2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Ekosistem Terumbu Karang

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Ekosistem Terumbu Karang"

Transkripsi

1 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Ekosistem Terumbu Karang Terumbu karang merupakan suatu ekosistem di perairan dangkal laut tropis yang dibangun terutama oleh biota laut penghasil kapur. Hampir sebagian besar bentuk, struktur serta material kapur pembentuk terumbu dibentuk dan dihasilkan oleh biota karang sehingga terumbu karang sering juga didefinisikan sebagai ekosistem perairan tropis yang didominasi oleh biota karang. Menurut Veron (1995) terumbu karang dibentuk dari endapan (deposit) massif padat kalsium karbonat (CaCo 3 ) yang dihasilkan oleh biota karang dan tambahan dari alga berkapur (Calcareous algae) serta biota lain yang juga menghasilkan kalsium karbonat (CaCo 3 ). Berdasarkan definisi di atas dapat dibedakan dengan jelas antara biota karang (coral) sebagai individu suatu organisme atau komponen dari suatu komunitas, sedangkan terumbu karang (coral reef ) merupakan suatu ekosistem (Nybaken, 1988 ; Sorokin, 1993). Dalam proses pembentukan terumbu karang, biota karang batu (Scleractinia) merupakan penyusun dan pembangun terumbu (reef building corals) paling penting. Berdasarkan kepada kemampuannya memproduksi kapur maka biota karang batu dibedakan menjadi dua kelompok yaitu karang hermatipik dan karang ahermatipik. Karang hermatipik adalah karang yang dapat menghasilkan material kapur sebagai bahan dasar pembangun terumbu. Karang kelompok hermatipik sebarannya hanya ditemukan di daerah tropis sampai sub tropis. Karang ahermatipik tidak menghasilkan material kapur pembentuk terumbu dan kelompok ini tersebar luas di seluruh dunia. Perbedaan utama karang hermatipik dan karang ahermatipik adalah adanya alga simbion zooxhantella dalam jaringannya yaitu sejenis algae uniselular (Dinoflagellata uniselular), seperti Gymnodinium microadriatum (Sorokin, 1993 ; Colin dan Anerson, 1995 ; Veron, 2000) Endapan padat terumbu terdiri dari material kapur yang terjadi dalam proses jutan tahun yang dihasilkan oleh jutaan individu penghasil kapur. Laju pembentukan endapan kapur sangat dipengaruhi oleh kondisi oseanografi dan proses biologis dalam biota pembentuk terumbu. Selanjutnya Sumich (1992)

2 8 menjelaskan bahwa adanya proses fotosintesa oleh alga menyebabkan bertambahnya produksi kalsium karbonat dengan menghilangkan karbon dioksida dan merangsang reaksi kimia sebagai berikut: Ca (HCO3) CaCO3 + H2CO3 H2O + CO2 Fotosintesa oleh algae yang bersimbiose membuat karang pembentuk terumbu menghasilkan deposist cangkang yang terbuat dari kalsium karbonat, kira-kira 10 kali lebih cepat daripada karang yang tidak membentuk terumbu (ahermatipik) dan tidak bersimbiose dengan zooxanthellae. 2.2 Sebaran dan Tipe Terumbu Karang Terumbu karang merupakan ekosistem khas perairan dangkal daerah tropis dan terbatas pada daerah sub tropis. Konsekuensinya sebaran terumbu karang tidak ditemukan pada daerah lintang sedang dan tinggi dengan sebaran optimal pada 28 o Lintang Utara sampai 32 o Lintang Selatan dengan sebaran ekstrim pada >40 o Lintang Selatan (Potts dan Jacobs, 2002). Pada belahan bumi utara terumbu karang masih ditemukan sepanjang perairan Okinawa, Jepang, Florida, AS, Teluk Meksiko, Laut Karibia, Laut Merah, India-Srilangka dan pulau-pulau kecil di samudera hindia. Sedangkan pada belahan bumi selatan meliputi Perairan selatan Afrika, dan timur-selatan Australia. Sebaran pada daerah lintang sedang ini dibatasi oleh luasan dan keanekaragaman biotanya. Secara bujur sebaran terumbu karang dunia dibedakan berdasarkan wilayah perairan yaitu Indo-Pasifik, Samudera Hindia, Samudera Atlantik perairan Karibia. Sebaran ini dicirikan dengan luasan dan komposisi jenis biota yang ada (Veron, 1985, 2000 ; Suharsono, 2008). Sebaran terumbu secara vertical dibatasi pada kedalaman tertentu dengan kedalaman optimal 0-20 meter. Sebaran terumbu seperti ini lebih dibatasi oleh ketersedian substrat dan kejernihan perairan. Meskipun beberapa karang dapat dijumpai dari lautan subtropis tetapi spesies yang mem bentuk karang hanya terdapat di daerah tropis. Kehidupan karang dibatasi oleh kedalaman yang biasanya kurang dari 25 m dengan suhu rata-rata minimum dalam setahun sebesar 10 o C. Pertumbuhan maksimum terumbu karang terjadi pada kedalaman kurang

3 9 dari 10 m dan suhu sekitar 25 o C sampai 29 o C (Nybaken, 1988 ; Veron, 1985 ; Nybaken dan Bertness, 2005). Berdasarkan posisi dan letak terumbu karang terhadap daratan atau pulaupulau kecil dibedakan atas beberapa tipe sebagai berikut: Frengging Reef Frengging reef atau terumbu karang tepi ditemukan tersebar di sepanjang pesisir daratan benua atau pulau-pulau kecil. Terumbu karang tepi (fringing reef) ini berkembang di sepanjang pantai dan mencapai kedalaman tidak lebih dari 40m. Terumbu karang ini tumbuh ke atas atau ke arah laut. Pertumbuhan terbaik biasanya terdapat dibagian yang cukup arus. Sedangkan diantara pantai dan tepi luar terumbu, karang batu cenderung mempunyai pertumbuhaan yang kurang baik bahkan banyak mati karena sering mengalami kekeringan dan banyak endapan yang datang dari darat (Veron 1995 ; 2000). Terkadang ditemukan terumbu karang tepi yang mengalami modifikasi menjadi bagian-bagian yang terpisah dan mengelompok di luar garis pantai (Hubbard, 1997) Barrier Reef Terumbu karang tipe penghalang (Barrief reef ) terletak di berbagai jarak kejauhan dari pantai dan dipisahkan dari pantai tersebut oleh dasar laut yang terlalu dalam untuk pertumbuhan karang batu (40-70 m). Umumnya memanjang menyusuri dan sejajar pantai dan biasanya berputar-putar seakan akan merupakan penghalang bagi pendatang yang datang dari luar. Contohnya adalah The Greaat Barier reef yang berderet disebelah timur laut Australia dengan panjang mil (Veron, 2000) Atoll Terumbu karang cincin (atol) yang melingkari suatu goba (laggon). Kedalaman goba didalam atol sekitar 45 meter jarang sampai 100 meter seperti terumbu karang penghalang. Contohnya adalah atol di Pulau Taka Bone Rate di Sulawesi Selatan. Veron (1985 ; 2000) menjelaskan teori kejadian terumbu atol sebagai sebuah gejala geologis yang melibatkan gerakan lempeng tektonik dan aktifitas vulkanik. Hubbard (1997) merinci lebih jelas kejadian terumbu

4 10 dikombinasikan dengan peristiwa pertumbuhan terumbu yang bergerak ke atas akibat kenaikan muka air laut. Ketiga tipe di atas dapat mengalami modifikasi akibat perubahan kondisi geografis atau kejadian-kejadian tektonik. Modifikasi tersebut adalah pemisahan bagian terumbu menjadi kelompok-kelompok kecil terumbu dalam rangkaian terumbu utama atau dikenal juga dengan patch reef. Tipe terumbu lain adalah terumbu laut dalam yang sampai sekarang masih belum banyak teori yang mengungkap asal usul kejadiannya. 2.3 Persyaratan ligkungan Sebaran terumbu dengan tipe-tipe seperti di atas dibatasi oleh beberapa faktor lingkungan antara lain temperatur, cahaya (kejernihan dan kedalaman), salinitas dan nutrien perairan. Pott dan Jacobs (2002) (dari Vaunghan dan Wells, 1943 ; Wells, 1956 ; Newell, 1971 ; Fagerstrom, 1987 ; Veron, 1995 ; Hallock, 1997, dan Wood, 1999) menerangkan kondisi lingkungan optimal dan ekstrim terumbu karang seperti pada table berikut ini: Tabel 1. Kondisi lingkungan optimal bagi terumbu dan biota karang pembentuk terumbu KONDISI LINGKUNGAN OPTIMAL EKSTRIM Kedalaman (meter) Kedalaman maksimum perkiraan 100 <15 Temperatur ( o C) >18 - <32 <10 dan >40 Lintang 28 o LU - 32 o LS >40 o LS Salinitas ( o / oo ) Perkiraan <25 dan >40 Nutrien Sangat rendah Tinggi Sangat Tinggi Sedimen Rendah Tinggi Turbiditi Rendah Tinggi Cahaya Tinggi Rendah Oksigen Tinggi Selalu rendah Stabilitas habitat Tinggi Rendah Arus cukup Tidak ada gerakan Umumnya terumbu karang berkembang baik pada perairan dangkal pesisir dan laut tropis dimana penetrasi cahaya matahari masih sampai ke dasar perairan. Veron (1995) dan Wallace (1998) mengemukakan bahwa ekosistem terumbu karang adalah unik karena umumnya hanya terdapat di perairan tropis, sangat

5 11 sensitif terhadap perubahan lingkungan terutama suhu, salinitas, sedimentasi, eutrofikasi dan memerlukan kualitas perairan alami. Disamping itu untuk hidup biota karang pembentuk terumbu membutuhkan suhu air yang hangat berkisar antara o C (Sorokin, 1993 ; Veron, 1995 ; Nybakken, 1988 ; Nybaken dan Bertenss, 2005). Pada perubahan suhu perairan akibat pemanasan global yang melanda perairan tropis di tahun 1998 telah menyebabkan pemutihan karang (coral bleaching) yang diikuti dengan kematian massal mencapai 90-95% (Oliver et al., 2004). Suharsono (1999) mencatat selama peristiwa pemutihan tersebut, rata-rata kenaikan suhu permukaan air di perairan Indonesia adalah 2-3 o C di atas suhu normal. Selain dari perubahan suhu, maka perubahan pada salinitas juga akan mempengaruhi terumbu karang. Birkeland (1997) menyebutkan bahwa terumbu karang sangat berkembang baik pada salinitas air laut mendekati 35 o / oo, namun kondisi ini sangat dipengaruhi oleh kondisi lingkungan seperti pemasukan air tawar. Hal ini sesuai dengan penjelasan McCook (1999) bahwa curah hujan yang tinggi dan aliran permukaan dari daratan (mainland run off) dapat membunuh terumbu karang melalui peningkatan sedimen dan terjadinya penurunan salinitas air laut. Dampak selanjutnya adalah kelebihan zat hara (nutrient overload) berkontribusi terhadap degradasi terumbu karang melalui peningkatan pertumbuhan makroalga yang melimpah (overgrowth) terhadap karang. 2.4 Biologi Biota Karang Batu Taksonomi Biota karang batu pembentuk terumbu dicirikan dengan kemampuannya memproduksi kapur sebagai rangka dan menjadi bahan dasar pembangun terumbu karang. Secara taksomi biota karang batu termasuk ke dalam anggota Filum Coelentrata. Biota karang bersama biota lainnya yang termasuk dalam filum ini dicirikan dengan bentuk tubuh sederhana, radial simetris dengan satu rongga tubuh tunggal yang disebut dengan Coelum. Hampir sebagian besar kelompok biotanya dilengkapi dengan sel-sel penyengat (nematocyte) sehingga filum ini dikenal juga dengan nama lain Cnidaria (Colin dan Anerson, 1995 ; Veron, 2000).

