BAB II KAJIAN PUSTAKA

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "BAB II KAJIAN PUSTAKA"

Transkripsi

1 BAB II KAJIAN PUSTAKA A. Kajian Teori 1. Anak Berkebutuhan Khusus Istilah Anak Berkebutuhan Khusus (ABK) merujuk pada anak yang memiliki kesulitan atau ketidakmampuan belajar yang membuatnya sulit untuk belajar atau mengakses pendidikan dibandingkan kebanyakan anak seusianya (Thompson, 2014:2). Anak-anak berkebutuhan khusus, seperti anak tunanetra, tunarungu, tunagrahita, tunalaras, tunadaksa, dan anak berkesulitan belajar, serta anak dengan kecacatan ganda merupakan anak yang relatif mengalami hambatan dalam perkembangan, maupun dalam kariernya. Berbagai macam problem sering dihadapi mereka, baik problem dibidang akademik, psikologis, maupun problem-problem sosial (Suharmini, 2009: 1). Anak berkebutuhan khusus memiliki karakteristik yang berbeda antara satu dengan yang lainnya. Delphie (2006: 1) mengatakan di negara Indonesia, anak berkebutuhan khusus yang mempunyai gangguan perkembangan dan telah diberikan layanan antara lain sebagai berikut: a. Anak yang mengalami hendaya (impairment) penglihatan (tunanetra), khususnya anak buta dimana seseorang tidak dapat menggunakan indera penglihatannya untuk mengikuti segala kegiatan belajar maupun kehidupan sehari-hari. Umumnya kegiatan belajar dilakukan dengan rabaan atau taktil karena kemampuan indera raba sangat menonjol untuk menggantikan indera penglihatan. b. Anak dengan hendaya pendengaran dan bicara (tunarungu wicara), pada umumnya mereka mempunyai hambatan pendengaran dan kesulitan melakukan komunikasi secara lisan dengan orang lain. c. Anak dengan hendaya perkembangan kemampuan (tunagrahita), memiliki problema belajar yang disebabkan adanya hambatan perkembangan inteligensi, mental, emosi, sosial, dan fisik. d. Anak dengan hendaya kondisi fisik atau motorik (tunadaksa). Secara medis dinyatakan bahwa mereka mengalami kelainan pada tulang, persendian, dan saraf penggerak otot- 5

2 otot tubuhnya, sehingga digolongkan sebagai anak yang membutuhkan layanan khusus pada gerak anggota tubuhnya. e. Anak dengan hendaya perilaku maladjustment. Anak yang berperilaku maladjustment sering disebut dengan anak tunalaras. Karakteristik yang menonjol antara lain sering membuat keonaran secara berlebihan, dan bertendensi kearah perilaku kriminal. f. Anak dengan hendaya autism (autistic children). Anak autistik mempunyai kelainan ketidakmampuan berbahasa. Hal ini diakibatkan oleh adanya cedera pada otak. Kelainan pada anak autistik meliputi kelainan berbicara, kelainan fungsi saraf dan intelektual, serta perilaku ganjil. g. Anak dengan hendaya hiperaktif (attention deficit disorder with hyperactive). Hyperactive bukan merupakan penyakit tetapi suatu gejala atau symptoms. Ciri-ciri yang dapat dilihat antara lain selalu berjalan, tidak mau diam, suka mengganggu teman, suka berpindah-pindah, sulit berkonsentrasi, sulit mengikuti perintah atau suruhan, bermasalah dalam belajar, dan kurang atensi terhadap pelajaran. h. Anak dengan hendaya belajar (learning disability). Istilah ini ditujukan pada siswa yang mempunyai prestasi rendah dalam bidang akademik tertentu, seperti membaca, menulis dan kemampuan matematika. i. Anak dengan hendaya kelainan perkembangan ganda (multi handicapped and developmentally disabled children). Sering disebut dengan istilah tunaganda yang mempunyai kelainan perkembangan mencakup hambatan-hambatan perkembangan neurologis. 2. Tunagrahita Anak penyandang tunagrahita memiliki karakteristik yang berbeda dibanding dengan anak-anak normal seusianya. Dalam beberapa referensi, ada beberapa istilah untuk menyebut anak tunagrahita, diantaranya adalah mental illness, mental retardation, mental retarded, mental deficiency, mentally defective, mentally handicapped, mental sub normality, feeblemindedness, oligophrenia, amentia, gangguan intelektual, dan terbelakang mental, anak dengan hendaya perkembangan kemampuan, dll. Delphie (2006: 2), mengatakan bahwa anak dengan hendaya perkembangan kemampuan (tunagrahita), memiliki masalah belajar yang disebabkan adanya hambatan 6

3 perkembangan intelegensi, mental, sosial dan fisik. Delphie (2006: 15) juga menambahkan, anak tunagrahita secara umum mempunyai tingkat kemampuan intelektual di bawah rerata. Seseorang dikategorikan berkelainan mental subnormal atau tunagrahita, jika ia memiliki kecerdasan yang sedemikian rendahnya (di bawah normal), sehingga untuk meniti tugas perkembangannya memerlukan bantuan atau layanan spesifik, termasuk dalam program pendidikannya (Bratanata dalam Efendi, 2009: 88). Berdasarkan beberapa definisi di atas, dapat disimpulkan bahwa tunagrahita adalah cacat mental dimana seseorang memiliki kemampuan intelektual yang sangat kurang dan dibuktikan dengan IQ (kemampuan kognitif) mereka dibawah rata-rata normal, sehingga dalam melakukan aktivitas dan perkembangannya memerlukan bantuan khusus dari orang lain. Karakteristik anak dengan tunagrahita menurut Delphie (2006: 17) meliputi hal-hal berikut ini. a. Mempunyai dasar secara fisiologis, sosial dan emosional sama seperti anak-anak yang tidak menyandang tunagrahita. b. Selalu besifat eksternal locus of control sehingga mudah sekali melakukan kesalahan (expectancy for filure). c. Suka meniru perilaku yang benar dari orang lain dalam upaya mengatasi kesalahankesalahan yang mungkin ia lakukan (outerdirectedness). d. Mempunyai perilaku yang tidak dapat mengatur diri sendiri. e. Mempunyai permasalahan berkaitan dengan perilaku sosial (social behavioral). f. Mempunyai masalah berkaitan dengan karakteristik belajar. g. Mempunyai masalah dalam bahasa dan pengucapan. h. Mempunyai masalah dalam kesehatan fisik. i. Kurang mampu untuk berkomunikasi. j. Mempunyai kelainan pada sensori dan gerak. k. Mempunyai masalah berkaitan dengan psikiatrik, adanya gejala-gejala depresif. Berbagai cara digunakan oleh para ahli dalam mengklasifikasikan anak tunagrahita. Efendi (2009: 88-89) menguraikan klasifikasi menurut tinjauan profesi dokter, pekerja sosial, psikolog, dan pedagog. Seorang dokter mengklasifikasikan anak tunagrahita didasarkan tipe kelainan fisiknya, seperti mongoloid, microcephalon, cretism, dll. Pekerja 7

4 sosial mengklasifikasikan anak tunagrahita didasarkan pada derajat kemampuan menyesuaikan diri atau ketidaktergantungan pada orang lain, sehingga untuk menentukan berat-ringannya ketergantungan dilihat dari tingkatan penyesuaiannya, seperti tidak tergantung, semi tergantung, atau sama sekali tidak tergantung pada orang lain. Psikolog mengklasifikasikan anak tunagrahita didasarkan pada aspek indeks mental intelegensinya, indikasinya dapat dilihat pada angka hasil tes kecerdasan (IQ). Seorang pedagog dalam mengklasifikasikan anak tunagrahita didasarkan pada penilaian program pendidikan yang disajikan pada anak, yaitu anak tunagrahita mampu didik, mampu latih, dan mampu rawat. Berdasarkan hasil tes intelegensi-nya (tes IQ), anak tunagrahita dapat diklasifikasikan menjadi beberapa kelompok. Somantri (2006: ) mengelompokkannya sebagai berikut: a. Tunagrahita ringan Tunagrahita ringan disebut juga moron atau debil. Kelompok ini memiliki IQ antara menurut skala Binet, sedangkan menurut Skala Weschler (WISC) memiliki IQ Mereka masih bisa belajar membaca, menulis, dan berhitung sederhana. Dengan bimbingan dan pendidikan yang baik, anak terbelakang mental ringan pada saatnya akan dapat memperoleh penghasilan untuk dirinya sendiri. Mereka juga dapat dididik menjadi tenaga kerja semi-skilled (petani, peternak, pekerjaan rumah tangga, dll). Namun demikian, mereka tidak mampu melakukan penyesuaian sosial secara independen. Secara fisik, anak tunagrahita tampak seperti anak normal pada umumnya sehingga sedikit sukar untuk membedakan secara fisik antara anak tunagrahita ringan dengan anak normal. b. Tunagrahita sedang Anak tunagrahita sedang disebut imbesil. Kelompok ini memiliki IQ pada Skala Binet dan pada skala Weschler (WISC). Mereka dapat dididik mengurusi diri sendiri dari bahaya seperti menghindari kebakaran, berjalan di jalan raya, berlindung dari hujan, dan sebagainya. Anak tunagrahita sedang sangat sulit bahkan tidak dapat belajar akademik seperti belajar menulis, membaca, dan berhitung walaupun mereka masih dapat menulis secara sosial, seperti menulis namanya sendiri, alamat rumahnya, dll. Mereka juga dapat dididik mengurus diri, seperti mandi, berpakaian, makan, minum, dsb. Anak tunagrahita sedang dalam kehidupan sehari- 8

