BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. bergaul, beraktivitas, dan lain-lain dengan kesehatan yang baik. Kesehatan

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. bergaul, beraktivitas, dan lain-lain dengan kesehatan yang baik. Kesehatan"

Transkripsi

1 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Kesehatan merupakan aset yang berharga dalam kehidupan setiap manusia. Seseorang dapat memenuhi kebutuhan hidupnya, seperti bekerja, bergaul, beraktivitas, dan lain-lain dengan kesehatan yang baik. Kesehatan secara global dibagi menjadi dua, yaitu kesehatan jiwa dan fisik. Namun dalam kehidupan sehar-hari, kesehatan fisik menjadi hal yang paling sering diperhatikan dibandingkan kesehatan jiwa, padahal kesehatan jiwa ini memiliki dampak yang lebih besar daripada kesehatan fisik. Akibatnya banyak orang yang mengalami masalah pada kesehatan jiwa malu untuk berobat. Biasanya orang yang mengalami gangguan kesehatan jiwa akan berobat ketika keadaannya sudah agak parah karena masih dianggap sebagai masalah yang tabu untuk dibicarakan. Salah satu masalah dalam kesehatan jiwa yang paling sering ditemui kejadiannya adalah skizofrenia. Skizofrenia merupakan penyakit psikiatrik kronik pada pikiran manusia yang dapat mempengaruhi seseorang sehingga mengganggu hubungan interpersonal dan kemampuan untuk menjalani hidup sosial (Crimson dkk, 2008). Skizofrenia ini merupakan tingkatan tertinggi dalam masalah kesehatan jiwa. Banyak hal yang tidak disadari tentang penyakit ini pada masyarakat Indonesia, sehingga ketika ada seorang dengan penyakit ini justru dikucilkan bahkan sampai

2 2 dipasung.prevalensi pasien skizofrenia di dunia adalah sekitar 0,2 2% dari total populasi (Ikawati, 2011). Menurut data Riskesdas tahun 2013, di Yogyakarta, prevalensi gangguan jiwa berat yang terjadi adalah sebesar 27% dan ini merupakan prevalensi tertinggi di Indonesia (Riskesdas, 2013) Terapi pada skizofrenia dibagi menjadi dua, yaitu farmakologi dan non farmakologi. Untuk terapi non farmakologi bisa dilakukan dengan memberikan ketrampilan agar meningkatkan fungsi adaptif dari orang yang mempunyai skizofrenia. Terapi farmakologi bisa dilakukan dengan pemberian obat antipsikotik. Selain pengobatan di atas, keluarga dekat juga harus diberikan pengetahuan bagaimana cara menangani orang dengan skizofrenia agar skizofrenianya dapat terkontrol dan orang tersebut dapat kembali bergaul dengan masyarakat. Pada terapi skizofrenia, obat yang digunakan adalah obat antipsikotik yang berefek pada perubahan neurotransmitter dopamin di otak. Obat-obat antipsikotik untuk terapi lini pertama pada pengobatan skizofrenia adalah obat-obat antipsikotik atipikal, seperti risperidon, ziprasidon, aripirazol. Sedangkan obat-obat antipsikotik tipikal digunakan jika terapi dengan obat-obat antipsikotik atipikal tidak menunjukkan hasil yang diharapkan atau kurang cukup memberikan efek terapi yang diinginkan. Obat-obat antipsikotik atipikal dipilih menjadi terapi lini pertama karena pertimbangan risiko efek samping yang ditimbulkan, yaitu gejala ekstrapiramidal. Pada obat antipsikotik atipikal, risiko terjadinya ekstrapiramidal lebih sedikit daripada dengan obat antipsikotik tipikal.

3 3 Efek samping ekstrapiramidal diduga menjadi salah satu penyebab ketidakpatuhan pasien dalam pengobatan skizofrenia (Wijono dkk., 2013). Akibatnya pasien menjadi sering kambuh dan pengobatan akan menjadi lebih lama bahkan bisa seumur hidup. Untuk mengatasi efek samping ekstrapiramidal yang ditimbulkan, biasanya dokter akan memberikan terapi profilaksis. Pemberian obat yang paling sering diresepkan adalah triheksifenidil atau yang biasa disingkat THP. Ada banyak faktor yang berpengaruh dalam menentukan penggunaan THP, diantaranya usia, jenis kelamin, tipe obat antipsikotik, dan riwayat efek ekstrapiramidal sebelumnya. Penggunaan THP sebagai terapi tambahan pada skizofrenia menurut penelitian Wijono (2013) di Poliklinik Jiwa Dewasa Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo tahun 2010 persentasenya sebesar 44,99%. Studi tentang pola penggunaan THP pada pengobatan skizofrenia belum banyak dilakukan. Penelitian ini digunakan untuk melihat pola penggunaan THP pada pengobatan skizofrenia di Rumah Sakit Jiwa Grhasia. B. Perumusan Masalah 1. Bagaimana gambaran karakteristik pasien skizofrenia yang menerima triheksifenidil di Instalasi Rawat Inap Rumah Sakit Jiwa Grhasia Yogyakarta tahun 2014?

4 4 2. Bagaimana pola penggunaan dan peresepan triheksifenidil pada pasien skizofrenia di Instalasi Rawat Inap Rumah Sakit Jiwa Grhasia Yogyakarta tahun 2014? C. Tujuan Penelitian 1. Mengetahui gambaran karakteristik pasien skizofrenia yang menerima triheksifenidil di Instalasi Rawat Inap Rumah Sakit Jiwa Grhasia Yogyakarta tahun Mengetahui pola penggunaan dan peresepan triheksifenidil pada pasien skizofrenia di Instalasi Rawat Inap Rumah Sakit Jiwa Grhasia Yogyakarta tahun 2014 D. Manfaat Penelitian 1. Dapat digunakan sebagai informasi tentang penggunaan triheksifenidil sebagai terapi tambahan untuk gejala ekstrapiramidal pada pasien skizofrenia di Instalasi Rawat Inap Rumah Sakit Jiwa Grhasia Yogyakarta. 2. Bagi peneliti, menambah wawasan dan pengalaman dalam penelitian. 3. Bagi peneliti selanjutnya, sebagai studi pendahuluan dan referensi untuk penelitian selanjutnya. 1. Skizofrenia E. Tinjauan Pustaka

5 5 a. Definisi Skizofrenia Skizofrenia merupakan penyakit psikiatrik yang paling kompleks dan menantang. Skizofrenia menggambarkan sindrom beragam tentang pikiran yang tidak terorganisir dan aneh, delusi, halusinasi, dan fungsi sosial yang terganggu (Crimson dkk., 2008). b. Etiologi Skizofrenia Skizofrenia adalah penyakit kompleks yang tidak memiliki penyebab tunggal. Tidak seperti kebanyakan penyakit kompleks lainnya, skizofrenia tidak diketahui mekanisme patogenetik yang menghubungkan antar faktor risiko terhadap penyakit. Sehingga tidak diketahui secara pasti penyebab skizofrenia (Stefan dkk., 2007). Beberapa teori dikemukakan tentang patogenesis terjadinya skizofrenia. Teori tersebut dikenal dengan hipotesis dopamin, hipotesis neurodevelopmental, hipotesis glutamatergik, hipotesis serotonin, dan genetik 1) Hipotesis dopamin Hipotesis dopamin merupakan hipotesis yang paling awal dan paling banyak diteliti. Dopamin merupakan neurotransmitter di otak. Saat ini telah ditemukan lima macam reseptor dopamine, yaitu reseptor D1, D2, D3, D4, da D5. Kelima reseptor dopamin ini dikelompokkan menjadi dua famili, yakni famili D1 yang terdiri dari reseptor D1 dan D5 serta famili D2 yang meliputi reseptor D2, D3, da

6 6 D4. Famili D1 pada transduksi sinyalnya berkaitan dengan protein Gs sedangkan famili D2 bekaitan dengan protein Gi. Reseptor dopamin yang lebih berperan pada penyakit skizofrenia adalah reseptor D2 (Ikawati, 2011). Gejala skizofrenia diduga muncul karena neurotransmitter dopaminergik yang berlebihan di mesolimbik otak. Pada hipotesis ini diduga bahwa gejala skizofrenia muncul karena neurotransmiter dopaminergik yang berlebihan di mesolimbic otak. Up-regulation dari reseptor dopamin D2 di caudatus berkaitan dengan risiko terjadinya skizofrenia. Tingginya densitas reseptor dopamine D2 di caudatus dihubungkan dengan kemunduran kognitif pada skizofrenia (Hirvonen dkk., 2005). Hal ini didukung dengan penelitian bahwa ketika seseorang dengan skizofrenia diterapi dengan obat antipsikotik, terdapat penurunan neurotransmisi dopaminergik di otak dan pasien menunjukkan fungsionalitas yang lebih baik pada level perseptual dan gejala positif yang lebih sedikit (El Missiry dkk., 2011). 2) Hipotesis neurodevelopmental Pada hipotesis ini dinyatakan bahwa terdapat kerusakan pada otak di masa-masa dalam kandungan yang mempengaruhi perkembangan otak dan menyebabkan abnormalitas pada saat dewasa. Infeksi ibu hamil selama kehamilannya terutama pada trimester dua atau komplikasi pada perinatal/postnatal juga

7 7 mempunyai korelasi positif dengan kejadian skizofrenia. Seorang anak yang mengalami infeksi sistem saraf pusat atau kondisi hipoksia selama kelahirannya mempunyai resiko lima kali lebih besar terserang gangguan psikosis termasuk skizofrenia (Dean dkk., 2005). 3) Hipotesis Glutamatergik Sistem glutamatergik merupakan salah satu sistem neurotransmitter yang paling banyak tersebar di otak. Perubahan pada fungsinya, baik hipoaktivitas maupun hiperaktivitas, dapat mengakibatkan toksisitas di otak. Defisiensi glutamatergik menghasilkan gejala yang sama seperti pada hiperaktivitas dopaminergik dan kemungkinan sama seperti skizofrenia (Jones, 2006). 4) Hipotesis Serotonin Pelepasan dopamin berkaitan dengan fungsi serotonin. Penurunan aktivitas serotonin berkaitan dengan peningkatan aktivitas dopamin. Bukti yang mendukung peran potensial serotonin dalam memperantarai efek antipsikotik obat datang dari interaksi anatomi dan fungsional dopamin dan serotonin. Studi anatomi dan elektrofisiologi menunjukkan bahwa saraf serotonergik dari dorsal dan median raphe nuclei terproyeksikan ke badan-badan sel dopaminergik dalam Ventral Tegmental Area (VTA) dan Substansia Nigra (SN) dari otak tengah. Saraf serotonergik dilaporkan berujung

