PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMAS1

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMAS1"

Transkripsi

1 KEANEKARAGAMAN DAN KOMPOSISI SPESIES SEMUT (HYMENOPTERA: FORMICIDAE) PADA VEGETASI MANGROVE KABUPATEN KOLAKA SULAWESI TENGGARA DAN MUARA ANGKE JAKARTA DAKIR SEKO~AH PASCASA~JANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2009

2 PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMAS1 Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis Keanekaragaman dm Komposisi Spesies Semut (Hymenoptera: Formicidae) pada Vegetasi Mangrove Kabupaten Kolaka, Sulawesi Tenggara dan Muara Angke, Jakarta adalah karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan tercantum dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini. Bogor, Mei 2009 Dakir NRP G

3 ABSTRACT DAKIR. The Species Composition and Diversity of Ants (Hymenoptera: Formicidae) in Mangrove Vegetation, in Kolaka, South East Sulawesi and Muara Angke, Jakarta. Supervised by RKA RAFFIUDIN and ROSICHON UBAIDILLAH. Mangrove forests are plant communities defined by the existence of several species of trees and shrubs growing in the transitional area between land and sea (tidal zone). Mangrove forests consist of three zonations clearly distinguished by three tree types; Sonneratia, Rhizophora, and Bruguiera. Mangrove ecosystems have played an important role in the socio-economic development of costal communities in Indonesia. However, the fauna, especially the ants, remain poorly understood, despite ants being the dominant insect group in any ecosystem. The aims of this study were to investigate the species composition, diversity, domination, dispersion, and abundance estimates of ants in the mangrove communities of Kolaka, South East of Sulawesi, and Muara Angke, Jakarta. Ants were collected at three stations (50 m transectlstation) using baiting, sweep netting, and beating methods. Efforts resulted in the collection of four subfamilies, 16 genera, and 18 species of ants from Sonneratia, Rhizophora, and Bruguiera trees in Kolaka and four subfamilies, eight genera, and 11 species from Sonnerafia trees in Muara Angke. Several ant species were recorded on only one species of tree while other ant species were found on two or three tree species. Results show that ant diversity in Kolaka and Muara Angke is moderate and no dominant species exist. Ant dispersion was found to be very low since several species were rare with only a few individuals collected. The use of three collection methods in this study provides an accurate estimate of the entire ant community thought to exist in Kolaka and Muara Angke mangrove forests. Keywords : ants, mangrove, Sonneratia, Rhizophora, Bruguiera, Kolaka, Sulawesi Tenggara, Muara Angke, Jakarta.

4 DAKIR. Keanekaragaman dan Komposisi Spesies Semut (Hymenoptera: Formicidae) pada Vegetasi Mangrove Kabupaten Kolaka, Sulawesi Tenggara dan Muara Angke, Jakarta. Dibimbing oleh RIKA RAFFIUDIN dan ROSICHON UBAIDILLAH. Salah satu kelompok fauna yang memiliki kelimpahan tertinggi pada filum Arthropoda adalah kelompok serangga. Serangga merupakan fauna avertebrata yang memiliki peranan penting dalam berbagai ekosistem. Salah satu kelompok serangga yang memiliki peranan ekologi yang sangat penting adalah semut (Hymenoptera: Formicidae). Semut merupakan serangga eusosial yang penyebarannya sangat luas dan dapat ditemukan pada berbagai habitat mulai hutan tropis, padang rumput dan beberapa habitat lainnya. Semut memiliki keanekaragaman yang tinggi dan memiliki kemampuan adabtasi sehingga keberadaannya dapat ditemukan disemua habitat. Selain pada daerah teresterial semut juga dapat ditemukan di daerah pesisir pantai karena terdapat habitat yang memungkinkan keberadaan semut yaitu vegetasi mangrove antara lain Sonnerafia, Rhizophora dan Bruguiera. Kabupaten Kolaka dan Muara Angke adalah sebagian dari daerah pesisir pantai di Indonesia yang memiliki vegetasi mangrove. Kedua wilayah tersebut diduga memiliki keragaman semut yang cukup tinggi dau berbeda. Perbedaan yang terjadi disebabkan kondisi habitat dan faktor lingkungan. Oleh karena itu kedua daerah tersebut dijadikan lokasi penelitian. Pada vegetasi mangrove Kabupaten Kolaka lokasi pengambilan semut dilakukan pada tiga stasiun yaitu pada stasiun Latambaga, Samaturu dan Wolo, sedangkan pada vegetasi mangrove Muara Angke dilakukan pada satu stasiun yaitu pada kawasan Suaka Margasatwa Muara Angke (SMMA). Dari hasil penelitian, pada kawasan mangrove Kabupaten Kolaka dan Suaka Margasatwa Muara Angke ditemukan empat subfamili semut yaitu Dolichoderinae, Formicinae, Myrmicinae dan Pseudomyrmicinae dengan 23 spesies. Pada lokasi vegetasi mangrove Kabupaten Kolaka dikoleksi 18 spesies semut dan pada lokasi vegetasi Muara Angke dikoleksi 11 spesies semut. Di kedua lokasi terdapat persamaan dan perbedaan spesies semut. Semut-semut yang dikoleksi sarna adalah Technomyrmex sp., Forelophillus sp., Polyrhachis spl., Crematogaster spl., Crematogaster sp2. dan Tetraponera yunctulata. Semut yang berbeda adalah semut 0. snzaragdina, Camponotus sp., Pseudolasius sp., Cladomyrma sp. dan Monomorium sp. yang dikoleksi pada pohon Sonneratia mangrove Kabupaten Kolaka dan semut Tapinoma sp., Polyrhachis bohoni, Cardiocandyla sp., Cataulacus sp. serta Tetraponera sp. adalah semut yang dikoleksi pada pohon Sonnerutin mangrove Suaka Margasatwa Muara Angke.

5 Pengoleksian semut dilakukan dengan menggunakan tiga teknik koleksi yaitu dengan pemberian umpan (bait) keju, jaring (sweeping) serangga serta penadah (beating). Pada vegetasi mangrove Kabupaten Kolaka, semut yang memiliki kelimpahan tinggi adalah Oechophylla smaragdina, Pseudolasius sp. dan Crematogaster sp., sedangkan pada mangrove Muara Angke Technomyrmex sp., Cardiocandyla sp., dan Crematogaster sp. Keragaman semut pada mangrove Kabupaten Kolaka dan Muara Angke berdasarkan analisis Shannon-Wiener (H') dikategorikan keragaman sedang karena hasil koleksi pada masing-masing lokasi penelitian memiliki kategori nilai l<h'<3. Di kedua lokasi penelitian tidak terdapat dorninasi semut tertentu terhadap semut lain yang dinyatakan dengan nilai indeks dominansi Simpson (D') yaitu D'4. Namun, kemerataan semut di masing-masing lokasi penelitian sangat rendah karena ditemukan beberapa spesies semut dengan jumlah individu yang kurang dibandingkan spesies lain, ha1 tersebut berdasarkan indeks kemerataan Evenness (E') yaitu E'cl. Estimasi kelimpahan semut dikawasan mangrove Kabupaten Kolaka berdasarkan Species Abundance-based Coverage Estimate (SACE) adalah 973 1% dan Estimasi presence-absence semut berdasarkan Species Insidence-based Coverage Estimate (SICE) adalah 84,99%. Berbeda dengan lokasi penelitian pada mangrove Muara Angke yang hanya terdiri dari satu stasiun pengamatan yaitu pada SMMA dan hanya dilakukan pada pohon Sonneratia. Nilai estimasi spesies semut pada mangrove Muara Angke berdasarkan Species Abundance-based Coverage Estimate (SACE) adalah 100% dan estimasi presence-absence semut berdasarkan Species Insidence-based Coverage Estimale (SICE) adalah 95,99%. Persentase pendugaan kelimpahan semut di kedua lokasi penelitian berbeda disebabkan perbedaan jenis pohon, luasan lokasi penelitian dan frekuensi koleksi. Namun secara keseluruhan estimasi tentang keberadaan semut pada mangrove Kabupaten Kolaka dan Muara Angke sudah memberikan gambaran yang cukup baik tentang keanekaragaman semut pada daerah mangrove. Beberapa faktor yang mempengaruhi keberadaan jenis semut di mangrove adalah sumber makanan, sarang dan gangguan. Sumber makanan beberapa semut pada daerah mangrove adalah cairan embun madu yang dihasilkan coccids yang terdapat di dam atau di ranting pohon. Selain itu, semut dengan sifatnya sebagai predotor juga memangsa beberapa jenis serangga yang ditemukan sebagai perusak pada pohon Sonneratia, Rhizophora dan Bruguiera. Hal lain yang menyebabkan keberadaan semut pada daerah mangrove adalah peristiwa pasang dan surut air laut. Hal tersebut dapat terlihat pada pohon Sonneratia yang terletak pada bagian depan zonasi mangrove yang memiliki frekunsi genangan air laut yang cukup lama sehingga pohon Sonneratia terkadang membentuk pulau tersendiri. Hal ini yang menyebabkan beberapa spesies dapat terspesialisasi untuk menetap pada pohon Sonneratia seperti semut Cladomyrma sp., Technomyrmex sp., Camponolus sp. dan Tetraponera sp.

6 Berdasarkan keanekaragaman spesies semut, pohon Rhizophora merupakan habitat yang memiliki keanekaragaman yang tinggi dibandingkan pohon Sonneratia dan Bruguiera. Morfologi Rhizophora terutama kondisi batang yang berkulit keras dan membentuk celah memudahkan beberapa semut untuk tinggal dan berlindung khususnya semut yang memiliki ukuran tubuh lebih kecil dan ramping seperti Pseudolasius sp., Crematogasteu sp., dan Monornorium sp. serta letak pohon Rhizophora pada zona tengah sebagai zona aman pada kawasan mangrove memungkinkan ditemukan semut lebih banyak. Selain semut, ditemukan pula ordo dan serangga lain. Hal tersebut karena bervariasinya teknik yang digunakan seperti penggunaan jaring dan penadah. Beberapa kelompok arthropods yang ikut terkoleksi adalah Araneae, Himeptera, Homoptera, Diptera, Hymenoptera, Coleoptera, Lepidoptera, Tysanoptera dan Mantodea. Beberapa ordo tersebut merupakan kelompok herbivora pada vegetasi mangrove. Ordo Araneae ditemukan lebih hanyak dari ordo lain karena Araneae juga merupakan salah kelompok predator bagi serangga lain. Dengan dikoleksinya beberapa ordo dan serangga lain, maka dimungkinkan adanaya jejaring ekologi yang cukup kompleks antara organisme-organisme yang ada di dalam vegetasi mangrove. Semut dan beberapa serangga lain yang dikoleksi merupakan salah satu komponen ekosistem yang penting di wilayah pesisir. Oleh karena itu, maka perlu adanya strategi dalam membuat kebijakaan konservasi alam khususnya diwilayah mangrove. Beberapa kemungkinan prinsip yang dapat dilakukan adalah (1) perlindungan terhadap ekosistem pesisir pantai dengan memperhatikan kekayaan fauna khususnya serangga sebagai bioindikator dan biokontrol terhadap terpeiiharanya proses ekologis, (2) pengawetan keanekaragaman guna pelestarian ekosistem dengan mengatur dan mengendalikan cam-cara pemanfaatan yang lebih bijaksana, sehiigga dapat diperoleh manfaat yang optimal dan berkesinambungan.

7 0 Hak Cipta rnilik IPB, tahun 2009 Hak Cipta dilindungi Undang-Undang Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumhzn atau menyebutkan sumbernya. Pengutipun haizya untuk kepentingan pendidikan penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan sualu masalah; dun pengutipan tersebuf tidak merugikan kepeniingan yang wajar IPB Dilarang menguinumkan dun rnemperbanyak sebagian atau seluruh kaiya tulis dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB

8 KEANEKARAGAMAN DAN KOMPOSISI SPESIES SEMUT (HYMENOPTERA: FORMICIDAE) PADA VEGETASI MANGROVE KABUPATEN KOLAKA, SULAWESI TENGGARA DAN MUARA ANGKE, JAKARTA DAKIR Tesis Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Mayor Biosains Hewan. SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2009

9 Judul Tesis : Keanekaragaman dan Komposisi Spesies Semut (Hymenoptera: Formicidae) pada Vegetasi Mangrove Kabupaten Kolaka, Sulawesi Tenggara dan Muara Angke, Jakarta. Nama : Dakir NRP : G Program Studi : Biosains Hewan Disetujui Komisi Pembimbing Dr. Ir. Rika Raffiudin, M.Si Ketua Diketahui Tanggal Ujian : 27 Mei 2009 Tanggal Lulus : f 7 J U L 2009

10 PRAKATA Alhamdulillah penulis panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah memberikan kesehatan dan kemampuan sehingga penulis dapat menyelesaikan tesis dengan judul "Keanekaragaman dan Komposisi Spesies Semut pada Vegetasi Mangrove Kabupaten Kolaka, Sulawesi Tenggara dan Muara Angke, Jakarta". Tesis ini merupakan salah satu syarat untuk mendapatkan gelar Magister Sains di Institut Pertanian Bogor. Penulis menyadari bahwa tesis ini tidak akan tersusun tanpa bantuan dari berbagai pihak. Sehubungan dengan itu, dengan segala kerendahan hati penulis ingin menyampaikan ucapan terima kasih kepada Dr. Ir. Rika Raffiudin, M.Si dan Dr. Rosichon Ubaidillah, DIC, M.Phil selaku komisi pembimbing yang telah memberikan bimbingan dengan sabar dan tulus dalam penyelesaian penulisan tesis ini serta Dr. Ir. Damayanti Buchori, M.Sc selaku penguji luar komisi pembimbing. Ucapan terima kasih secara pribadi penulis sampaikan kepada Departemen Agama RI yang telah memberikan beasiswa pendidikan Pascasarjana di Institut Pertanian Bogor, kepada Dr. Bambang Suryobroto, Dr. Dedi Duryadi Solichin, Dr. Akhmad Farjallah, Dr. RR. Dyah Penvitasari, Dr. Tri Atmowidi, Ir. Tri Heru Widarto, M.Si, Ben Juliandi, M.Si, Dra. T~NN Sri Prawasti dan teknisi laboratorium yang telah memberikan ilmu dan pengalaman yang tak ternilai harganya. Tidak lupa pula penulis menyampaikan terima kasih kepada seluruh rakan-rekan mahasiswa Mayor Biosain Hewan atas bantuan, dukungan, kebersamaan dan doa yang diberikan. Ucapan terima kasih yang paling tulus penulis sampaikan kepada kedua orang tua, istri dan anak-anak saya tercinta yang menjadi penyemangat sehingga dapat menyelesaikan tugas mulia ini. Penulis menyadari bahwa tesis ini masih jauh dari kesempumaan. Kritik dan saran sangat penulis harapkan untuk kesempumaan tulisan ini. Semoga tesis ini dapat bermanfaat bagi semua pihak. Bogor, Mei 2009 D a k i r

