Bab V Hasil dan Pembahasan

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "Bab V Hasil dan Pembahasan"

Transkripsi

1 Bab V Hasil dan Pembahasan V.1 onsentrasi Hasil Pengukuran Pengambilan data partikulat pada periode penelitian kali ini dilakukan pada tanggal 30 Juli 2005 hingga 31 Juli Data yang diperoleh dari hasil sampling kemudian diintegrasikan dengan data yang telah diperoleh pada periode penelitian tahun-tahun sebelumnya, yang dimulai dari tahun Pengintegrasian data ini dilakukan karena model PMF membutuhkan data yang banyak (minimal 30 sampel) agar hasil yang diperoleh lebih representatif. Pengambilan sampel dibagi berdasarkan perbedaan musim, yaitu hujan dan kemarau. Total jumlah sampel yang berhasil dikumpulkan pada periode penelitian tersebut diatas adalah sebanyak 376 sampel yang terdiri dari : sampel musim kemarau (133 sampel fine particles dan 133 sampel coarse particle) sampel musim hujan (55 sampel fine particles dan 55 sampel coarse particles) Rata-rata hasil pengukuran untuk PM 2.5 diperoleh sebesar 48 µg/m 3 untuk musim kemarau dan 39 µg/m 3 untuk musim hujan, sementara untuk PM 10 diperoleh konsentrasi massa rata-rata sebesar 70 µg/m 3 pada musim kemarau dan 58 µg/m 3 pada musim hujan dengan interval konsentrasi massa seperti terlihat pada tabel V.1 dibawah ini. onsentrasi massa hasil pengukuran di Tegalega pada kedua musim diatas masih memenuhi baku mutu udara ambien nasional berdasarkan PP RI No.41 Tahun 1999 tentang Pengendalian Pencemaran Udara, yaitu 65 µg/m 3 untuk PM 2.5 dan 150 µg/m 3 untuk PM 10. NIM V-1

2 Tabel V.1 Tabel Rata-rata Massa dan Interval Massa di Tegalega Musim Fraksi Rata-rata Massa (µg/m 3 ) Interval (µg/m 3 ) Musim emarau PM (29-79) (Jumlah Sampel 86 pasang) PM (45-112) Musim Hujan PM (19-63) (Jumlah Sampel 48 pasang) PM (28-81) V.1.1 Musim Hujan Berdasarkan tabel V.1 diatas, dapat dihitung bahwa PM 2.5 berkontribusi terhadap PM 10 sebesar 71%. Hal ini menunjukkan bahwa di Tegalega pada musim hujan, sumber emisi partikulat didominasi oleh partikel-partikel dengan fraksi halus (fine). Grafik pada gambar V.1 menunjukkan bahwa Black rbon () memiliki porsi terbesar di fine particles yaitu sebesar 25%. omponen aerosol sekunder (NH 4,NO 3,SO 4 ) bila digabungkan memiliki porsi sebesar 14%. omponen tanah (crustal) memiliki porsi 11% sementara komponen yang berasal dari sumber anthropogenik memiliki porsi sebesar 3%. omposisi Partikulat di Tegalega Musim Hujan onsentrasi (µg/m 3 ) Fraksi Halus Fraksi asar lain-lain Antropogenik Crustal kation anion Aerosol sekunder Gambar V.1 omposisi Partikulat di Tegalega pada Musim Hujan NIM V-2

3 onsentrasi total komponen-komponen pada grafik tersebut hanya sebesar 21 µg/m 3, berbeda dengan konsentrasi massa rata-rata seperti yang terlihat pada tabel V.1 yaitu sebesar 39 µg/m 3. Hal ini disebabkan oleh tidak dianalisisnya data Organic rbon pada penelitian ini karena alat yang dibutuhkan tidak tersedia. Pada coarse particles komponen yang memiliki porsi terbesar adalah komponen kation-anion sebesar 38%. omponen tanah (crustal) memiliki porsi sebesar 22% sementara komponen anthropogenik memiliki porsi 4%. Berikut ini adalah data rata-rata hasil pengukuran untuk logam dan ion pada musim hujan. Tabel V.2 Hasil Pengukuran Rata-rata Logam untuk Musim Hujan Fine Coarse Logam Rerata ± Stdev Interval Rerata ± Stdev Interval ± ± ± ± ± ± ± ± ± ± ± ± ± ± V 04 ± ± Cr 19 ± ± ± ± ± ± Co 01 ± ± ± ± ± ± ± ± As 02 ± ± Cd 75 ± ± Sb 04 ± ± ± ± Li 02 ± ± Mo 02 ± ± NIM V-3

4 Tabel V.3 Hasil Pengukuran Rata-rata Ion Untuk Musim Hujan Ion Fine Coarse Rerata ± Stdev Interval Rerata ± Stdev Interval ± ± ± ± ± ± ± ± ± ± ± ± ± ± ± ± V.1.2 Musim emarau Seperti halnya pada musim hujan, fraksi PM 2.5 berkontribusi sebesar 71% terhadap PM 10. Hal ini menunjukkan bahwa di Tegalega pada musim kemarau, sumber emisi partikulat didominasi oleh partikel-partikel dengan fraksi halus (fine). Untuk komposisi partikel halus pada musim kemarau, Black rbon kembali memiliki porsi terbesar yaitu 35%. omponen aerosol sekunder memiliki porsi 19% sementara komponen tanah (crustal) memiliki porsi 6% dan komponen anthropogenik memiliki porsi 1%. omposisi Partikulat di Tegalega Musim emarau 60 onsentrasi (µg/m 3 ) lain-lain Antropogenik Crustal kation anion Aerosol sekunder 0 Fraksi Halus Fraksi asar Gambar V.2 omposisi Partikulat di Tegalega pada Musim emarau NIM V-4

5 Pada coarse particles komponen yang memiliki porsi terbesar adalah komponen kation-anion sebesar 34%. omponen tanah (crustal) memiliki porsi 22% sementara komponen anthropogenik memiliki porsi 2%. Berikut ini adalah data hasil pengukuran untuk ion dan logam pada musim kemarau. Tabel V.4 Hasil Pengukuran Rata-rata Logam Untuk Musim emarau Fine Coarse Logam Rerata ± Stdev Interval Rerata ± Stdev Interval ± ± ± ± ± ± ± ± ± ± ± ± ± ± V 00 ± ± Cr 59 ± ± ± ± ± ± Co 02 ± ± ± ± ± ± ± ± As 08 ± ± Cd 13 ± ± Sb 74 ± ± ± ± Li 00 ± ± Mo 06 ± ± NIM V-5

6 Tabel V.5 Hasil Pengukuran Rata-rata Ion Untuk Musim emarau Ion Fine Coarse Rerata ± Stdev Interval Rerata ± Stdev Interval ± ± ± ± ± ± ± ± ± ± ± ± ± ± ± ± V.2 Variasi Temporal dan orelasi PM 2.5 dengan PM 10 Variasi temporal dari musim kemarau ke musim hujan terlihat pada gambar V.3 dibawah ini. Rata-rata konsentrasi partikel halus pada musim kemarau lebih tinggi 1.29 kali rata-rata konsentrasi pada musim hujan. Sementara itu, untuk partikel kasar, rata-rata konsentrasinya pada musim kemarau 1.3 kali lebih tinggi dibandingkan dengan musim hujan. onsentrasi Partikel Halus dan asar di Tegalega C (µg/m 3 ) TG 1 TG 3 TG 5 TG 46 TG 48 TG 50 TG 53 TG 55 TG 57 TG 59 TG 61 TG 63 TG 65 TG 67 TG 69 TG 71 TG 73 TG 75 TG 77 TG 79 TG 81 TG 83 TG 85 TG 89 TG 91 TG 93 TG 96 TG 98 TG 100 TG 102 TG 104 TG 9 TG 11 TG 13 TG 15 TG 17 TG 20 TG 22 TG 24 TG 26 TG 28 TG 30 TG 32 TG 34 TG 36 TG 38 TG 40 TG 42 TG 44 TG 106 TG 108 TG 110 TG 112 Musim emarau Partikel Halus Partikel asar Musim Hujan Sampel Gambar V.3 Variasi Temporal onsentrasi Partikel Halus dan asar NIM V-6

7 Untuk mengetahui apakah hasil pengukuran PM 2.5 dan PM 10 yang diperoleh konsisten, maka dibuat korelasi antar keduanya selama periode sampling, yaitu musim kemarau dan musim hujan. orelasi tersebut ditunjukkan oleh gambar V.4 dibawah ini. lai koefisien korelasi yang diperoleh berkisar antara lai ini sebanding dengan penelitian yang dilakukan oleh Cohen di Jakarta dimana korelasi PM PM 10 sebesar orelasi PM2.5 dengan PM10 Pada Musim emarau PM R 2 = PM 2.5 Gambar V.4 orelasi PM 2.5 Dengan PM 10 Pada Musim emarau orelasi PM 2.5 dengan PM 10 Pada Musim Hujan PM R 2 = PM 2.5 Gambar V.5 orelasi PM 2.5 Dengan PM 10 Pada Musim Hujan NIM V-7

8 V.3 Identifikasi Sumber Emisi di Tegalega Model Positive Matrix Factorization membutuhkan input berupa data konsentrasi spesi-spesi hasil pengukuran beserta nilai uncertainty-nya. Perhitungan nilai uncertainty yang digunakan pada penelitian ini didasarkan atas persamaan uncertainty yang telah diperoleh pada penelitian sebelumnya. Pada penelitian ini, tidak seluruh spesi logam dan ion yang terukur dimasukkan sebagai input data karena terdapat sejumlah spesi yang memiliki lebih dari 50% data nilai konsentrasi yang sangat rendah atau dibawah batas deteksi alat. Bila data tersebut dimasukkan kedalam model akan menyebabkan munculnya pesan error dan data tidak dapat diolah. Output yang dihasilkan oleh model PMF ini terdiri dari profil sumber yang masih harus diinterpretasikan dahulu asal sumbernya, kontribusi tiap-tiap sumber yang teridentifikasi, serta grafik perbandingan antara massa terukur dengan massa hasil kalkulasi model PMF yang digunakan untuk mem-validasi model PMF. Berikut ini adalah analisis hasil PMF yang diperoleh berdasarkan musim, output model, dan fraksi partikel yang dianalisis. V.3.1 Musim Hujan Profil Sumber Model PMF yang diaplikasikan terhadap data konsentrasi pada musim hujan menghasilkan 9 faktor sumber emisi untuk fraksi halus dan 6 faktor sumber emisi untuk fraksi kasar. Sembilan faktor yang terbentuk untuk fraksi halus dan enam faktor untuk fraksi kasar pada musim hujan terlihat pada gambar V.5 dan V.6 berikut ini. Fraksi Halus Debu kapur teridentifikasi sebagai faktor pertama untuk fraksi halus. Unsurunsur yang menjadi penanda sumber emisi ini adalah dan unsur-unsur crustal lain seperti,, dan. Debu kapur dapat menjadi salah satu sumber emisi partikulat di kota Bandung terutama pada musim hujan. Hal ini disebabkan oleh arah angin dominan pada musim ini yang berasal dari barat, NIM V-8

