BAB V DISKUSI. 5.1 Keaktifan Patahan Lembang

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "BAB V DISKUSI. 5.1 Keaktifan Patahan Lembang"

Transkripsi

1 BAB V DISKUSI Pengumpulan data untuk menelusuri perkembangan rawa sagpond berdasarkan analisis stratigrafi dan palinologi di daerah penelitian telah dilakukan dan hasilnya telah diuraikan dalam Bab IV. Dari hasil tersebut diperoleh data runtunan stratigrafi dan zonasi palinologi. Dan sejauh mana interpretasi dari kedua hasil analisis ini merefleksikan keaktifan Patahan Lembang, akan didiskusikan dalam Sub-bab 5.1 dan 5.2 berikut ini. 5.1 Keaktifan Patahan Lembang Interpretasi terhadap inti bor di daerah penelitian menunjukkan telah terjadinya erosi, transportasi dan sedimentasi karena turunnya hanging wall akibat aktifitas Patahan Lembang, yang kemudian areal depresi tersebut menjadi lingkungan perairan rawa yang mengalami pendangkalan-pendalaman rawa seiring dengan proses depresi dan sedimentasi di areal tersebut hingga terbentuk runtunanruntunan sedimentasi. Penyebaran areal sagpond ini menerus hingga ke utara daerah penelitian bahkan dengan akumulasi sedimen yang lebih tebal (Hidayat, 2009). Dalam Bab IV disebutkan bahwa secara umum, profil stratigrafi sagpond bagian bawah hingga tengah lebih didominasi oleh tuf (kedalaman 300 cm sampai dengan 184 cm) dan bagian tengah hingga atas (kedalaman 184 cm sampai dengan 30 cm) lebih didominasi oleh gambut bersisipan paleosol, sedangkan dari kedalaman 30 cm hingga permukaan merupakan tanah urugan. Endapan- 64

2 endapan ini kemungkinan disuplai oleh sungai-sungai di sekeliling rawa pada saat itu (Sedimentasi di dalam cekungan yang terbentuk karena tektonik umumnya merupakan sedimentasi di daerah kontinen yang sumbernya seringkali berasal dari sungai-sungai di sekitarnya yang masuk ke dalam suatu danaudanau dangkal (Mitchell & Reading op.cit. Reading, 1986)). Dominasi tuf pada interval kedalaman 300 cm cm yang umumnya merupakan hasil pengendapan lapukan material volkanik berwarna kemerahan (tufan) dan adanya fragmen-fragmen volkanik (tuf) serta tekstur yang lebih kasar bahkan kerikilan pada beberapa lapisannya menunjukkan bahwa pada interval kedalaman ini pengaruh sungai pada saat itu kemungkinan masih kuat (rezim sedimentasi tinggi). Sedangkan dominasi gambut pada kedalaman interval 152 cm hingga 30 cm yang umumnya kaya akan kandungan material organik menunjukkan bahwa pengaruh sungai pada saat itu kemungkinan sudah tidak terlalu kuat (rezim sedimentasi lebih rendah) dan pengaruh sedimentasi pada interval kedalaman ini kemungkinan lebih dikontrol oleh sistem sedimentasi rawa yang biasanya merupakan sistem sedimentasi yang lebih bersifat suspensi dan kaya akan kandungan organik (Boggs, 2001). Tuf pada kedalaman 234 cm cm yang bertekstur pasiran, mengandung fragmen tuf batuapung (pumice) menyudut berukuran pasir hingga kerikil (~2cm) dan juga fragmen-fragmen tuf pada kedalaman 199 cm cm, kemungkinan terendapkan pada kondisi yang dipengaruhi oleh perubahan dasar cekungan (base level) akibat adanya aktifitas patahan sehingga terjadi proses erosi dari areal yang lebih tinggi (foot wall) di sekitarnya dan kemudian terendapkan di areal rawa sagpond tersebut (Sedimentasi di suatu areal lahan yang miring (landslide) memungkinkan terjadinya transportasi debris flow yang dicirikan oleh kenampakan endapan dengan kemas terbuka dan pemilahan buruk, ukuran fragmen dari kerikilan hingga bongkah yang berselimut matriks kasar dengan tekstur pasiran (Miall, 1992, op.cit. Walker & James, 1992)). Struktur reverse bedding pada endapan-endapan berfragmen kasar tersebut 65

3 kemungkinan terjadi karena fragmennya tersusun atas pumice yang cenderung ringan (berat jenis rendah) sehingga membentuk coarsening up/mengkasar ke atas (Boggs, 2001). Kondisi pendangkalan-pendalaman rawa di sekitar areal Patahan Lembang oleh sebab adanya pergerakan penurunan (depresi) areal sagpond yang pernah terjadi di masa lalu, secara tidak langsung ditunjukkan dengan terbentuknya perulangan-perulangan runtunan stratigrafi pada interpretasi inti bor di daerah penelitian. Depresi topografi (penurunan areal) di lingkungan sagpond akibat adanya aktifitas pergerakan Patahan Lembang yang bermekanisme patahan normal ini (Bemmelen, 1949; Nossin et al., 1996), acapkali diawali oleh kondisi rawa yang mendalam. Kondisi pendalaman ini adakalanya dicirikan oleh terbentuknya endapan-endapan hasil erosi dari tinggian di sekitarnya (foot wall) yang umumnya merupakan tipe-tipe endapan bersifat tufan yang sumbernya kemungkinan besar berasal dari material-material volkanik di sekitar daerah penelitian (kemungkinan terutama dari hasil erupsi Gunung Tangkuban Parahu). Endapan-endapan tufan yang tersedimentasikan di dalam perairan rawa sagpond yang mendalam tersebut kemudian sumbernya berangsur berubah menjadi pengendapan material-material di sedimen rawa itu sendiri yang biasanya banyak mengandung bahan-bahan organik. Bahan-bahan organik yang terutama berasal dari tumbuhan di areal rawa tersebut, dan dalam lingkungan dengan kondisi keasaman yang memungkinkan, kemudian membentuk endapan-endapan gambut seperti yang tampak pada beberapa lapisan dalam profil inti bor di daerah penelitian. Pengendapan sedimen rawa ini mengiringi proses pendangkalan rawa dengan terus berlangsungnya proses sedimentasi di areal sagpond tersebut yang pada akhirnya kadang-kadang menjadi benar-benar mendangkal hingga tersingkap ke permukaan dengan dicirikan oleh kenampakan soil (paleosol) yang terbentuk pada saat itu. Kenampakan lapukan soil pada profil inti bor yang diinterpretasi sebagai paleosol ini tampak pada beberapa interval kedalaman (259 cm cm, 211 cm cm, 175 cm cm dan 100 cm - 84 cm). Perkiraan paleosol ini didasarkan pada interpretasi warna 66

4 yang cenderung menunjukkan kisaran yang cukup tinggi dalam skala warna Munsell, yakni antara 5 YR sampai 7,5 YR yang ditunjang oleh data lainnya. Adanya karakter endapan yang mencirikan pendalaman kembali setelah pembentukan endapan hasil proses pendangkalan ini mengindikasikan bahwa pada waktu itu areal rawa sagpond di daerah penelitian mengalami gerak penurunan sehingga awal pengendapan rawa pada kondisi yang relatif dalam terulang kembali. Dalam Bab IV telah diuraikan bahwa dari profil inti bor, secara stratigrafi terlihat adanya beberapa perulangan pada lapisan-lapisan endapannya dan diinterpretasi terbagi ke dalam 9 (sembilan) runtunan stratigrafi, yaitu: - runtunan stratigrafi A: interval kedalaman 300 cm sampai dengan 278 cm - runtunan stratigrafi B: interval kedalaman 278 cm sampai dengan 245 cm - runtunan stratigrafi C: interval kedalaman 245 cm sampai dengan 234 cm - runtunan stratigrafi D: interval kedalaman 234 cm sampai dengan 200 cm - runtunan stratigrafi E: interval kedalaman 200 cm sampai dengan 131 cm - runtunan stratigrafi F: interval kedalaman 131 cm sampai dengan 84 cm - runtunan stratigrafi G: interval kedalaman 84 cm sampai dengan 52 cm - runtunan stratigrafi H: interval kedalaman 52 cm sampai dengan 30 cm - runtunan stratigrafi I: interval kedalaman 30 cm sampai dengan 0 cm Perulangan siklus/runtunan stratigrafi tersebut ditafsirkan sebagai akibat dari adanya mekanisme slip/pergerakan akibat aktivitas tektonik, dan bukan karena aktivitas pembebanan. Ini dicirikan oleh keberadaan paleosol yang berulangulang terjadi di dalam runtunan-runtunan tersebut dan dengan dasar pemikiran bahwa setiap kali areal tersebut mengalami pendangkalan (saat tersingkap ke 67

5 permukaan hingga terbentuk soil/paleosol), seringkali kemudian dilanjutkan dengan kembali terbentuknya gambut yang merupakan ciri dari suatu areal yang mengalami penggenangan, sedangkan areal yang tergenang perairan umumnya terjadi karena adanya depresi suatu lahan yang kemungkinan besar dipengaruhi oleh aktifitas tektonik di areal tersebut. Dengan demikian, aktivitas pembebanan yang secara alami bisa saja terjadi dianggap pengaruhnya tidak terlalu besar di sini. Oleh karena adanya proses pendangkalan dan pendalaman rawa akibat mekanisme slip/pergerakan patahan di daerah penelitian, dari hasil data bor di daerah penelitian teramati sebanyak 9 (sembilan) runtunan stratigrafi. Dari 9 (sembilan) runtunan tersebut, 8 (delapan) di antaranya, yakni runtunan stratigrafi A sampai dengan H, diinterpretasi terbentuk karena adanya slip. Sedangkan runtunan stratigrafi I diyakini terbentuk bukan karena adanya slip. Batas antara runtunan stratigrafi H dan I ini diyakini hanya merupakan batas perubahan endapan karena isi runtunan stratigrafi H hanya merupakan tanah urugan yang sengaja ditutup oleh penduduk sekitar di atas areal sagpond ini. Dari hasil interpretasi data stratigrafi diperkirakan telah terjadi 7 (tujuh) kali slip hingga terbentuk 8 (delapan) runtunan stratigrafi tersebut. Ke-tujuh slip yang membentuk 8 (delapan) runtunan stratigrafi tersebut berdasarkan pada uraian berikut ini Interpretasi slip antara runtunan stratigrafi A dan B Endapan gambut pada runtunan stratigrafi A kemungkinan terbentuk dari hasil endapan rawa yang biasanya kaya akan kandungan organik dan diduga merupakan kelanjutan endapan sagpond di bawahnya. Sebelum terbentuk runtunan stratigrafi B, diduga terjadi slip (Slip-1) sehingga rawa sagpond yang mengandung runtunan stratigrafi A mengalami penurunan dan dasar rawa pun menjadi lebih dalam dari sebelumnya. Proses sedimentasi kemudian berlanjut di atas runtunan stratigrafi A dan membentuk runtunan stratigrafi B. 68

