30 V. TINJAUAN PROGRAM PENGEMBANGAN MASYARAKAT

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "30 V. TINJAUAN PROGRAM PENGEMBANGAN MASYARAKAT"

Transkripsi

1 30 V. TINJAUAN PROGRAM PENGEMBANGAN MASYARAKAT Dalam kajian ini, pengkaji meninjau 2 (dua) program pengembangan masyarakat yang telah dan sedang dilaksanakan di daerah penelitian yaitu : Program Akselerasi Peningkatan Produktivitas Tebu dan Kegiatan Penyertaan Modal Kemitraan Usaha Budidaya Tebu PROGRAM AKSELERASI PENINGKATAN PRODUKTIVITAS TEBU Merosotnya produksi gula nasional ditengarai diakibatkan oleh menurunnya mutu genetik varietas tebu yang ditanam, hal ini disebabkan tanaman telah mengalami degradasi dan tanaman ratoon ada yang mengalami keprasan berulangkali bahkan ada yang sampai 10 kali lebih. Penurunan produktifitas ini merupakan konsekuensi logis akibat merosotnya kualitas budidaya pada areal bertahan maupun areal baru pada lahan kering. Dalam beberapa tahun terakhir modal kerja berupa kredit program untuk membantu petani dalam pembiayaan usaha, disamping jumlahnya tidak memadai juga penyalurannya selalu terlambat. Kondisi ini diikuti pula oleh berbagai kebijakan yang kurang mendukung seperti kebijakan tata niaga gula yang berpengaruh terhadap merosotnya harga gula. Hal ini, berakibat menurunnya gairah petani untuk menanam tebu, karena dipandang tidak mampu lagi memberi keuntungan secara ekonomi. Menyadari hal tersebut pemerintah melalui Depatemen Pertanian kemudian mencanangkan kebijakan Program Akselerasi Peningkatan Produktivitas Gula Nasional tahun yang diwujudkan dalam Proyek Pengembangan Tebu sejak Tahun Dengan sasaran akhir produksi pada tahun 2007 mencapai 3 juta ton kristal dan diharapkan pada tahun 2009 akan dicapai swa sembada gula. Untuk melaksanakan kebijakan tersebut, pemerintah memberikan dukungan biaya melalui dana APBN, yang disalurkan dalam bentuk Penguatan Modal Usaha Kelompok (PMUK) dengan model guliran untuk membantu merehabilitasi tanaman tebu serta pada waktunya mampu memupuk modal usaha dan membangun lembaga usaha milik petani yang kokoh. Penguatan modal tersebut diberikan dalam bentuk dana tunai yang diterima dan dikelola

2 31 secara langsung oleh kelompok sasaran untuk usaha tani dan wajib dikembalikan dan digulirkan di dalam kelompok sasaran dengan jangka waktu dan tingkat bunga sesuai aturan yang ditetapkan untuk keberlanjutan usaha Maksud dan Tujuan Pada dasarnya program ini adalah merupakan salah satu upaya pemerintah untuk membantu petani dalam merehabilitasi tanaman tebu, sehingga petani dapat mengelola usahanya secara berkelanjutan yang pada akhirnya dapat meningkatkan kesejahteraan petani tebu itu sendiri. Dalam pelaksanaan program ini pendekatan yang dilakukan yaitu melalui pendekatan usaha kelompok. Hal ini terutama dimaksudkan untuk : a. Memperkuat kapasitas usaha kelompok, yang dikelola sesuai kaidah bisnis, terutama dalam skala usaha, sehingga dituntut adanya manajemen usaha serta pembinaan aparat yang dilakukan secara profesional. Berkembangnya usaha kelompok penerima PUMK ini diharapkan mampu menstimulasi dan menggerakkan perkembangan kelompok usaha lain yang ada disekitarnya. b. Merangsang penerapan dan pengembangan pola PUMK dengan sumber pembiayaan daerah (APBD, sumber dana lainnya). Penerapan anggaran pola penguatan modal usaha kelompok (PMUK) ini bertujuan untuk : a. Menumbuhkan usaha kelompok tani, petani tebu rakyat dibidang usaha bibit, saprodi dan jasa (pembongkaran ratoon, jasa pengairan dsb.) yang mampu menjadi perusahaan petani tebu. b. Memberdayakan kelompok usaha untuk mengakses sumber permodalan komersial, pupuk, teknologi dan pasar yang diperuntukkan bagi pengembangan usaha berbasis tebu. c. Meningkatkan kualitas sumberdaya petani tebu dalam mengelola usaha agribisnis berbasis tebu. d. Mendorong terbentuknya lembaga ekonomi mikro Sasaran Sasaran yang diharapkan dari pemanfaatan anggaran melalui penguatan modal usaha kelompok (PMUK) ini adalah :

3 32 a. Berkembangnya usaha petani tebu melalui peningkatan sumberdaya petani tebu dan dukungan penguatan modal, sehingga usaha tersebut mampu berkembang menjadi perusahaan petani tebu yang dikelola dengan manajemen usaha yang lebih profesional. b. Terbangunnya sistem dan usaha agribisnis berbasis tebu di kawasan pabrik gula secara lebih efisien, berkeadilan dan berkelanjutan. c. Meningkatnya daya saing produksi gula petani melalui peningkatan produksi dan produktifitas usaha yang didukung oleh usaha jasa lainnya, serta berkembangnya upaya pengembangan produk (product development). d. Tersosialisasinya pembangunan lembaga ekonomi mikro Pendekatan Sebagai wujud pemberdayaan petani tebu yang pada umumnya memiliki karakteristik dan dihadapkan pada kendala ; skala usaha yang relatif kecil, keterbatasan permodalan, dan rendahnya kualitas sumberdaya manusia maka pendekatan pemberdayaan yang digunakan yaitu : a. Pengembangan usaha dilaksanakan dalam manajemen kelompok untuk peningkatan efisiensi, usaha, memperlancar pengadaan sarana produksi serta meningkatkan posisi tawar petani terhadap mitra usahanya, dalam hal ini yaitu Pabrik Gula. b. Pengembangan usaha kelompok dilaksanakan dengan memenuhi kaidahkaidah bisnis sehingga mampu beroperasi secara mandiri terutama dalam membiayai manajemen usahanya. c. Pengembangan manajemen usaha kelompok sasaran dilakukan secara profesional dengan partisipasi aktif para anggota. d. Pemanfaatan fasilitasi modal kepada kelompok sasaran, motor penggeraknya adalah kerjasama yang harmonis antar anggota kelompok sasaran itu sendiri Sumber Dana dan Penyelenggara Dana PMUK Berdasarkan Peraturan Menteri Pertanian Republik Indonesia nomor : 32/Permentan/KU.510/7/2006 dalam Bab I Pasal 1 (1) disebutkan bahwa, Dana Penguatan Modal Usaha Kelompok selanjutnya disebut Dana bergulir adalah dana APBN yang disalurkan dalam mendukung penguatan modal usaha kelompok dalam kegiatan agribisnis berbasis komoditas tebu. Pengelola dana

4 33 PMUK sebagaimana dijelaskan pada Bab II Pasal 5, yaitu Koperasi Primer atau Koperasi Sekunder, dalam hal ini yaitu koperasi petani tebu rakyat. Pelaksanaan anggaran ini dilakukan oleh Pemerintah provinsi melalui azas dekonsentrasi. Penyelenggaraan program ini dilaksanakan oleh pemerintah Provinsi, Kabupaten/Kota yang membidangi Perkebunan, dan untuk efektifitas dalam penyelenggaraannya dibentuk Satuan Kerja/Tim Teknis Pengembangan Tebu Rakyat di Tingkat Provinsi maupun di tingkat Kabupaten/Kota dengan Surat Keputusan Gubernur atau Bupati/ Walikotamadya Mekanisme Pengajuan, Pencairan dan Penyaluran Dana Bergulir Mekanisme Pengajuan, Pencairan dan Penyaluran Dana Bergulir dapat dijelaskan sebagai berikut : a. Pengajuan pemanfaatan Dana bergulir disampaikan oleh Koperasi kepada Tim Teknis Kabupaten/Kota untuk diverifikasi. Selanjutnya hasil ferifikasi Tim Teknis Kabupaten/Kota direkomendasikan kepada Satuan Kerja /Tim Teknis Provinsi. Hasil rekomendasi disampaikan ke Bank untuk pencairan dana bergulir sesuai dengan Rencana Usulan Kegiatan dengan tembusan Pabrik Gula. b. Pencairan dana dari Bank pada rekening giro Triple Account atas persetujuan Petugas Dinas yang membidangi perkebunan di Kabupaten/Kota, Tim Teknis Pabrik Gula dan Ketua Koperasi Primer. c. Penyaluran Dana bergulir dilakukan oleh koperasi primer dengan memperhatian rekomendasi Tim Teknis Kabupaten/Kota dan disalurkan sesuai kemajuan pekerjaan. d. Dana bergulir yang disalurkan dibebani jasa sebagaimana Peraturan Menteri Pertanian Republik Indonesia Nomor : 32/Permenteri/KU.510/ 7/2006. yaitu sebesar 7 % flat rate untuk satu musim giling dengan rincian 4 % untuk pemupukan modal koperasi dan 3 % untuk operasional pengembangan tebu. Untuk lebih jelas, mekanisme pengajuan, pencairan dan penyaluran dana bergulir tersebut dapat dilihat pada Gambar 5.

5 34 Satker Dinas Perkebunan Provinsi / Tim Teknis Provinsi Verifikasi Rekomendasi Tim Teknis Kabupaten/Kota Pengawasan Pelaporan Bank (Rekening Triple Account Koperasi) Usulan untuk Bongkar dan Rawat Ratoon Usulan RUK Koperasi Primer Pencairan Rekomendasi Petani Bongkar Ratoon Rawat Ratoon Penyaluran Gambar 5 Mekanisme Pengajuan, Pencairan dan Penyaluran Dana Bergulir Pengembalian Dana Bergulir Mekanisme pengembalian dana bergulir dari koperasi dapat disampaikan sebagai berikut : a. Dana bergulir yang dipinjam petani dari koperasi dikembalikan ke rekening giro Triple Account koperasi setelah panen/penjualan hasil gula. b. Pemotongan pinjaman petani dan jasa pemanfaatan dana bergulir, dilakukan oleh Pabrik Gula, berdasarkan usulan piutang petani oleh koperasi. Selanjutnya hasil pemotongan piutang tersebut disetor ke koperasi. c. Koperasi menyalurkan jasa pengelolaan dana bergulir sebesar 7 % ke masing-masing rekening yang bersangkutan dengan perincian sebagai berikut : 4 % untuk pemupukan modal dan operasional koperasi, 3 % untuk operasional pengembangan tebu dengan alokasi, Pabrik Gula 0,5 %, Tim Teknis Kabupaten/Kota 0,5 % dan Satuan Kerja Dinas Perkebunan Provinsi/Tim Teknis Provinsi sebesar 2 %.

