II. TINJAUAN PUSTAKA. A. Hutan Tanaman

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "II. TINJAUAN PUSTAKA. A. Hutan Tanaman"

Transkripsi

1 II. TINJAUAN PUSTAKA A. Hutan Tanaman Hutan tanaman didefinisikan sebagai tegakan hutan yang dibangun melalui kegiatan penanaman dalam rangka proses penghijauan atau penghutanan kembali (FAO, 2005; Farrelly, 2007; Schirmer, 2007). Evans (1992) mengartikan hutan tanaman sebagai hutan yang dibangun dan dikelola melalui kegiatan permudaan buatan atau penaburan/penanaman bibit pohon dengan sengaja (artificial forest atau man-made forest), sehingga merupakan hutan dengan tegakan seumur/even-aged forest atau tidak seumur/uneven-aged forest (Daniel et al., 1987). Berbagai istilah yang disepadankan dengan hutan tanaman adalah forest plantations (FAO, 2005; Farrelly, 2007; Schirmer, 2007) atau man-made forest (Singh et al., 2004; Hiratsuka et al., 2005), dan kebun kayu (Maturana et al., 2005). Hutan tanaman merupakan tegakan hutan dan pohon berkayu jenis tertentu yang ditanam secara khusus untuk keperluan penyediaan kayu bakar dan bahan baku untuk INPAK, atau menyediakan jasa untuk mencegah erosi, konservasi tanah dan sebagainya. Hutan tanaman merupakan sebuah sumber daya yang tumbuh (a growing resources) yang tidak dapat dibiarkan tumbuh tanpa memeliharanya. Pemeliharaan yang sesuai dan pada saat yang tepat, dapat mengarahkan pertumbuhan tegakan agar mendapatkan hasil akhir yang diinginkan, dalam kualitas maupun kuantitasnya. Karenanya, pertimbangan pemilihan jenis pohon yang ditanam umumnya terbatas dan memiliki karakteristik khas, seperti jenis cepat tumbuh (fast growing species atau FGS), persyaratan pengelolaan yang tidak rumit dan produktivitas tinggi. Hutan tanaman telah dijadikan cara untuk menghasilkan kayu bundar sekaligus mengurangi deforestasi. FAO (2005) menyatakan bahwa 34,1% pembangunan hutan ditujukan untuk memasok bahan baku kayu bagi industri pengolahan kayu atau secara komersial untuk keperluan industri, mencakup kayu untuk konstruksi, panel kayu dan furniture, dan bahan baku serpih untuk industri pulp dan kertas. Pembangunan hutan di dunia sebagian besar atau sekitar 48,7% ditujukan untuk keperluan non industri seperti kayu bakar, keperluan rumah tangga, dan jasa lingkungan. Sekitar 9,3% pembangunan hutan tanaman ditujukan untuk konservasi tanah dan air, serta 7,8%

2 8 untuk kepentingan dan fungsi lainnya yang belum tercatat. Pertambahan luas pembangunan hutan di kawasan Asia secara rata-rata sekitar 1,85 juta ha per tahun, atau 66,3% dari total pertambahan luas rata-rata pembangunan hutan di dunia yang sebesar 2,79 juta ha per tahun. FAO (2005) juga mencatat total hutan tanaman di dunia seluas 139,772 juta ha, dimana sekitar 46,43% (64,896 juta ha) diantaranya berada di kawasan Asia. Data FAO (2005) menunjukkan bahwa luas pembangunan HTI di Indonesia mencapai 2,4% dari total hutan tanaman di dunia, sehingga merupakan negara ke-7 di dunia dan negara ke-3 di Asia (setelah China dan Jepang) yang mempunyai kawasan hutan tanaman terluas. Pengembangan hutan tanaman di Indonesia pada awalnya merupakan bagian kegiatan penghijauan dan rehabilitasi. Kegiatan tersebut bertujuan memperbaiki keadaan areal kritis di daerah-daerah sumber air, dengan menggunakan jenis cepat tumbuh seperti Kaliandra (Calliandra spp.), Sengon (Paraserianthes falcataria), Eucalyptus deglupta, E. urophylla, Akasia (Acacia spp), dan lainnya. Namun, seiring semakin menurunnya kemampuan hutan alam memasok kebutuhan bahan baku untuk INPAK, maka pembangunan hutan tanaman semakin tumbuh dan berkembang, khususnya guna memasok kebutuhan industri pulp (Kartodihardjo dan Supriono, 2000; Ngadiono, 2004; FAO, 2005; Darusman et al., 2006). Pembangunan hutan tanaman pada lahan milik atau hutan hak (pada tanah yang dibebani hak atas tanah) umumnya dilakukan masyarakat perorangan dan dikenal sebagai hutan rakyat. Pembangunan hutan tanaman pada bukan lahan milik atau lahan negara umumnya dilakukan pada kawasan hutan produksi, dengan 3 (tiga) skema (PP No. 6/2007 jo No. 8/2008) yaitu Hutan Tanaman Industri (HTI) 3, Hutan Tanaman Rakyat (HTR) 4, dan Hutan Tanaman Hasil Rehabilitasi (HTHR) 5. Skema pembangunan hutan tanaman lainnya adalah Hutan Kemasyarakatan (HKm) 6. 3 HTI adalah hutan tanaman pada hutan produksi yang dibangun oleh kelompok industri kehutanan untuk meningkatkan potensi dan kualitas hutan produksi dengan menerapkan silvikultur dalam rangka memenuhi kebutuhan bahan baku industri hasil hutan. 4 HTR adalah hutan tanaman pada hutan produksi yang dibangun oleh kelompok masyarakat untuk meningkatkan potensi dan kualitas hutan produksi dengan menerapkan silvikultur dalam rangka menjamin kelestarian sumber daya hutan. 5 HTHR adalah hutan tanaman yang dibangun melalui kegiatan rehabilitasi lahan dan hutan pada kawasan hutan produksi untuk memulihkan, mempertahankan dan meningkatkan fungsi lahan dan hutan guna mempertahankan daya dukung, produktivitas dan peranannya sebagai sistem penyangga kehidupan. 6 Hutan Kemasyarakatan adalah hutan negara yang pemanfaatan utamanya guna memberdayakan masyarakat tanpa mengganggu fungsi pokoknya.

3 9 Realisasi pembangunan HTI di luar Pulau Jawa sampai dengan Desember 2008 (data release Ditjen BPK untuk triwulan I tahun 2009) adalah sebagaimana data pada Tabel 1. Berdasarkan Tabel 1 terdapat sebanyak 274 unit IUPHHK HTI dengan total luas konsesi hutan ha dan realisasi tanaman seluas ha atau 38,85% dari luas konsesinya. Namun demikian sepanjang tahun 2008, terdapat 45 unit yang pencadangannya dibatalkan dengan luas konsesi ha dan realisasi tanaman ha. Sehingga total realisasi tanaman diluar unit yang pencadangannya dibatalkan adalah seluas ha. Tabel 1 Pembangunan HTI s.d. Tahun 2008 Kelompok Usaha Luas Areal Jumlah Realisasi kumulatif (ha) Kerja (ha) (unit) s.d s.d BUMN 1. Tahap SK Definitif Tahap SK Sementara Tahap Pencadangan Jumlah Patungan 1. Tahap SK Definitif Tahap SK Sementara Tahap Pencadangan Jumlah Swasta Murni 1. Tahap SK Definitif Tahap SK Sementara Tahap Pencadangan Jumlah Jumlah Jumlah dicabut Sumber : Ditjen BPK, 2009 Pembangunan HTR melalui IUPHHK-HTR adalah kebijakan yang mengakomodir keterlibatan rakyat sebagai pelaku (stakeholder) pembangunan hutan. Salah satu pola pembangunan HTR adalah dengan pola kemitraan. Realisasi HTR pola kemitraan sampai dengan tahun 2007 adalah seluas ,18 ha dengan melibatkan sebanyak KK (Ditjen BPK, 2008). Kegiatan HTR pola kemitraan tersebut dilakukan di dalam areal konsensi oleh 18 unit IUPHHK HT di luar Pulau Jawa. Pada tahun 2008, Menhut juga telah menerbitkan SK pencadangan areal pada 26 kabupaten dengan total luas ha, sedang dalam penyiapan peta pencadangan sebanyak 36 kabupaten (Ditjen BPK, 2009), dan telah terbit 1 unit IUPHHK HTR seluas ha a.n. Koperasi Mitra Madina Lestari oleh Bupati Madina, Sumatera Utara.

4 10 Pada sisi lain, Perum Perhutani juga mengelola kawasan hutan negara seluas 2,4 juta ha yang sebagian diantaranya dipergunakan untuk membangun hutan tanaman di Pulau Jawa ( Pembangunan hutan yang dilakukan Perum Perhutani tersebut, dan juga pengelolaan hutan tanaman lainnya yang dikelola rakyat ataupun institusi (pemerintah dan non-pemerintah) dalam statistik Dephut tidak dikategorikan sebagai HTI. Pelaksanaan pembangunan hutan di kawasan hutan negara dilakukan Perum Perhutani dengan melibatkan rakyat, khususnya sebagai pesanggem. Upaya membangun hutan dengan melibatkan rakyat melalui kontrak Perhutanan Sosial (PS) telah dirintis mulai tahun 1986 (Tatuh, 1992), dan selanjutnya mengadopsi pola kemitraan yang disebut Pengelolaan Hutan Bersama Masyarakat (PHBM) sejak Melalui PHBM, keterlibatan rakyat dalam upaya membangun hutan di kawasan hutan negara yang dikuasai Perum Perhutani di Pulau Jawa mendapatkan imbalan berupa sharing produksi yang diatur melalui keputusan Direksi No. SK 001/Kpts/Dir/2002. Besarnya sharing produksi yang telah diberikan Perum Perhutani sampai dengan tahun 2006 adalah sebesar Rp 30,862 milyar (Yuwono, 2008). Setelah berjalan selama 6 tahun, Perum Perhutani melakukan penyempurnaan sistem pembangunan hutan tersebut menjadi PHBM Plus 7 (Direksi Perum Perhutani, 2007). Melalui PHBM Plus maka nilai dan proporsi berbagi ditetapkan sesuai nilai dan proporsi masukan faktor produksi yang dikontribusikan masing-masing pihak, sebagaimana juga disarankan Yuwono (2008). Hutan yang dibangun pada lahan milik oleh rakyat (yaitu petani dan/atau pemilik lahan) pada awalnya ditujukan untuk menghasilkan kayu bundar yang dikonsumsi sendiri (subsistence) seperti untuk kayu bakar dan kebutuhan bahan bangunan rumah tangga, atau dijual untuk pengolahan sederhana bagi kebutuhan penduduk di sekitar lokasi hutan. Namun, sejalan dengan berkembang pesatnya berbagai INPAK, maka pemanfaatan hasil panen dari hutan yang dibangun rakyat tersebut telah digunakan secara komersial untuk memenuhi bahan baku bagi INPAK. Jumlah realisasi luasan kegiatan pembangunan hutan (non-hti) yang dilakukan selama 5 tahun terakhir ( ) adalah sebagaimana rincian pada Tabel 2. 7 Permasalahan yang mendorong dilakukan penyempurnaan diantaranya adalah (i) sinergitas dengan pemerintah daerah dan stakeholders belum maksimal; (ii) masih berbasis kegiatan kehutanan; (iii) kurang fleksibel; (iv) pelaksanaan bagi hasil (ciri PHBM) belum dilaksanakan secara merata.

