STRATEGI PERJUANGAN PETANI DALAM MENDAPATKAN AKSES DAN PENGUASAAN ATAS LAHAN (KASUS DESA CISARUA, KECAMATAN SUKARAJA, KABUPATEN SUKABUMI)

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "STRATEGI PERJUANGAN PETANI DALAM MENDAPATKAN AKSES DAN PENGUASAAN ATAS LAHAN (KASUS DESA CISARUA, KECAMATAN SUKARAJA, KABUPATEN SUKABUMI)"

Transkripsi

1 STRATEGI PERJUANGAN PETANI DALAM MENDAPATKAN AKSES DAN PENGUASAAN ATAS LAHAN (KASUS DESA CISARUA, KECAMATAN SUKARAJA, KABUPATEN SUKABUMI) Oleh GEIDY TIARA ARIENDI I DEPARTEMEN SAINS KOMUNIKASI DAN PENGEMBANGAN MASYARAKAT FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2011

2 ABSTRACT Farmers in Cisarua Village have limited access and land tenure because the land is own by government through plantation concertion (HGU). Those facts lead the farmers for setting strategy to get the access of land cultivate. Generally, this research used qualitative analysis methode which is done since July 2010 to January Depth interview, direct observation, and questionaire are used to get primary data and literature study is used to get secondary data in this research. Sample taken as many as thirty four respondents with the population is Cisarua Society and the frame sample is Cisarua Society who work as farmer. The result of this research shows that Cisarua s farmer struggle individually by doing compromy with foreman of tea plantation so that they can get access of land tenure. Strategy choosing that s used by farmers is influenced by some external and internal factors. Keyword: Land limits, strategy, individual struggle, compromy

3 RINGKASAN GEIDY TIARA ARIENDI, Strategi Perjuangan Petani dalam Mendapatkan Akses dan Penguasaan Atas Lahan. Studi Kasus Desa Cisarua, Kecamatan Sukaraja, Kabupaten Sukabumi (Dibawah Bimbingan RILUS A. KINSENG) Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui sejauhmana tingkat keberhasilan petani dalam mendapatkan akses dan penguasaan atas lahan sesuai dengan strategi yang digunakan serta menggambarkan bagaimana proses yang dilalui petani untuk mendapatkan akses dan penguasaan atas lahan. Adapun secara tujuan khusus penelitian ini ialah untuk (1) mengetahui bagaimana strategi perjuangan yang digunakan petani dalam mendapatkan akses dan penguasaan atas lahan, (2) menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi strategi yang digunakan petani dalam memperjuangkan akses dan penguasaan atas lahan, (3) mengetahui permasalahan petani dalam memperjuangkan akses dan penguasaan atas lahan, dan (4) mengetahui sejauhmana tingkat keberhasilan strategi yang digunakan petani dalam memperjuangkan akses dan penguasaan atas lahan. Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif dan kuantitatif. Strategi pendekatan kualitatif yang digunakan ialah studi kasus. Metode kualitatif dilakukan melalui wawancara mendalam yang dilakukan kepada informan dan responden. Pendekatan kuantitatif dilakukan menggunakan metode survei yang mana pengumpulan data dilakukan melalui kuesioner. Jumlah responden dalam penelitian ini ialah 34 orang yang diambil menggunakan accidental sample methode dengan populasi penelitian yaitu petani Desa Cisarua. Pengumpulan data sekunder penelitian dilaksanakan pada bulan Juli hingga Agustus Data primer penelitian dikumpulkan mulai dari bulan Oktober 2010 hingga Januari Data sekunder dikumpulkan melalui studi literatur, dari data di Kantor Kepala Desa. Data primer diperoleh melalui pengamatan langsung di lokasi penelitian dimana dilakukan wawancara kepada responden dan informan yang mengacu kepada kuesioner dan panduan pertanyaan. Data kualitatif yang diperoleh disajikan dalam bentuk deskriptif sedangkan data kuantitatif dianalisis dengan uji Korelasi Rank Spearman menggunakan program komputer Ms. Excel 2007 dan SPSS 17 for windows. Petani di Desa Cisarua melakukan perjuangan secara individual untuk mendapatkan akses dan penguasaan atas lahan dengan melakukan kompromi dengan pihak perkebunan. Setelah melakukan kompromi dengan pihak perkebunan, masyarakat kemudian mendapat izin untuk menggarap lahan perkebunan dengan membayar uang sewa yang dihitung berdasarkan banyaknya patok lahan yang digarap dan memperluas lahan garapannya sedikit demi sedikit secara diam-diam.

4 Hasil uji Rank Spearman yang dilakukan menunjukkan bahwa faktor internal yang terdiri dari pengalaman berorganisasi, jumlah beban tanggungan, lama pendidikan yang ditempuh oleh petani, serta pendapatan petani tidak memiliki hubungan dengan tingkat keterlibatan petani dalam upaya untuk mendapatkan lahan garapan. Faktor internal yang memiliki hubungan dengan tingkat keterlibatan petani hanyalah jumlah dan luas relasi dengan tingkat kepercayaan sebesar 95 persen. Hal tersebut menunjukkan bahwa ketika jumlah dan luas relasi meningkat maka tingkat keterlibatan petani juga semakin meningkat. Tidak adanya organisasi pendukung membuat petani Desa Cisarua tidak solid dan melakukan upaya secara individual. Respon pemerintah yang terlihat pilih kasih menimbulkan kecemburuan sosial didalam masyarakat. Kecemburuan sosial ini kemudian berdampak pada solidaritas masyarakat Desa Cisarua. Petani besar di Desa Cisarua menggunakan pemilihan kepala desa sebagai kesempatan politik untuk mendukung keinginannya ketika kepala desa tersebut menjabat. Faktor eksternal lain yang mendukung masyarakat untuk melakukan upaya secara individual ialah respon pihak perkebunan. Pihak perkebunan tidak menghalangi masyarakat untuk menggarap lahan non-produktifnya karena pihak perkebunan yang sedang mengalami masalah ekonomi juga mendapatkan keuntungan. Dalam upaya mendapatkan lahan garapan, masyarakat Desa Cisarua mengalami beberapa hambatan seperti administrasi yang panjang serta memakan waktu cukup lama, lahan strategis yang terbatas, keberpihakan pemerintah pada petani besar, solidaritas masyarakat yang rendah, kecemburuan sosial, serta ketidakmampuan masyarakat untuk melawan penguasa. Status lahan garapan yang diperoleh oleh petani ialah sewa yang besarnya dihitung berdasarkan luasan patok lahan yang digarap. Sistem sewa dibagi kembali menjadi sistem sewa dengan perjanjian dan sistem sewa tidak dengan perjanjian. Petani yang menanam pohon albasia mendapat sistem sewa dengan perjanjian karena merupakan salah satu program perkebunan untuk menambah pohon tegakan di areal perkebunan. Sistem sewa tidak dengan perjanjian berlaku bagi petani ayng menanam tanaman holtikultura. Meski demikian, petani merasa cukup senang karena tujuan petani untuk dapat mengolah lahan HGU milik perkebunan tercapai. Saat ini luas total lahan perkebunan yang digarap oleh petani di Desa Cisarua ialah 93 hektar. Selain itu, ada pula sistem bagi hasil dengan porposi 30:70 untuk mandor karena mandor memodali segala keperluan dalam produksi dan juga membayar uang sewa lahan. Adapun saran yang diajukan oleh penulis bagi petani ialah menguatkan ikatan petani dengan cara membentuk suatu wadah yang dapat menjadi tempat bagi para petani untuk saling berinteraksi serta berkomunikasi. Selain itu, pemerintah desa diharapkan dapat bertindak adil baik kepada petani kecil dan petani besar. Adapun saran untuk pihak perkebunan ialah menyediakan alternatif usaha lain bagi petani sebelum menarik kembali lahan garapan dari petani. iv

5 STRATEGI PERJUANGAN PETANI DALAM MENDAPATKAN AKSES DAN PENGUASAAN ATAS LAHAN (KASUS DESA CISARUA, KECAMATAN SUKARAJA, KABUPATEN SUKABUMI) Oleh GEIDY TIARA ARIENDI I Skripsi Sebagai Bagian Persyaratan untuk Memperoleh Gelar Sarjana Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat Pada Fakultas Ekologi Manusia, Institut Pertanian Bogor DEPARTEMEN SAINS KOMUNIKASI DAN PENGEMBANGAN MASYARAKAT FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA INSTITUT PETANIAN BOGOR 2011

6 FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA INSTITUT PERTANIAN BOGOR Departemen Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat Dengan ini menyatakan bahwa skripsi yang ditulis oleh: Nama : Geidy Tiara Ariendi NRP : I Departemen : Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat Judul : Strategi Perjuangan Petani dalam Mendapatkan Akses dan Penguasaan Atas Lahan (Kasus Desa Cisarua, Kecamatan Sukaraja, Kabupaten Sukabumi) Dapat diterima sebagai syarat kelulusan untuk memperoleh gelar Sarjana Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat pada Departemen Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat, Institut Pertanian Bogor. Menyetujui, Dosen Pembimbing Dr. Ir. Rilus A. Kinseng, MA NIP Mengetahui, Ketua Departemen Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat Dr. Ir. Soeryo Adiwibowo, MS. NIP Tanggal Lulus Ujian :

7 LEMBAR PERNYATAAN DENGAN INI SAYA MENYATAKAN BAHWA SKRIPSI YANG BERJUDUL STRATEGI PERJUANGAN PETANI DALAM MENDAPATKAN AKSES DAN PENGUASAAN ATAS LAHAN (KASUS DESA CISARUA, KECAMATAN SUKARAJA, KABUPATEN SUKABUMI) BELUM PERNAH DIAJUKAN DAN DITULIS PADA PERGURUAN TINGGI ATAU LEMBAGA LAIN MANAPUN. SAYA JUGA MENYATAKAN BAHWA SKRIPSI INI MERUPAKAN HASIL KARYA SAYA SENDIRI DAN TIDAK MENGANDUNG BAHAN-BAHAN YANG PERNAH DITULIS ATAU DITERBITKAN OLEH PIHAK/LEMBAGA LAIN KECUALI SEBAGAI BAHAN RUJUKAN YANG DINYATAKAN DALAM NASKAH Bogor, Februari 2011 Geidy Tiara Ariendi NRP. I

8 RIWAYAT HIDUP Geidy Tiara Ariendi (penulis) merupakan anak pertama dari tiga bersaudara hasil pernikahan pasangan Bapak Muhammad Syifried dan Mama Niken Penta Dewi. Penulis dilahirkan di Kendari pada tanggal 12 Mei Penulis memiliki dua orang adik yang bernama Geini Agni Swastiagri dan Ghafie Addina Ghani. Penulis menetap di berbagai daerah yaitu Kendari, Palu, Napu, Malang, Bengkulu, dan Pekanbaru. Riwayat pendidikan penulis cukup panjang karena penulis hidup berpindah-pindah. Penulis menikmati masa Taman Kanak-kanaknya di TK Tadika Puri Kencana PT Hasfarm Ladongi, Kendari, Sulawesi Tenggara lalu melanjutkan Sekolah Dasar Negeri 01 Gunung Jaya, Ladongi, Kendari selama satu tahun ( ). Setelah itu penulis melanjutkan studinya di Madrasah Ibtidaiyah Negeri Malang I Jawa Timur tinggal bersama Eyang Putri dan Eyang Kakung hingga lulus ( ). Setelah lulus, penulis pindah dan tinggal bersama orang tua ke Bengkulu. Penulis melanjutkan studi di bangku Sekolah Menengah Pertama di SMP Negeri 1 Bengkulu selama satu tahun ( ) dan menyelesaikan SMP pada tahun 2004 di SMP Negeri 13 Pekanbaru. Penulis lalu melanjutkan ke Sekolah Menengah Atas terbaik di Pekanbaru, yaitu di SMA Negeri 8 Pekanbaru ( ). Pada tahun 2007, penulis diterima di Institut Pertanian Bogor yang telah lama diimpikan oleh penulis melalui jalur USMI (Ujian Seleksi Masuk IPB) dan memilih masuk Mayor Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat dengan Minor Arsitektur Lanskap. Sejak sekolah hingga masuk bangku sekolah, penulis aktif mengikuti berbagai kegiatan ekstrakulikuler dan organisasi, antara lain: ekstrakulikuler paduan suara ( ), musik tradisional ( ), musik modern ( ), pasukan pengibar bendera SMPN 1 Bengkulu (2001), anggota Komisi A Majelis Permusyawarahan Kelas (MPK) SMAN 8 Pekanbaru, Punggawi II Pasukan Khusus 8 Jaya ( ), anggota divisi Public Relation HIMASIERA (Himpunan Mahasiswa Peminat Ilmu-ilmu Komunikasi dan Pengembangan

9 ix Masyarakat) pada tahun 2009, anggota divisi Olahraga IKPMR (Ikatan Keluarga Pelajar dan Mahasiswa Riau Bogor) Bogor (2008), Sekretaris HIMASIERA ( ), dan lain-lain. Selama di kampus IPB, penulis pernah menjadi asisten mata kuliah Komunikasi Bisnis selama 1 semester. Penulis juga pernah mengikuti beberapa seminar tingkat nasional serta aktif menjadi panitia di beberapa kegiatan di tingkat nasional. Pada tahun 2010, penulis juga lolos dalam seleksi Program Kreativitas Mahasiswa dan mendapatkan pendanaan dari DIKTI untuk merintis usaha Cup Cake yang terbuat dari tape singkong sebagai salah satu upaya untuk meningkatkan nilai ekonomis dari tape.

10 KATA PENGANTAR Segala Puji dan Syukur diucapkan atas kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat, kasih sayang, karunia, ridho, dan kenikmatan kepada penulis dalam penyelesaian penulisan skripsi yang berjudul Strategi Perjuangan Petani dalam Mendapatkan Akses dan Penguasaan Atas Lahan (Studi Kasus Desa Cisarua, Kecamatan Sukaraja, Kabupaten Sukabumi) di bawah Bimbingan Dr. Ir. Rilus A. Kinseng, MA. Tulisan ini menjadi salah satu syarat kelulusan mata kuliah KPM 499 dan syarat untuk memperoleh gelar sarjana Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat. Dalam skripsi ini, penulis mencoba menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi strategi yang digunakan petani dalam memperjuangankan akses dan penguasaan atas lahan, mengetahui permasalahan petani dalam memperjuangkan akses dan penguasaan atas lahan, mengetahui bagaimana strategi perjuangan yang digunakan petani dalam memperjuangkan akses dan penguasaan atas lahan, serta mengetahui sejauh mana tingkat keberhasilan strategi yang digunakan petani dalam memperjuangkan akses dan penguasaan atas lahan. Skripsi ini terbagi menjadi enam bab, terdiri dari Bab I yang berisi latar belakang penulis melakukan penelitian mengenai strategi perjuangan petani dalam mendapatkan akses dan penguasaan atas lahan. Bab II yang memaparkan teoriteori yang menjadi landasan penulis dalam melakukan penelitian. Bab III penulis menguraikan mengenai metodologi penelitian yang digunakan untuk menyusun skripsi. Lalu penulis menguraikan situasi serta kondisi lokasi penelitian yang dituangkan dalam Bab IV. Hasil penelitian serta pembahasan dituliskan pada Bab V. Skripsi ini diakhiri pada Bab VI yang berisi kesimpulan serta saran dari penulis. Semoga tulisan ini bermanfaat dalam meningkatkan khasanah ilmu pengetahuan dan menjadi sumber rujukan dalam bidang gerakan sosial agraria. Bogor, Februari 2011 Penulis

11 UCAPAN TERIMA KASIH Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa karena dengan rahmat dan kehendak-nya penulis dapat menyelesaikan Skripsi tepat pada waktunya dengan judul Strategi Petani dalam Memperjuangkan Akses dan Penguasaan Atas Lahan (Kasus Desa Cisarua, Kecamatan Sukaraja, Kabupaten Sukabumi). Penulis menyadari bahwa Skripsi ini dapat terselesaikan dengan baik karena adanya dari dukungan dari berbagai pihak. Oleh karena itu, penulis ingin mengucapkan terimakasih kepada: 1. Dosen pembimbing Dr. Ir. Rilus A. Kinseng yang telah membimbing, memberi saran dan kritik yang membangun, serta memotivasi dan meluangkan waktu untuk penulis meski pun sedang berada di Kanada. 2. Prof. Dr. Endriatmo, MA dan Ir. Dwi Sadono, MSi sebagai penguji dalam sidang skripsi penulis pada tanggal 4 Februari Keluarga tercinta, khususnya Ayahanda Muhammad Syifried dan Ibunda Niken Penta Dewi yang di sela-sela kesibukannya selalu mendengarkan curahan hati penulis, selalu mendukung penulis dalam berbagai hal, memberi motivasi, dan terus mengingatkan agar tidak putus asa karena hidup ini begitu indah. 4. Adik kandung penulis, Geini Agni Swastiagri dan Ghafie Addina Ghani yang selalu penulis rindu dan sayang. 5. Sahabat penulis, JOJOTIK yang terdiri dari Hardiyanti Dharma Pertiwi, Marika Veraria Sianipar, Isma Rosyida, dan Mery Purnamasarie yang selalu mengingatkan penulis dalam menyelesaikan Skripsi, menemani penulis mencari literatur, serta menyemangati penulis dalam mengumpulkan data penelitian. Selalu memberi keceriaan dalam menghadapi hari-hari, selalu ada dikala penulis membutuhkan dukungan dan motivasi, selalu menghibur penulis, dan selalu membuat hari-hari penulis menjadi lebih berwarna. Terlalu banyak cerita, kenangan, dan kebahagiaan yang telah kalian berikan. 6. Om Edos yang membantu penulis dalam mengumpulkan data-data penelitian dengan sabar.

12 xii 7. Eric Ekaputra yang hadir mengisi, menghibur, dan membantu penulis dalam menata hati kembali serta menemukan keindahan rasa memiliki. Selalu mendengarkan dengan setia cerita dan curahan hati penulis serta membantu dan menuntun penulis menjadi manusia yang lebih baik lagi. 8. Om Joyo Winoto, Bu Yusi, dan pihak Brighten Institut yang mendukung penulis dalam menyelesaikan skripsi. Selalu terbuka dan ramah ketika penulis datang untuk menyelesaikan skripsi. Menjadi salah satu tempat penulis mencari literatur dan tempat mengerjakan skripsi yang nyaman. 9. Pak Endriatmo, Pak Shohibuddin, dan Pak Satyawan yang telah ikut memudahkan penulis dalam mencari literatur mengenai kajian agraria. 10. Mas Muhammad Yusuf dan SAINS yang membantu penulis dalam mencari literatur, menjadi pembimbing kedua dalam mengarahkan penulis melakukan penelitian dan mengerjakan skripsi. 11. Teman-teman satu Departemen SKPM khususnya angkatan 44 yang tidak bisa disebutkan satu persatu. 12. Semua pihak yang telah ikut membantu secara tidak langsung selama menyelesaikan Skripsi ini. Semoga Skripsi ini dapat bermanfaat bagi semua pihak dan dapat dijadikan sumber referensi untuk penelitian berikutnya. Akhir kata, penulis mengharapkan kritik dan saran membangun dari pembaca. Bogor, Februari 2011 Penulis

13 DAFTAR ISI DAFTAR TABEL... xv DAFTAR GAMBAR... xvi BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Pertanyaan Penelitian Tujuan Penelitian Kegunaan Penelitian... 5 BAB II TINJAUAN PUSTAKA Latar Belakang Terjadinya Gerakan Perjuangan Petani Model Gerakan Strategi Perjuangan Petani Faktor yang Mempengaruhi Strategi Perjuangan Petani Faktor Internal Faktor Eksternal Tingkat Keberhasilan Perjuangan Petani Kerangka Pemikiran Penelitian Hipotesis Penelitian Hipotesis Uji Hipotesis Pengarah Definisi Operasional BAB III METODOLOGI PENELITIAN Pendekatan Penelitian Lokasi dan Waktu Penelitian Teknik Pengumpulan Data Teknik Analisis Data BAB IV GAMBARAN UMUM LOKASI Letak Geografis dan Keadaan Lingkungan Demografi Desa Mata Pencaharian Penduduk Sarana dan Prasarana Sejarah Desa Cisarua... 36

14 xiv BAB V STRATEGI PERJUANGAN PETANI DI DESA CISARUA DAN KEBERHASILANNYA Petani dan Permasalahannya Strategi Perjuangan Petani Desa Cisarua Faktor-Faktor yang Berhubungan dengan Strategi Perjuangan Petani Tingkat Keberhasilan Petani BAB VI PENUTUP Kesimpulan Saran DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN... 78

15 DAFTAR TABEL Nomor Teks Halaman Tabel 1. Luas Tanah Berdasarkan Kegunaan di Desa Cisarua Tahun Tabel 2. Tabel 3. Tabel 4. Tabel 5. Persentasi Penduduk di Desa Cisarua Berdasarkan Etnis Tahun Jumlah dan Jenis Mata Pencaharian Pokok Penduduk Desa Cisarua Berdasarkan Jenis Kelamin Tahun Jumlah dan Persentasi Petani Berdasarkan Aset Tanah Desa Cisarua Tahun Hasil Uji SPSS Rank Spearman Hubungan Faktor Internal dengan Tingkat Keterlibatan Petani dalam Upaya Mendapatkan Lahan Garapan... 65

16 DAFTAR GAMBAR Nomor Teks Halaman Gambar 1. Model mobilisasi Tilly, From Mobilization to Revolution Gambar 2. Kerangka Pemikiran Penelitian Lampiran I Gambar 1. Kawasan Pertanian Naimin Gambar 2. Tanaman Cabe Gambar 3. Jenis Tanaman Hortikultura Gambar 4. Tanaman Bunga Kol Gambar 5. Sketsa Peta Desa Cisarua Gambar 6. Penanda Kawasan Lindung Gambar 7. Budidaya Cabe Gambar 8. Kawasan Pertanian... 89

17 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia sebagai negara agraris tentu menggantungkan masa depannya pada pertanian. Hal ini dibuktikan oleh banyaknya penduduk Indonesia yang tinggal di perdesaan dengan matapencaharian sebagai petani. Namun sangat disayangkan kondisi petani di Indonesia sangat memprihatinkan. Hal ini dipengaruhi oleh besarnya luas lahan yang dapat digarap oleh petani. Berdasarkan data tahun 1983 dan 1993 menunjukkan, luas lahan garapan per keluarga petani di Jawa telah mengalami penurunan dari 0,58 hektar menjadi 0,48 hektar 1. Luasan ini semakin hari semakin menurun. Hal ini juga dibuktikan pada pemaparan program kerja 100 hari Kabinet Indonesia Bersatu II, Suswono sebagai Menteri Pertanian RI juga menyatakan bahwa rata-rata luas lahan pertanian yang dimiliki oleh petani hanyalah 0,3 hektar dengan luas ideal tanah garapan seluas 2 hektar per kepala keluarga 2. Dengan luasan sebesar itu, petani tidaklah mungkin dapat hidup sejahtera. Perlu dilaksanakan kebijakan yang tepat untuk menyelesaikan masalah salah satunya ialah reforma agraria. Kecilnya ukuran luas lahan yang dimiliki oleh petani tak lepas dari sejarah yang melatarbelakanginya. Pada jaman penjajahan dahulu, ribuan hektar tanah petani diambil paksa oleh penjajah. Hal ini membuat rakyat Indonesia menderita kelaparan dan ketidakberdayaan. Hingga masa kemerdekaan pun, keadaan petani dan permasalahan tanah tidak membaik. Petani tetap dijadikan buruh di perkebunan-perkebunan besar dengan kehidupan yang jauh dari ambang sejahtera. Hanya segelintir orang saja yang merasa diuntungkan atas perkebunan tersebut. Menurut Hafid (2001), persoalan tanah makin krusial akibat keluarnya UU Pokok Kehutanan (No.5/1967) dan UU Pokok Pertambangan (No. 7/1967) karena UU ini dianggap tidak sejalan dengan UUPA No.5/1960. Dengan adanya UU tersebut, hak dan kepentingan rakyat kecil menjadi semakin tergeser karena segala bentuk pembangunan yang dilakukan hanya untuk mengejar keuntungan pemodal besar. Protes petani untuk mendapatkan hak-haknya tidak didengar oleh 1 Diambil dari 2 Diambil dari

18 2 pemerintah dan malah dianggap sebagai tindakan pidana dengan menentang kebijakan pembangunan nasional. Masih sedikit sekali upaya yang dilakukan pemerintah dalam mengakomodasi kepentingan petani. Hal yang dilakukan pemerintah hanyalah menyelesaikan masalah-masalah kecil tanpa membongkar masalah utama, hal ini dilakukan semata-mata hanya untuk menentramkan keadaan. Awalnya petani hanya bisa pasrah dan tunduk atas perjanjian yang dilakukan akibat kekuatan senjata yang dimiliki. Mengacu pada pasal 33 yang berbunyi bumi, air, tanah, dan sumberdaya yang menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh Negara seharusnya segala objek agraria digunakan untuk mensejahterakan hidup rakyat Indonesia. Masyarakat dalam hal ini ialah petani sangat berharap agar hidup mereka menjadi lebih baik dan mendapatkan hak-hak atas tanahnya kembali. Namun pada kenyataannya, kehidupan petani tidak berubah sama sekali. Mereka tetap menjadi buruh dan kuli angkut meski perkebunan-perkebunan telah dimiliki oleh Negara. Hal ini membuat masyarakat semakin menelan kekecewaan. Menurut Mustain (2007), konflik pertanahan di perdesaan umumnya bersumber dari perebutan tanah antara perkebunan (baik negara maupun swasta) dengan rakyat petani. Perusahaan perkebunan milik negara tersebar diberbagai penjuru Nusantara, salah satunya terletak di Jawa Barat. Perusahaan ini berstatus sebagai sebagai Badan Usaha Milik Negara (BUMN). Perkebunan milik negara ini memiliki berbagai komoditi seperti kelapa sawit, teh, kakao, karet, kina, dan gutta percha. Namun komoditi terbesar yang dihasilkan perkebunan yang terletak di Jawa Barat, khususnya Kabupaten Sukabumi ini ialah teh dengan total produksi sekitar ton per tahun. Jawa Barat menyumbang 60 persen dari produksi teh nasional 3. Untuk kebun teh, perkebunan milik negara ini tersebar di beberapa unit kebun dengan total luas hektar. Salah satunya ialah yang ada di Desa Cisarua, Kabupaten Sukabumi. Masyarakat di sekitar perkebunan teh ini hidup bergantung kepada kegiatan perkebunan. Sebagian besar penduduknya bermatapencaharian sebagai buruh di perkebunan tersebut sebagai pemetik teh dan buruh tani. Masyarakat di 3 Diambil dari pada tanggal 19 Juni 2010 pukul wib

19 3 daerah ini sangat sedikit yang bermatapencaharian sebagai petani yang bercocok tanam sendiri. Hal ini dipengaruhi oleh lahan karena lahan di wilayah desa ini merupakan HGU untuk perkebunan milik negara. Selain itu, latar belakang masyarakat yang ada di daerah tersebut berasal dari daerah lain yang didatangkan khusus untuk menjadi buruh. Bekerja di perkebunan merupakan suatu tradisi turun temurun yang dilakukan masyarakat sekitar. Meski masyarakat telah bekerja secara turun temurun sejak puluhan tahun yang lalu, nasib masyarakat di daerah tersebut tidak banyak berubah. Mereka tetap hidup dalam batas kecukupan untuk keperluan sehari-hari ditambah dengan biaya hidup yang tinggi. Sejak jatuhnya rezim Soeharto, petani di Indonesia mulai berani melakukan aksi perlawanan. Petani melakukan berbagai upaya untuk mendapatkan akses dan hak atas tanah mereka karena lawan meraka tidak tanggung-tanggung yaitu pemodal besar yang didukung oleh Pemerintah bahkan perusahaan milik negara yang seharusnya memperhatikan nasib rakyatnya. Perjuangan untuk mendapatkan tanah untuk petani bukanlah hal yang mudah. Dibutuhkan strategi yang tepat dalam memperjuangkan akses dan penguasaan atas tanah. Strategi yang diterapkan tidaklah sama di tiap lokasi. Strategi yang diterapkan haruslah disesuaikan dengan karakteristik sosial dan masalah yang dihadapi. Hingga kini, banyak terdapat permasalahan sengketa tanah yang telah terjadi di wilayah perkebunan milik negara di Goalpara baik yang telah selesai maupun yang belum terselesaikan. Seperti yang terjadi pada tahun 2009 dimana warga mematoki 76 hektar lahan perkebunan karena petani merasa tanah tersebut sah secara hukum milik petani 4. Kasus ini telah berlangsung sejak tahun 1970 dan hingga kini belum jelas keberadaannya. Adapula masyarakat yang dapat mengolah lahan perkebunan dengan luas total 25 hektar. Petani sebagai pihak yang merasakan langsung dampak ketiadaan akses dan penguasaan tanah menjadi pihak yang paling dirugikan. Hal tersebut menjadi urgensi dari penelitian mengenai strategi petani dalam memperjuangkan akses dan penguasaan atas tanah. 4 Diambil dari pada tanggal 22 juni 2010 pukul wib.

20 4 1.2 Pertanyaan Penelitian Penyelesaian masalah agraria hingga saat ini hanya sampai pada taraf menenangkan keadaan dan menyelesaikan masalah-masalah kecil tanpa menyelesaikan permasalahan utama. Berdasarkan paparan di atas penting bahwasanya mengetahui strategi petani dalam upaya mendapatkan akses dan penguasaan lahan di Desa Cisarua dikaji secara lebih mendalam dengan berbagai perspektif sehingga hasil dari penelitian ini dapat bermanfaat sebagai bentuk solusi dan rekomendasi bagi permasalahan agraria yang ada di Indonesia dan pada akhirnya dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat Indonesia, khususnya petani. Hal ini disebabkan karena petani sebagai pihak yang merasakan dampak langsung ketiadaan akses dan penguasaan lahan. Untuk mencapai tujuan tersebut maka diperlukan strategi yang tepat untuk dilakukan. Berdasarkan uraian di atas maka dirumuskanlah beberapa pertanyaan penelitian sebagai berikut: 1. Permasalahan apa sajakah yang dihadapi petani di wilayah Desa Cisarua, Kabupaten Sukabumi yang berhubungan dengan akses dan penguasaan atas lahan? 2. Bagaimanakah strategi yang digunakan petani dalam memperjuangkan akses dan penguasaan atas lahan di wilayah Desa Cisarua, Kabupaten Sukabumi? 3. Apa sajakah faktor-faktor yang berhubungan dengan strategi petani dalam memperjuangkan akses dan penguasaan atas lahan di wilayah Desa Cisarua, Kabupaten Sukabumi? 4. Sejauh mana tingkat keberhasilan strategi yang digunakan petani dalam memperjuangkan akses dan penguasaan atas lahan di wilayah Desa Cisarua, Kabupaten Sukabumi? 1.3 Tujuan Penelitian Tujuan penelitian ini ialah untuk: 1. Mengetahui permasalahan petani di Desa Cisarua yang berhubungan dengan akses dan penguasaan atas lahan. 2. Mengetahui bagaimana strategi perjuangan yang digunakan petani dalam memperjuangkan akses dan penguasaan atas lahan.

21 5 3. Menganalisis faktor-faktor yang berhubungan dengan strategi yang digunakan petani dalam memperjuangankan akses dan penguasaan atas lahan. 4. Mengetahui sejauh mana tingkat keberhasilan strategi yang digunakan petani dalam memperjuangkan akses dan penguasaan atas lahan. 1.4 Kegunaan Penelitian Penelitian ini memiliki beberapa manfaat untuk mahasiswa selaku pengamat dan akademisi, masyarakat dan pemerintah. Adapun manfaat yang dapat diperoleh yaitu: 1. Bagi Mahasiswa Penelitian ini memberikan contoh kongkret pada mahasiswa tentang tingkat keberhasilan petani petani dalam memperjuangkan akses dan penguasaan atas lahan. Selain itu, membuka wawasan mahasiswa mengenai masalah yang dihadapi petani dalam hal akses dan penguasaan atas lahan. 2. Bagi Masyarakat Melalui penelitian ini, masyarakat khususnya petani yang akan melakukan perjuangan agar lebih dapat memilih dan mengetahui jenis-jenis strategi yang dapat digunakan untuk mendapatkan akses dan penguasaan atas lahan demi mensejahterakan hidup. Masyarakat agar dapat lebih mengetahui permasalah yang dihadapi petani karena ketiadaan akses dan penguasaan atas lahan serta strategi yang digunakan petani dalam memperjuangkan hak dan penguasaan atas lahan tersebut. 3. Bagi Perguruan Tinggi Penelitian ini diharapkan dapat menjadi sumber rujukan dalam bidang gerakan sosial agraria khususnya mengenai strategi yang digunakan petani dalam menyelesasikan masalahnya dalam memperjuangkan hak dan penguasaan atas lahan. Hal ini juga dapat memacu intelektualitas di kalangan mahasiswa serta dapat meningkatkan khasanah ilmu pengetahuan. 4. Bagi Pemerintah Penelitian ini diharapkan dapat menjadi masukan dan bahan pertimbangan dalam menentukan kebijakan yang berkaitan dengan strategi petani dalam

22 6 memperjuangkan akses dan penguasaan atas lahan serta menambah informasi pemerintah mengenai strategi perjuangan petani dalam mendapatkan akses dan penguasaan atas lahan.

