BAB I PENDAHULUAN. berbeda dari hal yang ada sebelumnya serta sengaja diusahakan untuk meningkatkan

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "BAB I PENDAHULUAN. berbeda dari hal yang ada sebelumnya serta sengaja diusahakan untuk meningkatkan"

Transkripsi

1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pembaharuan pendidikan adalah suatu perubahan yang baru, dan kualitatif berbeda dari hal yang ada sebelumnya serta sengaja diusahakan untuk meningkatkan kemampuan guna mencapai tujuan tertentu dalam pendidikan. Pembaharuan ini untuk memperkenalkan berbagai hal yang baru dengan maksud memperbaiki apa-apa yang sudah terbiasa demi timbulnya praktik yang baru, baik dalam metode ataupun caracara bekerja untuk mencapai tujuan. Salah satu pembaharuan dalam dunia pendidikan di Indonesia di antaranya adalah perubahan dalam bidang kurikulum yaitu dari Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK) kemudian menjadi Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP), dan yang terakhir yang baru saja diimplementasikan adalah kurikulum Pada Kurikulum 2013 memfokuskan pada pemerolehan kompetensi-kompetensi tertentu oleh siswa. Oleh karena itu, kurikulum ini mencakup sejumlah kompetensi, dan seperangkat tujuan pembelajaran yang dinyatakan sedemikian rupa, sehingga pencapaiannya dapat diamati dalam bentuk perilaku atau keterampilan siswa sebagai suatu kriteria keberhasilan. Kegiatan pembelajaran diarahkan untuk membantu siswa menguasai sekurang-kurangnya tingkat kompetensi minimal, agar mereka dapat mencapai tujuan-tujuan yang telah ditetapkan. Sesuai dengan konsep belajar tuntas dan pengembangan bakat, setiap siswa harus diberi kesempatan untuk mencapai 1

2 2 tujuan sesuai dengan kemampuan dan kecepatan belajar masing-masing. Pembelajaran pada Kurikulum 2013 dilaksanakan secara inkuiri ilmiah (scientific inquiry) untuk menumbuhkan kemampuan berpikir, bekerja dan bersikap ilmiah serta mengkomunikasikannya sebagai aspek penting kecakapan hidup, sehingga lebih menekankan pada pemberian pengalaman belajar secara langsung melalui penggunaan dan pengembangan keterampilan proses dan sikap ilmiah. Pelaksanaan pembelajaran fisika dengan cara saintifik pada Kurikulum 2013 yang tidak lain merupakan implementasi untuk melaksanakan amanat Undangundang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas) pasal satu, Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan Negara. Di dalam pembuatan RPP hal penting yang harus ditulis adalah proses pendekatan ilmiah (scientific approach), yaitu mengamati, menanya, menalar, mencoba, dan menyimpulkan. Dengan demikian pada Kurikulum 2013, terdapat peningkatan dan keseimbangan soft skills dan hard skills yang meliputi aspek kompetensi sikap, keterampilan, dan pengetahuan (Kemendikbud, 2012). Pendekatan ilmiah (scientific approach) selaras dengan aspek-aspek yang terdapat pada keterampilan proses sains (KPS), sehingga dalam Kurikulum 2013 KPS

3 3 terintegrasi dalam setiap proses pembelajaran yang dilakukan baik di kelas maupun di luar kelas. Akan tetapi kenyaataannya di lapangan banyak siswa yang masih belum mengenal KPS, terlebih lagi menerapkannya dalam pembelajaran. Berdasarkan pengamatan di lapangan, siswa cenderung kesulitan dalam melakukan metodemetode ilmiah dengan menerapkan KPS dalam pembelajarannya, antara lain dalam berhipotesis, merencanakan percobaan, menggunakan alat dalam kegiatan pengamatan, maupun melaporkan hasil kegiatan eksperimen. Dengan demikian diperlukannlah suatu media maupun sarana untuk melatihkan KPS guna menunjang ketercapaian pembelajaran sesuai dengan hakekat Kurikulum Perangkat Kurikulum 2013 disusun dengan memperhatikan karakteristik dan kemampuan serta kondisi satuan pendidikan misalnya: sekolah, kemampuan siswa, guru sehingga perlu adanya sumber belajar yang mendukung proses pembelajaran. Dengan memperhatikan hal tersebut pentingnya diajarkannya ilmu fisika kepada peserta didik untuk memberikan bekal ilmu kepada peserta didik, dan sebagai wahana untuk menumbuhkan kemampuan berfikir yang berguna untuk memecahkan masalah dalam kehidupan sehari-hari. Tujuan yang lebih khusus dari diajarkannya ilmu fisika adalah untuk membekali peserta didik dengan pengetahuan, pemahaman, dan sejumlah kemampuan yang merupakan prasyarat untuk memasuki jenjang pendidikan yang lebih tinggi serta mendorong pengembangan ilmu dan teknologi. Hal tersebut di atas akan terlaksana secara optimal apabila ditunjang oleh faktor-faktor pendukung dalam keterlaksanaan pembelajaran.

4 4 Salah satu sumber dan media belajar yang dirasa dapat membantu siswa maupun guru dalam proses pembelajaran fisika untuk meningkatkan proses dan hasil pembelajaran adalah modul. Modul adalah suatu paket pengajaran yang berkenaan dengan suatu unit terkecil bertahap dari mata pelajaran tertentu, dengan kata lain modul dapat diartikan juga sebagai alat atau sarana pembelajaran yang berisi materi, metode, batasan-batasan, dan cara mengevaluasi yang dirancang secara sistematis dan menarik untuk mencapai kompetensi yang diharapkan sesuai dengan tingkat kompleksitasnya (Depdiknas, 2007). Karakteristik modul adalah disajikan dalam bentuk yang bersifat self instructional, dengan demikian masing-masing siswa dapat menentukan kecepatan dan intensitas belajarnya sendiri guna meningkatkan efektivitas pembelajaran di kelas. Kelebihan modul inilah yang mendasari sehingga dikembangkan modul latihan untuk meningkatkan KPS siswa. Fisika merupakan ilmu yang mempelajari tingkah laku alam dalam berbagai bentuk gejala untuk dapat memahami segala sesuatu yang mengendalikan atau menentukan perilaku tersebut. Berdasarkan hal tersebut maka belajar fisika tidak lepas dari penguasaan konsep-konsep dasar fisika melalui pemahaman. Belajar fisika menuntut kemampuan untuk memahami konsep, prinsip maupun hukumhukum, kemudian diharapkan siswa mampu menyusun kembali dalam bahasanya sendiri sesuai dengan tingkat kematangan dan perkembangan intelektualnya. Belajar fisika yang dikembangkan adalah kemampuan berpikir analitis, induktif dan deduktif dalam menyelesaikan masalah yang berkaitan dengan peristiwa alam sekitar, baik

5 5 secara kualitatif maupun kuantitatif dengan menggunakan matematika, serta dapat mengembangkan pengetahuan, keterampilan dan sikap percaya diri (Depdiknas, 2003: 1). Tuntutan perkembangan kurikulum menjanjikan perbaikan kompetensi lulusan. Pada kurikulum 2013 standar kompetensi lulusan (SKL) terdiri dari tiga domain, yaitu domain sikap, keterampilan, dan pengetahuan. Seperti yang terdapat dalam draft pengembangan kurikulum 2013 (Kemendikbud, 2012) dalam domain keterampilan ini terdapat aspek elemen keterampilan proses yaitu mengamati, menanya, mencoba, mengolah, menyaji, menalar, dan mencipta. Sedangkan dalam domain pengetahuan terdapat aspek elemen keterampilan proses mengetahui, memahami, menerapkan, menganalisa, dan mengevaluasi. Modul fisika yang digunakan siswa secara umum belum mengarah kepada penanaman keterampilan proses yang merupakan esensi dari pembelajaran fisika itu sendiri. Sehingga produk dari pembelajaran fisika merupakan siswa yang belum memiliki kemampuan yang baik untuk mengamati, mengkomunikasikan, mengelompokkan, melakukan pengukuran, menarik kesimpulan, dan melukan prediksi terhadap fenomena-fenomena alam yang terkait dengan fisika. Oleh karena itu perlu dikembangkan modul-modul fisika yang telah berorientasi keterampilan proses sains. Dalam modul ini, nantinya siswa mengajar dirinya sendiri dan melakukan kontrol sendiri terhadap intensitas belajarnya menggunakan fakta ilmiah, memahami sistem kehidupan dan memahami penggunaan peralatan

6 6 sains. Selain itu penggunaan dan pengembangan keterampilan proses sains dan sikap ilmiah dalam pembelajaran sains bertujuan agar peserta didik mampu memahami konsep-konsep dan mampu memecahkan masalah sains. Kinematika gerak merupakan salah satu cabang ilmu fisika yang mempelajari tentang gerak serta perubahan-perubahan yang tampak dalam rentang waktu benda melakukan gerak. Kinematika gerak termasuk materi ajar di SMA pada kelas X sesuai yang terdapat pada KD 4.2 Kurikulum Karakteristik materi kinematika gerak memungkinkan siswa untuk terlibat aktif dalam pembelajaran melalui kegiatan-kegiatan pengamatan dan eksperimen. KPS berperan penting dalam melakukan pengamatan dan eksperimen. Penggunaan metode pembelajaran yang menunjang pada kinematika gerak, khususnya untuk mengakomodasi penemuan konsep maka siswa perlu menguasai KPS. Ketika siswa telah menguasai KPS dengan baik, maka KPS dapat membantu siswa untuk mempelajari materi berikutnya yaitu dinamika, perpaduan gerak, dan gerak paralabola. Oleh karena itu, KPS sangat diperlukan dalam pembelajaran kinematika gerak. Bertolak dari hal tersebut adalah suatu tantangan bagi para guru fisika untuk dapat membelajarkan sains khususnya fisika secara kontekstual dan komprehensif kepada peserta didik. Dalam Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2005 yang berkaitan dengan standar proses mengisyaratkan bahwa guru diharapkan dapat mengembangkan perencanaan pembelajaran, yang kemudian dipertegas melalui Permendiknas Nomor 41 Tahun 2007 tentang standar proses,

7 7 yang antara lain mengatur tentang perencanan proses pembelajaran yang mensyaratkan bagi pendidik pada satuan pendidikan untuk mengembangkan perencanaan pembelajaran. Setiap guru pada satuan pendidikan berkewajiban menyusun perangkat pembelajaran, antara lain Silabus dan RPP secara lengkap dan sistematis agar pembelajaran berlangsung secara interaktif, inspiratif, menyenangkan, menantang, memotivasi peserta didik untuk berpartisipasi aktif, serta memberikan ruang yang cukup bagi prakarsa, kreativitas, dan kemandirian sesuai dengan bakat, minat, dan perkembangan fisik serta psikologis peserta didik. Berdasarkan studi lapangan, di SMAN 2 Ponorogo, dari hasil wawancara terhadap guru dan siswa menunjukkan gambaran bahwa belum adanya modul relevan yang dapat digunakan untuk melatihkan keterampilan proses sains, sehingga meskipun siswa memiliki hasil belajar rata-rata baik, namun keterampilanketerampilan saintifik seperti aktivitas di laboratorium sangat kurang. Siswa belum memiliki wawasan KPS secara komprehensif. Hal ini mendasari perlunya KPS dilatihkan terhadap siswa untuk meningkatkan KPS yang telah dimiliki. Dahar (1985:11) menyatakan bahwa KPS adalah kemampuan siswa untuk menerapkan metode ilmiah dalam memahami, mengembangkan dan menemukan ilmu pengetahuan. KPS sangat penting bagi setiap siswa sebagai bekal untuk menggunakan metode ilmiah dalam mengembangkan sains serta diharapkan memperoleh pengetahuan baru/ mengembangkan pengetahuan yang telah dimiliki, sehingga KPS sangat diperlukan dan harus selalu ditanamkan dan dilatihkan pada

8 8 semua jenjang pendidikan. Berdasarkan latar belakang masalah di atas, maka dilakukan penelitian tentang: Pengembangan Modul Latihan Keterampilan Proses Sains untuk SMA/MA Kelas X pada Materi Kinematika Gerak B. Identifikasi Masalah Berdasarkan latar belakang masalah, maka dapat diidentifikasi beberapa permasalahan, diantaranya sebagai berikut: 1. Pembelajaran fisika di SMA belum mengarah kepada keterampilan proses sains. 2. Kompetensi lulusan pembelajaran fisika belum memiliki kemampuan keterampilan proses sains dengan baik. 3. Setiap guru pada satuan pendidikan belum menyusun perangkat pembelajaran fisika, yang dapat melatihkan keterampilan proses sains. 4. Perangkat pembelajaran fisika berbasis keterampilan proses belum ada, maka perlu diadakan perangkat pembelajaran fisika yang diharapkan dapat membantu guru dalam mengaitkan antara materi yang begitu luas dengan situasi dunia nyata. C. Pembatasan Pengembangan Berdasarkan identifikasi masalah, dapat diketahui bahwa masalah dalam penelitian ini sangat luas. Penelitian ini dibatasi pada pengembangan modul latihan keterampilan proses sains dalam pembelajaran fisika SMA/MA kelas X. Uji

9 9 coba di SMA Negeri 2 Ponorogo untuk mengetahui pengaruh modul fisika berbasis keterampilan proses ini terhadap hasil belajar siswa. D. Perumusan Masalah Berdasarkan latar belakang masalah, identifikasi masalah dan batasan masalah yang telah diuraikan di atas, maka dapat dirumuskan masalah yang akan dicari jawabannya yaitu: 1. Bagaimanakah pengembangan modul latihan keterampilan proses sains pada materi kinematika gerak untuk kelas X? 2. Bagaimanakah kelayakan modul latihan keterampilan proses sains dengan materi kinematika gerak untuk kelas X? 3. Bagaimana pengaruh dari modul latihan keterampilan proses sains dengan materi kinematika gerak terhadap hasil belajar siswa kelas X SMA Negeri 2 Ponorogo? E. Tujuan Penelitian Berdasarkan permasalahan-permasalahan yang diuraikan pada latar belakang masalah, maka penelitian ini bertujuan: 1. Menghasilkan modul pembelajaran latihan keterampilan proses sains untuk SMA/MA Kelas X pada materi kinematika gerak. 2. Mengetahui kelayakan modul pembelajaran latihan keterampilan proses sains untuk SMA/MA Kelas X pada materi kinematika gerak.

