V. HASIL DAN PEMBAHASAN

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "V. HASIL DAN PEMBAHASAN"

Transkripsi

1 51 V. HASIL DAN PEMBAHASAN Berdasarkan hasil pengumpulan data selama penelitian di ketiga lokasi yaitu TNBK, TNGGP, dan TNAP diketahui bahwa pada ketiga taman nasional tersebut terdapat 33 resort. Di TNBK terdapat 5 resort, TNGGP terdapat 22 resort dan di TNAP terdapat 6 resort. Gambaran mengenai kondisi kinerja pengamanan diuraikan berikut ini : 5.1. Deskripsi Pengamanan Kawasan Jumlah personel pengamanan Idealnya untuk menentukan jumlah personel pengamanan yang dibutuhkan didasarkan pada kriteria tertentu seperti rasio jumlah personel per luas area, panjang batas kawasan dan intensitas tekanan masyarakat terhadap kawasan. Jika berdasarkan rasio jumlah personel per area maka pada ketiga taman nasional dapat dihitung rata-rata jumlah personel per area sebagaimana disajikan pada Tabel 3. Tabel 3 Jumlah personel pengamanan pada ketiga taman nasional No. Jumlah Personel Betung Kerihun Gn. Gede Pangrango Alas Purwo 1. Jumlah Personel pengamanan Jumlah personel ditempatkan di Resort Rata-rata jumlah personel per resort Rata-rata rasio jumlah personel per area (ha) 1 : ha 1 : 519,3 ha 1 : 1.447,33 ha Dari data di atas diketahui rata-rata rasio jumlah personel pengamanan per area pada ketiga taman nasional berbeda-beda. Perbedaan tersebut dapat terjadi karena sampai dengan saat ini belum tersedia standar yang dapat dijadikan acuan secara umum untuk menetapkan jumlah personel pengamanan per luas area pada setiap resort-resort taman nasional. Penentuan standar jumlah personel pengamanan per area sulit dilakukan karena setiap taman nasional mempunyai karakteristik biofisik dan tingkat ancaman yang berbeda-beda. Meskipun demikian beberapa

2 52 pihak berupaya membuat benchmark terkait dengan rasio jumlah personel per luas area. Menurut Rambaldi (2000) sebaiknya perbandingan jumlah personel pengamanan per luas rea adalah 1 orang per 1000 hektar. Rasio tersebut merupakan hasil studi kasus mengenai efisiensi jumlah personel pengamanan yang dilakukan pada delapan kawasan konservasi di Filipina. Berdasarkan rasio tersebut apabila diterapkan pada ketiga taman nasional hanya TNGGP yang sebagian besar resortnya mempunyai perbandingan mendekati 1 orang : 1000 hektar. Meskipun mendekati perbandingan tersebut bahkan di bawahnya, kenyataannya pengamanan belum dapat berjalan dengan efektif. Hal ini ditunjukkan dengan masih terjadinya gangguan pada semua resort di TNGGP. Berkaitan dengan jumlah personel pengamanan, sebenarnya Departemen Kehutanan sudah menyusun aturan mengenai jumlah personel pengamanan pada setiap resort. Aturan tersebut tertuang dalam Keputusan Bersama Menteri Kehutanan dan Kepala Kepolisian Republik Indonesia Nomor : 10/Kpts-11/93-Skep/07/I/93 tentang Susunan Organisasi dan Tata Kerja Jagawana. Dalam peraturan tersebut dinyatakan bahwa jumlah personel dalam satuan tugas resort terdiri dari 10 (sepuluh) orang. Peraturan lain yang mengatur tentang jumlah personel pada setiap resort adalah Keputusan Menteri Kehutanan dan Perkebunan Nomor : 597/Kpts- VI/1998 tentang Satuan Tugas Operasional Jagawana yang menyebutkan bahwa Satuan Jagawana/Polisi Kehutanan (Polhut) yang berkedudukan di resort/subseksi Balai terdiri dari 11 (sebelas) orang atau lebih. Kenyataan menunjukkan bahwa jumlah personel per resort pada ketiga lokasi penelitian jauh di bawah jumlah yang ditetapkan dalam kedua peraturan tersebut. Berdasarkan data selama 5 tahun terakhir menunjukkan jumlah personel pengamanan di TNGGP hanya bertambah 2 orang (Balai TNGGP 2009). Selama 5 tahun terakhir jumlah personel pengamanan di TNBK tidak bertambah malah berkurang 2 orang, sedangkan jumlah personel pengamanan di TNAP selama 5 tahun terakhir hanya bertambah 3 orang.

3 53 Kondisi demikian akan sulit untuk mengharapkan jumlah personel pengamanan dapat mencapai jumlah yang sesuai dengan ketetapan yang diatur pada kedua peraturan di atas. Dinamika perkembangan jumlah Polhut dalam 5 tahun terakhir pada ketiga taman nasional mununjukkan kurangnya kemampuan pemerintah dalam menyediakan personel pengamanan. Kondisi demikian sebenarnya sudah disadari oleh para pengelola taman nasional. Untuk mengatasi kekurangan personel pengamanan para pengelola di ketiga taman nasional melakukannya dengan membuat kebijakan di tingkat internal unit pengelola. Balai TNGGP melakukannya dengan mengangkat pegawai nonstruktural (bukan fungsional) menjadi Pegawai Perlindungan Hutan Non Fungsional (PPHNF). Balai TNAP dalam menempatkan personel di resortresort menerapkan jumlah minimal personel pengamanan yang harus ada di resort. Balai TNBK merekrut masyarakat di sekitar kawasan untuk membantu tugas-tugas Polhut. Kebijakan-kebijakan yang sudah dilakukan oleh pengelola di ketiga taman nasional, apabila dikaitkan dengan tugas dan wewewang resort maka penerapan jumlah minimal di setiap resort yang dilakukan oleh TNAP merupakan kebijakan yang perlu dijadikan contoh. Penerapan jumlah minimal personel pengamanan pada setiap resort menjadikan setiap resort tidak pernah kosong (selalu ada personel pengamanan di resort) sehingga kegiatan pengamanan dapat intensif dilakukan. Data selengkapnya mengenai personel pengamanan pada semua resort di ketiga taman nasional dapat dilihat pada tabel Lampiran Kualifikasi Personel Kualifikasi personel pengamanan berhubungan dengan latar belakang pendidikan dan pelatihan yang pernah diikuti. Secara singkat kualifikasi personel pengamanan pada ketiga taman nasional dapat dilihat pada Tabel 4.

4 54 Tabel 4 Kualifikasi personel pengamanan pada ketiga taman nasional No. Kualifikasi Personel 1. Tingkat pendidikan 2. Rata-rata jumlah pendidikan dan pelatihan yang pernah diikuti Betung Kerihun Sebagian besar tamatan SMA/Sederajat Gn. Gede Pangrango Sebagian besar tamatan SMA/Sederajat Alas Purwo Sebagian besar tamatan SMA/Sederajat Berdasarkan latar belakang pendidikan sebagian besar personel pengamanan mempunyai latar belakang pendidikan SMA/sederajat. Jumlah personel yang memiliki latar belakang pendidikan SMA/Sederajat adalah 74 dari 82 orang personel pengamanan (90%). Personel lainnya memiliki latar belakang Sarjana dan Diploma III. Personel yang memiliki latar belakang Sarjana terdapat di resort Kucur di TNAP, resort Selabintana di TNGGP. Personel dengan latar belakang pendidikan setingkat Diploma III dapat dijumpai di TNBK seperti di resort Sadap dan Nanga Potan. Disamping latar belakang pendidikan kompetensi seorang Polhut akan sangat menentukan keberhasilan pelaksaanan tugasnya. Pada umumnya kompetensi seorang Polhut adalah di bidang penegakan hukum, namun dinamika dalam pengelolaan taman nasional menghendaki tidak hanya kompetensi dalam bidang penegakan hukum. Appleton et al. (2003) merekomendasikan bahwa seorang Polhut juga harus mempunyai kompetensi dalam bidang pendidikan dan penyadaran masyarakat serta kehumasan. Kemampuan demikian akan sangat bermanfaat khususnya untuk menangani gangguan sebagaimana yang terjadi di TNGGP, yaitu gangguan yang diakibatkan karena ketergantungan masyarakat terhadap sumberdaya hutan seperti pencurian kayu bakar. Kompetensi adalah kelayakan kemampuan seseorang dalam melaksanakan suatu tugas. Kompetensi seseorang terkadang berbeda dengan latar belakang pendidikannya. Kompetensi seseorang lebih sering

5 55 dibentuk oleh pembelajaran atau pelatihan yang pernah dialami oleh seseorang (Tri Hermawan 2006). Dari keseluruhan personel pengamanan hanya sebagian kecil yang berasal dari SMA yang sesuai dengan bidang pekerjaan yang sekarang dijalani yaitu berasal dari SMA jurusan kehutanan (SKMA : Sekolah Kehutanan Menengah Atas). Personel lainnya umumnya berasal dari SMA dan sebagian memiliki latar belakang yang berbeda dengan bidang profesi yang sekarang dijalani, seperti SMEA Tata Buku, STM Bangunan, dan juga SPMA (Sekolah Pertanian). Dengan berbagai macam latar belakang pendidikan tersebut ketrampilan dan keahlian yang dimiliki lebih banyak didapatkan dengan mengikuti pendidikan dan pelatihan atau secara otodidak dalam melaksanakan tugas sehari-hari. Data selengkapnya mengenai kualifikasi personel pengamanan pada semua resort di ketiga taman nasional dapat dilihat pada tabel Lampiran Sarana Pengamanan Untuk mendukung kelancaran pelaksanaan kegiatan perlindungan dan pengamanan kawasan di tingkat resort maka setiap resort perlu ditunjang dengan sarana dan prasarana yang memadai. Sarana pengamanan bagi Polhut berupa peralatan untuk menunjang kegiatan perlindungan dan pengamanan yang kebutuhannya disesuaikan dengan kondisi masing-masing resort. Secara singkat sarana pengamanan yang terdapat pada ketiga taman nasional disajikan pada Tabel 5. Sarana untuk satuan unit resort sudah diatur dalam Surat Keputusan Menteri Kehutanan dan Perkebunan Nomor : 597/Kpts- VI/1998 Tanggal 18 Agustus 1998 tentang Satuan Tugas Operasional Jagawana. Bahkan saat ini, peraturan yang mengatur standar peralatan untuk Polhut telah diterbitkan yaitu melalui Peraturan Menteri Kehutanan Nomor : P.5/Menhut-II/2010 tentang Standar Peralatan Polisi Kehutanan. Peraturan Menteri Kehutanan Nomor : P.5/Menhut-II/2010 tentang Standar Peralatan Polisi Kehutanan tergolong masih baru sehingga belum dijadikan pedoman oleh para pengelola taman nasional dalam penyediaan sarana dan prasarana pengamanan. Sebelum peraturan tersebut diterbitkan

