TINJAUAN PUSTAKA. Anjing (Canis familiaris)

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "TINJAUAN PUSTAKA. Anjing (Canis familiaris)"

Transkripsi

1 5 TINJAUAN PUSTAKA Anjing (Canis familiaris) Anjing merupakan salah satu hewan yang banyak dipelihara karena mempunyai hubungan erat dengan manusia. Beberapa tujuan dari pemeliharaan anjing antara lain sebagai hewan kesayangan, hewan penjaga, dan juga sebagai hewan pelacak. Hal ini dikarenakan anjing memiliki tingkat kecerdasan dan pengabdian yang tinggi kepada manusia (Grandjean 2006). Salah satu keistimewaan anjing adalah daya penciumannya yang sangat tajam. Kemampuan penciuman yang sangat tajam pada anjing dapat dimanfaatkan untuk melacak keberadaan barang ataupun orang sehingga sangat membantu polisi dalam memecahkan permasalahan kriminal seperti adanya bom, narkoba, maupun pencarian orang. Unit K-9 Direktorat Polisi Satwa merupakan salah satu unit di bawah POLRI yang menangani pelatihan dan pemeliharaan anjing pelacak. Anjing yang sering dipilih sebagai anjing pelacak adalah ras Belgian Malinois (Belgian Shepherd), Golden Retriever, Labrador Retriever, German Shepherd dan Rottweiler (POLRI 1996). Anjing-anjing tersebut dipilih sebagai anjing polisi karena memiliki berbagai keistimewaan. Belgian Malinois memiliki karakter sangat energik dan aktif, sehingga dapat dimanfaatkan sebagai anjing pelacak, penjaga, dan penyelamat. Golden Retriever adalah anjing yang berani, aktif, memiliki penciuman tajam, dan memiliki ingatan yang istimewa, sehingga dapat dimanfaatkan sebagai anjing pemandu, penyelamat, dan pendeteksi obat-obatan. Labrador Retriever merupakan raja anjing pemburu yang memiliki karakteristik sangat aktif, gesit, memiliki penciuman yang sangat tajam, pandai berenang, memiliki ingatan visual dan mampu merekam jejak lokasi dengan baik, sehingga anjing ini baik digunakan sebagai penjaga, penyelamat dan pendeteksi obatobatan. German Shepherd memiliki kewaspadaan yang tinggi, cepat belajar, ramah, berani, patuh pada perintah, dan memiliki penciuman yang istimewa, sehingga anjing ini dapat dimanfaatkan sebagai anjing pekerja (pemburu, pencari jejak dan penyelamat, penjaga, dan pemandu). Rottweiler memiliki kekuatan luar biasa, pekerja keras dan tidak akan pernah menyalak tanpa ada penyebab, sehingga anjing ini dapat dimanfaatkan sebagai anjing polisi, militer, penjaga dan pengendali massa (huru hara) (Grandjean 2006). Anjing-anjing yang dipergunakan sebagai anjing polisi tersebut masuk ke dalam kategori ras besar dan dapat dilatih menjadi anjing pekerja (working dog). Masing-masing ras memiliki keistimewaan dan perbedaan kepekaan terhadap penyakit. Beberapa ras diduga lebih tahan dalam merespon suatu infeksi, sedangkan ras lainnya lebih peka terhadap infeksi yang sama. Ras anjing German Shepherd sering disebut sebagai ras yang sangat peka dalam merespon suatu penyakit (Grandjean 2006).

2 6 Babesiosis pada Anjing Babesiosis adalah penyakit yang disebabkan oleh infeksi Babesia sp.. Babesia sp. merupakan protozoa intraeritrositik yang dapat ditularkan melalui vektor caplak. Penyakit ini ditularkan pada anjing yang imunitasnya menurun atau dalam kondisi imunosupresi. Tingkat keparahan penyakit ini dipengaruhi oleh faktor umur, ras dan status/kondisi premunisi (Benavides dan Sacco 2007). Kondisi premunisi yaitu keseimbangan yang terjadi antara respon imun hewan yang terinfeksi dengan kemampuan parasit untuk memunculkan gejala klinis (Mandell et al. 2010; Wulansari 2002). Ras anjing diduga merupakan faktor predisposisi dan mempengaruhi infeksi ini. Hasil penelitian Mellanby et al. (2011) menunjukkan bahwa anjing ras besar pekerja (working dogs) memiliki resiko terinfeksi babesiosis lebih besar dibandingkan dengan anjing ras mini (Mellanby et al. 2011). Secara historis, Babesia diklasifikasikan berdasarkan ukuran dan spesies mamalia yang diinfeksi. Babesia besar mempunyai panjang 3 sampai 6 pm, sedangkan Babesia kecil mempunyai panjang 1 sampai 3 pm ((Iqbal et al. 2011). Dua spesies Babesia yang sering menginfeksi anjing adalah Babesia canis dan Babesia gibsoni. Keduanya merupakan protozoa yang hidup intraeritrosit (intrasitoplasmik) (Stockham dan Scott 2002). Babesia canis adalah spesies yang diidentifikasi sebagai Babesia besar. Babesia canis mencakup tiga subspesies, yaitu Babesia canis vogeli, Babesia canis canis, dan Babesia canis rossi. Ketiga subspesies tersebut secara genetik berbeda, ditularkan oleh vektor yang berbeda, dan memiliki distribusi geografis yang berbeda dengan berbagai tingkat patogenitas (Iqbal et al. 2011). Babesia canis vogeli memiliki distribusi di seluruh dunia, ditularkan oleh Rhipicephalus sanguineus, dan dianggap kurang patogen. Babesia canis canis ditemukan terutama di Eropa, ditularkan oleh Dermacentor reticulatus, dan cukup patogen. Babesia canis rossi adalah endemik di Afrika, ditularkan oleh Haemaphysalis leachi, dan merupakan subspesies sangat ptogen. Babesia gibsoni (B. gibsoni) merupakan spesies yang diidentifikasi sebagai Babesia kecil.. Babesia gibsoni memiliki distribusi di seluruh dunia, ditularkan oleh Haemaphysalis, dan memiliki derajat infeksi yang bersifat subklinis sampai infeksi berat yang dapat menyebabkan kematian (Iqbal et al. 2011). Selain ditularkan melalui vektor caplak, agen ini dilaporkan dapat juga ditularkan melalui aplikasi tranfusi darah dari donor ke resipien apabila anjing pendonor bersifat carrier dan melalui transplasental dari induk ke anak (Fukumoto et al. 2005).. Siklus Hidup Babesia sp. Caplak terinfeksi merozoit selama menghisap eritrosit dan tetap infektif selama beberapa generasi melalui transmisi transovarial (Boozer dan Macintire 2005) Babesia sp. memiliki siklus perkembangan aseksual (skizogoni) yang terjadi pada inang dan perkembangan seksual (gametogoni dan sporogoni) yang terjadi pada caplak. Transmisi dimulai ketika inang tergigit caplak yang mengandung sporozoit Babesia sp. di dalam kelenjar ludahnya. Sporozoit yang

3 7 memasuki inang mengalami siklus pre-eritrositik, dimana akan mengikuti aliran limfe dan membentuk tropozoit (infektif). Beberapa hari kemudian terbentuk badan berinti banyak (schizont) yang berisi merozoit. Semakin banyak jumlah merozoit menjadikan schizont pecah dan melepaskan merozoit ke dalam aliran darah. Merozoit yang menginfeksi eritrosit berubah menjadi tropozoit muda dan jika telah matang berubah lagi menjadi schizont yang dapat pecah kembali dan melepaskan merozoit lain yang akan menginfeksi eritrosit lain di sekitarnya (Gardiner et al. 2002). Siklus hidup Babesia sp. dijelaskan melalui Gambar 1. Gambar 1 Siklus hidup Babesia sp. (Gardiner et al. 2002) Patogenesis Babesiosis ditularkan melalui gigitan vektor, salah satunya yaitu Rhipicephalus sanguineus. Sporozoit akan ditemukan dalam sirkulasi darah pada inang (anjing) setelah terinfeksi selama 2 sampai 3 hari (Igarashi et al. 1988). Infeksi oleh Babesia sp. dimulai ketika inang tergigit caplak yang mengandung sporozoit Babesia sp. di dalam kelenjar ludahnya. Sporozoit yang memasuki inang mengalami siklus pre-eritrositik, mengikuti aliran limfe dan membentuk tropozoit (Gardiner et al. 2002). Tiga sampai empat hari kemudian terbentuk badan berinti banyak (skizont) yang berisi merozoit. Semakin banyak jumlah merozoit menjadikan skizont pecah dan melepaskan merozoit ke dalam aliran darah setelah anjing terinfeksi selama 2 sampai 3 hari.