6 12 Bersama biota karang lunak, biota karang batu diklasifikasikan ke dalam Kelas Anthozoa dengan ciri utama memiliki siklus hidup dewasa pada stadium polip dengan lengan-lengan tentakel. Perbedaan utama biota karang lunak dan karang keras adalah jumlah tentakel yang dimilki yaitu kelipatan delapan (8) dan kelipatan enam (6), sehingga mereka dibedakan lagi dalam dua sub kelas yaitu Octocoralia (jumlah tentakel kelipatan 8) dan Hexacorallia (jumlah tentakel kelipatan 6). Semua biota karang dalam Kelas Hexacorallia adalah biota-biota pembentuk terumbu dengan ordo tunggal Scleractinia dan beberapa ordo lain dari Kelas Octocoralia yaitu Helioporaria dan Stolonifera ditambah satu ordo dari Kelas Hydrozoa yaitu Stylasterina (Sorokin, 1992 ; Veron, 2000 ; Suharsono, 2008). FILUM KELAS SUB KELAS ORDO Hexacorallia Zooantharia Corallimorphalia Antipatharia Ceriantharia Actinaria Scleractinia Anthozoa Coelentrata Octocoralia Gorgonacea Alcyonacea Pennalulacea Helioporaria Stolonifera Hydrozoa Stylasterina Gambar 1. Bagan klasifikasi Filum Coelentrata, karang batu pembentuk terumbu berada dalam kolom ordo cetak tebal (Sorokin, 1993)

7 Morfologi dan Anatomi Bentuk tubuh luar (morfologi) polip biota karang batu sangat sederhana seperti silinder terdiri dari bagian atas (aboral) dan bagian bawah (basal plate). Bagian atas berfungsi seperti kepala terdiri dari lengan-lengan tentakel, mulut dengan saluran yang terbuka ke rongga tubuh. Bagian tengah atau batang tubuh dengan jaringan yang menyatu dengan tubuh polip lainnya dalam koloni yang sama. Basal plate bagian bawah sedikit melebar dan menempel langsung pada substrat dasar perairan (Miller dan Harley, 2001). Koloni karang batu terdiri dari polip-polip karang yang satu sama lain dihubungkan oleh jaringan tipis yang dikenal dengan Columella. Perbanyakan polip-polip karang batu terjadi melalui reproduksi secara aseksual pertunasan (budding). Pola dan tipe pertunasan sangat khas dan bervariasi pada setiap jenis karang batu sehingga sangat menentukan bentuk koloninya masing masing. Secara umum bentuk koloni karang dibedakan atas bentuk bercabang (branching), massive, Sub massive, lembaran (foliose), merayap (encrusting), merata seperti meja (tabulate) dan soliter (Veron 2000 ; Suharsono, 2008) Karang secara fisiologis terus menerus mensekresikan kapur sebagai rangka luarnya (eksoskleton). Pada polip karang yang telah mati dan jaringan hidup habis terurai akan memperlihatkan eksoskleton ini dengan jelas. Keseluruhan struktur rangka yang membangun satu polip dalam satu koloni disebut dengan koralit (coralite) sedang keseluruhan rangka pada setiap polip dalam satu koloni disebut dengan koralum (corallum). Struktur luar koralit terdiri dari lempengan-lempengan berdiri tegak yang disebut dengan septa (septae). Epiteka (epiteca) berbentuk dari lempengan berada pada bagian dasar dengan pinggirannya membentuk bagian yang lebih tinggi menjadi dinding kerangka. Lingkar dinding ini membentuk bagian yang terbuka dari koralit yang disebut dengan kalik (calice). Septa berdiri tegak di atas permukaan bagian dalam dinding dan kadang berlanjut sampai ke bagian luar dinding menjadi kosta (costae). Septa-septa ini memiliki pinggiran yang tidak rata atau bergerigi dengan bentuk dan pola yang khas pada setiap jenis. Pada famili tertentu septa memiliki tonjolan dengan bentuk dan posisi yang sama pada masing-masing septa sehingga membentuk pola seperti bunga atau mahkota disebut dengan pali (pali

8 14 form). Kolumella (Columella) berada persis pada bagian tengan epiteka berbentuk tonjolan sebagai hasil endapan kapur dengan struktur berongga dan berpori. Sruktur kolumella ini sangat spesisfik dan bahkan tidak dimiliki oleh jenis-jenis tertentu sehingga menjadi acuan untuk identifikasi sampai tingkatan jenis (Veron, 2000 ; Suharsono, 2008). Secara anatomi tubuh polip karang terdiri dari tiga lapis jaringan yaitu ektoderma, endoderma dan mesoglea. Lapisan jaringan paling luar atau ektoderma disusun atas beberapa jenis sel antara lain sel penyengat/jelatang (nematosis) dan sel mukus. Sel-sel mukus menghasil getah mukus yang membantu menangkap makanan dan membersihkan diri dari endapan sedimen, sedangkan sel jelatang sangan berperan dalam membunuh mangsa untuk makanan dan mekanisme mempertahankan diri. Lapisan mesoglea berada diantara lapisan ektoderma dan endoderma dengan substansi berbentuk jelli berisi benang-benang fibril dengan lapisan tipis seperti otot pada bagian luarnya. Lapisan endoderma berada pada bagain dalam dan berhubungan langsung dengan rongga tubuh. Pada lapisan permukaan jaringan terutama pada el-sel mesenteri sampai permukaan tentakel ditemukan flagella dan silia yang berkembang baik (Nybaken dan Bertness, 2005). Pada lapisan endoderma ditemukan alga simbion bersel satu (zooxhantella). Menurut Sumich (1992) dan Burke et al. (2002) sebagian besar spesies karang melakukan simbiosis dengan alga simbiotik yaitu zooxanthellae yang hidup di dalam jaringannya. Dalam simbiosis, zooxanthellae menghasilkan oksigen dan senyawa organik melalui fotosintesis yang akan dimanfaatkan oleh karang, sedangkan karang menghasilkan komponen inorganik berupa nitrat, fosfat dan karbon dioksida untuk keperluan hidup zooxanthellae. Zooxanthella memberikan warna pada jaringan karang dan algae simbion ini sangat aktif melakukan proses fotosintesis (Muller-Paker dan D Ellia, 1997) Organ dalam polip karang sangat sederhana dan telah menunjukan beberapa fungsi fisiologis. Mulut yang terdapat pada bagian aboral diteruskan kedalam rongga tubuh melalui saluran yang disebut dengan tenggorokan (pharynx). Rongga tubuh (gastrovascular) merupakan bagian dari lapisan endoderma dengan struktur dinding yang melipat-lipat (mesenteries) mengandung

9 15 benang-benang mesenteris (mesenterial filament) dengan ujung yang lepas ke dalam rongga tubuh yang disebut acontia. Urutan organ tersebut secara fisiologis membantu dalam proses pencernaan makanan (Miller dan Harley, 2001) 2.5 Reproduksi dan Siklus Hidup Karang Hewan karang dapat melakukan reproduksi baik secara seksual maupun aseksual. Reproduksi aseksual pada hewan karang melibatkan sejumlah proses dimana pembentukan koloni baru terjadi melalui pemisahan atau pelepasan sebagian jaringannya melalui fragmentasi dan polip bailout. Reproduksi secara seksual sangat komplek dan meliputi berbagai kejadian mulai dari produksi sel gamet jantan dan betina, proses pembuahan dan pembentukan embrio sebagai planula yang berenang bebas (Richmond, 1997) Reproduksi Aseksual Sebagian besar hewan karang adalah biota berkoloni terdiri dari ratusan sampai ribuan polip yang saling berhubungan satu sama lainnya. Polip-polip ini tumbuh dan bertambah banyak melalui proses secara aseksual tunas (budding). Pertunasan secara ekstratentakular terjadi jika penambahan polip baru muncul dari jaringan yang terdapat di antara dua polip yang berdekatan. Sedangkan pertunasan secara intratentakular terjadi bila tunas polip baru muncul dari dinding tubuh polip yang sudah ada, kemudian memisah menjadi menjadi polip baru. Kejadian pembentukan dan penambahan polip-polip bukan termasuk dalam reproduksi aseksual karang batu karena sebenarnya tidak ada pembentukan koloni hewan karang baru (Sorokin, 1993 ; Richmond dan Hunter, 1990 ; Richmond, 1997 ; Veron, 2000 ; Suharsono, 2008). Pembentukan koloni karang baru melalui reproduksi aseksual dapat dilakukan dengan beberapa cara. Fragmentasi adalah cara reproduksi aseksual paling umum terutama pada karang bercabang dan berbentuk lembaran tipis (foliose). Fragmen atau potongan jaringan hewan karang yang terlepas dari koloni induk akibat berbagai kejadian seperti arus dan gelombang yang kuat, ikan predator atau faktor fisik lainnya akan jatuh pada dasar perairan. Bila fragmen tepat berada di atas permukaan substrat yang keras, jaringan karang akan menempel dan mulai tumbuh mejadi koloni karang baru melalui pertunasan

