SINTESIS POLIURETAN DARI MINYAK JARAK PAGAR DAN APLIKASINYA SEBAGAI BAHAN PELAPIS HARJONO

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "SINTESIS POLIURETAN DARI MINYAK JARAK PAGAR DAN APLIKASINYA SEBAGAI BAHAN PELAPIS HARJONO"

Transkripsi

1 SINTESIS POLIURETAN DARI MINYAK JARAK PAGAR DAN APLIKASINYA SEBAGAI BAHAN PELAPIS HARJONO SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2009

2 ABSTRACT HARJONO. Polyurethane Synthesis from Jatropha curcas Oil and Its Application as Coating Material. Under the supervisions of PURWANTININGSIH SUGITA and ZAINAL ALIM MAS UD. Jatropha curcas oil (JCO) based polyol is an alternative material that may possibly replace petrochemical-based polyol for polyurethane coating material. Polyurethane was synthesized by reacting JCO-based polyol with isocyanate. To produce JCO-based polyol, JCO was firstly epoxidized resulting epoxidized Jatropha curcas oil (EJO), subsequently convert it to polyol by opening ring reaction with acrylic acid (AA) in the presence of triethylamine (TEA) as catalyst. The opening ring reaction of EJO were conducted by various acrylic acid (AA) to EJO ratio (1.4, 2.9, and 4.3%), percentage of TEA (0, 1, 2, and 3%) and time reactions (60, 120, 180, and 240 minutes) at 50 o C. The results showed that the polyol have hydroxyl number around mg KOH/g with an average of mg KOH/g. The hydroxyl number increased significantly with the addition of %AA and % TEA, conversely increasing reaction time had inferior impact on the hydroxyl number of polyol. In the polyurethane film synthesis, source of polyol affected on gloss, hardness, and adhesion of the polyurethane film, but isocyanate content have less influence. Using visual observation, polyurethane film produced from L.OHV polyol, H.OHV polyol and commercial polyol had similar quality. Keywords: polyurethane coating, polyol, JCO

3 RINGKASAN HARJONO. Sintesis Poliuretan dari Minyak Jarak Pagar dan Aplikasinya sebagai Bahan Pelapis. Dibimbing oleh PURWANTININGSIH SUGITA dan ZAINAL ALIM MAS UD. Indonesia memiliki banyak sumber daya nabati, di antaranya kelapa sawit, kemiri, saga, kapuk, karet dan jarak pagar. Pengembangan potensi minyak jarak pagar di Indonesia sekarang ini masih terbatas untuk mengembangkan bahan bakar alternatif (biodiesel). Sampai saat ini, pengembangan minyak jarak pagar sebagai bahan baku poliuretan masih belum banyak dilakukan terutama untuk aplikasi bahan pelapis. Pengembangan minyak jarak pagar sebagai bahan baku poliol alternatif merupakan salah satu cara mendapatkan bahan baku pelapis poliuretan yang selama ini masih diimpor dan berasal dari bahan baku tidak terbarukan. Minyak jarak pagar mengandung 55,14% asam lemak tak jenuh dengan bilangan iodin g I 2 /100 g. Gugus takjenuh pada minyak jarak pagar dapat ditranformasi menjadi gugus hidroksil melalui reaksi epoksidasi dilanjutkan dengan reaksi pembukaan cincin epoksida. Pemanfaatan minyak jarak pagar sebagai bahan baku poliol diharapkan dapat menjadi alternatif pemenuhan bahan baku poliuretan menggantikan poliol berbasis petrokimia. Oleh karena itu, diperlukan penelitian untuk menghasilkan poliuretan dari minyak jarak pagar yang dapat diaplikasikan sebagai bahan pelapis. Penelitian ini secara garis besar terdiri atas 3 tahap. Pada tahap pertama, yaitu tahap epoksidasi minyak jarak pagar menjadi epoksida minyak jarak pagar (EJP). Pada tahap ini dihasilkan EJP dengan bilangan oksirana 3,15%. EJP yang dihasilkan kemudian direaksikan dengan asam akrilat (AA) pada tahap kedua dengan variasi %AA (1,4, 2,9, dan 4,3%) dengan variasi katalis trietilamin (TEA) sebesar 0, 1, 2, dan 3% pada suhu 50 o C dan dengan variasi waktu reaksi 60, 120, 180, dan 240 menit. Poliol yang dihasilkan memiliki bilangan hidroksil, bilangan oksirana dan rendemen resin poliol berturut-turut berkisar ,92 mg KOH/g, 0,029-0,138%, dan 58,93-91,53%. Rata-rata bilangan hidroksil, bilangan oksirana, dan rendemen resin poliol yang dihasilkan berturut-turut adalah 97,42 mg KOH/g, 0,067% dan 80,24%. Persen AA dan TEA memiliki pengaruh yang lebih dominan terhadap bilangan hidroksil resin poliol dibandingkan dengan waktu reaksi. Poliol yang dihasilkan pada tahap kedua dikategorikan menjadi dua kelompok yaitu poliol L.OHV dengan bilangan hidroksil 81,28 mg KOH/g dan poliol H.OHV dengan bilangan hidroksil 117,43 mg KOH/g. Sebagai pembanding digunakan poliol komersial dengan bilangan hidroksil 81,22 mg KOH/g. Isosianat yang digunakan dalam penelitian ini adalah isosianat A dan isosianat B yang memiliki karakter umum yang hampir sama tetapi berasal dari dua produsen yang berbeda. Pada tahap ketiga, poliuretan dibuat dengan mereaksikan poliol dengan isosianat. Campuran poliol dan isosianat diaplikasikan pada lembaran plastik ABS kemudian didiamkan selama 15 menit, selanjutnya dikeringkan dengan oven

