Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download ""

Transkripsi

1

2

3

4

5

6

7 Tumbuhan permukaan rawa yang tumbuh dengan sendirinya di areal rawa ini antara lain: Alternanthera pyloxiroides, Centela umbelata, Cynodon dactylon, Cyperaceae, Emilia sonchifolia, Erigeron sumatraensis, Eupatorium inulifolium, Gramineae (rerumputan), Myriophyllum sp. dan Pteris (spora paku-pakuan) (Gambar 4.6). Hasil uji air rawa sagpond menunjukkan kadar ph 3,52 yang mencirikan bahwa air rawa di daerah penelitian memiliki tingkat keasaman yang cukup tinggi (Lampiran B) Kumpulan Polen Modern Analisis polen dan spora Resen dilakukan pada 2 (dua) sampel modern, yang terdiri atas 1 (satu) sampel, diambil dari dasar rawa, yakni dasar rawa sebelah selatan dan barat, dan 1 (satu) sampel dari tanah permukaan rawa sagpond. Hasil determinasi pada sampel modern menunjukkan adanya kandungan polen dan spora yang hampir sama dengan tumbuhan di sekitar rawa sagpond. Hasil identifikasi berupa kandungan jenis spesies polen dan spora, jumlah butiran dan persentase setiap spesies dari ketiga sampel modern tersebut diperlihatkan pada tabel 4.1 dan diagram polen modern pada gambar 4.7 (sampel dari dasar rawa sebelah selatan) dan gambar 4.8 (sampel dari tanah permukaan rawa sebelah selatan). Dari hasil identifikasi tersebut tampak bahwa kandungan polen pada sampel dasar rawa lebih didominasi polen-polen dari tumbuhan pegunungan, tumbuhan semak dan tumbuhan rawa, sedangkan kandungan polen pada sampel permukaan rawa lebih didominasi polen-polen dari tumbuhan rerumputan. Hasil kumpulan polen-spora modern dan variasi tumbuhan pada lingkungan rawa sagpond modern menunjukkan variasi kandungan polen dan spora yang hampir sama dengan data palinologi pada data inti bor. 36

8 tabel

9 Gambar

10 gambar

11 4.2 Stratigrafi Hasil analisis stratigrafi pada inti bor sepanjang 300 cm menunjukkan urut-urutan perulangan runtunan perselingan antara endapan lumpur dan gambut (Tabel 4.2). Secara umum, profil stratigrafi bagian bawah hingga tengah lebih didominasi oleh endapan tuf (kedalaman 300 cm sampai dengan 184 cm) dan bagian tengah hingga atas (kedalaman 184 cm sampai dengan 30 cm) lebih didominasi oleh gambut bersisipan soil, sedangkan dari kedalaman 30 cm hingga permukaan merupakan tanah urugan. Deskripsi endapan pada ketiga sampel modern yang diambil dari endapan dasar rawa dan tanah permukaan sagpond modern menunjukkan karakter yang sama dengan endapan sebelum tanah urugan, yaitu lumpur berwarna hitam, gelap, gambutan dan kaya akan kandungan sisa-sisa tumbuhan. Dominasi endapan tuf dari kedalaman 300 cm sampai dengan 184 cm umumnya mengandung sedikit kandungan sisa-sisa tumbuhan, bewarna lebih kemerahan dan lebih bertekstur pasiran, bahkan ada yang mengandung fragmen kerikilan dengan bentuk butir menyudut berukuran ~2 cm. Sedangkan dominasi gambut dari kedalaman 184 cm sampai dengan 30 cm lebih banyak mengandung sisa-sisa tumbuhan, bertekstur lebih halus dan berwarna lebih kecoklatan. Batas kontak antar lapisan endapan umumnya kurang tegas. Batas kontak yang tegas hanya dijumpai pada kedalaman 184 cm dan 175 cm, dicirikan oleh perbedaan tipe endapan, yakni endapan gambut, dengan endapan tuf pasiran di atasnya dan tuf di bawahnya. Batas kontak sedikit tegas terdapat pada batas lapisan di kedalaman 131 cm, yakni antara gambut di atasnya dengan soil di bawahnya, dicirikan oleh perbedaan kisaran warna Munsell Soil Charts yang cukup kontras (dari 2,5 YR menjadi & 7,5 YR) dan batas lapisan pada kedalaman 30 cm, yakni antara bagian atas gambut dengan bagian bawah tanah urugan. 40

12 Tabel

13 Dalam model hipotetik (Gambar ) diilustrasikan bahwa sedimentasi rawa sagpond yang mengalami penurunan akibat adanya aktifitas patahan normal, pada awal pengendapan, sagpond akan terisi oleh erosi dari dinding - dinding foot wall yang tertransportasi ke dalam tubuh perairan (rawa) sagpond dan dilanjutkan dengan sedimentasi perairan rawa yang biasanya berupa endapan-endapan yang kaya akan material-material organik dari tumbuhan di sekitar rawa. Dalam model tersebut diilustrasikan bahwa kondisi sagpond yang tenang setelah terjadinya aktifitas patahan memungkinkan terus berlanjutnya proses sedimentasi hingga mendangkalkan dasar rawa sampai sagpond terisi penuh oleh endapan dan mencapai permukaan yang kemudian terjadi kontak (oksidasi) dengan udara permukaan (atmospheric contact) hingga selanjutnya terjadi proses pembentukan soil pada akhir runtunan sedimentasi sagpond tersebut. Dengan dasar pemikiran ini, interpretasi pada stratigrafi endapan-endapan sagpond di daerah penelitian teramati sebanyak 9 (sembilan) runtunan stratigrafi, yaitu: - Runtunan Stratigrafi A: interval kedalaman 300 cm sampai dengan 278 cm - Runtunan Stratigrafi B: interval kedalaman 278 cm sampai dengan 245 cm - Runtunan Stratigrafi C: interval kedalaman 245 cm sampai dengan 234 cm - Runtunan Stratigrafi D: interval kedalaman 234 cm sampai dengan 200 cm - Runtunan Stratigrafi E: interval kedalaman 200 cm sampai dengan 131 cm - Runtunan Stratigrafi F: interval kedalaman 131 cm sampai dengan 84 cm - Runtunan Stratigrafi G: interval kedalaman 84 cm sampai dengan 52 cm - Runtunan Stratigrafi H: interval kedalaman 52 cm sampai dengan 30 cm - Runtunan Stratigrafi I: interval kedalaman 30 cm sampai dengan 0 cm 42

14 4.2.1 Runtunan Stratigrafi A (Kedalaman 300 cm sampai dengan 278 cm) Endapannya merupakan gambut berwarna coklat tua hingga hitam tampak banyak mengandung material organik (Tabel 4.3). Tabel 4.3 Profil stratigrafi pada Runtunan Stratigrafi A Kedalaman (cm) Litologi Munsell Soil Color Charts Deskripsi Runtunan Stratigrafi YR 3/1-2.5/1 Gambut, coklat tua-hitam,kandungan organik banyak A Runtunan Stratigrafi B (Kedalaman 278 cm sampai dengan 245 cm) Lapisan-lapisan endapan pada Runtunan B terdiri atas tuf berwarna kemerahan yang ditindih secara berangsur oleh gambut berwarna kehitaman, kemudian oleh paleosol berwarna coklat hingga kemerahan. Penarikan batas runtunan antara Runtunan Stratigrafi B dengan Runtunan Stratigrafi A (Tabel 4.4) didasarkan pada perubahan endapan dari karakter gambut yang berwarna coklat tua-hitam dan banyak mengandung material organik (bagian atas Runtunan Stratigrafi A) menjadi tuf berwarna kemerahan dan sedikit mengandung material organik (bagian bawah Runtunan Stratigrafi B). 43

15 Tabel 4.4 Profil stratigrafi pada Runtunan Stratigrafi A & B Kedalaman (cm) Litologi Munsell Soil Color Charts Deskripsi Runtunan Stratigrafi YR 4/3-3/3 2.5 YR ; 4/2-3/2 Gambut, coklat tua-hitam 5 YR 4/3-3/3 5YR 3/1-2.5/1 Paleosol, coklat, kemerahan Tuf, coklat kemerahan Gambut, coklat tua-hitam, kandungan organik banyak B A Runtunan Stratigrafi C (Kedalaman 245 cm sampai dengan 234 cm) Bagian bawah Runtunan stratigrafi C merupakan lapisan tuf berwarna coklat muda kemerahan, bertekstur pasiran yang ditindih oleh gambut berwarna coklat kemerahan. Perubahan endapan dari karakter paleosol yang berwarna coklat sedikit kemerahan (bagian atas Runtunan Stratigrafi B) menjadi tuf berwarna coklat muda kemerahan dengan tekstur lebih kasar yakni lebih bersifat pasiran (bagian bawah Runtunan Stratigrafi C) dijadikan dasar penarikan batas runtunan antara Runtunan Stratigrafi C dengan Runtunan Stratigrafi B (Tabel 4.5) 44

16 Tabel 4.5 Profil stratigrafi pada Runtunan Stratigrafi B & C Kedalaman (cm) Litologi Munsell Soil Color Charts 2.5 YR ; 4/2-3/2 5 YR 4/3-3/3 5 YR 4/3-3/3 Deskripsi Tuf, coklat muda, kemerahan, bertekstur pasir/pasiran 2.5 YR;4/2-3/2 G ambut, coklat tua-hitam 5 YR 4/3-3/3 Paleosol, coklat, kemerahan Tuf, coklat kemerahan Runtunan Stratigrafi C B Runtunan Stratigrafi D (Kedalaman 234 cm sampai dengan 200 cm) Bagian bawah Runtunan stratigrafi D merupakan lapisan endapan tuf berwarna coklat, pasiran, mengandung fragmen tuf pumice menyudut (interval kedalaman 234 cm cm). Endapan kemudian berangsur menjadi gambut berwarna coklat muda-tua, mengandung sisa-sisa tumbuhan (interval kedalaman 216 cm cm). Runtunan ini kemudian diakhiri oleh paleosol berwarna coklat muda kekuningan bertekstur pasiran (interval kedalaman 212 cm cm). Perubahan endapan dari karakter gambut (bagian atas Runtunan Stratigrafi C) menjadi tuf (bagian bawah Runtunan Stratigrafi D) dijadikan dasar penarikan batas runtunan antara Runtunan Stratigrafi D dengan Runtunan Stratigrafi C (Tabel 4.6) 45