9 dimana pada arah tersebut terdapat kawasan industri dan pertambangan kapur di daerah Citatah, Padalarang. 1.0 Debu apur 1.0 endaraan dengan BBM Bensin 1.0 Pembakaran Biomass 1.0 Debu Vulkanik 1.0 Motor 1.0 (NH 4 ) 2 SO 4 NIM V-9

10 1.0 Sec. Aerosol / NH4NO3 1.0 endaraan dengan BBM Solar 1.0 Debu Tanah Gambar V.6 omposisi Sumber Untuk Fraksi Halus pada Musim Hujan Black rbon dan merupakan unsur penanda utama untuk sumber emisi kendaraan dengan bahan bakar bensin. dalam bentuk Tetra Ethyl Lead (TEL), terutama di kota Bandung, masih digunakan sebagai zat aditif untuk meningkatkan nilai oktan bensin jenis premium. Oleh karenanya keberadaan unsur dapat menjadi penanda sumber emisi kendaraan bermotor dengan bahan bakar bensin di kota Bandung, seperti terlihat pada faktor kedua untuk fraksi halus. eberadaan unsur juga dapat menjadi penanda sumber emisi ini (Huang et al,1994) [22]. Pembakaran biomassa (Biomass Burning) di Indonesia umumnya berasal dari kegiatan pembakaran jerami. awasan Bandung yang masih memiliki banyak area persawahan menyebabkan besarnya potensi pencemaran oleh pembakaran biomassa. Dengan munculnya unsur penanda pembakaran biomassa ( dan ) pada faktor ketiga, maka dapat diperkirakan sumber emisi untuk faktor ini adalah Pembakaran Biomassa. NIM V-10

11 Aktivitas vulkanik menjadi sumber emisi keempat yang teridentifikasi pada fraksi halus. Unsur penanda untuk sumber ini relatif mirip dengan unsur-unsur crustal. mun keberadaan SO = 4 pada faktor ini dapat menjadi petunjuk bahwa sumber emisi pada faktor ini berasal dari aktivitas vulkanik. Puji Lestari (2006) melakukan penelitian profil sumber untuk kendaraan bermesin diesel dan kendaraan bermotor roda dua. Unsur penanda yang diperoleh untuk kendaraan bermesin diesel adalah, SO = 4, dan. Sementara untuk kendaraan bermotor roda dua, unsur penanda yang diperoleh adalah, Cl -, SO 2-4, NO - 3, NH + 4,,,,,,,, dan. Berdasarkan unsur penanda yang telah diperoleh ini, dapat diperkirakan bahwa sumber emisi untuk faktor kelima adalah motor sementara untuk faktor kedelapan adalah kendaraan bermesin diesel. Faktor keenam teridentifikasi sebagai aerosol sekunder (NH 4 ) 2 SO 4. Hal ini dapat dilihat dari tingginya nilai NH + 4 dan SO = 4. Sementara untuk faktor terakhir, hampir seluruh unsur tanah (crustal) muncul. Oleh karena itu, dapat diperkirakan bahwa sumber emisi untuk faktor terakhir pada fraksi halus ini berasal dari debu tanah. Faktor ketujuh untuk fraksi halus yang terbentuk memiliki nilai yang tinggi untuk NO - 3, SO = 4, dan NH + 4 ditambah dengan unsur-unsur logam lain. Pada faktor ini, keberadaan NO - 3, SO = 4, dan NH + 4 dengan nilai yang tinggi dapat dijadikan sebagai penanda untuk sumber emisi aerosol sekunder, baik NH 4 NO 3 maupun (NH 4 ) 2 SO 4. mun pada faktor sebelumnya, sumber emisi (NH 4 ) 2 SO 4 telah teridentifikasi. Oleh karena itu, diperkirakan faktor ini berasal dari NH 4 NO 3. Fraksi asar Faktor pertama yang terbentuk pada fraksi kasar terdiri dari NH + 4,,, dan. eberadaan unsur, dan dapat menjadi penanda sumber emisi debu tanah untuk faktor ini. NIM V-11

12 1 Debu Tanah Industri Garam Laut 1 01 Debu Vulkanik Debu apur onstruksi Gambar V.7 omposisi Sumber Untuk Fraksi asar pada Musim Hujan Faktor kedua tersusun oleh unsur,, dan. Meskipun unsur dan merupakan unsur-unsur tanah, namun ketiadaan dan sebagai unsur NIM V-12

13 penanda utama sumber emisi tanah menghilangkan kemungkinan faktor ini berasal dari tanah. eberadaan unsur dapat mengarahkan interpretasi kepada sumber emisi yang berasal dari aktivitas industri. Unsur pada faktor ini dapat membantu analisis bahwa faktor kedua ini berasal dari aktivitas industri, terutama industri logam. Emisi garam laut terjadi melalui mekanisme evaporasi air laut yang banyak mengandung Cl dan kemudian terbawa oleh angin yang pada kondisi meteorologi skala meso partikel garam tersebut dapat terbawa sampai kawasan ini melalui mekanisme transport jarak jauh. ebaradaan, SO 4 dan Cl menjadi penanda sumber emisi garam laut pada faktor ketiga ini. Sumber emisi garam laut pada musim ini diperkirakan berasal dari kawasan Pelabuhan Ratu yang berada di sebelah barat kota Bandung, searah dengan arah angin dominan pada musim hujan ini. Sama halnya dengan fraksi halus, pada fraksi kasar sumber emisi yang berasal dari aktivitas vulkanik teridentifikasi dengan munculnya unsur-unsur tanah seperti dan serta keberadaan ion SO = 4. Sumber emisi aktivitas vulkanik ini diperkirakan berasal dari kawasan gunung Tangkuban Perahu yang berada di sebelah utara kota Bandung. Faktor kelima pada fraksi kasar hanya diwakili oleh unsur. Unsur ini dapat berasal dari tanah dan juga dari debu kapur. Arah angin yang dominan dari barat pada musim hujan dapat membantu analisis bahwa sumber emisi pada faktor ini berasal dari aktivitas industri dan pertambangan kapur di daerah Citatah Padalarang. Faktor terakhir yang terbentuk pada fraksi kasar terdiri dari SO 4,,, dan. ngginya unsur dan keberadaan unsur crustal seperti dan dapat menjadi penanda sumber emisi yang berasal dari aktivitas konstruksi. eberadaan unsur, dan ini juga sesuai dengan profil sumber aktivitas NIM V-13

14 konstruksi yang diperoleh dari Asian Institute Technology (dapat dilihat pada lampiran) ontribusi Sumber Emisi ontribusi sumber emisi untuk fraksi halus dan kasar pada musim hujan dapat dillihat pada gambar dibawah ini. PMF Tegalega Fraksi Halus endaraan bermesin Diesel 17% Debu Tanah 10% Sec. Aerosol / NH4NO3 12% Debu apur 10% NH4SO4 14% Motor 9% endaraan dengan BBM Bensin 9% Pembakaran Biomassa 13% Debu Vulkanik 6% Gambar V.8 ontribusi Sumber Emisi Fraksi Halus pada Musim Hujan NIM V-14

15 PMF Tegalega Fraksi asar onstruksi 15% Debu Tanah 20% Debu apur 20% Industri 15% Debu Vulkanik 4% Garam Laut 26% Gambar V.9 ontribusi Sumber Emisi Fraksi asar pada Musim Hujan Grafik Perbandingan Massa Terukur terhadap Massa alkulasi Model Pada gambar V.6 dibawah, terlihat bahwa model PMF berhasil memproduksi perkiraan data massa (calculated mass) dengan korelasi (r 2 ) = terhadap data massa terukur saat sampling pada musim hujan. Demikian pula halnya dengan fraksi kasar pada musim yang sama seperti terlihat pada gambar V.7 dibawah ini. lai koefisien korelasi (r 2 ) yang dihasilkan oleh model PMF pada penelitian ini berkisar antara Rendahnya nilai koefisien korelasi ini dapat disebabkan oleh jumlah data yang sangat banyak. mun bila dipertimbangkan jumlah data yang digunakan pada penelitian ini, maka nilai koefisien korelasi tersebut sudah cukup baik. NIM V-15

16 60 50 y = x R 2 = lculated Mass µg/m Measured Mass µg/m 3 Gambar V.10 onsentrasi Measured Mass Vs. lculated Mass Fraksi Halus pada Musim Hujan 70 lculated Mass µg/m y = x R 2 = Measured Mass µg/m 3 Gambar V.11 onsentrasi Measured Mass Vs. lculated Mass Fraksi asar pada Musim Hujan NIM V-16

17 V.3.2 Musim emarau Profil Sumber Model PMF yang diaplikasikan terhadap data konsentrasi pada musim hujan menghasilkan 7 faktor sumber emisi untuk fraksi halus maupun fraksi kasar. Faktor-faktor yang terbentuk untuk tiap-tiap fraksi pada musim kemarau terlihat pada gambar berikut ini. Fraksi Halus Faktor pertama yang terbentuk pada fraksi halus diidentifikasi sebagai faktor yang berasal dari sumber emisi kendaraan bermesin diesel. Hal ini terlihat dari munculnya unsur penanda Black rbon dan SO = 4 serta NH + 4. Sumber emisi ini diperkirakan berasal dari kawasan terminal Leuwi Panjang yang terletak sekitar 2 km dari lokasi penelitian. 1.0 Cl endaraan Bermesin Diesel Cr 1.0 Pembakaran Biomassa Cl Cr Aged Sea Salt Cl SO42- Cr 1.0 endaraan dengan BBM Bensin Cl Cr NIM V-17