10 16 (Sorokin, 1993 ; Richmond, 1997). Sering pembentukan koloni baru hewan karang dari fragmen gagal terjadi akibat terlepas kembali oleh arus atau gelombang yang kuat (Knowlton et al, 1981). Pada kondisi tertentu beberapa jenis hewan karang jaringan atau polip yang ada pada fragmen karang dapat terlepas dan berenang bebas atau terbawa arus sampai menemukan substrat yang tepat untuk menempel dan tumbu membentk koloni baru. Kejadian ini dikenal dengan polyp bailout yang selalu aktif melepaskan diri dari jaringan/skleton induk. Pada cara yang sama, sebagian hewan karang dapat melepaskan bola-bola jaringan hidupnya dari sekitar skleton yang telah mati atau pelepasan ooze dari kalis polip yang kemudian terdifferensiasi menjadi polip baru yang tumbuh menjadi koloni hewan karang baru (Highsmith, 1982 ; Krupp et al, 1993). Reproduksi aseksual hewan karang dapat juga terjadi dari larva yang dihasilkan dari telur yang tidak dibuahi melalui proses partenogenesis (Stoddart, 1983). Mekanisme rperodukasi sperti ini banyak terjadi pada tumbuhan dan hewan-hewan dalam bentuk koloni. Koloni karang dari hasil reproduksi aseksual secara genetic akan identik dengan induknya. Pada kondisi lingkungan yang sama koloni-koloni ini akan berkembang baik seperti indukya. Namun pada kenyataannya kondisi lingkungan sangat bervariasi dan selalu berubah setiap saat. Pada kejadian lingkungan ekstrim seperti kenaikan suhu air laut akibat El-Nino akan menimbulkan berbagai perubahan seperti munculnya predator dengan kesukaan makan yang baru, muncul serangan penyakit, atau muncul kompetitor baru. Pada kondisi seperti ini koloni-koloni hewan karang dari hasil reproduksi aseksual tidak dapat bertahan hidup karena tidak adanya variasi genetik yang dimiliki. Selain itu reproduksi secara aseksual ini sangat membatasi kemampuan pemencaran koloni karang yang penting bagi kesuksesan populasinya (Richmond, 1997) Reproduksi Seksual Beda dengan reproduksi secara akseksual, reproduksi seksual dihasilkan dari pembuahan gamet jantan dan gamet betina. Koloni hewan karang hasil reperoduksi seksual memilki kombinasi dan variasi genetik yang diturunkan dari kedua induknya melalu sel sperma dan telur. Hasil pembuahan berkembang

11 17 menjadi planula karang yang berenang bebas atau hanyut terbawa arus. Adaptasi planula seperti ini sangat membantu pemencaran hewan karang pada tempattempat yang baru atau pada terumbu yang berada jauh dari induknya (Richmond, 1997) Beradasarkan asal usul dan tipe produksi sel gamet, reproduksi seksual dibedakan atas gonochorics species dan hermaphrodite species. Gonochorics species memproduksi gamet jantan dan betina pada individu yang berbeda atau dikenal juga dengan diaceous species. Sedangkan pada hermaphrodite species gamet jantan dan betina diproduksi pada satu individu yang sama. Diperkirakan sekitar 25% hewan karang termasuk gonochorics species sisanya adalah hermaphrodite (Harrison dan Wallace, 1990). Pada kenyataanya kedua tipe ini sulit dibedakan, dimana dalam proses gametogenesis sering produksi telur lebih lama dibanding sperma. Akibatnya dapat disimpulkan koloni seperti ini termasuk betina, namun beberapa waktu kemudian menghasilkan sel sperma juga (Chonersky dan Peters, 1987 ; Harrison dan Wallace, 1990 ; Veron 1995). Hermaphrodite simultaneous terjadi pada hewan karang yang menghasilkan sperma dan telur pada waktu yang bersamaan. Pada kejadian lain koloni awal jantan kemudian setelah itu berkembang menjadi betina atau dikenal juga dengan protandry dengan inisial menjadi betina. Pada kasus lain sebaliknya dapat berkembang menjadi jantan kembali atau dikenal juga dengan protagyny dengan inisial hermaphrodite. Hampir sebagain besar koloni hewan karang adalah hermprodite simultaneous dan sedikit yang sekuensial hermaphrodite (Veron, 1995 ; Richmond, 1997). Hewan karang memperlihatkan tipe reproduksi berbeda didasarkan pada cara terjadinya pembuahan. Pada tipe brooding spesies, pembuahan telur terjadi secara internal dan hasil pembuahan dalam bentuk larva planula berkembang dalam rongga tubuh polip karang. Hasil pembuahan ditetaskan dalam bentuk larva planula yang komplit dan berenang bebas ata hanyut terbawa arus. Tipe lain adalah spawning spesies dimana telur dilepaskan ke dalam kolom air dan dibuahi oleh sperma secara eksternal. Hasil pembuahan berkembang sampai terbentuknya planula dalam kolom air. Keberhasilan kedua tipe reproduksi ini sangat ditententuk oleh aspek bio-ekologi termasuk masuknya algae simbion ke dalam

12 18 jaringan planula, kompetensi planula (kesuksesan penempelan dan metamorfosis), pola sebaran dan variasi genetik. Bagaimanapun tipe spawning spesies melepaskan telur yang mengapung di atas permukaan air untuk waktu tertentu sehingga sangat retan terhadap polutan dan pemangsaan (Richmond dan Jokiel, 1984 ; Richmond, 1997). Karang dengan tipe brooding spesies lebih kompeten yaitu lebih sukses menempel dan bermetamorfosis. Ukuran planula yang dihasilkan brooding spesies lebih besar dibanding spawning spesies serta telah memiliki alga simbion zooxhantella yang ditransfer selama perkembangan dalam tubuh induknya. Pada tingkatan ini zooxhantella telah berkontribusi dalam proses metabolisme planula dan menambah energi selama masa pemencarannya. Brooding spesies dengan melihat planula sebagi hasilnya terjadi hanya pada sedikit jenis hewan karang, yaitu sekita 15%. Jenis Pocillopora damicornis melepas planula pada siklus bulanan sepanjang tahun di terumbu Mikronesia dan Hawaii, namun hanya pada bulan-bulan tertentu di terumbu Okinawa dan Australia bagian barat (Fadlallah, 1983 ; Richmond dan Hunter, 1990). Hal yang berbeda pada jenis yang sama Pocillopora damicornis menunjukan spawning spesies di terumbu Pasifik bagian Timur dan juga Australia bagian Barat (Glynn et al., 1991 ; Ward, 1992). Pelepasan larva Pocillopora damicornis terjadi setiap bulan (bulan gelap dan terang) dan mencapai puncaknya pada musim kering (dry monsoon) pada perlakuan outdoor dengan sistem air mengalir di Pulau Panjang, Jawa Tengah Indonesia (Munasik et al., 2008) Lebih dari 250 jenis hewan karang yang telah diteliti (85%) umunya adalah spawning spesies yang memijah massal pada periode tertentu setiap tahun. Di Okinawa sebagain besar spawning spesies melepaskan gamet selama lebih dari 5-8 hari pada malam hari bulan purnma Mei dan Juni setiap musim panas (Hayashibara et al., 1993). Di Guam, Mikronesia puncak pemijahan terjadi 7-10 hari setelah bulan purnama di bulan Juli (Richmond dan Hunter, 1990). Pemijahan karang terjadi beberapa bulan dalam setahun antara lain Maret, April dan Mei di pulau-pulau kecil sekitar Palau ( Kenyon, 1995). Di terumbu Australia pemijahan massal terjadi selama November (Harrison et al., 1984).

13 Rekrutmen Karang Rekrutmen menjadi bagian penting dalam proses pembentukan dan perkembangan komunitas dalam suatu ekosistem terumbu karang di alam. Dengan kata lain rekrutmen memberikan jaminan terhadap pembentuk komunitas serta memberikan jaminan bahwa populasi itu akan selalu bertahan. Porses rekrutmen berperan dalam penambahan individu-individu baru kedalam populasi dewasa sehingga eksistensi dan keberlanjutan populasi dapat dipertahankan dan berlangsung secara terus menerus (Erwin et al., 2008). Secara sederhana rekrutmen hewan karang ditandai dengan kemunculan koloni-koloni karang yang masih muda (juvenile). Secara visual-morfologis koloni-koloni karang muda ini dapat dibedakan dengan dewasanya berdasarkan ukuran koloni yaitu relatif lebih kecil. Definisi dan batasan ini tidak selalu benar dimana pada kenyataannya banyak koloni karang berukuran kecil tapi bukan karang muda. Kemampuan reproduksi secara aseksual sering merancukan hal ini seperti pertunasan pada koloni karang yang mati sebagian. Pada kasus ini koloni kelihatan berukuran kecil (hanya beberapa polip) namun sebenarnya berasal dari koloni dewasa yang sebagain besar telah mati akibat berbagai faktor seperti penyakit atau tertutup sedimen. Hal yang sama juga terjadi pada reproduksi aseksual lainnya seperti fragmentasi, dimana sebagian kecil koloni terlepas dari koloni induk kemudian menempel jadi koloni karang baru dengan ukuran relatif kecil (Edmunds, 2008). Rekrutmen pada populasi selalu dibatasi dengan ciri mofologi serta aktifitas biologis yang dilakukan. Hal ini sesuai dengan pendapat Moorsel (1989) bahwa rekrutmen adalah individu dengan bentuk morfologi yang berbeda dengan populasi dewasa serta dibatasi oleh ukuran koloni dan kemampuan untuk melakukan reproduksi. Proses rekrutmen diawali dengan perubahan planula karang dari fase planktonik menjadi bentik dan siap untuk melakukan penempelan pada substrat di dasar perairan. Menurut Richmond (1997), reproduksi dan rekrutmen adalah dua proses penting yang menentukan keberadaan dan keberlangsungan suatu terumbu karang. Proses reproduksi menjamin terbentuk calon koloni baru, sedangkan rekrutment adalah proses bagaimana calon koloni baru hasil reproduksi sukses menjadi anggota baru dalam populasi. Proses rekrutmen ditandai dengan

14 20 kemunculan calon koloni baru dalam ukuran relative kecil (juvenile) pada habitat baru dan beradaptasi baik dengan relung ekologisnya. Peristiwa ini dikenal juga dengan proses kolonisasi yang sangat tergantung dengan ketersedian larva dan substrat untuk penempelan. Kolonisasi terjadi melalui beberapa tahapan dan keberhasilannya didukung oleh beberapa persyaratan lingkungan. Tahapan awal adalah keberhasilan dalam proses reproduksi yang menjamin tersedianya larva dalam bentuk plantonik. Tahapan selanjutnya adalah kemampuan larva untuk melakukan orientasi, pengenalan dan identifikasi terhadap substrat yang akan ditempeli. Keberhasilan kolonisasi didukung oleh beberapa persyaratan termasuk tipe substrat, arus, salinitas, cukup cahaya, sedimentasi dan faktor biologis seperti ketersedian lapisan tipis mikroalgae (biofilm) di atas permukaan substrat bisanya dari kelompok diatom dan bakteri (Sorokin, 1991 ; Richmon,1997). Penempelan larva planula dalam proses kolonisasi dengan segera diikuti oleh perisiwa metamorfosis. Metamorfosis merupakan serangkaian proses yang dindikasikan oleh perubahan secara morfologis dan perangsangan bio-kimia larva planula menjadi koloni karang muda (juvenile). Secara morfologis hewan karang dalam tingkatan larva sangat berbeda bentuknya dengan polyp yaitu tidak memiliki tentakel, mulut, rongga gastrovascular, tidak memiliki enzim pencernaan dan tidak memproduksi kapur untuk rangka. Metamorfosis baru akan dilakukan jika larva planula benar-benar sudah memastikan susbstrat untuk penempelan selamanya. Metamorfosis diawali dengan proses kalsifikasi yang mengsekresikan kapur sebagai lempengan dasar berbentuk mangkuk sebagai rangka awal. Selanjut proses awali ini diikuti dengan pembentukan tentakel yang dilengkapi dengan sel-sel penyengat mengelilingi mulut. Proses akhir metamorfosis ini menghasilkan polip awal yang selanjutnya mengalami pertunasan untuk menbentuk polip-polip baru, masing-masing juga mengsekresikan kapur sebagai rangkanya. Polip pertama hasil metamorfosis ini dapat keluar dari rangka yang telah dibentuk kemudian menjadi plantonik lagi sampai ditemukan substrat baru untuk menempel lagi (Moorsel, 1989 ; Sorokin, 1991 ; Richmond, 1997).

