DIVERSITAS SEMUT (HYMENOPTERA, FORMICIDAE) DI BEBERAPA KETINGGIAN VERTIKAL DI KAWASAN CAGAR ALAM TELAGA WARNA JAWA BARAT MEIRY FADILAH NOOR

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "DIVERSITAS SEMUT (HYMENOPTERA, FORMICIDAE) DI BEBERAPA KETINGGIAN VERTIKAL DI KAWASAN CAGAR ALAM TELAGA WARNA JAWA BARAT MEIRY FADILAH NOOR"

Transkripsi

1 DIVERSITAS SEMUT (HYMENOPTERA, FORMICIDAE) DI BEBERAPA KETINGGIAN VERTIKAL DI KAWASAN CAGAR ALAM TELAGA WARNA JAWA BARAT MEIRY FADILAH NOOR SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2008

2 ABSTRACT MEIRY FADILAH NOOR. Species Richness and Distribution Pattern of Ants (Hymenoptera,Formicidae) in Different Altitude at Telaga Warna Nature Conservation, West Java. Supervised by of BAMBANG SURYOBROTO and RIKA RAFFIUDIN The ants, Formicidae is one of the largest family in the Order Hymenoptera and is known to be the most abundance and diverse animal in ecosystems. Formicidae consist of species worldwide of which 296 genera and 16 subfamilies exist. There is limited study on ant diversity and distribution in higher altitude such as Telaga Warna Nature Conservation (Cagar Alam Telaga Warna = CATW), West Java. This area is a suitable site for comparing ants species richness between undisturbed and disturbed areas i.e. the tea plantation and recreation area at the forest border. Hence, the aims of this study were to examine (1) the relationship between ant species richness and four altitudinal gradients (1500, 1600, 1700, and 1900 m asl), (2) the relationship between ants species richness and habitat disturbance at two elevation (1400 and 1500 m for tea plantation and Telaga Warna Recreation Area, respectively), and (3) the ants distribution along all elevation in CATW. Ants were collected by using pitfall traps, bait traps and hand sampling. A total of 46 species in 25 genera and 6 subfamilies were recorded in CATW. The number of ground-dwelling ants species decreased from 1500 m to 1900 m asl. The decreased number of ants species at higher elevations might be due to habitat condition i.e. lower temperature and high humidity. The turnover on most ants species occurred from 1500 m up to 1700 m asl, as shown in ants species composition (50% similarity community amongst areas). Thus, the range on ants turnover was m. The range and distribution each species might be depended on temperature, humidity and food sources, except some species on Myrmicinae and Formicinae, Those ants had important functions in ecosystems as generalized foragers. These was no significant different in species richness between disturbed and undisturbed area. However, this study found that Lophomyrmex sp1 was found in the disturbed area. These ants species richness and compositions on each elevation provides baseline data which are needed for conservation strategies and environmental monitoring in the future. Keywords: foraging, microclimate, tropical forest, conservation

3 RINGKASAN MEIRY FADILAH NOOR. Diversitas Semut (Hymenoptera,Formicidae) di Beberapa Ketinggian Vertikal di Kawasan Cagar Alam Telaga Warna Jawa Barat. Dibimbing oleh BAMBANG SURYOBROTO, RIKA RAFFIUDIN Semut (Formicidae:Hymenoptera) merupakan kelompok hewan Avertebrata yang berdasarkan jumlah keanekaragaman jenis, sifat biologi dan ekologinya sangat penting. Perilaku sosial semut sebagai predator, pengurai dan herbivor dalam ekosistem telah menjadi subjek intensif yang menarik untuk diteliti dalam segala aspek. Selain itu, semut dapat pula dijadikan sebagai indikator biologi terhadap perubahan lingkungan karena relatif mudah dikoleksi, biomassa dominan, taksonomi relatif maju, dan kondisi hidup yang sensitif pada perubahan lingkungan. Dengan demikian, semut dapat digunakan untuk membantu memahami kaidah ekologi, biomonitoring untuk tujuan konservasi dan pengelolaan kawasan. Namun di kawasan konservasi, khususnya di Indonesia masih sedikit informasi mengenai keragaman semut. Hal ini dimungkinkan dari kurangnya tanggapan terhadap pentingnya peran semut. Selain itu, penelitian keragaman semut di Indonesia sebagian besar dilakukan oleh peneliti yang berasal dari luar Indonesia. Indonesia memiliki hutan yang sangat luas dengan mencapai 102 hektar. Umumnya hutan di Indonesia termasuk hutan tropis dengan kekayaan keragaman hayati, salah satunya hutan pegunungan. Cagar Alam Telaga warna (CATW) Jawa Barat merupakan hutan pegunungan yang dijadikan kawasan konservasi. CATW memiliki ketinggian tempat yang bervariasi dari ±1400 m sampai ±1800 m dpl. Kawasan konservasi ini baik biota maupun fisiknya masih asli dan belum mendapat gangguan dari manusia. Namun hal ini belum dibuktikan berdasarkan keberadaan semut yang sensitif terhadap aktifitas manusia dan perubahan lingkungan. Oleh karena itu, landasan taksonomi, khususnya dalam memahami keragaman semut perlu dikuasai. Dasar penelitian ekologi dan taksonomi semut sangat bermanfaat untuk arah pengelolaan kawasan dalam mencapai keberlanjutan lingkungan, khususnya di sekitar kawasan konservasi CATW Jawa Barat. Keragaman semut di hutan tropis umumnya dipengaruhi oleh banyak faktor diantaranya ketinggian tempat. Pengurangan keragaman semut berdasarkan ketinggian tempat terjadi di dataran tinggi, sebaliknya di dataran rendah mengalami peningkatan. Hal ini kemungkinan karena adanya suatu perubahan peran dalam ekosistem. Selain itu struktur dan pola perubahan spesies dapat dipengaruhi beberapa faktor, diantaranya perilaku predasi, pemilihan kelembaban, pemilihan temperatur, topografi, tempat bersarang dan ketersediaan makanan, kuantitas dan kualitas serasah, serta struktur dan komposisi tanaman. Peran semut umumnya digantikan oleh Artropoda lain. Kumbang Carabidae dan kumbang penggerek diduga sebagai pengganti peran semut di tempat yang tinggi. Untuk mengetahui perubahan peran dalam ekosistem maka perlu diketahuinya keberadaan semut pada ketinggian tempat tertentu. Metode pengkoleksian untuk mengukur keragaman semut pada penelitian ini dilakukan dengan tiga cara, yaitu perangkap sumuran (PSM), perangkap umpan dan pengambilan langsung secara manual. Berdasarkan kondisi topografi CATW,

4 sampel semut dikoleksi pada rentang ketinggian 1400, 1500, 1600, 1700 dan 1900 m dalam plot berukuran 10 m x 10 m. Tiap plot diletakkan 10 gelas PSM dengan jarak antar gelas 2 x 2.5 m. dan sepasang perangkap umpan (sarden dan gula) di tengah PSM. Sedangkan pengambilan manual dilakukan dengan meneluri dalam plot. Sampel yang telah dikoleksi dimasukkan dalam tabung film berisi alkohol 70% dan diberi label. Selanjutnya sampel dibawa ke laboratorium untuk dilakukan pemilahan dan identifikasi. Hasil identifikasi yang didapat selanjutnya dilakukan perhitungan jumlah spesies dan jumlah individu. Untuk mengantipasi kesalahan dalam memperhitungkan kekayaan spesies data dianalisis dengan program EstimateS 75.2 (Abudance-based Coverage Estimator-ACE). Sedangkan indeks keragaman dihitung dengan menggunakan rumus indeks Shannon dan Simpson. Perpindahan spesies dari dua ketinggian tempat yang berbeda diukur dengan indeks Sorensen. Serta perbedaan nilai tengah dari habitat cagar alam, taman wisata dan kebun teh dilakukan dengan uji Beda Nyata Terkecil Fisher. Hasil perhitungan keragaman semut di kawasan CATW Jawa Barat sudah cukup tergambarkan berdasarkan tiga metode pengkoleksian. Hal ini sesuai dengan perhitungan ACE, dimana total nilai ACE mencapai 90.14%. Namun data ini tidak dapat dibandingkan dengan penelitian inventarisasi semut di wilayah yang dekat dengan CATW yaitu Kebun Raya Bogor dimana total kekayaan spesies mencapai 216 spesies dan 61 genus. Hal ini dikarenakan penelitian tersebut dilakukan dengan berbagai tipe pengkoleksian dalam waktu yang lama. Untuk itu, pengambilan sampel yang kontinu dengan berbagai metode pengkoleksian perlu dilakukan dalam penelitian selanjutnya. Dengan demikian spesies yang terkoleksi dapat menggambarkan keseluruhan semut yang terdapat di CATW. Keragaman semut di CATW berdasarkan jumlah spesies dipengaruhi oleh ketinggian tempat. Hal ini ditunjukkan dengan adanya penurunan jumlah spesies dari ketinggian tempat 1500 m sampai 1900 m. Penurunan keragaman semut terjadi diduga karena kondisi lingkungan baik temperatur dan kelembaban tidak memungkinkan semut beraktifitas dan berkembang baik. Seperti spesies pada subfamili Dolichoderinae dan Ponerinae yang terkoleksi hanya mencapai ketinggian 1600 m dan 1700 m. Subfamili Dolichoderinae yang hanya terkoleksi sampai ketinggian 1600 m diduga karena kelimpahan terbatas pada dataran rendah dan lingkungan yang cenderung hangat. Sehingga Dolichoderinae mengalami penurunan bersamaan dengan peningkatan ketinggian tempat. Begitu pula dengan subfamili Ponerinae yang ditemukan sampai di ketinggian 1700 m. Dengan demikian, dapat diduga terjadinya suatu pertukaran peran Ponerinae sebagai predator oleh Artropoda lain. Adapula pada beberapa spesies dari subfamili Formicinae dan Myrmicinae dapat terkoleksi sampai ke ketinggian 1900 m. Adapun spesies tersebut termasuk dalam genus Paratrechina, Pheidole dan Tetramorium. Keberadaan Paratrechina, Pheidole dan Tetramorium yang mencapai ketinggian tempat 1900 m diduga karena adanya kemampuan bertahan dan mampu memperluas area mencari makan sampai ke kondisi yang ekstrem. Kondisi lingkungan di 1900 m dengan temperatur udara minimal mencapai 18 o C dan kelembaban mencapai 100 %. Kemampuan beraktifitas ketiga genus ini diduga adanya suatu invasif, maka dapat

5 dikategorikan sebagai kelompok tramps. Kelompok tramps adalah semut yang memiliki kemampuan menyebar diberbagai tipe habitat. Namun pada subfamili Cerapachynae dan Pseudomyrmicinae hanya terkoleksi satu spesies dan satu individu. Spesies Cerapachynae yaitu Cerapachys hanya terkoleksi di ketinggian 1600 m. Sedangkan spesies pada Pseudomyrmicinae yaitu Tetraponera hanya terkoleksi di ketinggian 1500 m. Sulitnya pengkoleksian ini diduga karena kebiasaan Cerapachys dalam mencari makan dengan mengirim satu pengintai (scout). Sedangkan Tetraponera hanya mampu hidup arboreal di kondisi lingkungan yang hangat. Mikroiklim lingkungan seperti temperatur dan kelembaban diduga mempengaruhi keragaman semut. Pada ketinggian tempat yang tinggi umumnya temperatur rendah dan kelembaban tinggi. Temperatur yang rendah dan kelembaban yang tinggi akan mengurangi aktifitas dan wilayah pencarian makan semut. Kelembaban yang mencapai kondensasi 100% menyebabkan tanah tertutup dengan embun air (bila kelembaban tanah lebih dari 80%). Semut yang berukuran kecil pada kelompok Decetine (Strumygenys dan Smithistruma) akan mudah terperangkap air. Strumygenys yang hanya ditemukan pada ketinggian 1500 m diduga tidak mampu memperluas area pencarian makan. Namun pada Smithistruma ditemukan di ketinggian 1700 m. Kemampuan Smithistruma mencari makan yang diduga sampai ke atas kanopi tanaman mempermudah Smithistruma terkoleksi secara manual di batang pohon. Dengan demikian kondisi lingkungan yang ekstrem akan mengurangi kemampuan beberapa spesies untuk berpindah tempat mencari makanan. Kemampuan semut berpindah tempat dapat terukur dengan indeks Sorensen. Indeks Sorensen yang dipersentasekan mencapai lebih dari 50% memiliki kesamaan komposisi spesies di kedua ketinggian tempat yang dibandingkan. Bila kurang dari 50% menunjukkan adanya perbedaan fauna spesies semut di kedua ketinggian tempat (β-diversity) yang dibandingkan. Berdasarkan analisis, kesamaan spesies yang mencapai 50 % atau lebih terdapat pada selisih rentang ketinggian di m. Selisih tersebut terdapat dari ketinggian tempat 1500 m sampai mencapai 1700 m. Sedangkan di ketinggian 1900 m yang dibandingkan dengan ketinggian lainnya tidak memiliki kesamaan spesies mencapai 50 %. Hal ini diduga karena kondisi abiotik berupa kelembaban dan temperatur di tiap lokasi pada rentang tersebut (200 m) tidak jauh berbeda. Walaupun kelembaban di 1700 m dapat mencapai 100%, bila terdapat sumber makanan yang melimpah maka beberapa spesies semut mampu memperluas jelajah pencarian makan ke wilayah yang lebih dingin. Keberadaan semut di Kawasan CATW tidak dipengaruhi aktifitas manusia. Penggunaan lahan perkebunan dan pariwisata di sekitar Kawasan CATW dapat dijadikan sebagai tempat bernaung dan mencari makan oleh spesies-spesies semut. Seperti halnya pada spesies genus Olygomyrmex, Rhoptromyrmex dan Tetraponera yang berkemampuan mencari makan di lingkungan yang hangat. Namun lingkungan yang dipengaruhi manusia ini dapat juga menguntungkan spesies tertentu seperti Lophomyrmex sp1 yang hanya ditemukan di perkebunan teh dan taman wisata. Kelimpahan individu Lophomyrmex sp1 menunjukkan adanya dominansi yang diduga adanya suatu adaptasi dengan gangguan manusia.

6 Hak cipta milik IPB, tahun 2008 Hak Cipta dilindungi Undang-Undang Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penenlitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB

7 DIVERSITAS SEMUT (HYMENOPTERA, FORMICIDAE) DI BEBERAPA KETINGGIAN VERTIKAL DI KAWASAN CAGAR ALAM TELAGA WARNA JAWA BARAT MEIRY FADILAH NOOR Tesis sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Program Studi Biologi SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2008

8 Judul Tesis Nama NIM : Diversitas Semut (Hymenoptera:Formicidae) di Beberapa Ketinggian Vertikal di Kawasan Cagar Alam Telaga Warna Jawa Barat : Meiry Fadilah Noor : G Disetujui Komisi Pembimbing Dr. Bambang Suryobroto Anggota Dr. Ir. Rika Raffiudin, M.Si Anggota Diketahui Ketua Program Studi Biologi Dekan Pascasarjana Dr. Dedy Duryadi Sholihin DEA Prof. Dr. Ir. Khairil A. Notodiputro, M.S Tanggal Ujian: Tanggal Lulus: 8 Juli September 2008

9 KARYA ILMIAH INI DIPERSEMBAHKAN UNTUK AYAHANDA DAN IBUNDA TERCINTA

10 PRAKATA Puji syukur penulis ucapkan atas kehadirat Allah SWT, karena Rahmat dan Berkat-Nya penelitian ini berhasil diselesaikan. Penelitian ini merupakan syarat untuk mendapatkan gelar Magister di Institut Pertanian Bogor. Adapun judul penelitian Diversitas Semut (Hymenoptera:Formicidae) di Beberapa Ketinggian Vertikal di Kawasan Cagar Alam Telaga Warna Jawa Barat. Penelitian ini dilaksanakan di sekitar kawasan Cagar Alam yang terletak di kampung Lokapurna, Desa Gunung Sari, Kecamatan Cibungbulang, Jawa Barat dengan total luas daerah sampling hektar. Penelitian ini dilakukan dari bulan Mei 2007 sampai dengan April Sedangkan pengambilan sampel dilakukan dari bulan Mei sampai Juli 2007 dan pemilahan serta identifikasi dari bulan Agustus 2007 sampai dengan April Terima kasih penulis ucapkan kepada Dr. Bambang Suryobroto dan Dr. Rika Raffiudin, M.Si selaku pembimbing serta Dr. Rosichon Ubaidillah DIC Mphil selaku penguji luar komisi pembimbing. Ucapan terima kasih juga ditujukan kepada Ahmad Rizali, M.Si yang telah memberi saran, serta Puji Aswari, B.Sc, Wara Asfiya, S.Si dan staf LIPI Cibinong dalam membantu penyelesaian identifikasi. Di samping itu, penghargaan juga ditujukan kepada Ir. Agus Mulyana selaku sub-seksi Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Jawa Barat II beserta Ukar Sukarso dan Dikdik Suryadi selaku stafnya yang telah membantu selama pengumpulan data. Ungkapan terima kasih juga disampaikan kepada ayah, ibu, seluruh keluarga, serta pihak-pihak yang membantu dan mendukung dalam penyelesaian tesis ini. Semoga karya ilmiah ini bermanfaat. Bogor, Juli 2008 Meiry Fadilah Noor

11 RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Jakarta pada tanggal 16 Mei 1980 sebagai anak kedua dari pasangan (Alm) Ulil Azmi Noor dan Nurhaida Hs. Riwayat Pendidikan pada tahun 2008 telah penulis tempuh dalam mendapatkan gelar sarjana di Program Studi Biologi, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Lampung, dan lulus pada tahun Adapun judul karya ilmiah yang ditulis sebagai syarat mendapatkan gelar sarjana adalah Perbandingan Morfometri dan Kariotip Karang Mushroom di Kepulauan Krakatau dengan Pulau Tegal. Pada tahun 2005 penulis mendapatkan kesempatan melanjutkan ke program studi Biologi Pascasarjana IPB. Pada saat itu penulis telah bekerja di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta sebagai tenaga pengajar. Selama mengikuti program S2, penulis pernah menjadi asisten Studi Lapang (SL) pada tahun 2006 dengan judul Keanekaragaman Artropoda di Wana Wisata Cangkuang Cidahu Sukabumi dan tahun 2007 dengan judul Keanekaragaman Artropoda Tanah di Wana Wisata Cangkuang Sukabumi. Pada tahun 2008 penulis pernah menjadi pemakalah pada Seminar Nasional V Pemberdayaan Keanekaragaman Serangga untuk Meningkatkan Kesejahteraan Masyarakat dengan judul Diversitas Formicidae di Cagar Alam Telaga Warna Jawa Barat. Materi yang penulis sampaikan pada seminar nasional tersebut merupakan progress report dari karya ilmiah penulisan akhir program S2.

12 DAFTAR ISI Halaman DAFTAR TABEL... xiii DAFTAR GAMBAR... xiv DAFTAR LAMPIRAN... xvi 1 PENDAHULUAN Latar Belakang... 1 Tujuan Penelitian... 3 Manfaat Penelitian KERAGAMAN SEMUT (INSECTA:HYMENOPTERA) BERDASARKAN KETINGGIAN DI CAGAR ALAM TELAGA WARNA JAWA BARAT Pendahuluan... 4 Bahan dan Metode... 5 Hasil... 6 Pembahasan... 9 Kesimpulan KERAGAMAN SPESIES SEMUT (INSECTA:HYMENOPTERA) PADA EKOSISTEM TERGANGGU DI KAWASAN CAGAR ALAM TELAGA WARNA JAWA BARAT Pendahuluan Bahan dan Metode Hasil Pembahasan Kesimpulan DISTRIBUSI DAN KELIMPAHAN RELATIF SPESIES SEMUT DI CAGAR ALAM TELAGA WARNA JAWA BARAT Pendahuluan Bahan dan Metode Hasil Pembahasan Kesimpulan PEMBAHASAN UMUM SIMPULAN DAN SARAN DAFTAR PUSTAKA... 54

13 DAFTAR TABEL Halaman 1 Total kekayaan spesies Formicidae pada tiap ketinggian tempat di CATW 7 2 Indeks kesamaan Sorensen antar dua ketinggian tempat Perbandingan keragaman spesies pada dua habitat di ketinggian yang berbeda Persentase semut dalam tiap subfamili yang dikoleksi secara kumulatif dengan PSM, perangkap umpan dan manual di kawasan CATW... 20

14 DAFTAR GAMBAR Halaman 1 Penyebaran spesies Formicidae ( ) menggunakan tiga tipe metode koleksi di kawasan CATW Penurunan temperatur udara dan tanah serta peningkatan kelembaban udara di berbagai ketinggian tempat di kawasan CATW Jumlah spesies semut pada subfamili di Kawasan CATW berdasarkan ketinggian tempat Cerapachys sp1 (a) Duri-duri tebal pada ujung hypopygium, (b) habitus sisi lateral dan (b) kepala tampak depan Dolichoderus sp1: (a) habitus sisi lateral dan (b) kepala tampak depan Dolichoderus sp2: (a) habitus sisi lateral dan (b) kepala tampak depan Dolichoderus sp3: (a) habitus sisi lateral dan (b) kepala tampak depan Leptomyrmex sp1: (a) habitus sisi lateral dan (b) kepala tampak depan Technomyrmex sp1: (a) habitus sisi lateral dan (b) kepala tampak depan Paratrechina sp1: (a) habitus sisi lateral dan (b) kepala tampak depan Paratrechina sp2: (a) habitus sisi lateral dan (b) kepala tampak depan Paratrechina sp3: (a) habitus sisi lateral dan (b) kepala tampak depan Polyrachis sp1: (a) habitus sisi lateral (b) kepala tampak depan dan (c) petiole Polyrachis sp2: (a) habitus sisi lateral (b) kepala tampak depan dan (c) petiole Polyrachis sp3: (a) habitus sisi lateral (b) kepala tampak depan dan (c) petiole Polyrachis sp4: (a) habitus sisi lateral (b) kepala tampak depan dan (c) petiole Polyrachis sp5: (a) habitus sisi lateral (b) kepala tampak depan dan (c) petiole Pseudolasius sp1: (a) habitus sisi lateral dan (b) kepala tampak depan Cardiocondyla sp1: (a) habitus sisi lateral dan (b) kepala tampak depan Crematogaster sp1: (a) habitus sisi lateral (b) kepala tampak depan dan (c) gaster Lophomyrmex sp1: (a) habitus sisi lateral dan (b) kepala tampak depan.. 33

