PENGARUH Trichoderma sp. DAN MOLASE TERHADAP SIFAT BIOLOGI TANAH DI SEKITAR LUBANG RESAPAN BIOPORI PADA LATOSOL DARMAGA DEWI SITI LESTARI

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "PENGARUH Trichoderma sp. DAN MOLASE TERHADAP SIFAT BIOLOGI TANAH DI SEKITAR LUBANG RESAPAN BIOPORI PADA LATOSOL DARMAGA DEWI SITI LESTARI"

Transkripsi

1 PENGARUH Trichoderma sp. DAN MOLASE TERHADAP SIFAT BIOLOGI TANAH DI SEKITAR LUBANG RESAPAN BIOPORI PADA LATOSOL DARMAGA DEWI SITI LESTARI DEPARTEMEN ILMU TANAH DAN SUMBERDAYA LAHAN FAKULTAS PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2013

2

3 PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA* Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Pengaruh Trichoderma sp. dan Molase terhadap Sifat Biologi Tanah di Sekitar Lubang Resapan Biopori pada Latosol Darmaga adalah benar karya saya dengan arahan dari dosen pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini. Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor. Bogor, November 2013 Dewi Siti Lestari NIM A

4 ABSTRAK DEWI SITI LESTARI. Pengaruh Trichoderma sp. dan Molase terhadap Sifat Biologi Tanah di Sekitar Lubang Resapan Biopori pada Latosol Darmaga. Dibimbing oleh KAMIR R. BRATA dan RAHAYU WIDYASTUTI. Pemberian sampah organik pada lubang resapan biopori (LRB) dapat memperbaiki sifat biologi tanah dengan meningkatnya aktivitas biologi tanah. Secara alami proses dekomposisi sampah organik membutuhkan waktu yang lama, namun dapat dipercepat dengan menambahkan aktivator. Aktivator yang dapat ditambahkan, di antaranya adalah Trichoderma sp. dan molase. Tujuan penelitian ini, yaitu mempelajari pengaruh pemberian Trichoderma sp. dan molase terhadap sifat biologi tanah, yang meliputi populasi dan keragaman fauna tanah serta populasi total mikrob dan fungi tanah di sekitar lubang resapan biopori. Model rancangan yang digunakan adalah rancangan acak kelompok (RAK) dengan uji statistik beda nyata terkecil (BNT) pada taraf kepercayaan 5%. Perlakuan yang diujikan, P0: tanpa perlakuan sampah organik (SO), molase (M) dan Trichoderma sp. (T), P1: dengan penambahan SO, P2: dengan penambahan SO + M, P3: dengan penambahan SO + T, dan P4: dengan penambahan SO + M + T. Hasil penelitian menunjukkan perlakuan Trichoderma sp. (SO + T) dan molase (SO + M) pada lubang resapan biopori dapat memperbaiki sifat biologi tanah, yang ditunjukkan dengan tingginya populasi mikrob tanah (1.59 x 10 6 SPK/g BKM tanah) pada kedua perlakuan tersebut dan berbeda nyata dengan P0. Kedua perlakuan tersebut juga memiliki populasi fauna tanah yang secara nyata lebih tinggi dibandingkan dengan perlakuan lain, yaitu masing-masing 6071 individu/m 2 (SO + T) dan 1908 individu/m 2 (SO + M), serta memiliki populasi fungi tanah yang tinggi yaitu masing-masing 1.26 x 10 4 SPK/g BKM tanah (SO + T) dan 1.42 x 10 4 SPK/g BKM tanah (SO + M) namun tidak berpengaruh nyata meningkatkan keragaman fauna tanah. Kata kunci: lubang resapan biopori, molase, sifat biologi tanah, Trichoderma sp.

5 ABSTRACT DEWI SITI LESTARI. The effect of Trichoderma sp. and Molasses on Soil Biological Properties at Arround Biopore Infiltration Hole in Latosol Darmaga. Supervised by KAMIR R. BRATA and RAHAYU WIDYASTUTI. Organic waste addition into the biopore infiltration hole could improve soil biological properties due the increase of soil biological activities. The decomposition organic waste in the biopore infiltration hole could be accelerated by adding activator. The activators that could be added were Trichoderma sp. and molasses. This research aimed at finding out the effect of giving Trichoderma sp. and molasses in soil biological properties including population and diversity of soil fauna, microbes and fungi population at arround the biopore infiltration hole. Design model that used was randomized block design (RBD) with Least Significant Difference (LSD) test on the level of trust 5%. The treatment of this research were, P0: without treatment of organic waste (SO) + molasses (M) + Trichoderma sp. (T), P1: with addition of SO, P2: with addition of SO + M, P3: with addition of SO + T, and P4: with addition of SO + M + T. The result of this research showed that the addition of Trichoderma sp. (SO+T) and molasses (SO + M) treatments in biopore infiltration hole could improve the soil biological properties. It was indicated by the high of soil microbes population 1.59 x 10 6 CFU (Colony Forming Unit)/g ADW (Absolute Dry Weight) soil to the both treatments and significantly higher compared to the P0. Both of the treatments also had the highest population of soil fauna than other treatments, that were 6071 individual/m 2 (SO + T) and 1908 individual/m 2 (SO + M), and had high population of soil fungi, that were 1.26 x 10 4 CFU/g ADW soil (SO + T) and 1.42 x 10 4 CFU/g ADW soil (SO + M), nevertheless they all did not have significantly effect in increasing the diversity of soil fauna. Keyword: Biopore Infiltration Hole, molasses, soil biological properties, Trichoderma sp.

6

7 PENGARUH Trichoderma sp. dan MOLASE TERHADAP SIFAT BIOLOGI TANAH DI SEKITAR LUBANG RESAPAN BIOPORI PADA LATOSOL DARMAGA DEWI SITI LESTARI Skripsi sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Pertanian pada Departemen Ilmu Tanah dan Sumberdaya Lahan DEPARTEMEN ILMU TANAH DAN SUMBERDAYA LAHAN FAKULTAS PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2013

8

9 Judul Skripsi : Pengaruh Trichoderma sp. dan Molase terhadap Sifat Biologi Tanah di Sekitar Lubang Resapan Biopori pada Latosol Darmaga Nama : Dewi Siti Lestari NIM : A Disetujui oleh Ir. Kamir R. Brata, M.Sc. Pembimbing I Dr. Rahayu Widyastuti, M.Sc. Pembimbing II Diketahui oleh Dr. Ir. Baba Barus, M.Sc. Ketua Departemen Tanggal Lulus:

10 PRAKATA Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT atas rahmat dan hidayah-nya sehingga karya ilmiah dengan judul Pengaruh Trichoderma sp. dan Molase terhadap Sifat Biologi Tanah di sekitar Lubang Resapan Biopori pada Latosol Darmaga dapat diselesaikan. Penelitian ini dilaksanakan sejak Maret 2013 sampai Juni 2013 di Kebun Percobaan Cikabayan Darmaga, Laboratorium Bioteknologi Tanah, dan Laboratorium Kimia dan Kesuburan Tanah IPB Darmaga. Penulis menyampaikan penghargaan dan terima kasih kepada Bapak Ir. Kamir R. Brata, M.Sc. dan Dr. Rahayu Widyastuti, M.Sc. selaku pembimbing selama proses penelitian hingga penulisan karya ilmiah ini, serta Dr. Ir. Enni Dwi Wahyunie, M.Si. selaku dosen penguji atas masukannya untuk perbaikan penulisan karya ilmiah ini. Rasa hormat dan terima kasih yang mendalam penulis haturkan kepada kedua orang tua penulis yaitu Suyadi dan Sugiarti yang dengan keteguhan, kesabaran, ketabahan, dan kasih sayangnya membesarkan dan mendidik penulis serta mendoakan kesehatan, keselamatan, dan kesuksesan penulis. Ucapan terima kasih juga penulis sampaikan kepada kakak dan adik atas segala doa, dukungan, serta kasih sayangnya kepada penulis. Terima kasih juga penulis sampaikan kepada Laboran Bioteknologi Tanah IPB serta teman-teman di Program Studi Ilmu Tanah dan Sumberdaya Lahan angkatan 2009 atas semua bantuan, doa, dan dorongan kepada penulis. Penulis mendoakan semoga Allah SWT senantiasa memberikan limpahan rahmat dan karunia-nya kepada semuanya. Penulis berharap semoga karya ilmiah ini dapat bermanfaat. Bogor, November 2013 Dewi Siti Lestari

11 DAFTAR ISI DAFTAR TABEL x DAFTAR GAMBAR x DAFTAR LAMPIRAN x PENDAHULUAN 1 Tujuan Penelitian 2 Hipotesis Penelitian 2 METODE 3 Lokasi dan Waktu Penelitian 3 Bahan dan Alat 3 Metode Penelitian 3 HASIL DAN PEMBAHASAN 6 Populasi Fauna Tanah 6 Keragaman Fauna Tanah 10 Populasi Mikrob Tanah 13 Populasi Fungi Tanah 15 SIMPULAN DAN SARAN 18 Simpulan 18 Saran 18 DAFTAR PUSTAKA 19 RIWAYAT HIDUP 25

12 DAFTAR TABEL 1 Komposisi kimia tetes tebu (molase) 2 2 Hasil analisis molase 4 3 Populasi total fauna tanah pada berbagai perlakuan di sekitar lubang resapan biopori 7 4 Populasi rata-rata *) fauna tanah pada berbagai perlakuan di sekitar lubang resapan biopori 9 5 Keragaman fauna tanah di sekitar lubang resapan biopori 12 DAFTAR GAMBAR 1 Berlese Funnel Extractor 3 2 Penempatan perlakuan teracak dalam setiap kelompok 6 3 Penyusutan sampah organik pada lubang resapan biopori 7 4 Keragaman fauna tanah yang ditemukan di sekitar lubang resapan biopori 11 5 Hymenoptera pada perlakuan (P3) 12 6 Populasi total mikrob di sekitar lubang resapan biopori 14 7 Populasi fungi di sekitar lubang resapan biopori 16 DAFTAR LAMPIRAN 1 Nilai C-organik pada sampah organik di lubang resapan biopori 22 2 Nilai N-total pada sampah organik di lubang resapan biopori 22 3 Rasio C/N pada sampah organik di lubang resapan biopori 22 4 Populasi total mikrob dan fungi tanah di sekitar lubang resapan biopori 22 5 Populasi fauna tanah di sekitar lubang resapan biopori 23 6 Analisis statistik populasi dan keragaman fauna tanah serta populasi total mikrob dan fungi tanah berdasarkan waktu pengamatan 24 7 Media isolasi total mikrob dan fungi yang digunakan 24

13 PENDAHULUAN Semakin tingginya laju pertumbuhan penduduk menyebabkan semakin tingginya kebutuhan manusia akan lahan, baik untuk memenuhi kebutuhan pangan di bidang pertanian maupun untuk kegiatan pembangunan. Meningkatnya kegiatan pembangunan menyebabkan daerah yang berfungsi sebagai peresapan air menjadi berkurang, sehingga menyebabkan terjadinya kerusakan lingkungan, seperti terjadinya banjir. Dalam Peraturan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor 12 Tahun 2009 tentang Pemanfaatan Air Hujan mewajibkan setiap penanggung jawab bangunan melakukan pemanfaatan air hujan di antaranya dengan pembuatan lubang resapan biopori (MENLH 2009). Lubang resapan biopori merupakan lubang silindris berbentuk vertikal dengan diameter 10 cm dan dengan kedalaman 100 cm atau tidak melebihi kedalaman muka air tanah dan diisi sampah organik. Dengan memasukkan sampah organik ke dalam lubang resapan biopori, sampah tidak bertumpuk dan berserakan di permukaan tanah, sehingga akan mempermudah upaya pemanfaatan sampah organik. Selain itu, dengan memasukkan sampah organik ke dalam lubang resapan biopori, tanah dapat difungsikan sebagai penyimpan karbon dalam bentuk humus dan biomassa dalam tubuh aneka ragam organisme tanah, sehingga mengurangi emisi karbon ke atmosfer. Menurut Brata dan Nelistya (2008) biopori merupakan ruangan atau pori dalam tanah yang dibentuk oleh makhluk hidup, seperti fauna tanah dan akar tanaman. Jumlah serta ukuran biopori tersebut akan terus meningkat mengikuti peningkatan populasi dan aktivitas organisme tanah dan pertumbuhan akar tanaman. Bentuk biopori menyerupai liang (terowongan kecil) dan bercabang-cabang yang sangat efektif untuk menyalurkan air dan udara ke dan dari dalam tanah. Sampah organik memiliki komponen yang berbeda-beda. Dalam penelitian ini digunakan sampah organik yang berasal dari campuran >80% daun-daun kering rambutan (Nephelium lappaceum L.) dan sisanya berasal dari campuran guguran daun sukun (Artocarpus altilis). Menurut Sudrajat et al. (1995) serasah daun kering mengandung banyak komponen, di antaranya lignin sebesar 51% dan selulosa sebesar 12%. Menurut Brady (1990) kemudahan dekomposisi bahan organik secara berurutan yaitu: (1) gula, zat pati, protein sederhana, (2) protein kasar, (3) hemiselulosa, (4) selulosa, (5) lemak, (6) lignin, lemak, dan lilin. Lignin merupakan komponen yang sangat sulit untuk didekomposisi. Hal ini sejalan dengan penelitian Maria (2013), yang melaporkan bahwa rasio C/N kompos yang dihasilkan dengan menggunakan sampah organik yang berasal dari daun-daun kering masih tinggi yaitu berkisar pada minggu ketujuh (Lampiran 3). Tingginya rasio C/N ini menggambarkan semakin sulitnya terjadi proses dekomposisi. Penambahan aktivator seperti Trichoderma sp. dan molase diharapkan dapat mempercepat proses dekomposisi. Molase merupakan sisa dari pengelolaan gula tebu yang tidak dapat dikristalkan lagi dan mengandung gula sekitar 50% serta dapat berperan sebagai sumber makanan bagi mikrob (Paturau 1982 dalam Yuniasari 2009). Dari Tabel 1 dapat dilihat kandungan gula pada molase dominan dalam bentuk sukrosa yaitu rata-rata sebesar 35%. Sukrosa merupakan gula dalam

14 2 bentuk disakarida yang lebih mudah dimanfaatkan oleh organisme dibandingkan lignin (Brady 1990). Tabel 1 Komposisi kimia tetes tebu (molase) a Unsur Kisaran (%) Rata-rata (%) Air Sukrosa Dekstrosa (Glukosa) Leavulosa (Fruktosa) Bahan pereduksi lain Karbohidrat lain a Sumber: Paturau (1982) dalam Yuniasari (2009) Proses dekomposisi pada serasah daun kering yang mengandung selulosa dan lignin dalam jumlah yang tinggi dapat juga dipercepat dengan menambahkan Trichoderma sp. yang berperan dalam merombak limbah lignoselulolitik (Widyastuti 2007). Sampah organik yang ada di dalam lubang resapan biopori akan meningkatkan aktivitas berbagai macam organisme tanah (Hakim et al. 1986). Meningkatnya aktivitas berbagai macam organisme tanah (epigeic, anecic, endogeic) karena lingkungannya sesuai untuk kelangsungan hidup organisme tanah dan mengurangi gangguan oleh pemangsa atau manusia. Fauna tanah akan mengunyah dan memperkecil ukuran sampah organik, serta mencampurkannya dengan mikrob yang dapat mempercepat proses pelapukan sampah organik menjadi kompos atau senyawa yang dapat memperbaiki sifat fisik, kimia, dan biologi tanah. Fauna tanah berperan dalam mendekomposisikan bahan organik, mencampurkan dan menggranulasikan tanah, dan memasukkan tanah ke horizon lebih dalam (Supardi 1983). Menurut Anas (1989) mikrob berperan dalam pelapukan bahan organik dan pendauran unsur hara sehingga mempengaruhi sifat fisik dan kimia tanah, sedangkan fungi berperan aktif pada tahap pertama proses dekomposisi bahan organik. Dengan demikian penerapan teknologi lubang resapan biopori diharapkan dapat memperbaiki sifat biologi tanah (meningkatkan populasi dan keragaman fauna tanah serta populasi total mikrob dan fungi tanah). Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan mempelajari pengaruh pemberian Trichoderma sp. dan molase terhadap sifat biologi tanah meliputi populasi dan keragaman fauna tanah serta populasi total mikrob dan fungi tanah di sekitar lubang resapan biopori. Hipotesis Penelitian Pemberian Trichoderma sp. dan molase meningkatkan populasi dan keragaman fauna tanah serta populasi total mikrob dan fungi tanah di sekitar lubang resapan biopori.