4 8 a b c Gambar 2 Proses destruksi eritrosit a) infeksi Babesia sp. dalam eritrosit; b) Penetrasi merozoit Babesia sp. ke dalam eritrosit mengaktifkan komplemen (C3b) (Kaneko et al. 1997); c) hemolisis intravaskular dan ekstravaskular akibat destruksi eritrosit oleh Babesia sp. yang diperantarai sistem imun (Stockham dan Scott 2002)

5 Di dalam tubuh inang, organisme menempel pada membran eritrosit dan ditelan melalui proses endositosis. Mekanisme masuknya merozoit melalui proses endositosis, yang terdiri dari tiga tahap: 1) usaha untuk tidak dikenali inang dan penempelan ke membran eritrosit; 2) invaginasi eritrosit mengelilingi merozoit untuk membentuk parasitophorus vacuole; dan 3) membran eritrosit menutup setelah invasi merozoit selesai (Igarashi et al. 1988). Tahap selanjutnya, membran luar (berasal dari parasitophorus vacuole eritrosit inang) segera terlepas, sehingga parasit dapat berkontak langsung dengan sitoplasma eritrosit. Merozoit yang menginfeksi eritrosit berubah menjadi tropozoit muda dan jika telah matang berubah lagi menjadi skizont yang dapat pecah kembali dan melepaskan merozoit lain yang akan menginfeksi eritrosit lain disekitarnya (Gardiner et al. 2002). Penetrasi merozoit ke dalam eritrosit terjadi melalui mekanisme: 1) kontak merozoit menyebabkan membran plasma teraktivasi sehingga jalur komplemen juga teraktivasi dan merozoit memperoleh komplemen di permukaan eritrosit dan melalui reseptor komplemen pada sitoplasma terbentuk ikatan yang kuat; dan 2) merozoit memiliki reseptor C3b sehingga dapat mengikat C3b yang terdapat pada permukaan membran eritrosit (Igarashi et al. 1988). Eritrosit yang terinfeksi merozoit (Gambar 2a), berikatan dengan komplemen yang melapisi eritrosit (Gambar 2b). Kerusakan membran eritrosit diduga diakibatkan oleh lisis osmotik dalam sirkulasi (hemolitik intravaskular) (Gambar 2c). Eritrosit yang dilapisi oleh komplemen diekspresikan melalui proses fagositosis oleh sel makrofag (Gambar 2c) menghasilkan kerusakan eritrosit, yang akan dibuang dalam ruang ekstravaskular pada limpa dan hati (hemolisis ekstravaskular) (Weiss dan Wardrop 2010). Pembelahan terus-menerus merozoit yang tidak terbendung mengakibatkan eritrosit-eritrosit lain di sekitar eritrosit berparasit juga ikut terinfeksi. Eritrosit yang terinfeksi oleh parasit ini mengalami destruksi (Gardiner et al. 2002). Daya hidup eritrosit normal pada anjing adalah 100 hari, namun dengan adanya infeksi ini menyebabkan pemendekan umur eritrosit sampai kurang dari setengahnya (Weiss dan Wardrop 2010), sehingga banyak eritrosit akibat infeksi parasit ini didestruksi lebih cepat dari umurnya. Parasitemia adalah suatu keadaan dimana parasit ditemukan dalam sirkulasi darah. Parasitemia dikaitkan dengan siklus hidup Babesia sp. dan terdeteksi di dalam sirkulasi selama periode prepaten. Periode prepaten adalah periode perkembangan sporozoit menjadi tropozoit dan periode ketika merozoit menginfeksi eritrosit. Periode ini membutuhkan waktu selama 1 2 minggu (Urquhart et al. 2003). Parasitemia yang disebabkan oleh B. canis dapat berlangsung selama 3-4 hari, diikuti periode hilangnya parasit dari peredaran darah perifer selama kurang lebih hari. Selanjutnya, periode inkubasi dan perkembangan merozoit terjadi antara 2 12 minggu (Quin et al. 2008). Biasanya persentase parasitemia mencapai 1.5 % atau lebih pada stadium perkembangan. Tingkat parasitemia tersebut telah mampu memunculkan gejala klinis. Gejala klinis yang muncul berupa demam, kepucatan membran mukosa, pembesaran limpa dan hati, takhikardia serta urin menjadi lebih gelap. Parasitemia mencapai puncak (>1.5 % - >5 %) pada 4 sampai 6 minggu setelah infeksi (Boozer dan Macintire 2005). Stadium terakhir merupakan stadium penyembuhan, ditunjukkan dengan persentase parasitemia yang rendah. Jika hal ini berlangsung lama tanpa 9

6 10 menimbulkan gejala klinis, maka bisa dipastikan hewan menjadi carrier (Kocan et al. 2010). Setelah 2 minggu pasca infeksi akan terjadi parasitemia kedua, dengan jumlah parasit lebih banyak di dalam eritrosit, sebagai hasil perbanyakan secara pembelahan (Subronto 2005). Parasitemia dapat terjadi berulang-ulang ketika inang berada dalam kondisi dengan kekebalan tubuh yang menurun. Sistem kekebalan tubuh yang ada, tidak benar-benar menghilangkan infeksi, dan hewan akan menjadi carrier kronis (Boozer dan Macintire 2005). Anemia hemolitik dan trombositopenia merupakan gambaran utama babesiosis pada anjing. Anemia disebabkan oleh ekstra dan intravaskular hemolisis. Destruksi eritrosit akibat immune mediated hemolytic anemia (IMHA) terjadi karena adanya antigen Babesia sp. pada permukaan eritrosit. Hal ini menyebabkan kerusakan eritrosit, baik intravaskular maupun ekstravaskular (Gambar 2c). Destruksi eritrosit tersebut akan memunculkan gejala hemoglobinemia, hemoglobinuria dan kuning (ikterus/jaundice) (Boozer dan Macintire 2005). Gejala Klinis Gejala klinis muncul setelah periode inkubasi, dimana derajat parasitemia mencapai > 1.5 %, dan diperkirakan terjadi dalam waktu 4 6 minggu pasca infeksi. Gejala klinis pada infeksi perakut ditandai dengan kegagalan respirasi (dyspnoe) hingga kematian secara tiba-tiba. Secara umum, gejala klinis pada infeksi akut yang muncul pada anjing penderita babesiosis berupa demam, membran mukosa anemis sampai ikterus, hati dan limpa membesar, berat badan menurun, gangguan saluran cerna (muntah dan diare berdarah), gangguan saluran pernafasan, takikardia dan urin berwarna lebih gelap (Lubis 2006). Gejala klinis pada infeksi kronis sering tidak tampak, namun terkadang ditemukan membran mukosa anemis, demam intermiten dan penurunan berat badan (Tilley dan Smith 2011). Babesia gibsoni dapat menyebabkan infeksi yang bersifat hiperakut, akut, dan kronis. Infeksi hiperakut yang langka terutama terjadi pada anak anjing yang baru lahir dan mengakibatkan kematian dengan cepat. Infeksi tersebut diduga diperoleh dari induknya. Infeksi Babesia gibsoni akut biasanya memunculkan gejala demam, kelesuan, trombositopenia, dan anemia, sedangkan infeksi babesia kronis bisa sama sekali tanpa gejala atau bisa juga disertai dengan demam intermiten, lesu, dan penurunan berat badan (Boozer dan Macintire 2005). Diagnosis Diagnosis pada kasus infeksi B. canis akut didasarkan pada gejala klinis yang muncul dan ditemukannya parasit Babesia sp di dalam eritrosit melalui pemeriksaan ulas darah. Pada pemeriksaan ulas darah, Babesia besar (Babesia canis) tampak terlihat seperti buah pear, sedangkan Babesia kecil (Babesia gibsoni) tampak sebagai inti kecil bersitoplasma (Boozer dan Macintire 2005) (Gambar 3). Sampai saat ini belum ada tes yang 100% sensitif untuk diagnosis babesiosis pada anjing. Selain melalui pemeriksaan ulas darah, diagnosis bisa dilakukan melalui pemeriksaan serologis yang meliputi Coomb Test, IFA