15 22 Monomorium sp1: (a) habitus sisi lateral dan (b) kepala tampak depan Monomorium sp2 : (a) habitus sisi lateral dan (b) kepala tampak depan Myrmicaria sp1: (a) habitus sisi lateral dan (b) kepala tampak depan Myrmicina sp1: (a) habitus sisi lateral dan (b) kepala tampak depan Myrmicina sp2 : (a) habitus sisi lateral dan (b) kepala tampak depan Olygomyrmex sp1: (a) habitus sisi lateral dan (b) kepala tampak depan Pheidole sp1 : (a) habitus sisi lateral dan (b) kepala tampak depan Pheidole sp2 : (a) habitus sisi lateral dan (b) kepala tampak depan Pheidole sp3 : (a) habitus sisi lateral dan (b) kepala tampak depan Pheidole sp4 : (a) habitus sisi lateral dan (b) kepala tampak depan Pheidole sp5 : (a) habitus sisi lateral dan (b) kepala tampak depan Pheidole sp6 : (a) habitus sisi lateral dan (b) kepala tampak depan Rhoptromyrmex sp1: (a) habitus sisi lateral dan (b) kepala tampak depan Smithistruma sp1: (a) habitus sisi lateral dan (b) kepala tampak depan Smithistruma sp2 : (a) habitus sisi lateral dan (b) kepala tampak depan Strumygenys sp1: (a) habitus sisi lateral dan (b) kepala tampak depan Tetramorium sp1: (a) habitus sisi lateral dan (b) kepala tampak depan Tetramorium sp2 : (a) habitus sisi lateral dan (b) kepala tampak depan Tetramorium sp3 : (a) habitus sisi lateral dan (b) kepala tampak depan Anochetus sp1: (a) habitus sisi lateral dan (b) kepala tampak depan Odontomachus sp1: (a) habitus sisi lateral dan (b) kepala tampak depan Leptogenys sp1: (a) habitus sisi lateral (b) kepala tampak depan dan (c) claw Leptogenys sp2 : (a) habitus sisi lateral (b) kepala tampak depan dan (c) claw Leptogenys sp3 : (a) habitus sisi lateral (b) kepala tampak depan dan (c) claw Odontoponera sp1: (a) habitus sisi lateral dan (b) kepala tampak depan Pachycondyla sp1: (a) habitus sisi lateral dan (b) kepala tampak depan dan (c) mandibula Pachycondyla sp2 : (a) habitus sisi lateral dan (b) kepala tampak depan dan (c) mandibula Tetraponera sp1: (a) habitus sisi lateral, (b) kepala tampak depan dan (c) claw... 47

16 DAFTAR LAMPIRAN Halaman 1 Lokasi dan jumlah pengambilan sampel semut Posisi peletakkan perangkap umpan dan PSM, ( )untuk perangkap umpan sedangkan ( ) untuk PSM dalam Plot Kondisi lingkungan di tiap ketinggian tempat Spesies semut yang terkoleksi di empat ketinggian tempat Spesies semut yang terkoleksi di perkebunan teh, taman wisata dan cagar alam pada dua ketinggian tempat... 64

17 BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Semut (Formicidae:Hymenoptera) merupakan kelompok hewan yang berdasarkan jumlah keragaman jenis, sifat biologi dan ekologinya sangat penting. Perilaku sosial semut sebagai predator, pengurai dan herbivor dalam ekosistem telah menjadi subjek intensif yang menarik untuk diteliti dalam segala aspeknya (Hölldobler & Wilson 1990). Selain itu, semut dapat pula dijadikan sebagai indikator biologi terhadap perubahan lingkungan karena relatif mudah dikoleksi, biomassa dominan, taksonomi relatif maju, dan kondisi hidup yang sensitif pada perubahan lingkungan (Alonso & Agosti 2000). Dengan demikian, semut dapat digunakan untuk membantu memahami kaidah ekologi, biomonitoring untuk tujuan konservasi dan pengelolaan kawasan (Agosti et al. 2000). Namun di kawasan konservasi, khususnya di Indonesia masih sedikit informasi mengenai keragaman semut. Hal ini dimungkinkan dari kurangnya tanggapan terhadap pentingnya peran semut. Selain itu, adanya tanggapan negatif dalam sulitnya memperhitungkan kekayaan spesies (Robertson 2000). Salah satu data keragaman yang sangat dini telah dilakukan di kawasan konservasi di Pulau Jawa yaitu Kepulauan Seribu yang mengungkapkan 48 spesies (Rizali 2006). Selain itu, penelitian inventarisasi keragaman semut telah dilakukan Ito et al. (2001) di dalam Kebun Raya Bogor Jawa Barat, yang mendapatkan keragaman semut dengan 216 spesies. Keragaman semut di hutan tropis umumnya dipengaruhi oleh banyak faktor diantaranya ketinggian tempat. Pengurangan keragaman semut berdasarkan ketinggian tempat terjadi di dataran tinggi, sebaliknya di dataran rendah mengalami peningkatan (Brown 1973). Penurunan ini dibuktikan dengan Araưjo dan Fernandes (2003) berdasarkan pola ketinggian tempat dan variasi habitat di Gunung Espinhaco Brazil. Hasil penelitian Araưjo dan Fernandes (2003) menunjukkan adanya penurunan jumlah spesies dari 800 m sampai 1500 m. Begitu pula dengan Brühl et al. (1999) melaporkan bahwa jumlah spesies dan individu semut serasah daun di Gunung Kinibalu Sabah Malaysia mengalami

18 pengurangan. Pengurangan semut ini terjadi dari ketinggian tempat 560 m sampai 2600 m. Penurunan keragaman semut pada dataran tinggi kemungkinan karena adanya suatu perubahan peran dalam ekosistem. Selain itu struktur dan pola perubahan spesies dapat dipengaruhi beberapa faktor, diantaranya perilaku predasi (Kaspari 1996; Hirosawa et al. 2000), pemilihan kelembaban (Kaspari 1996), pemilihan temperatur (Bestelmeyer 2000), topografi (Vasconcelos et al. 2003), tempat bersarang dan ketersediaan makanan (Herbers 1989; Byrne 1994; Kaspari 1996b), kuantitas dan kualitas serasah (Kaspari 1996a), serta struktur dan komposisi tanaman (Wilson 1958; Gadagkar et al. 1993; Bestelmeyer & Wiens 2001). Peran semut umumnya digantikan oleh Artropoda lain (Darlington 1971). Penelitian Olson (1994) mengenai keragaman Avertebrata serasah di Panama, menunjukkan kumbang Carabidae dan kumbang penggerek mengalami peningkatan keragaman dan semut mengalami penurunan keragaman pada dataran tinggi. Untuk mengetahui perubahan peran dalam ekosistem maka perlu diketahuinya keberadaan semut pada ketinggian tempat tertentu. Cagar Alam Telaga Warna (CATW) Jawa Barat adalah kawasan hutan tropis yang memiliki ketinggian bervariasi dari ±1400 m sampai ±1800 m dpl (Meijer 1959). CATW dikategorikan sebagai cagar alam dan kawasan konservasi karena didalamnya terdapat kekhasan berupa telaga sebagai penyangga kehidupan di sekitarnya. Berdasarkan UU No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, kondisi CATW baik biota maupun fisik masih asli dan belum mendapat gangguan dari manusia (Dephut 2002). Namun hal ini belum dibuktikan berdasarkan keberadaan semut yang sensitif terhadap aktifitas manusia dan perubahan lingkungan. Dengan demikian, landasan taksonomi, khususnya dalam memahami keragaman semut perlu dikuasai. Dasar penelitian ekologi dan taksonomi semut sangat bermanfaat untuk arah pengelolaan kawasan dalam mencapai keberlajutan lingkungan, khususnya di sekitar kawasan konservasi CATW Jawa Barat. Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk; (1) Mempelajari pola keragaman semut berdasarkan perbedaan ketinggian, dengan studi kasus empat rentang ketinggian

19 di kawasan CATW Jawa Barat, masing-masing 1500, 1600, 1700 dan 1900 m, (2) Mengkaji pengaruh perubahan habitat akibat aktifitas manusia terhadap kekayaan semut, dan (3) Mempelajari keragaman dan penyebaran spesies semut berdasarkan rentang ketinggian tempat di kawasan CATW Jawa Barat. Manfaat Penelitian Adapun manfaat pada penelitian ini adalah untuk; (1) Memberikan informasi pola penyebaran semut berdasarkan ketinggian tempat, (2) Memberikan pemahaman peran semut di kawasan CATW Jawa Barat; dan (3) Memberikan informasi kekayaan spesies semut untuk pemeliharaan dan pelestarian keaslian kawasan konservasi CATW Jawa Barat.

20 BAB II KERAGAMAN SEMUT (INSECTA: HYMENOPTERA) BERDASARKAN KETINGGIAN DI CAGAR ALAM TELAGA WARNA JAWA BARAT PENDAHULUAN Semut merupakan kelompok serangga yang sukses tersebar di seluruh dunia (Triplehorn & Johnson 2005). Beberapa catatan mengungkapkan bahwa semut tersebar di delapan daerah zoogeografi yaitu Palearctic, Afrotropical, Malagasy, Oriental, Indo-Australia, Australian, Neartic, dan Neotropical (Bolton 1994). Daerah tropis memiliki keragaman spesies semut yang tinggi dan keragaman tersebut dapat menurun secara drastis pada peningkatan garis lintang (Agosti et al. 2000). Walaupun Indonesia merupakan salah satu negara tropis yang kaya keragaman semut, namun penelitian semut masih sangat kurang. Adapun penelitian yang telah dilaksanakan umumnya dilakukan oleh peneliti asing (Ito et al. 2001, Yamane 1997, Agosti et al. 2000) yang tersebar di beberapa jurnal ilmiah.. Kekayaan semut di hutan tropis dan subtropis dipengaruhi oleh ketinggian tempat. Pada dataran tinggi, semut umumnya mengalami penurunan kekayaan spesies dan individunya, dan sebaliknya pada dataran rendah kekayaan spesies semut umumnya tinggi (Brown 1973). Bukti tersebut dikuatkan oleh penelitian Araưjo dan Fernandes (2003) di Gunung Espinhaco Brazil. Begitu pula dengan laporan Brühl et al. (1999) yang menegaskan bahwa terjadi penurunan jumlah spesies dan individu semut serasah daun di Gunung Kinibalu Sabah Malaysia. CATW merupakan kawasan hutan tropis yang memiliki topografi bergelombang dengan ketinggian bervariasi dari ±1400 m sampai ±1800 m dpl (Meijer 1959). Berdasarkan UU No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan menyatakan bahwa kondisi CATW masih asli dan belum mendapat gangguan dari manusia (Dephut 2002). Pendataan keragaman flora dan fauna besar di CATW sebagian besar telah tercatat. Seperti, pendataan vegetasi di CATW umumnya berupa tumbuhan puspa (Schima wallichii), saninten (Castanopsis argentea) liana, epifit dan lain-lain. Sedangkan, satwa yang mendiami cagar alam ini berupa

21 tekukur (Streptopelia chinensis), puyuh (Turnix suscitator), kadanca (Ducula sp.), walet (Collocalia maxima) dan lain-lain. Namun, pendataan serangga khususnya pada ordo Hymenoptera famili Formicidae belum pernah dilakukan. Oleh karena itu, CATW merupakan lokasi yang strategis untuk mempelajari pola keragaman semut berdasarkan ketinggian tempat dan pola distribusinya. BAHAN DAN METODE Pengambilan sampel semut dilakukan di ketinggian tempat yang berbeda. Hasil survei lokasi didapatkan empat rentang ketinggian tempat. Pada tiga rentang ketinggian tempat yaitu; 1500, 1600 dan 1700 m dpl dilakukan pengambilan sampel semut dengan dua lokasi. Sedangkan rentang ketinggian tempat di 1900 m, pengambilan sampel semut dilakukan dengan satu lokasi. Tiap lokasi dibuat plot berukuran 10 x 10 m. Untuk mengevaluasi kekayaan spesies semut, pada setiap plot dilakukan pengambilan contoh semut dengan metode pengambilan secara manual (Delabie et al. 2000), perangkap umpan (Agosti et al. 2000) serta perangkap sumuran (PSM). Lama pengambilan contoh secara manual untuk satu plot berkisar 30 sampai 1 jam dalam 2 x 24 jam. Waktu pengambilan sampel secara manual ini sudah cukup mendapatkan semut kecil (cryptic) yang hidup di bawah serasah dan permukaan tanah (Bestelmeyer et al. 2000). Sedangkan lamanya peletakkan perangkap umpan dan PSM selama 2 kali 24 jam. Umumnya waktu peletakkan perangkap dalam dua hari sudah cukup pula untuk mengkoleksi kelimpahan semut yang beraktifitas mencari makan di permukaan tanah (Bestelmeyer et al. 2000). Perangkap umpan dan PSM terbuat dari gelas plastik berukuran 9 cm tinggi, diameter atas 7,5 cm dan diameter bawah 5 cm yang diisi dengan larutan deterjen sebagai killing agent (Agosti et al. 2000). Gelas plastik ditanam, sehingga permukaan atas gelas sejajar dengan permukaan tanah (Borror et al. 1981). Untuk gelas yang diberi umpan, umpan diletakkan sejumlah ±5 gram di kasa berdiameter 0,1 cm yang menutupi setengah dari permukaan atas gelas. Pada tiap lokasi 10 PSM dipasang di dalam plot. PSM diletakkan di sisi-sisi plot dengan jarak antar PSM ±2.5 m. Perangkap umpan pada tiap lokasi diletakkan sepasang (umpan sarden dan gula) di tengah plot dan PSM. Sedangkan

22 pengambilan langsung secara manual dilakukan dengan menelusuri dalam plot (Lampiran 2). Semut yang terlihat, baik di permukaan tanah maupun di batang pohon diambil. Semut hasil koleksi dengan tiga metode tersebut setelah 2 x 24 jam kemudian diambil dan dimasukkan dalam tabung film berisi alkohol 70%. Tabung film selanjutnya diberi label yang menginformasikan tanggal pengambilan dan metode pengambilan. Tabung film dibawa ke laboratorium Entomologi Museum Zoologicum Bogoriense, LIPI untuk dilakukan pemilahan dan identifikasi. Pemilahan dilakukan untuk memisahkan semut dengan serangga lainnya. Selanjutnya semut diidentifikasi berdasarkan karakter ukuran, bentuk, dan warna yang berbeda menggunakan kunci identifikasi dari Bolton (1994) dan dipilah ke dalam subfamili, genus dan spesies (morfospesies). HASIL Total kekayaan spesies di tiap ketinggian tempat dengan menggunakan tiga metode pengkoleksian ditunjukkan di tabel 1. Kesalahan dalam memperkirakan kekayaan spesies telah diantisipasi dengan menggunakan asumsi matematika dari program EstimateS 75.2 Abudance-based Coverage Estimator-ACE (Chao et al. 2000). Berdasarkan hasil pengukuran ACE, persentase spesies semut yang terambil pada tiap ketinggian tempat dengan yang diprediksikan rata-rata telah mencapai lebih dari 80% dengan total keseluruhan mencapai 90,14%. Hal ini menunjukkan bahwa spesies yang terambil telah mendekati keseluruhan spesies semut yang ada di CATW berdasarkan tiga tipe pengkoleksian. Keragaman spesies tertinggi dengan menggunakan indeks Shannon terdapat pada ketinggian 1600 m. Sedangkan keragaman spesies dengan menggunakan indeks Simpson menunjukkan keragaman tertinggi di 1900 m. Sebaliknya, keragaman spesies terendah dengan menggunakan indeks Shannon dan Simpson pada ketinggian 1700 m (Tabel 1).

23 Tabel 1 Total kekayaan spesies semut pada tiap ketinggian tempat di CATW Ketinggian Total Spesies Indeks Keragaman m dpl Sp Obs 1) Sp ACE 2) % 2) H' 1/D ) Sp Obs = kekayaan spesies Semut dari hasil observasi 2) Sp ACE = Abudance-based Coverage Estimator, prediksi keseluruhan spesies, % = persentase spesies hasil observasi dengan spesies hasil prediksi Perubahan jumlah spesies pada tiap ketinggian tempat terjadi karena adanya suatu perpindahan spesies karena beberapa faktor diantaranya disebabkan perilaku predasi (Kaspari 1996; Hirosawa et al. 2000), pemilihan kelembaban (Kaspari 1996), pemilihan temperatur (Bestelmeyer 2000), topografi (Vasconcelos et al. 2003), tempat bersarang dan ketersediaan makanan (Herbers 1989; Byrne 1994; Kaspari 1996b), kuantitas dan kualitas serasah (Kaspari 1996a), serta struktur dan komposisi tanaman (Wilson 1958; Gadagkar et al. 1993; Bestelmeyer & Wiens 2001). Perpindahan sejumlah spesies dianalisis menggunakan indeks kesamaan Sorensen (Tabel 2). Indeks Sorensen yang dipersentasekan mencapai lebih dari 50% memiliki kesamaan komposisi spesies setengah dari total spesies di kedua ketinggian tempat tersebut. Bila kurang dari 50% menunjukkan adanya perbedaan fauna spesies semut di kedua ketinggian tempat (β-diversity). Berdasarkan analisis, kesamaan spesies yang mencapai 50 % atau lebih terdapat di 1500 m sampai dengan 1700 m. Sedangkan di ketinggian 1900 m yang dibandingkan dengan ketinggian lainnya kesamaan spesies tidak mencapai 50 %. Hal ini menunjukkan adanya perbedaan komposisi spesies antara ketinggian 1900 m dengan ketinggian lainnya. Tabel 2 Indeks kesamaan Sorensen antar dua ketinggian tempat Ketinggian Ketinggian (m dpl) (m dpl)

24 Jumlah Spesies Ketinggian (mdpl) Gambar 1 Penyebaran spesies semut ( ) menggunakan tiga tipe metode koleksi di kawasan CATW Hubungan keragaman jumlah spesies yang didapat dari tiga tipe pengkoleksian dengan ketinggian tempat membentuk garis linear dengan slope yang negatif (y = x). Sedangkan nilai F sebesar 0.08 hanya sedikit terpaut dari batas signifikan Walaupun secara statistik penurunan ini tidak signifikan, tetapi Gambar 1 menunjukkan bahwa jumlah spesies semakin menurun bila ketinggian meningkat. Dengan demikian penurunan kekayaan semut terjadi dari ketinggian tempat di 1500 m sampai dengan ketinggian tempat di 1900 m. Faktor Abiotik Rata-rata temperatur udara mengalami penurunan dari 23 o C di 1500 m sampai 18 o C di 1900 m. Begitu pula dengan temperatur tanah yang mengalami penurunan dari o C di 1500 m sampai 17 o C di 1900 m. Temperatur udara dan tanah ini menunjukkan adanya penurunan bersamaan dengan peningkatan gradien ketinggian (Gambar 2). Hal ini berbanding terbalik dengan kadar kelembaban udara dari ketinggian 1500 m sampai 1900 m. Pada ketinggian 1500 m kelembaban udara mencapai 83.5% sedangkan ketinggian 1900 m mencapai 100 %. Kelembaban udara mengalami peningkatan bersamaan dengan peningkatan gradien ketinggian.

25 0 C), Temperatur( Kelembaban(%) Temperatur Tanah Kelembaban Ketinggian (m dpl) Gambar 2 Penurunan temperatur udara dan tanah serta peningkatan kelembaban udara di berbagai ketinggian tempat di kawasan CATW PEMBAHASAN Kekayaan spesies di tiap ketinggian tempat yang terkoleksi dengan tiga tipe pengkoleksian dan lamanya pengambilan pada 2 x 24 jam mencapai 90.14%. Pencapaian pengambilan semut ini telah cukup menggambarkan keberadaan spesies semut di tiap ketinggian tempat. Namun kekayaan spesies ini belum dapat menggambarkan total kekayaan spesies di CATW. Bila dibandingkan dengan penelitian Ito et al. (2001), Kebun Raya Bogor memiliki total kekayaan spesies mencapai 216 spesies dan 61 genus. Pengkoleksian di Kebun Raya Bogor tersebut dilakukan dengan berbagai tipe pengambilan. Penambahan spesies akan terus meningkat bila pengambilan sampel semut dilakukan secara kontinu pada tiap periode musim dengan berbagai metode pengkoleksian (Wolda 1987). Dengan demikian perlunya penambahan metode pengkoleksian dan lamanya pengambilan sehingga dapat menggambarkan keseluruhan spesies semut. Kekayaan spesies tertinggi dari empat rentang ketinggian tempat terdapat di 1600 m. Spesies semut yang terambil di 1600 m berjumlah 22 dan prediksi ACE berjumlah Tingginya jumlah spesies berbanding lurus dengan indeks keragaman Shannon. Keragaman spesies yang tinggi di 1600 m diduga karena keberadaan lokasi plot yang terletak di antara ketinggian 1500 dan 1700 m. Pada ketinggian 1500 m sebagian besar spesies semut berpindah tempat mencapai 1700 m. Hal ini ditunjukkan dengan 55% spesies di 1500 m sama dengan spesies di

26 1700 m. Tingginya keragaman spesies di 1600 m yang diapit oleh ketinggian 1500 dan 1700 m diduga karena jenis vegetasi dan keragaman vegetasi di 1600 m lebih kompleks. Dimana, semakin kompleks vegetasi maka keragaman spesies baik spesies yang dimangsa maupun predator akan meningkat (Prize 1997). Begitu pula dengan kondisi mikroiklim seperti temperatur dan kelembaban. Mikroiklim diduga dapat pula menghambat aktifitas spesies sehingga spesies tersebut tidak mampu berkembang maupun memperluas wilayah pencarian makan. Seperti beberapa spesies semut di 1500 m yang terdapat di 1600 m namun tidak terdapat di 1700 m. Adapun spesiesnya pada genus Dolichoderus, Polyrachis, Monomorium, Anochetus, dan Odontomachus. Keberadaan genusgenus tersebut umumnya pada lingkungan yang cenderung hangat (Agosti et al. 2000; Shattuck 2000; Taylor 1971). Hal ini sesuai dengan mikroiklim di 1500 daan 1600 m yang cenderung lebih hangat dibandingkan ketinggian 1700 m (Lampiran 3). Dengan demikian genus-genus tersebut memungkinkan jarang ditemukan di lingkungan yang dingin (1700 m). Kesamaan komunitas yang lebih dari 50% terdapat pada ketinggian 1500 m sampai 1700 m dengan selisih ketinggian dari 0 sampai 200 m. Kesamaan ini kemungkinan disebabkan dengan kondisi abiotik berupa kelembaban dan temperatur di tiap lokasi pada rentang tersebut tidak jauh berbeda (Lampiran 3; Gambar 2). Walaupun kelembaban di 1700 m dapat mencapai 100%, bila terdapat sumber makanan yang melimpah maka beberapa spesies semut ada yang mampu memperluas jelajah pencarian makan ke wilayah yang lebih dingin (Bernstein 1979). Seperti pada spesies dalam genus Paratrechina, Pheidole dan Tetramorium yang terdapat di ketinggian 1700 m dan 1900 m. Kekayaan spesies dan individu pada tiap ketinggian tempat dapat dilihat korelasinya dengan persamaan linear (Gambar 1). Garis linear menunjukkan adanya korelasi jumlah spesies yang mengalami penurunan dari ketinggian 1500 m sampai 1900 m. Penelitian Araujo & Fernandes (2003) di Gunung Espinhaco Brazil juga membuktikan adanya penurunan spesies dari 800 m sampai 1500 m. Penurunan jumlah spesies akan terus terjadi sampai pada ketinggian tertentu tidak terdapat lagi komunitas semut. Seperti halnya di Gunung Kinabalu Malaysia penurunan terjadi dan pada ketinggian tempat 2600 m tidak ditemukan semut

27 (Brühl et al. 1999). Begitu pula di Costa Rica Mexico yang tidak menemukan spesies semut pada ketinggian 2600 m (Atkin & Proctor 1988). Pola penurunan keragaman jumlah spesies semut juga terjadi pada taksa hewan lainnya seperti burung (Telborg 1977), dan Coleoptera Chrysomelidae. Hubungan timbal balik antara ketinggian tempat dan kekayaan spesies kemungkinan disebabkan oleh beberapa faktor seperti; kompleksitas vegetasi, kompetisi, predator dan mikroiklim. Vegetasi yang kompleks mempengaruhi keragaman spesies (Prize 1997). Pengurangan struktur vegetasi akan mengurangi kekayaan dan meningkatkan dominansi pada semut (Greenslade & Greenslade 1977). Pengurangan kekayaan spesies semut kemungkinan dapat terjadi karena adanya kompetisi dengan serangga lain, sehingga terjadi perpindahan peran dalam ekosistem. Brown (2000) menyatakan bahwa kumbang Carabidae dapat menggantikan peran semut di ketinggian tempat yang tinggi. Selain itu, predator dapat pula mengurangi kekayaan spesies semut seperti semut predator (Kaspari 1996) dan burung (Phillpott et al. 2004). Kekayaan spesies dan individu yang mengalami penurunan di ketinggian tempat yang lebih tinggi diduga disebabkan oleh mikroiklim. Temperatur dan kelembaban dapat mempengaruhi keberadaan semut. Pada ketinggian tempat yang tinggi umumnya temperatur rendah dan kelembaban tinggi. Temperatur yang rendah dan kelembaban yang tinggi akan mengurangi perkembangan dan umur larva (Brown 1973; Lawton et al. 1987). Kecuali spesies pada genus Paratrechina, Pheidole dan Tetramorium yang dapat mencapai ketinggian 1900 m. Keberadaan Paratrechina, Pheidole dan Tetramorium menunjukkan adanya kemampuan bertahan dan mampu memperluas wilayah pencarian makan sampai pada ketinggian 1900 m (suhu udara 18 o C dan kelembaban mencapai 100%). Ketiga genus ini melimpah pula di tiap ketinggian dan habitat. Melimpahnya Paratrechina, Pheidole dan Tetramorium di kawasan CATW dapat dikategorikan sebagai spesies tramps, karena kemampuan penyebarannya diberbagai tipe habitat (Agosti et al. 2000). KESIMPULAN Kekayaan spesies dan individu semut mengalami penurunan dari ketinggian tempat yang rendah ke yang tinggi. Penurunan kekayaan semut di kawasan CATW diduga dipengaruhi oleh faktor mikroiklim. Temperatur dan kelembaban

28 merupakan faktor mikroiklim yang akan menghambat beberapa spesies untuk hidup dan beraktifitas. Sebagian besar spesies semut di CATW diduga mampu beraktifitas dan memperluas wilayah pencarian makan pada rentang ketinggian m. Kecuali pada beberapa spesies dalam genus Paratrechina, Pheidole dan Tetramorium yang ditemukan di tiap ketinggian tempat. Keberadaan genus ini menunjukkan adanya kemampuan hidup di berbagai kondisi habitat dan hidup dominan di kawasan CATW.