11 Penulis dilahirkan di Kendari pada tanggal 22 Maret 1971 sebagai putra ketiga dari enam bersaudara pasangan Haji Torang (ah) dan ibu Indo Rewe (alm). Pada tahun 1990 penulis lulus dari SMA Negeri 1 Kendari dan pada tahun yang sama lulus seleksi masuk perguruan tinggi negeri pada Universitas Haluoleo melalui jalur seleksi penerimaan mahasiswa baru pada Program Diploma 111. Pendidikan Diploma ditempuh di Program Studi Biologi Jurusan MIPA Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Haluoleo dan lulus pada tahun Pendidikan Sarjana ditempuh di Program Studi Biologi Jurusan MIPA Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Haluoleo dan lulus pada tahun Kesempatan untuk mengikuti program pascasarjana pada Mayor Biosains Hewan Departemen Biologi Institut Pertanian Bogor diperoleh pada tahun Beasiswa pendidikan pascasarjan diperoleh dari Departemen Agama Republik Indonesia melalui Beasiswa Utusan Daerah. Saat ini penulis bekerja sebagai staf pengajar pada unit pendidikan Madrsah Aliyah Swasta Al-Mawaddah Warrahmah Kabupaten Kolaka dan SMP Negeri 1 Latambaga. Selama mengikuti program S2, penulis aktif mengikuti kegiatan perkuliahan dan praktek lapangan, aktif sebagai anggota forum mahasiswa pasca sarjana (forum wacana) Sulawesi Tenggara di IPB tahun dan sebagai koordinator praktikum mata kuliah Avertebrata tahun

12 DAFTAR IS1 DAFTAR TABEL... xi DAFTAR GAMBAR... xii DAFTAR LAMPIRAN... xiv 1 PENDAHULUAN Latar Belakang Tujuan Penel~tlan... 3 Manfaat Penelitian... 3 Ruang Lingkup KERAGAMAN SPESIES SEMUT PADA VEGETASI MANGROVE Pendahuluan... 4 Bahan dan Metode... 8 Hasil Simpulan STRUKTUR DAN KOMPOSISI SPESIES SEMUT (HYMENOPTERA: FORMICIDAE) PADA VEGETASI MANGROVE Pendahuluan Bahan dan Metode Hasil Pembahasan Simpulan PEMBAHASAN UMUM SIMPULAN DAN SARAN DAFTAR PUSTAKA... 54

13 Halaman 1. Spesies semut yang dikoleksi pada mangrove Kabupaten Kolaka dan Muara Angke... I2 2. Jumlah semut yang koleksi pada pohon Sonneratia, Rhizophora dan Brugueira pada tiga stasiun di Kabupaten Kolaka dengan menggunakan tiga teknik koleksi Nilai indeks H', D', dan E' semut disetiap stasiun pada lokasi Kabupaten Kolaka Estimasi kelimpahan semut disetiap stasiun pada lokasi Kabupaten Kolaka Jumlah semut yang dikoleksi pada pohon Sonneratia satsiun Suaka Margasatwa Muara Angke Nilai indeks D', H' dan E' semut pada pohon Sonneratia stasiun Suaka Margasatwa Muara Angke Estimasi kelimpahan semut pada stasiun penelitian Suaka Margasatwa Muara Angke Indeks Sorensen semut antara pohon Sonneratia, Rhizophora dan Biuguiera pada lokasi Kabupaten Kolaka lndeks Sorensen semut antara pohon Sonneratia Kabupaten Kolaka dan Suaka Margasatwa Muara Angke Jumlah semut yang dikoleksi berdasarkan teknik koleksi umpan dan bukan umpan pada lokasi Kabupaten Kolaka dan Muara Angke I. Arthropods dan serangga lain yang dikoleksi pada vegetasi mangrove... 39

14 DAF'TAR GAMBAR Hataman 1. Morfologi semut Peta lokasi penelitian di Kabupaten Kolaka Peta lokasi penelitian di Jakarta Utara Desain transek penelitian keragaman semut pada lokasi Kab. Kolaka dan Muara Angke Tekcik koleksi semut: (2) umpsn, (b) j~ring, (c) penadah Proses mounting semut Ciri Subfamili Dolichoderinae Ochetellus sp.. (a) sisi anterior, (b) sisi lateral Technornyrmex sp.. (a) sisi anterior, (b) sisi lateral Turneria sp.. (a) sisi anterior, (b) sisi lateral Tapinoma sp.. (a) sisi anterior, (b) sisi lateral Iridornyrmex sp.. (a) sisi anterior, (b) sisi lateral Ciri Subfamili Formicinae smaragdina: (a) sisi anterior, (b) sisi lateral Camponotus sp.. (a) sisi anterior, (b) sisi lateral Opisfhopsis tnayor Forel: (a) sisi anterior, (b) sisi lateral Forelophillus sp.. (a) sisi anterior. (b) sisi lateral Echinopla sp.. (a) sisi anterior, (b) sisi lateral Pseudolasius sp.. (a) sisi anterior, (b) sisi lateral Cladomyrma sp.. (a) sisi anterior. (b) sisi lateral Polyrhachis spl.. (a) sisi anterior, (b) sisi lateral Polyrhachis sp2.. (a) sisi anterior, (b) sisi lateral Polyrhachis bohoni: (a) sisi anterior, (b) sisi lateral Ciri Subfamili Myrmicinae Crematogaster sp1.. (a) sisi anterior, (b) sisi lateral xii

15 26. Cremafogaster sp2.. (a) sisi anterior, (b) sisi lateral Monomorium sp.. (a) sisi anterior, (b) sisi lateral Cataulacus sp.. (a) sisi anterior, (b) sisi lateral Cardiocandyla sp.. (a) sisi anterior. (b) sisi lateral Wasmanniapunctata : (a) sisi anterior. (b) sisi lateral Ciri Subfamili Pseudomyrmecinae T. punctulata: (a) sisi anterior, (b) sisi lateral Tetraponera sp: (a) sisi anterior, (b) sisi lateral Grafik distribusi semut pada pohon Sonneratia. Rhizophora dan Bruguiera di mangrove Kabupaten Kolaka Kurva akumulasi spesies semut pada mangrove Kabupaten Kolaka Kurva akumulasi spesies semut pada mangrove Muara Angke xiii

16 Halaman 1. Data koleksi semut pada lokasi Kabupaten Kolaka Data koleksi semut pada lokasi Muara Angke xiv

17 1. PENDAHULUAN Latar Belakang Semut (Hymenoptera: Formicidae) adalah salah satu kelompok serangga eusosial yang memiliki kelimpahan tertinggi dan bersifat kosmopolit (Wilson 1971). Semut menyusun i 10% total biomassa dalam hutan tropis, padang rumput dan tempat lain pada biosfer (Agosti el al. 2000). Keberadaan organisme pada suatu habitat tergantung dari kemampuan distribusi dan adaptasi organisme tersebut pada kondisi-kondisi yang berubah (Whittaker 1988). Perilaku tersebut merupakan alasan utama semut sangat sukses dalam adabtasi. Keanekaragaman semut di wilayah tropis urnurnnya dipengaruhi oleh beberapa faktor diantaranya adanya predasi, kelembaban, tempat membuat sarang, ketersediaan makanan, struktur dan komposisi tanaman serta topografi (Wilson 1958; Bestelmeyer & Wiens 1996; Vasconcelos 1999). Keanekaragaman dan kekayaan spesies semut akan mengalami penurunan berdasarkan ketinggian yaitu dari tempat yang rendah ke tempat yang tinggi. Hal tersebut sangat dipengaruhi oleh faktor mikroiklim yaitu temperatur dan kelembaban (Noor 2008). Oleh sebab itu, berdasarkan pola hidup serta sifat ekologisnya, semut dapat dijadikan sebagai salatt satu bioindikator lingkungan (McGeoch 1998). Beberapa contoh yang diketahui antara lain terjadi penurunan kelimpahan semut dengan meningkatnya kandungan SO2 (Andersen el al. 2002). Selain itu, terlihat korelasi antara kekayaan semut dengan biomassa mikroba pada lapisan tanah di daerah pertambangan (Andersen & Sparling 1997). Selain sebagai bioindikator, semut juga dijadikan sebagai pengendali hayati (biokontrol) bagi serangga pengganggu (hama) seperti Helopeltis spp dan Saranus indecora yang merupakan hama pada tanaman coklat dan jambu mente di daerah perkebunan Sumatera, Jawa dan Sulawesi (Atmadja 2003). Semut 0. smaragdina juga ditemukan sebagai biokontrol bagi Hypsipyla robusta (Hymenoptera: Lepidoptera) pada tanaman mahoni (Lim GT 2007).

18 Semut adalah serangga yang memiliki daerah penyebaran yang sangat luas. Kondisi suatu daerah akan memberikan dampak terhadap kekayaan spesies semut. Daerah yang mendapat gangguan rendah memiliki kekayaan spesies semut yang lebih banyak dibandingkkan daerah yang mendapat gangguan sedang atau bahkan tinggi. Kondisi habitat sebagai daerah jelajah akan mempengaruhi aktifitas semut dalam pencarian makanan (Graham et al. 2004). Beberapa penelitian tentang distribusi semut adalah penelitian yang dilakukan pada daerah konservasi Kepulauan Seribu dengan ditemukan lima subfamili, 28 genus dan 48 spesies semut (Rizali 2006). Selain didaerah teresterial, beberapa semut juga ditemukan terdisitribusi pada daerah pesisir pantai khususnya pada vegetasi mangrove. Lima genus semut yang ditemukan pada pohon Sonneratia di daerah mangrove Darwin, Australia yaitu Camponotus, Crematogaster, Tetruponera, Tapinoma. dan Monomorium (Nielsen 2000). Selain keanekaragaman flora, pada ekosistem mangrove juga ditemukan keanekaragaman fauna yang meliputi organisme vertebrata hingga avertebrata termasuk semut (Noor el al. 2006). Hutan mangrove adalah salah satu sumber daya alam yang memiliki potensi ekonomi dan potensi ekologi. Hutan mangrove memiliki ciri khas dan mempunyai fungsi pokok yaitu pengawetan keanekaragaman turnbuhan dan satwa serta ekosistemnya (Noor et al. 2006). Informasi mengenai fauna pada daerah mangrove masih didominasi oleh informasi tentang hewan-hewan vertebrata. Data tentang keanekaragaman, distribusi dan kelimpahan serangga khususnya semut belum banyak diketahui, informasi masih terbatas pada distribusi semut di wilayah teresterial di dunia (McGlynn 1999). Oleh karena itu penulis ingin inempelajari ekologi semut di daerah pesisir pantai dengan mengeksplorasi tanaman khas pada vegatasi mangrove.

19 Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan : 1. Mempelajari karakteristik spesies semut pada vegetasi mangrove. 2. Mempelajari keanekaragaman, dominansi, kemerataan dan prediksi kelimpahan spesies semut berdasarkan habitat pada vegetasi mangrove 3. Mempelajari teknik koleksi spesies semut pada vegatasi mangrove 4. Mempelajari struktur dan komposisi spesies semut pada masing-masing tipe vegetasi mangrove serta jejaring ekologinya. Manfaat Penelitian Memberikan informasi tentang keanekaragaman spesies semut dan jejaring ekologi pada vegatsi mangrove. Informasi yang diperoleh dapat dijadikan sebagai gambaran tentang kondisi ekologi vegetasi mangrove, khususnya di wilayah mangrove Kabupaten Kolaka dan Muara Angke. Ruang Lingkup Penelitian Ruang lingkup penelitian ini adalah (I) vegetasi mangrove yang terdiri dari pohon Sonnerotia, Rhizophora dan Bruguiera, (2) karakteristik dan analisis keberadaan spesies semut di masing-masing pohon pada vegetasi mangrove, (3) teknik koleksi semut pada vegetasi mangrove, dan (4) koleksi beberapa serangga lain pada vegetasi mangrove.

