BAB II TINJAUAN PUSTAKA. berwarna keputihan. Penyakit ini umumnya mengenai daerah ekstensor. pada tiap populasi bervariasi di berbagai belahan dunia.

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "BAB II TINJAUAN PUSTAKA. berwarna keputihan. Penyakit ini umumnya mengenai daerah ekstensor. pada tiap populasi bervariasi di berbagai belahan dunia."

Transkripsi

1 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Psoriasis Psoriasis adalah penyakit inflamasi kulit kronik yang umum dijumpai, bersifat rekuren dan melibatkan beberapa faktor misalnya; genetik, sistem imunitas, lingkungan serta hormonal. Psoriasis ditandai dengan plak eritematosa yang berbatas tegas dengan skuama berlapis berwarna keputihan. Penyakit ini umumnya mengenai daerah ekstensor ekstremitas terutama siku dan lutut, kulit kepala, lumbosakral, bokong dan genitalia. 1, Epidemiologi Walaupun psoriasis terjadi secara universal, namun prevalensinya pada tiap populasi bervariasi di berbagai belahan dunia. Studi epidemiologi dari seluruh dunia memperkirakan prevalensi psoriasis berkisar antara 0,6 sampai 4,8%. 2 Prevalensi psoriasis bervariasi berdasarkan wilayah geografis serta etnis. Di Amerika Serikat, psoriasis terjadi pada kurang lebih 2% populasi dengan ditemukannya jumlah kasus baru sekitar 150,000 per tahun. Pada sebuah studi, insidensi tertinggi ditemukan di pulau Faeroe yaitu sebesar 2,8%. Insidensi yang rendah ditemukan di Asia (0,4%) misalnya Jepang dan pada ras Amerika- Afrika (1,3%). Sementara itu psoriasis tidak ditemukan pada suku Aborigin Australia dan Indian yang berasal dari Amerika Selatan. 1-3

2 Terdapatnya variasi prevalensi psoriasis berdasarkan wilayah geografis dan etnis menunjukkan adanya peranan lingkungan fisik ( psoriasis lebih sering ditemukan pada daerah beriklim dingin), faktor genetik, dan pola tingkah laku atau paparan lainnya terhadap perkembangan psoriasis. 3 Pria dan wanita memiliki kemungkinan terkena yang sama besar. Beberapa pengamatan terakhir menunjukkan bahwa psoriasis sedikit lebih sering terjadi pada pria dibanding wanita. Sementara pada sebuah studi yang meneliti pengaruh jenis kelamin dan usia pada prevalensi psoriasis, ditemukan bahwa pada pasien yang berusia lebih muda (<20 tahun) prevalensi psoriasis ditemukan lebih tinggi pada wanita dibandingkan pria. 3 Psoriasis dapat mengenai semua usia dan telah dilaporkan terjadi saat lahir dan pada orang yang berusia lanjut. Penelitian mengenai onset usia psoriasis mengalami banyak kesulitan dalam hal keakuratan data karena biasanya ditentukan berdasarkan ingatan pasien tentang onset terjadinya dan rekam medis yang dibuat dokter saat kunjungan awal. Beberapa penelitian berskala besar telah menunjukkan bahwa usia ratarata penderita psoriasis episode pertama yaitu berkisar sekitar tahun, dengan usia tertinggi kedua pada tahun. 2 Sementara penelitian lainnya misalnya studi prevalensi psoriasis di Spanyol, Inggris dan Norwegia menunjukkan bahwa terdapat penurunan prevalensi psoriasis dengan meningkatnya usia. 3

3 2.1.2 Etiologi dan patogenesis Sebelumnya psoriasis dianggap sebagai suatu penyakit primer akibat gangguan keratinosit, namun saat ini psoriasis dikenal sebagai suatu penyakit yang diperantarai oleh sistem imun. Psoriasis melibatkan interaksi kompleks diantara berbagai sel pada sistem imun dan kulit, termasuk sel dendritik dermal, sel T, neutrofil dan keratinosit. Pada psoriasis, sel T CD8+ terdapat di epidermis sedangkan makrofag, sel T CD4+ dan sel-sel dendritik dermal dapat ditemukan di dermis superfisial. Sejumlah sitokin dan reseptor permukaan sel terlibat dalam jalur molekuler yang menyebabkan manifestasi klinis penyakit. Psoriasis dianggap sebagai suatu penyakit yang diperantarai oleh sistem imun yang ditandai dengan adanya sel T helper (Th)1 yang predominan pada lesi kulit dengan peningkatan kadar IFN-γ, tumor necrosing factor-α (TNFα), IL-2 dan IL Baru-baru ini jalur Th17 telah dibuktikan memiliki peranan penting dalam mengatur proses inflamasi kronik. Sebagai pusat jalur ini terdapat sel T CD4+, yang pengaturannya diatur oleh IL-23 yang disekresikan oleh sel penyaji antigen (sel dendritik dermal). 17 Sel Th17 CD4+ mensekresikan IL-17 dan IL-22 yang berperan pada peningkatan dan pengaturan proses inflamasi dan proliferasi epidermal Gambaran klinis Psoriasis merupakan penyakit papuloskuamosa dengan gambaran morfologi, distribusi, serta derajat keparahan penyakit yang bervariasi.

4 Lesi klasik psoriasis biasanya berupa plak berwarna kemerahan yang berbatas tegas dengan skuama tebal berlapis yang berwarna keputihan pada permukaan lesi. Ukurannya bervariasi mulai dari papul yang berukuran kecil sampai dengan plak yang menutupi area tubuh yang luas. Lesi pada psoriasis umumnya terjadi secara simetris, walaupun dapat terjadi secara unilateral. Dibawah skuama akan tampak kulit berwarna kemerahan mengkilat dan tampak bintik-bintik perdarahan pada saat skuama diangkat. Hal ini disebut dengan tanda Auspitz. Psoriasis juga dapat timbul pada tempat terjadinya trauma, hal ini disebut dengan fenomena Koebner. Penggoresan skuama utuh dengan mengggunakan pinggir gelas objek akan menyebabkan terjadinya perubahan warna lebih putih seperti tetesan lilin. 1,2 Selain dari presentasi klasik yang disebutkan diatas terdapat beberapa tipe klinis psoriasis. Psoriasis vulgaris yang merupakan tipe psoriasis yang paling sering terjadi, berupa plak kemerahan berbentuk oval atau bulat, berbatas tegas, dengan skuama berwarna keputihan. Lesi biasanya terdistribusi secara simetris pada ekstensor ekstremitas, terutama di siku dan lutut, kulit kepala, lumbosakral, bokong dan genital. Bentuk lainnya yaitu psoriasis inversa (fleksural), psoriasis gutata, psoriasis pustular, psoriasis linier, dan psoriasis eritroderma Diagnosis Diagnosis psoriasis biasanya ditegakkan berdasarkan anamnesis dan gambaran klinis lesi kulit. Pada kasus-kasus tertentu, dibutuhkan

5 pemeriksaan penunjang seperti pemeriksaan laboratorium darah dan biopsi histopatologi. Pemeriksaan penunjang yang paling umum dilakukan untuk mengkonfirmasi suatu psoriasis ialah biopsi kulit dengan menggunakan pewarnaan hematoksilin-eosin. Pada umumnya akan tampak penebalan epidermis atau akantosis serta elongasi rete ridges. Terjadi diferensiasi keratinosit yang ditandai dengan hilangnya stratum granulosum. Stratum korneum juga mengalami penebalan dan terdapat retensi inti sel pada lapisan ini yang disebut dengan parakeratosis. Tampak neutrofil dan limfosit yang bermigrasi dari dermis. Sekumpulan neutrofil dapat membentuk mikroabses Munro. Pada dermis akan tampak tanda-tanda inflamasi seperti hipervaskularitas dan dilatasi serta edema papila dermis. Infiltrat dermis terdiri dari neutrofil, makrofag, limfosit dan sel mast Selain biopsi kulit, abnormalitas laboratorium pada penderita psoriasis biasanya bersifat tidak spesifik dan mungkin tidak ditemukan pada semua pasien. Pada psoriasis vulgaris yang luas, psoriasis pustular generalisata, dan eritroderma tampak penurunan serum albumin yang merupakan indikator keseimbangan nitrogen negatif dengan inflamasi kronis dan hilangnya protein pada kulit. Peningkatan marker inflamasi sistemik seperti C-reactive protein, α-2 makroglobulin, dan erythrocyte sedimentation rate dapat terlihat pada kasus-kasus yang berat. Pada penderita dengan psoriasis yang luas dapat ditemukan peningkatan kadar asam urat serum. Selain daripada itu penderita psoriasis juga

