6. IMPLIKASI PENGEMBANGAN BUDIDAYA TAMBAK UDANG BERKELANJUTAN BERBASIS DAYA DUKUNG DI WILAYAH PESISIR KECAMATAN MANGARA BOMBANG

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "6. IMPLIKASI PENGEMBANGAN BUDIDAYA TAMBAK UDANG BERKELANJUTAN BERBASIS DAYA DUKUNG DI WILAYAH PESISIR KECAMATAN MANGARA BOMBANG"

Transkripsi

1 6. IMPLIKASI PENGEMBANGAN BUDIDAYA TAMBAK UDANG BERKELANJUTAN BERBASIS DAYA DUKUNG DI WILAYAH PESISIR KECAMATAN MANGARA BOMBANG Pengembangan budidaya tambak udang di wilayah pesisir Kecamatan Mangara Bombang sangat dipengaruhi oleh aspek ekologi (lingkungan), ekonomi dan sosial secara simultan. Oleh karena itu, perlu dilakukan antisipasi terhadap segala kemungkinan yang mengganggu keseimbangan ekologi (lingkungan), ekonomi, dan sosial tersebut. Sebagai contoh sejak dimulainya intensifikasi budidaya udang tahun 1984, pembukaan lahan tambak banyak dilakukan oleh masyarakat tanpa memperhatikan kaidah kaidah lingkungan, seperti yang terjadi di pantai utara Jawa, kawasan Delta Mahakam, serta di wilayah pesisir Lampung Timur. Suatu yang dilematis, disatu sisi harus meningkatkan produksi udang, namun disis lain masih belum dapat mengantisipasi terjadinya kerusakan alam (konversi mangrove) yang sangat berpengaruh terhadap terjadinya degradasi lingkungan. Pemilihan lokasi yang baik dalam pengembangan budidaya tambak udang dan sesuai dengan daya dukung lingkungan akan mempengaruhi keberlanjutan kegiatan budidaya tambak udang secara ekologi (lingkungan),ekonomi, dan sosial (Lawson 1995; Bengen 2005; Perez et al.2003). Tahapan awal yang sering dijumpai bagi pembudidaya udang adalah sulitnya mendapatkan informasi tentang penetapan lokasi yang tepat, sementara pemilihan lokasi yang tepat merupakan langkah awal bagi penentu keberhasilan budidaya udang yang berkelanjutan. Informasi yang diperlukan pembudidaya udang dalam menetapkan lokasi tambak udang sering dan bahkan sulit diperoleh dari pihak yang berwenang yang diharapkan mempunyai kapabilitas serta akses informasi tentang kondisi biogeofisik lahan, biofisik perairan serta daya dukung dari lokasi yang tepat pada wilayah kerjanya. Sementara pembudidaya juga dihadapkan pada masalah konflik kepentingan yang sulit diselesaikan dalam suatu kawasan pesisir. Kompleksitas masalah dalam pemilihan lokasi budidaya tambak udang akan dapat diminimasi apabila penetapan dari sistem pengelolaan wilayah pesisir secara terpadu dapat memberikan akses informasi pembangunan perikanan budidaya khususnya tambak udang.

2 Kebutuhan informasi perikanan budidaya khusunya menyangkut distribusi spasial pengembangan budidaya tambak udang yang dilengkapi dengan informasi daya dukung lingkungan perairan yang mencakup data kapasitas produksi, luas maksimum tambak udang (intensif, semi intensif, dan tradisional plus) yang diperkenankan, intensitas, dan praktek praktek budidaya udang yang sesuai dengan standar operasional, jumlah maksimum beban limbah yang diperkenankan serta kondisi biogeofisik lahan dan rona awal lingkungan berperan sangat penting dalam memformulasi kebijakan pengelolaan, regulasi dan pemberian lisensi yang dapat dipertanggung jawabkan. Oleh karena itu, hasil penelitian ini dapat menjadi sumber informasi yang diperlukan untuk kawasan pengembangan budidaya tambak udang serta acuan dalam perencanaan pengelolaan dan pengembangan budidaya tambak udang yang berkelanjutan. Status bioekologi dan lingkungan wilayah pesisir. Kecamatan Mangara Bombang bagi pengembagan budidaya tambak udang yang berkelanjutan dapat dilihat pada Tabel 71. Tabel 71. Status bioekologi dan lingkungan wilayah pesisir Kecamatan Mangara Bombang bagi pengembagan budidaya tambak udang yang berkelanjutan Parameter Nilai Keterangan Luas wilayah ha (luas total) Citra Landsat 7 ETM+, Path Kecamatan Row 114/064 (2005); BPN Mangara Bombang (2008) Luas tutupan tambak Luas tambak intensif saat ini Luas tambak tradisional dan tambak tidak terpakai ha Citra landsat 2005; BPN (2008); Dinas Perikanan dan Kelautan Kab. Takalar (2008) ha Dinas Perikanan dan Kelautan Kab. Takalar (2008); Hasil Pengamatan (2008) ha Dinas Perikanan dan Kelautan Kab. Takalar (2008); Hasil pengamatan (2008)

3 Luas lahan pada kondisi daya dukung lingkungan Tipe pasang surut (Formzhal-F) Tunggang pasang surut Kecepatan arus musim kemarau Kecepatan arus musim hujan Volume total air yang tersedia di perairan pesisir ha Intensif (126 ekor/m 2 ) ha Intensif (50 ekor/m 2 ) ha Semi intensif (25 ekor/m 2 ) ha Tradisional plus (8 ekor/m 2 ) Campuran dengan tipe ganda lebih menonjol cm Neap tide cm Spring tide m/dt Spring tide m/dt Neap tide m/dt Spring tide m/dt Neap tide m 2 siklus pasang surut per hari Flushing time Lama tinggal air di pantai (retention time) Kapasitas oksigen yang tersedia di perairan pantai Jumlah limbah organik yang dapat ditampung oleh perairan pesisir 2.78 hari (dibulatkan 2,8 hari) 2.0 jam 4.0 jam kg /hari O kg limbah organik/hari Laju pengenceran limbah oganik di perairan pesisir 1 siklus pasang surut/hari 2 siklus pasang surut/hari Oksigen terlarut tersedia untuk menguraikan limbah organik di perairan pesisir Daya dukung limbah organik Jumlah buangan limbah organik tambak udang dalam bentuk TSS Jumlah buangan limbah nitrogen kg/ha Intensif (126 ekor/m 2 ) kg/ha Intensif ( 50 ekor/m 2 ) kg/ha Semi intensif (25 ekor/m 2 ) kg/ha Tradisional plus (8 ekor/m 2 ) kg/ha Intensif (126 ekor/m 2 ) kg/ha Intensif ( 50 ekor/m 2 ) kg/ha Semi intensif (25 ekor/m 2 ) kg/ha Tradisional plus (8 ekor/m 2 )

4 Jumlah buangan limbah phosphor kg/ha Intensif (126 ekor/m 2 ) kg/ha Intensif ( 50 ekor/m 2 ) kg/ha Semi intensif (25 ekor/m 2 ) kg/ha Tradisional plus (8 ekor/m 2 ) Limbah selain tambak udang/antropogenik N (organik): kg/th DIN: kg/th P (organik): kg/th DIP : kg/th Pemukiman Peternakan Perikanan (hatchery) Erosi lahan pertanian Luas optimal tambak udang (skenario 1) (direkomendasikan) Luas optimal tambak udang (skenario 2) (alternatif) Luas optimal tambak udang (skenario 3) Luas optimal tambak udang (skenario 4) Luas optimal tambak udang (skenario 5) ha Intensif (126 ekor/m 2 ) ha Intensif ( 50 ekor/m 2 ) ha Semi intensif (25 ekor/m 2 ) ha Tradisional plus (8 ekor/m 2 ) ha Intensif (126 ekor/m 2 ) ha Intensif ( 50 ekor/m 2 ) ha Semi intensif (25 ekor/m 2 ) ha Tradisional plus (8 ekor/m 2 ) 0 ha Intensif (126 ekor/m 2 ) ha Intensif ( 50 ekor/m 2 ) ha Semi intensif (25 ekor/m 2 ) 0 ha Tradisional plus (8 ekor/m 2 ) 0 ha Intensif (126 ekor/m 2 ) 0 ha Intensif ( 50 ekor/m 2 ) 0 ha Semi intensif (25 ekor/m 2 ) 0 ha Tradisional plus (8 ekor/m 2 ) ha Intensif (126 ekor/m 2 ) ha Intensif ( 50 ekor/m 2 ) ha Semi intensif (25 ekor/m 2 ) ha Tradisional plus (8 ekor/m 2 ) Diperlukan : ha (N) ha (P) Reboisasi: ha (N) ha (P) Luas mangrove saat ini : ha (luas tambak udang saat ini)

5 Kebutuhan luas hutan mangrove untuk pengembangan tambak udang Diperlukan: ha (N) ha (P) Reboisasi : ha (N) ha (P) Diperlukan: ha (N) ha (P) Reboisasi: ha (N) ha (P) Diperlukan: (N) (P) Reboisasi: ha (N) (P) Diperlukan : ha (N dan P) Reboisasi : ha (N dan P) Diperlukan: ha (N dan P) Reboisasi: ha (N dan P) Luas mangrove saat ini : ha Luas tambak udang intensif (126 ekor/m 2 ) kondisi daya dukung lingkungan seluas ha Luas mangrove saat ini : ha Luas tambak udang intensif (50 ekor/m 2 ) kondisi daya dukung lingkungan seluas ha Luas mangrove saat ini : ha Luas tambak udang semi intensif (25 ekor/m 2 ) kondisi daya dukung lingkungan seluas ha Luas mangrove saat ini : ha Luas tambak udang optimal (Skenario 1: direkomendasikan) Intensif (126 ekor/m 2 ): ha 2 Intensif (50 ekor/m ): ha 2 Semi intensif (25 ekor/m ): ha 2 Tradisional plus (8 ekor/m ): ha Luas mangrove saat ini : ha Luas tambak udang optimal (Skenario 2: alternatif) Intensif (126 ekor/m 2 ): ha 2 Intensif (50 ekor/m ):89.95 ha 2 Semi intensif (25 ekor/m ): ha Tradisional plus (8 ekor/m 2 ): ha 6.1. Implikasi Ekologi (lingkungan), Ekonomi dan Sosial Implikasi Ekologi (Lingkungan) Pengembangan tambak udang harus memperhatikan kondisi biogeofisik spesifik wilayah pesisir Kecamatan Mangara Bombang serta aspek bioteknis.

