BAB 2. Tinjauan Pustaka
|
|
- Vera Gunardi
- 6 tahun lalu
- Tontonan:
Transkripsi
1 BAB 2 Tinjauan Pustaka 2.1. Psoriasis Sejarah dan Definisi Psoriasis adalah sebuah nama yang diberikan oleh seorang dermatologi asal Vienna, Ferdinand von Hebra pada tahun Psoriasis berasal dari bahasa Yunani psora yang artinya gatal. Dahulu penyakit ini sering dikaitkan dengan penyakit lepra dan dikenal sebagai Willan s lepra (pada abad ke 18 akhir) oleh dermatologi asal Inggris Robert Wilan dan Thomas Bateman. Bentuk klinis yang mirip dengan lepra membuatnya sulit dibedakan dengan lepra dan menggolongkan penyakit ini sebagai varian dari lepra, sampai pada tahun 1841, penyakit ini akhirnya diberi nama psoriasis. 10 Psoriasis adalah suatu penyakit inflamasi kulit kronis yang di mediasi oleh sistem imunitas sel T dan dikarakteristikkan sebagai perubahan pada pertumbuhan dan diferensiasi epidermis serta akumulasi dari berbagai subpopulasi leukosit yang berbeda, dengan gambaran berupa plak yang berbatas tegas, merah, dan menebal disertai sisik yang berwarna putih keperakan. Faktor predisposisi yang dapat mencetuskan timbulnya penyakit ini, seperti trauma, infeksi, atau pengobatan. 10,11 6
2 Epidemiologi Ras Prevalensi psoriasis adalah luas dan bervariasi bergantung pada ras, dikatakan berkisar antara 0.1% sampai 11.8% atau 125 juta manusia di seluruh dunia 1. Prevalensi yang rendah dilaporkan pada ras Jepang, Eskimo, Australia aborigin, Afrika Barat dan Indian Amerika Selatan, sedangkan Kaukasia adalah ras yang paling banyak dilaporkan pada kasus psoriasis. 3 Prevalensi di Eropa dikatakan berkisar antara 1% sampai 2% dari populasi, dengan estimasi pada Amerika Serikat adalah antara 0.6% sampai 4.8%, dan tidak terdapat data yang jelas yang mendukung pernyataan kejadian psoriasis yang rendah pada kulit gelap. Gerfand et al pada penelitiannya melaporkan prevalensi pada Kaukasia adalah 2.5% dan pada Amerika Afrika 1.3% yang mengindikasikan meskipun angka kejadian psoriasis lebih sedikit pada kulit hitam, namun kasusnya tidak jarang. Sedangkan di Australia prevalensi yang dilaporkan adalah 1.2% sampai 2.3%. 1 Belum adanya penelitian yang berdasarkan populasi seputar prevalensi psoriasis di Malaysia, namun Adam melaporkan insidensi sebesar 4% pada tahun 1980 dari penderita yang berkunjung ke klinik dermatologi di Kuala Lumpur, Malaysia. Siow et al melaporkan insidensi sebesar 2.5% diantara 181 penderita yang mengunjungi klinik dermatologi di Seremban,
3 8 Malaysia. 1 Sampai saat ini belum ada data yang akurat mengenai prevalensi penyakit ini di Indonesia, namun insidensi di Asia sendiri dikatakan cenderung rendah (0.4%) Usia Onset terjadinya psoriasis dapat pada berbagai usia, namun rata-rata usia yang terkena dikatakan berkisar 15 sampai 30 tahun. Dikatakan bahwa 75% penderita psoriasis menderita psoriasis sebelum usia 46 tahun. Namun studi lain mengenai psoriasis mengemukakan adanya onset yang bersifat bimodal, dengan puncak pada usia tahun dan puncak lainnya adalah usia tahun, dan onset yang lebih awal ditemukan pada perempuan dibandingkan laki-laki. 3 Menurut Henseler et al, terdapat dua tipe psoriasis yang dibedakan berdasarkan onset usia. Psoriasis tipe I, adalah ketika psoriasis muncul pada usia sebelum atau pada usia 40 tahun, dan tipe II, adalah ketika psoriasis muncul setelah usia 40 tahun. Angka kejadian tipe I ini dikatakan lebih dari 75% dan memiliki gejala yang lebih berat serta kerterlibatan genetik yang kuat. Dikatakan terdapat hubungan antara Human Leukocyte Antigen (HLA) antigen kelas I khususnya HLA-Cw6 serta riwayat keluarga dengan onset penyakit yang dini pada psoriasis tipe I ini. 3 Data prevalensi menemukan penurunan frekuensi psoriasis pada individu usia lanjut. Pada studi prevalensi psoriasis di
4 9 Spanyol dan Inggris, dikatakan adanya penurunan psoriasis pada usia diatas 70 tahun. Juga dikatakan pada suatu studi di Norwegia, rata-rata prevalensi menunjukkan penurunan dengan peningkatan usia mendekati 49 tahun Jenis kelamin Psoriasis mengenai laki-laki dan perempuan secara seimbang. Namun beberapa studi mengatakan bahwa prevalensi psoriasis sedikit lebih tinggi pada laki-laki dibandingkan perempuan. Namun pada penderita usia muda (<20 tahun) prevalensi adalah lebih besar pada perempuan dibandingkan lakilaki, yang membuktikan adanya onset psoriasis yang lebih awal pada perempuan dibandingkan laki-laki. Penemuan ini merefleksikan adanya interaksi antara jenis kelamin, usia, dan kerentanan terhadap perkembangan psoriasis. 3, Etiologi dan Patogenesis Penyebab pasti dari psoriasis belum diketahui, namun dikatakan adanya peranan dari genetik maupun respon imun pada penyakit ini. Banyak penelitian yang mengungkap pentingnya peranan genetik terutama pada psoriasis tipe I, namun peranan genetik ini dalam patogenesis psoriasis belum dimengerti sepenuhnya. Psoriasis tipe I dihubungkan dengan HLA-Cw6, B5, B13, B57, DRB1*0701 dan DR7, sedangkan psoriasis tipe II memiliki hubungan dengan
5 10 HLA-Cw2 and B27. Kedua tipe tersebut dibedakan berdasarkan usia dari penderita. Kerentanan lokus Psoriasis Susceptibility Locus (PSORS) terhadap psoriasis ditemukan pada beberapa jenis kromosom: : PSORS1 pada 6p21.3, PSORS2 pada 17q, PSORS3 pada 4q, PSORS4 pada 1q21, PSORS5 pada 3q21, PSORS6 pada 19p, PSORS7 pada 1p, PSORS8 pada 16q, PSORS9 pada 4q31, PSORS10 pada 18p11, PSORS11 pada 5q31-q33 dan PSORS12 pada 20q13. Dimana PSORS1 yang berlokasi 6p21 dalam kompleks HLA merupakan yang paling utama dan berkorelasi dengan gen HLA-Cw6. 12,13 Lingkungan juga dikatakan berperan dalam patogenesis dari psoriasis, dimana dikatakan trauma dapat menimbulkan fenomena koebner pada lokasi yang tidak terkena psoriasis. Juga lebih lanjut dikatakan adanya peranan stress dalam menginduksi keparahan dari penyakit, yang dapat dinilai dari segi kualitas hidup penderita tersebut. 12,13 Psoriasis dikarakteristikkan dengan hiperproliferasi dan gangguan diferensiasi dari keratinosit epidermis, inflitrasi limfosit dan berbagai perubahan pembuluh darah endotel pada lapisan dermis. Pengertian mengenai patogenesis molekular psoriasis berdasarkan atas dua hubungan interaktif yin/yang relationship yaitu keseimbangan imunitas bawaan serta didapat dan faktor-faktor yang diproduksi oleh keratinosit epidermis yang secara langsung berefek pada sel T dan sel dendritik. 12,14 Peneliti saat ini menganggap psoriasis sebagai penyakit kulit inflamasi yang dipengaruhi oleh sel T. Onset awal penyakit psoriasis ditandai dengan teraktivasinya sel dendritik epidermis dan dermis yang akan memproduksi