8 8 langsung pada sel-sel dopaminergik dan memberikan pengaruh penghambatan pada aktivitas dopamin di jalur mesolimbik dan nigrostriatal melalui reseptor 5-HT2A (Ikawati, 2011). 5) Genetik Faktor genetik diduga berpengaruh pada penyakit ini. Risiko skizofrenia pada populasi berkisar antara 0,6-1,9%, tetapi risiko menjadi lebih tinggi sebesar pada pasien yang mempunyai riwayat skizofrenia dalam keluarganya. Jika kedua orang tua mempunyai skizofrenia, risiko anaknya akan terkena skizofrenia adalah sebesar 40% (Nieratschker, 2010). Beberapa tahun terakhir telah diteliti tentang polimorfisme gen-gen yang berkontribusi terhadap timbulnya skizofrenia. Beberapa polimorfisme yang diduga meningkatkan risiko penyakit ini adalah COMT (cathecol O methyl transferase) gene, disruptedin-schizophrenia 1 gene (DISC1), DTNBP1 (dystrobrevin binding protein 1) gene, NRG1 SNP1 &2 (neuregulin-1 single nucleotide polymorphism 1&2) gene. Polimorfisme fungsional umum gen COMT yang secara nyata mempengaruhi aktivitas enzim diketahui memengaruhi kognisi dan korteks prefrontal pada manusia. Polimorfisme gen ini diduga sedikit meningkatkan risiko skizofrenia melalui efek pada proses informasi prefrontal yang termediasi dopamin (Fan dkk., 2005). Adanya SNiPs (single nucleotide polymorphism) pada

9 9 DISC1 berkaitan dengan munculnya skizofrenia dan gangguan skizoafective karena adanya gangguan pada fungsi kognitif (Ishizuka dkk., 2006). Polimorfisme gen DTNBP1 pada p 1635 (terletak pada intron 4), mempengaruhi kejadian skizofrenia. Allel A pada p1635 meningkatkan resiko terjadinya skizofrenia, sementara allel G menurunkan resiko skizofrenia (Galehdari dkk., 2010). Pada polimorfisme gen NRG1 SNP1 mempunyai kecenderungan dengan skizofrenia (Vilella dkk., 2008). c. Gejala Gejala-gejala skizofrenia terentang dari mulai yang ringan hingga yang berat. Pada umumnya, gejala pada skizofrenia dibagi menjadi tiga kelompok,yaitu : gejala positif, gejala negatif, dan gejala kognitif. Gejala positif adalah penyimpangan dari pemikiran dan fungsi yang normal. Gejala-gejala tersebut masuk dalam perilaku psikotik. Orangorang dengan gejala ini kadang-kadang tidak mampu untuk membedakan mana yang nyata dan yang tidak.gejala negatif mengacu kepada kesulitan untuk mengeskpresikan emosi dan berfungsi secara normal. Saat seseorang dengan skizofrenia mengalami gejala negatif, gejalanya mirip depresi. Gejala kognitif tidak mudah untuk dilihat, akan tetapi hal ini dapat mempersulit orang tersebut untuk mendapatkan pekerjaan atau merawat dirinya sendiri (Anonim, 2009).

10 10 Tabel I. Gejala Skizofrenia (Crimson dkk., 2008) Gejala Positif Gejala Negatif Gejala Kognitif Curiga Perasaan menjadi Gangguan ingatan tumpul Delusi Alogia Gangguan perhatian Halusinasi Anhedonia` Gangguan fungsi Bicara tidak teratur Avoilition melakukan sesuatu d. Klasifikasi Skizofrenia dapat dibedakan menjadi beberapa tipe menurut PPDGJ III tahun1993, yaitu : 1) Skizofrenia paranoid (F 20.0) Skizofrenia tipe paranoid merupakan tipe skizofrenia yang paling sering ditemukan. a) Memenuhi kriteria skizofrenia b) Halusinasi dan/ waham harus menonjol : halusinasi auditori yang memberi perintah atau auditorik yang berbentuk tidak verbal; halusinasi pembauan atau pengecapan rasa bersifat seksual; waham dikendalikan, dipengaruhi, pasif atau keyakinan dikejar-kejar c) Gangguan afektif, dorongan kehendak, dan pembicaraan serta gejala katatonik relatif tidak ada. 2) Skizofrenia hebefrenik (F 20.1) a) Memenuhi kriteria skizofrenia b) Pada usia remaja dan dewasa muda (15 25 tahun)

11 11 c) Kepribadian premorbid : pemalu, senang menyendiri d) Gejala bertahan 2 3 minggu e) Gangguan afektif dan dorongan kehendak, serta gangguan proses pikir umumnya menonjol. Perilaku tanpa tujuan dan tanpa maksud. Preokupasi dangkal dan dibuat-buat terhadap agama, filsafat, dan tema abstrak. f) Perilaku yang tidak bertanggung jawab dan tidak dapat diramalkan, mannerism, cenderung senang menyendiri, perilaku hampa tanpa tujuan, dan hampa perasaan g) Afek dangkal dan tidak wajar, cekikikan, puas diri, senyum sendiri, atau sikap tinggi hati, tertawa menyeringai, mengibuli secara bersenda gurau, keluhan hipokondriakal, ungkapan kata diulang-ulang h) Proses pikir disorganisasi, pembicaraan tak menentu, inkoheren. 3) Skizofrenia katatonik (F 20.2) a) Memenuhi kriteria diagnosis skizofrenia b) Stupor (amt berkurang reaktivitas terhadap lingkungan, gerakan, atau aktivitas spontan) atau mutisme c) Gaduh-gelisah (tampak aktivitas motoric tak bertujuan tanpa stimuli eksternal) d) Menampilkan posisi tubuh tertentu yang aneh dan tidak wajar serta mempertahankan posisi tersebut

12 12 e) Negativisme (perlawanan terhadap perintah atau melakukan ke arah yang berlawanan dari perintah) f) Rigiditas (kaku) g) Fleksibilitas cerea (waxy flexibility) yaitu mempertahankan posisi tubuh dalam posisi yang dapat dibentuk dari luar h) Command automatism (patuh otomatis dari perintah) dan pengulangan kata-kata serta kalimat i) Diagnosis katatonik dapat tertunda jika diagnosis skizofrenia belum tegak karena pasien yang tidak komunikatif. 4) Skizofrenia tak terinci atau undifferentiated (F 20.3) a) Memenuhi kriteria umum diagnosis skizofrenia b) Tidak paranoid, hebefrenik, katatonik c) Tidak memenuhi skizofrenia residual atau depresi pascaskizofrenia. 5) Skizofrenia pasca-skizofrenia (F 20.4) a) Memenuhi kriteria umum diagnosis skizofrenia selama 12 bulan terakhir ini b) Beberapa gejala skizofrenia masih tetap ada (tetapi tidak lagi mendominasi gambaran klinisnya) c) Gejala-gejala depresih menonjol dan mengganggu, memenuhi paling sedikit kriteria untuk episode depresif (F 32.-) dan telah ada dalam kurun waktu paling sedikit dua minggu.

13 13 Apabila pasien tidak menunjukkan lagi gejala skizofrenia, diagnosis menjadi episode depresif (F 32.-). Bila gejala skizofrenia masih jelas dan menonjol, diagnosis harus tetap salah satu dari subtype skizofrenia yang sesuai (F 20.0 F 20.3). 6) Skizofrenia residual (F 20.5) a) Gejala negatif dari skizofrenia yang menonjol, misalnya perlambatan psikomotorik, aktivitas yang menurun, afek yang menumpul, sikap pasif dan ketiadaan inisiatif, kemiskinan dalam kuantitas atau isi pembicaraan, komunikasi non verbal yang buruk seperti dalam ekspresi muka, kontak mata, modulasi suara dan posisi tubuh, perawatan diri dan kinerja sosial yang buruk b) Sedikitnya ada riwayat satu episode psikotik yang jelas dimasa lampau yang memenuhi kriteria untuk diagnosis skizofrenia c) Sedikitnya sudah melewati kurun waktu satu tahun dimana intensitas dan frekuensi gejala yang nyata seperti waham dan halusinasi yang telah sangat berkurang (minimal) dan telah timbuk sindrom negatif dari skizofrenia d) Tidak terdapat dementia atau penyakit/gangguan otak organic lain, depresi kronis atau isntitusionalisasi yang dapat menjelaskan disabilitas negatif tersebut. 7) Skizofrenia simpleks (F 20.6)

14 14 a) Diagnosis skizofrenia simpleks sulit dibuat secara meyakinkan karena tergantung pada pemantapan perkembangan yang berjalan dan progesif dari : (1) Gejala negatif yang khas dari skizofrenia residual tanpa didahului riwayat halusinasi, waham, atau manifestasi lain dari episode psikotik (2) Disertai dengan perubahan-perubahan perilaku pribadi yang bermakna, bermanifestasi sebagai kehilangan minat yang mencolok, tidak berbuat sesuatu, tanpa tujuan hidup, dan penarikan diri secara social. b) Gangguan ini kurang jelas gejala psikotiknya dibandingkan subtipe skizofrenia lainnya. 8) Skizofrenia lainnya (F 20.8) Termasuk skizofrenia chenesthopathic (terdapat suatu perasaan yang tidak nyaman, tidak enak, tidak sehat pada bagian tubuh tertentu), gangguan skizofeniform YTI. 9) Skizofrenia tak spesifik (F 20.7) Merupakan tipe skizofrenia yang tidak dapat diklasifikasikan ke dalam tipe yang telah disebutkan. 2. Terapi Skizofrenia Menurut National Institute of Mental Health (2009), Pengobatan pada skizofrenia didasarkan untuk mengurangi gejala yang muncul karena

15 15 penyebab pastinya belum diketahui. Pengobatan meliputi terapi dengan obatdan terapi psikososial. a. Terapi psikososial. Terapi ini dapat membantu setelah pasien menemukan obat yang cocok dan obat itu bekerja secara baik. Terapi psikososial umumnya lebih efektif diberikan pada saat pasien berada dalam fase perbaikan dibandingkan pada fase akut. Terapi ini membantu pasien skizofrenia dalam menghadapi permasalahan yang ada seharihari, seperti susahnya berkomunikasi, bekerja, merawat diri, membentuk dan mempertahankan hubungan. Terapi ini meliputi: 1) Pemberhentian dari narkotik dan alkohol. Penyalahgunaan narkoba dan alkohol terkadang sering dijumpai pada pasien skizofrenia 2) Edukasi keluarga. Biasanya setelah pasien skizofrenia menjalani rawat inap, akan dikembalikan lagi ke keluarganya. Untuk itu perlu adanya edukasi bagi keluarga tentang skizofrenia. Hal ini akan membantu dalam pencapaian target terapi untuk pasien dan juga sarana agar pasien skizofrenia semakin patuh minum obat. Keterampilan pengelolaan penyakit. Dengan adanya ketrampilan pengelola penyakit, diharapkan nantinya pasien akan lebih mengerti tentang penyakitnya dan dapat mencegah kekambuhan. 3) Rehabilitasi. Membantu mendapatkan pekerjaan dan keterampilan untuk menjalani kehidupan sehari-hari