6 Oleh karena itu, lahan di wilayah pesisir Kecamatan Mangara Bombang tidak seluruhnya dapat dijadikan lokasi untuk kegiatan tambak udang. Beberapa modifikasi parameter kunci yang menjadi dasar pertimbangan dalam menentukan lokasi yang layak untuk kegiatan tambak udang yaitu: (1) kemiringan lahan; (2) kandungan liat tanah; (3) ketinggian lahan; (4) jarak dari pantai; (5) jarak dari sungai; (6) salinitas; (7) kedalaman solum tanah; (8)pH tanah; bahan organik tanah; dan (9) pirit tanah. Berdasarkan kriteria kesesuaian lahan yang digunakan diperoleh secara spasial luas lahan yang sangat sesuai (SS) untuk budidaya tambak udang intensif/semi intensif seluas ha, sesuai (S) seluas ha, dan kurang sesuai (KS) seluas ha. Sedangkan luas lahan yang sangat sesuai (SS) untuk tambak udang tradisional/tradisional plus seluas ha, sesuai (S) seluas ha, dan kurang sesuai (KS) seluas ha. Luas lahan yang kurang sesuai (S3) untuk tambak udang intensif/semi intensif masuk kategori sangat sesuai (SS) untuk tambak udang tradisional/tradisional plus seluas ha dan masuk kategori sesuai (S) untuk tambak udang tradisional/tradisional plus seluas ha (total ha). luas lahan yang kurang sesuai (KS) untuk intensif/semi intensif dan tradisional/tradisional plus seluas ha. Pertimbangan ekologi/lingkungan perairan pesisir harus juga menjadi perhatian utama dalam pengembangan budidaya tambak udang selain kedua pertimbangan diatas (biogeofisik lahan dan aspek bioteknis). Perairan pesisir mempunyai keterbatasan untuk menampung sejumlah beban limbah yang dihasilkan dari berbagai kegiatan di wilayah pesisir termasuk budidaya tambak udang. Kegiatan budidaya tambak udang di wilayah pesisir Kecamatan Mangara Bombang yang membuang limbah organik ke lingkungan perairan pesisir, yaitu intensif (126 ekor/m 2 ) sebesar kg/ha/mt, tambak udang intensif (50 ekor/m 2 ) sebesar kg/ha/mt, semi intensif (25 ekor/m 2 ) sebesar kg/ha/mt, dan tradisional plus (8 ekor/m 2 ) sebesar kg/ha/mt. Sedangkan kegiatan lain selain tambak udang/antropogenik yang berpotensi membuang limbah ke lingkungan perairan yaitu pemukiman, peternakan, perikanan (hatchery), dan erosi lahan pertanian, yang menghasilkan beban limbah organik (N organik) sebesar kg N/th dan P (organik) sebesar 432

7 kg P/th. Beban limbah organik yang dihasilkan dari kegiatan budidaya tambak udang (internal loading) dan kegiatan selain tambak udang/antropogenik (external loading) sangat berpotensi mencemari lingkungan perairan pesisir. Berdasarkan kondisi fisik perairan pesisir Kecamata Mangara Bombang, beban limbah organik yang mampu diasimilasi sebesar kg/hari, sehingga luas tambak udang yang dapat dikembangkan yaitu intensif (126 ekor/m 2 ) seluas ha (5.75 % dari total luas lahan yang layak secara biogeofisik untuk intensif/semi intensif), intensif (50 ekor/m 2 ) seluas ha (22.24 % dari total luas lahan yang layak secara biogeofisik untuk intensif/semi intensif), semi intensif (25 ekor/m 2 ) ha (45.96 % dari total luas lahan yang layak secara biogeofisik untuk intensif/semi intensif), dan tradisional plus seluas (8 ekor/m 2 ) ha (76.10 % dari total luas lahan yang layak secara biogeofisik untuk tradisional/tradisional plus). Pengembangan tambak udang yang mempertimbangkan aspek ekologi/lingkungan perairan pesisir, yang didasarkan pada informasi beban limbah organik (tambak udang dan selain tambak udang/antropogenik) serta informasi kapasitas asimilasi perairan pesisir terhadap limbah organik akan berdampak terhadap keberlanjutan produktivitas budidaya tambak udang Implikasi Ekonomi Usaha budidaya tambak udang menghasilkan pendapatan yang cukup menguntungkan. Total biaya produksi usaha tambak udang intensif (126 ekor/m 2 ) sebesar Rp /ha/MT atau Rp /ha/th dan menghasilkan total nilai produksi sebesar Rp /ha/MT atau /ha/tahun. Keuntungan yang diperoleh Rp /ha/MT atau Rp /ha/th dengan nilai R/C Jika dilakukan pengelolaan kincir optimal, maka total biaya produksi yang dikeluarkan menjadi Rp /ha/MT Rp /ha/th. Keuntungan yang diperoleh meningkat menjadi sebesar Rp /ha/MT Rp /ha/th, dengan nilai R/C Total biaya produksi usaha tambak udang intensif (50 ekor/m 2 ) yang dikeluarkan sebesar Rp /ha/MT atau Rp /ha/th dan menghasilkan nilai total produksi sebesar Rp /ha/MT atau Rp /ha/tahun. Keuntungan yang diperoleh sebesar Rp /ha/MT atau Rp

8 /ha/th dengan nilai R/C Jika dilakukan pengelolaan kincir optimal, maka total biaya yang dikeluarkan menjadi Rp /ha/MT Rp /ha/th. Keuntungan yang diperoleh meningkat menjadi sebesar Rp /ha/MT Rp /ha/th, dengan nilai R/C Biaya operasional tambak udang tradisional yang dikeluarkan sebesar Rp /ha/MT atau Rp /ha/th dan nilai total produksi sebesar Rp /ha/MT atau Rp /ha/tahun. Keuntungan yang diperoleh sebesar Rp /ha/MT atau Rp /ha/th dengan nilai R/C Apabila pengembangan tambak udang dilakukan sesuai dengan daya dukung lingkungan, maka dihasilkan produksi berkelanjutan dari kegiatan tambak udang intensif (126 ekor/m 2 ) sebesar ton dan secara ekonomi menghasilkan total pendapatan usaha sebesar Rp Kemudian dari kegiatan pengembangan tambak udang intensif (50 ekor/m 2 ) mampu menghasilkan produksi berkelanjutan sebesar ton dan secara ekonomi menghasilkan total pendapatan usaha Rp Selanjutnya dari kegiatan pengembangan tambak udang semi intensif (25 ekor/m 2 ) mampu menghasilkan produksi berkelanjutan sebesar ton dan secara ekonomi menghasilkan pendapatan usaha Rp Kemudian kegiatan pengembangan tambak udang tradisional plus (8 ekor/m 2 ) mampu menghasilkan produksi berkelanjutan sebesar ton dan secara ekonomi menghasilkan total pendapatan usaha Rp Hal ini akan memberikan dampak terhadap perekonomian daerah (PAD), terutama perekonomian masyarakat sekitar Kecamatan Mangara Bombang. Tingkat keutungan usaha kegiatan budidaya tambak udang saat ini dan pengembangannya ke depan dapat dipetahanakan bahkan ditingkatkan, apabila peruntukkan lahan untuk kegiatan budidaya tambak udang harus sesuai dengan daya dukung lingkungan perairan pesisir Kecamatan Mangara Bombang Implikasi Sosial Penentuan luas lahan budidaya tambak udang di wilayah pesisir Kecamatan Mangara Bombang telah mempertimbangkan status pemanfaatan lahan budidaya tambak udang saat ini. Pengembangan budidaya tambak udang diharapkan dapat menghindari munculnya konflik kepentingan penggunaan lahan

9 di wilayah pesisir, seperti pengembangan budidaya tambak udang tanpa mengganggu aktivitas produksi lainnya, mampu menciptakan lapangan pekerjaan, meningkatkan nilai tambah produk dan juga meningkatkan pendapatan masyarakat pesisir Kecamatan Mangara Bombang. Pengembangan budidaya tambak udang diarahkan untuk dapat memunculkan kegiatan pendukung budidaya tambak udang seperti kegiatan produksi pembenihan dan penggelondongan udang, warung akuainput (pakan, obat-obatan, dll). Dampak yang telah dirasakan saat ini adalah kegiatan budidaya tambak udang telah menyerap tenaga kerja dari masyarakat sekitar sebanyak 144 orang atau HOK/th (Hasil wawancara dan pengamatan lapangan 2008). Masyarakat sekitar juga telah terserap dan bekerja pada usaha pendukung budidaya tambak udang yaitu kegiatan usaha pembenihan (hatchery) milik PT. Unimexco Jaya Sentosa (KSO PT. Komindo Trading Utama dengan PT. Luxindo Internusa). Sedangkan PT. Benur kita milik seorang pengusaha asal Sulawesi Selatan yang berlokasi di Kabupaten Barru, tahun 2010 ini akan membuka unit pembenihan udang (hatchery) di wilayah pesisir Kecamatan Mangara Bombang. Kerjasama investasi pengelolaan dan pengembangan usaha tambak udang juga sudah dilakukan juga oleh PT. CP Pokphand dengan pembudidaya udang di wilayah pesisir Kecamatan Mangara Bombang. Pengembangan tambak udang intensif (126 ekor/m 2 ) pada kondisi daya dukung lingkungan dapat menyerap tenaga kerja sebesar 358 orang atau HOK/th (masih dapat menyerap tenaga kerja aktual 214 orang atau HOK/th dari kondisi saat ini). Jika dikembangkan tambak udang intensif (50 ekor/m 2 ) dapat menyerap tenaga kerja aktual sebesar 1358 orang atau HOK/th (masih dapat menyerap tenaga kerja aktual 1241 orang atau HOK/th dari kondisi saat ini). Jika dikembangkan tambak udang semi intensif (25 ekor/m 2 ) dapat menyerap tenaga kerja aktual 1432 orang atau HOK/th (masih dapat menyerap tenaga kerja aktual 1288 orang atau HOK/th dari kondisi saat ini). Jika dikembangkan tambak udang tradisional plus (8 ekor/m 2 ) dapat menyerap tenaga kerja aktual sebesar 1695 orang atau HOK/th (masih dapat menyerap tenaga kerja aktual sebesar 1551 orang atau HOK/th dari kondisi saat ini).