15 21 Planula karang dari spawning spesies tidak mendapat algae simbion zoxhantella dari induknya, namun ditransfer selama proses penempelan dan metamorfosis dari kolom air laut di sekitarnya. Hasil obeservasi terhadap beberapa jenis karang Acropora menunjukan bahwa karang ini mengandung alga simbion selama proses penempelan dan metamorfosis dan selama dua (2) minggu tidak mengandung algae simbion. Karang muda yang terbentuk hasil metamorfosis sering bersaing dengan coralline dan filamentous algae dan algae merah lainnya (Richmond, 19970). Penempelan larva planula tidak menjamin metamorfosis akan selalu terjadi. Pada beberapa larva invertebrate metamofhosis merupakan rangkaian reaksi yang komplek yang dimulai bila hanya terjadi perangsangan secara biokimia tertentu. Rangsangan untuk memulai metamorfosis menjadi spesifik pada jenis-jenis tertentu yang ditandai dengan penempelan coralline algae dan lapisan biofilm dari mikroorganisme. Laju rekruitmen hewan karang telah banyak diteliti dengan menempatkan biotopes dari substrat buatan untuk penempelan planula karang. Pada terumbu Great Barrier Reef (GBR) Australia laju rekruitmen mencapai 10 koloni/m 2 /tahun, sedang di terumbu karang Laut Merah berkisar 5 koloni/m 2 /tahun. Di Terumbu karang Atlantik dilaporkan laju rekruitmen lebih rendah hanya berkisar antar 3-4 koloni/m 2 /tahun didominasi oleh jenis Stylopora pistilata. Abrar (2000) melaporkan laju rekruitmen di perairan Pulau Sikuai, Padang, Sumatera Barat mencapai puncaknya 0, 41 koloni/m2/bulan atau sekitar 5 koloni/m 2 /tahun didominasi oleh genus Pocillopora. 2.7 Kelulusan Hidup Rekrutmen Karang Terumbu karang merupakan ekosistem dengan berbagai interaksi yang komplek mulai dari tingkatan mikroorganisme, organisme multiseluler dan sampai tingkatan komunitas. Pada hewan karang interaksi pada proses reproduksi dan rekrutmen meliptui interaksi antar koloni, sel-sel gamet, larva planula dan penempelan yang dipicu oleh sinyal bio-kimia. Interaksi yang terjadi serta berbagai konsekuensi yang dihasilkan adalah bentuk adaptasi yang

16 22 dilakukan hewan karang utnuk sukses dalam reperoduksi dan rekrutmen serta memiliki tingkat kelulusan hidup yang tinggi (Nybaken dan Bertness, 2005). Kondisi lingkungan sangat menentukan kesuksesan proses reproduksi dan rekrutmen dan kelulusan hidup juvenil karang. Perubahan kualitas perairan sudah mulai mempengaruhi pada tahapan awal reproduksi seperti waktu reproduksi, sikronisasi musim kawin dan pemijahan, interaksi sperma dan telur, metamorfosis dan transfer algae simbion dari kolom air. Hasil pengamatan menunjukan bahwa perubahan salinitas, temperatur, dan ketersedian cahaya akan berdampak terhadap produksi larva dari jenis Pocillopora damicornis (Jokiel, 1985). Kemudian Kojis dan Quinn (1984), menemukan adanya korelasi antara kesuburan, kedalaman dan sedimentasi pada jenis Acropora palifera. Pada jenis Goniastrea favulus kemampuan reproduksi meningkata sejalan dengan adanya perpindahan energy dalam jaringannya (Kojis dan Quinn, 1985). Hewan karang berkembang baik pada salinitas laut normal 35 o / oo namun memiliki toleransi terhadap salinitas tinggi dan rendah untuk beberapa waktu. Pada kasus lain koloni karang yang terpapar karena air surut akan menutupi koloni dengan lendir (mucous) yang dikeluarkan untuk bertahan dari kekeringan. Salinitas juga berdampak terhadap laju fertilisasi hewan karang dimana penurunan salinitas sampai 26% dari salinitas normal dapat menurun laju fertilisasi sampai 86%. Kejadian ini bisa terjadi saat puncak pemicahan bersamaan dengan musim hujan seperti yang dilaporkan di terumbu Mikronesia dan Okinawa (Birkeland, 1997). Faktor internal ukuran koloni sangat menentukan kesuburan hewan karang. Pada karang-karang dengan polip kecil dengan ukura koloni sama, umur dapat juga berdampak terhadap reproduksi yang dihasilkan, dimana karang yang tua lebih subur (Kojin dan Quinn, 1985). Sebaliknya pada karang dengan ukuran polip besar sepserti Lobophyllia cortmbosa menunjukan bahwa ukuran polip lebih menentukan kedewasaan dan kesuburan dibanding ukuran koloninya. (Harriot, 1983). Pada koloni bentuk bercabang seperti Pocillopora dan Acropora memperlihatkan kematangan seksualnya pada umur 2-3 tahun dan mulai menghasilkan gamet atau larva pertama. Karang massive yang diwakili oleh Porites menunjukan pertumbuhan dan perkembangan yang lama berkisar antara

17 tahun (Babcock, 1988). Pada jenis-jenis yang memperlihatkan adanya hubungan antara ukuran koloni dan reproduksi akan gangguan pertumbuhan akibat stress juga akan menunjukan penurunan potensi reproduksinya (Brown and Howard, 1985). Kecerahan perairan penting bagi pertumbuhan dan mendukung proses reproduksi dan rekrutment hewan karang (Jokiel, 1985 ; Tomascik dan Sander, 1987). Perairan yang jernih dengan sedimen rendah meningkatkan penetrasi cahaya yang dibutuhkan selama aktifitas fotosintesis oleh algae simbion zooxhantella. Hasil fotosintesis berupa karbohidrat dan transfer energi berkontribusi jelas dalam proses reproduksi terutama saat produksi gamet dan larva. Sebaran terumbu karang sepanjang perairan dangkal pesisir dan pulaupulau kecil sangat rentan terhadap sedimentasi yang meningkatkan kekeruhan perairan. Sedimentasi secara terus menerus menjadi masalah utama terumbu karang di perairan pesisir. Penimbunana sedimen diatas permukaan koloni karang membutuhkan energi banyak untuk membersihkannya sehingga memperlambat laju pertumbuhan serta mengurangi ketersedian energi untuk proses reproduksi. Sedimen juga menghalangi dan mencegah sinyal bio-kimia larva hewan karang untuk mengenali substrat yang akan ditempelinya (Tomascik dan Sander, 1987). Pengayaan nutrient dalam perairan atau eutrofikasi menjadi permasalan tersendiri terhadap proses reproduksi dan rekrutmen hewan karang (Tomascik, 1991). Sumber utama nutrient dalam perairan berasal dari aktifitas pertanian dan limbah rumah tangga. Suspensi nutrien dalam perairan meningkatkan kekeruhan dan menghalangi penetrasi cahaya matahari ke dalam kolom air. Pada kondisi lain, peningkatan nutrien akan memicu pertumbuhan cepat biota bentik tertentu seperti Algae, Sponge, Tunicate dan Bryzoan yang merupakan kompetitor utama bentik karang yang tumbuh lambat (Birkeland, 1988). Pertumbuhan biota bentik yang cepat menutupi permukaan substrat dan menghalangi penempelan larva hewan karang (Hatcher, 1984 ; Tomascik, 1991 ; Done, 1992 ; Hughes, 1994). Total pemasukan substansi/matreal ke dalam perairan berbanding lurus dengan waktu. Artinya aktifitas pemanfaatan di sepanjang pesisir akan memberikan kontribusi pencemaran yang selalu meningkat dari waktu ke waktu.

18 24 Substansi pencemar seperti minyak, cadmium dan logam berat yang berasal dari berbagai sumber masuk ke dalam perairan melalui, arus laut, aliran sungai dan air hujan. Bahan pencemar seperti pestisida Chlorpyrifos mampu menurunkan kemampuan penempelan dan metamorphosis larva hewan karang pada kadar ppm. Tumpahan minyak telah menurunkan ukuran dan volum gonad hewan karang dibanding daerah yang tidak terkena tumpahan minyak (Guzman dan Holst, 1993). Pada kondisi tertentu pencemaran minyak dapat menggagalkan formasi larva karang untuk bertahan hidup (Loya dan Rinkevich, 1979). Substansi pencemar juga diketahui mampu menghalangi sinyal bio-kimia karang yang mengatur kesesuaian dan keteraturan produksi sperma dan telur (Richmond, 1993) Pola rekrutmen dan kemampuan larva pada beberapa terumbu sangat tergantung pada jauhnya jarak komunitas karang mensuplai larva planulanya (Richmond, 1987 ; Babcock, 1988). Jika terumbu tempat hewan karang menghasilkan larva atau telur terganggu dengan sendirinya juga memberikan dampak terhadap keberlanjutan terumbu itu sendiri. Prinsip ini penting untuk menentukan daerah perlindungan yang terdiri dari banyak pulau atau antar wilayah terumbu yang berbeda. Hal ini juga berlaku pada penentuan daerahdaerah perlindungan laut untuk terumbu karang dengan mempertimbangkan pola pemenceran larvanya (William et al, 1984). Keberhasilan reproduksi hewan karang tidak menjamin penambahan koloni ke dalam populasi sampai larva dan reproduksi aseksual berhasil dalam proses rekrutmennya. Larva yang dihasilakan oleh koloni pada terumbu yang sehat tidak mengalami rekrutmen dengan baik karena kualitas perairan dan ketersedian larva. Sedimentasi tinggi dari sungai mengakibatkan kematian pada koloni karang dewasa, namun menyediakan substrat dan tidak menghalagi penenmpelan larva. Kondisi terumbu karang (kelimpahan dan keanekragaman) tidak bisa menunjukan kesehatan terumbu karang hanya menunjukan kondisi pada saat itu. Namun pola rekrutmen mampu memprediksi keadaan terumbu pada masa akan datang. Kegagalan reproduksi dan ketidak mampuan penempelan sering terlihat pada wilayah dimana karang dewasa dapat bertahan hidup dan berkembang dengan baik (Richmond, 1997).