6 35 Koperasi Rekening Giro Triple Account Dana guliran dan Pemupukan Modal Koperasi Jasa Pengelolaan Disalurkan Kegiatan Baru Rekening Satker Perkebunan /Tim Teknis Provinsi Rekening Pabrik Gula Pabrik Gula Hasil Penjualan Gula Petani oleh APTR/KPTR Rekening Tim Teknis Kabupaten Gambar 6 Mekanisme Pengembalian Dana Bergulir untuk Kegiatan Bongkar Ratoon dan Rawat Ratoon Pada dasarnya tujuan setiap pembangunan adalah untuk peningkatan kesejahteraan masyarakat. Namun demikian keberhasilan pencapaian tujuan pembangunan tersebut tidak bisa dilakukan sendiri oleh pemerintah, tetapi memerlukan keterlibatan secara aktif seluruh komponen masyarakat. Tidak saja dari pengambil kebijakan tertinggi, para perencana, aparat pelaksana operasional, tetapi juga para petani, nelayan, pedagang kecil, para pengusaha dan sebagainya sebagai wujud partisipasi. Oleh karena untuk memperoleh dukungan partisipasi aktif dari masyarakat, setiap kebijakan pembangunan harus peka terhadap kepentingan-kepentingan masyarakat. Dengan penyaluran dana bergulir petani memperoleh keuntungan, baik secara individu maupun secara kelembagaan. Secara individu yaitu tercukupinya atau terbantunya kebutuhan biaya kegiatan usaha, melalui prosedur yang sangat mudah dan bunga yang sangat rendah dibanding bunga bank komersial. Sedangkan secara kelembagaan yaitu dengan adanya dana penguatan yang diterima, berupa jasa sebesar 4 % atas penyaluran dana bergulir sebagai pemupukan modal koperasi petani tebu. Juga dana guliran itu sendiri yang senantiasa dipakai sebagai dana abadi kelompok selama dana tersebut dibutuhkan masyarakat. Bantuan dana bergulir mulai dilaksanakan sejak tahun 2003, dengan penerimaan bantuan sebesar Rp ,- per hektar. Pemupukan modal bagi kelembagaan ekonomi petani tercermin dari dana guliran sebagaimana Tabel 6 sebagai berikut :

7 36 TA Tabel 6 Jumlah Penyaluran Dana Bergulir Untuk Koperasi Raksa Jaya Jumlah (Rp.000) Penguatan Penguatan (Rp.000) (Rp.000) Penguatan (Rp.000) Keterangan / Jumlah Kegiatan : - Kebun Bibit -Bongkar Ratoon - BUEP JML Sumber : Data Sekunder, DisHut dan LH Kabupaten Pemalang, Nopember 2007 Menurut Arsyad (1999), pertumbuhan ekonomi diartikan sebagai kenaikan Produk Domestik Bruto (PDB) atau Produk Nasional Bruto (PNB). Kenaikan ini tanpa memandang, apakah kenaikan itu lebih besar atau lebih kecil dari tingkat pertumbuhan penduduk, atau apakah perubahan struktur ekonomi terjadi atau tidak. Pertumbuhan juga diartikan jika pendapatan perkapita menunjukkan kecenderungan jangka panjang yang menaik. Sadono (1985) menyatakan bahwa pertumbuhan ekonomi merupakan perubahan tingkat kegiatan ekonomi yang berlaku dari tahun ke tahun. Oleh sebab itu, untuk mengetahui tingkat pertumbuhan ekonomi harus diperbandingkan tingkat pendapatan nasional dalam berbagai tahun. Memperhatikan definisi tersebut, maka untuk mengetahui keterkaitan program dengan pertumbuhan ekonomi lokal dapat dilihat dari tingkat pendapatan yang diterima masyarakat, dalam hal ini petani tebu, atas sisa hasil usaha tani tebu yang dilakukan sebagaimana Tabel 7. Tabel 7 Perkembangan Tingkat Pendapatan Petani Tebu Di Kabupaten Pemalang Pada 5 Tahun Terakhir No Tahun Prod Kw/Ha Rende ment Kristal gula/ha Harga (Rp) gula /Kg SHU (Rp.000) (rata-rata) ,45 8,0 8,28 8,31 8,55 53,81 66,09 73,27 78, Sumber : Data Sekunder, DisHut dan LH Kabupaten Pemalang, Nopember 2007 Dengan adanya kenaikan tingkat pendapatan tersebut, secara otomatis akan berpengaruh terhadap pertumbuhan ekonomi dalam skala kabupaten. Hal

8 37 ini juga berpengaruh terhadap sektor ekonomi masyarakat lain, baik usaha kecil dan menengah maupun sektor informal lainnya sebagai dampak dari peredaran uang yang terjadi di masyarakat. Untuk lebih jelas dapat dilihat tingkat pertumbuhan ekonomi di tingkat Kabupaten, berdasarkan laju pertumbuhan PDRB Kabupaten tahun sebesar 3,58 meningkat pada tahun sebesar 3,77 dan pada tahun meningkat sebesar 3,97. (BPS Kabupaten Pemalang, 2005) Target pertumbuhan ekonomi dan pemerataan (economic growth and equality) pendapatan masyarakat, merupakan semangat bersama untuk memperbaiki tingkat kehidupan masyarakat yang didasarkan pada peluang dan potensi sumberdaya alam yang dimiliki, adalah merupakan sebuah peluang yang memungkinkan untuk bisa diraih. Tingkat kesejahteraan itu sendiri dapat dirasakan oleh masyarakat, apabila distribusi pendapatan terjadi secara merata di masyarakat. Oleh karena itu distribusi usaha masyarakat juga harus dapat direalisasikan sesuai dengan keahlian dan kemampuan masing-masing, sehingga terjadi sinergi dalam kegiatan ekonomi di masyarakat. Terciptanya kondisi ini sangat mendorong tercapainya peningkatan pendapatan masyarakat dan berpeluang pada peningkatan kualitas hidup masyarakat KEGIATAN PENYERTAAN MODAL KEMITRAAN USAHA BUDIDAYA TEBU Berkaitan dengan Undang-undang 22 Tahun 1999 tentang Otonomi Daerah, Yudoyono, (2001), menyatakan bahwa Undang undang ini meletakkan otonomi daerah secara luas kepada daerah Kabupaten dan Kota berdasarkan prinsip-prinsip demokrasi, peran serta masyarakat, pemerataan, keadilan, serta memperhatikan potensi dan keanekaragaman daerah. Selanjutnya Yudoyono menyatakan, bahwa fungsi utama pemerintahan daerah otonom adalah memberikan pelayanan, perlindungan dan pemberdayaan masyarakat. Lebih lanjut tentang pembangunan ekonomi daerah, Arsyad, (1999) menyampaikan bahwa pembangunan ekonomi daerah adalah suatu proses dimana pemerintah daerah dan masyarakatnya mengelola sumberdayasumberdaya yang ada, dan membentuk suatu pola kemitraan antara pemerintah daerah dengan sektor swasta untuk menciptakan suatu lapangan kerja baru dan merangsang perkembangan kegiatan ekonomi (pertumbuhan ekonomi) dalam wilayah tersebut.

9 38 Langkah yang ditempuh Pemerintah Kabupaten Pemalang dalam rangka pelaksanaan otonomi daerah sebagaimana diamanatkan Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 dan untuk mendorong pertumbuhan ekonomi di daerahnya, yaitu dengan dilaksanakan kerjasama dengan masyarakat dalam rangka pelaksanaan pembangunan khususnya pada sektor pertanian. Salah satu kegiatan yang dilakukan yaitu dalam bentuk kegiatan Penyertaan Modal Kemitraan Usaha Budidaya Tebu yang dilaksanakan sejak tahun 2004 sampai sekarang. Kegiatan ini sekaligus juga untuk membantu memperkuat permodalan petani dalam melaksanakan kegiatan usahanya, untuk meningkatkan produktifitas dan meningkatkan pendapatan dan tingkat kesejahteraan masyarakat secara umum Pengertian Kegiatan Penyertaan Modal Kemitraan Usaha Budidaya Tebu adalah merupakan bentuk kegiatan yang tertuang dalam rencana strategis (Renstra) pembangunan daerah Kabupeten Pemalang. Syaukat, 2006, menyatakan, bahwa pembangunan ekonomi lokal (Local Economic Development) merupakan program komprehensif yang melibatkan berbagai stakeholders. Oleh karena itu perlu adanya pengorganisasian yang baik. Yang pertama harus diperbaiki adalah pada level pemerintah daerah untuk mendukung pertumbuhan bisnis. Lebih lanjut Syaukat menjelaskan bahwa untuk menjamin suksesnya program pembangunan ekonomi lokal dan menjamin keberhasilan dan keberlangsungan program, maka intruksional pembangunan ekonomi lokal (LED) harus masuk dalam renstra atau program pembangunan daerah. Mengacu pada petunjuk dan pelaksanaan kegiatan kemitraan usaha budidaya tebu, Kemitraan Budidaya Tebu adalah suatu kegiatan budidaya tebu yang dilaksanakan oleh petani yang dibina dari dinas teknis (Dinas Pertanian Kabupaten Pemalang) dan Pabrik Gula Sumberharjo. Dana Penyertaan Modal Kemitraan Usaha Budidaya Tebu adalah dana yang berasal dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) Kabupaten Pemalang yang dipinjamkan kepada petani yang berusaha di bidang budidaya tebu melalui Koperasi Petani Tebu Rakyat (KPTR) yang selanjutnya dana tersebut akan dikembalikan kepada Pemerintah Kabupaten Pemalang. Dengan demikian pengertian kemitraan budidaya tebu disini dapat diartikan sebagai suatu bentuk kerjasama antara pemerintah daerah dengan petani dimana pemerintah daerah menyediakan dana pinjaman untuk dikelola

10 39 oleh petani dalam usaha budidaya tebu dengan bimbingan teknis dari dinas teknis dalam rangka meningkatkan produktifitas dan pendapatan petani. Dalam kemitran ini masing-masing pihak mempunyai hak dan kewajiban yang harus dipenuhi sesuai dengan kesepakatan yang ditanda tangani bersama Tujuan Tujuan yang hendak dicapai dari pembangunan pertanian secara umum adalah untuk memperbaiki kondisi kehidupan masyarakat desa dengan cara meningkatkan produksi dan pendapatan mereka. Fokus utama diarahkan pada usaha mencukupi atau membantu keterbatasan permodalan, khususnya dalam memenuhi kebutuhan pembiayaan usaha yang dilakukan. Peningkatan produksi pertanian dipandang cukup strategis untuk meningkatkan pendapatan petani. Sekaligus sebagai penyediaan bahan pangan, baik untuk memenuhi kebutuhan pangan di pedesaan maupun perkotaan. Pengelolaan dana penyertaan modal kemitraan usaha budidaya tebu diserahkan dalam bentuk paket, meliputi ; pengolahan tanah, penyediaan pupuk, obat-obatan, kletek, bumbun dan tebang angkut. Sedangkan teknis pengelolaan sepenuhnya diserahkan kepada koperasi dengan bimbingan dinas teknis Penyelenggara dan Pendekatan Kegiatan Dalam rangka pelaksanaan kegiatan kemitraan usaha budidaya tebu dan meningkatkan pendapatan petani tebu serta menumbuhkan perekonomian di pedesaan pemerintah kabupaten memberikan pinjaman berupa dana penyertaan modal kemitraan usaha budidaya tebu kepada petani tebu. Dana tersebut, diterimakan kepada petani tebu melalui KPTR selaku penyelenggara atau pengelola dana penyertaan modal. Kegiatan ini dilakukan melalui pendekatan pemberdayaan, yaitu bagaimana membangun kapasitas masyarakat melalui lembaga koperasi untuk dapat mengelola dana pinjaman sekaligus untuk memperkuat kapasitas usaha petani. Dengan berkembangnya usaha penerima manfaat dari kegiatan ini, diharapkan mampu menstimulasi dan menggerakkan perkembangan kelompok usaha lain yang ada disekitarnya.