15 3 METODE Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilaksanakan mulai bulan Maret sampai dengan Juni Pembuatan lubang resapan biopori dilakukan di kebun percobaan Cikabayan Darmaga. Analisis sifat biologi tanah dilakukan di Laboratorium Bioteknologi Tanah, sedangkan analisis rasio C/N sampah organik dan molase dilakukan di Laboratorium Kimia dan Kesuburan Tanah, Departemen Ilmu Tanah dan Sumberdaya Lahan, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Bahan dan Alat Bahan-bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah molase dari PT. Rajawali II Unit Sindanglaut, Trichoderma sp. (koleksi Laboratorium Bioteknologi Tanah IPB), sampah organik (daun-daun kering), bahan-bahan untuk ekstraksi fauna tanah (etilen glikol, alkohol 70%), larutan fisiologis (NaCl), media tumbuh Trichoderma sp. dengan PDA (potato dekstrose agar: kentang, dekstrose, agar), Nutrient Agar dan Martin Agar (KH 2 PO 4, MgSO 4. 7H 2 O, pepton, dekstrose, agar, rose bengal). Peralatan yang digunakan, yaitu bor biopori, Berlese Funnel Extractor, stereomikroskop, pinset, stopwatch, garpu, palu, cawan petri, erlenmeyer, shaker, tabung reaksi, pipet, autoklaf, laminar flow, inkubator, bunsen, serta alat-alat lain yang mendukung penelitian. Berlese Funnel Extractor (Gambar 1) merupakan alat untuk mengekstrak dan mengumpulkan fauna tanah yang terdiri atas pipa paralon berdiameter 16 cm dan tinggi 16.5 cm, corong plastik besar, lampu 60 watt, botol kecil untuk menampung fauna tanah, kain penutup berukuran 35 x 35 cm, saringan 2 mm. Gambar 1 Berlese Funnel Extractor Metode Penelitian Persiapan dan Dosis Molase dan Trichoderma sp. Analisis molase mencakup unsur hara yang terdapat pada molase, yaitu: C- organik dengan metode pengabuan kering (Lost on Ignition) (BPT 2005) dan N-

16 4 total dengan metode Kjeldahl (DITSL 2006). Hasil analisis molase dapat dilihat pada Tabel 2. Molase yang digunakan sebesar 65 ml (80 g molase dengan bobot jenis partikel 1.23 g/ml) dalam 800 g sampah organik yang akan dikomposkan. Sebanyak 65 ml molase dicampurkan dengan air sebesar 367 ml untuk mendapatkan kadar air kompos 60%. Aplikasi Trichoderma sp. menggunakan dosis 0.4 ml setiap 800 g sampah organik yang akan dikomposkan. Menurut Gholib dan Kusumaningtyas (2006) setiap 1 ml Trichoderma sp. mengandung 10 6 sel spora. Sebanyak 0.4 ml Trichoderma sp. dicampurkan dengan 432 ml air untuk mendapatkan kadar air kompos 60%. Tabel 2 Hasil analisis molase a Parameter Metode Analisis Hasil N-total (%) Kjeldahl 0.28 C-Organik (%) Pengabuan kering C/N Rasio Kadar Air (%) Gravimetri a Sumber: Laboratorium Kimia dan Kesuburan ITSL Pembuatan Lubang Resapan Biopori (LRB) Lubang resapan biopori (LRB) dibuat di kebun percobaan Cikabayan Darmaga dengan menggunakan bor biopori. LRB dibuat dengan lima perlakuan. Sebanyak 800 g sampah organik (daun-daun kering) dimasukkan ke dalam empat lubang perlakuan ditambah satu lubang tanpa penambahan sampah organik, masing-masing dibuat dengan tiga kali ulangan sehingga total pengamatan berjumlah 15 LRB. Jarak antar LRB adalah 2 x 2 m. LRB dibuat dengan menggunakan bor biopori, hingga kedalaman 100 cm. Lubang yang diberikan sampah organik kemudian ditambahkan aktivator Trichoderma sp. (SO + T), molase (SO + M) dan gabungan keduanya (SO + T + M) serta satu lubang yang hanya diberi sampah organik tanpa aktivator (SO). Pengambilan Contoh Tanah dan Ekstraksi Fauna Tanah Pengambilan contoh tanah dilakukan pada awal penelitian (sebelum diberikan perlakuan/minggu ke-0) dan akhir penelitian (minggu ke-7) dan diekstraksi dengan Berlese Funnel Extractor. Pengambilan contoh tanah untuk ekstraksi fauna tanah dilakukan dengan menggunakan soil corer berdiameter 16 cm dan tinggi 16.5 cm. Paralon tersebut dimasukkan ke dalam tanah hingga rata dengan permukaan tanah, kemudian contoh tanah dimasukkan ke dalam plastik dan segera ditutup dengan kain agar fauna tanah tidak keluar, dan bagian bawahnya ditutup dengan saringan 2 mm. Pipa paralon disimpan di atas corong plastik besar, kirakira 10 cm di atas pipa paralon dipasang lampu kecil (60 W) yang digunakan sebagai sumber panas agar fauna tanah jatuh ke dalam botol fauna tanah yang berisi etilen glikol ±20 ml, yang berfungsi sebagai pengawet. Proses ekstraksi ini dilakukan selama 7-10 hari. Selanjutnya fauna tanah yang terekstrak disimpan dalam botol berisi alkohol 70%. Fauna tanah yang ditemukan kemudian diamati pada stereomikroskop dan dihitung jumlahnya serta diidentifikasi sampai dengan tingkat ordo.

17 Fauna tanah yang berukuran besar seperti cacing tanah diambil menggunakan metode hand sorting, yaitu pengambilan fauna tanah yang ditemukan pada titik tempat pengambilan contoh tanah dan dimasukkan ke dalam wadah yang berisi alkohol 70%. Jumlah fauna tanah ditetapkan dengan rumus (Meyer 1996 dalam Widyastuti 2004); 5 IS: rata-rata jumlah individu per sampel A: luas area bor (cm 2 ) *) I : jumlah individu *) Area bor tanah = πr 2 = 3.14(8 cm) 2 = cm 2 = m 2 Keragaman fauna tanah yang menggambarkan banyaknya taksa (kelompok) dalam suatu habitat dihitung berdasarkan rumus Shannon s Diversity Index (Ludwing dan Reynolds 1998 dalam Widyastuti 2004), yaitu: H = - ( ) Keterangan; ni: jumlah individu fauna tertentu n : jumlah total individu fauna dalam sampel Isolasi Total Mikrob dan Fungi Tanah Pengambilan contoh tanah untuk isolasi total mikrob dan fungi dilakukan pada awal (saat pembuatan lubang resapan biopori dan sebelum diberikan perlakuan) dan akhir penelitian (minggu ke-7). Pada awal penelitian dilakukan saat pembuatan lubang resapan biopori dengan menggunakan bor biopori dan pada akhir penelitian diambil di sekitar LRB. Contoh tanah yang diambil kemudian dikompositkan dan disimpan dalam lemari es agar kadar air tanah tetap terjaga. Media yang digunakan adalah Nutrien Agar untuk isolasi total mikrob dan Martin Agar untuk isolasi fungi tanah (Lampiran 7). Metode yang digunakan adalah metode agar cawan. Sebanyak 10 g contoh tanah dimasukkan ke dalam 90 ml larutan fisiologis (8.5 g NaCl per liter aquades) pada erlenmeyer dan dikocok selama 15 menit, sehingga diperoleh pengenceran Selanjutnya dibuat seri pengenceran 10-2 dengan mencampurkan 1 ml larutan dari pengenceran 10-1 ke dalam 9 ml larutan fisiologis pada tabung reaksi dan dikocok selama 15 menit, demikian seterusnya hingga Isolasi total mikrob menggunakan contoh tanah pada pengenceran 10-6 dan 10-7 dan fungi diisolasi pada tanah dengan pengenceran 10-4 dan Kemudian diinkubasi selama tiga hari. Pengamatan dilakukan pada hari ketiga. Rancangan Penelitian Rancangan penelitian yang digunakan adalah rancangan acak kelompok (RAK). Pada penelitian ini terdapat lima perlakuan, masing-masing dibuat tiga kali ulangan, sehingga diperoleh 15 unit percobaan. Perlakuan yang diujikan terdiri atas, P0: tanpa sampahn organik (SO) + molase (M) + Trichoderma sp. (T), P1: dengan penambahan SO, P2: dengan penambahan SO + M, P3: dengan penambahan SO + T, dan P4: dengan penambahan SO + M + T. Perlakuan ditempatkan secara acak pada setiap kelompok seperti ditunjuk pada Gambar 2.

18 6 Kelompok 1 P1 2 m 2 m P3 P4 P2 P0 Utara Kelompok 2 P0 P4 P1 P3 P2 Kelompok 3 P3 P4 P0 P2 P1 Gambar 2 Denah Penempatan perlakuan teracak dalam setiap kelompok Model matematik rancangan acak kelompok adalah sebagai berikut. Y ij = µ + τ i + β j + ε ij Y ij = Pengamatan pada perlakuan ke-i dan kelompok ke-j µ = Rataan umum τ I = Pengaruh perlakuan ke-i β j = Pengaruh kelompok ke-j ε ij = Pengaruh acak pada perlakuan ke-i dan kelompok ke-j Analisis Statistik Pengaruh perlakuan terhadap variabel yang diamati dianalisis dengan uji ANOVA dan bila berpengaruh nyata (F hitung > F tabel ) maka dilakukan uji lanjut BNT (Beda Nyata Terkecil) dengan selang kepercayaan 5%. HASIL DAN PEMBAHASAN Populasi Fauna Tanah Populasi dan keragaman fauna tanah pada akhir proses dekomposisi cenderung mengalami penurunan (Lampiran 6). Penurunan ini disebabkan pada akhir proses dekomposisi jumlah sampah organik pada lubang resapan biopori mengalami penyusutan hingga lebih dari 80 cm dari permukaan lubang (Gambar 3). Akibatnya sumber makanan dan energi bagi fauna tanah berkurang dan diikuti dengan menurunnya populasi dan keragaman fauna tanah. Hal ini disebabkan fauna tanah merupakan kelompok heterotrof utama dalam tanah, mendapatkan energi dari substrat organik dalam tanah (Rahmawaty 2004). Fauna tanah akan berpindah dan mencari lokasi yang kaya akan makanan untuk keberlangsungan hidupnya. Menyusutnya sampah organik juga menyebabkan berkurangnya kondisi kenyamanan bagi fauna tanah karena berkurangnya sampah organik yang dapat berfungsi untuk menjaga fluktuasi suhu, kelembaban serta melindungi fauna tanah dari sinar matahari secara langsung. Dengan demikian penerapan teknologi lubang resapan biopori sebaiknya diikuti dengan pengisian sampah organik secara kontinyu agar populasi dan keragaman fauna tanah juga meningkat dan aktivitas biologi tetap berlangsung dengan baik.