16 16 4) Self-help groups. Sesama pasien atau keluarga saling ditemukan untuk berbagi pengalaman dan juga agar pasien tidak merasa sendiri. 5) Terapi kognitif dan perilaku. Terapi ini menolong pasien yang gejalanya tidak dapat dikendalikan dengan obat antipsikotik. Terapi ini dapat mengurangi gejala dan mencegah kekambuhan. b. Obat antipsikotik Obat antipsikotik mulai tersedia sejak pertengahan Tipe awal yang pertama muncul adalah obat antipsikotik konvensional atau tipikal. Beberapa contoh obat antipsikotik tipikal yang banyak digunakan adalah haloperidol, klorpromazin, flufenazin, ferfenazin. Obat-obat antipsikotik tipikal bekerja memblok reseptor dopamin, khususnya reseptor D2. Pengeblokan pada reseptor D2 di mesolimbik dapat mengurangi gejala positif pada skizofrenia. Obat antipsikotik atipikal atau generasi kedua secara farmakologi mekanisme aksinya berbeda daripada antipsikotik sebelumnya terutama dalam hal menurunkan aktivitas dopamin. Obat antipsikotik atipikal lebih mempunya aktivitas dalam menurunkan neurotransmitter lain, yaitu serotonin dan norepinefrin. (Miyamoto dkk., 2005). Contoh obat yang termasuk ke dalam golongan obat antipsikotik atipikal adalah olanzapine, risperidon, clozapine, quetiapine, dan ziprasidon. Obat antipsikotik atipikal merupakan lini pertama dalam pengobatan skizofrenia karena efek samping yang ditimbulkan cenderung lebih kecil.

17 17 Gambar 1 merupakan algoritma terapi skizofrenia. Terapi antipsikotik yang digunakan sebagai lini pertama adalah antipsikotik atipikal. Antipsikotik tipikal dapat digunakan dalam terapi jika antipsikotik atipikal memberikan respon parsial atau sama sekali tidak memberikan respon. Tahap 1. Episode psikosis yang pertama Atipsikotik Tunggal Lebih disaraan antipsikotik golongan kedua Respon parsial atau tanpa respon Tahap 2. Antipsikotik generasi pertama ataupun generasi kedua tunggal selain yang telah digunakan pada tahap 1 Tahap 3. Klozapin Respon parsial atau tanpa respon Tahap 4. Klozapin + antipsikotik lain atau terapi elektrokonvulsif. Respon parsial atau tanpa respon Tanpa respon Tahap 5. Antipsikotik tunggal selain yang telah digunakan pada tahap 1 dan 2 Tahap 6. Terapi kombinasi Gambar 1. Algoritma Terapi Skizofrenia (Crimson dkk., 2008)

18 18 3. Efek Samping Antipsikotik Meskipun antipsikotik tergolong efektif untuk terapi skizofrenia, tetapi mempunyai efek samping yang serius seperti ekstrapiramidal, penambahan berat badan, efek metabolik, kenaikan prolaktin, dan perpanjangan interval QTc. a. Ekstrapiramidal (EPS) Banyak antipsikotik tipikal mempunyai efek antikolinergik yang minimal sehingga mempunyai kecenderungan menimbulkan efek samping ekstrapiramidal. Sedangkan untuk antipsikotik atipikal, efek antikolinergiknya bervariasi tapi cenderung lebih rendah efeknya dalam menimbulkan efek samping ekstrapiramidal daripada antipsikotik tipikal (Pakpoor, 2014). b. Penambahan berat badan dan efek metabolik Salah satu efek samping dari penggunaan obat antipsikotik atipikal adalah penambahan berat badan dan sindrom metabolik. Pasien yang menerima obat antipsikotik harus secara berkala diukur Body Mass Index (BMI) dan lingkar pinggang. Antipsikotik atipikal cenderung meningkatkan kolestrol dan trigliserida dan kenaikan dari trigliserida berhubungan dengan obesitas dan diabetes (Pakpoor, 2014). c. Kenaikan prolaktin Salah satu konsekuensi dari penggunaan antipsikotik yang tidak selektif adalah pemblokan reseptor D2 pada laktotrof dan akan mengakibatkan kenaikan prolaktin. Kenaikan prolaktin dalam waktu

19 19 yang lama akan menyebabkan hiperprolaktinemia dan dapat menyebabkan ginekomastia, galaktorea, menstruasi yang tidak teratur, disfungsi seksual, demineralisasi tulang (osteoporosis) (Pakpoor, 2014). d. Perpanjangan Interval QTc Obat-obat antipsikotik dapat mempengaruhi ECG dan dianggap berbuhungan dengan aritmia ventrikuler dan kematian jantung mendadak (Pakpoor, 2014). 4. Efek Samping Ekstrapiramidal Efek samping ekstrapiramidal atau yang biasa disebut gejala ekstrapiramidal merupakan kelainan yang berhubungan dengan pergerakan diinduksi oleh obat antipsikotik atau obat yang memblok dopamine (Courey, 2007). Gejala ekstrapiramidal merupakan efek samping yang pertama kali muncul setelah obat antipsikotik golongan pertama atau tipikal digunakan. Gejala ekstrapiramidal yang diinduksi oleh antipiskotik terbagi menjadi sindrom akut dan tardif. Gejala ekstrapiramidal sindrom akut terjadi dalam hitungan jam atau minggu setelah inisiasi atau penambahan dosis antipsikotik dan termasuk di dalamnya adalah distonia, akathisia, dan parkinsonisme. Diskinesia tardif merupakan gejala ekstrapiramidal dengan onset telambat dan biasanya terjadi setelah penggunaan antipiskotik jangka panjang (Jesic dkk., 2012). Antagonisme reseptor dopamine D2 dipercaya berperan tidak hanya pada efek antipsikotik, tetapi juga menyebabkan gejala esktrapiramidal.

20 20 Sebanyak 75 80% pengeblokan reseptor dopamine D2 dapat menyebabkan timbulnya gejala ekstrapiramidal akut. Gejala ekstrapiramidal muncul pada kurang lebih 90% pasien skizofrenia yang menggunakan antipsikotik tipikal, seperti pada haloperidol (Jesic dkk., 2012). a. Distonia Merupakan keadaan otot yang tidak normal atau sering disebut dengan kejang otot. Istilah yang lebih akurat adalah kontraksi otot yang diperpanjang dengan onset yang cepat biasanya jam setelah pemberian atau peningkatan dosis. Distonia ini merupakan salah satu penyebab pasien menjadi tidak patuh dalam pengobatan. Distonia yang diinduksi antipsikotik biasanya terjadi di sekitar tangan, meskipun terkadang terjadi di beberapa otot. Tanda-tanda yang tampak seperti kekakuan rahang, tonjolan lidah, kejang faring, disfagia, dan terkadang sulit bernafas (Jesic dkk., 2012). Faktor risiko distonia diantaranya adalah penggunaan jenis dan dosis tinggi antipsikotik, usia muda, laki-laki, retardasi mental, adanya riwayat distonia, dan penyalahgunaan alkohol. Distonia terkadang bisa disebabkan karena antiemetik dan beberapa antidepresan. Semua antipsikotik, tak terkecuali antipsikotik atipikal, dapat memicu distonia. Durasi distonia dapat diperpanjang ketika digunakan antipsikotik dalam bentuk depot (Jesic dkk., 2012).

21 21 Patogenesis distonia masih belum ditemukan, meskipun berhubungan dengan hipersensitivitas sekunder dari penghambatan reseptor D2. Ada kemungkinan untuk remisi tiba-tiba, tetapi dalam banyak kasus, distonia berlanjut hingga bertahun-tahun dan sangat melelahkan serta mendapatkan stigma buruk (Jesic dkk., 2012). Untuk mengatasi distonia dapat digunakan antikolinergik intravena atau intramuskular atau benzodiazepin sebagai terapi pilihan. Terapi profilaksis untuk distonia tidak direkomendasikan dalam penggunakan obat antipsikotik tipikal secara rutin, tetapi dapat digunakan pada antipsikotik tipikal yang mempunyai potensi tinggi (haloperidol, klorpromazin). Distonia dapat diminimalisasi dengan penggunaan antispikotik dosis rendah. Obat antipsikotik atipikal mempunyai efek yang lebih rendah dalam menimbulkan distonia (Crimson dkk., 2008). b. Akathisia Akathisia merupakan efek samping antipsikotik yang serius dan paling banyak terjadi. Akathisia dianggap sebagai gangguan gerakan yang diinduksi penghambatan reseptor dopamin oleh neuroleptik dan antiemetilk. Gangguan ini juga dapat disebabkan oleh agen serotonergik, inhibitor reuptake serotonin, dan kokain (Jesic dkk., 2012). Sindrom ini terdiri dari komponen subjektif dan objektif. Tandatanda akathisia pada pasien seperti adanya perasaan gelisah dan dorongan tak tertahankan untuk bergerak. Kegelisahan khususnya

22 22 ditandai dengan gerakan seluruh tubuh, tapi terkadang hanya terjadi pada kaki dengan bentuk mioklonus kaki. Pasien akan melakukan gerakan menyilangkan kaki, duduk tidak tenang di kursi atau tempat tidur, melompat, berdiri, dan secepatnya kembali pada posisi sebelumnya. Berdasarkan onset yang berhubungan dengan inisiasi atau penambahan antipsikotik, akathisia dapat dibagi menjadi akut, tardif, kronik, dan penarikan yang berhubungan dengan penhentian antipsikotik. Akut terjadi segera setelah inisiasi atau penambahan dosis antipsikotik dalam kurun waktu dua minggu dan tardif terjadi paling tidak tiga bulan setelah terapi, tanpa memperhatikan perubahan dalam antipsikotik. Kronik terjadi setelah lebih dari tiga bulan. Bentuk-bentuk yang telah disebutkan di atas tidak berbeda signifikan dengan akathisia akut pada gejala motorik (Jesic dkk., 2012). Prevalensi bervariasi dari 5 36,8%. Data dari CATIE menunjukkan akathisia terjadi pada 10 20% pasien yang menerima antipsikotik atipikal, sedangkan pada pasien yang menerima antipsikotik tipikal prevalensi berkisar antara 20 52%. Belum ada studi tentang akathisia terkait usia dan jenis kelamin. Terdapat hubungan antara penggunaan antipsikotik reseptor D2 dengan dosis (Jesic dkk., 2012). Saat ini, terdapat dua manajemen terapi untuk mengurangi akathisia, yaitu modifikasi regimen obat antipsikotik dan/atau penggunaan obat anti-akathisia. Terapi yang digunakan pada akathisia saat ini adalah β-