29 BAB III KERAGAMAN SPECIES SEMUT PADA EKOSISTEM TERGANGGU DI KAWASAN CAGAR ALAM TELAGA WARNA JAWA BARAT PENDAHULUAN Semut (Formicidae:Hymenoptera) merupakan hewan Avertebrata komponen terestrial yang melimpah di kepulauan maupun daratan luas (Holldobler & Wilson 1990). Keragaman semut diperkirakan mencapai spesies dengan yang telah teridentifikasi sebanyak spesies (Bolton 1994). Daerah tropis khususnya di hutan hujan memiliki keragaman spesies semut yang tinggi (Brühl et al. 1998) dan keragaman tersebut dapat berkurang secara drastis pada peningkatan garis lintang. Cox dan Moore (2000), menyatakan bahwa perbedaan temperatur, mikro iklim cahaya, kelembaban, pola makan, aktifitas dan lain-lain berpengaruh terhadap keragaman spesies. Sebagai contoh, iklim dan pola makan dapat mengubah ukuran dan tampilan tubuh semut (Newman & Dalton 1976). Selain itu, keragaman semut dapat pula dipengaruhi oleh kompetisi interspesifik, variasi ketersediaan sumber makanan, kualitas habitat (Palmer 2003), dan perubahan aktifitas tertentu (Bestelmeyer 2000). Aktifitas manusia seperti agrikultur dapat mengancam kepunahan sebagian besar Artropoda (Tilman et al. 2002). Penggunaan lahan yang terjadi secara intensif dan berlebihan mengakibatkan adanya penurunan keragaman dan meningkatkan dominansi (MacArthur 1972). Penggunaan lahan yang terjadi terus menerus di sekitar hutan dapat meningkatkan ketidakstabilan biodiversitas. Misalnya pada perkebunan kopi (Coffe spp.) dan coklat (Themobrema cacao L.). Penanaman intensif coklat dapat mengurangi keragaman Artropoda predator (Klein et al. 2002). Begitu pula pada penanaman kopi dapat mengurangi keragaman Artropoda khususnya yang berfungsi sebagai pengontrol biologi termasuk Formicidae (Ballinas 1999). Kawasan CATW yang terletak di puncak daerah perkebunan teh Desa Gunung Sari, Kecamatan Cibungbulang Jawa Barat merupakan daerah konservasi

30 wilayah II. Hal ini sesuai dengan dasar penunjukkan pada keputusan Menteri Pertanian No.481/Kpts/Um/6/1981 tanggal 9 Juni Hutan pegunungan dengan danau di tengahnya menjadi keunikan sebagai daerah konservasi dan taman wisata telaga komersil. Walaupun dinyatakan lingkungan biota dan fisik masih asli dan belum mendapat gangguan dari manusia (Dephut 2002) namun lokasi CATW ini terletak di lingkungan yang ekosistemnya terganggu. Gangguan tersebut disebabkan aktifitas manusia yang menggunakan lahan sekitar CATW sebagai lahan agrikultur maupun pariwisata. Untuk mengetahui ada tidaknya pengaruh aktifitas manusia terhadap keaslian CATW, maka perlu adanya perbandingan keragaman semut di perkebunan teh sekitar CATW dan di taman wisata. BAHAN DAN METODE Sampel semut diambil di dua ketinggian tempat yang berbeda sebagai bahan perbandingan (Lampiran 1). Pada ketinggian tempat 1400 m sampel semut perkebunan teh dibandingkan dengan kawasan taman wisata. Sedangkan pada ketinggian tempat 1500 m sampel semut perkebunan teh dibandingkan dengan cagar alam. Masing-masing ketinggian tempat diambil dua lokasi pengambilan dan tiap lokasi dibuat plot berukuran 10 x 10 m. Pada tiap plot, sampel semut dikoleksi dengan tiga pengkoleksian yaitu perangkap sumuran (PSM), perangkap umpan dan pengambilan langsung secara manual. Keragaman sampel semut yang didapat dianalisis dengan menggunakan indeks Shannon dan Indeks Simpson. Nilai indeks keragaman dan jumlah spesies yang didapat selanjutnya dianalisis menggunakan Uji banding Fisher (Beda Nyata Terkecil) untuk menguji adanya tidaknya perbedaan nilai tengahnya (Aududdin 2005). HASIL Total semut yang terkoleksi di lingkungan yang mengalami kerusakan tinggi (perkebunan teh di 1400 dan 1500 m), gangguan (taman wisata di 1400 m) dan yang asli (cagar alam di 1500 m) berjumlah 9041 individu (Lampiran 5).

31 Kelimpahan spesies yang tinggi terdapat di perkebunan teh pada ketinggian 1400 m dan terendah di taman wisata ketinggian 1400 m. Rendah dan tingginya kelimpahan ini bersamaan dengan indeks Shannon dan Simpson. Sedangkan jumlah spesies yang terkoleksi lebih banyak terdapat pada ketinggian 1500 m perkebunan teh. Namun hasil uji banding Fisher (Beda Nyata Terkecil) pada indeks keragaman Shannon (BNT = 1.65; df = 3; P = 0.05) serta jumlah spesies yang terkoleksi (BNT = 8.297; df = 3; P = 0.05) tidak menunjukkan adanya perbedaan (Tabel 3). Kelimpahan semut yang tinggi di perkebunan teh pada 1400 m dikarenakan didapatkannya satu spesies pada satu genus yaitu Lophomyrmex sp1 mencapai 4750 individu. Spesies yang jarang ditemukan sebagian besar terdapat di sekitar taman wisata dan cagar alam seperti Leptomyrmex sp1, Smithistruma sp1 dan Anochetus sp1. Spesies yang hanya ditemukan di perkebunan teh yaitu Olygomyrmex sp1 dan Tetraponera sp1 (1 individu). Sedangkan keberadaan genus Paratrechina dan Pheidole di empat habitat tersebut menunjukkan adanya kemampuan hidup di lingkungan yang tidak terganggu maupun yang terganggu dari aktifitas manusia. Tabel 3 Perbandingan keragaman spesies pada dua habitat di ketinggian yang berbeda KT TW KT CA N S S ACE H' /D KT = Kebun Teh CA = Cagar Alam PEMBAHASAN Penggunaan lahan untuk perkebunan teh dan pariwisata di sekitar cagar alam tidak mempengaruhi kekayaan semut. Hubungan keragaman semut pada ketinggian 1400 m di perkebunan teh dan taman wisata serta 1500 m di perkebunan teh dan cagar alam dengan berdasarkan uji BNT menunjukkan tidak adanya perbedaan. Lokasi pengambilan sampel di perkebunan teh dan taman

32 wisata yang terletak di tepi cagar alam tidak mengurangi keragaman semut. Penggunaan lahan untuk agrikultur di sekitar hutan dapat mempertahankan keragaman spesies. Seperti halnya perkebunan kopi di bawah naungan kanopi di daerah Mexico yang dijadikan tempat perlindungan dan pencarian makan spesies dari hutan ke lahan pertanian (Perfecto et al. 1996). Pada semut khususnya yang hidup sebagai predator akan berpindah tempat dan memperluas area pencarian makan ke lahan pertanian. Keberadaan lahan pertanian di sekitar hutan dari segi ekonomi menguntungkan dalam managemen pengontrol hama (Philpott & Armbrecht 2006). Lophomyrmex sp1 terkoleksi dengan jumlah individu terbesar dan melimpah di perkebunan teh ketinggian 1400 m. Spesies ini juga ditemukan di taman wisata ketingian 1400 m dan perkebunan teh pada ketinggian 1500 m. Keberadaan Lophomyrmex sp1 yang melimpah mempengaruhi nilai Indeks Simpson yang menyatakan adanya suatu dominansi. Kelimpahan ini terjadi karena ketertarikannya pada perangkap umpan gula dengan mencapai 4721 individu dari 4750 individu. Walaupun umumnya Lophomyrmex disebut sebagai generalized forager (Agosti et al. 2000), karena dapat memakan berbagai jenis makanan. Paratrechina dan Pheidole juga terkoleksi melimpah di perkebunan teh (1400 m dan 1500 m), taman wisata (1400 m) dan cagar alam (1500 m). Paratrechina didapatkan dua spesies, sedangkan Pheidole didapatkan tiga spesies yang melimpah di keempat habitat ini. Keberadaan kedua genus ini pada keempat habitat tersebut menunjukkan adanya kemampuan hidup dan kemampuan mencari makan di lingkungan yang dipengaruhi oleh aktifitas manusia. Penyebaran semut sampai ke lingkungan yang dipengaruhi aktifitas manusia disebut sebagai spesies tramp (Agosti et al. 2000) karena mampu hidup diberbagai tipe habitat. Beberapa semut lainnya yang hanya terdapat di perkebunan teh yaitu Olygomyrmex, Rhoptromyrmex dan Tetraponera. Olygomyrmex dan Tetraponera berkemampuan mencari makan di lingkungan yang hangat (Shattuck 2000). Dengan demikian mempermudah kedua genus ini ditemukan di perkebunan teh. Begitu pula Rhoptromyrmex yang umumnya ditemukan di tanaman rendah dan padang rumput (Shattuck 2000) sehingga mudah ditemukan di perkebunan teh.

33 KESIMPULAN Keberadaan semut di Kawasan CATW tidak dipengaruhi aktifitas manusia. Penggunaan lahan perkebunan dan pariwisata di sekitar Kawasan CATW dapat diduga dijadikan tempat bernaung dan mencari makan oleh spesies-spesies semut. Seperti halnya pada spesies genus Olygomyrmex, Rhoptomyrmex dan Tetraponera yang berkemampuan mencari makan di lingkungan yang hangat. Namun lingkungan yang dipengaruhi manusia ini dapat juga menguntungkan spesies tertentu seperti Lophomyrmex sp1 yang hanya ditemukan di perkebunan teh dan taman wisata. Kelimpahan individu Lophomyrmex sp1 menunjukkan adanya suatu dominansi yang diduga sebagai adaptasi terhadap aktifitas manusia.

34 BAB IV DISTRIBUSI DAN KELIMPAHAN RELATIF SPESIES SEMUT DI CAGAR ALAM TELAGA WARNA JAWA BARAT PENDAHULUAN Semut merupakan salah satu suku dalam ordo Hymenoptera, serangga yang dominan di hampir setiap ekosistem daratan di daerah tropis (Wilson 1990). Berdasarkan jenis dan sifat ekologinya, kelompok hewan ini sangat penting dan dapat ditemukan pada tiap strata hutan (Brühl et al. 1998). Perilaku sosial semut sebagai predator, pengurai dan herbivor telah menjadi subjek menarik untuk dipelajari (Hölldobler & Wilson 1990). Dibandingkan dengan kelompok serangga lainnya, semut relatif mudah untuk dikoleksi dan dipelajari bioekologinya. Dengan kekhasan biologi semut yang sensitif pada perubahan lingkungan (Agosti et al. 2000) menjadikan semut sebagai indikator biologi untuk melihat perubahan lingkungan. Dengan demikian, semut dapat membantu dalam pemahaman ekologi, konservasi, biomonitoring, dan pengendalian biologi. Penelitian semut di Indonesia relatif masih sangat sedikit. Bila ada, umumnya penelitian ini tersebar pada publikasi yang membahas tentang taksonomi semut (Bolton 1995; Terayama et al. 1998; Ito et al. 2001;). Namun sedikit sekali penelitian semut yang membahas mengenai ekologinya. Kawasan CATW termasuk dalam wilayah konservasi yang penelitian mengenai keragaman semut belum pernah dilakukan. Salah satu data keragaman yang sangat premature telah dilakukan di kawasan konservasi Kepulauan Seribu, dengan keragaman semut 48 spesies (Rizali 2000). Data tersebut berdasarkan luas pulau dan jarak isolasi pulau dengan pulau besar. Selain itu, Ito et al. (2001) melakukan penelitian di dalam Kebun Raya Bogor Jawa Barat didapatkan keragaman semut dengan 216 spesies. Pola keragaman semut dipengaruhi dengan latitude dan altitude (ketinggian tempat). Penurunan keragaman semut pada ketinggian tempat tertinggi kemungkinan karena adanya perubahan peran dalam ekosistem. Peran semut umumnya digantikan oleh Artropoda lain (Darlington 1971). Pergantian peran ini diamati Olson (1994) dalam penelitiannya mengenai keragaman Avertebrata

35 serasah di Panama. Penelitian ini menunjukkan adanya peningkatan keragaman kumbang Carabidae dan kumbang penggerek di ketinggian tempat tertinggi. Namun keragaman semut di ketinggian tempat tertinggi tersebut mengalami penurunan. Untuk mengetahui perubahan peran dalam ekosistem maka perlu diketahuinya keberadaan semut pada ketinggian tempat tertentu. Cagar Alam merupakan kawasan suaka alam yang memiliki kekhasan tumbuhan, satwa dan ekosistemnya. Ekosistem tersebut dilindungi agar perkembangannya berlangsung secara alami (Pasal 1 butir 10 No.5 Tahun 1999). CATW dikategorikan sebagai cagar alam karena di dalamnya terdapat telaga yang dijadikan kawasan taman wisata dan penyangga kehidupan sekitarnya. Untuk mengetahui berbagai peran semut di kawasan CATW maka perlunya mempelajari keberadaan dan penyebaran spesies semut berdasarkan lima rentang ketinggian tempat. METODE Sampel semut yang telah diambil dengan tiga metode pengkoleksian selanjutnya dipilah. Semut yang telah dipilah kemudian dikelompokkan berdasarkan bentuk, warna dan ukuran tubuh (morfospesies). Selanjutnya diidentifikasi dan dikelompokkan dari tingkat subfamili sampai genus dengan panduan Identification Guide to the Ant genera of the World (Bolton 1994). HASIL Semut yang terkoleksi dengan menggunakan perangkap sumuran (PSM), perangkap umpan dan manual di kawasan CATW (Cagar Alam, Taman Wisata dan Perkebunan Teh) berjumlah individu. Total spesies yang teridentifikasi dari 13 plot dengan lima rentang ketinggian berjumlah 46 spesies dari 25 genus dan 6 subfamili. Adapun persentase semut berdasarkan subfamili pada Tabel 4. Subfamili Myrmicinae dan Formicinae terdapat pada semua ketinggian tempat (Gambar 3). Subfamili Ponerinae terdapat di tiap ketinggian pada habitat perkebunan teh dan taman wisata, kecuali cagar alam pada ketinggian 1900 m. Dolichoderinae terdapat di perkebunan teh ketinggian 1400 m, taman wisata, serta

36 cagar alam pada ketinggian 1500 dan 1600 m. Sedangkan anggota subfamili yang hanya ditemukan pada satu ketinggian yaitu Pseudomyrmicinae dan Cerapachyinae. Pseudomyrmicinae terkoleksi di perkebunan teh pada ketinggian 1500 m. Cerapachyinae terkoleksi di cagar alam pada 1600 m. Tabel 4 Persentase semut dalam tiap subfamili yang dikoleksi secara kumulatif dengan metode PSM, perangkap umpan dan manual di kawasan CATW No Subfamili Jumlah Persentase Genus Spesies Individu % 1 Cerapahyinae Dolichoderinae Formicinae Myrmicinae Ponerinae Pseudomyrmicinae Total Jumlah spesies Pseudomyrmicinae Ponerinae Myrmicinae Formicinae Dolichoderinae Cerapahyinae Ketinggian (m dpl) Gambar 3 Jumlah spesies semut pada subfamili di Kawasan CATW berdasarkan ketinggian tempat Genus umum yang ditemukan di cagar alam dan perkebunan teh berjumlah empat belas genus (60%). Adapun anggota genus umum yaitu; Paratrechina, Polyrachis, Technomyrmex pada subfamili Formicinae; Cardiocondyla, Crematogaster, Lophomyrmex, Monomorium, Myrmicaria, Pheidole, dan Tetramorium pada subfamili Myrmicinae; serta, Leptogenys, Odontomachus, Odontoponera, dan Pachycondyla pada subfamili Ponerinae. Enam genus (28%)

37 yaitu satu genus Cerapachys (Cerapachynae), Pseudolasius (Formicinae), Myrmicina, Smithistruma dan Strumygenys (Myrmycinae) serta Anochetus (Ponerinae) yang terkoleksi di cagar alam. Di taman wisata terdapat satu genus yaitu Leptomyrmex (Dolichoderinae). Sedangkan di perkebunan teh sekitar cagar alam hanya ditemukan 3 genus (12%) yaitu; dua genus Myrmicinae (Olygomyrmex dan Rhoptromyrmex) serta satu genus Pseudomyrmicinae (Tetraponera). PEMBAHASAN Subfamili Cerapachyinae Subfamili ini berbeda dengan subfamili lainnya ditentukan oleh beberapa karakter. Tubuh dengan satu petiole yang terletak antara alitrunk dan gaster. Ujung gaster pada bagian dorsal hypopygium terdapat duri yang tersusun menebal (Gambar 4). Spirakel yang terdapat di gaster terlihat jelas dan tidak tumpang tindih dengan ruas gaster. Pada subfamili Cerapachyinae hanya didapati satu genus yaitu Cerapachys di ketinggian 1600 m dpl CATW. Adapun karakter yang membedakan dengan genus lain dengan terdapatnya sisir di tibia kaki tengah, kuku di pretarsal sederhana (tanpa adanya penambahan gigi), serta basitarsus pada tungkai belakang tidak memipih secara longitudinal (Shattuck 2000). Subfamili Cerapachynae umumnya tersebar di wilayah tropis dan subtropis di dunia sebagai spesialisasi pemakan semut lainnya. Subfamili ini diketahui memiliki total spesies mencapai 198 spesies dari 5 genus. Empat dari lima genus Cerapachynae hanya tersebar di wilayah tertentu namun Cerapachys tersebar di seluruh daerah zoogeografi (Bolton 1994). Cerapachys merupakan salah satu spesies yang berukuran kecil dengan koloni tersebar di permukaan tanah membentuk satu sarang satu lubang dengan beberapa pekerja. Kebiasaan Cerapachys dalam mencari makan hanya mengirim satu scout (pengintai) (Shattuck 2000) yang diduga sebagai penyebab sulitnya pengkoleksian genus ini. Terkoleksinya Cerapahys (2.17%) di ketinggian 1600 m dpl kemungkinan dikarenakan keragaman semut yang tinggi yang memudahkan Cerapahys dalam mencari makan.

