46 VI. ANALISIS DAN PEMBAHASAN

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "46 VI. ANALISIS DAN PEMBAHASAN"

Transkripsi

1 46 VI. ANALISIS DAN PEMBAHASAN 6.1. KINERJA PETANI TEBU DI KELURAHAN PADURAKSA Profil Petani Tebu Sejarah petani tebu di kabupaten Pemalang dapat dilihat dari keberadaan pabrik gula Sumberharjo yang selesai dibangun pada tahun 1911 dan pertama kali berproduksi pada tahun Areal atau lahan yang digunakan untuk tanaman tebu menggunakan sawah teknis dengan pola glebagan. Tebu pada lahan tegalan (tanah kering) dimulai pada tahun 1986 ketika salah seorang petani, yang kami jadikan pula sebagai salah seorang responden mengawali menanam tebu di tegalan yang sebelumnya ditanami padi gogo dan palawija. Pada awal kegiatan tidak ada yang mengikuti, tetapi ketika hasil dari tanaman tebu ternyata melebihi hasil tanaman padi gogo dan palawija, petani lain akhirnya mengikuti menanam tebu sampai sekarang. Profil petani tebu di kelurahan Paduraksa dapat di bedakan menjadi : 1) petani pemilik dan penggarap yaitu, petani pemilik lahan sekaligus yang mengelola lahan yang dimiliki baik dengan cara mengupah orang maupun dikerjakan sendiri; 2) Petani penggarap dengan lahan sewa yaitu, petani petani yang tidak memiliki lahan sendiri, tetapi lahan diperoleh dengan cara menyewa lahan milik orang lain; 3) Petani penggarap maro yaitu, petani yang mengelola lahan orang lain dan hasil panen dibagi dua untuk penggarap dan pemilik; dan buruh tani yaitu orang yang bekerja pada kebun orang lain sebagai tenaga upahan. Sedangkan petani anggota koperasi yaitu petani yang menyatakan diri bergabung dengan koperasi, jadi tidak semua petani tebu secara otomatis menjadi anggota koperasi. Karakter petani tebu di kelurahan Paduraksa secara umum sangat pasrah dengan kondisi lingkungan hidupnya. Hal ini dapat dilihat dari sikap nrimo dengan apapun hasil yang diberikan oleh pabrik gula atas usaha tani yang dilakukan. Sikap ini tercermin dari komentar responden ketika ditanya mengenai penetapan rendemen. Seperti komentar HD, salah seorang responden dari petani tebu dengan pemilikan lahan di atas satu hektar, mengungkapkan sebagai berikut : Kalo saya sih manut saja sama pabrik gula, kan yang tahu rendement pabrik gula, saya kan tinggal terima jadi. Masalah rendement ya saya serahkan semua pada pabrik, soalnya kalaupun usul-usul juga percuma.

2 Lain halnya dengan HS yang juga seorang tokoh yang mengawali dalam budidaya tebu lahan kering, berkomentar lebih keras, sebagai berikut : Masalahe wong nebu kuwi mung siji, yo kuwi rendement. Moso, tebu selot tuwo selot ora manis. Waktu disampel wulan papat rendemen pitu, lako barang panen rendement sing ditompo malah mung dadi enem. Berarti pabrik tah ora bener. Mestine kabupaten biso mbantu nengahi, ben wong tani ora rugi (Artinya : Masalah petani tebu itu cuma satu, yaitu rendement. Masa tanaman tebu semakin tua semakin tidak manis. Ketika diambil contoh nira pada bulan empat rendement mencapai tujuh, tapi setelah panen rendement yang diterima justru menjadi enam. Berarti pabrik gula tidak benar (dalam menetapkan rendement). Harusnya kabupaten (pemda) membantu memfasilitasi mencari jalan keluar agar petani tidak rugi). Kondisi ini mencerminkan ketidak-berdayaan petani khususnya dalam penetapan rendement tebu. Memang ada juga yang bersikap kritis dan vokal. Namun karena bersifat perorangan dan ketidak kemampuan dalam penguasaan teknologi, maka sikap ini juga tidak banyak menolong. Berkaitan dengan pencapaian rendement tebu, menurut penjelasan pejabat kepala tanaman PG Sumberharjo, banyak faktor yang mempengaruhi diantaranya yang paling dominan yaitu faktor iklim, khususnya kemarau panjang yang menyebabkan tebu layu di kebun, disamping itu faktor penanganan pascapanen juga dapat mempengaruhi pencapaian rendement. Memperhatikan beberapa komentar di atas, dapat dikatakan bahwa rendement sangat dipengaruhi oleh kondisi tanaman di kebun dan penanganan dalam tebang dan angkut serta perlakuan di dalam pabrik gula. Kecurigaan atau ketidakpercayaan petani dalam penetapan rendement oleh pabrik sangat beralasan karena katidak tahuan dalam proses penetapan rendement, sehingga menuntut adanya transparansi dari pabrik gula Pengalaman Petani Dalam Usaha Tani Tebu Pengalaman petani dalam usaha tani tebu ditunjukkan dengan lamanya petani dalam melaksanakan usaha tani tebu. Semakin lama pengalaman usaha tani, akan semakin meningkat ketrampilan yang dimiliki yang dapat mempengaruhi peningkatan produksi tebu yang diperoleh. Dari responden yang ditemui diketahui satu orang berpengalaman selama tujuh tahun, tiga orang berpengalaman dua belas tahun, satu orang berpengalaman lima belas tahun, tiga orang berpengalaman sembilan belas tahun dan satu orang berpengalaman dua puluh satu tahun.

3 48 Dari variasi pengalaman bercocok tanam tebu sebagian besar pengalaman kerja petani dalam usaha tani tebu rata-rata di atas sepuluh tahun, bahkan hampir separuh petani tebu yang ada berpengalaman lebih dari lima belas tahun. Dengan pengalaman yang cukup lama tersebut, merupakan potensi dan modal awal untuk melaksanakan usaha tani tebu. Pengalaman kerja ini dapat dijadikan alasan pendukung keberhasilan usaha dalam pengajuan pinjaman pembiayaan kepada lembaga perbankan Pemilikan Lahan Areal kebun tebu di wilayah kerja PG Sumberharjo, pada tahun 2006 seluas hektar. Dari luas kebun tersebut, 670 hektar (24,48 %) diantaranya merupakan kebun tebu milik petani. Dari kebun milik petani terdapat tebu lahan kering seluas 591 hektar dan 320 hektar diantaranya terdapat di kebun Surajaya yang merupakan daerah penelitian/kajian (Sumber : plafond kebutuhan areal tebu rakyat MT. 2006/2007 di Kabupaten Pemalang). Pemilikan lahan di Kelurahan Paduraksa pada umumnya menggunakan satuan luas Bau (0,71 Ha) dan hektar. Satuan pemilikan lahan dimulai dari 1/16 Bau (0,044 Ha), 1/8 Bau (0,088 Ha), ¼ Bau (0,175 Ha), ½ Bau (0,350 Ha), 1 Bau (0,710 Ha) dan hektar. Jumlah petani pemilik lahan dalam tiga kelompok satuan luas berbeda yang diambil berdasarkan pemilikan luas lahan adalah sebagai berikut ; Kelompok I (< 0,5 Ha) 163 orang, Kelompok II (0,5 s/d 1 Ha) 10 orang dan Kelompok III (> 1 Ha) 6 orang. Sedangkan rata-rata pemilikan lahan dapat dilihat dengan cara membandingkan luas lahan dengan jumlah petani pemilik, diketahui pemilikan luas lahan rata-rata milik petani di kelurahan Paduraksa sebesar 0,254 hektar per keluarga (lihat Tabel 9). NO Tabel 9 Tingkat Kepemilikan Lahan Petani Tebu Di Kelurahan Paduraksa Tahun 2007 Nama Kebun Ketua Kelompok Luas Lahan (Ha) Jumlah Petani Rata-rata Pemilikan Lahan(Ha) 1 Siali-ali H. Sanadi ,366 2 Sumurbolang H. Sanadi 11, ,442 3 Sileles Darya 21, ,179 Jumlah 45, ,254 Sumber : Data Sekunder, diolah. Koperasi Raksa Jaya, Nopember 2007

4 49 Dilihat dari analisa usaha tani, luasan lahan tersebut tergolong sempit untuk kegiatan usaha tani tebu. Karena hasil dari usaha tani dengan luasan tersebut jauh dibawah upah minimum kabupaten Pemalang dan beban kebutuhan hidup yang harus ditanggung petani (lihat Tabel 12). Untuk menghasilkan pendapatan di atas upah minimum kabupaten, apabila petani hanya mengandalkan pendapatan dari usaha tani tebu, maka lahan yang harus dimiliki minimal seluas 1 bau (0,71 hektar). Untuk mencukupi kebutuhan rata-rata bulanan sebesar Rp ,- (lihat Tabel 10) maka lahan yang dikelola untuk bertanam tebu minimal 0,9 hektar Jumlah Anggota Keluarga dan Beban Kebutuhan Hidup Petani Responden yang digunakan untuk mengetahui jumlah anggota keluarga dan beban kebutuhan hidup petani diambil dari petani dengan pemilikan lahan sampai dengan 0,5 hektar. Responden pada kelompok ini diambil karena merupakan mayoritas petani tebu di wilayah kajian, dan kelompok ini pula yang seharusnya memperoleh perhatian dan upaya pemberdayaan agar meningkat kesejahteraan hidupnya. Untuk mengetahui jumlah rata-rata anggota keluarga dan beban kebutuhan biaya hidup bulanan petani, dapat dilihat pada Tabel 10. Tabel 10 Jumlah Anggota Keluarga dan Beban Kebutuhan Hidup Petani Di Kelurahan Paduraksa Tahun 2007 Responden Umur (Tahun) Luas Lahan (Ha) 0,350 0,350 0,175 Jml (Jiwa) Kebutuhan Harian (Rp) , , ,- Kebutuhan Bulanan (Rp) , , ,- Jumlah Rata-rata 0, , ,- Sumber : Data Primer, diolah. Nopember 2007 Dari data Tabel 10 di atas, diketahui pemilikan lahan per keluarga ratarata 0,291 hektar, jumlah anggota keluarga lima jiwa, beban kebutuhan biaya harian keluarga Rp ,- (dua puluh enam ribu lima ratus rupiah) dan beban kebutuhan biaya bulanan rata-rata Rp ,- (delapan ratus tiga puluh tiga ribu rupiah) per keluarga. Padahal untuk luasan lahan tersebut pendapatan rata rata diterima petani berkisar Rp ,- atau rata-rata bulanan berkisar Rp ,- (lihat pendapatan petani Kelompok I). Dengan demikian, pendapatan

5 50 rata-rata petani dari usaha tani tebu masih jauh dibanding kebutuhan biaya hidup bulanan keluarga yang harus di tanggung. Dari Kebutuhan bulanan dibagi jumlah jiwa dalam keluarga akan diperoleh kebutuhan biaya hidup per jiwa sebesar Rp ,- per bulan atau Rp ,- per hari. Sementara kebutuhan hidup menyangkut kebutuhan pangan, sandang, tempat hunian, pendidikan, kesehatan dan lain-lain, maka dapat dipastikan bahwa ada kebutuhan lain yang mesti dikorbankan untuk memenuhi kebutuhan lainnya. Dengan kondisi demikian dapat digambarkan bahwa petani tebu pada kelompok ini masih jauh dari tingkat sejahtera. Untuk mencukupi biaya hidup yang ditanggung, petani dan keluarganya menggunakan waktu luang di luar kegiatan bertani tebu dengan melakukan pekerjaan lain sesuai keahlian yang dimiliki, seperti menjadi buruh tani pada orang yang memerlukan tenaganya, berdagang, berternak, menjadi pekerja bangunan dan sebagainya. Anak dalam keluarga petani miskin juga merupakan aset keluarga yang diharapkan dapat memberikan kontribusi bagi pendapatan keluarga. Ketika anak sudah memasuki usia remaja, mereka akan bekerja untuk membantu ekonomi keluarganya Pendapatan Petani Dengan adanya program akselerasi tebu dan kegiatan kemitraan usaha budidaya tebu, produksi dan pendapatan petani dapat ditingkatkan (lihat Tabel 7). Di samping itu, pola penjualan gula dengan sistem dana talangan juga sangat menolong atau memberikan jaminan kestabilan harga gula petani pada saat panen. Dengan dana talangan ini berarti harga gula sudah dipatok pada posisi break event point (BEP) artinya dengan harga dasar yang ditetapkan pada dana talangan tersebut, dilihat secara analisa usaha, petani sudah tidak mengalami rugi. Penjualan gula dilakukan melalui sistem lelang, berarti siapapun penawar tertinggi dari batas dana talangan tersebut yang akan memperoleh gula. Kenaikan pendapatan yang diperoleh petani tebu ternyata belum mampu mencukupi beban kebutuhan hidup bulanan, khususnya pada kelompok petani dengan pemilikan lahan kurang dari 0,5 hektar. Gambaran perbandingan penerimaan pendapatan petani berdasarkan pemilikan lahan dalam tiga kelompok berbeda, dapat dilihat pada Tabel 11.