5 Tabel 2 Pembangunan Hutan (non-hti) di Indonesia selama 5 tahun terakhir ( ) No Wilayah Rehabilitasi hutan (di dalam kawasan) Rehabilitasi lahan (di luar kawasan ) Hutan bakau Hutan Kemasyarakatan/HKm (ha) (ha) (ha) (km) Hutan rakyat Aneka usaha kehutanan Reboisasi (ha) (ha) 1 Sumatera , , ,00 845,00 468, ,00 2 Jawa , , , ,00 870, ,00 a. Jawa Barat , , ,00 234, ,00 b. Banten , ,00 256,00 76,78 477,00 c. Jawa Tengah , , , ,00 233, ,00 d. DI Yogyakarta 8.329, , , ,00 60,00 250,00 e. Jawa Timur ,00 175, , ,00 265, ,00 f. DKI Jakarta 600, , , ,00 3 Kalimantan ,00 740, , ,00 126, ,00 4 Sulawesi , , ,00 400,00 273, ,00 5 Bali + Nusatenggara ,00 50, , ,00 378, ,00 6 Maluku + Maluku Utara , , , ,00 7 Papua + Papua Barat 9.199, ,00 310,00 25,00 153,00 J u m l a h , , , , , ,00 Sumber : Dephut, 2008 Keterangan : 1. Semua data (angka) merupakan jumlah kumulatif kegiatan rehabilitasi di dalam kawasan hutan (inside forest area) dan di luar kawasan (outside forest area) selama 5 tahun ( ) 2. Reboisasi (reforestation activities) termasuk kegiatan kegiatan reboisasi dalam rangka GNRHL 3. Hutan rakyat (community-owned forest), yaitu (i) penanaman hutan rakyat/ kebun rakyat termasuk dalam rangka GNRHL, (ii) pembangunan agroforestry, (iii) areal model pengelolaan hutan rakyat 4. Aneka usaha kehutanan, yaitu (i) dalam satuan hektar (rehabilitasi teras, usaha pelestarian sumberdaya alam/upsa, usaha pertanian menetap/upm, hutan kota, dan (ii) dalam satuan km (turus jalan) 5. Hutan bakau (mangrove forest), yaitu (i) penanaman/rehabilitasi hutan bakau termasuk dalam rangka GNRHL, (ii) areal model hutan bakau 11

6 12 Berdasarkan Tabel 2, luasan pembangunan hutan dikategorikan sebagai kegiatan non-hti mempunyai potensi yang setara dibandingkan realisasi tanaman di dalam pengelolaan HTI. Dephut (2008) mengklasifikasikan kegiatan pembangunan hutan (non-hti) atau rehabilitasi hutan dan lahan menjadi 3 (tiga) yaitu (i) rehabilitasi di dalam kawasan meliputi kegiatan reboisasi dan hutan kemasyarakatan, (ii) rehabilitasi di luar kawasan meliputi kegiatan hutan rakyat, kebun bibit desa, dan aneka usaha kehutanan, dan (iii) penanaman hutan bakau. Kegiatan tersebut, mulai tahun 2003 telah disinergikan dalam satu program yang dikenal sebagai Gerakan Nasional Rehabilitasi Hutan dan Lahan (GNRHL). Luasan penanaman dan pembangunan hutan (di dalam kawasan hutan) periode tahun mencapai ,8 ha, dan kegiatan rehabilitasi lahan (di luar kawasan hutan) mencapai ha. Di Pulau Jawa, pembangunan hutan umumnya dilakukan dalam bentuk hutan rakyat di lahan milik, ataupun di lahan negara pada kawasan hutan konsesi Perum Perhutani. Tabel 2 menunjukkan bahwa realisasi kegiatan penanaman/pembangunan hutan di lahan milik atau dikenal sebagai hutan rakyat mencapai luasan ha. Data Dephut dan BPS (2004) memperlihatkan bahwa rumah tangga (yaitu 6,5% dari jumlah rumah tangga/rt) di seluruh Indonesia menguasai tanaman kehutanan berbagai jenis, dengan 10 (sepuluh) jenis paling dominan adalah Akasia, Bambu, Cendana, Jati, Mahoni, Pinus, Rotan, Sengon, Sonokeling dan Sungkai. Jumlah RT yang digolongkan sebagai RT kehutanan di Pulau Jawa adalah RT (yaitu 8% dari jumlah RT di Pulau Jawa) atau 77,4% dari total RT kehutanan seluruh Indonesia. Jenis tanaman yang dominan dikuasai dan diusahakan oleh RT Kehutanan di Pulau Jawa adalah (i) Jati: jumlah pohon Jati yang diusahakan mencapai 32,67 juta dan jumlah pohon siap tebang sebanyak 10,44 juta; (ii) Sengon: jumlah pohon Sengon yang diusahakan mencapai 28,70 juta dan jumlah pohon siap tebang sebanyak 14,21 juta; dan (iii) Mahoni: jumlah pohon Mahoni yang diusahakan sekitar 24 juta dan jumlah pohon siap tebang sejumlah 7,38 juta. Data lengkap populasi pohon dan pohon siap tebang yang dikuasai dan/atau diusahakan RT Kehutanan di Pulau Jawa disajikan pada Lampiran 1. Masripatin dan Priyono (2006) mengungkapkan bahwa keberhasilan pembangunan hutan dalam berbagai skema dipengaruhi beberapa faktor penting

7 13 antara lain: (i) pengetahuan mengenai kondisi biofisik lapangan; (ii) pengetahuan mengenai jenis tanaman yang sesuai dengan kondisi lapangan dan tujuan usaha atau trend pasar; (iii) ketersediaan benih/bibit bermutu tinggi (fisik, fisiologis, dan genetik) dalam jumlah cukup; (iv) penguasaan teknik silvikultur mulai pembibitan sampai manajemen tegakan dari jenis terpilih; (v) keahlian dan kesungguhan pelaksana untuk mengelola hutan. Dengan demikian, dalam kegiatan membangun dan mengelola hutan selain diperlukan kesesuaian jenis pohon, maka perlu dipertimbangkan aspek non teknis menyangkut nilai ekonomis jenis yang dikelola, akses ke industri dan jenis yang banyak diminati pasar, dan trend permintaannya di masa depan. Pembangunan hutan seringkali terkendala aspek non teknis tersebut, sehingga suatu kerjasama usaha atau kemitraan dengan pihak lain yang mampu memberikan manfaat positif merupakan salah satu solusinya. B. Teori Kemitraan dan Kontrak Teori kemitraan (agency theory) dinyatakan sebagai teori yang digunakan untuk menjelaskan hubungan-hubungan hirarkis, tetapi dapat pula dimanfaatkan untuk menjelaskan berbagai bentuk pertukaran atau exchanges (Eggerstsson, 1990). Secara khusus, teori kemitraan diarahkan untuk menjelaskan suatu hubungan kemitraan antara salah satu pihak (yaitu principal) yang mendelegasikan pekerjaan ke pihak lain (yaitu agents), dimana penjelasannya dilakukan dengan menganalisis kontrak yang mengatur hubungan kedua pihak tersebut (Jensen dan Meckling, 1986; Eisenhardt, 1989). Hubungan kemitraan (agency relationship) adalah suatu kontrak dimana satu orang atau lebih (principal) menugaskan orang lain (agents) untuk melakukan sebagian kewenangan principal dan meliputi juga pendelegasian sebagian wewenang untuk mengambil keputusan (Jensen dan Meckling, 1986). Hubungan kemitraan antara principal dan agents tersebut merupakan suatu pertukaran yang kompleks sehingga mempunyai berbagai potensi permasalahan. Permasalahan hubungan kemitraan muncul dikarenakan : (i) principal dan agents mempunyai perbedaan kepentingan, tujuan atau harapan; (ii) principal kesulitan memverifikasi aktivitas agents secara lengkap (Eisenhardt, 1989; Gibbons, 1998; Maskin, 2001; Gibbons, 2005). Permasalahan dasarnya adalah ketidakyakinan

8 14 principal bahwa agents bertindak sesuai kepentingan principal, dan permasalahan pembagian resiko karena kedua pihak mempunyai pengetahuan dan pemahaman yang berbeda terhadap resiko usaha. Karena unit analisisnya adalah kontrak maka teori kemitraan berfokus pada efisiensi dan keberlanjutannya dengan mempertimbangkan berbagai aspek diantaranya manusia, organisasi, dan informasi (Eisenhardt, 1989). Faktor manusia sebagai pelaku kemitraan adalah penting karena agency relationship sangat bergantung dari sifat dasar manusia terhadap adanya resiko (Nugroho, 2003), dan ciri-ciri yang melekat pada masyarakat yang diharapkan terlibat menjadi pelaku kemitraan (participants who had possibility to be the prospective actors). Ostrom (2005) mengungkapkan berbagai sifat peserta/pelaku kemitraan yang diperkirakan berpengaruh pada keberlangsungan kemitraan, yaitu: (i) norma perilaku yang secara umum diterima masyarakat, (ii) tingkat pemahaman umum peserta untuk memperoleh, memproses dan memanfaatkan dalam proses memilih dan menentukan jenis aksi, (iii) adanya homogenitas preferensi dari semua yang ada di masyarakat (iv) kepemilikan dan distribusi sumberdaya pada semua pelaku. Karenanya, kesepakatan dan keberlangsungan suatu kontrak tergantung dari situasi aksi dan lingkungan kelembagaannya. Jika pengguna sumberdaya berasal dari berbagai komunitas berbeda dan tidak ada saling kepercayaan diantara mereka, maka tugas untuk menjaga keberlanjutan kemitraan dan penegakan aturan menjadi meningkat. Nugroho (2003) menyatakan adanya satu kesepakatan kontrak yang disebut sebagai bahu-membahu (interlocking). Pada sistem bahu membahu maka principal menyediakan seluruh atau sebagian dana, termasuk juga manajemen pengelolaan dan teknologi, sedangkan lahan dan tenaga kerja umumnya disediakan agents. Kondisi ini menyebabkan secara tidak langsung agents (merasa) mempunyai keterkaitan dengan principal (tying of labour), sedangkan principal mendapat jaminan atas produksi komoditas yang dihasilkan agents (interlocked transaction). Kedua model tersebut (tying of labour dan interlocked transaction) biasanya dilakukan sebagai solusi terhadap kompleksitas hubungan dengan masyarakat yang masih berpola subsistence. Pengaturan kontrak tertentu yang masuk akal dilakukan organisasi terhadap suatu faktor produksi untuk mencapai tujuan yang sudah digariskan dan dikoordinasikan oleh para pemiliknya. Organisasi menciptakan kondisi dimana setiap

9 15 pihak dapat berinteraksi dan melakukan pertukaran dengan pihak lain pada biaya transaksi dan pencarian informasi yang ekonomis dan efisien (Kasper dan Streit, 1998). Pertukaran ekonomi berkaitan kehidupan sosial kemasyarakatan berdasarkan pandangan ekonomi kelembagaan selalu mempunyai 2 (dua) atribut, yaitu adanya asymmetric information (ketidaksepadanan informasi) dan kemungkinan perilaku oportunis (opportunistic behavior) dari para pelaku (Barney dan Ouchi, 1986). Asymmetric information terjadi jika satu atau lebih pihak mempunyai informasi yang lebih baik mengenai kualitas suatu produk atau jasa yang dipertukarkan dibandingkan pihak lain, sehingga tidak terjadi proses komunikasi dan pertukaran informasi yang seimbang antara para pelaku kemitraan. Asymmetric information bukan berarti tidak dimilikinya informasi, tetapi terkadang informasi tersebut tidak dapat diperoleh dan berbiaya tinggi sampai dengan pertukaran terjadi, atau terkadang diperoleh namun sudah sangat terlambat 10. Munculnya asymmetric information dan adanya kepentingan pribadi yang tidak selalu sama antara para pelaku kemitraan, mempengaruhi tindakan yang dilakukan para pelaku (Gambar 1). Asymmetric Information Kontrak Kepentingan pribadi P A Kepentingan pribadi Performa Gambar Gambar 1. Ide dasar 1 Agency Ide dasar Theory agency (sumber: theory Wikipedia) (sumber: en.wikipedia.org/wiki/principal-agent_problem) Hal ini mengakibatkan pertukaran tersebut rawan terhadap resiko salah pilih mitra (adverse selection) pada ex ante (sebelum kejadian) dan bahaya ingkar janji (moral hazard) pada ex post (setelah kejadian), dan bahkan dalam suatu kemitraan terdapat kemungkinan terjadinya double moral hazard (Maskin, 2001). Salah satu 10 Fenomena ini tergambarkan dengan jelas dalam Lemons Tragedy dari Akerloff (1986) dimana pembeli tidak mempunyai informasi sempurna tentang kualitas produk yang dibelinya disebabkan tidak semua barang di pasar berkualitas baik karena bercampur dengan barang berkualitas buruk (lemons).

10 16 bentuk moral hazard adalah munculnya perilaku oportunis dari salah satu pihak yang melakukan pertukaran. Perilaku oportunis umumnya terjadi pada situasi ex post atau disebut sebagai oportunis pasca kontrak (post-contractual opportunistic behavior). Perilaku oportunis adalah kegiatan yang dilakukan oleh salah satu pihak, dengan memanfaatkan informasi atau kelebihan lain yang dimiliki, untuk mengeksploitasi ekonomi pihak lain demi keuntungannya. Kartodihardjo (2006b) dan Yustika (2006) menyatakan bahwa perilaku oportunis adalah upaya untuk mendapatkan keuntungan melalui praktek yang tidak jujur dan tipu muslihat dalam kerjasama, yang seringkali diikuti oleh sifat menipu, mencuri, dan melalaikan kewajiban. Dalam suatu hubungan kemitraan, kedua pihak (principal dan agents) akan berupaya memaksimumkan utilitasnya dengan asas saling menguntungkan. Namun karena salah satu pihak (khususnya agents) menguasai informasi yang lebih baik, sehingga terdapat resiko atau kemungkinan perilaku oportunis salah satu pihak untuk tidak selalu bertindak guna kepentingan pihak lain. Situasi ini menimbulkan munculnya insentif (godaan) bagi satu atau lebih pelaku (khususnya agents) untuk berperilaku menyimpang dalam rangka memaksimumkan kesejahteraan dan utilitasnya sendiri (Eisenhardt, 1989; Gibbons, 2005). Permasalahannya adalah bahwa pada kenyataannya principal tidak pernah tahu dengan agents mana seharusnya hubungan kemitraan atau kontrak (kerjasama) dilakukan. Principal juga tidak dapat mencermati secara sempurna aksi dan perilaku yang dilakukan oleh agents, serta bagaimana isi kontrak seharusnya dibuat (Maskin, 2001). Solusinya adalah memformulasikan suatu mekanisme insentif berdasarkan ketersediaan dan keseimbangan informasi, manfaat dan nilai-nilai yang dimiliki principal dan agents. Insentif merupakan instrumen atau perangsang dalam pertukaran ekonomi yang berbentuk langsung atau tidak langsung, dapat mempengaruhi keputusan dan mengubah perilaku para pelaku ekonomi dengan menggunakan pertimbangan finansial atau non-finansial 11. Upaya menjamin agents melakukan tindakan optimal guna kepentingan principal adalah tidak mungkin tanpa biaya, sedangkan konflik 11 Pemahaman ini disarikan dari Webster s Third New International Dictionary (1961), Kamus Umum Bahasa Indonesia karya WJS Poerwadarminta (1976), Kamus Besar bahasa Indonesia (edisi ketiga), McNeely (1992), dan Webster s New World College Dictionary 3 rd Edition (1996).