6 56 sebenarnya para pengelola taman nasional (Balai ) sudah berusaha untuk menyediakan sarana pengamanan yang jenisnya sudah disesuaikan dengan karakteristik masing-masing resort, namun kenyataannya pada beberapa taman nasional terdapat beberapa sarana yang belum tersedia di resort seperti : GPS (Global Positioning System) di TNBK dan TNGGP, senjata yang belum tersedia di semua resort di TNBK. Disamping itu beberapa sarana pengamanan dalam keadaan rusak berat seperti : speed boat di TNBK dan TNAP, beberapa alat komunikasi di TNBK dan TNGGP. Dengan kondisi sarana demikian tidak akan dapat menunjang kegiatan perlindungan dan pengamanan di tingkat resort dengan optimal. Tabel 5 Sarana pengamanan pada ketiga taman nasional No. Sarana Pengamanan Betung Kerihun 1. Alat Transportasi Tersedia, sebagian besar dalam keadaan rusak Gn. Gede Pangrango Tersedia, sebagian kecil dalam keadaan rusak Alas Purwo Tersedia, sebagian kecil dalam keadaan rusak 2. Alat Komunikasi (Radio, Rig., HT) Tersedia, sebagian kecil dalam keadaan rusak Tidak semua tersedia alat komunikasi Tersedia alat komunikasi dalam keadaan baik 3. Senjata Tidak tersedia di resort Tersedia di resort Tersedia di resort 4. Alat Navigasi, Alat Dokumentasi Hanya alat dokumentasi Tidak Tersedia Tersedia Keadaan yang kurang lebih sama dengan penyediaan personel pengamanan, penyediaan sarana pengamanan juga tergantung kemampuan pemerintah dalam mengadakan sarana untuk pengamanan kawasan taman nasional. Kondisi demikian oleh para pengelola disikapi dengan berbagai kebijakan internal. Penerapan standar minimal peralatan di setiap resort yang dilakukan oleh TNAP merupakan salah satu kebijakan yang dapat dijadikan contoh di tempat lain. Standar peralatan minimal yang harus tersedia di setiap resort meliputi : peta kerja, GPS, blangko register, phi band, kompas, aikom, kamera digital, senjata dan kendaranan roda dua

7 57 atau angkutan air. Data selengkapnya mengenai sarana pengamanan pada semua resort di ketiga taman nasional dapat dilihat pada tabel Lampiran Prasarana Pengamanan Sama dengan sarana pengamanan, ketersediaan sarana prasarana pengamanan di tingkat resort juga mengacu pada ketentuan Surat Keputusan Menteri Kehutanan dan Perkebunan Nomor : 597/Kpts- VI/1998 Tanggal 18 Agustus 1998 tentang Satuan tugas Operasional Jagawana dan Peraturan Menteri Kehutanan Nomor : P.5/Menhut-II/2010 tentang Standar Peralatan Polisi Kehutanan. Menurut peraturan tersebut prasarana yang harus tersedia di unit resort antara lain meliputi pondok jaga, pos jaga serta perumahan bagi Polhut. Fakta di lokasi penelitian menunjukkan bahwa resort-resort di TNBK telah didukung dengan prasarana pengamanan berupa Pondok Jaga yang berfungsi juga sebagai pos jaga. Kondisi demikian berbeda dengan di TNAP dimana hampir semua resort (kecuali Tanjung Pasir) sudah mempunyai Pondok Jaga dan Pos Jaga. Kondisi prasarana pengamanan di TNGGP pada umumnya sudah terpenuhi, namun sejak berkembangnya jumlah resort dari 16 menjadi 22 resort terdapat beberapa resort yang belum memiliki prasarana pengamanan. Resort-resort yang belum mempunyai prasarana pengamanan yaitu resort Pasir Sumbul, Resort Cipetir, Resort Cirendeu, Resort PPKAB dan Resort Tugu. Data selengkapnya mengenai prasarana pengamanan pada semua resort di ketiga taman nasional dapat dilihat pada tabel Lampiran Penganggaran Pengamanan Sebagaimana umumnya pembiayaan kawasan konservasi selalu dalam keadan terbatas, hal demikian menuntut pengelola harus mampu mengatur pembiayaan seefisien mungkin sesuai dengan prioritas-prioritas yang telah direncanakan (MacKinnon 1990). Penganggaran kegiatan perlindungan dan pengamanan kawasan di tingkat resort pengelolaan TNBK meliputi : gaji pegawai, uang makan, tunjangan fungsional, dan bantuan operasional patroli. Pembiayaan pengamanan di tingkat resort di

8 58 TNGGP hanya meliputi : gaji, uang makan, tunjangan fungsional dan operasional resort. Tidak tersedia tambahan biaya operasional lainnya dalam bentuk insentif maupun bantuan operasional untuk kegiatan penjagaan dan patroli. Perbedaan penganggaran biaya untuk kegiatan pengamanan di setiap resort disebabkan oleh karakteristik biofisik masing-masing resort yang berbeda-beda. Karakteristik biofisik kawasan menentukan biaya operasional dalam kegiatan pengamanan seperti patroli. Perbedaan pembiayaan pengamanan lebih didasarkan pada biaya operasional untuk patroli. Perbedaan tersebut berkaitan dengan aksesibilitas menuju resort. Beberapa resort sebagian wilayahnya berbatasan dengan laut sehingga untuk menjangkaunya perlu sarana transportasi laut (beberapa resort di TNAP). Resort-resort di TNBK umumnya hanya dapat diakses melalui jalur sungai (hampir semua resort di TNBK). Kondisi demikian dalam setiap kegiatan patroli memerlukan biaya yang tidak sedikit khususnya untuk operasional kendaraan yang digunakan. Kondisi sebagaimana dijelaskan di atas tidak terjadi di TNGGP karena resort-resort relatif mudah dijangkau tanpa peralatan transportasi khusus. Aksesibilitas yang mudah menuju resort merupakan salah satu alasan tidak adanya bantuan operasional untuk kegiatan perlindungan dan pengamanan di TNGGP. Pada ketiga taman nasional alokasi anggaran untuk setiap resort kurang lebih sama tetapi terdapat perbedaan dalam pemberian insentif kepada setiap personel di resort. Dari ketiga taman nasional hanya di TNAP yang mempunyai alokasi anggaran berupa insentif yang diberikan kepada setiap personel di resort. Pemberian insentif ini diberikan sebagai bentuk penghargaan atas tugas khusus yang dilaksanakan secara rutin di resort yattu tugas untuk melakukan kegiatan patroli aktif. Pemberian insentif kepada personel resort merupakan pembelajaran yang berharga khususnya dalam memotivasi personel pengamanan agar dapat menghasilkan kinerja yang lebih baik. Data selengkapnya mengenai

9 59 penganggaran pengamanan pada semua resort di ketiga taman nasional dapat dilihat pada tabel Lampiran Kegiatan Pengamanan Kegiatan perlindungan dan pengamanan hutan meliputi kegiatan preemtif, preventif dan operasi represif. Di tingkat resort pada umumnya kegiatan yang dapat dilakukan adalah kegiatan pengamanan yang bersifat rutin seperti penjagaan dan patroli. Intensitas kegiatan pengamanan tersebut bergantung pada jumlah personel yang tersedia. Dalam satu kesempatan setidaknya dibutuhkan 3 orang personel untuk dapat melaksanakan dua kegiatan tersebut. Kegiatan patroli mensyaratkan minimal dua orang untuk pelaksanaannya (MacKinnnon 1990), sedangkan penjagaan dapat dilakukan oleh satu orang. Dengan batasan demikian maka resort resort yang mempunyai personel banyak dapat melakukan kegiatan penjagaan dan patroli setiap hari. Jumlah personel pengamanan di resort TNBK dan TNGGP terdiri atas 1-2 orang saja. Dengan jumlah tersebut akan sulit untuk dapat melaksanakan kegiatan pengamanan rutin secara intensif. Disamping itu personel pengamanan di TNBK masih dihadapkan dengan luasnya kawasan resort yang harus dikelola. Dengan jumlah personel yang ada di resort-resort TNBK maka akan sulit mengharapkan kegiatan pengamanan dapat berjalan efektif. Dibanding dengan TNBK sebenarnya luas kawasan resort di TNGGP jauh lebih sempit, namun karena jumlah personel yang ada di setiap resort sangat terbatas maka akan sulit untuk mengharapkan kegiatan pengamanan dapat dilakukan secara intensif. Berbeda dengan di TNBK dan TNGGP jumlah personel pengamanan di setiap resort di TNAP lebih banyak. Jumlah personel pengamanan di tiap resort di TNAP rata-rata adalah 5 orang. Dengan jumlah tersebut dan masih ditambah dengan personel fungsional lain seperti Pengendali Ekosistem Hutan (PEH) dan Penyuluh memungkinkan pada satu kesempatan waktu terdapat personel dengan jumlah minimal 3 orang. Jumlah personel 3 orang pada setiap resort pada satu kesempatan waktu memungkinkan pelaksanaan kegiatan rutin penjagaan dan patroli

10 60 setiap hari. Semua resort di TNAP sudah menerapkan pola yang demikian sehingga kegiatan pengamanan dapat dilaksanakan secara intensif. Disamping itu TNAP juga menerapkan kegiatan pengamanan khusus yang dinamakan patroli aktif. Patroli aktif merupakan salah satu bentuk kegiatan pengamanan yang dalam pelaksanaannya berbeda dengan patroli rutin biasa. Perbedaan dengan patroli rutin biasa, pelaksanaan patroli aktif disertai dengan kegiatan pencatatan/perekaman data sepanjang perjalanan, meliputi bekas pelanggaran, pasokan (jalur pelanggaran), potensi unggulan baik keanekeragaman hayati maupun obyek wisata dan perjumpaan satwa. Kegiatan patroli aktif yang sudah dilakukan di TNAP terbukti telah banyak membantu pengumpulan data dan informasi terkait daerah-daerah rawan, data-data dan informasi mengenai keanekaragaman hayati serta potensi obyek wisata dan jasa lingkungan di kawasan TNAP. Kegiatan patroli aktif merupakan kegiatan rutin yang dilaksanakan di resort-resort TNAP. Hasil dari kegiatan patroli aktif ini terekam dalam bentuk data-data yang berasal dari lapangan. Pengawasan terhadap kegiatan tersebut dilakukan oleh Polhut Mobile yang berkedudukan di kantor Balai. Polhut Mobile merupakan satuan tugas pengamanan (bagian dari struktur organisasi Polhut) yang dalam pelaksanaan tugasnya bersifat mobile ke seluruh wilayah taman nasional/lintas resort dan berfungsi juga mendukung pelaksanaan kegiatan pengamanan di resort-resort. Data selengkapnya mengenai jumlah kegiatan pengamanan selama tahun 2009 pada semua resort di ketiga taman nasional dapat dilihat pada tabel Lampiran Kondisi Keamanan Kawasan Berdasarkan Besarnya Gangguan Keamanan kawasan taman nasional berhubungan dengan gangguan kawasan yang terjadi. Resort-resort mempunyai tanggung jawab dalam mengamankan kawasan dari gangguan, oleh karena itu salah satu indikator kinerja pengamanan dari resort-resort dapat dilihat berdasarkan besarnya gangguan yang terjadi. Fakta di lapangan menunjukkan gangguan yang terjadi di resort resort taman nasional umumnya adalah pemanfaatan hasil hutan secara illegal yang volume fisik dan nilai rupiahnya dapat dihitung.