10 10 3. Mengetahui pengaruh dari modul pembelajaran latihan keterampilan proses sains untuk SMA/MA Kelas X pada materi kinematika gerak sains terhadap hasil belajar fisika siswa kelas X SMA Negeri 2 Ponorogo. F. Spesifikasi Produk Produk yang dikembangkan berupa modul latihan keterampilan proses sains dengan pokok bahasan kinematika gerak. Modul ini berupa modul cetak dan dilengkapi dengan suplemen silabus dan RPP untuk guru, dan dilengkapi dengan Lembar Kegiatan Siswa (LKS) untuk siswa. G. Manfaat Penelitian Manfaan penelitian ini adalah : 1. Manfaat secara teoritis a. Menekankan arti pentingnya penggunaan modul pembelajaran fisika dalam upaya peningkatan hasil belajar siswa. b. Menambah wawasan bagi guru dan siswa tentang modul pembelajaran fisika yang dapat melatihkan keterampilan proses sains. 2. Manfaat secara praktis a. Bagi guru Modul pembelajaran latihan keterampilan proses sains dapat

11 11 digunakan sebagai salah satu alternatif sarana belajar untuk meningkatkan prestasi belajar siswa dan melatihkan jiwa saintis b. Bagi siswa Melatih siswa untuk memiliki jiwa saintis dan meningkatkan prestasi belajar siswa dengan menguasai keterampilan proses sains c. Bagi sekolah Sekolah mempunyai modul pembelajaran latihan keterampilan proses sains sehingga dapat digunakan sebagai referensi pembuatan modul dengan materi pokok yang berbeda. H. Definisi Operasional 1. Modul latihan keterampilan proses sains adalah buku pegangan berupa media cetak dari suatu konsep fisika yang pembelajarannya menggunakan aspek-aspek dalam keterampilan proses sains dan berisi ringkasaan materi, lembar kegiatan siswa, serta lembar evaluasi. 2. Keterampilan proses sains adalah keterampilan yang dimiliki siswa dalam pembelajaran sains. Keterampilan ini merupakan keterampilan proses sains meliputi: mengamati (observing), menafsirkan (interpreting), berhipotesis (hypothesized), mengklasifikasi (classifying), merencanakan percobaan (experimenting), menyimpulkan (inferring), meramalkan (predicting), mengkomunikasikan (communicating), dan menerapkan konsep atau prinsip (applying concept)

12 12 3. Hasil belajar siswa adalah perolehan belajar siswa setelah mengikuti pemnbelajaran dengan menggunakan modul. Hasil belajar merupakan keterampilan proses sains (KPS) yang dimiliki oleh siswa.

13 BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Kajian Pustaka 1. Domain Pembelajaran Fisika Ilmu Pengetahuan Alam atau science (bahasa Indonesia: sains) diambil dari kata latin Scientia yang arti harfiahnya adalah pengetahuan, tetapi kemudian berkembang menjadi khusus Ilmu Pengetahuan Alam atau IPA. Ilmu Pengetahuan Alam berkaitan dengan cara mencari tahu tentang alam secara sistematis, sehingga sains bukan hanya penguasaan kumpulan pengetahuan yang berupa fakta-fakta, konsep-konsep, atau prinsip-prinsip saja tetapi juga merupakan suatu proses penemuan. Pembelajaran fisika adalah bagian dari pelajaran ilmu alam. Ilmu alam secara klasikal dibagi menjadi dua bagian, yaitu (1) ilmu-ilmu fisik (physical sciences) yang objeknya zat, energi, dan transformasi zat dan energi, (2) ilmuilmu biologi (biological sciences) yang objeknya adalah makhluk hidup dan lingkungannya (Kemble, 1966: 7). Allan J. Mac Cormack dan R.E. Yager telah mengembangkan taksonomi pendidikan sains yang terdiri atas lima domain (Mac Cormack, 1995: 24). Lima domain ini diharapkan membantu peserta didik agar peka dan mampu mencari penyelesaian terhadap permasalahan yang terjadi di lingkungan sekitar. Lima domain tersebut adalah sebagai berikut: 13

14 14 a. Domain I Knowing and Understanding (knowledge domain) Knowledge domain, merupakan ranah pengetahuan yang meliputi fakta, konsep, hukum (prinsip-prinsip), beberapa hipotesis dan teori yang digunakan para ilmuwan, serta masalah-masalah yang terkait dengansains dan sosial. Semua informasi ini dimunculkan dalam tema pembelajaran sains yang menekankan pengaruh teknologi dan sains dalam lingkungannya. b. Domain II Exploring and Discovering (process of science domain) Penggunaan beberapa proses sains untuk belajar bagaimana para saintis berpikir dan bekerja, yang kemudian dikenal pula sebagai keterampilan proses sains. Beberapa proses sains adalah: 1) Keterampilan Dasar (Basic Skills) : Mengamati (observing), mengklasifikasi (classifying), mengukur (measuring), menyimpulkan (inferring), meramalkan (predicting), dan mengkomunikasikan (communicating) 2) Keterampilan terintegrasi (Integrated Skills) : Membuat model (Making Models), mendefinisikan secara operasional (Defining Operationally), mengumpulkan data (Collecting Data), menginterpretasikan data (Interpreting Data), Mengidentifikasi dan mengontrol variabel (Identifying and Controlling Variables), merumuskan hipotesis (Formulating Hypotheses), melakukan percobaan (Experimenting).

15 15 c. Domain III Imagining and Creating (creativity domain) Merupakan ranah kreativitas dalam kegiatan pembelajaran. Namun, sebagian besar kegiatan pembelajaran fisika lebih memfokuskan pada informasi yang diberikan pada peserta didik. Sangat sedikit kegiatan pembelajaran fisika untuk mengembangkan imajinasi dan kreativitas berpikir peserta didik. Padahal kemampuan peserta didik dalam domain ini sangat penting, diantaranya: 1) Menghasilkan alternatif atau menggunakan objek yang tidak biasa digunakan, 2) Memecahkan beberapa masalah, 3) Berfantasi, 4) Menghasilkan ide-ide yang luar biasa. d. Domain IV Felling and Valuing (attitudinal domain) Ranah sikap merupakan sikap ilmiah yang diharapkan dimiliki oleh peserta didik. Dikarenakan dalam menghadapi berbagai permasalahan dalam kehidupan, peserta didik tidak cukup mengimplementasikan pada pengetahuan fisika, proses sains, dan kreativitas yang dimiliknya, tetapi juga perlu dikembangkan sikap ilmiah. Tanpa adanya sikap, tidak akan mungkin masa depan menjadi lebih baik. Sikap ilmiah yang perlu dikembangkan dalam domain ini antara lain: 1) Pengembangan sikap positif terhadap sains secara umum, sains di sekolah, dan para pendidik sains 2) Pengembangan sikap positif terhadap diri sendiri 3) Penggalian emosi kemanusiaan

16 16 4) Pengembangan kepekaan,dan penghargaan, terhadap perasaan orang lain 5) Pengambilan keputusan tentang isu-isu sosial dan lingkungan e. Domain V Using and Applying (applications and connections domain) Ranah penggunaan dan penerapan yang betujuan untuk perlu mengembangkan lebih lanjut semua pengalaman serta ide-ide peserta didik dalam mempelajari fisika sehingga dapat diterapkan dalam kehidupan seharihari. Domain koneksi dan penerapan ini dapat diukur melalui kegiatan peserta didik dalam hal: 1) Mengamati contoh konsep-konsep sains dalam kehidupan sehari-hari 2) Menerapkan konsep-konsep dan keterampilan-keterampilan sains yang telah dipelajari untuk masalah-masalah teknologi sehari-hari 3) Memahami prinsip-prinsip fisika dan teknologi yang melibatkan peralatan teknologi rumah tangga 4) Menggunakan proses sains dalam memecahkan masalah-masalah yang terjadi dalam kehidupan sehari-hari 5) Memahami dan menilai perkembangan fisika melalui media masa 6) Mengambil keputusan untuk diri sendiri yang berkaitan dengan kesehatan, gizi, dan gaya hidup berdasarkan pengetahuan dalam sains daripada berdasarka apa yang didengar dan yang dikatakan atau hanya emosi

17 17 Dengan memandang kelima domain fisika yang dikembangkan diharapkan mampu memberikan peluang bagi peserta didik untuk belajar fisika secara utuh. Peserta didik menjadi tertarik dengan fisika melalui pembelajaran yang lebih efektif karena pengukuran dilakukan tidak berfokus pada satu domain saja. 2. Ketrampilan Proses Sains Keterampilan merupakan kemampuan menggunakan pikiran, nalar, dan perbuatan secara efisien dan efektif untuk mencapai suatu hasil tertentu, termasuk kreativitas. Sedangkan proses dalam hal ini didefinisikan sebagai perangkat keterampilan kompleks yang digunakan ilmuwan dalam melakukan penelitian ilmiah. Proses merupakan konsep besar yang dapat diuraikan menjadi komponenkomponen yang harus dikuasai seseorang bila akan melakukan penelitian. Keterampilan proses sains adalah pendekatan yang didasarkan pada anggapan bahwa sains itu terbentuk dan berkembang melalui suatu proses ilmiah. Dalam pembelajaran sains, proses ilmiah tersebut harus dikembangkan pada siswa sebagai pengalaman yang bermakna. Bagaimanapun pemahaman konsep sains tidak hanya mengutamakan hasil (produk) saja, tetapi proses untuk mendapatkan konsep tersebut juga sangat penting dalam membangun pengetahuan siswa. Keterampilan ilmiah dan sikap ilmiah memiliki peran yang penting dalam menemukan konsep sains. Siswa dapat membangun gagasan baru sewaktu mereka berinteraksi dengan

18 18 suatu gejala. Pembentukan gagasan dan pengetahuan siswa ini tidak hanya bergantung pada karakteristik objek, tetapi juga bergantung pada bagaimana siswa memahami objek atau memproses informasi sehingga diperoleh dan dibangun gagasan baru. Keterampilan proses sains sangat penting bagi setiap siswa sebagai bekal untuk menggunakan metode ilmiah dalam mengembangkan sains serta diharapkan memperoleh pengetahuan baru atau mengembangkan pengetahuan yang telah dimiliki. Kemampuan yang dikembangkan dalam pembelajaran menggunakan keterampilan proses sains meliputi : (a) kemampuan untuk mengetahui apa yang diamati, (b) kemampuan untuk memprediksi apa yang belum terjadi, dan kemampuan untuk menguji tindak lanjut hasil eksperimen, (c) dikembangkannya sikap ilmiah. Kegiatan pembelajaran keterampilan proses sains meliputi pengembangan kemampuan dalam mengajukan pertanyaan, mencari jawaban, memahami jawaban, menyempurnakan jawaban tentang gejala alam maupun karakteristik alam sekitar melalui cara-cara sistematis yang akan diterapkan dalam lingkungan dan teknologi. Kegiatan tersebut dikenal dengan kegiatan ilmiah yang didasarkan pada metode ilmiah. Melalui keterampilan proses dikembangkan sikap dan nilai yang meliputi rasa ingin tahu, jujur, sabar, terbuka, kritis, tekun, ulet, cermat, disiplin, peduli terhadap lingkungan, memperhatikan keselamatan kerja, dan bekerja sama dengan orang lain. Pendekatan yang digunakan dalam pembelajaran sains berorientasi pada peserta didik. Sehingga arah pembelajaran menjadi bagaimana menyediakan dan

19 19 memperkaya pengalaman belajar peserta didik. Pengalaman belajar diperoleh melalui serangkaian kegiatan untuk mengeksplorasi lingkungan melalui interaksi aktif. Metode pendekatan saintifik yang berorientasi pada berfikir saintis dan berfikir kritis telah lazim digunakan untuk memaparkan keterampilas sains, dan dikenal dengan nama keterampilan proses sains. Metode ini dipopulerkan oleh sebuah proyek kurikulum yang dikenal sebagai Science A Process Approach (SAPA) (Padilla: 1990). Keterampilan proses sains dalam SAPA didefinisikan sebagai seperangkat kemampuan saintis yang dapat diterapkan sesuai dengan berbagai disiplin ilmu dan mencerminkan perilaku seorang ilmuwan. Sebagaimana dalam uraian sebelumnya bahwa keterampilan proses sains merupakan salah satu domain dalam pembelajaran fisika. SAPA membagi keterampilan proses sains (science process skills) menjadi dua yaitu keterampilan dasar (basic skills) dan keterampilan terintegrasi (integrated skills). a. Keterampilan Dasar (Basic Skills) Keterampilan dasar dari keterampilan proses sains terdiri dari Mengamati (observing), mengklasifikasi (classifying), mengukur (measuring), menyimpulkan (inferring), meramalkan (predicting), dan mengkomunikasikan (communicating). Keterampilan dasar tersebut terintegrasi serentak ketika ilmuwan merancang dan melaksanakan eksperimen atau dalam kehidupan sehari-hari ketika melakukan tes atau percobaan.