19 7 ±80 cm Gambar 3 Penyusutan sampah organik pada lubang resapan biopori Berdasarkan hasil pengamatan populasi awal fauna tanah yang tertinggi terdapat pada perlakuan P3 yaitu sebesar 7713 individu/m 2 (Tabel 3). Tingginya populasi awal fauna tanah menyebabkan sampah organik yang diberikan pada perlakuan ini langsung diserang oleh konsumen primer mikroflora dan detritivor, yaitu binatang yang hidup dari jaringan tanaman yang membusuk (Supardi 1983). Mereka akan didampingi oleh rayap, keong, kumbang, milipeda, kutu kayu, cacing tanah, dan cacing lainnya. Fauna tersebut akan mengunyah dan merobekrobek jaringan tanaman, membuatnya lebih mudah bagi serangan mikroflora. Tingginya populasi fauna menyebabkan proses dekomposisi sampah organik juga berjalan lebih cepat. Menurut Supardi (1983) fauna tanah berperan dalam mendekomposisikan bahan organik. Hal ini sesuai dengan penelitian Maria (2013) yang melaporkan rasio C/N terendah pada minggu ketujuh terdapat pada perlakuan SO + T yaitu sebesar (Lampiran 3). Rendahnya rasio C/N ini menggambarkan terjadinya proses dekomposisi yang lebih baik dibandingkan dengan perlakuan yang lainnya. Tabel 3 Populasi total fauna tanah pada berbagai perlakuan di sekitar lubang resapan biopori Perlakuan Awal Akhir % Penurunan a Individu/m 2 P a *) 69 P a 44 P a 43 P b 21 P a 61 *) Angka-angka pada kolom yang sama yang diikuti oleh huruf yang sama tidak berbeda nyata dengan analisis BNT (Beda Nyata Terkecil) dengan selang kepercayaan 5%. a % Penurunan adalah persentase selisih dari populasi akhir dan awal total fauna tanah terhadap populasi awal fauna tanah. (Awal: sebelum perlakuan, Akhir: kondisi akhir proses dekomposisi. Pada Tabel 3 dapat dilihat penurunan populasi total fauna tanah yang terbesar terdapat pada perlakuan P0 (69%), hal ini disebabkan pada perlakuan ini tidak diberikan sampah organik sebagai sumber energi bagi fauna tanah, padahal fauna tanah merupakan kelompok heterotrof utama dalam tanah yang mendapatkan energi dari substrat organik (Rahmawaty 2004). Pada perlakuan P1

20 8 (44%), P2 (43%), P3 (21%) dan P4 (61%) memiliki nilai penurunan populasi total fauna tanah yang lebih kecil dibandingkan P0 (66%). Hal ini disebabkan pada perlakuan P1, P2, P3 dan P4 diberikan sampah organik sebagai sumber energi bagi fauna tanah. Perlakuan P2 (43%) dan P3 (21%) memiliki nilai penurunan populasi total fauna yang lebih kecil dibandingkan dengan perlakuan lainnya. Hal ini disebabkan pada perlakuan P2 tersedia sumber makanan yang lebih banyak yaitu yang berasal dari molase dan sampah organik. Pada perlakuan P3 memiliki nilai penurunan populasi total fauna tanah yang terendah (21%), hal ini disebabkan pada perlakuan ini diberikan penambahan Trichoderma sp. yang mampu merombak selulosa dan lignin pada sampah organik menjadi glukosa, sehingga mengundang berkumpulnya fauna tanah, terutama Hymenoptera. Selain itu pada perlakuan P3 juga memiliki populasi awal total fauna tanah yang tinggi yaitu sebesar (7713 individu/m 2 ). Akan tetapi pada perlakuan P4 memiliki penurunan populasi total fauna tanah yang lebih besar dibandingkan dengan P1, P2 dan P3. Hal ini disebabkan pada perlakuan P4 terjadi penyusutan sampah organik yang besar sehingga sumber energi bagi fauna tanah berkurang dan menyebabkan berkurangnya kondisi kenyamanan bagi fauna tanah. Kondisi ini menyebabkan fauna tanah berpindah dan mencari lokasi yang kaya akan makanan untuk keberlangsungan hidupnya. Oleh karena itu, penerapan lubang resapan biopori sebaiknya diikuti dengan pengisian sampah organik secara kontinyu, agar proses dekomposisi sampah organik pada lubang resapan biopori tetap berlangsung dengan baik, populasi dan keragaman fauna tanah, serta populasi total mikrob dan fungi tanah juga diharapkan meningkat. Pada perlakuan P3 memiliki populasi akhir total fauna tanah yang secara nyata lebih tinggi (6071 individu/m 2 ) dibandingkan dengan perlakuan yang lain (Tabel 3). Tingginya populasi fauna tanah pada P3 disebabkan populasi awal total fauna tanahnya tinggi yaitu 7713 individu/m 2 (Tabel 3). Populasi fauna tanah yang terendah pada kondisi akhir proses dekomposisi terdapat pada perlakuan P0 (1227 individu/m 2 ), hal ini disebabkan pada perlakuan ini tidak diberikan sampah organik pada lubang resapan biopori sehingga tidak tersedia sumber makanan bagi fauna tanah. Pada Tabel 4 dapat dilihat rata-rata populasi fauna tanah yang tertinggi terdapat pada perlakuan P3 (6892 individu/m 2 ) dan yang terendah terdapat pada perlakuan P1 (2272 individu/m 2 ). Tingginya populasi fauna tanah pada P3 disebabkan populasi awal total fauna tanahnya tinggi yaitu 7713 individu/m 2 (Tabel 3), sedangkan pada perlakuan P1 memiliki populasi fauna tanah yang terendah karena populasi awal fauna tanah pada perlakuan ini rendah yaitu 2919 individu/m 2 (Tabel 3). Dari Tabel 4 dapat dilihat populasi makrofauna yang tertinggi terdapat pada perlakuan P3 (6146 individu/m 2 ) dan yang terendah terdapat pada perlakuan P4 (1609 individu/m 2 ). Tingginya populasi makrofauna tanah pada P3 disebabkan populasi awal makrofauna tanahnya tinggi (6369 individu/m 2 ) dan terendah pada P4 disebabkan populasi awal makrofauna tanahnya rendah yaitu 1924 individu/m 2 (Lampiran 5). Pada Tabel 4 juga dapat dilihat populasi mesofauna yang tertinggi terdapat pada perlakuan P0 (921 individu/m 2 ) dan yang terendah terdapat pada perlakuan P1 (365 individu/m 2 ). Tingginya populasi mesofauna tanah pada P0 disebabkan populasi awal mesofauna tanahnya tinggi (1742 individu/m 2 ) dan

21 terendah pada P1 karena populasi awal mesofauna tanahnya yang terendah dibandingkan dengan perlakuan yang lain yaitu 498 individu/m 2 (Lampiran 5). Tabel 4 Populasi rata-rata *) fauna tanah pada berbagai perlakuan di sekitar lubang resapan biopori No Taksa P0 P1 P2 P3 P4 Individu/m 2 Mesofauna 1 Acari Collembola Protura Symphyla Total Mesofauna Makrofauna 5 Aranae Chilopoda Coleoptera Coleoptera Larva Diplopoda Diplura Diptera Diptera Larva Grylloblattaria Hemiptera Homoptera Hymenoptera Isopods Isoptera Lepidoptera Larva Microcoryphia Orthoptera Palpigradi Plecoptera Pseudoscorpiones Trichoptera Uropygi Zoraptera Total Makrofauna Total Fauna *) Populasi rata-rata adalah rataan dari populasi awal dan akhir fauna tanah Menurut Van der Drift (1951) dalam Szujecki (1987) berdasarkan habitatnya, fauna tanah terdiri dari kelompok epigeic (fauna yang hidup pada serasah dan lapisan yang lebih dangkal, mempengaruhi penghancuran dan 9

22 10 pelepasan nutrient, tetapi tidak secara aktif mendistribusikannya, misalnya: Chilopoda, Arachnida, Insecta), anecic (fauna yang hidup pada permukaan tanah, mengambil serasah di permukaan tanah kemudian membawanya masuk ke dalam tanah dan memakannya, misalnya: annelida dan Isoptera), dan endogeic (fauna yang hidup pada lapisan tanah yang lebih dalam, makan bahan organik atau perakaran tanaman, misalnya: cacing endogeik). Dari Tabel 4 dapat dilihat populasi fauna yang tergolong epigeic lebih banyak populasinya dan lebih beragam ditemukan yaitu dari ordo Acari, Aranae, Chilopoda, Coleoptera, Diptera, Hemiptera, Homoptera, Hymenoptera, Isoptera, Lepidoptera, Orthoptera, Pseudoscorpiones. Hal ini disebabkan lubang resapan biopori memiliki permukaan dinding yang lebih luas sehingga fauna tanah (epigeic) yang biasanya hanya berada di permukaan tanah saja dapat masuk ke dalam lubang dan hidup di permukaan dinding lubang resapan biopori, sehingga didominasi oleh fauna tanah yang tergolong epigeic. Selain itu dengan memberikan sampah organik pada lubang resapan biopori maka akan menciptakan kondisi lingkungan yang sesuai untuk kelangsungan hidup fauna tanah terutama fauna epigeic yang hidup pada serasah, dapat menjaga fluktuasi suhu, dan terhindar dari sinar matahari langsung. Menurut Van der Drift (1951) dalam Widyastuti (2004) fauna tanah terbagi ke dalam mikrofauna: < 0.2 mm, mesofauna: mm, makrofauna Populasi makrofauna tanah P3 (5922 individu/m 2 ) pada kondisi akhir proses dekomposisi lebih tinggi dibandingkan dengan perlakuan yang lainnya (Lampiran 5). Makrofauna yang dominan pada perlakuan ini yaitu dari taksa Hymenoptera (5590 individu/m 2 ). Salah satu faktor lingkungan yang menentukan keberadaan Hymenoptera adalah kelembaban lingkungan, adanya sampah organik pada lubang resapan biopori sehingga kelembaban lingkungan menjadi lebih terjaga dan keberadaan Hymenoptera juga terjaga. Hymenoptera juga memiliki kemampuan beradaptasi terhadap lingkungan dengan baik dan merupakan fauna yang bersifat sosial sehingga dapat ditemukan dalam jumlah yang banyak. Hymenoptera berperan sebagai predator utama fauna tanah lain yang berukuran lebih kecil, seperti Acari dan Collembola. Tingginya kepadatan populasi Hymenoptera pada suatu habitat akan mengurangi kepadatan predator lainnya pada habitat tersebut, seperti Aranae dan Coleoptera (Coleman et al. 2004). Hal ini sesuai dengan hasil penelitian yang diperoleh, tingginya populasi Hymenoptera pada (P3) menyebabkan terjadinya penurunan populasi Acari menjadi (17 individu/m 2 ), Collembola (66 individu/m 2 ), Aranae (33 individu/m 2 ), dan Coleoptera (66 individu/m 2 ). Perlakuan P3 juga memiliki populasi makrofauna tanah yang lebih tinggi dibandingkan dengan populasi mesofauna tanahnya 149 individu/m 2. Symphyla dan Collembola adalah taksa mesofauna dengan jumlah yang sama dan dominan pada P3 yaitu 66 individu/m 2 (Lampiran 5). Keragaman Fauna Tanah Setiap fauna tanah memiliki tugas dan peran yang berbeda-beda, peran satu fauna tanah tidak dapat digantikan oleh fauna tanah yang lainnya sehingga sangat penting untuk menjaga keragaman fauna tanah. Hasil pengamatan ini menunjukkan bahwa ditemukan 25 kelompok fauna tanah yang terdiri atas 4 taksa pada klas mesofauna dan 21 taksa pada klas makrofauna, diantaranya dapat dilihat

23 pada (Gambar 4). Taksa mesofauna yang ditemukan yaitu Acari, Collembola, Protura, dan Symphyla, sedangkan pada makrofauna taksa yang ditemukan yaitu Aranae, Chilopoda, Coleoptera, Dilpopoda, Diplura, Diptera, Grylloblattaria, Hemiptera, Homoptera, Hymenoptera, Isopds, Isoptera, Lepidoptera, Microcoryphia, Orthoptera, Palpigradi, Plecoptera, Pseudoscorpiones, Trichoptera, Uropygi, dan Zoraptera. 11 (a) (b) (c) (d) (e) Gambar 4 Keragaman fauna tanah yang ditemukan di sekitar lubang resapan biopori di antaranya (a. Diplura, b. Acari, c. Pseudoscorpioes, d. Symphyla, e. Hymenoptera) Indeks keragaman fauna tanah ditetapkan berdasarkan Shannon s Diversity Index. Secara keseluruhan pada kondisi akhir proses dekomposisi sampah organik pada lubang resapan biopori memiliki nilai keragaman rendah. Hal ini disebabkan rendahnya variasi jenis sampah organik yang tersedia sehingga jenis fauna tanah yang ditemukan menjadi kurang beragam. Hasil pengamatan menunjukkan bahwa keragaman fauna tanah tidak berbeda nyata pada semua perlakuan yang diberikan (Tabel 5). Tingginya keragaman fauna tanah pada P2 (1.19) dan P4 (1.33) disebabkan pada perlakuan P2 dan P4 memiliki sumber makanan yang bervariasi, yaitu sumber makanan yang berasal dari sampah organik dan molase. Keragaman fauna tanah pada perlakuan P0 memiliki nilai terendah karena pada lubang ini tidak diberikan penambahan sampah organik dan molase sebagai sumber makanan dan energi bagi fauna tanah. Fauna tanah yang hidup pada perlakuan ini hanya menggunakan sumber makanan yang terdapat pada tanah sehingga memiliki nilai keragaman dan populasi fauna tanah yang terendah dibandingkan dengan perlakuan yang lainnya.

24 12 Tabel 5 Keragaman fauna tanah di sekitar lubang resapan biopori Perlakuan Awal Akhir Rata-rata P a *) 1.10a *) P a 1.27a P a 1.30a P a 1.33a P a 1.54a BNT α 5% *) Angka-angka pada kolom yang sama yang diikuti oleh huruf yang sama tidak berbeda nyata dengan analisis BNT (Beda Nyata Terkecil) dengan selang kepercayaan 5%. (Awal:sebelum perlakuan, Akhir: kondisi akhir dekomposisi). Populasi fauna yang terbesar terdapat pada perlakuan dengan penambahan Trichoderma sp. (P3) tetapi indeks keragaman fauna pada perlakuan ini justru yang lebih kecil. Hal ini diduga karena tidak meratanya jumlah individu fauna tanah pada tiap spesies dan jumlah individu terbesar hanya memusat pada satu taksa fauna yaitu Hymenoptera sehingga mempengaruhi jumlah total fauna menjadi besar. Besarnya jumlah total fauna dengan memusatnya pada satu taksa menyebabkan nilai keragaman pada P3 lebih kecil. Menurut Cover and Thomas (1991) nilai indeks keragaman akan maksimal jika setiap ordo terwakili secara merata pada suatu habitat. Tingginya populasi Hymenoptera pada P3 disebabkan oleh Trichoderma sp. yang menghasilkan kompleks enzim selulase pada substrat yang mengandung selulosa sehingga mampu memecahkan ikatan β-1.4-glukosida dari struktur selulosa yang terdapat pada sampah organik yang digunakan. Selulase yang dihasilkan memiliki komponen enzim yang lengkap, yaitu C1 (selobiohidrolase) yang aktif menghidrolisis selulosa alami, Cx (endoglukanase) yang aktif merombak selulosa terlarut seperti CMC (Carboxyl Methyl Cellulase) dan β- glukosidase yang menghidrolisis selobiosa menjadi prosuk akhir yaitu glukosa dalam biodegradasi bahan-bahan berselulosa (Hardjo et al. 1989). Gambar 5 Hymenoptera pada perlakuan (P3) Selulosa dan lignin yang terurai akan menjadi glukosa pada lingkungan aerobik (Imas dan Setiadi 1988), diduga glukosa yang dihasilkan tersebut mengundang berkumpulnya Hymenoptera. Selain itu, tingginya populasi Hymenoptera pada perlakuan P3 juga diduga karena pada saat pengambilan sampel tanah untuk ekstraksi fauna tanah dilakukan didekat sarang Hymenoptera sehingga ditemukan secara berkoloni. Hal ini sesuai dengan Coleman et al. (2004)