18 Industri Elektroplating Cl SO42- Cr 1.0 Motor Cl Cr 1.0 Secondary Aerosol / (NH4)2SO4 Cl Cr Gambar V.12 omposisi Sumber Untuk Fraksi Halus pada Musim emarau Faktor kedua pada fraksi halus berasal dari aktivitas pembakaran biomassa. ngginya nilai dan menjadi penanda bagi sumber tersebut. Masih luasnya area persawahan di sekitar kota Bandung terutama di kawasan pinggiran seperti Cimahi dan Gedebage diperkirakan menjadi sumber emisi pembakaran biomassa ini. Sumber emisi kendaraan berbahan bakar bensin jelas terlihat pada faktor ketiga, yang ditandai oleh unsur penanda dan. Sumber emisi dari sektor trasnportasi ini diperkirakan berasal dari jalan raya di sekitar kawasan Tegalega. Pada faktor keempat, unsur yang menjadi penandanya terdiri dari dan SO = 4. Faktor ini berasal dari sumber emisi garam laut. Menurut Manahan (1994), keberadaan Sulfat tersebut berasal dari oksidasi di atmosfer dari sulfur dioksida membentuk sulfat yang bersifat ionik non volatil, sedangkan klorida NIM V-18

19 berasal dari Cl yang berasal dari air laut yang hilang dari aerosol padat sebagai HCl yang bersifat volatil: 2 SO 2 + O H 2 O 2 H 2 SO 4 H 2 SO Cl (partikulat) 2 SO 4 (partikulat) + 2 HCl arena berbeda dengan unsur penanda untuk garam laut pada umumnya, maka faktor ini disebut sebagai faktor yang berasal dari emisi garam laut yang telah mengalami reaksi atmosferik atau biasa disebut Aged Sea Salt. Sumber emisi industri teridentifikasi pada faktor kelima untuk fraksi halus. Unsur yang menjadi penanda adalah unsur dan Cr, yang dapat berasal dari aktivitas industri elektroplating. Banyaknya industri elektroplating di kota Bandung terutama di kawasan By-Pass Soekarno-Hatta ini diperkirakan menjadi sumber emisi partikulat untuk fraksi halus pada musim kemarau. endaraan bermotor roda dua menjadi sumber emisi untuk faktor kelima. Unsur yang menjadi penanda aalah, Cl, dan. eberadaan unsur Cl, dan pada emisi kendaraan bermotor roda dua berasal dari zat aditif pada oli mesin yang ikut terbakar bersama bensin. Faktor terakhir yang teridentifikasi untuk fraksi halus adalah sumber emisi yang berasal dari aerosol sekunder. Hal ini terlihat dari munculnya unsur penanda NO - 3, SO = 4, dan NH + 4. Rendahnya nilai unsur NO - 3 memperlihatkan bahwa faktor ini lebih terwakili oleh aerosol sekunder (NH 4 ) 2 SO 4. Fraksi asar Sama seperti pada fraksi halus, faktor yang terbentuk pada fraksi kasar terdiri dari tujuh buah faktor. Faktor pertama teridentifikasi berasal dari emisi garam laut. Hal ini dapat dilihat dari munculnya unsur penanda dan Cl. Pada musim kemarau dimana arah angin dominan berasal dari timur dan timur laut, diperkirakan sumber emisi garam laut ini berasal dari laut jawa di daerah Indramayu. Jarak lurus kota Bandung dengan kawasan tersebut hanya ± 150 NIM V-19

20 km. Menurut Soedomo (1999), rentang tersebut masih masuk ke dalam skala messo, dimana pendispersian pencemar pada skala tersebut dapat mencapai jarak ratusan kilometer. Oleh karenanya, sumber emisi garam laut ini diperkirakan berasal dari kawasan tersebut. Faktor kedua pada fraksi halus teridentifikasi sebagai debu tanah. eberadaan unsur,, dan yang merupakan unsur crustal menjadi penanda bagi sumber emisi tersebut. Industri semen diperkirakan menjadi salah satu kontributor emisi partikulat pada fraksi kasar di kota Bandung. Hal ini terlihat pada faktor ketiga yang ditandai oleh unsur-unsur,,,, dan Cr. Dengan mekanisme yang sama seperti pada sumber emisi garam laut, diperkirakan bahwa sumber emisi industri semen ini berasal dari pabrik semen di daerah Palimanan, Cirebon. Faktor keempat teridentifikasi berasal dari aktivitas industri. Penanda dari aktivitas industri ini adalah unsur logam seperti, dan. eberadaan unsur pada faktor keempat menunjukkan bahwa aktivitas industri pada faktor ini merupakan industri besi. Sumber emisi industri pada musim ini diperkirakan berasal dari kawasan industri Cisaranten. Unsur garam laut ( dan Cl) kembali teridentifikasi kembali pada faktor kelima. mun pada faktor ini, unsur Cl - memiliki nilai yang rendah sementara unsur SO = = 4 memiliki nilai yang tinggi. eberadaan unsur SO 4 dapat menjadi penanda bahwa faktor ini berasal dari emisi garam laut yang telah mengalami reaksi atmosferik, seperti telah dijelaskan pada faktor keempat untuk fraksi halus di musim yang sama. Oleh karenanya, faktor ini disimpulkan berasal dari emisi Aged Sea Salt. NIM V-20

21 1 Garam Laut 1 01 Cr 1 Debu Tanah 1 01 Cr 1 Industri Semen 1 01 Cr 1 Industri Besi 1 01 Cr Aged Sea Salt Cl Cr Debu Vulkanik Cr Debu apur Cr Gambar V.13 omposisi Sumber Untuk Fraksi asar pada Musim emarau NIM V-21

22 Faktor terakhir pada fraksi kasar diwakili oleh unsur-unsur,,,, dan NO - 3. eberadaan unsur dapat menjadi penanda sumber emisi debu kapur yang berasal dari kawasan industri dan pertambangan kapur di Citatah Padalarang. Walaupun pada musim kemarau arah angin dominan berasal dari mur dan mur Laut, wind rose menunjukkan bahwa terdapat fraksi arah angin yang berasal dari barat pada musim ini. Oleh karenanya, kawasan industri kapur Citatah dapat menjadi sumber emisi partikulat fraksi kasar pada - musim kemarau ini. eberadaan unsur NO 3 dapat terjadi akibat reaksi atmosferik antara debu kapur dengan HNO 3 sebagai berikut: CO 3 + HNO 3 (NO 3 ) 2 + H 2 CO 3 ontribusi Sumber Emisi ontribusi sumber emisi untuk fraksi halus dan kasar pada musim kemarau dapat dillihat pada gambar dibawah ini. PMF Tegalega Dry Season Fine Fraction Secondary Aerosol / (NH4)2SO4 25% Motor 7% Industri Elektroplating 24% endaran bermesin diesel 12% Pembakaran Biomassa 16% endaran dengan BBM Bensin 3% Aged Sea Salt 13% Gambar V.14 ontribusi Sumber Emisi Fraksi Halus pada Musim emarau NIM V-22

23 PMF Tegalega Fraksi asar Debu apur 9% Garam Laut 14% Debu Vulkanik 25% Debu Tanah 15% Aged Sea Salt 3% Debu onstruksi 11% Industri Besi 23% Gambar V.15 ontribusi Sumber Emisi Fraksi asar pada Musim emarau Grafik Perbandingan Massa Terukur terhadap Massa alkulasi Model Pada gambar V.16 dibawah, terlihat bahwa model PMF berhasil memproduksi perkiraan data massa (calculated mass) dengan korelasi yang cukup baik (r 2 = ) terhadap data massa terukur saat sampling pada musim kemarau lculated Mass µg/m y = x R 2 = Measured Mass µg/m 3 Gambar V.16 onsentrasi Measured Mass Vs. lculated Mass Fraksi Halus pada Musim emarau NIM V-23

24 60 lculated Mass µg/m y = 0.527x R 2 = Measured Mass µg/m 3 Gambar V.17 onsentrasi Measured Mass Vs. lculated Mass Fraksi asar pada Musim emarau Demikian pula halnya dengan fraksi kasar pada musim yang sama seperti terlihat pada gambar V.17 diatas ini. lai koefisien korelasi (r 2 ) yang dihasilkan oleh model PMF untuk fraksi kasar adalah lai korelasi pada penelitian ini, baik musim hujan maupun kemarau, menunjukkan bahwa hasil model PMF yang diperoleh cukup baik dalam merepresentasikan data sampling yang diperoleh. V.4 Pengaruh Musim Terhadap ontribusi Emisi di Tegalega ota Bandung dipengaruhi oleh muson dimana angin bertiup rata-rata pada bulan November - Januari dari arah barat. Sementara pada bulan Juni - September dari arah timur. Penguapan mencapai 3,2 mm/tahun, tekanan udara rata-rata 922 mb dan kelembaban relatif 77,2%. Suhu rata-rata 23 o C dan curah hujan rata-rata 148,35 mm [19]. Pada musim hujan, di Tegalega arah angin yang dominan adalah dari arah barat. ecepatan angin rata-rata sebesar 2.78 m/s dengan persentase calmwind sebesar 40.90%. isaran temperatur pada musim ini antara o C. Sementara pada musim kemarau, di Tegalega arah angin yang dominan adalah dari arah timur dan timur laut. ecepatan NIM V-24

25 angin rata-rata sebesar 2.36 m/s dengan persentase calmwind sebesar 31%. isaran temperatur pada musim ini antara o C. Plot wind rose yang telah dikombinasikan dengan peta kawasan jawa barat dapat dilihat pada gambar V.18 dan V.19 dibawah ini. Berdasarkan windrose, terlihat bahwa perbedaan musim mengakibatkan perbedaan arah angin yang dominan. Arah angin yang berbeda ini tentu akan membawa emisi partikulat dari sumber yang berbeda pula. Berikut ini adalah analisis pengaruh perbedaan musim terhadap kontribusi emisi di Tegalega. Gambar V.18 Wind Rose Tegalega Pada Musim Hujan Tahun Sumber emisi aerosol sekunder secara total baik pada musim hujan maupun musim kemarau tidak terlalu jauh berbeda. Pada musim hujan aerosol sekunder teridentifikasi dalam bentuk NH 4 NO 3 maupun (NH 4 ) 2 SO 4 dengan kontribusi 12% dan 14%. Total kontribusi kedua jenis aerosol sekunder ini NIM V-25

