BAB I PENDAHULUAN. Menurut Undang-undang No.41 Tahun 1999 hutan memiliki fungsi

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "BAB I PENDAHULUAN. Menurut Undang-undang No.41 Tahun 1999 hutan memiliki fungsi"

Transkripsi

1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Menurut Undang-undang No.41 Tahun 1999 hutan memiliki fungsi konservasi, fungsi lindung dan fungsi produksi. Hutan dengan fungsi lindung yaitu hutan sebagai satu kesatuan ekosistem memiliki fungsi untuk hidrologis, sebagai penyangga kehidupan. Apa pun dan bagaimanapun pengelolaan hutan, harus tetap mengedepankan fungsi tersebut. Adanya fungsi untuk hidrologis tersebut, hutan menjadi salah satu komponen untuk keseimbangan ekosistem. Maka jika hutan rusak, keseluruhan ekosistem juga akan rusak. Hal ini tentu saja merupakan kerugian besar bagi umat manusia, karena kerusakan ekosistem biasanya diikuti juga dengan penurunan nilai ekonominya. Pembangunan di Indonesia yang dilakukan di segala bidang terus mengalami peningkatan. Salah satu sektor pembangunan yang cukup penting namun dianggap penuh kontroversi adalah pertambangan. Dikatakan demikian karena pembangunan di sektor pertambangan selain membuka lapangan pekerjaan juga memberikan dampak negatif terhadap lingkungan. Hal ini dikarenakan kegiatan pertambangan sebagian besar berada di dalam kawasan hutan yang dilakukan melalui skema Izin Pinjam Pakai Kawasan Hutan (IPPKH). Pinjam pakai kawasan hutan adalah penggunaan atas sebagian kawasan hutan kepada pihak lain untuk kepentingan pembangunan di luar kegiatan kehutanan tanpa mengubah status, peruntukan dan fungsi kawasan tersebut. Peraturan Menteri Kehutanan No.16 Tahun 2014 tentang Pedoman Pinjam Pakai 1

2 Kawasan Hutan mengatur tata cara permohonan IPPKH, kewajiban pemegang persetujuan prinsip dan pemegang IPPKH baik pada perusahaan dengan tahap produksi dan survei/eksplorasi serta tata cara perpanjangan izin hingga sanksi pencabutan IPPKH. Perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup merupakan kewajiban dan tanggung jawab semua pihak. Semua sektor dalam pembangunan antara lain seperti pertambangan, energi dan perkebunan wajib menjaga kelestarian lingkungan. Hal ini dipertegas dalam peraturan perundang-undangan terkait, seperti dalam Undang-Undang No.41 Tahun 1999 tentang Kehutanan beserta perubahannya Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2004; Undang-Undang No. 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi; Undang-Undang No. 30 Tahun 2007 tentang Energi; Undang-Undang No. 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara. Salah satu kewajiban pemegang IPPKH adalah melakukan penanaman dalam rangka rehabilitasi Daerah Aliran Sungai (DAS). Dalam Peraturan Pemerintah No.24 Tahun 2010 tentang Penggunaan Kawasan Hutan jo Peraturan Pemerintah No.61 Tahun 2012 disebutkan bahwa izin pinjam pakai kawasan hutan dapat dilakukan dengan kompensasi lahan untuk kawasan hutan pada provinsi yang luas kawasan hutannya di bawah 30% dari DAS, pulau dan/atau provinsi. Sedangkan untuk kawasan hutan pada provinsi yang luas kawasan hutannya di atas 30% dari luas DAS, pulau dan/atau prvovinsi, izin pinjam pakai kawasan hutan dengan kompensasi membayar Penerimaan Negara Bukan Pajak 2

3 (PNBP) Penggunaan Kawasan Hutan dan melakukan penanaman dalam rangka rehabilitasi DAS. Kewajiban rehabilitasi DAS bagi pemegang IPPKH (selanjutnya disebut dengan rehabilitasi DAS) diatur dalam Peraturan Menteri Kehutanan (Permenhut) No.18 Tahun 2011 tentang Pedoman Pinjam Pakai Kawasan Hutan dan Permenhut No.63 Tahun 2011 jo Permenhut No.87 Tahun 2014 tentang Pedoman Penanaman Bagi Pemegang IPPKH dalam Rangka Rehabilitasi DAS. Penanaman dalam rangka rehabilitasi DAS adalah upaya untuk memulihkan, mempertahankan dan meningkatkan fungsi DAS sehingga daya dukung, produktivitas dan peranannya dalam mendukung sistem penyangga kehidupan tetap terjaga. Kebijakan penanaman dalam rangka rehabilitasi DAS ini merupakan salah satu bentuk niat baik pemerintah untuk menjaga kualitas lingkungan, sebagai wujud konsistensi dan kepedulian terhadap pembangunan di Indonesia, yang idealnya harus didukung partisipasi semua stakeholder baik para pemegang IPPKH maupun masyarakat pada umumnya. Pada pelaksanaannya, implementasi kewajiban rehabilitasi DAS yang dilaksanakan oleh pemegang IPPKH saat ini masih terganjal. Kendala yang dihadapi utamanya masalah penentuan lokasi penanaman antara lain karena lokasi lahan yang terpisah-pisah atau terkadang juga harus berbenturan dengan masyarakat. Rehabilitasi hutan dan lahan (RHL) merupakan salah satu kegiatan dalam pengelolaan DAS untuk memperbaiki dan memulihkan kondisi hutan dan lahan, baik dalam hal fungsi ekologis maupun fungsi sosial ekonomi. Namun demikian, 3

4 beberapa masalah sering terjadi, seperti : 1) keefektifan dan relevansi sistem perencanaan yang masih diragukan, 2) Perencanaan kurang terpadu sehingga tidak bisa dilaksanakan di tingkat lapangan, 3) Perencanaan tidak sejalan dengan peraturan pemerintah, 4) Kriteria dan indikator pengawasan serta evaluasi belum sepenuhnya lengkap dan matang. Peninjauan terhadap sejarah nasional kegiatan rehabilitasi memberi suatu kesan bahwa investasi tinggi dalam berbagai kegiatan rehabilitasi belum membuahkan hasil yang signifikan (Nawir dkk., 2008). Lebih lanjut Nawir dkk. (2008) mengungkapkan bahwa program rehabilitasi di Indonesia perlu dikaji kembali secara seksama, sebagai upaya mengidentifikasi dasar penetapan strategi rehabilitasi di masa mendatang, dengan mempertimbangkan hasil pembelajaran dari pelaksanaan kegiatan rehabilitasi selama lebih dari tiga dasawarsa. Beberapa masalah yang sering terjadi biasanya terkait dengan perencanaan. Data dasar wilayah antara lain seperti topografi, ketinggian tempat di atas permukaan laut, jenis dan kesuburan tanah yang merupakan bagian dari karakterisasi lokasi dalam tahap perencanaan menjadi sangat penting karena data inilah yang akan menjadi dasar penentuan spesies yang sesuai secara ekologis untuk suatu wilayah yang tentu saja menjadi salah satu faktor penentu keberhasilan rehabilitasi DAS. Hal yang tidak kalah penting adalah penggunaan spesies yang telah menjadi bagian dari budaya masyarakat setempat. Selain itu, sebagian besar kegiatan rehabilitasi kurang mempertimbangkan aspek ekonomi sebagai bagian dari rancangan dan strategi proyek/kegiatan. Aspek sosial-budaya tidak kalah pentingnya. Aspek ini telah dipertimbangkan dalam kegiatan rehabilitasi, hanya saja seringkali lembaga adat setempat tidak 4