11 61 Data mengenai gangguan yang terjadi di resort resort taman nasional selama tahun 2009 dapat dilihat selengkapnya pada Lampiran 10. Jika besarnya volume gangguan dinilai berdasarkan harga pasar yang berlaku pada tahun 2009, maka diperoleh data nilai rupiah kerugian yang diderita masing-masing resort seperti disajikan pada tabel 6. Tabel 6 Kerugian akibat gangguan kawasan (Rupiah/Resort) pada Tahun 2009 No. Resort Perkiraann Kerugian 1. Pancur 0 Alas Purwo 2. Grajagan 0 Alas Purwo 3. Nanga Potan 0 Betung Kerihun 4. Nanga Hovat 0 Betung Kerihun 5. Nanga Bungan 0* Betung Kerihun 6. Tanjung Lokang 0* Betung Kerihun 7 Selabintana Gunung Gede Pangrango 8. Goalpara Gunung Gede Pangrango 9. Cirendeu Gunung Gede Pangrango 10. Maleber Gunung Gede Pangrango 11. Cimungkad Gunung Gede Pangrango 12. Gunung Putri Gunung Gede Pangrango 13. Mandalawangi Gunung Gede Pangrango 14. Cimande Gunung Gede Pangrango 15. Tegallega Gunung Gede Pangrango 16. Cipetir Gunung Gede Pangrango 17. Sarongge Gunung Gede Pangrango 18. Cisarua Gunung Gede Pangrango 19. Tapos Gunung Gede Pangrango 20. Bodogol Gunung Gede Pangrango 21. Nagrak Gunung Gede Pangrango 22. Pasir Hantap Gunung Gede Pangrango 23. PPKAB Gunung Gede Pangrango 24. Situgunung Gunung Gede Pangrango 25. Pasir Sumbul Gunung Gede Pangrango 26 Sembulungan Gunung Gede Pangrango 27 Kucur Alas Purwo 28. Tugu Gunung Gede Pangrango 29. Nanga Sadap Betung Kerihun 30. Cijoho Gunung Gede Pangrango 31. Tanjung Pasir Alas Purwo 32. Sukamulya Gunung Gede Pangrango 33 Rowobendo Alas Purwo Keterangan : - * terjadi gangguan penambangan emas tetapi tidak ada data kerugian akibat kegiatan tersebut Sumber data : - diolah dari laporan rekapitulasi kegiatan perlindungan dan pengamanan hutan Balai Besar TN Betung Kerihun Tahun 2009; laporan rekapitulasi gangguan keamanan Bidang Wilayah I Cianjur, Bidang Wilayah II Sukabumi dan Bidang Wilayah III Bogor Balai Besar TN Gunung Gede Pangrango Tahun 2009;, Laporan statistik Balai Taman Nasional Alas Purwo Tahun 2009.

12 62 Perkiraaan nilai kerugian yang tercantum pada tabel di atas merupakan hasil perhitungan dari nilai rupiah gangguan yang terjadi (berdasarkan harga pasar yang berlaku tahun 2009). Nilai-nilai sebagaimana disajikan pada tabel di atas menggambarkan kinerja resort-resort berdasarkan gangguan yang terjadi. Berdasarkan data di atas menunjukkan dua resort di TNAP yaitu resort Pancur dan Rowobendo mempunyai nilai kerugian paling rendah dan paling tinggi. Berdasarkan data pada tabel Lampiran 10, diketahui di TNBK gangguan kawasan yang terjadi meliputi penebangan kayu, pembukaan lahan, dan penambangan emas. Jenis-jenis gangguan yang dijumpai di setiap resort dapat berbeda-beda tergantung kondisi biofisik dan sosial ekonomi masyarakat di sekitar resort. Gangguan yang terjadi di TNGGP didominasi oleh pencurian kayu bakar. Pencurian kayu bakar terjadi di semua resort dengan volume yang berbeda-beda. Persentase perkiraan kerugian akibat gangguan adalah 42,92% penebangan kayu, 37,97% pencurian kayu bakar, pencurian pakis 13,82%, perburuan burung 3,52%, pencurian bambu 0,45% dan lainnya 1,17%. Sumber gangguan umumnya berasal dari masyarakat sekitar resort. karena ketergantungan penggunaan kayu bakar masih tinggi. Gangguan yang terjadi di TNAP didominasi oleh perburuan liar. Persentase perkiraan kerugian akibat gangguan adalah 90,89% perburuan liar, 4,64% penebangan liar, 4,43% pencurian bambu dan 0,02% adalah pencurian kayu bakar. Perburuan terhadap banteng merupakan sumber kerugian terbesar. Gangguan yang terdata oleh resort-resort di ketiga taman nasional umumnya merupakan bentuk gangguan berupa pemanfaatan hasil hutan secara illegal. Besarnya nilai kerugian setiap resort ditentukan oleh nilai dari hasil hutan yang hilang/dicuri. Semakin bernilai hasil hutan yang hilang/dicuri semakin besar kerugian yang diderita oleh setiap resort. Sebagai contoh gangguan yang terjadi di resort Rowobendo (TNAP) yang kehilangan 4 (empat) ekor banteng akibat perburuan liar. Harga banteng di Banyuwangi (lokasi TNAP) 1 ekor adalah Rp ,00. Nilai kerugian yang kecil

13 63 dikarenakan hasil hutan yang hilang/dicuri nilainya rendah seperti pencurian kayu bakar (harga per ikat Rp ,00). Sumber gangguan pada umumnya disebabkan oleh manusia khususnya masyarakat disekitar kawasan maupun masyarakat bukan dari sekitar kawasan yang mempunyai tujuan-tujuan khusus. Timbulnya gangguan dipengaruhi faktor internal dan eksternal. Faktor-faktor internal meliputi kondisi kawasan, personel, sarana, prasrana dan anggaran, sedangkan faktor eksternal meliputi sosial ekonomi, sosial budaya dan politik Faktor yang Mempengaruhi Kerugian Sebagaimana diuraikan sebelumnya faktor-faktor yang mempengaruhi gangguan antara lain adalah personel, sarana, prasarana dan anggaran maka untuk membuktikan faktor-faktor tersebut berpengaruh nyata atau tidak dilakukan uji statistik. Uji statistik dilakukan berdasarkan perhitungan nilai rupiah kerugian akibat gangguan, nilai rupiah personel pengamanan, nilai rupiah sarana, prasarana dan besarnya anggaran operasonal resort. Model statistik yang digunakan adalah regresi linier berganda. Berdasarkan uji statistik menunjukkan data yang tidak menyebar normal. Terhadap hasil tersebut kemudian dilakukan trasformasi data menggunakan fungsi logaritma natural supaya data menjadi menyebar normal. Hasil analisis regresi berganda menggunakan transformasi data dengan logaritma natural (ln) didapatkan nilai R-sq = 59,2%. Nilai R-sq = 59,2% menunjukkan bahwa keragaman kerugian dipengaruhi oleh model regresi, sisanya dipengaruhi faktor-faktor lain diluar model. Nilai P-value = < alpha = 5%, Tolak H0, Model Regresi berpengaruh nyata terhadap respon ln kerugian. Nilai DW 1 = 1.92 mendekati 2, sehingga dapat disimpulkan tidak ada autokorelasi. Persamaan regresinya : ln Rugi = - 4,18 + 1,37 ln Personel - 0,144 ln Sarana - 0,0334 ln Prasarana - 0,330 ln Operasional. 1 DW = Durbin Watson adalah salah satu statistik untuk melihat ada tidaknya autokorelasi dalam satu variabel. Jika nilai Durbin Watson mendekati angka 2 maka dapat diduga bahwa dalam variabel tersebut tidak ada autokorelasi (Nachrowi 2006)

14 64 Intepretasi terhadap persamaan regresi menunjukkan bahwa penambahan biaya personel akan menambah kerugian tetapi penambahan sarana, prasarana dan anggaran operasional akan mengurangi kerugian. Biaya personel meliputi gaji, tunjangan, uang makan dan insentif yang merupakan upah dan bentuk penghargaan terhadap pekerjaan personel pengamanan. Segala bentuk pembiayaan yang diberikan kepada personel diharapkan dapat meningkatkan kinerja personel dalam melakukan pengamanan sehingga gangguan dapat berkurang. Berkurangnya gangguan terhadap keamanan kawasan dapat mengurangi kerugian atas hilangnya sumberdaya hutan yang dimanfaatkan secara illegal. Namun berdasarkan persamaan regressi penambahan biaya untuk personel justru meningkatkan kerugian. Hal ini kemungkinan disebabkan kinerja personel pengamanan yang belum sesuai dengan harapan. Personel tidak mempunyai kemampuan yang mencukupi (kompetensi) dalam melakukan pengamanan. Ketidakmampuan personel pengamanan berpengaruh dalam upaya mengatasi atau menanggulangi gangguan yang terjadi. Intepretasi terhadap persamaan regresi menunjukkan bahwa penambahan nilai rupiah sarana, prasarana dan anggaran operasional akan mengurangi kerugian. Nilai rupiah sarana dan prasarana dapat diartikan penambahan sarana dan perbaikan sarana. Perbaikan sarana pengamanan perlu dilakukan karena beberapa sarana dan prasarana pengamanan di beberapa resort dalam keadaan rusak. Kerusakan sarana pengamanan dapat disebabkan oleh beberapa hal seperti usia alat yang sudah tua, penggunaan alat yang kurang hati-hati, kecelakaan maupun kesalahan dalam pengoperasiannya. Beberapa perlengkapan dan peralatan kerja untuk pengamanan mempunyai spesifikasi tertentu yang dalam penggunaannya diperlukan ketrampilan dan pengetahuan khusus. Oleh karena itu terkait dengan beberapa saranan pengamanan yang rusak selain perbaikan dan pengadaan sarana pengamanan maka untuk menjamin terpeliharanya sarana pengamanan, personel pengamanan perlu dilatih untuk menggunakan peralatan dan perlengkapan kerja yang digunakan sesuai standar operasionalnya