6 5.1.2 Interpretasi slip antara runtunan stratigrafi B dan C Endapan pada runtunan stratigrafi B merupakan tuf berwarna kemerahan yang menunjukkan bahwa endapan ini kemungkinan merupakan hasil endapan volkanik karena adanya erosi dari dinding-dinding foot wall. Endapan ini ditindih secara berangsur oleh gambut berwarna kehitaman yang menunjukkan bahwa endapan ini kemungkinan merupakan hasil endapan yang cukup kaya akan kandungan organik dari rawa sagpond. Sedimentasi yang menunjukkan proses pendangkalan rawa ini kemudian menjadi mendalam kembali dengan adanya slip berikutnya (Slip-2). Setelah Slip-2 terjadi kemudian berlangsung sedimentasi yang membentuk runtunan stratigrafi C Interpretasi slip antara runtunan stratigrafi C dan D Runtunan stratigrafi C diawali dengan endapan tuf berwarna coklat muda kemerahan yang berubah menjadi gambut berwarna coklat kemerahan (interval kedalaman 237 cm cm) yang menunjukkan bahwa sedimentasi rawa sempat terjadi seiring dengan proses pendangkalan rawa. Endapan kemudian kembali membentuk tuf pada runtunan stratigrafi D karena kemungkinan areal sagpond kembali turun akibat adanya Slip-3 sebelum rawa sagpond sempat mendangkal hingga ke permukaan Interpretasi slip antara runtunan stratigrafi D dan E Runtunan stratigrafi D diawali dengan endapan tuf berwarna coklat, bertekstur lebih kasar dan mengandung fragmen-fragmen tuf-pumice (pasiran hingga kerikilan pada interval kedalaman 234 cm cm ) dan cenderung membentuk struktur reverse bedding. Fragmen-fragmen tersebut kemungkinan terbentuk 69

7 karena adanya erosi dari dinding-dinding footwall di sekitarnya karena areal sagpond menjadi semakin turun akibat adanya Slip-3. Endapan kemudian berangsur menjadi gambut berwarna coklat muda-tua, gambutan dan mengandung sisa-sisa tumbuhan (interval kedalaman 216 cm cm) yang menunjukkan bahwa sedimentasi pendangkalan rawa terus berlanjut. Runtunan kemudian diakhiri paleosol, berwarna coklat muda kekuningan, tufan, bertekstur pasiran (interval kedalaman 212 cm cm) dan kemungkinan merupakan akhir dari runtunan ini karena kemudian slip terjadi lagi (Slip-4) sehingga rawa sagpond kembali menjadi dalam dan membentuk sistem pengendapan rawa sagpond berikutnya yaitu sedimentasi yang membentuk Runtunan stratigrafi E Interpretasi slip antara runtunan stratigrafi E dan F Runtunan stratigrafi E yang terbentuk karena mendalamnya rawa akibat Slip-4, terdiri atas endapan tuf berwarna coklat tua dan mengandung fragmen-fragmen tuf di dalamnya (interval kedalaman 199 cm cm) yang kemudian berangsur menjadi tuf berwarna coklat kemerahan. Seperti halnya di atas, keberadaan fragmen-fragmen tuf ini kemungkinan terjadi karena hancurnya dinding-dinding foot wall yang didominasi oleh endapan-endapan volkanik (tuf) kemudian tererosi dan terendapkan dalam rawa sagpond. Pengendapan kemudian dilanjutkan dengan pengendapan material rawa hingga membentuk gambut berwarna hitam dengan kandungan organik yang semakin kaya ke arah atas (interval kedalaman 184 cm cm). Gambut tersebut diperkirakan kemudian melapuk menjadi paleosol berwarna kekuningan hingga kemerahan hingga kemudian menjadi berwarna coklat agak tua sampai coklat kemerahan (interval kedalaman 175 cm cm). Warna pada akhir runtunan dalam skala warna tanah Munsell (Munsell soil color charts) yang menunjukkan angka cukup tinggi yakni hingga 7,5 YR mencirikan bahwa kemungkinan di sini terjadi proses tersingkapnya endapan perairan ke permukaan (oksidasi). 70

8 Areal ini diduga kembali tergenang dengan adanya slip berikutnya (Slip-5) sehingga pengendapan rawa sagpond kembali berlangsung dan terendapkan runtunan stratigrafi berikutnya yakni runtunan stratigrafi F Interpretasi slip antara runtunan stratigrafi F dan G Setelah terjadi Slip-5 kemudian terendapkan runtunan berikutnya (runtunan stratigrafi F), berupa gambut berwarna hitam yang kaya akan sisa - sisa tumbuhan (interval kedalaman 131 cm cm) dan kemudian melapuk menjadi paleosol berwarna coklat terang yang mengandung bebijian dan sisasisa akar tumbuhan (interval kedalaman 100 cm - 84 cm). Keberadaan akar-akar tersebut menunjukkan bahwa kemungkinan rawa sagpond kembali menjadi dangkal. Namun, karena setelah ini slip terjadi lagi (Slip-6), maka rawa kembali mendalam dan proses awal pengendapan pada runtunan stratigrafi G pun terbentuk Interpretasi slip antara runtunan stratigrafi G dan H Pengendapan material rawa hingga menjadi gambut kembali terbentuk yakni yang tampak pada runtunan stratigrafi G, berupa endapan gambut berwarna hitam gelap, yang menunjukkan bahwa kondisi rawa sagpond kembali menjadi kembali dalam (interval kedalaman 84 cm - 56 cm). Adanya sisa-sisa tumbuhan bahkan dengan struktur tumbuhan yang lebih jelas (berupa serat-serat tumbuhan dan potongan-potongan kayu) pada bagian atas runtunan ini (interval kedalaman 56 cm - 53 cm) diduga terjadi karena rawa sempat mengalami pendangkalan, sehingga tumbuhan di sekitar rawa juga sempat berkembang pada waktu itu, namun karena kemudian terjadi slip berikutnya (Slip-7), maka rawa menjadi kembali dalam dan menggenangi tumbuhan di sekitar rawa tersebut hingga 71

9 tumbuhan-tumbuhan tersebut kemudian mati dan tertindih oleh endapanendapan pada runtunan berikutnya yang menunjukkan kondisi rawa yang semakin mendalam dengan kembali terbentuknya gambut berikutnya (runtunan stratigrafi H) di atas gambut pada runtunan stratigrafi G ini Interpretasi runtunan stratigrafi I Dengan adanya Slip-7, kondisi rawa sagpond kembali mendalam dan kembali membentuk endapan gambut berwarna coklat tua hingga kehitaman pada runtunan stratigrafi H (interval kedalaman 53 cm - 30 cm). Runtunan ini (endapan gambut) merupakan penciri sedang berlangsungnya proses pengendapan di areal rawa yang tengah tergenang perairan, atau dengan kata lain sebagai penciri sedang berlangsungnya proses pengendapan pada kondisi rawa sagpond yang tengah mengalami pendalaman, dan belum mencapai tahap akhir sedimentasi sagpond yang biasanya dicirikan oleh pembentukan soil (paelosol), dikarenakan soil (top soil) yang menutupi endapan gambut pada runtunan stratigrafi I tersebut merupakan tanah urugan dan bukan merupakan lapukan soil (paelosol) sebagai bagian akhir dari runtunan stratigrafi H. Oleh karenanya, apabila tanah urugan pada runtunan stratigrafi I tersebut tidak ada, maka proses pengendapan gambut pada lingkungan rawa sagpond termuda di daerah penelitian diperkirakan masih hidup hingga kini bahkan kemungkinan proses pengendapan gambutnya pun masih terus berjalan hingga kini dengan adanya kondisi air rawa yang berlingkungan asam (ph 3,52) di areal rawa ini. Dengan demikian, sagpond di daerah penelitian, yang dalam perkembangannya berkaitan dengan proses penurunan lahan akibat adanya Aktifitas Patahan Lembang, menunjukkan bahwa sagpond tersebut secara tidak langsung mengindikasikan bahwa pengaruh keaktifan patahan ini masih terjadi di areal ini hingga sekarang. 72

10 5.2 Indikasi / Bukti Slip (Pergerakan Patahan) Berdasarkan Kumpulan Polen Polen dan spora terendapkan cukup baik di setiap sampel yang diamati. Ini terekam dalam tabel kekayaan polen dan spora pada lampiran G. Banyaknya kandungan polen dan spora dalam endapan rawa sagpond di daerah penelitian berkaitan dengan kondisi sedimentasi pada saat pengendapan polen dan spora tersebut berlangsung. Dalam Sub-bab 5.1 dinyatakan bahwa batas-batas runtunan stratigrafi di daerah penelitian merupakan akibat adanya perubahan perubahan kondisi pengendapan lingkungan rawa sagpond yang disebabkan pergerakan-pergerakan (slip). Dalam sistem sedimentasi, perubahan tipe endapan kemungkinan terjadi karena adanya perubahan kondisi tertentu dalam proses pengendapannya. Polen dan spora yang terendapkan dalam suatu lingkungan rawa biasanya terendapkan dalam sistem umum pengendapan yang sumbernya terutama berasal dari sungaisungai di sekitarnya yang langsung masuk ke dalam lingkungan perairan rawa. Namun, adakalanya polen dan spora tersebut terendapkan dalam suatu rawa yang didominasi oleh tumbuhan perairan yang membentuk penutup (cap) pada permukaan rawa atau yang disebut rawa apung, yakni rawa yang perluasan vegetasinya melalui air (Polunin, 1990). Tumbuhan perairan tersebut akarakarnya menggantung di dalam air dan tubuh tumbuhannya mengambang sehingga membentuk root mat di atas permukaan air (Susetyo, 1998). Keberadaan root mat di permukaan air rawa menjadikan material-material endapan yang masuk ke dalam rawa tidak langsung terendapkan ke dasar rawa, namun harus melewati jaringan akar-akar pada root mat tersebut, termasuk dalam proses pengendapan polen dan spora yang masuk ke dalam rawa ini. Dalam kondisi pengendapan yang demikian, berbagai tipe endapan (baik sedimen volkanik maupun non-volkanik) dan berbagai ukuran endapan (baik kasar maupun halus), seluruhnya memungkinkan untuk diendapkan melalui celah-celah root mat (serasah) tersebut (Gambar 5.1). 73

