ADAPTASI FISIOLOGI ANEMON PASIR (Heteractis malu) TERHADAP PENINGKATAN SUHU LINGKUNGAN PERAIRAN 1 O C DAN 2 O C

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "ADAPTASI FISIOLOGI ANEMON PASIR (Heteractis malu) TERHADAP PENINGKATAN SUHU LINGKUNGAN PERAIRAN 1 O C DAN 2 O C"

Transkripsi

1 ADAPTASI FISIOLOGI ANEMON PASIR (Heteractis malu) TERHADAP PENINGKATAN SUHU LINGKUNGAN PERAIRAN 1 O C DAN 2 O C KORNEL ADHITIA WARMAN SKRIPSI DEPARTEMEN ILMU DAN TEKNOLOGI KELAUTAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2011

2 RINGKASAN KORNEL ADHITIA WARMAN. Adaptasi Fisiologi Anemon Pasir (Heteractis malu) Terhadap Peningkatan Suhu Lingkungan Perairan 1 o C dan 2 o C. Dibimbing oleh NEVIATY PUTRI ZAMANI dan BEGINER SUBHAN. Fenomena bleaching pada hewan karang merupakan topik yang sangat menarik untuk diteliti. Hal tersebut terkait dengan pemanasan global yang menjadi penyebab terjadinya fenomena bleaching pada hewan karang. Anemon pasir merupakan salah satu pembentuk ekosistem terumbu karang yang memiliki simbiosis dengan zooxanthellae dan termasuk golongan hexacorallia seperti halnya hewan karang. Anemon diberikan perlakuan berupa peningkatan suhu lingkungan sebesar 1 o C (29 o C) dan 2 o C (30 o C) dalam rangka mengkaji respon terhadap peningkatan suhu global. Tujuan penelitian ini adalah untuk mempelajari adaptasi anemon pasir (Heteractis malu) terhadap kenaikan suhu lingkungan sebesar 1 o C dan 2 o C pada skala laboratorium. Pengamatan secara visual menunjukkan bahwa terjadi penurunan kondisi kesehatan anemon khususnya pada anemon yang diberi perlakuan berupa peningkatan suhu. Penurunan kondisi kesehatan tersebut diperlihatkan dengan adanya tanda-tanda stress, seperti keadaan tentakel yang tidak mengembang/mekar, produksi mucus yang berlebihan, keadaan mesenterial filament yang abnormal, dan berubahnya warna anemon menjadi lebih pucat. Pengamatan terhadap kondisi internal anemon dikaji melalui kondisi zooxanthellae dan rasio ketebalan lapisan endoderm terhadap ektoderm. Kondisi densitas zooxanthellae khususnya untuk pengamatan preparat segar pada perlakuan dua (30 o C) jam 48 menunjukkan pengurangan yang signifikan yaitu sebesar 2,89x10 4 ind/ml dari kondisi awal, dengan nilai P<0,05 terhadap kontrol (28 o C). Kondisi mitotik indeks zooxanthellae khususnya untuk pengamatan preparat segar pada perlakuan dua jam 24 menunjukkan peningkatan yang signifikan yaitu sebesar 0,93% dari kondisi awal, dengan nilai P<0,05 terhadap kontrol. Hasil pengamatan terhadap parameter lain pada masa peningkatan I (jam 0, 24, 48), istirahat (jam 72, 96, 120, 144), dan penigkatan II (jam 168, 192) menunjukkan tidak adanya perubahan yang signifikan baik pengamatan pada preparat segar maupun histologis (P>0,05). Namun terdapat beberapa parameter amatan (histologis) yang mengalami kondisi yang lebih baik pada masa peningkatan II daripada peningkatan I yaitu densitas zooxanthellae pada perlakuan satu dan luasan sel zooxanthellae pada perlakuan satu dan dua. Pengamatan pada preparat segar memperlihatkan bahwa anemon mengalami penyesuaian (adaptasi) terhadap peningkatan suhu sebesar 2 o C khususnya hanya pada parameter densitas dan mitotik indeks zooxanthellae. Pengamatan pada preparat histologi memperlihatkan bahwa anemon mengalami penyesuaian terhadap peningkatan suhu sebesar 1 o C khususnya hanya pada parameter densitas dan luasan sel zooxanthellae serta penyesuaian terhadap peningkatan 2 o C khususnya pada parameter luasan sel zooxanthellae.

3 SUMMARY KORNEL ADHITIA WARMAN. Physiological Adaptation of Sand Anemone (Heteractis malu) Towards Increasing Temperature of The Water Environment for 1 o C and 2 o C. Under Advisor NEVIATY PUTRI ZAMANI and BEGINER SUBHAN. The phenomenon of coral bleaching is a very interesting topic to be studied. This is related to global warming, which is the cause of the phenomenon of coral bleaching in animals. Sand anemone is one of formers the coral reef ecosystem that has a symbiotic zooxanthellae and one of the hexacorallia like a coral. Anemones are given treatment of increased environmental temperature of 1 o C (29 o C) and 2 o C (30 o C) to assess the response to global temperature increases. The purpose of this research is to study the adaptation of sand anemone (Heteractis malu) towards improved the environmental temperature for 1 o C and 2 o C and in laboratory scale. Visual observation showed the decline of health conditions, especially in the anemones treated with increasing temperature. Decline in health conditions indicated by the signs of stress, such as expands its tentacles not / blooms, excessive mucus production, abnormal state of mesenterial filaments, and change the color becomes more pale anemone. Observations of the internal conditions of the anemone, studied by observed the zooxanthellae conditions and studied through the ratio of endoderm to ectoderm layer thickness. Zooxanthellae density conditions, especially for the preparation of fresh observations on the treatment of two (30 o C) at 48 hours treatment showed a significant decrease in the amount of 2.89 x104 ind / ml initial conditions, with a value of P <0.05 against control (28 o C). Mitotic index of zooxanthellae under certain conditions for the preparation of fresh observations on the treatment of two at 24 hours treatment showed a significant increase in the amount of 0.93% of the initial conditions, with a value of P <0.05 against control. Observations of other parameters on the increase time I (at 0, 24, 48 hours), breaks (72, 96, 120, 144 hours), and increasing time II (at 168, 192) showed no significant changes in both observations on fresh preparations and histological (P> 0.05). But there are some observational parameters (histologic) who experienced better conditions in the increase time II that are zooxanthellaes density (treatment one) and the area of zooxanthellae cells in treatment I and II. Observations on fresh preparations showed that anemones experiencing adjustment (adaptation) with a 2 o C rise in temperature in particular only on the density parameter and the mitotic index of zooxanthellae. Observations on histological preparations showed that anemones adapted 1 o C increase in temperature in particular only on the parameters of zooxanthellae cell density and size as well as adjustments to improve the 2 o C, especially in parameter the area of zooxanthellae cell.

4 ADAPTASI FISIOLOGI ANEMON PASIR (Heteractis malu) TERHADAP PENINGKATAN SUHU LINGKUNGAN PERAIRAN 1 O C DAN 2 O C Oleh KORNEL ADHITIA WARMAN Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Ilmu Kelautan pada Departemen Ilmu dan Teknologi Kelautan Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan SKRIPSI DEPARTEMEN ILMU DAN TEKNOLOGI KELAUTAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2011

5 PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN SUMBER INFORMASI Dengan ini saya menyatakan bahwa Skripsi yang berjudul: ADAPTASI FISIOLOGI ANEMON PASIR (Heteractis malu) TERHADAP PENINGKATAN SUHU LINGKUNGAN PERAIRAN 1 o C dan 2 o C adalah benar merupakan hasil karya sendiri dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Semua sumber data dan informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka dibagian akhir Skripsi ini. Bogor, Agustus 2011 KORNEL ADHITIA WARMAN C

6 Hak cipta milik Kornel Adhitia Warman, tahun 2011 Hak cipta dilindungi Dilarang mengutip dan memperbanyak tanpa izin tertulis dari Institut Pertanian Bogor, sebagian atau seluruhnya dalam bentuk apa pun, baik cetak, fotokopi, microfilm, dan sebagainya

7 SKRIPSI Judul Skripsi Nama Mahasiswa Nomor Pokok Departemen : ADAPTASI FISIOLOGI ANEMON PASIR (Heteractis malu) TERHADAP PENINGKATAN SUHU LINGKUNGAN PERAIRAN 1 O C DAN 2 O C : Kornel Adhitia Warman : C : Ilmu dan Teknologi Kelautan Menyetujui, Dosen Pembimbing Utama Anggota Dr. Ir. Neviaty Putri Zamani, M.Sc NIP Beginer Subhan, S.Pi. M.Si NIP Mengetahui, Ketua Departemen Ilmu dan Teknologi Kelautan Prof. Dr. Ir. Setyo Budi Susilo, M.Sc. NIP Tanggal Ujian: 22 Agustus 2011

8 KATA PENGANTAR Perubahan kondisi suatu lingkungan perairan merupakan hal yang menarik untuk ditelaah, terkait dengan isu pemanasan global yang terjadi saat ini. Perubahan kondisi lingkungan tentunya akan mempengaruhi kondisi organisme yang hidup dilingkungan tersebut. Oleh karena itu dalam penelitian ini diajukan suatu topik mengenai salah satu parameter kondisi lingkungan yaitu perubahan suhu. Topik yang diajukan adalah Adaptasi Fisiologi Anemon Pasir (Heteractis Malu) Terhadap Peningkatan Suhu Lingkungan Perairan 1 o C dan 2 o C. Penelitian ini merupakan tugas akhir yang dibuat sebagai salah satu persyaratan akademik untuk memperoleh gelar kesarjanaan. Pada pelaksanaan penelitian dan penyusunan skripsi, Penulis banyak mendapat bantuan dari berbagai pihak. Oleh karena itu Penulis mengucapkan banyak terima kasih terutama kepada Dosen Pembimbing Utama dan Anggota yang bersedia membimbing dan memberi bantuan pada saat penelitian maupun penyusunan skripsi. Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada para Dosen yang bersedia melayani penulis dalam diskusi dan pencarian literatur. Tidak lupa kepada temanteman, terima kasih atas sumbangan saran dan bantuan terhadap penelitian ini. Bogor, Agustus 2011 Kornel Adhitia Warman iii

9 UCAPAN TERIMA KASIH Pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih yang sebesarbesarnya kepada: 1. Dr. Ir. Neviaty Putri Zamani, M.Sc sebagai ketua komisi pembimbing dan pembimbing akademik yang telah memberikan arahan, motivasi, bantuan dana penelitian serta kesabaran dalam membimbing sehingga penulis dapat menyelesaikan penelitian dan skripsi dengan baik. 2. Bapak Beginer Subhan, S.Pi. M.Si sebagai anggota komisi pembimbing yang telah bersabar dalam memberikan arahan serta masukan dan informasi kepada penulis hingga penyelesaian penelitian dan skripsi. 3. Prof. Dr. Ir. Dedi Soedharma, DEA sebagai dosen penguji ujian skripsi 4. Dr. Ir. Henry M. Manik, M.T sebagai ketua komisi pendidikan Departemen Ilmu dan Teknologi Kelautan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, IPB. 5. Staf dosen dan Tata Usaha Departemen Ilmu dan Teknologi Kelautan. 6. Dondi Arafat, S.Pi. M.Si atas arahan dan bimbingan pada saat penelitian 7. Irnita Yulianti sebagai rekan kerja ketika pelaksanaan penelitian 8. A. Aditiayuda, Didit A., Norihiko Z., La Ode Alifatri, Daniel Siahaan, Agus M., Aulia Aldelanov, teman-teman ITK 44 serta teman-teman kontrakan Happy House atas dukungan dan kerja sama selama masa perkuliahan hingga pelaksanaan penelitian dan penyusunan skipsi. 9. Risha Youstikasari dan keluarga atas doa dan motivasi yang diberikan selama perkuliahan hingga penyelesaian skripsi 10. Keluarga tercinta, Bapak, Ibu, kakak, adik serta saudara-saudara, yang telah memberikan doa, kasih sayang, dukungan dan motivasi sampai saat ini. iv

10 DAFTAR ISI DAFTAR ISI... DAFTAR TABEL... DAFTAR GAMBAR... DAFTAR LAMPIRAN... Halaman 1. PENDAHULUAN Latar Belakang Rumusan Masalah Tujuan Luaran TINJAUAN PUSTAKA Anemon Taksonomi Heteractis malu Struktur tubuh anemon Pengaruh suhu lingkungan terhadap kehidupan anemon laut dan hewan karang Zooxanthellae Pengaruh suhu lingkungan terhadap kehidupan zooxanthellae dan simbiosis dengan inangnya METODOLOGI PENELITIAN Waktu dan Lokasi Penelitian Alat dan Bahan Recirculation Water System (RWS) Pemeliharaan anemon pada RWS Metode Penelitian Metode Pengambilan Data Pengamatan secara visual terhadap hewan uji dan pengukuran kualitas air Rasio ketebalan endoderm dan ektoderm H. malu Densitas zooxanthellae Mitotik Indeks (MI) zooxanthellae Ukuran sel zooxanthellae Metode Analisis Data Rasio ketebalan endoderm dan ektoderm pada H. malu Mitotik Indeks (MI) zooxanthellae Densitas zooxanthellae Uji statistik HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil Penelitian Pengamatan visual terhadap keadaan bagian luar tubuh v vii viii x v

11 vi anemon Pengamatan preparat segar Densitas zooxanthellae Mitotik indeks zooxanthellae Pengamatan preparat histologi Densitas zooxanthellae Mitotik indeks zooxanthellae Rasio ketebalan endoderm dan ektoderm Luas sel zooxanthellae Pembahasan Adaptasi fisiologi Pengaruh peningkatan suhu perairan terhadap H. malu KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan Saran DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN RIWAYAT HIDUP... 59

12 vii DAFTAR TABEL Halaman 1. Perlakuan Terhadap Unit Eksperimen Nilai Perubahan Untuk Setiap Parameter Pengamatan Pada Preparat Segar dan Histologis... 39

13 viii DAFTAR GAMBAR Halaman 1. Anemon Jenis Heteractis malu dari Papua New Guinea Struktur Tubuh Anemon Secara Umum Potongan Melintang Bunodeopsis antilliensis (a) dan Thelaceros Rhizophorae (b) Setting Akuarium Recirculation Water System (1 set) Kondisi Anemon Pada Masa Perlakuan Pertama (Peningkatan I) Anemon Satu Kontrol (a), Anemon Tiga Perlakuan Satu (b), Anemon Tiga Perlakuan Satu (c) Kondisi Anemon Tiga Perlakuan Satu Pada Masa Istirahat. Penurunan Kondisi Kesehatan Anemon Pada Jam ke-72 (a), (b), Dan (c), Kematian Pada Jam ke-96 (d) Kondisi Anemon Setelah Masa Perlakuan Kedua (Peningkatan II). Anemon Satu Kontrol (a), Anemon Satu Perlakuan Dua (b), Anemon Dua Perlakuan Satu (c), Anemon Satu Perlakuan Dua (d) Nilai Rata-rata dan Standard Error Densitas Zooxanthellae Pada Masa Peningkatan I (0, 24, 48) dan Peningkatan II (144, 168, 192) Nilai Rata-rata dan Standard Error Mitotik Indeks Zooxanthellae Pada Masa Peningkatan I (0, 24, 48) Dan Peningkatan II (144, 168, 192) Potongan Melintang Tentakel H. Malu (Anemon Tiga Kontrol) Pada Preparat Histologis Potongan Melintang Tentakel H. Malu (Anemon Dua Perlakuan Dua) Pada Preparat Histologis Nilai Rata-rata dan Standard Error Densitas Zooxanthellae Pada Masa Peningkatan I (0, 24, 48) dan Peningkatan II (144, 168, 192) Berdasarkan Pengamatan Preparat Histologis Sel Zooxanthellae Anemon Dua Perlakuan Dua Pada Kondisi Pembelahan Mitosis (Lingkaran Merah) Dan Kondisi Normal (Lingkaran Biru) Nilai Rata-rata dan Standard Error Mitotik Indeks Zooxanthellae Pada Masa Peningkatan I (0, 24, 48) dan Peningkatan II (144, 168, 192) Berdasarkan Pengamatan Preparat Histologis Potongan Melintang Tentakel H. Malu (Anemon Dua Perlakuan Satu)

14 ix Pada Preparat Histologis Nilai Rata-rata dan Standard Error Rasio Ketebalan Endoderm dan Ektoderm Zooxanthellae Pada Masa Peningkatan I (0, 24, 48) serta Peningkatan II (144, 168, 192) Berdasarkan Pengamatan Preparat Histologis Zooxanthellae Pada Lapisan Endoderm Tentakel H. Malu (Anemon Dua Perlakuan Satu) Pada Preparat Histologis Nilai Rata-rata dan Standard Error Luas Sel Zooxanthellae Pada Masa Peningkatan I (0, 24, 48) dan Peningkatan II (144, 168, 192) Berdasarkan Pengamatan Preparat Histologis... 37

15 x DAFTAR LAMPIRAN Halaman 1. Alat dan Bahan Penelitian Diagram Alir Pembuatan Preparat Histologis Data Pengamatan Visual Terhadap Hewan Uji Pada Jam 0, 24, dan Data Pengamatan Visual Terhadap Hewan Uji Pada Jam 72, 96, dan Data Pengamatan Visual Terhadap Hewan Uji Pada Jam 144, 168, dan Rekapiltulasi F-hitung, Peluang, dan Koefisien Keragaman perlakuan Suhu Terhadap Parameter Pengamatan Pada Preparat Segar Rekapiltulasi F-hitung, Peluang, dan Koefisien Keragaman perlakuan Suhu Terhadap Parameter Pengamatan Pada Preparat Histologi Data Pengamatan Kualitas Air... 58

16 1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Berdasarkan data suhu permukaan bumi selama 156 tahun ( ), selama duabelas tahun terakhir ( ) memperlihatkan kenaikan suhu permukaan bumi yang paling hangat (IPCC, 2007). Kenaikan suhu permukaan bumi secara global terlihat pada kenaikan rata-rata suhu seratus tahunan yaitu 0,6 o C pada tahun , menjadi 0,74 o C pada tahun (IPCC, 2007). Pemanasan global tidak hanya mempengaruhi keadaan bumi secara fisik, tetapi juga mempengaruhi faktor biologi kehidupan organisme di bumi. Banyak organisme yang beradaptasi dari perubahan suhu lingkungan karena pemanasan global dengan cara bermigrasi (moving) secara periodik untuk mempertahankan toleransinya dan dapat bertahan dari stress juga menghindari kematian (Hawkes et al., 2007). Penyesuaian ataupun perubahan fisiologi untuk menjadi lebih sesuai dengan keadaan lingkungan merupakan salah satu bentuk adaptasi (biologyonline.org, 2011). Terkait dengan pemanasan global yang sedang terjadi, fenomena bleaching pada hewan karang menjadi topik yang sangat menarik untuk diteliti. Beberapa penelitian yang telah dilaksanakan mengenai dampak peningkatan suhu lingkungan terhadap biota perairan khususnya anemon laut dan hewan karang diantaranya, terdapat perbedaan sintasan anemon laut terhadap suhu pemeliharaan yang berbeda (Stan dan Hauter, 2010), kehilangan berat badan dan meningkatnya tingkat respirasi (Chomsky, et al., 2004), kenaikan suhu dapat menyebabkan terjadinya pemutihan pada hewan karang (bleaching) (Douglas, 2003). Selain itu, 1

17 2 berdasarkan hasil penelitian Goreau dan Hayes (2005), peningkatan suhu 1 o C - 2 o C diatas suhu rata-rata dalam satu bulan, dapat menyebabkan pemucatan (bleaching) pada hewan karang. Anemon pasir merupakan salah satu pembentuk ekosistem terumbu karang yang memiliki simbiosis dengan zooxanthellae dan termasuk golongan hexacorallia seperti halnya hewan karang. Sebagai invertebrata, anemon merupakan hewan berdarah dingin. Hewan berdarah dingin merupakan hewan yang sangat sensitif terhadap perubahan suhu lingkungan sehingga akan berpengaruh secara langsung terhadap kemampuan hidup dan reproduksi (Hawkes et al., 2007). Terjadinya pemutihan (bleaching) pada anemon terkait dengan kondisi zooxanthellae dan rasio ketebalan lapisan endoderm dengan ektoderm pada tubuh anemon. Berdasarkan hal tersebut, penelitian yang dilaksanakan selain mengamati kondisi luar anemon secara visual juga melakukan pengamatan pada bagian internal anemon dengan melakukan perhitungan densitas, luasan sel dan mitotik indeks zooxanthellae serta rasio ketebalan lapisan endoderm dengan ectoderm pada preparat histologi. Selanjutnya, informasi yang didapat akan digunakan untuk mempelajari pola adaptasi anemon terhadap perubahan suhu lingkungan perairan Rumusan Masalah Rumusan masalah dari tulisan yang penulis susun adalah sebagai berikut: 1. Bagaimana kondisi hewan uji ketika menerima perlakuan berupa kenaikan suhu air 1 o C dan 2 o C, berdasarkan kondisi zooxanthellae (densitas, luasan

18 3 sel dan mitotik indeks) serta kondisi rasio ketebalan lapisan endoderm dan ectoderm pada tentakel anemon? 2. Bagaimana adaptasi hewan uji terhadap kenaikan suhu lingkungan? 1.3. Tujuan Tujuan penelitian ini adalah mempelajari adaptasi fisiologi anemon pasir (Heteractis malu) terhadap kenaikan suhu lingkungan sebesar 1 o C dan 2 o C pada skala laboratorium Luaran Hasil penelitian ini diharapkan dapat menunjukkan pengaruh perubahan suhu lingkungan berupa kenaikan suhu, terhadap pola adaptasi biota laut khususnya anemon pasir (Heteractis malu). Informasi mengenai pengaruh kenaikan suhu lingkungan terhadap biota perairan tersebut sedikit banyak dapat dikaitkan dengan kondisi perairan laut saat ini yang terus mengalami kenaikan suhu rata-rata pada beberapa tahun terakhir.