23 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Latar Belakang Terjadinya Gerakan Perjuangan Petani Peran negara yang semakin meluas dalam proses transformasi perdesaan menurut Scott (1993) mengakibatkan: (1) perubahan hubungan antara petani lapisan kaya dan lapisan miskin, (2) munculnya realitas kaum miskin untuk membentuk kesadaran melakukan perlawanan dalam berbagai bentuk yang merupakan pembelotan kultural, dan (3) terbangunnya senjata gerakan perlawanan menghadapi kaum kaya maupun negara seperti menghambat, pura-pura menurut, pura-pura tidak tahu, perusakan, berlaku tidak jujur, mencopet, membuat skandal, membakar, memfitnah, sabotase, dan mengakhiri pertentangan secara kolektif. Terdapat dua aspek pokok yang menjadi pemicu gerakan perlawanan petani model Scottian, yaitu: (1) gerakan ini merupakan aksi defensif terhadap perubahan yang dianggap akan mengancam kelangsungan hidup para petani yang berada dalam kondisi subsisten dan (2) dalam gerakan perlawanan petani, faktor pemimpin gerakan merupakan faktor kunci dan pemimpin gerakan ini biasanya dari kalangan elite desa dan patron. McAdam dkk (2001) dalam Mustain (2007) menyatakan bahwa gerakan sosial terjadi pada masyarakat yang sedang mengalami perubahan, transisional menuju perubahan sosial karena terbukanya kesempatan aktor untuk merespon, memobilisasi struktur-struktur sosial dan budaya yang ada sehingga memungkinkan dilakukannya komunikasi, koordinasi, dan komitmen di antara para aktor sehingga menghasilkan kesamaan pengertian dan memunculkan kesadaran bersama tentang apa yang sedang terjadi. Scott (1981) menjelaskan mengenai alasan petani marah yang dikemukakan Barrington Moore disebabkan oleh pembebanan atau tuntutan baru yang secara tiba-tiba merugikan banyak orang sekaligus dan melanggar aturan serta adat istiadat yang diterima. Hal ini dapat membangkitkan solidaritas pemberontakan atau revolusi di setiap jenis masyarakat petani karena tidak ada satu pun tipe masyarakat petani yang kebal terhadap pemberontakan atau revolusi.

24 8 Meskipun demikian, ada variasi dalam potensi eksplosif yang dapat dihubungkan dengan tipe-tipe masyarakat petani. Para petani biasanya bersedia mengambil resiko dengan mengadakan konfrontasi langsung bila mereka menganggap ketidakadilan tidak lagi dapat ditoleransi, bila tuntutan akan kebutuhan mereka melonjak secara tiba-tiba, serta bila institusi lokal dan nasional dan kondisi kultural cenderung meminta mereka untuk menggunakan jubah kolektif (Ecstein, 1989 dalam Mustain, 2007). Gerakan menurut Landsberger (1973) dalam Mustain (2007) lebih banyak terjadi di desa karena sering mendapatkan dukungan dari petani dan petani merupakan korban modernisasi sehingga setiap gerakan selalu didukung petani. Di Meksiko, Eckstein (1989) dalam Mustain (2007) menunjukkan bahwa revolusi agraris ditentukan oleh ikatan-ikatan desa dan otonomi institusi-institusi lokal dan tak terlampau menonjolkan dasar mobilitas perdesaan. Popkin (1979) menyatakan bahwa gerakan perlawanan petani lebih karena faktor determinan individu, bukan kelompok. Setiap manusia ingin menjadi kaya. Biang keladi atas terjadinya perlawanan para petani tradisional datang dari penetrasi kapitalisme ke kawasan perdesaan yang dalam banyak kasus melahirkan eksploitasi terhadap para petani oleh para tuan tanah, oleh Negara dan kaum kapitalis. Gurr (1970) dalam Mustain (2007) juga meman dang faktor frustasi dan pengurangan hak relatif yang terjadi dalam masyarakat petani dengan pihak lain menjadi pendorong bagi petani melakukan perlawanan. Kornhouser (1959) dalam Mustain (2007) memandang faktor keterasingan dan anomi yang dialami warga petani oleh karena mereka justru semakin miskin dan terpinggirkan. Mustain (2007) mengutip Wolf (1969) menyatakan bahwa petani kelas menengah menjadi pelopor pendukung gerakan petani karena petani kelas menengah paling mudah terkena dampak penyitaan tanah, fluktuasi pasar, tingginya tingkat bunga, dan perubahan-perubahan lain yang diakibatkan pasar dunia. Hal ini tidak seperti petani miskin dan buruh perkebunan karena mereka tidak memiliki basis ekonomi yang independen dan sumber daya politik taktis (Siahaan, 1996 dalam Mustain, 2007). Pernyataan tersebut dibantah oleh Jeffery Paige (1975) dalam Mustain (2007) karena Wolf dianggap tidak melihat adanya tanda-tanda konflik. Konflik

25 9 di daerah pertanian merupakan konflik yang terjadi antara dua kelompok, yaitu kelompok kelas atas atau yang disebut kelompok petani bukan penggarap dan kelompok kelas bawah atau kelompok petani penggarap tanah. Konflik tersebut muncul karena kedua kelompok mempunyai kecenderungan perilaku ekonomi politik yang berbeda. Perilaku ekonomi politik tersebut dipengaruhi oleh sumber penghasilan. Kelompok pertama mempunyai sumber penghasilan yang berasal dari tanah dan kelompok kedua memiliki sumber penghasilan dari tanah dan upah. Popkin (1979) menyebutkan bahwa semua perlawanan petani tidaklah dimaksudkan untuk menentang program Negara tapi lebih dimaksudkan untuk menentang kekuasaan elite desa (petani kaya) yang selama ini mengklaim komunitas tradisional, padahal lebih untuk mempertahankan tatanan demi keuntungan mereka. Penelitian Popkin di Vietnam menemukan bahwa: (1) gerakan yang dilakukan petani adalah gerakan antifeodal, bukan untuk mengembalikan tradisi lama tapi untuk membangun tradisi baru, (2) tidak ada kaitan yang signifikan antara ancaman terhadap subsisten dan tindakan kolektif, dan (3) kalkulasi keterlibatan dalam gerakan lebih penting daripada isu ancaman kelas. Asumsi pendekatan ekonomi-politik menyatakan bahwa gerakan perlawanan petani sebenarnya didasari oleh pertimbangan rasional individual para petani terhadap perubahan yang dikalkulasikan akan merugikan dan bahkan mengancam mereka atau, sekurang-kurangnya, perubahan ini dinilai menghalanghalangi usaha yang telah mereka lakukan untuk meningkatkan taraf hidup dengan kata lain dapat dikatakan bahwa petani juga berorientasi ke masa depan (Mustain, 2007). Pernyataan ahli lain seperti Race (1972) dalam Mustain (2007) menyatakan bahwa aksi perlawanan petani biasanya untuk memenuhi kepentingan materi dan untuk mendapatkan keuntungan tertentu. Hal ini menunjukkan bahwa petani akan melakukan aksi atau perlawanan berpatokan dengan adanya insentif selektif dan petani akan menghitung waktu partisipasi mereka menurut insentif yang tersedia. Didukung oleh Migdal (1974) dalam Mustain (2007), jika ada sejumlah insentif selektif, para petani akan membandingkan antara perolehan

26 10 meteri dan resiko yang ditawarkan oleh organisasi swasta yang berbeda atau oleh negara. Olson (1971) dalam Mustain (2007) menjelaskan bahwa ia mengkritik argumen bahwa organisasi petani dikatakan berhasil apabila organisasi tersebut dapat menyeimbangkan antara pertimbangan insentif selektif dengan barang kebutuhan umum karena pergolakan petani menentang kekuasaan pasar tidaklah selalu mendorong pemberontakan petani. Perilaku menentang juga dapat terjadi pada tingkat individual dan berdasarkan untung rugi yang akan ditanggungnya dari ketidakpuasan atas keadaan status quo. Olson mengatakan bahwa aksi kolektif sangat berhubungan dengan tujuan dan manfaat aksi bagi aktor. Orang melakukan gerakan lebih banyak didasari oleh pilihan rasionalnya. Hal ini diperdalam oleh Salert (1976) dalam Mustain (2007) dengan menjelaskan alasan pilihan rasional itu relevan terhadap aksi revolusioner karena teori ini melibatkan sifat efek faktor psikologis yang diperlukan untuk menjelaskan partisipasi orang dalam aksi kolektif dan teori ini dapat difokuskan pada proses pembentukan putusan sebelum melakukan aksi kolektif yang kemudian akan membentuk pengalaman sosial yang akan mengakibatkan perubahan perilaku sebagian masyarakat. Menurut Mustain (2007), latar belakang terjadinya konflik pertanahan di perdesaan umumnya bersumber dari perebutan tanah antara perkebunan dan petani. Seperti yang melatarbelakangi perjuangan petani di PTPN VII Kalibakar, yaitu: (a) kemarahan petani akan janji dikembalikannya tanah nenek moyangnya, (b) ketidakjelasan dan ketidaksesuaian penjelasan pihak PTPN XII dan BPN tentang luas lahan, (c) muncul dan meluasnya kesadaran bersalah karena tidak mampu mempertahankan tanah hasil perjuangan leluhurnya, (d) manajemen PTPN XII tidak akomodatif dan sensitif dengan tekanan tenaga kerja lokal, (e) kejanggalan data HGU PTPN XII, dan (f) perilaku arogan dan over acting dari para sinder dan mandor perkebunan. Menurut Hafid (2001), perjuangan petani di Jenggawah terjadi akibat akumulasi kekecewaan, ketertindasan, serta keterpurukan tenaga dan harga diri petani. Petani juga masih dicap sebagai PKI sehingga mereka mengalami penyiksaan dan diskriminasi dari pemerintah dan perkebunan.

27 11 Sitorus (2006) menyatakan bahwa perjuangan petani yang berada di daerah hutan dipicu oleh keluarnya klaim negara atas hutan tersebut. Seperti yang terjadi di Sulawesi Tengah dimana hutan-hutan tersebut diklaim menjadi Taman Nasional. Dengan berubahnya status tanah hutan tersebut dari rezim terbuka menjadi akses tertutup, masyarakat yang bermukim di wilayah ini menjadi kesulitan untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari karena mereka dilarang untuk melakukan berbagai macam kegiatan di dalam area Taman Nasional. Hal ini membuat masyarakat adat menjadi pihak yang terpinggirkan dan tidak diperhitungkan kepentingannya. Hal ini mendukung pendapat Wignjosoebroto (2002) dalam Mustain (2007) bahwa terjadi benturan antara dua hukum, yaitu hukum negara dan hukum rakyat sehingga memunculkan cultural conflict. Bachriadi dan Lucas (2001) menyatakan bahwa penderitaan yang dirasakan petani juga bisa berasal dari ambisi pejabat Negara. Aksi sepihak yang dilakukan pejabat dapat dilihat pada kasus yang terjadi di Tapos, dimana Presiden ingin memiliki area untuk tempat bertani dan beristirahat. Untuk mewujudkan keinginannya tersebut, presiden melakukan penggusuran terhadap ratusan keluarga petani penggarap pada tahun Di Cimacan, penggusuran terhadap ratusan keluarga petani karena akan dibangunnya lapangan Golf dan sarana pariwisata. 2.2 Model Gerakan Strategi Perjuangan Petani Teori Moral Ekonomi Scottian dipelopori oleh James C. Scott (1981) memandang model gerakan perlawanan kaum petani sebagai model perlawanan Gaya Asia dimana gerakan petani miskin yang lemah dengan organisasi yang anonim, bersifat nonformal melalui koordinasi asal sama tahu saja, dengan bentuk perlawanan kecil dan sembunyi-sembunyi yang dilakukan setiap hari dengan penuh kesabaran dan kehati-hatian, mencuri, memperlambat kerja, berpura-pura sakit dan bodoh, mengumpat dan sejenisnya. Hal ini sangat sesuai dengan karakteristik petani yang lemah karena tidak membutuhkan koordinasi atau perencanaan. Dalam penelitian ini teori Scott hanya digunakan sebagai rujukan pola perjuangan petani, bukanlah sebagai rujukan mengenai latar belakang

28 12 perjuangan petani yang mempertimbangkan keharmonisan serta moral kebersamaan. Scott (1993) menjelaskan perbedaan antara perlawanan sungguhsungguh dengan perlawanan yang bersifat insidental. Perlawanan insidental ditandai oleh: (a) tidak terorganisasi, tidak sistematis, dan individual, (b) bersifat untung-untungan dan pamrih, (c) tidak mempunyai akibat-akibat revolusioner, dan (d) dalam maksud dan logika mengandung arti penyesuaian dengan sistem dominan yang ada. Sebaliknya perlawanan sungguh-sunguh ditandai dengan: (a) lebih teroganisasi, sistematis, dan kooperatif, (b) berprinsip atau tanpa pamrih, (c) mempunyai akibat-akibat revolusioner, dan (d) mengandung gagasan atau tujuan yang meniadakan dasar dari dominasi. Scott juga mengatakan bahwa apapun kegiatan-kegiatan yang dilakukan oleh petani dapat dilihat sebagai perlawanan seperti aksi mencuri hasil panen jika hal tersebut sesuai dengan tujuan definisi perlawanan. Perlawanan petani juga tidak harus dalam bentuk aksi bersama. Gurr (1970) dalam Mustain (2007) membagi gerakan petani terhadap rezim politik merupakan kekerasan politik yang dibagi lagi menjadi tiga, yaitu: (1) kekacauan (turmoil), (2) persengkongkolan (conspiracy), dan (3) perang saudara (internal war). Kekerasan politik terjadi ketika banyak anggota masyarakat marah karena kondisi praktis dan kondisi budaya yang ada seperti terjadinya jurang pemisah antara barang dan kesempatan yang mereka anggap sebagai hak sebenarnya atau biasa dikenal dengan deprivasi relative sehingga merangsang terjadinya agresi terhadap sasaran politik. Ecstein (1989) dalam Mustain (2007) menyatakan, meskipun petani tampaknya pasif, sungkan, dan diam, mereka dapat saja menolak kondisi yang tidak mereka sukai melalui cara mengurangi produksi, atau tidak mengindahkan informasi-informasi penting dari para penindasannya. Bentuk perlawanan secara diam-diam atau terselubung lebih umum dilakukan daripada melawan secara terang-terangan. Tilly mendefinisian aksi kolektif sebagai aksi sekelompok orang secara bersama dalam mencapai kepentingan bersama. Tilly menggunakan dua model: Model Masyarakat Politik dan model mobilisasi. Model masyarakat politik

29 13 adalah pemerintah dan kelompok-kelompok yang memperebutkan kekuasaan. Model kedua, yaitu model mobilisasi dirancang untuk menjelaskan pola aksi kolektif yang dilakukan oleh aktor yang mengacu pada kepentingan kelompok, tingkat pengorganisasian, besarnya sumberdaya yang ada di bawah kendali kolektif dan kesempatan dan ancaman yang dipakai oleh pesaing-pesaing tertentu dalam hubungannya dengan pemerintah dan kelompok pesaing lainnya (Skocpol, 1991 dalam Mustain 2007). Model mobilisasi menurut Tilly terdiri dari beberapa unsur, yaitu organization, interest, repression, power, opportunity, dan collective action, yang dapat dilihat pada Gambar 1. organization interest mobilization Opportunity/ threat Repression/ facilitation Collective action power Gambar 1. Model mobilisasi Tilly, From Mobilization to Revolution. Sumber: Mustain (2007) Untuk mencapai tujuan, petani perlu menyusun strategi gerakan yang tepat. Terdapat dua bentuk strategi umum yang dapat dilakukan oleh petani, yaitu: (1) melalui jalur hukum dan (2) aksi massa secara langsung oleh petani. Aksi massa menurut Aji (2005), dapat dibedakan menjadi empat, yaitu: (1) reklaiming; (2) ekspansi anggota baru; (3) dukungan terhadap organisasi tani lokal; dan (4) aksi demonstrasi. Dalam Mustain (2007) dipaparkan bahwa bentuk strategi yang dilakukan petani melalui aksi massa dan spontan dapat dilihat pada kasus yang terjadi di Desa Simojayan, dimana petani melakukan pembabatan terhadap tanaman kakao yang berada di dalam wilayah PTPN VII. Petani melakukan aksi pembabatan

30 14 selama tiga hari dengan hasil pembabatan seluas 250 hektar tanah perkebunan. Kasus gerakan petani di Desa Tirtoyudo bersifat terencana dengan bentuk strategi yang dilakukan ialah melalui jalur hukum dan aksi massa. Gerakan petani bersifat terencana karena petani melakukan berbagai persiapan seperti pertemuan dan rapat yang dilakukan secara sembunyi-sembunyi. Bentuk aksi klaim secara langsung dilakukan oleh petani disebabkan oleh bentuk stategi pertama yaitu melalui jalur hukum tidak ditanggapi oleh instansi terkait. Kasus yang terjadi di Jenggawah menurut Hafid (2001), juga masuk dalam kategori bentuk strategi yang bersifat terencana dengan menggunakan strategi hukum dan aksi langsung. Hal ini dibuktikan dengan adanya pertemuan yang dilakukan para tokoh untuk menyatukan visi, misi, dan persepsi. Para tokoh juga melakukan diskusi tentang kelemahan dari HGU PTPN X. Strategi melalui jalur hukum dilakukan dengan mengirim surat dan melakukan berbagai pertemuan dengan pejabat dan instansi terkait. Strategi petani yang dilakukan di Desa Tirtoyudo dimana terdapat tanah rakyat yang kemudian diambilalih dan dijadikan HGU oleh pemerintah, menurut Mustain (2007) dibagi menjadi dua tahap: (1) tahapan pra-reklaiming, berkaitan dengan upaya mobilisasi dan pendayagunaan potensi struktural, institusi sosial, budaya, serta agama yang ada, dan (2) tahapan pasca reklaiming yang dibagi lagi menjadi empat bentuk strategi yang dilakukan petani. Adapun keempat bentuk strategi tersebut adalah: (a) menguasai tanah terlebih dahulu melalui aksi reklaiming, (b) memperjuangkan pengakuan secara hukum sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku, (c) strategi pengorganisasian gerakan dengan membentuk Forkotmas, dan (d) strategi mendapatkan dan mempertahankan pengakuan sosial. Menurut Sitorus (2006), berdasarkan moda gerakan reklaim tanah, tipologi reforma agraria dibagi menjadi tiga yaitu: (1) aneksasi, (2) integrasi, dan (3) kultivasi. Pembagian tipologi reforma agraria dari bawah ini merujuk pada cara mendapatkan akses terhadap tanah. Tipe aneksasi dimana masyarakat secara langsung menempati kawasan hutan negara secara paksa dan illegal untuk kegiatan pertanian. Tipe aneksasi dapat dilihat dalam kasus di Dongi-dongi dimana masyarakat secara langsung menempati kawasan hutan negara secara

31 15 paksa dan illegal untuk kegiatan pertanian. Tipe kedua ialah tipe integrasi dimana gerakan yang dilakukan masyarakat mengkolaborasikan negara dan komunitas lokal dalam manajemen sumberdaya hutan seperti yang terjadi di Toro. Tipe yang ketiga ialah tipe kultivasi, menggabungkan kedua tipe aneksasi dan integrasi. Pada satu sisi, tanah direklaim dan secara faktual ditanami atau diusahakan oleh penduduk tapi di sisi lain tanah juga masih diklaim dan juga secara faktual dikelola sebagai bagian dari taman nasional seperti di Sintuwu dimana penduduk merambah kawasan hutan negara dan melakukan aksi unjuk rasa untuk memperjuangkan hak mereka. Shohibuddin (2007) menjelaskan bahwa masyarakat Toro melakukan empat agenda strategis, yaitu: (1) tahap pembentukan landasan; (2) tahap perjuangan untuk memperoleh pengakuan; (3) tahap konsolidasi lebih lanjut; (4) tahap diseminasi keluar. 2.3 Faktor yang Mempengaruhi Strategi Perjuangan Petani Faktor Internal Untuk mencapai tujuan petani biasanya menggunakan penggalangan massa karena semakin besarnya jumlah massa yang ikut maka akan semakin didengar suara mereka. Namun menurut Wolf (1966) dalam Mustain (2007) terdapat beberapa faktor yang membuat gerakan petani sulit untuk mendapatkan massa yaitu: (1) kurang adanya kerjasama antar sesama petani dalam mengelola tanah, (2) terjebak dalam rutinitas irama pekerjaan sektor pertanian, (3) lebih berorientasi ke jenis tanaman lokal dari pada komersial, (4) terbuai dengan sifat komunalitas kekerabatan sehingga rentan terhadap perubahan, (5) tidak mempunyai orientasi kepentingan yang jelas, (6) orientasi ke in-group lebih kuat sehinggga kurang tertarik terhadap pengetahuan dari luar yang mestinya dibutuhkan untuk mengungkapkan kepentingannya. Sikap petani seperti itu dikarenakan para petani lebih mengedepankan semangat komunalisme dengan mengedepankan nilai-nilai pemerataan terhadap sumber-sumber yang kian terbatas (Scott, 1981). Scott (1993) juga mengungkapkan rintangan petani untuk melakukan perlawanan kolektif yaitu: (1) rumitnya struktur kelas setempat sehingga menghalangi pendapat kolektif, (2) rasa takut terhadap pembalasan atau

32 16 penahanan sehingga petani lebih memilih bersikap rendah hati, dan (3) tekanan setiap hari dimana tidak ada kemungkinan yang realistis untuk secara langsung atau kolektif menata kembali keadaannya sehingga si miskin tidak ada pilihan lain kecuali menyesuaikan diri. Petani tidak mau ikut gerakan perlawanan meski sedang berada dalam krisis subsistensi jangka pendek yang diakibatkan oleh perubahan yang dihasilkan oleh penetrasi kapitalis karena tidak tercapainya kesepakatan antar petani dalam melakukan aksi bersama, juga adanya penilaian bahwa cara-cara perlawanan dianggap tidak akan bisa menyelesaikan masalah, masih ada cara lain yang dinilai labih baik seperti kompromi yang diperhitungkan lebih menguntungkan (Popkin, 1979). Mustain (2007) mengutip Wolf (1969) menyatakan bahwa petani kelas menengah menjadi pelopor pendukung gerakan petani karena petani kelas menengah paling mudah terkena dampak penyitaan tanah, fluktuasi pasar, tingginya tingkat bunga, dan perubahan-perubahan lain yang diakibatkan pasar dunia. Hal ini tidak seperti petani miskin dan buruh perkebunan karena mereka tidak memiliki basis ekonomi yang independen dan sumberdaya politik taktis (Siahaan, 1996 dalam Mustain, 2007). Untuk melakukan perlawanan atau tindakan kolektif yang terorganisasi, petani harus memiliki pengaruh internal yang menurut Skocpol (1991) dalam Mustain (2007) pengaruh internal dipengaruhi oleh: (1) jenis solidaritas petani, (2) kemampuan membebaskan diri dari kontrol sehari-hari tuan tanah dan kaki tangannya, (3) pengendoran sanksi-sanksi kerja paksa dari Negara terhadap pemberontakan petani. Pengaruh internal yaitu kemampuan untuk melakukan tindakan kolektif yang terorganisasi terhadap orang-orang yang memeras mereka. Ada dua tipe organisasi petani dalam melakukan perlawan, yaitu: (1) organisasi yang muncul dari dalam kelompok petani sendiri untuk mengatur dirinya sendiri, dan (2) organisasi yang muncul dari luar. Keberhasilan organisasi yang mengorganisasi dirinya sendiri berdasarkan ketidaksepakatan bersama dan organisasi yang muncul dari luar keberhasilannya memerlukan mekanisme dengan melaksanakan peraturan tertentu seperti kemampuan dalam mengundang para

33 17 pengikutnya untuk berpartisipasi secara aktif (Lichbach, 1994 dalam Mustain, 2007). Strategi perekrutan anggota adalah aspek yang dipengaruhi oleh insentif selektif. Strategi perekrutan ini ditemukan dalam pemberontakan petani yang terorganisasi. Insentif selektif digunakan untuk mengundang para pengikut untuk berpartisipasi aktif. Menurut Mustain (2007), untuk memperjuangkan tanah petani mengalami berbagai problematika internal seperti timbulnya sikap saling curiga antar sesama petani yang kemudian mempengaruhi soliditas gerakan petani, munculnya kesenjangan sosial, golongan kaum borjuis, hingga problematika masa depan pertanian yang makin tergeser akibat adanya pergeseran beberapa sektor pembangunan yang menjadi tumpuan penggerak utama ekonomi nasional. Pada awalnya pembangunan bertumpu pada sektor pertanian, kemudian kini bertumpu pada sektor industri dan jasa karena dianggap mempunyai nilai tambah untuk memacu pertumbuhan ekonomi. Pangestu (1995) dalam Febriana (2008) menjelaskan bahwa faktor-faktor internal yang mempengaruhi keterlibatan masyarakat dalam suatu program ialah hal yang mencakup karakteristik individu yang dapat mempengaruhi individu tersebut untuk berpartisipasi dalam suatu kegiatan. Karakteristik individu tersebut mencakup umur, tingkat pendidikan, jumlah beban keluarga, jumlah dan pengalaman berkelompok. Silaen (1998) dalam Wicaksono (2010) menyatakan bahwa semakin tua umur seseorang maka penerimaannya terhadap hal-hal baru semakin rendah. Hal ini karena orang yang masuk dalam golongan tua cenderung selalu bertahan dengan nilai-nilai lama sehingga diperkirakan sulit menerima hal-hal yang sifatnya baru. Tamarli (1994) dalam Febriana (2008) juga menyatakan bahwa umur merupakan faktor yang mempengaruhi partisipasi. Semakin tua seseorang, relatif berkurang kemampuan fisiknya dan keadaan tersebut mempengaruhi partisipasi sosialnya. Oleh karena itu, semakin muda umur seseorang, semakin tinggi tingkat partisipasinya dalam suatu kegiatan atau program tertentu. Ajiswarman (1996) dalam Wicaksono (2010) menyatakan tingkat pendidikan mempengaruhi penerimaan seseorang terhadap sesuatu hal yang baru. Semakin tinggi pendidikan seseorang maka semakin mudah baginya untuk

34 18 menerima hal-hal baru yang ada di sekitarnya. Jumlah beban tanggungan juga dinyatakan sebagai salah satu faktor yang mempengaruhi partisipasi. Seperti yang diungkapkan Ajiswarman (1996) dalam Febriana (2008), semakin besar jumlah beban keluarga menyebabkan waktu untuk berpatisipasi dalam kegiatan akan berkurang karena sebagian besar waktunya digunakan untuk mencari nafkah demi memenuhi kebutuhan keluarga. Nurlela (2004) dalam Wicaksono (2010) mengungkapkan bahwa tingkat pendapatan seseorang tidak mempengaruhi partisipasi orang dalam suatu kegiatan Faktor Eksternal Dalam Mustain (2007) dijelaskan mengenai proses memobilisasi suatu gerakan perlawanan dipengaruhi oleh seorang aktor yang berpeluang mendayagunakan sejumlah potensi nilai-nilai lokal. McAdam juga mengemukakan bahwa terdapat hambatan dalam memobilisasi struktural dalam mobilisasi gerakan harus memperhatikan kesempatan dan ancaman yang disebut the repertoire of contention dimana suatu jalan yang secara budaya menandakan saat orang-orang berinteraksi dalam pertikaian politik. Hal ini juga didukung oleh Ecskein (1989) dalam Mustain (2007) bahwa penting untuk memerhatikan faktor kekuatan dan tekanan Negara. Tilly (1978) dan Wolf (1969) dalam Mustain (2007) juga mengatakan bahwa pemberontakan tidak akan terjadi jika situasinya benar-benar tidak mendukung. Hal ini didukung dengan pernyataan Arif, 2002; Anshori, 2003; Wignjosoebroto, 2002 dalam Mustain, 2007 bahwa yang mempengaruhi strategi perjuangan petani ialah persoalan hukum dalam penataan tanah yang hingga era reformasi masih problematik. Pemerintah, swasta, dan kelompok lain yang memberontak dapat memberikan insentif selektif dan berhak bergabung dengan gerakan wilayah tertentu daripada organisasi lain berdasarkan tersedianya intensif selektif. Negara mempengaruhi tingkat insentif selektif dalam perbedaan kolektif dengan cara tertentu. Cara yang optimal untuk menawarkan insentif selektif adalah dengan menjadi supplier tunggal atau monopoli. Organisasi petani yang mempunyai akses khusus untuk mendapatkan insentif selektif terbukti lebih berhasil memobilisasi pengikutnya dibandingkan dengan kelompok yang tidak mempunyai akses.

35 19 Organisasi yang memberontak jika tidak mampu memasuki perang tawarmenawar perlu menjauhi rezim. Hal ini disebabkan rezim dapat mengalahkan dengan mudah organisasi tersebut (Mustain, 2007). Ditambahkan bahwa pemberian insentif selektif tanpa faktor lain tidak akan pernah cukup untuk mendukung suatu pemberontakan petani dan barang kebutuhan umum tanpa didukung oleh hal lain juga tidak akan pernah cukup untuk memulai suatu pemberontakan petani. Untuk itu insentif selektif harus didasarkan pada pertimbangan ideologi agar tidak menjadi counterproductive. Adapun cara entrepreneur menemukan sumber daya yang dibutuhkan untuk menyediakan insentif selektif bagi para pengikutnya dijelaskan dalam Mustain (2007) diambil dari berbagai ahli ialah: (1) mendorong pengikutnya untuk melakukan penjarahan (Avrich, 1972), (2) mendistribusikan ulang sumber daya (Popkin, 1979), (3) pemimpin yang memberontak merahasiakan kebaikan, persolaan, ataupun keluhan yang dapat menarik kelompoknya, (4) pemimpin yang memberontak dapat mematahkan monopoli kaum elite pada institusi politik dan mungkin saja menciptakan organisasi desa petani baru, (5) pemberontak mencari penyokong yang dapat menyediakan insentif selektif, dan (6) intensif selektif selalu tersedia dalam jumlah sedikit dan selalu diharapkan oleh petani yang lebih miskin. Pangestu (1995) dalam Febriana (2008) memaparkan faktor-faktor eksternal yang dapat mempengaruhi partisipasi masyarakat meliputi hubungan yang terjalin antara pihak pengelola proyek dengan sasaran dapat mempengaruhi partisipasi karena sasaran akan dengan sukarela terlibat dalam suatu proyek jika sambutan pihak pengelola positif dan menguntungkan mereka. Selain itu, bila didukung dengan pelayanan pengelolaan kegiatan yang positif dan tepat dibutuhkan oleh sasaran, maka sasaran tidak akan ragu-ragu untuk berpartisipasi. Eisinger (1973) dalam McAdam dan Snow (1997) mengungkapkan bahwa kesempatan politik menjadi salah satu pokok terjadinya gerakan sosial dan terjadinya protes berhubungan dengan lingkungan dari kesempatan politik yang ada disuatu kota. Eisinger juga mendefinisikan bahwa kesempatan politik merupakan derajat dimana suatu kelompok dapat meningkatkan akses terhadap kekuasaan dan dapat memanipulasi sistem politik. Hal ini didukung dengan

36 20 pernyataan Moniaga (2010) bahwa pada era reformasi, kaum terpinggirkan bebas untuk berpolitik seperti masyarakat kasepuhan yang secara tegas memutuskan untuk bertindak mengatasi kemelut pertanahan yang mereka hadapi. 2.4 Tingkat Keberhasilan Perjuangan Petani Banyak kasus mengenai masalah pertanahan di Indonesia yang masih terus berlanjut hingga kini meski pun lahan tersebut telah diduduki oleh masyarakat namun lahan tersebut belum ada pengakuan secara hukum. Menurut Mustain (2007), hal ini disebabkan karena belum habisnya HGU seperti yang terjadi di Kalibakar, Malang. Meski pun petani berhasil membabat dan menduduki lahan tersebut, namun petani belum mendapatkan kepastian hukum. Hal ini karena masih terbentur masalah HGU yang berlaku hingga tahun 2014 dan belum adanya kepastian bahwa tanah tersebut akan dikembalikan kepada rakyat ketika HGU tersebut habis. Karena lelah, petani bersikap defensif dan reaktif. Defensif dalam artian menunggu sampai habisnya masa HGU PTPTN XII. Hal ini didukung oleh hasil penelitian Bachriadi dan Lucas (2001), dimana kasus di Tapos juga belum menemukan titik terang. Meski Kepala Kantor BPN Bogor telah menyatakan sekitar 450 hektar lahan peternakan Tri-S Tapos akan dikembalikan kepada petani penggarap, sisanya diserahkan kepada Pemda Kabupaten Bogor. Di Bengkulu juga terjadi kasus yang sama menurut Serikat Tani Bengkulu (2006), dimana meskipun masyarakat telah dapat mengakses lahan dan telah melakukan mobilisasi terhadap penduduk miskin dari desa lain namun belum mendapatkan pengakuan secara hukum. Hal ini membuat lahan tersebut dapat di klaim sewaktu-waktu oleh pihak perkebunan yang memegang HGU. Untuk mengantisipasi diambilnya kembali lahan tersebut, petani membayar pajak dan menabung untuk persiapan sertifikasi tanah. Keberhasilan yang dicapai oleh masyarakat dataran tinggi yang tinggal di wilayah hutan lindung juga berbeda-beda. Di Dongi-dongi, Sulawesi Tengah telah terjadi konversi lahan besar-besaran yang diakibatkan adanya gerakan petani atau tindakan kolektif penduduk yang paksa dan illegal membuka, bercocok tanam, dan sekaligus bermukim di sebidang tanah hutan negara. Di Toro, hasil yang

37 21 dicapai cukup unik, dimana hak adat kembali diakui oleh negara. Hal ini terjadi akibat terjadinya perambahan hutan oleh masyarakat karena kekurangan tenaga dalam mengontrol dan menegakkan hukum pada masyarakat lokal, sehingga terciptanya resolusi konflik dimana masalah-masalah hutan di Toro secara eksklusif ditangani oleh lembaga adat (Sitorus, 2006). Masyarakat sebagian besar menginginkan tanah yang mereka peroleh mendapatkan sertifikat yang sah secara hukum untuk individu. Namun yang terjadi di Pasir Randu agak berbeda dimana petani menginginkan sertifikasi yang ditujukan pada organisasi atau Organisasi Tani Lokal agar perempuan yang secara aktif dalam proses reclaiming memiliki hak yang sama dalam penguasaan tanah (Bahari dan Krishnayanti, 2005). Kasus tanah adat masyarakat kasepuhan Citorek, Cibedug, dan Cisiih juga belum memiliki kejelasan hukum, berbeda dengan masyarakat adat Baduy yang telah memiliki legal hukum yang tertuang dalam Perda No. 32 tentang Perlindungan atas Hak Ulayat Masyarakat Baduy. Masyarakat kasepuhan Citorek, Cibedug, dan Cisiih belum mendapatkan pengakuan formal secara hukum disebabkan oleh rumitnya kasus dan mengakui keabsahan klaim-klaim mereka atas tanah adat di Citorek dan Cibedug. Karena belum dapat dipastikan jenis hak atas tanah yang sesuai dengan konsep wewengkon dan diperlukan informasi rinci mengenai status tanah terkini. Lagi pula tanah itu secara legal berada dalam kawasan hutan negara dan tidak berwewenang membatalkan secara sepihak (Moniaga, 2010). Contoh kasus tanah adat lain yang berhasil diselesaikan ialah di Kabupaten Nunukan, dimana telah keluar sebuah Perda No. 3 dan 4 tahun 2004 tentang Hak Ulayat Masyarakat Hukum Adat. Sebaliknya di Paser, status tanah ulayat telah dihapus karena masyarakat di daerah tersebut tidak lagi menggunakan sistem hak ulayat (Bakker, 2010). 2.5 Kerangka Pemikiran Penelitian Keterbatasan akses dan penguasaan lahan menjadi masalah yang dihadapi oleh hampir seluruh petani di indonesia khususnya di wilayah perkebunan di Desa Cisarua, Kabupaten Sukabumi dimana penelitian ini dilakukan. Keadaan petani

38 22 tersebut memicu terciptanya strategi petani. Strategi yang tepat diperlukan untuk mendapatkan akses dan penguasaan atas lahan. Strategi perjuangan yang digunakan diduga memiliki hubungan dengan tingkat keterlibatan petani yang dilihat dari peran petani dalam oraganisasi dan partisipasi yang diberikan petani terhadap gerakan yang dilakukan untuk mendapatkan tanah. Tingkat keterlibatan petani di sini diduga dipengaruhi oleh faktor internal dan faktor eksternal. Faktor internal merupakan faktor yang datangnya dari dalam pribadi petani yang dibagi menjadi pengalaman berorganisasi, luas dan jumlah relasi, lama pendidikan yang telah dilalui, pendapatan, serta jumlah tanggungan. Faktor eksternal ialah hal-hal yang ikut berpengaruh namun berasal dari luar pribadi petani tersebut. Faktor eksternal dibedakan menjadi organisasi pendukung, kesempatan politik, serta respon pemerintah dan pihak lawan. Adapun sifat strategi perjuangan petani dibedakan menjadi insidental dan sungguh-sungguh dengan bentuk berupa aksi massa dan jalur hukum. Bentuk aksi massa petani dibedakan menjadi demo, reklaiming, ekspansi anggota, dukungan terhadap organisasi tani lokal, serta perlawanan kecil dan sembunyi-sembunyi yang dilakukan setiap hari dengan penuh kesabaran dan kehati-hatian, seperti mencuri, memperlambat kerja, berpura-pura sakit dan bodoh, mengumpat dan sejenisnya. Strategi perjuangan yang digunakan petani kemudian akan berhubungan dengan tingkat keberhasilan dalam mendapatkan akses dan penguasaan atas lahan. Tingkat keberhasilan yang dapat dicapai petani dalam mendapatkan akses dan penguasaan atas tanah ialah hak miliki, sewa, pinjam pakai, serta tidak berhasil mendapatkan akses dan penguasaan atas lahan. Untuk lebih jelas, kerangka pemikiran penelitian dapat dilihat pada Gambar 2.