38 0.5 mm a 1 mm 0.5 mm b c Gambar 4 Cerapachys sp1 (a) Duri-duri tebal pada ujung hypopygium, (b) habitus, sisi lateral dan (b) kepala tampak depan Subfamili Dolichoderinae Dolichoderinae dengan satu petiole yang terletak antara alitrunk dan gaster. Ujung gaster pada bagian dorsal hypopygium tidak terdapat duri, sting maupun acidopore. Bagian tergite dari helcium membentuk huruf U. Anggota Dolichoderinae dapat ditemukan di berbagai tipe ekosistem. Spesies Dolichoderinae diketahui mencapai 1000 spesies dalam 22 genus (Shattuck 2000). Pada subfamili ini ditemukan 3 genus yaitu Dolichoderus, Leptomyrmex dan Technomyrmex di ketinggian tempat 1400 m sampai 1600 m. Subfamili Dolichoderinae hanya 10.87% spesies dengan Dolichoderus yang paling banyak melimpah dibandingkan genus lainnya. Keberadaan subfamili ini yang hanya mencapai ketinggian 1600 m kemungkinan dikarenakan kelimpahan terbatas pada dataran rendah di hutan tropis. Keragaman Dolichoderinae akan mengalami penurunan bersamaan dengan peningkatan ketinggian tempat. Sedangkan lingkungan yang dingin biasanya tidak ditemukan Dolichoderinae (Andersen 2000). Genus Dolichoderus Bentuk petiole pada genus ini seperti bulatan atau sisik yang mengarah ke anterior. Jumlah palpus maksila dan labial Dolichoderus dengan rumus 6:4. Hypostoma yang terdapat di bawah clypeus berbentuk seperti gigi pada tiap

39 sisinya. Integumen Dolichoderus tebal dan fleksibel serta permukaan halus. Dolichoderus ditemukan tiga bentuk yang berbeda. Dolichoderus sp1 memiliki karakter sebagai berikut; warna tubuh coklat muda dengan warna tungkai dan tubuh sama; serta permukaan integumen bagian lateral dari gundukan promesonotum agak kasar (Gambar 5). Dolichoderus sp2 memiliki karakter dengan warna tungkai dan badan yang sama-sama berwarna hitam dan permukaan integumen agak kasar (Gambar 6). Dolichoderus sp3 memiliki karakter dengan warna tungkai coklat muda kemerahan dan badan berwarna coklat kehitaman serta permukaan integumen bagian lateral gundukan promesonotum kasar (rugose) (Gambar 7). 1 mm 1 mm a b Gambar 5 Dolichoderus sp1: (a) Habitus, sisi lateral dan (b) kepala tampak depan 1 mm 1 mm a b Gambar 6 Dolichoderus sp2: (a) Sisi lateral dan (b) kepala 1 mm 1 mm a b Gambar 7 Dolichoderus sp3: (a) Habitus, sisi lateral dan (b) kepala tampak depan

40 Genus Dolichoderus diketahui 142 spesies yang tersebar di wilayah bagian selatan Amerika Utara, bagian utara Amerika Selatan, Eropa Barat sampai Laut Hitam, India Barat, Jepang sampai Australia. Dolichoderus umumnya ditemukan di area hutan dari savana sampai hutan hujan. Dolichoderus biasanya membuat sarang di tanah dan di pohon. Aktifitas Dolichoderus mencari makan sebagai predator, scavenger dan pengumpul madu Hemiptera (Shattuck 2000) memudahkan Dolichoderus di kawasan CATW ditemukan baik di perkebunan teh maupun cagar alam. Genus ini didapati tiga spesies dari ketinggian 1400 sampai 1600 m dpl dengan kemelimpahan terkecil pada Dolichoderus sp2 yang hanya terkoleksi di ketinggian 1600 m. Genus Leptomyrmex Leptomyrmex memiliki petiole dan rumus palpus yang sama dengan Dolichoderus. Sedangkan karakter pembeda yang khas dimiliki genus ini sebagai berikut; kepala dan alitrunk terlihat memanjang dan memipih; tungkai tipis dan panjang; hypostoma meruncing di bagian tengah. Mandibula panjang berbentuk triangular dengan tepi terluarnya mencekung sampai ke bagian tengah perpanjangannya (Gambar 8). 2 mm 1 mm a b Gambar 8 Leptomyrmex sp1: (a) Habitus, sisi lateral dan (b) kepala tampak depan Leptomyrmex terdiri dari 40 spesies yang tersebar di wilayah New Guinea, Australia bagian barat, dan Caledonia Baru. Genus ini umumnya ditemukan di hutan hujan. Karakteristik morfologi yang khas dengan tungkai yang panjang memudahkan Leptomyrmex mencari makan di permukaan tanah yang banyak genangan air hujan. Genus ini hidup di permukaan tanah dengan mengumpulkan cairan manis untuk makanannya (nectafloral), khususnya setelah hujan (Wilson 1971). Leptomyrmex biasanya melakukan aktifitas mencari makan sendiri atau

41 membentuk kelompok kecil dengan dua atau tiga forager yang tersebar di permukaan tanah (Shattuck 2000). Dengan demikian kebiasaan Leptomyrmex mencari makan (individual) mempersulit pengkoleksian sehingga hanya ditemukan di taman wisata pada ketinggian 1400 m dengan persentase 0.009% dari total individu yang terkoleksi. Genus Technomyrmex Petiole Technomyrmex berbentuk sederhana dan tidak terlihat pada saat alitrunk dan gaster pada bidang yang sama. Bila dilihat dari dorsal, tergit berjumlah 5 dengan anal dan orifice terletak di bagian apikal gaster. Mandibula Technomyrmex memiliki gigi yang besar berjumlah lima (Gambar 9). 0.5 mm 0.5 mm a b Gambar 9 Technomyrmex sp1: (a) Habitus, sisi lateral dan (b) kepala tampak depan Technomyrmex diketahui 86 spesies yang tersebar di Afrika Barat sampai Asia Selatan, Australia dan Panama. Technomyrmex biasanya hidup di habitat hutan yang lembab. Technomyrmex beraktifitas di tumbuhan rendah sebagai scavenger dan mampu hidup di kondisi yang baik dalam iklim dingin maupun lingkungan yang terganggu (Shattuck 2000). Technomyrmex yang hanya terkoleksi satu spesies dengan persentasi 0.04% dari total individu memiliki kemampuan hidup di lingkungan yang dingin. Dengan demikian dapat terkoleksi di cagar alam ketinggian 1700 m. Sedangkan Technomyrmex yang ditemukan di perkebunan teh ketinggian tempat 1500 m, dikarenakan hidupnya di tumbuhan rendah memudahkan terkoleksinya genus ini. Subfamili Formicinae Petiole yang memisahkan alitrunk dan gaster pada subfamili Formicinae berjumlah satu. Tidak terdapat sengat yang menjulur (sting) di ujung gaster.

42 Ujung gaster dengan acidopore berbentuk sirkular yang tepinya dikelilingi bulu. Subfamili Formicinae terkoleksi tiga genus dengan sembilan spesies dengan persentase 15.57% dari total spesies semut yang terkoleksi. Penyebaran spesies pada Formicinae dapat dijumpai di berbagai lokasi di dunia. Total spesies yang teridentifikasi mencapai 3700 spesies dalam 49 genus. Hasil pengkoleksian sampel didapati tiga genus yaitu Paratrechina, Polyrachis dan Pseudolasius dengan Paratrechina sp1 yang paling banyak melimpah dibandingkan genus lainnya. Paratrechina dan Polyrachis ditemukan di cagar alam dan perkebunan teh. Sedangkan Pseudolasius hanya ditemukan di cagar alam pada ketinggian 1700 m. Genus Paratrechina Antena dengan 12 ruas. Rumus palpus 6:4. Mandibula berbentuk subtriangular. Kantung antena terletak dekat dengan tepi clypeus. Pada metapleuron terdapat kelenjar orifice yang terletak di atas koksa belakang dan tepat di bawah spirakel propodeal. Bagian ventral gaster terdapat sternum pertama tanpa sulcus di belakang helcium. Orifice pada propodeum berbentuk sirkular. Mata terletak di depan pertengahan kepala. Bulu yang keras dan menghitam tersusun berpasangan di pertengahan atas kepala dan alitrunk. Genus Paratrechina tercatat empat bentuk yang berbeda. Paratrechina sp1 dengan warna tubuh coklat muda dengan tubuh licin dan mengkilat (Gambar 10). Paratrechina sp2 berwarna coklat tua kehitaman dengan tubuh tidak licin dan mengkilat (Gambar 11). Paratrechina sp3 berwarna coklat tua dengan tubuh licin dan mengkilat (Gambar 12). Sedangkan Paratrechina sp4 warna dan bentuknya seperti Paratrechina sp1, namun berukuran sangat kecil dan rapuh. Paratrechina diketahui 147 spesies yang menyebar di Eropa, Afrika Timur, China, Australia dan Indonesia. Genus ini yang merupakan generalized forager dapat ditemukan di hutan yang kondisinya kering, semak di tepi pantai, dan hutan hujan. Salah satu anggota genus ini dikenal sebagai kelompok tramp karena kemampuannya berpindah dan membuat sarang dengan mudah (Shattuck 2000). Paratrechina di kawasan CATW mencapai ketinggian 1900 m (Paratrechina sp3) dengan Paratrechina sp1 yang ditemukan paling melimpah dari Paratrechina lainnya (6.79%). Dengan demikian, keberadaan Paratrechina

43 menunjukkan adanya kemampuan hidup dan membuat sarang di lingkungan yang lembab (1900 m: rh 100%). 1 mm a Gambar 10 Paratrechina sp1: (a) Habitus, sisi lateral dan (b) kepala tampak depan 1 mm b 0.5 mm 0.5 mm a b Gambar 11 Paratrechina sp2: (a) Habitus, sisi lateral dan (b) kepala tampak depan 1 mm 0.5 mm a Gambar 12 Paratrechina sp3: (a) Habitus, sisi lateral dan (b) kepala tampak depan b Genus Polyrachis Antena dengan 12 ruas dan rumus palpus 5 ruas maksila dan 3 ruas labial. Kantung antena terletak jauh dari tepi clypeus. Pada metapleuron tidak terdapat kelenjar orifice. Mandibula memiliki jumlah gigi 5-7. Mata berukuran besar dan terletak di belakang pertengahan kepala. Bagian Pronotum, Propodeum dan petiole terdapat duri atau gigi (atau tidak). Kawasan CATW ditemukan tiga bentuk Polyrachis. Polyrachis sp1 di bagian pronotum, propodeum, dan petiole terdapat duri yang panjang dan menebal. Pada petiole terdapat 2 duri yang panjang dan melekuk serta sepasang gigi yang terletak dipertengahan petiole (Gambar 13). Polyrachis sp2 bagian

44 pronotum tidak terdapat duri. Namun pronotum sampai dengan propodeum mengalami penyempitan secara lateral membentuk tepi persegi dengan diakhiri duri yang tebal di bagian propodeum (Gambar 14). Petiole memiliki sepasang duri yang pendek dan tebal yang terletak dipertengahan dengan sepasang gigi di tepi petiole. Polyrachis sp3 bagian pronotum dan propodeum terdapat sepasang gigi. Sedangkan petiole memiliki gigi 2 pasang (Gambar 15). Pada Polyrachis sp4 di bagian pronotum, propodeum tidak memiliki duri atau gigi, namun di bagian petiole terdapat gigi 2 pasang berbentuk seperti petiole pada Polyrachis sp3 (Gambar 16). 2 mm 1mm 1 mm a b c Gambar 13 Polyrachis sp1: (a) Habitus, sisi lateral, (b) kepala tampak depan dan (c) petiole 2 mm 1mm 1mm a b c Gambar 14 Polyrachis sp2: (a) Habitus, sisi lateral, (b) kepala tampak depan dan (c) petiole 2 mm 1 mm 1 mm a b c Gambar 15 Polyrachis sp3(a) Habitus, sisi lateral, (b) kepala tampak depan dan (c) petiole 1 mm

45 2 mm 1 mm 1 mm a b c Gambar 16 Polyrachis sp4: (a) Habitus, sisi lateral, (b) kepala tampak depan dan (c) petiole 2 mm 1 mm 0.5 mm a b c Gambar 17 Polyrachis sp5: (a) Habitus, sisi lateral, (b) kepala tampak depan dan (c) petiole Polyrachis terdiri dari 639 spesies dan dapat ditemukan di daerah tropis Afrika, Asia dan Australia. Polyrachis di kawasan CATW terkoleksi tiga spesies dengan kelimpahan terbesar pada Polyrachis sp2 (1.01%). Polyrachis merupakan semut arboreal karena mampu membuat sarang dari sutera dan daun (Agosti et al. 2000). Kebiasaan genus ini membuat sarang di atas pohon mempermudah pengkoleksian di kedua habitat ketinggian 1400 sampai 1600 m. Genus Pseudolasius Genus Pseudolasius memiliki 12 ruas antena. Mandibula berbentuk triangular. Kantung antena terletak dekat tepi clypeus. Metapleuron terdapat kelenjar orifice yang terletak di atas koksa belakang dan di bawah spirakel propodeum. Palpus maksila dengan 4 ruas. Pada alitrunk bagian mesonotum dan anepisternum bergabung membentuk triangular. Tepi clypeus bagian anteriornya mencekung. Sedangkan tepi lateral mandibula agak melengkung. Pada genus ini hanya ditemukan satu bentuk (Gambar 18). Pseudolasius terdiri dari 64 spesies yang tersebar di wilayah tropis dari Afrika, Asia sampai Australia. Genus ini hanya ditemukan di hutan hujan di wilayah Australia (Shattuck 2000). Genus ini berinteraksi dengan Hemiptera Pseudococcidae dengan menjaga sarangnya sambil mengkoleksi madu (Taylor

46 1991). Pseudolasius di kawasan CATW hanya ditemukan satu spesies di cagar alam ketinggian 1700 m dengan kelimpahan 0.12% dari total individu. 1 mm 1 mm a b Gambar 18 Pseudolasius sp1: (a) Habitus, sisi lateral dan (b) kepala tampak depan Subfamili Myrmecinae Subfamili ini paling banyak ditemukan di kawasan CATW. Petiole Myrmicinae berjumlah dua (petiole dan postpetiole). Pygidium bulat, kecil dan tidak dilengkapi oleh susunan gigi atau sting di ujungnya. Frontal lobes tidak ada atau mengecil dan memanjang secara vertikal. Mata dengan ukuran dan jumlah ommatidia yang bervariasi. Tibia tungkai belakang tidak terdapat sisir. Tepi belakang clypeus tepat di bawah kantung antena. Myrmicinae merupakan subfamili terbesar di dunia ditemukan di berbagai habitat (kecuali daerah kutub utara dan selatan). Total spesies Myrmicinae mencapai 6700 spesies dalam 155 genus (Shattuck 2000). Subfamili Myrmecinae yang terkoleksi di kawasan CATW memiliki persentase spesies terbesar dari subfamili lainnya (47.83%) dengan kelimpahan terbesar pada Lophomyrmex sp1, sedangkan jumlah spesies terbanyak pada genus Pheidole. Genus Cardiocondyla Genus Cardiocondyla dengan ruas antena 12 dan dua ruas pertama membesar atau menggada (club). Rumus palpus 5:3. Alitrunk bagian dorsal tanpa penonjolan. Frontal lobe terpisah. Bagian tengah clypeus melekuk ke dalam sehingga membentuk alur antar lobe. Tepi mandibula bagian dasar tidak bergigi (Gambar 19). Genus Cardiocondyla terdiri dari 49 spesies yang ditemukan tersebar di wilayah dunia. Cardiocondyla hidup di habitat hutan hujan, padang rumput dan lingkungan yang terganggu seperti di kota. Genus ini biasanya hidup arboreal

47 dengan beberapa spesies dapat menjadi hama di daerah tropis (Shattuck 2000). Kebiasaan Cardiocondyla yang arboreal mempermudah dalam pengkoleksian di ketinggian 1500 m dengan satu spesies di cagar alam dan perkebunan teh. 1 mm 05mm a b Gambar 19 Cardiocondyla sp1: (a) Habitus, sisi lateral dan (b) kepala tampak depan Genus Crematogaster Crematogaster tidak memiliki alur antena. Postpetiole menempel pada permukaan dorsal ruas pertama gaster. Bila dilihat dari bagian dorsal, gaster berbentuk hati. Petiole memipih dorsoventrally (Gambar 20). 1 mm 0.5 mm a b c Gambar 20 Crematogaster sp1: (a) Habitus, sisi lateral dan (b) kepala tampak depan dan (c) gaster Spesies Crematogaster yang diketahui berjumlah 806 jenis. Crematogaster tersebar di seluruh dunia. Crematogaster dapat ditemukan di berbagai tipe habitat termasuk mangrove. Crematogaster di kawasan CATW ditemukan satu spesies (kelimpahan 0.30% dari total individu) di kedua habitat pada tiap ketinggian kecuali 1900 m cagar alam. Crematogaster biasanya hidup di lubang ranting pohon sebagai predator Hemiptera, namun dapat pula sebagai pemakan madu dengan melindungi hemyptera dari predator lainnya (Norris 1991). Crematogaster yang hidup arboreal mempermudah dalam mendapatkan makanan sehingga dapat ditemukan baik di perkebunan teh maupun di cagar alam.

48 Genus Lophomyrmex Hasil identifikasi menggunakan Bolton 1994, ruas antena berjumlah 11 dengan tidak ada alur antena di bawahnya. Tepi apikal mandibula dengan enam gigi. Petiole tipe pediculate. Bagian dorsal pronotum memipih dan membentuk sisi yang menggenting berupa duri triangular pada bagian lateralnya (Gambar 21). 1 mm 0.5 mm a Gambar 21 Lophomyrmex sp1: (a) Habitus, sisi lateral dan (b) kepala tampak depan Lophomyrmex tersebar di wilayah Indomalayan. Genus ini ditemukan satu spesies di kawasan CATW di ketinggian 1400 m dan 1500 m di perkebunan teh, serta 1400 m di taman wisata. Lophomyrmex sp1 ditemukan paling melimpah dari total individu yang terkoleksi dengan persentase 43.37%. Kemelimpahan ini dikarenakan ketertarikannya pada umpan gula sehingga perekrutan pekerja dalam jumlah besar dilakukan. Lophomyrmex sp1 yang terkoleksi dengan tiga metode pengkoleksian dan dua jenis umpan menunjukkan kemampuan makan berbagai jenis makanan, hal ini sesuai dengan Agosti et al. (2000) yang mengkategorikan genus ini sebagai generalized forager. Genus Monomorium Ruas antena berjumlah 11 dengan tidak terdapat alur di bawahnya. Petiole pediculate. Sedangkan pronotum bagian dorsal mencembung dengan tidak terdapat penggentingan di bagian lateralnya (Gambar 22). Monomorium ditemukan dua bentuk dengan spesies pertama memiliki ciri ruas antena berjumlah 12, integumen tubuh tidak halus (agak kasar) dan bagian propodeum agak menonjol sejajar dengan tinggi pronotum. Sedangkan Monomorium sp2 memiliki antena 11, integumen halus dan mengkilat, serta bagian propodeum tidak sejajar dengan pronotum. b

49 Monomorium tersebar di seluruh wilayah dunia dengan total spesies yang diketahui mencapai 351 spesies. Monomorium dapat ditemukan diberbagai tipe habitat. Monomorium di kawasan CATW ditemukan dua spesies dengan Monomorium sp1 terkoleksi di ketinggian 1400 m perkebunan teh dan 1600 m cagar alam. Sedangkan Monomorium sp2 terkolesi di ketinggian 1400 m taman wisata dan 1500 m perkebunan teh. Sebagian besar genus Monomorium melakukan aktifitas pencarian makan pada waktu panas di siang hari (Taylor 1991). Monomorium merupakan pemakan biji dan scavenger. Beberapa spesies Monomorium dapat hidup di kawasan dengan aktifitas manusia tinggi. Monomorium menjadi hama karena mencari makan di kawasan perumahan dan pergedungan (Shattuck 2000). 0.5 mm 0.5 mm a b Gambar 22 Monomorium sp1: (a) Habitus, sisi lateral dan (b) kepala tampak depan 0.5 mm 0.5 mm a b Gambar 23 Monomorium sp2: (a) Habitus, sisi lateral dan (b) kepala tampak depan Genus Myrmicaria Myrmicaria memiliki antena berjumlah tujuh ruas. Pada tiga ruas pertama mengalami perbesaran membentuk penggadaan (Gambar 24). Tidak terdapat alur di bawah antena. Myrmicaria tersebar di wilayah tropis Afrika dan Indomalayan. Genus ini terkoleksi dengan menggunakan semua metode pengoleksian di ketinggian 1400 m dan 1600 m. Ketertarikan genus ini terhadap umpan gula dan sarden menunjukkan spesialisasinya yang mampu memakan berbagai jenis makanan.

50 Sedangkan keberadaan Myrmicaria di ketinggian 1400 m dan 1600 m kemungkinan karena kemampuan hidupnya di lingkungan yang hangat (Agosti et al. 2000). Untuk mempertahankan suhu hangat Myrmicaria biasanya membuat sarang berbentuk gundukan tanah (Wilson 1971). 2 mm 1 mm a b Gambar 24 Myrmicaria sp1: (a) Habitus, sisi lateral dan (b) kepala tampak depan Genus Myrmecina Ruas antena Myrmecina berjumlah 12. Clypeus pada bagian lateralnya tidak membentuk sudut yang tajam. Kepala bagian ventrolateral terdapat carina dari bagian dasar ventral mandibula sampai di bawah mata. Petiole tanpa anterior pediculate. Genus ini ditemukan dua bentuk yang berbeda dimana bentuk pertama berukuran besar dengan permukaan promesonotum sangat kasar (Gambar 25). Pada bagian propodeumnya terdapat sepasang duri dan sepasang berbentuk seperti gigi. Sedangkan Myrmecina sp2 berukuran lebih kecil dengan permukaan promesonotum yang kasar (Gambar 26). Bagian propodeum hanya terdapat sepasang duri. Myrmecina diketahui 33 spesies yang tersebar di sentral dan utara Amerika (Shattuck 2000) serta di wilayah Neartic dan Paleartic (Agosti et al. 2000). Myrmecina mampu hidup sampai ketinggian 1700 m dpl dengan suhu mencapai 18 o C dan kelembaban udara yang mencapai 100%. Myrmecina dapat ditemukan di tanah dan di bawah bebatuan serta kayu mati. Genus ini termasuk dalam kelompok predator rayap (Termite). 2 mm 0.5 mm a Gambar 25 Myrmicina sp1: ((a) Habitus, sisi lateral dan (b) kepala tampak depan b

51 1 mm 0.5 mm a b Gambar 26 Myrmicina sp2: (a) Habitus, sisi lateral dan (b) kepala tampak depan Genus Olygomyrmex Antena Olygomyrmex berjumlah sembilan ruas dua ruas pertama menggada. Tidak terdapat alur antena dan carina di kepalanya. Bagian anterior pertengahan clypeus tidak terdapat bulu yang panjang tapi hanya terdapat sepasang bulu kecil. Propodeum dengan sepasang gigi. Mata berukuran kecil dengan satu facet. Kepala cenderung berbentuk persegi dan berukuran sangat besar (Gambar 27). 0.5 mm 0.25 mm a b Gambar 27 Olygomyrmex sp1: (a) Habitus, sisi lateral dan (b) kepala tampak depan Olygomyrmex tersebar di wilayah tropis dengan kondisi lingkungan yang hangat (Agosti et al. 2000). Olygomyrmex yang telah diketahui mencapai 102 spesies dan dapat ditemukan di hutan hujan pada habitat yang lembab (Shattuck 2000). Di kawasan CATW Olygomyrmex hanya terkolesi di perkebunan teh ketinggian 1400 m dengan 0.26% dari total individu. Kondisi lingkungan di perkebunan teh tersebut cukup lembab dengan kelembaban udara 82.5% dan kelembaban tanah 80% (Lampiran 3). Genus Pheidole Ruas antena Pheidole berjumlah 12. Rumus palpus 3:2. Daerah pertengahan clypeus melebar dan tidak membentuk garis bicarina. Tepi apikal mandibula dengan tujuh gigi atau lebih dimana gigi ketiga lebih kecil dari

52 keempat. Morfospesies genus Pheidole paling banyak ditemukan dibandingkan genus lainnya yaitu berjumlah 6 jenis. 1 mm 0.5 mm a b Gambar 28 Pheidole sp1: (a) Habitus, sisi lateral dan (b) kepala tampak depan 1 mm 0.5 mm a Gambar 29 Pheidole sp2: (a) Habitus, sisi lateral dan (b) kepala tampak depan b 1 mm 0.5 mm a b Gambar 30 Pheidole sp3: (a) Habitus, sisi lateral dan (b) kepala tampak depan 0.5 mm 0.25 mm a b Gambar 31 Pheidole sp4: (a) Habitus, sisi lateral dan (b) kepala tampak depan 1 mm 0.5 mm a b Gambar 32 Pheidole sp5: (a) Habitus, sisi lateral dan (b) kepala tampak depan

