KARAKTERISASI GENETIK SAPI ACEH MENGGUNAKAN ANALISIS KERAGAMAN FENOTIPIK, DAERAH D-LOOP DNA MITOKONDRIA DAN DNA MIKROSATELIT

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "KARAKTERISASI GENETIK SAPI ACEH MENGGUNAKAN ANALISIS KERAGAMAN FENOTIPIK, DAERAH D-LOOP DNA MITOKONDRIA DAN DNA MIKROSATELIT"

Transkripsi

1 KARAKTERISASI GENETIK SAPI ACEH MENGGUNAKAN ANALISIS KERAGAMAN FENOTIPIK, DAERAH D-LOOP DNA MITOKONDRIA DAN DNA MIKROSATELIT MOHD. AGUS NASHRI ADULLAH SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN OGOR OGOR 2008

2 SURAT PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI DAN SUMER INFORMASI Saya menyatakan dengan sebenar-benarnya bahwa disertasi saya dengan judul Karakterisasi Genetik Sapi Aceh Menggunakan Analisis Keragaman Fenotipik, Daerah D-Loop DNA Mitokondria dan DNA Mikrosatelit adalah benar-benar asli karya saya dengan arahan komisi pembimbing, dan bukan jiplakan atau tiruan dari tulisan siapapun serta belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. ogor, 10 Maret 2008 Mohd. Agus Nashri Abdullah Nrp. D

3 ASTRACT MOHD. AGUS NASHRI ADULLAH. Genetics Characterization of Aceh Cattle Utilizing Phenotypic, Mitochondrial DNA of D-loop Region and Microsatellite DNA Analyses. Under the supervision of HARIMURTI MARTOJO, RONNY RACHMAN NOOR, and DEDY DURYADI SOLIHIN The aims of this study were to describe the variation of body size measurement, D-loop of mtdna and microsatellite alleles of Aceh cattle. The body measurement data were collected from 131 males and 269 females of Aceh cattle. The whole blood samples (8 samples for D-loop analyses and 160 samples for microsatellite genotyping) were collected from Aceh esar, Pidie, North Aceh district and anda Aceh city. For the out-group comparison, the whole blood samples were collected from 10 ali cattle, two samples of each collected from Madura, PO and Pesisir cattle. The D-loop sequences of mtdna amplification were done by using IDLF and IDLR primer with the PCR product of 980 bp. Sixteen markers were used for genotyping microsatellite DNA. ody size measurement data variation were analyzed using Minitab software. The molecular data were analyzed using Minitab 14.13, Squint 1.02, Mega4 and Arlequin 3.11 and Excel software. The result shows that the body weight and size of Aceh cattle were smaller than those of ali, Madura and PO cattle. However the body size of Aceh cattle was larger when compared to that of Pesisir cattle. Most of Aceh cattle have red sand and light brown coat color. The horn shape of female cattle was bend slightly toward left or right and than bend to forward direction. The male has the same horn shape as females but at the tips of the horn goes upward. Most of Aceh cattle have concave face line and some of them have diametrical face line. The result of the D-loop mtdna analyses showed that there were 27 site variation of D-loop mtdna Aceh cattle. These specific markers can be used to differentiate and subdivide Indonesian domestic cattle. The Aceh cattle were in the same cluster with Pesisir cattle. However, the PO cattle were in a closer cluster with os indicus cattle, while ali and Madura cattle were in the same cluster. The result of microsatellite analyses showed that the averages allele number per locus was 10,25 ± 2,07. The percentage of the heterozygosity of Aceh cattle was higher than those of ali, but lower compared to those of Madura, PO and Pesisir cattle. ased on the microsatellite alleles analyses, the Aceh cattle were in the same cluster with PO cattle and were in the same branch of the phylogeny tree with Pesisir and Madura cattle. Keyword: Aceh cattle, phenotypic, DNA, mitochondrial, microsatellite

4 RINGKASAN MOHD. AGUS NASHRI ADULLAH. Karakterisasi Genetik Sapi Aceh Menggunakan Analisis Keragaman Fenotipik, Daerah D-loop DNA Mitokondria dan DNA Mikrosatelit. Dibimbing oleh HARIMURTI MARTOJO, RONNY RACHMAN NOOR, dan DEDY DURYADI SOLIHIN Sapi Aceh merupakan satu dari empat bangsa sapi asli Indonesia (Aceh, ali, Madura, Pesisir). Sapi Sumba-Ongole (SO) dan Java-Ongole (PO) juga dianggap sebagai bangsa sapi lokal Indonesia. Ternak-ternak asli telah terbukti dapat beradaptasi dengan lingkungan lokal termasuk makanan, ketersediaan air, iklim dan penyakit. Dengan demikian, ternak-ternak inilah yang paling cocok untuk dipelihara dan dikembangkan di Indonesia, walaupun produksinya lebih rendah dari ternak impor. Sapi Aceh diduga dimasukkan oleh pedagang-pedagang India yang membawa sapi-sapi dari India ke Aceh pada masa lampau dengan tujuan berdagang dan menguasai perekonomian di Aceh. Selanjutnya sapi ini diduga mengalami persilangan dengan banteng liar yang ada di Sumatera, namun belum pernah diverifikasi dan diungkapkan melalui analisis genom. Eksploitasi sapi Aceh melalui persilangan yang semakin luas dengan bangsa sapi eksotik yang dilakukan selama ini dapat mengancam keberadaan sapi Aceh pada masa yang akan datang. Kepunahan yang dapat terjadi pada sapi Aceh yang telah teradaptasi lingkungan akan sulit bahkan tidak akan dapat digantikan. Hal ini akan berdampak pada kehidupan sosial, ekonomi, budaya masyarakat Aceh yang tidak bisa terlepas dari beternak dan mengkonsumsi daging sapi. Oleh karena itu, dilakukan penelitian pada sapi Aceh yang mencakup inventarisasi sumber daya genetiknya melalui analisis fenotipik, DNA mitokondria pada daerah D-loop dan DNA mikrosatelit. Tujuan penelitian ini adalah melakukan karakterisasi terhadap keragaman fenotipik dan keragaman genetik, daerah D-loop mtdna dan DNA mikrosatelit yang berguna sebagai database dalam pelaksanaan program pelestarian plasma nutfah sapi Aceh, pengembangan dan pemanfaatannya secara berkelanjutan. Pengumpulan data fenotipik sapi Aceh (131 jantan dan 269 betina) dan sampel darah (8 sampel untuk analisis D-loop dan 160 sampel untuk genotiping mikrosatelit) dilakukan di Kota anda Aceh, Kabupaten Aceh esar, Pidie dan Aceh Utara. Sampel pembanding telah diambil 10 sampel sapi ali (Pulau ali), dua sampel masing-masing sapi Madura (Pulau Madura), PO (Jawa arat), Pesisir (Sumatera arat). Ekstraksi dan purifikasi DNA total telah dilakukan menurut metode Sambrook yang dikembangkan Duryadi. Primer yang digunakan untuk mengamplifikasi fragmen daerah D-loop mtdna adalah pasangan primer IDLF dan IDLR dengan panjang produk 980 bp. agian DNA mikrosatelit, telah digunakan adalah enambelas lokus (M1818, INRA005, CSRM60, M2113, HEL5, HEL9, HEL13, INRA63, INRA35, HEL1, ETH225, ETH10, CSSM66, M1824, ILSTS006 dan ILSTS005) untuk genotiping mikrosatelit. Data fenotipik dianalisis secara deskriptif dengan menggunakan program Minitab Data molekuler dari sekuen D-loop disejajarkan berganda dengan sekuen acuan os indicus dari Genank (kode akses AY126697) dengan menggunakan program Squint 1.02 dan dianalisis dengan program MEGA versi 4.0. Panjang sekuen daerah D-loop yang dapat dianalisis adalah 479 bp. Hitungan jarak

5 genetik (D) antarsapi penelitian dan pohon filogeni telah digunakan metode 2 parameter Kimura dengan bootstrapped Neighbor-Joining 1000 kali ulangan dalam paket MEGA. Data ukuran-ukuran alel mikrosatelit dianalisis dengan program Arlequin 3.11 dan dukungan Minitab serta Excel. Jarak genetik yang diperoleh digunakan untuk membentuk pohon filogeni dengan program Phylip (phylogeny Inference Package) versi Hasil penelitian menunjukkan bahwa ditinjau dari segi bobot badan dan ukuran-ukuran tubuh, sapi Aceh mengalami penurunan bobot badan dan ukuranukuran tubuh dibanding hasil laporan tahun Apabila dibandingkan sapi ali, Madura dan PO, maka sapi Aceh mempunyai ukuran-ukuran tubuh yang lebih kecil pada tingkat umur yang sama, namun berada di atas rataan sapi Pesisir. Secara kualitatif, sapi Aceh berwarna dominan merah bata dan cokelat muda serta pola warna beragam mulai warna gelap sampai terang. entuk pertumbuhan tanduk sapi betina mengarah ke samping melengkung ke atas kemudian ke depan dan pada jantan mengarah ke samping melengkung ke atas. Pada umumnya sapi Aceh mempunyai garis punggung yang cekung (89,25%), sebagian mempunyai garis punggung cembung (6,25%) dan sebagian kecil mempunyai garis punggung lurus (4,5%). Hasil analisis D-loop mtdna dengan sekuen acuan os indicus dari Genank, ada 27 situs beragam pada sapi Aceh. Penanda ini dapat digunakan untuk pembeda dan pengelompokan sapi lokal Indonesia yaitu sapi Aceh satu klaster dengan sapi Pesisir dan PO, mempunyai jarak genetik yang lebih dekat dengan sapi os indicus, sedangkan sapi ali dan Madura membentuk klaster sendiri. Pengelompokan sapi Aceh dengan sapi Pesisir dan PO dalam klaster sapi os indicus menunjukkan bahwa sapi Aceh, Pesisir dan PO adalah dari maternal zebu, sedangkan pengelompokan sapi Madura dalam klaster sapi ali (os javanicus) menunjukkan bahwa sapi Madura bukan dari maternal zebu tetapi dari maternal banteng. Hasil analisis DNA mikrosatelit, diperoleh rataan alel per lokus 10,25 ± 2,07. Sapi Aceh memiliki derajat heterozigositas yang tinggi dan berbeda genetik dengan sapi ali, Madura, Pesisir dan PO. Urutan kedekatan genetik antara sapi Aceh dengan sapi pembanding berturut-turut yaitu: sapi PO, Pesisir, Madura dan ali, dengan pohon filogeni yang menunjukkan sapi Aceh memiliki klaster yang sama dengan sapi PO, membentuk cabang dengan sapi Pesisir dan sapi Madura. Kata kunci: sapi Aceh, fenotipik, mitokondria, mikrosatelit, DNA

6 @ Hak Cipta milik Institut Pertanian ogor, tahun 2008 Hak Cipta dilindungi Undang-undang 1. Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumber a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah b. Pengutipan tidak merugikan kepentingan yang wajar IP 2. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis dalam bentuk apapun tanpa izin IP

7 KARAKTERISASI GENETIK SAPI ACEH MENGGUNAKAN ANALISIS KERAGAMAN FENOTIPIK, DAERAH D-LOOP DNA MITOKONDRIA DAN DNA MIKROSATELIT MOHD. AGUS NASHRI ADULLAH Disertasi sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor pada Program Studi Ilmu Ternak SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN OGOR OGOR 2008

8 Penguji pada Ujian Tertutup : Dr. Ir. Cece Sumantri, M.Agr.Sc Penguji pada Ujian Terbuka : 1. Dr. Ir. Achmad Machmud Thohari, DEA 2. Dr. Ir. Endang Tri Margawati, M.Agr.Sc

9 Judul Disertasi Nama NRP Program Studi : Karakterisasi Genetik Sapi Aceh Menggunakan Analisis Keragaman Fenotipik, Daerah D-loop DNA Mitokondria dan DNA Mikrosatelit : Mohd. Agus Nashri Abdullah : D : Ilmu Ternak Disetujui, Komisi Pembimbing Prof. Dr. Harimurti Martojo, M.Sc Ketua Prof. Dr. Ir. Ronny Rachman Noor, MRur.Sc Anggota Dr. Ir. Dedy Duryadi Solihin, DEA Anggota Diketahui, Ketua Departemen Ilmu Produksi dan Teknologi Peternakan Dekan Sekolah Pascasarjana Dr. Ir. Cece Sumantri, M.Agr.Sc Prof. Dr. Ir. Khairil Anwar Notodiputro, MS Tanggal ujian: 13 Maret 2008 Tanggal lulus: 11 April 2008

10 PRAKATA Sujud syukur Alhamdulillah dan segala puji penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala karunia-nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Sasaran yang dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak Pebruari 2005 sampai dengan Juni 2007 adalah keragaman genetik, yang berjudul Karakterisasi Genetik Sapi Aceh Menggunakan Analisis Keragaman Fenotipik, Daerah D-loop DNA Mitokondria dan DNA Mikrosatelit. Gabungan tiga bagian utama penelitian (fenotipik, daerah D-loop DNA mitokondria, dan DNA mikrosatelit) pada sapi Aceh dengan cakupan daerah pengambilan sampel yang luas dan mengetahui kedudukan sapi Aceh dalam pengelompokan sapi lokal lainnya di Indonesia belum pernah dilakukan sebelumnya. Penelitian ini memberikan informasi yang sangat penting sebagai database sapi Aceh dan ini merupakan yang pertama dilakukan di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam. Pengamatan penulis diawali ketika masa kecil sekitar awal tahun 80-an pada beberapa ekor sapi Aceh milik seorang peternak Desa Tanjong Seulamat di depan rumah orang tua penulis di Kampus Universitas Syiah Kuala. Sapi tersebut sering digembalakan berhari-hari tanpa dipindahkan dengan cara diikat di lapangan rumput siang dan malam beserta panas dan hujan, hingga di sekitarnya tidak terlihat lagi rumput bahkan akarnya, namun sapi tersebut tetap tegar. anyak sapi milik peternak lain di sekitar kampus digembalakan dengan cara dilepas siang dan malam, sehingga sering bergerombol masuk ke lapangan kampus untuk merumput. Keadaan demikian telah berlangsung sejak awal kampus berdiri di tahun 60-an hingga sekarang kadang masih juga terjadi. Jika dilakukan perjalanan darat di malam hari dari anda Aceh menuju perbatasan dengan Sumatera Utara, maka akan ditemui sapi beristirahat sepanjang jalan negara lintas Sumatera, sehingga ada sebutan ' Aceh memiliki kandang sapi terpanjang di dunia. Keadaan ini berlangsung hingga diberlakukan Operasi Jaring Merah (DOM) di Aceh karena konflik berkepanjangan. etapa besar daya tahan hidup sapi Aceh dengan kondisi demikian. Gagasan penelitian ini muncul setelah melihat kekhawatiran pada sapi Aceh yang ada di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam (NAD). Sejak ada pelaksanaan program Inseminasi uatan (I) dan semakin meluas persilangan yang dilakukan pada sapi Aceh di provinsi ini, peternak semakin sulit mendapatkan sapi Aceh murni sehingga kemungkinan inbreeding telah terjadi. Peternak di desa yang umumnya mempunyai tingkat pendidikan sangat rendah (tamat dan tidak tamat SD), hampir seluruhnya tertarik memelihara sapi yang lebih besar setelah melihat hasil-hasil persilangan yang telah dilakukan dengan bangsa sapi impor. ahkan di Aceh, sebagian orang peternakan sendiri menyepelekan sapi Aceh dengan beberapa alasan seperti sapi kecil (bahasa Aceh leumó bukriėk), lambat dewasa, tidak efisien dan perlu diganti dengan sapi lain, sehingga sapi ini semakin terancam keberadaannya. Padahal dari laporan Merkens tahun 1926 dan beberapa keterangan dari sesepuh pendahulu di Kabupaten Aceh esar, Pidie dan Aceh Utara menjelaskan bahwa, sapi Aceh dahulu berukuran besar-besar dan tidak kecil seperti sekarang. Perayaan pesta perkawinan besar hanya cukup dipotong satu ekor sapi Aceh. Penelitian ini dapat terlaksana dengan ada dukungan dari semua pihak, sehingga penulis mengucapkan terima kasih yang setinggi-tingginya kepada Guru-guru yang baik Prof. Dr. Harimurti Martojo, M.Sc sebagai Ketua Komisi

11 Pembimbing, Prof. Dr. Ir. Ronny Rachman Noor, MRur.Sc dan Dr. Ir. Dedy Duryadi Solihin, DEA masing-masing sebagai Anggota Komisi Pembimbing yang telah mendukung, meluangkan waktu, pikiran dan tenaganya dalam membimbing penulis sejak dalam perkuliahan, penulisan proposal sampai selesai penulisan karya ilmiah ini. Semoga Guru-guru penulis diberikan pahala oleh Allah SWT. Penulis mengucapkan terima kasih kepada Rektor Universitas Syiah Kuala atas izin dan dukungannya. Terima kasih disampaikan kepada Dikti atas dukungan dana pendidikan PPs. Ucapan terima kasih penulis ucapkan kepada Kepala Dispet TK. I Provinsi NAD dan Dispet TK. II Kota anda Aceh, Kabupaten Aceh esar, Pidie dan Aceh Utara beserta stafnya atas bantuan selama koleksi sampel di Aceh. Penulis mengucapkan terima kasih kepada Ilham, S.Si atas bantuan selama koleksi sampel darah sapi di Pulau Madura dan terima kasih kepada Dr. Jakaria, S.Pt, M.Si atas pemberian sampel darah sapi ali dari P3ali. Penulis mengucapkan terima kasih kepada Dr. Ir. Sarbaini Anwar, M.Sc atas pemberian sampel darah sapi Pesisir dari Sumatera arat dan juga terima kasih kepada Prof. Dr. Eddie Gurnadi, M.Sc atas keizinan pengambilan sampel darah sapi PO di Laboratorium Ilmu Ternak Daging dan Kerja Fapet IP. Penulis mengucapkan terima kasih kepada Kepala Laboratorium iologi Molekuler Pusat Penelitian Sumberdaya Hayati dan ioteknologi (PPSH) Institut Pertanian ogor Dr. Ir. Dedy Duryadi Solihin, DEA, atas segala fasilitas alat dan bahan yang dapat penulis gunakan mulai dari isolasi, ekstraksi DNA total sampai pelaksanaan amplifikasi PCR daerah D-loop DNA Mitokondria. Ucapan terima kasih penulis sampaikan kepada Prof. Heriberto Rodriguez-Martinez, Ph.D atas dukungan dana penelitian DNA mikrosatelit dan terima kasih kepada Prof. Dr. Göran Andersson, Ph.D selaku Kepala Laboratorium Molekuler dan Genetika di Swedish University of Agricultural Sciences (SLU), Uppsala, Swedia atas segala fasilitas alat dan bahan yang dapat penulis gunakan selama penelitian DNA Mikrosatelit berlangsung, serta terima kasih disampaikan kepada Mia Ollson (mahasiswa program Ph.D di SLU) atas bantuannya selama penulis melakukan analisis DNA Mikrosatelit. Ucapan terima kasih penulis sampaik juga kepada seluruh teman dan kolega. Akhirnya, ungkapan terima kasih penulis sampaikan kepada Drs. Abdullah Rayeuk, M.Si (Ayah) dan Ibu Salwiyah Abdul Wahab, isteri tercinta Sofia Kurnia, S.Ag serta ananda Mohd Anshar Anashri atas dukungan, pengertian dan do anya. Semoga karya ilmiah ini dapat bermanfaat bagi perkembangan kemajuan ilmu peternakan di Indonesia dan khususnya Nanggroe Aceh Darussalam serta pembaca. ogor, 10 Maret 2008 Mohd. Agus Nashri Abdullah

12 RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Kopelma Darussalam pada tanggal 16 Agustus 1971 sebagai anak ketiga dari empat bersaudara dari pasangan Drs. Abdullah Rayeuk, M.Si dan Salwiyah Abdul Wahab. Pendidikan Sekolah Dasar Negeri No. 82 (SD Teladan Lamnyong) anda Aceh ditamatkan pada tahun 1984, kemudian dilanjutkan pada SMPN 13 tamat tahun 1987 dan SMAN 6 tamat tahun 1990 yang keduanya berada di Kota Pelajar Mahasiswa (Kopelma) Universitas Syiah Kuala Darussalam anda Aceh. Pendidikan sarjana dimulai pada tahun 1990 pada Program Studi Produksi Ternak Jurusan Peternakan Fakultas Pertanian Universitas Syiah Kuala, lulus pada tahun Kesempatan untuk melanjutkan ke program magister pada Program Studi Ilmu Ternak, Sekolah Pascasarjana IP diperoleh pada tahun 2000 dan lulus 2003 dengan beasiswa pendidikan dari PPs Dikti Jakarta. Pada tahun 2003 kembali penulis mendapat kesempatan melanjutkan pendidikan (Doktor) pada program studi yang sama Institut Pertanian ogor dengan beasiswa dari PPs Dikti Jakarta. Pada tahun 2005, penulis memperoleh dana penelitian dari Riset Unggulan Terpadu XII tahun I sebagai Ketua Peneliti. Selanjutnya, dalam tahun 2007, penulis memperoleh kesempatan melanjutkan penelitian ini pada Laboratorium Molekuler dan Genetika, Husdjursgenetik, University of Agricultural Sciences (SLU), Uppsala, Swedia atas kerja sama Pembimbing Anggota Prof. Dr. Ir. Ronny Rachman Noor, MRur.Sc dengan peneliti di SLU Swedia Prof. Heriberto Rodriguez-Martinez, Ph.D. Penulis bekerja sebagai tenaga pengajar di Fakultas Pertanian Jurusan Peternakan Program Studi Produksi Ternak Universitas Syiah Kuala sejak tahun 1997 sampai sekarang untuk Mata Kuliah Ilmu Pemuliaan dan Genetika Hewan/Ternak.

13 xii DAFTAR ISI Halaman DAFTAR TAEL... DAFTAR GAMAR.. DAFTAR LAMPIRAN... xiv xvi xix PENDAHULUAN... 1 Latar elakang... 1 Tujuan Penelitian... 5 Manfaat Penelitian... 5 Hipotesis... 5 TINJAUAN PUSTAKA... 6 Gambaran Umum Nanggroe Aceh Darussalam 6 Keragaman Genetik Ternak 6 Pelestarian Sumber Daya Genetik Ternak... 9 Sifat Kuantitatif dan Kualitatif Sumber Daya Genetik Ternak Lokal Indonesia. 12 Karakteristik Sapi Aceh Penanda Molekuler DNA Mitokondria DNA Mikrosatelit Teknik Penelitian DNA MATERI DAN METODE Penelitian Lapangan. 26 Waktu dan Tempat Penelitian 26 Materi Penelitian 25 Peralatan yang Digunakan Pengambilan Sampel Data Kuantitatif dan Kualitatif Analisis Data Penelitian Laboratorium Daerah D-loop DNA Mitokondria Waktu dan Tempat Penelitian 30 Pelaksanaan Pengambilan Sampel Darah. 31 ahan-bahan dan Peralatan.. 31 Perancangan Primer Daerah D-loop DNA Mitokondria.. 32 Isolasi dan Purifikasi DNA Total Elektroforesis untuk Visualisasi DNA Hasil Isolasi Amplifikasi Daerah D-loop DNA Mitokondria Penentuan Sekuen Nukleotida Analisis Data DNA Mikrosatelit Waktu dan Tempat Penelitian 37 Pelaksanaan Pengambilan Sampel Darah. 37 ahan-bahan dan Peralatan. 37

14 xiii Primer Mikrosatelit Amplifikasi Lokus Mikrosatelit 38 Elektroforesis Produk PCR Analisis Data HASIL DAN PEMAHASAN Penelitian Lapang Profil Peternak.. 42 Ukuran-ukuran Tubuh.. 45 entuk Tubuh Warna dan Pola Warna Tubuh entuk Tanduk Penelitian Laboratorium Daerah D-loop DNA Mitokondria DNA Total 57 Amplifikasi daerah D-loop Penentuan daerah D-loop Parsial dan Keragaman Runutan Nukleotida 58 Jarak Genetik sapi Aceh dan Sapi Pembanding.. 63 Hubungan Kekerabatan Sapi Aceh.. 64 DNA Mikrosatelit DNA Total 70 Amplifikasi Mikrosatelit. 71 Alel dan Lokus Polimorfik Distribusi dan Jumlah Genotipe Distribusi Frekuensi Alel Variasi Genetik dan Keseimbangan Hardy-Weinberg Jarak Genetik Sapi Aceh dan Sapi Outgroup Penelusuran Asal-usul Sapi Aceh Pembahasan Umum. 104 SIMPULAN DAN SARAN Simpulan Saran DAFTAR PUSTAKA. 113 DAFTAR LAMPIRAN

15 xiv DAFTAR TAEL Halaman 1 Urutan basa dan suhu penempelan primer untuk mengamplifikasi daerah D-loop sapi penelitian Profil peternak sapi Aceh Ukuran-ukuran tubuh dan bobot badan sapi Aceh jantan dengan menggunakan rumus lingkar dada dan panjang badan 46 4 Ukuran-ukuran tubuh dan bobot badan sapi Aceh betina dengan menggunakan rumus lingkar dada dan panjang badan 47 5 Ukuran-ukuran tubuh dan bobot badan sapi-sapi jantan lokal pada umur berbeda Warna-warna tubuh sapi Aceh Frekuensi bentuk-bentuk pertumbuhan tanduk sapi Aceh Jumlah insersi dan delesi basa-basa nukleotida pada sapi Aceh, ali, Madura, PO dan Pesisir dengan acuan os indicus Rataan komposisi nukleotida daerah D-loop parsial sapi Aceh, ali, Madura, PO dan Pesisir setelah disejajarkan dengan komposisi nukleotida acuan os indicus dari Genank (ukuran 479 bp) Perbedaan susunan basa nukleotida sapi Aceh, ali, Madura, PO, Pesisir dan os indicus dari Genank Jarak genetik berdasarkan metode 2 parameter Kimura pada sapi Aceh, ali, Madura, PO, Pesisir dan os indicus dari Genank Panjang produk PCR dan selisih ukuran maksimum dan minimum pada masing-masing lokus mikrosatelit sapi penelitian Jumlah alel masing-masing lokus mikrosatelit pada sapi Aceh, ali, Madura, PO, dan Pesisir Perbandingan rataan jumlah alel per lokus pada berbagai ternak ternak penelitian Alel-alel pada sepuluh lokus mikrosatelit yang hanya ditemukan pada sapi ali, Madura dan Pesisir Kisaran ukuran alel dan jumlah genotipe sapi Aceh dan sapi outgroup pada 16 lokus mikrosatelit... 76

16 xv 17 Heterozigositas masing-masing lokus mikrosatelit pada sapi Aceh ali, Madura, PO dan Pesisir Matriks jarak genetik Nei yang diperoleh dari frekuensi-frekuensi alel pada 16 lokus mikrosatelit sapi Aceh, ali, Madura, PO dan Pesisir Estimasi proporsi sumber gen-gen dari os taurus, os indicus dan os javanicus Perbedaan range ukuran alel sapi Aceh dan sapi outgroup terhadap range ukuran alel dari beberapa literatur.. 109

17 xvi DAFTAR GAMAR Halaman 1 Skema genom mitokondria Lokasi pengambilan sampel data fenotipik sapi Aceh Sketsa bagian-bagian permukaan tubuh sapi Aceh yang diukur Lokasi pengambilan sampel darah sapi Aceh dan sapi outgroup untuk analisis daerah D-loop DNA mitokondria 30 5 Lokasi pengambilan sampel darah sapi Aceh dan sapi outgroup untuk analisis DNA mikrosatelit Sinyal fluoresen yang dihasilkan mesin AI Prism 3100 DNA analyzer (Applied iosystems) yang menunjukkan hasil amplifikasi DNA mikrosatelit dengan menggunakan marker M Perbedaan ukuran-ukuran tubuh sapi Aceh pada tahun berbeda Warna-warna tubuh sapi Aceh Sketsa bentuk-bentuk pertumbuhan tanduk sapi Aceh Spektrofotometer DNA total sapi penelitian setelah dimigrasikan dalam gel agarose 1,2% pada tegangan 90 volt selama 30 menit Sketsa letak penempelan primer IDLF dan IDLR untuk mengamplifikasi fragmen daerah D-loop sapi Aceh, ali, Madura, PO dan Pesisir Hasil amplifikasi daerah D-loop dengan menggunakan pasangan primer IDLF dan IDLR setelah dimigrasikan dalam gel agarose 1,2% pada tegangan 90 volt selama 45 menit Sketsa daerah D-loop parsial hasil perunutan DNA (berukuran 479 bp) yang dipakai untuk analisis keragaman genetik pada sapi Aceh Hasil sekuensing daerah D-loop parsial DNA mitokondria sapi Aceh yang dianalisis Frekuensi nukleotida daerah D-loop parsial berukuran 479 nt pada sapi Aceh, ali, Madura, PO, Pesisir dan os indicus (Nellore) dari Genank... 61

18 xvii 16 Dendogram Neighbor-Joining Neighbor-Joining berdasarkan metode 2 parameter Kimura dari nukleotida daerah D-loop parsial (berukuran 479 nt) sapi Aceh, ali, Madura, PO, Pesisir dan bangsa-bangsa sapi dari Genank dengan pengolahan bootstrap 1000 ulangan Tampilan DNA total sapi penelitian setelah dimigrasikan dalam gel agarose 1,2% pada tegangan 90 volt selama 30 menit Perbandingan jumlah genotipe yang hanya terdapat pada sapi Aceh, outgroup dan genotipe bersama Distribusi frekuensi alel lokus M1818 pada sapi Aceh, ali, Madura, PO dan Pesisir Distribusi frekuensi alel lokus INRA005 pada sapi Aceh, ali, Madura, PO dan Pesisir Distribusi frekuensi alel lokus CSRM60 pada sapi Aceh, ali, Madura, PO dan Pesisir Distribusi frekuensi alel lokus M2113 pada sapi Aceh, ali, Madura, PO dan Pesisir Distribusi frekuensi alel lokus HEL5 pada sapi Aceh, ali, Madura, PO dan Pesisir Distribusi frekuensi alel lokus HEL9 pada sapi Aceh, ali, Madura, PO dan Pesisir Distribusi frekuensi alel lokus HEL13 pada sapi Aceh, ali, Madura, PO dan Pesisir Distribusi frekuensi alel lokus INRA63 pada sapi Aceh, ali, Madura, PO dan Pesisir Distribusi frekuensi alel lokus INRA35 pada sapi Aceh, ali, Madura, PO dan Pesisir Distribusi frekuensi alel lokus HEL1 pada sapi Aceh, ali, Madura, PO dan Pesisir Distribusi frekuensi alel lokus ETH225 pada sapi Aceh, ali, Madura, PO dan Pesisir Distribusi frekuensi alel lokus ETH10 pada sapi Aceh, ali, Madura, PO dan Pesisir Distribusi frekuensi alel lokus CSSM66 pada sapi Aceh, ali, Madura, PO dan Pesisir Distribusi frekuensi alel lokus M1824 pada sapi Aceh, ali, Madura, PO dan Pesisir... 90

19 xviii 33 Distribusi frekuensi alel lokus ILSTS006 pada sapi Aceh, ali, Madura, PO dan Pesisir Distribusi frekuensi alel lokus ILSTS005 pada sapi Aceh, ali, Madura, PO dan Pesisir Kontruksi pohon filogeni berdasarkan metode Neighbor-Joining dari data jarak genetik Nei pada sapi Aceh, ali, Madura, PO dan Pesisir Spesies liar dan domestikasi antarsubfamili ovinae Dendogram Neighbor-Joining berdasarkan metode 2 parameter Kimura dari nukleotida gen cytochrome-b parsial (berukuran 420 nt) Sapi dari Genank dengan pengolahan bootstrap 1000 ulangan Kontruksi pohon filogeni berdasarkan metode Neighbor-Joining dari data jarak genetik Nei pada sapi Aceh, ali, Madura, PO dan Pesisir

20 xix DAFTAR LAMPIRAN Halaman 1 Lokasi pengambilan sampel sapi Aceh di Nanggroe Aceh Darussalam untuk analisis fenotipik Lokasi pengambilan sampel darah sapi Aceh, ali, Madura, PO dan Pesisir untuk analisis daerah D-loop DNA mitokondria Lokasi pengambilan sampel darah dan nomor sapi di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam untuk analisis DNA mikrosatelit Lokasi pengambilan sampel darah sapi pembanding untuk analisis DNA mikrosatelit Komposisi bahan pereaksi yang digunakan untuk isolasi DNA dari sampel darah Konsentrasi sampel DNA total hasil pemeriksaan dengan mesin NanoDrop Spectrophotometer Lokasi penempelan primer IDL-F dan IDL-R pada sekuen basa nukleotida daerah D-loop sapi os indicus Pensejajaran berganda nukleotida dari daerah D-loop parsial sapi Aceh, ali, Madura, PO, Pesisir dan bangsa ternak dari Genank Situs-situs delesi dan insersi basa-basa nukleotida daerah D-loop parsial sapi Aceh, ali, Madura, PO dan Pesisir Jumlah Nukleotida sapi Aceh, ali, Madura, PO, dan Pesisir setelah disejajarkan dengan nukleotida os indicus (Genank) Komposisi Nukleotida sapi Aceh dan sapi pembanding Jarak Genetik sapi Aceh dengan sapi ali, Madura, PO, Pesisir dan bangsa-bangsa sapi os indicus, os taurus dari Genank Hasil blast sekuen sapi Aceh (476 nt) pada situs NCI Nomor akses sekuen daerah D-loop utuh os indicus, os taurus dan ubalus bubalis dari Genank pada situs NCI yang digunakan untuk membentuk pohon filogeni Sekuens nukleotida primer mikrosatelit yang digunakan untuk penelitian Runutan indeks Garza-Williamson hasil uji heterozigositas hitung (observed) dan heterozigositas harapan (expected) pada sapi Aceh, ali, Madura, PO dan Pesisir

21 1 PENDAHULUAN Latar elakang Sapi asli Indonesia secara genetik dan fenotipik umumnya merupakan: (1) turunan dari anteng (os javanicus) yang telah didomestikasi dan dapat pula (2) berasal dari hasil silangan sapi asli Indonesia dengan sapi eksotik yang kemudian mengalami domestikasi serta adaptasi lokal. Kelompok sapi yang termasuk dalam kategori pertama adalah sapi ali karena sapi ali diketahui merupakan hasil domestikasi langsung dari anteng (MacHugh 1996; Martojo 2003; Hardjosubroto 2004) dan mempunyai ciri-ciri fisik yang hanya mengalami perubahan kecil dibandingkan dengan moyangnya (Handiwirawan dan Subandriyo 2004). Kelompok sapi yang kedua adalah sapi Madura karena menurut Payne dan Rollinson (1976); Nijman et al. (2003); Verkaar et al. (2003) merupakan hasil silangan anteng atau sapi ali dengan sapi zebu yang telah berlangsung kurang lebih tahun yang lalu, walaupun hal tersebut tidak terdokumentasi dengan baik secara prinsip pemuliaan (tanpa recording yang jelas). Kedua pengelompokan itu secara genetik telah terbukti dengan menggunakan marker genetik DNA mitokondria (D-loop dan cytochrome-b) dan DNA inti (Mikrosatelit dan AFLP) (Nijman et al. 2003). Kemungkinan yang ketiga adalah sapi eksotik yang telah menetap di Indonesia dalam kurun waktu lama (impor dan perdagangan) dan dapat berkembang biak dengan baik (mampu beradaptasi pada lingkungan setempat), selanjutnya sapi-sapi tersebut mengalami persilangan. Salah satu yang termasuk dalam kelompok ini adalah sapi Ongole India yang masuk ke Pulau Sumba pada tahun 1905 yang kemudian menjadi sapi Sumba Ongole (SO). Pada tahun 1915 sampai 1929 sapi Sumba Ongole (SO) mulai disebarkan ke Pulau Jawa melalui program Ongolisasi dengan sebutan kontrak Sumba (Hardjosubroto 2004). Dampak dari program ini adalah terbentuknya sapi Peranakan Ongole (PO) dan hasil silangan lainnya, bahkan program ini telah mempunyai kontribusi yang jelas terhadap hilangnya sapi Jawa. Menurut Merkens (1926) di Jawa terdapat sapi Jawa dengan karakteristik tertentu yang merupakan campuran berbagai bangsa sapi. Sapi Aceh pada mulanya diduga dimasukkan oleh pedagang India pada masa kerajaan Islam pertama di Peureulak yang terbentuk tahun 847 M (225 H), karena pada masa itu sudah terjalin hubungan kerja sama antarnegara dan perdagangan bebas di Aceh terutama lada yang ingin dikuasai seluruhnya oleh

22 2 pedagang-pedagang dari Mesir, Parsi, dan Gujarat (catatan sejarah Aceh, catatan Marcopolo 1256 dan Ibnu athutah 1345; Mulyana 1968; Putra 2001). Hal ini telah dijelaskan pula oleh Merkens (1926) bahwa, perdagangan yang ramai sudah lama terjalin antara Aceh dengan Malaka. Pedagang Arab, Cina serta India yang datang ke Aceh, mereka membawa barang-barang dagangan dan khususnya imigran India ini sudah dikenal membawa sapi-sapi dari India ke Aceh. Pada abad ke-19 telah menjadi kebiasaan mengimpor ternak melalui Selat Malaka, khususnya ke Pidie dan Aceh Timur Laut (Peureulak). Kemungkinan sapi-sapi di Aceh mengalami persilangan dengan anteng yang ada di Sumatera seperti dikemukakan Merkens (1926) dari hasil kumpulan catatan, foto dan laporan singkatnya, namun belum pernah diverifikasi dan diungkapkan melalui analisis genom. eberapa sapi tersebut berkembang dan menyebar ke pesisir barat Aceh hingga ke wilayah pantai Sumatera arat. Keadaan wilayah pesisir barat tersebut memiliki keadaan pakan terbatas dan kualitas nutrisi rendah sehingga telah turut menyeleksi ragam sapi yang hidup di daerah ini yaitu kebanyakan sapi berukuran kecil (±150 kg) yang dapat bertahan hidup dengan baik (ILRI 1995). Disamping itu di daerah pesisir barat ini jauh dari hewan buas pemangsa. Di daerah Aceh yang lain seperti anda Aceh, Aceh esar, Pidie, Aceh Utara, dan Aceh Timur terdapat sapi-sapi yang beragam ukurannya. Menurut Gunawan (1998), ada sapi Aceh di Aceh esar dan Aceh Utara yang hanya mempunyai bobot hidup dewasa 150 kg, namun ada pula sapi Aceh yang ada di daerah ini mencapai bobot hidup dewasa 400 kg atau lebih. Sapi ini mempunyai daya tahan terhadap lingkungan yang buruk dan sistem pemeliharaan ekstensif tradisional. Laporan Merkens (1926), menyebutkan bahwa kepala sapi Aceh berwarna antara cokelat merah sampai cokelat abuabu, bahkan di Aceh Utara dan Aceh Timur ditemukan sapi yang warna kepalanya lebih gelap sampai hitam. Ciri tersebut merupakan salah satu karakter dari sapi India. Namikawa et al. (1982 a ) menambahkan bahwa, sapi Sumatera (Aceh dan Pesisir) memiliki macam-macam warna yaitu hitam, cokelat kehitaman, cokelat kuning, dan abu-abu putih yang didominasi oleh warna cokelat kuning. Dibandingkan dengan warna sapi ali (anteng), menurut Payne dan Rollinson (1973); NRC (1983), sapi ali terdapat warna putih pada bagian belakang paha (pantat), bagian bawah (perut), keempat kaki bawah (white stocking) sampai di atas kuku, bagian dalam telinga, dan pada pinggiran bibir atas. Pada saat umur anak atau muda, warna sapi ali betina yaitu cokelat muda

23 3 dengan garis hitam tipis terdapat di sepanjang tengah punggung dan jantan berwarna cokelat. Pada saat umur bulan, warna sapi ali jantan berubah menjadi agak gelap sampai mendekati hitam pada saat dewasa. Tipe warna sapi ali (anteng) yang demikian diduga juga ada kemiripan dengan pola warna yang dimiliki sapi Aceh, namun hal ini belum pernah dilaporkan. Sapi asli Indonesia telah mengalami seleksi alam dengan berbagai tekanan iklim tropis basah dan ketersediaan pakan yang sesuai daerah di mana sapi-sapi tersebut hidup. Dengan demikian dalam jangka waktu yang cukup lama telah terjadi interaksi genetik dan lingkungan sehingga menghasilkan sapi-sapi Aceh yang telah teradaptasi terhadap wilayah tersebut, dengan penampilan fenotipiknya beragam. Ketahanan ternak lokal terhadap lingkungan yang ekstrim telah diuji melalui hewan percobaan mencit (Mus musculus) oleh Abdullah et al. (2005) bahwa, mencit liar yang telah teradaptasi lingkungan dengan segala perubahan yang ada mempunyai gen pengatur daya produksi dan reproduksi yang lebih unggul terhadap stres lingkungan dibanding mencit laboratorium. Pengujian tersebut mendukung pendapat Noor (2008) bahwa, ternak-ternak asli telah terbukti dapat beradaptasi dengan lingkungan lokal termasuk makanan, ketersediaan air, iklim dan penyakit. Dengan demikian, ternak-ternak inilah yang paling cocok untuk dipelihara dan dikembangkan di Indonesia, walaupun produksinya lebih rendah dari ternak impor, tetapi pengelolaannya lebih efisien. Eksploitasi sapi Aceh melalui persilangan yang semakin luas dan tidak terkontrol dengan bangsa sapi eksotik akan memberikan dampak yang kurang baik terhadap sapi-sapi Aceh yang telah teradaptasi pada lingkungan setempat. Kekhawatiran ini telah terjadi pada sapi asli di Lithuania (Eropa Timur) yang terancam punah (Malevičiūtė et al. 2002) akibat persilangan yang disengaja tetapi tidak terstruktur. ahkan beberapa sapi asli di negara India telah punah sebelum sapi ini diidentifikasi dan dimanfaatkan akibat persilangan yang meluas dan tidak terkontrol (Sodhi et al. 2006). Hal demikian ini juga ditegaskan oleh FAO (2000) bahwa, sumber daya genetik ternak asli akan cenderung punah akibat permintaan pasar yang baru (eksploitasi besar-besaran), persilangan yang tidak terkendali, pergantian breed (penggantian bangsa sapi yang sudah ada dengan bangsa sapi baru) dan kegiatan mekanisasi pertanian (penggantian penggunaan tenaga sapi dengan tenaga mesin untuk mengolah lahan pertanian).

24 4 Sehubungan dengan hal tersebut di negara berkembang, banyak peneliti sedang melakukan karakterisasi ternak asli/lokal secara fenotipik dan juga pada tingkat molekuler untuk digunakan dalam dokumentasi plasma nutfah yang ada serta prospek pemanfaatannya di masa yang akan datang (Sodhi et al. 2006). Karakter fenotipe ternak dapat menunjukkan ciri khas bangsa ternak tertentu. Ternak sapi merupakan hewan peliharaan sangat penting di Aceh secara turun-temurun sampai sekarang. Ancaman kepunahan sapi Aceh akibat persilangan yang tidak terkendali akan berdampak sangat luas bagi kehidupan sosial ekonomi masyarakat Aceh. Kehilangan sapi Aceh yang telah eksis selama ratusan tahun akan mengurangi pemenuhan kebutuhan protein hewani dan penyediaan daging meugang (hari adat pemotongan dan makan daging bersama) serta hewan kurban dalam perayaan keagamaan di Aceh, sehingga Aceh akan bergantung pada distribusi daging dari daerah lain atau impor. Disamping itu, hal ini akan mematikan perekonomian peternak yang merangkap petani dan merupakan bagian terbesar dari mata pencaharian penduduk Aceh. Lemahnya perekonomian peternak di Aceh akan menimbulkan gejolak sosial dan akan berakibat pada naiknya tingkat kemiskinan. Selain itu, FAO sebagai badan dunia sudah menganjurkan bahwa sedapat mungkin sumber daya genetik ternak lokal harus dipertahankan. Oleh karena itu, perlu dilakukan penelitian pada sapi Aceh mencakup inventarisasi sumber daya genetiknya melalui analisis fenotipik, DNA mitokondria pada daerah D-loop dan DNA mikrosatelit. Metode ini dapat digunakan karena tingkat akurasi sangat tinggi dalam menggambarkan keragaman genetik sehingga hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai dasar pengambilan kebijakan guna menerapkan keputusan yang lebih tepat dan terarah dalam program pelestarian plasma nutfah sapi Aceh, pengembangan dan pemanfaatannya secara berkelanjutan. erdasarkan laporan terdahulu, penentuan daerah D-loop mtdna pada sapi dapat menunjukkan sejarah sapi (Nijman et al. 2003; Edwards et al. 2007) dan hibridisasi yang terjadi pada anteng dan sapi Madura (Nijman et al. 2003). DNA mitokondria terutama daerah D-loop, sangat baik digunakan untuk analisis keragaman hewan, baik intraspesies maupun antarspesies (Muladno 2006). DNA mitokondria sudah terbukti suatu alat yang tangguh dalam analisis variasi dalam dan antarspesies, struktur populasi dan filogeni (Patricia et al. 2002). Sedangkan pada genom inti, sekarang ini, di antara beberapa penanda

25 5 molekuler yang digunakan untuk mengkarakterisasi genetik, mikrosatelit merupakan penanda yang paling disukai. Hal ini karena penanda tersebut bersifat polimorfik dan sangat informatif, kelimpahannya di dalam genom inti relatif besar, dan dapat diamplifikasi melalui PCR. Penanda ini telah digunakan untuk menjelaskan pola migrasi dan domestikasi pada sapi eropa (Loftus et al. 1994; ruford et al. 2003) dan untuk karakterisasi populasi-populasi ternak sapi dari turunan os indicus dan os taurus (Moore et al. 1992; eja-pereira et al. 2003). Machado et al. (2003) menggunakan lokus-lokus mikrosatelit untuk mengevaluasi keanekaragaman genetik dalam masing-masing bangsa sapi dan perbedaan genetik di antara setiap bangsa. Penanda genetik mikrosatelit dapat memberikan informasi-informasi penting sehingga dapat dibuat keputusan mengenai konservasi pada ternak sapi (Sunnucks 2000; Sodhi et al. 2006). Tujuan Penelitian 1. Menginventarisasi sifat-sifat fenotipe kualitatif (warna dan pola warna, bentuk tanduk, garis muka dan punggung) dan kuantitatif (ukuran-ukuran tubuh dan bobot badan) sapi Aceh sebagai ciri-ciri sapi lokal. 2. Mengkaji keragaman genetik daerah D-loop DNA mitokondria pada sapi Aceh untuk mengetahui asal-usulnya. 3. Mengkaji keragaman DNA mikrosatelit populasi sapi Aceh dan asal-usulnya. Manfaat Penelitian 1. Dapat memberi informasi keragaman fenotipik dan genetik sapi Aceh dalam pengelompokan sapi lokal di Indonesia. 2. Karakteristik sumber daya genetik sapi Aceh sebagai pedoman dalam menerapkan kebijakan dalam program pelestarian plasma nutfah, pengembangan dan pemanfaatannya secara berkelanjutan. Hipotesis 1. Penanda genetik daerah D-loop DNA mitokondria dapat mengelompokkan sapi Aceh terhadap sapi lokal Indonesia dan sapi luar Indonesia. 2. Alel-alel mikrosatelit sapi Aceh bersifat polimorfik. 3. Asal-usul sapi Aceh adalah dari sapi-sapi india (os indicus) yang mengalami hibridisasi dengan anteng (os javanicus).