6 menunjukkan gangguan profil lipid (peningkatan high density lipoprotein, rasio kolesterol-trigliserida serta plasma apolipoprotein- A1). 1,18 Pada beberapa studi yang dilakukan akhir-akhir ini, tampak peningkatan kadar prolaktin serum pada penderita psoriasis dibandingkan dengan kelompok kontrol Diagnosis banding Gambaran klasik psoriasis biasanya mudah dibedakan dengan penyakit kulit lainnya. Namun lesi yang atipikal atau bentuk lesi selain plak yang klasik dapat menimbulkan tantangan bagi diagnosis psoriasis. Plak psoriasis yang kronis seringkali menyerupai dermatitis kronis dengan likenifikasi pada daerah ekstremitas. Tetapi biasanya pada dermatitis kronis lesinya tidak berbatas tegas serta skuama yang terdapat pada permukaan lesi tidak setebal pada psoriasis. Pada kasus psoriasis gutata, perlu dipertimbangkan diagnosis pityriasis rosea serta sifilis sekunder. Pityriasis rosea biasanya ditandai dengan makula eritematosa berbentuk oval dengan skuama tipis yang tersusun seperti pohon cemara pada daerah badan, lengan atas serta tungkai atas. Sebagian besar kasus diawali dengan lesi inisial yang disebut herald patch. Pada sifilis sekunder biasanya disertai dengan adanya keterlibatan telapak tangan dan kaki serta riwayat chancre oral atau genital yang tidak terasa nyeri. 19 1

7 Psoriasis yang timbul pada skalp biasanya sulit dibedakan dengan dermatitis seboroik. Pasien dengan skuama keputihan yang kering serta menebal seperti mika, walaupun terdapat pada predileksi seboroik, biasanya merupakan psoriasis skalp. 20 Psoriasis inversa/fleksural harus dibedakan dengan eritrasma dan infeksi jamur. Pada eritrasma, lesi berupa makula berbatas tegas berwarna merah kecoklatan yang biasanya terdapat pada daerah aksila dan genital. Infeksi jamur oleh kandida, lesi berupa makula eritematosa berbatas tegas dengan lesi satelit disekelilingnya. Eritroderma perlu dibedakan dengan limfoma kutaneus sel T. Lesi pada limfoma kutaneus sel T biasanya berupa lesi diskoid eritematosa yang disertai skuama dengan distribusi yang tidak simetris Pengukuran derajat keparahan psoriasis Mengukur derajat keparahan atau perbaikan klinis pada psoriasis tampaknya merupakan hal yang mudah, tetapi pada kenyataannya hal ini menimbulkan banyak kesulitan. Diperlukan pengukuran objektif yang terpercaya, valid, dan konsisten. Untungnya lesi pada psoriasis biasanya cukup jelas secara klinis dan oleh sebab itu relatif mudah untuk melakukan kuantifikasi tetapi sayangnya kuantifikasi sederhana pada lesi bukan merupakan suatu penilaian yang lengkap pada derajat keparahan, sebab dampak lesi psoriasis berbeda pada penderita yang satu dengan lainnya. Konsensus oleh American Academy of Dermatology menyatakan bahwa setiap penentuan keparahan psoriasis

8 membutuhkan perhatian khusus pada pengaruhnya terhadap kualitas hidup penderita. 22 Salah satu tehnik yang digunakan untuk mengukur derajat keparahan psoriasis yaitu dengan menggunakan Psoriasis Area and Severity Index (PASI). 23, 24 PASI merupakan kriteria pengukuran derajat keparahan yang paling sering digunakan. Berupa suatu rumus kompleks yang diperkenalkan pertama kali dalam studi penggunaan retinoid pada tahun PASI menggabungkan elemen pada presentasi klinis yang tampak pada kulit berupa eritema, indurasi dan skuama. Setiap elemen tersebut dinilai secara terpisah menggunakan skala 0-4 untuk setiap bagian tubuh: kepala dan leher, batang tubuh, ekstremitas atas dan ekstremitas bawah. Penilaian dari masing-masing tiga elemen kemudian dijumlahkan, selanjutnya hasil penjumlahan masing-masing area tubuh dikalikan dengan skor yang didapat dari skala 1-6 yang merepresentasikan luasnya area permukaan yang terlibat pada bagian tubuh tersebut. Skor ini kemudian dikalikan dengan faktor koreksi yang terdapat pada tiap area tubuh (0.1 untuk kepala dan leher, 0.2 untuk ekstremitas atas, 0.3 untuk batang tubuh, dan 0.4 untuk ekstremitas bawah). Akhirnya skor dari keempat area tubuh ditambahkan sehingga menghasilkan skor PASI. Kemungkinan nilai tertinggi PASI adalah 72 tetapi nilai ini secara umum dianggap hampir tidak mungkin untuk dicapai. 23 Berdasarkan nilai skor PASI, psoriasis dapat dibagi menjadi psoriasis ringan (skor PASI <11), sedang (skor PASI 12-16), dan berat (skor PASI >16).

9 Oleh karena kompleksitas skor PASI tersebut, maka bukan merupakan suatu hal yang mengejutkan jika skor ini jarang digunakan pada praktek klinis. Skor PASI merupakan suatu sistem penilaian yang digunakan untuk tujuan penelitian. Pada uji klinis, persentase perubahan pada PASI dapat digunakan sebagai titik akhir penilaian terapi psoriasis. The United States Food and Drug Administration (FDA) menggunakan 75% perbaikan pada skor PASI sebagai penilaian respon terapi pada pasien psoriasis. 22 Beberapa kesulitan dalam penggunaan skor PASI diantaranya; kesulitan dalam menentukan skor serta kurangnya korelasi dengan hasil akhir yang dilaporkan oleh pasien sendiri. Pengukuran luas permukaan tubuh bersifat tidak konsisten diantara para peneliti, sehingga menyebabkan variabilitas inter observer yang signifikan. Hal terpenting lainnya, skor PASI tidak secara jelas memperkirakan dampak dari penyakit terhadap pasien. Beberapa penelitian yang menilai korelasi antara PASI dengan kualitas hidup penderita telah menunjukkan konsistensi yang rendah. 23 Beberapa variasi dari PASI telah dikembangkan untuk memperbaiki kelemahan ini serta untuk mengurangi waktu dan usaha yang diperlukan dalam melakukan penilaian. Salah satu variasi yang menarik adalah meminta pasien melakukan PASI modifikasi terhadap dirinya sendiri. Penilaian ini disebut Self Administered PASI (SAPASI). SAPASI memiliki korelasi yang baik dengan PASI serta responsif terhadap terapi. SAPASI khususnya memberikan manfaat pada studi

10 epidemiologi berskala besar dimana penilaian oleh dokter terhadap semua pasien dianggap tidak praktis. 23, Terapi Pengobatan anti psoriasis berspektrum luas baik secara topikal maupun sistemik telah tersedia. Sebagian besar obat-obatan ini memberikan efek sebagai imunomodulator. Sebelum memilih regimen pengobatan, penting untuk menilai perluasan serta derajat keparahan psoriasis. 1 Pada dasarnya, mayoritas kasus psoriasis terbagi menjadi tiga bagian besar yaitu gutata, eritrodermik/pustular, dan plak kronis yang merupakan bentuk yang paling sering ditemukan. Psoriasis gutata biasanya mengalami resolusi spontan dalam waktu 6 sampai 12 minggu. Kasus psoriasis gutata ringan seringkali tidak membutuhkan pengobatan, tetapi pada lesi yang meluas fototerapi dengan menggunakan sinar ultraviolet (UV) B serta terapi topikal dikatakan memberikan manfaat. 25 Psoriasis eritrodermik/pustular biasanya disertai dengan gejala sistemik, oleh karena itu diperlukan obat-obatan sistemik yang bekerja cepat. Obat yang paling sering digunakan pada psoriasis eritrodermik/pustular adalah asitretin. Pada beberapa kasus psoriasis pustular tertentu, penggunaan kortikosteroid sistemik mungkin diperlukan. 26 Pada psoriasis plak yang kronis, pemberian terapi dilakukan berdasarkan perluasan penyakit. Untuk psoriasis plak yang ringan

11 (<10% luas permukaan tubuh), terapi topikal lini pertama dapat digunakan emolien, glukokortikoid atau analog vitamin D3 sedangkan lini kedua dapat dilakukan fototerapi dengan menggunakan sinar UVB. Pada psoriasis plak yang sedang (>10% luas permukaan tubuh) dapat diberikan terapi lini pertama seperti pada psoriasis ringan sedangkan lini keduanya dapat berupa pengobatan sistemik misalnya metotreksat, asitretin, serta agen-agen biologi seperti alefacept dan adalimumab. Untuk plak psoriasis berat (>30% luas permukaan tubuh), terapi terutama menggunakan obat-obat sistemik Prolaktin Prolaktin merupakan suatu rantai polipeptida tunggal yang terdiri dari 199 asam amino dengan berat molekul 23kDa yang secara sistemik berperan sebagai hormon dan secara lokal sebagai sitokin. Prolaktin termasuk kedalam famili somatotropin karena secara struktural prolaktin berhubungan dengan hormon pertumbuhan dan laktogen plasenta. Sekresi dan sintesis prolaktin diatur oleh sistem neuroendokrin terutama melalui Prolactin Releasing Hormone (PRH) dan Prolactin Inhibiting Hormone (PIH). Regulasi ekspresi serta sekresi prolaktin hipofisis bersifat sangat kompleks dan melibatkan berbagai jenis hormon, faktor pertumbuhan, obat-obatan, peptida, dan asam amino. Hipofisis anterior merupakan tempat utama terjadinya transkripsi, translasi, dan sekresi prolaktin. Selain hipofisis anterior, prolaktin juga diekspresikan pada kulit, plasenta, uterus (endometrium), ovarium, 5,7

