EFEKTIVITAS CENDAWAN Duddingtonia flagrans DAN Saccharomyces cerevisiae DALAM PENGENDALIAN CACING Haemonchus contortus PADA DOMBA RIZA ZAINUDDIN AHMAD

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "EFEKTIVITAS CENDAWAN Duddingtonia flagrans DAN Saccharomyces cerevisiae DALAM PENGENDALIAN CACING Haemonchus contortus PADA DOMBA RIZA ZAINUDDIN AHMAD"

Transkripsi

1 EFEKTIVITAS CENDAWAN Duddingtonia flagrans DAN Saccharomyces cerevisiae DALAM PENGENDALIAN CACING Haemonchus contortus PADA DOMBA RIZA ZAINUDDIN AHMAD SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2008

2 ii PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI DAN SUMBER INFORMASI Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi dengan judul Efektivitas cendawan Duddingtonia flagrans dan Saccharomyces cerevisiae dalam pengendalian cacing Haemonchus contortus pada domba adalah karya saya dengan arahan dan bimbingan komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam daftar pustaka dibagian akhir disertasi ini Bogor, Januari 2008 Riza Zainuddin Ahmad NIM. B

3 iii ABSTRACT RIZA ZAINUDDIN AHMAD. The Efectivity of Duddingtonia flagrans and Saccharomyces cerevisiae fungi in controlling Haemonchus contortus worm in sheep. Under the Supervision of Fadjar Satrija, Nampiah Sukarno, and Fachriyan Hasmi Pasaribu. Duddingtonia flagrans mold was applied as the biological control to Haemonchus contortus worm. The preliminary study showed that the prospect of using Saccharomyces cerevisiae as agent of biological control could be combined with D. flagrans. This study was carried out in four steps experiment to study effectivity of D. flagrans and S. cerevisiae as biological control agents for H. contortus in sheep. The first step was to study characteristic of S.cerevisiae growth to various effects of medium, light intensity, temperature, rumen fluid and storing time. The test was carried out by inoculating this yeast in media and then was given by above treatments. This experiment showed that the growth of yeast was not effected by these treatments. The activity of chitinase, protease enzymes and attractant of both fungi were observed in the second step of experiment. The test was carried out by harvesting fungi in agar media, and then the content of these enzymes were observed. The worms larvae which approached to the fungi was assayed for attractant. The activitiy of intra celluler chitinase of D.flagrans and S.cerevisiae were: units/gr and units/gr, respectively. The content of protease activity were units/gr for D.flagrans and unit/gr for S.cerevisiae. Meanwhile, the activity assayed of extra celluler chitinase in D.flagrans and S.cerevisiae were: units/gr dan units/gr, respectively. Meanwhile, the protease activity of both fungi were relatively small. The attractant of S. cerevisiae was (45%) higher than D. flagrans (40%). The third step was to study the effect of D. flagrans and S. cerevisiae spores by in vitro assayed to find out its ability to reduce H.contortus L 3 in agar medium and coproculture. The assayed was carried out by administration both fungi to L 3 in agar medium and coproculture. The result of experiment showed that larvae was significantly reduced by D. flagrans in both media. S. cerevisiae did not kill larvae directly, but It acted a bacteria competitor which was needed for developing larvae in coproculture. The fourth step was to study the effect of drenching D. flagrans and S. cerevisiae spores on microscopical structure of reproduction organ, L 3 reduce and worm fecundity in infected sheep by H. contortus. The assayed test were carried out by administration both fungi to infected sheep. The observation of histopathological changes in female reproduction organ (ovum) and male (sperm) showed that the treatment groups were significantly different compared to the control group (P<0.01). D.flagrans only destroyed spermatocid cells significantly (P <0.01). S. cerevisiae destroyed spermatocid cells and ovum cells significantly (P<0.01). The administration of both fungi did not effect the size of reproduction organs i e. copulatriks bursae, spiculum and vulva flap. The administration of D.flagrans in in vivo could significantly reduced H.contortus larvae (P<0.05) in infected sheep. Base on all results above we concluded that D.flagrans and S.cerevisiae seem could be use as biological control againts H.contortus. Key words: D.flagrans, H.contortus, S.cerevisiae, reduce

4 iv RINGKASAN RIZA ZAINUDDIN AHMAD. Efektivitas cendawan Duddingtonia flagrans dan Saccharomyces cerevisiae dalam pengendalian cacing Haemonchus contortus pada domba. Dibimbing oleh Fadjar Satrija, Nampiah Sukarno, dan Fachriyan Hasmi Pasaribu. Kapang Duddingtonia flagrans telah digunakan sebagai pengendalian hayati terhadap cacing parasit saluran pencernaan, termasuk Haemonchus contortus di berbagai negara. Penelitian pendahuluan memperlihatkan prospek pemanfaatan Saccharomyces cerevisiae sebagai agen pengendali hayati yang dapat dikombinasikan dengan D. flagrans. Studi ini dilakukan dalam empat tahap percobaan untuk mempelajari efektivitas D. flagrans dan S. cerevisiae sebagai agen pengendali hayati cacing H. contortus pada domba. Percobaan tahap pertama mempelajari karakter pertumbuhan S.cerevisiae isolat lokal yang akan digunakan. Uji pengaruh media, intensitas cahaya, suhu, cairan rumen dan waktu simpan terhadap pertumbuhan S. cerevisiae dilakukan dengan cara menginokulasi khamir tersebut pada media (Bacto Agar, Corn Meal Agar, Potato Dextrose Agar, Sabouraud Dextrose Agar, dan Sabouraud Dextrose Broth), media yang terkena cahaya dan tidak, diberi cairan rumen yang telah disaring atau tidak, media bersuhu o C, 25 o C, 37 o C, dan 39 o C, waktu simpan 1-12 bulan. Percobaan ini menunjukkan bahwa pertumbuhan khamir tidak dipengaruhi oleh jenis medium, aplikasi cahaya, rumen dan temperatur. Viabilitas dari sel khamir tidak juga dipengaruhi oleh perlakuan penyimpanan sampai dengan 12 bulan pada suhu 4-10 o C. Aktivitas enzim kitinase, protease dan zat atraktan yang terkandung dalam kedua cendawan diamati pada percobaan tahap kedua. Uji enzim dilakukan dengan menginokulasikan kedua cendawan tersebut pada media agar, kemudian memanennya dan diperiksa aktivitas enzim intra seluler dan ekstra seluler yang dikandungnya. Hasil yang diperoleh aktivitas kitinase intra seluler pada D. flagrans dan S. cerevisiae sebesar: 3,1812 unit/gr dan 4,2563 unit/gr, dan kandungan aktivitas protease adalah: 7,1315 unit/gr pada D.flagrans dan 0,0052 unit/gr pada S.cerevisiae. Sedangkan uji aktivitas kandungan enzim ekstra seluler kitinase pada D. flagrans dan S.cerevisiae adalah: 2,1724 gr/unit dan 2,1812 unit/gr, sedangkan kandungan proteasenya adalah 0,0003 unit/gr pada D. flagrans dan 0,00 unit/gr pada S. cerevisiae. Adapun kandungan atraktan yang dimiliki S. cerevisiae sebanyak (45%) adalah lebih besar dibandingkan dengan D. flagrans (40%). Percobaan tahap selanjutnya mempelajari pengaruh penambahan berbagai tingkat dosis spora D.flagrans dan S. cerevisiae secara in vitro terhadap kemampuannya dalam mereduksi larva infektif (L 3 ) H. contortus pada medium agar dan pupukan tinja. Uji reduksi ini dilakukan pada medium Corn Meal Agar (CMA) dan koprokultur yang terdiri dari 1 kelompok kontrol dan 3 kelompok perlakuan terhadap larva cacing dengan waktu pengamatan selama 72 jam (3 hari). Sementara itu uji koprokultur dilakukan dalam 2 tahap. Tahap pertama pada botol pupukan berisi tinja terinfeksi telur ditambahkan cendawan seperti perlakuan di atas lalu diinkubasikan dan dijaga kelembabannya, pengamatan terhadap larva dilakukan 1 minggu kemudian. Kemudian pada tahap ke dua dilakukan dengan menggunakan lima ekor domba (A,B,C,D dan E) yang tidak terinfeksi H. contortus (EPG=0), dan ditambah 1 ekor domba sebagai donor cacing. Domba- domba tersebut diberi perlakuan sebagai berikut; A. (kontrol); B.

5 v C. Diberi D.flagrans dosis bertingkat; D dan E Diberi. S.cerevisiae dosis bertingkat. Percobaan dilakukan dalam Rancangan Acak Lengkap (RAL), dengan 5 ulangan. Hasil percobaan ini memperlihatkan kemampuan D.flagrans secara nyata dapat mereduksi larva H.contortus pada kedua media tersebut. Cendawan D.flagrans dan S. cerevisiae dapat tumbuh/ berinteraksi pada media agar. Khamir S. cerevisiae secara in vitro tidak dapat membunuh larva secara langsung. Namun spora S.cerevisiae yang diberikan dengan dosis tinggi akan tumbuh dalam pupukan tinja dan menjadi kompetitor dalam memperebutkan sumber nutrisi yang diperlukan bagi perkembangan larva. Pada percobaan in vivo tahap keempat ini dipelajari pengaruh pencekokan spora D. flagrans dan S. cerevisiae terhadap struktur mikroskopik organ reproduksi serta fekunditas cacing pada domba yang diinfeksi H.contortus. Uji dilakukan sebagai berikut; 20 ekor (4 kelompok) domba dengan perlakuan yang telah bebas cacing dan diinfeksi kembali, diberi perlakuan selama 5 minggu sebagai berikut; I. (kontrol), II. Diberi D. flagrans, III. Diberi S. cerevisiae, IV. Diberi D. flagrans dan S. cerevisiae. Pada perlakuan ini kemudian diperiksa jumlah telur pergram tinja, daya tetas telur larva pergram tinja setiap minggu. Sedangkan fekunditas, jumlah cacing dewasa dan perubahan organ reproduksi cacing betina dan jantan dewasa diamati setelah domba dikurbankan pada akhir perlakuan. Pengamatan histopatologi terhadap organ reproduksi betina (ovum) dan jantan (sperma) menunjukkan perubahan signifikan (P<0,01) antara kelompok kontrol dan perlakuan. Kapang D. flagrans secara signifikan hanya merusak sel spermatosit cacing jantan. Dalam perlakuan yang sama pemberian S. cerevisiae secara signifikan menimbulkan kerusakan pada sel spermatosit cacing jantan dan sel ovum cacing betina. Pemberian D. flagrans secara in vivo mampu mereduksi larva H. contortus secara nyata (P<0,05) pada domba yang diinfeksi cacing H. contortus. Pemberian kedua cendawan ini tidak mempengaruhi terhadap ukuran organ reproduksi bursa kopulatriks, spikulum dan vulva flap. Berdasarkan seluruh hasil studi di atas kami menyimpulkan bahwa D.flagrans dan S.cerevisiae tampaknya dapat digunakan sebagai agen pengendali hayati cacing H.contortus. Kata kunci : D. flagrans, S.cerevisiae, H. contortus, interaksi, reduksi

6 vi Hak Cipta milik IPB, tahun 2007 Hak Cipta dilindungi undang-undang 1. Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumber a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah b. Pengutipan tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB 2. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis dalam bentuk apapun tanpa izin IPB

7 Penguji pada Ujian Tertutup: Penguji pada Ujian Terbuka: Drh. Risa Tiuria, MS, PhD 1. Dr. Ir. Ika Mustika 2. Dr. drh. Agustin Indrawati, MBiomed

8 vii EFEKTIVITAS CENDAWAN Duddingtonia flagrans DAN Saccharomyces cerevisiae DALAM PENGENDALIAN CACING Haemonchus contortus PADA DOMBA RIZA ZAINUDDIN AHMAD Disertasi Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor pada Program Studi Sains Veteriner SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2008

9 viii Judul Disertasi : Efektivitas cendawan Duddingtonia flagrans dan Saccharomyces cerevisiae dalam pengendalian cacing Haemonchus contortus pada domba Nama : Riza Zainuddin Ahmad NIM : B Disetujui, Komisi Pembimbing Drh. Fadjar Satrija, MSc, PhD Ketua Dr. Ir. Nampiah Sukarno Anggota Prof. Dr. Drh. Fachriyan H Pasaribu Anggota Diketahui Ketua Program Studi Sains Veteriner Dekan Sekolah PascaSarjana IPB Drh. Bambang Pontjo P, MS, PhD Prof. Dr. Ir. Khairil A Notodiputro, MS Tanggal Ujian : Tanggal Lulus:

10 ix PRAKATA Syukur Alhamdullilah dipanjatkan ke hadirat Allah SWT yang telah memberikan taufiq dan Hidayah-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak bulan Maret 2006 ini ialah pengendalian hayati dengan judul Efektivitas cendawan Duddingtonia flagrans dan Saccharomyces cerevisiae dalam pengendalian cacing Haemonchus contortus pada domba. Terima kasih penulis ucapkan kepada Bapak Drh. Fadjar Satrija, MSc, PhD, Dr. Ir. Nampiah Sukarno dan Prof. Dr. Drh. Fachriyan Hasmi Pasaribu selaku pembimbing, serta Drh. Bambang Pontjo Priosoeryanto, MS, PhD. yang telah banyak memberi saran dan arahan. Disamping itu, penghargaan penulis sampaikan kepada Kepala Balai, peneliti, teknisi Balai Besar Penelitian Veteriner, Departemen Pertanian, dosen dan teknisi Institut Pertanian Bogor yang telah memberikan fasilitas, membantu mengumpulkan data dari awal hingga terselesainya penelitian ini. Ungkapan terima kasih juga disampaikan kepada keluarga, istri, anak dan Dewan Kesejahteraan Mesjid di Bogor atas bantuan moril, doa dan kasih sayangnya. Semoga karya ilmiah ini bermanfaat. Bogor, Januari 2008 Riza Zainuddin Ahmad

11 x RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan pada tanggal 23 Nopember 1964 di Jakarta, merupakan anak ke 2 dari 3 bersaudara dari pasangan Alm. Zainuddin Ahmad MSc dan H. Suryati. Pendidikan sarjana ditempuh pada Fakultas Kedokteran Hewan di FKH IPB, dan lulus pada tahun Setahun kemudian, penulis menyelesaikan pendidikan Dokter Hewan di perguruan tinggi yang sama. Pada tahun 2001 penulis menyelesaikan studi pendidikan S2 di Fakultas PascaSarjana di IPB juga. Pada tahun 1992 penulis menikah dengan Dhamar Fasrida SE dan dikaruniai seorang putri Ridha Praqadri Yusgita dan seorang putra Farizalman Aria Bima. Masih pada tahun 1992 yang sama penulis bekerja sebagai Peneliti pada Balai Besar Penelitian Veteriner Departemen Pertanian sampai dengan sekarang. Selama mengikuti program S3, penulis menjadi anggota Perhimpunan Dokter Hewan Indonesia (PDHI), Perhimpunan Pemberantasan Penyakit Parasit Indonesia (P4I), dan sebagai pengurus pusat Perhimpunan Mikologi Kedokteran Indonesia (PMKI). Karya ilmiah berjudul Daya reduksi cendawan Duddingtonia flagrans dan Saccharomyces cerevisiae terhadap larva cacing Haemonchus contortus pada domba telah diterbitkan pada J Vet Univ Unud, dan artikel lainnya dengan judul Pengaruh jumlah telur, daya tetas, larva pergram tinja, cacing H. contortus setelah pemberian D. flagrans dan S. cerevisiae pada domba. sedang dalam proses diterbitkan pada J Med Vet IPB. Karya-karya ilmiah tersebut merupakan bagian dari program S3 penulis.

12 xi DAFTAR ISI Halaman DAFTAR TABEL... xiv DAFTAR GAMBAR... xv DAFTAR LAMPIRAN... xvi PENDAHULUAN Latar Belakang... 1 Tujuan Penelitian... 3 Manfaat Penelitian... 3 TINJAUAN PUSTAKA Cacing H.contortus... 4 Klasifikasi dan Morfologi... 4 Patogenesis... 6 Epidemiologi dan Pengendalian... 6 Kapang Nematofagus D. flagrans... 6 Klasifikasi dan Morfologi... 7 Mekanisme memangsa nematoda... 7 Karakter D. flagrans isolat lokal... 8 Khamir S. cerevisiae... 9 Klasifikasi dan Morfologi... 9 Siklus hidup Pemanfaatan S.cerevisiae Pengaruh terhadap reproduksi cacing Enzim PERTUMBUHAN Saccharomyces cerevisiae PADA BERBAGAI JENIS MEDIUM, INTENSITAS CAHAYA,TEMPERATUR, RUMEN DAN LAMA PENYIMPANAN Abstract Abstrak... 14

13 xii Halaman Pendahuluan Bahan dan Metode Hasil dan Pembahasan Kesimpulan AKTIVITAS ENZIM KITINASE, PROTEASE DAN ZAT KEMOATRAKTAN YANG TERKANDUNG PADA Duddingtonia flagrans DAN Saccharomyces cerevisiae Abstract Abstrak Pendahuluan Bahan dan Metode Hasil dan Pembahasan Kesimpulan INTERAKSI ANTARA Duddingtonia flagrans DAN Saccharomyces cerevisiae DENGAN LARVA INFEKTIF Haemonchus contortus PADA MEDIUM AGAR DAN PUPUKAN TINJA Abstract Abstrak Pendahuluan Bahan dan Metode Hasil dan Pembahasan Kesimpulan GANGGUAN FUNGSI REPRODUKSI CACING Haemonchus contortus PADA DOMBA YANG DIBERI CENDAWAN Duddingtonia flagrans DAN Saccharomyces cerevisiae Abstract Abstrak Pendahuluan Bahan dan Metode Hasil dan Pembahasan... 57

14 xiii Halaman Kesimpulan PEMBAHASAN UMUM KESIMPULAN DAN SARAN DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN... 79

15 xiv DAFTAR TABEL Halaman 1 Pertumbuhan S. cerevisiae pada berbagai macam medium setelah diinkubasi selama 3 hari pada suhu kamar ( C) Pengaruh cahaya, pemberian cairan rumen, lama penyimpanan dan temperatur terhadap pertumbuhan S. cerevisiae pada umur 3 hari setelah inokulasi sel Aktivitas enzim intra seluler Kitinase dan Protease yang dimiliki oleh D. flagrans dan S. cerevisiae Aktivitas ekstra seluler enzim Kitinase dan Protease yang dimiliki oleh D. flagrans dan S. cerevisiae Kelompok agar percobaan dan perlakuannya Kelompok hewan dan perlakuan (tahap I) Kelompok hewan dan perlakuan (tahap II) Jumlah L 3 H.contortus yang bertahan hidup pada uji kemampuan reduksi D.flagrans S. cerevisiae dalam medium agar Kemampuan reduksi D.flagrans dan S. cerevisiae terhadap larva H. contortus pada pupukan tinja Kemampuan reduksi D.flagrans dan S. cerevisiae setelah pasase di saluran pencernaan terhadap larva H. contortus pada pupukan tinja Pembagian Kelompok hewan dan perlakuan Persentase jumlah telur yang berkembang menjadi larva 3 selama 5 minggu Fekunditas cacing Jumlah cacing yang ditemukan di abomasum domba Persentase perubahan patologis pada alat reproduksi (spermatosit) cacing jantan Ukuran bursa kopulatriks dan spikulum cacing jantan Persentase perubahan patologis pada alat reproduksi (ovum) cacing betina Ukuran vulva flap cacing betina... 64

16 xv DAFTAR GAMBAR Halaman 1 Organ reproduksi cacing dewasa H. contortus Siklus hidup H.contortus Klamisdospora dan konidia D. flagrans, perbesaran 10 x 40, pewarnaan H.E Mekanisme kapang pemangsa larva cacing Isolat S. cerevisiae, perbesaran 10 x 40, pewarnaan laktofenol blue Pertumbuhan S.cerevisiae pada berbagai medium Pertumbuhan S. cerevisiae dengan perlakuan Pertumbuhan S. cerevisiae pada berbagai macam suhu Pertumbuhan S. cerevisiae setelah disimpan Persentase larva H. contortus yang bergerak mendekati isolat uji Larva 3 H. contortus yang dibunuh oleh kapang D. flagrans pada media agar CMA, inkubasi 4 hari pada suhu kamar Kapang D.flagrans dan S.cerevisiae yang tumbuh pada media agar CMA inkubasi 4 hari pada suhu kamar Jumlah telur pergram tinja (EPG/ TPG) selama 5 minggu Potongan longitudinal inti spermatosit pada testis cacing jantan Potongan longitudinal inti sel ovum pada ovarium cacing betina... 61

17 xvi DAFTAR LAMPIRAN Halaman 1 Pembuatan Media Agar Penghitungan Telur Pergram Tinja Penghitungan Larva Pergram Tinja Pembuatan Slide Preparat Pembuatan Larutan Buffer Neutral Formaline (BNF) Pewarnaan dengan Hemaktosilin Eosin (HE) Pewarnaan dengan Minyak Cengkeh (MC) Naskah Publikasi... 86

18 PENDAHULUAN Latar Belakang Kecacingan merupakan salah satu masalah serius yang dihadapi peternakan ruminansia kecil di Indonesia. Cacing parasit yang penting pada domba adalah Haemonchus contortus yang menyebabkan haemonchosis. Infeksi cacing penghisap darah ini menyebabkan penurunan bobot badan, diare, kekurusan dan kadang-kadang kematian ternak (Soulsby 1986). Sigi lapang di beberapa daerah di Propinsi Jawa Barat, menunjukkan bahwa umumnya seekor hewan dapat terinfeksi oleh 3-4 macam spesies yang didominasi oleh cacing H. contortus dan Trichostrongylus spp. dengan rata-rata prevalensi sebesar 67% (Kusumamihardja dan Zalizar 1992). Kerugian akibat infeksi nematoda termasuk H. contortus pada kambing diperkirakan mencapai Rp /tahun (Rachmat et al. 1998) serta diperkirakan terus meningkat bila tidak dilakukan upaya pengendalian dengan sungguh-sungguh. Haemonchosis dapat dikendalikan dengan berbagai cara. Penggunaan obat anti cacing (anthelmintika) untuk membunuh/mengusir cacing dalam tubuh hewan, merupakan cara yang umum digunakan. Keuntungan metode ini dapat dengan cepat menekan infeksi dan mengurangi efek patofisiologisnya. Meskipun demikian, penggunaan anthelmintika yang sama dalam jangka panjang beresiko menyebabkan resistensi cacing terhadap obat dan adanya residu pada organ. Untuk mendapatkan hasil yang optimal, penggunaan antelmintika ini harus dipadukan dengan manajemen beternak yang baik untuk mengurangi kemungkinan kontak antara ternak dengan larva infektif. Alternatif lain dalam pengendalian haemonchosis yaitu dengan pengendalian biologis menggunakan agen hayati, serta pengembangan vaksin dan seleksi ras ternak yang tahan terhadap parasit (Patra 2007; Waller dan Larsen 1994; Waller et al. 2006). Upaya pengendalian haemonchosis pada peternakan domba di Indonesia, sulit dilaksanakan karena hewan dipelihara dengan pola peternakan tradisional yang kurang memperhatikan manejemen pemeliharaan dan kesehatan hewan. Saat ini penanggulangan umumnya dilakukan dengan pemberian anthelmintika, namun berbagai studi menemukan adanya resistensi akibat pemakaian dalam jangka panjang dengan dosis yang kurang tepat dari antelmintika kelompok benzimidazol (Satrija dan Beriajaya, 1998; Haryuningtyas

19 2 et al. 2001). Untuk itu perlu dicari suatu cara penanggulangan penyakit cacing H. contortus yang lebih efektif dan efisien. Penelitian penggunaan Duddingtonia flagrans sebagai pengendali hayati parasit cacing nematoda pada ternak sudah banyak dilakukan di beberapa negara. Cendawan ini bekerja dengan cara menangkap larva infektif (L 3 ) di lapangan sehingga akan menurunkan tingkat kontaminasi larva di lapangan. Pemberian konidiaspora D. flagrans pada domba dapat menurunkan tingkat kontaminasi larva H.contortus di lapangan sebesar 70-90% (Larsen 2000; Chandrawathani et al. 2004; Waller 1997). Uji coba pengendalian hayati haemonchosis dengan menggunakan cendawan D. flagrans, juga sudah dilakukan di Indonesia sejak tahun 2000 dengan tingkat reduksi larva sebesar 70% (Beriajaya et al. 2001; Ahmad et al. 2002). Dalam bidang peternakan khamir Saccharomyces cerevisiae digunakan secara komersial sebagai probiotik dan imunostimulan untuk ternak (Agarwal et al. 2000; Kompiang 2002; Fox 2002; Thanardkit et al. 2002). Penelitian pendahuluan menunjukkan bahwa pemberian S. cerevisiae dalam tape sebagai pakan pada cacing tanah (Lumbricus sp.) berdampak pada penurunan kemampuan produksi kokon (telur) cacing tanah. Hasil ini sejalan dengan penelitian Pitojo (1995), yang dapat memperlihatkan penurunan kemampuan reproduksi kelinci jantan pasca pemberian ragi Saccharomyces sp. Fenomena ini membuka peluang kemungkinan penggunaan Saccharomyces cerevisiae untuk menurunkan kemampuan reproduksi cacing parasit. Penggunaan kapang D. flagrans dan khamir S. cerevisiae secara simultan diharapkan dapat meningkatkan efektivitas pengendalian hayati H. contortus. Peningkatan efektivitas tersebut dapat dicapai melalui reduksi jumlah larva oleh kapang nematofagus D. flagrans di lapangan, dan pada saat yang sama terjadi pula penurunan kemampuan reproduksi cacing dewasa di dalam tubuh domba. Oleh karena itu perlu dipelajari interaksi yang mungkin terjadi antara kapang dan khamir tersebut. Studi ini dilakukan melalui rangkaian empat tahap percobaan. Pada tahap pertama, karakter isolat lokal S. cerevisiae yang akan digunakan sebagai kandidat pengendali hayati terhadap H. contortus dipelajari dengan menguji pengaruh berbagai medium, temperatur, kebutuhan terhadap cahaya, cairan rumen dan waktu simpan bahan terhadap pertumbuhan isolat coba. Tahap kedua mempelajari kandungan enzim dan atraktan yang dimiliki oleh cendawan

20 3 D. flagrans dan S. cerevisiae yang mungkin berperan dalam mekanisme pengendalian H. contortus. Pada tahap ketiga diuji kemampuan membunuh secara in vitro dan interaksi yang terjadi antara kedua cendawan pada medium agar dan tinja. Percobaan dilakukan untuk menguji daya reduksi terhadap L 3. Untuk lebih meyakinkan isolat tersebut dapat digunakan sebagai pengendali hayati, maka pada tahap keempat dilakukan uji kemampuan isolat tersebut sebagai pengendali biologis terhadap H. contortus. Di dalam tahap ini dilakukan juga pengamatan terhadap perubahan organ reproduksi, fekunditas, produksi dan daya tetas telur, dan populasi cacing dewasa. Tujuan Penelitian 1. Mempelajari sifat-sifat isolat lokal S. cerevisiae sebagai cendawan kandidat pengendali biologis H. contortus. 2. Mengevaluasi kemampuan masing-masing cendawan D. flagrans dan S. cerevisiae dan interaksinya dalam mereduksi jumlah larva stadium 3 (L 3 ) H. contortus secara in vitro. 3. Mempelajari mekanisme penurunan jumlah larva oleh D. flagrans dengan S. cerevisiae dan interaksinya pada uji in vitro dan in vivo. 4. Mempelajari perubahan patologis organ reproduksi cacing dewasa setelah pemberian cendawan D. flagrans dan S. cerevisiae. Manfaat Penelitian Diharapkan hasil studi ini dapat digunakan sebagai acuan dalam penggunaan kapang D. flagrans dan khamir S. cerevisiae sebagai agen pengendali hayati cacing H. contortus pada peternakan domba.