20 2. KEANEI(ARAGAMAN SPESIES SEMUT (HYMENOPTERA: FORMICIDAE) PADA VEGETASI MANGROVE Karakteristik Semut PENDAHULUAN Sama seperti serangga pada umumnya, tubuh semut terdiri atas tiga segmen (tagma) yaitu kepala, toraks, dan abdolnen (Brian 1976). Ciri morfologi tubuh selnut sama dengan serangga lain, perbedaannya hanya pada mas abdolnen yang bersatu dan Inenyeinpit (mengecil) pada ruas ke-3 dan ke-4 di belakang toraks. Selain itu, antena selnul lnelnbentuk siku (genikulatus) dengan ine~niliki mas pangkal yang panjang dilanjutkan dengan ruas-ruas pendek di depannya (Bolton 2003). Karena kekhususan ~norfologi selnut ini, tubuh selnut dibagi lnenjadi elnpat bagian, yaitu: kepala, mesoso~na (toraks dan ruas abdomen pertalna = propodium), peduncule (mas abdolnen ke-2 dan atau ke-3 menyempit), dan gaster (Gambar 1). ** 8 KEPALA MESOSOMA 2, 1 GASTER i"""' stpetiole Gambar 1 Morfologi Seinut Perbedaan selnut dengan serangga lain karena adanya penggentingan (pengecilan) ruas ke-2 dan atau ke-3 bempa petiole dan postpetiole. Oleh karena itu ha1 pertalna yang dia~nati dalain proses identifikasi seinut adalah bagian pinggang (waist) yang mengalaini penggentingan. Penggentingan pinggang

21 menjadi salah satu penanda awal untuk memulai identifikasi di tingkat subfamili (Hasmi et a(. 2006). Semut-semut yang memiliki petiole ditemukan pada Subfamili Cerapachynae, Dolichoderinae, Dorylinae, Formicinae, Ponerinae dan yang memiliki dua penggentingan yaitu petiole dan postpetiole ditemukan pada Subfamili Ecitoninae, Leptanilloidinae, Mymeciinae, Myrmicinae, dan Pseudomyrmecinae (Bolton 1994). Bagian penting lainnya yang sering dipakai dalam identifikasi adalah karakter alat mulut (mandibula, klipeus, palpus), antena, mata dan lobus fiontal. Semut memiliki bentuk mandibula triangular dan memanjang. Antena semut memiliki 4 sampai 12 mas dan ujung antena dapat berbentuk pemukul (club). Posisi mata pada semut biasa ditemukan pada posisi garis tengah kepala atau mengarah ke bagian belakang dengan ukuran yang besar, sedang dan lebih kecil. Mesosoma tersusun dari protoraks, mesotoraks, metatoraks, dan propodeum. Protoraks, mesotoraks, dan metatoraks adalah bagian dari toraks, sementara propodeum adalah bagian dari abdomen. Setiap ruas toraks terdiri dari notum, pleuron, dan sternum. Pinggang terdiri dari satu atau dua ruas abdomen yang menyempit antara gaster dan mesosoma. Ruas pertama pinggang di belakang propodeum disebut petiole. Ruas selanjutnya disebut postpetiole (Agosti el al. 2000). Ruas abdomen seringkali dinamakan berdasarkan urutannya. Propodeum disebut ruas pertama abdomen, petiole adalah ruas kedua abdomen, dan seterusnya. Karakter pada ruas pinggang yang sering dipakai dalam identifikasi adalah jumlah ruas pinggang, bentuk petiole, embelan subpetioler. Petiole biasanya membentuk tegakan yang disebut nodus atau sisik petiole. Peduncule adalah bagian petiole yang membentuk tangkai panjang di depan nodus petiole. Bila tangkai tidak ada, petiole itu disebut sebagai petiole yang sesil. Bila tangkai pendek, petiole disebut petiole yang subsesil. Embelan subpetioler adalah struktur yang tnencuat dibawah petiol (Bolton 2003). Gaster adalah bagian tubuh paling belakang yang membulat. Gaster seinut tersusun dari ruas ketiga atau keempat abdomen hingga ruas ketujuh abdomen. Ruas gaster juga memiliki cara penamaan berdasarkan urutannya. Ruas pertama di belakang pinggang disebut ruas pertama gaster, ruas kedua di belakang pinggang

22 disebut ruas dua gaster, dan seterusnya. Bagian gaster yang penting dalam identifikasi adalah acidopore, yaitu lubang melingkar yang ditumbuhi rambutrambut halus pada ujung gaster pada beberapa jenis. Pada ujung gaster umumnya juga ditemui duri (sting). Selain itu, karakter penting lainnya yang juga menjadi ukuran dalam identifikasi semut adalah tungkai, terdiri dari mas-ruas coxa, femur, tibia, dan tarsus (Bolton 2003). Gambaran Lokasi Penelitian Kabupaten Kolaka Vegetasi mangrove di Sulawesi Tenggara digolongkan kedalam tiga tipe yaitu (1) ovenvash mangrove forest yaitu mangrove yang selalu tergenang oleh air laut, (2)fiinge mangrove forest yaitu hutan mangrove yang berbentuk rumbai tipis yang elevasinnya lebih tinggi dari pasang rata-rata dan memiliki sistem akar tunjang yang berkembang baik, dan (3) riverine nzangrove forest yaitu mangrove pinggiran sungai yang terjadi karena hamparan lumpur sepanjang aliran sungai dan teluk. Zona pertumbuhan vegetasi mangrove di Sulawesi Tenggara dibagi menjadi tiga yaitu zona yaitu Sonneratia, Rhizophora dan Bruguiera. Zona tersebut banyak terdapat di Kabupaten Kolaka. Jenis pohon pada wilayah mangrove yang sering dijumpai adalah Rhizophora nzucronata, Rhizophora apiculata, Rhizophora Sfylosa, dan Sonarafio alba. Daerah mangrove Kabupaten Kolaka dijadikan stasiun penelitian karena kondisi vegetasi mangrove masih memperlihatkan formasi zonasi vegetasi mangrove yaitu zona Sonneratia, Rhizophora dan Brzcgzriera. Luas hutan mangrove Kabupaten Kolaka adalah 4, ha (sumber: BPDAS Sampara, Provinsi Sulawesi Tengara 2001) Muara Angke Di wilayah Jakarta bagian utara yaitu pada daerah Muara Angke terdapat vegetasi mangrove yang terletak di kawasan Suaka Margasahva Muara Angke (SMMA) yang merupakan sisa hutan terakhir di daratan Jakarta. Kawasan vegatasi mangrove tersebut berada di sekitar aliran sungai dan telah mengalami reklamasi menjadi kawasan pemukiman Pantai Indah Kapuk. Wilayah ini telah

23 mengalami pencemaran yang sangat kompleks mulai dari pencemaran air, tanah maupun udara bempa limbah, sampah, bahan bakar dan pembuangan asap pabrik. Berbeda dengan daerah pantai lainnya, jenis pohon mangrove yang ditemukan pada kawasan Suaka Margasatwa Muara Angke hanya didominasi oleh pohon Sonneratia caseoaris dan Nypa fmcticans. Daerah vegetasi mangrove Suaka Margasatwa Muara Angke ditetapkan oleh pemerintah sebagai kawasan Suaka Margasatwa yang berfungsi sebagai pusat pendidikan lahan basah. Luas kawasan Suaka Margasatwa Muara Angke adalah 25,02 ha. Dari gambaran tentang karakteristik habitat spesies semut dan vegetasi mangrove pada lokasi penelitian, maka tujuan penelitian ini adalah mempelajari komposisi dan distribusi spesies semut pada vegetasi mangrove khususnya di wilayah mangrove Kabupten Kolaka dan Muara Angke. Habitat semut yang akan dijadikan tempat koleksi adalah pohon Sonneratia, Rliizophora dan Bruguiera.

24 Lokasi Peneiitian BAHAN DAN METODE Penelitian dilakukan pada dua lokasi yaitu di kawasan mangrove Kabupaten Kolaka, Sulawesi Tenggara dan Muara Angke, Jakarta. Waktu pengambilan sarnpel dilaksanakan pada bulan Juli salnpai dengan September Kabupaten Kolaka Pada lokasi Kabupaten Kolaka terdapat tiga stasiun penelitian yaitu stasiun Latambaga (04~01'01" S - 121' 29'56" E), stasiun Samaturu (04006'57" S - 121' 29'13" E), dan stasiun Wolo (04~00'57" S - 121' 29'13" E) (Gambar 2). Garnbar 2 Peta Lokasi Penelitian di Kabupaten Kolaka. Stasiun Latalnbaga (I), stasiun Samaturu (2), dan stasiun Wolo ( 3 ).

25 Muara Angke Pada lokasi Muara Angke terdapat satu stasiun yaitu pada kawasan mangrove Suaka Margasatwa Muara Angke (06"06'52,8" S '05" E) (Gambar 3). Gainbar 3 Peta lokasi penelitian di Jakarta Utara. Stasiun penelitian SMMA (4). Pembentukan transek koleksi semut Pada inasing-inasing stasiun penelitian dibuat satu transek dengan ukuran panjang 50 ineter sepanjang pesisir pantai. Setiap transek dibagi inenjadi einpat plot. Di dalain plot pada stasiun mangrove Kabupaten Kolaka terdapat tiga jenis pohon yaitu Sonnercilia, Rlzizoplzora dan Bruguieru yang lnerupakan zona vegetasi mangove (Ga~nbar 4). Plot pada transek yang dibuat di stasiun Suaka Margasatwa Muara Angke hanya terdapat pohon Somzeralia..#.. rr~la::ah laut Plot 1 Plot1 Plot3 Plot4 Pcsisir Gambar 4 Desain transek penelitian keanekaragalnan selnut pada lokasi Kab. Kolaka dan Muara Angke. zona Sonneratia (S), Rlzizoplzora (R), dan Bruguiera (B).

26 Teknik koleksi semut Koleksi selnut dilakukan antara pukul sainpai dengan Teknik koleksi yang digunakan adalah teknik pasif yaitu pemberian umpan (buit) keju dan teknik aktif yaitu lnenggunakan jaring (sweeping) dan penadah (beating) (Gambar 5). Teknik uinpan dilakukan dengan ineletakkan umpan pada cabang pohon, penggunaan teknik jaring serangga dengan cara jaring diayunkan disekitar dedaunan dan penggunaan teknik penadah dengan meneinpatkan kain putih berukuran 1 m2 di bawah tangkailranting pohon keinudian tangkailranting pohon dipukullgoyangkan (Yamane & Magata 1989; Agosti et a/. 2000; Gullan & Cranston 2005). Teknik ulnpan dimaksud untuk mendapatkan spesimen semut yang tertarik terhadap umpan. Uinpan diletakkan pada cabang pohon di setiap zona mangrove sebanyak SO titik secara acak dan pengalnbilan selnut dilakukan setelah 30 inenit. Koleksi semut inenggunakan jaring dan penadah dimaksud untuk mengoleksi seinut yang bersifat soliter, aktif bergerak pada batang, ranting, dan daun. Kedua teknik tersebut dilakukan tiga kali penga~nbilan disetiap zona mangrove selama 3-5 menit. Semut dikoleksi lnenggunakan aspirator ke~nudian dimasukkan ke dala~n botol yang berisi alkohol 70% yang telah diberi label berdasarkan stasiun, zonasi, plot dan teknik koleksi. Identifikasi semut dan analisis data dilakukan di bagian Fungsi dan Perilaku Hewan, Departeinen Biologi, Fakultas MIPA, Institut Pertanian Bogor dan Laboratoriurn Entomologi, Museum Zoologi, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia. Ga~nbar 5 Teknik koleksi semut: (a) umpan, (b) jaring, (c) penadah

27 Hasil koleksi semut kemudian diidentifikasi yang didahului dengan proses mounting (Gambar 6). Proses identifikasi dilakukan dengan menggunakan mikroskop stereo tipe Nikon SMZ 1000 yang dihubungkan dengan kamera digital Nikon FDX-35 dan diidentifikasi dengan menggunakan panduan The ZdentiJication Guide to the Ant Genera of the World (Bolton 1994). Gambar 6 Proses mounting semut (Gullan & Cranston 2005)

28 HASIL Berdasarkan hasil identifikasi spesies semut pada vegetasi mangrove Kabupaten Kolaka dan Muara Angke ditemukan empat subfamili semut yaitu Dolichoderinae, Formicinae, Myrmicinae dan Pseudomyrmicinae dengan 23 spesies (Tabel 1). Tabel 1 Spesies semut yang dikoleksi pada mangrove Kolaka dan Muara Angke. No Subfamili Lokasi Spesies Kolaka M. Angke Sonnerolio Rhiiop1u)ro Br,rrrpaimo So,u,eratic 1 Ochelellus sp. + 2 Technon~yrmer sp Dolichoderinae Turtleria sp. + 4 Tapinonla sp. + 5 Irido,n,yrnzer sp. + 6 Oecltophylla srnarogdim cn,npo,loll,s sp Opisfl~opsis mayor Forel l:oreiophilirrs sp Fomicinae Echbropla sp. + I I Pseudolasius sp Cladornyr~~ta sp Polyltochi.~ spl Polyrhachis sp Polyrhachis bohoni 16 Cre,narogasler sp I Crenralogasler sp2. i Myrmicinae Monomori~rm sp Cardioco~~dyla sp. 20 iyasn~annia~~ropawcrara + 21 Catoltlnc~rsp Pseudomyrmicinae Tcrraponerapuncrulafa Terraponera sp. + Keterangan : + = dikoleksi; - = tidak dikoleksi. Jun~lah I I

29 Deskripsi morfologi semut pada vegetasi mangrove berdasarkan ciri morfologi yang teridentifikasi adalah sebagai berikut: Subfamili Dolichoderinae Ciri tubuh pada subfamili ini adalah memiliki satu ruas antara mesosoma dan gaster yang disebut petiole (p). Pada ujung hypopygium tidak ada acidopore (a) dan sting. Hypopygium pada sisi lateral tidak memiliki duri. Soket antena terletak dekat di belakang klipeus (c). Tergit pada helcium berbentuk U (Gambar 7). Pada Subfamili ini ditemukan semut Ochetellus sp. Technonzyrmex sp., Turneria sp., Tapinoma sp. dan Iridomyrnlex sp. a. Spesies Ochetellus sp. dengan ciri-ciri: Petiole berbentuk lurus, lebih rendah dan selalu tampak (Gambar 8). Kepala dan mesosoma biasanya pendek dan luas tidak memanjang, kulit tipis, sudut posterodorsal pada propodeum tidak tampak. Mandibula berbentuk triangular, propodeal spirakel disamping, adanya alur metanotal dan metathoracis spirakel dorsal. Rumus palp 6,4. Bentuk propodeum dengan lereng yang cekung. b. Spesies Technomyrnzex sp. dengan ciri-ciri: Petiole berbentuk sederhana dan tidak terlihat pada saat mesosoma dangan gaster pada bidang yang sama (Gambar 9). Bila dilihat dari dorsal, tergit berjumlah 5 dengan anal dan orifice terletak di bagian apical gaster. Mandibula memiliki gigi yang tajam. c. Spesies Turneria sp. dengan ciri-ciri: Bentuk petiole lurus, lebih rendah dan selalu tampak. Kepala dan mesosoma biasanya pendek dan luas tidak memanjang. Kulit tipis, terbentuk sudut posterodorsal pada propodeum. Posisi propodeal spirakel lebih keatas (Gambar 10). d. Spesies Tapinonla sp. dengan ciri-ciri: Petiole berbentuk sederhana dan terlihat agak membulat dan tidak terlihat pada saat mesosoma dan gaster pada bidang yang sama. Bila dilihat dari