39 23 Faktor ekternal: - Organisasi pendukung - Kesempatan politik - Respon pemerintah dan pihak lawan Faktor internal: - Pengalamam organisasi - Luas dan jumlah relasi - Tingkat pendidikan - Tingkat pendapatan - jumlah tanggungan Tingkat keterlibatan: - Peran dalam organisasi - Partisipasi dalam gerakan Petani: Keterbatasan akses dan penguasaan lahan Strategi perjuangan Tingkat keberhasilan: - Hak milik - Sewa - Pinjam pakai - Tidak berhasil Sifat: Insidental Sungguh-sungguh Bentuk: Aksi massa Jalur hukum Gambar 2. Kerangka Pemikiran Penelitian Keterangan: Berhubungan Komponen Memicu 2.5 Hipotesis Penelitian Hipotesis Uji Penyusunan hipotesis bertujuan untuk memudahkan peneliti menjawab permasalahan dan dalam rangka untuk mencapai tujuan dari penelitian yang telah dirumuskan. Dari kerangka pemikiran di atas dapat disusun hipotesis uji berupa: 1. Tingkat pendidikan berkorelasi positif dengan tingkat keterlibatan petani dalam perjuangan untuk mendapatkan akses dan penguasaan atas lahan.

40 24 2. Luas dan banyaknya jumlah relasi berkorelasi positif dengan tingkat keterlibatan petani dalam perjuangan untuk mendapatkan akses dan penguasaan atas lahan. 3. Tingkat pendapatan berkorelasi positif dengan tingkat keterlibatkan petani dalam perjuangan untuk mendapatkan akses dan penguasaan atas lahan. 4. Pengalaman dan peran dalam organisasi berkorelasi positif dengan tingkat keterlibatan petani dalam perjuangan untuk mendapatkan akses dan penguasaan atas lahan. 5. Jumlah tanggungan keluarga berkorelasi negatif dengan tingkat keterlibatan petani dalam perjuangan untuk mendapatkan akses dan penguasaan atas lahan Hipotesis Pengarah Dari kerangka pemikiran di atas maka dapat disusun hipotesis pengarah dimana terdapat hubungan antara faktor eksternal petani yang berupa keterlibatan organisasi pendukung, kesempatan politik yang tersedia, serta respon pemerintah desa dan respon pihak perkebunan dengan tingkat keterlibatan petani dalam strategi memperjuangkan akses dan penguasaan atas lahan yang kemudian juga akan berhubungan dengan bentuk strategi yang digunakan petani dan tingkat keberhasilan petani dalam mendapatkan akses dan penguasaan atas lahan. 2.6 Definisi Operasional 1. Mata pencaharian adalah pola aktivitas yang dilakukan oleh anggota masyarakat, guna menghasilkan pendapatan pada tingkat yang aman untuk dapat bertahan hidup, yang dilakukan secara teratur dan berulang. Mata pencaharian di sini dikategorikan dalam 2 hal, yaitu: 1) Mata pencaharian dalam bidang pertanian, adalah aktifitas mata pencaharian di sektor pertanian, perkebunan, perikanan, dan peternakan. 2) Mata pencaharian dalam bidang non-pertanian, adalah aktivitas mata pencaharian di sektor remunerative, pendidikan, pemerintahan, jasa dan perdagangan.

41 25 2. Status penguasaan lahan adalah keadaan lahan yang dapat diakses dan dikuasai oleh seorang petani. Status penguasaan lahan di sini dikategorikan menajdi 3 tingkatan, yaitu: 1) Pinjam pakai diberi skor 1 2) Sewa diberi skor 2 3) Hak milik diberi skor 3 3. Tingkat kepemilikan lahan adalah jumlah lahan yang dimiliki oleh seorang petani, mengacu pada luas lahan ideal yang dimiliki oleh satu rumahtangga. Dalam penelitian ini tingkat kepemilikan lahan dikategorikan menjadi 3 tingkatan, yaitu: 1) Rendah : jika tidak memiliki lahan diberi skor 1 2) Sedang : memiliki lahan kurang dari 0,3 hektar diberi skor 2 3) Tinggi : memiliki lebih dari 0,3 hektar diberi skor 3 4. Aksesibilitas menunjukkan kemampuan seorang petani dalam menguasai dan menggunakan lahan, dalam penelitian ini tingkat kepemilikan lahan dikategorikan menjadi 3 tingkatan, yaitu: 1) Rendah : jika tidak punya akses terhadap lahan diberi skor 1 2) Sedang : akses terhadap lahan kurang dari 0,3 hektar diberi skor 2 3) Tinggi : akses terhadap lahan lebih dari 0,3 hektar diberi skor 3 5. Tingkat pendapatan adalah sejumlah sumberdaya berupa uang yang didapat setelah bekerja dan digunakan untuk mencukupi kebutuhan hidup keluarganya berdasarkan UMR (Upah Minimum Rata-rata) Kabupaten Sukabumi tahun Pendapatan di sini dibedakan dalam 2 tingkatan, yaitu: 1) Rendah : jika di bawah Rp diberi skor 1 2) Tinggi : jika di atas Rp diberi skor 2 6. Tingkat pendidikan ialah lama pendidikan formal yang dilalui oleh petani. Tingkat pendidikan dibedakan menjadi 3 tingkatan, yaitu: 1) Rendah : jika petani mengeyam pendidikan selama 0-4 tahun diberi skor 1 2) Sedang : jika petani mengeyam pendidikan selama 5-9 tahun diberi skor 2

42 26 3) Tinggi : jika petani mengenyam pendidikan lebih dari 9 tahun diberi skor 3 7. Pengalaman organisasi ialah status petani dalam sebuah organisasi. Dibedakan menjadi 3 tingkatan, yaitu: 1) Rendah : jika petani tidak mengikuti organisasi diberi skor 1 2) Sedang : jika petani menjadi anggota dalam sebuah organisasi diberi skor 2 3) Tinggi : jika petani menjadi pengurus dalam sebuah organisasi diberi skor 3 8. Jumlah tanggungan ialah banyaknya individu yang ditanggung oleh seorang petani. Jumlah tanggungan dibedakan menjadi 3 tingkatan, yaitu: 1) Rendah : jika petani menanggung lebih dari 5 orang diberi skor 1 2) Sedang : jika petani menanggung sebanyak 3-4 orang diberi skor 2 3) Tinggi : jika petani menanggung sebanyak 0-2 orang diberi skor 3 9. Tingkat keterlibatan petani adalah persentase keikutsertaan petani dalam berbagai kegiatan dalam memperjuangkan akses dan penguasaan atas lahan: a. Peran dalam organisasi 1) Rendah : jika petani tidak ikut dalam organisasi gerakan petani maka akan diberi skor 1 2) Sedang : jika petani menjadi anggota dalam organisasi gerakan petani maka akan diberi skor 2 3) Tinggi : jika petani menjadi pengurus dalam organisasi gerakan petani maka akan diberi skor 3 b. Peran dalam aksi yang dilakukan 1) Rendah : jika petani hanya ikut serta dalam pelaksanaan gerakan maka akan diberi skor 1 2) Sedang : jika petani ikut serta dalam perencanaan dan atau merekrut anggota baru maka akan diberi skor 2 3) Tinggi : jika petani menjadi penggagas gerakan maka akan diberi skor 3

43 Aksi massa ialah tindakan kolektif yang dilakukan petani sebagai upaya untuk mendapatkan akses dan penguasaan atas lahan. Aksi massa dibedakan menjadi demo, reklaiming, ekspansi anggota baru, dan dukungan terhadap organisasi tani lokal. Aksi massa dibedakan menjadi 3 tingkatan, yaitu: 1) Rendah : jika petani melakukan 1 bentuk aksi massa maka akan diberi skor 1 2) Sedang : jika petani melakukan 2 bentuk aksi massa maka akan diberi skor 2. 3) Tinggi : jika petani melakukan 3 atau lebih aksi massa maka akan diberi skor Rapat ialah pertemuan yang dilakukan oleh petani sebagai salah satu upaya petani untuk mendapatkan akses dan penguasaan atas lahan. Rapat dibedakan menjadi 3 tingkatan, yaitu: 1) Rendah : kurang dari 30 persen dari jumlah pertemuan yang dilakukan diberi skor 1. 2) Sedang : 30 persen - 60 persen dari jumlah pertemuan yang dilakukan diberi skor 2. 3) Tinggi : lebih dari 60 persen dari jumlah pertemuan yang dilakukan diberi skor Demo ialah salah satu bentuk aksi massa yang dilakukan oleh petani sebagai salah satu upaya untuk mendapatkan akses dan penguasaan atas lahan. Demo dibedakan menjadi 3 tingkatan, yaitu: 1) Rendah : kurang dari 30 persen dari jumlah demo yang dilakukan diberi skor 1. 2) Sedang : 30 persen - 60 persen dari jumlah demo yang dilakukan diberi skor 2. 3) Tinggi : lebih dari 60 persen dari jumlah demo yang dilakukan diberi skor 3.

44 BAB III METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Pendekatan Penelitian Penelitian mengenai strategi perjuangan petani dalam mendapatkan akses dan penguasaan atas lahan dilakukan menggunakan metode kualitatif dan kuantitatif. Penelitian ini merupakan penelitian dekriptif dan explanatif dimana dilakukan untuk mengetahui sejauh mana tingkat keberhasilan petani dalam mendapatkan akses dan penguasaan atas lahan sesuai dengan strategi yang digunakan serta menggambarkan bagaimana proses yang dilalui petani untuk mendapatkan akses dan penguasaan atas lahan. Metode pendekatan kualitatif digunakan peneliti untuk memahami secara mendalam dan rinci mengenai suatu peristiwa, serta dapat menggali berbagai realitas, proses sosial, dan makna yang berkembang dari orang-orang yang menjadi subjek penelitian. Strategi penelitian kualitatif yang digunakan dalam penelitian ini ialah studi kasus, dimana peneliti memilih suatu kejadian atau gejala untuk diteliti (Sitorus,1998). Peneliti menggali informasi mengenai proses yang dilakukan petani sehingga mereka dapat mengolah lahan milik perkebunan negara. Pembahasan kemudian dilanjutkan untuk mengetahui dan memahami faktor-faktor eksternal yang dapat mempengaruhi strategi yang dilakukan petani untuk mendapatkan akses dan penguasaan atas lahan perkebunan. Metode kualitatif dilakukan melalui wawancara mendalam yang dilakukan kepada informan dan responden. Responden di sini dibedakan menjadi petani besar dan petani kecil yang mengolah lahan perkebunan, sedangkan terdiri dari aparatur desa, pegawai perkebunan, petani besar, dan juga petani kecil yang berjuang untuk mendapatkan akses dan penguasaan lahan. Pendekatan kuantitatif dalam penelitian ini digunakan untuk mengetahui hubungan antara faktor internal petani dengan tingkat keterlibatan petani dalam upaya untuk mendapatkan akses dan penguasaan atas lahan. Metode kuantitatif dilakukan menggunakan metode survei yang mana pengumpulan data dilakukan melalui kuesioner.

45 Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian mengenai strategi perjuangan petani dalam mendapatkan akses dan penguasaan atas lahan dilaksanakan di Desa Cisarua, Kecamatan Sukaraja, Kabupaten Sukabumi. Desa ini merupakan salah satu desa yang berada di dalam wilayah salah satu perkebunan milik negara. Wilayah ini dipilih atas dasar pertimbangan: 1. Desa Cisarua merupakan desa yang berada di dalam wilayah salah satu perkebunan negara yang secara langsung memperoleh dampak dari kegiatan di perkebunan. 2. Sebagian besar penduduk di Desa Cisarua bekerja sebagai buruh di perkebunan. Hal ini menunjukkan semakin terbatasnya akses dan panguasaan atas lahan bagi penduduk. 3. Wilayah strategis di Desa Cisarua yang dapat dijadikan wilayah pertanian dikuasai oleh perkebunan sehingga membuat semakin terbatasnya akses dan penguasaan atas lahan bagi penduduk. 4. Desa ini merupakan desa terdekat dengan kantor salah satu perkebunan milik negara dan sudah dilalui jalan arteri dan angkutan umum sehingga tidak menyulitkan peneliti dalam melakukan penelitian. 5. Lahan kosong banyak yang berubah fungsi menjadi bentuk lain seperti pemukiman. 6. Di wilayah ini pernah terjadi gerakan petani dan hingga kini pun belum terselesaikan perkaranya. 7. Penduduk di desa ini dapat berbahasa Indonesia sehingga memudahkan peneliti dalam melakukan wawancara untuk menggali informasi dan mengumpulkan data. 8. Di desa ini terlihat jelas adanya sikap saling curiga antara penduduk dengan pihak perkebunan. Pengumpulan data sekunder penelitian dilaksanakan pada bulan Juli hingga Agustus Data primer penelitian telah dilakukan dalam kurun waktu 3 bulan, dimulai dari bulan Oktober 2010 hingga Januari 2011.

46 Teknik Pengumpulan Data Teknik pengumpulan data yang dilakukan peneliti dalam meneliti strategi perjuangan petani untuk mendapatkan akses dan penguasaan atas lahan ialah metode triangulasi. Metode ini digunakan untuk mendapatkan kombinasi data yang akurat. Dalam metode ini, data didapatkan melalui wawancara mendalam, studi literatur, dan observasi lapang. Observasi lapang dilakukan peneliti dengan melakukan pengamatan secara menyeluruh terkait kondisi faktual yang terjadi di Desa Cisarua. Jenis data yang digunakan dalam penelitian ini ialah data sekunder dan data primer. Data sekunder yang dikumpulkan melalui studi literatur dari data di Kantor Desa Cisarua ialah data mengenai kondisi wilayah desa dilihat dari segi geografis, demografis, profil desa, serta infrastruktur desa. Data primer diperoleh melalui pengamatan langsung di lokasi penelitian dimana dilakukan wawancara kepada responden dan informan yang mengacu kepada kuesioner dan panduan pertanyaan. Informan terdiri dari aparatur desa, pegawai perkebunan, dan aktor dalam perjuangan petani dalam mendapatkan akses atas lahan. Hal ini dilakukan agar data dan informasi yang didapat akurat. Data sudah mengalami kejenuhan setelah dilakukan wawancara mendalam terhadap 5 informan. Hasil wawancara mendalam kemudian direkam peneliti dalam catatan harian lapangan. Pemilihan responden dalam penelitian ini menggunakan metode accidental sample (convinience sampling) dengan populasi penelitian yaitu petani Desa Cisarua yang menggarap di lahan milik perkebunan blok 14, blok 15, dan blok 16 serta bertempat tinggal di RW 2, RW 3, dan RW 4. Responden dalam penelitian ini adalah petani kecil dan petani besar yang menggarap di lahan HGU milik perkebunan dengan jumlah responden sebanyak 34 orang. Kerangka sampling dalam penelitian ini berjumlah 760 KK yang bertempat tinggal di RW 2, RW 3, dan RW 4 Desa Cisarua, Kecamatan Sukaraja, Kabupaten Sukabumi. Seluruh kepala keluarga (KK) di ketiga RW tersebut bekerja sebagai petani, baik petani kecil maupun petani besar. Petani besar hanya berjumlah 3 orang saja dan sisanya merupakan petani kecil. Dalam penelitian ini, peneliti mengambil petani yang ditemui baik ketika berada di lahan perkebunan yang digarap oleh petani dan wilayah RW 2, RW 3, dan RW 4 untuk dijadikan responden.

47 Teknik Analisis Data Data mengenai strategi yang digunakan dalam perjuangan untuk mendapatkan akses dan penguasaan atas lahan, kondisi geografis desa, demografis, profil desa serta infrastruktur dipaparkan secara deskriptif. Data kualitatif yang diperoleh melalui wawancara mendalam dengan elite desa, tokoh masyarakat, responden, informan, dan observasi langsung disajikan dalam bentuk deskriptif. Analisis uji Korelasi Rank Spearman dilakukan untuk melihat hubungan antara tingkat pendidikan, pendapatan, pengalaman dan peran dalam organisasi, jumlah dan luas relasi dengan tingkat keterlibatan petani dalam memperjuangkan akses dan penguasaan atas lahan. Pengolahan data ini dilakukan menggunakan program komputer Ms. Excel 2007 dan SPSS 17 for windows.

48 BAB IV GAMBARAN UMUM LOKASI 4.1 Letak Geografis dan Keadaan Lingkungan Desa Cisarua adalah desa yang terletak di wilayah Kecamatan Sukaraja, Kabupaten Sukabumi. Desa ini memiliki luas wilayah sebesar ± 767,448 hektar dan terletak di lereng gunung Gede Pangrango. Secara geografis, Desa Cisarua dibatasi oleh Taman Nasional Gunung Pangrango di sebelah utara, Desa Limbangan di sebelah selatan, Desa Sukamekar di sebelah barat, dan Desa Langensari di sebelah timurnya. Bentangan wilayah Desa Cisarua terbagi menjadi wilayah berbukit, dataran tinggi, dan lereng gunung. Tingkat erosi di wilayah desa ini juga masih rendah. Berdasarkan data profil Desa Cisarua hanya 0,65 persen dari total luas wilayah yang berstatus erosi berat. Desa Cisarua terletak m di atas permukaan laut sehingga menyebabkan iklim di Desa Cisarua termasuk basah dengan jumlah bulan hujan 9 bulan dan curah hujan sebesar mm. Berdasarkan kegunaannya, tanah yang ada di desa ini terbagi menjadi tanah kering, tanah sawah, tanah perkebunan, tanah hutan dan untuk fasilitas umum. Luas penggunaan lahan di desa ini disajikan pada Tabel 1. Tabel 1. Luas Tanah Berdasarkan Kegunaan di Desa Cisarua Tahun 2008 No Kegunaan Luas (Ha) 1. Tanah sawah irigasi perdesaan 25,00 2. Tanah kering Tegal/ladang Pemukiman Pekarangan 3. Tanah perkebunan tanah perkebunan rakyat tanah perkebunan negara 310,89 15,75 22,25 20,00 82,03 4. Tanah hutan lindung 247,32 5. Tanah fasilitas umum 44,21 Jumlah 685,42 Sumber: Profil Desa Cisarua, Kabupaten Sukabumi Tahun 2008

49 33 Desa Cisarua merupakan salah satu desa di Kabupaten Sukabumi, namun letaknya dekat dengan Ibukota Kota Sukabumi. Akses untuk menuju ke kota Sukabumi juga sangat mudah. Terdapat 80 angkutan umum yang tersedia selama 24 jam. 4.2 Demografi Desa Penduduk Desa Cisarua sebagain besar merupakan etnis Sunda. Hal ini dipengaruhi oleh latar belakang datangnya penduduk di desa tersebut. Penduduk Desa Cisarua pada mulanya merupakan pekerja perkebunan yang khusus didatangkan dari Garut pada tahun Mereka didatangkan dari Garut untuk menjadi buruh di perkebunan. Hingga saat ini mereka secara turun menurun terus menetap dan berkembang di Desa Cisarua. Berdasarkan profil Desa Cisarua pada tahun 2008, total jumlah penduduk Desa Cisarua berdasarkan jenis kelamin dapat dibedakan menjadi laki-laki sebanyak orang dan perempuan sebanyak orang. Desa Cisarua memiliki 8 RW dan 30 RT dengan Kepala Keluarga dengan kepadatan penduduk sebesar 911 jiwa per km 2. Desa Cisarua memiliki total jumlah penduduk sebanyak 6994 orang dan 41,8 persen dari total jumlah penduduk hanya mengenyam pendidikan hingga jenjang SD/sederajat, lalu diikuti oleh SMA, SMP, D3, D1, S1, dan D2. Penduduk di Desa Cisarua ini pun mayoritas beragama islam dan hanya 0,1 persen dari total jumlah penduduk yang beragama kristen. Perbandingan persentasi jumlah etnis di Desa Cisarua dapat dilihat pada Tabel 2. Tabel 2. Persentasi Penduduk di Desa Cisarua Berdasarkan Etnis Tahun 2008 No Etnis Jumlah (orang) Persentasi (%) 1. Sunda ,42 2. Batak 26 0,37 3. Betawi 6 0,09 4. Jawa ,80 5. Ambon 4 0,06 6. Sumba 6 0,09 7. China 3 0,04 8. Arab 9 0,13 Total ,00 Sumber: Profil Desa Cisarua, Kabupaten Sukabumi Tahun 2008

50 Mata Pencaharian Penduduk Penduduk laki-laki di Desa Cisarua sebagian besar bermatapencaharian pokok sebagai buruh tani, karyawan perkebunan, petani, dan pedagang keliling. Penduduk perempuan, selain menjadi buruh tani dan karyawan perkebunan, banyak pula yang menjadi pembantu rumahtangga, pedagang keliling, dan petani. Jumlah dan jenis mata pencaharian pokok penduduk di desa ini disajikan dalam Tabel 3. Tabel 3. Jumlah dan Jenis Mata Pencaharian Pokok Penduduk Desa Cisarua Berdasarkan Jenis Kelamin Tahun 2008 No Jenis pekerjaan Laki-laki (orang) Perempuan (orang) 1. Petani Buruh tani Pedagang keliling Karyawan perkebunan Pegawai negeri sipil Pengrajin industri rumah tangga Pembantu rumah tangga Guru swasta Pensiunan PNS/TNI/POLRI Peternak TNI Montir Dukun kampung terlatih Pengusaha kecil dan menengah 4 0 Jumlah Sumber: Profil Desa Cisarua, Kabupaten Sukabumi Tahun 2008 Berdasarkan profil Desa Cisarua juga diketahui komoditi pertanian yang mayoritas dibudidayakan di Desa Cisarua ialah tomat, sawi, kubis, dan cabe. Pada sektor perkebunan diketahui bahwa terdapat 5 keluarga yang memiliki tanah perkebunan dengan luasan kurang dari 10 hektar. Pemasaran hasil pertanian di Desa Cisarua ada yang dijual melalui tengkulak, pengecer, serta langsung dijual

51 35 ke pasar. Pemasaran hasil perkebunan hanya dilakukan oleh tengkulak. Komoditi perkebunan yang dihasilkan di Desa Cisarua ialah teh. Penguasaan lahan di Desa Cisarua masih sangat minim, berdasarkan daftar isian tingkat perkembangan Desa Cisarua tahun 2008, dari orang yang telah berkeluarga, hanya orang yang memiliki aset tanah. Agar lebih jelasnya dapat dilihat di Tabel 4. Tabel 4. Jumlah dan Persentasi Petani Berdasarkan Penguasaan Aset Tanah Desa Cisarua Tahun 2008 No Luasan Aset Tanah (Ha) Jumlah (orang) Persentasi (%) 1. Memiliki tanah antara 0,1-0, ,77 2. Memiliki tanah antara 0,21-0,3 77 6,00 3. Memiliki tanah antara 0,31-0,4 39 3,03 4. Memiliki tanah antara 0,41-0,5 26 2,02 5. Memiliki tanah antara 0,51-0,6 16 1,25 6. Memiliki tanah antara 0,61-0,7 21 1,64 7. Memiliki tanah antara 0,71-0,8 6 0,47 8. Memiliki tanah antara 0,81-0,9 5 0,39 9. Memiliki tanah antara 0,91-1,0 5 0, Memiliki tanah antara 1,1-5,0 20 1, Memiliki tanah antara 5, , Memiliki tanah lebih dari ,16 Total ,00 Sumber: Profil Desa Cisarua, Kabupaten Sukabumi Tahun 2008 Petani di Desa Cisarua seluruhnya menggarap di lahan milik perkebunan. Hal ini disebabkan karena letak Desa Cisarua yang berada di sekitar wilayah perkebunan milik negara dan hutan lindung. Memiliki tanah bukan berarti petani mengolah di atas tanah yang dimiliki secara perseorangan dan bersertifikat. Namun kata memiliki pada Tabel 4. bermakna menggarap. Dari data di atas dapat dilihat bahwa 88,77 persen petani di Desa Cisarua hanya menggarap 0,1-0,3 hektar lahan. Petani tersebut masuk dalam kategori petani kecil. Petani sedang merupakan petani yang menggarap lahan dengan luas 0,31-1,00 hektar. Petani

52 36 yang masuk kategori sedang ada sekitar 9,19 persen dan hanya ada 2,04 persen petani yang masuk dalam kategori petani besar karena menggarap lahan dengan luasan lebih dari 1,1 hektar. 4.4 Sarana dan Prasarana Desa Cisarua merupakan desa kabupaten yang lokasinya berdekatan dengan kotamadya. Untuk mencapai desa ini terdapat 80 angkutan umum yang siap melayani selama 24 jam dan terdapat 60 ojek yang menghubungkan antar RW. Jalan-jalan di desa ini keadaannya berlubang dan becek. Hal ini dibuktikan melalui data desa bahwa hanya terdapat 3,6 km jalan dengan kondisi yang baik. Jalan yang dalam kondisi baik merupakan jalan kabupaten. Jalan desa dan jalan antar desa kondisinya rusak sepanjang 9,5 km dengan klasifikasi jalan makadam sepanjang 9 km dan jalan tanah sepanjang 0,5 km. Kondisi jalan yang rusak ini disebabkan oleh banyaknya truk pengangkut hasil perkebunan yang melewati jalan tersebut. Kondisi cuaca dengan curah hujan yang tinggi sehingga membuat kondisi jalan menjadi rentan rusak. Desa Cisarua memiliki sarana peribadatan 12 mesjid dan 87 musholla yang tersebar di 8 RW dan 30 RT. Untuk prasarana kesehatan, Desa Cisarua memiliki puskesmas pembantu, balai pengobatan, dan 8 posyandu yang tersebar di 8 RW. Sarana kesehatan yang dimiliki Desa Cisarua ialah 4 orang dukun bersalin terlatih. Sarana dan prasarana pendidikan di Desa Cisarua hanya tersedia hingga jenjang SD. Di desa ini terdapat 2 buah Sekolah Dasar Negeri, 2 buah Taman Kanak-kanak, serta 4 buah Pendidikan Anak Usia Dini. Tidak terdapat Sekolah Menengah Pertama di desa ini. 4.5 Sejarah Desa Cisarua Tahun 1920 Belanda membuka hutan untuk dijadikan perkebunan teh. Lalu pada tahun 1928 pabrik teh dibangun dan bibit teh didatangkan dari India. Untuk mengoperasikan perkebunan, dibutuhkan tenaga kerja. Untuk itulah pihak perkebunan mendatangkan buruh dari Garut menggunakan sistem bedol desa. Pada saat itu, Desa Cisarua masih merupakan bagian dari Desa Limbangan.

53 37 Penduduk yang didatangkan tersebut lalu menetap dan terus berkembang hingga saat ini dan merasa merupakan penduduk asli Desa Cisarua. Desa Cisarua baru dibentuk pada tahun 1979 atas usulan dari para tokoh masyarakat Dusun Cisarua, Dusun Cisarua Caringin, dan Dusun Nagrak. Adapun tokoh-tokoh masyarakat yang menjadi penggagas berdirinya Desa Cisarua ialah (Alm) M.Rachmat, Maksum Syah, Tjutju, Jaja, Sukardi, Halim, dan Junaini. Pada Maret 1979, Desa Cisarua berdiri dengan (Alm) Rachmat bertindak sebagai kepala desa. Kantor Desa Cisarua pertama kali menumpang di SD Inpres Cisarua. Lalu pada tahun 1980, dilakukan pembangunan kantor Desa Cisarua. Pembangunan kantor Desa Cisarua pada mulanya dilakukan di balai desa sebelah utara Goalpara. Namun karena letaknya dianggap kurang strategis, lahan tersebut lalu dijual. Hasil penjualan lahan tersebut lalu digunakan untuk membeli lahan yang lebih strategis yaitu ditempat saat ini kantor Desa Cisarua berdiri. Hingga tahun 2011, Desa Cisarua telah dipimpin oleh 4 kepala desa dan 2 penanggung jawab sementara (pjs). Adapun urutan kepemimpinan Desa Cisarua ialah: : (Alm) M. Rachmat : Maksum Syah (pjs) : Ace Sujatman : Asep (pjs) : (Alm) M. Rachmat : A. Malik Berdasarkan sejarah, perkebunan terbentuk terlebih dahulu daripada Desa Cisarua, maka program-program desa mengikuti program perkebunan. Namun ketika kepemimpinan A. Malik keadaan pemerintahan desa berubah. Berbagai program desa berdiri independen dan tidak lagi mengikuti program dari perkebunan dengan alasan bahwa wilayah perkebunan lah yang berada di dalam desa, bukan desa yang berada di dalam wilayah perkebunan.