11 Mekanisme Pengajuan, Pencairan dan Pengembalian Dana Penyertaan Modal Kemitraan Adanya perubahan pola pembangunan dimana perencanaan pembangunan dilaksanakan dengan memperhatikan kepentingan lokal yaitu dengan melibatkan masyarakat dalam proses pengambilan keputusan. Orientasi pembangunan yang tidak hanya mengejar target produksi, tetapi juga diarahkan pada pemberdayaan masyarakat (People centered development) yang menitik beratkan peningkatan kualitas sumberdaya manusia, sehingga mampu memberikan peran aktif (power sharing) dalam proses pembangunan. Berdasarkan informasi dari Bidang Perkebunan Dinas Kehutanan dan LH Kabupaten Pemalang, dalam pelaksanaan kegiatan penyertaan modal kemitraan usaha budidaya tebu mekanisme pengajuan dan pencairan dana penyertaan modal kemitraan sejak dari proses penyusunan rencana kebutuhan sampai pengambilan keputusan, secara keseluruhan melibatkan masyarakat tani sebagai mitra kerja dalam kegiatan ini. Mekanisme tersebut dapat digambarkan sebagaimana Gambar 7. Verifikasi Dinas pertanian Rekomendasi Tim Teknis Kabupaten Rapat koordinasi (Berita Acara Kesepakatan dan Perjanjian Kerjasama) BPKD Bimbingan Teknis Koperasi Petani (pupuk) Penyaluran Pencairan Gambar 7 Mekanisme Proses Pengajuan Dan Pencairan Dana Penyertaan Modal Kemitraan Sejak tahun 2005, dana penyertaan modal kemitraan yang disalurkan sebesar 1,5 milyar rupiah per tahun, dengan alokasi untuk KPTR Raksa Jaya sebesar Rp ,- dan KPTR Tani Jaya sebesar Rp ,-. Penyaluran di tingkat petani sebesar Rp ,- per hektar. Pengembalian dana penyertaan modal ini dilakukan dengan cara, pola pengembalian, jangka waktu dan beban jasa sesuai kesepakatan ( sebesar 10%).

12 41 Koperasi Rekening Giro Triple Account Rekening Pemda (BPKD) Jasa Pengelolaan (10 %) Disalurkan Kegiatan Baru Jasa Pemda / PAD (6 %) Disetor Ops. Pembinaan Petani (2 %) Pabrik Gula Hasil Penjualan Gula Petani oleh APTR/KPTR Fee KPTR (2 %) Gambar 8 Mekanisme Pengembalian Dana Penyertaan Modal Kemitraan Kemitraan merupakan salah satu bentuk pengakuan pihak luar akan eksistensi seseorang atau suatu lembaga untuk bisa bertindak secara mandiri dan adanya kepercayaan pihak luar bahwa mitra tersebut mampu melaksanakan hak dan kewajiban dengan baik dan dapat dipertanggungjawabkan. Dengan kemampuan menjalin kemitraan ini berarti masyarakat melalui lembaga yang dimiliki telah mampu menjual kepercayaan (trust) dan mampu memposisikan diri sejajar dengan mitra kerjanya. Dalam pelaksanaan program ini, terlihat adanya upaya pemerintah kabupaten untuk memberdayakan kelembagaan ekonomi masyarakat yaitu koperasi (KPTR) dengan menunjuk sebagai pengelola dana penyertaan modal kemitraan. Kegiatan ini juga merupakan contoh bahwa pemerintah kabupaten telah memberikan ruang (institutional incentives) bagi masyarakat untuk berpartisipasi dalam proses pembangunan sebagai wujud upaya pengembangan kapasitas kelembagaan, dalam bentuk kerjasama kemitraan (partnership). Tolok ukur keberhasilan kedua program pengembangan di atas dapat dilihat dari adanya peningkatan produksi dan produktifitas. Juga dapat dilihat dari adanya peningkatan PDRB kabupaten Pemalang yang mengalami peningkatan setiap tahunnya. Namun demikian, mengingat pengelolaan budidaya tebu seperti pengolahan tanah, pengadaan dan distribusi pupuk serta kegiatan tebang dan angkut tebu masih dikuasai pabrik gula, maka pendapatan petani dapat dikatakan belum maksimal.

13 42 Berdasarkan informasi dari Bidang Perkebunan Dinas Kehutanan dan LH Kabupaten Pemalang, bahwa jumlah kebutuhan biaya dan pendapatan bersih yang diterima petani pada tahun 2006 di Kabupaten Pemalang dapat dihitung melalui analisa usaha tani dalam usaha budidaya tebu sebagaimana Tabel 8. Tabel 8 Analisa Usaha Tani Tebu Di Kabupaten Pemalang Tahun 2006 NO RINCIAN (Rp) 1 Kebutuhan Biaya Per Hektar Sewa Lahan Biaya Garap (225 HOK x Rp ,-) Biaya Saprodi - Bibit - Pupuk Biaya Panen (850 kw Rp.5.550,-) 2 Produksi per Hektar Produksi rata-rata = 850 kw. Rendemen = 7,65 % Kristal gula = 65,03 kw Bagian Petani = 42,92 kw (66 %) Tetes = kg 3 Pendapatan Kotor Diterima Petani Penjualan gula 42,92 kw Rp ,- Penjualan Tetes kg Rp. 385, , , , , , , ,400, , ,00 4 Pendapatan Bersih Diterima Petani Rp ,00 - Rp ,00 = Rp ,00 Sumber : Data primer, diolah. Nopember 2007 Analisa usaha tani pada Tabel 8 di atas, merupakan perhitungan pembiayaan usaha tani yang keseluruhan dilaksanakan oleh pabrik gula. Lahan dihitung sebagai faktor produksi. Apabila pekerjaan dilaksanakan sendiri oleh petani melalui koperasi, diperoleh nilai efisiensi dari penurunan biaya angkut tebu. Biaya panen yang terdiri dari biaya tebang dan angkut tebu sebesar Rp.5.550,/kuintal adalah tarif yang berlaku untuk jarak jauh maupun dekat sehingga terjadi subsidi silang dan petani ternyata selama ini telah mensubsidi tebu yang jauh termasuk tebu milik pabrik gula. Karena kebun tebu petani berada disekitar pabrik gula, maka jarak tempuh menjadi lebih pendek dan ongkos angkut dapat dikurangi sekurang-kurangnya sebesar Rp. 500,-/kuintal, sehingga biaya panen yang dibutuhkan sebesar Rp ,-/hektar. Dari pengurangan biaya tersebut, diperoleh nilai efisiensi sebesar Rp ,- - Rp ,- = /hektar, sebagai pendapatan tambahan yang diterima petani.

14 EVALUASI PROGRAM Kekuatan Program Dilihat dari pemanfaatan sumberdaya dan bentuk program yang disalurkan merupakan kekuatan dari kedua program yang sedang berjalan. Hal ini dapat dilihat dari : 1. Pemanfaatan sumberdaya lokal (tenaga kerja/kelembagaan) yang cukup tinggi, yaitu dengan menunjuk kelembagaan ekonomi lokal berupa koperasi sebagai pengelola program. 2. Pelaksanaan program diserahkan sepenuhnya kepada petani, pemerintah melalui tim teknis hanya bertindak sebagai pengawas dan pembina teknis pelaksanaan program. 3. Program merupakan jawaban atas kebutuhan petani tani tebu, berupa pemenuhan kebutuhan modal kerja. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa kedua program tersebut merupakan gayung bersambut, terbangun sinergi antara pemerintah dengan masyarakat Manfaat Program Dengan adanya penyaluran dana bergulir dan dana modal kemitraan yang disalurkan kepada petani tebu, diperoleh beberapa manfaat dan keuntungan diterima petani, baik secara individu maupun kelembagaan. 1. Secara individu yaitu tercukupinya atau terbantunya kebutuhan biaya kegiatan usaha, melalui prosedur yang sangat mudah dan bunga yang sangat rendah dibanding bunga bank komersial. 2. Secara kelembagaan yaitu adanya dana penguatan yang diterima sebagai pemupukan modal koperasi, berupa jasa 4 % atas penyaluran dana bergulir. 3. Pada akhir program dana bergulir merupakan pemupukan modal bagi petani/koperasi sebagai dana abadi kelompok selama dana tersebut dibutuhkan masyarakat. Dana tersebut masuk rekening giro Triple Account koperasi, yang penggunaannya diawasi Tim Teknis Kabupaten. 4. Dana yang disalurkan adalah merupakan dana pinjaman, sehingga mempunyai sifat pembinaan terhadap petani, khususnya menyangkut konsekuensi yang harus ditanggung dalam melakukan kegiatan usaha serta menghindari sifat ketergantungan.