25 Hymenoptera termasuk serangga sosial atau serangga yang hidupnya berkoloni. Hymenoptera berperan sebagai predator, pengurai dan herbivor dalam ekosistem tanah. Hymenoptera yang ditemukan pada perlakuan P3 dapat dilihat pada Gambar 5. Penggunaan lahan secara intensif dan berlebihan dapat meningkatkan ketidakstabilan biodiversitas, penurunan keragaman dan meningkatkan dominansi. Menurut Supardi (1983) lahan yang diusahakan memiliki jumlah dan bobot organisme tanah yang sedikit, terutama fauna tanah. Oleh karena itu penggunaan lahan untuk pertanian sebaiknya dilakukan menurut teknik-teknik konservasi tanah seperti penerapan lubang resapan biopori secara tepat sehingga menciptakan lingkungan yang sesuai dan keragaman fauna tanah dapat terjaga. 13 Populasi Mikrob Tanah Menurut Supardi (1983) perkembangan jumlah mikrob dalam tanah tergantung pada keadaan tanah seperti persediaan makanan, suhu, kelembaban, aerasi, persediaan oksigen dan sifat bahan organik. Analisis populasi total mikrob tanah pada saat awal dilakukan untuk mengetahui populasi mikrob tanah sebelum diberikan perlakuan. Hasil analisis menunjukkan bahwa populasi total mikrob awal berbeda setiap perlakuan karena plot pengambilan sampel tanahnya juga berbeda. Berdasarkan hasil pengamatan menunjukkan bahwa pada akhir proses dekomposisi populasi total mikrob mengalami peningkatan, sedangkan populasi fauna tanah mengalami penurunan. Hal ini disebabkan mikrob masih dapat memanfaatkan sampah organik yang sudah terdekomposisi pada akhir penelitian, sedangkan fauna tanah berperan sebagai konsumen primer sampah-sampah organik yang masih segar. Pada Gambar 6 dapat dilihat bahwa populasi total mikrob meningkat setelah penambahan sampah organik (P1, P2, P3, P4) pada lubang resapan biopori. Hasil penelitian Atmojo (2003) bahan organik dapat memperbaiki aerasi tanah, aerasi terkait dengan O 2 dalam tanah yang berpengaruh pada respirasi mikrob, dengan demikian perbaikan aerasi yang terjadi dengan penambahan sampah organik dapat meningkatkan populasi mikrob. Kompos dalam tanah akan menyebabkan suhu dalam tanah lebih sejuk, kondisi tersebut lebih disenangi oleh mikrob tanah, sehingga populasi mikrob dan organisme lain dalam tanah meningkat (Prawitasari 2006). Selain itu sampah organik juga dapat meningkatkan kemampuan tanah menahan air sehingga kemampuan menyediakan air tanah meningkat. Kadar air yang optimal bagi tanaman dan kehidupan mikrob adalah sekitar kapasitas lapang, sehingga dengan meningkatnya kemampuan tanah menyediakan air maka tanah berada pada kadar air sekitar kapasitas lapang dan baik untuk mendukung pertumbuhan tanaman dan kehidupan mikrob. Pada perlakuan tanpa pemberian sampah organik dan tanpa aktivator (P0) juga terjadi peningkatan populasi mikrob pada kondisi akhir proses dekomposisi tetapi peningkatannya tidak signifikan. Peningkatan tersebut diduga merupakan hasil perkembangbiakan dari populasi awal yang telah ada, meskipun populasinya meningkat namun peningkatannya lebih rendah dibandingkan dengan perlakuan lainnya (Lampiran 4). Hal ini disebabkan pada (P0) tidak diberikan sampah organik. Menurut Hakim et al. (1986) peranan bahan organik dalam sifat biologi

26 14 tanah adalah meningkatkan jumlah dan aktivitas metabolik organisme tanah dan meningkatkan kegiatan jasad mikro dalam mendekomposisi bahan organik. Meningkatnya aktivitas dekomposisi dapat mempercepat proses dekomposisi sampah organik melalui aktivitas organisme tanah dengan mengunyah, memakan, dan mencampur-adukkan sampah organik. Hasil pengamatan menunjukkan bahwa aktivator memberikan pengaruh yang nyata terhadap peningkatan populasi total mikrob tanah. Populasi akhir total mikrob pada perlakuan P0 menunjukkan adanya perbedaan yang nyata dengan perlakuan P2, P3, dan P4, namun tidak nyata dengan perlakuan P1 (Lampiran 4). Populasi mikrob pada P1 (1.13 x 10 6 SPK/g BKM) dan P0 (0.39 x 10 6 SPK/g BKM), nilai ini tidak berbeda nyata berdasarkan analisis statistik yang dilakukan. Dengan demikian pemberian sampah organik tanpa aktivator tidak memberikan hasil yang lebih baik, berbeda halnya dengan P2, P3, dan P4. Pada perlakuan P2, P3, dan P4 memperlihatkan adanya perbedaan yang nyata dengan P0. Perlakuan P2, P3, dan P4 merupakan perlakuan dengan penambahan sampah organik yang diikuti dengan penambahan aktivator sehingga memiliki nilai populasi mikrob yang berbeda nyata dengan P0 dan perlakuan P4 berbeda nyata dengan P1 dan P0 namun tidak berbeda nyata dengan P2 dan P b 10 6 SPK/g BKM a a a a a a a a a Awal Akir 0.00 P0 P1 P2 P3 P4 Perlakuan Gambar 6 Populasi total mikrob di sekitar lubang resapan biopori pada awal dan akhir pengamatan. Huruf yang sama di atas balok data pada perlakuan yang sama tidak berbeda nyata berdasarkan uji beda nyata terkecil pada taraf nyata 5%. Nilai populasi mikrob yang tertinggi terdapat pada perlakuan P4 yaitu sebesar 1.12 x 10 6 SPK/g BKM saat sabelum diberikan perlakuan dan 2.32 x 10 6 SPK/g BKM tanah saat kondisi akhir proses dekomposisi, sehingga peningkatan populasinya adalah 1.20 x 10 6 SPK/g BKM tanah. Peningkatan populasi mikrob tertinggi ini terjadi karena pada lubang resapan biopori ini tersedia sumber energi dan makanan yang banyak bagi mikrob, yang berasal dari molase dan sampah organik. Selain itu, tingginya populasi mikrob pada P4 disebabkan pada lubang resapan biopori (P4) diberikan penambahan Trichoderma sp., Trichoderma sp. merupakan salah satu jenis mikrob, sehingga meningkatkan populasi total mikrob tanah. Perlakuan P4 (2.32 x 10 6 SPK/g BKM tanah) memiliki nilai populasi mikrob tertinggi dibandingkan dengan perlakuan yang lainnya, namun nilainya tidak berbeda nyata dengan P2 (1.59 x 10 6 SPK/g BKM) dan P3 (1.59 x 10 6 SPK/g BKM tanah). Dengan demikian pemberian molase (P2) atau Trichoderma

27 sp. (P3) efektif memiliki populasi total mikrob yang tinggi dan memberikan perbedaan yang nyata terhadap populasi mikrob pada perlakuan tanpa sampah organik dan tanpa aktivator (P0). Populasi yang tinggi menggambarkan adanya suplai makanan atau energi yang cukup, temperatur yang sesuai, dan kondisi ekologi lain yang menyokong perkembangan mikrob pada tanah tersebut (Anas 1989). Kondisi ekologi yang dibutuhkan oleh mikrob tanah dapat diciptakan dengan memanfaatkan lubang resapan biopori secara tepat, yaitu dengan mengisi sampah organik pada LRB secara kontinyu sehingga dapat memperbaiki kesuburan tanah, sifat biologi, dan fisik tanah. Dari hasil pengamatan dapat diketahui, perlakuan P2, P3 dan P4 memiliki total mikrob yang lebih tinggi dibandingkan (P0 dan P1). Tingginya total mikrob pada (P2, P3, P4) menunjukkan semakin suburnya tanah pada perlakuan tersebut (Anas 1989). Peranan mikrob dalam kesuburan tanah ditunjukkan dengan aktivitasnya dalam memperbaiki struktur tanah dan ketersediaan hara bagi tanaman. Kemampuan mikrob memperbaiki struktur tanah karena mikrob berperan sebagai pembangun agregat tanah yang mantap dengan menghasilkan senyawa-senyawa organik. Mikrob tanah bertanggung jawab atas pelapukan bahan organik dan pendauran unsur hara sehingga mempunyai pengaruh terhadap sifat fisik dan kimia tanah (Anas 1989). Menurut Atmojo (2003) dari aktivitas mikrob akan terlepas berbagai zat pengatur tumbuh (auksin) dan vitamin yang akan berdampak positif bagi pertumbuhan tanaman. Menurut Imas et al. (1989) mikrob tanah juga berperan dalam menguraikan unsur hara yang semula tidak tersedia menjadi tersedia bagi tanaman dari bahan organik dan mineral, produksi enzim, menghambat perkembangan patogen tumbuhan, dan menghasilkan berbagai asam-asam organik yang dibutuhkan oleh tanaman. 15 Populasi Fungi Tanah Pada Gambar 7 dapat dilihat bahwa perlakuan dengan sampah organik (P1, P2, P3, P4) memiliki jumlah fungi yang lebih tinggi dibandingkan dengan perlakuan tanpa sampah organik (P0). Perlakuan P0 memiliki peningkatan populasi fungi yang terendah yaitu 0.08 x 10 4 SPK/g BKM tanah (Lampiran 4) dibandingkan dengan perlakuan yang lainnya karena tidak diberikan sampah organik sebagai sumber makanan dan energi bagi fungi tanah. Fungi tidak berklorofil sehingga mereka menggantungkan kebutuhan energi dan karbon dari bahan organik (Supardi 1983). Fungi termasuk mikrob aerobik dan tergolong heterotrof. Pemberian molase (P2) atau Trichoderma sp. (P3) memberikan pengaruh yang nyata terhadap peningkatan populasi fungi, tetapi pemberian molase dan Trichoderma sp. secara bersama (P4) tidak memberikan peningkatan fungi yang berbeda nyata dengan perlakuan yang tidak diberikan aktivator baik dengan maupun tanpa sampah organik. Nilai populasi fungi yang tertinggi terdapat pada perlakuan P2 yaitu sebesar 1.42 x 10 4 SPK/g BKM, namun dari segi peningkatan populasi yang tertinggi terdapat pada perlakuan P3 yaitu sebesar 0.07 x 10 4 SPK/g BKM saat sebelum diberikan perlakuan dan 1.26 x 10 4 SPK/g BKM tanah saat akhir proses dekomposisi, sehingga peningkatan populasinya adalah 1.19 x 10 4 SPK/g BKM tanah (Lampiran 4). Peningkatan populasi fungi tertinggi ini terjadi

28 16 karena pada lubang resapan biopori ini diberikan perlakuan dengan penambahan Trichoderma sp. Menurut Widyastuti (2007) Trichoderma sp. dikenal sebagai fungi yang dapat tumbuh pada berbagai kondisi tanah dan berperan penting dalam proses dekomposisi bahan organik. Dengan demikian Trichoderma sp. merupakan mikrob yang termasuk dalam jenis fungi, sehingga penambahan Trichoderma sp. akan meningkatkan populasi fungi pada lubang resapan biopori SPK/g BKM a a a a a P0 P1 P2 P3 P4 a Perlakuan a b a a Awal Akhir Gambar 7 Populasi fungi di sekitar lubang resapan biopori pada awal dan akhir pengamatan. Huruf yang sama di atas balok data pada perlakuan yang sama tidak berbeda nyata berdasarkan uji beda nyata terkecil pada taraf nyata 5%. Menurut Anas (1989) fungi aktif pada tahap pertama proses dekomposisi bahan organik. Bila tidak karena fungi, maka pelapukan bahan organik dalam suasana masam tidak akan terjadi (Supardi 1983). Hal ini sesuai dengan hasil penelitian yang dilakukan. Tingginya populasi fungi pada P3 menyebabkan proses dekomposisi sampah organik berjalan lebih cepat dibandingkan dengan perlakuan yang lain. Dalam penelitian Maria (2013) rasio C/N pada (SO + Trichoderma sp.) yaitu 26.41, nilai ini lebih rendah dari perlakuan yang lainnya. Rendahnya rasio C/N ini menggambarkan terjadinya proses dekomposisi yang lebih baik dibandingkan dengan perlakuan yang lainnya. Perlakuan P4 memiliki populasi fungi yang lebih sedikit dibandingkan dengan perlakuan P2 dan P3. Diduga ada sifat antagonisme yang terjadi antara Trichoderma sp. yang diberikan dengan mikrob yang tumbuh dengan penambahan molase sehingga populasi fungi lebih rendah. Pada pengamatan yang dilakukan juga menunjukkan lubang dengan perlakuan P4 memiliki populasi total mikrob yang tertinggi, meskipun funginya lebih rendah dibandingkan dengan perlakuan P2 dan P3, dengan demikian dapat diketahui mikrob yang dominan tumbuh pada perlakuan P4 adalah mikrob jenis bakteri bukan fungi. Pertumbuhan bakteri yang lebih cepat dibandingkan dengan fungi (Anas 1989), diduga menimbulkan antagonisme antara Trichoderma sp. yang diberikan dengan mikrob yang tumbuh dengan penambahan molase, sehingga mempengaruhi lebih sedikitnya populasi fungi. Selain itu pada perlakuan P4 juga ditambahkan beragam sumber makanan sehingga beragam mikrob juga dapat tumbuh dan menimbulkan sifat antagonisme bagi Trichoderma sp. Ketersediaan makanan yang rendah pada lubang dengan perlakuan P0 menyebabkan organisme tanah mencari tempat yang lebih banyak ketersediaan

