DIVERSITAS SEMUT PADA TUMBUHAN Sonneratia caseolaris (L.) Engl. DI SUAKA MARGASATWA MUARA ANGKE WATHRI FITRADA

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "DIVERSITAS SEMUT PADA TUMBUHAN Sonneratia caseolaris (L.) Engl. DI SUAKA MARGASATWA MUARA ANGKE WATHRI FITRADA"

Transkripsi

1 DIVERSITAS SEMUT PADA TUMBUHAN Sonneratia caseolaris (L.) Engl. DI SUAKA MARGASATWA MUARA ANGKE WATHRI FITRADA DEPARTEMEN BIOLOGI FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2013

2 ABSTRAK WATHRI FITRADA. Diversitas Semut pada Tumbuhan Sonneratia caseolaris (L.) Engl.di Suaka Margasatwa Muara Angke. Dibimbing oleh SULISTIJORINI dan TRI ATMOWIDI. Mangrove merupakan bentukan pohon atau hutan kompleks yang dinamik dengan produksi tinggi dan berperan penting dalam rantai makanan. Semut (famili Formicidae) adalah serangga paling dominan di bumi baik secara ekologi maupun jumlah individu. Biomassa dan jumlah individu yang mencapai 50% dan 90% untuk semut di kanopi hutan hujan tropik menjadikan studi ekologi mengenai diversitas semut menjadi penting. Suaka Margasatwa Muara Angke (SMMA) sebagai salah satu sistem penyangga di Provinsi DKI Jakarta dengan Sonneratia caseolaris sebagai tumbuhan yang dominan. Studi mengenai jumlah dan komposisi semut penting untuk mengindikasikan stabilitas kawasan ini. Penelitian ini bertujuan mempelajari diversitas semut di kawasan SMMA dan peranannya pada tumbuhan S. caseolaris. Pengamatan dilaksanakan pada bulan April-Juni Pengamatan dilakukan di sepanjang jalur pengamatan SMMA yang dibagi dalam 8 titik pengamatan yang dipilih secara acak. Koleksi semut digunakan 2 metode, yaitu penadah dan perangkap. Dalam penelitian ini didapatkan 12 genus yang termasuk dalam 6 subfamili dengan total individu. Camponotus, Oecophylla, dan Polyrhachis merupakan genus yang dominan. Secara keseluruhan nilai Indeks Shannon-Wiener dan Evennens semut di SMMA, yaitu 0,9 dan 0,33. Metode penadah lebih efektif untuk koleksi semut. Pada kawasan ini ditemukan semut predator yang berperan untuk menjaga S. caseolaris dari serangga herbivor. Kata kunci: mangrove, semut, Suaka Margasatwa Muara Angke, Sonneratia caseolaris, indeks shannon-wiener, indeks evennens. ABSTRACT WATHRI FITRADA. Ant Diversity on Sonneratia caseolaris (L.) Engl. at Muara Angke Nature Reserve. Surprised by SULISTIJORINI and TRI ATMOWIDI. Mangrove is a dynamic group of trees with high productivity, which plays a major role in food chain. Ants (Formicidae) are the most abundant insect in the world. Higher biomass and abundance of ant in the tropical rainforest canopy are the reason why the ecological study of ants diversity become essential. Sonneratia caseolaris is a dominant tree species in Muara Angke Nature Reserve (MANR). Study of abundance and composition of ants were needed to indicate stability of this reserve. The research aim to study the diversity of ants and its contribution on S. caseolaris in MANR. The research was conducted from April-June Observation of ants were conducted in observation track in MANR and were made 8 points for collecting the ants. Collection of ants were conducted using 2 methods, beating sheet and pitfall trap. Result showed that 12 genera from 6 subfamilies and total of individuals of ants were found. Camponotus, Oecophylla, and Polyrhachis were dominant genera found in MANR. Shannon-Wiener and Evennens Index value of ants were 0,9 and 0,33 respectively. Beating sheet cought more individual of ants than pitfall trap. We found predatory ants which potentially protect of S. caseolaris from its herbivore. Key words: mangrove, ant, Muara Angke Nature Reserve, Sonneratia caseolaris, shannonwiener index, evennens index.

3 DIVERSITAS SEMUT PADA TUMBUHAN Sonneratia caseolaris (L.) Engl. DI SUAKA MARGASATWA MUARA ANGKE WATHRI FITRADA Skripsi sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Sains pada Departemen Biologi DEPARTEMEN BIOLOGI FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2013

4

5 Judul Skripsi : Diversitas Semut pada Tumbuhan Sonneratia caseolaris (L.)Engl. di Suaka Margasatwa Muara Angke Nama : Wathri Fitrada NIM : G Disetujui Dr. Ir. Sulistijorini, M.Si Pembimbing I Dr.Tri Atmowidi, M.Si Pembimbing II Diketahui Dr. Ir. Ence Darmo Jaya Supena, M.Si Ketua Departemen Biologi Tanggal lulus:

6 PRAKATA Alhamdulillahirobbil alamin, puji syukur-nya penulis panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat dan karunianya sehingga dapat menyelesaikan karya ilmiah ini. Judul penelitian yang penulis ambil yaitu Diversitas Semut pada Tumbuhan Sonneratia caseolaris (L.) Engl. di Suaka Margasatwa Muara Angke. Penulis mengucapkan terima kasih teruntuk Ibu Sulistijorini dan Bapak Tri Atmowidi atas bimbingan dan arahannya mulai dari perencanaan penelitian sampai dengan penyusunan karya ilmiah ini. Terima kasih untuk keluarga tercinta Mama, Papa, Bang Wendi, Uda Willy, Aan atas doa dan dukungan yang tidak pernah berhenti, juga tak lupa Yuliatul Muharomah yang mendampingi selama di Bogor. Terima kasih pula tak lupa untuk pihak-pihak di laboratorium Biosistematika dan Ekologi Hewan, Departemen Biologi FMIPA Institut Pertanian Bogor (Ibu Tini dan Ibu Ani), BKSDA DKI Jakarta & Suaka Margasatwa Muara Angke (Ibu Millah, Pak Aris, Ibu Ani) dan laboratorium Entomologi LIPI Cibinong (Pak Rosichon, Bu Wara) yang banyak membantu selama proses penelitian ini. Terakhir tak lupa untuk sahabat di Biologi 45 yang tak bisa disebutkan satu persatu, terutama kawan seperjuangan Whendi, Andri, Afnan, Isna, Desi, Putri, Qila, Iqdam, Ayi, Via, Agus, Nurul F, Dini, Ayang, Esa, Traya, Faizal, Wulan, Tyas, Puspa, Evi, Aldi, Dirga, Titi, Roma atas kebersamaan dan motivasinya. Semoga karya ilmiah ini dapat bermanfaat. Bogor, April 2013 Wathri Fitrada

7 RIWAYAT HIDUP Wathri Fitrada dilahirkan di Padang pada tanggal 8 Mei 1990 dari Ayahanda Waznadil dan Ibunda Desnita. Penulis merupakan anak ke-3 dari 4 bersaudara. Penulis lulus dari SMA Negeri 2 Bekasi dan terdaftar sebagai mahasiswa angkatan 45 jurusan Biologi Institut Pertanian Bogor melalui jalur Seleksi Nasional Masuk Perguruan Tinggi Negeri (SNMPTN). Selama mengikuti perkuliahan penulis aktif berorganisasi di Unit Kegiatan Mahasiswa Uni Konservasi Fauna (UKM UKF) di Divisi Konservasi Serangga dan Himpunan Mahasiswa Biologi (Himabio) IPB di divisi Paguyuban Mahasiswa Biologi (PAMABI) dan Divisi Informasi dan Komunikasi (Infokom). Pada tahun pertama penulis aktif di Diklat UKM UKF. Selain itu penulis di kepanitian pernah menjadi Koordinator Kegiatan Aksi Damai (dalam Kegiatan EXPO UKF 2010), Ketua Eksplor Kampus 2011 EKSPLORASI SATWALIAR (Mammalia, Burung, Reptil dan Amfibi, dan Kupu-Kupu) di Kampus Institut Pertanian Bogor Darmaga, Kadiv Publikasi Humas Bio Fun Day, Kadiv Layout Majalah Chepalos, Kadiv PJK MPD Biologi Angkatan 47, dan Ketua WEBCAM (Website HIMABIO, Majalah Chepalos, dan Mading). Penulis pernah melakukan Studi Lapang di Cagar Alam Pangandaran dengan judul penelitian Bakteri yang Berasosiasi dengan Alga Penghasil Agar yang dibimbing oleh Ibu Anja Meryandini, kemudian Praktik Lapang di Direktorat Standardisasi Pangan, Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) dengan judul topik Kajian proses pengkajian keamanan pangan produk rekayasa genetika di Indonesia dan Amerika Serikat dibimbing oleh Pak Tri Atmowidi. Selama perkuliahan penulis pernah menjadi asisten praktikum mata kuliah Biologi Dasar, Perkembangan Hewan, Fisiologi Tumbuhan, Ekologi Dasar, Biologi Alga dan Lumut, dan Ilmu Lingkungan.

8 DAFTAR ISI Halaman DAFTAR TABEL. i DAFTAR GAMBAR. DAFTAR LAMPIRAN. i i PENDAHULUAN. 1 Latar Belakang 1 Tujuan... 1 BAHAN DAN METODE.. 1 Waktu dan Tempat.. 1 Metode... 1 Penentuan Titik Pengamatan.. 1 Koleksi Sampel Semut 1 Pengawetan dan Identifikasi Sampel.. 2 Analisis Data... 2 HASIL... 3 Deskripsi Lokasi Pengamatan 3 Diversitas Semut. 3 Keefektifan Penggunaan Jenis Atraktan. 5 PEMBAHASAN... 6 SIMPULAN DAN SARAN... 7 DAFTAR PUSTAKA 7 LAMPIRAN.. 9

9 2 DAFTAR TABEL Halaman 1 Data faktor lingkungan di lokasi penelitian Jumlah individu semut yang ditemukan pada S. caseolaris dan nilai Indeks Shannon-wiener (H ) dan Indeks Evennens (E) Nilai Indeks Kesamaan Sorensen Kuantitatif DAFTAR GAMBAR Halaman 1 Sketsa jalur pengamatan dan titik pengamatan di SMMA Koleksi sampel semut dengan menggunakan: penadah (a) dan perangkap (b) yang dipasang pada tumbuhan S. caseolaris Tumbuhan merambat (a) dan Nypa fracticans Wumbs (b) yang terdapat di lokasi penelitian. 3 4 Semut pada S. caseolaris: Tapinoma (a), Technomyrmex (b), Neivamyrmex (c), Camponotus sp1 (d), Camponotus sp2 (e), Euprenolepis (f), Oecophylla (g), Polyhachis sp1 (h), Polyhachis sp2 (i), Cardiocondyla (j), Crematogaster sp1 (k), Crematogaster sp2 (l), Tetramorium (m), Proceratium (n), Tetraponera sp1 (o), dan Tetraponera sp2 (p) 5 5 Rata-rata individu semut yang terperangkap pada perangkap dengan atraktan daging ikan laut (a), keju (b), dan gula (c) DAFTAR LAMPIRAN Halaman 1 Deskripsi jenis Sketsa morfologi semut.. 11