5 diperhitungkan sebagai mitra. Masyarakat hanya diberikan hak terbatas dan setengah-setengah untuk mengelola wilayah yang telah direhabilitasi, khususnya yang berada di dalam kawasan hutan. Hingga saat ini, DAS selalu menjadi acuan yang digunakan sebagai unit pengelolaan dalam pelaksanaan RHL. DAS digunakan sebagai unit pengelolaan karena bersifat holistik, dari bagian hulu hingga hilir mencakup aspek biofisik, sosial, ekonomi dan budaya. Pasal 9 ayat 2 PP No.76 Tahun 2008 menegaskan bahwa kegiatan rehabilitasi dilakukan dengan menggunakan DAS sebagai unit pengelolaan. Oleh karenanya pelaksanaan RHL harus memperhatikan dan mengacu prinsip-prinsip keberlanjutan dalam pengelolaan hutan dan DAS. Sebagian besar kegiatan rehabilitasi DAS saat ini berada pada tahap penentuan lokasi atau tahap awal penanaman. Di Sumatera terdapat beberapa lokasi rehabilitasi DAS yang menerapkan metode CASM yang digunakan dalam penentuan calon lokasi penanamannya. Metode ini terdiri dari analisis Capability, Availability, Suitability, dan Manageability. Metode CASM merupakan alternatif metode yang digunakan dalam perencanaan rehabilitasi DAS. Hal ini dikarenakan rehabilitasi hutan merupakan kegiatan berupa kesatuan sistem, sehingga dibutuhkan metode berbasis sistem yang mampu mengintegrasikan berbagai aspek seperti aspek biofisik dan aspek sosial (Soeprijadi dkk., 2012). Saat ini alternatif metode yang dipandang memenuhi kriteria tersebut adalah metode CASM. Penentuan lokasi penanaman menjadi tahap penting dalam suatu kegiatan perencanaan rehabilitasi DAS. Tahap ini akan sangat berperan dalam menentukan 5

6 keberhasilan rehabilitasi DAS yang merupakan salah satu syarat dalam pengembalian IPPKH sebelum akhirnya pemegang IPPKH menyerahkan hasil penanaman dalam rangka rehabilitasi DAS kepada Direktur Jenderal Bina Pengelolaan Daerah Aliran Sungai dan Perhutanan Sosial (Dirjen BPDASPS) atas nama menteri. Selain itu, keberhasilan penanaman dalam rangka rehabilitasi DAS juga dalam rangka mewujudkan komitmen dan kepedulian pemerintah terhadap kualitas lingkungan terutama sumberdaya hutan. Dalam beberapa kajian empirik tentang fenomena rehabilitasi hutan dan lahan, ternyata terdapat kajian yang belum tersentuh secara berarti, yaitu aspek penentuan calon lokasi penanamannya. Hal ini menarik untuk diteliti, karena karakterisasi calon lokasi penanaman dalam rangka rehabilitasi DAS sebagai bagian dari tahap persiapan, pertimbangan kesesuaian jenis dengan kondisi lokasi, penyediaan bibit dan lain sebagainya juga akan mempengaruhi tingkat keberhasilan penanaman dalam rangka rehabilitasi DAS. Selain itu, permasalahan tersebut juga penting karena kebijakan kewajiban penanaman dalam rangka rehabilitasi DAS bagi pemegang IPPKH ini merupakan isu nasional yang wajib diimplementasikan bagi kelangsungan hidup manusia. Penelitian ini diharapkan akan menjadi langkah awal untuk mengetahui peran metode CASM dalam kegiatan RHL. Sehingga akan memberikan informasi alternatif metode yang dapat digunakan dalam kegiatan rehabilitasi DAS untuk mewujudkan keberhasilan rehabilitasi hutan dan lahan yang merupakan bagian dari pengelolaan DAS. 6

7 1.2. Perumusan Masalah Penelitian Izin Pinjam Pakai Kawasan Hutan (IPPKH) merupakan isu yang menarik, karena berkaitan dengan pembangunan namun memiliki dampak serius terhadap lingkungan. Saat ini IPPKH yang dikeluarkan sebagian besar diberikan untuk kegiatan pertambangan. Meskipun usaha pertambangan merupakan usaha yang penuh kontroversi, pertambangan merupakan salah satu sektor yang cukup penting dalam pembangunan. Pembangunan sektor pertambangan merupakan perwujudan dari amanat Undang-Undang Dasar 1945 pasal 33 yang pada hakekatnya merupakan upaya pemanfaatan dan pengembangan sumberdaya alam berupa mineral dan energi yang potensial untuk dimanfaatkan secara optimal bagi kepentingan dan kemakmuran rakyat. Miftakhurochman (2012) menyatakan bahwa pertambangan adalah sebagian atau seluruh tahapan kegiatan dalam rangka penelitian, pengelolaan dan pengusahaan mineral atau batubara yang meliputi penyelidikan umum, eksplorasi studi kelayakan, konstruksi, penambangan pengelolaan dan pemurnian, pengangkutan dan penjualan, serta kegiatan pascatambang. Usaha pertambangan adalah kegiatan dalam rangka pengusahaan mineral atau batubara yang meliputi tahapan kegiatan penyelidikan umum, eksplorasi studi kelayakan, konstruksi, penambangan pengelolaan dan pemurnian, pengangkutan dan penjualan, serta kegiatan pascatambang. Sektor ini merupakan salah satu sektor yang menyediakan lapangan kerja namun juga menjadi sorotan karena ancamannya terhadap fungsifungsi ekosistem dan kelestarian lingkungan serta kehidupan sosial budaya masyarakat. 7

8 Sub sektor pada sektor pertambangan yang ada di Indonesia antara lain yaitu sub sektor batubara, minyak dan gas bumi (migas), batu-batuan, logam dan mineral lainnya. Migas merupakan sumberdaya alam strategis yang merupakan salah satu sub sektor pertambangan yang memberikan keuntungan ekonomi dan penerimaan negara yang sangat besar bagi Indonesia. Menurut Mubarak (2011), Industri migas seringkali menjadi masalah utama dalam pencemaran lingkungan. Industri migas hulu penuh resiko terhadap aspek permasalahan di sektor lingkungan. Kegiatan usaha hulu ini meliputi eksplorasi dan eksploitasi. Kegiatan eksplorasi dan eksploitasi seringkali menjadi sumber dari pencemaran lingkungan. Menjaga kelestarian lingkungan setelah melakukan eksplorasi pertambangan merupakan tanggung jawab badan usaha migas. Badan Usaha Migas juga memiliki tanggung jawab terkait masalah sosial dan lingkungan hidup, hal ini seperti disebutkan dalam Undang-Undang Nomor 40 Tahun Sekitar 70 persen kerusakan lingkungan di Indonesia disebabkan oleh operasi pertambangan. Hampir 34 persen daratan Indonesia telah diserahkan kepada korporasi lewat izin pertambangan mineral dan batubara (minerba). setidaknya 3,97 juta hektar kawasan lindung terancam pertambangan, tak luput keanekaragaman hayati di dalamnya. Tak hanya hutan, sungai pun dikorbankan. Jumlah DAS yang rusak parah meningkat dalam 10 tahun terakhir. Dari sekitar DAS yang ada di Indonesia, sebanyak 108 DAS mengalami kerusakan parah (Messwati, 2012). 8

9 Kerusakan lahan akibat pertambangan dapat terjadi selama pertambangan berlangsung maupun pasca pertambangan. Kerusakan yang biasa terjadi akibat kegiatan pertambangan diantaranya yaitu kerusakan DAS. Meskipun tujuan Permenhut No. P.63/Menhut-II/2011 jo P.87/Menhut- II/2014 dapat memberikan manfaat yang cukup besar, namun dalam implementasinya kebijakan ini menemui beberapa kendala terutama dari sikap penerima kebijakan atau pemegang IPPKH terhadap kewajiban penanaman dalam rangka rehabilitasi DAS terutama dalam penentuan calon lokasi penanaman. Selain itu, untuk memperbaiki pelaksanaan dan belajar dari kesalahan strategi yang belum berhasil dalam pelaksanaan rehabilitasi. Alternatif metode yang saat ini dipandang dapat mengintegrasikan aspek biofisik maupun sosial dalam perencanaan RHL yaitu metode CASM. Saat ini metode ini telah digunakan dalam beberapa kegiatan perencanaan rehabilitasi DAS di beberapa lokasi di Sumatera. Dalam metode CASM unsur sosial menjadi bagian yang tidak kalah penting dengan unsur lainnya, sehingga menjadi salah satu pertimbangan dalam penentuan calon lokasi rehabilitasi DAS. Aplikasi metode CASM pada penentuan lokasi rehabilitasi DAS yang pernah dilaksanakan antara lain pada lokasi rehabilitasi DAS di Kab. Muaro Jambi dan Kabupaten Tanjung Jabung Timur Provinsi Jambi serta Kabupaten Tabalong dan kabupaten Balangan Provinsi Kalimantan Selatan. Aplikasi metode CASM pada penentuan lokasi rehabilitasi DAS di Provinsi Jambi menghasilkan keputusan calon lokasi rehabilitasi DAS yang berada di Tahura Sekitar Tanjung. Tahura Sekitar Tanjung sebelumnya dianalisis dan dibandingkan karakter CASM- 9