15 Efisiensi Pengamanan Efisiensi adalah kemampuan untuk melakukan pekerjaan dengan benar yang merupakan sebuah konsep masukan-keluaran (Stoner dan Freeman 1992). Efisiensi harus selalu bersifat kuantitatif dan dapat diukur (measurable). Efisiensi menunjukkan hubungan antara input dan output dengan mencari biaya sumber daya minimum (Robin dan Coultar 1996, diacu dalam Wibowo 2009). Dalam bidang ekonomi efisiensi selalu berhubungan dengan upaya penggunaan sumber daya minimum yang dapat menghasilkan produksi barang dan jasa maksimum. Pengertian tersebut sulit diterapkan dalam pengelolaan kawasan konservasi karena penggunaan sumber daya tidak diorientasikan untuk menghasilkan produk dalam bentuk barang namun lebih pada kondisi terjaminnya kelestarian kawasan konservasi. Berdasarkan penjelasan tersebut maka dalam pengelolaan kawasan konservasi, keamanan kawasan merupakan salah satu keluaran (output) yang indikatornya dapat dilihat dari besarnya gangguan kawasan. Efisiensi pengamanan ditunjukkan dengan penggunaan sumber daya minimum yang dapat mengamankan kawasan sebaik-baiknya. Dengan pengertian tersebut maka efisiensi dapat diukur dengan menghitung perbandingan tingkat gangguan output dengan input yaitu sumber daya pengamanan. Fakta di lapangan menunjukkan bahwa sebagian besar gangguan yang terjadi adalah pencurian hasil hutan yang dimanfaatkan secara illegal. Hasil hutan tersebut mempunyai nilai yang dapat dihitung dalam rupiah berdasarkan harga pasar yang berlaku. Karena hasil hutan merupakan salah satu asset Negara, maka nilai rupiah tersebut dihitung sebagai kerugian Negara atas hilangnya asset berupa hasil hutan. Sumber daya pengamanan juga dapat dihitung nilai rupiahnya berdasarkan pembiayaan yang dikeluarkan untuk personel, nilai rupiah sarana dan prasarana dan operasional resort. Hasil perhitungan tersebut kemudian digunakan untuk menghitung efisiensi berdasarkan rasio nilai kerugian akibat gangguan (output) dengan nilai rupiah sumber daya pengamanan (input). Berdasarkan rasio tersebut maka semakin besar nilai rasio bukan

16 66 menunjukkan efisiensi tetapi nilai ketidakefisienan kinerja pengamanan suatu resort. Nilai efisiensi dari setiap resort disajikan pada tabel 7. Tabel 7 Nilai efisiensi resort-resort TNBK, TNAP dan TNGGP berdasarkan perbandingan nilai rupiah kerugian dan nilai rupiah input No. Resort Nilai Efisiensi 1. Pancur 0 TNAP 2. Grajagan 0 TNAP 3. Nanga Potan 0 TNBK 4. Nanga Hovat 0 TNBK 5. Bungan 0 TNBK 6. Tanjung Lokang 0 TNBK 7. Selabintana TNGGP 8. Goalpara TNGGP 9. Cireundeu TNGGP 10. Cimungkad TNGGP 11. Mandalawangi TNGGP 12. Gunung Putri TNGGP 13. Maleber TNGGP 14. Cimande TNGGP 15. Cipetir TNGGP 16. Tegallega TNGGP 17. Sembulungan TNAP 18. Sarongge TNGGP 19. Kucur TNAp 20. Bodogol 0.01 TNGGP 21. Nagrak TNGGP 22. Cisarua TNGGP 23. Tapos TNGGP 24. Situgunung TNGGP 25. PPKAB TNGGP 26. Pasir Hantap TNGGP 27. Tanjung Pasir TNAP 28. Sadap TNGGP 29. Pasir Sumbul TNBK 30. Cijoho TNGGP 31. Tugu TNGGP 32. Sukamulya TNGGP 33. Rowobendo TNAP Berdasarkan perhitungan nilai efisiensi dari ke-33 resort, resort yang paling efisien adalah resort Pancur sedangkan resort yang paling tidak efisien adalah resort Rowobendo. Di TNBK resort yang paling efisien adalah resort Nanga Potan sedangkan yang paling tidak efisien adalah resort Sadap. Resort yang paling tidak efisien di TNAP adalah resort Rowobendo sedangkan resort yang paling efisien adalah resort Pancur. Di TNGGP resort yang paling

17 67 efisien adalah resort Selabintana sedangkan resort yang paling tidak efisien adalah resort Sukamulya. Nilai efisiensi masing-masing taman nasional berdasarkan perhitungan rasio nilai rata-rata kerugian setiap resort dan nilai rata-rata input (biaya personel, nilai rupiah sarana dan prasarana serta biaya operasional) menunjukkan taman nasional yang paling tidak efisien adalah berturut-turut TNAP, TNGGP dan TNBK. Hasil pengukuran efisiensi pada ketiga taman nasional tersebut hanya didasarkan pada kerugian yang diakibatkan atas pencurian hasil hutan, sehingga tidak secara keseluruhan menggambarkan kinerja pengamanan dalam mengatasi gangguan lainnya seperti penambangan emas di TNBK maupun penyerobotan lahan di TNGGP dan gangguan yang diakibatkan bencana alam seperti tanah longsor di TNGGP Analisis Perbandingan antar Resort Berdasarkan perhitungan efisiensi pada semua resort menunjukkan variasi nilai dari yang paling rendah sampai dengan yang paling tinggi. Berikut ditampilkan situasi resort-resort pada setiap taman nasional yang mempunyai nilai efisiensi paling rendah dan resort-resor yang mempunyai nilai paling tinggi sebagaimana disajikan pada tabel 8. Perhitungan nilai ketidakefisienan didasarkan pada perbandingan nilai output (nilai kerugian akibat gangguan) dengan nilai input (nilai rupiah sumberdaya pengamanan). Dengan demikian nilai ketidakefsienan bergantung pada nilai output dan input, semakin tinggi nilai output dan semakin rendah nilai input maka semakin tidak efisien kinerja pengamanannya. Berdasarkan nilai efisiensi pada semua resort menunjukkan bahwa resort yang paling efisien adalah resort yang tidak mengalami gangguan sedangkan resort yang tidak efisien adalah resort yang menderita kerugian akibat gangguan paling besar. Tingginya kerugian diakibatkan tingginya nilai/asset hasil hutan yang hilang atau dicuri.

18 68 Tabel 8 Perbandingan kondisi resort-resort yang mempunyai nilai efisiensi paling rendah dan paling tinggi pada setiap taman nasional. No. Resort dengan Rasio Kerugian/Input Rendah Resort dengan Rasio Kerugian/Input Tinggi 1. TNBK Nangan Potan Sadap - Luas Jumlah Personel Kondisi Sarana Tidak memadai Tidak memadai - Kondisi Tidak memadai Tidak memadai Prasarana - Jumlah - - penjagaan - Jumla Patroli 49 hari 49 hari - Karakteristik Topografi berbukit dengan akses hanya melewati sungai jarak desa terdekat dengan batas resort 25 km 2. TNAP Pancur Rowobendo - Luas , Jumlah Personel Kondisi Sarana Memadai Memadai - Kondisi Prasarana Memadai Memadai - Jumlah penjagaan 365 hari 365 hari Topografi berbukit dengan akses hanya melewati sungai jarak desa terdekat dengan batas resort 35 km. Terdapat beberapa wilayah yang vegetasi dominannya adalah jenis pohon belian (Eusideroxyilon zwagerii). - Jumla Patroli 240 hari 240 hari - Karakteristik Topografi cenderung datar berbatasan langsung dengan Samudra Hindia, merupakan resort yang letaknya 3. TNGGP Selabintana Sukamulya - Luas ,37 - Jumlah Personel Kondisi Sarana Tidak Memadai Tidak Memadai - Kondisi Prasarana Memadai Memadai - Jumlah penjagaan 365 hari 96 hari - Jumlah Patroli 26 hari 36 hari - Karakteristik Tidak berbatasan langsung dangan lahan garapan masyarakat tapi berbatasan dengan perkebunan teh. Resort yang merupakan pintu masuk ke TN Alas Pirwo, terdapat padang savanna yang merupakan habitat banteng. Kaya akan potensi pakis dan pohon Rasamala. Terdapat area perluasan kawasan dari hutan produksi eks-perum Perhutani dimanan terdapat lahan garapan masyarakat seluas m 2 yang terdapat di desa Sarampad dan Sukamulya Berdasarkan data yang ditampilkan pada tabel 8, menunjukkan bahwa gambaran kondisi input (sumberdaya pengamanan) pada resort-resort yang diperbandingkan kurang lebih sama namun nilai kerugian yang diderita

19 69 berbeda. Nilai kerugian yang tinggi diakibatkan oleh hilangnya hasil hutan yang dimanfaatkan secara illegal/dicuri. Hasil hutan yang dimanfaatkan secara illegal/dicuri mempunyai nilai ekonomi yang tinggi seperti banteng, kayu belian dan kayu rasamala. Keberadaan hasil hutan (asset) yang mempunyai nilai tinggi banyak dijumpai pada resort-resort yang menderita kerugian tinggi. Kenyataan demikian menunjukkan bahwa timbulnya gangguan dipengaruhi juga oleh karakteristik biofisik kawasan. Disamping kondisi biofisik diketahui juga bahwa kondisi sosial ekonomi masyarakat di sekitar kawasan berpengaruh untuk timbulnya gangguan. Ketergantungan masyarakat terhadap kayu bakar yang banyak dijumpai di TNGGP dan TNAP merupakan bukti bahwa kondisi sosial ekonomi masyarakat berpengaruh terhadap kinerja pengamanan. Fakta lain adalah terjadinya penambangan emas di TNBK yang banyak dilakukan oleh masyarakat di sekitar kawasan yang sejauh ini belum dapat dihitung nilai kerugiannnya Sumber Daya Hutan yang Dimanfaatkan Secara Illegal Menurut Peraturan Pemerintah No. 45 Tahun 2004 tentang Perlindungan Hutan gangguan terhadap hutan dibedakan menjadi gangguan terhadap hutan, kawasan hutan dan hasil hutan. Gangguan yang terjadi di resort-resort pada umumnya disebabkan oleh pemanfaatan hasil hutan secara illegal (pencurian flora dan fauna). Jenis-jenis hasil hutan yang dimanfaat secara illegal disajikan dalam tabel 9. Tabel. 9 Jenis-jenis sumber daya hutan yang dimanfaatkan secara illegal No. Sumberdaya Hutan Jenis Yang Dimanfaatkan 1. Satwa liar - Mamalia besar : babi hutan, banteng, rusa - Burung : burung cucak ijo, tledekan, julang emas, trocok ijo, perkutut - Reptil : penyu 2. Tumbuhan - Kayu pertukangan : belian, rasamala, tapen, manggong, laban, jati - Kayu bakar : laban, kaliandra, - Bambu : bambu ori, wuluh - Tanaman hias : pakis, kantong semar Kejadian TNAP, TNGGP TNAP, TNGGP, TNBK

20 70 Pemanfaatan secara illegal sumber daya hutan merupakan ancaman terhadap keutuhan dan kelestarian kawasan taman nasional. Beberapa hasil hutan yang dimanfaatkan baik satwa liar maupun tumbuhan merupakan jenis-jenis yang dilindungi sesuai Peraturan Pemerintah No. 7 Tahun 1999 tentang Pengawetan Jenis Tumbuhan dan Satwa. Beberapa jenis satwa seperti banteng, rusa, penyu merupakan satwa dilindungi. Beberapa jenis lainnya merupakan jenis endemis seperti kayu belian yang hanya ditemukan di pulau Kalimantan dan tidak ditemukan di tempat lain.