10 PENDAHULUAN Latar Belakang Mangrove atau hutan bakau adalah bentukan pohon atau hutan yang kompleks dan dinamik di pesisir, umumnya terbatas pada daerah subtropik dan tropik. Mangrove merupakan daerah ekosistem intertidal dengan tingkat produksi tinggi yang ditemukan di beberapa tempat, yaitu lingkungan pesisir yang tersembunyi, estuari, dan delta. Mangrove mendapat pengaruh pasang surut dan fluktuasi lingkungan yang tinggi khususnya gradien salinitas, yang dikendalikan faktor-faktor klimatik, seperti curah hujan dan evaporasi (Tomascik et al. 1997). Mangrove dalam ekosistem estuari memiliki peran penting dalam rantai makanan. Beragam hewan ditemukan berinteraksi dengan mangrove baik secara langsung maupun tidak langsung. Di perakaran mangrove dapat ditemukan ikan, kerang, kuda laut, beberapa kepiting yang bernaung, berkembang biak, mencari makan, dan berlindung (Walker & Wood 2005; May 2006). Selain itu, akar tumbuhan mangrove ditemukan berasosiasi dengan Cyanobakteria (Cronk & Fennessy 2001). Semut termasuk ke dalam famili Formicidae, superfamili Vespoidae, ordo Hymenoptera, dan kelas Insekta. Famili ini memiliki sekitar spesies, 296 genus dan 16 subfamili dengan spesies yang sudah dideskripsikan (Bolton 1994). Semut merupakan serangga yang paling dominan di bumi berdasarkan ekologi maupun jumlah individu. Studi mengenai ekologi semut penting dalam kajian ekologi dari komunitas biologi terrestrial (Rico-Gray & Oliveira 2007). Semut mewakili 50% biomassa hewan dan sekitar 90% jumlah individu pada suatu kanopi hutan hujan tropik. Beberapa subfamili semut yaitu, Myrmicinae, Formicinae, dan Dolichoderinae mempunyai proporsi tertinggi dari keseluruhan biomassa hewan pada suatu kanopi (Dejean et al. 2007). Dalam interaksinya dengan tumbuhan, semut memakan daun ataupun buah, membantu penyerbukan, dan melindungi tumbuhan dari herbivor (Rico-Gray & Oliveira 2007). Keberadaan semut dapat menginduksi tumbuhan untuk memproduksi makanan kaya energi, seperti ekstrafloral nectaries dan food bodies (Dejean et al. 2007). Suaka Margasatwa Muara Angke (SMMA) merupakan kawasan suaka alam dengan tipe ekosistem lahan basah (wetland). Kawasan SMMA dijadikan sebagai salah satu benteng pertahanan terakhir sistem penyangga untuk Provinsi DKI Jakarta dengan luas 25,02 Ha (BKSDA 2009). Jumlah dan komposisi spesies semut di suatu area dapat mengindikasikan stabilitas suatu ekosistem (Agosti et al. 2000). Sonneratia caseolaris sebagai tumbuhan utama yang tumbuh dominan, keberadaannya sangat penting dalam menunjang keberlangsungan dari kawasan ini. Dakir (2009) melaporkan terdapat 4 subfamili semut yang ditemukan pada kawasan mangrove SMMA yaitu Dolichoderinae, Formicinae, Myrmicinae, dan Pseudomyrmicinae. Kajian semut, sebagai serangga yang melimpah dan memiliki peran beragam di kawasan ini perlu dipelajari. Tujuan Penelitian ini bertujuan mempelajari diversitas semut di kawasan SMMA dan peranannya pada tumbuhan Sonneratia caseolaris. BAHAN DAN METODE Waktu dan Tempat Pengambilan sampel dilakukan pada bulan April, Mei dan Juni Identifikasi dilakukan di laboratorium Biosistematika dan Ekologi Hewan, Departemen Biologi FMIPA Institut Pertanian Bogor dan Laboratorium Entomologi LIPI Cibinong. Metode Penentuan Titik Pengamatan Lokasi pengambilan sampel ditentukan di sepanjang jalur interpretasi di SMMA, yang dibagi dalam 8 titik pengamatan. Jarak antara titik pengamatan ±10-30 m dan titik pengamatan dipilih secara acak (Gambar 1). Koleksi Sampel Semut Semut dikoleksi menggunakan dua metode, yaitu penadah (beating sheet) dengan ukuran 1x1 m dan perangkap (pittfall trap) (Gambar 2a dan 2b). Penadah diletakkan di bawah pohon, kemudian pohon digoyangkan selama 30 detik. Semut yang terjatuh selama selang waktu tersebut dikoleksi dan diawetkan dalam alkohol 70%. Perangkap yang digunakan berupa botol plastik yang diisi dengan cairan deterjen dan garam dengan atraktan berupa daging ikan laut, keju, dan air gula. Perangkap tersebut dipasang di pohon S. caseolaris pada ketinggian ±2,5 m dari batas pasang-surut terendah di 3 titik (Gambar 2b). Koleksi sampel dilakukan selama 3 hari setiap bulannya, yaitu bulan April, Mei, dan

11 2 Juni. Penadahan dilakukan setiap hari, sedangkan perangkap dipasang pada hari pertama dan pengambilan sampel dilakukan setiap 1x24 jam. Pada setiap kali pengambilan sampel dilakukan pengukuran komponenkomponen abiotik, yaitu suhu, kelembapan, dan kecepatan angin menggunakan Lutron LM B Keterangan: U : Arah mata angin A : Pintu masuk kawasan SMMA B : Ujung jalur interpretasi SMMA Gambar 1 Sketsa jalur pengamatan dan titik pengamatan SMMA. A a b Gambar 2 Koleksi sampel semut dengan menggunakan: penadah (a) dan perangkap (b) yang dipasang pada tumbuhan S. caseolaris.

12 3 Pengawetan dan Identifikasi Sampel Spesimen diawetkan secara basah dan kering. Awetan basah digunakan alkohol 70%, sedangkan awetan kering digunakan teknik mounting. Tahapan awetan kering dimulai dari mengeringkan sampel dengan kertas saring untuk menghilangkan alkohol, kemudian direkatkan pada ujung kertas segitiga yang bersifat netral. Setelah pelabelan spesimen disimpan dalam pemanas dengan suhu 30 0 C selama 7 hari dan 3-4 hari didalam pendingin (freezer). Selanjutnya sampel diidentifikasi sampai ke tingkat genus berdasarkan Bolton (1994). Analisis Data Data diversitas semut pada S. caseolaris dihitung dari rata-rata individu masing-masing perangkap dan dihitung indeks keanekaragamannya dengan menggunakan Indeks Shannon-Wiener dan Evennens (kemerataan) (H dan E) (Krebs 2001). Kesamaan populasi semut antar periode pengamatan dihitung dengan Indeks Sorensen kuantitatif (Magurran 1978). H = -Ʃ Pi ln Pi; Pi = ni/n; E = H /ln S; CN = 2jN/(aN+bN) Keterangan : H = indeks Shannon-Wiener ni = jumlah individu dalam genus ke-1 N = jumlah total individu seluruh genus Pi = proporsi genus ke-i terhadap total individu seluruh genus E = indeks kemerataan S = jumlah genus CN = indeks Sorensen jn = total individu terkecil yang ditemukan di ke-2 bulan pengambilan sampel an = jumlah individu di pengamatan A bn = jumlah individu di pengamatan B HASIL Deskripsi Lokasi Pengamatan Tumbuhan yang bersinggungan dengan S. caseolaris pada setiap titik pengamatan yaitu, tumbuhan merambat (Gambar 3a) dan nipa (Nypa fracticans Wurmb) (Gambar 3b). Setiap titik pengamatan memiliki kanopi yang seragam, yaitu sekitar 3 m, kecuali di titik pengamatan 3 (sekitar 1,2 m) dan 4 (sekitar 6 m). Faktor lingkungan di lokasi penelitian pada setiap bulan bervariasi. Intensitas cahaya yang terukur setiap bulannya bervariasi, yaitu lux, sedangkan kelembapan berfluktuasi setiap bulannya 59-78%. Suhu selama pengambilan sampel berkisar C (Tabel 1). Diversitas Semut Semut yang ditemukan di SMMA sebanyak 12 genus termasuk dalam 6 subfamili, yaitu Dolichoderinae, Ecitoninae, Formicinae, Myrmicinae, Ponerinae, dan Pseudomyrmicinae (Tabel 2). Camponotus, Oecophylla, dan Polyrhachis merupakan genus dengan jumlah individu paling banyak ditemukan pada setiap pengambilan sampel. Sedangkan Technomyrmex, Neivamyrmex, Euprenolepis, dan Tetramorium masingmasing hanya ditemukan sekali dalam 3 bulan pengambilan sampel. Tetramorium memiliki jumlah paling banyak (39 individu). Morfologi masing-masing jenis dapat dilihat pada Gambar 4. Total semut yang diperoleh selama penelitian adalah individu dengan nilai Indeks Shannon-Wiener dan Evennens masing-masing 0,9 dan 0,33. Nilai indeks Shannon-Wiener dan Evennens untuk metode penadah lebih tinggi (H = 2,34 dan E= 0,86) dibandingkan metode perangkap (H = 1,.02 dan E= 0,46). Berdasarkan bulan pengamatan, nilai indeks Shannon-Wiener tertinggi pada bulan Mei (H = 2,07), sedangkan Evennens pada bulan April (E= 0,86) (Tabel 2). a b Gambar 3 Tumbuhan merambat (a) dan Nypa fracticans Wumbs (b) yang terdapat di lokasi penelitian.