6 11 substansi seperti TNF-α, dan IL-23 yang akan mempromosikan perkembangan dari sel Th1, dan sel Th17. Sel T ini akan mensekresikan mediator-mediator yang berkontribusi dalam perubahan pembuluh darah dan epidermis dari psoriasis. Keterlibatan limfosit T pada patogenesis psoriasis ini digambarkan dalam tiga bentuk kejadian: aktivasi awal dari limfosit T, migrasi limfosit T ke dalam kulit, dan berbagai peran dari sitokin yang dilepaskan dari limfosit T. Selain limfosit T, sitokin dan kemokin juga memiliki peranan dalam perkembangan dan persistensi lesi. Penelitian dengan menggunakan mencit Severe Combined Immunodefficient (SCID) pada lesi psoriasis menemukan infiltrasi didominasi oleh Cluster of differentiation 4(CD4)-positive T-cells (T-helper cells) yang akan memproduksi berbagai sitokin proinflamasi seperti IFN ɣ dan IL-17. Sel endotelial, netrofil, sel natural killer T, molekul adhesi Intracellular Adhesion Molecule 1 (ICAM-1) dikatakan juga berperan. 12,13 Elder et al. menyatakan adanya hubungan yang erat antara keratinosit dan sel pada sistem imunitas sebagai langkah awal dalam patogenesis psoriasis. Pada percobaan mencit transgenik, aktivasi ubiquitous dari faktor transkripsi Nuclear Factor Kappa-B (NFkB), yang merupakan inducer poten respon inflamasi, dianggap berperan dalam perkembangan penyakit kulit yang menyerupai psoriasis, termasuk akantosis, hiperkeratosis, parakeratosis dan dilatasi dari pembuluh darah dermis. Dimana mekanisme ini sangat bergantung pada aktivasi faktor NFkB di keratinosit dan sel T. Lapisan dermis psoriasis dipenuhi dengan sel sitokin proinflamasi seperti IFN-ɣ, TNF dan IL-17, serta faktor-faktor pertumbuhan seperti Transforming Growth Factor Alfa (TGF- α) yang semakin
7 12 memperjelas hubungan antara sel imunitas dan keratinosit dalam patogenesis psoriasis. Pernyataan tersebut didukung dengan penemuan di awal 1979, yang menunjukkan bahwa pengobatan yang banyak digunakan pada psoriasis seperti analog vitamin D, retinoid, siklosporin dan sikrolimus dikatakan memiliki efek dari anti-inflamasi dan antiproliferasi. Selain itu dikatakan juga bahwa obatobatan tersebut memiliki efek dari aktivitas anti-angiogenik yang kemudian menjadikan proses angiogenesis ini penting dalam patogenesis psoriasis. 11,12,15 Lebih lanjut penelitian menggunakan efalizumab yang mentargetkan pada interaksi antar sel T dan sel endotel menunjukkan adanya interaksi yang kompleks diantara respon imunitas, inflamasi dan angiogenesis. Respon imun dan inflamasi dianggap sebagai inducer dari angiogenesis, dimana angiogenesis sendiri akan mempromosikan serta menjaga proses imunitas dan inflamasi. Sehingga angiogenesis bukan hanya sebagai ko-faktor namun juga inducer perkembangan dari psoriasis. Dikatakan mediator pro-angiogenik banyak ditemukan pada kulit psoriasis, seperti TNF, VEGF, Hypoxia Inducible Factor (HIF), IL-8 atau angiopoetin Gambaran Klinis Gambaran klinis psoriasis klasik berupa plak merah berbatas tegas dengan sisik putih pada permukaannya. Ukuran lesi dapat bervariasi dari papul pin point sampai plak diseluruh tubuh. Lesi psoriasis umumnya muncul secara simetrik, namun dapat juga unilateral, umumnya pada aspek ekstensor dari ekstremitas, khususnya siku, lutut, kulit kepala, lumobsakral bawah, bokong, dan kelamin. 3
8 13 Secara klinis psoriasis muncul sebagai penyakit papuloskuamosa dengan berbagai jenis morfologi, distribusi, keparahan, dan perjalanan klinis. Terdapat lima tipe psoriasis yaitu jenis plak (psoriasis vulgaris), gutata, inversa (fleksural), pustular, dan eritrodermik. Dari kelima tipe tersebut, tipe plak (psoriasis vulgaris) adalah yang paling sering ditemukan, sekitar 80% dari penderita psoriasis. Adalah mungkin ditemukannya kelima tipe psoriasis ini pada waktu yang bersamaan. 16 Berbagai tipe psoriasis ini dapat lokalisata ataupun menyebar, serta dapat bervariasi keparahannya dari yang ringan sampai berat Diagnosis Diagnosis dari psoriasis meliputi pengenalan gejala klinis dari lesi kulit yang khas serta dikatakan lokasi dapat menjadi pengarah diagnostik pada penyakit ini. Penanda lain, dapat ditemukan tanda Auspitz (titik-titik perdarahan ketika sisik dihilangkan, akibat trauma pada kapiler yang berdilatasi), fenomena tetesan lilin (penggoresan skuama dengan pinggir object glass akan menyebabkan perubahan warna menjadi lebih putih seperti tetesan lilin), fenomena Koebner (induksi traumatik psoriasis pada lesi yang bukan psoriasis), umumnya muncul 7-14 hari setelah luka. Fenomena Koebner ini tidak spesifik untuk psoriasis namun dapat membantu menentukan diagnosis. Pemeriksaan penunjang lainnya yang dapat menyokong diagnostik psoriasis vulgaris adalah pemeriksaan histopatologi. 3
9 Histopatologi Secara histopatologi, psoriasis dikarakteristikkan dengan perubahan yang khas pada epidermis dan dermis. Penemuan epidermis berupa hiperploriferasi dari keratinosit yang menyebabkan penebalan epidermis dan elongasi rete ridges yang membentuk fingerlike protusi ke dalam dermis. Lapisan granular epidermis yang merupakan lokasi diferensiasi keratinosit dikatakan jelas berkurang ataupun menghilang. Adanya parakeratosis, epidermis terinfiltrasi oleh netrofil dan limfosit T CD8 yang teraktivasi. Pada dermis, adanya infiltasi dari limfosit, makrofag, sel mast, dan netrofil. Elongasi dan dilatasi pembuluh darah pada papilla dermis merupakan tanda histologi yang khas pada lesi kulit psoriasis Skor PASI Psoriasis adalah penyakit kulit inflamasi yang dikarakteristikkan dengan gelaja klinis yang sering kambuh dan berulang, disertai penurunan yang signifikan dalam kualitas hidup dan cacat psikososial pada penderita. Penyakit ini juga memiliki kebutuhan akan pengobatan yang efektif dan pengendalian penyakit jangka panjang, sehingga dibutuhkan kriteria yang dapat diandalkan dalam menilai secara obyektif baik dalam tingkat keparahan penyakit maupun kualitas hidup penderita. 12 National Institute for Health and Clinical (NICE) telah mengadopsi penggunaan skor PASI sebagai alat untuk mengukur tingkat keparahan penyakit pada plak psoriasis kronis. Skor ini juga telah digunakan secara luas di seluruh dunia dan juga dalam penelitian klinis, termasuk dalam penelitian seputar terapi biologik. Skor PASI 10 (dari 0-72) dikatakan berkorelasi dengan keadaan