7 11 (Immunoflourescent Antibody Test), IFT (Indirect Fluorescent Test), ELISA (Enzyme Linked Immunosorbent Assay), dan PCR (Polymerase Chain Reaction) (Iqbal et al. 2011; Boozer dan Macintire 2005). a b Gambar 3 Babesia canis (a) dan Babesia gibsoni (b) di dalam eritrosit anjing (Boozer dan Macintire 2005) Gambaran Hematologi dan Kimia Klinik Babesiosis pada Anjing Anemia dan trombositopenia merupakan kelainan yang paling sering ditemukan pada anjing dengan infeksi babesiosis tunggal. Gejala klinis yang muncul pada penderita babesiosis merupakan manifestasi klinis dari adanya anemia (Iqbal et al. 2011). Destruksi eritrosit akibat infeksi Babesia sp. secara besar-besaran akan menyebabkan terjadinya anemia. Sumsum tulang meresponnya dengan cara meningkatkan produksi eritrosit muda (retikulosit) yang akan dilepaskan ke dalam sirkulasi darah. Jumlah retikulosit yang sangat tinggi di dalam sirkulasi darah (retikulositosis) bisa mengindikasikan adanya proses hemolisis. Penghitungan jumlah retikulosit dalam sirkulasi merupakan kunci diagnosis adanya anemia hemolitik. Destruksi eritrosit pada anemia hemolitik umumnya terjadi di dalam limpa sehingga organ ini akan mengalami pembesaran. Rata-rata masa hidup eritrosit pada kejadian ini sangat pendek, berkisar antara hari (Sibuea et al. 2009), dimana masa hidup eritrosit pada anjing dalam keadaan normal berkisar antara hari (Weiss dan Wardrop 2010; Colville dan Bassert 2002). Destruksi eritrosit menyebabkan terjadinya pemecahan eritrosit besarbesaran sehingga di dalam hati terbentuk bilirubin yang berlebihan. Kemampuan hati dalam mengkonjugasi bilirubin terbatas, menyebabkan kadar bilirubin unconjugated di dalam darah akan meningkat sehingga penderita terlihat kekuningan (ikterus/jaundice) yang disebut sebagai ikterus prehepatik. Pemecahan eritrosit berlebihan akan berdampak pada menurunnya ikatan hemoglobin oksigen (HbO 2 ). Ikatan ini yang membawa oksigen beredar dalam sirkulasi sehingga membantu proses oksigenasi sel. Salah satu faktor utama yang mempengaruhi oksigenasi jaringan atau sel adalah konsentrasi oksigen yang terkandung dalam darah (Segal 2010). Konsekuensi dari menurunnya ikatan hemoglobin oksigen (HbO 2 ) menyebabkan oksigenasi jaringan terganggu.

8 12 Manifestasi klinis yang terlihat adalah adanya takhikardia akibat hipoksemia dan hipoksia (Price dan Wilson 2006). Pengobatan dan Pencegahan Tujuan utama pengobatan pada kasus babesiosis adalah untuk menekan perkembangan parasitemia dan mengembangkan keadaan premunisi. Imidocarb dipropionat adalah obat yang direkomendasikan oleh FDA (Food and Drug Association) untuk pengobatan babesiosis pada anjing. Dosis yang disarankan adalah 6,6 mg/kg, diberikan secara intramuskular, dengan dosis yang diulang dalam dua minggu berikutnya (Tilley dan Smith 2011). Efek samping yang paling sering dilaporkan muncul setelah pemberian imidocarb adalah sakit di lokasi penyuntikan dan tanda-tanda kolinergik, seperti hipersalivasi, defekasi, dan panting. Pemberian atropin dosis 0,022 mg/kg secara subkutan, 15 sampai 30 menit sebelum pemberian imidocarb dapat mengurangi tanda-tanda kolinergik (Tilley dan Smith 2011). Imidocarb efektif digunakan untuk semua subspesies Babesia canis. Meskipun tidak dapat mengeliminasi/menghilangkan seluruh parasit dalam darah, imidocarb dapat menurunkan mortalitas pada infeksi Babesia gibsoni (Iqbal et al. 2011). Obat-obatan lain yang bisa diberikan adalah kombinasi atovakuon (Mepron Glaxo Smith Kline) dengan dosis 13.5 mg/kg BB secara oral, azitromisin 10 mg/kgbb secara oral sekali/hari selama 10 hari. Studi terbaru menunjukkan bahwa pemberian klindamisin 10 mg/kg BB secara oral selama 14 hari efektif untuk terapi babesiosis pada anjing tanpa efek samping. Pemberian terapi suportif berupa terapi cairan dan/atau tranfusi darah tergantung pada kondisi dan derajat anemia anjing (Iqbal et al. 2011). Pencegahan yang dapat dilakukan adalah kontrol terhadap caplak sebagai vektor penyakit. Tindakan pencegahan ini termasuk kontrol caplak (sanitasi lingkungan dan hewan menggunakan Butox ), screening induk, screening donor darah, serta mencegah perkelahian antar anjing untuk mempersempit penularan infeksi antar anjing (Iqbal et al. 2011). Haemobartonellosis pada Anjing Infeksi oleh Haemobartonella sp. disebabkan oleh Mycoplasma haemocanis, yang sebelumnya dikenal sebagai Haemobartonella canis. Mycoplasma haemocanis merupakan mikroorganisme yang masuk ke dalam kelompok riketsia. Mycoplasma haemocanis disebut juga sebagai "Hemotropic mycoplasma. Mikroorganisme ini mampu bertahan hidup tanpa oksigen, dan tidak memiliki dinding sel sejati, sehingga membuat mereka tahan terhadap antibiotik (Subronto 2006). Mycoplasma merupakan gram negatif dan tahan asam serta bereproduksi melalui pembelahan biner (Aielo 2002). Siklus hidup Haemobartonella sp. sampai saat ini belum banyak dilaporkan. Laporan yang ada terbatas pada informasi bahwa riketsia mampu hidup dalam berbagai stadia caplak dan sewaktu-waktu dapat dipindahkan ke hewan lain (Subronto 2006). Simptom yang muncul merupakan manifestasi klinis anemia, berupa lesu, tidak nafsu makan, anemis, demam, gangguan pernafasan (dispnoe, tachypnoea),

9 13 dan gangguan sirkulasi (takhikardia dan kerapuhan kapiler) (Gretillat 2008). Anjing penderita haemobartonellosis akut biasanya akan menunjukkan tandatanda depresi, kehilangan nafsu makan, penurunan berat badan, dan demam. Kematian dapat terjadi pada kasus yang parah, (Nash 2012). Patogenesis Patogenesis haemobartonellosis belum banyak dilaporkan. Menurut Weiss dan Wardrop (2010) serta Stockham dan Scott (2002), proses infeksi Haemobartonella sp. terkait dengan mediator imun. Babesiosis dan haemobartonellosis memiliki kesamaan dalam mengaktifkan sistem komplemen (Weiss dan Wardrop 2010; Stockham dan Scott 2002). Diagnosis Diagnosis didasarkan pada ditemukannya Hemobartonella canis pada preparat ulas darah (Gambar 4). Bila dilihat secara mikroskopis, Mycoplasma haemocanis tampak dalam bentuk rantai atau bisa berupa organisme individu yang menembus permukaan eritrosit (Gambar 4). Polymerase Chain Reaction/PCR merupakan tes yang sensitif dan spesifik untuk mendiagnosis anjing yang terinfeksi Hemobartonella canis (Kumarl et al. 2011). Gambar 4 Haemobartonella canis pada eritrosit anjing (Boozer dan Macintire 2005) Gambaran Hematologi dan Kimia Klinik Haemobartonellosis pada Anjing Haemobartonellosis, seperti juga babesiosis, menyebabkan anemia hemolitik. Gejala klinis yang muncul merupakan akibat dari anemia yang ditimbulkannya. Tingkat keparahan anemia yang ditimbulkan bervariasi, tergantung pada durasi dan derajat parasitemia. Bentuk anemia biasanya regeneratif atau non-regeneratif. Profil hematologi yang pernah dilaporkan berupa neutrofilia, anisositosis, poikilositosis dan anisositosis. Trombositopenia bisa ditemukan pada beberapa kasus. Perubahan biokimiawi darah pada umumnya ringan dan sekunder terhadap anemia akibat kondisi hipoksia (Gretillat 2008).

10 14 Terapi Tujuan utama pengobatan haemobartonellosis adalah untuk menekan perkembangan Haemobartonella sp. Terapi untuk Mycoplasma haemocanis adalah tetrasiklin yang diberikan secara oral (dosis mg/kgbb, tiga kali sehari selama 21 hari) atau kloramfenikol (diberikan secara intravena dengan dosis mg/kgbb, dua atau tiga kali sehari selama 9 sampai 21 hari). Karena terapi antibiotik tidak sepenuhnya menghilangkan M. haemocanis, tanda-tanda klinis dapat muncul kembali jika penyakit imunosupresif yang mendasarinya berkembang. Pemberian glukokortikoid secara oral (dosis 1 mg/kgbb, dua kali sehari, diberikan secara bertahap) efektif jika infeksi Mycoplasma haemocanis berhubungan dengan anemia hemolisis yang diperantarai kekebalan (Immune Mediated Hemolytic Anaemia/IMHA). Terapi suportif berupa terapi cairan dan tranfusi darah diberikan ketika hewan menderita anemia berat (Kumarl et al. 2011).

