4. HASIL DAN PEMBAHASAN

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "4. HASIL DAN PEMBAHASAN"

Transkripsi

1 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Hasil Penelitian Terdapat tiga hasil utama yang didapat dari penelitian ini, yaitu hasil pengamatan secara visual terhadap keadaan bagian luar tubuh anemon, pengamatan preparat segar, dan pengamatan preparat histologis. Pengamatan preparat segar meliputi dua parameter amatan yaitu densitas dan mitotik indeks zooxanthellae. Pengamatan preparat histologis meliputi empat parameter amatan yaitu densitas, mitotik indeks, dan luasan sel zooxanthellae serta rasio ketebalan lapisan endoderm terhadap ektoderm pada tentakel anemon Pengamatan visual terhadap keadaan bagian luar tubuh anemon Kondisi anemon pada masa aklimatisasi menunjukan keadaan kesehatan yang cukup baik kecuali pada parameter warna pada anemon satu perlakuan satu. Kondisi tersebut diperlihatkan dengan tidak adanya mucus yang terlihat, keadaan tentakel yang mengembang, warna yang cerah, dan kondisi meseterial filaments yang normal (tidak mengembung pada bagian mulut). Kondisi kurang sehat yang diperlihatkan oleh anemon satu pada perlakuan satu yaitu menurunnya tingkat kecerahan warna. Pada masa pemberian perlakuan yang pertama (peningkatan I), terjadi perubahan kondisi anemon terutama pada parameter warna dan keadaan mesenterial filaments. Perubahan terjadi setelah 24 jam dari dimulainya pemberian perlakuan, yaitu terjadinya perubahan warna menjadi agak pucat pada anemon satu dan tiga pada kontrol serta anemon tiga pada perlakuan satu. Perubahan yang kedua terjadi pada anemon tiga pada perlakuan satu yaitu kondisi 19

2 20 mesenterial filaments yang abnormal (kotak merah pada Gambar 5(c)). Data hasil pengamatan visual dapat dilihat pada Lampiran 3. Kondisi anemon yang mengalami perubahan kondisi dapat dilihat pada Gambar 5. (a) (b) mesenterial filaments yang abnormal (c) Gambar 5. Kondisi Anemon Pada Masa Perlakuan Pertama (Peningkatan I) Anemon Satu Kontrol (a), Anemon Tiga Perlakuan Satu (b), Anemon Tiga Perlakuan Satu (c) Pada masa istirahat (tidak ada perlakuan), selain terjadinya penurunan kesehatan anemon juga terjadi kematian anemon dan pulihnya kesehatan anemon. Penurunan kondisi kesehatan terjadi pada anemon tiga pada perlakuan satu yaitu cukup banyaknya (sedang) keluarnya mucus, keadaan tentakel yang setengah mengembang, warna agak pucat, dan abnormalnya mesenterial filaments (data pada Lampiran 4 dan 5). Keadaan tersebut terus berlanjut hingga mengakibatkan kematian anemon tersebut pada hari kedua masa istirahat (Gambar 6). Pulihnya

3 21 kesehatan anemon ditunjukan oleh anemon tiga pada kontrol yaitu kembalinya keadaan warna menjadi cerah kembali. Tentakel tidak mengembang (a) mesenterial filaments yang abnormal (b) (c) Gambar 6. Kondisi Anemon Tiga Perlakuan Satu Pada Masa Istirahat. Penurunan Kondisi Kesehatan Anemon Pada Jam ke-72 (a),(b),dan (c), Kematian Pada Jam ke-96 (d) (d) Pada masa pemberian perlakuan yang kedua (Peningkatan II), terjadi kembali penurunan kesehatan anemon. Penurunan kesehatan tersebut diperlihatkan oleh perubahan keadaan warna menjadi agak pucat pada anemon satu pada kontrol dan anemon dua pada perlakuan satu juga pucatnya anemon satu perlakuan satu (Gambar 7. (a), (b), (c)). Pada anemon dua perlakuan dua, keadaan tentakel juga kurang baik yaitu setengah mengembang. Keadaan tersebut terus berlanjut pada hari kedua sehingga mengakibatnya semakin parahnya kondisi anemon dua pada perlakuan dua yaitu tidak mengenbangnya tentakel (menyusut), keluarnya mucus, warna yang agak pucat, dan abnormalnya keadaan mesenterial filaments (data

4 22 pada Lampiran 5). Setelah perlakuan kedua dihentikan, kondisi anemon dua perlakuan dua tidak membaik dan mati pada hari berikutnya (Gambar 7.(d)). Tentakel tidak mengembang Warna agak pucat (a) (b) Kematian anemon setelah masa peningkatan II selesai (c) Gambar 7. Kondisi Anemon Setelah Masa Perlakuan Kedua (Peningkatan II) Anemon Satu Kontrol (a), Anemon Satu Perlakuan Satu (b), Anemon Dua Perlakuan Satu (c), Anemon Dua Perlakuan Dua (d) (d) Pengamatan preparat segar Densitas zooxanthellae Kondisi densitas zooxanthellae pada masa perlakuan (Peningkatan I dan II) dapat dilihat pada Gambar 8. Kondisi rata-rata densitas zooxanthellae pada anemon kontrol tidak terlalu berfluktuasi. Pada masa peningkatan I, nilai rata-rata densitas naik dari 5,23x10 4 ind/ml pada awal perlakuan (jam ke-0) menjadi 6,86 x10 4 ind/ml. Pada masa istirahat sampai masa peningkatan II berakhir (jam ke 192), nilai rata-rata densitas mengalami penurunan yaitu menjadi 5,43x10 4 ind/ml.

5 23 Densitas (ind/ml) 1.20E+05 1,2x E+05 1,0x E+04 8,0x E+04 6,0x E+04 4,0x E+04 2,0x E+000 Kontrol (28 o C) 28 o C 28 o C 28 o C Densitas (ind/ml) 1.20E+05 1,2x E+05 1,0x E+04 8,0x E+04 6,0x E+04 4,0x E+04 2,0x E+000 Perlakuan 1 (29 o C) 29 o C 28 o C 29 o C Densitas (ind/ml) 1.20E+05 1,2x E+05 1,0x E+04 8,0x E+04 6,0x E+04 4,0x E+04 2,0x E+000 Perlakuan 2 (30 o C) 30 o C 28 o C 30 o C Gambar 8. Nilai Rata-rata dan Standard Error Densitas Zooxanthellae Pada Masa Peningkatan I (0, 24, 48) dan Peningkatan II (144, 168, 192) catatan : pengambilan sampel dilakukan pada pukul WIB

6 24 Anemon pada perlakuan satu memperlihatkan kondisi rata-rata densitas zooxanthellae yang berfluktuasi dengan perubahan yang cukup besar. Pada masa peningkatan I, nilai rata-rata densitas turun dari 8,35x10 4 ind/ml pada awal perlakuan (jam ke-0) menjadi 5,46 x10 4 ind/ml. Pada masa istirahat, nilai ratarata densitas mengalami kenaikan menjadi 7,17 x10 4 ind/ml (jam ke-144). Namun pada masa peningkatan II, nilai rata-rata densitas mengalami penurunan kembali yaitu menjadi 6,33x10 4 ind/ml. Kondisi rata-rata densitas zooxanthellae pada anemon dengan perlakuan dua juga mengalami fluktuasi dan perubahan yang cukup besar. Pada masa peningkatan I nilai rata-rata densitas turun dari 6,98x10 4 ind/ml pada awal perlakuan (jam ke-0) menjadi 4,16x10 4 ind/ml, walaupun sempat mengalami kenaikan pada jam ke-24. Pada masa istirahat nilai rata-rata densitas mengalami kenaikan menjadi 5,17 x10 4 ind/ml (jam 144). Namun pada masa peningkatan II, nilai rata-rata densitas mengalami penurunan kembali yaitu menjadi 4,61x10 4 ind/ml yang sebelumnya mengalami peningkatan terlebih dahulu pada jam ke-168. Analisis ragam (ANOVA) yang dilakukan terhadap data densitas zooxanthellae saat jam ke-48, pada selang kepercayaan 95%, pemberian perlakuan menunjukkan adanya perbedaan densitas yang nyata. Berdasarkan hal tersebut, uji lanjut BNT dilakukan terhadap data pada jam ke-48 yang menunjukkan bahwa perlakuan dengan suhu 30 o C berbeda nyata dengan kontrol (suhu 28 o C) dan perlakuan dengan suhu 29 o C tidak berbeda nyata baik dengan perlakuan suhu 30 o C maupun 28 o C.

7 25 Analisis yang dilakukan terhadap data densitas pada jam ke-24, 144, 162, dan 192, pemberian perlakuan menunjukan tidak adanya perbedaan densitas yang nyata. Hasil perhitungan analisis ragam dapat dilihat pada Lampiran Mitotik indeks (MI) zooxanthellae Kondisi mitotik indeks zooxanthellae pada masa perlakuan (Peningkatan I dan II) dapat dilihat pada Gambar 9. Kondisi rata-rata MI zooxanthellae pada anemon kontrol tidak terlalu berfluktuasi. Pada masa peningkatan I, nilai rata-rata MI mengalami peningkatan dari 3,33% pada awal perlakuan (jam ke-0) menjadi 3,82%. Pada masa istirahat nilai rata-rata MI mengalami peningkatan yang besar yaitu sebesar 3,02% menjadi 6,89% pada jam 144. Namun pada masa peningkatan II, selain terjadi peningkatan nilai rata-rata juga terjadi penurunan yaitu pada jam ke-192 yang bernilai 7,11%. Perlakuan satu dan dua memperlihatkan pola nilai rata-rata MI pada masa peningkatan I, istirahat, dan peningkatan II yang tidak jauh berbeda. Pada masa peningkatan I, nilai rata-rata MI mengalami kenaikan pada jam ke-24 dan penurunan pada jam ke-48. Namun sampai jam ke-48 secara keseluruhan perlakuan satu mengalami penururan sebesar 0,51%, sedangkan perlakuan dua mengalami kenaikan sebesar 0,36%. Pada masa istirahat, nilai rata-rata MI mengalami kenaikan kembali (jam ke-144) yaitu sebesar 4,88% untuk perlakuan satu dan 3,77% untuk perlakuan dua. Kemudian pada masa peningkatan II, terjadi penurunan yang diikuti kenaikan nilai rata-rata MI sehingga pada jam ke-192 nilai rata-rata MI berkurang sebanyak 3,04% untuk perlakuan satu dan 2,86% untuk perlakuan dua dari nilai rata-rata MI pada jam ke-144.