10 Kegiatan budidaya tambak udang saat ini secara sosial telah berdampak kepada masyarakat terutama dalam penyerapan tenaga kerja. Rencana pengembangan budidaya tambak udang (intensifikasi dan ekstensifikasi) yang dilakukan oleh Pemerintah Daerah melalui Dinas Kelautan dan Perikanan tidak hanya mengejar target penyerapan tenaga kerja semata akan tetapi juga harus memperhatikan kebutuhan tenaga kerja sesuai dengan tingkat teknologi budidaya pada kondisi daya dukung lingkungan, sehingga sistem produksi dapat berjalan dengan baik Integrasi Ekologi (lingkungan), Ekonomi dan Sosial Komponen aspek ekologi (lingkungan), ekonomi, dan sosial diintegrasikan melalui variabel atau peubah yang digunakan dalam sub sub model yang dibangun dalam sistem dinamik untuk pengembangan tambak udang secara optimal. Alokasi lahan tambak udang dengan pertimbangan aspek ekologi (lingkungan), ekonomi, dan sosial dapat menjaga keberlanjutan produktivitas budidaya udang secara optimal. Hasil simulasi sistem dinamik diperoleh alokasi luas tambak udang optimal dengan pertimbangan ekologi (lingkungan), ekonomi, dan sosial yaitu : tambak udang intensif (126 ekor/m 2 ) ha, tambak udang intensif (50 ekor/m 2 ) ha, tambak udang semi intensif (25 ekor/m 2 ) ha, dan tambak udang tradisional plus (8 ekor/m 2 ) ha (skenario 1- direkomendasikan). Beban limbah organik yang masuk dan berada dilingkungan perairan pesisir masih dibawah kapasitas asimilasi perairan pesisir terhadap limbah organik dengan produksi biomassa udang yang dihasilkan sebesar ton. Total pendapatan usaha yang diperoleh sebesar Rp (tanpa pengelolaan kincir) dan Rp (pengelolaan kincir), dengan kontribusi pendapatan ke daerah sebesar Rp (tanpa pengelolaan kincir) dan Rp (pengelolaan kincir). Total tenaga kerja aktual yang dapat diserap sebesar 1753 orang atau HOK/th (masih dapat menyerap tenaga kerja aktual 1609 orang atau HOK/th dari kondisi saat ini). Kemudian skenario 2 sebagai alternatif alokasi lahan optimal dengan pertimbangan aspek ekologi (lingkungan), ekonomi, dan sosial yaitu tambak udang intensif (126 ekor/m 2 ) ha, tambak udang intensif (50 ekor/m 2 ) 89.95

11 ha, tambak udang semi intensif (25 ekor/m 2 ) ha, dan tambak udang tradisional plus (8 ekor/m 2 ) ha Beban limbah yang masuk dan berada di lingkungan perairan pesisir tergolong cukup tinggi akan tetapi masih berada dalam kapaitas asimilasi perairan pesisir terhadap limbah organik dengan produksi biomassa udang sebesar ton. Total pendapatan usaha yang diperoleh sebesar Rp (tanpa pengelolaan kincir) dan Rp (pengelolaan kincir), dengan kontribusi pendapatan optimal ke daerah sebesar Rp (tanpa pengelolaan kincir) dan Rp (pengelolaan kincir). Total tenaga kerja aktual yang dapat diserap sebesar 981 orang atau HOK/th (masih dapat menyerap tenaga kerja 837 orang atau HOK/th dari kondisi saat ini) Strategi Pengelolaan Wilayah Pesisir Kecamatan Mangara Bombang untuk Pengembangan Tambak Udang Secara Berkelanjutan Beberapa langkah strategi yang perlu dilakukan agar pengembangan tambak udang di wilayah pesisir Kecamatan Mangara Bombang dapat bekelanjutan antara lain: 1. Limbah hasil kegiatan budidaya dari sisa pakan dan feses yang dihasilkan selama proses budidaya dan kemudian terbuang ke lingkungan perairan merupakan bahan pencemar organik yang dapat menurunkan kualitas lingkungan perairan. Upaya memperkecil dampak yang dihasilkan dari buangan limbah budidaya tersebut maka perlu dilakukan upaya sebagai berikut: (a) penanaman/penataan kembali kawasan hutan mangrove (reboisasi) dan menempatkan kegiatan budidaya rumput laut di perairan sekitar kegiatan budidaya udang. Hutan mangrove selain sebagai buffer (penyangga) juga dapat mengabsorb beban limbah organik yang masuk ke lingkungan perairan begitu pula dengan rumput laut. Kemampuan absorb hutan mangrove dan rumput laut ini mengakibatkan beban limbah yang masuk dan berada di lingkungan perairan dapat diperkecil sehingga kondisi kualitas air perairan tetap terjaga (layak untuk budidaya udang). Semakin

12 sedikit beban limbah yang masuk dan berada di lingkungan perairan pesisir secara langsung akan meningkatkan daya dukung lingkungan perairan sehingga luas tambak udang yang akan dikembangkan dapat menigkat pula. 1 ha tambak udang intensif dan semi intensif diperlukan masing masing 7.2 ha dan 2.4 ha hutan mangrove untuk menyerap nitrogen sedangkan untuk menyerap phospor diperlukan masing masing 21.7 ha dan 2.8 ha hutan mangrove Robertson and Phillips (1995 diacu dalam Chowdury et al. 2001). Sedangkan rumput laut jenis Euchema seperti E. Cottoni dan E.spinosum atau dikalangan pembudidaya dikenal dengan Kappaphycus alvarezi dan E.denticulatum (Ask dan Azanza 2002), mempunyai kemampuan efisiensi penyerapan sebesar 32 % nitrogen dan 19 % phoshor (Chandrkrachang et al.1991; Msuya et al. 2006). Penambahan luas hutan mangrove selain dapat memberikan dampak ekologis juga memberikan dampak ekonomi kepada masyarakat. Manfaat langsung (Direct Use Value) dari hutan mangrove yaitu kayu mangrove, sumberdaya perikanan, bahan makanan, wisata dan kesehatan/obat obatan, bahan bangunan, dan rekreasi (Munasinghe 1993; Barton 1994; Koziell 1998 diacu dalam Dahuri 2003). Sedangkan nilai manfaat tidak langsung (Non Direct Use Value) dari hutan mangrove yaitu manfaat yang diperoleh dari suatu ekosistem secara tidak langsung misalnya daerah pertumbuhan ikan, pelindung dari gelombang, mendaur ulang nutrien, asimilasi limbah, fungsi pengaturan cuaca/iklim, mencegah instrusi air laut dan penjaga siklus pakan bagi ikan (Barton 1994; Koziell 1998 diacu dalam Dahuri 2003). Pendugaan nilai total manfaat hutan mangrove diperoleh dari beberapa hasil penelitian yaitu manfaat kayu mangrove US$ 45/ha/th (Kusmana 1993 diacu dalam Dahuri 2003); nilai produksi sumberdaya ikan US$ /ha/th (Dahuri dan Yusuf 1999 diacu dalam Dahuri 2003); wildlife US$ 5.8/ha/th (Direktorat Jenderal Perikanan 1999); biodiversity US$ /ha/th (Dahuri

13 1996) dan; nilai eksistensi US$ (Kusumastanto dan Meilani 1998) sehingga total nilai manfaat hutan mangrove US$ /ha/th. Sedangkan pendugaan biaya pengelolaan hutan mangrove yaitu investasi US$ /ha/th (Kusumastanto dan Meilani 1998); standing stock US$ /ha/th (Sumardjani 1993 diacu dalam Dahuri 2003) dan; wildlife US$ /ha/th (Kusumastanto dan Meilani 1998), sehingga total biaya pengelolaan mangrove US$ Berdasarkan hal ini, maka nilai ekonomi total hutan mangrove (NTE) sebesar US$ /ha/th (US$ /ha/th US$ 978.1/ha/th). Jika dilakukan penambahan luasan hutan mangrove seluas ha dari kondisi saat ini (total ha), menghasilkan nilai total ekonomi (NTE) sebesar US$ /th. Jika dilakukan penambahan luasan hutan mangrove seluas ha dari kondisi saat ini (total ha), menghasilkan nilai total ekonomi (NTE) sebesar US$ /ha atau Rp /th. Jika dilakukan penambahan luasan hutan mangrove seluas ha dari kondisi saat ini (total ha),menghasilkan nilai total ekonomi (NTE) sebesar US$ /th. Jika dilakukan penambahan luasan hutan mangrove seluas ha dari kondisi saat ini (total ha), menghasilkan nilai total ekonomi mangrove (NTE) US$ /th. Jika dilakukan penambahan luasan hutan mangrove seluas ha dari kondisi saat ini (total ha), menghasilkan nilai total ekonomi (NTE) sebesar US$ /ha. Jika dilakukan penambahan luasan hutan mangrove seluas ha (total ha), menghasilkan nilai total ekonomi (NTE) US$ /ha. Hasil penelitian (PPLH 1995 diacu dalam Asbar 2005) melaporkan bahwa biaya pembangunan break water sekitar Rp / m 3 dan jika tingkat inflasi nasional diasumsikan 4.25 %, maka biaya pembuatan break water akan meningkat menjadi Rp /m 3. Volume bangunan break water m 3, maka nilai manfaat tidak langsung dari