30 dorsal, tergit berjumlah 4 dengan anal dan orifice terletak di bagian ventral (Gambar 11). e. Spesies Iridoinyrtnex sp. dengan ciri-ciri: Kepala biasanya pendek dan melebar, petiolc umumnya jarang membentuk tonjolan, madibula berbentuk segitiga, terdapat spirakel pada sisi atas metatorical propodeal, propodeum berbentuk cekung. Occipital pada bagian kepala berbentuk cekung. Mata tampak jelas pada agak kebelakang kepala (Gambar 12). Subfamili Formicinae Tubuh terdiri dari satu ruas antara mesosoma dan gaster yang disebut petiole (p), segmen pertama pada gaster bersatu dengan segmen kedua. Di ujung hypopygium terdapat acidopor berupa kerucut berlubang yang biasanya ditumbuhi barisan seta di tepiannya (Gambar 13a). Terkadang acidopor tertutup oleh pygidium dan tidak ditemukan sengat. Bila acidopor tersembunyi, maka soket antena terletak jauh di belakang tepian belakang klipeus (Gambar 13c). Pada subfamili ini ditemukan spesies 0. smaragdina, Camponatus sp., Ophisthopsis sp., Forelophilus sp., Echinopla sp., Pseudolasius sp., Cladoinyrma sp. dan Polyrhachis sp. a. Spesies 0. slnaragdina dengan ciri-ciri: Antena dengan 12 segmen. Mandibula berbentuk segitiga memanjang tidak melebar. Posisi soket jauh dibagian belakang klipeus. Petiole tereduksi memanjang dan puncaknya rendah (Gambar 14). b. Spesies Camponatus sp. dengan ciri-ciri: Antena dengan 12 segmen. Mandibula berbentuk segitiga rnemanjang tidak melebar. Posisi soket jauh di bagian belakang klipeus. Petiole memiliki nodus yang lurus. Mata sedang dan biasanya terletak dibagian belakang tengah kedua sisi kepala. Metathorical spirakel pada alithrunk biasanya berbentuk tuberculiform prominences yang terletak dibelakang. Ujung antena funikulus tidak berbentuk club. Terdapat metapleural gland orifice. Tergit pada gaster segmen pertama lebih

31 kecil, petiole tidak memiliki duri atau bergerigi. Mandibel dengan 5 gigi, membentuk suatu cuping sempit kedepan di atas mandibels (Gambar 15). c. Spesies Opislhopsis ntayor Fore1 dengan ciri-ciri: Antena dengan 12 segmen. Mandibula berbentuk segitiga memanjang tidak melebar. Posisi soket jauh dibagian belakang klipeus. Petiole memiliki nodus yang lums (Gambar 16). Mata sangat besar yang letaknya di bagian samping belakang kepala. Spesies ini merupakan new record untuk wilayah mangrove di Kabupaten Kolaka, Sulawesi Tenggara. Beberapa penelitian sebelumnya yang telah dilakukan di wilayah mangrove tidak menemukan spesies ini. Wilayah distribusi spesies ini adalah daerah savanna dan ditemukan di bagian dasar vegetasi dan arboreal (Anderson dasn Clay 1996). d. Spesies Forelophilzrs sp. dengan ciri-ciri: Antena dengan 12 segmen (Gambar 17). Mandibula berbentuk segitiga memanjang tidak melebar. Posisi soket jauh dibagian belakang klipeus. Petiole memiliki nodus yang lurus. Mata sedang dan biasanya terletak dibagian belakang tengah kedua sisi kepala. Metathorical spirakel pada alithrunk berbentuk tuberculifornt pro~ninences yang terletak dibelakang, pronotum dan node petiole tidak memiliki duri. e. Spesies Echinopla sp. dengan ciri-ciri: Antena dengan 12 segmen. Mandibula berbentuk segitiga memanjang tidak melebar (Gambar 18). Posisi soket jauh dibagian belakang klipeus. Petiole memiliki nodus yang lums. Mata sedang dan biasanya terletak dibagian belakang tengah kedua sisi kepala. Metathorical spirkel pada alithrunk biasanya berbentuk tu6erculiform prontinences yang terletak dibelakang. Ujung antena funikulus tidak berbentuk club. Terdapat metapleural gland orifce. Tergit pada gaster segmen pertama besar. f. Spesies Pseudolasius sp. dengan ciri-ciri: Antena dengan 12 segmen. Mandibula berbentuk segitiga memanjang tidak melebar (Gambar 19). Posisi antenna1 soket pendek dibagian belakang klipeus, metapleuron memiliki jarak dengan metapleural gland orifice dan spirakel

32 propodeal berada di atas coxa di bagian belakang. Palpus maksila 4 segmen. Pada alithrunk bentuk mesonotum dan anepisternum bersama-sama membentuk segitiga yang jelas. g. Spesies Cladomyrma sp. dengan ciri-ciri: Antena 8 segmen. Antena scape, jika ditelungkupkan posisinya ditengah agak diatas posisi mata (Gambar 20). Ujung garis tepi rahang bawah dengan 4 gigi. h. Genus Polyrhchis dengan ciri-ciri: Pada genus ini ditemukan tiga spesies yaitu Polyrhachis spl. (Gambar 21), Polyrhachis sp2 (Gambar 22). dan Polyrhachis sp3 (Gambar 23). Ciri-ciri genus ini adalah antena dengan 12 segmen. Mandibula berbentuk segitiga memanjang tidak melebar. Posisi soket jauh dibagian belakang klipeus. Petiole memiliki nodus yang lurus. Mata sedang dan biasanya terletak dibagian belakang tengah kedua sisi kepala. Metathorical spirakel pada alithrunk biasanya berbentuk tuberculiform prominences yang terletak dibelakang. Ujung antena funukulus tidak berbentuk pemukul. Tidak ada metapleural gland orifice. Tergit segmen pertama gaster besar. Tergit pertama berjarak panjang dengan yang kedua. Ada duri pada pronotum, propedium, petiole dua atau seluruhnya. Perbedaan yang terlihat dari ketiga spesies adalah posisi duri pada petiole (datar, menjulang dan pendek), warna gaster (hitam dan merah) dan integumen tubuh (kasar dan halus). Subfamili My rmicinae Tubuh terdiri dari dua ruas antara mesosoma dan gaster yaitu petiole (a) dan post petiole (b) (Gambar 24). Permukaan pygidium selalu cembung dan tidak diterdapat senjata pada daerah lateral atau bagian belakang dengan duri-duri pendek. Tidak terdapat frontal lobes (c), antenna1 soket terlihat sempurna dipermukaan wajah. Mata ada dan menyolok dengan banyak ommatidia (d). Tidak terbentuk jelas atau tidak ada sutura promesonotal (e), tibia paling belakang memiliki taji pada ujungnya.

33 Pada Subfamili ini terdiri dari genus : a. Genus Crematogaster dengan ciri-ciri: Pada genus ini ditemukan dua spesies yaitu Crematogaster spl (Gambar 25) dan Crematogaster sp2. (Gambar 26). Ciri-ciri genus ini adalah tidak ada antenal scrobes atau ada tetapi berada diatas mata. Pospetiole bersambung dengan permukaan segmen pertama gaster bagian dorsal. Mata tampak jelas. Perbedaan kedua spesies adalah integumen Crematogaster spl. lebih kasar dan warnanya lebih gelap dibandingkan Crematogaster sp2. b. Spesies Monomorium sp. dengan ciri-ciri: Antena 11 ruas. Bagian atas kepala tanpa alur dan tanpa antenal scrobes. Petiole tanpa peduncule, petiole lebih besar dibandingkan postpetiole. Propodeum tidak memiliki duri, datar dan membulat (Gambar 27). c. Spesies Cataulacus sp. dengan ciri-ciri: Terdapat antenal scrobes dan mata bearada di bagian bawah garis tepi atas antenal scrobes. Antena memiliki 11 mas. Tanpa peduncle bagian depan petiole. Bagian depan gaster bergabung dengan tergit pertama (Gambar 28). d. Spesies Cardiocandyla sp. dengan ciri-ciri: Tidak ada antenal scrobes. Bagian atas kepala tidak membumbung. Petiole tidak rata, menlbentuk tangkai dan membengkak. Postpetiole berhubungan langsung dengan permukaan gaster segmen pertama. Antena 12 Segmen dan pada ujung antend membentuk 2 segment club (Gambar 29). e. Spesies Wasmannia auropunctata dengan ciri-ciri: Terdapat antenal scrobes yang luas. Postpetiole berhubungan langsung dengan permukaan gaster segmen pertama Pada ujung antena terdapat dua segmen yang membesar membentuk pemukut. Klipeus terletak agak ke depan dan cembung. Antenal dengan 11 segmen (Gambar 30). Subfamili Pseudomyrmicinae Tubuh terdiri dari dua ruas antara mesosoma dan gaster yaitu petiole (a) dan post petiole (b). Permukaan pygidium selalu cembung dan tidak terdapat senjata

34 pada daerah lateral atau bagian belakang dengan duri-duri pendek. Tidak terdapat frontal lobes (c), antennal soket terlihat sempuma dipermukaan wajah Mata ada dan menyolok dengan banyak ommatidia. Ada promesonotal sutura (d), garis tepi dibagian belakang clypeus tidak memproyeksikan antara antennal soket (Gambar 3 1). Ciri Subfamili Pseudomyrmicinae: Genus Tetraponera. Pada genus ini ditemukan dua spesies yaitu T. punctulatu dan Tetraponera spl. Ciri-ciri dari genus ini adalah antena dengan 12 segmen. Tepi rahang tanpa duri, mata lebih luas. Perbedaan yang nampak dari kedua spesies adalah ukuran tubuh T. puctulatu (Gambar 32) lebih kecil dan warna tubuh hitam sedangkan untuk spesies Tetraponera spl (Gambar 33). Ukuran tubuhnya lebih besar dan wama mesosoma, petiole dan postpetiole lebih cerah.

35 Gainbar 7 Ciri Subfainili Dolichoderinae Gambar 8 Oclze/e//us sp.: (a) sisi anterior, (b) sisi lateral Gainbar 9 Technonzymzes sp.: (a) sisi anterior, (b) sisi lateral Galnbar 10 Turneria sp.: (a) sisi anterior, (b) sisi lateral Gambar 11 Tapino7?zu sp.: (a) sisi anterior, (b) sisi lateral

36 Gambar 12 Iridornyrine-x ssp.: (a) sisi anterior, (b) sisi lateral Galnbar 13 Ciri Subfamili For~nicinae Ga~nbar sniaragdinu: (a) sisi anterior, (b) sisi lateral Gambar 15 Culnponotus sp.: (a) sisi anterior, (b) sisi lateral Gambar 16 Opisrhopsis rnuyor Forel: (a) sisi anterior, (b) sisi lateral

37 Gambar 17 Foreloplzilus sp.: (a) sisi anterior, (b) sisi lateral Gambar 18 Eclzinoplu sp.: (a) sisi anterior, (b) sisi lateral Gambar 19 Pseudolusius sp.: (a) sisi anterior, (b) sisi lateral - Garnbar 20 Cludo~~zyrr~zu sp.: (a) sisi anterior, (b) sisi lateral Gambar 21 Polyrhuclzis spl.: (a) sisi anterior, (b) sisi lateral

38 Gambar 22 Polyrhuclzis sp2.: (a) sisi anterior, (b) sisi lateral Galnbar 23 Polyrhuclzis bolzoni: (a) sisi anterior, (b) sisi lateral Ga~nbar 24 Ciri Subfainili Mynnicinae Gambar 25 Cre~?zatoguster spl.: (a) sisi anterior, (b) sisi lateral Gainbar 26 Crenzatoguster sp2.: (a) sisi anterior, (b) sisi lateral

39 Gambar 27 Mononzoriut~z sp.: (a) sisi anterior, (b) sisi lateral Ga~nbar 28 Cutuuluct~sp.: (a) sisi anterior, (b) sisi lateral Gainbar 29 Cardiocundylu sp.: (a) sisi anterior, (b) sisi lateral Gambar 30 lyusr?zunniu uuropunctutu: (a) sisi anterior, (b) sisi lateral Galnbar 3 1 Ciri Subfalnili Pseudoinyrinicinae

40 Gambar 32 T. punctula/a: (a) sisi anterior, (b) sisi lateral Gambar 33 Tetraponeru sp.: (a) sisi anterior, (b) sisi lateral SIMPULAN Semut-semut yang ditelnukan pada vegetasi mangrove Kabupaten Kolaka dan Muara Angke inemilih persamaan khususnya pada pohon Sonneratia. Semutsemut yang dikoleksi sama adalah Teclznonzyr~izex sp., Foreloplzilus sp., Polyraclzis spl., (:re~?ratogcister spl., Crenzutogaste~ sp2. dan Tetraponera punctuluta. Pada vegetasi mangrove Icabupaten Icolaka subfainili Dolichoderinae dikoleksi tiga spesies, Forrnicinae dikoleksi sepuluh spesies, Myrrnicinae dikoleksi enam spesies, Pseudolnyrmicinae dikoleksi satu spesies serta dikoleksi selnut Opkistopsis nzayor Forel. yang inerupakan spesies new record pada vegetasi mangrove Kabupaten Kolaka, Sulawesi Tenggara. Pada vegetasi inangrove Muara Angke subfamili Dolichoderinae dikoleksi dua spesies, Formicinae dikoleksi tiga spesies, Myrmicinae dikoleksi ernpat spesies dan Pseudomynnicinae dikoleksi dua spesies.