15 44 Dalam cakupan lebih luas, program yang dilaksanakan juga mampu menggerakan ekonomi masyarakat pedesaan, khususnya dari sektor perkebunan. Kedua program ini memberikan dampak positif terhadap sirkulasi uang di pedesaan dan dapat menggerakkan kegiatan ekonomi masyarakat lain seperti perdagangan, industri rumah tangga, dan peningkatan kualitas hidup manusia seperti kesehatan, pendidikan, tempat hunian dan sebagainya (multiple effect). Menunjang ketahanan pangan nasional yaitu ketersediaan gula sebagai salah satu bahan kebutuhan pokok manusia, serta terpenuhinya kebutuhan industri yang menggunakan gula sebagai bahan baku utama Kelemahan Program Kelemahan program tersebut adalah belum sepenuhnya mampu mengatasi permasalahan petani secara umum yaitu pemilikan lahan terbatas yang menyebabkan skala usaha tidak efisien. Peningkatan pendapatan yang diterima sebagai dampak peningkatan produksi dan produktifitas tebu tidak serta merta mengangkat petani dengan pemilikan lahan sempit keluar dari kemiskinan. Beberapa kelemahan dalam program ini dapat dilihat sebagai berikut : 1. Program hanya berorientasi pada produksi, sehingga unsur keadilan menjadi terabaikan. Sasaran program adalah petani tebu, siapapun petani tebu dapat memanfaatkan dana program. Padahal realita petani di pedesaan terdapat beberapa petani kaya yang memiliki aset lahan luas dan petani kategori miskin yang memiliki lahan sempit tapi dalam jumlah mayoritas, bahkan tidak sedikit dari petani miskin menjual garapan aset satu-satunya kepada orang lain yang pada umumnya dibeli para petani kaya. Fakta di lapangan membuktikan adanya konsentrasi pengelolaan lahan pada beberapa petani kaya. Dengan tidak adanya batasan sasaran penerima dana program, maka dana subsidi dari pemerintah sebagian besar dinikmati para petani kaya yang sesungguhnya mampu untuk membiayai kegiatan usaha taninya. 2. Program hanya fokus pada kegiatan di kebun, tapi tidak menjangkau proses pasca panen. Padahal hasil akhir sangat dipengaruhi hasil proses pasca panen yang dilaksanakan di pabrik gula, khususnya dalam penetapan pencapaian rendement tebu yang sangat dipengaruhi oleh kelayakan mesin pabrik, disamping kelayakan tebu yang akan giling.

16 45 3. Program belum sepenuhnya menjangkau petani penggarap maro Pemilikan lahan menjadi permasalahan utama bagi petani penggarap dengan sistem maro, Usaha tani petani penggarap ini sangat ditentukan para pemilik lahan. Padahal petani ini merupakan pihak yang paling memerlukan bantuan untuk memperoleh lapangan pekerjaan bagi kebutuhan hidup keluarganya. Dari beberapa kelemahan tersebut masih memungkinkan untuk diupayakan rancangan strategi program baru guna mengurangi hambatan atau permasalahan di tingkat petani. Pengembangan koperasi perlu dilakukan, karena lembaga formal yang dimiliki petani tebu dalam bentuk koperasi. Pilihan koperasi sebagai alat pemberdayaan, karena koperasi dibentuk oleh petani sendiri sebagai lembaga yang dapat digunakan untuk membantu kepentingan mereka, khususnya dalam menjembatani kepentingan petani dengan pihak luar. Seperti untuk berkomunikasi dengan pabrik gula dan untuk mencari dukungan permodalan. Selama ini koperasi telah melayani kebutuhan petani dalam berusaha tani tebu. Melihat peran yang telah dilakukan koperasi, diperlukan upaya kegiatan baru melalui pengembangan jaringan kerjasama koperasi dengan pihak luar dan perbaikan internal, khususnya menyangkut peningkatan kapasitas sumberdaya pengurus, agar layanan koperasi kepada petani tebu khususnya anggota dapat lebih ditingkatkan lagi. Hubungan kerjasama petani dengan koperasi telah berjalan cukup lama, yaitu sejak berdirinya koperasi pada tahun 1999 sampai sekarang. Jalinan kerjasama petani dengan koperasi sudah berjalan cukup baik yang ditandai dengan peningkatan jumlah anggota koperasi setiap tahunnya. Hal ini menunjukkan bahwa petani membutuhkan adanya koperasi untuk membantu kebutuhan usaha mereka yang ditunjukkan dengan bergabungnya petani sebagai anggota koperasi. Adanya dukungan petani sebagai anggota juga merupakan keuntungan bagi koperasi untuk melakukan kerjasama keluar.

72 VII. STRATEGI PROGRAM PEMBERDAYAAN

72 VII. STRATEGI PROGRAM PEMBERDAYAAN 72 VII. STRATEGI PROGRAM PEMBERDAYAAN 7.1. PENYUSUNAN STRATEGI PROGRAM Rancangan strategi program pemberdayaan dilakukan melalui diskusi kelompok terfokus (FGD) pada tanggal 24 Desember 2007, jam 09.30

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Sektor pertanian merupakan salah satu sektor yang memiliki peranan penting dalam pertumbuhan perekonomian Indonesia. Sektor pertanian berperan sebagai penyedia pangan bagi

Lebih terperinci

GUBERNUR LAMPUNG PERATURAN GUBERNUR LAMPUNG NOMOR 34 TAHUN 2007

GUBERNUR LAMPUNG PERATURAN GUBERNUR LAMPUNG NOMOR 34 TAHUN 2007 GUBERNUR LAMPUNG PERATURAN GUBERNUR LAMPUNG NOMOR 34 TAHUN 2007 TENTANG PETUNJUK TEKNIS PENYALURAN DAN PENGEMBALIAN DANA PENGUATAN MODAL USAHA KELOMPOK (PMUK) BERGULIR PADA DINAS PERKEBUNAN PROVINSI LAMPUNG

Lebih terperinci

BAB II PERAN KOPERASI DAN USAHA KECIL DAN MENENGAH DALAM PEMBANGUNAN NASIONAL A. STRUKTUR PEREKONOMIAN INDONESIA

BAB II PERAN KOPERASI DAN USAHA KECIL DAN MENENGAH DALAM PEMBANGUNAN NASIONAL A. STRUKTUR PEREKONOMIAN INDONESIA BAB II PERAN KOPERASI DAN USAHA KECIL DAN MENENGAH DALAM PEMBANGUNAN NASIONAL A. STRUKTUR PEREKONOMIAN INDONESIA Ekonomi rakyat merupakan kelompok pelaku ekonomi terbesar dalam perekonomian Indonesia dan

Lebih terperinci

2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Permasalahan Industri Gula Indonesia 2.2. Karakteristik Usahatani Tebu

2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Permasalahan Industri Gula Indonesia 2.2. Karakteristik Usahatani Tebu 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Permasalahan Industri Gula Indonesia Industri gula masih menghadapi masalah rendahnya tingkat produktivitas karena inefisiensi ditingkat usaha tani dan pabrik gula (Mubyarto, 1984).

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 9 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Hutan Rakyat 2.1.1 Definisi hutan rakyat Definisi Hutan rakyat dapat berbeda-beda tergantung batasan yang diberikan. Hutan rakyat menurut Undang-undang No. 41 tahun 1999

Lebih terperinci

PEDOMAN UMUM PENGELOLAAN DANA PMUK AKSELERASI PENINGKATAN PRODUKTIVITAS TEBU

PEDOMAN UMUM PENGELOLAAN DANA PMUK AKSELERASI PENINGKATAN PRODUKTIVITAS TEBU PEDOMAN UMUM PENGELOLAAN DANA PMUK AKSELERASI PENINGKATAN PRODUKTIVITAS TEBU Direktorat Jenderal Perkebunan Departemen Pertanian PEDOMAN UMUM PENGELOLAAN DANA PMUK AKSELERASI PENINGKATAN PRODUKTIVITAS

Lebih terperinci

Bab I. Pendahuluan. memberikan bantuan permodalan dengan menyalurkan kredit pertanian. Studi ini

Bab I. Pendahuluan. memberikan bantuan permodalan dengan menyalurkan kredit pertanian. Studi ini Bab I Pendahuluan Di setiap negara manapun masalah ketahanan pangan merupakan suatu hal yang sangat penting. Begitu juga di Indonesia, terutama dengan hal yang menyangkut padi sebagai makanan pokok mayoritas

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. berbasis tebu merupakan salah satu sumber pendapatan bagi sekitar 900 ribu

I. PENDAHULUAN. berbasis tebu merupakan salah satu sumber pendapatan bagi sekitar 900 ribu I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Gula merupakan salah satu komoditas yang mempunyai posisi strategis dalam perekonomian Indonesia. Pada tahun 2000 sampai tahun 2005 industri gula berbasis tebu merupakan

Lebih terperinci

Oleh: Tim Analisa BPK Biro Analisa APBN & Iman Sugema

Oleh: Tim Analisa BPK Biro Analisa APBN & Iman Sugema Catatan Kritis Atas Hasil Pemeriksaan BPK Pada KEGIATAN PERLUASAN (PENCETAKAN) SAWAH DALAM PROGRAM PENINGKATAN KETAHANAN PANGAN TAHUN ANGGARAN 2007-2009 Oleh: Tim Analisa BPK Biro Analisa APBN & Iman Sugema

Lebih terperinci

4. ANALISIS SISTEM 4.1 Kondisi Situasional

4. ANALISIS SISTEM 4.1 Kondisi Situasional 83 4. ANALISIS SISTEM 4.1 Kondisi Situasional Produktivitas gula yang cenderung terus mengalami penurunan disebabkan efisiensi industri gula secara keseluruhan, mulai dari pertanaman tebu hingga pabrik

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Salah satu sasaran pembangunan nasional adalah pertumbuhan ekonomi dengan

I. PENDAHULUAN. Salah satu sasaran pembangunan nasional adalah pertumbuhan ekonomi dengan I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Salah satu sasaran pembangunan nasional adalah pertumbuhan ekonomi dengan menitikberatkan pada sektor pertanian. Sektor pertanian merupakan salah satu sektor yang mempunyai

Lebih terperinci

1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kinerja memiliki makna yang lebih dibandingkan dengan definisi yang sering digunakan yaitu hasil kerja atau prestasi kerja. Kinerja adalah kemampuan kerja yang ditunjukkan

Lebih terperinci

PROPOSAL POTENSI, Tim Peneliti:

PROPOSAL POTENSI, Tim Peneliti: PROPOSAL PENELITIAN TA. 2015 POTENSI, KENDALA DAN PELUANG PENINGKATAN PRODUKSI PADI PADA LAHAN BUKAN SAWAH Tim Peneliti: Bambang Irawan PUSAT SOSIAL EKONOMI DAN KEBIJAKAN PERTANIAN BADAN PENELITIAN DAN

Lebih terperinci

VIII. ARAHAN PENGELOLAAN KEGIATAN BUDIDAYA RUMPUT LAUT

VIII. ARAHAN PENGELOLAAN KEGIATAN BUDIDAYA RUMPUT LAUT VIII. ARAHAN PENGELOLAAN KEGIATAN BUDIDAYA RUMPUT LAUT Kegiatan budidaya rumput laut telah berkembang dengan pesat di Kabupaten Bantaeng. Indikasinya dapat dilihat dari hamparan budidaya rumput laut yang