11 17 kepentingan antara principal dan agents selalu terjadi 12. Jika tidak tercapai trade off antara para pelaku KIBARHUT (dan ini menjadi perhatian agency theory) maka konflik terus berlanjut. Konflik berkelanjutan, bersamaan dengan mekanisme pemberian jasa dan pengawasan (yang dilakukan untuk mengurangi konflik) memerlukan biaya kemitraan atau agency costs (Jensen dan Meckling, 1986). Agency costs diartikan sebagai biaya yang dikeluarkan para pelaku kemitraan untuk mengawasi atau meyakinkan pelaku lainnya dan mencakup biaya atas konflik kepentingan yang tidak terselesaikan antara para pelaku. Agency costs selalu muncul dalam setiap kegiatan yang melibatkan upaya kerjasama oleh dua atau lebih orang walaupun hubungan tersebut tidak dinyatakan sebagai suatu hubungan principal-agents. Hubungan kemitraan (principal agents relationships) juga tidak terlepas dari hak kepemilikan individu yang harus ditegakkan sehingga tidak ada yang merasa dirugikan. Spesifikasi hak kepemilikan individu (individual property rights) menentukan bagaimana costs and rewards dialokasikan diantara para pelaku kerjasama. Kontrak juga harus mampu merinci dan mendefinisikan dengan baik hak ekonomi dari para pelaku, sehingga keuntungan yang diharapkan dapat tercapai; dan dapat menghindari sengketa yang memerlukan biaya untuk menyelesaikannya (Fama dan Jensen, 1986). Spesifikasi hak tersebut umumnya tergantung kontraktual (implisit atau eksplisit) sehingga perilaku individu atau pelaku kemitraan dalam suatu kerjasama sangat tergantung sifat alami dari suatu kontrak. Gibbons (2005) mengajukan model insentif suatu hubungan kemitraan yang dapat menggambarkan transaksi penawaran suatu komoditas (transaksi supply) antara dua organisasi yang tidak terintegrasi. Analisa kontrak insentif tersebut dilakukan dengan mempertimbangkan kondisi petani dan/atau pemilik lahan sebagai pihak hulu (upstream parties), INPAK sebagai pihak hilir (downstream parties) dan kepemilikan asset (lahan, tenaga kerja, modal, dan sebagainya). Pihak hulu dapat menggunakan asset miliknya untuk membuat produk (yaitu kayu bundar) yang dapat digunakan sebagai input dalam proses produksi oleh pihak hilir.lebih lanjut, Gibbons (1998; 2005) mengungkapkan bahwa model insentif yang dapat diaplikasikan dalam suatu transaksi pasokan bahan baku (supply) adalah juga berdasarkan suatu kontrak formal 12 Hal ini terjadi karena selalu terdapat perbedaan antara keputusan agents dengan keputusan yang diharapkan dapat memaksimumkan kesejahteraan principal.

12 18 atau kontrak relasional. Kontrak formal atau court-enforceable contract maupun kontrak relasional yang diterapkan dalam aplikasi transaksi supply, mempunyai 2 (dua) variasi yaitu kontrak kemitraan yang terintegrasi dan kontrak tidak terintegrasi. Pengingkaran terhadap suatu kontrak kemitraan sangat tergantung dari kepemilikan asset dari para pihak yang terlibat Kepemilikan assets membedakan apakah transaksi ekonomi yang dilakukan adalah di antara (kontrak yang tidak terintegrasi) atau di dalam perusahaan (kontrak yang terintegrasi), karena dalam kepemilikan asset melekat pula kepemilikan terhadap barang (Gibbons, 2005). Artinya, jika pihak hulu adalah pemasok lepas sekaligus pemilik asset maka dapat menjual barangnya ke pihak hilir yang berbeda, sedangkan jika pihak hulu adalah pekerja maka pihak hilir adalah pemilik barang. Jika pihak hilir adalah pemilik barang maka pihak hilir dapat memiliki barang tersebut tanpa perlu membayar harga/bonus yang dijanjikan. Tetapi jika pihak hulu adalah pemilik barang maka (i) pihak hulu dapat mengancam menjual barangnya ke pembeli alternatif sehingga membatasi kemampuan pihak hilir untuk mengingkari pembayaran harga/bonus yang sudah dijanjikan, dan (ii) dengan pihak hulu menjadi pemilik barang maka menciptakan insentif bagi pihak hulu untuk menghasilkan barang berkualitas tinggi bagi pembeli alternatif, dan ini dilakukan untuk meningkatkan posisi tawar (bargaining position) pihak hulu terhadap pihak hilir yang menjadi mitranya. Pada berbagai situasi, godaan mengingkari adalah minimal di antara para pihak yang terintegrasi, namun terdapat situasi dimana godaan mengingkari adalah minimal diantara para pihak yang tidak terintegrasi. Gibbons (1998) menyatakan bahwa integrasi (pekerja di hulu) dapat dianggap sebagai solusi terhadap kemungkinan eksternalitas kemitraan, namun integrasi berdampak biaya terhadap dua hal yaitu pengadaan sumberdaya sebagai bahan baku produksi dan dimensi pilihan (kualitas) produksi. Dengan demikian, insentif berkekuatan lebih besar terdapat pada keadaan nonintegrasi (Gibbons, 2005), karena harga/bonus subyektif yang optimal dari memproduksi barang berkualitas baik adalah lebih tinggi bagi pemasok lepas dibandingkan pekerja. Jika pihak hulu memiliki barang, maka pihak hilir tidak dapat mengingkari harga/bonus yang dijanjikan kecuali telah memiliki barang tersebut (pemasok lepas di hulu dapat secara bebas mengembangkan komoditas yang

13 19 dibutuhkan pihak hilir mitranya, sekaligus juga berguna bagi pihak hilir alternatif yang bukan mitranya). Hubungan petani dengan industri perkayuan juga menghadapi kendala yang sama. Pada situasi dimana petani kesulitan memperoleh pembeli kayu alternatif, maka secara tidak langsung kayu menjadi khusus sehingga harus dijual ke industri tertentu. Pembeli dapat mengingkari janji dengan memaksa petani menjual kayu pada nilai yang ditentukan di ex post oleh industri. Pada kondisi dimana penggunaan alternatif adalah memungkinkan, maka petani mempunyai kemungkinan menjual komoditas yang telah diperjanjikan ke pihak lain dengan harapan nilai imbalan yang lebih tinggi. Hubungan kontraktual principal agents menjadi efisien jika tingkat harapan manfaat dan keuntungan (rewards) kedua pihak seimbang dengan korbanan masing masing dan biaya yang minimal untuk pembuatan kontrak atau kesepakatan. Kontrak juga menjadi lebih efisien untuk ditegakkan jika pelaku tidak sepenuhnya bergantung ke pihak lain, karena apabila terjadi maka memudahkan adanya eksploitasi oleh pihak yang menjadi gantungannya. Secara umum bentuk kontrak mencirikan perbedaan di antara perusahaan dan mampu menjelaskan alasan bertahan dan berkelanjutannya suatu perusahaan dan kemitraan yang dilakukan (Fama dan Jensen, 1986). Kontrak perlu disusun dengan membuat aturan main yang dapat dikontrol dan diawasi secara seimbang dan menjadi aturan yang dipergunakan (rules-in-use) oleh para pelaku kemitraan, sehingga dapat ditegakkan secara sukarela (enforceable contract). Kontrak juga harus dapat menjamin bahwa keuntungan dari berbuat curang adalah lebih rendah dari manfaat mematuhi kontrak (Maskin, 2001, Ostrom, 2005; Yustika, 2006). C. Kelembagaan Kemitraan Dalam Pembangunan Hutan Lembaga adalah organisasi atau kaidah-kaidah baik formal maupun informal, yang mengatur perilaku dan tindakan anggota masyarakat tertentu, dalam kegiatan sehari-hari atau dalam upaya mencapai tujuan tertentu (Kartodihardjo, 1998). Kelembagaan merupakan suatu sistem yang kompleks, rumit, dan abstrak yang mencakup ideologi, hukum, adat istiadat, aturan, atau kebiasaan yang tidak terlepas dari lingkungan. Kasper dan Streit (1998) mendefinisikan kelembagaan adalah suatu instrumen yang dibuat oleh manusia untuk mengatur interaksi/hubungan antara individu atau kelompok, dilengkapi dengan aturan penegakan dan sanksi terhadap

14 20 pelanggaran dan perilaku oportunis. Institusi mengatur apa yang dilarang dikerjakan oleh seseorang atau dalam kondisi bagaimana seseorang dapat mengerjakan sesuatu. Ruttan (1986) dalam Kartodihardjo (1998) mendefinisikan institusi sebagai behavioral rules that govern pattern of action and relationships dan organisasi adalah the decision making units families, firms, bureaus that exercise control of resources. Dengan demikian, aturan dalam kelembagaan dipergunakan untuk menata aturan main dari pelaku atau organisasi-organisasi yang terlibat. Sedangkan aturan yang ada dalam organisasi ditujukan untuk memenangkan pelaku dalam permainan tersebut. Kelembagaan dapat menjadi peubah eksogen 13 dalam proses pembangunan, artinya kelembagaan menyebabkan perubahan. Kelembagaan juga dapat sebagai peubah endogen 14 dalam proses pembangunan, sehingga perubahan kelembagaan merupakan akibat dari perubahan pada sistem sosial yang ada. Oleh karena itu kelembagaan merupakan sistem organisasi dan kontrol masyarakat terhadap penggunaan sumberdaya. Sebagai organisasi, kelembagaan diartikan sebagai wujud konkrit yang membungkus aturan main tersebut seperti pemerintah, bank, koperasi, kemitraan, dan lain sebagainya. Batasan tersebut menunjukkan bahwa organisasi dapat dipandang sebagai perangkat keras sedangkan aturan main merupakan perangkat lunak dari kelembagaan. Kartodihardjo (2006b) menyatakan bahwa kelembagaan merupakan inovasi manusia untuk mengatur atau mengontrol interdependensi antar individu atau kelompok masyarakat terhadap sesuatu, kondisi atau situasi melalui inovasi dalam hak kepemilikan (property rights), aturan representasi/perwakilan (rule of representations) atau batas yuridiksi (jurisdictional boundaries). Konsep property atau kepemilikan muncul dari konsep hak (rights) dan kewajiban (obligations) yang didefinisikan atau diatur oleh hukum, adat dan tradisi, atau konsensus yang mengatur hubungan antar anggota masyarakat dalam hal kepentingannya terhadap sumberdaya, situasi atau kondisi (Ostrom, 2000). Kepemilikan merupakan hubungan individu dengan individu lain terhadap sesuatu, dan menjadi instrumen dalam mengendalikan hubungan dan mengatur siapa memperoleh apa melalui penggunan yang disepakati bersama (Gibbons, 2005; 13 Variabel yang berada diluar sistem teori atau model, dan yang mempengaruhi variabel endogen. 14 Vaiabel yang berada di dalam sistem teori atau model, dan yang dipengaruhi variabel eksogen.