19 Kerusakan dan Pemulihan Terumbu Karang Hewan karang sangat sensitif dan mudah mengalami kematian akibat kejadian alam dan aktifitas manusia. Keberhasilan proses reproduksi dan kelulusan hidup rekrutmen karang akan menjamin keberlanjutan populasi hewan karang dan memulihakan komunitas terumbu yang telah rusak. Tindakan pencegahan dan rehabilitasi kerusakan terumbu karang dapat dilakukan dengan mengelolaa aktifitas yang berdapmpak terhadap kerusan terumbu. Selain itu pengembangan metode untuk aplikasi pembenihan dan pengembalian habitat terumbu kembali sangat dibutuhkan. Percobaan pemanenan larva di alam untuk dijadikan benih telah sukses dilakukan pada wilayah yang telah rusak akibat serangan predator Achantatser dan sedimentasi. Hai ini menunjukan bahwa pembenihan kembali di alam dapat menaikan laju rekrutmen secara alami. Namun tetap saja sebuah koloni karang dengan umur 50 tahun tidak bisa digantikan oleh rekrut yang berumur kurang dari 50 tahun. Pencegahan terhadap aktifitas manusia yang merusak terumbu lebih efektif untuk mendukung reproduksi dan rekrutmen hewan karang (Richmond, 1997).

2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Terumbu Karang

2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Terumbu Karang 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Terumbu Karang Terumbu karang (coral reef) merupakan ekosistem laut dangkal yang terbentuk dari endapan-endapan masif terutama kalsium karbonat (CaCO 3 ) yang dihasilkan terutama

Lebih terperinci

KELULUSAN HIDUP REKRUTMEN KARANG

KELULUSAN HIDUP REKRUTMEN KARANG KELULUSAN HIDUP REKRUTMEN KARANG (Scleractinia) DI PERAIRAN GUGUS PULAU PARI, KEPULAUAN SERIBU, JAKARTA MUHAMMAD ABRARR SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUTT PERTANIAN BOGOR BOGOR 20111 i PERNYATAAN MENGENAI

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. tercemar adalah plankton. Plankton adalah organisme. mikroskopik yang hidup mengapung atau melayang di dalam air dan

II. TINJAUAN PUSTAKA. tercemar adalah plankton. Plankton adalah organisme. mikroskopik yang hidup mengapung atau melayang di dalam air dan 6 II. TINJAUAN PUSTAKA A. Plankton Salah satu organisme yang dapat berperan sebagai bioindikator perairan tercemar adalah plankton. Plankton adalah organisme mikroskopik yang hidup mengapung atau melayang

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Ekosistem Terumbu Karang Ekosistem terumbu karang adalah ekosistem daerah tropis yang memiliki keunikan dan keindahan yang khas yang pemanfaatannya harus lestari. Ekosistem terumbu

Lebih terperinci

2. TINJAUAN PUSTAKA. Sistem klasifikasi bagi karang lunak Sinularia dura adalah sebagai berikut

2. TINJAUAN PUSTAKA. Sistem klasifikasi bagi karang lunak Sinularia dura adalah sebagai berikut 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Karang Lunak Sinularia dura Sistem klasifikasi bagi karang lunak Sinularia dura adalah sebagai berikut : (Hyman, 1940; Bayer 1956 in Ellis and Sharron, 2005): Filum : Cnidaria Kelas

Lebih terperinci

2 TINJAUAN PUSTAKA. 2.1 Ekosistem Terumbu Karang

2 TINJAUAN PUSTAKA. 2.1 Ekosistem Terumbu Karang 7 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Ekosistem Terumbu Karang 2.1.1 Biologi Karang Terumbu karang (coral reef) merupakan organisme yang hidup di dasar laut dangkal terutama di daerah tropis. Terumbu adalah endapan-endapan

Lebih terperinci

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Kondisi Wilayah Penelitian Wilayah tempat substrat batu berada bersampingan dengan rumah makan Nusa Resto dan juga pabrik industri dimana kondisi fisik dan kimia perairan sekitar

Lebih terperinci

2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Biologi Karang Cara Makan dan Sistem Reproduksi

2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Biologi Karang Cara Makan dan Sistem Reproduksi 4 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Biologi Karang Suharsono (1996) menyatakan karang termasuk binatang yang mempunyai sengat atau lebih dikenal sebagai cnidaria (Cnida = jelatang) yang dapat menghasilkan kerangka

Lebih terperinci

2. TINJAUAN PUSTAKA. Anemon laut merupakan hewan invertebrata atau hewan yang tidak

2. TINJAUAN PUSTAKA. Anemon laut merupakan hewan invertebrata atau hewan yang tidak 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Anemon Laut Anemon laut merupakan hewan invertebrata atau hewan yang tidak memiliki tulang belakang. Anemon laut ditemukan hidup secara soliter (individual) dengan bentuk tubuh

Lebih terperinci

B. Ekosistem Hutan Mangrove

B. Ekosistem Hutan Mangrove B. Ekosistem Hutan Mangrove 1. Deskripsi merupakan komunitas vegetasi pantai tropis, didominasi oleh beberapa spesies pohon mangrove yang mampu tumbuh di daerah pasang surut pantai berlumpur. umumnya tumbuh

Lebih terperinci

II TINJAUAN PUSTAKA. 2.1 Ekosistem Terumbu Karang Biologi karang

II TINJAUAN PUSTAKA. 2.1 Ekosistem Terumbu Karang Biologi karang 5 II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Ekosistem Terumbu Karang 2.1.1 Biologi karang Terumbu karang merupakan endapan-endapan masif yang penting dari kalsium karbonat yang terutama dihasilkan oleh hewan karang dengan

Lebih terperinci

MODUL TRANSPLANTASI KARANG SECARA SEDERHANA PELATIHAN EKOLOGI TERUMBU KARANG ( COREMAP FASE II KABUPATEN SELAYAR YAYASAN LANRA LINK MAKASSAR)

MODUL TRANSPLANTASI KARANG SECARA SEDERHANA PELATIHAN EKOLOGI TERUMBU KARANG ( COREMAP FASE II KABUPATEN SELAYAR YAYASAN LANRA LINK MAKASSAR) MODUL TRANSPLANTASI KARANG SECARA SEDERHANA PELATIHAN EKOLOGI TERUMBU KARANG ( COREMAP FASE II KABUPATEN SELAYAR YAYASAN LANRA LINK MAKASSAR) Benteng, Selayar 22-24 Agustus 2006 TRANSPLANTASI KARANG Terumbu

Lebih terperinci

PERKEMBANGAN DAN PERTUMBUHAN KARANG JENIS Lobophyllia hemprichii YANG DITRANSPLANTASIKAN DI PULAU PRAMUKA, KEPULAUAN SERIBU, JAKARTA

PERKEMBANGAN DAN PERTUMBUHAN KARANG JENIS Lobophyllia hemprichii YANG DITRANSPLANTASIKAN DI PULAU PRAMUKA, KEPULAUAN SERIBU, JAKARTA PERKEMBANGAN DAN PERTUMBUHAN KARANG JENIS Lobophyllia hemprichii YANG DITRANSPLANTASIKAN DI PULAU PRAMUKA, KEPULAUAN SERIBU, JAKARTA Oleh: WIDYARTO MARGONO C64103076 PROGRAM STUDI ILMU DAN TEKNOLOGI KELAUTAN

Lebih terperinci

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Kondisi Fisika dan Kimia Perairan Kondisi alami sampel karang berdasarkan data (Lampiran 1) dengan kondisi tempat fragmentasi memiliki perbedaan yang tidak terlalu signifikan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. disebut arus dan merupakan ciri khas ekosistem sungai (Odum, 1996). dua cara yang berbeda dasar pembagiannya, yaitu :

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. disebut arus dan merupakan ciri khas ekosistem sungai (Odum, 1996). dua cara yang berbeda dasar pembagiannya, yaitu : 5 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Perairan Sungai Sungai adalah suatu perairan yang airnya berasal dari mata air, air hujan, air permukaan dan mengalir secara terus menerus pada arah tertentu. Aliran air

Lebih terperinci

POTENSI ANCAMAN LEDAKAN POPULASI ACANTHASTERPLANCI TERHADAP KELESTARIAN TERUMBU KARANG DI WILAYAH LAUT JAKARTA DAN UPAYA PENGENDALIANNYA

POTENSI ANCAMAN LEDAKAN POPULASI ACANTHASTERPLANCI TERHADAP KELESTARIAN TERUMBU KARANG DI WILAYAH LAUT JAKARTA DAN UPAYA PENGENDALIANNYA POTENSI ANCAMAN LEDAKAN POPULASI ACANTHASTERPLANCI TERHADAP KELESTARIAN TERUMBU KARANG DI WILAYAH LAUT JAKARTA DAN UPAYA PENGENDALIANNYA http://7.photobucket.com Oleh: Rizka Widyarini Grace Lucy Secioputri

Lebih terperinci

IDENTIFIKASI CITRA KARANG MENGGUNAKAN JARINGAN SYARAF TIRUAN: KASUS FAMILY POCILLOPORIDAE RONI SALAMBUE

IDENTIFIKASI CITRA KARANG MENGGUNAKAN JARINGAN SYARAF TIRUAN: KASUS FAMILY POCILLOPORIDAE RONI SALAMBUE IDENTIFIKASI CITRA KARANG MENGGUNAKAN JARINGAN SYARAF TIRUAN: KASUS FAMILY POCILLOPORIDAE RONI SALAMBUE SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2007 BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. terumbu karang untuk berkembangbiak dan hidup. Secara geografis terletak pada garis

I. PENDAHULUAN. terumbu karang untuk berkembangbiak dan hidup. Secara geografis terletak pada garis I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia merupakan negara kepulauan yang secara geografis memiliki iklim tropis dan perairannya lumayan dangkal, sehingga menjadi tempat yang optimal bagi ekosistem terumbu

Lebih terperinci

Filum Cnidaria dan Ctenophora

Filum Cnidaria dan Ctenophora Filum Cnidaria dan Ctenophora Filum CTENOPHORA dan CNIDARIA dikelompokkan dalam COELENTERATA (berasal dari kata coelos = rongga tubuh atau selom dan enteron = usus). Coelenterata hidupnya di perairan laut

Lebih terperinci

PENDAHULUAN POLA REPRODUKSI KARANG

PENDAHULUAN POLA REPRODUKSI KARANG PENDAHULUAN Pengetahuan dasar mengenai reproduksi karang penting dan dapat membantu dalam usaha pengelolaan sumber daya terumbu karang. Cara dan waktu reproduksi karang sangat besar pengaruhnya dalam proses

Lebih terperinci

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Kondisi Fisika dan Kimia Perairan Pulau Karya Tabel 2. Data parameter fisika dan kimia lokasi transplantasi di perairan Pulau Karya bulan September 2010 sampai dengan Juli

Lebih terperinci

1. PENDAHULUAN Latar Belakang

1. PENDAHULUAN Latar Belakang 1 1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Ekosistem terumbu karang adalah salah satu ekosistem yang paling kompleks dan khas di daerah tropis yang memiliki produktivitas dan keanekaragaman yang tinggi. Ekosistem

Lebih terperinci

EKOSISTEM LAUT DANGKAL EKOSISTEM LAUT DANGKAL

EKOSISTEM LAUT DANGKAL EKOSISTEM LAUT DANGKAL EKOSISTEM LAUT DANGKAL Oleh : Nurul Dhewani dan Suharsono Lokakarya Muatan Lokal, Seaworld, Jakarta, 30 Juni 2002 EKOSISTEM LAUT DANGKAL Hutan Bakau Padang Lamun Terumbu Karang 1 Hutan Mangrove/Bakau Kata