17 Tabel 4.6 Profil stratigrafi pada Runtunan Stratigrafi C & D Kedalaman (cm) Litologi Munsell Soil Color Charts Deskripsi Runtunan Stratigrafi YR 5/3-4/3 2.5 YR 4/2-3/2 2.5 YR 4/1-3/1 2.5 YR ; 4/2-3/2 5 YR 4/3-3/3 Paleosol, coklat muda kekuningan, tufan, bertekstur pasir Gambut, coklat muda-tua, mengandung sisa tumbuhan Tuf, coklat, pasiran, mengandung fragmen tuf pumice menyudut ~ 2cm, mengambang Tuf, coklat muda, kemerahan, bertekstur pasir/pasiran D C Runtunan Stratigrafi E (Kedalaman 200 cm sampai dengan 131 cm) Runtunan Stratigrafi E tersusun atas endapan tuf berwarna coklat tua dengan kandungan fragmen-fragmen tuf di dalamnya (pada interval kedalaman 200 cm cm). Lapisan ini selanjutnya berubah dengan batas yang sangat jelas menjadi endapan gambut berwarna hitam dengan kandungan organik yang semakin kaya ke arah atas (pada interval kedalaman 184 cm cm). Di atas endapan gambut (pada interval kedalaman 175 cm cm), kemudian terdapat paleosol berwarna muda kekuningan dengam tekstur pasiran (Tabel 4.7). Batas runtunan antara Runtunan Stratigrafi E dengan Runtunan Stratigrafi D diinterpretasi berdasarkan perubahan endapan dari karakter paleosol (bagian atas Runtunan Stratigrafi D) menjadi tuf (bagian bawah Runtunan Stratigrafi E). 46

18 Tabel 4.7 Profil stratigrafi pada Runtunan Stratigrafi D & E Kedalaman (cm) Litologi Munsell Soil Color Charts Deskripsi Runtunan Stratigrafi V V V 7.5 YR 4/2-3/2 7.5 YR 5/3-4/3 2.5 Y 2.5/1 5 YR 4/2-3/2 7.5 YR 5/3-4/3 2.5 YR 4/2-3/2 2.5 YR 4/1-3/1 Paleosol, coklat kemerahan, coklat tua Paleosol, kekuningan hingga kemerahan, tekstur pasiran Gambut, hitam, kand. organik makin kaya ke arah atas Tuf, coklat,kemerahan, pasiran mengandung fragmen tuf T uf, coklat tua, mengandung fragmen tuf (~7cm), pasiran Paleosol, coklat muda keku- ningan, tufan, bertekstur pasir Gambut, coklat, mengandung sisa tumbuhan Tuf, coklat, tekstur pasiran, mengandung fragmen tuf menyudut ~ 2cm, kemas terbuka ( mengambang) E D Runtunan Stratigrafi F (Kedalaman 131 cm sampai dengan 84 cm) Runtunan Stratigrafi F tersusun atas gambut berwarna hitam yang kaya akan sisasisa tumbuhan yang kemudian menjadi soil berwarna coklat terang mengandung bebijian dan sisa-sisa akar tumbuhan. 47

19 Dasar penarikan batas runtunan antara runtunan F dengan runtunan di bawahnya (Tabel 4.8) dari adanya perubahan endapan dari karakter paleosol (bagian atas Runtunan Stratigrafi E) menjadi gambut (bagian bawah Runtunan Stratigrafi F) Runtunan Stratigrafi G (Kedalaman 84 cm sampai dengan 52 cm) Runtunan Stratigrafi G hanya berupa endapan gambut berwarna hitam gelap dan di bagian atasnya terdapat sisa-sisa tumbuhan dengan struktur tumbuhan yang lebih jelas (berupa serat-serat tumbuhan dan potongan-potongan kayu). Batas antar runtunan (Tabel 4.9) didasarkan pada perubahan endapan dari karakter soil berwarna coklat terang yang mengandung bebijian dan sisa-sisa akar (bagian atas Runtunan Stratigrafi F) menjadi gambut berwarna hitam (bagian bawah Runtunan Stratigrafi G) Runtunan Stratigrafi H (Kedalaman 52 cm sampai dengan 30 cm) Runtunan Stratigrafi H masih berupa endapan gambut namun berwarna lebih terang yakni coklat tua yang cenderung kehitaman. Karakter gambut berwarna lebih terang yakni coklat tua (Runtunan Stratigrafi H) dari gambut berwarna hitam gelap dan sisa-sisa tumbuhan dengan struktur yang lebih jelas pada bagian atas Runtunan Stratigrafi G diinterpretasi sebagai batas antar kedua runtunan ini (Tabel 4.10). 48

20 Tabel 4.8 Profil stratigrafi pada Runtunan Stratigrafi E & F Kedalaman (cm) Litologi Munsell Soil Color Charts Deskripsi Runtunan Stratigrafi V V V 5 YR 6/3-5/3 2.5 Y 2/ YR 4/2-3/2 7.5 YR 5/3-4/3 2.5 Y 2.5/1 5 YR 4/2-3/2 Paleosol, coklat terang, tufan, terdapat bebijian & sisa-sisa akar Gambut, hitam, kaya akan sisa tumbuhan Paleosol, coklat kemerahan, coklat tua Paleosol, kekuningankemerahan, tekstur pasiran Gambut, hitam, kand. organik semakin kaya ke arah atas Tuf, coklat, kemerahan, mengandung fragmen tuf, pasiran Tuf, coklat tua, mengandung fragmen tuf (~7cm), pasiran F E 49

21 Tabel 4.9 Profil stratigrafi pada Runtunan Stratigrafi F & G Kedalaman (cm) Litologi Munsell Soil Color Charts Deskripsi Runtunan Stratigrafi Y 2.5/1 5 YR 6/3-5/3 2.5 Y 2/5-1 Gambut, warna hitam, gelap mengandung sisa-sisa tumbuhan, serat & kayu Paleosol, coklat terang, terdapat bebijian & sisa-sisa akar Gambut, hitam, kaya akan sisa tumbuhan G F Runtunan Stratigrafi I (Kedalaman 30 cm sampai dengan 0 cm) Runtunan Stratigrafi I merupakan tanah urugan berwarna coklat kemerahan, lanauan, mengandung rerumputan (interval kedalaman 30 cm sampai dengan 0 cm). Menurut penduduk sekitar tanah ini sengaja diurug oleh penduduk setempat di areal rawa ini (Tabel 4.10). 50

22 Tabel 4.10 Profil stratigrafi pada Runtunan Stratigrafi G & H Kedalaman (cm) Litologi Munsell Soil Color Charts Deskripsi Runtunan Stratigrafi YR 2/5-1/1.2 3/1 2.5 Y 2.5/1 Gambut, warna coklat tua, cenderung hitam, terdapat sisa-sisa tumbuhan, serat & kayu di bagian bawahnya Gambut, warna hitam, gelap, mengandung sisa-sisa tumbuhan, serat & kayu HG G F G Tabel 4.11 Profil stratigrafi pada Runtunan Stratigrafi H & I Kedalaman (cm) Litologi Munsell Soil Color Charts Deskripsi Runtunan Stratigrafi YR 4/3-3/3 I YR 2/5-1/1.2 3/1 Gambut, warna coklat tua, cenderung hitam H 52 51

23 4.3 Diagram Polen Analisis palinologi sebanyak 70 sampel telah dilakukan pada inti bor sepanjang 300 cm yang diambil dari daerah Graha Puspa, Cihideung, Lembang, Bandung. Dari hasil determinasi palinologi dikenali 74 taksa tumbuhan dan 11 taksa spora, dengan proporsi yang bervariasi pada setiap sampelnya. Tujuh puluh empat taksa tersebut terdiri atas 42 taksa tumbuhan dataran tinggi, 12 taksa tumbuhan rawa, 14 taksa tumbuhan semak-belukar, 3 taksa tumbuhan perairan dan 3 taksa rerumputan. Dengan Metoda Alikuot, hasil determinasi, perhitungan jumlah dan persentase butiran polen-spora yang terkandung dalam sampel-sampel di daerah penelitian terdapat pada lampiran C dan D. Seluruh taksa hasil analisis data bor ditampilkan dalam diagram palinologi (Gambar 4.9). Dalam tabel dan diagram kekayaan polen dan spora (lampiran E dan Gambar 4.9) tampak bahwa jumlah total butiran polen bervariasi antara 60 sampai 300 butiran (jumlah butiran terendah mencapai 66 butiran yang terkandung dalam sampel pada kedalaman 264 cm, dan jumlah butiran tertinggi mencapai 398 butiran yang terkandung dalam sampel pada kedalaman 80 cm), sedangkan jumlah butiran spora sekitar 90 hingga 300 butiran. Rasio kandungan polen terhadap jumlah total polen-spora umumnya mencapai nilai persentase antara 20% hingga 70%, sedangkan nilai rasio yang bernilai kurang dari 20% hanya terdapat dalam sampel pada kedalaman 176 cm dan 184 cm dengan nilai rasio 11% dan 17%. Pengelompokan komunitas tumbuhan dibagi ke dalam 5 (lima) kumpulan komunitas tumbuhan, yakni kumpulan komunitas tumbuhan dataran tinggi, kumpulan komunitas tumbuhan rawa, kumpulan komunitas tumbuhan perairan, kumpulan komunitas semak-belukar dan kumpulan komunitas rerumputan. Daftar akumulasi persentase kelompok komunitas ini diperlihatkan pada lampiran F dan diagram akumulatif palinologi pada gambar