12 testis, kelenjar mammae, prostat, otak, jaringan lemak, dan limfosit. Ekspresi prolaktin ekstra hipofisis ini memiliki pengaturan yang berbeda. 7 Pada fetus, sintesis dan sekresi prolaktin oleh kelenjar hipofisis anterior dimulai pada beberapa minggu pertama gestasi. Kadarnya akan menurun setelah proses kelahiran dan akan mengalami peningkatan lagi selama 6 minggu pertama kehidupan. Selama masa kanak-kanak kadar prolaktin akan terus menurun sampai dengan 5 ng/ml. perubahan kadar prolaktin yang signifikan pada anak usia 8 15 tahun dibandingkan dengan orang dewasa. Sementara itu, pada wanita selama masa pubertas terjadi peningkatan kadar prolaktin serum secara progresif sampai terjadi perbedaan yang signifikan dengan kadarnya pada pria. Kadar normal prolaktin pada serum bervariasi pada tiap individu. Variasi yang terjadi dipengaruhi oleh irama sikardian prolaktin, dimana ditemukan kadar puncak pada saat tidur (malam hari). Franz et al. (1978) meneliti kadar prolaktin rata-rata pada 6 orang subjek selama periode waktu lebih dari 24 jam. Didapatkan hasil bahwa kadar minimum prolaktin dicapai dalam waktu 10 jam sebelum onset tidur sementara kadar maksimum dicapai dalam waktu sekitar 4 jam setelah tidur. Selain itu kadar prolaktin juga menunjukkan variasi sesuai musim. Kadar prolaktin serum rata-rata 30% lebih tinggi selama musim semi atau panas dibanding dengan kadarnya selama musim gugur atau dingin Tidak terdapat

13 Berdasarkan berbagai penelitian, kadar prolaktin normal dalam plasma bervariasi diantara wanita yang tidak hamil (10-25 ng/ml), wanita hamil ( ng/ml), wanita menyusui (300 ng/ml), dan pria (5-10 ng/ml). 30 Selama masa kehamilan sampai kelahiran bayi, kadar prolaktin akan meningkat secara progresif sebesar 10 sampai 20 kali lebih tinggi dari kadar normal (tidak hamil). 6 Kemudian akan mengalami penurunan setelah 3-4 minggu postpartum. Pada ibu yang menyusui, kadar prolaktin serum akan terpelihara pada konsentrasi yang tinggi oleh karena hisapan puting susu oleh bayi akan menstimulasi sekresi prolaktin. 6,7 Semua fungsi prolaktin diperantarai oleh reseptor membran yang memiliki afinitas tinggi. Sampai saat ini terdapat enam jenis isoform reseptor prolaktin pada manusia, yang memiliki struktur, afinitas reseptor, dan kemampuan signaling yang berbeda. Prolaktin diketahui memiliki berbagai fungsi fisiologi tambahan selain peranan klasiknya pada fungsi laktasi dan reproduksi. Sampai saat ini terdapat lebih dari 300 aktivitas biologi prolaktin yang telah diketahui. Terdapat hipotesis bahwa prolaktin berperan sebagai modulator neuroendokrin pada pertumbuhan epitel kulit dan sistem imun pada kulit. Paus (1991) menyatakan bahwa prolaktin membentuk sirkuit prolaktin diantara kulit dan sistem syaraf pusat. Konsep ini kemudian diintegrasikan ke dalam komunikasi neuroendokrin dengan sistem imun 31 melaui brain-skin axis. Dari beberapa penelitian prolaktin dan reseptor prolaktin ditemukan pada beberapa populasi sel kutaneus termasuk 5,6

14 keratinosit, fibroblas, kelenjar keringat dan kelenjar sebaseus. 5 Hal ini menunjukkan bahwa prolaktin berperan dalam berbagai proses fisiologis dan patologis pada kulit. Beberapa peran prolaktin pada proses fisiologis kulit diantaranya sebagai termoregulasi dan osmoregulasi, meningkatkan produksi sebum melalui stimulasi proliferasi sebosit, menstimulasi proliferasi keratinosit, berperan dalam proses pertumbuhan rambut, bersama dengan hormon pertumbuhan mengatur keseimbangan adiposit dan metabolisme lemak, serta berperan dalam proses penyembuhan luka melalui peningkatan ekspresi heme oksidase 1, sintesis protein dan vascular endothelial growth factor (VEGF). Selain itu prolaktin juga berperan sebagai imunomodulator dalam sistem imun kulit. 5,6 2.3 Prolaktin dan Psoriasis Beberapa dekade terakhir ini terdapat hipotesis yang menyatakan bahwa prolaktin berperan dalam etiopatogenesis terjadinya psoriasis. Hal ini berdasarkan berbagai pengamatan yang menemukan bahwa terdapat peningkatan kadar serum prolaktin pada penderita psoriasis dibandingkan dengan subjek normal Giasuddin et al. (1998) meneliti kadar serum prolaktin pada 12 pasien dengan psoriasis vulgaris dan membandingkan hasilnya dengan 9 orang pasien dermatitis atopik serta 20 subjek normal, didapatkan hasil kadar serum prolaktin pada psoriasis vulgaris lebih tinggi secara

15 signifikan dibanding dengan kedua kelompok lainnya. 11 Hasil yang sama juga didapatkan pada penelitian oleh Sanchez dan Millet (2000). Beberapa penelitian lainnya menunjukkan bahwa peran prolaktin ini terutama terjadi melalui kerja prolaktin sebagai sebuah sitokin 8 dengan berbagai efek imunomodulator pada sistem imun. Prolaktin akan menstimulasi sel-sel dalam sistem imun dengan cara berikatan dengan reseptor prolaktin. Peran prolaktin dalam biologi dan patologi kulit dapat dilihat pada gambar 2.1. Gambar 2.1. Fungsi prolaktin dalam biologi dan patologi kulit* *dikutip sesuai aslinya dari kepustakaan No. 5 Penelitian pertama yang mengamati efek prolaktin pada keratinosit manusia dilakukan oleh Girolomoni et al. (1993). Dalam penelitian ini mereka menilai efek prolaktin pada keratinosit yang

16 dikultur dari bayi baru lahir dengan menggunakan lingkungan yang bebas serum. Didapatkan hasil bahwa prolaktin dapat menstimulasi proliferasi keratinosit yang dikultur dari manusia meskipun tanpa adanya epidermal growth factor (EGF). Yu-Lee (2001) menyatakan bahwa prolaktin meningkatkan proliferasi dan proteksi sel limfosit T terhadap apoptosis, sehingga akan menyebabkan peningkatan survival sel limfosit T. Selain itu prolaktin juga akan menginhibisi fungsi limfosit T-supresor yang berperan dalam perkembangan plak psoriasis. 33 De Bellis et al. (2005) dan Biswas et al. (2006) menyatakan bahwa prolaktin meningkatkan sintesis IFN-γ dan IL-2 oleh limfosit Th1, induksi ekspresi molekul kostimulator misalnya major histocompatibility complex-ii (MHC-II), cluster of differentiation 40 (CD40), CD80 pada sel penyaji antigen serta IFN regulatory factor-1 (IRF-1), dimana hasil akhir peningkatan sitokin-sitokin ini akan menyebabkan hiperproliferasi keratinosit. Peran prolaktin sebagai imunomodulator juga tampak pada sel dendritik. Pada penelitian yang dilakukan pada sel dendritik timus yang berasal dari tikus menunjukkan bahwa prolaktin meningkatkan sejumlah sitokin proinflamasi yaitu IL-12, TNF-α, dan IL-1β. 36 Matera et al. (2001) menyatakan bahwa prolaktin dalam konsentrasi fisiologis dan suprafisiologis meningkatkan reseptor granulocyte macrophage stimulating factor (GM-CSF) yang nantinya secara sinergis bersama 32 34,35

17 dengan prolaktin akan menginduksi permatangan sel dendritik yang imatur. 37 Prolaktin memiliki peran yang potensial dalam modulasi sel natural killer (NK). Hal ini dibuktikan dengan ditemukannya reseptor prolaktin pada sel NK manusia. Prolaktin bersama dengan faktor pertumbuhan sel NK yaitu IL-12 dan IL-15 akan menstimulasi proliferasi sel NK. Sel NK memproduksi IFN-γ dan TNF-α yang berperan dalam proses terjadinya inflamasi pada psoriasis. Pada monosit/makrofag yang dikultur dari manusia, prolaktin meningkatkan produksi vascular endothelial growth factor (VEGF). Hal ini menunjukkan bahwa prolaktin mungkin berperan dalam pengaturan terjadinya angiogenesis. 39 Pada lesi psoriasis ditemukan peningkatan ekspresi dan produksi CXC Ligand (CXCL)9, CXCL10, dan CXCL11 oleh keratinosit, yang memiliki fungsi kemotaktis terhadap sel Th1 ke tempat terjadinya inflamasi. Peningkatan ekspresi dan produksi ketiga kemokin ini terutama diinduksi oleh IFN-γ yang dihasilkan oleh sel Th1. Naoko Kanda et al. (2007) meneliti secara invitro efek prolaktin terhadap produksi CXCL9, CXCL10, dan CXCL11 oleh keratinosit manusia. Penelitian ini menunjukkan bahwa walaupun prolaktin sendiri tidak memberikan efek yang signifikan pada produksi ketiga kemokin ini namun prolaktin meningkatkan produksi CXCL9, CXCL10, dan CXCL11 yang diinduksi oleh IFN-γ melalui aktivasi faktor transkripsi signal transducer and activator of transcription 1 (STAT1), nuclear 38