53 0.5 mm 0.5 mm a b Gambar 33 Pheidole sp6: (a) Habitus, sisi lateral dan (b) kepala tampak depan Pada Pheidole sp1 dengan antena tiga ruas pertama menggada, tubuh berwarna coklat kehitaman dengan permukaan integumen cenderung kasar dan mengkilat (Gambar 28). Pheidole sp2 dengan tiga ruas antena membentuk gada, warna tubuh coklat muda dengan permukaan integumen cenderung halus dan mengkilat (Gambar 29). Pheidole sp3 berantena empat ruas antena membentuk gada, berwarna coklat tua dengan permukaan integumen cenderung kasar dan mengkilat (Gambar 30). Pheidole sp4 dengan tiga ruas antena membentuk gada, berukuran paling kecil dari Pheidole lainnya, serta berwarna tubuh coklat muda dengan permukaan tubuh halus dan mengkilat (Gambar 31). Pheidole sp5 mirip dengan Pheidole sp1 dengan warna tubuh coklat, namun pada bagian pertengahan pronotum terdapat sepasang penonjolan yang jelas (Gambar 32). Sedangkan Pheidole sp6 berantena tiga ruas antena membentuk gada, tubuh berwarna hitam dengan permukaan integumen kasar dan tidak mengkilat, serta duri pada propodeum lebih panjang dari Pheidole lainnya (Gambar 33). Pheidole merupakan genus terbesar nomor dua yang memiliki jumlah spesies mencapai 808 spesies. Keberadaan genus ini umumnya dominan di permukaan hutan hujan wilayah tropis di seluruh dunia (Andersen 2000). Di kawasan CATW Pheidole ditemukan enam spesies yang melimpah baik di tiap ketinggian dan habitat dengan total mencapai 35.08%. Spesies terbanyak yang terkoleksi pada genus ini adalah Pheidole sp3 yang mencapai 14.55%. Kemelimpahan genus ini kemungkinan dikarenakan kemampuannya dalam mencari makan dan membuat sarang dikondisi yang dingin (Shattuck 2000). Pheidole terspesialisasi sebagai scavenger, predator, dan pemakan biji (Hőlldobler & Wilson 1990) memberikan kemampuan untuk hidup dalam habitat yang beragam dan mampu memperluas wilayah pencarian makan. Kemampuan Pheidole mencari makan telah diteliti Davidson et al. (2004) dengan adanya

54 modifikasi otot proventikular sehingga dapat menyimpan makanan dalam jumlah besar. Dengan demikian Pheidole mampu memperluas aranya mencapai ketinggian tempat 1900 m. Genus Rhoptromyrmex Rhoptromyrmex memiliki ruas antena berjumlah 12 dengan tiga ruas pertama menggada. Bagian lateral clypeus membentuk lekukan bersudut tajam. Duri di bagian apicodorsal gaster berbentuk triangular. Kepala berbentuk hati dengan clypeus yang menonjol. Tepi ventral petiole mencembung seperti lunas (keel). Mata terletak di belakang pertengahan kepala. Spirakel di propodeum terletak di dasar pertengahan duri. Rumus palpus 3:2 (Gambar 34). Genus Rhoptromyrmex tersebar di lingkungan tropis wilayah Afrika Barat, India, Indonesia sampai New Guinea. Jumlah spesies yang diketahui mencapai 10 spesies. Rhoptromyrmex biasanya ditemukan di padang rumput dan hutan hujan. Di kawasan CATW Rhoptromyrmex hanya ditemukan di perkebunan teh dengan satu spesies dan kelimpahan mencapai 0.96%. Keberadaan Rhoptromyrmex di perkebunan teh kemungkinan dikarenakan sumber nutrisi Rhoptromyrmex berupa Artropoda kecil dan madu dari Hemyptera melimpah. Rhoptromyrmex biasanya membuat sarang di serasah daun dan tanaman rendah (Shattuck 2000). Sehingga dapat mempermudah Rhoptromyrmex dalam mendapatkan sumber makanan. 1 mm 0.5 mm a b Gambar 34 Rhoptromyrmex sp1: (a) Habitus, sisi lateral dan (b) kepala tampak depan Genus Smithistruma Smithistruma hanya memiliki enam ruas antena. Mandibula berbentuk triangular dengan tepi basal tipis (tidak menebal) yang tidak bersentuhan dengan tepi anterior clypeus. Tepi apikal mandibula bergigi seri 10 atau lebih seperti perangkap hewan (bear trap-like). Smithistruma didapati dua bentuk yang berbeda. Smithistruma sp1 pada bagian kepala dan alitrunk terdapat bulu-bulu

55 yang tegak (standing seta) dengan bagian propodeumnya dilengkapi sepasang duri (Gambar 35). Sedangkan Smithistruma sp2 pada bagian kepala dan alitrunk tidak terdapat bulu serta di sepanjang lereng propodeum terdapat lapisan tipis berbentuk spons (Gambar 36). Smithistruma tersebar di daerah tropis dengan kondisi lingkungan yang hangat dan dapat ditemukan di serasah daun (Agosti et al. 2000). Smithistruma di kawasan CATW terdapat di cagar alam pada ketinggian 1400 m sampai 1700 m dengan dua spesies dan total kelimpahan 0.14%. Keberadaan Smithistruma di kawasan ini berperan sebagai predator Collembola (Agosti et al. 2000). 1 mm 0.5 mm a b Gambar 35 Smithistruma sp1: (a) Habitus, sisi lateral dan (b) kepala tampak depan 0.5 mm 0.25 mm a b Gambar 36 Smithistruma sp2: (a) Habitus, sisi lateral dan (b) kepala tampak depan Genus Strumygenys Jumlah ruas antena pada genus ini sama dengan pada Smithistruma. Namun bentuk mandibulanya panjang dengan ujung mandibula memiliki 3 pasang gigi seperti garpu. Mata terletak ventrolateral dari kepala. Palpus dengan rumus 1:1 dapat dijadikan karakter yang khas untuk dibedakan dengan genus lainnya yang terdekat (Gambar 37). Strumygenys diketahui mencapai 168 spesies yang tersebar di wilayah tropis dan subtropis berbagai wilayah dunia kecuali Palearctic Bagian Barat (Shattuck 2000). Di kawasan CATW Strumygenys hanya terkoleksi satu spesies dan

56 kelimpahan 0.07% di ketinggian 1500 m dpl dengan suhu udara 23 o C dan kelembaban 84%. Strumygenys memiliki peran yang sama dengan Smithistruma yaitu sebagai predator Collembola. 0.5 mm 0.25 mm a b Gambar 37 Strumygenys sp1: (a) Habitus, sisi lateral dan (b) kepala tampak depan Genus Tetramorium Genus ini memiliki jumlah ruas antena, bentuk lateral clypeus dan duri apicodorsal yang sama dengan Rhoptromyrmex. Namun kepala tidak berbentuk seperti hati dengan mata terletak di depan pertengahan kepala. Terdapat carina dipertengahan kepala bagian anterior. Rumus palpus 4: mm 0.25 mm a b Gambar 38 Tetramorium sp1: (a) Habitus, sisi lateral dan (b) kepala tampak depan 1 mm 0.5 mm a b Gambar 39 Tetramorium sp2: (a) Habitus, sisi lateral dan (b) kepala tampak depan 0.5 mm 0.25 mm a b Gambar 40 Tetramorium sp3: (a) Habitus, sisi lateral dan (b) kepala tampak depan

57 Tetramorium yang ditemukan di CATW ada tiga spesies. Spesies pertama berukuran lebih besar dari kedua spesies lainnya. Bentuk duri yang terdapat di propodeum runcing dan melekuk di ujungnya. Pada anterior kepala terdapat tiga carina yang jelas sampai puncak kepala. Warna tubuh, tungkai dan mandibula terlihat hitam kecoklatan yang pekat (Gambar 38). Spesies kedua berukuran lebih kecil dari spesies pertama. Bentuk duri runcing namun tidak ada pelekukan diujungnya. Anterior kepala terdapat carina yang semu. Warna tubuh hitam pekat tapi tungkai dan mandibula berwarna coklat tua (Gambar 39). Sedangkan spesies ketiga berukuran paling kecil dengan warna tubuh sama dengan spesies kedua. Anterior kepala tidak terlihat jelas alur carina. Sedangkan sepasang duri di propodeum berbentuk gigi triangular (Gambar 40). Tetramorium tersebar di daerah tropis dan daerah dingin (Agosti et al. 2000) dan dapat ditemukan di habitat yang dingin dan basah (Shattuck 2000). Genus ini spesialisasi sebagai scavenger, predator, dan pemakan biji (Hőlldobler & Wilson 1990). Tetramorium mampu hidup dalam habitat yang beragam dan mampu memperluas wilayah pencarian makan. Dengan demikian, Tetramorium dapat ditemukan di tiap ketinggian dari 1500 m sampai 1900 m dengan kelimpahan terbesar pada Tetramorium sp2 (1.15%). Begitu pula diberbagai habitat baik di cagar alam, perkebunan teh maupun cagar alam. Subfamili Ponerinae Subfamili Ponerinae memiliki satu petiole yang dapat memisahkan alitrunk dan gaster. Ujung gaster dengan sting yang terlihat jelas dengan pygidium dan hipopygidium tidak dilengkapi sisir atau susunan duri yang menebal. Kantung antena dengan ujung tepi posterior dan clypeus terpisah. Spirakel pada ruas gaster keempat dan kelima tersembuyi. Ponerinae pada kawasan CATW ditemukan lima genus dan delapan spesies. Spesies terbanyak pada subfamili ini terdapat di genus Leptogenys, sedangkan kelimpahan terbesar pada genus Pachycondyla. Anggota subfamili Ponerinae memiliki ukuran yang kecil dan besar. Ponerinae dapat ditemukan di berbagai habitat dan dapat ditemukan di lingkungan yang terganggu. Jumlah anggota Ponerinae mencapai 2000 spesies dari 22 genus. Di kawasan CATW Ponerinae terkoleksi dari ketinggian 1400 m sampai 1700 m. Kecuali pada Odontoponera yang hanya terdapat di ketinggian 1400 m. Seluruh

58 anggotanya yang terkoleksi merupakan predator serangga lainnya. Anochetus, Odontomatchus, Leptogenys dan Pachycondyla spesialisasi pemakan rayap (Shattuck 2000). Beberapa jenis Pachycondyla merupakan predator Semut genus Messor, Monomorium, Pheidole, dan Ponogomyrmex (Hőlldobler & Wilson 1990). Namun Odontomatchus di Afrika juga dapat bermutualisasi dengan aphids dan coccid dalam menjaga sarang dan memberikan perlindungan dari predator lainnya. Kemungkinan keberadaan Ponerinae dari 1400 m sampai dengan 1700 m menunjukkan kelimpahan sumber makanan pada rentang ketinggian tersebut. Genus Anochetus Genus Anochetus memiliki petiole yang hampir melekat dengan ruas pertama gaster karena adanya pelengkap berupa dua penghubung tipis antar petiole dengan gaster. Mandibula panjang dengan ujung apikalnya berseri tiga gigi. Nuchal carina yang merupakan pemisah dorsal dari permukaan posterior kepala bersatu membentuk garis melebar yang panjang. Puncak kepala tidak membentuk alur namun membentuk lekukan ke dalam seperti parit (Gambar 41). 1 mm 0.5 mm a Gambar 41 Anochetus sp1: (a) Habitus, sisi lateral dan (b) kepala tampak depan b Anochetus diketahui 87 spesies dan tersebar di wilayah tropis. Anochetus dapat ditemukan di lingkungan yang dingin dan basah (Shattuck 2000). Di kawasan CATW Anochetus hanya ditemukan satu spesies di cagar alam pada ketinggian 1500 m dan 1600 m dengan kelimpahan 0.02%. Di kawasan ini Anochetus memiliki peran sebagai predator. Genus Odontomachus Odontomachus memiliki petiole dan mandibula yang sama dengan Anochetus. Namun Nuchal carina di posterodorsal kepala bergabung

59 dipertengahannya membentuk huruf V. Sedangkan puncak kepala membentuk garis mengalur dipertengahannya (Gambar 42). 2 mm 2 mm a b Gambar 42 Odontomachus sp1: (a) Habitus, sisi lateral dan (b) kepala tampak depan Odontomachus diketahui mencapai 60 spesies yang tersebar di lingkungan tropis dan subtropis. Biasanya Odontomachus ditemukan di lingkungan kering sampai hutan hujan (Shattuck 2000). Di kawasan CATW Odontomachus terkoleksi satu spesies di perkebunan teh dan taman wisata ketinggian 1400 m serta cagar alam dari ketinggian 1500 m sampai 1600 m. Keberadaan Odontomachus di kawasan ini dengan kelimphan 0.38% memiliki peran yang sama dengan Anochetus sebagai predator serangga lainnya. Genus Leptogenys Leptogenys memiliki petiole yang tidak bergabung dengan gaster namun dihubungan dengan dua lapisan tipis diantaranya. Mandibula berbentuk triangular dengan permukaan ventral dekat dengan dasar tanpa membentuk pola segitiga. Daerah basal dari mandibula tanpa adanya bentuk seperti lubang atau alur. Ventral tibia tungkai belakang bila dilihat dari sisi depan akan terlihat dua sisir berbentuk pectinate dan sederhana. Cakar pretarsal tungkai belakang dekat point apikal memiliki lebih dari satu gigi. Leptogenys yang ditemukan di kawasan CATW terdapat tiga jenis yang berbeda. Perbedaan yang mencolok pada bentuk cakar pretarsal, petiole, warna tubuh dan permukaan tubuh. Pada Leptogenys sp1 cakar pretarsal tungkai belakang memiliki tujuh gigi yang menyebar dari ujung apikal cakar sampai pertengahan cakar mengikuti lekukan cakar. Bentuk petiole Leptogenys sp1 pipih dan melebar. Warna tubuh hitam pekat dengan permukaan tubuh yang licin dan mengkilat (Gambar 43). Leptogenys sp2 gigi cakar pretarsal berjumlah lima berbentuk sisir yang tersebar dipertengahan cakar pada kedua sisinya dengan

60 tinggi masing-masing gigi cakar sejajar. Bentuk petiole tipis namun tidak begitu melebar. Warna tubuh coklat muda dengan permukaan tubuh yang licin dan mengkilat (Gambar 44). Sedangkan Leptogenys sp3 gigi cakar pretarsal berjumlah enam, berukuran pendek dan tersebar jarang-jarang. Bentuk petiole besar dan melebar (Gambar 45). 2 mm 1 mm a b 0.25 mm c Gambar 43 Leptogenys sp1: (a) Habitus, sisi lateral, (b) kepala tampak depan dan (c) claw 1 mm 0.5 mm a b c 0.25 mm Gambar 44 Leptogenys sp2: (a) Habitus, sisi lateral, (b) kepala tampak depan dan (c) claw 1 mm 0.5 mm a b c 0.25 mm Gambar 45 Leptogenys sp3: (a) Habitus, sisi lateral, (b) kepala tampak depan dan (c) claw Leptogenys merupakan genus terbesar di subfamili Ponerinae dengan 236 spesies. Leptogenys tersebar di wilayah tropis dunia dan dapat ditemukan di habitat yang kering sampai hutan hujan (Shattuck 2000). Di kawasan CATW Leptogenys dapat ditemukan dua spesies di cagar alam ketinggian 1500 m sampai 1700 m dan satu spesies di perkebunan teh ketinggian 1500 m. Leptogenys juga berperan sebagai predator, khususnya predator isopoda dan rayap (Agosti et al. 2000).

61 Genus Odontoponera Mandibula Odontoponera berbentuk triangular dengan lima gigi yang besar-besar. Terdapat frontal lobes yang saling berdekatan dan hanya terpisah dengan garis tipis segitiga. Bila dilihat dari sisi anterior tubuh, metatibia tungkai belakang terdapat dua taji pectinate yang kecil. Cakar pretarsal sederhana tanpa adanya gigi. Tepi anterior clypeus dengan tujuh geligi kecil yang tumpul. Pronotum dengan sepasang gigi triangular. Permukaan pronotum dan kepala yang kasar beralur dijadikan karakter yang khas untuk genus ini (Gambar 46). Odontoponera tersebar di wilayah Indomalayan. Di kawasan CATW Odontoponera hanya ditemukan di perkebunan teh dan taman wisata ketinggian 1400 m dengan satu spesies dan kelimpahan 0.08%. Odontoponera memiliki peran yang sama dengan anggota Ponerinae lainnya yaitu sebagai predator (Agosti et al. 2000). 2 mm a 1 mm Gambar 46 Odontoponera sp1: (a) Habitus, sisi lateral dan (b) kepala tampak depan b Genus Pachycondyla Genus ini memiliki mandibula dengan bentuk triangular dan bergigi 7. Frontal lobes dan metatibia tungkai belakang sama dengan Odontoponera. Namun pronotum tidak bergerigi dan tidak terdapat gerigi di tepi anterior clypeus. Pachycondyla ditemukan dua bentuk. Spesies pertama berukuran besar sama dengan ukuran tubuh genus Odontoponera. Warna tubuh hitam pekat dengan permukaan tubuh yang kasar. Bagian dasar mandibula terdapat celah seperti lingkaran (Gambar 47). Sedangkan pada spesies kedua berukuran kecil. Warna tubuh coklat tua dengan permukaan tubuh agak kasar namun mengkilat. Bagian dasar mandibula pada jenis kedua ini tidak memiliki celah seperti lingkaran (Gambar 48).

62 2 mm 1mm 0.5 mm Gambar 47 Pachycondyla sp1: (a) Habitus, sisi lateral, (b) kepala tampak depan dan (c) mandibula 1mm 0.5 mm 0.5 mm a b c Gambar 48 Pachycondyla sp2: (a) Habitus, sisi lateral, (b) kepala tampak depan dan (c) mandibula Pachycondyla tersebar di wilayah tropis dan subtropis dengan jumlah spesies yang diketahui mencapai 277. Pachycondyla dapat ditemukan diberbagai tipe habitat. Di kawasan CATW Pachycondyla terkoleksi 2 spesies dengan speise pertama di tiap habitat pada tiap ketinggian tempat kecuali 1900 m cagar alam serta spesies kedua di perkebunan teh paling melimpah (1.40% ) dan cagar alam ketinggian 1600 m (0.009%). Pachycondyla merupakan predator rayap namun dapat pula berperan sebagai scavenger (Shattuck 2000). Subfamili Pseudomyrmicinae Pseudomyrmicinae memiliki dua petiole. Pygidium melekuk tanpa adanya duri yang tersusun diujungnya. Tidak terdapat frontal lobes. Kantung antena terbuka tidak ditutupi frontal lobes. Tibia tungkai belakang dengan taji berbentuk pectinate. Tepi posterior dari pertengahan clypeus tidak melekuk ke kantung antena. Subfamili ini ditemukan satu genus yaitu Tetraponera. Adapun ciri genus ini memiliki tepi basal mandibula tidak memiliki gigi yang berdekatan dengan sambungan. Mata besar dengan lebar dua kali tingginya (Gambar 49).

63 1 mm 0.5 mm a b c Gambar 49 Tetraponera sp1: (a) Habitus, sisi lateral, (b) kepala tampak depan dan (c) claw Tetraponera sebagai genus arboreal spesialisasi pemakan tanaman. Genus ini dapat merusak tanaman karena hidup dan mencari makan di batang, ranting sampai daun. Salah satu spesies yang hidup di Afrika adalah Tetraponera aethiops dan T. latifrons yang memakan bongkol dan melubangi ranting tanaman liana Barteria fistulosa (Hőlldobler & Wilson 1990). Keberadaan Tetraponera yang hanya ditemukan satu spesies kelimpahan 0.009% di perkebunan teh kemungkinan tanaman teh dijadikan inang (host) untuk membuat sarang dan mencari makan. KESIMPULAN Pola penyebaran dan keberadaan spesies pada subfamili semut di kawasan CATW diduga dipengaruhi oleh faktor mikroiklim dan sumber makanan. Mikroiklim seperti temperatur dan kelembaban udara dapat menghambat aktifitas spesies semut. Seperti spesies dalam anggota subfamili Dolichoderinae yang umumnya mampu hidup di dataran rendah hutan tropis, sehingga hanya ditemukan pada ketinggian 1400 m sampai 1600 m. Begitu pula dengan spesies dalam anggota subfamili Ponerinae. Ponerinae merupakan semut yang terspesialisasi sebagai predator. Keberadaan Ponerinae yang hanya mencapai ketinggian 1700 m diduga bahwa mikroiklim mengurangi sumber makanan, sehingga Ponerinae tidak terkoleksi di ketinggian 1900 m. Sedangkan Subfamili Myrmicinae dan Formicinae sebagian besar anggotanya terdapat pada semua ketinggian tempat. Keberadaan anggota kedua subfamili ini menunjukkan kemampuan bertahan hidup di berbagai tipe kondisi habitat. Hal ini didukung dengan sebagian besar anggota Myrmicinae dan Formicinae terspesialisasi

64 sebagai generalize forager sehingga dapat ditemukan di berbagai tipe habitat. Sedangkan subfamili Pseudomyrmicinae dan Cerapachyinae yang hanya terkoleksi di ketinggian 1500 m dan1600 m diduga karena perilaku biologi dalam mencari makan yang cenderung individualistis sehingga mempersulit pengkoleksian dengan tiga metode pengambilan sampel.