24 Dari distribusi kehadirannya, kumpulan polen dan spora tersebut terbagi ke dalam 4 (empat) zonasi palinologi, yaitu: - Zonasi Palinologi I: antara kedalaman 296 cm sampai dengan 184 cm - Zonasi Palinologi II: antara kedalaman 184 cm sampai dengan 131 cm - Zonasi Palinologi III: antara kedalaman 131 cm sampai dengan 30 cm - Zonasi Palinologi IV: antara kedalaman 30 cm sampai dengan 20 cm Pembagian zonasi atau sub zonasi ini didasarkan pada tinggi-rendahnya proporsi polen yang terkandung di dalam masing-masing jenis atau kelompok tumbuhannya. Oleh karena kategori proporsi tinggi-rendah tumbuhan tersebut relatif berbeda-beda, maka penentuannya didasarkan pada kehadiran minimum (proporsi terendah) dan maksimum (proporsi tertinggi) proporsi polen yang hadir di dalam inti bor tersebut, yaitu: Kelompok tumbuhan Proporsi tertinggi Proporsi terendah Tumbuhan dataran tinggi 64,85% 6,7% Tumbuhan rawa 1,9% 36,2% Tumbuhan semak-belukar 0,0% 9,3% Tumbuhan perairan 85,1% 1,8% Rerumputan 2,1% 79,3% Zonasi Palinologi I (Interval Kedalaman 296 cm cm) Penciri utama Zonasi Palinologi I adalah tingginya tumbuhan dataran tinggi (diantaranya Castanopsis dan Moraceae); tingginya tumbuhan rawa (diantaranya 53

25 Macaranga dan Umbelliferae); rendahnya tumbuhan semak-belukar (diantaranya Bischofia dan Glochidion); tingginya tumbuhan perairan (diantaranya Nuphar dan Pandanus tectorius) dan rerumputan (diantaranya Compositae dan Gramineae). Zonasi ini terkandung dalam dominasi endapan tuf berwarna coklat kemerahan, bertekstur halus sampai agak kasar (pasiran hingga kerikilan). Dengan mengkaji lebih khusus distribusi kehadiran polen-spora pada Zonasi Palinologi I, maka zonasi ini dapat dibagi lagi ke dalam 7 (tujuh) sub-zonasi palinologi, yaitu: - Sub-Zonasi Palinologi I-a: antara kedalaman 296 cm sampai dengan 278 cm - Sub-Zonasi Palinologi I-b: antara kedalaman 278 cm sampai dengan 260 cm - Sub-Zonasi Palinologi I-c: antara kedalaman 260 cm sampai dengan 245 cm - Sub-Zonasi Palinologi I-d: antara kedalaman 245 cm sampai dengan 234 cm - Sub-Zonasi Palinologi I-e: antara kedalaman 234 cm sampai dengan 228 cm - Sub-Zonasi Palinologi I-f: antara kedalaman 228 cm sampai dengan 212 cm - Sub-Zonasi Palinologi I-g: antara kedalaman 212 cm sampai dengan 200 cm - Sub-Zonasi Palinologi I-h: antara kedalaman 200 cm sampai dengan 184 cm Sub-Zonasi Palinologi I-a (Interval Kedalaman 296 cm cm) Penciri utama Sub-Zonasi I-a adalah tingginya kehadiran tumbuhan dataran tinggi (proporsinya berkisar antara 26,4% - 40,7%); tingginya tumbuhan rawa (27,7% - 36,0%); hadirnya tumbuhan semak-belukar (0,7% - 6,8%) dan tumbuhan perairan (2,2% - 3,4%); dan cukup tingginya tumbuhan rerumputan (20,3% - 35,8%). Tingginya tumbuhan dataran tinggi dicirikan oleh kehadiran Castanopsis (9% - 32%), Moraceae (2% - 8%), Quercus (0% - 4%) dan Trema (1% - 6%); Tingginya tumbuhan rawa dicirikan oleh kehadiran Macaranga (16% - 26%) dan 54

26 Umbelliferae (5% - 14%); dan tingginya segmen polen rerumputan dicirikan oleh kehadiran Cyperaceae (2% - 0%) dan Gramineae (36% - 19%) Sub-Zonasi Palinologi I-b (Interval Kedalaman 278 cm cm) Sub-Zonasi I-b dicirikan oleh meningkatnya frekuensi tumbuhan dataran tinggi (berkisar antara 44,3% - 57,4%); masih tingginya frekuensi tumbuhan rawa (18,3% - 36,2%); rendahnya frekuensi tumbuhan semak-belukar (1,9% - 9,2%); rendahnya frekuensi tumbuhan perairan (1,8% - 7,7%); dan menurunnya frekuensi rerumputan (7,4% - 18,2%). Penciri utama sub-zonasi ini adalah menaiknya frekuensi Castanopsis (14% - 34%) dan Moraceae (2% - 8%); masih tingginya frekuensi Macaranga (17% - 26%) dan menurunnya frekuensi Umbelliferae (0% - 6%); sedikit meningkatnya frekuensi Glochidion (0% - 3%); sedikit meningkatnya frekuensi Nuphar (2% - 8%); menaiknya frekuensi Compositae; dan berkurangnya frekuensi Gramineae (3% - 15%) Sub-Zonasi Palinologi I-c (Interval Kedalaman 260 cm cm) Sub-Zonasi I-c dicirikan oleh sedikit berkurangnya frekuensi tumbuhan dataran tinggi (proporsinya berkisar antara 29,1% - 49,0%); berkurangnya tumbuhan rawa (13,0% - 20,9%); masih rendahnya tumbuhan semak-belukar (4,9% - 8,0%); meningkatnya tumbuhan perairan (8,8% - 23,2%); dan rendahnya proporsi rerumputan. Penciri utama sub-zonasi ini adalah berkurangnya frekuensi Castanopsis (9% - 23%) dan menaiknya frekuensi Moraceae (3% - 11%); berkurangnya frekuensi Macaranga (9% - 18%); meningkatnya frekuensi Nuphar 55

27 (0% - 13%) dan Pandanus tectorius (0% - 21%); meningkatnya frekuensi Compositae (5% - 24%); dan masih rendahnya frekuensi Gramineae (5% - 15%) Sub-Zonasi Palinologi I-d (Interval Kedalaman 245 cm cm) Sub-Zonasi I-d dicirikan oleh meningkatnya tumbuhan rawa (18% - 20%) dan menurunnya kelompok rerumputan meskipun sempat meningkat pada awalnya (35,8% - 9,1%). Penciri utama sub-zonasi ini adalah meningkatnya frekuensi Macaranga (18% - 20%) sebagai penciri kelompok tumbuhan rawa; sedangkan kelompok rerumputan dicirikan oleh Compositae (1% - 24%) dan Gramineae (8% - 16%) Sub-Zonasi Palinologi I-e (Interval Kedalaman 234 cm cm) Sub-Zonasi I-e dicirikan oleh meningkatnya tumbuhan dataran tinggi bahkan mencapai puncaknya di sini (proporsinya berkisar antara 62,7% - 64,8%); meningkatnya tumbuhan rawa (15,5% - 19,5%); rendahnya tumbuhan semakbelukar (3,1% - 3,6%). Penciri utama sub-zonasi ini adalah meningkatnya frekuensi Castanopsis (39% - 42%); sedikit meningkatnya frekuensi Macaranga (12% - 16%); berkurangnya frekuensi Compositae (1% - 4%) Sub-Zonasi Palinologi I-f (Interval Kedalaman 228 cm cm) Sub-Zonasi I-f dicirikan oleh berkurangnya tumbuhan dataran tinggi (proporsinya berkisar antara 33,3% - 40,6%); masih tingginya tumbuhan rawa (14,0% - 34,4%); rendahnya tumbuhan semak - belukar (7,3% - 9,3%); sedikit meningkatnya 56

28 tumbuhan perairan (9,4% - 20,0%) dan rerumputan (8,3% - 23,3%). Penciri utama sub-zonasi ini adalah menurunnya frekuensi Castanopsis (4% - 23%); meningkatnya Engelhardtia (2% - 4%), Pandanus tectorius (10% - 26%) dan Compositae (0% - 4%) Sub-Zonasi Palinologi I-g (Interval Kedalaman 212 cm cm) Sub-Zonasi I-g dicirikan oleh menurunnya tumbuhan dataran tinggi (proporsinya berkisar antara 19,8% - 29,1%) dan tumbuhan rawa (10,1% - 17,1%); rendahnya tumbuhan semak-belukar (1,8% - 6,2%); meningkatnya tumbuhan perairan (26,4% - 38,0%) dan rerumputan (24,0% - 32,5%). Penciri utama sub-zonasi ini adalah menurunnya frekuensi Castanopsis secara cukup signifikan (5% - 11%); meningkatnya Pandanus tectorius (25% - 34%) dan Gramineae (20% - 21%) Sub-Zonasi Palinologi I-h (Interval Kedalaman 200 cm cm) Sub-Zonasi I-h dicirikan oleh kembali meningkatnya tumbuhan dataran tinggi (proporsinya berkisar antara 28,9% - 59,3%); tingginya tumbuhan rawa (20,3% - 22,2%); rendahnya tumbuhan semak-belukar (2,5% - 4,6%); dan berkurangnya tumbuhan rerumputan (9,8% - 19,4%). Penciri utama sub-zonasi ini adalah meningkatnya frekuensi Castanopsis (16% - 32%); menurunnya frekuensi Moraceae (1% - 3%) dan Gramineae (20% - 21%). 57