41 3. STRUKTUR DAN KOMPOSISI SPESIES SEMUT (HYMENOPTERA: FORMICIDAE) PADA VEGETASI MANGROVE Semut merupakan salah satu kelompok serangga yang dominan di daerah tropis (Kempf 1964; Agosti ei al. 2000)). Jumlah genus semut yang teiah dideskribsi sebanyak 296 genus dengan wilayah distribusi meliputi Paleartic, Afrotropical, Malagasy, Oriental, Indo-Australia, Australian, Neartic dan Neotropical. Indonesia merupakan salah satu negara tropis yang memiliki keanekaragaman semut yaitu sekitar 126 genus dari 296 genus dan sembilan subfamili dari 16 subfamili yang diketahui (Bolton 1994). Keanekaragaman spesies menggambarkan kekayaan spesies (McGeoch 1988). Keanekaragaman spesies secara umum dapat menjelaskan tentang komposisi, kelirnpahan, dominansi, kemerataan penyebaran spesies berdasarkan data penelitian (Magurran 1988). Distribusi atau sebaran spesies semut disetiap habitat sangat dipengaruhi oleh ketersediaan surnber makanan, daerah pembuatan sarang serta daerah jelajah. Aktifitas manusia juga mempengaruhi keberadaan semut (Graham et al. 2004). Beberapa spesies semut hahkan telah beradaptasi dengan keberadaan manusia. Beberapa semut hersifat invasif dan sering membuat sarang disekitar lokasi aktifitas manusia. Semut merupakan serangga yang lebih maju dalam evolusinya sehingga sukses dalam beraktifitas yaitu dapat berperan sebagai predator, scavenger, herbivora, detritivor serta memiliki peranan yang unik dalam interaksinya dengan organisme lain seperti tumbuhan atau serangga lain pada habitatnya (Holdobler & Wilson 1990). Pada daerah teresterial semut membuat sarang di tanah, hebatuan, kayu lapuk, dan dalam serasah (Holldober & Wilson 1990; Taylor 1991). Pada daerah tropis khususnya pada mangrove semut umumnya berada pada bagian arboreal yaitu pada daun, batang, dan ranting bahkan bersimbiosis dengan beberapa pohon yang dapat membuat kondisi semut menjadi terlindungi. Vegetasi mangrove sangat memungkinkan ditemukan berbagai serangga termasuk semut karena ditumbuhi berbagai jenis pohon yang bervariasi. Jenis,

42 karakter dan habitat pohon pada vegetasi mangrove sangat dipengaruhi oleh kondisi lingkungan yang berkadar garam, jenuh air, kondisi tanah yang tidak stabil dan anaerob (Bengen 2000). Beberapa jenis pohon pada vegetasi mangrove sangat mempengaruhi keberadaan fauna serangga khususnya semut. Spesies semut 0. snzaragdina, Cremalogaster sp., Canzponotus sp., Tetraponera punctulata, Tapinonla sp. dan Moi~omorium sp. adalah semut yang sudah teridentifikasi pada pohon Sonneratia mielsen 1997). Semut 0. snzaragdina juga ditemukan pada pohon Rhizophora niucronata (Offenberg et al. 2004). Semut Polyrhachis conslricta dan P. socolova ditetnukan membuat sarang pada bagian akar dari pohon Rhizophora (Andersen & Clay 1996; Nielsen 1997). Teknik koleksi yang umum dilakukan untuk mengoleksi dan mendapatkan data tentang keanekaragaman semut umumnya dilakukan dengan teknik umpan atau piflail trap (Agosti el al. 2000, Gullan & Cranston 2005). Namun, kondisi daerah mangrove yang sering digenangi oleh air laut dan keadaan daerah dasar vegetasi yang tidak stabil tidak memungkinkan dilakukan teknik koleksi seperti pitfall trap di daerah dasar vegetasi. Variasi teknik koleksi seperti penggunaan umpan, jaring, dan panadah sangat mendukung pada kondisi mangrove, ha1 ini berhubungan dengan sifat biologi beberapa semut yaitu soliter dan umumnya berada di bagian arboreal. Berdasarkan informasi di atas, maka tujuan penelitian ini adalah (1) mempelajari keanekaragaman, dominansi, kemerataan dan prediksi kelimpahan semut berdasarkan habitat vegetasi mangrove, (2) mempelajari beberapa teknik koleksi semut pada vegetasi mangrove, dan (3) mempelajari jejaring ekologi pada vegetasi mangrove.

KEANEKARAGAMAN SEMUT (Hymenoptera: Formicidae) DI SEKITAR KAMPUS PINANG MASAK UNIVERSITAS JAMBI

KEANEKARAGAMAN SEMUT (Hymenoptera: Formicidae) DI SEKITAR KAMPUS PINANG MASAK UNIVERSITAS JAMBI KEANEKARAGAMAN SEMUT (Hymenoptera: Formicidae) DI SEKITAR KAMPUS PINANG MASAK UNIVERSITAS JAMBI SKRIPSI OLEH INAYATI AL RAHIM A1C410004 FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN UNIVERSITAS JAMBI JULI, 2016

Lebih terperinci

I. TINJAUAN PUSTAKA. Tebu (Saccharum officinarum L.) termasuk dalam suku Poaceae, yaitu jenis

I. TINJAUAN PUSTAKA. Tebu (Saccharum officinarum L.) termasuk dalam suku Poaceae, yaitu jenis I. TINJAUAN PUSTAKA A. Tanaman Tebu Tebu (Saccharum officinarum L.) termasuk dalam suku Poaceae, yaitu jenis rumput-rumputan dan hanya tumbuh di daerah beriklim tropis termasuk Indonesia. Dalam marga Saccharum

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Desember 2013 sampai bulan Februari

III. METODE PENELITIAN. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Desember 2013 sampai bulan Februari 23 III. METODE PENELITIAN A. Waktu dan Tempat Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Desember 2013 sampai bulan Februari 2014 di perkebunan kopi rakyat yang menanam spesies Coffea robusta di Pekon Ngarip,

Lebih terperinci

Keragaman Semut di Kampus IPB, Darmaga dan di Kawasan Cagar Alam Telaga Warna (CATW) Taruni Sri Prawasti, Ruth Martha Winnie, Jazirotul Fitriati

Keragaman Semut di Kampus IPB, Darmaga dan di Kawasan Cagar Alam Telaga Warna (CATW) Taruni Sri Prawasti, Ruth Martha Winnie, Jazirotul Fitriati -- Keragaman Semut di Kampus IPB, Darmaga dan di Kawasan Cagar Alam Telaga Warna (CATW) Taruni Sri Prawasti, Ruth Martha Winnie, Jazirotul Fitriati Latar Belakang PENDAHULUAN Semut (Hymenoptera: Formicidae)

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. yang termasuk dalam famili Rubiaceae dan genus Coffea (Gambar 1).

II. TINJAUAN PUSTAKA. yang termasuk dalam famili Rubiaceae dan genus Coffea (Gambar 1). II. TINJAUAN PUSTAKA A. Biologi Tanaman Kopi Kopi robusta (Coffea robusta) adalah tanaman budidaya berbentuk pohon yang termasuk dalam famili Rubiaceae dan genus Coffea (Gambar 1). Daunnya berbentuk bulat

Lebih terperinci

Glosari Morfologi Semut

Glosari Morfologi Semut Glosari Morfologi Semut Oleh Upik Kesumawati Hadi PS Parasitologi dan Entomologi Kesehatan Sekolah Pascasarjana IPB Abdomen: Abdomen pada semut pekerja terdiri atas 7 ruas yang terlihat (A1-7). Ruas abdomen

Lebih terperinci

C028 PENGARUH ALIH FUNGSI LAHAN TERHADAP KEANEKARAGAMAN SEMUT DALAM HUTAN LINDUNG GUNUNG NONA-AMBON.

C028 PENGARUH ALIH FUNGSI LAHAN TERHADAP KEANEKARAGAMAN SEMUT DALAM HUTAN LINDUNG GUNUNG NONA-AMBON. C028 PENGARUH ALIH FUNGSI LAHAN TERHADAP KEANEKARAGAMAN SEMUT DALAM HUTAN LINDUNG GUNUNG NONA-AMBON Fransina S. Latumahina 1 dan Agus Ismanto 2 1 Mahasiswa Program Doktor Fak. Kehutanan UGM & Staf Pengajar

Lebih terperinci

DIVERSITAS SEMUT (HYMENOPTERA, FORMICIDAE) DI BEBERAPA KETINGGIAN VERTIKAL DI KAWASAN CAGAR ALAM TELAGA WARNA JAWA BARAT MEIRY FADILAH NOOR

DIVERSITAS SEMUT (HYMENOPTERA, FORMICIDAE) DI BEBERAPA KETINGGIAN VERTIKAL DI KAWASAN CAGAR ALAM TELAGA WARNA JAWA BARAT MEIRY FADILAH NOOR DIVERSITAS SEMUT (HYMENOPTERA, FORMICIDAE) DI BEBERAPA KETINGGIAN VERTIKAL DI KAWASAN CAGAR ALAM TELAGA WARNA JAWA BARAT MEIRY FADILAH NOOR SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2008 ABSTRACT

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. lainnnya yang tersebar luas dari Sabang sampai Merauke. Menurut Ummi (2007)

BAB I PENDAHULUAN. lainnnya yang tersebar luas dari Sabang sampai Merauke. Menurut Ummi (2007) 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia merupakan negara dengan keanekaragaman hayati nomor dua di dunia yang memiliki keanekaragaman flora, fauna, dan berbagai kekayaan alam lainnnya yang tersebar

Lebih terperinci

PENGARUH ALIH FUNGSI LAHAN TERHADAP KEANEKARAGAMAN SEMUT ALAM HUTAN LINDUNG GUNUNG NONA-AMBON. Fransina S. Latumahina ABSTRACT

PENGARUH ALIH FUNGSI LAHAN TERHADAP KEANEKARAGAMAN SEMUT ALAM HUTAN LINDUNG GUNUNG NONA-AMBON. Fransina S. Latumahina ABSTRACT PENGARUH ALIH FUNGSI LAHAN TERHADAP KEANEKARAGAMAN SEMUT ALAM HUTAN LINDUNG GUNUNG NONA-AMBON Mahasiswa Program Doktor Fak. Kehutanan Univeritas Gadjah Mada - Yogyakarta ABSTRACT The aims of this study

Lebih terperinci

DIVERSITAS SEMUT PADA TUMBUHAN Sonneratia caseolaris (L.) Engl. DI SUAKA MARGASATWA MUARA ANGKE WATHRI FITRADA

DIVERSITAS SEMUT PADA TUMBUHAN Sonneratia caseolaris (L.) Engl. DI SUAKA MARGASATWA MUARA ANGKE WATHRI FITRADA DIVERSITAS SEMUT PADA TUMBUHAN Sonneratia caseolaris (L.) Engl. DI SUAKA MARGASATWA MUARA ANGKE WATHRI FITRADA DEPARTEMEN BIOLOGI FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM INSTITUT PERTANIAN BOGOR

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Perkebunan memiliki peran yang penting dalam pembangunan nasional,

I. PENDAHULUAN. Perkebunan memiliki peran yang penting dalam pembangunan nasional, 1 I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Perkebunan memiliki peran yang penting dalam pembangunan nasional, khususnya pembangunan sektor pertanian. Perkebunan juga berperan dalam membangun perekonomian nasional,

Lebih terperinci

KEANEKARAGAMAN DAN FREKUENSI KUNJUNGAN SERANGGA PENYERBUK SERTA EFEKTIVITASNYA DALAM PEMBENTUKAN BUAH Hoya multiflora Blume (ASCLEPIADACEAE)

KEANEKARAGAMAN DAN FREKUENSI KUNJUNGAN SERANGGA PENYERBUK SERTA EFEKTIVITASNYA DALAM PEMBENTUKAN BUAH Hoya multiflora Blume (ASCLEPIADACEAE) KEANEKARAGAMAN DAN FREKUENSI KUNJUNGAN SERANGGA PENYERBUK SERTA EFEKTIVITASNYA DALAM PEMBENTUKAN BUAH Hoya multiflora Blume (ASCLEPIADACEAE) LILIH RICHATI CHASANAH SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN

Lebih terperinci

BAB III KERAGAMAN SPECIES SEMUT PADA EKOSISTEM TERGANGGU DI KAWASAN CAGAR ALAM TELAGA WARNA JAWA BARAT

BAB III KERAGAMAN SPECIES SEMUT PADA EKOSISTEM TERGANGGU DI KAWASAN CAGAR ALAM TELAGA WARNA JAWA BARAT BAB III KERAGAMAN SPECIES SEMUT PADA EKOSISTEM TERGANGGU DI KAWASAN CAGAR ALAM TELAGA WARNA JAWA BARAT PENDAHULUAN Semut (Formicidae:Hymenoptera) merupakan hewan Avertebrata komponen terestrial yang melimpah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. atas pulau, dengan garis pantai sepanjang km. Luas laut Indonesia

BAB I PENDAHULUAN. atas pulau, dengan garis pantai sepanjang km. Luas laut Indonesia BAB I PENDAHULUAN I.I Latar Belakang Indonesia merupakan Negara kepulauan terbesar di dunia yang terdiri dari atas 17.508 pulau, dengan garis pantai sepanjang 81.000 km. Luas laut Indonesia sekitar 3,1

Lebih terperinci

I. TINJAUAN PUSTAKA. dalam tanah atau sarang-sarang lainnya. Terbangnya semut ini diikuti karena

I. TINJAUAN PUSTAKA. dalam tanah atau sarang-sarang lainnya. Terbangnya semut ini diikuti karena I. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Biologi Semut Semut memiliki tempat hidup dimana-mana disegala daratan dunia, kecuali diperairan. Semut sangat mempunyai banyak jenisnya, semut ini termasuk serangga sosial, prilaku

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. Metode penelitian yang dilakukan merupakan penelitian deskriptif, yang. sensus atau dengan menggunakan sampel (Nazir,1999).