6 51 Tabel 11 Pendapatan Petani Berdasarkan Pemilikan Lahan Tahun 2007 Res pon den Kelompok I ( < 0,5 Ha) Kelompok II ( 0,5-1,0 Ha) Kelompok III ( > 1,0 Ha) Luas Pendap Rerata/ Luas Penda Rerata/ Luas Penda Rerata/ lahan atan Bln Lahan patan Bln Lahan patan Bln (Ha) (Rp.000) (Rp.000) (Ha) (Rp.000) (Rp.000) (Ha) (Rp.000) (Rp.000) , ,0 0,71 1, , Rata -rata 0, , , Sumber : Data Primer, diolah. Nopember 2007 Dari Tabel 11 di atas, dapat dilihat pendapatan petani pada Kelompok I sebesar Rp ,- atau Rp ,-/bulan, pada Kelompok II sebesar Rp ,- atau Rp ,-/bulan, dan pada Kelompok III sebesar Rp ,- atau Rp ,-/bulan. Dengan perbedaan pendapatan yang cukup besar antara kelompok I dengan kelompok lainnya. Peluang peningkatan pendapatan pada kelompok I dapat dilakukan melalui koperasi yaitu dengan mengusahakan penyediaan pinjaman biaya garap maupun dengan kegiatan lain seperti, mengusahakan pengadaan lahan baik melalui sistem maro maupun upaya ektensifikasi dengan melakukan kerja sama dengan Perum Perhutani untuk pengembangan tebu di lahan hutan. Dengan membandingkan pendapatan yang diperoleh dengan rata-rata tingkat kebutuhan hidup bulanan, penghasilan pada Kelompok I dapat dikatakan masih sangat rendah dan tidak dapat mencukupi beban kebutuhan biaya hidup bulanan. Penghasilan kelompok I masih jauh dari dari upah minimum kabupaten Pemalang (UMK) sebesar Rp ,- /bulan. Pendapatan yang diperoleh sangat sulit untuk memenuhi kebutuhan hidup yang meliputi kebutuhan primer dan kebutuhan sekunder keluarga. Apalagi bagi keluarga yang mempunyai balita atau anak usia sekolah yang masih memerlukan asupan dengan kandungan gizi yang cukup bagi pertumbuhan tubuh dan biaya pendidikan anak. Oleh karena itu program pemberdayaan lebih difokuskan pada kelompok ini. Petani pada kelompok II dan kelompok III diharapkan dapat mendukung kelompok I baik melalui kelembagaan maro maupun dengan cara duduk di perwakilan petani dalam tim pengamat rendement untuk memperjuangkan petani secara keseluruhan.

7 52 Untuk mengetahui perbandingan jumlah kebutuhan biaya dan pendapatan yang diterima petani pada musim giling tahun 2006 pada tiga kelompok luasan berbeda dapat dilihat pada Tabel 12. Tabel 12 Kebutuhan Biaya dan Pendapatan Petani Tebu Di Kelurahan Paduraksa Pada Tiga Kelompok Luasan Berbeda Pada Musim Tanam Tahun 2006 Kelompok 1 Kelompok II Kelompok III Kebutuhan Biaya (Luas lahan 0,35 Hektar) (Luas lahan 0,71 Hektar) (Lahan 1 Ha) Biaya per 0,35 Ha. (Rp) Pendapatan Bersih (Rp) Biaya per 0,71 Ha. (Rp) Pendapatan Bersih (Rp) Biaya per Ha. (Rp) Pendapatan Bersih (Rp) Biaya Garap Pupuk Bibit Bunga kop. 10% Sewa Lahan Tebang Angkut Jumlah Rasio Keuntungan/ biaya 0,884 0,847 0,826 Sumber : Data Primer diolah, Nopember 2007 Memperhatikan Tabel 12 di atas, dapat dilihat bahwa setiap rupiah yang dikeluarkan petani untuk usaha tani tebu pada kelompok I akan menghasilkan keuntungan sebesar 0,884 rupiah, pada kelompok II sebesar 0,847 rupiah, dan pada kelompok III sebesar 0,826 rupiah. Dari segi ekonomi dapat dikatakan bahwa usaha tani tebu pada saat ini sangat baik, karena prosentase pendapatan diterima petani cukup besar dibanding modal yang dikeluarkan. Hal yang perlu diperhatikan yaitu masa usaha tani yang mencapai satu tahun, sedangkan kebutuhan hidup tetap harus dipenuhi setiap hari. Karena waktu usaha yang lama, maka pendapatan yang cukup besar tersebut, tetap tidak dapat digunakan untuk mencukupi kebutuhan hidup khususnya pada kelompok I. Dalam usaha tani tebu, pemilikan lahan atau luasan lahan yang dikelola petani sangat menentukan dalam pencapaian pendapatan yang diterima petani. Semakin luas lahan yang dikelola, maka pendapatan yang diterima juga akan semakin besar, dan peluang kecukupan biaya hidup dapat terpenuhi.

8 53 Untuk memprediksi tingkat pendapatan petani tebu lahan kering pada giling tebu tahun 2008 yang akan datang, dapat dilihat dari analisa usaha tani di tingkat petani pada musim tanam 2007 yang diperoleh berdasarkan hasil wawancara dengan HD, seorang petani tebu sebagai berikut (lihat Tabel 13) : Tabel 13 Keragaan Analisa Usaha Tani Tebu Lahan Kering Per Hektar Di Tingkat Petani Di Kelurahan Paduraksa Musim Tanam Tahun 2007 NO RINCIAN (Rp) 1 Kebutuhan Biaya Per Hektar Bajag/Olah Lahan Bibit (100 kw Rp ,-) Tanam dan Lipur Kletek 2 kali Arug (bumbun) Pupuk (9 kw Rp ,-) Sewa Lahan (tegalan) Biaya Panen (800 kw Rp.5.550,-) 2 Produksi per Hektar Produksi rata-rata = 800 kw. Rendemen = 7,65 % Kristal gula = 61,20 kw Bagian Petani = 40,39 kw (66 %) Tetes = kg 3 Pendapatan Kotor Diterima Petani Penjualan gula 40,39 kw Rp ,- Penjualan Tetes kg Rp. 385, , , , , , , , , , , , ,00 4 Pendapatan Bersih Diterima Petani Rp ,00 - Rp ,00 = Rp ,00 Sumber : Data primer, diolah. Nopember 2007 Pendapatan di atas merupakan prediksi pendapatan per hektar pada panen 2008, dengan asumsi harga gula Rp.5.500/Kg dan lahan dihitung sebagai faktor produksi. Pada lahan milik sendiri, pendapatan diterima bertambah menjadi Rp ,00 + Rp ,00 = Rp ,00. Pada panen tunas berikutnya (sebelum produktifitas tanaman menurun), berarti pendapatan akan lebih besar lagi, karena ditambah ongkos bibit, sebesar Rp ,- sehingga pendapatan diterima menjadi sebesar Rp ,00. Dari analisa usaha di tingkat petani dapat dilihat kebutuhan biaya usaha tani tebu per hektar di luar sewa lahan dan biaya tebang angkut sebesar Rp ,- sedangkan bantuan pinjaman diterima dari pemerintah sebesar Rp ,-. Dengan demikian petani masih harus mencukupi kekurangan biaya sebesar Rp ,-.

9 54 Berdasarkan analisa kinerja petani pada dasarnya petani mempunyai kemampuan dalam kegiatan usaha tani tebu, tetapi dengan pemilikan lahan yang terbatas, maka pendapatan yang diterima juga menjadi kecil. Pendapatan per satuan rupiah yang dikeluarkan pada lahan sempit memang lebih besar dibanding pada lahan luas, namun dengan lahan sempit pendapatan pada petani kelompok I tidak dapat digunakan untuk mencukupi kebutuhan hidup keluarga, selama masa budidaya tahun berikutnya. Hal ini berakibat pemupukan modal sulit dilakukan. Dengan modal terbatas, maka tahapan kegiatan usaha tani yang tidak bisa dicukupi sendiri, seperti pemenuhan kebutuhan pupuk tepat waktu juga menjadi terhambat. Memperhatikan hal tersebut, diperlukan adanya dukungan dan upaya inovatif melalui koperasi yang dimiliki agar dapat memberikan dukungan keberlangsungan usaha tani tebu yang dilakukan PERFOMA KOPERASI RAKSA JAYA PADURAKSA Kepengurusan Koperasi Raksa Jaya merupakan koperasi yang bergerak di bidang usaha spesifik yaitu dalam layanan usaha budidaya tebu. Koperasi ini telah mempunyai Badan Hukum, dengan Nomor : 90/BH/KOP.II.I/XI/99 TGL Lokasi di Jalan Paduraksa Kramat Pemalang. Kepengurusan KPTR Raksa Jaya termasuk sangat sederhana dengan jumlah pengurus lima orang, terdiri dari satu orang ketua, sekretaris, bendahara dan dua orang pembantu, ditambah dua orang pengawas. Berdasarkan keterangan sekretaris koperasi raksa jaya, diketahui pendidikan pengurus terdiri dari lulusan SLTA tiga orang, lulusan SLTP 1 orang dan 1 orang lulusan SD. Tabel 14 Jenjang Pendidikan Pengurus dan Badan Pengawas Koperasi Raksa Jaya Paduraksa Periode No Jabatan Pendidikan Pengurus Ketua Sekretaris Bendahara Pembantu 1 Pembantu 2 Badan Pengawas Ketua Anggota 1 2 Sumber : Data Primer, diolah Nopember 2007 SLTP SLTA SLTA SD SLTA SD SLTA

10 Dilihat dari tingkat lulusan kepengurusan tersebut, dapat dikatakan bahwa figur kepemimpinan dalam koperasi tersebut disamping pada kemampuan dalam mengelola organisasi yang mendasarkan pada kharisma, juga lebih didasarkan pada status sosial yang dimiliki dari pada tingkat pendidikan yang diperoleh dari bangku pendidikan. Hal ini dapat dilihat dari masa kepengurusan, sejak didirikan pada tahun 1999 sampai sekarang (tiga periode kepengurusan) ternyata jabatan ketua masih dijabat oleh orang yang sama. Ketua terpilih kebetulan merupakan tokoh dalam usaha tani tebu lahan kering dan status sosial secara ekonomi termasuk orang mampu. Padahal pemilihan ketua dilakukan secara langsung. Kondisi ini menunjukkan bahwa figur yang dipilih dipandang mampu dan jujur dalam menjalankan tugas kepengurusan, seperti komentar RS, salah seorang responden ketika ditanya tentang pengangkatan ketua koperasi : Ketua dipilih sampai tiga kali berturut-turut, karena selama ini jujur, tidak macem-macem. Tapi juga sebagai penghargaan karena jasa-jasa beliau terhadap kaum tani Tingkat kepercayaan ini juga berkaitan dengan pelayanan yang diberikan koperasi kepada anggota yang menyebabkan petani mau bergabung dalam koperasi. Koperasi mereka gunakan sebagai alat untuk membantu usaha yang mereka geluti. Dalam suatu kelembagaan pengurus merupakan operator bagi jalannya sebuah lembaga. Oleh karena itu diperlukan kreatifitas peran pengurus agar koperasi dapat selalu menjadi solusi bagi setiap permasalahan anggotanya. Peran kepengurusan untuk menciptakan nama baik koperasi akan berdampak pada tingkat kepercayaan masyarakat, yang ditandai dengan keikutsertaan mereka bergabung sebagai anggota koperasi secara sukarela. Anoraga (2002) menyatakan, keunggulan bersaing koperasi juga bisa diraih dari arsitektur koperasi. Arsitektur koperasi didasarkan pada prinsip identitas (identity principles) yang menyatakan anggota sebagai pemilik dan sebagai pelanggan. Berdasarkan prinsip ini, orang akan masuk menjadi anggota koperasi sesuai dengan kepentingannya. Oleh karena itu secara ekonomis dapat dikatakan bahwa seseorang menjadi anggota dan berpartisipasi dengan koperasi apabila ia memperoleh keuntungan yang lebih besar dari pada dengan usaha sendiri, atau masyarakat yakin bahwa dengan menjadi anggota koperasi akan memperoleh kemudahan berkaitan dengan usaha yang dilakukan. Sehubungan peran pengurus sangat menentukan dalam koperasi, maka upaya peningkatan kualitas pengurus atau sumberdaya pengelola koperasi perlu ditingkatkan agar koperasi yang dikelola mampu memberikan pelayanan semakin baik kepada anggotanya. 55

11 Keanggotaan Dilihat dari perkembangan jumlah keanggotaan koperasi, koperasi Raksa Jaya merupakan lembaga yang dibutuhkan petani tebu. Hal ini tercermin dari perkembangan penambahan jumlah anggota baru yang dari tahun ke tahun semakin meningkat. Perkembangan jumlah keanggotaan koperasi juga merupakan wujud kepercayaan petani terhadap koperasi. Tingkat kepercayaan masyarakat/petani tebu kepada koperasi Raksa Jaya dapat dilihat dari perkembangan keanggotaan petani tebu dalam koperasi sebagaimana Tabel 15. Tabel 15 Perkembangan Jumlah Anggota KPTR Raksa Jaya Paduraksa NO Jumlah Anggota TAHUN Masuk Keluar Jumlah Sumber : Koperasi Raksa Jaya Paduraksa, Nopember 2007 Dari tabel tersebut dapat dilihat, pada awal pendirian koperasi terjadi mutasi anggota cukup besar (18,9 %), tetapi pada tahun berikutnya terjadi peningkatan jumlah anggota secara signifikan. Menurut penjelasan bendahara koperasi, sebagai berikut : Mutasi keluar tahun-tahun pertama dimungkinkan karena manfaat berkoperasi belum dapat dirasakan secara langsung. Apalagi pada saat itu respon masyarakat terhadap koperasi sangat negatif. Dalam perkembangannya, koperasi dipandang cukup mampu memberikan pelayanan terhadap kebutuhan anggota walaupun tidak secara keseluruhan, sehingga dari tahun ke tahun tingkat kepercayaan semakin meningkat. Pernyataan tersebut cukup beralasan, melihat tingkat perkembangan dan bertahannya petani menjadi anggota koperasi. Hal ini mengindikasikan bahwa petani memperoleh manfaat dengan menjadi anggota koperasi. Dilihat dari sisi masyarakat, perkembangan penambahan jumlah petani yang menjadi anggota koperasi, dapat dijadikan sebagai indikator tingkat kebutuhan masyarakat terhadap koperasi sebagai alat penunjang dan pendukung kegiatan usaha tani yang dilakukan. Dari sisi koperasi, dapat dikatakan koperasi telah mampu memberikan pelayanan yang dibutuhkan oleh anggota, sehingga anggota menaruh kepercayaan kepada koperasi untuk tetap bergabung sebagai bagian dari koperasi.