PROFIL HEMATOLOGI DAN KIMIA DARAH ANJING YANG TERINFEKSI KOMBINASI LENI MAYLINA

PROFIL HEMATOLOGI DAN KIMIA DARAH ANJING YANG TERINFEKSI KOMBINASI LENI MAYLINA PROFIL HEMATOLOGI DAN KIMIA DARAH ANJING YANG TERINFEKSI KOMBINASI Babesia sp. DAN Haemobartonella sp. KRONIS LENI MAYLINA SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2013 PERNYATAAN MENGENAI

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN 8 HASIL DAN PEMBAHASAN Persentase Parasitemia Menurut Ndungu et al. (2005), tingkat parasitemia diklasifikasikan menjadi tiga tingkatan, yaitu tingkat ringan (mild reaction), tingkat sedang (severe reaction),

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN Identifikasi Berdasarkan Morfologi

HASIL DAN PEMBAHASAN Identifikasi Berdasarkan Morfologi 15 HASIL DAN PEMBAHASAN Identifikasi Berdasarkan Morfologi Berdasarkan hasil identifikasi preparat ulas darah anjing ras Doberman dan Labrador Retriever yang berasal dari kepolisian Kelapa Dua Depok, ditemukan

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN 19 HASIL DAN PEMBAHASAN Identifikasi Babesia sp. dan Haemobartonella sp. Identifikasi Babesia sp. dan Haemobartonella sp. dilakukan melalui pembuatan preparat ulas darah dengan menggunakan pewarnaan Giemsa.

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Parasit

TINJAUAN PUSTAKA. Parasit 4 Parasit TINJAUAN PUSTAKA Parasit dapat dibedakan menjadi dua yaitu ektoparasit dan endoparasit. Ektoparasit adalah parasit yang hidupnya menumpang di bagian luar dari tempatnya bergantung atau pada permukaan

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN HASIL DAN PEMBAHASAN Identifikasi dan Persentase Parasit Darah Hasil pengamatan preparat ulas darah pada enam ekor kuda yang berada di Unit Rehabilitasi Reproduksi (URR FKH IPB) dapat dilihat sebagai berikut

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Anemia hemolitik autoimun atau Auto Immune Hemolytic Anemia (AIHA)

BAB 1 PENDAHULUAN. Anemia hemolitik autoimun atau Auto Immune Hemolytic Anemia (AIHA) BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Anemia hemolitik autoimun atau Auto Immune Hemolytic Anemia (AIHA) merupakan salah satu penyakit di bidang hematologi yang terjadi akibat reaksi autoimun. AIHA termasuk

Lebih terperinci

Etiology dan Faktor Resiko

Etiology dan Faktor Resiko Etiology dan Faktor Resiko Fakta Penyakit ini disebabkan oleh virus hepatitis C (HCV). Virus hepatitis C merupakan virus RNA yang berukuran kecil, bersampul, berantai tunggal, dengan sense positif Karena

Lebih terperinci

Proses Penyakit Menular

Proses Penyakit Menular Proses Penyakit Menular Bagaimana penyakit berkembang? Spektrum penyakit Penyakit Subklinis (secara klinis tidak tampak) Terinfeksi tetapi tidak menunjukkan tanda-tanda penyakit; biasanya terjadi perubahan

Lebih terperinci

Anemia Megaloblastik. Haryson Tondy Winoto, dr.,msi.med.,sp.a Bag. Anak FK-UWK Surabaya

Anemia Megaloblastik. Haryson Tondy Winoto, dr.,msi.med.,sp.a Bag. Anak FK-UWK Surabaya Anemia Megaloblastik Haryson Tondy Winoto, dr.,msi.med.,sp.a Bag. Anak FK-UWK Surabaya Anemia Megaloblastik Anemia megaloblastik : anemia makrositik yang ditandai peningkatan ukuran sel darah merah yang

Lebih terperinci

PROFIL ERITROSIT ANJING YANG TERINFEKSI KRONIS Babesia sp. CHANIFATUS SOLIHAH

PROFIL ERITROSIT ANJING YANG TERINFEKSI KRONIS Babesia sp. CHANIFATUS SOLIHAH PROFIL ERITROSIT ANJING YANG TERINFEKSI KRONIS Babesia sp. CHANIFATUS SOLIHAH FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2013 PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. penderitanya dan menghasilkan kerentanan terhadap berbagai infeksi. sel T CD4 yang rendah (Cabada, 2015; WHO, 2016).

BAB I PENDAHULUAN. penderitanya dan menghasilkan kerentanan terhadap berbagai infeksi. sel T CD4 yang rendah (Cabada, 2015; WHO, 2016). BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Penderita HIV/AIDS meningkat setiap tahun dengan morbiditas dan mortalitas yang tinggi. Sel limfosit T CD4 merupakan sel target infeksi HIV, penurunan jumlah dan fungsi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Hepatitis merupakan penyakit inflamasi dan nekrosis dari sel-sel hati yang dapat

BAB I PENDAHULUAN. Hepatitis merupakan penyakit inflamasi dan nekrosis dari sel-sel hati yang dapat BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Hepatitis merupakan penyakit inflamasi dan nekrosis dari sel-sel hati yang dapat disebabkan oleh infeksi virus. Telah ditemukan lima kategori virus yang menjadi agen

Lebih terperinci

Anemia Hemolitik. Haryson Tondy Winoto,dr,Msi.Med.,Sp.A Bag. IKA UWK

Anemia Hemolitik. Haryson Tondy Winoto,dr,Msi.Med.,Sp.A Bag. IKA UWK Anemia Hemolitik Haryson Tondy Winoto,dr,Msi.Med.,Sp.A Bag. IKA UWK Anemia hemolitik didefinisikan : kerusakan sel eritrosit yang lebih awal.bila tingkat kerusakan lebih cepat dan kapasitas sumsum tulang

Lebih terperinci

Rickettsia prowazekii

Rickettsia prowazekii Rickettsia prowazekii Nama : Eva Kristina NIM : 078114026 Fakultas Farmasi Sanata Dharma Abstrak Rickettsia prowazekii adalah bakteri kecil yang merupakan parasit intraseluler obligat dan ditularkan ke

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Infeksi Menular Seksual (IMS) atau Sexually Transmited Infections (STIs) adalah penyakit yang didapatkan seseorang karena melakukan hubungan seksual dengan orang yang

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. oleh kuman TBC ( Mycobacterium tuberculosis). Sebagian besar kuman. lainnya seprti ginjal, tulang dan usus.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. oleh kuman TBC ( Mycobacterium tuberculosis). Sebagian besar kuman. lainnya seprti ginjal, tulang dan usus. BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Tuberkulosis 1. Definisi Tuberkulosis Tuberkulosis adalah penyakit menular langsung yang disebabkan oleh kuman TBC ( Mycobacterium tuberculosis). Sebagian besar kuman tuberkulosis

Lebih terperinci

RENCANA KEGIATAN PEMBELAJARAN MINGGUAN

RENCANA KEGIATAN PEMBELAJARAN MINGGUAN RENCANA KEGIATAN PEMBELAJARAN MINGGUAN Pertemuan : Minggu ke 14 Waktu : 50 menit Pokok bahasan : 14. Kasus Penyakit di Klinik (Lanjutan) Subpokok bahsan : a. Penyakit Anemia hemolitik intravaskuler (keracunan

Lebih terperinci

MEKANISME PATOGENESIS PADA BABESIA CANIS. Vidya Irawan, DVM, M.Sc 1

MEKANISME PATOGENESIS PADA BABESIA CANIS. Vidya Irawan, DVM, M.Sc 1 MEKANISME PATOGENESIS PADA BABESIA CANIS Vidya Irawan, DVM, M.Sc 1 1 Post Graduate Student of Veterinary Science, Faculty of Veterinary Medicine, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, Indonesia. Babesiosis

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dengan hewan dapat menularkan penyakit, manusia tetap menyayangi hewan

BAB I PENDAHULUAN. dengan hewan dapat menularkan penyakit, manusia tetap menyayangi hewan BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Kehidupan manusia sulit terlepas dari kehidupan hewan, baik sebagai teman bermain atau untuk keperluan lain. Meskipun disadari bahwa kedekatan dengan hewan dapat menularkan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Malaria merupakan penyakit infeksi yang masih menjadi penyakit endemis di beberapa daerah tropis dan subtropis dunia. Pada tahun 2006, terjadi 247 juta kasus malaria,

Lebih terperinci

ANEMIA HEMOLITIK. A. Definisi Anemia yang disebabkan oleh peningkatan kecepatan destruksi eritrosit.