14 hutan mangrove sebagai fungsi penahan gelombang sebesar Rp per sepuluh tahun atau Rp /th. Theoretical Coastal Ecosystem, Water Flow and Simple Aquaculture Pond Arrangement Open Sea Biofilter II: kerang, tilapia/mujair Outlet MGB River inflow Mangrove Green Belt (MGB) SP Buffer Ponds SP Seaweeds/Bivalves Milkfish/ Other Commodity JSP JSP JSP JSP JSP JSP JSP JSP JSP JSP JSP JSP Shrimp Growout Ponds Milkfish / Other Commodity Seaweeds/Bivalves River Outflow MGB Inlet filter Tandon PROBIOTIK udang udang udang SP : Settling Ponds JSP : Juvenile Shrimp Ponds Biofilter I: kerang, bandeng (a) Gambar 85. (b) (a) Integrasi budidaya tambak udang lengkap dengan petak pemeliharaan bibit udang (benur) serta penggunaan petak treatment dengan ekosistem mangrove sebagai green belt; (b) Integrasi pemanfaatan ekosistem mangrove dan budidaya tambak dengan sistem silvofishery

15 (b) Meningkatkan efisiensi pakan (60-70 % biaya produksi udang adalah pakan) melalui upaya : (i) perbaikan kualitas pakan yang dicirikan dengan rendahnya nilai rasio konversi pakan, mengembangkan Low Polluting Feed sehingga beban limbah yang dihasilkan minimal, meningkatkan daya cerna bahan baku pakan melalui bioprocessing; (ii) mengembangkan teknologi budidaya udang yang ramah lingkungan; (iii) mengembangkan teknologi automatic feeding dan sensor penduga populasi udang secara otomatis dalam kerangka pengembangan feeding technique yang efektif agar pemberian pakan lebih optimal (Sugiura 1999; Arnold dan Davis 1999; Wu 1996) dan; (iv) mengembangkan Integrated Multi Trophic Aquaculture (IMTA) yang menerapkan konsep Zero Waste System (beban limbah minimal) dan Zero Water Exchange (hemat sumberdaya air, biaya listrik, dan pompa) dalam proses budidaya udang, dimana dapat dilakukan pendekatan konsep Reduce, Reuse, dan Recycle (Dahuri 2003). 2. Pengukuran level limbah dilingkungan budidaya secara rutin dalam sistem monitoring dan evaluasi lingkungan perairan untuk memprediksi skala dampak terhadap perairan (Ioppolo et al. 1997; Soley et al. 1994). 3. Limbah dari aktivitas selain tambak udang/antropogenik yang berasal dari kegiatan pemukiman (rumah tangga), peternakan, perikanan (hatchery), dan pertanian memberikan kontribusi akumulasi limbah organik di lingkungan perairan pesisir. Karena itu, perlu dilakukan upaya meminimalisasi atau pengendalian sebagai berikut: (1) penerapan sanitasi lingkungan atau pengelolaan limbah sebelum dibuang ke lingkungan perairan pesisir serta membuat sarana tempat pembuangan limbah akhir yang mudah terjangkau oleh masyarakat;(2) melakukan penataan kawasan pemukiman, kawasan mangrove, dan kawasan budidaya rumput laut. 4. Membuat Rencana Pengembangan Ekonomi Regional Berbasis Perikanan Budidaya di wilayah pesisir Kecamatan Mangara Bombang sebagai petunjuk pengembangan budidaya tambak udang yang layak secara biotekno-sosio-ekonomi sehingga membantu meminimasi konflik

16 kepentingan. Sebagai arahan pendorong pemanfaatan wilayah pesisir Kecamatan Mangara Bombang yang berkelanjutan, maka Rencana Pengembangan Ekonomi Regional Berbasis Perikanan Budidaya harus diarahkan sebagai suatu komponen yang komperensif dalam sistem perencanaan wilayah pesisir secara terpadu yang dituangkan dalam bentuk peraturan daerah (PERDA). Sistem ini pada akhirnya bermanfaat sebagai acuan perizinan dan lisensi serta akses kompromi antara stekeholders yang mencakup aspek persetujuan pemanfaatan wilayah untuk perikanan budidaya, transportasi laut, pelabuhan, dan pengelolaan sumberdaya perairan, pertanian dan pemukiman yang dibangun dalam konteks strategi pengelolaan wilayah pesisir secara terpadu. 5. Budidaya tambak udang selain sebagai sumber sistem pangan juga sebagai sumber pencemar yang potensial. Karena itu, perlu dimasukkan biaya lingkungan ke dalam biaya produksi sebagai salah atu alternatif instrumen pengelolaan lngkungan. Keputusan untuk memasukkan biaya lingkungan akan menjadi penggerak yang kuat bagi produksi budidaya udang dan mendorong untuk seleksi teknologi budidaya udang yang ramah lingkungan, akan tetapi jika biaya lingkungan terlalu tinggi akan menyebabkan usaha budidaya tambak udang akan tidak dapat beroperasi, karena tidak ada cara termudah dan termurah untuk merubah teknologi dalam waktu yang singkat. Biaya untuk mereduksi beban limbah nutrien dari produksi 100 ton produksi budidaya dapat mencapai % dari total cost (Troell 1996). Penerapan prinsip polluters pays mengakibatkan biaya biaya lingkungan untuk eutrofikasi dapat dimasukkan ke dalam biaya produksi dengan konsekuensi harga yang harus dibayar oleh konsumen akan menjadi meningkat pula. Supaya biaya sosial tidak membebani konsumen maka produsen dan rantai tata niaga lainnya sebaiknya mengambil keuntungan dalam batas yang wajar. 6. Aktivitas budidaya tambak udang seperti aktivitas lainnya memberikan dampak terhadap lingkungan. Karena itu, praktek budidaya yang baik (Good Aquaculture Practice atau Best Management Practice) serta upaya menggunakan pedoman pengelolaan lingkungan secara praktis (Best

17 Practice of Environmental Management Guidlines) dalam industri budidaya udang perlu perlu dilakukan untuk perbaikan dampak lingkungan dan meminimalkan biaya lingkungan.

PENDAHULUAN Latar Belakang

PENDAHULUAN Latar Belakang PENDAHULUAN Latar Belakang Kawasan pesisir Teluk Bone yang terajut oleh 15 kabupaten/kota di Provinsi Sulawesi Selatan dan Sulawesi Tenggara dan membentang sepanjang kurang lebih 1.128 km garis pantai

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pembangunan yang merupakan suatu proses perubahan untuk meningkatkan taraf hidup manusia tidak terlepas dari aktifitas pemanfaatan sumberdaya alam (Bengen 2004). Peluang

Lebih terperinci

dan (3) pemanfaatan berkelanjutan. Keharmonisan spasial mensyaratkan bahwa dalam suatu wilayah pembangunan, hendaknya tidak seluruhnya diperuntukkan

dan (3) pemanfaatan berkelanjutan. Keharmonisan spasial mensyaratkan bahwa dalam suatu wilayah pembangunan, hendaknya tidak seluruhnya diperuntukkan KERANGKA PEMIKIRAN Dasar teori yang digunakan dalam penelitian ini mengacu pada konsep pembangunan berkelanjutan, yaitu konsep pengelolaan dan konservasi berbasis sumberdaya alam serta orientasi perubahan

Lebih terperinci

6 MODEL PENGEMBANGAN PESISIR BERBASIS BUDIDAYA PERIKANAN BERWAWASAN LINGKUNGAN

6 MODEL PENGEMBANGAN PESISIR BERBASIS BUDIDAYA PERIKANAN BERWAWASAN LINGKUNGAN 119 6 MODEL PENGEMBANGAN PESISIR BERBASIS BUDIDAYA PERIKANAN BERWAWASAN LINGKUNGAN Skenario pengembangan kawasan pesisir berbasis budidaya perikanan berwawasan lingkungan, dibangun melalui simulasi model

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Wilayah pesisir mempunyai peranan yang sangat penting bagi kehidupan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Wilayah pesisir mempunyai peranan yang sangat penting bagi kehidupan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Wilayah pesisir mempunyai peranan yang sangat penting bagi kehidupan dan penghidupan bagi masyarakat di Kabupaten Kubu Raya yang memiliki panjang garis pantai sekitar

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. dibentuk oleh berbagai komponen biotik dan abiotik, komponen-komponen ini saling

I. PENDAHULUAN. dibentuk oleh berbagai komponen biotik dan abiotik, komponen-komponen ini saling I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Wilayah pesisir merupakan wilayah peralihan antara laut dan daratan yang dibentuk oleh berbagai komponen biotik dan abiotik, komponen-komponen ini saling berkaitan membentuk