20 20 1) Mengamati (observing) Mengamati adalah proses menyeluruh yang meliputi pengumpulan data tentang fenomena atau peristiwa dengan menggunakan panca indera. Untuk dapat menguasai keterampilan mengamati, siswa harus menggunakan sebanyak mungkin indera yang dimiliki, yakni melihat, mendengar, merasakan, mencium dan mencicipi. Dengan demikian dapat mengumpulkan fakta-fakta yang relevan dan memadai secara maksimal. 2) Mengklasifikasi (classifying) Mengklasifikasi atau mengelompokkan adalah suatu sistematika yang digunakan untuk menggolongkan sesuatu berdasarkan syarat-syarat tertentu. Proses mengklasifikasikan tercakup beberapa kegiatan seperti mencari kesamaan, mencari perbedaan, mengontraskan ciri-ciri, membandingkan, dan mencari dasar penggolongan. 3) Mengukur (measuring) Proses tambahan dari klasifikasi mengharuskan pada kasus-kasus tertentu untuk melakukan pengukuran secara mendetail. Ketika mengukur beberapa benda berarti membandingkan benda tersebut untuk didefinisikan dengan rujukan yang disebut satuan. Sebuah informasi hasil penggkuran berisi dua bagian yaitu angka untuk memberitahu berapa banyak, dan nama satuan untuk memberitahu berapa banyak dengan rujukannya. 4) Menyimpulkan (inferring) Menyimpulkan adalah kegiatan melakukan penjelasan atau tafsiran

21 21 (interpretasi) yang dibuat berdasarkan pengamatan. Ketika mampu membuat kesimpulan, menafsirkan dan menjelaskan peristiwa-peristiwa di sekitar, dengan demikian siswa telah memiliki apresiasi yang lebih baik terhadap lingkungan di sekitar. 5) Meramalkan (predicting) Membuat ramalan (prediksi) adalah membuat dugaan secara logis tentang hasil dari kejadian masa depan. Ramalan ini didasarkan pada pengamatan yang baik dan kesimpulan yang dibuat tentang kejadian yang diamati. Apabila siswa dapat menggunakan pola-pola hasil pengamatannya untuk mengemukakan fenomena yang mungkin terjadi pada keadaan yang belum diamatinya, maka siswa tersebut telah mempunyai kemampuan proses meramalkan. 6) Mengkomunikasikan (communicating) Komunikasi adalah keterampilan proses sains yang bergandengan seiring dengan keseluruhan keterampilan proses sains. Siswa harus berkomunikasi dalam rangka membagikan hasil pengamatan kepada orang lain, membagikan hasil percobaan berupa kesimpulan, maupun prediksi. Komunikasi harus jelas dan efektif agar orang lain dapat memahami informasi tersebut. Salah satu kunci untuk berkomunikasi efektif adalah dengan menggunakan rujukan (referensi).

22 22 b. Keterampilan terintegrasi (Integrated Skills) Keterampilan terintegrasi dalam keterampilan proses sains berlandaskan kepada enam keterampilan dasar yang telah diuraikan sebelumnya. Keterampilan terintegrasi terdiri dari: membuat model (making models), mendefinisikan secara operasional (defining operationally), mengumpulkan data (collecting data), menginterpretasikan data (interpreting data), mengidentifikasi dan mengontrol variabel (identifying and controlling variables), merumuskan hipotesis (formulating hypotheses), melakukan percobaan (experimenting). Keterampilan terintegrasi pada hakekatnya merupakan keterampilanketerampilan yang diperlukan untuk melakukan penelitian. Mulai dari membuat model yaitu model percobaan yang akan dilakukan, kemudian mendefinisikan secara operasional variabel-variabel yang digunakan, selanjutnya melakukan pengumpulan data dan menginterpretasikan. Langkah ini diikuti dengan mengidentifikasi dan mengontrol variabel-variabel yang digunakan dalam percobaan. Kemampuan merumuskan hipotesis sangat diperlukan dalam percobaan untuk memberikan arah dalam percobaan. Hipotesis adalah jawaban sementara terhadap masalah yang masih bersifat praduga karena masih harus dibuktikan kebenarannya. Dalam tahapan untuk melakukan percobaan, keterampilan proses sains dasar dilakukan oleh praktikan. Keterampilan proses sains dalam pembelajaran diimplementasikan melalui pendekatan keterampilan proses. Pendekatan keterampilan proses adalah proses

23 23 pembelajaran yang dirancang sedemikian rupa sehingga siswa dapat menemukan fakta-fakta, membangun konsep-konsep dan teori-teori dengan keterampilan intelektual dan sikap ilmiah siswa sendiri. Siswa diberi kesempatan untuk terlibat langsung dalam kegiatan-kegiatan ilmiah seperti yang dikerjakan para ilmuwan, tetapi pendekatan keterampilan proses tidak bermaksud menjadikan setiap siswa menjadi ilmuwan. Seperti yang diimplementasikan oleh SAPA (Science A Process Approach), pendekatan keterampilan proses sains (KPS) merupakan pendekatgn pembelajaran yang berorientasi kepada proses IPA. Namun dalam tujuan dan pelaksanaannya terdapat beberapa perbedaan. SAPA tidak mementingkan konsep apa yang akan dicapai, sedangkan pendekatan KPS justru menggunakan keterampilan proses untuk memahami konsep atau mempelajari konsep. Selain itu SAPA juga menuntut pengembanagan pendekatan yang dilakukan secara utuh yaitu dalam metode ilmiah selama pelaksanaannya, sedangkan jenis-jenis keterampilan proses dalam pendekatan KPS dapat dikembangkan secara terpisah, bergantung metode pembelajaran yang digunakan. Dalam Nuryani (1995) menyatakan bahwa keterampilan proses terdiri dari sejumlah keterampilan yang satu sama lain sebenarnya tak dapat dipisahkan, masing-masing keterampilan tersebut yaitu: 1) Melakukan pengamatan (observasi), 2) Menafsirkan pengamatan (interpretasi), 3) Mengelompokkan (klasifikasi), 4) Meramalkan (prediksi), 5) Berkomunikasi, 6) Berhipotesis,

24 24 7) merencanakan percobaan atau penyelidikan, 8) Menerapkan konsep atau prinsip, 9) Mengajukan pertanyaan. Ketrampilan proses sains yang digunakan dalam pengembangan modul ini merupakan penggabungan dan modifikasi dari KPS menurut Nuryani dan yang terdapat dalam SAPA, sehingga diambil sembilan keterampilan proses sains, yaitu mengamati (observing), menafsirkan (interpreting), berhipotesis (hypothesized), mengklasifikasi (classifying), merencanakan percobaan (experimenting), menyimpulkan (inferring), meramalkan (predicting), mengkomunikasikan (communicating), dan menerapkan konsep atau prinsip (applying concept). Keterampilan Proses Sains merupakan keterampialan yang bebas konsep, artinya dalam melatihkan KPS tidak terikat akan konsep maupun sintaks dalam pembelajaran. Pada umumnya KPS dilatihkan dengan dua cara. Metode melatihkan KPS yaitu dilatihkan secara tidak langsung dan terintegrasi dalam pembelajaran, dengan model-model pembelajaran berbasis KPS. Cara kedua adalah dengan melatihkan KPS secara langsung satu persatu dimulai dari KPS yang paling dasar, setelah siswa benar-benar menguasai KPS yang dilatihkan dapat dilanjutkan dengan KPS berikutnya. Dengan cara ini siswa akan lebih fokus untuk menguasai KPS sehingga dapat menunjang pembelajaran saintis untuk materi-materi yang berbeda. Dalam modul ini KPS dilatihkan secara tersendiri lepas dari sintaks pembelajaran. KPS dilatihkan satu persatu dengan materi kinematika sebagai

25 25 pendamping dalam pembelajaran. Dengan demikian memudahkan siswa untuk belajar masing-masing KPS untuk menunjang pembelajaran kinematika maupun materi lain. 3. Modul a. Pengertian Modul Modul merupakan alat atau sarana pembelajaran yang berisi materi, metode, batasan-batasan, dan cara mengevaluasi yang dirancang secara sistematis dan menarik untuk mencapai kompetensi yang diharapkan sesuai dengan tingkat kompleksitasnya (Depdiknas, 2007). Suatu modul adalah suatu paket pengajaran yang memuat satu unit konsep dari pada bahan pelajaran. Pengajaran modul itu merupakan usaha penyelenggaraan pengajaran individual yang memungkinkan siswa menguasai satu unit bahan pelajaran sebelum dia beralih kepada unit berikutnya. Modul itu disajikan dalam bentuk yang bersifat self instructional. Masingmasing siswa dapat menentukan kecepatan dan intensitas belajarnya sendiri. Modul sebagai alat atau sarana pembelajaran yang berisi materi, metode, batasan-batasan, dan cara mengevaluasi yang dirancang secara sistematis dan menarik untuk mencapai kompetensi yang diharapkan. Modul disusun dengan memperhatikan bahwa sebagian anak belajar lebih cepat dari pada anak-anak lainnya, karena mereka berbeda dalam kemampuan intelektual dan fisiknya dari teman-temannya, serta dikarenakan

26 26 lingkungan sosial, ekonomi, dan pendidikan keluarganya sehingga dapat mempengaruhi prestasi belajarnya. Dengan adanya modul tersebut, diharapkan dalam pembelajaran di sekolah tidak menghambat siswa-siswa yang cepat dalam belajarnya. Dengan demikian memungkinkan para siswa maju berkelanjutan dalam belajarnya sesuai dengan kemampuan, irama, dan gaya belajarnya masing-masing. b. Tujuan Penulisan Modul Adapun tujuan penulisan modul (Depdiknas, 2007) adalah: 1) Memperjelas dan mempermudah penyajian pesan agar tidak terlalu bersifat verbal. 2) Mengatasi keterbatasan waktu, ruang, dan daya indera, baik siswa maupun guru. 3) Dapat digunakan secara tepat dan bervariasi, seperti: a) meningkatkan motivasi dan gairah belajar bagi siswa; b) mengembangkan kemampuan siswa dalam berinteraksi langsung dengan lingkungan dan sumber belajar lainnya; c) memungkinkan siswa belajar mandiri sesuai kemampuan dan minatnya; d) memungkinkan siswa dapat mengukur atau mengevaluasi sendiri hasil belajarnya.