15 21 Kartodihardjo, 2006b). Perubahan sistem kepemilikan dapat merubah kinerja ekonomi, dan perubahan sistem ekonomi dapat merubah pola kepemilikan masyarakat. Hak kepemilikan merupakan sumber kekuatan akses dan kontrol terhadap sumberdaya, yang dapat diperoleh melalui pembelian, pemberian dan hadiah, atau melalui pengaturan administrasi pemerintah. Berdasarkan rejim hak kepemilikan yang diungkapkan Schlager dan Ostrom (1996) dalam Ostrom (2000) sebagaimana pada Tabel 3, maka pemilik (owner) mempunyai strata kepemilikan yang paling lengkap (tinggi) karena memiliki hak untuk memasuki (access) dan memanfaatkan (withdrawal), hak menentukan bentuk pengelolaan (management), hak menentukan keikutsertaan atau mengeluarkan pihak lain (exclusion), dan memperjual-belikan hak (alienation). Strata pemilikan hak yang paling rendah adalah pengunjung (authorized entrance) karena hanya memiliki hak memasuki (access). Tabel 3 Kumpulan hak yang dimiliki berdasarkan status kepemilikan Strata hak Pemilik Penyewa/ Pengguna/ Authorized Owner Proprietor Claimant authorized user entrance 1 Memasuki (access) X X X X X 2 Memanfaatkan (withdrawal) X X X X 3 Menentukan bentuk pengelolaan (management) X X X 4 Menentukan keikusertaan/ mengeluarkan pihak lain X X (exclusion) 5 Dapat memperjualbelikan hak (alienation) X Sumber : Schlager dan Ostrom (1996) dalam Ostrom (2000) Aturan representasi mengatur permasalahan siapa yang berhak berpartisipasi terhadap apa, dalam proses pengambilan keputusan yang tercermin dalam struktur kelembagaan. Pengaturan tersebut berdampak terhadap keputusan yang diambil dan dampaknya terhadap kinerja kelembagaan. Aturan representasi sedemikian memunculkan dua jenis biaya, yaitu biaya pengambilan keputusan sebagai akibat partisipasi, dan biaya eksternal yang ditanggung oleh seseorang atau suatu lembaga sebagai akibat keputusan orang lain atau lembaga lain. Aturan representasi mempengaruhi besaran biaya tersebut, dalam artian nilai uang maupun bukan uang

16 22 sehingga menentukan apakah output dihasilkan atau tidak. Jenis output yang dihasilkan juga ditentukan aturan representasi dari kepentingan orang atau lembaga. Batas yuridiksi menentukan siapa dan apa yang tercakup dalam kelembagaan. Konsep batas yuridiksi dapat berarti batas wilayah kekuasaan atau batas otoritas yang dimiliki oleh suatu lembaga, atau mengandung makna kedua-duanya. Batas yuridiksi berpengaruh terhadap kemampuan pelaku untuk menginternalisasikan manfaat/biaya. Sepanjang tambahan manfaat melebihi atau setara tambahan biaya (payoff rules) maka para pelaku bersedia memperluas kerjasama dan batas yuridiksinya. Dalam kaitan dengan pembangunan hutan, maka dapat disimpulkan bahwa kelembagaan kemitraan merupakan suatu mekanisme yang mengatur transaksi atau tata hubungan (aturan main, norma-norma, kontrak, hukum, adat atau tradisi) yang menentukan hubungan antara pengelola hutan (petani dan/atau pemilik lahan) dengan INPAK dalam melakukan aktivitas ekonomi. Hubungan ekonomi yang terjalin adalah kerjasama membangun hutan melalui mekanisme administrasi yang menentukan hak dan kewajiban masing-masing pihak. Kontribusi utama kelembagaan dalam proses kemitraan adalah mengkoordinasikan para pemilik faktor produksi (tenaga kerja, lahan, kapital, manajemen dan lain-lain) ke dalam proses transformasi faktor produksi (yaitu usaha membangun hutan) menjadi output berupa kayu bundar. Kemitraan merupakan salah satu bentuk kelembagaan dalam usaha membangun hutan yang dilakukan karena adanya saling ketergantungan (interdependency) antara rakyat selaku pihak Hulu (khususnya petani) dengan INPAK selaku pihak Hilir. Wyatt (2003) mengungkapkan bahwa petani mengharapkan pembangunan dan pekerjaan tetapi juga mengharapkan manfaat non-finansial seperti kepastian hak penggunaan lahan dan perlindungan lingkungan. Pada sisi lain, industri sebagai suatu perusahaan berupaya untuk dapat mendekati sumber bahan baku dan menjamin ketersediaannya, mendapatkan peluang bisnis dan memperoleh manfaat ekonomi langsung. Industri primer hasil hutan kayu (IPHHK) dalam kegiatan produksinya merupakan suatu sistem yang memproses masukan atau inputs (diantaranya kayu bundar dan/atau bahan baku serpih) untuk menghasilkan keluaran atau output berupa produk kayu olahan (kayu gergajian, kayu lapis, pulp and paper, dan lain-lain). Dalam memenuhi kebutuhan input produksi berupa kayu bundar, maka IPHHK sebagai suatu perusahaan dapat melakukan pertukaran secara inter-firm atau intra-firm.

17 23 Pertukaran ekonomi secara inter-firm berarti input(s) diperoleh atau dipertukarkan dari perusahaan itu sendiri atau perusahan yang terintegrasi atau terkait saham dengan IPHHK. Mekanisme ini merupakan integrasi vertikal dimana assets perusahaan pemasok bahan baku (pengelola hutan) adalah milik perusahaan yang berintegrasi, sehingga pengendalian pengelolaan (alokasi sumberdaya dan penentuan harga) sepenuhnya di satu tangan. Pada kondisi tersebut, perusahaan pengelola hutan merupakan divisi pemasok bahan baku dan IPHHK sebagai divisi pengolah bahan baku dan pemasaran produk akhir (Nugroho, 2005). Adanya pertukaran ekonomi melalui integrasi vertikal adalah upaya mengurangi ketergantungan terhadap bahan baku produksi, sehingga tidak dapat dieksploitasi oleh pihak yang menjadi gantungannya. Integrasi juga merupakan kebijakan perluasan organisasi dan dominasi atas faktor produksi tersebut (secara ekonomis atau politis). Integrasi vertikal (inter firm) dilakukan dengan anggapan bahwa maksimisasi keuntungan perusahaan tercipta ketika kegiatan pengadaan bahan baku dikelola secara internal, daripada mengupayakan membelinya dari pasar. Hal tersebut mungkin dilakukan apabila IPHHK menguasai atau memiliki hak atas faktor produksi lahan sehingga kerjasama dapat berjalan dengan biaya yang murah. Namun, dalam realitanya, kepemilikan lahan seringkali justru berada pada pihak yang lain atau setidaknya menjadi beban konflik sosial dengan pihak lain, sehingga hubungan tersebut menjadi tidak murah. Pada keadaan yang demikian, Klein et al. (1986) dan Gibbons (2005) berpandangan bahwa pelaku ekonomi cenderung melakukan hubungan kontraktual (contractual relationships) atau koordinasi nonintegrasi (outsourcing) dibandingkan kepemilikan bersama (vertical integration). Dengan demikian, alternatif lainnya menghadapi ketidakpastian dan kelangkaan sumber daya adalah dengan mekanisme intra-firm (contracts), yaitu input produksi dibeli atau dipertukarkan dari perusahaan atau individu lain. Dalam hal ini, input produksi diperoleh dengan pembelian langsung (kontrak jangka pendek), kontrak jangka panjang dengan pemegang IUPHHK yang tidak terkait saham, atau membangun hutan (sumber bahan baku) dengan pihak lain (pemilik lahan atau pemegang konsesi/izin) melalui kontrak kerjasama dalam pengelolaan dan pembangunannya.

18 24 Kontrak kerjasama dalam usaha membangun hutan dilakukan IPHHK guna menjamin kontinyuitas (keberlangsungan) pemenuhan bahan baku kayu bagi proses produksinya. Industri yang secara langsung melakukan kerjasama membangun hutan bersama rakyat (KIBARHUT) adalah industri pertukangan atau industri pengolahan kayu bundar (INPAK). Industri pulp and paper (industri pengolahan bahan baku serpih) umumnya tidak melakukan hubungan kontraktual secara langsung dengan penduduk setempat dalam membangun hutan tanaman. Kontrak kemitraan justru dijalin oleh perusahaan afiliasinya yang merupakan IUPHHK dalam Hutan Tanaman (IUPHHK HT), dikarenakan adanya keterbatasan lahan konsesi, konflik lahan, dan sebagai bagian dari upaya pemberdayaan masyarakat (community empowerment). Kerjasama tersebut bagi IUPHHK HT dapat dilakukan pada lahan/areal konsesinya maupun pada lahan milik di luar areal konsesi, sedangkan INPAK melakukannya pada lahan milik perusahaan, lahan milik masyarakat, atau lahan milik/konsesi perusahaan lain yang tidak mempunyai keterkaitan. Hubungan kerjasama usaha antara pemegang konsesi IUPHHK HT dengan penduduk setempat atau antara INPAK dengan pihak pemilik lahan adalah hubungan kemitraan (agency relationships) yang digambarkan dalam agency theory. Hubungan tersebut mencakup bagaimana menyusun hubungan kontraktual yang optimal sehingga para pelakunya memiliki insentif yang memadai untuk mematuhi kontrak 15 dan bersepakat dalam hal penegakannya (Jensen dan Meckling, 1986; Maskin, 2001; Gibbons, 2005; Yustika, 2006). Namun bagi sebagian pelaku (khususnya pengusaha), kemitraan terkadang dianggap sebagai beban yang memberatkan sehingga lebih banyak mendorong perilaku sub optimal dari perusahaan dan cenderung memanjakan petani (Nugroho, 2003; Priyono, 2004). Keengganan juga muncul karena kemitraan adalah pertukaran ekonomi faktor-faktor produksi yang dimiliki, untuk melakukan suatu proses produksi secara bekerjasama dengan mengusung kesetaraan dan pembagian manfaat dan resiko diantara para pelakunya (Kasper dan Streit, 1998; Maskin, 2001; Nugroho, 2003; Yustika, 2006). 15 Kontrak (atau transaksi tunggal antara dua pihak yang melakukan hubungan ekonomi) secara umum didefinisikan sebagai kesepakatan satu orang atau sekelompok orang untuk melakukan kegiatan atau pertukaran yang bernilai ekonomi dengan pihak lain dengan konsekuensi adanya tindakan balasan (reciprocal action) atau bayaran (Yustika, 2006).

19 25 Solusinya adalah dengan memformulasikan suatu mekanisme (pola kemitraan) yang mampu merefleksikan aturan main (kontrak) yang dibuat selengkap mungkin. Kontrak memuat semua detail hubungan untuk menghindari adanya perilaku oportunis pasca kontrak, termasuk di dalamnya membuat aturan main yang dapat dikontrol dan diawasi oleh para pelaku kemitraan. Dalam realitanya, kontrak selalu tidak lengkap dan memerlukan biaya untuk penegakannya termasuk adanya resiko pengingkaran dan tidak dihormatinya kontrak (Yustika, 2006). Karenanya, para pelaku kemitraan melakukan berbagai kegiatan guna mengawasi tindakan pelaku lainnya, termasuk kesepakatan memberikan insentif yang memadai dan penalty untuk menghukum agents bila melakukan tindakan yang bertentangan dengan interest principal (Kerr, 1975 dalam Gibbons 1998; Maskin, 2001; Gibbons, 2005). Kelembagaan selalu disertasi sanksi-sanksi (formal informal) yang disepakati dan ditegakkan, sebagaimana diungkapkan Kasper dan Streit (1998) bahwa institutions without sanctions are useless. Kartodihardjo (2006a) mengungkapkan bahwa keberhasilan hubungan kelembagaan (kontrak) kemitraan, sangat tergantung dari keberhasilan perusahaan dalam menarik minat para pemilik lahan (yang memiliki kendala permodalan), untuk dapat memanfaatkan lahannya dengan komoditas alternatif tanaman kehutanan. Karenanya, ditemukan banyak mekanisme kemitraan yang diterapkan di lapangan dalam rangka pembangunan hutan (Nawir dan Santoso, 2005). Walau terdapat berbagai bentuk kelembagaan kemitraan petani dan perusahaan, namun berdasarkan UU No. 9 Tahun 1995 dan SK Mentan No. 940/Kpts/OT.210/10/1997 tentang pedoman kemitraan usaha pertanian, maka kelembagaan yang umum dilakukan pada usaha membangun hutan adalah kemitraan inti plasma dan kerjasama operasional. Kemitraan inti plasma merupakan hubungan antara petani atau kelompok tani sebagai plasma dengan perusahaan inti yang bermitra usaha (Sumardjo et al., 2004). Perusahaan inti menyediakan lahan, sarana produksi, bimbingan teknis, manajemen, menampung dan mengolah serta memasarkan hasil produksi. Pola ini di sektor kehutanan dapat disepadankan dengan hubungan kemitraan antara penduduk setempat dengan pemegang IUPHHK HT pada pengelolaan HTI di luar Pulau Jawa. Kemitraan kerjasama operasional merupakan hubungan bisnis yang dijalankan petani (atau kelompok mitra) dan perusahaan mitra (Sumardjo et al., 2004). Kelompok