ANEMIA HEMOLITIK. A. Definisi Anemia yang disebabkan oleh peningkatan kecepatan destruksi eritrosit. ANEMIA HEMOLITIK PENGANTAR A. Definisi Anemia yang disebabkan oleh peningkatan kecepatan destruksi eritrosit. B. Etiologi 1. Defek eritrosit intristik : defek membran, kelainan metabolisme eritrosit, kelainan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. disebabkan oleh mikroorganisme Salmonella enterica serotipe typhi yang

I. PENDAHULUAN. disebabkan oleh mikroorganisme Salmonella enterica serotipe typhi yang 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Demam tifoid akut merupakan penyakit infeksi akut bersifat sistemik yang disebabkan oleh mikroorganisme Salmonella enterica serotipe typhi yang dikenal dengan Salmonella

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA Temperatur Tubuh Temperatur tubuh didefinisikan sebagai derajat panas tubuh. Temperatur

BAB II TINJAUAN PUSTAKA Temperatur Tubuh Temperatur tubuh didefinisikan sebagai derajat panas tubuh. Temperatur BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Temperatur Tubuh Temperatur tubuh didefinisikan sebagai derajat panas tubuh. Temperatur tubuh hewan merupakan keseimbangan antara produksi panas tubuh yang dihasilkan oleh

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Malaria adalah penyakit yang disebabkan oleh parasit plasmodium yaitu makhluk hidup bersel satu yang termasuk ke dalam kelompok protozoa. Malaria ditularkan

Lebih terperinci

HEMATOLOGI KLINIK ANJING PENDERITA DIROFILARIASIS. Menurut Atkins (2005), anjing penderita penyakit cacing jantung

HEMATOLOGI KLINIK ANJING PENDERITA DIROFILARIASIS. Menurut Atkins (2005), anjing penderita penyakit cacing jantung 16 HEMATOLOGI KLINIK ANJING PENDERITA DIROFILARIASIS Menurut Atkins (2005), anjing penderita penyakit cacing jantung memiliki kelainan hematologi pada tingkat ringan berupa anemia, neutrofilia, eosinofilia,

Lebih terperinci

BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA. Malaria adalah penyakit yang disebabkan oleh protozoa genus Plasmodium

BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA. Malaria adalah penyakit yang disebabkan oleh protozoa genus Plasmodium BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Penyebab Malaria Malaria adalah penyakit yang disebabkan oleh protozoa genus Plasmodium yang ditransmisikan ke manusia melalui nyamuk anopheles betina. 5,15 Ada lima spesies

Lebih terperinci

4 HASIL DAN PEMBAHASAN

4 HASIL DAN PEMBAHASAN 4 HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Identifikasi Protozoa Parasitik Menurut Subronto (2006) protozoa dalam darah yang sering ditemukan pada anjing, antara lain dari genus Babesia, Hepatozoon dan Trypanosoma. Seringkali

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Ciri-ciri Salmonella sp. Gambar 1. Mikroskopis kuman Salmonella www.mikrobiologi Lab.com) sp. (http//. Salmonella sp. adalah bakteri batang lurus, gram negatif, tidak berspora,

Lebih terperinci

PRODI DIII KEBIDANAN STIKES WILLIAM BOOTH SURABAYA

PRODI DIII KEBIDANAN STIKES WILLIAM BOOTH SURABAYA Epidemiologi Dasar RIWAYAT ALAMIAH PENYAKIT ANDREAS W. SUKUR PRODI DIII KEBIDANAN STIKES WILLIAM BOOTH SURABAYA Website: https://andreaswoitilasukur.wordpress.com/ Email : andreaswoitila@gmail.com Riwayat

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. Latar Belakang. Selama tiga dekade ke belakang, infeksi Canine Parvovirus muncul sebagai salah

PENDAHULUAN. Latar Belakang. Selama tiga dekade ke belakang, infeksi Canine Parvovirus muncul sebagai salah PENDAHULUAN Latar Belakang Canine Parvovirus merupakan penyakit viral infeksius yang bersifat akut dan fatal yang dapat menyerang anjing, baik anjing domestik, maupun anjing liar. Selama tiga dekade ke

Lebih terperinci

DEFINISI KASUS MALARIA

DEFINISI KASUS MALARIA DEFINISI KASUS MALARIA Definisi kasus adalah seperangkat criteria untuk menentukan apakah seseorang harus dapat diklasifikasikan sakit atau tidak. Kriteria klinis dibatasi oleh waktu, tempat, dan orang.

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. Malaria merupakan penyakit kronik yang mengancam keselamatan jiwa yang

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. Malaria merupakan penyakit kronik yang mengancam keselamatan jiwa yang BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Malaria Malaria merupakan penyakit kronik yang mengancam keselamatan jiwa yang disebabkan oleh parasit yang ditularkan ke manusia melalui gigitan nyamuk yang terinfeksi. 3 Malaria

Lebih terperinci

BAB V PEMBAHASAN. yang telah memenuhi jumlah minimal sampel sebanyak Derajat klinis dibagi menjadi 4 kategori.

BAB V PEMBAHASAN. yang telah memenuhi jumlah minimal sampel sebanyak Derajat klinis dibagi menjadi 4 kategori. digilib.uns.ac.id BAB V PEMBAHASAN Setelah dilakukan penelitian di RSUD Dr. Moewardi telah didapatkan data-data penelitian yang disajikan dalam tabel pada Bab IV. Pada penelitian ini didapatkan sampel

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN HASIL DAN PEMBAHASAN Hematologi Hasil pemeriksaan hematologi disajikan dalam bentuk rataan±simpangan baku (Tabel 1). Hasil pemeriksaan hematologi individual (Tabel 5) dapat dilihat pada lampiran dan dibandingkan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. yang lalu. Salah satu bukti hubungan baik tersebut adalah adanya pemanfaatan

BAB I PENDAHULUAN. yang lalu. Salah satu bukti hubungan baik tersebut adalah adanya pemanfaatan 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Anjing merupakan salah satu jenis hewan yang dikenal bisa berinteraksi dengan manusia. Interaksi demikian telah dilaporkan terjadi sejak ratusan tahun yang lalu. Salah

Lebih terperinci

BAB. IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB. IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Hasil Penelitian BAB. IV HASIL DAN PEMBAHASAN Penelitian mengenai hubungan antara jumlah trombosit dengan kejadian pada pasien DBD (DSS) anak ini dilakukan di RS PKU Muhammadiyah Bantul pada tanggal

Lebih terperinci

Leukemia. Leukemia / Indonesian Copyright 2017 Hospital Authority. All rights reserved

Leukemia. Leukemia / Indonesian Copyright 2017 Hospital Authority. All rights reserved Leukemia Leukemia merupakan kanker yang terjadi pada sumsum tulang dan sel-sel darah putih. Leukemia merupakan salah satu dari sepuluh kanker pembunuh teratas di Hong Kong, dengan sekitar 400 kasus baru

Lebih terperinci

CATATAN SINGKAT IMUNOLOGI

CATATAN SINGKAT IMUNOLOGI CATATAN SINGKAT IMUNOLOGI rina_susilowati@ugm.ac.id Apakah imunologi itu? Imunologi adalah ilmu yang mempelajari sistem imun. Sistem imun dipunyai oleh berbagai organisme, namun pada tulisan ini sistem

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN 16 HASIL DAN PEMBAHASAN Jumlah Eritrosit (Sel Darah Merah) Profil parameter eritrosit yang meliputi jumlah eritrosit, konsentrasi hemoglobin, dan nilai hematokrit kucing kampung (Felis domestica) ditampilkan

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN HASIL DAN PEMBAHASAN Berdasarkan penelitian yang dilakukan pada kerbau lumpur betina, diperoleh jumlah rataan dan simpangan baku dari total leukosit, masing-masing jenis leukosit, serta rasio neutrofil/limfosit

Lebih terperinci

BAB II. TINJAUAN PUSTAKA. Salmonella sp. yang terdiri dari S. typhi, S. paratyphi A, B dan C

BAB II. TINJAUAN PUSTAKA. Salmonella sp. yang terdiri dari S. typhi, S. paratyphi A, B dan C BAB II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Salmonella sp. 2.1.1 Klasifikasi Salmonella sp. yang terdiri dari S. typhi, S. paratyphi A, B dan C termasuk famili Enterobacteriaceae, ordo Eubacteriales, kelas Schizomycetes

