BAB IV POLA OPERASIONAL ANGKOT CICAHEUM-CIROYOM

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "BAB IV POLA OPERASIONAL ANGKOT CICAHEUM-CIROYOM"

Transkripsi

1 BAB IV POLA OPERASIONAL ANGKOT CICAHEUM-CIROYOM Bab ini menguraikan kondisi supply dan demand layanan angkot, pola operator dalam memaksimalkan tingkat utilitas dari input layanan angkutan yang diberikan dan pola serta mekanisme operator (pengemudi) dalam menyeimbangkan kebutuhan dan penyediaan layanan dan juga kualitas layanan angkot. IV.1. Kajian Umum Supply dan Demand Layanan Angkot IV.1.1 Penyediaan Layanan Angkot Cicaheum-Ciroyom Rute angkot Cicaheum Ciroyom termasuk tipe konsentris dalam yang menghubungkan pusat-pusat kegiatan dalam kota sesuai dengan pola jaringan jalan di Kota Bandung yang cenderung bersifat konsentris di sekitar pusat kota. Tipe ini merupakan modifikasi dari tipe radial tanpa cabang radialnya. Pola lintasan rute ini diberikan pada Gambar IV.1 berikut. Gambar IV.1. Rute angkot Cicaheum-Ciroyom Rute ini dilayani oleh 206 angkot yang terdaftar dan termasuk dalam wilayah koperasi pengusaha Kobanter Baru. Lintasan rute ini melewati enam kecamatan 62

2 yaitu Cibeunying Kaleer, Cibeunying Kidul, Coblong, Sukajadi, Cicendo dan Andir. Keenam wilayah tersebut termasuk kecamatan-kecamatan di Kota Bandung dengan kepadatan yang tinggi yaitu, yang paling tinggi, Andir dengan jw/km2 dan yang terendah adalah Cibeunying Kaleer dengan kepadatan jw/km2. Tingginya potensi bangkitan pergerakan dari jumlah penduduk tersebut membuat wilayah tersebut juga dilayani oleh beberapa rute yang lain sehingga terjadi tumpang tindih rute pada beberapa ruas jalan. Studi Masterplan Angkutan Umum Kota Bandung (2004) mengidentifikasi bahwa trayek Cicaheum-Ciroyom ini mengalami tumpang tindih rute dengan 5 trayek lain pada beberapa ruas jalan di sepanjang lintasannya. IV.1.2 Permintaan Layanan Angkot Gambaran tingkat permintaan layanan angkot trayek Cicaheum-Ciroyom dalam penelitian ini diperoleh dari survey on board. Survey on board yang dilakukan juga dapat memberikan informasi mengenai panjang rata-rata perjalanan penumpang. Survey ini menunjukkan bahwa jumlah penumpang bervariasi menurut waktu yaitu sebagaimana diberikan pada Tabel IV.1. berikut. Tabel IV.1 Penumpang rata-rata per satuan jarak tempuh, pnp/km Cicaheum - Ciroyom Pagi Siang Sore Rata-rata Senin Jum'at Minggu Rata-rata Ciroyom - Cicaheum Pagi Siang Sore Rata-rata Senin Jum'at Minggu Rata-rata N = 5 63

3 Tabel IV.1 di atas menggambarkan bahwa permintaan akan layanan angkot pada trayek Cicaheum-Ciroyom bervariasi berdasarkan waktu maupun berdasarkan arah pergerakan. Survey on board yang dilakukan mencatat keterisian kendaraan pada kedua arah pergerakan angkot baik dari arah Terminal Cicaheum menuju Terminal Ciroyom, maupun arah sebaliknya dari Terminal Ciroyom menuju Terminal Cicaheum. Berdasarkan waktu pergerakan kendaraan antara pagi, siang dan sore, terlihat bahwa permintaan pada pagi hari merupakan yang paling tinggi (2,53 pnp/km arah Cicaheum-Ciroyom dan 2,17 pnp/km pada arah Ciroyom-Cicaheum) kemudian menurun pada siang hari (1,93 dan 1,78) dan kemudian naik lagi pada sore hari ( 2,12 dan 1,87). Berdasarkan hari, maka terlihat bahwa penumpang pada hari Senin, yang dianggap mewakili hari Selasa, Rabu dan Kamis, rata-rata 2,35 pada arah Cicaheum-Ciroyom dan 2,07 pada arah sebaliknya dari Ciroyom menuju Cicaheum. Jumlah ini menurun pada hari Jum at (2,01 dan 1,70) kemudian naik lagi pada hari Minggu (2,2 dan 2,05). Dari variasi menurut waktu (pagi, siang dan sore) dan hari, terlihat bahwa ratarata penumpang dari arah Cicaheum menuju Ciroyom lebih tinggi dibanding pada arah sebaliknya dari Ciroyom menuju Cicaheum. IV.2. Kinerja Finansial Pengemudi Angkot Cicaheum-Ciroyom Dalam penelitian ini kinerja finansial angkutan umum ditinjau pada tingkat pengemudi yang didefinisikan sebagai perbandingan (rasio) antara pendapatan yang diperoleh terhadap total biaya operasional yang dikeluarkan pengemudi setiap harinya. Tinjauan pada tingkat pengemudi karenanya tidak memperhitungkan keseluruhan biaya yang sebenarnya menjadi input dalam penyediaan layanan angkutan misalnya biaya investasi dan penyusutan nilai kendaraan ataupun biaya perijinan. Mekanisme dari operator dalam penyediaan layanan angkutan adalah membagi beban antara pengemudi dan pemilik kendaraan melalui sistem sewa-menyewa 64

4 sehingga yang menjadi beban sepenuhnya bagi pengemudi adalah biaya operasional sehari-hari dengan komponen terbesarnya adalah untuk biaya bahan bakar. Dengan beban operasional pada pengemudi, maka akan terdapat kemungkinan bahwa pengemudi akan melakukan optimalisasi pendapatan dengan meminimalkan biaya operasionalnya. Peran pemerintah dalam pengaturan layanan angkutan umum, terutama moda angkot, terbatas hanya pada pengaturan rute sementara keputusan apakah angkot tersebut akan beroperasi sepenuhnya sesuai ijin trayek yang dimiliki atau sebaliknya tidak beroperasi sama sekali sepenuhnya berada pada operator. Kinerja finansial operasional angkot dari sisi pengemudi adalah perbandingan antara pendapatan dibagi dengan biaya untuk operasi yang dikeluarkan untuk setiap hari operasinya. Terhadap rasio ini juga dapat ditambahkan jarak yang ditempuh sehingga rasio pendapatan terhadap biaya untuk setiap satuan jarak tempuh dapat diketahui. Biaya dalam transportasi terdiri dari biaya langsung dan biaya tak langsung. Biaya langsung yang meliputi biaya awak, biaya administrasi, biaya bunga modal, biaya penyusutan, biaya BBM, pelumas, ban dan pemeliharaan sementara biaya tidak langsung merupakan biaya pengelolaan dan administrasi manajemen perusahaan. Keseluruhan komponen biaya tersebut dikenal sebagai Biaya Operasional Kendaraan (BOK) yang juga memperhitungkan biaya penyusutan aset. Pada perusahaan angkutan dengan jumlah armada yang besar dan dengan manajemen yang rapi, masing-masing komponen biaya-biaya tersebut dapat ditelusuri dengan mudah, misalnya, dari administrasi perusahaan. Keadaan berbeda ditemui pada operasional angkot yang relatif tidak terdapat administrasi yang lengkap merekam setiap pengeluaran maupun penerimaan. Pada sistem kepegawaian, misalnya, angkot yang beroperasi tidak memiliki ikatan kontrak kerja yang kuat antara pemilik dan pengemudi sebagai karyawan yang akan mengatur secara jelas dan tegas tugas masing-masing pihak. Kesepakatan antara pemilik dan pengemudi hanya mengenai hak dan kewajiban masing-masing dimana pemilik bertanggung jawab atas kondisi kendaraan agar tetap laik jalan 65

5 sementara pengemudi bertanggung jawab atas sejumlah tertentu yang harus disetor kepada pemilik pada setiap hari beroperasinya. Kesepakatan kerja antara pengemudi dan pemilik angkot tidak tertuang dalam bentuk suatu dokumen perikatan melainkan hanya bersifat saling kepercayaan secara lisan. Dengan sistem setoran yang berlaku dalam praktek jasa angkot maka terdapat pemisahan komponen biaya antara yang ditanggung oleh pemilik kendaraan dan komponen biaya yang menjadi tanggungan pengemudi. Pemilik kendaraan bertanggung jawab atas biaya administrasi kendaraan dan pemeliharaan sementara pengemudi, penyewa, bertanggung jawab atas biaya operasional sehari-hari yang sebagian besar merupakan biaya BBM. Komponen biaya gaji awak kendaraan menjadi bagian yang sulit untuk ditelusuri. Pemisahan beban pembiayaan, dan potensi pendapatan, antara pemilik kendaraan dan pengemudi dimana pemilik mendapat bagian yang berjumlah tetap, dalam bentuk jumlah yang harus disetor setiap harinya, mendorong dan juga memberi peluang kepada pengemudi untuk melakukan maksimalisasi pendapatan karena berhubungan dengan jumlah yang akan dibawa pulang oleh pengemudi yang merupakan selisih dari pendapatan bersih (setelah dikurangi biaya operasional) dengan jumlah setoran. Pola operasi pengemudi angkot adalah berusaha secepat mungkin untuk memperoleh jumlah pendapatan yang menjadi kewajiban setorannya dan setelah jumlah tersebut tercapai maka penerimaan yang diperoleh selanjutnya merupakan bagian pengemudi sebagai pendapatan (take home pay). Peluang bagi pengemudi untuk memaksimalkan pendapatannya adalah dengan menekan biaya operasi yang sifatnya berubah menurut jarak tempuh dan pada saat bersamaan memaksimalkan pendapatan dari jumlah penumpang yang diangkut. Biaya BBM yang menjadi tanggungan pengemudi merupakan variable cost yang berbanding lurus dengan panjang pergerakan kendaraan. Mengingat bahwa BBM merupakan komponen biaya dominan dalam keseluruhan biaya yang menjadi beban pengemudi, selain biaya konsumsi dan retribusi, pilihan pergerakan yang meminimalkan jarak tempuh akan juga menekan biaya operasional. Untuk 66

6 memaksimalkan pendapatan maka pengemudi berkepentingan dengan jumlah penumpang, dan panjang perjalanan, yang diangkut. Biaya setor rata-rata pengemudi kepada pemilik kendaraan dalam satu hari operasi untuk 12 jam adalah Rp ,-. Dengan informasi tersebut maka dapat diperoleh gambaran kinerja finansial rata-rata angkot yang beroperasi di jalanan sebagai berikut. Biaya tetap (setoran), Rp 150,000.0 Biaya operasional rata-rata, Rp 135, Jumlah, Rp 285,447.0 Pendapatan rata-rata, Rp 496, Pendapatan Biaya operasional = 1.74 Biaya operasional Penumpang - km Pendapatan Penumpang - km = = Penelitian ini menunjukkan bahwa untuk rute angkot Cicaheum Ciroyom kinerja finansial bervariasi dari yang paling rendah sebesar 1,2 sementara yang paling tinggi adalah 2,5 sebagaimana diberikan pada Gambar IV.2 di bawah. 67

7 Gambar IV.2 Sebaran Rasio Pendapatan-Biaya Pengemudi Percent Rasio Dari gambaran di atas terlihat bahwa dalam operasinya pengemudi angkot selalu menghasilkan pendapatan yang mampu menutupi biaya operasionalnya. Namun gambaran tersebut hanya melihat dari total biaya yang dikeluarkan langsung oleh pengemudi untuk kemudian dibandingkan dengan pendapatan yang diperoleh. Sekalipun mayoritas pengemudi berpendapat bahwa jumlah penumpang kurang, yang sebenarnya mereduksi tingkat pendapatan, tapi perhitungan di atas dapat memberi alasan masih eksisnya layanan angkot di Kota Bandung. Kecenderungan perilaku pengemudi dalam merespon kondisi lingkungan operasional akan diuraikan pada bagian berikut. IV.3 Pola Operasional Pengemudi Angkot Cicaheum-Ciroyom Pola operasional pengemudi merupakan model yang menghubungkan antara kondisi lingkungan yang dihadapi yang lalu direspon oleh pengemudi dalam bentuk pemilihan keputusan dalam pergerakan sehingga membentuk pola perilaku. 68