No. Uraian R E S O R T R1 R2 R3 R4 R5 R6 R7 R8 R9 R10 R11 R12 R13 R14 R15 R16 R17 1. Jumlah Personel

No. Uraian R E S O R T R1 R2 R3 R4 R5 R6 R7 R8 R9 R10 R11 R12 R13 R14 R15 R16 R17 1. Jumlah Personel 76 Lampiran 1. Jumlah personel pengamanan No. Uraian R1 R2 R3 R4 R5 R6 R7 R8 R9 R10 R11 R12 R13 R14 R15 R16 R17 1. Jumlah Personel 3 2 1 1 1 5 5 5 5 5 5 1 3 2 1 2 2 2. Luas Area 220.886 133.240 96.659

Lebih terperinci

IV. METODOLOGI PENELITIAN

IV. METODOLOGI PENELITIAN 45 IV. METODOLOGI PENELITIAN Pada saat ini penelitian tentang kinerja resort-resort taman nasional masih jarang dilakukan dan mungkin belum pernah dilakukan sehingga diperlukan suatu penelitian yang bersifat

Lebih terperinci

PROGRAM KREATIVITAS MAHASISWA

PROGRAM KREATIVITAS MAHASISWA PROGRAM KREATIVITAS MAHASISWA MENUJU PENGELOLAAN TAMAN NASIONAL MANDIRI: PENGELOLAAN BERBASIS RESORT, DI TAMAN NASIONAL ALAS PURWO, KABUPATEN BANYUWANGI, JAWA TIMUR Bidang Kegiatan : PKM Artikel Ilmiah

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Luas Taman Nasional. Luas Resort TN Gunung Gede ha ha TN Alas Purwo ha ,67 ha TN Way Kambas 125.

I. PENDAHULUAN. Luas Taman Nasional. Luas Resort TN Gunung Gede ha ha TN Alas Purwo ha ,67 ha TN Way Kambas 125. 1.1. LatarBelakang I. PENDAHULUAN Perlindungan (save) kawasan merupakan langkah awal konservasi kawasan sebagai prasyarat untuk dapat mempelajari (study) seluruh potensi dan pemanfaatannya (use) secara

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. sumberdaya alam juga semakin besar, salah satunya kekayaan alam yang ada

BAB I PENDAHULUAN. sumberdaya alam juga semakin besar, salah satunya kekayaan alam yang ada BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Meningkatnya laju pertumbuhan penduduk dan perubahan kondisi sosial ekonomi sekarang, menjadikan tuntutan masyarakat dalam pemanfaatan sumberdaya alam juga semakin

Lebih terperinci

1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Banteng (Bos javanicus) merupakan salah satu jenis satwa liar yang dilindungi menurut Peraturan Pemerintah Nomor 7 Tahun 1999 tentang Pengawetan Jenis Tumbuhan dan Satwa

Lebih terperinci

PROGRAM PHBM DI SEKITAR KAWASAN KONSERVASI. LAYAKKAH DIPERTAHANKAN???

PROGRAM PHBM DI SEKITAR KAWASAN KONSERVASI. LAYAKKAH DIPERTAHANKAN??? PROGRAM PHBM DI SEKITAR KAWASAN KONSERVASI. LAYAKKAH DIPERTAHANKAN??? (Studi kasus di kawasan TN Alas Purwo) Oleh : Bagyo Kristiono, SP. /Polhut Pelaksana Lanjutan A. PHBM (Pengelolaan Hutan Bersama Masyarakat)

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Pergeseran tren kepariwisataan di dunia saat ini lebih mengarah pada

I. PENDAHULUAN. Pergeseran tren kepariwisataan di dunia saat ini lebih mengarah pada I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pergeseran tren kepariwisataan di dunia saat ini lebih mengarah pada individual tourism/small group tourism, dari tren sebelumnya tahun 1980-an yang didominasi oleh mass

Lebih terperinci

KEMENTERIAN KEHUTANAN DIREKTORAT JENDERAL PERLINDUNGAN HUTAN DAN KONSERVASI ALAM BALAI BESAR TAMAN NASIONAL GUNUNG GEDE PANGRANGO

KEMENTERIAN KEHUTANAN DIREKTORAT JENDERAL PERLINDUNGAN HUTAN DAN KONSERVASI ALAM BALAI BESAR TAMAN NASIONAL GUNUNG GEDE PANGRANGO KEMENTERIAN KEHUTANAN DIREKTORAT JENDERAL PERLINDUNGAN HUTAN DAN KONSERVASI ALAM BALAI BESAR TAMAN NASIONAL GUNUNG GEDE PANGRANGO KEPUTUSAN KEPALA BALAI BESAR TAMAN NASIONAL GUNUNG GEDE PANGRANGO No. SK.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. tahun 2010 (https://id.wikipedia.org/wiki/indonesia, 5 April 2016).

BAB I PENDAHULUAN. tahun 2010 (https://id.wikipedia.org/wiki/indonesia, 5 April 2016). BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Dunia pariwisata saat ini semakin menjadi sorotan bagi masyarakat di dunia, tak terkecuali Indonesia. Sektor pariwisata berpeluang menjadi andalan Indonesia untuk mendulang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Hutan merupakan salah satu kawasan yang mempunyai berbagai macam jenis tumbuhan dan hewan yang saling berinteraksi di dalamnya. Hutan adalah suatu kesatuan ekosistem

Lebih terperinci

KAWASAN KONSERVASI UNTUK PELESTARIAN PRIMATA JURUSAN KONSERVASI SUMBERDAYA HUTAN FAKULTAS KEHUTANAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR

KAWASAN KONSERVASI UNTUK PELESTARIAN PRIMATA JURUSAN KONSERVASI SUMBERDAYA HUTAN FAKULTAS KEHUTANAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR KAWASAN KONSERVASI UNTUK PELESTARIAN PRIMATA ANI MARDIASTUTI JURUSAN KONSERVASI SUMBERDAYA HUTAN FAKULTAS KEHUTANAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR Kawasan Konservasi Indonesia UURI No 5 Tahun 1990 Konservasi

Lebih terperinci

TENTANG ORGANISASI DAN TATA KERJA UNIT PELAKSANA TEKNIS KONSERVASI SUMBER DAYA ALAM MENTERI KEHUTANAN,

TENTANG ORGANISASI DAN TATA KERJA UNIT PELAKSANA TEKNIS KONSERVASI SUMBER DAYA ALAM MENTERI KEHUTANAN, PERATURAN MENTERI KEHUTANAN NOMOR : P. 02/Menhut-II/2007 TENTANG ORGANISASI DAN TATA KERJA UNIT PELAKSANA TEKNIS KONSERVASI SUMBER DAYA ALAM MENTERI KEHUTANAN, Menimbang : a. bahwa Keputusan Menteri Kehutanan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia tentang. sumber daya alam. Pasal 2 TAP MPR No.IX Tahun 2001 menjelaskan

BAB I PENDAHULUAN. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia tentang. sumber daya alam. Pasal 2 TAP MPR No.IX Tahun 2001 menjelaskan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Hutan salah satu sumber daya alam hayati yang memiliki banyak potensi yang dapat diambil manfaatnya oleh masyarakat, Pasal 33 ayat (3) Undang- Undang Dasar 1945 menyebutkan

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Definisi, Fungsi dan Tujuan Taman Nasional

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Definisi, Fungsi dan Tujuan Taman Nasional 6 II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Definisi, Fungsi dan Tujuan Taman Nasional Taman Nasional adalah kawasan luas yang relatif tidak terganggu, yang mempunyai nilai alam yang menonjol dengan kepentingan pelestarian

Lebih terperinci

STUDI EVALUASI PENETAPAN KAWASAN KONSERVASI TAMAN NASIONAL BUKIT TIGAPULUH (TNBT) KABUPATEN INDRAGIRI HULU - RIAU TUGAS AKHIR

STUDI EVALUASI PENETAPAN KAWASAN KONSERVASI TAMAN NASIONAL BUKIT TIGAPULUH (TNBT) KABUPATEN INDRAGIRI HULU - RIAU TUGAS AKHIR STUDI EVALUASI PENETAPAN KAWASAN KONSERVASI TAMAN NASIONAL BUKIT TIGAPULUH (TNBT) KABUPATEN INDRAGIRI HULU - RIAU TUGAS AKHIR Oleh: HERIASMAN L2D300363 JURUSAN PERENCANAAN WILAYAH DAN KOTA FAKULTAS TEKNIK

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. hidup Indonesia terdapat dalam Pembukaan UUD 1945 alinea keempat. Kaedah

BAB I PENDAHULUAN. hidup Indonesia terdapat dalam Pembukaan UUD 1945 alinea keempat. Kaedah 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Kaedah dasar yang melandasi pembangunan dan perlindungan lingkungan hidup Indonesia terdapat dalam Pembukaan UUD 1945 alinea keempat. Kaedah dasar ini selanjutnya

Lebih terperinci

DIGANDAKAN DAN SEBARLUASKAN OLEH PUSAT KETEKNIKAN KEHUTANAN DAN LINGKUNGAN

DIGANDAKAN DAN SEBARLUASKAN OLEH PUSAT KETEKNIKAN KEHUTANAN DAN LINGKUNGAN DIGANDAKAN DAN SEBARLUASKAN OLEH PUSAT KETEKNIKAN KEHUTANAN DAN LINGKUNGAN PERATURAN SEKRETARIS JENDERAL KEMENTERIAN LINGKUNGAN HIDUP DAN KEHUTANAN NOMOR : P.7/SETJEN/ROKUM/KUM.1/12/2017 TENTANG PEDOMAN

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN NOMOR : P. 03/Menhut-II/2007 TENTANG ORGANISASI DAN TATA KERJA UNIT PELAKSANA TEKNIS TAMAN NASIONAL MENTERI KEHUTANAN,

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN NOMOR : P. 03/Menhut-II/2007 TENTANG ORGANISASI DAN TATA KERJA UNIT PELAKSANA TEKNIS TAMAN NASIONAL MENTERI KEHUTANAN, PERATURAN MENTERI KEHUTANAN NOMOR : P. 03/Menhut-II/2007 TENTANG ORGANISASI DAN TATA KERJA UNIT PELAKSANA TEKNIS TAMAN NASIONAL MENTERI KEHUTANAN, Menimbang : a. bahwa Keputusan Menteri Kehutanan Nomor

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. penunjang budidaya, pariwisata, dan rekreasi. Taman Nasional Kerinci Seblat

BAB I PENDAHULUAN. penunjang budidaya, pariwisata, dan rekreasi. Taman Nasional Kerinci Seblat BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Menurut Undang-Undang No. 05 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Hayati dan Ekosistemnya (KSDHE), Taman Nasional adalah kawasan pelestarian alam yang mempunyai

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Taman nasional adalah kawasan pelestarian alam yang mempunyai ekosistem asli

I. PENDAHULUAN. Taman nasional adalah kawasan pelestarian alam yang mempunyai ekosistem asli ` I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Taman nasional adalah kawasan pelestarian alam yang mempunyai ekosistem asli dan dikelola dengan sistem zonasi. Kawasan ini dimanfaatkan untuk tujuan penelitian, ilmu

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Hutan menurut fungsi pokoknya dibagi menjadi tiga yaitu hutan konservasi, hutan lindung dan hutan produksi (Dephut, 2009). Hutan konservasi sendiri didefinisikan kawasan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. lebih dari jenis tumbuhan terdistribusi di Indonesia, sehingga Indonesia

I. PENDAHULUAN. lebih dari jenis tumbuhan terdistribusi di Indonesia, sehingga Indonesia 1 I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Indonesia memiliki kekayaan flora dan fauna serta kehidupan liar lain yang mengundang perhatian berbagai pihak baik di dalam maupun di luar negeri. Tercatat lebih dari

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. Bagi manusia, lahan sangat dibutuhkan dalam menjamin kelangsungan hidup

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. Bagi manusia, lahan sangat dibutuhkan dalam menjamin kelangsungan hidup BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Lahan merupakan salah satu sumberdaya alam yang sangat dibutuhkan. Bagi manusia, lahan sangat dibutuhkan dalam menjamin kelangsungan hidup seperti untuk membangun

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

I. PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang 1 I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Faktor kepuasan kerja dijelaskan oleh Umam (2010) bahwa terdapat dua indikator yaitu adanya ciri-ciri instrinsik dan ekstrinsik dari suatu pekerjaan yang menentukan

Lebih terperinci

Hutan di Indonesia memiliki peran terhadap aspek ekonomi, sosial maupun. (Reksohadiprodjo dan Brodjonegoro 2000).