5 hari, membutuhkan pengawasan yang terus menerus. Mereka juga masih dapat bekerja di tempat kerja terlindung (sheltered workshop). c. Tunagrahita berat Anak tunagrahita berat sering disebut idiot. Kelompok ini dapat dibedakan lagi antara anak tunagrahita berat dan sangat berat. Tunagrahita berat (severe) memilik IQ menurut skala Binet dan antara menurut skala Weschler (WISC). Tunagrahita sangat berat (profound) memiliki IQ di bawah 19 menurut skala Binet dan IQ di bawah 24 menurt skala Weschler (WISC). Anak tunagrahita berat memerlukan bantuan perawatan secara total dalam hal berpakaian, mandi, makan, dll. Bahkan mereka memerlukan perlindungan dari bahaya sepanjang hidupnya. Tabel 1. Klasifikasi Anak Tunagrahita Berdasarkan Derajat Keterbelakangannya Level Keterbelakangan Sumber: Blake dalam Somantri (2006:108) Stanford Binet IQ Skala Weschler Ringan Sedang Berat Sangat Berat > 19 > 24 Pendapat berbeda juga dikemukakan oleh Efendi (2009: 90) yang mengklasifikasikan anak tunagrahita kedalam beberapa klasifikasi berdasarkan pada penilaian program pendidikan yang disajikan, sebagai berikut: a. Tunagrahita mampu didik (debil, IQ 50-75) adalah anak tunagrahita yang tidak mampu mengikuti pada program sekolah biasa, tetapi ia masih memiliki kemampuan yang dapat dikembangkan melalui pendidikan walaupun hasilnya tidak maksimal. Kemampuan yang dapat dikembangkannya antara lain membaca, menulis, mengeja, berhitung, menyesuaikan diri dan tidak menggantungkan diri pada orang lain, serta kemampuan sederhana untuk kepentingan kerja di kemudian hari. Jadi, anak 9

6 tunagrahatia mampu didik berarti anak tunagrahita yang dapat dididik secara minimal dalam bidang-bidang akademis, sosial, dan pekerjaan. b. Anak tunagrahita mampu latih (imbecil, IQ 25-50), adalah anak tunagrahita yang memiliki kecerdasan sedemikian rendahnya sehingga tidak mungkin untuk mengikuti program yang diperuntukkan bagi anak tunagrahita mampu didik. Beberapa kemampuan anak tunagrahita mampu latih yang perlu diberdayakan, yaitu belajar mengurus diri sendiri, belajar menyesuaikan di lingkungan rumah atau sekitarnya, dll. Jadi, anak tunagrahita mampu latih berarti anak tunagrahita hanya dapat dilatih untuk mengurus diri sendiri melalui aktivitas kehidupan sehari-hari, serta melakukan fungsi sosial kemasyarakatan menurut kemampuannya. c. Anak tunagrahita mampu rawat (idiot, IQ 0-25), adalah anak tunagrahita yang memiliki kecerdasan sangat rendah sehingga tidak mampu mengurus diri sendiri atau sosialisasi. Untuk mengurus diri sendiri sangat membutuhkan orang lain dengan kata lain, anak tunagrahita mampu rawat adalah anak tunagrahita yang membutuhkan perawatan sepenuhnya sepanjang hidupnya, karena ia tidak mampu terus hidup tanpa bantuan orang lain. 3. Soal Cerita Menurut Mampouw, dkk, soal cerita adalah situasi yang dinyatakan secara hipotetik menggunakan kata-kata. Di dalam matematika, soal cerita yang dinyatakan secara verbal diterjemahkan ke dalam bahasa matematika. Menemukan nilai, mendefinisikan variabel, memilih operasi hitung, menentukan formula, membuat ilustrasi gambar, bagan dan menetapkan langkah solusi adalah contoh-contoh bahasa matematika. Tidak semua anak yang paham dan hafal mengenai perkalian dapat dengan mudah mengerjakan perkalian dalam bentuk soal cerita. Aktivitas menemukan solusi soal cerita adalah bagian dari cara siswa berlatih dan meningkatkan kemampuan berpikir logis, analitis, sistematis, kritis, dan kreatif. Untuk bisa memahami soal cerita, dapat mengaplikasikan konsep teori Bruner. Menurut Bruner (dalam Hudojo, 1990:48), belajar matematika adalah belajar mengenai konsep-konsep dan struktur-struktur matematika yang terdapat dalam materi 10

7 yang dipelajari serta mencari hubungan antara konsep-konsep dan struktur-struktur matematika itu. Bruner melalui teorinya mengungkapkan bahwa dalam proses belajar anak baiknya diberi kesempatan untuk memanipulasi benda-benda atau alat peraga yang dirancang secara khusus dan dapat digunakan oleh siswa untuk memahami suatu konsep matematika. Proses pembelajaran yang diterapkan oleh Bruner akan terjadi secara optimal bila memenuhi 3 tahap berikut: a. Tahap Enaktif Dalam tahap ini individu melakukan aktivitas-aktivitas dalam upayanya memahami lingkungan sekitarnya atau memanipulasi objek sekitar. b. Tahap ikonik Individu memahami objek-objek atau dunianya melalui gambar dan visualisasi verbal. Memahami lingkungan sekitar dengan bentuk perumpamaan dan perbandingan. c. Tahap Simbolik Tahap ini, individu telah mampu memiliki ide atau gagasan abstrak yang dipengaruhi oleh kemampuannya dalam berbahasa dan logika. Memahami lingkungan sekitar dengan simbol-simbol yang ada. Ketiga tahapan tersebut dapat diaplikasikan bagi siswa yang kesulitan memahami soal cerita. Tahap yang paling sulit adalah tahap simbolik dimana siswa dituntut untuk memahami soal cerita hanya dengan membaca soal saja. Jika siswa belum bisa memahami soal cerita tersebut, siswa diberikan gambar atau visualisasi verbal (tahap ikonik). Apabila siswa masih mengalami kesulitan dalam memahami soal cerita, diberikan benda nyata yang memberikan gambaran dari soal cerita tersebut (tahap enaktif). 4. Perkalian Perkalian adalah salah satu operasi hitung dasar matematika yang dipelajari di bangku Sekolah Dasar selain penjumlahan, pengurangan, dan pembagian. Ensiklopedia Matematika mendefinisikan perkalian sebagai berikut: Jika a dan b bilangan-bilangan cacah, maka a b adalah penjumlahan berulang yang mempunyai a suku, dan tiap suku sama dengan b. Operasi Perkalian yang diaplikasikan pada soal cerita dibagi menjadi beberapa tipe. Pascual-Leone (Ferrari, 2010: 62) membaginya menjadi 3 tipe, yaitu: 11