19 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Anemon Anemon merupakan salah satu anggota dari Filum Cnidaria. Anemon mempunyai Nematocyst atau sel penyengat yang menjadi ciri khas dari golongan cnidaria. Populasi anemon tersebar keseluruh lautan mulai dari wilayah tropis sampai kutub. Anemon pasir (Heteractis malu) merupakan salah satu jenis anemon yang hidup di wilayah perairan tropis. Tampilan fisik Heteractis malu dapat dilihat pada Gambar 1 dibawah ini. Menurut Suwignyo et al. (2005), karakteristik anemon laut secara umum diantaranya; polip soliter, biasanya mempunyai pedal disk semacam kaki, Siphonoglyph biasanya berjumlah dua, tidak mempunyai rangka, hidup menempel tetapi tidak melekat pada batu, pasir, atau hewan avertebrata lain, dan dapat merayap menggunakan pedal disk semacam kaki. Sumber : Colin and Arneson (1995) Gambar 1. Anemon Jenis Heteractis malu dari Papua New Guinea 4

20 Taksonomi Heteractis malu Taksonomi Heteractis malu menurut WoRMS (2010) adalah sebagai berikut : Kingdom : Animalia Filum : Cnidaria Kelas : Anthozoa Subkelas : Hexacorallia Ordo : Actiniaria (anemon laut) Family : Stichodactylidae Genus : Heteractis Spesies : Heteractis malu (Haddon & Shackleton, 1893) Struktur tubuh anemon Secara umum anemon laut mempunyai struktur tubuh berbentuk polip dan hidup secara soliter. Bagian terbesar pada tubuh anemon laut adalah sebuah batang tubuh seperti tabung (column), dibawah aboral terdapat telapak kaki yang datar (pedal disc), dibagian oral agak melebar terdapat mulut yang dikelilingi tentakel (Gambar 2). Mulut terhubung secara langsung dengan actinopharynx (saluran seperti tenggorokan yang menghubungkan ke rongga perut/coelenteron). Pada rongga perut tedapat mesenterial filaments yang berfungsi sebagai pencerna makanan, sedangkan gonad dapat dilihat diantara mesentery dan mesenterial filaments. Sumber : McCloskey, 2011 Gambar 2. Struktur Tubuh Anemon Secara Umum

21 6 Pada bagian tentakel terdapat tiga lapisan tubuh yaitu ektoderm, mesoglea, dan endoderm (Gambar 3). Pada lapisan ektoderm terdapat sel nematocyst yang menjadi ciri khas Filum Cnidaria. Sedangkan pada lapisan endoderm dapat ditemukan alga symbion yaitu zooxanthellae. ect mes e.1 n.1 m.1 mg en nem end R1 R zoox (a) Sumber : McCloskey, 2011 Gambar 3. Potongan Melintang Bunodeopsis antilliensis (a) dan Thelaceros rhizophorae (b). Ektodermal epithelium (e.1), Nervous layer (n.1), Ektodermal muscular (m.1), mesoglea (mg/mes), endoderm (en/end), rongga tentakel (R), rongga pada pertumbuhan tentakel (R1), nematocyst (nem), zooxanthellae (zoox) (b) Pengaruh suhu lingkungan terhadap kehidupan anemon laut dan hewan karang Suhu merupakan salah satu faktor fisik lingkungan yang dapat mempengaruhi kehidupan biota yang hidup di perairan. Beberapa pengaruh suhu terhadap kehidupan biota perairan khususnya anemon laut dan hewan karang adalah sebagai berikut : 1. Stan dan Hauter D (2010) menyatakan bahwa pemeliharaan anemon pada akuarium dengan suhu yang hampir sama di tempat asal anemon ( F) tersebut memberikan jangka waktu bertahan hidup yang lebih lama daripada suhu akuarium yang lebih rendah ( F). Selain itu,

22 7 pemeliharaan anemon pada akuarium dengan suhu air F memberikan jangka waktu bertahan hidup tiga kali lebih lama daripada pemeliharaan dengan suhu air F. 2. Peningkatan temperatur air laut dapat menyebabkan terganggunya proses fotosistesis yang kemudian dapat meningkatkan konsentrasi ROS (Reactive Oxygen Species) yaitu berupa H 2 O 2. Meningkatnya konsentrasi ROS akan menyebabkan kerusakan membran sel (host cell) yang pada akhirnya akan berpengaruh kepada mekanisme pelepasan sel zooxanthellae yaitu exocytosis, host cell detachment, dan host cell apoptosis (Weis, 2008). Keluarnya zooxanthellae dari jaringan endoderm hewan karang menyebabkan terjadinya pemutihan hewan karang (bleaching). 3. Pada anemon pasir, jumlah pembelahan mitosis zooxanthellae berkurang seiring dengan bertambahnya suhu lingkungan (Zamani, 1995). 4. Pada kondisi laboratorium, Anthopleura elegantissima yang hidup pada suhu 20 C kehilangan berat badan secara signifikan dibandingkan dengan anemon dengan jenis sama yang hidup pada suhu 13 C (terlepas dari jenis anemon) (Saunders dan Parker, 1997). Hilangnya berat badan juga dialami oleh salah satu jenis anemon yaitu Actinia equina yang dipelihara pada suhu o C (Chomsky, et al., 2004). 5. Bertambahnya suhu perairan, akan menambah juga tingkat respirasi anemon (Chomsky, et al., 2004).

23 Zooxanthellae Zooxanthellae merupakan dinoflagellata dari genus Symbiodinium yang berwarna kuning-cokelat dan pada umumnya bersimbiosis dengan hewan bentik dari filum Cnidaria (Douglas, 2003). Adapun siklus hidup zooxanthellae menurut Sorokin, 1993 in Purnomo, 2011 adalah sebagai berikut : 1. Bentuk yang tetap (immotil) berupa cyst (dalam sel inang) dengan kulit sel yang keras (dalam media budidaya). 2. Bentuk gymnodinium flagella 3. Zoosporangia mengandung zoospora motil yang besar (dapat berenang aktif sehingg dapat menempel pada inang) 4. Zoosporangia mengandung 2-3 zoospora nonmotil Sebagai simbion, zooxanthellae mempunyai peran terhadap inangnya misalnya hewan karang, sebagaimana yang disebutkan oleh Sebens (1997) in Purnomo (2011) yaitu sebagai berikut : 1. Memberikan warna 2. Memberikan 95 % Energi hasil fotosintesis (Muscatine, 1990 in Purnomo, 2011) 3. Memenuhi 90% kebutuhan karbon polyp Pengaruh suhu lingkungan terhadap kehidupan Zooxanthellae dan simbiosis dengan inangnya. Beberapa pengaruh suhu lingkungan terhadap kehidupan Zooxanthellae dan simbiosis dengan inangnya adalah sebagai berikut : 1. Peningkatan suhu perairan sebesar 2 o C -3 o C dari temperatur normal menyebabkan kerusakan simbiosis karang dengan zooxanthellae sehingga

24 9 jika terjadi dalam beberapa bulan, dapat menyebabkan bleaching yang luas dan bahkan kematian karang seperti observasi yang dilakukan di Indonesia oleh Brown (1983) dan Suharsono (1998) (Brown, 1983 dan Suharsono, 1998 in Purnomo, 2011). 2. Peningkatan suhu secara ekstrim juga dapat menyebabkan kerusakan sel zooxanthellae hingga menjadi mati (Zamani, 1995). 3. Zamani (1995) menyatakan bahwa peluluhan pigmen dan pelepasan zooxanthellae dari polip karang akibat adanya tekanan suhu tidak hanya terjadi dalam bentuk keluarnya zooxanthellae di dalam sel polip, tetapi proses pelepasan tersebut diikuti oleh kerusakan seluler. Berdasarkan hal tersebut maka proses degradasi dapat dilihat dengan cara mengamati perubahan kandungan endosimbion dan perubahan struktur sel. 4. Suhu yang tinggi dapat menyebabkan penurunan kepadatan zoochlorellae/zooxanthellae yang berasosiasi pada Anthopleura elegantissima, secara signifikan dan penurunan indeks mitosis alga (dari 15% menjadi <5% pembelahan sel setelah 6 hari) untuk waktu pemeliharaan (pemberian perlakuan) lebih dari 25 hari (Saunders dan Parker, 1997).

25 3. METODOLOGI PENELITIAN 3.1. Waktu dan Lokasi Penelitian Penelitian dilaksanakan pada Bulan Februari-Juni Pelaksanaan eksperimen yang terdiri dari pengambilan sampel dan pengamatan dilaksanakan di Laboratorium Basah dan Laboratorium Kering, Bagian Hidrobiologi Laut, Departemen Ilmu dan Teknologi Kelautan. Analisis kualitas air dilakukan di Laboratorium Produktivitas Lingkungan, Departemen Manajemen Sumberdaya Perairan. Pembuatan preparat histologis dilaksanakan di Laboratorium Kesehatan Ikan, Departemen Budidaya Perairan. Keempat laboratorium yang digunakan bertempat di Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor Alat dan Bahan Alat dan bahan yang digunakan untuk penelitian ini utamanya yaitu, tiga set akuarium Recirculation Water System, pemanas air untuk akuarium (Risheng RS W), mikroskop cahaya (Olympus CX21LEDFS1), air laut, anemon pasir (H. malu), dan sampel untuk pengamatan preparat segar maupun histologis berupa potongan tentakel anemon. Selain itu digunakan juga alat dan bahan untuk pengamatan preparat segar dan histologis, pengukuran kualitas air, dan pembuatan preparat histologis. Rincian alat dan bahan secara keseluruhan dapat dilihat pada Lampiran Recirculation Water System (RWS) Recirculation Water System yang digunakan pada penelitian ini terbagi menjadi dua bagian utama yaitu, akuarium pemeliharaan dan akuarium filter (Gambar 4). Akuarium pemeliharaan digunakan sebagai tempat anemon 10

26 11 dipelihara. Pada setiap akuarium pemeliharaan terdapat 3 anemon pasir yang dipisahkan dengan jaring hapa agar anemon dapat dibedakan satu sama lain (tidak bercampur). Akuarium filter digunakan sebagai tempat penyimpanan pompa air dan filter akuarium yang terdiri atas filter fisika (pecahan karang/rubble), filter kimia (arang), dan filter biologi (bioball). Gambar 4. Setting Akuarium Recirculation Water System (1 set) Penggunaan RWS sangat baik untuk sistem pemeliharaan biota di akuarium karena air laut akan terus mengalir sesuai sistem resirkulasi yang dibuat sehingga air akan terjaga kualitasnya. Hal tersebut terkait dengan sistem filter yang tentunya berfungsi untuk menyaring kotoran pada air laut. Filter fisik (rubble) berfungsi sebagai penyaring kotoran-kotoran yang berukuran cukup besar (suspensi) dari pada pori-pori rubble itu sendiri (Erian, 2010). Filter kimia (arang) berfungsi untuk menyaring bahan terlarut, seperti: gas, bahan organik

27 12 terlarut, dan sejenisnya (Erian, 2010). Filter biologi (bioball) berfungsi untuk mengikat bakteri pengurai sehingga menjadi media bakteri untuk tumbuh (Erian, 2010). Lendir yang melekat pada bioball merupakan nitrobacter yang berguna untuk meningkatkan kualitas air Pemeliharaan anemon pada RWS Pemeliharaan anemon pada sistem resirkulasi terdiri atas dua masa pemeliharaan yaitu masa aklimatisasi dan masa eksperimentasi. Masa aklimatisasi merupakan masa pemeliharaan anemon selama kurang lebih satu minggu mulai dari hari pertama dipeliharanya anemon pada RWS. Masa aklimatisasi dilaksanakan untuk memberikan waktu kepada anemon sehingga dapat menyesuaikan diri terhadap lingkungan yang baru (RWS). Masa eksperimentasi merupakan masa diberikannya perlakuan (pada penelitian ini berupa kenaikan suhu air). Masa eksperimentasi dilaksanakan setelah anemon sudah dapat hidup dengan baik/nyaman pada sistem resirkulasi (setelah masa aklimatisasi). Selama masa pemeliharaan anemon diberi makan berupa potongan/cincangan udang (udang mentah). Pemberian makan dilakukan satu kali dalam dua hari pemeliharaan. Pemberian makan dilakukan dengan cara menyuapi anemon menggunakan pinset langsung pada bagian mulut (oral disc) Metode Penelitian Penelitian ini dilaksanakan dengan menggunakan tiga set akuarium Recirculation Water System. Masing-masing akuarium diisi tiga ekor anemon dengan sekat dari jaring hapa sebagai pemisah antar anemon.

28 13 Terdapat tiga perlakuan terhadap unit eksperimen (anemon), yaitu kontrol (menggunakan suhu normal yaitu rata-rata 28 o C), peningkatan 1 o C dari suhu normal (29 o C) dan peningkatan 2 o C dari suhu normal (30 o C) (Tabel 1). Secara keseluruhan eksperimen dilaksanakan selama 192 jam, yaitu 48 jam peningkatan I, 96 jam masa istirahat, dan 48 jam peningkatan II. Peningkatan I dan II merupakan waktu ketika akuarium diberi perlakuan peningkatan suhu. Tabel 1. Perlakuan Terhadap Unit Eksperimen Akuarium Awal Peningkatan I Istirahat Peningkatan II (jam) (jam) (jam) (jam) Kontrol ( o C) Perlakuan 1 ( o C) Perlakuan 2 ( o C) Metode Pengambilan Data Pengamatan secara visual terhadap hewan uji dan pengukuran kualitas air Pengamatan secara visual dilaksanakan pada masa aklimatisasi dan saat eksperimen dilaksanakan. Pengamatan dilaksanakan untuk mengetahui kondisi kesehatan anemon yang dilihat berdasarkan empat parameter yaitu produksi mucus/lendir, tentakel yang aktif, warna polip, dan keadaan mesenterial filaments. Pengamatan dilaksanakan satu kali dalam satu hari. Pengukuran kualitas air dilakukan pada masa persiapan akuarium, aklimatisasi, dan saat eksperimen (peningkatan I, istirahat, peningkatan II) dilaksanakan. Parameter kualitas air yang diukur yaitu salinitas, suhu, ph, nitrit dan ammonia.

29 Rasio ketebalan endoderm dan ektoderm H. malu Pengamatan rasio ketebalan endoderm dan ektoderm dilaksanakan untuk melihat kondisi kesehatan anemon pasir khususnya pada lapisan endoderm. Semakin menurunnya nilai rasio ketebalan endoderm dan ektoderm menunjukkan semakin tipisnya lapisan endoderm dibanding ektoderm. Hal tersebut menunjukkan adanya kemungkinan terjadinya kerusakan lapisan endoderm akibat mekanisme keluarnya zooxanthellae melalui proses necrosis dan Pinching off, ataupun rusaknya jaringan endoderm akibat lepasnya vakuola bersamaan dengan lepasnya sel zooxanthellae (host cell detachment) (Gates, et al., 1992). Pengamatan rasio ketebalan endoderm dan ektoderm dilakukan pada preparat histologis dari potongan secara melintang pada bagian ujung tentakel anemon. Satu potong tentakel diambil dari setiap individu setiap harinya pada saat perlakuan dilasanakan (peningkatan I dan II). Potongan tentakel tersebut kemudian difiksasi dan dibuat sediaan histologisnya. Langkah-langkah dalam pembuatan preparat histologis dapat dilihat pada Lampiran 2. Setelah preparat histologis tersedia, maka ketebalan endoderm dan ektoderm dapat diamati menggunakan mikroskop cahaya dengan pembesaran 40x10 untuk diambil gambarnya menggunakan kamera digital Optilab dan software Optilab Viewer. Kemudian dari gambar yang diperoleh, ketebalan endoderm dan ektoderm dapat diukur menggunakan software Image Raster dari Optilab Densitas zooxanthellae Pengamatan densitas zooxanthellae dilaksanakan untuk melihat kondisi kesehatan anemon. Hal tersebut terkait dengan fenomena bleaching yang umum terjadi pada hewan karang juga anemon. Berkurangnya densitas zooxanthellae

30 15 akibat peningkatan suhu merupakan salah satu faktor yang menjadi penyebab bleaching (Gates, et al., 1992). Pengamatan densitas zooxanthellae dilakukan baik pada preparat histologi maupun preparat segar dari potongan tentakel anemon menggunakan metode lapang pandang (10 lapang pandang). Tiga potong tentakel diambil pada setiap individu setiap harinya pada saat perlakuan dilaksanakan (peningkatan I dan II) sebagai sampel preparat segar. Sampel yang didapat kemudian digerus dan langsung dibuat preparat segar. Preparat segar tersebut diamati secara langsung menggunakan mikroskop cahaya dengan pembesaran 40x10. Pengamatan preparat histologi dilakukan dengan menggunakan mikroskop cahaya pada pembesaran 40x10 untuk diambil gambarnya menggunakan camera digital Optilab dan software Optilab Viewer. Setelah itu dari gambar yang didapat, jumlah zooxanthellae dapat dihitung menggunakan Tools manual count pada software Image Raster dari Optilab Mitotik Indeks (MI) zooxanthellae Mitotik indeks dari zooxanthellae menjadi indikator yang lebih sensitif terhadap stress dari pada respon bleaching (Zamani, 1995). Hal tersebut yang mendasari dilakukannya pengamatan mitotik indeks zooxanthellae pada penelitian ini. Pengamatan MI zooxanthellae dilakukan baik pada preparat histologi maupun preparat segar dari potongan tentakel anemon. Tiga potong tentakel diambil pada setiap individu setiap harinya pada saat perlakuan dilaksanakan (peningkatan I dan II) sebagai sampel preparat segar. Sampel yang didapat kemudian digerus dan langsung dibuat preparat segar pada slide amatan. Preparat segar tersebut