29 4.3.2 Zonasi Palinologi II (Interval Kedalaman 184 cm cm) Penciri utama Zonasi Palinologi II adalah menurunnya frekuensi tumbuhan dataran tinggi (proporsinya berkisar antara 12,1% - 40,1%) dan tumbuhan rawa (3,7% - 21,5%); namun sebaliknya, frekuensi rerumputan meningkat dengan nilai yang cukup signifikan (27,8% - 70,7%). Zonasi ini terkandung dalam dominasi endapan soil berwarna coklat sedikit tua - kemerahan hingga kekuningan, tekstur halus hingga kasar. Zonasi Palinologi II terbagi lagi ke dalam 2 (dua) sub-zonasi palinologi, yaitu: - Sub-Zonasi Palinologi II-a: antara kedalaman 184 cm sampai dengan 150 cm - Sub-Zonasi Palinologi II-b: antara kedalaman 150 cm sampai dengan 131 cm Sub-Zonasi Palinologi II-a (Interval Kedalaman 184 cm cm) Sub-Zonasi II-a dicirikan oleh menurunnya frekuensi tumbuhan dataran tinggi (15,9% - 40,1%) dan tumbuhan rawa (4,9% - 21,5%); serta meningkatnya frekuensi rerumputan (27,8% - 70,7%) dan sedikit meningkatnya tumbuhan perairan. Penciri utama sub-zonasi ini adalah berkurangnya frekuensi Castanopsis (3% - 20%), Moraceae (0% - 5%) dan Macaranga (0% - 21%); sedikit meningkatnya frekuensi Pandanus tectorius (0% - 14%); dan meningkatnya Gramineae dengan frekuensi yang cukup tinggi (25% - 71%) Sub-Zonasi Palinologi II-b (Interval Kedalaman 150 cm cm) Sub-Zonasi II-b dicirikan oleh semakin menurunnya frekuensi tumbuhan dataran tinggi (proporsinya berkisar antara 12,1% - 25,7%) dan tumbuhan rawa (3,7% - 58

30 15,6%); sedikit meningkatnya tumbuhan semak-belukar (0,8% - 3,1%) dan tumbuhan perairan (3,0% - 15,3%); dan masih tingginya tumbuhan rerumputan, seperti halnya pada sub-zonasi sebelumnya (49,3% - 70,6%). Penciri utama subzonasi ini adalah semakin berkurangnya frekuensi Castanopsis (3% - 4%), Dacrycarpus imbricatus (0% - 2%), Galium (0% - 4%) dan Macaranga (3% - 13%); sedikit meningkatnya frekuensi Nuphar (2% - 4%) dan Pandanus tectorius (1% - 6%); dan kembali menurunnya frekuensi Gramineae (dari 65% menjadi 33%) Zonasi Palinologi III (Interval Kedalaman 131 cm - 30 cm) Penciri utama Zonasi Palinologi III adalah berkurangnya tumbuhan dataran tinggi (proporsinya berkisar antara 8,0% - 43,4%), tumbuhan rawa (1,9% - 23,5%) dan rerumputan (2,1% - 44,0%); namun meningkatnya tumbuhan perairan dengan angka yang cukup signifikan bahkan mencapai puncaknya di sini (10,1% - 85,1%). Zonasi ini terkandung dalam dominasi endapan gambut dengan sedikit sisipan soil berwarna coklat terang yang kaya akan bebijian dan sisa-sisa tumbuhan dengan struktur tumbuhan yang semakin jelas. Zonasi Palinologi III terbagi lagi ke dalam 4 (empat) sub-zonasi palinologi, yaitu: - Sub-Zonasi Palinologi III-a: antara kedalaman 131 cm sampai dengan 100 cm - Sub-Zonasi Palinologi III-b: antara kedalaman 100 cm sampai dengan 84 cm - Sub-Zonasi Palinologi III-c: antara kedalaman 84 cm sampai dengan 54 cm - Sub-Zonasi Palinologi III-d: antara kedalaman 54 cm sampai dengan 30 cm 59

31 Sub-Zonasi Palinologi III-a (Interval Kedalaman 131 cm cm) Sub-Zonasi III-a dicirikan oleh menurunnya tumbuhan dataran tinggi (proporsinya berkisar antara 8,5% - 43,4%), tumbuhan rawa (2,6% - 15,9%) dan rerumputan (4,8% - 15,9%); namun sangat meningkatnya tumbuhan perairan hingga mencapai puncaknya di sini (19,5% - 83,0%). Penciri utama sub-zonasi ini adalah sedikit berkurangnya frekuensi Castanopsis (2% - 12%), Moraceae (0% - 2%), Macaranga (1% - 9%), Cyperaceae (0% - 2%) dan Gramineae (1% - 6%); sedangkan frekuensi Pandanus tectorius meningkat secara signifikan (14% - 83%) Sub-Zonasi Palinologi III-b (Interval Kedalaman 100 cm - 84 cm) Sub-Zonasi III-b dicirikan oleh masih rendahnya tumbuhan dataran tinggi (proporsinya berkisar antara 10,1% - 22,9%); sedikit meningkatnya proporsi tumbuhan rawa (7,9% - 14,2%) dan rerumputan (26,5% - 44,0%); serta sedikit berkurangnya tumbuhan perairan (17,4% - 42,9%). Penciri utama sub-zonasi ini adalah tetap berkurangnya frekuensi Castanopsis (1% - 8%), Moraceae (2% - 3%); sedikit meningkatnya Macaranga (5% - 14%), Cyperaceae (0% - 15%) dan Gramineae (8% - 36%); sedangkan frekuensi Pandanus tectorius sedikit menurun (13% - 55%) Sub-Zonasi Palinologi III-c (Interval Kedalaman 84 cm - 48 cm) Sub-Zonasi III-c dicirikan oleh sedikit meningkatnya tumbuhan dataran tinggi (proporsinya berkisar antara 8,0% - 60,1%); masih menurunnya tumbuhan rawa (2,1% - 23,5%) dan rerumputan (2,1% - 32,6%); serta kembali meningkatnya tumbuhan perairan (10,1% - 85,1%). Penciri utama sub-zonasi ini adalah sedikit 60

32 meningkatnya frekuensi Castanopsis (2% - 17%) dan Engelhardtia (0% - 3%); menurunnya Macaranga (2% - 12%) dan Cyperaceae (0% - 1%), bahkan Gramineae mencapai proporsi terendahnya di sini (0% - 2%); sebaliknya, frekuensi Pandanus tectorius kembali meningkat bahkan mencapai angka proporsi tertingginya di sini (42% - 85%) Sub-Zonasi Palinologi III-d (Interval Kedalaman 48 cm - 30 cm) Sub-Zonasi III-d dicirikan oleh meningkatnya tumbuhan dataran tinggi (proporsinya berkisar antara 15,3% - 50,0%) dan proporsi tumbuhan rawa (1,9% - 17,4%); sedikit menurunnya tumbuhan perairan (15,9% - 61,1%); dan sedikit menurunnya rerumputan (6,4% - 27,1%). Penciri utama sub-zonasi ini adalah menurunnya frekuensi Castanopsis (0% - 6%); sedikit meningkatnya Ilex (2% - 8%), Macaranga (2% - 23%); sedikit menurunnya Compositae (4% - 20%), Cyperaceae (0% - 3%) dan Gramineae (1% - 15%); sedangkan frekuensi Pandanus tectorius menjadi sedikit berkurang (15% - 61%) Zonasi (Palinologi IV (Interval Kedalaman 30 cm - 0 cm) Penciri utama Zonasi Palinologi IV adalah sangat rendahnya tumbuhan dataran tinggi (proporsinya berkisar antara 6,7% - 9.0%) dan tumbuhan rawa (3,7% - 5,0%); menurunnya tumbuhan perairan (8,3% - 16,2%); meningkatnya tumbuhan rerumputan dengan proporsi yang signifikan (71,3% - 79,3%). Zonasi ini didominasi oleh endapan soil berwarna kecoklatan yang sangat kaya akan akarakar tumbuhan. Dari kenampakannya endapan ini merupakan tanah urugan yang menutup endapan sagpond di bawahnya. 61

33 Zonasi Palinologi IV dicirikan oleh menurunnya proporsi tumbuhan secara cukup signifikan dari kelompok tumbuhan dataran tinggi (6,7% - 9,0%) dan tumbuhan rawa (3,7% - 5,0%); sedikit menurunnya tumbuhan perairan (8,3% - 16,2%); dan meningkatnya rerumputan dengan proporsi yang signifikan (70,4% - 79,3%). Penciri utama sub-zonasi ini adalah semakin menurunnya frekuensi Castanopsis (1% - 2%), Compositae (2% - 3%) dan Macaranga (2% - 3%) bahkan mencapai proporsi terendahnya di sini; Pandanus tectorius juga menurun (8% - 14%); sebaliknya Cyperaceae (2% - 6%) dan Gramineae (64% - 72%) proporsinya mengalami puncak peningkatan yang signifikan pada zonasi terakhir ini. 62

34 Gambar

BAB V DISKUSI. 5.1 Keaktifan Patahan Lembang

BAB V DISKUSI. 5.1 Keaktifan Patahan Lembang BAB V DISKUSI Pengumpulan data untuk menelusuri perkembangan rawa sagpond berdasarkan analisis stratigrafi dan palinologi di daerah penelitian telah dilakukan dan hasilnya telah diuraikan dalam Bab IV.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN. Latar Belakang Patahan Lembang merupakan salah satu patahan di Jawa Barat. Status keaktifan patahan yang terletak di utara Bandung ini sesungguhnya belum diketahui secara pasti. Beberapa

Lebih terperinci

BAB V ANALISIS DAN DISKUSI

BAB V ANALISIS DAN DISKUSI BAB V ANALISIS DAN DISKUSI Pada bab ini akan dibahas beberapa aspek mengenai Sesar Lembang yang meliputi tingkat keaktifan, mekanisme pergerakan dan segmentasi. Semua aspek tadi akan dibahas dengan menggabungkan

Lebih terperinci

BAB IV DATA DAN HASIL PENELITIAN

BAB IV DATA DAN HASIL PENELITIAN BAB IV DATA DAN HASIL PENELITIAN 4. Morfometri Sesar Lembang Dalam melakukan pengolahan data penulis membagi daerah penelitian menjadi 2 (dua), yaitu blok utara (hangingwall) dan blok selatan (footwall)

Lebih terperinci

III.1 Morfologi Daerah Penelitian

III.1 Morfologi Daerah Penelitian TATANAN GEOLOGI DAERAH PENELITIAN III.1 Morfologi Daerah Penelitian Morfologi suatu daerah merupakan bentukan bentang alam daerah tersebut. Morfologi daerah penelitian berdasakan pengamatan awal tekstur

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Keterdapatan mikrofosil pada batuan sangat bergantung kepada lingkungan hidup organisme

BAB I PENDAHULUAN. Keterdapatan mikrofosil pada batuan sangat bergantung kepada lingkungan hidup organisme BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian Mikropaleontologi merupakan cabang ilmu paleontologi yang mempelajari fosil yang berukuran mikro sehingga memerlukan alat bantu mikroskrop dalam mempelajarinya.