54 BAB V STRATEGI PERJUANGAN PETANI DI DESA CISARUA DAN KEBERHASILANNYA 5.1 Petani dan Permasalahannya Petani di Desa Cisarua dibagi ke dalam 3 golongan, yaitu petani kecil, petani sedang, dan petani besar sebagaimana yang telah disebutkan di depan. Penelitian ini dilakukan di tiga RW dari delapan RW yang ada di Desa Cisarua, yaitu RW 2, RW 3, dan RW 4. Pada tahun 2003, dari tiga RW diperoleh data bahwa terdapat 760 petani yang menggarap di lahan perkebunan dengan pembagian sebagai berikut: (a) RW 2 sebanyak 350 orang, (b) RW 3 sebanyak 280 orang, dan (c) RW 4 sebanyak 130 orang. Petani dari ketiga RW diatas menggarap di tiga blok lahan milik perkebunan, yaitu blok 14, blok 15, dan blok 16 dengan pembagian sebagai berikut: (a) blok 14 seluas 30 hektar, (b) blok 15 seluas 38 hektar, dan (c) blok 16 seluas 25 hektar. Total luas lahan keseluruhan yang digarap oleh petani ialah 93 hektar namun hanya 82 hektar saja yang termasuk dalam wilayah Desa Cisarua. Dari 93 hektar lahan perkebunan dan 760 petani yang menggarap, maka rata-rata per petani menggarap sekitar 3 patok atau setara dengan 0,12 hektar. Seiring berjalannya waktu, ada petani yang kemudian mengambil alih lahan milik petani lain. Pengambilalihan ini tidak didaftarkan sebagai ganti nama sehingga terjadi perbedaan data baik secara de facto maupun de jure, sebagaimana yang terjadi pada blok 16. Pada awalnya lahan ini diolah oleh sekitar 208 orang petani. Namun saat ini, lahan pada blok 16 telah dikuasai oleh 4 petani besar namun yang bertempat tinggal di RW 2, RW 3, dan RW 4 hanya 3 orang saja. Berdasarkan sejarah, petani Desa Cisarua terbagi menjadi dua, yaitu petani asli yang merupakan petani yang berasal dari hasil bedol desa dari Garut dan petani pendatang yang berasal dari Lembang. Petani asli ini didatangkan pada tahun 1928 melalui program bedol desa ketika perkebunan mulai beroperasi dan mulai mendatangkan bibit tanaman teh dari India. Petani ini didatangkan untuk bekerja menjadi buruh di perkebunan. Petani pendatang masuk pada tahun 1990an ke Desa Cisarua dengan tujuan untuk bertani.

55 39 Petani asli hingga saat ini terus bertahan secara turun temurun menjadi buruh di perkebunan. Mereka menggantungkan hidupnya menjadi buruh perkebunan dengan gaji harian dan berharap akan naik pangkat. Selain itu, petani asli yang bekerja sebagai buruh perkebunan juga mengharapkan uang pensiun ketika mereka tua nanti. Petani pendatang yang datang dengan tujuan untuk bertani dan mendapatkan perkerjaan terus berupaya untuk mendapatkan lahan garapan. Setelah dilihat bahwa lahan yang memungkinkan untuk digarap hanyalah milik perkebunan dan lahan tersebut dalam keadaan terlantar, petani pendatang pun semakin berkeinginan untuk dapat mengakses lahan tersebut. Penduduk asli desa memaklumi keinginan para pendatang tersebut untuk dapat mengolah lahan perkebunan karena mereka tidak terikat pada masa lalu dengan pihak perkebunan. Hal ini seperti yang dinyatakan salah satu petani yang menjadi responden dalam penelitian ini. Mereka kan orang baru. Kalo kita mah segen. Ga enak. Orang tua kita juga kadang ada kerabatan ama orang-orang perkebunan itu. Meskipun terdapat luas total 600 hektar lahan perkebunan non-produktif dan dapat dimanfaatkan oleh petani, namun hanya sedikit lahan yang dapat dimanfaatkan sebagai lahan pertanian karena sebagian besar lahan merupakan tanah tegalan yang sulit air serta memiliki letak lahan yang jauh. Faktor tersebut membuat petani harus bersaing untuk mendapatkan lahan garapan yang ideal dan strategis. Persaingan yang ketat juga merupakan masalah yang dihadapi oleh petani. Ditambah dengan letak geografis Desa Cisarua, membuat lahan terkonsentrasi pada perkebunan dan hutan lindung sehingga lahan pertanian di Desa Cisarua semakin terbatas. Lahan perkebunan yang petani pendatang inginkan merupakan lahan perkebunan teh yang tanamannya telah tidak produktif. Lahan milik perkebunan yang tidak produktif ada sekitar 600 hektar. Sekitar tahun 1990an, perkebunan melakukan peremajaan tanaman teh. Tanaman yang dianggap sudah tidak produktif lagi dipangkas. Setelah melalui proses pemangkasan kemudian tanaman

56 40 tersebut dicabut hingga akar. Proses peremajaan kemudian dilanjutkan dengan penanaman bibit teh baru. Pada saat melakukan peremajaan tanaman teh yang non-produktif, perkebunan mengalami kesulitan ekonomi. Harga teh dunia mengalami penurunan yang kemudian mengakibatkan penurunan pendapatan bagi pihak perkebunan. Hal ini kemudian membuat pihak perkebunan tidak dapat melanjutkan peremajaan tanaman teh dan menelantarkan lahannya. Keadaan lahan yang terlantar dalam kondisi tanaman teh yang kering dan tidak terurus membuat petani pendatang yang menginginkan bertani sendiri tertarik untuk menggunakan lahan tersebut untuk budidaya tanaman holtikultura. Penduduk asli Desa Cisarua yang berprofesi sebagai buruh perkebunan mengetahui betul bahwa lahan HGU tidak dapat digarap oleh masyarakat. Berdasarkan hal inilah para buruh perkebunan memupuskan harapannya untuk bisa menggarap lahan perkebunan yang terlantar tersebut. Ketika pihak perkebunan yang mengetahui bahwa ada pihak yang ingin menggarap lahan HGU lalu mereka memanfaatkan situasi tersebut. Pihak perkebunan kemudian meminjamkan lahan tersebut kepada para mandor perkebunan. Tiap mandor mendapat masing-masing 2 hektar lahan namun lahan tersebut akan diambil kembali oleh perkebunan. Pada kenyataannya, lahan tersebut tidak digarap sendiri oleh para mandor karena mandor merasa tidak memiliki modal dan waktu untuk menggarap lahan yang diberikan perkebunan. Mandor pun memanfaatkan para petani yang menginginkan lahan tersebut. Mandor lalu memberikan lahan tersebut untuk digarap kepada petani dengan luas masing-masing sekitar 0,12 hektar atau setara dengan 3 patok. Lahan tersebut juga menjadi kompensasi kepada para buruh perkebunan yang bekerja mencabut akar tanaman teh namun upahnya belum dibayar. Hal inilah yang menjadi alasan awal mula buruh perkebunan dapat menggarap di lahan perkebunan. Tahun 1998 merupakan tahun dimana perkebunan berencana mengambil kembali lahan tersebut. Namun krisis moneter yang menimpa Indonesia membuat perkebunan tidak mampu menarik kembali lahan yang digarap oleh petani dan hingga saat ini lahan tersebut masih dapat diakses oleh petani.

57 41 Mandor mengizinkan petani yang hendak menggunakan lahan tersebut untuk dijadikan wilayah pertanian tanaman holtikultura dengan syarat petani sendiri yang membersihkan lahan tersebut dan petani membayar iuran kepada mandor sebagai pihak perkebunan. Iuran yang dibayar petani pada saat itu ialah sebesar Rp ,00 per patok. Upaya ini diindikasikan merupakan salah satu taktik yang digunakan perkebunan untuk melanjutkan pembersihan lahan nonproduktif dan sebagai salah satu cara untuk mendapatkan tambahan dana yang digunakan dalam pembayaran pajak kepada pemerintah pusat serta untuk biaya operasional yang tidak dibiayai oleh kantor pusat perkebunan. Sampai saat ini perkebunan tidak melakukan peminjaman lahan garapan secara langsung karena sesungguhnya lahan HGU yang diinginkan oleh petani tidak boleh digarapkan kepada petani umum. Hal inilah yang menjadi alasan mengapa mandor yang dijadikan perpanjangan tangan perkebunan. Mandor di sini selain bertugas untuk memungut iuran, ia juga bertugas untuk menjaga dan mengawasi lahan non-produktif yang digarap petani agar tidak berpindah tangan. Lahan yang boleh digarapkan pada petani hanyalah lamping-lamping yang umumnya memiliki letak yang jauh dan sulit air sehingga petani enggan menggarap di lahan lamping tersebut. Pihak perkebunan memiliki lahan yang dapat secara resmi digarap oleh masyarakat umum, yaitu lahan lamping yang umumnya memiliki letak yang jauh, berkontur ekstrim, dan sulit air. Agar dapat menggarap lahan lamping ini, dibutuhkan proses administrasi yang panjang dan membutuhkan biaya besar untuk mengurus perizinan. Untuk mendapatkan hak garap di lahan lamping tersebut juga membutuhkan proses yang rumit. Segala keperluan administrasi akan diolah di kantor pusat sehingga membutuhkan waktu yang lama dan modal yang besar. Hal ini semakin membuat petani menjadi enggan untuk menggarap tanah lamping dan mendapat tanah garapan secara resmi dari perkebunan. Mendapatkan lahan garapan dari mandor dan petani lain dianggap lebih mudah karena petani yang ingin menggarap hanya perlu melakukan kompromi dengan pihak yang bersangkutan. Besarnya luas lahan yang diberikan oleh mandor kepada petani didasarkan pada azas kepercayaan dan kuatnya ikatan dengan mandor. Tiap petani yang ingin menggarap lahan perkebunan pada

58 42 awalnya hanya diberi 3 patok atau setara dengan 0,12 hektar. Jika hasil panen memuaskan, mandor menjadi lebih percaya kepada petani tersebut sehingga ketika petani meminta penambahan luas lahan garapan, mandor memberikannya setahap demi setahap. Mandor pada saat itu sangat ditakuti dan disegani oleh petani karena mandor memegang kendali terhadap tanah garapan mereka. Jika petani tidak bersikap baik terhadap mandor, maka mandor dapat mengambil kembali lahan garapan dan membuat petani kehilangan pekerjaan. Iuran yang dibayar petani kepada mandor seharusnya hanya dilakukan setahun sekali. Namun pada kenyataannya, petani harus membayar sekitar 3-4 kali pertahun tergantung kepada masa panen yang dilakukan petani karena mandor biasanya datang ketika petani sedang melakukan panen. Terdapat beberapa masalah yang dialami oleh petani yang mempengaruhi pemilihan strategi yang digunakan petani untuk mendapatkan akses dan penguasaan atas lahan, seperti: (a) modal dan administrasi yang panjang dalam mengurus tanah garapan secara legal, (b) keterbatasan lahan strategis yang terbatas, (c) keberpihakan pemerintah desa kepada petani besar, (d) rendahnya solidaritas antar petani, (e) kecemburuan sosial, dan (f) ketidakmampuan melawan penguasa. Berdasarkan pernyataan dari para responden dan informan didapat bahwa masalah utama yang dihadapi oleh petani dalam mendapatkan akses dan penguasaan atas lahan ialah modal. Diakui oleh petani di Desa Cisarua, jika modal cukup, maka akan mudah bagi petani dalam mengakses dan mengolah lahan. Karena modal di sini dibutuhkan untuk mengurus izin penggunaan lahan serta untuk penyediaan sarana dan prasarana produksi. Modal juga diperlukan dalam memperluas lahan garapan dengan cara membeli lahan garapan petani lain yang ada disekitarnya, seperti yang dilakukan beberapa petani yang saat ini menjadi petani besar di Desa Cisarua. Pada awalnya seluruh petani mendapatkan lahan dengan luas yang merata yaitu sekitar 0,12-0,16 hektar. Dengan modal yang cukup, petani tersebut lalu membeli hak garap petani-petani yang lain. Hak garap dibeli dengan harga yang murah yaitu sekitar Rp ,00. Selain itu, petani besar juga menggunakan

59 43 cara pemberian hutang yang kemudian dapat membelit petani kecil. Jika mempunyai modal, maka banyak hal yang tidak mungkin, menjadi mungkin untuk dilakukan. Seperti yang dialami oleh seorang perempuan di Desa Cisarua yang baru pulang dari menjadi TKI di Arab. Dengan memiliki modal yang diperoleh dari menabung selama berkerja di Arab, ia dapat memperoleh hak garap sebesar 8 petak atas namanya sendiri. Pengurusan hak garap atas nama sesuai penggarap sendiri tidaklah mudah untuk dilakukan. Petani harus mengurus berbagai administrasi dengan pihak perkebunan hingga ke kantor pusat yang terletak di Bandung. Dibutuhkan waktu yang panjang serta pemenuhan syarat-syarat tertentu untuk memperoleh izin penggarapan lahan perkebunan karena lahan HGU yang produktif tidak boleh digarap oleh masyarakat. Kerumitan administrasi seperti ini membuat petani enggan untuk mengurus hak garap dan lebih memilih untuk menjadi buruh di perkebunan dengan harapan akan naik pangkat dan mendapat uang pensiun atau menggarap lahan bekas orang lain. Meskipun pihak perkebunan mengizinkan lahan non-produktifnya diolah oleh petani, namun hal ini tidak dibuka kepada umum. Pihak-pihak tertentu saja lah yang dapat mengakses kebijakan perkebunan ini. Pihak-pihak yang dapat mengakses ialah pihak yang dapat memenuhi syarat yang diajukan perkebunan, memiliki akses untuk melakukan negosiasi dengan pihak perkebunan seperti memiliki relasi dan modal. Jika pihak yang dianggap asing mengajukan permohonan hak garap, maka pihak perkebunan akan mengelak dan menyatakan bahwa lahan perkebunan tidak diizinkan untuk digarap oleh petani atau pun orang luar karena merupakan HGU milik perkebunan. Petani yang telah mendapat hak garap pun diperingatkan oleh para mandor untuk tidak memberi informasi kepada pihak luar mengenai penggarapan lahan perkebunan ini. Masalah lain yang dirasakan oleh petani ialah keberpihakan pemerintah desa. Hal ini telah dirasakan oleh petani Desa Cisarua yang menjadi responden dan informan penelitian ini. Petani merasa pemerintah desa hanya menguntungkan satu pihak saja, yaitu para petani besar. Keberpihakan pemerintah desa kepada petani besar ditunjukkan melalui manipulasi data pengolah lahan perkebunan. Pemerintah desa menggunakan KTP dari petani-petani di Desa Cisarua yang

60 44 kemudian didaftarkan sebagai penggarap di lahan perkebunan. Namun pada kenyataannya, lahan tersebut hanya diolah oleh petani besar. Selain itu, pemerintah desa juga tidak melakukan tindakan apapun ketika salah satu lahan petani kecil diambil alih kembali oleh pihak perkebunan. Sedangkan ketika lahan petani besar ingin diambil alih, pemerintah melakukan pembelaan agar lahan tersebut tidak jadi diambil alih oleh pihak perkebunan. Saat ini petani tidak melakukan aksi protes dan hanya memendam kekecewaan terhadap pemerintah desa yang dianggap pilih kasih. Konflik yang terjadi pada petani desa saat ini ialah konflik laten dimana petani hanya memendam dan memegang prinsip azas tahu sama tahu terhadap kekacauan yang terjadi pada pemerintahan desa. Jika hal ini terus dibiarkan, dikhawatirkan dapat memicu terjadinya konflik terbuka. Pemerintah desa dalam hal ini menjadi pihak ketiga dalam perjuangan yang dilakukan oleh petani. Jika dilihat dari sudut pandang perkebunan, pemerintah desa menjadi pihak yang membantu petani untuk mendapatkan serta mempertahankan lahan garapan petani. Namun jika dilihat dari sudut pandang petani kecil, pemerintah desa hanya berpihak dan membantu petani besar sehingga terjadi ketimpangan dalam hak akses lahan di Desa Cisarua. Keadaan Desa Cisarua sesuai dengan salah satu poin yang diungkapkan Scott (1993), dimana petani tidak dapat melakukan perlawanan kolektif yang disebabkan oleh rasa takut terhadap pembalasan atau penahanan sehingga petani lebih memilih bersikap rendah hati. Petani di Desa Cisarua telah melihat penahanan yang dilakukan oleh pihak kepolisian kepada warga di desa tetangga yang melakukan aksi demo dalam rangka memperjuangkan akses dan penguasaan atas lahan perkebunan. Hal ini membuat petani Desa Cisarua menjadi takut untuk melakukan aksi kekerasan. Petani kecil yang merasa tak mampu dan berdaya mengubah aturan-aturan di Desa Cisarua ini tak memiliki pilihan lain selain menerima dan menyesuaikan diri dengan keadaan yang ada. Petani kecil merasa tidak mampu jika harus melawan para petani besar. Petani tidak melakukan aksi untuk memperbaiki nasibnya karena petani merasa suaranya tidak akan didengar baik oleh pihak perkebunan maupun pemerintah. Untuk menyatukan pendapat di Desa Cisarua sangat sulit sekali

61 45 karena terjadi kecemburuan sosial antar petani. Kecemburuan sosial ini diakibatkan karena pandangan petani kepada pemerintah desa yang pilih kasih. Hal ini mengakibatkan petani sulit untuk merumuskan pendapat bersama. Hal ini seperti yang dikatakan oleh AM, salah satu responden dalam penelitian ini ketika ditanyai mengenai hal yang dilakukan pemerintah untuk para petani: Boong aja itu neng. Cuma janji-janji pemilihan kemaren aja. Ujung-ujungnya yang dibantu ya mereka-mereka (petani besar) lagi. Petani kecil kayak kita mah ya ga dapet apa-apa. Pasrah aja. Ga akan didenger neng. Adanya pembagian kelas-kelas seperti petani kecil dan petani besar membuat adanya jarak sosial di Desa Cisarua. Petani kecil tidak berani melawan petani besar karena petani kecil merasa membutuhkan petani besar. Keadaan seperti ini membuat petani tidak berani mengeluarkan aspirasinya. Dengan adanya persaingan antar petani kecil pun, membuat para petani kecil tidak memiliki ikatan yang kuat satu sama lainnya. Persaingan dilakukan dalam hal pertanian dimana petani kecil sama-sama berlomba untuk mendapatkan hasil panen yang baik. Mereka setiap hari disibukkan dengan rutinitas pertanian sehingga tidak mementingkan petani yang lain dan cenderung memandang petani kecil lain merupakan saingan mereka. Prasangka-prasangka yang ada makin memperburuk hubungan petani satu dengan yang lainnya sehingga sulit untuk menyatukan pendapat. Prasangka yang timbul di Desa Cisarua tidak hanya terjadi diantara petani kecil dengan petani besar saja. Prasangka juga terjadi antara petani kecil dengan petani kecil serta antara petani kecil dengan pemerintah desa. Prasangka yang terjadi antara petani kecil dengan petani kecil cenderung terjadi akibat persaingan untuk mendapatkan hasil panen yang berlimpah. Masing-masing individu petani kecil berupaya untuk memaksimalkan hasil panen. Tidak adanya komunikasi dan kerjasama untuk memaksimalkan hasil panen bersama menimbul prasangkaprasangka negatif kepada petani kecil lainnya yang dapat memperoleh hasil panen yang bagus. Petani kecil menuduh petani kecil yang lain menggunakan cara-cara negatif sehingga dapat memperoleh hasil panen yang baik. Seperti yang

62 46 dinyatakan M, salah satu petani ketika ditanyakan mengenai hubungan dengan petani kecil lain: Ya biasa aja neng. Tapi yah mereka itu cuma mau bantu petani yang sodaranya aja. Kalo enggak, ya ga akan dibantu. Dia purapura ga tau aja. Padahal mah dia punya obat rahasia buat nyembuhin penyakit tanemannya. Satu sisi, petani kecil ingin mendapatkan keadilan. Namun disisi lain ada tekanan bahwa petani kecil membutuhkan petani besar untuk kelangsungan hidupnya. Bagaimana pun juga, petani kecil merasa dengan adanya petani besar, petani kecil sedikit banyak terbantu karena petani besar bisa menjadi tempat para petani kecil meminjam uang sewaktu-waktu baik untuk modal pertanian, keperluan anak sekolah, hingga modal untuk membangun rumah. Hal ini membuat petani kecil memiliki rasa utang budi dan ketergantungan kepada petani besar. Tidak seperti bank yang letaknya jauh serta membutuhkan proses administrasi dan waktu yang cukup lama serta rumit. Hal ini diperkuat dengan pernyataan S, salah satu petani yang menjadi responden dalam penelitian ini: Kita malah terbantu dengan adanya mereka (petani besar). Kalau butuh apa-apa bisa langsung ke mereka juga. Petani kecil tidak menyadari resiko yang ditimbulkan dengan meminjam uang kepada petani besar, yaitu hutang yang terus melilit hingga berakibat pada pengambilan lahan garapan petani kecil dengan alasan untuk mengembalikan hutang-hutang yang ada. Pemberian hutang kepada petani kecil pada dasarnya merupakan salah satu cara petani besar untuk memperluas lahan garapannya. Jika petani kecil melawan petani besar, maka ia akan ditandai dan ketika ia sedang mengalami kesulitan dan membutuhkan bantuan, petani besar enggan untuk menolongnya. Oleh karena itu, petani kecil hanya bisa pasrah dengan keadaan yang ada dan berusaha tidak membuat permasalahan agar kelangsungan hidupnya juga tidak terganggu. Penduduk asli Desa Cisarua tidak terlalu menyadari bahwa pengambilan lahan garapan oleh petani merupakan suatu masalah yang besar. Hal ini disebabkan oleh latar belakang para petani asli merupakan buruh perkebunan. Mereka tidak terlalu menginginkan lahan garapan untuk bertani karena menurut

63 47 mereka, bertani menghabiskan banyak waktu, tenaga, dan biaya. Jika menjadi buruh perkebunan, mereka tidak membutuhkan modal. Hanya tenaga dan sedikit waktu serta tidak menghadapi resiko rugi jika mengalami gagal panen. Hal ini seperti yang dinyatakan oleh I, sebagai salah satu responden dalam penelitian ini: Kalo lahannya diambil ama petani besar ya mau gimana lagi. Kita ga punya uang buat bayar utang. Kita kan bisa jadi buruh kebun lagi aja neng. Petani Desa Cisarua tidak melakukan upaya untuk mendapatkan akses dan penguasaan atas lahan dengan tindak kekerasan, demo, ataupun reclaiming (ambil paksa) karena petani tahu bahwa lahan yang mereka inginkan merupakan lahan yang legal secara hukum merupakan HGU milik perkebunan dan masih berlaku. Oleh karena itu, upaya yang dilakukan petani melalui kompromi hanya bertujuan untuk mendapatkan akses terhadap lahan HGU perkebunan non-produktif, bukan untuk menguasai atau memiliki lahan tersebut. Didukung dengan pandangan petani bahwa kekerasan tidak akan menyelesaikan masalah serta akan makin mempersulit keadaan kaum kecil seperti yang dinyatakan oleh petani kecil sebagai responden dalam penelitian ini, kompromi dianggap merupakan jalan yang lebih baik dibanding dengan melakukan aksi kekerasan serta perlawanan untuk mendapatkan akses dan penguasaan atas lahan. Petani enggan untuk mengikuti apa yang dilakukan oleh desa tetangga yang dianggap salah. Petani juga merasa tidak akan mampu untuk melawan rezim kekuasaan perkebunan dan pemerintah. Hal ini sesuai dengan yang dinyatakan oleh Popkin (1979) bahwa cara-cara perlawanan dianggap tidak akan bisa menyelesaikan masalah, masih ada cara lain yang dinilai lebih baik seperti kompromi yang diperhitungkan lebih menguntungkan. Adapun hal-hal yang melatarbelakangi upaya petani untuk mendapatkan akses atas lahan perkebunan di Desa Cisarua, Kabupaten Sukabumi ialah: (1) keinginan petani untuk menanam tanaman holtikultura untuk memenuhi kebutuhan hidup dan untuk tambahan gaji, (2) keadaan lahan strategis yang terbatas, (3) lahan strategis di Desa Cisarua merupakan lahan HGU milik

64 48 perkebunan, (4) lahan HGU yang diinginkan petani untuk dijadikan lahan garapan dalam keadaan tidak terawat. 5.2 Strategi Perjuangan Petani Desa Cisarua Desa Cisarua merupakan salah satu desa di Kabupaten Sukabumi yang didalamnya terdapat areal perkebunan milik negara dan berdekatan dengan kawasan hutan lindung. Hal ini membuat lahan-lahan di Desa Cisarua dikuasai oleh pihak perkebunan dan hutan lindung sehingga petani mengalami ketiadaan akses dan penguasaan lahan untuk pertanian. Pada tahun 1990an, pihak perkebunan mengalami permasalahan ekonomi yang menyebabkan beberapa lahan milik perkebunan menjadi tidak terurus dan terlantar. Keadaan lahan yang terlantar inilah yang kemudian mendorong petani berani melakukan upaya untuk mendapatkan akses terhadap lahan tersebut. Petani di Desa Cisarua melakukan upaya mendapatkan lahan perkebunan dengan melakukan perlawanan yang oleh Scott (1981) disebut sebagai bentuk perlawanan Gaya Asia. Dalam penelitian ini, Gaya Asia yang diungkapkan Scott hanya digunakan sebagai rujukan dalam pola perjuangan namun tidak merujuk kepada pertimbangan keharmonisan dan moral kebersamaan dalam melakukan perjuangan. Pola perjuangan yang dilakukan petani di Desa Cisarua termasuk dalam pola perjuangan Gaya Asia karena dalam melakukan perjuangan, petani di Desa Cisarua: (a) tidak memiliki organisasi formal, (b) melakukan perjuangan kecil secara sembunyi-sembunyi dengan berpura-pura bodoh, dan (c) perjuangan yang dilakukan petani tidak membutuhkan koordinasi. Petani di Desa Cisarua tidak memiliki organisasi formal. Organisasi yang ada di desa ini dipimpin oleh HO. Seluruh warga desa mengetahui bahwa HO adalah pemimpin mereka. HO merupakan warga asal Lembang, Jawa Barat. Pada awalnya ia hanyalah seorang supir truk pengantar pupuk ke wilayah Desa Cisarua. Karena sering datang ke desa ini, ia melihat banyak lahan kosong yang tidak termanfaatkan serta lahan milik perkebunan yang tidak terawat. Lalu ia menyewa lahan dan mencoba bertani di Desa Cisarua. Ternyata, panen perdana yang dilakukan HO berhasil.

65 49 Merasa puas dan berhasil akan hasil panennya, HO lalu mengajak keluarganya dari Lembang untuk membantunya bercocok tanam. Sesuai dengan sifat dasar petani yaitu manusia yang rasional, kreatif, dan juga ingin menjadi kaya seperti yang dikatakan oleh Popkin (1979), HO lalu memperluas sedikit demi sedikit lahan pertaniannya hingga saat ini HO menggarap total luas lahan 15 hektar termasuk lahan milik perkebunan seluas 10 hektar dan tanah milik desa 5 hektar. Melihat keberhasilan HO dan keluarganya, banyak tetangga HO di Lembang tertarik dan ikut merantau ke Desa Cisarua. Mereka lalu menjadi buruh di lahan pertanian HO hingga kini. Ada pula sistem plasma yang dilakukan oleh AA, adik HO kepada 15 orang. Para juragan ini mengembangkan sebuah sistem yang dinamai plasma yang sesungguhnya merupakan ikatan patron klien. Sistem plasma ini dimana juragan meminjamkan berbagai sarana dan produksi tanaman serta lahan yang akan dikerjakan oleh anggota plasma. Jika panen, anggota plasma tersebut membayar kepada juragan sejumlah yang ia gunakan. Jika anggota tidak dapat membayar hutangnya, maka hutang tersebut akan masuk ke tagihan panen yang akan datang. Dengan sistem seperti ini membuat suatu pola yang mengikat anggota plasma kepada juragan. Sistem yang diterapkan oleh juragan ini lambat laun membuat anggota plasma makin terjerat hutang dan membuat anggota plasma menjadikan dirinya buruh gratis secara tidak langsung karena segala hasil panen disetorkan kepada juragan untuk membayar hutang. Hasil panen anggota plasma sering kali dihargai lebih rendah dari pasaran hal ini membuat hutang anggota plasma makin lama makin menumpuk. Anggota plasma tidak memiliki hak untuk menentukan jenis tanaman yang akan ditanam, merek benih yang akan dipakai, pupuk yang akan dipakai, dan berbagai sarana dan prasarana yang akan digunakan selama proses produksi. Segala hal yang akan digunakan ditentukan dan disediakan oleh juragan. Saat ini, juragan telah menguasai 25 hektar lahan milik perkebunan. Lahan ini dijadikan lahan pertanian tanaman holtikultura dengan komoditi berupa tomat, sawi, dan cabe. Tidak mudah bagi juragan untuk mendapatkan lahan garapan seluas ini. Lahan yang pertama kali diolah oleh juragan merupakan area bekas

66 50 penebangan tanaman teh yang sudah tidak produktif. Juragan diperbolehkan menggarap di lahan tersebut karena pihak perkebunan tidak mempunyai cukup dana untuk membongkar akar teh sehingga pihak perkebunan mencari cara agar lahan tersebut bersih dari akar teh namun tidak mengeluarkan uang. Lalu pihak perkebunan mengijinkan petani untuk bertani di lahan tersebut dengan harapan 5 tahun lagi lahan tersebut akan diambil kembali oleh perkebunan untuk ditanami teh lagi. Ketika tahun 1998 dan pihak perkebunan ingin menarik lembali lahan tersebut, masalah ekonomi kembali melanda, yaitu krisis moneter. Pihak perkebunan pun mengurungkan niatnya untuk mengambil kembali tanah tersebut dan menanamnya kembali sehingga petani masih bisa menggunakan lahan tersebut untuk bercocok tanam. Hasil panen yang diperoleh juragan meningkat tiap musim panen. Hal ini membuat pendapatan juragan semakin banyak. Dengan uang itu, juragan terus memperluas daerah garapannya dengan mengambil lahan garapan petani yang kehabisan modal. Sesuai dengan sifat manusia yang ingin menjadi kaya menurut Popkin, keinginan juragan untuk memperluas area pertaniannya pun semakin kuat. Keinginannya untuk memperluas lahan garapan terhalangi oleh kebijakan pemerintah desa pada saat itu. Kepala desa tidak menyetujui upaya juragan untuk menambah lahan garapan. Saat itu, prinsip pemerintahan desa ialah program desa mengikuti program perkebunan. Hal ini terjadi karena berdasarkan sejarah, Desa Cisarua berdiri karena adanya perkebunan terlebih dahulu. Pada tahun 1995, terjadi pemilihan kepala desa untuk yang keempat kalinya. Juragan ingin memanfaatkan kesempatan politik ini agar niatnya untuk mempertahankan dan memperluas lahan pertanian bisa terwujud. Ia lalu mencalonkan A sebagai kepala desa untuk menyaingi kepala desa yang lama dalam pencalonan menjadi kepala desa periode Juragan mendukung secara penuh kebutuhan dalam pencalonan menjadi kepala desa terutama dalam hal kebutuhan materi. Ketika kepala desa A terpilih menjadi kepala desa yang baru, prinsip pemerintahan desa pun berubah. Programprogram desa tidak lagi mengikuti program perkebunan. Saat ini desa berusaha menjadi pihak yang otonom. Malah terkesan, hubungan antara pemerintahan desa

67 51 dengan pihak perkebunan kurang akur. Hal ini terlihat dari penjelasan Kepala Desa: Pimpinan perkebunan suka ngerasa dirinya bupati. Padahalkan perkebunan ada di dalam desa. Bukan desa yang ada didalam perkebunan. Tapi mereka suka bikin aturan sendiri yang tidak mengikuti aturan desa. Dukungan pemerintahan desa kepada juragan semakin terlihat pada saat pihak perkebunan mengumpulkan petani yang menggarap di lahan perkebunan. Perkebunan berniat mengganti komoditas yang ditanam oleh petani menjadi rumput untuk pakan ternak. Perkebunan menawarkan pembangunan kandang sapi dan uang sebesar Rp ,00 per ekor sapi bagi petani yang bersedia menyerahkan tanahnya kembali kepada perkebunan. Pemerintah desa menolak program yang ditawarkan oleh perkebunan dengan alasan jika komoditi yang ditanam diganti dengan rumput, maka PAD (Pendapatan Asli Daerah) menurun. Pemerintah desa juga tidak percaya bahwa pihak perkebunan dapat memenuhi PAD awal desa seperti ketika ditanami oleh tanaman holtikultura. Selain PAD menurun, penduduk desa nanti semakin banyak yang menganggur karena pemeliharaan rumput tidak membutuhkan tenaga kerja yang banyak seperti jika menanam tanaman holtikultura. Rapat yang melibatkan pihak pemerintah, petani, dan perkebunan ini berlangsung sebanyak 3 kali hingga dicapai keputusan bahwa lahan tersebut tetap diolah oleh petani. Keputusan seperti ini tidak akan terjadi ketika masa pemerintahan desa yang lalu. Dengan dukungan modal yang cukup, juragan memiliki kekuatan untuk mengambil alih tanah-tanah garapan petani yang lain hingga saat ini juragan telah menguasai 25 hektar lahan perkebunan dan 10 hektar tanah bengkok desa dengan pendapatan perbulan mencapai Rp ,00. Pengambilalihan lahan juga dapat terlaksana karena juragan memiliki relasi yang dapat menghubungkan dengan pimpinan perkebunan. Petani-petani yang menggarap lahan perkebunan merupakan pendatang dari Lembang. Namun, karena tidak memiliki modal dan relasi, mereka hanya dapat menjadi buruh dan petani kecil yang terikat dengan juragan. Pada awalnya petani pendatang datang dengan tujuan agar bisa mengikuti jejak para juragan