29 makananannya seperti pada P1, P2, P3, dan P4 sehingga jumlah organisme yang terdapat pada P0 juga lebih rendah dibandingkan dengan perlakuan yang diberikan sampah organik. Selain itu lubang yang tidak diberikan sampah organik juga tidak bisa memberikan kenyamanan terhadap keberlangsungan hidup organisme tanah seperti melindungi organisme tanah dari sengatan panas matahari, tidak dapat menjaga kelembaban dan fluktuasi suhu lingkungan sehingga organisme merasa kurang nyaman dan lebih memilih tempat-tempat yang mendukung keberlangsungan hidupnya. Lubang yang tidak diberikan sampah organik (P0) memiliki populasi mikrob (0.39 x 10 6 SPK/g BKM), fungi (0.38 x 10 4 SPK/g BKM), total fauna (1227 individu/m 2 ) dan nilai keragaman fauna tanah (0.73) yang rendah. Hasil penelitian Atmojo (2003) menunjukkan penambahan bahan organik pada tanah kasar (berpasir) akan meningkatkan pori yang berukuran menengah dan menurunkan pori makro sehingga dapat meningkatkan kemampuan tanah dalam menahan air. Penambahan bahan organik pada tanah halus lempungan akan meningkatkan pori meso dan menurunkan pori mikro sehingga pori yang terisi udara meningkat dan menurunkan pori yang terisi air, artinya akan terjadi perbaikan aerasi untuk tanah lempung berat. Dengan demikian pengisian sampah organik pada lubang resapan biopori secara kontinyu sangat penting untuk menjaga aerasi tanah dan siklus air dan udara pada tanah untuk kelangsungan hidup organisme tanah dan juga diharapkan dapat meningkatkan populasi dan keragaman fauna dan mikrob tanah sehingga dapat memperbaiki sifat biologi tanah. Penerapan lubang resapan biopori dapat mengurangi emisi CO 2 yang terbentuk dari adanya respirasi oleh organisme tanah karena CO 2 yang direspirasikan tidak langsung menguap ke atmosfer tetapi berada di dalam tanah dan digunakan oleh mikroflora untuk fotosintesis. Selain itu respirasi oleh organisme tanah juga menghasilkan H 2 O sehingga dapat menjaga kelembaban tanah dan disukai oleh organisme tanah. Penelitian ini menunjukkan bahwa lubang resapan biopori yang hanya merupakan lubang dengan diameter 11.4 cm dan kedalaman 1 meter memiliki banyak manfaat terhadap perbaikan sifat tanah. Di dalam lubang resapan biopori dengan penambahan sampah organik dapat dihasilkan kompos yang berguna untuk pertumbuhan tanaman dan perbaikan sifat tanah. Pemanfaatan lubang sebagai tempat pengomposan juga merupakan solusi dalam penanganan sampah organik yang mudah, murah, dan efektif. Sampah organik seringkali menjadi masalah dalam kehidupan sehari-hari, jumlahnya yang setiap hari bertambah namun kurang mendapat perhatian padahal jika dimasukkan ke dalam lubang resapan biopori tidak hanya menjadi solusi penanganan sampah organik tetapi juga dapat berfungsi sebagai penyimpan karbon dalam tanah sehingga mengurangi emisi karbon ke atmosfer. Secara umum proses dekomposisi sampah organik pada lubang resapan biopori memiliki banyak manfaat dibandingkan dengan proses dekomposisi (pengomposan) secara konvensional. Proses dekomposisi secara konvensional yang dilakukan di permukaan tanah tidak efisien dalam pemanfaatan tempat, hara yang terdapat pada sampah organik dapat hilang dengan penguapan atau tercuci, membutuhkan tenaga manusia untuk membolak-balikkan sampah organik, pemberian kompos pada tanaman membutuhkan adaptasi terhadap lingkungan baru agar mikrob yang ada dapat berkembang dengan baik. Berbeda halnya 17

30 18 dengan proses dekomposisi yang terjadi pada lubang resapan biopori, sampah organik dimasukkan ke dalam lubang, berdekatan dengan tanah, sehingga menciptakan lingkungan yang sesuai untuk organisme tanah, mengundang datangnya beranekaragam organisme tanah karena mengandung sampah organik yang cukup sebagai sumber makanan bagi organisme tanah. Lubang resapan biopori mampu meningkatkan jumlah populasi dan keragaman fauna tanah (Sa adah 2010). Proses dekomposisi pada lubang resapan biopori terjadi secara alami dengan bantuan peran organisme tanah yang mencampur-adukkan sampah organik dengan mineral tanah, memperkecil ukuran sampah organik sehingga tidak membutuhkan banyak tenaga manusia dan juga efisien dalam pemanfaatan tempat. Selain itu, hara-hara yang terdapat pada sampah organik juga tidak hilang tercuci atau menguap ke atmosfer, tetapi terjerap tanah dan mengisi pori-pori dalam tanah yang nantinya bermanfaat untuk memperbaiki sifat fisik, kimia, dan biologi tanah. Sisa tanaman dan organisme tanah yang mati pada lubang resapan biopori juga tidak menyebabkan terjadinya kehilangan hara karena organisme dan sisa tanaman yang mati dapat dimanfaatkan oleh organisme lain dan tanaman berikutnya, pada proses ini terjadi rantai makanan di dalam tanah. SIMPULAN DAN SARAN Simpulan Perlakuan Trichoderma sp. (SO + T) dan molase (SO + M) pada lubang resapan biopori dapat memperbaiki sifat biologi tanah, yang ditunjukkan dengan populasi mikrob tanah (1.59 x 10 6 SPK/g BKM tanah) yang lebih tinggi pada kedua perlakuan tersebut dan berbeda nyata dengan P0. Kedua perlakuan tersebut juga memiliki populasi fauna tanah yang secara nyata lebih tinggi dibandingkan dengan perlakuan lain, yaitu masing-masing 6071 individu/m 2 (SO + T) dan 1908 individu/m 2 (SO + M), serta memiliki populasi fungi tanah yang tinggi yaitu masing-masing 1.26 x 10 4 SPK/g BKM tanah (SO + T) dan 1.42 x 10 4 SPK/g BKM tanah (SO + M) namun tidak berpengaruh nyata meningkatkan keragaman fauna tanah. Akan tetapi perlakuan Trichoderma sp. dan molase secara bersama (SO + T + M) memiliki populasi fungi dan fauna yang lebih rendah dibandingkan dengan perlakuan (SO + T) dan (SO + M). Saran Diperlukan penelitian lanjutan mengenai sifat biologi (total mikrob, fungi, populasi, dan keragaman fauna tanah) pada berbagai kedalaman di sekitar lubang resapan biopori serta pada kompos yang dihasilkan.

31 19 DAFTAR PUSTAKA Anas I Biologi Tanah dalam Praktek. Bogor (ID): Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi. Pusat Antar Universitas Bioteknologi. Atmojo SW Peranan Bahan Organik terhadap Kesuburan Tanah dan Upaya Pengelolaannya. Pidato Pengukuhan Guru Besar Ilmu Kesuburan Tanah Fakultas Pertanian Universitas Sebelas Maret; 2003 Jan 4; Surakarta, Indonesia. Surakarta (ID): Sebelas Maret University Press. 26 hlm. [BPT] Balai Penelitian Tanah Petunjuk Teknis Analisis Kimia Tanah, Tanaman, Air, dan Pupuk. Bogor (ID): Balai Penelitian Tanah. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Departemen Pertanian. Brady NC The Nature and Properties of Soil. 10 th ed. New York: Macmillan. Brata KR, Nelistya A Lubang Resapan Biopori. Jakarta (ID): Penebar Swadaya. Coleman DC, Crossley DA, Hendrix PF Fundamentals of Soil Ecology (2 nd ed). Athens (GE): Elsevier Academic Pr. Cover TM, Thomas JA Elements of Information Theory. New York (AS): John Wiley & Sons, Inc. [DITSL] Departemen Ilmu Tanah dan Sumberdaya Lahan Penuntun Praktikum Analisis Tanah. Bogor (ID): Departemen Ilmu Tanah dan Sumberdaya Lahan. Fakultas Pertanian. Institut Pertanian Bogor. Gaur AC Project Field Document (15). A Manual of Rural Composting. Principles of Composting and Effecting Factors. New Delhi (IN): Indian Agricultural Research Institute. Food and Agriculture Organization of The United Nations. Gholib D, Kusumaningtyas E Penghambatan Pertumbuhan Fusarium moniliforme Oleh Trichoderma viride. Di dalam: Gholib D, Kusumaningtyas E, editor. Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner [internet]. [Waktu dan tempat pertemuan tidak diketahui]. Bogor (ID): Balai Penelitian Veteriner. hlm ; [diunduh 2013 Okt 7]. Tersedia pada 50.pdf. Hakim N, Nyakpa MY, Lubis AM, Nugroho SG, Diha MA, Go BH, Bailey HH Dasar-dasar Ilmu Tanah. Lampung (ID): Badan Penerbit universitas Lampung. Hardjo S, Indrasti NS, Bantacut T Biokonversi: Pemanfaatan Limbah Industri Pertanian. Bogor (ID): Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi. Pusat Antar Universitas Pangan dan Gizi. Institut Pertanian Bogor. Imas T, Setiadi Y Mikrobiologi Tanah. Bogor (ID): Pusat Antar Universitas Institut Pertanian Bogor Bekerjasama dengan Lembaga Sumberdaya Informasi-IPB. Imas T, Hadioetomo RS, Gunawan AW, Setiadi Y Mikrobiologi Tanah II. Bogor (ID): Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Direktorat Jenderal

32 20 Pendidikan Tinggi. Pusat Antar Universitas Bioteknologi. Institut Pertanian Bogor. Maria DR Penambahan Trichoderma sp. dan Molase pada Pengomposan Sampah Daun Kering dalam Lubang Resapan Biopori terhadap Karakteristik Kompos dan Laju Peresapan Air [skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor. [MENLH] Menteri Negara Lingkungan Hidup Peraturan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor 12 Tahun 2009 tentang Pemanfaatan Air Hujan. Jakarta (ID): MENLH. Prawitasari T Teknik kompos. Workshop Pendirian Kebun Bibit Sumber, Demplot dan Feasibility Study untuk Perkebunan Jarak Pagar (Jatropha curcas Linn.); 2006 Mei 16-17; Bogor, Indonesia. Bogor (ID): Bioenergy Alliance. hlm Rahmawaty Studi keanekaragaman mesofauna tanah di kawasan hutan wisata alam Sibolangit (desa Sibolangit, kecamatan Sibolangit, kabupaten daerah tingkat II Deli Serdang, provinsi Sumatera Utara [internet]. [diunduh 2013 Sep 26]. Tersedia pada fp/hutan-rahmawaty12.pdf. Sa adah N Populasi dan Keragaman Fauna Tanah pada Areal Pertanaman Padi Gogo dengan Teknologi Peresapan Biopori di Kebun Percobaan Cikabayan IPB [skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor. Supardi G Sifat dan Ciri Tanah. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor. Sudrajat R, Fahidin, Salim A Pembuatan briket kompos serasah daun kering dari hasil fermentasi aerobik. J Teknol Indust Pertan. 5(2): Szujecki A Ecology of Forest Insect. Poland (PL): Polish Scientific Publisher, Warszawa. Widyastuti R Abundance, biomass and diversity of soil fauna at different ecosystems in Jakenan Pati, Central Java. J Tanah Lingk. 6(1):1-6. Widyastuti SM Peran Trichoderma spp. dalam Revitalisasi Kehutanan di Indonesia. Yogyakarta (ID): Gadjah Mada University Pr. Yuniasari D Pengaruh pemberian bakteri nitrifikasi dan denitrifikasi serta molase dengan C/N rasio berbeda terhadap profil kualitas air, kelangsungan hidup, dan pertumbuhan udang vaname Litopenaeus vannamei [skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.

33 LAMPIRAN 21

34 22 Lampiran 1 Nilai C-organik pada sampah organik di lubang resapan biopori a Perlakuan Minggu ke % Sampah organik (SO) 49.36a SO + Molase (M) 49.36a SO + Trichoderma sp. (T) 49.36a SO + M + T 49.36a a Sumber (Maria 2013) Lampiran 2 Nilai N-total pada sampah organik di lubang resapan biopori a Perlakuan Minggu ke % Sampah organik (SO) SO + Molase (M) SO + Trichoderma sp. (T) SO + M + T a Sumber (Maria 2013) Lampiran 3 Rasio C/N pada sampah organik di lubang resapan biopori a Perlakuan Minggu ke Sampah organik (SO) a *) 54.69a *) 41.50a *) 37.70a *) 34.80a *) 37.28a *) 40.60b *) SO + Molase (M) a 41.96a 45.21a 35.34a 38.76a 38.19a 33.61ab SO + Trichoderma sp. (T) a 39.92a 42.51a 37.54a 37.16a 32.53a 26.41a SO + M + T a 34.92a 47.34a 32.81a 37.75a 31.29a 29.18a BNT α 5% a Sumber (Maria 2013) *) Angka-angka pada kolom yang sama yang diikuti oleh huruf yang sama tidak berbeda nyata dengan analisis BNT (Beda Nyata Terkecil) dengan selang kepercayaan 5%. Lampiran 4 Populasi total mikrob dan fungi tanah di sekitar lubang resapan biopori Perlakuan a Total Mikrob Fungi Awal Akhir Peningkatan Awal Akhir Peningkatan 10 6 SPK/g BKM 10 4 SPK/g BKM P a *) 0.21a *) a *) 0.08a *) P ab 0.37a ab 0.10a P bc 0.40a b 1.13b P bc 0.41a ab 1.19b

35 23 P c 1.20a ab 0.82ab BNT α 5% *) Angka-angka pada kolom yang sama yang diikuti oleh huruf yang sama tidak berbeda nyata dengan analisis BNT (Beda Nyata Terkecil) dengan selang kepercayaan 5%. (Awal:sebelum perlakuan, Akhir: kondisi akhir proses dekomposisi). Lampiran 5 Populasi fauna tanah di sekitar lubang resapan biopori No Taksa P0 P1 P2 P3 P4 Awal Akhir Awal Akhir Awal Akhir Awal Akhir Awal Akhir Individu/m 2 Mesofauna 1 Acari Collembola Protura Symphyla Total Mesofauna Makrofauna 5 Aranae Chilopoda Coleoptera Coleoptera Larva Diplopoda Diplura Diptera Diptera Larva Grylloblattaria Hemiptera Homoptera Hymenoptera Isopods Isoptera Lepidoptera Larva Microcoryphia Orthoptera Palpigradi Plecoptera Pseudoscorpiones Trichoptera Uropygi Zoraptera Total Makrofauna Total Fauna Keterangan: Awal:sebelum perlakuan, Akhir: kondisi akhir proses dekomposisi

36 24 Lampiran 6 Analisis statistik populasi dan keragaman fauna tanah serta populasi total mikrob dan fungi tanah berdasarkan waktu pengamatan Perlakuan P0 P1 P2 P3 P4 Populasi Fauna Tanah (Individu/m 2 ) a Awal 3997a 2919a 3351a 7713a 3599a Akhir 1227a 1626a 1908a 6071a 1393a BNT α 5% Keragaman Fauna Tanah a Awal 1.46a 1.40a 1.41a 1.83a 1.76a Akhir 0.73a 1.14a 1.19a 0.83a 1.33a BNT α 5% Populasi Total Mikrob (10 6 SPK/g BKM) a Awal 0.18a 0.77a 1.19a 1.17a 1.12a Akhir 0.39a 1.13a 1.59a 1.59a 2.32b BNT α 5% Populasi Fungi (10 4 SPK/g BKM) a Awal 0.30a 0.46a 0.30a 0.07a 0.21a Akhir 0.38a 0.57a 1.42a 1.26b 1.03a BNT α 5% Keterangan: a Angka-angka pada kolom yang sama yang diikuti oleh huruf yang sama tidak berbeda nyata dengan analisis BNT (Beda Nyata Terkecil) dengan selang kepercayaan 5%. (Awal:sebelum perlakuan, Akhir: kondisi akhir proses dekomposisi). Lampiran 7 Media isolasi total mikrob dan fungi yang digunakan Media Martin Agar Media Nutrient Agar

III. BAHAN DAN METODE

III. BAHAN DAN METODE 13 III. BAHAN DAN METODE 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian dimulai dari bulan Januari sampai April 2010 di Laboratorium Bioteknologi Tanah, Departemen Ilmu Tanah dan Sumberdaya Lahan, Fakultas Pertanian,

Lebih terperinci

III. METODOLOGI 3.1 Waktu dan Lokasi Penelitian 3.2 Bahan dan Alat

III. METODOLOGI 3.1 Waktu dan Lokasi Penelitian 3.2 Bahan dan Alat III. METODOLOGI 3.1 Waktu dan Lokasi Penelitian Penelitian ini dimulai dari bulan Februari sampai dengan November 2009 bertempat di lapangan dan di laboratorium. Penelitian lapangan dilakukan pada lahan

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Kepadatan Populasi dan Biomassa Fauna Tanah Populasi fauna tanah pada lahan tebu transgenik PS IPB 1 menunjukkan kepadatan tertinggi pada lahan PS IPB 1-8 sebesar 4268 individu/m

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 18 IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Kepadatan Populasi Fauna Tanah Populasi fauna tanah diamati pada 2 lokasi, yaitu pada lahan yang ditanami padi gogo dengan kemiringan 5% dan lahan dengan kemiringan 15%.