31 16 diamati secara langsung menggunakan mikroskop cahaya dengan pembesaran 40x10. Pengamatan preparat histology dilakukan secara langsung menggunakan mikroskop cahaya pada pembesaran 40x10 menggunakan camera digital Optilab dan software Optilab Viewer Ukuran sel zooxanthellae Pengamatan ukuran sel zooxanthellae dilaksanakan untuk melihat respon zooxanthellae pada tubuh anemon terhadap peningkatan suhu yang diberikan. Anemon yang diberikan stress berupa peningkatan suhu akan menyebabkan berkurannya ukuran luasan sel zooxanthellae yang menjadi simbionnya (Zamani, 1995). Berdasarkan hal tersebut, pengamatan ukuran sel zooxanthellae dilaksanakan khususnya untuk melihat respon stress yang terjadi. Pengamatan ukuran luas sel zooxanthellae dilakukan hanya pada preparat histologi menggunakan mikroskop cahaya pada pembesaran 40x10 untuk diambil gambarnya. Pengambilan gambar dilakukan dengan menggunakan camera digital Optilab dan software Optilab Viewer. Setelah itu, pengukuran ukuran sel dilakukan menggunakan software imagej pada gambar sel zooxanthellae Metode analisis data Rasio ketebalan endoderm dan ektoderm pada H. malu Rasio ketebalan endoderm dan ektoderm diperoleh dengan menggunakan rumus berikut : R K K G E (1) keterangan : R : rasio ketebalan endoderm dengan ektoderm

32 17 K G : ketebalan gastroderm/endoderm ( m ) K E : ketebalan ektoderm ( m ) Mitotik Indeks (MI) zooxanthellae Rumus yang digunakan untuk menentukan mitotik indeks sel zooxanthellae (Brown dan Zamani, 1992) adalah sebagai berikut: keterangan : MI A 100 n (2) MI : mitotik indeks zooxanthellae ( % ) A : jumlah sel yang melakukan pembelahan mitosis n : jumlah sel yang dihitung sebagai dasar perbandingan (500 sel) Densitas zooxanthellae Densitas zooxantellae pada preparat histologi dihitung dengan menggunakan rumus berikut : D i n Z i 1 m i (3) D D a i (4) Keterangan : D i : densitas zooxanthellae per lapang pandang D : densitas zooxanthellae Z : jumlah zooxanthella dalam satu lapang pandang m : jumlah lapang pandang a : luas lapang pandang

33 18 Perhitungan pada preparat segar menggunakan modifikasi rumus densitas plankton dari Basmi (1999), yaitu sebagai berikut. D i V n V s cg A A cg a (5) Keterangan : D i : Densitas (individu/ml) V cg : Volume cover glass (ml) n : Jumlah sel yang ditemukan (individu) A cg : Luas cover glass (cm 2 ) V s : Volume sampel (ml) A a : Luas amatan (cm 2 ) Uji statistik Data yang diperoleh diuji menggunakan Analisis of Varians (ANOVA) untuk melihat pengaruh pemberian perlakuan. Uji Beda Nyata Terkecil (BNT) digunakan hanya untuk melihat perlakuan (suhu) yang dengan nyata atau sangat nyata mempengaruhi kondisi zooxanthellae (mitotik indeks, densitas dan ukuran luas sel) serta rasio ketebalan lapisan endoderm terhadap ektoderm pada tentakel anemon. Proses perhitungan statistik ANOVA dan uji lanjut dilakukan dengan menggunakan program SAS portable. Hipotesis yang diuji adalah sebagai berikut : 1. H 0 : µ 1 = µ 2 = µ 3 H 1 : µ 1 µ 2 µ 3 Diuji pada taraf nyata ( = 0,05) atau sangat nyata ( = 0,01)

34 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Hasil Penelitian Terdapat tiga hasil utama yang didapat dari penelitian ini, yaitu hasil pengamatan secara visual terhadap keadaan bagian luar tubuh anemon, pengamatan preparat segar, dan pengamatan preparat histologis. Pengamatan preparat segar meliputi dua parameter amatan yaitu densitas dan mitotik indeks zooxanthellae. Pengamatan preparat histologis meliputi empat parameter amatan yaitu densitas, mitotik indeks, dan luasan sel zooxanthellae serta rasio ketebalan lapisan endoderm terhadap ektoderm pada tentakel anemon Pengamatan visual terhadap keadaan bagian luar tubuh anemon Kondisi anemon pada masa aklimatisasi menunjukan keadaan kesehatan yang cukup baik kecuali pada parameter warna pada anemon satu perlakuan satu. Kondisi tersebut diperlihatkan dengan tidak adanya mucus yang terlihat, keadaan tentakel yang mengembang, warna yang cerah, dan kondisi meseterial filaments yang normal (tidak mengembung pada bagian mulut). Kondisi kurang sehat yang diperlihatkan oleh anemon satu pada perlakuan satu yaitu menurunnya tingkat kecerahan warna. Pada masa pemberian perlakuan yang pertama (peningkatan I), terjadi perubahan kondisi anemon terutama pada parameter warna dan keadaan mesenterial filaments. Perubahan terjadi setelah 24 jam dari dimulainya pemberian perlakuan, yaitu terjadinya perubahan warna menjadi agak pucat pada anemon satu dan tiga pada kontrol serta anemon tiga pada perlakuan satu. Perubahan yang kedua terjadi pada anemon tiga pada perlakuan satu yaitu kondisi 19

35 20 mesenterial filaments yang abnormal (kotak merah pada Gambar 5(c)). Data hasil pengamatan visual dapat dilihat pada Lampiran 3. Kondisi anemon yang mengalami perubahan kondisi dapat dilihat pada Gambar 5. (a) (b) mesenterial filaments yang abnormal (c) Gambar 5. Kondisi Anemon Pada Masa Perlakuan Pertama (Peningkatan I) Anemon Satu Kontrol (a), Anemon Tiga Perlakuan Satu (b), Anemon Tiga Perlakuan Satu (c) Pada masa istirahat (tidak ada perlakuan), selain terjadinya penurunan kesehatan anemon juga terjadi kematian anemon dan pulihnya kesehatan anemon. Penurunan kondisi kesehatan terjadi pada anemon tiga pada perlakuan satu yaitu cukup banyaknya (sedang) keluarnya mucus, keadaan tentakel yang setengah mengembang, warna agak pucat, dan abnormalnya mesenterial filaments (data pada Lampiran 4 dan 5). Keadaan tersebut terus berlanjut hingga mengakibatkan kematian anemon tersebut pada hari kedua masa istirahat (Gambar 6). Pulihnya

36 21 kesehatan anemon ditunjukan oleh anemon tiga pada kontrol yaitu kembalinya keadaan warna menjadi cerah kembali. Tentakel tidak mengembang (a) mesenterial filaments yang abnormal (b) (c) Gambar 6. Kondisi Anemon Tiga Perlakuan Satu Pada Masa Istirahat. Penurunan Kondisi Kesehatan Anemon Pada Jam ke-72 (a),(b),dan (c), Kematian Pada Jam ke-96 (d) (d) Pada masa pemberian perlakuan yang kedua (Peningkatan II), terjadi kembali penurunan kesehatan anemon. Penurunan kesehatan tersebut diperlihatkan oleh perubahan keadaan warna menjadi agak pucat pada anemon satu pada kontrol dan anemon dua pada perlakuan satu juga pucatnya anemon satu perlakuan satu (Gambar 7. (a), (b), (c)). Pada anemon dua perlakuan dua, keadaan tentakel juga kurang baik yaitu setengah mengembang. Keadaan tersebut terus berlanjut pada hari kedua sehingga mengakibatnya semakin parahnya kondisi anemon dua pada perlakuan dua yaitu tidak mengenbangnya tentakel (menyusut), keluarnya mucus, warna yang agak pucat, dan abnormalnya keadaan mesenterial filaments (data

37 22 pada Lampiran 5). Setelah perlakuan kedua dihentikan, kondisi anemon dua perlakuan dua tidak membaik dan mati pada hari berikutnya (Gambar 7.(d)). Tentakel tidak mengembang Warna agak pucat (a) (b) Kematian anemon setelah masa peningkatan II selesai (c) Gambar 7. Kondisi Anemon Setelah Masa Perlakuan Kedua (Peningkatan II) Anemon Satu Kontrol (a), Anemon Satu Perlakuan Satu (b), Anemon Dua Perlakuan Satu (c), Anemon Dua Perlakuan Dua (d) (d) Pengamatan preparat segar Densitas zooxanthellae Kondisi densitas zooxanthellae pada masa perlakuan (Peningkatan I dan II) dapat dilihat pada Gambar 8. Kondisi rata-rata densitas zooxanthellae pada anemon kontrol tidak terlalu berfluktuasi. Pada masa peningkatan I, nilai rata-rata densitas naik dari 5,23x10 4 ind/ml pada awal perlakuan (jam ke-0) menjadi 6,86 x10 4 ind/ml. Pada masa istirahat sampai masa peningkatan II berakhir (jam ke 192), nilai rata-rata densitas mengalami penurunan yaitu menjadi 5,43x10 4 ind/ml.

38 23 Densitas (ind/ml) 1.20E+05 1,2x E+05 1,0x E+04 8,0x E+04 6,0x E+04 4,0x E+04 2,0x E+000 Kontrol (28 o C) o C 28 o C 28 o C Waktu (jam ke-) Densitas (ind/ml) 1.20E+05 1,2x E+05 1,0x E+04 8,0x E+04 6,0x E+04 4,0x E+04 2,0x E+000 Perlakuan 1 (29 o C) o C 28 o C 29 o C Waktu (jam ke-) Densitas (ind/ml) 1.20E+05 1,2x E+05 1,0x E+04 8,0x E+04 6,0x E+04 4,0x E+04 2,0x E+000 Perlakuan 2 (30 o C) o C 28 o C 30 o C Waktu (jam ke-) Gambar 8. Nilai Rata-rata dan Standard Error Densitas Zooxanthellae Pada Masa Peningkatan I (0, 24, 48) dan Peningkatan II (144, 168, 192) catatan : pengambilan sampel dilakukan pada pukul WIB

39 24 Anemon pada perlakuan satu memperlihatkan kondisi rata-rata densitas zooxanthellae yang berfluktuasi dengan perubahan yang cukup besar. Pada masa peningkatan I, nilai rata-rata densitas turun dari 8,35x10 4 ind/ml pada awal perlakuan (jam ke-0) menjadi 5,46 x10 4 ind/ml. Pada masa istirahat, nilai ratarata densitas mengalami kenaikan menjadi 7,17 x10 4 ind/ml (jam ke-144). Namun pada masa peningkatan II, nilai rata-rata densitas mengalami penurunan kembali yaitu menjadi 6,33x10 4 ind/ml. Kondisi rata-rata densitas zooxanthellae pada anemon dengan perlakuan dua juga mengalami fluktuasi dan perubahan yang cukup besar. Pada masa peningkatan I nilai rata-rata densitas turun dari 6,98x10 4 ind/ml pada awal perlakuan (jam ke-0) menjadi 4,16x10 4 ind/ml, walaupun sempat mengalami kenaikan pada jam ke-24. Pada masa istirahat nilai rata-rata densitas mengalami kenaikan menjadi 5,17 x10 4 ind/ml (jam 144). Namun pada masa peningkatan II, nilai rata-rata densitas mengalami penurunan kembali yaitu menjadi 4,61x10 4 ind/ml yang sebelumnya mengalami peningkatan terlebih dahulu pada jam ke-168. Analisis ragam (ANOVA) yang dilakukan terhadap data densitas zooxanthellae saat jam ke-48, pada selang kepercayaan 95%, pemberian perlakuan menunjukkan adanya perbedaan densitas yang nyata. Berdasarkan hal tersebut, uji lanjut BNT dilakukan terhadap data pada jam ke-48 yang menunjukkan bahwa perlakuan dengan suhu 30 o C berbeda nyata dengan kontrol (suhu 28 o C) dan perlakuan dengan suhu 29 o C tidak berbeda nyata baik dengan perlakuan suhu 30 o C maupun 28 o C.

40 25 Analisis yang dilakukan terhadap data densitas pada jam ke-24, 144, 162, dan 192, pemberian perlakuan menunjukan tidak adanya perbedaan densitas yang nyata. Hasil perhitungan analisis ragam dapat dilihat pada Lampiran Mitotik indeks (MI) zooxanthellae Kondisi mitotik indeks zooxanthellae pada masa perlakuan (Peningkatan I dan II) dapat dilihat pada Gambar 9. Kondisi rata-rata MI zooxanthellae pada anemon kontrol tidak terlalu berfluktuasi. Pada masa peningkatan I, nilai rata-rata MI mengalami peningkatan dari 3,33% pada awal perlakuan (jam ke-0) menjadi 3,82%. Pada masa istirahat nilai rata-rata MI mengalami peningkatan yang besar yaitu sebesar 3,02% menjadi 6,89% pada jam 144. Namun pada masa peningkatan II, selain terjadi peningkatan nilai rata-rata juga terjadi penurunan yaitu pada jam ke-192 yang bernilai 7,11%. Perlakuan satu dan dua memperlihatkan pola nilai rata-rata MI pada masa peningkatan I, istirahat, dan peningkatan II yang tidak jauh berbeda. Pada masa peningkatan I, nilai rata-rata MI mengalami kenaikan pada jam ke-24 dan penurunan pada jam ke-48. Namun sampai jam ke-48 secara keseluruhan perlakuan satu mengalami penururan sebesar 0,51%, sedangkan perlakuan dua mengalami kenaikan sebesar 0,36%. Pada masa istirahat, nilai rata-rata MI mengalami kenaikan kembali (jam ke-144) yaitu sebesar 4,88% untuk perlakuan satu dan 3,77% untuk perlakuan dua. Kemudian pada masa peningkatan II, terjadi penurunan yang diikuti kenaikan nilai rata-rata MI sehingga pada jam ke-192 nilai rata-rata MI berkurang sebanyak 3,04% untuk perlakuan satu dan 2,86% untuk perlakuan dua dari nilai rata-rata MI pada jam ke-144.

41 26 Mitotik Indeks (%) Kontrol (28 o C) o C 28 o C 28 o C Waktu (jam ke-) Mitotik Indeks (%) Perlakuan 1 (29 o C) o C 28 o C 29 o C Waktu (jam ke-) Mitotik Indeks (%) Perlakuan 2 (30 o C) o C 28 o C 30 o C Waktu (jam ke-) Gambar 9. Nilai Rata-rata dan Standard Error Mitotik Indeks Zooxanthellae Pada Masa Peningkatan I (0, 24, 48) dan Peningkatan II (144, 168, 192) catatan : pengambilan sampel dilakukan pada pukul WIB

42 27 Analisis ragam (ANOVA) yang dilakukan terhadap data mitotik indeks zooxanthellae saat jam ke ke-24, pada selang kepercayaan 95% menunjukkan bahwa terdapat perbedaan yang nyata antara ketiga perlakuan. Berdasarkan hal tersebut, uji lanjut BNT dilakukan terhadap data pada jam ke ke-24 yang menunjukkan bahwa perlakuan dengan suhu 30 0 C berbeda nyata dengan kontrol (suhu 28 0 C) dan perlakuan dengan suhu 29 0 C tidak berbeda nyata baik dengan perlakuan suhu 30 0 C maupun 28 0 C. Analisis yang dilakukan terhadap data densitas pada jam ke-48, 144, 162, dan 192 menunjukan tidak adanya perbedaan yang nyata antara ketiga perlakuan. Hasil perhitungan analisis ragam dapat dilihat pada Lampiran Pengamatan preparat histologi Pengamatan pada preparat histologis dilakukan pada empat parameter yaitu densitas, luasan sel dan mitotik indeks zooxanthellae dan rasio ketebalan lapisan endoderm dan ektoderm. Secara umum bagian-bagian tubuh pada tentakel anemon hasil pengamatan pada preparat histologis dapat dilihat pada Gambar 10. Bagian preparat histologis yang diamati adalah zooxanthellae pada bagian endoderm (Gambar 10(c)) dan ketebalan lapisan endoderm dan ektoderm Densitas zooxanthellae Gambar 11 memperlihatkan adanya perubahan kondisi kepadatan zooxanthellae pada lapisan endoderm tentakel anemon pasir pada perlakuan dua pada jam ke-24 dan 192. Terlihat semakin berkurangnya kepadatan sel zooxanthellae pada lapisan endoderm tentakel anemon pasir.

43 28 end mes ect zoox R nem (a) (b) (c) Gambar 10. Potongan Melintang Tentakel H. malu (Anemon Tiga, Kontrol) Pada Preparat Histologis. Pembesaran Objektif 4x10 Skala Bar 100µm (a) Pembesaran Objektif 10x10 Skala Bar 100 µm (b), Pembesaran Objektif 40x10 Skala Bar 10µm (c). Ektoderm (ect), Mesoglea (mes), Endoderm (end), Rongga Tentakel (R), Nematocyst (nem), Zooxanthellae (zoox) enctoderm zooxanthellae mesoderm endoderm Jam ke-24 zooxanthellae (a) Jam ke-192 Gambar 11. Potongan Melintang Tentakel H. malu (Anemon Dua, Perlakuan Dua) Pada Preparat Histologis. Pembesaran Objektif 10x10 Skala Bar 100 dan 10 µm (a), Pembesaran Objektif 40x10 Skala Bar 10µm (b). (b)

44 29 Pada Gambar 12, dapat terlihat kondisi rata-rata densitas zooxanthellae yang mengalami perubahan pada setiap 24 jam pengamatan. Pada masa peningkatan I anemon kontrol mengalami sedikit penurunan nilai rata-rata densitas dari 6,90x10 5 ind/cm 2 pada jam 0 menjadi 6,49x10 5 ind/cm 2 pada jam ke-48. Pada masa istirahat dan peningkatan II, nilai rata-rata densitas cenderung naik sampai pada densitas 1,01x10 6 ind/cm 2 pada jam ke-192. Anemon dengan perlakuan satu memperlihatkan hal yang berlawanan pada masa peningkatan I dan II. Pada masa peningkatan I terjadi penurunan nilai densitas dari 8,03x10 5 ind/cm 2 pada jam ke 0 menjadi 5,97x10 5 ind/cm 2 pada jam ke-48. Pada masa peningkatan II terjadi kenaikan densitas zooxanthellae dari 6,78x10 5 ind/cm 2 pada jam ke-144 (setelah terjadi kenaikan terlebih dahulu pada masa istirahat) menjadi 7,51x10 5 ind/cm 2 pada jam ke ke-192. Kondisi rata-rata densitas zooxanthellae pada anemon dengan perlakuan dua menunjukan fluktuasi yang besar, terutama pada masa peningkatan I terjadi peningkatan yang besar pada jam ke-24 yaitu dari 2,22x10 5 ind/cm 2 pada jam ke-0 menjadi 7,45x10 5 ind/cm 2 pada jam ke-24. Namun terjadi penurunan pada jam ke-48 menjadi 5,70x10 5 ind/cm 2. Pada masa istirahat terjadi peningkatan nilai rata-rata densitas, sebelum terjadinya penurunan kembali pada masa peningkatan II sehingga nilai rata-rata pada jam ke-192 menjadi 5,65x10 5 ind/cm 2 dari 7,87x10 5 ind/cm 2 pada jam ke-144 setelah masa istirahat. Analisis ragam (ANOVA) yang dilakukan terhadap data densitas zooxanthellae saat jam ke-24, 48, 144, 168 dan 192, pada selang kepercayaan 95%, perlakuan tidak menunjukan adanya perbedaan nilai densitas yang nyata. Hasil perhitungan analisis ragam dapat dilihat pada Lampiran 7.