8 a. Scalar Multiplication Scalar multiplication berlaku pada situasi dimana ada beberapa kelompok objek-objek yang memiliki jumlah yang sama di setiap kelompoknya. Pascual-Leone menuliskan contoh soal sebagai berikut: Three children have four cookies each. How many cookies do they have altogether?. Ia juga memberikan contoh lain Today at my store 1 candy costs 5 cents. How much will 3 candies cost?. b. Array Multiplication (a type of Cartesian Problem) Untuk memahami tipe perkalian ini, seseorang harus dapat memvisualisasikan/membayangkan 2 nilai yang berbeda dalam permasalahan ini ke dalam bentuk kolom dan baris serta tampilan yang diciptakan dari 2 dimensi tersebut. Pascual-Leone memberikan contoh soal We are baking cookies. If we can fit 5 cookies along the long side of the tray and 3 cookies along the short side of the tray, how many cookies can we bake on the tray?. Untuk mengkonsepsikan masalah ini sebagai Array Problem, seseorang harus mengenali bahwa jumlah pada satu sisi itu (misalnya 5 roti) konstan untuk pengulangan yang yang diindikasikan oleh jumlah yang lain (misalnya 3 roti). Tipe ini berhubungan dengan kesatuan 2 dimensi yang tetap dan tidak berubah. c. Combinatorial Multiplication (a type of Cartesian problem) Combinatorial multiplication melibatkan pembentukan sebuah satuan komposit (gabungan) baru (atau unit) dari dua satuan yang berbeda dan lebih sederhana. Unit baru yang dibentuk dari dua unit yang berbeda itu secara semantik berbeda jika dibandingkan dengan unit asalnya. Contoh dalam tipe ini adalah Brian has 6 shirts and 3 pairs of pants. How many different outfits can he make with all his shirts and pants?. Menyelesaikan variasi-variasi masalah perkalian membantu siswa untuk memahami bagaimana operasi perkalian dapat diaplikasikan dalam situasi yang berbeda. Ontario Education dalam buku Number Sense and Numeration, Grades 4 to 6 volume 3 Multiplication (2006: 13) juga menjelaskan mengenai tipe-tipe perkalian. Tipe perkalian dalam buku ini sedikit berbeda dengan tipe-tipe menurut Pascual-Leone. Tipe-tipe tersebut yaitu: a. Equal-Group Problems 12

9 Equal-group problems melibatkan penggabungan himpunan-himpunan/kelompokkelompok yang memiliki ukuran sama. Contoh: In a classroom, each work basket contains 5 markers. if there are 6 work baskets, how many markers are there?, Kendra bought 4 packs of stickers. Each pack cost $1.19. how much did she pay?. b. Multiplicative-Comparison Problem Multiplicative-comparison melibatkan perbandingan dua bilangan dimana salah satunya adalah kelipatan bilangan lainnya. Contoh: Luke s dad is four times older than Luke is. If Luke is 9 years old, how old is his dad?, Felipe s older sister is trying to save money. This month she saved 5 times as much money as she did last month. Last month she saved $5.70. How much did she save this month?. c. Array Multiplication Dalam array multiplication, angka di setiap baris mewakili satu dari faktor-faktor yang ada dalam perkalian, sedangkan angka dari kolom-kolom mewakili factor lainnya. Contoh: Amy s uncle has a large stamp collection. Her uncle displayed all his stamps from Australia on a large sheet of paper. Amy noticed that there were 8 rows of stamps with 12 stamps in each row. How many Australian stamps are there?. Meskipun siswa-siswa telah mempelajari perkalian beserta aplikasi dalam bentuk soal cerita sejak bangku sekolah dasar, namun mereka tidak diajarkan mengenai tipe-tipe perkalian ini. Dalam penelitian ini, penulis mengacu pendapat Pascual-Leone, yang menyebutkan 3 tipe perkalian yaitu Scalar Multiplication, Array Multiplication, dan Combinatorial Multiplication. B. Penelitian yang Relevan Terdapat beberapa penelitian yang berkaitan dengan siswa tunagrahita dan pembelajaran operasi hitung perkalian yang telah dilakukan. Salah satunya adalah penelitian yang dilakukan oleh Sri Hartati pada tahun 2009 yang menyimpulkan bahwa dengan media pembelajaran permainan kartu dapat meningkatkan prestasi belajar matematika bagi anak tunagrahita kelas D1/C SLB.B-C YPA ALB Langenharjo tahun ajaran 2008/2009. Dengan media permainan kartu maka materi pelajaran matematika akan menjadi lebih menarik bagi anak tunagrahita, karena permainan merupakan sesuatu yang disukai anak anak. Sehingga dengan melalui 13

10 permainan kartu anak tunagrahita akan lebih mudah dalam mengingat materi pelajaran matematika. Ranu Fitra Pradhitya juga telah melakukan penelitian mengenai profil berpikir geometri siswa tunagrahita berdasarkan tingkatan van Hiele di SMPLB Negeri Salatiga (2015) dan menyimpulkan bahwa ketiga siswa tunagrahita cenderung memiliki kemampuan yang sama dalam berpikir geometri. Ketiga siswa dapat mencapai tingkat satu (visualisasi) berdasarkan tingkatan berpikir geometri van Hiele, namun terbatas pada bentuk-bentuk bangun geometri yang dipahami atau dikenalnya. Penelitian lain juga telah dilakukan oleh Jhoni Hendra (2012) mengenai kemampuan operasi hitung penjumlahan dengan pembelajaran matematika realistik pada anak tunagrahita sedang. Penelitian ini menyimpulkan bahwa terdapat peningkatan terhadap kemampuan penjumlahan pada anak tunagrahita dengan pembelajaran matematika realistik. I Ketut Yarta (2010) juga telah melakukan penelitian mengenai peningkatan kemampuan belajar matematika melalui permainan memancing pada anak tunagrahita sedang (C1) kelas dasar V di SLB/C Kemala Bhayangkari Tabanan. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa ada peningkatan kemampuan belajar matematika melalui permainan memancing. Poulomee Datta (2014) dalam penelitiannya mengenai Test Anxiety Research: Students with Vision Impairments and Students with Mild Intellectual Disabilities menghasilkan siswa dengan gangguan penglihatan lebih tinggi physical reactions (emotionality) daripada cognitive fears (worry), sedangkan bagi anak tunagrahita kebalikannya. R. Sermier Dessemontet, dkk (2012) yang melakukan penelitian mengenai Effects of inclusion on the academic achievement and adaptive behaviour of children with intellectual disabilities ini menyimpulkan bahwa Pendidikan inklusif merupakan pendidikan yang tepat bagi murid tunagrahita di bangku Sekolah Dasar yang memerlukan dukungan yang mendalam. 14

BAB II KAJIAN PUSTAKA. merupakan operasional (supplement dan complements) kurikulum, yang perlu

BAB II KAJIAN PUSTAKA. merupakan operasional (supplement dan complements) kurikulum, yang perlu BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Kajian Teori 1. Ekstrakurikuler a) Pengertian Ekstrakurikuler Kegiatan ekstrakurikuler adalah program kulikuler yang alokasi waktunya tidak ditetapkan dalam kurikulum. Jelasnya

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. kepada sekolah, keluarga, serta masyarakat.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. kepada sekolah, keluarga, serta masyarakat. BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Konsep Bimbingan Konseling 1. Pengertian Bimbingan Menurut Miler (dalam Junardi dkk, 1993) bimbangan adalah proses bantuan terhadap individu untuk mencapai pemahaman dan pengarahan

Lebih terperinci

BAB I. sosialnya sehingga mereka dapat hidup dalam lingkungan sekitarnya. Melalui

BAB I. sosialnya sehingga mereka dapat hidup dalam lingkungan sekitarnya. Melalui BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pendidikan merupakan suatu usaha untuk membantu perkembangan anak supaya lebih progresif baik dalam perkembangan akademik maupun emosi sosialnya sehingga mereka dapat

Lebih terperinci

SEMINAR TENTANG ABK DISAMPAIKAN DALAM RANGKA KAB. BANDUNG BARAT (10 MEI 2008) OLEH: NIA SUTISNA, DRS. M.Si

SEMINAR TENTANG ABK DISAMPAIKAN DALAM RANGKA KAB. BANDUNG BARAT (10 MEI 2008) OLEH: NIA SUTISNA, DRS. M.Si SEMINAR TENTANG ABK DISAMPAIKAN DALAM RANGKA PELANTIKAN PENGURUS BPOC KAB. BANDUNG BARAT (10 MEI 2008) OLEH: NIA SUTISNA, DRS. M.Si ANAK BERKEBUTUHAN KHUSUS (CHILDREN WITH SPECIAL NEEDS) ABK: ANAK YG MEMPUNYAI

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pendidikan di Indonesia merupakan suatu hal yang wajib ditempuh oleh semua warga negara.