12 Permodalan Menurut Undang-undang Nomor 25 Tahun 1992 tentang Perkoperasian, permodalan koperasi dapat diperoleh melalui banyak sumber diantaranya melalui modal sendiri, modal pinjaman dan modal kemitraan. Usaha koperasi adalah usaha yang berkaitan langsung dengan kepentingan anggota untuk meningkatkan usaha dan kesejahteraan anggota. Berkaitan dengan luasnya sumber-sumber pendapatan yang dapat dijadikan sebagai modal usaha, koperasi Raksa Jaya memperoleh permodalan antara lain dari, simpanan pokok dan simpanan wajib, simpanan sukarela anggota dan lain-lain. Secara terperinci modal kerja koperasi dapat dilihat sebagaimana Tabel 16. Tabel 16 Modal kerja Koperasi Raksa Jaya Paduraksa Tahun 2006 NO JENIS JUMLAH (Rp) Simpanan Pokok Simpanan Wajib Simpanan Sukarela Titipan SHU Cadangan Modal Donasi Dana Revitalisasi Dana APBD II Dana Akselerasi Dana BUEP , , , , , , , , , ,00 JUMLAH ,00 Sumber : Koperasi Raksa Jaya, Nopember Dari Tabel 16 di atas, dapat dilihat modal koperasi sendiri sebesar Rp ,- atau 6,35 % dari keseluruhan modal usaha yang dimiliki, sedangkan sisanya sebesar Rp ,- (93,35 %) merupakan pemupukan modal dari luar yaitu berupa dana akselerasi dan dana penyertaan modal kemitraan. Artinya tanpa dukungan modal dari luar maka peran koperasi menjadi sangat kurang berarti dalam memberikan pelayanan kepada petani, atau apabila program bantuan dihentikan, maka modal untuk operasional sangat kecil untuk dapat memenuhi kebutuhan anggota dan petani tebu pada umumnya. Kondisi ini hampir menyerupai KUD pada masa lalu. Oleh karena itu masih diperlukan adanya perluasan usaha atau sumber pendapatan lain untuk memupuk modal kerja koperasi.

13 Pelayanan Pelayanan koperasi dapat dilihat dari kegiatan usaha yang dilakukan koperasi Raksa Jaya antara lain meliputi; Simpan Pinjam, Pengadaan dan Penyaluran Pupuk, Penyaluran Dana APBD II dan Dana Akselerasi (APBN), serta Pembagian SHU Petani. Dalam rangka membantu membangun potensi masyarakat tani tebu dan meningkatkan kesejahteraan anggotanya, Koperasi Raksa Jaya yang mempunyai aktifitas spesifik dalam kegiatan usaha tani tebu di samping memberikan pelayanan tersebut, juga membantu dalam pengadaan bibit, mengusahakan bantuan pinjaman biaya garap ke lembaga perbankan yang menyediakan alokasi dana untuk pembiayaan budidaya tebu, seperti Bank Agro, Bank Niaga dan Bank Bukopin. Mengingat aktifitas budidaya tebu meliputi banyak kegiatan, maka lingkup pelayanan koperasi masih dapat dikembangkan lagi. Kegiatan tersebut antara lain seperti, tebang dan angkut tebu yang selama ini dilaksanakan oleh pabrik gula, pengadaan dan distribusi pupuk, dan sebagainya. Pengembangan pelayanan tersebut di samping untuk melayani anggota, sekaligus sebagai untuk mengembangkan peluang usaha bagi koperasi Pola Hubungan Kerja Dalam melihat pola hubungan kerja koperasi, dipetakan menjadi tiga yaitu koperasi dengan petani, koperasi dengan pabrik gula dan koperasi dengan pihak lain sebagai berikut : A. Petani Dengan Koperasi Hubungan kerja petani dengan koperasi terjalin sejak pengajuan lahan untuk disertakan dalam ricikan (rincian) kebun guna memperoleh bantuan pembiayaan dari pemerintah, dalam hal pengadaan pupuk, proses pengajuan tebang kepada pihak pabrik gula, dan terakhir yaitu dalam penjualan gula yang dilakukan melalui lelang. Layanan koperasi dengan petani tidak terbatas pada anggota, tetapi juga kepada petani tebu secara keseluruhan yang berada di wilayah kerja koperasi yaitu meliputi petani tebu di sembilan belas desa/kelurahan di kecamatan Pemalang. Bentuk layanan yang diberikan antara lain, distribusi bantuan pinjaman yang diberikan oleh pemerintah. Peran koperasi di sini hanya sebagai alat atau

14 59 media untuk kelancaran program, sebagamana KUD pada masa lalu. Di samping itu, koperasi juga bertindak atas nama petani untuk melakukan transaksi ke luar, seluruhnya dilayani oleh koperasi. Seperti dalam hubungan dengan pemerintah kabupaten, dengan pabrik gula, dan perbankan. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa petani sudah memanfaatkan secara maksimal keberadaan koperasi bagi kelancaran kegiatan usaha yang dilakukan. Wujud kepercayaan petani/anggota terhadap koperasi dalam melakukan kerja sama, selain dalam hubungan usaha tani tebu juga bisa dilihat dari berkembangnya simpanan sukarela yang berasal dari anggota, yang dipercayakan kepada koperasi. Simpanan sukarela tersebut mulai dilaksanakan sejak tahun 2005 sampai sekarang (lihat Tabel 16), dilaksanakan disamping simpanan wajib dan simpanan pokok. B. Koperasi Dengan Pabrik Gula Hubungan petani dengan gula yang dilakukan melalui koperasi yaitu mulai proses persiapan kebun sampai proses pasca panen. Dalam proses pasca panen, proses pengolahan tebu menjadi kristal gula diserahkan kepada pabrik gula Sumberharjo, dengan pembayaran berupa bagi hasil gula dengan komposisi 34 % untuk pabrik gula dan 66 % dikembalikan kepada petani. Komposisi ini diberlakukan pada tebu dengan rendement gula sampai dengan 6,0 %. Sedangkan kelebihan prosentase di atas 6,0 % tersebut dibagi dengan komposisi 30 % untuk pabrik gula dan 70 % untuk petani. Pola pembagian ini mulai berlaku sejak tahun 2005 sampai sekarang dan dipandang sudah cukup proporsional oleh kedua pihak, karena dari sisi analisa usaha tidak akan mengganggu keberlangsungan operasional pabrik dan sesuai dengan tuntutan petani tebu. Sesuai penjelasan dari ketua koperasi dan hasil konfirmasi dengan kepala tanaman PG Sumberharjo, diketahui hubungan kerja antara koperasi dengan pabrik gula antara lain meliputi : 1. Dalam hal pengadaan lahan untuk ditanami tebu, setelah koperasi menerima usulan ricikan (rincian) kebun dari petani kemudian diajukan kepada pabrik gula. Hal ini berkaitan dengan plafond areal tebu yang ditetapkan oleh Bupati dan berkaitan dengan kapasitas giling mesin pabrik gula. 2. Penyaluran/distribusi pupuk, penyaluran pupuk kepada petani masih melibatkan pabrik gula dengan alasan, koperasi belum memiliki gudang penyimpanan sehingga masih memerlukan fasilitas gudang milik pabrik gula.

15 60 3. Mengusulkan jadwal tebang dan mengajukan perwakilan petani untuk ditunjuk sebagai anggota tim pengamat mutu rendement. yang dilakukan melalui Forum Musyawarah Produksi Gula. 4. Pengurusan DO (delivery order) gula petani. 5. Dan lain-lain kepentingan petani tebu yang berkaitan dengan pabrik gula. C. Koperasi Dengan Pihak Lain Hubungan kerja dengan pihak lain diantaranya dilakukan oleh koperasi dengan pemerintah, baik pemerintah Provinsi Jawa Tengah maupun pemerintah Kabupaten Pemalang, berkaitan dengan pelaksanaan kegiatan program akselerasi tebu dan kegiatan penyertaan modal kemitraan yang dilakukan dengan pemerintah kabupaten. Di samping dengan pemerintah, koperasi juga telah menjalin kerjasama dengan lembaga perbankan seperti, Bank Agro, Bank Bukopin, Bank Niaga dan Asosiasi Petani Tebu Rakyat (APTR), khususnya dalam kegiatan pengolahan tanah. Jaringan kerja koperasi dengan pihak lain meliputi dengan pemerintah kabupaten Pemalang antara lain dengan Dinas Kehutanan dan Lingkungan Hidup, dengan Bagian Perekonomian yaitu menyangkut bimbingan teknis dan finansial, dan Disperindagkop yaitu menyangkut kelembagaan koperasi. Di tingkat provinsi, kerjasama dilakukan dengan APTR khususnya dalam pelaksanaan lelang gula petani, dan dengan Dinas perkebunan provinsi khususnya menyangkut pengelolaan dana akselerasi. Dari jaringan kerja yang sudah ada, kerja sama baru masih perlu dibangun seperti dengan perum Perhutani Pemalang, khususnya dalam pemanfaatan lahan bekas tebangan untuk ditanami tebu, dengan PT. Petro Kimia sebagai produsen pupuk ZA yang digunakan petani/anggota, sehingga diperoleh kelancaran dalam pasokan pupuk dan terhindar dari adanya pupuk palsu serta keuntungan harga yang lebih murah dari harga produsen. Hubungan kerja baru tersebut perlu dibangun untuk memperoleh dukungan dan alternatif pemecahan masalah yang ada, khususnya bagi petani berlahan sempit maupun petani penggarap.

16 Pertanggung-jawaban Berdasarkan penjelasan pengurus maupun pejabat Disperindagkop Kabupaten Pemalang, dapat dikatakan bahwa Koperasi Raksa Jaya termasuk koperasi yang mampu menyelenggarakan rapat pertanggung-jawaban kepada anggota secara tepat waktu, biasanya berkisar antara bulan Pebruari dan Maret setiap tahunnya. Pelaksanaan RAT tepat waktu merupakan indikator keberhasilan pengurus koperasi dalam menjalankan amanat kepengurusan. Dapat dikatakan pengurus telah mampu menjabarkan program kerja sesuai dengan rencana kerja yang telah ditetapkan. Dari beberapa analisis di tingkat petani dan koperasi di atas, terdapat beberapa kelemahan pada koperasi Raksa Jaya, antara lain keterbatasan kualitas sumberdaya manusia pengelola koperasi sehingga inisiatif kurang berkembang. Hal ini terlihat dari pelayanan atau usaha yang dilakukan, permodalan yang dimiliki 93 % dari akumulasi modal yang digunakan merupakan modal pihak luar sehingga diperlukan kegiatan usaha baru yang dapat meningkatkan pemupukan modal koperasi sekaligus memberikan pelayanan kepada anggota dan petani tebu pada umumnya. Jaringan kerja sama baru belum terbangun secara maksimal, sehingga diperlukan upaya terobosan untuk mencari peluang usaha baru. Dengan adanya beberapa kelemahan tersebutn berdampak pada pelayanan kepada petani menjadi kurang maksimal. Untuk mengatasi permasalahan-permasalahan di tingkat kelembagaan koperasi, diperlukan upaya pemberdayaan yang diarahkan pada perbaikan peningkatan kualitas sumberdaya pengurus koperasi. Peningkatan dan pengembangan jaringan kerjasama maupun upaya kreatif dalam menciptakan peluang usaha baru. Upaya pemberdayaan ditingkat koperasi perlu dilakukan agar koperasi lebih aktif dalam upaya membantu mempertinggi kualitas kehidupan manusia dan masyarakat, sebagaimana di amanatkan dalam Undangundang Nomor 25 Tahun 1992 tentang Perkoperasian.