45 30 Densitas (ind/cm 2 ) Densitas (ind/cm 2 ) Densitas (ind/cm 2 ) 1.40E+06 1,4x E+06 1,2x E+06 1,0x E+05 8,0x E+05 6,0x E+05 4,0x E+05 2,0x E E+06 1,4x E+06 1,2x E+06 1,0x E+05 8,0x E+05 6,0x E+05 4,0x E+05 2,0x E E+06 1,4x E+06 1,2x E+06 1,0x E+05 8,0x E+05 6,0x E+05 4,0x E+05 2,0x E+000 Kontrol (28 o C) o C 28 o C 28 o C Waktu (jam ke-) Perlakuan 1 (29 o C) o C 28 o C 29 o C Waktu (jam ke-) Perlakuan 2 (30 o C) o C 28 o C 30 o C Waktu (jam ke-) Gambar 12. Nilai Rata-rata dan Standard Error Densitas Zooxanthellae Pada Masa Peningkatan I (0, 24, 48) dan Peningkatan II (144, 168, 192) Berdasarkan Pengamatan Preparat Histologis catatan : pengambilan sampel dilakukan pada pukul WIB

46 Mitotik indeks zooxanthellae Gambar 13 memperlihatkan beberapa contoh sel yang sedang mengalami pembelahan mitosis. Terlihat perbedaan antara sel pada kondisi normal dan sel pada kondisi pembelahan mitosis. Sel pada kondisi pembelahan dicirikan dengan terlihatnya dua inti sel dalam sel tersebut. Inti sel Gambar 13. Sel Zooxanthellae Anemon Dua Perlakuan Dua Pada Kondisi Pembelahan Mitosis (Lingkaran Merah) dan Pada Kondisi Normal (Lingkaran Biru). Pembesaran Objektif 40x10. Skala Bar 100µm. Kondisi rata-rata mitotik indeks (MI) pada anemon kontrol dan perlakuan dapat dilihat pada Gambar 14. Secara keseluruhan perubahan kondisi rata-rata MI pada kontrol dan perlakuan mempunyai pola yang sama, yaitu mengalami penurunan pada masa peningkatan I, kenaikan pada masa istirahat, dan penurunan kembali pada masa peningkatan II. Anemon kontrol mengalami penurunan yang tidak besar pada masa peningkatan I dan II (2,55% dari jam ke 0 sampai jam ke 48 dan sebesar 4,5% dari jam ke-144 sampai jam ke-192). Kenaikan yang cukup besar terjadi yaitu pada masa istirahat sebesar 7,5%. Anemon pada perlakuan satu, memperlihatkan penurunan yang tidak besar juga pada masa peningkatan I (2,73% dari jam ke-0 sampai jam ke-48). Kemudian terjadi kenaikan yang cukup besar pada masa istirahat yaitu sebesar 7,07%. Setelah itu terjadi penurunan

47 32 Mitotik Indeks (%) Mitotik Indeks (%) Mitotik Indeks (%) Kontrol (28 o C) o C 28 o C 28 o C Waktu (jam ke-) Perlakuan 1 (29 o C) o C 28 o C 29 o C Waktu (jam ke-) Perlakuan 2 (30 o C) o C 28 o C 30 o C Waktu (jam ke-) Gambar 14. Nilai Rata-rata dan Standard Error Mitotik Indeks Zooxanthellae Pada Masa Peningkatan I (0, 24, 48) dan Peningkatan II (144, 168, 192) Berdasarkan Pengamatan Preparat Histologis catatan : pengambilan sampel dilakukan pada pukul WIB

48 33 yang besar pada jam ke-168 yaitu 8,20%, kemudian naik kembali sebesar 4,90% pada jam ke-192. Anemon pada perlakuan dua memperlihatkan penurunan yang cukup besar pada masa peningkatan I dan II. Penurunan yang terjadi yaitu sebesar 8,67% dari nilai awal pada jam ke-0, sedangkan pada peningkatan II terjadi penurunan sebesar 7,68 % setelah terjadi peningkatan sebesar 6,28% pada masa istirahat. Analisis ragam (ANOVA) yang dilakukan terhadap data mitotik indeks zooxanthellae saat jam ke-24, 48, 144, 168 dan 192, pada selang kepercayaan 95%, perlakuan tidak menunjukkan adanya perbedaan nilai mitotik indeks yang nyata. Hasil perhitungan analisis ragam dapat dilihat pada Lampiran Rasio ketebalan endoderm dan ektoderm Hasil pengamatan rasio ketebalan lapisan endoderm dan ektoderm tentakel zooxanthellae pada preparat histologis dapat dilihat pada Gambar 15 dan 16. Gambar 15 memperlihatkan contoh terjadinya perubahan ketebalan lapisan endoderm dan ektoderm pada tentakel anemon pasir (anemon dua pada perlakuan satu). enctoderm endoderm enctoderm 142 µm 80,5 µm 80,5 µm endoderm 72 µm (a) Rongga tentakel Gambar 15. Potongan Melintang Tentakel H. malu (Anemon Dua, Perlakuan Satu) Pada Preparat Histologis. Pembesaran Objektif 4x10 Skala Bar 100µm. Pada Jam ke-0 (a) dan Jam ke-192 (b) (b) Rongga tentakel

49 34 Gambar 16 menunjukan nilai rata-rata rasio ketebalan endoderm dan ektoderm (end/ect) pada masa peningkatan I, istirahat, dan peningkatan II. Secara keseluruhan perubahan/fluktuasi nilai rasio cukup stabil walaupun cenderung menurun untuk perlakuan satu (jam ke-0 sampai jam ke-192). Tidak banyak perubahan yang terjadi, misalnya pada perlakuan satu dan dua pada masa peningkatan I, nilai rata-rata rasio meningkat tipis dari 0,92 pada jam 0 menjadi 0,95 pada jam ke-48 untuk perlakuan satu dan 0,83 pada jam 0 menjadi 0,85 pada jam ke-48 untuk perlakuan dua. Pada masa istirahat hanya perlakuan dua yang mengalami peningkatan nilai rata-rata rasio yaitu menjadi 1,02 pada jam ke-144. Pada masa peningkatan II, perlakuan satu cenderung mengalami peningkatan nilai rasio dibanding dengan perlakuan dua yang cenderung mengalami penurunan nilai rata-rata rasio. Analisis ragam (ANOVA) yang dilakukan terhadap data rasio ketebalan endoderm dan ektoderm saat jam ke-24, 48, 144, 168 dan 192, pada selang kepercayaan 95%, perlakuan tidak menunjukkan adanya perbedaan nilai rasio yang nyata. Hasil perhitungan analisis ragam dapat dilihat pada Lampiran Luas sel zooxanthellae Gambar 17 memperlihatkan beberapa contoh ukuran sel pada anemon yang diberikan perlakuan. Pada Gambar 17, terlihat adanya perubahan keberadaan sel yang berukuran besar menjadi sel yang berukuran lebih kecil (Gambar 17(b)) walaupun perubahan tersebut tidaklah terlihat terlalu besar.

50 35 2 Kontrol (28 o C) Rasio end/ect o C 28 o C 28 o C Waktu (jam ke-) Perlakuan 1 (29 o C) Rasio end/ect o C 28 o C 29 o C Waktu (jam ke-) Perlakuan 2 (30 o C) Rasio end/ect o C 28 o C 30 o C Waktu (jam ke-) Gambar 16. Nilai Rata-rata dan Standard Error Rasio Ketebalan Endoderm dan Ektoderm (end/ect) Pada Masa Peningkatan I (0, 24, 48) dan Peningkatan II (144, 168, 192) Berdasarkan Pengamatan Preparat Histologis catatan : pengambilan sampel dilakukan pada pukul WIB

51 36 zooxanthellae zooxanthellae 6,25 µm 4,77 µm 6,62 µm 6,55 µm 6,5 µm 4,23 µm 4,2 µm (a) Gambar 17. Zooxanthellae Pada Lapisan Endoderm Tentakel H. malu (Anemon Dua, Perlakuan Satu) Pada Preparat Histologis. Pembesaran Objektif 40x10 Skala Bar 10µm. Pada Jam ke-0 (a), Jam ke-192 (b) (b) Berdasarkan Gambar 18, secara keseluruhan rata-rata luas sel zooxanthellae pada secara keseluruhan berada pada kisaran µm 2 untuk kontrol dan µm 2 untuk akuarium yang diberikan perlakuan. Pada anemon kontrol, nilai ratarata luas sel cenderung menurun (jam ke-0 sampai jam ke-192) yaitu 23,92 µm 2 pada jam ke-0 menjadi 21,33 µm 2 pada jam ke-192. Anemon pada perlakuan satu, mengalami penurunan yang terus menerus dari jam ke-0 sampai jam ke-168, kemudian nilai rata-rata naik pada akhir perlakuan menjadi 24,77 µm 2 pada jam ke 192 dari 23,79 µm 2 pada jam ke-0. Berbeda dengan perlakuan satu, perlakuan dua mengalami kenaikan pada masa peningkatan II mulai dari jam ke-144, walapun sebelumya mengalami penurunan pada masa istirahat maupun peningkatan I. Analisis ragam (ANOVA) yang dilakukan terhadap data luas sel zooxanthellae saat jam ke-24, 48, 144, 168 dan 192, pada selang kepercayaan 95%, perlakuan tidak menunjukkan adanya perbedaan luasan sel yang nyata. Hasil perhitungan analisis ragam dapat dilihat pada Lampiran 7.

52 37 Luas (µm 2 ) Luas (µm 2 ) Luas (µm 2 ) Kontrol (28 o C) o C 28 o C 28 o C Waktu (jam ke-) Perlakuan 1 (29 o C) o C 28 o C 29 o C Waktu (jam ke-) Perlakuan 2 (30 o C) o C 28 o C 30 o C Waktu (jam ke-) Gambar 18. Nilai Rata-rata dan Standard Error Luas Sel Zooxanthellae Pada Masa Peningkatan I (0, 24, 48) dan Peningkatan II (144, 168, 192) Berdasarkan Pengamatan Preparat Histologis catatan : pengambilan sampel dilakukan pada pukul WIB

53 Pembahasan Adaptasi fisiologi Adaptasi merupakan penyesuaian atau perubahan dari tingkah laku, fisiologi, dan struktur untuk menjadi lebih sesuai dengan keadaan lingkungan (biologyonline.org, 2011). Pada penelitian ini, proses adaptasi fisiologis H. malu terhadap kenaikan suhu perairan diamati pada beberapa parameter yaitu densitas, mitotik indeks dan ukuran luas sel zooxanthellae juga morfologi anemon berupa rasio ketebalan lapisan endoderm dan ektoderm. Pengamatan terutama dilakukan pada masa pemberian perlakuan yaitu peningkatan I dan II, sedangkan pada masa istirahat anemon di beri kesempatan untuk berada pada kondisi lingkungan yang normal (seperti kontrol) sebelum diberikan perlakuan kembali (peningkatan II). Masa peningkatan I (perlakuan) yang diberikan bertujuan sebagai masa adaptasi anemon terhadap stress yang diberikan. Masa istirahat yang diberikan bertujuan untuk memberikan waktu kepada anemon untuk kembali pulih (diharapkan kondisi anemon kembali sehat) terutama untuk kondisi metabolisme oksigen (O 2 ). Berdasarkan hasil penelitian Guldberg dan Smith (1989), kondisi metabolisme oksigen (O 2 ) hewan karang yang telah mengalami stress akibat kenaikan suhu, akan mengalami ketidaknormalan hingga 4 hari. Masa peningkatan II, diberikan sebagai percobaan apakah anemon dapat bertahan/beradaptasi terhadap perubahan suhu yang terjadi setelah menerima stress terlebih dahulu pada masa peningkatan I. Berdasarkan hasil yang diperoleh, dapat dilihat pola peningkatan dan penurunan kondisi kesehatan anemon yang diamati dari parameter densitas, mitotik indeks, luas sel dan rasio ketebalan endoderm dan ektoderm. Pola

54 39 tersebut dapat dilihat pada Tabel 2 berikut. Tabel 2. Nilai Perubahan Untuk Setiap Parameter Pengamatan Pada Preparat Segar dan Histologis No Parameter Perlakuan Densitas (ind/ml) preparat segar Peningkatan I Istirahat Peningkatan II Suhu 28 o C -5,56x10 1,63 x10 4-7,33 x10 3-5,67 x10 3-1,28 x10 3 Suhu 29 o C -2,91 x10 4 2,22 x10 2 1,70 x x x10 3 Suhu 30 o C 5,67 x10 3-3,39 x10 4 1,02 x10 4 6,11 x10 3-1,18 x10 4 Mitotik indeks Suhu 28 o C 0,31 0,18 3,07 0,31-0,09 (%) Suhu 29 o C 0,93-1,44 4,88-4,40 1,37 Suhu 30 o C 2,67-2,31 3,78-3,16 0,29 preparat histologis Densitas (ind/cm 2 ) Mitotik indeks (%) Rasio luas sel (µm 2 ) Suhu 28 o C 1,18 x10 5-1,69 x10 5 1,75 x10 5-5,08 x10 4 2,35 x10 5 Suhu 29 o C 5,99 x10 2-2,06 x10 5 8,07 x10 4-8,85 x10 4 1,62 x10 5 Suhu 30 o C 5,23 x10 5-1,75 x10 5 2,17 x10 5-1,77 x10 5-4,61 x10 4 Suhu 28 o C -3,29 0,73 7,50-4,40-0,08 Suhu 29 o C 0,03-2,77 7,10-8,27 4,93 Suhu 30 o C -6,69-1,98 6,29-4,18-3,53 Suhu 28 o C -0,18 0,13-0,04 0,36 0,02 Suhu 29 o C -0,03 0,06-0,08-0,15 0,16 Suhu 30 o C 0,08-0,06 0,17-0,23 0,06 Suhu 28 o C -0,89-0,02-2,55 1,68-0,81 Suhu 29 o C -1,39-1,38-0,34-1,56 5,65 Suhu 30 o C -2,59 0,69-2,97 1,16 1,26 Hasil penelitian menunjukkan bahwa pengamatan densitas pada preparat segar memperlihatkan pola yang sama pada masa peningkatan I dan peningkatan II, namun dengan nilai perubahan yang berbeda. Nilai perubahan pada masa peningkatan I cenderung lebih besar dari pada peningkatan II, kemudian pada masa istirahat juga terjadi peningkatan nilai rata-rata densitas. Sehingga dapat dikatakan untuk parameter densitas pada preparat segar untuk perlakuan dua, anemon mengalami penyesuaian terhadap kenaikan suhu perairan. Hal tersebut juga diperkuat oleh hasil analisis ragam dan juga uji BNT yang menyatakan

55 40 adanya perbedaan yang nyata pada selang kepercayaan 95% antara kontrol (suhu 28 o C) dan perlakuan dua (suhu 30 o C) pada jam ke-48 (peningkatn I) sedangkan pada masa peningkatan II analisis ragam menyatakan tidak adanya perbedaan yang nyata. Pengamatan mitotik indeks pada preparat segar memperlihatkan perbedaan pola perubahan nilai antara masa peningkatan I dan II. Pada masa peningkatan I terjadi kenaikan nilai mitotik indeks pada jam ke-24 sebagai respon stress, sedangkan pada peningkatan II tidak terlihat adanya respon stress berupa kenaikan nilai mitotik indeks pada awal dimulainya peningkatan II. Berdasarkan hasil analisis ragam dan uji BNT, pada masa peningkatan I (jam ke-24) terjadi perbedaan nilai yang nyata pada selang kepercayaan 95% antara kontrol (suhu 28 o C) dan perlakuan dua (suhu 30 o C), sedangkan pada masa peningkatan II analsis ragam menyatakan tidak adanya perbedaan yang nyata. Sehingga dapat dikatakan untuk parameter mitotik indeks pada preparat segar untuk perlakuan dua (suhu 30 o C), anemon mengalami penyesuaian terhadap kenaikan suhu perairan. Hasil pengamatan terhadap densitas dan mitotik indeks pada preparat histologis berdasarkan Tabel 2, memperlihatkan pola yang tidak jauh berbeda kecuali densitas untuk perlakuan satu. Pada masa peningkatan II, baik densitas maupun mitotik indeks mempunyai kondisi yang lebih buruk dari pada masa peningkatan I yang ditunjukan oleh besarnya penurunan yang terjadi pada masa peningkatan II dibanding peningkatan I. Berdasarkan hal tersebut, walaupun terjadi peningkatan nilai pada masa istirahat, tetapi anemon tidak dapat menyesuaikan diri terhadap peningkatan suhu lingkungan khususnya pada

56 41 densitas untuk perlakuan dua dan mitotik indeks zooxanthellae. Hal tersebut juga diperkuat dengan hasil analisis ragam yang menunjukan tidak adanya perbedaan nilai densitas dan mitotik indeks yang nyata pada jam ke-24, 48, 144, 168, dan 192 (masa peningkatan I, dan II) diantara semua perlakuan dan kontrol. Pengamatan parameter rasio endoderm dan ektoderm pada preparat histologis mempelihatkan adanya kecenderungan peningkatan nilai rasio pada masa peningkatan I dan II kecuali perlakuan dua. Kenaikan nilai rasio dapat dikarenakan betambahnya ukuran vakuola sebagai host cell zooxanthellae pada lapisan endoderm sebagai respon stress akibat kenaikan suhu. Penurunan nilai rasio (perlakuan dua) juga menunjukkan adanya penurunan kondisi lapisan endoderm akibat kemungkinan adanya kerusakan lapisan endoderm akibat mekanisme pelepasan zooxanthellae. Berdasarkan hal tersebut, walaupun terjadi peningkatan nilai pada masa istirahat (perlakuan dua), tetapi anemon tidak dapat menyesuaikan diri terhadap peningkatan suhu lingkungan khususnya pada parameter rasio ketebalan endoderm dan ektoderm. Hal tersebut juga diperkuat dengan hasil analisis ragam yang menunjukan tidak adanya perbedaan nilai rasio yang nyata pada jam ke-24, 48, 144, 168, dan 192 (masa peningkatan I, dan II) diantara perlakuan dan kontrol. Berbeda dengan kondisi densitas, mitotik indeks, dan rasio endoderm dan ektoderm, kondisi luasan sel zooxanthellae lebih baik pada masa peningkatan II daripada peningkatan I. Pada masa peningkatan II hanya sekali terjadi penurunan untuk perlakuan satu dan sama sekali tidak terjadi penurunan untuk perlakuan dua. Walaupun analisis ragam tidak memperlihatkan adanya perbedaan yang nyata nilai luasan sel yang nyata pada jam ke-24, 48, 144, 168, dan 192 (masa

57 42 peningkatan I, dan II) diantara kontrol dan perlakuan, namun berdasarkan perubahan kondisi yang menjadi lebih baik pada masa peningkatan II dapat terlihat bahwa anemon dapat menyesuaikan diri terhadap kenaikan suhu lingkungan Pengaruh peningkatan suhu perairan terhadap H. malu Berdasarkan hasil yang diperoleh, peningkatan suhu secara keseluruhan mempengaruhi kondisi H. malu. Kondisi anemon yang diberikan perlakuan peningkatan suhu cenderung lebih buruk dibandingkan kontrol. Kondisi tersebut diperlihatkan oleh nilai beberapa parameter amatan yaitu densitas, mitotik indeks, dan luasan sel zooxanthellae juga rasio ketebalan endoderm dan ektoderm. Pada pengamatan densitas zooxanthellae baik hasil pengamatan pada preparat segar maupun histologis, pemberian perlakuan cenderung menurunkan nilai densitas zooxanthellae pada H. malu. Menurunnya nilai densitas zooxanthellae akibat kenaikan suhu air (lingkungan), dapat disebabkan karena meningkatnya tingkat kerusakan sel zooxanthellae (hingga lebih dari empat kali lipat) yang kemudian dikeluarkan dari jaringan endoderm. Hal tersebut dapat terjadi karena, anemon sebagai inang mengalami stress akibat kondisi lingkungan yang tidak mendukung (pada penelitian ini berupa kenaikan suhu) sehingga anemon hanya menyediakan sedikit nutrisi (zat hara) untuk zooxanthellae sehingga tingkat kerusakan sel zooxanthellae betrambah (Ainsworth dan Hoegh-Gulsberg, 2008 dan Titlyanov et al., 1996 in Rachmawati, 2008). Menurunnya nilai densitas juga dapat disebabkan oleh keluarnya zooxanthellae akibat rusaknya sel jaringan anemon karena senyawa oksigen yang bersifat toksik yang dikeluarkan oleh zooxanthellae (Rachmawati, 2008).