11 Gambar 5.1 Model pembentukan rawa apung yang membentuk root mat pada permukaannya (Susetyo, 1998). Tipe pengendapan rawa seperti ini kemungkinan terjadi di daerah penelitian, mengingat masih terkandungnya polen dan spora di dalam endapan-endapan yang biasanya tidak memungkinkan untuk terpreservasi di dalam jenis-jenis endapan yang bertekstur kasar dan bersifat tufan (volkanik) tersebut (Polen dan spora biasanya terkandung dengan baik dalam sistem sedimentasi bertekstur halus dan material yang kaya akan kandungan organik, antara lain: sedimen organik, gambut maupun batubara (Bignot G., 1985)). Perubahan akumulasi polen dan spora di daerah penelitian diyakini sebagai refleksi perubahan bentang vegetasi karena adanya perubahan topografi yang diakibatkan oleh aktifitas patahan. Hal ini berlandaskan pada dasar pemikiran berikut ini. Rekonstruksi bentang vegetasi purba berdasarkan data palinologi dari wilayah Indonesia membuktikan terjadinya fluktuasi iklim yang bersifat global atau paling tidak regional selama Plistosen Atas hingga Holosen (Yulianto & Sukapti, 1998). Fluktuasi iklim di daerah tropis biasanya berdampak pada pergeseran jalur-jalur vegetasi yang lebih jelas terlihat terutama di areal-areal dataran tinggi (Walker, 1970). Fluktuasi perubahan iklim itupun terekam dari data mikrofosil atau makrofosil lainnya. Bahkan perubahan yang lebih spesifik dapat teramati dari perubahan fluktuasi yang berdasarkan pada data geokimia (kadar kandungan 74

12 unsur C, O atau N). Dari hasil data terdahulu terutama perubahan mintakat tumbuhan selama Kuarter Akhir di wilayah Sunda-Sahul berdasarkan analisis palinologi (Flenley, 1996) tampak bahwa fluktuasi tersebut terekam dengan baik hanya hingga sekitar rentang waktu tahun yang lalu, namun setelah itu fluktuasi perubahannya menjadi semakin rendah (Yulianto, 2001). Dengan demikian, apabila masih terlihat adanya perubahan refleksi polen pada rentang waktu tersebut, kiranya kondisi apa yang mengontrol perubahan-perubahan tersebut, mengingat perubahan bentang vegetasi tidak selalu dikontrol oleh faktor perubahan iklim namun bisa saja terjadi karena adanya faktor perubahan topografi, terutama di wilayah-wilayah yang dikontrol oleh tektonik aktif. Selain itu, berdasarkan literatur terdahulu, penelitian palinologi yang berkaitan dengan perubahan iklim khususnya di Jawa Barat (Kaars & Dam, 1995; Polhaupessy, 1980, 1981, 1990, 2001 dan Stuijts, 1993) umumnya dilakukan hingga sekitar tahun yang lalu, karena setelah itu perubahan bentang vegetasi menjadi tidak jelas dan diduga tidak hanya terjadi secara alami namun mulai dipengaruhi oleh turut campurnya aktifitas manusia terhadap perubahan bentang vegetasi pada saat itu (Yulianto & Sukapti, 1998). Jika dibandingkan antara ketebalan inti bor di deerah penelitian dengan hasil bor yang dilakukan oleh Kaars & Dam (1995), maka diperkirakan inti bor di daerah penelitian masih berada jauh lebih muda dari kisaran umur tersebut (tidak lebih tua dari 7000 tahun yang lalu), sehingga kemungkinan perubahan bentang vegetasi pada saat itu bukan disebabkan oleh pengaruh perubahan iklim. Di sisi lain, apabila refleksi polen dan spora dari komunitas vegetasi yang berkembang di suatu wilayah yang berpotensi tektonik dalam hal ini di sekitar areal yang kemungkinan besar dipengaruhi oleh aktifitas patahan, maka besar kemungkinan rekaman-rekaman perubahan refleksi polen dan spora yang terjadi tersebut bukan dikontrol oleh perubahan iklim yang bersifat lebih luas (global) namun lebih dikontrol oleh faktor-faktor lokal yakni faktor-faktor perubahan topografi yang diakibatkan oleh aktifitas tetkonik di sekitarnya. Dan salah satu 75

13 contoh lingkungan yang sesuai dengan keadaan ini adalah perubahan refleksi polen dan spora yang terkandung dalam suatu endapan berlingkungan sagpond di sekitar areal patahan (dalam hal ini Patahan Lembang) seperti halnya yang terjadi di daerah penelitian. Interpretasi palinologi pada endapan sagpond di sekitar areal Patahan Lembang menunjukkan adanya perubahan-perubahan persentase polen dan spora pada segmen-segmen komunitas tertentu yang terefleksikan dalam kelompokkelompok zonasi atau sub-zonasi palinologi. Dalam diagram palinologi (Gambar 4.9) tampak batas-batas zonasi atau sub-zonasi tersebut seringkali berhimpit dengan batas runtunan stratigrafi. Di dalam interpretasi slip berdasarkan analisis runtunan stratigrafi dinyatakan bahwa diduga lingkungan rawa sagpond, yang pembentukannya sangat dikontrol oleh aktifitas slip, masih berlanjut hingga kini (Interpretasi runtunan stratigrafi H dalam Sub-bab 5.1.8). Untuk itu, dengan melakukan analisis terhadap kandungan polen pada sampel modern (sampel tanah permukaan) yang diperkirakan sebagai lingkungan rawa sagpond termuda di sini, dapat dijadikan sebagai acuan sejarah perubahan lingkungan bentang vegetasi di areal sagpond yang berkembang seiring dengan aktifitas-aktifitas slip yang pernah terjadi pada saat itu. Termasuk refleksi polen pada runtunan stratigrafi I (Zonasi Palinologi IV) yang merupakan tanah urugan di atas areal rawa sagpond juga digunakan sebagai pembanding dalam interpretasi palinologi data inti bor karena tanah tersebut dianggap masih mewakili lingkungan termuda di areal rawa sagpond ini mengingat sumber tanah urugan pada runtunan stratigrafi I ini masih berasal dari permukaan rawa sagpond itu sendiri, sehingga besar kemungkinan kandungan polen-polennya mewakili lingkungan permukaan rawa sagpond yang tengah berkembang di areal rawa sagpond modern / sekarang. Keberadaan polen dan spora pada sampel modern (Tabel 4.1 dan gambar ) yang diambil dari tanah permukaan rawa sebagai pembanding kondisi rawa 76

14 sagpond yang mencapai akhir pendangkalan (sedimentasi mencapai permukaan) menunjukkan kandungan polen dan spora yang hampir sama dengan kandungan polen dan spora pada Zonasi Palinologi IV yang tampak lebih didominasi oleh kelompok rerumputan (khususnya Gramineae) dengan proporsi sekitar 70% dan kecilnya proporsi kelompok tumbuhan dataran tinggi, tumbuhan semak, tumbuhan perairan dan tumbuhan rawa. Sedangkan yang diambil dari dasar rawa sebagai pembanding kondisi rawa sagpond yang tergenang dengan dalam menunjukkan kandungan polen dan spora yang hampir sama dengan kandungan polen dan spora pada Zonasi Palinologi III-d yang tampak lebih didominasi kelompok tumbuhan perairan (khususnya Pandanus tectorius) dengan proporsi sekitar 40%. Berdasarkan hal ini, maka interpretasi slip dari bukti palinologi pada data kandungan polen dalam inti bor direfleksikan oleh perubahanperubahan akumulasi proporsi polen dan spora pada batas-batas zona atau subzona palinologi berikut ini Bukti Rekaman Polen Pada Interpretasi Slip-1 Slip-1 diinterpretasi sebagai aktifitas yang membatasi terbentuknya endapanendapan yang merefleksikan proporsi polen dan spora antara Sub-Zonasi I-a dengan Sub-Zonasi I-b. Batas ini diidentifikasi dari kandungan proporsi polen pada Sub-Zonasi I-a yang mengindikasikan kondisi rawa yang tidak terlalu dalam, Sub-Zonasi I-b yang mengindikasikan kondisi rawa yang menjadi lebih dalam. Kondisi rawa yang tidak terlalu dalam pada Sub-Zonasi I-a direfleksikan oleh tingginya kehadiran tumbuhan dataran tinggi dan tumbuhan rawa; hadirnya tumbuhan semak-belukar (0,7% - 6,8%) dan tumbuhan perairan (2,2% - 3,4%); dan cukup tingginya rerumputan (20,3% - 35,8%). Dengan hadirnya kelompok tumbuhan perairan (Nuphar dan Pandanus tectorius) dalam sub-zonasi I-a ini 77

15 menunjukkan bahwa lingkungan rawa sagpond di daerah penelitian telah berkembang pada saat itu karena keduanya termasuk ke dalam tipe tumbuhan khas perairan. Hal ini didukung oleh data stratigrafi pada interval kedalaman ini yakni Runtunan stratigrafi A (interval kedalaman 300 cm cm) berupa endapan gambut yang mengandung material organik. Endapan ini kemungkinan merupakan kelanjutan endapan sagpond di bawahnya (kelanjutan dari endapan dengan kedalaman lebih dari 3 m) yang diperkirakan terendapkan dalam lingkungan rawa. Sedangkan kondisi rawa yang menjadi lebih dalam pada Sub-Zonasi I-b direfleksikan oleh meningkatnya frekuensi tumbuhan dataran tinggi; masih tingginya frekuensi tumbuhan rawa; rendahnya frekuensi tumbuhan perairan; dan menurunnya frekuensi rerumputan Bukti Rekaman Polen Pada Interpretasi Slip-2 Kondisi rawa setelah Slip-1 yang menjadi lebih dalam dari sebelumnya (Sub- Zonasi I-a), seiring dengan berjalannya proses sedimentasi, menjadikan rawa terisi oleh endapan-endapan rawa sehingga rawa mendangkal kembali. Ini direfleksikan oleh refleksi polen setelah Sub-Zonasi I-b, yaitu Sub-Zonasi I-c yang menunjukkan refleksi sedikit berkurangnya frekuensi tumbuhan dataran tinggi; tingginya tumbuhan rawa; meningkatnya tumbuhan perairan (Nuphar dan Pandanus tectorius); meningkatnya frekuensi Compositae (kelompok rerumputan) yang menunjukkan bahwa kemungkinan rawa mengalami pendangkalan. Hal ini didukung oleh data stratigrafi pada interval kedalaman ini yakni Runtunan stratigrafi B (interval kedalaman 278 cm cm) berupa endapan tuf 78

16 berwarna kemerahan yang ditindih secara berangsur oleh gambut berwarna kehitaman, kemudian oleh soil (paleosol) berwarna coklat hingga sedikit kemerahan, yang menunjukkan kondisi rawa yang pada awalnya dalam kemudian mengalami pendangkalan. Kondisi dangkal pada akhir Sub-Zonasi I-c ini kemudian berubah menjadi dalam kembali dengan adanya slip berikutnya yaitu Slip-2 dengan perubahan refleksi proporsi polen pada Sub-Zonasi I-d yang menunjukkan kondisi rawa yang kembali mendalam (dicirikan oleh kembali meningkatnya tumbuhan rawa (18% - 20%) dan menurunnya kelompok rerumputan yang sempat meningkat pada awalnya (35,8% - 9,1%). Pendangkalan ini didukung oleh data stratigrafi pada interval kedalaman ini yakni Runtunan stratigrafi C (interval kedalaman 245 cm cm) berupa endapan tuf berwarna coklat muda kemerahan yang ditindih secara berangsur oleh gambut berwarna coklat kemerahan Bukti Rekaman Polen Pada Interpretasi Slip-3 Dengan adanya Slip-3, maka kondisi rawa kembali dalam seperti yang direfleksikan oleh karakter proporsi pada Sub-Zonasi I-e, yakni meningkatnya tumbuhan dataran tinggi bahkan mencapai puncaknya di sini (hingga mencapai 64,8%); meningkatnya tumbuhan rawa; dan menurunnya kelompok rerumputan (Compositae dan Gramineae). Kondisi rawa yang dalam ini kemudian menunjukkan pendangkalan kembali seperti yang terefleksikan dalam Sub- Zonasi I-f hingga I-g, yakni semakin menurunnya tumbuhan dataran tinggi dan tumbuhan rawa; dan meningkatnya kelompok rerumputan. Perubahan ketiga sub-zonasi ini didukung oleh data stratigrafi pada interval kedalaman ini yang menunjukkan kondisi rawa yang tadinya dalam menjadi 79