Lebih terperinci

URAIAN PENGAMATAN PROFIL TANAH LOKASI BPP SEMBAWA

URAIAN PENGAMATAN PROFIL TANAH LOKASI BPP SEMBAWA URAIAN PENGAMATAN PROFIL TANAH LOKASI BPP SEMBAWA PROFIL I : IV : M Kode Profil : MK Lereng : 3-5 % ; Upper slope (lerang atas) : Batu liat (clay stone ) : Plinthudults 0 12 O Coklat gelap (7,5 YR 4/4),

Lebih terperinci

BAB III TATANAN GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

BAB III TATANAN GEOLOGI DAERAH PENELITIAN BAB III TATANAN GEOLOGI DAERAH PENELITIAN 3.1 Geomorfologi 3.1.1 Geomorfologi Daerah Penelitian Secara umum, daerah penelitian memiliki morfologi berupa dataran dan perbukitan bergelombang dengan ketinggian

Lebih terperinci

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN Berdasarkan pengamatan awal, daerah penelitian secara umum dicirikan oleh perbedaan tinggi dan ralief yang tercermin dalam kerapatan dan bentuk penyebaran kontur pada

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN UMUM

BAB II TINJAUAN UMUM 6 BAB II TINJAUAN UMUM 2.1 Lokasi Penelitian Secara administrasi, lokasi penelitian berada di Kecamata Meureubo, Kabupaten Aceh Barat, Provinsi Aceh. Sebelah utara Sebelah selatan Sebelah timur Sebelah

Lebih terperinci

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN 3.1. Geomorfologi Daerah Penelitian 3.1.1 Geomorfologi Kondisi geomorfologi pada suatu daerah merupakan cerminan proses alam yang dipengaruhi serta dibentuk oleh proses

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN UMUM

BAB II TINJAUAN UMUM BAB II TINJAUAN UMUM 2.1 Profil Perusahaan PT. Cipta Kridatama didirikan 8 April 1997 sebagai pengembangan dari jasa penyewaan dan penggunaan alat berat PT. Trakindo Utama. Industri tambang Indonesia yang

Lebih terperinci

BAB IV Kajian Sedimentasi dan Lingkungan Pengendapan

BAB IV Kajian Sedimentasi dan Lingkungan Pengendapan BAB IV KAJIAN SEDIMENTASI DAN LINGKUNGAN PENGENDAPAN 4.1 Pendahuluan Kajian sedimentasi dilakukan melalui analisis urutan vertikal terhadap singkapan batuan pada lokasi yang dianggap mewakili. Analisis

Lebih terperinci

INSTITUT TEKNOLOGI BANDUNG

INSTITUT TEKNOLOGI BANDUNG REKAMAN POLEN TERHADAP PERUBAHAN LINGKUNGAN DALAM ENDAPAN SAGPOND PATAHAN LEMBANG TESIS Karya tulis sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar magister Dari Institut Teknologi Bandung Oleh DESSY

Lebih terperinci

Foto 3.5 Singkapan BR-8 pada Satuan Batupasir Kuarsa Foto diambil kearah N E. Eko Mujiono

Foto 3.5 Singkapan BR-8 pada Satuan Batupasir Kuarsa Foto diambil kearah N E. Eko Mujiono Batulempung, hadir sebagai sisipan dalam batupasir, berwarna abu-abu, bersifat non karbonatan dan secara gradasi batulempung ini berubah menjadi batuserpih karbonan-coally shale. Batubara, berwarna hitam,

Lebih terperinci

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN 3.1 Geomorfologi Bentukan topografi dan morfologi daerah penelitian adalah interaksi dari proses eksogen dan proses endogen (Thornburry, 1989). Proses eksogen adalah proses-proses

Lebih terperinci

BAB III TINJAUAN UMUM

BAB III TINJAUAN UMUM BAB III TINJAUAN UMUM 3.1 Palinologi Definisi palinologi menurut Moore & Webb (1978) adalah ilmu yang mempelajari serbuk sari tumbuhan tingkat tinggi (polen) dan spora tumbuhan rendah. Penerapan data palinologi

Lebih terperinci

3.2.3 Satuan lava basalt Gambar 3-2 Singkapan Lava Basalt di RCH-9

3.2.3 Satuan lava basalt Gambar 3-2 Singkapan Lava Basalt di RCH-9 3.2.2.4 Mekanisme pengendapan Berdasarkan pemilahan buruk, setempat dijumpai struktur reversed graded bedding (Gambar 3-23 D), kemas terbuka, tidak ada orientasi, jenis fragmen yang bervariasi, massadasar

Lebih terperinci

Geologi Daerah Perbukitan Rumu, Buton Selatan 19 Tugas Akhir A - Yashinto Sindhu P /

Geologi Daerah Perbukitan Rumu, Buton Selatan 19 Tugas Akhir A - Yashinto Sindhu P / BAB III GEOLOGI DAERAH PERBUKITAN RUMU 3.1 Geomorfologi Perbukitan Rumu Bentang alam yang terbentuk pada saat ini merupakan hasil dari pengaruh struktur, proses dan tahapan yang terjadi pada suatu daerah

Lebih terperinci

Umur GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

Umur GEOLOGI DAERAH PENELITIAN Foto 3.7. Singkapan Batupasir Batulempung A. SD 15 B. SD 11 C. STG 7 Struktur sedimen laminasi sejajar D. STG 3 Struktur sedimen Graded Bedding 3.2.2.3 Umur Satuan ini memiliki umur N6 N7 zonasi Blow (1969)

Lebih terperinci

Geologi dan Studi Fasies Karbonat Gunung Sekerat, Kecamatan Kaliorang, Kabupaten Kutai Timur, Kalimantan Timur.

Geologi dan Studi Fasies Karbonat Gunung Sekerat, Kecamatan Kaliorang, Kabupaten Kutai Timur, Kalimantan Timur. Nodul siderite Laminasi sejajar A B Foto 11. (A) Nodul siderite dan (B) struktur sedimen laminasi sejajar pada Satuan Batulempung Bernodul. 3.3.1.3. Umur, Lingkungan dan Mekanisme Pengendapan Berdasarkan

Lebih terperinci

Bab III Geologi Daerah Penelitian

Bab III Geologi Daerah Penelitian Bab III Geologi Daerah Penelitian Foto 3.4 Satuan Geomorfologi Perbukitan Blok Patahan dilihat dari Desa Mappu ke arah utara. Foto 3.5 Lembah Salu Malekko yang memperlihatkan bentuk V; foto menghadap ke

Lebih terperinci

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN 3.1 GEOMORFOLOGI Bentang alam dan morfologi suatu daerah terbentuk melalui proses pembentukan secara geologi. Proses geologi itu disebut dengan proses geomorfologi. Bentang

Lebih terperinci

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN 3.1 Perolehan Data dan Lokasi Penelitian Lokasi penelitian pada Peta Geologi Lembar Cianjur skala 1 : 100.000 terletak di Formasi Rajamandala (kotak kuning pada Gambar

Lebih terperinci

BAB IV STUDI SEDIMENTASI PADA FORMASI TAPAK BAGIAN ATAS

BAB IV STUDI SEDIMENTASI PADA FORMASI TAPAK BAGIAN ATAS BAB IV STUDI SEDIMENTASI PADA FORMASI TAPAK BAGIAN ATAS 4.1 Pendahuluan Untuk studi sedimentasi pada Formasi Tapak Bagian Atas dilakukan melalui observasi urutan vertikal terhadap singkapan batuan yang

Lebih terperinci

Kecamatan Nunukan, Kabupaten Nunukan, Provinsi Kalimantan Timur

Kecamatan Nunukan, Kabupaten Nunukan, Provinsi Kalimantan Timur Umur Analisis mikropaleontologi dilakukan pada contoh batuan pada lokasi NA805 dan NA 803. Hasil analisis mikroplaeontologi tersebut menunjukkan bahwa pada contoh batuan tersebut tidak ditemukan adanya

Lebih terperinci

4.2 Pembuatan Kolom Stratigrafi Pembuatan kolom stratigrafi (Lampiran F) dilakukan berdasarkan atas

4.2 Pembuatan Kolom Stratigrafi Pembuatan kolom stratigrafi (Lampiran F) dilakukan berdasarkan atas BAB IV ANALISIS SEDIMENTASI 4.1 Pendahuluan Kajian sedimentasi dilakukan melalui analisis perkembangan urutan vertikal lapisan batuan berdasarkan data singkapan batuan pada lokasi yang dianggap mewakili.

Lebih terperinci

BAB IV STUDI BATUPASIR NGRAYONG

BAB IV STUDI BATUPASIR NGRAYONG BAB IV STUDI BATUPASIR NGRAYONG 4. 1 Latar Belakang Studi Ngrayong merupakan Formasi pada Cekungan Jawa Timur yang masih mengundang perdebatan di kalangan ahli geologi. Perdebatan tersebut menyangkut lingkungan

Lebih terperinci

Bab II Geologi Regional

Bab II Geologi Regional BAB II GEOLOGI REGIONAL 2.1. Geologi Regional Kalimantan Kalimantan merupakan daerah yang memiliki tektonik yang kompleks. Hal tersebut dikarenakan adanya interaksi konvergen antara 3 lempeng utama, yakni

Lebih terperinci

BAB IV ASOSIASI FASIES DAN PEMBAHASAN

BAB IV ASOSIASI FASIES DAN PEMBAHASAN BAB IV ASOSIASI FASIES DAN PEMBAHASAN 4.1 Litofasies Menurut Walker dan James pada 1992, litofasies adalah suatu rekaman stratigrafi pada batuan sedimen yang menunjukkan karakteristik fisika, kimia, dan

Lebih terperinci

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN 3.1 Bentuk dan Pola Umum Morfologi Daerah Penelitian Bentuk bentang alam daerah penelitian berdasarkan pengamatan awal tekstur berupa perbedaan tinggi dan relief yang

Lebih terperinci

Foto 3.21 Singkapan Batupasir Sisipan Batulempung Karbonan pada Lokasi GD-4 di Daerah Gandasoli

Foto 3.21 Singkapan Batupasir Sisipan Batulempung Karbonan pada Lokasi GD-4 di Daerah Gandasoli Lokasi pengamatan singkapan atupasir sisipan batulempung karbonan adalah pada lokasi GD-4 ( Foto 3.21) di daerah Gandasoli. Singkapan ini tersingkap pada salah satu sisi sungai. Kondisi singkapan segar.