58 43 Zooxanthellae akan mengeluarkan senyawa oksigen yang bersifat toksik, ketika zooxanthellae mengalami stress akibat kekurangan nutrisi/zat hara. Namun jika hewan karang ataupun anemon mempunyai antioksidan dari senyawa toksik tersebut, maka anemon ataupun hewan karang dapat mempertahankan zooxanthellae tetap pada jaringan endoderm. Hal tersebut yang kemungkinan menjadi penyebab tejadinya peningkatan nilai densitas pada data yang didapat. Tidak berbeda dengan hasil pengamatan densitas, pada pengamatan mitotik indeks (MI) pemberian perlakuan juga cenderung menurunkan nilai MI zooxanthellae pada H. malu. Selain nilai yang cenderung menurun, perlakuan peningkatan suhu juga menyebabkan nilai yang lebih berfluktuatif dari pada kontrol. Hal tersebut dapat terjadi karena MI dari zooxanthellae menjadi indikator yang lebih sensitif terhadap stress lingkungan dari pada respon bleaching (kehilangan zooxanthellae dan atau pigment) (Zamani, 1995). Penurunan nilai MI zooxanthellae akibat adanya kenaikan suhu lingkungan, juga ditunjukan oleh hasil penelitian Zamani, 1995 yang menyatakan jumlah pembelahan zooxanthellae berkurang seiring dengan bertambahnya suhu lingkungan. Hal tersebut dikarenakan oleh berkurangnya kemampuan fotosintesis akibat tingginya suhu perairan (diatas normal) (Jokiel dan Coles, 1990 in Zamani, 1995). Fotosistesis menjadi faktor penting dalam mendukung kehidupan alga dan pertumbuhan jaringan tentunya. Terganggunya proses fotosintesis tentu saja dapat mempengaruhi tingkat pembelahan sel alga. Namun pada beberapa hasil pengamatan, juga terlihat peningkatan nilai MI padahal, baik anemon ataupun zooxanthellae sedang terkena stress suhu (diberi perlakuan kenaikan suhu). Hal tersebut dapat terjadi sebagai akibat dari hormesis

59 44 (Zamani, 1995). Menurut Stebbing (1979) in Zamani (1995), hormesis merupakan efek dari stimulatory sebagai proses biologi untuk mencegah keracunan dari zat beracun. Berdasarkan hal tersebut, dapat dikatakan hormesis merupakan suatu bentuk pertahanan diri dari zooxanthellae. Pengamatan rasio ketebalan lapisan endoderm dan ektoderm baik pada peningkatan I dan II memperlihatkan kecenderungan peningkatan rasio endoderm dan ektoderm terhadap peningkatan suhu. Peningkatan rasio dapat disebabkan karena bertambahnya ukuran vakuola (tempat sel zooxanthellae berada pada jaringan endoderm) sebagai akibat dari peningkatan suhu dan strees yang dialami oleh anemon. Hal tersebut sesuai dengan penelitian Zamani (1995) yang menyatakan bahwa peningkatan konsentrasi tembaga (Cu) dan suhu lingkungan yang diberikan pada H. malu menyebabkan bertambahnya ukuran vakuola sebagai host zooxanthellae pada jaringan endoderm. Berdasarkan data yang diperoleh, selain peningkatan nilai rasio juga terdapat penurunan nilai rasio endoderm terhadap ektoderm. Penurunan rasio tersebut dapat disebabkan oleh berkurangnya lapisan endoderm yang dikarenakan rusaknya vakuola sebagai host zooxanthellae akibat proses necrosis dan Pinching off, ataupun rusaknya jaringan endoderm akibat lepasnya vakuola bersamaan dengan lepasnya sel zooxanthellae (host cell detachment). Menurut Gates, et al. (1992), mekanisme pelepasan zooxanthellae pada umumnya adalah melalui proses host cell detachment yang merupakan pelepasan host cell endoderm bersamaan algae/zooxanthellae yang masih terdapat didalamnya. Selanjutnya untuk pengamatan parameter luasan sel zooxanthellae pada peningkatan I, pemberian perlakuan suhu cenderung menurunkan ukuran luasan

60 45 sel. Namun pada peningkatan II, peningkatan suhu yang diberikan cenderung menaikan ukuran luasan sel. Terjadinya penurunan ukuran sel akibat kenaikan suhu, sesuai dengan hasil penelitian Zamani (1995) yang menyatakan bahwa peningkatan suhu lingkungan dapat menyebabkan berkurangnya ukuran luasan sel zooxanthellae. Hal tersebut dapat terjadi sebagai akibat stress yang dialami zooxanthellae sehingga fotosintesis terganggu dan akhirnya mempengaruhi kepada pertumbuhan sel. Kemudian ditambah dengan pasokan nutrisi/zat hara yang semakin sedikit akibat kondisi anemon yang mengalami stress. Bertambahnya ukuran luasan sel zooxanthellae, dapat disebabkan karena sel sudah mengalami penyesuaian terhadap kondisi lingkungan. Hal tersebut dikarenakan terdapat masa istirahat yang sebelum masa penigkatan dua. Pada masa istirahat tersebut kemungkinan sel mengalami pemulihan sehingga pada masa peningkatan dua sel sudah dapat menyesuaikan diri terhadap kondisi yang telah dialami sebelumnya (peningkatan I). Mengenai kondisi kualitas air pada ketiga akuarium (kontrol, perlakuan satu dan perlakuan dua) berdasarkan hasil pengamatan (Lampiran 8), kondisi air laut masih baik dan aman untuk biota air laut khususnya hewan karang. Hal tersebut ditunjukkan dengan nilai ph yang masih dalam kisaran 7-8,5, salinitas pada kisaran o / oo, ammonia <0,3 mg/l (Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup, 2004) dan nitrit <0.1 mg/l (indoreefforum.com, 2011).

61 5. KESIMPULAN DAN SARAN 5.1. Kesimpulan Pengamatan pada preparat segar memperlihatkan bahwa anemon mengalami penyesuaian (adaptasi) terhadap peningkatan suhu sebesar 2 o C, khususnya pada parameter densitas dan mitotik indeks zooxanthellae. Anemon juga mengalami penyesuaian terhadap peningkatan suhu sebesar 1 o C khususnya pada parameter densitas dan luasan sel zooxanthellae serta penyesuaian terhadap peningkatan 2 o C khususnya pada parameter luasan sel zooxanthellae, berdasarkan hasil pengamatan preparat histologis Saran Untuk kajian selanjutnya, dapat dilakukan pengamatan mengenai mekanisme pelepasan zooxanthellae dari lapisan endoderm H. malu akibat kenaikan suhu lingkungan. Hal tersebut juga terkait dengan kesehatan anemon, terutama kondisi lapisan endoderm anemon sebagai tempat hidup zooxanthellae. 46

62 DAFTAR PUSTAKA Basmi, H. J Planktonologi: Plankton Sebagai Bioindikator Kualitas Perairan. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan. Institut Pertanian Bogor. Bogor. Biology-online.org Adaptation. Dictionary. Diunduh dari [ ] Brown, B. E., dan N. P. Zamani Mitotic Indices of Zooxanthellae: a Comparison of Techniques Based on Nuclear and Cell Frequencies. Mar. Ecol. Prog. Ser. 89: Colin, P. L., dan C. Arneson Tropical Pasific Invertebrates. Coral Reef Press. Beverly Hills. Chomsky, O., Y. Kamenir, M. Hyams, dan Z. Dubinsky Effects of temperature on growth rate and body size in the Mediteranian Sea anemone Actinia equina. J. Exp. Bio. Ecol. 313: Douglas, A. E Coral bleaching-how and why?. Marine Pollution Bull. 46: Erian, E Sketsa Akuarium dengan Filter Atas. Diunduh dari [ ] Gates, R. D., G. Baghdasarian, dan L. Muscatine Temperature Stress Causes Host Cell Detachment in Symbiotic Cnidarians: Implications of Coral Bleaching. Biological Bull. 182: Goreau, T. J., dan R. L. Hayes Monitoring and Calibrating Sea Surface Temperature Anomalies with Satellite and In-Situ Data to Study Effects of Weather Extremes and Climate Change on Coral Reefs. World Resources Review. 17(2): Guldberg, O. H., dan G. J. Smith The Effect od Sudden Changes in Temperature, Light and Salinity on The Population Density and Export of Zooxanthellae from The Reef Corals Stylophora pistillata Esper and Seriatopora hystrix Dana. J. Exp. Mar. Biol. Ecol. 129: Hawkes, L,A., A. C. Broderick, M. H. Godfrey, dan B. J. Godley Investigating the potential impacts of climate change on a marine turtle population. Global Change Biology. 13:1-10. Indoreefforum.com Parameter Air Laut. Diunduh dari [ ] 47

63 48 IPCC (Intergovernmental Panel on Climate Change) Climate Change 2007: Synthesis Report. Contribution of Working Groups I, II and III to the Fourth Assessment Report of the Intergovernmental Panel on Climate Change [Core Writing Team, Pachauri, R.K and Reisinger, A.(eds.)]. IPCC, Geneva. McCloskey, B Illustrated Glossary os Sea Anemone Anatomy. Natural History Museum. Diunduh dari [ ] Menteri Negara Lingkungan Hidup Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor: 51 Tahun 2004 Tentang Baku Mutu Air Laut. Deputi MENLH Bidang Kebijakan dan Kelembagaan Lingkungan Hidup. Jakarta. Purnomo, P.W Pengaruh pengkayaan zooxanthellae dari berbagai sumber inang terhadap proses translokasi dan kalsifikasi binatang karang. Disertasi. Program Studi Ilmu Kelautan. Sekolah Pasca Sarjana. Institut Pertanian Bogor. Bogor. Rachmawati, R Dampak Peningkatan Suhu Global Terhadap Simbiosis Karang-Zooxanthellae. In. Jompa, J. Nezon, E. dan Sarmintohadi(ed.) Simposium Nasional Terumbu Karang. Program Rehabilitasi dan Pengelolan Terumbu Karang Tahap II. COREMAP II. Departemen Kelautan dan Perikanan. Jakarta. Hal: Saunders, K. B., dan G. M. Parker The effects of temperature and light on two algal populations in the temperate sea anemone Anthopleura elegantissima (Brandt, 1835). J. Exp. Mar. Bio. Ecol. 211: Stan dan Hauter, D Host Sea Anemone Survivability Survey Conclusions. Diunduh dari : [ ] Suwignyo, S., B. Widigdo, Y. Wardiatno, dan M. Krisanti Avertebrata Air, Jilid 1. Penebar Swadaya. Jakarta. Weis, V. M Commentary Cellular Mechanisms of Cnidarian Bleaching: Stress Causes The Collapse of Symbiosis. J. Exp. Biol. 211: WoRMS Heteractis. Accessed through: World Register of Marine Species diunduh dari Zamani, N.P Effects of Enviromental stress on cell division and other cellular parameters of zooxanthellae in the tropical symbiotic anemone heteractis malu, Huddon and shackleton.ph.d. Thesis in tropical coastal management the Univ. of Newcastle upon tyne. Newcastle.

64 LAMPIRAN

65 50 Lampiran 1. Alat dan Bahan Penelitian No. Alat dan Bahan Spesifikasi Unit/Satuan 1. Akuarium Pemeliharaan 100 cm x 45 cm x 45 cm 2/- 2. Akuarium Pemeliharaan 90 cm x 50 cm x 45 cm 1/- 3. Akuarium Filter - 2/- 4. Akuarium Filter - 1/- 5. Sekat Jaring 50 cm x 45 cm 6/ 6. Sekat Jaring 50 cm x 40 cm 2/- 7. Pipa Paralon 0,5 inch 6/ meter 8. Siku-siku 0,5 inch 24/- 9. Kunci Pompa 0,5 inch 3/- 10. Pompa Air - 3/- 11. Selang Aerasi - 6 /meter 12. Setelan Angin 1 Lubang - 9/- 13. Batu Aerasi - 9/- 14. Pompa Angin - 1/- 15. Pemanas air akuarium RS W 2/- 16. Termometer - 3/Celcius 17. Refraktometer Hand-Held Refractometer 1/ o / oo 18. Anemon Pasir Heteractis malu 9/- 19. Sampel potongan tentakel - 68/- 20. Botol sampel (untuk Kaca dan plastik 72/- tentakel) 21. Spectrofotometer - 1/- 22. ph Meter - 1/- 23. Botol Sampel (untuk air) 50 ml 3/- 24. Gelas Beker - 10/- 25. Tabung Reaksi - 3/- 26. Pipet Volumetrik - 2/- 27. Bulb - 1/- 28. Botol Semprot - 1/- 29. Pipet Tetes - 1/- 30. Pinset - 1/- 31. Gunting Bedah - 1/- 32. Tabung reaksi 15 ml 6/- 33. Oven Merk Memert 1/- 34. Inkubator - 1/- 35. Mikrotom - 1/- 36. Pencetak Parafin - 51/- 37. Gelas Objek - 131/- 38. Gelas Penutup - 131/- 39. Mikroskop Cahaya Olympus CX21LEDFS1 1/- 40. Micrometer objective - 1/- 41. Laptop - 1/- 42. Alat Mikrofotografi Kamera digital Optilab 1/-

66 51 Lanjutan Lampiran 1. No Alat dan Bahan Spesifikasi Unit/Satuan 43. Software mikrofotografi Optilab Viewer, Image 1/- Raster ImageJ 44. Kamera Digital - 1/- 45. Air Laut / liter 46. Air Tawar / liter 47. Bioball Duri - 300/- 48. Arang Batok - 7,5 / kg 49. Kapas Filter 2 m x 1 m 1/- 50. Grafel Ruble 8 / kg 51. Aquades - 5 / liter 52. Larutan Fenol - 20 / ml 53. Larutan Sodium Nitroprusit - 20 / ml 54 Larutan Oxydizing Solution Sodium Hipoklorit 5% dan 50 / ml Larutan Alkalin 20% 55. Larutan Pewarna Nitrit - 8 / ml 56. Kertas Saring - 30/- 57. Plastik Parafilm - 30/- 59. Larutan Bouin /ml 60. Larutan Mayers Hemaktosilin - -/ml 61. Larutan Eosin - -/ml 62. Alkohol Konsentrasi 70 %, 80 %, 90 %, 100 % -/ml Bertingkat 63. Xilol I, II, III -/- 64. Parafin Cair - -/- 65 Lem Perekat Canada balsam/entelan -/-

67 52 Lampiran 2. Diagram Alir Pembuatan Preparat Histologis Sampel Fikasi larutan BOUIN (maksimal 48 jam) Fiksasi Alkohol 70% (minimal 24 jam) Clearing Alkohol+Xylol 30 menit Xylol I 30 menit Xylol II 30 menit Xylol III 30 menit Dehidrasi Alkohol 80% 2 jam Alkohol 90% 2 jam Alkohol 95% 2 jam Alkohol 95% 2 jam Alkohol 100% 12 jam Embedding 70 o C Parafin I 45 menit Parafin II 45 menit Parafin III 45 menit Blocking Trimming Sectioning 5-6 µm Rehidrasi Alkohol 100% I 2 menit Alkohol 100% II 2 menit Alkohol 95% 2 menit Alkohol 90% 2 menit Alkohol 85% 2 menit Alkohol 80% 2 menit Alkohol 70% 2 menit Alkohol 50% 2 menit Aquades (cuci 2x) Deparafinisasi Xylol I 3 menit Xylol II 3 menit Penempelan hasil potongan pada slide Colouring Haematoxylin 5 menit Air keran (cuci) 5 menit Eosin 3 menit Dehidrasi Alkohol 50% 2 menit Alkohol 70% 2 menit Alkohol 80% 2 menit Alkohol 85% 2 menit Alkohol 90% 2 menit Alkohol 95% 2 menit Alkohol 100% I 2 menit Alkohol 100% II 2 menit Clearing Xylol I 2 menit Xylol II 2menit Xylol III Mounting

68 53 Lampiran 3. Data Pengamatan Visual Terhadap Hewan Uji Pada Jam 0, 24 dan 48 jam 0 jam 24 jam 48 Parameter Ukuran Parameter akuarium 1 akuarium 2 akuarium 3 akuarium 1 akuarium 2 akuarium 3 akuarium 1 akuarium 2 akuarium 3 Mukus Banyak Sedang Sedikit t.1 t.2 t.3 t.1 t.2 t.3 t.1 t.2 t.3 t.1 t.2 t.3 t.1 t.2 t.3 t.1 t.2 t.3 t.1 t.2 t.3 t.1 t.2 t.3 t.1 t.2 t.3 Tidak ada Mengembang Tentakel Setengah mengembang Menyusut Cerah Warna Mesentrial filamen Agak pucat Pucat Memutih Abnormal Normal

69 54 Lampiran 4. Data Pengamatan Visual Terhadap Hewan uji Pada Jam 72, 96 dan 120 Parameter Ukuran Parameter Jam 72 Jam 96 Jam 120 akuarium 1 akuarium 2 akuarium 3 akuarium 1 akuarium 2 akuarium 3 akuarium 1 akuarium 2 akuarium 3 t.1 t.2 t.3 t.1 t.2 t.3 t.1 t.2 t.3 t.1 t.2 t.3 t.1 t.2 t.3 t.1 t.2 t.3 t.1 t.2 t.3 t.1 t.2 t.3 t.1 t.2 t.3 Mukus Tentakel Warna Mesentrial filamen Banyak Sedang Sedikit Tidak ada Mengembang Setengah mengembang Menyusut Cerah Agak pucat Pucat Memutih Abnormal Normal

70 55 Lampiran 5. Data Pengamatan Visual Terhadap Hewan Uji Pada Jam 144, 168 dan 192 Parameter Ukuran Parameter Jam 144 Jam 168 Jam 192 akuarium 1 akuarium 2 akuarium 3 akuarium 1 akuarium 2 akuarium 3 akuarium 1 akuarium 2 akuarium 3 t.1 t.2 t.3 t.1 t.2 t.3 t.1 t.2 t.3 t.1 t.2 t.3 t.1 t.2 t.3 t.1 t.2 t.3 t.1 t.2 t.3 t.1 t.2 t.3 t.1 t.2 t.3 Mukus Tentakel Warna Mesentrial filamen Banyak Sedang Sedikit Tidak ada Mengembang Setengah mengembang Menyusut Cerah Agak pucat Pucat Memutih Abnormal Normal

71 Lampiran 6. Rekapitulasi F-hitung, Peluang, dan Koefisien Keragaman Perlakuan Suhu Terhadap Parameter Pengamatan Pada Preparat Segar No Peubah (jam) F-hitung Peluang KK (%) Mean (BNT) 1 Densitas (24) 2,34 tn 0, ,87 2 Densitas (48) 6,36* 0, ,89 A a A ab A b 3 Densitas (144) 1,86 tn 0, ,83 4 Densitas (168) 0,03 tn 0, ,39 5 Densitas (192) t1 0,37 tn 0, ,41 6 MI (24) 6,29* 0, ,54 A1. 3,6467 b A2. 5,133 ab A3. 5,7767 a 7 MI (48) 0,21 tn 0, ,34 8 MI (144) 0,47 tn 0, ,03 9 MI (168) 3,91 tn 0, ,58 10 MI (192) 2,72 tn 0, ,27 Keterangan : * berbeda nyata pada taraf 5%, ** berbeda nyata pada taraf 1%, tn tidak berbeda nyata dan tx data telah ditransformasikan sebanyak x kali 56