10 15 psoriasis yang berat yang membutuhkan perawatan sistemik. Sedangkan penilaian untuk kualitas hidup penderita menggunakan The Dermatology Life Quality Index (DLQI) dengan skor >10 (dari 0-30) dikorelasikan dengan efek yang besar dalam kualitas hidup penderita. 17 Penilaian keparahan psoriasis dinilai dari kemerahan, ketebalan, dan sisik pada lesi (pada skala 0-4), ditambahkan dengan area yang terlibat. Skor PASI ini masih merupakan gold standard terhadap penilaian dari keparahan suatu psoriasis. Namun dikatakan skor PASI ini masih memiliki kekurangan karena sensitivitas nya yang rendah pada area dengan keterlibatan yang cukup terbatas. 18 Penilaian PASI ini juga memiliki peranan dalam regimen pengobatan suatu psoriasis. Dikatakan bahwa penggunaan dosis metotreksat (dengan dosis awal 5-10 mg sekali seminggu) yang akan ditingkatkan sampai ke dosis efektif dan maksimum 25 mg per minggu, akan ditentukan penghentiannya dengan mengukur skor PASI penderita tersebut. Bila setelah pengobatan selama 3 bulan masih belum terjadi perbaikan (contohnya penurunan kurang dari 75% dari skor PASI atau penurunan kurang dari 50% dari skor PASI), maka pengobatan dapat dihentikan. 19 Selain untuk kebutuhan klinis, skor PASI juga sering dijadikan panduan dalam mendukung suatu penelitian mengenai psoriasis. Penelitian yang dilakukan oleh Nofal et al, membuktikan adanya korelasi antara kadar VEGF serum dan skor PASI, yang dibuktikan dengan pengukuran serum VEGF sebelum dan sesudah pengobatan terhadap Psoralen and Ultraviolet A (PUVA) dan kombinasi PUVA serta acitretin 25 mg. Setiap penderita dievaluasi dengan menggunakan
11 16 PASI dan dilakukan pemeriksaan VEGF serum sebelum dan sesudah pengobatan. Hasilnya didapatkan peningkatan yang siginifikan kadar VEGF serum dibandingkan dengan kontrol sebelum dan sesudah pengobatan. 20 Neilsen et al, menentukan kadar VEGF dan Plasminogen Activator Inhibitor-1 (PAI-1) dengan metode Enzyme-Linked Immunosorbent Assay (ELISA) pada penderita sebelum pengobatan dan 1,3, dan 6 bulan setelah pengobatan, yang hasilnya dibandingkan dengan skor PASI. Didapatkan hasil berupa peningkatan secara signifikan kadar VEGF plasma dibandingkan kontrol. Pada studi ini juga terdapat penurunan secara signifikan kadar VEGF plasma setelah pengobatan, yang berkorelasi secara signifikan dengan penurunan skor PASI. 21 Penelitian lain yang dilakukan oleh Flisiak et al, membuktikan adanya peningkatan kadar VEGF dan svegf R1 (bukan svegf R2) pada penderita psoriasis diandingkan dengan kontrol. Juga dikatakan kadar svegf R1 serum setelah pengobatan lebih tinggi secara signifikan pada penderita dengan psoriasis yang ringan dibandingkan dengan yang berat Vascular Endotelial Growth Factor Vascular Endotelial Growth Factor adalah suatu angiogenik poten, yang dapat meningkatkan permeabilitas pembuluh darah dan merupakan mitogen spesifik terhadap sel endotel pembuluh darah. 22 VEGF pertama kali dideskripsikan oleh Senger et al. pada tahun 1983, sebagai protein homodimerik kda yang dapat meningkatkan permeabilitas pembuluh darah di kulit. Dahulu protein ini disebut sebagai Vascular
12 17 Permeability Factor (VPF) dan diisolasi dari cairan asitik dan kultur sel supernatan dari sel hepatokarsinoma guinea-pig. Pada tahun 1989, peneliti lainnya mengidentifikasi substansi pertumbuhan yang diberi nama VEGF, dimana VEGF ini identik dengan VPF. Terdapat 7 anggota keluarga VEGF: VEGF-A, VEGF-B, VEGF-C, VEGF-D, VEGF-E, VEGF-F, dan Placenta Growth Factor (PIGF), yang memiliki kesamaan struktur (8 residu sistein pada domain homolog VEGF). 22 Dari semua anggota VEGF, adalah VEGF-A yang menunjukkan dua aktivitas biologis yang utama: yaitu kemampuan untuk merangsang proliferasi sel endotel pembuluh darah, dan aktivitas lainnya untuk meningkatkan permeabilitas pembuluh darah. VEGF A juga mempromosikan survival dan migrasi dari sel endotel. VEGF-A manusia memiliki setidaknya sembilan subtipe : VEGF121, VEGF145, VEGF148, VEGF162, VEGF165, VEGF165 b, VEGF183, VEGF189 dan VEGF VEGF ini dapat dihasilkan oleh sel endotel, fibroblas, sel otot polos, dan makrofag. Anggota VEGF memiliki berbagai sifat fisiologi dan biologik dan bekerja melalui reseptor tirosin kinase yang spesifik (VEGFR-1, VEGFR-2 dann VEGFR-3). 22 Ekspresi gen VEGF diregulasi oleh berbagai macam stimulus seperti, hipoksia, faktor pertumbuhan, transformasi, mutasi p53, estrogen, Thyroid Stimulating Hormone (TSH), promotor tumor dan Nitric Oxide (NO). Meskipun semua stimulus tersebut berperan dalam peningkatan regulasi gen VEGF, hipoksia memiliki ketertarikan tersendiri karena regulasi transkripsi nya yang unik
13 18 dan penting. Dikatakan HIF-1 adalah mediator utama terhadap respon hipoksia. HIF-1 adalah aktivator transkripsional yang terdiri dari subunit Hypoxia Inducible Factor Alfa (HIF-1α) and Hypoxia Inducible Factor Beta (HIF-1β). Baik HIF-1α and HIF-1β diekspresikan dalam berbagai jenis tumor Reseptor VEGF Reseptor Tyrosine-kinase (RTK) Kedua reseptor VEGF berasal dari keluarga reseptor tyrosine-kinase yaitu: reseptor VEGFR-1 dan VEGFR-2. Sedangkan reseptor VEGFR-3 diekspresikan pada pembuluh darah limfe. VEGFA, B dan PIGF akan melekat ke VEGFR-1, VEGFA dan E melekat ke VEGFR-2, dan VEGFC dan D melekat ke VEGFR-3. Reseptor VEGFR-1 dan VEGFR-2 diekspresikan terutama pada sel endotelial. Reseptor VEGFR-1 diekspresikan pada sel tropoblas, monosit, dan sel mesangial renal. Sedangkan VEGFR2 terbentuk karena adanya pemotongan alternatif. 8 Dikatakan sel tumerogenik akan mengekspresikan VEGFR1 dan VEGFR2, contohnya adalah sel melanoma. Reseptor VEGFR1 dan VEGFR2 diaktifkan oleh berbagai isoform VEGF namun memiliki fungsi yang berbeda. Namun ekspresi dari kedua reseptor dikatakan dipengaruhi oleh keadaan hipoksia. VEGF-A memediasi efeknya melalui interaksinya dengan reseptor tirosin kinase transmembran yang secara selektif diekspresikan oleh endotel pembuluh darah. 8 Baik VEGFR1 (Flt-1) dan VEGR2 Kinase Insert Domain Receptor (KDR), flk-1 banyak diekspresikan pada pembuluh darah tumor. 24