4 dengan suhu 70 o C selama 30 menit. Hasil aplikasi didinginkan kemudian dianalisis daya kilap, tingkat kekerasan, dan daya rekatnya. Hasil pengujian menunjukkan jenis poliol berpengaruh pada daya kilap, tingkat kekerasan, dan daya rekat lapisan film poliuretan yang terbentuk. Jenis isosianat tidak berpengaruh terhadap daya kilap, tingkat kekerasan, dan daya rekat lapisan film. Secara visual, kualitas lapisan film poliuretan yang diperoleh dari poliol L.OHV dan H.OHV relatif sama dengan poliuretan dan poliol komersial. Hasil ini menunjukkan bahwa minyak jarak pagar berpotensi untuk dikembangkan sebagai bahan baku pelapis poliuretan. Kata kunci: bahan pelapis poliuretan, poliol, minyak jarak pagar

5 SINTESIS POLIURETAN DARI MINYAK JARAK PAGAR DAN APLIKASINYA SEBAGAI BAHAN PELAPIS HARJONO Tesis Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Program Studi Kimia SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2009

6 Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis : Prof. Dr. Suminar Setiati Achmadi

7 Judul tesis Nama NIM : Sintesis Poliuretan dari Minyak Jarak Pagar dan Aplikasinya sebagai Bahan Pelapis : Harjono : G Disetujui Komisi Pembimbing Prof. Dr. Purwantiningsih Sugita, M.S. Ketua Dr. Zainal Alim Mas ud, DEA. Anggota Diketahui Ketua Program Studi Kimia A.n. Dekan Sekolah Pascasarjana Sekretaris Program Magister Prof. Dr. Ir. Latifah. K. Darusman, MS. Dr. Ir. Naresworo Nugroho,MSi. Tanggal Ujian : 15 April 2009 Tanggal Lulus:

8 PRAKATA Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala karunia dan kemudahan yang diberikan sehingga penulis dapat menyelesaian studi pada program Magister Sains Institut Pertanian Bogor, dengan menghasilkan karya ilmiah berupa tesis dengan judul Sintesis Resin Poliol dari Minyak Jarak Pagar dan Aplikasinya sebagai Bahan Pelapis. Selama menempuh studi program magister sains, penulis banyak mendapatkan bantuan moril dan material dari berbagai pihak. Untuk itu ucapan terima kasih penulis sampaikan kepada Prof. Dr. Purwantiningsih Sugita, M.S. sebagai pembimbing utama dan Dr. Zainal Alim Mas ud, DEA. Sebagai pembimbing anggota, Prof. Dr. Suminar Setiati Achmadi sebagai penguji, Ketua dan staf pengajar Program Studi Kimia Sekolah Pascasarjana IPB atas semua ilmu, bimbingan dan saran yang sangat berarti bagi penulis dalam menyelesaikan studi. Terima kasih pula kepada Prof. Dr. Sudijono Sastroatmodjo, M.Si. selaku Rektor, Drs. Kasmadi Imam S, M.S. selaku Dekan dan Drs. Sigit Priatmoko, M.Si. selaku Ketua Jurusan Kimia FMIPA Universitas Negeri Semarang, Dr. Supartono, M.S. yang telah banyak memberikan sumbangan pemikiran dan motivasi, serta temanteman staf pengajar yang telah memberikan dukungan. Demikian pula terima kasih kepada Direktorat Pendidikan Tinggi Depdiknas yang telah memberikan beasiswa BPPS, Kepada teman-temanku di Program Studi Kimia, penulis ucapkan terima kasih karena telah menjadi teman dan sahabat, semoga pertemanan dan persahabatan yang tulus tetap terjalin selamanya. Terima kasih tak terhingga khusus kepada Istriku tercinta Herlina dan anakku tersayang Ahmad Dzaky Harliansyah yang telah memberikan dorongan, doa dan pengertian selama penulis menempuh studi di Bogor. Tak lupa kepada kedua orang tua dan mertua Bapak H. Hanis dan Ibu Hj. Marsinah di Jepara, Bapak Purwadi dan Ibu Sriyani di Pekalongan, terima kasih atas doa dan restunya. Akhirnya seraya berserah diri ke hadirat Allah SWT, penulis mempersembahkan karya ini dengan harapan semoga bermanfaat. Bogor, April 2009 Harjono

9 RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Jepara pada tanggal 16 November 1977 dari Bapak H. Hanis dan Ibu Hj. Marsinah. Penulis merupakan putra pertama dari lima bersaudara. Pada tahun 1995 penulis lulus dari SMA Islam Sultan Agung 2 Jepara dan pada tahun yang sama penulis diterima di jurusan Pendidikan Kimia FPMIPA IKIP Semarang sekarang berubah menjadi FMIPA Universitas Negeri Semarang melalui jalur PMDK hingga berhasil menyelesaikan studi pada bulan maret Sejak tahun 2000 penulis bekerja di Industri berbasis Kimia di wilayah Jakarta dan Bogor hingga awal tahun 2005 sebagai Staf R&D, Paint Technical Manager (PT. MCP Bogor), dan Quality Assurance Dept. Head (PT. DWA Bekasi). Pada tahun 2005 penulis diterima sebagai staf pengajar di Jurusan Kimia FMIPA Universitas Negeri Semarang. Kesempatan untuk melanjutkan studi ke Program Magister Kimia Sekolah Pascasarjana IPB baru terlaksana pada tahun 2006 dengan beasiswa BPPS Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi Depdiknas.

10 DAFTAR ISI Halaman DAFTAR TABEL... viii DAFTAR GAMBAR... ix DAFTAR LAMPIRAN... xi PENDAHULUAN... 1 Latar Belakang... 1 Tujuan Penelitian... 4 Manfaat Penelitian... 4 TINJAUAN PUSTAKA... 5 Minyak Jarak Pagar... 5 Epoksidasi dan Pembukaan Cincin Epoksida... 7 Poliol Poliuretan Film Poliuretan BAHAN DAN METODE Bahan dan Alat Penelitian Waktu dan Tempat Penelitian Prosedur Penelitian Rancangan Percobaan Analisis Data HASIL DAN PEMBAHASAN Epoksidasi Minyak Jarak Pagar Pembuatan Poliol Pembuatan Film Poliuretan Analisis Spektrofotometer Inframerah SIMPULAN DAN SARAN DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN... 57

11 DAFTAR TABEL Halaman Tabel 1 Komposisi asam lemak dalam minyak biji jarak pagar, minyak Sawit, dan minyak kedelai... 6 Tabel 2 Komposisi asam lemak minyak Jatropha curcas L... 6 Tabel 3 Parameter fisiko-kimia minyak Jatropha curcas L... 7 Tabel 4 Komposisi reaktan pembuatan poliol Tabel 5 Kualitas minyak jarak pagar dan EJP Tabel 6 Hasil uji film poliuretan Tabel 7 Data korelasi bilangan gelombang serapan inframerah terhadap gugus fungsi... 48