72 Lampiran 7. Rekapitulasi F-hitung, Peluang, dan Koefisien Keragaman Perlakuan Suhu Terhadap Parameter Pengamatan Pada Preparat Histologi No Peubah (jam) F-hitung Peluang KK (%) 1 Densitas (24) 0,09 tn 0, ,85 2 Densitas (48) 0,28 tn 0, ,28 3 Densitas (144)t1 0,30 tn 0, ,15 4 Densitas (168)t1 1,13 tn 0, ,57 5 Densitas (192)t1 4,53 tn 0, ,85 6 MI (24) 2,76 tn 0, ,89 7 MI (48) 0,17 tn 0, ,88 8 MI (144) t2 0,60 tn 0, ,00 9 MI (168) t1 1,22 tn 0, ,93 10 MI (192) 1,78 tn 0, ,33 11 Rasio (24) 0,02 tn 0, ,68 12 Rasio (48) 2,63 tn 0,1513 9,96 13 Rasio (144) 0,33 tn 0, ,66 14 Rasio (168) t1 2,29 tn 0, ,99 15 Rasio (192) 3,00 tn 0, ,29 16 Luas sel (24) 1,51 tn 0,2937 6,93 17 Luas sel (48) 1,91 tn 0,2284 5,85 18 Luas sel (144) 1,51 tn 0,3077 7,64 19 Luas sel (168) 2,41 tn 0,1846 8,11 20 Luas sel (192) 0,53 tn 0, ,31 Keterangan : * berbeda nyata pada taraf 5%, ** berbeda nyata pada taraf 1%, tn tidak berbeda nyata dan tx data telah ditransformasikan sebanyak x kali 57

73 58 Lampiran 8. Data Pengamatan Kualitas Air Data Pengamatan Suhu dan Salinitas Air Laut Pada Akuarium Pada Masa Peningkatan I, Istirahat dan Peningkatan II No Tanggal Suhu ( o C) Salinitas ( o / oo ) K P1 P2 K P1 P2 1 5/11/ ,5 32,5 32,5 2 5/12/ ,5 32, /13/ , /14/ , /15/ ,5 6 5/16/ ,5 28,5 28, ,5 7 5/17/ ,5 8 5/18/ ,5 9 5/19/ /23/ Keterangan : K (kontrol), P1(perlakuan 1), dan P2(perlakuan 2) Data Pengamatan ph, Ammonia dan Nitrit Air Laut Pada Akuarium Pada Masa Aklimatisasi, Peningkatan I, Istirahat dan Peningkatan II No Tanggal ph Nitrit (mg/l) Amonia (mg/l) K P1 P2 K P1 P2 K P1 P2 Keterangan 1 4/14/2011 7,99 7,92 7,92 0,021 0,014 0,004 0,055 0,091 0,028 Langsung 2 5/15/2011 7,97 7,83 7,77 0,036 0,019 0,015 0,028 0,024 0,024 Langsung 3 5/16/2011 7,7 7,7 7,7 0,006 0,003 0,002 0,131 0,198 0,144 Disimpan dalam chiller selama 2 hari 4 5/17/2011 7,7 7,7 7,7 0,001 0,009 0,003 0,061 0,049 0,068 Disimpan dalam chiller selama 1 hari 5 5/19/2011 7,7 7,8 7,7 0,019 0,047 0,047 0,001 0,000 0,010 Disimpan dalam chiller selama 4 hari Keterangan : K (kontrol), P1(perlakuan 1), dan P2(perlakuan 2)

74 DAFTAR RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Sukabumi, Jawa Barat, 20 Maret Penulis adalah putra dari Bapak Agus Sudradjat dan Ibu Ria Priatina. Penulis adalah anak kedua dari tiga bersaudara. Tahun 2007 Penulis menyelesaikan Pendidikan di Sekolah Menengah Atas Negeri 3 Sukabumi, Jawa Barat. Pada tahun 2007 Penulis diterima sebagai mahasiswa Institut Pertanian Bogor, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Jurusan Ilmu dan Teknologi Kelautan melalui jalur Undangan Seleksi Masuk IPB (USMI). Selama menempuh pendidikan di Institut Pertanian Bogor, Penulis pernah menjadi sekertaris umum DPM TPB tahun , sekertaris komisi internal DPM FPIK tahun , Dewan Formatur HIMITEKA tahun , dan Wakil Ketua I HIMITEKA tahun Selain itu penulis juga pernah menjadi asisten praktikum mata kuliah ikhtiologi tahun 2009 dan biologi laut pada tahun 2010 dan Untuk menyelesaikan studi di Departemen Ilmu dan Teknologi Kelautan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor, Penulis menyelesaikan skripsi dengan judul Adaptasi Fisiologi Anemon Pasir (Heteractis malu) Terhadap Peningkatan Suhu Lingkungan Perairan 1 o C dan 2 o C. 59

ADAPTASI FISIOLOGI ANEMON PASIR (Heteractis malu) TERHADAP PENINGKATAN SUHU LINGKUNGAN PERAIRAN 1 O C DAN 2 O C

ADAPTASI FISIOLOGI ANEMON PASIR (Heteractis malu) TERHADAP PENINGKATAN SUHU LINGKUNGAN PERAIRAN 1 O C DAN 2 O C ADAPTASI FISIOLOGI ANEMON PASIR (Heteractis malu) TERHADAP PENINGKATAN SUHU LINGKUNGAN PERAIRAN 1 O C DAN 2 O C KORNEL ADHITIA WARMAN SKRIPSI DEPARTEMEN ILMU DAN TEKNOLOGI KELAUTAN FAKULTAS PERIKANAN DAN

Lebih terperinci

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Hasil Penelitian Terdapat tiga hasil utama yang didapat dari penelitian ini, yaitu hasil pengamatan secara visual terhadap keadaan bagian luar tubuh anemon, pengamatan preparat

Lebih terperinci

2. TINJAUAN PUSTAKA. Anemon laut merupakan hewan invertebrata atau hewan yang tidak

2. TINJAUAN PUSTAKA. Anemon laut merupakan hewan invertebrata atau hewan yang tidak 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Anemon Laut Anemon laut merupakan hewan invertebrata atau hewan yang tidak memiliki tulang belakang. Anemon laut ditemukan hidup secara soliter (individual) dengan bentuk tubuh

Lebih terperinci

PROSES PEMULIHAN ANEMON LAUT Heteractis malu (HADDON DAN SHACKLETON 1893) TERHADAP PENINGKATAN SUHU 1 ⁰C DAN 2 ⁰C

PROSES PEMULIHAN ANEMON LAUT Heteractis malu (HADDON DAN SHACKLETON 1893) TERHADAP PENINGKATAN SUHU 1 ⁰C DAN 2 ⁰C PROSES PEMULIHAN ANEMON LAUT Heteractis malu (HADDON DAN SHACKLETON 1893) TERHADAP PENINGKATAN SUHU 1 ⁰C DAN 2 ⁰C IRNITA YULIANTI SKRIPSI DEPARTEMEN ILMU DAN TEKNOLOGI KELAUTAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU

Lebih terperinci

PERKEMBANGAN GAMET KARANG LUNAK Sinularia dura HASIL TRANSPLANTASI DI PULAU PRAMUKA, KEPULAUAN SERIBU, DKI JAKARTA

PERKEMBANGAN GAMET KARANG LUNAK Sinularia dura HASIL TRANSPLANTASI DI PULAU PRAMUKA, KEPULAUAN SERIBU, DKI JAKARTA PERKEMBANGAN GAMET KARANG LUNAK Sinularia dura HASIL TRANSPLANTASI DI PULAU PRAMUKA, KEPULAUAN SERIBU, DKI JAKARTA Oleh: Edy Setyawan C64104005 PROGRAM STUDI ILMU DAN TEKNOLOGI KELAUTAN FAKULTAS PERIKANAN

Lebih terperinci

PENGARUH PENINGKATAN SUHU TERHADAP ADAPTASI FISIOLOGI ANEMON PASIR (Heteractis malu): SKALA LABORATORIUM

PENGARUH PENINGKATAN SUHU TERHADAP ADAPTASI FISIOLOGI ANEMON PASIR (Heteractis malu): SKALA LABORATORIUM Jurnal Ilmu dan Teknologi Kelautan Tropis, Vol. 4, No. 1, Hlm. 135-144, Juni 2012 PENGARUH PENINGKATAN SUHU TERHADAP ADAPTASI FISIOLOGI ANEMON PASIR (Heteractis malu): SKALA LABORATORIUM FISIOLOGY ADAPTATION

Lebih terperinci

Lampiran 1. No. Alat dan Bahan Spesifikasi Unit/Satuan Pemeliharaan dan Percobaan Pengambilan dan Pembuatan Preparat Pengukuran Parameter

Lampiran 1. No. Alat dan Bahan Spesifikasi Unit/Satuan Pemeliharaan dan Percobaan Pengambilan dan Pembuatan Preparat Pengukuran Parameter LAMPIRAN 4 Lampiran. Alat dan Bahan yang Digunakan pada Penelitian No. Alat dan Bahan Spesifikasi Unit/Satuan Pemeliharaan dan Percobaan. Akuarium pemeliharaan 00 x 4 x 4 cm 2/- 2. Akuarium pemeliharaan

Lebih terperinci

FITOPLANKTON : DISTRIBUSI HORIZONTAL DAN HUBUNGANNYA DENGAN PARAMETER FISIKA KIMIA DI PERAIRAN DONGGALA SULAWESI TENGAH

FITOPLANKTON : DISTRIBUSI HORIZONTAL DAN HUBUNGANNYA DENGAN PARAMETER FISIKA KIMIA DI PERAIRAN DONGGALA SULAWESI TENGAH FITOPLANKTON : DISTRIBUSI HORIZONTAL DAN HUBUNGANNYA DENGAN PARAMETER FISIKA KIMIA DI PERAIRAN DONGGALA SULAWESI TENGAH Oleh : Helmy Hakim C64102077 PROGRAM STUDI ILMU DAN TEKNOLOGI KELAUTAN FAKULTAS PERIKANAN

Lebih terperinci

LAPORAN AKHIR PROGRAM KREATIVITAS MAHASISWA

LAPORAN AKHIR PROGRAM KREATIVITAS MAHASISWA LAPORAN AKHIR PROGRAM KREATIVITAS MAHASISWA PENGARUH ANEMON (Heteractis magnifica) TERHADAP VITALITAS IKAN BADUT (Amphiprion oscellaris) UNTUK MEMINIMALISASI PENGGUNAAN KARANG HIDUP DALAM USAHA BUDIDAYA

Lebih terperinci

SEBARAN DAN ASOSIASI PERIFITON PADA EKOSISTEM PADANG LAMUN (Enhalus acoroides) DI PERAIRAN PULAU TIDUNG BESAR, KEPULAUAN SERIBU, JAKARTA UTARA

SEBARAN DAN ASOSIASI PERIFITON PADA EKOSISTEM PADANG LAMUN (Enhalus acoroides) DI PERAIRAN PULAU TIDUNG BESAR, KEPULAUAN SERIBU, JAKARTA UTARA SEBARAN DAN ASOSIASI PERIFITON PADA EKOSISTEM PADANG LAMUN (Enhalus acoroides) DI PERAIRAN PULAU TIDUNG BESAR, KEPULAUAN SERIBU, JAKARTA UTARA Oleh: Yuri Hertanto C64101046 PROGRAM STUDI ILMU DAN TEKNOLOGI

Lebih terperinci

DISTRIBUSI DAN PREFERENSI HABITAT SPONS KELAS DEMOSPONGIAE DI KEPULAUAN SERIBU PROVINSI DKI JAKARTA KARJO KARDONO HANDOJO

DISTRIBUSI DAN PREFERENSI HABITAT SPONS KELAS DEMOSPONGIAE DI KEPULAUAN SERIBU PROVINSI DKI JAKARTA KARJO KARDONO HANDOJO DISTRIBUSI DAN PREFERENSI HABITAT SPONS KELAS DEMOSPONGIAE DI KEPULAUAN SERIBU PROVINSI DKI JAKARTA KARJO KARDONO HANDOJO SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2006 PERNYATAAN MENGENAI TESIS

Lebih terperinci

3. METODOLOGI PENELITIAN

3. METODOLOGI PENELITIAN 3. METODOLOGI PENELITIAN 3.1. Lokasi dan Waktu Penelitian Sampel spons Petrosia (petrosia) nigricans yang digunakan untuk penelitian di laboratorium di peroleh di bagian barat daya Pulau Pramuka Gugusan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. I.1. Latar Belakang dan Masalah yang dikaji (Statement of the Problem) I.1.1. Latar belakang

BAB I PENDAHULUAN. I.1. Latar Belakang dan Masalah yang dikaji (Statement of the Problem) I.1.1. Latar belakang BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang dan Masalah yang dikaji (Statement of the Problem) I.1.1. Latar belakang Terumbu karang merupakan salah satu ekosistem terbesar kedua setelah hutan bakau dimana kesatuannya

Lebih terperinci

ANALISIS RESPONS TINGKAH LAKU IKAN PEPETEK (Secutor insidiator) TERHADAP INTENSITAS CAHAYA BERWARNA EVA UTAMI

ANALISIS RESPONS TINGKAH LAKU IKAN PEPETEK (Secutor insidiator) TERHADAP INTENSITAS CAHAYA BERWARNA EVA UTAMI ANALISIS RESPONS TINGKAH LAKU IKAN PEPETEK (Secutor insidiator) TERHADAP INTENSITAS CAHAYA BERWARNA EVA UTAMI SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2006 PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER

Lebih terperinci

STRUKTUR KOMUNITAS FITOPLANKTON SERTA KETERKAITANNYA DENGAN KUALITAS PERAIRAN DI LINGKUNGAN TAMBAK UDANG INTENSIF FERIDIAN ELFINURFAJRI SKRIPSI

STRUKTUR KOMUNITAS FITOPLANKTON SERTA KETERKAITANNYA DENGAN KUALITAS PERAIRAN DI LINGKUNGAN TAMBAK UDANG INTENSIF FERIDIAN ELFINURFAJRI SKRIPSI 2 STRUKTUR KOMUNITAS FITOPLANKTON SERTA KETERKAITANNYA DENGAN KUALITAS PERAIRAN DI LINGKUNGAN TAMBAK UDANG INTENSIF FERIDIAN ELFINURFAJRI SKRIPSI DEPARTEMEN MANAJEMEN SUMBERDAYA PERAIRAN FAKULTAS PERIKANAN

Lebih terperinci

3. METODOLOGI PENELITIAN

3. METODOLOGI PENELITIAN 3. METODOLOGI PENELITIAN 3.1. Waktu dan lokasi penelitian Penelitian dilaksanakan mulai bulan September 2010 sampai Mei 2011. Kegiatan penelitian meliputi tahap persiapan, pengamatan laju pertumbuhan Kappaphycus

Lebih terperinci

STUDI PERUBAHAN LUASAN TERUMBU KARANG DENGAN MENGGUNAKAN DATA PENGINDERAAN JAUH DI PERAIRAN BAGIAN BARAT DAYA PULAU MOYO, SUMBAWA

STUDI PERUBAHAN LUASAN TERUMBU KARANG DENGAN MENGGUNAKAN DATA PENGINDERAAN JAUH DI PERAIRAN BAGIAN BARAT DAYA PULAU MOYO, SUMBAWA STUDI PERUBAHAN LUASAN TERUMBU KARANG DENGAN MENGGUNAKAN DATA PENGINDERAAN JAUH DI PERAIRAN BAGIAN BARAT DAYA PULAU MOYO, SUMBAWA Oleh Riza Aitiando Pasaribu C64103058 PROGRAM STUDI ILMU KELAUTAN FAKULTAS

Lebih terperinci

KARAKTERISTIK MASSA AIR ARLINDO DI PINTASAN TIMOR PADA MUSIM BARAT DAN MUSIM TIMUR

KARAKTERISTIK MASSA AIR ARLINDO DI PINTASAN TIMOR PADA MUSIM BARAT DAN MUSIM TIMUR KARAKTERISTIK MASSA AIR ARLINDO DI PINTASAN TIMOR PADA MUSIM BARAT DAN MUSIM TIMUR Oleh : Agus Dwi Jayanti Diah Cahyaningrum C64104051 PROGRAM STUDI ILMU DAN TEKNOLOGI KELAUTAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU

Lebih terperinci

PRODUKTIVITAS PRIMER PERIFITON DI SUNGAI NABORSAHAN SUMATERA UTARA

PRODUKTIVITAS PRIMER PERIFITON DI SUNGAI NABORSAHAN SUMATERA UTARA PRODUKTIVITAS PRIMER PERIFITON DI SUNGAI NABORSAHAN SUMATERA UTARA SKRIPSI Oleh: BETZY VICTOR TELAUMBANUA 090302053 PROGRAM STUDI MANAJEMEN SUMBERDAYA PERAIRAN FAKULTAS PERTANIAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

Lebih terperinci

KLASIFIKASI CNIDARIA. By Luisa Diana Handoyo, M.Si.

KLASIFIKASI CNIDARIA. By Luisa Diana Handoyo, M.Si. KLASIFIKASI CNIDARIA By Luisa Diana Handoyo, M.Si. Tujuan pembelajaran Setelah mengikuti perkuliahan ini mahasiswa diharapkan mampu : Menjelaskan klasifikasi Cnidaria Menjelaskan daur hidup hewan yang

Lebih terperinci

SEBARAN MENEGAK KONSENTRASI Pb, Cu, Zn, Cd, DAN Ni DI SEDIMEN PULAU PARI BAGIAN UTARA KEPULAUAN SERIBU. Oleh : ACHMAD AULIA RACHMAN C

SEBARAN MENEGAK KONSENTRASI Pb, Cu, Zn, Cd, DAN Ni DI SEDIMEN PULAU PARI BAGIAN UTARA KEPULAUAN SERIBU. Oleh : ACHMAD AULIA RACHMAN C SEBARAN MENEGAK KONSENTRASI Pb, Cu, Zn, Cd, DAN Ni DI SEDIMEN PULAU PARI BAGIAN UTARA KEPULAUAN SERIBU Oleh : ACHMAD AULIA RACHMAN C64102057 PROGRAM STUDI ILMU DAN TEKNOLOGI KELAUTAN FAKULTAS PERIKANAN

Lebih terperinci

Institut Pertanian Bogor, Bogor 16680, Indonesia 1 ABSTRACT

Institut Pertanian Bogor, Bogor 16680, Indonesia   1 ABSTRACT PENGARUH ANEMON (Heteractis magnifica) TERHADAP VITALITAS IKAN BADUT (Amphiprion oscellaris) UNTUK MEMINIMALISASI PENGGUNAAN KARANG HIDUP PADA AKUARIUM LAUT BUATAN (THE en INFLUENCE ANEMONE (Heteractis

Lebih terperinci

PENGARUH SEDIMEN BERMINYAK TERHADAP PERTUMBUHAN MIKROALGA Isochrysis sp.