21 4 TINJAUAN PUSTAKA Cacing H. contortus Klasifikasi dan Morfologi Haemonchus contortus adalah cacing dari Kelas Nematoda, Ordo Strongylida dan Super famili Trichostrongyloidea. Cacing dewasa hidup di dalam abomasum ruminansia kecil termasuk domba dan kambing. Cacing jantan panjangnya mm, dan betina mm. Cacing jantan dan betina dapat dibedakan melalui pengamatan morfologi organ reproduksinya (Urquhart et al. 1987). Organ reproduksi cacing betina terdiri dari ovarium, oviduk, uterus dan diakhiri dengan vagina pendek yang bermuara pada vulva. Uterus dan vagina dihubungkan dengan ovijector. Cacing betina mempunyai vulva flap yang berfungsi dalam proses kopulasi dan pengeluaran telur. Setiap ekor cacing betina dewasa mampu bertelur sampai butir perhari. A B A S BK B G V Gambar 1. Organ reproduksi cacing dewasa H. contortus. jantan (A) dan betina (B). (V) vulva flap, (BK) Bursa Kopulatriks, (G) Gubernakulum (S) Spikulum. Pewarnaan minyak cengkeh. Pembesaran 10 x10

22 5 Cacing jantan memiliki organ reproduksi yang terdiri dari testis tunggal yang memanjang dan vas deferens berujung di duktus ejakulatori. Selain itu, terdapat asesori organ reproduksi yang terdiri dari sepasang spikulum dan gubernakulum. Pada saat kopulasi, spikulum yang diarahkan oleh gubernakulum dimasukkan ke dalam untuk menyalurkan sperma. Pada ujung posterior tubuh cacing jantan, ditemukan pelebaran kutikula yang disebut bursa kopulatriks. Organ ini berfungsi membantu proses pelekatan cacing jantan dan betina pada saat proses kopulasi (Gambar1). Gambar 2. Siklus hidup H. contortus A. Telur menetas menjadi larva I dan II. B. larva III di rumput. C. larva III tertelan menjadi larva IV. D. Larva IV menjadi larva V (cacing dewasa). E. Telur yang diproduksi.

23 6 H. contortus siklus hidupnya langsung dan terdiri dari fase pre-parasitik (hidup bebas) di luar tubuh induk semang (inang), serta fase parasitik dalam tubuh inangnya. Siklus dimulai dengan keluarnya telur yang diproduksi cacing betina bersama tinja inang. Pada suhu dan kelembaban optimal ( C; % RH) telur akan menetas mengeluarkan larva stadium 1 (L 1 ). Setelah melalui dua kali molting larva tersebut kemudian berkembang menjadi L 2 dan selanjutnya L 3 (larva infektif) dalam waktu 4-6 hari. Selanjutnya L 3 berpindah ke rerumputan atau batang semak. Domba akan terinfeksi bila memakan rerumputan yang mengandung L 3. Di dalam inang L 3 akan berkembang dan tumbuh menjadi (L 4 ) atau disebut tahap pradewasa. Selanjutnya L 4 berkembang menjadi larva 5 (L 5 ) atau tahapan dewasa yang siap bertelur pada hari ke-15 sampai ke-20 setelah infeksi (Urquhart et al. 1987) (Gambar 2). Patogenesis Gangguan Infeksi ditimbulkan ketika L 4 dan cacing dewasa menghisap darah pada mukosa abomasum. Setiap ekor cacing mampu menghisap 0,05 ml darah setiap hari. Domba yang terinfeksi cacing mengalami kekurusan, kurang darah dan kematian. Hipoproteinemia juga sering terjadi pada domba yang terinfeksi serta mengakibatkan udema yang dikenal dengan istilah bottle jaw. Epidemiologi dan pengendalian Diperkirakan prevalensi infeksi cacing parasit gastrointestinal termasuk cacing H. contortus mencapai 80% dari seluruh populasi ruminansia kecil (domba dan kambing) di Indonesia (Satrija dan Beriajaya 1998). Penelitian di Jawa Barat menunjukkan bahwa infeksi mulai terjadi pada awal musim hujan dan mencapai puncaknya menjelang akhir musim hujan (Ridwan et al. 1996). Penanggulangan penyakit haemonchosis umumnya dilakukan dengan menggunakan obat nematoda (antelmintika) secara berkala, namun pemakaian antelmintika secara terus-menerus akan menimbulkan galur nematoda yang tahan (resisten) terhadap anthelmintika. Resistensi akan lebih cepat terjadi bila dipakai terus menerus dengan dosis dan cara pemberian yang tidak tepat (Waller 1997; Haryuningtyas et al. 2001). Pengendalian hayati merupakan salah satu alternatif dalam upaya pengendalian haemonchosis. Pada dasarnya pengendalian hayati adalah upaya untuk mengurangi populasi agen penyakit sampai batas tidak menimbulkan

24 7 kerugian pada inangnya. Namun harus diingat bahwa agen tidak membunuh seluruh populasi penyebab penyakit (Larsen 2000). Agen hayati pengendali biologis harus aman bagi inang dan lingkungannya. Untuk memenuhi hal tersebut perlu dipenuhi syarat-syaratnya yaitu aman, mudah didapat, diperbanyak, dan mampu membunuh agen penyebab penyakit. Oleh karena itu, meski banyak isolat yang tergolong nematofagus namun hanya sedikit yang dapat digunakan. Kapang Nematofagus D. flagrans Klasifikasi dan morfologi D. flagrans ialah kapang yang tergolong ke dalam kelas Deuteromycetes dan famili Moniliaceae (Yeates 2000; Jacobs 2002). D. flagrans termasuk dalam kelompok kapang bermitospora. Kapang ini berkembang biak secara aseksual (anamorf), dengan bantuan spora (konidia)(gambar 3). Berdasarkan analisis sekuen 18S rdna menunjukkan bahwa D. flagrans berkerabat dekat dengan Arthrobotrys oligospora (Yeates 2000; Ahren 2002) sehingga kemampuan kedua kapang tersebut sering dibandingkan. A B 0.23µ Gambar 3. Klamisdospora (A) dan konidia (B) D.flagrans. Perbesaran 10 x 40, pewarnaan H.E Habitat D. flagrans sama seperti kapang nematofagus lainnya yaitu tumbuh pada suhu o C, kelembaban 90%, ph sedikit asam bergantung pada spesiesnya, memerlukan oksigen dan sedikit mineral, dapat tumbuh pada tanah pertanian dan bekas pemeliharaan ternak. Mampu membentuk jerat pada temperatur antara o C, dan setelah diinkubasi selama 3 minggu umumnya

25 8 akan membentuk klamidospora (Gronvold et al. 1996a). Klamidospora adalah modifikasi dari hifa berupa penebalan dinding sel-sel hifa yang membentuk struktur reproduksi, namun fungsi sebenarnya untuk mempertahankan diri. Dalam bentuk klamidospora, D. flagrans tahan terhadap perubahan suhu, iklim yang ekstrim. Kapang D. flagrans mempunyai beberapa keunggulan, yaitu tidak menyebabkan terjadinya keracunan pada inang, efektif membunuh larva cacing nematoda ternak dan mudah diaplikasikan (Larsen 2000). Mekanisme memangsa nematoda D. flagrans termasuk golongan kapang nematofagus yang bekerja mengendalikan parasit nematoda sebagai predator larva, membunuh cacing dengan cara membuat perangkap terhadap larva infektif. Pada saat larva bergerak mengenai hifa, kapang ini akan mengeluarkan zat kemoatraktan yang mengandung sekresi. Larva yang tertarik datang, akan melekat pada hifa dan selanjutnya dijerat oleh hifa vegetatif. Selanjutnya kapang mensekresikan enzim pengurai kutikula untuk memudahkan hifa melakukan penetrasi pada kutikula (Gronvold et al. 1993). Hifa vegetatif yang masuk ke dalam tubuh larva akan tumbuh dan berkembang hingga larva akhirnya mati (Gambar 4). Kapang D. flagrans mempunyai kemampuan memproduksi enzim kitinase dan protease (Ahman 2000; Meyer dan Wiebe 2003) yang akan dipakai dalam proses pengendalian parasit nematoda. Selain itu juga mempunyai nematotoksin yaitu lektin yang diduga turut membantu di dalam membunuh larva (Rosen 1996). Namun pada penelitian lain diketahui bahwa lektin dalam kapang A. oligospora yang sekelas dengan D. flagrans tidak efektif membunuh larva (Birck et al. 2004). D. flagrans adalah kapang nematofagus pilihan untuk mengendalikan larva parasit cacing nematoda pada ternak di masa kini dan mendatang. Pilihan tersebut berdasarkan penelitian yang telah dilakukan sebelumnya (Gronvold et al. 1993; Larsen 2000, Patra 2007). Kapang D. flagrans lebih efektif dan efisien dalam membunuh larva nematoda dibandingkan dengan Arthrobotrys spp, meski Arthrobotrys oligopora dapat memproduksi lebih banyak konidia dengan perlakuan yang sama (Mendoza-Degives et al. 1999). Hal ini disebabkan kemampuan D. flagrans untuk membentuk klamidospora.

26 9 Karakter D. flagrans isolat lokal Isolat D. flagrans yang digunakan dalam studi ini merupakan isolat lokal dari tanah asal Bogor pada tahun Karakterisasi isolat tersebut telah dilakukan untuk mempelajari potensinya sebagai kapang nematofagus (Ahmad 2003). Kapang tersebut dapat tumbuh pada berbagai macam medium CMA, PDA, SDA, tumbuh pada suhu C, dapat membuat jerat untuk larva infektif, mereduksi larva H. contortus, memerlukan cahaya, dan tahan disimpan selama 4 bulan pada kulkas (suhu C) A B Gambar 4. Mekanisme kapang pemangsa larva cacing A. Konidia kapang nematofagus. B. Larva III H.contortus (Sumber : Barron 1977) Khamir S. cerevisiae Klasifikasi dan morfologi Saccharomyces cerevisiae ialah salah satu cendawan yang tergolong ke dalam kelompok khamir. Berasal dari kata Saccharo (sugar) dan Myces (fungi) yang artinya cendawan gula. Pada saat berkembang biak khamir akan membelah diri dan menghasilkan tunas yang berkecambah multipolar. Tunas yang terbentuk terdapat di seluruh permukaan dinding. Diameter spora berukuran 5-10 µ. Khamir S. cerevisiae tergolong dalam kelas Saccharomycetes dan famili Saccharomycetaceae (Dube 1996). S. cerevisiae merupakan khamir bersel tunggal yang berkembang biak secara aseksual dan seksual dengan cepat. Perkembangbiakan melalui tunas kecambah multipolar dan tunas dapat terbentuk pada seluruh permukaan dinding sel (Gambar 5). Reproduksi seksual membentuk askospora di dalam askus. Di dalam satu askus umumnya terdapat 4 buah askospora dengan berbagai bentuk. Khamir ini mempunyai ciri morfologi

27 10 mikroskopis membentuk blastospora (spora) yang berbentuk bulat lonjong, silindris, oval atau bulat telur pendek dan panjangnya yang dipengaruhi oleh strain (Elliot 1994; Dube 1996). A...0,081µ Gambar 5. Isolat S. cerevisiae, perbesaran 10 x 40, pewarnaan laktofenol blue. A. Sel spora Menurut besarnya sel ada 3 kelompok khamir yaitu: Kelompok yang pertama besar selnya berukuran (3,5-10,0) x (5,0-19)μ; kelompok yang kedua berukuran (3,0-8,0) x (4,0-18) μ dan kelompok ketiga (2,5-7,0) x (4,5-18) μ. Selain ketiga macam bentuk sel di atas, ada juga sel berfilamen yang terdapat pada spora berukuran lebih besar dari 30 μ dan berpseudomiselium. Sedangkan morfologi makroskopik mempunyai koloni berbentuk bulat, warna putih, krim abuabu hingga kecoklatan, permukaan koloni berkilau sampai kusam, licin, dengan tekstur lunak (Lodder 1970; Barnet et al. 2000). Siklus hidup Khamir ini mempunyai perubahan pada fase haploid dengan sebuah diplofase yang sebenarnya. Strain haploid memiliki salah satu dari 2 tipe kawin yaitu a dan α, dan sel-sel dengan tipe kawin berbeda dapat bercampur melakukan perkawinan. Peleburan ke dua sel diikuti dengan peleburan inti, dan tunas pertama yang dihasilkan adalah zigote yang berisi sebuah inti yang diploid. Diplo fase dibentuk sampai kondisi lingkungan cocok untuk menginduksi terjadinya sporulasi, Keseluruhan sel dikonversi kedalam sebuah askus; terjadi

28 11 miosis dan dihasilkan 4 askospora. Germinasi dari askospora kembali lagi dari permulaan haplofase (Elliot 1994). S. cerevisiae dapat memproduksi beberapa macam enzim yang penting, seperti kitinase dan protease untuk mendukung mekanisme dalam pengendalian terhadap H.contortus bila diinduksi oleh kondisi tertentu (Carstens et al. 2003; Poulsen et al. 2006). S. cerevisiae juga memiliki enzim-enzim lainnya seperti asparaginase dan katalase serta berkemampuan berfermentasi, berasimilasi, dan memperbanyak diri dengan cepat (Dunlop dan Roon 1975; Petrova et al. 2002; Selvaggini et al. 2004). Pemanfaatan S. cerevisiae S. cerevisiae telah banyak digunakan untuk kepentingan manusia mulai zaman Mesir kuno dipakai sebagai ragi dalam pembuatan roti, sebagai pengembang adonan. Sejalan dengan kemajuan teknologi, S. cerevisiae mulai digunakan untuk berbagai keperluan bioteknologi khususnya rekayasa genetik. Khamir ini diketahui sebagai genomik eukariotik pertama yang telah disekuensing secara lengkap, dipakai untuk pengembangan pengetahuan dasar tentang fungsi dan organisasi dari fisiologi dan sel genetika eukariotik. Selain itu S. cerevisiae dapat digunakan sebagai probiotik, imunostimulan dan dipakai sebagai vitamin B komplek. Di dalam industri alkohol digunakan pula sebagai cendawan penghasil alkohol (etanol), pembuat bir. (Dube 1996: Ahmad 2005a). Di bidang Veteriner dan Peternakan S. cerevisiae digunakan sebagai probiotik, feed aditif bersama-sama dengan mikroba lainnya khususnya bakteri yang menguntungkan untuk ternak seperti Bacillus pumilus, Lactobacillus acidophilus, Streptococcus lactis (Shin et al. 1989). Sebagai probiotik S. cerevisiae akan meningkatkan asupan nutrisi dengan cara mendapatkan lebih banyak nutrisi dari sumber pakan ternak sehingga pada akhirnya akan meningkatkan bobot badan domba dan sapi (Chaucheyras et al. 1996, 2005; Callaway dan Martin 1997; Sullivan dan Martin 1999; Ratnaningsih 2000). S. cerevisiae dapat digunakan sebagai imunostimulan pada hewan dengan cara meningkatkan kesehatan hewan. Adapun bagian yang digunakan untuk bahan imunostimulan adalah dinding sel S. cerevisiae khususnya bagian Beta glukan dan Mannan. Imunostimulan digunakan untuk ternak hewan dan ikan di dalam rangka meningkatkan kesehatan tubuh untuk menghadapi serangan penyakit

29 12 (Estrada et al. 1997; Fox 2002; Sitthipun et al. 2000), misalnya pada ayam mampu menurunkan populasi Salmonella thyphimurium (Istiana et al. 2002). Pengaruh terhadap reproduksi cacing S. cerevisiae umumnya digunakan sebagai probiotik dan imunostimulan, namun belum ada penelitian yang menggunakan cendawan ini sebagai pengendali biologis. Pada percobaan pendahuluan pemberian S. cerevisiae pada cacing tanah (Lumbricus sp.) dapat menaikkan bobot badan dan menurunkan produksi kokon (telur). Pada media koprokultur S. cerevisiae dapat menurunkan larva H. contortus baik dalam dosis tunggal maupun kombinasi dengan D. flagrans. Pemberian S. cerevisiae dalam jumlah tertentu, dapat merusak proses spermatogenesis pada saluran reproduksi, pada kelinci terjadi karena terhambatnya proses spermatogenesis pada tahap meiosis dan spermiogenesis. Hal ini diduga adanya gangguan pembentukan dan pelepasan hormon gonadotropin sebagai penyebab gangguan spermatogenesis pada testis (Pitojo 1995). Ada dugaan bahwa yang dirusak pada cacing H. contortus juga sistem reproduksinya. Pengurangan jumlah larva pada telur cacing H. contortus yang menetas pada percobaan pendahuluan, menunjukkan adanya kemampuan S. cerevisiae di dalam membunuh, merusak telur cacing, merusak saluran reproduksi cacing jantan dan betina di dalam domba dengan enzim-enzim yang dimiliki S. cerevisiae. Enzim Enzim merupakan protein untuk katalis (percepatan) reaksi kimia. Enzim berfungsi merubah bentuk suatu susunan molekul menjadi susunan lain yang lebih sederhana berupa produk. Enzim bereaksi secara spesifik, dan bekerja seperti kunci dan gembok, artinya suatu aktivitas enzim hanya bereaksi terhadap susunan molekul tertentu. Aktivitas kerja enzim dipengaruhi oleh beberapa faktor seperti inhibitor (memperlambat reaksi), aktivator (mempercepat reaksi), kofaktor, koenzim, suhu, ph, dan konsentrasi dari substrat (Lexicon 2007; Medicine, 2007). Enzim kitinase adalah enzim pencerna yang memecah ikatan glikosida dalam kitin, menghidrolisis kitin menjadi kitosan (Somashekar dan Joseph 1996). Proses degradasi kitin oleh kitinase dilakukan dalam 2 tahap. Pada tahap

30 13 pertama Endokitinase mereduksi polimer menjadi oligomer. Selanjutnya oligomer berdegradasi menjadi monomer oleh eksokitinasekitobiase. Enzim-enzim ini disintesa oleh arthropoda, nematoda, protozoa, dan moluska (Muzzarelli 2002). Enzim protease adalah enzim yang memecah protein menjadi peptida atau ikatan asam amino yang lebih sederhana. Protease terdiri dari asam aspartat, asam glutamik cysteine metallo, serine, dan threonine. Protein sendiri mempunyai arti kumpulan asam amino yang disusun oleh rantai linier yang mempunyai gugus karboksil dan amin nitrogen, polimer linier yang dibuat dari 20 L-α asam amino yang berbeda. Kitin mempunyai arti berbeda yaitu polisakarida yang tidak larut terdiri dari β (1-4) berikatan dengan N-asetil D-Glukosamin (GLc Nac) unit. Kitin merupakan polisakarida yang banyak ditemukan di alam sebagai komponen struktur kepiting, serangga, cacing, cendawan dan tumbuhan lain. Polimer kitin umumnya membentuk diameter 3 nm dan stabil dalam bentuk ikatan hidrogen antara gugus amin dan karbonil (Gooday 1994). α kitin adalah bentuk yang ada pada nematoda dan umumnya ditemukan sebagai komponen struktur pembentuk rangka lainnya seperti protein dan glukan, ditemukan sebanyak 20-38% pada cacing (Skjak-Braek et al. 1989). Kemampuan kedua cendawan tersebut, yang diduga memiliki enzim kitinase dan protease akan mampu berpotensi sebagai nematofagus dalam mereduksi larva. Kedua enzim yang tergolong enzim hidrolitik diperlukan dalam mekanisme membunuh nematoda. Dukungan kandungan enzim tersebut digunakan untuk menetrasi dinding kutikula larva, yang umumnya terdiri dari protein dan kitin sebagai bahan penyusun dinding (Anke 1997). Pada akhirnya penggunaan kedua macam cendawan ini akan menurunkan populasi H. contortus baik dalam jumlah telur, maupun larvanya bila hidup bersama dalam satu media. Kerja sinergis inilah yang diharapkan dalam membunuh cacing, karena kapang D. flagrans mempunyai target membunuh larva di luar tubuh domba. Selain itu khamir S. cerevisiae dan kapang D.flagrans targetnya adalah merusak saluran reproduksi cacing larva dan telur H. contortus sehingga pada akhirnya terjadi reduksi populasi jumlah larva.