26 tidak jauh berbeda dengan kontribusi (NH 4 ) 2 SO 4 pada musim kemarau sebesar 25%. Perbedaan musim di kawasan Tegalega tidak terlalu berpengaruh terhadap konsentrasi aerosol sekunder yang merupakan salah satu penyusun utama partikulat fraksi halus. Gambar V.19 Wind Rose Tegalega Pada Musim emarau Tahun Pada fraksi halus, sumber emisi debu kapur teridentifikasi sebesar 10% untuk musim hujan sementara pada musim kemarau tidak teridentifikasi sama sekali. Sementara pada fraksi kasar, sumber emisi debu kapur teridentifikasi pada kedua musim dengan kontribusi 20% pada musim hujan dan 9% pada musim kemarau. ontribusi total emisi debu kapur pada musim hujan lebih besar dibandingkan dengan kontribusi emisi debu kapur pada musim kemarau. Hal ini dapat disebabkan oleh arah angin dominan yang berasal dari barat pada musim hujan membawa emisi debu kapur yang berasal dari kawasan industri kapur di Citatah Padalarang. Sementara pada musim NIM V-26

27 kemarau, seperti terlihat pada Wind Rose, hanya sebagian fraksi angin yang berasal dari arah barat. Sektor transportasi menjadi salah satu penyusun utama sumber emisi partikulat di Tegalega pada musim hujan dan kemarau. Pada musim hujan, sektor transportasi teridentifikasi oleh sumber emisi kendaraan bermesin bensin, diesel dan motor roda dua dengan kontribusi 9%, 17% dan 9%. Sementara pada musim kemarau, kontribusi kendaraan bermesin bensin, diesel dan motor roda dua adalah 3%, 12% dan 7%. Pada musim hujan, kontribusi total sektor transportasi ini lebih besar dibandingkan dengan musim kemarau. Hal ini dapat disebabkan oleh keberadaan sumber lokal yaitu terminal leuwi panjang dan dapat pula berasal dari jalan tol Cipularang di sebelah barat Tegalega,searah dengan arah angin dominan, yang diperkirakan menjadi sumber emisi utama sektor transportasi pada musim ini. Pembakaran biomassa (Biomass Burning) di Indonesia umumnya berasal dari kegiatan pembakaran jerami. awasan Bandung yang masih memiliki banyak area persawahan menyebabkan besarnya potensi pencemaran oleh pembakaran biomassa. Pada musim kemarau, pembakaran biomassa ini berkontribusi sebesar 16%, sedikit lebih besar dibandingkan dengan kontribusinya pada musim hujan yang hanya 13%. Hal ini disebabkan oleh kebiasaan petani yang lebih banyak membakar sisa jeraminya pada musim kemarau. Debu vulkanik pada penelitian ini teridentifikasi sebagai salah satu sumber emisi baik pada musim hujan maupun kemarau. Pada musim hujan, aktivitas vulkanik terkontribusi sebesar 6% untuk fraksi halus dan 4% pada fraksi kasar. Sementara pada musim kemarau, debu vulkanik hanya teridentifikasi pada fraksi kasar dengan kontribusi yang cukup tinggi, sebesar 25%. Sumber emisi aktivitas vulkanik ini diperkirakan berasal dari arah gunung Tangkuban Parahu. Perbedaan nilai kontribusi pada kedua musim dapat disebabkan oleh adanya fenomena wash out pada musim hujan. Selain itu, tingginya kontribusi NIM V-27

28 debu vulkanik pada musim kemarau dapat disebabkan oleh tingginya aktivitas antropogenik di kawasan gunung Tangkuban Parahu yang merupakan kawasan wisata, sehingga dapat mengemisikan kembali debu-debu yang telah terendapkan. Debu tanah (Soil Dust) juga merupakan sumber emisi yang berkontribusi cukup besar terhadap pencemar udara partikulat di Tegalega. Pada musim kemarau, debu tanah berkontribusi 15% terhadap fraksi partikel kasar. Sementara pada musim hujan, fraksi partikel kasar terkontribusi sebesar 20% oleh debu tanah dan 10% pada fraksi partikel halus dengan kontributor yang sama. Sumber emisi debu tanah ini diperkirakan berasal dari kawasan sekitar Tegalega. Sumber emisi partikulat yang berasal dari kegiatan industri terdeteksi pada musim kemarau maupun musim hujan. Pada musim kemarau, sumber ini berkontribusi sebesar 24% untuk fraksi halus dan 26% pada fraksi kasar yang terdiri dari 3% sumber emisi Aged Sea Salt dan 23% sumber emisi industri besi. Sementara pada musim hujan, sumber ini berkontribusi sebesar 15% pada fraksi kasar. Sumber emisi pada musim kemarau diperkirakan berasal dari kawasan kawasan industri seperti daerah Cisaranten, Ujungberung dan Cicadas yang berada di sebelah timur Tegalega, searah dengan arah angin dominan pada musim tersebut. Sumber emisi pada musim hujan diperkirakan berasal dari kawasan industri di daerah Cimahi yang berada di sebelah barat Tegalega. Emisi garam laut teridentifikasi pada kedua musim. Pada musim hujan, emisi ini terkontribusi sebesar 26% pada fraksi halus. Sementara pada musim kemarau, emisi garam laut ini teridentifikasi dalam dua bentuk, yaitu emisi garam laut (sea salt) dan aged sea salt pada fraksi kasar dan aged sea salt pada fraksi halus dengan kontribusi 14%, 3% dan 13%. Berdasarkan arah angin dominan, pada musim hujan sumber emisi garam laut ini diperkirakan berasal dari kawasan Pelabuhan Ratu yang berjarak ± 150 km dari kota Bandung. NIM V-28

29 Sementara pada musim kemarau, sumber emisi garam laut ini diperkirakan berasal dari arah timur laut Bandung, yaitu dari kawasan laut Jawa di Indramayu. Sumber emisi debu konstruksi di kawasan Tegalega hanya teridentifikasi pada fraksi kasar saat musim hujan saja dengan kontribusi 15%. Oleh karenanya, diperkirakan bahwa sumber emisi ini berasal dari aktivitas konstruksi di sebelah barat kawasan Tegalega. Pada musim kemarau, terdapat sumber emisi yang berasal dari industri semen dengan kontribusi sebesar 11%. Berdasarkan analisis arah angin dominan pada musim ini, diperkirakan bahwa sumber emisi ini berasal dari pabrik semen di daerah Palimanan Cirebon yang terletak di sebelah timur laut kota Bandung. NIM V-29

Bab IV Gambaran Umum Daerah Studi

Bab IV Gambaran Umum Daerah Studi Bab IV Gambaran Umum Daerah Studi IV.1 Umum Kota Bandung yang merupakan ibukota propinsi Jawa Barat terletak pada 107 o 36 Bujur Timur dan 6 o 55 Lintang Selatan. Secara topografis terletak pada ketinggian

Lebih terperinci

APLIKASI MODEL POSITIVE MATRIX FACTORIZATION DALAM STUDI IDENTIFIKASI SUMBER EMISI PARTIKULAT DI KOTA BANDUNG TESIS

APLIKASI MODEL POSITIVE MATRIX FACTORIZATION DALAM STUDI IDENTIFIKASI SUMBER EMISI PARTIKULAT DI KOTA BANDUNG TESIS No. Urut : 397/S2-TL/TML/2008 APLIKASI MODEL POSITIVE MATRIX FACTORIZATION DALAM STUDI IDENTIFIKASI SUMBER EMISI PARTIKULAT DI KOTA BANDUNG TESIS Karya tulis sebagai salah satu syarat untuk memperoleh

Lebih terperinci

DAFTAR ISI. HALAMAN JUDUL... i. LEMBAR PENGESAHAN... ii. KATA PENGANTAR... iii. ABSTRAK... vi. ABSTRACT... vii. DAFTAR ISI... viii. DAFTAR TABEL...

DAFTAR ISI. HALAMAN JUDUL... i. LEMBAR PENGESAHAN... ii. KATA PENGANTAR... iii. ABSTRAK... vi. ABSTRACT... vii. DAFTAR ISI... viii. DAFTAR TABEL... DAFTAR ISI Halaman HALAMAN JUDUL... i LEMBAR PENGESAHAN... ii KATA PENGANTAR... iii ABSTRAK... vi ABSTRACT... vii DAFTAR ISI... viii DAFTAR TABEL... xv DAFTAR GAMBAR... xviii BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar

Lebih terperinci

Bab III Metodologi Penelitian

Bab III Metodologi Penelitian Bab III Metodologi Penelitian Menentukan Tujuan Penelitian Studi Pustaka Pemilihan Lokasi : Tegalega Menentukan parameter yang diukur: Konsentrasi massa rata-rata fine & coarse particles Elemen Logam,Ion

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Udara merupakan komponen yang sangat penting untuk keberlangsungan hidup manusia dan makhluk hidup lainnya. Tingkat pencemaran udara di Kota Padang cukup tinggi. Hal

Lebih terperinci

Bab V Hasil dan Pembahasan

Bab V Hasil dan Pembahasan Bab V Hasil dan Pembahasan Hasil penelitian mengenai paparan partikulat terespirasi ini disajikan dalam beberapa bagian, yaitu paparan partikulat terespirasi, komposisi unsur-unsur dan kemungkinan sumber

Lebih terperinci

4.1 Konsentrasi NO 2 Tahun 2011

4.1 Konsentrasi NO 2 Tahun 2011 4.1 Konsentrasi NO 2 Tahun 2011 Pada pengujian periode I nilai NO 2 lebih tinggi dibandingkan dengan periode II dan III (Gambar 4.1). Tinggi atau rendahnya konsentrasi NO 2 sangat dipengaruhi oleh berbagai