17 ANALISIS SWOT Dengan memperhatikan kajian diatas di atas, maka dapat disusun strategi dan program pemberdayaan yang memungkinkan untuk dilaksanakan guna mengatasi permasalahan-permasalahan yang dihadapi petani tebu di kelurahan Paduraksa. Untuk menyusun strategi pemberdayaan ini penulis menggunakan analisis SWOT sebagai alat untuk menemukan rancangan program pemberdayaan. Analisis dilakukan di tingkat petani dan ditingkat kelembagaan, sebagai berikut : Analisis Di Tingkat Petani Faktor Internal A. Kekuatan (Strengths) 1. Kemampuan Berusaha Tani Tebu Sebagai salah satu kegiatan ekonomi yang memerlukan ketekunan dan keahlian tertentu, usaha tani tebu di kelurahan Paduraksa merupakan pilihan sebagian petani sebagai matapencaharian pokok maupun sampingan. Sebagai pilihan matapencaharian utama, maka kemampuan petani dalam berusaha tani tebu tidak diragukan lagi. Dengan pengalaman berusaha tani rata-rata diatas sepuluh tahun, maka usaha tani tebu yang dilakukan dapat diandalkan sebagai penyedia bahan baku gula. Produk yang dihasilkan juga mampu untuk mensuplai kebutuhan lokal maupun nasional. 2. Lokasi Tempat Usaha Kawasan kebun tebu milik petani berada disekitar pemukiman penduduk dan berada dekat dengan pabrik gula sumberharjo dengan jarak antara tiga sampai enam kilometer. Lokasi tersebut merupakan keuntungan tersendiri dari sisi pengawasan, dukungan bimbingan teknis dan jarak transportasi angkutan tebu sangat menguntungkan bagi petani karena biaya transportasi bisa ditekan pada biaya terendah. 3. Adanya Modal Sosial Modal sosial dimaksud yaitu berupa kelembagaan maro. Dengan adanya kelembagaan maro ini, petani berlahan luas dapat membantu menyediakan lahan garapan bagi petani tidak berlahan. Kelembagaan ini juga sangat menunjang terbentuknya hubungan sosial yang kuat di antara masyarakat tani, termasuk di komunitas petani tebu.

18 63 Kelembagaan maro merupakan bentuk ketahanan sosial bagi masyarakat pedesaan. Melalui lembaga ini seseorang dapat memperoleh pemenuhan kebutuhan secara timbal balik dan saling menguntungkan. Dalam prakteknya maro biasanya dilaksanakan pertama, di dalam lingkungan keluarga dekat, seperti orang tua dengan anak, dengan saudara seperti keponakan, cucu dan saudara jauh. Kemudian pada lingkungan tetangga terdekat yang bermukim di sekitar tempat tinggal dan orang-orang yang dikenal. Dasar pelaksanaan maro yaitu kepercayaan dan rasa tepo-seliro (keinginan untuk memperhatikan dan membantu sesama). Dengan terselenggaranya kelembagaan maro maka pengelolaan lahan dapat terdistribusikan kepada golongan petani yang tidak berlahan atau petani berlahan sempit. Petani golongan ini dapat memperoleh lahan garapan dan pendapatan, sedangkan pemilik lahan tetap memperoleh pendapatan dari bagi hasil maro dan kepuasan batin dapat membantu sesamanya. Melalui kelembagaan maro terbangun hubungan kekeluargaan, rasa saling menghormati berdasarkan kepercayaan dan saling membutuhkan di antara pelaku maro. 4. Keanggotaan koperasi Dengan menjadi anggota koperasi, manfaat dan kemudahan dapat diperoleh petani tebu khususnya dalam pemenuhan kebutuhan modal kerja dan kemudahan dalam menjalin hubungan kerja dengan pabrik gula. Keanggotaan koperasi juga merupakan wujud apresiasi petani dalam berorganisasi. B. Kelemahan (Weaknesses) 1. Luas Lahan Sempit Lahan merupakan faktor produksi dalam kegiatan usaha tani. Pemilikan lahan bagi petani merupakan modal utama untuk menunjang keberlangsungan usaha dan pendapatan petani. Dengan pemilikan lahan rata-rata berkisar 0,25 hektar per keluarga, menjadikan usaha yang dilakukan tidak memenuhi skala usaha. Pendapatan yang diperoleh kecil sementara waktu yang digunakan untuk usaha sampai panen mencapai satu tahun. Pemilikan lahan sempit ini merupakan permasalahan umum petani tebu di kelurahan Paduraksa.

19 64 2. Modal Kecil dan Tidak Mampu Meningkatkan Pemilikan lahan sempit menyebabkan pendapatan yang diterima juga kecil. Dengan pendapatan yang tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari, maka pemupukan modal sangat sulit untuk dilakukan. Akibatnya ketergantungan dukungan permodalan dari pihak luar sangat tinggi. 3. Posisi Tawar Rendah Kemampuan negosiasi atau nilai tawar petani untuk memperoleh dukungan operasional usaha tani yang dilakukan, seperti untuk memperoleh pupuk tepat waktu maupun hak-hak lain seperti penetapan rendement sangat rendah. 4. Tidak mengetahui Cara Menghitung Rendement Petani sama sekali tidak mempunyai kemampuan dalam menghitung rendement. Proses penetapan atau penghitungan kadar rendement tebu dilakukan di pabrik gula. Oleh karena itu masalah rendement merupakan masalah paling sensitif dalam usaha tani tebu atau dalam kerja sama petani dengan pabrik gula Faktor Eksternal A. Peluang (Oportunities) 1. Permintaan Pasar Terhadap Produk Meningkat Menurut sumber Tempo Interaktif, 24 Januari 2007, diketahui produksi gula nasional sebesar 2,3 juta ton, dan kebutuhan konsumsi gula nasional mencapai 2,6 juta ton. Menurut versi Dewan Gula, kebutuhan gula nasional diperkirakan mencapai 4,48 juta ton terdiri dari kebutuhan konsumsi 2,7 juta ton dan sisanya untuk kebutuhan industri. Untuk mencukupi kekurangan pasokan gula dipenuhi dari gula import. Kekurangan pasokan gula dari tahun ke tahun diperkirakan akan semakin bertambah seiring dengan bertambahnya jumlah penduduk. Dilihat dari selisih permintaan dan pemenuhan kebutuhan gula dalam negeri, usaha tani tebu merupakan peluang usaha yang sangat menjanjikan keberlangsungannya. 2. Dukungan Pemerintah Dukungan pemerintah dapat dilihat dengan adanya program pembangunan pertanian yang diarahkan pada peningkatan produktifitas tebu, baik pemerintah pusat (Program Akselerasi) maupun pemerintah daerah (Program Kemitraan). Target swa sembada gula pada tahun 2009 juga merupakan peluang usaha bagi petani tebu.

20 65 3. Ketersediaan Infrastruktur Ketersedian fasilitas sarana dan prasarana transportasi seperti jalan jembatan, pasar dan alat angkut di lokasi penelitian sangat menunjang kelancaran proses produksi, baik dalam distribusi saprodi maupun kegiatan tebang angkut tebu. 4. Adanya Pabrik Gula Keberadaan pabrik gula di lingkungan tempat usaha merupakan peluang bagi kelancaran proses produksi, khususnya pada proses pasca panen. Keberadaan pabrik gula ini memberikan jaminan bagi kelangsungan dan kelancaran proses giling tebu menjadi gula. B. Ancaman (Threaths) 1. Kelayakan Mesin Pabrik Usia pabrik gula sumberharjo yang mendekati seratus tahun menyebabkan kemampuan fasilitas mesin pabrik juga telah mengalami penurunan. Jam berhenti pabrik tergolong tinggi, pada giling tahun 2006 jam berhenti mencapai 300 jam atau setara dua belas setengah hari, kondisi ini selalu terulang setiap kali giling. Jam berhenti ini antara lain disebabkan kerusakan mesin dan keterlambatan pasokan tebu. Dengan adanya berhenti giling, maka kapasitas giling tidak tercapai sehingga menyebabkan in-efisiensi dan biaya beban tinggi yang harus ditanggung petani. 2. Tata Niaga Gula Penjualan gula dengan sistem dana talangan mempunyai nilai positif dan negatif. Nilai positif harga dasar gula dipatok pada posisi break event point, nilai negatifnya harga dasar gula ditentukan adanya dana talangan pihak swasta. Artinya apabila tidak ada swasta yang memberikan dana talangan, maka penjualan gula bisa jatuh pada permainan para pemilik modal besar. Dan yang paling dirugikan dalam hal ini yaitu petani. 3. Transparansi Dalam Penetapan Rendement Permasalahan rendement merupakan permasalahan paling sensitif, dan sampai sekarang belum ada solusi tepat yang dapat diterima, khususnya oleh petani. 4. Penyediaan Saprodi Ketersediaan saprodi khususnya pupuk secara tepat waktu, sulit dipenuhi petani karena keterbatasan pemilikan modal kerja petani.

21 66 Dengan memperhatikan analisis di tingkat petani (faktor internal dan faktor eksternal), maka dapat disusun rencana strategi program pengembangan petani tebu di kelurahan Paduraksa ke dalam Matrik SWOT, sebagaimana pada Tabel 17. Tabel17 Matrik Analisis SWOT Di Tingkat Petani Tebu Di Kelurahan Paduraksa Tahun 2007 FAKTOR INTERNAL KEKUATAN KELEMAHAN (S=STRENGTHS) (W=WEAKNESSES) FAKTOR EKSTERNAL PELUANG (O=OPORTUNITIES) 1. Permintaan pasar terhadap produk meningkat 2. Dukungan pemerintah 3. Ketersedian Infrastuktur 4. Adanya Pabrik Gula ANCAMAN (T=TREATHS) 1. Kelayakan mesin pabrik 2. Tata niaga gula 3. Tranparansi dalam penetapan rendement 4. Penyediaan saprodi 1. Kemampuan usaha tani tebu 2. Lokasi tempat usaha 3. Adanya modal sosial 4. Keanggotaan koperasi STRATEGI SO Perbaikan teknik budidaya tebu (melalui ; penyediaan bibit unggul dan pemupukan tepat waktu) STRATEGI ST Peningkatan Rendement (melalui : 1 Perubahan sampel nira; 2. Tebang tebu layak giling) 1. Luas lahan sempit 2. Modal kecil dan tidak mampu meningkatkan 3. Posisi tawar rendah 4. Tidak mengetahui cara menghitung rendement STRATEGI WO Penguatan permodalan petani (melalui ; 1. Pengajuan pembiayaan usaha tani ke lembaga perbankan; 2. Pengembangan tebu di lahan hutan) STRATEGI WT Efektifitas Kinerja Tim Pengamat Rendement Dari hasil analisis SWOT di tingkat petani diperoleh empat strategi program pemberdayaan yaitu : 1) Strategi Perbaikan Teknik Budidaya Tebu (Strategi SO), yang dilakukan melalui program kegiatan pengadaan bibit unggul dan penyediaan pupuk tepat waktu; 2) Strategi Penguatan Permodalan Petani (Strategi WO), yang dilakukan melalui pengajuan pembiayaan usaha tani ke lembaga perbankan; 3) Strategi Peningkatan Rendement (Strategi ST), yang dilakukan melalui perubahan sampel nira dan tebang tebu layak giling; dan Strategi Efektifitas Kinerja Tim Pengamat Rendement (Strategi WT), yaitu dengan mengefektifkan kinerja Tim yang telah dibentuk.

22 67 Untuk menunjang terselenggaranya program kegiatan tersebut, diperlukan adanya dukungan kelembagaan koperasi, sehingga akses petani terhadap sumber-sumber yang ada dapat tercapai dan terlaksana dengan baik Analisis Di Tingkat Kelembagaan Koperasi Petani Tebu Rakyat Faktor Internal A. Kekuatan (Strengths) 1. Badan Hukum Koperasi Dengan adanya Badan Hukum Koperasi (BH.No.90/BH/KDK.11/1/XI/1999. Tanggal, 15 Nopember 1999), merupakan modal utama dalam melakukan aktifitas kelembagaan koperasi dan merupakan sarana untuk melakukan hubungan kerja sama baik hubungan internal maupun eksternal. 2. Dukungan Anggota Adanya dukungan anggota terhadap program kerja koperasi merupakan kekuatan sebagai dorongan internal untuk aktifitas koperasi. B. Kelemahan (Weaknesses) 1. Kemampuan Manajerial Rendah Keterbatasan kualitas sumberdaya manusia pengelola koperasi (pengurus), menyebabkan koperasi belum dapat melaksanakan fungsinya secara maksimal, khususnya dalam memberikan pelayanan kepada anggota maupun petani tebu pada umumnya. 2. Kemampuan Membuat Jaringan Kerja Baru Rendah Kemampuan Membuat Jaringan Kerja Baru Inisiatif koperasi untuk melakukan kerja sama baru dengan pihak luar, belum nampak. Hal ini dapat dilihat dari hubungan kerja-sama yang dilakukan terbatas pada relasi lama yaitu pabrik gula, padahal dengan menjalin hubungan kerja baru dimungkinkan akan memperoleh peluang usaha yang dapat digunakan untuk mengatasi permasalahan-permasalahan anggota koperasi maupun petani tebu pada umumnya. 3. Permodalan Rendah Modal kerja milik koperasi termasuk rendah untuk menunjang aktifitas budidaya petani tebu anggota koperasi maupun petani tebu pada umumnya. Modal kerja merupakan kekuatan bagi sebuah organisasi atau kelembagaan,