8 26 Mitotik Indeks (%) Kontrol (28 o C) 28 o C 28 o C 28 o C Mitotik Indeks (%) Perlakuan 1 (29 o C) 29 o C 28 o C 29 o C Mitotik Indeks (%) Perlakuan 2 (30 o C) 30 o C 28 o C 30 o C Gambar 9. Nilai Rata-rata dan Standard Error Mitotik Indeks Zooxanthellae Pada Masa Peningkatan I (0, 24, 48) dan Peningkatan II (144, 168, 192) catatan : pengambilan sampel dilakukan pada pukul WIB

9 27 Analisis ragam (ANOVA) yang dilakukan terhadap data mitotik indeks zooxanthellae saat jam ke ke-24, pada selang kepercayaan 95% menunjukkan bahwa terdapat perbedaan yang nyata antara ketiga perlakuan. Berdasarkan hal tersebut, uji lanjut BNT dilakukan terhadap data pada jam ke ke-24 yang menunjukkan bahwa perlakuan dengan suhu 30 0 C berbeda nyata dengan kontrol (suhu 28 0 C) dan perlakuan dengan suhu 29 0 C tidak berbeda nyata baik dengan perlakuan suhu 30 0 C maupun 28 0 C. Analisis yang dilakukan terhadap data densitas pada jam ke-48, 144, 162, dan 192 menunjukan tidak adanya perbedaan yang nyata antara ketiga perlakuan. Hasil perhitungan analisis ragam dapat dilihat pada Lampiran Pengamatan preparat histologi Pengamatan pada preparat histologis dilakukan pada empat parameter yaitu densitas, luasan sel dan mitotik indeks zooxanthellae dan rasio ketebalan lapisan endoderm dan ektoderm. Secara umum bagian-bagian tubuh pada tentakel anemon hasil pengamatan pada preparat histologis dapat dilihat pada Gambar 10. Bagian preparat histologis yang diamati adalah zooxanthellae pada bagian endoderm (Gambar 10(c)) dan ketebalan lapisan endoderm dan ektoderm Densitas zooxanthellae Gambar 11 memperlihatkan adanya perubahan kondisi kepadatan zooxanthellae pada lapisan endoderm tentakel anemon pasir pada perlakuan dua pada jam ke-24 dan 192. Terlihat semakin berkurangnya kepadatan sel zooxanthellae pada lapisan endoderm tentakel anemon pasir.

10 28 end mes ect zoox R nem (a) (b) (c) Gambar 10. Potongan Melintang Tentakel H. malu (Anemon Tiga, Kontrol) Pada Preparat Histologis. Pembesaran Objektif 4x10 Skala Bar 100µm (a) Pembesaran Objektif 10x10 Skala Bar 100 µm (b), Pembesaran Objektif 40x10 Skala Bar 10µm (c). Ektoderm (ect), Mesoglea (mes), Endoderm (end), Rongga Tentakel (R), Nematocyst (nem), Zooxanthellae (zoox) enctoderm zooxanthellae mesoderm endoderm Jam ke-24 zooxanthellae (a) Jam ke-192 Gambar 11. Potongan Melintang Tentakel H. malu (Anemon Dua, Perlakuan Dua) Pada Preparat Histologis. Pembesaran Objektif 10x10 Skala Bar 100 dan 10 µm (a), Pembesaran Objektif 40x10 Skala Bar 10µm (b). (b)

11 29 Pada Gambar 12, dapat terlihat kondisi rata-rata densitas zooxanthellae yang mengalami perubahan pada setiap 24 jam pengamatan. Pada masa peningkatan I anemon kontrol mengalami sedikit penurunan nilai rata-rata densitas dari 6,90x10 5 ind/cm 2 pada jam 0 menjadi 6,49x10 5 ind/cm 2 pada jam ke-48. Pada masa istirahat dan peningkatan II, nilai rata-rata densitas cenderung naik sampai pada densitas 1,01x10 6 ind/cm 2 pada jam ke-192. Anemon dengan perlakuan satu memperlihatkan hal yang berlawanan pada masa peningkatan I dan II. Pada masa peningkatan I terjadi penurunan nilai densitas dari 8,03x10 5 ind/cm 2 pada jam ke 0 menjadi 5,97x10 5 ind/cm 2 pada jam ke-48. Pada masa peningkatan II terjadi kenaikan densitas zooxanthellae dari 6,78x10 5 ind/cm 2 pada jam ke-144 (setelah terjadi kenaikan terlebih dahulu pada masa istirahat) menjadi 7,51x10 5 ind/cm 2 pada jam ke ke-192. Kondisi rata-rata densitas zooxanthellae pada anemon dengan perlakuan dua menunjukan fluktuasi yang besar, terutama pada masa peningkatan I terjadi peningkatan yang besar pada jam ke-24 yaitu dari 2,22x10 5 ind/cm 2 pada jam ke-0 menjadi 7,45x10 5 ind/cm 2 pada jam ke-24. Namun terjadi penurunan pada jam ke-48 menjadi 5,70x10 5 ind/cm 2. Pada masa istirahat terjadi peningkatan nilai rata-rata densitas, sebelum terjadinya penurunan kembali pada masa peningkatan II sehingga nilai rata-rata pada jam ke-192 menjadi 5,65x10 5 ind/cm 2 dari 7,87x10 5 ind/cm 2 pada jam ke-144 setelah masa istirahat. Analisis ragam (ANOVA) yang dilakukan terhadap data densitas zooxanthellae saat jam ke-24, 48, 144, 168 dan 192, pada selang kepercayaan 95%, perlakuan tidak menunjukan adanya perbedaan nilai densitas yang nyata. Hasil perhitungan analisis ragam dapat dilihat pada Lampiran 7.

12 30 Densitas (ind/cm 2 ) Densitas (ind/cm 2 ) Densitas (ind/cm 2 ) 1.40E+06 1,4x E+06 1,2x E+06 1,0x E+05 8,0x E+05 6,0x E+05 4,0x E+05 2,0x E E+06 1,4x E+06 1,2x E+06 1,0x E+05 8,0x E+05 6,0x E+05 4,0x E+05 2,0x E E+06 1,4x E+06 1,2x E+06 1,0x E+05 8,0x E+05 6,0x E+05 4,0x E+05 2,0x E+000 Kontrol (28 o C) 28 o C 28 o C 28 o C Perlakuan 1 (29 o C) 29 o C 28 o C 29 o C Perlakuan 2 (30 o C) 30 o C 28 o C 30 o C Gambar 12. Nilai Rata-rata dan Standard Error Densitas Zooxanthellae Pada Masa Peningkatan I (0, 24, 48) dan Peningkatan II (144, 168, 192) Berdasarkan Pengamatan Preparat Histologis catatan : pengambilan sampel dilakukan pada pukul WIB

13 Mitotik indeks zooxanthellae Gambar 13 memperlihatkan beberapa contoh sel yang sedang mengalami pembelahan mitosis. Terlihat perbedaan antara sel pada kondisi normal dan sel pada kondisi pembelahan mitosis. Sel pada kondisi pembelahan dicirikan dengan terlihatnya dua inti sel dalam sel tersebut. Inti sel Gambar 13. Sel Zooxanthellae Anemon Dua Perlakuan Dua Pada Kondisi Pembelahan Mitosis (Lingkaran Merah) dan Pada Kondisi Normal (Lingkaran Biru). Pembesaran Objektif 40x10. Skala Bar 100µm. Kondisi rata-rata mitotik indeks (MI) pada anemon kontrol dan perlakuan dapat dilihat pada Gambar 14. Secara keseluruhan perubahan kondisi rata-rata MI pada kontrol dan perlakuan mempunyai pola yang sama, yaitu mengalami penurunan pada masa peningkatan I, kenaikan pada masa istirahat, dan penurunan kembali pada masa peningkatan II. Anemon kontrol mengalami penurunan yang tidak besar pada masa peningkatan I dan II (2,55% dari jam ke 0 sampai jam ke 48 dan sebesar 4,5% dari jam ke-144 sampai jam ke-192). Kenaikan yang cukup besar terjadi yaitu pada masa istirahat sebesar 7,5%. Anemon pada perlakuan satu, memperlihatkan penurunan yang tidak besar juga pada masa peningkatan I (2,73% dari jam ke-0 sampai jam ke-48). Kemudian terjadi kenaikan yang cukup besar pada masa istirahat yaitu sebesar 7,07%. Setelah itu terjadi penurunan

14 32 Mitotik Indeks (%) Mitotik Indeks (%) Mitotik Indeks (%) Kontrol (28 o C) 28 o C 28 o C 28 o C Perlakuan 1 (29 o C) 29 o C 28 o C 29 o C Perlakuan 2 (30 o C) 30 o C 28 o C 30 o C Gambar 14. Nilai Rata-rata dan Standard Error Mitotik Indeks Zooxanthellae Pada Masa Peningkatan I (0, 24, 48) dan Peningkatan II (144, 168, 192) Berdasarkan Pengamatan Preparat Histologis catatan : pengambilan sampel dilakukan pada pukul WIB

15 33 yang besar pada jam ke-168 yaitu 8,20%, kemudian naik kembali sebesar 4,90% pada jam ke-192. Anemon pada perlakuan dua memperlihatkan penurunan yang cukup besar pada masa peningkatan I dan II. Penurunan yang terjadi yaitu sebesar 8,67% dari nilai awal pada jam ke-0, sedangkan pada peningkatan II terjadi penurunan sebesar 7,68 % setelah terjadi peningkatan sebesar 6,28% pada masa istirahat. Analisis ragam (ANOVA) yang dilakukan terhadap data mitotik indeks zooxanthellae saat jam ke-24, 48, 144, 168 dan 192, pada selang kepercayaan 95%, perlakuan tidak menunjukkan adanya perbedaan nilai mitotik indeks yang nyata. Hasil perhitungan analisis ragam dapat dilihat pada Lampiran Rasio ketebalan endoderm dan ektoderm Hasil pengamatan rasio ketebalan lapisan endoderm dan ektoderm tentakel zooxanthellae pada preparat histologis dapat dilihat pada Gambar 15 dan 16. Gambar 15 memperlihatkan contoh terjadinya perubahan ketebalan lapisan endoderm dan ektoderm pada tentakel anemon pasir (anemon dua pada perlakuan satu). enctoderm endoderm enctoderm 142 µm 80,5 µm 80,5 µm endoderm 72 µm (a) Rongga tentakel Gambar 15. Potongan Melintang Tentakel H. malu (Anemon Dua, Perlakuan Satu) Pada Preparat Histologis. Pembesaran Objektif 4x10 Skala Bar 100µm. Pada Jam ke-0 (a) dan Jam ke-192 (b) (b) Rongga tentakel