13

14 Tabel 1 Data faktor lingkungan di lokasi penelitian Parameter April Mei Juni Intensitas Cahaya (lux) 698 ( ) 982 ( ) ( ) Kelembapan (%RH) 72 (68-78) 63 (59-71) 68 (64-76) Suhu ( 0 C) 32 (30-33) 33 (31-33) 32 (31-34 Keterangan: nilai diluar tanda kurung () adalah rata-rata dan di dalam tanda kurung () menunjukkan nilai minimum-maksimum. Tabel 2 Jumlah individu semut yang ditemukan pada S. caseolaris dan nilai Indeks Shannon-Wiener (H ) dan Indeks Evennens (E) Subfamili Ʃ Individu Genus April Mei Juni Total Total a b a b a b a b Dolichoderinae Tapinoma Technomyrmex Ecitoninae Neivamyrmex Formicinae Camponotus sp Camponotus sp Euprenolepis Oecophylla Polyrhachis sp Polyrhachis sp Myrmicinae Cardiocondyla Crematogaster sp Crematogaster sp Tetramorium Ponerinae Proceratium Pseudomyrmicinae Tetraponera sp Tetraponera sp Subtotal Total H 1,9 1,9 2,07 1,04 1,93 0,46 2,34 0,76 0,9 E 0,86 0,35 0,9 0,5 0,84 0,22 0,86 0,34 0,33 Keterangan: a Metode Penadah; b Metode Perangkap

15 25 a b c d e f g h i j k l m n o p Gambar 4 Semut pada S. caseolaris: Tapinoma (a), Technomyrmex (b), Neivamyrmex (c), Camponotus sp1 (d), Camponotus sp2 (e), Euprenolepis (f), Oecophylla (g), Polyhachis sp1 (h), Polyhachis sp2 (i), Cardiocondyla (j), Crematogaster sp1 (k), Crematogaster sp2 (l), Tetramorium (m), Proceratium (n), Tetraponera sp1 (o), dan Tetraponera sp2 (p). Nilai Indeks Sorensen kuantitatif menunjukkan kesamaan populasi di setiap bulan pengambilan sampel. Bulan April dan Mei memiliki nilai kesamaan populasi tertinggi dengan nilai 0.64 (Tabel 3). Tabel 3 Nilai Indeks Kesamaan Sorenses Kuantitatif IS ID April Mei Juni April 1 0,64 0,26 Mei 0,36 1 0,33 Juni 0,74 0,67 1 Keefektifan Penggunaan Jenis Atraktan Penggunaan berbagai macam atraktan pada metode perangkap menunjukkan hasil yang berbeda. Semut memiliki ketertarikan terhadap atraktan ikan laut yang lebih tinggi dibandingkan penggunaan atraktan keju dan air gula. Pada perangkap dengan atraktan ikan laut, ditemukan rata-rata 42 individu semut, sedangkan keju dan air gula masing-masing ditemukan rata-rata 3 dan 1 individu (Gambar 5). Camponotus sp., Polyrhachis sp., dan Oecophylla sp. merupakan semut yang umumnya ditemukan pada perangkap dengan atraktan ikan laut. Perangkap dengan atraktan berupa keju lebih sering diganggu oleh Macaca fascicularis yang hidup di kawasan SMMA.

16 26 Gambar 5 Rata-rata individu semut yang terperangkap pada perangkap dengan atraktan daging ikan laut (a), keju (b), dan gula (c). PEMBAHASAN Potensi keragaman semut pada kawasan SMMA terlihat dari jumlah jenis yang ditemukan. Jumlah genus semut yang ditemukan dalam penelitian ini lebih tinggi jika dibandingkan dengan yang diperoleh pada kebun cabai (6 genus) (Annie et al., 2007), namun lebih rendah jika dibandingkan pada persawahan (22 genus) (Setiani et al. 2010). Dalam penelitian ini, jumlah subfamili yang ditemukan lebih banyak jika dibandingkan dengan laporan Dakir (2009), yaitu penambahan subfamili Ecitoninae. Perbedaan tersebut diakibatkan oleh beberapa hal, yaitu teknik, waktu, dan tipe vegetasi pengambilan sampel. Camponotus, Oecophylla, dan Polyrhachis merupakan genus dengan jumlah individu yang banyak ditemukan. Camponotus dan Oecophylla dilaporkan bersarang di S. caseolaris (Nielsen 1997; 2000; Offenberg et al. 2006). Nielsen (2000) melaporkan Camponotus memiliki sarang berukuran kecil dan tersebar di batang S. caseolaris, sedangkan Oecophylla dan Polyrhachis sering kali bertindak sebagai predator utama yang aktif menyambangi S. caseolaris. Camponatus sp. memiliki kelimpahan yang paling tinggi. Berdasarkan laporan Nielsen (2000) pada S. alba, dari total 278 sarang yang ditemukan di dalam batang sekitar 81% merupakan sarang dari Camponatus sp.. Camponatus sp. memiliki sarang yang berukuran kecil dan tersebar memungkinkan genus ini dapat beradaptasi dengan baik pada S. caseolaris. Polyrhachis sp. dengan kemerataan yang tinggi, baik pada metode penadah maupun perangkap. Pergerakan Polyrhachis sp. yang aktif mencari makan mengelilingi pohon S. caseolaris dan tertarik dengan atraktan ikan laut, menyebabkan genus ini menjadi salah satu genus dengan kelimpahan yang tinggi. Ketiga genus tersebut diketahui berinteraksi tropobion dengan Homoptera dan larva Lycanidae. Interaksi tropobion adalah interaksi semut dan tumbuhan, dimana semut mendapatkan akses ke sumber makanan dengan membantu suatu tumbuhan untuk bertahan hidup (Lach et al. 2010). Offenberg (2004) melaporkan bahwa keberadaan Oecophylla berkorelasi negatif secara langsung maupun tidak langsung dengan keberadaan herbivor pada Rhizophora mucronata Lam. Beberapa individu semut, yaitu Technomyrmex, Neivamyrmex, Euprenolepis, dan Tetramorium hanya ditemukan pada 1 bulan pengambilan sampel. Penyebaran komposisi dan sebaran genus yang tidak merata pada S. caseolaris dapat disebabkan oleh perilaku mencari makan, struktur koloni, dan keberadaan sarang. Dejean et al. (2007) melaporkan sebagian besar Myrmicinae, Formicinae, dan Dolichoderinae bersarang di bawah tanah, namun para pekerja umumnya mencari makan pada tumbuhan dengan mengumpulkan eksudat ataupun serangga lain misalnya Homoptera. Nilai Indeks Shannon-Wiener menunjukkan diversitas genus dilihat dari jumlah genus dan jumlah relatif dari masing-masing genus. Indeks Evennens menunjukkan komposisi jumlah individu dari masingmasing jenis pada suatu pengamatan. Nilai Indeks Shannon-Wiener pada penelitian ini tergolong rendah, sementara laporan Dakir (2009) ditempat yang sama tergolong sedang. Selain itu Supriatna (2002) melaporkan nilai Indeks Shannon-Wiener individu serangga pada hutan tumbuhan jati masuk ke dalam kategori sedang. Menurut Agosti et al. (2000) studi biodiversitas yang efektif terfokus pada organisme yang memiliki beberapa kriteria, yaitu membentuk grup yang beragam, proporsi besar pada biomassa di suatu area, dan juga menunjukkan pentingnya keberadaannya secara ekologi dalam ekosistem. Setiap organisme berkontribusi untuk kelangsungan ekosistem berperanan penting dalam jaring makanan (Walker & Wood 2005). Nilai indeks Evennens yang rendah dikarenakan komposisi jumlah dari masing-masing genus semut sangat bervariasi, hal tersebut dipengaruhi oleh beberapa hal, yaitu siklus hidup; kerapatan; nutrisi; habitat

17 7 dan kondisi makanan dan mekanisme dispersal (Schowalker 2006). Komposisi dan jumlah individu per genus berbeda untuk setiap bulannya. Nilai Indeks Shannon-Wiener dan Evennens pada bulan Juni rendah terutama pada metode perangkap. Selain itu, nilai Indeks Kesamaan Sorensens kuantitatif yang menunjukkan bulan Juni memiliki komposisi yang paling berbeda dibandingkan kedua bulan lainnya. Pada bulan Mei nilai kelembapan lebih rendah dibandingkan bulan April dan Juni. Kelembapan menunjukkan rasio uap air aktual dari udara pada suhu tertentu. Tingginya rasio area permukaan yang kehilangan air pada serangga sangat berbahaya, terutama untuk lingkungan terestrial (Gullan & Cranston 2012). Lingkungan yang lembap menyebabkan individu semut tidak aktif bergerak, karena serangga membutuhkan panas untuk beraktivitas. Berdasarkan kedua metode yang digunakan, metode penadah lebih efektif untuk koleksi semut pada kawasan ini. Pengamatan menggunakan metode penadah lebih banyak mendapatkan genus yang berbeda dengan komposisi yang tidak jauh berbeda dibandingkan metode perangkap. Semakin rendah komposisi masing-masing genus nilai Indeks Evennens juga semakin rendah. Penggunaan ikan laut sebagai atraktan lebih efektif menarik semut dibandingkan dengan keju maupun air gula. Kebutuhan akan protein menyebabkan beberapa semut, terutama semut predator tertarik pada ikan laut. Beberapa studi menunjukkan dalam pemenuhan kebutuhan akan protein, semut memangsa serangga lain, di antaranya yaitu Myzolocenium sp2, Alecanopsis sp., Bactrocera dorsalis, dan larva hama penggerek tumbuhan kakao (Neilson 2000; Annie et al. 2007; Nuriadi 2011). Secara umum, semut diketahui dapat mengkonsumsi berbagai jenis makanan mulai dari embun madu (honeydew), food bodies, elaiosome (struktur yang dapat berupa lipid atau protein yang menempel pada benih suatu tumbuhan), dan daging ayam (Nielsen. 2000; Lach et al. 2010; Nuriadi 2011). Lach et al. (2010) menyatakan penggunaan atraktan yang umumnya menggunakan protein, lemak, maupun makanan yang kaya akan karbohidrat sangat baik digunakan untuk studi tingkah laku semut. SIMPULAN DAN SARAN Simpulan Dua belas genus semut yang termasuk dalam 6 subfamili ditemukan pada kawasan Suaka Margasatwa Muara Angke. Camponotus, Oecophylla, dan Polyrhachis merupakan genus yang dominan. Nilai Indeks Shannon-Wiener dan Evennens semut di kawasan tersebut menunjukkan kategori rendah. Semut predator ditemukan dominan pada S. caseolaris dan berperan sebagai penjaga tumbuhan S. caseolaris dari herbivor yang merugikan. Saran Perlu dilakukan pemantauan keragaman semut di kawasan Suaka Margasatwa Muara Angke. Selain itu juga dibutuhkan penelitian mengenai tingkah laku individu semut yang berinteraksi langsung dengan S. caseolaris guna mengetahui lebih lanjut peranannya secara ekologi. Pembaharuan metode penggunaan atraktan diperlukan untuk hasil yang lebih efektif. DAFTAR PUSTAKA Agosti D, Majer DJ, Alonso EL, Schultz RT Ants: Standart Methods for Measuring and Monitoring Biodiversity. Washington: The Smithsonian Institusion Press. Anis Suaka Margasatwa Muara Angke. Terhubung berkala aka-margasatwa/ (30 September 2012). Annie PS, Agus N, Ngatimin SN, Zulfitriany DM Keanekaragaman musuh alami lalat buah Bactrocera dorsalis Hendel (Diptera: Tephritidae) pada tumbuhan cabai. Prosiding Seminar Ilmiah dan Pertemuan Tahunan PEI dan PFI XVIII Komda Sul-Sel. Bolton B The Identification Guide to the Ant Genera of The World. Cambridge: Harvard University Press. Campbell NA, Reece JB, Urry LA, Cain ML, Wasserman SA, Minorsky PV, Jackson RB Biology 8 th ed. San Fransisco: Benjamin-Cummings Publishing Company. Cronk KJ, Fennessy SM Wetland Plants: Biology and Ecology. Florida: Lewis Publisher. Dakir Keanekaragaman dan komposisi spesies semut (Hymenoptera: Formicidae) pada vegetasi mangrove Kabupaten Kolaka Sulawesi Tenggara