Lebih terperinci

Analisis Kesesuaian Lahan Wilayah Pesisir Kota Makassar Untuk Keperluan Budidaya

Analisis Kesesuaian Lahan Wilayah Pesisir Kota Makassar Untuk Keperluan Budidaya 1 Analisis Kesesuaian Lahan Wilayah Pesisir Kota Makassar Untuk Keperluan Budidaya PENDAHULUAN Wilayah pesisir merupakan ruang pertemuan antara daratan dan lautan, karenanya wilayah ini merupakan suatu

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN. Latar Belakang 1 I. PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Indonesia sebagai negara kepulauan, memiliki 18 306 pulau dengan garis pantai sepanjang 106 000 km (Sulistiyo 2002). Ini merupakan kawasan pesisir terpanjang kedua

Lebih terperinci

5. HASIL DAN PEMBAHASAN

5. HASIL DAN PEMBAHASAN 5. HASIL DAN PEMBAHASAN - 5.1. Kelayakan Lahan Budidaya Tambak Udang 5.1.1. Kualitas Tanah Kualitas tanah merupakan persyaratan yang memegang peranan yang sangat penting dalam menentukan baik tidaknya

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia merupakan negara kepulauan terbesar di dunia dengan total 17.504 pulau (Dewan Kelautan Indonesia (2010) dan Tambunan (2013: 1)). Enam puluh lima persen dari

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Laju pertambahan penduduk yang tinggi banyak terjadi di negara berkembang seperti Indonesia, telah menghabiskan surplus sumberdaya alam yang diperuntukkan bagi pembangunan

Lebih terperinci

Bab V Kajian Keberlanjutan Penerapan Sistem Silvofishery dalam Pengelolaan Ekosistem Mangrove Di Desa Dabung

Bab V Kajian Keberlanjutan Penerapan Sistem Silvofishery dalam Pengelolaan Ekosistem Mangrove Di Desa Dabung Bab V Kajian Keberlanjutan Penerapan Sistem Silvofishery dalam Pengelolaan Ekosistem Mangrove Di Desa Dabung V.1. Kajian keberlanjutan dengan Metode Ecological Footprint Seperti telah disebutkan sebelumnya

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. terluas di dunia. Hutan mangrove umumnya terdapat di seluruh pantai Indonesia

PENDAHULUAN. terluas di dunia. Hutan mangrove umumnya terdapat di seluruh pantai Indonesia PENDAHULUAN Latar Belakang Indonesia merupakan negara kepulauan yang memiliki hutan mangrove terluas di dunia. Hutan mangrove umumnya terdapat di seluruh pantai Indonesia dan hidup serta tumbuh berkembang

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. didarat masih dipengaruhi oleh proses-proses yang terjadi dilaut seperti

PENDAHULUAN. didarat masih dipengaruhi oleh proses-proses yang terjadi dilaut seperti 1 PENDAHULUAN Latar Belakang Wilayah pesisir bukan merupakan pemisah antara perairan lautan dengan daratan, melainkan tempat bertemunya daratan dan perairan lautan, dimana didarat masih dipengaruhi oleh

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. (21%) dari luas total global yang tersebar hampir di seluruh pulau-pulau

I. PENDAHULUAN. (21%) dari luas total global yang tersebar hampir di seluruh pulau-pulau I. PENDAHULUAN 1. 1. Latar Belakang Indonesia memiliki hutan mangrove terluas di dunia yakni 3,2 juta ha (21%) dari luas total global yang tersebar hampir di seluruh pulau-pulau besar mulai dari Sumatera,

Lebih terperinci

V. KESESUAIAN DAN DAYA DUKUNG KAWASAN BUDIDAYA RUMPUT LAUT

V. KESESUAIAN DAN DAYA DUKUNG KAWASAN BUDIDAYA RUMPUT LAUT V. KESESUAIAN DAN DAYA DUKUNG KAWASAN BUDIDAYA RUMPUT LAUT 5.1 Kesesuaian Kawasan Budidaya Rumput Laut Keberhasilan suatu kegiatan budidaya rumput laut sangat ditentukan oleh faktor lahan perairan, oleh

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Universitas Sumatera Utara

I. PENDAHULUAN. Universitas Sumatera Utara 88 I. PENDAHULUAN Kawasan pesisir memerlukan perlindungan dan pengelolaan yang tepat dan terarah. Keseimbangan aspek ekonomi, sosial dan lingkungan hidup menjadi tujuan akhir yang berkelanjutan. Telah

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. lahan pertambakan secara besar-besaran, dan areal yang paling banyak dikonversi

PENDAHULUAN. lahan pertambakan secara besar-besaran, dan areal yang paling banyak dikonversi PENDAHULUAN Latar Belakang Meningkatnya harga udang windu di pasaran mendorong pembukaan lahan pertambakan secara besar-besaran, dan areal yang paling banyak dikonversi untuk pertambakan adalah hutan mangrove.

Lebih terperinci

DAMPAK POLA PENGGUNAAN LAHAN PADA DAS TERHADAP PRODUKTIVITAS TAMBAK DI PERAIRAN PESISIR LAMPUNG SELATAN

DAMPAK POLA PENGGUNAAN LAHAN PADA DAS TERHADAP PRODUKTIVITAS TAMBAK DI PERAIRAN PESISIR LAMPUNG SELATAN SEMINAR NASIONAL PERIKANAN DAN KELAUTAN 2016 Pembangunan Perikanan dan Kelautan dalam Mendukung Kedaulatan Pangan Nasional Bandar Lampung, 17 Mei 2016 DAMPAK POLA PENGGUNAAN LAHAN PADA DAS TERHADAP PRODUKTIVITAS

Lebih terperinci

KAJIAN DAMPAK PENGEMBANGAN WILAYAH PESISIR KOTA TEGAL TERHADAP ADANYA KERUSAKAN LINGKUNGAN (Studi Kasus Kecamatan Tegal Barat) T U G A S A K H I R

KAJIAN DAMPAK PENGEMBANGAN WILAYAH PESISIR KOTA TEGAL TERHADAP ADANYA KERUSAKAN LINGKUNGAN (Studi Kasus Kecamatan Tegal Barat) T U G A S A K H I R KAJIAN DAMPAK PENGEMBANGAN WILAYAH PESISIR KOTA TEGAL TERHADAP ADANYA KERUSAKAN LINGKUNGAN (Studi Kasus Kecamatan Tegal Barat) T U G A S A K H I R Oleh : Andreas Untung Diananto L 2D 099 399 JURUSAN PERENCANAAN

Lebih terperinci

KATA PENGANTAR. Assalamu alaikum wr.wb.

KATA PENGANTAR. Assalamu alaikum wr.wb. KATA PENGANTAR Assalamu alaikum wr.wb. Puji syukur kami panjatkan kepada Allah SWT atas karunia-nya sehingga kami dapat menyelesaikan penyusunan buku Penghitungan Deforestasi Indonesia Periode Tahun 2009-2011

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA, LANDASAN TEORI, KERANGKA PEMIKIRAN DAN HIPOTESIS PENELITIAN

BAB II TINJAUAN PUSTAKA, LANDASAN TEORI, KERANGKA PEMIKIRAN DAN HIPOTESIS PENELITIAN BAB II TINJAUAN PUSTAKA, LANDASAN TEORI, KERANGKA PEMIKIRAN DAN HIPOTESIS PENELITIAN 2.1. Tinjauan Pustaka Udang adalah komoditas unggulan perikanan budidaya yang berprospek cerah. Udang termasuk komoditas

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Indonesia merupakan negara kepulauan yang mempunyai kawasan pesisir yang cukup luas, dan sebagian besar kawasan tersebut ditumbuhi mangrove yang lebarnya dari beberapa

Lebih terperinci

PENGANTAR SUMBERDAYA PESISIR DAN PULAU-PULAU KECIL. SUKANDAR, IR, MP, IPM

PENGANTAR SUMBERDAYA PESISIR DAN PULAU-PULAU KECIL. SUKANDAR, IR, MP, IPM PENGANTAR SUMBERDAYA PESISIR DAN PULAU-PULAU KECIL SUKANDAR, IR, MP, IPM (081334773989/cak.kdr@gmail.com) Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil Sebagai DaerahPeralihan antara Daratan dan Laut 12 mil laut

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. Sumberdaya alam adalah unsur lingkungan yang terdiri atas sumberdaya alam

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. Sumberdaya alam adalah unsur lingkungan yang terdiri atas sumberdaya alam BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Sumberdaya alam adalah unsur lingkungan yang terdiri atas sumberdaya alam hayati, sumberdaya alam non hayati dan sumberdaya buatan, merupakan salah satu aset pembangunan

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pulau-pulau kecil memiliki potensi pembangunan yang besar karena didukung oleh letaknya yang strategis dari aspek ekonomi, pertahanan dan keamanan serta adanya ekosistem

Lebih terperinci

Widi Setyogati, M.Si

Widi Setyogati, M.Si Widi Setyogati, M.Si Pengertian Tambak : salah satu wadah budidaya perairan dengan kualitas air cenderung payau/laut, biasanya terdapat di pesisir pantai Tambak berdasarkan sistem pengelolaannya terbagi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Wilayah pesisir Indonesia memiliki luas dan potensi ekosistem mangrove

BAB I PENDAHULUAN. Wilayah pesisir Indonesia memiliki luas dan potensi ekosistem mangrove BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Wilayah pesisir Indonesia memiliki luas dan potensi ekosistem mangrove yang cukup besar. Dari sekitar 15.900 juta ha hutan mangrove yang terdapat di dunia, sekitar

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. pengelolaan kawasan pesisir dan lautan. Namun semakin hari semakin kritis

PENDAHULUAN. pengelolaan kawasan pesisir dan lautan. Namun semakin hari semakin kritis PENDAHULUAN Latar Belakang Mangrove merupakan ekosistem yang memiliki peranan penting dalam pengelolaan kawasan pesisir dan lautan. Namun semakin hari semakin kritis kondisi dan keberadaannya. Beberapa

Lebih terperinci

I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Ekosistem mangrove merupakan ekosistem pesisir yang terdapat di sepanjang pantai tropis dan sub tropis atau muara sungai. Ekosistem ini didominasi oleh berbagai jenis

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. tumbuhan yang hidup di lingkungan yang khas seperti daerah pesisir.