26 6 TINJAUAN PUSTAKA Gambaran Umum Nanggroe Aceh Darussalam Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam terletak di bagian paling barat dari gugusan kepulauan Nusantara. Ibukota Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam adalah anda Aceh, mempunyai luas daratan 2,75% terhadap luas daratan Indonesia yaitu ha dengan 17 kabupaten, 227 kecamatan dan desa (Departemen Kehutanan 2004). Secara geografis Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam terletak di antara 2-6 o LU dan o T, termasuk 119 pulau. Rataan tinggi daratan 125 m di atas permukaan laut (Sujitno dan Achmad 1995). Suhu udara maksimum 32,4 o C pada bulan Nopember dan minimum 24,2 o C pada bulan Juni, curah hujan maksimum 243,4 mm pada bulan Januari dan curah hujan minimum 22,2 mm pada bulan Juni (Departemen Kehutanan 2004). Udara di Aceh mempunyai kelembaban tinggi terutama di wilayah pesisir barat sangat lembab dan basah, sedangkan di wilayah timur Aceh mempunyai udara kering. atas di sebelah barat adalah Samudera Indonesia, dan di sebelah utara dan timur adalah Selat Malaka, sedangkan di sebelah utara mengikuti sungai Simpang Kiri di sebelah timur dan sungai Tamiang di sebelah barat bagian selatan (Sujitno dan Achmad 1995; PEMDA NAD1997). Jumlah penduduk 4.24 jiwa (estimasi Juni 2003) dengan laju pertumbuhan 2,57% dan kepadatan penduduk 81/km 2 (Departemen Kehutanan 2004). Sebagian besar penduduk Aceh hidup dari pertanian (peternakan), ladang padi, palawija dan hortikultura (Sujitno dan Achmad 1995). Daerah Aceh (Nanggroe Aceh Darussalam) memiliki kekayaan ternak, terutama ternak sapi. Keadaan ini didukung oleh adanya padang gembalaan yang dapat menampung ratusan ribu sapi merumput bebas dan pada saat tertentu dipanen (Gunawan 1998). Pada tahun 2002 terdapat ekor sapi di Nanggroe Aceh Darussalam (Direktorat Jenderal ina Produksi Peternakan 2003). Keragaman Genetik Ternak Keragaman genetik terjadi tidak hanya antarbangsa tetapi juga di dalam satu bangsa yang sama, antarpopulasi maupun di dalam populasi, atau di antara individu dalam populasi. Pada spesies domestik suatu identifikasi tingkat keragaman, terutama pada lokus-lokus yang mempunyai sifat bernilai penting

27 7 mempunyai keterkaitan dengan seleksi dalam program pemuliaan (Handiwirawan dan Subandriyo 2004). Salah satu alat bantu yang dapat digunakan untuk mendeteksi keragaman populasi adalah DNA mitokondria dan DNA mikrosatelit (Muladno 2006). Keragaman genetik dalam populasi merupakan modal dasar aplikasi teknologi pemuliaan dalam pemanfaatan hewan. Keragaman genetik populasi yang digambarkan dalam keragaman penampilan hewan adalah refleksi informasi genetik yang dimilikinya. Sebagai ilustrasi sapi ali yang hidup di pulau ali memiliki kontruksi gen-gen yang berbeda dengan populasi sapi pesisir yang ada di Sumatera arat. Perbedaan-perbedaan tersebut dapat dinyatakan dalam kemampuan adaptasi, besarnya tubuh, dan ketahanan penyakit. Komponen ini sangat berpengaruh terhadap kemampuan menyesuaikan diri (adaptasi) terhadap perubahan lingkungan seperti degradasi kualitas lingkungan sebagai media tumbuh hewan. Perbedaan penampilan ini disebabkan selama domestifikasi, tipe-tipe atau bangsa-bangsa hewan terpisah secara genetik karena adanya penyesuaian (adaptasi) dengan masing-masing lingkungan lokal dan kebutuhan komunitas lokal sehingga dihasilkan bangsa berbeda (Muladno 2006). Adanya kemampuan adaptasi hewan disebabkan hewan memiliki kemampuan menghasilkan lebih dari satu alternatif bentuk morfologi, status fisiologi, dan atau tingkah laku sebagai reaksi terhadap perubahan lingkungan (pengaturan ekspresi gen) (Noor 2008). Lebih dari tahun yang lalu terdapat 14 spesies ternak telah didomestikasikan dan berevolusi sehingga menjadi rumpun (breed) yang secara genetika unik dan berbeda, beradaptasi terhadap lingkungan dan komunitas setempat. Saat ini terdapat sekitar rumpun ternak domestik dari spesies yang telah terdomestikasi, bersama dengan lebih dari 80 spesies kerabat liarnya yang merupakan sumber daya genetik ternak di bumi ini yang berperanan penting untuk pangan dan produksi pertanian (Subandriyo dan Setiadi 2003). eja-pereira et al. (2006) menyatakan bahwa, penjinakan sapi (os taurus dan os indicus) dari aurochsen liar (os primigenius) adalah satu yang penting dalam sejarah manusia, mendorong ke arah modifikasi-modifikasi pangan yang meluas, tingkah laku dan struktur sosial ekonomi dari banyak populasi: (1) proses ini dimulai sekitar tahun yang lalu; (2) penyimpangan genetik yang besar antara bangsa-bangsa sapi taurine (os taurus) dan zebu (os indicus), minimal dua titik penjinakan bangsa sapi tersebut yang secara sendiri-sendiri dan

28 8 merupakan kejadian dari dua kelompok aurochsen yang jelas terpisah; (3). data arkeologis menyatakan bahwa penjinakan sapi zebu terjadi mungkin di Indus Valley (sekarang Pakistan); (4) dengan suatu difusi utama bangsa-bangsa sapi ini di India dan hanya yang terakhir (<3.000 tahun) pengenalan sebagai jantan sekunder di Afrika; dan (5) sebaliknya, lokasi penjinakan yang hampir bisa dipastikan untuk bangsa-bangsa taurine dipertimbangkan yaitu di suatu areal paling barat di Near East, Fertile Crescent (FC), meskipun suatu peristiwa penjinakan yang berdiri sendiri mungkin telah terjadi di Afrika. erbagai bangsa ternak yang telah berkembang dalam berbagai sistem dan lingkungan yang ada saat ini telah menghasilkan berbagai kombinasi gen yang unik. Gen-gen ini tidak hanya menentukan kualitas sifat produksi dari masing-masing bangsa, tetapi juga terhadap kemampuan adaptasinya pada kondisi lokal termasuk makanan, ketersediaan air, iklim dan hama penyakit (FAO 2001). erbagai macam kebutuhan manusia sehari-hari dipenuhi dari spesies ternak, dalam bentuk pangan maupun kebutuhan lainnya. Namun hanya sebagian kecil dari total keragaman genetik ternak dan kerabat liarnya, yakni sekitar 40 spesies yang memenuhi sebagian besar proporsi dari produksi ternak global. Keragaman genetik di dalam spesies ternak dan beberapa kerabat liarnya telah menjadi sumber keragaman dari rumpun dan populasi ternak. Keragaman genetik ini penting dalam pembentukan rumpun ternak modern dan akan terus berkelanjutan di masa mendatang (Subandriyo dan Setiadi 2003). Sebagai contoh, negara Lithuania memiliki dua bangsa sapi utama yaitu Lithuanian lack dan White dan Lithuanian Red, masing-masing 62% dan 32% dari populasi ternak dalam negeri. angsa ternak Lithuanian lack dan White ditemukan di arat Daya Lithuania dan dikembangkan dari sapi lokal Lithuania berwarna putih dan hitam melalui persilangan sesama dengan bangsa sapi hitam dan putih Holstein-Friesian dari elanda dan bangsa sapi hitam dan putih dari Jerman. angsa sapi Lithuanian lack dan lack sebagai bangsa sapi perah yang menghasilkan susu berkualitas dan telah teradaptasi dengan iklim di tempatnya. angsa sapi Lithuanian Red ditemukan di Timur Laut Lithuania dan dibentuk pada awal abad ini dari bangsa Lithuanian Red lokal melalui assortative mating, seleksi masal dan persilangan dengan bangsa-bangsa: Ayrshire, Angeln, Dutch, Danish Red, Swiss rown dan Shorthorn. angsa-bangsa sapi unggul dipilih karena produksi susu. Umumnya ternak-ternak tersebut jelas sebagai tipe

29 9 bangsa sapi perah (FAO 2000). Di arat Daya, bagian Tenggara dan sebagian Lithuania bagian Tengah, sapi Lithuania paling asli yaitu memiliki warna tubuh putih atau abu-abu terang. Dalam beberapa dekade terakhir, sapi Lithuania yang asli, seperti Lithuanian Light Grey dan Lithuanian White, hampir seluruhnya digantikan oleh Lithuanian lack dan White dan Lithuanian Red yang merupakan sapi produksi tinggi. Hal ini diketahui bahwa sapi Lithuanian Light Grey dan Lithuanian White-acked dipelihara di Lithuania mulai zaman lampau dan dikhususkan untuk negara. Sekarang ini, Lithuanian White-acked, Lithuanian Grey dan bangsa sapi Lithuanian lack dan White tua populasinya sangat kecil dan mempunyai status dari suatu bangsa sapi yang terancam kepunahan (Malevičiūtėet al. 2002). Keanekaragaman genetik ternak, sedikitnya memiliki empat manfaat, yaitu (1) keberlanjutan dan peningkatan produksi pangan; (2) memaksimumkan produktivitas lahan dan sumber daya pertanian; (3) pencapaian pertanian berkelanjutan untuk memberikan keuntungan masa kini dan generasi yang akan datang; (4) pemenuhan keanekaragaman baik yang telah maupun yang belum diketahui manfaatnya bagi kehidupan sosial masyarakat. Ketersediaan keanekaragaman genetik ternak, termasuk sapi akan mempengaruhi keberhasilan strategi pemuliaan untuk masa yang akan datang (FAO-AAAS 1994). Pelestarian Sumber Daya Genetik Ternak FAO memprediksi bahwa paling sedikit satu bangsa ternak tradisional punah setiap minggu dan lebih dari 30% ternak di Eropa sekarang ini diperkirakan dalam keadaan terancam kepunahan (FAO 1995). anyak bangsa ternak tradisional sudah menghilang karena para petani lebih fokus pada bangsa sapi baru. Sekitar 16% dari bangsa sapi tradisional telah punah dan kurang dari 15 % bersifat jarang (FAO 2000). Keadaan ini dapat dilihat pada bangsa-bangsa sapi zebu di India yang secara signifikan telah kehilangan ekonomi yang sangat penting dan penurunan ukuran populasi terutama karena persilangan secara meluas (Sodhi et al. 2006). Semakin berkembangnya ilmu pengetahuan dan teknologi pemuliaan ternak, bioteknologi, permintaan pasar, mekanisasi pertanian dan produksi ternak, akan mendorong eksploitasi ternak melalui persilangan, penggantian breed baru (Subandriyo dan Setiadi 2003; Sodhi et al. 2006), maupun

30 10 pengurasan stock secara berlebihan, dan pada gilirannya akan mengancam keragaman genetik ternak. Di lain pihak pelestarian keragaman genetik ternak akan selalu diperlukan dalam pemuliaan di masa mendatang, karena tanpa adanya keragaman genetik, pemuliaan ternak tidak mungkin dilaksanakan untuk mengantisipasi keperluan di masa mendatang (Subandriyo dan Setiadi 2003) Melalui literatur diketahui bahwa sudah sejak lama, ternak asli mempunyai suatu arti penting yang sangat tinggi di dalam kegiatan pertanian dan kehidupan sosial dari masyarakat pedesaan. Diketahui pula bahwa bangsa-bangsa sapi lokal yang dipelihara petani di dalam areal pertanian menjadi titik rujukan dari tradisi-tradisi lokal pada masa lalu, yang berhubungan dengan produksi pertanian dan sektor-sektor lain, seperti makanan (Malevičiūtėet al. 2002). Pelestarian terhadap sumber daya genetik ternak lokal sebagai bagian dari komponen keanekaragaman hayati adalah penting untuk memenuhi kebutuhan pagan, pertanian dan perkembangan sosial masyarakat di masa yang akan datang. Ada beberapa alasan untuk ini, antara lain (1) lebih dari 60 p ersen dari bangsa-bangsa ternak di dunia berada di negara-negara sedang berkembang; (2) konservasi bangsa ternak lokal tidak menarik bagi petani; (3) secara umum tidak ada program monitoring yang sistematis dan tidak tersedianya informasi deskriptif dasar sebagian besar sumber daya genetik hewan ternak; serta (4) sedikit sekali bangsa-bangsa ternak asli yang telah digunakan dan dikembangkan secara aktif (FAO 2001). Kesadaran dari pentingnya memelihara sumber daya genetik hewan sudah meningkat dalam beberapa tahun terakhir. anyak negara Eropa mempunyai atau sedang mengembangkan program-program nasional untuk pemeliharaan dan konservasi keanekaragaman hayati hewan (Malevičiūtėet al. 2002). Ada tiga metode utama program pelestarian plasma nutfah ternak yang telah dilaksanakan masyarakat atau pemulia: (1) mempertahankan populasi ternak hidup, (2) penyimpanan beku materi genetik berupa haploid (n) seperti gamet yakni semen dan oocyte atau berupa diploid (2n) seperti embrio, dan (3) penyimpanan DNA (deoxyrybonucleic acid). Metode bioteknologi dapat digunakan untuk mengkarakterisasi gen-gen ternak dan plasma nutfah suatu populasi. Metode ini akan membantu dalam pembuatan keputusan tentang pelestarian plasma nutfah yang unik. Studi mengenai struktur dan fungsi gengen pada tingkat molekuler suatu populasi ternak dapat membantu menentukan kesamaan material genetik yang dibawa oleh dua atau lebih populasi dan

31 11 keragaman genetik dalam populasi ternak yang diamati. Identifikasi gen-gen dari individu ternak akan membantu program pemuliaan (genetik) ternak, yang membedakan dari penampilan (fenotipe) yang tampak, yang dapat menentukan proses pemilihan tetua untuk generasi yang akan datang (seleksi buatan). Jika gen-gen untuk sifat produksi dapat diidentifikasi, ternak-ternak tersebut dapat diseleksi walaupun tidak diekspresikan oleh individu ternak yang bersangkutan. Sebagai alternatif, jika mereka dapat diikatkan dengan gen-gen yang diketahui lokasinya dalam kromosom (marker lokus-lokusi), seleksi dapat dilaksanakan berdasarkan acuan tersebut (Subandriyo dan Setiadi 2003). Negara Indonesia mempunyai undang-undang dan peraturan menteri pertanian menyangkut pelestarian sumber daya genetik ternak yaitu Undang- Undang Republik Indonesia Nomor 5 tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya dan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 5 tahun 1994 tentang Pengesahan Konvensi Perserikatan angsa- angsa Mengenai Keanekaragaman Hayati serta Peraturan Menteri Pertanian Nomor 35/Permentan/OT.140/8/2006 tentang Pedoman Pelestarian dan Pemanfaatan Sumberdaya Genetik Ternak dan Peraturan Menteri Pertanian Nomor 36/Permentan/OT.140/8/2006 tentang Sistem Pembibitan Ternak Nasional. Sifat Kuantitatif dan Kualitatif Setiap sifat yang diekspresikan seekor hewan disebut fenotipe. Seekor hewan atau ternak menunjukkan fenotipenya (P) sebagai hasil pengaruhpengaruh seluruh gen atau genotipenya (G), lingkungan (E) dan interaksi antara genotipe dan lingkungan (IGE) (Martojo 1992; Hardjosubroto 1994). Sifat kuantitatif dan kualitatif pada hewan atau ternak merupakan fenotipe. Pada program pemuliaan, prediksi perbedaan genetik di antara hewan dapat berdasarkan observasi fenotipe yang bergantung pada faktor genetik dan lingkungan (Muladno 2006). Fenotipe ternak dapat diketahui melalui ukuranukuran tubuh (Otsuka et al. 1980; Surjoatmodjo 1993; Karthickeyan et al. 2006), warna dan pola warna tubuh, pertumbuhan tanduk (Wiley 1981; Warwick et al. 1990; Handiwirawan 2003; Riwantoro 2005), tekstur dan panjang rambut (Handiwirawan dan Subandriyo 2004). Otsuka et al. (1980) telah menggunakan ukuran-ukuran tubuh hewan dalam melakukan perbandingan antara berbagai bangsa sapi asli Indonesia,

32 12 serta hubungannya dengan berbagai bangsa sapi lain di Asia. Warna termasuk sifat kualitatif seekor ternak (Warwick et al. 1990). Warna tubuh ternak dianggap sebagai character displacement untuk membedakan satu bangsa dengan bangsa lainnya (aker dan Manwell 1991). Sifat kuantitatif adalah ciri-ciri dari makhluk hidup yang dapat diukur, dihitung atau diskors. Karakter ini ditentukan oleh banyak pasang gen (poligenik) dan sangat dipengaruhi oleh lingkungan (Wiley 1981), sedangkan sifat kualitatif seperti warna, pola warna, sifat bertanduk atau tidak bertanduk dapat dibedakan tanpa harus mengukurnya. Sifat kualitatif biasanya hanya dikontrol oleh sepasang gen (Noor 2008). Membedakan warna tubuh merupakan salah satu cara mengidentifikasi ternak. Pelacakan pada sapi asli yang hampir punah di Lithuania untuk upaya konservasi, salah satunya dilakukan melalui ciri-ciri umum pada breed asli Lithuanian lack dan White dan Lithuanian Red yaitu berdasarkan warna tubuh yang khas, konstitusi tubuh, perlawanan tubuh sapi terhadap penyakit-penyakit lokal, dan produksi umum sebagai sapi tipe perah dan sapi dwifungsi sebagai penghasil susu dan daging (Malevičiūtėet al. 2002). Sifat-sifat kualitatif adalah sifat-sifat yang pada umumnya dijelaskan dengan kata-kata atau gambar (Warwick et al. 1990). Spesies-spesies sering ditandai oleh warna atau pola warna tertentu. Pola warna apabila ada kemungkinan lebih berguna daripada warna itu sendiri. Hal ini biasanya dianggap sebagai character displacement untuk menghindari kesalahan saat membedakan bangsa ternak (Wiley 1981). Sumber Daya Genetik Ternak Lokal Indonesia Sapi ali merupakan satu dari empat bangsa sapi asli Indonesia (Aceh, Pesisir, Madura dan ali). Sapi Sumba-Ongole dan Java-Ongole (PO) juga dianggap sebagai bangsa sapi lokal Indonesia (Martojo 2003; Dahlanuddin et al. 2003). Ternak sapi sebagaimana jenis ternak lain, dikenali sebagai komponenkomponen penting dari keanekaragaman hayati dunia, karena gen dan kombinasi gen-gen yang terdapat pada ternak ini berguna bagi pertanian di masa yang akan datang (eja-pereira et al. 2003). Sumber daya genetik ternak adalah populasi pada masing-masing spesies yang secara genetik unik, terbentuk dalam proses domestikasi yang digunakan untuk produksi pangan dan pertanian

33 13 termasuk kerabat dekat populasi tersebut yang masih liar. Istilah ini juga digunakan semua spesies dan bangsa-bangsa hewan yang mempunyai nilai ekonomis, ilmu pengetahuan dan sosial budaya untuk pertanian, atau mempunyai kepentingan untuk masa depan (FAO-AAAS 1994). angsa-bangsa ternak tradisional dan asli yang multifungsi telah teradaptasi dengan kondisi-kondisi lokal, iklim, penyakit-penyakit dan nutrisi lingkungan sepanjang tahun. angsa-bangsa ternak seperti itu juga dengan baik telah beradaptasi dengan sumber pakan lokal, atau lebih resistan terhadap patogen-patogen dan berbagai penyakit ternak yang ada di daerah di mana ternak itu berada. angsa-bangsa ternak asli telah juga diseleksi dengan berbagai tujuan, tergantung pada sifat-sifatnya yang penting bagi masyarakatmasyarakat lokal. angsa ternak asli merupakan bangsa ternak yang dapat menunjukkan hasil dari pengembangan sosial ekonomi masyarakat dan tidak mungkin bertahan di luar sistem pertanian yang telah terbentuk (Malevičiūtėet al. 2002). Sumber daya ternak sapi di Indonesia saat ini terdiri atas tiga kelompok, yakni (1) ternak asli; (2) ternak impor; dan (3) ternak yang telah beradaptasi. Sehubungan pentingnya nilai konservasi pada kelompok ternak ini, beberapa bangsa sapi menjadi target konservasi sekaligus pemanfaatannya (Utoyo eberapa di antara sumber daya ternak sapi tersebut ialah sapi Aceh, ali, turunan Ongole, Sumba Ongole, Madura, Jawa, Pesisir, dan Grati. Selanjutnya Utoyo (2002) menjelaskan keanekaragaman sapi di Indonesia, terbentuk dari sumber daya genetik asli dan impor. Importasi os indicus Ongole dari India telah dimulai pada awal abad ke-20 dan kemudian bangsa sapi ini memegang peranan penting dalam program pengembangan peternakan di Indonesia. Sapi Ongole murni pertama dibawa ke pulau Sumba yang kemudian disebut sebagai Sumba Ongole, kemudian sapi ini dibawa ke tepat-tempat lain untuk disilangkan dengan sapi asli Jawa dan membentuk Peranakan Ongole (Ongole-cross) dan sapi Madura. Pada tahun 1976 terdapat ekor sapi di Indonesia, umumnya sapi-sapi tersebut ada di Pulau Jawa, Madura, ali dan Nusa Tenggara dan sekitar ekor ada di Sumatera. angsa-bangsa sapi utama atau sapi lokal Indonesia adalah Peranakan Ongole (Filial Ongole), ali, Madura, Aceh dan Grati. Populasi sapi PO di Indonesia sekitar 4.40 yang merupakan jumlah

34 14 sapi terbesar. Sapi ali, Madura dan Aceh diketahui secara luas sebagai jenis sapi lokal khas atau bangsa ternak asli (Otsuka et al. 1980). Menurut ILRI (1995), terdapat banyak ternak asli di Indonesia: tujuh bangsa sapi asli (Sumba Ongole, Ongole cross, ali, Madura, Aceh, Pesisir dan Grati); kerbau (Sungai, Murrah, Toraja dan Kalang); domba (Domba Ekor Gemuk dan Domba Ekor Kurus); kambing (Kacang, Etawah cross, Gembrong dan Kosta); ayam (Kampung, Kedu, Pelung, ekisar dan Nunukan); itik (Tegal, Modjosari, Alabio dan ali); serta babi (Java, ali dan Nias). Hubungan genetik antara sapi-sapi Indonesia sangat menarik karena variasi sapi-sapi tersebut yang luas (Namikawa et al b ). Ada sejumlah gen pool ternak asli Indonesia yang telah beradaptasi dengan lingkungannya dan belum secara penuh dimanfaatkan dalam kaitan dengan laju pertumbuhan atau reproduksi. angsa-bangsa ternak asli Indonesia dipelihara secara sistem tradisional dengan input yang rendah. Perusahaan ternak komersial tidak mempercayai bangsa-bangsa ternak asli tersebut karena hal ini diperhitungkan bahwa ternak asli mempunyai produktivitas yang rendah. Lebih lanjut bahwa tidak ada jaminan tentang perolehan suatu penyediaan ternak dalam jumlah besar secara reguler. Namun, di Indonesia telah timbul suatu keinginan akan keuntungan dari keunggulan genetik bangsa-bangsa ternak asli (ILRI 1995). Karakteristik Sapi Aceh Sapi Aceh merupakan sapi lokal yang terdapat di Aceh Sumatera (Merkens 1926; Namikawa et al a ) dan diminati sebagai ternak potong (Merkens 1926). Sapi tersebut masih terdapat beberapa variasi warna tubuh (Namikawa et al a ). Sapi kecil yang banyak ditemukan di bagian barat, lebih mendekati jenis Sumatera biasa (sapi Pesisir). Sapi yang lebih baik dan lebih besar yang diminati sebagai komoditas ekspor ke kawasan budaya Deli dan Medan, berasal dari Aceh. Sebagian sapi Aceh digunakan sebagai alat transportasi pada beberapa perusahaan berlokasi dekat rel kereta di Deli dan Medan karena lebih baik dan lebih besar (Merkens 1926). Sapi Aceh mempunyai daya tahan terhadap lingkungan yang buruk seperti krisis pakan, air dan pakan berserat tinggi, penyakit parasit, temperatur panas dan sistem pemeliharaan ekstensif tradisional (Gunawan 1998). erdasarkan berbagai catatan pendek dari beberapa laporan dan sejumlah foto, disimpulkan

35 15 bahwa sapi Aceh merupakan hasil persilangan anteng dan zebu (Merkens 1926). Pada tahun 1926, di Aceh terdapat sekitar 150 ribu ekor sapi. Sejauh ini tidak banyak literatur mengenai jenis sapi ini yang berperanan penting di seluruh kawasan Sumatera Utara. Sapi Aceh jantan mempunyai tinggi pundak 115,5 cm; tinggi pinggul 115,0 cm; panjang badan 126,0 cm; lebar dada 35,5 cm; dalam dada 62,8 cm; lebar pinggul 42,2 cm; dan lingkar dada 160,8 cm (Merkens 1926). Hasil laporan Otsuka et al. (1980; 1982) yang melakukan survei terbatas di SNAKMA Saree dan Rumah Potong Hewan anda Aceh, sapi Aceh betina mempunyai tinggi pundak 105,0 cm; tinggi pinggul 108,2 cm; panjang badan 118,8 cm; lebar dada 22,0 cm; dalam dada 52,9 cm; lebar pinggul 34,4 cm; lingkar dada 131,0 cm; panjang kepala 41,7 cm; dan lebar kepala 14,0 cm. Sapi Aceh jantan mempunyai gumba berukuran sedang (medium), biasanya mempunyai warna cokelat yang lebih gelap pada tubuh bagian depannya dibanding bagian belakang (Otsuka et al. 1980). Sapi Aceh, mempunyai lebar dan tinggi tengkorak lebih pendek dibanding panjangnya dan bagian cerebral tengkorak lebih besar dari bagian mukanya (Hayashi et al. 1982). Otsuka et al. (1980; 1982) telah menggunakan ukuran-ukuran tubuh hewan dalam melakukan perbandingan antara sapi Aceh, Padang, Madura, ali dan Grati, serta hubungannya dengan berbagai bangsa sapi lain di Asia (Thai, atangas, Taiwan, Iloilo, Ilocos, Kedah-Kelantan, Palawan, Hainan, Cebu, Kuchinoshima, Mishima dan Sindhi). Menurut Dwiyanto 1982), penggunaan ukuran tubuh selain untuk menaksir bobot badan dan karkas, dapat digunakan pula untuk memberikan gambaran bentuk tubuh hewan sebagai ciri khas bangsa ternak tertentu. Penanda Molekuler Keragaman suatu spesies dapat didekati dengan menggunakan penanda morfologi dan penanda molekuler (Hillis et al. 1996). Informasi mutu genetik hewan dapat diperoleh dengan penafsiran melalui pencatatan performa produksi dan reproduksi (penanda morfologi) hewan. Penanda morfologi merupakan penanda yang telah banyak digunakan dalam program genetika dasar maupun dalam program praktis pemuliaan, karena penanda ini paling mudah untuk diamati dan dibedakan. Namun demikian, penanda morfologi memiliki beberapa kelemahan dalam aplikasi di lapang, yaitu ketelitian dan ketepatan penentuan

36 16 mutu genetik hewan dengan penanda morfologi sangat rendah, proses seleksi berjalan lambat dan respons yang diperoleh sangat kecil, walaupun dilakukan secara terus-menerus serta terdapat kesalahan dalam pengambilan keputusan dalam penentuan strategi perkawinan. Dengan demikian untuk kegiatan pemuliaan tidak cukup hanya berdasarkan pada informasi karakter morfologi saja, tetapi dengan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi saat ini, maka dapat digunakan alternatif penanda lain yaitu penanda molekuler yang telah relatif mudah untuk dikerjakan (Muladno 2006). Akhir-akhir ini dengan berkembangnya ilmu biologi molekuler dan lebih khusus pada genetika molekuler, studi tentang hubungan kekerabatan atau variasi genetik bangsa ternak sering dilakukan dengan teknik molekuler (Muladno 2002). Penanda molekuler mampu mengidentifikasi perbedaan genetik langsung pada level DNA sebagai komponen genetik. Semua karakter yang ditampilkan baik secara nyata atau tidak oleh satu individu hewan tidak lain adalah pencerminan karakter gen yang dimiliki oleh individu hewan tersebut, atau dapat disebut bahwa semua informasi yang dapat diamati pada suatu individu hewan adalah penanda genetik dari individu tersebut. Karakteristik penanda molekuler ini dapat menanggulangi keterbatasan penggunaan penanda morfologi dapat diminimalisasi dengan menggunakan penanda molekuler dalam aplikasi program pemuliaan hewan karena penanda ini bebas dari pengaruh-pengaruh epistasis, lingkungan dan fenotipe, sehingga dapat menyediakan informasi genetik yang lebih akurat dalam mempelajari genotipe hewan, mempelajari sifat-sifat genetik yang kompleks dan keragaman genetik hewan (Muladno 2006). Sekarang telah ada beberapa penanda DNA untuk menganalisis latar belakang genetik hibrida pada sapi (Nijman et al. 2003). Penanda DNA mitokondria (mtdna) menunjukkan introgresi melalui silsilah maternal (Loftus et al. 1994; Ward et al. 1999; Mezzadra et al. 2005), yang pada sapi menunjukkan sejarah kawanannya (Nijman et al. 2003; Ascunce et al. 2007). Carvajal- Carmona et al. (2003) melakukan penelitian dengan menguji keragaman sekuens daerah kontrol DNA mitokondria dari bangsa sapi Criollo pada tujuh wilayah di Colombia. Penemuan dalam bangsa sapi Criollo disimpulkan bahwa ada perbedaan ancestor untuk beberapa bangsa sapi yang konsisten dengan pusat domestikasi sapi di Afrika Utara. Penanda mikrosatelit digunakan secara luas sebagai penanda genetik di dalam studi populasi dan verifikasi silsilah keturunan (Ibeagha-Awemu dan

37 17 Erhardt 2005; Cervini et al. 2006), terutama karena mikrosatelit mengandung informasi polimorfisme yang tinggi, tersebar luas di dalam genom eukariot (Tautz dan Renz 1984; Cervini et al. 2006). Mikrosatelit sangat efektif dalam mengevaluasi perbedaan di dalam bangsa sapi dan dalam menentukan substruktur populasi (MacHugh et al. 1998). Lebih dari mikrosatelit telah dipetakan dalam genom sapi (Luikart et al. 1999; Cervini et al. 2006) dan beberapa di antara mikrosatelit tersebut digunakan untuk studi genetik populasi serta verifikasi asal-usul (Cervini et al. 2006). Mikrosatelit digunakan Mukesh (2004) untuk mengkaji keragaman genetik dan menetapkan hubungan di antara tiga bangsa sapi zebu India (Sahiwal, Hariana dan Deoni). Sumber spesies genom inti dapat diduga dari alel-alel mikrosatelit khusus spesies (MacHugh et al. 1997). Mikrosatelit bersifat polymorphic tinggi atau hyperpolymorphic dan sangat informatif pada tingkat famili atau hewan persilangan. Oleh karena itu, mikrosatelit sering digunakan sebagai tool yang potensial dalam pemetaan pautan gen (linkage gene) pada organisme yang berbeda. Sifat polimorfisme yang tinggi ini memungkinkan individu-individu akan menjadi heterozigot dan karenanya akan lebih mudah untuk menelusuri pewarisan suatu penanda pada penelusuran keluarga atau famili. Sifat yang polimorfisme ini dan terletak sepanjang genom, maka mikrosatelit merupakan sumber data yang ideal untuk determinasi jarak genetik (Nicholas 1996). DNA adalah polimer dari nukleotida, terdiri atas molekul yang panjang berisi beberapa rangkaian monomer nukleotida yang dirangkai dalam satu urutan berseri dan diorganisasikan dalam bentuk suatu heliks. Setiap nukleotida itu sendiri adalah suatu molekul yang kompleks terdiri tiga komponen yaitu (1) gula, (2) basa nitrogen; dan (3) asam phosphat. Gula pada DNA adalah suatu pentosa (dengan lima atom carbon) yang berbentuk cincin dikenal sebagai 2 -deoxyribose. asa-basa nitrogen pada DNA adalah berstruktur satu ataupun dua cincin. asa-basa tersebut terdiri atas purine (Adenine dan Guanine) dan pyrimidine (Thymine dan Cytosine) (Duryadi 2005). Hewan memiliki total untaian DNA dengan ukuran kira-kira sebesar 3x10 9 basa nukleotida, dengan 10% dari untaian DNA merupakan gen sedangkan sisanya bersifat sebagai DNA pengisi. Struktur DNA pengisi ini terdiri atas ulangan yang bersifat khas dan unik. Tingginya persentase urutan berulang pada total DNA menandakan tingkat kompleksitas DNA tersebut (Muladno 2006).

38 18 DNA sebagai unit keturunan terkecil terdapat pada semua makhluk hidup mulai dari mikroorganisme sampai organisme tingkat tinggi seperti manusia, hewan dan tanaman. DNA terdapat dalam sel terdiri atas DNA inti sel dan DNA sitoplasma. DNA sitoplasma berupa DNA mitokondria dan DNA kloroplast (Muladno 2002). Genom inti dan sitoplasmik ini menjadi karakter organisme sehingga dapat dijadikan sebagai acuan dalam perbandingan ciri baik kesamaan maupun perbedaannya. Semakin dekat kekerabatan pada tingkat takson maupun tingkatan keturunan (lineage) dari organisme tersebut, maka semakin besar kesamaan pada tingkatan molekulnya. Hal demikian ini yang menjadi dasar perunutan hubungan evolusi dan asal-usul organisme (Duryadi 2005). DNA Mitokondria Organisme eukariot termasuk ternak domestik, sumber DNA dapat diperoleh dari organel-organel sitoplasmik antara lain DNA mitokondria. DNA mitokondria memiliki karakteristik sebagai molekul DNA yang diturunkan secara utuh tanpa adanya rekombinasi, memiliki molekul dengan ukuran kecil/pendek yang susunannya berbeda dengan DNA inti, dan memiliki variasi basa nukleotida yang lebih tinggi dibandingkan DNA inti. Tingginya variasi basa nukleotida disebabkan DNA mitokondria memiliki laju perubahan 5-10 kali lebih tinggi dibandingkan DNA inti (Muladno 2006). Mitokondria memiliki molekul DNA tersendiri dengan ukuran kecil yang susunannya berbeda dengan DNA inti (Duryadi 1994; Lewin 2000). Setiap sel mengandung satu hingga ratusan DNA mitokondria. DNA mitokondria merupakan DNA utas ganda yang berbentuk sirkuler (Duryadi 1994), mengandung sejumlah gen penting untuk respirasi dan fungsi lainnya, sehingga relatif lebih mudah untuk mengisolasi nukleotidanya dari genom (Park dan Moran 1995). Genom mitokondria hewan berukuran relatif kecil dan terdapat dalam jumlah banyak, maka eksplorasi dan penelaahannya lebih mudah (Duryadi 1994). DNA mitokondria (mtdna) mempunyai beberapa kelebihan yang menjadikannya banyak digunakan untuk mengidentifikasi keragaman genetik dan dinamika populasi. eberapa kelebihan tersebut adalah (1) memiliki ukuran yang kompak dan relatif kecil ( pasang basa), tidak sekompleks DNA inti sehingga dapat dipelajari sebagai satu kesatuan yang utuh; (2) berevolusi lebih cepat dibandingkan dengan jelas perbedaan antara populasi dan hubungan

39 19 kekerabatannya; (3) hanya sel telur yang menyumbangkan material mitokondria sehingga mitokondria DNA hanya diturunkan dari induk betina; dan (4) bagianbagian dari genom mitokondria berevolusi dengan laju yang berbeda, sehingga dapat berguna untuk studi sistematika dan penelusuran kesamaan asal-usul (Park dan Moran 1995). DNA mitokondria telah banyak digunakan sebagai penanda molekul untuk studi genetika populasi, penelusuran asal-usul dan pelacakan beberapa penyakit degeneratif, penuaan serta kanker (Wandia 2001). DNA mitokondria telah dikarakterisasi dengan lebih baik pada sebagian besar ternak dan telah digunakan untuk studi evolusi (Subandriyo 2003). Tingkat evolusi dari suatu gen atau bagian DNA yang berbeda merupakan faktor penting yang menentukan penggunaan penanda DNA dalam studi sistematika dan biogeografi. Umumnya, gen-gen yang terkonservasi dengan baik (berevolusi lambat) dapat dijadikan dasar penelusuran asal-usul atau filogeni. Sebaliknya, gen-gen yang tidak terkonservasi dengan baik (berevolusi cepat) dapat digunakan untuk perbandingan galur-galur baru (Duryadi 1994). DNA mitokondria hewan secara umum memiliki jumlah dan jenis gen yang sama yaitu 13 daerah yang mengkode protein (URF1, URF2, URF3, URF4, URF5, URF6, URFA6L, URF4L, Cytochrome Oxidase unit I, Cytochrome Oxidase unit II, Cytochrome Oxidase unit III, Cytochrome-b dan ATPase 6); 2 gen pengkode rrna yaitu 12S rrna dan 16S rrna; 22 gen pengkode trna (Melnick dan Hoelzer 1993; Duryadi 1994), dan perkembangan sekarang ini ke-8 URF adalah diidentifikasikan menjadi gen-gen 7 sub unit NADH-dehidrogenase (ND 1-6 dan ND 4L) dan sisa ATPase 8 (Lewin 2000). Daerah bukan pengkode, hanya terdiri atas daerah kontrol (control region), yang memegang peranan penting dalam proses transkripsi dan replikasi genom mitokondria (Andersson et al. 1981). Pada mamalia, daerah bukan pengkode meliputi daerah bukan pengkode utama yang merupakan tempat awal replikasi H strand (OH) dan transkripsi awal dari kedua unting. Daerah bukan penyandi utama terletak pada wilayah displacement-loop (D-loop). agian lainnya adalah daerah bukan pengkode segmen minor yaitu tempat awal replikasi L strand (OL) yang terletak pada gugus gen trna antara gen CO I dan ND 2 (Ghivizzani et al. 1993). DNA mitokondria mempunyai laju kecepatan mutasi 5 sampai 10 kali lebih cepat dibandingkan dengan DNA inti (rown et al. 1982). Daerah D-loop pada DNA mitokondria memiliki laju perubahan yang lebih tinggi dibandingkan dengan daerah DNA mitokondria lainnya. Sebagai contoh perbedaan panjang fragmen

40 20 D-loop antara unggas dan mamalia cukup tinggi yaitu 348 pb, sedangkan fragmen mtdna yang mengkode protein tidak terlalu banyak berbeda (konservatif). Hal ini dapat dilihat dari fragmen DNA gen ND5, perbedaan maksimum antara unggas dan mamalia sebesar 18 pb. ila dibandingkan dengan DNA inti, mtdna yang mengkode proteinpun masih lebih bervariasi. erdasarkan uraian di atas, maka DNA mitokondria terutama daerah D-loop, sangat baik digunakan untuk analisis keragaman hewan, baik di dalam spesies maupun antarspesies (Muladno 2006). Gambar 1 Skema genom mitokondria (Sumber: ernstein et al. 1995) Teknik eksplorasi dapat dimanfaatkan oleh para biologiawan untuk menggali informasi yang terkandung dalam genom mitokondria. Teknik eksplorasi yang pertama didasarkan pada sekuens basa-basa penyusun genom mitokondria akan memberikan informasi yang sangat lengkap mengenai urutan basa-basanya. eberapa jenis organisme telah diketahui secara lengkap susunan basa-basanya. Alternatif lain yang lebih efisien ialah analisis hanya bagian tertentu dari genom mitokondria (Duryadi 1994). DNA Mikrosatelit DNA mikrosatelit merupakan pengulangan DNA tandem pendek (1-5 basa) pada fragmen DNA. Pengulangan tandem biasanya dinukleotida sederhana (seperti (TG)n) dengan masing-masing dinukleotida yang diulang sekitar sepuluh kali (Montaldo dan Meza-Herrera 1998). Mikrosatelit adalah suatu sekuens yang terdiri atas motif urutan sederhana, tidak lebih dari enam basa panjangnya yang secara tandem diulangi berurutan

41 21 setiap basanya tanpa terganggu oleh adanya basa atau motif lain. Sekuens nukleotida sederhana di- dan tri- yang diulangi secara tandem telah menunjukkan sifat polimorfisme sepanjang genom eukariot (Litt and Luty 1989), berpotensi dimanfaatkan dalam studi penanda-penanda DNA atau pemetaan gen (Navanitbhai 2004). Selain terdapat secara acak di dalam genom, mikrosatelit dengan motif mono-, di-, tri-, dan tetranukleotida ditemukan lokasinya dekat atau di dalam daerah penyandi gen seperti telah dilaporkan pada genom manusia (Litt dan Luty 1989), sapi dan domba (Moore et al. 1992). anyak mikrosatelit yang ditemukan tersebut bersifat sangat polimorfisme sehingga sangat ideal untuk analisis keterpautan. Keterpautan mikrosatelit dengan daerah penyandi genom yang runutan DNAnya cenderung lestari (conserved), juga dapat dimanfaatkan untuk studi perbandingan peta genetika antarspesies (Muladno 2000). Mikrosatelit adalah satu dari tipe DNA berulang yang paling umum dengan motif ulangan nukleotida sederhana dalam bentuk salinan berdampingan (tandem). Mikrosatelit memiliki jumlah yang sangat banyak dan lokasinya tersebar di hampir semua kromosom sehingga sangat ideal untuk menganalisis fenotipe hewan. Satu motif basa terdiri atas 2-5 pb atau 1-6 pb, yang berulang mencapai 100 kali atau lebih. Tingkat variabilitas mikrosatelit memiliki korelasi positif dengan panjang ulangan sekuensnya dengan panjang kurang dari 20 pasang basa, maka kemungkinan hasil analisis mikrosatelit memiliki polimorfik sangat besar. Mikrosatelit termasuk di dalam kelompok urutan berulang yang berjumlah sekitar 0,3% dari total genom. Mikrosatelit dapat dikategorikan sesuai bentuk ulangannya, yaitu (1) ulangan sempurna, terdiri atas sekuens dengan tanpa selang sepanjang ulangannya. Cenderung lebih polimorfik dibandingkan dengan dua jenis mikrosatelit lainnya. entuk ulangan sempurna adalah CACATTAGTCGTGTGTGTGTGTGTGTGTGTGTGTGTGTGTGTGTCGACCA CATA; (2) ulangan tidak sempurna, terdiri atas ulangan dengan satu atau lebih selang pada sepanjang ulangannya. entuk ulangan tidak sempurna adalah CATGGAAAAT ACACACAC CACACACACACACACACACACA GGCTTTGG AT; dan (3) kombinasi keduanya, ulangan sempurna dan tidak sempurna yang bergabung dengan ulangan sederhana sekuens lain. entuk ulangan sempurna adalah GGGAGGGTTT GTGTGTGTGTGTGT GAGAGAGAGAGAGAGA CTGTGTATAT (Muladno 2006). Mikrosatelit terdapat menyebar di dalam genom. ahkan ada kecenderungan bahwa hampir setiap gen sedikitnya mempunyai satu

42 22 mikrosatelit, yang terletak di dalam intron atau di dalam daerah 5 atau 3 yang mengapit sekuens pengkode. Mikrosatelit dideteksi dengan menggunakan PCR, dengan primer yang sesuai dengan DNA sekuens khas yang mengapit ulangan tandem tersebut. Prosedur merunut urutan DNA secara keseluruhan sama dengan prosedur untuk merunut DNA: primer berlabel digunakan, dan pita-pita divisualisasikan baik dengan autoradiografi atau fluoresen, seperti dengan perunutan, deteksi mikrosatelit menjadi automatis (Nicholas 1996). DNA sekuens khas yang sesuai dengan primer hanya terdapat di satu tempat saja dalam genom total. Ini berarti bahwa walaupun unit ulangan mikrosatelit tertentu terdapat pada banyak situs yang berbeda di dalam genom, PCR hanya akan mengamplifikasi satu tempat saja, yaitu tempat yang sekuens pengapitnya sesuai dengan sekuens primer yang digunakan. Panjang produk PCR bervariasi menurut jumlah unit ulangan pada situs tersebut (Nicholas 1996). Panjang masing-masing alel ditentukan oleh PCR yang menggunakan primer oligonukleotida spesifik pengapit sekuens yang diulang (Montaldo dan Meza- Herrera 1998). Lokus-lokus mikrosatelit adalah penanda-penanda pilihan untuk mengetahui hubungan-hubungan evolusi antarpopulasi dan hubungan silsilah antarindividu (Steven et al. 2006). Potensi mikrosatelit sebagai penciri DNA untuk analisis keterpautan telah banyak diketahui dan didokumentasi dengan baik. Penciri ini telah digunakan untuk pemetaan gen pada ternak babi (Muladno 1994; 2000), ayam (Kerje 2003) dan sapi (Ihara et al. 2004), studi kekerabatan, keragaman dan variasi genetik pada domba (Grigaliŭnaitẻet al. 2003), kambing (Mainguy et al. 2005), sapi (MacHugh 1997; Sodhi et al. 2006; Karthickeyan et al. 2006; Armstrong et al. 2006; Pandey et al. 2006) dan kuda (Luis et al. 2007). Dua atau lebih mikrosatelit dapat dianalisis secara bersamaan (Weber dan May 1989; George et al. 1990), membuka peluang baru untuk analisis genetik dari jumlah sampel yang besar. erbagai metode sedang dikembangkan sehingga akan menyederhanakan pendeteksian dan analisis polimorfisme mikrosatelit (Litt et al. 1993). Suatu atribut yang sangat penting adalah polimorfisme dapat dideskripsikan sesuai jumlahnya, sehingga penanganan data dapat dianalisis secara komputerisasi. Keuntungan lain adalah bahwa sekuens pada analisis mikrosatelit dapat dilakukan antarkolaborator. Hal ini akan memperjelas hasil yang sempurna dari pembeda bangsa dan hal itu tidak ada

43 23 kesukaran untuk mengidentifikasi populasi suatu bangsa dengan yang memiliki alel-alel spesifik (Navanitbhai 2004). Praktik penggunaan mikrosatelit sebagai marker adalah sangat mudah penanganannya. Pertukaran marker antarlaboratorium, termasuk dalam proyek pemetaan gen hanya memerlukan pertukaran dari sekuens nukleotidanya yang digunakan sebagai primer dalam PCR. Proses ini bisa ditransmisikan secara elektronik melalui komputer, sehingga dalam hal ini tidak diperlukan pertukaran klon rekombinan antarlaboratorium. Penggunaan langsung secara fisik mikrosatelit dari sisipan klon yang besar kepada kromosom individual dengan menggunakan teknik seperti in situ hybridization telah meningkatkan keuntungan mikrosatelit sebagai marker dalam konstruksi peta genetik. Studi keterpautan gen dengan demikian tidak diragukan harus dikonsentrasikan pada penggunaan mikrosatelit (Muladno 1994). Teknik Penelitian DNA DNA terdapat di dalam sel organisme, oleh karena itu seluruh bagian tubuh maupun organ organisme dapat dijadikan sebagai sumber untuk mendapatkan dan mengisolasi DNA. Pada prinsipnya, untuk mendapatkan DNA dimulai dari ekstraksi dan purifikasi DNA, pengecekan kualitas (konsentrasi) dan kuantitas DNA melalui alat spektrofotometer. Evaluasi kualitas DNA hasil purifikasi dapat pula dilakukan dengan gel agarose (Duryadi 2005) dengan standar konsentrasi tertentu. Menurut Muladno (2002), molekul DNA dikatakan murni apabila rasio antara nilai OD 260 dan nilai OD 280 pada sampel DNA diukur melalui spektrofotometer berkisar antara 1,8-2,0. Apabila konsentrasi DNA yang diukur terlalu kecil, seringkali nilai rasio tersebut sulit digunakan sebagai patokan dalam menentukan tingkat kemurniannya. Ekstraksi DNA pada organisme eukariot (manusia, hewan dan tumbuhan) dilakukan melalui proses penghancuran dinding sel (lysis of cell walls), penghilangan protein dan RNA (cell digestion), pengendapan DNA (precipitation of DNA) dan pemanenan. Prinsip dasar ekstraksi DNA adalah serangkaian proses untuk memisahkan DNA dari komponen-komponen sel lainnya. Hasil ekstraksi tersebut merupakan tahapan penting untuk langkah berikutnya. (Sulandari dan Zein 2003). Memperbanyak DNA target salah satunya melalui teknik PCR (Polymerase Chain Reaction). PCR merupakan suatu reaksi in vitro untuk menggandakan

44 24 jumlah molekul DNA pada target tertentu dengan cara mensintesis molekul DNA baru yang berkomplemen dengan molekul DNA target tersebut dengan bantuan enzim dan oligonukleotida sebagai primer dalam suatu thermocycler (Muladno 2002). Pada suhu o C, DNA mengalami denaturasi. Apabila suhunya diturunkan antara o C terjadi proses penempelan primer (annealing) (Sulandari dan Zein 2003). Pada suhu berkisar antara (biasanya) 50 o C sampai dengan 60 o C, primer forward yang runutan nukleotidanya berkomplemen dengan salah satu untai tunggal akan menempel pada komposisi komplemennya, demikian juga primer reversenya akan menempel pada basa tunggal lainnya. Setelah kedua primer tersebut menempel pada posisinya masing-masing, enzim polymerase mulai mensintesis molekul DNA baru yang dimulai dari ujung 3 -nya masing-masing primer. Sintesa molekul DNA baru (ekstensi) ini terjadi pada suhu 72 o C. Proses dari denaturasi-penempelan-ekstensi disebut sebagai satu siklus. Proses PCR biasanya berlangsung siklus (Muladno 2002). Umumnya setelah proses siklus PCR selesai, ditambah post elongasi selama 5-10 menit pada suhu 72 o C agar semua hasil PCR berbentuk untai ganda (Sulandari dan Zein 2003). Hasil PCR dapat dilihat dengan melakukan elektroforesis pada gel agarose untuk memisahkan dan mengidentifikasi fragmen DNA sesuai dengan ukurannya. Prinsip dasarnya adalah jika molekul DNA, yang bermuatan negatif, ditempatkan pada penghantar listrik (buffer), molekul tersebut akan bergerak menuju ke muatan positif. Molekul DNA yang berukuran kecil akan bergerak lebih cepat daripada yang berukuran besar. Ukuran fragmen DNA hasil elektroforesis dapat diketahui dengan menggunakan penanda ukuran (marker) yang salah satunya didapat dari λyang telah dipotong oleh enzim restriksi (Dawson et al. 1996). Suatu terobosan utama dalam genetika molekuler adalah perkembangan metode mensekuens potongan DNA secara cepat (Muladno 2002). Ada dua metode dalam sekuensing: metode Sanger atau dideoxy atau chain-terminating dan metode Maxam-Gilbert atau chemical, dengan metode yang pertama lebih umum digunakan (Nicholas 1996). Tiap metode meliputi pembuatan serangkaian rangkaian tunggal berlabel dengan panjang bervariasi, yang dimulai dari salah satu ujung fragmen yang sedang disekuens (Nicholas 1996; Duryadi 2005). Elektroforesis dari rangkaian-rangkaian tersebut dalam gel poliakrilamida memisahkan rangkaian-rangkaian itu berdasarkan ukuran, yang menghasilkan

45 25 tangga pita (ladder) berlabel, dengan tiap pita mewakili tersekuensnya satu basa. Jika pelabelan bersifat radioaktif, gel tersebut kemudian dikeringkan dan dilekatkan pada film X-ray, yang mencatat keberadaan tiap pita pada autoradiograf yang dihasilkan (Nicholas 1996). elakangan ini penggunaan label memakai bahan fluoresen yang diaktifkan dengan sinar laser akan menggantikan pelabelan dengan bahan radioaktif. Apabila pita-pita telah dapat divisualisasikan dengan menggunakan cara pelabelan apapun, maka basa-basa nukleotida pada fragmen DNA dapat dibaca langsung dari urutan pita yang tampak (Duryadi 2005). Proses yang lebih panjang dihasilkan dengan menggabungkan sekuens yang diperoleh dari fragmen yang overlap (Nicholas 1996). Proses sekuensing secara keseluruhan telah berkembang menjadi otomatis, dan data sekuens terus dikumpulkan dengan kecepatan yang semakin meningkat. Database seperti Genank (USA) dan EML Data Library (Eropa) telah didirikan yang secara spesifik mencatat data tersebut, dan akses online ke database itu tersedia di seluruh dunia. Ada banyak aktivitas yang memerlukan informasi sekuens, sebagai contoh adalah untuk menelusuri data sekuens, untuk mencari open reading frame, yang menunjukkan gen berstruktur dan merupakan salah satu cara menemukan gen yang belum diketahui. Penggunaan penting lainnya dari data sekuens adalah dalam membandingkan sekuens dari gen yang sama pada spesies yang berbeda, yang memungkinkan pohon evolusionari dapat dibuat (Nicholas 1996).

46 26 MATERI DAN METODE Penelitian Lapang Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian lapang untuk koleksi data fenotipik dilakukan di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam pada bulan Pebruari sampai Juni Lokasi penelitian meliputi Kabupaten Aceh esar (5 kecamatan dan 6 desa), Kota anda Aceh (4 kecamatan dan 6 desa), Kabupaten Pidie (3 kecamatan dan 4 desa), dan Kabupaten Aceh Utara (4 kecamatan dan 9 desa) (Gambar 2 dan Lampiran 1). anda Aceh Aceh esar Pidie Aceh Utara Gambar 2 Lokasi pengambilan sampel data fenotipik sapi Aceh Materi Penelitian Penelitian ini menggunakan sapi Aceh yang merupakan sapi lokal yang hidup di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam. Penentuan sampel sapi secara klaster sampling, yaitu pertama menentukan kelompok kecamatan dan selanjutnya menentukan kelompok desa. Sebanyak 100 ekor sapi jantan dan betina diambil dari masing-masing lokasi (kabupaten atau kota), sehingga diperoleh keseluruhan sampel adalah 400 ekor (131 ekor jantan dan 269 ekor betina).

47 27 Peralatan yang Digunakan Peralatan penelitian yang digunakan yaitu tongkat ukur ketelitian 0,1 cm (FHK stainless steel buatan Australia); pita ukur ketelitian 0,1 cm (Gordas buatan Australia); jangka sorong stainless steel buatan Jerman, kamera digital Samsung Digimax 3.2 pixel, dan tali sabut pengikat sapi. Pengambilan Sampel Data Kuantitatif dan Kualitatif Pengumpulan data fenotipik dilakukan bersamaan dengan pengambilan sampel darah. Koleksi data dimulai dengan pencatatan jenis kelamin dan umur sapi serta nama pemiliknya. Umur sapi penelitian ditentukan berdasarkan hasil wawancara dengan pemiliknya dan hasil pengamatan terhadap pergantian dan pergesekan gigi seri. Sapi dengan gigi seri belum berganti dikode I 0 (berumur kurang dari atau sama dengan satu tahun) tidak digunakan dalam penelitian ini, dikodekan I 2, I 4, I 6 dan I 8 masing-masing adalah sapi yang berumur 1-1,5; 2-2,5; 3-3,5; dan 4-6 tahun. Selanjutnya sapi-sapi dengan kode masing-masing dimasukkan dalam kelompok umur 1, 2, 3 dan 4 tahun. agian-bagian permukaan tubuh yang diukur yaitu (Gambar 3) (1) lingkar dada (Li_Da), diukur melingkar tepat di belakang scapula, dengan menggunakan pita ukur dalam cm; (2) lebar dada (Le_Da), diukur antara tuberositas humeri sinister dan dexter, dengan menggunakan tongkat ukur dalam cm; (3) dalam dada (Da_Da), diukur dari bagian tertinggi pundak sampai dasar dada, dengan menggunakan tongkat ukur dalam cm; (4) tinggi pundak (Ti_Pu), diukur dari bagian tertinggi pundak melalui belakang scapula tegak lurus ke tanah, dengan menggunakan tongkat ukur dalam cm; (5) tinggi pinggul (Ti_Pi), diukur dari bagian tertinggi pinggul secara tegak lurus ke tanah, dengan menggunakan tongkat ukur dalam cm; (6) lebar pinggul (Le_Pi), diukur jarak lebar antara kedua sendi pinggul dengan menggunakan tongkat ukur dalam cm; (7) panjang badan (Pa_a), diukur dari tuber ischii sampai dengan tuberositas humeri, dengan menggunakan tongkat ukur dalam cm; (8) lingkar paha (Li_Pa), diukur pada pangkal paha melalui vastus lateralis, dengan menggunakan pita ukur dalam cm; (9) panjang ekor (Pa_Ek), diukur pada pangkal sampai ujung ekor, dengan menggunakan tongkat ukur dalam cm; (10) lebar ekor (Le_Ek), diukur pada bagian ekor yang terlebar, dengan menggunakan jangka sorong dalam cm; (11) panjang kepala (Pa_Ke), diukur pada posisi tengah kepala di antara dua tanduk sampai ke bagian mulut menghitam, menggunakan pita ukur dalam cm; (12)

48 28 lebar kepala (Le_Ke), diukur jarak kedua sisi tulang pipi, dengan menggunakan pita ukur dalam cm; dan (13) panjang tanduk (Pa_Ta), diukur pada pangkal tanduk sampai ujung tanduk mengikuti arah pertumbuhan tanduk dengan menggunakan pita ukur dalam cm (Otsuka et al. 1980; Diwyanto 1982; Mansjoer 1993). Gambar 3 Sketsa bagian-bagian permukaan tubuh sapi Aceh yang diukur Terdapat kesulitan dalam melakukan penimbangan ternak di lokasi penelitian, sehingga untuk menduga bobot badan sapi Aceh digunakan rumus Johnson yang dikemukakan oleh Abubakar dan Harmadji (1980) dalam uji kesesuaiannya dalam dugaan bobot badan sapi Peranakan Ongole. Rumus tersebut ialah W = LG 2 /300 (W = berat badan dalam pound, L = panjang badan dalam inch, G = lingkar dada dalam inch). Selanjutnya dijabarkan menjadi: = LG 2 /10804 ( = bobot badan dalam kilogram, L= panjang badan dalam cm, G = lingkar dada dalam cm). Sifat-sifat fenotipe kualitatif yang diamati yaitu warna, pola warna tubuh, bentuk pertumbuhan tanduk, garis muka dan punggung sapi yang dikelompokkan menurut lokasi, umur dan jenis kelamin. Pengamatan bentuk tanduk dengan cara mengamati arah pertumbuhannya berawal dari kepala sampai ujung tanduk. Setiap individu dicatat arah pertumbuhannya dan dibuat sketsa dari pertumbuhan tanduk tersebut. Analisis Data Pengolahan data menggunakan program Minitab versi (Moore 2004) dan tabulasi data sheet Excel. Analisis data ditabulasikan menurut lokasi sampel, kelompok umur dan jenis kelamin berbeda. Karakterisasi ukuran-ukuran tubuh dilakukan dengan penghitungan nilai rataan ( x ), simpangan baku (s) dan

49 29 koefisien keragaman (KK) dari setiap sifat yang diamati seperti petunjuk Steel dan Torrie (1995). Model persamaannya : x i n x i i 1 n ; s = i ( x i n 1 x ) 2 s x ; dan KK (%) = 100% Keterangan x i adalah ukuran ke-i dari sifat x, n adalah jumlah sampel yang diperoleh dari populasi. Pengujian rataan ukuran-ukuran tubuh antara sapi jantan dan betina digunakan analisis sidik ragam general linear model dengan hanya memasukkan faktor jenis kelamin. Pengolahan data dilanjutkan dengan pengujian terhadap warna, pola warna tubuh, bentuk pertumbuhan tanduk, garis muka dan punggung sapi ditampilkan secara deskriptif.