18 28 dan Muara Angke Jakarta. [tesis]. Bogor: Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Dejean A, Corbara B, Orivel J, Maurice L Rainforest canopy ants: the implications of territoriality and predatory behavior. Func. Ecosys. & Comm. 1: Gullan PJ, Cranston PS The Insects an Outline of Entomology Fourth Edition. London: Blackwell Publishing. Krebs CJ Ecology:The Experimental Analysis of Distribution and Abundance 5 th ed. New York: Addison Wesley Longman. Lach L, Parr CL, Abbott KL Ant Ecology. United State: Oxford University Press. Magurran AE Ecological Diversity and Its Measurement. New Jersey: Princeton Univ Press. May S Invasive Aquatic and Wetland Plants. New York: Infobase Publishing. Nielsen MG Nesting Biology of The Mangrove Mud-Nesting Ant Polyrhachis sokolova Forel (Hymenoptera: Formicidae) in Northern Australia. Insectes Sciaux. 44: Nielsen MG Distribution of the ant (Hymenoptera: Formicidae) fauna in the canopy of the mangrove tree Sonneratia alba J. Smith in Northern Australia. Aus. J. Entomol. 39: Nuriadi Praktek budidaya kakao dan prospek pemanfaatan semut hitam dan semut rangrang untuk pengendalian hama penggerek buah kakao di Kabupaten Kolaka Provinsi Sulawesi Tenggara. [tesis]. Bogor: Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Offenberg J Observations on the ecology of weaver ants (Oecophylla smaradigna Fabricius) in a thai mangrove ecosystem and their effect on herbivory of Rhizophora mucronata Lam.. Biotropica. 36: Offenberg J, Macintosh DJ, Aksornkoae S, Havanon S Weaver ant increase prematur loss of leaves used for nest construction in Rhizophora trees. Biotropica. 38: Rico-Gray Victor, Oliveira PS The Ecology and Evolution of Ant-Plant Interactions. London: The University of Chicago Press. Schowalker TD Insect Ecology : An Ecosystem Approach. London: Elsevier. Setiani EA, Rizali A, Moerfiah, Sahari B, Buchori D Keanekaragaman semut pada persawahan di daerah urban: investigasi pengaruh habitat sekitar dan perbedaan umur tumbuhan padi. J. Entomol. Indones. 7: Supriatna J Inventarisasi hama dan penyakit jati emas (Tectona grandis L.f.) di Ma'Had Al Zaytun, Indramayu, Jawa Barat. [skripsi]. Jurusan Hama dan Penyakit Tumbuhan Fakultas Pertanian Institut Pertanian Bogor. Tomascik T, Janice MA, Nontji A, Kasim MM The Ecology of The Indonesian Seas Part II. Singapura: Barkeley Books Private. Walker P, Wood E. The Saltwater Wetland New York: Facts On File, Inc.

19

20

21 . LAMPIRAN

22 10 10 Lampiran 1 Deskripsi jenis Subfamili Dolichoderinae Tapinoma sp.: Memiliki petiole memanjang terlihat dari samping, pygidium dan hypopygidium polos, dan segmen tergite berjumlah 4 terlihat dari samping. Technomyrmex sp. sekilas petiole tidak terlihat tertutup oleh gaster, pygidium dan hypopygidium polos, kedua mata berukuran moderate hitam, dan terdapat 3 segmen tergite. Subfamili Ecitoninae Neivamyrmex sp.: Tidak memiliki mata, promesonotal suture vestigial, dan preapical tooth dari pretarsal claws pada tungkai tengah dan belakangnya tidak ada. Subfamili Formicinae Camponatus sp.: Memiliki panjang tergite pada gastral pertama kurang dari setengah total panjang gastral, tidak adanya gigi atau duri pada petiole, tidak adanya metapleural gland orifice, mata berukuran moderate, petiole dengan node, dan mandible subtriangular, 12 segmen antenna. Euprenolepis sp.: Memiliki mesonotum dan anepisternum menyempit-memanjang, maxillary palp dengan 2-4 segmen, adanya metapleural gland orifice, mandible subtriangular, dan 12 segmen antenna. Oecophylla sp.: Memiliki petiole yang memanjang, mandible subtriangular, dan 12 segmen antenna. Polyrhachis sp.: Memiliki panjang tergite pertama lebih dari setengah total panjang tergite, adanya duri pada pronotum, propodeum, dan petiole; tidak adanya metapleural gland orifice, mata berukuran moderate, petiole dengan node, dan mandible subtriangular, 12 segmen antenna. Subfamili Myrmicinae Cardiocondyla sp.: Memiliki palp formula 5, 3; frontal lobe terpisah berjauhan; antenna 12 segmen; segmen antenna apical dan preapical lebih besar dibandingkan segmen yang lain;petiole node; dan antennal scrobe tidak ada. Crematogaster sp.: Memiliki petiole yang memanjang, dan antennal scrobe tidak ada. Tetramorium sp.: Mata berada di sisi kepala tepat pada pertengahan kepala, lateral portion of clypeus membentuk dinding pelindung di depan antennal insertion, palp formula, antenna 12 segmen, adanya mata, segmen 2-4 tergite memiliki bentuk yang sama dengan segmen 1,segmen apikal dan preapikal tidak membesar, petiole node; dan antennal scrobe tidak ada. Subfamili Ponerinae Proceratium sp.: Dengan ciri gigi pada mandible 3 atau lebih, spirakel pada gastral tertutup, pygidium dan hypopygium memiliki bulu-bulu, ada mata, tergite pada segmen pertama menempel dengan kuat, antennal socket terlihat, mandible triangular, dan petiole menempel pada gastral dengan sambungan yang menyempit. Subfamili Pseudomyrmicinae Tetraponera sp.: Basal margin dari mandible unarmed, antenna 12 segmen, ada premesonotal suture, hind tibia dengan pectinate apical spur, ada mata, frontal lobes tidak ada, pygidium bulat dan kecil, adanya petiole dan postpetiole.

23 Lampiran 2 Sketsa morfologi semut 11

KEANEKARAGAMAN SEMUT (Hymenoptera: Formicidae) DI SEKITAR KAMPUS PINANG MASAK UNIVERSITAS JAMBI

KEANEKARAGAMAN SEMUT (Hymenoptera: Formicidae) DI SEKITAR KAMPUS PINANG MASAK UNIVERSITAS JAMBI KEANEKARAGAMAN SEMUT (Hymenoptera: Formicidae) DI SEKITAR KAMPUS PINANG MASAK UNIVERSITAS JAMBI SKRIPSI OLEH INAYATI AL RAHIM A1C410004 FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN UNIVERSITAS JAMBI JULI, 2016

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Perkebunan memiliki peran yang penting dalam pembangunan nasional,

I. PENDAHULUAN. Perkebunan memiliki peran yang penting dalam pembangunan nasional, 1 I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Perkebunan memiliki peran yang penting dalam pembangunan nasional, khususnya pembangunan sektor pertanian. Perkebunan juga berperan dalam membangun perekonomian nasional,

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. Metode penelitian yang dilakukan merupakan penelitian deskriptif, yang. sensus atau dengan menggunakan sampel (Nazir,1999).

BAB III METODE PENELITIAN. Metode penelitian yang dilakukan merupakan penelitian deskriptif, yang. sensus atau dengan menggunakan sampel (Nazir,1999). 26 BAB III METODE PENELITIAN A. Jenis Penelitian Metode penelitian yang dilakukan merupakan penelitian deskriptif, yang merupakan suatu penyelidikan terhadap sejumlah individu, baik secara sensus atau

Lebih terperinci

Gambar 2.1. Peta Lokasi Penelitian

Gambar 2.1. Peta Lokasi Penelitian II. METODE PENELITIAN A. Materi, Lokasi dan Waktu Penelitian, Deskripsi Lokasi 1. Materi Penelitian a. Bahan Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah semut, alkohol 70% dan gliserin. b. Alat Alat-alat

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Desember 2013 sampai bulan Februari

III. METODE PENELITIAN. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Desember 2013 sampai bulan Februari 23 III. METODE PENELITIAN A. Waktu dan Tempat Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Desember 2013 sampai bulan Februari 2014 di perkebunan kopi rakyat yang menanam spesies Coffea robusta di Pekon Ngarip,

Lebih terperinci

KEANEKARAGAMAN SERANGGA HYMENOPTERA (KHUSUSNYA PARASITOID) PADA AREAL PERSAWAHAN, KEBUN SAYUR DAN HUTAN DI DAERAH BOGOR TJUT AHMAD PERDANA R.

KEANEKARAGAMAN SERANGGA HYMENOPTERA (KHUSUSNYA PARASITOID) PADA AREAL PERSAWAHAN, KEBUN SAYUR DAN HUTAN DI DAERAH BOGOR TJUT AHMAD PERDANA R. KEANEKARAGAMAN SERANGGA HYMENOPTERA (KHUSUSNYA PARASITOID) PADA AREAL PERSAWAHAN, KEBUN SAYUR DAN HUTAN DI DAERAH BOGOR TJUT AHMAD PERDANA R. DEPARTEMEN PROTEKSI TANAMAN FAKULTAS PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN 0 BAB III METODE PENELITIAN A. Metode Penelitian Jenis penelitian yang digunakan adalah penelitian deskriptif. Metode deskriptif adalah suatu penelitian untuk membuat deskripsi, gambaran atau lukisan secara

Lebih terperinci

DAFTAR PUSTAKA. Bolton, B Identification Guide to the Ant Genera of the World. Harvard University Press. London. 222p.

DAFTAR PUSTAKA. Bolton, B Identification Guide to the Ant Genera of the World. Harvard University Press. London. 222p. DAFTAR PUSTAKA Bolton, B. 1994. Identification Guide to the Ant Genera of the World. Harvard University Press. London. 222p. Crossley, J.R., D.A, Mueller, & K.E Linsenmair. 1992. Biodiversity of Microarthropods

Lebih terperinci

EKOLOGI. KOMUNITAS bag. 2 TEMA 5. Program Studi Tadris Biologi Fakultas Tarbiyah dan Ilmu Keguruan Institut Agama Islam Negeri Jember

EKOLOGI. KOMUNITAS bag. 2 TEMA 5. Program Studi Tadris Biologi Fakultas Tarbiyah dan Ilmu Keguruan Institut Agama Islam Negeri Jember EKOLOGI TEMA 5 KOMUNITAS bag. 2 Program Studi Tadris Biologi Fakultas Tarbiyah dan Ilmu Keguruan Institut Agama Islam Negeri Jember KOMUNITAS Keanekaragaman Komunitas Pola Komunitas dan Ekoton Keanekaragaman

Lebih terperinci

METODE A. Waktu dan Tempat Penelitian

METODE A. Waktu dan Tempat Penelitian 11 METODE A. Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian dilakukan dari bulan Januari sampai Juni 2009. Pengamatan serangga dilakukan di dua lokasi, yaitu pada pertanaman H. multifora di lingkungan Kampus Institut

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. Jenis penelitian yang digunakan adalah penelitian deskriptif. Metode

BAB III METODE PENELITIAN. Jenis penelitian yang digunakan adalah penelitian deskriptif. Metode BAB III METODE PENELITIAN A. Jenis Penelitian Jenis penelitian yang digunakan adalah penelitian deskriptif. Metode deskriptif adalah suatu penelitian untuk membuat deskripsi, gambaran atau lukisan secara