PENGARUH SEDIMEN BERMINYAK TERHADAP PERTUMBUHAN MIKROALGA Isochrysis sp. PENGARUH SEDIMEN BERMINYAK TERHADAP PERTUMBUHAN MIKROALGA Isochrysis sp. GESHA YULIANI NATTASYA SKRIPSI DEPARTEMEN ILMU DAN TEKNOLOGI KELAUTAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR

Lebih terperinci

GEOKIMIA Pb, Cr, Cu DALAM SEDIMEN DAN KETERSEDIAANNYA PADA BIOTA BENTIK DI PERAIRAN DELTA BERAU, KALIMANTAN TIMUR

GEOKIMIA Pb, Cr, Cu DALAM SEDIMEN DAN KETERSEDIAANNYA PADA BIOTA BENTIK DI PERAIRAN DELTA BERAU, KALIMANTAN TIMUR GEOKIMIA Pb, Cr, Cu DALAM SEDIMEN DAN KETERSEDIAANNYA PADA BIOTA BENTIK DI PERAIRAN DELTA BERAU, KALIMANTAN TIMUR Oleh: Sabam Parsaoran Situmorang C64103011 PROGRAM STUDI ILMU DAN TEKNOLOGI KELAUTAN FAKULTAS

Lebih terperinci

4. HASIL DAN PEMBAHASAN. kondisi kualitas perairan dalam system resirkulasi untuk pertumbuhan dan

4. HASIL DAN PEMBAHASAN. kondisi kualitas perairan dalam system resirkulasi untuk pertumbuhan dan 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Parameter Fisika Kimia Perairan Pengukuran parameter fisika dan kimia bertujuan untuk mengetahui kondisi kualitas perairan dalam system resirkulasi untuk pertumbuhan dan kelangsungan

Lebih terperinci

IDENTIFIKASI CITRA KARANG MENGGUNAKAN JARINGAN SYARAF TIRUAN: KASUS FAMILY POCILLOPORIDAE RONI SALAMBUE

IDENTIFIKASI CITRA KARANG MENGGUNAKAN JARINGAN SYARAF TIRUAN: KASUS FAMILY POCILLOPORIDAE RONI SALAMBUE IDENTIFIKASI CITRA KARANG MENGGUNAKAN JARINGAN SYARAF TIRUAN: KASUS FAMILY POCILLOPORIDAE RONI SALAMBUE SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2007 BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia

Lebih terperinci

PERTUMBUHAN DAN KELANGSUNGAN HIDUP IKAN PATIN (Pangasius sp.) YANG DIPELIHARA DALAM SISTEM RESIRKULASI

PERTUMBUHAN DAN KELANGSUNGAN HIDUP IKAN PATIN (Pangasius sp.) YANG DIPELIHARA DALAM SISTEM RESIRKULASI PERTUMBUHAN DAN KELANGSUNGAN HIDUP IKAN PATIN (Pangasius sp.) YANG DIPELIHARA DALAM SISTEM RESIRKULASI Oleh : AGUNG MAULANA PUTRA 100302052 NIM / 100302052 PROGRAM STUDI MANAJEMEN SUMBERDAYA PERAIRAN FAKULTAS

Lebih terperinci

DENSITAS DAN UKURAN GAMET SPONS Aaptos aaptos (Schmidt 1864) HASIL TRANSPLANTASI DI HABITAT BUATAN ANCOL, DKI JAKARTA

DENSITAS DAN UKURAN GAMET SPONS Aaptos aaptos (Schmidt 1864) HASIL TRANSPLANTASI DI HABITAT BUATAN ANCOL, DKI JAKARTA DENSITAS DAN UKURAN GAMET SPONS Aaptos aaptos (Schmidt 1864) HASIL TRANSPLANTASI DI HABITAT BUATAN ANCOL, DKI JAKARTA Oleh: Wini Wardani Hidayat C64103013 PROGRAM STUDI ILMU DAN TEKNOLOGI KELAUTAN FAKULTAS

Lebih terperinci

(Cyanea sp.) PADA SUHU YANG BERBEDA TERHADAP Daphnia sp.

(Cyanea sp.) PADA SUHU YANG BERBEDA TERHADAP Daphnia sp. Oo9 UII PENCARUH TOKSISITAS VENOM UBUR-UBUR (Cyanea sp.) PADA SUHU YANG BERBEDA TERHADAP Daphnia sp. Oleh : Mardha Tillah C 64101066 PROGRAM STUD1 ILMU DAN TEKNOLOGI KELAUTAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU

Lebih terperinci

PENDUGAAN KONSENTRASI KLOROFIL-a DAN TRANSPARANSI PERAIRAN TELUK JAKARTA DENGAN CITRA SATELIT LANDSAT

PENDUGAAN KONSENTRASI KLOROFIL-a DAN TRANSPARANSI PERAIRAN TELUK JAKARTA DENGAN CITRA SATELIT LANDSAT PENDUGAAN KONSENTRASI KLOROFIL-a DAN TRANSPARANSI PERAIRAN TELUK JAKARTA DENGAN CITRA SATELIT LANDSAT DESSY NOVITASARI ROMAULI SIDABUTAR SKRIPSI DEPARTEMEN ILMU DAN TEKNOLOGI KELAUTAN FAKULTAS PERIKANAN

Lebih terperinci

ABSTRACT. Keywords : Biofilter, Cherax quadricarinatus, Glochidia

ABSTRACT. Keywords : Biofilter, Cherax quadricarinatus, Glochidia Maintenance Juveniles of Freshwater Crayfish (Cherax quadricarinatus) Using Biofilter Kijing Taiwan (Anadonta woodiana, Lea) With System of Recirculation By Yunida Fakhraini 1), Rusliadi 2), Iskandar Putra

Lebih terperinci

BAB 4. METODE PENELITIAN

BAB 4. METODE PENELITIAN BAB 4. METODE PENELITIAN 4.1. Waktu dan Tempat Penelitian ini dilaksanakan selama sembilan bulan dari bulan Maret sampai September 2014 di Laboratorium UPT Kolam Pembenihan, Fakultas Perikanan dan Ilmu

Lebih terperinci

Fakultas Perikanan Dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor, Bogor 16680, Indonesia ABSTRACT

Fakultas Perikanan Dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor, Bogor 16680, Indonesia   ABSTRACT Jurnal Teknologi Perikanan dan Kelautan. Vol. 4. No. 2 November 2013: 137-142 ISSNN 2087-4871 PENGARUH ANEMON (Heteractis magnifica) TERHADAP VITALITAS IKAN BADUT (Amphiprion oscellaris) UNTUK MEMINIMALISASI

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA

II. TINJAUAN PUSTAKA II. TINJAUAN PUSTAKA A. Klasifikasi dan Morfologi Clownfish Klasifikasi Clownfish menurut Burges (1990) adalah sebagai berikut: Kingdom Filum Ordo Famili Genus Spesies : Animalia : Chordata : Perciformes

Lebih terperinci

KERENTANAN TERUMBU KARANG AKIBAT AKTIVITAS MANUSIA MENGGUNAKAN CELL - BASED MODELLING DI PULAU KARIMUNJAWA DAN PULAU KEMUJAN, JEPARA, JAWA TENGAH

KERENTANAN TERUMBU KARANG AKIBAT AKTIVITAS MANUSIA MENGGUNAKAN CELL - BASED MODELLING DI PULAU KARIMUNJAWA DAN PULAU KEMUJAN, JEPARA, JAWA TENGAH KERENTANAN TERUMBU KARANG AKIBAT AKTIVITAS MANUSIA MENGGUNAKAN CELL - BASED MODELLING DI PULAU KARIMUNJAWA DAN PULAU KEMUJAN, JEPARA, JAWA TENGAH oleh : WAHYUDIONO C 64102010 PROGRAM STUDI ILMU DAN TEKNOLOGI

Lebih terperinci

3 METODE PENELITIAN. Pulau Barrang Lompo. Pulau Laelae. Sumber :Landsat ETM+Satellite Image Aquisition tahun 2002

3 METODE PENELITIAN. Pulau Barrang Lompo. Pulau Laelae. Sumber :Landsat ETM+Satellite Image Aquisition tahun 2002 17 3 METODE PENELITIAN 3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian dilaksanakan di Kepulauan Spermonde yaitu; Pulau Laelae, Pulau Barrang Lompo dan Pulau Lanyukang di Kota Makassar yang berlangsung dari

Lebih terperinci

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Kondisi Fisika dan Kimia Perairan Kondisi alami sampel karang berdasarkan data (Lampiran 1) dengan kondisi tempat fragmentasi memiliki perbedaan yang tidak terlalu signifikan

Lebih terperinci

PENGEMBANGAN INSTRUMENTASI PENGUKUR KELIMPAHAN CHLORELLA SP. BERDASARKAN ANALISIS RGB DENGAN MENGGUNAKAN EFEK FLUORESCENCE

PENGEMBANGAN INSTRUMENTASI PENGUKUR KELIMPAHAN CHLORELLA SP. BERDASARKAN ANALISIS RGB DENGAN MENGGUNAKAN EFEK FLUORESCENCE PENGEMBANGAN INSTRUMENTASI PENGUKUR KELIMPAHAN CHLORELLA SP. BERDASARKAN ANALISIS RGB DENGAN MENGGUNAKAN EFEK FLUORESCENCE Oleh: Dini Janiariska C64104059 PROGRAM STUDI ILMU DAN TEKNOLOGI KELAUTAN FAKULTAS

Lebih terperinci

PERAMBATAN GELOMBANG ROSSBY DI PERAIRAN SAMUDERA HINDIA MENGGUNAKAN METODE WAVELET

PERAMBATAN GELOMBANG ROSSBY DI PERAIRAN SAMUDERA HINDIA MENGGUNAKAN METODE WAVELET PERAMBATAN GELOMBANG ROSSBY DI PERAIRAN SAMUDERA HINDIA MENGGUNAKAN METODE WAVELET RIESNI FITRIANI SKRIPSI DEPARTEMEN ILMU DAN TEKNOLOGI KELAUTAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN INSTITUT PERTANIAN

Lebih terperinci

PERKEMBANGAN DAN PERTUMBUHAN KARANG JENIS Lobophyllia hemprichii YANG DITRANSPLANTASIKAN DI PULAU PRAMUKA, KEPULAUAN SERIBU, JAKARTA

PERKEMBANGAN DAN PERTUMBUHAN KARANG JENIS Lobophyllia hemprichii YANG DITRANSPLANTASIKAN DI PULAU PRAMUKA, KEPULAUAN SERIBU, JAKARTA PERKEMBANGAN DAN PERTUMBUHAN KARANG JENIS Lobophyllia hemprichii YANG DITRANSPLANTASIKAN DI PULAU PRAMUKA, KEPULAUAN SERIBU, JAKARTA Oleh: WIDYARTO MARGONO C64103076 PROGRAM STUDI ILMU DAN TEKNOLOGI KELAUTAN

Lebih terperinci

III. HASIL DAN PEMBAHASAN

III. HASIL DAN PEMBAHASAN III. HASIL DAN PEMBAHASAN 3.1 Hasil Berikut ini adalah hasil penelitian dari perlakuan perbedaan substrat menggunakan sistem filter undergravel yang meliputi hasil pengukuran parameter kualitas air dan

Lebih terperinci

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Kondisi dan Variasi Temporal Parameter Fisika-Kimiawi Perairan Kondisi perairan merupakan faktor utama dalam keberhasilan hidup karang. Perubahan kondisi perairan dapat mempengaruhi

Lebih terperinci

PENGARUH PENAMBAHAN KALSIUM KARBONAT PADA MEDIA BERSALINITAS 3 PPT TERHADAP TINGKAT KELANGSUNGAN HIDUP DAN PERTUMBUHAN BENIH IKAN PATIN Pangasius sp.

PENGARUH PENAMBAHAN KALSIUM KARBONAT PADA MEDIA BERSALINITAS 3 PPT TERHADAP TINGKAT KELANGSUNGAN HIDUP DAN PERTUMBUHAN BENIH IKAN PATIN Pangasius sp. PENGARUH PENAMBAHAN KALSIUM KARBONAT PADA MEDIA BERSALINITAS 3 PPT TERHADAP TINGKAT KELANGSUNGAN HIDUP DAN PERTUMBUHAN BENIH IKAN PATIN Pangasius sp. YENI GUSTI HANDAYANI SKRIPSI PROGRAM STUDI TEKNOLOGI

Lebih terperinci

3. METODE PENELITIAN. Penelitian dilaksanakan di Laboratorium Pusat Studi Ilmu Kelautan IPB,

3. METODE PENELITIAN. Penelitian dilaksanakan di Laboratorium Pusat Studi Ilmu Kelautan IPB, 3. METODE PENELITIAN 3.1. Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian dilaksanakan di Laboratorium Pusat Studi Ilmu Kelautan IPB, Ancol, Jakarta yang meliputi dua tahap yaitu persiapan dan fragmentasi Lobophytum

Lebih terperinci

2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Terumbu Karang

2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Terumbu Karang 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Terumbu Karang Terumbu karang (coral reef) merupakan ekosistem laut dangkal yang terbentuk dari endapan-endapan masif terutama kalsium karbonat (CaCO 3 ) yang dihasilkan terutama

Lebih terperinci

COELENTERATA Coilos = rongga Enteron = usus. By Luisa Diana Handoyo, M.Si.

COELENTERATA Coilos = rongga Enteron = usus. By Luisa Diana Handoyo, M.Si. COELENTERATA Coilos = rongga Enteron = usus By Luisa Diana Handoyo, M.Si. COELENTERATA (= CNIDARIA) Cnido = penyengat Multiseluler Tubuh bersimetri radial Diploblastik (ektoderm dan endoderm) Diantara

Lebih terperinci

RANCANG BANGUN ALAT PEMISAH GARAM DAN AIR TAWAR DENGAN MENGGUNAKAN ENERGI MATAHARI

RANCANG BANGUN ALAT PEMISAH GARAM DAN AIR TAWAR DENGAN MENGGUNAKAN ENERGI MATAHARI RANCANG BANGUN ALAT PEMISAH GARAM DAN AIR TAWAR DENGAN MENGGUNAKAN ENERGI MATAHARI RIZQI RIZALDI HIDAYAT SKRIPSI DEPARTEMEN ILMU DAN TEKNOLOGI KELAUTAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN INSTITUT PERTANIAN

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN. Penelitian ini telah dilakukan pada bulan Januari-April Penelitian ini

III. METODE PENELITIAN. Penelitian ini telah dilakukan pada bulan Januari-April Penelitian ini 28 III. METODE PENELITIAN A. Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian ini telah dilakukan pada bulan Januari-April 2013. Penelitian ini dilakukan di Laboratorium Botani Jurusan Biologi Fakultas MIPA. B.

Lebih terperinci

4 HASIL DAN PEMBAHASAN

4 HASIL DAN PEMBAHASAN 4 HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Reaksi Pengumpulan Pepetek terhadap Warna Cahaya dengan Intensitas Berbeda Informasi mengenai tingkah laku ikan akan memberikan petunjuk bagaimana bentuk proses penangkapan yang

Lebih terperinci

STUDI EKOLOGI KISTA DINOFLAGELLATA SPESIES PENYEBAB HAB (Harmful Algal Bloom) DI SEDIMEN PADA PERAIRAN TELUK JAKARTA. Oleh; Galih Kurniawan C

STUDI EKOLOGI KISTA DINOFLAGELLATA SPESIES PENYEBAB HAB (Harmful Algal Bloom) DI SEDIMEN PADA PERAIRAN TELUK JAKARTA. Oleh; Galih Kurniawan C STUDI EKOLOGI KISTA DINOFLAGELLATA SPESIES PENYEBAB HAB (Harmful Algal Bloom) DI SEDIMEN PADA PERAIRAN TELUK JAKARTA Oleh; Galih Kurniawan C64104033 PROGRAM STUDI ILMU DAN TEKNOLOGI KELAUTAN FAKULTAS PERIKANAN

Lebih terperinci

3. METODE PENELITIAN

3. METODE PENELITIAN 3. METODE PENELITIAN 3.1. Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilakukan pada kawasan perikanan keramba jaring apung (KJA) di Waduk Ir. H. Juanda Kabupaten Purwakarta, Jawa Barat (Gambar 4). Kegiatan

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN III. HASIL DAN PEMBAHASAN 3.1 Hasil 3.1.1 Amonia Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan, diperoleh data berupa nilai dari parameter amonia yang disajikan dalam bentuk grafik. Dari grafik dapat diketahui

Lebih terperinci

II. METODE PENELITIAN. Penelitian telah dilaksanakan pada bulan Juni sampai dengan Agustus

II. METODE PENELITIAN. Penelitian telah dilaksanakan pada bulan Juni sampai dengan Agustus II. METODE PENELITIAN A. Waktu dan Tempat Penelitian telah dilaksanakan pada bulan Juni sampai dengan Agustus 2013 di Laboratorium Budidaya Perikanan Program Studi Budidaya Perairan, Fakultas Pertanian,

Lebih terperinci

PENGARUH PADAT TEBAR TINGGI DENGAN PENGUNAAN NITROBACTER TERHADAP PERTUMBUHAN IKAN LELE (Clarias sp.) FENLYA MEITHA PASARIBU

PENGARUH PADAT TEBAR TINGGI DENGAN PENGUNAAN NITROBACTER TERHADAP PERTUMBUHAN IKAN LELE (Clarias sp.) FENLYA MEITHA PASARIBU PENGARUH PADAT TEBAR TINGGI DENGAN PENGUNAAN NITROBACTER TERHADAP PERTUMBUHAN IKAN LELE (Clarias sp.) FENLYA MEITHA PASARIBU 110302072 PROGRAM STUDI MANAJEMEN SUMBERDAYA PERAIRAN FAKULTAS PERTANIAN UNIVERSITAS

Lebih terperinci

PAPARAN MEDAN LISTRIK 10 VOLT SELAMA 0, 2, 4, DAN 6 MENIT TERHADAP TINGKAT KELANGSUNGAN HIDUP DAN PERTUMBUHAN IKAN GURAME

PAPARAN MEDAN LISTRIK 10 VOLT SELAMA 0, 2, 4, DAN 6 MENIT TERHADAP TINGKAT KELANGSUNGAN HIDUP DAN PERTUMBUHAN IKAN GURAME PAPARAN MEDAN LISTRIK 10 VOLT SELAMA 0, 2, 4, DAN 6 MENIT TERHADAP TINGKAT KELANGSUNGAN HIDUP DAN PERTUMBUHAN IKAN GURAME (Osphronemous gouramy Lac.) PADA MEDIA PEMELIHARAAN BERSALINITAS 3 ppt ADHI KURNIAWAN

Lebih terperinci

3. METODE PENELITIAN

3. METODE PENELITIAN 3. METODE PENELITIAN 3.1. Rancangan Penelitian Kegiatan penelitian berupa percobaan di laboratorium yang terdiri dari dua tahap, yaitu tahap pendahuluan dan utama. Penelitian pendahuluan bertujuan untuk

Lebih terperinci

PENGARUH WAKTU FRAGMENTASI KOLONI SPONS Petrosia sp. TERHADAP KANDUNGAN SENYAWA BIOAKTIF

PENGARUH WAKTU FRAGMENTASI KOLONI SPONS Petrosia sp. TERHADAP KANDUNGAN SENYAWA BIOAKTIF PENGARUH WAKTU FRAGMENTASI KOLONI SPONS Petrosia sp. TERHADAP KANDUNGAN SENYAWA BIOAKTIF Oleh : Siti Aisyah Cinthia Indah Anggraini C64103025 PROGRAM STUDI ILMU DAN TEKNOLOGI KELAUTAN FAKULTAS PERIKANAN

Lebih terperinci

3. METODE PENELITIAN

3. METODE PENELITIAN 14 3. METODE PENELITIAN 3.1. Waktu dan Lokasi Penelitian Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Januari sampai dengan Maret 2012 dengan selang waktu pengambilan satu minggu. Lokasi pengambilan ikan contoh

Lebih terperinci

KONDISI EKOSISTEM TERUMBU KARANG DI KEPULAUAN TOGEAN SULAWESI TENGAH

KONDISI EKOSISTEM TERUMBU KARANG DI KEPULAUAN TOGEAN SULAWESI TENGAH KONDISI EKOSISTEM TERUMBU KARANG DI KEPULAUAN TOGEAN SULAWESI TENGAH Oleh: Livson C64102004 PROGRAM STUDI ILMU DAN TEKNOLOGI KELAUTAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2008

Lebih terperinci

II. BAHAN DAN METODE

II. BAHAN DAN METODE II. BAHAN DAN METODE 2.1 Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Februari hingga Juni 2012. Penelitian dilaksanakan di Ruang Penelitian, Hanggar 2, Balai Penelitian dan Pengembangan

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN

III. METODE PENELITIAN 19 III. METODE PENELITIAN 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian telah dilakukan pada bulan November Desember 2013, bertempat di Laboratorium Budidaya Perairan Fakultas Pertanian Universitas Lampung. 3.2 Alat