31 PERTUMBUHAN Saccharomyces cerevisiae PADA BERBAGAI JENIS MEDIUM, INTENSITAS CAHAYA, TEMPERATUR, RUMEN DAN LAMA PENYIMPANAN Abstract Saccharomyces cerevisiae yeast has been used for various purposes in attempting to enhance human health as well as improving livestock productivity. Our preliminary experiment indicated possible use of S.cerevisiae in biological control of parasitic nematodes. In order to utilize this yeast as a biological control agent for parasitic worm in sheep, it is necessary to study growth characteristics of S. cerevisiae local isolate. The yeast was isolated from fermented cassava from Cianjur, West Java. One of the factors influenced the growth of yeast is environmental factor such as type of medium, light, rumen, and temperature. The viability of yeast cell after storage was also important to be studied for developing a good quality of biological control agent. Hence, the aim of this research was to analyze the effect of environmental factor on the growth of S. cerevisiae and the viability of the yeast cells after storage. The growth analyses were carried out using solid and liquid medium of Bacto Agar, Corn Meal Agar, Sabouraud Dextrose Agar, Potato Dextrose Agar and Sabouraud Dextrose Broth. The effect of light was studied by exposed the culture to light with the intensity of sun for 3 days. The effect of sheep rumen fluid analysed by adding the filtered rumen fluid into the medium and 4 temperature treatments, C, 25 0 C, 37 0 C, and 39 0 C were used to study the optimal growth temperature. The viability of the cell was studied by storing the yeast culture for 1 and 12 months at C. The results showed that the growth of yeast was not affected by the type of medium; application of light, rumen fluid and temperature. The viability of yeast cell was also not affected by the storage treatment until 12 months at C. Key words: S. cerevisiae, environmental factor, rumen, viability after storage Abstrak Khamir Saccharomyces cerevisiae telah dimanfaatkan untuk berbagai tujuan terkait dengan peningkatan kesehatan manusia dan produktivitas ternak. Penelitian pendahuluan mengindikasikan kemungkinan pemanfaatan S.cerevisiae untuk pengendalian hayati nematoda parasit. Untuk itu perlu dilakukan penelitian tentang khamir ini sebagai agen pengendali hayati cacing parasit, maka perlu dipelajari karakterisasi S. cerevisiae isolat lokal. Khamir ini diisolasi dari singkong yang difermentasi dari Cianjur Jawa Barat. Satu faktor yang mempengaruhi pertumbuhan khamir adalah faktor lingkungan seperti jenis tipe medium, cahaya, rumen dan suhu. Viabilitas dari sel khamir sesudah disimpan juga penting untuk menjadi pelajaran pengembangan kualitas yang baik bagi agen pengendali hayati. Tujuan dari penelitian ini untuk menganalisa pengaruh faktor lingkungan terhadap pertumbuhan S.cerevisiae dan viabilitas sel khamir sesudah penyimpanan. Analisa pertumbuhan

32 15 dilakukan dengan menggunakan medium padat dan cair dari Bacto agar, Corn Meal agar, Sabouraud Dextrose Agar, Potato Dextrose Agar dan Sabouraud Dextrose Broth. Pengaruh cahaya dipelajari dengan cara kultur diekspose dengan cahaya matahari selama 3 hari. Pengaruh dari rumen domba dianalisa dengan menambahkan cairan rumen yang telah difiltrasi ke dalam medium dan 4 perlakuan suhu yaitu C, 25 0 C, 37 0 C dan 39 0 C dipelajari untuk mendapatkan suhu yang optimal bagi pertumbuhan. Viabilitas dari sel dipelajari melalui penyimpanan kultur khamir dalam waktu 1 dan 12 bulan pada suhu 4-10 o C. Penelitian ini menunjukkan bahwa pertumbuhan khamir tidak dipengaruhi oleh jenis medium, aplikasi cahaya, cairan rumen dan temperatur. Viabilitas dari sel khamir tidak juga dipengaruhi oleh perlakuan penyimpanan sampai dengan 12 bulan pada suhu 4-10 o C. Kata kunci : S. cerevisiae, faktor lingkungan, rumen, viabilitas sesudah disimpan PENDAHULUAN Saccharomyces cerevisiae ialah salah satu cendawan yang tergolong ke dalam kelompok khamir (yeast). Dalam bidang veteriner, peternakan dan perikanan S. cerevisiae sering digunakan sebagai probiotik dan imunostimulan (Estrada et al, 1997; Fox 2002; Sitthipun et al Chaucheyras et al. 1996, 2005; Ratnaningsih 2000), Hal ini karena aktivitas S.cerevisiae dapat meningkatkan atau merangsang pertumbuhan bakteri pencerna serat dan mikroba penghasil protein rumen pada ternak ruminansia (Estrada et al. 1997; Chaucheyras et al. 1996). Seperti umumnya cendawan sejati lainnya, dinding sel S. cerevisiae mengandung β glukan yang tinggi. β glukan merupakan salah satu bahan bioaktif yang berfungsi sebagai imunostimulan pada hewan, karena dapat merangsang pertumbuhan sel-sel limfosit T dan B. Hasil penelitian kami sebelumnya menunjukkan bahwa S. cerevisiae isolat lokal yang diisolasi dari tape asal Cianjur dapat menekan pertumbuhan bakteri penyebab salmonelosis pada dan menurunkan produksi telur (kokon) cacing tanah (Lumbricus sp) (Istiana et al. 2002). Hal ini membuka peluang kemungkinan pemanfaatan S.cerevisiae dalam pengendalian hayati cacing parasit pada domba. Hasil penelitian pendahuluan yang dilakukan pada disertasi ini menunjukkan bahwa S. cerevisiae dapat menurunkan viabilitas telur H. contortus sehingga kemungkinan pemanfaatan khamir ini sebagai pengendali hayati cacing parasit pada domba

33 16 tersebut semakin besar. Salah satu persyaratan dari mikroba yang digunakan sebagai agen pengendalian hayati penyakit pada domba ialah mikroba tersebut harus mampu tumbuh pada kondisi lingkungan baik di luar maupun di dalam rumen. Oleh karena itu perlu dilakukan pengkajian lebih lanjut terhadap sifat-sifat pertumbuhan S. cerevisiae isolat lokal pada berbagai kondisi lingkungan eksternal dan internal rumen secara in vitro. Selain itu seleksi media pertumbuhan dan daya simpan inokulum S. cerevisiae perlu dipelajari untuk produksi inokulum cendawan dalam skala besar untuk aplikasi di lapangan. Penelitian ini bertujuan untuk mempelajari pengaruh media pertumbuhan, cahaya, suhu, cairan rumen, dan lama penyimpanan terhadap pertumbuhan S. cerevisiae isolat lokal. Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi dasar bagi upaya pemanfaatan khamir ini sebagai agen pengendali hayati cacing nematoda parasit pada domba.

34 17 BAHAN DAN METODE Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian dilaksanakan di Laboratorium Mikologi, Balai Besar Penelitian Veteriner, Departemen Pertanian, Bogor. Penelitian dilakukan selama 13 bulan yang dimulai bulan Maret tahun 2006 sampai dengan bulan April tahun Disain Penelitian Penelitian ini dilakukan untuk mempelajari pertumbuhan S.cerevisiae isolat lokal (Istiana et al. 2002) yang mendapat berbagai perlakuan yaitu cahaya, cairan rumen, jenis medium, suhu, dan lama penyimpanan. Media yang digunakan adalah media cair Sabouroud Dextrosa Broth (SDB) dan berbagai macam media agar yaitu; Bacto Agar (BA), Corn Meal Agar (CMA), Potato Dextose Agar (PDA) dan Sabouroud Dextrosa Agar (SDA); intensitas cahaya yaitu gelap dan terang; Berbagai suhu inkubasi yaitu C, 25 0 C, 37 0 C dan 39 0 C; lama penyimpanan yaitu 1 bulan dan satu tahun dan selama periode penyimpanan yaitu 2; 3; 4; 5 dan 6 bulan; kemudian uji pertumbuhan terhadap penambahan cairan rumen yaitu dengan dan tanpa penambahan cairan rumen pada media SDA. Pengamatan dilakukan secara kualitatif dan kuantitatif. Teknik perbanyakan Sebelum S..cerevisiae digunakan, khamir ini diperbanyak dengan cara menginokulasikan isolat tersebut pada media SDA. Selanjutnya kultur diinkubasi pada suhu kamar (min 22 0 C maks 31 0 C) selama 3 hari. Setelah kultur berumur 3 hari selanjutnya disimpan di dalam lemari es sampai digunakan untuk uji lanjut. Teknik Inokulasi Inokulasi khamir pada media padat dilakukan dengan memasukan 1 ml (1 x 10 6 sel spora) S. cerevisiae pada cawan Petri yang berisi medium agar, kemudian diratakan dengan batang penyebar ke seluruh permukaan Sedangkan inokulasi pada media cair dilakukan dengan cara menginokulasi 1 ml cendawan (1,65 x sel spora) S. cerevisiae ke dalam tabung yang berisi media cair. Kultur selanjutnya diinkubasi pada suhu kamar atau sesuai perlakuan selama 3 hari.

35 18 Teknik Penghitungan Jumlah sel S.cerevisiae yang ditumbuhkan pada media padat dihitung dengan cara menambahkan 5 ml aquades steril pada media, lalu kultur dikerok dan dihomogenkan. Sebanyak 1 ml larutan kultur diencerkan sampai 100 kali pengenceran. Selanjutnya 0,2 mm 2 larutan kultur dimasukan ke dalam hemositometer dan jumlah spora dihitung dengan pembesaran 400 kali. Penghitungan jumlah sel S. cerevisiae pada media cair dilakukan dengan cara mengambil 1 ml larutan kultur dan diencerkan 10 kali, kemudian 0,2 mm 2 larutan kultur dimasukan ke dalam hemositometer untuk dilakukan penghitungan jumlah sel cendawan. Uji pengaruh medium terhadap pertumbuhan cendawan Isolat S. cerevisiae yang telah diperbanyak diuji pertumbuhannya pada medium cair SDB dalam tabung (volume 20 ml) dan cawan-cawan Petri (ø : 5 cm) yang berisi medium SDA, PDA, CMA dan BA (Waller et al. 1994). Masing-masing perlakuan diulang sebanyak 3 ulangan. Kultur kemudian diinkubasikan pada suhu 25 0 C selama 3 hari. Pengamatan dilakukan setiap hari dan pemanenan dilakukan pada hari ke-3 setelah inokulasi dengan menghitung jumlah sel yang terbentuk menggunakan hemositometer. Uji pengaruh cahaya terhadap pertumbuhan cendawan Uji ini hanya dilakukan pada media cair SDB. Sebanyak 1,65 x sel S. cerevisiae diinokulasikan pada tabung yang berisi 10 ml SDB. Jumlah tabung media yang digunakan ialah 6 tabung. Tiga tabung digunakan untuk perlakuan pertama yaitu tanpa pemberian cahaya. Ke 3 tabung ditutup dan dibungkus rapat dengan kertas berwarna gelap dan almunium foil sehingga tidak terkena cahaya, Tiga tabung lainnya digunakan untuk perlakuan cahaya yaitu tidak dibungkus dan dibiarkan terkena cahaya matahari. Kultur selanjutnya diinkubasi selama 3 hari pada suhu 25 o C. Panen dilakukan 3 hari setelah inokulasi dengan cara menghitung jumlah sel dari masing-masing tabung menggunakan hemositometer.

36 19 Uji pengaruh suhu terhadap pertumbuhan cendawan Pengujian dilakukan pada media cair SDB Sebanyak 1,65 x sel S. cerevisiae diinokulasikan pada tabung reaksi bervolume 10 ml yang berisi 9 ml medium SDB, kemudian diinkubasikan selama 3 hari pada suhu C; 25 0 C; 37 0 C; dan 39 0 C. Masing-masing perlakuan diulang sebanyak 3 ulangan. Panen dilakukan pada hari ke 3 setelah inokulasi dengan cara menghitung jumlah sel menggunakan hemositometer. Uji pengaruh lama penyimpanan terhadap pertumbuhan cendawan Pengujian dilakukan pada media padat SDA. Satu jarum ose S. cerevisiae ditumbuhkan pada media padat SDA dan diinkubasi pada suhu 25 C selama 3 hari. Kultur selanjutnya disimpan di dalam lemari es bersuhu C selama 1 hari; 1; 2; 3; 4; 5; dan 6 bulan dan 1 tahun. Pada saat panen sel dihitung dengan hemositometer. Uji pengaruh cairan rumen terhadap pertumbuhan cendawan Pengujian dilakukan dengan menggunakan media padat yang mengandung cairan rumen. Cairan rumen yang digunakan berasal dari rumen domba. Cairan rumen disaring dan disterilisasi dengan membran filter ukuran 0,1 µ, setelah itu ditambahkan pada cawan Petri yang mengandung media SDA pada suhu 45 0 C. Media selanjutnya di goyang sampai cairan rumen tercampur merata dan dibiarkan sampai memadat. Media SDA untuk perlakuan kontrol tidak ditambahkan cairan rumen steril. Sebanyak 1 x 10 6 sel S. cerevisiae diinokulasikan pada masing-masing cawan. Kultur kemudian diinkubasikan pada suhu kamar C selama 3 hari. Panen, dilakukan pada hari ke-3 setelah inokulasi dengan menghitung jumlah sel menggunakan hemositometer. Masing-masing perlakuan diulang sebanyak 3 ulangan.

37 20 HASIL DAN PEMBAHASAN Pengaruh medium terhadap pertumbuhan S. cerevisiae dapat tumbuh pada kedua bentuk media yaitu media padat dan media cair, Pertumbuhan S. cerevisiae pada media padat berkisar antara 1 x 10 6 dan 3,5 x 10 8 sel/ cawan, sedangkan pada media cair ialah 3,6 x 10 7 sel/tabung. Masing-masing cawan Petri dan tabung mengandung media dalam jumlah yang sama yaitu10 ml. Pertumbuhan S.cerevisiae terbaik pada media padat terjadi pada media SDA (Gambar 6). Dalam waktu tiga hari isolat yang ditumbuhkan dalam media tersebut mencapai 3,52 x 10 8 jumlah sel dalam setiap cawan Petri (Tabel 1). Pertumbuhan paling lambat terdapat pada medium BA dengan jumlah sel cendawan sebanyak 1 x 10 6.untuk setiap cawannya. Pertumbuhan S. cerevisiae pada kedua media lainnya yaitu CMA dan PDA menghasilkan jumlah sel cendawan yang hampir sama yaitu antara 2,9 4,2 x Pertumbuhan terendah pada media BA terjadi karena dalam media ini tidak mengandung nutrisi tambahan seperti pada media lainnya yaitu SDA CMA dan PDA. Bakto agar yang mengandung agar dan sedikit mineral hanya berfungsi sebagai pemadat media karena cendawan pada umumnya tidak dapat menggunakan agar sebagai sumber carbón sehingga nutrisi yang diperlukan oleh cendawan hanya berasal dari air yang digunakan dalam pembuiatan media. Media lainnya selain merupakan media yang kaya akan nutrisi dibandingkan dengan media BA karena selain mengandung unsur karbón dalam jumlah lebih banyak juga mendapat nutrisi tambahan yaitu pepton, dekstrosa dan agar pada media SDA. Ekstrak tepung jagung dan agar pada media CMA. Ekstrak tepung kentang, dekstrosa dan agar pada media PDA. Pada media karbohidrat merupakan unsur utama dalam pertumbuhan cendawan termasuk khamir S. cerevisiae. Seperti halnya organisme lainnya yang tidak memliki klorofil, cendawanan tidak dapat memfiksasi CO2 untuk kebutuhan unsur karbonnya. cendawan sangat bergantung pada bahan organik yang di síntesis oleh organisme berfotosintesis. Selain unsur karbon, cendawan juga memerlukan unsur makro lainnya seperti nitrogen, fosfor, kalium, magnesium dan kalsum, serta unsur mikro, vitamin, dll Unsur-unsur ini diperlukan sebagai elemen struktur dalam sintesis protoplasma dan dinding sel. Nitrogen yang umumnya dalam bentuk nitrat, dan amonia. digunakan sebagai penyusunan asam-

38 21 asam amino. Sedangkan kalium, dan magnesium digunakan untuk elemen fungsional aktif dalam metabolisme (Dube 1996; Griffin 1994). Meski di dalam inokulasi pada media SDA lebih banyak inokulum yang diberikan pada media cair (1,65 x sel) dibandingkan dengan media padat (1 x 10 6 sel), namun hasil pengamatan pada 3 hari setelah inokulasi menunjukkan populasi sel pada media padat lebih tinggi dari media cair. Hal ini diduga karena terdapat perbedaan dari faktor yang mempengaruhi pertumbuhan cendawan pada media padat dan cair. Rendahnya ketersediaan oksigen dan mudahnya limbah metabolisme sel cendawan terlarut pada media cair yang meracuni sel cendawan, diduga dapat menurunkan populasi cendawan pada media cair SDA pada hari ke-3 setelah inokulasi. Populasi cendawan pada media SDA padat, hampir sepuluh kali lebih besar dari populasi pada media cair. Namun perbedaan ini secara statistik tidak signifikan (Tabel 1). Tabel 1. Pertumbuhan S. cerevisiae pada berbagai macam medium setelah diinkubasi selama 3 hari pada suhu kamar ( C) No Medium Jumlah sel (1x 10 7 ) Padat 1. B A 0,1 ± 0,1 a 2. CMA 2,9 ± 1,9 a 3. PDA 4,2 ± 1,1 a 4. SDA 35,2 ± 17,7 a Cair 1. SDB (cair) 3,6 ± 2,5 a Keterangan: Angka-angka dengan huruf yang sama superskrip tidak berbeda nyata (P>0,05)

39 22 A B C D E Gambar 6. Pertumbuhan S.cerevisiae (tanda panah) pada berbagai macam medium A. (Bacto Agar) (BA). B (Corn Meal Agar) CMA. C. (Potato Dextrose Agar) (PDA) D. Sabouraud Dextrosa Agar (SDA) E. (Sabouraud Dextrose Broth) (SDB) pada suhu kamar (min 22 0 C maks 31 0 C ) dan setelah diinkubasi 3 hari. Pengaruh cairan rumen terhadap pertumbuhan Gambar 7 dan Tabel 2 menunjukkan bahwa jumlah populasi S. cerevisiae tidak berbeda (3,3 dan 3,4 x 10 7 spora) serta dapat bertahan hidup, tumbuh dengan baik pada media yang mengandung cairan rumen steril dari domba maupun tanpa diberi cairan. Meskipun di dalam cairan rumen steril tersebut terdapat berbagai macam enzim seperti pepsin dan renin dengan bersifat asam kurang lebih ph 5. S. cerevisiae masih dapat beradaptasi serta tumbuh dengan baik. Hal ini dapat dikatakan bahwa secara in vitro S. cerevisiae dapat tumbuh dengan baik pada cairan rumen. Sebagai agen pengendali hayati parasit pada rumen domba, S. cerevisiae harus mampu tumbuh pada rumen domba tidak saja secara in vitro juga secara in vivo. Uji secara in vivo dilakukan pada percobaan III dan IV pada Disertasi ini.

40 23 A C B D E Gambar 7. Pertumbuhan S.cerevisiae (tanda panah) dengan perlakuan. A. Cahaya dan B. Tanpa cahaya C. Kontrol. D. Dengan cairan rumen atau E. Tanpa cairan rumen diinkubasi 3 hari pada suhu kamar A B C D Gambar 8. Pertumbuhan S.cerevisiae (tanda panah) pada berbagai macam suhu A. Suhu kamar (min 22 0 C maks 31 0 C ) B, 25 0 C.C C. D.39 0 C. diinkubasi 3 hari pada media Sabouroud Dextrosa Broth (SDB).

41 24 Pengaruh suhu terhadap pertumbuhan Tabel 2 dan Gambar 8 juga menunjukkan bahwa S. cerevisiae memiliki kisaran suhu untuk tumbuh yang lebar yaitu C dengan pertumbuhan optimum pada suhu 37 0 C. Suhu optimum yang diperoleh pada percobaan ini berbeda dengan yang dilaporkan oleh Onions (1986) dan Griffin (1994) yaitu 28 0 C. Perbedaan suhu optimum yang diperoleh diduga disebabkan oleh perbedaan strain S. cerevisiae yang digunakan. Walaupun dengan jumlah populasi yang lebih rendah, S. cerevisiae isolat lokal yang digunakan pada penelitian ini mampu tumbuh pada suhu 39 o C yaitu suhu rata-rata pada rumen domba dengan jumlah populasi yang terbentuk cukup tinggi yaitu 2,6 x10 7 spora. Kisaran suhu pertumbuhan S. cerevisiae yang relatif luas (20 0 C sampai dengan 40 0 C) memungkinkan khamir ini dapat tumbuh dengan baik di luar maupun di dalam rumen domba sebagai inang dari parasit H. contortus. Tabel 2. Pengaruh cahaya, pemberian cairan rumen, lama penyimpanan dan temperatur terhadap pertumbuhan S. cerevisiae pada umur 3 hari setelah inokulasi sel No Perlakuan (I) Cahaya Jumlah sel (1x10 7 ) 1 Dengan Cahaya 5,4 ± 0,4 a 2 Tanpa Cahaya 3,7 ± 0,6 a (II) Cairan rumen Jumlah sel (1x10 7 ) 1 Tanpa cairan 3,3 ± 0,5 a 2 Dengan cairan 3,4 ± 0,7 a (III) Temperatur Jumlah sel (1x10 7 ) C (kamar) 3,6 ± 0,5 a C 2,4 ± 0,5 a C 5 ± 0,6 a (III) Temperatur Jumlah sel (1x10 7 ) C 2,6 ± 0,4 a

42 25 (IV) Lama Penyimpanan Jumlah sel (1x10 7 ) 1 1 hari 6,3 ± 0,4 a 2 1 tahun 3,5 ± 0,2 a Keterangan: Angka-angka dengan huruf yang sama superskrip tidak berbeda nyata (P>0,05) A B C Gambar 9. Pertumbuhan S.cerevisiae setelah disimpan (tanda panah) (A). Umur 1 hari. (B) umur 1 tahun pada media SDA dan SDB (C). Kontrol. Inkubasi 3 hari pada suhu kamar ( C). Pengaruh lama penyimpanan terhadap pertumbuhan Tabel 2 dan Gambar 9 menunjukkan pengaruh lamanya waktu simpan di dalam kulkas dengan suhu kurang lebih C selama satu tahun. Hasil pengamatan menunjukkan bahwa terdapat penurunan jumlah sel hampir 50% pada umur satu tahun walaupun secara statistik tidak berbeda nyata. Selain itu, jumlah sel yang dihasilkan dan viabilitasnya maísih relatif tinggi sebagai sumber inokulum yaitu 3,5 x 10 7 sel per cawan Petri. Pada percobaan pendahuluan diketahui bahwa dengan dosis tertentu khamir ini dapat mereduksi larva cacing. Pada percobaan ini didapat hasil S.cerevisiae isolat lokal dapat tumbuh pada berbagai macam medium, suhu, intensitas cahaya dan tahan disimpan dalam kulkas ( C) sampai dengan 1 tahun. Berdasarkan data dari hasil uji kemampuan tumbuh pada berbagai faktor lingkungan yang berhubungan dengan kondisi rumen domba secara in vitro menunjukkan bahwa S. cerevisiae mampu tumbuh pada baik pada lingkungan

43 26 rumen maupun luar rumen. Selain itu khamir ini dapat tumbuh pada berbagai macam media semisintetis dan mempunyai viabilitas yang cukup baik pada daya simpan satu tahun. Hal ini menjadikan S. cerevisiae merupakan isolat yang potensil sebagai agen pengendali hayati cacing parasit H. contortus. Uji lanjut untuk mengetahui sifat-sifat S. cerevisiae pada kondisi in vivo akan dilakukan pada percobaan tahap ke III dan IV. Berdasarkan tersedianya informasi yang lengkap tentang S. cerevisiae dari hasil uji in vitro dan in vivo diharapkan penggunaan S.cerevisiae dapat menghasilkan dampak pengendalian cacing parasit yang optimal karena dapat mereduksi cacing di dalam dan di luar tubuh tubuh hewan. Sementara cendawan D. flagrans yang digunakan sebagai agen pengendali hayati cacing parasit tersebut hanya dapat membunuh larva infektif H. contortus di luar tubuh inang dengan cara menjeratnya. Sehingga timbul dugaan sementara bahwa S. cerevisiae lebih unggul di dalam mereduksi cacing H.contortus dibandingkan dengan D. flagrans. Namun dugaan ini harus dibuktikan dengan pengujian terhadap kemampuan khamir dalam mengendalikan larva, telur dan cacing dewasa H. contortus. Pengujian akan dilakukan secara bertahap melalui uji in vitro dan in vivo.. Selain itu, mekanisme S. cerevisiae dalam mengendalikan cacing juga perlu dipelajari untuk mendapatkan hasil yang optimal dari pengendali hayati cacing parasit. Salah satu mekanisme pengendalian yang dilakukan oleh S. cerevisiae terhadap cacing parasit ialah melalui produksi atraktan dan enzim. Dukungan atraktan dan enzim akan membantu khamir tersebut di dalam membunuh cacing dan telur.