16 34 Gambar 16 menunjukan nilai rata-rata rasio ketebalan endoderm dan ektoderm (end/ect) pada masa peningkatan I, istirahat, dan peningkatan II. Secara keseluruhan perubahan/fluktuasi nilai rasio cukup stabil walaupun cenderung menurun untuk perlakuan satu (jam ke-0 sampai jam ke-192). Tidak banyak perubahan yang terjadi, misalnya pada perlakuan satu dan dua pada masa peningkatan I, nilai rata-rata rasio meningkat tipis dari 0,92 pada jam 0 menjadi 0,95 pada jam ke-48 untuk perlakuan satu dan 0,83 pada jam 0 menjadi 0,85 pada jam ke-48 untuk perlakuan dua. Pada masa istirahat hanya perlakuan dua yang mengalami peningkatan nilai rata-rata rasio yaitu menjadi 1,02 pada jam ke-144. Pada masa peningkatan II, perlakuan satu cenderung mengalami peningkatan nilai rasio dibanding dengan perlakuan dua yang cenderung mengalami penurunan nilai rata-rata rasio. Analisis ragam (ANOVA) yang dilakukan terhadap data rasio ketebalan endoderm dan ektoderm saat jam ke-24, 48, 144, 168 dan 192, pada selang kepercayaan 95%, perlakuan tidak menunjukkan adanya perbedaan nilai rasio yang nyata. Hasil perhitungan analisis ragam dapat dilihat pada Lampiran Luas sel zooxanthellae Gambar 17 memperlihatkan beberapa contoh ukuran sel pada anemon yang diberikan perlakuan. Pada Gambar 17, terlihat adanya perubahan keberadaan sel yang berukuran besar menjadi sel yang berukuran lebih kecil (Gambar 17(b)) walaupun perubahan tersebut tidaklah terlihat terlalu besar.

17 35 2 Kontrol (28 o C) Rasio end/ect o C 28 o C 28 o C Perlakuan 1 (29 o C) Rasio end/ect o C 28 o C 29 o C Perlakuan 2 (30 o C) Rasio end/ect o C 28 o C 30 o C Gambar 16. Nilai Rata-rata dan Standard Error Rasio Ketebalan Endoderm dan Ektoderm (end/ect) Pada Masa Peningkatan I (0, 24, 48) dan Peningkatan II (144, 168, 192) Berdasarkan Pengamatan Preparat Histologis catatan : pengambilan sampel dilakukan pada pukul WIB

18 36 zooxanthellae zooxanthellae 6,25 µm 4,77 µm 6,62 µm 6,55 µm 6,5 µm 4,23 µm 4,2 µm (a) Gambar 17. Zooxanthellae Pada Lapisan Endoderm Tentakel H. malu (Anemon Dua, Perlakuan Satu) Pada Preparat Histologis. Pembesaran Objektif 40x10 Skala Bar 10µm. Pada Jam ke-0 (a), Jam ke-192 (b) (b) Berdasarkan Gambar 18, secara keseluruhan rata-rata luas sel zooxanthellae pada secara keseluruhan berada pada kisaran µm 2 untuk kontrol dan µm 2 untuk akuarium yang diberikan perlakuan. Pada anemon kontrol, nilai ratarata luas sel cenderung menurun (jam ke-0 sampai jam ke-192) yaitu 23,92 µm 2 pada jam ke-0 menjadi 21,33 µm 2 pada jam ke-192. Anemon pada perlakuan satu, mengalami penurunan yang terus menerus dari jam ke-0 sampai jam ke-168, kemudian nilai rata-rata naik pada akhir perlakuan menjadi 24,77 µm 2 pada jam ke 192 dari 23,79 µm 2 pada jam ke-0. Berbeda dengan perlakuan satu, perlakuan dua mengalami kenaikan pada masa peningkatan II mulai dari jam ke-144, walapun sebelumya mengalami penurunan pada masa istirahat maupun peningkatan I. Analisis ragam (ANOVA) yang dilakukan terhadap data luas sel zooxanthellae saat jam ke-24, 48, 144, 168 dan 192, pada selang kepercayaan 95%, perlakuan tidak menunjukkan adanya perbedaan luasan sel yang nyata. Hasil perhitungan analisis ragam dapat dilihat pada Lampiran 7.

19 37 Luas (µm 2 ) Luas (µm 2 ) Luas (µm 2 ) Kontrol (28 o C) 28 o C 28 o C 28 o C Perlakuan 1 (29 o C) 29 o C 28 o C 29 o C Perlakuan 2 (30 o C) 30 o C 28 o C 30 o C Gambar 18. Nilai Rata-rata dan Standard Error Luas Sel Zooxanthellae Pada Masa Peningkatan I (0, 24, 48) dan Peningkatan II (144, 168, 192) Berdasarkan Pengamatan Preparat Histologis catatan : pengambilan sampel dilakukan pada pukul WIB

20 Pembahasan Adaptasi fisiologi Adaptasi merupakan penyesuaian atau perubahan dari tingkah laku, fisiologi, dan struktur untuk menjadi lebih sesuai dengan keadaan lingkungan (biologyonline.org, 2011). Pada penelitian ini, proses adaptasi fisiologis H. malu terhadap kenaikan suhu perairan diamati pada beberapa parameter yaitu densitas, mitotik indeks dan ukuran luas sel zooxanthellae juga morfologi anemon berupa rasio ketebalan lapisan endoderm dan ektoderm. Pengamatan terutama dilakukan pada masa pemberian perlakuan yaitu peningkatan I dan II, sedangkan pada masa istirahat anemon di beri kesempatan untuk berada pada kondisi lingkungan yang normal (seperti kontrol) sebelum diberikan perlakuan kembali (peningkatan II). Masa peningkatan I (perlakuan) yang diberikan bertujuan sebagai masa adaptasi anemon terhadap stress yang diberikan. Masa istirahat yang diberikan bertujuan untuk memberikan waktu kepada anemon untuk kembali pulih (diharapkan kondisi anemon kembali sehat) terutama untuk kondisi metabolisme oksigen (O 2 ). Berdasarkan hasil penelitian Guldberg dan Smith (1989), kondisi metabolisme oksigen (O 2 ) hewan karang yang telah mengalami stress akibat kenaikan suhu, akan mengalami ketidaknormalan hingga 4 hari. Masa peningkatan II, diberikan sebagai percobaan apakah anemon dapat bertahan/beradaptasi terhadap perubahan suhu yang terjadi setelah menerima stress terlebih dahulu pada masa peningkatan I. Berdasarkan hasil yang diperoleh, dapat dilihat pola peningkatan dan penurunan kondisi kesehatan anemon yang diamati dari parameter densitas, mitotik indeks, luas sel dan rasio ketebalan endoderm dan ektoderm. Pola

21 39 tersebut dapat dilihat pada Tabel 2 berikut. Tabel 2. Nilai Perubahan Untuk Setiap Parameter Pengamatan Pada Preparat Segar dan Histologis No Parameter Perlakuan Densitas (ind/ml) preparat segar Peningkatan I Istirahat Peningkatan II Suhu 28 o C -5,56x10 1,63 x10 4-7,33 x10 3-5,67 x10 3-1,28 x10 3 Suhu 29 o C -2,91 x10 4 2,22 x10 2 1,70 x x x10 3 Suhu 30 o C 5,67 x10 3-3,39 x10 4 1,02 x10 4 6,11 x10 3-1,18 x10 4 Mitotik indeks Suhu 28 o C 0,31 0,18 3,07 0,31-0,09 (%) Suhu 29 o C 0,93-1,44 4,88-4,40 1,37 Suhu 30 o C 2,67-2,31 3,78-3,16 0,29 preparat histologis Densitas (ind/cm 2 ) Mitotik indeks (%) Rasio luas sel (µm 2 ) Suhu 28 o C 1,18 x10 5-1,69 x10 5 1,75 x10 5-5,08 x10 4 2,35 x10 5 Suhu 29 o C 5,99 x10 2-2,06 x10 5 8,07 x10 4-8,85 x10 4 1,62 x10 5 Suhu 30 o C 5,23 x10 5-1,75 x10 5 2,17 x10 5-1,77 x10 5-4,61 x10 4 Suhu 28 o C -3,29 0,73 7,50-4,40-0,08 Suhu 29 o C 0,03-2,77 7,10-8,27 4,93 Suhu 30 o C -6,69-1,98 6,29-4,18-3,53 Suhu 28 o C -0,18 0,13-0,04 0,36 0,02 Suhu 29 o C -0,03 0,06-0,08-0,15 0,16 Suhu 30 o C 0,08-0,06 0,17-0,23 0,06 Suhu 28 o C -0,89-0,02-2,55 1,68-0,81 Suhu 29 o C -1,39-1,38-0,34-1,56 5,65 Suhu 30 o C -2,59 0,69-2,97 1,16 1,26 Hasil penelitian menunjukkan bahwa pengamatan densitas pada preparat segar memperlihatkan pola yang sama pada masa peningkatan I dan peningkatan II, namun dengan nilai perubahan yang berbeda. Nilai perubahan pada masa peningkatan I cenderung lebih besar dari pada peningkatan II, kemudian pada masa istirahat juga terjadi peningkatan nilai rata-rata densitas. Sehingga dapat dikatakan untuk parameter densitas pada preparat segar untuk perlakuan dua, anemon mengalami penyesuaian terhadap kenaikan suhu perairan. Hal tersebut juga diperkuat oleh hasil analisis ragam dan juga uji BNT yang menyatakan