14 19 Belakangan ini dikemukakan bahwa reseptor non kinase, Neurophilin-1 (NRP-1) berpotensi dalam pelekatan VEGF-A ke reseptor VEGFR2. Neurophilin diekspresikan secara kurang selektif pada endotel pembuluh darah dibandingkan VEGFR1 dan VEGFR2, dan peranannya dalam angiogenesis masih dipelajari Regulasi dari aktivitas VEGFR Aktivitas RTKs diatur oleh ketersediaan ligan. Ketika melekat pada reseptornya, VEGF-A akan menginisiasikan kejadian persinyalan dari kaskade yang dimulai dengan proses autofosforilisasi dari kedua reseptor tirosin kinase, yang diikuti dengan aktivasi beragai protein termasuk phospholipase C, Phosphoinositide-3 Kinase (PI3-K), GTPase-Activating Proteins (GAP), Ras GTPase-activating protein, Mitogen-activated protein kinase (MAPK), dan lainnya. 24 Sebuah fitur khusus dari ligan VEGFA adalah peningkatan secara dramatis ekspresinya di bawah kondisi hipoksia. Hipoksia memungkinkan stabilisasi HIFs yang mengikat elemen promotor spesifik yang hadir di daerah promotor VEGFA. 26 Demikian juga, ekspresi VEGFR1 diatur langsung oleh HIFs. VEGFR2 juga meningkat selama hipoksia, tetapi peran HIFs yang berbeda dalam peraturan ini masih harus diklarifikasi. Kontribusi hipoksia terhadap regulasi ekspresi VEGFR3 in vivo masih belum jelas. 8 Walaupun fungsi biologi yang spesifik dari masing-masing reseptor belum jelas diketahui, VEGFR2 dianggap bertanggung jawab dalam memediasi permeabilitas mikrovaskular, dan peningkatan yang jelas Ca2+ dan proliferasi
15 20 serta migrasi sel endotel. 24 VEGFRs dapat mengatur permeabilitas pembuluh darah yang mengarah ke edema dan pembengkakan jaringan. VEGFR1 adalah regulator positif dari monosit dan migrasi makrofag, dan telah digambarkan sebagai regulator positif dan negatif dari kapasitas persinyalan VEGFR2. Regulasi negatif oleh varian VEGFR1 larut akan mencegah pengikatan VEGF ke VEGFR2. VEGFR2 terlibat dalam semua aspek biologi sel endotel vaskular yang normal dan patologis, sedangkan VEGFR3 penting untuk perkembangan dan fungsi sel endotel limfatik Peran VEGF dan terapi anti-angiogenik Terapi tumor yang berdasarkan neutralizing anti-vegf antibodies dan penghambat tirosin kinase yang menargetkan kepada VEGFRs telah dikembangkan. 26 Terapi terbaru untuk pengobatan tumor ini telah menunjukan relevansi klinis dalam penghambatan jalur sinyal transduksi VEGF yang terlibat dalam angiogenesis patologis. Pengobatan K14-VEGF transgenic mice dengan menghambat reseptor VEGF tirosin kinase, NVP-BAW288, akan mereduksi jumlah pembuluh darah limfatik dan infiltrasi leukosit kulit serta normalisasi arsitektur dari epidermis. 27 Pengobatan anti psoriasis terbaru (ustekinumab dan ABT-874) secara dominan menargetkan kepada komponen sistem imun seperti TNF-α atau molekul yang terlibat dalam aktivasi sel T, namun belum ditemukannya terapi yang dapat menyembuhkan. Secara mengejutkan pengobatan anti-angiogenik untuk kondisi
16 21 inflamasi kronis masih mendapatkan sedikit perhatian, walaupun beberapa terapi untuk psoriasis seperti, paclitaxel dan shark fin cartilage, dikatakan memiliki efek anti-angiogenik. 27 Lebih lanjut dijelaskan keterlibatan yang jelas angiogenesis dalam patogenesis psoriasis dan penggunaaan terapi anti-angiogenik pada kanker manusia menggunakan antibodi monoklonal yang secara langsung melawan VEGF (bevacizumab, AvastinR) yang dikatakan dapat digunakan sebagai pengobatan anti-vegf pada penderita yang menderita psoriasis. Sebuah penderita melaporkan remisi komplit dari psoriasis selama pemakaian pengobatan bevacizumab pada penyakit kanker kolon mestatasis. 27 Studi di masa depan yaitu pendekatan terapeutik menggunakan antibodi anti-vegf G6-31 pada model tikus genetik dengan peradangan kulit kronis menyerupai psoriasis, dikatakan terbukti menghambat secara poten baik VEGF pada manusia dan tikus. Pengobatan sistemik menggunakan antibodi anti-vegf pada tikus mutan dikatakan secara kuat mereduksi inflamasi kulit dalam waktu 8 hari pengobatan secara kontras ketika dibandingkan dengan kontrol. Tikus mutan menunjukkan secara keseluruhan perkembangan dari fenotipe psoriasis, normalisasi arsitektur epidermis, dan reduksi dari jumlah dan ukuran pembuluh darah Peran VEGF dalam angiogenesis dan hubungannya dengan psoriasis Angiogenesis adalah pertumbuhan pembuluh darah baru dari pembuluh darah yang sudah ada. Angiogenesis dikatakan memiliki hubungan dengan
17 22 kondisi patologi terhadap respon langsung akan kebutuhan jaringan, seperti inflamasi kronis, fibrosis, dan pertumbuhan tumor. Terdapat beberapa inducer angiogenesis yang telah teridentifikasi, seperti keluarga Fibroblast Growth Factor (FGF), VEGF, angiogenin, TGF-α, TGF-β, Platelet-derived Growth Factor, TNF-α, Hepatocyte Growth Factor, Granulocyte Macrophage Colony Stimulating Factor (GM-CSF), interleukin, kemokin, dan angiopoietin 1 dan 2. Dikatakan VEGF adalah regulator paling poten untuk angiogenesis, dan sering ditemukannya ekspresi VEGF pada inflamasi kronis, dan keganasan. 22 VEGF-A terbukti meningkatkan permeabilitas 50,000 kali lebih poten dibandingkan dengan histamin. Proses permeabilitas pembuluh darah ini berperan baik dalam proses penyembuhan luka fisiologis, namun juga dalam proses patologis seperti kanker. VEGF-A akan mempromosikan edema dan asites, juga menyebabkan kebocoran zat terlarut yang kecil. Kebocoran protein kecil ini akan menginduksi formasi kaveola oleh VEGF, dan vesiculovacuolar organelles (VVOs), dan pembentukkan pori-pori trans-endothelial. Permeabilitas yang diinduksi VEGF bergantung pada sintesis NO endotelial (enos), baik melalui aktivasi phospholipase C-γ dan influks kalsium, atau melalui fosforilisasi dari enos oleh AKT/protein kinase B (PKB). 24 Angiogenesis dan inflamasi kronis dikatakan memiliki hubungan yang erat, dimana angiogenesis adalah suatu pertanda dari sebagian besar penyakit inflamasi, termasuk psoriasis dan artritis rheumatoid. Pembuluh darah angiogenik pada lokasi inflamasi membesar, terjadi peningkatan permeabilitas untuk menjaga aliran darah dan adanya peningkatan kebutuhan metabolisme dari jaringan.