18 factor-κβ (NF- κβ), dan IRF Aktivasi ketiga faktor transkripsi tersebut menggunakan jalur janus kinase 2 (JAK2) dan MEK/ERK. Selain itu, akhir-akhir ini jalur Th17 yang memproduksi IL-23, IL- 17, IL-22 serta TNF-α telah dibuktikan memiliki peranan penting dalam proses inflamasi pada psoriasis. 17 Lowes et al. (2008) menemukan adanya infiltrasi Th17 secara agresif ke dalam dermis pada lesi psoriasis. Infiltrasi Th17 yang mengekspresikan CCR6 kedalam lesi psoriasis disebabkan oleh karena efek kemotaksis dari CCL20. Naoko Kanda et al. (2009) melakukan pengamatan secara in vitro efek prolaktin terhadap produksi basal dan produksi CCL20 yang diinduksi oleh IL-17 pada keratinosit manusia. 41 Pada penelitian ini ditemukan bahwa prolaktin sendiri meningkatkan sekresi CCL20 sampai dengan 9,7 kali dibandingkan dengan kontrol. Sementara IL-17 sendiri meningkatkan sekresi CCL20 sampai dengan 12,9 kali dibanding dengan kontrol serta prolaktin secara sinergis akan meningkatkan sekresi CCL20 yang diinduksi oleh IL-17. Peningkatan ini terjadi melalui aktivasi faktor transkripsi activation factor-1 (AP-1) dan NF-κβ. Hasil penelitian ini secara invitro menunjukkan gambaran in vivo yaitu; prolaktin dapat menginduksi sekresi CCL20 oleh keratinosit epidermal pada lesi psoriasis dan CCL20 yang disekresikan akan menarik sel Th17 yang mengekspresikan CCR6. Selanjutnya sel Th17 akan melepaskan IL-17 yang nantinya secara bersama-sama dengan prolaktin akan menginduksi sekresi CCL20 oleh keratinosit sehingga menyebabkan kembali penarikan sel Th17. Mekanisme umpan balik

19 positif dari prolaktin dengan IL-17 dan CCL20 dapat memperluas inflamasi yang diperantarai oleh sel Th17 pada lesi psoriasis. Pada wanita hamil yang menderita psoriasis ditemukan bahwa selama kehamilan 55% penderita mengalami perbaikan, 21% tidak mengalami perubahan, dan 23% mengalami perburukan. Sementara itu saat postpartum hanya 9% mengalami perbaikan, 26% tidak mengalami perubahan, dan 65% mengalami perburukan penyakit. Hal ini menunjukkan bahwa terjadinya hiperprolaktinemia fisiologis selama masa postpartum (laktasi) akan menyebabkan perburukan psoriasis. 42,43 Hal ini sejalan dengan adanya laporan bahwa psoriasis berhubungan dengan prolaktinoma. Sanchez et al. (2000) melaporkan terjadinya peningkatan derajat dan perluasan psoriasis tipe plak pada tiga kasus prolaktinoma yang terjadi pada wanita. Pada ketiga kasus ini pemberian terapi bromokriptin, sebuah agonis dopamin yang menekan sekresi prolaktin, memberikan respon terapeutik yang baik. 14 Pengamatan ini menunjukkan bahwa peningkatan kadar prolaktin berhubungan dengan derajat keparahan psoriasis. Dalam hal pengobatan psoriasis, siklosporin A merupakan salah satu pengobatan yang efektif dengan berbagai efek pada beberapa tipe sel tertentu. Salah satunya yaitu siklosporin A berperan dalam menghambat ikatan prolaktin dengan prolaktin reseptor pada limfosit T dan limfosit B manusia. Selain itu siklosporin A juga secara selektif menghambat peningkatan aktivitas ornithin dekarboksilase pada limfosit yang distimulasi oleh prolaktin. 44 Hal ini menunjukkan bahwa efek anti

20 proliferasi pada obat ini dapat diperantarai oleh kemampuan antagonis terhadap prolaktin. Beberapa penelitian terakhir tidak hanya mengamati peran prolaktin dalam etiopatogenesis psoriasis namun juga hubungannya dengan derajat keparahan psoriasis. Maryam et al. (2009) melakukan pengukuran kadar prolaktin serum pada 30 orang pasien psoriasis vulgaris dan 30 orang subjek sehat sebagai kontrol. Ditemukan peningkatan yang cukup signifikan pada kadar prolaktin serum penderita psoriasis dibanding kelompok kontrol. Selain itu dengan menggunakan uji regresi Pearson tampak adanya hubungan yang positif diantara kadar prolaktin serum dengan derajat keparahan psoriasis yang dinilai dengan menggunakan skor PASI. 12 Sementara Dilme et al. (2010) melakukan pengukuran kadar prolaktin serum pada 20 orang pasien dengan psoriasis tipe plak sebelum dan sesudah terapi topikal dengan tacalcitol, didapatkan hasil bahwa terdapat peningkatan yang signifikan pada kadar prolaktin serum penderita psoriasis dibanding dengan kelompok kontrol (P < 0.001) serta terdapatnya hubungan yang signifikan diantara kadar prolaktin serum sebelum pengobatan dengan derajat keparahan psoriasis. 13 Berbagai penelitian yang dijelaskan sebelumnya mengindikasikan bahwa prolaktin mempunyai peranan yang penting dalam etiopatogenesis psoriasis. Namun demikian masih terdapat beberapa kontroversi mengenai hal ini. Seperti yang tampak pada sebuah studi oleh Gorpelioglu et al. (2008) yang meneliti kadar prolaktin pada 39 pasien

21 dengan psoriasis kemudian membandingkannya dengan 36 orang kontrol. Pada studi ini tidak ditemukan perbedaan yang signifikan pada kadar seum prolaktin diantara pasien dan kontrol. 1

22 2.4 Kerangka Teori Meningkatkan proliferasi, proteksi terhadap apoptosis dan survival sel T. Limfosit T Inhibisi fungsi limfosit T supresor. Meningkatkan produksi IFN- γ dan IL-2 oleh Th1. 1. Hormonal (Prolaktin) 2. Genetik 3. Lingkungan 4. Imunologi Keratinosit Sel dendritik Peningkatan kemokin CXCL 9, CXCL 10 dan CXCL 11 yang diinduksi oleh IFN-γ. Peningkatan produksi CCL20 basal dan CCL20 yang diinduksi oleh IL-17. Meningkatkan ekspresi IL-12, TNF-α, dan IL-1β. Meningkatkan ekspresi reseptor GM-CSF dan menginduksi maturasi sel dendritik. Patogenesis psoriasis Sel natural killer Aktivasi proliferasi sel NK. Makrofag Menginduksi produksi vascular endothelial growth factor (VEGF) oleh makrofag Gambar 2.2 Diagram kerangka teori

BAB I PENDAHULUAN. Pasien dapat mengalami keluhan gatal, nyeri, dan atau penyakit kuku serta artritis

BAB I PENDAHULUAN. Pasien dapat mengalami keluhan gatal, nyeri, dan atau penyakit kuku serta artritis 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Psoriasis merupakan penyakit inflamasi kulit bersifat kronis residif dengan patogenesis yang masih belum dapat dijelaskan dengan pasti hingga saat ini. Pasien dapat

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. dengan gejala klinis berupa plak eritematosa berbatas tegas dalam berbagai

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. dengan gejala klinis berupa plak eritematosa berbatas tegas dalam berbagai BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Psoriasis Psoriasis adalah penyakit peradangan kulit kronis, dan sering rekuren, dengan gejala klinis berupa plak eritematosa berbatas tegas dalam berbagai ukuran yang ditutupi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. ditutupi sisik tebal berwarna putih. Psoriasis sangat mengganggu kualitas hidup

BAB I PENDAHULUAN. ditutupi sisik tebal berwarna putih. Psoriasis sangat mengganggu kualitas hidup 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Psoriasis merupakan penyakit inflamasi kronis pada kulit dengan penyebab yang belum diketahui sampai saat ini, ditandai oleh adanya plak eritema batas tegas ditutupi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Psoriasis vulgaris merupakan suatu penyakit inflamasi kulit yang bersifat

BAB I PENDAHULUAN. Psoriasis vulgaris merupakan suatu penyakit inflamasi kulit yang bersifat BAB I PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang Psoriasis vulgaris merupakan suatu penyakit inflamasi kulit yang bersifat kronis dan kompleks. Penyakit ini dapat menyerang segala usia dan jenis kelamin. Lesi yang

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. akibat proses tersebut maka tampak skuama, eritema dan indurasi. 7

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. akibat proses tersebut maka tampak skuama, eritema dan indurasi. 7 BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.I Psoriasis 2.1.1 Definisi Psoriasis ditandai dengan adanya hiperkeratosis dan penebalan lapisan epidermis yang diikuti dengan peningkatan vaskularisasi dan infiltrasi sel radang

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. gejala klinis yang khas berupa plak eritematosa berbatas tegas dalam berbagai

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. gejala klinis yang khas berupa plak eritematosa berbatas tegas dalam berbagai BAB II TINJAUAN PUSTAKA Psoriasis vulgaris adalah suatu penyakit peradangan kulit kronis, dengan gejala klinis yang khas berupa plak eritematosa berbatas tegas dalam berbagai ukuran yang ditutupi oleh

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. Psoriasis adalah suatu penyakit kulit inflamasi kronik dan relaps yang

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. Psoriasis adalah suatu penyakit kulit inflamasi kronik dan relaps yang BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Psoriasis Psoriasis adalah suatu penyakit kulit inflamasi kronik dan relaps yang mempunyai gambaran klinis bervariasi. Lesi khas psoriasis berupa plak tertutup skuama tebal berlapis

Lebih terperinci

Kadar Prolaktin Serum Penderita Psoriasis Vulgaris dengan Score Psoriasis Area and Severity Index

Kadar Prolaktin Serum Penderita Psoriasis Vulgaris dengan Score Psoriasis Area and Severity Index [ TINJAUAN PUSTAKA ] Kadar Prolaktin Serum Penderita Psoriasis Vulgaris dengan Score Psoriasis Area and Severity Index Devita Wulan Permatasari Fakultas Kedokteran Universitas Lampung Abstrak Psoriasis

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. lingkungan seperti trauma, infeksi atau obat-obatan (Van de Kerkhof, 2012).