68 52 yang berjumlah 3 orang agar dapat bertani secara mandiri. Namun karena kurangnya modal dan relasi, mereka tidak bisa bertani secara mandiri. Modal paspasan yang dimiliki oleh pendatang membuat mereka mudah sekali terjerat hutang ketika mengalami sedikit kesalahan selama proses produksi. Bentuk perlawanan kecil yang dilakukan di Desa Cisarua ialah memperluas lahan garapan secara diam-diam dengan koordinasi yang dilakukan hanya berdasarkan azas asal sama tahu saja. Organisasi yang anonim, bersifat nonformal melalui koordinasi asal sama tahu saja, dengan bentuk perlawanan kecil dan sembunyi-sembunyi yang dilakukan setiap hari oleh petani Desa Cisarua dengan penuh kesabaran dan kehati-hatian serta berpura-pura bodoh dengan berpura-pura tidak mengetahui bahwa lahan yang mereka garap merupakan tanah HGU yang tidak boleh digarap oleh petani. Seperti yang dinyatakan AM, pada jaman dulu, mandor merupakan orang yang ditakuti karena ia mempunyai kuasa untuk menarik kembali tanah yang digarap oleh petani. Bentuk perlawanan kecil dapat tergambar dari hal yang dilakukan oleh AM untuk mendapatkan lahan. Dari pernyataan di bawah dapat dilihat bahwa petani melakukan upaya secara diam-diam dan hati-hati dalam memperluas lahan garapannya. Pada awalnya, lahan yang digarap hanyalah 3 patok, lalu meluas hingga 2 hektar atau setara dengan 50 patok. Perluasan lahan yang dilakukan petani secara sembunyisembunyi agar tidak diketahui oleh mandor. Namun jika mandor mengetahui perluasan lahan yang dilakukan oleh petani, petani kemudian berpura-pura bodoh dan mencari alasan agar tetap diperbolehkan menggarap di lahan tersebut. Petani melakukan kompromi dengan mandor yang kemudian berujung pada pembayaran sewa seluas lahan yang digarap. Hal ini sesuai dengan yang dikatakan AM, sebagai salah satu responden dalam penelitian ini: Saya mah dateng kesini umur 13 tahun. Niatnya mah mau bantu-bantu di kebun juragan. Tapi karena saya masi kecil, kata juragan saya ga mungkin kuat ngangkat drum yang gede-gede. Jadi saya ga bisa kerja disitu neng. Tapi karena saya pengen kerja, saya ga mau pulang ke lembang. Terus saya temenan ama mandor. Si mandor nawarin saya ngegarap 3 patok, tapi bayar. Ya saya mau aja, dari pada mubazir. Orang niat saya kesinikan mau kerja. Namanya juga manusia

69 53 ya neng, petani, ya saya perluas sendiri, dikit-dikit. Awalnya 3 patok, jadi 2 hektar. Selain itu, ada pula petani yang mengaku pada awalnya hanya menggarap lahan sebesar 10x10 m dan tidak membayar uang sewa. Lalu ia menambah sedikit demi sedikit hingga mencapai luas 0,12 hektar. Dengan semakin bertambahnya luas lahan garapannya, mandor menjadi sadar dan menegur petani tersebut. Petani ini juga berpura-pura bodoh jika ada mandor yang memergoki mereka menggarap lahan perkebunan. Petani berpura-pura tidak mengetahui bahwa lahan yang ia garap ialah lahan HGU perkebunan. Jika telah ketahuan seperti ini, maka petani melakukan negosiasi dengan mandor agar ia tidak diusir dari lahan tersebut. Setelah negosiasi didapatlah kesepakatan bahwa petani akan membayar uang sewa kepada mandor. Berhubung tanah tersebut belum digunakan oleh pihak perkebunan, maka mandor pun setuju. Berdasarkan perjuangan yang dilakukan oleh petani di Desa Cisarua, jika dilihat berdasarkan pemikiran Scott, sifat strategi perjuangan yang dilakukan oleh petani di Desa Cisarua ialah Perlawanan insidental karena ditandai oleh: (a) tidak terorganisasi, tidak sistematis, dan individual, (b) bersifat untung-untungan dan pamrih, (c) tidak mempunyai akibat-akibat revolusioner, dan (d) dalam maksud dan logika mengandung arti penyesuaian dengan sistem dominan yang ada. Jelas terlihat di sini bahwa perjuangan yang dilakukan oleh petani ialah bersifat individual. Petani tidak melakukan perjuangan secara kolektif. Petani yang ingin menggarap lahan perkebunan melakukan upaya seorang diri agar keinginannya tersebut berhasil. Perjuangan yang dilakukan petani juga tidaklah sistematis dan tidak terorganisasi secara formal, hanya bergantung pada kesempatan yang terbuka. Segala bentuk perjuangan yang dilakukan oleh petani juga tidak memiliki dampak revolusioner karena tidak ada bentuk-bentuk aktivitas yang dilakukan petani dapat mengubah sistem secara cepat dan berdampak luas. Tidak ada perubahan-perubahan besar yang terjadi setelah perjuangan petani dilakukan, baik bagi pihak pemerintah, perkebunan, maupun petani itu sendiri. Perjuangan yang dilakukan oleh petani di Desa Cisarua juga bersifat untung-untungan dan pamrih dimana petani melakukan perjuangan dengan tujuan

70 54 untuk mendapat keuntungan pribadi. Namun jika setelah melakukan perjuangan ia tetap tidak mendapatkan lahan, mereka tidak melakukan tindak lanjut lagi. Dalam kata lain, jika setelah melakukan perjuangan ia mendapatkan lahan maka syukur. Namun jika tidak mendapatkan lahan, ya mau bagaimana lagi. Petani menyadari bahwa kapasitasnya tidak memungkinkan jika dibandingkan dengan petani-petani besar baik dari segi modal maupun relasi. Petani hanya bisa memaklumi dan pasrah terhadap apa yang terjadi. Jalan lain jika ia tidak mendapatkan lahan, maka ia akan menjadi buruh tani saja dan berbesar hati bahwa inilah jalan hidup mereka dan tidak berfikir untuk mendapatkan yang lebih. Dari hal ini juga dapat dilihat bahwa petani, baik petani besar dan petani kecil melakukan perjuangan tanpa maksud untuk menentang sistem dominan yang ada. Petani besar melakukan perjuangan dengan meminta langsung kepada pihak perkebunan, tanpa maksud untuk menentang kebijakan dari perkebunan. Karena pada dasarnya perkebunan telah memiliki program menggarapkan lahannya yang belum produktif namun hanya untuk pegawai perkebunan saja. Petani besar kemudian melakukan negosiasi dengan pihak perkebunan yang kemudian mengizinkan petani besar mengolah lahan tersebut dengan perjanjian-perjanjian tertentu. Petani kecil juga tidak melakukan penentangan terhadap kekuasaan petani besar. Dalam hal ini, baik pihak perkebunan maupun pihak petani samasama melakukan penyesuaian demi tercapainya tujuan bersama. Sesuai dengan yang dinyatakan oleh Ecstein (1989) dalam Mustain (2007) bahwa petani lebih menyukai bentuk perlawanan secara diam-diam atau terselubung dibanding dengan secara terang-terangan terjadi di Desa Cisarua. Petani Desa Cisarua mengatakan bahwa kekerasan tidak diperlukan dalam perjuangan untuk mendapatkan lahan karena kekerasan tidak akan memecahkan masalah yang ada, namun akan membuat keadaan semakin kacau. Petani juga mengalami kekhawatiran akan dipenjara jika melawan pihak perkebunan seperti yang terjadi di desa tetangga karena petani tahu betul tanah tersebut merupakan tanah HGU milik perkebunan. Dengan adanya pandangan seperti itu, maka petani di Desa Cisarua tidak melakukan penggalangan massa untuk mendapatkan lahan garapan dari pihak perkebunan.

71 55 Bentuk perjuangan petani di Desa Cisarua, jika dilihat dari Sitorus (2006) maka termasuk dalam tipe perjuangan kultivasi. Satu sisi, tanah secara faktual ditanami atau diusahakan oleh penduduk tapi di sisi lain tanah juga masih diklaim dan juga secara faktual dikelola sebagai bagian dari perkebunan. Secara garis besar, runutan bentuk strategi yang dilakukan petani Desa Cisarua untuk mendapatkan lahan ialah: (1) menyewa lahan garapan kepada mandor, (2) memperluas lahan garapan secara diam-diam dan sedikit demi sedikit, dan (3) petani besar terus memperluas lahan dengan mengambil lahan garapan petani kecil lainnya. Petani yang tidak memiliki cukup modal, lalu menjadi buruh perkebunan. Petani besar dapat mengolah lahan yang lebih luas disebabkan karena petani besar memiliki modal dan relasi yang dapat menghubungkan petani dengan pihak perkebunan. Semakin banyak, kuat, dan strategis jabatan relasi yang dimiliki petani maka semakin besar dan mudah peluang petani mendapatkan lahan perkebunan. Pihak perkebunan mengaku bahwa mereka mempunyai perjanjian dengan petani-petani yang secara resmi terdaftar sebagai penggarap lahan. Surat perjanjian hanya dipegang dan disimpan oleh pihak perkebunan dengan alasan jika diberikan kepada petani, pihak perkebunan khawatir surat tersebut diperjualbelikan atau disalahgunakan. Salah satu isi dalam perjanjian yang dilakukan antara pihak perkebunan dengan petani ialah pihak perkebunan berhak jika sewaktu-waktu mengambil kembali lahan yang diolah oleh petani. Petani tidak mempunyai hak untuk menghalang-halangi usaha pihak perkebunan untuk mengambil lahan yang diolah oleh petani tersebut. Usaha yang dilakukan petani di Desa Cisarua dalam mendapatkan lahan garapan dari perkebunan ialah perluasan lahan secara diam-diam serta cara lobi dan negosiasi yang dilakukan secara individual. Tingkat keterlibatan petani di sini juga dipengaruhi oleh respon pemerintah serta pihak perkebunan, organisasi petani, dan kesempatan politik yang ada di desa tersebut. Desa Cisarua merupakan desa yang tidak memiliki organisasi petani baik dari internal petani maupun dari pihak eksternal. Hal ini yang kemudian membuat ikatan antar petani menjadi lemah dan membuat petani bergerak secara individu untuk mendapatkan lahan garapan.

72 56 Masalah keterbatasan modal dan kebutuhan subsisten petani, mendesak petani untuk berbuat cepat agar kebutuhannya terpenuhi. Jalan yang termudah ialah menjadi petani kecil. Pilihan lain ialah menjadi buruh perkebunan. Buruh perkebunan merupakan mata pencaharian yang dominan terjadi di Desa Cisarua. Penduduk yang menjadi buruh perkebunan biasanya merupakan petani asli yang nenek moyangnya didatangkan dari Garut lalu menjadi buruh di perkebunan secara turun temurun. Seperti yang telah disebutkan sebelumnya, penduduk Desa Cisarua terbagi menjadi dua yaitu petani pendatang yang bermatapencaharian sebagai petani serta petani asli yang bermatapencaharian sebagai buruh perkebunan. 5.3 Faktor-Faktor yang Berhubungan dengan Strategi Perjuangan Petani Tanah merupakan sumberdaya alam yang penting. Seluruh petani menggantungkan hidupnya pada tanah untuk tempat ia bercocok tanam. Namun kini luas lahan dapat diolah oleh petani semakin turun tiap tahunnya. Dari data yang diperoleh, rata-rata petani di Indonesia hanya mengolah 0,3 hektar dari luas ideal sebesar 2 hektar per kepala keluarga. Berdasarkan profil Desa Cisarua, dimana penelitian ini dilakukan, terdata bahwa orang menguasai tanah seluas 0,1-0,3 hektar dari total orang yang menguasai tanah. Ketimpangan terlihat jelas dimana terdapat orang menguasai lahan seluas 0,1-0,2 hektar dan terdapat 2 orang yang menguasai lebih dari 10 hektar tanah. Dalam melakukan upaya untuk mendapatkan lahan, strategi yang dilakukan di setiap daerah tidaklah sama. Strategi yang diterapkan di Desa Cisarua dipengaruhi oleh: (1) status lahan yang diinginkan oleh petani dan (2) tujuan petani tersebut. Petani Desa Cisarua mengetahui bahwa status lahan yang mereka inginkan merupakan lahan HGU legal milik perkebunan negara, bukanlah lahan sengketa, dan bukanlah lahan milik petani yang kemudian diambil oleh pihak perkebunan. Oleh karena itu, petani cenderung tidak dapat melakukan tindakan radikal untuk mendapatkan lahan tersebut. Strategi yang dipilih oleh petani juga disesuaikan dengan tujuan petani, yaitu mendapatkan akses untuk menggarap di lahan

73 57 perkebunan. Untuk mencapai tujuan yang diinginkan, petani menggunakan strategi yang lebih aman dan lebih lembut sesuai dengan kondisi di desa. Tingkat keterlibatan petani di sini dilihat berdasarkan peran dalam organisasi dan partisipasi petani dalam gerakan atau upaya dalam mendapatkan lahan. Semakin banyak petani yang terlibat, maka kemungkinan terjadinya perlawanan kolektif akan semakin besar karena solidaritas antar petani semakin kuat. Hal ini disebabkan oleh karena aksi kolektif sangat berhubungan dengan tujuan dan manfaat bagi pihak yang terlibat. Jika petani telah memiliki tujuan yang sama dan telah miliki rasa solidaritas yang tinggi, maka aksi kolektif semakin mungkin untuk terjadi. Hal tersebut sesuai dengan yang dikatakan Olson (1971) dalam Mustain (2007). Dalam penelitian ini dirumuskan beberapa faktor yang dapat mempengaruhi keterlibatan petani dalam upaya mendapatkan lahan. Faktor-faktor tersebut dapat dibedakan menjadi faktor eksternal dan internal. Faktor eksternal merupakan situasi dan kondisi dari luar individu petani yang dapat mempengaruhi strategi yang digunakan petani dalam mendapatkan lahan perkebunan. Dalam penelitian ini, faktor eksternal dapat berasal dari: (1) organisasi pendukung, (2) kesempatan politik yang digunakan, serta (3) respon pemerintah dan respon dari pihak perkebunan. Desa Cisarua tidak memiliki organisasi yang mendukung petani dalam hal mendapatkan lahan perkebunan. Petani melakukan usaha secara individu dengan dasar sifat manusia yang rasional, kreatif, dan ingin menjadi kaya, sesuai dengan yang dikatakan Popkin (1979) dalam Mustain (2007) bahwa gerakan perlawanan petani lebih karena faktor determinan individu, bukan kelompok. Perjuangan secara individual dan tanpa melakukan konfrontasi dipengaruhi oleh tidak adanya organisasi lokal, nasional, dan kultural yang mendorong petani untuk melakukan perjuangan kolektif seperti yang dikatakan oleh Ecstein (1989) dalam Mustain (2007). Hal ini yang menjadi dasar bahwa di Desa Cisarua tidak terjadi kesatuan dan kesolidan petani karena tidak adanya organisasi yang menjadi wadah bagi para petani di Desa Cisarua. Organisasi pendukung di sini dianalogikan sebagai katalis yang dapat menyadarkan serta mengarahkan petani. Organisasi pendukung juga bisa menjadi suatu wadah dimana petani dapat bertukar pikiran dan kemudian menyamakan

74 58 tujuan sehingga pada akhirnya membuat petani bergerak secara kolektif. Desa Cisarua tidak memiliki organisasi dan tidak ada organisasi yang berusaha menyadarkan dan mempersatukan petani. Hal ini kemudian dapat mempengaruhi kesolidan antar petani dan menjadi salah satu faktor yang mempengaruhi strategi perjuangan petani untuk memenuhi kebutuhan hidupnya masing-masing dalam hal ini untuk mendapatkan lahan garapan. Kesempatan politik merupakan situasi politik yang dapat digunakan sebagai momentum untuk memperlancar usaha petani dalam mendapatkan lahan. Hal ini sesuai dengan yang diungkapkan Eisinger (1973) dalam McAdam dan Snow (1997) dimana kesempatan politik merupakan derajat dimana suatu kelompok dapat meningkatkan akses terhadap kekuasaan dan dapat memanipulasi sistem politik. Seiring dengan Era Reformasi dimana kaum terpinggirkan bebas untuk berpolitik, masyarakat secara tegas memutuskan untuk bertindak mengatasi kemelut pertanahan yang mereka hadapi (Moniaga, 2010). Demikian pula yang terjadi di Desa Cisarua, dimana petani berani memanfaatkan era reformasi untuk mencapai tujuannya untuk mendapatkan akses dan penguasaan atas lahan. Petani di Desa Cisarua berani melakukan berbagai upaya karena merasa bebas untuk melakukan berbagai tindakan di era reformasi. Salah satu upaya yang dilakukan oleh petani ialah memanfaatkan pemilihan kepala desa sebagai titik balik perubahan kebijakan-kebijakan yang menghambat perjuangan petani untuk mendapatkan akses dan penguasaan atas lahan milik perkebunan. Pada tahun 2005 yang telah masuk dalam era reformasi, di Desa Cisarua dilakukan pemilihan kepala desa untuk yang keempat kalinya dan dilakukan secara demokratis. Hal tersebut merupakan salah satu bentuk kesempatan politik yang ada di daerah. Kesempatan ini dapat dimanfaatkan oleh aktor-aktor untuk membuka komunikasi, koordinasi, dan komitmen sehingga menghasilkan kesamaan pengertian dan memunculkan kesadaran bersama karena pada masa seperti ini, petani sedang mengalami perubahan sesuai dengan McAdam dkk (2001) dalam Mustain (2007). Pada masa pemilihan kepala desa, masyarakat sedang mengalami masa transisi. Perubahan-perubahan dapat terjadi ketika kepala desa yang baru terpilih. Pergantian kepala desa kemudian dapat mengubah aturanaturan, program serta kebijakan desa. Kesempatan inilah yang dimanfaatkan para

75 59 petani besar. Petani besar memanfaatkan kesempatan politik ini agar ketika terpilih nanti, kepala desa baru mendukung upaya yang dilakukan petani besar untuk mendapatkan lahan perkebunan. Upaya yang dilakukan petani besar dalam memanfaatkan kesempatan politik yang ada ialah dengan memberi dukungan baik berupa moral dan finansial kepada salah satu calon kepala desa yang ikut dalam pemilihan kepala Desa Cisarua. Agar mendapat banyak dukungan, calon kepala desa yang didukung oleh petani besar ini mengangkat tema mengenai pembagian lahan kepada petani kecil sebagai salah satu visi dan misi yang akan dilaksanakan ketika ia terpilih nanti. Benar saja, dukungan kepada calon kepala desa ini mengalir dan akhirnya memenangkan pemilihan kepala Desa Cisarua dan menjabat hingga saat ini. Para petani besar dan calon kepala desa berkampanye seolah-olah berpihak kepada petani dan akan membantu petani-petani kecil ketika terpilih nanti salah satunya ialah dengan memberikan lahan garapan kepada petani kecil. Namun ketika kepala desa tersebut menjabat, janji-janji yang diungkapkan pada kampanye tidak terlaksana karena pada akhirnya yang diuntungkan hanyalah para petani besar saja. Hal ini sesuai dengan dinyatakan Popkin (1979) bahwa elite desa (petani kaya) yang selama ini mengklaim komunitas tradisional, padahal lebih untuk mempertahankan tatanan demi keuntungan mereka. Ketika kepala desa yang dicalonkan petani besar menjabat, segala bentuk administrasi dan keperluan petani besar dalam mendapatkan lahan perkebunan menjadi lebih mudah. Ketika terjadi perbedaan keinginan dengan perkebunan, pemerintah desa kemudian membela petani besar dengan mengatasnamakan petani desa. Pemerintah dalam hal ini ialah pemerintah desa telah mendukung sepenuhnya upaya yang dilakukan petani besar untuk mendapatkan lahan perkebunan. Petani besar ini juga telah menggarap lahan milik bengkok desa seluas 11 hektar. Respon positif dari pihak pemerintah ternyata hanya dirasakan oleh petani besar. Hal ini membuat pera petani kecil kecewa terhadap pemerintah dan membuat petani enggan untuk bersatu. Adanya sikap saling curiga antar petani dan kesolidan petani yang rendah membuat petani tidak dapat bersatu. Selain itu petani kecil merasa tidak ada gunanya melawan mereka karena pada akhirnya petani kecil yang akan dirugikan.

76 60 Ketika petani kecil melawan dan ketika petani kecil membutuhan bantuan, petani besar dan pemerintah desa tidak akan membantu. Hal inilah yang menjadi pertimbangan para petani kecil untuk melawan petani besar dan pemerintah desa karena pada dasarnya petani kecil masih tergantung kepada petani besar dan pemerintah desa. Hal ini seperti yang diungkapkan oleh E, salah seorang responden dalam penelitian ini: Kita yang jadi susah neng. Kan kita juga sebenernya butuh mereka juga. Kalo kita udah diciriin, mau kemana lagi ntar kalo minta bantuan. Petani merasa pemerintah desa pilih kasih kepada petani-petani besar. Pemerintah desa terus menerus membantu para juragan untuk memperluas lahan bahkan tanah desa pun digarap oleh para petani besar. Hal ini disayangkan karena tanah tersebut dapat dijadikan tanah garapan bagi petani-petani atau buruh yang ada di Desa Cisarua. Pemerintah desa yang pilih kasih diungkapkan oleh AM, salah satu responden dalam penelitian ini sambil berbisik: Yah, yang dibantu juga mereka-mereka (petani besar) lagi neng. Kita (petani kecil) mah ga dapet apa-apa. Adanya kecemburuan sosial yang ditimbulkan oleh sikap dan respon pemerintah desa terhadap petani menimbulkan kecurigaan terhadap sesama petani sehingga membuat kepercayaan antar petani menjadi rendah. Rasa solidaritas serta rasa kesamaan nasib petani di Desa Cisarua juga sangat rendah. Terlihat ketika seorang petani mengalami masalah mengenai hama dan penyakit, petani yang lain enggan membantu meski mereka tahu bagaimana cara mengatasi hama dan penyakit tersebut. Kecurigaan petani ditujukan kepada petani lain dengan tudingan bahwa petani lain memiliki obat yang dapat menyembuhkan penyakit tanaman namun enggan untuk berbagi. Seluruh petani berlomba-lomba untuk membuat kaya diri sendiri dengan kata lain, tidak memiliki semangat komunal. Hal ini menunjukkan bahwa respon pemerintah juga memiliki dampak yang sangat luas terhadap petaninya dan dapat mempengaruhi tingkat keterlibatan petani serta strategi perjuangan yang dilakukan petani untuk mendapatkan lahan karena bagi petani, lahan merupakan

77 61 sumberdaya yang sangat penting yang dapat mempertahankan kelangsungan hidup petani. Bentuk strategi ini sesuai dengan yang dinyatakan Mustain (2007), bahwa sikap saling curiga antar sesama petani, munculnya kesenjangan sosial serta golongan kaum borjuis dapat mempengaruhi solidaritas gerakan petani. Pihak perkebunan pada dasarnya telah memiliki program memberikan lahan perkebunan yang letaknya jauh dan kurang produktif. Program ini hanya berlaku untuk pegawai perkebunan saja. Alasan kesibukan dan letak lahan yang jauh, membuat pegawai yang mendapat lahan garapan enggan untuk menggarap lahan tersebut. Pegawai lalu menyewakan tanah tersebut kepada petani yang mau menggarap tanah tersebut. Sebagai gantinya, petani menyetorkan iuran kepada pegawai tersebut setahun sekali. Namun pada kenyataannya, pegawai meminta uang iuran hampir setiap 3-4 bulan sekali ketika musim panen tiba. Petani tidak bisa menolak karena pegawai mengancam akan mengambil lahan tersebut dan akan menyewakannya pada orang lain. Pada tahun 1993, harga sewa per patok ialah Rp ,00 per tahun. Pihak perkebunan juga pernah mendapat permintaan langsung dari warga agar dapat menggarap lahan perkebunan. Pada saat itu juga, pihak perkebunan sedang mengalami masalah biaya dalam pencabutan akar tanaman yang tidak produktif. Pihak perkebunan lalu mengizinkan warga tersebut untuk menggarap di lahan perkebunan dengan tujuan untuk mengurangi beban perkebunan. Sebagai gantinya, perkebunan meminta warga yang mengolah di lahan tersebut untuk membayar iuran yang akan digunakan untuk membantu pihak perkebunan dalam membayar pajak tahunan. Iuran ini biasa disebut uang sewa oleh warga Desa Cisarua. Warga pun setuju terhadap syarat yang diberikan oleh pihak perkebunan karena iuran tersebut dirasa tidak memberatkan petani. Pembayaran iuran dilakukan langsung kepada mandor yang kemudian uangnya disetorkan kepada pihak perkebunan. Selain memungut iuran, mandor memiliki tugas untuk mengawasi lahan-lahan perkebunan yang tidak produktif agar tidak ditempati oleh warga. Mandor yang menjaga suatu area diperbolehkan melakukan apa saja terhadap lahan tidak produktif tersebut selama lahan tersebut dalam pengawasan. Mandor menyatakan bahwa untuk mempermudah pengawasan, lahan-lahan tersebut diberikan kepada petani untuk digarap. Uang

78 62 sewa yang masuk dapat dijadikan pemasukan tambahan bagi dirinya dan perkebunan. Harga sewa lahan per patok saat ini ialah Rp ,00 per tahun. Pada masa itu, pihak perkebunan memberikan respon yang cukup positif karena perkebunan juga sedang mengalami masalah ekonomi dalam perawatan lahanlahan miliknya. Respon positif yang diberikan perkebunan bukanlah tanpa tujuan. Jalan ini ditempuh dengan harapan memberikan keuntungan bagi perkebunan, yaitu: (1) mengurangi biaya perawatan lahan yang kurang produktif, (2) lahan tetap dapat terawasi dengan baik, (3) sumber pendapatan baru bagi pihak perkebunan dalam membayar pajak dan biaya operasional lainnya. Respon pihak perkebunan membuat petani tidak perlu melakukan perlawanan secara radikal. Karena itu pula maka petani tidak melakukan demo, reclaiming, dan sebagainya. Petani hanya perlu mendatangi mandor-mandor yang bertugas untuk menjaga area tertentu dan melakukan negosiasi agar mereka diperbolehkan untuk menggarap di lahan tersebut karena petani bersaing untuk mendapatkan lahan yang strategis dan baik. Dari gambaran di atas dapat dilihat bahwa strategi yang dilakukan petani untuk mendapatkan lahan juga dipengaruhi oleh respon yang diberikan oleh pihak perkebunan. Kondisi pada masa itu tidak mendukung petani untuk melakukan gerakan yang frontal serta jelas terlihat bahwa petani tidak akan melakukan perlawanan jika memang tidak sangat diperlukan seperti yang dikatakan Tilly (1978) dan Wolf (1969) dalam Mustain (2007) bahwa pemberontakan tidak akan terjadi jika situasinya benar-benar tidak mendukung. Segala bentuk upaya yang dilakukan oleh petani kecil di Desa Cisarua bukanlah untuk menentang kebijakan negara. Namun petani lebih cenderung untuk menentang kekuasaan petani besar dan elite desa. Hal ini dapat dilihat ketika kampanye pemilihan kepala desa yang dirancang sedemikian rupa oleh petani besar, mereka melakukan kampanye dengan mengusung janji-janji yang akan mendukung petani kecil. Namun pada kenyataannya hal tersebut lebih untuk mempertahankan tatanan demi keuntungan mereka. Hal ini sesuai dengan dinyatakan Popkin (1979). Petani yang kecewa tidak mengumpulkan kekuatan yang kemudian melakukan tindakan-tindakan radikal.

79 63 Bentuk perlawanan gaya Scottian dimana petani mengumpat, menggerutu, dan berpura-pura bodoh dilakukan oleh petani Desa Cisarua. Gaya Scottian dilakukan bukan dalam upaya untuk perlawanan namun sebagai bentuk perjuangan petani untuk mendapatkan akses lahan perkebunan. Dalam hal ini, petani berpura-pura tidak mengetahui bahwa lahan yang mereka garap merupakan tanah HGU perkebunan yang tidak boleh digarap oleh masyarakat. Petani juga melakukan perluasan secara diam-diam hingga suatu ketika mandor memergoki. Hal ini sebagaimana yang dikatakan oleh AY, salah seorang petani yang menjadi responden dalam penelitian ini: Awalnya saya menggarap lahan 10x10 meter neng. terus saya nambah-nambah terus sampe sekitar 3 patokan. Karena udah luas, jadi ketauan ama mandor. Terus mandor negur. Saya pura-pura ga tau aja neng. Terus kompromi ama mandornya karena kan tanemannya udah mau panen. Sayang kan kalo ditinggal, rugi saya nya atuh. Yaudah akhirnya saya bayar uang sewa ke mandornya. Untuk mencapai tujuan, petani biasanya menggunakan penggalangan massa karena semakin besarnya jumlah massa yang ikut maka akan semakin didengar suara mereka. Di Desa Cisarua, merujuk pada pernyataan Wolf (1966) dalam Mustain (2007), tidak dilakukan penggalangan massa karena kurang adanya kerjasama dalam petani dan petani terjebak dalam irama pekerjaan sektor pertanian. Kurang adanya kerjasama antar petani di Desa Cisarua dapat dilihat dari sikap petani ketika petani lain sedang mengalami masalah dalam bidang pertanian. Ketika petani lain sedang mengalami masalah seperti hama dan penyakit yang menyerang tanaman mereka, petani lain enggan untuk membantu dan memberi solusi untuk menyembuhkan penyakit tanaman tersebut meskipun ia tahu bagaimana cara menyelesaikan masalah tersebut. Padahal jika penyakit tersebut tidak disembuhkan maka akan merugikan bagi petani yang lain karena penyakit tanaman tersebut akan menular ke tanaman-tanaman yang sehat. Selain itu, jika ada bibit unggul baru yang cocok dan sesuai digunakan di Desa Cisarua, petani enggan untuk berbagi informasi kepada petani lainnya. Petani Desa Cisarua menghabiskan banyak waktunya untuk mengerjakan kegiatan pertanian. Petani telah berangkat ke ladang sekitar pukul 5 pagi dan

80 64 pulang diwaktu dhuhur atau sekitar pukul 12. Setelah beristirahat sebentar, sore harinya petani melakukan kegiatan lain seperti mencari kayu untuk keperluan rumah tangga serta mencari rumput gajah untuk dijadikan pakan ternak yang mereka miliki atau hanya untuk dijual kembali sebagai tambahan penghasilan. Kegiatan seperti ini menjadi rutinitas sehari-hari para petani sehingga mereka tidak punya waktu lagi untuk mengerjakan hal lain. Selain itu, faktor yang paling mempengaruhi ialah petani merasa tidak perlu dilakukan penggalangan massa karena status lahan yang diinginkan dan tujuan yang ingin dicapai petani tidak mengharuskan penggunaan penggalangan massa. Adapun komoditas yang ditanam oleh petani Desa Cisarua ialah tanaman holtikultura meskipun ada 3 orang petani yang menanam pohon kayu albasia. Petani yang memiliki modal besar menanam tanaman holtikultura seperti cabe dan tomat karena untuk menanam 1 hektar tanaman cabe dan tomat membutuhkan modal sebesar masing-masing sekitar Rp ,00 dan Rp ,00. Sedangkan petani kecil yang mengolah sekitar 3-4 patok atau setara dengan 0,12-0,16 hektar menanam komoditas holtikultura seperti kubis, kacang panjang, jagung, labu siam, dan wortel karena hanya dibutuhkan modal sebesar Rp ,00 per hektarnya. Selain faktor eksternal, faktor internal juga mempengaruhi keterlibatan petani dalam upaya mendapatkan lahan garapan. Adapun faktor-faktor internal yang dikaji dalam penelitian ini ialah: (1) pengalaman berorganisasi petani, (2) lama pendidikan yang ditempuh, (3) jumlah pendapatan, (4) jumlah tanggungan, serta (5) luas dan jumlah relasi yang dimiliki oleh petani Desa Cisarua. Faktor internal tersebut diuji secara kuantitatif menggunakan SPSS untuk mengetahui apakah ada hubungannya dengan tingkat keterlibatan petani dalam upaya mendapatkan lahan garapan. Hasil uji SPSS yang dilakukan antara variabel pengalaman berorganisasi dengan variabel tingkat keterlibatan petani dalam upaya untuk mendapatkan lahan garapan dapat dilihat pada Tabel 5.