Lebih terperinci

STRUKTUR KOMUNITAS MANGROVE DI DESA MARTAJASAH KABUPATEN BANGKALAN

STRUKTUR KOMUNITAS MANGROVE DI DESA MARTAJASAH KABUPATEN BANGKALAN STRUKTUR KOMUNITAS MANGROVE DI DESA MARTAJASAH KABUPATEN BANGKALAN Supriadi, Agus Romadhon, Akhmad Farid Program Studi Ilmu Kelautan Universitas Trunojoyo Madura e-mail: akhmadfarid@trunojoyo.ac.id ABSTRAK

Lebih terperinci

Keragaman Semut di Kampus IPB, Darmaga dan di Kawasan Cagar Alam Telaga Warna (CATW) Taruni Sri Prawasti, Ruth Martha Winnie, Jazirotul Fitriati

Keragaman Semut di Kampus IPB, Darmaga dan di Kawasan Cagar Alam Telaga Warna (CATW) Taruni Sri Prawasti, Ruth Martha Winnie, Jazirotul Fitriati -- Keragaman Semut di Kampus IPB, Darmaga dan di Kawasan Cagar Alam Telaga Warna (CATW) Taruni Sri Prawasti, Ruth Martha Winnie, Jazirotul Fitriati Latar Belakang PENDAHULUAN Semut (Hymenoptera: Formicidae)

Lebih terperinci

IDENTIFIKASI SERANGGA YANG TERPERANGKAP PADA KANTONGSEMAR(Nepenthes spp.) Di KAWASAN KAMPUS UIN SUSKA RIAU

IDENTIFIKASI SERANGGA YANG TERPERANGKAP PADA KANTONGSEMAR(Nepenthes spp.) Di KAWASAN KAMPUS UIN SUSKA RIAU SKRIPSI IDENTIFIKASI SERANGGA YANG TERPERANGKAP PADA KANTONGSEMAR(Nepenthes spp.) Di KAWASAN KAMPUS UIN SUSKA RIAU Oleh: Zakaria 11082100687 PROGRAM STUDI AGROTEKNOLOGI FAKULTAS PERTANIAN DAN PETERNAKAN

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. lainnnya yang tersebar luas dari Sabang sampai Merauke. Menurut Ummi (2007)

BAB I PENDAHULUAN. lainnnya yang tersebar luas dari Sabang sampai Merauke. Menurut Ummi (2007) 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia merupakan negara dengan keanekaragaman hayati nomor dua di dunia yang memiliki keanekaragaman flora, fauna, dan berbagai kekayaan alam lainnnya yang tersebar

Lebih terperinci

Keanekaragaman Jenis dan Pola Distribusi Nepenthes spp di Gunung Semahung Kecamatan Sengah Temila Kabupaten Landak

Keanekaragaman Jenis dan Pola Distribusi Nepenthes spp di Gunung Semahung Kecamatan Sengah Temila Kabupaten Landak Vol. 2 (1): 1 6 Keanekaragaman Jenis dan Pola Distribusi Nepenthes spp di Gunung Semahung Kecamatan Sengah Temila Kabupaten Landak Gustap Baloari 1, Riza Linda 1, Mukarlina 1 1 Program Studi Biologi, Fakultas

Lebih terperinci

AKILMAD RIZALI. Keragaman Serangga dan Peranannya pada Daerah Persawahan

AKILMAD RIZALI. Keragaman Serangga dan Peranannya pada Daerah Persawahan AKILMAD RIZALI. Keragaman Serangga dan Peranannya pada Daerah Persawahan di Taman Nasional Gunung Halimun, Desa Malasari, Kabupaten Bogor, Jawa Barat (Di bawah bimbingan Damayanti Buchori dan Hermanu Triwidodo).

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. Penelitian ini dilakukan dengan pengamatan secara langsung ke lokasi, yaitu

BAB III METODE PENELITIAN. Penelitian ini dilakukan dengan pengamatan secara langsung ke lokasi, yaitu 46 BAB III METODE PENELITIAN A. Jenis penelitian Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan kualitatif. Penelitian ini dilakukan dengan pengamatan secara langsung ke lokasi, yaitu

Lebih terperinci

C028 PENGARUH ALIH FUNGSI LAHAN TERHADAP KEANEKARAGAMAN SEMUT DALAM HUTAN LINDUNG GUNUNG NONA-AMBON.

C028 PENGARUH ALIH FUNGSI LAHAN TERHADAP KEANEKARAGAMAN SEMUT DALAM HUTAN LINDUNG GUNUNG NONA-AMBON. C028 PENGARUH ALIH FUNGSI LAHAN TERHADAP KEANEKARAGAMAN SEMUT DALAM HUTAN LINDUNG GUNUNG NONA-AMBON Fransina S. Latumahina 1 dan Agus Ismanto 2 1 Mahasiswa Program Doktor Fak. Kehutanan UGM & Staf Pengajar

Lebih terperinci

ABSTRAK DIVERSITAS SERANGGA HUTAN TANAH GAMBUT DI PALANGKARAYA KALIMANTAN TENGAH

ABSTRAK DIVERSITAS SERANGGA HUTAN TANAH GAMBUT DI PALANGKARAYA KALIMANTAN TENGAH viii ABSTRAK DIVERSITAS SERANGGA HUTAN TANAH GAMBUT DI PALANGKARAYA KALIMANTAN TENGAH Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui keragaman serangga (insecta) dan tumbuhan yang digunakan sebagai habitat

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. Metode penelitian yang dilakukan adalah deskriptif - eksploratif, yang

BAB III METODE PENELITIAN. Metode penelitian yang dilakukan adalah deskriptif - eksploratif, yang 36 BAB III METODE PENELITIAN A. Metode Penelitian Metode penelitian yang dilakukan adalah deskriptif - eksploratif, yang merupakan suatu penyelidikan terhadap sejumlah individu, baik secara sensus atau

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN BAB III METODE PENELITIAN A. Jenis Penelitian Metode penelitian yang dilakukan adalah deskriptif, yang merupakan suatu penyelidikan terhadap sejumlah individu, baik secara sensus atau dengan menggunakan

Lebih terperinci

I. MATERI DAN METODE PENELITIAN Letak Giografis Lokasi Penelitian Pekanbaru terletak pada titik koordinat 101 o o 34 BT dan 0 o 25-

I. MATERI DAN METODE PENELITIAN Letak Giografis Lokasi Penelitian Pekanbaru terletak pada titik koordinat 101 o o 34 BT dan 0 o 25- I. MATERI DAN METODE PENELITIAN 3.1. Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di laboratorium Patologi, Entomologi, dan Mikrobiologi (PEM) dan lahan kampus Universitas Islam Negeri Sultan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Semut (Hymenoptera: Formicidae) memiliki jumlah jenis dan

BAB I PENDAHULUAN. Semut (Hymenoptera: Formicidae) memiliki jumlah jenis dan BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Semut (Hymenoptera: Formicidae) memiliki jumlah jenis dan populasi yang berlimpah, terdiri dari 16 sub famili, 296 genus dan 15.000 spesies yang telah teridentifikasi

Lebih terperinci

DIVERSITAS SEMUT (HYMENOPTERA, FORMICIDAE) DI BEBERAPA KETINGGIAN VERTIKAL DI KAWASAN CAGAR ALAM TELAGA WARNA JAWA BARAT MEIRY FADILAH NOOR

DIVERSITAS SEMUT (HYMENOPTERA, FORMICIDAE) DI BEBERAPA KETINGGIAN VERTIKAL DI KAWASAN CAGAR ALAM TELAGA WARNA JAWA BARAT MEIRY FADILAH NOOR DIVERSITAS SEMUT (HYMENOPTERA, FORMICIDAE) DI BEBERAPA KETINGGIAN VERTIKAL DI KAWASAN CAGAR ALAM TELAGA WARNA JAWA BARAT MEIRY FADILAH NOOR SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2008 ABSTRACT

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN BAB III METODE PENELITIAN A. Metode Penelitian Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode deskriptif, karena metode deskriptif adalah studi untuk menemukan fakta dengan interpretasi yang

Lebih terperinci

I. TINJAUAN PUSTAKA. dalam tanah atau sarang-sarang lainnya. Terbangnya semut ini diikuti karena

I. TINJAUAN PUSTAKA. dalam tanah atau sarang-sarang lainnya. Terbangnya semut ini diikuti karena I. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Biologi Semut Semut memiliki tempat hidup dimana-mana disegala daratan dunia, kecuali diperairan. Semut sangat mempunyai banyak jenisnya, semut ini termasuk serangga sosial, prilaku

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Menurut Rukmana (1997), sistematika tanaman jagung (Zea mays L.) adalah sebagai

TINJAUAN PUSTAKA. Menurut Rukmana (1997), sistematika tanaman jagung (Zea mays L.) adalah sebagai TINJAUAN PUSTAKA Ekologi Tanaman Jagung berikut : Menurut Rukmana (1997), sistematika tanaman jagung (Zea mays L.) adalah sebagai Kingdom Divisi Subdivisi Kelas Ordo Famili Genus : Plantae : Spermatophyta

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. yaitu mendapatkan makanan, suhu yang tepat untuk hidup, atau mendapatkan

BAB I PENDAHULUAN. yaitu mendapatkan makanan, suhu yang tepat untuk hidup, atau mendapatkan 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Setiap makhluk hidup yang berada di suatu lingkungan akan saling berinteraksi, interaksi terjadi antara makhluk hidup dengan makhluk hidup itu sendiri maupun makhluk

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Indonesia merupakan negara kepulauan yang mempunyai kawasan pesisir yang cukup luas, dan sebagian besar kawasan tersebut ditumbuhi mangrove yang lebarnya dari beberapa

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN BAB III METODE PENELITIAN A. Jenis Penelitian Jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini merupakan penelitian deskriptif yakni penelitian yang bertujuan untuk membuat deskripsi, gambaran atau

Lebih terperinci

Keanekaragaman Parasitoid dan Parasitisasinya pada Pertanaman Padi di Kawasan Taman Nasional Gunung Halimun

Keanekaragaman Parasitoid dan Parasitisasinya pada Pertanaman Padi di Kawasan Taman Nasional Gunung Halimun Hayati, September 2003, hlm. 85-90 ISSN 0854-8587 Vol. 10. No. 3 Keanekaragaman Parasitoid dan Parasitisasinya pada Pertanaman Padi di Kawasan Taman Nasional Gunung Halimun Diversity and Parasitism of

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN 31 BAB III METODE PENELITIAN A. Jenis Penelitian Jenis penelitian yang digunakan adalah penelitian deskriptif. Metode deskriptif adalah suatu penelitian untuk membuat deskripsi, gambaran atau lukisan secara

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN 51 BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Jenis Penelitian Penelitian ini termasuk jenis penelitian deskriptif kuantitatif. Menurut Sugiyono (2013), metode penelitian kuanitatif merupakan metode penelitian yang

Lebih terperinci

PENGARUH SALINITAS TERHADAP PERTUMBUHAN DAN BIOMASSA SEMAI NON-SEKRESI Ceriops tagal DAN KANDUNGAN LIPID PADA TINGKAT POHON