18 23 Beberapa faktor proangiogenik termasuk di dalamnya adalah VEGF dan beberapa anggota kemokin, yang dikatakan meningkat pada kejadian inflamasi. 22 Karakteristik yang ditunjukkan pada penyakit psoriasis semakin mendukung peranan dari angiogenesis, baik dalam patogenesis penyakit maupun perkembangan dari penyakit itu sendiri. Dimana terjadi perubahan pada pembuluh darah di dermis dari lesi psoriasis berupa dilatasi, perlekukkan dari kapiler dan pembentukan High Endothelial Venule (HEV), dilatasi dari kapiler ini akan menutrisi kulit yang berploriferasi. 7
19 Kerangka Teori Genetik Lingkungan Imunologi Sel Langerhans Sel T Produksi sitokin pro-inflamasi (IFN-γ, TNF-α) Pe an kadar IL-6, KGF, TGF- α Pe an Komplemen Pe an IL-4, IL-10 Pe an ICAM-1, Molekul adhesi Aktivasi NF-kB Produksi sitokin pro-angiogenik (VEGF,bFGF,IL- 8) Proliferasi keratinosit Pe an angiogenesis (mitosis dan survival sel pembuluh darah endotel) Abnormalisasi struktur pembuluh darah dermis(dilatasi, peningkatan permeabilitas) Psoriasis vulgaris SKOR PASI
20 Kerangka Konsep VEGF SKOR PASI
BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA
BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Psoriasis 2.1.1. Definisi dan Sejarah Psoriasis adalah suatu penyakit inflamasi kulit kronis yang di mediasi oleh sistem imunitas sel T dan dikarakteristikkan sebagai perubahan
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. ditutupi sisik tebal berwarna putih. Psoriasis sangat mengganggu kualitas hidup
1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Psoriasis merupakan penyakit inflamasi kronis pada kulit dengan penyebab yang belum diketahui sampai saat ini, ditandai oleh adanya plak eritema batas tegas ditutupi
Lebih terperinciBAB II TINJAUAN PUSTAKA. gejala klinis yang khas berupa plak eritematosa berbatas tegas dalam berbagai
BAB II TINJAUAN PUSTAKA Psoriasis vulgaris adalah suatu penyakit peradangan kulit kronis, dengan gejala klinis yang khas berupa plak eritematosa berbatas tegas dalam berbagai ukuran yang ditutupi oleh
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. Psoriasis merupakan penyakit kulit yang penyebabnya sampai saat ini masih belum
1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Psoriasis merupakan penyakit kulit yang penyebabnya sampai saat ini masih belum diketahui. Penyakit ini tidak mengancam jiwa, namun lesi kulit yang terjadi menimbulkan
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. Psoriasis vulgaris merupakan suatu penyakit inflamasi kulit yang bersifat
BAB I PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang Psoriasis vulgaris merupakan suatu penyakit inflamasi kulit yang bersifat kronis dan kompleks. Penyakit ini dapat menyerang segala usia dan jenis kelamin. Lesi yang
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian. proliferasi dan diferensiasi keratinosit yang abnormal, dengan gambaran klinis
1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Psoriasis merupakan penyakit inflamasi kronis dengan karakteristik proliferasi dan diferensiasi keratinosit yang abnormal, dengan gambaran klinis berupa
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. Pasien dapat mengalami keluhan gatal, nyeri, dan atau penyakit kuku serta artritis
1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Psoriasis merupakan penyakit inflamasi kulit bersifat kronis residif dengan patogenesis yang masih belum dapat dijelaskan dengan pasti hingga saat ini. Pasien dapat
Lebih terperinciBAB II TINJAUAN PUSTAKA. Psoriasis adalah penyakit kulit inflamasi kronis yang sering dijumpai
BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Psoriasis Psoriasis adalah penyakit kulit inflamasi kronis yang sering dijumpai namun penyebab utama masih belum diketahui secara pasti. Pada penyakit ini dapat terjadi papul
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. dengan hiperproliferasi dan diferensiasi abnormal keratinosit, dengan gambaran
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang Psoriasis adalah penyakit inflamasi kulit kronik residif yang ditandai dengan hiperproliferasi dan diferensiasi abnormal keratinosit, dengan gambaran lesi yang khas
Lebih terperinciBAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. akibat proses tersebut maka tampak skuama, eritema dan indurasi. 7
BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.I Psoriasis 2.1.1 Definisi Psoriasis ditandai dengan adanya hiperkeratosis dan penebalan lapisan epidermis yang diikuti dengan peningkatan vaskularisasi dan infiltrasi sel radang
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. lingkungan seperti trauma, infeksi atau obat-obatan (Van de Kerkhof, 2012).
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Psoriasis adalah suatu penyakit inflamasi kronis yang diperantarai oleh sistem imun dan disebabkan oleh kombinasi dari predisposisi poligenik serta pemicu dari lingkungan
Lebih terperinciBAB 2 TERMINOLOGI SITOKIN. Sitokin merupakan protein-protein kecil sebagai mediator dan pengatur
BAB 2 TERMINOLOGI SITOKIN Sitokin merupakan protein-protein kecil sebagai mediator dan pengatur immunitas, inflamasi dan hematopoesis. 1 Sitokin adalah salah satu dari sejumlah zat yang disekresikan oleh
Lebih terperinciBAB 1 PENDAHULUAN. Universitas Sumatera Utara
BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Kulit merupakan organ tubuh yang terletak paling luar dan membatasi dari lingkungan hidup manusia. Berat kulit kira-kira 15% dari berat badan seseorang. Kulit merupakan
Lebih terperinciBAB 1 PENDAHULUAN. membuat kadar kolesterol darah sangat sulit dikendalikan dan dapat menimbulkan
BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pola makan modern yang banyak mengandung kolesterol, disertai intensitas makan yang tinggi, stres yang menekan sepanjang hari, obesitas dan merokok serta aktivitas
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. Psoriasis merupakan penyakit kulit autoimun kronis yang mengakibatkan
1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Psoriasis merupakan penyakit kulit autoimun kronis yang mengakibatkan proliferasi berlebihan di epidermis. Normalnya seseorang mengalami pergantian kulit setiap 3-4
Lebih terperinciDEPARTEMEN ILMU BEDAH SARAF FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN 2013
Tesis Program Pendidikan Magister Bedah Departemen Ilmu Bedah Saraf Fakultas Kedokteran HUBUNGAN KADAR VASCULAR ENDOTHELIAL GROWTH FACTOR(VEGF) SERUM DENGAN PERITUMORAL EDEMA INDEX (PTEI) PADA PENDERITA
Lebih terperinci7.2 CIRI UMUM SITOKIN
BAB 7 SITOKIN 7.1 PENDAHULUAN Defnisi: Sitokin adalah senyawa protein, dengan berat molekul kira-kira 8-80 kda, yang merupakan mediator larut fase efektor imun natural dan adaptif. Nama dari sitokin bermacam-macam
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. 8,7% di tahun 2001, dan menjadi 9,6% di tahun
BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar belakang Asma merupakan penyakit kronik yang sering ditemukan dan merupakan salah satu penyebab angka kesakitan pada anak di seluruh dunia. Di negara maju dan negara berkembang
Lebih terperinciBAB 2. TINJAUAN PUSTAKA. Atopi berasal dari bahasa Yunani yaitu atopos, yang memiliki arti tidak pada
4 BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Atopi dan uji tusuk kulit Atopi berasal dari bahasa Yunani yaitu atopos, yang memiliki arti tidak pada tempatnya dan sering digunakan untuk menggambarkan penyakit yang diperantarai
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. penyebab yang belum diketahui sampai saat ini, ditandai oleh adanya plak eritema