17 mendangkal, yakni runtunan stratigrafi D (interval kedalaman 234 cm cm), berupa lapisan endapan tuf berwarna coklat yang mengandung fragmen-fragmen tuf-pumice bertekstur lebih kasar (pasiran hingga kerikilan pada interval kedalaman 234 cm cm ) dan cenderung membentuk struktur reverse bedding yang diperkirakan merupakan endapan hasil erosi dari endapan volkanik pada dinding-dinding foot wall. Endapan kemudian berangsur menjadi gambut berwarna coklat muda-tua dan mengandung sisa-sisa tumbuhan (interval kedalaman 216 cm cm) yang diperkirakan merupakan endapan hasil lapukan endapan rawa. Dan kemudian diakhiri oleh pengendapan soil (paleosol) berwarna coklat muda kekuningan bertekstur pasiran (interval kedalaman 212 cm cm) yang diperkirakan sebagai lapukan dari endapan rawa tersebut Bukti Rekaman Polen Pada Interpretasi Slip-4 Slip berikutnya yaitu Slip-4 diinterpretasi terjadi setelah pembentukan endapan pada Sub-Zonasi I-g yang menunjukkan pendalaman rawa lagi, yakni dengan adanya kenampakan refleksi polen pada Sub-Zonasi I-h yang mengindikasikan kembali meningkatnya tumbuhan dataran tinggi dan tumbuhan rawa; serta menurunnya rerumputan. Keadaan ini didukung oleh adanya perubahan karakter endapan dari paleosol (akhir runtunan stratigrafi D) menjadi endapan tuf bertekstur kasar (awal runtunan stratigrafi E) Bukti Rekaman Polen Pada Interpretasi Slip-5 Pendalaman rawa yang direfleksikan oleh proporsi polen pada Sub-Zonasi I-h kemudian berangsur menjadi mendangal kembali yang ditunjukkan oleh refleksi proporsi polen pada Sub-Zonasi II-a hingga II-b, yakni dengan menurunnya frekuensi tumbuhan dataran tinggi, tumbuhan rawa dan tumbuhan perairan; serta 80

18 meningkatnya frekuensi rerumputan dengan proporsi yang cukup signifikan (peningkatan Gramineae hingga sekitar 71%). Peningkatan ini menunjukkan bahwa kemungkinan pada saat itu rawa menjadi sangat dangkal, bahkan diduga pendangkalannya hingga mencapai permukaan. Pendangkalan maskimal di sini didukung oleh karakter runtunan stratigrafinya yakni runtunan stratigrafi E (interval kedalaman 200 cm cm) berupa runtunan endapan yang diawali oleh tuf berwarna coklat tua yang mengandung fragmen-fragmen tuf di dalamnya (interval kedalaman 199 cm cm) yang kemudian berangsur menjadi tuf berwarna coklat kemerahan, yang kemungkinan terjadi karena hancurnya dinding-dinding foot wall yang didominasi oleh endapan-endapan volkanik (tuf) kemudian tererosi dan terendapkan dalam rawa sagpond. Kemudian dilanjutkan dengan pengendapan material rawa hingga membentuk gambut berwarna hitam dengan kandungan organik yang semakin kaya ke arah atas (interval kedalaman 184 cm cm), hingga kemudian melapuk menjadi soil (Paleosol) berwarna kemerahan sampai kekuningan yang diduga telah tersingkapnya endapan perairan ke permukaan (oksidasi). Areal ini diduga kembali tergenang dengan adanya slip berikutnya, yakni Slip-5 dengan kembali tergenangnya rawa oleh tubuh perairan, yang dicirikan oleh menurunnya proporsi Gramineae (Sub-Zonasi III-a) yang mengindikasikan bahwa rawa menjadi dalam kembali. Pendalaman rawa pada Sub-Zonasi III-a ini sekaligus mengindikasikan perubahan kontrol sedimentasi yang menunjukkan bahwa kemungkinan pengaruh sungai semakin melemah dan sebaliknya pengaruh rawa semakin kuat, ini terlihat dari meningkatnya proporsi Pandanus tectorius yang merupakan salah satu segmen tumbuhan perairan, dengan nilai yang cukup signifikan (hingga mencapai 83%). 81

19 5.2.5 Bukti Rekaman Polen Pada Interpretasi Slip-6 Penurunan proporsi Gramineae yang ditunjukkan oleh refleksi polen pada Sub- Zonasi III-a dilanjutkan dengan kondisi rawa yang kembali mendangkal seiring dengan proses sedimentasi, dicirikan oleh refleksi polen pada Sub-Zonasi III-b, yaitu dengan kembali meningkatnya proporsi rerumputan dan masih rendahnya tumbuhan dataran tinggi; serta sedikit berkurangnya tumbuhan perairan (proporsi Pandanus tectorius berkurang hingga menjadi sekitar 55%). Indikasi rawa yang sempat mendalam kemudian mendangkal lagi tersebut terlihat pula dari interpretasi stratigrafi yakni karakter yang ditunjukkan runtunan stratigrafi F (interval kedalaman 131 cm - 84 cm) berupa pengendapan sedimen rawa berupa gambut berwarna hitam yang kaya akan sisa-sisa tumbuhan dan kemudian melapuk menjadi soil (Paleosol) berwarna coklat terang yang mengandung bebijian dan sisa-sisa akar tumbuhan. Kemudian, diperkirakan rawa yang menjadi dalam dan selanjutnya sedikit mendangkal lagi ini kembali mendalam karena diduga terjadi lagi aktifitas slip berikutnya, yaitu Slip-6. Ini ditunjukkan oleh refleksi polen pada Sub-Zonasi IIIc, yaitu meningkatnya kembali proporsi polen dari tumbuhan dataran tinggi dan tumbuhan perairan (Pandanus tectorius); serta menurunnya rerumputan. Pendalaman rawa ini juga jelas terlihat dari adanya peningkatan kembali hingga mencapai proporsi angka yang cukup signifikan (hingga 85%) pada frekuensi Pandanus tectorius dan menurunnya rerumputan hingga ke angka penurunan yang cukup signifikan (hingga sekitar 0% - 2%) dan ini merupakan pencapaian angka penurunan proporsi terendahnya di sini. Kondisi ini kemungkinan menunjukkan bahwa rawa mengalami penurunan yang cukup dalam pada saat itu. Karakter ini didukung oleh endapannya yakni endapan pada kedalaman 84 cm sampai dengan 52 cm (runtunan stratigrafi G) yang berupa endapan gambut berwarna hitam gelap. Adanya sisa-sisa tumbuhan dengan struktur tumbuhan yang lebih jelas (berupa serat-serat tumbuhan dan potongan-potongan kayu) 82

20 yang tampak pada bagian atas runtunan menunjukkan bahwa rawa sempat mendangkal sehingga sempat berkembang tumbuhan di areal rawa tersebut. Ini dicirikan oleh adanya perubahan proporsi polen pada bagian akhir dari Sub- Zonasi III-c ini yaitu dengan sedikit meningkatnya kelompok rerumputan (Compositae (hingga mencapai 20%), Cyperaceae (hingga 3%) dan Gramineae (hingga 9%)) dan kelompok tumbuhan rawa (Ilex (2%) dan Macaranga (23%); serta menurunnya kelompok tumbuhan perairan (Pandanus tectorius berkurang hingga mencapai angka 15%) Bukti Rekaman Polen Pada Interpretasi Slip-7 Meskipun sedimentasi pada kondisi rawa sagpond yang cukup dalam pada saat itu tengah berlangsung, slip berikutnya (Slip-7) terjadi lagi. Dengan demikian, sebelum sempat membentuk soil, rawa sagpond ini telah mengalami penurunan kembali sehingga dasar rawa menjadi semakin dalam, sehinga kemudian itu berlangsung kembali pengendapan sedimen pada kondisi rawa yang mengalami pendalaman seperti yang tampak pada refleksi polen pada Sub-Zonasi III-d, yakni dengan semakin meningkatnya proporsi tumbuhan dataran tinggi dan tumbuhan rawa; sedikit berkurangnya tumbuhan perairan; dan masih rendahnya rerumputan. Proporsi tumbuhan perairan (Pandanus tectorius) yang tetap terkandung dalam proporsi tinggi (hanya berkurang sedikit menjadi sekitar 61%) dan sedikit menurunnya rerumputan (Compositae, Cyperaceae dan Gramineae). Rendahnya proporsi polen dari kelompok rerumputan pada refleksi polen dalam Sub-Zonasi III-d ini mengindikasikan bahwa pengendapan saat itu kemungkinan masih berlangsung dalam kondisi rawa yang tergenang perairan. Ini didukung pula oleh kembali terbentuknya endapan gambut berwarna coklat tua hingga kehitaman (runtunan stratigrafi H, antara kedalaman 52 cm - 30 cm) di atas sisasisa tumbuhan dengan struktur tumbuhan yang lebih jelas (berupa serat-serat 83

21 tumbuhan dan potongan-potongan kayu) yang tampak pada bagian atas runtunan stratigrafi G. Di atas Sub-Zonasi III-d, terdapat runtunan stratigrafi I (interval kedalaman 30 cm hingga 0 cm) yang mengandung refleksi polen dari Zonasi IV. Karakter endapan yang merupakan suatu top soil ini sangat didukung oleh keberadaan kumpulan polen yang sangat merefleksikan karakter proporsi polen yang terkandung dalam endapan permukaan yaitu karakter proporsi polen yang sangat didominasi oleh kelompok rerumputan (71,3% - 79,3%), sedangkan sisanya merupakan proporsi dari kelompok tumbuhan dataran tinggi, tumbuhan rawa, tumbuhan semak dan tumbuhan perairan, masing-masing dengan proporsi yang kecil (berkisar antara 3% - 16%). Refleksi polen dari Zonasi IV ini menunjukkan proporsi yang hampir sama dengan refleksi polen yang terkandung dalam sampel tanah permukaan pada sampel modern (Tabel 4.1, gambar 4.8). Hal ini kemungkinan terjadi karena endapan soil pada runtunan stratigrafi I ini merupakan tanah urugan yang sengaja ditutup di atas areal rawa sagpond ini. Interpretasinya pun dianggap masih mewakili lingkungan termuda di areal rawa sagpond ini mengingat sumber tanah urugan pada runtunan stratigrafi I ini masih berasal dari permukaan rawa sagpond itu sendiri, dan besar kemungkinan kandungan polen-polennya tetap mewakili lingkungan permukaan rawa sagpond yang tengah berkembang di areal rawa sagpond modern yang berlangsung di masa sekarang. Penelitian ini tentunya akan lebih baik apabila dilakukan dengan resolusi analisis palinologi yang lebih tinggi serta dukungan data palinologi pada titik-titik bor sekitarnya, data paritan (trenching), data penanggalan, data uji provenance pada endapan penyusun rawa sagpond sehingga diketahui lebih jelas dari mana sumber-sumber endapan tersebut berasal, dan data pendukung lainnya. Berdasarkan hasil analisis stratigrafi dan palinologi pada inti bor sepanjang 300 cm tersebut, maka dibuat interpretasi slip berdasarkan proporsi kumulatif 84