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil adalah sumberdaya hayati, sumberdaya nonhayati;

TINJAUAN PUSTAKA. Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil adalah sumberdaya hayati, sumberdaya nonhayati; 5 TINJAUAN PUSTAKA Karakteristik Pulau Kecil Pulau Kecil adalah pulau dengan luas lebih kecil atau sama dengan 2.000 km 2 (dua ribu kilometerpersegi) beserta kesatuan Ekosistemnya. Sumberdaya Pesisir dan

Lebih terperinci

2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 T

2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 T 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Terumbu Karang Terumbu karang (coral reef) merupakan endapan masiv dari kalsium karbonat (CaCO 3 ) yang dihasilkan sekumpulan organisme karang yang hidup didasar d perairan yang

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Terumbu adalah serangkaian struktur kapur yang keras dan padat yang berada di dalam atau dekat permukaan air. Sedangkan karang adalah salah satu organisme laut yang tidak

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Terumbu Karang. Anatomi dan Morfologi Karang

TINJAUAN PUSTAKA. Terumbu Karang. Anatomi dan Morfologi Karang TINJAUAN PUSTAKA Terumbu Karang Anatomi dan Morfologi Karang Terumbu (reef) terbentuk dari endapan-endapan masif terutama kalsium karbonat yang dihasilkan oleh hewan karang (Filum Cnidaria, Kelas Anthozoa,

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Morfologi Karang Target

TINJAUAN PUSTAKA. Morfologi Karang Target 3 TINJAUAN PUSTAKA Morfologi Karang Target Secara taksonomi phylum Coelenterata atau Cnidaria memiliki ciri khas yakni sengat yang berfungsi untuk melumpuhkan mangsanya. Sel sengat ini dikenal dengan nama

Lebih terperinci

CIRI-CIRI COELENTERATA :

CIRI-CIRI COELENTERATA : FILUM COELENTERATA Coelenterata berasal dari kata KOILOS = rongga tubuh atau selom dan ENTERON = usus. Jadi COELENTERON artinya rongga yang berfungsi sebagai usus. Sering juga disebut CNIDARIA CIRI-CIRI

Lebih terperinci

JAKARTA (22/5/2015)

JAKARTA (22/5/2015) 2015/05/22 14:36 WIB - Kategori : Artikel Penyuluhan SELAMATKAN TERUMBU KARANG JAKARTA (22/5/2015) www.pusluh.kkp.go.id Istilah terumbu karang sangat sering kita dengar, namun belum banyak yang memahami

Lebih terperinci

GROWTH & REPRODUCTION

GROWTH & REPRODUCTION Farid K. Muzaki, S.Si., M.Si Jurusan BIOLOGI FMIPA ITS Surabaya CORAL BIOLOGY III GROWTH & REPRODUCTION Biology of Coral SB091546 introduction Pertambahan panjang linear, berat, volume atau luas Pertambahan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. I.1. Latar Belakang dan Masalah yang dikaji (Statement of the Problem) I.1.1. Latar belakang

BAB I PENDAHULUAN. I.1. Latar Belakang dan Masalah yang dikaji (Statement of the Problem) I.1.1. Latar belakang BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang dan Masalah yang dikaji (Statement of the Problem) I.1.1. Latar belakang Terumbu karang merupakan salah satu ekosistem terbesar kedua setelah hutan bakau dimana kesatuannya

Lebih terperinci

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Kondisi dan Variasi Temporal Parameter Fisika-Kimiawi Perairan Kondisi perairan merupakan faktor utama dalam keberhasilan hidup karang. Perubahan kondisi perairan dapat mempengaruhi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. (Estradivari et al. 2009).

BAB I PENDAHULUAN. (Estradivari et al. 2009). BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kepulauan Seribu merupakan salah satu kawasan pesisir terletak di wilayah bagian utara Jakarta yang saat ini telah diberikan perhatian khusus dalam hal kebijakan maupun

Lebih terperinci

PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 121 TAHUN 2012 TENTANG REHABILITASI WILAYAH PESISIR DAN PULAU-PULAU KECIL

PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 121 TAHUN 2012 TENTANG REHABILITASI WILAYAH PESISIR DAN PULAU-PULAU KECIL PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 121 TAHUN 2012 TENTANG REHABILITASI WILAYAH PESISIR DAN PULAU-PULAU KECIL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: bahwa untuk

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : bahwa untuk melaksanakan ketentuan Pasal 33 ayat (2)

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : bahwa untuk melaksanakan ketentuan Pasal 33 ayat (2) PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 121 TAHUN 2012 TENTANG REHABILITASI WILAYAH PESISIR DAN PULAU-PULAU KECIL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : bahwa untuk

Lebih terperinci

macroborer seperti polychae~a, sponge dan bivalva yang mengakibatkan bioerosi PENDAHULUAN

macroborer seperti polychae~a, sponge dan bivalva yang mengakibatkan bioerosi PENDAHULUAN PENDAHULUAN Latar Belakang Terumbu karang mempakan habitat laut yang penting di perairan tropis yang berfungsi sebagai tempat hidup dan berlindung, mencari makan, memijah dan berkembang biak serta sebagai

Lebih terperinci

REHABILITASI TERUMBU KARANG TELUK AMBON SEBAGAI UPAYA UNTUK MEREDUKSI EMISI CARBON CO

REHABILITASI TERUMBU KARANG TELUK AMBON SEBAGAI UPAYA UNTUK MEREDUKSI EMISI CARBON CO Mangrove REHABILITASI TERUMBU KARANG TELUK AMBON SEBAGAI UPAYA UNTUK MEREDUKSI EMISI CARBON CO TERUMBU KARANG OLEH DANIEL D. PELASULA Pusat Penelitian Laut Dalam LIPI pelasuladaniel@gmail.com PADANG LAMUN

Lebih terperinci

2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Kajian Ekosistem Terumbu Karang

2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Kajian Ekosistem Terumbu Karang 7 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Kajian Ekosistem Terumbu Karang Terumbu karang (coral reef) merupakan masyarakat organisme yang hidup di dasar perairan dan berupa bentukan batuan kapur (CaCO 3 ) yang cukup kuat

Lebih terperinci

KLASIFIKASI CNIDARIA. By Luisa Diana Handoyo, M.Si.

KLASIFIKASI CNIDARIA. By Luisa Diana Handoyo, M.Si. KLASIFIKASI CNIDARIA By Luisa Diana Handoyo, M.Si. Tujuan pembelajaran Setelah mengikuti perkuliahan ini mahasiswa diharapkan mampu : Menjelaskan klasifikasi Cnidaria Menjelaskan daur hidup hewan yang

Lebih terperinci

Migrasi Ikan Dan Faktor-Faktor Yang Mempengaruhinya

Migrasi Ikan Dan Faktor-Faktor Yang Mempengaruhinya Migrasi Ikan Dan Faktor-Faktor Yang Mempengaruhinya Migrasi ikan adalah adalah pergerakan perpindahan dari suatu tempat ke tempat yang lain yang mempunyai arti penyesuaian terhadap kondisi alam yang menguntungkan

Lebih terperinci

PENGENALAN BENTUK PERTUMBUHAN KARANG DAN STRUKTUR RANGKA KAPUR KARANG

PENGENALAN BENTUK PERTUMBUHAN KARANG DAN STRUKTUR RANGKA KAPUR KARANG PENGENALAN BENTUK PERTUMBUHAN KARANG DAN STRUKTUR RANGKA KAPUR KARANG 1. Pembentukan Terumbu Karang Pembentukan terumbu karang merupakan proses yang lama dan kompleks. Berkaitan dengan pembentukan terumbu,

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. kalsium karbonat (CaCO3) yang dapat dihasilkan oleh hewan karang bekerjasama

TINJAUAN PUSTAKA. kalsium karbonat (CaCO3) yang dapat dihasilkan oleh hewan karang bekerjasama II. TINJAUAN PUSTAKA A. Pengertian, Habitat, dan Tipe Terumbu Karang Terumbu karang merupakan ekosistem yang khas perairan tropis. Menurut Timotius (2003), terumbu karang merupakan struktur dasar lautan

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN KELIMPAHAN, KEANEKARAGAMAN, DAN TERUMBU KARANG

BAB II KAJIAN KELIMPAHAN, KEANEKARAGAMAN, DAN TERUMBU KARANG BAB II KAJIAN KELIMPAHAN, KEANEKARAGAMAN, DAN TERUMBU KARANG A. Kelimpahan dan Keanekaragaman Kelimpahan merupakan banyaknya individu untuk setiap jenis, kelimpahan juga di artikan sebagai jumlah individu

Lebih terperinci

2. TINJAUAN PUSTAKA. Jawa di sebelah utara, di sebelah timur berbatasan dengan Laut Jawa. Sebelah

2. TINJAUAN PUSTAKA. Jawa di sebelah utara, di sebelah timur berbatasan dengan Laut Jawa. Sebelah 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Kondisi Umum Geografi Kepulauan Seribu Secara geografis, Kepulauan Seribu berbatasan langsung dengan Laut Jawa di sebelah utara, di sebelah timur berbatasan dengan Laut Jawa. Sebelah

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN km dengan luas perairan pantai yang mencapai 5,8 km 2 dari 3,1 juta km 2

I. PENDAHULUAN km dengan luas perairan pantai yang mencapai 5,8 km 2 dari 3,1 juta km 2 I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia merupakan negara kepulauan yang mempunyai garis pantai sepanjang 81.000 km dengan luas perairan pantai yang mencapai 5,8 km 2 dari 3,1 juta km 2 keseluruhan

Lebih terperinci

KONDISI TERUMBU KARANG DI PULAU-PULAU KECIL KABUPATEN SARMI, PROVINSI PAPUA. Laporan Penelitian Kerjasama UNIPA & Pemerintah Kabupaten Sarmi

KONDISI TERUMBU KARANG DI PULAU-PULAU KECIL KABUPATEN SARMI, PROVINSI PAPUA. Laporan Penelitian Kerjasama UNIPA & Pemerintah Kabupaten Sarmi KONDISI TERUMBU KARANG DI PULAU-PULAU KECIL KABUPATEN SARMI, PROVINSI PAPUA Laporan Penelitian Kerjasama UNIPA & Pemerintah Kabupaten Sarmi Oleh THOMAS F. PATTIASINA RANDOLPH HUTAURUK EDDY T. WAMBRAUW

Lebih terperinci

2.2. Struktur Komunitas

2.2. Struktur Komunitas 5 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Makrozoobentos Hewan bentos dibagi dalam tiga kelompok ukuran, yaitu makrobentos (ukuran lebih dari 1,0 mm), meiobentos (ukuran antara 0,1-1 mm) dan mikrobentos (ukuran kurang

Lebih terperinci

COELENTERATA Coilos = rongga Enteron = usus. By Luisa Diana Handoyo, M.Si.