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Psoriasis merupakan penyakit inflamasi kronis pada kulit dengan penyebab yang belum diketahui sampai saat ini, ditandai oleh adanya plak eritema ditutupi sisik tebal
Lebih terperinciBAB 1 PENDAHULUAN. terjadi di seluruh dunia oleh World Health Organization (WHO) dengan
BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Diabetes melitus (DM) telah dikategorikan sebagai penyakit yang terjadi di seluruh dunia oleh World Health Organization (WHO) dengan jumlah pasien yang terus meningkat
Lebih terperinciBAB 1 PENDAHULUAN. Luka adalah terjadinya diskontinuitas kulit akibat trauma baik trauma
3 BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Luka adalah terjadinya diskontinuitas kulit akibat trauma baik trauma tajam, tumpul, panas ataupun dingin. Luka merupakan suatu keadaan patologis yang dapat menganggu
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kanker Ovarium merupakan penyebab utama kematian dari kanker ginekologi. Selama tahun 2012 terdapat 239.000 kasus baru di seluruh dunia dengan insiden yang bervariasi
Lebih terperinciFAKTOR IMUNOLOGI PATOGENESIS ENDOMETRIOSIS
FAKTOR IMUNOLOGI PATOGENESIS ENDOMETRIOSIS FATMAWATI MADYA SP2FER S ENDOMETRIOSIS Telah banyak hipotesa diajukan untuk menerangkan patogenesis endometriosis, tapi hingga kini belum ada satupun teori yang
Lebih terperinciBAB 2 TINJAUAN PUSTAKA
7 BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Psoriasis 2.1.1. Definisi dan Sejarah Psoriasis adalah peradangan kulit yang bersifat kronik dengan karakteristik berupa plak eritematosa berbatas tegas, skuama kasar, berlapis,
Lebih terperinciBAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Inflamasi merupakan reaksi lokal jaringan terhadap infeksi atau cedera dan melibatkan lebih banyak mediator
BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Inflamasi merupakan reaksi lokal jaringan terhadap infeksi atau cedera dan melibatkan lebih banyak mediator dibanding respons imun yang didapat. Inflamasi dapat diartikan
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. virus DEN 1, 2, 3, dan 4 dan ditularkan oleh nyamuk Aedes aegepty dan Aedesal
1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Penelitian Infeksi dengue masih merupakan masalah kesehatan masyarakat dan menimbulkan dampak sosial maupun ekonomi. Infeksi dengue disebabkan oleh virus DEN 1,
Lebih terperinciCATATAN SINGKAT IMUNOLOGI
CATATAN SINGKAT IMUNOLOGI rina_susilowati@ugm.ac.id Apakah imunologi itu? Imunologi adalah ilmu yang mempelajari sistem imun. Sistem imun dipunyai oleh berbagai organisme, namun pada tulisan ini sistem
Lebih terperinciBAB II TINJAUAN PUSTAKA. Penderita DM di dunia diperkirakan berjumlah > 150 juta dan dalam 25
BAB II TINJAUAN PUSTAKA Penderita DM di dunia diperkirakan berjumlah > 150 juta dan dalam 25 tahun ini bertambah 2 kali lipat. Penderita DM mempunyai resiko terhadap penyakit kardiovaskular 2 sampai 5
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Inflamatory bowel disease (IBD) mewakili suatu kondisi inflamasi kronik usus yang idiopatik. IBD terdiri atas dua jenis penyakit, yaitu Crohn's disease (CD)
Lebih terperinciBAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang
BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Kanker telah menjadi masalah kesehatan di dunia, termasuk di Indonesia. Data Badan Kesehatan Dunia (WHO) tahun 2014 menunjukkan kanker merupakan penyebab kematian
Lebih terperinciBAB II TINJAUAN PUSTAKA. dengan gejala klinis berupa plak eritematosa berbatas tegas dalam berbagai
BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Psoriasis Psoriasis adalah penyakit peradangan kulit kronis, dan sering rekuren, dengan gejala klinis berupa plak eritematosa berbatas tegas dalam berbagai ukuran yang ditutupi
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. Fakta menunjukkan bahwa pada proses penuaan terjadi kemunduran dan deplesi jumlah sel
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Fakta menunjukkan bahwa pada proses penuaan terjadi kemunduran dan deplesi jumlah sel Langerhans di epidermis, yakni sel efektor imunogen pada kulit, penurunan daya
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. Penyakit kardiovaskuler merupakan suatu penyakit yang diakibatkan oleh
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penyakit kardiovaskuler merupakan suatu penyakit yang diakibatkan oleh adanya gangguan pada jantung dan pembuluh darah. Data World Heart Organization menunjukkan bahwa
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Karsinoma larings merupakan keganasan yang cukup sering dan bahkan
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Karsinoma larings merupakan keganasan yang cukup sering dan bahkan kedua tersering pada keganasan daerah kepala leher di beberapa Negara Eropa (Chu dan Kim 2008). Rata-rata
Lebih terperinciBAB 1 PENDAHULUAN. Psoriasis adalah salah satu penyakit kulit termasuk dalam kelompok
BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang Psoriasis adalah salah satu penyakit kulit termasuk dalam kelompok dermatosis eritroskuamosa, bersifat kronis residif dengan lesi yang khas berupa plak eritema berbatas
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. Cedera ginjal akut (Acute Kidney Injury / AKI) memiliki insidensi yang terus meningkat setiap tahunnya
1 BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Cedera ginjal akut (Acute Kidney Injury / AKI) memiliki insidensi yang terus meningkat setiap tahunnya (Cerda et al., 2008). Berbagai macam strategi pencegahan telah
Lebih terperinciBAB I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Nitric oxide (NO) adalah molekul radikal yang sangat reaktif, memainkan
BAB I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Nitric oxide (NO) adalah molekul radikal yang sangat reaktif, memainkan peranan penting dalam beberapa sistem biologis manusia. Diketahui bahwa endothelium-derived
Lebih terperinciBAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Karakteristik Subyek Penelitian Penelitian ini dimaksudkan untuk mengetahui apakah terdapat perbedaan penurunan kadar HsCRP dan tekanan darah antara pemberian
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. sering ditemukan pada wanita usia reproduksi berupa implantasi jaringan
BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Penelitian Endometriosis merupakan salah satu penyakit ginekologi yang sering ditemukan pada wanita usia reproduksi berupa implantasi jaringan (sel-sel kelenjar dan
Lebih terperinciBAB 1 PENDAHULUAN. metabolisme karbohidrat, lemak dan protein. Terjadinya diabetes melitus ini
1 BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang Diabetes melitus (DM) yang juga dikenal di Indonesia dengan istilah penyakit kencing manis adalah kelainan metabolisme yang disebabkan oleh banyak faktor dengan gejala
Lebih terperinciBAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang
BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Dunia sekarang mengalami penderitaan akibat dampak epidemik dari berbagai penyakit penyakit akut dan kronik yang semakin meningkat dari tahun ke tahun. Penyakit penyakit
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. Kanker ovarium adalah suatu massa atau jaringan baru yang. abnormal yang terbentuk pada jaringan ovarium serta mempunyai sifat
BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Kanker ovarium adalah suatu massa atau jaringan baru yang abnormal yang terbentuk pada jaringan ovarium serta mempunyai sifat dan bentuk berbeda dari sel asalnya.