BAB I PENDAHULUAN. tumbuhan yang hidup di lingkungan yang khas seperti daerah pesisir. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Hutan mangrove adalah tipe hutan yang khas terdapat di sepanjang pantai atau muara sungai yang dipengaruhi oleh pasang surut air laut. Mangrove banyak dijumpai di wilayah

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. Sumberdaya perikanan laut di berbagai bagian dunia sudah menunjukan

PENDAHULUAN. Sumberdaya perikanan laut di berbagai bagian dunia sudah menunjukan PENDAHULUAN Latar Belakang Sumberdaya perikanan laut di berbagai bagian dunia sudah menunjukan adanya kecenderungan menipis (data FAO, 2000) terutama produksi perikanan tangkap dunia diperkirakan hanya

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Terumbu karang merupakan salah satu ekosistem di wilayah pesisir yang kompleks, unik dan indah serta mempunyai fungsi biologi, ekologi dan ekonomi. Dari fungsi-fungsi tersebut,

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. Latar Belakang. Indonesia merupakan negara kepulauan terbesar di dunia yang terdiri dari

PENDAHULUAN. Latar Belakang. Indonesia merupakan negara kepulauan terbesar di dunia yang terdiri dari PENDAHULUAN Latar Belakang ndonesia merupakan negara kepulauan terbesar di dunia yang terdiri dari 17 508 pulau dan panjang garis pantainya kira-kira 81 000 kin serta wilayah laut pedalaman dan teritorialnya

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Pesisir memiliki peranan sangat penting bagi berbagai organisme yang berada di

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Pesisir memiliki peranan sangat penting bagi berbagai organisme yang berada di BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pesisir memiliki peranan sangat penting bagi berbagai organisme yang berada di sekitarnya. Kawasan pesisir memiliki beberapa ekosistem vital seperti ekosistem terumbu

Lebih terperinci

4. KONDISI UMUM WILAYAH PENELITIAN

4. KONDISI UMUM WILAYAH PENELITIAN 4. KONDISI UMUM WILAYAH PENELITIAN Kecamatan Mangarabombang merupakan salah satu Kecamatan yang berada di wilayah pesisir Kabupaten Takalar. Secara geografis, kecamatan Mangara Bombang berada pada posisi

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. lahan budidaya sehingga dapat meningkatkan jumlah lapangan kerja untuk

TINJAUAN PUSTAKA. lahan budidaya sehingga dapat meningkatkan jumlah lapangan kerja untuk II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Sistem Budidaya Tambak Kegiatan budidaya tambak merupakan pemanfaatan wilayah pesisir sebagai lahan budidaya sehingga dapat meningkatkan jumlah lapangan kerja untuk masyarakat

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN Latar Belakang

I. PENDAHULUAN Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Kebakaran hutan dan lahan di Indonesia terjadi setiap tahun dan cenderung meningkat dalam kurun waktu 20 tahun terakhir. Peningkatan kebakaran hutan dan lahan terjadi

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. terpadu dan melanggar kaidah pelestarian lahan dan lingkungan. Eksploitasi lahan

I. PENDAHULUAN. terpadu dan melanggar kaidah pelestarian lahan dan lingkungan. Eksploitasi lahan I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Laju peningkatan produktivitas tanaman padi di Indonesia akhir-akhir ini cenderung melandai, ditandai salah satunya dengan menurunnya produksi padi sekitar 0.06 persen

Lebih terperinci

I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Wilayah pesisir dan laut merupakan daerah dengan karateristik khas dan bersifat dinamis dimana terjadi interaksi baik secara fisik, ekologi, sosial dan ekonomi, sehingga

Lebih terperinci

1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kawasan kota pantai merupakan tempat konsentrasi penduduk yang paling padat. Sekitar 75% dari total penduduk dunia bermukim di kawasan pantai. Dua pertiga dari kota-kota

Lebih terperinci

1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang 1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Desa Dabong merupakan salah satu desa di Kecamatan Kubu, Kabupaten Kubu Raya, Kalimantan Barat yang memiliki hamparan hutan mangrove yang cukup luas. Berdasarkan Surat

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Ekosistem mangrove bagi kelestarian sumberdaya perikanan dan lingkungan hidup memiliki fungsi yang sangat besar, yang meliputi fungsi fisik dan biologi. Secara fisik ekosistem

Lebih terperinci

Kata kunci : Trade-off, Dampak, Berkelanjutan, Budidaya Udang, Pengelolaan Keywords :Trade-Off, Impacts, Sustainable, Shrimp Aquacultur, Management

Kata kunci : Trade-off, Dampak, Berkelanjutan, Budidaya Udang, Pengelolaan Keywords :Trade-Off, Impacts, Sustainable, Shrimp Aquacultur, Management 48 TRADE-OFF PENGEMBANGAN PENGELOLAAN KAWASAN TAMBAK UDANG BERKELANJUTAN DI KABUPATEN DOMPU, NTB TRADE-OFF ON MANAGEMENT DEVELOPMENT OF SUSTAINABLE SHRIMP AQUACULTURE ZONE IN DOMPU REGENCY, WEST NUSA TENGGARA

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. yang dapat dimanfaatkan untuk menuju Indonesia yang maju dan makmur. Wilayah

BAB I PENDAHULUAN. yang dapat dimanfaatkan untuk menuju Indonesia yang maju dan makmur. Wilayah 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Indonesia merupakan negara maritim, kurang lebih 70 persen wilayah Indonesia terdiri dari laut yang pantainya kaya akan berbagai jenis sumber daya hayati dan

Lebih terperinci

Pemanfaatan jenis sumberdaya hayati pesisir dan laut seperti rumput laut dan lain-lain telah lama dilakukan oleh masyarakat nelayan Kecamatan Kupang

Pemanfaatan jenis sumberdaya hayati pesisir dan laut seperti rumput laut dan lain-lain telah lama dilakukan oleh masyarakat nelayan Kecamatan Kupang I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kabupaten Kupang adalah salah satu kabupaten dengan ekosistem kepulauan. Wilayah ini terdiri dari 27 pulau dimana diantaranya masih terdapat 8 pulau yang belum memiliki

Lebih terperinci

VALUASI EKONOMI SUMBERDAYA RUMPUT LAUT DI KOTA PALOPO

VALUASI EKONOMI SUMBERDAYA RUMPUT LAUT DI KOTA PALOPO Prosiding Seminar Nasional Volume 03, Nomor 1 ISSN 2443-1109 VALUASI EKONOMI SUMBERDAYA RUMPUT LAUT DI KOTA PALOPO Muhammad Arhan Rajab 1, Sumantri 2 Universitas Cokroaminoto Palopo 1,2 arhanrajab@gmail.com

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Indonesia memiliki mangrove terluas di dunia (Silvus et al, 1987; Primack et al,

BAB 1 PENDAHULUAN. Indonesia memiliki mangrove terluas di dunia (Silvus et al, 1987; Primack et al, BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang Ekosistem mangrove di dunia saat ini diperkirakan tersisa 17 juta ha. Indonesia memiliki mangrove terluas di dunia (Silvus et al, 1987; Primack et al, 1998), yaitu

Lebih terperinci

VIII. ARAHAN PENGELOLAAN KEGIATAN BUDIDAYA RUMPUT LAUT

VIII. ARAHAN PENGELOLAAN KEGIATAN BUDIDAYA RUMPUT LAUT VIII. ARAHAN PENGELOLAAN KEGIATAN BUDIDAYA RUMPUT LAUT Kegiatan budidaya rumput laut telah berkembang dengan pesat di Kabupaten Bantaeng. Indikasinya dapat dilihat dari hamparan budidaya rumput laut yang

Lebih terperinci

PENDAHULUAN Latar Belakang

PENDAHULUAN Latar Belakang PENDAHULUAN Latar Belakang Wilayah pesisir adalah daerah peralihan antara ekosistem darat dan laut yang dipengaruhi oleh perubahan di darat dan laut. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 27 tahun 2007

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Mangrove merupakan ekosistem dengan fungsi yang unik dalam lingkungan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Mangrove merupakan ekosistem dengan fungsi yang unik dalam lingkungan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Mangrove merupakan ekosistem dengan fungsi yang unik dalam lingkungan hidup. Oleh karena adanya pengaruh laut dan daratan, dikawasan mangrove terjadi interaksi kompleks

Lebih terperinci

Bab 4 GAMBARAN UMUM WILAYAH PENELITIAN

Bab 4 GAMBARAN UMUM WILAYAH PENELITIAN Bab 4 GAMBARAN UMUM WILAYAH PENELITIAN 4.1 Kondisi Fisik Kabupaten Dompu secara geografis terletak di antara 117 o 42 dan 180 o 30 Bujur Timur dan 08 o 6 sampai 09 o 05 Lintang Selatan. Kabupaten Dompu

Lebih terperinci

BAB I. PENDAHULUAN. pulau-nya dan memiliki garis pantai sepanjang km, yang merupakan

BAB I. PENDAHULUAN. pulau-nya dan memiliki garis pantai sepanjang km, yang merupakan BAB I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia merupakan negara tropis berbentuk kepulauan dengan 17.500 pulau-nya dan memiliki garis pantai sepanjang 81.000 km, yang merupakan kawasan tempat tumbuh hutan

Lebih terperinci

PENDAHULUAN Latar Belakang

PENDAHULUAN Latar Belakang PENDAHULUAN Latar Belakang Perairan pesisir merupakan wilayah perairan yang banyak menerima beban masukan bahan organik maupun anorganik (Jassby and Cloern 2000; Andersen et al. 2006). Bahan ini berasal

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Populasi penduduk dunia pertengahan 2012 mencapai 7,058 milyar dan diprediksi akan meningkat menjadi 8,082 milyar pada tahun 2025 (Population Reference Bureau, 2012).