81 65 Tabel 5. Hasil Uji SPSS Rank Spearman Hubungan Faktor Internal dengan Tingkat Keterlibatan Petani dalam Upaya Mendapatkan Lahan Garapan Variabel Sig (2-tailed) Corelation Coefficient Pengalaman Berorganisasi 0,940 0,013 Luas dan Jumlah Relasi 0,021 0,395* Lama Pendidikan 0,232-0,210 Tingkat Pendapatan 0,957-0,010 Jumlah Tanggungan 0,773-0,051 Keterangan: * Uji pada α=0,05 Pengalaman berorganisasi pada awalnya dihipotesiskan memiliki hubungan positif dengan tingkat keterlibatan petani dalam upaya untuk mendapatkan lahan. Pada kasus ini ternyata pengalaman organisasi tidak ada hubungannya dengan tingkat keterlibatan petani dalam upaya untuk mendapatkan lahan yang diukur dengan peran petani dalam organisasi perjuangan dan partisipasi dalam aksi massa. Hal ini disebabkan karena pada awal penelitian diasumsikan bahwa petani di Desa Cisarua menggunakan aksi massa untuk mendapatkan akses dan penguasaan atas lahan. Namun yang ditemukan ialah petani bergerak secara individual untuk mendapatkan lahan garapan. Selain itu, di Desa Cisarua tidak ada organisasi yang dibentuk untuk mendukung perjuangan petani untuk mendapatkan akses lahan. Dari tabel hasil pengolahan data menggunakan SPSS di atas, didapatkan hasil bahwa luas dan jumlah relasi petani Desa Cisarua memiliki hubungan dengan tingkat keterlibatan petani dalam upaya untuk mendapatkan lahan garapan. Hubungan antara dua variabel ini merupakan hubungan korelasi positif yang ditunjukan oleh Correlation Coefficient sebesar 0,395. Semakin tinggi luas dan jumlah relasi yang dimiliki petani maka keterlibatan petani dalam mendapatkan lahan garapan semakin tinggi pula. Tingkat kepercayaan yang didapat dari penghitungan antara hubungan luas dan jumlah relasi dengan keterlibatan petani dalam gerakan menggunakan SPSS yaitu sebesar 95 persen. Hasil penghitungan menggunakan SPSS ini sesuai dengan hipotesis yang diajukan dalam penelitian ini, yaitu jumlah dan luas relasi memiliki hubungan positif dengan tingkat keterlibatan petani dalam upaya mendapatkan akses lahan.

82 66 Hasil penghitungan SPSS juga sesuai dengan kondisi yang terjadi di Desa Cisarua. Jika petani memiliki relasi baik dengan pihak perkebunan maupun pemerintah maka semakin tinggi pula keterlibatannya dalam upaya yang dilakukan. Semakin banyak dan kuat ikatan yang dimiliki petani dengan pihakpihak terkait maka akan semakin mudah petani mendapatkan lahan garapan dari pihak perkebunan. Pihak-pihak terkait dalam hal ini ialah pemerintah desa dan pihak perkebunan. Dalam penelitian ini, kuatnya ikatan ditandai dengan adanya hubungan keluarga dan pertemanan baik dengan mandor maupun dengan pihak pemerintah desa. Memiliki relasi dalam jumlah banyak dengan hubungan yang kuat juga akan semakin memudahkan petani untuk mendapatkan lahan garapan yang luas serta memperluas lahan garapannya. Ikatan relasi petani dengan mandor relatif kuat karena pada umumnya mereka memiliki ikatan saudara. Jika petani tidaklah memiliki ikatan keluarga, namun ia merupakan mantan mandor perkebunan atau mantan pejabat pemerintahan. Pendidikan juga merupakan salah satu variabel yang diuji menggunakan SPSS untuk mengetahui hubungannya dengan tingkat keterlibatan petani dalam upaya mendapatkan lahan garapan. Tabel di atas merupakan hasil penghitungan menggunakan SPSS dimana Sig. sebesar 0,232 menunjukkan bahwa pendidikan tidak memiliki hubungan dengan keterlibatan petani dalam upaya untuk mendapatkan lahan garapan. Hal ini disebabkan karena tingkat keterlibatan petani dalam kasus ini dilihat dari peran dalam organisasi perjuangan dan aksi massa yang dilakukan. Desa Cisarua tidak memiliki organisasi perjuangan dan tidak melakukan aksi massa untuk mendapatkan lahan garapan. Lama pendidikan yang ditempuh oleh petani di Desa Cisarua juga mayoritas berada didalam selang yang sama, yaitu rendah. Hasil penghitungan didukung dengan keadaan di Desa Cisarua dimana petani yang memiliki pendidikan tinggi tidak memiliki keterlibatan yang rendah dalam upaya mendapatkan lahan tidak rendah. Demikian juga sebaliknya, petani yang berpendidikan rendah, tidak memiliki keterlibatan yang tinggi pula dalam perjuangan yang dilakukan secara individual.

83 67 Pendapatan petani Desa Cisarua dalam penelitian ini juga diuji menggunakan SPSS untuk mengetahui hubungannya dengan tingkat keterlibatan petani dalam upaya mendapatkan lahan garapan. Pendapatan petani dihipotesiskan memiliki hubungan positif dengan tingkat keterlibatan petani dalam upaya untuk mendapatkan lahan garapan. Hal ini tidak sesuai dengan hasil penghitungan SPSS dimana nilai Sig. menunjukkan nilai sebesar 0,957. Nilai ini berada diatas nilai α yang mungkin yaitu 0,05 ataupun 0,01. Hal ini menunjukkan bahwa pendapatan tidak memiliki hubungan dengan tingkat keterlibatan petani dalam upaya mendapatkan lahan garapan. Meskipun petani memiliki pendapatan yang tinggi, namun bukan jaminan bahwa keterlibatan petani menjadi rendah. Demikian juga sebaliknya, semakin rendah pendapatan bukan merupakan jaminan bahwa keterlibatan petani akan semakin tinggi. Dari kuesioner yang disebarkan, didapat data bahwa 23 responden atau sekitar 68 persen petani yang menjadi responden memiliki pendapatan dibawah UMR rata-rata pemerintah Kabupaten Sukabumi. Dari kuesioner yang disebar kepada 34 responden penelitian di Desa Cisarua menunjukkan bahwa petani yang memiliki pendapatan yang besar ialah petani yang berkerja di bidang pertanian namun menggarap lahan yang besar ataupun petani yang tidak terbelit hutang. Hutang di sini diartikan sebagai pinjaman modal baik berupa barang maupun uang kepada para petani besar. Hutang ini dikembalikan dengan cara menyetorkan hasil panen peminjam kepada pihak pemberi hutang dalam kasus ini ialah petani besar. Hasil panen tersebut lalu dibeli dan hasilnya dipotongkan langsung untuk membayar hutang yang mereka miliki. Namun sering kali hasil panen para petani kecil dibeli dengan harga yang lebih rendah dari harga beli di pasar induk. Hal inilah yang membuat petani terus terbelit hutang dan terus terikat kepada petani besar. Hasil uji SPSS di atas juga dilakukan antara jumlah tanggungan dengan tingkat keterlibatan petani dalam upaya untuk mendapatkan lahan garapan. Tabel di atas (Tabel 5.) menunjukkan bahwa tidak ada hubungan antara kedua variabel tersebut. Meski semakin banyak atau sedikit jumlah tanggungan petani tidak mempengaruhi tingkat keterlibatan petani dalam upaya mendapatkan lahan garapan. Hal ini menolak hipotesis awal dimana jumlah tanggungan memiliki hubungan negatif dengan tingkat keterlibatan petani dalam upaya untuk

84 68 mendapatkan lahan garapan. Hal ini disebabkan karena sebaran yang diperoleh dari responden ialah sebagian besar memiliki jumlah tanggungan yang sama, yaitu sedang. Selain itu, di Desa Cisarua juga tidak ada organisasi pendukung dan aksi massa yang dijadikan ukuran tingkat keterlibatan petani dalam upaya untuk mendapatkan lahan garapan dari perkebunan. 5.4 Tingkat Keberhasilan Petani Tingkat keberhasilan petani dalam mendapatkan lahan dalam hal ini dilihat dari status tanah yang mereka olah. Status tanah dibedakan oleh peneliti menjadi tiga, yaitu pinjam pakai, sewa, dan hak milik. Pinjam pakai merupakan situasi dimana petani dapat mengolah lahan perkebunan namun tanpa adanya beban biaya yang harus dibayar oleh petani. Sistem sewa merupakan kondisi dimana petani membayar sejumlah uang kepada pihak perkebunan yang dihitung berdasarkan luas lahan yang digarap. Kedua sistem ini dapat terikat dengan perjanjian maupun tidak dengan perjanjian yang jelas. Petani Desa Cisarua pada nyatanya mengolah pada lahan sewa dengan pihak perkebunan namun tidak dengan perjanjian yang jelas mengenai jangka waktu bagi petani dalam pengelolaan lahan tersebut. Selama lahan tersebut tidak dipakai oleh pihak perkebunan, petani diperbolehkan menggarap namun petani dibebani iuran yang wajib dibayar setahun sekali. Besaran iuran yang wajib dibayarkan terus meningkat setiap tahun. Saat ini, besar iuran yang wajib dibayar oleh petani ialah Rp ,00 per patok per tahun. Untuk diketahui, dalam 1 hektar tanah terdapat 25 patok. Adapula petani yang membayar kepada mandor dengan sistem bagi hasil dengan perbandingan 30:70 untuk mandor. Mandor mendapat porsi yang lebih besar karena mandor lah yang memberi modal dan memberi tanah. Petani hanya tinggal mengolah lahan tersebut hingga panen. Tidak banyak petani yang menerapkan sistem bagi hasil ini karena mandor yang memilih siapa saja orang yang mengikuti sistem bagi hasil atau sistem iuran. Yang mengolah lahan dengan sistem bagi hasil ini ialah petani yang handal namun tidak memiliki modal dan mandor percaya kepada petani tersebut, terkadang mereka memiliki hubungan keluarga.

85 69 Namun ditemukan kasus yang agak berbeda dimana seorang petani terikat perjanjian dengan pihak perkebunan. Hal ini terjadi karena petani tersebut menanam pohon kayu albasia bukanlah petani tanaman holtikultura. Program ini diadakan oleh perkebunan yaitu untuk menambah pohon tegakan di kawasan perkebunan dengan melakukan pembagian bibit kayu albasia dan perjanjian secara tertulis dengan pihak perkebunan mengenai penggunaan lahan untuk penanaman kayu tersebut. Adapun alasan petani mengikuti program ini ialah lahan garapan mereka memiliki kontur dan keadaan yang tidak memungkinkan untuk ditanami tanaman holtikultura dan mereka tidak memiliki keahlian yang cukup untuk bertani tanaman holtikultura. Saat ini, K merupakan generasi kedua penerus usaha orang tuanya dalam menanam kayu albasia. Ia telah melakukan 4 kali panen dalam waktu 24 tahun. Setiap pemanenan dilakukan, maka akan dilakukan perpanjangan perjanjian. Ia menanam pohon tegakan di 8 wilayah perkebunan dengan luas total 3 hektar. Perjanjian yang dilakukan dengan pihak perkebunan ialah 20 persen dari pohon tegakan yang ditanam tidak boleh ditebang. Hal ini sesuai dengan tujuan dari pihak perkebunan yaitu menjaga daerah resapan air dan menjaga agar tidak erosi dengan menambah tegakan pohon diwilayah perkebunan. Namun pada kenyataannya, 20 persen dari pohon yang seharusnya ditinggalkan tetap ditebang dan uangnya disetorkan kepada pihak perkebunan. Oleh karena itu, pohon tegakan di wilayah perkebunan tidak bertambah hingga saat ini. Status lahan yang diolah oleh petani pohon albasia ialah sewa, namun disertai dengan kejelasan antara hak dan kewajiban serta ada kejelasan waktu peminjaman lahan. Petani dalam hal ini memiliki posisi yang kuat jika pihak perkebunan sewaktu-waktu ingin menarik lahannya kembali. Kejanggalan yang terjadi ialah surat perjanjian tidak dipegang oleh kedua belah pihak, namun hanya dipegang oleh pihak perkebunan. Pihak perkebunan merasa khawatir surat tersebut akan disalahgunakan jika surat perjanjian juga dipegang oleh petani. Berdasarkan data yang diperoleh, luas lahan perkebunan yang saat ini digarap oleh petani berjumlah 93 hektar, namun hanya 82 hektar saja yang masuk dalam wilayah Desa Cisarua dengan pembagian sebagai berikut: a. Blok 14 : 30 hektar

86 70 b. Blok 15 : 38 hektar c. Blok 16 : 25 hektar Lahan di Blok 16 atau yang biasa disebut daerah Naimin seluas 25 hektar digarap oleh 4 petani besar. Petani besar atau yang biasa disebut juragan ini bisa mendapat lahan seluas 25 hektar karena mereka memiliki modal. Pada mulanya, lahan seluas 25 hektar ini digarap oleh sekitar 208 petani. Namun seiring berjalannya waktu, lahan tersebut hanya digarap oleh 4 petani besar. Modal yang cukup membuat para petani besar dapat mengambil tanah garapan petani lain, membiayai kampanye pemilihan desa yang kemudian meningkatkan bargaining position petani besar dihadapan pihak perkebunan dan memiliki posisi tawar menawar yang baik. Petani kecil dengan modal pas-pasan yang mengolah lahan dengan sistem pinjam pakai berada pada situasi yang paling rawan karena mereka tidak memiliki landasan yang kuat untuk mempertahankan lahan garapan mereka jika pihak perkebunan sewaktu-waktu menarik kembali lahan garapan mereka. Keberhasilan yang diperoleh oleh petani Desa Cisarua tidak lepas dari usaha yang dilakukan. Strategi yang tepat disesuaikan dengan situasi dan kondisi desa yang ada. Pemilihan strategi yang digunakan juga dipengaruhi oleh opini petani mengenai kekerasan. Petani Desa Cisarua tidak menggunakan gerakan yang radikal karena mereka menganggap bahwa masih ada cara lain yang lebih efektif dibanding melakukan aksi kekerasan. Dari seluruh responden dan informan yang dikumpulkan oleh peneliti didapat bahwa menyatakan bahwa tidak diperlukannya kekerasan dalam upaya mendapatkan lahan garapan karena akan membuat petani menjadi lebih sengsara. Dengan pandangan seperti itu dan didukung dengan situasi perkebunan, strategi yang digunakan oleh petani pun dapat berhasil tanpa harus menggunakan aksi kekerasan. Penduduk asli yang berprofesi sebagai petani kecil tidak terlalu tertarik untuk memperluas lahan seperti yang dilakukan oleh petani pendatang yang saat ini menjadi petani besar di Desa Cisarua karena mereka merasa segan dan menghormati pihak perkebunan yang bagaimana pun juga merupakan pihak yang mempekerjaan para orang tua mereka. Terkadang mereka masih memiliki ikatan keluarga dengan pemimpin-pemimpin perkebunan. Petani yang merupakan penduduk asli merasa malu untuk mengambil dan memanfaatkan lahan

87 71 perkebunan karena pada dasarnya orang tua mereka merupakan buruh perkebunan dan mereka bisa hidup di Desa Cisarua karena adanya perkebunan. Berbeda dengan para pendatang yang tidak memiliki ikatan dengan pihak perkebunan. Selain karena alasan sejarah, umur dan modal juga menjadi penyebab mengapa petani asli Desa Cisarua tidak tertarik dalam upaya mendapatkan lahan garapan. Jika merasa masih muda dan kuat, petani asli mengaku masih bisa menjadi buruh di perkebunan. Namun ketika sudah mendekati masa pensiun, para buruh perkebunan mulai mencari lahan perkebunan yang dapat digarap olehnya dengan modal yang berasal dari pesangon ketika pensiun. Hal ini dilakukan untuk memenuhi kebutuhan subsisten dirinya saja. Luas lahan perkebunan yang digarap para pensiunan ini hanya sebesar 0,08 hektar atau setara dengan 2 patok. Lahan ini merupakan luas lahan terkecil yang diberikan oleh mandor kepada petani dan ia dibebaskan dari kewajiban membayar iuran. Hal ini disebabkan karena faktor umur yang sudah terlalu tua. Adapula pensiunan pegawai pemerintah kecamatan yang saat ini menggarap lahan milik perkebunan seluas 0,24 hektar atau setara dengan 6 patok. Ia tidak memiliki keahlian bertani, maka ia mempekerjakan orang untuk menggarap lahan tersebut. Hasil panen dari lahan garapan tersebut digunakan untuk menghidupi ia dan keluarganya. Petani Desa Cisarua tidak melakukan upaya untuk memiliki lahan perkebunan karena mereka menyadari bahwa tanah tersebut merupakan tanah HGU yang diberikan oleh pemerintah kepada perkebunan. Petani menyadari sepenuhnya bahwa tanah tersebut tidak dapat menjadi hak milik pribadi. Hal ini seperti yang dinyatakan oleh AN, petani di Desa Cisarua: Ga mungkin neng. Kan itu punya perkebunan. Kalo kita maksa, kita juga yang susah. Orang kita yang salah. Kayak di desa sebelah itu, pada dipenjara. Orang salah ngapain diikutin. Udah bisa ngegarap aja udah seneng. Punya lahan sendiri. Tani sendiri. Kalo dulu mah ga mungkin neng. Hal ini pula yang membuat petani tidak melakukan aksi-aksi radikal untuk memiliki lahan tersebut. Petani merasa hanya dengan melakukan kompromi, tujuan mereka telah tercapai. Petani juga sudah merasa cukup puas dengan dapat

88 72 melanjutkan hidup dengan menggarap lahan perkebunan meski tanpa kepastian jangka waktu yang diperbolehkan oleh pihak perkebunan.

89 BAB VI PENUTUP 6.1 Kesimpulan Terdapat beberapa masalah yang dihadapi oleh petani Desa Cisarua seperti administrasi panjang serta memakan waktu cukup lama untuk mendapatkan lahan garapan secara legal di tanah lamping milik perkebunan, terbatasnya lahan strategis, keberpihakan pemerintah pada petani besar, solidaritas petani yang rendah, kecemburuan sosial, kecurigaan yang terjadi antar petani dan pemerintah desa, serta ketidakmampuan masyarakat untuk melawan penguasa. Upaya perjuangan yang dilakukan petani di Desa Cisarua termasuk dalam perjuangan Gaya Asia yang diunggkapkan oleh Scott (1981) karena petani di Desa Cisarua tidak memiliki organisasi formal, melakukan perlawanan kecil secara sembunyi-sembunyi, serta tidak membutuhkan koordinasi dalam melakukan perjuangan. Perjuangan yang dilakukan petani di Desa Cisarua juga termasuk dalam jenis perlawanan insidental dimana petani melakukan perjuangan secara tidak terorganisir, tidak sistematis dan individual. Perjuangan yang dilakukan oleh petani juga bersifat untung-untungan dan pamrih namun tidak memiliki dampak revolusioner karena menyesuaikan dengan sistem dominan yang ada. Jika dianalisis menurut Sitorus (2006), perjuangan petani Desa Cisarua termasuk perjuangan kultivasi dimana secara faktual tanah ditanami oleh petani, namun di sisi lain juga masih diklaim dan juga masih dikelola oleh pihak perkebunan. Petani Desa Cisarua melakukan kompromi dengan mandor secara individual. Kompromi dianggap lebih menguntungkan bagi masyarakat dibanding dengan melakukan tindakan kekerasan. Setelah melakukan kompromi, petani kemudian diharuskan membayar sewa yang dihitung sesuai dengan banyaknya patok yang digarap. Luas satu patok lahan setara dengan 0,04 hektar. Sewa ini dibayar setahun sekali oleh petani kepada mandor. Setelah mendapatkan lahan, petani kemudian memperluas lahan sedikit demi sedikit yang dilakukan secara diam-diam agar tidak ketahuan oleh mandor.

90 74 Ada dua faktor yang berhubungan dengan tingkat keterlibatan petani dalam upaya untuk mendapatkan lahan garapan, yaitu faktor internal dan faktor eksternal dari diri petani tersebut. Faktor internal dibedakan menjadi pengalamann berorganisasi, lama pendidikan, tingkat pendapatan, jumlah tanggungan, serta luas dan jumlah relasi. Dari lima faktor internal yang diuji secara kuantitatif menggunakan Rank Spearman, hanya luas dan jumlah relasi yang memiliki hubungan dengan tingkat keterlibatan petani dalam upaya untuk mendapatkan lahan garapan. Hubungan yang diperoleh ialah hubungan positif, dimana ketika jumlah dan luas relasi meningkat maka tingkat keterlibatan petani dalam upaya untuk mendapatkan lahan juga semakin meningkat dengan tingkat kepercayaan hasil sebesar 95 persen. Faktor eksternal yang diuji secara kualitatif menunjukkan bahwa organisasi pendukung, kesempatan politik, dan respon pemerintah desa serta respon pihak perkebunan juga memiliki hubungan dengan tingkat keterlibatan petani. Selain ketiga faktor eksternal tersebut, ditemukan bahwa hal yang paling berpengaruh terhadap strategi perjuangan yang dipilih oleh petani di Desa Cisarua ialah status lahan yang diinginkan oleh petani serta tujuan dari petani itu sendiri. Status lahan yang diinginkan petani merupakan lahan legal HGU milik perkebunan yang masih berlaku, bukan merupakan tanah sengketa, dan bukan lahan petani yang diambilalih oleh pihak perkebunan. Dengan status lahan seperti itu, petani tidak bisa memaksa atau pun berkeinginan untuk memiliki dan mengambil alih lahan tersebut. Adapun tujuan dari petani di Desa Cisarua ialah hanya untuk menggarap lahan tersebut, bukan untuk memiliki lahan. Hal ini membuat petani merasa tidak perlu dilakukannya tindakan-tindakan radikal yang memaksa seperti demo atau pun reclaiming terhadap lahan perkebunan yang diinginkan petani tersebut. Setelah melakukan upaya untuk mendapatkan lahan, masyarakat Desa Cisarua akhirnya dapat menggarap lahan dengan status sewa dan bagi hasil dengan pihak perkebunan. Sistem sewa terbagi lagi ke dalam sistem sewa tidak dengan perjanjian serta sistem sewa dengan perjanjian. Sistem bagi hasil dengan komposisi 30:70 hanya berlaku untuk petani handal namun tidak memiliki modal.

91 Saran Mengacu pada hasil penelitian yang ditemukan, terdapat beberapa hal yang dapat dijadikan masukan bagi keadaan di Desa Cisarua berkaitan dengan strategi petani untuk mendapatkan akses terhadap lahan perkebunan. Hal yang paling penting untuk dilakukan ialah memperkuat ikatan antar petani karena terlihat jelas dari hasil penelitian ini bahwa ikatan antar petani di Desa Cisarua masih sangat rendah. Perlu dibentuk suatu wadah yang dapat menjadi tempat bagi para petani untuk saling berinteraksi serta berkomunikasi. Dengan dilakukannya hal tersebut diharapkan berbagai masalah seperti prasangka negatif yang timbul antar petani dapat diselesaikan terlebih dahulu. Ketika masalah antar petani dapat diselesaikan, maka dapat terbentuk rasa solidaritas, kesamaan nasib serta semangat komunal dalam diri petani. Dengan kesamaan nasib dan semangat komunal yang dimiliki, petani kemudian dapat menyelesaikan masalah-masalah lain seperti masalah produktivitas lahan yang kemudian dapat meningkatkan hasil panen yang berdampak pada keadaan ekonomi petani dan petani juga menjadi lebih kuat ketika masalah lain menghampiri. Selain itu, pemerintah desa juga diharapkan bertindak adil kepada seluruh petani. Tidak hanya petani besar saja yang dibela dan diperhatikan, namun juga petani kecil. Terlebih lagi petani kecil merupakan petani yang berada dalam kondisi kritis sehingga membutuhkan lebih banyak dukungan baik moral maupun finansial untuk keberlanjutan usaha pertaniannya. Jika pemerintah desa tidak memperbaiki citra dan sikapnya terhadap petani kecil, dikhawatirkan konflik laten yang terjadi dalam diri petani kecil berkembang menjadi konflik terbuka. Saran yang penulis ajukan untuk pihak perkebunan ialah menyediakan alternatif usaha lain bagi petani sebelum lahan garapan ditarik kembali. Hal ini dilakukan untuk menghindari terjadinya pengangguran besar-besaran akibat hilangnya lahan garapan yang menjadi sumber pendapatan petani di Desa Cisarua ketika lahan garapan ditarik kembali oleh pihak perkebunan. Hal ini juga untuk meminimalisir kemungkinan terjadinya tindakan-tindakan radikal yang dapat dilakukan oleh petani untuk mendapat lahan garapannya kembali yang juga akan berdampak negatif terhadap pihak perkebunan jika tindakan radikal tersebut terjadi.

92 DAFTAR PUSTAKA Aji, Gutomo Bayu Tanah Untuk Penggarap: Pengalaman Serikat Petani Pasundan Menggarap Lahan-Lahan Perkebunan dan Kehutanan. Bogor: Pustaka Latin. Anonimous Sejuta Ha Lahan Pertanian di Jawa Berubah Fungsi. (diakses pada 8 april 2010 pukul WIB) Anonimous Warga Patoki Lahan di Areal PTPN Goalpara. warga-patoki-lahan-di-areal-ptpn-goalpara (diakses pada 22 juni 2010 pukul WIB) Anonimous Profil PTPN Jawa Barat. (diakses pada 19 Juni 2010 pukul WIB) Bachriadi, Dianto dan Anton Lucas Merampas Tanah Rakyat, Kasus Tapos dan Cimacan. Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia Bahari, Syaiful dan Ika N. Krishnayanti Tanah Untuk Penggarap: Merintis Tataguna Lahan di Pasir Randu. Jakarta: Sekretariat Bina Desa. Bakker, Laurens Dapatkan Kami Memperoleh Hak Ulayat? Tanah dan Masyarakat di Kabupaten Paser Dan Nunukan, Kalimantan Timur. Hukum Agraria dan Masyarakat di Indonesia: Studi Tentang Tanah, Kekayaan Alam, dan Ruang di Masa Kolonial dan Desentralisasi (Jakarta). Huma Press. Hal Febriana, Yohana Desi Partisipasi Masyarakat dalam Program Corporate Sosial Responsibility Kampung Siaga Indosat (Studi Kasus: RW 04, Kelurahan Manggarai, Kecamatan Tebet, Jakarta Selatan. Skripsi. IPB. Bogor. Hafid, J.O.S Perlawanan Petani, Kasus Tanah Jenggawah. Bogor: Pustaka Latin McAdam, Doug dan David A.Snow Social Movemenst: Reading on Their Emergence, Mobilization, and Dynamics. United States: Roxbury Publishing Company. Moniaga, Sandra Antara Hukum Negara dan Realitas Sosial Politik di Tataran Kabupaten, Perjuangan Mempertahankan Hak Atas Tanah Adat di Perdesaan Banten. Hukum Agraria dan Masyarakat di Indonesia: Studi Tentang Tanah, Kekayaan Alam, dan Ruang di Masa Kolonial dan Desentralisasi (Jakarta). Huma Press. Hal

93 77 Mustain Petani VS Negara, Gerakan Sosial Petani Melawan. Jogjakarta: Ar-Ruzz Media Popkin, Samuel L The Rational Peasant: The Political Economy of Rural Society in Vietnam. United States: University of California Press. Scott, James C Perlawanan Kaum Tani. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia Moral Ekonomi Petani. Jakarta: LP3ES. Serikat Tani Bengkulu Pembagian Tanah Hasil Reclaiming Pada Transmigrasi. Jurnal Pembaharuan Desa dan Agraria (Bogor). Volume III Tahun III. Shohibudin, Moh Dimensi Etis Dalam Revitalisasi Identitas Ngata Untuk Klaim Atas Teritori dan Sumberdaya Lokal, Perjuangan Otonomi Desa di Sebuah Komunitas Tepi Hutan Taman Nasional Lore Lindu, Sulawesi Tengah. Renai: Kajian Politik Lokal dan Sosial-Humaniora. Pustaka Perak. No 2 Hal Sitorus, Felix Penelitian Kualitatif Suatu Perkenalan. Kelompok Dokumentasi Ilmu-Ilmu Sosial untuk Laboratorium Sosiologi, Antropologi, dan Kependudukan, Jurusan Ilmu Sosial dan Ekonomi Pertanian, Fakultas Pertanian IPB. Sitorus, MT. Felix Reklaim Tanah Hutan, Tipe-Tipe Reforma Agraria Dari Bawah di Dataran Tinggi Sulewasi Tengah. Jurnal Pembaharuan Desa dan Agraria (Bogor). Volume III Tahun III. Sunito, Satyawan Sosial Learning. Disampaikan dalam kuliah Komunikasi dan Manajemen Lintas Budaya Departemen SKPM, IPB, Bogor. Pada Tanggal 28 November Tobing, Donny Hari Pemerintahan Kabinet Indonesia Bersatu Jilid II. (diakses pada 18 November 2010 pukul WIB) Vel, Jacqueline dan Stepanus Makambombu Penggunaan Hukum Adat Terkait Tanah Pada Masa Kini di Samba, Nusa Tenggara Timur. Hukum Agraria dan Masyarakat di Indonesia: Studi Tentang Tanah, Kekayaan Alam, dan Ruang di Masa Kolonial dan Desentralisasi (Jakarta). Huma Press. Hal Wicaksono, Muhammad Arya Analisis Tingkat Partisipasi Warga dalam Tanggung Jawab Sosial Perusahaan (Studi Kasus PT. Isuzu Astra Indonesia Assy Plant Pondok Ungu). Skripsi. IPB. Bogor.

94 LAMPIRAN

95 79 PANDUAN PERTANYAAN UNTUK INFORMAN NAMA: TANGGAL: 1. Apakah pernah terjadi permasalahan lahan dengan pihak perkebunan? 2. Permasalahan lahan seperti apa yang terjadi? 3. Berapa kali permasalahan lahan tersebut muncul? 4. Di daerah mana permasalahan lahan terjadi? 5. Apa yang dilakukan petani untuk menyelesaikan masalah tersebut? 6. Apakah pernah terjadi gerakan petani untuk mendapatkan lahan? 7. Apa yang melatarbelakangi petani melakukan gerakan? 8. Kapan gerakan terjadi? 9. Siapa penggagas kegiatan? 10. Berapa kali gerakan dilakukan? 11. Kapan gerakan yang paling parah terjadi? 12. Siapa saja yang terlibat dalam gerakan? 13. Apakah ada organisasi eksternal yang mendukung? 14. Siapakah pihak eksternal yang mendukung petani untuk melakukan gerakan? 15. Apa yang dilakukan pihak eksternal untuk mendukung petani? 16. Bagaimana peran pihak eksternal dalam gerakan ini? 17. Apakah pernah terjadi tindak kekerasan? 18. Bagaimana bisa terjadi tindak kekerasan? 19. Apakah pihak perkebunan pernah melakukan tindak kekerasan terhadap petani? 20. Apakah pihak perkebunan melibatkan aparat kepolisian? 21. Bagaimana respon yang diberikan perkebunan terhadap kejadian ini? 22. Apakah hasil yang diperoleh petani setelah melakukan gerakan? 23. Masalah apa yang dihadapi petani dalam melakukan gerakan? 24. Bagaimana cara petani untuk mengatasi masalah tersebut? 25. Apakah masalah tersebut berpengaruh besar terhadap gerakan yang dilakukan petani? 26. Bagaimana respon yang diberikan pemerintah terhadap kejadian ini? 27. Apa saja yang dilakukan petani untuk mendapatkan lahan?

96 Strategi apa yang digunakan petani untuk mendapatkan lahan? 29. Apakah jalur hukum juga digunakan? 30. Dalam hal apa jalur hukum digunakan? 31. Apakah ada organisasi yang dibentuk oleh petani untuk mendapatkan lahan? 32. Apa nama organisasi tersebut? 33. Apa peran organisasi yang dibentuk oleh petani tersebut? 34. Apakah ada kesempatan politik yang dimanfaatkan petani dalam melakukan gerakan? 35. Apakah pada saat gerakan sedang ada PILKADA?

97 81 KUESIONER No responden: tanggal: A. Identitas Responden 1. Nama : 2. Umur :. Tahun 3. Alamat : Jenis kelamin : 5. Jumlah tanggungan : orang 6. Lama Pendidikan :... tahun 7. Mata pencaharian : a. buruh tani b. petani c. pegawai d. buruh bangunan e. lainnya, Pendapatan per bulan : a. < Rp b. > Rp B. Pemicu terjadinya gerakan dalam mendapatkan akses dan penguasaan atas lahan 1. Apakah anda mengolah lahan? a. Ya b. Tidak 2. Apa status lahan yang anda olah? a. Pinjam pakai b. Sewa c. Hak milik 3. Siapa pemilik tanah yang anda olah?......