20 26 mitra menyediakan lahan, sarana, dan tenaga kerja. Perusahaan mitra menyediakan biaya, modal, manajemen, dan pengadaan sarana produksi untuk membudidayakan suatu komoditas, serta berperan sebagai penjamin pasar bagi komoditas tersebut. Dalam pelaksanaannya terdapat kesepakatan tentang pembagian hasil dan resiko. Selain itu terdapat kelembagaan kemitraan terpadu yang melibatkan perusahaan, petani, dan lembaga keuangan dalam suatu ikatan kerjasama yang dituangkan dalam nota kesepakatan. Kemitraan dilaksanakan dengan disertai pembinaan oleh perusahaan, dimulai dari penyediaan sarana produksi, bimbingan teknis dan pemasaran hasil produksi (Purnaningsih, 2006). Mekanismenya juga terkadang melibatkan pemerintah sebagai penyedia anggaran dan lembaga keuangan sebagai penyalur dana ke petani dan/atau perusahaan. Pola kerjasama operasional dan kemitraan terpadu merupakan pola yang dapat disepadankan dengan hubungan kemitraan antara INPAK bersama rakyat untuk membangun hutan (KIBARHUT), khususnya di Pulau Jawa. D. Policy Analysis Matrix Policy Analysis Matrix atau PAM merupakan metode analisis ekonomi yang diperkenalkan oleh Eric A. Monke dan Scott Pearson pada tahun 1989 dan kemudian dikembangkan oleh Masters dan Winter-Nelson (Nelson, 1991; Mohanty et al, 2002; Malian et al, 2004; Pearson et al, 2005). PAM adalah model atau kerangka analisis ekonomi yang lebih lengkap untuk menganalisis keadaan ekonomi dari sudut usaha swasta (private profit) sekaligus memberi ukuran tingkat efisiensi ekonomi usaha atau keuntungan social (social profit). PAM merupakan suatu pendekatan atau analisis normatif yang digunakan untuk mengkaji dampak kebijakan harga maupun investasi, dan memberikan informasi dasar (base line information) bagi Benefit-Cost Analysis untuk kegiatan investasi di bidang pertanian 16. Menurut Pearson et al. (2005), PAM mempunyai tujuan umum untuk memberikan informasi dan analisis guna membantu pengambil kebijakan dalam hal daya saing suatu sistem komoditas pada tingkat harga dan teknologi yang tersedia, dampak dari suatu investasi publik dan investasi baru (riset atau teknologi) terhadap tingkat efisiensi sistem komoditas. Tujuan lainnya adalah menghitung tingkat 16 Pertanian secara luas meliputi juga komoditas kehutanan dan perkebunan (tanaman dengan rentang waktu yang panjang), perikanan, dan peternakan (Pearson et al., 2005).

21 27 keuntungan sosial suatu komoditas (dengan menilai output dan biaya pada harga efisiensi atau social opportunity cost); dan menghitung transfer effect (sebagai dampak suatu kebijakan) yaitu menghitung dampak kebijakan yang mempengaruhi output maupun faktor produksi (lahan, tenaga kerja, dan modal). Analisis secara ringkas digambarkan dalam suatu Tabel PAM sebagaimana pada Tabel 4, terdiri 3 baris dan 4 kolom, mengandung 2 (dua) identitas matriks yaitu tingkat keuntungan (profitability identity) private dan sosial, dan identitas penyimpangan (divergences identity). Tabel 4 Tabel PAM Value of Output Variable of Input / Biaya Input Domestic Tradable Factor Profit/ Keuntungan Private Prices/Harga Private A B C D Social Prices/Harga Sosial E F G H Policy Transfer/Efek Divergensi I J K L Sumber : Pearson et al., 2005 Catatan : Private Profit: D=A (B+C); Social Profit: H=E (F+G); Output Transfer : I=A E; Input transfer: J = B F; Factor transfer: K= C G; Net Policy transfer : L=D H or I J K Dalam kolom pertama terdapat penerimaan atau value of output. Kolom kedua dan ketiga adalah biaya produksi atau input, terdiri dari komponen yang tradable atau input tradable (kolom kedua) yaitu input yang dapat diperdagangkan secara internasional (diekspor atau diimpor), dan komponen non-tradable (faktor domestik) atau input non-tradable yaitu input yang tidak dapat diperdagangkan secara internasional (kolom ketiga). Kolom keempat berisikan keuntungan atau profit. Satuan yang digunakan untuk setiap entry pada Tabel PAM menggunakan satuan mata uang dalam negeri (Rp). Analisis empiris dalam PAM meliputi 3 (tiga) analisis yang direpresentasikan dalam ketiga baris PAM, yaitu analisis private (baris kesatu/baris private), analisis sosial (baris kedua/baris sosial), dan analisis dampak divergensi (baris ketiga). Analisis private dilakukan dengan menggunakan pendekatan harga pasar (private) dan analisis sosial menggunakan harga efisiensi atau harga bayangan, sehingga menunjukkan bahwa perhitungan dalam matriks PAM mencakup analisis finansial dan ekonomi. Perbedaan kedua analisis terdapat pada harga yang digunakan dan adanya pembayaran transfer berupa pajak dan/atau subsidi (Gittinger, 1982; Nair, 1993).

22 28 Pada kelayakan finansial yang dianalisis adalah besarnya penerimaan dan pengeluaran riil suatu unit usaha tani, sedangkan kelayakan ekonomi menggunakan pendekatan biaya dan manfaat sosial atau ditinjau secara ekonomi agregat. Perbedaan analisis finansial dan analisis ekonomi secara ringkas disajikan pada Tabel 5. Tabel 5 Perbedaan analisis finansial dan ekonomi No Uraian Analisis Finansial Analisis Ekonomi 1. Obyek Private/badan (petani) Publik/perekonomian keseluruhan 2. Harga digunakan Harga pasar Harga bayangan 3. Manfaat Private return, manfaat riil yang diterima oleh petani 4. Biaya Biaya riil yang dikeluarkan petani The social/economic return termasuk manfaat tidak langsung (intangible) seperti perbaikan lingkungan Manfaat yang hilang, opportunity cost, termasuk biaya pencegahan kerusakan lingkungan 5. Pajak Diperhitungkan Tidak diperhitungkan 6. Subsidi Diperhitungkan Tidak diperhitungkan 7. Bunga atas modal Dibayarkan karena dianggap sebagai biaya Tidak dianggap sebagai biaya sebab merupakan transfer payment 8. Tenaga Kerja Harga Pasar Shadow price tenaga kerja 9. Alat dan bahan Harga pasar Harga yang tidak terdistorsi Sumber : Kadariah et al. (1978) Analisis finansial dengan harga pasar adalah aktivitas pelaku ekonomi secara individu dalam menghasilkan suatu komoditas yang dihitung berdasarkan harga sesungguhnya yang diterima dan/atau dibayar pengelola hutan serta telah dipengaruhi oleh kebijakan pemerintah berupa subsidi, proteksi, pembebasan bea masuk, pajak dan kebijakan lainnya atau pun karena adanya pola kemitraan. Analisis ekonomi dengan harga sosial meninjau aktivitas ekonomi dari sudut pandang masyarakat secara keseluruhan, yang menggambarkan nilai ekonomi/sosial sesungguhnya (the true of social or economic value). Metode analisis finansial menekankan pada analisis biaya-manfaat terhadap individu atau privat, sedangkan analisis ekonomi lebih menekankan pada analisis biaya-manfaat terhadap masyarakat. Perbedaan diantara kedua analisis adalah pada faktor obyek analisis, harga yang digunakan, manfaat, biaya, pengenaan pajak dan subsidi, penggunaan bunga (atas modal, tenaga kerja, alat dan bahan). Berdasarkan Tabel PAM dan dengan menggunakan pendekatan harga pasar (analisis private/finansial) dan harga sosial (analisis sosial/ekonomi), diperoleh nilai

I. PENDAHULUAN Latar Belakang

I. PENDAHULUAN Latar Belakang I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pada saat ini dan masa mendatang, peran dan fungsi hutan tanaman dalam memasok kebutuhan bahan baku bagi industri pengolahan kayu semakin meningkat (Nawir dan Santoso,

Lebih terperinci

V. KESIMPULAN DAN SARAN

V. KESIMPULAN DAN SARAN V. KESIMPULAN DAN SARAN A. Rangkuman (Sintesa) Temuan Kelembagaan KIBARHUT dicirikan kesediaan principal mendelegasikan kemampuan investasi membangun hutan kepada agents untuk memproduksi kayu sebagai

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 9 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Hutan Rakyat 2.1.1 Definisi hutan rakyat Definisi Hutan rakyat dapat berbeda-beda tergantung batasan yang diberikan. Hutan rakyat menurut Undang-undang No. 41 tahun 1999

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. Staf RLPS Kementerian Kehutanan di Jakarta pada 23 Juli 2009 (komunikasi pribadi)

PENDAHULUAN. Staf RLPS Kementerian Kehutanan di Jakarta pada 23 Juli 2009 (komunikasi pribadi) I. 1.1 PENDAHULUAN Latar Belakang Pemberian kredit untuk hutan rakyat telah dimulai sejak tahun 1988/1989. Pemberian kredit tersebut merupakan komitmen pemerintah dalam rangka pengembangan kehutanan, perbaikan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. keseimbangan lingkungan. Fungsi hutan terkait dengan lingkungan, sosial budaya

BAB I PENDAHULUAN. keseimbangan lingkungan. Fungsi hutan terkait dengan lingkungan, sosial budaya 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Hutan merupakan sumberdaya alam yang sangat penting dalam menjaga keseimbangan lingkungan. Fungsi hutan terkait dengan lingkungan, sosial budaya dan ekonomi. Fungsi

Lebih terperinci

KERANGKA PEMIKIRAN. berupa derasnya arus liberalisasi perdagangan, otonomi daerah serta makin

KERANGKA PEMIKIRAN. berupa derasnya arus liberalisasi perdagangan, otonomi daerah serta makin 22 III. KERANGKA PEMIKIRAN 3.1. Kerangka Pemikiran Analisis Dewasa ini pengembangan sektor pertanian menghadapi tantangan dan tekanan yang semakin berat disebabkan adanya perubahan lingkungan strategis

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 18 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Hutan sebagai modal pembanguan nasional memiliki manfaat yang nyata bagi kehidupan dan penghidupan bangsa Indonesia, baik manfaat ekologi, sosial budaya maupun ekonomi,

Lebih terperinci

KESIMPULAN DAN SARAN

KESIMPULAN DAN SARAN 369 KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan 1. Selama tahun 1990-2009 terjadi pengurangan luas hutan SWP DAS Arau sebesar 1.320 ha, mengakibatkan kecenderungan peningkatan debit maksimum, penurunan debit minimum

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pengertian Usaha Kecil Menengah Usaha Kecil dan Menengah disingkat UKM adalah sebuah istilah yang mengacu ke jenis usaha kecil yang memiliki kekayaan bersih paling banyak Rp.200.000.000

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. 1 Dengan asumsi bahwa 1 m 3 setara dengan 5 pohon yang siap tebang.

I. PENDAHULUAN. 1 Dengan asumsi bahwa 1 m 3 setara dengan 5 pohon yang siap tebang. I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Tanaman kayu rakyat (smallholder timber plantations) secara umum dapat diartikan sebagai tanaman kayu yang ditanam dalam bentuk kebun atau sistem agroforestry, yang dibangun

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sektor Usaha Kecil Menengah (UKM) merupakan unit usaha yang potensial untuk menopang perekonomian nasional. Usaha Kecil Menengah telah memberikan sumbangan yang nyata

Lebih terperinci

PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Industri pengolahan kayu merupakan salah satu sektor penunjang perekonomian di Provinsi Jawa Timur. Hal ini terlihat dengan nilai ekspor produk kayu dan barang dari

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Perum Perhutani adalah Badan Usaha Milik Negara (BUMN) yang diberi

BAB I PENDAHULUAN. Perum Perhutani adalah Badan Usaha Milik Negara (BUMN) yang diberi BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Perum Perhutani adalah Badan Usaha Milik Negara (BUMN) yang diberi tugas dan wewenang untuk menyelenggarakan kegiatan pengelolaan hutan seluas 2,4 juta Ha di hutan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Indonesia memiliki potensi sumberdaya hutan yang tidak hanya memiliki keanekaragaman hayati tinggi namun juga memiliki peranan penting dalam perlindungan dan jasa lingkungan,

Lebih terperinci

KEBUTUHAN BENIH (VOLUME) PER WILAYAH PER JENIS DALAM KEGIATAN REHABILITASI HUTAN DAN LAHAN. Oleh : Direktur Bina Perbenihan Tanaman Hutan

KEBUTUHAN BENIH (VOLUME) PER WILAYAH PER JENIS DALAM KEGIATAN REHABILITASI HUTAN DAN LAHAN. Oleh : Direktur Bina Perbenihan Tanaman Hutan KEBUTUHAN BENIH (VOLUME) PER WILAYAH PER JENIS DALAM KEGIATAN REHABILITASI HUTAN DAN LAHAN Oleh : Direktur Bina Perbenihan Tanaman Hutan Latar Belakang Kerusakan Daerah Aliran Sungai (DAS) di Indonesia

Lebih terperinci

PENDAHULUAN Latar Belakang

PENDAHULUAN Latar Belakang 1 PENDAHULUAN Latar Belakang Hutan sebagai modal dasar pembangunan perlu dipertahankan keberadaannya dan dimanfaatkan sebesar-besarnya untuk kepentingan dan kesejahteraan masyarakat. Luas kawasan hutan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Industri dikenal sebagai hutan tanaman kayu yang dikelola dan diusahakan

I. PENDAHULUAN. Industri dikenal sebagai hutan tanaman kayu yang dikelola dan diusahakan I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pemanfaatan hutan terutama pemanenan kayu sebagai bahan baku industri mengakibatkan perlunya pemanfaatan dan pengelolaan hutan yang lestari. Kurangnya pasokan bahan baku

Lebih terperinci

VIII. DAMPAK KEBIJAKAN PEMERINTAH TERHADAP KEUNTUNGAN DAN DAYA SAING RUMPUT LAUT

VIII. DAMPAK KEBIJAKAN PEMERINTAH TERHADAP KEUNTUNGAN DAN DAYA SAING RUMPUT LAUT 83 VIII. DAMPAK KEBIJAKAN PEMERINTAH TERHADAP KEUNTUNGAN DAN DAYA SAING RUMPUT LAUT 8.1. Struktur Biaya, Penerimaan Privat dan Penerimaan Sosial Tingkat efesiensi dan kemampuan daya saing rumput laut di

Lebih terperinci

RINGKASAN EKSEKUTIF AS AT SUPRIYANTO.