Lebih terperinci

LAPORAN AKHIR REVITALISASI SISTEM DAN USAHA AGRIBISNIS GULA

LAPORAN AKHIR REVITALISASI SISTEM DAN USAHA AGRIBISNIS GULA LAPORAN AKHIR REVITALISASI SISTEM DAN USAHA AGRIBISNIS GULA Oleh: A. Husni Malian Erna Maria Lokollo Mewa Ariani Kurnia Suci Indraningsih Andi Askin Amar K. Zakaria Juni Hestina PUSAT PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN Industri Pengolahan

I. PENDAHULUAN Industri Pengolahan I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pertanian merupakan sektor utama perekonomian di Indonesia. Konsekuensinya adalah bahwa kebijakan pembangunan pertanian di negaranegara tersebut sangat berpengaruh terhadap

Lebih terperinci

GUBERNUR SULAWESI TENGAH

GUBERNUR SULAWESI TENGAH GUBERNUR SULAWESI TENGAH SAMBUTAN GUBERNUR SULAWESI TENGAH PADA ACARA PEMBUKAAN SINKRONISASI PROGRAM KEGIATAN PEMBANGUNAN PERTANIAN PROVINSI SULAWESI TENGAH SELASA, 01 MARET 2011 ASSALAMU ALAIKUM WAR,

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH KABUPATEN LEMBATA NOMOR 10 TAHUN 2012 TENTANG PEMBERDAYAAN USAHA MIKRO, KECIL DAN MENENGAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN DAERAH KABUPATEN LEMBATA NOMOR 10 TAHUN 2012 TENTANG PEMBERDAYAAN USAHA MIKRO, KECIL DAN MENENGAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PERATURAN DAERAH KABUPATEN LEMBATA NOMOR 10 TAHUN 2012 TENTANG PEMBERDAYAAN USAHA MIKRO, KECIL DAN MENENGAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI LEMBATA, Menimbang : a. bahwa usaha mikro, kecil dan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Tabel 1. Perkembangan Konsumsi Gula Tahun Periode

I. PENDAHULUAN. Tabel 1. Perkembangan Konsumsi Gula Tahun Periode 1 I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Gula termasuk salah satu komoditas strategis dalam perekonomian Indonesia. Dengan luas areal rata-rata 400 ribu ha pada periode 2007-2009, industri gula berbasis tebu

Lebih terperinci

I PENDAHULUAN. Laju 2008 % 2009 % 2010* % (%) Pertanian, Peternakan,

I PENDAHULUAN. Laju 2008 % 2009 % 2010* % (%) Pertanian, Peternakan, I PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang Kemiskinan merupakan permasalahan yang banyak dihadapi oleh setiap negara di dunia. Sektor pertanian salah satu sektor lapangan usaha yang selalu diindentikan dengan kemiskinan

Lebih terperinci

VI. REKOMENDASI KEBIJAKAN

VI. REKOMENDASI KEBIJAKAN 158 VI. REKOMENDASI KEBIJAKAN Pengelolaan lahan gambut berbasis sumberdaya lokal pada agroekologi perkebunan kelapa sawit rakyat di Kabupaten Bengkalis dilakukan berdasarkan atas strategi rekomendasi yang

Lebih terperinci

TESIS. Untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan Guna Mencapai Derajat Sarjana S-2 PROGRAM STUDI MAGISTER MANAJEMEN AGRIBISNIS.

TESIS. Untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan Guna Mencapai Derajat Sarjana S-2 PROGRAM STUDI MAGISTER MANAJEMEN AGRIBISNIS. EVALUASI KEBIJAKAN BONGKAR RATOON DAN KERAGAAN PABRIK GULA DI JAWA TIMUR TESIS Untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan Guna Mencapai Derajat Sarjana S-2 PROGRAM STUDI MAGISTER MANAJEMEN AGRIBISNIS Diajukan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia merupakan negara agraris yang memiliki keanekaragaman sumberdaya alam, salah satunya adalah dalam bidang

I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia merupakan negara agraris yang memiliki keanekaragaman sumberdaya alam, salah satunya adalah dalam bidang I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia merupakan negara agraris yang memiliki keanekaragaman sumberdaya alam, salah satunya adalah dalam bidang perkebunan. Hal ini menjadikan subsektor perkebunan di

Lebih terperinci

1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kemiskinan di Indonesia merupakan masalah pokok nasional yang penanggulangannya tidak dapat ditunda dan harus menjadi pioritas utama dalam pelaksanaan pembangunan masyarakat.

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. sektor yang mempunyai peranan yang cukup strategis dalam perekonomian

I. PENDAHULUAN. sektor yang mempunyai peranan yang cukup strategis dalam perekonomian 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Salah satu sasaran pembangunan nasional adalah pertumbuhan ekonomi dengan menitikberatkan pada sektor pertanian. Sektor pertanian merupakan salah satu sektor

Lebih terperinci

BUPATI PAKPAK BHARAT

BUPATI PAKPAK BHARAT BUPATI PAKPAK BHARAT PERATURAN BUPATI PAKPAK BHARAT NOMOR 11 TAHUN 2012 TENTANG PEDOMAN TEKNIS PERKUATAN PERMODALAN USAHA BAGI MASYARAKAT MELALUI KREDIT NDUMA PAKPAK BHARAT DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA

Lebih terperinci

46 VI. ANALISIS DAN PEMBAHASAN

46 VI. ANALISIS DAN PEMBAHASAN 46 VI. ANALISIS DAN PEMBAHASAN 6.1. KINERJA PETANI TEBU DI KELURAHAN PADURAKSA 61.1. Profil Petani Tebu Sejarah petani tebu di kabupaten Pemalang dapat dilihat dari keberadaan pabrik gula Sumberharjo yang

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Agribisnis Gula Subsistem Input Subsistem Usahatani

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Agribisnis Gula Subsistem Input Subsistem Usahatani II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Agribisnis Gula 2.1.1 Subsistem Input Subsistem input merupakan bagian awal dari rangkaian subsistem yang ada dalam sistem agribisnis. Subsistem ini menjelaskan pasokan kebutuhan

Lebih terperinci

FAKTOR FAKTOR KELEMBAGAAN DALAM EKONOMI PERTANIAN

FAKTOR FAKTOR KELEMBAGAAN DALAM EKONOMI PERTANIAN FAKTOR FAKTOR KELEMBAGAAN DALAM EKONOMI PERTANIAN A. Lembaga dan Peranannya Lembaga: organisasi atau kaidah, baik formal maupun informal, yang mengatur perilaku dan tindakan anggota masyarakat tertentu

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Lahan merupakan sumber daya yang sangat penting untuk menunjang segala kebutuhan hidup semua mahluk hidup. Sehingga dalam pengelolaannya, lahan tersebut harus sesuai

Lebih terperinci

Skim Pembiayaan Mikro Agro (SPMA)

Skim Pembiayaan Mikro Agro (SPMA) 28 Bab V. Analisis Kebijakan Kapital, Sumberdaya Lahan dan Air Skim Pembiayaan Mikro Agro (SPMA) Pendahuluan Latar Belakang Peraturan Presiden (PERPRES) Republik Indonesia Nomor 7 tahun 2005 tentang Rencana

Lebih terperinci

INSTRUKSI PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 1997 TENTANG PROGRAM PENGEMBANGAN TEBU RAKYAT PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

INSTRUKSI PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 1997 TENTANG PROGRAM PENGEMBANGAN TEBU RAKYAT PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, INSTRUKSI PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 1997 TENTANG PROGRAM PENGEMBANGAN TEBU RAKYAT PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang a. bahwa dalam rangka lebih mengoptimalkan produksi gula dan pendapatan

Lebih terperinci

PEDOMAN PENYUSUNAN RENCANA DEFINITIF KELOMPOKTANI DAN RENCANA DEFINITIF KEBUTUHAN KELOMPOKTANI BAB I PENDAHULUAN

PEDOMAN PENYUSUNAN RENCANA DEFINITIF KELOMPOKTANI DAN RENCANA DEFINITIF KEBUTUHAN KELOMPOKTANI BAB I PENDAHULUAN LAMPIRAN II PERATURAN MENTERI PERTANIAN NOMOR : 82/Permentan/OT.140/8/2013 TANGGAL : 19 Agustus 2013 PEDOMAN PENYUSUNAN RENCANA DEFINITIF KELOMPOKTANI DAN RENCANA DEFINITIF KEBUTUHAN KELOMPOKTANI BAB I

Lebih terperinci

BUPATI BIMA PERATURAN BUPATI BIMA NOMOR 03 TAHUN 2013 T E N T A N G

BUPATI BIMA PERATURAN BUPATI BIMA NOMOR 03 TAHUN 2013 T E N T A N G BUPATI BIMA PERATURAN BUPATI BIMA NOMOR 03 TAHUN 2013 T E N T A N G PETUNJUK TEKHNIS PELAKSANAAN PROGRAM FASILITASI PEMBIAYAAN KELOMPOK USAHA MIKRO, KECIL DAN MENENGAH (UMKM) DI KABUPATEN BIMA DENGAN RAHMAT

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR NUSA TENGGARA BARAT,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR NUSA TENGGARA BARAT, GUBERNUR NUSA TENGGARA BARAT PERATURAN GUBERNUR NUSA TENGGARA BARAT NOMOR 6 TAHUN 2011 TENTANG DUKUNGAN DANA PERKUATAN MODAL KEPADA LEMBAGA USAHA EKONOMI PEDESAAN (LUEP) DI PROVINSI NUSA TENGGARA BARAT

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Arah kebijakan pembangunan pertanian yang dituangkan dalam rencana

I. PENDAHULUAN. Arah kebijakan pembangunan pertanian yang dituangkan dalam rencana 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Arah kebijakan pembangunan pertanian yang dituangkan dalam rencana strategis tahun 2010-2014 adalah terwujudnya pertanian industrial unggul berkelanjutan yang berbasis

Lebih terperinci

BAB III RANCANGAN KERANGKA EKONOMI DAERAH DAN KEBIJAKAN KEUANGAN DAERAH

BAB III RANCANGAN KERANGKA EKONOMI DAERAH DAN KEBIJAKAN KEUANGAN DAERAH BAB III RANCANGAN KERANGKA EKONOMI DAERAH DAN KEBIJAKAN KEUANGAN DAERAH 3.1. Arah Kebijakan Ekonomi Daerah Berdasarkan strategi dan arah kebijakan pembangunan ekonomi Kabupaten Polewali Mandar dalam Rencana

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH PROVINSI KALIMANTAN TIMUR NOMOR 6 TAHUN 2015 TENTANG PEMBERIAN INSENTIF DAN PEMBERIAN KEMUDAHAN PENANAMAN MODAL DI DAERAH

PERATURAN DAERAH PROVINSI KALIMANTAN TIMUR NOMOR 6 TAHUN 2015 TENTANG PEMBERIAN INSENTIF DAN PEMBERIAN KEMUDAHAN PENANAMAN MODAL DI DAERAH PERATURAN DAERAH PROVINSI KALIMANTAN TIMUR NOMOR 6 TAHUN 2015 TENTANG PEMBERIAN INSENTIF DAN PEMBERIAN KEMUDAHAN PENANAMAN MODAL DI DAERAH GUBERNUR KALIMANTAN TIMUR PERATURAN DAERAH PROVINSI KALIMANTAN