8 IV.3.1 Respon pengemudi terhadap potensi jumlah penumpang Untuk menjelaskan perilaku pengemudi sebagai respon terhadap potensi jumlah penumpang yang sedikit dilakukan dengan uji kontingensi C. Jumlah angkot trayek Cicaheum-Ciroyom yang terdaftar adalah sebanyak 206 buah, sehingga dengan tingkat kepercayaan 10%, jumlah sampel yang dianggap memadai adalah minimal 67 orang pengemudi. Hipotesa yang diajukan adalah : Ho = tidak terdapat hubungan yang positif dan signifikan antara rasio pendapatanbiaya terhadap respon pengemudi terhadap potensi penumpang Ha = terdapat hubungan yang positif dan signifikan antara rasio pendapatan-biaya terhadap respon pengemudi terhadap potensi penumpang Kemungkinan respon pengemudi terhadap potensi jumlah penumpang adalah tetap beroperasi (diberi skor 4), memotong rute (3), ngetem (2) dan tergantung perolehan target pendapatan (1). Perhitungan dilakukan dengan perangkat lunak SPSS dengan menu Analyze, descriptive statistics dan crosstabs. Dari keluaran SPSS diperoleh koefisien kontingensi C sebesar 0,644. Untuk menguji signifikansi koefisien C dilakukan dengan membandingkan harga Chi Kuadrat hitung dengan Chi Kuadrat tabel. Perhitungan Chi Kuadrat yang dilakukan dengan SPSS menunjukkan hasil 20,821. Dengan df = 3 dan dengan taraf kesalahan 10% diperoleh nilai Chi Kuadrat tabel sebesar 6,251. Dari perhitungan di atas terlihat bahwa Chi Kuadrat hitung lebih besar dari Chi Kuadrat tabel (20,821 > 6,251) sehingga dapat disimpulkan bahwa Ho ditolak dan Ha diterima. Pengujian statistik menunjukkan bahwa terdapat hubungan positif yang signifikan antara rasio biaya-pendapatan pengemudi dalam mengoperasikan angkot dengan pola operasi sebagai respon terhadap potensi jumlah penumpang. 69

9 Tabel IV.2. menunjukkan bahwa dari 67 responden, terdapat 22 pengemudi (32,84%) yang merespon potensi penumpang dengan melakukan pemotongan rute, 25 pengemudi (37,3%) yang memilih ngetem, 19 pengemudi (28,36%) yang memilih tetap beroperasi sesuai ketentuan sementara 1 orang (1,49%) yang memilih menyesuaikan dengan perolehan target pendapatan, terutama target setoran. Tabel IV.2 Respon Pengemudi Terhadap Jumlah Penumpang Valid Cumulative Frequency Percent Valid Percent Percent Total Pemotongan rute merupakan kondisi dimana pengemudi tidak menyelesaikan lintasan pergerakannya sesuai dengan ketentuan menurut trayek. Pengemudi akan menyelesaikan lintasan dari terminal sampai ke terminal hanya apabila potensi pendapatan dari jumlah penumpang dianggap dapat menutupi biaya yang harus dikeluarkan. Tabel IV.3 menunjukkan bahwa pengemudi yang memilih pola operasi dengan melakukan ngetem, yaitu bergerak hanya setelah keterisian kendaraan dianggap cukup, menghasilkan kinerja finansial rata-rata (perbandingan antara pendapatan terhadap biaya) yang paling tinggi yaitu 1,66 sementara pengemudi yang memilih melakukan pemotongan rute memiliki kinerja finansial rata-rata 1,62. Pengemudi yang memilih tetap beroperasi seperti biasa tanpa melakukan variasi waktu maupun lintasan dalam pergerakannya memiliki kinerja rata-rata 1,57. 70

10 No. Respnd Tabel IV.3. Respon pengemudi terhadap potensi penumpang dan kinerja finansialnya Ngetem Memotong rute Tetap beroperasi Rasio pendapatanbiaya No. Respnd Rasio pendapatanbiaya No. Respnd Rasio pendapatanbiaya Kejar target pendapatan No. Respnd Rasio pendapatanbiaya Rata-rata Berdasarkan kecenderungan pengelompokannya maka terlihat bahwa kinerja finansial antara kelompok pengemudi yang memilih pola ngetem dan yang memotong rute memusat pada rentang kinerja finansial 1,5-1,7 yaitu 16 dari 25 pengemudi (64%) yang memilih pola ngetem dan 15 orang (68,18%) dari 22 orang pengemudi yang memilih melakukan pemotongan rute. Namun pengemudi yang memilih tetap beroperasi tanpa terlalu memperhitungkan kondisi jumlah penumpang juga memiliki kecenderungan kinerja finansial yang memusat pada 71

11 interval yang sama yaitu 1,5-1,7 sebanyak 17 orang (89,5%) dari 19 pengemudi (Tabel IV.4 dan Gambar IV.3). Tabel IV.4 Pengelompokan kinerja finansial pengemudi berdasarkan respon terhadap kondisi jumlah penumpang Rasio Ngetem Memotong rute Jumlah Respon Tetap beroperasi Kejar target 1, N Gambar IV.3 Sebaran kinerja finansial pengemudi berdasarkan respon terhadap kondisi jumlah penumpang Dari gambaran di atas dapat disimpulkan bahwa terhadap kondisi jumlah penumpang, pengemudi memiliki kinerja finansial yang relatif sama yaitu berkisar pada rentang 1,5 sampai 1,7. Kecenderungan kinerja ini terjadi baik apabila pengemudi melakukan ngetem, pemotongan rute ataupun tetap melintas tanpa melihat kondisi jumlah penumpang. Hasil ini mengindikasikan bahwa ketiga 72

12 kemungkinan perilaku pengemudi tersebut memberikan kinerja finansial yang seimbang dalam upaya pencapaian maksimalisasi keuntungan sehingga dimungkinkan juga bahwa pengemudi akan melakukan pilihan pola pergerakan yang bervariasi dari hari ke hari. Dari Tabel IV.3 juga terlihat bahwa pengemudi yang memilih pola operasi yang sesuai dengan ketentuan trayek, tanpa memperhitungkan kondisi potensi penumpang, memiliki kinerja finansial yang relatif seragam. Rasio pendapatanbiaya yang terendah adalah 1,4 sementara yang tertinggi adalah 1,73. Selisih antara yang tertinggi dengan yang terendah adalah 0,33. Pengemudi yang memilih pola operasi dengan melakukan pemotongan rute memiliki rentang variasi kinerja finansial yang lebih lebar yaitu yang tertinggi sebesar 2,25 sementara yang terendah adalah 1,20. Selisih kinerja finansial tertinggi dengan terendah adalah 1,05. Pengemudi yang memilih pola operasi dengan melakukan perhentian untuk pengisian penumpang sampai pada jumlah yang dianggap memadai (ngetem) memiliki kinerja finansial yang tertinggi sebesar 2,5 sementara yang terendah adalah 1,20. Selisih kinerja finansial tertinggi dengan terendah adalah 1,30. Selisih kinerja finansial yang lebar pada pola operasi memotong rute dan ngetem menunjukkan bahwa pengemudi angkot melakukan upaya maksimalisasi keuntungan dengan lebih mementingkan pendapatan dari tingkat keterisian penumpang daripada melakukan pemenuhan kewajiban lintasan menurut trayek yang sebenarnya. Komponen biaya dominan dalam operasional angkot sehari-hari adalah untuk BBM yang berhubungan langsung dengan jarak tempuh. Dengan mengurangi jarak tempuh maka pengemudi dapat menekan biaya operasional. Pada kasus trayek angkot Cicaheum-Ciroyom, angkot yang berangkat dari Terminal Cicaheum banyak melakukan pemutusan rute pada Jl Pajajaran. Dengan kondisi ini maka jumlah angkot yang berangkat dari Terminal Cicaheum tidak selalu sama dengan jumlah angkot yang sampai ke Terminal Ciroyom. 73

13 Keadaan di atas tergambar dari hasil traffic counting yang dilakukan di 5 (lima) titik sepanjang trayek Cicaheum - Ciroyom pada 3 (tiga) hari yang berbeda yaitu Senin, Jum at dan Minggu. Tabel. IV.5.a Jumlah angkot pada beberapa ruas jalan (Senin) Jalan Jam Pahlawan Sp Dago Eyckman Pajajaran Arjuna Tabel. IV.5.b Jumlah angkot pada beberapa ruas jalan (Jum at) Jalan Jam Pahlawan Sp Dago Eyckman Pajajaran Arjuna Tabel. IV.5.c Jumlah angkot pada beberapa ruas jalan (Minggu) Jalan Jam Pahlawan Sp Dago Eyckman Pajajaran Arjuna Tabel IV.5 di atas menunjukkan bahwa jumlah angkot relatif sama pada ruas jalan mulai dari Jl. Pahlawan (keluar dari Terminal Cicaheum) sampai ke Jl. Eyckman sementara pada Jl. Pajajaran dan Jl. Arjuna (yang dekat ke Terminal Ciroyom), jumlah angkot menurun drastis menjadi sekitar 50% dari jumlah di Jl Pahlawan. 74

14 Pola ini terjadi sama pada setiap interval waktu, baik pagi, siang maupun sore hari. Keadaan ini dapat ditafsirkan bahwa sebagian angkot yang berangkat dari Terminal Cicaheum melakukan pemotongan rute dengan tidak meneruskan sampai Terminal Ciroyom sehingga terjadi perbedaan jumlah angkot pada beberapa ruas jalan sepanjang trayek Cicaheum-Ciroyom. Dalam upaya menekan biaya operasional, terutama BBM yang berhubungan langsung dengan jarak tempuh, dan pada saat bersamaan hanya melintas pada wilayah-wilayah (ruas jalan) dengan potensi penumpang yang tinggi maka pengemudi menjaga rasio antara pendapatan yang diterima dari keterisian penumpang dengan biaya yang harus dikeluarkan. Berdasarkan data antara rata-rata biaya yang dikeluarkan dan tingkat pendapatan pengemudi dalam setiap hari operasinya terdapat kecenderungan bahwa pengemudi dapat menjaga bahwa setiap biaya yang dikeluarkan berkorelasi positif dengan tingkat pendapatan. Keadaan tersebut dimungkinkan karena angkot pada dasarnya tidak diwajibkan untuk bergerak pada saat-saat tertentu terlepas dari jumlah penumpang yang akan diangkut. Keputusan angkot untuk bergerak secara kontinu, secara sporadis atau bahkan tidak beroperasi sama sekali tergantung dari pengemudi yang mempertimbangkan potensi pendapatan dari jumlah tangkapan penumpang dan dibandingkan terhadap biaya yang harus dikeluarkan. IV.3.2. Respon pengemudi terhadap kondisi kemacetan lalu lintas Salah satu kondisi lingkungan yang dihadapi dalam operasional angkot sehari-hari adalah kondisi kemacetan lalu-lintas yang menimbulkan tundaan dalam perjalanan. Keadaan ini akan mengurangi peluang pengemudi untuk memaksimalkan pendapatannya sementara biaya BBM akan tetap harus dikeluarkan. Pada sisi lain, daerah-daerah yang potensial mengalami kemacetan adalah daerah-daerah yang merupakan pusat-pusat kegiatan penduduk sehingga juga memberikan peluang pendapatan bagi pengemudi angkot dari pengguna jasa yang merupakan paksawan terhadap angkutan umum. 75

15 Untuk menjelaskan kecenderungan perilaku pengemudi sebagai respon terhadap kemacetan lalu lintas yang merupakan kondisi lingkungan yang dihadapi dalam operasional sehari-hari dilakukan dengan uji kontingensi C. Hipotesa yang diajukan adalah : Ho = tidak terdapat hubungan yang positif dan signifikan antara rasio pendapatan-biaya terhadap respon pengemudi terhadap kondisi kemacetan Ha = terdapat hubungan yang positif dan signifikan antara rasio pendapatan-biaya terhadap respon pengemudi terhadap kondisi kemacetan Kemungkinan respon pengemudi terhadap kondisi kemacetan lalu-lintas adalah tetap melintas (diberi skor 4), memotong rute (3), mencari jalan/jalur alternatif (2) dan tidak beroperasi (1). Perhitungan yang dilakukan dengan perangkat lunak SPSS dengan menu Analyze, descriptive statistics dan crosstabs memberikan hasil koefisien kontingensi C sebesar 0,587. Untuk menguji signifikansi koefisien C dilakukan dengan membandingkan harga Chi Kuadrat hitung dengan Chi Kuadrat tabel. Perhitungan Chi Kuadrat yang dilakukan dengan SPSS menunjukkan hasil 29,045. Dengan df = 2 dan dengan taraf kesalahan 10% diperoleh nilai Chi Kuadrat tabel sebesar 3,605. Dari perhitungan di atas terlihat bahwa Chi Kuadrat hitung lebih besar dari Chi Kuadrat tabel (29,045 > 3,605) sehingga dapat disimpulkan bahwa Ho ditolak dan Ha diterima. Simpulan yang dapat ditarik dari pengujian statistik ini adalah bahwa terdapat hubungan positif yang signifikan antara rasio pendapatan-biaya pengemudi dalam mengoperasikan angkot dengan respon terhadap kondisi kemacetan. Tabel IV.7 menunjukkan bahwa dari 67 responden, terdapat 43 pengemudi (64,2%) yang memilih tetap melintas, 10 pengemudi (14,9%) yang memilih 76