22 Runtunan Srtratigrafi Zonasi Palinologi polen (Gambar 5.2) dan tabel aktifitas pergerakan Patahan Lembang (Tabel 5.1) dan yang terjadi di daerah penelitian. Tumbuhan Dataran Tinggi Tumbuhan Rawa Tumbuhan Semak-Belukar Tumbuhan Perairan I H G F E D C B A IV d c III b a b II a h g d f I e d c b a VLitologi V Rerumputan D % 0 Slip-7 Slip-6 Slip-5 Slip-4 Slip-3 Slip-2 Slip-1 Gambar 5.2 Interpretasi slip di daerah penelitian berdasarkan siklus / runtunan stratigrafi dan proporsi kumulatif polen. 85

23 Tabel 5.1 Tabel Aktifitas Slip / Pergerakan Patahan Lembang yang terjadi di daerah penelitian. INTERVAL KEDALAMAN 0cm 30cm LITOLOGI Top soil (Tanah urugan) ANALISIS STRATIGRAFI Runtunan stratigrafi I INDIKASI PALINOLOGI Sub-Zonasi Palinologi IV AKTIFITAS SLIP 30cm 30cm - 30cm 52cm 52cm 52cm 52cm 84cm 84cm 84cm 84cm 100cm 100cm 131cm 131cm 131cm 131cm 176cm 176cm 184cm 184cm 200cm 200cm 200cm 200cm 212cm 212cm 216cm 216 cm 234 cm Gambut, coklat tua cenderung hitam Gambut, hitam gelap mengandung serat-serat tumbuhan & potonganpotongan kayu Paleosol, coklat terang mengandung bebijian & sisa-sisa akar tumbuhan Gambut, hitam, kaya sisa-sisa tumbuhan Paleosol, pasiran, kekuningankemerahan, berangsur menjadi coklat kemerahan-coklat tua Gambut, hitam, kaya kandungan organik Tuf coklat tua, mengandung fragmenfragmen, berangsur menjadi tuf coklat kemerahan Paleosol, tufan, coklat muda-kekuningan, pasiran Gambut, coklat mudatua, mengandung sisasisa tumbuhan Tuf, coklat, pasiran, kerikilan Runtunan stratigrafi H Runtunan stratigrafi G Runtunan stratigrafi F Runtunan stratigrafi E Runtunan stratigrafi D Sub-Zonasi Palinologi III-d Sub-Zonasi Palinologi III-c Sub-Zonasi Palinologi III-b Sub-Zonasi Palinologi III-a Sub-Zonasi Palinologi II-b Sub-Zonasi Palinologi II-a Sub-Zonasi Palinologi I-h Sub-Zonasi Palinologi I-g Sub-Zonasi Palinologi I-f 234 cm 234 cm Slip-3 Gambut, coklat 234 cm 237 cm kemerahan Runtunan stratigrafi Sub-Zonasi Palinologi I-d Tuf, coklat muda C 237 cm 245 cm kemerahan, pasiran 245 cm 245 cm Slip-2 Paleosol, coklatkemerahan 245 cm 259 cm Sub-Zonasi Palinologi I-c Gambut, coklat tuahitam 259 cm 260 cm Runtunan stratigrafi B 260 cm 278 cm Tuf, coklat kemerahan Sub-Zonasi Palinologi I-b 278 cm 278 cm Slip cm 300 cm Gambut, coklat tua hitam Runtunan stratigrafi A Sub-Zonasi Palinologi 1-a Slip-7 Slip-6 Slip-5 Slip-4 86

24

Tumbuhan permukaan rawa yang tumbuh dengan sendirinya di areal rawa ini antara lain: Alternanthera pyloxiroides, Centela umbelata, Cynodon dactylon, Cyperaceae, Emilia sonchifolia, Erigeron sumatraensis,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN. Latar Belakang Patahan Lembang merupakan salah satu patahan di Jawa Barat. Status keaktifan patahan yang terletak di utara Bandung ini sesungguhnya belum diketahui secara pasti. Beberapa

Lebih terperinci

BAB V ANALISIS DAN DISKUSI

BAB V ANALISIS DAN DISKUSI BAB V ANALISIS DAN DISKUSI Pada bab ini akan dibahas beberapa aspek mengenai Sesar Lembang yang meliputi tingkat keaktifan, mekanisme pergerakan dan segmentasi. Semua aspek tadi akan dibahas dengan menggabungkan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sesar aktif merupakan salah satu sumber penyebab terjadinya gempabumi. Menurut Keller dan Pinter (1996) sesar aktif adalah sesar yang pernah bergerak pada kurun waktu

Lebih terperinci

BAB II GEOLOGI REGIONAL

BAB II GEOLOGI REGIONAL BAB II GEOLOGI REGIONAL 2.1 Fisiografi Regional Daerah penelitian berada di Pulau Jawa bagian barat yang secara fisiografi menurut hasil penelitian van Bemmelen (1949), dibagi menjadi enam zona fisiografi

Lebih terperinci

BAB II TATANAN GEOLOGI

BAB II TATANAN GEOLOGI BAB II TATANAN GEOLOGI Secara morfologi, Patahan Lembang merupakan patahan dengan dinding gawir (fault scarp) menghadap ke arah utara. Hasil interpretasi kelurusan citra SPOT menunjukkan adanya kelurusan

Lebih terperinci

INSTITUT TEKNOLOGI BANDUNG

INSTITUT TEKNOLOGI BANDUNG REKAMAN POLEN TERHADAP PERUBAHAN LINGKUNGAN DALAM ENDAPAN SAGPOND PATAHAN LEMBANG TESIS Karya tulis sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar magister Dari Institut Teknologi Bandung Oleh DESSY

Lebih terperinci

BAB IV DATA DAN HASIL PENELITIAN

BAB IV DATA DAN HASIL PENELITIAN BAB IV DATA DAN HASIL PENELITIAN 4. Morfometri Sesar Lembang Dalam melakukan pengolahan data penulis membagi daerah penelitian menjadi 2 (dua), yaitu blok utara (hangingwall) dan blok selatan (footwall)

Lebih terperinci

BAB III TATANAN GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

BAB III TATANAN GEOLOGI DAERAH PENELITIAN BAB III TATANAN GEOLOGI DAERAH PENELITIAN 3.1 Geomorfologi 3.1.1 Geomorfologi Daerah Penelitian Secara umum, daerah penelitian memiliki morfologi berupa dataran dan perbukitan bergelombang dengan ketinggian

Lebih terperinci

BAB II GEOLOGI REGIONAL

BAB II GEOLOGI REGIONAL BAB II GEOLOGI REGIONAL II.1 Fisiografi dan Morfologi Van Bemmelen (1949), membagi fisiografi Jawa Barat menjadi empat zona, yaitu Pegunungan selatan Jawa Barat (Southern Mountain), Zona Bandung (Central

Lebih terperinci

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN 3.1 Geomorfologi Daerah Penelitian Lokasi penelitian berada di daerah Kancah, Kecamatan Parongpong, Kabupaten Bandung yang terletak di bagian utara Kota Bandung. Secara

Lebih terperinci

III.1 Morfologi Daerah Penelitian

III.1 Morfologi Daerah Penelitian TATANAN GEOLOGI DAERAH PENELITIAN III.1 Morfologi Daerah Penelitian Morfologi suatu daerah merupakan bentukan bentang alam daerah tersebut. Morfologi daerah penelitian berdasakan pengamatan awal tekstur

Lebih terperinci

PENTINGNYA PENELITIAN DETIL DI CEKUNGAN BATURETNO

PENTINGNYA PENELITIAN DETIL DI CEKUNGAN BATURETNO PENTINGNYA PENELITIAN DETIL DI CEKUNGAN BATURETNO Purna Sulastya Putra Pusat Penelitian Geoteknologi LIPI Bandung Sari Hasil penelitian terbaru yang dilakukan oleh penulis di bagian barat Cekungan Baturetno

Lebih terperinci

Umur GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

Umur GEOLOGI DAERAH PENELITIAN Foto 3.7. Singkapan Batupasir Batulempung A. SD 15 B. SD 11 C. STG 7 Struktur sedimen laminasi sejajar D. STG 3 Struktur sedimen Graded Bedding 3.2.2.3 Umur Satuan ini memiliki umur N6 N7 zonasi Blow (1969)

Lebih terperinci

3.2.3 Satuan lava basalt Gambar 3-2 Singkapan Lava Basalt di RCH-9

3.2.3 Satuan lava basalt Gambar 3-2 Singkapan Lava Basalt di RCH-9 3.2.2.4 Mekanisme pengendapan Berdasarkan pemilahan buruk, setempat dijumpai struktur reversed graded bedding (Gambar 3-23 D), kemas terbuka, tidak ada orientasi, jenis fragmen yang bervariasi, massadasar

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Keterdapatan mikrofosil pada batuan sangat bergantung kepada lingkungan hidup organisme

BAB I PENDAHULUAN. Keterdapatan mikrofosil pada batuan sangat bergantung kepada lingkungan hidup organisme BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian Mikropaleontologi merupakan cabang ilmu paleontologi yang mempelajari fosil yang berukuran mikro sehingga memerlukan alat bantu mikroskrop dalam mempelajarinya.