Lebih terperinci

V. HASIL DAN PEMBAHASAN

V. HASIL DAN PEMBAHASAN V. HASIL DAN PEMBAHASAN Terdapat 11 profil tanah yang diamati dari lahan reklamasi berumur 0, 5, 9, 13 tahun dan lahan hutan. Pada lahan reklamasi berumur 0 tahun dan lahan hutan, masingmasing hanya dibuat

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 25 IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Fauna Tanah 4.1.1. Populasi Total Fauna Tanah Secara umum populasi total fauna tanah yaitu mesofauna dan makrofauna tanah pada petak dengan jarak pematang sempit (4 m)

Lebih terperinci

III. BAHAN DAN METODE

III. BAHAN DAN METODE 14 III. BAHAN DAN METODE 3.1. Waktu dan Tempat Penelitian dimulai pada bulan April 2010 sampai bulan Maret 2011 yang dilakukan di University Farm Cikabayan, Institut Pertanian Bogor untuk kegiatan pengomposan,

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Laju Dekomposisi Jerami Padi pada Plot dengan Jarak Pematang 4 meter dan 8 meter Laju dekomposisi jerami padi pada plot dengan jarak pematang 4 m dan 8 m disajikan pada Tabel

Lebih terperinci

III BAHAN DAN METODE

III BAHAN DAN METODE meliputi daerah Jawa, Kalimantan dan Sumatera. Tanaman Kilemo di daerah Jawa banyak ditemui pada daerah dengan ketinggian 230 700 meter di atas permukaan laut (mdpl). Tanaman ini terutama banyak ditemui

Lebih terperinci

Tabel 1. Deskripsi Profil di Lokasi Penelitian Horison Kedalaman Uraian

Tabel 1. Deskripsi Profil di Lokasi Penelitian Horison Kedalaman Uraian 14 BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1. Karakteristik Tanah Deskripsi profil dan hasil analisis tekstur tiap kedalaman horison disajikan pada Tabel 1 dan Tabel 2. Tabel 1. Deskripsi Profil di Lokasi Penelitian

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 17 4.1. Karakteristik Fisik Tanah di Sekitar Lubang Resapan Biopori 4.1.1. Bobot Isi Tanah Hantaran hidrolik merupakan parameter sifat fisik tanah yang berperan dalam pengelolaan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Bioindikator adalah kelompok atau komunitas organisme yang saling. keberadaan atau perilakunya sangat berhubungan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Bioindikator adalah kelompok atau komunitas organisme yang saling. keberadaan atau perilakunya sangat berhubungan BAB II TINJAUAN PUSTAKA Bioindikator adalah kelompok atau komunitas organisme yang saling berhubungan, dimana keberadaan atau perilakunya sangat berhubungan dengan kondisi lingkungan tertentu sehingga

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 3 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Pengertian Tanah Tanah adalah kumpulan benda alam di permukaan bumi yang tersusun dalam horison-horison, terdiri dari campuran bahan mineral, bahan organik, air dan udara,

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Sampah dan Jenis Sampah Sampah merupakan sesuatu yang dianggap tidak berharga oleh masyarakat. Menurut Hadiwiyoto

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Sampah dan Jenis Sampah Sampah merupakan sesuatu yang dianggap tidak berharga oleh masyarakat. Menurut Hadiwiyoto 3 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Sampah dan Jenis Sampah Sampah merupakan sesuatu yang dianggap tidak berharga oleh masyarakat. Menurut Hadiwiyoto (1983), sampah adalah sisa-sisa bahan yang mengalami perlakuan-perlakuan,

Lebih terperinci

III. BAHAN DAN METODE. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Juli sampai bulan November 2009, di

III. BAHAN DAN METODE. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Juli sampai bulan November 2009, di III. BAHAN DAN METODE A. Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Juli sampai bulan November 2009, di Laboratorium Kesuburan Tanah, dan Laboratorium Bioteknologi Pertanian Fakultas

Lebih terperinci

III. BAHAN DAN METODE. Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Bioteknologi Pertanian dan

III. BAHAN DAN METODE. Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Bioteknologi Pertanian dan III. BAHAN DAN METODE 3.1 Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Bioteknologi Pertanian dan Laboratorium Lapang Terpadu Fakultas Pertanian Universitas Lampung pada bulan

Lebih terperinci

BAHAN DAN METODE. Tempat dan Waktu Penelitian. Pertanian Universitas Sumatera Utara, Medan. Penelitian ini dilakukan mulai. Bahan dan Alat Penelitian

BAHAN DAN METODE. Tempat dan Waktu Penelitian. Pertanian Universitas Sumatera Utara, Medan. Penelitian ini dilakukan mulai. Bahan dan Alat Penelitian BAHAN DAN METODE Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di laboratorium Biologi Tanah Fakultas Pertanian, Medan. Penelitian ini dilakukan mulai bulan Maret sampai Mei 2008. Bahan dan Alat

Lebih terperinci

BAB II. TINJAUAN PUSTAKA

BAB II. TINJAUAN PUSTAKA BAB II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Bahan Organik Tanah Bahan organik tanah merupakan bagian dari fraksi organik yang telah mengalami degradasi dan dekomposisi, baik sebagian atau keseluruhan menjadi satu dengan

Lebih terperinci

Metode Penelitian Kerangka penelitian penelitian secara bagan disajikan dalam Gambar 4. Penelitian ini dipilah menjadi tiga tahapan kerja, yaitu:

Metode Penelitian Kerangka penelitian penelitian secara bagan disajikan dalam Gambar 4. Penelitian ini dipilah menjadi tiga tahapan kerja, yaitu: 15 METODOLOGI Waktu dan Tempat Penelitian ini dilaksanakan di lapang pada bulan Februari hingga Desember 2006 di Desa Senyawan, Kecamatan Tebas, Kabupaten Sambas, Kalimantan Barat (Gambar 3). Analisis

Lebih terperinci

III. BAHAN DAN METODE. Pelaksanaan vermicomposting dilakukan di rumah plastik FP Unila. Perhitungan

III. BAHAN DAN METODE. Pelaksanaan vermicomposting dilakukan di rumah plastik FP Unila. Perhitungan 25 III. BAHAN DAN METODE A. Tempat dan Waktu Pelaksanaan vermicomposting dilakukan di rumah plastik FP Unila. Perhitungan populasi mikroorganisme (aktinomisetes, bakteri, fungi) dilakukan di laboratorium

Lebih terperinci

PEMBUATAN KOMPOS DARI LIMBAH PADAT ORGANIK YANG TIDAK TERPAKAI ( LIMBAH SAYURAN KANGKUNG, KOL, DAN KULIT PISANG )

PEMBUATAN KOMPOS DARI LIMBAH PADAT ORGANIK YANG TIDAK TERPAKAI ( LIMBAH SAYURAN KANGKUNG, KOL, DAN KULIT PISANG ) PEMBUATAN KOMPOS DARI LIMBAH PADAT ORGANIK YANG TIDAK TERPAKAI ( LIMBAH SAYURAN KANGKUNG, KOL, DAN KULIT PISANG ) Antonius Hermawan Permana dan Rizki Satria Hirasmawan Jurusan Teknik Kimia, Fakultas Teknik,

Lebih terperinci

BAB II. TINJAUAN PUSTAKA

BAB II. TINJAUAN PUSTAKA BAB II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Sampah Organik Sampah merupakan sesuatu yang dianggap tidak berharga oleh masyarakat. Menurut Hadiwiyoto (1983), sampah adalah sisa-sisa bahan yang mengalami perlakuan-perlakuan,

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Fauna Tanah Lingkungan Hidup Fauna Tanah

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Fauna Tanah Lingkungan Hidup Fauna Tanah 3 II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Fauna Tanah Fauna tanah adalah organisme yang seluruh atau sebagian besar daur atau kegiatan untuk kelangsungan hidupnya dilakukan di dalam tubuh tanah (Poerwowidodo, 1992)

Lebih terperinci

III. BAHAN DAN METODE

III. BAHAN DAN METODE 10 III. BAHAN DAN METODE 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian dilaksanakan dari bulan Oktober 2011 sampai Oktober 2012. Sampel gubal dan daun gaharu diambil di Desa Pulo Aro, Kecamatan Tabir Ulu, Kabupaten

Lebih terperinci

Gambar 1. Lahan pertanian intensif

Gambar 1. Lahan pertanian intensif 14 IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Kondisi Umum Penggunaan Lahan Seluruh tipe penggunaan lahan yang merupakan objek penelitian berada di sekitar Kebun Percobaan Cikabayan, University Farm, IPB - Bogor. Deskripsi

Lebih terperinci

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN 4.1 Hasil Penelitian Berdasarkan hasil analisis sidik ragam menunjukkan bahwa media tanam yang digunakan berpengaruh terhadap berat spesifik daun (Lampiran 2) dan

Lebih terperinci

III. PERANAN ORGANISME TANAH FUNGSIONAL UNTUK KESUBURAN TANAH

III. PERANAN ORGANISME TANAH FUNGSIONAL UNTUK KESUBURAN TANAH 12 III. PERANAN ORGANISME TANAH FUNGSIONAL UNTUK KESUBURAN TANAH dari stabilitas, struktur, hidrolik konduktivitas, dan aerasi, namun memiliki sifat kimia kurang baik yang dicerminkan oleh kekahatan hara,

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Pupuk dibedakan menjadi 2 macam yaitu pupuk organik dan pupuk anorganik

II. TINJAUAN PUSTAKA. Pupuk dibedakan menjadi 2 macam yaitu pupuk organik dan pupuk anorganik II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pupuk Pupuk merupakan bahan alami atau buatan yang ditambahkan ke tanah dan dapat meningkatkan kesuburan tanah dengan menambah satu atau lebih hara esensial. Pupuk dibedakan menjadi

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN. A. Tahap 1. Pengomposan Awal. Pengomposan awal diamati setiap tiga hari sekali selama dua minggu.

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN. A. Tahap 1. Pengomposan Awal. Pengomposan awal diamati setiap tiga hari sekali selama dua minggu. Suhu o C IV. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Tahap 1. Pengomposan Awal Pengomposan awal bertujuan untuk melayukan tongkol jagung, ampas tebu dan sabut kelapa. Selain itu pengomposan awal bertujuan agar larva kumbang

Lebih terperinci

METODOLOGI PENELITIAN. Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Budidaya Perikanan, Program Studi

METODOLOGI PENELITIAN. Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Budidaya Perikanan, Program Studi 8 III. METODOLOGI PENELITIAN. Waktu dan Tempat Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Budidaya Perikanan, Program Studi Budidaya Perairan, Fakultas Pertanian, Universitas Lampung pada bulan September-Oktober

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN. Tabel 2. Bobot isi tanah pada berbagai dosis pemberian mulsa.

HASIL DAN PEMBAHASAN. Tabel 2. Bobot isi tanah pada berbagai dosis pemberian mulsa. 38 IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Pengaruh Mulsa Terhadap Sifat Fisik Tanah 4.1.1. Bobot Isi Pengaruh pemberian sisa tanaman jagung sebagai mulsa terhadap bobot isi tanah adalah seperti tertera pada Tabel

Lebih terperinci

III. BAHAN DAN METODE. Penelitian ini dilaksanakan di Kebun Percobaan Tanaman Industri dan Penyegar

III. BAHAN DAN METODE. Penelitian ini dilaksanakan di Kebun Percobaan Tanaman Industri dan Penyegar 25 III. BAHAN DAN METODE 3.1 Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di Kebun Percobaan Tanaman Industri dan Penyegar Cahaya Negeri, Abung Barat, Lampung Utara dan Laboratorium Penyakit

Lebih terperinci

MATERI DAN METODE. Prosedur Penelitian

MATERI DAN METODE. Prosedur Penelitian MATERI DAN METODE Lokasi dan Waktu Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Mei sampai Juli 2010 yang bertempat di Laboratorium Pengolahan Limbah Departemen Ilmu Produksi dan Teknologi Peternakan, Fakultas

Lebih terperinci

disinyalir disebabkan oleh aktivitas manusia dalam kegiatan penyiapan lahan untuk pertanian, perkebunan, maupun hutan tanaman dan hutan tanaman

disinyalir disebabkan oleh aktivitas manusia dalam kegiatan penyiapan lahan untuk pertanian, perkebunan, maupun hutan tanaman dan hutan tanaman 1 BAB I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia mempunyai kekayaan alam yang beranekaragam termasuk lahan gambut berkisar antara 16-27 juta hektar, mempresentasikan 70% areal gambut di Asia Tenggara

Lebih terperinci

BAHAN DAN METODE Waktu dan Tempat Bahan dan Alat Metoda

BAHAN DAN METODE Waktu dan Tempat Bahan dan Alat Metoda 18 BAHAN DAN METODE Waktu dan Tempat Pembuatan kompos dilakukan di saung plastik yang dibuat di University Farm kebun percobaan Cikabayan (IPB) Dramaga.Analisis fisik, kimia dan pembuatan Soil Conditionerdilakukan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. di lahan sawah terus berkurang seiring perkembangan dan pembangunan di

I. PENDAHULUAN. di lahan sawah terus berkurang seiring perkembangan dan pembangunan di I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang dan Masalah Padi merupakan bahan pangan terpenting di Indonesia mengingat makanan pokok penduduk Indonesia sebagian besar adalah beras. Sementara itu, areal pertanian

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Tanaman tebu merupakan tanaman semusim dari Divisio Spermathophyta dengan

II. TINJAUAN PUSTAKA. Tanaman tebu merupakan tanaman semusim dari Divisio Spermathophyta dengan II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Tanaman Tebu Tanaman tebu merupakan tanaman semusim dari Divisio Spermathophyta dengan klasifikasi sebagai berikut: Kingdom : Plantae Divisio : Spermatophyta Kelas : Monocotyledonae

Lebih terperinci

V. HASIL DAN PEMBAHASAN

V. HASIL DAN PEMBAHASAN V. HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1 Hasil Penelitian Parameter pertumbuhan yang diamati pada penelitian ini adalah diameter batang setinggi dada ( DBH), tinggi total, tinggi bebas cabang (TBC), dan diameter tajuk.