44 27 KESIMPULAN Dari kelima uji terhadap pertumbuhan S. cerevisiae yang meliputi pengaruh berbagai macam medium, intensitas cahaya, temperatur, dan penambahan cairan rumen serta uji lamanya waktu simpan menunjukkan bahwa khamir tersebut memiliki potensi untuk digunakan sebagai agen pengendali hayati parasit cacing pada domba. S.cerevisiae dapat tumbuh pada berbagai macam medium (BA, CMA, SDA, PDA (medium padat), dan SDB (medium cair); kisaran suhu pertumbuhan cukup luas yaitu dari C; 25 0 C; 37 0 C sampai 39 0 C. S.cerevisiae mampu tumbuh tanpa cahaya dan pada agar yang berisi cairan rumen domba. S.cerevisiae tersebut juga dapat disimpan sampai dengan 1 tahun pada suhu C,

45 AKTIVITAS ENZIM KITINASE, PROTEASE DAN ZAT KEMOATRAKTAN YANG TERKANDUNG PADA Duddingtonia flagrans DAN Saccharomyces cerevisiae Abstract Chitinase and protease enzymes are needed by nematophagous fungi in the nematode killing mechanisms. The aim of this experiment is to study the activity of chitinase and protease enzymes as well as attractants that may be possessed by nematophagous fungi Duddingtonia flagrans and Saccharomyces cerevisiae. The measurement of intra cellular enzymes were conducted by sonicating the isolates, adding some chemicals, and then reading in spectrophotometer. The measurement on the activity of extra cellular enzymes was done by adding a trigger (protein or chitin) in isolates, incubating them for 4 days, adding some chemicals, and then reading in spectrophotometer. The result of experiment showed that intra cellular protease activitiy in D.flagrans ( units/gr) was significantly higher (P<0.05) than that of S. cerevisiae ( unit/gr). The activitiy of chitinase in D.flagrans and S. cerevisiae were units/gr and units/gr, this value was not significantly different (P<0.05). The activity of extra cellular chitinase of S. cerevisiae ( units/gr) was significantly higher (P<0.05) than that of D. flagrans (2.172 units/gr). The content of intra cellular proteases of both fungi were very weak (< unit/gr). The S. cerevisiae attractant was stronger than that of D. flagrans (45% vs 40%). Key words: D. flagrans, S.cerevisiae, chitinase, protease Abstrak Enzim kitinase dan protease diperlukan cendawan nematofagus di dalam mekanisme membunuh cacing nematoda. Tujuan dari percobaan ini untuk mempelajari aktivitas enzim kitinase dan protease serta atraktan yang mungkin dimiliki cendawan nematofagus Duddingtonia flagrans dan Saccharomyces cerevisiae. Pengukuran aktivitas enzim intra seluler dilakukan dengan cara menyonikasi isolat, ditambahkan beberapa reaksi kimia dan dibaca pada spektrofotometer. Pengukuran aktivitas enzim ekstra seluler dilakukan dengan cara menambahkan trigger (protein atau kitin) pada isolat lalu diinkubasikan selama 4 hari, ditambahkan beberapa pereaksi kimia, dan kemudian dibaca aktivitasnya pada spektrofotometer. Hasil percobaan ini menunjukkan bahwa aktivitas protease intra seluler pada D.flagrans (7,1315 unit/gr) lebih kuat dibandingkan dengan S. cerevisiae 0,0052 unit/gr (P<0,05). Aktivitas kitinase intra seluler pada D.flagrans dan S. cerevisiae tidak berbeda nyata secara berurutan yaitu masing-masing sebesar: 3,1812 unit/gr dan 4,2563 unit/gr. S. cerevisiae memiliki enzim kitinase ekstra seluler yang akitivitasnya (2,181unit/gr) lebih kuat (P<0,05) dibandingkan dengan D.flagrans (2,172 gr/unit). Kandungan protease ektra seluler kedua cendawan sangat lemah (< 0,0003 unit/gr). Atraktan S. cerevisiae (45%) lebih kuat dari atraktan D.flagrans (40%). Kata kunci : D. flagrans, S.cerevisiae, chitinase, protease,

46 29 PENDAHULUAN Cendawan nematofagus secara alamiah menjadikan nematoda hidup bebas maupun parasit hewan dan tumbuhan sebagai salah satu sumber nutrisi utamanya. Untuk merubah tubuh dan telur cacing menjadi sumber nutrisi, cendawan menggunakan enzim kitinase dan protease pada saat menembus kutikula, selanjutnya hifa vegetatif akan tumbuh di dalam tubuh cacing. Protease juga berfungsi merubah protein menjadi asam amino yang diperlukan untuk nutrisi dari cendawan tersebut. Kedua enzim yang tergolong enzim hidrolitik saling bekerja sama pada saat penetrasi pelindung telur dan cacing mengandung lapisan kitin dan protein (Croll dan Matthew 1977). Lapisan struktur pelindung larva cacing dan telur tersebut, akan dilisiskan kemudian cendawan akan masuk dan mengambil nutrisi. Di dalam pengendalian hayati cacing parasit termasuk H. contortus kemampuan cendawan untuk membunuh cacing dipengaruhi oleh konsentrasi enzim yang dikandungnya. Studi yang telah dilakukan Huang et al. (2004) dan Yang et al. (2007) menunjukkan bahwa beberapa enzim hidrolitik ekstra seluler seperti serine protease, kitinase dan kolagenase sangat membantu dalam proses penetrasi ke dalam tubuh nematoda sehingga menjadi salah satu faktor patogenitas cendawan. Selanjutnya Park et al. (2002) melaporkan bahwa kapang Arthrobotrys spp, Dactylellina spp, Dactylella spp, Gamsylella spp dan Harposporium leptospira diketahui memiliki aktivitas protease dan ligninase setelah diuji metabolit yang dihasilkannya melalui proses induksi oleh media. Sejalan dengan studi tersebut Ahman et al. (1996), Ahman (2000), Meyer dan Wiebe (2003) telah melakukan uji aktivitas enzim protease dan kitinase yang dikandung oleh kapang D.flagrans. Oleh karena itu penting kiranya diketahui aktivitas serta kandungan enzim kitinase dan protease pada kapang D. flagrans dan khamir S. cerevisiae isolat lokal yang akan digunakan sebagai pengendali hayati terhadap cacing H.contortus. Penelitian ini dirancang untuk mempelajari aktivitas enzim intra seluler dan ekstra seluler yang terkandung oleh cendawan D. flagrans dan S. cerevisiae isolat lokal.

47 30 BAHAN DAN METODE Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian dilaksanakan di Pusat Penelitian Sumber Daya Hayati dan Bioteknologi IPB, dan Balai Besar Penelitian Veteriner. Penelitian ini dilakukan selama 7 bulan dimulai bulan Mei sampai dengan bulan Desember tahun Isolat Cendawan D. flagrans yang digunakan diisolasi dari tanah Kebun Raya Bogor. Isolat ini telah dikarakterisasi dapat membunuh larva H.contortus dan dapat tumbuh pada suhu 20 0 C sampai dengan 37 0 C dalam berbagai media seperti CMA, PDA (Ahmad 2003). Isolat S. cerevisiae yang digunakan diisolasi dari Cianjur pada tahun 2002 (Istiana et al. 2002). Kedua isolat lokal diperbanyak dari biakan yang disimpan dalam media Sabouraud Dextrosa Agar (SDA) dan diremajakan setiap 4 bulan. Teknik Perbanyakan Isolat lokal S. cerevisiae yang akan diuji, diperbanyak dengan cara menginokulasikan pada media agar Corn Meal Agar (CMA) dan menginkubasi isolat pada suhu kamar (min 22 o C- maks 30 o C) selama 4 hari. Sedangkan isolat D.flagrans diperbanyak pada media agar Potato Dekstrosa Agar (PDA) pada suhu kamar (min 22 o C maks 30 0 C) selama 10 hari. Teknik Pemanenan Pada cawan Petri berisi isolat yang dipanen ditambahkan air steril secukupnya, lalu dikerok dengan gelas penutup. Selanjutnya isolat dipindahkan ke dalam tabung dan disimpan dalam refrigerator (4-10 o C) sebelum digunakan. Desain Penelitian Uji yang dilakukan terhadap isolat adalah uji kandungan enzim dan atraktan. Setiap uji dilakukan dalam 3 ulangan seperti sebagai berikut di bawah ini.

48 31 Persiapan Isolat untuk Pemeriksaan Enzim Isolat-isolat lokal yang telah diperbanyak kemudian dipanen, selanjutnya dilakukan pengujian aktivitas kandungan enzim kitinase dan protease khamir S. cerevisiae dan kapang D. flagrans. Kapang dan khamir tersebut disonikasi, lalu diperiksa aktivitas kandungan intra seluler enzim kitinase dan protease yang dimilikinya. Sedangkan untuk uji kandungan enzim ekstra seluler ditambahkan trigger (kitin atau protein sebanyak 2% B/V dari berat cendawan yang diuji), lalu diinkubasikan 2 hari pada suhu kamar kemudian diperiksa aktivitas enzimnya. Pengukuran Aktivitas Kitinase. Pemeriksaan aktivitas kitin dilakukan menurut Imoto dan Yagashita (1971) yang telah dimodifikasi dalam beberapa tahap seperti sebagai berikut; a. Penyiapan koloidal kitin. Ke dalam Erlenmeyer dimasukkan 20 gr kitin dan 400 ml HCl pekat, lalu ditutup rapat dan dibiarkan semalam pada temperatur 4 o C. Keesokan harinya larutan tersebut disaring dengan menggunakan glasswool. Filtrat yang didapat ditambah 200 ml air dingin dan ph larutan diatur menjadi 7,0 dengan menambahkan secara perlahan-lahan NaOH 10 N. Setelah disentrifugasi pada 7000 rpm, suhu 4 o C selama 10 menit, filtrat dibuang dan pelet ditambahkan dengan air dingin sebelum disentrifugasi sekali lagi. Pelet (koloidal kitin) yang didapat disimpan pada 4 o C. b. Pengukuran aktivitas kitinase. Aktivitas enzim kitinase ditentukan berdasarkan jumlah N-asetil-D glukosamin yang dibebaskan hidrolisa substrat koloidal kitin. Senyawa N-asetil- D- glukosamin diukur dengan metode Schales (Imoto dan Yagashita 1971) yang telah dimodifikasi. Satu unit aktivitas dinyatakan sebagai jumlah N-asetil_Dglukosamin (M mol) yang terbentuk permenit pada kondisi assainya. Untuk mengukur aktivitas enzim kitinase setiap contoh diikuti dengan kontrol. Contoh terdiri dari 200 μl substrat koloidal kitin 0,3%, 200 μl buffer fosfat ph 7 0,02 M dan 200 μl larutan enzim yang diperiksa diinkubasi selama 30 menit pada suhu 55 o C. Campuran tersebut kemudian disentrifugasi rpm, 4 menit pada suhu 4 o C. 500 μl filtratnya diambil, ditambahkan 500 μl akuades dan 1 ml pereaksi Schales, direbus selama 10 menit untuk menghentikan aktivitas enzim dan setelah dingin diukur absorbansinya pada panjang gelombang 420 nm. Kadar GLC Nac pada contoh (Xc) dihitung berdasarkan kurva standar. Kontrol

49 32 terdiri dari 200 μl substrat koloidal kitin 0,3%, 200 μl buffer fosfat ph 7 (0,02 M), diinkubasi pada kondisi yang sama dengan contoh, setelah disentrifugasi 300 μl filtrat diambil ditambah dengan 200 μl larutan enzim dan diperlakukan sama dengan contoh. Kadar Glc kontrol (Xk) dihitung dari kurva standar. Pengukuran Aktivitas Protease Pemeriksaan aktivitas protease dilakukan menurut Bergmeyer dan Grass (1983) yang dimodifikasi sebagai berikut : a. Tiga tabung dipersiapkan sebagai tabung contoh, standar dan blanko. Ke dalam setiap tabung ditambahkan 1 ml buffer fosfat ber ph 7, dan buffer kasein. Pada tabung contoh ditambahkan 0,2 ml larutan enzim dan tabung standar ditambahkan 0,2 ml tirosin, sedangkan tabung blanko ditambahkan 0,2 ml akuades, setelah itu diinkubasi selama 10 menit pada suhu 37 o C. b. Pada setiap tabung dituangkan 2 ml Tris khlor acid (TCA). Akuades dituangkan pada tabung contoh sebanyak 0,2 ml. Sedangkan pada tabung standard dan tabung blanko dimasukkan larutan enzim (contoh) sebanyak 0,2 ml. Kemudian diinkubasi selama 10 menit pada suhu 37 o C, dan disentrifugasi pada 4000 rpm selama 10 menit. c. Selanjutnya dipersiapkan 3 tabung baru dan pada setiap tabung ditambahkan masing-masing supernatan dari larutan di atas sebanyak 1,5 ml, lalu ditambahkan 5 ml Na 2 CO 3 dan 1 ml larutan pereaksi Folin. Kemudian diinkubasikan selama 20 menit pada suhu 37 o C, lalu diukur absorbansinya pada panjang gelombang λ 578 nm. Parameter yang diamati adalah perubahan warna (panjang gelombang) pada spektrofotometer yang selanjutnya dikonversikan dengan aktivitas enzim pergramnya. Pemeriksaan enzim-enzim dilakukan sebanyak 3 kali ulangan. Hasil yang didapat diuji secara statistik untuk membedakan kandungan enzim kedua cendawan tersebut dengan uji Anova (Steel dan Torrie 1995). Pengujian Zat Kemoatraktan Pembentukan zat atraktan diuji menurut metode Janssons dan Nord Bring-Hertz (1980) yang telah dimodifikasi. Secara garis besar isolat yang akan diuji diletakan pada sisi yang berlawanan dan di tengah-tengahnya diletakan larva cacing. Sehubungan dengan percobaan ini dilakukan terhadap 2 isolat dan 1 kontrol (tidak diberi cendawan), maka terbentuk/tersusun 3 titik segitiga sama

50 33 sisi yang panjang sisinya 3 cm. Pada satu titik diletakan 1 isolat yang akan diuji. Sebelumnya cawan Petri yang berisi medium agar dan isolat diletakan, terlebih dahulu dilakukan pelubangan (dibuang) media agar sebanyak 1 cm 2 pada tiap titik. Di titik yang agarnya sudah dibuang, diletakan kedua isolat yang akan diuji dan agar sebagai kontrol. Isolat yang akan diuji diambil dari medium agar untuk perbanyakan dengan ukuran 1 cm 2. Sehingga pada akhirnya terdapat isolat D. flagrans yang telah berumur 7 hari sebagai pembanding sedangkan untuk isolat uji adalah S. cerevisiae yang telah berumur 4 hari, dan satu lempeng media agar lainnya tanpa isolat. Setelah diinkubasi selama 24 jam pada suhu kamar, di tengah-tengah titik segitiga sama sisi ditambahkan sebanyak 20 ekor larva H. contortus. Pengamatan dilakukan dengan menghitung persentase jumlah larva yang bergerak ke lempeng media yang berisi isolat selama 3 jam pengamatan.

51 34 HASIL DAN PEMBAHASAN Uji aktivitas enzim menunjukkan bahwa kedua isolat cendawan tersebut memiliki enzim kitinase maupun protease intra seluler dan ekstra seluler dengan nilai aktivitas yang berbeda (Tabel 3 dan 4). Hasil ini didapat dengan cara membuat kurva persamaan standar. Untuk uji protease mempunyai persamaan Y= -0,0034x + 1,0119 dengan R 2 = 0,987. Sedangkan untuk Kitinase Y= - 0,0048x + 1,0445. dengan R 2 = 0,9949 pada absorbansi 420 nm. Aktivitas enzim protease intra seluler cendawan D. flagrans tujuh kali lipat lebih kuat dibandingkan enzim yang sama pada S. cerevisiae (P<0.05). Sebalik tidak ditemukan perbedaan nyata dalam aktivitas enzim kitinase intra seluler yang dimiliki kedua jenis cendawan tersebut. Hasil pengukuran aktivitas enzim protease dan kitina S. cerevisiae dalam penelitian ini lebih.besar nilainya dibandingkan Fernandez et al. (1982), Kominami et al (1981), dan Park et al (1997) yang menguji aktivitas kedua enzim tersebut masing-masing sebesar 0,06-0,013 unit/gr dan 0,238 unit/gr. Perbedaan tersebut mungkin disebabkan oleh perbedaan isolat dan metode ekstraksi enzim yang digunakan. Tabel 3. Aktivitas enzim intra seluler kitinase dan protease yang dimiliki oleh D.flagrans dan S. cerevisiae No Enzim (n=3) Aktivitas Unit/gr contoh S.cerevisiae D. flagrans 1 Kitinase 4,2563 ± 0,0131 a 3,1812 ± 0,0081 a 2 Protease 0,0052 ± 0,0031 c 7,1315 ± 0,0042 d Keterangan: Angka-angka dengan huruf superskrip yang berbeda pada kolom yang sama menunjukkan perbedaan nyata (P< 0,05) Tabel 4. Aktivitas ekstra seluler enzim Kitinase dan Protease yang dimiliki oleh D. flagrans dan S. cerevisiae No Enzim (n=3) Aktivitas Unit/gr S.cerevisiae D. flagrans 1 Kitinase 2,1812 ± 0,0030 a 2,1724 ± 0,0127 c 2 Protease 0 ± 0 b 0,0003 ± 0,0001 b Keterangan : Angka-angka dengan huruf superskrip yang berbeda pada kolom yang sama menunjukkan perbedaan nyata (P< 0,05)

52 35 Aktivitas enzim protease ekstra seluler yang dimiliki kedua cendawan sangat lemah. Hal ini ditunjukkan dengan nilai aktivitas enzim yang mendekati nol (Tabel 4). Seperti pada enzim kitinase intra seluler, kedua cendawan tersebut menghasilkan enzim kitinase ekstra seluler dengan aktivitas yang setara. Nilai aktivitas enzim kitinase ekstra seluler kedua enzim tersebut juga lebih rendah dibandingkan enzim intra selulernya. Meskipun demikian perbedaan belum membuktikan bahwa aktivitas enzim yang dihasilkan intra seluler lebih tinggi dari ekstra seluler, karena besarnya kandungan enzim yang dihasilkan sangat dipengaruhi berbagai faktor eksternal. Faktor - faktor tersebut antara lain zat yang merangsang cendawan mengeluarkan enzim (trigger), waktu inkubasi, purifikasi, ph, pengaruh enzim lainnya, dan suhu yang optimal (Fernandez et al. 1982; Kominami et al. 1981; Park et al. 1997; Shigematsu et al. 1993). Faktor internal lain yang mempengaruhi produksi kedua enzim adalah perbedaan gen penyandi produksi enzim yang dimiliki cendawan tersebut. Gen CYM1 dan Ssy 5 P pada khamir S. cerevisiae menyandikan produksi enzim Protease, sedangkan produksi enzim kitinase diatur oleh gen CTS1-2 (Bulik et al. 2003; Cartens et al. 2003; Jonson et al. 2004; Poulsen et al. 2006). Sampai saat ini gen yang penyandi enzim protease dan kitinase pada kapang D. flagrans belum pernah diteliti. Kedua isolat yang berbeda genus mempunyai cara hidup dan berkembang biaknya berlainan. D. flagrans adalah termasuk golongan kapang sedangkan S.cerevisiae golongan khamir. Kemampuan berkembang biak S.cerevisiae lebih besar dan cepat dibandingkan dengan kapang D. flagrans karena dapat bertunas dan membelah diri (Dube 1996). Perbedaan ini diduga berdampak pula terhadap produksi enzim-enzim yang dihasilkan oleh S. cerevisiae. Selain kitinase dan protease, S. cerevisiae juga memproduksi invertase, fosfatase, melibiase, katalase, glukanse, glukosidase, glukoamilase, enzim-enzim yang dibutuhkan dalam siklus asam sitrat, enzim-enzim asam nukleat, asam amino serta enzim-enzim glikolisis dan hidrolisis (Lampen 1968; Shigematsu et al. 1993; Elliot 1994).

53 36 Zat Kemoatraktan Gambar 10. Persentase larva H. contortus yang bergerak mendekati isolat uji Selama 3 jam pengamatan 45 persen dari larva H. contortus yang diuji bergerak mencapai potongan agar yang mengandung isolat uji S. cerevisae. Persentase ini lebih rendah pada potongan agar yang mengandung isolat uji D. flagrans yaitu sebesar 40 persen. Tidak ada satupun larva yang bergerak mendekati potongan agar kontrol. Hal ini menunjukkan bahwa kedua cendawan memiliki zat atraktan yang berfungsi menarik nematoda menghampiri cendawan. Persentase larva yang tertarik atraktan dari kedua isolat tersebut lebih rendah dibandingkan hasil penelitian Janssons dan Nordbring-Hertz (1980) pada kapang Arthroborys spp. Pada penelitian dengan model cacing nematoda hidup bebas Panagrellus redivivus, sebanyak 70% cacing bergerak mencapai potongan agar yang mengandung isolat kapang Arthroborys spp. Perbedaan atraktan ini dipengaruhi oleh perbedaan jenis dan konsentrasi atraktan yang dihasilkan oleh spesies cendawan, serta kepekaan kemoreseptor yang dimiliki oleh cacing yang diuji.

54 37 KESIMPULAN Cendawan D. flagrans dan S. cerevisiae menghasilkan enzim kitinase ekstra seluler dan intra seluler. Aktivitas enzim kitinase ekstra seluler dalam S. cerevisiae lebih kuat dibandingkan D. flagrans; Tidak ditemukan perbedaan nyata dalam aktivitas enzim kitinase intra seluler yang dimiliki kedua jenis cendawan tersebut. Aktivitas enzim protease intra seluler yang dihasilkan cendawan D. flagrans lebih kuat dibandingkan khamir S. cerevisiae. Aktivitas enzim protease ekstra seluler yang dimiliki kedua cendawan sangat lemah dengan nilai aktivitas enzim yang mendekati nol. Cendawan D. flagrans dan S. cerevisiae memiliki zat atraktan yang berfungsi menarik nematoda menghampiri cendawan.

55 INTERAKSI ANTARA Duddingtonia flagrans DAN Saccharomyces cerevisiae DENGAN LARVA INFEKTIF Haemonchus contortus PADA MEDIUM AGAR DAN PUPUKAN TINJA Abstract The use of Duddingtonia flagrans as biological control is commonly usage, but the use of Saccharomyces cerevisiae was not yet done. The aim of this research was to study the usage of both fungi to reduce H.contortus larvae in agar and fecal culture. The experiment in fecal culture was carried out with multistoried dose. The result of experiment showed that D. flagrans was able to trap larvae in agar and fecal culture. S. cerevisiae did not kill H. contortus larvae directly. The yeast acted as the competitor for bacteria as nutrition resources of H. contortus L 1 and L 2. The ability of fungi in reducing larvae was affected by administration doses of fungi. Key words: D.flagrans, S. cerevisiae, H. contortus, reduce Abstrak Penggunaan Duddingtonia flagrans sebagai pengendali hayati sudah umum digunakan, sebaliknya penggunaan Saccharomyces cerevisiae dalam pengendalian hayati belum pernah dilakukan. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mempelajari penggunaan kedua cendawan tersebut di dalam mereduksi larva Haemonchus contortus pada media agar dan pupukan tinja. Percobaan pada pupukan tinja dilakukan dengan menggunakan dosis spora bertingkat. Hasil penelitian menunjukkan bahwa D. flagrans memiliki kemampuan untuk menjerat larva di dalam media agar dan pupukan tinja. S.cerevisiae membunuh larva secara tidak langsung dengan cara menjadi kompetitor bagi bakteri yang menjadi sumber pakan L 1 dan L 2 H. contortus. Kemampuan cendawan dalam mereduksi larva dipengaruhi oleh dosis pemberian dari cendawan Kata kunci: D.flagrans, S. cerevisiae, H. contortus, reduksi

56 39 PENDAHULUAN Berbagai studi telah dilakukan untuk mengkaji pemanfaatan cendawan Duddingtonia flagrans sebagai agen pengendali hayati cacing nematoda parasit ternak babi, kuda dan ruminansia di padang rumput (Larsen 2000). Aplikasi D. flagrans dalam pengendalian hayati umumnya dilakukan secara per oral klamidospora dengan dicampurkan pakan atau pencekokan langsung pada ternak (Chandrawathani et al. 2004; Hartier dan Ors 2003; Fontetot et al Paraud et al. 2007; Terril et al. 2004). Diharapkan klamidospora yang tetap bertahan hidup melalui saluran pencernaan akan tumbuh di tinja dan menangkap larva infektif sehingga akan menurunkan tingkat kontaminasi larva di padang rumput. Ahmad et al. (2006) meneliti kemungkinan cara lain untuk mengaplikasikan kapang nematofagus dengan cara menyebarkan secara langsung spora cendawan di lapangan. Pemberian konidia (spora) dan klamidospora D.flagrans dapat menurunkan tingkat kontaminasi larva infektif di padang penggembalaan sebesar 65%. Namun tingkat efektifitas aplikasi langsung ini sangat dipengaruhi oleh beberapa faktor diantaranya tinggi rendahnya lapang rumput, cuaca, kontaminasi ulang oleh hewan dari daerah lain. Penelitian pendahuluan memperlihatkan terjadinya penurunan jumlah larva H. contortus yang menetas dalam tinja domba yang dicekok spora khamir Saccharomyces cerevisiae. Belum diketahui mekanisme yang melatar belakangi fenomena ini, namun setidaknya terdapat dua kemungkinan penyebabnya. Pertama khamir S. cerevisiae mungkin memiliki kemampuan menghambat proses perkembangan telur menjadi larva infektif di luar tubuh. Kemungkinan kedua adalah S. cerevisiae yang dapat tumbuh di dalam tubuh hewan mempengaruhi proses reproduksi cacing dewasa di abosamum. Kehadiran dua spesies cendawan dalam satu habitat yang sama mendorong terjadinya interaksi diantara keduanya (Gronvold et al. 2004; Janssons dan Nord Bring-Hertz 1980; Mendoza-De Gives et al. 1992, 1999; Nansen et al. 1988). Interaksi dapat yang bersifat positif yaitu saling sinergis (saling mendukung) atau yang bersifat negatif yaitu antagonis (saling berlawanan cara bekerjanya). Oleh karena itu perlu dikaji sifat interaksi antara D. flagrans dan S. cerevisiae apabila keduanya digunakan secara bersama dalam

57 40 pengendalian cacing H. contortus. Tujuan dari penelitian ini untuk mempelajari proses interaksi yang terjadi antara cendawan D.flagrans, S. cerevisiae dan larva H. contortus secara in vitro pada media agar dan pupukan tinja. Disamping itu diamati pengaruh penyebaran spora secara langsung dan per oral terhadap kemampuan kapang untuk mereduksi jumlah larva infektif pada pupukan tinja.