RINGKASAN EKSEKUTIF AS AT SUPRIYANTO. RINGKASAN EKSEKUTIF AS AT SUPRIYANTO. 2005. Membangun Keunggulan Kompetitif Melalui Value Chain dalam Perusahaan Hutan Tanaman (Studi Kasus di PT. Musi Hutan Persada). Di bawah bimbingan BUNASOR SANIM

Lebih terperinci

III. METODOLOGI PENELITIAN

III. METODOLOGI PENELITIAN III. METODOLOGI PENELITIAN A. Kerangka Pemikiran Penelitian Pembangunan dan pengelolaan hutan telah menjadi suatu usaha (business) yang dikelola secara khusus guna menghasilkan kayu untuk pasokan bahan

Lebih terperinci

Oleh : Direktur Jenderal Planologi Kehutanan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan

Oleh : Direktur Jenderal Planologi Kehutanan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan Oleh : Direktur Jenderal Planologi Kehutanan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan Disampaikan pada acara : Rapat Monitoring dan Evaluasi Gerakan Nasional Penyelamatan Sumber Daya Alam Jakarta, 22

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang A. Latar Belakang I. PENDAHULUAN Saat ini hutan Indonesia mengalami proses deforestasi dan degradasi yang memprihatinkan, yang terutama diakibatkan oleh kegiatan penebangan, pembukaan lahan dan kebakaran

Lebih terperinci

Badan Usaha Milik Negara, Perusahaan Swasta, Perusahaan Patungan. BUMN-Swasta, atau Koperasi untuk mengusahakan Hutan Tanarnan

Badan Usaha Milik Negara, Perusahaan Swasta, Perusahaan Patungan. BUMN-Swasta, atau Koperasi untuk mengusahakan Hutan Tanarnan I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Hak pengusahaan hutan tanaman industri adalah hak yang diberikan oleh Pemerintah, dalam ha1 ini Menteri Kehutanan, kepada Badan Usaha Milik Negara, Perusahaan Swasta,

Lebih terperinci

4. ANALISIS SISTEM 4.1 Kondisi Situasional

4. ANALISIS SISTEM 4.1 Kondisi Situasional 83 4. ANALISIS SISTEM 4.1 Kondisi Situasional Produktivitas gula yang cenderung terus mengalami penurunan disebabkan efisiensi industri gula secara keseluruhan, mulai dari pertanaman tebu hingga pabrik

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. maupun sebagai sumber mata pencaharian sementara penduduk Indonesia.

I. PENDAHULUAN. maupun sebagai sumber mata pencaharian sementara penduduk Indonesia. 17 I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Perkebunan sebagai salah satu subsektor pertanian, mempunyai peranan penting dalam meningkatkan pertumbuhan perekonomian nasional. Baik sebagai sumber penghasil devisa

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Hutan kemasyarakatan atau yang juga dikenal dengan community forestry

TINJAUAN PUSTAKA. Hutan kemasyarakatan atau yang juga dikenal dengan community forestry TINJAUAN PUSTAKA Pengertian hutan kemasyarakatan Hutan kemasyarakatan atau yang juga dikenal dengan community forestry memiliki beberapa pengertian, yaitu : 1. Hutan kemasyarakatan menurut keputusan menteri

Lebih terperinci

BAB I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang 1 BAB I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Sungai dan Daerah Aliran Sungai (DAS) menjadi areal vital bagi manusia dalam memenuhi kebutuhan akan air. Pemanfaatan air sungai banyak digunakan sebagai pembangkit

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Sejak akhir tahun 1970-an, Indonesia mengandalkan hutan sebagai penopang

BAB I PENDAHULUAN. Sejak akhir tahun 1970-an, Indonesia mengandalkan hutan sebagai penopang 18 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Sejak akhir tahun 1970-an, Indonesia mengandalkan hutan sebagai penopang pembangunan ekonomi nasional. Hak Pengusahaan Hutan (HPH) menjadi sistem yang dominan dalam

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Hutan rakyat memiliki peran yang penting sebagai penyedia kayu. Peran hutan rakyat saat ini semakin besar dengan berkurangnya sumber kayu dari hutan negara. Kebutuhan

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 3 TAHUN 2008 TENTANG

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 3 TAHUN 2008 TENTANG PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 3 TAHUN 2008 TENTANG PERUBAHAN ATAS PERATURAN PEMERINTAH NOMOR 6 TAHUN 2007 TENTANG TATA HUTAN DAN PENYUSUNAN RENCANA PENGELOLAAN HUTAN, SERTA PEMANFAATAN

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 3 TAHUN 2008 TENTANG

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 3 TAHUN 2008 TENTANG PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 3 TAHUN 2008 TENTANG PERUBAHAN ATAS PERATURAN PEMERINTAH NOMOR 6 TAHUN 2007 TENTANG TATA HUTAN DAN PENYUSUNAN RENCANA PENGELOLAAN HUTAN, SERTA PEMANFAATAN

Lebih terperinci

Ekspansi Industri Pulp: Cara Optimis Penghancuran Hutan Alam

Ekspansi Industri Pulp: Cara Optimis Penghancuran Hutan Alam Ekspansi Industri Pulp: Cara Optimis Penghancuran *Contoh Kasus RAPP dan IKPP Ringkasan Sampai akhir Desember 27 realisasi pembangunan Hutan Tanaman Industri (HTI) hanya 33,34 persen dari total 1.37 juta

Lebih terperinci

KONFLIK DAN REZIM PENGELOLAAN SUMBERDAYA ALAM (Kuliah VII)

KONFLIK DAN REZIM PENGELOLAAN SUMBERDAYA ALAM (Kuliah VII) KONFLIK DAN REZIM PENGELOLAAN SUMBERDAYA ALAM (Kuliah VII) Tim Pengajar MK Ekologi Manusia 2010 HAK KEPEMILIKAN (PROPERTY RIGHT) Rezim Hak Kepemilikan Hak Kepemilikan Tipe Hak Kepemilikan Akses Terbuka

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. agraris seharusnya mampu memanfaatkan sumberdaya yang melimpah dengan

I. PENDAHULUAN. agraris seharusnya mampu memanfaatkan sumberdaya yang melimpah dengan I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pertumbuhan ekonomi yang merupakan salah satu indikator keberhasilan suatu negara dapat dicapai melalui suatu sistem yang bersinergi untuk mengembangkan potensi yang dimiliki

Lebih terperinci

BUPATI KEPULAUAN SELAYAR

BUPATI KEPULAUAN SELAYAR BUPATI KEPULAUAN SELAYAR PERATURAN DAERAH KABUPATEN KEPULAUAN SELAYAR NOMOR 2 TAHUN 2013 TENTANG PENANAMAN MODAL DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI KEPULAUAN SELAYAR, Menimbang : a. bahwa

Lebih terperinci

SERBA SERBI HUTAN DESA (HD)

SERBA SERBI HUTAN DESA (HD) SERBA SERBI HUTAN DESA (HD) Oleh Agus Budhi Prasetyo, S.Si.,M.Si. Dalam Renstra 2010-2014, Kemenhut merencanakan hutan kemasyarakatan seluas 2 juta ha dan hutan desa seluas 500.000 ha. Dari areal yang

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Kawasan Puncak merupakan bagian dari kawasan Bogor Puncak Cianjur (Bopunjur) dalam wilayah administratif Kabupaten Bogor. Kawasan ini memiliki beragam fungsi strategis,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. memperbaiki berbagai aspek kehidupan masyarakat. Sebagai proses perubahan

BAB I PENDAHULUAN. memperbaiki berbagai aspek kehidupan masyarakat. Sebagai proses perubahan BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Komunikasi dan pembangunan merupakan dua hal yang saling berhubungan sangat erat. Pembangunan adalah proses perubahan yang direncanakan untuk memperbaiki berbagai

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, www.bpkp.go.id PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 3 TAHUN 2008 TENTANG PERUBAHAN ATAS PERATURAN PEMERINTAH NOMOR 6 TAHUN 2007 TENTANG TATA HUTAN DAN PENYUSUNAN RENCANA PENGELOLAAN HUTAN, SERTA

Lebih terperinci

BAB IV METODE PENELITIAN

BAB IV METODE PENELITIAN BAB IV METODE PENELITIAN 4.1 Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilakukan di Kabupaten Karangasem dengan lokasi sampel penelitian, di Desa Dukuh, Kecamatan Kubu. Penentuan lokasi penelitian dilakukan

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 1990 TENTANG HAK PENGUSAHAAN HUTAN TANAMAN INDUSTRI. Presiden Republik Indonesia,

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 1990 TENTANG HAK PENGUSAHAAN HUTAN TANAMAN INDUSTRI. Presiden Republik Indonesia, PERATURAN PEMERINTAH NOMOR 7 TAHUN 1990 TENTANG HAK PENGUSAHAAN HUTAN TANAMAN INDUSTRI Presiden Republik Indonesia, Menimbang : a. bahwa hutan merupakan suatu potensi kekayaan alam yang dapat diperbaharui,

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. Latar Belakang. Pembangunan di bidang kehutanan diarahkan untuk memberikan manfaat sebesarbesarnya

PENDAHULUAN. Latar Belakang. Pembangunan di bidang kehutanan diarahkan untuk memberikan manfaat sebesarbesarnya PENDAHULUAN Latar Belakang Salah satu kriteria keberhasilan pembangunan adalah meningkatnya kualitas hidup masyarakat melalui peningkatan partisipasinya dalam pembangunan itu sendiri. Pembangunan di bidang

Lebih terperinci

IV METODOLOGI PENELITIAN

IV METODOLOGI PENELITIAN IV METODOLOGI PENELITIAN 4.1. Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilakukan pada petani tebu di wilayah kerja Pabrik Gula Sindang Laut Kabupaten Cirebon Propinsi Jawa Barat. Pemilihan lokasi penelitian

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dan pertumbuhan ekonomi nasional tekanan terhadap sumber daya hutan semakin

BAB I PENDAHULUAN. dan pertumbuhan ekonomi nasional tekanan terhadap sumber daya hutan semakin BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Hutan di Indonesia mempunyai peranan baik ditinjau dari aspek ekonomi, sosial budaya, maupun secara ekologis. Sejalan dengan pertambahan penduduk dan pertumbuhan ekonomi

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. mendukung pertumbuhan ekonomi nasional yang berkeadilan melalui peningkatan

I. PENDAHULUAN. mendukung pertumbuhan ekonomi nasional yang berkeadilan melalui peningkatan I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Konsep pembangunan sumber daya hutan sebagai sistem penyangga kehidupan merupakan orientasi sistem pengelolaan hutan yang mempertahankan keberadaannya secara lestari untuk

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Menurut Undang-undang No.41 Tahun 1999 hutan memiliki fungsi

BAB I PENDAHULUAN. Menurut Undang-undang No.41 Tahun 1999 hutan memiliki fungsi BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Menurut Undang-undang No.41 Tahun 1999 hutan memiliki fungsi konservasi, fungsi lindung dan fungsi produksi. Hutan dengan fungsi lindung yaitu hutan sebagai satu kesatuan

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN VI HASIL DAN PEMBAHASAN 6.1 Analisis Daya Saing Analisis keunggulan komparatif dan keunggulan kompetitif digunakan untuk mempelajari kelayakan dan prospek serta kemampuan komoditi susu sapi lokal dalam

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN. Latar Belakang

1 PENDAHULUAN. Latar Belakang 1 1 PENDAHULUAN Latar Belakang Pembangunan sektor pertanian memiliki peran yang strategis dalam perekonomian nasional. Peran sektor pertanian tersebut digambarkan melalui kontribusi yang nyata dalam pembentukan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Tingginya laju kerusakan hutan tropis yang memicu persoalan-persoalan