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Landasan Teori 1. Komposisi dan Perilaku Gas Buang Kendaraan Bermotor Emisi kendaraan bermotor mengandung berbagai senyawa kimia. Komposisi dari kandungan senyawa kimianya tergantung

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN Latar Belakang BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Kota Medan adalah ibu kota provinsi Sumatera Utara, Indonesia. Kota ini merupakan kota terbesar di Pulau Sumatera. Secara geografis Kota Medan terletak pada 3 30'

Lebih terperinci

ANALISIS KUALITAS UDARA JAKARTA TANGGAL JUNI 2017

ANALISIS KUALITAS UDARA JAKARTA TANGGAL JUNI 2017 BADAN METEROLOGI KLIMATOLOGI DAN GEOFISIKA Jl. Angkasa I No. 2 Jakarta, 10720 Telp: (021) 424 6321, Fax: (021) 424 6703, P.O. Box 3540 Jkt Website: http://www.bmkg.go.id ANALISIS KUALITAS UDARA JAKARTA

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Penyebab terjadinya hujan asam adalah senyawa Sulfur dan Nitrogen Oksida yang

BAB I PENDAHULUAN. Penyebab terjadinya hujan asam adalah senyawa Sulfur dan Nitrogen Oksida yang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Permasalahan Hujan asam merupakan salah satu indikator terjadinya pencemaran udara. Penyebab terjadinya hujan asam adalah senyawa Sulfur dan Nitrogen Oksida yang masuk

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Hujan merupakan unsur iklim yang paling penting di Indonesia karena

II. TINJAUAN PUSTAKA. Hujan merupakan unsur iklim yang paling penting di Indonesia karena II. TINJAUAN PUSTAKA A. Defenisi Hujan Asam Hujan merupakan unsur iklim yang paling penting di Indonesia karena keragamannya sangat tinggi baik menurut waktu dan tempat. Hujan adalah salah satu bentuk

Lebih terperinci

Wisnu Wisi N. Abdu Fadli Assomadi, S.Si., M.T.

Wisnu Wisi N. Abdu Fadli Assomadi, S.Si., M.T. PEMODELAN DISPERSI SULFUR DIOKSIDA (SO ) DARI SUMBER GARIS MAJEMUK (MULTIPLE LINE SOURCES) DENGAN MODIFIKASI MODEL GAUSS DI KAWASAN SURABAYA SELATAN Oleh: Wisnu Wisi N. 3308100050 Dosen Pembimbing: Abdu

Lebih terperinci

Gambar 8. Peta Kontur Ketinggian Stasiun Pemantauan Kualitas Udara Bandung

Gambar 8. Peta Kontur Ketinggian Stasiun Pemantauan Kualitas Udara Bandung 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Kondisi Umum Daerah Kajian Stasiun pemantauan kualitas udara (fix station) yang terdapat di Bandung ada lima stasiun dan masing-masing mewakili daerah dataran tinggi, pemukiman

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. Perubahan lingkungan udara pada umumnya disebabkan oleh pencemaran,

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. Perubahan lingkungan udara pada umumnya disebabkan oleh pencemaran, 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Perubahan lingkungan udara pada umumnya disebabkan oleh pencemaran, yaitu masuknya zat pencemar yang berbentuk gas, partikel kecil atau aerosol ke dalam udara (Soedomo,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Sarana dan prasarana fisik seperti pusat-pusat industri merupakan salah satu penunjang aktivitas dan simbol kemajuan peradaban kota. Di sisi lain, pembangunan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Jumlah penduduk di Kota Padang setiap tahun terus meningkat, meningkatnya jumlah penduduk mengakibatkan peningkatan jumlah transportasi di Kota Padang. Jumlah kendaraan

Lebih terperinci

Bab II Tinjauan Pustaka

Bab II Tinjauan Pustaka Bab II Tinjauan Pustaka II.1 Umum Kebutuhan akan pengetahuan terhadap keberadaan, kekuatan sumber (source strength), distribusi dan perilaku substansi kimia dalam partikulat semakin meningkat. Pengetahuan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Transportasi saat ini menjadi masalah yang sangat penting karena dapat mengindikasikan kemajuan suatu daerah. Transportasi sangat diperlukan untuk mendukung perkembangan

Lebih terperinci

SUMMARY. ANALISIS KADAR NITROGEN DIOKSIDA (NO₂) dan KARBONMONOKSIDA (CO) DI UDARA AMBIEN KOTA GORONTALO

SUMMARY. ANALISIS KADAR NITROGEN DIOKSIDA (NO₂) dan KARBONMONOKSIDA (CO) DI UDARA AMBIEN KOTA GORONTALO SUMMARY ANALISIS KADAR NITROGEN DIOKSIDA (NO₂) dan KARBONMONOKSIDA (CO) DI UDARA AMBIEN KOTA GORONTALO Oleh : Yuliana Dauhi Jurusan Kesehatan Masyarakat Fakultas Ilmu-Ilmu Kesehatan Dan Keolahragaan Universitas

Lebih terperinci

DAFTAR ISI. BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang dan Permasalahan Tujuan Penelitian Manfaat Penelitian 2

DAFTAR ISI. BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang dan Permasalahan Tujuan Penelitian Manfaat Penelitian 2 DAFTAR ISI HALAMAN JUDUL HALAMAN PENGESAHAN HALAMAN PERNYATAAN HALAMAN PERSEMBAHAN KATA PENGANTAR DAFTAR ISI DAFTAR GAMBAR DAFTAR TABEL DAFTAR LAMPIRAN INTISARI ABSTRACT i ii iii iv v vii ix x xi xii xiii

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kebakaran hutan merupakan fenomena yang sering terjadi di Indonesia (Stolle et al, 1999) yang menjadi perhatian lokal dan global (Herawati dan Santoso, 2011). Kebakaran

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. sungai maupun pencemaran udara (Sunu, 2001). dan dapat menjadi media penyebaran penyakit (Agusnar, 2007).

BAB I PENDAHULUAN. sungai maupun pencemaran udara (Sunu, 2001). dan dapat menjadi media penyebaran penyakit (Agusnar, 2007). BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Berkembangnya sektor industri dan pemanfaatan teknologinya tercipta produk-produk untuk dapat mencapai sasaran peningkatan kualitas lingkungan hidup. Dengan peralatan

Lebih terperinci

PROFIL VOLUME LALU LINTAS DAN KUALITAS UDARA AMBIEN PADA RUAS JALAN IR. SOEKARNO SURABAYA

PROFIL VOLUME LALU LINTAS DAN KUALITAS UDARA AMBIEN PADA RUAS JALAN IR. SOEKARNO SURABAYA PROFIL VOLUME LALU LINTAS DAN KUALITAS UDARA AMBIEN PADA RUAS JALAN IR. SOEKARNO SURABAYA Taty Alfiah 1, Evi Yuliawati 2, Yoseph F. Bota 1, Enggar Afriyandi 1 1) Jurusan Teknik Lingkungan, 2) Jurusan Teknik

Lebih terperinci

IV. METODE PENELITIAN

IV. METODE PENELITIAN IV. METODE PENELITIAN 4.1 Waktu dan Tempat Penelitian Pelaksanaan penelitian dilakukan selama 7 (tujuh) bulan, yaitu pada awal bulan Mei 2008 hingga bulan Nopember 2008. Lokasi penelitian ini dilakukan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Pencemar kendaraan bermotor di kota besar makin terasa. Pembakaran bensin dalam kendaraan bermotor merupakan lebih dari separuh penyebab polusi udara. Disamping

Lebih terperinci

Tabel 24.1 Status Kualitas Air Sungai di Provinsi Jawa barat Tahun Frekuensi Sampling. 1 Sungai Ciliwung 6 5 memenuhi-cemar ringan

Tabel 24.1 Status Kualitas Air Sungai di Provinsi Jawa barat Tahun Frekuensi Sampling. 1 Sungai Ciliwung 6 5 memenuhi-cemar ringan 24. LINGKUNGAN HIDUP 184 Tabel 24.1 Status Kualitas Air Sungai di Provinsi Jawa barat Tahun 2010 No Nama Jumlah Titik Sampling Frekuensi Sampling Kisaran Status Mutu Air Sungai Berdasarkan KMA PP 82/2001

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. bermotor, pembangkit tenaga listrik, dan industri. Upaya pemerintah Indonesia untuk

BAB I PENDAHULUAN. bermotor, pembangkit tenaga listrik, dan industri. Upaya pemerintah Indonesia untuk BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Udara yang bersih adalah kebutuhan dasar bagi kesehatan dan kesejahteraan manusia. Namun, polusi udara masih menjadi ancaman nyata bagi kesehatan di seluruh dunia.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dan sektor transportasi berjalan sangat cepat. Perkembangan di bidang industri

BAB I PENDAHULUAN. dan sektor transportasi berjalan sangat cepat. Perkembangan di bidang industri 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pembangunan di Indonesia khususnya pembangunan di bidang industri dan sektor transportasi berjalan sangat cepat. Perkembangan di bidang industri dan transportasi

Lebih terperinci

Bab I Pendahuluan. Gambar I.1 Bagan alir sederhana sistem pencemaran udara (Seinfield, 1986)

Bab I Pendahuluan. Gambar I.1 Bagan alir sederhana sistem pencemaran udara (Seinfield, 1986) Bab I Pendahuluan I.1 Latar Belakang Pencemaran udara didefinisikan sebagai hadirnya satu atau lebih substansi/ polutan di atmosfer (ambien) dalam jumlah tertentu yang dapat membahayakan atau mengganggu

Lebih terperinci

BAB 1 : PENDAHULUAN. pembangunan ekonomi suatu negara atau bahkan roda perekonomian dunia. Sektor industri telah

BAB 1 : PENDAHULUAN. pembangunan ekonomi suatu negara atau bahkan roda perekonomian dunia. Sektor industri telah BAB 1 : PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kegiatan industri saat ini menjadi sektor yang tidak dapat dipisahkan dalam pembangunan ekonomi suatu negara atau bahkan roda perekonomian dunia. Sektor industri

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Udara yang berada di bumi merupakan komponen yang tak dapat dipisahkan dari kehidupan manusia. Penggunaannya akan tidak terbatas selama udara mengandung unsur-unsur