Lebih terperinci

Geologi Daerah Penelitian. III Hubungan Stratigrafi

Geologi Daerah Penelitian. III Hubungan Stratigrafi 30 Geologi Daerah Penelitian III.2.2.3. Hubungan Stratigrafi Dilihat dari arah kemiringan lapisan yang sama yaitu berarah ke timur dan pengendapan yang menerus, maka diperkirakan hubungan stratigrafi dengan

Lebih terperinci

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN 3.1 Geomorfologi Bentukan topografi dan morfologi daerah penelitian adalah interaksi dari proses eksogen dan proses endogen (Thornburry, 1989). Proses eksogen adalah proses-proses

Lebih terperinci

berukuran antara 0,05-0,2 mm, tekstur granoblastik dan lepidoblastik, dengan struktur slaty oleh kuarsa dan biotit.

berukuran antara 0,05-0,2 mm, tekstur granoblastik dan lepidoblastik, dengan struktur slaty oleh kuarsa dan biotit. berukuran antara 0,05-0,2 mm, tekstur granoblastik dan lepidoblastik, dengan struktur slaty oleh kuarsa dan biotit. (a) (c) (b) (d) Foto 3.10 Kenampakan makroskopis berbagai macam litologi pada Satuan

Lebih terperinci

Foto 3.5 Singkapan BR-8 pada Satuan Batupasir Kuarsa Foto diambil kearah N E. Eko Mujiono

Foto 3.5 Singkapan BR-8 pada Satuan Batupasir Kuarsa Foto diambil kearah N E. Eko Mujiono Batulempung, hadir sebagai sisipan dalam batupasir, berwarna abu-abu, bersifat non karbonatan dan secara gradasi batulempung ini berubah menjadi batuserpih karbonan-coally shale. Batubara, berwarna hitam,

Lebih terperinci

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN 3.1. Geomorfologi Daerah Penelitian 3.1.1 Geomorfologi Kondisi geomorfologi pada suatu daerah merupakan cerminan proses alam yang dipengaruhi serta dibentuk oleh proses

Lebih terperinci

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN Berdasarkan pengamatan awal, daerah penelitian secara umum dicirikan oleh perbedaan tinggi dan ralief yang tercermin dalam kerapatan dan bentuk penyebaran kontur pada

Lebih terperinci

BAB II STRATIGRAFI REGIONAL

BAB II STRATIGRAFI REGIONAL BAB II STRATIGRAFI REGIONAL 2.1 FISIOGRAFI JAWA TIMUR BAGIAN UTARA Cekungan Jawa Timur bagian utara secara fisiografi terletak di antara pantai Laut Jawa dan sederetan gunung api yang berarah barat-timur

Lebih terperinci

GEOLOGI KUARTER KUBAH SANGIRAN. Ditulis oleh M Sabtu, 13 Maret :25

GEOLOGI KUARTER KUBAH SANGIRAN. Ditulis oleh M Sabtu, 13 Maret :25 Pada akhir tahun 1998 saya melewati Sangiran dari perjalanan Solo kembali ke Bandung, dan berhenti sebentar pada suatu singkapan. Apa yang saya lihat ketika itu, ternyata singkapan batupasir yang saya

Lebih terperinci

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN 3.1 Geomorfologi Daerah Penelitian 3.1.1 Morfologi Umum Daerah Penelitian Morfologi secara umum daerah penelitian tercermin dalam kerapatan dan bentuk penyebaran kontur

Lebih terperinci

Tanah dapat diartikan sebagai lapisan kulit bumi bagian luar yang merupakan hasil pelapukan dan pengendapan batuan. Di dala

Tanah dapat diartikan sebagai lapisan kulit bumi bagian luar yang merupakan hasil pelapukan dan pengendapan batuan. Di dala Geografi Tanah dapat diartikan sebagai lapisan kulit bumi bagian luar yang merupakan hasil pelapukan dan pengendapan batuan. Di dala TANAH Tanah dapat diartikan sebagai lapisan kulit bumi bagian luar yang

Lebih terperinci

BAB IV ASOSIASI FASIES DAN PEMBAHASAN

BAB IV ASOSIASI FASIES DAN PEMBAHASAN BAB IV ASOSIASI FASIES DAN PEMBAHASAN 4.1 Litofasies Menurut Walker dan James pada 1992, litofasies adalah suatu rekaman stratigrafi pada batuan sedimen yang menunjukkan karakteristik fisika, kimia, dan

Lebih terperinci

BAB 3 GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

BAB 3 GEOLOGI DAERAH PENELITIAN BAB 3 GEOLOGI DAERAH PENELITIAN 3.1 Geomorfologi Daerah Penelitian Geomorfologi daerah penelitian ditentukan berdasarkan intepretasi peta topografi, yang kemudian dilakukan pengamatan secara langsung di

Lebih terperinci

4.2 Pembuatan Kolom Stratigrafi Pembuatan kolom stratigrafi (Lampiran F) dilakukan berdasarkan atas

4.2 Pembuatan Kolom Stratigrafi Pembuatan kolom stratigrafi (Lampiran F) dilakukan berdasarkan atas BAB IV ANALISIS SEDIMENTASI 4.1 Pendahuluan Kajian sedimentasi dilakukan melalui analisis perkembangan urutan vertikal lapisan batuan berdasarkan data singkapan batuan pada lokasi yang dianggap mewakili.

Lebih terperinci

BAB IV SIKLUS SEDIMENTASI PADA SATUAN BATUPASIR

BAB IV SIKLUS SEDIMENTASI PADA SATUAN BATUPASIR BAB IV SIKLUS SEDIMENTASI PADA SATUAN BATUPASIR 4.1 Pendahuluan Kajian terhadap siklus sedimentasi pada Satuan Batupasir dilakukan dengan analisis urutan secara vertikal terhadap singkapan yang mewakili

Lebih terperinci

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN 3.1 Bentuk dan Pola Umum Morfologi Daerah Penelitian Bentuk bentang alam daerah penelitian berdasarkan pengamatan awal tekstur berupa perbedaan tinggi dan relief yang

Lebih terperinci

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN 3.1. Geomorfologi Daerah Penelitian Morfologi muka bumi yang tampak pada saat ini merupakan hasil dari proses-proses geomorfik yang berlangsung. Proses geomorfik menurut

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Sumatera terletak di sepanjang tepi Barat Daya Paparan Sunda, pada perpanjangan

II. TINJAUAN PUSTAKA. Sumatera terletak di sepanjang tepi Barat Daya Paparan Sunda, pada perpanjangan II. TINJAUAN PUSTAKA A. Struktur Geologi Sumatera terletak di sepanjang tepi Barat Daya Paparan Sunda, pada perpanjangan Lempeng Eurasia ke daratan Asia Tenggara dan merupakan bagian dari Busur Sunda.

Lebih terperinci

BAB 2 GEOLOGI REGIONAL

BAB 2 GEOLOGI REGIONAL BAB 2 GEOLOGI REGIONAL 2.1 FISIOGRAFI Secara fisiografis, daerah Jawa Barat dibagi menjadi 6 zona yang berarah timurbarat (Van Bemmelen, 1949). Zona tersebut dari arah utara ke selatan meliputi: 1. Zona

Lebih terperinci

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN 3.1. Geomorfologi Daerah Penelitian 3.1.1 Geomorfologi Kondisi geomorfologi pada suatu daerah merupakan cerminan proses alam yang dipengaruhi serta dibentuk oleh proses

Lebih terperinci

BAB IV Kajian Sedimentasi dan Lingkungan Pengendapan

BAB IV Kajian Sedimentasi dan Lingkungan Pengendapan BAB IV KAJIAN SEDIMENTASI DAN LINGKUNGAN PENGENDAPAN 4.1 Pendahuluan Kajian sedimentasi dilakukan melalui analisis urutan vertikal terhadap singkapan batuan pada lokasi yang dianggap mewakili. Analisis

Lebih terperinci

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN 3.1 GEOMORFOLOGI Bentang alam dan morfologi suatu daerah terbentuk melalui proses pembentukan secara geologi. Proses geologi itu disebut dengan proses geomorfologi. Bentang

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN UMUM

BAB II TINJAUAN UMUM 6 BAB II TINJAUAN UMUM 2.1 Lokasi Penelitian Secara administrasi, lokasi penelitian berada di Kecamata Meureubo, Kabupaten Aceh Barat, Provinsi Aceh. Sebelah utara Sebelah selatan Sebelah timur Sebelah

Lebih terperinci

Foto 3.21 Singkapan Batupasir Sisipan Batulempung Karbonan pada Lokasi GD-4 di Daerah Gandasoli

Foto 3.21 Singkapan Batupasir Sisipan Batulempung Karbonan pada Lokasi GD-4 di Daerah Gandasoli Lokasi pengamatan singkapan atupasir sisipan batulempung karbonan adalah pada lokasi GD-4 ( Foto 3.21) di daerah Gandasoli. Singkapan ini tersingkap pada salah satu sisi sungai. Kondisi singkapan segar.

Lebih terperinci

BAB II GEOLOGI REGIONAL DAERAH PENELITIAN. Posisi C ekungan Sumatera Selatan yang merupakan lokasi penelitian

BAB II GEOLOGI REGIONAL DAERAH PENELITIAN. Posisi C ekungan Sumatera Selatan yang merupakan lokasi penelitian BAB II GEOLOGI REGIONAL DAERAH PENELITIAN 2.1 Stratigrafi Regional Cekungan Sumatera Selatan Posisi C ekungan Sumatera Selatan yang merupakan lokasi penelitian dapat dilihat pada Gambar 2.1. Gambar 2.1

Lebih terperinci

3.2.3 Satuan Batulempung. A. Penyebaran dan Ketebalan

3.2.3 Satuan Batulempung. A. Penyebaran dan Ketebalan 3.2.3 Satuan Batulempung A. Penyebaran dan Ketebalan Satuan batulempung ditandai dengan warna hijau pada Peta Geologi (Lampiran C-3). Satuan ini tersingkap di bagian tengah dan selatan daerah penelitian,

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. ibukota Jawa Barat berada disekitar gunung Tangkuban Perahu (Gambar 1).

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. ibukota Jawa Barat berada disekitar gunung Tangkuban Perahu (Gambar 1). BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Lokasi Daerah Penelitian Lokasi daerah penelitain berada di pulau Jawa bagian barat terletak di sebelah Utara ibukota Jawa Barat berada disekitar gunung Tangkuban Perahu (Gambar

Lebih terperinci

BAB IV STUDI SEDIMENTASI PADA FORMASI TAPAK BAGIAN ATAS

BAB IV STUDI SEDIMENTASI PADA FORMASI TAPAK BAGIAN ATAS BAB IV STUDI SEDIMENTASI PADA FORMASI TAPAK BAGIAN ATAS 4.1 Pendahuluan Untuk studi sedimentasi pada Formasi Tapak Bagian Atas dilakukan melalui observasi urutan vertikal terhadap singkapan batuan yang

Lebih terperinci

BAB 2 Tatanan Geologi Regional

BAB 2 Tatanan Geologi Regional BAB 2 Tatanan Geologi Regional 2.1 Geologi Umum Jawa Barat 2.1.1 Fisiografi ZONA PUNGGUNGAN DEPRESI TENGAH Gambar 2.1 Peta Fisiografi Jawa Barat (van Bemmelen, 1949). Daerah Jawa Barat secara fisiografis

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN UMUM

BAB II TINJAUAN UMUM BAB II TINJAUAN UMUM 2.1 Profil Perusahaan PT. Cipta Kridatama didirikan 8 April 1997 sebagai pengembangan dari jasa penyewaan dan penggunaan alat berat PT. Trakindo Utama. Industri tambang Indonesia yang

Lebih terperinci

Kecamatan Nunukan, Kabupaten Nunukan, Provinsi Kalimantan Timur

Kecamatan Nunukan, Kabupaten Nunukan, Provinsi Kalimantan Timur Umur Analisis mikropaleontologi dilakukan pada contoh batuan pada lokasi NA805 dan NA 803. Hasil analisis mikroplaeontologi tersebut menunjukkan bahwa pada contoh batuan tersebut tidak ditemukan adanya

Lebih terperinci

BAB II GEOLOGI REGIONAL

BAB II GEOLOGI REGIONAL BAB II GEOLOGI REGIONAL 2.1 Fisiografi Secara fisiografi, Pulau Jawa berada dalam busur kepulauan yang berkaitan dengan kegiatan subduksi Lempeng Indo-Australia dibawah Lempeng Eurasia dan terjadinya jalur

Lebih terperinci

Bab III Geologi Daerah Penelitian

Bab III Geologi Daerah Penelitian Bab III Geologi Daerah Penelitian Foto 3.4 Satuan Geomorfologi Perbukitan Blok Patahan dilihat dari Desa Mappu ke arah utara. Foto 3.5 Lembah Salu Malekko yang memperlihatkan bentuk V; foto menghadap ke

Lebih terperinci

Geologi dan Studi Fasies Karbonat Gunung Sekerat, Kecamatan Kaliorang, Kabupaten Kutai Timur, Kalimantan Timur.