10 nya dengan Tahura Sultan Thaha. Berdasarkan hasil analisis terhadap karakter CASM pada dua lokasi tersebut diketahui bahwa pada calon lokasi yang berada di Tahura Sultan Thaha memiliki permasalahan sosial yang lebih berat, sementara Tahura Sekitar Tanjung meskipun kondisi biofisik lebih berat akan tetapi hal ini lebih mudah untuk diatasi. Lokasi lain yang menerapkan metode CASM pada penentuan lokasi rehabilitasi DAS adalah kegiatan rehabilitasi DAS di DAS Barito Provinsi Kalimantan Selatan. Berdasarkan hasil analisis capability luas kawasan yang kapabel untuk dilakukan tidak seluruhnya availabe untuk dilakukan rehabilitasi. Berdasarkan analisis availability, diketahui bahwa kawasan yang tersedia untuk direhabilitasi adalah 78,29 % dari total area yang kapabel. Kemudian hasil analisis suitability (dilaksanakan berdasarkan fungsi hutannya) dan manageabilty menunjukkan bahwa areal yang available hampir seluruhnya suitable dan manageable untuk kegiatan rehabilitasi DAS. Penentuan calon lokasi yang tidak menggunakan metode CASM juga menggunakan aspek biofisik dan sosial ekonomi sebagai pendekatan dalam penentuan lokasinya. Hanya saja faktanya masih ada penentuan lokasi rehabilitasi DAS yang belum mempertimbangkan aspek sosial secara signifikan. Sehingga penentuan lokasinya terkadang harus berbenturan dengan masyarakat dan hal ini menjadi hambatan bagi pemegang IPPKH dalam memenuhi salah satu kewajibannya untuk melakukan rehabilitasi DAS. Sementara itu menurut Nawir dkk. (2008) berdasarkan pengamatannya, keterlibatan masyarakat menjadi salah 10

11 satu unsur penting yang mendukung keberlangsungan serta keberhasilan kegiatan rehabilitasi. Berdasarkan latar belakang tersebut maka dirumuskan beberapa permasalahan yang dinyatakan dalam pertanyaan penelitian sebagai berikut : 1. Bagaimanakah proses penentuan lokasi penanaman dalam perencanaan rehabilitasi DAS dengan aspek biofisik dan sosial ekonomi pada metode CASM dan non CASM? 2. Faktor-faktor apa saja yang menjadi kelebihan dan kekurangan penerapan metode CASM pada penentuan lokasi penanaman dalam perencanaan rehabilitasi DAS? 3. Apakah penerapan metode CASM untuk menentukan lokasi dalam perencanaan rehabilitasi DAS sudah tepat? 1.3. Tujuan Penelitian Berdasarkan latar belakang dan perumusan masalah yang telah diuraikan di atas, maka tujuan penelitian ini adalah : 1. Mengkaji penentuan lokasi rehabilitasi DAS dengan pendekatan biofisik dan sosial ekonomi yang digunakan pada metode CASM dan non CASM. 2. Menganalisis kelebihan serta kekurangan metode CASM pada penentuan lokasi penanaman dalam perencanaan rehabilitasi DAS. 3. Mengevaluasi apakah penerapan metode CASM tepat untuk menentukan lokasi penanaman dalam perencanaan rehabilitasi DAS. 11

12 1.4. Manfaat Penelitian Beberapa manfaat penting yang diharapkan dari penelitian ini adalah : 1. Manfaat akademis Mampu memberikan masukan khasanah teoritik dan pengembangan ilmu kehutanan terkait perencanaan rehabilitasi DAS yang dilaksanakan oleh pemegang IPPKH. 2. Manfaat praktis Sumbangan pemikiran bagi para pelaku kebijakan dalam melakukan implementasi kebijakan agar kebijakan yang ditetapkan dan dilaksanakan dapat mencapai tujuan yang telah dirumuskan. 12

BAB I PENDAHULUAN. harus segera diselesaikan. Berdasarkan data Ditjen BPDAS PS pada tahun 2011,

BAB I PENDAHULUAN. harus segera diselesaikan. Berdasarkan data Ditjen BPDAS PS pada tahun 2011, BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Permasalahan lahan kritis di Indonesia merupakan permasalahan yang harus segera diselesaikan. Berdasarkan data Ditjen BPDAS PS pada tahun 2011, total luasan lahan

Lebih terperinci

REPUBLIK INDONESIA KEMENTERIAN KEHUTANAN

REPUBLIK INDONESIA KEMENTERIAN KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA KEMENTERIAN KEHUTANAN KEPUTUSAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA Nomor: SK :/5-0/ Menhut-V/ RHL/ 2013 TENTANG PENETAPAN LOKASI PENANAMAN DALAM RANGKA REHABILITASI DAERAH ALIRAN SUNGAI

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. bawah tanah. Definisi hutan menurut Undang-Undang No 41 Tahun 1999 tentang

BAB I PENDAHULUAN. bawah tanah. Definisi hutan menurut Undang-Undang No 41 Tahun 1999 tentang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Hutan merupakan sumber daya alam yang menyimpan kekayaan keanekaragaman hayati dan sumber daya alam lain yang terdapat di atas maupun di bawah tanah. Definisi hutan

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : P.63/Menhut-II/2011

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : P.63/Menhut-II/2011 PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : P.63/Menhut-II/2011 TENTANG PEDOMAN PENANAMAN BAGI PEMEGANG IZIN PINJAM PAKAI KAWASAN HUTAN DALAM RANGKA REHABILITASI DAERAH ALIRAN SUNGAI Menimbang

Lebih terperinci

PENDAHULUAN Latar Belakang

PENDAHULUAN Latar Belakang PENDAHULUAN Latar Belakang Tambang batubara merupakan salah satu penggerak roda perekonomian dan pembangunan nasional Indonesia baik sebagai sumber energi maupun sumber devisa negara. Deposit batubara

Lebih terperinci

MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA. PERATURAN MENTERI KEHUTANAN NOMOR : P.12/Menhut-II/2004 TENTANG

MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA. PERATURAN MENTERI KEHUTANAN NOMOR : P.12/Menhut-II/2004 TENTANG MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA PERATURAN MENTERI KEHUTANAN NOMOR : P.12/Menhut-II/2004 TENTANG PENGGUNAAN KAWASAN HUTAN LINDUNG UNTUK KEGIATAN PERTAMBANGAN MENTERI KEHUTANAN, Menimbang: a. bahwa

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN Latar Belakang

1 PENDAHULUAN Latar Belakang 1 1 PENDAHULUAN Latar Belakang Laswell dan Kaplan (1970) mengemukakan bahwa kebijakan merupakan suatu program yang memroyeksikan tujuan, nilai, dan praktik yang terarah. Kemudian Dye (1978) menyampaikan

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH PROVINSI KALIMANTAN SELATAN NOMOR 1 TAHUN 2013 TENTANG REKLAMASI LAHAN PASCA TAMBANG BATUBARA DI KALIMANTAN SELATAN

PERATURAN DAERAH PROVINSI KALIMANTAN SELATAN NOMOR 1 TAHUN 2013 TENTANG REKLAMASI LAHAN PASCA TAMBANG BATUBARA DI KALIMANTAN SELATAN PERATURAN DAERAH PROVINSI KALIMANTAN SELATAN NOMOR 1 TAHUN 2013 TENTANG REKLAMASI LAHAN PASCA TAMBANG BATUBARA DI KALIMANTAN SELATAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR KALIMANTAN SELATAN, Menimbang

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN NOMOR : P.12/Menhut-II/2004 TENTANG PENGGUNAAN KAWASAN HUTAN LINDUNG UNTUK KEGIATAN PERTAMBANGAN MENTERI KEHUTANAN,

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN NOMOR : P.12/Menhut-II/2004 TENTANG PENGGUNAAN KAWASAN HUTAN LINDUNG UNTUK KEGIATAN PERTAMBANGAN MENTERI KEHUTANAN, MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA PERATURAN MENTERI KEHUTANAN NOMOR : P.12/Menhut-II/2004 TENTANG PENGGUNAAN KAWASAN HUTAN LINDUNG UNTUK KEGIATAN PERTAMBANGAN MENTERI KEHUTANAN, Menimbang: a. bahwa