Lebih terperinci

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN. Gorontalo dibagi menjadi 9 kecamatan, terdiri dari 50 kelurahan. Secara

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN. Gorontalo dibagi menjadi 9 kecamatan, terdiri dari 50 kelurahan. Secara 37 BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN 1.1 Hasil Penelitian 1.1.1 Gambaran Wilayah Penelitian Kota Gorontalo merupakan Ibukota Provinsi Gorontalo. Secara geografis mempunyai luas 79,03 km 2 atau 0,65

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. bumi dan komponen campuran gas tersebut tidak selalu konstan. Udara juga

I. PENDAHULUAN. bumi dan komponen campuran gas tersebut tidak selalu konstan. Udara juga 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Udara adalah suatu campuran gas yang terdapat pada lapisan yang mengelilingi bumi dan komponen campuran gas tersebut tidak selalu konstan. Udara juga merupakan atmosfir

Lebih terperinci

STUDI PENYEBARAN Pb, debu dan CO KEBISINGAN DI KOTA JAKARTA

STUDI PENYEBARAN Pb, debu dan CO KEBISINGAN DI KOTA JAKARTA STUDI PENYEBARAN Pb, debu dan CO KEBISINGAN DI KOTA JAKARTA Abstrak Tingkat pencemaran udara di kota-kota besar di Indonesia dari tahun ke tahun semakin meningkat bahkan beberapa kota sudah melampaui ambang

Lebih terperinci

Kusumawati, PS.,Tang, UM.,Nurhidayah, T 2013:7 (1)

Kusumawati, PS.,Tang, UM.,Nurhidayah, T 2013:7 (1) dan Tahun Pembuatan Kendaraan dengan ISSN Emisi 1978-5283 Co 2 Kusumawati, PS.,Tang, UM.,Nurhidayah, T 2013:7 (1) HUBUNGAN JUMLAH KENDARAAN BERMOTOR, ODOMETER KENDARAAN DAN TAHUN PEMBUATAN KENDARAAN DENGAN

Lebih terperinci

Gambar 4 Simulasi trajektori PT. X bulan Juni (a) dan bulan Desember (b)

Gambar 4 Simulasi trajektori PT. X bulan Juni (a) dan bulan Desember (b) 9 Kasus 2 : - Top of model : 15 m AGL - Starting time : 8 Juni dan 3 Desember 211 - Height of stack : 8 m AGL - Emmision rate : 1 hour - Pollutant : NO 2 dan SO 2 3.4.3 Metode Penentuan Koefisien Korelasi

Lebih terperinci

FAKTOR-FAKTOR FISIS YANG MEMPENGARUHI AKUMULASI NITROGEN MONOKSIDA DAN NITROGEN DIOKSIDA DI UDARA PEKANBARU

FAKTOR-FAKTOR FISIS YANG MEMPENGARUHI AKUMULASI NITROGEN MONOKSIDA DAN NITROGEN DIOKSIDA DI UDARA PEKANBARU FAKTOR-FAKTOR FISIS YANG MEMPENGARUHI AKUMULASI NITROGEN MONOKSIDA DAN NITROGEN DIOKSIDA DI UDARA PEKANBARU Riad Syech, Sugianto, Anthika Jurusan Fisika FMIPA Universitas Riau Kampus Bina Widya Km 12,5

Lebih terperinci

BAB I. PENDAHULUAN. Yogyakarta merupakan kota dengan kepadatan penduduk tertinggi di

BAB I. PENDAHULUAN. Yogyakarta merupakan kota dengan kepadatan penduduk tertinggi di BAB I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Yogyakarta merupakan kota dengan kepadatan penduduk tertinggi di Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY). Dengan luas wilayah 32,50 km 2, sekitar 1,02% luas DIY, jumlah

Lebih terperinci

IV. KONDISI UMUM 4.1 Kondisi Fisik Wilayah Administrasi

IV. KONDISI UMUM 4.1 Kondisi Fisik Wilayah Administrasi IV. KONDISI UMUM 4.1 Kondisi Fisik 4.1.1 Wilayah Administrasi Kota Bandung merupakan Ibukota Propinsi Jawa Barat. Kota Bandung terletak pada 6 o 49 58 hingga 6 o 58 38 Lintang Selatan dan 107 o 32 32 hingga

Lebih terperinci

SOAL UJIAN AKHIR SEMESTER 2 KIMIA KELAS X (SEPULUH) TP. 2008/2009

SOAL UJIAN AKHIR SEMESTER 2 KIMIA KELAS X (SEPULUH) TP. 2008/2009 SOAL UJIAN AKHIR SEMESTER 2 KIMIA KELAS X (SEPULUH) TP. 2008/2009 1. Dari suatu percobaan daya hantar listrik suatu larutan diperoleh data sebagai berikut: Percobaan Larutan Lampu Gelembung gas 1 2 3 4

Lebih terperinci

2. DESKRIPSI DATA PENELITIAN

2. DESKRIPSI DATA PENELITIAN . DESKRIPSI DATA PENELITIAN.. Pencemar Udara PM dan Ozon Udara sebagai komponen lingkungan yang penting dalam kehidupan perlu dipelihara dan ditingkatkan kualitasnya agar dapat memberikan daya dukung bagi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. meningkatnya pembangunan fisik kota dan pusat-pusat industri, kualitas udara

BAB I PENDAHULUAN. meningkatnya pembangunan fisik kota dan pusat-pusat industri, kualitas udara BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Udara merupakan faktor yang penting dalam kehidupan, namun dengan meningkatnya pembangunan fisik kota dan pusat-pusat industri, kualitas udara telah mengalami

Lebih terperinci

Iklim Kota Cilegon dipengaruhi oleh iklim laut yang panas dan kering

Iklim Kota Cilegon dipengaruhi oleh iklim laut yang panas dan kering BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Kondisi Meteorologi 4.1.1 Kondisi Meteorologi Iklim Kota Cilegon dipengaruhi oleh iklim laut yang panas dan kering disertai dengan angin. Hal ini bisa dilihat pada tabel

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pencemaran udara dewasa ini semakin memprihatinkan. Hal ini terlihat

BAB I PENDAHULUAN. Pencemaran udara dewasa ini semakin memprihatinkan. Hal ini terlihat BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pencemaran udara dewasa ini semakin memprihatinkan. Hal ini terlihat dimana terjadi perubahan cuaca dan iklim lingkungan yang mempengaruhi suhu bumi dan berbagai pengaruh

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN Kualitas udara merupakan komponen lingkungan yang sangat penting, karena akan berpengaruh langsung terhadap kesehatan masyarakat terutama pada pernafasan. Polutan di

Lebih terperinci

Pemantauan kualitas udara. Kendala 25/10/2015. Hal yang penting diperhatikan terutama ialah aspek pengambilan sampel udara dan analisis pengukurannya

Pemantauan kualitas udara. Kendala 25/10/2015. Hal yang penting diperhatikan terutama ialah aspek pengambilan sampel udara dan analisis pengukurannya Pemantauan kualitas udara Hal yang penting diperhatikan terutama ialah aspek pengambilan sampel udara dan analisis pengukurannya Keabsahan dan keterpercayaannya ditentukan oleh metode dan analisis yang

Lebih terperinci

Winardi 1 Program Studi Teknik Lingkungan Universitas Tanjungpura Pontianak

Winardi 1 Program Studi Teknik Lingkungan Universitas Tanjungpura Pontianak Analisis Dispersi Gas Sulfur Dioksida (SO 2 ) Dari Sumber Transportasi Di Kota Pontianak Winardi 1 Program Studi Teknik Lingkungan Universitas Tanjungpura Pontianak win@pplh-untan.or.id Abstrak Pencemaran

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pencemaran udara merupakan satu atau lebih substansi fisik, kimia,

BAB I PENDAHULUAN. Pencemaran udara merupakan satu atau lebih substansi fisik, kimia, BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pencemaran udara merupakan satu atau lebih substansi fisik, kimia, atau biologi di atmosfer dalam jumlah yang dapat membahayakan kesehatan manusia, hewan, dan tumbuhan,

Lebih terperinci

DAFTAR ISI. Halaman Judul... Halaman Pengesahan... Kata Pengantar Dan Persembahan... DAFTAR ISI... DAFTAR TABEL... DAFTAR GAMBAR... DAFTAR LAMPIRAN...

DAFTAR ISI. Halaman Judul... Halaman Pengesahan... Kata Pengantar Dan Persembahan... DAFTAR ISI... DAFTAR TABEL... DAFTAR GAMBAR... DAFTAR LAMPIRAN... DAFTAR ISI Halaman Judul... Halaman Pengesahan... Kata Pengantar Dan Persembahan... DAFTAR ISI... DAFTAR TABEL... DAFTAR GAMBAR... DAFTAR LAMPIRAN... ABSTRAK... i ii iii vi iv xi xiii xiv BAB I PENDAHULUAN...

Lebih terperinci

1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang 1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pembangunan berwawasan lingkungan bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan dan taraf hidup masyarakat dengan sesedikit mungkin memberikan dampak negatif pada lingkungan

Lebih terperinci

EVALUASI PERUBAHAN EMISI GAS NOX DAN SO 2 DARI KEGIATAN TRANSPORTASI DI KAMAL BANGKALAN AKIBAT PENGOPERASIAN JEMBATAN SURAMADU

EVALUASI PERUBAHAN EMISI GAS NOX DAN SO 2 DARI KEGIATAN TRANSPORTASI DI KAMAL BANGKALAN AKIBAT PENGOPERASIAN JEMBATAN SURAMADU EVALUASI PERUBAHAN EMISI GAS NOX DAN SO 2 DARI KEGIATAN TRANSPORTASI DI KAMAL BANGKALAN AKIBAT PENGOPERASIAN JEMBATAN SURAMADU Oleh: Imam Yanuar 3308 100 045 Jurusan Teknik Lingkungan Fakultas Teknik Sipil

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dengan perkembangan jumlah penduduk, ekonomi, industri, serta transportasi,

BAB I PENDAHULUAN. dengan perkembangan jumlah penduduk, ekonomi, industri, serta transportasi, BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Perkembangan suatu negara, bangsa, daerah atau wilayah yang sejalan dengan perkembangan jumlah penduduk, ekonomi, industri, serta transportasi, akan mendorong meningkatnya

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP NOMOR 07 TAHUN 2007 TENTANG BAKU MUTU EMISI SUMBER TIDAK BERGERAK BAGI KETEL UAP

PERATURAN MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP NOMOR 07 TAHUN 2007 TENTANG BAKU MUTU EMISI SUMBER TIDAK BERGERAK BAGI KETEL UAP SALINAN PERATURAN MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP NOMOR 07 TAHUN 2007 TENTANG BAKU MUTU EMISI SUMBER TIDAK BERGERAK BAGI KETEL UAP MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP, Menimbang : a. bahwa dalam rangka pelestarian

Lebih terperinci

PENCEMARAN UDARA LELY RIAWATI, ST., MT.