BAB III METODE PENELITIAN. Metode penelitian yang dilakukan merupakan penelitian deskriptif, yang. sensus atau dengan menggunakan sampel (Nazir,1999). 26 BAB III METODE PENELITIAN A. Jenis Penelitian Metode penelitian yang dilakukan merupakan penelitian deskriptif, yang merupakan suatu penyelidikan terhadap sejumlah individu, baik secara sensus atau

Lebih terperinci

STRUKTUR KOMUNITAS MANGROVE DI DESA MARTAJASAH KABUPATEN BANGKALAN

STRUKTUR KOMUNITAS MANGROVE DI DESA MARTAJASAH KABUPATEN BANGKALAN STRUKTUR KOMUNITAS MANGROVE DI DESA MARTAJASAH KABUPATEN BANGKALAN Supriadi, Agus Romadhon, Akhmad Farid Program Studi Ilmu Kelautan Universitas Trunojoyo Madura e-mail: akhmadfarid@trunojoyo.ac.id ABSTRAK

Lebih terperinci

STUDI KONDISI VEGETASI DAN KONDISI FISIK KAWASAN PESISIR SERTA UPAYA KONSERVASI DI NANGGROE ACEH DARUSSALAM FERI SURYAWAN

STUDI KONDISI VEGETASI DAN KONDISI FISIK KAWASAN PESISIR SERTA UPAYA KONSERVASI DI NANGGROE ACEH DARUSSALAM FERI SURYAWAN STUDI KONDISI VEGETASI DAN KONDISI FISIK KAWASAN PESISIR SERTA UPAYA KONSERVASI DI NANGGROE ACEH DARUSSALAM FERI SURYAWAN SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2007 PENYATAAN MENGENAI TESIS

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. yaitu mendapatkan makanan, suhu yang tepat untuk hidup, atau mendapatkan

BAB I PENDAHULUAN. yaitu mendapatkan makanan, suhu yang tepat untuk hidup, atau mendapatkan 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Setiap makhluk hidup yang berada di suatu lingkungan akan saling berinteraksi, interaksi terjadi antara makhluk hidup dengan makhluk hidup itu sendiri maupun makhluk

Lebih terperinci

ABSTRAK DIVERSITAS SERANGGA HUTAN TANAH GAMBUT DI PALANGKARAYA KALIMANTAN TENGAH

ABSTRAK DIVERSITAS SERANGGA HUTAN TANAH GAMBUT DI PALANGKARAYA KALIMANTAN TENGAH viii ABSTRAK DIVERSITAS SERANGGA HUTAN TANAH GAMBUT DI PALANGKARAYA KALIMANTAN TENGAH Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui keragaman serangga (insecta) dan tumbuhan yang digunakan sebagai habitat

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN IV. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Hasil 1. Keragaman Vegetasi Mangrove Dari hasil pengamatan yang dilakukan pada 20 plot yang masing-masing petak ukur 5x5 m, 10x10 m dan 20x20 m diketahui bahwa vegetasi mangrove

Lebih terperinci

Menurut Borroret al (1992) serangga berperan sebagai detrivor ketika serangga memakan bahan organik yang membusuk dan penghancur sisa tumbuhan.

Menurut Borroret al (1992) serangga berperan sebagai detrivor ketika serangga memakan bahan organik yang membusuk dan penghancur sisa tumbuhan. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Serangga masuk dalam filum Arthropoda dan kingdom Animalia yang memiliki keragaman Spesies terbesar dibandingkan dengan binatang yang lain yaitu hampir 75% dari total

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. berfungsi sebagai ecosystem engineer (Keller & Gordon, 2009) atau juga soil

BAB I PENDAHULUAN. berfungsi sebagai ecosystem engineer (Keller & Gordon, 2009) atau juga soil BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Semut adalah serangga yang memiliki keanekaragaman cukup tinggi. Seluruh anggota semut masuk dalam anggota Famili Formicidae. Keberadaan serangga ini sangat melimpah

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. Jenis penelitian yang digunakan adalah penelitian deskriptif. Metode

BAB III METODE PENELITIAN. Jenis penelitian yang digunakan adalah penelitian deskriptif. Metode BAB III METODE PENELITIAN A. Jenis Penelitian Jenis penelitian yang digunakan adalah penelitian deskriptif. Metode deskriptif adalah suatu penelitian untuk membuat deskripsi, gambaran atau lukisan secara

Lebih terperinci

PERAN MODEL ARSITEKTUR RAUH DAN NOZERAN TERHADAP PARAMETER KONSERVASI TANAH DAN AIR DI HUTAN PAGERWOJO, TULUNGAGUNG NURHIDAYAH

PERAN MODEL ARSITEKTUR RAUH DAN NOZERAN TERHADAP PARAMETER KONSERVASI TANAH DAN AIR DI HUTAN PAGERWOJO, TULUNGAGUNG NURHIDAYAH PERAN MODEL ARSITEKTUR RAUH DAN NOZERAN TERHADAP PARAMETER KONSERVASI TANAH DAN AIR DI HUTAN PAGERWOJO, TULUNGAGUNG NURHIDAYAH SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2009 PERNYATAAN MENGENAI

Lebih terperinci

Inventarisasi Semut yang Ditemukan pada Perkebunan Buah Naga Lubuk Minturun, Kota Padang dan Ketaping, Kabupaten Padang Pariaman, Sumatera Barat

Inventarisasi Semut yang Ditemukan pada Perkebunan Buah Naga Lubuk Minturun, Kota Padang dan Ketaping, Kabupaten Padang Pariaman, Sumatera Barat 59 Inventarisasi Semut yang Ditemukan pada Perkebunan Buah Naga Lubuk Minturun, Kota Padang dan Ketaping, Kabupaten Padang Pariaman, Sumatera Barat An Inventory of Ants from Dragon Fruit Plantation at

Lebih terperinci

KAJIAN SUMBERDAYA EKOSISTEM MANGROVE UNTUK PENGELOLAAN EKOWISATA DI ESTUARI PERANCAK, JEMBRANA, BALI MURI MUHAERIN

KAJIAN SUMBERDAYA EKOSISTEM MANGROVE UNTUK PENGELOLAAN EKOWISATA DI ESTUARI PERANCAK, JEMBRANA, BALI MURI MUHAERIN KAJIAN SUMBERDAYA EKOSISTEM MANGROVE UNTUK PENGELOLAAN EKOWISATA DI ESTUARI PERANCAK, JEMBRANA, BALI MURI MUHAERIN DEPARTEMEN MANAJEMEN SUMBERDAYA PERAIRAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN INSTITUT

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. A. Mangrove. kemudian menjadi pelindung daratan dan gelombang laut yang besar. Sungai

TINJAUAN PUSTAKA. A. Mangrove. kemudian menjadi pelindung daratan dan gelombang laut yang besar. Sungai II. TINJAUAN PUSTAKA A. Mangrove Mangrove adalah tanaman pepohonan atau komunitas tanaman yang hidup di antara laut dan daratan yang dipengaruhi oleh pasang surut. Habitat mangrove seringkali ditemukan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. wilayah perbatasan antara daratan dan laut, oleh karena itu wilayah ini

BAB I PENDAHULUAN. wilayah perbatasan antara daratan dan laut, oleh karena itu wilayah ini BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia merupakan negara kepulauan dengan jumlah pulau sekitar 17.508 pulau dan panjang pantai kurang lebih 81.000 km, memiliki sumberdaya pesisir yang sangat besar,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia sebagai salah satu negara dengan garis pantai terpanjang di

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia sebagai salah satu negara dengan garis pantai terpanjang di BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia sebagai salah satu negara dengan garis pantai terpanjang di dunia dan terletak pada iklim tropis memiliki jenis hutan yang beragam. Salah satu jenis hutan

Lebih terperinci

DIVERSITAS SEMUT (HYMENOPTERA, FORMICIDAE) DI BEBERAPA KETINGGIAN VERTIKAL DI KAWASAN CAGAR ALAM TELAGA WARNA JAWA BARAT MEIRY FADILAH NOOR

DIVERSITAS SEMUT (HYMENOPTERA, FORMICIDAE) DI BEBERAPA KETINGGIAN VERTIKAL DI KAWASAN CAGAR ALAM TELAGA WARNA JAWA BARAT MEIRY FADILAH NOOR DIVERSITAS SEMUT (HYMENOPTERA, FORMICIDAE) DI BEBERAPA KETINGGIAN VERTIKAL DI KAWASAN CAGAR ALAM TELAGA WARNA JAWA BARAT MEIRY FADILAH NOOR SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2008 ABSTRACT

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. sehingga laut dan pesisir pantai (coastal zone) merupakan lingkungan fisik yang

BAB I PENDAHULUAN. sehingga laut dan pesisir pantai (coastal zone) merupakan lingkungan fisik yang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia merupakan wilayah perairan yang memiliki luas sekitar 78%, sehingga laut dan pesisir pantai (coastal zone) merupakan lingkungan fisik yang mendominasi. Menurut

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Wilayah pesisir Indonesia memiliki luas dan potensi ekosistem mangrove

BAB I PENDAHULUAN. Wilayah pesisir Indonesia memiliki luas dan potensi ekosistem mangrove BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Wilayah pesisir Indonesia memiliki luas dan potensi ekosistem mangrove yang cukup besar. Dari sekitar 15.900 juta ha hutan mangrove yang terdapat di dunia, sekitar

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN BAB III METODE PENELITIAN 3.1. Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilakukan di dua tempat yaitu pengambilan data di lapangan dilakukan di sempadan muara Kali Lamong dan Pulau Galang, serta pengolahan

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. termasuk ke dalam Divisi Spermatophyta, Kelas Dicotyledon, Ordo Malvales,

II. TINJAUAN PUSTAKA. termasuk ke dalam Divisi Spermatophyta, Kelas Dicotyledon, Ordo Malvales, 10 II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Tanaman Kakao (Theobroma cacao) Kakao merupakan tanaman perkebunan yang berasal dari Amerika Selatan. Kakao termasuk ke dalam Divisi Spermatophyta, Kelas Dicotyledon, Ordo

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN 9 3.1 Lokasi dan Waktu BAB III METODE PENELITIAN Penelitian ini dilakukan di Kawasan Lindung Sungai Lesan. Pengambilan data dilakukan pada tanggal 31 Juli sampai 19 Agustus 2010 di Kawasan Lindung Sungai

Lebih terperinci

Struktur Dan Komposisi Vegetasi Mangrove Di Pulau Mantehage

Struktur Dan Komposisi Vegetasi Mangrove Di Pulau Mantehage Struktur Dan Komposisi Vegetasi Mangrove Di Pulau Mantehage Elok Swasono Putro (1), J. S. Tasirin (1), M. T. Lasut (1), M. A. Langi (1) 1 Program Studi Ilmu Kehutanan, Jurusan Budidaya Pertanian, Fakultas

Lebih terperinci

BAB IV POLA DISTRIBUSI DAN KEBERADAAN SPESIES SEMUT DI KEPULAUAN SERIBU

BAB IV POLA DISTRIBUSI DAN KEBERADAAN SPESIES SEMUT DI KEPULAUAN SERIBU BAB IV POLA DISTRIBUSI DAN KEBERADAAN SPESIES SEMUT DI KEPULAUAN SERIBU PENDAHULUAN Keberadaan spesies pada suatu habitat tidak terlepas dari kemampuan distribusi dan adaptasi spesies tersebut (Whittaker

Lebih terperinci

BAB III KERANGKA BERPIKIR DAN KONSEP PENELITIAN. Mangrove merupakan ekosistem peralihan, antara ekosistem darat dengan

BAB III KERANGKA BERPIKIR DAN KONSEP PENELITIAN. Mangrove merupakan ekosistem peralihan, antara ekosistem darat dengan 29 BAB III KERANGKA BERPIKIR DAN KONSEP PENELITIAN 3.1. Kerangka Berpikir Mangrove merupakan ekosistem peralihan, antara ekosistem darat dengan ekosistem laut. Mangrove diketahui mempunyai fungsi ganda

Lebih terperinci

Inventarisasi Semut Subfamili Formicinae di Kawasan Cagar Alam Lembah Anai, Kabupaten Tanah Datar, Sumatera Barat

Inventarisasi Semut Subfamili Formicinae di Kawasan Cagar Alam Lembah Anai, Kabupaten Tanah Datar, Sumatera Barat Inventarisasi Semut Subfamili Formicinae di Kawasan Cagar Alam Lembah Anai, Kabupaten Tanah Datar, Sumatera Barat An Inventory of Ants (Formicinae) at Lembah Anai Nature Reserve, West Sumatra Pradani Eka

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Sebaran rayap tanah di berbagai vegetasi Hutan Pendidikan Gunung Walat memiliki luas wilayah 359 ha, dari penelitian ini diperoleh dua puluh enam contoh rayap dari lima

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. paling tinggi di dunia. Menurut World Wildlife Fund (2007), keanekaragaman

I. PENDAHULUAN. paling tinggi di dunia. Menurut World Wildlife Fund (2007), keanekaragaman 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia merupakan salah satu negara yang memiliki keanekaragaman hayati paling tinggi di dunia. Menurut World Wildlife Fund (2007), keanekaragaman hayati yang terkandung