PENGARUH SALINITAS TERHADAP PERTUMBUHAN DAN BIOMASSA SEMAI NON-SEKRESI Ceriops tagal DAN KANDUNGAN LIPID PADA TINGKAT POHON PENGARUH SALINITAS TERHADAP PERTUMBUHAN DAN BIOMASSA SEMAI NON-SEKRESI Ceriops tagal DAN KANDUNGAN LIPID PADA TINGKAT POHON RAMAYANI 081201030 PROGRAM STUDI KEHUTANAN FAKULTAS PERTANIAN UNIVERSITAS SUMATERA

Lebih terperinci

RESPON PERTUMBUHAN DAN BIOMASSA SEMAI Bakau Minyak (Rhizopora apiculata BI) TERHADAP SALINITAS DAN KANDUNGAN LIPIDNYA PADA TINGKAT POHON

RESPON PERTUMBUHAN DAN BIOMASSA SEMAI Bakau Minyak (Rhizopora apiculata BI) TERHADAP SALINITAS DAN KANDUNGAN LIPIDNYA PADA TINGKAT POHON RESPON PERTUMBUHAN DAN BIOMASSA SEMAI Bakau Minyak (Rhizopora apiculata BI) TERHADAP SALINITAS DAN KANDUNGAN LIPIDNYA PADA TINGKAT POHON HASIL PENELITIAN Oleh: PRAYUNITA 081202033/BUDIDAYA HUTAN PROGRAM

Lebih terperinci

III. METODOLOGI PENELITIAN. tiga tipe kebun kakao di Desa Cipadang. Secara administratif, Desa Cipadang

III. METODOLOGI PENELITIAN. tiga tipe kebun kakao di Desa Cipadang. Secara administratif, Desa Cipadang 23 III. METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini menggunakan metode survai, yaitu pengambilan sampel semut pada tiga tipe kebun kakao di Desa Cipadang. Secara administratif,

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. langsung dari lokasi pengamatan. Parameter yang diukur dalam penelitian adalah

BAB III METODE PENELITIAN. langsung dari lokasi pengamatan. Parameter yang diukur dalam penelitian adalah BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Rancangan Penelitian Penelitian ini termasuk jenis penelitian diskriptif kuantitatif. Pengambilan data menggunakan metode eksplorasi, yaitu pengamatan atau pengambilan sampel

Lebih terperinci

BAB III KERAGAMAN SPECIES SEMUT PADA EKOSISTEM TERGANGGU DI KAWASAN CAGAR ALAM TELAGA WARNA JAWA BARAT

BAB III KERAGAMAN SPECIES SEMUT PADA EKOSISTEM TERGANGGU DI KAWASAN CAGAR ALAM TELAGA WARNA JAWA BARAT BAB III KERAGAMAN SPECIES SEMUT PADA EKOSISTEM TERGANGGU DI KAWASAN CAGAR ALAM TELAGA WARNA JAWA BARAT PENDAHULUAN Semut (Formicidae:Hymenoptera) merupakan hewan Avertebrata komponen terestrial yang melimpah

Lebih terperinci

I. TINJAUAN PUSTAKA. Tebu (Saccharum officinarum L.) termasuk dalam suku Poaceae, yaitu jenis

I. TINJAUAN PUSTAKA. Tebu (Saccharum officinarum L.) termasuk dalam suku Poaceae, yaitu jenis I. TINJAUAN PUSTAKA A. Tanaman Tebu Tebu (Saccharum officinarum L.) termasuk dalam suku Poaceae, yaitu jenis rumput-rumputan dan hanya tumbuh di daerah beriklim tropis termasuk Indonesia. Dalam marga Saccharum

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. Penelitian ini termasuk jenis penelitian diskriptif kuantitatif. Pengambilan

BAB III METODE PENELITIAN. Penelitian ini termasuk jenis penelitian diskriptif kuantitatif. Pengambilan BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Rancangan Penelitian Penelitian ini termasuk jenis penelitian diskriptif kuantitatif. Pengambilan data menggunakan metode eksplorasi yaitu dengan mengadakan pengamatan terhadap

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. Jenis penelitian yang digunakan bersifat deskriptif kuantitatif. Pengamatan

BAB III METODE PENELITIAN. Jenis penelitian yang digunakan bersifat deskriptif kuantitatif. Pengamatan BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Rancangan Penelitian Jenis penelitian yang digunakan bersifat deskriptif kuantitatif. Pengamatan ini mengunakan metode petak. Metode petak merupakan metode yang paling umum

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. daya tarik tinggi baik untuk koleksi maupun objek penelitian adalah serangga

BAB I PENDAHULUAN. daya tarik tinggi baik untuk koleksi maupun objek penelitian adalah serangga 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia merupakan negara dengan kekayaan keanekaragaman jenis flora dan fauna yang tinggi. Salah satu kekayaan fauna di Indonesia yang memiliki daya tarik tinggi

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. yang dilaksanakan adalah penelitian survei yaitu menelusuri wilayah (gugus

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. yang dilaksanakan adalah penelitian survei yaitu menelusuri wilayah (gugus 42 BAB III METODOLOGI PENELITIAN A. Pendekatan dan Jenis Penelitian Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif. Jenis penelitian yang dilaksanakan adalah penelitian survei yaitu menelusuri wilayah

Lebih terperinci

PENGARUH ALIH FUNGSI LAHAN TERHADAP KEANEKARAGAMAN SEMUT ALAM HUTAN LINDUNG GUNUNG NONA-AMBON. Fransina S. Latumahina ABSTRACT

PENGARUH ALIH FUNGSI LAHAN TERHADAP KEANEKARAGAMAN SEMUT ALAM HUTAN LINDUNG GUNUNG NONA-AMBON. Fransina S. Latumahina ABSTRACT PENGARUH ALIH FUNGSI LAHAN TERHADAP KEANEKARAGAMAN SEMUT ALAM HUTAN LINDUNG GUNUNG NONA-AMBON Mahasiswa Program Doktor Fak. Kehutanan Univeritas Gadjah Mada - Yogyakarta ABSTRACT The aims of this study

Lebih terperinci

BAB IV METODE PENELITIAN

BAB IV METODE PENELITIAN BAB IV METODE PENELITIAN 4.1 Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian dilakukan selama dua bulan pengamatan dari bulan Juli hingga Agustus 2009 di Pondok Ambung, Taman Nasional Tanjung Puting, Kalimantan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kelembaban. Perbedaan ph, kelembaban, ukuran pori-pori, dan jenis makanan

BAB I PENDAHULUAN. kelembaban. Perbedaan ph, kelembaban, ukuran pori-pori, dan jenis makanan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Tanah merupakan habitat yang kompleks untuk organisme. Dibandingkan dengan media kultur murni di laboratorium, tanah sangat berbeda karena dua hal utama yaitu pada

Lebih terperinci

PREFERENSI MAKAN TIKUS RIUL (Rattus norvegicus Berk.) TERHADAP JENIS DAN VARIASI PENGOLAHAN PAKAN YANG BERBEDA SERTA PENGUJIAN RODENTISIDA

PREFERENSI MAKAN TIKUS RIUL (Rattus norvegicus Berk.) TERHADAP JENIS DAN VARIASI PENGOLAHAN PAKAN YANG BERBEDA SERTA PENGUJIAN RODENTISIDA PREFERENSI MAKAN TIKUS RIUL (Rattus norvegicus Berk.) TERHADAP JENIS DAN VARIASI PENGOLAHAN PAKAN YANG BERBEDA SERTA PENGUJIAN RODENTISIDA PRINGGO WIBOWO PUTRO DEPARTEMEN PROTEKSI TANAMAN FAKULTAS PERTANIAN

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. serangga yang ada di perkebunan jeruk manis semi organik dan anorganik.

BAB III METODE PENELITIAN. serangga yang ada di perkebunan jeruk manis semi organik dan anorganik. 36 BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Rancangan Penelitian Penelitian bersifat deskriptif kuantitatif. Pengambilan data menggunakan metode eksplorasi, yaitu dengan mengadakan pengamatan langsung terhadap serangga

Lebih terperinci

KEANEKARAGAMAN JENIS KANTONG SEMAR (Nepenthes SPP) DALAM KAWASAN HUTAN LINDUNG GUNUNG SEMAHUNG DESA SAHAM KECAMATAN SENGAH TEMILA KABUPATEN LANDAK

KEANEKARAGAMAN JENIS KANTONG SEMAR (Nepenthes SPP) DALAM KAWASAN HUTAN LINDUNG GUNUNG SEMAHUNG DESA SAHAM KECAMATAN SENGAH TEMILA KABUPATEN LANDAK KEANEKARAGAMAN JENIS KANTONG SEMAR (Nepenthes SPP) DALAM KAWASAN HUTAN LINDUNG GUNUNG SEMAHUNG DESA SAHAM KECAMATAN SENGAH TEMILA KABUPATEN LANDAK (Diversity Of Pitcher Plants ( Nepenthes Spp ) Forest

Lebih terperinci

BAHAN DAN METODE Waktu dan Tempat

BAHAN DAN METODE Waktu dan Tempat BAHAN DAN METODE Waktu dan Tempat Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Juli-Nopember 2010 di PPKA Bodogol, Sukabumi, Jawa Barat (Gambar 2). Lokasi pengambilan data kupu-kupu di PPKA Bodogol, meliputi

Lebih terperinci

Hutan mangrove merupakan komunitas vegetasi pantai tropis, yang. berkembang pada daerah pasang surut pantai berlumpur. Komunitas vegetasi ini

Hutan mangrove merupakan komunitas vegetasi pantai tropis, yang. berkembang pada daerah pasang surut pantai berlumpur. Komunitas vegetasi ini II. TINJAIJAN PliSTAKA Hutan mangrove merupakan komunitas vegetasi pantai tropis, yang didominasi oleh beberapa spesies pohon mangrove yang mampu tumbuh dan berkembang pada daerah pasang surut pantai berlumpur.