PENCEMARAN UDARA LELY RIAWATI, ST., MT. 1 PENCEMARAN UDARA LELY RIAWATI, ST., MT. Pencemaran Udara 2 3 Regulasi Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 41 Tahun 1999 Tentang Pengendalian Pencemaran Udara 4 Pencemaran Udara Masuknya atau

Lebih terperinci

BAB 1 : PENDAHULUAN. lainnya baik dalam bidang ekonomi, politik dan sosial. (1)

BAB 1 : PENDAHULUAN. lainnya baik dalam bidang ekonomi, politik dan sosial. (1) BAB 1 : PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kegiatan industri saat ini menjadi sektor yang tidak dapat dipisahkan dalam pembangunan ekonomi suatu negara atau bahkan roda perekonomian dunia. Sektor industri

Lebih terperinci

KEPALA STASIUN KLIMATOLOGI

KEPALA STASIUN KLIMATOLOGI KATA PENGANTAR Analisis Hujan, Indeks Kekeringan Bulan September 2013 serta Prakiraan Hujan Bulan November, Desember 2013 dan Januari 2014 disusun berdasarkan hasil pengamatan data hujan dari 60 stasiun

Lebih terperinci

ESTIMASI SEBARAN KERUANGAN EMISI GAS BUANG KENDARAAN BERMOTOR DI KOTA SEMARANG LAPORAN TUGAS AKHIR

ESTIMASI SEBARAN KERUANGAN EMISI GAS BUANG KENDARAAN BERMOTOR DI KOTA SEMARANG LAPORAN TUGAS AKHIR ESTIMASI SEBARAN KERUANGAN EMISI GAS BUANG KENDARAAN BERMOTOR DI KOTA SEMARANG LAPORAN TUGAS AKHIR Oleh : AMBAR YULIASTUTI L2D 004 294 JURUSAN PERENCANAAN WILAYAH DAN KOTA FAKULTAS TEKNIK UNIVERSITAS DIPONEGORO

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. memberikan dampak negatif bagi kesehatan. Hal ini disebabkan oleh potensi

BAB I PENDAHULUAN. memberikan dampak negatif bagi kesehatan. Hal ini disebabkan oleh potensi BAB I PENDAHULUAN A. Latar belakang Perkembangan Industri yang pesat di Indonesia tidak hanya memberikan dampak positif bagi pendapatan negara dan kesejahteraan rakyat, tetapi juga memberikan dampak negatif

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dunia. Hal ini disebabkan karena manusia memerlukan daya dukung unsur unsur

BAB I PENDAHULUAN. dunia. Hal ini disebabkan karena manusia memerlukan daya dukung unsur unsur BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Interaksi manusia dengan lingkungan hidupnya merupakan suatu proses yang wajar dan terlaksana sejak manusia itu dilahirkan sampai ia meninggal dunia. Hal ini disebabkan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Hubungan antara..., Dian Eka Sutra, FKM UI, Universitas Indonesia

BAB I PENDAHULUAN. Hubungan antara..., Dian Eka Sutra, FKM UI, Universitas Indonesia BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Polusi udara merupakan masalah lingkungan global yang terjadi di seluruh dunia. Berdasarkan data dari World Health Organization (WHO), polusi udara menyebabkan kematian

Lebih terperinci

Elaeis Noviani R *, Kiki Ramayana L. Tobing, Ita Tetriana A, Titik Istirokhatun. Abstrak. 1. Pendahuluan. 2. Dasar Teori Karbon Monoksida (CO)

Elaeis Noviani R *, Kiki Ramayana L. Tobing, Ita Tetriana A, Titik Istirokhatun. Abstrak. 1. Pendahuluan. 2. Dasar Teori Karbon Monoksida (CO) PENGARUH JUMLAH KENDARAAN DAN FAKTOR METEOROLOGIS (SUHU, KECEPATAN ANGIN) TERHADAP PENINGKATAN KONSENTRASI GAS PENCEMAR CO, NO₂, DAN SO₂ PADA PERSIMPANGAN JALAN KOTA SEMARANG (STUDI KASUS JALAN KARANGREJO

Lebih terperinci

Turunnya Harga Premium, Tingkatkan Kadar Timbal

Turunnya Harga Premium, Tingkatkan Kadar Timbal 1 Turunnya Harga Premium, Tingkatkan Kadar Timbal Eforia yang sedang terjadi di akhir tahun 2008 dan awal tahun 2009 yaitu menurunnya harga bahan bakar minyak untuk ketiga kalinya. Hal ini tentu disambut

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pesatnya kemajuan dan kestabilan pembangunan nasional menempatkan Daerah Khusus Ibukota Jakarta sebagai kota metropolitan dengan kondisi perekonomian yang selama

Lebih terperinci

STANDAR KOMPETENSI PENANGGUNGJAWAB PENGENDALIAN PENCEMARAN UDARA. : Penanggung Jawab Pengendalian Pencemaran. Lingkungan

STANDAR KOMPETENSI PENANGGUNGJAWAB PENGENDALIAN PENCEMARAN UDARA. : Penanggung Jawab Pengendalian Pencemaran. Lingkungan Lampiran Peraturan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor : 04 Tahun 2011 Tanggal : 14 September 2011 STANDAR KOMPETENSI PENANGGUNGJAWAB PENGENDALIAN PENCEMARAN UDARA 1. Kualifikasi : Penanggung Jawab Pengendalian

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN Udara merupakan zat yang penting dalam memberikan kehidupan di permukaan bumi. Selain memberikan oksigen, udara juga berfungsi sebagai alat penghantar suara dan bunyi-bunyian,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Hasil Analisa Bulan November Lokasi/Tahun Penelitian SO2 (µg/m 3 ) Pintu KIM 1 (2014) 37,45. Pintu KIM 1 (2015) 105,85

BAB I PENDAHULUAN. Hasil Analisa Bulan November Lokasi/Tahun Penelitian SO2 (µg/m 3 ) Pintu KIM 1 (2014) 37,45. Pintu KIM 1 (2015) 105,85 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang Udara merupakan salah satu faktor penting dalam keberlangsungan hidup semua mahluk hidup terutama manusia. Seiring dengan meningkatnya pembangunan infrastruktur mulai

Lebih terperinci

V. GAMBARAN UMUM. Jalan Raya Kasomalang merupakan jalan provinsi Jawa Barat yang

V. GAMBARAN UMUM. Jalan Raya Kasomalang merupakan jalan provinsi Jawa Barat yang V. GAMBARAN UMUM 5.1 Gambaran Umum Lokasi Penelitian Jalan Raya Kasomalang merupakan jalan provinsi Jawa Barat yang menghubungkan Kecamatan Jalan Cagak dengan Kecamatan Cisalak Kabupaten Subang. Jalur

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Kendaraan bermotor sudah menjadi kebutuhan mutlak pada saat ini. Kendaraan yang berfungsi sebagai sarana transportasi masyarakat adalah salah satu faktor penting

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Kualitas udara berarti keadaan udara di sekitar kita yang mengacu pada

BAB I PENDAHULUAN. Kualitas udara berarti keadaan udara di sekitar kita yang mengacu pada BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kualitas udara berarti keadaan udara di sekitar kita yang mengacu pada udara yang bersih atau tercemar. Pencemaran udara terjadi ketika komposisi udara dipengaruhi

Lebih terperinci

Dinamika Atmosfer Bawah (Skala Ketinggian dan Mixing Ratio)

Dinamika Atmosfer Bawah (Skala Ketinggian dan Mixing Ratio) Dinamika Atmosfer Bawah (Skala Ketinggian dan Mixing Ratio) Abdu Fadli Assomadi Laboratorium Pengelolaan Pencemaran Udara dan Perubahan Iklim karakteristik tinggi skala (scale height) Dalam mempelajari

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN Latar Belakang

I. PENDAHULUAN Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Hujan asam terjadi akibat polutan udara khususnya gas sulfur oksida (SOx) dan gas nitrogen oksida (NOx). Polutan ini bersumber dari alam maupun dari aktivitas manusia

Lebih terperinci

PEMETAAN KONSENTRASI PARTIKULAT DI KAWASAN RSU Dr. SOETOMO SURABAYA

PEMETAAN KONSENTRASI PARTIKULAT DI KAWASAN RSU Dr. SOETOMO SURABAYA PEMETAAN KONSENTRASI PARTIKULAT DI KAWASAN RSU Dr. SOETOMO SURABAYA Rachmat Boedisantoso, IDAA Warmadewanthi and Rr. Windarizti Yuniastried Putri Jurusan Teknik Lingkungan, FTSP Program Pascasarjana, Institut

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Lalu lintas kendaraan bermotor di suatu kawasan perkotaan dan kawasan lalu lintas padat lainnya seperti di kawasan pelabuhan barang akan memberikan pengaruh dan dampak

Lebih terperinci

Bab III Gambaran Umum Wilayah Studi

Bab III Gambaran Umum Wilayah Studi Bab III Gambaran Umum Wilayah Studi Penelitian ini dilakukan di wilayah Kota Bandung dengan pembagian lokasi berdasarkan peruntukkan lahan dengan tujuan mengetahui karakteristik polutanpolutan yang ada

Lebih terperinci

4 HASIL DAN PEMBAHASAN

4 HASIL DAN PEMBAHASAN 23 4 HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Pola Sebaran Suhu Permukaan Laut (SPL) Hasil olahan citra Modis Level 1 yang merupakan data harian dengan tingkat resolusi spasial yang lebih baik yaitu 1 km dapat menggambarkan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. masyarakat untuk meningkatkan kualitas hidup. Peningkatan kualitas hidup