I. PENDAHULUAN. Tingginya laju kerusakan hutan tropis yang memicu persoalan-persoalan I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Tingginya laju kerusakan hutan tropis yang memicu persoalan-persoalan lingkungan telah mendorong kesadaran publik terhadap isu-isu mengenai pentingnya transformasi paradigma

Lebih terperinci

PEMERINTAH KABUPATEN BULUKUMBA

PEMERINTAH KABUPATEN BULUKUMBA PEMERINTAH KABUPATEN BULUKUMBA PERATURAN DAERAH KABUPATEN BULUKUMBA NOMOR 4 TAHUN 2009 TENTANG HUTAN KEMASYARAKATAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI BULUKUMBA, Menimbang : a. bahwa hutan disamping

Lebih terperinci

VII. ANALISIS DAYA SAING USAHATANI JAGUNG

VII. ANALISIS DAYA SAING USAHATANI JAGUNG VII. ANALISIS DAYA SAING USAHATANI JAGUNG 7.1. Profitabilitas Privat dan Sosial Analisis finansial dan ekonomi usahatani jagung memberikan gambaran umum dan sederhana mengenai tingkat kelayakan usahatani

Lebih terperinci

VI. GAMBARAN UMUM PENGELOLAAN SUMBERDAYA HUTAN BERSAMA MASYARAKAT Sejarah Pengelolaan Sumberdaya Hutan Bersama Masyarakat

VI. GAMBARAN UMUM PENGELOLAAN SUMBERDAYA HUTAN BERSAMA MASYARAKAT Sejarah Pengelolaan Sumberdaya Hutan Bersama Masyarakat 73 VI. GAMBARAN UMUM PENGELOLAAN SUMBERDAYA HUTAN BERSAMA MASYARAKAT 6.1. Sejarah Pengelolaan Sumberdaya Hutan Bersama Masyarakat Hutan sebagai asset dan modal pembangunan nasional memiliki potensi dan

Lebih terperinci

- 1 - MENTERI DESA, PEMBANGUNAN DAERAH TERTINGGAL, DAN TRANSMIGRASI REPUBLIK INDONESIA

- 1 - MENTERI DESA, PEMBANGUNAN DAERAH TERTINGGAL, DAN TRANSMIGRASI REPUBLIK INDONESIA - 1 - SALINAN MENTERI DESA, PEMBANGUNAN DAERAH TERTINGGAL, DAN TRANSMIGRASI REPUBLIK INDONESIA PERATURAN MENTERI DESA, PEMBANGUNAN DAERAH TERTINGGAL, DAN TRANSMIGRASI REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN

Lebih terperinci

VI. KESIMPULAN DAN SARAN

VI. KESIMPULAN DAN SARAN VI. KESIMPULAN DAN SARAN A. Rangkuman (Sintesa) Temuan KBU merupakan kawasan lindung yang sangat dekat dengan pusat kegiatan ekonomi dan pusat pengembangan wilayah yakni Kota Bandung. Sebagai bagian dari

Lebih terperinci

SISTEMATIKA PENYAJIAN :

SISTEMATIKA PENYAJIAN : KEPALA BIRO PERENCANAAN PERAN LITBANG DALAM MENDUKUNG PEMBANGUNAN SEKTOR KEHUTANAN JAKARTA, 11 JULI 2012 SISTEMATIKA PENYAJIAN : 1. BAGAIMANA ARAHAN PEMBANGUNAN KEHUTANAN? 2. APA YANG SUDAH DICAPAI? 3.

Lebih terperinci

HUTAN KEMASYARAKATAN (HKm) Oleh Agus Budhi Prasetyo

HUTAN KEMASYARAKATAN (HKm) Oleh Agus Budhi Prasetyo HUTAN KEMASYARAKATAN (HKm) Oleh Agus Budhi Prasetyo Hutan Kemasyarakatan (HKm) menjadi salah satu kebijakan yang dikeluarkan oleh Kementerian Kehutanan untuk menekan laju deforestasi di Indonesia dengan

Lebih terperinci

tertuang dalam Rencana Strategis (RENSTRA) Kementerian Kehutanan Tahun , implementasi kebijakan prioritas pembangunan yang

tertuang dalam Rencana Strategis (RENSTRA) Kementerian Kehutanan Tahun , implementasi kebijakan prioritas pembangunan yang PENDAHULUAN BAB A. Latar Belakang Pemerintah telah menetapkan bahwa pembangunan Kesatuan Pengelolaan Hutan (KPH) menjadi salah satu prioritas nasional, hal tersebut tertuang dalam Rencana Strategis (RENSTRA)

Lebih terperinci

GUBERNUR SULAWESI SELATAN PERATURAN DAERAH PROVINSI SULAWESI SELATAN NOMOR 4 TAHUN 2015 TENTANG PENGELOLAAN HUTAN RAKYAT

GUBERNUR SULAWESI SELATAN PERATURAN DAERAH PROVINSI SULAWESI SELATAN NOMOR 4 TAHUN 2015 TENTANG PENGELOLAAN HUTAN RAKYAT 1 GUBERNUR SULAWESI SELATAN PERATURAN DAERAH PROVINSI SULAWESI SELATAN NOMOR 4 TAHUN 2015 TENTANG PENGELOLAAN HUTAN RAKYAT DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR SULAWESI SELATAN, Menimbang : a. bahwa

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 07 TAHUN 1990 TENTANG HAK PENGUSAHAAN HUTAN TANAMAN INDUSTRI PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 07 TAHUN 1990 TENTANG HAK PENGUSAHAAN HUTAN TANAMAN INDUSTRI PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 07 TAHUN 1990 TENTANG HAK PENGUSAHAAN HUTAN TANAMAN INDUSTRI PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa hutan merupakan suatu potensi kekayaan alam

Lebih terperinci

PEMERINTAH PROVINSI KALIMANTAN SELATAN PERATURAN DAERAH PROVINSI KALIMANTAN SELATAN NOMOR 10 TAHUN 2010 TENTANG

PEMERINTAH PROVINSI KALIMANTAN SELATAN PERATURAN DAERAH PROVINSI KALIMANTAN SELATAN NOMOR 10 TAHUN 2010 TENTANG PEMERINTAH PROVINSI KALIMANTAN SELATAN PERATURAN DAERAH PROVINSI KALIMANTAN SELATAN NOMOR 10 TAHUN 2010 TENTANG FASILITASI PENANAMAN MODAL DI PROVINSI KALIMANTAN SELATAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

I. PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Bergulirnya otonomi daerah (Otoda), telah memberikan peluang bagi pemerintah daerah (Pemda) untuk mengurus rumah tangganya sendiri. Hal ini membawa konsekuensi logis kepada

Lebih terperinci

Kemitraan Kehutanan di Hutan Lindung Jawa Tengah

Kemitraan Kehutanan di Hutan Lindung Jawa Tengah POLICY PAPER No 03/2014 Kemitraan Kehutanan di Hutan Lindung Jawa Tengah Oleh : Totok Dwi Diantoro Agus Budi Purwanto Ronald M Ferdaus Edi Suprapto POLICY PAPER No 03/2014 Kemitraan Kehutanan di Hutan

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : P.39/Menhut-II/2013 TENTANG PEMBERDAYAAN MASYARAKAT SETEMPAT MELALUI KEMITRAAN KEHUTANAN

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : P.39/Menhut-II/2013 TENTANG PEMBERDAYAAN MASYARAKAT SETEMPAT MELALUI KEMITRAAN KEHUTANAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : P.39/Menhut-II/2013 TENTANG PEMBERDAYAAN MASYARAKAT SETEMPAT MELALUI KEMITRAAN KEHUTANAN DENGAN RAHMAT TUHAN

Lebih terperinci

I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sejarah pengelolaan hutan di Indonesia selama ini diwarnai dengan ketidakadilan distribusi manfaat hutan terhadap masyarakat lokal. Pengelolaan hutan sejak jaman kolonial

Lebih terperinci

DIREKTORAT JENDERAL PERKEBUNAN KEMENTERIAN PERTANIAN 2013

DIREKTORAT JENDERAL PERKEBUNAN KEMENTERIAN PERTANIAN 2013 DIREKTORAT JENDERAL PERKEBUNAN KEMENTERIAN PERTANIAN 2013 KAKAO Penyebaran Kakao Nasional Jawa, 104.241 ha Maluku, Papua, 118.449 ha Luas Areal (HA) NTT,NTB,Bali, 79.302 ha Kalimantan, 44.951 ha Maluku,

Lebih terperinci

1. Pengertian Agency Theory

1. Pengertian Agency Theory 1. Pengertian Agency Theory Agency theory (teori keagenan) merupakan mengasumsikan bahwa semua individu bertindak untuk kepentingannya sendiri. Pemegang saham sebagai diasumsikan hanya bertindak terhadap

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6 TAHUN 2007 TENTANG TATA HUTAN DAN PENYUSUNAN RENCANA PENGELOLAAN HUTAN, SERTA PEMANFAATAN HUTAN

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6 TAHUN 2007 TENTANG TATA HUTAN DAN PENYUSUNAN RENCANA PENGELOLAAN HUTAN, SERTA PEMANFAATAN HUTAN PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6 TAHUN 2007 TENTANG TATA HUTAN DAN PENYUSUNAN RENCANA PENGELOLAAN HUTAN, SERTA PEMANFAATAN HUTAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Lebih terperinci

VIII. KESIMPULAN DAN SARAN

VIII. KESIMPULAN DAN SARAN VIII. KESIMPULAN DAN SARAN 8.1. Kesimpulan Dari pemaparan pada bab sebelumnya, maka dapat diambil kesimpulan sebagai berikut : 1. Untuk Propinsi Kalimantan Selatan secara keseluruhan realisasi tanam masih

Lebih terperinci

III. KERANGKA PEMIKIRAN

III. KERANGKA PEMIKIRAN III. KERANGKA PEMIKIRAN 3.1. Kerangka Pemikiran Teoritis 3.1.1. Studi Kelayakan dan Investasi Studi kelayakan diadakan untuk menentukan apakah suatu usaha akan dilaksanakan atau tidak. Dengan kata lain

Lebih terperinci

IX. KESIMPULAN DAN SARAN. yang sangat strategis bagi pembangunan yang berkelanjutkan di Provinsi

IX. KESIMPULAN DAN SARAN. yang sangat strategis bagi pembangunan yang berkelanjutkan di Provinsi 136 IX. KESIMPULAN DAN SARAN 9.1. Kesimpulan Pengembangan kawasan Taman Nasional Gunung Leuser memiliki peran yang sangat strategis bagi pembangunan yang berkelanjutkan di Provinsi Sumatera Utara dan NAD

Lebih terperinci

III KERANGKA PEMIKIRAN

III KERANGKA PEMIKIRAN III KERANGKA PEMIKIRAN 3.1. Kerangka Pemikiran Teoritis 3.1.1. Konsep Daya Saing Perdagangan Internasional pada dasarnya merupakan perdagangan yang terjadi antara suatu negara tertentu dengan negara yang

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. kerja dan mendorong pengembangan wilayah dan petumbuhan ekonomi.