Lebih terperinci

2. TINJAUAN PUSTAKA. Sistem klasifikasi bagi karang lunak Sinularia dura adalah sebagai berikut

2. TINJAUAN PUSTAKA. Sistem klasifikasi bagi karang lunak Sinularia dura adalah sebagai berikut 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Karang Lunak Sinularia dura Sistem klasifikasi bagi karang lunak Sinularia dura adalah sebagai berikut : (Hyman, 1940; Bayer 1956 in Ellis and Sharron, 2005): Filum : Cnidaria Kelas

Lebih terperinci

3 METODOLOGI PENELITIAN

3 METODOLOGI PENELITIAN 3 METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian Lokasi penelitian mengambil tempat di pulau Pramuka Kepulauan Seribu, Kabupaten Administrasi Kepulauan Seribu Propinsi DKI Jakarta (Peta Lokasi Lampiran

Lebih terperinci

3. METODE PENELITIAN

3. METODE PENELITIAN 3. METODE PENELITIAN 3.1. Waktu dan Lokasi Penelitian Penelitian ini dilaksanakan dari bulan September 2011 hingga Desember 2011 bertempat di Gosong Pramuka, Kepulauan Seribu, DKI Jakarta dengan koordinat

Lebih terperinci

PEMANFAATAN SISTEM DOUBLE FILTER TERHADAP KELANGSUNGAN HIDUP ANEMON DALAM AKUARIUM AIR LAUT

PEMANFAATAN SISTEM DOUBLE FILTER TERHADAP KELANGSUNGAN HIDUP ANEMON DALAM AKUARIUM AIR LAUT PKMT-2-4-1 PEMANFAATAN SISTEM DOUBLE FILTER TERHADAP KELANGSUNGAN HIDUP ANEMON DALAM AKUARIUM AIR LAUT Indra AS, Adam LN, Miswanto, Shofyan A, Ferry F, La Ode Rizal A Program Studi Ilmu dan Teknologi Kelautan,

Lebih terperinci

ANALISIS KUALITAS AIR PADA SENTRAL OUTLET TAMBAK UDANG SISTEM TERPADU TULANG BAWANG, LAMPUNG

ANALISIS KUALITAS AIR PADA SENTRAL OUTLET TAMBAK UDANG SISTEM TERPADU TULANG BAWANG, LAMPUNG ANALISIS KUALITAS AIR PADA SENTRAL OUTLET TAMBAK UDANG SISTEM TERPADU TULANG BAWANG, LAMPUNG RYAN KUSUMO ADI WIBOWO SKRIPSI DEPARTEMEN MANAJEMEN SUMBERDAYA PERAIRAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN

Lebih terperinci

PENGARUH PADAT PENEBARAN 60, 75 DAN 90 EKOR/LITER TERHADAP PRODUKSI IKAN PATIN

PENGARUH PADAT PENEBARAN 60, 75 DAN 90 EKOR/LITER TERHADAP PRODUKSI IKAN PATIN PENGARUH PADAT PENEBARAN 60, 75 DAN 90 EKOR/LITER TERHADAP PRODUKSI IKAN PATIN Pangasius hypophthalmus UKURAN 1 INCI UP (3 CM) DALAM SISTEM RESIRKULASI FHEBY IRLIYANDI SKRIPSI PROGRAM STUDI TEKNOLOGI DAN

Lebih terperinci

PRODUKSI DAN LAJU DEKOMPOSISI SERASAH DAUN MANGROVE API-API

PRODUKSI DAN LAJU DEKOMPOSISI SERASAH DAUN MANGROVE API-API PRODUKSI DAN LAJU DEKOMPOSISI SERASAH DAUN MANGROVE API-API (Avicennia marina Forssk. Vierh) DI DESA LONTAR, KECAMATAN KEMIRI, KABUPATEN TANGERANG, PROVINSI BANTEN Oleh: Yulian Indriani C64103034 PROGRAM

Lebih terperinci

MENENTUKAN TINGKAT KEMATANGAN GONAD KEPlTlNG BAKAU KAITANNYA DENGAN PERKEMBANGAH GAMET

MENENTUKAN TINGKAT KEMATANGAN GONAD KEPlTlNG BAKAU KAITANNYA DENGAN PERKEMBANGAH GAMET MENENTUKAN TINGKAT KEMATANGAN GONAD KEPlTlNG BAKAU Scy[la serrata ( FORSKAL ) SEGARA MORFOLOGIS DAN KAITANNYA DENGAN PERKEMBANGAH GAMET Olela TITIK RETNOWATI C 23.1695 JURUSAN MANAJEMEN SUMBERDAYA PERAIRAN

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. memiliki empat buah flagella. Flagella ini bergerak secara aktif seperti hewan. Inti

TINJAUAN PUSTAKA. memiliki empat buah flagella. Flagella ini bergerak secara aktif seperti hewan. Inti II. TINJAUAN PUSTAKA A. Klasifikasi dan Biologi Tetraselmis sp. Tetraselmis sp. merupakan alga bersel tunggal, berbentuk oval elips dan memiliki empat buah flagella. Flagella ini bergerak secara aktif

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Kondisi Umum Selat Bali Bagian Selatan

TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Kondisi Umum Selat Bali Bagian Selatan 3 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Kondisi Umum Selat Bali Bagian Selatan Selat merupakan perairan relatif sempit yang menghubungkan dua buah perairan yang lebih besar dan biasanya terletak di antara dua daratan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. disebut arus dan merupakan ciri khas ekosistem sungai. Secara ekologis sungai

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. disebut arus dan merupakan ciri khas ekosistem sungai. Secara ekologis sungai 4 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Perairan Sungai Sungai merupakan suatu perairan yang airnya berasal dari air tanah dan air hujan, yang mengalir secara terus menerus pada arah tertentu. Aliran tersebut dapat

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Manajemen Sumberdaya Perairan Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Universitas Padjadjaran Jatinangor

Lebih terperinci

ANALISIS KUALITAS PERAIRAN PANTAI SEI NYPAH KECAMATAN PERBAUNGAN KABUPATEN SERDANG BEDAGAI PROVINSI SUMATERA UTARA RIZKI EKA PUTRA

ANALISIS KUALITAS PERAIRAN PANTAI SEI NYPAH KECAMATAN PERBAUNGAN KABUPATEN SERDANG BEDAGAI PROVINSI SUMATERA UTARA RIZKI EKA PUTRA ANALISIS KUALITAS PERAIRAN PANTAI SEI NYPAH KECAMATAN PERBAUNGAN KABUPATEN SERDANG BEDAGAI PROVINSI SUMATERA UTARA RIZKI EKA PUTRA 090302024 PROGRAM STUDI MANAJEMEN SUMBERDAYA PERAIRAN FAKULTAS PERTANIAN

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN

III. METODE PENELITIAN 21 III. METODE PENELITIAN Penelitian ini dilaksaakan di Karamba Jaring Apung (KJA) dengan mengambil lokasi di Waduk Cirata, Jawa Barat melalui 3 tahap sebagai berikut: 3.1. Penelitian Tahap I Tahap penelitian

Lebih terperinci

ANALISIS EKOSISTEM TERUMBU KARANG UNTUK PENGEMBANGAN EKOWISATA DI KELURAHAN PANGGANG, KABUPATEN ADMINISTRATIF KEPULAUAN SERIBU

ANALISIS EKOSISTEM TERUMBU KARANG UNTUK PENGEMBANGAN EKOWISATA DI KELURAHAN PANGGANG, KABUPATEN ADMINISTRATIF KEPULAUAN SERIBU ANALISIS EKOSISTEM TERUMBU KARANG UNTUK PENGEMBANGAN EKOWISATA DI KELURAHAN PANGGANG, KABUPATEN ADMINISTRATIF KEPULAUAN SERIBU INDAH HERAWANTY PURWITA DEPARTEMEN MANAJEMEN SUMBERDAYA PERAIRAN FAKULTAS

Lebih terperinci

3. METODE PENELITIAN

3. METODE PENELITIAN 21 3. METODE PENELITIAN 3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian dilakukan di Situ IPB yang terletak di dalam Kampus IPB Dramaga, Bogor. Situ IPB secara geografis terletak pada koordinat 106 0 34-106 0 44 BT dan

Lebih terperinci

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Kondisi Wilayah Penelitian Wilayah tempat substrat batu berada bersampingan dengan rumah makan Nusa Resto dan juga pabrik industri dimana kondisi fisik dan kimia perairan sekitar

Lebih terperinci

ANALISIS SINAR MERAH, HIJAU, DAN BIRU (RGB) UNTUK MENGUKUR KELIMPAHAN FITOPLANKON (Chlorella sp.) Oleh: Merizawati C

ANALISIS SINAR MERAH, HIJAU, DAN BIRU (RGB) UNTUK MENGUKUR KELIMPAHAN FITOPLANKON (Chlorella sp.) Oleh: Merizawati C ANALISIS SINAR MERAH, HIJAU, DAN BIRU (RGB) UNTUK MENGUKUR KELIMPAHAN FITOPLANKON (Chlorella sp.) Oleh: Merizawati C64104004 PROGRAM STUDI ILMU DAN TEKNOLOGI KELAUTAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN

Lebih terperinci

BAB III BAHAN DAN METODE

BAB III BAHAN DAN METODE BAB III BAHAN DAN METODE 3.1 Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini terdiri dari dua tahap, tahap pertama dilaksanakan di laboratorium bioteknologi Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Unpad, tahap

Lebih terperinci

3 METODOLOGI. 3.3 Tahap dan Prosedur Penelitian Penelitian ini terdiri dari persiapan penelitian, penelitian pendahuluan, dan penelitian utama.

3 METODOLOGI. 3.3 Tahap dan Prosedur Penelitian Penelitian ini terdiri dari persiapan penelitian, penelitian pendahuluan, dan penelitian utama. 3 METODOLOGI 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian ini dilaksanakan pada bulan November sampai Desember 2011 bertempat di Laboratorium Bahan Baku Hasil Perairan, Departemen Teknologi Hasil Perairan dan Laboratorium

Lebih terperinci

BAB III METODELOGI PENELITIAN

BAB III METODELOGI PENELITIAN BAB III METODELOGI PENELITIAN 3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian dilakukan di perairan lokasi budidaya kerang hijau (Perna viridis) Perairan Pantai Cilincing, Jakarta Utara. Sampel plankton diambil

Lebih terperinci

UPAYA PENINGKATAN PRODUKTIVITAS PENDEDERAN LOBSTER AIR TAWAR CHERAX QUADRICARINATUS

UPAYA PENINGKATAN PRODUKTIVITAS PENDEDERAN LOBSTER AIR TAWAR CHERAX QUADRICARINATUS UPAYA PENINGKATAN PRODUKTIVITAS PENDEDERAN LOBSTER AIR TAWAR CHERAX QUADRICARINATUS PADA BERBAGAI KEPADATAN DALAM AKUARIUM DENGAN LANTAI GANDA, SERTA PENERAPAN SISTEM RESIRKULASI DEDY AKBAR SKRIPSI PROGRAM

Lebih terperinci

EFEKTIFITAS PENAMBAHAN ZEOLIT TERHADAP KINERJA FILTER AIR DALAM SISTEM RESIRKULASI PADA PEMELIHARAAN IKAN ARWANA Sceleropages formosus DI AKUARIUM

EFEKTIFITAS PENAMBAHAN ZEOLIT TERHADAP KINERJA FILTER AIR DALAM SISTEM RESIRKULASI PADA PEMELIHARAAN IKAN ARWANA Sceleropages formosus DI AKUARIUM EFEKTIFITAS PENAMBAHAN ZEOLIT TERHADAP KINERJA FILTER AIR DALAM SISTEM RESIRKULASI PADA PEMELIHARAAN IKAN ARWANA Sceleropages formosus DI AKUARIUM ADITYA PRIMA YUDHA DEPARTEMEN BUDIDAYA PERAIRAN FAKULTAS

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. Gambar 2. Peta Lokasi Tambak Cibalong (Sumber : Google Earth)

BAB III METODE PENELITIAN. Gambar 2. Peta Lokasi Tambak Cibalong (Sumber : Google Earth) BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian ini telah dilakukan pada tanggal 15 Juni sampai dengan 6 Juli 2013 di perairan tambak udang Cibalong, Kabupaten Garut (Gambar 2). Analisis

Lebih terperinci

ANIMALIA. STANDAR KOMPETENSI: Memahami manfaat keanekaragaman hayati

ANIMALIA. STANDAR KOMPETENSI: Memahami manfaat keanekaragaman hayati ANIMALIA STANDAR KOMPETENSI: Memahami manfaat keanekaragaman hayati KOMPETENSI DASAR : Mendeskripsikan ciri-ciri Filum dalam Dunia Hewan dan peranannya bagi kehidupan. CIRI CIRI UMUM KINGDOM ANIMALia Eukariot,

Lebih terperinci

MANIPULASI SUHU MEDIA TERHADAP KINERJA PRODUKSI UDANG RED CHERRY (Neocaradina denticulate sinensis) BONNE MARKUS SKRIPSI

MANIPULASI SUHU MEDIA TERHADAP KINERJA PRODUKSI UDANG RED CHERRY (Neocaradina denticulate sinensis) BONNE MARKUS SKRIPSI MANIPULASI SUHU MEDIA TERHADAP KINERJA PRODUKSI UDANG RED CHERRY (Neocaradina denticulate sinensis) BONNE MARKUS SKRIPSI PROGRAM STUDI TEKNOLOGI MANAJEMEN AKUAKULTUR DEPARTERMEN BUDIDAYA PERAIRAN FAKULTAS

Lebih terperinci

STRUKTUR KOMUNITAS MAKROZOOBENTHOS DI PERAIRAN KRONJO, KABUPATEN TANGERANG BANTEN DEDY FRIYANTO

STRUKTUR KOMUNITAS MAKROZOOBENTHOS DI PERAIRAN KRONJO, KABUPATEN TANGERANG BANTEN DEDY FRIYANTO STRUKTUR KOMUNITAS MAKROZOOBENTHOS DI PERAIRAN KRONJO, KABUPATEN TANGERANG BANTEN DEDY FRIYANTO SKRIPSI DEPARTEMEN MANAJEMEN SUMBERDAYA PERAIRAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN INSTITUT PERTANIAN

Lebih terperinci

3. METODE PENELITIAN

3. METODE PENELITIAN 12 3. METODE PENELITIAN 3.1. Waktu dan Lokasi Penelitian Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Maret - Juli 2011 dalam selang waktu 1 bulan sekali. Pengambilan contoh dilakukan sebanyak 5 kali (19 Maret

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN BAB III METODE PENELITIAN 3.1. Rancangan penelitian Jenis penelitian yang digunakan adalah penelitian eksperimental, dengan rancangan acak lengkap dan menggunakan pendekatan posttest only control design

Lebih terperinci

STUDI PEMANFAATAN PASIR SILIKA SEBAGAI FILTER FISIKA PADA UNIT PENYARING AIR KARYA ILMIAH TERTULIS (SKRIPSI)

STUDI PEMANFAATAN PASIR SILIKA SEBAGAI FILTER FISIKA PADA UNIT PENYARING AIR KARYA ILMIAH TERTULIS (SKRIPSI) STUDI PEMANFAATAN PASIR SILIKA SEBAGAI FILTER FISIKA PADA UNIT PENYARING AIR KARYA ILMIAH TERTULIS (SKRIPSI) Diajukan Guna Memenuhi Salah Satu Syarat Untuk Menyelesaikan Pendidikan Program Strata Satu

Lebih terperinci

PRODUKTIVITAS PRIMER DENGAN METODE KLOROFIL-a DI PERAIRAN BELAWAN SUMATERA UTARA AMANDA PARAMITHA

PRODUKTIVITAS PRIMER DENGAN METODE KLOROFIL-a DI PERAIRAN BELAWAN SUMATERA UTARA AMANDA PARAMITHA PRODUKTIVITAS PRIMER DENGAN METODE KLOROFIL-a DI PERAIRAN BELAWAN SUMATERA UTARA SKRIPSI AMANDA PARAMITHA 090302048 PROGRAM STUDI MANAJEMEN SUMBERDAYA PERAIRAN FAKULTAS PERTANIAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

Lebih terperinci

PERUBAHAN Total Suspended Solid (TSS) PADA UMUR BUDIDAYA YANG BERBEDA DALAM SISTEM PERAIRAN TAMBAK UDANG INTENSIF

PERUBAHAN Total Suspended Solid (TSS) PADA UMUR BUDIDAYA YANG BERBEDA DALAM SISTEM PERAIRAN TAMBAK UDANG INTENSIF PERUBAHAN Total Suspended Solid (TSS) PADA UMUR BUDIDAYA YANG BERBEDA DALAM SISTEM PERAIRAN TAMBAK UDANG INTENSIF INNA FEBRIANTIE Skripsi DEPARTEMEN MANAJEMEN SUMBERDAYA PERAIRAN FAKULTAS PERIKANAN DAN

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN. Penelitian ini dilaksanakan pada 2 Oktober sampai 10 November 2014,

III. METODE PENELITIAN. Penelitian ini dilaksanakan pada 2 Oktober sampai 10 November 2014, III. METODE PENELITIAN 3.1. Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilaksanakan pada 2 Oktober sampai 10 November 2014, bertempat di Laboratorium Budidaya Perikanan, Jurusan Budidaya Perairan Universitas

Lebih terperinci

METODE PENELITIAN. Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Zoologi Biologi FMIPA. Universitas Lampung untuk pemeliharaan, pemberian perlakuan, dan

METODE PENELITIAN. Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Zoologi Biologi FMIPA. Universitas Lampung untuk pemeliharaan, pemberian perlakuan, dan 16 III. METODE PENELITIAN A. Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Zoologi Biologi FMIPA Universitas Lampung untuk pemeliharaan, pemberian perlakuan, dan pengamatan. Proses

Lebih terperinci

Dr. Dwi Suryanto Prof. Dr. Erman Munir Nunuk Priyani, M.Sc.

Dr. Dwi Suryanto Prof. Dr. Erman Munir Nunuk Priyani, M.Sc. BIO210 Mikrobiologi Dr. Dwi Suryanto Prof. Dr. Erman Munir Nunuk Priyani, M.Sc. Kuliah 7. PERTUMBUHAN A. Pembelahan Sel Bakteri Pembelahan transversal/biner. Dalam persiapan pembelahan, sel memajang disebut

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN BAB III METODE PENELITIAN 3.1.Waktu dan Lokasi Penelitian Penelitian dilaksanakan di Laboratorium Riset Kimia Universitas Pendidikan Indonesia dan Fakultas Kedokteran Hewan Institut Pertanian Bogor pada

Lebih terperinci

TINGKAT KONSUMSI PADA DUA POPULASI KEONG MURBEI (Pomacea canaliculata) SEBAGAI ALTERNATIF PENANGANAN GULMA AIR

TINGKAT KONSUMSI PADA DUA POPULASI KEONG MURBEI (Pomacea canaliculata) SEBAGAI ALTERNATIF PENANGANAN GULMA AIR TINGKAT KONSUMSI PADA DUA POPULASI KEONG MURBEI (Pomacea canaliculata) SEBAGAI ALTERNATIF PENANGANAN GULMA AIR PUNGKY KUMALADEWI SKRIPSI DEPARTEMEN MANAJEMEN SUMBERDAYA PERAIRAN FAKULTAS PERIKANAN DAN

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Holothuroidea merupakan salah satu kelompok hewan yang berduri atau

BAB I PENDAHULUAN. Holothuroidea merupakan salah satu kelompok hewan yang berduri atau 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN Holothuroidea merupakan salah satu kelompok hewan yang berduri atau berbintil yang termasuk dalam filum echinodermata. Holothuroidea biasa disebut timun laut (sea cucumber),

Lebih terperinci

1. PENDAHULUAN. Indonesia merupakan negara yang dua per tiga luasnya ditutupi oleh laut

1. PENDAHULUAN. Indonesia merupakan negara yang dua per tiga luasnya ditutupi oleh laut 1 1. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia merupakan negara yang dua per tiga luasnya ditutupi oleh laut dan hampir sepertiga penduduknya mendiami daerah pesisir pantai yang menggantungkan hidupnya dari

Lebih terperinci