58 41 BAHAN DAN METODE Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian dilaksanakan di laboratorium Helminthologi Fakultas Kedokteran Hewan dan laboratorium Mikologi dan Parasitologi Balai Besar Penelitian Veteriner. Penelitian ini dilakukan selama 9 bulan dimulai bulan Maret sampai dengan bulan Desember tahun Isolat Cendawan Isolat D. flagrans dan S. cerevisiae yang digunakan ialah isolat lokal yang telah dikarakterisasi (Ahmad 2003; Istiana et al. 2002). Kedua isolat berasal dari biakan yang disimpan dalam media Sabouraud Dextrosa Agar (SDA) dan Yeast Corn Meal Agar (YCMA) yang diremajakan setiap 4 bulan. Isolat diperbanyak dengan media SDA (inkubasi 3 hari, suhu kamar) dan YCMA (inkubasi 5 hari, suhu kamar) sesuai kebutuhan. Domba Donor Tinja yang mengandung telur H.contortus berasal dari domba donor. Domba donor dibuat dengan membebas cacingkan lima ekor domba jantan lokal dengan cara pemberian obat cacing levamisol. Setelah bebas dari infeksi alam, domba-domba tersebut diinfeksi kembali secara peroral dengan 5000 larva infektif (L 3 ) H.contortus sebanyak 2 kali dengan interval 3 minggu. Ketika infeksi telah mencapai masa patensi dengan jumlah telur pergram tinja lebih dari 1600 TTGT, tinja ditampung untuk digunakan dalam uji. Desain Penelitian Uji reduksi larva H.contortus pada media agar Uji reduksi terhadap larva ini dilakukan untuk mengetahui kemampuan cendawan D. flagrans, S. cerevisiae dan kombinasi keduanya untuk membunuh L 3 H.contortus pada medium agar. UJi ini berdasarkan metode Jansson dan Nord Bring-Hertz 1980) yang telah dimodifikasi. Medium agar berisi koloni isolat cendawan tersebut dipotong seluas 1 cm 2 lalu dipindahkan ke dalam cawan Petri kosong sesuai pengelompokan dalam Tabel 5. Selanjutnya ke dalam setiap medium ditambahkan 5 L 3 H. contortus. Pengamatan terhadap larva yang mati

59 42 dilakukan pada 0, 6, 12, 24, 48, dan 72 jam. Setiap perlakuan diulang sebanyak 3 ulangan. Tabel 5. Kelompok agar percobaan dan perlakuannya Kelompok Perlakuan I 1 cm 2 agar sebagai kontrol II 1 cm 2 koloni D. flagrans III 1 cm 2 koloni S. cerevisiae IV 1 cm 2 koloni D. flagrans + S. cerevisiae Uji pengaruh D.flagrans dan S.cerevisiae terhadap jumlah larva H.contortus pada media tinja (koprokultur) Percobaan ini dilakukan dengan 5 ulangan ini dibagi dalam 2 tahap sebagai simulasi untuk mengamati cara aplikasi pengendalian hayati melalui penyebaran spora cendawan langsung di pupukan tinja dan melalui rute per oral. Pada tahap pertama dibuat 20 pupukan yang dibagi menjadi 4 kelompok masingmasing terdiri dari 5 botol pupukan tinja. Pupukan tinja domba dibuat dengan cara mencampurkan 5 gram tinja donor dengan vermikulit (1 : 3 v/v) dalam botol selai dan ditambah air keran secukupnya (MAFF 1979). Selanjutnya ke dalam pupukan tinja Kelompok I ditambahkan spora/konidia dan klamidospora D. flagrans sebanyak 1x 10 6 dan kelompok II ditambahkan spora S. cerevisiae sebanyak 1x Pupukan tinja Kelompok III ditambah dengan spora S. cerevisiae dicampur dengan konidia dan klamidospora D. flagrans masingmasing sebanyak 1x10 6. Pupukan tinja Kelompok IV tidak diberi perlakuan (kontrol) Tabel 6. Satu minggu kemudian pupukan tinja dipanen dengan untuk mengamati jumlah larva yang berkembang dalam setiap gram tinja (LPG). Tabel 6. Kelompok hewan dan perlakuan (tahap I) Kelompok I Perlakuan 1 x 10 6 konidia dan klamidospora D. flagrans II 1 x 10 6 spora S. cerevisiae III 1 x 10 6 spora S. cerevisiae dan 1 x 10 6 konidia dan klamidospora D. flagrans IV kontrol

60 43 Percobaan tahap kedua dilakukan dengan 5 ekor domba bebas cacing yang hanya sekali diberi perlakuan sebagai berikut: (A) domba tidak diberi diperlakukan sebagai kontrol; (B) domba yang diberi 1 x 10 6 konidia dan klamidospora D. flagrans; (C) domba diberi 1 x 10 7 konidia dan klamidospora D. flagrans; (D) domba diberi 1 x 10 6 spora S. cerevisiae; (E) domba diberi spora 1 x S. cerevisiae (Tabel 7). Konidia dan klamidospora diberikan per oral dengan cara dicekokan. Pada hari ke-3, 5 dan 7, tinja dari masing-masing domba ditampung untuk dipupuk. Pupukan tinja domba dibuat dengan cara mencampurkan 3 gram tinja domba perlakuan dan 3 tinja domba donor, lalu ditambah vermikulit (1:3 v/v) dalam botol selai serta air keran secukupnya (MAFF 1979). Satu minggu kemudian pupukan tinja dipanen dengan untuk mengamati jumlah larva yang berkembang dalam setiap gram tinja (LPG). Tabel 7. Kelompok hewan dan perlakuan (tahap II) Kelompok A B C D E Perlakuan Kontrol 1 x 10 6 konidia dan klamidospora D. flagrans 1 x 10 7 konidia dan klamidospora D. flagrans 1 x 10 6 spora S. cerevisiae 1 x spora S. cerevisiae Analisis Data Persentase penurunan jumlah larva dihitung dengan cara hasil pengurangan jumlah LPG kontrol dengan kelompok perlakuan dibagai dengan jumlah LPG kelompok kontrol lalu hasilnya dikalikan 100. Hasil yang didapat pada percobaan ini dianalisis secara statistik dengan uji Bartlett dan Bonferroni (Steel dan Torrie 1995).

61 44 HASIL DAN PEMBAHASAN Seluruh larva yang diuji pada medium yang ditumbuhi isolat D. flagrans dan kombinasi D. flagrans dengan S. cerevisiae mati setelah 72 jam perlakuan (Tabel 8). Sebaliknya sebagian besar larva (80%) yang diinokulasi pada medium S. cerevisiae masih bertahan hidup. Demikian pula dengan semua larva pada kelompok kontrol masih tetap hidup setelah waktu perlakuan. Kapang D.flagrans menjerat larva H.contortus terlebih dahulu sebelum membunuh dan memanfaatkannya sebagai sumber nutrisi (Gambar 11). Hal ini menunjukkan kemampuan D. flagrans untuk membunuh larva H. contortus secara langsung baik ketika dipupuk pada medium berisi isolat tunggal maupun campuran dengan S.cerevisiae. Sebaliknya S. cerevisiae tidak dapat membentuk jerat karena hanya terdiri dari sel spora sehingga tidak mampu membunuh larva secara langsung. A B Gambar 11. Larva H. contortus yang dibunuh oleh kapang D. flagrans pada media agar CMA, inkubasi 4 hari pada suhu kamar. A larva H. contortus B D. flagrans.

62 45 B A Gambar 12. Kapang D.flagrans dan S.cerevisiae yang tumbuh pada media agar CMA inkubasi 4 hari pada suhu kamar. A D. flagrans,b. S.cerevisiae Dalam jam pertama jumlah larva yang bertahan hidup lebih sedikit pada medium berisi D. flagrans isolat tunggal dibandingkan dengan isolat yang dikombinasi S.cerevisiae. Hal ini menunjukkan terjadinya interaksi antagonistik antara D. flagrans dan S. cerevisiae dalam mereduksi larva. Kedua cendawan tumbuh dengan subur bersama-sama pada satu cawan Petri berisi agar (Gambar 12). Diduga kedua cendawan ini pada saat yang sama memakai sumber karbon dari gula-gula sederhana yang ada pada medium (Dube 1996). Bila sumber karbon dalam agar sudah habis, maka kedua cendawan akan saling berkompetisi untuk mempertahankan hidupnya. Bila cendawan hidup dengan dukungan potensi enzim, adaptasi dan kemampuan membentuk klamidospora (Ahmad 2003; 2005b; Gronvold et al. 1996b; Meyer dan Wiebe 2003), maka D. flagrans akan lebih lama bertahan hidup dibandingkan S. cerevisiae. Fenomena serupa juga ditemukan pada uji reduksi larva dalam pupukan tinja yang ditambah cendawan di luar tubuh (Tabel 9). Pemberian isolat D. flagrans dan kombinasi D. flagrans dengan S. cerevisiae mampu mengurangi jumlah larva infektif 100% pada pupukan tinja. Sebaliknya penambahan S. cerevisae tidak mampu secara nyata mengurangi jumlah larva infektif pada pupukan tinja. Reduksi jumlah larva pada pupukan tinja berisi klamidospora dan konidia D. flagrans yang telah melalui tubuh lebih rendah dibandingkan penurunan akibat penambahan langsung spora di luar tubuh yaitu 45,6 57,9% (Tabel 10).

63 46 Penurunan persentase reduksi ini terjadi disebabkan penurunan viabilitas spora akibat pengaruh paparan terhadap proses metabolisme dalam saluran pencernaan. Peningkatan dosis konidia/spora D.flagrans dari 1x10 6 menjadi 1x10 7 tidak berpengaruh nyata terhadap persentase reduksi larva. Studi Gronvold et al. (1988) menunjukkan bahwa pemberian Arthrobotrys oligospora dengan dosis 2000 konidia per gram tinja sapi yang dicampur langsung dalam 500 gr tinja sapi, menghasilkan nilai reduksi larva Ostertagia ostertagi yang setara yaitu 86% (2 minggu) dan 90% (4 minggu). Faktor yang berpengaruh terhadap perbedaan hasil ini adalah perbedaan spesies kapang, spesies nematoda, waktu perlakuan dan kondisi mikroklimat dimana studi dilakukan. Bertolak belakang dari hasil reduksi larva akibat penambahan langsung spora S.cerevisiae di tinja (Tabel 9), penurunan yang nyata pada persentase reduksi larva ditemukan pada pemberian spora melalui pasase saluran pencernaan domba. Berbeda dengan D. flagrans peningkatan dosis khamir dari 1x10 6 menjadi 1x10 12 spora berpengaruh nyata terhadap daya reduksi larva (Tabel 10). Hal ini disebabkan meningkatnya jumlah populasi khamir di dalam rumen karena khamir ini dapat tumbuh dan berkembang biak di dalam rumen sebagai probiotik (Callaway dan Martin 1997). Peningkatan jumlah khamir ini akan menambah jumlah kompetitor bagi jasad renik (bakteri) yang menjadi makanan L 1 dan L 2 di dalam tinja, sehingga akan menurunkan laju pertumbuhan larva. Hasil ketiga uji ini menunjukkan bahwa baik D.flagrans maupun S. cerevisiae berpotensi digunakan sebagai agen pengendali hayati cacing nematoda parasit pada domba termasuk H. contortus. Kedua cendawan bekerja dengan mekanisme yang berbeda. D.flagrans membunuh larva secara langsung dengan cara menjerat L 3, sedangkan S.cerevisiae bertindak sebagai kompetitor pertumbuhan bakteri yang menjadi sumber makanan larva. Sebagai kompetitor kemampuan ini dipengaruhi oleh tingkat dosis spora yang diberikan. Pada proses perbanyakan isolat kapang D. flagrans di medium agar SDA dan YCMA menghasilkan konidia dan klamidospora. Bagian kapang D. flagrans ini dapat dipisahkan dari medium agar sesuai keperluan. Umumnya hifa tumbuh 0 hari dan seterusnya sampai medium penuh, kemudian disusul tumbuhnya konidia setelah 3-7 hari masa inkubasi. Selanjutnya muncul klamidospora yang merupakan spora struktur rehat untuk reproduksi dan mempertahankan diri

64 47 dalam kondisi lingkungan ekstrim. Dalam bentuk klamidospora D. flagrans mampu bertahan hidup pada kondisi ekstrim dalam waktu lebih dari setahun (Gronvold et al. 1996b). Bila kondisi sudah normal dan nutrisi cukup maka klamidospora akan tumbuh kembali menjadi kapang. Konidia dan klamidospora akan berkembang menjadi hifa yang dapat membentuk jerat dan selanjutnya akan membunuh larva. S. cerevisiae berkembang biak dengan cara bertunas dan membelah diri, sehingga dalam waktu yang lebih singkat didapat jumlah sel spora yang lebih banyak bila dibandingkan dengan perkembangbiakan dari D.flagrans.

65 Tabel 8. Jumlah L 3 H.contortus yang bertahan hidup pada uji kemampuan reduksi D.flagrans S. cerevisiae dalam medium agar Kelompok (n=3) Waktu pengamatan (jam) Kontrol 5 ± 0 a 5 ± 0 a 5 ± 0 a 5 ± 0 a 5 ± 0 a 5 ± 0 a D. flagrans 5 ± 0 a 4,3 ± 0,5 a 3,8 ± 0,5 b 2,3 ± 0,5 c 1 ± 0 b 0 ± 0 c S. cerevisiae 5 ± 0 a 4,8 ± 0,5 a 4,8 ± 0,5 a 4,8 ± 0,5 a 4 ± 0 a 4 ± 0 a D. flagrans + S. erevisiae 5 ± 0 a 4 ± 0 a 4 ± 0 a 3,5 ± 0,6 b 1,5 ± 0, 6 b 0 ± 0 c Keterangan: Angka-angka dengan huruf superskrip yang berbeda pada kolom yang sama menunjukkan perbedaan nyata (P< 0,05) Tabel 9. Kemampuan reduksi D.flagrans dan S. cerevisiae terhadap larva H. contortus pada pupukan tinja Kelompok (n=5) Jumlah LPG Reduksi larva (%) Kontrol 532,2 ± 47,89 a - D. flagrans 1,2 ± 1,30 b 100 S. cerevisiae 421,4 ± 186,29 a 21 D. flagrans + S. cerevisiae 0 ± 0 b 100 Keterangan: Angka-angka dengan huruf superskrip yang berbeda pada kolom yang sama menunjukkan perbedaan nyata (P< 0,05)

66 Tabel 10. Kemampuan reduksi D.flagrans dan S. cerevisiae setelah pasase di saluran pencernaan terhadap larva H. contortus pada pupukan tinja Kelompok Reduksi larva pada hari uji ke- (n=5) Jumlah LPG % reduksi Jumlah LPG % reduksi Jumlah LPG % reduksi Kontrol 492,8±26,4 a - 472,2±59,2 a - 281,2±53,5 b - D. flagrans (1x 10 6 ) 207,4±22,5 b 57,9 200,8±35,6 b 57,5 153,0±22,8 c 45,6 D. flagrans (1 x 10 7 ) 231,6±51,6 b 53,0 243,6±58,1 b 48,4 152,8±32,4 c 45,7 S. cerevisiae (1 x 10 6 ) 220,8±46,3 b 55,2 246,6±59,4 b 47,8 232,0±30,0 b 17,5 S. cerevisiae (1 x ) 251,0±54,6 b 49,0 272,2±59,2 b 42,4 212,8±23,9 a 24,6 Keterangan: Angka-angka dengan huruf kecil superskrip yang sama menunjukkan berbeda nyata pada taraf P< 0.05.

67 50 KESIMPULAN D. flagrans memiliki kemampuan untuk menangkap dan membunuh larva di dalam media agar dan pupukan tinja. Kemampuan membunuh larva secara langsung ini tidak dimiliki oleh S. cerevisiae. S.cerevisiae membunuh larva secara tidak langsung dengan cara menjadi kompetitor bagi bakteri yang menjadi sumber pakan L 1 dan L 2. Inokulasi secara bersama antara D. flagrans dan S. cerevisiae menyebabkan penurunan kemampuan D.flagrans dalam mereduksi jumlah larva dalam media agar, namun efek antagonistik ini tidak ditemukan pada uji dalam pupukan tinja. Passase klamidospora dan spora D.flagrans melalui saluran pencernaan domba menurunkan kemampuan reduksi larva, sebaliknya kemampuan reduksi S.cerevisiae terhadap larva meningkat setelah sporanya dipasase. Kemampuan cendawan dalam mereduksi larva dipengaruhi oleh dosis pemberian.

68 GANGGUAN FUNGSI REPRODUKSI CACING CACING Haemonchus contortus PADA DOMBA YANG DIBERI CENDAWAN Duddingtonia flagrans DAN Saccharomyces cerevisiae Abstract In the previous research, it was found that S. cerevisiae did not kill larvae directly, but S. cerevisiae could decrease development of H. contortus larvae. This research was designed to assay the effect of administration of D. flagrans and S. cerevisiae in sheep to the number of eggs, hatchery, and the number of larvae per gram fecal and pathological changes of H. contortus reproduction organ. The groups of infected H.contortus larvae were drenched with D.flagrans (DF), S. cerevisiae (SC) spores or combination of both fungi (1 x 10 6 spores/days). The observation for 5 weeks treatment showed that the number of egg per gram fecal did not change significantly in all treatment groups (P>0.05). However, the percentage of eggs which develop to become larvae in DF and DF+SC groups decreased significantly (P<0.05). The administration of SC and DF+SC caused of damage spermatosid cells and ovum adult worm, meanwhile the administration of DF damaged reproduction organ that only found in spermatocid cells (P<0.01). These damages did not affect fecundity and number of worm in abomasum. Key words: D. flagrans, S. cerevisiae, H. contortus, reproduction organ Abstrak Pada penelitian terdahulu didapat hasil S. cerevisiae tidak membunuh larva secara langsung, namun S. cerevisiae mengurangi jumlah larva H. contortus yang berkembang. Penelitian ini dirancang untuk menguji pengaruh pemberian cendawan D.flagrans dan S. cerevisiae pada domba terhadap jumlah telur, daya tetas dan larva pergram tinja serta perubahan patologi organ reproduksi cacing H. contortus. Kelompok domba yang telah diinfeksi cacing H.contortus dicekok dengan spora D.flagrans (DF), S. cerevisiae (SC) atau kombinasi keduanya (DF+SC) dengan dosis 1 x 10 6 spora per hari. Pengamatan selama 5 minggu perlakuan menunjukkan tidak ada perubahan yang nyata pada jumlah telur cacing (TTGT) pada semua kelompok perlakuan (P>0,05), namun dalam presentase telur yang berkembang menjadi larva pada kelompok DF dan DF+SC terdapat penurunan yang nyata (P<0,05). Pemberian SC dan DF+SC menyebabkan kerusakan sel-sel spermatosit dan ovum cacing dewasa sedangkan pada pemberian DF kerusakan organ reproduksi hanya ditemukan pada sel spermatosit (P<0,01). Kerusakan tersebut tidak mempengaruhi fekunditas cacing maupun jumlah cacing di abomasum. Kata kunci : D. flagrans, S. cerevisiae, H. contortus, organ reproduksi

69 52 PENDAHULUAN Studi kemampuan cendawan Duddingtonia flagrans dan Saccharomyces cerevisiae untuk mereduksi larva infektif dalam pupukan tinja memperlihatkan potensi kedua cendawan sebagai agen pengendali hayati cacing Haemonchus contortus. Cendawan D. flagrans mampu membunuh L 3 secara langsung, sedangkan kemampuan khamir mereduksi larva terkait dengan peranannya sebagai kompetitor terhadap pertumbuhan bakteri yang merupakan sumber nutrisi bagi perkembangan L 1 dan L 2 di dalam tinja. Disamping itu alternatif mekanisme lain yang perlu diteliti adalah kemungkinan terjadinya gangguan reproduksi pada cacing H. contortus dewasa di abomasum. Studi pada kelinci menunjukkan terjadinya penurunan angka kelahiran kelinci yang pakannya ditambah S. cerevisae. Diduga hal ini akibat terhambatnya proses spermatogenesis akibat gangguan dalam proses pembentukan dan pelepasan hormone gonadotropin (Pitojo 1995). Hal yang sama dialami cacing tanah (Lumbricus sp.) yang diberi pakan tape berisi S. cerevisiae. Dalam percobaan pendahuluan ini cacing tanah mengalami kenaikan bobot badan, namun produksi telurnya menurun secara signifikan. Gangguan reproduksi pada cacing dapat terkait dengan kerja enzim protease yang mempengaruhi proses spermatogenesis dan embryogenesis. Ford et al. (2005) memperlihatkan pengaruh serine protease inhibitor seperti elastase, chymotrypsin dan cathepsin G menurunkan kemampuan reproduksi cacing Onchocerca volvulus. Cendawan D. flagrans dan S. cerevisiae yang mampu menghasilkan enzim sejenis diduga juga memiliki kemampuan menganggu kemampuan reproduksi H. contortus. Tujuan dari penelitian ini untuk mempelajari pengaruh pemberian cendawan D flagrans dan S. cerevisiae pada domba terhadap jumlah telur pergram tinja, daya tetas pergram tinja, larva pergram tinja, dan perubahan organ reproduksi cacing dewasa H. contortus.

70 53 BAHAN DAN METODE Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian dilaksanakan di Fakultas Kedokteran Hewan IPB, dan Balai Besar Penelitian Veteriner Departemen Pertanian Bogor selama 12 bulan mulai Maret 2006 sampai dengan Maret Isolat Cendawan Kapang D. flagrans dan khamir S. cerevisiae yang digunakan dalam penelitian ini adalah isolat lokal yang telah diteliti dan dikarakterisasi masingmasing oleh Ahmad (2003) dan Istiana et al.(2002). Kedua isolat tersebut diperbaharui setiap 4 bulan sekali dengan media Potato Dektrosa Agar (PDA). D. flagrans dari hasil panen isolat dihitung dengan hemositometer dan selanjutnya dibagi dalam tabung-tabung reaksi berisi 1x10 6 ; 1x10 7 konidia, dan klamidospora yang akan diberikan selama perlakuan. Prosedur yang sama dilakukan pula pada S. cerevisiae dengan jumlah spora 1x10 6 dan 1x10 12 Inokulum D. flagrans dibuat dengan cara menginkubasikan pada media Yeast Corn Meal Agar (YCMA) selama 10 hari pada temperatur kamar C, lalu dipanen spora (konidia)nya, dikerok dengan gelas penutup, kemudian spora dihitung dengan hemositometer. Hal yang sama dilakukan pada S. cerevisiae dengan waktu inkubasi 3 hari pada media CMA. Larva H. contortus Larva infektif (L 3 ) dipupuk dari telur cacing yang diambil dari tinja domba donor yang diinfeksi tunggal dengan cacing H. contortus. Sebelum digunakan, L 3 disimpan dalam suspensi air kran dalam suhu rata-rata 4 0 C. Hewan Coba Domba yang digunakan adalah domba jantan lokal berumur bulan sebanyak 20 ekor dengan bobot badan rata-rata 10 kg. Sebelum digunakan, domba tersebut dibebas-cacingkan dengan pemberian anthelmintika levamisol dosis tunggal 10 mg/kg BB. Selama penelitian domba dipelihara dalam kandang dengan kondisi bebas infeksi cacing, diberikan pakan berupa rumput gajah dan air ad libitum. Pakan tambahan berupa konsentrat diberikan setiap hari sebanyak 2% bobot badan.