16 melakukan pemotongan rute, dan 14 orang (20,9%) yang melakukan respon dengan berusaha mencari jalan/jalur alternatif menghindari kemacetan dan tidak ada pengemudi yang memilih tidak melakukan operasi. Gambaran di atas menunjukkan bahwa sekalipun terdapat kemacetan, mayoritas pengemudi angkot, hampir 85%, tetap akan beroperasi baik dengan melintas sesuai ketentuan trayek maupun dengan berupaya mencari jalan/jalur alternatif yang memungkinkan angkot dapat melintas sementara yang melakukan pemotongan rute hanya 15%. Tidak adanya pengemudi yang memilih untuk tidak beroperasi karena adanya kemacetan menunjukan bahwa faktor kemacetan tidak menjadi penghalang bagi angkot untuk tetap beroperasi dan lebih dari setengah (64,2%) bahkan tidak peduli dengan kemacetan dengan tetap melintas sesuai dengan jalur menurut ketentuan trayeknya. Sisanya 35,8% tetap beroperasi tapi dengan melakukan penyesuaian lintasannya baik dengan pemotongan rute atau berupaya mencari jalur/jalan alternatif menghindari kemacetan. Kinerja finansial pengemudi dengan memperhitungkan respon pengemudi terhadap kondisi kemacetan menunjukkan bahwa pengemudi yang memilih melakukan pemotongan rute memiliki kinerja finansial rata-rata tertinggi yaitu sebesar 1,81. Kinerja finansial terendah adalah 1,40 sementara yang tertinggi adalah 2,5. Selisih antara yang tertinggi dengan yang terendah adalah 1,10. Pengemudi yang berusaha memilih lintasan alternatif menghindari kemacetan memiliki kinerja finansial rata-rata 1,58. Kinerja finansial tertinggi adalah 2,0 dan terendah 1,2. Selisih kinerja finansial tertinggi dan terendah adalah 0,8. Pengemudi yang memilih tetap melintas tanpa memperdulikan kemacetan memiliki kinerja finansial rata sebesar 1,59. Kinerja finansial tertinggi adalah 2,0 dan terendah 1,2. Selisih kinerja finansial tertinggi dan terendah adalah 0,8. Gambaran ini sekilas menunjukkan bahwa terhadap kondisi kemacetan respon pengemudi yang lebih menguntungkan adalah dengan melakukan pemotongan rute, namun responden yang memilih respon ini hanya 15% dibanding yang 77

17 memilih respon berupaya mencari jalur alternatif sebesar 21%. Mayoritas pengemudi, 64%, justru memilih tetap melintas pada ruas-ruas jalan yang mengalami kemacetan. Tabel IV.6 Pengelompokan kinerja finansial pengemudi berdasarkan respon pengemudi terhadap kondisi kemacetan Rasio Memotong rute Jumlah Respon Tetap melintas Lintasan alternatif Tidak beroperasi 1, N ,93% 64,18% 20,90% 0,00% Tabel di atas menunjukkan bahwa kinerja finansial pengemudi berdasarkan respon terhadap kondisi kemacetan lalu lintas mayoritas berada pada interval 1,5 sampai 1,7 yaitu sebanyak 48 orang dari 67 pengemudi (71,6%) yang mencakup pola perilaku pengemudi yang melakukan pemotongan rute, mencari lintasan alternatif maupun yang tetap melintas tanpa memperdulikan adanya kemacetan lalu lintas. Namun dari jumlah ini mayoritas adalah yang memilih tidak memperdulikan kemacetan dengan tetap melintas. 78

18 Tabel IV.7 Respon pengemudi terhadap kemacetan dan kinerja finansialnya Tetap melintas Memotong rute Cari jalan alternatif Rasio Rasio Rasio No. No. No. pendapatanbiaybiaybiaya pendapatan- pendapatan- Respnd Respnd Respnd Rata-rata 1,59 1,81 1,58 79

19 Gambar IV.4 Sebaran kinerja finansial pengemudi berdasarkan respon terhadap kondisi kemacetan lalu lintas Kecenderungan pengemudi untuk tidak memperdulikan kondisi kemacetan lalu lintas ini dapat dijelaskan dari kenyataan bahwa daerah-daerah dalam kota yang mengalami kemacetan justru merupakan daerah pusat-pusat kegiatan sehingga merupakan tujuan maupun asal perjalanan penduduk dalam kota. Ini berarti bahwa daerah yang mengalami kemacetan adalah daerah dengan potensi penumpang yang dianggap memadai oleh pengemudi angkot. Tidak adanya pengemudi yang memilih tidak beroperasi karena alasan adanya kemacetan mempertegas alasan ini. Apabila dibandingkan antara respon terhadap potensi penumpang dengan respon terhadap kemacetan, maka terlihat bahwa pengemudi angkot lebih mempertimbangkan potensi jumlah penumpang dibanding kondisi kemacetan. Terhadap kondisi kemacetan, respon pengemudi relatif seragam yaitu mayoritas pengemudi angkot (64,2%) tidak perduli dengan tetap melintas sementara terhadap potensi jumlah penumpang respon pengemudi bervariasi mulai dari yang melakukan ngetem (pergerakan kendaraan dilakukan dengan memperhitungkan 80

20 keterisian kendaraan), melakukan pemotongan rute (angkot tidak melintasi ruas jalan yang dipandang kurang potensial jumlah penumpangnya) maupun yang tetap melintas tanpa memperdulikan potensi penumpang. Kecenderungan pengemudi untuk melakukan pemotongan rute tergambar dari survey on board yang dilakukan. Survey yang dilakukan pada hari Senin, Jum at dan Minggu ini, terutama, mencatat naik-turun penumpang pada setiap ruas jalan yang dilintasi sepanjang perjalanan angkot baik dari arah Cicaheum menuju Ciroyom maupun sebaliknya dari Ciroyom menuju Cicaheum. Tabel IV.8.a Jumlah penumpang pada lintasan Cicaheum-Ciroyom Jalan Penumpang Senin Pagi Siang Sore Penumpang Penumpang Rata-rata T. Cicaheum PHH Mustafa Surapati Dipati Ukur Siliwangi Cihampelas Eyckman Pasirkaliki A R Saleh Garuda T. Ciroyom N = 5 Tabel IV.8.a di atas menunjukkan bahwa potensi penumpang pada sepanjang rute tidak sama. Kecenderungan jumlah penumpang adalah semakin ke arah barat, mendekati Terminal Ciroyom, jumlah penumpang semakin sedikit. Dibanding jumlah penumpang yang naik di Terminal Cicaheum, dan sekitarnya, jumlah penumpang yang naik di Terminal Ciroyom, dan sekitarnya, jauh lebih sedikit (0,1 berbanding 9,2). Dengan gambaran ini maka dapat difahami bahwa angkot cenderung tidak menyelesaikan lintasan trayeknya dari Terminal Cicaheum sampai ke Terminal Ciroyom. 81

21 Wilayah Jl. Cihampelas sampai Jl. Eyckman yang termasuk daerah yang sering terjadi kemacetan tapi juga merupakan daerah dengan potensi penumpang yang cukup tinggi sehingga angkot yang lebih mementingkan potensi penumpang tetap melintasinya. Pada arah sebaliknya dari Ciroyom-Cicaheum tergambar bahwa potensi penumpang yang tinggi terdapat di wilayah Jl. Pajajaran, Pasirkaliki, Cipaganti, Siliwangi, Dipati Ukur dan Surapati. Dibanding arah Cicaheum-Ciroyom dimana terdapat angkot yang melakukan pemotongan rute, maka angkot yang bergerak dari arah Ciroyom menuju Cicaheum tidak melakukan pemotongan rute. Hal ini karena potensi penumpang di Terminal Cicaheum, dan sekitarnya, termasuk tinggi sehingga pengemudi lebih memilih untuk meneruskan sampai ke Cicaheum dengan harapan saat memulai trip berikutnya dari Terminal Cicaheum akan mendapatkan penumpang. Sebaliknya angkot yang bergerak dari Cicaheum menuju Ciroyom, sebagian melakukan pemotongan rute dengan tidak meneruskan sampai ke Terminal Ciroyom karena potensi penumpang dari Terminal Ciroyom, dan sekitarnya, termasuk rendah. Tabel IV.8.b Jumlah Penumpang pada lintasan Ciroyom-Cicaheum Jalan Penumpang Senin Pagi Siang Sore Penumpang Penumpang T. Ciroyom Arjuna Pajajaran Pasirkaliki Eyckman Cipaganti Setiabudi Cihampelas Siliwangi Dipati Ukur Surapati PHH Mustafa T. Cicaheum N = 5 82

22 Dari kedua gambaran di atas, tergambar bahwa wilayah dengan potensi penumpang yang tinggi adalah Terminal Cicaheum, Jl. Surapati, Jl. Dipati Ukur, Jl Cihampelas dan Jl Eyckman sehingga ruas-ruas jalan tersebut selalu dilintasi oleh semua angkot trayek ini. Masuknya daerah Jl Cihampelas sebagai ruas jalan yang selalu dilintasi oleh angkot sekalipun merupakan daerah dengan kemacetan lalu lintas menunjukkan bahwa angkot lebih mementingkan potensi penumpang sebagai sumber pendapatan dibanding kondisi kemacetan lalu lintas yang sebenarnya memberi tambahan biaya, secara finansial dalam bentuk konsumsi BBM maupun waktu tempuh. Gambaran respon pengemudi yang berbeda terhadap potensi penumpang dan kondisi kemacetan sebagaimana telah diuraikan di atas menegsakan bahwa perilaku operasional angkot sehari-hari merupakan suatu bentuk maksimalisasi pendapatan. Pola di atas juga berlaku pada hari Jum at maupun Minggu dengan variasi pada Jum at siang. Jalan Tabel IV.9.a Jumlah Penumpang pada lintasan Cicaheum-Ciroyom Penumpang Jum'at Pagi Siang Sore Penumpang Penumpang T. Cicaheum PHH Mustafa Surapati Dipati Ukur Siliwangi Cihampelas Eyckman Pasirkaliki A R Saleh Garuda T. Ciroyom N = 5 83

23 Jalan Tabel IV.9.b Jumlah Penumpang pada lintasan Ciroyom-Cicaheum Penumpang Jum'at Pagi Siang Sore Penumpang Penumpang T. Ciroyom Arjuna Pajajaran Pasirkaliki Eyckman Cipaganti Setiabudi Cihampelas Siliwangi Dipati Ukur Surapati PHH Mustafa T. Cicaheum N = 5 Tabel IV.10.a Jumlah Penumpang pada lintasan Cicaheum-Ciroyom Jalan Penumpang Minggu Pagi Siang Sore Penumpang Penumpang T. Cicaheum PHH Mustafa Surapati Dipati Ukur Siliwangi Cihampelas Eyckman Pasirkaliki A R Saleh Garuda T. Ciroyom N = 5 84

24 Tabel IV.10.b Jumlah Penumpang pada lintasan Ciroyom-Cicaheum Jalan Penumpang Minggu Pagi Siang Sore Penumpang Penumpang T. Ciroyom Arjuna Pajajaran Pasirkaliki Eyckman Cipaganti Setiabudi Cihampelas Siliwangi Dipati Ukur Surapati PHH Mustafa T. Cicaheum N = 5 Gambaran perilaku pengemudi angkot sebagaimana diuraikan di atas menunjukkan bahwa penyediaan jasa layanan angkutan umum yang dikelola oleh swasta, angkot dalam penelitian ini, lebih merupakan suatu bentuk usaha masyarakat dengan orientasi utama adalah mengejar keuntungan dibanding orientasi sebagai layanan publik. Dalam operasional sehari-hari, pengemudi angkot merupakan penyewa dari pemilik kendaraan. Bentuk ikatan kerja sama ini kemudian membagi hak dan tanggung-jawab operasional angkot antara porsi yang menjadi bagian pemilik dan bagian pengemudi. Kewajiban penyewa kendaraan, yang kemudian menjadi pengemudi angkot, adalah membayar setoran dalam jumlah tertentu sebagai realisasi dari perjanjian sewa-menyewa. Pada trayek Cicaheum-Ciroyom, rata-rata setoran ini adalah Rp perhari (12 jam). Pemilik kendaraan bertanggung jawab atas perijinan operasional angkot sehingga kendaraan yang akan dioperasikan adalah kendaraan yang siap dioperasikan sesuai dengan ketentuan 85

25 trayek. Biaya operasional angkot kemudian menjadi tanggungan penyewa (pengemudi). Dari gambaran ini dapat difahami bahwa pengemudi kemudian akan berupaya meminimalkan biaya operasional dan memperbesar pendapatan sehingga marjin keuntungan yang menjadi hak pengemudi membesar. Perjanjian sewa-menyewa yang bersifat jumlah tetap (fixed rate) merupakan peluang bagi pengemudi untuk memaksimalkan pendapatan yang dibawa pulang (take home pay) tanpa ada batasan maksimal. Perilaku sehari-hari pengemudi angkot sebagaimana diuraikan di atas sejalan dengan Gwilliam (2005), yang mengkategorikan penyediaan jasa angkutan umum di Indonesia ke dalam bentuk net cost route based dimana perhitungan efisiensi didasarkan pada biaya netto pada tiap rute dan ijin trayek sebagai lisensi melekat langsung pada setiap unit kendaraan. Berbeda dengan net cost route based yang disediakan oleh pemerintah, pada kasus jasa angkutan umum yang dikelola oleh swasta, masih terdapat lagi pembagian hak dan tanggung jawab antara pemilik kendaraan dan penyewa (pengemudi). Pada kasus ini, kemungkinan kerugian lebih banyak merupakan risiko bagi pengemudi sementara pemilik kendaraan sudah terlindungi dari bentuk sewa menyewa yang menjamin tingkat pendapatan bagi pemilik kendaraan. Pada sisi inilah upaya perbaikan daya tarik angkutan umum agar dapat tetap menjadi pilihan utama dalam pergerakan penduduk kota harus mempertimbangkan kenyataan bahwa layanan angkutan umum (angkot) yang sekalipun dianggap dikelola secara formal, dalam pengertian terdaftar dan memiliki ijin resmi, tapi dioperasikan di jalan raya secara informal 8. 8 ILO (1972) mendefinisikan sektor informal berdasarkan ciri-ciri, salah satunya, ease of entry (kemudahan bagi siapa saja untuk masuk). Dalam konteks operasional angkot sehari-hari ciri ini terlihat dari sistem perikatan/penyewaan antara pemilik dan pengemudi angkot. Praktis tidak terdapat ketentuan dan syarat formal yang mengatur siapa saja yang berhak menjadi pengemudi angkot selain ketentuan memiliki SIM dan tingkat kepercayaan pemilik kendaraan terhadap calon pengemudi 86