Lebih terperinci

Tanah dapat diartikan sebagai lapisan kulit bumi bagian luar yang merupakan hasil pelapukan dan pengendapan batuan. Di dala

Tanah dapat diartikan sebagai lapisan kulit bumi bagian luar yang merupakan hasil pelapukan dan pengendapan batuan. Di dala Geografi Tanah dapat diartikan sebagai lapisan kulit bumi bagian luar yang merupakan hasil pelapukan dan pengendapan batuan. Di dala TANAH Tanah dapat diartikan sebagai lapisan kulit bumi bagian luar yang

Lebih terperinci

BAB III Perolehan dan Analisis Data

BAB III Perolehan dan Analisis Data BAB III Perolehan dan Analisis Data BAB III PEROLEHAN DAN ANALISIS DATA Lokasi penelitian, pada Peta Geologi Lembar Cianjur skala 1 : 100.000, terletak di Formasi Rajamandala. Penelitian lapangan berupa

Lebih terperinci

berukuran antara 0,05-0,2 mm, tekstur granoblastik dan lepidoblastik, dengan struktur slaty oleh kuarsa dan biotit.

berukuran antara 0,05-0,2 mm, tekstur granoblastik dan lepidoblastik, dengan struktur slaty oleh kuarsa dan biotit. berukuran antara 0,05-0,2 mm, tekstur granoblastik dan lepidoblastik, dengan struktur slaty oleh kuarsa dan biotit. (a) (c) (b) (d) Foto 3.10 Kenampakan makroskopis berbagai macam litologi pada Satuan

Lebih terperinci

Tabel 1. Deskripsi Profil di Lokasi Penelitian Horison Kedalaman Uraian

Tabel 1. Deskripsi Profil di Lokasi Penelitian Horison Kedalaman Uraian 14 BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1. Karakteristik Tanah Deskripsi profil dan hasil analisis tekstur tiap kedalaman horison disajikan pada Tabel 1 dan Tabel 2. Tabel 1. Deskripsi Profil di Lokasi Penelitian

Lebih terperinci

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN III.1 GEOMORFOLOGI III.1.1 Morfologi Daerah Penelitian Morfologi yang ada pada daerah penelitian dipengaruhi oleh proses endogen dan proses eksogen. Proses endogen merupakan

Lebih terperinci

BAB II GEOLOGI REGIONAL

BAB II GEOLOGI REGIONAL BAB II GEOLOGI REGIONAL Daerah penelitian ini telah banyak dikaji oleh peneliti-peneliti pendahulu, baik meneliti secara regional maupun skala lokal. Berikut ini adalah adalah ringkasan tinjauan literatur

Lebih terperinci

BAB V PEMBAHASAN. 5.1 Peta Kontur Isopach

BAB V PEMBAHASAN. 5.1 Peta Kontur Isopach BAB V PEMBAHASAN Pada praktikum Sedimentologi dan Stratigrafi kali ini, acaranya mengenai peta litofasies. Peta litofasies disini berfungsi untuk mengetahui kondisi geologi suatu daerah berdasarkan data

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN IV. HASIL DAN PEMBAHASAN Pemodelan tahanan jenis dilakukan dengan cara mencatat nilai kuat arus yang diinjeksikan dan perubahan beda potensial yang terukur dengan menggunakan konfigurasi wenner. Pengukuran

Lebih terperinci

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN 3.1 Geomorfologi Daerah Penelitian 3.1.1 Morfologi Umum Daerah Penelitian Morfologi daerah penelitian berdasarkan pengamatan awal dari peta topografi dan citra satelit,

Lebih terperinci

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN 3.1 Geomorfologi Daerah Penelitian Berdasarkan bentuk topografi dan morfologi daerah penelitian maka diperlukan analisa geomorfologi sehingga dapat diketahui bagaimana

Lebih terperinci

DAFTAR ISI COVER HALAMAN PENGESAHAN HALAMAN PERNYATAAN KATA PENGANTAR DAFTAR GAMBAR DAFTAR TABEL BAB I PENDAHULUAN 1. I.1.

DAFTAR ISI COVER HALAMAN PENGESAHAN HALAMAN PERNYATAAN KATA PENGANTAR DAFTAR GAMBAR DAFTAR TABEL BAB I PENDAHULUAN 1. I.1. DAFTAR ISI COVER i HALAMAN PENGESAHAN ii HALAMAN PERNYATAAN iii KATA PENGANTAR iv DAFTAR ISI vi DAFTAR GAMBAR x DAFTAR TABEL xvi SARI xvii BAB I PENDAHULUAN 1 I.1. Latar Belakang 1 I.2. Rumusan Masalah

Lebih terperinci

KONDISI UMUM. Sumber: Dinas Tata Ruang dan Pemukiman Depok (2010) Gambar 12. Peta Adminstratif Kecamatan Beji, Kota Depok

KONDISI UMUM. Sumber: Dinas Tata Ruang dan Pemukiman Depok (2010) Gambar 12. Peta Adminstratif Kecamatan Beji, Kota Depok IV. KONDISI UMUM 4.1 Lokasi Administratif Kecamatan Beji Secara geografis Kecamatan Beji terletak pada koordinat 6 21 13-6 24 00 Lintang Selatan dan 106 47 40-106 50 30 Bujur Timur. Kecamatan Beji memiliki

Lebih terperinci

V. HASIL DAN PEMBAHASAN Morfologi Lahan Reklamasi Bekas Tambang Batubara Karakterisasi Morfologi Tanah di Lapang

V. HASIL DAN PEMBAHASAN Morfologi Lahan Reklamasi Bekas Tambang Batubara Karakterisasi Morfologi Tanah di Lapang 21 V. HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1. Morfologi Lahan Reklamasi Bekas Tambang Batubara Kegiatan penambangan menyebabkan perubahan sifat morfologi tanah seperti tekstur, konsistensi, struktur, batas antar lapisan

Lebih terperinci

BAB III STRATIGRAFI 3. 1 Stratigrafi Regional Pegunungan Selatan

BAB III STRATIGRAFI 3. 1 Stratigrafi Regional Pegunungan Selatan BAB III STRATIGRAFI 3. 1 Stratigrafi Regional Pegunungan Selatan Stratigrafi regional Pegunungan Selatan dibentuk oleh endapan yang berumur Eosen-Pliosen (Gambar 3.1). Menurut Toha, et al. (2000) endapan

Lebih terperinci

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN 3.1. Geomorfologi Daerah Penelitian 3.1.1 Geomorfologi Kondisi geomorfologi pada suatu daerah merupakan cerminan proses alam yang dipengaruhi serta dibentuk oleh proses

Lebih terperinci

Dasar Ilmu Tanah semester ganjil 2011/2012 (EHN & SIN) Materi 05: Sifat Fisika (1)-Tekstur Tanah

Dasar Ilmu Tanah semester ganjil 2011/2012 (EHN & SIN) Materi 05: Sifat Fisika (1)-Tekstur Tanah Dasar Ilmu Tanah semester ganjil 2011/2012 (EHN & SIN) Materi 05: Sifat Fisika (1)-Tekstur Tanah Tektur Tanah = %pasir, debu & liat dalam tanah Tektur tanah adalah sifat fisika tanah yang sangat penting

Lebih terperinci

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN 3.1 Geomorfologi Daerah Penelitian 3.1.1 Morfologi Umum Daerah Penelitian Morfologi secara umum daerah penelitian tercermin dalam kerapatan dan bentuk penyebaran kontur

Lebih terperinci

BAB VI NIKEL LATERIT DI DAERAH PENELITIAN

BAB VI NIKEL LATERIT DI DAERAH PENELITIAN BAB VI NIKEL LATERIT DI DAERAH PENELITIAN 6.1. Kondisi dan Penyebaran Singkapan. Geomorfologi daerah penelitian berupa perbukitan dan dataran. Kondisi ini sangat berpengaruh terhadap sebaran singkapan

Lebih terperinci

BAB IV ANALISIS FASIES PENGENDAPAN

BAB IV ANALISIS FASIES PENGENDAPAN BAB IV ANALISIS FASIES PENGENDAPAN IV.1 Litofasies Suatu rekaman stratigrafi pada batuan sedimen terlihat padanya karateristik fisik, kimia, biologi tertentu. Analisis rekaman tersebut digunakan untuk

Lebih terperinci

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN 3.1 Geomorfologi Daerah Penelitian 3.1.1 Morfologi mum Daerah Penelitian ecara umum morfologi daerah penelitian merupakan dataran dengan punggungan di bagian tengah daerah

Lebih terperinci

Gambar 3.13 Singkapan dari Satuan Lava Andesit Gunung Pagerkandang (lokasi dlk-13, foto menghadap ke arah barat )

Gambar 3.13 Singkapan dari Satuan Lava Andesit Gunung Pagerkandang (lokasi dlk-13, foto menghadap ke arah barat ) Gambar 3.12 Singkapan dari Satuan Lava Andesit Gunung Pagerkandang, dibeberapa tempat terdapat sisipan dengan tuf kasar (lokasi dlk-12 di kaki G Pagerkandang). Gambar 3.13 Singkapan dari Satuan Lava Andesit