71 54 Desain Penelitian Setiap ekor domba diinfeksi dengan 5000 L 3 H. contortus pada minggu ke-0 dan 4. Setelah domba-domba yang diinfeksi mengeksresikan telur cacing kurang lebih dari 1000 telur dalam tiap gram tinja (TTGT), hewan coba dibagi menjadi 4 kelompok masing-masing 5 ekor berdasarkan bobot badan. Masingmasing kelompok diberi perlakuan setiap hari selama 5 minggu sebagai tersaji pada Tabel 11 berikut : Tabel 11. Pembagian kelompok hewan dan perlakuan Kelompok Perlakuan I Kontrol II 1 x 10 6 konidia dan klamidospora D. flagrans III 1 x 10 6 spora S. cerevisiae IV 1 x 10 6 konidia dan klamidospora D. flagrans + 1 x 10 6 spora S. cerevisiae. Setiap minggu dilakukan pengambilan sampel tinia domba untuk penghitungan jumlah telur cacing dalam setiap gram tinja (TTGT) dan jumlah larva yang menetas dari setiap gram pupukan tinja (LPG). Untuk menghitung total jumlah telur cacing perhari/ekor dalam tinja pada minggu kelima, tinja yang diekskresikan setiap ekor domba selama 24 jam ditampung dengan celemek dan ditimbang. Pada minggu kelima, semua domba dikurbankan untuk menghitung jumlah cacing jantan dan betina di dalam abomasum, serta pemeriksaan mikroskopis saluran reproduksi cacing. Pemeriksaan jumlah telur yang berkembang menjadi L 3 dan fekunditas cacing betina Pemeriksaan TTGT dilakukan dengan metode Whitlock (1948), serta pemeriksaan dan pemupukan tinja untuk menjadi larva tiap gram tinja (LPG) dengan metode MAFF (1979) yang telah dimodifikasi. Persentase jumlah telur yang berkembang menjadi larva infektif (L 3 ) dihitung dengan cara membagi jumlah larva yang menetas dari setiap gram pupukan tinja (LPG) dengan jumlah telur cacing dalam setiap gram tinja (TTGT) dikalikan 100%. Produksi telur dari setiap ekor cacing betina dalam satu hari (fekunditas) dihitung dengan rumus :

72 55 Fekunditas = Berat tinja yang diekresikan seekor domba dalam 24 jam X TTGT Jumlah cacing betina pada domba tersebut Penghitungan jumlah cacing Setelah domba disembelih abomasum segera dikeluarkan dari rongga perut dan dipisahkan dari organ pencernaan lain. Abomasum dibuka di bagian curvatura mayor, lalu abomasum dan isinya ditampung dalam ember. Cacing yang menempel pada abomasum dan dalam isi lambung diambil serta dicuci dalam larutan NaCl fisiologis. Selanjutnya dilakukan pemisahan dan penghitungan jumlah cacing berdasarkan jenis kelaminnya. Cacing yang terkumpul diawetkan dalam larutan Buffered Neutral Formalin (BNF) 10% sebelum dilakukan pemeriksaan mikroskopik saluran reproduksi cacing (Vacca 1985). Pemeriksaan mikroskopis organ reproduksi cacing Dari setiap domba yang telah disembelih diambil masing-masing 5 sampel cacing betina dan 5 sampel cacing jantan dewasa secara acak. Untuk melihat perubahan organ reproduksi cacing jantan (spermatosit) dan betina (ovum) tersebut, cacing tersebut difiksasi dalam larutan BNF 10%, lalu dilakukan embedding pada parafin (Drury dan Wallington 1980; Vacca 1985). Setiap blok parafin berisi 5 cacing jantan atau betina yang berasal dari satu ekor domba. Selanjutnya jaringan dipotong dengan ketebalan 3-5 μm, lalu dilakukan pewarnaan jaringan dengan Hematoksilin dan Eosin (HE). Pemeriksaan histopatologi dilakukan pada testis cacing jantan dewasa, sedangkan cacing betina dewasa diperiksa ovariumnya. Pengukuran vulva flap (betina), serta bursa kopulatriks dan spikulum (jantan) dilakukan setelah dilakukan clearing dengan minyak cengkeh. Dari masing-masing kelompok diukur 10 ekor cacing. Pengukuran perubahan morfologi dari alat reproduksi cacing jantan (testis) dan betina (ovum); bursa kopulatriks, spikulum, dan vulva flap dilakukan dan dibandingkan dengan literatur yang ada menurut Ualberta (2007), Croll dan Matthews (1977), Chitwood dan Chitwood (1977) dan Urquhart et al. (1987) Perubahan histopatologis pada organ kelamin cacing dewasa diamati dengan mikroskop cahaya pada pembesaran 400 x dengan pewarnaan

73 56 HE. Penghitungan kerusakan jaringan reproduksi pada cacing H.contortus berdasarkan 3 bidang luas pandang dengan jumlah sel yang diamati masingmasing sebanyak 50 sel untuk setiap preparat slide cacing. Pengamatan dilakukan sebanyak 5 ulangan. Perubahan yang diamati adalah sel normal ovum (betina) dan spermatosit (jantan) menjadi piknotis, degenerasi dan lisis. Data yang didapat dipersentasekan, dan perbedaan antar kelompok perlakuan diuji secara statistik dengan metode Kruskall dan Wallis yang dimodifikasi (Steel dan Torrie 1995). Parameter yang dapat teramati ádalah perubahan histopatologi organ reproduksi testis (spermatosit) dan ovarium (ovum), perubahan ukuran bursa kopulatriks, spikulum, dan vulva flap. Analisis Statistik Percobaan disusun dalam rancangan acak lengkap (RAL). Data hasil penelitian ini diuji dengan statistik untuk mengetahui pengaruh perbedaan perlakuan menggunakan analisis ragam (ANOVA) satu arah yang dilanjutkan dengan uji Duncan dan Bonferroni (Steel dan Torrie 1995).

74 57 HASIL DAN PEMBAHASAN Jumlah telur per gram tinja (TTGT) selama lima minggu perlakuan disajikan pada Gambar 13. Nilai TTGT keempat kelompok perlakuan selama lima minggu berfluktuasi dengan rataan jumlah telur berkisar antara TTGT. Secara statistik keempat kelompok tersebut tidak menunjukkan perbedaan TTGT yang nyata. Persentase telur yang berkembang menjadi L 3 dalam tiap gram tinja juga cenderung fluktuatif. Pengamatan selama tiga minggu pertama tidak menunjukkan perbedaan nyata antara kelompok kontrol dan perlakuan (Tabel 12). Namun pada minggu ke-4 dan 5 persentase telur yang berkembang menjadi L 3 pada kelompok yang diberi perlakuan D. flagrans (DF) atau keduanya D. flagrans dan S. cerevisiae (DF+SC) lebih rendah dibandingkan kontrol (P<0,05). Tidak ditemukan perbedaan nyata antara kelompok yang hanya diberi S.cerevisiae (SC) antara dengan kontrol maupun kelompok perlakuan lainnya. Rataan jumlah telur pergram tinja minggu kejumlah telur kontrol DF SC DF+SC Gambar 13.Jumlah telur pergram tinja (EPG/ TPG) selama 5 minggu (n=5). Kelompok 1: Kontrol;Kelompok 2: Diberikan D.flagrans;.Kelompok 3: Diberikan S. cerevisiae; Kelompok 4: Diberikan D.flagrans dan S. cerevisiae.

75 Tabel 12. Persentase jumlah telur yang berkembang menjadi larva 3 selama 5 minggu Kelompok Jumlah telur yang menetas pergram tinja (%) pengamatan minggu (n=5) Ke 0 Ke 1 Ke 2 Ke 3 Ke 4 Ke 5 K 66,8 ± 17,74 a 75,5 ± 18,04 a 54,75 ± 9,5 a 81,25 ± 9,53 a 74,5 ± 11,90 a 46,5 ± 21,02 a DF 85,2 ± 8,32 a 71,4 ± 20,98 a 43,8 ± 11,39 a 55,2 ± 23,08 a 50,6 ± 6,91 b 15 ± 4,52 b SC 76,6 ± 13,97 a 50,4 ± 29,05 a 38.4 ± 13,90 a 47,6 ± 15,59 a 62,8 ± 12,29 ab 23,4 ± 9,81 ab DF+SC 84,4 ± 11,39 a 63 ± 34,38 a 44,2 ± 8,58 a 55,2 ± 14,70 a 50,4 ± 4,33 b 28,4 ± 16,33 ab Keterangan: Angka-angka dengan huruf superskrip yang berbeda pada kolom yang sama menunjukkan perbedaan nyata (P< 0,05) Tabel 13. Fekunditas cacing H. contortus pada minggu ke-5 Kelompok (n=5) Produksi telur/ cacing betina/ hari Kontrol 1664,8 ± 814,7 a D. flagrans 1506,4 ± 510,1 a S. cerevisiae 3418,4 ± 2468,9 a D. flagrans + S. cerevisiae 3136,8 ± 1640,1 a Keterangan: Angka-angka dengan huruf yang sama superskrip tidak berbeda nyata (P>0,05)

76 59 Pengamatan terhadap fekunditas cacing H. contortus pada minggu ke-5 perlakuan menunjukkan setiap ekor cacing betina memproduksi telur butir/hari. Tidak ada perbedaan signifikan dalam fekunditas cacing betina antara kelompok kontrol dan perlakuan (Tabel 13). Pengamatan tersebut menunjukkan pemberian kedua cendawan ini tidak mempengaruhi fekunditas cacing betina. Jumlah cacing H. contortus yang ditemukan di abomasum postmortem pada kelompok kontrol serta kelompok perlakuan D. flagrans dan D. flagrans + S. cerevisiae kurang lebih berjumlah 180 ekor (Tabel 14). Jumlah cacing yang ditemukan lebih rendah pada domba yang diberi S. cerevisiae, namun pada analisa statistik belum menunjukkan perbedaan yang signifikan antara keempat kelompok perlakuan. Tabel 14. Jumlah cacing yang ditemukan di abomasum domba Kelompok Jumlah cacing (n=5) Jantan Betina Total K 47 ± 52 a 133 ± 104 a 180 ± 140 a DF 59 ± 64 a 125 ± 26 a 184 ± 83 a SC 35 ± 20 a 99 ± 54 a 134 ± 60 a DF+SC 46 ± 22 a 134 ± 51 a 181 ± 59 a Keterangan : Angka-angka dengan huruf yang sama superskrip pada kolom yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata (P>0,05) Hasil pengamatan terhadap perubahan patologis pada organ reproduksi cacing jantan disajikan pada Gambar 14 dan Tabel 15. Ditemukan peningkatan yang sangat signifikan dalam persentase spermatosit yang rusak pada kelompok domba yang diberi perlakuan D. flagrans, S. cerevisiae dan kombinasi keduanya dibandingkan kelompok kontrol (P<0,01). Sel spermatosit yang normal, mengalami perubahan patologi pada testis terutama sel normal berubah menjadi piknotis, tepi-tepi selnya bentuknya tidak beraturan, serta sebagian lain mengalami degenerasi dan lisis (hancur). Tidak ditemukan perubahan ukuran bursa kopulatriks dan spikulum cacing jantan akibat perlakuan (Tabel 16).

77 60 A B U U K K C D U K Gambar 14. Potongan longitudinal inti spermatosit pada testis cacing jantan A. (Kontrol) (tanda panah inti normal) B. (D.flagrans).(tanda panah inti telah lisis). C (S.cerevisiae) (tanda panah inti piknotis). D (D.flagrans + S.cerevisiae)(tanda panah inti degenerasi). U; usus. K. Kutikula. Pewarnaan HE. Pembesaran 10x 40. Kondisi serupa juga tampak pada hasil pengamatan terhadap perubahan patologis organ reproduksi cacing betina (Gambar 15 dan Tabel 17). Persentase kerusakan sel ovum yang diamati dengan pewarnaan Hematoksilin Eosin (HE) menunjukkan ada perbedaan nyata antara kelompok kontrol dibandingkan dengan kelompok yang diberi perlakuan S. cerevisiae dan kombinasi S. cerevisiae dan D. flagrans (P< 0,01). Sel-sel ovum cacing betina dari domba yang diberi S. cerevisiae sebagian besar berubah secara patologi menjadi piknotis atau lisis, sedangkan pada kelompok perlakuan yang diberi kombinasi S. cerevisiae dan D. flagrans perubahan patologis mengarah kepada piknotis bila dibandingkan dengan kontrol. Ukuran vulva flap cacing betina pada keempat kelompok perlakuan tidak berbeda nyata (Tabel 18).

78 61 A A B U U K K C a D K K Gambar 15. Potongan longitudinal inti ovum pada ovarium cacing betina A. (Kontrol) (tanda panah inti normal) B. (D.flagrans).(tanda panah inti normal). C (S.cerevisiae)(tanda panah inti sedang lisis dan degenerasi). D (D.flagrans + S.cerevisiae)(tanda panah inti piknotis). U; usus. K. Kutikula. Pewarnaan HE. Pembesaran 10x 40. Hasil penelitian ini memperlihatkan kemampuan merusak dari D. flagrans terhadap perkembangan sel spermatosit, serta S. cerevisae terhadap perkembangan sel spermatosit dan ovum cacing H. contortus. Hal ini ditunjukkan dengan peningkatan persentase sel-sel yang rusak pada cacing dari domba yang diberi kedua cendawan. Hasil ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan Pitojo (1995) pada kelici. Pemberian S. cerevisiae dengan dosis 60 mg/kg BB setiap hari selama 10 hari perlakuan terbukti menurunkan jumlah sperma yang dihasilkan kelinci akibat kerusakan testis yang mengalami hiperplasia sehingga menyebabkan penurunan aktivitas spermatogenesis, selain itu testis juga mengalami

EFEKTIVITAS CENDAWAN Duddingtonia flagrans DAN Saccharomyces cerevisiae DALAM PENGENDALIAN CACING Haemonchus contortus PADA DOMBA RIZA ZAINUDDIN AHMAD

EFEKTIVITAS CENDAWAN Duddingtonia flagrans DAN Saccharomyces cerevisiae DALAM PENGENDALIAN CACING Haemonchus contortus PADA DOMBA RIZA ZAINUDDIN AHMAD EFEKTIVITAS CENDAWAN Duddingtonia flagrans DAN Saccharomyces cerevisiae DALAM PENGENDALIAN CACING Haemonchus contortus PADA DOMBA RIZA ZAINUDDIN AHMAD SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2008

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA S BK

TINJAUAN PUSTAKA S BK 4 TINJAUAN PUSTAKA Cacing H. contortus Klasifikasi dan Morfologi Haemonchus contortus adalah cacing dari Kelas Nematoda, Ordo Strongylida dan Super famili Trichostrongyloidea. Cacing dewasa hidup di dalam

Lebih terperinci

PERTUMBUHAN Saccharomyces cerevisiae PADA BERBAGAI JENIS MEDIUM, INTENSITAS CAHAYA, TEMPERATUR, RUMEN DAN LAMA PENYIMPANAN

PERTUMBUHAN Saccharomyces cerevisiae PADA BERBAGAI JENIS MEDIUM, INTENSITAS CAHAYA, TEMPERATUR, RUMEN DAN LAMA PENYIMPANAN PERTUMBUHAN Saccharomyces cerevisiae PADA BERBAGAI JENIS MEDIUM, INTENSITAS CAHAYA, TEMPERATUR, RUMEN DAN LAMA PENYIMPANAN Abstract Saccharomyces cerevisiae yeast has been used for various purposes in

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. Latar Belakang. pengendalian berbasis pada penggunaan obat antelmintik sering gagal untuk

PENDAHULUAN. Latar Belakang. pengendalian berbasis pada penggunaan obat antelmintik sering gagal untuk PENDAHULUAN Latar Belakang Keberhasilan ternak ruminansia kecil membutuhkan pengendalian nematoda gastrointestinal secara efektif. Kegagalan pengendalian akan mengakibatkan penyakit, gangguan pertumbuhan,

Lebih terperinci

STUDI PERBANDKNGAN MIKROBA RUMEN ANTARA DOMBA DAN KAMBING LOKAL

STUDI PERBANDKNGAN MIKROBA RUMEN ANTARA DOMBA DAN KAMBING LOKAL STUDI PERBANDKNGAN MIKROBA RUMEN ANTARA DOMBA DAN KAMBING LOKAL SKRIPSI NURLAELA PROGRAM STUDI NUTRISI DAN MAKANAN TERNAK FAKULTAS PETERNAKAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2006 RINGKASAN NWUAELA. D24101054.

Lebih terperinci

Pemakaian Duddingtonia flagrans dan Saccharomyces cerevisiae dalam Mereduksi Larva Infektif Haemonchus contortus

Pemakaian Duddingtonia flagrans dan Saccharomyces cerevisiae dalam Mereduksi Larva Infektif Haemonchus contortus ISSN : 1411-8327 Pemakaian Duddingtonia flagrans dan Saccharomyces cerevisiae dalam Mereduksi Larva Infektif Haemonchus contortus (THE STUDY OF DUDDINGTONIA FLAGRANS AND SACCHAROMYCES CEREVISIAE USE ON

Lebih terperinci

PENGARUH PEMBERIAN Duddingtonia flagrans DAN Saccharomyces cerevisiae TERHADAP MORFOPATOLOGI ALAT REPRODUKSI CACING Haemonchus contortus PADA DOMBA

PENGARUH PEMBERIAN Duddingtonia flagrans DAN Saccharomyces cerevisiae TERHADAP MORFOPATOLOGI ALAT REPRODUKSI CACING Haemonchus contortus PADA DOMBA PENGARUH PEMBERIAN Duddingtonia flagrans DAN Saccharomyces cerevisiae TERHADAP MORFOPATOLOGI ALAT REPRODUKSI CACING Haemonchus contortus PADA DOMBA (Effect of Administration of Duddingtonia flagrans and

Lebih terperinci

IV PEMBAHASAN. 4.1 Kandungan Protein Produk Limbah Udang Hasil Fermentasi Bacillus licheniformis Dilanjutkan oleh Saccharomyces cereviseae

IV PEMBAHASAN. 4.1 Kandungan Protein Produk Limbah Udang Hasil Fermentasi Bacillus licheniformis Dilanjutkan oleh Saccharomyces cereviseae 25 IV PEMBAHASAN 4.1 Kandungan Protein Produk Limbah Udang Hasil Fermentasi Bacillus licheniformis Dilanjutkan oleh Saccharomyces cereviseae Rata-rata kandungan protein produk limbah udang hasil fermentasi

Lebih terperinci

STUDI KOMPARATIF METABOLISME NITROGEN ANTARA DOMBA DAN KAMBING LOKAL

STUDI KOMPARATIF METABOLISME NITROGEN ANTARA DOMBA DAN KAMBING LOKAL STUDI KOMPARATIF METABOLISME NITROGEN ANTARA DOMBA DAN KAMBING LOKAL SKRIPSI KHOERUNNISSA PROGRAM STUDI NUTRISI DAN MAKANAN TERNAK FAKULTAS PETERNAKAN INSITUT PERTANIAN BOGOR 2006 RINGKASAN KHOERUNNISSA.

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. 4.1 Pengaruh Isolat M. anisopliae pada Berbagai Konsentrasi terhadap

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. 4.1 Pengaruh Isolat M. anisopliae pada Berbagai Konsentrasi terhadap BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Pengaruh Isolat M. anisopliae pada Berbagai Konsentrasi terhadap Mortalitas H. armigera Mortalitas larva H. armigera merupakan parameter pengukuran terhadap banyaknya jumlah

Lebih terperinci

KAJIAN BRUSELLOSIS PADA SAPI DAN KAMBING POTONG YANG DILALULINTASKAN DI PENYEBERANGAN MERAK BANTEN ARUM KUSNILA DEWI

KAJIAN BRUSELLOSIS PADA SAPI DAN KAMBING POTONG YANG DILALULINTASKAN DI PENYEBERANGAN MERAK BANTEN ARUM KUSNILA DEWI KAJIAN BRUSELLOSIS PADA SAPI DAN KAMBING POTONG YANG DILALULINTASKAN DI PENYEBERANGAN MERAK BANTEN ARUM KUSNILA DEWI SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2009 PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN

Lebih terperinci

I PENDAHULUAN. nutrisi suatu bahan pakan, meningkatkan kecernaan karena ternak mempunyai

I PENDAHULUAN. nutrisi suatu bahan pakan, meningkatkan kecernaan karena ternak mempunyai 1 I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penggunaan teknologi pengolahan pakan di bidang peternakan sudah banyak dilakukan sekarang. Teknologi pengolahan pakan menjadi penting karena memiliki beberapa keuntungan,

Lebih terperinci

PERFORMANS ORGAN REPRODUKSI MENCIT (Mus musculus) YANG DIBERI PAKAN MENGANDUNG PROTEIN SEL TUNGGAL SKRIPSI RESI PRAMONO

PERFORMANS ORGAN REPRODUKSI MENCIT (Mus musculus) YANG DIBERI PAKAN MENGANDUNG PROTEIN SEL TUNGGAL SKRIPSI RESI PRAMONO PERFORMANS ORGAN REPRODUKSI MENCIT (Mus musculus) YANG DIBERI PAKAN MENGANDUNG PROTEIN SEL TUNGGAL SKRIPSI RESI PRAMONO PROGRAM STUDI TEKNOLOGI PRODUKSI TERNAK FAKULTAS PETERNAKAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR

Lebih terperinci

KARAKTERISTIK FERMENTASI PULP KAKAO DALAM PRODUKSI ASAM ASETAT MENGGUNAKAN BIOREAKTOR VENTY INDRIANI PAIRUNAN

KARAKTERISTIK FERMENTASI PULP KAKAO DALAM PRODUKSI ASAM ASETAT MENGGUNAKAN BIOREAKTOR VENTY INDRIANI PAIRUNAN KARAKTERISTIK FERMENTASI PULP KAKAO DALAM PRODUKSI ASAM ASETAT MENGGUNAKAN BIOREAKTOR VENTY INDRIANI PAIRUNAN SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2009 PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER

Lebih terperinci

Mikroorganisme dalam Industri Fermentasi

Mikroorganisme dalam Industri Fermentasi Mikroorganisme dalam Industri Fermentasi Mas ud Effendi Agroindustri Produk Fermentasi TIP FTP - UB Mikrobia yang sering digunakan dalam fermentasi Bakteri (bacteria) Khamir (yeast) Jamur (fungi) 1 Bakteri

Lebih terperinci

EFEKTIVITAS PEMBERIAN TEPUNG KENCUR

EFEKTIVITAS PEMBERIAN TEPUNG KENCUR EFEKTIVITAS PEMBERIAN TEPUNG KENCUR (Kaempferia galanga Linn) PADA RANSUM AYAM BROILER RENDAH ENERGI DAN PROTEIN TERHADAP PERFORMAN AYAM BROILER, KADAR KOLESTROL, PERSENTASE HATI DAN BURSA FABRISIUS SKRIPSI

Lebih terperinci

JAMUR (fungi) Oleh : Firman Jaya,S.Pt.,MP 4/3/2016 1

JAMUR (fungi) Oleh : Firman Jaya,S.Pt.,MP 4/3/2016 1 JAMUR (fungi) Oleh : Firman Jaya,S.Pt.,MP 4/3/2016 1 JAMUR FUNGI KAPANG MOLD KHAMIR YEAST JAMUR MUSHROOM 4/3/2016 2 OUTLINE PENDAHULUAN CIRI-CIRI KHAMIR Struktur/ morfologi Pengelompokkan Cara Reproduksi

Lebih terperinci

Khamir. Karakteristik Khamir

Khamir. Karakteristik Khamir Khamir Termasuk kapang, namun berbentuk sel tunggal/uniseluler. Dari kelompok Ascomycetes dan Basidiomycetes Tersebar luas di alam. Ada yang bermanfaat adapula yg merugikan bagi manusia. Manfaat: untuk

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA DAFTAR ISI RIWAYAT HIDUP... i ABSTRAK... ii ABSTRACT... iii UCAPAN TERIMA KASIH... iv DAFTAR ISI... vi DAFTAR TABEL... viii DAFTAR GAMBAR... ix BAB I PENDAHULUAN... 1 1.1 Latar Belakang... 1 1.2 Rumusan

Lebih terperinci

KINETIKA AKTIVITAS REDUKSI NITRAT BAKTERI NITRAT AMONIFIKASI DISIMILATIF DARI MUARA SUNGAI PADA KONSENTRASI OKSIGEN (O 2 ) YANG BERBEDA TETI MARDIATI