22 40 adanya perbedaan yang nyata pada selang kepercayaan 95% antara kontrol (suhu 28 o C) dan perlakuan dua (suhu 30 o C) pada jam ke-48 (peningkatn I) sedangkan pada masa peningkatan II analisis ragam menyatakan tidak adanya perbedaan yang nyata. Pengamatan mitotik indeks pada preparat segar memperlihatkan perbedaan pola perubahan nilai antara masa peningkatan I dan II. Pada masa peningkatan I terjadi kenaikan nilai mitotik indeks pada jam ke-24 sebagai respon stress, sedangkan pada peningkatan II tidak terlihat adanya respon stress berupa kenaikan nilai mitotik indeks pada awal dimulainya peningkatan II. Berdasarkan hasil analisis ragam dan uji BNT, pada masa peningkatan I (jam ke-24) terjadi perbedaan nilai yang nyata pada selang kepercayaan 95% antara kontrol (suhu 28 o C) dan perlakuan dua (suhu 30 o C), sedangkan pada masa peningkatan II analsis ragam menyatakan tidak adanya perbedaan yang nyata. Sehingga dapat dikatakan untuk parameter mitotik indeks pada preparat segar untuk perlakuan dua (suhu 30 o C), anemon mengalami penyesuaian terhadap kenaikan suhu perairan. Hasil pengamatan terhadap densitas dan mitotik indeks pada preparat histologis berdasarkan Tabel 2, memperlihatkan pola yang tidak jauh berbeda kecuali densitas untuk perlakuan satu. Pada masa peningkatan II, baik densitas maupun mitotik indeks mempunyai kondisi yang lebih buruk dari pada masa peningkatan I yang ditunjukan oleh besarnya penurunan yang terjadi pada masa peningkatan II dibanding peningkatan I. Berdasarkan hal tersebut, walaupun terjadi peningkatan nilai pada masa istirahat, tetapi anemon tidak dapat menyesuaikan diri terhadap peningkatan suhu lingkungan khususnya pada

23 41 densitas untuk perlakuan dua dan mitotik indeks zooxanthellae. Hal tersebut juga diperkuat dengan hasil analisis ragam yang menunjukan tidak adanya perbedaan nilai densitas dan mitotik indeks yang nyata pada jam ke-24, 48, 144, 168, dan 192 (masa peningkatan I, dan II) diantara semua perlakuan dan kontrol. Pengamatan parameter rasio endoderm dan ektoderm pada preparat histologis mempelihatkan adanya kecenderungan peningkatan nilai rasio pada masa peningkatan I dan II kecuali perlakuan dua. Kenaikan nilai rasio dapat dikarenakan betambahnya ukuran vakuola sebagai host cell zooxanthellae pada lapisan endoderm sebagai respon stress akibat kenaikan suhu. Penurunan nilai rasio (perlakuan dua) juga menunjukkan adanya penurunan kondisi lapisan endoderm akibat kemungkinan adanya kerusakan lapisan endoderm akibat mekanisme pelepasan zooxanthellae. Berdasarkan hal tersebut, walaupun terjadi peningkatan nilai pada masa istirahat (perlakuan dua), tetapi anemon tidak dapat menyesuaikan diri terhadap peningkatan suhu lingkungan khususnya pada parameter rasio ketebalan endoderm dan ektoderm. Hal tersebut juga diperkuat dengan hasil analisis ragam yang menunjukan tidak adanya perbedaan nilai rasio yang nyata pada jam ke-24, 48, 144, 168, dan 192 (masa peningkatan I, dan II) diantara perlakuan dan kontrol. Berbeda dengan kondisi densitas, mitotik indeks, dan rasio endoderm dan ektoderm, kondisi luasan sel zooxanthellae lebih baik pada masa peningkatan II daripada peningkatan I. Pada masa peningkatan II hanya sekali terjadi penurunan untuk perlakuan satu dan sama sekali tidak terjadi penurunan untuk perlakuan dua. Walaupun analisis ragam tidak memperlihatkan adanya perbedaan yang nyata nilai luasan sel yang nyata pada jam ke-24, 48, 144, 168, dan 192 (masa

24 42 peningkatan I, dan II) diantara kontrol dan perlakuan, namun berdasarkan perubahan kondisi yang menjadi lebih baik pada masa peningkatan II dapat terlihat bahwa anemon dapat menyesuaikan diri terhadap kenaikan suhu lingkungan Pengaruh peningkatan suhu perairan terhadap H. malu Berdasarkan hasil yang diperoleh, peningkatan suhu secara keseluruhan mempengaruhi kondisi H. malu. Kondisi anemon yang diberikan perlakuan peningkatan suhu cenderung lebih buruk dibandingkan kontrol. Kondisi tersebut diperlihatkan oleh nilai beberapa parameter amatan yaitu densitas, mitotik indeks, dan luasan sel zooxanthellae juga rasio ketebalan endoderm dan ektoderm. Pada pengamatan densitas zooxanthellae baik hasil pengamatan pada preparat segar maupun histologis, pemberian perlakuan cenderung menurunkan nilai densitas zooxanthellae pada H. malu. Menurunnya nilai densitas zooxanthellae akibat kenaikan suhu air (lingkungan), dapat disebabkan karena meningkatnya tingkat kerusakan sel zooxanthellae (hingga lebih dari empat kali lipat) yang kemudian dikeluarkan dari jaringan endoderm. Hal tersebut dapat terjadi karena, anemon sebagai inang mengalami stress akibat kondisi lingkungan yang tidak mendukung (pada penelitian ini berupa kenaikan suhu) sehingga anemon hanya menyediakan sedikit nutrisi (zat hara) untuk zooxanthellae sehingga tingkat kerusakan sel zooxanthellae betrambah (Ainsworth dan Hoegh-Gulsberg, 2008 dan Titlyanov et al., 1996 in Rachmawati, 2008). Menurunnya nilai densitas juga dapat disebabkan oleh keluarnya zooxanthellae akibat rusaknya sel jaringan anemon karena senyawa oksigen yang bersifat toksik yang dikeluarkan oleh zooxanthellae (Rachmawati, 2008).

25 43 Zooxanthellae akan mengeluarkan senyawa oksigen yang bersifat toksik, ketika zooxanthellae mengalami stress akibat kekurangan nutrisi/zat hara. Namun jika hewan karang ataupun anemon mempunyai antioksidan dari senyawa toksik tersebut, maka anemon ataupun hewan karang dapat mempertahankan zooxanthellae tetap pada jaringan endoderm. Hal tersebut yang kemungkinan menjadi penyebab tejadinya peningkatan nilai densitas pada data yang didapat. Tidak berbeda dengan hasil pengamatan densitas, pada pengamatan mitotik indeks (MI) pemberian perlakuan juga cenderung menurunkan nilai MI zooxanthellae pada H. malu. Selain nilai yang cenderung menurun, perlakuan peningkatan suhu juga menyebabkan nilai yang lebih berfluktuatif dari pada kontrol. Hal tersebut dapat terjadi karena MI dari zooxanthellae menjadi indikator yang lebih sensitif terhadap stress lingkungan dari pada respon bleaching (kehilangan zooxanthellae dan atau pigment) (Zamani, 1995). Penurunan nilai MI zooxanthellae akibat adanya kenaikan suhu lingkungan, juga ditunjukan oleh hasil penelitian Zamani, 1995 yang menyatakan jumlah pembelahan zooxanthellae berkurang seiring dengan bertambahnya suhu lingkungan. Hal tersebut dikarenakan oleh berkurangnya kemampuan fotosintesis akibat tingginya suhu perairan (diatas normal) (Jokiel dan Coles, 1990 in Zamani, 1995). Fotosistesis menjadi faktor penting dalam mendukung kehidupan alga dan pertumbuhan jaringan tentunya. Terganggunya proses fotosintesis tentu saja dapat mempengaruhi tingkat pembelahan sel alga. Namun pada beberapa hasil pengamatan, juga terlihat peningkatan nilai MI padahal, baik anemon ataupun zooxanthellae sedang terkena stress suhu (diberi perlakuan kenaikan suhu). Hal tersebut dapat terjadi sebagai akibat dari hormesis

26 44 (Zamani, 1995). Menurut Stebbing (1979) in Zamani (1995), hormesis merupakan efek dari stimulatory sebagai proses biologi untuk mencegah keracunan dari zat beracun. Berdasarkan hal tersebut, dapat dikatakan hormesis merupakan suatu bentuk pertahanan diri dari zooxanthellae. Pengamatan rasio ketebalan lapisan endoderm dan ektoderm baik pada peningkatan I dan II memperlihatkan kecenderungan peningkatan rasio endoderm dan ektoderm terhadap peningkatan suhu. Peningkatan rasio dapat disebabkan karena bertambahnya ukuran vakuola (tempat sel zooxanthellae berada pada jaringan endoderm) sebagai akibat dari peningkatan suhu dan strees yang dialami oleh anemon. Hal tersebut sesuai dengan penelitian Zamani (1995) yang menyatakan bahwa peningkatan konsentrasi tembaga (Cu) dan suhu lingkungan yang diberikan pada H. malu menyebabkan bertambahnya ukuran vakuola sebagai host zooxanthellae pada jaringan endoderm. Berdasarkan data yang diperoleh, selain peningkatan nilai rasio juga terdapat penurunan nilai rasio endoderm terhadap ektoderm. Penurunan rasio tersebut dapat disebabkan oleh berkurangnya lapisan endoderm yang dikarenakan rusaknya vakuola sebagai host zooxanthellae akibat proses necrosis dan Pinching off, ataupun rusaknya jaringan endoderm akibat lepasnya vakuola bersamaan dengan lepasnya sel zooxanthellae (host cell detachment). Menurut Gates, et al. (1992), mekanisme pelepasan zooxanthellae pada umumnya adalah melalui proses host cell detachment yang merupakan pelepasan host cell endoderm bersamaan algae/zooxanthellae yang masih terdapat didalamnya. Selanjutnya untuk pengamatan parameter luasan sel zooxanthellae pada peningkatan I, pemberian perlakuan suhu cenderung menurunkan ukuran luasan

27 45 sel. Namun pada peningkatan II, peningkatan suhu yang diberikan cenderung menaikan ukuran luasan sel. Terjadinya penurunan ukuran sel akibat kenaikan suhu, sesuai dengan hasil penelitian Zamani (1995) yang menyatakan bahwa peningkatan suhu lingkungan dapat menyebabkan berkurangnya ukuran luasan sel zooxanthellae. Hal tersebut dapat terjadi sebagai akibat stress yang dialami zooxanthellae sehingga fotosintesis terganggu dan akhirnya mempengaruhi kepada pertumbuhan sel. Kemudian ditambah dengan pasokan nutrisi/zat hara yang semakin sedikit akibat kondisi anemon yang mengalami stress. Bertambahnya ukuran luasan sel zooxanthellae, dapat disebabkan karena sel sudah mengalami penyesuaian terhadap kondisi lingkungan. Hal tersebut dikarenakan terdapat masa istirahat yang sebelum masa penigkatan dua. Pada masa istirahat tersebut kemungkinan sel mengalami pemulihan sehingga pada masa peningkatan dua sel sudah dapat menyesuaikan diri terhadap kondisi yang telah dialami sebelumnya (peningkatan I). Mengenai kondisi kualitas air pada ketiga akuarium (kontrol, perlakuan satu dan perlakuan dua) berdasarkan hasil pengamatan (Lampiran 8), kondisi air laut masih baik dan aman untuk biota air laut khususnya hewan karang. Hal tersebut ditunjukkan dengan nilai ph yang masih dalam kisaran 7-8,5, salinitas pada kisaran o / oo, ammonia <0,3 mg/l (Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup, 2004) dan nitrit <0.1 mg/l (indoreefforum.com, 2011).