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA

II. TINJAUAN PUSTAKA II. TINJAUAN PUSTAKA A. Vegetasi Hutan Hutan merupakan ekosistem alamiah yang sangat kompleks mengandung berbagai spesies tumbuhan yang tumbuh rapat mulai dari jenis tumbuhan yang kecil hingga berukuran

Lebih terperinci

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN 13 BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1. Hasil 5.1.1. Sifat Kimia Tanah Variabel kimia tanah yang diamati adalah ph, C-organik, N Total, P Bray, Kalium, Kalsium, Magnesium, dan KTK. Hasil analisis sifat kimia

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Ubi kayu merupakan bahan pangan yang mudah rusak (perishable) dan

TINJAUAN PUSTAKA. Ubi kayu merupakan bahan pangan yang mudah rusak (perishable) dan TINJAUAN PUSTAKA Ubi Kayu (Manihot esculenta Crantz.) Ubi kayu merupakan bahan pangan yang mudah rusak (perishable) dan akan menjadi busuk dalam 2-5 hari apabila tanpa mendapat perlakuan pasca panen yang

Lebih terperinci

BAHAN DAN METODE Waktu dan Tempat Bahan dan Alat Metode Penelitian Penyediaan Isolat Fusarium sp. dan Bakteri Aktivator

BAHAN DAN METODE Waktu dan Tempat Bahan dan Alat Metode Penelitian Penyediaan Isolat Fusarium sp. dan Bakteri Aktivator BAHAN DAN METODE Waktu dan Tempat Penelitian ini dilakukan di Laboratorium Mikologi, Departemen Proteksi Tanaman, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor, dan Laboratorium Mikrobiologi dan Kesehatan

Lebih terperinci

MATERI DAN METODE Lokasi dan Waktu Penelitian Materi Prosedur Pembuatan MOL Tapai dan Tempe Pencampuran, Homogenisasi, dan Pemberian Aktivator

MATERI DAN METODE Lokasi dan Waktu Penelitian Materi Prosedur Pembuatan MOL Tapai dan Tempe Pencampuran, Homogenisasi, dan Pemberian Aktivator MATERI DAN METODE Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian mengenai pembuatan pupuk cair dan karakteristik pupuk cair ini dilaksanakan dari bulan November sampai Desember 200 yang dilakukan di Laboratorium

Lebih terperinci

POPULASI DAN KERAGAMAN FAUNA TANAH PADA AREAL PERTANAMAN PADI GOGO DENGAN TEKNOLOGI PERESAPAN BIOPORI DI KEBUN PERCOBAAN CIKABAYAN IPB

POPULASI DAN KERAGAMAN FAUNA TANAH PADA AREAL PERTANAMAN PADI GOGO DENGAN TEKNOLOGI PERESAPAN BIOPORI DI KEBUN PERCOBAAN CIKABAYAN IPB POPULASI DAN KERAGAMAN FAUNA TANAH PADA AREAL PERTANAMAN PADI GOGO DENGAN TEKNOLOGI PERESAPAN BIOPORI DI KEBUN PERCOBAAN CIKABAYAN IPB NAILAH SA ADAH A14063053 PROGRAM STUDI MANAJEMEN SUMBERDAYA LAHAN

Lebih terperinci

MATERI DAN METODE. Lokasi dan Waktu. Materi

MATERI DAN METODE. Lokasi dan Waktu. Materi MATERI DAN METODE Lokasi dan Waktu Penelitian dilaksanakan di laboratorium pengolahan limbah Departemen Ilmu Produksi dan Teknologi Peternakan, Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor dan di Laboratorium

Lebih terperinci

Lampiran 1. Prosedur Karakterisasi Komposisi Kimia 1. Analisa Kadar Air (SNI ) Kadar Air (%) = A B x 100% C

Lampiran 1. Prosedur Karakterisasi Komposisi Kimia 1. Analisa Kadar Air (SNI ) Kadar Air (%) = A B x 100% C LAMPIRAN Lampiran 1. Prosedur Karakterisasi Komposisi Kimia 1. Analisa Kadar Air (SNI 01-2891-1992) Sebanyak 1-2 g contoh ditimbang pada sebuah wadah timbang yang sudah diketahui bobotnya. Kemudian dikeringkan

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Tabel 4. Kandungan Unsur Hara Makro pada Serasah Daun Bambu. Unsur Hara Makro C N-total P 2 O 5 K 2 O Organik

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Tabel 4. Kandungan Unsur Hara Makro pada Serasah Daun Bambu. Unsur Hara Makro C N-total P 2 O 5 K 2 O Organik digilib.uns.ac.id BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN A. Unsur Hara Makro Serasah Daun Bambu Analisis unsur hara makro pada kedua sampel menunjukkan bahwa rasio C/N pada serasah daun bambu cukup tinggi yaitu mencapai

Lebih terperinci

PERANGKAT UJI PUPUK ORGANIK (PUPO) (ORGANICFERTILIZER TEST KIT )

PERANGKAT UJI PUPUK ORGANIK (PUPO) (ORGANICFERTILIZER TEST KIT ) PERANGKAT UJI PUPUK ORGANIK (PUPO) (ORGANICFERTILIZER TEST KIT ) Pendahuluan Pupuk Organik adalah pupuk yang berasal dari tumbuhan mati, kotoran hewan dan/atau bagian hewan dan/atau limbah organik lainnya

Lebih terperinci

BAB V. HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB V. HASIL DAN PEMBAHASAN 19 BAB V. HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1. Sifat Fisik Tanah 5.1.1. Bobot Isi dan Porositas Total Penambahan bahan organik rumput signal pada lahan Kathryn belum menunjukkan pengaruh baik terhadap bobot isi (Tabel

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN. A. Pertumbuhan Tanaman. Hasil sidik ragam 5% terhadap tinggi tanaman menunjukkan bahwa

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN. A. Pertumbuhan Tanaman. Hasil sidik ragam 5% terhadap tinggi tanaman menunjukkan bahwa 1. Tinggi tanaman IV. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Pertumbuhan Tanaman Hasil sidik ragam 5% terhadap tinggi tanaman menunjukkan bahwa perlakuan yang diberikan memberikan pengaruh yang berbeda nyata. Hasil Uji

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN. A. Pertumbuhan Jamur Tiram. digunakan. Jenis dan komposisi media akan menentukan kecepatan pertumbuhan

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN. A. Pertumbuhan Jamur Tiram. digunakan. Jenis dan komposisi media akan menentukan kecepatan pertumbuhan IV. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Pertumbuhan Jamur Tiram Pertumbuhan jamur tiram ditentukan oleh jenis dan komposisi media yang digunakan. Jenis dan komposisi media akan menentukan kecepatan pertumbuhan miselium,

Lebih terperinci

geografi Kelas X PEDOSFER I KTSP & K-13 A. PROSES PEMBENTUKAN TANAH

geografi Kelas X PEDOSFER I KTSP & K-13 A. PROSES PEMBENTUKAN TANAH KTSP & K-13 Kelas X geografi PEDOSFER I Tujuan Pembelajaran Setelah mempelajari materi ini, kamu diharapkan memiliki kemampuan berikut. 1. Memahami proses dan faktor pembentukan tanah. 2. Memahami profil,

Lebih terperinci

III. METODOLOGI PENELITIAN

III. METODOLOGI PENELITIAN 16 III. METODOLOGI PENELITIAN 3.1. Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian dilakukan di Laboratorium Bioteknologi Tanah, serta Laboratorium Kimia dan Kesuburan Tanah, Departemen Ilmu Tanah dan Sumberdaya

Lebih terperinci

BAB III MATERI DAN METODE. Penelitian tentang populasi bakteri dan keberadaan bakteri gram pada

BAB III MATERI DAN METODE. Penelitian tentang populasi bakteri dan keberadaan bakteri gram pada 10 BAB III MATERI DAN METODE Penelitian tentang populasi bakteri dan keberadaan bakteri gram pada pellet calf starter dengan penambahan bakteri asam laktat dari limbah kubis terfermentasi telah dilaksanakan

Lebih terperinci

III. METODOLOGI PENELITIAN. Penelitian ini dilaksanakan dari bulan Maret sampai bulan Agustus 2013 di

III. METODOLOGI PENELITIAN. Penelitian ini dilaksanakan dari bulan Maret sampai bulan Agustus 2013 di 25 III. METODOLOGI PENELITIAN A. Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian ini dilaksanakan dari bulan Maret sampai bulan Agustus 2013 di Laboratorium Instrumentasi dan Laboratorium Biokimia Jurusan Kimia

Lebih terperinci

III. BAHAN DAN METODE. Penelitian dilakukan pada lahan pertanaman tebu di PT. Gunung Madu

III. BAHAN DAN METODE. Penelitian dilakukan pada lahan pertanaman tebu di PT. Gunung Madu III. BAHAN DAN METODE 3.1 Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian dilakukan pada lahan pertanaman tebu di PT. Gunung Madu Plantations (GMP), Lampung Tengah pada bulan Juni- Desember 2014. Percobaan dilakukan

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN. Penelitian dilaksanakan di Laboratorium Penyakit Tumbuhan Jurusan

III. METODE PENELITIAN. Penelitian dilaksanakan di Laboratorium Penyakit Tumbuhan Jurusan 14 III. METODE PENELITIAN 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian dilaksanakan di Laboratorium Penyakit Tumbuhan Jurusan Agroteknologi Fakultas Pertanian Universitas Lampung. Pelaksanaan penelitian

Lebih terperinci

Prosiding Seminar Nasional Biotik 2015 ISBN:

Prosiding Seminar Nasional Biotik 2015 ISBN: Prosiding Seminar Nasional Biotik 2015 ISBN: 978-602-18962-5-9 PENGARUH JENIS DAN DOSIS BAHAN ORGANIK PADA ENTISOL TERHADAP ph TANAH DAN P-TERSEDIA TANAH Karnilawati 1), Yusnizar 2) dan Zuraida 3) 1) Program

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. berfungsi sebagai gudang dan penyuplai hara atau nutrisi untuk tanaman dan

I. PENDAHULUAN. berfungsi sebagai gudang dan penyuplai hara atau nutrisi untuk tanaman dan 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Tanah adalah lapisan permukaan bumi yang secara fisik berfungsi sebagai tempat tumbuh dan berkembangnya perakaran tanaman. Secara kimiawi tanah berfungsi sebagai

Lebih terperinci

PENGARUH BAHAN ORGANIK TERHADAP SIFAT BIOLOGI TANAH. Oleh: Arif Nugroho ( )

PENGARUH BAHAN ORGANIK TERHADAP SIFAT BIOLOGI TANAH. Oleh: Arif Nugroho ( ) PENGARUH BAHAN ORGANIK TERHADAP SIFAT BIOLOGI TANAH Oleh: Arif Nugroho (10712004) PROGRAM STUDI HORTIKULTURA JURUSAN BUDIDAYA TANAMAN PANGAN POLITEKNIK NEGERI LAMPUNG BANDAR LAMPUNG 2012 BAB I PENDAHULUAN

Lebih terperinci

9/26/2013. TRANSFORMASI SENYAWA C (Bahan Organik) TRANSFORMASI SENYAWA C (Bahan Organik) PEROMBAK BAHAN ORGANIK

9/26/2013. TRANSFORMASI SENYAWA C (Bahan Organik) TRANSFORMASI SENYAWA C (Bahan Organik) PEROMBAK BAHAN ORGANIK TRANSFORMASI SENYAWA C (Bahan Organik) Bahan Organik Tanah Bahan organik adalah bagian dari tanah yang merupakan suatu sistem kompleks dan dinamis, yang bersumber dari sisa tanaman dan atau binatang yang

Lebih terperinci

III. METODOLOGI PE ELITIA

III. METODOLOGI PE ELITIA III. METODOLOGI PE ELITIA A. Bahan dan Alat Bahan baku utama pengomposan yang digunakan dalam penelitian adalah abu ketel dari mesin boiler dan sludge yang berasal dari pengolahan air limbah pabrik gula

Lebih terperinci

BAHAN DAN METODE. Tempat dan Waktu

BAHAN DAN METODE. Tempat dan Waktu BAHAN DAN METODE Tempat dan Waktu Penelitian dilaksanakan di Laboratorium Kultur Jaringan Kelompok Peneliti Biologi Sel dan Jaringan, Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Bioteknologi dan Sumberdaya

Lebih terperinci

Prosiding Seminar Nasional Biotik 2016 ISBN:

Prosiding Seminar Nasional Biotik 2016 ISBN: Prosiding Seminar Nasional Biotik 2016 ISBN: 978-602-18962-9-7 PENGARUH JENIS DAN DOSIS BAHAN ORGANIK PADA ENTOSIL TERHADAP TOTAL MIKROORGANISME TANAH DAN AKTIVITAS MIKROORGANISME (RESPIRASI) TANAH PADA

Lebih terperinci

BAHAN DAN METODE. Penelitian dilaksanakan di Laboratorium Penyakit Tumbuhan Jurusan Proteksi

BAHAN DAN METODE. Penelitian dilaksanakan di Laboratorium Penyakit Tumbuhan Jurusan Proteksi 11 III. BAHAN DAN METODE 3.1 Tempat Penelitian dan Waktu Penelitian dilaksanakan di Laboratorium Penyakit Tumbuhan Jurusan Proteksi Tanaman Fakultas Pertanian Universitas Lampung. Pelaksanaan penelitian

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. lengkap (RAL) pola faktorial yang terdiri dari 2 faktor. Faktor pertama adalah variasi

BAB III METODE PENELITIAN. lengkap (RAL) pola faktorial yang terdiri dari 2 faktor. Faktor pertama adalah variasi BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Rancangan Penelitian Rancangan yang digunakan dalam penelitian ini adalah rancangan acak lengkap (RAL) pola faktorial yang terdiri dari 2 faktor. Faktor pertama adalah variasi

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Lahan merupakan sumberdaya alam strategis bagi pembangunan di sektor

TINJAUAN PUSTAKA. Lahan merupakan sumberdaya alam strategis bagi pembangunan di sektor II. TINJAUAN PUSTAKA Lahan merupakan sumberdaya alam strategis bagi pembangunan di sektor pertanian, kehutanan, perumahan, industri, pertambangan dan transportasi.di bidang pertanian, lahan merupakan sumberdaya

Lebih terperinci

Kompos Cacing Tanah (CASTING)

Kompos Cacing Tanah (CASTING) Kompos Cacing Tanah (CASTING) Oleh : Warsana, SP.M.Si Ada kecenderungan, selama ini petani hanya bergantung pada pupuk anorganik atau pupuk kimia untuk mendukung usahataninya. Ketergantungan ini disebabkan

Lebih terperinci

METODE PENELITIAN. Kehutanan dan di Laboratorium Hama dan Penyakit Tanaman Program Studi

METODE PENELITIAN. Kehutanan dan di Laboratorium Hama dan Penyakit Tanaman Program Studi 23 METODE PENELITIAN Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian dilakukan di Laboratorium Bioteknologi Program Studi Kehutanan dan di Laboratorium Hama dan Penyakit Tanaman Program Studi Agroekoteknologi,

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Karakteristik Onggok Sebelum Pretreatment Onggok yang digunakan dalam penelitian ini, didapatkan langsung dari pabrik tepung tapioka di daerah Tanah Baru, kota Bogor. Onggok

Lebih terperinci

TANAH. Oleh : Dr. Sri Anggraeni, M,Si.