26 Ijin trayek yang lebih bersifat sebagai lisensi diperbolehkannya angkutan umum untuk beroperasi bukan merupakan suatu bentuk kewajiban bagi operator untuk selalu menyediakan jasa angkutan dalam jumlah maupun kualitas layanan tertentu. Pendekatan quantity licensing yang dilakukan oleh pemerintah dalam penyediaan jasa angkutan umum perkotaan lebih bersifat menggambarkan potensi ketersediaan jasa angkutan dalam jumlah tertentu sebagaimana tercermin dalam jumlah angkot yang terdaftar untuk melayani masing-masing trayek, namun dalam parakteknya tidak ada jaminan bahwa semua angkot yang terdaftar tersebut akan beroperasi setiap saat dan mengikuti sepenuhnya ketentuan lintasan trayek. Pemerintah tidak memiliki kewenangan untuk mempengaruhi keputusan operasi sehari-hari pengemudi angkutan umum demikian pula dalam pengaturan perilaku pengemudi agar mematuhi ketentuan trayek dengan melintasi sepenuhnya semua ruas yang menjadi bagian lintasan trayek. Definisi angkutan umum sebagai layanan angkutan yang beroperasi pada rute dan jadwal tetap, sebagaimana Vuchic (1981), tidak sejalan dengan praktek yang terjadi dan tergambar pada hasil penelitian ini. IV.4. Kualitas Layanan Angkot Cicaheum-Ciroyom IV.4.1 Frekuensi layanan Salah satu ukuran untuk menilai keandalan angkutan umum adalah frekuensi layanan angkutan. Frekuensi layanan merupakan jumlah kendaraan yang melintas pada satu titik dan dalam waktu tertentu. Keandalan berhubungan dengan kepastian tersedianya layanan angkutan umum pada waktu dan tempat pengguna jasa membutuhkannya. Frekuensi dan ketersediaan angkutan penting karena merupakan informasi awal bagi calon pengguna untuk memutuskan dan kemudian memilih moda angkutan yang akan digunakan. Semakin tinggi kepastian ketersediaan moda maka akan semakin memudahkan bagi calon penumpang dalam memutuskan pilihan moda. Frekuensi layanan yang tinggi memperbesar jaminan bagi penumpang untuk dapat mengkonsumsi layanan angkutan umum. 87

27 Kedua kategori ini kurang berpengaruh terhadap mereka yang termasuk paksawan (captive rider) karena pilihan menggunakan angkutan umum merupakan alternatif satu-satunya sehingga apapun kualitas layanan yang tersedia tidak akan menjadi faktor penentu dalam keputusan untuk menggunakan angkutan umum. Berdasarkan pengamatan lapangan (traffic counting) diperoleh gambaran bahwa frekuensi rata-rata layanan angkot Cicaheum Ciroyom bervariasi menurut waktu dan ruas jalan. Gambar IV.5.a Jumlah angkot pada beberapa ruas jalan (Senin) Gambar IV.5.b Jumlah angkot pada beberapa ruas jalan (Jum at) 88

28 Gambar IV.5.c Jumlah angkot pada beberapa ruas jalan (Minggu) Dari gambar di atas terlihat bahwa rata-rata jumlah angkot Cicaheum-Ciroyom yang bergerak di jalan raya pada setiap jamnya adalah kurang dari jumlah yang terdaftar sebanyak 206. Pada hari Jum at, jumlah angkot yang berada di jalan mengikuti pola sebagaimana pada hari Senin tapi perbedaan adalah pada interval tengah hari yaitu terjadi penurunan drastis menjadi di bawah 100. Keadaan ini dapat difahami karena berhubungan dengan aktifitas sholat Jum at pada tengah hari tersebut. Pola yang berbeda terjadi pada hari Minggu. Pada interval pagi sampai tengah hari, jumlah angkot yang beroperasi di bawah 100 dan meningkat setelah lewat tengah hari, namun jumlah di atas 100 tersebut hanya sampai Jl Pajajaran. Jumlah kendaraan tertinggi yang melintas adalah 183 buah. Namun apabila dipertimbangkan waktu tempuh rata-rata untuk setiap trip adalah 70 menit, maka jumlah angkot yang beroperasi adalah sekitar 206 buah yang berarti semua angkot yang terdaftar tetap beroperasi. IV.4.2 Luas Layanan (Coverage) Salah satu dimensi dalam penilaian kualitas layanan sistem angkutan umum adalah luas wilayah layanan. Sesuai dengan ketentuan trayek yang dikeluarkan 89

29 oleh pemerintah kota, dengan menggunakan kriteria luas wilayah layanan (coverage service area) dengan radius 400 m sebagaimana Pushkarev dan Zupan (1977) yang dikutip oleh Jumsan (2005), maka luas wilayah yang seharusnya terlayani oleh trayek angkot pada arah Cicaheum Ciroyom adalah sepanjang 12,665 km atau seluas 1.013,2 ha (12,665 x 0,8 = 10,132 km 2 ) sementara pada arah sebaliknya dari Ciroyom Cicaheum sepanjang 14,775 km atau seluas ha (14,775 x 0,8 = 11,82 km 2 ). Luas tersebut di atas merupakan ketentuan yang tergambar melalui lisensi trayek. Berdasarkan penelitian diketahui bahwa angkot trayek Cicaheum-Ciroyom tidak selalu sepenuhnya melayani seluas tersebut di atas. Keadaan ini tergambar pada Tabel IV.11.a dan Tabel IV.11.b di bawah. Pada pagi hari arah dari Cicaheum menuju Ciroyom rata-rata angkot menempuh perjalanan sejauh 11,71 km atau 92,42% dari panjang total trayek, pada siang hari meningkat menjadi 12,285 km (97%) dan pada sore hari turun kembali menjadi 11,95 km (94,36%). Angkot dari arah Cicaheum yang tidak meneruskan perjalanan sampai ke Terminal Ciroyom ini biasanya hanya sampai di Rumah Sakit (RS) Hasan Sadikin. Tabel IV.11.a Jarak Tempuh Rata-rata Angkot Arah Cicaheum - Ciroyom No Pagi Siang Sore Jarak % Jarak % Jarak % 1 10, % 12, % 9, % 2 12, % 12, % 12, % 3 9, % 12, % 12, % 4 12, % 12, % 12, % 5 12, % 10, % 12, % Rata-rata 11, % 12, % 11, % N = 5 Pada arah sebaliknya, dari arah Ciroyom menuju Cicaheum, jarak yang ditempuh angkot juga rata-rata di bawah 100% yaitu pada pagi hari rata-rata 13,5 km (91,23%), siang hari 13,5 km (91,53%) dan pada sore hari turun menjadi 12,88 km (87,18%). Sebagaimana pada arah dari Cicaheum Ciroyom, pada arah dari 90

30 Ciroyom menuju Cicaheum, rata-rata angkot memulai perjalanan dari RS Hasan Sadikin dan pada saat pengemudi membutuhkan istirahat, misalnya untuk makan siang, lebih memilih untuk beristirahat di Terminal Cicaheum. Pola ini menjelaskan perbedaan antara jumlah angkot pada ruas jalan yang mendekati Terminal Ciroyom dan dengan jumlah angkot pada ruas jalan yang mendekati wilayah Terminal Cicaheum. Tabel IV.11.b Jarak Tempuh Rata-rata Angkot Arah Ciroyom - Cicaheum No Pagi Siang Sore Jarak % Jarak % Jarak % 1 12, % 14, % 9, % 2 14, % 13, % 14, % 3 12, % 14, % 14, % 4 14, % 11, % 12, % 5 12, % 12, % 12, % Rata-rata 13, % 13, % 12, % N = 5 Kedua gambaran di atas menunjukkan kualitas layanan angkot Cicaheum- Ciroyom berdasarkan indikator luas layanan yaitu dengan membandingkan luas layanan yang sebenarnya terjadi terhadap luas layanan yang diharapkan menurut ketentuan trayek. Dengan luas cakupan layanan rata-rata 90% maka apabila diadopsi kategori pemeringkatan dari TRB (2000), kualitas layanan tersebut termasuk kategori A (cakupan 90% - 100%) untuk pagi dan siang sementara untuk sore hari menjadi kategori B (cakupan 80% - 89,9%) 9. Variasi luas layanan angkot ini merupakan konsekuensi dari bebasnya pengemudi memilih titik-titik perhentian, dan pada kondisi tertentu bahkan tidak mencapai titik transit akhir yang semestinya menjadi tanggung jawab layanannya. Hal ini membuat kategori layanan angkot yang berlaku dewasa ini yang didasarkan pada sifat fixed route tidak terpenuhi dalam prakteknya. 9 TRB (2000) menggunakan kategori pemeringkatan berdasarkan prosentase titik-titik OD yang terlayani dalam perencanaan trayek yang masing-masing merupakan Transit Supportive Area (TSA). Kategori tersebut mencakup untuk keseluruhan sistem angkutan umum wilayah yang dapat saja melibatkan banyak rute/trayek maupun beragam moda 91

31 Keputusan pengemudi angkot dalam memilih waktu, pilihan lintasan dan juga titik perhentian merupakan faktor yang dominan dalam pembentukan pola di atas. Ijin trayek yang melekat langsung pada kendaraan tidak memberikan standar kualitas layanan yang harus dipenuhi sebagai acuan bagi pengemudi dalam mengoperasikan angkot sehari-harinya misalnya dalam bentuk jarak minimal yang harus ditempuh dan kewajiban harus masuk ke masing-masing terminal Cicaheum dan Ciroyom. Ijin trayek yang berlaku lebih bersifat sebagai lisensi bagi kendaraan untuk mengangkut penumpang pada rute tertentu yang dapat digunakan atau tidak digunakan oleh pemilik kendaraan ataupun oleh pengemudi. IV.4.3 Kualitas Layanan Menurut Persepsi Penumpang IV Karakteristik Penumpang Angkutan Umum Untuk mendapatkan persepsi masyarakat terhadap layanan angkot maka dilakukan survey berupa wawancara di lapangan baik langsung di atas kendaraan maupun di terminal/titik perhentian. Responden yang disasar adalah mereka yang menggunakan atau yang akan melakukan perjalanan pada rute Cicaheum Ciroyom sesuai dengan lingkup penelitian ini. Dari 100 orang responden penumpang yang semuanya berdomisili di Kota Bandung, berdasarkan jenis kelamin 64 orang (64%) adalah pria dan sisanya 36 orang (36%) wanita. Berdasarkan usia, 52 orang (52%) berusia di antara tahun, 47 orang (47%) berusia antara tahun. Satu orang sisanya (1%) berusia kurang dari 17 tahun. Apabila dilihat dari jenis pekerjaan, maka mayoritas pengguna angkutan umum merupakan pelajar/mahasiswa (45 orang, 45%) dan karyawan/wiraswasta (53, 53%). Dari gambaran usia dan jenis pekerjaan terlihat bahwa pengguna angkutan umum merupakan usia produktif dan dengan aktifitas yang juga tinggi yaitu pada pendidikan dan sebagai karyawan. Hal ini tercermin dari tujuan perjalanan yaitu 42 orang (42%) tujuan ke sekolah, 35 orang (35%) tujuan bekerja, 10 orang (10%) 92

32 tujuan berusaha dan sisanya 13 orang (13%) tujuan berlibur ataupun tujuan lainlain yang sifatnya insidentil. Gambar IV.6 Tujuan perjalanan responden Alasan penumpang menggunakan angkutan umum (mayoritas angkot) mayoritas sebagai captive rider (tidak punya pilihan lain) sebanyak 47 orang (47%), sementara yang beralasan biayanya murah sebanyak 37 orang (37%). Hanya 9 orang (9%) yang memberi alasan karena jangkauan angkutan umum yang luas. Apabila dibanding antara penumpang yang merupakan captive rider dengan yang merupakan choice rider maka terlihat bahwa jumlahnya relatif berimbang (47 % dan 53%). Gambar IV.7 Alasan responden memilih angkutan umum 93