98 82 4. Apakah anda memiliki lahan? a. Ya b. Tidak 5. Apakah ada usaha dalam mendapatkan lahan untuk diolah? a. Ya b. Tidak 6. Apakah ada usaha dalam memiliki lahan? a. Ya b. Tidak 7. Apakah anda ikut berpatisipasi dalam usaha mendapatkan lahan untuk diolah? a. Ya b. Tidak 8. Apakah anda ikut berpartisipasi dalam usaha mendapatkan kepemilikan lahan? a. Ya b. Tidak 9. Apakah anda setuju dengan dilakukannya usaha untuk dapat mengolah lahan? a. Ya b. Tidak 10. Apakah anda setuju dengan dilakukannya usaha untuk mendapatkan kepemilikan lahan? a. Ya b. Tidak 11. Tabel partisipasi petani dalam usaha untuk mendapatkan penguasaan lahan No Jenis usaha partisipasi perencanaan pelaksanaan Merekrut Penggagas anggota ide baru 1 Demo

99 83 2 reklaiming 3 Menempuh jalur hukum 12. Apakah anda pernah mendapat perlakuan kasar dari pihak pemerintah? Jika ya, jelaskan! Apakah anda pernah mendapat perlakuan kasar dari pihak perkebunan? Jika ya, jelaskan! Apa yang memicu terjadinya gerakan untuk mendapatkan lahan? 15. Apakah yang memicu anda ikut serta dalam gerakan tersebut? C. Strategi dan langkah yang dilakukan untuk mendapatkan akses dan penguasaan atas lahan 1. Apakah anda merencanakan terlebih dahulu apa yang harus dilakukan? a. Ya b. Tidak 2. Apa yang anda rencanakan untuk mendapatkan akses dan penguasaan atas lahan? 3. Apakah anda ikut aktif dalam upaya mendapatkan lahan? a. Ya b. Tidak

100 84 4. Apa yang anda lakukan untuk merencanakan gerakan yang akan dilakukan? a. Rapat b. Mencari informasi ke dinas terkait c. Tidak ada d. Lainnya, Apa yang anda lakukan untuk mendapatkan lahan? Peran apa yang anda mainkan dalam usaha untuk mendapatkan lahan? a. Ketua b. Pengurus c. Anggota d. Lain-lain, Apakah anda menggunakan jalur hukum untuk mendapatkan lahan? a. Ya b. Tidak 8. Dalam hal apa jalur hukum digunakan untuk mendapatkan lahan? Bentuk aksi massa apa yang anda lakukan untuk mendapatkan lahan? a. Demo b. Reklaiming/ambil paksa c. Membentuk organisasi d. Merekrut anggota baru e. Mencuri, mengumpat, berpura-pura tidak tahu, memperluas lahan secara diam-diam. f. Tidak ada 10. Apakah anda mengikuti demo? a. Ya (.dari. demo yang dilakukan) b. Tidak

101 Apakah menurut anda perlu dibentuknya organisasi petani? Jelaskan! Apakah menurut anda perlu digunakannya kekerasan dalam upaya untuk mendapatkan lahan? Jelaskan! D. Respon dari pihak lawan dan pemerintah 1. Apakah ada respon dari pemerintah? a. Ya b. Tidak 2. Apakah sifat respon yang diberikan? a. Membantu petani b. Membantu pihak lawan c. Tidak memihak manapun 3. Dalam bentuk apa respon yang diberikan pemerintah? a. Bantuan b. Kemudahan dalam birokrasi dan akses dalam melakukan pengaduan c. Lain-lain, Apakah ada respon dari pihak perkebunan? a. Ya b. Tidak 5. Apakah sifat respon yang diberikan pihak perkebunan? a. Mengabaikan b. Menentang c. Mengatasi masalah yang ada d. Lainnya, Dalam bentuk apa respon yang diberikan perkebunan? E. faktor-faktor yang mempengaruhi strategi perjuangan petani

102 86 1. Apakah ada organisasi atau pihak yang mendukung perjuangan yang dilakukan? a. Ya b. Tidak 2. Dukungan apa yang diberikan kepada petani? 3. Apakah petani membentuk organisasi untuk melakukan perjuangan? a. Ya b. Tidak 4. Apa nama organisasi itu? 5. Apakah anda pernah bergabung dengan organisasi? a. Ya b. Tidak 6. Organisasi dan jabatan apa yang pernah anda duduki? No Nama Organisasi Jabatan Lama menjabat (Bulan) 7. Apakah menurut anda ada aktor yang berperan aktif dalam melakukan perjuangan? a. Ya b. Tidak 8. Siapa sajakah aktor-aktor tersebut?......

103 87 9. Apakah anda memiliki relasi yang mendukung untuk melakukan perjuangan?(jika ya, isi tabel dibawah ini) a. Ya b. Tidak 10. Nama, jumlah dan tingkat kekuatan ikatan dengan relasi No Nama Relasi Jumlah Ikatan* Keterangan: * (sangat kuat, kuat, cukup kuat, tidak kuat, sangat tidak kuat) F. Distribusi Akses dan Penguasaan Atas Lahan 1. Apakah anda memiliki lahan sebelum terjadinya perjuangan? a. Ya b. Tidak 2. Berapa luas lahan yang anda miliki sebelum terjadinya perjuangan? a. > 0,3 hektar b. < 0,3 hektar c. Tidak punya 3. Apakah anda memiliki akses terhadap lahan sebelum terjadinya perjuangan? a. Ya b. Tidak 4. Berapa luas lahan yang dapat anda akses sebelum terjadinya perjuangan? a. > 0,3 hektar b. < 0,3 hektar c. Tidak punya 5. Apakah setelah terjadinya perjuangan anda memiliki tanah? a. Ya b. Tidak

104 88 6. Berapa luas lahan yang anda miliki? a. > 0,3 hektar b. < 0,3 hektar c. Tidak punya 7. Apakah status lahan tersebut? a. Hak milik b. Sewa c. Pinjam pakai 8. Apakah setelah terjadinya perjuangan anda dapat mengolah tanah? c. Ya d. Tidak 9. Berapa luas lahan yang anda olah setelah perjuangan? d. > 0,3 hektar e. < 0,3 hektar f. Tidak punya 10. Apakah status lahan tersebut? d. Hak milik e. Sewa f. Pinjam pakai

105 89 Gambar 1. Kawasan Pertanian Naimin Gambar 2. Tanaman Cabe Gambar 3. Jenis Tanaman Hortikultura Gambar 4. Tanaman Bunga Kol Gambar 5. Sketsa Peta Desa Cisarua Gambar 6. Penanda Kawasan Lindung Gambar 7. Budidaya Cabe Gambar 8. Kawasan Pertanian

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia sebagai negara agraris tentu menggantungkan masa depannya pada pertanian. Hal ini dibuktikan oleh banyaknya penduduk Indonesia yang tinggal di perdesaan dengan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Latar Belakang Terjadinya Gerakan Perjuangan Petani Peran negara yang semakin meluas dalam proses transformasi perdesaan menurut Scott (1993) mengakibatkan: (1) perubahan hubungan

Lebih terperinci

STRATEGI PERJUANGAN PETANI DALAM MENDAPATKAN AKSES DAN PENGUASAAN ATAS LAHAN

STRATEGI PERJUANGAN PETANI DALAM MENDAPATKAN AKSES DAN PENGUASAAN ATAS LAHAN ISSN : 1978-4333, Vol. 05, No. 01 STRATEGI PERJUANGAN PETANI DALAM MENDAPATKAN AKSES DAN PENGUASAAN ATAS LAHAN Farmer Struggle Strategy on Acess and Land Tenure Geidy Tiara Ariendi *) dan Rilus A. Kinseng

Lebih terperinci

PANDUAN PERTANYAAN UNTUK INFORMAN

PANDUAN PERTANYAAN UNTUK INFORMAN LAMPIRAN 79 PANDUAN PERTANYAAN UNTUK INFORMAN NAMA: TANGGAL: 1. Apakah pernah terjadi permasalahan lahan dengan pihak perkebunan? 2. Permasalahan lahan seperti apa yang terjadi? 3. Berapa kali permasalahan

Lebih terperinci

PENGARUH KONTRIBUSI EKONOMI DAN SUMBERDAYA PRIBADI PEREMPUAN TERHADAP PENGAMBILAN KEPUTUSAN DALAM RUMAHTANGGA

PENGARUH KONTRIBUSI EKONOMI DAN SUMBERDAYA PRIBADI PEREMPUAN TERHADAP PENGAMBILAN KEPUTUSAN DALAM RUMAHTANGGA PENGARUH KONTRIBUSI EKONOMI DAN SUMBERDAYA PRIBADI PEREMPUAN TERHADAP PENGAMBILAN KEPUTUSAN DALAM RUMAHTANGGA (Dusun Jatisari, Desa Sawahan, Kecamatan Ponjong, Kabupaten Gunungkidul, Propinsi Daerah Istimewa

Lebih terperinci

DAMPAK PEMBANGUNAN FASILITAS PARIWISATA TERHADAP PERUBAHAN STRUKTUR AGRARIA, KELEMBAGAAN DAN PELUANG USAHA DI PERDESAAN

DAMPAK PEMBANGUNAN FASILITAS PARIWISATA TERHADAP PERUBAHAN STRUKTUR AGRARIA, KELEMBAGAAN DAN PELUANG USAHA DI PERDESAAN DAMPAK PEMBANGUNAN FASILITAS PARIWISATA TERHADAP PERUBAHAN STRUKTUR AGRARIA, KELEMBAGAAN DAN PELUANG USAHA DI PERDESAAN (Kasus di Sekitar Kawasan Pariwisata Kota Bunga, Desa Sukanagalih, Kecamatan Pacet,

Lebih terperinci

Oleh : Dewi Mutia Handayani A

Oleh : Dewi Mutia Handayani A ANALISIS PROFITABILITAS DAN PENDAPATAN USAHATANI PADI SAWAH MENURUT LUAS DAN STATUS KEPEMILIKAN LAHAN (Studi Kasus Desa Karacak, Kecamatan Leuwiliang, Kabupaten Bogor, Jawa Barat) Oleh : Dewi Mutia Handayani

Lebih terperinci

BAB V STRATEGI PERJUANGAN PETANI DI DESA CISARUA DAN KEBERHASILANNYA

BAB V STRATEGI PERJUANGAN PETANI DI DESA CISARUA DAN KEBERHASILANNYA BAB V STRATEGI PERJUANGAN PETANI DI DESA CISARUA DAN KEBERHASILANNYA 5.1 Petani dan Permasalahannya Petani di Desa Cisarua dibagi ke dalam 3 golongan, yaitu petani kecil, petani sedang, dan petani besar

Lebih terperinci

EFEKTIVITAS ORGANISASI DAN IMPLEMENTASI PROGRAM CORPORATE SOCIAL RESPONSIBILITY PT. INDOCEMENT TUNGGAL PRAKARSA TBK. Oleh: Annisa Rahmawati I

EFEKTIVITAS ORGANISASI DAN IMPLEMENTASI PROGRAM CORPORATE SOCIAL RESPONSIBILITY PT. INDOCEMENT TUNGGAL PRAKARSA TBK. Oleh: Annisa Rahmawati I EFEKTIVITAS ORGANISASI DAN IMPLEMENTASI PROGRAM CORPORATE SOCIAL RESPONSIBILITY PT. INDOCEMENT TUNGGAL PRAKARSA TBK. Oleh: Annisa Rahmawati I34060667 DEPARTEMEN SAINS KOMUNIKASI DAN PENGEMBANGAN MASYARAKAT

Lebih terperinci

Oleh: ZAINUL AZMI A

Oleh: ZAINUL AZMI A FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI KEPUTUSAN PETANI MENGIKUTI PROGRAM PENGELOLAAN HUTAN BERSAMA MASYARAKAT SERTA PENGARUHNYA TERHADAP PENDAPATAN DAN CURAHAN KERJA (Studi Kasus Desa Babakan, Kecamatan Tenjo,

Lebih terperinci

MOTIF IBU RUMAH TANGGA PEMBACA MAJALAH WANITA (Kasus: Ibu Rumah Tangga Perumahan Taman Yasmin Sektor II, Kecamatan Bogor Barat, Kota Bogor)

MOTIF IBU RUMAH TANGGA PEMBACA MAJALAH WANITA (Kasus: Ibu Rumah Tangga Perumahan Taman Yasmin Sektor II, Kecamatan Bogor Barat, Kota Bogor) MOTIF IBU RUMAH TANGGA PEMBACA MAJALAH WANITA (Kasus: Ibu Rumah Tangga Perumahan Taman Yasmin Sektor II, Kecamatan Bogor Barat, Kota Bogor) Oleh: Intan Kusumawardani A14204040 PROGRAM STUDI KOMUNIKASI

Lebih terperinci

DAMPAK PELAKSANAAN PROGRAM CORPORATE SOCIAL RESPONSIBILITY

DAMPAK PELAKSANAAN PROGRAM CORPORATE SOCIAL RESPONSIBILITY DAMPAK PELAKSANAAN PROGRAM CORPORATE SOCIAL RESPONSIBILITY (CSR) PT. INDOCEMENT TUNGGAL PRAKARSA TBK TERHADAP MASYARAKAT LOKAL (Studi kasus di Desa Nambo, Kecamatan Klapanunggal, Kabupaten Bogor, Provinsi

Lebih terperinci

PENGARUH PENDAYAGUNAAN ZAKAT TERHADAP KEBERDAYAAN DAN PENGENTASAN KEMISKINAN RUMAH TANGGA

PENGARUH PENDAYAGUNAAN ZAKAT TERHADAP KEBERDAYAAN DAN PENGENTASAN KEMISKINAN RUMAH TANGGA PENGARUH PENDAYAGUNAAN ZAKAT TERHADAP KEBERDAYAAN DAN PENGENTASAN KEMISKINAN RUMAH TANGGA (Kasus: Program Urban Masyarakat Mandiri, Kelurahan Bidaracina, Kecamatan Jatinegara, Jakarta Timur) Oleh: DEVIALINA

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PERATURAN DAERAH KABUPATEN LANDAK NOMOR 2 TAHUN 2011 TENTANG PERUBAHAN ATAS PERATURAN DAERAH NOMOR 10 TAHUN 2008 TENTANG PENYELENGGARAAN USAHA PERKEBUNAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI LANDAK,

Lebih terperinci

EVALUASI ASPEK FUNGSI DAN KUALITAS ESTETIKA TANAMAN LANSKAP KEBUN RAYA BOGOR (Kasus : Pohon dan Perdu) IPAH NAPISAH A

EVALUASI ASPEK FUNGSI DAN KUALITAS ESTETIKA TANAMAN LANSKAP KEBUN RAYA BOGOR (Kasus : Pohon dan Perdu) IPAH NAPISAH A EVALUASI ASPEK FUNGSI DAN KUALITAS ESTETIKA TANAMAN LANSKAP KEBUN RAYA BOGOR (Kasus : Pohon dan Perdu) IPAH NAPISAH A34204014 DEPARTEMEN ARSITEKTUR LANSKAP FAKULTAS PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2009

Lebih terperinci

KONDISI KERJA KARYAWAN PEREMPUAN PERKEBUNAN DAN HUBUNGANNYA DENGAN KESEJAHTERAAN KELUARGA

KONDISI KERJA KARYAWAN PEREMPUAN PERKEBUNAN DAN HUBUNGANNYA DENGAN KESEJAHTERAAN KELUARGA KONDISI KERJA KARYAWAN PEREMPUAN PERKEBUNAN DAN HUBUNGANNYA DENGAN KESEJAHTERAAN KELUARGA (Kasus pada PT Perkebunan Nusantara (PTPN) VI Kebun Kayu Aro, Kecamatan Kayu Aro, Kabupaten Kerinci, Propinsi Jambi)

Lebih terperinci

SKRIPSI ARDIANSYAH H

SKRIPSI ARDIANSYAH H FAKTOR-FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN PRODUKTIVITAS KERJA PETANI KEBUN PLASMA KELAPA SAWIT (Studi Kasus Kebun Plasma PTP. Mitra Ogan, Kecamatan Peninjauan, Sumatra Selatan) SKRIPSI ARDIANSYAH H34066019

Lebih terperinci

FENOMENA TAWURAN SEBAGAI BENTUK AGRESIVITAS REMAJA

FENOMENA TAWURAN SEBAGAI BENTUK AGRESIVITAS REMAJA FENOMENA TAWURAN SEBAGAI BENTUK AGRESIVITAS REMAJA (Kasus Dua SMA Negeri di Kawasan Jakarta Selatan) ANGGA TAMIMI OESMAN DEPARTEMEN SAINS KOMUNIKASI DAN PENGEMBANGAN MASYARAKAT FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA

Lebih terperinci

BAB VII STRUKTUR AGRARIA DESA CIPEUTEUY

BAB VII STRUKTUR AGRARIA DESA CIPEUTEUY 117 BAB VII STRUKTUR AGRARIA DESA CIPEUTEUY Desa Cipeuteuy merupakan desa baru pengembangan dari Desa Kabandungan tahun 1985 yang pada awalnya adalah komunitas pendatang yang berasal dari beberapa daerah,

Lebih terperinci

PERUBAHAN STRUKTUR AGRARIA DAN PENGELOLAAN DAERAH ALIRAN SUNGAI (DAS) (Kasus Desa Tanjungsari, Kecamatan Sukaresik, Kabupaten Tasikmalaya, Jawa Barat)

PERUBAHAN STRUKTUR AGRARIA DAN PENGELOLAAN DAERAH ALIRAN SUNGAI (DAS) (Kasus Desa Tanjungsari, Kecamatan Sukaresik, Kabupaten Tasikmalaya, Jawa Barat) PERUBAHAN STRUKTUR AGRARIA DAN PENGELOLAAN DAERAH ALIRAN SUNGAI (DAS) (Kasus Desa Tanjungsari, Kecamatan Sukaresik, Kabupaten Tasikmalaya, Jawa Barat) WHENNIE SASFIRA ADLY DEPARTEMEN SAINS KOMUNIKASI DAN

Lebih terperinci

GERAKAN PETANI MELAWAN PTPN II DALAM MEMPERJUANGKAN KEPEMILIKAN TANAH DESA SEI LITUR TASIK KECAMATAN SAWIT SEBERANG KABUPATEN LANGKAT

GERAKAN PETANI MELAWAN PTPN II DALAM MEMPERJUANGKAN KEPEMILIKAN TANAH DESA SEI LITUR TASIK KECAMATAN SAWIT SEBERANG KABUPATEN LANGKAT GERAKAN PETANI MELAWAN PTPN II DALAM MEMPERJUANGKAN KEPEMILIKAN TANAH DESA SEI LITUR TASIK KECAMATAN SAWIT SEBERANG KABUPATEN LANGKAT SKRIPSI Guna Memenuhi Salah Satu Syarat Untuk Memperoleh Gelar Sarjana

Lebih terperinci

PERSEPSI TERHADAP PERATURAN LARANGAN MEROKOK

PERSEPSI TERHADAP PERATURAN LARANGAN MEROKOK PERSEPSI TERHADAP PERATURAN LARANGAN MEROKOK (Kasus : Perokok Aktif di Kelurahan Pela Mampang, Kecamatan Mampang Prapatan, Kotamadya Jakarta Selatan) Oleh DYAH ISTYAWATI A 14202002 PROGRAM STUDI KOMUNIKASI

Lebih terperinci

PENGARUH KEBIJAKAN PAJAK EKSPOR TERHADAP PERDAGANGAN MINYAK KELAPA SAWIT KASAR (Crude Palm Oil) INDONESIA. Oleh : RAMIAJI KUSUMAWARDHANA A

PENGARUH KEBIJAKAN PAJAK EKSPOR TERHADAP PERDAGANGAN MINYAK KELAPA SAWIT KASAR (Crude Palm Oil) INDONESIA. Oleh : RAMIAJI KUSUMAWARDHANA A PENGARUH KEBIJAKAN PAJAK EKSPOR TERHADAP PERDAGANGAN MINYAK KELAPA SAWIT KASAR (Crude Palm Oil) INDONESIA Oleh : RAMIAJI KUSUMAWARDHANA A 14104073 PROGRAM STUDI MANAJEMEN AGRIBISNIS FAKULTAS PERTANIAN

Lebih terperinci

ANALISIS STRATEGI PEMASARAN DEPO PEMASARAN IKAN (DPI) AIR TAWAR SINDANGWANGI Kabupaten Majalengka, Jawa Barat. Oleh : WIDYA ANJUNG PERTIWI A

ANALISIS STRATEGI PEMASARAN DEPO PEMASARAN IKAN (DPI) AIR TAWAR SINDANGWANGI Kabupaten Majalengka, Jawa Barat. Oleh : WIDYA ANJUNG PERTIWI A ANALISIS STRATEGI PEMASARAN DEPO PEMASARAN IKAN (DPI) AIR TAWAR SINDANGWANGI Kabupaten Majalengka, Jawa Barat Oleh : WIDYA ANJUNG PERTIWI A14104038 PROGRAM STUDI MANAJEMEN AGRIBISNIS FAKULTAS PERTANIAN

Lebih terperinci

TINGKAT PARTISIPASI WARGA DALAM PENYELENGGARAAN RADIO KOMUNITAS

TINGKAT PARTISIPASI WARGA DALAM PENYELENGGARAAN RADIO KOMUNITAS TINGKAT PARTISIPASI WARGA DALAM PENYELENGGARAAN RADIO KOMUNITAS (Kasus: Radio Komunitas Suara Kencana, Kecamatan Tanah Sareal, Kota Bogor) Oleh : AYU TRI PRATIWI A14204027 PROGRAM STUDI KOMUNIKASI DAN

Lebih terperinci

ARTANTI YULAIKA IRIANI A

ARTANTI YULAIKA IRIANI A DISTRIBUSI KEPEMILIKAN LAHAN PERTANIAN DAN SISTEM TENURIAL DI DESA-KOTA (Kasus Desa Cibatok 1, Kecamatan Cibungbulang, Kabupaten Bogor, Propinsi Jawa Barat) ARTANTI YULAIKA IRIANI A14204004 PROGRAM STUDI

Lebih terperinci

HUBUNGAN MUTU PELAYANAN DENGAN LOYALITAS PELANGGAN JASA PENGIRIMAN PAKET PADA KANTOR POS KOTA DEPOK. Oleh EMMA RAHMAWATI H

HUBUNGAN MUTU PELAYANAN DENGAN LOYALITAS PELANGGAN JASA PENGIRIMAN PAKET PADA KANTOR POS KOTA DEPOK. Oleh EMMA RAHMAWATI H HUBUNGAN MUTU PELAYANAN DENGAN LOYALITAS PELANGGAN JASA PENGIRIMAN PAKET PADA KANTOR POS KOTA DEPOK Oleh EMMA RAHMAWATI H24062692 DEPARTEMEN MANAJEMEN FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN INSTITUT PERTANIAN

Lebih terperinci

KAJIAN TENTANG HUBUNGAN PATRON KLIEN PEMETIK TEH DI PTPN VIII MALABAR DESA BANJARSARI KECAMATAN PANGALENGAN KABUPATEN BANDUNG

KAJIAN TENTANG HUBUNGAN PATRON KLIEN PEMETIK TEH DI PTPN VIII MALABAR DESA BANJARSARI KECAMATAN PANGALENGAN KABUPATEN BANDUNG 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Indonesia merupakan negara yang terletak di daerah garis khatulistiwa, hal tersebut menjadikan Indonesia beriklim tropis yang mempunyai dua musim (musim

Lebih terperinci

PENATAAN RUANG DALAM PERSPEKTIF PERTANAHAN

PENATAAN RUANG DALAM PERSPEKTIF PERTANAHAN PENATAAN RUANG DALAM PERSPEKTIF PERTANAHAN Oleh : Ir. Iwan Isa, M.Sc Direktur Penatagunaan Tanah Badan Pertanahan Nasional PENGANTAR Tanah merupakan karunia Tuhan Yang Maha Kuasa untuk kesejahteraan bangsa

Lebih terperinci

PRIMANA DEWI ALFIAN A PROGRAM STUDI KOMUNIKASI DAN PENGEMBANGAN MASYARAKAT FAKULTAS PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR

PRIMANA DEWI ALFIAN A PROGRAM STUDI KOMUNIKASI DAN PENGEMBANGAN MASYARAKAT FAKULTAS PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR ANALISIS PERMASALAHAN STRUKTURAL MASYARAKAT PETANI DAN PERAN PEMERINTAH DALAM PEMBANGUNAN PERTANIAN (Studi Kasus: Kelurahan Katulampa, Kecamatan Bogor Timur, Kota Bogor, Jawa Barat) Oleh: SUKMA PRIMANA

Lebih terperinci

KAJIAN SUMBERDAYA DANAU RAWA PENING UNTUK PENGEMBANGAN WISATA BUKIT CINTA, KABUPATEN SEMARANG, JAWA TENGAH

KAJIAN SUMBERDAYA DANAU RAWA PENING UNTUK PENGEMBANGAN WISATA BUKIT CINTA, KABUPATEN SEMARANG, JAWA TENGAH KAJIAN SUMBERDAYA DANAU RAWA PENING UNTUK PENGEMBANGAN WISATA BUKIT CINTA, KABUPATEN SEMARANG, JAWA TENGAH INTAN KUSUMA JAYANTI SKRIPSI DEPARTEMEN MANAJEMEN SUMBERDAYA PERAIRAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU

Lebih terperinci

Oleh : Apollonaris Ratu Daton A

Oleh : Apollonaris Ratu Daton A ANALISIS PENDAPATAN USAHATANI JAMBU MENTE (Anacardium Occidentale L.) (Kasus di Desa Ratulodong, Kecamatan Tanjung Bunga, Kabupaten Flores Timur, Propinsi Nusa Tenggara Timur ) Oleh : Apollonaris Ratu

Lebih terperinci

ANALISIS STRATEGI PENGEMBANGAN KEBUN RAYA BOGOR SEBAGAI OBJEK WISATA

ANALISIS STRATEGI PENGEMBANGAN KEBUN RAYA BOGOR SEBAGAI OBJEK WISATA ANALISIS STRATEGI PENGEMBANGAN KEBUN RAYA BOGOR SEBAGAI OBJEK WISATA SKRIPSI MUHAMMAD SALIM R H34076107 DEPARTEMEN AGRIBISNIS FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2010 RINGKASAN

Lebih terperinci

Makalah Manajemen Konflik

Makalah Manajemen Konflik Makalah Manajemen Konflik Disusun Oleh : Muhammad Ardan Fahmi (17082010008) JURUSAN SISTEM INFORMASI FAKULTAS ILMU KOMPUTER UNIVERSITAS PEMBANGUNAN NASIONAL VETERAN JAWA TIMUR 2017-2018 Daftar Isi Daftar

Lebih terperinci

ANALISIS EFISIENSI PRODUKSI DAN PENDAPATAN USAHATANI UBI KAYU (Studi Kasus Desa Pasirlaja, Kecamatan Sukaraja, Kabupaten Bogor) ALFIAN NUR AMRI

ANALISIS EFISIENSI PRODUKSI DAN PENDAPATAN USAHATANI UBI KAYU (Studi Kasus Desa Pasirlaja, Kecamatan Sukaraja, Kabupaten Bogor) ALFIAN NUR AMRI ANALISIS EFISIENSI PRODUKSI DAN PENDAPATAN USAHATANI UBI KAYU (Studi Kasus Desa Pasirlaja, Kecamatan Sukaraja, Kabupaten Bogor) ALFIAN NUR AMRI DEPARTEMEN EKONOMI SUMBERDAYA DAN LINGKUNGAN FAKULTAS EKONOMI

Lebih terperinci

KAPITAL SOSIAL MASYARAKAT DESA HUTAN DALAM MENGATASI KONFLIK PENGELOLAAN SUMBERDAYA HUTAN

KAPITAL SOSIAL MASYARAKAT DESA HUTAN DALAM MENGATASI KONFLIK PENGELOLAAN SUMBERDAYA HUTAN KAPITAL SOSIAL MASYARAKAT DESA HUTAN DALAM MENGATASI KONFLIK PENGELOLAAN SUMBERDAYA HUTAN (Studi kasus : Desa Taringgul Tengah, Kec. Wanayasa, Kab. Purwakarta) Oleh : RIA ARIYANTI A14204033 PROGRAM STUDI

Lebih terperinci

ANALISIS NILAI EKONOMI LAHAN (LAND RENT) PADA LAHAN PERTANIAN DAN PERMUKIMAN DI KECAMATAN CIAMPEA, KABUPATEN BOGOR. Oleh ANDIKA PAMBUDI A

ANALISIS NILAI EKONOMI LAHAN (LAND RENT) PADA LAHAN PERTANIAN DAN PERMUKIMAN DI KECAMATAN CIAMPEA, KABUPATEN BOGOR. Oleh ANDIKA PAMBUDI A ANALISIS NILAI EKONOMI LAHAN (LAND RENT) PADA LAHAN PERTANIAN DAN PERMUKIMAN DI KECAMATAN CIAMPEA, KABUPATEN BOGOR Oleh ANDIKA PAMBUDI A14304075 PROGRAM STUDI EKONOMI PERTANIAN DAN SUMBERDAYA FAKULTAS

Lebih terperinci

EVALUASI PROGRAM PEMBERDAYAAN MASYARAKAT

EVALUASI PROGRAM PEMBERDAYAAN MASYARAKAT EVALUASI PROGRAM PEMBERDAYAAN MASYARAKAT (Studi Kasus Proyek Kesehatan, Pendidikan dan Ekonomi Pada Program Pengembangan Wilayah atau Area Development Program (ADP) di Kelurahan Tengah, Kecamatan Kramat

Lebih terperinci

KONVERGENSI KEEFEKTIVAN KEPEMIMPINAN (Kasus Anggota Gabungan Kelompok Tani Pandan Wangi Desa Karehkel, Leuwiliang-Bogor) SKRIPSI FERRI FIRDAUS

KONVERGENSI KEEFEKTIVAN KEPEMIMPINAN (Kasus Anggota Gabungan Kelompok Tani Pandan Wangi Desa Karehkel, Leuwiliang-Bogor) SKRIPSI FERRI FIRDAUS KONVERGENSI KEEFEKTIVAN KEPEMIMPINAN (Kasus Anggota Gabungan Kelompok Tani Pandan Wangi Desa Karehkel, Leuwiliang-Bogor) SKRIPSI FERRI FIRDAUS PROGRAM STUDI SOSIAL EKONOMI PETERNAKAN FAKULTAS PETERNAKAN

Lebih terperinci

ANALISIS KEUNTUNGAN DAN STRATEGI PENGEMBANGAN USAHA AYAM GORENG WARALABA DAN NON WARALABA

ANALISIS KEUNTUNGAN DAN STRATEGI PENGEMBANGAN USAHA AYAM GORENG WARALABA DAN NON WARALABA ANALISIS KEUNTUNGAN DAN STRATEGI PENGEMBANGAN USAHA AYAM GORENG WARALABA DAN NON WARALABA (Kasus: Restoran Kentucky Fried Chicken (KFC) Taman Topi dan Rahat Cafe di Bogor) SKRIPSI BESTARI DEWI NOVIATNI

Lebih terperinci

PENGELOLAAN SUMBERDAYA PESISIR UNTUK PENGEMBANGAN EKOWISATA BAHARI DI PANTAI BINANGUN, KABUPATEN REMBANG, JAWA TENGAH

PENGELOLAAN SUMBERDAYA PESISIR UNTUK PENGEMBANGAN EKOWISATA BAHARI DI PANTAI BINANGUN, KABUPATEN REMBANG, JAWA TENGAH PENGELOLAAN SUMBERDAYA PESISIR UNTUK PENGEMBANGAN EKOWISATA BAHARI DI PANTAI BINANGUN, KABUPATEN REMBANG, JAWA TENGAH BUNGA PRAGAWATI Skripsi DEPARTEMEN MANAJEMEN SUMBERDAYA PERAIRAN FAKULTAS PERIKANAN

Lebih terperinci

PERANAN PEKERJA ANAK DI INDUSTRI KECIL SANDAL TERHADAP PENDAPATAN RUMAHTANGGA DAN KESEJAHTERAAN DIRINYA

PERANAN PEKERJA ANAK DI INDUSTRI KECIL SANDAL TERHADAP PENDAPATAN RUMAHTANGGA DAN KESEJAHTERAAN DIRINYA i PERANAN PEKERJA ANAK DI INDUSTRI KECIL SANDAL TERHADAP PENDAPATAN RUMAHTANGGA DAN KESEJAHTERAAN DIRINYA (Kasus: Desa Parakan, Kecamatan Ciomas, Kabupaten Bogor, Provinsi Jawa Barat) Oleh : ANNISA AVIANTI

Lebih terperinci

PERSEPSI KARYAWAN TENTANG HUBUNGAN RESTRUKTURISASI ORGANISASI DENGAN KINERJA KARYAWAN. Oleh : DEVIANI PERTIWI H

PERSEPSI KARYAWAN TENTANG HUBUNGAN RESTRUKTURISASI ORGANISASI DENGAN KINERJA KARYAWAN. Oleh : DEVIANI PERTIWI H PERSEPSI KARYAWAN TENTANG HUBUNGAN RESTRUKTURISASI ORGANISASI DENGAN KINERJA KARYAWAN (Studi Kasus PD Pasar Jaya Unit Area 03 Pramuka, Jakarta Timur) Oleh : DEVIANI PERTIWI H24051693 DEPARTEMEN MANAJEMEN

Lebih terperinci

ANALISIS WILLINGNESS TO ACCEPT MASYARAKAT TERHADAP PEMBAYARAN JASA LINGKUNGAN DAS CIDANAU (Studi Kasus Desa Citaman Kabupaten Serang) ANI TRIANI

ANALISIS WILLINGNESS TO ACCEPT MASYARAKAT TERHADAP PEMBAYARAN JASA LINGKUNGAN DAS CIDANAU (Studi Kasus Desa Citaman Kabupaten Serang) ANI TRIANI ANALISIS WILLINGNESS TO ACCEPT MASYARAKAT TERHADAP PEMBAYARAN JASA LINGKUNGAN DAS CIDANAU (Studi Kasus Desa Citaman Kabupaten Serang) ANI TRIANI DEPARTEMEN EKONOMI SUMBERDAYA DAN LINGKUNGAN FAKULTAS EKONOMI

Lebih terperinci

PEMBERDAYAAN EKONOMI KELOMPOK USAHA RUMAH TANGGA BERBASIS MODAL SOSIAL. (Studi Kasus: Kelompok Usaha Pengrajin Tahu Tempe di Kedaung, Ciputat- Banten)