KINETIKA AKTIVITAS REDUKSI NITRAT BAKTERI NITRAT AMONIFIKASI DISIMILATIF DARI MUARA SUNGAI PADA KONSENTRASI OKSIGEN (O 2 ) YANG BERBEDA TETI MARDIATI KINETIKA AKTIVITAS REDUKSI NITRAT BAKTERI NITRAT AMONIFIKASI DISIMILATIF DARI MUARA SUNGAI PADA KONSENTRASI OKSIGEN (O 2 ) YANG BERBEDA TETI MARDIATI SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN. dan Ilmu Pengetahuan Alam, Universitas Lampung dari bulan Januari sampai

III. METODE PENELITIAN. dan Ilmu Pengetahuan Alam, Universitas Lampung dari bulan Januari sampai 23 III. METODE PENELITIAN A. Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilakukan di Laboratorium Mikrobiologi Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Universitas Lampung dari bulan Januari sampai

Lebih terperinci

PENGHAMBATAN DEGRADASI SUKROSA DALAM NIRA TEBU MENGGUNAKAN GELEMBUNG GAS NITROGEN DALAM REAKTOR VENTURI BERSIRKULASI TEUKU IKHSAN AZMI

PENGHAMBATAN DEGRADASI SUKROSA DALAM NIRA TEBU MENGGUNAKAN GELEMBUNG GAS NITROGEN DALAM REAKTOR VENTURI BERSIRKULASI TEUKU IKHSAN AZMI PENGHAMBATAN DEGRADASI SUKROSA DALAM NIRA TEBU MENGGUNAKAN GELEMBUNG GAS NITROGEN DALAM REAKTOR VENTURI BERSIRKULASI TEUKU IKHSAN AZMI SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2008 PERNYATAAN

Lebih terperinci

PENGENDALIAN KADAR GLUKOSA DARAH OLEH TEH HIJAU DAN ATAU TEH DAUN MURBEI PADA TIKUS DIABETES RUSMAN EFENDI

PENGENDALIAN KADAR GLUKOSA DARAH OLEH TEH HIJAU DAN ATAU TEH DAUN MURBEI PADA TIKUS DIABETES RUSMAN EFENDI PENGENDALIAN KADAR GLUKOSA DARAH OLEH TEH HIJAU DAN ATAU TEH DAUN MURBEI PADA TIKUS DIABETES RUSMAN EFENDI SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2008 PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER

Lebih terperinci

MODEL MATEMATIKA PENYEBARAN PENYAKIT DEMAM BERDARAH DENGUE JUMADI

MODEL MATEMATIKA PENYEBARAN PENYAKIT DEMAM BERDARAH DENGUE JUMADI MODEL MATEMATIKA PENYEBARAN PENYAKIT DEMAM BERDARAH DENGUE JUMADI SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2008 PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI Dengan ini saya menyatakan bahwa

Lebih terperinci

KARYA ILMIAH TERTULIS (SKRIPSI)

KARYA ILMIAH TERTULIS (SKRIPSI) PENGARUH MEDIA PERTUMBUHAN DAN LAMA PENYIMPANAN TERHADAP VIABILITAS Beauveria bassiana (Bals.) Vuill. KARYA ILMIAH TERTULIS (SKRIPSI) Diajukan guna memenuhi salah satu syarat untuk menyelesaikan pendidikan

Lebih terperinci

HUBUNGAN ANTARA LAMA PENYIMPANAN DENGAN PENYUSUTAN BOBOT, HAUGH UNIT, DAYA DAN KESTABILAN BUIH PUTIH TELUR AYAM RAS PADA SUHU RUANG SKRIPSI SAMSUDIN

HUBUNGAN ANTARA LAMA PENYIMPANAN DENGAN PENYUSUTAN BOBOT, HAUGH UNIT, DAYA DAN KESTABILAN BUIH PUTIH TELUR AYAM RAS PADA SUHU RUANG SKRIPSI SAMSUDIN HUBUNGAN ANTARA LAMA PENYIMPANAN DENGAN PENYUSUTAN BOBOT, HAUGH UNIT, DAYA DAN KESTABILAN BUIH PUTIH TELUR AYAM RAS PADA SUHU RUANG SKRIPSI SAMSUDIN PROGRAM STUDI TEKNOLOGI HASIL TERNAK FAKULTAS PETERNAKAN

Lebih terperinci

UJI BAKTERI TOLERAN TANIN DAN PENGARUH INOKULASINYA TERHADAP MIKROBA RUMEN TERNAK KAMBING 5 BERPAKAN KALIANDRA (Calliandra calothyrsus)

UJI BAKTERI TOLERAN TANIN DAN PENGARUH INOKULASINYA TERHADAP MIKROBA RUMEN TERNAK KAMBING 5 BERPAKAN KALIANDRA (Calliandra calothyrsus) UJI BAKTERI TOLERAN TANIN DAN PENGARUH INOKULASINYA TERHADAP MIKROBA RUMEN TERNAK KAMBING 5 BERPAKAN KALIANDRA (Calliandra calothyrsus) Wiryawan K.G. Iurusan INMT, Fakultas Peternakan, IPB & Pusat Studi

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. dicampurkan dengan bahan-bahan lain seperti gula, garam, dan bumbu,

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. dicampurkan dengan bahan-bahan lain seperti gula, garam, dan bumbu, BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Kecap Kedelai 1. Definisi Kecap Kedelai Kecap merupakan ekstrak dari hasil fermentasi kedelai yang dicampurkan dengan bahan-bahan lain seperti gula, garam, dan bumbu, dengan

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Siklus hidup S. litura berkisar antara hari (lama stadium telur 2 4

TINJAUAN PUSTAKA. Siklus hidup S. litura berkisar antara hari (lama stadium telur 2 4 TINJAUAN PUSTAKA Spodoptera litura (Lepidoptera: Noctuidae) Biologi Siklus hidup S. litura berkisar antara 30 60 hari (lama stadium telur 2 4 hari, larva yang terdiri dari 6 instar : 20 26 hari, pupa 8

Lebih terperinci

MODEL MATEMATIKA STRUKTUR UMUR INFEKSI VIRUS HIV DENGAN KOMBINASI TERAPI OBAT MUHAMMAD BUWING

MODEL MATEMATIKA STRUKTUR UMUR INFEKSI VIRUS HIV DENGAN KOMBINASI TERAPI OBAT MUHAMMAD BUWING MODEL MATEMATIKA STRUKTUR UMUR INFEKSI VIRUS HIV DENGAN KOMBINASI TERAPI OBAT MUHAMMAD BUWING SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2008 PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI Dengan

Lebih terperinci

PERTUMBUHAN DAN TOLERANSI MELASTOMA TERHADAP ANTIBIOTIK KANAMISIN DAN HIGROMISIN SECARA IN VITRO NANI SUMARNI

PERTUMBUHAN DAN TOLERANSI MELASTOMA TERHADAP ANTIBIOTIK KANAMISIN DAN HIGROMISIN SECARA IN VITRO NANI SUMARNI PERTUMBUHAN DAN TOLERANSI MELASTOMA TERHADAP ANTIBIOTIK KANAMISIN DAN HIGROMISIN SECARA IN VITRO NANI SUMARNI SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2008 2 PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER

Lebih terperinci

PERFORMA REPRODUKSI CACING TANAH Lumbricus rubellus YANG MENDAPAT PAKAN SISA MAKANAN DARI WARUNG TEGAL

PERFORMA REPRODUKSI CACING TANAH Lumbricus rubellus YANG MENDAPAT PAKAN SISA MAKANAN DARI WARUNG TEGAL PERFORMA REPRODUKSI CACING TANAH Lumbricus rubellus YANG MENDAPAT PAKAN SISA MAKANAN DARI WARUNG TEGAL SKRIPSI ENHA DIKA PROGRAM STUDI TEKNOLOGI PRODUKSI TERNAK FAKULTAS PETERNAKAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR

Lebih terperinci

PENGARUH PEMBERIAN FEED ADDITIVE RI.1 DAN JENIS PAKAN YANG BERBEDA TERHADAP PENAMPILAN AYAM BROILER SKRIPSI ATA RIFQI

PENGARUH PEMBERIAN FEED ADDITIVE RI.1 DAN JENIS PAKAN YANG BERBEDA TERHADAP PENAMPILAN AYAM BROILER SKRIPSI ATA RIFQI PENGARUH PEMBERIAN FEED ADDITIVE RI.1 DAN JENIS PAKAN YANG BERBEDA TERHADAP PENAMPILAN AYAM BROILER SKRIPSI ATA RIFQI PROGRAM STUDI ILMU NUTRISI DAN MAKANAN TERNAK FAKULTAS PETERNAKAN INSTITUT PERTANIAN

Lebih terperinci

GAMBARAN HISTOLOGIS USUS TIKUS PUTIH (Rattus norvegicus) YANG DIBERI RANSUM DAGING HASIL FERMENTASI DENGAN Lactobacillus plantarum 1B1

GAMBARAN HISTOLOGIS USUS TIKUS PUTIH (Rattus norvegicus) YANG DIBERI RANSUM DAGING HASIL FERMENTASI DENGAN Lactobacillus plantarum 1B1 GAMBARAN HISTOLOGIS USUS TIKUS PUTIH (Rattus norvegicus) YANG DIBERI RANSUM DAGING HASIL FERMENTASI DENGAN Lactobacillus plantarum 1B1 SKRIPSI MARGARETA MULATSIH KANDI PROGRAM STUDI TEKNOLOGI HASIL TERNAK

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Daphnia sp. digolongkan ke dalam Filum Arthropoda, Kelas Crustacea, Subkelas

II. TINJAUAN PUSTAKA. Daphnia sp. digolongkan ke dalam Filum Arthropoda, Kelas Crustacea, Subkelas 6 II. TINJAUAN PUSTAKA A. Klasifikasi dan Morfologi Daphnia sp. digolongkan ke dalam Filum Arthropoda, Kelas Crustacea, Subkelas Branchiopoda, Divisi Oligobranchiopoda, Ordo Cladocera, Famili Daphnidae,

Lebih terperinci

EVALUASI PENGGUNAAN BUBUK BAWANG PUTIH (Allium sativum) TERHADAP KANDUNGAN LEMAK DARAH AYAM KAMPUNG YANG DIINFEKSI CACING Ascaridia galli

EVALUASI PENGGUNAAN BUBUK BAWANG PUTIH (Allium sativum) TERHADAP KANDUNGAN LEMAK DARAH AYAM KAMPUNG YANG DIINFEKSI CACING Ascaridia galli EVALUASI PENGGUNAAN BUBUK BAWANG PUTIH (Allium sativum) TERHADAP KANDUNGAN LEMAK DARAH AYAM KAMPUNG YANG DIINFEKSI CACING Ascaridia galli SKRIPSI PUTRI MULYA SARI PROGRAM STUDI ILMU NUTRISI DAN MAKANAN

Lebih terperinci

PENGARUH PEMBERIAN TEPUNG DAUN KATUK (Sauropus androgynus (L.) Merr.) DALAM RANSUM TERHADAP KUALITAS TELUR ITIK LOKAL SKRIPSI LILI SURYANINGSIH

PENGARUH PEMBERIAN TEPUNG DAUN KATUK (Sauropus androgynus (L.) Merr.) DALAM RANSUM TERHADAP KUALITAS TELUR ITIK LOKAL SKRIPSI LILI SURYANINGSIH PENGARUH PEMBERIAN TEPUNG DAUN KATUK (Sauropus androgynus (L.) Merr.) DALAM RANSUM TERHADAP KUALITAS TELUR ITIK LOKAL SKRIPSI LILI SURYANINGSIH PROGRAM STUDI ILMU NUTRISI DAN MAKANAN TERNAK FAKULTAS PETERNAKAN

Lebih terperinci

METODE PENELITIAN. Kehutanan dan di Laboratorium Hama dan Penyakit Tanaman Program Studi

METODE PENELITIAN. Kehutanan dan di Laboratorium Hama dan Penyakit Tanaman Program Studi 23 METODE PENELITIAN Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian dilakukan di Laboratorium Bioteknologi Program Studi Kehutanan dan di Laboratorium Hama dan Penyakit Tanaman Program Studi Agroekoteknologi,

Lebih terperinci

ORGAN REPRODUKSI DAN KUALITAS SPERMA MENCIT (Mus musculus) YANG MENDAPAT PAKAN TAMBAHAN KEMANGI (Ocimum basilicum) SEGAR

ORGAN REPRODUKSI DAN KUALITAS SPERMA MENCIT (Mus musculus) YANG MENDAPAT PAKAN TAMBAHAN KEMANGI (Ocimum basilicum) SEGAR ORGAN REPRODUKSI DAN KUALITAS SPERMA MENCIT (Mus musculus) YANG MENDAPAT PAKAN TAMBAHAN KEMANGI (Ocimum basilicum) SEGAR SKRIPSI ADITYA DWI SETYADI PROGRAM STUDI TEKNOLOGI PRODUKSI TERNAK FAKULTAS PETERNAKAN

Lebih terperinci

ISOLASI, SELEKSI DAN OPTIMASI PERTUMBUHAN GANGGANG MIKRO YANG POTENSIAL SEBAGAI PENGHASIL BAHAN BAKAR NABATI

ISOLASI, SELEKSI DAN OPTIMASI PERTUMBUHAN GANGGANG MIKRO YANG POTENSIAL SEBAGAI PENGHASIL BAHAN BAKAR NABATI ISOLASI, SELEKSI DAN OPTIMASI PERTUMBUHAN GANGGANGG MIKRO YANG POTENSIAL SEBAGAI PENGHASIL BAHAN BAKAR NABATI YOLANDA FITRIA SYAHRI SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2009 PERNYATAAN MENGENAI

Lebih terperinci

BAHAN DAN METODE. Pembiakan P. fluorescens dari Kultur Penyimpanan

BAHAN DAN METODE. Pembiakan P. fluorescens dari Kultur Penyimpanan BAHAN DAN METODE Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian dilaksanakan di Laboratorium Bakteriologi Tumbuhan, Departemen Proteksi Tanaman, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor mulai bulan Februari

Lebih terperinci

TOKSISITAS METABOLIT SEKUNDER PENICILLIUM SP. PADA BERBAGAI MEDIA KULTUR UNTUK MENGENDALIKAN SPODOPTERA SP. SECARA IN VITRO

TOKSISITAS METABOLIT SEKUNDER PENICILLIUM SP. PADA BERBAGAI MEDIA KULTUR UNTUK MENGENDALIKAN SPODOPTERA SP. SECARA IN VITRO 2 TOKSISITAS METABOLIT SEKUNDER PENICILLIUM SP. PADA BERBAGAI MEDIA KULTUR UNTUK MENGENDALIKAN SPODOPTERA SP. SECARA IN VITRO SKRIPSI OLEH : EKO MURI SANJAYA 090301010 / AET-HPT Skripsi merupakan salah

Lebih terperinci

SIFAT KIMIA TEPUNG DAGING SAPI YANG DIBUAT DENGAN METODE PENGERINGAN YANG BERBEDA DAN SIFAT MIKROBIOLOGISNYA SELAMA PENYIMPANAN

SIFAT KIMIA TEPUNG DAGING SAPI YANG DIBUAT DENGAN METODE PENGERINGAN YANG BERBEDA DAN SIFAT MIKROBIOLOGISNYA SELAMA PENYIMPANAN SIFAT KIMIA TEPUNG DAGING SAPI YANG DIBUAT DENGAN METODE PENGERINGAN YANG BERBEDA DAN SIFAT MIKROBIOLOGISNYA SELAMA PENYIMPANAN SKRIPSI HARFAN TEGAS ADITYA PROGRAM STUDI TEKNOLOGI HASIL TERNAK FAKULTAS

Lebih terperinci

Haris Dianto Darwindra BAB VI PEMBAHASAN

Haris Dianto Darwindra BAB VI PEMBAHASAN Haris Dianto Darwindra BAB VI PEMBAHASAN Berbagai jenis makanan dan minuman yang dibuat melalui proses fermentasi telah lama dikenal. Dalam prosesnya, inokulum atau starter berperan penting dalam fermentasi.

Lebih terperinci

PARASITOLOGI DAN ENTOMOLOGI KESEHATAN

PARASITOLOGI DAN ENTOMOLOGI KESEHATAN PARASITOLOGI DAN ENTOMOLOGI KESEHATAN Ketua Program studi/koordinator Mayor: drh., MS., Ph.D. Pengajar: DR.drh. Ahmad Arif Amin DR.drh., MSi DR.drh. Elok Budi Retnani, MSi drh. Fadjar Satrija, MSc., Ph.D.

Lebih terperinci

RINGKASAN. Pembimbing Utama : Dr. Ir. Nahrowi, M.Sc. Pembimbing Anggota : Dr. Ir. Muhammad Ridla, M.Agr.

RINGKASAN. Pembimbing Utama : Dr. Ir. Nahrowi, M.Sc. Pembimbing Anggota : Dr. Ir. Muhammad Ridla, M.Agr. RINGKASAN Nur Aini. D24103025. Kajian Awal Kebutuhan Nutrisi Drosophila melanogaster. Skripsi. Departemen Ilmu Nutrisi dan Teknologi Pakan, Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor. Pembimbing Utama

Lebih terperinci

KETAHANAN DAN VIABILITAS Lactobacillus plantarum YANG DIENKAPSULASI DENGAN SUSU SKIM DAN GUM ARAB SETELAH PENGERINGAN DAN PENYIMPANAN

KETAHANAN DAN VIABILITAS Lactobacillus plantarum YANG DIENKAPSULASI DENGAN SUSU SKIM DAN GUM ARAB SETELAH PENGERINGAN DAN PENYIMPANAN KETAHANAN DAN VIABILITAS Lactobacillus plantarum YANG DIENKAPSULASI DENGAN SUSU SKIM DAN GUM ARAB SETELAH PENGERINGAN DAN PENYIMPANAN HENI RIZQIATI F 251020021 SEKOLAH PASCA SARJANA INSTITUT PERTANIAN

Lebih terperinci

KARAKTERISTIK SIFAT FISIK TEPUNG IKAN SERTA TEPUNG DAGING DAN TULANG SKRIPSI FAUZAN LATIEF

KARAKTERISTIK SIFAT FISIK TEPUNG IKAN SERTA TEPUNG DAGING DAN TULANG SKRIPSI FAUZAN LATIEF KARAKTERISTIK SIFAT FISIK TEPUNG IKAN SERTA TEPUNG DAGING DAN TULANG SKRIPSI FAUZAN LATIEF PROGRAM STUDI NUTRISI DAN MAKANAN TERNAK FAKULTAS PETERNAKAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2006 RINGKASAN FAUZAN LATIEF.

Lebih terperinci

BAHAN DAN METODE Waktu dan Tempat E. ictaluri Ikan Lele ( Clarias sp.)

BAHAN DAN METODE Waktu dan Tempat E. ictaluri Ikan Lele ( Clarias sp.) BAHAN DAN METODE Waktu dan Tempat Penelitian telah dilaksanakan di Laboratorium Balai Uji Standar Karantina Ikan Departemen Kelautan dan Perikanan di Jakarta dan Bagian Patologi, Departemen Klinik, Reproduksi

Lebih terperinci

PENGARUH PENAMBAHAN YEAST PADA PEMBERIAN LAMTORO MERAH (Acacia villosa) TERHADAP HISTOPATOLOGI HATI TIKUS RATNA WULANDARI

PENGARUH PENAMBAHAN YEAST PADA PEMBERIAN LAMTORO MERAH (Acacia villosa) TERHADAP HISTOPATOLOGI HATI TIKUS RATNA WULANDARI PENGARUH PENAMBAHAN YEAST PADA PEMBERIAN LAMTORO MERAH (Acacia villosa) TERHADAP HISTOPATOLOGI HATI TIKUS RATNA WULANDARI FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2008 PENGARUH PENAMBAHAN YEAST

Lebih terperinci

SINTESIS SENYAWA ANALOG UK-3A DAN UJI AKTIVITAS SECARA IN VITRO TERHADAP SEL KANKER MURINE LEUKEMIA P-388 UJIATMI DWI MARLUPI

SINTESIS SENYAWA ANALOG UK-3A DAN UJI AKTIVITAS SECARA IN VITRO TERHADAP SEL KANKER MURINE LEUKEMIA P-388 UJIATMI DWI MARLUPI SINTESIS SENYAWA ANALOG UK-3A DAN UJI AKTIVITAS SECARA IN VITRO TERHADAP SEL KANKER MURINE LEUKEMIA P-388 UJIATMI DWI MARLUPI SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2007 PERNYATAAN MENGENAI

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. atau ayam yang kemampuan produksi telurnya tinggi. Karakteristik ayam petelur

I. PENDAHULUAN. atau ayam yang kemampuan produksi telurnya tinggi. Karakteristik ayam petelur I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang dan Masalah Ayam petelur adalah ayam yang mempunyai sifat unggul dalam produksi telur atau ayam yang kemampuan produksi telurnya tinggi. Karakteristik ayam petelur yaitu

Lebih terperinci

ACARA I PENGGUNAAN LALAT Drosophila SEBAGAI ORGANISME PERCOBAAN GENETIKA

ACARA I PENGGUNAAN LALAT Drosophila SEBAGAI ORGANISME PERCOBAAN GENETIKA ACARA I PENGGUNAAN LALAT Drosophila SEBAGAI ORGANISME PERCOBAAN GENETIKA LANDASAN TEORI Organisme yang akan digunakan sebagai materi percobaan genetika perlu memiliki beberapa sifat yang menguntungkan,

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. Latar Belakang. pendapatan perkapita masyarakat, kebutuhan bahan makanan semakin

PENDAHULUAN. Latar Belakang. pendapatan perkapita masyarakat, kebutuhan bahan makanan semakin PENDAHULUAN Latar Belakang Seiring dengan semakin meningkatnya jumlah penduduk dan pendapatan perkapita masyarakat, kebutuhan bahan makanan semakin meningkat, tidak terkecuali pangan asal hewan terutama

Lebih terperinci

ABSTRACT. Keywords: Graphium agamemnon, Graphium doson, Mechelia champaca, Annona muricata, life cycle, food consumption.

ABSTRACT. Keywords: Graphium agamemnon, Graphium doson, Mechelia champaca, Annona muricata, life cycle, food consumption. ABSTRACT ESWA TRESNAWATI. The Life Cycle and Growth of Graphium agamemnon L. and Graphium doson C&R. Butterflies (Papilionidae: Lepidoptera) Fed by Cempaka (Michelia champaca) and Soursoup (Annona muricata).