33 Keseimbangan jumlah ini menunjukkan bahwa angkutan umum dengan kondisi yang ada dewasa ini masih memberikan alternatif yang menarik bagi choice rider dibanding moda lainnya sementara terhadap captive rider tidak terdapat jaminan bahwa apabila kondisi yang ada sekarang tidak diperbaiki dan apabila kondisi memungkinkan untuk tidak beralih ke moda lain, misalnya kendaraan pribadi terutama sepeda motor yang harganya relatif makin terjangkau. IV Kualitas Layanan Menurut Persepsi Penumpang Persepsi penumpang terhadap kualitas layanan merupakan hal yang penting karena penumpang merupakan pengguna langsung dari layanan yang disediakan oleh sistem angkutan. Sebagai pelaku kegiatan dalam wilayah kota, penumpang adalah sasaran dari perumusan dan penerapan kebijakan angkutan umum. Warpani (2002) membedakan penumpang menjadi 2 (dua) kategori yaitu pilihwan (choice rider) yaitu mereka yang memiliki sejumlah alternatif dalam melakukan pergerakan dan paksawan (captive riders) yaitu mereka yang memiliki keterbatasan pilihan, atau hanya ada satu pilihan. Dengan memandang penyediaan layanan angkutan sebagai suatu proses supply dalam transportasi maka penilaian kualitas layanan angkutan umum didasarkan pada ukuran persepsi atau skala kepuasan pengguna yang akan menentukan kesesuaian kualitas kebutuhan (demand) dengan penyediaan. Kualitas layanan sistem angkutan umum menurut definisi yang digunakan oleh FDOT (2002) adalah kenyamanan yang diterima oleh penumpang terhadap layanan atau fasilitas yang disediakan Layanan angkot berdasarkan ketersediaan (availability) dengan melihat menurut jumlah dan waktu ketika responden membutuhkan layanan dan jarak untuk mengaksesnya hanya 1 orang (1%) yang menilainya sangat memuaskan, 9 orang (9%) menilainya memuaskan, mayoritas responden (75 orang, 75%) menilainya cukup sementara 15 responden sisanya (15%) menganggapnya tidak memuaskan dan sangat tidak memuaskan. 94

34 Pada indikator berdasarkan luas wilayah yang dapat terlayani angkutan umum sehingga memungkinkan penumpang bergerak dari setiap titik asal menuju ke setiap titik tujuan di Kota Bandung, mayoritas responden (62%) menjawab cukup, sementara yang menjawab memuaskan sebanyak 24%, 12% menjawab tidak memuaskan dan hanya 1% yang menjawab sangat tidak memuaskan. Terhadap pertanyaan mengenai kenyamanan selama menggunakan angkot, mayoritas responden, 75%, mengaku cukup, 5% mengaku memuaskan, 16% mengaku tidak memuaskan, dan sisanya 4% mengaku sangat tidak memuaskan. Secara keseluruhan, penilaian penumpang mengenai kualitas layanan angkutan umum di Kota Bandung, dalam hal ini trayek angkot Cicaheum-Ciroyom diberikan pada Gambar IV.8 berikut. Gambar IV.8 Persepsi penumpang mengenai kualitas layanan angkot di Kota Bandung Dari radar di atas terlihat bahwa mayoritas penumpang memberi penilaian memuaskan terhadap kualitas layanan angkot di Kota Bandung untuk indikator luas layanan dan ketersediaan sementara untuk indikator kenyamanan prosentasi tertinggi hanya pada kisaran 40% dan 20% menilai tidak memuaskan. Dengan mayoritas pengguna merupakan paksawan, maka penilaian pengguna yang cenderung menganggap layanan angkot cukup memuaskan dapat membuat 95

35 penyedia jasa layanan angkutan umum, dalam hal ini angkot, sebenarnya berada pada posisi yang rawan karena tidak ada jaminan mereka tetap akan menggunakan angkot apabila kondisi ekonomi memungkinkan untuk membeli kendaraan pribadi. IV.4.4 Respon Pengemudi Terhadap Usulan Perbaikan Kualitas Layanan Sebagaimana diuraikan pada bab sebelumnya, penggunaan sarana angkutan umum dalam pergerakan di wilayah perkotaan yang memiliki keterbatasan infrastruktur akan lebih efisien dan efektif sebab angkutan umumyang bersifat mssal memiliki kemampuan memindahkan sejumlah besar orang secara bersamaan sehingga biaya per satuannya akan lebih kecil dibandingkan apabila tiap orang menggunakan kendaraan pribadi. Angkutan massal juga menggunakan ruang di jalan ataupun lokasi parkir yang lebih efisien. Penggunaan definisi angkutan massal untuk kasus angkot memang tidak sepenuhnya tepat mengingat angkot yang beroperasi memiliki ukuran fisik dan kapasitas muat yang relatif sama dengan kendaraan pribadi. Dari sisi ukuran fisik, angkot tidak memberi pengurangan tingkat kebutuhan akan luas lahan yang besar sehingga penggunaan angkot secara masif bukan merupakan solusi terhadap upaya pengurangan tingkat kemacetan di perkotaan. Pada sisi lain dengan kapasitas muat yang relatif sama dengan kendaraan pribadi, angkot dapat mengurangi jumlah total kendaraan (angkutan umum dan kendaraan pribadi) yang beroperasi di jalanan apabila pengguna kendaraan pribadi memilih menggunakan angkot. Kendaraan pribadi sekalipun yang memiliki kapasitas muat yang besar, jenis Kijang, Panther misalnya, namun dalam keadaan sehari-hari hanya terisi minimal sehingga terdapat ruang dalam kendaraan pribadi yang tidak terpakai sementara ruang yang dibutuhkan di jalan raya sama dengan kendaraan lain yang berpenumpang lebih banyak. Bagi calon penumpang, keputusan pemilihan moda tertentu dalam pilihan pergerakan merupakan proses yang bersifat trade off antara biaya yang 96

36 dikeluarkan, baik biaya yang dikeluarkan langsung (out of pocket) selama mengkonsumsi layanan angkutan misalnya dalam bentuk ongkos maupun biaya tidak langsung seperti nilai waktu, dengan manfaat yang diperoleh. Proses pembandingan antar alternatif moda yang tersedia terutama berlaku pada mereka yang tergolong pilihwan (choice riders). Perbaikan kualitas layanan angkutan dapat dilakukan berdasarkan aspek yang menjadi fokus perhatian dari pihak-pihak yang terkait baik secara bersama maupun secara terpisah. Dari perspektif pengelolaan kota atau wilayah, perbaikan kualitas layanan ditujukan terutama untuk meningkatkan efisiensi dan efektifitas pemanfaatan prasarana dan sarana transportasi publik dalam pergerakan penduduk. Untuk mengetahui kecenderungan sikap pengemudi terhadap usulan perbaikan kualitas diuji dengan Chi Kuadrat sebagaimana diberikan pada Tabel IV.12 berikut. Tabel IV.12 Respon Pengemudi terhadap Usulan Perbaikan Layanan Alternatif jawaban Jadwal diatur Spesifikasi dan jmlh kndrn diatur Titik perhentian diatur Bersedia Netral Tidak bersedia N = 67 orang chi 2 hitung chi 2 tabel df Hasil pengujian Ho diterima Ho ditolak Ho ditolak Hipotesis dalam pengujian di atas adalah : Ho : Ha : tidak terdapat perbedaan pilihan jawaban pengemudi pada ketiga kategori alternatif jawaban terdapat perbedaan pilihan jawaban pengemudi pada ketiga kategori alternatif jawaban 97

37 Pengaturan Jadwal Berdasarkan output SPSS sebagaimana dicantumkan pada Tabel IV.12 di atas dapat disimpulkan bahwa untuk opsi pengaturan jadwal keberangkatan angkot, yang berarti juga pengaturan headway, terhadap ketiga alternatif respon yaitu bersedia, netral dan tidak bersedia tidak terdapat perbedaan signifikan antara jumlah pengemudi yang memilih alternatif. Artinya tidak terdapat kecenderungan pengelompokan sikap pengemudi. Pengaturan Spesifikasi dan Jumlah Kendaraan Pada opsi pengaturan spesifikasi dan jumlah kendaraan, hasil pengujian menunjukkan bahwa terdapat perbedaan signifikan pilihan jawaban dengan mayoritas pengemudi menjawab bersedia. Dari Gambar IV.9 terlihat bahwa mayoritas responden (64%) menggunakan sistem sewa dalam pengoperasian kendaraan dengan bentuk perjanjian adalah sistem setoran untuk satu hari (12 jam) sementara 26,87% mengaku sebagai karyawan dari pengusaha angkutan. Gambar IV.9 Status kepemilikan angkot Dengan melihat latar belakang status kepemilikan kendaraan maka jawaban mayoritas pengemudi yang setuju terhadap usulan pengaturan spesifikasi kendaraan dapat dipahami karena pembatasan spesifikasi, yang bisa berarti 98

BAB V KESIMPULAN, REKOMENDASI DAN KELEMAHAN PENELITIAN

BAB V KESIMPULAN, REKOMENDASI DAN KELEMAHAN PENELITIAN BAB V KESIMPULAN, REKOMENDASI DAN KELEMAHAN PENELITIAN Bab ini memuat kesimpulan dari uraian pada bab-bab sebelumnya serta rekomendasi terkait dengan hasil kesimpulan tersebut. Bab ini juga menguraikan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Angkot Angkutan adalah mode transportasi yang sudah tidak asing lagi bagi masyarakat di Indonesia khususnya di Purwokerto. Angkot merupakan mode transportasi yang murah dan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. I.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. I.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Transportasi bukanlah tujuan akhir (ends) melainkan turunan dari kebutuhan lain (derived demand) karena adanya sistem kegiatan yang berlangsung pada suatu sistem jaringan

Lebih terperinci

BAB 5 KESIMPULAN PENGARUH PEMBANGUNAN PASUPATI TERHADAP KARAKTERISTIK PERGERAKAN CIMAHI-BANDUNG

BAB 5 KESIMPULAN PENGARUH PEMBANGUNAN PASUPATI TERHADAP KARAKTERISTIK PERGERAKAN CIMAHI-BANDUNG BAB 5 KESIMPULAN PENGARUH PEMBANGUNAN PASUPATI TERHADAP KARAKTERISTIK PERGERAKAN CIMAHI-BANDUNG Pada bab ini akan dipaparkan kesimpulan dari hasil studi mengenai indentifkasi pengaruh pembangunan PASUPATI

Lebih terperinci

1. Pendahuluan MODEL PENENTUAN JUMLAH ARMADA ANGKUTAN KOTA YANG OPTIMAL DI KOTA BANDUNG

1. Pendahuluan MODEL PENENTUAN JUMLAH ARMADA ANGKUTAN KOTA YANG OPTIMAL DI KOTA BANDUNG Ethos (Jurnal Penelitian dan Pengabdian Masyarakat): 173-180 MODEL PENENTUAN JUMLAH ARMADA ANGKUTAN KOTA YANG OPTIMAL DI KOTA BANDUNG 1 Aviasti, 2 Asep Nana Rukmana, 3 Jamaludin 1,2,3 Program Studi Teknik

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Menurut Warpani ( 2002 ), didaerah yang tingkat kepemilikan kendaraaan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Menurut Warpani ( 2002 ), didaerah yang tingkat kepemilikan kendaraaan BAB II TINJAUAN PUSTAKA Menurut Warpani ( 2002 ), didaerah yang tingkat kepemilikan kendaraaan tinggi sekalipun tetap terdapat orang yang membutuhkan dan menggunakan angkutan umum penumpang. Pada saat

Lebih terperinci

EVALUASI TARIF ANGKUTAN UMUM YANG MELAYANI TRAYEK PINGGIRAN-PUSAT KOTA DI KOTA SEMARANG TUGAS AKHIR

EVALUASI TARIF ANGKUTAN UMUM YANG MELAYANI TRAYEK PINGGIRAN-PUSAT KOTA DI KOTA SEMARANG TUGAS AKHIR EVALUASI TARIF ANGKUTAN UMUM YANG MELAYANI TRAYEK PINGGIRAN-PUSAT KOTA DI KOTA SEMARANG TUGAS AKHIR Oleh: NUGROHO MULYANTORO L2D 303 297 JURUSAN PERENCANAAN WILAYAH DAN KOTA FAKULTAS TEKNIK UNIVERSITAS

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Evaluasi Definisi evaluasi adalah kegiatan atau proses untuk mengukur dan selanjutnya menilai sampai dimanakah tujuan yang telah dirumuskan sudah dapat dilaksanakan. Wakhinuddin

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. transportasi yang sekarang selalu dihadapi kota-kota besar di Indonesia adalah

BAB I PENDAHULUAN. transportasi yang sekarang selalu dihadapi kota-kota besar di Indonesia adalah BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Transportasi merupakan salah satu komponen yang penting bagi kehidupan dan perkembangan ekonomi, sosial, politik dan mobilitas penduduk. Permasalahan transportasi yang

Lebih terperinci

BAB 5 KESIMPULAN DAN REKOMENDASI STUDI DALAM PENGEMBANGAN KA BANDARA SOEKARNO-HATTA

BAB 5 KESIMPULAN DAN REKOMENDASI STUDI DALAM PENGEMBANGAN KA BANDARA SOEKARNO-HATTA BAB 5 KESIMPULAN DAN REKOMENDASI STUDI DALAM PENGEMBANGAN KA BANDARA SOEKARNO-HATTA Pada bab sebelumnya telah dilakukan analisis-analisis mengenai karakteristik responden, karakteristik pergerakan responden,