27 27 c. Karakteristik Modul Agar menghasilkan modul yang mampu meningkatkan motivasi penggunanya, maka modul harus mencakup karakteristik yang diperlukan sebagai modul. Dengan demikian pengembangan modul harus memasukkan karakteristik sebagai berikut (Depdiknas, 2003:6): 1) Self Instructional Self Instructional yaitu melalui modul siswa mampu membelajarkan diri sendiri, tidak tergantung pada pihak lain. Sesuai dengan tujuan modul adalah agar siswa mampu belajar mandiri. Untuk memenuhi karakter self instructional, maka modul harus: a) terdapat tujuan yang dirumuskan dengan jelas, baik tujuan akhir maupun tujuan antara; b) terdapat materi pembelajaran yang dikemas ke dalam unitunit/kegiatan spesifik sehingga memudahkan siswa belajar secara tuntas; c) tersedia contoh dan ilustrasi yang mendukung kejelasan pemaparan materi pembelajaran; d) terdapat soal-soal latihan, tugas dan sejenisnya yang memungkinkan siswa memberikan respon dan mengukur penguasaannya; e) kontekstual yaitu materi-materi yang disajikan terkait dengan suasana atau konteks tugas dan lingkungan siswa;

28 28 f) menggunakan bahasa yang sederhana dan komunikatif; g) terdapat rangkuman materi pembelajaran; h) terdapat instrumen penilaian (assessment), yang memungkinkan siswa melakukan self assessment; i) terdapat instrumen yang dapat digunakan menetapkan tingkat penguasaan materi untuk menetapkan kegiatan belajar selanjutnya; j) terdapat umpan balik atas penilaian siswa, sehingga siswa mengetahui tingkat penguasaan materi; k) tersedia informasi tentang rujukan/pembelajaran/referensi yang mendukung materi pembelajaran yang dimaksud. 2) Self Contained Self contained yaitu seluruh materi pembelajaran dari satu kompetensi atau sub kompetensi yang dipelajari terdapat di dalam satu modul secara utuh. Tujuan dari konsep ini adalah memberikan kesempatan siswa mempelajari materi pembelajaran secara tuntas, karena materi dikemas ke dalam satu kesatuan yang utuh. Jika harus dilakukan pembagian atau pemisahan materi dari satu kompetensi/subkompetensi harus dilakukan dengan hati-hati dan memperhatikan keluasan kompetensi/subkompetensi yang harus dikuasai oleh siswa. 3) Stand Alone Stand alone atau berdiri sendiri yaitu modul yang dikembangkan tidak

29 29 tergantung pada bahan ajar lain. Dengan menggunakan modul, siswa tidak perlu bahan ajar yang lain untuk mempelajari dan atau mengerjakan tugas pada modul tersebut. Jika siswa masih menggunakan dan bergantung pada bahan ajar lain selain modul yang digunakan tersebut, maka bahan ajar tersebut tidak dikategorikan sebagai modul yang berdiri sendiri. 4) Adaptif Modul hendaknya memiliki daya adaptif yang tinggi terhadap perkembangan ilmu dan teknologi. Dikatakan adapatif jika modul tersebut dapat menyesuaikan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, serta fleksibel digunakan diberbagai tempat. Modul yang adaptif adalah jika isi materi pembelajaran dan perangkat dapat digunakan sampai dengan kurun waktu tertentu. 5) User Friendly Modul hendaknya juga memenuhi kaidah user friendly atau bersahabat/akrab dengan pemakainya. Setiap instruksi dan paparan informasi yang tampil bersifat membantu dan bersahabat dengan pemakainya, termasuk kemudahan pemakai dalam merespon, mengakses sesuai dengan keinginan. Penggunaan bahasa yang sederhana, mudah dimengerti serta menggunakan istilah yang umum digunakan merupakan salah satu bentuk karakteristik modul user friendly.

30 30 d. Penulisan Modul Modul pembelajaran harus mampumemerankan fungsi dan peranannya dalam pembelajaran yang efektif, modul perlu dirancang dan dikembangkan dengan mengikuti kaidah dan elemen yang mensyaratkannya. Elemen-elemen yang harus dipenuhi dalam menyusun modul antara lain (Depdiknas, 2003:8): 1) Konsistensi a) gunakan bentuk dan huruf secara konsisten dari halaman ke halaman. Usahakan agar tidak menggabungkan beberapa cetakan dengan bentuk dan ukuran huruf yang terlalu banyak variasi; b) gunakan jarak spasi konsisten. Jarak antara judul dengan baris pertama, antara judul dengan teks utama. Jarak baris atau spasi yang tidak sama sering dianggap buruk, tidak rapi; c) gunakan tata letak dan pengetikan yang konsisten, baik pola pengetikan maupun margin/batas-batas pengetikan. 2) Format a) gunakan format kolom (tunggal atau multi) yang proporsional. Penggunaan kolom tunggal atau multi harus sesuai dengan bentuk dan ukuran kertas yang digunakan. Jika menggunakan kolom multi, hendaknya jarak dan perbandingan antar kolom proporsional; b) gunakan format kertas (vertikal atau horisontal) yang tepat. Penggunaan kertas secara vertical atau horizontal harus memperhatikan

31 31 tata letak dan format pengetikan; c) gunakan tanda-tanda (icon) yang mudah ditangkap yang bertujuan untuk menekankan pada hal-hal yang dianggap penting atau khusus. Tanda dapat berupa gambar, cetak tebal, cetak miring atau lainnya. 3) Organisasi a) tampilkan peta/bagian yang menggambarkan cakupan materi yang akan dibahas dalam modul; b) organisasikan isi materi pembelajaran dengan urutan dan susunan yang sistematis, sehingga memudahkan siswa memahami materi pembelajaran; c) susun dan tempatkan naskah, gambar, dan ilustrasi sedemikian rupa sehingga informasi mudah mengerti oleh siswa; d) organisasikan antar bab, antar unit dan antar paragraf dengan susunan dan alur yang memudahkan siswa memahaminya; e) organisasikan antara judul, sub bab dan uraian yang mudah ditulis oleh siswa. 4) Daya tarik Daya tarik modul dapat ditempatkan di beberapa bagian seperti: a) bagian sampul (cover) depan dengan mengkombinasikan warna, gambar (ilustrasi), bentuk dan ukuran huruf yang serasi; b) bagian isi modul dengan menempatkan rangsangan-rangsangan berupa

32 32 gambar atau ilustrasi, pencetakan huruf tebal, miring, garis bawah atau warna; c) tugas dan latihan yang dikemas sedemikian rupa. 5) Bentuk dan Ukuran Huruf a) gunakan bentuk dan ukuran huruf yang mudah dibaca sesuai dengan karakteristik umum siswa; b) gunakan perbandingan huruf yang proporsional antara judul, sub judul dan isi naskah; c) hindari penggunaan huruf kapital untuk seluruh teks, karena dapat membuat proses membaca menjadi sulit. 6) Ruang (spasi kosong) Gunakan spasi atau ruang kosong tanpa naskah atau gambar untuk menambah kontras penampilan modul. Spasi kosong dapat berfungsi untuk menambahkan catatan penting dan memberikan kesempatan jeda kepada siswa. Gunakan dan tempatkan spasi kosong tersebut secara proporsional. Penempatan ruang kosong dapat dilakukan di beberapa tempat seperti: a) Ruang sekitar judul bab dan sub bab b) Batas tepi (margin), batas tepi yang luas memaksa perhatian siswa untuk masuk ke tengah-tengah halaman.

33 33 c) Pergantian antara paragraf dan dimulai dengan huruf kapital. d) Pergantian antar bab atau bagian. e. Bagian-bagian Modul Menurut Cece Wijaya (1992:99) bagian-bagian modul yang umum dikembangkan adalah sebagai berikut: 1) Petunjuk untuk guru 2) Tujuan pembelajaran umum dan tujuan pembelajaran khusus. 3) Penjelasan tentang cara menyelenggarakan proses belajar mengajar yang efisien. 4) Penjelasan tentang materi pelajaran yang akan disajikan dan strategi belajarnya. 5) Waktu yang disediakan untuk mempelajari materi modul. 6) Alat-alat dan bahan pelajaran serta sumber-sumber yang harus digunakan, dan prosedur penilaian, jenis, cara/alat, dan materi penilaian. 7) Kegiatan siswa a) Pendahuluan. Pada bagian ini dicantumkan jadwal modul lainnya dan kegiatan-kegiatan yang harus dilaksanakan siswa. Disamping itu, memuat tujuan yang dicapai dan materi yang akan dipelajari oleh siswa. b) Petunjuk belajar. Pada bagian ini, akan diuraikan apa-apa atau urutan langkah yang harus dikerjakan siswa dalam menggunakan modul.

34 34 c) Kegiatan belajar. Pada bagian ini, terdiri dari beberapa kegiatan masing-masing kegiatan memuat tujuan yang akan dicapai. Materi pokok yang akan dipelajari dan uraian materinya. Pada akhir uraian materi pelajaran, disajikan tugas atau masalah yang harus dipecahkan maupun pertanyaan-pertanyaan yang harus dijawab siswa mengenai materi pelajaran yang telah dipelajari. Tugas-tugas ini, diberikan agar siswa dapat menilai hasil belajarnya sendiri. d) Kunci tugas. Kunci tugas disediakan pada akhir kegiatan siswa dengan harapan agar siswa dapat dengan segera mengetahui apakah tugas-tugas yang dikerjakannya benar. 8) Tes akhir modul Setiap modul dilengkapi dengan tes akhir modul. Dari hasil tes siswa, guru dapat mengetahui apakah tujuan pembelajaran yang ditetapkan telah tercapai atau belum. Cakupan tes akhir modul antara lain dapat mengukur aspek kognitif, afektif, dan psikomotorik 9) Kunci tes akhir modul Kunci tes disusun berdasarkan tujuan pembelajaran yang telah dirumuskan. Kunci tes ini, hanya dipegang oleh guru yang senantiasa dijaga kerahasiaannya.

35 35 f. Kekurangan dan Kelebihan Modul Pembelajaran menggunakan modul lebih menekankan siswa untuk belajar mandiri. Menurut Suparman (1993:197), menyatakan bahwa bentuk kegiatan belajar mandiri ini mempunyai kekurangan-kekurangan sebagai berikut : a) Biaya pengembangan bahan tinggi dan waktu yang dibutuhkan lama. b) Menentukan disiplin belajar yang tinggi yang mungkin kurang dimiliki oleh siswa pada umumnya dan siswa yang belum matang pada khususnya. c) Membutuhkan ketekunan yang lebih tinggi dari fasilitator untuk terus menerus mamantau proses belajar siswa, memberi motivasi dan konsultasi secara individu setiap waktu siswa membutuhkan. Utomo (1991:72), juga mengungkapkan beberapa hal yang memberatkan belajar dengan menggunakan modul, yaitu: 1) Kegiatan belajar memerlukan organisasi yang baik, 2) Selama proses belajar perlu diadakan beberapa ulangan/ujian, yang perlu dinilai sesegera mungkin Berdasar pendapat di atas ternyata pembelajaran menggunakan modul memiliki kelemahan-kelemahan mendasar yang harus dapat diatasi oleh guru sebagai sutradara dalam pembelajaran, agar pembelajaran dapat berjalan secara optimal. Belajar menggunakan modul juga sangat banyak manfaatnya, siswa dapat bertanggung jawab terhadap kegiatan belajarnya sendiri, pembelajaran dengan modul sangat menghargai perbedaan individu,

36 36 sehingga siswa dapat belajar sesuai dengan tingkat kemampuannya, maka pembelajaran semakin efektif dan efisien. Tjipto (1991:72), mengungkapkan beberapa keuntungan yang diperoleh jika belajar menggunakan modul, antara lain: a) Motivasi siswa dipertinggi karena setiap kali siswa mengerjakan tugas pelajaran dibatasi dengan jelas dan yang sesuai dengan kemampuannya. b) Sesudah pelajaran selesai guru dan siswa mengetahui benar siswa yang berhasil dengan baik dan mana yang kurang berhasil. c) Siswa mencapai hasil yang sesuai dengan kemampuannya. d) Beban belajar terbagi lebih merata sepanjang semester. e) Pendidikan lebih berdaya guna. g. Modul Latihan Keterampilan Proses Sains Modul latihan keterampilan proses sains adalah modul yang mencakup keseluruhan keterampilan proses sains, dalam hal ini mengacu kepada keterampilan proses terintegrasi yang dikemukakan SAPA (Padilla: 1990) dan Nuryani (1995) yang mencakup sembilan keterampilan proses sains. Modul yang dikembangkan berisi materi kinematika gerak yang penyajiannya melatihkan siswa untuk menguasai keterampilan proses terintegrasi maupun keterampilan proses sains dasar. Kemudian pada akhir materi terdapat lembar kegiatan siswa untuk mengimplementasikan materi dan keterampilan proses sains yang telah dipelajari.