BAB I PENDAHULUAN. lingkungan seperti trauma, infeksi atau obat-obatan (Van de Kerkhof, 2012). BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Psoriasis adalah suatu penyakit inflamasi kronis yang diperantarai oleh sistem imun dan disebabkan oleh kombinasi dari predisposisi poligenik serta pemicu dari lingkungan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian. proliferasi dan diferensiasi keratinosit yang abnormal, dengan gambaran klinis

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian. proliferasi dan diferensiasi keratinosit yang abnormal, dengan gambaran klinis 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Psoriasis merupakan penyakit inflamasi kronis dengan karakteristik proliferasi dan diferensiasi keratinosit yang abnormal, dengan gambaran klinis berupa

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Psoriasis merupakan penyakit kulit yang penyebabnya sampai saat ini masih belum

BAB I PENDAHULUAN. Psoriasis merupakan penyakit kulit yang penyebabnya sampai saat ini masih belum 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Psoriasis merupakan penyakit kulit yang penyebabnya sampai saat ini masih belum diketahui. Penyakit ini tidak mengancam jiwa, namun lesi kulit yang terjadi menimbulkan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Psoriasis adalah penyakit kulit inflamasi kronis yang sering dijumpai

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Psoriasis adalah penyakit kulit inflamasi kronis yang sering dijumpai BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Psoriasis Psoriasis adalah penyakit kulit inflamasi kronis yang sering dijumpai namun penyebab utama masih belum diketahui secara pasti. Pada penyakit ini dapat terjadi papul

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. pilosebasea yang ditandai adanya komedo, papul, pustul, nodus dan kista dengan

BAB 1 PENDAHULUAN. pilosebasea yang ditandai adanya komedo, papul, pustul, nodus dan kista dengan 1 BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang Akne vulgaris adalah suatu peradangan yang bersifat menahun pada unit pilosebasea yang ditandai adanya komedo, papul, pustul, nodus dan kista dengan predileksi di

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. depigmentasi kulit berupa makula hipopigmentasi disebabkan karena hilangnya

BAB I PENDAHULUAN. depigmentasi kulit berupa makula hipopigmentasi disebabkan karena hilangnya BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar belakang Vitiligo merupakan suatu gangguan pigmentasi, ditandai dengan adanya depigmentasi kulit berupa makula hipopigmentasi disebabkan karena hilangnya fungsi melanosit epidermis

Lebih terperinci

PROFIL KADAR PROLAKTIN SERUM PADA BERBAGAI DERAJAT DI RUMAH SAKIT HAJI ADAM MALIK MEDAN TESIS OLIVITI NATALI

PROFIL KADAR PROLAKTIN SERUM PADA BERBAGAI DERAJAT DI RUMAH SAKIT HAJI ADAM MALIK MEDAN TESIS OLIVITI NATALI PROFIL KADAR PROLAKTIN SERUM PADA BERBAGAI DERAJAT KERPARAHAN PSORIASIS VULGARIS DI RUMAH SAKIT HAJI ADAM MALIK MEDAN TESIS OLIVITI NATALI 087105015 PROGRAM MAGISTER KEDOKTERAN KLINIK SPESIALIS ILMU KESEHATAN

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Universitas Sumatera Utara

BAB 1 PENDAHULUAN. Universitas Sumatera Utara BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Kulit merupakan organ tubuh yang terletak paling luar dan membatasi dari lingkungan hidup manusia. Berat kulit kira-kira 15% dari berat badan seseorang. Kulit merupakan

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Psoriasis 2.1.1. Definisi Psoriasis adalah penyakit kulit kronik-residif yang ditandai adanya epidermis yang hiperproliferasi dan diferensiasi abnormal (Jean et al., 2011).

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. sebasea yang dapat dialami oleh semua usia dengan gambaran klinis yang bervariasi antara

BAB I PENDAHULUAN. sebasea yang dapat dialami oleh semua usia dengan gambaran klinis yang bervariasi antara BAB I PENDAHULUAN A. Latar belakang Akne vulgaris merupakan kelainan yang sering dijumpai pada struktur kelenjar sebasea yang dapat dialami oleh semua usia dengan gambaran klinis yang bervariasi antara

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. penyebab yang belum diketahui sampai saat ini, ditandai oleh adanya plak eritema

BAB I PENDAHULUAN. penyebab yang belum diketahui sampai saat ini, ditandai oleh adanya plak eritema BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Psoriasis merupakan penyakit inflamasi kronis pada kulit dengan penyebab yang belum diketahui sampai saat ini, ditandai oleh adanya plak eritema ditutupi sisik tebal

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Psoriasis adalah penyakit peradangan kulit kronis, dan sering rekuren,

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Psoriasis adalah penyakit peradangan kulit kronis, dan sering rekuren, BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Psoriasis Psoriasis adalah penyakit peradangan kulit kronis, dan sering rekuren, dengan gejala klinis berupa plak eritematosa berbatas tegas dalam berbagai ukuran yang ditutupi

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Psoriasis adalah salah satu penyakit kulit termasuk dalam kelompok

BAB 1 PENDAHULUAN. Psoriasis adalah salah satu penyakit kulit termasuk dalam kelompok BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang Psoriasis adalah salah satu penyakit kulit termasuk dalam kelompok dermatosis eritroskuamosa, bersifat kronis residif dengan lesi yang khas berupa plak eritema berbatas

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dengan hiperproliferasi dan diferensiasi abnormal keratinosit, dengan gambaran

BAB I PENDAHULUAN. dengan hiperproliferasi dan diferensiasi abnormal keratinosit, dengan gambaran BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang Psoriasis adalah penyakit inflamasi kulit kronik residif yang ditandai dengan hiperproliferasi dan diferensiasi abnormal keratinosit, dengan gambaran lesi yang khas

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Psoriasis merupakan penyakit kulit autoimun kronis yang mengakibatkan

BAB I PENDAHULUAN. Psoriasis merupakan penyakit kulit autoimun kronis yang mengakibatkan 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Psoriasis merupakan penyakit kulit autoimun kronis yang mengakibatkan proliferasi berlebihan di epidermis. Normalnya seseorang mengalami pergantian kulit setiap 3-4

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Psoriasis 2.1.1. Definisi dan Sejarah Psoriasis adalah suatu penyakit inflamasi kulit kronis yang di mediasi oleh sistem imunitas sel T dan dikarakteristikkan sebagai perubahan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. sering ditemukan pada wanita usia reproduksi berupa implantasi jaringan

BAB I PENDAHULUAN. sering ditemukan pada wanita usia reproduksi berupa implantasi jaringan BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Penelitian Endometriosis merupakan salah satu penyakit ginekologi yang sering ditemukan pada wanita usia reproduksi berupa implantasi jaringan (sel-sel kelenjar dan

Lebih terperinci

BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA. Atopi berasal dari bahasa Yunani yaitu atopos, yang memiliki arti tidak pada

BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA. Atopi berasal dari bahasa Yunani yaitu atopos, yang memiliki arti tidak pada 4 BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Atopi dan uji tusuk kulit Atopi berasal dari bahasa Yunani yaitu atopos, yang memiliki arti tidak pada tempatnya dan sering digunakan untuk menggambarkan penyakit yang diperantarai

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. kronik yang sering ditemukan (Kurniati, 2003). Biasanya terjadi di daerah yang

BAB 1 PENDAHULUAN. kronik yang sering ditemukan (Kurniati, 2003). Biasanya terjadi di daerah yang BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Dermatitis seboroik merupakan suatu kelainan kulit papuloskuamosa kronik yang sering ditemukan (Kurniati, 2003). Biasanya terjadi di daerah yang banyak mengandung kelenjar

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. vulgaris disertai dengan suatu variasi pleomorfik dari lesi, yang terdiri dari

BAB I PENDAHULUAN. vulgaris disertai dengan suatu variasi pleomorfik dari lesi, yang terdiri dari BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Akne vulgaris merupakan suatu penyakit dari unit pilosebasea yang dapat sembuh sendiri, terutama dijumpai pada anak remaja. Kebanyakan kasus akne vulgaris disertai

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. membuat kadar kolesterol darah sangat sulit dikendalikan dan dapat menimbulkan

BAB 1 PENDAHULUAN. membuat kadar kolesterol darah sangat sulit dikendalikan dan dapat menimbulkan BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pola makan modern yang banyak mengandung kolesterol, disertai intensitas makan yang tinggi, stres yang menekan sepanjang hari, obesitas dan merokok serta aktivitas