50 30 Penelitian Laboratorium Daerah D-loop DNA Mitokondria Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian dimulai dari isolasi, ekstraksi dan purifikasi DNA, mendapatkan produk PCR dan sekuensing dilakukan pada bulan Agustus 2005 sampai dengan Agustus 2006 di Laboratorium iologi Molekuler Pusat Penelitian Sumberdaya Hayati dan ioteknologi (PPSH) Institut Pertanian ogor. Sekuensing produk PCR daerah D-loop dilakukan di Laboratorium ioteknologi PT Charoen Pokphand Indonesia, Tbk., Jakarta. Pengambilan sampel darah sapi bersamaan dengan pengambilan sampel data fenotipik. Lokasi pengambilan sampel darah sapi Aceh meliputi Kabupaten Aceh esar (satu sampel masing-masing dari Kecamatan Darul Imarah dan alai Pembibitan Ternak di Kecamatan Indrapuri), Kota anda Aceh (satu sampel masing-masing dari Kecamatan Lueng ata dan Ulee Kareeng), Kabupaten Pidie (satu sampel masing-masing dari Kecamatan Padang Tidji dan Glumpang aro), dan Kabupaten Aceh Utara (satu sampel masing-masing dari Kecamatan aktiya arat dan Cót Girek) (Gambar 4 dan Lampiran 2). Jawa arat Madura anda Aceh Aceh esar Pidie Aceh Utara Sumatera arat ali Gambar 4 Lokasi pengambilan sampel darah sapi Aceh dan sapi outgroup untuk analisis daerah D-loop DNA mitokondria Lokasi pengambilan sampel darah sapi pembanding dilakukan pada dua sampel darah sapi ali dari P3ali (Pulau ali); dua sampel darah sapi Madura

51 31 dari Desa Kambingan Timur, Kecamatan Saronggi, Kabupaten Sumenep, Pulau Madura; satu sampel darah sapi PO dari Laboratorium Ternak Potong dan Kerja, Fakultas Peternakan, Institut Pertanian ogor; dan dua sampel darah sapi Pesisir dari Desa Sungai Liku, Kecamatan Ranah Pasir, Kabupaten Pesisir Selatan, Sumatera arat (Gambar 4 dan Lampiran 2). Pelaksanaan Pengambilan Sampel Darah Pengambilan sampel darah sapi dilakukan dengan menggunakan venojact (none) 5 ml pada vena jugularis dan dimasukkan ke dalam tabung centrifuge 14 ml yang berisi alkohol absolut sebagai pengawet dengan perbandingan 1:1. Semua tabung berisi sampel darah disimpan pada suhu kamar dan dibawa ke Laboratorium iologi Molekuler Pusat Penelitian Sumberdaya Hayati dan ioteknologi (PPSH), Institut Pertanian ogor dengan cara dimasukkan ke dalam kotak es (ice box). ahan-bahan dan Peralatan ahan-bahan pereaksi untuk isolasi DNA, yaitu lysis buffer, digestion buffer, rinse buffer, larutan phenol, larutan chloroform Iso Amyl Alcohol (CIAA), etanol absolut, etanol 70%, larutan TE 1x, larutan TE 10x. ahan-bahan untuk visualisasi DNA hasil isolasi dan produk PCR, yaitu agarose standar, larutan TE 1x, dan pewarna ethidium bromide. Peralatan yang digunakan adalah venojact (none) 5 ml, ice box, centrifuge tube 14 ml, mikropipet P10, P20, P200, P1000 Gilson (France) beserta pipet tipnya, microtube eppendorf 1.5 dan 0.2, gelas ukur, erlenmeyer dan gelas piala. Peralatan elektronik digunakan mikrosentrifus (Eppendorf Centrifuge 5415 C); tungku pemanas (Sybron Thermolyne Nuova II Hot plate); vortex (Maxi Mix Thermolyne Mixer); waterbath (Grand Incubator); kamera pengamatan Mitsubishi video Copy Processor model P91E C dilengkapi monitor (UVI Tec); vacuum dryer (Centri Vap Concentrator, Labconco); magnetic stirrer (Mg 78); electronic balance (AD HX 100); perangkat Submarine Electrophoresis; voltage/current regulator (Kayaki PS100); dan Mesin PCR Parkin Elmer Perancangan Primer Daerah D-loop DNA Mitokondria Daerah D-loop DNA mitokondria diamplifikasi dengan menggunakan primer IDL-F 5 -ACC CCC AAA GCT GAA GTT CT-3 dan IDL-R 5 -GTG CCT TGC

52 32 TTT GGG TTA AG-3, dengan panjang produk 980 bp. Primer tersebut didesain menggunakan software Primer3 ( primer/ primer3_www.cgi) pada sekuens D-loop DNA mitokondria os indicus (sapi Nellore) Genank yang diakses bebas di internet (Nomor Akses AY126697, Miretti et al. 2002) pada alamat Tabel 1 Urutan basa dan suhu penempelan primer untuk mengamplifikasi daerah D-loop sapi penelitian Primer Sekuens Suhu annealing Panjang produk IDL-F 5 ACCCCCAAAGCTGAAGTTCT3 59 o C 980 bp IDL-R 5 GTGCCTTGCTTTGGGTTAAG3 Isolasi dan Purifikasi DNA Total Ekstraksi dan purifikasi DNA total dilakukan menurut metode Sambrook et al. (1989) yang dikembangkan Duryadi (1997), yaitu purifikasi total genom DNA dengan standar fenol, kloroform, iso amil alkohol (Chol-IAA) dan diikuti dengan presipitasi etanol absolut. Tahap pertama dilakukan pencucian sampel darah menggunakan larutan low TE dengan pengulangan tiga kali. Sampel darah beralkohol diambil 250 µl dan dikeringkan, dimasukkan ke dalam eppendorf 1,5 ml dan ditambahkan 500 µl larutan low TE, selanjutnya divortex sampai merata dan disentrifus rpm selama 2 menit. Larutan bagian atas dibuang secara dipipet dan diulangi lagi penambahan low TE. Selanjutnya, endapan divortex merata, divacum selama 10 menit sampai kering. Tahap selanjutnya yaitu sampel yang telah kering ditambahkan 500 µl larutan lysis buffer (Sukrosa 0,32 M, Triton X-100 1% w/v, MgCl 2 5 mm, 1 mm Tris-HCl ph 7,4) dan digerus dengan menggunakan tongkat kaca selama 3 menit. Setelah halus, divortex merata, disentrifugasi rpm selama 1 menit. Supernatan dibuang, endapannya ditambahkan 200 µl larutan rinse buffer (75 mm NaCl, 50 mm Titriplex III/EDTA ph 8,0). Divortex kembali sampai merata dan ditambahkan 500 µl larutan digestion buffer ([STES : NaCl 200 mm, Tris-HCl ph 9,0 50 mm, EDTA ph 8,0 100 mm, SDS 1% mg/ml, Proteinase K 0,5 mg/ml, RNAse 0,1 mg/ml)], enzim: proteinase K 0,5 mg/ml, 25 µl RNAse atau 40 mg/ml jika STES ml). Divortex sesaat hingga homogen dan diinkubasi pada suhu 55 o C selama semalam (±16 jam).

53 33 Lanjutan proses isolasi DNA, disiapkan tiga eppendorf baru yang ditandai sama. Sampel yang telah diinkubasi dibagi dua bagian dengan volume sama (satu bagian dimasukkan ke tube baru) secara dipipet, kemudian ke dalam masing-masing tabung ditambahkan 500 µl larutan fenol. Selanjutnya divortex sampai homogen dan digoyang 20 menit serta disentrifugasi rpm selama 3 menit. Lapisan bagian atas yang bersih diambil dengan pipet dan dimasukkan ke eppendorf baru (dari dua eppendorf dengan sampel sama dijadikan satu kembali) dan ditambah 500 µl larutan CIAA (CHCl 3 dan iso amil alkohol 1:1) serta digoyang 20 menit dan disentrifugasi rpm selama 3 menit. Lapisan bagian atas yang lebih bersih dimasukkan ke eppendorf baru secara dipipet hingga volumenya ±500 µl, kemudian ditambahkan µl (dua kali volume) etanol absolut dan dimiringkan 5-6 kali serta disimpan dalam freezer selama 30 menit. Selanjutnya disentrifugasi rpm selama 5 menit, dilanjutkan dengan pembuangan alkohol dan dicuci dengan penambahan 400 µl alkohol 70%. Setelah disentrifugasi pada rpm selama 3 menit, alkohol dibuang dan tepung berwarna putih (DNA) pada dasar eppendorf dikeringkan dengan arah tutupnya ke bawah. Apabila DNA telah kering, maka ditambahkan 50 µl larutan TE (10 mm Tris-HCl ph 8,0, 1 mm EDTA ph 8,0). Sesudah itu divortex sampai homogen, disentrifugasi pada rpm selama ±4 detik dan diinkubasi pada 37 o C selama 15 menit serta disimpan dalam freezer sampai saat digunakan. Elektroforesis untuk Visualisasi DNA Hasil Isolasi Disiapkan gel, yaitu agarose 0,6 g ditambah larutan 1xTE 50 ml dan 50 ml aquades steril. Setelah campuran tersebut dipanaskan sampai mendidih, suhu diturunkan dengan cara pengadukan menggunakan stirrer dan ditambahkan 2,5 µl ethidium bromide. Selanjutnya larutan tersebut dituang ke dalam bak cetakan gel (baki) dan dipasang sisir pembuat sumur pada dudukannya. Setelah 45 menit, sisir dilepas perlahan-lahan dan gel ditempatkan di dalam bak alat elektroforesis dan dituang 1x buffer TE ke dalam bak hingga sekitar 1 mm di atas permukaan gel. Sumur gel siap digunakan (maksimal 12 sumur). Tergantung jumlah sampel dan kapasitas sumur, diambil 1 µl loading dye dengan pipetor dan dicampur merata dengan 5 µl sampel DNA uji di atas plastik cling, dimasukkan ke dalam sumur gel. Apabila sumur-sumur telah terisi dengan DNA-DNA uji, maka perangkat elektroforesis ditutup dan dihidupkan aliran listrik

54 34 pada tegangan 90 volt selama 30 menit. Pengamatan DNA dilakukan melalui video copy processor model P91E C, monitor LCD, UVI Tec. Apabila pita-pita DNA pada gel terlihat tebal dan bersih, maka DNA tersebut tergolong bebas kontaminasi dan berkualitas baik. Amplifikasi Daerah D-loop DNA Mitokondria Daerah D-loop diamplifikasi melalui Polymerase Chain Reaction (PCR). Setiap reaksi PCR dibuat volume larutan 50 µl dengan komposisi 5 µl 10x buffer PCR; 2,5 µl MgCl 2 (25 mm); 1 µl dntp (40 mm); 0,25 µl Taq Polymerase (5 unit/µl) (Promega PCR Core System I no.cat.m7660, Madison, WI, USA); 1 µl primer F (20 picomol/ µl); 1 µl primer R (20 picomol/µl) (Amersham); 1-3 µl DNA total sebagai DNA cetakan (17,44-413,51 ng/µl); dh 2 O (Invitrogen) sampai volume 50 µl. Pencampuran selalu dilakukan penambahan akhir Taq DNA Polymerase. Kondisi PCR untuk mengamplifikasi produk PCR adalah, pra PCR: denaturasi 94 o C selama 2 menit; PCR: 94 o C denaturasi 30 detik, 59 o C annealing 45 detik dan 72 o C elongasi 1 menit sebanyak 35 siklus; dan post PCR: ekstensi 72 o C selama 5 menit dan terakhir 4 o C suhu penyimpanan. Kualitas produk PCR diketahui dengan cara dimigrasikan pada gel agarose 1,2% dalam buffer 1xTE tegangan 90 volt selama 45 menit. Pengamatan dilakukan dengan bantuan video copy processor model P91E C, monitor LCD, UVI Tec, setelah diwarnai dengan ethidium bromide. Penunjuk ukuran produk PCR digunakan penanda standar 100 bp DNA leader. Penentuan Sekuens Nukleotida Penentuan sekuens nukleotida daerah D-loop dilakukan di Laboratorium Molekuler DNA PT Charoen Pokphand Indonesia, Tbk. Tabung eppendorf berisi produk PCR dibawa ke Laboratorium tersebut dalam kondisi dingin dengan memasukkannya ke dalam kotak es berpendingin ice pack. Sampel produk PCR dimurnikan dengan menggunakan QIA-Quick PCR Purification Kit (Qiagen). Sampel produk PCR yang telah dipurifikasi diukur konsentrasinya menggunakan spektrofotometer (UV-VIS Spectrophotometer- Shimizu) pada =260 nm. Selanjutnya dipergunakan sebagai template untuk reaksi penentuan runutan nukleotida.

55 35 Produk PCR diamplifikasi dengan menggunakan igdye Terminator v.3.1 Cycle Sequencing Kit (Applied iosystems, USA) dalam mesin PCR. Penggunaan primer dan siklus sekuensing sama seperti untuk PCR normal. Kondisi untuk reaksi penentuan sekuens adalah denaturasi 94 o C selama 2 menit; selanjutnya denaturasi 94 o C selama 30 detik, 59 o C annealing 45 detik, dan 72 o C elongasi 1 menit sebanyak 35 siklus; dan diakhiri ekstensi 72 o C selama 5 menit. Kelebihan dari bahan reaksi igdye Terminator dan primer dibuang dari produk siklus sekuensing berdasarkan petunjuk penggunaan pada AI Prism Avant Genetic Analyzer, yaitu dengan tahapan: sebanyak 20 µl produk, ditambahkan 5 µl EDTA 125 mm dan 60 µl alkohol absolut. Tabung digoyanggoyangkan beberapa kali, diinkubasi pada suhu kamar selama 15 menit. Selanjutnya, disentrifugasi 6000 rpm pada suhu 4 o C selama 30 menit. Supernatan dibuang dan ditambahkan 60 µl alkohol 70%, disentrifugasi 4500 rpm pada suhu 4 o C selama 15 menit dan supernatan dibuang. Pada tahap berikut diulangi penambahan alkohol 70% sebanyak 60 µl dan disentrifugasi 4500 rpm pada suhu 4 o C selama 15 menit. Tabung dikeringkan dalam alat penguapan selama 2 menit dan ditambahkan 10 µl Hi-di Formamide. Selanjutnya didenaturasi pada suhu 95 o C selama 4 menit dan segera ditempatkan di atas es selama 5 menit. Analisis sekuensing DNA menggunakan AI Prism 3100-Avant Genetic Analyzer. Sebanyak 10 µl produk-produk PCR yang telah dipurifikasi dan didenaturasi dalam siklus sekuensing dimasukkan ke dalam satu plate yang mempunyai 96 sumur. Dibuat plate rekaman di dalam program software koleksi sekuensing. Mesin sekunser dijalankan sampai electropherogram menunjukkan bahwa semua fragmen DNA mengalir sepanjang kapiler array dan dideteksi dengan pendeteksi laser. Electropherogram akan muncul dan kini tersedia bagi analisis bioinforrnatika. Analisis Data Pensejajaran runutan basa nukleotida D-loop dilakukan dengan menggunakan software Squint Alignment Editor versi 1.02 dari situs ioinformatics Institute pada alamat dan software program MEGA versi 4.0 eta Release (Tamura et al. 2007). Hasil analisis program MEGA diperoleh matriks jarak genetik (D) 2 parameter Kimura berdasarkan persamaan basa nukleotida, dan pohon filogeni digunakan metode bootstrapped Neighbor-Joining dengan 1000 kali pengulangan.

56 36 DNA Mikrosatelit Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian DNA untuk genotiping mikrosatelit dilakukan mulai tanggal 24 April sampai dengan 14 Juni 2007 di Laboratorium Molekuler dan Genetik Husdjursgenetik SLU, Uppsala, Swedia. Pengambilan sampel darah sapi bersamaan dengan pengambilan sampel darah untuk analisis D-loop mtdna. Empatpuluh sampel darah sapi Aceh dikoleksi dari masing-masing lokasi yaitu Kabupaten Aceh esar (10 jantan, 30 betina); Kota anda Aceh (11 jantan, 26 betina); Kabupaten Pidie (15 jantan, 25 betina); dan Kabupaten Aceh Utara (25 jantan, 15 betina), sehingga keseluruhan sebanyak 160 sampel (Gambar 5 dan Lampiran 3). Sampel pembanding dikoleksi 10 sampel darah sapi ali dari P3ali (Pulau ali); dua sampel darah sapi Madura dari Desa Kambingan Timur, Kecamatan Saronggi, Kabupaten Sumenep, Pulau Madura; dua sampel darah sapi PO dari Laboratorium Ternak Potong dan Kerja, Fakultas Peternakan, Institut Pertanian ogor; dan dua sampel darah sapi Pesisir dari Desa Sungai Liku, Kecamatan Ranah Pasir, Kabupaten Pesisir Selatan, Sumatera arat (Gambar 5 dan Lampiran 4). Jawa arat Madura anda Aceh Aceh esar Pidie Aceh Utara ali Sumatera arat Gambar 5 Lokasi pengambilan sampel darah sapi Aceh dan sapi outgroup untuk analisis DNA mikrosatelit

57 37 Isolasi, ekstraksi dan purifikasi DNA total dilakukan bersamaan pada saat isolasi DNA total untuk analisis daerah D-loop DNA mitokondria di Laboratorium iologi Molekuler Pusat Penelitian Sumberdaya Hayati dan ioteknologi (PPSH), Institut Pertanian ogor. Pelaksanaan Pengambilan Sampel Darah Pengambilan sampel darah sapi dilakukan dengan menggunakan venojact (none) 5 ml pada vena jugularis dan dimasukkan ke dalam tabung centrifuge 14 ml yang berisi alkohol absolut sebagai pengawet dengan perbandingan 1:1. Semua tabung berisi sampel darah disimpan pada suhu kamar dan dibawa ke Laboratorium iologi Molekuler Pusat Penelitian Sumberdaya Hayati dan ioteknologi (PPSH), Institut Pertanian ogor dengan cara dimasukkan ke dalam kotak es (ice box). ahan-bahan dan Peralatan ahan pereaksi untuk PCR digunakan dari Applied iosystems, Taq polymerase Gold, uffer tanpa MgCl 2, 20 mm dntp, 20 mm MgCl 2, primer M13 oligo (20 mm M13 FAM, 20 mm M13 PET, 20 mm M13 NED, 20 mm M13 VIC), 20 µm primer F dan R. Mesin untuk menghitung konsentrasi DNA digunakan NanoDrop ND 1000 Spectrophotometer. Mesin PCR digunakan GeneAmp PCR System 9700 Applied iosystems. Mesin genotiping mikrosatelit digunakan AI Applied iosystems HITACHI 3100 Genetic Analyzer dan mesin untuk denaturasi produk PCR sebelum masuk mesin genotiping digunakan DNA Engine Gradient Cycler, MJ Research PTC 200 Peltier Thermal Cycler. Primer Mikrosatelit Penelitian ini menggunakan 16 lokus mikrosatelit sebagai penanda molekul. Penanda-penanda dipilih berdasarkan yang direkomendasikan dalam ishop et al. (1994), Vaiman et al. (1994) dan Sodhi et al. (2006) karena dapat menunjukkan polimorfisme pada sapi. Polimorfisme masing-masing lokus mikrosatelit diungkapkan dengan menggunakan sepasang primer mikrosatelit sapi. Primer mikrosatelit tersebut adalah M1818, INRA005, CSRM60, M2113, HEL5, HEL9, HEL13, INRA63, INRA35, HEL1, ETH225, ETH10, CSSM66, M1824, ILSTS006 dan ILSTS005 (Lampiran 15).

58 38 Amplifikasi Lokus Mikrosatelit Mikrosatelit diamplifikasi melalui Polymerase Chain Reaction (PCR). Setiap reaksi PCR dibuat volume 10 µl dengan komposisi reaksi PCR mengandung 1 µl 1x buffer PCR; 1 µl MgCl 2 (20 mm); 0,2 µl dntp (20 mm); 0,1 µl primer F (20 µm); 0,5 µl primer R (20 µm); 0,5 µl primer M13 oligo (FAM, VIC, PET atau NED); 0,2 µl Taq Polymerase (0,25 U) (AI Applied iosystems); 4,5 µl dh 2 O; dan 2 µl DNA (5 ng/µl). Pencampuran selalu dilakukan penambahan akhir Taq DNA Polymerase. Langkah denaturasi pada suhu 95 o C selama 10 menit dilanjutkan dengan 14 siklus langkah denaturasi pada suhu 95 o C selama 30 detik, 30 detik annealing o C (-1 o C/siklus) hingga tercapai temperatur primer yang optimal touchdown cycle profile, dan langkah elongasi pada suhu 72 o C selama 30 detik. Amplifikasi terakhir terdiri atas 30 siklus langkah denaturasi pada suhu 95 o C selama 30 detik; 30 detik annealing pada suhu primer optimal 52 o C; 30 detik elongasi pada suhu 72 o C kemudian dilanjutkan dengan 7 menit langkah ekstensi akhir pada suhu 72 o C dan suhu penyimpanan 4 o C. Elektroforesis Produk PCR Disiapkan plate yang mempunyai 96 sumur dan dimasukkan 12 µl dari campuran 25 µl LIZ Size Standard 500 bp dan 1200 µl Hi-di Formamide (tergantung jumlah sampel) pada setiap sumur. Produk PCR 1 µl masing-masing sampel dimasukkan ke dalam sumur yang telah berisi campuran LIZ Size Standard dan Hi-di Formamide (12 µl). Plate ditutup dengan grey rubber-lid dan didenaturasi pada suhu 95 o C selama 4 menit. Plate kemudian diapit dengan tray spesifik hitam pada bagian bawah dan tray spesifik putih pada bagian atas yang akan ditempatkan di dalam mesin AI Ada dua tempat yang dapat ditempatkan di dalam mesin tersebut. Software mesin dijalankan sebelum dihidupkan mesin. Apabila semua fitur program menunjukkan tanda hijau, maka dapat dimulai impor sample sheet untuk Plate Manager sebagai tempat muncul electropherogram. Plate sampel dimasukkan, yaitu ditempatkan di dalam mesin pada posisi A, dan apabila ada dua plate maka plate terakhir pada posisi. Selanjutnya mesin siap dijalankan selama ±4 jam dan mesin akan menunjukkan tanda completed jika proses genotiping telah selesai. Hasil elektroforesis mesin AI dapat dilihat dan dianalisis dengan software GeneMapper versi 4.0 setelah melalui proses elektroforesis dalam mesin Applied

59 39 iosystems HITACHI 3100 Genetic Analyzer dengan ladder LIZ size Standard 500 bp. Software pada layar monitor akan menunjukkan peak dalam bentuk grafik-grafik dengan panjang tertentu dalam base pairs (bp) pada masing-masing sampel, dan ini menunjukkan alel-alel mikrosatelit dalam bentuk ukuran tertentu. Alel homozigot dan heterozigot ditentukan berdasarkan variasi ukuran-ukuran grafik yang ditunjukkan program tersebut. Tampilan grafik yang konsisten satu peak menunjukkan sampel teramplifikasi memiliki satu alel (homozigot), dan sampel yang memiliki dua peak menunjukkan dua alel (heterozigot). Apabila ada tampilan grafik sibuk yang tidak beraturan, ini menandakan hasil yang kosong, dan apabila diperoleh tanda sinyal yang lebih dari dua grafik, maka sampel tersebut tercemar dengan DNA yang lain dan tidak digunakan. Angka pada ordinat X-axis merupakan ukuran alel dalam pasang basa (basepairs) dan angka pada ordinat Y-axis merupakan sinyal warna (label/dye) yang menunjukkan ketinggian puncak-puncak (peak) yaitu intensitas fluoresen dan menunjukkan konsentrasi hasil amplifikasi (Gambar 6). Analisis Data Analisis data alel dilakukan dengan menggunakan software GeneMapper versi 4.0 (Applied iosystems) dan hasil-hasil yang diperoleh dimasukkan ke dalam tabulasi data sheet Excel. Data yang diperoleh dianalisis dengan menggunakan program Arlequin versi 3.11 (Excoffier et al. 2006) yang didownload pada alamat: berdasarkan petunjuk Krafsur et al. (2005), dukungan program Minitab versi 4.13 (Moore 2004) dan data sheet Excel Frekuensi-frekuensi alel, heterozigositas yang dihitung secara langsung dan heterozigositas harapan Hardy-Weinberg dihitung untuk masing-masing penanda sapi penelitian berbasis data frekuensi. Frekuensi alel setiap lokus mikrosatelit dihitung dengan rumus Nei (Nei 1987; Nei dan Kumar 2000). Heterozigositas hitung (observed) diperoleh dari persamaan berikut: i 2 H = 2n(1 x ) /(2n) dengan x i merupakan jumlah masing-masing heterozigot pada lokus i; n adalah jumlah individu yang teramati. i

60 40 Gambar 6 Sinyal fluoresen yang dihasilkan mesin AI Prism 3100 DNA Analyzer (Applied iosystems) yang menunjukkan hasil amplifikasi DNA mikrosatelit dengan menggunakan marker M1818 Heterozigositas harapan (expected) Hardy-Weinberg diperoleh dari frekuensi-frekuensi alel yang teramati: ˆ n H (1 n 1 dengan n adalah jumlah kopi gen di dalam sampel, k adalah jumlah haplotipe, dan p i adalah frekuensi sampel dari haplotipe ke-i. (Nei 1987; Excoffier et al. 2006). Keseimbangan Hardy-Weinberg dievaluasi dengan uji indeks Garza- Williamson (Garza dan Williamson 2001) dalam paket Arlequin, dengan menggunakan persamaan statistika G-W: G-W = k / R+1 k i 1 Pi 2 )

61 41 dengan k adalah jumlah alel yang terdapat pada lokus dalam populasi sampel dan R adalah selisih ukuran alel maksimum dan minimum. Apabila hasil pengujian antara nilai heterozigositas hitung (observed) dan heterozigositas harapan (expected) menunjukkan nilai P (probabilitas) < 5%, maka berbeda nyata, artinya dalam populasi sudah tidak lagi terjadi keseimbangan Hardy- Weinberg. Jarak genetik standar Nei (Ds) digunakan rumus Nei (1987) dengan hitungan dari nilai heterozigositas yang diperoleh dari frekuensi-frekuensi alel. Jxy Ds ln ; r mj 2 Jxx x ij / r Jxx. Jyy j i r j mj 2 Jyy y ij / r ; Jxy x y r ; i r mj ij ij / j i dengan Jxx adalah rataan diversitas seluruh lokus dalam populasi x, Jyy adalah rataan diversitas seluruh lokus dalam populasi y, Jxy adalah rataan jumlah hasil kali frekuensi populasi x dan y seluruh lokus, xij adalah frekuensi alel ke-i lokus ke-j populasi x, yij frekuensi alel ke-i lokus ke-j populasi y, i = alel ke-n, mj = jumlah alel lokus ke-j, dan j = lokus ke-n. Perhitungan jarak genetik dilakukan dengan menggunakan Arlequin. Data matriks jarak genetik hasil Arlequin selanjutnya digunakan untuk membuat pohon filogeni dengan menggunakan metode Neighbor-Joining dalam software program Phylip (phylogeny Inference Package) versi 3.67 dengan aplikasi Neighbor.exe dari petunjuk Felsenstein (2007), hasilnya berbentuk file outtree. Pembacaan dan pengaturan file outtree hasil dari analisis program tersebut digunakan software program MEGA versi 4.0 eta Release (Tamura et al. 2007) dengan pilihan Root on Midpoint di submenu View, yaitu mengikuti pengaturan secara otomat pada pohon filogeni dari hasil analisis daerah D-loop DNA mitokondria.

62 42 HASIL DAN PEMAHASAN Penelitian Lapang Profil Peternak Sapi Aceh umumnya ditangani oleh masyarakat pedesaan dengan sistem tradisional, yaitu peran alam masih dominan, skala usaha kecil, pengadaan bibit, pemberian pakan, pemeliharaan dan perkandangan masih mengikuti cara-cara lama secara turun-temurun. Pengobatan ternak sakit dilakukan sendiri kecuali jika sapi sakit berlanjut, maka akan diupah tenaga kesehatan hewan untuk mengobatinya. Kandang sederhana beratap rumbia dengan dinding dari bahan kayu atau daun kelapa umumnya dibangun di dalam pekarangan rumah atau kebun milik peternak. Pada saat menjelang malam tiba, peternak membuat perapian sampai mengeluarkan asap di dalam kandang sapi untuk mengusir nyamuk dan memberi kehangatan bagi ternak sapinya. Sebelum diberlakukan Operasi Jaring Merah di Aceh pada tahun 1990, apabila dilakukan perjalanan darat di malam hari dari anda Aceh melalui bagian timur Aceh menuju perbatasan dengan Sumatera Utara, maka akan ditemui sapi Aceh beristirahat sepanjang jalan negara lintas Sumatera (karena kondisi badan jalan beraspal yang hangat dipanasi sinar matahari pada siang hari). Pemeliharaan sapi masih merupakan usaha sampingan selain sebagai petani sawah dan ada juga peternak merangkap pedagang atau tukang dalam jumlah kecil. Tenaga kerja untuk memelihara sapi berasal dari keluarga. Walaupun demikian, dari pemeliharaan sapi tersebut (low input) telah menambah pendapatan bagi peternak untuk biaya sekolah anak dan kesehatan. ahkan beberapa peternak dapat membangun rumah serta menunaikan ibadah haji dari hasil beternak sapi Aceh. Selain sebagai sumber pendapatan dan tabungan keluarga, motivasi beternak dilakukan juga sebagai sumber tenaga kerja untuk mengolah lahan pertanian (menarik bajak) dan alat transportasi (pedati) untuk mengangkut barang material. Namun sekarang, tujuan pemeliharaan sapi Aceh sebagai tenaga kerja semakin jarang dijumpai karena semakin banyak tenaga sapi digantikan dengan menggunakan tenaga mesin. Kepemilikan sapi di Aceh umumnya merupakan warisan keluarga secara turun-temurun, pembelian atau milik orang lain. Ada aturan bagi hasil dalam usaha pemeliharaan sapi di Aceh. Apabila sapi yang dipelihara merupakan sapi betina milik orang lain untuk menghasilkan anak, maka anak sapi yang lahir

63 43 pertama dihargakan satu bagian (0,25%) bagi pemilik modal dan tiga bagian (0,75%) untuk pemelihara sapi, dan anak yang lahir berikutnya dibagi dua bagian dengan perbandingan 1:1. Apabila sapi jantan milik orang lain yang dipelihara untuk digemukkan, maka perjanjian dari hasil penjualan sapi, labanya dibagi dua bagian yang sama yaitu, separuh (50%) untuk pemilik modal dan separuhnya lagi (50%) untuk pemelihara sapi. Masyarakat peternak yang memelihara sapi Aceh di Nanggroe Aceh Darussalam mempunyai kisaran umur tahun dengan pengalaman beternak antara 3-35 tahun. Pendidikan para peternak adalah 43,7% setingkat Sekolah Dasar, 28,5% setingkat Sekolah Menengah Umum Tingkat Pertama, 18,5% setingkat Sekolah Menengah Umum Tingkat Atas dan 9,3% sarjana (Tabel 2). Tabel 2 Profil peternak sapi Aceh Karakteristik Peternak sapi Aceh Umur rata-rata (tahun) Pengalaman beternak (tahun) 3-35 Jenis kelamin (%) - Laki-laki 95 - Perempuan 5 Pendidikan peternak (%) - SD 43,70 - SLTP 28,50 - SLTA 18,50 - Sarjana 9,30 Jumlah sapi peliharaan (%) 5,00-2 ekor 50,00 - Antara 3-5 ekor 46,25 - > 5 ekor 3,75 Pemelihara sapi (%) - etina 51,25 - Jantan 28,75 - Jantan dan betina 20,00 Jumlah sapi yang dipelihara peternak di Aceh, terbanyak yaitu memelihara dua ekor sapi (50%) dan ada pula yang memelihara 3-5 ekor atau lebih dengan persentase yang semakin kecil. Peternak yang memelihara sapi Aceh betina merupakan jumlah yang terbanyak dijumpai yaitu sebesar 51,25%, dan yang memelihara sapi jantan ialah 28,75% serta peternak yang memelihara sapi jantan dan betina ialah 20%. Pemeliharaan sapi di Kabupaten Aceh esar dan Kota anda Aceh, umumnya dilakukan dengan cara mengikat sapi di lapangan rumput atau lahan

64 44 sawah dan ditemui juga sapi-sapi yang digembalakan. Para peternak di daerah Seulimum, Jantho dan sekitarnya yang bertempat tinggal dekat bukit, mengembalakan sapi-sapinya sampai ke kaki pegunungan bukit barisan. Namun, sapi jantan umumnya digemukkan dalam kandang secara semi-intensif (kereman), yaitu dilakukan pemeliharaan sapi di dalam kandang dalam jangka waktu tertentu (beberapa bulan atau tahunan) terus-menerus sesuai keinginan peternak, pemilik modal atau permintaan pasar. Sapi diberikan pakan rumput lapangan, rumput gajah (Pennisetum purpureum) dan rumput raja (Pennisetum purpupoides) serta batang pisang. Kadang-kadang diberikan garam dapur untuk menambah nafsu makan. Pada saat-saat tertentu (2-4 minggu sekali) sapi dikeluarkan dari kandangnya untuk dimandikan serta olah raga. Sapi yang dimasukkan ke kandang penggemukan biasanya telah berumur minimal 1 tahun (telah berganti gigi seri satu pasang) atau ukuran tubuh dan taksiran bobot badan sapi sesuai dengan keinginan peternak. Sapi untuk penggemukan dapat berasal dari pembesaran anak sapi jantan yang dilahirkan sapi induk peliharaannya, sapi bakalan yang dibeli dari luar atau titipan orang lain melalui perjanjian bagi hasil. Permintaan terhadap sapi jantan yang telah digemukkan cenderung meningkat menjelang hari raya keagamaan di Aceh. Umumnya, peternak menjual sapi hasil penggemukan kepada pedagang pengumpul ternak (bahasa Aceh mugéé) atau ke pasar hewan. Hasil yang diterima dari usaha penggemukan sapi jantan relatif lebih cepat dan lebih tinggi harganya dibanding dengan pemeliharaan sapi betina. Jumlah keuntungan yang diperoleh dari hasil penjualan sapi yang digemukkan bergantung pada ukuran dan taksiran pertambahan bobot badan yang dicapai dalam proses penggemukan, lama penggemukan, harga daging serta penampilan tubuh sapi (warna, bentuk dan kondisi tubuh serta tebal tipisnya penumpukan daging). Disamping itu, dalam usaha penggemukan sapi, peternak mendapat keuntungan tambahan dari hasil penjualan pupuk kandang kepada pengusaha tanaman hias dan petani hortikultura. Pada sistem penggemukan sapi di Aceh, ada rutinitas pemeliharaan sapi yang dilakukan menyangkut pemberian pakan berkualitas, membersihkan kandang, pengawasan, pengobatan dan penyediaan bakalan baru dengan segera apabila sapi hasil penggemukan sudah terjual. Umumnya, keadaan kandang untuk sapi penggemukan tertutup rapat dan lebih baik dibanding dengan kandang bagi pemeliharaan sapi betina.

65 45 Pemeliharaan sapi di Kabupaten Pidie dan Aceh Utara, hampir seluruh sapi dilepas pada pagi hari ke lapangan-lapangan rumput atau sawah-sawah yang baru dipanen dan sapi-sapi tersebut membentuk beberapa kelompok. Pemberian pakan untuk sapi Aceh pada saat musim tanam dan musim kemarau hanya mengandalkan jerami padi dan sangat sedikit diberikan rumput segar bahkan rumput kering. Setiap peternak memiliki gubuk tempat penyimpanan jerami padi (bahasa Aceh beurandang jumpung) di dekat rumahnya. Penggemukan sapi Aceh jantan terintegrasi dengan kebun sawit dilakukan oleh peternak di Cót Girek, Kabupaten Aceh Utara. Sapi-sapi dilepas digembalakan sepanjang hari dalam areal kebun sawit yang luas. Kandangkandang sapi dibangun dekat pemukiman penduduk. Pada sore hari, sapi peliharaan kembali ke kandang dan mendapat tambahan pakan rumput gajah (Pennisetum purpureum) yang telah disediakan pemiliknya di kandang masingmasing. Penampilan sapi-sapi penggemukan tersebut cukup baik dan dalam waktu singkat sangat bernilai ekonomis untuk dijual. Ukuran-ukuran Tubuh Rataan ukuran tubuh sapi Aceh yang diukur meliputi lingkar dada, lebar dada, dalam dada, tinggi pundak, tinggi pinggul, lebar pinggul, panjang badan, lingkar paha, panjang ekor, lebar ekor, panjang kepala, lebar kepala, panjang tanduk dan penimbangan bobot badan yang dikelompokkan menurut umur dan jenis kelamin berbeda, tertera dalam Tabel 3 dan Tabel 4. Nilai taksiran bobot badan sapi Aceh diperoleh dari rumus lingkar dada dan panjang badan (bagian metodologi). Rataan bobot badan sapi Aceh dewasa jantan berbeda sangat nyata (P<0,01) dengan sapi Aceh dewasa betina yaitu masing-masing sebesar 176,05 kg dan 158,26 kg. Pertambahan umur sapi, meningkatkan bobot badan secara sangat nyata (P<0,01) (Tabel 3 dan 4). Rataan lingkar dada sapi dewasa jantan (135,25 cm) berbeda sangat nyata (P<0,01) dengan sapi betina (128,52 cm). Demikian juga lebar dada sapi dewasa jantan (27,00 cm) berbeda sangat nyata (P<0,01) dengan sapi betina (24,21 cm). Dalam dada sapi dewasa jantan (48,10 cm) berbeda nyata (P<0,05) dengan sapi betina (45,25 cm). ertambah umur sapi, lingkar dada, lebar dada dan dalam dada meningkat secara sangat nyata (P<0,01).

66 46 Tabel 3 Ukuran-ukuran tubuh dan bobot badan sapi Aceh jantan dengan menggunakan rumus lingkar dada dan panjang badan No. Kelompok umur (tahun) Ukuran Tubuh n x s KK (%) n x s KK (%) n x s KK (%) n x s KK (%) 1 Li_Da ,65 8,30 7, ,30 8,25 6, ,29 6,00 4, ,69 2,28 1,64 2 Pa_a 86 93,42 8,03 8, ,76 5,98 5, ,29 5,18 5, ,69 5,68 5, ,34 25,38 20, ,17 25,58 16, ,06 19,72 11, ,78 12,18 6,35 4 Le_Da 86 23,26 5,42 23, ,59 3,00 12, ,29 3,79 14, ,25 2,65 9,37 5 Da_Da 86 41,20 7,36 17, ,41 3,33 7, ,29 4,03 8, ,50 3,08 6,22 6 Ti_Pu 86 93,77 5,82 6, ,83 4,96 5, ,18 5,04 5, ,56 4,76 4,51 7 Ti_Pi 86 97,70 6,31 6, ,07 6,87 6, ,86 4,06 3, ,25 4,42 4,01 8 Le_Pi 86 25,22 5,93 23, ,67 5,42 20, ,75 4,31 14, ,06 3,16 9,86 9 Li_Pa 84 42,97 5,32 12, ,35 6,70 14, ,89 6,98 14, ,88 8,49 16,06 10 Pa_Ek 84 66,60 9,18 13, ,05 5,21 7, ,79 6,60 8, ,31 5,30 6,60 11 Le_Ek 85 5,09 0,68 13, ,71 0,69 12, ,30 0,77 14,58 8 5,81 0,76 13,14 12 Pa_Ke 85 35,97 3,37 9, ,63 2,31 5, ,57 1,54 3, ,63 1,79 4,40 13 Le_Ke 85 17,57 1,54 8, ,22 1,10 6, ,61 1,15 6, ,75 1,36 6,90 14 Pa_Ta 86 4,69 3,52 75, ,63 4,58 60, ,36 4,70 45, ,19 5,78 38,05 Keterangan : = bobot badan (kg), Li_Da = lingkar dada (cm), Le_Da = lebar dada (cm), Da_Da = dalam dada (cm), Ti_Pu = tinggi pundak (cm), Ti_Pi = tinggi pinggul (cm), Le_Pi = lebar pinggul (cm), Pa_a = panjang badan (cm), Li_Pa = lingkar paha (cm), Pa_Ek = panjang ekor (cm), Le_Ek = lebar ekor (cm), Pa_Ke = panjang kepala (cm), Le_Ke = lebar kepala (cm), Pa_Ta = panjang tanduk (cm); n = jumlah sampel; x = rataan sifat; s = simpangan baku; KK = koefisien keragaman

67 47 Tabel 4 Ukuran-ukuran tubuh dan bobot badan sapi Aceh betina dengan menggunakan rumus lingkar dada dan panjang badan No. Kelompok umur (tahun) Ukuran Tubuh n x s KK (%) n x s KK (%) n x s KK (%) n x s KK (%) 1 Pa_a 61 92,01 7,61 8, ,59 6,10 6, ,04 6,33 6, ,95 6,98 6,71 2 Li_Da ,19 8,94 7, ,69 6,47 5, ,41 8,12 6, ,09 6,62 5, ,70 25,83 22, ,54 19,56 13, ,42 22,9 15, ,19 23,28 14,44 4 Le_Da 61 20,66 3,80 18, ,68 4,36 19, ,18 3,24 13, ,49 3,99 16,28 5 Da_Da 61 39,48 6,89 17, ,46 5,90 13, ,68 5,79 13, ,68 5,90 12,91 6 Ti_Pu 61 92,78 6,51 7, ,10 4,23 4, ,69 4,13 4, ,32 4,59 4,62 7 Ti_Pi 61 96,78 6,38 6, ,66 3,45 3, ,14 4,54 4, ,85 4,25 4,09 8 Le_Pi 61 24,82 3,85 15, ,12 3,98 14, ,41 4,06 14, ,07 3,84 12,78 9 Li_Pa 59 42,48 6,96 16, ,02 6,17 13, ,83 6,55 14, ,00 5,98 13,00 10 Pa_Ek 60 64,93 4,80 7, ,46 5,25 7, ,11 7,75 10, ,96 6,76 9,14 11 Le_Ek 61 4,95 0,62 12, ,16 0,62 11, ,31 0,60 11, ,42 0,59 10,81 12 Pa_Ke 60 35,09 3,21 9, ,16 1,73 4, ,61 1,99 5, ,89 2,44 6,27 13 Le_Ke 60 16,46 1,45 8, ,04 1,52 8, ,32 1,73 10, ,10 1,57 8,67 14 Pa_Ta 60 2,46 2,60 105, ,97 3,92 78, ,30 6,80 73, ,41 6,98 56,25 Keterangan : = bobot badan (kg), Li_Da = lingkar dada (cm), Le_Da = lebar dada (cm), Da_Da = dalam dada (cm), Ti_Pu = tinggi pundak (cm), Ti_Pi = tinggi pinggul (cm), Le_Pi = lebar pinggul (cm), Pa_a = panjang badan (cm), Li_Pa = lingkar paha (cm), Pa_Ek = panjang ekor (cm), Le_Ek = lebar ekor (cm), Pa_Ke = panjang kepala (cm), Le_Ke = lebar kepala (cm), Pa_Ta = panjang tanduk (cm); n = jumlah sampel; x = rataan sifat; s = simpangan baku; KK = koefisien keragaman

68 48 Rataan Tinggi pundak sapi Aceh dewasa jantan lebih tinggi (P<0,05) dibanding sapi dewasa betina, masing-masing 101,50 cm dan 99,19 cm, dan rataan tinggi pinggul sapi dewasa jantan (107,45 cm) nyata lebih tinggi (P<0,01) dibanding sapi betina dewasa (103,70 cm). Tinggi pundak dan tinggi pinggul meningkat sangat nyata dengan meningkatnya umur. Namun, rataan lebar pinggul sapi dewasa jantan (30,60 cm) relatif sama (P>0,05) dengan sapi betina (29,72 cm). Rataan panjang badan sapi dewasa jantan (103,61 cm) hampir sama (P>0,05) dibanding sapi dewasa betina (102,91 cm). Pertambahan umur sapi, meningkatkan panjang badan sangat nyata (P<0,01). Rataan lingkar paha sapi dewasa jantan (49,07 cm) lebih besar (P<0,05) dibanding dengan lingkar paha sapi dewasa betina (45,97 cm). Lingkar paha meningkat sangat nyata (P<0,01) dengan bertambahnya umur sapi. Rataan panjang ekor sapi dewasa jantan (76,80 cm) berbeda nyata (P<0,05) dengan sapi betina (73,36 cm), tetapi lebar ekor sapi jantan (5,49 cm) relatif sama dengan sapi betina (5,39 cm). Rataan panjang kepala sapi dewasa jantan relatif sama dengan sapi betina (39,96 cm dan 38,83 cm). Demikian juga rataan panjang tanduk sapi dewasa jantan (12,11 cm) tidak berbeda nyata (P>0,05) dengan sapi betina (11,75 cm). Namun demikian, lebar kepala sapi dewasa jantan (19,02 cm) lebih besar (P<0,05) dibandingkan dengan sapi betina (17,93 cm). Hasil penelitian ini berbeda dengan yang dilaporkan Merkens pada tahun 1926, yaitu sapi Aceh jantan (n= 3 ekor) mempunyai rataan tinggi pundak 115,5 cm; tinggi pinggul 115,0 cm; panjang badan 126,0 cm; lebar dada 35,5 cm; lebar pinggul 42,2 cm; dalam dada 62,8 cm; dan lingkar dada 160,8 cm. Nilai taksiran rataan bobot badan (dengan menggunakan rumus lingkar dada dan panjang badan) sapi Aceh dari data tersebut di atas yaitu 301,55 kg. Jika dibandingkan hasil penelitian ini dengan laporan tersebut, maka sapi Aceh telah mengalami penurunan bobot badan dan ukuran-ukuran tubuh (Gambar 7). Keadaan ini dapat terjadi karena beberapa kemungkinan. Pertama, bekerjanya seleksi alam terhadap gen-gen pada sapi Aceh dalam merespons perubahan kondisi lingkungan. Tekanan penduduk dan industri yang semakin besar terhadap lahan produktif sehingga menggeser ternak sapi dari lahan tersebut ke lahan yang kurang produktif bahkan ke lahan kritis. Dugaan ini telah dibuktikan melalui pemodelan kelenturan fenotipik pada hewan percobaan mencit (Mus musculus)

69 49 oleh Abdullah et al. (2005) bahwa, mencit liar yang telah teradaptasi lingkungan dengan segala perubahan yang ada mempunyai gen pengatur daya produksi dan reproduksi yang lebih unggul terhadap stres lingkungan dibanding mencit laboratorium. Diduga gen ini juga dimiliki oleh ternak ruminansia besar termasuk sapi. (cm) Ti_Pu Ti_Pi Pa_a Le_ Da Da_Da Le_ Pi Li_Da 1926* 2008 Ukuran tubuh Gambar 7 Perbedaan ukuran-ukuran tubuh sapi Aceh pada tahun berbeda (Sumber: *Merkens 1926) Kemungkinan kedua yaitu diduga telah terjadi seleksi negatif dalam populasi sapi ini. Sapi-sapi berukuran besar terkuras melalui pemotongan dan pengeluaran tanpa ada usaha pencegahan mempertahankan sapi-sapi tersebut, sehingga hanya sapi-sapi berukuran kecil yang tetap berada dalam populasi dan mendapat kesempatan berkembang biak. Kemungkinan ketiga, telah terjadi erosi genetik sapi Aceh disebabkan oleh eksploitasi yang tidak terstruktur yang dilakukan belakangan ini, yaitu menyilang-nyilangkan ternak tanpa undangundang, biosekuriti, identifikasi, monitoring, evaluasi dan kontrol. Hal tersebut telah menyebabkan banyak peternak yang tertarik menyilangkan ternak sapinya, sehingga populasi sapi Aceh semakin berkurang yang pada gilirannya peternak sapi Aceh semakin sulit mendapatkan pejantan Aceh murni. Dengan demikian, terjadilah inbreeding akibat terbatasnya pejantan berukuran besar yang berakibat pada turunannya yang kerdil dan dijumpai kasus sapi Aceh yang sulit beranak. Apabila dibandingkan dengan sapi-sapi lokal lain berdasarkan literatur terdahulu, maka sapi Aceh termasuk tipe sapi berukuran kecil. Namun, secara umum bobot badan dan ukuran-ukuran tubuh sapi Aceh cenderung lebih tinggi dibanding bobot badan dan ukuran-ukuran tubuh sapi Pesisir di Sumatera arat,

70 50 terutama untuk sapi-sapi Aceh di bagian Kota anda Aceh, Kabupaten Aceh esar, Pidie dan Aceh Utara. obot badan sapi-sapi Aceh pada semua tingkat umur lebih rendah daripada bobot badan sapi-sapi ali, Madura dan PO pada tingkat umur yang sama. Demikian juga dengan semua ukuran tubuh sapi Aceh lebih rendah dari ukuran-ukuran tubuh sapi-sapi lokal tersebut. Hal ini menunjukkan bahwa, secara fenotipik terdapat perbedaan antara sapi Aceh terhadap sapi ali, Madura dan PO (Tabel 5). erdasarkan ukuran tubuh, Otsuka et al. (1980) menyatakan bahwa sapi Madura betina agak lebih besar dibanding dengan sapi Aceh dan Padang (sapi Sumatera), namun lebih kecil dibanding dengan sapi ali. erdasarkan sifat karakteristik kepalanya, Hayashi et al. (1980) menyimpulkan bahwa derajat uniformitas bagian-bagian tulang tengkorak (lebar, tinggi dan panjang) sapi Aceh secara signifikan lebih rendah dibanding sapi ali. Sapi Madura, menunjukkan karakteristik bagian-bagian tengkorak yang berada di antara sapi Aceh dan sapi ali dengan derajat uniformitas yang rendah seperti sapi Aceh. Tabel 5 Ukuran-ukuran tubuh dan bobot badan sapi-sapi jantan lokal pada umur dewasa Sifat angsa sapi Aceh ali 1 Madura 1 PO 1 Pesisir 2 Lingkar dada, cm 138,69 176,71 154,56 160,37 131,43 Lebar dada, cm 28,25 44,27 41,61 44,28 25,76 Dalam dada, cm 49,50 66,45 56,71 59,15 49,56 Tinggi pundak, cm 105,56 122,35 116,59 127,46 103,46 Tinggi pinggul, cm 110,25 122,14 116,83 129,82 108,37 Lebar pinggul, cm 32,06 37,62 32,95 35,96 33,73 Panjang badan, cm 107,69 120,67 114,54 120,15 115,56 Panjang kepala, cm 40,63 44,30* ,1 Lebar kepala, cm 19,75 18,20* ,9 obot badan, kg 191, ** 300 # ## 177,6 Sumber: Sapi Aceh kelompok umur 4 tahun hasil penelitian; *) Otsuka et al. (1980), 1 ) Surjoatmodjo (1993); 2 ) Sarbaini (2004); ** ) Pane (1991); # ) Wijono dan Setiadi (2004); ## ) Astuti (2004) entuk Tubuh Umumnya sapi Aceh bertemperamen nervus dan pada sapi jantan dewasa memiliki sifat menyerang. Sifat tersebut akan berkurang jika digunakan cincin hidung dan sering diusap-usap pada tubuhnya oleh peternak. Sapi Aceh jantan yang dipelihara secara kereman akan dijumpai keadaan yang sangat nervus dan menggosok-gosokkan tanduk pada bagian-bagian kandang, bahkan akan berusaha menanduk apa saja yang ditemuinya jika sewaktu-waktu dikeluarkan

71 51 dari kandang. Sifat nervus yang dimiliki sapi Aceh merupakan keunikan tingkah laku yang tidak dimiliki oleh sapi ali, Madura, PO dan Pesisir. Sifat tersebut merupakan satu keuntungan dalam pemeliharaan sapi Aceh yaitu untuk menghindari dirinya dari hewan buas pemangsa apabila sapi ini digembalanan di hutan dan di samping itu juga tidak mudah dicuri. Keadaan tubuh sapi Aceh jantan lebih besar dibanding betina. Tubuh bagian depan lebih rendah dibanding bagian belakang baik pada jantan maupun betina. Sapi betina bergumba kecil dan bergumba jelas pada jantan serta bergelambir baik pada jantan maupun betina dengan tampilan lebih tebal dan lebih berat pada jantan. Gelambir pada sapi Aceh jantan dan betina dijumpai mulai bawah kerongkongan sampai bawah dada antara dua kaki depan. Pada sapi Aceh jantan memiliki selaput penis (preputium) yang pendek. Keadaan tubuh pada sapi Aceh umumnya dimiliki oleh keempat bangsa sapi lokal lainnya. Sapi PO mempunyai gumba yang besar dan merupakan turunan zebu (Hardjosubroto 2004), bergelambir lebar dan preputiumnya panjang menggantung. Menurut Setiadi dan Diwyanto (1997), sapi Madura mempunyai gumba yang kecil dan preputium yang pendek, sedangkan sapi ali mempunyai punggung yang lurus tanpa gumba, tetapi juga mempunyai gelambir kecil. Hampir seluruh populasi sapi Aceh yang diamati mempunyai garis muka yang cekung. Namun demikian, ada sebagian (4,5%) yang memiliki garis muka yang lurus. Garis muka yang cekung pada sapi Aceh kemungkinan juga terdapat pada sifat sapi Pesisir, sedangkan garis muka sapi Madura menurut Setiadi dan Diwyanto (1997), umumnya lurus. Garis punggung dapat menunjukkan bentuk tubuh yang ideal pada seekor ternak (Setiadi dan Diwyanto 1997). Pada umumnya sapi Aceh mempunyai garis punggung yang cekung (89,25%), sebagian mempunyai garis punggung cembung (6,25%) dan sebagian kecil mempunyai garis punggung lurus (4,5%). Garis punggung yang cekung pada sapi Aceh, merupakan sifat yang dimiliki sapi PO. Menurut Handiwirawan dan Subandriyo (2004), sapi ali memiliki garis punggung yang lurus dan merupakan tipe bangsa turunan os sondaicus atau os banteng. Selanjutnya hasil penelitian Setiadi dan Dwiyanto (1997), sapi Madura mempunyai garis punggung yang lurus, tetapi ditemukan juga sapi yang mempunyai garis punggung cekung (34,7%) dan sebagian kecil (6,1%) mempunyai garis punggung yang cembung.