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dan pertumbuhan ekonomi nasional tekanan terhadap sumber daya hutan semakin

BAB I PENDAHULUAN. dan pertumbuhan ekonomi nasional tekanan terhadap sumber daya hutan semakin BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Hutan di Indonesia mempunyai peranan baik ditinjau dari aspek ekonomi, sosial budaya, maupun secara ekologis. Sejalan dengan pertambahan penduduk dan pertumbuhan ekonomi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. yang sangat melimpah. Salah satu kekayaan alam yang dimiliki Indonesia

BAB I PENDAHULUAN. yang sangat melimpah. Salah satu kekayaan alam yang dimiliki Indonesia BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia merupakan salah satu negara yang memiliki kekayaan alam yang sangat melimpah. Salah satu kekayaan alam yang dimiliki Indonesia adalah sumber daya mineralnya

Lebih terperinci

Penggunaan Kawasan Hutan untuk Pembangunan Sektor Non Kehutanan Oleh : Dirjen Planologi Kehutanan dan Tata Lingkungan Kementerian LHK

Penggunaan Kawasan Hutan untuk Pembangunan Sektor Non Kehutanan Oleh : Dirjen Planologi Kehutanan dan Tata Lingkungan Kementerian LHK Penggunaan Kawasan Hutan untuk Pembangunan Sektor Non Kehutanan Oleh : Dirjen Planologi Kehutanan dan Tata Lingkungan Kementerian LHK Disampaikan pada Seminar Nasional yang diselenggarakan Badan Pemeriksa

Lebih terperinci

PERATURAN GUBERNUR JAWA BARAT NOMOR 31 TAHUN 2011 TENTANG PEDOMAN PENGELOLAAN PERTAMBANGAN MINERAL LOGAM BESI GUBERNUR JAWA BARAT

PERATURAN GUBERNUR JAWA BARAT NOMOR 31 TAHUN 2011 TENTANG PEDOMAN PENGELOLAAN PERTAMBANGAN MINERAL LOGAM BESI GUBERNUR JAWA BARAT Gubernur Jawa Barat PERATURAN GUBERNUR JAWA BARAT NOMOR 31 TAHUN 2011 TENTANG PEDOMAN PENGELOLAAN PERTAMBANGAN MINERAL LOGAM BESI GUBERNUR JAWA BARAT Menimbang : a. bahwa dalam rangka pengusahaan mineral

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pemanfaatan tanaman kayu putih sebagai salah satu komoditi kehutanan

BAB I PENDAHULUAN. Pemanfaatan tanaman kayu putih sebagai salah satu komoditi kehutanan BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pemanfaatan tanaman kayu putih sebagai salah satu komoditi kehutanan merupakan salah satu solusi yang realistis dalam menghadapi tantangan pengelolaan hutan saat ini.

Lebih terperinci

WILAYAH PERTAMBANGAN DALAM TATA RUANG NASIONAL. Oleh : Bambang Pardiarto Kelompok Program Penelitian Mineral, Pusat Sumberdaya Geologi, Badan Geologi

WILAYAH PERTAMBANGAN DALAM TATA RUANG NASIONAL. Oleh : Bambang Pardiarto Kelompok Program Penelitian Mineral, Pusat Sumberdaya Geologi, Badan Geologi WILAYAH PERTAMBANGAN DALAM TATA RUANG NASIONAL Oleh : Bambang Pardiarto Kelompok Program Penelitian Mineral, Pusat Sumberdaya Geologi, Badan Geologi PENDAHULUAN Undang-Undang Dasar 1945 pada Pasal 33 telah

Lebih terperinci

TAMBANG DI KAWASAN HUTAN LINDUNG

TAMBANG DI KAWASAN HUTAN LINDUNG TAMBANG DI KAWASAN HUTAN LINDUNG http://www.sindotrijaya.com I. PENDAHULUAN Hutan tropis Indonesia sangat kaya flora dan fauna serta kekayaan alam lainnya, termasuk mineral dan batubara. Dengan kawasan

Lebih terperinci

INDIKATOR RAMAH LINGKUNGAN UNTUK USAHA DAN/ATAU KEGIATAN PENAMBANGAN TERBUKA BATUBARA

INDIKATOR RAMAH LINGKUNGAN UNTUK USAHA DAN/ATAU KEGIATAN PENAMBANGAN TERBUKA BATUBARA INDIKATOR RAMAH LINGKUNGAN UNTUK USAHA DAN/ATAU KEGIATAN PENAMBANGAN TERBUKA BATUBARA Antung Deddy Asdep Keanekaragaman Hayati dan Pengendalian Kerusakan Lahan Deputi Bidang Pengendalian Kerusakan Lingkungan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. Sumberdaya alam adalah unsur lingkungan yang terdiri atas sumberdaya alam

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. Sumberdaya alam adalah unsur lingkungan yang terdiri atas sumberdaya alam BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Sumberdaya alam adalah unsur lingkungan yang terdiri atas sumberdaya alam hayati, sumberdaya alam non hayati dan sumberdaya buatan, merupakan salah satu aset pembangunan

Lebih terperinci

PENDAHULUAN Latar Belakang

PENDAHULUAN Latar Belakang PENDAHULUAN Latar Belakang Hutan merupakan salah satu sumberdaya alam yang dapat memberikan berbagai manfaat bagi kehidupan manusia, yaitu manfaat ekologis, sosial maupun ekonomi. Tetapi dari berbagai

Lebih terperinci

GUBERNUR BALI PERATURAN DAERAH PROVINSI BALI NOMOR 4 TAHUN 2017 TENTANG PENGELOLAAN PERTAMBANGAN MINERAL BUKAN LOGAM DAN BATUAN

GUBERNUR BALI PERATURAN DAERAH PROVINSI BALI NOMOR 4 TAHUN 2017 TENTANG PENGELOLAAN PERTAMBANGAN MINERAL BUKAN LOGAM DAN BATUAN GUBERNUR BALI PERATURAN DAERAH PROVINSI BALI NOMOR 4 TAHUN 2017 TENTANG PENGELOLAAN PERTAMBANGAN MINERAL BUKAN LOGAM DAN BATUAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR BALI, Menimbang : a. bahwa potensi

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 2010 TENTANG PENGGUNAAN KAWASAN HUTAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 2010 TENTANG PENGGUNAAN KAWASAN HUTAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA www.bpkp.go.id PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 2010 TENTANG PENGGUNAAN KAWASAN HUTAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : bahwa untuk melaksanakan

Lebih terperinci

GUBERNUR DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA PERATURAN DAERAH DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA NOMOR 7 TAHUN 2015 TENTANG

GUBERNUR DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA PERATURAN DAERAH DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA NOMOR 7 TAHUN 2015 TENTANG SALINAN GUBERNUR DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA PERATURAN DAERAH DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA NOMOR 7 TAHUN 2015 TENTANG PENGELOLAAN HUTAN PRODUKSI DAN HUTAN LINDUNG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 2010 TENTANG PENGGUNAAN KAWASAN HUTAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 2010 TENTANG PENGGUNAAN KAWASAN HUTAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 2010 TENTANG PENGGUNAAN KAWASAN HUTAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: bahwa untuk melaksanakan ketentuan

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. berhasil menguasai sebidang atau seluas tanah, mereka mengabaikan fungsi tanah,

TINJAUAN PUSTAKA. berhasil menguasai sebidang atau seluas tanah, mereka mengabaikan fungsi tanah, II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pertambangan Tanah merupakan salah satu faktor yang terpenting bagi kehidupan manusia. Akan tetapi sangat disayangkan bahwa pada umumnya setelah manusia berhasil menguasai sebidang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. potensial yang ada seperti sektor pertanian, perkebunan, perikanan, kehutanan dan

BAB I PENDAHULUAN. potensial yang ada seperti sektor pertanian, perkebunan, perikanan, kehutanan dan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sumatera Utara merupakan salah satu dari 34 provinsi di Indonesia yang dianugrahi kekayaan alam yang berlimpah. Provinsi ini adalah daerah agraris yang menjadi pusat

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 2010 TENTANG PENGGUNAAN KAWASAN HUTAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 2010 TENTANG PENGGUNAAN KAWASAN HUTAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 2010 TENTANG PENGGUNAAN KAWASAN HUTAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : bahwa untuk melaksanakan ketentuan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Indonesia memiliki potensi sumberdaya hutan yang tidak hanya memiliki keanekaragaman hayati tinggi namun juga memiliki peranan penting dalam perlindungan dan jasa lingkungan,

Lebih terperinci

Pertambangan adalah salah satu jenis kegiatan yang melakukan ekstraksi mineral dan bahan tambang lainnya dari dalam bumi.