Lebih terperinci

BAB 2 TERMINOLOGI SITOKIN. Sitokin merupakan protein-protein kecil sebagai mediator dan pengatur

BAB 2 TERMINOLOGI SITOKIN. Sitokin merupakan protein-protein kecil sebagai mediator dan pengatur BAB 2 TERMINOLOGI SITOKIN Sitokin merupakan protein-protein kecil sebagai mediator dan pengatur immunitas, inflamasi dan hematopoesis. 1 Sitokin adalah salah satu dari sejumlah zat yang disekresikan oleh

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 8,7% di tahun 2001, dan menjadi 9,6% di tahun

BAB I PENDAHULUAN. 8,7% di tahun 2001, dan menjadi 9,6% di tahun BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar belakang Asma merupakan penyakit kronik yang sering ditemukan dan merupakan salah satu penyebab angka kesakitan pada anak di seluruh dunia. Di negara maju dan negara berkembang

Lebih terperinci

CATATAN SINGKAT IMUNOLOGI

CATATAN SINGKAT IMUNOLOGI CATATAN SINGKAT IMUNOLOGI rina_susilowati@ugm.ac.id Apakah imunologi itu? Imunologi adalah ilmu yang mempelajari sistem imun. Sistem imun dipunyai oleh berbagai organisme, namun pada tulisan ini sistem

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Dermatitis Atopik (DA) adalah penyakit inflamasi pada kulit yang bersifat kronis dan sering terjadi kekambuhan. Penyakit ini terjadi akibat adanya kelainan pada fungsi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Fakta menunjukkan bahwa pada proses penuaan terjadi kemunduran dan deplesi jumlah sel

BAB I PENDAHULUAN. Fakta menunjukkan bahwa pada proses penuaan terjadi kemunduran dan deplesi jumlah sel BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Fakta menunjukkan bahwa pada proses penuaan terjadi kemunduran dan deplesi jumlah sel Langerhans di epidermis, yakni sel efektor imunogen pada kulit, penurunan daya

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. adanya disfungsi fungsi sawar kulit adalah dermatitis atopik (DA). Penderita DA

BAB I PENDAHULUAN. adanya disfungsi fungsi sawar kulit adalah dermatitis atopik (DA). Penderita DA 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kondisi gangguan fungsi sawar kulit dapat menyebabkan berbagai jenis penyakit di bidang Dermatologi. Salah satu penyakit kulit yang disebabkan oleh adanya disfungsi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Alergi merupakan suatu keadaan hipersensitivitas terhadap kontak atau pajanan zat asing (alergen) tertentu dengan akibat timbulnya gejala-gejala klinis, yang mana

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Yunani, melas yang berarti hitam. Melasma merupakan kelainan hiperpigmentasi didapat, berupa

BAB I PENDAHULUAN. Yunani, melas yang berarti hitam. Melasma merupakan kelainan hiperpigmentasi didapat, berupa BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang Melasma (juga dikenal sebagai chloasma atau topeng kehamilan) berasal dari bahasa Yunani, melas yang berarti hitam. Melasma merupakan kelainan hiperpigmentasi didapat,

Lebih terperinci

HALAMAN PERSETUJUAN. : Hubungan antara Kadar Prolaktin Serum Penderita Psoriasis. Vulgaris dengan Skor Psoriasis Area and Severity Index

HALAMAN PERSETUJUAN. : Hubungan antara Kadar Prolaktin Serum Penderita Psoriasis. Vulgaris dengan Skor Psoriasis Area and Severity Index HUBUNGAN ANTARA KADAR PROLAKTIN SERUM PENDERITA PSORIASIS VULGARIS DENGAN SKOR PSORIASIS AREA AND SEVERITY INDEX TESIS OLIVITI NATALI PROGRAM PENDIDIKAN DOKTER SPESIALIS DEPARTEMEN ILMU KESEHATAN KULIT

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Sepsis merupakan kondisi yang masih menjadi masalah kesehatan dunia karena pengobatannya yang sulit sehingga angka kematiannya cukup tinggi. Penelitian yang dilakukan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Universitas Sumatera Utara

BAB I PENDAHULUAN. Universitas Sumatera Utara BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Gastritis adalah suatu kondisi medis yang ditandai dengan peradangan pada lapisan lambung. Berbeda dengan dispepsia,yang bukan merupakan suatu diagnosis melainkan suatu

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. yang disebabkan oleh berbagai faktor dengan gambaran klinis yang khas

BAB I PENDAHULUAN. yang disebabkan oleh berbagai faktor dengan gambaran klinis yang khas 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Akne vulgaris merupakan suatu peradangan kronik dari folikel pilosebasea yang disebabkan oleh berbagai faktor dengan gambaran klinis yang khas (Siregar, 2013). Gambaran

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Definisi Artritis Reumatoid Artritis reumatoid adalah penyakit autoimun dengan karakteristik adanya inflamasi kronik pada sendi disertai dengan manifestasi sistemik seperti

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. disebabkan oleh Human Papillomavirus (HPV) tipe tertentu dengan kelainan berupa

BAB 1 PENDAHULUAN. disebabkan oleh Human Papillomavirus (HPV) tipe tertentu dengan kelainan berupa BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kondiloma akuminata (KA) merupakan infeksi menular seksual yang disebabkan oleh Human Papillomavirus (HPV) tipe tertentu dengan kelainan berupa fibroepitelioma pada

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. terjadi di seluruh dunia oleh World Health Organization (WHO) dengan

BAB 1 PENDAHULUAN. terjadi di seluruh dunia oleh World Health Organization (WHO) dengan BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Diabetes melitus (DM) telah dikategorikan sebagai penyakit yang terjadi di seluruh dunia oleh World Health Organization (WHO) dengan jumlah pasien yang terus meningkat

Lebih terperinci

BAB l PENDAHULUAN. disebut juga eksema atopik, prurigo besnier, neurodermatitis

BAB l PENDAHULUAN. disebut juga eksema atopik, prurigo besnier, neurodermatitis BAB l PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Dermatitis atopik adalah penyakit kulit inflamatif kronis, disebut juga eksema atopik, prurigo besnier, neurodermatitis diseminata (Leung et al, 2003). Manifestasi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Istilah atopik pertama kali diperkenalkan oleh Coca (1923), yaitu istilah yang dipakai untuk sekelompok penyakit pada individu yang mempunyai riwayat alergi/hipersensitivitas

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. imunitas, gangguan sensasi kornea, riwayat operasi kornea, abnormalitas

BAB I PENDAHULUAN. imunitas, gangguan sensasi kornea, riwayat operasi kornea, abnormalitas BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Mata Kering (MK) merupakan suatu kondisi medis yang ditandai dengan ketidakmampuan mata untuk mempertahankan jumlah air mata yang cukup pada permukaan bola mata. MK

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Karsinoma nasofaring (KNF) merupakan tumor ganas epitel nasofaring. Etiologi tumor ganas ini bersifat multifaktorial, faktor etnik dan geografi mempengaruhi risiko

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Selama kehamilan, wanita dihadapkan pada berbagai komplikasi yang mungkin terjadi, salah satunya adalah abortus. Abortus adalah kejadian berakhirnya kehamilan secara

Lebih terperinci

FORM UNTUK JURNAL ONLINE. : Pemeriksaan Penunjang Laboratorium Pada Infeksi Jamur Subkutan

FORM UNTUK JURNAL ONLINE. : Pemeriksaan Penunjang Laboratorium Pada Infeksi Jamur Subkutan : : Pemeriksaan Penunjang Laboratorium Pada Infeksi Jamur Subkutan : infeksi jamur subkutan adalah infeksi jamur yang secara langsung masuk ke dalam dermis atau jaringan subkutan melalui suatu trauma.

Lebih terperinci

7.2 CIRI UMUM SITOKIN

7.2 CIRI UMUM SITOKIN BAB 7 SITOKIN 7.1 PENDAHULUAN Defnisi: Sitokin adalah senyawa protein, dengan berat molekul kira-kira 8-80 kda, yang merupakan mediator larut fase efektor imun natural dan adaptif. Nama dari sitokin bermacam-macam

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. berkembang secara bermakna setelah 2 minggu (Harper, 2005). 75% di antaranya berada di Asia, Afrika (20%), dan Amerika Latin (5%).