ADAPTASI FISIOLOGI ANEMON PASIR (Heteractis malu) TERHADAP PENINGKATAN SUHU LINGKUNGAN PERAIRAN 1 O C DAN 2 O C

ADAPTASI FISIOLOGI ANEMON PASIR (Heteractis malu) TERHADAP PENINGKATAN SUHU LINGKUNGAN PERAIRAN 1 O C DAN 2 O C ADAPTASI FISIOLOGI ANEMON PASIR (Heteractis malu) TERHADAP PENINGKATAN SUHU LINGKUNGAN PERAIRAN 1 O C DAN 2 O C KORNEL ADHITIA WARMAN SKRIPSI DEPARTEMEN ILMU DAN TEKNOLOGI KELAUTAN FAKULTAS PERIKANAN DAN

Lebih terperinci

PENGARUH PENINGKATAN SUHU TERHADAP ADAPTASI FISIOLOGI ANEMON PASIR (Heteractis malu): SKALA LABORATORIUM

PENGARUH PENINGKATAN SUHU TERHADAP ADAPTASI FISIOLOGI ANEMON PASIR (Heteractis malu): SKALA LABORATORIUM Jurnal Ilmu dan Teknologi Kelautan Tropis, Vol. 4, No. 1, Hlm. 135-144, Juni 2012 PENGARUH PENINGKATAN SUHU TERHADAP ADAPTASI FISIOLOGI ANEMON PASIR (Heteractis malu): SKALA LABORATORIUM FISIOLOGY ADAPTATION

Lebih terperinci

ADAPTASI FISIOLOGI ANEMON PASIR (Heteractis malu) TERHADAP PENINGKATAN SUHU LINGKUNGAN PERAIRAN 1 O C DAN 2 O C

ADAPTASI FISIOLOGI ANEMON PASIR (Heteractis malu) TERHADAP PENINGKATAN SUHU LINGKUNGAN PERAIRAN 1 O C DAN 2 O C ADAPTASI FISIOLOGI ANEMON PASIR (Heteractis malu) TERHADAP PENINGKATAN SUHU LINGKUNGAN PERAIRAN 1 O C DAN 2 O C KORNEL ADHITIA WARMAN SKRIPSI DEPARTEMEN ILMU DAN TEKNOLOGI KELAUTAN FAKULTAS PERIKANAN DAN

Lebih terperinci

2. TINJAUAN PUSTAKA. Anemon laut merupakan hewan invertebrata atau hewan yang tidak

2. TINJAUAN PUSTAKA. Anemon laut merupakan hewan invertebrata atau hewan yang tidak 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Anemon Laut Anemon laut merupakan hewan invertebrata atau hewan yang tidak memiliki tulang belakang. Anemon laut ditemukan hidup secara soliter (individual) dengan bentuk tubuh

Lebih terperinci

PROSES PEMULIHAN ANEMON LAUT Heteractis malu (HADDON DAN SHACKLETON 1893) TERHADAP PENINGKATAN SUHU 1 ⁰C DAN 2 ⁰C

PROSES PEMULIHAN ANEMON LAUT Heteractis malu (HADDON DAN SHACKLETON 1893) TERHADAP PENINGKATAN SUHU 1 ⁰C DAN 2 ⁰C PROSES PEMULIHAN ANEMON LAUT Heteractis malu (HADDON DAN SHACKLETON 1893) TERHADAP PENINGKATAN SUHU 1 ⁰C DAN 2 ⁰C IRNITA YULIANTI SKRIPSI DEPARTEMEN ILMU DAN TEKNOLOGI KELAUTAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU

Lebih terperinci

III. HASIL DAN PEMBAHASAN

III. HASIL DAN PEMBAHASAN III. HASIL DAN PEMBAHASAN 3.1 Hasil Berikut ini adalah hasil penelitian dari perlakuan perbedaan substrat menggunakan sistem filter undergravel yang meliputi hasil pengukuran parameter kualitas air dan

Lebih terperinci

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Kondisi Fisika dan Kimia Perairan Kondisi alami sampel karang berdasarkan data (Lampiran 1) dengan kondisi tempat fragmentasi memiliki perbedaan yang tidak terlalu signifikan

Lebih terperinci

4 HASIL DAN PEMBAHASAN

4 HASIL DAN PEMBAHASAN 4 HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Reaksi Pengumpulan Pepetek terhadap Warna Cahaya dengan Intensitas Berbeda Informasi mengenai tingkah laku ikan akan memberikan petunjuk bagaimana bentuk proses penangkapan yang

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA

II. TINJAUAN PUSTAKA II. TINJAUAN PUSTAKA A. Klasifikasi dan Morfologi Clownfish Klasifikasi Clownfish menurut Burges (1990) adalah sebagai berikut: Kingdom Filum Ordo Famili Genus Spesies : Animalia : Chordata : Perciformes

Lebih terperinci

III. HASIL DAN PEMBAHASAN

III. HASIL DAN PEMBAHASAN III. HASIL DAN PEMBAHASAN 3.1 Hasil 3.1.1 Kadar Oksigen Terlarut Hasil pengukuran konsentrasi oksigen terlarut pada kolam pemeliharaan ikan nila Oreochromis sp dapat dilihat pada Gambar 2. Dari gambar

Lebih terperinci

Universitas Sumatera Utara

Universitas Sumatera Utara Lampiran 1. Dokumentasi Penelitian Pengambilan sampel di lapangan Pengeringan Udara Sampel Lampiran 1. Lanjutan Sampel sebelum di oven Sampel setelah menjadi arang Lampiran 1. Lanjutan. Tanur (Alat yang

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN III. HASIL DAN PEMBAHASAN 3.1 Hasil 3.1.1 Amonia Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan, diperoleh data berupa nilai dari parameter amonia yang disajikan dalam bentuk grafik. Dari grafik dapat diketahui

Lebih terperinci

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Kondisi dan Variasi Temporal Parameter Fisika-Kimiawi Perairan Kondisi perairan merupakan faktor utama dalam keberhasilan hidup karang. Perubahan kondisi perairan dapat mempengaruhi

Lebih terperinci

Lampiran 1. Dokumentasi Penelitian. Pengambilan Sampel Rhizophora apiculata. Dekstruksi Basah

Lampiran 1. Dokumentasi Penelitian. Pengambilan Sampel Rhizophora apiculata. Dekstruksi Basah Lampiran 1. Dokumentasi Penelitian Pengambilan Sampel Rhizophora apiculata Dekstruksi Basah Lampiran 1. Lanjutan Penyaringan Sampel Air Sampel Setelah Diarangkan (Dekstruksi Kering) Lampiran 1. Lanjutan

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN Tingkat Kelangsungan Hidup Benih Ikan Patin Siam

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN Tingkat Kelangsungan Hidup Benih Ikan Patin Siam BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Tingkat Kelangsungan Hidup Benih Ikan Patin Siam Jumlah rata rata benih ikan patin siam sebelum dan sesudah penelitian dengan tiga perlakuan yakni perlakuan A kepadatan

Lebih terperinci

II. BAHAN DAN METODE

II. BAHAN DAN METODE II. BAHAN DAN METODE 2.1 Prosedur Penelitian 2.1.1 Pembuatan Media Pembuatan air bersalinitas 4 menggunakan air laut bersalinitas 32. Penghitungan dilakukan dengan menggunakan rumus pengenceran sebagai

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Kualitas Air Kualitas hidup ikan akan sangat bergantung dari keadaan lingkunganya. Kualitas air yang baik dapat menunjang pertumbuhan, perkembangan, dan kelangsungan hidup

Lebih terperinci

ADAPTASI FISIOLOGI. Ani Rahmawati Jurusan Perikanan Fakultas Pertanian UNTIRTA

ADAPTASI FISIOLOGI. Ani Rahmawati Jurusan Perikanan Fakultas Pertanian UNTIRTA ADAPTASI FISIOLOGI Ani Rahmawati Jurusan Perikanan Fakultas Pertanian UNTIRTA ADAPTASI FISIOLOGI LINGKUNGAN Adaptasi : Proses penyesuaian diri secara bertahap yang dilakukan oleh suatu organisme terhadap

Lebih terperinci

Gambar 4. Kelangsungan Hidup Nilem tiap Perlakuan

Gambar 4. Kelangsungan Hidup Nilem tiap Perlakuan Kelangsugan Hidup (%) BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Kelangsungan Hidup Nilem Pada penelitian yang dilakukan selama 30 hari pemeliharaan, terjadi kematian 2 ekor ikan dari total 225 ekor ikan yang digunakan.

Lebih terperinci

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4. HASIL DAN PEMBAHASAN 19 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Hasil 4.1.1. Pertumbuhan beberapa tanaman air Pertumbuhan adalah perubahan dimensi (panjang, berat, volume, jumlah, dan ukuran) dalam satuan waktu baik individu maupun komunitas.