37 37 4. Kinematika Gerak a. Pengantar Kinematika Gerak Kinematika gerak merupakan ilmu dari fisika klasik yang sudah ada sejak jaman dahulu. Berbagai penelitian telah dilakukan diantaranya Aristoteles yang merupakan salah satu filsuf dan ilmuwan terbesar Yunani. Ia kemudian menjelaskan fenomena gerak dengan membuat klasifikasi. Aristoteles membagi gerakan dalam dua tipe: gerakan alami dan gerakan gangguan. Gerakan alami diduga berasal dari sifat benda. Dalam pandangan Aristoteles, setiap benda dalam alam semesta memiliki tempat tertentu, yang ditentukan oleh sifat ini. Setiap benda yang tidak berada dalam tempat seharusnya akan bergerak untuk pergi ke tempat tersebut. Benda berada di bumi, benda terbuat dari tanah liat akan jatuh ke tanah. Benda yang terbuat dari udara seperti asap akan naik ke atas. Benda yang terbuat dari campuran tanah dan udara namun didominasi bumi, seperti bulu akan jatuh ke tanah namun tidak secepat benda yang terbuat dari tanah liat. Benda yang lebih besar akan bergerak lebih cepat. Karena itu, benda dipercayai jatuh dengan kecepatan proporsional dengan berat. Makin berat sebuah benda, makin cepat benda akan jatuh ke tanah. Gerakan alami dapat bergerak lurus ke atas atau ke bawah. Gerakan gangguan, ditimbulkan dari gaya mendorong atau menarik. Seseorang mendorong sebuah kereta atau mengangkat sebuah benda

38 38 mengakibatkan gerakan. Angin menimbulkan gerakan terhadap kapal laut. Hal mendasar tentang gerakan gangguan adalah disebabkan oleh penyebab luar dan diberikan kepada benda. Benda bergerak bukan karena dirinya, tetapi karena didorong atau ditarik. Kemudian muncul teori Copernicus, tentang pergerakan bumi mengelilingi matahari, dan dilanjutkan oleh penelitian Galileo. Hipotesis benda jatuh Aristoteles dengan mudah digugurkan oleh Galileo. Ia melakukan percobaan dengan menjatuhkan benda dengan beragam berat dari puncak menara miring di Pisa dan membandingkan waktu jatuhnya. Berlawanan dengan Aristoteles, ia menemukan batu yang beratnya dua kali lipat dibanding batu yang lain tidak jatuh lebih cepat dua kali lipat. Kecuali akibat gaya gesek dengan udara. Galileo kemudian menemukan bahwa benda dengan berat beragam, ketika dilepaskan pada waktu yang bersamaan, jatuh bersama dan menyentuh tanah pada waktu yang bersamaan. Dari teori-teori tentang gerak inilah akhirnya memunculkan kemungkinan Newton untuk menjelaskan tentang pergerakan alam semesta berdasarkan fisika klasik. Dalam perkembangannya gerak dibedakan menjadi dua, yaitu kinematika dan dinamika. Kinematika adalah ilmu yang mempelajari bagaimana gerak dapat terjadi tanpa memperdulikan penyebab terjadinya gerak tersebut. Sedangkan dinamika adalah ilmu yang mempelajari tentang gerak dan gaya penyebabnya.

39 39 b. Kinematika gerak lurus Dalam materi gerak lurus materi yang disampaikan, dapat disajikan dalam peta konsep berikut: GERAK LURUS dapat berupa dapat berupa GLB ciri Kecepatan Tetap GLBB Percepatan Tetap ciri dapat berupa Gerak Dipercepat Gerak Diperlambat Gambar 2.1 : Peta konsep materi gerak lurus Gerak lurus adalah kondisi suatu benda berpindah menjauhi posisi titik acuan dengan lintasan lurus. Titik acuan adalah suatu titik untuk memulai pengukuran perubahan kedudukan benda. Adapun lintasan adalah titik-titik yang dilalui oleh suatu benda ketika bergerak. Suatu benda melakukan gerak, bila benda tersebut kedudukannya (jaraknya) berubah setiap saat terhadap titik asalnya (titik acuan). Sebuah benda dikatakan bergerak lurus, jika lintasannya berbentuk garis lurus. Misalnya gerak jatuh bebas dan gerak mobil di jalan. Gerak lurus yang dibahas ada dua macam yaitu : a. Gerak lurus beraturan (disingkat GLB) b. Gerak lurus berubah beraturan (disingkat GLBB)

40 40 Gambar 2.2 : Perubahan posisi benda 1) Jarak dan perpindahan Jarak merupakan panjang lintasan yang ditempuh oleh suatu materi (zat). Sedangkan perpindahan ialah perubahan posisi suatu benda yang dihitung dari posisi awal. Jarak tidak mempersoalkan ke arah mana benda bergerak, sebaliknya perpindahan tidak mempersoalkan lintasan suatu benda yang bergerak. Perpindahan hanya mempersoalkan kedudukan, awal dan akhir benda itu. Jarak adalah besaran skalar, sedangkan perpindahan adalah vektor. Dua benda dapat saja menempuh jarak (panjang lintasan) yang sama namun mengalami perpindahan yang berbeda. Ketika berpindah dari posisi awal x i ke posisi akhir x f, perpindahan partikel didapat dengan x i - x f.. Digunakan simbol delta ( ) untuk menyatakan perubahan besaran. Sehingga perpindahan partikel dapat ditulis Δx = x i - x f. (2.1) Besaran x menyatakan posisi benda relatif terhadap titik tetap yang dipilih sebagai titik acuan atau titik pusat koordinta. Pada titik pusat koordinat nila x=0. Untuk perjanjian, jika benda berada di sebelah kanan titik pusat koordinat maka nilai x positif, sebaliknya jika benda berada di sebelah kiri

41 41 titik pusat koordinat nilai x negatif. Berdasarkan persamaan 2.1 Δx berharga positif jika x f lebih besar daripada x i, begitu pula sebaliknya. Dikarenakan perpindahan bergantung pada arah geraknya, maka perpindahan bisa positif atau negatif. Perpindahan positif jika arah gerak ke kanan, dan Perpindahan negatif jika arah gerak ke kiri. 2) Kecepatan dan kelajuan Kecepatan rata-rata ( ) sebuah partikel didefinisikan sebagai perpindahan partikel Δx dibagi selang waktu Δt selama perpindahan tersebut terjadi =. (2.2) Kecepatan rata-rata partikel yang bergerak dalam satu dimensi dapat bernilai positif atau negatif, bergantung kepada tanda perpindahannya (perhatikan persamaan 2.1) akan tetapi selang waktu Δt selalu bernilai positif. Dalam kehidupan sehari-hari, kelajuan dan kecepatan memiliki arti yang sama. Namun, dalam fisika terdapat perbedaan di antara keduanya. Sebagai contoh seorang pelari marathon yang berlari lebih dari 40 km, namun selesai pada tiitk kedudukan awal. Perpindahan totalnya nol, sehingga kecepatan rata-ratanya nol. Tetapi apabila kita hitung seberapa cepat dia berlari, maka bisa didapatkan rasio yang sedikit berbeda. Kelajuan rata-rata

42 42 partikel, sebuah besaran skalar, didefinisikan sebagai jarak tempuh total dibagi waktu yang diperlukan untuk menempuh jarak tersebut. Kelajuan rata-rata =..(2.3) Dalam kehidupan sehari-hari, kelajuan maupun kecepatan senantiasa berubah-ubah karena berbagai sebab. Misalnya jalanan yang tidak rata. Oleh karenanya dapat diartikan bahwa kelajuan dan kecepatan pada dua persamaan di atas sebagai kelajuan rata-rata dan kecepatan rata-rata. 3) Kecepatan dan kelajuan sesaat Kecepatan didefinisikan sebagai perubahan posisi per satuan waktu. Kecepatan dari suatu gerak partikel dapat juga diketahui pada saat selang waktu tertentu saja. Misalnya sebuah partikel bergerak selama sepuluh detik, maka dapat juga diukur kecepatan pada saat detik ke 0 sampai detik ke 5 saja. Kecepatan ini disebut kecepatan sesaat, dengan kata lain kecepatan sesaat v x sebanding dengan limit rasio Δx/ Δt seiring Δt mendekati nol. Gambar 2.3: Grafik kecepatan sesaat (Resnick: 2011)

43 43 Secara grafis kecepatan sesaat dapat didefinisikan sebagai gradient garis singgung dari kurva posisi (x) dan waktu (t) pada nilai t yang diinginkan. Grafik pada gambar 2.3 menunjukkan bahwa kecepatan sesaat pada posisi A didefinisikan dari gradien garis singgung kurva x(t) di titik A. = lim. (2.4) Dengan demikian kecepatan sesaat di titik A sebesar = = ~, hal ini berarti pada titik A benda masih dalam keadaan diam sehingga nilai kecepatan sesaat tidak terdefinisikan. Kecepatan sesaat pada titik B adalah = = 5, dengan demikian kecepatan sesaat di titik B adalah 5 m/s. Kecepatan sesaat ini bisa bernilai positif maupun negatif bergantung arah gerakannya. Gerak benda dari A ke B pada grafik 2.1 menunjukkan kecepatan bernilai positif dikarenakan berharga positif. Sedangkan gerak dari B ke C sampai F kecepatan bernilai negatif dikarenakan berharga negatif. Kelajuan sesaat didefinisikan sebagai besarnya kecepatan sesaat. Seperti kelajuan rata-rata, kelajuan sesaat tidak memiliki arah, sehingga tidak mempunyai tanda di depan besaran nilainya. 4) Percepatan Percepatan rata-rata x didefinisikan sebagai perubahan kecepatan Δv x dibagi selang waktu Δt perubahan tersebut terjadi:

44 44 x = = (2.5) Perubahan kecepatan didapatkan dari selisih kecepatan akhir dengan kecepatan awal. Selang waktu Δt didapatkan dari selisih waktu akhir awal pengukuran dengan waktu awal pengukuran. Percepatan sesaat sama dengan turunan kecepatan terhadap waktu, yang menurut definisi berarti kemiringan grafik kecepatan-waktu. a x = lim 0 = (2.6) percepatan dapat bernilai positif dan negatif. Percepatan bernilai positif artinya gerak benda mengalami pertambahan kecepatan sehingga kecepatannya semakin besar. Sedangkan percepatan bernilai negatif artinya gerak benda diperlambat sehingga kecepatannya semakin kecil bahkan berhenti, contoh pada gerak mobil yang di rem. Secara grafis percepatan sesaat juga dapat didefinisikan sebagai gradient garis singgung dari kurva kecepatan (v) dan waktu (t) pada nilai t yang diinginkan seperti pada gambar grafik 2.3

45 45 Gambar 2.4: Grafik percepatan sesaat (Resnick: 2011) Gradien garis singgung gambar grafik 2.4 didapatkan dari perbandingan perubahan kecepatan dengan perubahan waktu, sehingga didapatkan persamaan percepatan sesaat seperti persamaan 2.6 5) Gerak lurus beraturan (GLB) Gerak lurus beraturan adalah gerak benda dalam lintasan garis lurus dengan kecepatan tetap. v (m/s) Gambar 2.5 : Grafik GLB t (s) Pada grafik 2.3 menyatakan hubungan antara kecepatan (v) dan waktu tempuh (t) suatu benda yang bergerak lurus. Berdasarkan grafik tersebut kecepatan benda selalu tetap. Ditinjau dari gerak tiap detik, pada detik pertama kecepatanya 3 m/s, pada detik kedua kecepatannya 3 m/s dan seterusnya dari waktu ke waktu yakni tetap sebesar 3 m/s. Jarak total yang ditempuh benda

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Agung Firmansyah, 2013

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Agung Firmansyah, 2013 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Salah satu tujuan penting dari kegiatan pembelajaran adalah memberdayakan potensi yang dimiliki oleh peserta didik sehingga menjadi manusia yang berkualitas. Hal ini

Lebih terperinci

Pengertian Bahan Ajar

Pengertian Bahan Ajar Pengertian Bahan Ajar Bahan ajar merupakan informasi, alat dan teks yang diperlukan guru/instruktur untuk perencanaan dan penelaahan implementasi pembelajaran. Bahan ajar adalah segala bentuk bahan yang

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Modul 1. Pengertian Modul merupakan alat atau sarana pembelajaran yang berisi materi, metode, batasan-batasan dan cara mengevaluasi yang dirancang secara sistematis dan menarik

Lebih terperinci

Fitri Rahmawati, MP. Staf Pengajar Pendidikan Teknik Boga Fakultas Teknik Universitas Negeri Yogyakarta

Fitri Rahmawati, MP. Staf Pengajar Pendidikan Teknik Boga Fakultas Teknik Universitas Negeri Yogyakarta Fitri Rahmawati, MP Staf Pengajar Pendidikan Teknik Boga Fakultas Teknik Universitas Negeri Yogyakarta Email: fitri_rahmawati@uny.ac.id Pengertian Modul Modul merupakan alat atau sarana pembelajaran yang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang masalah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang masalah Pendidikan nasional, sebagai salah satu sektor pembangunan nasional dalam upaya mencerdaskan kehidupan bangsa, mempunyai visi terwujudnya sistem pendidikan sebagai

Lebih terperinci

Mekarkeun Bahan Ajar Basa dina Kapaigelan Basa Sunda ku Usep Kuswari

Mekarkeun Bahan Ajar Basa dina Kapaigelan Basa Sunda ku Usep Kuswari Mekarkeun Bahan Ajar Basa dina Kapaigelan Basa Sunda ku Usep Kuswari A. Karakteristik Bahan Ajar 1. Self Instructional a. Aya tujuan nu dirumuskeun kalayan jentre, boh tujuan ahir boh tujuan antara. b.