Lebih terperinci

BAB 4 KARAKTERISTIK DAN PREFERENSI PENGGUNA POTENSIAL KA BANDARA SOEKARNO-HATTA

BAB 4 KARAKTERISTIK DAN PREFERENSI PENGGUNA POTENSIAL KA BANDARA SOEKARNO-HATTA BAB 4 KARAKTERISTIK DAN PREFERENSI PENGGUNA POTENSIAL KA BANDARA SOEKARNO-HATTA Bab ini berisi analisis mengenai karakteristik dan preferensi pengguna mobil pribadi, taksi, maupun bus DAMRI yang menuju

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN. Tabel 1 Rata-rata banyaknya rit dan jumlah penumpang yang diamati Trayek Rata-rata Rit per 9 Jam

HASIL DAN PEMBAHASAN. Tabel 1 Rata-rata banyaknya rit dan jumlah penumpang yang diamati Trayek Rata-rata Rit per 9 Jam pukul 1.-16. dan sore hari dilakukan pada pukul 16.-19.. Tahapan yang dilakukan dalam penelitian ini adalah: 1. Mencari data awal tentang aturan mengenai angkutan perkotaan, jumlah tiap trayek, dan lintasan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Transportasi Transportasi adalah pergerakan orang dan barang bisa dengan kendaraan bermotor, kendaraan tidak bermotor atau jalan kaki, namun di Indonesia sedikit tempat atau

Lebih terperinci

KARAKTERISTIK PENGOPERASIAN ANGKUTAN OJEK SEBAGAI SARANA ANGKUTAN DI KOTA GUBUG TUGAS AKHIR

KARAKTERISTIK PENGOPERASIAN ANGKUTAN OJEK SEBAGAI SARANA ANGKUTAN DI KOTA GUBUG TUGAS AKHIR KARAKTERISTIK PENGOPERASIAN ANGKUTAN OJEK SEBAGAI SARANA ANGKUTAN DI KOTA GUBUG TUGAS AKHIR Oleh: AGUS SARWO EDI S L2D 001 395 JURUSAN PERENCANAAN WILAYAH DAN KOTA FAKULTAS TEKNIK UNIVERSITAS DIPONEGORO

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Umum Metode penelitian pada dasarnya merupakan cara ilmiah untuk mendapatkan data dengan tujuan dan kegunaan tertentu, secara umum data yang telah diperoleh dari penelitian

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. mencakup benda hidup dan benda mati dari satu tempat ke tempat lainnya.

BAB I PENDAHULUAN. mencakup benda hidup dan benda mati dari satu tempat ke tempat lainnya. BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Transportasi adalah proses memindahkan suatu benda hidup mencakup benda hidup dan benda mati dari satu tempat ke tempat lainnya. Kegiatan transportasi ini membutuhkan

Lebih terperinci

BAB IV ANALISIS DATA. yang bertempat di Pool DAMRI jalan Tipar Cakung No. 39 Jakarta Timur.

BAB IV ANALISIS DATA. yang bertempat di Pool DAMRI jalan Tipar Cakung No. 39 Jakarta Timur. BAB IV ANALISIS DATA 4.1 Hasil Survey Primer Pengumpulan data melalui wawancara dilakukan secara langsung kepada operator yang bertempat di Pool DAMRI jalan Tipar Cakung No. 39 Jakarta Timur. Metode wawancara

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Dalam RTRW Kota Bandar Lampung tahun 2011-2030 Jalan Raden Intan sepenuhnya berfungsi sebagai jalan arteri sekunder, jalan ini cenderung macet terutama pagi dan sore

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Transportasi merupakan sarana yang menunjang pergerakan baik orang

BAB 1 PENDAHULUAN. Transportasi merupakan sarana yang menunjang pergerakan baik orang 1 BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Transportasi merupakan sarana yang menunjang pergerakan baik orang maupun barang dari suatu tempat asal ke tempat tujuan. Secara umum, kebutuhan akan jasa transportasi

Lebih terperinci

BAB IV DATA DAN ANALISIS. yang telah ditentukan Kementerian Perhubungan yang intinya dipengaruhi oleh

BAB IV DATA DAN ANALISIS. yang telah ditentukan Kementerian Perhubungan yang intinya dipengaruhi oleh BAB IV DATA DAN ANALISIS Indikator indikator pelayanan yang diidentifikasi sesuai dengan standar yang telah ditentukan Kementerian Perhubungan yang intinya dipengaruhi oleh waktu waktu sibuk pada jaringan

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

BAB III METODOLOGI PENELITIAN BAB III METODOLOGI PENELITIAN 3.1. Langkah Kerja Untuk melakukan evaluasi kinerja dan kepuasan penumpang terhadap tingkat pelayanan bus DAMRI rutelebakbulus - Bandara Soekarno Hatta dibuat langkah kerja

Lebih terperinci

POTENSI PENERAPAN ANGKUTAN UMUM PERKOTAAN TANPA BAYAR DI YOGYAKARTA

POTENSI PENERAPAN ANGKUTAN UMUM PERKOTAAN TANPA BAYAR DI YOGYAKARTA POTENSI PENERAPAN ANGKUTAN UMUM PERKOTAAN TANPA BAYAR DI YOGYAKARTA Imam Basuki 1 dan Benidiktus Susanto 2 1 Program Studi Teknik Sipil, Fakultas Teknik, Universitas Atma Jaya Yogyakarta, Jl.Babarsari

Lebih terperinci

BAB III. tahapan penelitian yang dilakukan sebagai pendekatan permasalahan yang ada. MULAI SURVEY

BAB III. tahapan penelitian yang dilakukan sebagai pendekatan permasalahan yang ada. MULAI SURVEY BAB III METODOLOGI PENELITIAN 2.1 Bagan Alir Penelitian Agar penelitian lebih sistematis maka pada bab ini dijelaskan mengenai tahapan penelitian yang dilakukan sebagai pendekatan permasalahan yang ada.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. pengoperasian fasilitas transportasi yang ada (Wahyuni.R, 2008 ).

BAB I PENDAHULUAN. pengoperasian fasilitas transportasi yang ada (Wahyuni.R, 2008 ). BAB I PENDAHULUAN I.1 Umum Kemacetan lalu lintas pada jalan perkotaan di kota-kota besar telah menjadi topik utama permasalahan di negara berkembang seperti Indonesia. Secara umum ada tiga faktor yang

Lebih terperinci

perusahaan atau organisasi sesuai dengan standar kinerja atau tujuan yang ditetapkan

perusahaan atau organisasi sesuai dengan standar kinerja atau tujuan yang ditetapkan BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Tinjauan Umum Evaluasi kinerja adalah suatu metode dan proses penilaian pelaksanaan tugas (performance) seseorang atau sekelompok orang atau unit-unit kerja dalam satu perusahaan

Lebih terperinci

EKSISTENSI ANGKUTAN PLAT HITAM PADA KORIDOR PASAR JATINGALEH GEREJA RANDUSARI TUGAS AKHIR

EKSISTENSI ANGKUTAN PLAT HITAM PADA KORIDOR PASAR JATINGALEH GEREJA RANDUSARI TUGAS AKHIR EKSISTENSI ANGKUTAN PLAT HITAM PADA KORIDOR PASAR JATINGALEH GEREJA RANDUSARI TUGAS AKHIR Oleh: DIAN HARWITASARI L2D 000 407 JURUSAN PERENCANAAN WILAYAH DAN KOTA FAKULTAS TEKNIK UNIVERSITAS DIPONEGORO

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang 1 BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Kota Bandar Lampung telah terus berkembang dari sisi jumlah penduduk, kewilayahan dan ekonomi. Perkembangan ini menuntut penyediaan sarana angkutan umum yang sesuai

Lebih terperinci

BAB 4 PENGARUH PEMBANGUNAN PASUPATI TERHADAP KARAKTERISTIK PERGERAKAN CIMAHI-BANDUNG

BAB 4 PENGARUH PEMBANGUNAN PASUPATI TERHADAP KARAKTERISTIK PERGERAKAN CIMAHI-BANDUNG BAB 4 PENGARUH PEMBANGUNAN PASUPATI TERHADAP KARAKTERISTIK PERGERAKAN CIMAHI-BANDUNG Pada bab ini akan dipaparkan mengenai responden pelaku pergerakan Cimahi-Bandung yang berpotensial untuk menggunakan

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

BAB III METODOLOGI PENELITIAN BAB III METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Kerangka Pemecahan Masalah Untuk mendapatkan hasil penelitian yang baik diperlukan urutan langkah penelitian yang terstruktur. Adapun langkah-langkah dalam pemecahan masalah

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA Bab ini menguraikan tinjauan terhadap sejumlah literatur yang mengkaji sistem transportasi perkotaan, peran angkutan umum perkotaan, kondisi lingkungan penyediaan jasa transportasi

Lebih terperinci

I-1 BAB I PENDAHULUAN

I-1 BAB I PENDAHULUAN I-1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. TINJAUAN UMUM Dalam suatu wilayah atau area yang sedang berkembang terjadi peningkatan volume pergerakan atau perpindahan barang dan manusia yang menyebabkan meningkatnya kebutuhan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Letak secara geografis Kabupaten Sleman yang sangat strategis yaitu

BAB I PENDAHULUAN. Letak secara geografis Kabupaten Sleman yang sangat strategis yaitu BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Letak secara geografis Kabupaten Sleman yang sangat strategis yaitu sebagai pintu masuk ke wilayah kota Yogyakarta, menyebabkan pertumbuhan di semua sektor mengalami

Lebih terperinci

LAMPIRAN A KUISIONER

LAMPIRAN A KUISIONER 0 LAMPIRAN A KUISIONER A-1 LAMPIRAN A KUISIONER Metode penentuan sampling yang digunakan dalam kajian ini adalah menggunakan non probability sampling, dimana metode ini lebih tepat digunakan dalam kajian

Lebih terperinci

Ibnu Sholichin Mahasiswa Pasca Sarjana Manajemen Rekayasa Transportasi Institut Teknologi Sepuluh Nopember Surabaya

Ibnu Sholichin Mahasiswa Pasca Sarjana Manajemen Rekayasa Transportasi Institut Teknologi Sepuluh Nopember Surabaya EVALUASI PENYEDIAAN ANGKUTAN PENUMPANG UMUM DENGAN MENGGUNAKAN METODE BERDASARKAN SEGMEN TERPADAT, RATA-RATA FAKTOR MUAT DAN BREAK EVEN POINT (Studi Kasus: Trayek Terminal Taman-Terminal Sukodono) Ibnu

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN. Hasil penelitian diperoleh dari survei primer dan sekunder terhadap ketersediaan

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN. Hasil penelitian diperoleh dari survei primer dan sekunder terhadap ketersediaan 66 IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Hasil Hasil penelitian diperoleh dari survei primer dan sekunder terhadap ketersediaan dan kebutuhan prasarana dan sarana transportasi perkotaan di empat kelurahan di wilayah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG

BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG Transportasi sangat berperan besar untuk pembangunan di suatu daerah. Pergerakan manusia, barang, dan jasa dari suatu tempat ke tempat lain dapat diperlancar dengan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. juga meningkat bahkan melebihi kapasitas sarana dan prasarana transportasi yang

BAB I PENDAHULUAN. juga meningkat bahkan melebihi kapasitas sarana dan prasarana transportasi yang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Dalam kehidupan sehari-hari manusia dituntut untuk memenuhi kebutuhan hidupnya, pemenuhan kebutuhan hidup harus melaksanakan aktivitas yang tidak hanya dalam suatu

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Dishubkominfo DIY dalam hal ini UPTD Jogja Trans dalam penyelenggaraan

BAB I PENDAHULUAN. Dishubkominfo DIY dalam hal ini UPTD Jogja Trans dalam penyelenggaraan BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Penelitian ini mengkaji kerja sama antara PT. Jogja Tugu Trans dan Dishubkominfo DIY dalam hal ini UPTD Jogja Trans dalam penyelenggaraan layanan Trans Jogja. Berdasarkan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. transportasi makro perlu dipecahkan menjadi sistem transportasi yang lebih kecil

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. transportasi makro perlu dipecahkan menjadi sistem transportasi yang lebih kecil 6 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Sistem Transportasi Angkutan Umum Untuk mendapatkan pengertian yang lebih mendalam serta guna mendapatkan alternatif pemecahan masalah transportasi perkotaan yang baik, maka

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. satu tempat ke tempat lain untuk berbagai aktivitasnya, dan semua manusia

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. satu tempat ke tempat lain untuk berbagai aktivitasnya, dan semua manusia BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Transportasi Pergerakan dan perjalanan adalah hasil dari kebutuhan manusia untuk bergerak dari satu tempat ke tempat lain untuk berbagai aktivitasnya, dan semua manusia melakukannya.