COELENTERATA Coilos = rongga Enteron = usus. By Luisa Diana Handoyo, M.Si. COELENTERATA Coilos = rongga Enteron = usus By Luisa Diana Handoyo, M.Si. COELENTERATA (= CNIDARIA) Cnido = penyengat Multiseluler Tubuh bersimetri radial Diploblastik (ektoderm dan endoderm) Diantara

Lebih terperinci

2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Terumbu Karang

2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Terumbu Karang 9 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Terumbu Karang Terumbu karang terbentuk dari endapan-endapan masif kalsium karbonat (CaCO 3 ) yang dihasilkan oleh organisme karang pembentuk terumbu (hermatifik) yang disebut

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. permukaan dan mengalir secara terus menerus pada arah tertentu. Air sungai. (Sosrodarsono et al., 1994 ; Dhahiyat, 2013).

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. permukaan dan mengalir secara terus menerus pada arah tertentu. Air sungai. (Sosrodarsono et al., 1994 ; Dhahiyat, 2013). 5 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Perairan Sungai Sungai adalah suatu perairan yang airnya berasal dari air hujan, air permukaan dan mengalir secara terus menerus pada arah tertentu. Air sungai dingin dan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. dan selalu terbawa arus karena memiliki kemampuan renang yang terbatas

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. dan selalu terbawa arus karena memiliki kemampuan renang yang terbatas BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. PLANKTON Plankton merupakan kelompok organisme yang hidup dalam kolom air dan selalu terbawa arus karena memiliki kemampuan renang yang terbatas (Wickstead 1965: 15; Sachlan

Lebih terperinci

Alga (ganggang) Alga sering disebut ganggang.

Alga (ganggang) Alga sering disebut ganggang. Alga (ganggang) Alga sering disebut ganggang. Alga termasuk golongan tumbuhan berklorofil tubuh disebut talus yaitu tidak punya akar, batang dan daun. Alga dianggap sebagai bentuk tumbuhan rendah karena

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. ekosistem perairan dangkal dari abrasi laut (Suryanti dkk., 2011).

TINJAUAN PUSTAKA. ekosistem perairan dangkal dari abrasi laut (Suryanti dkk., 2011). II. TINJAUAN PUSTAKA A. Terumbu Karang Terumbu karang adalah ekosistem di laut yang terbentuk oleh biota luat penghasil kapur khususnya jenis-jenis karang batu dan alaga berkapur, bersama dengan biota

Lebih terperinci

2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Keadaan Umum Lokasi Penelitian

2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Keadaan Umum Lokasi Penelitian 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Keadaan Umum Lokasi Penelitian Menurut Departemen Kehutanan (2007), Kepulauan Seribu memiliki sedikitnya 3 unsur yang memberikan warna dan kekuatan sebagai taman nasional, yaitu

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. : Volvocales. : Tetraselmis. Tetraselmis sp. merupakan alga bersel tunggal, berbentuk oval elips dan memiliki

II. TINJAUAN PUSTAKA. : Volvocales. : Tetraselmis. Tetraselmis sp. merupakan alga bersel tunggal, berbentuk oval elips dan memiliki II. TINJAUAN PUSTAKA A. Tetraselmis sp. Menurut B u t c h e r ( 1 9 5 9 ) klasifikasi Tetraselmis sp. adalah sebagai berikut: Filum : Chlorophyta Kelas : Chlorophyceae Ordo : Volvocales Sub ordo Genus

Lebih terperinci

EKOSISTEM. Yuni wibowo

EKOSISTEM. Yuni wibowo EKOSISTEM Yuni wibowo EKOSISTEM Hubungan Trofik dalam Ekosistem Hubungan trofik menentukan lintasan aliran energi dan siklus kimia suatu ekosistem Produsen primer meliputi tumbuhan, alga, dan banyak spesies

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang 1 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Ekosistem terumbu karang merupakan bagian dari ekosistem laut yang penting karena menjadi sumber kehidupan bagi beraneka ragam biota laut. Di dalam ekosistem terumbu

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. (Aziz, 1981). Tubuhnya berbentuk segilima, mempunyai lima pasang garis

II. TINJAUAN PUSTAKA. (Aziz, 1981). Tubuhnya berbentuk segilima, mempunyai lima pasang garis II. TINJAUAN PUSTAKA A. Bulu Babi Bulu babi merupakan organisme dari divisi Echinodermata yang bersifat omnivora yang memangsa makroalga dan beberapa jenis koloni karang (Aziz, 1981). Tubuhnya berbentuk

Lebih terperinci

Apakah terumbu karang?

Apakah terumbu karang? {jcomments on} Apakah terumbu karang? Terumbu Karang adalah bangunan ribuan karang yang menjadi tempat hidup berbagai ikan dan makhluk laut lainnya. Bayangkanlah terumbu karang sebagai sebuah kota yang

Lebih terperinci

II. Tinjuan Pustaka. A. Bulu Babi Tripneustes gratilla. 1. Klasifikasi dan ciri-ciri

II. Tinjuan Pustaka. A. Bulu Babi Tripneustes gratilla. 1. Klasifikasi dan ciri-ciri II. Tinjuan Pustaka A. Bulu Babi Tripneustes gratilla 1. Klasifikasi dan ciri-ciri Bulu babi Tripneustes gratilla termasuk dalam filum echinodermata dengan klasifikasi sebagai berikut (Anon 2011 ) : Kingdom

Lebih terperinci

Modul 1 : Ruang Lingkup dan Perkembangan Ekologi Laut Modul 2 : Lautan sebagai Habitat Organisme Laut Modul 3 : Faktor Fisika dan Kimia Lautan

Modul 1 : Ruang Lingkup dan Perkembangan Ekologi Laut Modul 2 : Lautan sebagai Habitat Organisme Laut Modul 3 : Faktor Fisika dan Kimia Lautan ix M Tinjauan Mata Kuliah ata kuliah ini merupakan cabang dari ekologi dan Anda telah mempelajarinya. Pengetahuan Anda yang mendalam tentang ekologi sangat membantu karena ekologi laut adalah perluasan

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Estuari oleh sejumlah peneliti disebut-kan sebagai area paling produktif,

TINJAUAN PUSTAKA. Estuari oleh sejumlah peneliti disebut-kan sebagai area paling produktif, TINJAUAN PUSTAKA Ekosistem Estuari Estuari oleh sejumlah peneliti disebut-kan sebagai area paling produktif, karena area ini merupakan area ekoton daerah pertemuan dua ekosistem berbeda (tawar dan laut)

Lebih terperinci

KONDISI TERUMBU KARANG HIDUP BERDASARKAN PERSEN TUTUPAN DI PULAU KARANG PROVINSI SUMATERA UTARA DAN HUBUNGANNYA DENGAN KUALITAS PERAIRAN

KONDISI TERUMBU KARANG HIDUP BERDASARKAN PERSEN TUTUPAN DI PULAU KARANG PROVINSI SUMATERA UTARA DAN HUBUNGANNYA DENGAN KUALITAS PERAIRAN KONDISI TERUMBU KARANG HIDUP BERDASARKAN PERSEN TUTUPAN DI PULAU KARANG PROVINSI SUMATERA UTARA DAN HUBUNGANNYA DENGAN KUALITAS PERAIRAN Miswar Budi Mulya *) Abstract The research of living coral reef

Lebih terperinci

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Kondisi Fisika dan Kimia Perairan Parameter fisika dan kimia perairan sangat mempengaruhi kehidupan biota laut khususnya terumbu karang. Parameter yang tidak sesuai dengan

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Daphnia sp. digolongkan ke dalam Filum Arthropoda, Kelas Crustacea, Subkelas

II. TINJAUAN PUSTAKA. Daphnia sp. digolongkan ke dalam Filum Arthropoda, Kelas Crustacea, Subkelas 6 II. TINJAUAN PUSTAKA A. Klasifikasi dan Morfologi Daphnia sp. digolongkan ke dalam Filum Arthropoda, Kelas Crustacea, Subkelas Branchiopoda, Divisi Oligobranchiopoda, Ordo Cladocera, Famili Daphnidae,

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Kondisi Umum Selat Bali Bagian Selatan

TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Kondisi Umum Selat Bali Bagian Selatan 3 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Kondisi Umum Selat Bali Bagian Selatan Selat merupakan perairan relatif sempit yang menghubungkan dua buah perairan yang lebih besar dan biasanya terletak di antara dua daratan

Lebih terperinci

1. PENDAHULUAN. Indonesia merupakan negara yang dua per tiga luasnya ditutupi oleh laut

1. PENDAHULUAN. Indonesia merupakan negara yang dua per tiga luasnya ditutupi oleh laut 1 1. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia merupakan negara yang dua per tiga luasnya ditutupi oleh laut dan hampir sepertiga penduduknya mendiami daerah pesisir pantai yang menggantungkan hidupnya dari

Lebih terperinci

2.2. Parameter Fisika dan Kimia Tempat Hidup Kualitas air terdiri dari keseluruhan faktor fisika, kimia, dan biologi yang mempengaruhi pemanfaatan

2.2. Parameter Fisika dan Kimia Tempat Hidup Kualitas air terdiri dari keseluruhan faktor fisika, kimia, dan biologi yang mempengaruhi pemanfaatan 4 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Chironomida Organisme akuatik yang seringkali mendominasi dan banyak ditemukan di lingkungan perairan adalah larva serangga air. Salah satu larva serangga air yang dapat ditemukan

Lebih terperinci

1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Peningkatan kesejahteraan hidup rakyat melalui pembangunan di bidang industri, nampak memberikan dampak terhadap perubahan lingkungan perairan pesisir dan laut karena

Lebih terperinci

PENDAHULUAN GLOBAL WARMING - BIODIVERSITAS MAF - BIOLOGI UNAIR 1 DAMPAK PEMANASAN GLOBAL TERHADAP BIODIVERSITAS DAN EKOSISTEM

PENDAHULUAN GLOBAL WARMING - BIODIVERSITAS MAF - BIOLOGI UNAIR 1 DAMPAK PEMANASAN GLOBAL TERHADAP BIODIVERSITAS DAN EKOSISTEM GLOBAL WARMING - BIODIVERSITAS PENDAHULUAN DAMPAK PEMANASAN GLOBAL TERHADAP BIODIVERSITAS DAN EKOSISTEM Drs. MOCH. AFFANDI, M.Si. FAKULTAS SAINS DAN TEKNOLOGI UNIVERSITAS AIRLANGGA - SURABAYA Beberapa

Lebih terperinci

2. TINJAUAN PUSTAKA. biota-biota penyusunnya, dengan keanekaragaman jenis yang tinggi. Salah satu

2. TINJAUAN PUSTAKA. biota-biota penyusunnya, dengan keanekaragaman jenis yang tinggi. Salah satu 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Karang Lunak Lobophytum strictum Terumbu karang merupakan ekosistem di perairan tropis yang kaya akan biota-biota penyusunnya, dengan keanekaragaman jenis yang tinggi. Salah satu

Lebih terperinci

2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Tingkat Kerusakan Terumbu Karang 2.2 Terbentuknya Endosimbiosis