23 23 blocker, benzodiazipn, antikolinergik, dan antagonis reseptor serotonin (Crimson dkk., 2008). c. Pseudoparkinsonisme Parkinson yang diinduksi oleh antipsikotik merupakan bentuk parkinson kedua yang paling banyak diderita oleh pasien berusia lanjut selain idiopatik parkinson. Interval antara pemberian antipsikotik dan onset parkinsonisme bervariasi mulai dari hitungan hari hingga beberapa bulan. Tidak seperti penyakit parkinson, gejala biasanya bilateral dan simetrikal. Terdapat tiga gejala, yaitu bradikinesia, kekakuan otot, dan tremor. Pada pasien yang sudah menerima antipsikotik, prevalensinya adalah 15% meskipun terdapat kesulitan untuk menentukan secara tepat karena studi epidemiologi menggolongkannya sebagai bentuk parkinsonisme atau gangguan gerakan yang diinduksi obat secara umum (Thanvi dan Treadwell, 2009). Faktor risiko diantaranya adalah usia, jenis kelamin perempuan, tipe obat yang digunakan, dosis dan durasi terapi, defisit kognitif, dan onset awal gejala ekstrapiramidal (Thanvi dan Treadwell, 2009). Mekanisme patofisiologi berhubungan dengan penghambatan reseptor dopamine D2 dan serotonin 5-HT2A dan affinitas rendah dari antipsikotik tertentu ke reseptor asetilkolin (Jesic dkk., 2012). Untuk mengatasi gejala ini, dapat diberikan obat antikolinergik, seperti triheksifenidil, benztropin, difenhidramin, biperiden. Terapi

24 24 profilaksis pada gejala ini sebenarnya tidak terlalu direkomendasikan, sama seperti gejala distonia, terutama untuk obat antipsikotik golongan kedua atau atipikal. Terapi jangka panjang juga masih kontroversial, untuk pasien yang gejala parkinsonisme sudah menghilang dapat tidak digunakan antikolinergik setelah 6 minggu sampai 3 bulan (Crimson dkk., 2008). d. Diskinesia Tardif Diskinesia tardif ditunjukkan dengan adanya pergerakan choreoathetoid bagian wajah, kaki dan tangan, bagasi, dan otot pernafasan. Gerakan ditandai dengan adanya kegembiraan yang menghilang selama tidur. Beberapa pasien tidak sadar dengan adanya gerakan yang tidak disadari (Haddad dan Dursum, 2008). Gejala ini dapat dialami oleh semua pasien yang mendapat antipsikotik. Gejala ini mulai nampak setelah penggunaan antipsikotik berbulan-bulan atau bertahun-tahun. Kondisi ini dapat tetap parah ketika antipsikotik dihentikan atau bahan ireversibel (Jesic dkk., 2012). Prevalensi terjadinya diskinesia tardif sebesar 5% pada pasien dewasa yang menerima antipsikotik dan secara kumulatif 25 30% pada pasien dewasa. Kejadian cenderung lebih rendah pada penggunaan antipsikotik atipikal. Gejala ini lebih jarang dialami pada pasien yang menggunakan antipsikotik atipikal berupa klozapin. Insiden tardif diskinesia bervariasi tergantung pada tipe dan dosis antipsikotik, lama penggunaan, jenis kelamin, umur pasien, meskipun terdapat pendapat

25 25 yang mengatakan bahwa pasien akan menderita gejala ini jika diberikan antipsikotik dalam waktu yang lama. Pasien usia lanjut dan pasien wanita mempunyai faktor risika yang lebih besar. Faktor risiko juga termasuk kerusakan otak, demensia, gangguan mood, durasi terapi antipsikotik, penggunaan terapi antikolinergik antiparkinson, dan kejadian gejala ekstrapiramidal sebelumnya. Diskinesia tardif secara patofisiologi terjadi karena sensitivitas yang diinduksi oleh neuroleptik tergantung dosis pada reseptor D2 di jalur nigrostriatal (Jesic dkk., 2012). Saat terjadi diskinesia tardif, pasien dianjurkan untuk menghentikan obat antipsikotik. Namun banyak pasien yang membutuhkan antipsikotik sebagai terapi. Pada kasus tersebut, dosis antipsikotik diturunkan paling minimum atau diganti dengan antipsikotik yang mempunyai kecenderungan menimbulkan tardif diskinesia terendah, seperti clozapine atau quetiapin. Penggunaan vitamin E, asam valproat, asam lemak esensial, dan benzodiazepin juga dapat dipertimbangkan, tetapi hasilnya tidak terlalu meyakinkan (Haddad dan Dursum, 2008). e. Algoritma Terapi Gejala Ekstrapiramidal Gambar 2 menunjukkan algoritma penatalaksanaan gejala esktrapiramidal. Terapi gejala ekstrapiramidal secara profilaksis dilakukan jika sudah dilakukan penilaian terhadap kondisi pasien. Tiga hal yang perlu dilakukan sebelum memulai memutuskan untuk memberikan terapi gejala ekstrapiramidal adalah mengetahui riwayat

26 26 gejala ekstrapiramidal sebelumnya, adanya kemungkinan untuk terjadi gejala ekstrapiramidal jika dilihat dari jenis terapinya, dan adanya sisa gejala ekstrapiramidal jika sebelumnya sudah terjadi gejala ekstrapiramidal. Distonia dapat diterapi dengan pemberian antihistamin (difenhidramin) secara intramuskular atau antikolinergik (sulfa atropine) secara parenteral (intramuscular). Selain itu juga dapat diberikan diazepam injeksi. Obat antikolinergik dapat menghambat asetilkolin yang dapat memberikan perasaan tenang kepada pasien. Pada saat kejadian akut, difenhidramin dapat diberkan, meskipun antihistamin tetapi yang digunakan adalah peran antikolinergiknya. Antikolinergik yang sering digunakan adalah triheksifenidil. Triheksifenidil merupakan antagonis reseptor asetilkolin muskarinik. Dosis triheksifenidil saat awal digunakan adalah 1 mg/hari dan ditingkatkan 1 mg setiap 3 5 hari dalam periode satu bulan hingga tercapai 6 mg/hari (Cloud dan Jinnah, 2010). Strategi pertama dalam penanganan parkinsonisme yang diinduksi antipsikotik adalah penurunan dosis antipsikotik yang digunakan. Namun banyak didapati pasien yang penyakitnya justru menjadi semakin parah ketika dosis antipsikotik diturunkan, sehingga penambahan obat untuk mengatasi gejala ekstrapiramidal menjadi alternatif selanjutnya. Parkinsonisme ini dapat diterapi dengan antihistamin (difenhidramin) dan antikolinergik (triheksifenidil).

27 27 Seperti pada distonia, dosis triheksifenidil pada saat awal digunakan adalah 1 mg/hari dan dapat ditingkatkan hingga 6 mg/hari. Akathisia merupakan gejala ekstrapiramidal yang sulit diterapi. Sebagaimana parkinsonisme, strategi pertama adalah penurunan dosis antipsikotik, tetapi cara ini bukanlah yang paling efektif. Strategi berikutnya adalah penambahan obat untuk mengurangi akatisia, dengan cara pemberian β-blocker merupakan yang paling efektif. Propranolol dosis mg/hari dalam dosis terbagi merupakan terapi yang direkomendasikan. Strategi selanjutnya jika tidak berhasil adalah dengan golongan benzodiazepine, tetapi perlu diperhatikan pada adanya penyalahgunaan dari obat ini. Alternatif terakhir adalah dengan mengganti antipsikotik. Aspek utama pada pengendalian diskinesia tardif adalah penghentian atau penggantian antipsikotik, tetapi dengan penurunan dosis terlebih dahulu. Antipsikotik diganti dengan atipikal generasi baru seperti quetiapin dan klozapin. Namun obat-obat tersebut tidak bagus jika digunakan untuk pengobatan tardif diskinesia jangka panjang. Kemungkinan besar antipsikotik atipikal dapat menghambat reseptor D2 dan menyebabkan tardif diskinesia (Waln dan Jankovic, 2013). Evaluasi perlu dilakukan pada pengobatan gejala ekstrapiramidal. Evaluasi dilakukan dua minggu setelah penggunaan pada terapi profilaktik. Obat dapat diturunkan dosisnya jika sudah tidak tampak adanya gejala ekstrapiramidal.

28 28 1. Anamnesis : riwayat penggunaan antipsikotik, dosis, dan lamanya 2. Riwayat kondisi medis umum 3. Pemeriksaan fisik dan gejala sindrom ekstrapiramidal (instrumen Skala Penilaian Gejala Ekstrapiramidal/SPGE) 4. Pemeriksaan Penunjang : Lab, dll Pemberian anti EPS atau THP profilaktik Riwayat EPS sebelumnya Predisposisi terjadinya EPS Gejala sisa EPS Terjadi EPS Antipsikotik saja Distonia Parkinsonisme Akatisia Diskinesia Tardif Difenhdramin 2 ml im atau Inj benzodiazepin (diazepam 10 mg im) atau sulfas atropine 1-2 ml ampul im Triheksifeni dil 1-3 x 2 mg/hari Turunkan dosis antipsikotik Difenhidra min mg/hari atau THP 1-3 x 2mg/hari Ganti antipsikotik Turunkan dosis antipsikotik Beta bloker : propranolol 3x10-40 mg/hari per oral atau klonidin 3x0,1 mg/hari/oral Diazepam inj/ lorazepam oral Ganti antipsikotropika. Diskinesia tardif ringan Olanzapine/quetiia pin Diskenisa tardif berat klozapin Ganti antipsikotik 1. Lanjutkan pengobatan gejala EPS 2. Turunkan/stop gejala EPS jika selama 14 hari tidak ada gejala 1. Pengobatan EPS 2. Observasi 3 bulan EPS muncul kembali Tidak ada EPS Antipsikotik saja Gambar 2. Algoritma Penatalaksanaan Gejala Ekstrapiramidal (EPS) di Poliklinik Jiwa Dewasa RSCM (RSCM, 2007)

29 29 5. Triheksifenidil a. Struktur molekul Gambar 3. Struktur Molekul Triheksifenidil b. Mekanisme aksi Mekanisme aksi triheksifenidil dalam mengatasi masalah ekstrapiramidal adalah dengan pengeblokan aktivitas intrakolinergik striatal, yang mana relatif meningkat daripada aktivitas dopaminergik nigrostriatal yang menurun karena pengeblokan oleh antipsikotik. Pengeblokan aktivitas kolinergik mengubah kembali ke keadaan semula. c. Efek samping Efek samping triheksifenidil dibagi menjadi dua, yaitu perifer dan pusat. Efek samping perifer terjadi karena adanya pengeblokan pada parasimpatetik muskarinik. Antikolinergik mengurangi produksi saliva, keringat, dan sekresi bronkial. Selain itu, antikolinergik juga berpengaruh pada mata dan jantung. Dilatasi pada pupil dapat menyebabkan fotofobia dan pandangan kabur. Pada jantung dapat menyebabkan kenaikan denyut jantung. Pada pusat, gangguan ingatan merupakan efek samping yang paling sering dijumpai karena ingatan sangat tergantung dari aktivitas kolinergik.