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pendidikan di Indonesia merupakan suatu hal yang wajib ditempuh oleh semua warga negara. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pendidikan di Indonesia merupakan suatu hal yang wajib ditempuh oleh semua warga negara. Pendidikan di Indonesia telah memasuki tahap pembaruan dimana pendidikan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. Keadaan disabilitas yang adalah keterbatasan fisik, kecacatan baik fisik maupun mental, serta berkebutuhan

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. Keadaan disabilitas yang adalah keterbatasan fisik, kecacatan baik fisik maupun mental, serta berkebutuhan BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Keadaan disabilitas yang adalah keterbatasan fisik, kecacatan baik fisik maupun mental, serta berkebutuhan khusus dapat dialami oleh setiap individu. Menurut Riset

Lebih terperinci

Bagaimana? Apa? Mengapa?

Bagaimana? Apa? Mengapa? ANAK BERKEBUTUHAN KHUSUS ( A B K ) Bagaimana? Apa? Mengapa? PENGERTIAN ANAK BERKEBUTUHAN KHUSUS ( A B K ) Anak Berkebutuhan Khusus adalah anak yang dalam pendidikan memerlukan pelayanan yang spesifik,

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN PUSTAKA. dan proses-proses sosial di dalam masyarakat (Bungin 2006: 48). Dalam lembaga

BAB II KAJIAN PUSTAKA. dan proses-proses sosial di dalam masyarakat (Bungin 2006: 48). Dalam lembaga BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Lembaga Sosial Lembaga sosial adalah sekumpulan tata aturan yang mengatur interaksi dan proses-proses sosial di dalam masyarakat (Bungin 2006: 48). Dalam lembaga sosial ini ada

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. adanya diskriminasi termasuk anak-anak yang mempunyai kelainan atau anak

BAB I PENDAHULUAN. adanya diskriminasi termasuk anak-anak yang mempunyai kelainan atau anak BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Pendidikan merupakan kebutuhan dasar setiap manusia agar mampu menjamin keberlangsungan hidupnya agar lebih bermartabat. Karena itu negara memiliki kewajiban

Lebih terperinci

PENDIDIKAN ANAK BERKEBUTUHAN KHUSUS

PENDIDIKAN ANAK BERKEBUTUHAN KHUSUS PENDIDIKAN ANAK BERKEBUTUHAN KHUSUS Sitriah Salim Utina IAIN Sultan Amai Gorontalo ABSTRAK Pendidikan merupakan hak setiap warga Negara, tanpa ada pengecualian. Pendidikan merupakan suatu wadah bagi setiap

Lebih terperinci

PENDIDIKAN KHUSUS LANDASAN YURIDIS

PENDIDIKAN KHUSUS LANDASAN YURIDIS PENDIDIKAN KHUSUS LANDASAN YURIDIS UU No.20 Thn.2003 Sistem Pendidikan Nasional Pasal 5 Ayat (2) : Warga Negara yang mempunyai kelainan fisik, emosional, mental, intelektual, dan atau sosial berhak memperoleh

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN TEORI DAN KERANGKA PIKIR. mentally defective, mentally handicapped, mental subnormality,

BAB II KAJIAN TEORI DAN KERANGKA PIKIR. mentally defective, mentally handicapped, mental subnormality, BAB II KAJIAN TEORI DAN KERANGKA PIKIR A. Kerangka Teori 1. Anak Tunagrahita Ada beberapa istilah untuk menyebut anak tunagrahita, yaitu mental illness, mental retardation, mental retarded, mental deficiency,

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Pendidikan di Indonesia tidak hanya diperuntukkan bagi anak- anak yang

BAB 1 PENDAHULUAN. Pendidikan di Indonesia tidak hanya diperuntukkan bagi anak- anak yang BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Pendidikan di Indonesia tidak hanya diperuntukkan bagi anak- anak yang normal saja, tetapi juga untuk anak yang berkebutuhan khusus. Oleh karena itu pemerintah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG MASALAH. Tubuh manusia mengalami berbagai perubahan dari waktu kewaktu

BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG MASALAH. Tubuh manusia mengalami berbagai perubahan dari waktu kewaktu 1 BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG MASALAH Tubuh manusia mengalami berbagai perubahan dari waktu kewaktu sejak lahir yang meliputi pertumbuhan dan perkembangan. Perubahan yang cukup mencolok terjadi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Peraturan Mentri Pendidikan Nasional RI nomor 22 dan 23 tahun 2006.

BAB I PENDAHULUAN. Peraturan Mentri Pendidikan Nasional RI nomor 22 dan 23 tahun 2006. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Dengan adanya Undang-Undang No 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional RI dan Peraturan Pemerintah RI No 19 tahun 2005, dapat ditetapkan dengan Permendiknas

Lebih terperinci

PENDIDIKAN KHUSUS & PENDIDIKAN LAYANAN KHUSUS

PENDIDIKAN KHUSUS & PENDIDIKAN LAYANAN KHUSUS PENDIDIKAN KHUSUS & PENDIDIKAN LAYANAN KHUSUS HERRY WIDYASTONO Kepala Bidang Kurikulum Pendidikan Khusus PUSAT KURIKULUM BADAN PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN DEPARTEMEN PENDIDIKAN NASIONAL 6/9/2010 Herry

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. dalam Taylor 2009). Menurut Croker, Kowalski, dan Graham dalam

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. dalam Taylor 2009). Menurut Croker, Kowalski, dan Graham dalam BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Strategi Coping 1. Pengertian Coping Dan Strategi Coping Coping adalah proses untuk menata tuntutan yang dianggap membebani atau melebihi kemampuan sumber daya kita (Lazarus

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pada dasarnya setiap anak berpotensi mengalami masalah dalam belajar,

BAB I PENDAHULUAN. Pada dasarnya setiap anak berpotensi mengalami masalah dalam belajar, 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pada dasarnya setiap anak berpotensi mengalami masalah dalam belajar, hanya saja masalah tersebut ada yang ringan dan ada juga yang masalah pembelajarannya

Lebih terperinci

LAYANAN PSIKOLOGIS UNTUK SISWA BERKEBUTUHAN KHUSUS. Komarudin Fakultas Ilmu Keolahragaan Universitas Negeri Yogyakarta

LAYANAN PSIKOLOGIS UNTUK SISWA BERKEBUTUHAN KHUSUS. Komarudin Fakultas Ilmu Keolahragaan Universitas Negeri Yogyakarta LAYANAN PSIKOLOGIS UNTUK SISWA BERKEBUTUHAN KHUSUS Komarudin Fakultas Ilmu Keolahragaan Universitas Negeri Yogyakarta Permasalahan Sekolah memberikan perlakuan yang sama dan bersifat klasikal kepada semua

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN TEORITIS Kesejahteraan Psikologis (Psycological Well Being) Pengertian Kesejahteraan Psikologis

BAB II TINJAUAN TEORITIS Kesejahteraan Psikologis (Psycological Well Being) Pengertian Kesejahteraan Psikologis BAB II TINJAUAN TEORITIS 2.1. Kesejahteraan Psikologis (Psycological Well Being) 2.1.1. Pengertian Kesejahteraan Psikologis Kesejahteraan psikologis adalah keadaan dimana seseorang memiliki kondisi yang

Lebih terperinci

2015 PEMBELAJARAN TARI MELALUI STIMULUS GERAK BURUNG UNTUK MENINGKATKAN KEMAMPUAN KINESTETIK PADA ANAK TUNAGRAHITA SEDANG DI SLB YPLAB LEMBANG

2015 PEMBELAJARAN TARI MELALUI STIMULUS GERAK BURUNG UNTUK MENINGKATKAN KEMAMPUAN KINESTETIK PADA ANAK TUNAGRAHITA SEDANG DI SLB YPLAB LEMBANG BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Di era globalisasi saat ini, dihadapkan pada banyak tantangan baik dalam bidang sosial, ekonomi, politik, budaya juga pendidikan. Semakin hari persaingan sumber

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Anak berkebutuhan khusus merupakan individu yang diciptakan oleh Yang Maha Kuasa dengan segala kelebihan dan kekurangannya. Perbedaannya hanya mereka membutuhkan metode