BAB I PENDAHULUAN. berkembang secara bermakna setelah 2 minggu (Harper, 2005). 75% di antaranya berada di Asia, Afrika (20%), dan Amerika Latin (5%). BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pertumbuhan Janin Terhambat (PJT) merupakan masalah penting dalam dunia kedokteran, karena PJT dikaitkan dengan peningkatan mortalitas dan morbiditas neonatal. Selain

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. Secara alamiah seluruh komponen tubuh setelah mencapai usia dewasa tidak

PENDAHULUAN. Secara alamiah seluruh komponen tubuh setelah mencapai usia dewasa tidak 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Secara alamiah seluruh komponen tubuh setelah mencapai usia dewasa tidak dapat berkembang lagi, tetapi justru terjadi penurunan fungsi tubuh karena proses penuaan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. hipopigmentasi berwarna putih susu berbatas tegas. Vitiligo mengenai sekitar 0,5-1% dari

BAB I PENDAHULUAN. hipopigmentasi berwarna putih susu berbatas tegas. Vitiligo mengenai sekitar 0,5-1% dari BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang Vitiligo adalah kelainan pigmentasi kulit yang didapat, ditandai dengan adanya makula hipopigmentasi berwarna putih susu berbatas tegas. Vitiligo mengenai sekitar 0,5-1%

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Dunia sekarang mengalami penderitaan akibat dampak epidemik dari berbagai penyakit penyakit akut dan kronik yang semakin meningkat dari tahun ke tahun. Penyakit penyakit

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Melasma merupakan kelainan yang ditandai lesi makula hiperpigmentasi pada kulit yang sering terpapar sinar matahari seperti wajah, leher, atau lengan. Melasma masih

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. DM yaitu DM tipe-1 dan DM tipe-2. Diabetes tipe-1 terutama disebabkan

BAB I PENDAHULUAN. DM yaitu DM tipe-1 dan DM tipe-2. Diabetes tipe-1 terutama disebabkan 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Ulkus diabetikum (UD) adalah luka terbuka pada permukaan kulit yang disebabkan oleh adanya komplikasi kronik berupa mikroangiopati dan makroangiopati akibat

Lebih terperinci

BAB I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian. morbiditas dan mortalitas. Di negara-negara barat, kanker merupakan penyebab

BAB I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian. morbiditas dan mortalitas. Di negara-negara barat, kanker merupakan penyebab 1 BAB I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Kanker merupakan salah satu penyakit yang banyak menimbulkan morbiditas dan mortalitas. Di negara-negara barat, kanker merupakan penyebab kematian nomor

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN HASIL DAN PEMBAHASAN Penurunan jumlah ookista dalam feses merupakan salah satu indikator bahwa zat yang diberikan dapat berfungsi sebagai koksidiostat. Rataan jumlah ookista pada feses ayam berdasarkan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Endometriosis adalah pertumbuhan jaringan (sel-sel kelenjar dan stroma) abnormal mirip endometrium (endometrium like tissue) diluar kavum uterus. Terutama pada

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. yang dewasa ini paling banyak mendapat perhatian para ahli. Di. negara-negara maju maupun berkembang, telah banyak penelitian

BAB I PENDAHULUAN. yang dewasa ini paling banyak mendapat perhatian para ahli. Di. negara-negara maju maupun berkembang, telah banyak penelitian BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian Endometriosis merupakan salah satu penyakit jinak ginekologi yang dewasa ini paling banyak mendapat perhatian para ahli. Di negara-negara maju maupun berkembang,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Vitiligo merupakan penyakit yang tidak hanya dapat menyebabkan gangguan

BAB I PENDAHULUAN. Vitiligo merupakan penyakit yang tidak hanya dapat menyebabkan gangguan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Vitiligo merupakan penyakit yang tidak hanya dapat menyebabkan gangguan secara kosmetik tapi juga dapat menyebabkan menurunnya kepercayaan diri seseorang. Vitiligo

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Kusta merupakan salah satu penyakit infeksi yang masih mendapatkan

BAB I PENDAHULUAN. Kusta merupakan salah satu penyakit infeksi yang masih mendapatkan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kusta merupakan salah satu penyakit infeksi yang masih mendapatkan perhatian khusus dari Badan Kesehatan Dunia atau World Health Organization (WHO), terutama di negara-negara

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kandungan bahan tertentu. Faktor intrinsik diantaranya adalah penurunan

BAB I PENDAHULUAN. kandungan bahan tertentu. Faktor intrinsik diantaranya adalah penurunan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penuaan atau aging process merupakan proses alami yang akan dialami oleh setiap makhluk hidup di dunia ini, tetapi proses penuaan setiap orang tidaklah sama, ada beberapa

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Cedera ginjal akut (Acute Kidney Injury / AKI) memiliki insidensi yang terus meningkat setiap tahunnya

BAB I PENDAHULUAN. Cedera ginjal akut (Acute Kidney Injury / AKI) memiliki insidensi yang terus meningkat setiap tahunnya 1 BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Cedera ginjal akut (Acute Kidney Injury / AKI) memiliki insidensi yang terus meningkat setiap tahunnya (Cerda et al., 2008). Berbagai macam strategi pencegahan telah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Inflamasi adalah reaksi tubuh terhadap jejas yang terjadi dalam tubuh manusia. Inflamasi, bila terjadi terus menerus dalam waktu lama maka merupakan salah satu faktor

Lebih terperinci

JOURNAL READING MANAGEMENT OF PSORIASIS

JOURNAL READING MANAGEMENT OF PSORIASIS JOURNAL READING MANAGEMENT OF PSORIASIS Oleh : Cintya Dunihapsari 01.211.6354 Pembimbing : dr. Eko Kristanto, Sp.KK Kepaniteraan Klinik Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin RSUD Kota Semarang FAKULTAS KEDOKTERAN

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. penyakit beragam (Perhimpunan Reumatologi Indonesia, 2011). Manifestasi klinis SLE

BAB I PENDAHULUAN. penyakit beragam (Perhimpunan Reumatologi Indonesia, 2011). Manifestasi klinis SLE BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Systemic Lupus Erythematosus (SLE) adalah penyakit inflamasi autoimun kronis yang belum jelas penyebabnya dengan gambaran klinis yang luas serta tampilan perjalanan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. virus DEN 1, 2, 3, dan 4 dan ditularkan oleh nyamuk Aedes aegepty dan Aedesal

BAB I PENDAHULUAN. virus DEN 1, 2, 3, dan 4 dan ditularkan oleh nyamuk Aedes aegepty dan Aedesal 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Penelitian Infeksi dengue masih merupakan masalah kesehatan masyarakat dan menimbulkan dampak sosial maupun ekonomi. Infeksi dengue disebabkan oleh virus DEN 1,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Tindakan pembedahan ekstremitas bawah,dapat menimbulkan respons,

BAB I PENDAHULUAN. Tindakan pembedahan ekstremitas bawah,dapat menimbulkan respons, BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Tindakan pembedahan ekstremitas bawah,dapat menimbulkan respons, mencangkup beberapa komponen inflamasi, berpengaruh terhadap penyembuhan dan nyeri pascabedah.sesuai

Lebih terperinci

DAFTAR ISI. HALAMAN JUDUL... i. HALAMAN PENGESAHAN...ii. SURAT PERNYATAAN... iii. PRAKATA... iii. DAFTAR ISI... vi. DAFTAR SINGKATAN...

DAFTAR ISI. HALAMAN JUDUL... i. HALAMAN PENGESAHAN...ii. SURAT PERNYATAAN... iii. PRAKATA... iii. DAFTAR ISI... vi. DAFTAR SINGKATAN... DAFTAR ISI Halaman HALAMAN JUDUL... i HALAMAN PENGESAHAN...ii SURAT PERNYATAAN... iii PRAKATA... iii DAFTAR ISI... vi DAFTAR SINGKATAN... x DAFTAR TABEL... xii DAFTAR GAMBAR... xiii DAFTAR LAMPIRAN...

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. jerawat atau akne (Yuindartanto, 2009). Akne vulgaris merupakan suatu

BAB I PENDAHULUAN. jerawat atau akne (Yuindartanto, 2009). Akne vulgaris merupakan suatu BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penyakit kulit yang sering dijumpai pada remaja dan dewasa muda adalah jerawat atau akne (Yuindartanto, 2009). Akne vulgaris merupakan suatu kelainan yang dapat sembuh

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Kanker kulit terbagi 2 kelompok yaitu melanoma dan kelompok non

BAB I PENDAHULUAN. Kanker kulit terbagi 2 kelompok yaitu melanoma dan kelompok non 15 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Kanker kulit terbagi 2 kelompok yaitu melanoma dan kelompok non melanoma. Kelompok non melanoma dibedakan atas karsinoma sel basal (KSB), karsinoma sel skuamosa

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Rambut merupakan mahkota bagi setiap orang. Masalah kulit kepala sering

BAB I PENDAHULUAN. Rambut merupakan mahkota bagi setiap orang. Masalah kulit kepala sering 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang Rambut merupakan mahkota bagi setiap orang. Masalah kulit kepala sering dianggap sebagai hal ringan, padahal bagi penderitanya dapat mengurangi penampilan atau daya

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Makanan adalah sumber kehidupan. Di era modern ini, sangat banyak berkembang berbagai macam bentuk makanan untuk menunjang kelangsungan hidup setiap individu. Kebanyakan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Sebagian besar meningioma berlokasi di kavitas intra kranial, diikuti

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Sebagian besar meningioma berlokasi di kavitas intra kranial, diikuti 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Sebagian besar meningioma berlokasi di kavitas intra kranial, diikuti spinal dan intra orbita, dan meskipun tidak mengivasi jaringan otak, meningioma menyebabkan penekanan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. ditemukan pada pasien gagal ginjal terminal (GGT). Keluhan pruritus yang

BAB I PENDAHULUAN. ditemukan pada pasien gagal ginjal terminal (GGT). Keluhan pruritus yang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pruritus uremia (PU) masih merupakan keluhan yang paling sering ditemukan pada pasien gagal ginjal terminal (GGT). Keluhan pruritus yang signifikan ditemukan pada 15%

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Human Immunodeficiency Virus (HIV) merupakan agen penyebab Acquired

BAB I PENDAHULUAN. Human Immunodeficiency Virus (HIV) merupakan agen penyebab Acquired BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Human Immunodeficiency Virus (HIV) merupakan agen penyebab Acquired immunodeficiency syndrome (AIDS) dan AIDS merupakan tahap akhir dari infeksi HIV. AIDS didefinisikan