23 68 dengan pemilikan modal yang terbatas, maka koperasi akan sulit untuk melakukan transaksi dengan pihak luar maupun dalam melayani keperluan anggotanya Faktor Eksternal A. Peluang (Oportunities) 1. Dukungan Pemerintah Adanya program pengembangan masyarakat dalam bentuk bantuan subsidi/pinjaman untuk petani tebu dengan menunjuk koperasi sebagai pelaksana program merupakan keuntungan bagi koperasi dalam memberikan pelayanan kepada anggota/petani tebu. 2. Keberadaan Lembaga Perbankan Keberadaan lembaga perbankan yang menyediakan dana untuk pengembangan usaha tani tebu seperti, Bank Agro, Bank Bukopin dan BRI merupakan peluang bagi koperasi untuk mengusahakan kebutuhan modal kerja. 3. Ketersediaan Infrastruktur Ketersedian infrastruktur di wilayah kerja koperasi, sangat menunjang kelancaran aktifitas koperasi dalam memberikan pelayanan yang lebih baik kepada anggota/petani tebu, baik dalam distribusi pupuk maupun pelaksanaan tebang angkut tebu. 4. Dukungan Produsen Pupuk Hubungan kerja sama produsen dan konsumen, dalam hal ini PT. Petrokimia selaku produsen pupuk ZA (Zuafel Amonium) dengan petani selaku pengguna produk dapat dilakukan melalui kontrak kerja sama pengadaan pupuk. Keuntungan dari kerjasama ini antara lain pengadaan pupuk dapat dilaksanakan tepat waktu, aman dari pemalsuan pupuk dan harga produsen. B. Ancaman (T=Treaths) 1. Gagal panen Dalam usaha budidaya sangat dimungkinkan terjadinya gagal panen, baik dikarenakan serangan hama penyakit maupun karena faktor iklim. Dalam usaha tani tebu gagal panen sering terjadi akibat faktor iklim yang kurang mendukung, seperti musim kering yang panjang maupun hujan yang

24 69 berlebihan. Gagal panen dapat menyebabkan koperasi tidak mampu menyelesaikan kewajibannya kepada lembaga pemberi pinjaman. 2. Kredit macet Kredit macet sangat mungkin dalam kegiatan simpan pinjam. Hal ini bisa disebabkan karena gagal panen maupun karena faktor iktikad buruk dari peminjam itu sendiri. Terjadinya pinjaman macet sangat mengganggu ketersediaan dan keberlangsungan permodalan koperasi. 3. Kebijakan import gula Kebijakan import gula yang melebihi kebutuhan konsumsi dalam negeri dapat menyebabkan harga gula lokal jatuh. Hal ini dapat menggangu kelancaran petani dalam menyelesaikan kewajiban pinjaman terhadap koperasi, sehingga mengancam permodalan koperasi. Memperhatikan faktor internal dan faktor eksternal pada lingkungan kerja koperasi di atas, maka dapat disusun matrik analisis SWOT di tingkat kelembagaan koperasi seperti pada Tabel 18. Tabel 18 Matrik Analisis SWOT Kelembagaan KPTR Raksa Jaya Kelurahan Paduraksa Tahun 2007 FAKTOR INTERNAL FAKTOR EKSTERNAL PELUANG (O=OPORTUNITIES) 1. Dukungan pemerintah 2. Keberadaan lembaga perbankan 3. Ketersediaan Infastruktur 4. Dukungan produsen pupuk (PT.Petrokimia) ANCAMAN (T=TREATHS) 1. Gagal panen 2. Kredit macet 3. Kebijakan import gula KEKUATAN (S=STRENGTHS) 1. Badan Hukum Koperasi 2. Dukungan Anggota STRATEGI SO Pengembangan jaringan kerja sama (melalui : 1. Kerja sama dengan PT. Petro Kimia dan P3GI. 2. Pelaksanaan tebang ngkut tebu mandiri 3. Usulan kerja sama pengembangan tebu di lahan hutan dengan Perum Perhutani) STRATEGI ST Peningkatan kerjasama dengan pabrik gula (melalui ; bimbingan teknik budidaya dan kegiatan pasca panen) KELEMAHAN (W=WEAKNESSES) 1. Kemampuan manajerial rendah 2. Kemampuan membuat jaringan kerja baru rendah 3. Permodalan rendah STRATEGI WO Peningkatan SDM dan permodalan (melalui : 1. Pelatihan manajemen koperasi 2. Pengajuan pinjaman modal kerja kepada lembaga perbankan) STRATEGI WT Pengamanan modal kerja koperasi (melalui penarikan pengembalian kredit melalui jemput bola)

25 70 Memperhatikan Tabel 18 di atas, dengan mempertimbangkan faktor internal dan faktor eksternal diperoleh empat strategi program yang dapat dilaksanakan koperasi Raksa Jaya untuk mendukung strategi program pemberdayaan ditingkat petani dan meningkatkan pelayanan kepada anggota/petani tebu antara lain sebagai berikut : 1. STRATEGI SO Yaitu, Strategi Pengembangan Jaringan Kerja Sama, dilakukan dengan cara : (1) Melakukan kerjasama dengan PT. Petro Kimia khususnya dalam pengadaan pupuk. Kerjasama dengan P3GI yaitu dalam rangka memperoleh bibit unggul baru. Strategi ini merupakan upaya memperkuat kapasitas kelembagaan melalui kerjasama dengan luar komunitas (Bridging) juga merupakan upaya kreatif (Creating) untuk meningkatkan modal koperasi melalui penerimaan fee penyaluran pupuk, bentuk kerjasama yang dilakukan yaitu dalam penyediaan pupuk ZA yang digunakan petani untuk tanaman tebu dan pupuk tersebut merupakan produk PT. Petro Kimia. (2) Pelaksanaan Tebang Angkut Mandiri, merupakan upaya kreatif (Creating) untuk memberikan peningkatan pelayanan kepada anggota/petani sekaligus upaya pemupukan modal koperasi melalui usaha tebang angkut tebu. Dalam strategi ini juga terbentuk kerjasama antar kelembagaan di dalam komunitas (Bonding) seperti, dengan pengusaha jasa transportasi, dengan ormas pemuda dan pemerintah desa. (3) Mengusulkan kerja sama pengembangan tebu di lahan hutan kepada Perum Perhutani (Bonding), bentuk kerjasama yang terbangun yaitu dalam pengadaan lahan. 2. STRATEGI WO Yaitu Strategi Peningkatan SDM dan Permodalan, dilakukan dengan cara : (1) Pelatihan Manajemen Koperasi, strategi ini lakukan untuk meningkatkan kapasitas sumberdaya manusia pengelola koperasi. (2) Mengajukan Pinjaman Modal Kerja ke Lembaga Perbankan, strategi ini merupakan upaya memperkuat kapasitas kelembagaan dengan cara mempertautkan dengan lembaga financial (Creating) untuk memperoleh dukungan permodalan.

72 VII. STRATEGI PROGRAM PEMBERDAYAAN

72 VII. STRATEGI PROGRAM PEMBERDAYAAN 72 VII. STRATEGI PROGRAM PEMBERDAYAAN 7.1. PENYUSUNAN STRATEGI PROGRAM Rancangan strategi program pemberdayaan dilakukan melalui diskusi kelompok terfokus (FGD) pada tanggal 24 Desember 2007, jam 09.30

Lebih terperinci

30 V. TINJAUAN PROGRAM PENGEMBANGAN MASYARAKAT

30 V. TINJAUAN PROGRAM PENGEMBANGAN MASYARAKAT 30 V. TINJAUAN PROGRAM PENGEMBANGAN MASYARAKAT Dalam kajian ini, pengkaji meninjau 2 (dua) program pengembangan masyarakat yang telah dan sedang dilaksanakan di daerah penelitian yaitu : Program Akselerasi

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. berbasis tebu merupakan salah satu sumber pendapatan bagi sekitar 900 ribu

I. PENDAHULUAN. berbasis tebu merupakan salah satu sumber pendapatan bagi sekitar 900 ribu I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Gula merupakan salah satu komoditas yang mempunyai posisi strategis dalam perekonomian Indonesia. Pada tahun 2000 sampai tahun 2005 industri gula berbasis tebu merupakan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Sektor pertanian merupakan salah satu sektor yang memiliki peranan penting dalam pertumbuhan perekonomian Indonesia. Sektor pertanian berperan sebagai penyedia pangan bagi

Lebih terperinci

4. ANALISIS SISTEM 4.1 Kondisi Situasional

4. ANALISIS SISTEM 4.1 Kondisi Situasional 83 4. ANALISIS SISTEM 4.1 Kondisi Situasional Produktivitas gula yang cenderung terus mengalami penurunan disebabkan efisiensi industri gula secara keseluruhan, mulai dari pertanaman tebu hingga pabrik

Lebih terperinci

2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Permasalahan Industri Gula Indonesia 2.2. Karakteristik Usahatani Tebu

2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Permasalahan Industri Gula Indonesia 2.2. Karakteristik Usahatani Tebu 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Permasalahan Industri Gula Indonesia Industri gula masih menghadapi masalah rendahnya tingkat produktivitas karena inefisiensi ditingkat usaha tani dan pabrik gula (Mubyarto, 1984).

Lebih terperinci

POLITIK KETAHANAN PANGAN MENUJU KEMANDIRIAN PERTANIAN

POLITIK KETAHANAN PANGAN MENUJU KEMANDIRIAN PERTANIAN POLITIK KETAHANAN PANGAN MENUJU KEMANDIRIAN PERTANIAN Emlan Fauzi Pangan merupakan kebutuhan yang paling mendasar dari suatu bangsa. Mengingat jumlah penduduk Indonesia yang sudah mencapai sekitar 220

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Tabel 1. Perkembangan Konsumsi Gula Tahun Periode

I. PENDAHULUAN. Tabel 1. Perkembangan Konsumsi Gula Tahun Periode 1 I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Gula termasuk salah satu komoditas strategis dalam perekonomian Indonesia. Dengan luas areal rata-rata 400 ribu ha pada periode 2007-2009, industri gula berbasis tebu

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. peran pertanian bukan hanya menghasilkan produk-produk domestik. Sebagian

BAB I PENDAHULUAN. peran pertanian bukan hanya menghasilkan produk-produk domestik. Sebagian BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Negara Indonesia adalah negara agraris. Sebagai negara agraris, salah satu peran pertanian bukan hanya menghasilkan produk-produk domestik. Sebagian besar penduduk

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. bekerja di sektor pertanian. Di sektor tersebut dikembangkan sebagai sumber mata

I. PENDAHULUAN. bekerja di sektor pertanian. Di sektor tersebut dikembangkan sebagai sumber mata 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Negara Indonesia sebagai negara agraris yang sebagian besar penduduknya bekerja di sektor pertanian. Di sektor tersebut dikembangkan sebagai sumber mata pencaharian masyarakat

Lebih terperinci

1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kinerja memiliki makna yang lebih dibandingkan dengan definisi yang sering digunakan yaitu hasil kerja atau prestasi kerja. Kinerja adalah kemampuan kerja yang ditunjukkan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Penelitian. Indonesia merupakan negara agraris dimana pertanian memegang peranan

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Penelitian. Indonesia merupakan negara agraris dimana pertanian memegang peranan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian Indonesia merupakan negara agraris dimana pertanian memegang peranan penting pada perekonomian nasional. Untuk mengimbangi semakin pesatnya laju pertumbuhan

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN. Latar Belakang

1 PENDAHULUAN. Latar Belakang 1 PENDAHULUAN Latar Belakang Pabrik gula merupakan salah satu industri yang strategis di Indonesia karena pabrik gula bermanfaat untuk memenuhi kebutuhan pangan pokok, kebutuhan industri lainnya, dan penyedia

Lebih terperinci

PEDOMAN TEKNIS KRITERIA DAN PERSYARATAN KAWASAN, LAHAN, DAN LAHAN CADANGAN PERTANIAN PANGAN BERKELANJUTAN

PEDOMAN TEKNIS KRITERIA DAN PERSYARATAN KAWASAN, LAHAN, DAN LAHAN CADANGAN PERTANIAN PANGAN BERKELANJUTAN 2012, No.205 4 LAMPIRAN PERATURAN MENTERI PERTANIAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 07/Permentan/OT.140/2/2012 TENTANG PEDOMAN TEKNIS KRITERIA DAN PERSYARATAN KAWASAN, LAHAN, DAN LAHAN CADANGAN PERTANIAN, PANGAN

Lebih terperinci

MENTERI PERTANIAN REPUBLIK INDONESIA. PERATURAN MENTERI PERTANIAN NOMOR: 07/Permentan/OT.140/2/2012

MENTERI PERTANIAN REPUBLIK INDONESIA. PERATURAN MENTERI PERTANIAN NOMOR: 07/Permentan/OT.140/2/2012 MENTERI PERTANIAN REPUBLIK INDONESIA PERATURAN MENTERI PERTANIAN NOMOR: 07/Permentan/OT.140/2/2012 TENTANG PEDOMAN TEKNIS KRITERIA DAN PERSYARATAN KAWASAN, LAHAN, DAN LAHAN CADANGAN PERTANIAN PANGAN BERKELANJUTAN

Lebih terperinci

PENDAHULUAN Latar Belakang

PENDAHULUAN Latar Belakang 1 PENDAHULUAN Latar Belakang Beras merupakan makanan pokok sebagian besar penduduk Indonesia. Pada tahun 1960, Indonesia mengimpor beras sebanyak 0,6 juta ton. Impor beras mengalami peningkatan pada tahun-tahun

Lebih terperinci

PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Sektor pertanian memiliki peranan strategis dalam struktur pembangunan perekonomian nasional. Selain berperan penting dalam pemenuhan kebutuhan pangan masyarakat, sektor

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Agribisnis Gula Subsistem Input Subsistem Usahatani

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Agribisnis Gula Subsistem Input Subsistem Usahatani II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Agribisnis Gula 2.1.1 Subsistem Input Subsistem input merupakan bagian awal dari rangkaian subsistem yang ada dalam sistem agribisnis. Subsistem ini menjelaskan pasokan kebutuhan

Lebih terperinci

BERITA DAERAH PROVINSI NUSA TENGGARA BARAT

BERITA DAERAH PROVINSI NUSA TENGGARA BARAT BERITA DAERAH PROVINSI NUSA TENGGARA BARAT NOMOR 45 TAHUN 2015 PERATURAN GUBERNUR NUSA TENGGARA BARAT NOMOR 45 TAHUN 2015 TENTANG KRITERIA DAN SYARAT KAWASAN PERTANIAN DAN LAHAN CADANGAN PERTANIAN PANGAN

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Budidaya tebu adalah proses pengelolaan lingkungan tumbuh tanaman

TINJAUAN PUSTAKA. Budidaya tebu adalah proses pengelolaan lingkungan tumbuh tanaman 24 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Usahatani Tebu 2.1.1 Budidaya Tebu Budidaya tebu adalah proses pengelolaan lingkungan tumbuh tanaman sehingga tanaman dapat tumbuh dengan optimum dan dicapai hasil yang diharapkan.