Lebih terperinci

1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Peningkatan kesejahteraan hidup rakyat melalui pembangunan di bidang industri, nampak memberikan dampak terhadap perubahan lingkungan perairan pesisir dan laut karena

Lebih terperinci

ph TSS mg/l 100 Sulfida mg/l 1 Amonia mg/l 5 Klor bebas mg/l 1 BOD mg/l 100 COD mg/l 200 Minyak lemak mg/l 15

ph TSS mg/l 100 Sulfida mg/l 1 Amonia mg/l 5 Klor bebas mg/l 1 BOD mg/l 100 COD mg/l 200 Minyak lemak mg/l 15 69 Lampiran 1 Peraturan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor :06 tahun 2007 Tanggal : 8 Mei 2007 BAKU MUTU AIR LIMBAH BAGI USAHA DAN/ATAU KEGIATAN PENGOLAHAN HASIL PERIKANAN YANG MELAKUKAN LEBIH DARI

Lebih terperinci

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Pertumbuhan Mikroalga Laut Scenedesmus sp. Hasil pengamatan pengaruh kelimpahan sel Scenedesmus sp. terhadap limbah industri dengan dua pelakuan yang berbeda yaitu menggunakan

Lebih terperinci

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Kondisi Wilayah Penelitian Wilayah tempat substrat batu berada bersampingan dengan rumah makan Nusa Resto dan juga pabrik industri dimana kondisi fisik dan kimia perairan sekitar

Lebih terperinci

4 HASIL DAN PEMBAHASAN. Tabel 3 Data perubahan parameter kualitas air

4 HASIL DAN PEMBAHASAN. Tabel 3 Data perubahan parameter kualitas air 4 HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Analisis Kualitas Air Kualitas air merupakan faktor kelayakan suatu perairan untuk menunjang kehidupan dan pertumbuhan organisme akuatik yang nilainya ditentukan dalam kisaran

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pestisida

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pestisida 3 II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pestisida Pestisida banyak digunakan oleh petani dengan tujuan untuk mengendalikan atau membasmi organisme pengganggu yang merugikan kegiatan petani. Menurut Lodang (1994), penggunaan

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN A. Laju Pertumbuhan Mutlak Nila Gift Laju pertumbuhan rata-rata panjang dan berat mutlak ikan Nila Gift yang dipelihara selama 40 hari, dengan menggunakan tiga perlakuan yakni

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Fisika Kimia Perairan Lokasi budidaya rumput laut diketahui memiliki dasar perairan berupa substrat pasir dengan serpihan karang mati. Direktorat Jendral Perikanan Budidaya

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. memiliki empat buah flagella. Flagella ini bergerak secara aktif seperti hewan. Inti

TINJAUAN PUSTAKA. memiliki empat buah flagella. Flagella ini bergerak secara aktif seperti hewan. Inti II. TINJAUAN PUSTAKA A. Klasifikasi dan Biologi Tetraselmis sp. Tetraselmis sp. merupakan alga bersel tunggal, berbentuk oval elips dan memiliki empat buah flagella. Flagella ini bergerak secara aktif

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN IV. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Penentuan Laju Respirasi dengan Perlakuan Persentase Glukomanan Proses respirasi sangat mempengaruhi penyimpanan dari buah sawo yang terolah minimal, beberapa senyawa penting

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. disebut arus dan merupakan ciri khas ekosistem sungai (Odum, 1996). dua cara yang berbeda dasar pembagiannya, yaitu :

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. disebut arus dan merupakan ciri khas ekosistem sungai (Odum, 1996). dua cara yang berbeda dasar pembagiannya, yaitu : 5 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Perairan Sungai Sungai adalah suatu perairan yang airnya berasal dari mata air, air hujan, air permukaan dan mengalir secara terus menerus pada arah tertentu. Aliran air

Lebih terperinci

4. HASIL DAN PEMBAHASAN. kondisi kualitas perairan dalam system resirkulasi untuk pertumbuhan dan

4. HASIL DAN PEMBAHASAN. kondisi kualitas perairan dalam system resirkulasi untuk pertumbuhan dan 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Parameter Fisika Kimia Perairan Pengukuran parameter fisika dan kimia bertujuan untuk mengetahui kondisi kualitas perairan dalam system resirkulasi untuk pertumbuhan dan kelangsungan

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 21 IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Hasil 4.1.1 Kualitas Air Kualitas air merupakan parameter lingkungan yang memegang peranan penting dalam kelangsungan suatu kegiatan budidaya. Parameter kualitas air yang

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Tingkat Kecerahan Warna Timbulnya warna ikan secara alami disebabkan tersedianya karotenoid dari makanan alami (Simpson et al. 1981 dalam Utomo dkk 2006), sedangkan sumber

Lebih terperinci

IV HASIL DAN PEMBAHASAN

IV HASIL DAN PEMBAHASAN IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Hasil 4.1.1 Total Amonia Nitrogen (TAN) Konsentrasi total amonia nitrogen (TAN) diukur setiap 48 jam dari jam ke-0 hingga jam ke-120. Peningkatan konsentrasi TAN terjadi pada

Lebih terperinci

BAB III BAHAN DAN METODE

BAB III BAHAN DAN METODE BAB III BAHAN DAN METODE 3.1 Tempat dan Waktu Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Akuakultur Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Universitas Padjadjaran, Jatinangor Sumedang, Jawa Barat. Penelitian

Lebih terperinci

Lampiran 1. Pengukuran Konsentrasi Logam Sebenarnya

Lampiran 1. Pengukuran Konsentrasi Logam Sebenarnya LAMPIRAN 55 Lampiran 1. Pengukuran Konsentrasi Logam Sebenarnya Pengukuran konsentrasi logam berat dengan menggunakan AAS (Atomic Absorption Spectrofotometry) menurut Siaka (2008) dapat dihitung menggunakan

Lebih terperinci

V ASPEK EKOLOGIS EKOSISTEM LAMUN

V ASPEK EKOLOGIS EKOSISTEM LAMUN 49 V ASPEK EKOLOGIS EKOSISTEM LAMUN 5.1 Distribusi Parameter Kualitas Perairan Karakteristik suatu perairan dan kualitasnya ditentukan oleh distribusi parameter fisik dan kimia perairan yang berlangsung

Lebih terperinci

BERITA DAERAH KOTA CILEGON TAHUN : 2003 NOMOR : 6 PERATURAN WALIKOTA CILEGON NOMOR 6 TAHUN 2005 T E N T A N G

BERITA DAERAH KOTA CILEGON TAHUN : 2003 NOMOR : 6 PERATURAN WALIKOTA CILEGON NOMOR 6 TAHUN 2005 T E N T A N G BERITA DAERAH KOTA CILEGON TAHUN : 2003 NOMOR : 6 PERATURAN WALIKOTA CILEGON NOMOR 6 TAHUN 2005 T E N T A N G BAKU MUTU AIR LAUT DI PERAIRAN KOTA CILEGON Menimbang : a. bahwa air laut merupakan salah satu

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN. Hasil

HASIL DAN PEMBAHASAN. Hasil HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil Pertumbuhan Pada Tabel 2 dijelaskan bahwa pada minggu pertama nilai bobot biomasa rumput laut tertinggi terjadi pada perlakuan aliran air 10 cm/detik, dengan nilai rata-rata

Lebih terperinci

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Kondisi Fisika dan Kimia Perairan Pulau Karya Tabel 2. Data parameter fisika dan kimia lokasi transplantasi di perairan Pulau Karya bulan September 2010 sampai dengan Juli

Lebih terperinci

Faktor-faktor yang Mempengaruhi Kehidupan Plankton. Ima Yudha Perwira, SPi, Mp

Faktor-faktor yang Mempengaruhi Kehidupan Plankton. Ima Yudha Perwira, SPi, Mp Faktor-faktor yang Mempengaruhi Kehidupan Plankton Ima Yudha Perwira, SPi, Mp Suhu Tinggi rendahnya suhu suatu badan perairan sangat mempengaruhi kehidupan plankton. Semakin tinggi suhu meningkatkan kebutuhan

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN HASIL DAN PEMBAHASAN Analisis Awal Bahan Baku Pembuatan Biogas Analisis bahan baku biogas dan analisis bahan campuran yang digunakan pada biogas meliputi P 90 A 10 (90% POME : 10% Aktivator), P 80 A 20

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Kelangsungan Hidup Hasil penelitian menunjukkan bahwa kelangsungan hidup dari setiap perlakuan memberikan hasil yang berbeda-beda. Tingkat kelangsungan hidup yang paling

Lebih terperinci

LAMPIRAN. Universitas Sumatera Utara

LAMPIRAN. Universitas Sumatera Utara LAMPIRAN Lampiran 1. Alat dan Bahan Penelitian DO Meter ph Meter Termometer Refraktometer Kertas Label Botol Sampel Lampiran 1. Lanjutan Pisau Cutter Plastik Sampel Pipa Paralon Lampiran 2. Pengukuran

Lebih terperinci

BAB 4. METODE PENELITIAN

BAB 4. METODE PENELITIAN BAB 4. METODE PENELITIAN 4.1. Waktu dan Tempat Penelitian ini dilaksanakan selama sembilan bulan dari bulan Maret sampai September 2014 di Laboratorium UPT Kolam Pembenihan, Fakultas Perikanan dan Ilmu

Lebih terperinci

III. HASIL DAN PEMBAHASAN

III. HASIL DAN PEMBAHASAN III. HASIL DAN PEMBAHASAN 3.1 Hasil 3.1.1 Laju Pertumbuhan Bobot Harian Bobot benih ikan nila hibrid dari setiap perlakuan yang dipelihara selama 28 hari meningkat setiap minggunya. Bobot akhir benih ikan

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN

III. METODE PENELITIAN 19 III. METODE PENELITIAN 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian telah dilakukan pada bulan November Desember 2013, bertempat di Laboratorium Budidaya Perairan Fakultas Pertanian Universitas Lampung. 3.2 Alat

Lebih terperinci

BAB III BAHAN DAN METODE

BAB III BAHAN DAN METODE BAB III BAHAN DAN METODE 3.1 Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian dilaksanakan di PT. Peta Akuarium, Jl. Peta No. 83, Bandung, Jawa Barat 40232, selama 20 hari pada bulan Maret April 2013. 3.2 Alat dan

Lebih terperinci

BAB III HASIL DAN PEMBAHASAN. Tabel 1 Rekapitulasi hasil analisis sidik ragam pertumbuhan bibit saninten

BAB III HASIL DAN PEMBAHASAN. Tabel 1 Rekapitulasi hasil analisis sidik ragam pertumbuhan bibit saninten BAB III HASIL DAN PEMBAHASAN 3.1 Hasil Hasil analisis sidik ragam menunjukkan bahwa interaksi antara perlakuan pemberian pupuk akar NPK dan pupuk daun memberikan pengaruh yang nyata terhadap pertumbuhan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. disebut arus dan merupakan ciri khas ekosistem sungai. Secara ekologis sungai

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. disebut arus dan merupakan ciri khas ekosistem sungai. Secara ekologis sungai 4 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Perairan Sungai Sungai merupakan suatu perairan yang airnya berasal dari air tanah dan air hujan, yang mengalir secara terus menerus pada arah tertentu. Aliran tersebut dapat

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Hasil Pengamatan Gejala Klinis Pengamatan gejala klinis pada benih ikan mas yang diinfeksi bakteri Aeromonas hydrophila meliputi kelainan fisik ikan, uji refleks, dan respon

Lebih terperinci

III. METODE KERJA. Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Zooplankton, Balai Besar

III. METODE KERJA. Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Zooplankton, Balai Besar III. METODE KERJA A. Waktu dan Tempat Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Zooplankton, Balai Besar Perikanan Budidaya Laut Lampung, Desa Hanura, Kecamatan Teluk Pandan, Kabupaten Pesawaran, Provinsi

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. menjalankan aktivitas budidaya. Air yang digunakan untuk keperluan budidaya