Lebih terperinciBAB 1 PENDAHULUAN. pilosebasea yang ditandai adanya komedo, papul, pustul, nodus dan kista dengan
1 BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang Akne vulgaris adalah suatu peradangan yang bersifat menahun pada unit pilosebasea yang ditandai adanya komedo, papul, pustul, nodus dan kista dengan predileksi di
Lebih terperinciserta terlibat dalam metabolisme energi dan sintesis protein (Wester, 1987; Saris et al., 2000). Dalam studi epidemiologi besar, menunjukkan bahwa
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Dalam tubuh manusia, sistem imun sangat memegang peranan penting dalam pertahanan tubuh terhadap berbagai antigen (benda asing) dengan memberantas benda asing tersebut
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. Universitas Sumatera Utara
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Gastritis adalah suatu kondisi medis yang ditandai dengan peradangan pada lapisan lambung. Berbeda dengan dispepsia,yang bukan merupakan suatu diagnosis melainkan suatu
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. Human Immunodeficiency Virus (HIV) merupakan agen penyebab Acquired
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Human Immunodeficiency Virus (HIV) merupakan agen penyebab Acquired immunodeficiency syndrome (AIDS) dan AIDS merupakan tahap akhir dari infeksi HIV. AIDS didefinisikan
Lebih terperinciMigrasi Lekosit dan Inflamasi
Migrasi Lekosit dan Inflamasi Sistem kekebalan bergantung pada sirkulasi terusmenerus leukosit melalui tubuh Untuk Respon kekebalan bawaan - berbagai limfosit, granulosit, dan monosit dapat merespon Untuk
Lebih terperinciBAB II TINJAUAN PUSTAKA
BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Definisi Artritis Reumatoid Artritis reumatoid adalah penyakit autoimun dengan karakteristik adanya inflamasi kronik pada sendi disertai dengan manifestasi sistemik seperti
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. semakin meningkat. Peningkatan ini terjadi salah satunya karena perubahan pola
1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Akhir-akhir ini insiden kanker sebagai salah satu jenis penyakit tidak menular semakin meningkat. Peningkatan ini terjadi salah satunya karena perubahan pola hidup
Lebih terperinciHASIL DAN PEMBAHASAN
HASIL DAN PEMBAHASAN Penurunan jumlah ookista dalam feses merupakan salah satu indikator bahwa zat yang diberikan dapat berfungsi sebagai koksidiostat. Rataan jumlah ookista pada feses ayam berdasarkan
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. Karsinoma payudara merupakan kanker yang paling. sering pada wanita di negara maju dan berkembang, dan
BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Karsinoma payudara merupakan kanker yang paling sering pada wanita di negara maju dan berkembang, dan merupakan penyebab kematian kedua pada wanita setelah kanker
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. kandungan bahan tertentu. Faktor intrinsik diantaranya adalah penurunan
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penuaan atau aging process merupakan proses alami yang akan dialami oleh setiap makhluk hidup di dunia ini, tetapi proses penuaan setiap orang tidaklah sama, ada beberapa
Lebih terperinciD. Kerangka Teori E. Kerangka Konsep F. Hipotesis... 36
vi DAFTAR ISI HALAMAN JUDUL... i LEMBAR PENGESAHAN... ii PERNYATAAN... iii KATA PENGANTAR... iv DAFTAR ISI... vi DAFTAR TABEL... viii DAFTAR GAMBAR... ix DAFTAR SINGKATAN... x INTISARI... xi ABSTRACT...
Lebih terperinciBAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang
BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Inflamasi yang biasa disebut juga dengan peradangan, merupakan salah satu bagian dari sistem imunitas tubuh manusia. Peradangan merupakan respon tubuh terhadap adanya
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Malaria merupakan salah satu penyakit menular utama di sebagian wilayah Indonesia seperti di Maluku Utara, Papua Barat, dan Sumatera Utara. World Malaria Report - 2008,
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Inflamasi adalah reaksi tubuh terhadap jejas yang terjadi dalam tubuh manusia. Inflamasi, bila terjadi terus menerus dalam waktu lama maka merupakan salah satu faktor
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. peningkatan jumlah penyandang diabetes cukup besar untuk tahun-tahun
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Berbagai penelitian epidemiologi menunjukkan adanya kecenderungan peningkatan angka insidens dan prevalensi diabetes melitus (DM) tipe 2 di berbagai penjuru dunia. WHO
Lebih terperinciHASIL DAN PEMBAHASAN
18 BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil uji tantang virus AI H5N1 pada dosis 10 4.0 EID 50 /0,1 ml per ekor secara intranasal menunjukkan bahwa virus ini menyebabkan mortalitas pada ayam sebagai hewan coba
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. yang dewasa ini paling banyak mendapat perhatian para ahli. Di. negara-negara maju maupun berkembang, telah banyak penelitian
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian Endometriosis merupakan salah satu penyakit jinak ginekologi yang dewasa ini paling banyak mendapat perhatian para ahli. Di negara-negara maju maupun berkembang,
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Inflamasi kronik memiliki peranan penting dalam patogenesis terjadinya kanker. Salah satu penyakit inflamasi kronik adalah Inflammatory Bowel Disease (IBD) yang dipicu
Lebih terperinciBAB II TINJAUAN PUSTAKA. berwarna keputihan. Penyakit ini umumnya mengenai daerah ekstensor. pada tiap populasi bervariasi di berbagai belahan dunia.
BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Psoriasis Psoriasis adalah penyakit inflamasi kulit kronik yang umum dijumpai, bersifat rekuren dan melibatkan beberapa faktor misalnya; genetik, sistem imunitas, lingkungan
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. reaksi imun berupa plak eritematosa, skuama berwarna putih keperakan berlapislapis,
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang Psoriasis merupakan penyakit peradangan kulit kronik residif didasari oleh reaksi imun berupa plak eritematosa, skuama berwarna putih keperakan berlapislapis, berbatas
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Sepsis merupakan kondisi yang masih menjadi masalah kesehatan dunia karena pengobatannya yang sulit sehingga angka kematiannya cukup tinggi. Penelitian yang dilakukan
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. Karsinoma nasofaring (KNF) adalah suatu karsinoma epitel skuamosa yang timbul
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang Karsinoma nasofaring (KNF) adalah suatu karsinoma epitel skuamosa yang timbul dari permukaan dinding lateral nasofaring (Zeng and Zeng, 2010; Tulalamba and Janvilisri,
Lebih terperinciIMUNITAS HUMORAL DAN SELULER
BAB 8 IMUNITAS HUMORAL DAN SELULER 8.1. PENDAHULUAN Ada dua cabang imunitas perolehan (acquired immunity) yang mempunyai pendukung dan maksud yang berbeda, tetapi dengan tujuan umum yang sama, yaitu mengeliminasi
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah
BAB I PENDAHULUAN 1. 1. Latar Belakang Masalah Preeklamsia merupakan salah satu kontributor utama morbiditas dan mortalitas pada ibu dan janin. Etiopatogenesis pasti sampai saat ini belum jelas dan masih
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. pada pria dan 21,6% pada wanita (Zhu et al., 2011). Data tahun 2012 pada populasi
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Prevalensi hiperurisemia pada populasi manusia cukup tinggi. Studi di Amerika tahun 2011 menunjukkan bahwa prevalensi hiperurisemia sebesar 21,2% pada pria dan 21,6%
Lebih terperinciBAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang
BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang Di zaman modern sekarang ini banyak hal yang memang dibuat untuk memudahkan manusia dalam melakukan aktivitasnya, termasuk makanan instan yang siap saji. Kemudahan
Lebih terperinciBAB 6 PEMBAHASAN. ekstrak Phaleria macrocarpa terhadap penurunan indek mitosis dan
BAB 6 PEMBAHASAN Penelitian ini bertujuan untuk membuktikan pengaruh pemberian ekstrak Phaleria macrocarpa terhadap penurunan indek mitosis dan menurunnya atau penghambatan pertumbuhan karsinoma epidermoid
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. Tindakan pembedahan ekstremitas bawah,dapat menimbulkan respons,
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Tindakan pembedahan ekstremitas bawah,dapat menimbulkan respons, mencangkup beberapa komponen inflamasi, berpengaruh terhadap penyembuhan dan nyeri pascabedah.sesuai
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. Kanker Ovarium Epitel (KEO) merupakan kanker ginekologi yang. mematikan. Dari seluruh kanker ovarium, secara histopatologi dijumpai
BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Kanker Ovarium Epitel (KEO) merupakan kanker ginekologi yang mematikan. Dari seluruh kanker ovarium, secara histopatologi dijumpai 85-90% adalah kanker ovarium epitel.
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian. Kanker kolorektal merupakan kanker ketiga terbanyak dan penyebab
1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Kanker kolorektal merupakan kanker ketiga terbanyak dan penyebab kematian ketiga yang disebabkan oleh kanker baik secara global maupun di Asia sendiri.