Lebih terperinci

BAB III LAPORAN PENELITIAN

BAB III LAPORAN PENELITIAN BAB III LAPORAN PENELITIAN A. Gambaran Umum Lokasi Penelitian 1. Sejarah Berdirinya Gapoktan Kelompok Tani Bangkit Jaya adalah kelompok tani yang berada di Desa Subik Kecamatan Abung Tengah Kabupaten Lampung

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. melalui perluasan areal menghadapi tantangan besar pada masa akan datang.

I. PENDAHULUAN. melalui perluasan areal menghadapi tantangan besar pada masa akan datang. I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Upaya peningkatan produksi tanaman pangan khususnya pada lahan sawah melalui perluasan areal menghadapi tantangan besar pada masa akan datang. Pertambahan jumlah penduduk

Lebih terperinci

IV.B.13. Urusan Wajib Ketahanan Pangan

IV.B.13. Urusan Wajib Ketahanan Pangan 13. URUSAN KETAHANAN PANGAN Ketahanan Pangan adalah kondisi terpenuhinya pangan bagi rumah tangga yang tercermin dari tersedianya pangan yang cukup, baik jumlah maupun mutunya, aman, merata dan terjangkau.

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Salah satu sasaran pembangunan nasional adalah pertumbuhan ekonomi dengan

I. PENDAHULUAN. Salah satu sasaran pembangunan nasional adalah pertumbuhan ekonomi dengan I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Salah satu sasaran pembangunan nasional adalah pertumbuhan ekonomi dengan menitikberatkan pada sektor pertanian. Sektor pertanian merupakan salah satu sektor yang mempunyai

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. sumber pendapatan bagi sekitar ribu RTUT (Rumah Tangga Usahatani Tani) (BPS, 2009).

BAB I PENDAHULUAN. sumber pendapatan bagi sekitar ribu RTUT (Rumah Tangga Usahatani Tani) (BPS, 2009). BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Gula merupakan komoditas strategis dalam perekonomian Indonesia. Dengan luas areal tebu yang tidak kurang dari 400.000 ha, industri gula nasional pada saat ini merupakan

Lebih terperinci

ASPEK SOSIOLOGIS DALAM USAHA PERTANIAN RAKYAT DI DUSUN KREWE DESA GUNUNGREJO. Kelompok 5

ASPEK SOSIOLOGIS DALAM USAHA PERTANIAN RAKYAT DI DUSUN KREWE DESA GUNUNGREJO. Kelompok 5 ASPEK SOSIOLOGIS DALAM USAHA PERTANIAN RAKYAT DI DUSUN KREWE DESA GUNUNGREJO Kelompok 5 1. AMUL HEKSA BAJAFITRI 125040201111131 2. ANISA SILVIA 125020201111152 3. AMANU BUDI SETYO U 125040201111208 4.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Tebu merupakan tumbuhan sejenis rerumputan yang dikelompokkan

BAB I PENDAHULUAN. Tebu merupakan tumbuhan sejenis rerumputan yang dikelompokkan BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Tebu merupakan tumbuhan sejenis rerumputan yang dikelompokkan dalam famili gramineae. Seperti halnya padi dan termasuk kategori tanaman semusim, tanaman tebu tumbuh

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. peran yang sangat strategis dalam mendukung perekonomian nasional. Di sisi lain

I. PENDAHULUAN. peran yang sangat strategis dalam mendukung perekonomian nasional. Di sisi lain I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pengembangan produksi dan distribusi komoditi pertanian khususnya komoditi pertanian segar seperti sayur mayur, buah, ikan dan daging memiliki peran yang sangat strategis

Lebih terperinci

VI. REKOMENDASI KEBIJAKAN

VI. REKOMENDASI KEBIJAKAN 158 VI. REKOMENDASI KEBIJAKAN Pengelolaan lahan gambut berbasis sumberdaya lokal pada agroekologi perkebunan kelapa sawit rakyat di Kabupaten Bengkalis dilakukan berdasarkan atas strategi rekomendasi yang

Lebih terperinci

ARAHAN PENINGKATAN EKONOMI MASYARAKAT PETANI JERUK SIAM BERDASARKAN PERSPEKTIF PETANI

ARAHAN PENINGKATAN EKONOMI MASYARAKAT PETANI JERUK SIAM BERDASARKAN PERSPEKTIF PETANI Preview Sidang 3 Tugas Akhir ARAHAN PENINGKATAN EKONOMI MASYARAKAT PETANI JERUK SIAM BERDASARKAN PERSPEKTIF PETANI DI KECAMATAN BANGOREJO, KABUPATEN BANYUWANGI Disusun: Nyimas Martha Olfiana 3609.100.049

Lebih terperinci

BUPATI BULUKUMBA PROVINSI SULAWESI SELATAN PERATURAN BUPATI BULUKUMBA NOMOR : 15 TAHUN 2015 TENTANG

BUPATI BULUKUMBA PROVINSI SULAWESI SELATAN PERATURAN BUPATI BULUKUMBA NOMOR : 15 TAHUN 2015 TENTANG BUPATI BULUKUMBA PROVINSI SULAWESI SELATAN PERATURAN BUPATI BULUKUMBA NOMOR : 15 TAHUN 2015 TENTANG PENGELOLAAN CADANGAN PANGAN PEMERINTAH DAERAH KABUPATEN BULUKUMBA TAHUN 2015 DENGAN RAHMAT TUHAN YANG

Lebih terperinci

BAB V KESIMPULAN. Pemerintah mengeluarkan kebijakan tentang program TRI 1975 dengan tujuan

BAB V KESIMPULAN. Pemerintah mengeluarkan kebijakan tentang program TRI 1975 dengan tujuan BAB V KESIMPULAN 5.1. Kesimpulan Pemerintah mengeluarkan kebijakan tentang program TRI 1975 dengan tujuan meningkatkan produksi gula nasional dan meningkatkan pendapatan petani tebu. Program tersebut merupakan

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. Latar Belakang. Petani rumput laut yang kompeten merupakan petani yang mampu dan menguasai

PENDAHULUAN. Latar Belakang. Petani rumput laut yang kompeten merupakan petani yang mampu dan menguasai PENDAHULUAN Latar Belakang Petani rumput laut yang kompeten merupakan petani yang mampu dan menguasai aspek teknik budidaya rumput laut dan aspek manajerial usaha tani rumput laut. teknik manajemen usahatani.

Lebih terperinci

V. PENDEKATAN SISTEM 5.1. Analisis Kebutuhan Pengguna 1.) Petani

V. PENDEKATAN SISTEM 5.1. Analisis Kebutuhan Pengguna 1.) Petani V. PENDEKATAN SISTEM Sistem merupakan kumpulan gugus atau elemen yang saling berinteraksi dan terorganisasi untuk mencapai suatu tujuan atau serangkaian tujuan. Pendekatan sistem merupakan metode pemecahan

Lebih terperinci

TESIS. Untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan Guna Mencapai Derajat Sarjana S-2 PROGRAM STUDI MAGISTER MANAJEMEN AGRIBISNIS.

TESIS. Untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan Guna Mencapai Derajat Sarjana S-2 PROGRAM STUDI MAGISTER MANAJEMEN AGRIBISNIS. EVALUASI KEBIJAKAN BONGKAR RATOON DAN KERAGAAN PABRIK GULA DI JAWA TIMUR TESIS Untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan Guna Mencapai Derajat Sarjana S-2 PROGRAM STUDI MAGISTER MANAJEMEN AGRIBISNIS Diajukan

Lebih terperinci

Suharto, Edi, Membangun Masyarakat Memberdayakan Rakyat. Refika Aditama. Bandung. Sugiyono, Memahami Penelitian Kualitatif. CV. Alfabeta.

Suharto, Edi, Membangun Masyarakat Memberdayakan Rakyat. Refika Aditama. Bandung. Sugiyono, Memahami Penelitian Kualitatif. CV. Alfabeta. 2 DAFTAR PUSTAKA Adi, Isbandi Rukminto. 2003. Pemberdayaan, Pengembangan Masyarakat dan Intervensi Komunitas. Arsyad, Lincoln, 1999. Pengantar Perencanaan dan Pembangunan Ekonomi Daerah, Edisi I. BPFE,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Produktivitas (Qu/Ha)

BAB I PENDAHULUAN. Produktivitas (Qu/Ha) BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Indonesia memiliki potensi sumber daya yang sangat mendukung untuk sektor usaha pertanian. Iklim tropis yang ada di Indonesia mendukung berkembangnya sektor pertanian

Lebih terperinci

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN BAB V KESIMPULAN DAN SARAN Berdasarkan hasil penelitian dan analisis mengenai Potensi Pengembangan Produksi Ubi Jalar (Ipomea batatas L.)di Kecamatan Cilimus Kabupaten. Maka sebagai bab akhir pada tulisan

Lebih terperinci

III. RUMUSAN, BAHAN PERTIMBANGAN DAN ADVOKASI ARAH KEBIJAKAN PERTANIAN 3.3. PEMANTAPAN KETAHANAN PANGAN : ALTERNATIF PEMIKIRAN

III. RUMUSAN, BAHAN PERTIMBANGAN DAN ADVOKASI ARAH KEBIJAKAN PERTANIAN 3.3. PEMANTAPAN KETAHANAN PANGAN : ALTERNATIF PEMIKIRAN III. RUMUSAN, BAHAN PERTIMBANGAN DAN ADVOKASI ARAH KEBIJAKAN PERTANIAN Pada tahun 2009, Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian melakukan kegiatan analisis dan kajian secara spesifik tentang

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA, KERANGKA PIKIR DAN HIPOTESIS. Semarang dalam Suharyono dan Moch. Amien (2013: 19) bahwa geografi adalah

II. TINJAUAN PUSTAKA, KERANGKA PIKIR DAN HIPOTESIS. Semarang dalam Suharyono dan Moch. Amien (2013: 19) bahwa geografi adalah II. TINJAUAN PUSTAKA, KERANGKA PIKIR DAN HIPOTESIS A. Tinjauan Pustaka 1. Pengertian Geografi Definisi geografi menurut hasil Seminar dan Lokakarya (SEMLOK) 1988 di Semarang dalam Suharyono dan Moch. Amien

Lebih terperinci

Tabel 14 Kebutuhan aktor dalam agroindustri biodiesel

Tabel 14 Kebutuhan aktor dalam agroindustri biodiesel 54 ANALISIS SISTEM Sistem pengembangan agroindustri biodiesel berbasis kelapa seperti halnya agroindustri lainnya memiliki hubungan antar elemen yang relatif kompleks dan saling ketergantungan dalam pengelolaannya.

Lebih terperinci

V. KERAGAAN INDUSTRI GULA INDONESIA

V. KERAGAAN INDUSTRI GULA INDONESIA 83 V. KERAGAAN INDUSTRI GULA INDONESIA 5.1. Luas Areal Perkebunan Tebu dan Produktivitas Gula Hablur Indonesia Tebu merupakan tanaman yang ditanam untuk bahan baku gula. Tujuan penanaman tebu adalah untuk

Lebih terperinci

BUPATI MADIUN PROVINSI JAWA TIMUR SALINAN PERATURAN BUPATI MADIUN NOMOR 75 TAHUN 2016 TENTANG CADANGAN PANGAN PEMERINTAH KABUPATEN MADIUN

BUPATI MADIUN PROVINSI JAWA TIMUR SALINAN PERATURAN BUPATI MADIUN NOMOR 75 TAHUN 2016 TENTANG CADANGAN PANGAN PEMERINTAH KABUPATEN MADIUN BUPATI MADIUN PROVINSI JAWA TIMUR SALINAN PERATURAN BUPATI MADIUN NOMOR 75 TAHUN 2016 TENTANG CADANGAN PANGAN PEMERINTAH KABUPATEN MADIUN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI MADIUN, Menimbang : a.