I. PENDAHULUAN. menjalankan aktivitas budidaya. Air yang digunakan untuk keperluan budidaya I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Kualitas perairan merupakan faktor utama yang harus dipenuhi sebelum menjalankan aktivitas budidaya. Air yang digunakan untuk keperluan budidaya perikanan tidak sekedar

Lebih terperinci

Faktor Pembatas (Limiting Factor) Siti Yuliawati Dosen Fakultas Perikanan Universitas Dharmawangsa Medan 9 April 2018

Faktor Pembatas (Limiting Factor) Siti Yuliawati Dosen Fakultas Perikanan Universitas Dharmawangsa Medan 9 April 2018 Faktor Pembatas (Limiting Factor) Siti Yuliawati Dosen Fakultas Perikanan Universitas Dharmawangsa Medan 9 April 2018 Faktor Pembatas Keadaan yang mendekati atau melampaui batas toleransi. Kondisi batas

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN. 4.1 Hasil Laju Pertumbuhan Spesifik Benih Ikan Mas (SGR)

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN. 4.1 Hasil Laju Pertumbuhan Spesifik Benih Ikan Mas (SGR) IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Hasil 4.1.1 Laju Pertumbuhan Spesifik Benih Ikan Mas (SGR) Perubahan bobot ikan selama masa pemeliharaan diukur dan dicatat untuk mendapatkan data mengenai laju pertumbuhan

Lebih terperinci

Tingkat Kelangsungan Hidup

Tingkat Kelangsungan Hidup BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Tingkat Kelangsungan Hidup Tingkat kelangsungan hidup merupakan suatu nilai perbandingan antara jumlah organisme yang hidup di akhir pemeliharaan dengan jumlah organisme

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN Tipe Estuari dan Debit Sungai. Tipe estuari biasanya dipengaruhi oleh kondisi pasang surut. Pada saat pasang, salinitas perairan akan didominasi oleh salinitas air laut karena

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN Persiapan Benur Udang Vannamei dan Pengemasan

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN Persiapan Benur Udang Vannamei dan Pengemasan BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Persiapan Benur Udang Vannamei dan Pengemasan Benur udang vannamei yang digunakan dalam penelitian berasal dari Balai Benih Air Payau (BBAP) Situbondo menggunakan transportasi

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN. Penelitian dilaksanakan pada bulan Oktober - November 2012 di Balai. Besar Pengembangan Budidaya Laut (BBPBL) Hanura -Lampung

III. METODE PENELITIAN. Penelitian dilaksanakan pada bulan Oktober - November 2012 di Balai. Besar Pengembangan Budidaya Laut (BBPBL) Hanura -Lampung 24 III. METODE PENELITIAN 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian dilaksanakan pada bulan Oktober - November 2012 di Balai Besar Pengembangan Budidaya Laut (BBPBL) Hanura -Lampung dan Uji Proksimat dilaksanakan

Lebih terperinci

SEBARAN DAN ASOSIASI PERIFITON PADA EKOSISTEM PADANG LAMUN (Enhalus acoroides) DI PERAIRAN PULAU TIDUNG BESAR, KEPULAUAN SERIBU, JAKARTA UTARA

SEBARAN DAN ASOSIASI PERIFITON PADA EKOSISTEM PADANG LAMUN (Enhalus acoroides) DI PERAIRAN PULAU TIDUNG BESAR, KEPULAUAN SERIBU, JAKARTA UTARA SEBARAN DAN ASOSIASI PERIFITON PADA EKOSISTEM PADANG LAMUN (Enhalus acoroides) DI PERAIRAN PULAU TIDUNG BESAR, KEPULAUAN SERIBU, JAKARTA UTARA Oleh: Yuri Hertanto C64101046 PROGRAM STUDI ILMU DAN TEKNOLOGI

Lebih terperinci

4. HASIL DAN PEMBAHASAN. Kultur Chaetoceros sp. dilakukan skala laboratorium dengan kondisi

4. HASIL DAN PEMBAHASAN. Kultur Chaetoceros sp. dilakukan skala laboratorium dengan kondisi 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Pertumbuhan Chaetoceros sp. Kultur Chaetoceros sp. dilakukan skala laboratorium dengan kondisi parameter kualitas air terkontrol (Lampiran 4). Selama kultur berlangsung suhu

Lebih terperinci

STUDI DAN HUBUNGAN ARUS TERHADAP SEBARAN DAN FLUKTUASI NUTRIEN (N DAN P) DI PERAIRAN KALIANGET KABUPATEN SUMENEP

STUDI DAN HUBUNGAN ARUS TERHADAP SEBARAN DAN FLUKTUASI NUTRIEN (N DAN P) DI PERAIRAN KALIANGET KABUPATEN SUMENEP STUDI DAN HUBUNGAN ARUS TERHADAP SEBARAN DAN FLUKTUASI NUTRIEN (N DAN P) DI PERAIRAN KALIANGET KABUPATEN SUMENEP Wiwid Prahara Agustin 1, Agus Romadhon 2, Aries Dwi Siswanto 2 1 Mahasiswa Jurusan Ilmu

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pencemaran logam berat merupakan salah satu masalah penting yang sering terjadi di perairan Indonesia, khususnya di perairan yang berada dekat dengan kawasan industri,

Lebih terperinci

BAB IV PEMBAHASAN. Gambar 4. Borok Pada Ikan Mas yang Terinfeksi Bakteri Aeromonas hydrophila

BAB IV PEMBAHASAN. Gambar 4. Borok Pada Ikan Mas yang Terinfeksi Bakteri Aeromonas hydrophila BAB IV PEMBAHASAN 4.1 Gejala Klinis Ikan Mas yang Terinfeksi Aeromonas hydrophila Pengamatan gejala klinis pada ikan mas yang diinfeksi Aeromonas hydrophila meliputi kerusakan jaringan tubuh dan perubahan

Lebih terperinci

2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Oksigen Terlarut Sumber oksigen terlarut dalam perairan

2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Oksigen Terlarut Sumber oksigen terlarut dalam perairan 4 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Oksigen Terlarut Oksigen terlarut dibutuhkan oleh semua jasad hidup untuk pernapasan, proses metabolisme, atau pertukaran zat yang kemudian menghasilkan energi untuk pertumbuhan

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Kelangsungan Hidup Berdasarkan hasil pengamatan selama 40 hari massa pemeliharaan terhadap benih ikan lele dumbo (Clarias gariepinus) diketahui rata-rata tingkat kelangsungan

Lebih terperinci

Lampiran 1. No. Alat dan Bahan Spesifikasi Unit/Satuan Pemeliharaan dan Percobaan Pengambilan dan Pembuatan Preparat Pengukuran Parameter

Lampiran 1. No. Alat dan Bahan Spesifikasi Unit/Satuan Pemeliharaan dan Percobaan Pengambilan dan Pembuatan Preparat Pengukuran Parameter LAMPIRAN 4 Lampiran. Alat dan Bahan yang Digunakan pada Penelitian No. Alat dan Bahan Spesifikasi Unit/Satuan Pemeliharaan dan Percobaan. Akuarium pemeliharaan 00 x 4 x 4 cm 2/- 2. Akuarium pemeliharaan

Lebih terperinci

GUBERNUR DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA PERATURAN GUBERNUR DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA NOMOR 3 TAHUN 2010 TENTANG BAKU MUTU AIR LAUT

GUBERNUR DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA PERATURAN GUBERNUR DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA NOMOR 3 TAHUN 2010 TENTANG BAKU MUTU AIR LAUT SALINAN GUBERNUR DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA PERATURAN GUBERNUR DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA NOMOR 3 TAHUN 200 TENTANG BAKU MUTU AIR LAUT DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA,

Lebih terperinci

Bab II Pemodelan. Gambar 2.1: Pembuluh Darah. (Sumber:

Bab II Pemodelan. Gambar 2.1: Pembuluh Darah. (Sumber: Bab II Pemodelan Bab ini berisi tentang penyusunan model untuk menjelaskan proses penyebaran konsentrasi oksigen di jaringan. Penyusunan model ini meliputi tinjauan fisis pembuluh kapiler, pemodelan daerah

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Gurami ( Osphronemus gouramy ) adalah salah satu ikan air tawar bernilai

I. PENDAHULUAN. Gurami ( Osphronemus gouramy ) adalah salah satu ikan air tawar bernilai I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Gurami ( Osphronemus gouramy ) adalah salah satu ikan air tawar bernilai ekonomis tinggi dan merupakan spesies asli Indonesia. Konsumsi ikan gurami (Osphronemus gouramy)

Lebih terperinci

2. TINJAUAN PUSTAKA. berflagel. Selnya berbentuk bola berukuran kecil dengan diameter 4-6 µm.

2. TINJAUAN PUSTAKA. berflagel. Selnya berbentuk bola berukuran kecil dengan diameter 4-6 µm. 3 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Biologi Nannochloropsis sp Mikroalga adalah tumbuhan tingkat rendah yang memiliki klorofil, yang dapat digunakan untuk melakukan proses fotosintesis. Mikroalga tidak memiliki

Lebih terperinci

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN Dalam bab ini, data yang diperoleh disajikan dalam bentuk tabel dan grafik. Penyajian grafik dilakukan berdasarkan variabel konsentrasi terhadap kedalaman dan disajikan untuk

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Estuari oleh sejumlah peneliti disebut-kan sebagai area paling produktif,

TINJAUAN PUSTAKA. Estuari oleh sejumlah peneliti disebut-kan sebagai area paling produktif, TINJAUAN PUSTAKA Ekosistem Estuari Estuari oleh sejumlah peneliti disebut-kan sebagai area paling produktif, karena area ini merupakan area ekoton daerah pertemuan dua ekosistem berbeda (tawar dan laut)

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Kegiatan budidaya perikanan (akuakultur) saat ini telah berkembang tetapi

BAB I PENDAHULUAN. Kegiatan budidaya perikanan (akuakultur) saat ini telah berkembang tetapi BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kegiatan budidaya perikanan (akuakultur) saat ini telah berkembang tetapi terdapat kendala yang dapat menurunkan produksi berupa kematian budidaya ikan yang disebabkan

Lebih terperinci

Lampiran 1 Analisis probit uji LC50-96 jam minyak sereh. Pengamatan Jumlah Respon

Lampiran 1 Analisis probit uji LC50-96 jam minyak sereh. Pengamatan Jumlah Respon 58 Lampiran 1 Analisis probit uji LC5096 jam minyak sereh LC 50 96jam Konsentrasi Jumlah Terekspos Pengamatan Jumlah Respon Pengaturan Proporsi Respon Prediksi Proporsi Respon Proposi Respon 60 10 1 0,1000

Lebih terperinci

KEPUTUSAN MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP NOMOR: 51 TAHUN 2004 TENTANG BAKU MUTU AIR LAUT MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP,

KEPUTUSAN MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP NOMOR: 51 TAHUN 2004 TENTANG BAKU MUTU AIR LAUT MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP, SALINAN KEPUTUSAN MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP NOMOR: 51 TAHUN 2004 TENTANG BAKU MUTU AIR LAUT MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP, Menimbang : a. bahwa untuk menjaga kelestarian fungsi lingkungan laut

Lebih terperinci

3 METODOLOGI 3.1 Waktu dan Tempat 3.2 Bahan dan Alat Metode Penelitian

3 METODOLOGI 3.1 Waktu dan Tempat 3.2 Bahan dan Alat Metode Penelitian 3 METODOLOGI 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian berjudul Pengujian Biji Pala (Myristica sp.) sebagai Bahan Anestesi Lobster air tawar (Cherax quadricarinatus) dilaksanakan di Laboratorium Bahan Baku dan Industri

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN. Lokasi dan objek penelitian analisis kesesuaian perairan untuk budidaya

III. METODE PENELITIAN. Lokasi dan objek penelitian analisis kesesuaian perairan untuk budidaya III. METODE PENELITIAN A. Lokasi dan Waktu Penelitian Lokasi dan objek penelitian analisis kesesuaian perairan untuk budidaya rumput laut ini berada di Teluk Cikunyinyi, Kabupaten Pesawaran, Provinsi Lampung.