Lebih terperinci

GUBERNUR LAMPUNG PERATURAN GUBERNUR LAMPUNG NOMOR 23 TAHUN 2007

GUBERNUR LAMPUNG PERATURAN GUBERNUR LAMPUNG NOMOR 23 TAHUN 2007 GUBERNUR LAMPUNG PERATURAN GUBERNUR LAMPUNG NOMOR 23 TAHUN 2007 TENTANG PETUNJUK TEKNIS PENYALURAN DAN PENGEMBALIAN DANA PERKUATAN MODAL USAHA KELOMPOK (PMUK) BERGULIR SUB SEKTOR TANAMAN PANGAN DAN HORTIKULTURA

Lebih terperinci

PEMERINTAH PROVINSI NUSA TENGGARA BARAT

PEMERINTAH PROVINSI NUSA TENGGARA BARAT PEMERINTAH PROVINSI NUSA TENGGARA BARAT PERATURAN DAERAH PROVINSI NUSA TENGGARA BARAT NOMOR 4 TAHUN 2006 TENTANG USAHA BUDIDAYA DAN KEMITRAAN PERKEBUNAN TEMBAKAU VIRGINIA DI NUSA TENGGARA BARAT DENGAN

Lebih terperinci

Peran Bank Jateng Dalam Implementasi Program. Kredit Ketahanan Pangan Dan Energi (KKP-E)

Peran Bank Jateng Dalam Implementasi Program. Kredit Ketahanan Pangan Dan Energi (KKP-E) Peran Bank Jateng Dalam Implementasi Program Kredit Ketahanan Pangan Dan Energi (KKP-E) JURNAL ILMIAH Disusun Oleh: CHEVIENE CHARISMA PUTRIE NIM. 115020200111003 FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS UNIVERSITAS

Lebih terperinci

PEMERINTAH PROVINSI NUSA TENGGARA BARAT

PEMERINTAH PROVINSI NUSA TENGGARA BARAT PEMERINTAH PROVINSI NUSA TENGGARA BARAT PERATURAN DAERAH PROVINSI NUSA TENGGARA BARAT NOMOR 4 TAHUN 2006 TENTANG USAHA BUDIDAYA DAN KEMITRAAN PERKEBUNAN TEMBAKAU VIRGINIA DI NUSA TENGGARA BARAT DENGAN

Lebih terperinci

GUBERNUR JAWA TIMUR PERATURAN GUBERNUR JAWA TIMUR NOMOR 2 TAHUN 2016 TENTANG

GUBERNUR JAWA TIMUR PERATURAN GUBERNUR JAWA TIMUR NOMOR 2 TAHUN 2016 TENTANG GUBERNUR JAWA TIMUR PERATURAN GUBERNUR JAWA TIMUR NOMOR 2 TAHUN 2016 TENTANG PEMBERIAN PINJAMAN PEMERINTAH DAERAH PROVINSI JAWA TIMUR KEPADA PT BANK PEMBANGUNAN DAERAH JAWA TIMUR Tbk DENGAN RAHMAT TUHAN

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Dalam sistem otonomi daerah, terdapat 3 (tiga) prinsip yang dijelaskan UU

BAB I PENDAHULUAN. Dalam sistem otonomi daerah, terdapat 3 (tiga) prinsip yang dijelaskan UU BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Dalam sistem otonomi daerah, terdapat 3 (tiga) prinsip yang dijelaskan UU No.32 Tahun 2004 yaitu desentralisasi, dekonsentrasi, dan tugas pembantuan. Desentralisasi

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Budidaya tebu adalah proses pengelolaan lingkungan tumbuh tanaman

TINJAUAN PUSTAKA. Budidaya tebu adalah proses pengelolaan lingkungan tumbuh tanaman 24 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Usahatani Tebu 2.1.1 Budidaya Tebu Budidaya tebu adalah proses pengelolaan lingkungan tumbuh tanaman sehingga tanaman dapat tumbuh dengan optimum dan dicapai hasil yang diharapkan.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. produktivitas (Irawan dan Suparmoko 2002: 5). pusat. Pemanfaatan sumber daya sendiri perlu dioptimalkan agar dapat

BAB I PENDAHULUAN. produktivitas (Irawan dan Suparmoko 2002: 5). pusat. Pemanfaatan sumber daya sendiri perlu dioptimalkan agar dapat 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pertumbuhan ekonomi merupakan laju dari pembangunan ekonomi yang dilakukan oleh suatu negara untuk memperkuat proses perekonomian menuju perubahan yang diupayakan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pembangunan pada masa Orde Baru dilakukan secara sentralistik, dari tahap perencanaan sampai dengan tahap implementasi ditentukan oleh pemerintah pusat dan dilaksanakan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. kontribusi positif terhadap pertumbuhan Produk Domestik Bruto Indonesia.

I. PENDAHULUAN. kontribusi positif terhadap pertumbuhan Produk Domestik Bruto Indonesia. I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Peternakan sebagai salah satu sub dari sektor pertanian masih memberikan kontribusi positif terhadap pertumbuhan Produk Domestik Bruto Indonesia. Kontribusi peningkatan

Lebih terperinci

RANCANGAN PERATURAN DAERAH PROVINSI JAWA BARAT NOMOR 8 TAHUN 2011 TENTANG PENGELOLAAN DANA BERGULIR BAGI USAHA MIKRO DAN KECIL

RANCANGAN PERATURAN DAERAH PROVINSI JAWA BARAT NOMOR 8 TAHUN 2011 TENTANG PENGELOLAAN DANA BERGULIR BAGI USAHA MIKRO DAN KECIL RANCANGAN PERATURAN DAERAH PROVINSI JAWA BARAT NOMOR 8 TAHUN 2011 TENTANG PENGELOLAAN DANA BERGULIR BAGI USAHA MIKRO DAN KECIL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR JAWA BARAT, Menimbang : a. bahwa

Lebih terperinci

IV.B.13. Urusan Wajib Ketahanan Pangan

IV.B.13. Urusan Wajib Ketahanan Pangan 13. URUSAN KETAHANAN PANGAN Ketahanan Pangan adalah kondisi terpenuhinya pangan bagi rumah tangga yang tercermin dari tersedianya pangan yang cukup, baik jumlah maupun mutunya, aman, merata dan terjangkau.

Lebih terperinci

BAB III RANCANGAN KERANGKA EKONOMI DAERAH BESERTA KERANGKA PENDANAAN

BAB III RANCANGAN KERANGKA EKONOMI DAERAH BESERTA KERANGKA PENDANAAN BAB III RANCANGAN KERANGKA EKONOMI DAERAH BESERTA KERANGKA PENDANAAN 3.1 Arah Kebijakan Ekonomi Daerah 3.1.1 Kondisi Ekonomi Daerah Tahun 2011 dan Perkiraan Tahun 2012 Kerangka Ekonomi Daerah dan Pembiayaan

Lebih terperinci

BAB III TUJUAN, SASARAN, PROGRAM DAN KEGIATAN

BAB III TUJUAN, SASARAN, PROGRAM DAN KEGIATAN BAB III TUJUAN, SASARAN, PROGRAM DAN KEGIATAN 3.1 Telaahan Terhadap Kebijakan Nasional Berdasarkan Renstra Kementerian Pertanian Tahun 2010 2014 (Edisi Revisi Tahun 2011), Kementerian Pertanian mencanangkan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. (NSB) termasuk Indonesia sering berorientasi kepada peningkatan pertumbuhan

I. PENDAHULUAN. (NSB) termasuk Indonesia sering berorientasi kepada peningkatan pertumbuhan 1 I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Program ekonomi yang dijalankan negara-negara Sedang Berkembang (NSB) termasuk Indonesia sering berorientasi kepada peningkatan pertumbuhan Produk Domestik Bruto (PDB)

Lebih terperinci

Upaya Peningkatan Produksi dan Produktivitas Gula dalam Perspektif Perusahaan Perkebunan Negara

Upaya Peningkatan Produksi dan Produktivitas Gula dalam Perspektif Perusahaan Perkebunan Negara Upaya Peningkatan Produksi dan Produktivitas Gula dalam Perspektif Perusahaan Perkebunan Negara Oleh : Adi Prasongko (Dir Utama) Disampaikan : Slamet Poerwadi (Dir Produksi) Bogor, 28 Oktober 2013 1 ROAD

Lebih terperinci

BUPATI TRENGGALEK SALINAN PERATURAN BUPATI TRENGGALEK NOMOR 7 TAHUN 2013 TENTANG

BUPATI TRENGGALEK SALINAN PERATURAN BUPATI TRENGGALEK NOMOR 7 TAHUN 2013 TENTANG BUPATI TRENGGALEK SALINAN PERATURAN BUPATI TRENGGALEK NOMOR 7 TAHUN 2013 TENTANG PETUNJUK PELAKSANAAN PROGRAM SUBSIDI BUNGA KEPADA USAHA MIKRO DAN KECIL TAHUN ANGGARAN 2013 DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA

Lebih terperinci

PERJANJIAN KINERJA TAHUN 2016

PERJANJIAN KINERJA TAHUN 2016 PERJANJIAN KINERJA TAHUN 2016 Dalam rangka mewujudkan manajemen pemerintahan yang efektif, transparan, dan akuntabel serta berorientasi pada hasil, kami yang bertandatangan di bawah ini : Nama : Ir. Bambang

Lebih terperinci

BUPATI KOTABARU PROVINSI KALIMANTAN SELATAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN KOTABARU NOMOR 15 TAHUN 2017 TENTANG PEMBERDAYAAN DAN PERLINDUNGAN KOPERASI

BUPATI KOTABARU PROVINSI KALIMANTAN SELATAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN KOTABARU NOMOR 15 TAHUN 2017 TENTANG PEMBERDAYAAN DAN PERLINDUNGAN KOPERASI BUPATI KOTABARU PROVINSI KALIMANTAN SELATAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN KOTABARU NOMOR 15 TAHUN 2017 TENTANG PEMBERDAYAAN DAN PERLINDUNGAN KOPERASI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI KOTABARU, Menimbang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. Pembangunan termasuk didalamnya berbagai upaya penanggulangan

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. Pembangunan termasuk didalamnya berbagai upaya penanggulangan BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pembangunan termasuk didalamnya berbagai upaya penanggulangan kemiskinan, sesungguhnya adalah suatu proses perubahan sosial ekonomi masyarakat menuju ke arah yang