PEMBERDAYAAN EKONOMI KELOMPOK USAHA RUMAH TANGGA BERBASIS MODAL SOSIAL. (Studi Kasus: Kelompok Usaha Pengrajin Tahu Tempe di Kedaung, Ciputat- Banten) PEMBERDAYAAN EKONOMI KELOMPOK USAHA RUMAH TANGGA BERBASIS MODAL SOSIAL (Studi Kasus: Kelompok Usaha Pengrajin Tahu Tempe di Kedaung, Ciputat- Banten) NUR PUTRI AMANAH DEPARTEMEN SAINS KOMUNIKASI DAN PENGEMBANGAN

Lebih terperinci

KEEFEKTIFAN KOMUNIKASI ORGANISASI DAN IMPLIKASINYA TERHADAP KINERJA KARYAWAN DI BAGIAN WEAVING PT. UNITEX TBK, BOGOR

KEEFEKTIFAN KOMUNIKASI ORGANISASI DAN IMPLIKASINYA TERHADAP KINERJA KARYAWAN DI BAGIAN WEAVING PT. UNITEX TBK, BOGOR KEEFEKTIFAN KOMUNIKASI ORGANISASI DAN IMPLIKASINYA TERHADAP KINERJA KARYAWAN DI BAGIAN WEAVING PT. UNITEX TBK, BOGOR Oleh EVITA DWI PRANOVITANTY A 14203053 PROGRAM STUDI KOMUNIKASI DAN PENGEMBANGAN MASYARAKAT

Lebih terperinci

PERAMALAN PRODUKSI DAN KONSUMSI UBI JALAR NASIONAL DALAM RANGKA RENCANA PROGRAM DIVERSIFIKASI PANGAN POKOK. Oleh: NOVIE KRISHNA AJI A

PERAMALAN PRODUKSI DAN KONSUMSI UBI JALAR NASIONAL DALAM RANGKA RENCANA PROGRAM DIVERSIFIKASI PANGAN POKOK. Oleh: NOVIE KRISHNA AJI A PERAMALAN PRODUKSI DAN KONSUMSI UBI JALAR NASIONAL DALAM RANGKA RENCANA PROGRAM DIVERSIFIKASI PANGAN POKOK Oleh: NOVIE KRISHNA AJI A14104024 PROGRAM STUDI MANAJEMEN AGRIBISNIS FAKULTAS PERTANIAN INSTITUT

Lebih terperinci

ANALISIS PELAKSANAAN REDISTRIBUSI TANAH DALAM RANGKA REFORMA AGRARIA DI KABUPATEN PATI. Oleh: Darsini

ANALISIS PELAKSANAAN REDISTRIBUSI TANAH DALAM RANGKA REFORMA AGRARIA DI KABUPATEN PATI. Oleh: Darsini ANALISIS PELAKSANAAN REDISTRIBUSI TANAH DALAM RANGKA REFORMA AGRARIA DI KABUPATEN PATI Oleh: Darsini PROGRAM STUDI MANAJEMEN DAN BISNIS SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2011 Hak cipta milik

Lebih terperinci

ANALISIS BIAYA DAN PROFITABILITAS PRODUKSI ROTI PADA BELLA BAKERY DI PONDOK GEDE, BEKASI. Oleh : TANTRI DEWI PUTRIYANA A

ANALISIS BIAYA DAN PROFITABILITAS PRODUKSI ROTI PADA BELLA BAKERY DI PONDOK GEDE, BEKASI. Oleh : TANTRI DEWI PUTRIYANA A ANALISIS BIAYA DAN PROFITABILITAS PRODUKSI ROTI PADA BELLA BAKERY DI PONDOK GEDE, BEKASI Oleh : TANTRI DEWI PUTRIYANA A14104105 PROGRAM STUDI MANAJEMEN AGRIBISNIS FAKULTAS PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN

Lebih terperinci

EKSISTENSI NILAI SOSIAL BUDAYA PENDUDUK ASLI DI SEKITAR PERUMAHAN JEMBER PERMAI I KABUPATEN JEMBER

EKSISTENSI NILAI SOSIAL BUDAYA PENDUDUK ASLI DI SEKITAR PERUMAHAN JEMBER PERMAI I KABUPATEN JEMBER EKSISTENSI NILAI SOSIAL BUDAYA PENDUDUK ASLI DI SEKITAR PERUMAHAN JEMBER PERMAI I KABUPATEN JEMBER (Studi Deskriptif di Lingkungan Krajan Timur Kelurahan Sumbersari Kecamatan Sumbersari Kabupaten Jember)

Lebih terperinci

PEMBERDAYAAN KOMUNITAS MISKIN

PEMBERDAYAAN KOMUNITAS MISKIN PEMBERDAYAAN KOMUNITAS MISKIN (Studi Kasus di Desa Mambalan Kecamatan Gunungsari Kabupaten Lombok Barat Propinsi NTB) CHANDRA APRINOVA SEKOLAH PASCA SARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2006 @ Hak Cipta

Lebih terperinci

Menimbang : Mengingat :

Menimbang : Mengingat : Menimbang : PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6 TAHUN 1999 TENTANG PENGUSAHAAN HUTAN DAN PEMUNGUTAN HASIL HUTAN PADA HUTAN PRODUKSI PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, a. bahwa hutan produksi di Indonesia

Lebih terperinci

KINERJA KARYAWAN PT. PERKEBUNAN NUSANTARA XII WILAYAH I GUNUNG GUMITIR

KINERJA KARYAWAN PT. PERKEBUNAN NUSANTARA XII WILAYAH I GUNUNG GUMITIR KINERJA KARYAWAN PT. PERKEBUNAN NUSANTARA XII WILAYAH I GUNUNG GUMITIR Employee s Perfomance in PT. Perkebunan Nusantara XII Area I Gunung Gumitir SKRIPSI Oleh Vivin Kartika Wardani NIM 100910201061 PROGRAM

Lebih terperinci

ANALISIS EKONOMI KELEMBAGAAN PEMASARAN CPO PRODUKSI P.T. PERKEBUNAN NUSANTARA (PTPN) (Kasus Kantor Pemasaran Bersama (KPB) PTPN Jakarta)

ANALISIS EKONOMI KELEMBAGAAN PEMASARAN CPO PRODUKSI P.T. PERKEBUNAN NUSANTARA (PTPN) (Kasus Kantor Pemasaran Bersama (KPB) PTPN Jakarta) ANALISIS EKONOMI KELEMBAGAAN PEMASARAN CPO PRODUKSI P.T. PERKEBUNAN NUSANTARA (PTPN) (Kasus Kantor Pemasaran Bersama (KPB) PTPN Jakarta) OLEH HENGKY GAMES JS H14053064 DEPARTEMEN ILMU EKONOMI FAKULTAS

Lebih terperinci

PERSEPSI MAHASISWA TERHADAP KESADARAN GENDER

PERSEPSI MAHASISWA TERHADAP KESADARAN GENDER PERSEPSI MAHASISWA TERHADAP KESADARAN GENDER (Kasus Mahasiswa Departemen Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat Tahun Masuk 2006, Fakultas Ekologi Manusia) ALWIN TAHER I34051845 DEPARTEMEN SAINS

Lebih terperinci

DAMPAK FRAGMENTASI LAHAN TERHADAP BIAYA PRODUKSI DAN BIAYA TRANSAKSI PETANI PEMILIK

DAMPAK FRAGMENTASI LAHAN TERHADAP BIAYA PRODUKSI DAN BIAYA TRANSAKSI PETANI PEMILIK DAMPAK FRAGMENTASI LAHAN TERHADAP BIAYA PRODUKSI DAN BIAYA TRANSAKSI PETANI PEMILIK (Kasus: Desa Ciaruteun Udik, Kecamatan Cibungbulang, Kabupaten Bogor, Propinsi Jawa Barat) OLEH: CORRY WASTU LINGGA PUTRA

Lebih terperinci

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1 Lahirnya Kelembagaan Lahirnya kelembagaan diawali dari kesamaan karakteristik dan tujuan masing-masing orang dalam kelompok tersebut. Kesamaan kepentingan menyebabkan adanya

Lebih terperinci

ANALISIS FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PENAWARAN EKSPOR BIJI KAKAO INDONESIA OLEH IRMA KOMALASARI H

ANALISIS FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PENAWARAN EKSPOR BIJI KAKAO INDONESIA OLEH IRMA KOMALASARI H ANALISIS FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PENAWARAN EKSPOR BIJI KAKAO INDONESIA OLEH IRMA KOMALASARI H14104044 DEPARTEMEN ILMU EKONOMI FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2009 RINGKASAN

Lebih terperinci

SKRIPSI. Oleh YELLY ELANDA NIM

SKRIPSI. Oleh YELLY ELANDA NIM IMPLIKASI SISTEM SEWA LAHAN TERHADAP RELASI SOSIAL PETANI JERUK DI JEMBER LAND RENTAL SYSTEM AND IT S IMPLICATION TO SOCIAL RELATION AMONG THE FARMER OF ORANGE IN JEMBER SKRIPSI Oleh YELLY ELANDA NIM 080910302011

Lebih terperinci

PENGELOLAAN LANSKAP JALUR HIJAU KOTA JALAN JENDERAL SUDIRMAN JAKARTA PADA DINAS PERTAMANAN DKI JAKARTA. Oleh : RIDHO DWIANTO A

PENGELOLAAN LANSKAP JALUR HIJAU KOTA JALAN JENDERAL SUDIRMAN JAKARTA PADA DINAS PERTAMANAN DKI JAKARTA. Oleh : RIDHO DWIANTO A PENGELOLAAN LANSKAP JALUR HIJAU KOTA JALAN JENDERAL SUDIRMAN JAKARTA PADA DINAS PERTAMANAN DKI JAKARTA Oleh : RIDHO DWIANTO A34204013 PROGRAM STUDI ARSITEKTUR LANSKAP FAKULTAS PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN

Lebih terperinci

SIKAP RASIONAL PETANI DAN KONFLIK PEMANFAATAN LAHAN PERTANIAN DI PERDESAAN. Sri Maharani

SIKAP RASIONAL PETANI DAN KONFLIK PEMANFAATAN LAHAN PERTANIAN DI PERDESAAN. Sri Maharani SIKAP RASIONAL PETANI DAN KONFLIK PEMANFAATAN LAHAN PERTANIAN DI PERDESAAN (Studi Kasus Desa Cibatok Satu, Kecamatan Cibungbulang, Kabupaten Bogor, Provinsi Jawa Barat) Oleh : Sri Maharani A14204015 PROGRAM

Lebih terperinci

PERANAN KELEMBAGAAN DAN TINDAKAN KOMUNIKASI DALAM PENYELESAIAN KONFLIK DI TAMAN NASIONAL UJUNG KULON ETIK SULISTIOWATI NINGSIH

PERANAN KELEMBAGAAN DAN TINDAKAN KOMUNIKASI DALAM PENYELESAIAN KONFLIK DI TAMAN NASIONAL UJUNG KULON ETIK SULISTIOWATI NINGSIH PERANAN KELEMBAGAAN DAN TINDAKAN KOMUNIKASI DALAM PENYELESAIAN KONFLIK DI TAMAN NASIONAL UJUNG KULON ETIK SULISTIOWATI NINGSIH SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2008 PERNYATAAN MENGENAI

Lebih terperinci

ANALISIS PERMINTAAN DAN SURPLUS KONSUMEN TAMAN WISATA ALAM SITU GUNUNG DENGAN METODE BIAYA PERJALANAN RANI APRILIAN

ANALISIS PERMINTAAN DAN SURPLUS KONSUMEN TAMAN WISATA ALAM SITU GUNUNG DENGAN METODE BIAYA PERJALANAN RANI APRILIAN ANALISIS PERMINTAAN DAN SURPLUS KONSUMEN TAMAN WISATA ALAM SITU GUNUNG DENGAN METODE BIAYA PERJALANAN RANI APRILIAN DEPARTEMEN EKONOMI SUMBERDAYA DAN LINGKUNGAN FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN INSTITUT

Lebih terperinci

POLA KESEMPATAN KERJA DI DAERAH PERTAMBANGAN EMAS GUNUNG PONGKOR

POLA KESEMPATAN KERJA DI DAERAH PERTAMBANGAN EMAS GUNUNG PONGKOR POLA KESEMPATAN KERJA DI DAERAH PERTAMBANGAN EMAS GUNUNG PONGKOR (Studi Kasus : Desa Bantar Karet, Desa Cisarua, Desa Malasari, Kecamatan Nanggung, Kabupaten Bogor) SITI MARYATI SETIANINGSIH DEPARTEMEN

Lebih terperinci

PENGELOLAAN LANSKAP DAN PEMELIHARAAN TAMAN MENTENG JAKARTA PUSAT PADA DINAS PERTAMANAN PROVINSI DKI JAKARTA. Oleh : Mustika Retno Arsyanur A

PENGELOLAAN LANSKAP DAN PEMELIHARAAN TAMAN MENTENG JAKARTA PUSAT PADA DINAS PERTAMANAN PROVINSI DKI JAKARTA. Oleh : Mustika Retno Arsyanur A PENGELOLAAN LANSKAP DAN PEMELIHARAAN TAMAN MENTENG JAKARTA PUSAT PADA DINAS PERTAMANAN PROVINSI DKI JAKARTA Oleh : Mustika Retno Arsyanur A34204025 PROGRAM STUDI ARSITEKTUR LANSKAP FAKULTAS PERTANIAN INSTITUT

Lebih terperinci

PENENTUAN LUASAN OPTIMAL HUTAN KOTA SEBAGAI ROSOT GAS KARBONDIOKSIDA (STUDI KASUS DI KOTA BOGOR) HERDIANSAH

PENENTUAN LUASAN OPTIMAL HUTAN KOTA SEBAGAI ROSOT GAS KARBONDIOKSIDA (STUDI KASUS DI KOTA BOGOR) HERDIANSAH PENENTUAN LUASAN OPTIMAL HUTAN KOTA SEBAGAI ROSOT GAS KARBONDIOKSIDA (STUDI KASUS DI KOTA BOGOR) HERDIANSAH DEPARTEMEN KONSERVASI SUMBERDAYA HUTAN DAN EKOWISATA FAKULTAS KEHUTANAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Krisis agraria menyebabkan terjadinya kelangkaan tanah, sedangkan kebutuhan tanah bagi manusia semakin besar. Kebutuhan tanah yang semakin besar ini sejalan dengan

Lebih terperinci

ANALISIS KELEMBAGAAN IRIGASI DALAM RANGKA PROYEK REHABILITASI SISTEM DAN BANGUNAN IRIGASI

ANALISIS KELEMBAGAAN IRIGASI DALAM RANGKA PROYEK REHABILITASI SISTEM DAN BANGUNAN IRIGASI ANALISIS KELEMBAGAAN IRIGASI DALAM RANGKA PROYEK REHABILITASI SISTEM DAN BANGUNAN IRIGASI (Kasus Kawasan Irigasi Teknis Cigamea, Desa Situ Ilir, Kecamatan Cibungbulang, Kabupaten Bogor, Provinsi Jawa Barat)

Lebih terperinci

KESENJANGAN PRODUKSI DAN EKSPOR PRODUK PERTANIAN ANTARA KAWASAN BARAT DENGAN KAWASAN TIMUR INDONESIA. Disusun Oleh: Ainun Mardiah A

KESENJANGAN PRODUKSI DAN EKSPOR PRODUK PERTANIAN ANTARA KAWASAN BARAT DENGAN KAWASAN TIMUR INDONESIA. Disusun Oleh: Ainun Mardiah A KESENJANGAN PRODUKSI DAN EKSPOR PRODUK PERTANIAN ANTARA KAWASAN BARAT DENGAN KAWASAN TIMUR INDONESIA Disusun Oleh: Ainun Mardiah A14303053 PROGRAM STUDI EKONOMI PERTANIAN DAN SUMBERDAYA FAKULTAS PERTANIAN

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. mengelola tanah hingga menanam bibit sampai menjadi padi semuanya dilakukan

BAB I PENDAHULUAN. mengelola tanah hingga menanam bibit sampai menjadi padi semuanya dilakukan BAB I PENDAHULUAN A. ANALISA SITUASI PROBLEMATIK Tanah merupakan lambang kekuasaan terpenting dari seorang petani, dari mengelola tanah hingga menanam bibit sampai menjadi padi semuanya dilakukan di tanah,

Lebih terperinci

PROGRAM STUDI AGRIBISNIS FAKULTAS PERTANIAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN 2016

PROGRAM STUDI AGRIBISNIS FAKULTAS PERTANIAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN 2016 TINGKAT ADOPSI PETANI TERHADAP PROGRAM KRPL (KAWASAN RUMAH PANGAN LESTARI) DAN HUBUNGANNYA DENGAN KARAKTERISTIK SOSIAL EKONOMI PETANI (Studi Kasus : Kelurahan Jati Utomo, Kecamatan Binjai Utara, Kota Binjai)

Lebih terperinci

1.1 LATAR BELAKANG MASALAH

1.1 LATAR BELAKANG MASALAH BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG MASALAH Konflik di Provinsi Riau meningkat seiring dengan keluarnya beberapa izin perkebunan, dan diduga disebabkan oleh lima faktor yang saling terkait, yakni pertumbuhan

Lebih terperinci

PERSEPSI DAN PARTISIPASI PETERNAK TENTANG PROGRAM PERGULIRAN TERNAK DOMBA

PERSEPSI DAN PARTISIPASI PETERNAK TENTANG PROGRAM PERGULIRAN TERNAK DOMBA PERSEPSI DAN PARTISIPASI PETERNAK TENTANG PROGRAM PERGULIRAN TERNAK DOMBA (Kasus Kelompok Tani Mandiri, Desa Laladon, Kecamatan Ciomas, Kabupaten Bogor) SKRIPSI RENDY JUARSYAH PROGRAM STUDI SOSIAL EKONOMI

Lebih terperinci

STRATEGI BERTAHAN HIDUP PEREMPUAN KEPALA KELUARGA SEBAGAI BURUH TANI (Studi Deskriptif di Desa Cluring Kecamatan Cluring Kabupaten Banyuwangi)

STRATEGI BERTAHAN HIDUP PEREMPUAN KEPALA KELUARGA SEBAGAI BURUH TANI (Studi Deskriptif di Desa Cluring Kecamatan Cluring Kabupaten Banyuwangi) STRATEGI BERTAHAN HIDUP PEREMPUAN KEPALA KELUARGA SEBAGAI BURUH TANI (Studi Deskriptif di Desa Cluring Kecamatan Cluring Kabupaten Banyuwangi) SKRIPSI Oleh Eliya Sagita Putri NIM 090910301045 JURUSAN ILMU

Lebih terperinci

DAN PEMASARAN NENAS BOGOR BOGOR SNIS SKRIPSI H

DAN PEMASARAN NENAS BOGOR BOGOR SNIS SKRIPSI H ANALISIS PENDAPATAN USAHATANI DAN PEMASARAN NENAS BOGOR Di Desa Sukaluyu, Kecamatan Taman Sari, Kabupaten Bogor SKRIPSI ERIK LAKSAMANA SIREGAR H 34076059 DEPARTEMEN AGRIBIS SNIS FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN

Lebih terperinci

NILAI KERJA PERTANIAN PADA MAHASISWA BATAK TOBA (Kasus Pada Mahasiswa Batak Toba Angkatan Tahun 2005 Institut Pertanian Bogor)

NILAI KERJA PERTANIAN PADA MAHASISWA BATAK TOBA (Kasus Pada Mahasiswa Batak Toba Angkatan Tahun 2005 Institut Pertanian Bogor) NILAI KERJA PERTANIAN PADA MAHASISWA BATAK TOBA (Kasus Pada Mahasiswa Batak Toba Angkatan Tahun 2005 Institut Pertanian Bogor) Oleh: Rianti TM Marbun A14204006 PROGRAM STUDI KOMUNIKASI DAN PENGEMBANGAN

Lebih terperinci

BAB V KESIMPULAN. didukung berbagai sumber lainnya, menunjukkan bahwa terjadinya kontinuitas

BAB V KESIMPULAN. didukung berbagai sumber lainnya, menunjukkan bahwa terjadinya kontinuitas BAB V KESIMPULAN Berdasarkan hasil analisis dari temuan penelitian di lapangan dan didukung berbagai sumber lainnya, menunjukkan bahwa terjadinya kontinuitas penguasaan tanah ulayat oleh negara sejak masa

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Sajogyo (1986) dalam bukunya sosiologi pembangunan menyebutkan bahwa pembangunan tidak terlepas dari modernisasi. Pembangunan sendiri memiliki begitu banyak definisi

Lebih terperinci

EFEKTIVITAS KOMUNIKASI ANTARA RUMAHTANGGA SANGAT MISKIN PENERIMA BANTUAN TUNAI DAN PENDAMPING PROGRAM KELUARGA HARAPAN

EFEKTIVITAS KOMUNIKASI ANTARA RUMAHTANGGA SANGAT MISKIN PENERIMA BANTUAN TUNAI DAN PENDAMPING PROGRAM KELUARGA HARAPAN i EFEKTIVITAS KOMUNIKASI ANTARA RUMAHTANGGA SANGAT MISKIN PENERIMA BANTUAN TUNAI DAN PENDAMPING PROGRAM KELUARGA HARAPAN Kasus Kelurahan Balumbang Jaya Kecamatan Bogor Barat Kota Bogor Oleh : PARNAMIAN

Lebih terperinci

8 KESIMPULAN DAN SARAN

8 KESIMPULAN DAN SARAN 8 KESIMPULAN DAN SARAN 8.1. Kesimpulan Dalam konteks kelembagaan pengelolaan hutan, sistem pengelolaan hutan bukan hanya merupakan representasi keberadaan lembaga regulasi negara, melainkan masyarakat

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI RISET, TEKNOLOGI, DAN PENDIDIKAN TINGGI

PERATURAN MENTERI RISET, TEKNOLOGI, DAN PENDIDIKAN TINGGI SALINAN MENTERI RISET, TEKNOLOGI, DAN PENDIDIKAN TINGGI REPUBLIK INDONESIA PERATURAN MENTERI RISET, TEKNOLOGI, DAN PENDIDIKAN TINGGI REPUBLIK INDONESIA NOMOR 100 TAHUN 2016 TENTANG PENDIRIAN, PERUBAHAN,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Sumber daya alam tersebut tersebar di seluruh propinsi yang ada di

BAB I PENDAHULUAN. Sumber daya alam tersebut tersebar di seluruh propinsi yang ada di 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Indonesia merupakan negara yang memiliki sumber daya alam yang cukup banyak. Di sektor pertanian, perkebunan, perikanan, peternakan, pertambangan dan energi.

Lebih terperinci

FORMULASI STRATEGI PEMASARAN OBAT TRADISIONAL PADA TAMAN SYIFA DI KOTA BOGOR, JAWA BARAT. Oleh : FANNY SEFTA ADITYA PUTRI A

FORMULASI STRATEGI PEMASARAN OBAT TRADISIONAL PADA TAMAN SYIFA DI KOTA BOGOR, JAWA BARAT. Oleh : FANNY SEFTA ADITYA PUTRI A FORMULASI STRATEGI PEMASARAN OBAT TRADISIONAL PADA TAMAN SYIFA DI KOTA BOGOR, JAWA BARAT Oleh : FANNY SEFTA ADITYA PUTRI A14104093 PROGRAM STUDI MANAJEMEN AGRIBISNIS FAKULTAS PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN

Lebih terperinci

STUDI PENGELOLAAN KAWASAN PESISIR UNTUK KEGIATAN WISATA PANTAI (KASUS PANTAI TELENG RIA KABUPATEN PACITAN, JAWA TIMUR)

STUDI PENGELOLAAN KAWASAN PESISIR UNTUK KEGIATAN WISATA PANTAI (KASUS PANTAI TELENG RIA KABUPATEN PACITAN, JAWA TIMUR) STUDI PENGELOLAAN KAWASAN PESISIR UNTUK KEGIATAN WISATA PANTAI (KASUS PANTAI TELENG RIA KABUPATEN PACITAN, JAWA TIMUR) ANI RAHMAWATI Skripsi DEPARTEMEN MANAJEMEN SUMBERDAYA PERAIRAN FAKULTAS PERIKANAN

Lebih terperinci

Masalah pertanahan mendapat perhatian yang serius dari para pendiri negara. Perhatian

Masalah pertanahan mendapat perhatian yang serius dari para pendiri negara. Perhatian BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Permasalahan Tanah adalah karunia dari Tuhan Yang Maha Esa. Tanah diciptakan oleh Tuhan sebagai tempat makhluk-makhluk yang diciptakannya beraktifitas, termasuk manusia.

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. ketimpangan struktur agraria, kemiskinan dan ketahanan pangan, dan

I. PENDAHULUAN. ketimpangan struktur agraria, kemiskinan dan ketahanan pangan, dan I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Reforma agraria merupakan jawaban yang muncul terhadap masalah ketimpangan struktur agraria, kemiskinan dan ketahanan pangan, dan pembangunan pedesaan di berbagai belahan

Lebih terperinci

PERANAN PESANTREN AL ZAYTUN TERHADAP PENINGKATAN PRODUKSI DAN PENDAPATAN USAHATANI PADI DI KECAMATAN GANTAR, KABUPATEN INDRAMAYU, JAWA BARAT

PERANAN PESANTREN AL ZAYTUN TERHADAP PENINGKATAN PRODUKSI DAN PENDAPATAN USAHATANI PADI DI KECAMATAN GANTAR, KABUPATEN INDRAMAYU, JAWA BARAT PERANAN PESANTREN AL ZAYTUN TERHADAP PENINGKATAN PRODUKSI DAN PENDAPATAN USAHATANI PADI DI KECAMATAN GANTAR, KABUPATEN INDRAMAYU, JAWA BARAT OLEH: ARYANI PRAMESTI A 14301019 PROGRAM STUDI EKONOMI PERTANIAN

Lebih terperinci

ANALISIS PANGSA PASAR DAN TATANIAGA KOPI ARABIKA DI KABUPATEN TANA TORAJA DAN ENREKANG, SULAWESI SELATAN IMA AISYAH SALLATU

ANALISIS PANGSA PASAR DAN TATANIAGA KOPI ARABIKA DI KABUPATEN TANA TORAJA DAN ENREKANG, SULAWESI SELATAN IMA AISYAH SALLATU ANALISIS PANGSA PASAR DAN TATANIAGA KOPI ARABIKA DI KABUPATEN TANA TORAJA DAN ENREKANG, SULAWESI SELATAN IMA AISYAH SALLATU SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2006 SURAT PERNYATAAN Saya

Lebih terperinci

BAB IV PENUTUP. 1. Kesimpulan. Penelitian ini menarasikan gerakan-gerakan yang dilakukan oleh

BAB IV PENUTUP. 1. Kesimpulan. Penelitian ini menarasikan gerakan-gerakan yang dilakukan oleh BAB IV PENUTUP 1. Kesimpulan Penelitian ini menarasikan gerakan-gerakan yang dilakukan oleh Laskar Hijau dalam melakukan perlawanan terhadap pertambangan pasir besi di Desa Wotgalih, Kecamatan Yosowilangun,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Banyak program pembangunan ekonomi yang berlangsung saat ini. difokuskan pada pengembangan industrialisasi. Salah satu di antara

BAB I PENDAHULUAN. Banyak program pembangunan ekonomi yang berlangsung saat ini. difokuskan pada pengembangan industrialisasi. Salah satu di antara BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Banyak program pembangunan ekonomi yang berlangsung saat ini difokuskan pada pengembangan industrialisasi. Salah satu di antara pengembangan bidang industrialisasi

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 43 TAHUN 2014 TENTANG PERATURAN PELAKSANAAN UNDANG-UNDANG NOMOR 6 TAHUN 2014 TENTANG DESA

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 43 TAHUN 2014 TENTANG PERATURAN PELAKSANAAN UNDANG-UNDANG NOMOR 6 TAHUN 2014 TENTANG DESA PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 43 TAHUN 2014 TENTANG PERATURAN PELAKSANAAN UNDANG-UNDANG NOMOR 6 TAHUN 2014 TENTANG DESA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang

Lebih terperinci

PENGARUH KARAKTERISTIK PETANI TERHADAP TINGKAT PENGAMBILAN KEPUTUSAN INOVASI DALAM USAHA SAYURAN ORGANIK

PENGARUH KARAKTERISTIK PETANI TERHADAP TINGKAT PENGAMBILAN KEPUTUSAN INOVASI DALAM USAHA SAYURAN ORGANIK PENGARUH KARAKTERISTIK PETANI TERHADAP TINGKAT PENGAMBILAN KEPUTUSAN INOVASI DALAM USAHA SAYURAN ORGANIK (Kasus: Desa Ciaruteun Ilir, Kecamatan Cibungbulang, Kabupaten Bogor) Oleh: MENDEZ FARDIAZ A14202050

Lebih terperinci

DAMPAK EFISIENSI LOKASI INDUSTRI TERHADAP NILAI TAMBAH SEKTOR INDUSTRI MANUFAKTUR DI KABUPATEN BOGOR OLEH ERIK PRIYADI SIMATUPANG H

DAMPAK EFISIENSI LOKASI INDUSTRI TERHADAP NILAI TAMBAH SEKTOR INDUSTRI MANUFAKTUR DI KABUPATEN BOGOR OLEH ERIK PRIYADI SIMATUPANG H DAMPAK EFISIENSI LOKASI INDUSTRI TERHADAP NILAI TAMBAH SEKTOR INDUSTRI MANUFAKTUR DI KABUPATEN BOGOR OLEH ERIK PRIYADI SIMATUPANG H14102031 DEPARTEMEN ILMU EKONOMI FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN INSTITUT

Lebih terperinci

KAJIAN KEPUASAN PETANI TEBU RAKYAT TERHADAP PELAKSANAAN KEMITRAAN PABRIK GULA XYZ

KAJIAN KEPUASAN PETANI TEBU RAKYAT TERHADAP PELAKSANAAN KEMITRAAN PABRIK GULA XYZ KAJIAN KEPUASAN PETANI TEBU RAKYAT TERHADAP PELAKSANAAN KEMITRAAN PABRIK GULA XYZ Oleh : Raden Luthfi Rochmatika A14102089 PROGRAM STUDI MANAJEMEN AGRIBISNIS FAKULTAS PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN PUSTAKA

BAB II KAJIAN PUSTAKA BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Teori Gerakan Sosial Secara umum, gerakan sosial dimaknai sebagai sebuah gerakan yang lahir dari sekelompok individu untuk memperjuangkan kepentingan, aspirasi atau menuntut adanya

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

BAB III METODOLOGI PENELITIAN 21 3.1. Pendekatan Penelitian BAB III METODOLOGI PENELITIAN Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan pendekatan kualitatif dan didukung dengan data kuantitatif. Pendekatan kualitatif menekankan pada

Lebih terperinci

BUPATI PATI PROVINSI JAWA TENGAH PERATURAN DAERAH KABUPATEN PATI NOMOR 1 TAHUN 2016 TENTANG PEMBANGUNAN KAWASAN PERDESAAN

BUPATI PATI PROVINSI JAWA TENGAH PERATURAN DAERAH KABUPATEN PATI NOMOR 1 TAHUN 2016 TENTANG PEMBANGUNAN KAWASAN PERDESAAN SALINAN BUPATI PATI PROVINSI JAWA TENGAH PERATURAN DAERAH KABUPATEN PATI NOMOR 1 TAHUN 2016 TENTANG PEMBANGUNAN KAWASAN PERDESAAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI PATI, Menimbang : bahwa untuk

Lebih terperinci

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG PENGAKUAN DAN PERLINDUNGAN HAK MASYARAKAT HUKUM ADAT

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG PENGAKUAN DAN PERLINDUNGAN HAK MASYARAKAT HUKUM ADAT RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG PENGAKUAN DAN PERLINDUNGAN HAK MASYARAKAT HUKUM ADAT DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa

Lebih terperinci

HUBUNGAN ANTARA GAYA KEPEMIMPINAN DENGAN MOTIVASI KERJA KARYAWAN DALAM ORGANISASI PERUSAHAAN

HUBUNGAN ANTARA GAYA KEPEMIMPINAN DENGAN MOTIVASI KERJA KARYAWAN DALAM ORGANISASI PERUSAHAAN HUBUNGAN ANTARA GAYA KEPEMIMPINAN DENGAN MOTIVASI KERJA KARYAWAN DALAM ORGANISASI PERUSAHAAN (Kasus PT Indofarma Tbk. Cikarang, Kabupaten Bekasi Provinsi Jawa Barat) FACHRI AZHAR DEPARTEMEN SAINS KOMUNIKASI

Lebih terperinci

ANALISIS ATRIBUT YANG MEMPENGARUHI WISATAWAN UNTUK BERKUNJUNG KEMBALI KE PEMANDIAN AIR PANAS CV ALAM SIBAYAK BERASTAGI KABUPATEN KARO

ANALISIS ATRIBUT YANG MEMPENGARUHI WISATAWAN UNTUK BERKUNJUNG KEMBALI KE PEMANDIAN AIR PANAS CV ALAM SIBAYAK BERASTAGI KABUPATEN KARO ANALISIS ATRIBUT YANG MEMPENGARUHI WISATAWAN UNTUK BERKUNJUNG KEMBALI KE PEMANDIAN AIR PANAS CV ALAM SIBAYAK BERASTAGI KABUPATEN KARO SKRIPSI ARDIAN SURBAKTI H34076024 DEPARTEMEN AGRIBISNIS FAKULTAS EKONOMI

Lebih terperinci