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Benign Prostat Hyperplasia (BPH) atau pembesaran prostat jinak adalah

BAB 1 PENDAHULUAN. Benign Prostat Hyperplasia (BPH) atau pembesaran prostat jinak adalah BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Benign Prostat Hyperplasia (BPH) atau pembesaran prostat jinak adalah salah satu penyakit degeneratif pria yang sering dijumpai, berupa pembesaran dari kelenjar

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. seksama, prevalensi mioma uteri meningkat lebih dari 70%, karena mioma

BAB I PENDAHULUAN. seksama, prevalensi mioma uteri meningkat lebih dari 70%, karena mioma BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Mioma uteri merupakan neoplasma jinak yang berasal dari otot polos uterus dan bersifat monoklonal. 1,2 Prevalensi mioma uteri di Amerika serikat sekitar 35-50%. 1

Lebih terperinci

BAB 2. Tinjauan Pustaka

BAB 2. Tinjauan Pustaka BAB 2 Tinjauan Pustaka 2.1. Psoriasis 2.1.1. Sejarah dan Definisi Psoriasis adalah sebuah nama yang diberikan oleh seorang dermatologi asal Vienna, Ferdinand von Hebra pada tahun 1841. Psoriasis berasal

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 7 BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Psoriasis 2.1.1. Definisi dan Sejarah Psoriasis adalah peradangan kulit yang bersifat kronik dengan karakteristik berupa plak eritematosa berbatas tegas, skuama kasar, berlapis,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian. yaitu : hemostasis, inflamasi, proliferasi, dan remodeling. Setiap fase penyembuhan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian. yaitu : hemostasis, inflamasi, proliferasi, dan remodeling. Setiap fase penyembuhan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Penyembuhan luka merupakan proses yang dinamis, meliputi empat fase, yaitu : hemostasis, inflamasi, proliferasi, dan remodeling. Setiap fase penyembuhan luka

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar belakang penelitian. dengan morbiditas dan mortalitas yang tinggi. Banyak pasien yang meninggal

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar belakang penelitian. dengan morbiditas dan mortalitas yang tinggi. Banyak pasien yang meninggal 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar belakang penelitian Penyakit hati menahun dan sirosis merupakan salah satu penyakit hati dengan morbiditas dan mortalitas yang tinggi. Banyak pasien yang meninggal pada dekade

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Seiring proses penuaan mengakibatkan tubuh rentan terhadap penyakit. Integritas

BAB I PENDAHULUAN. Seiring proses penuaan mengakibatkan tubuh rentan terhadap penyakit. Integritas 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Seiring proses penuaan mengakibatkan tubuh rentan terhadap penyakit. Integritas sistem imun sangat diperlukan sebagai mekanisme pertahanan tubuh terhadap ancaman,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Kanker ovarium merupakan keganasan yang paling. mematikan di bidang ginekologi. Setiap tahunnya 200.

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Kanker ovarium merupakan keganasan yang paling. mematikan di bidang ginekologi. Setiap tahunnya 200. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kanker ovarium merupakan keganasan yang paling mematikan di bidang ginekologi. Setiap tahunnya 200.000 wanita didiagnosa dengan kanker ovarium di seluruh dunia dan 125.000

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Inflamatory bowel disease (IBD) mewakili suatu kondisi inflamasi kronik usus yang idiopatik. IBD terdiri atas dua jenis penyakit, yaitu Crohn's disease (CD)

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. karakteristik anovulasi, hiperandrogenisme, dan/atau adanya morfologi ovarium polikistik.

BAB I PENDAHULUAN. karakteristik anovulasi, hiperandrogenisme, dan/atau adanya morfologi ovarium polikistik. BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Sindroma ovarium polikistik (SOPK) adalah sindroma disfungsi ovarium dengan karakteristik anovulasi, hiperandrogenisme, dan/atau adanya morfologi ovarium polikistik.

Lebih terperinci

PENGETAHUAN DASAR. Dr. Ariyati Yosi,

PENGETAHUAN DASAR. Dr. Ariyati Yosi, PENGETAHUAN DASAR IMUNOLOGI KULIT Dr. Ariyati Yosi, SpKK PENDAHULUAN Kulit: end organ banyak kelainan yang diperantarai oleh proses imun kulit berperan secara aktif sel-sel imun (limfoid dan sel langerhans)

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. dikatakan sebagai mukosa mastikasi yang meliputi gingiva dan palatum keras.

I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. dikatakan sebagai mukosa mastikasi yang meliputi gingiva dan palatum keras. 7 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Jaringan lunak rongga mulut dilindungi oleh mukosa yang merupakan lapisan terluar rongga mulut. Mukosa melindungi jaringan dibawahnya dari kerusakan dan masuknya mikroorganisme

Lebih terperinci

IMUNITAS HUMORAL DAN SELULER

IMUNITAS HUMORAL DAN SELULER BAB 8 IMUNITAS HUMORAL DAN SELULER 8.1. PENDAHULUAN Ada dua cabang imunitas perolehan (acquired immunity) yang mempunyai pendukung dan maksud yang berbeda, tetapi dengan tujuan umum yang sama, yaitu mengeliminasi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. berwarna coklat muda sampai coklat tua, dan mengenai daerah yang sering terpajan

BAB I PENDAHULUAN. berwarna coklat muda sampai coklat tua, dan mengenai daerah yang sering terpajan BAB I PENDAHULUAN 1.1.Latar belakang Melasma adalah hipermelanosis didapat, berupa bercak yang tidak teratur, berwarna coklat muda sampai coklat tua, dan mengenai daerah yang sering terpajan sinar ultraviolet.

Lebih terperinci

PERUBAHAN-PERUBAHAN PATOLOGIS

PERUBAHAN-PERUBAHAN PATOLOGIS ABSTRAK PERUBAHAN-PERUBAHAN PATOLOGIS PADA KULIT PENDERITA PSORIASIS YANG TERJADI Wira Kimahesa A, 2005, Pembimbing: David Gunawan, dr Psoriasis merupakan suatu penyakit inflamasi kulit yang disebabkan

Lebih terperinci

BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA. Perkembangan fase prapubertas menjadi pubertas membutuhkan jalur yang

BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA. Perkembangan fase prapubertas menjadi pubertas membutuhkan jalur yang BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Siklus Menstruasi Remaja Perkembangan fase prapubertas menjadi pubertas membutuhkan jalur yang utuh dari hipotalamus-hipofise-ovarium. Struktur alat reproduksi, status nutrisi,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Menurut World Health Organization (WHO) ditingkat dunia AKB berkisar sekitar 37 per 1000

BAB I PENDAHULUAN. Menurut World Health Organization (WHO) ditingkat dunia AKB berkisar sekitar 37 per 1000 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Angka angka kematian bayi (AKB) pada saat ini masih menjadi persoalan di Indonesia. Menurut World Health Organization (WHO) ditingkat dunia AKB berkisar sekitar 37

Lebih terperinci

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN. seluruhnya berjumlah 270 dengan 9 penderita diantaranya memiliki penyakit

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN. seluruhnya berjumlah 270 dengan 9 penderita diantaranya memiliki penyakit BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. HASIL PENELITIAN Penelitian ini dilakukan dengan metode cross sectional. Subyek penelitian adalah pasien rawat jalan yang memiliki penyakit infeksi bakteri pada

Lebih terperinci

MENJELASKAN STRUTUR DAN FUNGSI ORGAN MANUSIA DAN HEWAN TERTENTU, KELAINAN/ PENYAKIT YANG MUNGKIN TERJADI SERTA IMPLIKASINYA PADA SALINGTEMAS

MENJELASKAN STRUTUR DAN FUNGSI ORGAN MANUSIA DAN HEWAN TERTENTU, KELAINAN/ PENYAKIT YANG MUNGKIN TERJADI SERTA IMPLIKASINYA PADA SALINGTEMAS MENJELASKAN STRUTUR DAN FUNGSI ORGAN MANUSIA DAN HEWAN TERTENTU, KELAINAN/ PENYAKIT YANG MUNGKIN TERJADI SERTA IMPLIKASINYA PADA SALINGTEMAS KD 3.8. Menjelaskan mekanisme pertahanan tubuh terhadap benda

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Diabetes diturunkan dari bahasa Yunani yaitu diabetes yang berarti pipa air melengkung (syphon). Diabetes dinyatakan sebagai keadaan di mana terjadi produksi urin

Lebih terperinci

PENYAKIT DARIER PADA ANAK

PENYAKIT DARIER PADA ANAK PENYAKIT DARIER PADA ANAK dr. Imam Budi Putra, SpKK DEPARTEMEN ILMU KESEHATAN KULIT DAN KELAMIN FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA RSUP H. ADAM MALIK M E D A N PENYAKIT DARIER PADA ANAK Pendahuluan

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. contohnya wajah dan leher (Wolff et al., 2008). Lesi melasma ditandai oleh

BAB 1 PENDAHULUAN. contohnya wajah dan leher (Wolff et al., 2008). Lesi melasma ditandai oleh BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Melasma adalah kelainan pigmentasi didapat dengan gambaran klinis berupa makula cokelat muda hingga cokelat tua pada daerah terpajan matahari, contohnya wajah dan leher

Lebih terperinci