Hutan di Indonesia memiliki peran terhadap aspek ekonomi, sosial maupun. (Reksohadiprodjo dan Brodjonegoro 2000). I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Hutan di Indonesia memiliki peran terhadap aspek ekonomi, sosial maupun budaya. Namun sejalan dengan pertambahan penduduk dan pertumbuhan ekonomi, tekanan terhadap sumberdaya

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN NOMOR : P.14/Menhut-II/2007 TENTANG TATACARA EVALUASI FUNGSI KAWASAN SUAKA ALAM, KAWASAN PELESTARIAN ALAM DAN TAMAN BURU

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN NOMOR : P.14/Menhut-II/2007 TENTANG TATACARA EVALUASI FUNGSI KAWASAN SUAKA ALAM, KAWASAN PELESTARIAN ALAM DAN TAMAN BURU MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA PERATURAN MENTERI KEHUTANAN NOMOR : P.14/Menhut-II/2007 TENTANG TATACARA EVALUASI FUNGSI KAWASAN SUAKA ALAM, KAWASAN PELESTARIAN ALAM DAN TAMAN BURU MENTERI KEHUTANAN,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. ekosistemnya. Pada Undang-Undang No. 5 Tahun 1990 tentang Konservasi

BAB I PENDAHULUAN. ekosistemnya. Pada Undang-Undang No. 5 Tahun 1990 tentang Konservasi BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Hutan konservasi adalah kawasan hutan dengan ciri khas tertentu, yang mempunyai fungsi pokok pengawetan keanekaragaman tumbuhan dan satwa serta ekosistemnya. Pada

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. masyarakat dilakukan secara tradisional untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari.

BAB I PENDAHULUAN. masyarakat dilakukan secara tradisional untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masyarakat di sekitar hutan memiliki ketergantungan yang sangat besar dengan keberadaan hutan disekitarnya, pemanfaatan hutan dan hasil hutan oleh masyarakat dilakukan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia merupakan negara yang menyandang predikat mega biodiversity didukung oleh kondisi fisik wilayah yang beragam mulai dari pegunungan hingga dataran rendah serta

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Menurut Undang-Undang Konservasi No. 5 Tahun 1990, sumberdaya alam hayati adalah unsur-unsur hayati di alam yang terdiri dari sumberdaya alam nabati (tumbuhan) dan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Menurut Undang-Undang Kehutanan Nomor 41 tahun 1999, hutan adalah

BAB I PENDAHULUAN. Menurut Undang-Undang Kehutanan Nomor 41 tahun 1999, hutan adalah BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Menurut Undang-Undang Kehutanan Nomor 41 tahun 1999, hutan adalah suatu kesatuan ekosistem berupa hamparan lahan berisi sumber daya alam hayati yang didominasi pepohonan

Lebih terperinci

i:.l'11, SAMBUTAN PENGANTAR... DAFTAR ISI... DAFTAR TABEL DAFTAR GAMBAR DAFTAR KOTAK... GLOSARI viii xii DAFTAR SINGKATAN ...

i:.l'11, SAMBUTAN PENGANTAR... DAFTAR ISI... DAFTAR TABEL DAFTAR GAMBAR DAFTAR KOTAK... GLOSARI viii xii DAFTAR SINGKATAN ... itj). tt'ii;,i)ifir.l flni:l l,*:rr:tililiiii; i:.l'11, l,.,it: I lrl : SAMBUTAN PENGANTAR... DAFTAR ISI... DAFTAR TABEL DAFTAR GAMBAR DAFTAR KOTAK... GLOSARI DAFTAR SINGKATAN viii tx xt xii... xviii BAB

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. individual tourism/small group tourism, dari tren sebelumnya tahun 1980-an yang

I. PENDAHULUAN. individual tourism/small group tourism, dari tren sebelumnya tahun 1980-an yang I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pergeseran tren kepariwisataan di dunia saat ini lebih mengarah pada individual tourism/small group tourism, dari tren sebelumnya tahun 1980-an yang didominasi oleh mass

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 4 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Kawasan Konservasi Kawasan konservasi dalam arti yang luas, yaitu kawasan konservasi sumber daya alam hayati dilakukan. Di dalam peraturan perundang-undangan Indonesia yang

Lebih terperinci

GUBERNUR ACEH PERATURAN GUBERNUR ACEH NOMOR 20 TAHUN 2013 TENTANG

GUBERNUR ACEH PERATURAN GUBERNUR ACEH NOMOR 20 TAHUN 2013 TENTANG GUBERNUR ACEH PERATURAN GUBERNUR ACEH NOMOR 20 TAHUN 2013 TENTANG SUSUNAN ORGANISASI DAN TATA KERJA UNIT PELAKSANA TEKNIS DINAS PADA DINAS KEHUTANAN ACEH GUBERNUR ACEH, Menimbang : a. bahwa dengan ditetapkannya

Lebih terperinci

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 201

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 201 KINERJA PENGAMANAN TAMAN NASIONAL BERBASIS RESORT (Kasus Taman Nasional Betung Kerihun, Taman Nasional Gunung Gede Pangrango dan Taman Nasional Alas Purwo) BAMBANG HARI TRIMARSITO SEKOLAH PASCASARJANA

Lebih terperinci

IV. GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN. A. Sejarah Taman Nasional Bukit Barisan Selatan (TNBBS)

IV. GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN. A. Sejarah Taman Nasional Bukit Barisan Selatan (TNBBS) IV. GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN A. Sejarah Taman Nasional Bukit Barisan Selatan (TNBBS) Kawasan lindung Bukit Barisan Selatan ditetapkan pada tahun 1935 sebagai Suaka Marga Satwa melalui Besluit Van

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN Latar Belakang. Hutan sebagai karunia dan amanah Tuhan Yang Maha Esa yang

I. PENDAHULUAN Latar Belakang. Hutan sebagai karunia dan amanah Tuhan Yang Maha Esa yang I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Hutan sebagai karunia dan amanah Tuhan Yang Maha Esa yang dianugerahkan kepada bangsa Indonesia merupakan kekayaan yang wajib disyukuri, diurus, dan dimanfaatkan secara

Lebih terperinci

GUBERNUR JAWA TIMUR GUBERNUR JAWA TIMUR,

GUBERNUR JAWA TIMUR GUBERNUR JAWA TIMUR, GUBERNUR JAWA TIMUR PERATURAN GUBERNUR JAWA TIMUR NOMOR 33 TAHUN 2005 TENTANG PETUNJUK PELAKSANAAN PERATURAN DAERAH PROPINSI JAWA TIMUR NOMOR 6 TAHUN 2005 TENTANG PENERTIBAN DAN PENGENDALIAN HUTAN PRODUKSI

Lebih terperinci

PENGUMUMAN RENCANA UMUM PENGADAAN BARANG DAN JASA SATUAN KERJA BALAI BESAR TAMAN NASIONAL GUNUNG GEDE PANGRANGO Nomor : PG.

PENGUMUMAN RENCANA UMUM PENGADAAN BARANG DAN JASA SATUAN KERJA BALAI BESAR TAMAN NASIONAL GUNUNG GEDE PANGRANGO Nomor : PG. KEMENTERIAN KEHUTANAN DIREKTORAT JENDERAL PERLINDUNGAN HUTAN DAN KONSERVASI ALAM BALAI BESAR TAMAN NASIONAL GUNUNG GEDE PANGRANGO Jalan Raya Cibodas PO BOX 3 Sdl. CIPANAS - CIANJUR 43253 Telp./Faks. (0263)

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang 1 I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Kawasan Tahura Wan Abdul Rachman di Propinsi Lampung adalah salah satu kawasan yang amat vital sebagai penyangga kehidupan ekonomi, sosial dan ekologis bagi masyarakat

Lebih terperinci

RENCANA UMUM PENGADAAN. Melalui Swakelola. Sumber Dana. 1 Paket Rp ,00 APBN awal: akhir: 1 Paket Rp ,00 APBN awal: akhir:

RENCANA UMUM PENGADAAN. Melalui Swakelola. Sumber Dana. 1 Paket Rp ,00 APBN awal: akhir: 1 Paket Rp ,00 APBN awal: akhir: RENCANA MM PENGADAAN Melalui Swakelola K/L/D/I SATAN KERJA : KEMENTERIAN LINGKNGAN HIDP DAN KEHTANAN : BALAI TAMAN NASIONAL ALAS PRWO TAHN ANGGARAN : 2016 1 Koordinasi dan Konsultasi dalam rangka Pengelolaan

Lebih terperinci

III. KONDISI UMUM LOKASI

III. KONDISI UMUM LOKASI III. KONDISI UMUM LOKASI 3.1. Sejarah Kawasan Kawasan TNGGP, oleh pemerintah Hindia Belanda pada awalnya diperuntukkan bagi penanaman beberapa jenis teh (1728). Kemudian pada tahun 1830 pemerintah kolonial

Lebih terperinci

MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA. PERATURAN MENTERI KEHUTANAN NOMOR : P.26/Menhut-II/2005

MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA. PERATURAN MENTERI KEHUTANAN NOMOR : P.26/Menhut-II/2005 MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA PERATURAN MENTERI KEHUTANAN NOMOR : P.26/Menhut-II/2005 TENTANG PEDOMAN PEMANFAATAN HUTAN HAK MENTERI KEHUTANAN, Menimbang : bahwa dalam rangka pelaksanaan Pasal 71

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN NOMOR 26 TAHUN 2005 TENTANG PEDOMAN PEMANFAATAN HUTAN HAK MENTERI KEHUTANAN,

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN NOMOR 26 TAHUN 2005 TENTANG PEDOMAN PEMANFAATAN HUTAN HAK MENTERI KEHUTANAN, PERATURAN MENTERI KEHUTANAN NOMOR 26 TAHUN 2005 TENTANG PEDOMAN PEMANFAATAN HUTAN HAK MENTERI KEHUTANAN, Menimbang : bahwa dalam rangka pelaksanaan Pasal 71 ayat (1) Peraturan Pemerintah Republik Indonesia

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Cagar lam merupakan sebuah kawasan suaka alam yang berarti terdapat