Lebih terperinci

Raden Ario Wicaksono/

Raden Ario Wicaksono/ Foto 3.15 Fragmen Koral Pada Satuan Breksi-Batupasir. Lokasi selanjutnya perselingan breksi-batupasir adalah lokasi Bp-20 terdapat pada Sungai Ci Manuk dibagian utara dari muara antara Sungai Ci Cacaban

Lebih terperinci

Geologi Daerah Penelitian. III Hubungan Stratigrafi

Geologi Daerah Penelitian. III Hubungan Stratigrafi 30 Geologi Daerah Penelitian III.2.2.3. Hubungan Stratigrafi Dilihat dari arah kemiringan lapisan yang sama yaitu berarah ke timur dan pengendapan yang menerus, maka diperkirakan hubungan stratigrafi dengan

Lebih terperinci

BAB II GEOLOGI REGIONAL DAERAH PENELITIAN. Posisi C ekungan Sumatera Selatan yang merupakan lokasi penelitian

BAB II GEOLOGI REGIONAL DAERAH PENELITIAN. Posisi C ekungan Sumatera Selatan yang merupakan lokasi penelitian BAB II GEOLOGI REGIONAL DAERAH PENELITIAN 2.1 Stratigrafi Regional Cekungan Sumatera Selatan Posisi C ekungan Sumatera Selatan yang merupakan lokasi penelitian dapat dilihat pada Gambar 2.1. Gambar 2.1

Lebih terperinci

Foto 4.9 Singkapan batupasir sisipan batulempung

Foto 4.9 Singkapan batupasir sisipan batulempung sebagai endapan delta mouth bar pada sistem delta. 4.3.3 Lintasan C Delta Front Pada bagian bawah dari kolom stratigrafi lintasan ini, didapatkan litologi batupasir dan batulempung dengan suksesi vertikal

Lebih terperinci

BAB IV ANALISIS SEDIMENTASI

BAB IV ANALISIS SEDIMENTASI BAB IV ANALISIS SEDIMENTASI 4.1 Pendahuluan Kajian sedimentasi dilakukan melalui analisis urutan vertikal terhadap singkapan batuan pada lokasi yang dianggap mewakili. Analisis urutan vertikal ini dilakukan

Lebih terperinci

BAB II GEOLOGI REGIONAL

BAB II GEOLOGI REGIONAL BAB II GEOLOGI REGIONAL 2.1 Fisiografi Secara fisiografi, Pulau Jawa berada dalam busur kepulauan yang berkaitan dengan kegiatan subduksi Lempeng Indo-Australia dibawah Lempeng Eurasia dan terjadinya jalur

Lebih terperinci

BAB IV SIKLUS SEDIMENTASI PADA SATUAN BATUPASIR

BAB IV SIKLUS SEDIMENTASI PADA SATUAN BATUPASIR BAB IV SIKLUS SEDIMENTASI PADA SATUAN BATUPASIR 4.1 Pendahuluan Kajian terhadap siklus sedimentasi pada Satuan Batupasir dilakukan dengan analisis urutan secara vertikal terhadap singkapan yang mewakili

Lebih terperinci

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN 3.1. Geomorfologi Daerah Penelitian Morfologi muka bumi yang tampak pada saat ini merupakan hasil dari proses-proses geomorfik yang berlangsung. Proses geomorfik menurut

Lebih terperinci

BAB III GEOLOGI DAERAH NGAMPEL DAN SEKITARNYA

BAB III GEOLOGI DAERAH NGAMPEL DAN SEKITARNYA BAB III GEOLOGI DAERAH NGAMPEL DAN SEKITARNYA Pada bab ini akan dibahas mengenai hasil penelitian yaitu geologi daerah Ngampel dan sekitarnya. Pembahasan meliputi kondisi geomorfologi, urutan stratigrafi,

Lebih terperinci

BAB IV PENGOLAHAN DAN ANALISA ANOMALI BOUGUER

BAB IV PENGOLAHAN DAN ANALISA ANOMALI BOUGUER BAB IV PENGOLAHAN DAN ANALISA ANOMALI BOUGUER Tahapan pengolahan data gaya berat pada daerah Luwuk, Sulawesi Tengah dapat ditunjukkan dalam diagram alir (Gambar 4.1). Tahapan pertama yang dilakukan adalah

Lebih terperinci

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN 35 BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1 Curah Hujan Data curah hujan yang terjadi di lokasi penelitian selama 5 tahun, yaitu Januari 2006 hingga Desember 2010 disajikan dalam Gambar 5.1. CH (mm) 600 500 400

Lebih terperinci

BAB V ALTERASI PERMUKAAN DAERAH PENELITIAN

BAB V ALTERASI PERMUKAAN DAERAH PENELITIAN BAB V ALTERASI PERMUKAAN DAERAH PENELITIAN 5.1 Tinjauan Umum Alterasi hidrotermal adalah suatu proses yang terjadi sebagai akibat dari adanya interaksi antara batuan dengan fluida hidrotermal. Proses yang

Lebih terperinci

Lampiran 1. Deskripsi Profil

Lampiran 1. Deskripsi Profil Lampiran 1. Deskripsi Profil A. Profil pertama Lokasi : Desa Sinaman kecamatan Barus Jahe Kabupaten Tanah Karo Simbol : P1 Koordinat : 03 0 03 36,4 LU dan 98 0 33 24,3 BT Kemiringan : 5 % Fisiografi :

Lebih terperinci

PENTINGNYA PENELITIAN DETIL DI CEKUNGAN BATURETNO

PENTINGNYA PENELITIAN DETIL DI CEKUNGAN BATURETNO PENTINGNYA PENELITIAN DETIL DI CEKUNGAN BATURETNO Purna Sulastya Putra Pusat Penelitian Geoteknologi LIPI Bandung Sari Hasil penelitian terbaru yang dilakukan oleh penulis di bagian barat Cekungan Baturetno

Lebih terperinci

BAB 3 GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

BAB 3 GEOLOGI DAERAH PENELITIAN BAB 3 GEOLOGI DAERAH PENELITIAN 3.1 Geomorfologi Daerah Penelitian Geomorfologi daerah penelitian ditentukan berdasarkan intepretasi peta topografi, yang kemudian dilakukan pengamatan secara langsung di

Lebih terperinci

Ciri Litologi

Ciri Litologi Kedudukan perlapisan umum satuan ini berarah barat laut-tenggara dengan kemiringan berkisar antara 60 o hingga 84 o (Lampiran F. Peta Lintasan). Satuan batuan ini diperkirakan mengalami proses deformasi

Lebih terperinci

Tabel hasil pengukuran geometri bidang sesar, ketebalan cekungan dan strain pada Sub-cekungan Kiri.

Tabel hasil pengukuran geometri bidang sesar, ketebalan cekungan dan strain pada Sub-cekungan Kiri. Dari hasil perhitungan strain terdapat sedikit perbedaan antara penampang yang dipengaruhi oleh sesar ramp-flat-ramp dan penampang yang hanya dipengaruhi oleh sesar normal listrik. Tabel IV.2 memperlihatkan

Lebih terperinci

Dasar Ilmu Tanah semester ganjil 2011/2012 (EHN & SIN) Materi 02: MORFOLOGI TANAH

Dasar Ilmu Tanah semester ganjil 2011/2012 (EHN & SIN) Materi 02: MORFOLOGI TANAH Dasar Ilmu Tanah semester ganjil 2011/2012 (EHN & SIN) Materi 02: MORFOLOGI TANAH Profil Tanah Irisan / penampang tegak tanah yang menampakan semua horizon sampai ke bahan induk; dalam profil tanah, bagian

Lebih terperinci

LEMBAR KERJA SISWA. No Jenis Tanah Jenis tanaman Pemanfaatannya

LEMBAR KERJA SISWA. No Jenis Tanah Jenis tanaman Pemanfaatannya LEMBAR KERJA SISWA KELOMPOK :. Nama Anggota / No. Abs 1. ALFINA ROSYIDA (01\8.6) 2.. 3. 4. 1. Diskusikan tabel berikut dengan anggota kelompok masing-masing! Petunjuk : a. Isilah kolom dibawah ini dengan

Lebih terperinci

BAB IV ENDAPAN BATUBARA

BAB IV ENDAPAN BATUBARA BAB IV ENDAPAN BATUBARA 4.1 Pembahasan Umum Batubara adalah batuan sedimen (padatan) yang dapat terbakar, terbentuk dari sisa tumbuhan purba, berwarna coklat sampai hitam, yang sejak pengendapannya mengalami

Lebih terperinci

Batuan beku Batuan sediment Batuan metamorf

Batuan beku Batuan sediment Batuan metamorf Bagian luar bumi tertutupi oleh daratan dan lautan dimana bagian dari lautan lebih besar daripada bagian daratan. Akan tetapi karena daratan adalah bagian dari kulit bumi yang dapat kita amati langsung

Lebih terperinci

BAB V ANALISIS 5.1 Penampang Hasil Curve Matching

BAB V ANALISIS 5.1 Penampang Hasil Curve Matching BAB V ANALISIS 5.1 Penampang Hasil Curve Matching Penampang hasil pengolahan dengan perangkat lunak Ipi2win pada line 08 memperlihatkan adanya struktur antiklin. Struktur ini memiliki besar tahanan jenis

Lebih terperinci

TANAH / PEDOSFER. OLEH : SOFIA ZAHRO, S.Pd

TANAH / PEDOSFER. OLEH : SOFIA ZAHRO, S.Pd TANAH / PEDOSFER OLEH : SOFIA ZAHRO, S.Pd 1.Definisi Tanah adalah kumpulan dari benda alam di permukaan bumi yang tersusun dalam horizon-horizon, terdiri dari campuran bahan mineral organic, air, udara

Lebih terperinci

Gambar 2. Lokasi Penelitian Bekas TPA Pasir Impun Secara Administratif (http://www.asiamaya.com/peta/bandung/suka_miskin/karang_pamulang.