2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Tingkat Kerusakan Terumbu Karang 2.2 Terbentuknya Endosimbiosis 5 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Tingkat Kerusakan Terumbu Karang Ancaman terumbu karang saat ini diestimasi hampir mencapai 60% dari seluruh terumbu karang dunia adalah disebabkan oleh aktifitas manusia seperti

Lebih terperinci

BAB II. TINJAUAN PUSTAKA Klasifikasi Siput Gonggong (Strombus turturella)

BAB II. TINJAUAN PUSTAKA Klasifikasi Siput Gonggong (Strombus turturella) BAB II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Klasifikasi Siput Gonggong (Strombus turturella) Klasifikasi Siput Gonggong (Strombus turturella) menurut Ruppert dan Barnes (1994); adalah sebagai berikut: Kingdom : Animalia

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. yang tinggi dan memiliki ekosistem terumbu karang beserta hewan-hewan laut

I. PENDAHULUAN. yang tinggi dan memiliki ekosistem terumbu karang beserta hewan-hewan laut I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Perairan laut Indonesia memiliki keanekaragaman sumberdaya hayati yang tinggi dan memiliki ekosistem terumbu karang beserta hewan-hewan laut yang hidup di sekitarnya. Ekosistem

Lebih terperinci

2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Biologi Karang

2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Biologi Karang 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Biologi Karang Terumbu karang merupakan kumpulan komunitas karang, yang hidup di dasar perairan, berupa batuan kapur (CaCO 3 ), dan mempunyai kemampuan untuk menahan gaya gelombang

Lebih terperinci

DISTRIBUSI UKURAN KARANG PORITES SEBAGAI PENYUSUN UTAMA MIKROATOL DI DAERAH RATAAN TERUMBU (REEF FLAT) PERAIRAN KONDANG MERAK KABUPATEN MALANG

DISTRIBUSI UKURAN KARANG PORITES SEBAGAI PENYUSUN UTAMA MIKROATOL DI DAERAH RATAAN TERUMBU (REEF FLAT) PERAIRAN KONDANG MERAK KABUPATEN MALANG DISTRIBUSI UKURAN KARANG PORITES SEBAGAI PENYUSUN UTAMA MIKROATOL DI DAERAH RATAAN TERUMBU (REEF FLAT) PERAIRAN KONDANG MERAK KABUPATEN MALANG Kuncoro Aji, Oktiyas Muzaky Luthfi Program Studi Ilmu Kelautan,

Lebih terperinci

Ekosistem dan Sumberdaya Utama Pesisir dan Laut

Ekosistem dan Sumberdaya Utama Pesisir dan Laut Ekosistem dan Sumberdaya Utama Pesisir dan Laut SUMBERDAYA UTAMA PESISIR DAN LAUT Dari sudut ekologi, wilayah pesisir dan laut merupakan lokasi beberapa ekosistem yang unik dan saling terkait, dinamis

Lebih terperinci

PERTEMUAN KE-6 M.K. DAERAH PENANGKAPAN IKAN HUBUNGAN SUHU DAN SALINITAS PERAIRAN TERHADAP DPI ASEP HAMZAH

PERTEMUAN KE-6 M.K. DAERAH PENANGKAPAN IKAN HUBUNGAN SUHU DAN SALINITAS PERAIRAN TERHADAP DPI ASEP HAMZAH PERTEMUAN KE-6 M.K. DAERAH PENANGKAPAN IKAN HUBUNGAN SUHU DAN SALINITAS PERAIRAN TERHADAP DPI ASEP HAMZAH Hidup ikan Dipengaruhi lingkungan suhu, salinitas, oksigen terlarut, klorofil, zat hara (nutrien)

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. disebut arus dan merupakan ciri khas ekosistem sungai. Secara ekologis sungai

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. disebut arus dan merupakan ciri khas ekosistem sungai. Secara ekologis sungai 4 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Perairan Sungai Sungai merupakan suatu perairan yang airnya berasal dari air tanah dan air hujan, yang mengalir secara terus menerus pada arah tertentu. Aliran tersebut dapat

Lebih terperinci

1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Ekosistem padang lamun (seagrass) merupakan suatu habitat yang sering dijumpai antara pantai berpasir atau daerah mangrove dan terumbu karang. Padang lamun berada di daerah

Lebih terperinci

I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Ekosistem mangrove merupakan ekosistem pesisir yang terdapat di sepanjang pantai tropis dan sub tropis atau muara sungai. Ekosistem ini didominasi oleh berbagai jenis

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA

II. TINJAUAN PUSTAKA II. TINJAUAN PUSTAKA A. Klasifikasi dan Morfologi Clownfish Klasifikasi Clownfish menurut Burges (1990) adalah sebagai berikut: Kingdom Filum Ordo Famili Genus Spesies : Animalia : Chordata : Perciformes

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Indonesia sebagai negara kepulauan terletak diantara samudera Pasifik dan

II. TINJAUAN PUSTAKA. Indonesia sebagai negara kepulauan terletak diantara samudera Pasifik dan II. TINJAUAN PUSTAKA A. Perairan Indonesia Indonesia sebagai negara kepulauan terletak diantara samudera Pasifik dan samudera Hindia dan mempunyai tatanan geografi laut yang rumit dilihat dari topografi

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. memiliki empat buah flagella. Flagella ini bergerak secara aktif seperti hewan. Inti

TINJAUAN PUSTAKA. memiliki empat buah flagella. Flagella ini bergerak secara aktif seperti hewan. Inti II. TINJAUAN PUSTAKA A. Klasifikasi dan Biologi Tetraselmis sp. Tetraselmis sp. merupakan alga bersel tunggal, berbentuk oval elips dan memiliki empat buah flagella. Flagella ini bergerak secara aktif

Lebih terperinci

DISTRIBUSI VERTIKAL KARANG BATU (SCLERACTINIA) DI PERAIRAN DESA KALASEY, KABUPATEN MINAHASA

DISTRIBUSI VERTIKAL KARANG BATU (SCLERACTINIA) DI PERAIRAN DESA KALASEY, KABUPATEN MINAHASA DISTRIBUSI VERTIKAL KARANG BATU (SCLERACTINIA) DI PERAIRAN DESA KALASEY, KABUPATEN MINAHASA (Vertical Distribution of Stony Coral at Kalasey Waters, Regency of Minahasa) Willy Fredy Lasano 1*, Fontje Goeris

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. sedangkan secara geografis Indonesia terletak di antara benua Asia dan Benua

BAB I PENDAHULUAN. sedangkan secara geografis Indonesia terletak di antara benua Asia dan Benua BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Secara geografis Indonesia membentang 6 0 LU 11 0 LS dan 95 0-141 0 BT, sedangkan secara geografis Indonesia terletak di antara benua Asia dan Benua Australia

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Kondisi Perairan Wilayah Pulau Pramuka Perairan wilayah Pulau Pramuka, Kepulauan Seribu, terdiri dari rataan terumbu yang mengelilingi pulau dengan ukuran yang bervariasi

Lebih terperinci

2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Kondisi Umum Perairan Selat Bali

2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Kondisi Umum Perairan Selat Bali 3 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Kondisi Umum Perairan Selat Bali Selat adalah sebuah wilayah perairan yang menghubungkan dua bagian perairan yang lebih besar, dan karenanya pula biasanya terletak diantara dua

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. ekosistem lamun, ekosistem mangrove, serta ekosistem terumbu karang. Diantara

BAB I PENDAHULUAN. ekosistem lamun, ekosistem mangrove, serta ekosistem terumbu karang. Diantara 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Indonesia merupakan salah satu negara kepulauan yang sebagian besar wilayahnya merupakan perairan dan terletak di daerah beriklim tropis. Laut tropis memiliki

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Air laut merupakan suatu medium yang unik. Sebagai suatu sistem, terdapat hubungan erat antara faktor biotik dan faktor abiotik, karena satu komponen dapat

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. limbah dari pertanian dan industri, serta deforestasi ilegal logging (Nordhaus et al.,

I. PENDAHULUAN. limbah dari pertanian dan industri, serta deforestasi ilegal logging (Nordhaus et al., I. PENDAHULUAN Segara Anakan merupakan perairan estuaria yang terletak di pantai selatan Pulau Jawa, termasuk dalam wilayah Kabupaten Cilacap, dan memiliki mangroveestuaria terbesar di Pulau Jawa (7 o

Lebih terperinci

sedangkan sisanya berupa massa air daratan ( air payau dan air tawar ). sehingga sinar matahari dapat menembus kedalam air.

sedangkan sisanya berupa massa air daratan ( air payau dan air tawar ). sehingga sinar matahari dapat menembus kedalam air. 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Perairan merupakan ekosistem yang memiliki peran sangat penting bagi kehidupan. Perairan memiliki fungsi baik secara ekologis, ekonomis, estetika, politis,

Lebih terperinci

2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Biologi Karang Cara makan dan sistem reproduksi

2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Biologi Karang Cara makan dan sistem reproduksi 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Biologi Karang Karang tergolong dalam jenis makhluk hidup (hewan) yaitu sebagai individu organisme atau komponen dari masyarakat hewan (Rahmawaty 2004). Dalam bentuk yang paling

Lebih terperinci

EKOSISTEM TERUMBU KARANG PERANAN, KONDISI DAN KONSERVASINYA

EKOSISTEM TERUMBU KARANG PERANAN, KONDISI DAN KONSERVASINYA 2003 Wazir Mawardi Posted: 3 January 2003 Makalah Falsafah Sains (PPs 702) Program Pasca Sarjana / S3 Institut Pertanian Bogor December 2002 Dosen: Prof Dr Ir Rudy C Tarumingkeng (Penanggung Jawab) Prof

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Keadaan Lokasi Penelitian Cirebon merupakan daerah yang terletak di tepi pantai utara Jawa Barat tepatnya diperbatasan antara Jawa Barat dan Jawa Tengah. Lokasi penelitian

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Kondisi Umum Perairan Bintan Pulau Bintan merupakan salah satu pulau di kepulauan Riau tepatnya di sebelah timur Pulau Sumatera. Pulau ini berhubungan langsung dengan selat

Lebih terperinci

2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Oksigen Terlarut Sumber oksigen terlarut dalam perairan

2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Oksigen Terlarut Sumber oksigen terlarut dalam perairan 4 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Oksigen Terlarut Oksigen terlarut dibutuhkan oleh semua jasad hidup untuk pernapasan, proses metabolisme, atau pertukaran zat yang kemudian menghasilkan energi untuk pertumbuhan

Lebih terperinci

5 HASIL DAN PEMBAHASAN

5 HASIL DAN PEMBAHASAN 39 5 HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1 Kondisi Terumbu Karang di Lokasi Penelitian 5.1.1 Kondisi Terumbu Karang Pulau Belanda Kondisi terumbu karang di Pulau Belanda berdasarkan hasil analisis yang telah dilakukan

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Ekosistem merupakan konsep penting dalam mempelajari ilmu ekologi. Ekosistem adalah interaksi yang terjadi antara organisme hidup dengan faktor abiotik dan biotik. Ekosistem

Lebih terperinci