30 30 d. Interaksi obat Efek antikolinergik akan meningkat, termasuk efek sampingnya jika digunakan bersama dengan amantadine. e. Penggunaan klinik Triheksifenidil telah disetujui oleh Food and Drug Administration (FDA) untuk pengobatan segala bentuk parkinsonisme. Dosis untuk parkinsonisme biasanya adalah 5 30 mg. Dosis yang lebih tinggi (sampai 75 mg/hari) digunakan untuk mengatasi distonia (Schartzberg dkk., 2009). F. Keterangan Empiris Penggunaan triheksifenidil pada pasien skizofrenia mampu mengatasi permasalahan efek samping berupa gejala ekstrapiramidal. Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui pola pengobatan triheksifenidil pada pasien skizofrenia di Instalasi Rawat Inap Rumah Ssakit Jiwa Grhasia Yogyakarta.

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. yang harus diberi perhatian. Skizofrenia merupakan sindrom heterogen

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. yang harus diberi perhatian. Skizofrenia merupakan sindrom heterogen BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Skizofrenia merupakan penyakit otak yang presisten dan serius yang harus diberi perhatian. Skizofrenia merupakan sindrom heterogen kronis yang ditandai dengan

Lebih terperinci

Skizofrenia. 1. Apa itu Skizofrenia? 2. Siapa yang lebih rentan terhadap Skizofrenia?

Skizofrenia. 1. Apa itu Skizofrenia? 2. Siapa yang lebih rentan terhadap Skizofrenia? Skizofrenia Skizofrenia merupakan salah satu penyakit otak dan tergolong ke dalam jenis gangguan mental yang serius. Sekitar 1% dari populasi dunia menderita penyakit ini. Pasien biasanya menunjukkan gejala

Lebih terperinci

1. Dokter Umum 2. Perawat KETERKAITAN : PERALATAN PERLENGKAPAN : 1. SOP anamnesa pasien. Petugas Medis/ paramedis di BP

1. Dokter Umum 2. Perawat KETERKAITAN : PERALATAN PERLENGKAPAN : 1. SOP anamnesa pasien. Petugas Medis/ paramedis di BP NOMOR SOP : TANGGAL : PEMBUATAN TANGGAL REVISI : REVISI YANG KE : TANGGAL EFEKTIF : Dinas Kesehatan Puskesmas Tanah Tinggi Kota Binjai PUSKESMAS TANAH TINGGI DISAHKAN OLEH : KEPALA PUSKESMAS TANAH TINGGI

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Di Indonesia, masalah kesehatan jiwa banyak terjadi dengan berbagai variasi dan gejala yang berbeda-beda. Seseorang dikatakan dalam kondisi jiwa yang sehat,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Prevalensi penderita skizofrenia sekitar 1% dari populasi orang dewasa di Amerika Serikat, dengan jumlah keseluruhan lebih dari 2 juta orang (Nevid et al.,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. bahwa gangguan jiwa merupakan penyakit yang sulit disembuhkan, memalukan,

BAB I PENDAHULUAN. bahwa gangguan jiwa merupakan penyakit yang sulit disembuhkan, memalukan, BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Gangguan jiwa merupakan salah satu masalah kesehatan masyarakat di Indonesia. Gangguan jiwa dapat menyerang semua usia. Sifat serangan penyakit biasanya akut tetapi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. perkembangan fisik, intelektual dan emosional yang optimal dari seseorang. Ciriciri

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. perkembangan fisik, intelektual dan emosional yang optimal dari seseorang. Ciriciri BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kesehatan jiwa merupakan suatu kondisi yang berpengaruh terhadap perkembangan fisik, intelektual dan emosional yang optimal dari seseorang. Ciriciri individu yang normal

Lebih terperinci

BAB 1. PENDAHULUAN. Skizofrenia merupakan suatu gangguan yang menyebabkan penderitaan dan

BAB 1. PENDAHULUAN. Skizofrenia merupakan suatu gangguan yang menyebabkan penderitaan dan BAB 1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Skizofrenia merupakan suatu gangguan yang menyebabkan penderitaan dan ketidakmampuan bagi pasien dan secara signifikan menimbulkan beban yang berat bagi dirinya sendiri,

Lebih terperinci

BAB 1. PENDAHULUAN. Menurut Asosiasi Psikiatri Amerika dalam Diagnostic and Statistical Manual

BAB 1. PENDAHULUAN. Menurut Asosiasi Psikiatri Amerika dalam Diagnostic and Statistical Manual BAB 1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Menurut Asosiasi Psikiatri Amerika dalam Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorder, Fourth Edition, Text Revision (DSM-IV-TR) agitasi didefinisikan sebagai

Lebih terperinci

BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 SKIZOFRENIA Skizofrenia adalah suatu gangguan psikotik dengan penyebab yang belum diketahui yang dikarakteristikkan dengan gangguan dalam pikiran, mood dan perilaku. 10 Skizofrenia

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Depresi 1. Definisi Depresi Depresi merupakan perasaan hilangnya energi dan minat serta timbulnya keinginan untuk mengakhiri hidup. Depresi biasanya disertai perubahan tingkat

Lebih terperinci

Mampu mengenal dan mengetahui tanda, gejala dan pemeriksaan status mental yang menunjang dalam mendiagnosa pasien dengan gangguan skizofrenia.

Mampu mengenal dan mengetahui tanda, gejala dan pemeriksaan status mental yang menunjang dalam mendiagnosa pasien dengan gangguan skizofrenia. Judul: Skizofrenia Prof. Jayalangkara tanra, (neuropsikiatri) Alokasi waktu: 3 x 50 menit Tujuan Instruksional Umum (TIU): Mampu melakukan diagnosa dan penatalaksanaan secara mandiri dan tuntas pada gangguan

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Skizofrenia 2.1.1. Definisi Skizofrenia secara etimologi berasal dari kata dalam bahasa Yunani yaitu schizo yang berarti terpotong atau terpecah dan phren yang berarti pikiran,

Lebih terperinci

BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA. Agitasi adalah gejala perilaku yang bermanifestasi dalam penyakit-penyakit

BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA. Agitasi adalah gejala perilaku yang bermanifestasi dalam penyakit-penyakit BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Agitasi Agitasi adalah gejala perilaku yang bermanifestasi dalam penyakit-penyakit psikiatrik yang luas. Agitasi sangatlah sering dijumpai di dalam pelayanan gawat darurat

Lebih terperinci

GANGGUAN SKIZOAFEKTIF FIHRIN PUTRA AGUNG

GANGGUAN SKIZOAFEKTIF FIHRIN PUTRA AGUNG GANGGUAN SKIZOAFEKTIF FIHRIN PUTRA AGUNG - 121001419 LATAR BELAKANG Skizoafektif Rancu, adanya gabungan gejala antara Skizofrenia dan gangguan afektif National Comorbidity Study 66 orang Skizofrenia didapati

Lebih terperinci

BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA. Skizofrenia adalah suatu penyakit psikiatrik yang bersifat kronis dan

BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA. Skizofrenia adalah suatu penyakit psikiatrik yang bersifat kronis dan BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Skizofrenia Skizofrenia adalah suatu penyakit psikiatrik yang bersifat kronis dan menimbulkan ketidakmampuan, dengan prevalensi seluruh dunia kira-kira 1% dan perkiraan insiden

Lebih terperinci

BIPOLAR. Dr. Tri Rini BS, Sp.KJ

BIPOLAR. Dr. Tri Rini BS, Sp.KJ BIPOLAR Dr. Tri Rini BS, Sp.KJ Definisi Gangguan bipolar (GB) merupakan gangguan jiwa yang bersifat episodik dan ditandai oleh gejala-gejala manik, hipomanik, depresi, dan campuran, biasanya rekuren serta

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. serta adanya gangguan fungsi psikososial (Sukandar dkk., 2013). Skizofrenia

BAB I PENDAHULUAN. serta adanya gangguan fungsi psikososial (Sukandar dkk., 2013). Skizofrenia BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Skizofrenia merupakan sindrom heterogen kronis yang ditandai dengan pola pikir yang tidak teratur, delusi, halusinasi, perubahan perilaku yang tidak tepat serta

Lebih terperinci

BAB II. TINJAUAN PUSTAKA. Kedaruratan psikiatri adalah sub bagian dari psikiatri yang. mengalami gangguan alam pikiran, perasaan, atau perilaku yang

BAB II. TINJAUAN PUSTAKA. Kedaruratan psikiatri adalah sub bagian dari psikiatri yang. mengalami gangguan alam pikiran, perasaan, atau perilaku yang BAB II. TINJAUAN PUSTAKA II.1. Kedaruratan Psikiatri Kedaruratan psikiatri adalah sub bagian dari psikiatri yang mengalami gangguan alam pikiran, perasaan, atau perilaku yang membutuhkan intervensi terapeutik

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. pengamatan terhadap suatu objek tertentu (Wahid, dkk, 2006).