Geologi dan Studi Fasies Karbonat Gunung Sekerat, Kecamatan Kaliorang, Kabupaten Kutai Timur, Kalimantan Timur. Foto 24. A memperlihatkan bongkah exotic blocks di lereng gunung Sekerat. Berdasarkan pengamatan profil singkapan batugamping ini, (Gambar 12) didapatkan litologi wackestone-packestone yang dicirikan oleh

Lebih terperinci

Gambar 3.13 Singkapan dari Satuan Lava Andesit Gunung Pagerkandang (lokasi dlk-13, foto menghadap ke arah barat )

Gambar 3.13 Singkapan dari Satuan Lava Andesit Gunung Pagerkandang (lokasi dlk-13, foto menghadap ke arah barat ) Gambar 3.12 Singkapan dari Satuan Lava Andesit Gunung Pagerkandang, dibeberapa tempat terdapat sisipan dengan tuf kasar (lokasi dlk-12 di kaki G Pagerkandang). Gambar 3.13 Singkapan dari Satuan Lava Andesit

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. palinomorf lainnya, baik yang masih hidup (actuopalinology) ataupun yang sudah

I. PENDAHULUAN. palinomorf lainnya, baik yang masih hidup (actuopalinology) ataupun yang sudah 1 I. PENDAHULUAN 1. Latar Belakang Palinologi adalah ilmu yang mempelajari tentang polen, spora dan palinomorf lainnya, baik yang masih hidup (actuopalinology) ataupun yang sudah memfosil (paleopalinology).

Lebih terperinci

BAB III TINJAUAN UMUM

BAB III TINJAUAN UMUM BAB III TINJAUAN UMUM 3.1 Palinologi Definisi palinologi menurut Moore & Webb (1978) adalah ilmu yang mempelajari serbuk sari tumbuhan tingkat tinggi (polen) dan spora tumbuhan rendah. Penerapan data palinologi

Lebih terperinci

BAB II GEOLOGI REGIONAL

BAB II GEOLOGI REGIONAL BAB II GEOLOGI REGIONAL 2.1 Fisiografi Jawa Barat Fisiografi Jawa Barat (Gambar 2.1), berdasarkan sifat morfologi dan tektoniknya dibagi menjadi empat bagian (Van Bemmelen, 1949 op. cit. Martodjojo, 1984),

Lebih terperinci

Gambar 2. Lokasi Penelitian Bekas TPA Pasir Impun Secara Administratif (http://www.asiamaya.com/peta/bandung/suka_miskin/karang_pamulang.

Gambar 2. Lokasi Penelitian Bekas TPA Pasir Impun Secara Administratif (http://www.asiamaya.com/peta/bandung/suka_miskin/karang_pamulang. BAB II KONDISI UMUM DAERAH PENELITIAN 2.1 Geografis dan Administrasi Secara geografis daerah penelitian bekas TPA Pasir Impun terletak di sebelah timur pusat kota bandung tepatnya pada koordinat 9236241

Lebih terperinci

Geologi Daerah Sirnajaya dan Sekitarnya, Kabupaten Bandung Barat, Jawa Barat 27

Geologi Daerah Sirnajaya dan Sekitarnya, Kabupaten Bandung Barat, Jawa Barat 27 memiliki ciri-ciri berwarna abu-abu gelap, struktur vesikuler, tekstur afanitik porfiritik, holokristalin, dengan mineral terdiri dari plagioklas (25%) dan piroksen (5%) yang berbentuk subhedral hingga

Lebih terperinci

TANAH / PEDOSFER. OLEH : SOFIA ZAHRO, S.Pd

TANAH / PEDOSFER. OLEH : SOFIA ZAHRO, S.Pd TANAH / PEDOSFER OLEH : SOFIA ZAHRO, S.Pd 1.Definisi Tanah adalah kumpulan dari benda alam di permukaan bumi yang tersusun dalam horizon-horizon, terdiri dari campuran bahan mineral organic, air, udara

Lebih terperinci

Tabel hasil pengukuran geometri bidang sesar, ketebalan cekungan dan strain pada Sub-cekungan Kiri.

Tabel hasil pengukuran geometri bidang sesar, ketebalan cekungan dan strain pada Sub-cekungan Kiri. Dari hasil perhitungan strain terdapat sedikit perbedaan antara penampang yang dipengaruhi oleh sesar ramp-flat-ramp dan penampang yang hanya dipengaruhi oleh sesar normal listrik. Tabel IV.2 memperlihatkan

Lebih terperinci

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN 3.1 Geomorfologi Daerah Penelitian Berdasarkan bentuk topografi dan morfologi daerah penelitian maka diperlukan analisa geomorfologi sehingga dapat diketahui bagaimana

Lebih terperinci

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN III.1 GEOMORFOLOGI III.1.1 Morfologi Daerah Penelitian Morfologi yang ada pada daerah penelitian dipengaruhi oleh proses endogen dan proses eksogen. Proses endogen merupakan

Lebih terperinci

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN 3.1 Geomorfologi Daerah Penelitian 3.1.1 Morfologi mum Daerah Penelitian ecara umum morfologi daerah penelitian merupakan dataran dengan punggungan di bagian tengah daerah

Lebih terperinci

Geologi dan Studi Fasies Karbonat Gunung Sekerat, Kecamatan Kaliorang, Kabupaten Kutai Timur, Kalimantan Timur.

Geologi dan Studi Fasies Karbonat Gunung Sekerat, Kecamatan Kaliorang, Kabupaten Kutai Timur, Kalimantan Timur. Nodul siderite Laminasi sejajar A B Foto 11. (A) Nodul siderite dan (B) struktur sedimen laminasi sejajar pada Satuan Batulempung Bernodul. 3.3.1.3. Umur, Lingkungan dan Mekanisme Pengendapan Berdasarkan

Lebih terperinci

BAB 2 GEOLOGI REGIONAL

BAB 2 GEOLOGI REGIONAL BAB 2 GEOLOGI REGIONAL 2.1 Fisiografi Secara fisiografis, menurut van Bemmelen (1949) Jawa Timur dapat dibagi menjadi 7 satuan fisiografi (Gambar 2), satuan tersebut dari selatan ke utara adalah: Pegunungan

Lebih terperinci

III.3 Interpretasi Perkembangan Cekungan Berdasarkan Peta Isokron Seperti telah disebutkan pada sub bab sebelumnya bahwa peta isokron digunakan untuk

III.3 Interpretasi Perkembangan Cekungan Berdasarkan Peta Isokron Seperti telah disebutkan pada sub bab sebelumnya bahwa peta isokron digunakan untuk III.3 Interpretasi Perkembangan Cekungan Berdasarkan Peta Isokron Seperti telah disebutkan pada sub bab sebelumnya bahwa peta isokron digunakan untuk menafsirkan perkembangan cekungan. Perlu diingat bahwa

Lebih terperinci

BAB II GEOLOGI REGIONAL

BAB II GEOLOGI REGIONAL 9 II.1 Fisiografi dan Morfologi Regional BAB II GEOLOGI REGIONAL Area Penelitian Gambar 2-1 Pembagian zona fisiografi P. Sumatera (disederhanakan dari Van Bemmelen,1949) Pulau Sumatera merupakan salah

Lebih terperinci

BAB II GEOLOGI REGIONAL

BAB II GEOLOGI REGIONAL BAB II GEOLOGI REGIONAL A. Fisiografi yaitu: Jawa Bagian Barat terbagi menjadi 4 zona fisiografi menurut van Bemmelen (1949), 1. Zona Dataran Aluvial Utara Jawa 2. Zona Antiklinorium Bogor atau Zona Bogor

Lebih terperinci

BAB IV ANALISIS DATA

BAB IV ANALISIS DATA BAB IV ANALISIS DATA Proses ini merupakan tahap pasca pengolahan contoh yang dibawa dari lapangan. Dari beberapa contoh yang dianggap mewakili, selanjutnya dilakukan analisis mikropaleontologi, analisis

Lebih terperinci

Metamorfisme dan Lingkungan Pengendapan

Metamorfisme dan Lingkungan Pengendapan 3.2.3.3. Metamorfisme dan Lingkungan Pengendapan Secara umum, satuan ini telah mengalami metamorfisme derajat sangat rendah. Hal ini dapat ditunjukkan dengan kondisi batuan yang relatif jauh lebih keras

Lebih terperinci

DAFTAR ISI COVER HALAMAN PENGESAHAN HALAMAN PERNYATAAN KATA PENGANTAR DAFTAR GAMBAR DAFTAR TABEL BAB I PENDAHULUAN 1. I.1.