65 BAB V PEMBAHASAN UMUM Semut (Formicidae) di CATW Jawa Barat sangat berperan dalam memberikan pemahaman dalam pemeliharaan dan biomonitoring di kawasan konservasi. Informasi yang diberikan dapat berupa indikator akan seberapa besar pengaruh aktifitas manusia di kawasan CATW. Selain itu, memberikan informasi peran semut di ekosistem tersebut sehingga kestabilan rantai makanan tetap ada. Informasi yang mendasar di kawasan konservasi ini berupa data dasar keragaman fauna khususnya semut yang terdapat di Indonesia. Keragaman semut di kawasan CATW Jawa Barat sudah cukup tergambarkan berdasarkan tiga metode pengkoleksian (PSM, perangkap umpan dan pengambilan manual). Hal ini sesuai dengan perhitungan ACE untuk mencari kesalahan dalam memperkirakan kekayaan spesies dimana total nilai ACE mencapai 90.14%. Namun data ini tidak dapat dibandingkan dengan penelitian Ito et al. (2001) di Kebun Raya Bogor dimana total kekayaan spesies mencapai 216 spesies dan 61 genus. Hal ini dikarenakan penelitian tersebut dilakukan dengan berbagai tipe pengkoleksian dalam waktu yang lama dari tahun 1900 sampai Dengan demikian, pengambilan sampel yang secara kontinu tiap periode musim dengan berbagai metode pengkoleksian perlu dilakukan untuk meningkatkan spesies yang dikoleksi (Wolda 1987) di kawasan CATW. Keragaman semut baik jumlah spesies maupun individu berdasarkan empat ketinggian tempat (1500, 1600, 1700, dan 1900 m) membentuk garis linear. Garis linear ini menurun dari 1500 m sampai 1900 m. Penurunan ini terjadi dimungkinkan karena kondisi lingkungan baik temperatur dan kelembaban tidak memungkinkan semut beraktifitas dan berkembang baik. Seperti pada subfamili Dolichoderinae dan Ponerinae yang terkoleksi sampai ketinggian 1600 m dan 1700 m. Subfamili Dolichoderinae hanya terkoleksi sampai ketinggian 1600 m. Hal ini diduga karena kelimpahan Dolichoderinae terbatas pada dataran rendah di hutan tropis (Agosti et al. 2000) sehingga mengalami penurunan bersamaan dengan peningkatan ketinggian tempat. Sedangkan subfamili Ponerinae yang ditemukan sampai ketinggian 1700 m diduga karena adanya pertukaran peran

66 sebagai predator. Pertukaran peran ini kemungkinan tergantikan dengan kumbang Carabidae dan kumbang penggerek (Olson 1994). Adapula pada beberapa spesies dari subfamili Formicidae dan Myrmicinae dapat terkoleksi pada ketinggian 1900 m. Adapun spesies tersebut termasuk dalam genus Paratrechina, Pheidole dan Tetramorium. Keberadaan Paratrechina, Pheidole dan Tetramorium yang mencapai ketinggian tempat 1900 m diduga karena adanya kemampuan bertahan dan mampu mencari makan pada kondisi yang ekstrim. Kondisi lingkungan di 1900 m dengan temperatur udara minimal mencapai 18 o C dan kelembaban mencapai 100 %. Adanya kemampuan beraktifitas pada ketiga genus ini, maka dapat dikategorikan sebagai kelompok tramps. Kelompok tramps adalah semut yang memiliki kemampuan menyebar di berbagai tipe habitat (Agosti et al. 2000). Namun pada subfamili Cerapachynae dan Pseudomyrmicinae hanya terkoleksi satu spesies dan satu individu. Spesies Cerapahynae yaitu Cerapachys hanya terkoleksi di ketinggian 1600 m. Cerapachys merupakan genus pemakan semut lainnya. Biasanya Cerapachys mencari makan dengan mengirim satu scout (pengintai) (Shattuck 2000). Kebiasaan tersebut yang memungkinkan sulitnya mengkoleksi genus ini. Sedangkan keberadaan Cerapachys di ketinggian 1600 m diduga karena keragaman semut yang tinggi yang memudahkan Cerapachys mencari makan. Spesies pada Pseudomyrmicinae yaitu Tetraponera hanya terkoleksi di ketinggian 1500 m. Tetraponera ini hanya ditemukan di kebun teh di luar wilayah CATW. Keberadaan Tetraponera di kebun teh selain kemampuan hidupnya hanya pada kondisi lingkungan yang hangat (Shattuck 2000), diduga pula karena aktifitasnya yang hidup arboreal dan terspesialisasi sebagai pemakan tanaman. Seperti pada Tetraponera aethiops dan T. litifrons yang hidup di Afrika, kedua spesies ini memakan bongkol dan melubangi ranting tanaman liana Barteria fistulosa (Hölldobler & Wilson 1990). Dengan demikian, tanaman teh diduga sebagai inang (host) untuk membuat sarang dan mencari makan Tetraponera di kawasan CATW. Mikroiklim lingkungan seperti temperatur dan kelembaban mempengaruhi keberadaan semut. Pada ketinggian tempat yang tinggi umumnya temperatur

67 rendah dan kelembaban tinggi. Temperatur yang rendah dan kelembaban yang tinggi akan mengurangi aktifitas dan wilayah pencarian makan semut. Kelembaban yang mencapai kondensasi 100% menyebabkan tanah tertutup dengan embun air (bila kelembaban tanah lebih dari 80%). Semut yang berukuran kecil pada kelompok Decetine (Strumygenys dan Smithistruma) akan mudah terperangkap air. Strumygenys yang hanya ditemukan pada ketinggian 1500 m diduga tidak mampu memperluas area pencarian makan. Namun pada Smithistruma ditemukan di ketinggian 1700 m. Kemampuan Smithistruma mencari makan yang diduga sampai ke atas kanopi tanaman mempermudah Smithistruma terkoleksi secara manual di batang pohon. Brühl et al. (1998) juga mendapatkan Smithistruma di kanopi dengan pengasapan (canopy fogging). Dengan demikian kondisi lingkungan yang ekstrim akan mengurangi kemampuan beberapa spesies untuk berpindah tempat mencari makanan. Kemampuan semut berpindah tempat dapat terukur dengan indeks Sorensen (Magurran 1998). Indeks Sorensen yang dipersentasekan mencapai lebih dari 50% memiliki kesamaan komposisi spesies di kedua ketinggian tempat yang dibandingkan. Bila kurang dari 50% menunjukkan adanya perbedaan fauna spesies semut dikedua ketinggian tempat (β-diversity) yang dibandingkan. Berdasarkan analisis, kesamaan spesies yang mencapai 50 % atau lebih terdapat pada selisih rentang ketinggian di m. Selisih tersebut terdapat dari ketinggian tempat 1500 m sampai mencapai 1700 m. Sedangkan di ketinggian 1900 m yang dibandingkan dengan ketinggian lainnya tidak memiliki kesamaan spesies yang mencapai 50 %. Hal ini diduga karena kondisi abiotik berupa kelembaban dan temperatur di tiap lokasi pada rentang tersebut (200 m) tidak jauh berbeda (Lampiran 5; Gambar 2). Walaupun kelembaban di 1700 m dapat mencapai 100%, bila terdapat sumber makanan yang melimpah maka beberapa spesies semut mampu memperluas jelajah pencarian makan ke wilayah yang lebih dingin (Bernstein 1979). Pengukuran keragaman semut dapat dijadikan informasi indikator lingkungan. Indikator ini akan terukur seberapa besar pengaruh aktifitas manusia di kawasan CATW. Perbandingan keragaman semut di CATW dengan perkebunan teh dan taman wisata berdasarkan uji BNT menunjukkan tidak adanya

68 perbedaan. Penggunaan lahan untuk perkebunan teh dan pariwisata di sekitar cagar alam tidak mempengaruhi kekayaan semut. Diduga penggunaan lahan untuk agrikultur di sekitar hutan dapat mempertahankan keragaman spesies. Seperti halnya perkebunan kopi di bawah naungan kanopi di daerah Mexico yang dijadikan tempat perlindungan dan pencarian makan spesies dari hutan ke lahan pertanian (Perfecto et al. 1996). Semut yang hidup sebagai predator akan berpindah tempat dan memperluas area pencarian makan ke lahan pertanian. Keberadaan lahan pertanian di sekitar hutan dari segi ekonomi menguntungkan dalam managemen pengontrol hama (Philpott & Armbrecht 2006).

69 BAB VI KESIMPULAN DAN SARAN KESIMPULAN Kekayaan spesies semut yang terkoleksi dengan tiga tipe pengambilan yaitu perangkap sumuran (PSM), perangkap umpan dan manual di kawasan Cagar Alam Telaga Warna (CATW) Jawa Barat didapatkan 6 subfamili, 25 genus dan 46 jenis. Kawasan CATW Jawa Barat dengan topografi bergelombang dan rentang ketinggian tempat dari 1400 m sampai dengan 1900 m memiliki keragaman semut yang dipengaruhi oleh ketinggian tempat. Keragaman semut berupa kekayaan spesies mengalami penurunan dari ketinggian tempat yang rendah (1500 m) ke yang tinggi (1900 m). Penurunan ini diduga karena dipengaruhi oleh faktor mikroiklim seperti temperatur dan kelembaban yang dapat menghambat aktifitas semut. Begitu pula dengan kelimpahan sumber makanan yang memungkinkan berkurang pada ketinggian tempat yang tinggi, sehingga semut tidak mampu memperluas wilayah pencarian makan. Semut di kawasan CATW mampu berpindah tempat untuk mencari makan pada rentang ketinggian m. Penyebaran semut di kawasan ini terjadi dari ketinggian tempat 1500 m sampai 1700 m, dimana komposisi spesies yang sama antar ketinggian lebih dari 50%. Namun beberapa spesies pada subfamili Formicinae dan Myrmicinae mampu mencapai 1900 m. Adapun spesies dari kedua subfamili ini terdapat pada genus Paratrechina, Pheidole dan Tetramorium. Kemampuan spesies pada genus ini kemungkinan karena peran ekologinya sebagai pemakan segala (generalized forager), sehingga dapat ditemukan di tiap ketinggian tempat dan tiap habitat. Keragaman semut di kawasan CATW dapat pula dijadikan indikator perubahan lingkungan. Adapun spesies yang diduga sebagai indikator adalah Lophomyrmex sp1. Spesies ini terkoleksi di habitat kebun teh dan taman wisata. Walaupun kawasan CATW tidak menunjukkan adanya gangguan lingkungan, namun dominansi Lophomyrmex sp1 diduga sebagai indikator awal perubahan lingkungan.

70 SARAN Hasil penelitian ini dapat dijadikan acuan untuk penelitian selanjutnya. Adapun hal-hal yang disarankan adalah perlunya penambahan lokasi pengambilan dan tipe pengkoleksian pada tiap rentang ketinggian. Selain itu, identifikasi sampai tingkat spesies perlu dilakukan sehingga dapat ditemukan spesies endemik maupun spesies pendatang (introduced) di kawasan CATW. Serta, keberadaan genus Pheidole yang melimpah di tiap ketinggian tempat dan habitat perlu dipelajari lebih lanjut untuk melihat pola penyebaran dan peran yang jelas dalam ekosistem tersebut.

71 DAFTAR PUSTAKA Atkin L. Proctor J Invertebrates in the litter and soil on Volcan Barva, Costa Rica. J Trop Ecol 4: Agosti D, Majer JD, Alonso LE, Schultz TR Ants: Standard Methods for Measuring and Monitoring Biodiversity. Washington: Smithsonian Institution Pr. Andersen AN A Global Ecology of Rainforest Ants:Functional Groups in Relation to Enviromental Stress and Disturbance. In: Agosti D, Majer JD, Alonso LE, Schultz TR (eds). Ants: Standard Methods For Measuring and Monitoring Biodiversity. Washington: Smithsonian Institution Pr. Araưjo LM, Fernandes GW Altitudinal pattern in a tropical ant assemblage and variation in species richness between habitats. Lundiana 4(2): Aududdin Statistika:Rancangan dan Analisis Data. Bogor: IPB. Bernstein RA Schedules of foraging activity in species of ants. J Anim Ecol 48: Bestelmeyer BT, Wiens JA The effects of land use on the structure of ground-foraging ant communities in the Argenitne Chaco. Ecol Appl 6: Bolton B Identification Guide to the Ant Genera of the World. Cambridge Massachusetts: Harvard Univ Pr. Bolton B A new general catalogue of the ants of the world. Cambridge: Harvard University Pr. Borror DJ, Triplehorn CA, Johnson NF An Introduction to the Study of Insects. Philadephia: W.B. Saunders. Brown WL A comparison of the Hylean and Congo-West African rain forest ant faunas. Pp in Meggers, BJ, Ayensu ES, Duckworth WD (eds). Tropical Forest Ecosystem in Africa and South America: a Comparative Review. Washington: Smithsonian Institute Pr. Brühl CA, Gunsalam G, Linsenmair KE Stratification of ants (Hymenoptera, Formicidae) in primary forest on Mount Kinabalu, Sabah Malaysia. Trop Ecol 14: Brühl CA, Mohamed M, Linsenmair KE Altitudinal distribution of leaf litter ants along a transect in primary forest on Mount Kinabalu, Sabah Malaysia. Trop Ecol 15:

72 Byrne MM Ecology of twig dwelling ants in a wet lowland tropical forest. Biotropical 26: Chao A, Hwang WH, Chen YC, Kuo CY Estimating the number of shared species in two communities. Stat Sinica 10: Cox CB, D. Moore Biogeography: an Ecological and Evolutionary Approach. 6 th ed. Australia: Blackwell Science Ltd. Darlington PJ The carabid beetles of New Guinea. Part IV. General considerations;analysis and history of fauna; taxonomic supplement. Bull Museum of Comp Zoo 142: Davidson DW, Cook SC, Snelling RR Liquid-feeding performances of ants (Formicidae): ecological and evolutionary implications. Oecologia 139: Delabie JHC, Fisher BL, Majer JD, Wright IW Sampling Effort and Choice and Methods. In: Agosti D, Majer JD, Alonso LE, Schultz TR (eds). Ants: Standard Methods For Measuring And Monitoring Biodiversity. Washington: Smithsonian Institution Pr. [Dephut] Departemen Kehutanan Undang-undang No.5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya. Jakarta:Dephut. [Dephut] Departemen Kehutanan UU No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, PP No. 47 Tahun 1997 tentang RTRWN dan Hasil Analisis Bapeda Jabar. Jakarta:Dephut. Gadagkar RP, Nair K, Chandrashekara, Bhat DM Ant species richness and diversity in some selected localities in Western Ghats, India. Hexapoda 5: Herbers JM Community structure in north temperate ants: Temporal and spatial variation. Oecologia 81: Hőlldobler B, Wilson E The Ants. Cambridge Massachusetts: The Belknap Pr of Harvard Univ Pr. Hirosawa H.; Higashi S.; Mohamed M Food habits of army ants Aenictus and their effects on ant community in a rainforest of Borneo. [Abstract.] P. 210 in: Schwarz, M. P., Hogendoorn, K. (eds.) Social Insects at the Turn of the Millenium. Proceedings of the XIII International Congress of IUSSI. Adelaide, Australia. 29 December January Adelaide: XIII Congress of IUSSI, 535 pp.

73 Ito F et al Ant species diversity in the Bogor Botanical Garden, West Java, Indonesia, with descriptions of two new species of the genus Leptanilla (Hymenoptera: Formicidae). Tropics 10: Kaspari M. 1996a. Litter ant patchiness at the 1-m 2 scale: disturbance dynamics in three Neotropical forests. Oecologia (Berl.) 107: Kaspari M. 1996b. Testing resource-based models on pacthiness in four Neotropical litter ants assemblages. Oikos 76: Klein AM. Steffan-Dewenter I. Tscharntke T Predator-prey ratios on cocoa along a land-use gradient in Indonesia. Biov and Consev 1: Krushelnycky PD, Joe SM, Medeiros AC, Daehler CC, and Loope LL The role of abiotic conditions in shaping the long-term of a high-elevation Argentine ant invasion. Diver Distrb 11: Magurran AN Measuring Biological Diversity. Australia: Blackwell Publishing Company. McArthur RH Geographical Ecology. New York: Harper & Row. Newman H, Dalton S Ants from Close up. Thomas Y. Crowell Company. Norris KR General Biology. Pp In: Naumann ID, Carne PB (eds). The Insect of Australia. A Textbook for Student and Research Workers. Melbourne Univ Pr. Olson DM A comparison of the efficacy of litter sifting and pitfall trap for sampling leaf litter ants (Hymenoptera:Formicidae) in a tropical wet forest, Costa Rica. Biotropica 23: Perfecto I. Dice RA. Greenberg R. VanderVoort ME Shade coffe: A disappearing refuge for biodiversity. Bioscience 46: Philpott SM, Armbrecht I Biodiversity in tropical agroforest and the ecological role of ants and ant diversity in predatory function. Ecol Entomol 31: Price PW Insect Ecology.3 th (eds). Ney York:John Wiley & Sons Inc. Rizali A Keanekaragaman semut di Kepulauan Seribu, Indonesia [tesis]. Bogor: Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Robertson HG Anfrotropical ants (Hymenoptera:Formicidae): taxonomy progress and estimation of species richness. J Hymen Res 9:71-84.

74 Shattuck SO Australian Ants: Their Biology and Identification. Collingwood: CSIRO Publi. Taylor RW Formicidae. Pp In: Naumann ID, Carne PB (eds). The Insect of Australia. A textbook for student and research workers. Melbourne: Univ Pr. Telborgh J Bird species diversity on an Andean elevational gradient. Ecology 58: Terayama M. Ito F. Gobin B Three new species of the genus Acanthomyrmex Emery (Hymenoptera: Formicidae) from Indonesia, with notes on the reproductive caste and colony composition. Entomol Sci. 1: Tilman D. Cassmaan KG. Matson PA. Naylor R. Polasky S Agricultural sustainability and intensive production practices. Nature 418: Triplehorn CA. Johnson NF Study of Insect (7 th eds). Singapore. Thomson Learning Inc. Vasconcelos HL Effects of forest disturbance on the structure of ground foraging ant communities in central Amazonia. Biodiv Conserv 8: Wilson EO The Insect Societies. Cambridge Massachusetts : The Belknap Pr of Harvard Univ. Pr. Wilson EO Patchy distributions of ants species in New Geinue rain forests. Psyche (Cambridge) 65: Wolda H Causes of ecological success: The case of the ants. Bio J Linn Society 30:

75 LAMPIRAN

76 Lampiran 1 Lokasi dan jumlah pengambilan sampel semut Ketinggian (m dpl) Cagar Alam Kebun Teh Taman Wisata

BAB III KERAGAMAN SPECIES SEMUT PADA EKOSISTEM TERGANGGU DI KAWASAN CAGAR ALAM TELAGA WARNA JAWA BARAT

BAB III KERAGAMAN SPECIES SEMUT PADA EKOSISTEM TERGANGGU DI KAWASAN CAGAR ALAM TELAGA WARNA JAWA BARAT BAB III KERAGAMAN SPECIES SEMUT PADA EKOSISTEM TERGANGGU DI KAWASAN CAGAR ALAM TELAGA WARNA JAWA BARAT PENDAHULUAN Semut (Formicidae:Hymenoptera) merupakan hewan Avertebrata komponen terestrial yang melimpah

Lebih terperinci

DIVERSITAS SEMUT (HYMENOPTERA, FORMICIDAE) DI BEBERAPA KETINGGIAN VERTIKAL DI KAWASAN CAGAR ALAM TELAGA WARNA JAWA BARAT MEIRY FADILAH NOOR

DIVERSITAS SEMUT (HYMENOPTERA, FORMICIDAE) DI BEBERAPA KETINGGIAN VERTIKAL DI KAWASAN CAGAR ALAM TELAGA WARNA JAWA BARAT MEIRY FADILAH NOOR DIVERSITAS SEMUT (HYMENOPTERA, FORMICIDAE) DI BEBERAPA KETINGGIAN VERTIKAL DI KAWASAN CAGAR ALAM TELAGA WARNA JAWA BARAT MEIRY FADILAH NOOR SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2008 ABSTRACT

Lebih terperinci

EKSPLORASI KERAGAMAN SPESIES SEMUT DI EKOSISTEM TERGANGGU KAWASAN CAGAR ALAM TELAGA WARNA JAWA BARAT

EKSPLORASI KERAGAMAN SPESIES SEMUT DI EKOSISTEM TERGANGGU KAWASAN CAGAR ALAM TELAGA WARNA JAWA BARAT 12-115 EKSPLORASI KERAGAMAN SPESIES SEMUT DI EKOSISTEM TERGANGGU KAWASAN CAGAR ALAM TELAGA WARNA JAWA BARAT Meiry F. Noor 1, Rika Raffiudin 2 1 UIN Syahid Jakarta, 2 IPB Bogor E-mail : meifnoor@gmail.com

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Perkebunan memiliki peran yang penting dalam pembangunan nasional,

I. PENDAHULUAN. Perkebunan memiliki peran yang penting dalam pembangunan nasional, 1 I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Perkebunan memiliki peran yang penting dalam pembangunan nasional, khususnya pembangunan sektor pertanian. Perkebunan juga berperan dalam membangun perekonomian nasional,

Lebih terperinci

KEANEKARAGAMAN SEMUT (Hymenoptera: Formicidae) DI SEKITAR KAMPUS PINANG MASAK UNIVERSITAS JAMBI

KEANEKARAGAMAN SEMUT (Hymenoptera: Formicidae) DI SEKITAR KAMPUS PINANG MASAK UNIVERSITAS JAMBI KEANEKARAGAMAN SEMUT (Hymenoptera: Formicidae) DI SEKITAR KAMPUS PINANG MASAK UNIVERSITAS JAMBI SKRIPSI OLEH INAYATI AL RAHIM A1C410004 FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN UNIVERSITAS JAMBI JULI, 2016

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. lainnnya yang tersebar luas dari Sabang sampai Merauke. Menurut Ummi (2007)

BAB I PENDAHULUAN. lainnnya yang tersebar luas dari Sabang sampai Merauke. Menurut Ummi (2007) 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia merupakan negara dengan keanekaragaman hayati nomor dua di dunia yang memiliki keanekaragaman flora, fauna, dan berbagai kekayaan alam lainnnya yang tersebar

Lebih terperinci

KOMUNITAS COLLEMBOLA PERMUKAAN TANAH PADA LIMA TIPE HABITAT DI KAWASAN TELAGA WARNA KABUPATEN BOGOR DAN CIANJUR INA TIANA WIDYAWATI

KOMUNITAS COLLEMBOLA PERMUKAAN TANAH PADA LIMA TIPE HABITAT DI KAWASAN TELAGA WARNA KABUPATEN BOGOR DAN CIANJUR INA TIANA WIDYAWATI KOMUNITAS COLLEMBOLA PERMUKAAN TANAH PADA LIMA TIPE HABITAT DI KAWASAN TELAGA WARNA KABUPATEN BOGOR DAN CIANJUR INA TIANA WIDYAWATI SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2008 PERNYATAAN MENGENAI

Lebih terperinci

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR PENENTUAN BENTUK DAN LUAS PLOT CONTOH OPTIMAL PENGUKURAN KEANEKARAGAMAN SPESIES TUMBUHAN PADA EKOSISTEM HUTAN HUJAN DATARAN RENDAH : STUDI KASUS DI TAMAN NASIONAL KUTAI SANDI KUSUMA SEKOLAH PASCASARJANA

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Anggapan ini terbentuk berdasarkan observasi para ahli akan keanekaragamannya

BAB I PENDAHULUAN. Anggapan ini terbentuk berdasarkan observasi para ahli akan keanekaragamannya BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Hutan tropis adalah maha karya kekayaaan species terbesar di dunia. Anggapan ini terbentuk berdasarkan observasi para ahli akan keanekaragamannya flora dan faunanya.

Lebih terperinci

BAB IV POLA DISTRIBUSI DAN KEBERADAAN SPESIES SEMUT DI KEPULAUAN SERIBU

BAB IV POLA DISTRIBUSI DAN KEBERADAAN SPESIES SEMUT DI KEPULAUAN SERIBU BAB IV POLA DISTRIBUSI DAN KEBERADAAN SPESIES SEMUT DI KEPULAUAN SERIBU PENDAHULUAN Keberadaan spesies pada suatu habitat tidak terlepas dari kemampuan distribusi dan adaptasi spesies tersebut (Whittaker

Lebih terperinci

PENGARUH ALIH FUNGSI LAHAN TERHADAP KEANEKARAGAMAN SEMUT ALAM HUTAN LINDUNG GUNUNG NONA-AMBON. Fransina S. Latumahina ABSTRACT

PENGARUH ALIH FUNGSI LAHAN TERHADAP KEANEKARAGAMAN SEMUT ALAM HUTAN LINDUNG GUNUNG NONA-AMBON. Fransina S. Latumahina ABSTRACT PENGARUH ALIH FUNGSI LAHAN TERHADAP KEANEKARAGAMAN SEMUT ALAM HUTAN LINDUNG GUNUNG NONA-AMBON Mahasiswa Program Doktor Fak. Kehutanan Univeritas Gadjah Mada - Yogyakarta ABSTRACT The aims of this study

Lebih terperinci

C028 PENGARUH ALIH FUNGSI LAHAN TERHADAP KEANEKARAGAMAN SEMUT DALAM HUTAN LINDUNG GUNUNG NONA-AMBON.