Lebih terperinci

PENDIDIKAN KHUSUS PUSAT KURIKULUM BALITBANG DIKNAS

PENDIDIKAN KHUSUS PUSAT KURIKULUM BALITBANG DIKNAS PENDIDIKAN KHUSUS PUSAT KURIKULUM BALITBANG DIKNAS LANDASAN YURIDIS UU No.20 Thn.2003 Sistem Pendidikan Nasional Pasal 5 Ayat (2) : Warga Negara yang mempunyai kelainan fisik, emosional, mental, intelektual,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pendidikan merupakan upaya sadar untuk mengembangkan kemampuan peserta didik baik di dalam maupun di luar sekolah yang berlangsung seumur hidup. Melalui pernyataan tersebut

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Amanat hak atas pendidikan bagi anak penyandang kelainan atau ketunaan diterapkan dalam Undang-undang No. 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional Pasal

Lebih terperinci

ARTIKEL ILMIAH DESKRIPSI PROSES RECALL SISWA TUNAGRAHITA RINGAN PADA MATERI TABUNG DI KELAS IX (INKLUSI) SMP N 6 KOTA JAMBI

ARTIKEL ILMIAH DESKRIPSI PROSES RECALL SISWA TUNAGRAHITA RINGAN PADA MATERI TABUNG DI KELAS IX (INKLUSI) SMP N 6 KOTA JAMBI ARTIKEL ILMIAH DESKRIPSI PROSES RECALL SISWA TUNAGRAHITA RINGAN PADA MATERI TABUNG DI KELAS IX (INKLUSI) SMP N 6 KOTA JAMBI FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN UNIVERSITAS JAMBI AGUSTUS, 2017 Page1 DESKRIPSI

Lebih terperinci

ANAK BERKEBUTUHAN KHUSUS TUNAGRAHITA

ANAK BERKEBUTUHAN KHUSUS TUNAGRAHITA LAPORAN OBSERVASI STUDENT DIVERSITY ANAK BERKEBUTUHAN KHUSUS TUNAGRAHITA SLB TUNAS KASIH 1 LEUWILIANG KABUPATEN BOGOR Diajukan untuk memenuhi tugas mata kuliah : PSIKOLOGI PENDIDIKAN Dosen : Dr. Hj. Rita

Lebih terperinci

Adhyatman Prabowo, M.Psi

Adhyatman Prabowo, M.Psi Adhyatman Prabowo, M.Psi Pokok Bahasan Hari Ini...? 1. Bagaimana kita bisa mendefinisikan individu berkebutuhan khusus? 2. Bagaimana karakteristiknya? 3. Siapa yang termasuk Individu Berkebutuhan khusus?

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. keterbatasan penelitian dan pengembangan serta akan diuraikan juga mengenai

BAB I PENDAHULUAN. keterbatasan penelitian dan pengembangan serta akan diuraikan juga mengenai BAB I PENDAHULUAN Pada bab I ini, peneliti akan menguraikan tentang latar belakang masalah yang akan diteliti dan dikembangkan, tujuan penelitian dan pengembangan, spesifikasi produk yang diharapkan, pentingnya

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pendidikan adalah hak semua anak, demikian pula dengan Anak Berkebutuhan Khusus (ABK). Pendidikan bagi anak berkebutuhan khusus sudah diatur dalam Undang-Undang No.20

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. sosial. Manusia merupakan mahluk individu karena secara kodrat manusia

BAB I PENDAHULUAN. sosial. Manusia merupakan mahluk individu karena secara kodrat manusia BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Manusia tercipta sebagai mahluk indvidu dan juga sebagai mahluk sosial. Manusia merupakan mahluk individu karena secara kodrat manusia memiliki keunikan dan karakteristik

Lebih terperinci

PENDIDIKAN KHUSUS PUSAT KURIKULUM BALITBANG DIKNAS. DRS. MUHDAR MAHMUD.M.Pd

PENDIDIKAN KHUSUS PUSAT KURIKULUM BALITBANG DIKNAS. DRS. MUHDAR MAHMUD.M.Pd PENDIDIKAN KHUSUS PUSAT KURIKULUM BALITBANG DIKNAS DRS. MUHDAR MAHMUD.M.Pd BEBERAPA ISTILAH ABK ANAK LUAR BIASA ANAK CACAT ANAK TUNA ANAK ABNORMAL ANAK LEMAH INGATAN ANAK IDIOT ANAK BERKELAINAN ANAK BERKEBUTUHAN

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Dariyo (2011), keluarga adalah unit sosial terkecil yang terdiri dari

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Dariyo (2011), keluarga adalah unit sosial terkecil yang terdiri dari BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Dukungan Keluarga 1. Pengertian Keluarga Dariyo (2011), keluarga adalah unit sosial terkecil yang terdiri dari anggota keluarga inti seperti ayah, ibu, dan anak-anak. Menurut

Lebih terperinci

MENGENAL ANAK BERKEBUTUHAN KHUSUS

MENGENAL ANAK BERKEBUTUHAN KHUSUS MENGENAL ANAK BERKEBUTUHAN KHUSUS Atien Nur Chamidah Jurs Pend. Luar Biasa Fak. Ilmu Pendidikan UNY atien@uny.c.id Anak berkebutuhan khusus atau yang pada masa lampau disebut anak cacat memiliki karakteristik

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN TEORI. Menurut Sutjihati Somantri (2005: 107 ) anak tunagrahita sedang

BAB II KAJIAN TEORI. Menurut Sutjihati Somantri (2005: 107 ) anak tunagrahita sedang BAB II KAJIAN TEORI A. Kajian tentang Anak Tunagrahita Sedang 1. Pengertian Anak Tunagrahita sedang Menurut Sutjihati Somantri (2005: 107 ) anak tunagrahita sedang disebut juga embisil. Kelompok ini memiliki

Lebih terperinci

: UTARI RAHADIAN SETIYOWATI K

: UTARI RAHADIAN SETIYOWATI K Pengaruh Penggunaan Media Kartu Limbah Rumah Tangga Bungkus Plastik Bermerk Terhadap Kemampuan Membaca Kata Pada Mata Pelajaran Bahasa Indonesia Siswa Kelas DII SLB C YSSD Surakarta Tahun Ajaran 2009/2010

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. individu terhadap keadaan-keadaan dan peristiwa-peristiwa ( stressor)

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. individu terhadap keadaan-keadaan dan peristiwa-peristiwa ( stressor) 8 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Stres Pengasuhan 2.1.1 Pengertian Menurut Santrock (2005) mendefinisikan bahwa stres sebagai respon individu terhadap keadaan-keadaan dan peristiwa-peristiwa ( stressor) yang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Penelitian Inne Yuliani Husen, 2013

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Penelitian Inne Yuliani Husen, 2013 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Setiap anak terlahir dengan pertumbuhan dan perkembangannya masingmasing. Keduanya berjalan seiringan, menurut Witherington (Desmita) mengungkapkan bahwa

Lebih terperinci

BIMBINGA G N N P ADA S ISWA W DENGAN HAMBATA T N

BIMBINGA G N N P ADA S ISWA W DENGAN HAMBATA T N BIMBINGAN PADA SISWA DENGAN HAMBATAN KECERDASAN (TUNAGRAHITA) DEFINISI Tunagrahita merupakan kondisi yg kompleks, menunjukkan kemampuan intektual yang rendah dan mengalami hambatan dalam perilaku adaptif

Lebih terperinci

Retardasi Mental. Dr.dr. Tjhin Wiguna, SpKJ(K)

Retardasi Mental. Dr.dr. Tjhin Wiguna, SpKJ(K) Retardasi Mental Dr.dr. Tjhin Wiguna, SpKJ(K) Retardasi Mental (RM) Suatu keadaan perkembangan mental yang terhenti atau tidak lengkap atau tidak sesuai dengan tingkat perkembangan anak seusianya. Ditandai

Lebih terperinci

: Adi Handoko dan Ayu Sholihah : Psikologi Anak Luar Biasa ANAK TUNAGRAHITA A. PENGERTIAN ANAK TUNAGRAHITA

: Adi Handoko dan Ayu Sholihah : Psikologi Anak Luar Biasa ANAK TUNAGRAHITA A. PENGERTIAN ANAK TUNAGRAHITA Nama Mata Kuliah : Adi Handoko dan Ayu Sholihah : Psikologi Anak Luar Biasa ANAK TUNAGRAHITA A. PENGERTIAN ANAK TUNAGRAHITA Sebutan anak yang mengalami keterbatasan integrasi dan ketidakcakapan dalam interaksi