72 52 Warna dan Pola Warna Tubuh Populasi sapi Aceh yang teramati menunjukkan warna beragam. Warna tubuh dominan sapi Aceh adalah merah bata dan cokelat muda. Disamping itu terdapat sapi yang berwarna cokelat, cokelat kehitaman, hitam, putih kemerahan, putih dan putih keabuan (Gambar 8). Warna-warna yang diidentifikasi secara umum dikelompokkan ke dalam warna merah bata, cokelat, hitam, putih, dan kombinasi yang mengarah ke warna terang dan gelap. Warna terang pada sapi Aceh didominasi oleh cokelat muda (31%), putih kemerahan (9,75%), putih (4,75%), dan putih keabuan (0,75%). Warna gelap didominasi merah bata (33,7%), cokelat (9%), hitam (5,75%), dan cokelat kehitaman (5,25%). Jika dikelompokkan sapi yang berwarna gelap dan terang, maka persentase sapi yang berwarna gelap relatif lebih besar yaitu 53,75% (Tabel 6). Tabel 6 Warna-warna tubuh sapi Aceh Kelompok warna Warna tubuh Proporsi (%) Jumlah (%) 1. Gelap Merah bata 33,75 53,75 Cokelat 9,00 Hitam 5,75 Cokelat kehitaman 5,25 2. Terang Cokelat muda 31,00 46,25 Putih kemerahan 9,75 Putih 4,75 Putih keabuan 0,75 Warna putih atau putih keabuan pada sapi Aceh merupakan warna-warna yang mirip dan dimiliki sapi Tharparkar, Guzerat, Ongole dan Nellore di India. Warna cokelat kehitaman, merupakan warna yang mirip sapi Kankrey juga dari India, sedangkan warna kelompok gelap yang dominan merah bata dengan garis hitam tipis di sepanjang tengah punggung pada sapi Aceh menyerupai warna yang dimiliki sapi ali betina dewasa. Kecuali sapi berwarna putih, umumnya sapi Aceh mempunyai warna yang lebih muda pada kaki bagian bawah, sekitar dada, perut sampai bagian antara kedua pasang kaki belakang, bagian dalam telinga dan pinggiran bibir atas. Pola warna demikian cenderung menyerupai warna umum pada sapi ali. Menurut Payne dan Rollinson (1973); NRC (1983); Handiwirawan dan Subandriyo (2004), sapi ali mempunyai ciri-ciri fisik yang seragam, dan hanya mengalami

73 53 Putih Putih keabuan * Putih kemerahan Cokelat muda ** Merah bata Cokelat Cokelat kehitaman Hitam Keterangan: *) warna terang terbanyak dalam populasi; **) warna gelap terbanyak dalam populasi Gambar 8 Warna-warna tubuh sapi Aceh

74 54 perubahan kecil dibandingkan dengan moyangnya (anteng). Pada kedua jenis kelamin terdapat warna putih pada bagian paha belakang (pantat), bagian bawah (perut), keempat kaki bawah (white stocking) sampai di atas kuku, bagian dalam telinga dan pada bagian bibir atas. Sapi Aceh yang jantan masih dijumpai warna yang lebih gelap pada leher sampai kepala seperti yang dikemukakan Otsuka et al. (1980). Warna sapi demikian digolongkan warna tubuh tipe liar seperti dinyatakan Fries dan Ruvinsky (1999) bahwa, warna tubuh tipe liar antara lain memiliki sifat pigmentasi yang solid, cenderung memiliki warna lebih gelap pada kepala dan leher. Variasi warna tubuh tipe liar ini termasuk warna merah dan hitam. Keadaan yang serupa juga pernah dilaporkan Merkens (1926) bahwa, kepala sapi Aceh berwarna antara cokelat merah sampai cokelat abu-abu, bahkan di Aceh Utara dan Aceh Timur ditemukan sapi berwarna kepala lebih gelap sampai hitam. Hasil pengamatan menunjukkan bahwa sebagian besar warna moncong dari populasi sapi Aceh yang diamati adalah hitam (99%) dan sebagian mempunyai warna kecokelatan. Semua kuku sapi Aceh yang diamati berwarna hitam. Tidak seperti halnya pada warna moncong dan warna kuku, tanduk sapi Aceh umumnya berwarna hitam kecokelatan (99%) dan sebagian kecil berwarna hitam. Tanduk berwarna abu-abu yang lebih terang sering dijumpai pada sapi yang masih muda dan baru tumbuh tanduk. Semakin meningkat umur sapi, warna tanduk beralih menjadi hitam kecokelatan bahkan hitam pada seperempat bagian ujungnya. Menurut Setiadi dan Dwiyanto (1997), warna moncong dan kuku yang hitam umum didapati pada sapi ali dan sapi Peranakan Ongole. Sapi berwarna putih atau putih keabuan kurang disenangi peternak dan konsumen di Aceh. Hal ini kemungkinan karena ada anggapan bahwa sapi dengan warna demikian merupakan sapi albino (bahasa Aceh gapi). Warna tubuh sapi yang paling disukai di Aceh adalah merah bata dan cokelat. Warna tubuh sapi Aceh yang beragam tidak ditemukan pada bangsa sapi ali, Madura dan PO. Namun, warna yang beragam tersebut relatif menyerupai warna-warna pada sapi Pesisir di Sumatera arat seperti dikemukakan Otsuka et al. (1980) dan Sarbaini (2004). Dari pola dan macam warna hasil penelitian ini hampir sama dengan hasil penelitian Namikawa et al. (1982a) pada sapi Aceh dan sapi Madura yang menyatakan bahwa, sapi sumatera (Aceh dan Pesisir) memiliki macam warna hitam, cokelat kehitaman, cokelat kuning, dan abu-abu putih yang didominasi

75 55 oleh warna cokelat kuning, dan sapi Madura memiliki tiga warna yang sama dengan sapi Sumatera, yaitu hitam, cokelat kekuningan dan abu-abu putih dengan warna dominan cokelat kekuningan. entuk Tanduk entuk pertumbuhan tanduk pada sapi di dunia memiliki variasi yang sangat besar sehingga sulit untuk dibuat klasifikasi (Nicholas 1999). erdasarkan arah pertumbuhan tanduk mulai dari kepala sampai ujung tanduk, maka digolongkan bentuk-bentuk pertumbuhan tanduk sapi Aceh untuk mengetahui keragamannya. Hasil penelitian menunjukkan bahwa, sapi Aceh umumnya bertanduk, tetapi terdapat juga sapi tidak bertanduk yang lebih banyak dijumpai pada sapi betina (8,55%). Panjang dan bentuk pertumbuhan tanduk beragam dan terus memanjang seiring pertumbuhan sapi. Tanduk pada sapi jantan lebih besar dibanding betina. Ada 10 macam bentuk tanduk sapi Aceh (Tabel 7). Keragaman bentuk pertumbuhan tanduk pada sapi Aceh memiliki arah: (1) ke samping melengkung ke atas ke depan; (2) ke samping melengkung ke atas; (3) menyamping ke atas menyerupai huruf V; (4) lingkaran tanduk pendek (bungkul); (5) kupung; (6) ke samping lurus; (7) ke samping ke atas melengkung ke bawah; (8) menyamping ke atas ke depan; (9) ke samping melengkung ke belakang; dan (10) ke samping, tanduk kiri melengkung ke atas, kanan melengkung ke bawah atau sebaliknya (tidak simetris). Sketsa bentuk-bentuk pertumbuhan tanduk sapi Aceh ditunjukkan dalam Gambar 9. Tabel 7 Frekuensi bentuk-bentuk pertumbuhan tanduk sapi Aceh No entuk Tanduk Ke samping melengkung ke atas ke depan Ke samping melengkung ke atas Menyamping ke atas menyerupai huruf V Hanya membentuk lingkaran tanduk pendek Tidak bertanduk (kupung) Ke samping lurus Ke samping melengkung ke bawah Menyamping ke atas ke depan Ke samping melengkung ke belakang Tidak simetris Jenis kelamin Jantan etina 4 (3,05) 82 (30,48) 48 (36,64) 70 (26,02) 45 (34,35) 35 (13,01) 27 (20,61) 45 (16,73) 5 (3,82) 23 (8,55) 1 (0,76) 5 (1,86) 0 3 (1,12) 0 2 (0,74) 1 (0,76) (1,49) Jumlah (21,5) (29,5) (20,0) (18,0) (7,0) (1,5) (0,75) (0,5) (0,25) (1,0) Keterangan : ( ) dalam persen; tidak simetris = ke samping, tanduk kiri ke atas, kanan ke bawah atau sebaliknya

76 56 Variasi bentuk pertumbuhan tanduk sapi Aceh jantan lebih sedikit (tujuh bentuk) dibanding dengan variasi bentuk tanduk sapi Aceh betina (sembilan bentuk). Pertumbuhan tanduk sapi jantan umumnya mempunyai bentuk yang mengarah ke samping melengkung ke atas dengan frekuensi 36,64% (bentuk dua) dan bentuk tiga yang menyamping ke atas menyerupai huruf V dengan frekuensi 34,35%. Pertumbuhan tanduk sapi betina umumnya mempunyai bentuk satu (ke samping melengkung ke atas kemudian ke depan) dengan frekuensi 30,48% dan bentuk dua yang juga mempunyai frekuensi tinggi yaitu 26,08% dengan arah pertumbuhan tanduk ke samping melengkung ke atas. Samping Depan Depan Depan Depan entuk 1 entuk 2 entuk 3 entuk 4 entuk 5 Depan Depan Samping Samping Depan entuk 6 entuk 7 entuk 8 entuk 9 entuk 10 Gambar 9 Sketsa bentuk-bentuk pertumbuhan tanduk sapi Aceh Hasil penelitian ini cenderung berbeda dengan studi pada sapi ali yang dilakukan Handiwirawan (2003). Sapi ali jantan mempunyai tujuh macam bentuk tanduk dan sapi betina 12 macam bentuk tanduk. Umumnya sapi jantan memiliki bentuk tanduk ke samping kemudian ke atas atau ke samping ke atas kemudian ke belakang, dan proporsi sapi yang bertanduk demikian adalah 74,5% dari keseluruhan sapi jantan yang diamati. entuk umum tanduk sapi ali betina sesuai dengan bentuk normal yang didefinisikan oleh NRC (1983) yaitu jalannya pertumbuhan tanduk satu garis dengan dahi ke arah atas dan pada ujungnya sedikit mengarah ke belakang dan kemudian melengkung ke bawah lagi mengarah ke kepala (ke dalam), yaitu mencapai 31,9%. Ditemukan juga bentuk tanduk yang sedikit berbeda dengan bentuk tanduk yang normal dalam jumlah cukup besar (29,3%), yaitu mengarah ke atas dan kemudian ke belakang. Sapi ali yang tidak bertanduk tidak pernah ditemukan.

77 57 Penelitian Laboratorium Daerah D-loop DNA Mitokondria DNA Total Limabelas DNA total sapi penelitian terdiri dari delapan sampel darah sapi Aceh, dua sampel darah masing-masing dari sapi ali, Madura dan Pesisir, serta satu sampel darah dari sapi PO. Semua DNA total hasil isolasi dielektroforesis pada gel agarose untuk menguji kualitas dan kuantitas DNA total yang diperoleh sebelum dilakukan amplifikasi PCR. DNA total hasil isolasi tersebut digunakan sebagai DNA cetakan untuk amplifikasi daerah D-loop dengan menggunakan teknik Polymerase Chain Reaction (PCR). Hasil isolasi DNA total disajikan pada Gambar 10. A1 A2 A3 A4 A5 A6 A7 A8 1 2 M1 M2 PO PS1 PS2 Keterangan: lajur A1-A8 = DNA total sapi Aceh, lajur 1-2 = DNA total sapi ali, lajur M1-M2 = DNA total sapi Madura, lajur PO = DNA total sapi PO dan lajur PS1-PS2 = DNA total sapi Pesisir, konsentrasi berkisar 17,44-413,51 ng/µl Gambar 10 Spektrofotometer DNA total sapi penelitian setelah dimigrasikan dalam gel agarose 1,2% pada tegangan 90 volt selama 30 menit Amplifikasi Daerah D-loop Amplifikasi daerah D-loop pada sapi Aceh, ali, Madura, PO dan Pesisir dilakukan dengan menggunakan pasangan primer IDLF dan IDLR hasil desain sendiri berdasarkan basa sekuens os indicus (Tabel 1). erdasarkan runutan genom utuh DNA mitokondria os indicus (sapi Nellore) dari Genank, fragmen DNA sapi berukuran 980 bp tersebut hasil amplifikasi pasangan primer IDLF dan IDLR, terdiri atas 37 bp fragmen gen trnapro pada posisi basa ke-30 sampai dengan 66 ( ), 913 bp fragmen utuh daerah D-loop pada posisi basa ke-1 sampai dengan 913 ( ,1-366) dan 30 bp fragmen trnaphe pada posisi basa ke-1 sampai dengan 30 ( ) (Lampiran 7). Ilustrasi letak penempelan pasangan primer IDLF dan IDLR pada daerah Dloop sapi penelitian terdapat dalam Gambar 11. Pasangan primer IDLF dan IDLR telah mengamplifikasi fragmen berukuran sekitar 980 bp yang menempel pada basa ke-30 sampai dengan 49

78 58 gen trnapro ( ) untuk primer IDLF dan basa ke-11 sampai dengan 30 gen trnaphe ( ) bagi primer IDLR. Tampilan optimal fragmen hasil amplifikasi pasangan primer tersebut dengan menggunakan mesin PCR Perkin Elmer 2400 pada kondisi annealing 59O C selama 45 detik, terdapat dalam Gambar 12. IDL F 20 bp IDL R 20 bp trna Pro Teramplifikasi 980 bp (37 bp trna Pro, D-loop utuh, 30 bp trnaphe) 37 bp trnaphe 30 bp Gambar 11 Sketsa letak penempelan primer IDLF dan IDLR untuk mengamplifikasi fragmen daerah D-loop sapi Aceh, ali, Madura, PO dan Pesisir Keberhasilan amplifikasi daerah D-loop khususnya sangat ditentukan oleh kondisi penempelan primer pada DNA genom selain faktor-faktor bahan pereaksi PCR dan mesin PCR yang digunakan. Ada variasi ukuran fragmen yang teramplifikasi, yaitu pada sampel A3 (sapi Aceh 3), PO (sapi PO), PS1 dan PS2 (sapi Pesisir 1 dan 2) berbeda dibanding dengan hasil amplifikasi pada sampel lainnya (±980 bp). Variasi ukuran fragmen DNA yang teramplifikasi tersebut kemungkinan disebabkan oleh ada penyisipan (insersi) basa nukleotida. M A1 A2 A3 A4 A5 A6 A7 A8 1 2 M1 M2 PO PS1 PS2 980 bp Keterangan: lajur M = DNA ladder 100 bp, lajur A1-A8 = hasil PCR sapi Aceh, lajur 1-2 = hasil PCR sapi ali, lajur M1-M2 = hasil PCR sapi Madura, lajur PO = hasil PCR sapi PO dan lajur PS1-PS2 = hasil PCR sapi Pesisir Gambar 12 Hasil amplifikasi daerah D-loop dengan menggunakan pasangan primer IDLF dan IDLR setelah dimigrasikan dalam gel agarose 1,2% pada tegangan 90 volt selama 45 menit Penentuan Daerah D-loop Parsial dan Keragaman Runutan Nukleotida Setelah dilakukan sekuensing pada produk PCR dan optimasi pensejajaran dengan runutan genom os indicus dari Genank (Nomor Akses AY126697; Miretti et al. 2002) sebagai acuan, diperoleh ukuran parsial 479 bp daerah D-

79 59 loop yang dapat dianalisis dari arah forward. Sebelum 479 bp dari arah IDLF ada sepanjang 7 bp tidak jelas hasilnya. Ukuran sepanjang 427 bp arah primer IDLR juga tidak dapat digunakan karena tidak jelas hasilnya (Gambar 13 dan 14). Primer IDL F Primer IDL R D-loop utuh 913 bp (Genank) Teramplifikasi 980 bp 7 bp 479 bp 427 bp Gambar 13 Sketsa daerah D-loop parsial hasil perunutan DNA (berukuran 479 bp) yang dipakai untuk analisis keragaman genetik pada sapi Aceh Analisis keragaman runutan nukleotida dilakukan setelah runutan DNA sapi Aceh, ali, Madura, PO dan Pesisir disejajarkan dengan acuan utama pada runutan nukleotida sapi os indicus (Nellore) dari Genank (kode akses AY126697) (Lampiran 8). Jumlah nukleotida dari semua contoh sapi penelitian adalah tidak sama setelah dilakukan perbandingan (Lampiran 10). Hal ini karena ada beberapa delesi dan insersi nukleotida pada sapi Aceh, ali, Madura, PO, dan Pesisir (Tabel 8) (Lampiran 9). Apabila ada satu situs delesi atau insersi dari hasil perbandingan tersebut, maka dianggap sapi penelitian memiliki delesi atau insersi. Jumlah delesi dan insersi bervariasi antarindividu. Tabel 8 Jumlah insersi dan delesi basa-basa nukleotida pada sapi Aceh, ali, Madura, PO dan Pesisir dengan acuan os indicus Sapi Delesi Aceh ali Madura PO Pesisir Jumlah Insersi (%) 4,38 6,26 7,31 2,71 3,13 Jumlah (%) 1,46 12,32 11,90 10,02 1,25 erdasarkan ukuran runutan nukleotida parsial sepanjang 479 bp yang dapat dianalisis, hasil pensejajaran runutan nukleotida sapi Aceh, ali, Madura, PO dan Pesisir dengan acuan runutan nukleotida os indicus (sapi Nellore) dari Genank, maka rataan komposisi nukleotidanya dapat dilihat pada Tabel 9. Komposisi nukleotida daerah D-loop parsial untuk masing-masing sapi disajikan dalam Lampiran 11.

80 60 Gambar 14 Hasil sekuensing daerah D-loop parsial DNA mitokondria sapi Aceh yang dianalisis (Keterangan: antara tanda panah maju dan mundur, huruf N menunjukkan basa nukleotida tidak terdeteksi) Perbedaan nukleotida antara sapi Aceh dan sapi os indicus dari Genank yaitu, T = 0,02%; C = 0,29%; A = 0,52%; dan G = 0,81%. Perbedaan rataan komposisi nukleotida yang lebih besar ditemukan antara sapi Aceh dan os taurus, yaitu T = 1,16%; C = 0,57%; A = 0,58%; dan kecuali G = 0,07%. Perbedaan jumlah rataan komposisi nukleotida A+T dan C+G antara sapi Aceh terhadap os indicus yaitu 0,55% dan 0,52% serta jumlah perbedaan rataan komposisi nukleotida A+T dan C+G antara sapi Aceh terhadap os taurus masing-masing 0,59% dan 0,50%. Apabila dibandingkan rataan komposisi nukleotida antara sapi Aceh dan sapi os indicus terhadap os taurus dari Genank, maka rataan komposisi nukleotida antara sapi Aceh dan os indicus lebih rendah perbedaannya. Nukleotida A daerah D-loop mempunyai frekuensi tertinggi pada sapi penelitian dengan urutan mulai tertinggi sampai terendah berturut-turut yaitu sapi ali (0,374), Pesisir (0,369), Aceh (0,365), Madura (0,361) dan PO (0,323). (Gambar 15). Nukleotida G mempunyai frekuensi terendah pada sapi penelitian

81 61 Tabel 9 Rataan komposisi nukleotida daerah D-loop parsial sapi Aceh, ali, Madura, PO dan Pesisir setelah disejajarkan dengan komposisi nukleotida acuan os indicus dari Genank (ukuran 479 bp) angsa sapi n T C A G Aceh 8 26,84 23,35 36,48 13,31 ali 2 26,20 24,00 37,40 12,40 Madura 2 26,30 24,50 36,20 13,00 PO 1 25,50 26,30 32,30 16,00 Pesisir 2 26,35 23,65 36,85 13,15 os indicus 5 26,86 23,64 37,00 12,50 os taurus 5 28,00 22,78 35,90 13,38 Keterangan: n = jumlah sampel, sapi PO hanya satu sampel A+T 63,31 63,60 62,50 57,80 63,20 63,86 63,90 C+G 36,66 36,40 37,50 42,30 36,80 36,14 36,16 dengan urutan tertinggi (0,160) ditemukan pada sapi PO, sapi Madura 0,131; frekuensi yang sama (0,128) pada sapi Aceh dan Pesisir serta frekuensi terendah ditemukan pada sapi ali (0,124). Sapi Aceh mempunyai frekuensi nukleotida T tertinggi (0,270); sapi Pesisir 0,267; sapi Madura 0,264; sapi ali 0,262; dan terendah ditemukan pada sapi PO (0,255). Frekuensi nukleotida C tertinggi ditemukan pada sapi PO (0,263), sapi ali dan Madura masing-masing adalah 0,240 dan 0,244; dan frekuensi yang sama (0,236) ditemukan pada sapi Aceh dan Pesisir Frekuensi T C A G Nukleotida I Aceh ali Madura PO Pesisir Gambar 15 Frekuensi nukleotida daerah D-loop parsial berukuran 479 nt pada sapi Aceh, ali, Madura, PO, Pesisir dan os indicus (Nellore) dari Genank Perbedaan susunan basa nukleotida antara sapi Aceh dan sapi lokal masing-masing dapat dilihat pada Tabel 10. Susunan basa nukleotida sapi

82 62 Pesisir dan sapi Aceh memiliki persentase terkecil bila dibandingkan dengan os indicus. Sapi Aceh dibandingkan dengan sapi ali, Madura dan PO memiliki perbedaan susunan basa nukleotida berkisar %, sedangkan terhadap sapi Pesisir hanya 2,93%. Hasil perbandingan basa nukleotida berukuran 479 nt pada sapi Aceh dan sapi os indicus (Nellore) dari Genank, menunjukkan situs beragam sebanyak 27 situs basa nukleotida (Lampiran 8). Keragaman yang terjadi mulai di daerah pertengahan (sekitar domain ke dua) sekuens basa nukleotida D-loop, yaitu mulai situs 267 dan tidak ditemukan situs yang beragam pada permulaan Pro sekuens (dekat dengan trna ) yaitu menuju ke arah primer IDLF. Rata-rata nilai rasio transisi (substitusi purin dengan purin atau pirimidin dengan pirimidin) terhadap transversi (perubahan dari purin ke pirimidin atau sebaliknya) pada sapi Aceh dengan os indicus adalah 1,13% (purin) dan 1,86% (pirimidin) dengan nilai bias keseluruhan (R) = 0,533. Ada 9 situs berbeda untuk sapi Aceh dibandingkan dengan 126 situs berbeda untuk semua sapi penelitian dengan acuan os indicus. Tabel 10 Perbedaan susunan basa nukleotida sapi Aceh, ali, Madura, PO, Pesisir dan os indicus dari Genank os indicus Aceh ali Madura PO Pesisir os indicus 0 05,64 (27) 24,01 (115) 24,22 (116) 21,29 (102) 05,43 (26) Aceh ali Madura PO 0 22,38 (107) 23,01 (110) 21,34 (102) 02,93 (14) 0 3,94 (20) 24,80 (126) 14,37 (73) 0 26,75 (134) 15,97 (80) 0 8,95 (46) Pesisir 0 Keterangan: dalam persen, ( ) jumlah situs basa yang berbeda Pewarisan mtdna mamalia melalui induk, dilaporkan tidak ada rekombinasi (Hagelberg et al. 1999) dan mempunyai tingkat substitusi yang tinggi (Patricia et al. 2002). Pada mamalia, tingkat substitusi daerah non coding (D-loop) diperkirakan menjadi 2,8-5 kali lebih tinggi dibandingkan tempat lain di dalam mitokondria (Aquadro dan Greenberg 1982), dan di daerah ini, sekitar domain ke dua (daerah hipervariabel) bahkan lebih cepat (Pesole et al. 1999). Susunan basa nukleotida yang beragam pada daerah D-loop mtdna sapi Aceh menunjukkan terjadinya mutasi. Menurut Ishida et al. (1992), dari bagianbagian fragmen mtdna, daerah control region atau dikenal dengan D-loop merupakan daerah yang paling hipervariabel, mempunyai laju kecepatan mutasi 10 kali lebih cepat dibandingkan dengan daerah mtdna lainnya.

83 63 Sapi Aceh memiliki sebagian susunan basa-basa nukleotida daerah D-loop mtdna yang khas yang tidak dimiliki sapi-sapi dari golongan os indicus dan os taurus. Kekhasan susunan basa-basa nukleotida tersebut terletak pada situs ke-354 sampai dengan 483 (Lampiran 8) berupa insersi dan substitusi. asabasa tersebut merupakan basa-basa dari sapi ali (os banteng), karena hanya ada empat spesies domestikasi sapi di dunia yaitu os indicus, os taurus, os javanicus dan os frontalis. Nama yang sama untuk os javanicus menurut Merkens (1926); Martojo (2003), yaitu os sondaicus, os sundaicus, os banten, os bantinger, ibos banteng dan ibos sondaicus). Umumnya, sapi Madura, PO dan Pesisir juga memiliki basa-basa nukleotida khas pada situs-situs tersebut. Hal ini menunjukkan bahwa sapi-sapi lokal Indonesia memiliki kekhasan pada sekuens daerah D-loop DNA mitokondria. Jarak Genetik Sapi Aceh dan Sapi Pembanding Jarak genetik digunakan untuk melihat kedekatan hubungan genetik antarsapi penelitian dan sapi os indicus. Melalui penggunaan analisis perhitungan Pairwise Distance Calculation dengan model 2 Parameter Kimura, dapat ditunjukkan matriks perbedaan genetik antara sapi Aceh dan sapi outgroup (ali, Madura, PO, dan Pesisir) serta sapi os indicus dan os taurus yang diambil dari Genank (Lampiran 12). Jarak genetik model ini mengukur banyaknya perbedaan nukleotida per pasangan yang mempertimbangkan tingkat substitusi transisi dan transversi. Hasil perhitungan menunjukkan nilai jarak genetik berkisar antara 0,0000 sampai 0,2559 dan rataan nilai jarak genetik keseluruhan 0,0726. Jarak genetik tertinggi (0,1715 ) pada sapi penelitian yaitu antara sapi Madura_1 dan PO. Jarak genetik dalam kelompok sapi Aceh berkisar 0,0025 sampai 0,0075; ali (0,0000); Madura (0,0177); dan Pesisir (0,0025) (Lampiran 12). Kecuali sapi PO yang hanya satu sampel, penggunaan jarak genetik gabungan masing-masing sapi Aceh, ali, Madura dan Pesisir, menunjukkan nilai terkecil (0,0120) yang merupakan jarak genetik antara sapi Aceh dan Pesisir dan nilai terbesar (0,1683) yang merupakan jarak genetik antara sapi Madura dan PO. Urutan kedekatan hubungan genetik sapi Aceh dengan sapi outgroup dari yang paling dekat sampai terjauh yaitu sapi Pesisir (0,0120); PO (0,0880); ali (0,0999); dan Madura (0,1017), sedangkan urutan kedekatan hubungan genetik sapi penelitian dengan os indicus dari Genank mulai yang terdekat

84 64 sampai yang paling jauh adalah Aceh (0,0196); Pesisir (0,0292); PO (0,1072); Madura (0,1182); dan ali (0,1194) (Tabel 11). Tabel 11 Jarak genetik berdasarkan metode 2 parameter Kimura pada sapi Aceh, ali, Madura, PO, Pesisir dan os indicus dari Genank. indicus Aceh ali Madura PO Pesisir. indicus 0,0000 0,0196 0,1194 0,1182 0,1072 0,0292 Aceh ali Madura PO Pesisir 0,0000 0,0999 0,1017 0,0880 0,0120 0,0000 0,0190 0,1526 0,1005 0,0000 0,1683 0,1080 0,0000 0,0887 0,0000 Kedekatan hubungan beberapa sapi lokal kemungkinan karena ada aliran gen yang terjadi akibat letak geografis sapi-sapi tersebut berdekatan. Sapi Aceh dan Pesisir terletak di wilayah arat Indonesia dalam satu pulau yang sama (Sumatera), sehingga mempunyai hubungan kekerabatan yang lebih dekat dibandingkan dengan bangsa sapi lokal lain. Sapi Aceh dan Pesisir lebih dekat dengan sapi PO yang berasal dari Pulau Jawa karena letak kedua pulau lebih berdekatan dibanding sapi ali yang ada di Pulau ali dan sapi Madura di Pulau Madura yang ada larangan pemerintah terhadap masuknya sapi lain ke kedua pulau tersebut. Demikian juga bangsa sapi Madura di wilayah Timur Indonesia yang lebih dekat dengan bangsa sapi ali. Menurut Nijman et al. (2003), sapi Madura mengandung materi genetik sapi ali yang telah mengalami hibridisasi dengan sapi zebu. Sapi PO mempunyai jarak genetik yang paling jauh dengan sapi Madura dibanding dengan sapi ali dan lebih dekat dengan sapi Aceh dan sapi Pesisir, karena sapi PO mempunyai komposisi basa nukleotida yang sangat berbeda dengan sapi Madura dan sapi ali. Menurut Hardjosubroto (2004), sapi PO merupakan hasil persilangan antara sapi Sumba Ongole (SO) dengan sapi Jawa melalui program Ongolisasi pada tahun Sekarang, sebagian besar sapi PO telah disilangkan dengan berbagai macam bangsa sapi. Hubungan Kekerabatan Sapi Aceh Hubungan kekerabatan antara sapi Aceh dan sapi ali, Madura, PO, Pesisir, serta os indicus yang diambil dari Genank sebagai pembanding,

85 65 dilakukan pada sekuens sepanjang 479 nukleotida yang menyusun D-loop parsial. Pengelompokan sapi lokal berdasarkan jarak genetik dengan metode Neighbor-Joining (Saitou dan Nei 1987) dalam program Mega 4.0 (Tamura et al. 2007). Pohon yang optimal mempunyai jumlah panjang cabang 0, Persentase pengulangan pohon di mana kelompok bangsa sapi yang berhubungan diklasterkan bersama-sama di dalam uji bootstrap (1000 kali pengulangan), diperlihatkan di dekat cabang (Felsenstein 1985). Jarak genetik dihitung dengan metode 2 parameter Kimura (Kimura 1980) dan di dalam unitunit dari banyaknya substitusi basa per lokasi. Semua posisi yang mengandung data senjang (gap) dan data hilang dieliminasi dari dataset (opsi penghapusan lengkap). Hasilnya menunjukkan, populasi sapi lokal yang diteliti terbagi ke dalam dua posisi yang berbeda yaitu sapi Aceh, Pesisir dan PO berada dalam satu posisi yang sama, sedangkan sapi ali dan Madura berada pada posisi yang kedua (Gambar 16). Perbedaan genetik antarindividu sapi dapat dinilai dengan menggunakan dendogram. Pohon filogeni yang dibentuk berdasarkan metode 2 parameter Kimura dalam uji bootstrap 1000 kali pengulangan, diperoleh dua klaster sapi lokal Indonesia yaitu klaster pertama termasuk sapi Aceh, Pesisir dan PO dan klaster kedua yaitu sapi ali dan Madura. Sapi Aceh, Pesisir dan PO merupakan satu klaster dalam kelompok sapi-sapi zebu (os indicus) Genank dengan nilai uji bootstrap 46%. Pengklasteran sapi Aceh, Pesisir dan PO, terpisah terhadap os javanicus (sapi ali) dengan pembobotan cukup baik (64%) di mana sapi Madura masuk ke dalam klaster sapi ali dengan nilai uji bootstrap yang sangat tinggi (99%). Hal ini menunjukkan, sapi Aceh, Pesisir dan PO dikelompokkan dengan sapi os indicus (zebu) dalam uji bootstrap dengan 1000 kali pengulangan akan memperlihatkan hasil (posisi) yang sama. Pembobotan yang rendah (49%) dari hasil uji bootstrap dalam pengelompokan sapi Aceh, Pesisir dan PO karena rendahnya nilai pembobotan antarindividu dalam kelompok sapi Aceh (berkisar 7-53%). Walaupun demikian, pengelompokan sapi Aceh, Pesisir, PO dan os indicus dari data Genank akan tetap sama pada posisinya. Namun demikian, posisi antarindividu dalam kelompok sapi Aceh sendiri kemungkinan masih dapat berubah-ubah karena nilai bootstrapnya yang rendah. erdasarkan data tersebut, ada tiga subklaster sapi lokal Indonesia golongan zebu yaitu subklaster sapi Aceh, PO dan Pesisir dibandingkan dengan klaster zebu dari Genank yang relatif mengelompok. Pemisahan pengelompokan sapi golongan

86 66 zebu baik sapi lokal maupun kelompok os indicus sangat berbeda dengan kelompok sapi ali (os javanicus) pada 1000 kali pengulangan dalam uji bootstrap dengan nilai peluang 64%. Apabila kita bandingkan klaster kelompok sapi eropa terhadap sapi asia, maka terdapat klaster pertama yang terdiri atas subklaster sapi Aceh, Pesisir, PO dan bangsa-bangsa sapi zebu dari Genank; dan klaster kedua yang terdiri atas subklaster sapi ali dan Madura (keturunan os banteng), terpisah terhadap klaster ketiga yang merupakan golongan os taurus dari Eropa. Pengklasteran os indicus, os javanicus dan os taurus yang ketiganya merupakan Grup ovina sangat jelas terpisah dengan Grup ubalina (ubalus bubalis). Aceh 3 Aceh 6 21 Aceh 7 7 Aceh 4 Aceh 8 22 Aceh 2 53 Aceh 5 32 Aceh 1 49 Pesisir 1 94 Pesisir 2 PO Sahiwal (G) Ongole (G) Heinan (G) os indicus (G) Tharparkar (G) ali 1 ali 2 Madura 1 Madura 2 Red Angus (G) Angus (G) 99 rahman (G) 75 Charolais (G) Simmental (G) ubalus bubalis (G) 0.02 Gambar 16 Dendogram Neighbor-Joining berdasarkan metode 2 parameter Kimura dari nukleotida daerah D-loop parsial (berukuran 479 nt) sapi Aceh, ali, Madura, PO, Pesisir dan bangsa-bangsa sapi dari Genank (G) dengan pengolahan bootstrap 1000 ulangan

87 67 Pengelompokan sapi Aceh, Pesisir dan PO terlihat berbeda secara riil dengan pengelompokan sapi ali dan Madura. Hubungan yang lebih dekat antara sapi Aceh dan Pesisir yang asal geografisnya berdekatan, mengindikasikan ada perbedaan yang lebih kecil di antara sapi Aceh dan sapi Pesisir dibanding dengan sapi PO yang asal pembentukannya di Pulau Jawa. Sapi PO walaupun satu kelompok dengan sapi Aceh dan Pesisir, tetapi mempunyai susunan basa nukleotida yang sangat berbeda yaitu sebesar 21,34% terhadap sapi Aceh dan 8,95% terhadap sapi Pesisir. Hal ini menunjukkan hibridisasi yang dominan terjadi antara sapi Jawa betina dan sapi SO (Sumba Ongole) jantan yang menghasilkan sapi PO. Sapi PO mempunyai perbedaan susunan basa nukleotida yang lebih besar terhadap sapi ali (24,80%) dan Madura (26,75%), maka berbeda dengan bangsa sapi ali dan Madura, sehingga mempunyai jarak genetik yang lebih jauh dengan kedua sapi tersebut. Menurut Otsuka et al. (1980), sapi PO (Filial Ongole), dipercaya sebagai turunan langsung dari sapi Ongole. angsa sapi Madura yang masuk ke dalam kelompok sapi ali terlihat cenderung terpisah. Menurut Otsuka et al. (1980); MacHugh (1996) dan Martojo (2003), sapi ali merupakan hasil domestikasi langsung dari anteng (os javanicus), sedangkan sapi Madura yang dilaporkan Otsuka et al. (1980), merupakan pengembangan dari persilangan antara anteng dan sapi india (Sinhala). Sapi ali mempunyai perbedaan susunan basa nukleotida terhadap sapi os indicus sebesar 24,01%. Hasil ini bertentangan dengan laporan Nijman et al. (2003) pada daerah D-loop parsial (647 bp) sapi ali yang menyatakan bahwa, sekuens sapi ali hampir serupa (99,5%) dengan sekuens sapi zebu. Penelitian tersebut menunjukkan bukan sekuens sapi ali murni, tetapi kemungkinan sekuens sapi lain ataupun persilangannya. Hasil pengujian Noor et al. (2000 a) pada kemurnian sapi ali melalui analisis hemoglobin, baik sampel subunit globin maupun sampel Hb tetramerik, keduanya dapat menunjukkan perbedaan pola pita sapi ali dengan sapi rangus, Simmental dan Limousin. Keduanya dapat mendeteksi pita khas sapi ali yaitu βx ali, dan pita-pita lainnya sebagai pembanding sehingga dapat digunakan untuk menguji kemurnian sapi ali. Sapi ali yang tidak murni memperlihatkan adanya pita βa dan β yang dimiliki sapi lain.

88 68 Kedekatan sapi Madura dengan sapi ali (jarak genetik 0,0190) menunjukkan hibridisasi yang dominan telah terjadi antara sapi ali atau anteng betina dengan sapi zebu jantan, sehingga sapi Madura berada satu klaster dengan sapi ali. Sapi Madura mempunyai persamaan basa nukleotida 97,07% dengan sapi ali. Keadaan ini sesuai dengan Nijman et al. (2003) bahwa, sapi Madura mengandung materi genetik sapi ali yang telah mengalami hibridisasi dengan sapi zebu. Persamaan susunan basa nukleotida sapi Aceh dan os indicus adalah sebesar 94,36% dan terhadap os taurus sebesar 88,52%, sehingga sapi Aceh dekat dengan sapi os indicus. Walaupun demikian, sapi Aceh terkelompokkan berbeda dengan bangsa sapi-sapi os indicus. Perbedaan sapi Aceh dengan sapi-sapi os indicus dapat dilihat dari tidak adanya overlapping di antaranya. angsa-bangsa sapi dari os indicus menunjukkan adanya keterhubungan dengan sapi Aceh. Ditinjau dari DNA mitokondria dengan analisis pada daerah D-loop parsial sapi Aceh, dapat ditunjukkan bahwa sapi Aceh mempunyai hubungan kekerabatan yang lebih dekat dengan sapi-sapi zebu. Pembuktian dilanjutkan dengan melakukan blast sekuens sapi Aceh pada alamat NCI: blastn&megalast=on&last_programs=megalast&pagetype=last Search&SHOW_DEFAULTS=on dan hasilnya menunjukkan bahwa sapi Aceh dekat dengan sapi-sapi os indicus sebesar 96% (Lampiran 13). Hal ini membuktikan bahwa sapi Aceh adalah dari maternal zebu. Hubungan kekerabatan sapi Aceh dengan sapi os indicus berdasarkan analisis daerah D-loop mtdna menunjukkan hibridisasi yang dominan telah terjadi antara sapi zebu betina dengan anteng jantan. Oleh karena itu, ada indikasi bahwa sebagian besar genetik sapi Aceh mengandung materi genetik bangsa-bangsa sapi os indicus. Menurut Nozawa (1979), pusat gen sapi zebu (os indicus) ada di India. Penelitian ini hanya dilakukan pensejajaran nukleotida D-loop parsial dengan ukuran 479 nt karena keterbatasan data runutan nukleotida sapi Aceh dan sapi outgroup (ali, Madura, PO dan Pesisir). Amplifikasi PCR yang dilakukan pada daerah D-loop mtdna sepanjang 913 pb sapi Aceh tidak dapat ditunjukkan dengan sekuens yang utuh, karena setelah dicoba PCR dan sekuens berulang kali dengan mempergunakan primer IDLF dan IDLR tetap tidak diperoleh sekuens utuh dan bersih daerah D-loop mtdna menuju ke arah primer

89 69 reverse IDL (ditemukan basa yang tidak terbaca). Apabila dilakukan pensejajaran nukleotida di bagian lain dari daerah D-loop mtdna, maka ada kemungkinan terjadi pergeseran pola dendogram pada sapi penelitian. Namun demikian, hasil penelitian bahwa sapi Aceh berdekatan dengan sapi os indicus diduga akan tetap pada posisi yang sama. Keadaan ini terbukti setelah dicoba dilakukan analisis pada runutan pendek dan panjang daerah D-loop mtdna yang diperoleh, bahkan dicoba juga digunakan beberapa basa yang tidak terbaca pada sekuens menuju ke arah dekat sekuens primer IDLR, tetap diperoleh hasil yang sama. DNA mitokondria adalah penanda berdasarkan silsilah maternal (haploid) yang pada sapi dapat menunjukkan sejarah kawanannya (Ascunce et al. 2007). Sapi-sapi yang terkait hubungan maternal akan memiliki urutan sekuens yang serupa dan yang tidak terkait hubungan maternal akan berbeda. erdasarkan analisis daerah D-loop mtdna, hasil yang diperoleh dalam penelitian ini telah dapat ditunjukkan bahwa sapi Aceh adalah sapi yang lebih dekat dengan sapi os indicus.

90 70 DNA Mikrosatelit DNA Total DNA total telah diisolasi dari 160 sampel darah sapi Aceh, 10 sampel darah sapi ali, dua sampel darah masing-masing dari sapi Madura, PO dan Pesisir, sehingga keseluruhan sebanyak 176 DNA total sapi yang digunakan sebagai DNA cetakan untuk amplifikasi mikrosatelit dengan menggunakan teknik PCR. Semua hasil isolasi DNA yang diperoleh, dielektroforesis pada gel agarose 1,2%. Visualisasi hasil isolasi dan ekstraksi DNA total melalui elektroforesis yang memperlihatkan pita yang sangat tipis, tidak digunakan dalam penelitian ini dan dilakukan pengulangan isolasi dan ekstraksi DNA total (Gambar 17) M1 M2 PO1 PO2 P S1 PS lajur 1-30 DNA total sapi Aceh, lajur DNA total sapi Madura, lajur DNA total sapi PO, lajur DNA total sapi Pesisir, dan lajur DNA total sapi ali Gambar 17 Tampilan DNA total sapi penelitian setelah dimigrasikan dalam gel agarose 1,2% pada tegangan 90 volt selama 30 menit Sebanyak 176 sampel DNA total diukur kemurnian dan konsentrasinya dengan menggunakan mesin NanoDrop ND 1000 Spectrophotometer. Kemurnian DNA diketahui dari rasio kepadatan optik (optical dencity) yaitu dengan membagi nilai OD260 terhadap OD 280 berdasarkan output hasil analisis mesin, sehingga diperoleh kemurnian DNA berkisar antara 1,39-1,95 dengan konsentrasi 6, ,8 ng/µl (Lampiran 6). Menurut Sulandari dan Zein (2003), kemurnian larutan DNA dapat dilihat dengan membagi nilai OD260 dengan OD280. Molekul DNA dikatakan murni jika rasio kedua nilai tersebut berkisar antara 1,82,0. Jika nilai rasio lebih kecil dari 1,8 maka masih ada kontaminasi protein di dalam larutan.

91 71 Sebelum dilakukan PCR, semua sampel DNA total diseragamkan terlebih dahulu menjadi konsentrasi 5 ng/µl melalui pengenceran dengan penambahan air deionisasi. Amplifikasi Mikrosatelit Semua marker mikrosatelit yang dipergunakan, yaitu M1818, INRA005, CSRM60, M2113, HEL5, HEL9, HEL13, INRA63, INRA35, HEL1, ETH225, ETH10, CSSM66, M1824, ILSTS006, dan ILSTS005 berhasil teramplifikasi, kecuali lokus HEL5 yang tidak teramplifikasi pada sapi Madura (dua sampel yang digunakan). Ukuran-ukuran alel yang diperoleh dari produk PCR bervariasi dari yang terendah 101 pb pada lokus CSRM60 sampai tertinggi 321 pb pada lokus ILSTS006 (Tabel 12). Tabel 12 Panjang produk PCR dan selisih ukuran maksimum dan minimum pada masing-masing lokus mikrosatelit sapi penelitian Lokus M1818 INRA005 CSRM60 M2113 HEL5 HEL9 HEL13 INRA63 INRA35 HEL1 ETH225 ETH10 CSSM66 M1824 ILSTS006 ILSTS005 n n* Panjang produk PCR (pb) Min.Min. Mak. Mak Selisih ukuran produk PCR maksimum dan minimum (pb) Aceh ali Mad. PO Pss tt Keterangan: n = Jumlah sampel terdeteksi alel, n* = jumlah sampel tidak terdeteksi alel, Min. = minimum, Mak. = maksimum, Mad. dan Pss. adalah sapi Madura dan Pesisir, Nilai nol = diperoleh satu peak grafik hasil amplifikasi, tt = tidak teramplifikasi Penggunaan primer M1818 relatif lebih sedikit (71,6%) dapat teramplifikasi dibanding penggunaan primer lain, dan penggunaan primer ILSTS005 berhasil mengamplifikasi hampir seluruh sampel yang digunakan

92 72 (99,4%). Ada beberapa sampel yang tidak dapat teramplifikasi dalam penelitian ini dengan penggunaan primer-primer M1818, INRA005, CSRM60, M2113, HEL5, HEL9, HEL13, INRA63, INRA35, HEL1, ETH225, ETH10, CSSM66, M1824, ILSTS006, dan ILSTS005, karena kemungkinan beberapa sapi penelitian terdapat null allele seperti dilaporkan dalam penelitian Sodhi et al. (2006). Null allele adalah alel-alel yang secara konsisten tidak teramplifikasi selama PCR, sehingga tidak dapat dideteksi pada saat penggenotipan individu (Steven dan Taper 2006). Null allele pada lokus mikrosatelit tidak dapat divisualisasikan karena ada mutasi dalam sekuens pengapit yang berkomplemen dengan primer sehingga lokus ini tidak dapat teramplifikasi (Lehmann et al.1996). Alel dan Lokus Polimorfik Pengukuran keragaman genetik 160 sampel sapi Aceh dengan menggunakan 16 lokus mikrosatelit, menunjukkan semua lokus pada sapi Aceh adalah polimorfik, sedangkan lokus HEL9 dan HEL1 adalah monomorfik pada sapi ali (satu alel dengan frekuensi 95%). Lokus INRA005, CSRM60, HEL13, INRA35 dan HEL1 adalah monomorfik pada sapi Madura dan lokus HEL5 masing-masing monomorfik pada sapi PO dan Pesisir, namun dengan asumsi penggunaan sampel yang terbatas pada ketiga sapi tersebut (masing-masing dua sampel). Penggunaan sampel sapi Madura, PO dan Pesisir yang lebih banyak, maka kemungkinan tidak ada monomorfik pada lokus-lokus tersebut. Frekuensi alel tertentu yang lebih besar atau sama dengan 0,95, maka alel tersebut digolongkan monomorfik (Hartl dan Clark 1989). Penelitian terdahulu didapatkan hasil bahwa, alel pada lokus HEL9 adalah monomorfik pada sapi ali, yaitu seluruh sapi ali bergenotipe AA (Winaya 2000; Noor et al. 2000b). Demikian juga dalam penelitian Handiwirawan et al. (2003) pada lokus HEL9, alel A merupakan alel dengan frekuensi sangat tinggi yaitu 92,9%, sehingga lokus HEL9 sebagai lokus dengan alel yang spesifik terfixasi pada alel ini pada sapi ali. Hasil penelitian Sarbaini (2004) pada sapi Pesisir dengan penggunaan enam lokus mikrosatelit, ditemukan empat lokus (ETH225, HEL9, INRA037 dan ILSTS006) menunjukkan alel-alel khas (diagnostik) pada dua subpopulasi (Pesisir Selatan dan Padang Pariaman). Satu lokus (ETH3) menghasilkan alel khas hanya pada subpopulasi Padang Pariaman dan lokus lain (M2113) tidak menghasilkan alel khas pada kedua subpopulasi.

93 73 Sebanyak 164 alel mikrosatelit ditemukan dari total 176 sampel sapi, yang diukur keragamannya dengan 16 lokus mikrosatelit (M1818, INRA005, CSRM60, M2113, HEL5, HEL9, HEL13, INRA63, INRA35, HEL1, ETH225, ETH10, CSSM66, M1824, ILSTS006, dan ILSTS005). Sejumlah 148 alel (90,24%) ditemukan dalam populasi sapi Aceh dengan rataan 9,25 ± 2,27 yang merupakan jumlah alel tertinggi, dan pada kelompok sapi pembanding sebanyak 63 alel (38,41%) dengan rataan 3,94 ± 1,53 ditemukan pada sapi ali, 26 alel (15,85%) dengan rataan 1,31 ± 1,08 ditemukan pada sapi Madura, 43 alel (26,22%) dengan rataan 2,63 ± 1,03 ditemukan pada sapi PO dan 41 alel (25,00%) dengan rataan 2,50 ± 1,10 ditemukan pada sapi Pesisir (Tabel 13). Studi Sarbaini (2004) pada 189 sapi Pesisir di Sumatera arat dengan menggunakan enam lokus mikrosatelit (ETH225, HEL9, INRA037, ETH3, ILSTS006, M2113), terdeteksi rataan jumlah alel per lokus adalah 11,7, lebih tinggi dari hasil penelitian ini pada sapi Aceh hanya 9,25 ± 2,27 alel per lokus. Tabel 13 Jumlah alel masing-masing lokus mikrosatelit pada sapi Aceh, ali, Madura, PO, dan Pesisir Lokus M1818 INRA005 CSRM60 M2113 HEL5 HEL9 HEL13 INRA63 INRA35 HEL1 ETH225 ETH10 CSSM66 M1824 ILSTS006 ILSTS005 Total alel Kisaran JA PLP Rataan JAPL SD KK Jumlah alel ,25 2,08 20,92 Aceh (160) ,00 9,25 2,27 24,49 ali (10) ,00 3,94 1,53 38,76 Sapi Madura (2) ,69 1,31 1,08 44,23 PO (2) ,94 2,63 1,03 32,49 Pesisir (2) ,94 2,50 1,10 37,62 Keterangan : JA = jumlah alel; PLP = proporsi lokus polimorfik; JAPL = jumlah alel per lokus; SD = standar deviasi; KK = koefisien keragaman; ( ) = jumlah sampel

94 74 Penggunaan 16 lokus mikrosatelit sapi pada penelitian ini mempunyai rataan jumlah alel per lokus yang tinggi dibandingkan dengan beberapa hasil penelitian pada berbagai bangsa ternak, sehingga sapi Aceh memiliki tingkat keragaman alel yang tinggi (Tabel 14). Penelitian pada sapi Tharparkar di India yang dilakukan Sodhi et al. (2006) dengan menggunakan 105 sampel (dari daerah Jaisalmer dan Jodhpur di Rajasthan) dan 25 lokus mikrosatelit, ditemukan jumlah total alel sebanyak 155. Jumlah alel-alel berkisar empat (ETH3, ILSTS030, INRA5, INRA63 dan MM8) sampai 11 (HEL9 dan ILSTS034), dengan rataan jumlah alel per lokus 6,20. Tabel 14 Perbandingan rataan jumlah alel per lokus pada berbagai ternak penelitian Jumlah lokus mikrosatelit Rataan jumlah alel per lokus 11,70 11,40 10, ,40 9 7, ,20 3,50 Sampel penelitian 189 sapi Pesisir 546 sampel dari 14 bangsa sapi 160 sapi Aceh, 10 sapi ali, 2 (masingmasing sapi Madura, PO, Pesisir) 728 African zebu, 2 Eropean bison, American bison, 2 anteng 18 zebu (masing-masing Nellore, Gyr dan Guzerat), 18 Holstein 105 sapi Tharparkar 294 sapi ali Sumber Sarbaini (2004) Loftus et al. (2003) Penelitian ini MacHugh (1996) Machado et al. (2003) Sodhi et al. (2006) Handiwirawan et al. (2003) Jumlah alel dalam populasi sapi Aceh berkisar antara enam alel pada lokus INRA005 sampai 13 alel pada lokus HEL9 yang merupakan jumlah alel tertinggi, sedangkan sapi ali memiliki jumlah alel terendah pada empat lokus (INRA005, HEL9, INRA35 dan HEL1) yaitu masing-masing dua alel, dan jumlah alel tertinggi (tujuh alel) ditemukan pada lokus M1818. HEL5 merupakan lokus yang sangat sedikit bisa teramplifikasi pada sapi ali yaitu hanya 50%, dan tidak ada sampel yang teramplifikasi pada sapi Madura pada lokus tersebut. Fenomena rata-rata jumlah alel yang tinggi pada sapi Aceh karena variasi genetik sapi Aceh pada lokus-lokus mikrosatelit tersebut sangat beragam, yaitu mempunyai rataan keragaman gen pada semua lokus 0,6014 ± 0,3384. Keragaman yang tinggi pada lokus-lokus mikrosatelit ini dipengaruhi oleh tingkat mutasinya. Menurut Muladno (2006), DNA mikrosatelit memiliki laju perubahan basa nukleotida tinggi yang disebabkan adanya perubahan jumlah ulangan dari urutan basa bergandengan mencapai 10-3/gamet/generasi. Laju perubahan

95 75 mikrosatelit dipengaruhi oleh motifnya. Mikrosatelit dengan motif dinukleotida memiliki laju mutasi 1,5-2 kali lebih cepat dibandingkan dengan motif tetranukleotida. Ada 16 alel mikrosatelit (9,76%) dari 16 lokus yang dipergunakan tidak ditemukan pada sapi Aceh, tetapi terdapat pada sapi ali yaitu satu alel masingmasing ditemukan pada lokus M1818 (ukuran 270 bp), CSRM60 (ukuran 114 bp), INRA63 (ukuran 192 bp) dan ILSTS006 (ukuran 297 bp), dua alel pada lokus M2113 masing-masing berukuran 140 dan 148 bp, tiga alel pada lokus CSSM66 (ukuran 191, 193 dan 209 bp) dan tiga alel pada lokus M1824 (ukuran 207, 209 dan 211 bp). Tiga alel mikrosatelit lainnya (1,83%) yaitu alel F pada lokus INRA005 dengan ukuran 161 bp hanya dimiliki sapi Pesisir, alel pada lokus INRA35 dengan ukuran 119 bp hanya dimiliki sapi Madura dan alel C pada lokus ILSTS005 dengan ukuran 194 bp ditemukan pada dua bangsa sapi (ali dan Madura) (Tabel 15). Sebanyak enambelas alel mikrosatelit tersebut spesifik hanya terdapat pada sapi pembanding. Tabel 15 Alel-alel pada sepuluh lokus mikrosatelit yang hanya ditemukan pada sapi ali, Madura dan Pesisir Lokus Alel Ukuran alel spesifik (bp) Genotipe M1818 A 270 AD (ali) INRA005 F 161 CF (Pesisir) CSRM60 F 114 EF (ali) M2113 A, D 140 dan 148 A, AC, D, DG (ali) INRA63 A 192 AA (ali) INRA E (Madura) CSSM66 A,, I 191, 193 dan 209 AE,, CI, EI, GI (ali) M1824 G, H, I 207, 209 dan 211 G, HI, II, I (ali) ILSTS F, G (ali) ILSTS005 A, C 188 dan 194 AD, CC, CD (ali), CI (Madura) Keterangan: ( ) Genotipe yang dimiliki sapi ali, Madura, Pesisir Disamping itu, dari empat sapi pembanding yang digunakan dalam penelitian ini, ada beberapa alel (berkisar 1-6) hanya terdapat pada sapi Aceh dengan frekuensi yang relatif kecil. Diduga alel-alel tersebut merupakan alel mutasi sebagai akibat proses replication slippage yang menghasilkan rangkaian yang lebih panjang (Levinson dan Gutman 1987; Riwantoro 2005). Kemungkinan lain adalah ada aliran gen dari bangsa-bangsa sapi lain yang masuk ke dalam populasi sapi Aceh.