Pertambangan adalah salah satu jenis kegiatan yang melakukan ekstraksi mineral dan bahan tambang lainnya dari dalam bumi. Pengertian Pertambangan Pertambangan adalah : 1. Kegiatan, teknologi, dan bisnis yang berkaitan dengan industri pertambangan mulai dari prospeksi, eksplorasi, evaluasi, penambangan, pengolahan, pemurnian,

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 57 TAHUN 2016 TENTANG PERUBAHAN ATAS PERATURAN PEMERINTAH NOMOR 71 TAHUN 2014 TENTANG PERLINDUNGAN DAN PENGELOLAAN EKOSISTEM GAMBUT DENGAN RAHMAT TUHAN YANG

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Daerah Aliran Sungai (DAS) merupakan ruang bagi sumberdaya alam,

BAB I PENDAHULUAN. Daerah Aliran Sungai (DAS) merupakan ruang bagi sumberdaya alam, BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Daerah Aliran Sungai (DAS) merupakan ruang bagi sumberdaya alam, terutama vegetasi, tanah dan air berada dan tersimpan, serta tempat hidup manusia dalam memanfaatkan

Lebih terperinci

Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten Banyuasin

Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten Banyuasin 2.1 Tujuan Penataan Ruang Tujuan penataan ruang wilayah kabupaten merupakan arahan perwujudan ruang wilayah kabupaten yang ingin dicapai pada masa yang akan datang (20 tahun). Dengan mempertimbangkan visi

Lebih terperinci

Title : Analisis Polaruang Kalimantan dengan Tutupan Hutan Kalimantan 2009

Title : Analisis Polaruang Kalimantan dengan Tutupan Hutan Kalimantan 2009 Contributor : Doni Prihatna Tanggal : April 2012 Posting : Title : Analisis Polaruang Kalimantan dengan Tutupan Hutan Kalimantan 2009 Pada 19 Januari 2012 lalu, Presiden Republik Indonesia mengeluarkan

Lebih terperinci

PENDAHULUAN Latar Belakang

PENDAHULUAN Latar Belakang PENDAHULUAN Latar Belakang Hutan merupakan sumberdaya alam anugerah Tuhan Yang Maha Kuasa yang tidak terhingga nilainya bagi seluruh umat manusia. Sebagai anugerah, hutan mempunyai nilai filosofi yang

Lebih terperinci

INDIKASI LOKASI REHABILITASI HUTAN & LAHAN BAB I PENDAHULUAN

INDIKASI LOKASI REHABILITASI HUTAN & LAHAN BAB I PENDAHULUAN INDIKASI LOKASI REHABILITASI HUTAN & LAHAN BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Hutan merupakan salah satu sumberdaya alam yang memiliki nilai ekonomi, ekologi dan sosial yang tinggi. Hutan alam tropika

Lebih terperinci

2 Ruang Wilayah Provinsi dan Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota menetapkan Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten/Kota yang menjadi pedoman dalam pemanfaa

2 Ruang Wilayah Provinsi dan Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota menetapkan Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten/Kota yang menjadi pedoman dalam pemanfaa TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA RI (Penjelasan Atas Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2012 Nomor 140) PENJELASAN ATAS PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR TAHUN 2012 TENTANG PERUBAHAN ATAS PERATURAN

Lebih terperinci

MAKALAH PEMBAHASAN EVALUASI KEBIJAKAN NASIONAL PENGELOLAAN SUMBERDAYA ALAM DAN LINGKUNGAN HIDUP DI DAERAH ALIRAN SUNGAI 1) WIDIATMAKA 2)

MAKALAH PEMBAHASAN EVALUASI KEBIJAKAN NASIONAL PENGELOLAAN SUMBERDAYA ALAM DAN LINGKUNGAN HIDUP DI DAERAH ALIRAN SUNGAI 1) WIDIATMAKA 2) MAKALAH PEMBAHASAN EVALUASI KEBIJAKAN NASIONAL PENGELOLAAN SUMBERDAYA ALAM DAN LINGKUNGAN HIDUP DI DAERAH ALIRAN SUNGAI 1) WIDIATMAKA 2) 1) Disampaikan pada Lokakarya Nasional Rencana Pembangunan Jangka

Lebih terperinci

Dalam Peraturan Daerah ini yang dimaksud dengan:

Dalam Peraturan Daerah ini yang dimaksud dengan: -2-4. Peraturan Pemerintah Nomor 78 Tahun 2010 tentang Reklamasi dan Pascatambang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2010 Nomor 138, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5172); Dengan

Lebih terperinci

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.138, 2010 LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA PERTAMBANGAN. Reklamasi. Pasca Tambang. Prosedur. (Penjelasan Dalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5172) PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN Nomor : P.14/Menhut-II/2006 TENTANG PEDOMAN PINJAM PAKAI KAWASAN HUTAN MENTERI KEHUTANAN,

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN Nomor : P.14/Menhut-II/2006 TENTANG PEDOMAN PINJAM PAKAI KAWASAN HUTAN MENTERI KEHUTANAN, PERATURAN MENTERI KEHUTANAN Nomor : P.14/Menhut-II/2006 TENTANG PEDOMAN PINJAM PAKAI KAWASAN HUTAN MENTERI KEHUTANAN, Menimbang: a. bahwa berdasarkan Pasal 38 Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Earnings response coefficient merupakan indikator yang dapat digunakan

BAB I PENDAHULUAN. Earnings response coefficient merupakan indikator yang dapat digunakan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Earnings response coefficient merupakan indikator yang dapat digunakan untuk mengukur kualitas laba yang sesungguhnya melalui informasi dalam keresponan laba

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. bumi, air, dan kekayaan yang terkandung di dalamnya di kuasai oleh negara

BAB I PENDAHULUAN. bumi, air, dan kekayaan yang terkandung di dalamnya di kuasai oleh negara `1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Indonesia merupakan salah satu negara di dunia yang kaya akan sumber daya alam (natural resources). Sumber daya alam itu ada yang dapat diperbaharui (renewable),

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : P. 14/Menhut-II/2013 TENTANG

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : P. 14/Menhut-II/2013 TENTANG Hasil Pemba hasan d PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : P. 14/Menhut-II/2013 TENTANG PERUBAHAN KEDUA ATAS PERATURAN MENTERI KEHUTANAN NOMOR P.18/MENHUT-II/2011 TENTANG PEDOMAN PINJAM

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH KABUPATEN BANJAR NOMOR 9 TAHUN 2011 TENTANG PENGELOLAAN PERTAMBANGAN MINERAL DAN BATUBARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN DAERAH KABUPATEN BANJAR NOMOR 9 TAHUN 2011 TENTANG PENGELOLAAN PERTAMBANGAN MINERAL DAN BATUBARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA 1 PERATURAN DAERAH KABUPATEN BANJAR NOMOR 9 TAHUN 2011 TENTANG PENGELOLAAN PERTAMBANGAN MINERAL DAN BATUBARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI BANJAR, Menimbang : a. bahwa untuk melaksanakan ketentuan

Lebih terperinci

PENYELENGGARAAN KEWENANGAN PADA BIDANG MINYAK DAN GAS BUMI

PENYELENGGARAAN KEWENANGAN PADA BIDANG MINYAK DAN GAS BUMI PERATURAN DAERAH KABUPATEN BATANG HARI NOMOR TAHUN 2008 TENTANG PENYELENGGARAAN KEWENANGAN PADA BIDANG MINYAK DAN GAS BUMI Menimbang Mengingat DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI BATANG HARI, : a.