I. PENDAHULUAN. kerja dan mendorong pengembangan wilayah dan petumbuhan ekonomi. I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Hutan Indonesia seluas 120,35 juta hektar merupakan salah satu kelompok hutan tropis ketiga terbesar di dunia setelah Brazil dan Zaire, yang mempunyai fungsi utama sebagai

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Ekosistem mangrove bagi kelestarian sumberdaya perikanan dan lingkungan hidup memiliki fungsi yang sangat besar, yang meliputi fungsi fisik dan biologi. Secara fisik ekosistem

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : P.39/Menhut-II/2013 TENTANG PEMBERDAYAAN MASYARAKAT SETEMPAT MELALUI KEMITRAAN KEHUTANAN

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : P.39/Menhut-II/2013 TENTANG PEMBERDAYAAN MASYARAKAT SETEMPAT MELALUI KEMITRAAN KEHUTANAN 1 PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : P.39/Menhut-II/2013 TENTANG PEMBERDAYAAN MASYARAKAT SETEMPAT MELALUI KEMITRAAN KEHUTANAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 3 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Hutan Tanaman Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu (IUPHHK) dalam Hutan Tanaman adalah izin usaha yang diberikan untuk memanfaatkan hasil hutan berupa kayu dalam Hutan

Lebih terperinci

VI. EVALUASI DAMPAK KEBIJAKAN ALOKASI PENGELUARAN PEMERINTAH DAERAH TERHADAP DEFORESTASI KAWASAN DAN DEGRADASI TNKS TAHUN

VI. EVALUASI DAMPAK KEBIJAKAN ALOKASI PENGELUARAN PEMERINTAH DAERAH TERHADAP DEFORESTASI KAWASAN DAN DEGRADASI TNKS TAHUN VI. EVALUASI DAMPAK KEBIJAKAN ALOKASI PENGELUARAN PEMERINTAH DAERAH TERHADAP DEFORESTASI KAWASAN DAN DEGRADASI TNKS TAHUN 1994-2003 6.1. Hasil Validasi Kebijakan Hasil evaluasi masing-masing indikator

Lebih terperinci

A. PERKEMBANGAN IUPHHK-HA. 1. Jumlah HPH/IUPHHK-HA per Bulan Desember 2008 sebanyak 312 unit dengan luas ha.

A. PERKEMBANGAN IUPHHK-HA. 1. Jumlah HPH/IUPHHK-HA per Bulan Desember 2008 sebanyak 312 unit dengan luas ha. A. PERKEMBANGAN IUPHHK-HA 1. Jumlah HPH/IUPHHK-HA per Bulan Desember 2008 sebanyak 312 unit dengan luas 26.859.188 ha. 2. Progres penyelesaian permohonan melalui lelang IUPHK-HA sebagai penyelesaian PP

Lebih terperinci

PENUNJUK UNDANG-UNDANG PENANAMAN MODAL

PENUNJUK UNDANG-UNDANG PENANAMAN MODAL PENUNJUK UNDANG-UNDANG PENANAMAN MODAL 1 tahun ~ pemberian izin masuk kembali bagi pemegang izin tinggal terbatas pemberian izin masuk kembali untuk beberapa kali perjalanan bagi pemegang izin tinggal

Lebih terperinci

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA. Nomor: 7 TAHUN 1990 (7/1990) Tentang HAK PENGUSAHAAN HUTAN TANAMAN INDUSTRI

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA. Nomor: 7 TAHUN 1990 (7/1990) Tentang HAK PENGUSAHAAN HUTAN TANAMAN INDUSTRI PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA Nomor: 7 TAHUN 1990 (7/1990) Tentang HAK PENGUSAHAAN HUTAN TANAMAN INDUSTRI Menimbang : Presiden Republik Indonesia, a. bahwa hutan merupakan suatu potensi kekayaan alam yang

Lebih terperinci

SINTESA RPI 16 EKONOMI DAN KEBIJAKAN PENGURANGAN EMISI DARI DEFORESTASI DAN DEGRADASI. Koordinator DEDEN DJAENUDIN

SINTESA RPI 16 EKONOMI DAN KEBIJAKAN PENGURANGAN EMISI DARI DEFORESTASI DAN DEGRADASI. Koordinator DEDEN DJAENUDIN SINTESA RPI 16 EKONOMI DAN KEBIJAKAN PENGURANGAN EMISI DARI DEFORESTASI DAN DEGRADASI Koordinator DEDEN DJAENUDIN TARGET OUTPUT RPI 2010-2014 SINTESA OUTPUT 1: OUTPUT 2: OUTPUT 3: OUTPUT 4: OUTPUT 5: Sosial

Lebih terperinci

DUKUNGAN PASCAPANEN DAN PEMBINAAN USAHA

DUKUNGAN PASCAPANEN DAN PEMBINAAN USAHA DUKUNGAN PASCAPANEN DAN PEMBINAAN USAHA PEDOMAN TEKNIS PEMBINAAN USAHA PERKEBUNAN TAHUN 2013 DIREKTORAT JENDERAL PERKEBUNAN KEMENTERIAN PERTANIAN DESEMBER 2012 KATA PENGANTAR Puji syukur kami panjatkan

Lebih terperinci

VI. ANALISIS DAYASAING DAN DAMPAK KEBIJAKAN PEMERINTAH TERHADAP KOMODITAS BELIMBING DEWA DI KOTA DEPOK

VI. ANALISIS DAYASAING DAN DAMPAK KEBIJAKAN PEMERINTAH TERHADAP KOMODITAS BELIMBING DEWA DI KOTA DEPOK VI. ANALISIS DAYASAING DAN DAMPAK KEBIJAKAN PEMERINTAH TERHADAP KOMODITAS BELIMBING DEWA DI KOTA DEPOK 6.1 Analisis Keuntungan Sistem Komoditas Belimbing Dewa di Kota Depok Analisis keunggulan komparatif

Lebih terperinci

III KERANGKA PEMIKIRAN

III KERANGKA PEMIKIRAN III KERANGKA PEMIKIRAN 3.1 Kerangka Pemikiran Teoritis 3.1.1 Pengertian dan Pola Kemitraan Usaha Kemitraan usaha adalah jalinan kerjasama usaha yang saling menguntungkan antara pengusaha kecil dengan pengusaha

Lebih terperinci

PENJELASAN ATAS PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6 TAHUN 1999 TENTANG PENGUSAHAAN HUTAN DAN PEMUNGUTAN HASIL HUTAN PADA HUTAN PRODUKSI

PENJELASAN ATAS PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6 TAHUN 1999 TENTANG PENGUSAHAAN HUTAN DAN PEMUNGUTAN HASIL HUTAN PADA HUTAN PRODUKSI PENJELASAN ATAS PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6 TAHUN 1999 TENTANG PENGUSAHAAN HUTAN DAN PEMUNGUTAN HASIL HUTAN PADA HUTAN PRODUKSI U M U M Bangsa Indonesia dianugerahi Tuhan Yang Maha

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN. Latar Belakang

1 PENDAHULUAN. Latar Belakang 1 PENDAHULUAN Latar Belakang Hutan hak atau sering disebut sebagai hutan rakyat yang merupakan lahan milik dengan hasil utama berupa kayu merupakan barang milik pribadi (private good) dari petani hutan

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. Hutan sebagai sumberdaya alam mempunyai manfaat yang penting bagi

PENDAHULUAN. Hutan sebagai sumberdaya alam mempunyai manfaat yang penting bagi PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Hutan sebagai sumberdaya alam mempunyai manfaat yang penting bagi kehidupan manusia baik secara ekonomi, ekologi dan sosial. Dalam Undangundang Nomor 41 Tahun 1999 disebutkan

Lebih terperinci

VI. DAMPAK KEBIJAKAN MAKROEKONOMI DAN FAKTOR EKSTERNAL. Kebijakan makroekonomi yang dianalisis adalah kebijakan moneter, yaitu

VI. DAMPAK KEBIJAKAN MAKROEKONOMI DAN FAKTOR EKSTERNAL. Kebijakan makroekonomi yang dianalisis adalah kebijakan moneter, yaitu VI. DAMPAK KEBIJAKAN MAKROEKONOMI DAN FAKTOR EKSTERNAL 6.1. Dampak Kebijakan Makroekonomi Kebijakan makroekonomi yang dianalisis adalah kebijakan moneter, yaitu penawaran uang, dan kebijakan fiskal, yaitu

Lebih terperinci

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No. 958, 2013 KEMENTERIAN KEHUTANAN. Kemitraan Kehutanan. Masyarakat. Pemberdayaan. PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR P.39/MENHUT-II/2013 TENTANG PEMBERDAYAAN

Lebih terperinci

III. KERANGKA PEMIKIRAN

III. KERANGKA PEMIKIRAN III. KERANGKA PEMIKIRAN 3.1. Kerangka Pemikiran Teoritis 3.1.1. Definisi Kemitraan Definisi kemitraan diungkapkan oleh Hafsah (1999) yang menyatakan bahwa kemitraan adalah suatu strategi bisnis yang dilakukan

Lebih terperinci

PENGEMBANGAN INDUSTRI KEHUTANAN BERBASIS HUTAN TANAMAN penyempurnaan P.14/2011,P.50/2010, P.38 ttg SVLK) dan update peta P3HP.

PENGEMBANGAN INDUSTRI KEHUTANAN BERBASIS HUTAN TANAMAN penyempurnaan P.14/2011,P.50/2010, P.38 ttg SVLK) dan update peta P3HP. PENGEMBANGAN INDUSTRI KEHUTANAN BERBASIS HUTAN TANAMAN penyempurnaan P.14/2011,P.50/2010, P.38 ttg SVLK) dan update peta P3HP. Direktur Jenderal Bina Usaha Kehutanan Jakarta, 14 Juni 2011 1 A. Dasar Kebijakan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. di Indonesia. Selain sebagai sumber pendapatan masyarakat tani pekebun,

I. PENDAHULUAN. di Indonesia. Selain sebagai sumber pendapatan masyarakat tani pekebun, 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Karet merupakan komoditas perkebunan yang sangat penting peranannya di Indonesia. Selain sebagai sumber pendapatan masyarakat tani pekebun, komoditas ini juga memberikan

Lebih terperinci

BUPATI WONOGIRI PERATURAN DAERAH KABUPATEN WONOGIRI NOMOR 14 TAHUN 2011 TENTANG PENANAMAN MODAL DI KABUPATEN WONOGIRI

BUPATI WONOGIRI PERATURAN DAERAH KABUPATEN WONOGIRI NOMOR 14 TAHUN 2011 TENTANG PENANAMAN MODAL DI KABUPATEN WONOGIRI 1 BUPATI WONOGIRI PERATURAN DAERAH KABUPATEN WONOGIRI NOMOR 14 TAHUN 2011 TENTANG PENANAMAN MODAL DI KABUPATEN WONOGIRI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI WONOGIRI, Menimbang : a. bahwa penanaman

Lebih terperinci

MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA

MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA KEPUTUSAN MENTERI KEHUTANAN NOMOR : SK. 101/Menhut-II/2006 TENTANG PEMBAHARUAN IZIN USAHA PEMANFAATAN HASIL HUTAN KAYU PADA HUTAN TANAMAN PT. MITRA HUTANI JAYA ATAS

Lebih terperinci

PEMERINTAH PROVINSI JAWA TENGAH PERATURAN DAERAH PROVINSI JAWA TENGAH NOMOR 7 TAHUN 2010 TENTANG PENANAMAN MODAL DI PROVINSI JAWA TENGAH

PEMERINTAH PROVINSI JAWA TENGAH PERATURAN DAERAH PROVINSI JAWA TENGAH NOMOR 7 TAHUN 2010 TENTANG PENANAMAN MODAL DI PROVINSI JAWA TENGAH PEMERINTAH PROVINSI JAWA TENGAH PERATURAN DAERAH PROVINSI JAWA TENGAH NOMOR 7 TAHUN 2010 TENTANG PENANAMAN MODAL DI PROVINSI JAWA TENGAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR JAWA TENGAH, Menimbang

Lebih terperinci

POTENSI DAN KELEMBAGAAN HUTAN RAKYAT Oleh: Billy Hindra 1)

POTENSI DAN KELEMBAGAAN HUTAN RAKYAT Oleh: Billy Hindra 1) POTENSI DAN KELEMBAGAAN HUTAN RAKYAT Oleh: Billy Hindra 1) I. PENDAHULUAN Sumberdaya hutan di Indonesia seluas 120 juta hektar mempunyai keanekaragaman hayati yang sangat tinggi sehingga hutan kita tidak

Lebih terperinci

BAB. X. JARINGAN USAHA KOPERASI. OLEH : Lilis Solehati Y, SE.M.Si

BAB. X. JARINGAN USAHA KOPERASI. OLEH : Lilis Solehati Y, SE.M.Si BAB. X. JARINGAN USAHA OLEH : Lilis Solehati Y, SE.M.Si SEBAGAI EKONOMI RAKYAT Ekonomi rakyat merupakan kelompok pelaku ekonomi terbesar dalam perekonomian Indonesia dan terbukti menjadi katup pengaman

Lebih terperinci

PEMERINTAH KOTA TANJUNGPINANG

PEMERINTAH KOTA TANJUNGPINANG PEMERINTAH KOTA TANJUNGPINANG PERATURAN DAERAH KOTA TANJUNGPINANG NOMOR 11 TAHUN 2009 TENTANG PENANAMAN MODAL DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALIKOTA TANJUNGPINANG, Menimbang : a. bahwa untuk

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. mempengaruhi debit air khususnya debit air tanah. Kelangkaan sumberdaya air

II. TINJAUAN PUSTAKA. mempengaruhi debit air khususnya debit air tanah. Kelangkaan sumberdaya air II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Kelangkaan Sumberdaya Air Peningkatan jumlah penduduk merupakan salah satu penyebab pemanfaatan berlebihan yang dilakukan terhadap sumberdaya air. Selain itu, berkurangnya daerah

Lebih terperinci

sesuaian harga yang diterima dengan cost yang dikeluarkan. Apalagi saat ini,

sesuaian harga yang diterima dengan cost yang dikeluarkan. Apalagi saat ini, RINGKASAN Kendati Jambu Mete tergolong dalam komoditas unggulan, namun dalam kenyataannya tidak bisa dihindari dan kerapkali mengalami guncangan pasar, yang akhirnya pelaku (masyarakat) yang terlibat dalam

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. Ekosistem /SDAL memiliki nilai guna langsung dan tidak langsung

PENDAHULUAN. Ekosistem /SDAL memiliki nilai guna langsung dan tidak langsung PENDAHULUAN Ekosistem penghasil beragam produk dan jasa lingkungan keberlanjutan kehidupan. Ekosistem /SDAL memiliki nilai guna langsung dan tidak langsung Nilai guna langsung pangan, serat dan bahan bakar,

Lebih terperinci