96 76 Distribusi dan Jumlah Genotipe Rataan proporsi genotipe sapi Aceh sebesar 86,0% ditemukan dari rataan jumlah total genotipe pada 16 lokus mikrosatelit sapi. Sebanyak 11 genotipe yang merupakan jumlah terendah pada sapi Aceh, masing-masing ditemukan pada lokus INRA63 (91,67%) dengan kisaran ukuran alel bp dan lokus HEL1 (84,62%) dengan kisaran ukuran alel bp. Sapi Aceh memiliki 95,56% jumlah genotipe tertinggi (43) yang ditemukan pada lokus HEL9 dengan kisaran ukuran alel bp. Lain halnya pada sapi outgroup, rataan proporsi genotipe sebesar 32,92% merupakan rasio gabungan jumlah genotipe yang ditemukan pada sapi ali, Madura, PO dan Pesisir terhadap rataan jumlah genotipe keseluruhan dengan asumsi bahwa genotipe yang sama antarsapi tersebut dianggap satu genotipe. Kecuali lokus INRA005 dan ETH225 yang mempunyai range ukuran alel yang sama dengan range ukuran alel sapi Aceh, umumnya sapi pembanding mempunyai range ukuran alel yang lebih pendek pada semua lokus yang digunakan (Tabel 16). Tabel 16 Kisaran ukuran alel dan jumlah genotipe sapi Aceh dan sapi outgroup pada 16 lokus mikrosatelit Lokus M1818 INRA005 CSRM60 M2113 HEL5 HEL9 HEL13 INRA63 INRA35 HEL1 ETH225 ETH10 CSSM66 M1824 ILSTS006 ILSTS005 Sapi Aceh Ukuran dan Jumlah kisaran alel genotipe L 27 (84,38) 153 A G 15 (88,24) 101 A M 33 (84,62) J 24 (85,71) 166 A J 23 (95,83) 161 A M 43 (95,56) 191 A H 15 (88,23) H 11 (91,67) 117 A J 22 (95,65) 116 A H 11 (84,62) 158 A L 22 (84,61) 224 A H 18 (85,71) 195 C M 25 (78,13) 190 A J 13 (65,00) 293 A M 29 (82,86) I 19 (82,61) Sapi outgroup Ukuran dan Jumlah kisaran alel genotipe 270 A J 12 (37,50) 153 A G 8 (47,06) 108 C K 9 (23,08) 140 A I 14 (50,00) G 4 (16,67) 165 C L 6 (13,33) 199 C G 7 (41,18) 192 A G 7 (58,33) F 4 (17,39) E 4 (30,77) 158 A L 9 (34,62) 224 A F 10 (47,62) 191 A L 12 (37,50) J 10 (50,00) H 9 (25,71) 188 A I 9 (39,13) Total genotipe Keterangan: ( ) proporsi dalam % Enambelas lokus mikrosatelit yang digunakan, menghasilkan genotipegenotipe spesifik pada sapi Aceh dan sapi outgroup. Sapi Aceh mempunyai jumlah genotipe spesifik tertinggi (65,22%) pada lokus INRA35 dan terendah (5,88%) pada lokus INRA005. Kecuali lokus HEL5, HEL9, HEL13, INRA35, ETH225 dan ETH10, sapi outgroup mempunyai jumlah genotipe spesifik tertinggi

97 77 (20%) pada lokus M1824 dan terendah (2,56%) pada lokus CSRM60 (Gambar 18). Hal ini menunjukkan bahwa ada perbedaan genetik antara sapi Aceh dan sapi pembanding. Semakin tinggi intensitas jumlah genotipe berbeda di antara sapi Aceh dan sapi pembanding, maka semakin jauh hubungan genetik antara sapi-sapi tersebut. erdasarkan urutan intensitas kepemilikan genotipe bersama antara sapi Aceh dan sapi pembanding dalam penelitian ini, maka urutan lokus mikrosatelit yang dapat digunakan untuk uji pembeda genetik yaitu INRA35, HEL5, ETH225, HEL1, ILSTS006, CSRM60, HEL9, INRA63, M1818, HEL13, Ju mlah genotipe (% ) M1824, ILSTS005, CSSM66, M2113, ETH10 dan INRA Genotipe sapi Ace h Genotipe sapi outgroup Genotipe bersama Lokus mikrosatelit Gambar 18 Perbandingan jumlah genotipe yang hanya terdapat pada sapi Aceh, outgroup dan genotipe bersama Distribusi Frekuensi Alel Frekuensi alel adalah proporsi alel yang ada dalam suatu populasi (Hartl, 1988). Masing-masing lokus memiliki alel dengan jumlah berbeda-beda dan alel pada masing-masing lokus tidak menyebar secara merata dalam populasi sapi Aceh dan sapi pembanding. Sebanyak 12 alel dengan panjang pb diidentifikasi pada lokus M1818 (Gambar 19). Pola distribusi frekuensi alel pada lokus M1818 dari sapi Aceh dan sapi pembanding berbeda. Alel E merupakan alel frekuensi tertinggi (0,750) yang ditemukan pada sapi Pesisir dan alel K adalah alel frekuensi terendah (0,005) yang ditemukan pada sapi Aceh. Hanya sapi Madura yang tidak memiliki alel E, sedangkan alel A dengan ukuran 270 pb hanya dimiliki sapi ali dalam keadaan heterozigot (genotipe AD) dengan frekuensi 0,050.

98 78 Sebanyak 11 alel ditemukan pada lokus M1818 dari sapi Aceh dengan kisaran panjang ukuran alel pb. Alel frekuensi tertinggi (0,441) pada lokus M1818 sapi Aceh adalah alel E yang berukuran 280 pb. Sisanya merupakan alel-alel lain dengan frekuensi yang lebih rendah. Alel yang mempunyai frekuensi paling rendah (K dan L) pada sapi Aceh merupakan alel- Frekuensi alel alel lain yang tidak dimiliki oleh sapi pembanding A C D E F G H I J K L Aceh ali Madura PO Pesisir Gambar 19 Distribusi frekuensi alel lokus M1818 pada sapi Aceh, ali, Madura, PO dan Pesisir (masing-masing panjang alel dalam pasang basa: A_270, _274, C_276, D_278, E_280, F_282, G_284, H_286, I_288, J_290, K_297, L_299) Sebanyak tujuh alel dengan panjang bervariasi antara pb diidentifikasi pada lokus INRA005 (Gambar 20). Lokus INRA005 dari sapi Aceh dan sapi pembanding mempunyai range ukuran alel yang sama. Pola distribusi frekuensi alel lokus INRA005 dari sapi Aceh dan sapi pembanding berbeda. Alel E berukuran 159 pb dengan frekuensi tertinggi (1,00) ditemukan pada sapi Madura dalam keadaan homozigot dan alel D berukuran 158 pb dengan frekuensi terendah (0,004) hanya ditemukan pada sapi Aceh. Sapi ali hanya memiliki dua alel (A dan ) pada lokus INRA005, dengan frekuensi masingmasing 0,778 untuk alel A dan 0,222 bagi alel, sedangkan alel F dengan panjang ukuran alel 161 pb hanya dimiliki sapi Pesisir dengan frekuensi 0,250. Sebanyak enam alel ditemukan pada lokus INRA005 dari sapi Aceh dengan kisaran panjang ukuran alel pb. Alel frekuensi tertinggi (0,420)

99 79 pada lokus INRA005 sapi Aceh adalah alel E dan alel frekuensi terendah yaitu alel D (0,004) Frekuensi alel A C D E F G Aceh ali Madura PO Pe sis ir Gambar 20 Distribusi frekuensi alel lokus INRA005 pada sapi Aceh, ali, Madura, PO dan Pesisir (masing-masing panjang alel dalam pasang basa: A_153, _155, C_157, D_158, E_159, F_161, G_163) Sebanyak 13 alel dengan panjang ukuran bervariasi antara pb diidentifikasi pada lokus CSRM60 (Gambar 21). Lokus CSRM60 dari sapi Aceh dan sapi pembanding mempunyai range ukuran alel yang berbeda. Pola distribusi penyebaran alel dalam populasi sapi Aceh dan sapi pembanding tidak menyebar secara merata. Terdapat Alel K dengan panjang ukuran 126 pb, mempunyai frekuensi tertinggi (1,00) pada sapi Madura. Sebanyak 12 alel ditemukan pada lokus CSRM60 dari sapi Aceh dengan panjang ukuran antara 101 pb sampai 130 pb. Alel dengan frekuensi tertinggi pada sapi Aceh (0,363) adalah alel K dan ada dua alel dengan frekuensi terendah (0,004) yaitu alel (panjang ukuran 106 pb) dan alel G (panjang ukuran 116 pb). Alel M (panjang ukuran 130 pb) hanya dimiliki sapi Aceh dengan frekuensi rendah (0,021) dan alel F (panjang ukuran 114 pb) hanya dimiliki sapi ali dengan frekuensi 0,056. Sapi ali memiliki lima alel pada lokus CSRM60. Frekuensi alel tertinggi pada sapi ali (0,556) adalah alel E (panjang ukuran 112 pb) dan alel frekuensi terendah (0,056) adalah dua alel (D dan F) masingmasing panjang ukuran 110 pb dan 114 pb.

100 Frekuensi alel A C D E F G H I J K L M Aceh ali Madura PO Pe sisir Gambar 21 Distribusi frekuensi alel lokus CSRM60 pada sapi Aceh, ali, Madura, PO dan Pesisir (masing-masing panjang alel dalam pasang basa: A_101, _106, C_108, D_110, E_112, F_114, G_116, H_118, I_120, J_124, K_126, L_128, M_130) Sebanyak 12 alel dengan panjang ukuran pb diidentifikasi pada lokus M2113 (Gambar 22). Pola distribusi frekuensi alel lokus M2113 dari sapi Aceh dan sapi pembanding berbeda. Pada lokus M2113, terdapat alel yang mempunyai frekuensi tinggi (0,500) yaitu masing-masing alel C (panjang ukuran 146 pb) dan I (panjang ukuran 158 pb) yang dimiliki sapi Madura dan alel yang mempunyai frekuensi terendah (0,007) yaitu alel E yang dimiliki sapi Aceh. Sapi Pesisir didapatkan satu-satunya yang tidak memiliki alel C. Sebanyak delapan alel ditemukan pada lokus M2113 dari sapi Aceh. Alel frekuensi tertinggi (0,243) pada sapi Aceh adalah alel G dengan panjang ukuran 154 pb, sedangkan sapi ali memiliki lima alel (A,, C, D dan G) pada lokus M2113. Alel A dengan panjang ukuran 140 pb hanya dimiliki sapi ali. Alel merupakan alel dengan frekuensi tertinggi pada sapi ali (0,300) dan alel dengan frekuensi terendah yaitu alel D (0,100). Kisaran panjang ukuran alel pada lokus mikrosatelit M2113 sapi Aceh yaitu pb (range 28 pb). Hasil studi Sarbaini (2004), dengan penggunaan lokus yang sama pada sapi Pesisir menunjukkan kisaran ukuran alel yang lebih pendek (range 22 pb) yaitu pb.

101 Frekuensi alel A C D E F G H I J Aceh ali Madura PO Pesisir Gambar 22 Distribusi frekuensi alel lokus M2113 pada sapi Aceh, ali, Madura, PO dan Pesisir (masing-masing panjang alel dalam pasang basa: A_140, _142, C_146, D_148, E_150, F_152, G_154, H_156, I_158, J_160) Kecuali sapi Madura yang tidak memiliki alel, sebagian besar sapi penelitian sedikit memiliki alel pada lokus HEL5 (Gambar 23), kecuali sapi Aceh memiliki seluruhnya. Sepuluh alel yang ditemukan pada lokus mikrosatelit HEL Fr ekuensi alel A C D E F G H I J Aceh ali Madura PO Pesisir Gambar 23 Distribusi frekuensi alel lokus HEL5 pada sapi Aceh, ali, Madura, PO dan Pesisir (masing-masing panjang alel dalam pasang basa: A_166, _170, C_172, D_174, E_178, F_180, G_182, H_184, I_185, J_186)

102 82 dengan kisaran panjang ukuran alel pb, distribusinya tidak merata. Alel (panjang ukuran 170 pb) dan alel D (panjang ukuran 186 pb) merupakan alel frekuensi tertinggi (1,000), masing-masing dimiliki sapi Pesisir (alel ) dan sapi PO (alel D). Alel frekuensi tertinggi pada sapi Aceh (0,427) adalah alel (panjang ukuran 170 pb), dan alel-alel C, H dan J merupakan alel-alel dengan frekuensi yang sangat rendah pada sapi Aceh. Alel A dengan panjang ukuran 166 pb hanya dimiliki sapi Aceh. Sapi ali memiliki empat alel pada lokus HEL5 dengan kisaran panjang ukuran pb, di mana alel D merupakan alel dengan frekuensi tertinggi dan alel F merupakan alel dengan frekuensi terendah pada sapi ali. Ada 12 jenis alel yang terdapat pada lokus HEL9 (ishop et al., 1994). Jumlah alel yang ditemukan pada lokus HEL9 dalam penelitian ini adalah 13 alel dengan kisaran panjang ukuran alel pb dan seluruh alel dimiliki sapi Aceh dengan frekuensi beragam (Gambar 24). Sapi ali memiliki dua jenis alel (C dan D), masing-masing berukuran 165 pb untuk alel C dan 169 pb bagi alel D. Frekuensi alel C pada lokus HEL9 sapi ali dengan frekuensi tertinggi (0,950) digolongkan sebagai alel monomorfik. Hasil ini hampir menyamai studi Frekuensi alel Handiwirawan et al. (2003) yang melaporkan bahwa, pada sapi ali terdapat tiga A C D E F G H I J K L M Aceh ali Madura PO Pe sisir Gambar 24 Distribusi frekuensi alel lokus HEL9 pada sapi Aceh, ali, Madura, PO dan Pesisir (masing-masing panjang alel dalam pasang basa: A_161, _163, C_165, D_169, E_171, F_173, G_175, H_177, I_179, J_181, K_183, L_185, M_187)

103 83 alel pada lokus HEL9 dan ada alel A yang mempunyai frekuensi cukup besar (92,9%). Alel yang ditemukan tersebut adalah alel-alel yang juga terdapat pada anteng. Alel C pada lokus HEL9 yang dapat menunjukkan monomorfik pada sapi ali, juga dimiliki sapi Madura dengan frekuensi yang lebih rendah (0,500). Namun, sapi Aceh memiliki frekuensi alel C yang sangat rendah (0,003). Alel frekuensi tertinggi pada sapi Aceh adalah alel L berukuran 185 pb dengan frekuensi 0,258. Hasil studi Sarbaini (2004) pada lokus HEL9 mikrosatelit dari sapi Pesisir, ditemukan 12 alel dengan kisaran panjang ukuran pb. Hasil penelitian ini pada lokus yang sama dari sapi Aceh memiliki 13 alel dengan kisaran panjang ukuran pb. Sebanyak delapan alel dengan panjang ukuran pb diidentifikasi pada lokus HEL13 dan sapi Aceh memiliki seluruh alel tersebut (Gambar 25). Pola distribusi alel pada lokus HEL13 sapi Aceh dan sapi pembanding berbeda. Pada lokus HEL13 terdapat alel E (panjang ukuran 203 pb) dengan frekuensi tertinggi yaitu dimiliki sapi Madura (1,000) Fr ekuensi alel A C D E F G H Aceh ali Madura PO Pesisir Gambar 25 Distribusi frekuensi alel lokus HEL13 pada sapi Aceh, ali, Madura, PO dan Pesisir (masing-masing panjang alel dalam pasang basa: A_191, _193, C_199, D_201, E_203, F_205, G_207, H_209) Alel E dengan rataan frekuensi tinggi yang dimiliki sapi Aceh, Madura, PO dan Pesisir, tidak ditemukan pada sapi ali. Sapi Aceh memiliki delapan alel

104 84 (A-H) pada lokus HEL13 dengan frekuensi beragam. Alel C dengan panjang ukuran 199 pb merupakan alel dengan frekuensi tertinggi dimiliki sapi Aceh pada lokus HEL13. Ditemukan juga alel-alel lain (A,, G dan H) dengan frekuensi yang sangat rendah (0,003-0,006). Sapi PO dan Pesisir juga memiliki alel C dengan frekuensi masing-masing 0,750 untuk sapi PO dan 0,250 bagi sapi Pesisir, dan alel E dengan frekuensi 0,250 dan 0,750 masing-masing untuk sapi PO dan Pesisir. Sapi ali memiliki tiga alel (D, F, G) pada lokus HEL13 dengan frekuensi tertinggi (0,450) yaitu alel D (panjang ukuran 201) dan terendah (0,150) alel F (panjang ukuran 205). Sebanyak delapan alel dengan panjang pb diidentifikasi pada lokus INRA63 (Gambar 26). Alel frekuensi tertinggi (0,600) ditemukan pada sapi ali yaitu alel C (panjang ukuran 196 pb) dan alel frekuensi terendah (0,007) yaitu alel (panjang ukuran 194 pb) dan D (panjang ukuran 198 pb) pada sapi Aceh Frekuensi alel A C D E F G H Aceh ali Madura PO Pe sisir Gambar 26 Distribusi frekuensi alel lokus INRA63 pada sapi Aceh, ali, Madura, PO dan Pesisir (masing-masing panjang alel dalam pasang basa: A_192, _194, C_196, D_198, E_200, F_202, G_204, H_206) Sebanyak tujuh alel (kisaran panjang ukuran pb) ditemukan pada sapi Aceh. Alel F merupakan alel dengan frekuensi yang tertinggi pada sapi Aceh, dan ditemukan juga alel-alel dengan frekuensi yang sangat rendah yaitu alel dan D masing-masing 0,007 dan alel E dan H masing-masing 0,010. Alel dengan panjang ukuran 194 pb hanya ditemukan pada sapi Aceh. Kecuali sapi

105 85 ali yang tidak memiliki alel F (panjang ukuran 202), sapi Madura, PO, Pesisir memiliki frekuensi alel F yang cenderung sama. Kecuali sapi Madura yang tidak memiliki alel C dan sapi Pesisir yang tidak memiliki alel G, alel-alel yang dimiliki kedua sapi tersebut juga ditemukan pada sapi Aceh, sedangkan sapi ali memiliki empat alel (A, C, D dan G) pada lokus INRA63. Alel A dengan panjang ukuran 192 pb hanya ditemukan pada sapi ali dengan frekuensi 0,100. Ada tujuh jenis alel yang terdapat pada lokus INRA35 (Vaiman et al., 1994). Jumlah alel yang ditemukan pada lokus INRA35 dalam penelitian ini adalah 10 alel dengan kisaran panjang ukuran alel pb dan seluruh alel dimiliki sapi Aceh dengan frekuensi beragam (Gambar 27). Pola distribusi penyebaran alel dalam populasi sapi Aceh dan sapi pembanding tidak menyebar secara merata. Alel F dengan panjang ukuran 137 pb merupakan alel dengan frekuensi tertinggi yang dimiliki sapi Madura (1,000) dan alel G dan I dengan frekuensi terendah ditemukan pada sapi Aceh (0,004) Fr ekuensi alel A C D E F G H I J Aceh ali Madura PO Pesisir Gambar 27 Distribusi frekuensi alel lokus INRA35 pada sapi Aceh, ali, Madura, PO dan Pesisir (masing-masing panjang alel dalam pasang basa: A_117, _119, C_121, D_123, E_125, F_137, G_139, H_141, I_147, J_153) Alel frekuensi tertinggi dimiliki sapi Aceh (0.299) pada lokus INRA35 adalah alel A dengan panjang ukuran 117 dan ditemukan juga alel-alel lain dengan frekuensi sangat rendah yaitu 0,004 (alel G dan I) dan 0,007 (alel C dan J). Sapi lain yang memiliki alel-alel yang sama dengan sapi Aceh yaitu sapi PO (alel, E

106 86 dan F) dan sapi Pesisir (alel E dan F). Sapi ali memiliki alel C (panjang ukuran 121 pb) dengan frekuensi sangat besar (0,900) dan alel F (panjang ukuran 137 pb) dengan frekuensi lebih rendah (0,100) dari frekuensi alel F pada sapi Aceh. Lokus INRA35 belum dapat digolongkan sebagai alel monomorfik pada sapi ali, namun dapat ditunjukkan bahwa tidak ada alel lain selain alel C dan F yang ditemukan pada sapi ali dan lokus tersebut dapat digunakan sebagai lokus pendukung penciri genetik sapi ali. Hasil ini cenderung menyamai studi Handiwirawan et al. (2003) dengan menggunakan sampel yang lebih banyak (77 sampel) melaporkan bahwa, sapi ali mempunyai alel dengan frekuensi yang cukup besar (96,8%) pada lokus INRA35. Hasil identifikasi genotipe sapi ali dan genotipe anteng menunjukkan bahwa alel A dan merupakan alel yang monomorfik pada lokus mikrosatelit INRA35 pada sapi ali sehingga dapat digunakan sebagai penciri genetik sapi ali. Sebanyak delapan alel dengan panjang antara pb diidentifikasi pada lokus HEL1 (Gambar 28). Pola distribusi frekuensi alel pada lokus HEL1 pada sapi Aceh dan sapi pembanding berbeda. Alel D dengan panjang ukuran 122 pb pada lokus HEL1 dimiliki oleh sapi Aceh, ali, Madura, PO dan Pesisir. Rataan frekuensi alel D umumnya tinggi dan frekuensi tertinggi ditemukan pada sapi Madura (1,000) dalam keadaan genotipe homozigot. Alel D dengan frekuensi cukup tinggi yang dimiliki sapi ali (0,950) pada lokus HEL1 digolongkan sebagai monomorfik, sehingga lokus ini dapat digunakan sebagai penciri spesifik sapi ali. Sebanyak tujuh alel ditemukan pada lokus HEL1 dari sapi Aceh dan alel frekuensi tertinggi adalah alel D (0,827). Ada alel-alel lain (C, E, F, G dan H) yang ditemukan pada sapi Aceh dengan frekuensi sangat rendah (berkisar 0,003-0,013). Alel A (panjang ukuran 116 pb) hanya ditemukan pada sapi Aceh dengan frekuensi 0,103. Identifikasi genotipe pada lokus HEL1 menunjukkan bahwa, jumlah genotipe homozigot DD sapi Aceh lebih besar (70,5%) terhadap genotipe heterozigot (24,4%), dan ini merupakan jumlah genotipe homozigot tertinggi pada sapi Aceh dari 16 lokus mikrosatelit yang digunakan dalam penelitian ini. Sapi PO memiliki alel (panjang ukuran 118 pb) dan D (panjang ukuran 122pb) dengan frekuensi masing-masing 0,500. Alel hanya ditemukan pada sapi PO.

107 Frekuensi alel A C D E F G H Aceh ali Madura PO Pe sisir Gambar 28 Distribusi frekuensi alel lokus HEL1 pada sapi Aceh, ali, Madura, PO dan Pesisir (masing-masing panjang alel dalam pasang basa: A_116, _118, C_120, D_122, E_124, F_126, G_132, H_166) Sebanyak 12 alel dengan panjang ukuran pb diidentifikasi pada lokus ETH225 (Gambar 29). Pola distribusi frekuensi alel lokus M2113 dari sapi Aceh dan sapi pembanding berbeda. Pada lokus ETH225 terdapat alel dengan frekuensi tertinggi (0,750) yaitu alel H (panjang ukuran 174 pb) yang dimiliki PO dan Pesisir, dan alel yang mempunyai frekuensi terendah (0,003) yaitu alel A (panjang ukuran 158 pb), K (panjang ukuran 180 pb) dan L (panjang ukuran 182 pb) yang dimiliki sapi Aceh. Kecuali sapi Madura, alel H juga ditemukan pada sapi Aceh dan ali dengan frekuensi terendah pada sapi ali. Sapi Madura memiliki frekuensi alel A lebih tinggi (0,500) dari frekuensi alel A pada sapi Aceh (0,003) dan sapi ali memiliki frekuensi alel I lebih tinggi (0,100) dari frekuensi alel I sapi Aceh (0,038). Range dari distribusi sebaran alel (12 alel) pada lokus ETH225 dari sapi Aceh yaitu 24 pb, berbeda dengan studi Sarbaini (2004) pada sapi Pesisir yaitu ditemukan 11 alel dengan kisaran panjang ukuran alel pb (range 22 pb). Alel frekuensi tertinggi pada lokus ETH225 dari sapi Aceh adalah alel H (0,243), sedangkan sapi ali memiliki lima alel (A,, C, D dan G) pada lokus yang sama dan alel frekuensi tertinggi yaitu alel K (0,350).

108 Frekuensi alel A C D E F G H I J K L Aceh ali Madura PO Pesisir Gambar 29 Distribusi frekuensi alel lokus ETH225 pada sapi Aceh, ali, Madura, PO dan Pesisir (masing-masing panjang alel dalam pasang basa: A_158, _160, C_162, D_164, E_166, F_168, G_170, H_174, I_176, J_178, K_180, L_182) Sebanyak delapan alel dengan panjang pb diidentifikasi pada lokus ETH10 (Gambar 30). Alel frekuensi tertinggi (0,550) ditemukan pada sapi ali yaitu alel D (panjang ukuran 230 pb) dan alel frekuensi terendah (0,003) yaitu alel G (panjang ukuran 236 pb) dan alel H (panjang ukuran 288 pb) pada sapi Aceh. Sapi ali memiliki empat alel (, D, E dan F) pada lokus ETH10 dengan frekuensi terendah (0,100) masing-masing yaitu alel (panjang ukuran 226 pb) dan alel E (panjang ukuran 232 pb). Kecuali sapi Madura, sapi PO dan Pesisir juga memiliki alel namun dengan frekuensi lebih tinggi (0,500) dari sapi lokal lain. Sapi Aceh memiliki alel dan E dengan frekuensi yang cenderung lebih tinggi (masing-masing 0,107 dan 0,177) dari frekuensi sapi ali (masingmasing 0,100), namun frekuensi alel E lebih besar dimiliki sapi Madura (0,500). Sebanyak delapan alel ditemukan dalam range sebaran berukuran 14 pb pada lokus ETH10 dari sapi Aceh. Alel frekuensi tertinggi pada sapi Aceh adalah alel C (0,463) dengan panjang ukuran 228 pb dan ada tiga alel (D, G dan H) dengan frekuensi yang rendah (0,020 untuk alel D dan 0,003 bagi masingmasing alel G dan H). Alel D juga ditemukan pada sapi Madura dengan frekuensi yang lebih tinggi (0,500). Hal ini mengindikasikan bahwa alel D pada lokus ETH10 merupakan alel yang umum pada sapi ali.

109 Frekuensi alel A C D E F G H Aceh ali Madura PO Pesisir Gambar 30 Distribusi frekuensi alel lokus ETH10 pada sapi Aceh, ali, Madura, PO dan Pesisir (masing-masing panjang alel dalam pasang basa: A_224, _226, C_228, D_230, E_232, F_234, G_236, H_288) Sebanyak 13 alel yang dideteksi pada lokus CSSM66 tersebar pada sapi penelitian secara beragam dengan panjang ukuran alel berkisar pb (Gambar 31). Alel frekuensi tertinggi (0,500) ditemukan pada sapi ali (alel E), Frekuensi alel A C D E F G H I J K L M Aceh ali Madura PO Pesisir Gambar 31 Distribusi frekuensi alel lokus CSSM66 pada sapi Aceh, ali, Madura, PO dan Pesisir (masing-masing panjang alel dalam pasang basa: A_191, _193, C_195, D_197, E_199, F_201, G_205, H_207, I_209, J_211, K_213, L_215, M_217)

110 90 Madura (alel C), PO (alel K) dan Pesisir (alel L). Alel dengan frekuensi terendah (0,003) ditemukan pada sapi Aceh (alel G dan H). Sapi Aceh, ali, Madura, PO dan Pesisir memiliki alel C (panjang ukuran 195 pb) dan alel C dengan frekuensi terendah ditemukan pada sapi ali (0,050). Ada alel-alel yang ditemukan pada lokus CSSM66 dari sapi penelitian, tidak ditemukan pada sapi Aceh yaitu alel A, dan I. Sapi Aceh memiliki 10 macam alel pada lokus CSSM66 dengan kisaran panjang ukuran pb. Alel frekuensi tertinggi dan terendah yang ditemukan pada sapi Aceh masingmasing adalah alel D (0,422) dan alel H (0,003). Sapi pembanding yang memiliki alel D dengan panjang ukuran alel 197 pb, hanya sapi PO dengan frekuensi 0,250. Ada dua alel yang tidak dimiliki sapi Aceh disamping enam alel yang dapat dideteksi pada lokus CSRM66 dari sapi ali. Sebanyak 10 alel dengan panjang ukuran pb diidentifikasi pada lokus M1824 (Gambar 32). Alel dengan frekuensi tertinggi (0,750) ditemukan pada sapi Madura dan Pesisir yaitu alel D (panjang ukuran 200 pb), dan frekuensi alel terendah (0,004) yaitu alel F pada sapi Aceh. Alel D juga dimiliki sapi Aceh dengan frekuensi lebih rendah (0,402), PO (0,500), dan sapi ali dengan frekuensi paling rendah 0, Frekuensi alel A C D E F G H I J Aceh ali Madura PO Pesisir Gambar 32 Distribusi frekuensi alel lokus M1824 pada sapi Aceh, ali, Madura, PO dan Pesisir (masing-masing panjang alel dalam pasang basa: A_190, _195, C_198, D_200, E_202, F_205, G_207, H_209, I_211, J_212)

111 91 Distribusi alel pada lokus M1824 dari sapi Aceh tidak semuanya merata pada semua alel yang ditemukan. Alel G dan H yang dimiliki sapi ali dengan frekuensi masing-masing 0,056 dan alel I yang dimiliki sapi ali dan Madura dengan frekuensi masing-masing 0,389 dan 0,250, ketiganya tidak ditemukan pada sapi Aceh, PO dan Pesisir. Sebanyak tujuh alel sapi Aceh yang tersebar dalam range ukuran alel (22 pb) pada lokus M1824, alel C merupakan alel dengan frekuensi tertinggi (0,434) dan ditemukan juga alel-alel dengan frekuensi sangat rendah yaitu alel (0,007), F (0,004) dan J (0,031). Sebanyak 13 alel dengan panjang pb diidentifikasi pada lokus ILSTS006 (Gambar 33). Alel G (panjang ukuran 309 pb) dengan frekuensi tertinggi (0,750) ditemukan pada sapi Pesisir. Alel C (panjang ukuran 301 pb), alel D (panjang ukuran 303) dan alel E (panjang ukuran 305) masing-masing merupakan alel dengan frekuensi terendah (0,008) yang ditemukan pada lokus ILSTS006 dari sapi Aceh. Alel C yang dimiliki sapi Madura dengan frekuensi tinggi (0,500), ditemukan juga pada sapi ali dengan frekuensi yang lebih rendah (0,100), tetapi tidak ditemukan pada sapi PO dan Pesisir. Hanya sapi Madura yang tidak memiliki alel G dan frekuensi terendah ditemukan pada sapi Aceh (0,157) Frekuensi alel A C D E F G H I J K L M Aceh ali Madura PO Pesisir Gambar 33 Distribusi frekuensi alel lokus ILSTS006 pada sapi Aceh, ali, Madura, PO dan Pesisir (masing-masing panjang alel dalam pasang basa: A_293, _297, C_301, D_303, E_305, F_307, G_309, H_311, I_313, J_315, K_317, L_319, M_321)

112 92 Pada sapi ali terdeteksi lima alel (, C, D, F dan G) pada lokus ILSTS006 di mana alel D (panjang ukuran 303 pb) sebagai alel frekuensi tertinggi (0,400) dan alel F (panjang ukuran 307 pb) merupakan alel frekuensi terendah (0,050). Alel F tersebut juga ditemukan pada sapi Aceh dengan frekuensi sangat kecil (0,012). Alel (panjang ukuran 297 pb) hanya ditemukan pada sapi ali dengan frekuensi 0,100. Ada alel yang tidak dimiliki sapi Aceh (alel ) pada lokus ILSTS006 dari sebaran alel yang ditemukan dalam range ukuran alel 28 pb. Sebanyak 12 alel yang ditemukan pada sapi Aceh, alel H merupakan alel dengan frekuensi tertinggi (0,411). Selain Alel C, D, E, ada tiga alel lain (F, K, M) dengan frekuensi rendah (0,012) ditemukan pada sapi Aceh yaitu masing-masing panjang ukuran alel 307, 317 dan 321 pb. Sebanyak sembilan alel dengan panjang ukuran pb diidentifikasi pada lokus ILSTS005 (Gambar 34). Pola distribusi frekuensi alel lokus ILSTS005 dari sapi Aceh dan sapi pembanding berbeda. Ditemukan empat alel (C, D, F dan I) berfrekuensi tinggi (0,500) pada lokus ILSTS006 dengan panjang ukuran alel masing-masing 194, 196, 200 dan 208 pb yaitu pada sapi Madura, PO, Pesisir dan juga sapi Madura. Alel dengan frekuensi terendah yang ditemukan pada lokus ILSTS006 adalah alel G (0,003) dengan panjang ukuran 202 pb yaitu Frekuensi alel A C D E F G H I Aceh ali Madura PO Pe sisir Gambar 34 Distribusi frekuensi alel lokus ILSTS005 pada sapi Aceh, ali, Madura, PO dan Pesisir (masing-masing panjang alel dalam pasang basa: A_188, _192, C_194, D_196, E_198, F_200, G_202, H_204, I_208)

113 93 terdapat pada sapi Aceh. Alel A (panjang ukuran 188 pb) hanya ditemukan pada sapi ali dengan frekuensi 0,100 dan alel C hanya dimiliki sapi ali dan Madura, dengan frekuensi lebih rendah (0,450) pada sapi ali. Pada lokus ILSTS006, sebanyak tujuh alel (, D, E, F, G, H dan I) ditemukan pada sapi Aceh, sedangkan sapi ali memiliki tiga alel (A, C dan D). Alel berfrekuensi tinggi yang ditemukan pada sapi Aceh yaitu alel F dengan panjang ukuran 200 pb. Alel (panjang ukuran alel 192 pb) hanya ditemukan pada sapi Aceh, namun tidak ditemukan alel A dan C. Sapi PO dan Pesisir juga memiliki alel-alel yang dimiliki sapi Aceh dengan frekuensi beragam. Variasi Genetik dan Keseimbangan Hardy-Weinberg Jumlah rataan total alel per lokus dalam penelitian ini adalah 10,25 ± 2,08. Lokus yang paling informatif (heterozigositas yang dihitung secara langsung dengan nilai tertinggi) adalah M2113 (88%) dan lokus yang paling tidak informatif (heterozigositas yang dihitung secara langsung dengan nilai terendah) adalah HEL5 (15%) (Tabel 17). Lokus HEL5 pada sapi Madura, PO dan Pesisir tidak ada informasi, tetapi dapat menunjukkan heterozigositas pada sapi Aceh sebesar 35% dan sapi ali 40%. Primer-primer yang sangat informatif dapat dipergunakan untuk penilaian pejantan-pejantan sapi penelitian, seperti yang dinyatakan Machado et al. (2003) yang melakukan penelitian pada empat bangsa sapi (Gyr, Nellore, Guzerat dan Holstein). Primer-primer yang paling informatif (MS1237, MS1126 dan MS518) merupakan kandidat yang baik untuk pengujian pejantan terkait dengan nilai heterozigositas hitungnya yang tinggi, jumlah alel yang besar dan frekuensi alelnya yang terdistribusi secara baik. Lokus-lokus yang menampilkan heterozigositas yang sangat kecil pada sapi ali yaitu HEL9 dan HEL1 (10%), INRA 63 (20%) dan INRA005 (22%), Lokus INRA35 menunjukkan tidak ada heterozigositas pada sapi ali dan Pesisir, tetapi ada heterozigositas pada sapi Aceh (60%) dan PO (50%). Lokus HEL9 menunjukkan heterozigositas sangat tinggi (82%) pada sapi Aceh dan sangat rendah pada sapi ali (10%), sedangkan pada sapi Madura memiliki heterozigositas sebesar 50% dan 100% pada masing-masing sapi PO dan Pesisir. Semua primer yang dipergunakan dapat menunjukkan heterozigositas pada sapi lokal, kecuali INRA35 pada sapi ali dan Pesisir, ETH10 pada sapi PO dan INRA35, HEL1 pada sapi Pesisir.

114 94 Tabel 17 Heterozigositas masing-masing lokus mikrosatelit pada sapi Aceh, ali, Madura, PO dan Pesisir Lokus M1818 INRA005 CSRM60 M2113 HEL5 HEL9 HEL13 INRA63 INRA35 HEL1 ETH225 ETH10 CSSM66 M1824 ILSTS006 ILSTS005 Rataan SD HHit 0,7091 0,7029 0,7394 0,6972 0,3497 0,8170 0,5513 0,5762 0,6043 0,2885 0,5669 0,7133 0,7320 0,6224 0,5645 0,7170 0,6220 0,1415 Aceh HH-W 0,7121 0,7304 0,7909 0,8147 0,6996 0,8354 0,5818 0,6089 0,7538 0,3054 0,5887 0,7118 0,7450 0,6430 0,7568 0,7628 0,6901 0,1278 P 0,13 0,09 0,10 0,00* 0,00* 0,83 0,08 0,60 0,00* 0,02* 0,58 0,01* 0,19 0,17 0,00* 0,01* HHit 0,8000 0,2222 0,7778 0,7000 0,4000 0,1000 0,7000 0,2000 0,0000 0,1000 0,9000 0,4000 0,6000 0,5556 0,9000 0,5000 0,4910 0,2985 ali HH-W 0,8526 0,3660 0,6601 0,8053 0,7333 0,1000 0,6474 0,6105 0,1895 0,1000 0,7526 0,6474 0,7263 0,6797 0,7316 0,6158 0,5761 0,2462 Keterangan: *) Signifikan pada P<0,05% -)Tidak memiliki alel heterozigot P 0,34 0,34 1,00 1,00 0,11 1,00 0,42 0,00* 0,05* 1,00 0,66 0,11 0,25 0,57 0,25 0,39 HHit 1,0000 1,0000 0,5000 1,0000 1,0000 1,0000 1,0000 0,5000 1,0000 1,0000 0,9000 0,2108 Madura HH-W 0,6667 0,6667 0,8333 0,6667 0,6667 0,6667 0,6667 0,5000 0,6667 0,6667 0,6667 0,07857 P 1,00 1,00 0,33 1,00 1,00 1,00 1,00 1,00 1,00 1,00 1,00 HHit 1,0000 1,0000 0,5000 1,0000 1,0000 0,5000 0,5000 0,5000 1,0000 0,5000 0,0000 1,0000 0,5000 1,0000 1,0000 0,7333 0,3200 PO HH-W 1,0000 1,0000 0,5000 0,8333 1,0000 0,5000 0,8333 0,8333 1,0000 0,5000 0,6667 0,8333 0,8333 1,0000 0,8333 0,8111 0,1880 P 1,00 1,00 1,00 1,00 1,00 1,00 0,34 0,34 1,00 1,00 0,33 1,00 0,33 1,00 1,00 HHit 0,5000 1,0000 1,0000 1,0000 1,0000 0,5000 1,0000 0,0000 0,0000 0,5000 1,0000 1,0000 0,5000 0,5000 0,5000 0, ,3619 Pesisir HH-W 0,5000 1,0000 1,0000 1,0000 1,0000 0,5000 0,6667 0,6667 0,6667 0,5000 0,8333 1,0000 0,5000 0,5000 0,8333 0,7444 0,2170 P 1,00 1,00 1,00 1,00 1,00 1,00 1,00 0,33 0,33 1,00 1,00 1,00 1,00 1,00 0,33 Rataan HHit HH-W 0,8018 0,7463 0,5850 0,6193 0,6034 0,5902 0,8794 0,8240 0,1499 0,2866 0,6834 0,7537 0,4503 0,4458 0,6552 0,6772 0,2209 0,4887 0,2777 0,4144 0,6934 0,6016 0,6227 0,7052 0,8664 0,7943 0,5356 0,6312 0,7929 0,7310 0,7434 0,7424 0,5976 0,6282 0,2227 0,1516

115 95 Rata-rata heterozigositas yang dihitung secara langsung untuk keenambelas lokus adalah 60% dan heterozigositas harapan Hardy-Weinberg adalah 63%. Sebagian besar lokus, heterozigositas hitung langsung dan heterozigositas Hardy-Weinberg menunjukkan nilai-nilai yang serupa meskipun ada sedikit lokus yang menunjukkan heterozigositas hitung langsungnya lebih kecil daripada heterozigositas harapan pada sapi-sapi penelitian. Hardy-Weinberg Equilibrium (HWE) diujikan pada setiap lokus dengan menggunakan pengujian dari gabungan alel-alel secara tidak acak di dalam masing-masing (Tabel 17). individu diploid berdasarkan analisis program Arlequin Tujuh lokus pada sapi Aceh (M2113, HEL5, INRA35, HEL1, ETH10, ILSTS006, ILSTS005) menunjukkan adanya deviasi terhadap keseimbangan hukum Hardy-Weinberg (P<0,05) dengan nilai indeks G-W terdapat dalam Lampiran 16. Pada sapi Aceh, sebagian kecil lokus (tujuh lokus) menunjukkan kemungkinan keseimbangan Hardy-Weinberg yang sangat rendah. Hasil tersebut mengindikasikan bahwa di dalam populasi sapi Aceh, sampelsampel terpilih menunjukkan populasi yang tidak lagi berada dalam keseimbangan Hardy-Weinberg. Hal ini kemungkinan karena adanya transportasi ternak yang dapat terjadi pertukaran ternak antarlokasi peternakan lokal sampai ke tingkat kabupaten, sehingga terjadi aliran gen. Lebih umum terjadi, karena sapi Aceh digembalakan, sehingga perkawinan dengan sapi lain dapat saja terjadi di lapangan. Disamping itu, ada kemungkinan telah terjadi seleksi negatif dalam populasi sapi Aceh, yaitu sapi-sapi yang berukuran besar dijual peternak dan hanya tinggal sapi-sapi yang berukuran kecil yang berada dalam populasi dan mendapat kesempatan berkembang biak. erdasarkan hasil Amova pada DNA mikrosatelit, sapi Aceh mengalami inbreeding dengan nilai koefisien inbreeding yang tergolong tinggi (FIS = 0,11). Hal ini kemungkinan karena keterbatasan pejantan dalam populasi sehingga terjadi perkawinan keluarga dekat. Lebih umum terjadi, karena sapi Aceh digembalakan dengan pejantan yang terbatas, sehingga perkawinan sapi dengan satu pejantan tertentu dapat terjadi di lapangan. Penggunaan sampel yang terbatas pada sapi ali menunjukkan deviasi terhadap keseimbangan Hardy-Weinberg pada lokus INRA63 dan INRA35. Hal ini mungkin terkait dengan pengambilan sampel, sehingga sebagian besar lokus menunjukkan keseimbangan.

116 96 Rataan heterozigositas genetik pada 16 lokus dari kelima sapi lokal yaitu masing-masing sapi Aceh 0,622 ± 0,142; ali 0,491 ± 0,299; Madura 0,900 ± 0,211; PO 0,733 ± 0,320; dan Pesisir 0,667 ± 0,362. Keragaman heterozigositas dalam populasi sapi Aceh lebih tinggi dibanding dengan keragaman heterozigositas sapi ali, dan cuplikan sampel terbatas (dua sampel) pada sapi PO, Madura dan Pesisir menunjukkan keragaman heterozigositas yang lebih tinggi. Heterozigositas yang tinggi dalam populasi sapi Aceh menunjukkan bahwa sapi ini mengandung alel-alel sapi lain atau alel mutasi dengan frekuensi rendah. Hal ini dimungkinkan karena program inseminasi buatan yang diterapkan di Aceh telah menimbulkan segregasi gen-gen sapi lain yang beragam dan meluas dalam populasi sapi Aceh dan dapat juga karena belum ada seleksi yang dilakukan. Jarak Genetik Sapi Aceh dan Sapi Outgroup erdasarkan perhitungan nilai jarak genetik pada sapi Aceh, ali, Madura, PO dan Pesisir, maka nilai jarak genetik terkecil adalah antara sapi Aceh terhadap sapi PO yaitu sebesar 0,0272 dan nilai jarak genetik tertinggi adalah antara sapi ali dan sapi Pesisir yaitu sebesar 0,3590 (Tabel 18). Tabel 18 Matriks jarak genetik Nei yang diperoleh dari frekuensi-frekuensi alel pada 16 lokus mikrosatelit sapi Aceh, ali, Madura, PO dan Pesisir Aceh ali Madura PO Pesisir Aceh 0,0000 0,3004 0,2416 0,0272 0,0516 ali Madura PO Pesisir 0,0000 0,2973 0,3202 0,3590 0,0000 0,2793 0,1498 0,0000 0,0417 0,0000 Matriks jarak genetik Nei, menunjukkan bahwa sapi Aceh merupakan sapi yang berbeda dengan sapi lokal lain: 0,3004 kedekatannya dengan sapi ali; 0,2416 kedekatannya dengan sapi Madura; 0,0272 kedekatannya dengan sapi PO; dan 0,0516 kedekatannya dengan sapi Pesisir. Hasil yang didapatkan ini menunjukkan bahwa sapi Aceh mempunyai jarak genetik yang lebih dekat dengan sapi PO dibanding dengan sapi Pesisir, Madura dan ali. Urutan hubungan jarak genetik antara sapi Aceh dan sapi pembanding berturut-turut yaitu PO, Pesisir, Madura dan ali. Hasil perhitungan tersebut diperkuat dengan dendogram jarak genetik hasil analisis DNA mikrosatelit (Gambar 35).

117 97 ali PO Aceh Pesisir Madura 0.02 Gambar 35 Kontruksi pohon filogeni berdasarkan metode Neighbor-Joining dari data jarak genetik Nei pada sapi Aceh, ali, Madura, PO dan Pesisir Sapi Aceh memiliki klaster yang sama dengan sapi PO pada jarak genetik 0,0272 dan membentuk percabangan dengan sapi Pesisir dari Sumatera arat. Sapi Madura, mempunyai jarak genetik yang lebih jauh dengan sapi ali (0,2973), sehingga dikelompokkan bersama sapi Pesisir, Aceh dan PO dengan jarak genetik masing-masing 0,1498; 0,2416 dan 0,2793. Hasil yang ditemukan ini menunjukkan bahwa sapi Aceh, PO, Pesisir dan Madura mengandung materi genetik sapi zebu, sedangkan sapi ali mempunyai klaster sendiri yang terpisah dari pengelompokan sapi tersebut. Menurut Martojo (2003), sapi ali merupakan hasil domestikasi langsung dari anteng (os javanicus, os banteng, os sondaicus). Pemisahan sapi ali dari kelompok sapi lokal berdasarkan analisis DNA mikrosatelit dalam penelitian ini, memberi petunjuk bahwa sapi ali banyak memiliki alel unik yang tidak dimiliki sapi lokal lain dan kemurniannya terhadap introgresi zebu masih cukup tinggi. Hal ini ada kaitannya dengan pelarangan masuk sapi lain ke Pulau ali. Penelitian ini memberi gambaran bahwa, sapi Madura berkerabat dengan sapi PO (turunan zebu), demikian juga sapi Aceh dan Pesisir, sehingga hal ini menunjukkan bahwa sapi Aceh, Pesisir dan Madura mengandung materi genetik sapi zebu dari India. Sapi ali menurut Namikawa (1981) telah diketahui lebih dekat secara genetik dengan sapi os banteng (os javanicus). Estimasi proporsi sumber gen-gen dari os taurus, os indicus dan os javanicus disajikan dalam Tabel 19.

118 98 Tabel 19 Estimasi proporsi sumber gen-gen dari os taurus, os indicus dan os javanicus angsa sapi Holstein (pembanding) Thai Thai Kedah-Kelantan Filipina (asli) Filipina (asli) Sumatera Madura Jawa ali Lokasi Thailand Utara Thailand Selatan Malaysia arat Luzon Palawan-Mindano Padang-Sumatera Madura Jawa Timur ali Proporsi sumber gen berasal dari os taurus os indicus os banteng 1,000 0,000 0,000 0,123 0,823 0,054 0,539 0,346 0,115 0,604 0,285 0,111 0,107 0,723 0,170 0,109 0,641 0,250 0,236 0,569 0,194 0,456 0,328 0,217 0,374 0,395 0,231 0,084 0,292 0,791 Sumber: Namikawa (1981) Penelusuran Asal-usul Sapi Aceh erdasarkan ukuran dan frekuensi alel pada enambelas lokus mikrosatelit yang digunakan dalam penelitian ini, menunjukkan bahwa posisi sapi Aceh berdekatan dengan sapi PO dan ada alel-alel yang ditemukan pada sapi ali juga ditemukan pada sapi Aceh dengan frekuensi beragam. Selanjutnya, ditinjau dari analisis DNA mitokondria pada daerah conserve D-loop parsial (479 bp) menunjukkan bahwa sapi Aceh berdekatan dengan sapi-sapi zebu (os indicus). Kedua kajian ini menunjukkan indikasi bahwa sapi Aceh merupakan turunan dari hasil persilangan sapi zebu dan anteng yang telah terjadi pada masa lalu. MacHugh et al. (1997) dan Kumar et al. (2003) menyatakan bahwa, ukuran alel mikrosatelit, seperti juga frekuensi alelnya, adalah suatu sumber informasi tentang hubungan nenek moyang melalui pemisahan distribusi-distribusi panjang alel pada populasi. Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam yang terletak di bagian paling barat dari gugusan kepulauan Nusantara, pada zaman kemakmuran pemerintahan Sultan Iskandar Muda telah terjalin kerja sama antarnegara dan perdagangan bebas, sehingga banyak pedagang dunia yang singgah di Aceh (Kutaradja, anda Aceh dan Samudera Pase, Aceh Utara). Pedagang Arab, Cina dan India yang datang ke Aceh membawa barang-barang dagangan, termasuk ternak sapi yang dibawa pedagang dari India. Hal ini telah dilaporkan Markens (1926) bahwa, perdagangan yang ramai sudah lama terjalin antara Aceh dan Malaka, di pantai seberang. Sudah dikenal bahwa para imigran India membawa sapi-sapi ke Aceh. Pada abad ke-19 sudah menjadi kebiasaan mengimpor ternak dari selat Malaka, khususnya ke Pidie dan Aceh Timur Laut.

119 99 Pada sisi lain, dari beberapa keterangan disebutkan bahwa, pada zaman dahulu di Aceh terdapat anteng yang sering diburu penduduk Kecamatan Seulimum Kabupaten Aceh esar dan penduduk Kecamatan Padang Tidji Kabupaten Pidie untuk mendapatkan daging buruan. anteng di Indonesia hanya ada anteng yang merupakan nenek moyang sapi ali. Menurut Martojo (2003) dan Hardjosubroto (2004), sapi ali (os javanicus) adalah hasil penjinakan langsung dari anteng. Hal yang sama dinyatakan MacHugh (1996) bahwa, sapi ali merupakan hasil domestikasi dari anteng. Gambar 36 menunjukkan kelompok subfamili ovinae dalam bagan yang menunjukkan spesies-spesies yang ada sekarang berasal dari hasil penjinakan spesies liar. os taurus dan os indicus adalah dua spesies berbeda yang mempunyai kerabat liar os primigenius. Kedua spesies sapi ini jumlahnya sangat besar dan penyebarannya sangat luas. Dua spesies lain yaitu os banteng dan os frontalis (gaur) hanya terdapat di negara-negara tertentu (MacHugh 1996). Penyebaran Gaur liar meliputi bagian selatan dan tenggara Asia mulai dari India sampai Semenanjung Malaysia, yaitu India, Nepal, hutan, angladesh, Myanmar, Thailand, Cina, Laos, Kamboja, Vietnam dan Malaysia (Nguyen et al. 2007). Pemisahan antara sapi bibovine (sapi ali) dan sapi yang telah dijinakkan (os) terjadi 2-4 ribu tahun yang lalu. Penyimpangan perkiraan waktu hasil analisis antara sapi jinak dan sapi bibovine adalah 0,57-1,52 juta tahun yang lalu (Kikkawa et al. 1995). Asal mula sapi ali adalah dari Pulau ali mengingat tempat ini merupakan pusat distribusi sapi ali di Indonesia (Payne dan Rollinson 1973). Gen asli sapi ali diduga berasal dari Pulau ali dan kemudian menyebar ke Asia Tenggara. Dengan kata lain bahwa pusat gen sapi ali adalah di Pulau ali, di samping pusat gen sapi zebu di India dan pusat gen primigenius di Eropa (Nozawa 1979). Sapi Mithan (os frontalis) jumlahnya telah terbatas, tersebar di negara-negara perbukitan yang memisahkan antara India dan angladesh dari irma hingga dataran tinggi antara India dan Tibet serta Cina (Payne 1991). Divergensi (penyimpangan) evolusiner antara os taurus dan os indicus seperti halnya juga antara ubalus bubalis tipe sungai dan tipe rawa secara jelas keduanya dalam dua cabang. ison bison, os grunniens (yak) dan os frontalis (Mithan) dengan jelas sebagai suatu garis keturunan yang terpisah. os taurus, os indicus, os grunniens dan os frontalis satu klaster dalam genus os.