Lebih terperinci

KAJIAN KINERJA PELAYANAN ANGKUTAN UMUM DALAM KOTA DI PURWOKERTO. Jurusan Teknik Sipil, Fakultas Teknik, Universitas Muhammadiyah Purwokerto 2

KAJIAN KINERJA PELAYANAN ANGKUTAN UMUM DALAM KOTA DI PURWOKERTO. Jurusan Teknik Sipil, Fakultas Teknik, Universitas Muhammadiyah Purwokerto 2 KAJIAN KINERJA PELAYANAN ANGKUTAN UMUM DALAM KOTA DI PURWOKERTO Juanita 1, Tito Pinandita 2* 1 Jurusan Teknik Sipil, Fakultas Teknik, Universitas Muhammadiyah Purwokerto 2 Jurusan Teknik Informatika, Fakultas

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Umum. Transportasi adalah proses memindahkan suatu benda mencakup benda hidup

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Umum. Transportasi adalah proses memindahkan suatu benda mencakup benda hidup BAB I PENDAHULUAN 1.1 Umum Transportasi adalah proses memindahkan suatu benda mencakup benda hidup dan benda mati dari suatu tempat ke tempat lainnya dengan menggunakan sebuah wahana yang digerakkan oleh

Lebih terperinci

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN Data Karakteristik Rumah Tangga Responden

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN Data Karakteristik Rumah Tangga Responden BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN 4.1.Hasil Analisisis Deskriptif 4.1.1. Data Karakteristik Rumah Tangga Responden Dari hasil penyebaran kuisioner didapat data

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Angkutan Umum Angkutan pada dasarnya adalah sarana untuk memindahkan orang dan atau barang dari satu tempat ke tempat lain. Tujuannya membantu orang atau kelompok orang menjangkau

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. aktifitas sehari-hari. Angkutan kota atau yang biasa disebut angkot adalah salah satu

BAB I PENDAHULUAN. aktifitas sehari-hari. Angkutan kota atau yang biasa disebut angkot adalah salah satu BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Transportasi adalah pemindahan manusia atau barang dari satu tempat ke tempat lainnya dengan menggunakan sebuah alat yang digerakkan oleh manusia atau mesin. Transportasi

Lebih terperinci

BAB V KESIMPULAN DAN REKOMENDASI

BAB V KESIMPULAN DAN REKOMENDASI BAB V KESIMPULAN DAN REKOMENDASI Bab ini akan membahas mengenai temuan studi, kesimpulan dan rekomendasi yang merupakan sintesa dari hasil kajian indikator ekonomi dalam transportasi berkelanjutan yang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Kota Medan, disamping sebagai ibukota Propinsi Sumatera Utara, telah

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Kota Medan, disamping sebagai ibukota Propinsi Sumatera Utara, telah BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kota Medan, disamping sebagai ibukota Propinsi Sumatera Utara, telah berkembang menjadi Kota Metropolitan, seiring dengan pertumbuhan jumlah penduduk, perkembangan

Lebih terperinci

Studi Demand Kereta Api Komuter Lawang-Kepanjen

Studi Demand Kereta Api Komuter Lawang-Kepanjen JURNAL TEKNIK POMITS Vol. 2, No. 2, (2013) ISSN: 2337-3539 (2301-9271 Print) E-47 Studi Demand Kereta Api Komuter Lawang-Kepanjen Rendy Prasetya Rachman dan Wahju Herijanto Jurusan Teknik Sipil, Fakultas

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. DAMRI rute bandara Soekarno Hatta _ Bogor, dibuat bagan alir sebagai berikut :

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. DAMRI rute bandara Soekarno Hatta _ Bogor, dibuat bagan alir sebagai berikut : BAB III METODOLOGI PENELITIAN 3.1. Langkah Kerja Untuk mengevaluasi tingkat pelayanan terhadap kepuasaan pelanggan bus DAMRI rute bandara Soekarno Hatta _ Bogor, dibuat bagan alir sebagai berikut : Mulai

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. ekonomi yang bersangkut paut dengan pemenuhan kebutuhan manusia dengan

II. TINJAUAN PUSTAKA. ekonomi yang bersangkut paut dengan pemenuhan kebutuhan manusia dengan II. TINJAUAN PUSTAKA A. Transportasi Transportasi diartikan sebagai perpindahan barang dan manusia dari tempat asal ke tempat tujuan, dan tranportasi atau perangkutan adalah bagian kegiatan ekonomi yang

Lebih terperinci

V. PENILAIAN KINERJA POLA TRAYEK/RUTE EKSISTING

V. PENILAIAN KINERJA POLA TRAYEK/RUTE EKSISTING V. PENILAIAN KINERJA POLA TRAYEK/RUTE EKSISTING 5.1. Permintaan Pergerakan Penduduk Kebutuhan akan jasa angkutan umum penumpang di Kota Makassar tidak dapat dipisahkan dengan kebutuhan transportasi kota

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Transportasi Transportasi didefenisikan sebagai proses pergerakan atau perpindahan orang dan barang dari suatu tempat ke tempat lain dengan mempergunakan satu sistem tertentu

Lebih terperinci

ANALISIS TINGKAT PELAYANAN ANGKUTAN KOTA DI KOTA JAMBI STUDI KASUS : RUTE ANGKOT LINE 4C JELUTUNG-PERUMNAS

ANALISIS TINGKAT PELAYANAN ANGKUTAN KOTA DI KOTA JAMBI STUDI KASUS : RUTE ANGKOT LINE 4C JELUTUNG-PERUMNAS ANALISIS TINGKAT PELAYANAN ANGKUTAN KOTA DI KOTA JAMBI STUDI KASUS : RUTE ANGKOT LINE 4C JELUTUNG-PERUMNAS Oleh Muhamad Rizki Sahdiputra NIM : 15009122 (Fakultas Teknik Sipil dan Lingkungan, Program Studi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. sistem transportasi seimbang dan terpadu, oleh karena itu sistem perhubungan

BAB I PENDAHULUAN. sistem transportasi seimbang dan terpadu, oleh karena itu sistem perhubungan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sistem perhubungan nasional pada hakekatnya adalah pencerminan dari sistem transportasi seimbang dan terpadu, oleh karena itu sistem perhubungan sebagai penunjang utama

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. pemersatu wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Pengembangan

BAB I PENDAHULUAN. pemersatu wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Pengembangan 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Transportasi merupakan industri jasa yang memiliki fungsi pelayanan publik dan misi pengembangan nasional, yang secara umum menjalankan fungsi sebagai pendukung

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

BAB III METODOLOGI PENELITIAN BAB III METODOLOGI PENELITIAN III.1 Bagan Alir Analisis Karakteristik Pergerakan Dan Kebutuhan Prasarana Angkutan Umum Identifikasi Masalah : Kurang berfungsinya halte sebagai tempat henti angkutan umum

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. dan tranportasi atau perangkutan adalah bagian kegiatan ekonomi yang. dan penumpang dari suatu tempat ke tempat lain.

II. TINJAUAN PUSTAKA. dan tranportasi atau perangkutan adalah bagian kegiatan ekonomi yang. dan penumpang dari suatu tempat ke tempat lain. II. TINJAUAN PUSTAKA A. Transportasi Menurut Drs. H. M. N. Nasution, M. S. Tr. (1996) transportasi diartikan sebagai perpindahan barang dan manusia dari tempat asal ke tempat tujuan, dan tranportasi atau

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. selamat, aman, nyaman, dan terjangkau. perkotaan dibagi menjadi dua kelompok yaitu choice dan captive.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. selamat, aman, nyaman, dan terjangkau. perkotaan dibagi menjadi dua kelompok yaitu choice dan captive. BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Angkutan Umum Peraturan Pemerintah mor 74 Tahun 2014 pasal 14 ayat 1 tentang Angkutan Jalan menyebutkan bahwa angkutan umum diselenggarakan dalam upaya memenuhi kebutuhan angkutan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Transportasi adalah usaha memindahkan, menggerakkan, mengangkut, atau mengalihkan suatu objek (manusia atau barang) dari suatu tempat ke tempat lainnya dengan menggunakan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. sekaligus ibukota dari Provinsi Jawa Barat yang mempunyai aktifitas Kota

BAB I PENDAHULUAN. sekaligus ibukota dari Provinsi Jawa Barat yang mempunyai aktifitas Kota Pertumbuhan Ekonomi (%) BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian Kota Bandung dikenal sebagai salah satu wilayah Metropolitan sekaligus ibukota dari Provinsi Jawa Barat yang mempunyai aktifitas

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pertumbuhan penduduk disuatu negara akan berbanding lurus dengan kebutuhan sarana transportasi. Begitu pula di Indonesia, transportasi merupakan salah satu bagian

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pertumbuhan penduduk dan perkembangan ekonomi yang semakin cepat

BAB I PENDAHULUAN. Pertumbuhan penduduk dan perkembangan ekonomi yang semakin cepat BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pertumbuhan penduduk dan perkembangan ekonomi yang semakin cepat dewasa ini menjadikan transportasi merupakan suatu sarana dan prasarana yang memegang peranan penting

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. tempat lainnya dengan menggunakan sebuah kendaraan yang digerakkan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. tempat lainnya dengan menggunakan sebuah kendaraan yang digerakkan BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Transportasi Transportasi adalah perpindahan manusia atau barang dari satu tempat ke tempat lainnya dengan menggunakan sebuah kendaraan yang digerakkan oleh manusia atau mesin.

Lebih terperinci

KAJIAN KELAYAKAN TRAYEK ANGKUTAN UMUM DI PURWOKERTO

KAJIAN KELAYAKAN TRAYEK ANGKUTAN UMUM DI PURWOKERTO KAJIAN KELAYAKAN TRAYEK ANGKUTAN UMUM DI PURWOKERTO Juanita 1, Tito Pinandita 2 1 Jurusan Teknik Sipil, Fakultas Teknik, Universitas Muhammadiyah Purwokerto Jl. Raya Dukuh Waluh Purwokerto, 53182. 2 Jurusan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. I.1 Umum. Indonesia sebagai salah satu negara berkembang, saat ini sedang mengalami

BAB I PENDAHULUAN. I.1 Umum. Indonesia sebagai salah satu negara berkembang, saat ini sedang mengalami BAB I PENDAHULUAN I.1 Umum Indonesia sebagai salah satu negara berkembang, saat ini sedang mengalami perkembangan yang pesat dalam bidang sosial ekonomi. Jumlah penduduk Indonesia yang semakin meningkat

Lebih terperinci

Evaluasi Operasional Angkutan Umum Kota Pariaman

Evaluasi Operasional Angkutan Umum Kota Pariaman Evaluasi Operasional Angkutan Umum Kota Pariaman Oleh : Nadra Arsyad, ST, MT 1) ABSTRAK Angkutan kota merupakan fasilitas yang diharapkan mampu meyediakan aksesibilitas yang baik bagi penggunanya, hal

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. perkembangan sarana dan prasarana pendukung salah satunya adalah sarana

BAB I PENDAHULUAN. perkembangan sarana dan prasarana pendukung salah satunya adalah sarana BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Perkembangan ekonomi suatu negara atau daerah tidak terlepas dari pengaruh perkembangan sarana dan prasarana pendukung salah satunya adalah sarana transportasi. Transportasi

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Menurut kamus besar bahasa Indonesia edisi (2005) Evaluasi adalah

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Menurut kamus besar bahasa Indonesia edisi (2005) Evaluasi adalah BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Evaluasi penilaian. Menurut kamus besar bahasa Indonesia edisi (2005) Evaluasi adalah 2.2 Angkutan Undang undang Nomer 22 Tahun 2009 pasal 1 ayat 1 tentang Lalu Lintas dan Angkutan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. yakni bentuk keterikatan dan keterkaitan antara satu variabel dengan variabel. optimalisasi proses pergerakan tersebut.

BAB I PENDAHULUAN. yakni bentuk keterikatan dan keterkaitan antara satu variabel dengan variabel. optimalisasi proses pergerakan tersebut. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Sistem tranportasi memiliki satu kesatuan definisi yang terdiri atas sistem, yakni bentuk keterikatan dan keterkaitan antara satu variabel dengan variabel lain

Lebih terperinci

BAB III LANDASAN TEORI. a. UU No. 22 Tahun 2009 Tentang lalu Lintas dan Angkutan. b. PP No. 74 Tahun 2014 tentang Angkutan Jalan

BAB III LANDASAN TEORI. a. UU No. 22 Tahun 2009 Tentang lalu Lintas dan Angkutan. b. PP No. 74 Tahun 2014 tentang Angkutan Jalan BAB III LANDASAN TEORI 3.1. Peraturan dan Perundang-undangan a. UU No. 22 Tahun 2009 Tentang lalu Lintas dan Angkutan Jalan b. PP No. 74 Tahun 2014 tentang Angkutan Jalan c. SK Dirjen No.687/AJ.206/DRJD/2002

Lebih terperinci

EVALUASI RUTE TRAYEK ANGKUTAN UMUM PENUMPANG (AUP) BERDASARKAN PERSEBARAN PERMUKIMAN DI KABUPATEN SRAGEN TUGAS AKHIR

EVALUASI RUTE TRAYEK ANGKUTAN UMUM PENUMPANG (AUP) BERDASARKAN PERSEBARAN PERMUKIMAN DI KABUPATEN SRAGEN TUGAS AKHIR EVALUASI RUTE TRAYEK ANGKUTAN UMUM PENUMPANG (AUP) BERDASARKAN PERSEBARAN PERMUKIMAN DI KABUPATEN SRAGEN TUGAS AKHIR Oleh: ANGGA NURSITA SARI L2D 004 298 JURUSAN PERENCANAAN WILAYAH DAN KOTA FAKULTAS TEKNIK

Lebih terperinci

KINERJA TEKNIS DAN ANALISIS ATP WTP ANGKUTAN TRANS JOGJA

KINERJA TEKNIS DAN ANALISIS ATP WTP ANGKUTAN TRANS JOGJA KINERJA TEKNIS DAN ANALISIS ATP WTP ANGKUTAN TRANS JOGJA Risdiyanto 1*, Edo Fasha Nasution 2, Erni Ummi Hasanah 3 1,2 Jurusan Teknik Sipil Universitas Janabadra, 3 Jurusan Ekonomi Pembangunan Universitas