Lebih terperinci

PROGRAM REHABILITASI KARET DI PROVINSI JAMBI : UPAYA UNTUK MENINGKATKAN PERTUMBUHAN EKONOMI DAERAH

PROGRAM REHABILITASI KARET DI PROVINSI JAMBI : UPAYA UNTUK MENINGKATKAN PERTUMBUHAN EKONOMI DAERAH BOKS 1 PROGRAM REHABILITASI KARET DI PROVINSI JAMBI : UPAYA UNTUK MENINGKATKAN PERTUMBUHAN EKONOMI DAERAH I. PENDAHULUAN Komoditas karet memegang peranan utama dalam perekonomian masyarakat di semua kabupaten

Lebih terperinci

stabil selama musim giling, harus ditanam varietas dengan waktu kematangan yang berbeda. Pergeseran areal tebu lahan kering berarti tanaman tebu

stabil selama musim giling, harus ditanam varietas dengan waktu kematangan yang berbeda. Pergeseran areal tebu lahan kering berarti tanaman tebu PEMBAHASAN UMUM Tujuan akhir penelitian ini adalah memperbaiki tingkat produktivitas gula tebu yang diusahakan di lahan kering. Produksi gula tidak bisa lagi mengandalkan lahan sawah seperti masa-masa

Lebih terperinci

PROPOSAL POTENSI, Tim Peneliti:

PROPOSAL POTENSI, Tim Peneliti: PROPOSAL PENELITIAN TA. 2015 POTENSI, KENDALA DAN PELUANG PENINGKATAN PRODUKSI PADI PADA LAHAN BUKAN SAWAH Tim Peneliti: Bambang Irawan PUSAT SOSIAL EKONOMI DAN KEBIJAKAN PERTANIAN BADAN PENELITIAN DAN

Lebih terperinci

PERATURAN WALIKOTA TASIKMALAYA Nomor : 3C Tahun 2008 Lampiran : 1 (satu) berkas TENTANG

PERATURAN WALIKOTA TASIKMALAYA Nomor : 3C Tahun 2008 Lampiran : 1 (satu) berkas TENTANG WALIKOTA TASIKMALAYA PERATURAN WALIKOTA TASIKMALAYA Nomor : 3C Tahun 2008 Lampiran : 1 (satu) berkas TENTANG INTENSIFIKASI PERTANIAN TANAMAN PANGAN DAN PERKEBUNAN TAHUN 2008 DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA

Lebih terperinci

PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BPS. 2012

PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BPS. 2012 I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Cabai merupakan salah satu komoditas hortikultura yang dibutuhkan dan dikonsumsi oleh masyarakat Indonesia. Menurut Direktorat Jenderal Hortikultura (2008) 1 komoditi

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Pembangunan sektor pertanian khususnya subsektor perkebunan merupakan

I. PENDAHULUAN. Pembangunan sektor pertanian khususnya subsektor perkebunan merupakan 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pembangunan sektor pertanian khususnya subsektor perkebunan merupakan bagian dari pembangunan nasional. Secara umum posisi sektor perkebunan dalam perekonomian nasional

Lebih terperinci

CONTRACT FARMING SEBAGAI SUMBER PERTUMBUHAN BARU DALAM BIDANG PETERNAKAN

CONTRACT FARMING SEBAGAI SUMBER PERTUMBUHAN BARU DALAM BIDANG PETERNAKAN CONTRACT FARMING SEBAGAI SUMBER PERTUMBUHAN BARU DALAM BIDANG PETERNAKAN PENDAHULUAN Sektor pertanian (dalam arti luas termasuk peternakan, perikanan dan kehutanan) merupakan sektor yang paling besar menyerap

Lebih terperinci

BAB VI FAKTOR FAKTOR PENDUKUNG PERUBAHAN PRODUKSI PERTANIAN 6.1 Faktor Eksternal Komoditas Kelapa Sawit memiliki banyak nilai tambah dibandingkan

BAB VI FAKTOR FAKTOR PENDUKUNG PERUBAHAN PRODUKSI PERTANIAN 6.1 Faktor Eksternal Komoditas Kelapa Sawit memiliki banyak nilai tambah dibandingkan 51 BAB VI FAKTOR FAKTOR PENDUKUNG PERUBAHAN PRODUKSI PERTANIAN 6.1 Faktor Eksternal Komoditas Kelapa Sawit memiliki banyak nilai tambah dibandingkan dengan komoditas perkebunan lainnya. Harga pasaran yang

Lebih terperinci

Pengembangan Jagung Nasional Mengantisipasi Krisis Pangan, Pakan dan Energi Dunia: Prospek dan Tantangan

Pengembangan Jagung Nasional Mengantisipasi Krisis Pangan, Pakan dan Energi Dunia: Prospek dan Tantangan Pengembangan Jagung Nasional Mengantisipasi Krisis Pangan, Pakan dan Energi Dunia: Prospek dan Tantangan Anton J. Supit Dewan Jagung Nasional Pendahuluan Kemajuan teknologi dalam budidaya jagung semakin

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Gula adalah salah satu komoditas pertanian yang telah ditetapkan

BAB I PENDAHULUAN. Gula adalah salah satu komoditas pertanian yang telah ditetapkan 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Gula adalah salah satu komoditas pertanian yang telah ditetapkan Indonesia sebagai komoditas khusus (special products) dalam forum perundingan Organisasi

Lebih terperinci

pestisida dan permodalan (Sisfahyuni, 2008).

pestisida dan permodalan (Sisfahyuni, 2008). 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Kerangka Teoritis 2.1.1. Peran Kelembagaan Pertanian Penguatan posisi tawar petani melalui kelembagaan merupakan suatu kebutuhan yang sangat mendesak dan mutlak diperlukan oleh

Lebih terperinci

1. I. PENDAHULUAN 1. Latar Belakang

1. I. PENDAHULUAN 1. Latar Belakang 1. I. PENDAHULUAN 1. Latar Belakang Pertumbuhan ekonomi di negara-negara berkembang saat ini telah menjadi penyebab berubahnya pola konsumsi penduduk, dari konsumsi pangan penghasil energi ke produk penghasil

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. perekonomian nasional. Hal ini dapat dilihat dari kontribusi yang dominan, baik

BAB I PENDAHULUAN. perekonomian nasional. Hal ini dapat dilihat dari kontribusi yang dominan, baik BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sektor pertanian mempunyai peranan yang sangat penting dalam perekonomian nasional. Hal ini dapat dilihat dari kontribusi yang dominan, baik secara langsung maupun

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Pembangunan pertanian merupakan suatu tindakan untuk mengubah kondisi

I. PENDAHULUAN. Pembangunan pertanian merupakan suatu tindakan untuk mengubah kondisi 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pembangunan pertanian merupakan suatu tindakan untuk mengubah kondisi pertanian dari kondisi yang kurang menguntungkan menjadi kondisi yang lebih menguntungkan (long

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pembangunan nasional dewasa ini salah satunya diprioritaskan pada bidang ketahanan pangan, sehingga pemerintah selalu berusaha untuk menerapkan kebijakan dalam peningkatan

Lebih terperinci

INSTRUKSI PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 2008 TENTANG KEBIJAKAN PERBERASAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

INSTRUKSI PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 2008 TENTANG KEBIJAKAN PERBERASAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, INSTRUKSI PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 2008 TENTANG KEBIJAKAN PERBERASAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa dalam rangka stabilitas ekonomi nasional, meningkatkan pendapatan

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. unik yang berbeda dengan komoditi strategis lain seperti beras. Di satu sisi gula

PENDAHULUAN. unik yang berbeda dengan komoditi strategis lain seperti beras. Di satu sisi gula PENDAHULUAN Latar Belakang Gula pasir merupakan suatu komoditi strategis yang memiliki kedudukan unik yang berbeda dengan komoditi strategis lain seperti beras. Di satu sisi gula pasir merupakan salah

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1. Latar Belakang Gula merupakan salah satu komoditi strategis bagi perekonomian Indonesia, karena merupakan salah satu dari sembilan

I. PENDAHULUAN 1. Latar Belakang Gula merupakan salah satu komoditi strategis bagi perekonomian Indonesia, karena merupakan salah satu dari sembilan I. PENDAHULUAN 1. Latar Belakang Gula merupakan salah satu komoditi strategis bagi perekonomian Indonesia, karena merupakan salah satu dari sembilan bahan pokok yang dikonsumsi oleh masyarakat Indonesia.

Lebih terperinci

III. KERANGKA PEMIKIRAN

III. KERANGKA PEMIKIRAN III. KERANGKA PEMIKIRAN 3.1. Kerangka Pemikiran Teoritis 3.1.1. Definisi Kemitraan Definisi kemitraan diungkapkan oleh Hafsah (1999) yang menyatakan bahwa kemitraan adalah suatu strategi bisnis yang dilakukan

Lebih terperinci

II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Gambaran Program Pembiayaan Pertanian

II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Gambaran Program Pembiayaan Pertanian II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Gambaran Program Pembiayaan Pertanian Dalam upaya pemerintah untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat di sektor pertanian telah dilaksanakan banyak program pembiayaan pertanian.

Lebih terperinci

KEBIJAKAN MENYANGGA ANJLOKNYA HARGA GABAH PADA PANEN RAYA BULAN FEBRUARI S/D APRIL 2007

KEBIJAKAN MENYANGGA ANJLOKNYA HARGA GABAH PADA PANEN RAYA BULAN FEBRUARI S/D APRIL 2007 KEBIJAKAN MENYANGGA ANJLOKNYA HARGA GABAH PADA PANEN RAYA BULAN FEBRUARI S/D APRIL 2007 Pendahuluan 1. Produksi padi di Indonesia mengikuti siklus musim, dimana panen raya dimulai pada bulan Februari sampai

Lebih terperinci

WALIKOTA BATU PROVINSI JAWA TIMUR PERATURAN WALIKOTA BATU NOMOR 16 TAHUN 2017 TENTANG PENGADAAN, PENGELOLAAN, DAN PENYALURAN CADANGAN PANGAN

WALIKOTA BATU PROVINSI JAWA TIMUR PERATURAN WALIKOTA BATU NOMOR 16 TAHUN 2017 TENTANG PENGADAAN, PENGELOLAAN, DAN PENYALURAN CADANGAN PANGAN SALINAN WALIKOTA BATU PROVINSI JAWA TIMUR PERATURAN WALIKOTA BATU NOMOR 16 TAHUN 2017 TENTANG PENGADAAN, PENGELOLAAN, DAN PENYALURAN CADANGAN PANGAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA Menimbang : WALIKOTA

Lebih terperinci

ANALISIS SWOT: KONSEP & APLIKASI BAGI KOPERASI TERNAK. Bimbingan Teknis Koperasi Ternak Jombang November 2014

ANALISIS SWOT: KONSEP & APLIKASI BAGI KOPERASI TERNAK. Bimbingan Teknis Koperasi Ternak Jombang November 2014 ANALISIS SWOT: KONSEP & APLIKASI BAGI KOPERASI TERNAK Bimbingan Teknis Koperasi Ternak Jombang 10-11 November 2014 Tujuan Pembelajaran Peserta memahami dan mampu menjelaskan ragam masalah bisnis Peserta

Lebih terperinci

PENDAHULUAN Latar Belakang

PENDAHULUAN Latar Belakang PENDAHULUAN Latar Belakang Industri gula adalah salah satu industri bidang pertanian yang secara nyata memerlukan keterpaduan antara proses produksi tanaman di lapangan dengan industri pengolahan. Indonesia

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. sektor pertanian merupakan sektor yang mendasari kehidupan setiap

BAB I PENDAHULUAN. sektor pertanian merupakan sektor yang mendasari kehidupan setiap 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Sektor pertanian masih memegang peranan penting bagi perekonomian nasional. Hal tersebut dikarenakan beberapa alasan, pertama, sektor pertanian merupakan

Lebih terperinci

V GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN

V GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN V GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN 5.1 Gambaran Umum PT. Sang Hyang Seri 5.1.1 Sejarah Singkat PT. Sang Hyang Seri PT. Sang Hyang Seri (PT. SHS) merupakan perintis dan pelopor usaha perbenihan di Indonesia

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia merupakan negara pertanian, artinya sektor tersebut memegang

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia merupakan negara pertanian, artinya sektor tersebut memegang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Indonesia merupakan negara pertanian, artinya sektor tersebut memegang peranan penting dari keseluruhan perekonomian nasional. Hal ini dapat ditunjukkan dari

Lebih terperinci

PERANAN SEKTOR PERTANIAN KHUSUSNYA JAGUNG TERHADAP PERTUMBUHAN EKONOMI KABUPATEN JENEPONTO Oleh : Muhammad Anshar

PERANAN SEKTOR PERTANIAN KHUSUSNYA JAGUNG TERHADAP PERTUMBUHAN EKONOMI KABUPATEN JENEPONTO Oleh : Muhammad Anshar PERANAN SEKTOR PERTANIAN KHUSUSNYA JAGUNG TERHADAP PERTUMBUHAN EKONOMI KABUPATEN JENEPONTO Oleh : Muhammad Anshar Jurusan Teknik Perencanaan Wilayah dan Kota Fakultas Sains dan Teknologi ABSTRAK Penelitian

Lebih terperinci

ANALISIS USAHATANI DAN KESEJAHTERAAN PETANI PADI, JAGUNG DAN KEDELE

ANALISIS USAHATANI DAN KESEJAHTERAAN PETANI PADI, JAGUNG DAN KEDELE ANALISIS USAHATANI DAN KESEJAHTERAAN PETANI PADI, JAGUNG DAN KEDELE Pusat Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian Kementerian Pertanian Februari 2011 ANALISIS USAHATANI DAN KESEJAHTERAAN PETANI PADI, JAGUNG

Lebih terperinci

VIII. ARAHAN PENGELOLAAN KEGIATAN BUDIDAYA RUMPUT LAUT

VIII. ARAHAN PENGELOLAAN KEGIATAN BUDIDAYA RUMPUT LAUT VIII. ARAHAN PENGELOLAAN KEGIATAN BUDIDAYA RUMPUT LAUT Kegiatan budidaya rumput laut telah berkembang dengan pesat di Kabupaten Bantaeng. Indikasinya dapat dilihat dari hamparan budidaya rumput laut yang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. yang putih dan terasa manis. Dalam bahasa Inggris, tebu disebut sugar cane. Tebu