Lebih terperinci

RUMUSAN RAPAT KOORDINASI PANGAN TERPADU SE KALTIM TAHUN 2015

RUMUSAN RAPAT KOORDINASI PANGAN TERPADU SE KALTIM TAHUN 2015 RUMUSAN RAPAT KOORDINASI PANGAN TERPADU SE KALTIM TAHUN 2015 Pada Kamis dan Jumat, Tanggal Lima dan Enam Bulan Maret Tahun Dua Ribu Lima Belas bertempat di Samarinda, telah diselenggarakan Rapat Koordinasi

Lebih terperinci

GUBERNUR PAPUA PERATURAN GUBERNUR PAPUA NOMOR 45 TAHUN 2015 TENTANG URAIAN TUGAS DAN FUNGSI DINAS PERKEBUNAN PROVINSI PAPUA

GUBERNUR PAPUA PERATURAN GUBERNUR PAPUA NOMOR 45 TAHUN 2015 TENTANG URAIAN TUGAS DAN FUNGSI DINAS PERKEBUNAN PROVINSI PAPUA GUBERNUR PAPUA PERATURAN GUBERNUR PAPUA NOMOR 45 TAHUN 2015 TENTANG URAIAN TUGAS DAN FUNGSI DINAS PERKEBUNAN PROVINSI PAPUA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR PAPUA, Menimbang : a. bahwa sehubungan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Kota Depok telah resmi menjadi suatu daerah otonom yang. memiliki pemerintahan sendiri dengan kewenangan otonomi daerah

I. PENDAHULUAN. Kota Depok telah resmi menjadi suatu daerah otonom yang. memiliki pemerintahan sendiri dengan kewenangan otonomi daerah I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Kota Depok telah resmi menjadi suatu daerah otonom yang memiliki pemerintahan sendiri dengan kewenangan otonomi daerah beserta dengan perangkat kelengkapannya sejak penerbitan

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI TRENGGALEK,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI TRENGGALEK, BUPATI TRENGGALEK SALINAN PERATURAN BUPATI TRENGGALEK NOMOR 8 TAHUN 2014 TENTANG PETUNJUK PELAKSANAAN PROGRAM SUBSIDI BUNGA KEPADA USAHA MIKRO DAN KECIL KABUPATEN TRENGGALEK TAHUN 2014 DENGAN RAHMAT TUHAN

Lebih terperinci

CONTRACT FARMING SEBAGAI SUMBER PERTUMBUHAN BARU DALAM BIDANG PETERNAKAN

CONTRACT FARMING SEBAGAI SUMBER PERTUMBUHAN BARU DALAM BIDANG PETERNAKAN CONTRACT FARMING SEBAGAI SUMBER PERTUMBUHAN BARU DALAM BIDANG PETERNAKAN PENDAHULUAN Sektor pertanian (dalam arti luas termasuk peternakan, perikanan dan kehutanan) merupakan sektor yang paling besar menyerap

Lebih terperinci

BERITA DAERAH KABUPATEN MAJALENGKA

BERITA DAERAH KABUPATEN MAJALENGKA BERITA DAERAH KABUPATEN MAJALENGKA NOMOR : 19 TAHUN 2007 PERATURAN BUPATI MAJALENGKA NOMOR 19 TAHUN 2007 TENTANG PEDOMAN PELAKSANAAN PENGEMBANGAN TEBU RAKYAT MUSIM TANAM TAHUN 2007/2008 DENGAN RAHMAT TUHAN

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. perekonomian nasional. Peran terpenting sektor agribisnis saat ini adalah

I. PENDAHULUAN. perekonomian nasional. Peran terpenting sektor agribisnis saat ini adalah I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sektor agribisnis merupakan sektor ekonomi terbesar dan terpenting dalam perekonomian nasional. Peran terpenting sektor agribisnis saat ini adalah kemampuannya dalam menyerap

Lebih terperinci

SALINAN PERATURAN BUPATI MADIUN NOMOR 46 TAHUN 2011 TENTANG TUGAS POKOK DAN FUNGSI DINAS PERTANIAN TANAMAN PANGAN DAN HORTIKULTURA

SALINAN PERATURAN BUPATI MADIUN NOMOR 46 TAHUN 2011 TENTANG TUGAS POKOK DAN FUNGSI DINAS PERTANIAN TANAMAN PANGAN DAN HORTIKULTURA BUPATI MADIUN SALINAN PERATURAN BUPATI MADIUN NOMOR 46 TAHUN 2011 TENTANG TUGAS POKOK DAN FUNGSI DINAS PERTANIAN TANAMAN PANGAN DAN HORTIKULTURA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI MADIUN, Menimbang

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD)

BAB II TINJAUAN PUSTAKA Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Landasan teori 2.1.1 Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) 2.1.1.1 Pengertian APBD Anggaran daerah merupakan rencana keuangan yang menjadi dasar dalam pelaksanaan pelayanan

Lebih terperinci

LATAR BELAKANG PENGEMBANGAN KOMUNITAS

LATAR BELAKANG PENGEMBANGAN KOMUNITAS LATAR BELAKANG PENGEMBANGAN KOMUNITAS Pada kegiatan Praktek Lapangan 2 yang telah dilakukan di Desa Tonjong, penulis telah mengevaluasi program atau proyek pengembangan masyarakat/ komunitas yang ada di

Lebih terperinci

BAB III GAMBARAN PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH SERTA KERANGKA PENDANAAN

BAB III GAMBARAN PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH SERTA KERANGKA PENDANAAN BAB III GAMBARAN PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH SERTA KERANGKA PENDANAAN Kinerja Keuangan Masa Lalu Sebagaimana diatur dalam Peraturan Daerah Nomor 7 Tahun 2007 tentang Pokok-Pokok Pengelolaan Keuangan Daerah,

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

I. PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pembangunan nasional yang sedang dilaksanakan sekarang ini tidak bisa dilepaskan dari pembangunan sosial, pembangunan ekonomi dan pembangunan sumberdaya manusia. Ketiga

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. sumber pendapatan bagi sekitar ribu RTUT (Rumah Tangga Usahatani Tani) (BPS, 2009).

BAB I PENDAHULUAN. sumber pendapatan bagi sekitar ribu RTUT (Rumah Tangga Usahatani Tani) (BPS, 2009). BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Gula merupakan komoditas strategis dalam perekonomian Indonesia. Dengan luas areal tebu yang tidak kurang dari 400.000 ha, industri gula nasional pada saat ini merupakan

Lebih terperinci

POLICY BRIEF MENDUKUNG GERAKAN PENERAPAN PENGELOLAAN TANAMAN TERPADU (GP-PTT) MELALUI TINJAUAN KRITIS SL-PTT

POLICY BRIEF MENDUKUNG GERAKAN PENERAPAN PENGELOLAAN TANAMAN TERPADU (GP-PTT) MELALUI TINJAUAN KRITIS SL-PTT POLICY BRIEF MENDUKUNG GERAKAN PENERAPAN PENGELOLAAN TANAMAN TERPADU (GP-PTT) MELALUI TINJAUAN KRITIS SL-PTT Ir. Mewa Ariani, MS Pendahuluan 1. Upaya pencapaian swasembada pangan sudah menjadi salah satu

Lebih terperinci

BAB II KERANGKA EKONOMI MAKRO DAERAH. 2.1 Perkembangan indikator ekonomi makro daerah pada tahun sebelumnya;

BAB II KERANGKA EKONOMI MAKRO DAERAH. 2.1 Perkembangan indikator ekonomi makro daerah pada tahun sebelumnya; BAB II KERANGKA EKONOMI MAKRO DAERAH 2.1 Perkembangan indikator ekonomi makro daerah pada tahun sebelumnya; A. Pertumbuhan Ekonomi Pertumbuhan ekonomi (economic growth) merupakan salah satu indikator yang

Lebih terperinci

GUBERNUR LAMPUNG PERATURAN GUBERNUR LAMPUNG NOMOR 30 TAHUN 2007

GUBERNUR LAMPUNG PERATURAN GUBERNUR LAMPUNG NOMOR 30 TAHUN 2007 GUBERNUR LAMPUNG PERATURAN GUBERNUR LAMPUNG NOMOR 30 TAHUN 2007 TENTANG PEMBENTUKAN BADAN LAYANAN UMUM DAERAH (BLUD) PADA DINAS KOPERASI PERINDUSTRIAN DAN PERDAGANGAN PROVINSI LAMPUNG DENGAN RAHMAT TUHAN

Lebih terperinci

Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1950 tentang Pembentukan Provinsi Jawa Barat (Berita Negara Republik Indonesia tanggal 4 Juli 1950) jo.

Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1950 tentang Pembentukan Provinsi Jawa Barat (Berita Negara Republik Indonesia tanggal 4 Juli 1950) jo. PERATURAN DAERAH PROVINSI JAWA BARAT NOMOR : 8 TAHUN 2011 TENTANG PENGELOLAAN DANA BERGULIR BAGI USAHA MIKRO DAN KECIL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR JAWA BARAT, Menimbang : a. bahwa dalam

Lebih terperinci

PENJABARAN TUGAS POKOK, FUNGSI, DAN TATA KERJA DINAS PERTANIAN, PERKEBUNAN DAN KEHUTANAN KABUPATEN TEMANGGUNG

PENJABARAN TUGAS POKOK, FUNGSI, DAN TATA KERJA DINAS PERTANIAN, PERKEBUNAN DAN KEHUTANAN KABUPATEN TEMANGGUNG BUPATI TEMANGGUNG PERATURAN BUPATI TEMANGGUNG NOMOR 59 TAHUN 2008 TENTANG PENJABARAN TUGAS POKOK, FUNGSI, DAN TATA KERJA DINAS PERTANIAN, PERKEBUNAN DAN KEHUTANAN KABUPATEN TEMANGGUNG DENGAN RAHMAT TUHAN

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH KABUPATEN LEMBATA NOMOR 9 TAHUN 2012 TENTANG PENGEMBANGAN KOPERASI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI LEMBATA,

PERATURAN DAERAH KABUPATEN LEMBATA NOMOR 9 TAHUN 2012 TENTANG PENGEMBANGAN KOPERASI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI LEMBATA, PERATURAN DAERAH KABUPATEN LEMBATA NOMOR 9 TAHUN 2012 TENTANG PENGEMBANGAN KOPERASI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI LEMBATA, Menimbang : a. bahwa pembangunan koperasi merupakan tugas bersama antara

Lebih terperinci

PENDAHULUAN 1.1.Latar Belakang

PENDAHULUAN 1.1.Latar Belakang PENDAHULUAN 1.1.Latar Belakang Otonomi daerah yang disahkan melalui Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah dan Undang-Undang No. 33 Tahun 2004 Tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah

Lebih terperinci

INDONESIA PADA GUBERNUR BANK PANITIA ANGGARAN SEMESTER

INDONESIA PADA GUBERNUR BANK PANITIA ANGGARAN SEMESTER PANDANGAN GUBERNUR BANK INDONESIA PADA RAPAT KERJA PANITIA ANGGARAN DPR RI MENGENAI LAPORAN SEMESTER I DAN PROGNOSIS SEMESTER II APBN TA 2006 2006 Anggota Dewan yang terhormat, 1. Pertama-tama perkenankanlah

Lebih terperinci

PERANAN SEKTOR PERTANIAN KHUSUSNYA JAGUNG TERHADAP PERTUMBUHAN EKONOMI KABUPATEN JENEPONTO Oleh : Muhammad Anshar

PERANAN SEKTOR PERTANIAN KHUSUSNYA JAGUNG TERHADAP PERTUMBUHAN EKONOMI KABUPATEN JENEPONTO Oleh : Muhammad Anshar PERANAN SEKTOR PERTANIAN KHUSUSNYA JAGUNG TERHADAP PERTUMBUHAN EKONOMI KABUPATEN JENEPONTO Oleh : Muhammad Anshar Jurusan Teknik Perencanaan Wilayah dan Kota Fakultas Sains dan Teknologi ABSTRAK Penelitian

Lebih terperinci

GUBERNUR JAWA TIMUR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR JAWA TIMUR,

GUBERNUR JAWA TIMUR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR JAWA TIMUR, GUBERNUR JAWA TIMUR PERATURAN GUBERNUR JAWA TIMUR NOMOR 18 TAHUN 2017 TENTANG PEMBERIAN PINJAMAN PEMERINTAH DAERAH PROVINSI JAWA TIMUR KEPADA PT BANK PEMBANGUNAN DAERAH JAWA TIMUR Tbk DENGAN RAHMAT TUHAN

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. bekerja di sektor pertanian. Di sektor tersebut dikembangkan sebagai sumber mata

I. PENDAHULUAN. bekerja di sektor pertanian. Di sektor tersebut dikembangkan sebagai sumber mata 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Negara Indonesia sebagai negara agraris yang sebagian besar penduduknya bekerja di sektor pertanian. Di sektor tersebut dikembangkan sebagai sumber mata pencaharian masyarakat

Lebih terperinci

PERATURAN BUPATI BARITO KUALA NOMOR 3 TAHUN 2015 TENTANG

PERATURAN BUPATI BARITO KUALA NOMOR 3 TAHUN 2015 TENTANG PERATURAN BUPATI BARITO KUALA NOMOR 3 TAHUN 2015 TENTANG PEDOMAN PELAKSANAAN PINJAMAN DANA TANPA BUNGA UNTUK PENGADAAN PUPUK BERSUBSIDI DI KABUPATEN BARITO KUALA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI

Lebih terperinci

WALIKOTA TASIKMALAYA

WALIKOTA TASIKMALAYA WALIKOTA TASIKMALAYA PERATURAN WALIKOTA TASIKMALAYA NOMOR 26 TAHUN 2009 TENTANG PENYALURAN PUPUK BERSUBSIDI UNTUK SEKTOR PERTANIAN DAN PERIKANAN DI KOTA TASIKMALAYA WALIKOTA TASIKMALAYA Menimbang Mengingat

Lebih terperinci

KEBIJAKAN PEMBANGUNAN PERTANIAN: Upaya Peningkatan Produksi Komoditas Pertanian Strategis

KEBIJAKAN PEMBANGUNAN PERTANIAN: Upaya Peningkatan Produksi Komoditas Pertanian Strategis KEBIJAKAN PEMBANGUNAN PERTANIAN: Upaya Peningkatan Produksi Komoditas Pertanian Strategis 1 Pendahuluan (1) Permintaan terhadap berbagai komoditas pangan akan terus meningkat: Inovasi teknologi dan penerapan

Lebih terperinci

II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Gambaran Program Pembiayaan Pertanian

II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Gambaran Program Pembiayaan Pertanian II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Gambaran Program Pembiayaan Pertanian Dalam upaya pemerintah untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat di sektor pertanian telah dilaksanakan banyak program pembiayaan pertanian.

Lebih terperinci

RENCANA KINERJA TAHUNAN (RKT) TA DIREKTORAT JENDERAL PRASARANA DAN SARANA PERTANIAN

RENCANA KINERJA TAHUNAN (RKT) TA DIREKTORAT JENDERAL PRASARANA DAN SARANA PERTANIAN RENCANA KINERJA TAHUNAN (RKT) DIREKTORAT JENDERAL PRASARANA DAN SARANA PERTANIAN TA. 2013 DIREKTORAT JENDERAL PRASARANA DAN SARANA PERTANIAN KEMENTERIAN PERTANIAN 2013 RKT PSP TA. 2012 KATA PENGANTAR Untuk

Lebih terperinci

BAB I. PENDAHULUAN. kegiatan pertanian yang mendominasi perekonomian masyarakat desa, dimana

BAB I. PENDAHULUAN. kegiatan pertanian yang mendominasi perekonomian masyarakat desa, dimana BAB I. PENDAHULUAN 1.2. Latar Belakang Pembangunan pedesaan merupakan pembangunan yang berbasis desa dengan mengedepankan seluruh aspek yang terdapat di desa termasuk juga pola kegiatan pertanian yang

Lebih terperinci

RENCANA KERJA PEMERINTAH DAERAH (RKPD) KABUPATEN PEKALONGAN TAHUN 2016 BAB I PENDAHULUAN

RENCANA KERJA PEMERINTAH DAERAH (RKPD) KABUPATEN PEKALONGAN TAHUN 2016 BAB I PENDAHULUAN Lampiran I Peraturan Bupati Pekalongan Nomor : 17 Tahun 2015 Tanggal : 29 Mei 2015 RENCANA KERJA PEMERINTAH DAERAH (RKPD) KABUPATEN PEKALONGAN TAHUN 2016 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pemerintah

Lebih terperinci

Pembangunan sektor pertanian seyogyanya memperhatikan. komponen-komponen serta seluruh perangkat yang saling berkaitan

Pembangunan sektor pertanian seyogyanya memperhatikan. komponen-komponen serta seluruh perangkat yang saling berkaitan I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pembangunan sektor pertanian seyogyanya memperhatikan komponen-komponen serta seluruh perangkat yang saling berkaitan dalam sistem agribisnis yang mencakup subsistem

Lebih terperinci

BAB V GAMBARAN UMUM PROGRAM PMUK DI KABUPATEN PELALAWAN

BAB V GAMBARAN UMUM PROGRAM PMUK DI KABUPATEN PELALAWAN BAB V GAMBARAN UMUM PROGRAM PMUK DI KABUPATEN PELALAWAN 5.1. PMUK dan Proses Bergulir PMUK 5.1.1. Latar Belakang PMUK Pada tahun 1998 terjadi peralihan dari KUT ke KKP, dari peralihan tersebut maka terjadi

Lebih terperinci

BAB III ASUMSI-ASUMSI DASAR DALAM PENYUSUNAN RANCANGAN ANGGARAN PENDAPATAN DAN BELANJA DAERAH (RAPBD)

BAB III ASUMSI-ASUMSI DASAR DALAM PENYUSUNAN RANCANGAN ANGGARAN PENDAPATAN DAN BELANJA DAERAH (RAPBD) BAB III ASUMSI-ASUMSI DASAR DALAM PENYUSUNAN RANCANGAN ANGGARAN PENDAPATAN DAN BELANJA DAERAH (RAPBD) 3.1. Asumsi Dasar yang Digunakan Dalam APBN Kebijakan-kebijakan yang mendasari APBN 2017 ditujukan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. nasional yang diarahkan untuk mengembangkan daerah tersebut. Tujuan. dari pembangunan daerah adalah untuk meningkatkan kesejahteraan

I. PENDAHULUAN. nasional yang diarahkan untuk mengembangkan daerah tersebut. Tujuan. dari pembangunan daerah adalah untuk meningkatkan kesejahteraan I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pembangunan daerah merupakan bagian dari pembangunan nasional yang diarahkan untuk mengembangkan daerah tersebut. Tujuan dari pembangunan daerah adalah untuk meningkatkan

Lebih terperinci

2014 EKSISTENSI INDUSTRI KERIPIK PISANG DI PROVINSI LAMPUNG

2014 EKSISTENSI INDUSTRI KERIPIK PISANG DI PROVINSI LAMPUNG BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Wilayah di permukaan bumi memiliki karakteristik dan ciri khasnya tersendiri. Karakteristik antara wilayah dengan satu wilayah lainnya memiliki perbedaan

Lebih terperinci

3. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen (Lembaran Negara Republik

3. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen (Lembaran Negara Republik KONSEP GUBERNUR JAWA TENGAH PERATURAN GUBERNUR JAWA TENGAH NOMOR 73 TAHUN 2014 TENTANG KEBUTUHAN DAN HARGA ECERAN TERTINGGI PUPUK BERSUBSIDI UNTUK SEKTOR PERTANIAN DI PROVINSI JAWA TENGAH TAHUN ANGGARAN

Lebih terperinci

I Ketut Ardana, Hendriadi A, Suci Wulandari, Nur Khoiriyah A, Try Zulchi, Deden Indra T M, Sulis Nurhidayati

I Ketut Ardana, Hendriadi A, Suci Wulandari, Nur Khoiriyah A, Try Zulchi, Deden Indra T M, Sulis Nurhidayati BAB V ANALISIS KEBIJAKAN SEKTOR PERTANIAN MENUJU SWASEMBADA GULA I Ketut Ardana, Hendriadi A, Suci Wulandari, Nur Khoiriyah A, Try Zulchi, Deden Indra T M, Sulis Nurhidayati ABSTRAK Swasembada Gula Nasional

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pertumbuhan ekonomi merupakan salah satu indikator keberhasilan pembangunan suatu negara. Pertumbuhan ekonomi Indonesia mengalami perubahan yang cukup berfluktuatif. Pada

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. keanekaragaman hayati yang tinggi. Apabila dimanfaatkan secara bijaksana akan

I. PENDAHULUAN. keanekaragaman hayati yang tinggi. Apabila dimanfaatkan secara bijaksana akan I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Hutan tropis Indonesia merupakan kekayaan alam yang memiliki keanekaragaman hayati yang tinggi. Apabila dimanfaatkan secara bijaksana akan terjamin kelestariannya dan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA, LANDASAN TEORI DAN KERANGKA PEMIKIRAN DAN HIPOTESIS PENELITIAN

BAB II TINJAUAN PUSTAKA, LANDASAN TEORI DAN KERANGKA PEMIKIRAN DAN HIPOTESIS PENELITIAN BAB II TINJAUAN PUSTAKA, LANDASAN TEORI DAN KERANGKA PEMIKIRAN DAN HIPOTESIS PENELITIAN 2.1. Tinjauan Pustaka Tahun 2002 pemerintah melalui Departemen Pertanian RI mengeluarkan kebijakan baru dalam upaya

Lebih terperinci