Lebih terperinci

BAB IV METODE PENELITIAN

BAB IV METODE PENELITIAN 28 BAB IV METODE PENELITIAN 4.1 Waktu dan Lokasi Penelitian dilaksanakan selama satu bulan, dimulai dari bulan November- Desember 2011. Lokasi pengamatan disesuaikan dengan tipe habitat yang terdapat di

Lebih terperinci

Konsep Keanekaragaman METODE Tempat dan Waktu Penelitian

Konsep Keanekaragaman METODE Tempat dan Waktu Penelitian 5 salinitas, ph, kandungan bahan-bahan, suhu dll.), dan atmosfer (atmosphere, udara: iklim, cuaca, angin, suhu, dll.) (Tarumingkeng 1991). Tarumingkeng (1991) menambahkan bahwa lingkungan biotik merupakan

Lebih terperinci

METODE PENELITIAN. Lokasi dan Waktu Penelitian

METODE PENELITIAN. Lokasi dan Waktu Penelitian 19 METODE PENELITIAN Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian dilaksanakan pada remnant forest (hutan sisa) Kawasan Konservasi Hutan Duri PT. Caltex Pacifik Indonesia dengan luas 255 hektar di dalam kawasan

Lebih terperinci

ASAS- ASAS DAN KONSEP KONSEP TENTANG ORGANISASI PADA TARAF KOMUNITAS

ASAS- ASAS DAN KONSEP KONSEP TENTANG ORGANISASI PADA TARAF KOMUNITAS KOMUNITAS ASAS- ASAS DAN KONSEP KONSEP TENTANG ORGANISASI PADA TARAF KOMUNITAS KONSEP KOMUNITAS BIOTIK Komunitas biotik adalah kumpulan populasi yang menempati suatu habitat dan terorganisasi sedemikian

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pengelolaan sumberdaya hutan dalam dasawarsa terakhir dihadapkan pada

BAB I PENDAHULUAN. Pengelolaan sumberdaya hutan dalam dasawarsa terakhir dihadapkan pada BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pengelolaan sumberdaya hutan dalam dasawarsa terakhir dihadapkan pada gangguan akibat beragam aktivitas manusia, sehingga mengakibatkan kerusakan ekosistem hutan yang

Lebih terperinci

Semut Subfamili Myrmicinae di Suaka Alam Maninjau Utara Selatan, Kabupaten Agam, Sumatera Barat

Semut Subfamili Myrmicinae di Suaka Alam Maninjau Utara Selatan, Kabupaten Agam, Sumatera Barat 248 Semut Subfamili Myrmicinae di Suaka Alam Maninjau Utara Selatan, Kabupaten Agam, Sumatera Barat Ant subfamily Myrmicinae at Maninjau Utara Selatan Nature Reserve, Agam District, West Sumatra Susan

Lebih terperinci

KARAKTERISTIK FISIKA-KIMIA PERAIRAN DAN STRUKTUR KOMUNITAS MOLUSKA (BIVALVIA DAN GASTROPODA) DI PANTAI CERMIN SUMATERA UTARA SKRIPSI

KARAKTERISTIK FISIKA-KIMIA PERAIRAN DAN STRUKTUR KOMUNITAS MOLUSKA (BIVALVIA DAN GASTROPODA) DI PANTAI CERMIN SUMATERA UTARA SKRIPSI KARAKTERISTIK FISIKA-KIMIA PERAIRAN DAN STRUKTUR KOMUNITAS MOLUSKA (BIVALVIA DAN GASTROPODA) DI PANTAI CERMIN SUMATERA UTARA SKRIPSI RAISSHA AMANDA SIREGAR 090302049 PROGRAM STUDI MANAJEMEN SUMBERDAYA

Lebih terperinci

KOMPOSISI TEGAKAN SEBELUM DAN SESUDAH PEMANENAN KAYU DI HUTAN ALAM

KOMPOSISI TEGAKAN SEBELUM DAN SESUDAH PEMANENAN KAYU DI HUTAN ALAM KOMPOSISI TEGAKAN SEBELUM DAN SESUDAH PEMANENAN KAYU DI HUTAN ALAM Muhdi Staf Pengajar Program Studi Teknologi Hasil Hutan Departemen Kehutanan USU Medan Abstract A research was done at natural tropical

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN 26 BAB III METODE PENELITIAN A. Jenis Penelitian Jenis penelitan ini adalah penelitian deskriptif. Metode penelitian deskriptif adalah suatu metode yang dilakukan dengandesain tujuan utama untuk membuat

Lebih terperinci

IDENTIFIKASI DAN INVENTARISASI TANAMAN PEKARANGAN RUMAH PENDUDUK DI KECAMATAN PACIRAN DAN LAREN, KABUPATEN LAMONGAN JAWA TIMUR MOH.

IDENTIFIKASI DAN INVENTARISASI TANAMAN PEKARANGAN RUMAH PENDUDUK DI KECAMATAN PACIRAN DAN LAREN, KABUPATEN LAMONGAN JAWA TIMUR MOH. IDENTIFIKASI DAN INVENTARISASI TANAMAN PEKARANGAN RUMAH PENDUDUK DI KECAMATAN PACIRAN DAN LAREN, KABUPATEN LAMONGAN JAWA TIMUR MOH. QOMARUDIN DEPARTEMEN BIOLOGI FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN

Lebih terperinci

Jumlah Mei Juni Juli Total Ordo Famili Genus Individu H' 0,38 0,71 0,44 0,59 E 0,18 0,40 0,23 0,27

Jumlah Mei Juni Juli Total Ordo Famili Genus Individu H' 0,38 0,71 0,44 0,59 E 0,18 0,40 0,23 0,27 2 Juli 211. Selama pengamatan dicatat nama spesies dan jumlah individu serangga yang mengunjungi bunga jantan kelapa sawit. Dilakukan juga pengukuran unsur cuaca, yaitu suhu, kelembapan, dan intensitas

Lebih terperinci

MODE LOKOMOSI PADA ORANGUTAN KALIMANTAN (Pongo pygmaeus Linn.) DI PUSAT PRIMATA SCHMUTZER, JAKARTA MUSHLIHATUN BAROYA

MODE LOKOMOSI PADA ORANGUTAN KALIMANTAN (Pongo pygmaeus Linn.) DI PUSAT PRIMATA SCHMUTZER, JAKARTA MUSHLIHATUN BAROYA MODE LOKOMOSI PADA ORANGUTAN KALIMANTAN (Pongo pygmaeus Linn.) DI PUSAT PRIMATA SCHMUTZER, JAKARTA MUSHLIHATUN BAROYA DEPARTEMEN BIOLOGI FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM INSTITUT PERTANIAN

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN BAB III METODE PENELITIAN A. Metode Penelitian Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode deskriptif, karena metode deskriptif adalah studi untuk menemukan fakta dengan interpretasi yang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia merupakan negara yang memiliki keanekaragaman hayati

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia merupakan negara yang memiliki keanekaragaman hayati BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Indonesia merupakan negara yang memiliki keanekaragaman hayati tertinggi di dunia, setelah Brazil (Anonimus, 2009). Brazil merupakan salah satu negara dengan

Lebih terperinci

TEKNIK PENGAMATAN POPULASI ORGANISME PENGGANGGU TANAMAN DAN MUSUH ALAMI SERTA ANALISIS KERUSAKAN

TEKNIK PENGAMATAN POPULASI ORGANISME PENGGANGGU TANAMAN DAN MUSUH ALAMI SERTA ANALISIS KERUSAKAN TEKNIK PENGAMATAN POPULASI ORGANISME PENGGANGGU TANAMAN DAN MUSUH ALAMI SERTA ANALISIS KERUSAKAN TEKNIK PENGAMATAN POPULASI ORGANISME PENGGANGGU TANAMAN DAN MUSUH ALAMI SERTA ANALISIS KERUSAKAN Yos. F.

Lebih terperinci

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMAS1

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMAS1 KEANEKARAGAMAN DAN KOMPOSISI SPESIES SEMUT (HYMENOPTERA: FORMICIDAE) PADA VEGETASI MANGROVE KABUPATEN KOLAKA SULAWESI TENGGARA DAN MUARA ANGKE JAKARTA DAKIR SEKO~AH PASCASA~JANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

Lebih terperinci

PROGRAM STUDI KEHUTANAN FAKULTAS PERTANIAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

PROGRAM STUDI KEHUTANAN FAKULTAS PERTANIAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA 0 PENGARUH VARIASI NAUNGAN TERHADAP PERTUMBUHAN DAN KONSENTRASI RANTAI PANJANG POLYISOPRENOID SEMAI MANGROVE SEJATI MINOR BERJENIS SEKRESI Xylocarpus granatum Koenig. SKRIPSI Oleh: TRY MIHARZA 111201085

Lebih terperinci

KOMPOSISI SEMUT (HYMENOPTERA: FORMICIDAE) PADA PULAU TANGAH KECAMATAN PARIAMAN TENGAH KOTA PARIAMAN

KOMPOSISI SEMUT (HYMENOPTERA: FORMICIDAE) PADA PULAU TANGAH KECAMATAN PARIAMAN TENGAH KOTA PARIAMAN KOMPOSISI SEMUT (HYMENOPTERA: FORMICIDAE) PADA PULAU TANGAH KECAMATAN PARIAMAN TENGAH KOTA PARIAMAN Syukri ( ), Armein Lusi Zeswita (1), Ismed Wahidi (2) Program Studi Pendidikan Biologi STKIP PGRI Sumatera

Lebih terperinci

BAB V PEMBAHASAN. hari dengan batas 1 minggu yang dimulai dari tanggal Juli 2014 dan

BAB V PEMBAHASAN. hari dengan batas 1 minggu yang dimulai dari tanggal Juli 2014 dan jumalah Individu 1 BAB V PEMBAHASAN A. Familia Bivalvia yang didapatkan Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan pada bulan Juli sampai dengan bulan Agustus, di mana penelitian ini dilaksanakan

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. Penelitian ini merupakan jenis penelitian deskriptif kuantitatif.

BAB III METODE PENELITIAN. Penelitian ini merupakan jenis penelitian deskriptif kuantitatif. BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Jenis Penelitian Penelitian ini merupakan jenis penelitian deskriptif kuantitatif. Pengambilan data menggunakan metode eksplorasi, yaitu pengamatan atau pengambilan sampel

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. keadaan gejala menurut apa adanya pada saat penelitian dilakukan. 84 Pada

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. keadaan gejala menurut apa adanya pada saat penelitian dilakukan. 84 Pada BAB III METODOLOGI PENELITIAN A. Jenis Penelitian Jenis penelitian yang dilaksanakan adalah penelitian deskriptif - eksploratif. Penelitian deskriptif adalah penelitian yang bermaksud untuk mengumpulkan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. mereka berukuran kecil, mereka telah menghuni setiap jenis habitat dan jumlah

BAB I PENDAHULUAN. mereka berukuran kecil, mereka telah menghuni setiap jenis habitat dan jumlah BAB I PENDAHULUAN I. Latar Belakang Serangga adalah kelompok hewan yang paling sukses sekarang. Meskipun mereka berukuran kecil, mereka telah menghuni setiap jenis habitat dan jumlah mereka lebih banyak

Lebih terperinci

INDEKS KEANEKARAGAMAN JENIS SERANGGA DI BERBAGAI TIPE LAHAN SKRIPSI OLEH : ANNA SARI SIREGAR AGROEKOTEKNOLOGI

INDEKS KEANEKARAGAMAN JENIS SERANGGA DI BERBAGAI TIPE LAHAN SKRIPSI OLEH : ANNA SARI SIREGAR AGROEKOTEKNOLOGI INDEKS KEANEKARAGAMAN JENIS SERANGGA DI BERBAGAI TIPE LAHAN SKRIPSI OLEH : ANNA SARI SIREGAR 090301017 AGROEKOTEKNOLOGI PROGRAM STUDI AGROEOTEKNOLOGI FAKULTAS PERTANIAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Menurut Primak et al, tahun 1998 bahwa Indonesia merupakan daerah yang

BAB I PENDAHULUAN. Menurut Primak et al, tahun 1998 bahwa Indonesia merupakan daerah yang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia adalah negara yang memiliki keanekaragaman hayati termasuk di dalamnya keanekaragaman spesies serangga. Secara geografis, keanekaragaman hayati di negara kepulauan