Gambar 2. Lokasi Penelitian Bekas TPA Pasir Impun Secara Administratif (http://www.asiamaya.com/peta/bandung/suka_miskin/karang_pamulang. BAB II KONDISI UMUM DAERAH PENELITIAN 2.1 Geografis dan Administrasi Secara geografis daerah penelitian bekas TPA Pasir Impun terletak di sebelah timur pusat kota bandung tepatnya pada koordinat 9236241

Lebih terperinci

Subsatuan Punggungan Homoklin

Subsatuan Punggungan Homoklin Foto 3.6. Subsatuan Lembah Sinklin (foto ke arah utara dari daerah Pejaten). Foto 3.7. Subsatuan Lembah Sinklin (foto ke arah utara dari daerah Bulu). Subsatuan Punggungan Homoklin Subsatuan Punggungan

Lebih terperinci

IV-15. Bab IV Analisis Asosiasi Fasies

IV-15. Bab IV Analisis Asosiasi Fasies pengaruh laut. Litofasies Sf, di bagian atas asosiasi, mengindikasikan adanya pengaruh arus pasang surut. Suksesi vertikal menghalus ke atas dan perubahan litofasies dari Sp dan Spb menjadi Sf. mengindikasikan

Lebih terperinci

Gambar 1.1. Lokasi Penelitian di Kecamatan Bayat, Kabupaten Klaten, Propinsi Jawa Tengah

Gambar 1.1. Lokasi Penelitian di Kecamatan Bayat, Kabupaten Klaten, Propinsi Jawa Tengah BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Masalah Penelitian ini dilakukan di daerah Bayat, Klaten, Jawa Tengah. Lokasi ini dipilih karena secara geologi lokasi ini sangat menarik. Pada lokasi ini banyak dijumpainya

Lebih terperinci

BAB IV ANALISIS FASIES ENDAPAN TURBIDIT

BAB IV ANALISIS FASIES ENDAPAN TURBIDIT BAB IV ANALISIS FASIES ENDAPAN TURBIDIT 4.1 Fasies Turbidit adalah suatu sedimen yang diendapkan oleh mekanisme arus turbid (turbidity current), sedangkan arus turbid itu sendiri adalah suatu arus yang

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN UMUM

BAB II TINJAUAN UMUM BAB II TINJAUAN UMUM 2.1 Geografis Daerah Penelitian Wilayah konsesi tahap eksplorasi bahan galian batubara dengan Kode wilayah KW 64 PP 2007 yang akan ditingkatkan ke tahap ekploitasi secara administratif

Lebih terperinci

BAB II GEOLOGI REGIONAL

BAB II GEOLOGI REGIONAL BAB II GEOLOGI REGIONAL II.1 Fisiografi Cekungan Kutai Cekungan Kutai merupakan salah satu cekungan di Indonesia yang menutupi daerah seluas ±60.000 km 2 dan mengandung endapan berumur Tersier dengan ketebalan

Lebih terperinci

3.2.3 Satuan Batulempung. A. Penyebaran dan Ketebalan

3.2.3 Satuan Batulempung. A. Penyebaran dan Ketebalan 3.2.3 Satuan Batulempung A. Penyebaran dan Ketebalan Satuan batulempung ditandai dengan warna hijau pada Peta Geologi (Lampiran C-3). Satuan ini tersingkap di bagian tengah dan selatan daerah penelitian,

Lebih terperinci

V. HASIL DAN PEMBAHASAN

V. HASIL DAN PEMBAHASAN V. HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1 Interpretasi Visual Penggunaan Lahan Melalui Citra Landsat Interpretasi visual penggunaan lahan dengan menggunakan citra Landsat kombinasi band 542 (RGB) pada daerah penelitian

Lebih terperinci

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN III.1 Singkapan Stadion baru PON Samarinda Singkapan batuan pada torehan bukit yang dikerjakan untuk jalan baru menuju stadion baru PON XVI Samarinda. Singkapan tersebut

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Bahan organik merupakan komponen tanah yang terbentuk dari jasad hidup (flora dan fauna) di tanah, perakaran tanaman hidup maupun mati yang sebagian terdekomposisi

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN. Sifat-sifat Tanah. Sifat Morfologi dan Fisika Tanah. Sifat morfologi dan fisika tanah masing-masing horison pada pedon pewakil

HASIL DAN PEMBAHASAN. Sifat-sifat Tanah. Sifat Morfologi dan Fisika Tanah. Sifat morfologi dan fisika tanah masing-masing horison pada pedon pewakil HASIL DAN PEMBAHASAN Sifat-sifat Tanah Sifat Morfologi dan Fisika Tanah Pedon Berbahan Induk Batuliat Sifat morfologi dan fisika tanah masing-masing horison pada pedon pewakil berbahan induk batuliat disajikan

Lebih terperinci

BAB II GOLOGI REGIONAL DAERAH PENELITIAN

BAB II GOLOGI REGIONAL DAERAH PENELITIAN BAB II GOLOGI REGIONAL DAERAH PENELITIAN 2.1 Kerangka Tektonik Sub-cekungan Jatibarang merupakan bagian dari Cekungan Jawa Barat Utara. Konfigurasi batuan dasar saat ini di daerah penelitian, yang menunjukkan

Lebih terperinci

geografi Kelas X PEDOSFER II KTSP & K-13 Super "Solusi Quipper" F. JENIS TANAH DI INDONESIA

geografi Kelas X PEDOSFER II KTSP & K-13 Super Solusi Quipper F. JENIS TANAH DI INDONESIA KTSP & K-13 Kelas X geografi PEDOSFER II Tujuan Pembelajaran Setelah mempelajari materi ini kamu diharapkan memiliki kemampuan untuk memahami jenis tanah dan sifat fisik tanah di Indonesia. F. JENIS TANAH

Lebih terperinci

bio.unsoed.ac.id METODE PENELITIAN A. Materi, Lokasi dan Waktu Penelitian 1. Materi penelitian a. Bahan

bio.unsoed.ac.id METODE PENELITIAN A. Materi, Lokasi dan Waktu Penelitian 1. Materi penelitian a. Bahan III. METODE PENELITIAN A. Materi, Lokasi dan Waktu Penelitian 1. Materi penelitian a. Bahan Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah sampel sedimen, larutan HCL 37%, HF 40%, KOH 10%, HNO 3 30%,

Lebih terperinci

dan Satuan Batulempung diendapkan dalam lingkungan kipas bawah laut model Walker (1978) (Gambar 3.8).

dan Satuan Batulempung diendapkan dalam lingkungan kipas bawah laut model Walker (1978) (Gambar 3.8). dan Satuan Batulempung diendapkan dalam lingkungan kipas bawah laut model Walker (1978) (Gambar 3.8). Gambar 3.7 Struktur sedimen pada sekuen Bouma (1962). Gambar 3.8 Model progradasi kipas bawah laut

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Sumatera terletak di sepanjang tepi Barat Daya Paparan Sunda, pada perpanjangan

II. TINJAUAN PUSTAKA. Sumatera terletak di sepanjang tepi Barat Daya Paparan Sunda, pada perpanjangan II. TINJAUAN PUSTAKA A. Struktur Geologi Sumatera terletak di sepanjang tepi Barat Daya Paparan Sunda, pada perpanjangan Lempeng Eurasia ke daratan Asia Tenggara dan merupakan bagian dari Busur Sunda.

Lebih terperinci

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN 3.1 Geomorfologi Pengamatan geomorfologi di daerah penelitian dilakukan dengan dua tahap, yaitu dengan pengamatan menggunakan SRTM dan juga peta kontur yang dibuat dari

Lebih terperinci

Umur dan Lingkungan Pengendapan Hubungan dan Kesetaraan Stratigrafi

Umur dan Lingkungan Pengendapan Hubungan dan Kesetaraan Stratigrafi 3.2.2.3 Umur dan Lingkungan Pengendapan Penentuan umur pada satuan ini mengacu pada referensi. Satuan ini diendapkan pada lingkungan kipas aluvial. Analisa lingkungan pengendapan ini diinterpretasikan

Lebih terperinci

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN 3.1 GEOMORFOLOGI Bentuk morfologi dan topografi di daerah penelitian dipengaruhi oleh proses eksogen yang bersifat destruktif dan proses endogen yang berisfat konstruktif.

Lebih terperinci

Geologi Daerah Perbukitan Rumu, Buton Selatan 34 Tugas Akhir A - Yashinto Sindhu P /

Geologi Daerah Perbukitan Rumu, Buton Selatan 34 Tugas Akhir A - Yashinto Sindhu P / Pada sayatan tipis (Lampiran C) memiliki ciri-ciri kristalin, terdiri dari dolomit 75% berukuran 0,2-1,4 mm, menyudut-menyudut tanggung. Matriks lumpur karbonat 10%, semen kalsit 14% Porositas 1% interkristalin.

Lebih terperinci

Metamorfisme dan Lingkungan Pengendapan

Metamorfisme dan Lingkungan Pengendapan 3.2.3.3. Metamorfisme dan Lingkungan Pengendapan Secara umum, satuan ini telah mengalami metamorfisme derajat sangat rendah. Hal ini dapat ditunjukkan dengan kondisi batuan yang relatif jauh lebih keras

Lebih terperinci

Klasifikasi Kemampuan Lahan

Klasifikasi Kemampuan Lahan Survei Tanah dan Evaluasi Lahan M10 KLASIFIKASI KEMAMPUAN LAHAN Widianto, 2010 Klasifikasi Kemampuan Lahan TUJUAN PEMBELAJARAN : 1. Mampu menjelaskan arti kemampuan lahan dan klasifikasi kemampuan lahan

Lebih terperinci

MENGENAL JENIS BATUAN DI TAMAN NASIONAL ALAS PURWO

MENGENAL JENIS BATUAN DI TAMAN NASIONAL ALAS PURWO MENGENAL JENIS BATUAN DI TAMAN NASIONAL ALAS PURWO Oleh : Akhmad Hariyono POLHUT Penyelia Balai Taman Nasional Alas Purwo Kawasan Taman Nasional Alas Purwo sebagian besar bertopogarafi kars dari Semenanjung

Lebih terperinci