C028 PENGARUH ALIH FUNGSI LAHAN TERHADAP KEANEKARAGAMAN SEMUT DALAM HUTAN LINDUNG GUNUNG NONA-AMBON. C028 PENGARUH ALIH FUNGSI LAHAN TERHADAP KEANEKARAGAMAN SEMUT DALAM HUTAN LINDUNG GUNUNG NONA-AMBON Fransina S. Latumahina 1 dan Agus Ismanto 2 1 Mahasiswa Program Doktor Fak. Kehutanan UGM & Staf Pengajar

Lebih terperinci

STUDI KONDISI VEGETASI DAN KONDISI FISIK KAWASAN PESISIR SERTA UPAYA KONSERVASI DI NANGGROE ACEH DARUSSALAM FERI SURYAWAN

STUDI KONDISI VEGETASI DAN KONDISI FISIK KAWASAN PESISIR SERTA UPAYA KONSERVASI DI NANGGROE ACEH DARUSSALAM FERI SURYAWAN STUDI KONDISI VEGETASI DAN KONDISI FISIK KAWASAN PESISIR SERTA UPAYA KONSERVASI DI NANGGROE ACEH DARUSSALAM FERI SURYAWAN SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2007 PENYATAAN MENGENAI TESIS

Lebih terperinci

PERAN MODEL ARSITEKTUR RAUH DAN NOZERAN TERHADAP PARAMETER KONSERVASI TANAH DAN AIR DI HUTAN PAGERWOJO, TULUNGAGUNG NURHIDAYAH

PERAN MODEL ARSITEKTUR RAUH DAN NOZERAN TERHADAP PARAMETER KONSERVASI TANAH DAN AIR DI HUTAN PAGERWOJO, TULUNGAGUNG NURHIDAYAH PERAN MODEL ARSITEKTUR RAUH DAN NOZERAN TERHADAP PARAMETER KONSERVASI TANAH DAN AIR DI HUTAN PAGERWOJO, TULUNGAGUNG NURHIDAYAH SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2009 PERNYATAAN MENGENAI

Lebih terperinci

ABSTRAK DIVERSITAS SERANGGA HUTAN TANAH GAMBUT DI PALANGKARAYA KALIMANTAN TENGAH

ABSTRAK DIVERSITAS SERANGGA HUTAN TANAH GAMBUT DI PALANGKARAYA KALIMANTAN TENGAH viii ABSTRAK DIVERSITAS SERANGGA HUTAN TANAH GAMBUT DI PALANGKARAYA KALIMANTAN TENGAH Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui keragaman serangga (insecta) dan tumbuhan yang digunakan sebagai habitat

Lebih terperinci

KOMPOSISI HYMENOPTERA PERMUKAAN TANAH DI DUA AGROEKOSISTEM DAN HUTAN DI KANAGARIAN SUNGAI DUO KECAMATAN PAUAH DUO KABUPATEN SOLOK SELATAN JURNAL

KOMPOSISI HYMENOPTERA PERMUKAAN TANAH DI DUA AGROEKOSISTEM DAN HUTAN DI KANAGARIAN SUNGAI DUO KECAMATAN PAUAH DUO KABUPATEN SOLOK SELATAN JURNAL KOMPOSISI HYMENOPTERA PERMUKAAN TANAH DI DUA AGROEKOSISTEM DAN HUTAN DI KANAGARIAN SUNGAI DUO KECAMATAN PAUAH DUO KABUPATEN SOLOK SELATAN JURNAL YANCE MARIANI 09010117 PROGRAM STUDI PENDIDIKAN BIOLOGI

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. Metode penelitian yang dilakukan adalah deskriptif - eksploratif, yang

BAB III METODE PENELITIAN. Metode penelitian yang dilakukan adalah deskriptif - eksploratif, yang 36 BAB III METODE PENELITIAN A. Metode Penelitian Metode penelitian yang dilakukan adalah deskriptif - eksploratif, yang merupakan suatu penyelidikan terhadap sejumlah individu, baik secara sensus atau

Lebih terperinci

KEANEKARAGAMAN JENIS BURUNG DI BERBAGAI TIPE DAERAH TEPI (EDGES) TAMAN HUTAN RAYA SULTAN SYARIF HASYIM PROPINSI RIAU DEFRI YOZA

KEANEKARAGAMAN JENIS BURUNG DI BERBAGAI TIPE DAERAH TEPI (EDGES) TAMAN HUTAN RAYA SULTAN SYARIF HASYIM PROPINSI RIAU DEFRI YOZA KEANEKARAGAMAN JENIS BURUNG DI BERBAGAI TIPE DAERAH TEPI (EDGES) TAMAN HUTAN RAYA SULTAN SYARIF HASYIM PROPINSI RIAU DEFRI YOZA SEKOLAH PASCA SARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2006 PERNYATAAN MENGENAI

Lebih terperinci

Gambar 2.1. Peta Lokasi Penelitian

Gambar 2.1. Peta Lokasi Penelitian II. METODE PENELITIAN A. Materi, Lokasi dan Waktu Penelitian, Deskripsi Lokasi 1. Materi Penelitian a. Bahan Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah semut, alkohol 70% dan gliserin. b. Alat Alat-alat

Lebih terperinci

KEANEKARAGAMAN JENIS KANTONG SEMAR (Nepenthes SPP) DALAM KAWASAN HUTAN LINDUNG GUNUNG SEMAHUNG DESA SAHAM KECAMATAN SENGAH TEMILA KABUPATEN LANDAK

KEANEKARAGAMAN JENIS KANTONG SEMAR (Nepenthes SPP) DALAM KAWASAN HUTAN LINDUNG GUNUNG SEMAHUNG DESA SAHAM KECAMATAN SENGAH TEMILA KABUPATEN LANDAK KEANEKARAGAMAN JENIS KANTONG SEMAR (Nepenthes SPP) DALAM KAWASAN HUTAN LINDUNG GUNUNG SEMAHUNG DESA SAHAM KECAMATAN SENGAH TEMILA KABUPATEN LANDAK (Diversity Of Pitcher Plants ( Nepenthes Spp ) Forest

Lebih terperinci

KEANEKARAGAMAN KOMUNITAS RAYAP PADA TIPE PENGGUNAAN LAHAN YANG BERBEDA SEBAGAI BIOINDIKATOR KUALITAS LINGKUNGAN TEGUH PRIBADI

KEANEKARAGAMAN KOMUNITAS RAYAP PADA TIPE PENGGUNAAN LAHAN YANG BERBEDA SEBAGAI BIOINDIKATOR KUALITAS LINGKUNGAN TEGUH PRIBADI KEANEKARAGAMAN KOMUNITAS RAYAP PADA TIPE PENGGUNAAN LAHAN YANG BERBEDA SEBAGAI BIOINDIKATOR KUALITAS LINGKUNGAN TEGUH PRIBADI SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2009 PERNYATAAN MENGENAI

Lebih terperinci

PERENCANAAN BEBERAPA JALUR INTERPRETASI ALAM DI TAMAN NASIONAL GUNUNG MERBABU JAWA TENGAH DENGAN MENGGUNAKAN SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS TRI SATYATAMA

PERENCANAAN BEBERAPA JALUR INTERPRETASI ALAM DI TAMAN NASIONAL GUNUNG MERBABU JAWA TENGAH DENGAN MENGGUNAKAN SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS TRI SATYATAMA PERENCANAAN BEBERAPA JALUR INTERPRETASI ALAM DI TAMAN NASIONAL GUNUNG MERBABU JAWA TENGAH DENGAN MENGGUNAKAN SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS TRI SATYATAMA SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. yang dimanfaatkan bagi kepentingan penelitian, ilmu pengetahuan, pendidikan,

I. PENDAHULUAN. yang dimanfaatkan bagi kepentingan penelitian, ilmu pengetahuan, pendidikan, I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Taman hutan raya merupakan kawasan pelestarian alam untuk tujuan koleksi tumbuhan dan atau satwa yang alami atau buatan, jenis asli dan atau bukan asli, yang dimanfaatkan

Lebih terperinci

Oleh : Riski Ramadanu, Nurhadi, dan Elza Safitri

Oleh : Riski Ramadanu, Nurhadi, dan Elza Safitri KOMPOSISI SEMUT (HYMENOPTERA:FORMICIDAE) PERMUKAAN TANAH DI KEBUN GAMBIR DI KANAGARIAN SIGUNTUR MUDA KECAMATAN KOTO XI TARUSAN KABUPATEN PESISIR SELATAN Oleh : Riski Ramadanu, Nurhadi, dan Elza Safitri

Lebih terperinci

BAB I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang BAB I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia merupakan salah satu negara tropis yang memiliki tingkat keanekaragaman hayati yang tinggi, baik flora maupun fauna yang penyebarannya sangat luas. Hutan

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. Metode penelitian yang dilakukan adalah deskriptif, yang merupakan suatu

BAB III METODE PENELITIAN. Metode penelitian yang dilakukan adalah deskriptif, yang merupakan suatu BAB III METODE PENELITIAN A. Metode Penelitian Metode penelitian yang dilakukan adalah deskriptif, yang merupakan suatu penyelidikan terhadap sejumlah individu, baik secara sensus atau dengan menggunakan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. tinggi adalah Taman Hutan Raya Wan Abdurahman. (Tahura WAR), merupakan

I. PENDAHULUAN. tinggi adalah Taman Hutan Raya Wan Abdurahman. (Tahura WAR), merupakan I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Salah satu kawasan hutan hujan tropis dengan tingkat keanekaragaman yang tinggi adalah Taman Hutan Raya Wan Abdurahman. (Tahura WAR), merupakan kawasan pelestarian alam

Lebih terperinci

III. METODOLOGI PENELITIAN. tiga tipe kebun kakao di Desa Cipadang. Secara administratif, Desa Cipadang

III. METODOLOGI PENELITIAN. tiga tipe kebun kakao di Desa Cipadang. Secara administratif, Desa Cipadang 23 III. METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini menggunakan metode survai, yaitu pengambilan sampel semut pada tiga tipe kebun kakao di Desa Cipadang. Secara administratif,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pengelolaan sumberdaya hutan dalam dasawarsa terakhir dihadapkan pada

BAB I PENDAHULUAN. Pengelolaan sumberdaya hutan dalam dasawarsa terakhir dihadapkan pada BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pengelolaan sumberdaya hutan dalam dasawarsa terakhir dihadapkan pada gangguan akibat beragam aktivitas manusia, sehingga mengakibatkan kerusakan ekosistem hutan yang

Lebih terperinci

METODE A. Waktu dan Tempat Penelitian

METODE A. Waktu dan Tempat Penelitian 11 METODE A. Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian dilakukan dari bulan Januari sampai Juni 2009. Pengamatan serangga dilakukan di dua lokasi, yaitu pada pertanaman H. multifora di lingkungan Kampus Institut

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. keanekaragaman hayati yang sangat tinggi. Menurut Suhartini (2009, h.1)

BAB I PENDAHULUAN. keanekaragaman hayati yang sangat tinggi. Menurut Suhartini (2009, h.1) BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Indonesia terletak di daerah beriklim tropis sehingga memiliki keanekaragaman hayati yang sangat tinggi. Menurut Suhartini (2009, h.1) Indonesia menjadi salah

Lebih terperinci

Keragaman Semut di Kampus IPB, Darmaga dan di Kawasan Cagar Alam Telaga Warna (CATW) Taruni Sri Prawasti, Ruth Martha Winnie, Jazirotul Fitriati

Keragaman Semut di Kampus IPB, Darmaga dan di Kawasan Cagar Alam Telaga Warna (CATW) Taruni Sri Prawasti, Ruth Martha Winnie, Jazirotul Fitriati -- Keragaman Semut di Kampus IPB, Darmaga dan di Kawasan Cagar Alam Telaga Warna (CATW) Taruni Sri Prawasti, Ruth Martha Winnie, Jazirotul Fitriati Latar Belakang PENDAHULUAN Semut (Hymenoptera: Formicidae)

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kelembaban. Perbedaan ph, kelembaban, ukuran pori-pori, dan jenis makanan

BAB I PENDAHULUAN. kelembaban. Perbedaan ph, kelembaban, ukuran pori-pori, dan jenis makanan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Tanah merupakan habitat yang kompleks untuk organisme. Dibandingkan dengan media kultur murni di laboratorium, tanah sangat berbeda karena dua hal utama yaitu pada

Lebih terperinci

IV. KONDISI DAN GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN. administratif berada di wilayah Kelurahan Kedaung Kecamatan Kemiling Kota

IV. KONDISI DAN GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN. administratif berada di wilayah Kelurahan Kedaung Kecamatan Kemiling Kota IV. KONDISI DAN GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN A. Pembentukan Taman Kupu-Kupu Gita Persada Taman Kupu-Kupu Gita Persada berlokasi di kaki Gunung Betung yang secara administratif berada di wilayah Kelurahan

Lebih terperinci

KOMPOSISI SEMUT (HYMENOPTERA: FORMICIDAE) PADA PERTANAMAN KAKAO

KOMPOSISI SEMUT (HYMENOPTERA: FORMICIDAE) PADA PERTANAMAN KAKAO KOMPOSISI SEMUT (HYMENOPTERA: FORMICIDAE) PADA PERTANAMAN KAKAO (Theobroma cacao L.) DI DESA MUNTEI KECAMATAN SIBERUT SELATAN KABUPATEN KEPULAUAN MENTAWAI Oleh: Noviana Tatebburuk 1, Henny Herwina 2, Armein

Lebih terperinci

SKRIPSI. Oleh : Siti Latifatus Siriyah Nim :

SKRIPSI. Oleh : Siti Latifatus Siriyah Nim : INVENTARISASI PARASITOID FAMILI Chalcididae (Hymenoptera, Chalcidoidea) Di JALUR BLOK RAFLESIA TANDON TAMAN NASIONAL MERU BETIRI RESORT SUKAMADE KABUPATEN BANYUWANGI SKRIPSI Oleh : Siti Latifatus Siriyah

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Menurut Rukmana (1997), sistematika tanaman jagung (Zea mays L.) adalah sebagai

TINJAUAN PUSTAKA. Menurut Rukmana (1997), sistematika tanaman jagung (Zea mays L.) adalah sebagai TINJAUAN PUSTAKA Ekologi Tanaman Jagung berikut : Menurut Rukmana (1997), sistematika tanaman jagung (Zea mays L.) adalah sebagai Kingdom Divisi Subdivisi Kelas Ordo Famili Genus : Plantae : Spermatophyta

Lebih terperinci

KOMPOSISI SEMUT (HYMENOPTERA: FORMICIDAE) PADA PULAU TANGAH KECAMATAN PARIAMAN TENGAH KOTA PARIAMAN

KOMPOSISI SEMUT (HYMENOPTERA: FORMICIDAE) PADA PULAU TANGAH KECAMATAN PARIAMAN TENGAH KOTA PARIAMAN KOMPOSISI SEMUT (HYMENOPTERA: FORMICIDAE) PADA PULAU TANGAH KECAMATAN PARIAMAN TENGAH KOTA PARIAMAN Syukri ( ), Armein Lusi Zeswita (1), Ismed Wahidi (2) Program Studi Pendidikan Biologi STKIP PGRI Sumatera

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. daya tarik tinggi baik untuk koleksi maupun objek penelitian adalah serangga

BAB I PENDAHULUAN. daya tarik tinggi baik untuk koleksi maupun objek penelitian adalah serangga 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia merupakan negara dengan kekayaan keanekaragaman jenis flora dan fauna yang tinggi. Salah satu kekayaan fauna di Indonesia yang memiliki daya tarik tinggi

Lebih terperinci

KEANEKARAGAMAN JENIS KANTONG SEMAR (Nepenthes spp) KAWASAN HUTAN LINDUNG GUNUNG AMBAWANG DESA KAMPUNG BARU KECAMATAN KUBU KABUPATEN KUBU RAYA

KEANEKARAGAMAN JENIS KANTONG SEMAR (Nepenthes spp) KAWASAN HUTAN LINDUNG GUNUNG AMBAWANG DESA KAMPUNG BARU KECAMATAN KUBU KABUPATEN KUBU RAYA KEANEKARAGAMAN JENIS KANTONG SEMAR (Nepenthes spp) KAWASAN HUTAN LINDUNG GUNUNG AMBAWANG DESA KAMPUNG BARU KECAMATAN KUBU KABUPATEN KUBU RAYA The Diversity Of Kantong Semar (Nepenthes spp) Protected Forest

Lebih terperinci

PENYEBARAN SEMUT PADA HUTAN LINDUNG SIRIMAU KOTA AMBON

PENYEBARAN SEMUT PADA HUTAN LINDUNG SIRIMAU KOTA AMBON Fransina Sarah Latumahina, dkk. : Penyebaran Semut Pada Hutan Lindung Sirimau Kota Ambon PENYEBARAN SEMUT PADA HUTAN LINDUNG SIRIMAU KOTA AMBON Fransina Sarah Latumahina 1*, Musyafa 2, Sumardi 2, Nugroho

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. hayati memiliki potensi menjadi sumber pangan, papan, sandang, obat-obatan

BAB I PENDAHULUAN. hayati memiliki potensi menjadi sumber pangan, papan, sandang, obat-obatan 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Keanekaragaman hayati di suatu negara memberikan manfaat yang besar bagi masyarakat. Keanekaragaman hayati merupakan sumber penghidupan dan kelangsungan

Lebih terperinci

HUBUNGAN MOTIVASI BERPRESTASI DAN IKLIM ORGANISASI DENGAN KINERJA PENYULUH KEHUTANAN TERAMPIL

HUBUNGAN MOTIVASI BERPRESTASI DAN IKLIM ORGANISASI DENGAN KINERJA PENYULUH KEHUTANAN TERAMPIL HUBUNGAN MOTIVASI BERPRESTASI DAN IKLIM ORGANISASI DENGAN KINERJA PENYULUH KEHUTANAN TERAMPIL (Kasus di Kabupaten Purwakarta dan Kabupaten Kuningan, Provinsi Jawa Barat) HENDRO ASMORO SEKOLAH PASCASARJANA

Lebih terperinci

METODE PENELITIAN. Lokasi dan Waktu Penelitian

METODE PENELITIAN. Lokasi dan Waktu Penelitian 19 METODE PENELITIAN Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian dilaksanakan pada remnant forest (hutan sisa) Kawasan Konservasi Hutan Duri PT. Caltex Pacifik Indonesia dengan luas 255 hektar di dalam kawasan

Lebih terperinci

KEANEKARAGAMAN MAKROFAUNA TANAH PADA LAHAN TANAMAN PADI DENGAN SISTEM ROTASI DAN MONOKULTUR DI DESA BANYUDONO BOYOLALI. Skripsi

KEANEKARAGAMAN MAKROFAUNA TANAH PADA LAHAN TANAMAN PADI DENGAN SISTEM ROTASI DAN MONOKULTUR DI DESA BANYUDONO BOYOLALI. Skripsi KEANEKARAGAMAN MAKROFAUNA TANAH PADA LAHAN TANAMAN PADI DENGAN SISTEM ROTASI DAN MONOKULTUR DI DESA BANYUDONO BOYOLALI Skripsi Untuk memenuhi sebagian Persyaratan guna memperoleh gelar Sarjana Sains Oleh:

Lebih terperinci

Kelimpahan dan Keragaman Semut dalam Hutan Lindung Sirimau Ambon Abudance and diversity of ants at Sirimau Forest In Ambon

Kelimpahan dan Keragaman Semut dalam Hutan Lindung Sirimau Ambon Abudance and diversity of ants at Sirimau Forest In Ambon Biospecies Vol. 7 No.2, Juli 2014, hal.53-58. Kelimpahan dan Keragaman Semut dalam Hutan Lindung Sirimau Ambon Abudance and diversity of ants at Sirimau Forest In Ambon Fransina Sarah LATUMAHINA 1, MUSYAFA

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Muhamad Adnan Rivaldi, 2013

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Muhamad Adnan Rivaldi, 2013 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Hutan Sancang, Kecamatan Cibalong,, Jawa Barat, merupakan kawasan yang terletak di Selatan Pulau Jawa, yang menghadap langsung ke Samudera Hindia. Hutan Sancang memiliki

Lebih terperinci

DISTRIBUSI DAN PREFERENSI HABITAT SPONS KELAS DEMOSPONGIAE DI KEPULAUAN SERIBU PROVINSI DKI JAKARTA KARJO KARDONO HANDOJO

DISTRIBUSI DAN PREFERENSI HABITAT SPONS KELAS DEMOSPONGIAE DI KEPULAUAN SERIBU PROVINSI DKI JAKARTA KARJO KARDONO HANDOJO DISTRIBUSI DAN PREFERENSI HABITAT SPONS KELAS DEMOSPONGIAE DI KEPULAUAN SERIBU PROVINSI DKI JAKARTA KARJO KARDONO HANDOJO SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2006 PERNYATAAN MENGENAI TESIS

Lebih terperinci

Irfanul Arifin Corresponding author;

Irfanul Arifin Corresponding author; Keanekaragaman Semut (Hymenoptera: Formicidae) pada Berbagai Subzona Hutan Pegunungan di Sepanjang Jalur Pendakian Cibodas, Taman Nasional Gunung Gede-Pangrango (TNGGP) Diversity of Ants (Hymenoptera:

Lebih terperinci

KONDISI HABITAT Rafflesia sp DI IUPHHK PT. TOBA PULP LESTARI, Tbk SEKTOR TELE, KABUPATEN SAMOSIR, SUMATERA UTARA

KONDISI HABITAT Rafflesia sp DI IUPHHK PT. TOBA PULP LESTARI, Tbk SEKTOR TELE, KABUPATEN SAMOSIR, SUMATERA UTARA KONDISI HABITAT Rafflesia sp DI IUPHHK PT. TOBA PULP LESTARI, Tbk SEKTOR TELE, KABUPATEN SAMOSIR, SUMATERA UTARA SKRIPSI OLEH: HANA FERONIKA SIREGAR 071201022/ MANAJEMEN HUTAN JURUSAN MANAJEMEN HUTAN PROGRAM

Lebih terperinci

SEBARAN DAN ASOSIASI PERIFITON PADA EKOSISTEM PADANG LAMUN (Enhalus acoroides) DI PERAIRAN PULAU TIDUNG BESAR, KEPULAUAN SERIBU, JAKARTA UTARA

SEBARAN DAN ASOSIASI PERIFITON PADA EKOSISTEM PADANG LAMUN (Enhalus acoroides) DI PERAIRAN PULAU TIDUNG BESAR, KEPULAUAN SERIBU, JAKARTA UTARA SEBARAN DAN ASOSIASI PERIFITON PADA EKOSISTEM PADANG LAMUN (Enhalus acoroides) DI PERAIRAN PULAU TIDUNG BESAR, KEPULAUAN SERIBU, JAKARTA UTARA Oleh: Yuri Hertanto C64101046 PROGRAM STUDI ILMU DAN TEKNOLOGI

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. Metode penelitian yang dilakukan merupakan penelitian deskriptif, yang. sensus atau dengan menggunakan sampel (Nazir,1999).

BAB III METODE PENELITIAN. Metode penelitian yang dilakukan merupakan penelitian deskriptif, yang. sensus atau dengan menggunakan sampel (Nazir,1999). 26 BAB III METODE PENELITIAN A. Jenis Penelitian Metode penelitian yang dilakukan merupakan penelitian deskriptif, yang merupakan suatu penyelidikan terhadap sejumlah individu, baik secara sensus atau

Lebih terperinci

Pendahuluan. Irfanul Arifin Program Studi Biologi FMIPA Universitas Negeri Jakarta, Indonesia BIOMA 10 (2), 2014 ISSN :

Pendahuluan. Irfanul Arifin Program Studi Biologi FMIPA Universitas Negeri Jakarta, Indonesia BIOMA 10 (2), 2014 ISSN : BIOMA 10 (2), 2014 Biologi UNJ Press ISSN : 0126-3552 KEANEKARAGAMAN SEMUT (HYMENOPTERA: FORMICIDAE) PADA BERBAGAI SUBZONA HUTAN PEGUNUNGAN DI SEPANJANG JALUR PENDAKIAN CIBODAS, TAMAN NASIONAL GUNUNG GEDE-

Lebih terperinci

I. MATERI DAN METODE PENELITIAN Letak Giografis Lokasi Penelitian Pekanbaru terletak pada titik koordinat 101 o o 34 BT dan 0 o 25-

I. MATERI DAN METODE PENELITIAN Letak Giografis Lokasi Penelitian Pekanbaru terletak pada titik koordinat 101 o o 34 BT dan 0 o 25- I. MATERI DAN METODE PENELITIAN 3.1. Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di laboratorium Patologi, Entomologi, dan Mikrobiologi (PEM) dan lahan kampus Universitas Islam Negeri Sultan

Lebih terperinci

KAJIAN REHABILITASI SUMBERDAYA DAN PENGEMBANGAN KAWASAN PESISIR PASCA TSUNAMI DI KECAMATAN PULO ACEH KABUPATEN ACEH BESAR M.