DAFTAR ISI COVER HALAMAN PENGESAHAN HALAMAN PERNYATAAN KATA PENGANTAR DAFTAR GAMBAR DAFTAR TABEL BAB I PENDAHULUAN 1. I.1. DAFTAR ISI COVER i HALAMAN PENGESAHAN ii HALAMAN PERNYATAAN iii KATA PENGANTAR iv DAFTAR ISI vi DAFTAR GAMBAR x DAFTAR TABEL xvi SARI xvii BAB I PENDAHULUAN 1 I.1. Latar Belakang 1 I.2. Rumusan Masalah

Lebih terperinci

LEMBAR KERJA SISWA. No Jenis Tanah Jenis tanaman Pemanfaatannya

LEMBAR KERJA SISWA. No Jenis Tanah Jenis tanaman Pemanfaatannya LEMBAR KERJA SISWA KELOMPOK :. Nama Anggota / No. Abs 1. ALFINA ROSYIDA (01\8.6) 2.. 3. 4. 1. Diskusikan tabel berikut dengan anggota kelompok masing-masing! Petunjuk : a. Isilah kolom dibawah ini dengan

Lebih terperinci

Bab II Geologi Regional

Bab II Geologi Regional BAB II GEOLOGI REGIONAL 2.1. Geologi Regional Kalimantan Kalimantan merupakan daerah yang memiliki tektonik yang kompleks. Hal tersebut dikarenakan adanya interaksi konvergen antara 3 lempeng utama, yakni

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Fisiografi Jawa Barat Fisiografi Jawa Barat oleh van Bemmelen (1949) pada dasarnya dibagi menjadi empat bagian besar, yaitu Dataran Pantai Jakarta, Zona Bogor, Zona Bandung

Lebih terperinci

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN 18 Geologi Daerah Penelitian BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN III.1. Geomorfologi Daerah Penelitian merupakan daerah perbukitan bergelombang dengan ketinggian yang berkisar antara 40-90 meter di atas

Lebih terperinci

SMA/MA IPS kelas 10 - GEOGRAFI IPS BAB 4. Dinamika Lithosferlatihan soal 4.6

SMA/MA IPS kelas 10 - GEOGRAFI IPS BAB 4. Dinamika Lithosferlatihan soal 4.6 SMA/MA IPS kelas 10 - GEOGRAFI IPS BAB 4. Dinamika Lithosferlatihan soal 4.6 1. Komponen tanah yang baik yang dibutuhkan tanaman adalah.... bahan mineral, air, dan udara bahan mineral dan bahan organik

Lebih terperinci

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN 35 BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1 Curah Hujan Data curah hujan yang terjadi di lokasi penelitian selama 5 tahun, yaitu Januari 2006 hingga Desember 2010 disajikan dalam Gambar 5.1. CH (mm) 600 500 400

Lebih terperinci

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN 3.1 GEOMORFOLOGI DAERAH PENELITIAN 3.1.1 Morfologi Umum Daerah Penelitian Geomorfologi daerah penelitian diamati dengan melakukan interpretasi pada peta topografi, citra

Lebih terperinci

BAB II GEOLOGI REGIONAL

BAB II GEOLOGI REGIONAL BAB II GEOLOGI REGIONAL Daerah penelitian ini telah banyak dikaji oleh peneliti-peneliti pendahulu, baik meneliti secara regional maupun skala lokal. Berikut ini adalah adalah ringkasan tinjauan literatur

Lebih terperinci

BAB III STRATIGRAFI 3. 1 Stratigrafi Regional Pegunungan Selatan

BAB III STRATIGRAFI 3. 1 Stratigrafi Regional Pegunungan Selatan BAB III STRATIGRAFI 3. 1 Stratigrafi Regional Pegunungan Selatan Stratigrafi regional Pegunungan Selatan dibentuk oleh endapan yang berumur Eosen-Pliosen (Gambar 3.1). Menurut Toha, et al. (2000) endapan

Lebih terperinci

BAB II GEOLOGI REGIONAL

BAB II GEOLOGI REGIONAL BAB II GEOLOGI REGIONAL II.1 Fisiografi Menurut van Bemmelen (1949), Jawa Timur dibagi menjadi enam zona fisiografi dengan urutan dari utara ke selatan sebagai berikut (Gambar 2.1) : Dataran Aluvial Jawa

Lebih terperinci

BAB IV ANALISIS STRUKTUR GEOLOGI

BAB IV ANALISIS STRUKTUR GEOLOGI BAB IV ANALISIS STRUKTUR GEOLOGI 4.1 Struktur Sesar Struktur sesar yang dijumpai di daerah penelitian adalah Sesar Naik Gunungguruh, Sesar Mendatar Gunungguruh, Sesar Mendatar Cimandiri dan Sesar Mendatar

Lebih terperinci

BAB IV ENDAPAN BATUBARA

BAB IV ENDAPAN BATUBARA BAB IV ENDAPAN BATUBARA 4.1 Pembahasan Umum Batubara adalah batuan sedimen (padatan) yang dapat terbakar, terbentuk dari sisa tumbuhan purba, berwarna coklat sampai hitam, yang sejak pengendapannya mengalami

Lebih terperinci

BAB IV STUDI BATUPASIR NGRAYONG

BAB IV STUDI BATUPASIR NGRAYONG BAB IV STUDI BATUPASIR NGRAYONG 4. 1 Latar Belakang Studi Ngrayong merupakan Formasi pada Cekungan Jawa Timur yang masih mengundang perdebatan di kalangan ahli geologi. Perdebatan tersebut menyangkut lingkungan

Lebih terperinci

BAB II GEOLOGI REGIONAL

BAB II GEOLOGI REGIONAL BAB II GEOLOGI REGIONAL 2.1 Fisiografi Regional Fisiografi Jawa Barat dapat dikelompokkan menjadi 6 zona yang berarah barattimur (van Bemmelen, 1949 dalam Martodjojo, 1984). Zona-zona ini dari utara ke

Lebih terperinci

BAB II GEOLOGI REGIONAL

BAB II GEOLOGI REGIONAL BAB II GEOLOGI REGIONAL 2.1 Fisiografi Jawa Barat dapat dikelompokkan menjadi 6 zona fisiografi yang berarah barat-timur (van Bemmelen, 1949) (Gambar 2.1). Zona-zona tersebut dari utara ke selatan yaitu:

Lebih terperinci

BAB IV ANALISIS FASIES PENGENDAPAN

BAB IV ANALISIS FASIES PENGENDAPAN BAB IV ANALISIS FASIES PENGENDAPAN IV.1 Litofasies Suatu rekaman stratigrafi pada batuan sedimen terlihat padanya karateristik fisik, kimia, biologi tertentu. Analisis rekaman tersebut digunakan untuk

Lebih terperinci

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN 3.1 GEOMORFOLOGI Bentuk morfologi dan topografi di daerah penelitian dipengaruhi oleh proses eksogen yang bersifat destruktif dan proses endogen yang berisfat konstruktif.

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN IV. HASIL DAN PEMBAHASAN Pemodelan tahanan jenis dilakukan dengan cara mencatat nilai kuat arus yang diinjeksikan dan perubahan beda potensial yang terukur dengan menggunakan konfigurasi wenner. Pengukuran

Lebih terperinci

BAB II GOLOGI REGIONAL DAERAH PENELITIAN

BAB II GOLOGI REGIONAL DAERAH PENELITIAN BAB II GOLOGI REGIONAL DAERAH PENELITIAN 2.1 Kerangka Tektonik Sub-cekungan Jatibarang merupakan bagian dari Cekungan Jawa Barat Utara. Konfigurasi batuan dasar saat ini di daerah penelitian, yang menunjukkan

Lebih terperinci

BAB II GEOLOGI REGIONAL

BAB II GEOLOGI REGIONAL BAB II GEOLOGI REGIONAL Cekungan Jawa Barat Utara merupakan cekungan sedimen Tersier yang terletak tepat di bagian barat laut Pulau Jawa (Gambar 2.1). Cekungan ini memiliki penyebaran dari wilayah daratan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.3 Batasan Masalah Penelitian ini dibatasi pada aspek geologi serta proses sedimentasi yang terjadi pada daerah penelitian.

BAB I PENDAHULUAN. 1.3 Batasan Masalah Penelitian ini dibatasi pada aspek geologi serta proses sedimentasi yang terjadi pada daerah penelitian. BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Tugas Akhir mahasiswa merupakan suatu tahap akhir yang wajib ditempuh untuk mendapatkan gelar kesarjanaan strata satu di Program Studi Teknik Geologi, Fakultas Ilmu

Lebih terperinci

Raden Ario Wicaksono/

Raden Ario Wicaksono/ Foto 3.15 Fragmen Koral Pada Satuan Breksi-Batupasir. Lokasi selanjutnya perselingan breksi-batupasir adalah lokasi Bp-20 terdapat pada Sungai Ci Manuk dibagian utara dari muara antara Sungai Ci Cacaban

Lebih terperinci

BAB II KERANGKA GEOLOGI

BAB II KERANGKA GEOLOGI BAB II KERANGKA GEOLOGI 2.1 Tatanan Geologi Daerah penelitian merupakan batas utara dari cekungan Bandung. Perkembangan geologi Cekungan Bandung tidak lepas dari proses tektonik penunjaman kerak samudra

Lebih terperinci

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN 3.1 Geomorfologi Daerah Penelitian 3.1.1 Morfologi Umum Daerah Penelitian Daerah penelitian berada pada kuasa HPH milik PT. Aya Yayang Indonesia Indonesia, yang luasnya

Lebih terperinci

BAB IV ANALISIS HASIL PENGOLAHAN DATA INFILTRASI

BAB IV ANALISIS HASIL PENGOLAHAN DATA INFILTRASI BAB IV ANALISIS HASIL PENGOLAHAN DATA INFILTRASI 4. 1 Pengambilan dan Pengolahan Data Pengukuran laju infiltrasi di daerah penelitian menggunakan alat berupa infiltrometer single ring. Hasil pengujian

Lebih terperinci

GEOLOGI DAERAH KLABANG

GEOLOGI DAERAH KLABANG GEOLOGI DAERAH KLABANG Geologi daerah Klabang mencakup aspek-aspek geologi daerah penelitian yang berupa: geomorfologi, stratigrafi, serta struktur geologi Daerah Klabang (daerah penelitian). 3. 1. Geomorfologi

Lebih terperinci

BAB II GEOLOGI REGIONAL

BAB II GEOLOGI REGIONAL BAB II GEOLOGI REGIONAL 2.1. Fisiografi Regional Van Bemmelen (1949) membagi Pulau Sumatera menjadi 6 zona fisiografi, yaitu: 1. Zona Paparan Sunda 2. Zona Dataran Rendah dan Berbukit 3. Zona Pegunungan

Lebih terperinci

Geologi Daerah Perbukitan Rumu, Buton Selatan 34 Tugas Akhir A - Yashinto Sindhu P /

Geologi Daerah Perbukitan Rumu, Buton Selatan 34 Tugas Akhir A - Yashinto Sindhu P / Pada sayatan tipis (Lampiran C) memiliki ciri-ciri kristalin, terdiri dari dolomit 75% berukuran 0,2-1,4 mm, menyudut-menyudut tanggung. Matriks lumpur karbonat 10%, semen kalsit 14% Porositas 1% interkristalin.

Lebih terperinci

V. HASIL DAN PEMBAHASAN

V. HASIL DAN PEMBAHASAN V. HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1 Interpretasi Visual Penggunaan Lahan Melalui Citra Landsat Interpretasi visual penggunaan lahan dengan menggunakan citra Landsat kombinasi band 542 (RGB) pada daerah penelitian

Lebih terperinci

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1. Lintasan Dan Hasil Penelitian Penelitian yang dilakukan dalam cakupan peta 1212 terdiri dari 44 lintasan yang terbentang sepanjang 2290 km, seperti yang terlihat pada peta

Lebih terperinci

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN 3.1 Geomorfologi Bentukan topografi dan morfologi daerah penelitian adalah interaksi dari proses eksogen dan proses endogen (Thornburry, 1989). Proses eksogen adalah proses-proses

Lebih terperinci

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN III.1 Singkapan Stadion baru PON Samarinda Singkapan batuan pada torehan bukit yang dikerjakan untuk jalan baru menuju stadion baru PON XVI Samarinda. Singkapan tersebut

Lebih terperinci