120 100 Sub famili Grup Genus Spesies liar Spesies Domestikasi os taurus taurus breeds os primigenius Aurochs (punah) os indicus zebu breeds os [ibos] banteng (anteng) os [ibos] banteng (sapi ali) os [ibos] gaurus (Gaur) os [ibos] frontalis (Sapi Mithan) os ovina os [ibos] sauveli (Kouprey) * Pöephagus Pöephagus mutus (Yak) Pöephagus grunniens (domestic yak) ison bison (American bison) ison ison bonasus (European bison) ovinae ubalus arnee Kerr Asian wild buffalo; arnee ubalina ubalus ubalus bubalus (semua kerbau air & rawa) ubalus mindoroensis ohlken.d. depressicornis (lowland anoa).d. quarlesi (mountain anoa) Syncerina Syncerus Syncerus caffer Sparman S.c. caffer (black or Cape buffalo) S.c. nanus (red or Congo buffalo) Gambar 36 Spesies liar dan domestikasi antarsubfamili ovinae (Sumber: Payne 1991; *MacHugh 1996) Nenek moyang liar dari Mithan (os frontalis) adalah sebenarnya Gaur (Rit z et al ). Keduanya menampilkan kariotipe yang sama (2n = 58) dan interfertil yang lengkap (Payne 1991). Suatu analisis subsekuens dari mtdna dengan penggunaan sampel yang lebih besar menunjukkan hal terbaru bahwa nenek moyang umum os indicus dan os taurus mungkin telah hidup sama pada tahun yang lalu (radley et al. 1996). Loftus et al. (1999) yang melakukan penelitian dengan menggunakan 546 sampel (delapan populasi dari Anatolia, Timur Tengah dan Mesir; tiga bangsa sapi dari Eropa, satu bangsa sapi dari Afrika arat dan dua dari India) pada 20 lokus mikrosatelit, mempunyai hipotesis bahwa, pemusatan penjinakan sapi os taurus dan os indicus

121 101 mempunyai pemisahan asal-usul, hal ini didukung juga oleh survei, suatu penyimpangan yang besar dan nyata pada genetik antara grup sapi taurine dan zebu, bukan hibridisasi. Penelitian terkini Edwards et al. (2007) dengan menggunakan daerah D-loop (control region) DNA mitokondria kelompok haplogrup berbeda pada populasi aurochs Eurasia, yaitu haplogroup utama melintasi Eropa, satu haplotipe di Neolitik Jerman; dan satu haplotipe dari suatu contoh di Near East (Timur Dekat). Juga diambil data mtdna dari data lain dan disimpulkan bahwa gen pool domestik ditetapkan dari hewan dengan haplotipe sekitar 1 tahun yang lalu, dan bahwa haplogroup utama ini menunjukkan populasi aurochs di Near East (Timur Dekat), sesuai dengan satu haplotipe dari Syria. Haplotipe tersebut diintroduksi ke Eropa pada zaman pertanian yaitu dimulai sekitar tahun yang lalu, mengikuti domestikasi sapi yang hidup sezaman di habitat yang sama dengan aurochs lokal sebelumnya yang telah mengalami ekspansi populasi, yaitu mungkin pada masa puncak pencairan es (Last Glacial Maximum). erdasarkan hasil penelitian sapi Aceh dengan menggunakan analisis fenotipik, daerah D-loop mtdna dan DNA mikrosatelit, telah memberikan informasi keragaman fenotipik dan keragaman genetik pada sapi Aceh dalam pengelompokan sapi lokal di Indonesia. Informasi-informasi yang diperoleh dari hasil penelitian ini dapat dipakai sebagai pedoman dalam menentukan evaluasi sumber daya genetik sapi Aceh, sehingga agar dapat memberikan manfaat yang sebesar-besarnya bagi masyarakat luas dan khususnya meningkatkan taraf hidup masyarakat petani peternak, maka sapi Aceh sebagai plasma nutfah asli di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam perlu dilestarikan dan dimanfaatkan melalui pengelolaan yang lebih tepat, terarah, terencana dengan lingkungannya sehingga dapat berkembang secara berkelanjutan. Hal ini harus dilakukan mengingat adanya dua undang-undang Republik Indonesia dan dua peraturan menteri pertanian seperti tercantum dalam sub-bab Pelestarian Sumber Daya Genetik Ternak di bagian tinjauan pustaka (halaman 11). Sifat sapi Aceh jantan penggemukan (kereman) yang sangat nervus dan suka menanduk apa saja yang ditemuinya jika sewaktu-waktu dikeluarkan dari kandang, sering dimanfaatkan sebagian peternak di Kabupaten Aceh esar pada waktu-waktu tertentu sebagai ternak aduan (untuk olah raga sapi) dan keunikan ini dapat mengundang minat wisatawan. Pemeliharaan sapi Aceh, dengan

122 102 manajemen tradisional dan input sangat rendah mempunyai peran penting bagi petani sebagai tabungan keluarga, pupuk dan tenaga sapi dimanfaatkan sebagian petani untuk membajak sawah. Pada zaman elanda (Merkens 1926), sapi Aceh banyak dipasarkan ke Sumatera Utara, sehingga sapi potong di Medan sebagian besar berasal dari Aceh. Pada zaman kemerdekaan, sapi Aceh beberapa kali dipasarkan ke luar negeri (Gunawan 1998). Dalam kehidupan masyarakat Aceh sejak dahulu sampai sekarang mempunyai suatu budaya disebut meugang yang membutuhkan banyak sapi untuk dipotong pada hari adat tersebut yaitu biasanya sapi Aceh dan silangannya. Demikian halnya, dalam berbagai pesta perayaan dan perkawinan masyarakat Aceh, sapi merupakan ternak terbanyak dipotong dan dapat menunjukkan status sosial. Hal ini menunjukkan bahwa sapi merupakan ternak yang mempunyai nilai tinggi di antara ternak lainnya di Aceh, kecuali di sebagian wilayah Aceh bagian arat sampai Selatan yang relatif lebih banyak kerbau dan sesuai dengan potensi dan kondisi wilayah tersebut yang banyak rawa. Keunggulan sapi Aceh sebagai salah satu plasma nutfah ternak potensial seperti ketahanannya terhadap lingkungan lokal termasuk suhu tinggi, patogen-patogen dan penyakit-penyakit lokal, ketersediaan pakan bermutu rendah/jerami tanpa olahan, kekurangan air minum di musim kemarau dan manajemen tradisional, perlu dipertahankan untuk pemanfaatan pada masa yang akan datang. Keunggulan lain dari sifat produksi daging dan reproduksi belum ditemukan dan memerlukan kajian lanjutan. Namun, dari penggunaan 16 lokus mikrosatelit dalam penelitian ini, ada tiga lokus mikrosatelit yang berasosiasi dengan kualitas susu, yaitu M1818 (Ashwell et al. 2004) berhubungan dengan somatic cell count; CSRM60 (Ashwell et al. 2005) dan CSSM66 (Riquet et al. 1999) berhubungan dengan lemak dan protein susu sapi perah. Sapi Aceh yang membawa alel-alel pada ketiga lokus tersebut pada awal mulanya diduga merupakan sapi tipe perah golongan os indicus. Strategi ke depan pemanfaatan sapi Aceh harus mencakup unsur perlindungan, pelestarian dan pemanfaatannya mengikuti rekomendasi Riwantoro (2005) yang diperbarui. Ditinjau dari aspek teknis, ekonomis, sosial dan budaya, pelestarian sapi Aceh saat ini lebih menguntungkan dilakukan dengan cara mempertahankan populasi ternak hidup. Langkah-langkah yang dapat dilakukan adalah melalui: (1) penetapan wilayah pelestarian, yaitu di daratan Aceh yang terisolir atau pulau-pulau di sekitar perairan Aceh. Pelestarian mengarah pada pengamanan, seleksi untuk pemurnian dan mempertahankan

123 103 kemurniannya yang berada dalam ekosistem, sosial ekonomi, budaya masyarakat dan teknologi. Hal ini dilakukan dengan mengeluarkan undangundang beserta peraturan pelaksanaannya, penerapan keamanan dan evaluasi berencana meliputi jumlah populasi, keunikan dan keragaman genetik; (2) standardisasi, yaitu proses perumusan, menetapkan, menerapkan dan merevisi standar yang dilaksanakan secara tertib dan melalui kerja sama semua pihak; (3) sertifikasi, yaitu rangkaian kegiatan untuk menerbitkan sertifikat. Sertifikasi adalah jaminan tertulis oleh unit atau institusi yang telah diakreditasi oleh Komite Akreditasi Nasional (KAN) bahwa produk, jasa, proses atau individu yang telah memenuhi persyaratan standar atau sertifikasi teknis tertentu yang dipersyaratkan; dan (4) pembinaan wisata budaya seni adu sapi (bahasa Aceh pók leumó). Upaya yang dapat dilakukan untuk pemanfaatan yang sebesar-besarnya sapi Aceh kepada masyarakat secara berkesinambungan antara lain melalui: peningkatan mutu genetik (seleksi), peningkatan skala usaha, membangun kemitraan agribisnis dan membangun jaringan kelembagaan. Oleh karena itu, diperlukan pola pengembangan yang mampu mengintegrasikan pola pelestarian dari pengembangan peternakan secara berkelanjutan, yaitu dilakukan secara sinergis dengan unsur-unsur lingkungan lainnya, sehingga memungkinkan generasi sekarang memenuhi kebutuhannya, tanpa harus mengorbankan kemampuan generasi mendatang untuk memenuhi kebutuhannya sendiri. Pengembangan sapi Aceh dirancang dalam sebuah rantai sistem dan usaha agribisnis dan agrowisata. Sistem dan usaha agribisnis yang dikembangkan harus memiliki daya saing, berkelanjutan dan berkeadilan mulai dari subsistem hulu (pengadaan dan penyaluran sarana produksi), subsistem budidaya, subsistem hilir (pengolahan), subsistem pemasaran hasil dan subsistem kelembagaan pendukung. Menyangkut agrowisata yang dapat dikembangkan adalah wisata budaya berbasis seni adu sapi (bahasa Aceh pók leumó) di Kabupaten Aceh esar.

124 104 Pembahasan Umum Sapi Aceh memiliki karakterisasi fenotipik (ukuran-ukuran tubuh, bobot badan dan warna tubuh) beragam. Rataan ukuran-ukuran tubuh dan bobot badan sapi Aceh menunjukkan koefisien keragaman yang bervariasi pada semua kelompok umur dan jenis kelamin berbeda. Karakter bobot badan, lebar dada, lebar pinggul dan lingkar paha sapi Aceh jantan pada kelompok umur satu, dua dan tiga tahun menunjukkan nilai koefisien keragaman yang cukup tinggi (11,8023,51%), sehingga seleksi dapat dilakukan pada sifat-sifat tersebut. Jika dilakukan seleksi pada kelompok umur muda satu tahun, maka dapat diikutkan karakter dalam dada yang juga menunjukkan keragaman tinggi (17,46%). Sapi Aceh betina juga ditemukan keragaman yang cukup tinggi pada karakter bobot badan, lebar dada, dalam dada, lebar pinggul dan lingkar paha pada semua kelompok umur, sehingga dapat dilakukan seleksi pada sifat-sifat tersebut. Seleksi juga dapat dilakukan pada warna dan pola warna tubuh sapi Aceh yang beragam, apabila diinginkan untuk meningkatkan frekuensi warna tertentu. Menurut Astuti (2004), seleksi sapi lokal dengan memanfaatkan keragaman karakteristik sifat produksi dan reproduksi akan meningkatkan produktivitas, disamping itu memiliki dampak penting yaitu pelestarian terhadap sumber daya genetik sapi. Adanya perbedaan susunan dan komposisi basa-basa nukleotida antara sapi-sapi lokal Indonesia (Aceh, ali, Madura, PO dan Pesisir) berdasarkan analisis daerah D-loop parsial (479 bp) DNA mitokondria, menunjukkan ada perbedaan materi genetik antara sapi-sapi tersebut. Demikian juga apabila dibandingkan sapi lokal Indonesia dengan sapi os indicus dan os taurus dari data Genank, maka jelas terdapat perbedaan genetik antara sapi Aceh, ali, Madura, PO dan Pesisir dengan kedua spesies domestikasi tersebut. Namun, sapi Aceh, Pesisir, dan PO mempunyai hubungan kekerabatan dengan sapi-sapi os indicus. Hal ini karena nenek moyang (ancestor) ketiga sapi lokal Indonesia tersebut berasal dari hibridisasi zebu sehingga mempunyai kekerabatan dengan sapi-sapi os indicus sesuai dengan tingkat perbedaan susunan dan komposisi basa-basa nukleotida (materi genetik) yang dimiliki masing-masing sapi. Proses kehidupan sapi Aceh, Pesisir dan PO dengan berbagai pengaruh mutasi dan lingkungannya, mengalami perbedaan masing-masing. Apabila dibandingkan sapi lokal Indonesia dengan sapi os taurus dari Genank, maka terlihat jelas

125 105 perbedaan susunan basa-basa nukleotida os taurus mulai situs ke-160 sampai 473 dari sekuens acuan os indicus (Lampiran 8). Indonesia memiliki sapi turunan Ongole yang asal mulanya diimpor sapisapi Ongole dari India pada masa lalu. Sapi Ongole telah disilangkan dengan sapi-sapi Jawa sehingga ada laporan yang menyatakan bahwa sekarang sapi Jawa telah punah dan terciptalah sapi Peranakan Ongole (PO) (Hardjosubroto 2004). Sapi PO merupakan bukti keberhasilan pemuliaan sapi potong di Indonesia pada masa lalu. angsa sapi ini baru terbentuk sekitar tahun 1930 melalui sistem persilangan dengan grading up antara sapi Jawa dan sapi Sumba Ongole (SO) (Astuti 2004). Sapi Jawa diduga merupakan kombinasi antara sapisapi zebu, Holland, Australia, Madura dan ali (Merkens 1926). erdasarkan analisis daerah D-loop DNA mitokondria yang telah dilakukan, menunjukkan bahwa sapi PO terbukti lebih dekat dengan os indicus (sapi Ongole) dibandingkan dengan sapi-sapi os taurus dan sapi ali. Pengelompokan sapi Aceh dengan sapi Pesisir dan PO dalam klaster sapi os indicus menunjukkan bahwa sapi Aceh, Pesisir dan PO adalah dari maternal zebu, sedangkan pengelompokan sapi Madura dalam klaster sapi ali (os javanicus) menunjukkan bahwa sapi Madura bukan dari maternal zebu tetapi dari maternal anteng. asa-basa nukleotida daerah D-loop DNA mitokondria yang umum dijumpai pada sapi Aceh adalah basa-basa nukleotida dari sapi os indicus (Lampiran 8), namun pada bagian akhir sekuens mulai situs ke-354 sampai dengan 483 ditemukan sisipan-sisipan basa nukleotida dari sapi ali (Lampiran 8). erdasarkan DNA mirosatelit juga menunjukkan keadaan yang serupa. Sapi PO telah diketahui merupakan turunan dari os indicus. Ada alelalel mikrosatelit yang dimiliki sapi PO juga dimiliki sapi Aceh dengan frekuensi yang umumnya tinggi, namun tidak dimiliki oleh sapi ali. Ada alel-alel yang dimiliki sapi ali juga dimiliki sapi Aceh dengan frekuensi yang umumnya rendah, tetapi tidak dimiliki oleh sapi PO. Hal ini menunjukkan bahwa ancestor sapi Aceh adalah dominan dari os indicus dan telah terjadi introgresi alel-alel dari sapi ali ke dalam materi genetik sapi Aceh. Lokus-lokus yang menunjukkan adanya alelalel yang dimiliki sapi PO juga ditemukan pada sapi Aceh yaitu M1818 (alel 274 bp); INRA005 (alel C 157 bp, G 163 bp); M2113 (alel H 156 bp); HEL9 (alel E 171 bp, K 183 bp); HEL13 (alel C 199 bp); INRA35 (alel 119 bp); ETH10 (alel C 228 bp); CSSM66 (alel D 197 bp, K 213 bp); M1824 (alel E 202 bp, J 212 bp); ILSTS006 (alel E 305 bp); ILSTS005 (alel H 204 bp). Lokus-lokus yang

126 106 menunjukkan ada alel-alel yang dimiliki sapi ali juga ditemukan pada sapi Aceh yaitu M1818 (alel H 286 bp, J 290 bp); INRA005 (alel A 153 bp); CSRM60 (alel D 110 bp, G 116 bp); M2113 (alel 142 bp); HEL5 (alel F 180 bp, G 182 bp); HEL13 (alel D 201 bp, F 205 bp, G 207 bp); INRA63 (alel D 198 bp); dan INRA35 (alel C 121 bp). Apabila dibandingkan dendogram filogeni daerah D-loop mtdna parsial (479 bp) hasil penelitian ini dengan dendogram filogeni gen cytochrome-b mtdna parsial (420 bp) yang diambil dari data Genank, maka dapat diketahui bahwa posisi sapi ali sangat dekat dan berada satu klaster dengan anteng (os javanicus) (Gambar 37). Sapi ali memiliki persamaan susunan basa nukleotida sebesar 99,76% dengan anteng, namun sapi asli Indonesia yang tidak jelas disebutkan bangsa dan sumber pengambilan sampelnya masuk ke dalam klaster os indicus, berbeda dengan pengelompokan sapi Aceh, PO dan Pesisir dari analisis D-loop dalam penelitian ini. Sekuens parsial (420 bp) gen cytochrome-b dari Genank untuk membentuk dendogram filogeni tersebut diambil dari Kikkawa et al. (2003) yang telah melakukan sekuensing parsial pada gen cytochrome-b sapi ali (kode akses A077314), sapi asli Indonesia (A077313) dan anteng (A077315). Membentuk pohon filogeni dari gen cytochrome-b, juga telah diambil sekuens os indicus (Nellore, kode akses AY126697; Miretti et al. 2002) dan os taurus (Simmental, kode akses AY521055) dari Genank (Lampiran 15). 97 os indicus Indonesia Native Simmental ali anteng Gambar 37 Dendogram Neighbor-Joining berdasarkan metode 2 parameter Kimura dari nukleotida gen cytochrome-b parsial (berukuran 420 nt) sapi dari Genank dengan pengolahan bootstrap 1000 ulangan Perbedaan posisi sapi Madura dari hasil analisis menggunakan penanda daerah D-loop mtdna dan DNA mikrosatelit, karena perbedaan sumber DNA yang dianalisis. Perunutan hubungan kekerabatan dengan DNA mitokondria didasarkan pada pola pewarisan maternal yang haploid dan hipervariabilitas

127 107 daerah D-loop, sedangkan DNA mikrosatelit merupakan pewarisan yang menggabungkan informasi genetik dari pihak induk dan bapaknya (diploid di DNA inti), sehingga merupakan pewarisan kombinasi dari kedua tetuanya. Disamping itu, berdasarkan matriks jarak genetik Nei dari frekuensifrekuensi alel pada 16 lokus mikrosatelit sapi Aceh, ali, Madura, PO dan Pesisir (Tabel 18), maka ada kemungkinan bahwa posisi sapi Madura akan masuk ke dalam klaster sapi ali (Gambar 38). Hal ini apabila dilihat dari posisi sapi Aceh dibandingkan terhadap sapi lokal lain, maka menunjukkan bahwa jarak genetik sapi Madura dekat dengan sapi ali. Namun, apabila sapi ali dijadikan standar, maka sapi Madura mempunyai jarak genetik yang cukup jauh terhadap sapi ali. Keadaan ini tidak jauh berbeda dengan dendogram pengklasteran sapi lokal Indonesia dengan menggunakan analisis daerah D-loop DNA mitokondria. Pengelompokan sapi Aceh, PO dan Pesisir yang terpisah jauh terhadap sapi ali karena sapi-sapi tersebut lebih besar mengandung materi genetik sapi zebu dibandingkan terhadap sapi Madura (lebih rendah mengandung materi genetik sapi zebu). Situasi ini mungkin ada kaitan dengan jumlah sampel sapi pembanding yang sedikit. ali Madura Pesisir PO Aceh 0.02 Gambar 38 Kontruksi pohon filogeni berdasarkan metode Neighbor-Joining dari data jarak genetik Nei pada sapi Aceh, ali, Madura, PO dan Pesisir Pembagian populasi sapi Aceh menjadi sub-sub populasi (Kota anda Aceh, Kabupaten Aceh esar, Pidie, dan Aceh Utara), maka berdasarkan hasil Amova dari analisis Arlequin 3.11 pada DNA mikrosatelit, sapi Aceh mengalami inbreeding dengan nilai koefisien inbreeding yang tergolong tinggi yaitu sebesar 0,11. Indikasi adanya inbreeding ini mungkin ada kaitannya dengan sifat fenotipik kualitatif pada sapi Aceh yang ditemukan bentuk-bentuk tanduk yang abnormal dengan frekuensi rendah (1-6 %) dalam populasi. entuk tanduk yang menyimpang dari bentuk umum yang ditemukan dalam populasi yaitu ke

128 108 samping lurus (bentuk 6), ke samping melengkung ke bawah (bentuk 7), menyamping ke atas ke depan (bentuk 8), ke samping melengkung ke belakang (bentuk 9) dan tanduk tidak simetris (bentuk 10). Disamping itu, dijumpai beberapa turunan sapi Aceh yang kerdil dan sulit beranak. Pengaruh inbreeding yang terjadi pada sapi Aceh dapat mengakibatkan munculnya gen-gen homozigot resesif dalam populasi. Hal ini terjadi kemungkinan salah satu penyebabnya adalah penggunaan pejantan yang sama secara terus-menerus oleh peternak karena peternak sapi Aceh semakin sulit mendapatkan pejantan Aceh murni akibat banyak sapi Aceh yang telah disilangkan. Menurut Richard dan Thorpe (2000), inbreeding yang terjadi di dalam populasi kecil menyebabkan pengurangan heterozigositas dan peningkatan frekuensi abnormalitas resesif. Tekanan inbreeding yang tinggi pada suatu populasi ternak, dapat menghambat perkembangan populasi karena menurunkan perkembangan usia hidup, laju kematian tinggi, tingkat kesuburan menurun (Muladno 2006). Umumnya, semua ukuran alel minimum pada semua lokus yang dipergunakan dalam penelitian ini berada dalam range ukuran alel yang dilaporkan dari beberapa literatur, kecuali lokus INRA005 yang mempunyai ukuran alel minimum yang lebih pendek. Lain halnya ukuran alel maksimum pada semua lokus yang ditemukan dalam penelitian ini, yaitu lebih besar dibanding ukuran alel maksimum yang dilaporkan dalam beberapa literatur, kecuali pada lokus CSRM60 dan INRA63. Sebanyak tujuh lokus (INRA005, INRA35, HEL1, ETH10, M1824, ILSTS006 dan ILSTS005) mempunyai range ukuran-ukuran alel yang lebih panjang dan sembilan lokus (M1818, CSRM60, M2113, HEL5, HEL9, HEL13, HEL63, ETH225 dan CSSM66) mempunyai range ukuran-ukuran alel dalam penelitian ini lebih pendek dibandingkan range ukuran-ukuran alel zebu-taurus dari literatur acuan (ishop et al. 1994; Vaiman et al. 1994; MacHugh et al. 1997; Loftus et al. 1999; Minqiang et al. 2004; ichalo et al. 2006; Radko et al. 2005; Pandey et al. 2006; Armstrong et al. 2006; Sodhi et al. 2006) (Tabel 20). Ada empat lokus menunjukkan frekuensi-frekuensi alel pencilan dengan proporsi yang rendah yaitu lokus M1818 (alel K 297 bp 0,5%; L 299 bp 0,9%), INRA005 (alel D 158 bp 0,4%), CSRM60 (alel A 101 bp 1,8%), dan HEL5 (alel I 185 bp 2,4%). Walaupun penggunaan mesin dengan keakuratan tinggi, alel-alel pencilan dapat muncul kemungkinan karena kesalahan manusia pada saat menentukan ukuran-ukuran alel dalam base pairs (bp) akibat dari rendahnya

129 109 Tabel 20 Perbedaan range ukuran alel sapi Aceh dan sapi outgroup terhadap range ukuran alel dari beberapa literatur Lokus M1818 INRA005 CSRM60 M2113 HEL5 HEL9 HEL13 INRA63 INRA35 HEL1 ETH225 ETH10 CSSM66 M1824 ILSTS006 Sapi penelitian/ literatur Aceh Outgroup Literatur* Aceh Outgroup Literatur* Aceh Outgroup Literatur* Aceh Outgroup Literatur* Aceh Outgroup Literatur* Aceh Outgroup Literatur* Aceh Outgroup Literatur* Aceh Outgroup Literatur* Aceh Outgroup Literatur* Aceh Outgroup Literatur* Aceh Outgroup Literatur* Aceh Outgroup Literatur* Aceh Outgroup Literatur* Aceh Outgroup Literatur* Aceh Range ukuran alel Alel baru ,299 - eda range ukuran alel min mak > > < > > < > > > > > > > > > < > > > > > > > > > > > > 153, 155, 157, 158, 159, -, , 155, 157, - 159, 161, , 152, 154, 156, 158, , 152, 154, 156, 158, 182, 184, 185, , -, -, 171, 173, 175, 177, 179, 181, 183, 185, , -, 175, 177, -, -, 183, 185, 199, 201, 203, 205, 207, , 201, 203, 205, 207, 117, 119, 121, 123, 125, 137, 139, 141, 147, 153 -, 119, 121, -, 125, 137, -, -, -, 122, 124, 126, 132, , 124, -, -, 174, 176, 178, 180, , 176, -, 180, , 213, 215, 217 -, 213, 215, 195, 198, 200, 202, 205, -, -, -, , 198, 200, 202, -, 207, 209, 211, , 303, 305, 307, 309, 311, 313, 315, 317, 319, , 303, 305, 307, 309, 311, - Outgroup Literatur* > > ILSTS005 Aceh , 202, 204, 208 Outgroup , -, 204, 208 Literatur* > > Keterangan: *) Dari beberapa literatur (ishop et al. 1994; Vaiman et al. 1994; MacHugh et al. 1997; Loftus et al. 1999; Minqiang et al. 2004; ichalo et al. 2006; Radko et al. 2005; Pandey et al. 2006; Armstrong et al. 2006; Sodhi et al. 2006), >,< adalah range ukuran alel yang berada di bawah atau di atas range ukuran alel berdasarkan literatur intensitas fluoresen (konsentrasi hasil amplifikasi PCR) yaitu berupa gelombang peak-peak yang lemah. Pembuktian alel-alel pencilan dengan frekuensi yang sangat rendah tersebut dapat dilakukan melalui sekuensing pada produk PCRnya. Khusus lokus M1818, mempunyai motif ulangan ngtgcgtgtgtg-

130 110 TGTGTGTGTGTGTGTGTGTGTG (kode akses G18394, ishop et al. 1994) sehingga alel-alelnya bervariasi. Adanya perbedaan ukuran-ukuran alel dan range ukuran-ukuran alel antarpopulasi bahkan antarindividu sapi karena adanya mutasi yang terjadi pada lokus mikrosatelit menyangkut penambahan atau pengurangan jumlah motifnya (runutan nukleotida yang berulang). Mutasi-mutasi pada lokus mikrosatelit berupa insersi atau delesi jumlah motif yang repeat tandem dapat dijelaskan dalam proses slipped strand mispairing (Neff dan Gross 2001) dan crossing over yang tidak seimbang (unequal crossing over) (Winter 2003). Mutasi akan memunculkan alel-alel baru atau mengubah struktur genom dan akhirnya menghasilkan keragaman genetik. Penanda mikrosatelit telah berhasil digunakan untuk mengevaluasi variasi genetik populasi sapi lokal Indonesia, keanekaragaman genetik dalam masingmasing bangsa sapi dan perbedaan genetik antara setiap bangsa seperti dilaporkan sebelumnya oleh Machado et al. (2003). Penanda ini dapat digunakan untuk mengkarakterisasi populasi-populasi ternak (eja-pereira et al. 2003). Frekuensi-frekuensi alel pada sapi Aceh, menghubungkan antara frekuensi-frekuensi alel pada sapi PO, Pesisir, Madura dan frekuensi-frekuensi alel pada sapi ali (anteng). Alel-alel sapi Aceh yang ditemukan pada sapi PO, Pesisir dan Madura dengan frekuensi yang semakin kecil menunjukkan alel-alel sapi zebu. Indonesia memiliki sapi PO yang sudah jelas diketahui merupakan turunan sapi Ongole golongan zebu dari India yang pada mulanya diimpor pemerintah dan dikembangkan di Pulau Sumba. Sapi tersebut telah berkembang baik di Pulau Jawa sampai terbentuk sapi PO. Hubungan sapi Aceh dan sapi ali ditunjukkan dengan penggunaan 160 sampel sapi Aceh dan 10 sampel sapi ali asal Pulau ali (P3ali), telah terdeteksi bahwa sapi Aceh memiliki alel D pada lokus HEL1 dengan frekuensi cukup tinggi (83%). Alel D tersebut merupakan alel spesifik sapi ali dengan frekuensi 95%. Pada sapi ali juga ditemukan memiliki lokus monomorfik lain yaitu lokus HEL9 dan hal yang sama dalam studi Handiwirawan et al. (2003) telah mengungkapkan bahwa lokus tersebut merupakan lokus monomorfik dan diagnostik pada sapi ali dan alel-alel spesifik pada lokus tersebut merupakan alel-alel yang dimiliki anteng. Hasil penelitian menunjukkan bahwa sapi Aceh berkerabat dekat dengan sapi PO dan Pesisir, berkerabat dengan sapi Madura dan terhubungkan dengan sapi ali (os banteng).

131 111 SIMPULAN DAN SARAN Simpulan 1. Sapi Aceh mempunyai rataan bobot badan dan ukuran-ukuran tubuh yang lebih kecil dibanding dengan rataan bobot badan dan ukuran-ukuran tubuh sapi ali, Madura dan PO, namun lebih besar dari rataan bobot badan dan ukuran-ukuran tubuh sapi Pesisir di Sumatera arat. Secara kualitatif, sapi Aceh memiliki warna beragam (merah bata, cokelat, hitam, putih, dan kombinasi yang mengarah ke warna gelap dan terang dengan warna dominan merah bata dan cokelat muda), berpunuk, bergelambir, mempunyai garis muka dan garis punggung yang cekung, bertanduk dengan bentuk tanduk sapi betina mengarah ke samping melengkung ke atas kemudian ke depan dan pada jantan mengarah ke samping melengkung ke atas. 2. Susunan basa nukleotida daerah D-loop DNA mitokondria sapi Aceh mempunyai perbedaan terhadap sapi lokal lainnya dengan urutan perbedaan mulai terkecil sampai terbesar yaitu Pesisir, PO, ali dan Madura, sehingga runutan DNA daerah D-loop dapat digunakan sebagai penanda untuk membedakan dan pengelompokan sapi lokal Indonesia. 3. erdasarkan runutan daerah D-loop DNA mitokondria, sapi Aceh berada satu klaster dengan sapi Pesisir dan PO serta mempunyai jarak genetik yang lebih dekat dengan bangsa-bangsa sapi os indicus (zebu) dari India, sedangkan sapi ali dan Madura membentuk klaster sendiri. Dengan demikian sapi Aceh berasal dari sapi India (sekarang Pakistan) dan telah mengalami persilangan dengan sapi ali (anteng). 4. erdasarkan DNA mikrosatelit, sapi Aceh memiliki derajat heterozigositas yang tinggi. Urutan kedekatan genetik sapi Aceh dengan sapi lokal lain adalah PO, Pesisir, Madura dan ali, dengan pohon filogeni menunjukkan sapi Aceh memiliki klaster yang sama dengan sapi PO dan Pesisir serta satu kelompok dengan sapi Madura, sedangkan sapi ali mempunyai klaster sendiri yang terpisah dari pengelompokan keempat sapi tersebut. erdasarkan kesamaan genetiknya maka sapi Aceh dekat dengan sapi PO, Pesisir dan Madura tetapi untuk alel-alel tertentu berbeda dengan sapi ali.

132 112 Saran 1. Sapi Aceh berpotensi untuk dikembangkan dan semua pihak terutama instansi terkait perlu menjaga kelestarian sapi ini dari kepunahan untuk mengantisipasi keperluan pada masa yang akan datang. 2. Seyogiyanya membagi dua lokasi pemeliharaan sapi di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam, yaitu ada lokasi untuk daerah sapi potong dan persilangan, dan ada lokasi lain sebagai daerah pemurnian sapi Aceh yaitu berada terisolir di satu kabupaten tertentu yang diserahkan kepada rakyat dan membentuk perhimpunan-perhimpunan peternak sapi Aceh serta diberikan bantuan pejantan unggul yang dibeli dengan dana bantuan (hibah) dari lembaga nasional atau asing. 3. Perlu dilakukan penelitian lanjutan pada gen cytochrome-b mtdna dan mendesain ulang primer D-loop mtdna dua atau tiga pasang untuk melakukan sekuensing yang lebih bersih dan lengkap guna mengetahui runutan nukleotida gen cytochrome-b dan D-loop utuh sapi Aceh. 4. Sebaiknya penelitian ini dilakukan penelitian lanjutan yang mengarah pada lokus-lokus mikrosatelit yang mempunyai sifat-sifat ekonomi (QTL) dan gengen yang ada kaitan dengan sifat-sifat ketahanan terhadap stress lingkungan.

133 113 DAFTAR PUSTAKA Abdullah, M.A.N, R.R. Noor dan H. Martojo Kelenturan fenotipik sifat-sifat produksi dan reproduksi Mencit (Mus musculus) sebagai respons terhadap air minum yang mengandung tingkat garam berbeda. J Indon. Trop Anim Agric. 30 (2): Abubakar, Harmadji Korelasi antara berat hidup dengan lingkar dada panjang badan dan tinggi gumba pada sapi PO di daerah Wonogiri. Lembaga Penelitian Peternakan ogor. ISSN Lembaran. 3: Andersson S et al Sequence and the organization of the human mitochondrial genome. Nature. 290: Armstrong E, Postiglioni A, Martínez A, Rincón G, Vega-Pla JL Microsatellite analysis of a sample of Uruguayan Creole bulls (os taurus). Genet Molec io. 29 (2): Ascunce MS et al An unusual pattern of ancient mitochondrial DNA haplogroups in Northern African Cattle. Zoological Studies. 46 (1): Ashwell MS et al Detection of quantitative trait loci affecting milk production, health, and reproductive traits in Holstein cattle. J Dairy Sci. 87: Ashwell MS et al Detection of quantitative trait loci influencing conformation traits and calving ease in Holstein-Friesian cattle. J Dairy Sci. 88: Astuti M Potensi dan keragaman sumberdaya genetik sapi Peranakan Ongole (PO). Wartazoa. 14 (3): Aquadro CF, Greenberg D Human mitochondrial DNA variation and evolution: analysis of nucleotide sequences from seven individuals. Genetics. 103: aker CMA, Manwell C Population Genetics, Molecular Marker and Gene Conservation of ovine. In: Cattle Genetic Resources, edited by C.G. Hickman. Elsevier Science Publisher.V. The Nederland. eja-pereira A et al The origin of European cattle: Evidence from modern and ancient DNA. PNAS. 103 (21): eja-pereira A, et al Genetic characterization of Southwestern European ovine breeds: A historical and biogeographical reassessment with a set of 16 microsatellites. Heredity. 94 (3): ernstein SL, orst ED, Wong, PW Isolation of differentially expressed human fovea genes: candidates for macular disease. Mol Vis. 1: 4.

134 114 ichalo HMS et al Determination of ancestral proportion in synthetic bovine breeds using commonly employed microsatellite markers. Genet Mol Res. 5 (3): ishop MD et al A genetic linkage map for cattle. Genetics. 136: radley DG, MacHu gh DE, Cunni ngham P, Loftus RT Mitochond rial diver sity and the origins of African and Europea n cattle, Proc Nationa l Academy of Sciences of the USA. 93: rown WM, Prager EM, Wang A, Wilson AC Mitochondrial DNA sequences of primates: Tempo and Mode of Evolution. J Mol Evol. 18: ruford MW, radley DG, Luikart G DNA markers reveal the complexity of livestock domestication. Nat Rev Genet. 4: Carvajal-Carmona LG et al Abundant mtdna diversity and ancestral admixture in Colombian Criollo cattle (os taurus). Genetics. 165: Cervini M, Henrique-Silva F, Mortari N, Matheucci-Jr E Genetic variability of 10 microsatellite markers in the characterization of razilian Nellore cattle (os indicus). Genetics and Molecular iology. 29 (3): Dahlanuddin DV, Tien, Liang J, Adams D An exploration of risk factors for bovine spongiform encephalopathy in ruminant production system in the tropics. Rev Sci Tech Off Int Epiz. 22: Dawson MT, Powell R, Gannon F Gene Technology. ios Scientific Pub. Ltd. Oxford. Departemen Kehutanan Data dan Informasi Kehutanan Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam. Pusat Inventarisasi dan Statistik Kehutanan. adan Planologi Kehutanan, Jakarta. Direktorat Jenderal ina Produksi Peternakan Pedoman Pembibitan Ternak Sapi, Kerbau, Kambing/Domba, abi dan Ayam uras/itik di Pedesaan (Village reeding Center). Direktorat Pembibitan. Direktorat Jenderal ina Produksi Peternakan, Jakarta. Diwyanto K Pengamatan fenotipe domba Priangan serta hubungannya antara beberapa ukuran tubuh dengan bobot badan [tesis]. ogor: Institut Pertanian ogor. Program Pascasarjana. Program Studi Ilmu Ternak. Duryadi D Peran DNA mitokondria (mtdna) dalam studi keragaman genetik dan biologi populasi pada hewan. Hayati 1 (1): 1-4. Duryadi D Isolasi dan Purifikasi Mitochondrion (mtdna). Laboratorium Molekuler FMIPA. iotrop, IP, ogor.

135 115 Duryadi D Prinsip-prinsip dalam Teknologi iologi Molekuler. Pelatihan Singkat Teknik iologi Molekuler Eksplorasi Sumberdaya Genetik dengan Menggunakan Marka Molekuler. Kerjasama Pusat Studi Ilmu Hayati, Lembaga Penelitian dan Pemberdayaan Masyarakat Institut Pertanian ogor dan Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi Depdiknas, ogor. Edwards CJ et al Mitochondrial DNA analysis shows a Near Eastern Neolithic origin for domestic cattle and no indication of domestication of European aurochs. Proc. R. Soc.. 274: Excoffier L, Laval G, Schneider S Computational and Molecular Population Genetics Lab (CMPG). Institute of Zoology, University of erne, Switzerland. URL: [FAO] Food and Agriculture Organization Global Project for the Maintenance of Domestic Animal Genetic Diversity (MoDAD). World Watch List for Domestic Animal Diversity. 2nd Ed. Food and Agriculture Organization of the United Nations (FAO). Rome. [FAO] Food and Agriculture Organization World Watch List for Domestic Animal Diversity. 3rd Ed. Food and Agriculture Organization, Rome. [FAO] Food and Agriculture Organization Sustainable Use of Animal Genetic resources. IDAD-APHD FAO. Rome, Italy. FAO-AAAS Implication on the Convention on iological DiversityManagement of Animal Genetic Resources and the Conservation of Domestic Animal Diversity. Strauss, M.S. (Ed). UN Food and Agriculture Organization-American Association for the Advancement of Science, Washington DC, USA. Felsenstein J Confidence limits on phylogenies: An approach using the bootstrap. Evolution. 39: Felsenstein J Phylip (phylogeny Inference Package) version University of Washington. Fries R. Ruvinsky A The Genetics of Cattle. CA International Publishing. New York, USA. Garza JC, Williamson EG Detection of reduction in population size using data from microsatellite loci. Mol Ecol. 10: Georges M, Mishra A, Sargeant L, Steele M, Zhao X Progress towards a primary DNA marker map in cattle. 4th World Congress Genetics Applied LivestockProduction 13: Ghivizzani SC, Mackay SLD, Madsen CS, Laipis PJ, Hauswirth WW Transcribed heteroplasmic repeated sequences in porcine mitochondrial DNA D-loop region. J Mol Evol. 37: GrigaliŭnaitẻI et al Microsatellite variation in the baltic sheep breeds. Veterinarija Ir Zootechnika. T. 21 (43):

136 116 Gunawan Upaya Peningkatan Mutu Genetik Sapi Aceh. Pidato Pengukuhan dalam Jabatan Guru esar Tetap Fakultas Pertanian Universitas Syiah Kuala. Disampaikan pada Rapat Senat Terbuka Universitas Syiah Kuala, Sabtu 28 Maret 1998, anda Aceh. Hagelberg E et al Evidence for mitochondrial DNA recombination in a human population of island Melanesia. Proc R Soc Lond. 266: Handiwirawan E Penggunaan mikrosatelit HEL9 dan INRA035 sebagai penciri khas sapi ali [thesis]. ogor: Institut Pertanian ogor. Sekolah Pascasarjana. Program Studi Ilmu Ternak. Handiwirawan E, Noor RR, Muladno, Schüler L The use of HEL9 and INRA035 microsatellites as specific markers for ali cattle. Arch Tierz, Dummerstorf. 46 (6): Handiwirawan E, Subandriyo Potensi keragaman sumberdaya genetik sapi ali. Wartazoa. 14 (3): Hardjosubroto W Aplikasi Pemuliabiakan Ternak di Lapangan. Gramedia Widiasarana Indonesia, Jakarta. Hardjosubroto W Alternatif kebijakan pengelolaan berkelanjutan sumberdaya genetik sapi potong lokal dalam sistem perbibitan ternak lokal. Wartazoa. 14 (3): Hartl DL A Primer of Population Genetic. 2nd Ed. Sunderland, Massachussetts: Sinauer Associates, Inc. Hartl DL. Clarck AG Principles of Population Genetics. 2nd Ed. Sunderlad, Massachusetts: Sinauer Associates, Inc. Hayashi Y, Nishida T, Otsuka J, Abdulgani K Measurement of the skull of native cattle and banteng in Indonesia. The Origin and Phylogeny of Indonesia Native Livestock (Part I). The Research Group of Overseas Scientific Survey. Tokyo, Japan Hillis DM, Moritz C, Mable K Molecular Systematics. Sinauer Associates, Inc., Massachusettes. Ibeagha-Awemu EM, Erhardt G Genetic structure and differentiation of 12 African os indicus and os taurus cattle breeds, inferred from protein and microsatellite polymorphisms. J Anim reed Genet. 122: Ihara N et al A comprehensive genetic map of the cattle genome based on 3802 Microsatellites. Gen Res. 14: [ILRI] International Livestock Research Institute Global Agenda for Livestock Research. Proceedings of the Consultation for the South-East Asia Region May 1995 IRRI, Los anos, The Philippines. Ishida N et al Polymorphic sequence in the D-Ioop region of equine mitochondrial DNA. Anim Genet. 25:

137 117 Karthickeyan SMK, Saravanan R, Thangaraju P Krishna Valley cattle in India: status, characteristics and utility. AGRI. 39: Kerje S Mapping genes affecting phenotypic traits in chicken. [theses]. Acta Universitatis Upsaliensis. Uppsala, Sweden. Kikkawa Y, Amano T, Suzuki H Analysis of geneti c diversi ty of domest ic cattle in East and Southeast Asia in terms of variat ions in restr ictio n sites and sequences of mitoc hondr ial DNA. J ioch Genet. 33: Kikkawa Y et al Phylogenies using mtdna and SRY provide evidence for male-mediated introgression in Asian domestic cattle. Anim Genet. 34 (2): Kimura M A simple method for estimating evolutionary rate of base substitutions through comparative studies of nucleotide sequences. J Mol Evol. 16: Krafsur ES, Cummings MA, Endsley MA, Marquez JG, Nason JD Geographic differentiation in the house fly estimated by microsatellite and mitochondrial variation. Heredity. 96 (5): Kumar P et al Admixture analysis of South Asian cattle. Heredity. 91: Lehmann T, Hawley WA, Collins FH An evolution of evolutionary constraints on microsatellite loci using null alleles. Genetics. 144 : Lewin Genes VII. Oxford University Press. Oxford. Levinson G, Gutman GA Slipped-strand mispairing: a major mechanism for DNA sequence evolution. Mol iol Evol. 4: Litt M, Lutty JA A hypervariable microsatellite revealed by in vitro amplification of a dinucleotide repeat within the cardiac muscle actin gene. Amer J Hum Genet Litt M, Hauge X, Sharma V Shadow bands seen when typing polymorphic dinucleotide repeats-some cause and cures. iotechniques 15: 280. Loftus RT, MacHugh DE, radley DG, Sharp PM Cunningham P Evidence for two independent domestications of cattle. Proc Natl Acad Sci. 91: Loftus RT et al A microsatellite survey of cattle from a centre of origin: the Near East. Mol Ecol. 8: Luis C, Juras R, Oom MM, Gothran G Genetic diversity and relationships of Portuguese and other horse breeds based on protein and microsatellite loci variation. Anim Genet. 38:

138 118 Luikart G et al Power of 22 microsatellite markers in fluorescent multiplexes for parentage testing in goats (Capra hircus). Anim Genet. 30: Machado MA, Schuster I, Martinez ML, Campos AL Genetic diversity of four cattle breeds using microsatellite markers. R ras Zootec. 32 (1): MacHugh DE, Loftus RT, Cunningham P, radley DG Genetic structure of seven European cattle breeds assessed using 20 microsatellite markers. Anim Genet. 29: MacHugh DE, Shriver MD, Loftus RT, Cunningham P, radley GD Microsatellite DNA variation and evolution, domestication and phylogeography of taurine and zebu Cattle (os taurus and os indicus). Genetics. 146: MacHugh DE Molecular biogeography and genetic structure of domesticated cattle [theses]. Department of Genetics. Trinity College, University of Dublin. Mainguy J, Llewllyn AS, Worley K, Cóté SD, Coltman DW Characterization of 29 polymorphic artiodactyls microsatellite markers for the mountain goat (Oreamnos americanus). Mol Ecol Notes /j x: 1-3. Malevič iūtėj, altrėnaitėl. MiceikienėI Domestic cattle breed diversity in Lithuania. ISSN Veterinarija Ir Zootechnika. T. 20 (42): Mansjoer SS Identifikasi Keragaman Genetik anteng. Laporan Penelitian PAU. IP, ogor. Martojo H Peningkatan Mutu Genetik Ternak. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi. Pusat Antar Universitas ioteknologi IP, ogor. Martojo H Indigenous ali Cattle: The est Suited Cattle reed for Sustainable Small Farms in Indonesia. Laboratory of Animal reeding and Genetics, Faculty of Animal Science, ogor Agricultural University, Indonesia. Melnick DJ, Hoelzer GA What is mtdna good for in the study of primate evolution? Evolutionary Anthropology. Issue, News and Reviews. A devision of John Wiley and Sons, Inc. 2 (1): Merkens J De Paarden en Runderteelt in Nederlandsch Indie. Veeartsenijkundige Mededeeling. No. 51. Landsdrukkerij-Weltevreden, Nederland. Mezzadra CA, et al Effects of cytoplasmic inheritance on preweaning traits of Hereford cattle. Genet Mol iol. 28 (3):

139 119 Minqiang W, Pingli L, Jianlin H, Weigend S An example of yak paternity assignment by microsatellite genotyping. In: Proceedings of the International Conggress. Miretti MM, Pereira jr HA, Poli MA, Contel EP, Ferro JA African-derived mitochondria in South American native cattle breeds (os taurus): evidence of a new taurine mitochondrial lineage. Heredity. 93 (5): Montaldo HH, Meza-Herrera CA Use of molecular markers and major genes in the genetic improvement of Livestock. J iotech. 1 (2): Moore J Minitab Release Statistical Software. Minitab Inc., USA. Moore SS, arendse W, erger KT, Armitage SM, Hetzel DJS ovine and ovine DNA microsatellites from the EML and Genank databases. Anim Genet. 23: Mukesh M, Sodhi M, hatia S, Mishra P Genetic diversity of Indian native cattle breeds as analysed with 20 microsatellites. J Anim reed Genet. 121: Muladno DNA markers for pigs gene mapping [theses]. The University of Sydney. Australia. Muladno Polimorfisme dan analisis keterpautan mikrosatelit pada genom babi. Hayati. 7 (1): Muladno Seputar Teknologi Rekayasa Genetika. Pustaka Wirausaha Muda, ogor. Muladno Aplikasi Teknologi Molekuler dalam Upaya Peningkatan Produktivitas Hewan. Pelatihan Teknik Diagnostik Molekuler untuk Peningkatan Produksi Peternakan dan Perikanan di Kawasan Timur Indonesia. Kerjasama Pusat Studi Ilmu Hayati, Lembaga Penelitian dan Pemberdayaan Masyarakat Institut Pertanian ogor dan Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi Depdiknas, ogor. Mulyana S Runtuhnya Kerajaan Hindu Jawa dan Timbulnya Negaranegara Islam di Nusantara. harata, Jakarta. Namikawa T Geographic distribution of bovine haemoglobin-beta (Hbb) alleles and the phylogenetic analysis of cattle in Eastern Asia. Z Tierz. Zűcht iol. 98: Namikawa T, Amano J, Martojo H. 1982a. Coat color variations of Indonesia cattle. The Origin and Phylogeny of Indonesia Native Livestock (Part III). The Research Group of Overseas Scientific Survey. Tokyo, Japan Namikawa T, Amano T, Pangestu, Natasasmita S. 1982b. Electrophoretic variations of blood protein and enzymes in Indonesia cattle and bantengs. The Origin and Phylogeny of Indonesia Native Livestock (Part III). The Research Group of Overseas Scientific Survey. Tokyo, Japan

140 120 Navanitbhai PM Molecular characterization of Surti breed of goat using microsatellite marker [theses]. Department of Animal Genetics and reeding, College of Veterinary Science and Animal Husbandry. Anand Agricultural University, Anand. Neff D, Gross MR Microsatellite evolution in vertebrates: inference from AC dinucleotide repeats. Evolution. 55 (9): Nei M Molecular Evolutionary Genetics. Colombia University Press. Nei M, Kumar S Molecular Evolution and Phylogenetics. Oxford University Press. Inc. USA. Nguyen TT et al Genomic conservation of cattle microsatellite loci in wild gaur (os gaurus) and current genetic status of this species in Vietnam. MC Genetics. 8 (77): 1-8. Nicholas FW Introduction to Veterinary Genetics. New York: Oxford University Press. Nicholas FW Genetics of Morphological Traits and Inherited Disorders. In: Fries R Ruvinsky A, editor. The Genetics of Cattle. New York CAI Publishing. Nijman IJ et al Hybridization of banteng (o s jav ani cus ) and zebu (o s ind icu s) revealed by mitochondrial DNA, satellite DNA, AFLP and microsatellites. Heredity. 90: Noor RR, Farajalah A, Karmita M. 2000a. Pengujian kemurnian sapi ali dengan analisis hemoglobin dengan metode isoelectric focusing. Hayati. 8 (4): b Noor RR, Muladno, enyamin, Hedah Z, Herliantin Uji kemurnian sapi ali melalui protein, DNA mikrosatelit, struktur bulu dan kromosom. Laporan Penelitian. Fakultas Peternakan Institut Pertanian ogor dan alai Inseminasi uatan Singosari. ogor. Noor RR Genetika Ternak. Cet ke-4. Penebar Swadaya, Jakarta. Nozawa K Phylogenetics studies on the native domestic animals in East and Southeast Asia. Proc. Workshop Animals Genetics Resources in Asia and Oceania. Tsakuba, 3-7 September Tsukuba: Society for the Advancement of reeding Researches in Asia and Oceania (SARAO) [NRC] National Research Council Little-Known Asian Animals with a Promising Economic Future. Washington, D.C. National Academic Press. Otsuka J, Kondo K, Simamora S, Mansjoer SS, Martojo H odymeasurements of the Indonesian native cattle. The Origin and Phylogeny of Indonesia Native Livestock (Part I). The Research Group of Overseas Scientific Survey. Tokyo, Japan

141 121 Otsuka J, Namikawa T, Nozawa K, Martojo H Statistical analysis on the body measurement of East Asian native cattle and bantengs. The Origin and Phylogeny of Indonesia Native Livestock (Part III). The Research Group of Overseas Scientific Survey. Tokyo, Japan Pandey AK, Sharma R, Singh Y, Prakash, Ahlawat SPS Genetic diversity studies of Kherigarh cattle based on microsatellite markers. J Genet. 85 (2): Pane I Pemuliabiakan Ternak Sapi. PT Gramedia, Jakarta. Park IK, Moran P Development in Molecular Genetic Techniques in Fisheries. Pages 1-28 in Gary R. Carvalho and T.T. Pitcher, Editors. Molecular Genetic in Fisheries. Champman and Hall. T.J. Press Ltd., Padstow, Cornwall. Patricia MM, García PP, Dulout FN Mitochondrial variability in the D-loop of four equine breeds shown by PCR-SSCP analysis. Genet Mol iol. 25 (1): 1-7. Payne WJA Domestication: A Forward Step in Civilization. In: Cattle Geneti c Resources (Ed. C.G. Hickm an). Else vier, Amsterdam. Payne WJA. Rollinson DHL ali cattle. Word Anim Rev. 7: Payne WJA, Rollinson DHL Madura cattle. Z Tierzüch Züchtsbiol. 93: PEMDA NAD (Pemerintah Daerah Nanggroe Aceh Darussalam) Kinerja Pembangunan Aceh (Development Performance). Kantor Gubernur Kepada Daerah Provinsi Daerah Istimewa Aceh, anda Aceh. Pesole G, Gissi C, De-Chirico A, Saccone C Nucleotide substitution rate of mammalian mitochondrial genomes. J Mol Evol. 48: Putra L Panglima Teuku Nyak Makam Pahlawan Dua Pusara. Titian Ilmu Insani, ekasi Radko A, Zyga A, Zabek T, Sota E Genetic variability among Polish Red, Hereford and Holstein-Friesian cattle raised in Poland based on analysis of microsatellite DNA sequences. J Appl Genet. 46 (1) : Richard M, Thorpe RS Highly polymorphic microsatellites in the lacertid Gallotia galloti from the western Canary Islands. Mol Ecol. 9: Riquet J et al Fine-mapping of quantitative trait loci by identity by descent in outbred populations: Application to milk production in dairy cattle. Proc Natl Acad Sci. 96: Rit z LR, Glo wat zki -Mul lis M, Mac Hug h DE, Gai lla rd C Phylogenetic analysis of the tribe ovini using mi cr os at el li te s. J Anim Genet. 31:

142 122 Riwantoro Konservasi plasma nutfah Domba Garut dan strategi pengembangannya secara berkelanjutan [disertasi]. ogor: Institut Pertanian ogor. Sekolah Pascasarjana. Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan. Sambrook J, Fritsch EF, Maniastis T Molecular Cloning. A Laboratory Manual. 2 nd Ed. Cold Spring Harbor Laboratory Press. Saitou N, Nei M The neighbor-joining method: A new method for reconstructing phylogenetic trees. Mol io Evol. 4: Sarbaini Kajian keragaman karakter eksternal dan DNA mikrosatelit sapi Pesisir di Sumatera arat [disertasi]. ogor: Institut Pertanian ogor. Sekolah Pascasarjana. Program Studi Ilmu Ternak. Setiadi, Diwyanto K Karakterisasi morfologi sapi Madura. JITV. 2 (4); Sodhi M, Mukesh M, Prakash, Ahlawat SPS, Sobti RC Microsatellite DNA typing for assessment of genetic variability in Tharparkar breed of Indian zebu (os indicus) cattle, a major breed of Rajasthan. J Genet. 85: Steel RGD, Torrie JH Prinsip dan Prosedur Statistika. Sumantri. Cet ke-4. Gramedia, Jakarta. Penerjemah; Steven TK, Taper ML Maximum likelihood estimation of the frequency of null alleles at microsatellite loci. Conservation Genetics. DOI /s : 1-5. Subandriyo Pengelolaan data plasma nutfah ternak. Makalah disampaikan dalam Lokakarya Pemantapan Pengelolaan Database dan Pengenalan Jejaring Kerja Plasma Nutfah Pertanian, ogor, Juli, 2003, Komisi Nasional Plasma Nutfah. Subandriyo, Setiadi Pengelolaan plasma nutfah hewani sebagai aset dalam pemenuhan kebutuhan manusia. Makalah disampaikan dalam Lokakarya Pemantapan Pengelolaan Database dan Pengenalan Jejaring Kerja Plasma Nutfah Pertanian, ogor, Juli, 2003, Komisi Nasional Plasma Nutfah. Sujitno HS, Achmad HM Aceh, Masa Lalu, Kini dan Masa Depan (Past, Present and future). [penerbit tidak diketahui], Jakarta. Sulandari S, Zein MSA Panduan Praktis Laboratorium DNA. idang Zoologi. Pusat Penelitian iologi. Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, Cibinong. Sunnucks P Efficient genetic markers from population biology. Trends Ecol Evol. 15:

143 123 Surjoatmodjo M Asal-usul sapi Madura ditinjau dari hasil pengukuran bagian-bagian tubuhnya. Proceedings Pertemuan Ilmiah Hasil Penelitian dan Pengembangan Sapi Madura. Sumenep, Okt Grati: Sub alai Penelitian Ternak Grati. alai Penelitian Ternak. Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan, alai Penelitian dan Pengembangan Peternakan, Departemen Pertanian Tamura K, Dudley J, Nei M, Kumar S MEGA4: Molecular Evolutionary Genetics Analysis (MEGA) software version 4.0. Advance Access published May 7. Oxford University Press. Mol iol Evol /molbev/ msm092. Tautz D, Renz M Simple sequences are ubiquitous components of eukaryotics genomes. Nucleic Acids Res. 12: Utoyo DP Management of the farm domestic animal genetic resources in Indonesia. In: Animal Genetic Resources. Directorate General of Livestock Service. Ministry of agriculture Indonesia. Jakarta. Vaiman DD et al A Set of 99 cattle microsatellites: characterization, synteny mapping, and polymorphism. Mammalian Genome. 5: Verkaar ELC et al Paternally inherited markers in bovine hybrid populations. Heredity. 91: Wandia IN Genom mitokondria. J Vet. 2 (4): Ward TJ et al Identification of domestic cattle hybrids in wild cattle and bison species: a general approach using mtdna markers and the parametric bootstrap. J Anim Cons. 2 : Warwick EJ, Astuti JM, Hardjosubroto W Pemuliaan Ternak. Gadjah Mada University Press, Yogyakarta. Weber JL, May PE Abundant class of DNA polymorphisms which can be typed using the polymerase chain reaction. Am J Hum Genet. 44: Wijono D, Setiadi Potensi dan keragaman sumberdaya genetik sapi Madura. Prosiding Lokakarya Nasional Sapi Potong. Yogyakarta, 8-9 Okt ogor: Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan. adan Penelitian dan Pengembangan Pertanian Wiley EO Phylogenetics: The Theory and Practice of Phylogenetic Systematics. John Wiley and Sons Inc., Canada. Winaya A Penggunaan penanda molekuler mikrosatelit untuk deteksi polimorfisme dan analisis filogenetik genom sapi [thesis]. ogor: Institut Pertanian ogor. Sekolah Pascasarjana. Program Studi ioteknologi. Winter A Genomic characterization of genes encoding diacylglycerol acyltransferase activity in cattle and swine [dissertation]. Technische Universität München Lehrstuhl für Tierzucht, Germany.