Lebih terperinci

Tunagrahita sebagai kelainan yang meliputi fungsi intelektual umum di bawah rata-rata (Subaverage),

Tunagrahita sebagai kelainan yang meliputi fungsi intelektual umum di bawah rata-rata (Subaverage), TUNA GRAHITA Tunagrahita Tunagrahita merupakan kata lain dari Retardasi Mental (mental retardation). Tuna = Merugi. Grahita = Pikiran. Retardasi Mental (Mental Retardation/Mentally Retarded) = terbelakang

Lebih terperinci

KEMAMPUAN KHUSUS INDIVIDU & ANTISIPASI PENDIDIKAN

KEMAMPUAN KHUSUS INDIVIDU & ANTISIPASI PENDIDIKAN KEMAMPUAN KHUSUS INDIVIDU & ANTISIPASI PENDIDIKAN II. CACAT MENTAL Grahita pikir / memahami. Tuna Grahita ketidakmampuan dalam berpikir. MR / Mental Retardation. awalnya hanya mengacu pd aspek kognitif

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. mempunyai kemampuan intelektual di bawah rata-rata. Istilah tersebut

BAB I PENDAHULUAN. mempunyai kemampuan intelektual di bawah rata-rata. Istilah tersebut 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Tunagrahita adalah istilah yang digunakan untuk menyebut anak yang mempunyai kemampuan intelektual di bawah rata-rata. Istilah tersebut sesungguhnya memiliki arti

Lebih terperinci

: Metode-metode Pembelajaran Bahasa Lisan pada Anak Tunagrahita Ringan di Sekolah Luar Biasa

: Metode-metode Pembelajaran Bahasa Lisan pada Anak Tunagrahita Ringan di Sekolah Luar Biasa Judul : Metode-metode Pembelajaran Bahasa Lisan pada Anak Tunagrahita Ringan di Sekolah Luar Biasa Nama Penulis : Widad Nabilah Yusuf (209000274) Pendahuluan Soemantri (2006) mengatakan tunagrahita memiliki

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar siswa secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki

Lebih terperinci

II. Deskripsi Kondisi Anak

II. Deskripsi Kondisi Anak I. Kondisi Anak 1. Apakah Anak Ibu/ Bapak termasuk mengalami kelainan : a. Tunanetra b. Tunarungu c. Tunagrahita d. Tunadaksa e. Tunalaras f. Tunaganda g. Kesulitan belajar h. Autisme i. Gangguan perhatian

Lebih terperinci

Karakteristik Anak Usia Sekolah

Karakteristik Anak Usia Sekolah 1 Usia Sekolah Usia Sekolah 2 Informasi Umum dengan Disabilitas 3 Usia Sekolah Anak dengan Disabilitas Anak Dengan Disabilitas adalah anak yang mempunyai kelainan fisik dan/ atau mental yang dapat mengganggu

Lebih terperinci

IDENTIFIKASI ANAK BERKEBUTUHAN KHUSUS DAN STRATEGI PEMBELAJARANNYA. Oleh Mardhiyah, Siti Dawiyah, dan Jasminto 1

IDENTIFIKASI ANAK BERKEBUTUHAN KHUSUS DAN STRATEGI PEMBELAJARANNYA. Oleh Mardhiyah, Siti Dawiyah, dan Jasminto 1 IDENTIFIKASI ANAK BERKEBUTUHAN KHUSUS DAN STRATEGI PEMBELAJARANNYA Oleh Mardhiyah, Siti Dawiyah, dan Jasminto 1 Abstract: Artikel ini dimaksudkan untuk membantu para guru dalam mengidentifikasi anak berkebutuhan

Lebih terperinci

BAB II KONSEP DASAR TUNAGRAHITA, MEDIA TANGGA BILANGAN, KEMAMPUAN BERHITUNG PENJUMLAHAN

BAB II KONSEP DASAR TUNAGRAHITA, MEDIA TANGGA BILANGAN, KEMAMPUAN BERHITUNG PENJUMLAHAN 12 BAB II KONSEP DASAR TUNAGRAHITA, MEDIA TANGGA BILANGAN, KEMAMPUAN BERHITUNG PENJUMLAHAN A. Tunagrahita 1. Pengertian Tunagrahita Anak tunagrahita secara umum mempunyai tingkat kecerdasan kemampuan intelektual

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Sebagaimana yang tercantum dalam Undang-undang Dasar Republik Indonesia 1945, setiap warga negara berhak untuk mendapatkan pendidikan yang layak. Oleh karenanya,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pendidikan adalah suatu proses pengalaman yang memberikan pengertian, pandangan (insight) dan penyesuaian bagi seseorang yang menyebabkan ia berkembang Crow

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1 SLB Golongan A di Jimbaran. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1 SLB Golongan A di Jimbaran. 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pendidikan nasional memiliki peranan yang sangat penting bagi warga negara. Pendidikan nasional bertujuan untuk mencerdaskan berdasarkan bab III ayat 5 dinyatakan bahwa

Lebih terperinci

METODE PEMBELAJARAN MATEMATIKA DI SEKOLAH LUAR BIASA TUNARUNGU (SLB/B) MELALUI ALAT PERAGA UNTUK PENINGKATAN HASIL BELAJAR SISWA

METODE PEMBELAJARAN MATEMATIKA DI SEKOLAH LUAR BIASA TUNARUNGU (SLB/B) MELALUI ALAT PERAGA UNTUK PENINGKATAN HASIL BELAJAR SISWA METODE PEMBELAJARAN MATEMATIKA DI SEKOLAH LUAR BIASA TUNARUNGU (SLB/B) MELALUI ALAT PERAGA UNTUK PENINGKATAN HASIL BELAJAR SISWA (Studi kasus di Kelas VIII SMPLB-B Yayasan Rehabilitasi Tuna Rungu Wicara

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. terhadap pendidikan terutama wajib belajar sembilan tahun yang telah lama

BAB I PENDAHULUAN. terhadap pendidikan terutama wajib belajar sembilan tahun yang telah lama BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Kemajuan pembangunan yang dicapai bangsa Indonesia khususnya pembangunan di bidang pendidikan akan mendorong tercapainya tujuan pembangunan nasional, maka

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. realitas diri dengan mengoptimalkan semua potensi kemanusiaan. (educational for all) yang tidak diskriminatif.

BAB I PENDAHULUAN. realitas diri dengan mengoptimalkan semua potensi kemanusiaan. (educational for all) yang tidak diskriminatif. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Komunikasi adalah sarana yang dapat mempermudah interaksi antar manusia di seluruh dunia. Sekarang ini komunikasi dan pendidikan merupakan bagian yang penting

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. memiliki potensi kecerdasan dan bakat istimewa. Pendidikan luar biasa

BAB I PENDAHULUAN. memiliki potensi kecerdasan dan bakat istimewa. Pendidikan luar biasa BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pendidikan khusus (pendidikan luar biasa) merupakan pendidikan bagi para peserta didik yang memiliki kesulitan dalam mengikuti proses pembelajaran karena kelainan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Setiap warga negara berhak untuk mendapatkan pendidikan seperti yang telah diamanatkan dalam Undang-Undang Dasar tahun 1945 pasal 31 ayat (1) yang berbunyi bahwa

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Terselenggarannya pendidikan di Indonesia telah dijamin seperti yang terdapat dalam Undang-Undang Dasar 1945 pasal 31 ayat 1 bahwa : Tiap-tiap warga negara berhak mendapatkan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pendidikan merupakan interaksi antara pendidik dengan peserta didik. Interaksi tersebut sangatlah penting untuk tercapainya tujuan pendidikan. Menurut Ki Hajar

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Tujuan pendidikan pada umumnya adalah upaya membantu peserta. didik dalam merealisasikan berbagai potensi atau kemampuan yang

BAB I PENDAHULUAN. Tujuan pendidikan pada umumnya adalah upaya membantu peserta. didik dalam merealisasikan berbagai potensi atau kemampuan yang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Tujuan pendidikan pada umumnya adalah upaya membantu peserta didik dalam merealisasikan berbagai potensi atau kemampuan yang dimilikinya secara optimal. Salah