Lebih terperinci

Perancangan Sistem Transportasi Kota Bandung dengan Menerapkan Konsep Sirkuit Hamilton dan Graf Berbobot

Perancangan Sistem Transportasi Kota Bandung dengan Menerapkan Konsep Sirkuit Hamilton dan Graf Berbobot Perancangan Sistem Transportasi Kota Bandung dengan Menerapkan Konsep Sirkuit Hamilton dan Graf Berbobot Rakhmatullah Yoga Sutrisna (13512053) Program Studi Teknik Informatika Sekolah Teknik Elektro dan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. pergerakan manusia dan barang. Pergerakan penduduk dalam memenuhi kebutuhannya terjadi

BAB I PENDAHULUAN. pergerakan manusia dan barang. Pergerakan penduduk dalam memenuhi kebutuhannya terjadi BAB I PENDAHULUAN I.1 Umum Transportasi adalah proses memindahkan suatu benda mencakup benda hidup dan benda mati dari suatu tempat ke tempat lainnya. Komponen lalu lintas berupa sarana, pemakai jalan

Lebih terperinci

BAB II STUDI PUSTAKA 2.1. TARIF TOL

BAB II STUDI PUSTAKA 2.1. TARIF TOL BAB II STUDI PUSTAKA 2.1. TARIF TOL Menurut UU No.13/1980, tol adalah sejumlah uang tertentu yang dibayarkan untuk pemakaian jalan tol.. Kemudian pada tahun 2001 Presiden mengeluarkan PP No. 40/2001. Sesuai

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Permasalahan di sektor transportasi merupakan permasalahan yang banyak terjadi

I. PENDAHULUAN. Permasalahan di sektor transportasi merupakan permasalahan yang banyak terjadi I. PENDAHULUAN 1. Latar Belakang Permasalahan di sektor transportasi merupakan permasalahan yang banyak terjadi di berbagai kota. Permasalahan transportasi yang sering terjadi di kota-kota besar adalah

Lebih terperinci

berakhir di Terminal Giwangan. Dalam penelitian ini rute yang dilalui keduanya

berakhir di Terminal Giwangan. Dalam penelitian ini rute yang dilalui keduanya BABV ANALISIS A. Rute Perjalanan Rute perjalanan angkutan umum bus perkotaan yang diteliti ada dua jalur yaitu jalur 7 dan jalur 5 yang beroperasinya diawali dari Terminal Giwangan dan berakhir di Terminal

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. mempunyai fungsi sebagai penggerak, pendorong dan penunjang. dan prasarana yang didukung oleh tata laksana dan sumber daya manusia

BAB I PENDAHULUAN. mempunyai fungsi sebagai penggerak, pendorong dan penunjang. dan prasarana yang didukung oleh tata laksana dan sumber daya manusia 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian 1. Umum Transportasi sebagai urat nadi kehidupan berbangsa dan bernegara, mempunyai fungsi sebagai penggerak, pendorong dan penunjang pembangunan. Transportasi

Lebih terperinci

BAB 3 GAMBARAN UMUM KAWASAN JALAN CIHAMPELAS

BAB 3 GAMBARAN UMUM KAWASAN JALAN CIHAMPELAS 31 BAB 3 GAMBARAN UMUM KAWASAN JALAN CIHAMPELAS 3.1 Gambaran Umum Kota Bandung Dalam konteks nasional, Kota Bandung mempunyai kedudukan dan peran yang strategis. Dalam Peraturan Pemerintah No.47 Tahun

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. melakukannya. Pergerakan dikatakan juga sebagai kebutuhan turunan, sebab

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. melakukannya. Pergerakan dikatakan juga sebagai kebutuhan turunan, sebab BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Transportasi Pergerakan dan perjalanan adalah hasil dari kebutuhan manusia untuk bergerak dari satu tempat ke tempat lain untuk berbagai aktivitasnya, dan semua manusia melakukannya.

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

BAB III METODOLOGI PENELITIAN BAB III METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Umum Metodologi penelitian adalah cara mencari kebenaran dan asas-asas gejala alam, masyarakat, atau kemanusiaan berdasarkan disiplin ilmu tertentu (Kamus Besar Bahasa

Lebih terperinci

III. METODOLOGI PENELITIAN. mengumpulkan literature baik berupa buku buku transportasi, artikel, jurnal

III. METODOLOGI PENELITIAN. mengumpulkan literature baik berupa buku buku transportasi, artikel, jurnal 18 III. METODOLOGI PENELITIAN A. Metode Penelitian Langkah pertama yang dilakukan dalam penelitian ini adalah dengan mengumpulkan literature baik berupa buku buku transportasi, artikel, jurnal jurnal dan

Lebih terperinci

STUDI EFEKTIFITAS PELAYANAN ANGKUTAN KOTA JURUSAN ABDUL MUIS DAGO

STUDI EFEKTIFITAS PELAYANAN ANGKUTAN KOTA JURUSAN ABDUL MUIS DAGO STUDI EFEKTIFITAS PELAYANAN ANGKUTAN KOTA JURUSAN ABDUL MUIS DAGO Astrid Fermilasari NRP : 0021060 Pembimbing : Ir. Silvia Sukirman FAKULTAS TEKNIK JURUSAN TEKNIK SIPIL UNIVERSITAS KRISTEN MARANATHA BANDUNG

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Transportasi Umum Transportasi merupakan proses pergerakan atau perpindahan manusia dan barang dari satu tempat ke tempat lain untuk tujuan tertentu. Manusia selalu berusaha

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. Latar Belakang 1 BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Transportasi massal yang tertib, lancar, aman, dan nyaman merupakan pilihan yang ditetapkan dalam mengembangkan sistem transportasi perkotaan. Pengembangan transportasi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. konsekuensi logis yaitu timbulnya lalu lintas pergerakan antar pulau untuk

BAB I PENDAHULUAN. konsekuensi logis yaitu timbulnya lalu lintas pergerakan antar pulau untuk BAB I PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang Kondisi geografis Indonesia sebagai negara kepulauan membawa konsekuensi logis yaitu timbulnya lalu lintas pergerakan antar pulau untuk pemenuhan kebutuhan barang dan

Lebih terperinci

BAB III LANDASAN TEORI. dan diatur dalam beberapa peraturan dan undang-undang sebagai berikut :

BAB III LANDASAN TEORI. dan diatur dalam beberapa peraturan dan undang-undang sebagai berikut : BAB III LANDASAN TEORI 3.1. Peraturan dan Undang-Undang Terkait. Peraturan dan pedoman teknis dari pelayanan trayek angkutan umum dimuat dan diatur dalam beberapa peraturan dan undang-undang sebagai berikut

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 10 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Angkutan Undang undang Nomor 22 Tahun 2009 pasal 1 ayat 1 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan mendefinisikan angkutan adalah perpindahan orang dan/atau barang dari satu

Lebih terperinci

MODEL PEMILIHAN MODA ANTARA LIGHT RAIL TRANSIT (LRT) DENGAN SEPEDA MOTOR DI JAKARTA

MODEL PEMILIHAN MODA ANTARA LIGHT RAIL TRANSIT (LRT) DENGAN SEPEDA MOTOR DI JAKARTA MODEL PEMILIHAN MODA ANTARA LIGHT RAIL TRANSIT (LRT) DENGAN SEPEDA MOTOR DI JAKARTA Febri Bernadus Santosa 1 dan Najid 2 1 Jurusan Teknik Sipil, Universitas Tarumanagara, Jl. Let. Jend S. Parman No.1 Jakarta

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pertumbuhan penduduk Kota Bandung yang sangat tinggi baik secara alami maupun akibat arus urbanisasi mengakibatkan permintaan untuk perumahan semakin besar. Salah

Lebih terperinci

VI. HASIL DAN PEMBAHASAN

VI. HASIL DAN PEMBAHASAN 30 VI. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Gambaran Umum Karakteristik Responden Jasa Transportasi Angkutan Umum Kota (Angkot) yang Berbahan Bakar Premium di Kota Bogor Jasa transportasi angkutan umum kota ini digunakan

Lebih terperinci

BAB IV INTEPRETASI DATA

BAB IV INTEPRETASI DATA 41 BAB IV INTEPRETASI DATA 4.1 Pengumpulan Data Data responden pada penyusunan skripsi ini terdiri atas dua bagian yaitu data profil responden dan data stated preference. Untuk data profil responden terdiri

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Berdasarkan Keputusan Mentri Perhubungan No. 35 tahun 2003 Tentang

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Berdasarkan Keputusan Mentri Perhubungan No. 35 tahun 2003 Tentang BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Angkutan Berdasarkan Keputusan Mentri Perhubungan No. 35 tahun 2003 Tentang Penyelenggaraan Angkutan Orang di Jalan Dengan Kendaraan Umum, angkutan dapat didefinisikan sebagai

Lebih terperinci

EVALUASI PENERAPAN BRT (BUS RAPID TRANSIT) Fitra Hapsari ( ) Jurusan Teknik Sipil Bidang Keahlian Manajemen Rekayasa Transportasi

EVALUASI PENERAPAN BRT (BUS RAPID TRANSIT) Fitra Hapsari ( ) Jurusan Teknik Sipil Bidang Keahlian Manajemen Rekayasa Transportasi Thesis EVALUASI PENERAPAN BRT (BUS RAPID TRANSIT) DENGAN PEMBANGUNAN BUSWAY PARSIAL PADA KORIDOR UTARA-SELATAN KOTA SURABAYA Fitra Hapsari (3105 206 001) Jurusan Teknik Sipil Bidang Keahlian Manajemen

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Transportasi merupakan pemindahan barang dan manusia dari tempat asal (dari mana kegiatan pengangkutan dimulai) ke tempat tujuan (kemana kegiatan pengangkutan diakhiri).

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dengan pertumbuhan jumlah penduduknya. Pesatnya pertumbuhan penduduk ini

BAB I PENDAHULUAN. dengan pertumbuhan jumlah penduduknya. Pesatnya pertumbuhan penduduk ini 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Perkembangan dan pertumbuhan suatu kota pada umumnya disertai dengan pertumbuhan jumlah penduduknya. Pesatnya pertumbuhan penduduk ini pada akhirnya akan menyebabkan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. tempat lainnya dengan menggunakan sebuah kendaraan yang digerakkan oleh

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. tempat lainnya dengan menggunakan sebuah kendaraan yang digerakkan oleh BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Transportasi Transportasi adalah pemindahan manusia atau barang dari satu tempat ke tempat lainnya dengan menggunakan sebuah kendaraan yang digerakkan oleh manusia atau mesin.

Lebih terperinci

EVALUASI RUTE ANGKUTAN UMUM PUSAT KOTA DALAM MENGURANGI BEBAN LALU LINTAS DI PUSAT KOTA SALATIGA TUGAS AKHIR

EVALUASI RUTE ANGKUTAN UMUM PUSAT KOTA DALAM MENGURANGI BEBAN LALU LINTAS DI PUSAT KOTA SALATIGA TUGAS AKHIR EVALUASI RUTE ANGKUTAN UMUM PUSAT KOTA DALAM MENGURANGI BEBAN LALU LINTAS DI PUSAT KOTA SALATIGA TUGAS AKHIR Oleh : ROHMA YUANITA A L2D 001 458 JURUSAN PERENCANAAN WILAYAH DAN KOTA FAKULTAS TEKNIK UNIVERSITAS

Lebih terperinci

ANALISIS TINGKAT PELAYANAN ANGKUTAN UMUM BERDASARKAN KARAKTERISTIK PERGERAKAN PENDUDUK KECAMATAN KALIWUNGU DI KOTA KUDUS TUGAS AKHIR

ANALISIS TINGKAT PELAYANAN ANGKUTAN UMUM BERDASARKAN KARAKTERISTIK PERGERAKAN PENDUDUK KECAMATAN KALIWUNGU DI KOTA KUDUS TUGAS AKHIR ANALISIS TINGKAT PELAYANAN ANGKUTAN UMUM BERDASARKAN KARAKTERISTIK PERGERAKAN PENDUDUK KECAMATAN KALIWUNGU DI KOTA KUDUS TUGAS AKHIR Oleh: FICKY ADITIA NUGRAHA L2D 098 430 JURUSAN PERENCANAAN WILAYAH DAN

Lebih terperinci

PENGARUH KEGIATAN PERGURUAN TINGGI TERHADAP TINGKAT PELAYANAN JALAN (Studi Kasus: Kawasan Pendidikan Tinggi Jatinangor)

PENGARUH KEGIATAN PERGURUAN TINGGI TERHADAP TINGKAT PELAYANAN JALAN (Studi Kasus: Kawasan Pendidikan Tinggi Jatinangor) bidang TEKNIK PENGARUH KEGIATAN PERGURUAN TINGGI TERHADAP TINGKAT PELAYANAN JALAN (Studi Kasus: Kawasan Pendidikan Tinggi Jatinangor) EVA NURSAWITRI, ROMEIZA SYAFRIHARTI DAN LASTI YOSSI HASTINI Program

Lebih terperinci