Lebih terperinci

ANALISA PENCEMARAN LIMBAH ORGANIK TERHADAP PENENTUAN TATA RUANG BUDIDAYA IKAN KERAMBA JARING APUNG DI PERAIRAN TELUK AMBON

ANALISA PENCEMARAN LIMBAH ORGANIK TERHADAP PENENTUAN TATA RUANG BUDIDAYA IKAN KERAMBA JARING APUNG DI PERAIRAN TELUK AMBON ANALISA PENCEMARAN LIMBAH ORGANIK TERHADAP PENENTUAN TATA RUANG BUDIDAYA IKAN KERAMBA JARING APUNG DI PERAIRAN TELUK AMBON OLEH : CAROLUS NIRAHUA NRP : 000 PROGRAM PASCASARJANA BIDANG KEAHLIAN TEKNIK MANAJEMEN

Lebih terperinci

KUANTIFIKASI JUMLAH LIMBAH ORGANIK DALAM BENTUK PADATAN TERSUSPENSI (TSS) YANG DIKELUARKAN DARI KEGIATAN TAMBAK UDANG INTENSIF

KUANTIFIKASI JUMLAH LIMBAH ORGANIK DALAM BENTUK PADATAN TERSUSPENSI (TSS) YANG DIKELUARKAN DARI KEGIATAN TAMBAK UDANG INTENSIF Samakia: Jurnal Ilmu Perikanan Volume 5, No. 2, Agustus 2014 ISSN : 2086-386 1 KUANTIFIKASI JUMLAH LIMBAH ORGANIK DALAM BENTUK PADATAN TERSUSPENSI (TSS) YANG DIKELUARKAN DARI KEGIATAN TAMBAK UDANG INTENSIF

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Indonesia merupakan suatu negara kepulauan yang terdiri dari 13.667 pulau dan mempunyai wilayah pantai sepanjang 54.716 kilometer. Wilayah pantai (pesisir) ini banyak

Lebih terperinci

KELURAHAN BAROMBONG KATA PENGANTAR

KELURAHAN BAROMBONG KATA PENGANTAR KATA PENGANTAR Puji syukur kami panjatkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa, atas limpahan Rahmat, Taufik dan Hidayah-Nya hingga Laporan Rencana Pengelolaan Wilayah Pesisir Terpadu (Integrated Coatal Managemen-ICM)

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. garis pantai sepanjang kilometer dan pulau. Wilayah pesisir

PENDAHULUAN. garis pantai sepanjang kilometer dan pulau. Wilayah pesisir PENDAHULUAN Latar belakang Wilayah pesisir merupakan peralihan ekosistem perairan tawar dan bahari yang memiliki potensi sumberdaya alam yang cukup kaya. Indonesia mempunyai garis pantai sepanjang 81.000

Lebih terperinci

Lampiran 2. Petunjuk penggunaan model pasokan bahan baku yang dibangun dalam Powersim Studio 2005

Lampiran 2. Petunjuk penggunaan model pasokan bahan baku yang dibangun dalam Powersim Studio 2005 104 Lampiran 2. Petunjuk penggunaan model pasokan bahan baku yang dibangun dalam Powersim Studio 2005 1. Silakan buka software Powersim Studio 2005 yang telah diinstal dengan cara klik Start, kemudian

Lebih terperinci

1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kota Tual adalah salah satu kota kepulauan yang ada di Provinsi Maluku dengan potensi sumberdaya kelautan dan perikanan yang cukup melimpah serta potensi pariwisata yang

Lebih terperinci

1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kota Jayapura merupakan ibu kota Provinsi Papua dan berada di Teluk Yos Sudarso. Kawasan pesisir Kota Jayapura terbagi atas pesisir bagian barat dan bagian timur. Pesisir

Lebih terperinci

X. ANALISIS KEBIJAKAN

X. ANALISIS KEBIJAKAN X. ANALISIS KEBIJAKAN 10.1 Alternatif Kebijakan Tahapan analisis kebijakan pada sub bab ini merupakan metode pengkajian untuk menghasilkan dan mentransformasikan flow of thinking dari serangkaian analisis

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. Indonesia memiliki hutan mangrove yang terluas di dunia. Hutan

PENDAHULUAN. Indonesia memiliki hutan mangrove yang terluas di dunia. Hutan PENDAHULUAN Latar Belakang Indonesia memiliki hutan mangrove yang terluas di dunia. Hutan mangrove merupakan komunitas vegetasi pantai tropis, yang didominasi oleh beberapa jenis pohon bakau yang mampu

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. yang kaya. Hal ini sesuai dengan sebutan Indonesia sebagai negara kepulauan

BAB I PENDAHULUAN. yang kaya. Hal ini sesuai dengan sebutan Indonesia sebagai negara kepulauan BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Negara Indonesia terkenal memiliki potensi sumberdaya kelautan dan pesisir yang kaya. Hal ini sesuai dengan sebutan Indonesia sebagai negara kepulauan (archipelagic

Lebih terperinci

MODEL IMPLENTASI KEBIJAKAN PENGELOLAAN MANGROVE DALAM ASPEK KAMANAN WILAYAH PESISIR PANTAI KEPULAUAN BATAM DAN BINTAN.

MODEL IMPLENTASI KEBIJAKAN PENGELOLAAN MANGROVE DALAM ASPEK KAMANAN WILAYAH PESISIR PANTAI KEPULAUAN BATAM DAN BINTAN. MODEL IMPLENTASI KEBIJAKAN PENGELOLAAN MANGROVE DALAM ASPEK KAMANAN WILAYAH PESISIR PANTAI KEPULAUAN BATAM DAN BINTAN Faisyal Rani 1 1 Mahasiswa Program Doktor Ilmu Lingkungan Universitas Riau 1 Dosen

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sistem perikanan pantai di Indonesia merupakan salah satu bagian dari sistem perikanan secara umum yang berkontribusi cukup besar dalam produksi perikanan selain dari perikanan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Ekosistem pesisir tersebut dapat berupa ekosistem alami seperti hutan mangrove,

BAB I PENDAHULUAN. Ekosistem pesisir tersebut dapat berupa ekosistem alami seperti hutan mangrove, BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Dalam suatu wilayah pesisir terdapat beragam sistem lingkungan (ekosistem). Ekosistem pesisir tersebut dapat berupa ekosistem alami seperti hutan mangrove, terumbu karang,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Wilayah pesisir merupakan peralihan ekosistem perairan tawar dan laut yang memiliki potensi sumberdaya alam tinggi. Salah satu sumberdaya wilayah pesisir adalah hutan

Lebih terperinci

Kebijakan Perikanan Budidaya. Riza Rahman Hakim, S.Pi

Kebijakan Perikanan Budidaya. Riza Rahman Hakim, S.Pi Kebijakan Perikanan Budidaya Riza Rahman Hakim, S.Pi Reflection Pembangunan perikanan pada dasarnya dititikberatkan pada perikanan tangkap dan perikanan budidaya Pada dekade 80-an perikanan budidaya mulai

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang 1 I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Indonesia sebagai negara kepulauan terbesar di dunia yang terdiri atas 17.508 pulau dengan garis pantai sepanjang 81.791 km (Supriharyono, 2007) mempunyai keragaman

Lebih terperinci

PENDAHULUAN Latar Belakang

PENDAHULUAN Latar Belakang PENDAHULUAN Latar Belakang Prototipe salah satu produk hukum dalam era reformasi adalah Undang- Undang No. 22 Tahun 1999 dan telah direvisi dengan Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 tentang Otonomi Daerah,

Lebih terperinci

KONDISI PERIKANAN DI KECAMATAN KUALA KAMPAR

KONDISI PERIKANAN DI KECAMATAN KUALA KAMPAR Ba b 4 KONDISI PERIKANAN DI KECAMATAN KUALA KAMPAR 4.1. Potensi Sumberdaya Perikanan dan Kelautan Kecamatan Kuala Kampar memiliki potensi perikanan tangkap dengan komoditas ikan biang, ikan lomek dan udang

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. memiliki pulau dengan garis pantai sepanjang ± km dan luas

BAB 1 PENDAHULUAN. memiliki pulau dengan garis pantai sepanjang ± km dan luas BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia merupakan salah satu negara kepulauan terbesar didunia yang memiliki 17.508 pulau dengan garis pantai sepanjang ± 81.000 km dan luas sekitar 3,1 juta km 2.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG

BAB I PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG BAB I PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG Hutan mangrove merupakan hutan yang tumbuh pada daerah yang berair payau dan dipengaruhi oleh pasang surut air laut. Hutan mangrove memiliki ekosistem khas karena

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. rumah kaca yang memicu terjadinya pemanasan global. Pemanasan global yang

I. PENDAHULUAN. rumah kaca yang memicu terjadinya pemanasan global. Pemanasan global yang I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Dunia diramaikan oleh isu perubahan iklim bumi akibat meningkatnya gas rumah kaca yang memicu terjadinya pemanasan global. Pemanasan global yang memicu terjadinya perubahan

Lebih terperinci

1. PENDAHULUAN Latar Belakang

1. PENDAHULUAN Latar Belakang 1 1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Provinsi Nusa Tenggara Barat dengan luas 49 307,19 km 2 memiliki potensi sumberdaya hayati laut yang tinggi. Luas laut 29 159,04 Km 2, sedangkan luas daratan meliputi

Lebih terperinci

DAFTAR ISI. Halaman DAFTAR ISI... DAFTAR TABEL... DAFTAR GAMBAR... DAFTAR LAMPIRAN... I. PENDAHULUAN Latar Belakang...