BAB I PENDAHULUAN. masyarakat untuk meningkatkan kualitas hidup. Peningkatan kualitas hidup BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pada zaman yang semakin modern ini pembangunan pesat terjadi pada berbagai bidang yang memberikan kemajuan pada sektor ekonomi, kesehatan, teknologi maupun berbagai

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pembangunan kota lebih banyak mencerminkan adanya perkembangan

BAB I PENDAHULUAN. Pembangunan kota lebih banyak mencerminkan adanya perkembangan 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pembangunan kota lebih banyak mencerminkan adanya perkembangan fisik kota yang ditentukan oleh pembangunan sarana dan prasarana. Lahan yang seharusnya untuk penghijauan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 LatarBelakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 LatarBelakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 LatarBelakang Kota Medan sebagai ibu kota Provinsi Sumatera Utara merupakan kota terbesar ketiga di Indonesia dengan jumlah penduduk 2.191.140 jiwa pada tahun 2014 (BPS Provinsi Sumut,

Lebih terperinci

ANALISIS KEBUTUHAN ENERGI KALOR PADA INDUSTRI TAHU

ANALISIS KEBUTUHAN ENERGI KALOR PADA INDUSTRI TAHU TUGAS AKHIR ANALISIS KEBUTUHAN ENERGI KALOR PADA INDUSTRI TAHU Disusun : HENDRO DWI SAPTONO NIM : D 200 050 116 JURUSAN TEKNIK MESIN FAKULTAS TEKNIK UNUVERSITAS MUHAMMADIYAH SURAKARTA MEI 2010 BAB I PENDAHULUAN

Lebih terperinci

Pencemaran Timbel (Pb) di Udara dan Kadar Timbel pada Darah Anak2: Studi Kasus di Bandung

Pencemaran Timbel (Pb) di Udara dan Kadar Timbel pada Darah Anak2: Studi Kasus di Bandung Pencemaran Timbel (Pb) di Udara dan Kadar Timbel pada Darah Anak2: Studi Kasus di Bandung Dr. Puji Lestari Departmen Teknik Lingkungan Institut Teknologi Bandung (ITB) Email: pujilest@indo.net.id Acknowledgement

Lebih terperinci

DAFTAR ISI. Kata Pengantar. Daftar Isi. Daftar Tabel. Daftar Gambar

DAFTAR ISI. Kata Pengantar. Daftar Isi. Daftar Tabel. Daftar Gambar DAFTAR ISI Kata Pengantar Daftar Isi Daftar Daftar i ii iii vii Bab I Pendahuluan A. Kondisi Umum Daerah I- 1 B. Pemanfaatan Laporan Status LH Daerah I-10 C. Isu Prioritas Lingkungan Hidup Kabupaten Kulon

Lebih terperinci

PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Udara sebagai salah satu komponen lingkungan merupakan kebutuhan yang paling utama untuk mempertahankan kehidupan. Metabolisme dalam tubuh makhluk hidup tidak mungkin dapat

Lebih terperinci

V. HASIL DAN PEMBAHASAN. A. Kondisi Eksisting Fisiografi Wilayah Studi

V. HASIL DAN PEMBAHASAN. A. Kondisi Eksisting Fisiografi Wilayah Studi V. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Kondisi Eksisting Fisiografi Wilayah Studi Desa Panapalan, Kecamatan Tengah Ilir terdiri dari 5 desa dengan luas 221,44 Km 2 dengan berbagai ketinggian yang berbeda dan di desa

Lebih terperinci

PETA KONSEP LAJU REAKSI. Percobaan. Waktu perubahan. Hasil reaksi. Pereaksi. Katalis. Suhu pereaksi. Konsentrasi. Luas. permukaan.

PETA KONSEP LAJU REAKSI. Percobaan. Waktu perubahan. Hasil reaksi. Pereaksi. Katalis. Suhu pereaksi. Konsentrasi. Luas. permukaan. PETA KONSEP LAJU REAKSI Berkaitan dengan ditentukan melalui Waktu perubahan Dipengaruhi oleh Percobaan dari Pereaksi Hasil reaksi Konsentrasi Luas Katalis Suhu pereaksi permukaan menentukan membentuk mengadakan

Lebih terperinci

PERILAKU ZAT PENCEMAR DI ATMOSFER

PERILAKU ZAT PENCEMAR DI ATMOSFER PERILAKU ZAT PENCEMAR DI ATMOSFER Pengantar Pencemaran udara dapat didefinisikan sebagai kondisi atmosfer yang terdiri atas senyawa-senyawa dengan konsentrasi tinggi diatas kondisi udara ambien normal,

Lebih terperinci

PENCEMARAN LINGKUNGAN. Purwanti Widhy H, M.Pd

PENCEMARAN LINGKUNGAN. Purwanti Widhy H, M.Pd PENCEMARAN LINGKUNGAN Purwanti Widhy H, M.Pd Pengertian pencemaran lingkungan Proses terjadinya pencemaran lingkungan Jenis-jenis pencemaran lingkungan PENGERTIAN PENCEMARAN LINGKUNGAN Berdasarkan UU Pokok

Lebih terperinci

3. METODE PENELITIAN

3. METODE PENELITIAN 3. METODE PENELITIAN 3.1. Desain Penelitian Penelitian ini menggunakan metode potong lintang (cross sectional study) yaitu suatu penelitian yang bertujuan untuk mempelajari dinamika hubungan atau korelasi

Lebih terperinci

BAB V Hasil dan Pembahasan

BAB V Hasil dan Pembahasan 43 BAB V Hasil dan Pembahasan Bagian ini memberikan gambaran tentang hasil yang diperoleh selama melakukan penelitian Inventori Emisi Gas Rumah Kaca (CO 2 dan CH 4 ) dari Sektor Transportasi dengan Pendekatan

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. terjadinya perpindahan manusia atau barang dari satu tempat ke tempat lain.

II. TINJAUAN PUSTAKA. terjadinya perpindahan manusia atau barang dari satu tempat ke tempat lain. II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Transportasi dan Lingkungan Kebutuhan akan transportasi timbul karena adanya kebutuhan manusia. Transportasi dapat diartikan sebagai suatu kegiatan yang memungkinkan terjadinya

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pencemaran udara sudah menjadi masalah yang serius di kota-kota besar di dunia. Polusi udara perkotaan yang berdampak pada kesehatan manusia dan lingkungan telah dikenal

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar belakang 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar belakang Pencemaran udara adalah proses masuknya atau dimasukkannya zat pencemar ke udara oleh aktivitas manusia atau alam yang menyebabkan berubahnya tatanan udara sehingga

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang I. PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang Aktivitas industri dapat memberikan kontribusi kenaikan kadar polutan, seperti gas dan partikulat ke dalam lingkungan udara atmosfer sehingga dapat menurunkan mutu udara

Lebih terperinci

STUDI IDENTIFIKASI PENCEMARAN UDARA OLEH TIMBAL (Pb) PADA AREA PARKIR (STUDI KASUS KAMPUS UNIVERSITAS PASUNDAN BANDUNG)

STUDI IDENTIFIKASI PENCEMARAN UDARA OLEH TIMBAL (Pb) PADA AREA PARKIR (STUDI KASUS KAMPUS UNIVERSITAS PASUNDAN BANDUNG) INFOMATEK Volume 18 Nomor 1 Juni 2016 STUDI IDENTIFIKASI PENCEMARAN UDARA OLEH TIMBAL (Pb) PADA AREA PARKIR (STUDI KASUS KAMPUS UNIVERSITAS PASUNDAN BANDUNG) Astri W Hasbiah *), Lili Mulyatna, Fazari Musaddad

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. pengaruhnya terhadap ekosistem secara global. Udara yang kita pakai untuk

BAB I PENDAHULUAN. pengaruhnya terhadap ekosistem secara global. Udara yang kita pakai untuk 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Udara merupakan sumber daya alam milik bersama yang besar pengaruhnya terhadap ekosistem secara global. Udara yang kita pakai untuk bernafas umumnya tidak atau kurang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Universitas Sumatera Utara

BAB I PENDAHULUAN. Universitas Sumatera Utara BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG Kemajuan ekonomi yang semakin pesat mendorong semakin tingginya kebutuhan akan transportasi, dalam hal lain lingkungan alam yang mendukung kehidupan manusia semakin

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Indonesia merupakan Negara Berkembang yang melakukan pembangunan secara berkala. Pembangunan infrastruktur, industri, ekonomi yang bertujuan untuk memajukan negara

Lebih terperinci

II.TINJAUAN PUSTAKA. tempat lain dengan menggunakan alat pengangkutan, baik yang digerakkan

II.TINJAUAN PUSTAKA. tempat lain dengan menggunakan alat pengangkutan, baik yang digerakkan 5 II.TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Transportasi dan Lingkungan Transportasi secara umum diartikan sebagai perpindahan barang atau orang dari satu tempat ke tempat yang lain. Sedangkan menurut Sukarto (2006), transportasi

Lebih terperinci

2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Atmosfer Komposisi Atmosfer Polusi Udara Kecepatan Angin dan Topografi

2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Atmosfer Komposisi Atmosfer Polusi Udara Kecepatan Angin dan Topografi 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Atmosfer 2.1.1 Komposisi Atmosfer Udara merupakan campuran beberapa macam gas yang perbandingannya tidak tetap, tergantung pada keadaan suhu udara, tekanan udara dan lingkungan

Lebih terperinci

IDENTIFIKASI KUALITAS GAS SO 2 DI DAERAH INDUSTRI PENGECORAN LOGAM CEPER

IDENTIFIKASI KUALITAS GAS SO 2 DI DAERAH INDUSTRI PENGECORAN LOGAM CEPER IDENTIFIKASI KUALITAS GAS SO 2 DI DAERAH INDUSTRI PENGECORAN LOGAM CEPER Oleh : Wiharja *) Abstrak Di Kecamatan Ceper, Kabupaten Klaten telah lama berkembang industri pengecoran logam. Untuk mengantisipasi

Lebih terperinci