144 124 Lampiran 1 Lokasi pengambilan sampel sapi Darussalam untuk analisis fenotipik No. 1 Kabupaten/kota Aceh esar Kecamatan Montasiek Sukamakmur Ingin Jaya Darul Imarah Indrapuri 2 anda Aceh anda Raya Lueng ata Ulee Kareeng Syiah Kuala 3 Pidie Padang Tidji Glumpang aro Ulee Glee 4 Aceh Utara aktiya arat Lhok Seukon Muara atu Cót Girek Aceh di Nanggroe Desa ak Dilieb Lambarih akme Sibreh Kumude Lam Teungoh Kandang Cót Indrapuri Lam Ara Mibo Lhong Raya Lam Dom Ceurih Darussalam Skem rok eurabo Gogo Geunteng Kuta Krueng Matang Sijuek Timu Cót Ceureumen Lhok Iboih Meunasah Trieng Meunasah Nga Ulee Madeun Cót Girek ukit Payung Kampung Tiga Aceh

145 125 Lampiran 2 Lokasi pengambilan sampel darah sapi Aceh, ali, Madura, PO dan Pesisir untuk analisis daerah D-loop DNA mitokondria No Sapi Aceh 1 Aceh 2 Aceh 3 Aceh 4 Aceh 5 Aceh 6 Aceh 7 Aceh 8 ali 1 ali 2 Madura1 Madura2 PO Pesisir1 Pesisir 2 Nomor sapi A A A A A A A A ali 3 ali 8 Madura 1 Madura 2 PO 1 Pesisir 1 Pesisir 2 Jenis kelamin J J J J J Lokasi Aceh esar/jantho/di Aceh esar/jantho/pt anda Aceh/L anda Aceh/UK Pidie/Sigli/PT Pidie/Sigli/G Aceh Utara/Lhok.smw/ Aceh Utara/Lhok.smw/CG P3ali P3ali Sumenep/Saronggi/KT Sumenep/Saronggi/KT Jawa arat/fapet-ip Sumbar/Pesisir Selatan Sumbar/Pesisir Selatan Keterangan:, M, PO, PS = sapi ali, Madura, PO dan Pesisir; J/ = jantan, betina, DI = Darul Imarah, PT = alai Pembibitan Ternak, L = Lueng ata, UK = Ulee Kareeng, PT = Padang Tidji, G = Glumpang aro, = aktiya arat, CG = Cót Girek, KT = Kambingan Timur

146 126 Lampiran 3 Lokasi pengambilan sampel darah dan nomor sapi di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam untuk analisis DNA mikrosatelit Nomor sampel Jenis Nomor Jenis Lokasi Lokasi kelamin Sampel kelamin J A/SM A/DI A/SM A/DI J A/SM A/DI J A/SM A/I/PT J A/SM A/I/PT J A/SM A/I/PT J A/IJ A/I/PT J A/IJ A/I/PT A/IJ J A/I/PT A/DI A/I/PT A/DI A/I/PT A/DI A/I/PT A/DI J A/I/PT A/DI A/I/PT A/DI A/I/PT A/DI A/I/PT A/DI A/I/PT A/DI J A/I/PT A/DI A/I/PT A/DI A/I/PT Keterangan: J- = jantan/betina, A = Kabupaten Aceh esar, SM/IJ/DI = Kecamatan Suka Makmur, Ingin Jaya dan Darul Imarah, PT = alai Pembibitan Ternak di Kecamatan Indrapuri Aceh esar Lampiran 3 Lanjutan Nomor Jenis Nomor Jenis Lokasi Sampel kelamin Sampel kelamin A/R A/R J A/R A/R A/R J A/R A/R J A/R A/R J A/L A/L J A/L J A/L J A/L J A/L A/L A/L A/L J A/L J A/L J Keterangan: J- = jantan/betina, A = Kota anda Aceh, R/L/UK/SK = anda Raya, Lueng ata, Ulee Kareeng, dan Syiah Kuala Lokasi A/L A/L A/L A/UK A/UK A/UK A/UK A/UK A/UK A/UK A/UK A/UK A/UK A/UK A/SK A/SK A/SK A/SK A/SK A/SK Kecamatan

147 127 Lampiran 3 Lanjutan Nomor Jenis Nomor Jenis Lokasi Lokasi Sampel kelamin Sampel kelamin P/PT P/G P/PT J P/G J P/PT J P/G P/PT J P/G P/PT P/G P/PT P/G P/PT P/G J P/PT P/G J P/PT P/G J P/PT J P/G J P/PT P/G P/PT J P/G J P/G P/G P/G J P/G J P/PT P/G P/PT J P/UG P/PT P/UG P/PT P/UG P/PT P/UG J P/PT P/UG Keterangan: J- = jantan/betina, P = Kabupaten Pidie, PT/G/UG = Kecamatan Padang Tidji, Glumpang aro dan Ulee Glee Lampiran 3 Lanjutan Nomor Jenis Nomor Jenis Lokasi Lokasi Sampel kelamin Sampel kelamin J AU/ AU/LS AU/ AU/LS J AU/ J AU/LS AU/ J AU/LS AU/ J AU/CG AU/ J AU/CG AU/ J AU/CG AU/ J AU/CG J AU/ J AU/CG J AU/ J AU/CG J AU/ J AU/CG AU/M J AU/CG AU/M AU/CG AU/M J AU/CG J AU/ AU/CG J AU/ AU/CG J AU/ AU/CG AU/ AU/CG J AU/LS J AU/CG J AU/LS AU/CG Keterangan: J- = jantan/betina, AU = Kabupaten Aceh Utara, /M/LS/CG = Kecamatan aktiya arat, Muara atu, Lhok Seukon dan Cót Girek

148 128 Lampiran 4 Lokasi pengambilan sampel darah sapi pembanding untuk analisis DNA mikrosatelit No Sapi ali 1 ali 2 ali 3 ali 4 ali 5 ali 6 ali 7 ali 8 ali 9 ali 10 PO 1 PO 2 Madura 1 Madura 2 Pesisir 1 Pesisir 2 Jenis kelamin Jantan Jantan Jantan Jantan Jantan Jantan Jantan Jantan Jantan Jantan etina etina etina etina Jantan etina Lokasi P3ali, Pulau ali P3ali, Pulau ali P3ali, Pulau ali P3ali, Pulau ali P3ali, Pulau ali P3ali, Pulau ali P3ali, Pulau ali P3ali, Pulau ali P3ali, Pulau ali P3ali, Pulau ali Jawa arat/fapet-ip Jawa arat/fapet-ip Sumenep/Saronggi/Kambingan Timur Sumenep/Saronggi/Kambingan Timur Sumbar/Pesisir Selatan/Sungai Liku Sumbar/Pesisir Selatan/Sungai Liku

149 129 Lampiran 5 Komposisi bahan pereaksi yang digunakan untuk isolasi DNA dari sampel darah No 1 Nama pelarut Lysis buffer Nama bahan Sukrosa Triton X-100 MgCl2 Tris-HCl Satuan bahan 0,32 M 1% w/v 5 mm ph 7,4 2 Digestion buffer NaCl Tris-HCl ph 9,0 EDTA ph 8,0 SDS Proteinase K RNAse 200 mm 50 mm 100 mm 1% mg/ml 0,5 mg/ml 0,1 mg/ml 3 Rinse buffer NaCl EDTA 75 mm 50 mm 4 Larutan fenol Fenol kristal dipanaskan Hydroxyquinoline phenol Tris ph 8,0 Tris ph 8,0 Tris-HCl 1% dari berat fenol 0,5 M 0,1 M 0,1 M + 0,2% betamecaptoethanol 5 Larutan CIAA Kloroform (CHCl3) Iso Amyl Alcohol 24 bagian 1 bagian 6 TE 1x buffer EDTA ph 8,0 RNAse Tris-HCl ph 8,0 1 mm 20 µg/ml 10 mm TE 10 x buffer Untuk 1000 ml Tris-base oric acid EDTA ph 8,0 108 g 55 g 40 µl 6 Alkohol absolut Alkohol 70%

150 130 Lampiran 6 Konsentrasi sampel DNA total hasil pemeriksaan dengan mesin NanoDrop Spectrophotometer No. ng/ul A260 A /280 No. ng/ul A ,13 279,96 862, ,77 142,45 187,06 174,23 263,31 117,93 215,45 50,22 172,73 40,36 451,43 186,39 51,09 31, ,28 24,48 140,41 195,38 54,1 248,91 110,97 127,86 862,02 309,19 76,12 164, ,5 66,52 65,36 102,21 120,9 50,31 112,74 107, ,2 30,07 35,94 62,57 195,56 130,2 42,17 26,11 30,63 1,283 5,599 17,248 24,915 2,849 3,741 3,485 5,266 2,359 4,309 1,004 3,455 0,807 9,029 3,728 1,022 0,628 23,326 0,49 2,808 3,908 1,082 4,978 2,219 2,557 17,24 6,184 1,522 3,282 56,83 1,33 1,307 2,044 2,418 1,006 2,255 2,144 1,22 1,244 0,601 0,719 1,251 3,911 2,604 0,843 0,522 0,613 0,733 3,163 9,475 13,486 1,602 2,063 1,863 2,854 1,323 2,424 0,57 1,829 0,481 5,37 1,953 0,551 0,348 12,561 0,31 1,489 2,079 0,574 2,752 1,21 1,438 10,1 3,534 0,846 1,779 30,84 0,751 0,731 1,197 1,327 0,623 1,26 1,154 0,686 0,708 0,39 0,483 0,746 2,114 1,429 0,483 0,295 0,369 1,75 1,77 1,82 1,85 1,78 1,81 1,87 1,85 1,78 1,78 1,76 1,89 1,68 1,68 1,91 1,86 1,81 1,86 1,58 1,89 1,88 1,88 1,81 1,83 1,78 1,71 1,75 1,8 1,84 1,84 1,77 1,79 1,71 1,82 1,62 1,79 1,86 1,78 1,76 1,54 1,49 1,68 1,85 1,82 1,75 1,77 1, ,3 199,79 23,26 57,56 106,25 121,46 112,04 48,46 100,4 58,56 55,45 307,13 36,7 27,93 59,82 392,91 146,45 54,69 461,97 134,75 20,75 174,72 23,13 27,57 26,03 16,59 62,35 48,46 59,99 104,32 18,83 19,3 18,54 818,46 129,27 139,66 120,99 36,77 144,33 75,58 62,98 67,32 52,59 166,37 173,37 551,15 30,66 0,886 3,996 0,465 1,151 2,125 2,429 2,241 0,969 2,008 1,171 1,109 6,143 0,734 0,559 1,196 7,858 2,929 1,094 9,239 2,695 0,415 3,494 0,463 0,551 0,521 0,332 1,247 0,969 1,2 2,086 0,377 0,386 0,371 16,369 2,585 2,793 2,42 0,735 2,887 1,512 1,26 1,346 1,052 3,327 3,467 11,023 0,613 A280 0,495 2,715 0,278 0,645 1,241 1,356 1,241 0,648 1,265 0,733 0,632 3,962 0,451 0,326 0,668 4,389 1,628 0,605 5,04 1,461 0,268 1,946 0,267 0,318 0,349 0,203 0,752 0,629 0,694 1,283 0,247 0,275 0,232 8,969 1,493 1,508 1,339 0,435 1,536 0,817 0,749 0,849 0,584 1,815 1,945 6,066 0,38 260/280 1,79 1,47 1,68 1,78 1,71 1,79 1,80 1,49 1,59 1,60 1,75 1,55 1,63 1,71 1,79 1,79 1,80 1,81 1,83 1,84 1,55 1,80 1,73 1,73 1,49 1,64 1,66 1,54 1,73 1,63 1,52 1,40 1,60 1,83 1,73 1,85 1,81 1,69 1,88 1,85 1,68 1,58 1,80 1,83 1,78 1,82 1,61

151 131 Lampiran 6 Lanjutan No. ng/ul A260 A , ,45 146,41 17,01 68,11 129,05 236,72 257,76 146,66 90,01 87,99 312,52 201,08 198,91 19,45 341,9 177,54 65,26 190,94 186,88 233,55 30,84 12,27 27,44 53,03 107,68 115,81 29,48 357,58 249,42 209,34 28,59 248, ,87 413,51 101,69 342,53 226,98 113,41 161,55 153,99 433,58 247,4 141,46 541,42 131,5 4,693 8,04 3,289 2,928 0,34 1,362 2,581 4,734 5,155 2,933 1,8 1,76 6,25 4,022 3,978 0,389 6,838 3,551 1,305 3,819 3,738 4,671 0,617 0,245 0,549 1,061 2,154 2,316 0,59 7,152 4,988 4,187 0,572 4,965 24,617 8,27 2,034 6,851 4,54 2,268 3,231 3,08 8,672 4,948 2,829 10,828 2,63 2,531 4,348 1,78 1,575 0,181 0,767 1,442 2,572 2,829 1,591 0,99 0,986 3,367 2,186 2,145 0,212 3,696 1,972 0,739 2,046 2,029 2,497 0,34 0,126 0,395 0,585 1,209 1,256 0,401 3,82 2,661 2,257 0,356 2,679 13,134 4,463 1,123 3,869 2,446 1,274 1,785 1,699 4,812 2,647 1,541 6,15 1, /280 No. ng/ul A260 A /280 1,85 1,85 1,85 1,86 1,87 1,78 1,79 1,84 1,82 1,84 1,82 1,79 1,86 1,84 1,85 1,84 1,85 1,80 1,77 1,87 1,84 1,87 1,81 1,95 1,39 1,81 1,78 1,84 1,47 1,87 1,87 1,86 1,61 1,85 1,87 1,85 1,81 1,77 1,86 1,78 1,81 1,81 1,80 1,87 1,84 1,76 1, Md.1 Md.2 PO.1 PO.2 PS.1 PS.2 ali 1 ali 2 ali 3 ali 4 ali 5 ali 6 ali 7 ali 8 ali 9 ali ,83 109,7 471,09 245,41 929,29 119,67 158,04 359,55 29, ,4 117,9 151,64 219,48 24,15 83,69 181,09 184,45 151,84 139,67 17,44 94,07 67,9 97,41 178,55 45,05 78,37 33,99 98,95 89,67 125,5 85,31 137,5 105,62 86,77 130,21 3,077 2,194 9,422 4,908 18,586 2,393 3,161 7,191 0,582 21,128 2,358 3,033 4,39 0,483 1,674 3,622 3,689 3,037 2,793 0,349 1,881 1,358 1,948 3,571 0,901 1,567 0,68 1,979 1,793 2,51 1,706 2,75 2,112 1,735 2,604 1,657 1,199 5,127 2,623 10,365 1,305 1,697 3,849 0,381 11,333 1,272 1,623 2,309 0,305 0,914 1,928 1,937 1,621 1,516 0,219 1,113 0,734 1,084 2,157 0,488 0,83 0,349 1,073 0,955 1,334 0,891 1,44 1,125 0,942 1,39 1,86 1,83 1,84 1,87 1,79 1,83 1,86 1,87 1,53 1,86 1,85 1,87 1,90 1,58 1,83 1,88 1,90 1,87 1,84 1,59 1,69 1,85 1,80 1,66 1,85 1,89 1,95 1,84 1,88 1,88 1,91 1,91 1,88 1,84 1,87 Keterangan: Md = sapi Madura, PO = sapi Peranakan Ongole, PS = sapi Pesisir

152 132 Lampiran 7 Lokasi penempelan primer IDL-F dan IDL-R pada sekuens basa nukleotida daerah D-loop sapi os indicus Sekuens trnapro lengkap ( ) Sekuens D-loop lengkap ( ,1..366) Sekuens trnaphe lengkap ( ) IDLF cctaagactc taaactattc taaatttatc aacaccacta gaggtaatgt atatacccca tattaattgt cccttccact agaggatccc taccaggcat ttaaataaga actaatgact ttattttggg attgtagctg gtcaatggtc ttaaatattc actttcaata ccccccgttg aaggaagaaa cctgaacact aaaaatccca gctaacataa acataacatt tgcatataag acatagtaca agatcacgag tcttctcgct ctggttcttt catctcgatg aatcagccca ggatgcttgg gacttaactg acaggacata accaccactt ctcaatttag atgtagctta gtgc ctgtagtctc attaatatag ataactcaac cacgcccata aatgtaataa caagtacatg ttatatcaaa cttaattacc ccgggcccat cttcagggcc g tgctcacaca actcagctat catcttgagc aattacatta ttaacagact cactccaaac acccaaagca cttgctttgg acc accgtcaacc ttccataaat acagaatttg cacagaccac agacatgata atctctataa tccatcctca atgccgcgtg agaccgtggg atctcatcta cccaaagctg cccaaagctg gcaaagagcc caccctaacc agaatgaatt tgtatatagt tagtacataa acaacatatc aaaccagcaa ggtcgctatt aagtggtcca aagttct aagttctatt ttatcagtat aaatattaca acccaggcaa acattaaatt tacatacaat tactatatac cccgctaagc taatgaattt ttctttcctc taactgtgct ggccgtcaaa accagcataa tatatccccc tttccctaga aaagtcaata aggcactgaa gttaag gtcatacatt ggccccgacc tgataggcat ccttcataaa tacttattta tataaacgca aatgcctaga tggtattttt cggagcatct gggcattaca aacctccccc aattttccac ggcccccccc tgagtctccc IDLR 421 aactccataa aca Keterangan: Primer IDLF menempel pada posisi basa ke-30 sampai dengan 49 gen trnapro ( ) dan primer IDLR menempel pada posisi basa ke-11 sampai dengan 30 gen trnaphe ( ). Hasil yang dianalisis mulai basa ke-8 sampai dengan 486 bp daerah D-loop ( ) (kode akses AY126697; Miretti et al. 2002). Fragmen teramplifikasi berukuran 980 bp terdiri atas 37 bp fragmen gen trnapro (posisi basa 30-66, ), 913 bp fragmen D-loop (posisi basa 1-913, , 1-366) dan 30 bp fragmen trnaphe (posisi basa 1-30, ).

153 133 Lampiran 8 Pensejajaran berganda nukleotida dari daerah D-loop parsial sapi Aceh, ali, Madura, PO, Pesisir dan bangsa ternak dari Genank 10 #os_indicus_(g) #Aceh_1 #Aceh_2 #Aceh_3 #Aceh_4 #Aceh_5 #Aceh_6 #Aceh_7 #Aceh_8 #ali_1 #ali_2 #Madura_1 #Madura_2 #PO_1 #Pesisir_1 #Pesisir_2 #Tharparkar_(G) #Sahiwal_(G) #Ongole_(G) #Heinan_(G) #rahman_(g) #Charolais_(G) #Angus_(G) #Red_Angus_(G) #Simmental_(G) #ubalus_bubalis_(g) TT-AA- TATA C.GC...G.A G---TTCCAT GGG.A C---C...C 30 AAATGCAAAG C......C......C...G.....C CC A......A......A......A......A AGCCTTATCA...GC.....GC.....GC.....GC T..C...C GTATTAAATT C...T.. 60 TATCAAAAA...C...C...C...C GGGGC. -.T...C TCCCAATAAC.TT...C.G..TT...C.G..TT...C.G..TT...C.G....T....TG...C... TCAACACAG A...C.G....T...T.. 90 ATTTGCACCC...T......T......T......T... C...A...T. [ [ [ [ [ [ [ [ [ [ [ [ [ [ [ [ [ [ [ [ [ [ [ [ [ [ 90] 90] 90] 90] 90] 90] 90] 90] 90] 90] 90] 90] 90] 90] 90] 90] 90] 90] 90] 90] 90] 90] 90] 90] 90] 90]

154 134 Lampiran 8 Lanjutan #os_indicus_(g) #Aceh_1 #Aceh_2 #Aceh_3 #Aceh_4 #Aceh_5 #Aceh_6 #Aceh_7 #Aceh_8 #ali_1 #ali_2 #Madura_1 #Madura_2 #PO_1 #Pesisir_1 #Pesisir_2 #Tharparkar_(G) #Sahiwal_(G) #Ongole_(G) #Heinan_(G) #rahman_(g) #Charolais_(G) #Angus_(G) #Red_Angus_(G) #Simmental_(G) #ubalus_bubalis_(g) 100 TAACCAAATA...T..C. TTAC---AAA C C C..CAC....C G CACCACTAGC TAAC-AT-AA T C..C CAC--GCCC AC...C...AC...C...AC...C...AC...C A..T- --A-TACA CC.C...-CC.C...-C-.C...-C-.C CTC 140 -CA-G-AC GA.T.C..-GA.T.C..-GA.T.C..-GA.T.C G..T.T..GG C CTCCAAGTG.CTCCAAGTG.CTCCAAGTG.CTCCAAGTG A GGATAAGT.GGATAAGT.GGATAAGT.GGATAAGT T [180] [180] [180] [180] [180] [180] [180] [180] [180] [180] [180] [180] [180] [180] [180] [180] [180] [180] [180] [180] [180] [180] [180] [180] [180] [180]

155 135 Lampiran 8 Lanjutan #os_indicus_(g) #Aceh_1 #Aceh_2 #Aceh_3 #Aceh_4 #Aceh_5 #Aceh_6 #Aceh_7 #Aceh_8 #ali_1 #ali_2 #Madura_1 #Madura_2 #PO_1 #Pesisir_1 #Pesisir_2 #Tharparkar_(G) #Sahiwal_(G) #Ongole_(G) #Heinan_(G) #rahman_(g) #Charolais_(G) #Angus_(G) #Red_Angus_(G) #Simmental_(G) #ubalus_bubalis_(g) 150 -CAGA---AT T.- AT.. -..T.- AT.. -..T.- AT.. -..T.- AT A..-.CAT.. GAA-T -TACC T..-.G..AT..-.G..AT..-.G..AT..-.G..A GTC CAGG--C--A T.A.TA.--. T.A.TA.--. T.A.TA.--. T.A.TA T.C T.C T.C T.C T.C CT--.CG A-G TAATATT.-TAATATT.-TAATATT.-TAATATT T. 170 AGGTAAT--G T...AA..T...AA..T...AA..T...AA. G G G G G G...G.--. G..A..C TACATAACAT...T.....T.....T.....T TAATGT-AAT T C 200 AAAGACATGA...A....A....A....A....A....A....A....A....A...G...A. 210 TATGTATATA [270] [270] [270] [270] [270] [270] [270] [270] [270] [270] [270] [270] [270] [270] [270] [270] [270] [270] [270] [270] [270] [270] [270] [270] [270] [270]

156 136 Lampiran 8 Lanjutan #os_indicus_(g) #Aceh_1 #Aceh_2 #Aceh_3 #Aceh_4 #Aceh_5 #Aceh_6 #Aceh_7 #Aceh_8 #ali_1 #ali_2 #Madura_1 #Madura_2 #PO_1 #Pesisir_1 #Pesisir_2 #Tharparkar_(G) #Sahiwal_(G) #Ongole_(G) #Heinan_(G) #rahman_(g) #Charolais_(G) #Angus_(G) #Red_Angus_(G) #Simmental_(G) #ubalus_bubalis_(g) 220 GTACAT TAAA...C....C....C....C....C. 230 TTATATACCC...C......C......C......C......G......G......G......G......G CATGCATATA...G AGCAAGTACA...T...T...T...T 260 TG-AT-C-T AA AA A A-.-...G T C C C C-T-...-.C-.-..A -.A-.A.G CTATA-A-TA...-.A C...A.-C..C...A.-C..C...G.-C..C...G.-C G-C....-G-C..C...-G-C C....-G-C..-..G GTACATAATA...G.....G.....G.....G....G.....G......G CATACAAT T...CC...-T...CC...-T...CC...-T...CC T T T T T T T T-ATTAAT CC CC CC CC T...C C G.C G.C G.C G.C G.C G.. [360] [360] [360] [360] [360] [360] [360] [360] [360] [360] [360] [360] [360] [360] [360] [360] [360] [360] [360] [360] [360] [360] [360] [360] [360] [360]

157 137 Lampiran 8 Lanjutan #os_indicus_(g) #Aceh_1 #Aceh_2 #Aceh_3 #Aceh_4 #Aceh_5 #Aceh_6 #Aceh_7 #Aceh_8 #ali_1 #ali_2 #Madura_1 #Madura_2 #PO_1 #Pesisir_1 #Pesisir_2 #Tharparkar_(G) #Sahiwal_(G) #Ongole_(G) #Heinan_(G) #rahman_(g) #Charolais_(G) #Angus_(G) #Red_Angus_(G) #Simmental_(G) #ubalus_bubalis_(g) 300 TGTACATAG..C...C...C...C...C...C...G..G...G...C...C...C TACATT-ATA C....-.C....-.C....-.C....T C G...-..G...-..G...-..G...-..G C TCAAATC A..C T T T T T AG CAT --CCTCA T... T.C --...TG T.C--...TG T.C--.T.-G T.C--...-G.C.TC..C T..TG... --T..TG... --T..TG TG... --T..TG... --T ACAACATATC.A...G-G.A...G-G...G-..A...G-..A...T.T.GT....T.GT......GT....T.GT....T..T... T...G T-ACTA-TAT T...A T T T T T T..-..C G ACCCCTT-CC CC C C TT...A...TT...A...TT...A...TT...A...TT...A AC---TAGA- TCACGAG- CT C.---..A.-..C C.---..A.-..C C.---..A C.---..A A A A A C.---..A.-..C...---C.---..A.-..C...---C C...---C.---..A.-..C...---C.CCT..A.A..C...G A.-..C A.-..C T T T T T T [450] [450] [450] [450] [450] [450] [450] [450] [450] [450] [450] [450] [450] [450] [450] [450] [450] [450] [450] [450] [450] [450] [450] [450] [450] [450]

158 138 Lampiran 8 Lanjutan #os_indicus_(g) #Aceh_1 #Aceh_2 #Aceh_3 #Aceh_4 #Aceh_5 #Aceh_6 #Aceh_7 #Aceh_8 #ali_1 #ali_2 #Madura_1 #Madura_2 #PO_1 #Pesisir_1 #Pesisir_2 #Tharparkar_(G) #Sahiwal_(G) #Ongole_(G) #Heinan_(G) #rahman_(g) #Charolais_(G) #Angus_(G) #Red_Angus_(G) #Simmental_(G) #ubalus_bubalis_(g) 370 T-AATTA ACC --...ACC --...ACC --...ACC.T G..C CCATG--CCG C..-G...C..-G...C C C..GG G G CGTG- AAACC..G.G G.G G.G G G.G.....G.G G.G G.G G.G.....G.G... G.G.G....CG.G... G.G.G.....G.G.....G.G T. --AGCAACCC C CC G C--TAAGC C C.-T...-A -C.-T...-A -. --T..G T C.CC...AA -C C G G G G G.. TT.---.G AGA-G-GAT.A A.-.-..A.A A A A A.-.-..A.A A.A.-..-.A.A.-..-.A.-.-A.-.A.-.-A.-.A.-AA..AA.A A.-.-..A CCCTCTTCT -...T. -...T T C C C C...-. A...C...T. -...T. -...T CGC-TCCG GG--CCCATA --.C C G G... TC.C G. TC.C G. --.C TG. --.C G. TC.C GG...A A C G...A [540] [540] [540] [540] [540] [540] [540] [540] [540] [540] [540] [540] [540] [540] [540] [540] [540] [540] [540] [540] [540] [540] [540] [540] [540] [540]

159 139 Lampiran 8 Lanjutan #os_indicus_(g) #Aceh_1 #Aceh_2 #Aceh_3 #Aceh_4 #Aceh_5 #Aceh_6 #Aceh_7 #Aceh_8 #ali_1 #ali_2 #Madura_1 #Madura_2 #PO_1 #Pesisir_1 #Pesisir_2 #Tharparkar_(G) #Sahiwal_(G) #Ongole_(G) #Heinan_(G) #rahman_(g) #Charolais_(G) #Angus_(G) #Red_Angus_(G) #Simmental_(G) #ubalus_bubalis_(g) 440 GACC-GTGGG A...-.G... A...-.G... A...-.G... A...-.G... A..--.G... A..--.G... A..--.G... A..--.G... -.TT-.G... -.TT-.G... -.TT-.G... -.TT-.G... A.AA-.G... A...-.G... A...-.G T A A A A A T.AT... GGT G G G G------G..G G G------G..G G G------G..G------C..GGGGGGC G------C CGCTATTT-A.C C..-...T..C..-...T..C C..-...T..C C..-...T..C..-...T..C..-...T..C..-...T..C C C..T...T..C..-...T..C..-...T CC-....CC-....CC-....CC-....CC-. A...C A-T GAATTTT.-G G G....-G G G G G G....-G....-G G AG....-G G C C ACCAGGC G G G G G--C..-..G G GTA.AA.---TA.AA.---TC.AA.---TC.AA.---TT...C..GG G--...C..G A...A ATCT--GGT TCTTT G....T... - G.-.TG....T TG....T T... - G.-.TG....T G....T TG....T TG....T G....T G....T G....T G....T... G..-.GG....T G....T GG....T [605] [605] [605] [605] [605] [605] [605] [605] [605] [605] [605] [605] [605] [605] [605] [605] [605] [605] [605] [605] [605] [605] [605] [605] [605] [605] Keterangan: Ruas ini setara dengan posisi sampai dengan dari runutan lengkap mtdna sapi os indicus dari Genank (kode akses AY126697), daerah D-loop os indicus utuh dari Genank sepanjang 913 bp, yang dapat dianalisis 479 bp.

160 140 Lampiran 9 Situs-situs delesi dan insersi basa-basa nukleotida daerah D-loop parsial sapi Aceh AGCCTTATCA GTATTAAATT TATCAAAAA..- TCCCAATAAC TCAACACAG A ATTTGCACCC [ [ [ [ [ [ [ [ [ TTAC---AAA CACCACTAGC TAAC-AT-AA CAC--GCCC A-TACA CA-G-AC C A [180] [180] [180] [180] [180] [180] [180] [180] [180] GAA-T -TACC CAGG--C--A AGGTAAT--G TACATAACAT 190 TAATGT-AAT AAAGACATGA 210 TATGTATATA [270] [270] [270] [270] [270] [270] [270] [270] [270] #os_indicus_(g) #Aceh_1 #Aceh_2 #Aceh_3 #Aceh_4 #Aceh_5 #Aceh_6 #Aceh_7 #Aceh_8 TT-AA- TATA G---TTCCAT #os_indicus_(g) #Aceh_1 #Aceh_2 #Aceh_3 #Aceh_4 #Aceh_5 #Aceh_6 #Aceh_7 #Aceh_8 100 TAACCAAATA #os_indicus_(g) #Aceh_1 #Aceh_2 #Aceh_3 #Aceh_4 #Aceh_5 #Aceh_6 #Aceh_7 #Aceh_ CAGA---AT AAATGCAAAG A-G ] 90] 90] 90] 90] 90] 90] 90] 90]

161 141 Lampiran 9 Lanjutan #os_indicus_(g) #Aceh_1 #Aceh_2 #Aceh_3 #Aceh_4 #Aceh_5 #Aceh_6 #Aceh_7 #Aceh_8 220 GTACAT TAAA 230 TTATATACCC 240 CATGCATATA 250 AGCAAGTACA 260 TG-AT-C-T CTATA-A-TA...-.A GTACATAATA 280 CATACAAT T-ATTAAT [360] [360] [360] [360] [360] [360] [360] [360] [360] #os_indicus_(g) #Aceh_1 #Aceh_2 #Aceh_3 #Aceh_4 #Aceh_5 #Aceh_6 #Aceh_7 #Aceh_8 300 TGTACATAG TACATT-ATA TCAAATC CAT --CCTCA T ACAACATATC 320 T-ACTA-TAT ACCCCTT-CC AC---TAGA- TCACGAG- CT C.---..A.-..C C.---..A.-..C C.---..A C.---..A A A A A [450] [450] [450] [450] [450] [450] [450] [450] [450] #os_indicus_(g) #Aceh_1 #Aceh_2 #Aceh_3 #Aceh_4 #Aceh_5 #Aceh_6 #Aceh_7 #Aceh_8 370 T-AATTA CCATG--CCG CGTG- AAACC..G.G G.G G.G G G.G.....G.G G.G G.G AGCAACCC C G C--TAAGC C AGA-G-GAT.A A.-.-..A.A A A A A.-.-..A.A CCCTCTTCT -...T. -...T T CGC-TCCG GG--CCCATA --.C C G G... [540] [540] [540] [540] [540] [540] [540] [540] [540]

162 142 Lampiran 9 Lanjutan #os_indicus_(g) #Aceh_1 #Aceh_2 #Aceh_3 #Aceh_4 #Aceh_5 #Aceh_6 #Aceh_7 #Aceh_8 440 GACC-GTGGG A...-.G... A...-.G... A...-.G... A...-.G... A..--.G... A..--.G... A..--.G... A..--.G... GGT G G G G------G..G G G------G 450 CGCTATTT-A.C C..-...T..C..-...T..C C..-...T..C C..-...T..C..-...T. 460 A-T GAATTTT.-G G G....-G G G G G ACCAGGC G G G G G--C..-..G G G ATCT--GGT TCTTT G....T... - G.-.TG....T TG....T T... - G.-.TG....T G....T TG....T TG....T... [605] [605] [605] [605] [605] [605] [605] [605] [605] Keterangan: Ruas ini setara dengan posisi sampai dengan dari runutan lengkap mtdna sapi os indicus dari Genank (kode akses AY126697), daerah D-loop os indicus utuh dari Genank sepanjang 913 bp, yang dapat dianalisis 479 bp.

163 143 Lampiran 9 Situs-situs delesi dan insersi basa-basa nukleotida daerah D-loop parsial sapi ali #os_indicus_(g) #ali_1 #ali_1 TT-AA- TATA G---TTCCAT AAATGCAAAG AGCCTTATCA GTATTAAATT TATCAAAAA- TCCCAATAAC TCAACACAG A ATTTGCACCC C......GC....C...-.TT...C.G....T C......GC....C...-.TT...C.G....T... [ 90] [ 90] [ 90] #os_indicus_(g) #ali_1 #ali_ TAACCAAATA TTAC---AAA CACCACTAGC TAAC-AT-AA CAC--GCCC- --A-TACA-- -CA-G-AC-- C A.C AC...C CC.C...-- GA.T.C..--.CTCCAAGTG GGATAAGT..C AC...C CC.C...-- GA.T.C..--.CTCCAAGTG GGATAAGT.- [180] [180] [180] #os_indicus_(g) #ali_1 #ali_ CAGA---AT GAA-T -TACC CAGG--C--A A-G AGGTAAT--G TACATAACAT TAATGT-AAT AAAGACATGA TATGTATATA -..T.- AT.. T..-.G..A- T.A.TA.--. TAATATT.--.T...AA....T A. -..T.- AT.. T..-.G..A- T.A.TA.--. TAATATT.--.T...AA....T A. [270] [270] [270] #os_indicus_(g) #ali_1 #ali_ GTACAT TAAA TTATATACCC CATGCATATA AGCAAGTACA TG-AT-C-T- CTATA-A-TA GTACATAATA...C....C......T..-.AA.-.-.C...A.-C....G.....C....C......T..-.AA.-.-.C...A.-C....G CATACAAT-- --T-ATTAAT...-T...CC CC T...CC CC [360] [360] [360] #os_indicus_(g) #ali_1 #ali_ TGTACATAG- TACATT-ATA ---TCAAATC CAT --CCTCA ACAACATATC T-ACTA-TAT ACCCCTT-CC AC---TAGA- TCACGAG- CT C C T.C --...TG.A...G-G C.---..A.-..C...---C C T.C --...TG.A...G-G C.---..A.-..C [450] [450] [450] #os_indicus_(g) #ali_1 #ali_ T-AATTA--- CCATG--CCG CGTG- AAACC --AGCAACCC -G C--TAAGC AGA-G-GAT- -CCCTCTTCT --CGC-TCCG GG--CCCATA --...ACC..C..-G..-..G.G C.-T...-A.A.A C...-. TC.C G ACC..C..-G..-..G.G C.-T...-A.A.A C...-. TC.C G. [540] [540] [540] #os_indicus_(g) #ali_1 #ali_ GACC-GTGGG GGT CGCTATTT-A A-T GAATTTT --ACCAGGC- - ATCT--GGT TCTTT [605] -.TT-.G.....G C..-...T..-G... TA.AA G....T... [605] -.TT-.G.....G C..-...T..-G... TA.AA G....T... [605] Keterangan: Ruas ini setara dengan posisi sampai dengan dari runutan lengkap mtdna sapi os indicus dari Genank (kode akses AY126697), daerah D-loop os indicus utuh dari Genank sepanjang 913 bp, yang dapat dianalisis 479 bp.

164 144 Lampiran 9 Situs-situs delesi dan insersi basa-basa nukleotida daerah D-loop parsial sapi Madura #os_indicus_(g) #Madura_1 #Madura_2 TT-AA- TATA G---TTCCAT AAATGCAAAG AGCCTTATCA GTATTAAATT TATCAAAAA- TCCCAATAAC TCAACACAG A ATTTGCACCC C...G.....GC....C...-.TT...C.G....T C......GC....C...-.TT...C.G....T... [ 90] [ 90] [ 90] #os_indicus_(g) #Madura_1 #Madura_ TAACCAAATA TTAC---AAA CACCACTAGC TAAC-AT-AA CAC--GCCC- --A-TACA-- -CA-G-AC-- C A.C..CAC AC...C C-.C...-- GA.T.C..--.CTCCAAGTG GGATAAGT..C AC...C C-.C...-- GA.T.C..--.CTCCAAGTG GGATAAGT.- [180] [180] [180] #os_indicus_(g) #Madura_1 #Madura_ CAGA---AT GAA-T -TACC CAGG--C--A A-G AGGTAAT--G TACATAACAT TAATGT-AAT AAAGACATGA TATGTATATA -..T.- AT.. T..-.G..A- T.A.TA.--. TAATATT.--.T...AA....T.....T......A. -..T.- AT.. T..-.G..A- T.A.TA.--. TAATATT.--.T...AA....T A. [270] [270] [270] #os_indicus_(g) #Madura_1 #Madura_ GTACAT TAAA TTATATACCC CATGCATATA AGCAAGTACA TG-AT-C-T- CTATA-A-TA GTACATAATA...C....C......T..-.A-.-.-.C...G.-C....G.....C....C......T..-.A-.-.-.C...G.-C....G CATACAAT-- --T-ATTAAT...-T...CC CC T...CC CC [360] [360] [360] #os_indicus_(g) #Madura_1 #Madura_ TGTACATAG- TACATT-ATA ---TCAAATC CAT --CCTCA ACAACATATC T-ACTA-TAT ACCCCTT-CC AC---TAGA- TCACGAG- CT C C T.C--.T.-G...G C C...---C C T.C--...-G.A...G C.---..A.-..C [450] [450] [450] #os_indicus_(g) #Madura_1 #Madura_ T-AATTA--- CCATG --CCG CGTG- AAACC --AGCAACCC -G C--TAAGC AGA-G-GAT- -CCCTCTTCT --CGC-TCCG GG--CCCATA --...ACC..C G.G.G T..G-..A.-.-A C C TG ACC..C CG.G T...-..A.-.-A C C G. [540] [540] [540] #os_indicus_(g) #Madura_1 #Madura_ GACC-GTGGG GGT CGCTATTT-A A-T GAATTTT --ACCAGGC- - ATCT--GGT TCTTT [605] -.TT-.G.....G------G.C G TC.AA G....T... [605] -.TT-.G.....G------C.C G TC.AA G....T... [605] Keterangan: Ruas ini setara dengan posisi sampai dengan dari runutan lengkap mtdna sapi os indicus dari Genank (kode akses AY126697), daerah D-loop os indicus utuh dari Genank sepanjang 913 bp, yang dapat dianalisis 479 bp.

165 145 Lampiran 9 Situs-situs delesi dan insersi basa-basa nukleotida daerah D-loop parsial sapi PO #os_indicus_(g) #PO_1 TT-AA- TATA G---TTCCAT AAATGCAAAG AGCCTTATCA GTATTAAATT TATCAAAAA- TCCCAATAAC TCAACACAG A ATTTGCACCC..C.GC...G.GGG.A CC T..C C...T GGGG.-...T......C.G... [ 90] [ 90] #os_indicus_(g) #PO_ TAACCAAATA TTAC---AAA CACCACTAGC TAAC-AT-AA CAC--GCCC- --A-TACA-- -CA-G-AC-- C A [180] [180] #os_indicus_(g) #PO_ CAGA---AT GAA-T -TACC CAGG--C--A A-G AGGTAAT--G TACATAACAT TAATGT-AAT AAAGACATGA TATGTATATA G [270] [270] #os_indicus_(g) #PO_ GTACAT TAAA TTATATACCC CATGCATATA AGCAAGTACA TG-AT-C-T- CTATA-A-TA GTACATAATA CATACAAT-- --T-ATTAAT..G T...C [360] [360] #os_indicus_(g) #PO_ TGTACATAG- TACATT-ATA ---TCAAATC CAT --CCTCA ACAACATATC T-ACTA-TAT ACCCCTT-CC AC---TAGA- TCACGAG- CT C...C...G...T... --A..C....C.TC..C...A...T.T...A......CC-.. C.CCT..A.A..C...G.. [450] [450] #os_indicus_(g) #PO_ T-AATTA--- CCATG--CCG CGTG- AAACC --AGCAACCC -G C--TAAGC AGA-G-GAT- -CCCTCTTCT --CGC-TCCG GG--CCCATA.T C..GG... G.G.G... CC... -C.CC...AA.A.-AA..AA A...C...T. TC.C GG...A. [540] [540] #os_indicus_(g) #PO_ GACC-GTGGG GGT CGCTATTT-A A-T GAATTTT --ACCAGGC- - ATCT--GGT TCTTT [605] A.AA-.G.....GGGGGGC-.C..T...T..AG... TT...C..GG G..-.GG....T... [605] Keterangan: Ruas ini setara dengan posisi sampai dengan dari runutan lengkap mtdna sapi os indicus dari Genank (kode akses AY126697), daerah D-loop os indicus utuh dari Genank sepanjang 913 bp, yang dapat dianalisis 479 bp.

166 146 Lampiran 9 Situs-situs delesi dan insersi basa-basa nukleotida daerah D-loop parsial sapi Pesisir #os_indicus_(g) #Pesisir_1 #Pesisir_2 TT-AA- TATA G---TTCCAT AAATGCAAAG AGCCTTATCA GTATTAAATT TATCAAAAA- TCCCAATAAC TCAACACAG A ATTTGCACCC.A [ 90] [ 90] [ 90] #os_indicus_(g) #Pesisir_1 #Pesisir_ TAACCAAATA TTAC---AAA CACCACTAGC TAAC-AT-AA CAC--GCCC- --A-TACA-- -CA-G-AC-- C A [180] [180] [180] #os_indicus_(g) #Pesisir_1 #Pesisir_ CAGA---AT GAA-T -TACC CAGG--C--A A-G AGGTAAT--G TACATAACAT TAATGT-AAT AAAGACATGA TATGTATATA [270] [270] [270] #os_indicus_(g) #Pesisir_1 #Pesisir_ GTACAT TAAA TTATATACCC CATGCATATA AGCAAGTACA TG-AT-C-T- CTATA-A-TA GTACATAATA CATACAAT-- --T-ATTAAT [360] [360] [360] #os_indicus_(g) #Pesisir_1 #Pesisir_ TGTACATAG- TACATT-ATA ---TCAAATC CAT --CCTCA ACAACATATC T-ACTA-TAT ACCCCTT-CC AC---TAGA- TCACGAG- CT..G A.-..C G A.-..C [450] [450] [450] #os_indicus_(g) #Pesisir_1 #Pesisir_ T-AATTA--- CCATG--CCG CGTG- AAACC --AGCAACCC -G C--TAAGC AGA-G-GAT- -CCCTCTTCT --CGC-TCCG GG--CCCATA G.-..G.G C A T A G.-..G.G C A.-.-..A- -...T C G...A. [540] [540] [540] #os_indicus_(g) #Pesisir_1 #Pesisir_ GACC-GTGGG GGT CGCTATTT-A A-T GAATTTT --ACCAGGC- - ATCT--GGT TCTTT [605] A...-.G C..-...T..-G G G....T... [605] A...-.G.....G------C.C..-...T..-G C..G GG....T... [605] Keterangan: Ruas ini setara dengan posisi sampai dengan dari runutan lengkap mtdna sapi os indicus dari Genank (kode akses AY126697), daerah D-loop os indicus utuh dari Genank sepanjang 913 bp, yang dapat dianalisis 479 bp.