DAFTAR ISI. Halaman DAFTAR ISI... DAFTAR TABEL... DAFTAR GAMBAR... DAFTAR LAMPIRAN... I. PENDAHULUAN Latar Belakang... DAFTAR ISI Halaman DAFTAR ISI... DAFTAR TABEL... DAFTAR GAMBAR... DAFTAR LAMPIRAN... x xiii xv xvi I. PENDAHULUAN... 1 1.1. Latar Belakang... 1 1.2. Rumusan Masalah... 5 1.3.Tujuan dan Kegunaan Penelitian...

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang 1 I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Dalam 10 tahun terakhir, jumlah kebutuhan ikan di pasar dunia semakin meningkat, untuk konsumsi dibutuhkan 119,6 juta ton/tahun. Jumlah tersebut hanya sekitar 40 %

Lebih terperinci

Teknologi penanaman jenis mangrove dan tumbuhan pantai pada tapak khusus

Teknologi penanaman jenis mangrove dan tumbuhan pantai pada tapak khusus Teknologi penanaman jenis mangrove dan tumbuhan pantai pada tapak khusus TEKNIK PENANAMAN MANGROVE PADA DELTA TERDEGRADASI DI SUMSEL Teknik Penanaman Mangrove Pada Delta Terdegradasi di Sumsel Teknik Penanaman

Lebih terperinci

BAB III KERANGKA BERPIKIR DAN KONSEP PENELITIAN. Mangrove merupakan ekosistem peralihan, antara ekosistem darat dengan

BAB III KERANGKA BERPIKIR DAN KONSEP PENELITIAN. Mangrove merupakan ekosistem peralihan, antara ekosistem darat dengan 29 BAB III KERANGKA BERPIKIR DAN KONSEP PENELITIAN 3.1. Kerangka Berpikir Mangrove merupakan ekosistem peralihan, antara ekosistem darat dengan ekosistem laut. Mangrove diketahui mempunyai fungsi ganda

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. terluas di dunia sekitar ha (Ditjen INTAG, 1993). Luas hutan mangrove

BAB I PENDAHULUAN. terluas di dunia sekitar ha (Ditjen INTAG, 1993). Luas hutan mangrove BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Indonesia merupakan negara kepulauan yang memiliki hutan mangrove terluas di dunia sekitar 3.735.250 ha (Ditjen INTAG, 1993). Luas hutan mangrove Indonesia

Lebih terperinci

1. PENDAHULUAN Latar Belakang

1. PENDAHULUAN Latar Belakang 1. PENDAHULUAN Latar Belakang Ekosistem mangrove tergolong ekosistem yang unik. Ekosistem mangrove merupakan salah satu ekosistem dengan keanekaragaman hayati tertinggi di daerah tropis. Selain itu, mangrove

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN Latar Belakang

I. PENDAHULUAN Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Bertambahnya jumlah penduduk dan masuknya migrasi penduduk di suatu daerah, maka akan semakin banyak jumlah lahan yang diperlukan untuk pemenuhan kebutuhan sandang, papan

Lebih terperinci

BAB III ISU-ISU STRATEGIS BERDASARKAN TUGAS POKOK DAN FUNGSI

BAB III ISU-ISU STRATEGIS BERDASARKAN TUGAS POKOK DAN FUNGSI BAB III ISU-ISU STRATEGIS BERDASARKAN TUGAS POKOK DAN FUNGSI 3.1 IDENTIFIKASI PERMASALAHAN BERDASARKAN TUGAS DAN FUNGSI PELAYANAN BADAN LINGKUNGAN HIDUP PROVINSI JAWA TENGAH Dalam penyelenggaraan pemerintahan

Lebih terperinci

PENDAHULUAN BAB I Latar Belakang

PENDAHULUAN BAB I Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Hutan mangrove merupakan suatu tipe hutan yang tumbuh di daerah pasang surut yang tergenang oleh air laut, komunitasnya dapat bertoleransi terhadap air garam, dan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Hutan mangrove merupakan komunitas vegetasi pantai tropis dan subtropis yang

I. PENDAHULUAN. Hutan mangrove merupakan komunitas vegetasi pantai tropis dan subtropis yang I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Hutan mangrove merupakan komunitas vegetasi pantai tropis dan subtropis yang didominasi oleh beberapa jenis mangrove yang mampu tumbuh dan berkembang pada daerah pasang

Lebih terperinci

DAMPAK PEMELIHARAAN TERNAK DI KAWASAN PANTAI UTARA KABUPATEN TTU TERHADAP KELESTARIAN SUMBERDAYA PESISIR DAN LAUT

DAMPAK PEMELIHARAAN TERNAK DI KAWASAN PANTAI UTARA KABUPATEN TTU TERHADAP KELESTARIAN SUMBERDAYA PESISIR DAN LAUT DAMPAK PEMELIHARAAN TERNAK DI KAWASAN PANTAI UTARA KABUPATEN TTU TERHADAP KELESTARIAN SUMBERDAYA PESISIR DAN LAUT Medo Kote dan Sophia Ratnawaty Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) Nusa Tenggara

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. Pembangunan merupakan suatu proses perubahan untuk meningkatkan

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. Pembangunan merupakan suatu proses perubahan untuk meningkatkan BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pembangunan merupakan suatu proses perubahan untuk meningkatkan taraf hidup manusia. Dalam pelaksanaan proses pembangunan, manusia tidak terlepas dari aktivitas pemanfaatan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Sebagai negara kepulauan yang memiliki pulau dengan panjang garis pantai

BAB I PENDAHULUAN. Sebagai negara kepulauan yang memiliki pulau dengan panjang garis pantai BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sebagai negara kepulauan yang memiliki 17.504 pulau dengan panjang garis pantai mencapai 81.000 km, Indonesia memiliki potensi sumberdaya pesisir dan laut yang cukup

Lebih terperinci

6 ASSESMENT NILAI EKONOMI KKL

6 ASSESMENT NILAI EKONOMI KKL 6 ASSESMENT NILAI EKONOMI KKL 6.1 Nilai Ekonomi Sumberdaya Terumbu Karang 6.1.1 Nilai manfaat ikan karang Manfaat langsung dari ekosistem terumbu karang adalah manfaat dari jenis-jenis komoditas yang langsung

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. saling berkolerasi secara timbal balik. Di dalam suatu ekosistem pesisir terjadi

BAB I PENDAHULUAN. saling berkolerasi secara timbal balik. Di dalam suatu ekosistem pesisir terjadi 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kawasan pesisir dan laut merupakan sebuah ekosistem yang terpadu dan saling berkolerasi secara timbal balik. Di dalam suatu ekosistem pesisir terjadi pertukaran materi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia mempunyai perairan laut yang lebih luas dibandingkan daratan, oleh karena itu Indonesia dikenal sebagai negara maritim. Perairan laut Indonesia kaya akan

Lebih terperinci

1. PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

1. PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang 1 1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Wilayah teritorial Indonesia yang sebagian besar merupakan wilayah pesisir dan laut kaya akan sumber daya alam. Sumber daya alam ini berpotensi untuk dimanfaatkan bagi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. Pendahuluan 1. Orientasi Pra Rekonstruksi Kawasan Hutan di Pulau Bintan dan Kabupaten Lingga

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. Pendahuluan 1. Orientasi Pra Rekonstruksi Kawasan Hutan di Pulau Bintan dan Kabupaten Lingga BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Hutan sebagai sebuah ekosistem mempunyai berbagai fungsi penting dan strategis bagi kehidupan manusia. Beberapa fungsi utama dalam ekosistem sumber daya hutan adalah

Lebih terperinci

Seminar Nasional Tahunan XI Hasil Penelitian Perikanan dan Kelautan, 30 Agustus 2014

Seminar Nasional Tahunan XI Hasil Penelitian Perikanan dan Kelautan, 30 Agustus 2014 ANALISIS DAYA SERAP BERBAGAI UKURAN CANGKANG Telescopium telescopium L. TERHADAP PARAMETER KUALITAS AIR PADA WADAH TERKONTROL prb-14 Andi Sahrijanna* dan Arifuddin Tompo Balai Riset Pengembangan Budidaya

Lebih terperinci

PENDAHULUAN Latar Belakang

PENDAHULUAN Latar Belakang PENDAHULUAN Latar Belakang Pertambahan penduduk Indonesia setiap tahunnya berimplikasi pada semakin meningkatkan kebutuhan pangan sebagai kebutuhan pokok manusia. Ketiadaan pangan dapat disebabkan oleh

Lebih terperinci

1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang 1 1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Perubahan kondisi hidrologi DAS sebagai dampak perluasan lahan kawasan budidaya yang tidak terkendali tanpa memperhatikan kaidah-kaidah konservasi tanah dan air seringkali

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. 16,9 juta ha hutan mangrove yang ada di dunia, sekitar 27 % berada di Indonesia

I. PENDAHULUAN. 16,9 juta ha hutan mangrove yang ada di dunia, sekitar 27 % berada di Indonesia 1.1 Latar Belakang I. PENDAHULUAN Wilayah pesisir dan lautan merupakan salah satu wilayah yang kaya akan sumberdaya alam hayati dan non hayati. Salah satu sumberdaya alam hayati tersebut adalah hutan mangrove.

Lebih terperinci