Lebih terperinci

TEORI SISTEM IMUN - SMA KELAS XI SISTEM IMUN PENDAHULUAN

TEORI SISTEM IMUN - SMA KELAS XI SISTEM IMUN PENDAHULUAN TEORI SISTEM IMUN - SMA KELAS XI SISTEM IMUN PENDAHULUAN Sistem Imun merupakan semua mekanisme pertahanan yang dapat dimobilisasi oleh tubuh untuk memerangi berbagai ancaman invasi asing. Kulit merupakan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Latar Belakang. Penyakit Surra merupakan penyakit pada ternak yang disebabkan oleh

BAB I PENDAHULUAN. Latar Belakang. Penyakit Surra merupakan penyakit pada ternak yang disebabkan oleh 1 BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Penyakit Surra merupakan penyakit pada ternak yang disebabkan oleh protozoa Trypanosoma evansi. Penyakit ini juga menyerang hewan domestik dan hewan liar. Parasit ini

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Hepatitis B (VHB). Termasuk famili Hepadnavirus ditemukan pada cairan tubuh

BAB I PENDAHULUAN. Hepatitis B (VHB). Termasuk famili Hepadnavirus ditemukan pada cairan tubuh BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Penyakit peradangan hati akut atau menahun disebabkan oleh virus Hepatitis B (VHB). Termasuk famili Hepadnavirus ditemukan pada cairan tubuh seperti saliva, ASI, cairan

Lebih terperinci

Limfoma. Lymphoma / Indonesian Copyright 2017 Hospital Authority. All rights reserved

Limfoma. Lymphoma / Indonesian Copyright 2017 Hospital Authority. All rights reserved Limfoma Limfoma merupakan kanker pada sistem limfatik. Penyakit ini merupakan kelompok penyakit heterogen dan bisa diklasifikasikan menjadi dua jenis utama: Limfoma Hodgkin dan limfoma Non-Hodgkin. Limfoma

Lebih terperinci

BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA. Infeksi Trichuris trichiura adalah salah satu penyakit cacingan yang banyak

BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA. Infeksi Trichuris trichiura adalah salah satu penyakit cacingan yang banyak BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Trichuris trichiura Infeksi Trichuris trichiura adalah salah satu penyakit cacingan yang banyak terdapat pada manusia. Diperkirakan sekitar 900 juta orang pernah terinfeksi

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. Latar Belakang. Kebutuhan konsumsi pangan asal hewan di Indonesia semakin meningkat

PENDAHULUAN. Latar Belakang. Kebutuhan konsumsi pangan asal hewan di Indonesia semakin meningkat PENDAHULUAN Latar Belakang Kebutuhan konsumsi pangan asal hewan di Indonesia semakin meningkat seiring dengan pertambahan penduduk yang pesat, membaiknya keadaan ekonomi dan meningkatnya kesadaran masyarakat

Lebih terperinci

PROFIL ERITROSIT SAPI PERAH YANG TERINFEKSI HERU WIRZAL KESATRIA

PROFIL ERITROSIT SAPI PERAH YANG TERINFEKSI HERU WIRZAL KESATRIA PROFIL ERITROSIT SAPI PERAH YANG TERINFEKSI Babesia sp. KRONIS HERU WIRZAL KESATRIA FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2015 PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN SUMBER INFORMASI SERTA

Lebih terperinci

infeksi bakteri : Borrelia spp. vektor : louse (kutu) dan tick (sengkenit)

infeksi bakteri : Borrelia spp. vektor : louse (kutu) dan tick (sengkenit) Rita Shintawati Pendahuluan Relapsing fever (RF) demam berulang infeksi bakteri : Borrelia spp. vektor : louse (kutu) dan tick (sengkenit) Gejala klinis yg khas timbulnya demam berulang diselingi periode

Lebih terperinci

Deskripsi. IMUNOGLOBULIN YOLK (IgY) ANTI Canine parvovirus MURNI UNTUK TERAPI INFEKSI VIRUS PARVO PADA ANJING

Deskripsi. IMUNOGLOBULIN YOLK (IgY) ANTI Canine parvovirus MURNI UNTUK TERAPI INFEKSI VIRUS PARVO PADA ANJING 1 I Gst Ayu Agung Suartini(38) FKH - Universitas Udayana E-mail: gaa.suartini@gmail.com Tlf : 081282797188 Deskripsi IMUNOGLOBULIN YOLK (IgY) ANTI Canine parvovirus MURNI UNTUK TERAPI INFEKSI VIRUS PARVO

Lebih terperinci

A. Pengorganisasian. E. Garis Besar Materi

A. Pengorganisasian. E. Garis Besar Materi Pokok Bahasan : Malaria Sub Pokok : Pencegahan Malaria Sasaran : Ibu/Bapak Kampung Yakonde Penyuluh : Mahasiswa PKL Politeknik Kesehatan Jayapura Waktu : 18.30 WPT Selesai Hari/tanggal : Senin, 23 Mei

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN KEPUSTAKAAN Malaria Definisi Malaria merupakan infeksi protozoa genus Plasmodium yang dapat

BAB 2 TINJAUAN KEPUSTAKAAN Malaria Definisi Malaria merupakan infeksi protozoa genus Plasmodium yang dapat BAB 2 TINJAUAN KEPUSTAKAAN 2.1. Malaria 2.1.1. Definisi Malaria merupakan infeksi protozoa genus Plasmodium yang dapat menjadi serius dan menjadi salah satu masalah besar kesehatan dunia. 20,21 Setiap

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Demam tifoid merupakan infeksi bakteri sistemik yang disebabkan oleh bakteri Salmonella typhi yang dijumpai di berbagai negara berkembang terutama di daerah tropis

Lebih terperinci

BAB 2 PENGENALAN HIV/AIDS. Acquired Immune Deficiency Syndrome (AIDS) merupakan kumpulan gejala

BAB 2 PENGENALAN HIV/AIDS. Acquired Immune Deficiency Syndrome (AIDS) merupakan kumpulan gejala BAB 2 PENGENALAN HIV/AIDS Acquired Immune Deficiency Syndrome (AIDS) merupakan kumpulan gejala penyakit yang disebabkan oleh virus yang disebut Human Immunodeficiency Virus (HIV). 10,11 Virus ini akan

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Inflamasi merupakan reaksi lokal jaringan terhadap infeksi atau cedera dan melibatkan lebih banyak mediator

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Inflamasi merupakan reaksi lokal jaringan terhadap infeksi atau cedera dan melibatkan lebih banyak mediator BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Inflamasi merupakan reaksi lokal jaringan terhadap infeksi atau cedera dan melibatkan lebih banyak mediator dibanding respons imun yang didapat. Inflamasi dapat diartikan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN Demam typhoid adalah suatu penyakit infeksi sistemik bersifat akut pada usus halus yang disebabkan oleh Salmonella enterica serotype typhi (Salmonella typhi) (Kidgell

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. motil, tidak membentuk spora, tidak membentuk kapsul, aerob, katalase positif,

II. TINJAUAN PUSTAKA. motil, tidak membentuk spora, tidak membentuk kapsul, aerob, katalase positif, II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Aeromonas salmonicida 2.1.1 Klasifikasi dan Morfologi A. salmonicida A. salmonicida merupakan bakteri Gram negatif, berbentuk batang pendek, tidak motil, tidak membentuk spora,

Lebih terperinci

MENJELASKAN STRUTUR DAN FUNGSI ORGAN MANUSIA DAN HEWAN TERTENTU, KELAINAN/ PENYAKIT YANG MUNGKIN TERJADI SERTA IMPLIKASINYA PADA SALINGTEMAS

MENJELASKAN STRUTUR DAN FUNGSI ORGAN MANUSIA DAN HEWAN TERTENTU, KELAINAN/ PENYAKIT YANG MUNGKIN TERJADI SERTA IMPLIKASINYA PADA SALINGTEMAS MENJELASKAN STRUTUR DAN FUNGSI ORGAN MANUSIA DAN HEWAN TERTENTU, KELAINAN/ PENYAKIT YANG MUNGKIN TERJADI SERTA IMPLIKASINYA PADA SALINGTEMAS KD 3.8. Menjelaskan mekanisme pertahanan tubuh terhadap benda

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Di Indonesia demam tifoid sering disebut dengan penyakit tifus. Penyakit ini biasa dijumpai di daerah sub tropis terutama di daerah dengan sumber mata air yang tidak