KAJIAN REHABILITASI SUMBERDAYA DAN PENGEMBANGAN KAWASAN PESISIR PASCA TSUNAMI DI KECAMATAN PULO ACEH KABUPATEN ACEH BESAR M. KAJIAN REHABILITASI SUMBERDAYA DAN PENGEMBANGAN KAWASAN PESISIR PASCA TSUNAMI DI KECAMATAN PULO ACEH KABUPATEN ACEH BESAR M. MUNTADHAR SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2008 SURAT PERNYATAAN

Lebih terperinci

ISOLASI, SELEKSI DAN OPTIMASI PERTUMBUHAN GANGGANG MIKRO YANG POTENSIAL SEBAGAI PENGHASIL BAHAN BAKAR NABATI

ISOLASI, SELEKSI DAN OPTIMASI PERTUMBUHAN GANGGANG MIKRO YANG POTENSIAL SEBAGAI PENGHASIL BAHAN BAKAR NABATI ISOLASI, SELEKSI DAN OPTIMASI PERTUMBUHAN GANGGANGG MIKRO YANG POTENSIAL SEBAGAI PENGHASIL BAHAN BAKAR NABATI YOLANDA FITRIA SYAHRI SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2009 PERNYATAAN MENGENAI

Lebih terperinci

APLIKASI KONSEP EKOWISATA DALAM PERENCANAAN ZONA PEMANFAATAN TAMAN NASIONAL UNTUK PARIWISATA DENGAN PENDEKATAN RUANG

APLIKASI KONSEP EKOWISATA DALAM PERENCANAAN ZONA PEMANFAATAN TAMAN NASIONAL UNTUK PARIWISATA DENGAN PENDEKATAN RUANG APLIKASI KONSEP EKOWISATA DALAM PERENCANAAN ZONA PEMANFAATAN TAMAN NASIONAL UNTUK PARIWISATA DENGAN PENDEKATAN RUANG (Studi Kasus Wilayah Seksi Bungan Kawasan Taman Nasional Betung Kerihun di Provinsi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Semut (Hymenoptera: Formicidae) memiliki jumlah jenis dan

BAB I PENDAHULUAN. Semut (Hymenoptera: Formicidae) memiliki jumlah jenis dan BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Semut (Hymenoptera: Formicidae) memiliki jumlah jenis dan populasi yang berlimpah, terdiri dari 16 sub famili, 296 genus dan 15.000 spesies yang telah teridentifikasi

Lebih terperinci

STUDI KEANEKARAGAMAN JENIS KANTONG SEMAR

STUDI KEANEKARAGAMAN JENIS KANTONG SEMAR STUDI KEANEKARAGAMAN JENIS KANTONG SEMAR (Nepenthes spp) DI KAWASAN KONSERVASI RUMAH PELANGI DUSUN GUNUNG BENUAH KECAMATAN SUNGAI AMBAWANG KABUPATEN KUBU RAYA Diversity Study of Kantong Semar Plants (Nepenthes

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. berbagai tipe vegetasi dan ekosistem hutan hujan tropis yang tersebar di

I. PENDAHULUAN. berbagai tipe vegetasi dan ekosistem hutan hujan tropis yang tersebar di I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia memiliki keanekaragaman flora dan fauna yang sangat tinggi dalam berbagai tipe vegetasi dan ekosistem hutan hujan tropis yang tersebar di seluruh wilayah yang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. memiliki sebaran jenis serangga yang unik. Selain jenis-jenis yang sebarannya

BAB I PENDAHULUAN. memiliki sebaran jenis serangga yang unik. Selain jenis-jenis yang sebarannya 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Sebagai negara tropis yang dilalui garis ekuator terpanjang, Indonesia memiliki sebaran jenis serangga yang unik. Selain jenis-jenis yang sebarannya tersebar

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. liar di alam, termasuk jenis primata. Antara tahun 1995 sampai dengan tahun

I. PENDAHULUAN. liar di alam, termasuk jenis primata. Antara tahun 1995 sampai dengan tahun 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Konversi hutan di Pulau Sumatera merupakan ancaman terbesar bagi satwa liar di alam, termasuk jenis primata. Antara tahun 1995 sampai dengan tahun 2000, tidak kurang

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Meksiko, merupakan salah satu negara yang memiliki keanekaragaman hayati terkaya

I. PENDAHULUAN. Meksiko, merupakan salah satu negara yang memiliki keanekaragaman hayati terkaya I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Indonesia bersama sejumlah negara tropis lain seperti Brazil, Zaire dan Meksiko, merupakan salah satu negara yang memiliki keanekaragaman hayati terkaya (mega biodiversity).

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Serangga merupakan bagian dari keanekaragaman hayati yang harus dijaga kelestariannya dari kepunahan

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Serangga merupakan bagian dari keanekaragaman hayati yang harus dijaga kelestariannya dari kepunahan BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Serangga merupakan bagian dari keanekaragaman hayati yang harus dijaga kelestariannya dari kepunahan maupun penurunan ragam jenisnya. Serangga memiliki beberapa

Lebih terperinci

Modul 1. Hutan Tropis dan Faktor Lingkungannya Modul 2. Biodiversitas Hutan Tropis

Modul 1. Hutan Tropis dan Faktor Lingkungannya Modul 2. Biodiversitas Hutan Tropis ix H Tinjauan Mata Kuliah utan tropis yang menjadi pusat biodiversitas dunia merupakan warisan tak ternilai untuk kehidupan manusia, namun sangat disayangkan terjadi kerusakan dengan kecepatan yang sangat

Lebih terperinci

disinyalir disebabkan oleh aktivitas manusia dalam kegiatan penyiapan lahan untuk pertanian, perkebunan, maupun hutan tanaman dan hutan tanaman

disinyalir disebabkan oleh aktivitas manusia dalam kegiatan penyiapan lahan untuk pertanian, perkebunan, maupun hutan tanaman dan hutan tanaman 1 BAB I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia mempunyai kekayaan alam yang beranekaragam termasuk lahan gambut berkisar antara 16-27 juta hektar, mempresentasikan 70% areal gambut di Asia Tenggara

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. serangga yang ada di perkebunan jeruk manis semi organik dan anorganik.

BAB III METODE PENELITIAN. serangga yang ada di perkebunan jeruk manis semi organik dan anorganik. 36 BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Rancangan Penelitian Penelitian bersifat deskriptif kuantitatif. Pengambilan data menggunakan metode eksplorasi, yaitu dengan mengadakan pengamatan langsung terhadap serangga

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN BAB III METODE PENELITIAN A. Jenis Penelitian Metode penelitian yang dilakukan adalah deskriptif, yang merupakan suatu penyelidikan terhadap sejumlah individu, baik secara sensus atau dengan menggunakan

Lebih terperinci

SEBARAN ASIMTOTIK PENDUGA KOMPONEN PERIODIK FUNGSI INTENSITAS PROSES POISSON PERIODIK DENGAN TREN FUNGSI PANGKAT RO FAH NUR RACHMAWATI

SEBARAN ASIMTOTIK PENDUGA KOMPONEN PERIODIK FUNGSI INTENSITAS PROSES POISSON PERIODIK DENGAN TREN FUNGSI PANGKAT RO FAH NUR RACHMAWATI SEBARAN ASIMTOTIK PENDUGA KOMPONEN PERIODIK FUNGSI INTENSITAS PROSES POISSON PERIODIK DENGAN TREN FUNGSI PANGKAT RO FAH NUR RACHMAWATI SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2010 PERNYATAAN

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kota Bogor merupakan kota yang terus berkembang serta mengalami peningkatan jumlah penduduk dan luas lahan terbangun sehingga menyebabkan terjadinya penurunan luas

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. langsung dari lokasi pengamatan. Parameter yang diukur dalam penelitian adalah

BAB III METODE PENELITIAN. langsung dari lokasi pengamatan. Parameter yang diukur dalam penelitian adalah BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Rancangan Penelitian Penelitian ini termasuk jenis penelitian diskriptif kuantitatif. Pengambilan data menggunakan metode eksplorasi, yaitu pengamatan atau pengambilan sampel

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia merupakan salah satu negara disebut Mega Biodiversity setelah

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia merupakan salah satu negara disebut Mega Biodiversity setelah 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN Indonesia merupakan salah satu negara disebut Mega Biodiversity setelah Brazil dan Madagaskar. Diperkirakan 25% aneka spesies dunia berada di Indonesia (Rahmawaty,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG

BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Indonesia merupakan Negara tropika yang memiliki kawasan hutan yang luas. Berdasarkan luasnya, hutan tropis Indonesia menempati urutan ketiga setelah Negara Brasil dan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. berfungsi sebagai ecosystem engineer (Keller & Gordon, 2009) atau juga soil

BAB I PENDAHULUAN. berfungsi sebagai ecosystem engineer (Keller & Gordon, 2009) atau juga soil BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Semut adalah serangga yang memiliki keanekaragaman cukup tinggi. Seluruh anggota semut masuk dalam anggota Famili Formicidae. Keberadaan serangga ini sangat melimpah

Lebih terperinci

MODEL PENDUGA VOLUME POHON MAHONI DAUN BESAR (Swietenia macrophylla, King) DI HUTAN PENDIDIKAN GUNUNG WALAT, SUKABUMI, JAWA BARAT WAHYU NAZRI YANDI

MODEL PENDUGA VOLUME POHON MAHONI DAUN BESAR (Swietenia macrophylla, King) DI HUTAN PENDIDIKAN GUNUNG WALAT, SUKABUMI, JAWA BARAT WAHYU NAZRI YANDI MODEL PENDUGA VOLUME POHON MAHONI DAUN BESAR (Swietenia macrophylla, King) DI HUTAN PENDIDIKAN GUNUNG WALAT, SUKABUMI, JAWA BARAT WAHYU NAZRI YANDI DEPARTEMEN MANAJEMEN HUTAN FAKULTAS KEHUTANAN INSTITUT

Lebih terperinci

PERILAKU MAKAN GORILA (Gorilla gorilla gorilla ) DI PUSAT PRIMATA SCHMUTZER TAMAN MARGASATWA RAGUNAN JAKARTA SAHRONI

PERILAKU MAKAN GORILA (Gorilla gorilla gorilla ) DI PUSAT PRIMATA SCHMUTZER TAMAN MARGASATWA RAGUNAN JAKARTA SAHRONI 1 PERILAKU MAKAN GORILA (Gorilla gorilla gorilla ) DI PUSAT PRIMATA SCHMUTZER TAMAN MARGASATWA RAGUNAN JAKARTA SAHRONI SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2008 2 PERNYATAAN MENGENAI TESIS

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Penelitian

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Penelitian BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Penelitian Serangga merupakan makhluk hidup yang mendominasi bumi dan berjumlah lebih kurang setengah dari total spesies tumbuhan dan hewan yang ada di bumi (Ohsawa 2005)

Lebih terperinci

INVENTARISASI NGENGAT (Lepidoptera) Di JALUR BLOK RAFLESIA-TANDON TAMAN NASIONAL MERU BETIRI, RESORT SUKAMADE, KABUPATEN BANYUWANGI

INVENTARISASI NGENGAT (Lepidoptera) Di JALUR BLOK RAFLESIA-TANDON TAMAN NASIONAL MERU BETIRI, RESORT SUKAMADE, KABUPATEN BANYUWANGI INVENTARISASI NGENGAT (Lepidoptera) Di JALUR BLOK RAFLESIA-TANDON TAMAN NASIONAL MERU BETIRI, RESORT SUKAMADE, KABUPATEN BANYUWANGI ARTIKEL Oleh NUR SYAMSI AZIZAH NIM 041810401057 JURUSAN BIOLOGI FAKULTAS

Lebih terperinci

KEANEKARAGAMAN SERANGGA HYMENOPTERA (KHUSUSNYA PARASITOID) PADA AREAL PERSAWAHAN, KEBUN SAYUR DAN HUTAN DI DAERAH BOGOR TJUT AHMAD PERDANA R.

KEANEKARAGAMAN SERANGGA HYMENOPTERA (KHUSUSNYA PARASITOID) PADA AREAL PERSAWAHAN, KEBUN SAYUR DAN HUTAN DI DAERAH BOGOR TJUT AHMAD PERDANA R. KEANEKARAGAMAN SERANGGA HYMENOPTERA (KHUSUSNYA PARASITOID) PADA AREAL PERSAWAHAN, KEBUN SAYUR DAN HUTAN DI DAERAH BOGOR TJUT AHMAD PERDANA R. DEPARTEMEN PROTEKSI TANAMAN FAKULTAS PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. hayati terkaya (mega biodiveristy). Menurut Hasan dan Ariyanti (2004),

BAB 1 PENDAHULUAN. hayati terkaya (mega biodiveristy). Menurut Hasan dan Ariyanti (2004), BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia merupakan salah satu negara yang memiliki keanekaragaman hayati terkaya (mega biodiveristy). Menurut Hasan dan Ariyanti (2004), keanekaragaman hayati (biological

Lebih terperinci

PREDIKSI KECEPATAN PHASE GELOMBANG SOLITER TERGANGGU AHMAD HAKIM

PREDIKSI KECEPATAN PHASE GELOMBANG SOLITER TERGANGGU AHMAD HAKIM PREDIKSI KECEPATAN PHASE GELOMBANG SOLITER TERGANGGU AHMAD HAKIM SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2009 PERYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI Dengan ini saya menyatakan bahwa

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. keadaan gejala menurut apa adanya pada saat penelitian dilakukan. 84 Pada

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. keadaan gejala menurut apa adanya pada saat penelitian dilakukan. 84 Pada BAB III METODOLOGI PENELITIAN A. Jenis Penelitian Jenis penelitian yang dilaksanakan adalah penelitian deskriptif - eksploratif. Penelitian deskriptif adalah penelitian yang bermaksud untuk mengumpulkan

Lebih terperinci

A. JUDUL Keanekaragaman dan Klasifikasi Makhluk Hidup

A. JUDUL Keanekaragaman dan Klasifikasi Makhluk Hidup A. JUDUL Keanekaragaman dan Klasifikasi Makhluk Hidup B. TUJUAN PRAKTIKUM 1. Menginventarisasi karakter morfologi individu-individu penyusun populasi 2. Melakukan observasi ataupun pengukuran terhadap

Lebih terperinci

PENILAIAN DAMPAK KEBAKARAN TERHADAP MAKROFAUNA TANAH DENGAN METODE FOREST HEALTH MONITORING (FHM) ASRI BULIYANSIH E

PENILAIAN DAMPAK KEBAKARAN TERHADAP MAKROFAUNA TANAH DENGAN METODE FOREST HEALTH MONITORING (FHM) ASRI BULIYANSIH E PENILAIAN DAMPAK KEBAKARAN TERHADAP MAKROFAUNA TANAH DENGAN METODE FOREST HEALTH MONITORING (FHM) ASRI BULIYANSIH E 14201020 DEPARTEMEN MANAJEMEN HUTAN FAKULTAS KEHUTANAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2005

Lebih terperinci

Keanekaragaman Parasitoid dan Parasitisasinya pada Pertanaman Padi di Kawasan Taman Nasional Gunung Halimun

Keanekaragaman Parasitoid dan Parasitisasinya pada Pertanaman Padi di Kawasan Taman Nasional Gunung Halimun Hayati, September 2003, hlm. 85-90 ISSN 0854-8587 Vol. 10. No. 3 Keanekaragaman Parasitoid dan Parasitisasinya pada Pertanaman Padi di Kawasan Taman Nasional Gunung Halimun Diversity and Parasitism of

Lebih terperinci

INVENTARISASI DAN ANALISIS HABITAT TUMBUHAN LANGKA SALO

INVENTARISASI DAN ANALISIS HABITAT TUMBUHAN LANGKA SALO 1 INVENTARISASI DAN ANALISIS HABITAT TUMBUHAN LANGKA SALO (Johannes teijsmania altifrons) DI DUSUN METAH, RESORT LAHAI, TAMAN NASIONAL BUKIT TIGAPULUH PROVINSI RIAU- JAMBI Yusi Indriani, Cory Wulan, Panji

Lebih terperinci

STRATEGI PENGELOLAAN PARIWISATA PESISIR DI SENDANG BIRU KABUPATEN MALANG PROPINSI JAWA TIMUR MUHAMMAD ZIA UL HAQ

STRATEGI PENGELOLAAN PARIWISATA PESISIR DI SENDANG BIRU KABUPATEN MALANG PROPINSI JAWA TIMUR MUHAMMAD ZIA UL HAQ STRATEGI PENGELOLAAN PARIWISATA PESISIR DI SENDANG BIRU KABUPATEN MALANG PROPINSI JAWA TIMUR MUHAMMAD ZIA UL HAQ SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2006 PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. terletak di sekitar garis khatulistiwa antara 23 ½ 0 LU sampai dengan 23 ½ 0 LS.

BAB I PENDAHULUAN. terletak di sekitar garis khatulistiwa antara 23 ½ 0 LU sampai dengan 23 ½ 0 LS. BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Hutan hujan tropis merupakan salah satu tipe ekosistem hutan yang sangat produktif dan memiliki tingkat keanekaragaman hayati yang tinggi. Kawasan ini terletak di

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. hutan hujan tropis yang tersebar di berbagai penjuru wilayah. Luasan hutan

BAB I PENDAHULUAN. hutan hujan tropis yang tersebar di berbagai penjuru wilayah. Luasan hutan I. 1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN Indonesia adalah salah satu negara yang dikenal memiliki banyak hutan hujan tropis yang tersebar di berbagai penjuru wilayah. Luasan hutan tropis Indonesia adalah

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Hutan Hutan dapat diberi batasan sesuai dengan sudut pandang masing-masing pakar. Misalnya dari sisi ekologi dan biologi, bahwa hutan adalah komunitas hidup yang terdiri dari

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN PUSTAKA

BAB II KAJIAN PUSTAKA BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1. Tinjauan Tentang Struktur Vegetasi Struktur vegetasi merupakan komponen penyusun vegetasi itu sendiri. Struktur vegetasi disusun oleh tumbuh-tumbuhan baik berupa pohon, pancang,

Lebih terperinci

Rosichon Ubaidillah (Museum Zoologicum Bogoriense, Pusat Penelitian Biologi - LIPI)

Rosichon Ubaidillah (Museum Zoologicum Bogoriense, Pusat Penelitian Biologi - LIPI) Perubahan Iklim dan Pengaruhnya Terhadap Permasalahan Hama Rosichon Ubaidillah (Museum Zoologicum Bogoriense, Pusat Penelitian Biologi - LIPI) Outline presentasi Pendahuluan Implikasi Perubahan iklim terhadap

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. (Sujatnika, Joseph, Soehartono, Crosby, dan Mardiastuti, 1995). Kekayaan jenis

I. PENDAHULUAN. (Sujatnika, Joseph, Soehartono, Crosby, dan Mardiastuti, 1995). Kekayaan jenis I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia memiliki 1539 spesies burung atau 17 persen dari jumlah seluruh spesies burung dunia, 381 spesies diantaranya merupakan spesies endemik (Sujatnika, Joseph, Soehartono,

Lebih terperinci

BIRD PREFERENCE HABITATS AROUND SERAYU DAM BANYUMAS CENTRAL JAVA

BIRD PREFERENCE HABITATS AROUND SERAYU DAM BANYUMAS CENTRAL JAVA BIRD PREFERENCE HABITATS AROUND SERAYU DAM BANYUMAS CENTRAL JAVA Enggar Lestari 12/340126/PBI/1084 ABSTRACT Interaction between birds and habitat is the first step to determine their conservation status.

Lebih terperinci

PEMANFAATAN TUMBUHAN OLEH MASYARAKAT DI SEKITAR HUTAN PENDIDIKAN GUNUNG WALAT SUKABUMI MUHAMMAD IRKHAM NAZMURAKHMAN

PEMANFAATAN TUMBUHAN OLEH MASYARAKAT DI SEKITAR HUTAN PENDIDIKAN GUNUNG WALAT SUKABUMI MUHAMMAD IRKHAM NAZMURAKHMAN 1 PEMANFAATAN TUMBUHAN OLEH MASYARAKAT DI SEKITAR HUTAN PENDIDIKAN GUNUNG WALAT SUKABUMI MUHAMMAD IRKHAM NAZMURAKHMAN DEPARTEMEN KONSERVASI SUMBERDAYA HUTAN DAN EKOWISATA FAKULTAS KEHUTANAN INSTITUT PERTANIAN

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. fungsi pokok sebagai hutan konservasi yaitu kawasan pelestarian alam untuk

II. TINJAUAN PUSTAKA. fungsi pokok sebagai hutan konservasi yaitu kawasan pelestarian alam untuk 5 II. TINJAUAN PUSTAKA A. Taman Hutan Raya Wan Abdul Rachman Taman Hutan Raya (Tahura) adalah hutan yang ditetapkan pemerintah dengan fungsi pokok sebagai hutan konservasi yaitu kawasan pelestarian alam

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN 51 BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Jenis Penelitian Penelitian ini termasuk jenis penelitian deskriptif kuantitatif. Menurut Sugiyono (2013), metode penelitian kuanitatif merupakan metode penelitian yang

Lebih terperinci

Autekologi Begonia Liar di Kawasan Remnant Forest Kebun Raya Cibodas NUR AZIZAH Abstrak

Autekologi Begonia Liar di Kawasan Remnant Forest Kebun Raya Cibodas NUR AZIZAH Abstrak Autekologi Begonia Liar di Kawasan Remnant Forest Kebun Raya Cibodas NUR AZIZAH 1127020048 Abstrak Data keragaman jenis, persebaran dan data ekologi dari Begonia liar di kawasan remnant forest (hutan restan)

Lebih terperinci

INVENTARISASI JENIS BURUNG PADA KOMPOSISI TINGKAT SEMAI, PANCANG DAN POHON DI HUTAN MANGROVE PULAU SEMBILAN

INVENTARISASI JENIS BURUNG PADA KOMPOSISI TINGKAT SEMAI, PANCANG DAN POHON DI HUTAN MANGROVE PULAU SEMBILAN INVENTARISASI JENIS BURUNG PADA KOMPOSISI TINGKAT SEMAI, PANCANG DAN POHON DI HUTAN MANGROVE PULAU SEMBILAN SKRIPSI Oleh : PARRON ABET HUTAGALUNG 101201081 / Konservasi Sumber Daya Hutan PROGRAM STUDI

Lebih terperinci

Oleh: Oki Kobayasi Susanto 1, Henny Herwina 2, Armein Lusi Z. 1

Oleh: Oki Kobayasi Susanto 1, Henny Herwina 2, Armein Lusi Z. 1 Spesies Semut (Hymenoptera: Formicidae) yang di Koleksi dengan Metode All Protocol pada Perkebunan Sawit (ElaeisguineensisJacq.) dan Hutan di Kanagarian Kunangan Parik Rantang Kabupaten Sijunjung Oleh:

Lebih terperinci