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH KABUPATEN TANJUNG JABUNG BARAT NOMOR 11 TAHUN 2006 TENTANG KEGIATAN USAHA MINYAK DAN GAS BUMI

PERATURAN DAERAH KABUPATEN TANJUNG JABUNG BARAT NOMOR 11 TAHUN 2006 TENTANG KEGIATAN USAHA MINYAK DAN GAS BUMI PEMERINTAH KABUPATEN TANJUNG JABUNG BARAT PERATURAN DAERAH KABUPATEN TANJUNG JABUNG BARAT NOMOR 11 TAHUN 2006 TENTANG KEGIATAN USAHA MINYAK DAN GAS BUMI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI TANJUNG

Lebih terperinci

1. PENDAHULUAN Latar Belakang

1. PENDAHULUAN Latar Belakang 1 1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Provinsi Nusa Tenggara Barat dengan luas 49 307,19 km 2 memiliki potensi sumberdaya hayati laut yang tinggi. Luas laut 29 159,04 Km 2, sedangkan luas daratan meliputi

Lebih terperinci

BUPATI SAMBAS PERATURAN DAERAH KABUPATEN SAMBAS NOMOR 4 TAHUN 2013 TENTANG PENGELOLAAN PERTAMBANGAN RAKYAT DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

BUPATI SAMBAS PERATURAN DAERAH KABUPATEN SAMBAS NOMOR 4 TAHUN 2013 TENTANG PENGELOLAAN PERTAMBANGAN RAKYAT DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI SAMBAS PERATURAN DAERAH KABUPATEN SAMBAS NOMOR 4 TAHUN 2013 TENTANG PENGELOLAAN PERTAMBANGAN RAKYAT DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI SAMBAS, Menimbang : a. bahwa pertambangan rakyat di Kabupaten

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Indonesia merupakan suatu negara kepulauan yang terdiri dari 13.667 pulau dan mempunyai wilayah pantai sepanjang 54.716 kilometer. Wilayah pantai (pesisir) ini banyak

Lebih terperinci

PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4 TAHUN 2009 TENTANG PERTAMBANGAN MINERAL DAN BATUBARA

PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4 TAHUN 2009 TENTANG PERTAMBANGAN MINERAL DAN BATUBARA No. 4959 TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA RI PERTAMBANGAN. KETENTUAN-KETENTUAN POKOK. Pencabutan. (Penjelasan Atas Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 4) PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Negara Indonesia merupakan salah satu negara di dunia yang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Negara Indonesia merupakan salah satu negara di dunia yang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Negara Indonesia merupakan salah satu negara di dunia yang mempunyai banyak kekayaan alam baik yang dapat diperbaharui maupun yang tidak dapat diperbaharui. Jenis kekayaan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Perkembangan teknologi informasi saat ini sudah semakin maju, hal ini juga berkaitan erat dengan perkembangan peta yang saat ini berbentuk digital. Peta permukaan bumi

Lebih terperinci

PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 28 TAHUN 2011 TENTANG PENGGUNAAN KAWASAN HUTAN LINDUNG UNTUK PENAMBANGAN BAWAH TANAH

PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 28 TAHUN 2011 TENTANG PENGGUNAAN KAWASAN HUTAN LINDUNG UNTUK PENAMBANGAN BAWAH TANAH PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 28 TAHUN 2011 TENTANG PENGGUNAAN KAWASAN HUTAN LINDUNG UNTUK PENAMBANGAN BAWAH TANAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang:

Lebih terperinci

PEMERINTAH KABUPATEN MALANG

PEMERINTAH KABUPATEN MALANG PEMERINTAH KABUPATEN MALANG PERATURAN DAERAH KABUPATEN MALANG NOMOR 9 TAHUN 2007 TENTANG PENGELOLAAN USAHA PERTAMBANGAN UMUM DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI MALANG, Menimbang : a. bahwa berdasarkan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. haves and the have nots. Salah satu sumberdaya alam yang tidak merata

BAB I PENDAHULUAN. haves and the have nots. Salah satu sumberdaya alam yang tidak merata BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia memang diberi karunia oleh Tuhan Yang Maha Esa dengan sumberdaya alam yang kaya raya. Namun penyebaran sumberdaya alam di Indonesia tidak merata, hal ini sesuai

Lebih terperinci

KEBIJAKAN PELEPASAN KAWASAN HUTAN PRODUKSI YANG DAPAT DIKONVERSI UNTUK PEMBANGUNAN DILUAR KEGIATAN KEHUTANAN

KEBIJAKAN PELEPASAN KAWASAN HUTAN PRODUKSI YANG DAPAT DIKONVERSI UNTUK PEMBANGUNAN DILUAR KEGIATAN KEHUTANAN KEBIJAKAN PELEPASAN KAWASAN HUTAN PRODUKSI YANG DAPAT DIKONVERSI UNTUK PEMBANGUNAN DILUAR KEGIATAN KEHUTANAN SOLUSI PENGGUNAAN KAWASAN HUTAN UNTUK KEGIATAN NON KEHUTANAN Disampaikan oleh : Kementerian

Lebih terperinci

PERATURAN GUBERNUR JAWA BARAT NOMOR : 19 TAHUN 2006 TENTANG : PENGELOLAAN PASIR BESI GUBERNUR JAWA BARAT

PERATURAN GUBERNUR JAWA BARAT NOMOR : 19 TAHUN 2006 TENTANG : PENGELOLAAN PASIR BESI GUBERNUR JAWA BARAT Gubernur Jawa Barat PERATURAN GUBERNUR JAWA BARAT NOMOR : 19 TAHUN 2006 TENTANG : PENGELOLAAN PASIR BESI GUBERNUR JAWA BARAT Menimbang : a. bahwa Jawa Barat memiliki endapan pasir besi yang berpotensi

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA MOR : P.25/Menhut-II/2013 TENTANG PELIMPAHAN SEBAGIAN URUSAN PEMERINTAHAN (DEKONSENTRASI) BIDANG KEHUTANAN TAHUN 2013 KEPADA 33 GUBERNUR PEMERINTAH PROVINSI

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH PROVINSI JAWA BARAT NOMOR 20 TAHUN 2014 TENTANG PENGELOLAAN DAERAH ALIRAN SUNGAI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN DAERAH PROVINSI JAWA BARAT NOMOR 20 TAHUN 2014 TENTANG PENGELOLAAN DAERAH ALIRAN SUNGAI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PERATURAN DAERAH PROVINSI JAWA BARAT NOMOR 20 TAHUN 2014 TENTANG PENGELOLAAN DAERAH ALIRAN SUNGAI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR JAWA BARAT, Menimbang : a. bahwa Daerah Aliran Sungai merupakan

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI LINGKUNGAN HIDUP DAN KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI LINGKUNGAN HIDUP DAN KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA, 9PERATURAN MENTERI LINGKUNGAN HIDUP DAN KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR P.99/MENLHK/SETJEN/SET.1/12/2016 TENTANG PELIMPAHAN SEBAGIAN URUSAN PEMERINTAHAN BIDANG LINGKUNGAN HIDUP DAN KEHUTANAN TAHUN 2017

Lebih terperinci

PEMERINTAH PROVINSI KALIMANTAN BARAT

PEMERINTAH PROVINSI KALIMANTAN BARAT PEMERINTAH PROVINSI KALIMANTAN BARAT PERATURAN DAERAH PROVINSI KALIMANTAN BARAT NOMOR 4 TAHUN 2012 TENTANG SINKRONISASI PENGGUNAAN LAHAN UNTUK KEGIATAN USAHA PERTAMBANGAN DENGAN KEGIATAN USAHA SEKTOR LAIN

Lebih terperinci

I PENDAHULUAN 1.1.Latar Belakang

I PENDAHULUAN 1.1.Latar Belakang 1 I PENDAHULUAN 1.1.Latar Belakang Sektor pariwisata merupakan salah satu sumber penghasil devisa potensial selain sektor migas. Indonesia sebagai suatu negara kepulauan memiliki potensi alam dan budaya

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. hidup Indonesia terdapat dalam Pembukaan UUD 1945 alinea keempat. Kaedah

BAB I PENDAHULUAN. hidup Indonesia terdapat dalam Pembukaan UUD 1945 alinea keempat. Kaedah 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Kaedah dasar yang melandasi pembangunan dan perlindungan lingkungan hidup Indonesia terdapat dalam Pembukaan UUD 1945 alinea keempat. Kaedah dasar ini selanjutnya

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 78 TAHUN 2010 TENTANG REKLAMASI DAN PASCATAMBANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 78 TAHUN 2010 TENTANG REKLAMASI DAN PASCATAMBANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA www.bpkp.go.id Menimbang : PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 78 TAHUN 2010 TENTANG REKLAMASI DAN PASCATAMBANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, bahwa untuk melaksanakan