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. pengamatan terhadap suatu objek tertentu (Wahid, dkk, 2006). 7 BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pengetahuan (Knowledge) 2.1.1 Pengertian Pengetahuan Pengetahuan adalah hasil dari mengingat suatu hal. Dengan kata lain, pengetahuan dapat diartikan sebagai mengingat suatu

Lebih terperinci

BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA. dengan karakteristik berupa gangguan pikiran (asosiasi longgar, waham),

BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA. dengan karakteristik berupa gangguan pikiran (asosiasi longgar, waham), BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA Skizofrenia adalah suatu kumpulan gangguan kepribadian yang terbelah dengan karakteristik berupa gangguan pikiran (asosiasi longgar, waham), gangguan persepsi (halusinasi), gangguan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. berpikir abstrak) serta kesulitan melakukan aktivitas sehari-hari (Keliat

BAB I PENDAHULUAN. berpikir abstrak) serta kesulitan melakukan aktivitas sehari-hari (Keliat BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Definisi skizofrenia adalah gangguan jiwa berat yang ditandai dengan penurunan atau ketidakmampuan berkomunikasi, gangguan realitas (halusinasi atau waham),

Lebih terperinci

EPIDEMIOLOGI MANIFESTASI KLINIS

EPIDEMIOLOGI MANIFESTASI KLINIS DEFINISI Gangguan Bipolar dikenal juga dengan gangguan manik depresi, yaitu gangguan pada fungsi otak yang menyebabkan perubahan yang tidak biasa pada suasana perasaan, dan proses berfikir. Disebut Bipolar

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Gangguan jiwa merupakan salah satu masalah kesehatan yang sering kali luput dari perhatian. Orang sengaja menghindari dan tidak mencari bantuan bagi keluarganya yang

Lebih terperinci

Gangguan Afektif Bipolar episode Manik dengan Gejala Psikotik Muhammad Hazim Afif b Amirudin

Gangguan Afektif Bipolar episode Manik dengan Gejala Psikotik Muhammad Hazim Afif b Amirudin Gangguan Afektif Bipolar episode Manik dengan Gejala Psikotik Muhammad Hazim Afif b Amirudin Pendahuluan Definisi Gangguan bipolar (GB) merupakan gangguan jiwa yang bersifat episodik dan ditandai oleh

Lebih terperinci

Sindrom ekstrapiramidal (EPS)

Sindrom ekstrapiramidal (EPS) Sindrom ekstrapiramidal (EPS) SINDROM EXTRAPIRAMIDAL (EPS) 1. PENDAHULUAN Sistem ekstrapiramidal merupakan jaringan saraf yang terdapat pada otak bagian sistem motorik yang mempengaruhi koordinasi dari

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Definisi Definisi gagap yang disetujui belum ada. Menurut World Health Organization (WHO) definisi gagap adalah gangguan ritme bicara dimana seseorang tahu apa yang mau dibicarakan,

Lebih terperinci

BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA. gejala klinik yang manifestasinya bisa berbeda beda pada masing

BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA. gejala klinik yang manifestasinya bisa berbeda beda pada masing BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Gangguan Depresif Mayor Depresi merupakan suatu sindrom yang ditandai dengan sejumlah gejala klinik yang manifestasinya bisa berbeda beda pada masing masing individu. Diagnostic

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Skizofrenia adalah istilah yang digunakan untuk menggambarkan suatu

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Skizofrenia adalah istilah yang digunakan untuk menggambarkan suatu BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Konsep Skizofrenia 2.1.1 Defenisi Skizofrenia adalah istilah yang digunakan untuk menggambarkan suatu gangguan psikiatrik mayor yang ditandai dengan adanya perubahan pada persepsi,

Lebih terperinci

b. Tujuan farmakoekonomi...27 c. Aplikasi farmakoekonomi...28 d. Metode farmakoekonomi Pengobatan Rasional...32

b. Tujuan farmakoekonomi...27 c. Aplikasi farmakoekonomi...28 d. Metode farmakoekonomi Pengobatan Rasional...32 DAFTAR ISI KATA PENGANTAR... vi DAFTAR ISI... viii DAFTAR GAMBAR... x DAFTAR TABEL...,... xi DAFTAR LAMPIRAN... xiii INTISARI... xiv ABSTRACT... xv BAB I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah...1 B. Perumusan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Gejala negatif skizofrenia merupakan dimensi psikopatologi penting yang mencerminkan tidak adanya atau berkurangnya perilaku dan fungsi normal, termasuk kekurangan

Lebih terperinci

BAB 1. PENDAHULUAN. Skizofrenia merupakan suatu gangguan jiwa berat yang perjalanan

BAB 1. PENDAHULUAN. Skizofrenia merupakan suatu gangguan jiwa berat yang perjalanan BAB 1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Skizofrenia merupakan suatu gangguan jiwa berat yang perjalanan penyakitnya berlangsung kronis 1, umumnya ditandai oleh distorsi pikiran dan persepsi yang mendasar

Lebih terperinci

BAB I. Pendahuluan. 1.1 Latar belakang

BAB I. Pendahuluan. 1.1 Latar belakang 1 BAB I Pendahuluan 1.1 Latar belakang Penderita gangguan jiwa dari tahun ke tahun semakin bertambah. Sedikitnya 20% penduduk dewasa Indonesia saat ini menderita gangguan jiwa,, dengan 4 jenis penyakit

Lebih terperinci

BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA. Skizofrenia merupakan gangguan mental psikotik yang etiologinya belum diketahui yang

BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA. Skizofrenia merupakan gangguan mental psikotik yang etiologinya belum diketahui yang BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Skizofrenia Skizofrenia merupakan gangguan mental psikotik yang etiologinya belum diketahui yang dikarakteristikkan dengan gangguan dalam proses pikir, mood, dan perilaku.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG. usia yang muda dan tingkat fungsi premorbid yang tinggi (Kaplan dkk., 1997).

BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG. usia yang muda dan tingkat fungsi premorbid yang tinggi (Kaplan dkk., 1997). BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Skizofrenia merupakan gangguan jiwa yang dalam kebanyakan kasus bersifat sangat serius, berkelanjutan dan dapat mengakibatkan kendala sosial, emosional, dan kognitif

Lebih terperinci

GAMBARAN POLA ASUH KELUARGA PADA PASIEN SKIZOFRENIA PARANOID (STUDI RETROSPEKTIF) DI RSJD SURAKARTA

GAMBARAN POLA ASUH KELUARGA PADA PASIEN SKIZOFRENIA PARANOID (STUDI RETROSPEKTIF) DI RSJD SURAKARTA GAMBARAN POLA ASUH KELUARGA PADA PASIEN SKIZOFRENIA PARANOID (STUDI RETROSPEKTIF) DI RSJD SURAKARTA SKRIPSI Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Persyaratan Mencapai Derajat Sarjana S-1 Keperawatan Disusun

Lebih terperinci

dr Dyah Ayu Shinta Lesmanawati NIP

dr Dyah Ayu Shinta Lesmanawati NIP ANALISIS EFEKTIVITAS BIAYA PENGGUNAAN TERAPI ANTIPSIKOTIK PADA PASIEN SKIZOFRENIA DI INSTALASI RAWAT INAP RUMAH SAKIT JIWA GRHASIA YOGAYKARTA dr Dyah Ayu Shinta Lesmanawati NIP.198709232014022001 HASIL

Lebih terperinci

PERAN DUKUNGAN KELUARGA PADA PENANGANAN PENDERITA SKIZOFRENIA

PERAN DUKUNGAN KELUARGA PADA PENANGANAN PENDERITA SKIZOFRENIA PERAN DUKUNGAN KELUARGA PADA PENANGANAN PENDERITA SKIZOFRENIA SKRIPSI Untuk memenuhi sebagian persyaratan dalam mencapai derajat Sarjana S-1 Diajukan Oleh : ESTI PERDANA PUSPITASARI F 100 050 253 FAKULTAS

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 1 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Kecemasan 2.1.1 Definisi Kecemasan adalah sinyal peringatan; memperingatkan akan adanya bahaya yang akan terjadi dan memungkinkan seseorang mengambil tindakan untuk mengatasi

Lebih terperinci

BAB 1. PENDAHULUAN. Agitasi adalah gejala perilaku yang bermanifestasi dalam penyakit-penyakit psikiatrik yang luas.

BAB 1. PENDAHULUAN. Agitasi adalah gejala perilaku yang bermanifestasi dalam penyakit-penyakit psikiatrik yang luas. BAB 1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Agitasi adalah gejala perilaku yang bermanifestasi dalam penyakit-penyakit psikiatrik yang luas. Agitasi sering dijumpai di pelayanan gawat darurat psikiatri sebagai

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. yang aneh dan tidak beraturan, angan-angan, halusinasi, emosi yang tidak tepat,

I. PENDAHULUAN. yang aneh dan tidak beraturan, angan-angan, halusinasi, emosi yang tidak tepat, I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Skizofrenia merupakan sindrom kronik yang beranekaragam dari pemikiran yang aneh dan tidak beraturan, angan-angan, halusinasi, emosi yang tidak tepat, paham yang

Lebih terperinci

Penatalaksanaan Gangguan Jiwa Psikotik di Puskesmas

Penatalaksanaan Gangguan Jiwa Psikotik di Puskesmas Penatalaksanaan Gangguan Jiwa Psikotik di Puskesmas Benediktus Elie Lie, dr, SpKJ Kabupaten Banyuwangi, 10-12 Juli 2017 Psikotik Psikotik adalah gangguan jiwa berat yang ditandai oleh adanya: Halusinasi

Lebih terperinci

REFERAT Gangguan Afektif Bipolar

REFERAT Gangguan Afektif Bipolar REFERAT Gangguan Afektif Bipolar Retno Suci Fadhillah,S.Ked Pembimbing : dr.rusdi Efendi,Sp.KJ kepaniteraanklinik_fkkumj_psikiatribungar AMPAI Definisi gangguan pada fungsi otak yang Gangguan ini tersifat

Lebih terperinci

BAB 1. PENDAHULUAN. Nyeri kepala mungkin merupakan bagian terbesar dari penderitaan manusia,

BAB 1. PENDAHULUAN. Nyeri kepala mungkin merupakan bagian terbesar dari penderitaan manusia, BAB 1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Nyeri kepala mungkin merupakan bagian terbesar dari penderitaan manusia, Diperkirakan sekitar 90% manusia pernah mengalami minimal satu kali nyeri kepala berat yang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Skizofrenia adalah suatu penyakit yang mempengaruhi otak dan menyebabkan timbulnya pikiran, persepsi, emosi, gerakan dan perilaku yang aneh dan terganggu. Penyakit ini

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Skizofrenia merupakan suatu penyakit yang mempengaruhi otak dan menyebabkan timbulnya gangguan pikiran, persepsi, emosi, gerakan dan perilaku yang aneh. Penyakit ini

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Pengertian Halusinasi adalah gangguan terganggunya persepsi sensori seseorang,dimana tidak terdapat stimulus. Pasien merasakan stimulus yang sebetulnya tidak ada. Pasien merasa

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Gejala negatif merupakan suatu gambaran defisit dari pikiran, perasaan atau perilaku normal yang berkurang akibat adanya gangguan otak dan gangguan mental (Kring et

Lebih terperinci

GANGGUAN PSIKOTIK I. PENDAHULUAN

GANGGUAN PSIKOTIK I. PENDAHULUAN GANGGUAN PSIKOTIK I. PENDAHULUAN Penderita gangguan psikotik sering mendapat stigma dan diskriminasi yang lebih besar dari masyarakat di sekitarnya dibandingkan individu yang menderita penyakit medis lainnya.