Lebih terperinci

PENILAIAN PERKEMBANGAN ANAK SANTI E. PURNAMASARI

PENILAIAN PERKEMBANGAN ANAK SANTI E. PURNAMASARI PENILAIAN PERKEMBANGAN ANAK SANTI E. PURNAMASARI Fak. Psikologi UMBY Tujuan Agar tenaga kesehatan dapat ; a. Mengetahui kelainan perkembangan anak dan hal-hal lain yang merupakan risiko terjadinya kelainan

Lebih terperinci

JURNAL PENDIDIKAN LUAR BIASA

JURNAL PENDIDIKAN LUAR BIASA JURNAL PENDIDIKAN LUAR BIASA EFEKTIVITAS PENGGUNAAN MEDIA PLASTISIN UNTUK MENINGKATKAN KEMAMPUAN MENGENAL BANGUN DATAR SEDERHANA PADA SISWA TUNAGRAHITA RINGAN KELAS III SDLB NEGERI KARANGANYAR TAHUN PELAJARAN

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pendidikan Nasional berfungsi untuk mengembangkan kemampuan serta

BAB I PENDAHULUAN. Pendidikan Nasional berfungsi untuk mengembangkan kemampuan serta BAB I PENDAHULUAN A. Latar belakang masalah Pendidikan Nasional berfungsi untuk mengembangkan kemampuan serta mengembangkan kemampuan serta meningkatkan mutu kehidupan dan martabat manusia Indonesia dalam

Lebih terperinci

PENDIDIKAN JASMANI ADAPTIF. Oleh : Komarudin Fakultas Ilmu Keolahragaan Universitas Negeri Yogyakarta

PENDIDIKAN JASMANI ADAPTIF. Oleh : Komarudin Fakultas Ilmu Keolahragaan Universitas Negeri Yogyakarta PENDIDIKAN JASMANI ADAPTIF Oleh : Komarudin Fakultas Ilmu Keolahragaan Universitas Negeri Yogyakarta PEMBELAJARAN TERJADI KALAU ADA: 1. KOMUNIKASI : TERJADI KALAU ADA KESAMAAN PENGALAMAN. KOMUNIKASI YANG

Lebih terperinci

2014 PEMBELAJARAN SENI GRAFIS TEKNIK SABLON UNTUK ANAK TUNAGRAHITA RINGAN DI SLB ASYIFA BANDUNG

2014 PEMBELAJARAN SENI GRAFIS TEKNIK SABLON UNTUK ANAK TUNAGRAHITA RINGAN DI SLB ASYIFA BANDUNG 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Setiap makhluk memiliki keterbatasan baik itu pengetahuan, daya pikir, daya nalar dan daya kreativitas. Ada pula keterbatasan kemampuan fisik dan psikologis

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Teori atau Konsep 1. Karakteristik Anak Berkebutuhan Khusus Anak berkebutuhan khusus adalah anak luar biasa yang berbeda

BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Teori atau Konsep 1. Karakteristik Anak Berkebutuhan Khusus Anak berkebutuhan khusus adalah anak luar biasa yang berbeda 6 BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Teori atau Konsep 1. Karakteristik Anak Berkebutuhan Khusus Anak berkebutuhan khusus adalah anak luar biasa yang berbeda perkembangan fisik, mental, atau sosial dari perkembangan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Anak membutuhkan bantuan orang lain untuk memenuhi kebutuhannya dalam

BAB I PENDAHULUAN. Anak membutuhkan bantuan orang lain untuk memenuhi kebutuhannya dalam BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Anak merupakan anugrah yang Tuhan berikan untuk dijaga dan dirawat. Anak membutuhkan bantuan orang lain untuk memenuhi kebutuhannya dalam masa tumbuh kembang. Memahami

Lebih terperinci

AHMAD NAWAWI JURUSAN PENDIDIKAN LUAR BIASA FAKULTAS ILMU PENDIDIKAN UPI BANDUNG 2010

AHMAD NAWAWI JURUSAN PENDIDIKAN LUAR BIASA FAKULTAS ILMU PENDIDIKAN UPI BANDUNG 2010 AHMAD NAWAWI JURUSAN PENDIDIKAN LUAR BIASA FAKULTAS ILMU PENDIDIKAN UPI BANDUNG 2010 SIAPAKAH? ANAK LUAR BIASA ANAK PENYANDANG CACAT ANAK BERKEBUTUHAN KHUSUS PENDIDIKAN INKLUSIF Pendidikan inklusif

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pendidikan Luar Biasa bertujuan untuk membantu peserta didik yang

BAB I PENDAHULUAN. Pendidikan Luar Biasa bertujuan untuk membantu peserta didik yang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pendidikan Luar Biasa bertujuan untuk membantu peserta didik yang memiliki keterbatasan dalam mengikuti proses pembelajaran karena ia menyandang kelainan fisik,

Lebih terperinci

Oleh: Eni Musrifah SLB Setya Darma Surakarta ABSTRAK

Oleh: Eni Musrifah SLB Setya Darma Surakarta ABSTRAK JRR Tahun 24, Nomor 2, Desember 2015, hal 113-120 PENINGKATAN PRESTASI BELAJAR METEMATIKA MELALUI METODE PROBLEM SOLVING DALAM MENYELESAIKAN SOAL CERITA HITUNG CAMPURAN BAGI SISWA TUNAGRAHITAKELAS IX DI

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pendidikan merupakan sarana untuk mencerdaskan kehidupan bangsa dan negara. Setiap warga negara berhak mendapatkan pendidikan, seperti yang tercantum dalam Undang Undang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pendidikan merupakan proses pembelajaran yang dilaksanakan secara sadar untuk meningkatkan harkat dan martabat manusia. Pendidikan menjadi sesuatu hal yang sangat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. pikiran dan perasaan kepada orang lain. 1. lama semakin jelas hingga ia mampu menirukan bunyi-bunyi bahasa yang

BAB I PENDAHULUAN. pikiran dan perasaan kepada orang lain. 1. lama semakin jelas hingga ia mampu menirukan bunyi-bunyi bahasa yang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Setiap orang senantiasa berkomunikasi dengan orang-orang disekitarnya. Sejak bayi, manusia telah berkomunikasi dengan orang lain, yaitu ibu dan ayahnya. Menangis di

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Asep Zuhairi Saputra, 2014

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Asep Zuhairi Saputra, 2014 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Anak yang berprestasi rendah (underachievers) umumnya banyak ditemukan di sekolah,umum karena mereka pada umumnya tidak mampu menguasai bidang studi tertentu yang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. mengarah pada arti yang sama yaitu mereka yang kecerdasannya dibawah rata-rata

BAB I PENDAHULUAN. mengarah pada arti yang sama yaitu mereka yang kecerdasannya dibawah rata-rata 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Banyak istilah yang digunakan untuk anak tunagrahita ringan, namun semua mengarah pada arti yang sama yaitu mereka yang kecerdasannya dibawah rata-rata sehingga

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Pada setiap budaya dan lingkungan masyarakat, keluarga memiliki struktur yang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Pada setiap budaya dan lingkungan masyarakat, keluarga memiliki struktur yang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Pada setiap budaya dan lingkungan masyarakat, keluarga memiliki struktur yang mungkin saja berbeda dan terbentuk dengan cara-cara yang juga beragam. Namun sebagian

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. investasi untuk meningkatkan pengetahuan, keterampilan, dan keahlian untuk

BAB I PENDAHULUAN. investasi untuk meningkatkan pengetahuan, keterampilan, dan keahlian untuk BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pendidikan memegang peranan penting dalam mengembangkan potensi sumber daya manusia secara optimal, karena pendidikan merupakan sarana investasi untuk meningkatkan pengetahuan,

Lebih terperinci

Assessment Kemampuan Merawat Diri

Assessment Kemampuan Merawat Diri Assessment Kemampuan Merawat Diri Oleh: Musjafak Assjari (Dosen PLB FIP UPI) A. Pendahuluan Di beberapa negara termasuk Indonesia kini sedang giat dilaksanakan upaya memperbaiki pembelajaran murid di sekolah.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Anak Berkebutuhan Khusus (Children with special needs) atau yang sering disingkat ABK adalah anak yang memiliki perbedaan dalam keadaan dimensi penting dari

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. masih tanggung jawab orang tua. Kewajiban orang tua terhadap anak yaitu membesarkan,

BAB I PENDAHULUAN. masih tanggung jawab orang tua. Kewajiban orang tua terhadap anak yaitu membesarkan, BAB I PENDAHULUAN 1. Latar Belakang Anak adalah anugrah dan titipan dari tuhan yang harus di jaga dan di pelihara dengan baik. Seseorang yang masih dikategorikan sebagai seorang anak adalah sepenuhnya

Lebih terperinci

PEMBELAJARAN MENULIS PERMULAAN PADA ANAK TUNAGRAHITA RINGAN DI SDN SEMPU ANDONG BOYOLALI TAHUN PELAJARAN 2012/2013

PEMBELAJARAN MENULIS PERMULAAN PADA ANAK TUNAGRAHITA RINGAN DI SDN SEMPU ANDONG BOYOLALI TAHUN PELAJARAN 2012/2013 PEMBELAJARAN MENULIS PERMULAAN PADA ANAK TUNAGRAHITA RINGAN DI SDN SEMPU ANDONG BOYOLALI TAHUN PELAJARAN 2012/2013 Nur Hidayati, Sukarno, Lies Lestari PGSD, FKIP Universitas Sebelas Maret, Jl. Slamet Riyadi

Lebih terperinci

TINJAUAN MATA KULIAH...