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Keterampilan proses sains merupakan semua keterampilan yang digunakan untuk

II. TINJAUAN PUSTAKA. Keterampilan proses sains merupakan semua keterampilan yang digunakan untuk 7 II. TINJAUAN PUSTAKA A. Kajian Teori 1. Keterampilan Proses Sains a. Pengertian Keterampilan Proses Sains Keterampilan proses sains merupakan semua keterampilan yang digunakan untuk menemukan dan mengembangkan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. sekolah yang melibatkan guru sebagai pendidik dan siswa sebagai peserta didik,

BAB I PENDAHULUAN. sekolah yang melibatkan guru sebagai pendidik dan siswa sebagai peserta didik, 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pendidikan merupakan suatu aspek kehidupan yang sangat mendasar bagi pembangunan bangsa suatu Negara. Dalam penyelenggaraan pendidikan di sekolah yang melibatkan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 9 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Keterampilan Proses Sains 2.1.1 Hakikat Sains Kata sains atau Science menurut Wonorahardjo (2010) dilihat dari sudut bahasa berasal dari bahasa latin, yaitu dari kata Scientia

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. berlandaskan pada kurikulum satuan pendidikan dalam upaya meningkatkan. masyarakat secara mandiri kelak di kemudian hari.

BAB I PENDAHULUAN. berlandaskan pada kurikulum satuan pendidikan dalam upaya meningkatkan. masyarakat secara mandiri kelak di kemudian hari. BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Pendidikan formal merupakan upaya sadar yang dilakukan sekolah dengan berlandaskan pada kurikulum satuan pendidikan dalam upaya meningkatkan kemampuan kognitif,

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Penelitian merupakan kegiatan pencarian, penyelidikan, dan percobaan secara

TINJAUAN PUSTAKA. Penelitian merupakan kegiatan pencarian, penyelidikan, dan percobaan secara II. TINJAUAN PUSTAKA A. Penelitian Pengembangan Penelitian merupakan kegiatan pencarian, penyelidikan, dan percobaan secara alamiah dalam bidang tertentu untuk mendapatkan suatu informasi yang datanya

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara.

BAB I PENDAHULUAN. keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara. 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Setiap orang membutuhkan pendidikan dalam kehidupannya. Undang- Undang Republik Indonesia No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional menyatakan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Era globalisasi yang ditandai dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi telah membuka batas antar negara. Persaingan hidup pun semakin ketat. Hanya

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. 1. Teori perkembangan Kognitif Piaget. dan interaksi aktif anak dengan lingkungan. Pengetahuan datang dari

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. 1. Teori perkembangan Kognitif Piaget. dan interaksi aktif anak dengan lingkungan. Pengetahuan datang dari BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Teori-Teori Belajar yang Relevan 1. Teori perkembangan Kognitif Piaget Perkembangan kognitif sebagian besar ditentukan oleh manipulasi dan interaksi aktif anak dengan lingkungan.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pendidikan merupakan bagian penting dalam kehidupan seseorang. Melalui pendidikan seseorang akan memiliki pengetahuan yang lebih baik serta dapat bertingkah

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. A. Model Siklus belajar 5E (The 5E Learning Cycle Model) (Science Curriculum Improvement Study), suatu program pengembangan

II. TINJAUAN PUSTAKA. A. Model Siklus belajar 5E (The 5E Learning Cycle Model) (Science Curriculum Improvement Study), suatu program pengembangan 11 II. TINJAUAN PUSTAKA A. Model Siklus belajar 5E (The 5E Learning Cycle Model) Model siklus belajar pertama kali dikembangkan pada tahun 1970 dalam SCIS (Science Curriculum Improvement Study), suatu

Lebih terperinci

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN. A. Kajian Pengembangan Modul Pembelajaran Fisika

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN. A. Kajian Pengembangan Modul Pembelajaran Fisika 59 BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Kajian Pengembangan Modul Pembelajaran Fisika Penelitian pengembangan modul pembelajaran Fisika berbasis scientific approach yang dilakukan meliputi tahapan:

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pendidikan merupakan usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar siswa secara aktif mengembangkan potensi dirinya

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Tahun 2003 Bab I Pasal I Ayat 1 menjelaskan bahwa pendidikan adalah usaha

BAB I PENDAHULUAN. Tahun 2003 Bab I Pasal I Ayat 1 menjelaskan bahwa pendidikan adalah usaha BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pendidikan merupakan salah satu aspek penting dalam peningkatan sumber daya manusia dan salah satu kunci keberhasilan dalam pembangunan nasional di Indonesia.

Lebih terperinci

TEKNIK PENYUSUNAN MODUL Oleh: Dwi Rahdiyanta *)

TEKNIK PENYUSUNAN MODUL Oleh: Dwi Rahdiyanta *) TEKNIK PENYUSUNAN MODUL Oleh: Dwi Rahdiyanta *) A. Pendahuluan Menjawab tantangan pengembangan pendidikan menengah kejuruan sebagaimana yang termuat dalam Rencana Strategis Tahun 2004-2009, Direktorat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. berbagai perkembangan aspek/dimensi kebutuhan masyarakat sekitar. Dengan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. berbagai perkembangan aspek/dimensi kebutuhan masyarakat sekitar. Dengan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Perkembangan zaman menuntut adanya upaya peningkatan mutu pendidikan, upaya tersebut harus dilakukan secara menyeluruh mencakup berbagai perkembangan aspek/dimensi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. isi, dan bahan pelajaran serta cara yang digunakan sebagai pedoman

BAB I PENDAHULUAN. isi, dan bahan pelajaran serta cara yang digunakan sebagai pedoman BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kurikulum adalah seperangkat rencana dan pengaturan mengenai tujuan, isi, dan bahan pelajaran serta cara yang digunakan sebagai pedoman penyelenggaraan kegiatan pembelajaran

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. sepanjang hayat (long life education). Hal ini sesuai dengan prinsip

I. PENDAHULUAN. sepanjang hayat (long life education). Hal ini sesuai dengan prinsip 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pendidikan merupakan suatu proses memanusiakan manusia atau lazim disebut sebagai proses humanisasi. Proses humanisasi ini diperoleh melalui berbagai pengalaman

Lebih terperinci

PENGEMBANGAN BAHAN AJAR

PENGEMBANGAN BAHAN AJAR PENGEMBANGAN BAHAN AJAR R. Nety Rustikayanti 2016 materi didownload di dosen.stikesdhb/nety/ Pengertian Pengembangan bahan ajar proses pemilihan, adaptasi, dan pembuatan bahan ajar berdasarkan kerangka

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana

BAB I PENDAHULUAN. Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar siswa secara aktif mengembangkan potensi dirinya

Lebih terperinci

PENGEMBANGAN BAHAN AJAR R. NETY RUSTIKAYANTI 2017

PENGEMBANGAN BAHAN AJAR R. NETY RUSTIKAYANTI 2017 PENGEMBANGAN BAHAN AJAR R. NETY RUSTIKAYANTI 2017 Pengertian Pengembangan bahan ajar proses pemilihan, adaptasi dan pembuatan bahan ajar berdasarkan kerangka acuan tertentu Bahan ajar uraian yang sistematik

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Pendidikan merupakan proses dalam pembangunan manusia untuk

I. PENDAHULUAN. Pendidikan merupakan proses dalam pembangunan manusia untuk I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pendidikan merupakan faktor yang sangat penting dalam kehidupan manusia. Pendidikan merupakan proses dalam pembangunan manusia untuk mengembangkan dirinya agar

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. A. Model Pembelajaran Penemuan Terbimbing. arah (ceramah reflektif) dan sistem dua arah (penemuan terbimbing).

II. TINJAUAN PUSTAKA. A. Model Pembelajaran Penemuan Terbimbing. arah (ceramah reflektif) dan sistem dua arah (penemuan terbimbing). II. TINJAUAN PUSTAKA A. Model Pembelajaran Penemuan Terbimbing Menurut Hamalik (2002:187) dilihat dari besarnya kelas, pendekatan penemuan terbimbing dapat dilaksanakan dengan dua sistem komunikasi yaitu

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. semakin lama semakin terbuka. Hal ini dapat dicontohkan, ketika

BAB I PENDAHULUAN. semakin lama semakin terbuka. Hal ini dapat dicontohkan, ketika BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Berada pada zaman yang serba modern seperti saat ini membuat manusia semakin mudah untuk mengakses berbagai informasi yang semakin lama semakin terbuka. Hal

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. pembelajaran saintifik dari kelas I sampai dengan kelas VI. Pembelajaran tematik

BAB I PENDAHULUAN. pembelajaran saintifik dari kelas I sampai dengan kelas VI. Pembelajaran tematik BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Kurikulum 2013 pada tingkat dasar menggunakan pendekatan pembelajaran saintifik dari kelas I sampai dengan kelas VI. Pembelajaran tematik saintifik mengedepankan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. terbuka, artinya setiap orang akan lebih mudah dalam mengakses informasi

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. terbuka, artinya setiap orang akan lebih mudah dalam mengakses informasi 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Kemajuan teknologi dan era globalisasi yang terjadi memberikan kesadaran baru bahwa Indonesia tidak lagi berdiri sendiri. Indonesia berada di dunia yang terbuka,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah digilib.uns.ac.id BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Undang-undang Nomor 20 Tahun 2003 Pasal 1 ayat (1) tentang sistem pendidikan nasional: Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan

Lebih terperinci

II._TINJAUAN PUSTAKA. Keterampilan proses sains merupakan salah satu bentuk keterampilan proses

II._TINJAUAN PUSTAKA. Keterampilan proses sains merupakan salah satu bentuk keterampilan proses 6 II._TINJAUAN PUSTAKA A. Kerangka Teoretis 1. Keterampilan Proses Sains Keterampilan proses sains merupakan salah satu bentuk keterampilan proses yang diaplikasikan pada proses pembelajaran. Pembentukan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara.

I. PENDAHULUAN. keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara. 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pendidikan adalah proses dimana seseorang mengembangkan kemampuan sikap dan bentuk-bentuk tingkah laku lainnya dalam masyarakat di mana ia hidup, proses sosial dimana

Lebih terperinci

(Contoh) DESAIN PEMBELAJARAN PENYELENGGARAAN PROGRAM PENDIDIKAN KESETARAAN PAKET C UPT SKB KABUPATEN BANDUNG

(Contoh) DESAIN PEMBELAJARAN PENYELENGGARAAN PROGRAM PENDIDIKAN KESETARAAN PAKET C UPT SKB KABUPATEN BANDUNG (Contoh) DESAIN PEMBELAJARAN PENYELENGGARAAN PROGRAM PENDIDIKAN KESETARAAN PAKET C UPT SKB KABUPATEN BANDUNG UPT SANGGAR KEGIATAN BELAJAR (SKB) KABUPATEN BANDUNG 2017 DESAIN PEMBELAJARAN Oleh: Yaya Sukarya,

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. pengalaman langsung menggunakan eksperimen. Belajar harus bersifat menyelidiki

II. TINJAUAN PUSTAKA. pengalaman langsung menggunakan eksperimen. Belajar harus bersifat menyelidiki II. TINJAUAN PUSTAKA A. Pembelajaran Guide Discovery Guru dapat membantu siswa memahami konsep yang sulit dengan memberikan pengalaman langsung menggunakan eksperimen. Belajar harus bersifat menyelidiki

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN Bab ini akan membahas tentang latar belakang masalah, rumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, spesifikasi produk yang dikembangkan, dan keterbatasan produk yang dikembangkan.

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. kepada manusia untuk hidup selaras berdasarkan hukum alam. Pembelajaran

I. PENDAHULUAN. kepada manusia untuk hidup selaras berdasarkan hukum alam. Pembelajaran 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Fisika merupakan salah satu cabang IPA yang mendasari perkembangan teknologi maju dan konsep hidup harmonis dengan alam. Sebagai ilmu yang mempelajari fenomena alam,

Lebih terperinci

Seri Bahan Bimbingan Teknis Implementasi KTSP TEKNIK PENYUSUNAN MODUL

Seri Bahan Bimbingan Teknis Implementasi KTSP TEKNIK PENYUSUNAN MODUL Seri Bahan Bimbingan Teknis Implementasi KTSP TEKNIK PENYUSUNAN MODUL DIREKTORAT PEMBINAAN SEKOLAH MENENGAH KEJURUAN DIREKTORAT JENDERAL MANAJEMEN PENDIDIKAN DASAR DAN MENENGAH DEPARTEMEN PENDIDIKAN NASIONAL

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. B. Perumusan Masalah

BAB I PENDAHULUAN. B. Perumusan Masalah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Negara Indonesia merupakan negara yang memiliki banyak rintangan dalam masalah kualitas pendidikan, salah satunya dalam program pendidikan di Indonesia atau kurikulum.