BAB I PENDAHULUAN. Cagar lam merupakan sebuah kawasan suaka alam yang berarti terdapat 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Menurut Peraturan Pemerintah Nomer 28 tahun 2011 pasal 1 nomer 1 tentang pengolaan kawasan suaka alam dan kawasan pelestaian alam yang berbunyi Kawsasan Suaka Alam

Lebih terperinci

Oleh : Ardi Andono, STP, MSc

Oleh : Ardi Andono, STP, MSc Oleh : Ardi Andono, STP, MSc Outline Sejarah Potensi TNGGP Permasalahan Contoh pengelolaan di Korea Upaya LOKASI TNGGP Bogor Cianjur TNGGP 22.851 ha Sukabumi Sejarah TNGGP 1. Pengumuman 1980, 15.196 ha

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia memiliki tanah air yang kaya dengan sumber daya alam dan

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia memiliki tanah air yang kaya dengan sumber daya alam dan BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Indonesia memiliki tanah air yang kaya dengan sumber daya alam dan ekosistemnya. Potensi sumber daya alam tersebut semestinya dikembangkan dan dimanfaatkan sebesar-besarnya

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. plasma nutfah serta fungsi sosial budaya bagi masyarakat di sekitarnya dengan

BAB I PENDAHULUAN. plasma nutfah serta fungsi sosial budaya bagi masyarakat di sekitarnya dengan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kawasan lindung sebagai kawasan yang mempunyai manfaat untuk mengatur tata air, pengendalian iklim mikro, habitat kehidupan liar, sumber plasma nutfah serta fungsi

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. masyarakat Kota Bandar Lampung dan Kabupaten Pesawaran. Selain itu taman

I. PENDAHULUAN. masyarakat Kota Bandar Lampung dan Kabupaten Pesawaran. Selain itu taman I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Taman Hutan Raya Wan Abdul Rachman merupakan wilayah sistem penyangga kehidupan terutama dalam pengaturan tata air, menjaga kesuburan tanah, mencegah erosi, menjaga keseimbangan

Lebih terperinci

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1 Penutupan Lahan Kabupaten Cianjur Berdasarkan hasil proses klasifikasi dari Landsat-5 TM areal studi tahun 2007, maka diperoleh 10 kelas penutupan lahan yang terdiri dari:

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Keberadaan burung pemangsa (raptor) memiliki peranan yang sangat penting dalam suatu ekosistem. Posisinya sebagai pemangsa tingkat puncak (top predator) dalam ekosistem

Lebih terperinci

BAB IV KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN

BAB IV KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN BAB IV KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN 4.1 Kondisi Fisik Lokasi Penelitian 4.1.1 Letak dan Luas Secara geografis Kabupaten Cianjur terletak antara 6 0 21-7 0 25 Lintang Selatan dan 106 0 42-107 0 33 Bujur

Lebih terperinci

V. HASIL DAN PEMBAHASAN. Data tentang luas tutupan lahan pada setiap periode waktu penelitian disajikan pada

V. HASIL DAN PEMBAHASAN. Data tentang luas tutupan lahan pada setiap periode waktu penelitian disajikan pada 82,6 443.8 157.9 13.2 2664.8 1294.5 977.6 2948.8 348.7 1777.9 1831.6 65.8 2274.9 5243.4 469.2 4998.4 Hektar 9946.9 11841.8 13981.2 36 V. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Hasil Analisis Citra Data tentang luas tutupan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. (Firdaus, 2012). Pembentukan wilayah pengelolaan hutan dilakukan pada

BAB I PENDAHULUAN. (Firdaus, 2012). Pembentukan wilayah pengelolaan hutan dilakukan pada BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Dalam PP No. 6 Tahun 2007 Pasal 1 angka 1, Kesatuan Pengelolaan Hutan (KPH) diartikan sebagai wilayah pengelolaan hutan sesuai fungsi pokok dan peruntukannya, yang dapat

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Kawasan konservasi merupakan kawasan yang dilindungi dengan fungsi pokok konservasi biodiversitas dalam lingkungan alaminya, atau sebagai konservasi in situ, yaitu konservasi

Lebih terperinci

1. PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

1. PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang 1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Rusa timor (Rusa timorensis Blainville 1822) merupakan salah satu jenis satwa liar yang hidup tersebar pada beberapa wilayah di Indonesia, khususnya di Pulau Jawa sampai

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. merupakan modal dasar bagi pembangunan berkelanjutan untuk kesejahteraan

BAB I PENDAHULUAN. merupakan modal dasar bagi pembangunan berkelanjutan untuk kesejahteraan BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Hutan merupakan salah satu aset penting bagi negara, yang juga merupakan modal dasar bagi pembangunan berkelanjutan untuk kesejahteraan masyarakat. Hutan sebagai sumberdaya

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Habitat merupakan lingkungan tempat tumbuhan atau satwa dapat hidup dan berkembang biak secara alami. Kondisi kualitas dan kuantitas habitat akan menentukan komposisi,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. berbeda dengan keadaan aslinya (Hairiah, 2003). Hutan menjadi sangat penting

BAB I PENDAHULUAN. berbeda dengan keadaan aslinya (Hairiah, 2003). Hutan menjadi sangat penting BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Hutan merupakan kesatuan flora dan fauna yang hidup pada suatu kawasan atau wilayah dengan luasan tertentu yang dapat menghasilkan iklim mikro yang berbeda dengan keadaan

Lebih terperinci

6 PERTIMBANGAN KAWASAN KARST DALAM PENYUSUNAN ZONASI TNMT

6 PERTIMBANGAN KAWASAN KARST DALAM PENYUSUNAN ZONASI TNMT 6 PERTIMBANGAN KAWASAN KARST DALAM PENYUSUNAN ZONASI TNMT 6.1 Pengelolaan Kawasan Taman Nasional Manapeu Tanahdaru Wilayah karst dapat menyediakan air sepanjang tahun. Hal ini disebabkan daerah karst memiliki

Lebih terperinci

IV.C.3 Urusan Pilihan Kehutanan

IV.C.3 Urusan Pilihan Kehutanan 3. URUSAN KEHUTANAN Sumber daya hutan di Kabupaten Wonosobo terdiri dari kawasan hutan negara seluas + 20.300 Ha serta hutan rakyat seluas ± 19.481.581 Ha. Kawasan hutan negara di wilayah Wonosobo secara

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. Menteri Kehutanan No. 134/Menhut-II/2004 tentang Perubahan fungsi

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. Menteri Kehutanan No. 134/Menhut-II/2004 tentang Perubahan fungsi 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Taman Nasional (TN) Gunung Merapi ditetapkan berdasarkan Keputusan Menteri Kehutanan No. 134/Menhut-II/2004 tentang Perubahan fungsi Kawasan Hutan Lindung, Cagar

Lebih terperinci

Konservasi Lingkungan. Lely Riawati

Konservasi Lingkungan. Lely Riawati 1 Konservasi Lingkungan Lely Riawati 2 Dasar Hukum Undang-undang Nomor 4 Tahun 1982 Tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Pengelolaan Lingkungan Hidup Undang-undang Nomor 5 Tahun 1990 Tentang Konservasi Sumber

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia merupakan negara beriklim tropis yang kaya raya akan

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia merupakan negara beriklim tropis yang kaya raya akan 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Indonesia merupakan negara beriklim tropis yang kaya raya akan sumberdaya alam baik hayati maupun non hayati. Negara ini dikenal sebagai negara megabiodiversitas

Lebih terperinci

RENCANA PENELITIAN INTEGRATIF PENGELOLAAN KAWASAN KONSERVASI TAHUN

RENCANA PENELITIAN INTEGRATIF PENGELOLAAN KAWASAN KONSERVASI TAHUN RENCANA PENELITIAN INTEGRATIF PENGELOLAAN KAWASAN KONSERVASI TAHUN 05-09 Prof. DR. M. Bismark, MS. LATAR BELAKANG Perlindungan biodiversitas flora, fauna dan mikroorganisme menjadi perhatian dunia untuk

Lebih terperinci

BAB I. PENDAHULUAN. sebagai sebuah pulau yang mungil, cantik dan penuh pesona. Namun demikian, perlu

BAB I. PENDAHULUAN. sebagai sebuah pulau yang mungil, cantik dan penuh pesona. Namun demikian, perlu BAB I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pulau Lombok memiliki luas 467.200 ha. dan secara geografis terletak antara 115 o 45-116 o 40 BT dan 8 o 10-9 o 10 LS. Pulau Lombok seringkali digambarkan sebagai

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 4 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Hutan Berdasarkan pasal 1 ayat (1) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1967, arti hutan dirumuskan sebagai Suatu lapangan tetumbuhan pohon-pohonan yang secara keseluruhan merupakan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang 1 I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Indonesia merupakan salah satu negara yang memiliki hutan tropis terbesar di dunia. Luas kawasan hutan di Indonesia saat ini mencapai 120,35 juta ha. Tujuh belas persen

Lebih terperinci

SMP NEGERI 3 MENGGALA

SMP NEGERI 3 MENGGALA SMP NEGERI 3 MENGGALA KOMPETENSI DASAR Setelah mengikuti pembelajaran, siswa diharapkan dapat mengidentifikasi pentingnya keanekaragaman makhluk hidup dalam pelestarian ekosistem. Untuk Kalangan Sendiri

Lebih terperinci

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.378, 2010 KEMENTERIAN KEHUTANAN. Kawasan Hutan. Fungsi. Perubahan.

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.378, 2010 KEMENTERIAN KEHUTANAN. Kawasan Hutan. Fungsi. Perubahan. BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.378, 2010 KEMENTERIAN KEHUTANAN. Kawasan Hutan. Fungsi. Perubahan. PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR P. 34/Menhut -II/2010 TENTANG TATA CARA PERUBAHAN

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Alam Hayati dan Ekosistemnya pengertian Taman Nasional adalah kawasan pelestarian

BAB I PENDAHULUAN. Alam Hayati dan Ekosistemnya pengertian Taman Nasional adalah kawasan pelestarian BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Menurut Undang Undang No. 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya pengertian Taman Nasional adalah kawasan pelestarian alam yang mempunyai

Lebih terperinci

Analisa Manfaat Biaya Proyek Pembangunan Taman Hutan Raya (Tahura) Bunder Daerah Istimewa Yogyakarta

Analisa Manfaat Biaya Proyek Pembangunan Taman Hutan Raya (Tahura) Bunder Daerah Istimewa Yogyakarta JURNAL TEKNIK POMITS Vol. 1, No. 1, (2013) 1-5 1 Analisa Manfaat Biaya Proyek Pembangunan Taman Hutan Raya (Tahura) Bunder Daerah Istimewa Yogyakarta Dwitanti Wahyu Utami dan Retno Indryani Jurusan Teknik

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN NOMOR : P.67/Menhut-II/2006 TENTANG KRITERIA DAN STANDAR INVENTARISASI HUTAN MENTERI KEHUTANAN,

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN NOMOR : P.67/Menhut-II/2006 TENTANG KRITERIA DAN STANDAR INVENTARISASI HUTAN MENTERI KEHUTANAN, MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA PERATURAN MENTERI KEHUTANAN NOMOR : P.67/Menhut-II/2006 TENTANG KRITERIA DAN STANDAR INVENTARISASI HUTAN MENTERI KEHUTANAN, Menimbang: a. bahwa untuk terselenggaranya

Lebih terperinci

3 METODE Jalur Interpretasi

3 METODE Jalur Interpretasi 15 2.3.5 Jalur Interpretasi Cara terbaik dalam menentukan panjang jalur interpretasi adalah berdasarkan pada waktu berjalan kaki. Hal ini tergantung pada tanah lapang, jarak aktual dan orang yang berjalan

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN 9 BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Waktu dan Lokasi Penelitian ini dilaksanakan pada tanggal 410 Desember 2011 (Lampiran 2), bertempat di wilayah Kota Selatpanjang, Kabupaten Kepulauan Meranti, Provinsi Riau.