Lebih terperinci

INFLUENCES OF Azolla sp. DENSITY TO WATER QUALITY PARAMETERS AND GROWTH OF AFRICAN CATFISH (Clarias gariepinus) IN WATER CLOSED SYSTEM ABSTRACT

INFLUENCES OF Azolla sp. DENSITY TO WATER QUALITY PARAMETERS AND GROWTH OF AFRICAN CATFISH (Clarias gariepinus) IN WATER CLOSED SYSTEM ABSTRACT e-jurnal Rekayasa dan Teknologi Budidaya Perairan Volume I No 1 Oktober 2 ISSN: 232-3 PENGARUH KEPADATAN Azolla sp. YANG BERBEDA TERHADAP KUALITAS AIR DAN PERTUMBUHAN BENIH IKAN LELE DUMBO (Clarias gariepinus)

Lebih terperinci

Bab V Hasil dan Pembahasan

Bab V Hasil dan Pembahasan biodegradable) menjadi CO 2 dan H 2 O. Pada prosedur penentuan COD, oksigen yang dikonsumsi setara dengan jumlah dikromat yang digunakan untuk mengoksidasi air sampel (Boyd, 1988 dalam Effendi, 2003).

Lebih terperinci

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Keadaan Umum Perairan Teluk Jakarta Perairan Teluk Jakarta merupakan sebuah teluk di perairan Laut Jawa yang terletak di sebelah utara provinsi DKI Jakarta, Indonesia. Terletak

Lebih terperinci

Ima Yudha Perwira, S.Pi, MP, M.Sc (Aquatic)

Ima Yudha Perwira, S.Pi, MP, M.Sc (Aquatic) PENGELOLAAN KUALITAS AIR DALAM KEGIATAN PEMBENIHAN IKAN DAN UDANG Ima Yudha Perwira, S.Pi, MP, M.Sc (Aquatic) DISSOLVED OXYGEN (DO) Oksigen terlarut ( DO ) adalah jumlah oksigen terlarut dalam air yang

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Nilai Organoleptik Ikan Layang Data hasil penelitian pengaruh konsentrasi belimbing terhadap nilai organoleptik ikan layang dapat dilihat pada Lampiran 2. Histogram hasil

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN IV. HASIL DAN PEMBAHASAN A. PEMIJAHAN, PENETASAN TELUR DAN PERAWATAN LARVA Pemijahan merupakan proses perkawinan antara induk jantan dengan induk betina. Pembuahan ikan dilakukan di luar tubuh. Masing-masing

Lebih terperinci

Bab V Hasil dan Pembahasan. Gambar V.10 Konsentrasi Nitrat Pada Setiap Kedalaman

Bab V Hasil dan Pembahasan. Gambar V.10 Konsentrasi Nitrat Pada Setiap Kedalaman Gambar V.10 Konsentrasi Nitrat Pada Setiap Kedalaman Dekomposisi material organik akan menyerap oksigen sehingga proses nitrifikasi akan berlangsung lambat atau bahkan terhenti. Hal ini ditunjukkan dari

Lebih terperinci

III. HASIL DAN PEMBAHASAN

III. HASIL DAN PEMBAHASAN III. HASIL DAN PEMBAHASAN 3.1 Hasil 3.1.1 Kepadatan Sel Kepadatan sel Spirulina fusiformis yang dikultivasi selama 23 hari dengan berbagai perlakuan cahaya menunjukkan bahwa kepadatan sel tertinggi terdapat

Lebih terperinci

III. HASIL DAN PEMBAHASAN

III. HASIL DAN PEMBAHASAN III. HASIL DAN PEMBAHASAN 3.1 Hasil Dari penelitian ini, didapatkan data sebagai berikut: daya listrik, kualitas air (DO, suhu, ph, NH 3, CO 2, dan salinitas), oxygen transfer rate (OTR), dan efektivitas

Lebih terperinci

METODE KERJA. Penelitian dilaksanakan pada bulan Desember 2014 sampai April 2015 di. Ilmu Pengetahuan Alam, Universitas Lampung.

METODE KERJA. Penelitian dilaksanakan pada bulan Desember 2014 sampai April 2015 di. Ilmu Pengetahuan Alam, Universitas Lampung. 22 III. METODE KERJA A. Waktu dan Tempat Penelitian dilaksanakan pada bulan Desember 2014 sampai April 2015 di Laboratorium Biologi Molekuler, Jurusan Biologi, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan

Lebih terperinci

4. HASIL DAN PEMBAHASAN. Kelimpahan Nannochloropsis sp. pada penelitian pendahuluan pada kultivasi

4. HASIL DAN PEMBAHASAN. Kelimpahan Nannochloropsis sp. pada penelitian pendahuluan pada kultivasi 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Hasil Penelitian Pendahuluan Kelimpahan Nannochloropsis sp. pada penelitian pendahuluan pada kultivasi kontrol, kultivasi menggunakan aerasi (P1) dan kultivasi menggunakan karbondioksida

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 PENELITIAN PENDAHULUAN

HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 PENELITIAN PENDAHULUAN IV. HASIL DAN PEMBAHASAN.1 PENELITIAN PENDAHULUAN Penelitian pendahuluan dilakukan untuk menentukan titik kritis pengenceran limbah dan kondisi mulai mampu beradaptasi hidup pada limbah cair tahu. Limbah

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Kelangsungan Hidup Ikan Nila Nirwana Selama Masa Pemeliharaan Perlakuan Kelangsungan Hidup (%)

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Kelangsungan Hidup Ikan Nila Nirwana Selama Masa Pemeliharaan Perlakuan Kelangsungan Hidup (%) BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Kelangsungan Hidup Berdasarkan hasil pengamatan dari penelitian yang dilakukan selama 30 hari, diperoleh bahwa pengaruh salinitas terhadap kelangsungan hidup benih nila

Lebih terperinci

BAHAN DAN METODE. Bahan. Hewan uji yang digunakan tiram mutiara jenis Pteria Penguin sebanyak

BAHAN DAN METODE. Bahan. Hewan uji yang digunakan tiram mutiara jenis Pteria Penguin sebanyak BAHAN DAN METODE Bahan Hewan Uji Hewan uji yang digunakan tiram mutiara jenis Pteria Penguin sebanyak % ekor, dengan rata-rata panjang cangkang 12 an, tinggi cangkang 18 cm dan bobot individu 390 g. Inti

Lebih terperinci

Gambar 2 Aklimatisasi Eceng Gondok. Tabel.3 Pertambahan Berat Basah Eceng Gondok Saat Aklimatisasi. Berat Tanaman (gram) HARI

Gambar 2 Aklimatisasi Eceng Gondok. Tabel.3 Pertambahan Berat Basah Eceng Gondok Saat Aklimatisasi. Berat Tanaman (gram) HARI Gambar 2 Aklimatisasi Eceng Gondok Kondisi eceng gondok pada tahap aklimatisasi ini dapat hidup dengan baik. Hasil pengamatan fisik pada tahap aklimatisasi ini eceng gondok memiliki daun berwarna hijau

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN. Penelitian dilaksanakan mulai tanggal 10 Mei 30 Juni 2013 selama 50

III. METODE PENELITIAN. Penelitian dilaksanakan mulai tanggal 10 Mei 30 Juni 2013 selama 50 III. METODE PENELITIAN 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian dilaksanakan mulai tanggal 10 Mei 30 Juni 2013 selama 50 hari di Balai Benih Ikan (BBI) Natar, Kabupaten Lampung Selatan. Pembuatan pakan

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. fotosintesis (Bold and Wynne, 1985). Fitoplankton Nannochloropsis sp., adalah

TINJAUAN PUSTAKA. fotosintesis (Bold and Wynne, 1985). Fitoplankton Nannochloropsis sp., adalah II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Biologi Nannochloropsis sp. 2.1.1 Klasifikasi dan Morfologi Mikroalga diartikan berbeda dengan tumbuhan yang biasa dikenal walaupun secara struktur tubuh keduanya memiliki klorofil

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN IV. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Perubahan Parameter Fisik dan Organoleptik Pada Perlakuan Blansir 1. Susut Bobot Hasil pengukuran menunjukkan bahwa selama penyimpanan 8 hari, bobot rajangan selada mengalami

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. bahasa Gorontalo yaitu Atiolo yang diartikan dalam bahasa Indonesia yakni

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. bahasa Gorontalo yaitu Atiolo yang diartikan dalam bahasa Indonesia yakni BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN A. Keadaan Umum Lokasi Pengamatan Desa Otiola merupakan pemekaran dari Desa Ponelo dimana pemekaran tersebut terjadi pada Bulan Januari tahun 2010. Nama Desa Otiola diambil

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Kerusakan Hati Ikan Mas Hati merupakan salah satu organ yang paling banyak mengalami kerusakan. Menurut Carlton (1995) dalam Permana (2009) ada dua alasan yang menyebabkan

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Karakteristik Onggok Sebelum Pretreatment Onggok yang digunakan dalam penelitian ini, didapatkan langsung dari pabrik tepung tapioka di daerah Tanah Baru, kota Bogor. Onggok

Lebih terperinci