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN 0 BAB III METODE PENELITIAN A. Metode Penelitian Jenis penelitian yang digunakan adalah penelitian deskriptif. Metode deskriptif adalah suatu penelitian untuk membuat deskripsi, gambaran atau lukisan secara

Lebih terperinci

KEANEKARAGAMAN JENIS BURUNG DI BERBAGAI TIPE DAERAH TEPI (EDGES) TAMAN HUTAN RAYA SULTAN SYARIF HASYIM PROPINSI RIAU DEFRI YOZA

KEANEKARAGAMAN JENIS BURUNG DI BERBAGAI TIPE DAERAH TEPI (EDGES) TAMAN HUTAN RAYA SULTAN SYARIF HASYIM PROPINSI RIAU DEFRI YOZA KEANEKARAGAMAN JENIS BURUNG DI BERBAGAI TIPE DAERAH TEPI (EDGES) TAMAN HUTAN RAYA SULTAN SYARIF HASYIM PROPINSI RIAU DEFRI YOZA SEKOLAH PASCA SARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2006 PERNYATAAN MENGENAI

Lebih terperinci

KEANEKARAGAMAN DAN FREKUENSI KUNJUNGAN SERANGGA PENYERBUK SERTA EFEKTIVITASNYA DALAM PEMBENTUKAN BUAH Hoya multiflora Blume (ASCLEPIADACEAE)

KEANEKARAGAMAN DAN FREKUENSI KUNJUNGAN SERANGGA PENYERBUK SERTA EFEKTIVITASNYA DALAM PEMBENTUKAN BUAH Hoya multiflora Blume (ASCLEPIADACEAE) KEANEKARAGAMAN DAN FREKUENSI KUNJUNGAN SERANGGA PENYERBUK SERTA EFEKTIVITASNYA DALAM PEMBENTUKAN BUAH Hoya multiflora Blume (ASCLEPIADACEAE) LILIH RICHATI CHASANAH SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. ekologis yaitu untuk melakukan pemijahan (spawning ground), pengasuhan (nursery

BAB I PENDAHULUAN. ekologis yaitu untuk melakukan pemijahan (spawning ground), pengasuhan (nursery BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Ekosistem mangrove adalah suatu lingkungan yang memiliki ciri khusus yaitu lantai hutannya selalu digenangi air, dimana air tersebut sangat dipengaruhi oleh pasang

Lebih terperinci

Hutan mangrove merupakan komunitas vegetasi pantai tropis, yang. berkembang pada daerah pasang surut pantai berlumpur. Komunitas vegetasi ini

Hutan mangrove merupakan komunitas vegetasi pantai tropis, yang. berkembang pada daerah pasang surut pantai berlumpur. Komunitas vegetasi ini II. TINJAIJAN PliSTAKA Hutan mangrove merupakan komunitas vegetasi pantai tropis, yang didominasi oleh beberapa spesies pohon mangrove yang mampu tumbuh dan berkembang pada daerah pasang surut pantai berlumpur.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. saling berkolerasi secara timbal balik. Di dalam suatu ekosistem pesisir terjadi

BAB I PENDAHULUAN. saling berkolerasi secara timbal balik. Di dalam suatu ekosistem pesisir terjadi 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kawasan pesisir dan laut merupakan sebuah ekosistem yang terpadu dan saling berkolerasi secara timbal balik. Di dalam suatu ekosistem pesisir terjadi pertukaran materi

Lebih terperinci

DISTRIBUSI DAN PREFERENSI HABITAT SPONS KELAS DEMOSPONGIAE DI KEPULAUAN SERIBU PROVINSI DKI JAKARTA KARJO KARDONO HANDOJO

DISTRIBUSI DAN PREFERENSI HABITAT SPONS KELAS DEMOSPONGIAE DI KEPULAUAN SERIBU PROVINSI DKI JAKARTA KARJO KARDONO HANDOJO DISTRIBUSI DAN PREFERENSI HABITAT SPONS KELAS DEMOSPONGIAE DI KEPULAUAN SERIBU PROVINSI DKI JAKARTA KARJO KARDONO HANDOJO SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2006 PERNYATAAN MENGENAI TESIS

Lebih terperinci

INVENTARISASI JENIS BURUNG PADA KOMPOSISI TINGKAT SEMAI, PANCANG DAN POHON DI HUTAN MANGROVE PULAU SEMBILAN

INVENTARISASI JENIS BURUNG PADA KOMPOSISI TINGKAT SEMAI, PANCANG DAN POHON DI HUTAN MANGROVE PULAU SEMBILAN INVENTARISASI JENIS BURUNG PADA KOMPOSISI TINGKAT SEMAI, PANCANG DAN POHON DI HUTAN MANGROVE PULAU SEMBILAN SKRIPSI Oleh : PARRON ABET HUTAGALUNG 101201081 / Konservasi Sumber Daya Hutan PROGRAM STUDI

Lebih terperinci

KARAKTERISTIK FISIKA-KIMIA PERAIRAN DAN STRUKTUR KOMUNITAS MOLUSKA (BIVALVIA DAN GASTROPODA) DI PANTAI CERMIN SUMATERA UTARA SKRIPSI

KARAKTERISTIK FISIKA-KIMIA PERAIRAN DAN STRUKTUR KOMUNITAS MOLUSKA (BIVALVIA DAN GASTROPODA) DI PANTAI CERMIN SUMATERA UTARA SKRIPSI KARAKTERISTIK FISIKA-KIMIA PERAIRAN DAN STRUKTUR KOMUNITAS MOLUSKA (BIVALVIA DAN GASTROPODA) DI PANTAI CERMIN SUMATERA UTARA SKRIPSI RAISSHA AMANDA SIREGAR 090302049 PROGRAM STUDI MANAJEMEN SUMBERDAYA

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN BAB III METODE PENELITIAN 3.1. Waktu dan Lokasi Penelitian dilaksanakan di kawasan Tambling Wildlife Nature Conservation, Taman Nasional Bukit Barisan Selatan untuk kegiatan pengamatan dan pengambilan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. sebesar jenis flora dan fauna (Rahmawaty, 2004). Keanekaragaman

BAB I PENDAHULUAN. sebesar jenis flora dan fauna (Rahmawaty, 2004). Keanekaragaman 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia merupakan salah satu negara yang mendapat sebutan Mega Biodiversity setelah Brazil dan Madagaskar. Diperkirakan 25% aneka spesies dunia berada di Indonesia,

Lebih terperinci

memiliki kemampuan untuk berpindah tempat secara cepat (motil), sehingga pelecypoda sangat mudah untuk ditangkap (Mason, 1993).

memiliki kemampuan untuk berpindah tempat secara cepat (motil), sehingga pelecypoda sangat mudah untuk ditangkap (Mason, 1993). BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pelecypoda merupakan biota bentik yang digunakan sebagai indikator biologi perairan karena hidupnya relatif menetap (sedentery) dengan daur hidup yang relatif lama,

Lebih terperinci

4 KERUSAKAN EKOSISTEM

4 KERUSAKAN EKOSISTEM 4 KERUSAKAN EKOSISTEM 4.1 Hasil Pengamatan Lapangan Ekosistem Mangrove Pulau Weh secara genetik merupakan pulau komposit yang terbentuk karena proses pengangkatan dan vulkanik. Proses pengangkatan ditandai

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. fauna yang hidup di habitat darat dan air laut, antara batas air pasang dan surut.

BAB I PENDAHULUAN. fauna yang hidup di habitat darat dan air laut, antara batas air pasang dan surut. BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Mangrove merupakan ekosistem yang kompleks terdiri atas flora dan fauna yang hidup di habitat darat dan air laut, antara batas air pasang dan surut. Ekosistem mangrove

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Secara keseluruhan daerah tempat penelitian ini didominasi oleh Avicennia

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Secara keseluruhan daerah tempat penelitian ini didominasi oleh Avicennia BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Kondisi umum daerah Wonorejo Kawasan mangrove di Desa Wonorejo yang tumbuh secara alami dan juga semi buatan telah diputuskan oleh pemerintah Surabaya sebagai tempat ekowisata.

Lebih terperinci

Semut Subfamili Myrmicinae di Suaka Alam Maninjau Utara Selatan, Kabupaten Agam, Sumatera Barat

Semut Subfamili Myrmicinae di Suaka Alam Maninjau Utara Selatan, Kabupaten Agam, Sumatera Barat 248 Semut Subfamili Myrmicinae di Suaka Alam Maninjau Utara Selatan, Kabupaten Agam, Sumatera Barat Ant subfamily Myrmicinae at Maninjau Utara Selatan Nature Reserve, Agam District, West Sumatra Susan

Lebih terperinci

STRUKTUR KOMUNITAS LAMUN (Seagrass) DI PERAIRAN PANTAI KAMPUNG ISENEBUAI DAN YARIARI DISTRIK RUMBERPON KABUPATEN TELUK WONDAMA

STRUKTUR KOMUNITAS LAMUN (Seagrass) DI PERAIRAN PANTAI KAMPUNG ISENEBUAI DAN YARIARI DISTRIK RUMBERPON KABUPATEN TELUK WONDAMA STRUKTUR KOMUNITAS LAMUN (Seagrass) DI PERAIRAN PANTAI KAMPUNG ISENEBUAI DAN YARIARI DISTRIK RUMBERPON KABUPATEN TELUK WONDAMA YUSTIN DUWIRI Skripsi sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG

BAB I PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG BAB I PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG Hutan mangrove merupakan hutan yang tumbuh pada daerah yang berair payau dan dipengaruhi oleh pasang surut air laut. Hutan mangrove memiliki ekosistem khas karena

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Langkat. Pulau Sembilan ini memiliki luas ± 15,65 km 2 atau ± 9,67% dari total

TINJAUAN PUSTAKA. Langkat. Pulau Sembilan ini memiliki luas ± 15,65 km 2 atau ± 9,67% dari total 15 TINJAUAN PUSTAKA Kondisi Umum Lokasi Penelitian Pulau Sembilan merupakan salah satu pulau yang terdapat di Kabupaten Langkat. Pulau Sembilan ini memiliki luas ± 15,65 km 2 atau ± 9,67% dari total luas

Lebih terperinci

KONDISI EKOSISTEM TERUMBU KARANG DI KEPULAUAN TOGEAN SULAWESI TENGAH

KONDISI EKOSISTEM TERUMBU KARANG DI KEPULAUAN TOGEAN SULAWESI TENGAH KONDISI EKOSISTEM TERUMBU KARANG DI KEPULAUAN TOGEAN SULAWESI TENGAH Oleh: Livson C64102004 PROGRAM STUDI ILMU DAN TEKNOLOGI KELAUTAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2008

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Indonesia merupakan negara kepulauan yang mempunyai kawasan pesisir yang cukup luas, dan sebagian besar kawasan tersebut ditumbuhi mangrove yang lebarnya dari beberapa

Lebih terperinci

Gambar 2.1. Peta Lokasi Penelitian

Gambar 2.1. Peta Lokasi Penelitian II. METODE PENELITIAN A. Materi, Lokasi dan Waktu Penelitian, Deskripsi Lokasi 1. Materi Penelitian a. Bahan Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah semut, alkohol 70% dan gliserin. b. Alat Alat-alat

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Tinjauan Tentang Mangrove 2.1.1. Pengertian mangrove Hutan mangrove secara umum didefinisikan sebagai hutan yang terdapat di daerah-daerah yang selalu atau secara teratur tergenang

Lebih terperinci

KERAGAMAN JENIS SEMUT PENGGANGGU PERMUKIMAN DI BOGOR APRIYANTO

KERAGAMAN JENIS SEMUT PENGGANGGU PERMUKIMAN DI BOGOR APRIYANTO KERAGAMAN JENIS SEMUT PENGGANGGU PERMUKIMAN DI BOGOR APRIYANTO SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2016 PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA Dengan

Lebih terperinci

METODE A. Waktu dan Tempat Penelitian

METODE A. Waktu dan Tempat Penelitian 11 METODE A. Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian dilakukan dari bulan Januari sampai Juni 2009. Pengamatan serangga dilakukan di dua lokasi, yaitu pada pertanaman H. multifora di lingkungan Kampus Institut

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia mempunyai perairan laut yang lebih luas dibandingkan daratan, oleh karena itu Indonesia dikenal sebagai negara maritim. Perairan laut Indonesia kaya akan

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA

II. TINJAUAN PUSTAKA II. TINJAUAN PUSTAKA Lalat penggorok daun, Liriomyza sp, termasuk serangga polifag yang dikenal sebagai hama utama pada tanaman sayuran dan hias di berbagai negara. Serangga tersebut menjadi hama baru

Lebih terperinci

KOMPOSISI SEMUT (HYMENOPTERA: FORMICIDAE) PADA PULAU TANGAH KECAMATAN PARIAMAN TENGAH KOTA PARIAMAN

KOMPOSISI SEMUT (HYMENOPTERA: FORMICIDAE) PADA PULAU TANGAH KECAMATAN PARIAMAN TENGAH KOTA PARIAMAN KOMPOSISI SEMUT (HYMENOPTERA: FORMICIDAE) PADA PULAU TANGAH KECAMATAN PARIAMAN TENGAH KOTA PARIAMAN Syukri ( ), Armein Lusi Zeswita (1), Ismed Wahidi (2) Program Studi Pendidikan Biologi STKIP PGRI Sumatera

Lebih terperinci

KERUSAKAN MANGROVE SERTA KORELASINYA TERHADAP TINGKAT INTRUSI AIR LAUT (STUDI KASUS DI DESA PANTAI BAHAGIA KECAMATAN MUARA GEMBONG KABUPATEN BEKASI)

KERUSAKAN MANGROVE SERTA KORELASINYA TERHADAP TINGKAT INTRUSI AIR LAUT (STUDI KASUS DI DESA PANTAI BAHAGIA KECAMATAN MUARA GEMBONG KABUPATEN BEKASI) 1 KERUSAKAN MANGROVE SERTA KORELASINYA TERHADAP TINGKAT INTRUSI AIR LAUT (STUDI KASUS DI DESA PANTAI BAHAGIA KECAMATAN MUARA GEMBONG KABUPATEN BEKASI) Tesis Untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan Mencapai