Lebih terperinci

Laporan Akhir Kajian Iventarisasi Potensi Sumber Daya Alam di Kabupaten Pelalawan Tahun 2009 PENDAHULUAN

Laporan Akhir Kajian Iventarisasi Potensi Sumber Daya Alam di Kabupaten Pelalawan Tahun 2009 PENDAHULUAN BA B PENDAHULUAN I 1.1. Latar Belakang Sebagai bangsa yang besar dengan kekayaan potensi sumber daya alam yang luar biasa, sebenarnya Indonesia memiliki peluang yang besar untuk menjadi pelaku ekonomi

Lebih terperinci

RENCANA STRATEGIS DINAS KEHUTANAN TAHUN

RENCANA STRATEGIS DINAS KEHUTANAN TAHUN PEMERINTAH KABUPATEN GARUT DINAS KEHUTANAN RUT 2011 Jl. Patriot No. O5 Tlp. (0262) 235785 Garut 44151 RENCANA STRATEGIS DINAS KEHUTANAN TAHUN 2014-2019 G a r u t, 2 0 1 4 KATA PENGANTAR Dinas Kehutanan

Lebih terperinci

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.326, 2015 KEHUTANAN. Hutan. Kawasan. Tata Cara. Pencabutan (Penjelasan Dalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5794). PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK

Lebih terperinci

PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Provinsi Kalimantan Timur (Kaltim) merupakan salah satu penghasil batubara terbesar di Indonesia. Deposit batubara di Kalimantan Timur mencapai sekitar 19,5 miliar ton

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia merupakan salah satu negara yang kaya akan sumber daya

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia merupakan salah satu negara yang kaya akan sumber daya BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Indonesia merupakan salah satu negara yang kaya akan sumber daya alam, baik berupa minyak dan gas bumi, tembaga, emas dan lain-lain. Kekayaan alam Indonesia

Lebih terperinci

Makalah Hubungan Hukum Antara Hukum Pertambangan Dengan Hukum Agraria, Hukum Lingkungan, Hukum Kehutanan, Dan Hukum Pajak.

Makalah Hubungan Hukum Antara Hukum Pertambangan Dengan Hukum Agraria, Hukum Lingkungan, Hukum Kehutanan, Dan Hukum Pajak. Makalah Hubungan Hukum Antara Hukum Pertambangan Dengan Hukum Agraria, Hukum Lingkungan, Hukum Kehutanan, Dan Hukum Pajak. Universitas Negeri Palangkaraya Di Susun Oleh: Nama : Agustinus Yosef Sianipar

Lebih terperinci

RANCANGAN UNDANG UNDANG REPUBLIK INDONESIA TENTANG MINYAK DAN GAS BUMI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

RANCANGAN UNDANG UNDANG REPUBLIK INDONESIA TENTANG MINYAK DAN GAS BUMI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, RANCANGAN UNDANG UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR TAHUN TENTANG MINYAK DAN GAS BUMI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa Minyak dan Gas Bumi merupakan sumber

Lebih terperinci

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.944, 2014 BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA KEMENKEU. NJOP. Dasar Pengenaan. PBB. ifikasi. Penetapan. Pencabutan. PERATURAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 139/PMK.03/2014 TENTANG KLASIFIKASI

Lebih terperinci

Kerangka landasan pendekatan DAS: Merupakan ekologi bentang lahan (Landscape ecology), suatu subdisiplin ekologi yang mengamati sebab dan akibat

Kerangka landasan pendekatan DAS: Merupakan ekologi bentang lahan (Landscape ecology), suatu subdisiplin ekologi yang mengamati sebab dan akibat Kerangka landasan pendekatan DAS: Merupakan ekologi bentang lahan (Landscape ecology), suatu subdisiplin ekologi yang mengamati sebab dan akibat ekologi dari pola ruang, proses dan perubahan dalam suatu

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Hampir separuh wilayah daratnya berupa hutan. Untuk itu pemerintah

BAB I PENDAHULUAN. Hampir separuh wilayah daratnya berupa hutan. Untuk itu pemerintah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Republik Indonesia adalah sebuah negara yang kaya akan hutan. Hampir separuh wilayah daratnya berupa hutan. Untuk itu pemerintah berupaya memaksimalkan fungsi

Lebih terperinci

PENDAHULUAN Latar Belakang

PENDAHULUAN Latar Belakang 1 PENDAHULUAN Latar Belakang Hutan sebagai modal dasar pembangunan perlu dipertahankan keberadaannya dan dimanfaatkan sebesar-besarnya untuk kepentingan dan kesejahteraan masyarakat. Luas kawasan hutan

Lebih terperinci

KERUSAKAN LINGKUNGAN

KERUSAKAN LINGKUNGAN bab i KERUSAKAN LINGKUNGAN A. KONSEP KERUSAKAN LINGKUNGAN Kerusakan lingkungan sangat berdampak pada kehidupan manusia yang mendatangkan bencana saat ini maupun masa yang akan datang, bahkan sampai beberapa

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN Latar Belakang. Mangrove merupakan ekosistem unik dengan fungsi yang unik dalam

I. PENDAHULUAN Latar Belakang. Mangrove merupakan ekosistem unik dengan fungsi yang unik dalam 2 I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Mangrove merupakan ekosistem unik dengan fungsi yang unik dalam lingkungan hidup. Oleh karena adanya pengaruh laut dan daratan, di kawasan mangrove terjadi interaksi

Lebih terperinci

2011, No Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 167, Tambahan Lembaran Nega

2011, No Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 167, Tambahan Lembaran Nega No.191, 2011 BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA KEMENTERIAN KEHUTANAN. Pinjam Pakai Kawasan Hutan. Pedoman. PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR P.18/Menhut-II/2011 TENTANG PEDOMAN PINJAM

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang 1 I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Kawasan Tahura Wan Abdul Rachman di Propinsi Lampung adalah salah satu kawasan yang amat vital sebagai penyangga kehidupan ekonomi, sosial dan ekologis bagi masyarakat

Lebih terperinci

BAB II PERENCANAAN STRATEGIS

BAB II PERENCANAAN STRATEGIS BAB II PERENCANAAN STRATEGIS 2.1 Rencana Strategis Tahun 2013-2018 Rencana Stategis Dinas Kehutanan Provinsi Jawa Tengah Tahun 2013-2018 mengacu pada Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD)

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang 101111111111105 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Indonesia merupakan negara kepulauan terbesar di dunia, memiliki sumberdaya alam hayati laut yang potensial seperti sumberdaya terumbu karang. Berdasarkan

Lebih terperinci

BUPATI TANAH LAUT PERATURAN BUPATI TANAH LAUT NOMOR 11 TAHUN 2014 TENTANG JAMINAN REKLAMASI DAN JAMINAN PASCA TAMBANG

BUPATI TANAH LAUT PERATURAN BUPATI TANAH LAUT NOMOR 11 TAHUN 2014 TENTANG JAMINAN REKLAMASI DAN JAMINAN PASCA TAMBANG S A L I N A N BUPATI TANAH LAUT PERATURAN BUPATI TANAH LAUT NOMOR 11 TAHUN 2014 TENTANG JAMINAN REKLAMASI DAN JAMINAN PASCA TAMBANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI TANAH LAUT, Menimbang : a. bahwa

Lebih terperinci

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.4, 2009 LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA PERTAMBANGAN. KETENTUAN-KETENTUAN POKOK. Pencabutan. (Penjelasan Dalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4959) UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA

Lebih terperinci

TENTANG LAHAN DENGAN. dan dan. hidup yang. memuat. dengan. pembukaan. indikator. huruf a dan. Menimbang : Tahun Swatantra. Tingkat.