Lebih terperinci

Gambar 2.1. Kambing yang terdapat di Desa Amplas

Gambar 2.1. Kambing yang terdapat di Desa Amplas 4 BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Kambing Kambing merupakan binatang memamah biak yang berukuran sedang. Kambing ternak (Capra aegagrus hircus) adalah sub spesies kambing liar yang secara alami tersebar di

Lebih terperinci

PROFIL SEL β PULAU LANGERHANS JARINGAN PANKREAS TIKUS DIABETES MELLITUS YANG DIBERI VIRGIN COCONUT OIL (VCO) AMILIA DAYATRI URAY

PROFIL SEL β PULAU LANGERHANS JARINGAN PANKREAS TIKUS DIABETES MELLITUS YANG DIBERI VIRGIN COCONUT OIL (VCO) AMILIA DAYATRI URAY PROFIL SEL β PULAU LANGERHANS JARINGAN PANKREAS TIKUS DIABETES MELLITUS YANG DIBERI VIRGIN COCONUT OIL (VCO) AMILIA DAYATRI URAY FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2009 ABSTRACT AMILIA

Lebih terperinci

PENAMPILAN PRODUKSI DAN KUALITAS DAGING KERBAU DENGAN PENAMBAHAN PROBIOTIK, KUNYIT DAN TEMULAWAK PADA PAKAN PENGGEMUKAN SKRIPSI NOVARA RAHMAT

PENAMPILAN PRODUKSI DAN KUALITAS DAGING KERBAU DENGAN PENAMBAHAN PROBIOTIK, KUNYIT DAN TEMULAWAK PADA PAKAN PENGGEMUKAN SKRIPSI NOVARA RAHMAT PENAMPILAN PRODUKSI DAN KUALITAS DAGING KERBAU DENGAN PENAMBAHAN PROBIOTIK, KUNYIT DAN TEMULAWAK PADA PAKAN PENGGEMUKAN SKRIPSI NOVARA RAHMAT PROGRAM STUDI TEKNOLOGI HASIL TERNAK FAKULTAS PETERNAKAN INSTITUT

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. sebagai penghasil telur dan daging sehingga banyak dibudidayakan oleh

PENDAHULUAN. sebagai penghasil telur dan daging sehingga banyak dibudidayakan oleh I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Ayam kampung merupakan salah satu jenis unggas lokal yang berpotensi sebagai penghasil telur dan daging sehingga banyak dibudidayakan oleh masyarakat terutama yang bertempat

Lebih terperinci

I PENDAHULUAN. (1.5) Kerangka Pemikiran, (1.6) Hipotesis Penelitian, dan (1.7) Waktu dan

I PENDAHULUAN. (1.5) Kerangka Pemikiran, (1.6) Hipotesis Penelitian, dan (1.7) Waktu dan I PENDAHULUAN Bab ini menguraikan mengenai : (1.1) Latar Belakang Penelitian, (1.2) Identifikasi Masalah, (1.3) Tujuan Penelitian, (1.4) Manfaat Penelitian, (1.5) Kerangka Pemikiran, (1.6) Hipotesis Penelitian,

Lebih terperinci

EFEK PEMBERIAN V IRGIN COCONUT OIL

EFEK PEMBERIAN V IRGIN COCONUT OIL EFEK PEMBERIAN VIRGIN COCONUT OIL (VCO) TERHADAP PROFIL IMUNOHISTOKIMIA ANTIOKSIDAN SUPEROXIDE DISMUTASE (SOD) PADA JARINGAN GINJAL TIKUS DIABETES MELLITUS NOVITA SARI FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN INSTITUT

Lebih terperinci

PENGARUH PEMBERIAN EKSTRAK BUAH NANAS

PENGARUH PEMBERIAN EKSTRAK BUAH NANAS ABSTRAK PENGARUH PEMBERIAN EKSTRAK BUAH NANAS (Ananas comosus (L.) Merr.) MUDA DAN TUA TERHADAP JUMLAH JANIN MATI MENCIT BETINA GALUR SWISS WEBSTER BUNTING AWAL DAN AKHIR Naurah Alzena Hana Dhea, 1210005

Lebih terperinci

PRODUKSI BIOMASSA PROBIOTIK KHAMIR DALAM MEDIA EKSTRAK UBI JALAR DALAM SKALA FERMENTOR 18L

PRODUKSI BIOMASSA PROBIOTIK KHAMIR DALAM MEDIA EKSTRAK UBI JALAR DALAM SKALA FERMENTOR 18L PRODUKSI BIOMASSA PROBIOTIK KHAMIR DALAM MEDIA EKSTRAK UBI JALAR DALAM SKALA FERMENTOR 18L Nuniek Lelananingtias, Dinardi dan I.Sugoro Pusat Aplikasi Teknologi Isotop dan Radiasi BATAN nuniek@batan.go.id

Lebih terperinci

MODIFIKASI TEPUNG PISANG TANDUK

MODIFIKASI TEPUNG PISANG TANDUK MODIFIKASI TEPUNG PISANG TANDUK (Musa paradisiaca Formatypica) MELALUI PROSES FERMENTASI SPONTAN DAN PEMANASAN OTOKLAF UNTUK MENINGKATKAN KADAR PATI RESISTEN FATIMAH ABDILLAH SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT

Lebih terperinci

Khamir Lebih sering dikenal sebagai ragi/yeast Termasuk kapang, namun berbentuk sel tunggal/uniseluler. Dari kelompok Ascomycetes dan Basidiomycetes T

Khamir Lebih sering dikenal sebagai ragi/yeast Termasuk kapang, namun berbentuk sel tunggal/uniseluler. Dari kelompok Ascomycetes dan Basidiomycetes T Khamir Lebih sering dikenal sebagai ragi/yeast Termasuk kapang, namun berbentuk sel tunggal/uniseluler. Dari kelompok Ascomycetes dan Basidiomycetes Tersebar luas di alam. Ada yang bermanfaat adapula yg

Lebih terperinci

DESAIN DAN SINTESIS AMINA SEKUNDER RANTAI KARBON GENAP DARI ASAM KARBOKSILAT RANTAI PANJANG RAHMAD FAJAR SIDIK

DESAIN DAN SINTESIS AMINA SEKUNDER RANTAI KARBON GENAP DARI ASAM KARBOKSILAT RANTAI PANJANG RAHMAD FAJAR SIDIK DESAIN DAN SINTESIS AMINA SEKUNDER RANTAI KARBON GENAP DARI ASAM KARBOKSILAT RANTAI PANJANG RAHMAD FAJAR SIDIK SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2007 PERNYATAAN TENTANG TESIS DAN SUMBER

Lebih terperinci

ABSTRAK. EFEK ANTELMINTIK EKSTRAK ETANOL DAUN PARE (Momordica charantia L.) TERHADAP CACING Ascaris suum BETINA SECARA IN VITRO

ABSTRAK. EFEK ANTELMINTIK EKSTRAK ETANOL DAUN PARE (Momordica charantia L.) TERHADAP CACING Ascaris suum BETINA SECARA IN VITRO ABSTRAK EFEK ANTELMINTIK EKSTRAK ETANOL DAUN PARE (Momordica charantia L.) TERHADAP CACING Ascaris suum BETINA SECARA IN VITRO Maria Y. N, 2011; Pembimbing I : Rita Tjokropranoto, dr, M.Sc Pembimbing II:

Lebih terperinci

KOMBINASI PENGGUNAAN PROBIOTIK MIKROBA RUMEN DENGAN SUPLEMEN KATALITIK PADA PAKAN DOMBA RANTAN KRISNAN

KOMBINASI PENGGUNAAN PROBIOTIK MIKROBA RUMEN DENGAN SUPLEMEN KATALITIK PADA PAKAN DOMBA RANTAN KRISNAN KOMBINASI PENGGUNAAN PROBIOTIK MIKROBA RUMEN DENGAN SUPLEMEN KATALITIK PADA PAKAN DOMBA RANTAN KRISNAN SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2008 PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI

Lebih terperinci

ABSTRAK. Susan, 2007, Pembimbing I : Sylvia Soeng, dr., M.Kes. Pembimbing II : Sri Utami S., Dra., M.Kes.

ABSTRAK. Susan, 2007, Pembimbing I : Sylvia Soeng, dr., M.Kes. Pembimbing II : Sri Utami S., Dra., M.Kes. ABSTRAK PENGARUH PASTA TOMAT (Solanum lycopersicum) TERHADAP KECEPATAN GERAK, JUMLAH, DAN VIABILITAS SPERMATOZOA PADA MENCIT GALUR BALB/c YANG MENGALAMI SPERMIOTOKSISITAS AKIBAT INDUKSI SISPLATIN Susan,

Lebih terperinci

PRODUKTIVITAS ULAT TEPUNG (Tenebrio molitor L.) PADA FASE LARVA DENGAN MEDIA MENGANDUNG ONGGOK SKRIPSI ACHMAD RIZAL

PRODUKTIVITAS ULAT TEPUNG (Tenebrio molitor L.) PADA FASE LARVA DENGAN MEDIA MENGANDUNG ONGGOK SKRIPSI ACHMAD RIZAL PRODUKTIVITAS ULAT TEPUNG (Tenebrio molitor L.) PADA FASE LARVA DENGAN MEDIA MENGANDUNG ONGGOK SKRIPSI ACHMAD RIZAL PROGRAM STUDI TEKNOLOGI PRODUKSI TERNAK FAKULTAS PETERNAKAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Ascaris lumbricoides Manusia merupakan hospes beberapa nematoda usus. Sebagian besar nematoda ini menyebabkan masalah kesehatan masyarakat Indonesia (FKUI, 1998). Termasuk dalam

Lebih terperinci

SKRIPSI BUHARI MUSLIM

SKRIPSI BUHARI MUSLIM KECERNAAN ENERGI DAN ENERGI TERMETABOLIS RANSUM BIOMASSA UBI JALAR DENGAN SUPLEMENTASI UREA ATAU DL-METHIONIN PADA KELINCI JANTAN PERSILANGAN LEPAS SAPIH SKRIPSI BUHARI MUSLIM PROGRAM STUDI ILMU NUTRISI

Lebih terperinci

POPULASI PROTOZOA, BAKTERI DAN KARAKTERISTIK FERMENTASI RUMEN SAPI PERANAKAN ONGOLE SECARA IN VITRO

POPULASI PROTOZOA, BAKTERI DAN KARAKTERISTIK FERMENTASI RUMEN SAPI PERANAKAN ONGOLE SECARA IN VITRO EVALUASI SUPLEMENTASI EKSTRAK LERAK (Sapindus rarak) TERHADAP POPULASI PROTOZOA, BAKTERI DAN KARAKTERISTIK FERMENTASI RUMEN SAPI PERANAKAN ONGOLE SECARA IN VITRO SKRIPSI ARISMA KURNIAWATI DEPARTEMEN ILMU

Lebih terperinci

PEMANFAATAN PULPA KAKAO UNTUK MEMPRODUKSI ASAM ASETAT DENGAN MENGGUNAKAN RAGI ROTI DAN AERASI MARGARETHA HAUMASSE

PEMANFAATAN PULPA KAKAO UNTUK MEMPRODUKSI ASAM ASETAT DENGAN MENGGUNAKAN RAGI ROTI DAN AERASI MARGARETHA HAUMASSE PEMANFAATAN PULPA KAKAO UNTUK MEMPRODUKSI ASAM ASETAT DENGAN MENGGUNAKAN RAGI ROTI DAN AERASI MARGARETHA HAUMASSE SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2009 PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Menurut Kalshoven (1981), adapun sistematika dari hama ini adalah

TINJAUAN PUSTAKA. Menurut Kalshoven (1981), adapun sistematika dari hama ini adalah TINJAUAN PUSTAKA Biologi Hama Menurut Kalshoven (1981), adapun sistematika dari hama ini adalah Kingdom Filum Class Ordo Famili Genus : Animalia : Arthopoda : Insekta : Lepidoptera : Plutellidae : Plutella

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Jamur Trichoderma sp. Jamur tanah merupakan salah satu golongan yang penting dari golongangolongan populasi tanah yang tersebar secara luas. Bentuk-bentuk tertentu merupakan

Lebih terperinci

POTENSI HEPATOPROTEKTOR EKSTRAK ROSELLA (Hibiscus sabdariffa L) TERHADAP HATI TIKUS YANG DIINDUKSI PARASETAMOL QAMARUDDIN ARYADI

POTENSI HEPATOPROTEKTOR EKSTRAK ROSELLA (Hibiscus sabdariffa L) TERHADAP HATI TIKUS YANG DIINDUKSI PARASETAMOL QAMARUDDIN ARYADI POTENSI HEPATOPROTEKTOR EKSTRAK ROSELLA (Hibiscus sabdariffa L) TERHADAP HATI TIKUS YANG DIINDUKSI PARASETAMOL QAMARUDDIN ARYADI PROGRAM STUDI BIOKIMIA FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM INSTITUT

Lebih terperinci

KOREKSI KONSTRUKSI PERANGKAP JODANG PENANGKAP KEONG MACAN DI PALABUHANRATU, SUKABUMI, JAWA BARAT AYU ADHITA DAMAYANTI

KOREKSI KONSTRUKSI PERANGKAP JODANG PENANGKAP KEONG MACAN DI PALABUHANRATU, SUKABUMI, JAWA BARAT AYU ADHITA DAMAYANTI KOREKSI KONSTRUKSI PERANGKAP JODANG PENANGKAP KEONG MACAN DI PALABUHANRATU, SUKABUMI, JAWA BARAT AYU ADHITA DAMAYANTI SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2009 PERNYATAAN MENGENAI TESIS

Lebih terperinci

RESPON AYAM LOKAL DI BALI DAN LOHMAN BROWN TERHADAP INFEKSI Ascaridia galli

RESPON AYAM LOKAL DI BALI DAN LOHMAN BROWN TERHADAP INFEKSI Ascaridia galli TESIS RESPON AYAM LOKAL DI BALI DAN LOHMAN BROWN TERHADAP INFEKSI Ascaridia galli ANAK AGUNG ISTRI AGUNG MIRAH DWIJA PROGRAM PASCASARJANA UNIVERSITAS UDAYANA DENPASAR 2016 TESIS RESPON AYAM LOKAL DI BALI

Lebih terperinci

KAJIAN PENGGUNAAN AIR KELAPA DENGAN PENAMBAHAN BERBAGAI KONSENTRASI SUSU SKIM SEBAGAI MEDIA PERTUMBUHAN KULTUR YOGURT

KAJIAN PENGGUNAAN AIR KELAPA DENGAN PENAMBAHAN BERBAGAI KONSENTRASI SUSU SKIM SEBAGAI MEDIA PERTUMBUHAN KULTUR YOGURT KAJIAN PENGGUNAAN AIR KELAPA DENGAN PENAMBAHAN BERBAGAI KONSENTRASI SUSU SKIM SEBAGAI MEDIA PERTUMBUHAN KULTUR YOGURT (Streptococcus thermophilus DAN Lactobacillus bulgaricus) SKRIPSI OLEH: FELICIA NOVITA

Lebih terperinci

BAB IV Pemilihan Jamur untuk Produksi Lakase

BAB IV Pemilihan Jamur untuk Produksi Lakase BAB IV Pemilihan Jamur untuk Produksi Lakase Abstrak Jamur pelapuk putih merupakan mikroorganisme yang mampu mendegradasi lignin pada proses pelapukan kayu. Degradasi lignin melibatkan aktivitas enzim

Lebih terperinci

ABSTRAK. Antonius Budi Santoso, Pembimbing I: Sylvia Soeng, dr. M.Kes. Pembimbing II: Sri Utami Sugeng, Dra., M.Kes.

ABSTRAK. Antonius Budi Santoso, Pembimbing I: Sylvia Soeng, dr. M.Kes. Pembimbing II: Sri Utami Sugeng, Dra., M.Kes. ABSTRAK PENGARUH PEMBERIAN TEPUNG TEMPE KEDELAI (Glycine max (L.) Merrill) SELAMA MASA PREPUBERTALTERHADAP VIABILITAS SPERMATOZOA MENCIT JANTAN GALUR SWISS WEBSTER Antonius Budi Santoso, 2007. Pembimbing

Lebih terperinci

BAHAN DAN METODE Tempat dan Waktu Bahan Peremajaan Aktinomiset dari Kultur Penyimpanan Perbanyakan Sclerotium rolfsii dari Kultur Penyimpanan

BAHAN DAN METODE Tempat dan Waktu Bahan Peremajaan Aktinomiset dari Kultur Penyimpanan Perbanyakan Sclerotium rolfsii dari Kultur Penyimpanan BAHAN DAN METODE Tempat dan Waktu Penelitian dilaksanakan di Laboratorium Bakteriologi Tumbuhan, Departemen Proteksi Tanaman, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor (IPB) mulai Maret 2011 sampai

Lebih terperinci

III. BAHAN DAN METODE. Tanaman, serta Laboratorium Lapang Terpadu, Fakultas Pertanian, Universitas

III. BAHAN DAN METODE. Tanaman, serta Laboratorium Lapang Terpadu, Fakultas Pertanian, Universitas 13 III. BAHAN DAN METODE 3.1 Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Hama dan Penyakit Bidang Proteksi Tanaman, serta Laboratorium Lapang Terpadu, Fakultas Pertanian, Universitas

Lebih terperinci

Tabel 1 Nilai (rataan ± SD) PBBH, FEC, dan gambaran darah domba selama masa infeksi Parameter Amatan Domba

Tabel 1 Nilai (rataan ± SD) PBBH, FEC, dan gambaran darah domba selama masa infeksi Parameter Amatan Domba 3 Diferensiasi SDP dilakukan berbasis preparat ulas darah total. Darah diulas di preparat kemudian difiksasi dengan metanol selama 2 menit. Preparat ulas darah diwarnai menggunakan pewarna giemsa selama

Lebih terperinci

PREDIKSI KECEPATAN PHASE GELOMBANG SOLITER TERGANGGU AHMAD HAKIM

PREDIKSI KECEPATAN PHASE GELOMBANG SOLITER TERGANGGU AHMAD HAKIM PREDIKSI KECEPATAN PHASE GELOMBANG SOLITER TERGANGGU AHMAD HAKIM SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2009 PERYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI Dengan ini saya menyatakan bahwa

Lebih terperinci

TOTAL PRODUKSI GAS DAN DEGRADASI BERBAGAI HIJAUAN TROPIS PADA MEDIA RUMEN DOMBA YANG DIBERI PAKAN MENGANDUNG SAPONIN DAN TANIN SKRIPSI RIANI JANUARTI

TOTAL PRODUKSI GAS DAN DEGRADASI BERBAGAI HIJAUAN TROPIS PADA MEDIA RUMEN DOMBA YANG DIBERI PAKAN MENGANDUNG SAPONIN DAN TANIN SKRIPSI RIANI JANUARTI TOTAL PRODUKSI GAS DAN DEGRADASI BERBAGAI HIJAUAN TROPIS PADA MEDIA RUMEN DOMBA YANG DIBERI PAKAN MENGANDUNG SAPONIN DAN TANIN SKRIPSI RIANI JANUARTI DEPARTEMEN ILMU NUTRISI DAN TEKNOLOGI PAKAN FAKULTAS

Lebih terperinci

ANALISIS KETAHANAN DAN APLIKASINYA UNTUK PEMODELAN INTERVAL KELAHIRAN ANAK PERTAMA HARNANTO

ANALISIS KETAHANAN DAN APLIKASINYA UNTUK PEMODELAN INTERVAL KELAHIRAN ANAK PERTAMA HARNANTO ANALISIS KETAHANAN DAN APLIKASINYA UNTUK PEMODELAN INTERVAL KELAHIRAN ANAK PERTAMA HARNANTO SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2008 PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI Dengan

Lebih terperinci

ANALISIS ENERGI DAN EKSERGI PADA PRODUKSI BIODIESEL BERBAHAN BAKU CPO (Crude Palm oil) RISWANTI SIGALINGGING

ANALISIS ENERGI DAN EKSERGI PADA PRODUKSI BIODIESEL BERBAHAN BAKU CPO (Crude Palm oil) RISWANTI SIGALINGGING ANALISIS ENERGI DAN EKSERGI PADA PRODUKSI BIODIESEL BERBAHAN BAKU CPO (Crude Palm oil) RISWANTI SIGALINGGING SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2008 i PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER

Lebih terperinci

DISTRIBUSI DAN PREFERENSI HABITAT SPONS KELAS DEMOSPONGIAE DI KEPULAUAN SERIBU PROVINSI DKI JAKARTA KARJO KARDONO HANDOJO

DISTRIBUSI DAN PREFERENSI HABITAT SPONS KELAS DEMOSPONGIAE DI KEPULAUAN SERIBU PROVINSI DKI JAKARTA KARJO KARDONO HANDOJO DISTRIBUSI DAN PREFERENSI HABITAT SPONS KELAS DEMOSPONGIAE DI KEPULAUAN SERIBU PROVINSI DKI JAKARTA KARJO KARDONO HANDOJO SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2006 PERNYATAAN MENGENAI TESIS

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. ditumbuhkan dalam substrat. Starter merupakan populasi mikroba dalam jumlah

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. ditumbuhkan dalam substrat. Starter merupakan populasi mikroba dalam jumlah 3 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Fermentasi Fermentasi merupakan suatu proses perubahan kimia pada suatu substrat organik melalui aktivitas enzim yang dihasilkan oleh mikroorganisme (Suprihatin, 2010). Proses

Lebih terperinci

PENAMPILAN ANAK ITIK YANG DIPELIHARA BERDASARKAN KELOMPOK BOBOT TETAS KECIL, BESAR DAN CAMPURAN SKRIPSI KOMARUDIN

PENAMPILAN ANAK ITIK YANG DIPELIHARA BERDASARKAN KELOMPOK BOBOT TETAS KECIL, BESAR DAN CAMPURAN SKRIPSI KOMARUDIN PENAMPILAN ANAK ITIK YANG DIPELIHARA BERDASARKAN KELOMPOK BOBOT TETAS KECIL, BESAR DAN CAMPURAN SKRIPSI KOMARUDIN PROGRAM STUDI TEKNOLOGI PRODUKSI TERNAK FAKULTAS PETERNAKAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2007

Lebih terperinci

KEMAMPUAN BERBAGAI KOMBINASI ISOLAT BAKTERI SIMBION RAYAP DENGAN ISOLAT BAKTERI RUMEN DALAM MENDEGRADASIKAN PAKAN SUMBER SERAT

KEMAMPUAN BERBAGAI KOMBINASI ISOLAT BAKTERI SIMBION RAYAP DENGAN ISOLAT BAKTERI RUMEN DALAM MENDEGRADASIKAN PAKAN SUMBER SERAT KEMAMPUAN BERBAGAI KOMBINASI ISOLAT BAKTERI SIMBION RAYAP DENGAN ISOLAT BAKTERI RUMEN DALAM MENDEGRADASIKAN PAKAN SUMBER SERAT SKRIPSI DIETA PUSPITASARI DEPARTEMEN ILMU NUTRISI DAN TEKNOLOGI PAKAN FAKULTAS

Lebih terperinci

DAYA REDUKSI KAPANG A. Oligospora DAN Verticillium Spp. TERHADAP LARVA 3 H. contortus: STUDI PENDAHULUAN

DAYA REDUKSI KAPANG A. Oligospora DAN Verticillium Spp. TERHADAP LARVA 3 H. contortus: STUDI PENDAHULUAN DAYA REDUKSI KAPANG A. Oligospora DAN Verticillium Spp. TERHADAP LARVA 3 H. contortus: STUDI PENDAHULUAN (The Reduction Capacity of A. Oligospora and Verticillium spp. Molds Against to H. Contortus Larvae

Lebih terperinci

MODEL DISTRIBUSI PERTUMBUHAN EKONOMI ANTARKELOMPOK PADA DUA DAERAH ADE LINA HERLIANI

MODEL DISTRIBUSI PERTUMBUHAN EKONOMI ANTARKELOMPOK PADA DUA DAERAH ADE LINA HERLIANI MODEL DISTRIBUSI PERTUMBUHAN EKONOMI ANTARKELOMPOK PADA DUA DAERAH ADE LINA HERLIANI SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2009 PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI Dengan ini saya

Lebih terperinci

MODEL DISTRIBUSI PERTUMBUHAN EKONOMI ANTARKELOMPOK PADA DUA DAERAH ADE LINA HERLIANI

MODEL DISTRIBUSI PERTUMBUHAN EKONOMI ANTARKELOMPOK PADA DUA DAERAH ADE LINA HERLIANI MODEL DISTRIBUSI PERTUMBUHAN EKONOMI ANTARKELOMPOK PADA DUA DAERAH ADE LINA HERLIANI SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2009 PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI Dengan ini saya

Lebih terperinci

SIFAT KIMIA KREKER YANG DIBERI PERLAKUAN SUBSTITUSI TEPUNG DAGING SAPI DAN PERUBAHAN BILANGAN TBA KREKER SELAMA PENYIMPANAN SKRIPSI WIEKE FAUZIAH

SIFAT KIMIA KREKER YANG DIBERI PERLAKUAN SUBSTITUSI TEPUNG DAGING SAPI DAN PERUBAHAN BILANGAN TBA KREKER SELAMA PENYIMPANAN SKRIPSI WIEKE FAUZIAH SIFAT KIMIA KREKER YANG DIBERI PERLAKUAN SUBSTITUSI TEPUNG DAGING SAPI DAN PERUBAHAN BILANGAN TBA KREKER SELAMA PENYIMPANAN SKRIPSI WIEKE FAUZIAH PROGRAM STUDI TEKNOLOGI HASIL TERNAK FAKULTAS PETERNAKAN

Lebih terperinci

FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI APLIKASI Duddingtonia flagransdi DALAM MEREDUKSI LARVA Haemonchus contortus DI LAPANG RUMPUT

FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI APLIKASI Duddingtonia flagransdi DALAM MEREDUKSI LARVA Haemonchus contortus DI LAPANG RUMPUT FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI APLIKASI Duddingtonia flagransdi DALAM MEREDUKSI LARVA Haemonchus contortus DI LAPANG RUMPUT (The Influence of Factors for Duddingtonia flagrans Application in Reduction

Lebih terperinci

A. Isolasi Mikrobia merupakan proses pemisahan mikrobia dari lingkungannya di alam dan menumbuhkannya sebagai biakan murni dalam medium buatan harus

A. Isolasi Mikrobia merupakan proses pemisahan mikrobia dari lingkungannya di alam dan menumbuhkannya sebagai biakan murni dalam medium buatan harus A. Isolasi Mikrobia merupakan proses pemisahan mikrobia dari lingkungannya di alam dan menumbuhkannya sebagai biakan murni dalam medium buatan harus diketahui cara-cara penumbuhan mikrobia pada media biakan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Ikan mas (Cyprinus carpio L) merupakan salah satu jenis ikan air tawar

I. PENDAHULUAN. Ikan mas (Cyprinus carpio L) merupakan salah satu jenis ikan air tawar I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Ikan mas (Cyprinus carpio L) merupakan salah satu jenis ikan air tawar yang sangat populer di masyarakat. Selain dagingnya yang enak, ikan mas juga memiliki nilai jual

Lebih terperinci