BAB I PENDAHULUAN. yang putih dan terasa manis. Dalam bahasa Inggris, tebu disebut sugar cane. Tebu BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Tanaman perkebunan merupakan salah satu tanaman yang prospektif untuk dikembangkan di Indonesia. Letak geografis dengan iklim tropis dan memiliki luas wilayah yang

Lebih terperinci

V. GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN

V. GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN V. GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN 5.1. Letak dan Keadaan Geografi Daerah Penelitian Desa Pulorejo merupakan salah satu desa yang terletak di Kecamatan Ngoro, Kabupaten Jombang, Jawa Timur. Batas-batas

Lebih terperinci

pelaksanaan pencapaian ketahanan pangan dan kemandirian pangan nasional.

pelaksanaan pencapaian ketahanan pangan dan kemandirian pangan nasional. pelaksanaan pencapaian ketahanan pangan dan kemandirian pangan nasional. 2.2. PENDEKATAN MASALAH Permasalahan yang dihadapi dalam upaya pencapaian surplus 10 juta ton beras pada tahun 2014 dirumuskan menjadi

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN. Konsep dasar ini mencakup pengertian yang digunakan untuk menunjang dan

III. METODE PENELITIAN. Konsep dasar ini mencakup pengertian yang digunakan untuk menunjang dan 36 III. METODE PENELITIAN A. Konsep Dasar dan Definisi Operasional Konsep dasar ini mencakup pengertian yang digunakan untuk menunjang dan menciptakan data akurat yang akan dianalisis sehubungan dengan

Lebih terperinci

BUPATI KOTABARU PROVINSI KALIMANTAN SELATAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN KOTABARU NOMOR 10 TAHUN 2017 TENTANG

BUPATI KOTABARU PROVINSI KALIMANTAN SELATAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN KOTABARU NOMOR 10 TAHUN 2017 TENTANG BUPATI KOTABARU PROVINSI KALIMANTAN SELATAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN KOTABARU NOMOR 10 TAHUN 2017 TENTANG PENYELENGGARAAN CADANGAN PANGAN PEMERINTAH DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG ESA BUPATI KOTABARU,

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1. Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1. Latar Belakang Kebutuhan akan bahan pangan terus meningkat sejalan dengan bertambahnya jumlah penduduk dan kebutuhan gizi masyarakat. Padi merupakan salah satu tanaman pangan utama bagi

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI SUKOHARJO PROVINSI JAWA TENGAH PERATURAN DAERAH KABUPATEN SUKOHARJO NOMOR 13 TAHUN 2016 TENTANG PENYELENGGARAAN CADANGAN PANGAN PEMERINTAH KABUPATEN SUKOHARJO DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI

Lebih terperinci

TABEL KETERKAITAN VISI, MISI, TUJUAN DAN SASARAN

TABEL KETERKAITAN VISI, MISI, TUJUAN DAN SASARAN 5.4. Tabel Keterkaitan Visi, Misi, Tujuan dan Sasaran TABEL KETERKAITAN VISI, MISI, TUJUAN DAN SASARAN Visi : Terwujudnya Kabupaten Grobogan sebagai daerah industri dan perdagangan yang berbasis pertanian,

Lebih terperinci

III KERANGKA PEMIKIRAN

III KERANGKA PEMIKIRAN III KERANGKA PEMIKIRAN 3.1 Kerangka Pemikiran Teoritis Pembiayaan dalam dunia usaha sangat dibutuhkan dalam mendukung keberlangsungan suatu usaha yang dijalankan. Dari suatu usaha yang memerlukan pembiayaan

Lebih terperinci

BUPATI KOTABARU PROVINSI KALIMANTAN SELATAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN KOTABARU NOMOR 15 TAHUN 2017 TENTANG PEMBERDAYAAN DAN PERLINDUNGAN KOPERASI

BUPATI KOTABARU PROVINSI KALIMANTAN SELATAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN KOTABARU NOMOR 15 TAHUN 2017 TENTANG PEMBERDAYAAN DAN PERLINDUNGAN KOPERASI BUPATI KOTABARU PROVINSI KALIMANTAN SELATAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN KOTABARU NOMOR 15 TAHUN 2017 TENTANG PEMBERDAYAAN DAN PERLINDUNGAN KOPERASI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI KOTABARU, Menimbang

Lebih terperinci

PROSPEK PENGEMBANGAN UBIKAYU DALAM KAITANNYA DENGAN USAHA PENINGKATAN PENDAPATAN PETANI TRANSMIGRASI DI DAERAH JAMBI

PROSPEK PENGEMBANGAN UBIKAYU DALAM KAITANNYA DENGAN USAHA PENINGKATAN PENDAPATAN PETANI TRANSMIGRASI DI DAERAH JAMBI PROSPEK PENGEMBANGAN UBIKAYU DALAM KAITANNYA DENGAN USAHA PENINGKATAN PENDAPATAN PETANI TRANSMIGRASI DI DAERAH JAMBI Oleh: Aladin Nasution*) - Abstrak Pada dasarnya pembangunan pertanian di daerah transmigrasi

Lebih terperinci

V. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

V. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN V. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Alasan Petani Tebu Kabupaten Ngawi Menjadi Mitra Usaha Pabrik Gula Rejo Agung Barudi Kota Madiun Berdasarkan hasil wawancara dengan 30 Petani yang menjadi responden

Lebih terperinci

Sosialisasi Undang-Undang 41/2009 beserta Peraturan Perundangan Turunannya

Sosialisasi Undang-Undang 41/2009 beserta Peraturan Perundangan Turunannya Sosialisasi Undang-Undang 41/2009 beserta Peraturan Perundangan Turunannya Latar Belakang Permasalahan yang menghadang Upaya pencapaian 10 juta ton surplus beras di tahun 2014 : Alih fungsi lahan sawah

Lebih terperinci

BUPATI PATI PROVINSI JAWA TENGAH PERATURAN BUPATI PATI NOMOR 18 TAHUN 2017 TENTANG PENGELOLAAN CADANGAN PANGAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

BUPATI PATI PROVINSI JAWA TENGAH PERATURAN BUPATI PATI NOMOR 18 TAHUN 2017 TENTANG PENGELOLAAN CADANGAN PANGAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA SALINAN BUPATI PATI PROVINSI JAWA TENGAH PERATURAN BUPATI PATI NOMOR 18 TAHUN 2017 TENTANG PENGELOLAAN CADANGAN PANGAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI PATI, Menimbang : a. bahwa dalam rangka meningkatkan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia merupakan salah satu negara agraris di dunia, dimana sektor

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia merupakan salah satu negara agraris di dunia, dimana sektor BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia merupakan salah satu negara agraris di dunia, dimana sektor pertanian masih menjadi mata pencaharian umum dari masyarakat Indonesia. Baik di sektor hulu seperti

Lebih terperinci

PENDAHULUAN Latar Belakang

PENDAHULUAN Latar Belakang PENDAHULUAN Latar Belakang Bagi negara-negara yang sedang berkembang, termasuk Indonesia, pembangunan pertanian pada abad ke-21 selain bertujuan untuk mengembangkan sistem pertanian yang berkelanjutan

Lebih terperinci

Bab IV Alih Fungsi Lahan Pertanian dan Pengaruhnya Terhadap Ketahanan Pangan

Bab IV Alih Fungsi Lahan Pertanian dan Pengaruhnya Terhadap Ketahanan Pangan 122 Bab IV Alih Fungsi Lahan Pertanian dan Pengaruhnya Terhadap Ketahanan Pangan IV.1 Kondisi/Status Luas Lahan Sawah dan Perubahannya Lahan pertanian secara umum terdiri atas lahan kering (non sawah)

Lebih terperinci

BAB 5 ARAHAN PENGEMBANGAN USAHA TAPE KETAN SEBAGAI MOTOR PENGGERAK PENGEMBANGAN EKONOMI LOKAL

BAB 5 ARAHAN PENGEMBANGAN USAHA TAPE KETAN SEBAGAI MOTOR PENGGERAK PENGEMBANGAN EKONOMI LOKAL BAB 5 ARAHAN PENGEMBANGAN USAHA TAPE KETAN SEBAGAI MOTOR PENGGERAK PENGEMBANGAN EKONOMI LOKAL Dalam bab ini, akan dijelaskan mengenai temuan studi, kesimpulan serta rekomendasi pengembangan usaha tape

Lebih terperinci

BAB V GAMBARAN UMUM DAERAH PENELITIAN. Desa Banjar termasuk salah satu wilayah di Kecamatan Banjar Kabupaten

BAB V GAMBARAN UMUM DAERAH PENELITIAN. Desa Banjar termasuk salah satu wilayah di Kecamatan Banjar Kabupaten BAB V GAMBARAN UMUM DAERAH PENELITIAN 5.1 Letak Geografis Desa Banjar termasuk salah satu wilayah di Kecamatan Banjar Kabupaten Buleleng dengan jarak kurang lebih 18 km dari ibu kota Kabupaten Buleleng

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Peranan sektor pertanian dalam pembangunan di Indonesia tidak perlu diragukan lagi. Garis Besar Haluan Negara (GBHN) telah memberikan amanat bahwa prioritas pembangunan

Lebih terperinci

INSTRUKSI PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 3 TAHUN 2007 TENTANG KEBIJAKAN PERBERASAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

INSTRUKSI PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 3 TAHUN 2007 TENTANG KEBIJAKAN PERBERASAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, INSTRUKSI PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 3 TAHUN 2007 TENTANG KEBIJAKAN PERBERASAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa dalam rangka meningkatkan pendapatan petani, peningkatan ketahanan

Lebih terperinci

PROPOSAL PEMBANGUNAN GUDANG SRG BESERTA FASILITAS PENDUKUNGNYA DALAM RANGKA PERCEPATAN IMPLEMENTASI SISTEM RESI GUDANG DI KABUPATEN LAMPUNG BARAT

PROPOSAL PEMBANGUNAN GUDANG SRG BESERTA FASILITAS PENDUKUNGNYA DALAM RANGKA PERCEPATAN IMPLEMENTASI SISTEM RESI GUDANG DI KABUPATEN LAMPUNG BARAT PROPOSAL PEMBANGUNAN GUDANG SRG BESERTA FASILITAS PENDUKUNGNYA DALAM RANGKA PERCEPATAN IMPLEMENTASI SISTEM RESI GUDANG DI KABUPATEN LAMPUNG BARAT PEMERINTAH DAERAH KABUPATEN LAMPUNG BARAT TAHUN 2016 BUPATI

Lebih terperinci

Upaya Peningkatan Produksi dan Produktivitas Gula dalam Perspektif Perusahaan Perkebunan Negara

Upaya Peningkatan Produksi dan Produktivitas Gula dalam Perspektif Perusahaan Perkebunan Negara Upaya Peningkatan Produksi dan Produktivitas Gula dalam Perspektif Perusahaan Perkebunan Negara Oleh : Adi Prasongko (Dir Utama) Disampaikan : Slamet Poerwadi (Dir Produksi) Bogor, 28 Oktober 2013 1 ROAD

Lebih terperinci

LAPORAN AKHIR REVITALISASI SISTEM DAN USAHA AGRIBISNIS GULA

LAPORAN AKHIR REVITALISASI SISTEM DAN USAHA AGRIBISNIS GULA LAPORAN AKHIR REVITALISASI SISTEM DAN USAHA AGRIBISNIS GULA Oleh: A. Husni Malian Erna Maria Lokollo Mewa Ariani Kurnia Suci Indraningsih Andi Askin Amar K. Zakaria Juni Hestina PUSAT PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN

Lebih terperinci

BUPATI BULUKUMBA PROVINSI SULAWESI SELATAN PERATURAN BUPATI BULUKUMBA NOMOR 42 TAHUN 2017 TENTANG

BUPATI BULUKUMBA PROVINSI SULAWESI SELATAN PERATURAN BUPATI BULUKUMBA NOMOR 42 TAHUN 2017 TENTANG BUPATI BULUKUMBA PROVINSI SULAWESI SELATAN PERATURAN BUPATI BULUKUMBA NOMOR 42 TAHUN 2017 TENTANG PENGELOLAAN CADANGAN PANGAN PEMERINTAH DAERAH DAN CADANGAN PANGAN MASYARAKAT KABUPATEN BULUKUMBA DENGAN

Lebih terperinci

Potensi Efektivitas Asuransi Pertanian Terhadap Pendapatan Bersih Petani Cabai Besar Kabupaten Garut

Potensi Efektivitas Asuransi Pertanian Terhadap Pendapatan Bersih Petani Cabai Besar Kabupaten Garut Potensi Efektivitas Asuransi Pertanian Terhadap Pendapatan Bersih Petani Cabai Besar Kabupaten Garut Yohanes Andika Tj. 2013110060 Al Faisal Mulk 2013110067 M. Ibnu Haris 2014110011 Abstrak Kebijakan asuransi

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Jawa Barat merupakan salah satu sentra produksi tanaman bahan makanan di

I. PENDAHULUAN. Jawa Barat merupakan salah satu sentra produksi tanaman bahan makanan di I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Indonesia merupakan negara agraris yang memiliki lahan pertanian yang sangat luas dan sebagian besar penduduknya bermatapencaharian sebagai petani. Jawa Barat merupakan

Lebih terperinci