BEKASI) 1 KERUSAKAN MANGROVE SERTA KORELASINYA TERHADAP TINGKAT INTRUSI AIR LAUT (STUDI KASUS DI DESA PANTAI BAHAGIA KECAMATAN MUARA GEMBONG KABUPATEN BEKASI) Tesis Untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan Mencapai

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 14 IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Kondisi Awal Lahan Bekas Tambang Lahan bekas tambang pasir besi berada di sepanjang pantai selatan desa Ketawangrejo, Kabupaten Purworejo. Timbunan-timbunan pasir yang

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. dibentuk oleh berbagai komponen biotik dan abiotik, komponen-komponen ini saling

I. PENDAHULUAN. dibentuk oleh berbagai komponen biotik dan abiotik, komponen-komponen ini saling I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Wilayah pesisir merupakan wilayah peralihan antara laut dan daratan yang dibentuk oleh berbagai komponen biotik dan abiotik, komponen-komponen ini saling berkaitan membentuk

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. pertambahan jumlah penduduk dan peningkatan konsumsi per kapita akibat

I. PENDAHULUAN. pertambahan jumlah penduduk dan peningkatan konsumsi per kapita akibat 1 I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang dan Masalah Kebutuhan bahan pangan terutama beras akan terus meningkat sejalan dengan pertambahan jumlah penduduk dan peningkatan konsumsi per kapita akibat peningkatan

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN. Dari hasil pengukuran terhadap beberapa parameter kualitas pada

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN. Dari hasil pengukuran terhadap beberapa parameter kualitas pada IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 1. Kualitas Air Dari hasil pengukuran terhadap beberapa parameter kualitas pada masingmasing perlakuan selama penelitian adalah seperti terlihat pada Tabel 1 Tabel 1 Kualitas Air

Lebih terperinci