Lebih terperinci

APLIKASI KONSEP EKOWISATA DALAM PERENCANAAN ZONA PEMANFAATAN TAMAN NASIONAL UNTUK PARIWISATA DENGAN PENDEKATAN RUANG

APLIKASI KONSEP EKOWISATA DALAM PERENCANAAN ZONA PEMANFAATAN TAMAN NASIONAL UNTUK PARIWISATA DENGAN PENDEKATAN RUANG APLIKASI KONSEP EKOWISATA DALAM PERENCANAAN ZONA PEMANFAATAN TAMAN NASIONAL UNTUK PARIWISATA DENGAN PENDEKATAN RUANG (Studi Kasus Wilayah Seksi Bungan Kawasan Taman Nasional Betung Kerihun di Provinsi

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. Gambar 1 Bange (Macaca tonkeana) (Sumber: Rowe 1996)

PENDAHULUAN. Gambar 1 Bange (Macaca tonkeana) (Sumber: Rowe 1996) PENDAHULUAN Latar Belakang Secara biologis, pulau Sulawesi adalah yang paling unik di antara pulaupulau di Indonesia, karena terletak di antara kawasan Wallacea, yaitu kawasan Asia dan Australia, dan memiliki

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. Hutan merupakan salah satu sumberdaya alam yang berkaitan

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. Hutan merupakan salah satu sumberdaya alam yang berkaitan BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Hutan merupakan salah satu sumberdaya alam yang berkaitan dengan manusia di muka bumi. Hutan menjadi pemenuhan kebutuhan manusia dan memiliki fungsi sebagai penyangga

Lebih terperinci

KEMENTERIAN KEHUTANAN DIREKTORAT JENDERAL PERLINDUNGAN HUTAN DAN KONSERVASI ALAM BALAI TAMAN NASIONAL BUKIT BAKA BUKIT RAYA

KEMENTERIAN KEHUTANAN DIREKTORAT JENDERAL PERLINDUNGAN HUTAN DAN KONSERVASI ALAM BALAI TAMAN NASIONAL BUKIT BAKA BUKIT RAYA KEMENTERIAN KEHUTANAN DIREKTORAT JENDERAL PERLINDUNGAN HUTAN DAN KONSERVASI ALAM BALAI TAMAN NASIONAL BUKIT BAKA BUKIT RAYA Jalan Dr. Wahidin Sudirohusodo No. 75 Telp. / Fax ( 0565 ) 23521 Sintang 78611

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. berdasarkan jumlah spesies burung endemik (Sujatnika, 1995). Setidaknya

BAB I PENDAHULUAN. berdasarkan jumlah spesies burung endemik (Sujatnika, 1995). Setidaknya BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Indonesia menempati peringkat keempat sebagai negara yang memiliki kekayaan spesies burung dan menduduki peringkat pertama di dunia berdasarkan jumlah spesies burung

Lebih terperinci

PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia dikenal memiliki potensi sumberdaya alam yang tinggi dan hal itu telah diakui oleh negara-negara lain di dunia, terutama tentang potensi keanekaragaman hayati

Lebih terperinci

III. KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN

III. KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN A. Destinasi Wisata Cibodas 1. Letak dan Luas III. KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN Destinasi Wisata (DW) Cibodas secara administratif termasuk Kecamatan Cipanas Kabupaten Cianjur Provinsi Jawa Barat. Lokasi

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Seluruh jenis rangkong (Bucerotidae) di Indonesia merupakan satwa yang

I. PENDAHULUAN. Seluruh jenis rangkong (Bucerotidae) di Indonesia merupakan satwa yang 1 I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Seluruh jenis rangkong (Bucerotidae) di Indonesia merupakan satwa yang dilindungi melalui Undang-undang No. 5 tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. terletak di sekitar garis khatulistiwa antara 23 ½ 0 LU sampai dengan 23 ½ 0 LS.

BAB I PENDAHULUAN. terletak di sekitar garis khatulistiwa antara 23 ½ 0 LU sampai dengan 23 ½ 0 LS. BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Hutan hujan tropis merupakan salah satu tipe ekosistem hutan yang sangat produktif dan memiliki tingkat keanekaragaman hayati yang tinggi. Kawasan ini terletak di

Lebih terperinci

Analisa Manfaat Biaya Proyek Pembangunan Taman Hutan Raya (Tahura) Bunder Daerah Istimewa Yogyakarta

Analisa Manfaat Biaya Proyek Pembangunan Taman Hutan Raya (Tahura) Bunder Daerah Istimewa Yogyakarta JURNAL TEKNIK POMITS Vol. 2, No. 1, (2013) ISSN: 2337-3539 (2301-9271 Print) D-17 Analisa Manfaat Biaya Proyek Pembangunan Taman Hutan Raya (Tahura) Bunder Daerah Istimewa Yogyakarta Dwitanti Wahyu Utami

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 10 TAHUN 2010 TENTANG TATA CARA PERUBAHAN PERUNTUKAN DAN FUNGSI KAWASAN HUTAN

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 10 TAHUN 2010 TENTANG TATA CARA PERUBAHAN PERUNTUKAN DAN FUNGSI KAWASAN HUTAN PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 10 TAHUN 2010 TENTANG TATA CARA PERUBAHAN PERUNTUKAN DAN FUNGSI KAWASAN HUTAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: bahwa

Lebih terperinci

Landasan Hukum : SK. Menhut No. SK. 60/Menhut-II/2005 tanggal 9 Maret 2005

Landasan Hukum : SK. Menhut No. SK. 60/Menhut-II/2005 tanggal 9 Maret 2005 Landasan Hukum : SK. Menhut No. SK. 60/Menhut-II/2005 tanggal 9 Maret 2005 Lokasi : Desa Seneng, Kecamatan Parung Panjang, Kabupaten Bogor, Propinsi Jawa Barat RPH Maribaya, BKPH Parung Panjang, KPH Bogor,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. berbagai kegiatan yang mengancam eksistensi kawasan konservasi (khususnya

BAB I PENDAHULUAN. berbagai kegiatan yang mengancam eksistensi kawasan konservasi (khususnya BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Manusia dan kawasan konservasi memiliki korelasi yang kuat. Suatu kawasan konservasi memiliki fungsi ekologi, ekonomi, dan sosial sedangkan manusia memiliki peran

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Indonesia merupakan negara kepulauan terbesar di dunia yang memiliki lebih dari 17.000 pulau dengan panjang garis pantai mencapai 81.000 km, dan membentang antara garis

Lebih terperinci

BAB V KESIMPULAN DAN REKOMENDASI. Berdasarkan hasil penelitian dan analisis data, diperoleh kesimpulan

BAB V KESIMPULAN DAN REKOMENDASI. Berdasarkan hasil penelitian dan analisis data, diperoleh kesimpulan 118 BAB V KESIMPULAN DAN REKOMENDASI A. KESIMPULAN Berdasarkan hasil penelitian dan analisis data, diperoleh kesimpulan sebagai berikut : 1. Objek wisata Curug Orok yang terletak di Desa Cikandang Kecamatan

Lebih terperinci

1. PENDAHULUAN. Indonesia memiliki hutan tropis yang luas dan memiliki keanekaragaman hayati yang

1. PENDAHULUAN. Indonesia memiliki hutan tropis yang luas dan memiliki keanekaragaman hayati yang 1 1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia memiliki hutan tropis yang luas dan memiliki keanekaragaman hayati yang tinggi. Hutan tropis ini merupakan habitat flora dan fauna (Syarifuddin, 2011). Menurut

Lebih terperinci

Kata kunci: Fungsi hutan, opini masyarakat, DAS Kelara

Kata kunci: Fungsi hutan, opini masyarakat, DAS Kelara Opini Masyarakat Terhadap Fungsi Hutan di Hulu DAS Kelara OPINI MASYARAKAT TERHADAP FUNGSI HUTAN DI HULU DAS KELARA Oleh: Balai Penelitian Kehutanan Makassar, Jl. Perintis Kemerdekaan Km.16 Makassar, 90243,

Lebih terperinci

IX. KESIMPULAN DAN SARAN. yang sangat strategis bagi pembangunan yang berkelanjutkan di Provinsi

IX. KESIMPULAN DAN SARAN. yang sangat strategis bagi pembangunan yang berkelanjutkan di Provinsi 136 IX. KESIMPULAN DAN SARAN 9.1. Kesimpulan Pengembangan kawasan Taman Nasional Gunung Leuser memiliki peran yang sangat strategis bagi pembangunan yang berkelanjutkan di Provinsi Sumatera Utara dan NAD

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. Hutan sebagai sumberdaya alam mempunyai manfaat yang penting bagi

PENDAHULUAN. Hutan sebagai sumberdaya alam mempunyai manfaat yang penting bagi PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Hutan sebagai sumberdaya alam mempunyai manfaat yang penting bagi kehidupan manusia baik secara ekonomi, ekologi dan sosial. Dalam Undangundang Nomor 41 Tahun 1999 disebutkan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Siamang (Hylobates syndactylus) merupakan salah satu jenis primata penghuni

I. PENDAHULUAN. Siamang (Hylobates syndactylus) merupakan salah satu jenis primata penghuni I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Siamang (Hylobates syndactylus) merupakan salah satu jenis primata penghuni hutan tropis sumatera yang semakin terancam keberadaannya. Tekanan terhadap siamang terutama

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : P.6/Menhut-II/2010 TENTANG

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : P.6/Menhut-II/2010 TENTANG PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : P.6/Menhut-II/2010 TENTANG NORMA, STANDAR, PROSEDUR DAN KRITERIA PENGELOLAAN HUTAN PADA KESATUAN PENGELOLAAN HUTAN LINDUNG (KPHL) DAN KESATUAN PENGELOLAAN

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. keanekaragaman hayati yang sangat tinggi. Menurut Suhartini (2009, h.1)

BAB I PENDAHULUAN. keanekaragaman hayati yang sangat tinggi. Menurut Suhartini (2009, h.1) BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Indonesia terletak di daerah beriklim tropis sehingga memiliki keanekaragaman hayati yang sangat tinggi. Menurut Suhartini (2009, h.1) Indonesia menjadi salah

Lebih terperinci

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN 29 5.1 Hasil BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1.1 Karakteristis Responden Karakteristik responden yang diukur dalam penelitian ini adalah kelompok umur, tingkat pendidikan, jumlah anggota keluarga, jarak pemukiman

Lebih terperinci