Lebih terperinci

Farmakoterapi Obat Gangguan Mental

Farmakoterapi Obat Gangguan Mental Farmakoterapi Obat Gangguan Mental Alfi Yasmina Psikotropika Antipsikotik/neuroleptik/major tranquilizer Antiansietas/ansiolitik/minor tranquilizer Antidepresi Psikostimulan 1 Psikosis Ditandai: Gangguan

Lebih terperinci

BAB 1 PSIKIATRI KLINIK

BAB 1 PSIKIATRI KLINIK Panduan Belajar Ilmu Kedokteran Jiwa - 2009 BAB 1 PSIKIATRI KLINIK A. Pertanyaan untuk persiapan dokter muda 1. Seorang pasien sering mengeluh tidak bisa tidur, sehingga pada pagi hari mengantuk tetapi

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. kecacatan, atau kerugian (Prabowo, 2014). Menurut Videbeck (2008), ada

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. kecacatan, atau kerugian (Prabowo, 2014). Menurut Videbeck (2008), ada BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Gangguan Jiwa 1. Definisi Gangguan Jiwa Gangguan jiwa dalam (DSM- IV) adalah konsep sindrom perilaku atau psikologis klinis yang signifikan atau pola yang terjadi pada individu

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Kesehatan merupakan harta yang paling penting dalam kehidupan manusia. Kesehatan merupakan hak bagi setiap warga negara seperti yang telah diatur oleh undang-undang.

Lebih terperinci

A. Pemeriksaan penunjang. - Darah lengkap

A. Pemeriksaan penunjang. - Darah lengkap A. Pemeriksaan penunjang - Darah lengkap Darah lengkap dengan diferensiasi digunakan untuk mengetahui anemia sebagai penyebab depresi. Penatalaksanaan, terutama dengan antikonvulsan, dapat mensupresi sumsum

Lebih terperinci

HEMODIALISIS PADA PASIEN GANGGUAN JIWA SKIZOFRENIA. By Ns. Ni Luh Gede Suwartini,S.Kep

HEMODIALISIS PADA PASIEN GANGGUAN JIWA SKIZOFRENIA. By Ns. Ni Luh Gede Suwartini,S.Kep HEMODIALISIS PADA PASIEN GANGGUAN JIWA SKIZOFRENIA By Ns. Ni Luh Gede Suwartini,S.Kep Latar belakang Pasien dengan penyakit ginjal kronik akan mempengaruhi psikologis individu, salah satu kondisi pasien

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Masalah kesehatan jiwa dan psikososial menurut The World Health Report tahun 2001 dialami kira-kira 25% dari seluruh penduduk pada suatu masa dari hidupnya.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. negara seperti yang telah diatur oleh undang-undang. Definisi

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. negara seperti yang telah diatur oleh undang-undang. Definisi BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kesehatan merupakan harta yang paling penting dalam kehidupan manusia. Kesehatan merupakan hak bagi setiap warga negara seperti yang telah diatur oleh undang-undang.

Lebih terperinci

Gangguan Bipolar. Febrilla Dejaneira Adi Nugraha. Pembimbing : dr. Frilya Rachma Putri, Sp.KJ

Gangguan Bipolar. Febrilla Dejaneira Adi Nugraha. Pembimbing : dr. Frilya Rachma Putri, Sp.KJ Gangguan Bipolar Febrilla Dejaneira Adi Nugraha Pembimbing : dr. Frilya Rachma Putri, Sp.KJ Epidemiologi Gangguan Bipolar I Mulai dikenali masa remaja atau dewasa muda Ditandai oleh satu atau lebih episode

Lebih terperinci

Farmakoterapi Obat Gangguan Mental. Alfi Yasmina

Farmakoterapi Obat Gangguan Mental. Alfi Yasmina Farmakoterapi Obat Gangguan Mental Alfi Yasmina Psikotropika Antipsikotik/neuroleptik/major tranquilizer Antiansietas/ansiolitik/minor tranquilizer Antidepresi Psikostimulan Psikosis Ditandai: Gangguan

Lebih terperinci

BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA. Skizofrenia merupakan sindroma klinis yang berubah-ubah dan sangat

BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA. Skizofrenia merupakan sindroma klinis yang berubah-ubah dan sangat BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Skizofrenia Skizofrenia merupakan sindroma klinis yang berubah-ubah dan sangat mengganggu. Psikopatologinya melibatkan kognisi, emosi, persepsi dan aspek lain dari perilaku.

Lebih terperinci

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN Januari Dengan menggunakan desain cross sectional didapatkan

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN Januari Dengan menggunakan desain cross sectional didapatkan BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Hasil Penelitian Sampel dalam penelitian ini adalah pasien skizofrenia fase akut di RSJ Grhasia. Data diambil dari catatan rekam medis pasien pada bulan November

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Hipertensi merupakan penyulit medis yang sering ditemukan pada kehamilan yang dapat meningkatkan morbiditas dan mortalitas baik ibu maupun perinatal. Hipertensi dalam

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kesehatan merupakan aspek yang sangat penting bagi kesehatan manusia. Dalam Undang-undang no 23 tahun 1992 dijelaskan bahwa kesehatan adalah keadaan sejahtera badan,

Lebih terperinci

BAB II KONSEP DASAR. serta mengevaluasinya secara akurat (Nasution, 2003). dasarnya mungkin organic, fungsional, psikotik ataupun histerik.

BAB II KONSEP DASAR. serta mengevaluasinya secara akurat (Nasution, 2003). dasarnya mungkin organic, fungsional, psikotik ataupun histerik. BAB II KONSEP DASAR A. Pengertian Persepsi ialah daya mengenal barang, kwalitas atau hubungan serta perbedaan antara suatu hal melalui proses mangamati, mengetahui dan mengartikan setelah panca indranya

Lebih terperinci

BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA. Sakit perut berulang menurut kriteria Apley adalah sindroma sakit perut

BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA. Sakit perut berulang menurut kriteria Apley adalah sindroma sakit perut BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1.Sakit Perut Berulang Sakit perut berulang menurut kriteria Apley adalah sindroma sakit perut berulang pada remaja terjadi paling sedikit tiga kali dengan jarak paling sedikit

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. mengakibatkan perilaku psikotik, pemikiran konkret, dan kesulitan dalam

BAB I PENDAHULUAN. mengakibatkan perilaku psikotik, pemikiran konkret, dan kesulitan dalam BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG Skizofrenia merupakan suatu penyakit otak persisten dan serius yang mengakibatkan perilaku psikotik, pemikiran konkret, dan kesulitan dalam memproses informasi, hubungan

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN KERANGKA PEMIKIRAN

BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN KERANGKA PEMIKIRAN BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN KERANGKA PEMIKIRAN 2.1 Kajian pustaka 2.1.1 Kehamilan 2.1.1.1 Definisi Kehamilan adalah suatu keadaan mengandung embrio atau fetus di dalam tubuh, setelah bertemunya sel telur

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. retak atau pecah (split), dan phren yang artinya pikiran, yang selalu

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. retak atau pecah (split), dan phren yang artinya pikiran, yang selalu BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Dasar Teori 1. Skizofrenia a. Definisi Skizofrenia Skizofrenia berasal dari bahasa Yunani yaitu Schizein yang artinya retak atau pecah (split), dan phren yang artinya pikiran,

Lebih terperinci

BAB II KONSEP DASAR A. PENGERTIAN. Halusinasi adalah suatu persepsi yang salah tanpa dijumpai adanya

BAB II KONSEP DASAR A. PENGERTIAN. Halusinasi adalah suatu persepsi yang salah tanpa dijumpai adanya BAB II KONSEP DASAR A. PENGERTIAN Halusinasi adalah suatu persepsi yang salah tanpa dijumpai adanya rangsang dari luar. Walaupun tampak sebagai sesuatu yang khayal, halusinasi sebenarnya merupakan bagian

Lebih terperinci

BIPOLAR. oleh: Ahmad rhean aminah dianti Erick Nuranysha Haviz. Preseptor : dr. Dian Budianti amina Sp.KJ

BIPOLAR. oleh: Ahmad rhean aminah dianti Erick Nuranysha Haviz. Preseptor : dr. Dian Budianti amina Sp.KJ BIPOLAR oleh: Ahmad rhean aminah dianti Erick Nuranysha Haviz Preseptor : dr. Dian Budianti amina Sp.KJ Definisi Bipolar Gangguan bipolar (GB) merupakan gangguan jiwa yang bersifat episodik dan ditandai

Lebih terperinci

GANGGUAN PSIKOTIK TERBAGI. Pembimbing: Dr. M. Surya Husada Sp.KJ. disusun oleh: Ade Kurniadi ( )

GANGGUAN PSIKOTIK TERBAGI. Pembimbing: Dr. M. Surya Husada Sp.KJ. disusun oleh: Ade Kurniadi ( ) GANGGUAN PSIKOTIK TERBAGI Pembimbing: Dr. M. Surya Husada Sp.KJ disusun oleh: Ade Kurniadi (080100150) DEPARTEMEN ILMU KEDOKTERAN JIWA FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA RUMAH SAKIT JIWA PROVINSI

Lebih terperinci

BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA. penutupan rumah sakit jiwa dan cepatnya pengeluaran pasien tanpa

BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA. penutupan rumah sakit jiwa dan cepatnya pengeluaran pasien tanpa BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Pengasuh Skizofrenia Selama 50 tahun terakhir, munculnya perawatan berbasis komunitas, penutupan rumah sakit jiwa dan cepatnya pengeluaran pasien tanpa dukungan yang memadai

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Gangguan jiwa merupakan manifestasi klinis dari bentuk penyimpangan perilaku akibat adanya distrosi emosi sehingga ditemukan ketidakwajaran dalam bertingkah laku.

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Di Asia saat ini terjadi perkembangan ekonomi secara cepat, kemajuan industri, urbanisasi dan perubahan gaya hidup seperti peningkatan konsumsi kalori, lemak, garam;

Lebih terperinci

Modul ke: Pedologi. Skizofrenia. Fakultas PSIKOLOGI. Maria Ulfah, M.Psi., Psikolog. Program Studi Psikologi.