Lebih terperinci

Pelayanan Kesehatan Anak di Rumah Sakit. Bab 4 Batuk dan Kesulitan Bernapas Kasus II. Catatan Fasilitator. Rangkuman Kasus:

Pelayanan Kesehatan Anak di Rumah Sakit. Bab 4 Batuk dan Kesulitan Bernapas Kasus II. Catatan Fasilitator. Rangkuman Kasus: Pelayanan Kesehatan Anak di Rumah Sakit Bab 4 Batuk dan Kesulitan Bernapas Kasus II Catatan Fasilitator Rangkuman Kasus: Agus, bayi laki-laki berusia 16 bulan dibawa ke Rumah Sakit Kabupaten dari sebuah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Hipertensi merupakan penyulit medis yang sering ditemukan pada kehamilan yang dapat meningkatkan morbiditas dan mortalitas baik ibu maupun perinatal. Hipertensi dalam

Lebih terperinci

BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA. Malaria merupakan penyakit infeksi yang bersifat akut maupun kronis

BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA. Malaria merupakan penyakit infeksi yang bersifat akut maupun kronis BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Definisi Malaria merupakan penyakit infeksi yang bersifat akut maupun kronis yang disebabkan oleh protozoa intrasel dari genus Plasmodium. Ada empat parasit yang dapat menginfeksi

Lebih terperinci

BAB I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Malaria merupakan penyakit infeksi yang disebabkan oleh parasit dari genus Plasmodium.

BAB I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Malaria merupakan penyakit infeksi yang disebabkan oleh parasit dari genus Plasmodium. BAB I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Malaria merupakan penyakit infeksi yang disebabkan oleh parasit dari genus Plasmodium. Ada lima jenis Plasmodium yang sering menginfeksi manusia, yaitu P. falciparum,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kronis yang disebabkan oleh Mycobacterium leprae yang bersifat intraseluler. mengenai organ lain kecuali susunan saraf pusat.

BAB I PENDAHULUAN. kronis yang disebabkan oleh Mycobacterium leprae yang bersifat intraseluler. mengenai organ lain kecuali susunan saraf pusat. 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penyakit kusta atau morbus Hansen merupakan infeksi granulomatosa kronis yang disebabkan oleh Mycobacterium leprae yang bersifat intraseluler obligat. Kusta dapat

Lebih terperinci

Ringkasan Uji Toksisitas Akut. e-assignment

Ringkasan Uji Toksisitas Akut. e-assignment Ringkasan Uji Toksisitas Akut Toksisitas: umum-khusus, tunggalberulang, akut (beda) Minimum LD, No ED LD 50 potensi toksisitas (kelas) Konversi, kapasitas maksimum Aplikasi & makna uji toksisitas akut

Lebih terperinci

Anjing Anda Demam, Malas Bergerak dan Cepat Haus? Waspadai Leptospirosis

Anjing Anda Demam, Malas Bergerak dan Cepat Haus? Waspadai Leptospirosis Anjing Anda Demam, Malas Bergerak dan Cepat Haus? Waspadai Leptospirosis Leptospirosis adalah penyakit berbahaya yang diakibatkan oleh bakteri Leptospira interrogans sensu lato. Penyakit ini dapat menyerang

Lebih terperinci

Latar Belakang Penyakit Malaria adalah penyakit infeksi yang disebabkan oleh protozoa

Latar Belakang Penyakit Malaria adalah penyakit infeksi yang disebabkan oleh protozoa Latar Belakang Penyakit Malaria adalah penyakit infeksi yang disebabkan oleh protozoa parasit yang merupakan golongan Plasmodium, dimana proses penularannya melalui gigitan nyamuk Anopheles. Protozoa parasit

Lebih terperinci

BAB VI PEMBAHASAN. Mencit Balb/C yang digunakan dalam penelitian ini diperoleh dari. Laboratorium Biomedik Fakultas Kedokteran Universitas Muhamadiyah

BAB VI PEMBAHASAN. Mencit Balb/C yang digunakan dalam penelitian ini diperoleh dari. Laboratorium Biomedik Fakultas Kedokteran Universitas Muhamadiyah BAB VI PEMBAHASAN Mencit Balb/C yang digunakan dalam penelitian ini diperoleh dari Laboratorium Biomedik Fakultas Kedokteran Universitas Muhamadiyah Yogyakarta. Banyaknya mencit yang digunakan adalah 24

Lebih terperinci

E. coli memiliki bentuk trofozoit dan kista. Trofozoit ditandai dengan ciri-ciri morfologi berikut: 1. bentuk ameboid, ukuran μm 2.

E. coli memiliki bentuk trofozoit dan kista. Trofozoit ditandai dengan ciri-ciri morfologi berikut: 1. bentuk ameboid, ukuran μm 2. PROTOZOA Entamoeba coli E. coli memiliki bentuk trofozoit dan kista. Trofozoit ditandai dengan ciri-ciri morfologi berikut: 1. bentuk ameboid, ukuran 15-50 μm 2. sitoplasma mengandung banyak vakuola yang

Lebih terperinci

Mekanisme Pertahanan Tubuh. Kelompok 7 Rismauzy Marwan Imas Ajeung P Andreas P Girsang

Mekanisme Pertahanan Tubuh. Kelompok 7 Rismauzy Marwan Imas Ajeung P Andreas P Girsang Mekanisme Pertahanan Tubuh Kelompok 7 Rismauzy Marwan Imas Ajeung P Andreas P Girsang Imunitas atau kekebalan adalah sistem mekanisme pada organisme yang melindungi tubuh terhadap pengaruh biologis luar

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Peternakan babi berperan penting dalam meningkatkan perekonomian

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Peternakan babi berperan penting dalam meningkatkan perekonomian BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Hog cholera 2.1.1 Epizootiologi Peternakan babi berperan penting dalam meningkatkan perekonomian masyarakat pedesaan di Bali. Hampir setiap keluarga di daerah pedesaan memelihara

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. oleh bakteri Salmonella enterica serotype typhi (Salmonella typhi)(santoso et al.

BAB I PENDAHULUAN. oleh bakteri Salmonella enterica serotype typhi (Salmonella typhi)(santoso et al. BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Demam tifoid adalah penyakit infeksi akut usus halus yang disebabkan oleh bakteri Salmonella enterica serotype typhi (Salmonella typhi)(santoso et al. 2004). Penyakit

Lebih terperinci

BAB 4 HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB 4 HASIL DAN PEMBAHASAN BAB 4 HASIL DAN PEMBAHASAN Data hasil perhitungan jumlah sel darah merah, kadar hemoglobin, nilai hematokrit, MCV, MCH, dan MCHC pada kerbau lumpur betina yang diperoleh dari rata-rata empat kerbau setiap

Lebih terperinci

PATOGENISITAS MIKROORGANISME

PATOGENISITAS MIKROORGANISME PATOGENISITAS MIKROORGANISME PENDAHULUAN Pada dasarnya dari seluruh m.o yg terdapat di alam, hanya sebagian kecil saja yg patogen maupun potensial patogen. Patogen adalah organisme yg menyebabkan penyakit

Lebih terperinci

RENCANA KEGIATAN PEMBELAJARAN MINGGUAN

RENCANA KEGIATAN PEMBELAJARAN MINGGUAN RENCANA KEGIATAN PEMBELAJARAN MINGGUAN Pertemuan : Minggu ke 13 Waktu : 50 menit Pokok bahasan : 1. Kasus Penyakit di Klinik (Lanjutan) Subpokok bahsan : a. Penyakit Feline Panleukopenia. b. Penyakit Ehrlichiosis

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Demam tifoid merupakan suatu penyakit infeksi sistemik yang disebabkan oleh Salmonella typhi yang masih dijumpai secara luas di berbagai negara berkembang yang terutama

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Malaria merupakan penyakit infeksi yang masih menjadi masalah

BAB I PENDAHULUAN. Malaria merupakan penyakit infeksi yang masih menjadi masalah BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Malaria merupakan penyakit infeksi yang masih menjadi masalah kesehatan utama di dunia. Berdasarkan laporan WHO (2015), malaria merupakan penyakit infeksi parasit

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. virus DEN 1, 2, 3, dan 4 dan ditularkan oleh nyamuk Aedes aegepty dan Aedesal

BAB I PENDAHULUAN. virus DEN 1, 2, 3, dan 4 dan ditularkan oleh nyamuk Aedes aegepty dan Aedesal 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Penelitian Infeksi dengue masih merupakan masalah kesehatan masyarakat dan menimbulkan dampak sosial maupun ekonomi. Infeksi dengue disebabkan oleh virus DEN 1,

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. 1. Arti tuberkulosis. Tuberkulosis adalah penyakit menular langsung yang disebabkan oleh