TINJAUAN MATA KULIAH... iii Daftar Isi TINJAUAN MATA KULIAH... xi MODUL 1: HAKIKAT PENDIDIKAN KHUSUS 1.1 Definisi dan Jenis Kebutuhan Khusus... 1.3 Latihan... 1.15 Rangkuman... 1.16 Tes Formatif 1..... 1.17 Penyebab dan Dampak

Lebih terperinci

MENGENAL ANAK TUNAGRAHITA. anak yang biasa-biasa saja, bahkan ada anak yang cepat. Yang menjadi persoalan dalam

MENGENAL ANAK TUNAGRAHITA. anak yang biasa-biasa saja, bahkan ada anak yang cepat. Yang menjadi persoalan dalam 1 MENGENAL ANAK TUNAGRAHITA A. Pengertian Dilihat dari tingkat kecerdasannya, ada anak normal, ada anak di bawah normal, dan ada anak di atas normal. Sehingga dalam belajarnya pun ada anak yang lamban,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Berdasarkan UU Perlindungan Anak No. 23 tahun 2002 Setiap anak berhak mendapatkan pendidikan yang berkualitas dan bebas dari diskriminasi dalam bentuk apapun.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dalam fungsi motorik, afektif maupun kognitifnya. Orang-orang yang fungsi. kesulitan dalam menyelesaikan tugas-tugasnya.

BAB I PENDAHULUAN. dalam fungsi motorik, afektif maupun kognitifnya. Orang-orang yang fungsi. kesulitan dalam menyelesaikan tugas-tugasnya. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Perkembangan yang dimiliki setiap individu itu berbeda-beda, baik dalam fungsi motorik, afektif maupun kognitifnya. Orang-orang yang fungsi motorik, afektif

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN Pengambilan data dalam penelitian ini adalah dengan tes tertulis serta wawancara dengan semua subjek. Tes tertulis dan wawancara tahap pertama dilakukan pada tanggal 16 November

Lebih terperinci

ANAK BERKEBUTUHAN KHUSUS

ANAK BERKEBUTUHAN KHUSUS ANAK BERKEBUTUHAN KHUSUS Apakah yang dimaksud dengan ABK (exceptional children)? a. berkaitan dengan konsep/istilah disability = keterbatasan b. bersinggungan dengan tumbuh kembang normal--abnormal, tumbuh

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah digilib.uns.ac.id BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pendidikan sangat dibutuhkan dalam kehidupan manusia. Pendidikan yang dilaksanakan secara komprehensif dan berkualitas akan menghasilkan pendidikan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pendidikan merupakan suatu usaha untuk membantu perkembangan anak supaya lebih progresif, baik dalam perkembangan akademik maupun emosi sehingga mereka dapat

Lebih terperinci

WALIKOTA PADANG PERATURAN WALIKOTA PADANG NOMOR 19 TAHUN 2013 TENTANG PENDIDIKAN KHUSUS DAN LAYANAN KHUSUS DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

WALIKOTA PADANG PERATURAN WALIKOTA PADANG NOMOR 19 TAHUN 2013 TENTANG PENDIDIKAN KHUSUS DAN LAYANAN KHUSUS DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALIKOTA PADANG PERATURAN WALIKOTA PADANG NOMOR 19 TAHUN 2013 TENTANG PENDIDIKAN KHUSUS DAN LAYANAN KHUSUS DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALIKOTA PADANG, Menimbang : a. bahwa dalam upaya memberikan

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN PUSTAKA. Istilah yang umum dipakai dalam pendidikan luar biasa antara lain anak

BAB II KAJIAN PUSTAKA. Istilah yang umum dipakai dalam pendidikan luar biasa antara lain anak BAB II KAJIAN PUSTAKA A. Tinjauan tentang Anak Tunagrahita Ringan 1. Pengertian Anak Tunagrahita Ringan Anak tunagrahita ringan memiliki berbagai istilah tergantung dari sudut pandang para ahli memberikan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Kebutuhan akan pendidikan adalah milik semua orang, tidak. terkecuali Anak Berkebutuhan Khusus (ABK). Keterbatasan yang dialami

BAB I PENDAHULUAN. Kebutuhan akan pendidikan adalah milik semua orang, tidak. terkecuali Anak Berkebutuhan Khusus (ABK). Keterbatasan yang dialami BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Kebutuhan akan pendidikan adalah milik semua orang, tidak terkecuali Anak Berkebutuhan Khusus (ABK). Keterbatasan yang dialami menjadikan Anak Berkebutuhan Khusus

Lebih terperinci

Anak Berkebutuhan Khusus (ABK), Siapakah?

Anak Berkebutuhan Khusus (ABK), Siapakah? Anak Berkebutuhan Khusus (ABK), Siapakah? Anak Berkebutuhan Khusus yang sering disebut anak ABK adalah anak yang dalam proses pertumbuhan atau perkembangannya mengalami kelainan atau penyimpangan apakah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG MASALAH

BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG MASALAH BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG MASALAH Anak Berkebutuhan Khusus (ABK) adalah anak dengan karakteristik khusus yang berbeda dengan anak pada umumnya tanpa selalu menunjukan pada ketidakmampuan mental,

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. rasa percaya diri dalam sikap dan perilaku setiap hari, sehingga dapat

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. rasa percaya diri dalam sikap dan perilaku setiap hari, sehingga dapat BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pengetahuan 2.1.1 Pengertian Pengetahuan Pengetahuan diperlukan sebagai dukungan untuk menumbuhkan rasa percaya diri dalam sikap dan perilaku setiap hari, sehingga dapat dikatakan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pendidikan merupakan suatu kebutuhan yang terbilang pokok bagi kehidupan setiap manusia. Mengapa demikian, karena dengan pendidikan seorang manusia bisa mengetahui

Lebih terperinci

MENINGKATKAN KEMAMPUAN PENGURANGAN BERSUSUN MELALUI MEDIA GELAS BILANGAN PADA SISWA TUNAGRAHITA. Sufiana

MENINGKATKAN KEMAMPUAN PENGURANGAN BERSUSUN MELALUI MEDIA GELAS BILANGAN PADA SISWA TUNAGRAHITA. Sufiana Jurnal Penelitian Pendidikan Indonesia (JPPI) Vol. 2, No. 2, April 17 ISSN 2477-22 (Media Cetak). 2477-3921 (Media Online) MENINGKATKAN KEMAMPUAN PENGURANGAN BERSUSUN MELALUI MEDIA GELAS BILANGAN PADA

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pendidikan merupakan kebutuhan dasar setiap manusia untuk menjamin keberlangsungan hidupnya agar lebih bermartabat. Pendidikan diberikan kepada seorang anak

Lebih terperinci

MELATIH MOTORIK ANAK DOWN SYNDROME DENGAN METODE PERSIAPAN MENULIS DI TK PERMATA BUNDA SURAKARTA

MELATIH MOTORIK ANAK DOWN SYNDROME DENGAN METODE PERSIAPAN MENULIS DI TK PERMATA BUNDA SURAKARTA MELATIH MOTORIK ANAK DOWN SYNDROME DENGAN METODE PERSIAPAN MENULIS DI TK PERMATA BUNDA SURAKARTA Skripsi Untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan Guna Mencapai Derajat S-1 Disusun Oleh : AFRIYAN QAHARANI NIM.

Lebih terperinci