Modul ke: Pedologi. Skizofrenia. Fakultas PSIKOLOGI. Maria Ulfah, M.Psi., Psikolog. Program Studi Psikologi. Modul ke: Pedologi Skizofrenia Fakultas PSIKOLOGI Maria Ulfah, M.Psi., Psikolog Program Studi Psikologi www.mercubuana.ac.id SCHIZOPHRENIA Apakah Skizofrenia Itu? SCHIZOS + PHREN Gangguan jiwa dimana penderita

Lebih terperinci

A. Gangguan Bipolar Definisi Gangguan bipolar merupakan kategori diagnostik yang menggambarkan sebuah kelas dari gangguan mood, dimana seseorang

A. Gangguan Bipolar Definisi Gangguan bipolar merupakan kategori diagnostik yang menggambarkan sebuah kelas dari gangguan mood, dimana seseorang A. Gangguan Bipolar Definisi Gangguan bipolar merupakan kategori diagnostik yang menggambarkan sebuah kelas dari gangguan mood, dimana seseorang mengalami kondisi atau episode dari depresi dan/atau manik,

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. mengakibatkan perilaku psikotik, pemikiran konkret, dan kesulitan dalam

BAB 1 PENDAHULUAN. mengakibatkan perilaku psikotik, pemikiran konkret, dan kesulitan dalam BAB 1 PENDAHULUAN 1. LATAR BELAKANG Skizofrenia merupakan suatu penyakit otak persisten dan serius yang mengakibatkan perilaku psikotik, pemikiran konkret, dan kesulitan dalam memproses informasi, hubungan

Lebih terperinci

Psikoedukasi keluarga pada pasien skizofrenia

Psikoedukasi keluarga pada pasien skizofrenia Psikoedukasi keluarga pada pasien skizofrenia Posted by Lahargo Kembaren ABSTRAK Skizofrenia merupakan gangguan kronik yang sering menimbulkan relaps. Kejadian relaps yang terjadi pada pasien skizofrenia

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. perilaku berkaitan dengan gangguan fungsi akibat gangguan biologik, sosial,

BAB 1 PENDAHULUAN. perilaku berkaitan dengan gangguan fungsi akibat gangguan biologik, sosial, BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Gangguan jiwa adalah penyakit dengan manifestasi psikologik atau perilaku berkaitan dengan gangguan fungsi akibat gangguan biologik, sosial, psikologik, genetika,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. memungkinkan setiap orang untuk hidup produktif secara sosial dan ekonomis.

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. memungkinkan setiap orang untuk hidup produktif secara sosial dan ekonomis. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Kesehatan merupakan aspek yang sangat penting bagi kehidupan manusia. Undang-Undang No. 36 tahun 2009 menyebutkan bahwa kesehatan adalah keadaan sehat, baik

Lebih terperinci

Gangguan Mental Terkait Trauma. Pusat Kajian Bencana dan Tindak Kekerasan Departemen Psikiatri FKUI/RSCM

Gangguan Mental Terkait Trauma. Pusat Kajian Bencana dan Tindak Kekerasan Departemen Psikiatri FKUI/RSCM Gangguan Mental Terkait Trauma Pusat Kajian Bencana dan Tindak Kekerasan Departemen Psikiatri FKUI/RSCM Gangguan Mental setelah Trauma Trauma 2 minggu 1 bulan 2 bulan 6 bulan Reaksi stres akut Berkabung

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar belakang BAB I PENDAHULUAN A. Latar belakang Manusia adalah mahluk sosial yang terus menerus membutuhkan orang lain disekitarnya. Salah satu kebutuhannya adalah kebutuhan sosial untuk melakukan interaksi sesama

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Istilah obsesi menunjuk pada suatu idea yang mendesak ke dalam pikiran.

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Istilah obsesi menunjuk pada suatu idea yang mendesak ke dalam pikiran. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Istilah obsesi menunjuk pada suatu idea yang mendesak ke dalam pikiran. Istilah kompulsi menunjuk pada dorongan atau impuls yang tidak dapat ditahan untuk melakukan

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. mengakibatkan perilaku psikotik, pemikiran konkret, dan kesulitan dalam

BAB 1 PENDAHULUAN. mengakibatkan perilaku psikotik, pemikiran konkret, dan kesulitan dalam BAB 1 PENDAHULUAN 1. Latar Belakang Skizofrenia adalah suatu penyakit otak persisten dan serius yang mengakibatkan perilaku psikotik, pemikiran konkret, dan kesulitan dalam memproses informasi, hubungan

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. dengan gejala-gejala positif seperti pembicaraan yang kacau, delusi, halusinasi,

BAB 1 PENDAHULUAN. dengan gejala-gejala positif seperti pembicaraan yang kacau, delusi, halusinasi, BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Skizofrenia adalah gangguan mental yang sangat berat. Gangguan ini ditandai dengan gejala-gejala positif seperti pembicaraan yang kacau, delusi, halusinasi, gangguan

Lebih terperinci

PERSOALAN DEPRESI PADA REMAJA

PERSOALAN DEPRESI PADA REMAJA Artikel PERSOALAN DEPRESI PADA REMAJA Mardiya Depresi merupakan penyakit yang cukup mengganggu kehidupan. Saat ini diperkirakan ratusan juta jiwa penduduk di dunia menderita depresi. Depresi dapat terjadi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. I.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. I.1 Latar Belakang 1 BAB I PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang Gangguan jiwa merupakan bentuk gangguan dalam fungsi alam pikiran. Gangguan tersebut dapat berupa disorganisasi (kekacauan) isi pikiran, yang ditandai antara lain

Lebih terperinci

Sinonim : - gangguan mood - gangguan afektif Definisi : suatu kelompok ggn jiwa dengan gambaran utama tdptnya ggn mood yg disertai dengan sindroma man

Sinonim : - gangguan mood - gangguan afektif Definisi : suatu kelompok ggn jiwa dengan gambaran utama tdptnya ggn mood yg disertai dengan sindroma man Gangguan Suasana Perasaan Oleh : Syamsir Bs, Psikiater Departemen Psikiatri FK-USU 1 Sinonim : - gangguan mood - gangguan afektif Definisi : suatu kelompok ggn jiwa dengan gambaran utama tdptnya ggn mood

Lebih terperinci

BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA. Benedict A.Morel ( ), seorang dokter psikiatri dari Prancis

BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA. Benedict A.Morel ( ), seorang dokter psikiatri dari Prancis BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Skizofrenia Benedict A.Morel (1809-1873), seorang dokter psikiatri dari Prancis menggunakan istilah demence precoce untuk pasien yang memburuk dimana penyakitnya (gangguannya)

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Gangguan psikosis adalah gangguan kejiwaan berupa. hilang kontak dengan kenyataan yaitu penderita

BAB I PENDAHULUAN. Gangguan psikosis adalah gangguan kejiwaan berupa. hilang kontak dengan kenyataan yaitu penderita BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Masalah Gangguan psikosis adalah gangguan kejiwaan berupa hilang kontak dengan kenyataan yaitu penderita kesulitan membedakan hal nyata dengan yang tidak, umumnya

Lebih terperinci

Gangguan Suasana Perasaan. Dr. Dharmawan A. Purnama, SpKJ

Gangguan Suasana Perasaan. Dr. Dharmawan A. Purnama, SpKJ Gangguan Suasana Perasaan Dr. Dharmawan A. Purnama, SpKJ Pendahuluan Mood : suasana perasaan yang pervasif dan menetap yang dirasakan dan memperngaruhi perilaku seseorang dan persepsinya terhadap dunianya.

Lebih terperinci

BAB II TINJUAN PUSTAKA. Gejala khas dari skizofrenia melibatkan berbagai disfungsi kognitif,

BAB II TINJUAN PUSTAKA. Gejala khas dari skizofrenia melibatkan berbagai disfungsi kognitif, BAB II TINJUAN PUSTAKA 2.1. Skizofrenia Gejala khas dari skizofrenia melibatkan berbagai disfungsi kognitif, perilaku, dan emosional tetapi tidak ada gejala tunggal yang patognomonik dari gangguan. Diagnosis

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. genetik, faktor organo-biologis, faktor psikologis serta faktor sosio-kultural.

BAB I PENDAHULUAN. genetik, faktor organo-biologis, faktor psikologis serta faktor sosio-kultural. BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Gangguan jiwa merupakan proses interaksi yang kompleks antara faktor genetik, faktor organo-biologis, faktor psikologis serta faktor sosio-kultural. Telah terbukti

Lebih terperinci

IPAP PTSD Tambahan. Pilihan penatalaksanaan: dengan obat, psikososial atau kedua-duanya.

IPAP PTSD Tambahan. Pilihan penatalaksanaan: dengan obat, psikososial atau kedua-duanya. IPAP PTSD Tambahan Prinsip Umum I. Evaluasi Awal dan berkala A. PTSD merupakan gejala umum dan sering kali tidak terdiagnosis. Bukti adanya prevalensi paparan trauma yang tinggi, (termasuk kekerasan dalam

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN Latar Belakang BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Penyakit jiwa sampai saat ini memang masih dianggap sebagai penyakit yang memalukan, menjadi aib bagi si penderita dan keluarganya sendiri. Masyarakat kita menyebut

Lebih terperinci

Definisi Suatu reaksi organik akut dengan ggn utama adanya kesadaran berkabut (clouding of consciousness), yg disertai dengan ggn atensi, orientasi, m

Definisi Suatu reaksi organik akut dengan ggn utama adanya kesadaran berkabut (clouding of consciousness), yg disertai dengan ggn atensi, orientasi, m DELIRIUM Oleh : dr. H. Syamsir Bs, Sp. KJ Departemen Psikiatri FK-USU 1 Definisi Suatu reaksi organik akut dengan ggn utama adanya kesadaran berkabut (clouding of consciousness), yg disertai dengan ggn

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Definisi Remaja WHO mendefinisikan remaja (adolescent) sebagai individu berusia 10 sampai 19 tahun dan dewasa muda (youth) 15 sampai 24 tahun. Dua kelompok usia yang saling

Lebih terperinci

EATING DISORDERS. Silvia Erfan

EATING DISORDERS. Silvia Erfan EATING DISORDERS Silvia Erfan Tingkat Kemampuan 2: mendiagnosis dan merujuk Lulusan dokter mampu membuat diagnosis klinik terhadap penyakit tersebut dan menentukan rujukan yang paling tepat bagi penanganan

Lebih terperinci

Klasifikasi Gangguan Jiwa menurut PPDGJ III Demensia Delirium

Klasifikasi Gangguan Jiwa menurut PPDGJ III Demensia Delirium Klasifikasi Gangguan Jiwa menurut PPDGJ III Penggolongan diagnosis gangguan jiwa menurut PPDGJ III berdasarkan pada sistem hierarki penyakit yang tercantum paling atas mempunyai hierarki tertinggi dan

Lebih terperinci

Gambaran dan Karakteristik Penggunaan Triheksifenidil pada Pasien yang Mendapat Terapi Antipsikotik

Gambaran dan Karakteristik Penggunaan Triheksifenidil pada Pasien yang Mendapat Terapi Antipsikotik Artikel Penelitian Gambaran dan Karakteristik Penggunaan Triheksifenidil pada Pasien yang Mendapat Terapi Antipsikotik Rudy Wijono, Martina Wiwie Nasrun, Charles Evert Damping Departemen Psikiatri, Fakultas

Lebih terperinci