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. Karsinoma kolorektal (KKR) merupakan masalah kesehatan serius yang
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Karsinoma kolorektal (KKR) merupakan masalah kesehatan serius yang kejadiannya cukup sering, terutama mengenai penduduk yang tinggal di negara berkembang. Kanker ini
Lebih terperinciBAB II KAJIAN PUSTAKA
BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Gambaran Umum HIV/AIDS HIV merupakan virus yang menyebabkan infeksi HIV (AIDSinfo, 2012). HIV termasuk famili Retroviridae dan memiliki genome single stranded RNA. Sejauh ini
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. seksama, prevalensi mioma uteri meningkat lebih dari 70%, karena mioma
BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Mioma uteri merupakan neoplasma jinak yang berasal dari otot polos uterus dan bersifat monoklonal. 1,2 Prevalensi mioma uteri di Amerika serikat sekitar 35-50%. 1
Lebih terperinciPENGETAHUAN DASAR. Dr. Ariyati Yosi,
PENGETAHUAN DASAR IMUNOLOGI KULIT Dr. Ariyati Yosi, SpKK PENDAHULUAN Kulit: end organ banyak kelainan yang diperantarai oleh proses imun kulit berperan secara aktif sel-sel imun (limfoid dan sel langerhans)
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. Karsinoma nasofaring (KNF) merupakan tumor ganas yang berasal dari epitel
BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Karsinoma nasofaring (KNF) merupakan tumor ganas yang berasal dari epitel mukosa nasofaring dengan predileksi di fossa Rossenmuller. Kesulitan diagnosis dini pada
Lebih terperinciBAB I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian. Kanker payudara merupakan tumor ganas yang paling sering ditemukan
BAB I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Kanker payudara merupakan tumor ganas yang paling sering ditemukan pada wanita di seluruh dunia dan telah menjadi masalah global baik di negara maju dan
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Preeklampsia merupakan komplikasi kehamilan yang ditandai dengan peningkatan tekanan darah disertai proteinuria pada wanita hamil dengan umur kehamilan 20 minggu
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. Pada saat ini preeklamsia masih menjadi masalah utama dalam kesehatan
19 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pada saat ini preeklamsia masih menjadi masalah utama dalam kesehatan dengan angka kejadian yang masih tinggi, ini sesuai dengan data WHO yang menyatakan angkakejadianpreeklampsia
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. Hipertensi dalam kehamilan masih merupakan masalah besar. dalam bidang obstetri, dengan angka morbiditas dan mortalitas yang tinggi
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Hipertensi dalam kehamilan masih merupakan masalah besar dalam bidang obstetri, dengan angka morbiditas dan mortalitas yang tinggi baik pada ibu maupun bayi. Hipertensi
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kanker kolorektal adalah kanker ketiga tersering di dunia dan merupakan penyebab kematian akibat kanker kedua di Amerika Serikat, setelah kanker paru-paru. Pada tahun
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia secara geografis merupakan negara tropis yang kaya akan berbagai jenis tumbuh-tumbuhan. Seiring perkembangan dunia kesehatan, tumbuhan merupakan alternatif
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang
BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Menurut organisasi kesehatan dunia WHO, kematian akibat PTM (Penyakit Tidak Menular) akan meningkat di seluruh dunia. Lebih dari dua per tiga (70%) populasi global
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang
1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Alergi merupakan suatu keadaan hipersensitivitas terhadap kontak atau pajanan zat asing (alergen) tertentu dengan akibat timbulnya gejala-gejala klinis, yang mana
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kanker kolorektal merupakan keganasan pada usus besar dan rektum. Gangguan replikasi DNA di dalam sel-sel usus yang diakibatkan oleh inflamasi kronik dapat meningkatkan
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. kerusakan jaringan periodontal yang meliputi gingiva, tulang alveolar, ligamen
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Penyakit periodontal adalah kondisi patologis yang ditandai adanya kerusakan jaringan periodontal yang meliputi gingiva, tulang alveolar, ligamen periodontal
Lebih terperinciBab IV HASIL DAN PEMBAHASAN. jalan Dr. Soetomo No.16, Semarang, Jawa Tengahmerupakan Satuan
Bab IV HASIL DAN PEMBAHASAN A. Hasil 1. Deskripsi Lokasi Penelitian Rumah Sakit Umum Pusat Dr. Kariadi Semarang yang beralamat di jalan Dr. Soetomo No.16, Semarang, Jawa Tengahmerupakan Satuan Kerja atau
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Inflamasi merupakan reaksi yang kompleks terhadap agen penyebab jejas, seperti mikroba dan kerusakan sel. Respon inflamasi berhubungan erat dengan proses penyembuhan,
Lebih terperinciNONSTEROIDAL ANTI-INFLAMMATORY DRUGS (NSAID S)
NONSTEROIDAL ANTI-INFLAMMATORY DRUGS (NSAID S) RESPON INFLAMASI (RADANG) Radang pada umumnya dibagi menjadi 3 bagian Peradangan akut, merupakan respon awal suatu proses kerusakan jaringan. Respon imun,
Lebih terperinciBAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Dua puluh empat subyek penelitian ini dilakukan secara consecutive
BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Hasil 4.1.1. Karakteristik subyek penelitian Dua puluh empat subyek penelitian ini dilakukan secara consecutive sampling pada penderita dengan stenosis jantung koroner
Lebih terperinciI. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Permasalahan. dengan prevalensi yang masih tinggi di dunia. Menurut WHO tahun 2006,
I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Permasalahan Penyakit periodontal merupakan salah satu penyakit rongga mulut dengan prevalensi yang masih tinggi di dunia. Menurut WHO tahun 2006, prevalensi penyakit periodontal
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. kematian ibu, disamping perdarahan dan infeksi. Dari kelompok hipertensi
BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Hipertensi dalam kehamilan merupakan penyebab 3 besar kematian ibu, disamping perdarahan dan infeksi. Dari kelompok hipertensi dalam kehamilan, syndrom preeklampsia,
Lebih terperinciBAB 1 PENDAHULUAN. disebabkan oleh Human Papillomavirus (HPV) tipe tertentu dengan kelainan berupa
BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kondiloma akuminata (KA) merupakan infeksi menular seksual yang disebabkan oleh Human Papillomavirus (HPV) tipe tertentu dengan kelainan berupa fibroepitelioma pada
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Istilah atopik pertama kali diperkenalkan oleh Coca (1923), yaitu istilah yang dipakai untuk sekelompok penyakit pada individu yang mempunyai riwayat alergi/hipersensitivitas
Lebih terperinciBAB 5 HASIL PENELITIAN
25 BAB 5 HASIL PENELITIAN Preparat jaringan yang telah dibuat, diamati dibawah mikroskop multinokuler dengan perbesaran 4x dan 10x. Semua preparat dapat dibaca berdasarkan tolok ukur skor tingkat peradangan
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. sebasea yang dapat dialami oleh semua usia dengan gambaran klinis yang bervariasi antara
BAB I PENDAHULUAN A. Latar belakang Akne vulgaris merupakan kelainan yang sering dijumpai pada struktur kelenjar sebasea yang dapat dialami oleh semua usia dengan gambaran klinis yang bervariasi antara
Lebih terperinciPENDAHULUAN. Secara alamiah seluruh komponen tubuh setelah mencapai usia dewasa tidak
1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Secara alamiah seluruh komponen tubuh setelah mencapai usia dewasa tidak dapat berkembang lagi, tetapi justru terjadi penurunan fungsi tubuh karena proses penuaan
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian. KHS terjadi di negara berkembang. Karsinoma hepatoseluler merupakan
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian 1. Perumusan Masalah Karsinoma hepatoseluler (KHS) merupakan kanker terbanyak kelima pada laki-laki (7,9%) dan ketujuh pada wanita 6,5%) di dunia, sebanyak
Lebih terperinci