TANAH. Oleh : Dr. Sri Anggraeni, M,Si. TANAH Oleh : Dr. Sri Anggraeni, M,Si. Tanah memberikan dukungan fisik bagi tumbuhan karena merupakan tempat terbenamnya/ mencengkeramnya akar sejumlah tumbuhan. Selain itu tanah merupakan sumber nutrien

Lebih terperinci

HASIL DA PEMBAHASA. Tabel 5. Analisis komposisi bahan baku kompos Bahan Baku Analisis

HASIL DA PEMBAHASA. Tabel 5. Analisis komposisi bahan baku kompos Bahan Baku Analisis IV. HASIL DA PEMBAHASA A. Penelitian Pendahuluan 1. Analisis Karakteristik Bahan Baku Kompos Nilai C/N bahan organik merupakan faktor yang penting dalam pengomposan. Aktivitas mikroorganisme dipertinggi

Lebih terperinci

BAHAN DAN METODE. Pembiakan P. fluorescens dari Kultur Penyimpanan

BAHAN DAN METODE. Pembiakan P. fluorescens dari Kultur Penyimpanan BAHAN DAN METODE Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian dilaksanakan di Laboratorium Bakteriologi Tumbuhan, Departemen Proteksi Tanaman, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor mulai bulan Februari

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN HASIL DAN PEMBAHASAN Keadaan Umum Penelitian Penelitian pembuatan pupuk organik cair ini dilaksanakan di Laboratorium Pengolahan Limbah Peternakan, Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor. Secara

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Tebu ( Saccharum officinarum L.) merupakan tanaman penting sebagai penghasil

II. TINJAUAN PUSTAKA. Tebu ( Saccharum officinarum L.) merupakan tanaman penting sebagai penghasil II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Tanaman Tebu Tebu ( Saccharum officinarum L.) merupakan tanaman penting sebagai penghasil gula dan lebih dari setengah produksi gula berasal dari tanaman tebu (Sartono, 1995).

Lebih terperinci

III. BAHAN DAN METODE. Penelitian dilakukan pada lahan alang-alang di Kelurahan Segalamider,

III. BAHAN DAN METODE. Penelitian dilakukan pada lahan alang-alang di Kelurahan Segalamider, III. BAHAN DAN METODE 3.1 Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian dilakukan pada lahan alang-alang di Kelurahan Segalamider, Kecamatan Tanjung Karang Barat, Kota Bandar Lampung. Lokasi percobaan secara

Lebih terperinci

BAHA DA METODE Tempat dan Waktu Bahan dan Alat Metode Penelitian

BAHA DA METODE Tempat dan Waktu Bahan dan Alat Metode Penelitian BAHA DA METODE Tempat dan Waktu Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Bioteknologi Tanaman Departemen Agronomi dan Hortikultura Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Penelitian ini dimulai

Lebih terperinci

TATA CARA PENELITIAN. A. Waktu dan Tempat. Penelitian ini dilaksanakan di rumah kompos (Green House ) Fakultas

TATA CARA PENELITIAN. A. Waktu dan Tempat. Penelitian ini dilaksanakan di rumah kompos (Green House ) Fakultas III. TATA CARA PENELITIAN A. Waktu dan Tempat Penelitian ini dilaksanakan di rumah kompos (Green House ) Fakultas Pertanian Universitas Muhammadiiyah Yogyakarta, Tamantirto, Kecamatan Kasihan, Kabupaten

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN Kandungan (%) BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Produk Fermentasi Fermentasi merupakan teknik yang dapat mengubah senyawa kompleks seperti protein, serat kasar, karbohidrat, lemak dan bahan organik lainnya

Lebih terperinci

TATA CARA PENELITIAN. A. Tempat dan Waktu Penelitian. Yogyakarta, GreenHouse di Fakultas Pertanian Universitas Muhammadiyah

TATA CARA PENELITIAN. A. Tempat dan Waktu Penelitian. Yogyakarta, GreenHouse di Fakultas Pertanian Universitas Muhammadiyah III. TATA CARA PENELITIAN A. Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian dilaksanakan di lahan kering, Desa Gading PlayenGunungkidul Yogyakarta, GreenHouse di Fakultas Pertanian Universitas Muhammadiyah Yogyakarta,

Lebih terperinci

Created by. Lisa Marianah (Widyaiswara Pertama, BPP Jambi) PEMBUATAN PUPUK BOKASHI MENGGUNAKAN JAMUR Trichoderma sp. SEBAGAI DEKOMPOSER

Created by. Lisa Marianah (Widyaiswara Pertama, BPP Jambi) PEMBUATAN PUPUK BOKASHI MENGGUNAKAN JAMUR Trichoderma sp. SEBAGAI DEKOMPOSER PEMBUATAN PUPUK BOKASHI MENGGUNAKAN JAMUR Trichoderma sp. SEBAGAI DEKOMPOSER A. Latar Belakang Pupuk merupakan bahan tambahan yang diberikan ke tanah untuk tujuan memperkaya atau meningkatkan kondisi kesuburan

Lebih terperinci

Gambar 3.1. Diagram Alir Penelitian

Gambar 3.1. Diagram Alir Penelitian BAB III METODE PENELITIAN III.1. Tahapan Penelitian Gambar 3.1. Diagram Alir Penelitian III.1.1. Studi Literatur Tahapan ini merupakan tahapan awal yang dilakukan sebelum memulai penelitian. Pada tahap

Lebih terperinci

MATERI DAN METODE Lokasi dan Waktu Materi Metode Pembuatan Petak Percobaan Penimbangan Dolomit Penanaman

MATERI DAN METODE Lokasi dan Waktu Materi Metode Pembuatan Petak Percobaan Penimbangan Dolomit Penanaman MATERI DAN METODE Lokasi dan Waktu Penelitian ini dilakukan mulai akhir bulan Desember 2011-Mei 2012. Penanaman hijauan bertempat di kebun MT. Farm, Desa Tegal Waru. Analisis tanah dilakukan di Laboratorium

Lebih terperinci

Mikrobia dan Tanah KULIAH 1 PENDAHULUAN 9/5/2013 BIOLOGI TANAH BIOLOGI TANAH TANAH. Tanah merupakan habitat yang sangat heterogen. Penghuninya beragam

Mikrobia dan Tanah KULIAH 1 PENDAHULUAN 9/5/2013 BIOLOGI TANAH BIOLOGI TANAH TANAH. Tanah merupakan habitat yang sangat heterogen. Penghuninya beragam BIOLOGI TANAH BIOLOGI TANAH Ilmu yang mempelajari : KULIAH 1 PENDAHULUAN Organisme yang hidup dalam tanah, klasifikasi dan aktivitas metabolismenya,serta peranannya dalam siklus nutrisi dan perombakan

Lebih terperinci

Analisis Kualitas Larutan Mol (Mikoorganisme Lokal) Berbasis Daun Gamal (Gliricidia Sepium)

Analisis Kualitas Larutan Mol (Mikoorganisme Lokal) Berbasis Daun Gamal (Gliricidia Sepium) Analisis Kualitas Larutan Mol (Mikoorganisme Lokal) Berbasis Daun Gamal (Gliricidia Sepium) IDA AYU YADNYA SENI I WAYAN DANA ATMAJA *) NI WAYAN SRI SUTARI 1 Program Studi Agroekoteknologi, Fakultas Pertanian,

Lebih terperinci

MATERI DAN METODE. Materi

MATERI DAN METODE. Materi MATERI DAN METODE Lokasi dan Waktu Penelitian dilaksanakan selama dua bulan pada bulan Maret 2011 sampai dengan April 2011 di Laboratorium Pengelolaan Limbah Departemen Ilmu Produksi dan Teknologi Peternakan,

Lebih terperinci

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1 Sifat Fisik Tanah Sifat fisik tanah yang di analisis adalah tekstur tanah, bulk density, porositas, air tersedia, serta permeabilitas. Berikut adalah nilai masing-masing

Lebih terperinci

rv. HASIL DAN PEMBAHASAN

rv. HASIL DAN PEMBAHASAN 17 rv. HASIL DAN PEMBAHASAN 1. Tinggi Tanaman (cm) Hasil sidik ragam parameter tinggi tanaman (Lampiran 6 ) menunjukkan bahwa penggunaan pupuk kascing dengan berbagai sumber berbeda nyata terhadap tinggi

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. variasi suhu yang terdiri dari tiga taraf yaitu 40 C, 50 C, dan 60 C. Faktor kedua

BAB III METODE PENELITIAN. variasi suhu yang terdiri dari tiga taraf yaitu 40 C, 50 C, dan 60 C. Faktor kedua BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Rancangan Penelitian Rancangan yang digunakan dalam penelitian ini adalah rancangan acak lengkap (RAL) pola faktorial yang terdiri dari 2 faktor. Faktor pertama adalah variasi

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN IV. HASIL DAN PEMBAHASAN Karakterisasi awal blotong dan sludge pada penelitian pendahuluan menghasilkan komponen yang dapat dilihat pada Tabel 9. Tabel 9. Karakteristik blotong dan sludge yang digunakan

Lebih terperinci

III. BAHAN DAN METODE. Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Penyakit Tanaman dan Laboratorium

III. BAHAN DAN METODE. Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Penyakit Tanaman dan Laboratorium III. BAHAN DAN METODE 3.1 Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Penyakit Tanaman dan Laboratorium Lapangan Terpadu Fakultas Pertanian Universitas Lampung pada bulan November

Lebih terperinci

PENGARUH DOSIS PUPUK N PADA BAHAN GAMBUT DENGAN TINGKAT KEMATANGAN YANG BERBEDA TERHADAP FLUKS CO 2. Rasional

PENGARUH DOSIS PUPUK N PADA BAHAN GAMBUT DENGAN TINGKAT KEMATANGAN YANG BERBEDA TERHADAP FLUKS CO 2. Rasional PENGARUH DOSIS PUPUK N PADA BAHAN GAMBUT DENGAN TINGKAT KEMATANGAN YANG BERBEDA TERHADAP FLUKS CO 2 Rasional Penambahan pupuk N pada lahan gambut dapat mempengaruhi emisi GRK. Urea merupakan pupuk N inorganik

Lebih terperinci

BAHAN DAN METODE. Tempat dan Waktu

BAHAN DAN METODE. Tempat dan Waktu BAHAN DAN METODE Tempat dan Waktu Penelitian ini dilaksanakan di Kebun Percobaan Lewikopo, Departemen Agronomi dan Hortikultura, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor yang terletak pada ketinggian

Lebih terperinci

III. BAHAN DAN METODE

III. BAHAN DAN METODE III. BAHAN DAN METODE 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Agustus-Oktober 2009 bertempat di Laboratorium Nutrisi Ikan Departemen Budidaya Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan,

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. sekitar 500 mm per tahun (Dowswell et al., 1996 dalam Iriany et al., 2007).

I. PENDAHULUAN. sekitar 500 mm per tahun (Dowswell et al., 1996 dalam Iriany et al., 2007). I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Jagung merupakan tanaman serealia yang paling produktif di dunia, cocok ditanam di wilayah bersuhu tinggi. Penyebaran tanaman jagung sangat luas karena mampu beradaptasi

Lebih terperinci

SKRIPSI. Disusun Oleh: Angga Wisnu H Endy Wisaksono P Dosen Pembimbing :

SKRIPSI. Disusun Oleh: Angga Wisnu H Endy Wisaksono P Dosen Pembimbing : SKRIPSI Pengaruh Mikroorganisme Azotobacter chrococcum dan Bacillus megaterium Terhadap Pembuatan Kompos Limbah Padat Digester Biogas dari Enceng Gondok (Eichornia Crassipes) Disusun Oleh: Angga Wisnu

Lebih terperinci

I PENDAHULUAN. Hal tersebut menjadi masalah yang perlu diupayakan melalui. terurai menjadi bahan anorganik yang siap diserap oleh tanaman.

I PENDAHULUAN. Hal tersebut menjadi masalah yang perlu diupayakan melalui. terurai menjadi bahan anorganik yang siap diserap oleh tanaman. 1 I PENDAHULUAN 1.1 LatarBelakang Salah satu limbah peternakan ayam broiler yaitu litter bekas pakai pada masa pemeliharaan yang berupa bahan alas kandang yang sudah tercampur feses dan urine (litter broiler).

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. mencapai 20 mm per hari) begitu pula dengan produksi bijinya. Biji gulma

BAB I PENDAHULUAN. mencapai 20 mm per hari) begitu pula dengan produksi bijinya. Biji gulma BAB I PENDAHULUAN A. Latar belakang Gulma siam (Chromolaena odorata) tercatat sebagai salah satu dari gulma tropis. Gulma tersebut memiliki tingkat pertumbuhan yang sangat cepat (dapat mencapai 20 mm per

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. Penelitian dilaksanakan mulai bulan Juli sampai bulan November 2009

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. Penelitian dilaksanakan mulai bulan Juli sampai bulan November 2009 BAB III METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Waktu dan Lokasi Penelitian Penelitian dilaksanakan mulai bulan Juli sampai bulan November 2009 yang bertempat di Laboratorium Riset, Jurusan Pendidikan Kimia, Fakultas

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. kumpulan tanaman pinus. Pinus yang memiliki klasifikasi berupa : Species : Pinus merkusii (van Steenis, et al., 1972).

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. kumpulan tanaman pinus. Pinus yang memiliki klasifikasi berupa : Species : Pinus merkusii (van Steenis, et al., 1972). BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Hutan Pinus Hutan pinus (Pinus merkusii L.) merupakan hutan yang terdiri atas kumpulan tanaman pinus. Pinus yang memiliki klasifikasi berupa : Kingdom Divisio Classis Ordo

Lebih terperinci