Lebih terperinci

psikologis peserta didik. Untuk itu setiap satuan pendidikan melakukan perencanaan pembelajaran, pelaksanaan proses pembelajaran serta penilaian

psikologis peserta didik. Untuk itu setiap satuan pendidikan melakukan perencanaan pembelajaran, pelaksanaan proses pembelajaran serta penilaian BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pemerintah telah menetapkan visi, misi, dan strategi pembangunan pendidikan nasional dalam rangka pembaharuan sistem pendidikan nasional. Visi pendidikan nasional

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. aktivitas belajar melalui praktik atau penerapan hasil-hasil belajar untuk mencapai

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. aktivitas belajar melalui praktik atau penerapan hasil-hasil belajar untuk mencapai BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Bahan Ajar Lembar Kerja Siswa (LKS) Dahar (1996: 29) menyatakan LKS adalah lembar kerja yang berisikan informasi dan interaksi dari guru kepada siswa agar dapat mengerjakan sendiri

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Dalam Undang-Undang RI No. 20 Tahun 2003 tentang Sisdiknas (Sistem

BAB I PENDAHULUAN. Dalam Undang-Undang RI No. 20 Tahun 2003 tentang Sisdiknas (Sistem BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Dalam Undang-Undang RI No. 20 Tahun 2003 tentang Sisdiknas (Sistem Pendidikan Nasional) Pasal 37 ditegaskan bahwa mata pelajaran matematika merupakan salah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Peraturan Menteri Pendidikan Nasional (Permendiknas) No.41 Tahun 2007

BAB I PENDAHULUAN. Peraturan Menteri Pendidikan Nasional (Permendiknas) No.41 Tahun 2007 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Peraturan Menteri Pendidikan Nasional (Permendiknas) No.41 Tahun 2007 tentang Standar Proses Pendidikan menyebutkan bahwa proses pembelajaran pada setiap satuan

Lebih terperinci

BAHAN AJAR MODUL. Irnin Agustina D.A., M.Pd.

BAHAN AJAR MODUL. Irnin Agustina D.A., M.Pd. BAHAN AJAR MODUL Irnin Agustina D.A., M.Pd. 1. definisi modul Modul adalah sebuah buku yang ditulis dengan tujuan agar peserta didik dapat belajar secara mandiri tanpa atau dengan bimbingan guru (depdiknas)

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. perkembangan kognitif, antara lahir dan dewasa yaitu tahap sensorimotor, pra

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. perkembangan kognitif, antara lahir dan dewasa yaitu tahap sensorimotor, pra BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Teori Belajar Piaget Menurut Jean Piaget, seorang anak maju melalui empat tahap perkembangan kognitif, antara lahir dan dewasa yaitu tahap sensorimotor, pra operasional, opersional

Lebih terperinci

PENGEMBANGAN PEMBELAJARAN IPA TERPADU (IMPLEMENTASI KURIKULUM 2013)

PENGEMBANGAN PEMBELAJARAN IPA TERPADU (IMPLEMENTASI KURIKULUM 2013) PENGEMBANGAN PEMBELAJARAN IPA TERPADU (IMPLEMENTASI KURIKULUM 2013) Putri Anjarsari, S.Si., M.Pd Pendidikan IPA, FMIPA Universitas Negeri Yogyakarta Makalah disampaikan dalam PPM Workshop Pengembangan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Ilmu Pengetahuan Alam (IPA) merupakan mata pelajaran yang berkaitan

BAB I PENDAHULUAN. Ilmu Pengetahuan Alam (IPA) merupakan mata pelajaran yang berkaitan BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Ilmu Pengetahuan Alam (IPA) merupakan mata pelajaran yang berkaitan dengan cara mencari tahu tentang alam secara sistematis, sehingga IPA bukan hanya penguasaan

Lebih terperinci

PENGEMBANGAN PERANGKAT PEMBELAJARAN BERBASIS PENDIDIKAN KARAKTER OLEH MAHASISWA CALON GURU FISIKA

PENGEMBANGAN PERANGKAT PEMBELAJARAN BERBASIS PENDIDIKAN KARAKTER OLEH MAHASISWA CALON GURU FISIKA PENGEMBANGAN PERANGKAT PEMBELAJARAN BERBASIS PENDIDIKAN KARAKTER OLEH MAHASISWA CALON GURU FISIKA Susilawati Program Studi Pendidikan Fisika, IKIP PGRI Semarang Jln. Lontar No. 1 Semarang susilawatiyogi@yahoo.com

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dilakukan sebagai upaya meningkatkan kualitas pendidikan. Salah satunya adalah

BAB I PENDAHULUAN. dilakukan sebagai upaya meningkatkan kualitas pendidikan. Salah satunya adalah BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Saat ini masuk pada era globalisasi yang menuntut adanya perubahan di segala bidang, termasuk bidang pendidikan. Perubahan dalam bidang pendidikan dilakukan sebagai

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. diperoleh pengetahuan, keterampilan serta terwujudnya sikap dan tingkah laku

I. PENDAHULUAN. diperoleh pengetahuan, keterampilan serta terwujudnya sikap dan tingkah laku I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pendidikan merupakan sesuatu yang penting dan mutlak harus dipenuhi dalam rangka upaya peningkatan taraf hidup masyarakat. Dari pendidikan inilah diperoleh pengetahuan,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi menyebabkan kurikulum

BAB I PENDAHULUAN. perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi menyebabkan kurikulum 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Perubahan perubahan yang terjadi kian cepat seiring dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi menyebabkan kurikulum pendidikan harus disusun dengan

Lebih terperinci

Lamp 1. PERATURAN MENTERI PENDIDIKAN NASIONAL REPUBLIK INDONESIA NOMOR 41 TAHUN 2007 TENTANG STANDAR PROSES UNTUK SATUAN PENDIDIKAN DASAR DAN MENENGAH

Lamp 1. PERATURAN MENTERI PENDIDIKAN NASIONAL REPUBLIK INDONESIA NOMOR 41 TAHUN 2007 TENTANG STANDAR PROSES UNTUK SATUAN PENDIDIKAN DASAR DAN MENENGAH 95 Lamp 1. PERATURAN MENTERI PENDIDIKAN NASIONAL REPUBLIK INDONESIA NOMOR 41 TAHUN 2007 TENTANG STANDAR PROSES UNTUK SATUAN PENDIDIKAN DASAR DAN MENENGAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI PENDIDIKAN

Lebih terperinci

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN. A. Deskripsi Hasil. biologi berbasis STS disertai MM. Bahan Kajian yang dikembangkan adalah

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN. A. Deskripsi Hasil. biologi berbasis STS disertai MM. Bahan Kajian yang dikembangkan adalah digilib.uns.ac.id BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Deskripsi Hasil Hasil dari penelitian dan pengembangan adalah modul pembelajaran biologi berbasis STS disertai MM. Bahan Kajian yang dikembangkan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif

BAB I PENDAHULUAN. suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pendidikan merupakan usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kualitas sumber daya manusia dan sangat berpengaruh terhadap kemajuan suatu

BAB I PENDAHULUAN. kualitas sumber daya manusia dan sangat berpengaruh terhadap kemajuan suatu 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pendidikan memegang peran yang sangat penting dalam peningkatan kualitas sumber daya manusia dan sangat berpengaruh terhadap kemajuan suatu bangsa. Pemerintah terus

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Tiara Nurhada,2013

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Tiara Nurhada,2013 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Tujuan yang paling penting dan meresap di sekolah adalah mengajarkan siswa untuk berpikir. Semua pelajaran sekolah harus terbagi dalam mencapai tujuan ini

Lebih terperinci

PENGARUH PENGGUNAAN METODE PEMBELAJARAN INQUIRY

PENGARUH PENGGUNAAN METODE PEMBELAJARAN INQUIRY PENGARUH PENGGUNAAN METODE PEMBELAJARAN INQUIRY TERHADAP HASIL BELAJAR IPS PADA SISWA KELAS 4 SD N MUDAL KECAMATAN BOYOLALI KABUPATEN BOYOLALI SEMESTER II TAHUN PELAJARAN 2013/2014 SKRIPSI di susun untuk

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. mengembangkan sumber daya manusia yang berkualitas. Penekanan dari upaya

BAB I PENDAHULUAN. mengembangkan sumber daya manusia yang berkualitas. Penekanan dari upaya BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pendidikan merupakan salah satu kebutuhan terpenting dalam kehidupan manusia. Peran pendidikan sangat dibutuhkan dalam mempersiapkan dan mengembangkan sumber

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. A. Model Pembelajaran Inkuiri Terbimbing (Guided Inquiry) Inkuiri terbimbing (guided inquiry) merupakan model pembelajaran yang

II. TINJAUAN PUSTAKA. A. Model Pembelajaran Inkuiri Terbimbing (Guided Inquiry) Inkuiri terbimbing (guided inquiry) merupakan model pembelajaran yang 11 II. TINJAUAN PUSTAKA A. Model Pembelajaran Inkuiri Terbimbing (Guided Inquiry) Inkuiri terbimbing (guided inquiry) merupakan model pembelajaran yang dapat melatih keterampilan siswa dalam melaksanakan

Lebih terperinci

STANDAR OPERASIONAL PROSEDUR (SOP) PROSES PEMBELAJARAN DAN PENILAIAN SMA NEGERI 10 SAMARINDA TAHUN PEMBELAJARAN 2016/2017

STANDAR OPERASIONAL PROSEDUR (SOP) PROSES PEMBELAJARAN DAN PENILAIAN SMA NEGERI 10 SAMARINDA TAHUN PEMBELAJARAN 2016/2017 STANDAR OPERASIONAL PROSEDUR (SOP) PROSES PEMBELAJARAN DAN PENILAIAN SMA NEGERI 10 SAMARINDA TAHUN PEMBELAJARAN 2016/2017 Berdasarkan : Permendikbud no. 22/2016 Tentang Standar Proses endidikan Dasar &

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. belajar untuk mengamati, menentukan subkompetensi, menggunakan alat dan

BAB I PENDAHULUAN. belajar untuk mengamati, menentukan subkompetensi, menggunakan alat dan 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Biologi sebagai salah satu bidang IPA menyediakan berbagai pengalaman belajar untuk mengamati, menentukan subkompetensi, menggunakan alat dan memilih menggunakan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. bagian dari Ilmu Pengetahuan Alam (IPA) yang sangat penting bagi siswa. Seperti

BAB I PENDAHULUAN. bagian dari Ilmu Pengetahuan Alam (IPA) yang sangat penting bagi siswa. Seperti BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Fisika merupakan salah satu cabang IPA yang mendasari perkembangan teknologi maju dan konsep hidup harmonis dengan alam. Sebagai ilmu yang mempelajari fenomena alam,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Kualitas pendidikan di Indonesia masih tergolong rendah. Indikator paling nyata

BAB I PENDAHULUAN. Kualitas pendidikan di Indonesia masih tergolong rendah. Indikator paling nyata 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Kualitas pendidikan di Indonesia masih tergolong rendah. Indikator paling nyata dari rendahnya kualitas pendidikan di Indonesia adalah rendahnya perolehan

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. (Undang-undang No.20 Tahun 2003: 1). Pendidikan erat kaitannya dengan

BAB 1 PENDAHULUAN. (Undang-undang No.20 Tahun 2003: 1). Pendidikan erat kaitannya dengan BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pendidikan merupakan usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan kondisi belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi-potensi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pendidikan memegang peranan yang penting dalam mempersiapkan

BAB I PENDAHULUAN. Pendidikan memegang peranan yang penting dalam mempersiapkan 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Pendidikan memegang peranan yang penting dalam mempersiapkan sumber daya manusia yang handal, karena pendidikan diyakini akan dapat mendorong memaksimalkan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara (Undang-undang Sisdiknas

BAB I PENDAHULUAN. diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara (Undang-undang Sisdiknas BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Kajian Teori 1. Domain Pembelajaran Fisika Ilmu Pengetahuan Alam berkaitan dengan cara mencari tahu tentang alam secara sistematis, sehingga sains bukan hanya penguasaan kumpulan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. mengembangkan kualitas sumber daya manusia. Pasal 31 ayat 2 Undang-Undang

BAB I PENDAHULUAN. mengembangkan kualitas sumber daya manusia. Pasal 31 ayat 2 Undang-Undang 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pendidikan memiliki peranan yang amat penting untuk menjamin kelangsungan hidup Negara, juga merupakan wahana untuk meningkatkan dan mengembangkan kualitas