Lebih terperinci

ZONASI TUMBUHAN UTAMA PENYUSUN MANGROVE BERDASARKAN TINGKAT SALINITAS AIR LAUT DI DESA TELING KECAMATAN TOMBARIRI

ZONASI TUMBUHAN UTAMA PENYUSUN MANGROVE BERDASARKAN TINGKAT SALINITAS AIR LAUT DI DESA TELING KECAMATAN TOMBARIRI ZONASI TUMBUHAN UTAMA PENYUSUN MANGROVE BERDASARKAN TINGKAT SALINITAS AIR LAUT DI DESA TELING KECAMATAN TOMBARIRI Kendy H Kolinug (1), Martina A langi (1), Semuel P Ratag (1), Wawan Nurmawan (1) 1 Program

Lebih terperinci

Mangrove menurut Macnae (1968) merupakan perpaduan

Mangrove menurut Macnae (1968) merupakan perpaduan 1 2 Mangrove menurut Macnae (1968) merupakan perpaduan antara bahasa Portugis mangue dan bahasa Inggris grove. Menurut Mastaller (1997) kata mangrove berasal dari bahasa Melayu kuno mangi-mangi untuk menerangkan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. luar biasa ini memberikan tanggung jawab yang besar bagi warga Indonesia untuk

BAB I PENDAHULUAN. luar biasa ini memberikan tanggung jawab yang besar bagi warga Indonesia untuk BAB I PENDAHULUAN 1. Latar Belakang Indonesia memiliki hutan mangrove yang terluas di dunia dan juga memiliki keragaman hayati yang terbesar serta strukturnya yang paling bervariasi. Mangrove dapat tumbuh

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Semut (Hymenoptera: Formicidae) memiliki jumlah jenis dan

BAB I PENDAHULUAN. Semut (Hymenoptera: Formicidae) memiliki jumlah jenis dan BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Semut (Hymenoptera: Formicidae) memiliki jumlah jenis dan populasi yang berlimpah, terdiri dari 16 sub famili, 296 genus dan 15.000 spesies yang telah teridentifikasi

Lebih terperinci

Jumlah Mei Juni Juli Total Ordo Famili Genus Individu H' 0,38 0,71 0,44 0,59 E 0,18 0,40 0,23 0,27

Jumlah Mei Juni Juli Total Ordo Famili Genus Individu H' 0,38 0,71 0,44 0,59 E 0,18 0,40 0,23 0,27 2 Juli 211. Selama pengamatan dicatat nama spesies dan jumlah individu serangga yang mengunjungi bunga jantan kelapa sawit. Dilakukan juga pengukuran unsur cuaca, yaitu suhu, kelembapan, dan intensitas

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. pantai yang mempunyai arti strategis karena merupakan wilayah terjadinya

I. PENDAHULUAN. pantai yang mempunyai arti strategis karena merupakan wilayah terjadinya I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia secara geografis memiliki sebagian besar wilayahnya berupa pesisir dan pantai yang mempunyai arti strategis karena merupakan wilayah terjadinya interaksi/peralihan

Lebih terperinci

BAB I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang BAB I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia merupakan salah satu negara tropis yang memiliki tingkat keanekaragaman hayati yang tinggi, baik flora maupun fauna yang penyebarannya sangat luas. Hutan

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. dalam 3 zona berdasarkan perbedaan rona lingkungannya. Zona 1 merupakan

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. dalam 3 zona berdasarkan perbedaan rona lingkungannya. Zona 1 merupakan BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN A. Hasil Penelitian 1. Deskripsi Lingkungan Penelitian Pada penelitian ini, lokasi hutan mangrove Leuweung Sancang dibagi ke dalam 3 zona berdasarkan perbedaan rona lingkungannya.

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. dalam siklus karbon global, akan tetapi hutan juga dapat menghasilkan emisi

TINJAUAN PUSTAKA. dalam siklus karbon global, akan tetapi hutan juga dapat menghasilkan emisi 16 TINJAUAN PUSTAKA Karbon Hutan Hutan merupakan penyerap karbon (sink) terbesar dan berperan penting dalam siklus karbon global, akan tetapi hutan juga dapat menghasilkan emisi karbon (source). Hutan

Lebih terperinci

SKRIPSI. Oleh : Siti Latifatus Siriyah Nim :

SKRIPSI. Oleh : Siti Latifatus Siriyah Nim : INVENTARISASI PARASITOID FAMILI Chalcididae (Hymenoptera, Chalcidoidea) Di JALUR BLOK RAFLESIA TANDON TAMAN NASIONAL MERU BETIRI RESORT SUKAMADE KABUPATEN BANYUWANGI SKRIPSI Oleh : Siti Latifatus Siriyah

Lebih terperinci

PROFIL HUTAN MANGROVE TELUK BUO KECAMATAN BUNGUS TELUK KABUNG KOTA PADANG Oleh:

PROFIL HUTAN MANGROVE TELUK BUO KECAMATAN BUNGUS TELUK KABUNG KOTA PADANG Oleh: PROFIL HUTAN MANGROVE TELUK BUO KECAMATAN BUNGUS TELUK KABUNG KOTA PADANG Oleh: Novia Monika Elva 1), Irma LeilaniEka Putri 2), Rizki 1) 1)ProgramStudiPendidikanBiologi STKIP PGRI Sumatera Barat 2) JurusanBiologiUniversitasNegeri

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN BAB III METODE PENELITIAN 3.1. Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilaksanakan selama 4 bulan pada bulan Agustus sampai November 2011 yang berada di dua tempat yaitu, daerah hutan mangrove Wonorejo

Lebih terperinci

BAB IV METODE PENELITIAN

BAB IV METODE PENELITIAN 4.1. Waktu dan Tempat BAB IV METODE PENELITIAN Penelitian ini dilaksanakan di Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung yang terfokus di Desa Tompobulu dan kawasan hutan sekitarnya. Penelitian dilaksanakan

Lebih terperinci

SEBARAN DAN ASOSIASI PERIFITON PADA EKOSISTEM PADANG LAMUN (Enhalus acoroides) DI PERAIRAN PULAU TIDUNG BESAR, KEPULAUAN SERIBU, JAKARTA UTARA

SEBARAN DAN ASOSIASI PERIFITON PADA EKOSISTEM PADANG LAMUN (Enhalus acoroides) DI PERAIRAN PULAU TIDUNG BESAR, KEPULAUAN SERIBU, JAKARTA UTARA SEBARAN DAN ASOSIASI PERIFITON PADA EKOSISTEM PADANG LAMUN (Enhalus acoroides) DI PERAIRAN PULAU TIDUNG BESAR, KEPULAUAN SERIBU, JAKARTA UTARA Oleh: Yuri Hertanto C64101046 PROGRAM STUDI ILMU DAN TEKNOLOGI

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Hutan mangrove adalah kelompok jenis tumbuhan yang tumbuh di

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Hutan mangrove adalah kelompok jenis tumbuhan yang tumbuh di BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Hutan mangrove adalah kelompok jenis tumbuhan yang tumbuh di sepanjang garis pantai tropis sampai sub-tropis yang memiliki fungsi istimewa di suatu lingkungan yang mengandung

Lebih terperinci

ADLN - Perpustakaan Universitas Airlangga BAB I PENDAHULUAN

ADLN - Perpustakaan Universitas Airlangga BAB I PENDAHULUAN BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Permasalahan Negara Indonesia merupakan negara kepulauan yang memiliki garis pantai terpanjang kedua setelah Kanada, dua per tiga wilayah Indonesia adalah kawasan perairan.

Lebih terperinci

VI. SIMPULAN DAN SARAN

VI. SIMPULAN DAN SARAN 135 VI. SIMPULAN DAN SARAN A. SIMPULAN Komposisi spesies mangrove di Pulau Kaledupa, Derawa, dan Pulau Hoga Taman Nasional Wakatobi sebanyak 20 spesies mangrove sejati dan tersebar tidak merata antar pulau.

Lebih terperinci

AKILMAD RIZALI. Keragaman Serangga dan Peranannya pada Daerah Persawahan

AKILMAD RIZALI. Keragaman Serangga dan Peranannya pada Daerah Persawahan AKILMAD RIZALI. Keragaman Serangga dan Peranannya pada Daerah Persawahan di Taman Nasional Gunung Halimun, Desa Malasari, Kabupaten Bogor, Jawa Barat (Di bawah bimbingan Damayanti Buchori dan Hermanu Triwidodo).

Lebih terperinci

PENDUGAAN CADANGAN KARBON PADA TUMBUHAN BAWAH DI HUTAN DIKLAT PONDOK BULUH KABUPATEN SIMALUNGUN

PENDUGAAN CADANGAN KARBON PADA TUMBUHAN BAWAH DI HUTAN DIKLAT PONDOK BULUH KABUPATEN SIMALUNGUN PENDUGAAN CADANGAN KARBON PADA TUMBUHAN BAWAH DI HUTAN DIKLAT PONDOK BULUH KABUPATEN SIMALUNGUN SKRIPSI Oleh: Novida H. Simorangkir 1212011120 FAKULTAS KEHUTANAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA 2016 ABSTRAK

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. batas pasang surut air disebut tumbuhan mangrove.

BAB I PENDAHULUAN. batas pasang surut air disebut tumbuhan mangrove. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Kata mangrove dipakai sebagai pengganti istilah kata bakau untuk menghindari salah pengertian dengan hutan yang melulu terdiri atas Rhizophora spp., (Soeroyo.1992:

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Definisi Burung Burung merupakan salah satu satwa yang mudah dijumpai di setiap tempat dan mempunyai posisi yang penting sebagai salah satu kekayaan alam di Indonesia. Jenisnya

Lebih terperinci

I. MATERI DAN METODE PENELITIAN Letak Giografis Lokasi Penelitian Pekanbaru terletak pada titik koordinat 101 o o 34 BT dan 0 o 25-

I. MATERI DAN METODE PENELITIAN Letak Giografis Lokasi Penelitian Pekanbaru terletak pada titik koordinat 101 o o 34 BT dan 0 o 25- I. MATERI DAN METODE PENELITIAN 3.1. Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di laboratorium Patologi, Entomologi, dan Mikrobiologi (PEM) dan lahan kampus Universitas Islam Negeri Sultan

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN

III. METODE PENELITIAN 24 III. METODE PENELITIAN 3.1 Tempat dan Waktu Penelitian ini dilaksanakan di areal kebun kelapa sawit PT. Inti Indosawit Subur, Kabupaten Pelalawan, Provinsi Riau. Secara umum, areal yang diteliti adalah

Lebih terperinci

ASAS- ASAS DAN KONSEP KONSEP TENTANG ORGANISASI PADA TARAF KOMUNITAS

ASAS- ASAS DAN KONSEP KONSEP TENTANG ORGANISASI PADA TARAF KOMUNITAS KOMUNITAS ASAS- ASAS DAN KONSEP KONSEP TENTANG ORGANISASI PADA TARAF KOMUNITAS KONSEP KOMUNITAS BIOTIK Komunitas biotik adalah kumpulan populasi yang menempati suatu habitat dan terorganisasi sedemikian

Lebih terperinci

IDENTIFIKASI LAHAN KRITIS DALAM KAITANNYA DENGAN PENATAAN RUANG DAN KEGIATAN REHABILITASI LAHAN DI KABUPATEN SUMEDANG DIAN HERDIANA

IDENTIFIKASI LAHAN KRITIS DALAM KAITANNYA DENGAN PENATAAN RUANG DAN KEGIATAN REHABILITASI LAHAN DI KABUPATEN SUMEDANG DIAN HERDIANA IDENTIFIKASI LAHAN KRITIS DALAM KAITANNYA DENGAN PENATAAN RUANG DAN KEGIATAN REHABILITASI LAHAN DI KABUPATEN SUMEDANG DIAN HERDIANA PROGRAM STUDI ILMU PERENCANAAN WILAYAH SEKOLAH PASCA SARJANA INSTITUT

Lebih terperinci

STRUKTUR DAN POLA ZONASI (SEBARAN) MANGROVE SERTA MAKROZOOBENTHOS YANG BERKOEKSISTENSI, DI DESA TANAH MERAH DAN OEBELO KECIL KABUPATEN KUPANG

STRUKTUR DAN POLA ZONASI (SEBARAN) MANGROVE SERTA MAKROZOOBENTHOS YANG BERKOEKSISTENSI, DI DESA TANAH MERAH DAN OEBELO KECIL KABUPATEN KUPANG STRUKTUR DAN POLA ZONASI (SEBARAN) MANGROVE SERTA MAKROZOOBENTHOS YANG BERKOEKSISTENSI, DI DESA TANAH MERAH DAN OEBELO KECIL KABUPATEN KUPANG Oleh: Muhammad Firly Talib C64104065 PROGRAM STUDI ILMU DAN

Lebih terperinci

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR PENENTUAN BENTUK DAN LUAS PLOT CONTOH OPTIMAL PENGUKURAN KEANEKARAGAMAN SPESIES TUMBUHAN PADA EKOSISTEM HUTAN HUJAN DATARAN RENDAH : STUDI KASUS DI TAMAN NASIONAL KUTAI SANDI KUSUMA SEKOLAH PASCASARJANA

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. dengan menggunakan metode observasi. odorata dilakukan pada 3 lokasi yang berbeda berdasarkan bentuk lahan,

BAB III METODE PENELITIAN. dengan menggunakan metode observasi. odorata dilakukan pada 3 lokasi yang berbeda berdasarkan bentuk lahan, BAB III METODE PENELITIAN A. Metode Penelitian Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif eksploratif dan dilakukan dengan menggunakan metode observasi. B. Lokasi dan Waktu Penelitian 1. Lokasi Penelitian

Lebih terperinci