TENTANG LAHAN DENGAN. dan dan. hidup yang. memuat. dengan. pembukaan. indikator. huruf a dan. Menimbang : Tahun Swatantra. Tingkat. PERATURAN DAERAH PROVINSI KALIMANTAN SELATAN NOMOR 1 TAHUN 2013 TENTANG REKLAMASI LAHAN PASCAA TAMBANG BATUBARA DI KALIMANTAN SELATAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR KALIMANTAN SELATAN, Menimbang

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4 TAHUN 2009 TENTANG PERTAMBANGAN MINERAL DAN BATUBARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4 TAHUN 2009 TENTANG PERTAMBANGAN MINERAL DAN BATUBARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4 TAHUN 2009 TENTANG PERTAMBANGAN MINERAL DAN BATUBARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa mineral dan batubara yang

Lebih terperinci

- 1 - PENJELASAN ATAS PERATURAN DAERAH PROVINSI JAWA TIMUR NOMOR TAHUN 2011 TENTANG PENGELOLAAN SUMBER DAYA AIR DI PROVINSI JAWA TIMUR

- 1 - PENJELASAN ATAS PERATURAN DAERAH PROVINSI JAWA TIMUR NOMOR TAHUN 2011 TENTANG PENGELOLAAN SUMBER DAYA AIR DI PROVINSI JAWA TIMUR - 1 - PENJELASAN ATAS PERATURAN DAERAH PROVINSI JAWA TIMUR NOMOR TAHUN 2011 TENTANG PENGELOLAAN SUMBER DAYA AIR DI PROVINSI JAWA TIMUR I. UMUM Air merupakan karunia Tuhan sebagai salah satu sumberdaya

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 78 TAHUN 2010 TENTANG REKLAMASI DAN PASCATAMBANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 78 TAHUN 2010 TENTANG REKLAMASI DAN PASCATAMBANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 78 TAHUN 2010 TENTANG REKLAMASI DAN PASCATAMBANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : bahwa untuk melaksanakan ketentuan

Lebih terperinci

Pengertian. Istilah bahasa inggris ; Mining law.

Pengertian. Istilah bahasa inggris ; Mining law. Pengertian Istilah bahasa inggris ; Mining law. Hukum pertambangan adalah hukum yang mengatur tentang penggalian atau pertambangan biji-biji dan mineralmineral dalam tanah. (ensiklopedia indonesia). Hukum

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 105 TAHUN 2015 TENTANG PERUBAHAN KEDUA ATAS PERATURAN PEMERINTAH NOMOR 24 TAHUN 2010 TENTANG PENGGUNAAN KAWASAN HUTAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. pesat pada dua dekade belakangan ini. Pesatnya pembangunan di Indonesia berkaitan

BAB I PENDAHULUAN. pesat pada dua dekade belakangan ini. Pesatnya pembangunan di Indonesia berkaitan 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Perkembangan wilayah di Indonesia menunjukkan pertumbuhan yang sangat pesat pada dua dekade belakangan ini. Pesatnya pembangunan di Indonesia berkaitan dengan dua

Lebih terperinci

PP Nomor 24 Tahun 2010 Tentang Penggunaan Kawasan Hutan DITJEN PLANOLOGI KEHUTANAN DEPARTEMEN KEHUTANAN

PP Nomor 24 Tahun 2010 Tentang Penggunaan Kawasan Hutan DITJEN PLANOLOGI KEHUTANAN DEPARTEMEN KEHUTANAN PP Nomor 24 Tahun 2010 Tentang Penggunaan Kawasan Hutan DITJEN PLANOLOGI KEHUTANAN DEPARTEMEN KEHUTANAN 12/07/2010 1 Ketentuan Umum Hutan adalah suatu kesatuan ekosistem berupa hamparan lahan berisi sumber

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI LINGKUNGAN HIDUP DAN KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : P.32/Menlhk-Setjen/2015 TENTANG HUTAN HAK

PERATURAN MENTERI LINGKUNGAN HIDUP DAN KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : P.32/Menlhk-Setjen/2015 TENTANG HUTAN HAK PERATURAN MENTERI LINGKUNGAN HIDUP DAN KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : P.32/Menlhk-Setjen/2015 TENTANG HUTAN HAK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI LINGKUNGAN HIDUP DAN KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA,

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 07 TAHUN 2004 TENTANG SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 07 TAHUN 2004 TENTANG SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 07 TAHUN 2004 TENTANG SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa sumber daya air merupakan karunia Tuhan

Lebih terperinci

Kewenangan Pengelolaan FAKULTAS HUKUM, UNIVERSITAS SRIWIJAYA

Kewenangan Pengelolaan FAKULTAS HUKUM, UNIVERSITAS SRIWIJAYA Kewenangan Pengelolaan 21 kewenangan berada di tangan Pusat 1. penetapan kebijakan nasional; 2. pembuatan peraturan perundang-undangan; 3. penetapan standar nasional, pedoman, dan kriteria; 4. penetapan

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA Nomor : P.18/Menhut-II/2011 TENTANG PEDOMAN PINJAM PAKAI KAWASAN HUTAN

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA Nomor : P.18/Menhut-II/2011 TENTANG PEDOMAN PINJAM PAKAI KAWASAN HUTAN PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA Nomor : P.18/Menhut-II/2011 TENTANG PEDOMAN PINJAM PAKAI KAWASAN HUTAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang Mengingat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. semua makhluk baik manusia, hewan maupun tumbuh-tumbuhan. Dari ketiga

BAB I PENDAHULUAN. semua makhluk baik manusia, hewan maupun tumbuh-tumbuhan. Dari ketiga BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Bumi dan segala isinya yang di ciptakan oleh Allah SWT merupakan suatu karunia yang sangat besar. Bumi diciptakan sangat sempurna diperuntukan untuk semua makhluk baik

Lebih terperinci

BAB II TUJUAN, KEBIJAKAN, DAN STRATEGI PENATAAN RUANG WILAYAH PROVINSI BANTEN

BAB II TUJUAN, KEBIJAKAN, DAN STRATEGI PENATAAN RUANG WILAYAH PROVINSI BANTEN BAB II TUJUAN, KEBIJAKAN, DAN STRATEGI PENATAAN RUANG WILAYAH PROVINSI BANTEN 2.1 Tujuan Penataan Ruang Dengan mengacu kepada Undang-Undang Nomor 26 tahun 2007 tentang Penataan Ruang, khususnya Pasal 3,

Lebih terperinci

STUDI EVALUASI PENETAPAN KAWASAN KONSERVASI TAMAN NASIONAL BUKIT TIGAPULUH (TNBT) KABUPATEN INDRAGIRI HULU - RIAU TUGAS AKHIR

STUDI EVALUASI PENETAPAN KAWASAN KONSERVASI TAMAN NASIONAL BUKIT TIGAPULUH (TNBT) KABUPATEN INDRAGIRI HULU - RIAU TUGAS AKHIR STUDI EVALUASI PENETAPAN KAWASAN KONSERVASI TAMAN NASIONAL BUKIT TIGAPULUH (TNBT) KABUPATEN INDRAGIRI HULU - RIAU TUGAS AKHIR Oleh: HERIASMAN L2D300363 JURUSAN PERENCANAAN WILAYAH DAN KOTA FAKULTAS TEKNIK

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 105 TAHUN 2015 TENTANG PERUBAHAN KEDUA ATAS PERATURAN PEMERINTAH

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 105 TAHUN 2015 TENTANG PERUBAHAN KEDUA ATAS PERATURAN PEMERINTAH PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 105 TAHUN 2015 TENTANG PERUBAHAN KEDUA ATAS PERATURAN PEMERINTAH NOMOR 24 TAHUN 2010 TENTANG PENGGUNAAN KAWASAN HUTAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN

Lebih terperinci

BAB II KEBIJAKAN DAN STRATEGI

BAB II KEBIJAKAN DAN STRATEGI BAB II KEBIJAKAN DAN STRATEGI Jawa Barat Bagian Utara memiliki banyak potensi baik dari aspek spasial maupun non-spasialnya. Beberapa potensi wilayah Jawa Barat bagian utara yang berhasil diidentifikasi

Lebih terperinci

Sosialisasi Peraturan Presiden tentang Rencana Tata Ruang (RTR) Pulau/Kepulauan dan Kawasan Strategis Nasional (KSN)

Sosialisasi Peraturan Presiden tentang Rencana Tata Ruang (RTR) Pulau/Kepulauan dan Kawasan Strategis Nasional (KSN) Sosialisasi Peraturan Presiden tentang Rencana Tata Ruang (RTR) dan Kawasan Strategis () Imam S. Ernawi Dirjen Penataan Ruang, Kementerian PU 31 Januari 2012 Badan Outline : 1. Amanat UU RTR dalam Sistem

Lebih terperinci