167 147 Lampiran 10 Jumlah Nukleotida sapi Aceh, ali, Madura, PO, dan Pesisir setelah disejajarkan dengan nukleotida os indicus (Genank) angsa sapi os indicus (Nellore) (G) Aceh 1 Aceh 2 Aceh 3 Aceh 4 Aceh 5 Aceh 6 Aceh 7 Aceh 8 ali 1 ali 2 Madura 1 Madura 2 PO Pesisir 1 Pesisir 2 Tharparkar (G) Sahiwal (G) Ongole (G) Heinan (G) rahman (G) Charolais (G) Angus (G) Red Angus (G) Simmental (G) ubalus bubalis (G) Jumlah nukleotida

168 148 Lampiran 11 Komposisi Nukleotida sapi Aceh dan sapi pembanding Sapi T C A G A+T sapi Aceh (n = 8) Aceh 1 26,5 23,9 36,4 13,1 62,9 Aceh 2 26,8 23,7 35,9 13,5 62,7 Aceh 3 26,9 23,6 36,2 13,3 63,1 Aceh 4 26,8 24,0 36,8 12,4 63,6 Aceh 5 27,1 22,7 36,3 13,9 63,4 Aceh 6 26,8 23,1 36,7 13,4 63,5 Aceh 7 26,8 23,0 36,9 13,3 63,7 Aceh 8 27,0 22,8 36,6 13,6 63,6 Rataan 26,84 23,35 36,48 13,31 63,31 sapi ali (n = 2) ali 1 26,2 24,0 37,4 12,4 63,6 ali 2 26,2 24,0 37,4 12,4 63,6 Rataan 26,20 24,00 37,40 12,40 63,60 sapi Madura (n = 2) Madura1 26,5 24,4 35,5 13,6 62,0 Madura2 26,1 24,6 36,9 12,4 63,0 Rataan 26,30 24,50 36,20 13,00 62,50 sapi PO (n = 1) PO 25,50 26,30 32,30 16,00 57,80 sapi Pesisir (n = 2) Pesisir 1 26,4 23,5 37,3 12,8 63,7 Pesisir 2 26,3 23,8 36,4 13,5 62,7 Rataan 26,35 23,65 36,85 13,15 63,2 os indicus (Genank) (n = 5) os indicus (Nellore) 26,9 23,6 37,0 12,5 63,9 Tharparkar 26,7 23,8 37,0 12,5 63,7 Sahiwal 26,7 23,8 37,0 12,5 63,7 Ongole 27,1 23,4 37,0 12,5 64,1 Heinan 26,9 23,6 37,0 12,5 63,9 Rataan 26,86 23,64 37,00 12,50 63,86 os taurus (Genank) (n = 5) rahman 28,0 22,8 35,9 13,4 63,9 Charolais 28,2 22,5 35,7 13,6 63,9 Angus 27,8 23,0 35,9 13,4 63,7 Red Angus 28,0 22,8 36,3 12,9 64,3 Simmental 28,0 22,8 35,7 13,6 63,7 Rataan 28,0 22,78 35,90 13,38 63,90 Keterangan: n = jumlah sampel, sapi PO satu sampel C+G 37 37,2 36,9 36,4 36,6 36,5 36,3 36,4 36,66 36,4 36,4 36,40 38,0 37,0 37,50 42,30 36,3 37,3 36,80 36,1 36,3 36,3 35,9 36,1 36,14 36,2 36,1 36,4 35,7 36,4 36,16

169 149 Lampiran 12 Jarak genetik menggunakan metode 2 parameter Kimura pada sapi Aceh dengan sapi ali, Madura, PO, Pesisir dan bangsa-bangsa sapi os indicus, os taurus dari Genank [ 1] os indicus (G) [ 2] Aceh 1; [3] Aceh 2; [4] Aceh 3; [5] Aceh 4; [6] Aceh 5; [7] Aceh 6; [8] Aceh 7; [9] Aceh 8 [10] ali 1; [11] ali 2 [12] Madura 1; [13] Madura 2 [14] PO [15] Pesisir 1; [16] Pesisir 2 [17] Tharparkar (G); [18] Sahiwal (G); [19] Ongole (G); [20] Heinan (G) [21] rahman (G); [22] Charolais (G); [23] Angus (G); [24] Red Angus (G); [25] Simmental (G) [26] ubalus bubalis (G) ,0000 0,0202 0,0228 0,0177 0,0177 0,0202 0,0202 0,0177 0,0202 0,1194 0,1194 0,1197 0,1167 0,1072 0,0305 0,0279 0,0025 0,0075 0,0075 0,0000 0,0552 0,0552 0,0497 0,0497 0,0552 0, ,0000 0,0025 0,0025 0,0025 0,0050 0,0050 0,0025 0,0050 0,0963 0,0963 0,1025 0,0937 0,0845 0,0101 0,0075 0,0228 0,0280 0,0280 0,0202 0,0770 0,0770 0,0713 0,0713 0,0770 0, ,0000 0,0050 0,0050 0,0025 0,0075 0,0050 0,0075 0,0993 0,0993 0,1055 0,0966 0,0873 0,0126 0,0100 0,0254 0,0306 0,0306 0,0228 0,0799 0,0799 0,0742 0,0742 0,0799 0, ,0000 0,0000 0,0025 0,0025 0,0000 0,0025 0,0991 0,0991 0,1053 0,0965 0,0873 0,0126 0,0101 0,0202 0,0254 0,0254 0,0177 0,0743 0,0743 0,0686 0,0686 0,0743 0,1687 Keterangan : G = Genank ,0000 0,0025 0,0025 0,0000 0,0025 0,0991 0,0991 0,1053 0,0965 0,0873 0,0126 0,0101 0,0202 0,0254 0,0254 0,0177 0,0743 0,0743 0,0686 0,0686 0,0743 0,1687 0,0000 0,0050 0,0025 0,0050 0,1021 0,1021 0,1083 0,0994 0,0901 0,0151 0,0126 0,0228 0,0280 0,0280 0,0202 0,0772 0,0772 0,0715 0,0715 0,0772 0,1720 0,0000 0,0025 0,0050 0,1019 0,1019 0,1082 0,0993 0,0901 0,0151 0,0126 0,0228 0,0280 0,0280 0,0202 0,0770 0,0770 0,0713 0,0713 0,0770 0, ,0000 0,0025 0,0000 0,0991 0,1021 0,0000 0,0991 0,1021 0,0000 0,1053 0,1083 0,0254 0,0965 0,0994 0,0126 0,0873 0,0901 0,1526 0,0126 0,0151 0,1019 0,0101 0,0126 0,0991 0,0202 0,0228 0,1225 0,0254 0,0280 0,1225 0,0254 0,0280 0,1225 0,0177 0,0202 0,1194 0,0743 0,0715 0,1440 0,0743 0,0715 0,1504 0,0686 0,0658 0,1472 0,0686 0,0715 0,1440 0,0743 0,0715 0,1504 0,1687 0,1654 0, ,0000 0,0254 0,0126 0,1526 0,1019 0,0991 0,1225 0,1225 0,1225 0,1194 0,1440 0,1504 0,1472 0,1440 0,1504 0,2113 0,0000 0,0177 0,1715 0,1139 0,1110 0,1228 0,1228 0,1228 0,1197 0,1476 0,1541 0,1476 0,1476 0,1541 0, ,0000 0,1650 0,0000 0,1049 0,0901 0,1021 0,0873 0,1197 0,1101 0,1197 0,0985 0,1197 0,1101 0,1167 0,1072 0,1413 0,1496 0,1476 0,1559 0,1444 0,1527 0,1413 0,1496 0,1476 0,1559 0,2113 0, ,0000 0,0025 0,0331 0,0384 0,0384 0,0305 0,0880 0,0880 0,0822 0,0822 0,0880 0, ,0000 0,0305 0,0358 0,0358 0,0279 0,0852 0,0852 0,0795 0,0795 0,0852 0, ,0000 0,0101 0,0101 0,0025 0,0580 0,0580 0,0524 0,0524 0,0580 0, ,0000 0,0101 0,0075 0,0524 0,0580 0,0524 0,0524 0,0580 0, ,0000 0,0075 0,0580 0,0580 0,0524 0,0469 0,0580 0, ,0000 0,0552 0,0552 0,0497 0,0497 0,0552 0, ,0000 0,0050 0,0050 0,0152 0,0101 0, ,0000 0,0050 0,0152 0,0050 0, ,0000 0,0152 0,0101 0, ,0000 0,0204 0, ,0000 0,1667 0,0000

170 150 Lampiran 13 Hasil blast sekuens sapi Aceh (479 nt) pada situs NCI

PENDAHULUAN Latar Belakang

PENDAHULUAN Latar Belakang 1 PENDAHULUAN Latar Belakang Sapi asli Indonesia secara genetik dan fenotipik umumnya merupakan: (1) turunan dari Banteng (Bos javanicus) yang telah didomestikasi dan dapat pula (2) berasal dari hasil

Lebih terperinci

KARAKTERISASI GENETIK SAPI ACEH MENGGUNAKAN ANALISIS KERAGAMAN FENOTIPIK, DAERAH D-LOOP DNA MITOKONDRIA DAN DNA MIKROSATELIT

KARAKTERISASI GENETIK SAPI ACEH MENGGUNAKAN ANALISIS KERAGAMAN FENOTIPIK, DAERAH D-LOOP DNA MITOKONDRIA DAN DNA MIKROSATELIT KARAKTERISASI GENETIK SAPI ACEH MENGGUNAKAN ANALISIS KERAGAMAN FENOTIPIK, DAERAH D-LOOP DNA MITOKONDRIA DAN DNA MIKROSATELIT MOHD. AGUS NASHRI ABDULLAH SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. Latar Belakang

PENDAHULUAN. Latar Belakang PENDAHULUAN Latar Belakang Usaha peternakan di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam secara umum telah dilakukan secara turun temurun meskipun dalam jumlah kecil skala rumah tangga, namun usaha tersebut telah

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN. Amplifikasi Daerah D-loop M B1 B2 B3 M1 M2 P1 P2 (-)

HASIL DAN PEMBAHASAN. Amplifikasi Daerah D-loop M B1 B2 B3 M1 M2 P1 P2 (-) HASIL DAN PEMBAHASAN Amplifikasi Daerah D-loop Amplifikasi daerah D-loop DNA mitokondria (mtdna) pada sampel DNA sapi Bali, Madura, Pesisir, Aceh, dan PO dilakukan dengan menggunakan mesin PCR Applied

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA Sapi Lokal Kalimantan Tengah

TINJAUAN PUSTAKA Sapi Lokal Kalimantan Tengah TINJAUAN PUSTAKA Sapi Lokal Kalimantan Tengah Berdasarkan aspek pewilayahan Kalimantan Tengah mempunyai potensi besar untuk pengembangan peternakan dilihat dari luas lahan 153.564 km 2 yang terdiri atas

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA Sapi Lokal Indonesia

TINJAUAN PUSTAKA Sapi Lokal Indonesia TINJAUAN PUSTAKA Sapi Lokal Indonesia Indonesia merupakan salah satu negara di Asia Tenggara yang memiliki banyak bangsa sapi dan hewan-hewan lainnya. Salah satu jenis sapi yang terdapat di Indonesia adalah

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. dibedakan dari bangsa lain meskipun masih dalam spesies. bangsa sapi memiliki keunggulan dan kekurangan yang kadang-kadang dapat

II. TINJAUAN PUSTAKA. dibedakan dari bangsa lain meskipun masih dalam spesies. bangsa sapi memiliki keunggulan dan kekurangan yang kadang-kadang dapat II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Keragaman Bangsa Sapi Lokal Bangsa (breed) adalah sekumpulan ternak yang memiliki karakteristik tertentu yang sama. Atas dasar karakteristik tersebut, suatu bangsa dapat dibedakan

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA Kondisi Umum Kabupaten Kuantan Singingi. Pembentukan Kabupaten Kuantan Singingi didasari dengan Undang-undang

II. TINJAUAN PUSTAKA Kondisi Umum Kabupaten Kuantan Singingi. Pembentukan Kabupaten Kuantan Singingi didasari dengan Undang-undang II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Kondisi Umum Kabupaten Kuantan Singingi Kabupaten Kuantan Singingi adalah salah satu Kabupaten di Provinsi Riau, hasil pemekaran dari Kabupaten induknya yaitu Kabupaten Indragiri

Lebih terperinci

The Origin of Madura Cattle

The Origin of Madura Cattle The Origin of Madura Cattle Nama Pembimbing Tanggal Lulus Judul Thesis Nirmala Fitria Firdhausi G352080111 Achmad Farajallah RR Dyah Perwitasari 9 Agustus 2010 Asal-usul sapi Madura berdasarkan keragaman

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN HASIL DAN PEMBAHASAN Amplifikasi Gen Calpastatin (CAST MspI) Amplifikasi fragmen gen calpastatin (CAST MspI) pada setiap bangsa sapi dilakukan dengan menggunakan mesin thermal cycler (AB Bio System) pada

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA Sumber Daya Genetik Ternak Lokal

TINJAUAN PUSTAKA Sumber Daya Genetik Ternak Lokal TINJAUAN PUSTAKA Sumber Daya Genetik Ternak Lokal Keanekaragaman ternak sapi di Indonesia terbentuk dari sumber daya genetik ternak asli dan impor. Impor ternak sapi Ongole (Bos indicus) atau Zebu yang

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. Latar Belakang. masyarakat terhadap konsumsi susu semakin meningkat sehingga menjadikan

PENDAHULUAN. Latar Belakang. masyarakat terhadap konsumsi susu semakin meningkat sehingga menjadikan PENDAHULUAN Latar Belakang Sektor peternakan memegang peran yang sangat penting dalam pertumbuhan ekonomi Indonesia terutama pada ternak penghasil susu yaitu sapi perah. Menurut Direktorat Budidaya Ternak

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Pertumbuhan merupakan indikator terpenting dalam meningkatkan nilai

I. PENDAHULUAN. Pertumbuhan merupakan indikator terpenting dalam meningkatkan nilai 1 I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pertumbuhan merupakan indikator terpenting dalam meningkatkan nilai ekonomi untuk budidaya sapi pedaging. Sapi Pesisir dan sapi Simmental merupakan salah satu jenis

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Klasifikasi Sapi

TINJAUAN PUSTAKA. Klasifikasi Sapi TINJAUAN PUSTAKA Klasifikasi Sapi Penggolongan sapi ke dalam suatu bangsa (breed) sapi, didasarkan atas sekumpulan persamaan karakteristik tertentu yang sama. Atas dasar karakteristik tersebut, mereka

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN. Gambar 4. Hasil Amplifikasi Gen FSHR Alu-1pada gel agarose 1,5%.

HASIL DAN PEMBAHASAN. Gambar 4. Hasil Amplifikasi Gen FSHR Alu-1pada gel agarose 1,5%. HASIL DAN PEMBAHASAN Amplifikasi Gen FSHR Alu-1 Amplifikasi fragmen gen FSHR Alu-1 dengan metode Polymerase Chain Reaction (PCR) dilakukan dengan kondisi annealing 60 C selama 45 detik dan diperoleh produk

Lebih terperinci

STUDI KERAGAMAN FENOTIPE DAN PENDUGAAN JARAK GENETIK KERBAU SUNGAI, RAWA DAN SILANGANNYA DI SUMATERA UTARA SKRIPSI ANDRI JUWITA SITORUS

STUDI KERAGAMAN FENOTIPE DAN PENDUGAAN JARAK GENETIK KERBAU SUNGAI, RAWA DAN SILANGANNYA DI SUMATERA UTARA SKRIPSI ANDRI JUWITA SITORUS STUDI KERAGAMAN FENOTIPE DAN PENDUGAAN JARAK GENETIK KERBAU SUNGAI, RAWA DAN SILANGANNYA DI SUMATERA UTARA SKRIPSI ANDRI JUWITA SITORUS PROGRAM STUDI TEKNOLOGI PRODUKSI TERNAK FAKULTAS PETERNAKAN INSTITUT

Lebih terperinci

I. TINJAUAN PUSTAKA Kondisi Umum Kabupaten Kuantan Singingi. Pembentukan kabupaten Kuantan Singingi didasari dengan Undang-undang

I. TINJAUAN PUSTAKA Kondisi Umum Kabupaten Kuantan Singingi. Pembentukan kabupaten Kuantan Singingi didasari dengan Undang-undang I. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Kondisi Umum Kabupaten Kuantan Singingi Kabupaten Kuantan Singingi adalah salah satu kabupaten di Provinsi Riau, hasil pemekaran dari kabupaten induknya yaitu kabupaten Indragiri

Lebih terperinci

PENDAHULUAN Latar Belakang

PENDAHULUAN Latar Belakang 1 PENDAHULUAN Latar Belakang Plasma nutfah ternak mempunyai peranan penting dalam memenuhi kebutuhan pangan dan kesejahteraan bagi masyarakat dan lingkungannya. Sebagai negara tropis Indonesia memiliki

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Management of Farm Animal Genetic Resources. Tujuannya untuk melindungi dan

I. PENDAHULUAN. Management of Farm Animal Genetic Resources. Tujuannya untuk melindungi dan I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Perserikatan Bangsa Bangsa telah mendirikan FAO Global Strategy for the Management of Farm Animal Genetic Resources. Tujuannya untuk melindungi dan mengatur pemanfaatan

Lebih terperinci

STUDI KERAGAMAN FENOTIPIK DAN JARAK GENETIK ANTAR DOMBA GARUT DI BPPTD MARGAWATI, KECAMATAN WANARAJA DAN KECAMATAN SUKAWENING KABUPATEN GARUT

STUDI KERAGAMAN FENOTIPIK DAN JARAK GENETIK ANTAR DOMBA GARUT DI BPPTD MARGAWATI, KECAMATAN WANARAJA DAN KECAMATAN SUKAWENING KABUPATEN GARUT STUDI KERAGAMAN FENOTIPIK DAN JARAK GENETIK ANTAR DOMBA GARUT DI BPPTD MARGAWATI, KECAMATAN WANARAJA DAN KECAMATAN SUKAWENING KABUPATEN GARUT SKRIPSI TANTAN KERTANUGRAHA PROGRAM STUDI TEKNOLOGI PRODUKSI

Lebih terperinci

KAJIAN KEPUSTAKAAN. Menurut Blakely dan Bade (1992), bangsa sapi perah mempunyai

KAJIAN KEPUSTAKAAN. Menurut Blakely dan Bade (1992), bangsa sapi perah mempunyai II KAJIAN KEPUSTAKAAN 2.1 Sapi Perah Fries Holland (FH) Menurut Blakely dan Bade (1992), bangsa sapi perah mempunyai klasifikasi taksonomi sebagai berikut : Phylum Subphylum Class Sub class Infra class

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA Bangsa-Bangsa Sapi

TINJAUAN PUSTAKA Bangsa-Bangsa Sapi TINJAUAN PUSTAKA Bangsa-Bangsa Sapi Bangsa (breed) adalah sekumpulan ternak yang memiliki karakteristik tertentu yang sama. Atas dasar karakteristik tertentu tersebut, suatu bangsa dapat dibedakan dari

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. cukup besar, tidak hanya keanekaragaman flora tetapi juga faunanya. Hal ini

PENDAHULUAN. cukup besar, tidak hanya keanekaragaman flora tetapi juga faunanya. Hal ini I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia merupakan negara yang memiliki keanekaragaman hayati yang cukup besar, tidak hanya keanekaragaman flora tetapi juga faunanya. Hal ini dapat dilihat dari keanekaragaman

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. lokal adalah sapi potong yang asalnya dari luar Indonesia tetapi sudah

TINJAUAN PUSTAKA. lokal adalah sapi potong yang asalnya dari luar Indonesia tetapi sudah II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Sapi Lokal di Indonesia Menurut Hardjosubroto (1994) bahwa sapi potong asli indonesia adalah sapi-sapi potong yang sejak dulu sudah terdapat di Indonesia, sedangkan sapi lokal

Lebih terperinci

Gambar 5. Hasil Amplifikasi Gen Calpastatin pada Gel Agarose 1,5%.

Gambar 5. Hasil Amplifikasi Gen Calpastatin pada Gel Agarose 1,5%. HASIL DAN PEMBAHASAN Amplifikasi Gen Calpastatin (CAST AluI) Amplifikasi fragmen gen CAST AluI dilakukan dengan menggunakan mesin PCR dengan kondisi annealing 60 0 C selama 45 detik, dan diperoleh produk

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN Amplifikasi DNA Mikrosatelit

HASIL DAN PEMBAHASAN Amplifikasi DNA Mikrosatelit HASIL DAN PEMBAHASAN Amplifikasi DNA Mikrosatelit Amplifikasi DNA mikrosatelit pada sapi Katingan dianalisis menggunakan tiga primer yaitu ILSTS073, ILSTS030 dan HEL013. Ketiga primer tersebut dapat mengamplifikasi

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN. Amplifikasi Gen Pituitary-Specific Positive Transcription Factor 1 (Pit1) Exon 3

HASIL DAN PEMBAHASAN. Amplifikasi Gen Pituitary-Specific Positive Transcription Factor 1 (Pit1) Exon 3 HASIL DAN PEMBAHASAN Amplifikasi Gen Pituitary-Specific Positive Transcription Factor 1 (Pit1) Exon 3 Amplifikasi gen Pit1 exon 3 pada sapi FH yang berasal dari BIB Lembang, BBIB Singosari, BPPT Cikole,

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN HASIL DAN PEMBAHASAN Polimorfisme RAPD dan Mikrosatelit Penelitian ini menggunakan primer dari Operon Technology, dimana dari 10 primer acak yang diseleksi, primer yang menghasilkan pita amplifikasi yang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Sapi Bali adalah sapi asli Indonesia yang berasal dari Banteng liar (Bibos

BAB I PENDAHULUAN. Sapi Bali adalah sapi asli Indonesia yang berasal dari Banteng liar (Bibos BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Sapi Bali adalah sapi asli Indonesia yang berasal dari Banteng liar (Bibos Banteng Syn Bos sondaicus) yang didomestikasi. Menurut Meijer (1962) proses penjinakan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Latar Belakang. dikembangbiakkan dengan tujuan utama untuk menghasilkan daging. Menurut

BAB I PENDAHULUAN. Latar Belakang. dikembangbiakkan dengan tujuan utama untuk menghasilkan daging. Menurut BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Babi domestik (Sus scrofa) merupakan hewan ternak yang dikembangbiakkan dengan tujuan utama untuk menghasilkan daging. Menurut Sihombing (2006), daging babi sangat digemari

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA Kurban Ketentuan Hewan Kurban

TINJAUAN PUSTAKA Kurban Ketentuan Hewan Kurban TINJAUAN PUSTAKA Kurban Menurut istilah, kurban adalah segala sesuatu yang digunakan untuk mendekatkan diri kepada Allah baik berupa hewan sembelihan maupun yang lainnya (Anis, 1972). Kurban hukumnya sunnah,

Lebih terperinci

PEMBAHASAN UMUM. Keadaan Umum Lokasi Penelitian

PEMBAHASAN UMUM. Keadaan Umum Lokasi Penelitian 79 PEMBAHASAN UMUM Keadaan Umum Lokasi Penelitian Kuda di Sulawesi Utara telah dikenal sejak lama dimana pemanfatan ternak ini hampir dapat dijumpai di seluruh daerah sebagai ternak tunggangan, menarik

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA Gambaran Umum Nanggroe Aceh Darussalam Keragaman Genetik Ternak

TINJAUAN PUSTAKA Gambaran Umum Nanggroe Aceh Darussalam Keragaman Genetik Ternak 6 TINJAUAN PUSTAKA Gambaran Umum Nanggroe Aceh Darussalam Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam terletak di bagian paling barat dari gugusan kepulauan Nusantara. Ibukota Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam adalah

Lebih terperinci

Bibit sapi potong - Bagian 3 : Aceh

Bibit sapi potong - Bagian 3 : Aceh Standar Nasional Indonesia Bibit sapi potong - Bagian 3 : Aceh ICS 65.020.30 Badan Standardisasi Nasional BSN 2013 Hak cipta dilindungi undang-undang. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau

Lebih terperinci

MATERI DAN METODE. Lokasi dan Waktu. Materi. Tabel 1. Jumah Sampel Darah Ternak Sapi Indonesia Ternak n Asal Sapi Bali 2 4

MATERI DAN METODE. Lokasi dan Waktu. Materi. Tabel 1. Jumah Sampel Darah Ternak Sapi Indonesia Ternak n Asal Sapi Bali 2 4 MATERI DAN METODE Lokasi dan Waktu Penelitian dilaksanakan di Laboratorium Genetika Molekuler Ternak, Bagian Pemuliaan dan Genetika Ternak, Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor. penelitian ini

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN. bagian selatan atau pesisir selatan Kabupaten Garut. Kecamatan Pameungpeuk,

HASIL DAN PEMBAHASAN. bagian selatan atau pesisir selatan Kabupaten Garut. Kecamatan Pameungpeuk, IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Keadaan Umum Lokasi Penelitian Kecamatan Pameungpeuk merupakan salah satu daerah yang berada di bagian selatan atau pesisir selatan Kabupaten Garut. Kecamatan Pameungpeuk, secara

Lebih terperinci

Hubungan Kekerabatan Sapi Aceh dengan Menggunakan Daerah Displacement-loop

Hubungan Kekerabatan Sapi Aceh dengan Menggunakan Daerah Displacement-loop Hubungan Kekerabatan Sapi Aceh dengan Menggunakan Daerah Displacement-loop (Relationship of aceh cattle using displacement-loop region) Mohd. Agus Nashri Abdullah 1 1 Jurusan Peternakan, Fakultas Pertanian,

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. hayati sangat tinggi (megabiodiversity). Keanekaragaman hayati adalah. kekayaan plasma nutfah (keanekaragaman genetik di dalam jenis),

I. PENDAHULUAN. hayati sangat tinggi (megabiodiversity). Keanekaragaman hayati adalah. kekayaan plasma nutfah (keanekaragaman genetik di dalam jenis), I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia merupakan salah satu negara dengan keanekaragaman hayati sangat tinggi (megabiodiversity). Keanekaragaman hayati adalah ketersediaan keanekaragaman sumberdaya

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA Sumber Daya Genetik Sapi Lokal Indonesia

TINJAUAN PUSTAKA Sumber Daya Genetik Sapi Lokal Indonesia TINJAUAN PUSTAKA Sumber Daya Genetik Sapi Lokal Indonesia Ternak sapi di Indonesia dapat dikelompokkan ke dalam tiga kategori, yaitu terak asli, ternak yang telah beradaptasi dan ternak impor (Sarbaini,

Lebih terperinci

BIRTH WEIGHT, WEANING WEIGHT AND LINEAR BODY MEASUREMENT OF ONGOLE CROSSED CATTLE AT TWO GROUP PARITIES ABSTRACT

BIRTH WEIGHT, WEANING WEIGHT AND LINEAR BODY MEASUREMENT OF ONGOLE CROSSED CATTLE AT TWO GROUP PARITIES ABSTRACT BIRTH WEIGHT, WEANING WEIGHT AND LINEAR BODY MEASUREMENT OF ONGOLE CROSSED CATTLE AT TWO GROUP PARITIES Nico ferdianto, Bambang Soejosopoetro and Sucik Maylinda Faculty of Animal Husbandry, University

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA Sapi Perah Friesian Holstein

TINJAUAN PUSTAKA Sapi Perah Friesian Holstein TINJAUAN PUSTAKA Sapi Perah Friesian Holstein Sapi Friesian Holstein (FH) merupakan bangsa sapi yang paling banyak terdapat di Amerika Serikat, sekitar 80-90% dari seluruh sapi perah yang berada di sana.

Lebih terperinci

KERAGAMAN GENETIK POPULASI INDUK ABALONE (Haliotis diversicolor) ASAL SELAT BALI DENGAN MENGGUNAKAN PENANDA Random Amplified Polimorphic DNA (RAPD)

KERAGAMAN GENETIK POPULASI INDUK ABALONE (Haliotis diversicolor) ASAL SELAT BALI DENGAN MENGGUNAKAN PENANDA Random Amplified Polimorphic DNA (RAPD) KERAGAMAN GENETIK POPULASI INDUK ABALONE (Haliotis diversicolor) ASAL SELAT BALI DENGAN MENGGUNAKAN PENANDA Random Amplified Polimorphic DNA (RAPD) SKRIPSI Diajukan untuk memenuhi salah satu syarat mencapai

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Sapi yang menyebar di berbagai penjuru dunia terdapat kurang lebih 795.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Sapi yang menyebar di berbagai penjuru dunia terdapat kurang lebih 795. 4 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Sapi Potong Sapi yang menyebar di berbagai penjuru dunia terdapat kurang lebih 795. Walaupun demikian semuanya termasuk dalam genus Bos dari famili Bovidae (Murwanto, 2008).

Lebih terperinci

PENGANTAR. Latar Belakang. Itik yang dikenal saat ini adalah hasil penjinakan itik liar (Anas Boscha atau

PENGANTAR. Latar Belakang. Itik yang dikenal saat ini adalah hasil penjinakan itik liar (Anas Boscha atau PENGANTAR Latar Belakang Itik yang dikenal saat ini adalah hasil penjinakan itik liar (Anas Boscha atau Wild Mallard). Proses penjinakan telah terjadi berabad-abad yang lalu dan di Asia Tenggara merupakan

Lebih terperinci

KARAKTERISTIK MORFOLOGI DAN KERAGAMAN SIFAT-SIFAT KUALITATIF SAPI ACEH FAKHRUL RIZAL

KARAKTERISTIK MORFOLOGI DAN KERAGAMAN SIFAT-SIFAT KUALITATIF SAPI ACEH FAKHRUL RIZAL KARAKTERISTIK MORFOLOGI DAN KERAGAMAN SIFAT-SIFAT KUALITATIF SAPI ACEH FAKHRUL RIZAL 070306006 PROGRAM STUDI PETERNAKAN FAKULTAS PERTANIAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA 2013 KARAKTERISTIK MORFOLOGI DAN KERAGAMAN

Lebih terperinci

ANALISIS DNA MITOKONDRIA BADAK SUMATERA DALAM KONSERVASI GENETIK HANDAYANI

ANALISIS DNA MITOKONDRIA BADAK SUMATERA DALAM KONSERVASI GENETIK HANDAYANI ANALISIS DNA MITOKONDRIA BADAK SUMATERA DALAM KONSERVASI GENETIK HANDAYANI SEKOLAH PASCA SARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2008 2 SURAT PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI Saya menyatakan

Lebih terperinci

KERAGAMAN FENOTIPE SAPI ACEH BETINA PADA BPTU-HPT INDRAPURI. Phenotype Diversity of Female Aceh Cattle in BPTU- HPT Indrapuri

KERAGAMAN FENOTIPE SAPI ACEH BETINA PADA BPTU-HPT INDRAPURI. Phenotype Diversity of Female Aceh Cattle in BPTU- HPT Indrapuri Jurnal Ilmiah Peternakan 3 (2) : 34-38 (2015) ISSN : 2337-9294 KERAGAMAN FENOTIPE SAPI ACEH BETINA PADA BPTU-HPT INDRAPURI Phenotype Diversity of Female Aceh Cattle in BPTU- HPT Indrapuri Mukhtar, Jamaliah

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. mahoni dan mimba. Hasil seleksi primer yang dilakukan terhadap 13 primer spesifik dari

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. mahoni dan mimba. Hasil seleksi primer yang dilakukan terhadap 13 primer spesifik dari BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Amplifikasi silang jenis Mindi Amplifikasi DNA merupakan proses penggandaan DNA dimana basa penyusun DNA direplikasi dengan bantuan primer. Primer merupakan potongan rantai

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. menurut Pane (1991) meliputi bobot badan kg, panjang badan

TINJAUAN PUSTAKA. menurut Pane (1991) meliputi bobot badan kg, panjang badan II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Sapi Bali Sapi bali adalah sapi lokal Indonesia keturunan banteng yang telah didomestikasi. Sapi bali banyak berkembang di Indonesia khususnya di pulau bali dan kemudian menyebar

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN. Kecamatan Terisi secara geografis terletak pada 108 o o 17 bujur

HASIL DAN PEMBAHASAN. Kecamatan Terisi secara geografis terletak pada 108 o o 17 bujur IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Keadaan Umum Wilayah Penelitian Kecamatan Terisi secara geografis terletak pada 108 o 04-108 o 17 bujur timur dan 6 o 36-6 o 48 lintang selatan memiliki luas wilayah 174,22

Lebih terperinci

KEPUTUSAN MENTERI PERTANIAN NOMOR 2841/Kpts/LB.430/8/2012 TENTANG PENETAPAN RUMPUN SAPI PERANAKAN ONGOLE DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

KEPUTUSAN MENTERI PERTANIAN NOMOR 2841/Kpts/LB.430/8/2012 TENTANG PENETAPAN RUMPUN SAPI PERANAKAN ONGOLE DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA KEPUTUSAN MENTERI PERTANIAN NOMOR 2841/Kpts/LB.430/8/2012 TENTANG PENETAPAN RUMPUN SAPI PERANAKAN ONGOLE DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI PERTANIAN, Menimbang : a. bahwa sapi peranakan ongole

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia merupakan salah satu negara yang memiliki kekayaan hasil perikanan yang beranekaragam, sehingga mendatangkan devisa negara yang cukup besar terutama dari

Lebih terperinci

STRATEGI PENGELOLAAN PARIWISATA PESISIR DI SENDANG BIRU KABUPATEN MALANG PROPINSI JAWA TIMUR MUHAMMAD ZIA UL HAQ

STRATEGI PENGELOLAAN PARIWISATA PESISIR DI SENDANG BIRU KABUPATEN MALANG PROPINSI JAWA TIMUR MUHAMMAD ZIA UL HAQ STRATEGI PENGELOLAAN PARIWISATA PESISIR DI SENDANG BIRU KABUPATEN MALANG PROPINSI JAWA TIMUR MUHAMMAD ZIA UL HAQ SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2006 PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER

Lebih terperinci

DAFTAR ISI LEMBAR PENGESAHAN... UCAPAN TERIMA KASIH... ABSTRAK... viii. ABSTRACT.. ix RINGKASAN.. DAFTAR ISI... xiii.

DAFTAR ISI LEMBAR PENGESAHAN... UCAPAN TERIMA KASIH... ABSTRAK... viii. ABSTRACT.. ix RINGKASAN.. DAFTAR ISI... xiii. DAFTAR ISI Halaman LEMBAR PENGESAHAN..... UCAPAN TERIMA KASIH... iv vi ABSTRAK... viii ABSTRACT.. ix RINGKASAN.. x DAFTAR ISI... xiii DAFTAR TABEL xv DAFTAR GAMBAR.... xvi DAFTAR LAMPIRAN.... xvii BAB

Lebih terperinci

PRAKATA. Alhamdulillah syukur senantiasa penulis panjatkan kepada Allah swt., atas

PRAKATA. Alhamdulillah syukur senantiasa penulis panjatkan kepada Allah swt., atas PRAKATA Alhamdulillah syukur senantiasa penulis panjatkan kepada Allah swt., atas segala nikmat dan karunia-nya, penulisan Tugas Akhir dengan judul Keragaman Genetik Abalon (Haliotis asinina) Selat Lombok

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. sapi Jebres, sapi pesisir, sapi peranakan ongole, dan sapi Pasundan.

PENDAHULUAN. sapi Jebres, sapi pesisir, sapi peranakan ongole, dan sapi Pasundan. 1 I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pengembangan sapi lokal merupakan alternatif kebijakan yang sangat memungkinkan untuk dapat meningkatkan produksi dan ketersediaan daging nasional. Ketidak cukupan daging

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN. divisualisasikan padaa gel agarose seperti terlihat pada Gambar 4.1. Ukuran pita

HASIL DAN PEMBAHASAN. divisualisasikan padaa gel agarose seperti terlihat pada Gambar 4.1. Ukuran pita IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Amplifikasi Gen Mx Amplifikasi gen Mx telah berhasil dilakukan. Hasil amplifikasi gen Mx divisualisasikan padaa gel agarose seperti terlihat pada Gambar 4.1. Ukuran pita yang

Lebih terperinci

II KAJIAN KEPUSTAKAAN. karena karakteristiknya, seperti tingkat pertumbuhan cepat dan kualitas daging cukup

II KAJIAN KEPUSTAKAAN. karena karakteristiknya, seperti tingkat pertumbuhan cepat dan kualitas daging cukup II KAJIAN KEPUSTAKAAN 2.1 Sapi Potong Sapi potong adalah jenis sapi yang khusus dipelihara untuk digemukkan karena karakteristiknya, seperti tingkat pertumbuhan cepat dan kualitas daging cukup baik. Sapi

Lebih terperinci

Fahrul Ilham ABSTRAK PENDAHULUAN

Fahrul Ilham ABSTRAK PENDAHULUAN KARAKTERISTIK FENOTIP SIFAT KUALITATIF DAN KUANTITATIF KAMBING LOKAL DI KABUPATEN BONE BOLANGO (Characteristics of Phenotype Trait Qualitative and Quantitative Goat Local in The District Bone Bolango)

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. dikenal dengan sebutan sapi kacang atau sapi kacangan, sapi pekidulan, sapi

PENDAHULUAN. dikenal dengan sebutan sapi kacang atau sapi kacangan, sapi pekidulan, sapi I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Sapi Pasundan merupakan sapi lokal di Jawa Barat yang diresmikan pada tahun 2014 oleh Menteri pertanian (mentan), sebagai rumpun baru berdasarkan SK Nomor 1051/kpts/SR.120/10/2014.

Lebih terperinci

SISTEM BREEDING DAN PERFORMANS HASIL PERSILANGAN SAPI MADURA DI MADURA

SISTEM BREEDING DAN PERFORMANS HASIL PERSILANGAN SAPI MADURA DI MADURA SISTEM BREEDING DAN PERFORMANS HASIL PERSILANGAN SAPI MADURA DI MADURA Nurgiartiningsih, V. M. A Produksi Ternak, Fakultas Peternakan, Universitas Brawijaya Malang ABSTRAK Penelitian bertujuan untuk mengidentifikasi

Lebih terperinci

PROGRAM DOKTOR ILMU PRODUKSI DAN TEKNOLOGI PETERNAKAN DEPARTEMEN ILMU PRODUKSI DAN TEKNOLOGI PETERNAKAN FAKULTAS PETERNAKAN IPB

PROGRAM DOKTOR ILMU PRODUKSI DAN TEKNOLOGI PETERNAKAN DEPARTEMEN ILMU PRODUKSI DAN TEKNOLOGI PETERNAKAN FAKULTAS PETERNAKAN IPB PROGRAM DOKTOR ILMU PRODUKSI DAN TEKNOLOGI PETERNAKAN DEPARTEMEN ILMU PRODUKSI DAN TEKNOLOGI PETERNAKAN FAKULTAS PETERNAKAN IPB 1 Setelah menyelesaikan program studi ini, lulusan mampu : bidang ilmu dan

Lebih terperinci

MATERI DAN METODE. Lokasi dan Waktu. Materi

MATERI DAN METODE. Lokasi dan Waktu. Materi MATERI DAN METODE Lokasi dan Waktu Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Genetika Molekuler, Bagian Pemuliaan dan Genetika Ternak, Departemen Ilmu Produksi dan Teknologi Peternakan, Fakultas Peternakan,

Lebih terperinci

IDENTIFIKASI KERAGAMAN GEN PITUITARY SPECIFIC POSITIVE TRANSCRIPTION FACTOR

IDENTIFIKASI KERAGAMAN GEN PITUITARY SPECIFIC POSITIVE TRANSCRIPTION FACTOR IDENTIFIKASI KERAGAMAN GEN PITUITARY SPECIFIC POSITIVE TRANSCRIPTION FACTOR 1 (PIT1) PADA KERBAU LOKAL (Bubalus bubalis) DAN SAPI FH (Friesian-Holstein) SKRIPSI RESTU MISRIANTI DEPARTEMEN ILMU PRODUKSI

Lebih terperinci

ANALISIS DNA MITOKONDRIA BADAK SUMATERA DALAM KONSERVASI GENETIK HANDAYANI

ANALISIS DNA MITOKONDRIA BADAK SUMATERA DALAM KONSERVASI GENETIK HANDAYANI ANALISIS DNA MITOKONDRIA BADAK SUMATERA DALAM KONSERVASI GENETIK HANDAYANI SEKOLAH PASCA SARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2008 2 SURAT PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI Saya menyatakan

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN HASIL DAN PEMBAHASAN Amplifikasi Gen GH Exon 4 Amplifikasi gen GH exon 4 pada kambing Peranakan Etawah (PE), Saanen dan PESA (Persilangan PE-Saanen) diperoleh panjang fragmen 200 bp (Gambar 8). M 1 2 3

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Sektor peternakan adalah sektor yang memberikan kontribusi tinggi dalam

TINJAUAN PUSTAKA. Sektor peternakan adalah sektor yang memberikan kontribusi tinggi dalam 9 II TINJAUAN PUSTAKA 1.1. Usahaternak Sektor peternakan adalah sektor yang memberikan kontribusi tinggi dalam pembangunan pertanian. Sektor ini memiliki peluang pasar yang sangat baik, dimana pasar domestik

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Sapi termasuk dalam genus Bos yaitu dalam Bos taurus dan Bos indicus.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Sapi termasuk dalam genus Bos yaitu dalam Bos taurus dan Bos indicus. 4 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Sapi Potong Sapi termasuk dalam genus Bos yaitu dalam Bos taurus dan Bos indicus. Sapi potong adalah sapi yang dibudidayakan untuk diambil dagingnya atau dikonsumsi. Sapi

Lebih terperinci

STUDI KONDISI VEGETASI DAN KONDISI FISIK KAWASAN PESISIR SERTA UPAYA KONSERVASI DI NANGGROE ACEH DARUSSALAM FERI SURYAWAN

STUDI KONDISI VEGETASI DAN KONDISI FISIK KAWASAN PESISIR SERTA UPAYA KONSERVASI DI NANGGROE ACEH DARUSSALAM FERI SURYAWAN STUDI KONDISI VEGETASI DAN KONDISI FISIK KAWASAN PESISIR SERTA UPAYA KONSERVASI DI NANGGROE ACEH DARUSSALAM FERI SURYAWAN SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2007 PENYATAAN MENGENAI TESIS

Lebih terperinci

PERFORMANS DAN KARAKTERISTIK AYAM NUNUKAN

PERFORMANS DAN KARAKTERISTIK AYAM NUNUKAN PERFORMANS DAN KARAKTERISTIK AYAM NUNUKAN WAFIATININGSIH 1, IMAM SULISTYONO 1, dan RATNA AYU SAPTATI 2 1 Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Kalimantan Timur 2 Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 48 TAHUN 2011 TENTANG SUMBER DAYA GENETIK HEWAN DAN PERBIBITAN TERNAK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 48 TAHUN 2011 TENTANG SUMBER DAYA GENETIK HEWAN DAN PERBIBITAN TERNAK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 48 TAHUN 2011 TENTANG SUMBER DAYA GENETIK HEWAN DAN PERBIBITAN TERNAK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: bahwa untuk

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kerja dan kebutuhan lainnya. Sapi menghasilkan sekitar 50% (45-55%) kebutuhan

BAB I PENDAHULUAN. kerja dan kebutuhan lainnya. Sapi menghasilkan sekitar 50% (45-55%) kebutuhan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Sapi adalah hewan ternak terpenting sebagai sumber daging, susu, tenaga kerja dan kebutuhan lainnya. Sapi menghasilkan sekitar 50% (45-55%) kebutuhan daging

Lebih terperinci

STUDI KARAKTERISTIK MORFOLOGIS DAN GENETIK KERBAU BENUANG DI BENGKULU

STUDI KARAKTERISTIK MORFOLOGIS DAN GENETIK KERBAU BENUANG DI BENGKULU STUDI KARAKTERISTIK MORFOLOGIS DAN GENETIK KERBAU BENUANG DI BENGKULU AZMI 1), GUNAWAN 1) dan EDWARD SUHARNAS 3) 1) Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Bengkulu 2) Universitas Bengkulu ABSTRAK Kerbau

Lebih terperinci

KERAGAMAN GENETIK KAMBING BOER BERDASARKAN ANALISIS SEKUEN DNA MITOKONDRIA BAGIAN D-LOOP. Skripsi

KERAGAMAN GENETIK KAMBING BOER BERDASARKAN ANALISIS SEKUEN DNA MITOKONDRIA BAGIAN D-LOOP. Skripsi KERAGAMAN GENETIK KAMBING BOER BERDASARKAN ANALISIS SEKUEN DNA MITOKONDRIA BAGIAN D-LOOP Skripsi Untuk memenuhi sebagian persyaratan guna memperoleh derajat Sarjana Peternakan di Fakultas Pertanian Universitas

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Sapi Bali

TINJAUAN PUSTAKA. Sapi Bali TINJAUAN PUSTAKA Sapi Bali Sapi bali merupakan salah satu ternak asli dari Indonesia. Sapi bali adalah bangsa sapi yang dominan dikembangkan di bagian Timur Indonesia dan beberapa provinsi di Indonesia

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN HASIL DAN PEMBAHASAN Amplifikasi Gen GH Gen GH exon 3 pada kambing PE, Saanen, dan PESA (Persilangan PE dan Saanen) berhasil diamplifikasi menggunakan metode PCR (Polymerase Chain Reaction). Panjang fragmen

Lebih terperinci

KAJIAN PENANDA GENETIK GEN CYTOCHROME B DAN DAERAH D-LOOP PADA Tarsius sp. OLEH : RINI WIDAYANTI

KAJIAN PENANDA GENETIK GEN CYTOCHROME B DAN DAERAH D-LOOP PADA Tarsius sp. OLEH : RINI WIDAYANTI KAJIAN PENANDA GENETIK GEN CYTOCHROME B DAN DAERAH D-LOOP PADA Tarsius sp. OLEH : RINI WIDAYANTI SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2006 i ABSTRACT RINI WIDAYANTI. The Study of Genetic

Lebih terperinci

DEPARTEMEN PETERNAKAN FAKULTAS PERTANIAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN

DEPARTEMEN PETERNAKAN FAKULTAS PERTANIAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN DEPARTEMEN PETERNAKAN FAKULTAS PERTANIAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN 2006 IV. MENGENAL BERBAGAI BANGSA SAPI PERAH Dari berbagai bangsa sapi perah yang terdapat di dunia pada dasarnya dapat dikelompokkan

Lebih terperinci

PENDAHULUAN Latar Belakang

PENDAHULUAN Latar Belakang PENDAHULUAN Latar Belakang Indonesia memiliki Indeks Keanekaragaman Hayati(Biodiversity Index) tertinggi dengan 17% spesies burung dari total burung di dunia (Paine 1997). Sekitar 1598 spesies burung ada

Lebih terperinci

III. HASIL DAN PEMBAHASAN M

III. HASIL DAN PEMBAHASAN M III. HASIL DAN PEMBAHASAN 3.1. Hasil 3.1.1. Profil RAPD Keragaman profil penanda DNA meliputi jumlah dan ukuran fragmen DNA. Hasil amplifikasi dengan menggunakan primer OPA-02, OPC-02, OPC-05 selengkapnya

Lebih terperinci

IDENTIFIKASI ISOLAT BAKTERI DARI PANTAI BANDEALIT JEMBER BERDASARKAN SEKUEN DNA PENGKODE 16S rrna SKRIPSI. Oleh Dina Fitriyah NIM

IDENTIFIKASI ISOLAT BAKTERI DARI PANTAI BANDEALIT JEMBER BERDASARKAN SEKUEN DNA PENGKODE 16S rrna SKRIPSI. Oleh Dina Fitriyah NIM IDENTIFIKASI ISOLAT BAKTERI DARI PANTAI BANDEALIT JEMBER BERDASARKAN SEKUEN DNA PENGKODE 16S rrna SKRIPSI Oleh Dina Fitriyah NIM 061810401071 JURUSAN BIOLOGI FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM

Lebih terperinci

SKRIPSI. Untuk memenuhi sebagian persyaratan guna memperoleh derajat Sarjana Pertanian di Fakultas Pertanian Universitas Sebelas Maret

SKRIPSI. Untuk memenuhi sebagian persyaratan guna memperoleh derajat Sarjana Pertanian di Fakultas Pertanian Universitas Sebelas Maret ISOLASI DNA DENGAN METODE DOYLE AND DOYLE DAN ANALISIS RAPD PADA SAWO SKRIPSI Untuk memenuhi sebagian persyaratan guna memperoleh derajat Sarjana Pertanian di Fakultas Pertanian Universitas Sebelas Maret

Lebih terperinci

I PENDAHULUAN. Susu merupakan salah satu hasil ternak yang tidak dapat dipisahkan dari

I PENDAHULUAN. Susu merupakan salah satu hasil ternak yang tidak dapat dipisahkan dari 1 I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Susu merupakan salah satu hasil ternak yang tidak dapat dipisahkan dari kehidupan manusia. Ketersediaan susu sebagai salah satu bahan pangan untuk manusia menjadi hal

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kerbau. Terdapat dua jenis kerbau yaitu kerbau liar atau African Buffalo (Syncerus)

BAB I PENDAHULUAN. kerbau. Terdapat dua jenis kerbau yaitu kerbau liar atau African Buffalo (Syncerus) BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia merupakan negara kepulauan yang memiliki keanekaragaman hayati sangat melimpah. Salah satu dari keanekaragaman hayati di Indonesia adalah kerbau. Terdapat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Ikan sebagai salah satu sumber protein hewani mengandung semua jenis asam amino esensial yang diperlukan oleh tubuh manusia (Suhartini dan Nur 2005 dalam Granada 2011),

Lebih terperinci

ANALISIS KEBUTUHAN LUAS LAHAN PERTANIAN PANGAN DALAM PEMENUHAN KEBUTUHAN PANGAN PENDUDUK KABUPATEN LAMPUNG BARAT SUMARLIN

ANALISIS KEBUTUHAN LUAS LAHAN PERTANIAN PANGAN DALAM PEMENUHAN KEBUTUHAN PANGAN PENDUDUK KABUPATEN LAMPUNG BARAT SUMARLIN ANALISIS KEBUTUHAN LUAS LAHAN PERTANIAN PANGAN DALAM PEMENUHAN KEBUTUHAN PANGAN PENDUDUK KABUPATEN LAMPUNG BARAT SUMARLIN SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2009 PERNYATAAN MENGENAI TESIS

Lebih terperinci

4 HASIL DAN PEMBAHASAN

4 HASIL DAN PEMBAHASAN 4 HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Karakteristik Morfologi Pada penelitian ini digunakan lima sampel koloni karang yang diambil dari tiga lokasi berbeda di sekitar perairan Kepulauan Seribu yaitu di P. Pramuka

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Kambing Boer berasal dari Afrika Selatan dan telah menjadi ternak yang terregistrasi

II. TINJAUAN PUSTAKA. Kambing Boer berasal dari Afrika Selatan dan telah menjadi ternak yang terregistrasi 7 II. TINJAUAN PUSTAKA A. Kambing 1. Kambing Boer Kambing Boer berasal dari Afrika Selatan dan telah menjadi ternak yang terregistrasi selama lebih dari 65 tahun. Kata "Boer" artinya petani. Kambing Boer

Lebih terperinci

SAPI RAMBON (Trinil Susilawati, Fakultas peternakan Universitas Brawijaya)

SAPI RAMBON (Trinil Susilawati, Fakultas peternakan Universitas Brawijaya) SAPI RAMBON (Trinil Susilawati, Fakultas peternakan Universitas Brawijaya) Sejarah Sapi Rambon Sapi Bondowoso yang terdiri dari 3 suku bangsa yaitu Jawa Madura dan Bali yang mempunyai berbagai jenis sapi

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. potensi besar dalam memenuhi kebutuhan protein hewani bagi manusia, dan

PENDAHULUAN. potensi besar dalam memenuhi kebutuhan protein hewani bagi manusia, dan 1 I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Domba merupakan salah satu ternak ruminansia kecil yang memiliki potensi besar dalam memenuhi kebutuhan protein hewani bagi manusia, dan sudah sangat umum dibudidayakan

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA Asal Usul Sapi di Indonesia

TINJAUAN PUSTAKA Asal Usul Sapi di Indonesia TINJAUAN PUSTAKA Asal Usul Sapi di Indonesia MacHugh (1996) menyatakan jika terdapat dua spesies sapi yang tersebar diseluruh dunia yaitu spesies tidak berpunuk dari Eropa, Afrika Barat, dan Asia Utara

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA Asal Usul dan Klasifikasi Domba Bangsa Domba di Indonesia

TINJAUAN PUSTAKA Asal Usul dan Klasifikasi Domba Bangsa Domba di Indonesia TINJAUAN PUSTAKA Asal Usul dan Klasifikasi Domba Domestikasi domba diperkirakan terjadi di daerah pegunungan Asia Barat sekitar 9.000 11.000 tahun lalu. Sebanyak tujuh jenis domba liar yang dikenal terbagi

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. Latar Belakang. Sapi potong merupakan salah satu komoditas ternak yang potensial dan

PENDAHULUAN. Latar Belakang. Sapi potong merupakan salah satu komoditas ternak yang potensial dan PENDAHULUAN Latar Belakang Sapi potong merupakan salah satu komoditas ternak yang potensial dan strategis untuk dikembangkan di Indonesia. Populasi ternak sapi di suatu wilayah perlu diketahui untuk menjaga

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. prolifik (dapat beranak lebih dari satu ekor dalam satu siklus kelahiran) dan

PENDAHULUAN. prolifik (dapat beranak lebih dari satu ekor dalam satu siklus kelahiran) dan 1 I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Domba mempunyai arti penting bagi kehidupan dan kesejahteraan manusia karena dapat menghasilkan daging, wool, dan lain sebagainya. Prospek domba sangat menjanjikan untuk

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Kebutuhan daging sapi setiap tahun selalu meningkat, sementara itu pemenuhan

I. PENDAHULUAN. Kebutuhan daging sapi setiap tahun selalu meningkat, sementara itu pemenuhan 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kebutuhan daging sapi setiap tahun selalu meningkat, sementara itu pemenuhan kebutuhan daging sapi lebih rendah dibandingkan dengan kebutuhan daging sapi. Ternak sapi,

Lebih terperinci

KOMPOSISI TUBUH KAMBING KACANG AKIBAT PEMBERIAN PAKAN DENGAN SUMBER PROTEIN YANG BERBEDA SKRIPSI. Oleh ALEXANDER GALIH PRAKOSO

KOMPOSISI TUBUH KAMBING KACANG AKIBAT PEMBERIAN PAKAN DENGAN SUMBER PROTEIN YANG BERBEDA SKRIPSI. Oleh ALEXANDER GALIH PRAKOSO KOMPOSISI TUBUH KAMBING KACANG AKIBAT PEMBERIAN PAKAN DENGAN SUMBER PROTEIN YANG BERBEDA SKRIPSI Oleh ALEXANDER GALIH PRAKOSO PROGRAM STUDI S1 PETERNAKAN FAKULTAS PETERNAKAN DAN PERTANIAN UNIVERSITAS DIPONEGORO

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. nasional yang tidak ternilai harganya (Badarudin dkk. 2013). Ayam kampung

I. PENDAHULUAN. nasional yang tidak ternilai harganya (Badarudin dkk. 2013). Ayam kampung I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Ayam lokal di Indonesia adalah kekayaan alam yang merupakan aset nasional yang tidak ternilai harganya (Badarudin dkk. 2013). Ayam kampung disebut juga dengan istilah

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. Latar Belakang. beragam di dunia. Kuda (Equus caballus) adalah salah satu bentuk dari

PENDAHULUAN. Latar Belakang. beragam di dunia. Kuda (Equus caballus) adalah salah satu bentuk dari PENDAHULUAN Latar Belakang Indonesia adalah salah satu negara dengan keanekaragaman hayati paling beragam di dunia. Kuda (Equus caballus) adalah salah satu bentuk dari keanekaragaman hewan yang dimiliki

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN HASIL DAN PEMBAHASAN Amplifikasi Gen Hormon Pertumbuhan (GH) Amplifikasi gen hormon pertumbuhan pada sapi FH yang berasal dari BIB Lembang, BBIB Singosari, dan BET Cipelang; serta sapi pedaging (sebagai

Lebih terperinci

KAJIAN KEPUSTAKAAN. kebutuhan konsumsi bagi manusia. Sapi Friesien Holstein (FH) berasal dari

KAJIAN KEPUSTAKAAN. kebutuhan konsumsi bagi manusia. Sapi Friesien Holstein (FH) berasal dari II KAJIAN KEPUSTAKAAN 2.1 Karakteristik Sapi perah Sapi perah (Bos sp.) merupakan ternak penghasil susu yang sangat dominan dibanding ternak perah lainnya dan sangat besar kontribusinya dalam memenuhi

Lebih terperinci