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. apa yang sedang dipelajarinya dalam proses pembelajaran. LKS juga

II. TINJAUAN PUSTAKA. apa yang sedang dipelajarinya dalam proses pembelajaran. LKS juga II. TINJAUAN PUSTAKA A. Lembar Kerja Siswa (LKS) LKS merupakan lembaran tempat siswa mengerjakan sesuatu terkait dengan apa yang sedang dipelajarinya dalam proses pembelajaran. LKS juga merupakan bagian

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Sains atau Ilmu Pengetahuan Alam (IPA) merupakan salah satu mata pelajaran pokok dalam kurikulum pendidikan di Indonesia, termasuk pada jenjang Sekolah Dasar

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN PUSTAKA

BAB II KAJIAN PUSTAKA BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Deskripsi Teori 2.1.1 Ilmu Pengetahuan Alam Dalam bahasa inggris Ilmu Pengetahuan Alam disebut natural science, natural yang artinya berhubungan dengan alam dan science artinya

Lebih terperinci

BAB V PEMBAHASAN DAN TEORI HASIL PENELITIAN. 1. Indikator dan tujuan rencana pelaksanaan pembelajaran berbasis

BAB V PEMBAHASAN DAN TEORI HASIL PENELITIAN. 1. Indikator dan tujuan rencana pelaksanaan pembelajaran berbasis 67 BAB V PEMBAHASAN DAN TEORI HASIL PENELITIAN A. Pembahasan 1. Indikator dan tujuan rencana pelaksanaan pembelajaran berbasis karakter di SMP Muhammadiyah 3 Ampel Boyolali Perencanaan adalah proses dasar

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. ditakuti dan tidak disukai siswa. Kecenderungan ini biasanya berawal dari

BAB I PENDAHULUAN. ditakuti dan tidak disukai siswa. Kecenderungan ini biasanya berawal dari BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Mata pelajaran fisika pada umumnya dikenal sebagai mata pelajaran yang ditakuti dan tidak disukai siswa. Kecenderungan ini biasanya berawal dari pengalaman belajar

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. mengajukan dan menguji hipotesis melalui percobaan; merancang dan merakit

BAB I PENDAHULUAN. mengajukan dan menguji hipotesis melalui percobaan; merancang dan merakit 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Fisika merupakan salah satu cabang IPA yang mendasari perkembangan teknologi maju dan konsep hidup harmonis dengan alam. Pengelolaan sumber daya alam dan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Matematika merupakan ratunya ilmu. Matematika merupakan mata pelajaran yang menuntut siswanya untuk berfikir secara logis, kritis, tekun, kreatif, inisiatif,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. pendidikan, manusia dapat mengembangkan diri untuk menghadapi tantangan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. pendidikan, manusia dapat mengembangkan diri untuk menghadapi tantangan 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Peranan pendidikan dalam kehidupan manusia sangatlah penting. Dengan pendidikan, manusia dapat mengembangkan diri untuk menghadapi tantangan hidup. Dengan

Lebih terperinci

2015 ANALISIS NILAI-NILAI KARAKTER, KETERAMPILAN PROSES SAINS DAN PENGUASAAN KONSEP SISWA PADA TOPIK KOLOID MELALUI PEMBELAJARAN INKUIRI TERBIMBING

2015 ANALISIS NILAI-NILAI KARAKTER, KETERAMPILAN PROSES SAINS DAN PENGUASAAN KONSEP SISWA PADA TOPIK KOLOID MELALUI PEMBELAJARAN INKUIRI TERBIMBING 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Berdasarkan Permendikbud No. 65 Tahun 2013 proses pembelajaran pada suatu pendidikan diselenggarakan secara interaktif, inspiratif, menyenangkan, menantang,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Peradaban kehidupan di era globalisasi semakin berkembang dan mengalami kemajuan yang sangat pesat. Hal tersebut telah dirasakan oleh seluruh umat manusia,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kelas. 1 Dalam undang-undang No. 20 tahun 2003 tentang sistem

BAB I PENDAHULUAN. kelas. 1 Dalam undang-undang No. 20 tahun 2003 tentang sistem kelas. 1 Dalam undang-undang No. 20 tahun 2003 tentang sistem BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pendidikan pada dasarnya merupakan sebuah proses transformasi menuju ke arah perbaikan, penguatan, dan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Untuk meningkatkan kualitas Sumber Daya Manusia dibutuhkan. pendidikan, karena pendidikan merupakan wahana untuk mengembangkan

BAB I PENDAHULUAN. Untuk meningkatkan kualitas Sumber Daya Manusia dibutuhkan. pendidikan, karena pendidikan merupakan wahana untuk mengembangkan 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Untuk meningkatkan kualitas Sumber Daya Manusia dibutuhkan pendidikan, karena pendidikan merupakan wahana untuk mengembangkan kualitas sumber daya manusia.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. khususnya teknologi sekarang ini telah memberikan dampak positif dalam

BAB I PENDAHULUAN. khususnya teknologi sekarang ini telah memberikan dampak positif dalam BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Perkembangan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi (IPTEK), khususnya teknologi sekarang ini telah memberikan dampak positif dalam aspek kehidupan manusia termasuk

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. meningkatkan hasil belajar siswa apabila secara statistik hasil belajar siswa menunjukan

II. TINJAUAN PUSTAKA. meningkatkan hasil belajar siswa apabila secara statistik hasil belajar siswa menunjukan II. TINJAUAN PUSTAKA A. Efektivitas Pembelajaran Efektivitas pembelajaran merupakan suatu ukuran yang berhubungan dengan tingkat keberhasilan dari suatu proses pembelajaran. Pembelajaran dikatakan efektif

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Model pembelajaran problem solving merupakan salah satu model pembelajaran

II. TINJAUAN PUSTAKA. Model pembelajaran problem solving merupakan salah satu model pembelajaran 8 II. TINJAUAN PUSTAKA A. Model Pemecahan Masalah (Problem Solving) Model pembelajaran problem solving merupakan salah satu model pembelajaran yang berlandaskan teori konstruktivisme. Konstruktivisme merupakan

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. sebelumnya. UU nomor 20 tahun 2003 pasal 3 menjelaskan bahwa fungsi

BAB 1 PENDAHULUAN. sebelumnya. UU nomor 20 tahun 2003 pasal 3 menjelaskan bahwa fungsi BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pendidikan merupakan aspek penting dalam pengembangan sumber daya manusia. Dengan pendidikan, manusia menjadi individu yang lebih baik dari sebelumnya. UU nomor

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dengan memberi keteladanan, membangun kemauan, dan mengembangkan. memanfaatkan semua komponen yang ada secara optimal.

BAB I PENDAHULUAN. dengan memberi keteladanan, membangun kemauan, dan mengembangkan. memanfaatkan semua komponen yang ada secara optimal. 1 1.1.Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN Setiap orang membutuhkan pendidikan dalam kehidupannya. Undang- Undang Republik Indonesia No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional menyatakan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Penelitian

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Penelitian 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Fisika merupakan salah satu bidang Ilmu Pengetahuan Alam (IPA). Fisika berkaitan dengan cara mencari tahu tentang alam secara sistematis, sehingga fisika

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Modul Pada bahasan ini akan dibahas antara lain: 1. Pengertian Salah satu bahan ajar yang dianjurkan untuk pembelajaran yang berorientasi konstruktivistik adalah modul. Modul

Lebih terperinci

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN. SMA mencakup beberapa prosedur pengembangan. Langkah-langkah. pengembangan bahan ajar adalah sebagai berikut:

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN. SMA mencakup beberapa prosedur pengembangan. Langkah-langkah. pengembangan bahan ajar adalah sebagai berikut: BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Hasil Penelitian 1. Cara Pengembangan Penelitian pengembangan modul Hidrosfer sebagai Sumber Kehidupan dengan pendekatan saintifik untuk pembelajaran geografi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pendidikan adalah salah satu upaya untuk menciptakan manusia- manusia

BAB I PENDAHULUAN. Pendidikan adalah salah satu upaya untuk menciptakan manusia- manusia 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pendidikan adalah salah satu upaya untuk menciptakan manusia- manusia yang lebih baik lagi dan berkualitas. Akibat pengaruh itupendidikan mengalami kemajuan.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Penelitian Prahesti Tirta Safitri, 2013

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Penelitian Prahesti Tirta Safitri, 2013 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Matematika merupakan bidang ilmu yang sangat penting untuk dikuasai oleh setiap insan karena manfaatnya berdampak langsung dalam kehidupan manusia sehari-hari.

Lebih terperinci

PANDUAN PENGEMBANGAN RPP

PANDUAN PENGEMBANGAN RPP PANDUAN PENGEMBANGAN RPP 1. Penekanan pada keterkaitan dan keterpaduan antara KD, materi pembelajaran, kegiatan pembelajaran, indikator pencapaian kompetensi, penilaian, dan sumber belajar dalam satu keutuhan

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN PUSTAKA. Kata media berasal dari bahasa latin yaitu medium yang secara harfiah berarti

BAB II KAJIAN PUSTAKA. Kata media berasal dari bahasa latin yaitu medium yang secara harfiah berarti BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Media Kartu Bergambar 2.1.1 Pengertian Media Kartu Bergambar Kata media berasal dari bahasa latin yaitu medium yang secara harfiah berarti perantara. Dengan demikian media dapat

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Guru sangat membutuhkan media pembelajaran yang dapat mempermudah

II. TINJAUAN PUSTAKA. Guru sangat membutuhkan media pembelajaran yang dapat mempermudah 6 II. TINJAUAN PUSTAKA A. Modul Guru sangat membutuhkan media pembelajaran yang dapat mempermudah penyampaian materi, memberikan informasi yang menarik, dan menyenangkan sehingga meningkatkan minat dan

Lebih terperinci

Prinsip dan Langkah-Langkah Pengembangan Silabus

Prinsip dan Langkah-Langkah Pengembangan Silabus Prinsip dan Langkah-Langkah Pengembangan Silabus A. Prinsip Pengembangan Silabus Prinsip-prinsip pengembangan silabus adalah: 1. Ilmiah Keseluruhan materi dan kegiatan yang menjadi muatan dalam silabus

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. masalah itu sendiri sehingga pembelajaran akan lebih terpusat pada siswa untuk

BAB I PENDAHULUAN. masalah itu sendiri sehingga pembelajaran akan lebih terpusat pada siswa untuk BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pendekatan scientific merupakan pendekatan yang membantu siswa untuk menggali pengetahuannya sendiri dengan menemukan masalah dan memecahkan masalah itu sendiri sehingga

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. memiliki peran yang sangat penting dalam rangka meningkatkan serta

BAB I PENDAHULUAN. memiliki peran yang sangat penting dalam rangka meningkatkan serta BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Pendidikan merupakan salah satu kebutuhan pokok manusia dan tidak bisa terpisahkan dalam kehidupan sehari-hari. Pendidikan merupakan suatu hal yang memiliki

Lebih terperinci

2016 PENGARUH PENERAPAN MODEL PEMBELAJARAN ARGUMENT-BASED SCIENCE INQUIRY (ABSI) TERHADAP KEMAMPUAN MEMAHAMI DAN KEMAMPUAN BERARGUMENTASI SISWA SMA

2016 PENGARUH PENERAPAN MODEL PEMBELAJARAN ARGUMENT-BASED SCIENCE INQUIRY (ABSI) TERHADAP KEMAMPUAN MEMAHAMI DAN KEMAMPUAN BERARGUMENTASI SISWA SMA 1 A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN Fisika merupakan bagian dari rumpun ilmu dalam Ilmu Pengetahuan Alam (IPA). Mempelajari fisika sama halnya dengan mempelajari IPA dimana dalam mempelajarinya tidak

Lebih terperinci

PENGEMBANGAN PERANGKAT PEMBELAJARAN IPA TERPADU

PENGEMBANGAN PERANGKAT PEMBELAJARAN IPA TERPADU PENGEMBANGAN PERANGKAT PEMBELAJARAN IPA TERPADU KEMENTERIAN PENDIDIKAN NASIONAL DIREKTORAT JENDERAL PENDIDIKAN DASAR DIREKTORAT PEMBINAAN SEKOLAH MENENGAH PERTAMA 2011 Perencanaan Mengkaji dan memetakan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah pokok yang dihadapi dunia pendidikan di Indonesia adalah masalah yang berhubungan dengan mutu atau

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah pokok yang dihadapi dunia pendidikan di Indonesia adalah masalah yang berhubungan dengan mutu atau BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah pokok yang dihadapi dunia pendidikan di Indonesia adalah masalah yang berhubungan dengan mutu atau kualitas pendidikan yang masih rendah. Rendahnya kualitas

Lebih terperinci