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. 1. Arti tuberkulosis. Tuberkulosis adalah penyakit menular langsung yang disebabkan oleh 7 BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Tuberkulosis 1. Arti tuberkulosis. Tuberkulosis adalah penyakit menular langsung yang disebabkan oleh kuman TBC ( Mycobacterium tuberculosis ). Sebagian besar kuman tuberkulosis

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Demam tifoid (enteric fever) merupakan penyakit infeksi akut pada saluran cerna yang disebabkan oleh bakteri gram negatif Salmonella enterica serotipe Typhi. Bila

Lebih terperinci

Kanker Serviks. Cervical Cancer / Indonesian Copyright 2017 Hospital Authority. All rights reserved

Kanker Serviks. Cervical Cancer / Indonesian Copyright 2017 Hospital Authority. All rights reserved Kanker Serviks Kanker serviks merupakan penyakit yang umum ditemui di Hong Kong. Kanker ini menempati peringkat kesepuluh di antara kanker yang diderita oleh wanita dengan lebih dari 400 kasus baru setiap

Lebih terperinci

SISTEM IMUN (SISTEM PERTAHANAN TUBUH)

SISTEM IMUN (SISTEM PERTAHANAN TUBUH) SISTEM IMUN (SISTEM PERTAHANAN TUBUH) FUNGSI SISTEM IMUN: Melindungi tubuh dari invasi penyebab penyakit; menghancurkan & menghilangkan mikroorganisme atau substansi asing (bakteri, parasit, jamur, dan

Lebih terperinci

BAB III VIRUS TOKSO PADA KUCING

BAB III VIRUS TOKSO PADA KUCING BAB III VIRUS TOKSO PADA KUCING 3.1. Virus Tokso Pada Kucing Toksoplasmosis gondii atau yang lebih sering disebut dengan tokso adalah suatu gejala penyakit yang disebabkan oleh protozoa toksoplasmosis

Lebih terperinci

BAB II TINJUAN PUSTAKA

BAB II TINJUAN PUSTAKA BAB II TINJUAN PUSTAKA 2.1 Hepatitis B 2.1.1 Definisi Virus hepatitis adalah gangguan hati yang paling umum dan merupakan masalah kesehatan masyarakat di dunia.(krasteya et al, 2008) Hepatitis B adalah

Lebih terperinci

ETIOLOGI : 1. Ada 5 kategori virus yang menjadi agen penyebab: Virus Hepatitis A (HAV) Virus Hepatitis B (VHB) Virus Hepatitis C (CV) / Non A Non B

ETIOLOGI : 1. Ada 5 kategori virus yang menjadi agen penyebab: Virus Hepatitis A (HAV) Virus Hepatitis B (VHB) Virus Hepatitis C (CV) / Non A Non B HEPATITIS REJO PENGERTIAN: Hepatitis adalah inflamasi yang menyebar pada hepar (hepatitis) dapat disebabkan oleh infeksi virus dan reaksi toksik terhadap obat-obatan dan bahan kimia ETIOLOGI : 1. Ada 5

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Blastocystis hominis 2.1.1 Epidemiologi Blastocystis hominis merupakan protozoa yang sering ditemukan di sampel feses manusia, baik pada pasien yang simtomatik maupun pasien

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. I.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. I.1 Latar Belakang I.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN Demam tifoid adalah salah satu infeksi yang terjadi di usus halus dan banyak terjadi di negara yang beriklim tropis. persamaan demam tifoid masyarakat umum biasa menyebutnya

Lebih terperinci

SATUAN ACARA PENYULUHAN HIV / AIDS. Oleh: KHOIRUL HARIS

SATUAN ACARA PENYULUHAN HIV / AIDS. Oleh: KHOIRUL HARIS SATUAN ACARA PENYULUHAN HIV / AIDS Oleh: KHOIRUL HARIS KEMENTERIAN KESEHATAN RI POLITEKNIK KESEHATAN KEMENKES MALANG JURUSAN KEPERAWATAN PRODI KEPERAWATAN MALANG 2012 SATUAN ACARA PENYULUHAN Bidang studi

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Malaria adalah penyakit akibat infeksi protozoa genus Plasmodium yang

BAB 1 PENDAHULUAN. Malaria adalah penyakit akibat infeksi protozoa genus Plasmodium yang BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Malaria adalah penyakit akibat infeksi protozoa genus Plasmodium yang ditularkan melalui gigitan nyamuk Anopheles betina yang terinfeksi. Gejala umumnya muncul 10 hingga

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kronik dan termasuk penyakit hati yang paling berbahaya dibandingkan dengan. menularkan kepada orang lain (Misnadiarly, 2007).

BAB I PENDAHULUAN. kronik dan termasuk penyakit hati yang paling berbahaya dibandingkan dengan. menularkan kepada orang lain (Misnadiarly, 2007). BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Hepatits B disebabkan oleh virus hepatitis B (HBV) yang termasuk virus DNA, yang menyebakan nekrosis hepatoseluler dan peradangan (WHO, 2015). Penyakit Hepatitis B

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Protein berperan penting untuk perkembangan kecerdasan otak,

I. PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Protein berperan penting untuk perkembangan kecerdasan otak, I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Protein berperan penting untuk perkembangan kecerdasan otak, pemeliharaan stamina tubuh, percepatan regenerasi sel dan menjaga sel darah merah (eritrosit) agar tidak mudah

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN 18 BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil uji tantang virus AI H5N1 pada dosis 10 4.0 EID 50 /0,1 ml per ekor secara intranasal menunjukkan bahwa virus ini menyebabkan mortalitas pada ayam sebagai hewan coba

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Mycobacterium tuberculosis dan menular secara langsung. Mycobacterium

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Mycobacterium tuberculosis dan menular secara langsung. Mycobacterium BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Etiologi dan Patogenesis Tuberkulosis Paru Tuberkulosis paru adalah penyakit infeksi kronis yang disebabkan oleh Mycobacterium tuberculosis dan menular secara langsung. Mycobacterium

Lebih terperinci

Kejadian dan Terapi Babesiosis dengan Clindamycin pada Kucing

Kejadian dan Terapi Babesiosis dengan Clindamycin pada Kucing ISSN : 1411-8327 Laporan Kasus/Case Study: Kejadian dan Terapi Babesiosis dengan Clindamycin pada Kucing (THE INCIDENCE AND TREATMENT OF BABESIOSIS WITH CLINDAMYCIN IN CAT) Retno Wulansari 1, Raden Roro

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Penyakit malaria merupakan salah satu penyakit parasit yang tersebar

BAB I PENDAHULUAN. Penyakit malaria merupakan salah satu penyakit parasit yang tersebar BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penyakit malaria merupakan salah satu penyakit parasit yang tersebar luas di seluruh dunia meskipun umumnya terdapat di daerah berlokasi antara 60 Lintang Utara dan

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN 26 HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 MCV (Mean Corpuscular Volume) Nilai MCV (Mean Corpuscular Volume) menunjukkan volume rata-rata dan ukuran eritrosit. Nilai normal termasuk ke dalam normositik, nilai di bawah

Lebih terperinci

TATALAKSANA MALARIA. No. Dokumen. : No. Revisi : Tanggal Terbit. Halaman :

TATALAKSANA MALARIA. No. Dokumen. : No. Revisi : Tanggal Terbit. Halaman : Revisi Halaman Kepala 1. Pengertian Malaria adalah suatu infeksi penyakit akut maupun kronik yang disebakan oleh parasit Plasmodium yang menyerang eritrosit dan ditandai dengan ditemukannya bentuk aseksual

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. hormon insulin baik secara relatif maupun secara absolut. Jika hal ini dibiarkan

BAB I PENDAHULUAN. hormon insulin baik secara relatif maupun secara absolut. Jika hal ini dibiarkan BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Diabetes mellitus merupakan suatu penyakit menahun yang ditandai dengan adanya kadar glukosa darah yang melebihi nilai normal dan gangguan metabolisme karbohidrat,

Lebih terperinci

BAB PENDAHULUAN 1.1. Kedudukan dan Reran Imunologi dalam Ilmu Kefarmasian Imunologi imunitas alami dan imunitas perolehan.

BAB PENDAHULUAN 1.1. Kedudukan dan Reran Imunologi dalam Ilmu Kefarmasian Imunologi imunitas alami dan imunitas perolehan. BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Kedudukan dan Reran Imunologi dalam Ilmu Kefarmasian Untuk mengerti bagaimana kedudukan dan peran imunologi dalam ilmu kefarmasian, kita terlebih dahulu harus mengetahui apakah yang

Lebih terperinci