Lebih terperinci

Struktur Dan Komposisi Vegetasi Mangrove Di Pulau Mantehage

Struktur Dan Komposisi Vegetasi Mangrove Di Pulau Mantehage Struktur Dan Komposisi Vegetasi Mangrove Di Pulau Mantehage Elok Swasono Putro (1), J. S. Tasirin (1), M. T. Lasut (1), M. A. Langi (1) 1 Program Studi Ilmu Kehutanan, Jurusan Budidaya Pertanian, Fakultas

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN BAB III METODE PENELITIAN A. Metode Penelitian Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode deskriptif. Metode deskriptif adalah studi untuk menemukan fakta dengan interpretasi yang tepat dengan

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. Telaga Bromo terletak di perbatasan antara desa Kepek kecamatan

BAB III METODE PENELITIAN. Telaga Bromo terletak di perbatasan antara desa Kepek kecamatan BAB III METODE PENELITIAN A. Lokasi Penelitian Telaga Bromo terletak di perbatasan antara desa Kepek kecamatan Saptosari dan desa Karangasem kecamatan Paliyan, kabupaten Gunungkidul. B. Waktu Penelitian

Lebih terperinci

ANALISIS KESESUAIAN HAMA WERENG BATANG COKELAT

ANALISIS KESESUAIAN HAMA WERENG BATANG COKELAT ANALISIS KESESUAIAN HAMA WERENG BATANG COKELAT (Nilaparvata lugens Stal.) TERHADAP FAKTOR IKLIM MENGGUNAKAN PEMODELAN CLIMEX 3.0 (Studi Kasus Kabupaten Cilacap) AMRI SAJAROH DEPARTEMEN PROTEKSI TANAMAN

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

BAB III METODOLOGI PENELITIAN BAB III METODOLOGI PENELITIAN A. Metode Penelitian Metode yang digunakan yaitu metode deskriptif. Metode deskriptif merupakan metode yang melihat langsung fenomena, gejala, atau ciri-ciri secara langsung

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI PENELITAN

BAB III METODOLOGI PENELITAN 50 BAB III METODOLOGI PENELITAN A. Jenis Penelitian Jenis penelitian yang dilaksanakan adalah penelitian deskriptif kuantitatif yaitu suatu penelitian untuk membuat gambaran mengenai situasi dan kejadian,

Lebih terperinci

` SATUAN ACARA PERKULIAHAN

` SATUAN ACARA PERKULIAHAN Nama Mata Kuliah : Ekologi Umum Nomor Kode : BI 308 Sifat Mata Kuliah : M K Wajib Program Studi : Pendidikan Biologi dan Biologi Jumlah SKS : 3 sks Semester : 6 MK Prasyarat : Biologi Umum Dosen : Drs.

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI PENELITIAN A. Jenis Penelitian Jenis penelitian yang digunakan adalah penelitian deskriptif.

BAB III METODOLOGI PENELITIAN A. Jenis Penelitian Jenis penelitian yang digunakan adalah penelitian deskriptif. 19 BAB III METODOLOGI PENELITIAN A. Jenis Penelitian Jenis penelitian yang digunakan adalah penelitian deskriptif. B. Populasi dan Sampel 1. Populasi Populasi yang diamati dalam penelitian ini adalah seluruh

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. Penelitian yang dilakukan berupa penelitian murni atau pure research yang

BAB III METODE PENELITIAN. Penelitian yang dilakukan berupa penelitian murni atau pure research yang BAB III METODE PENELITIAN A. Jenis Penelitian Penelitian yang dilakukan berupa penelitian murni atau pure research yang dilakukan dengan metode deskriptif, yaitu suatu metode penelitian terhadap sejumlah

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI. 3.1 Waktu dan Lokasi Penelitian

BAB III METODOLOGI. 3.1 Waktu dan Lokasi Penelitian 9 BAB III METODOLOGI 3.1 Waktu dan Lokasi Penelitian Penelitian dilaksanakan pada bulan Juni hingga bulan Oktober tahun 2007 dengan mengambil lokasi di dua tempat, yaitu hutan alam (Resort Cibodas, Gunung

Lebih terperinci

KEANEKARAGAMAN TUMBUHAN BAWAH DI HUTAN PENELITIAN DRAMAGA DAN KEBUN KELAPA SAWIT, CIKABAYAN KAMPUS IPB RIZKI KURNIA TOHIR E

KEANEKARAGAMAN TUMBUHAN BAWAH DI HUTAN PENELITIAN DRAMAGA DAN KEBUN KELAPA SAWIT, CIKABAYAN KAMPUS IPB RIZKI KURNIA TOHIR E KEANEKARAGAMAN TUMBUHAN BAWAH DI HUTAN PENELITIAN DRAMAGA DAN KEBUN KELAPA SAWIT, CIKABAYAN KAMPUS IPB RIZKI KURNIA TOHIR E34120028 Dosen Prof. Dr. Ir. Yanto Santosa, DEA PROGRAM STUDI KONSERVASI BIODIVERSITAS

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. jenis flora dan fauna yang sangat tinggi (Mega Biodiversity). Hal ini disebabkan

BAB I PENDAHULUAN. jenis flora dan fauna yang sangat tinggi (Mega Biodiversity). Hal ini disebabkan 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia dikenal sebagai salah satu negara yang memiliki kekayaan jenis flora dan fauna yang sangat tinggi (Mega Biodiversity). Hal ini disebabkan karena Indonesia

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN 49 BAB III METODE PENELITIAN A. Rancangan Penelitian Penelitian yang dilaksanakan ini merupakan penelitian deskriptif yaitu suatu penelitian untuk membuat gambaran mengenai situasi dan kejadian. 1 Penelitian

Lebih terperinci

ESTIMASI NILAI TPW (TOTAL PRECIPITABLE WATER) DI ATAS DAERAH PADANG DAN BIAK BERDASARKAN HASIL ANALISIS DATA RADIOSONDE IRE PRATIWI

ESTIMASI NILAI TPW (TOTAL PRECIPITABLE WATER) DI ATAS DAERAH PADANG DAN BIAK BERDASARKAN HASIL ANALISIS DATA RADIOSONDE IRE PRATIWI ESTIMASI NILAI TPW (TOTAL PRECIPITABLE WATER) DI ATAS DAERAH PADANG DAN BIAK BERDASARKAN HASIL ANALISIS DATA RADIOSONDE IRE PRATIWI DEPARTEMEN GEOFISIKA DAN METEOROLOGI FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. Jenis penelitian yang digunakan adalah penelitian deskriptif. Metode

BAB III METODE PENELITIAN. Jenis penelitian yang digunakan adalah penelitian deskriptif. Metode BAB III METODE PENELITIAN A. JENIS PENELITIAN Jenis penelitian yang digunakan adalah penelitian deskriptif. Metode deskriptif adalah suatu penelitian untuk membuat deskripsi, gambaran atau lukisan secara

Lebih terperinci

KOMPOSISI SERASAH DAN LUMPUR SEBAGAI MEDIA TANAM BIBIT BAKAU PUTIH (Bruguiera cylindrica) DI DESA SIALANG BUAH KABUPATEN SERDANG BEDAGAI

KOMPOSISI SERASAH DAN LUMPUR SEBAGAI MEDIA TANAM BIBIT BAKAU PUTIH (Bruguiera cylindrica) DI DESA SIALANG BUAH KABUPATEN SERDANG BEDAGAI KOMPOSISI SERASAH DAN LUMPUR SEBAGAI MEDIA TANAM BIBIT BAKAU PUTIH (Bruguiera cylindrica) DI DESA SIALANG BUAH KABUPATEN SERDANG BEDAGAI SKRIPSI Oleh: ARIO HANDOKO 091201114 / BUDIDAYA HUTAN PROGRAM STUDI

Lebih terperinci

SATUAN ACARA PERKULIAHAN

SATUAN ACARA PERKULIAHAN SATUAN ACARA PERKULIAHAN Nama Mata Kuliah : Ekologi Umum Nomor Kode : BI 308 Sifat Mata Kuliah : M K Wajib Program Studi : Pendidikan Biologi dan Biologi Jumlah SKS : 3 sks Semester : 6 MK Prasyarat :

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. ekologis yaitu untuk melakukan pemijahan (spawning ground), pengasuhan (nursery

BAB I PENDAHULUAN. ekologis yaitu untuk melakukan pemijahan (spawning ground), pengasuhan (nursery BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Ekosistem mangrove adalah suatu lingkungan yang memiliki ciri khusus yaitu lantai hutannya selalu digenangi air, dimana air tersebut sangat dipengaruhi oleh pasang

Lebih terperinci

BAB III METOE PENELITIAN. Penelitian ini termasuk jenis penelitian diskriptif kuantitatif. Pengambilan

BAB III METOE PENELITIAN. Penelitian ini termasuk jenis penelitian diskriptif kuantitatif. Pengambilan BAB III METOE PENELITIAN 3.1 Rancangan Penelitian Penelitian ini termasuk jenis penelitian diskriptif kuantitatif. Pengambilan data menggunakan metode eksplorasi yaitu dengan mengadakan pengamatan terhadap

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN BAB III METODE PENELITIAN 3.1. Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilakukan di dua tempat yaitu pengambilan data di lapangan dilakukan di sempadan muara Kali Lamong dan Pulau Galang, serta pengolahan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Anggapan ini terbentuk berdasarkan observasi para ahli akan keanekaragamannya

BAB I PENDAHULUAN. Anggapan ini terbentuk berdasarkan observasi para ahli akan keanekaragamannya BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Hutan tropis adalah maha karya kekayaaan species terbesar di dunia. Anggapan ini terbentuk berdasarkan observasi para ahli akan keanekaragamannya flora dan faunanya.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. mengeksplor kekayaan alam Indonesia. kehendak Allah SWT yang tidak ada henti-hentinya memberikan keindahan

BAB I PENDAHULUAN. mengeksplor kekayaan alam Indonesia. kehendak Allah SWT yang tidak ada henti-hentinya memberikan keindahan 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Berada dalam sebuah negara yang memiliki kekayaan sumber daya alamnya yang melimpah sudah seharusnya menjadikan suatu hal yang membanggakan dan patut untuk disyukuri,

Lebih terperinci

KEANEKARAGAMAN FITOPLANKTON DI PERAIRAN PANTAI SEKITAR MERAK BANTEN DAN PANTAI PENET LAMPUNG

KEANEKARAGAMAN FITOPLANKTON DI PERAIRAN PANTAI SEKITAR MERAK BANTEN DAN PANTAI PENET LAMPUNG KEANEKARAGAMAN FITOPLANKTON DI PERAIRAN PANTAI SEKITAR MERAK BANTEN DAN PANTAI PENET LAMPUNG Sri Handayani dan Imran SL Tobing Fakultas Biologi Universitas Nasional, Jakarta ABSTRACT A study of phytoplankton

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. mempunyai panjang garis pantai lebih kurang 114 km yang membentang

BAB 1 PENDAHULUAN. mempunyai panjang garis pantai lebih kurang 114 km yang membentang 1 BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Indramayu merupakan salah satu kota di Jawa Barat yang mempunyai potensi perikanan dan kelautan yang cukup tinggi. Wilayah pesisir Indramayu mempunyai panjang

Lebih terperinci