12 DAFTAR GAMBAR Halaman Gambar 1 Struktur kimia minyak jarak pagar... 5 Gambar 2 Mekanisme reaksi pembentukan epoksida berkatalis asam Gambar 3 Skema reaksi pembentukan hidroksi poliester dari epoksida Gambar 4 Struktur kimia poliol komersial Gambar 5 Reaksi alkoholisis epoksida nabati menjadi poliol Gambar 6 Struktur molekul isomer TDI Gambar 7 Struktur resonansi gugus isosianat Gambar 8 Reaksi isosianat dengan alkohol Gambar 9 Reaksi-reaksi isosianat dengan gugus bukan hidroksil Gambar 10 Reaksi pembentukan uretan berkatalis amina Gambar 11 Mekanisme reaksi epoksidasi menggunakan asam perkarboksilat 27 Gambar 12 Mekanisme reaksi pembentukan diol Gambar 13 Reaksi pembentukan cincin epoksida minyak nabati Gambar 14 Hasil sintesis poliol dari minyak jarak pagar Gambar 15 Pengaruh parsial %AA terhadap bilangan hidroksil Gambar 16 Pengaruh parsial %TEA terhadap bilangan hidroksil Gambar 17 Pengaruh parsial waktu reaksi terhadap bilangan hidroksil Gambar 18 Grafik respon bilangan hidroksil pada variasi %AA dan waktu reaksi Gambar 19 Pengaruh waktu reaksi dan %AA pada %TEA 0% (a), 1% (b), 2% (c) dan 3% (d) terhadap bilangan hidroksil Gambar 20 Grafik respon bilangan hidroksil pada variasi %AA dan %TEA.. 36

13 Gambar 21 Pengaruh %AA dan %TEA pada waktu reaksi 60 menit (a), 120 menit (b), 180 menit (c) dan 240 menit (d) terhadap bilangan hidroksil Gambar 22 Grafik respon bilangan hidroksil pada variasi %TEA dan waktu reaksi Gambar 23 Pengaruh %TEA dan waktu reaksi pada %AA 1,4% (a), 2,9% (b), dan (c) 4,3% terhadap bilangan hidroksil Gambar 24 Pengaruh rasio molar [NCO]/[OH] terhadap bobot molekul rata-rata poliuretan Gambar 25 Pengaruh jenis poliol pada penggunaan isosianat yang berbeda terhadap daya kilap lapisan film Gambar 26 Pengaruh jenis poliol pada penggunaan isosianat yang berbeda terhadap tingkat kekerasan lapisan film Gambar 27 Pengaruh jenis poliol pada penggunaan isosianat yang berbeda terhadap daya rekat lapisan film... 46

14 DAFTAR LAMPIRAN Halaman Lampiran 1 Diagram Alir Pelaksanaan Penelitian Lampiran 2 Diagram Alir pembuatan epoksidasi minyak jarak pagar Lampiran 3 Diagram Alir Pembuatan Poliol Lampiran 4 Diagram Alir Pembuatan Bahan Pelapis Poliuretan Lampiran 5 Prosedur Analisis Lampiran 6 Data Uji Poliol Lampiran 7 Hasil Analisis Keragaman Bilangan Hidroksil Poliol Lampiran 8 Hasil Analisis Keragaman Rendemen Poliol Lampiran 9 Hasil Analisis Keragaman Daya Kilap Film Poliuretan Lampiran 10 Hasil Analisis Keragaman Tingkat Kekerasan Poliuretan Lampiran 11 Hasil Analisis Keragaman Daya Rekat Film Poliuretan Lampiran 12 Spektra Inframerah... 70

15 DAFTAR SINGKATAN AA ABS Adhesive EJP Coating H.OHV Iso Iso A Iso B L.OHV Sealant TEA Asam akrilat Acrylated Butyral Styrena (Plastik ABS) Bahan perekat Epoksida minyak jarak pagar Bahan pelapis (cat) High OH Value Polyol (poliol dengan bilangan hidroksil tinggi) Isosianat Isosianat jenis A Isosianat jenis B Low OH Value Polyol (poliol dengan bilangan hidroksil rendah) Sealant (bahan pengisi pori, bahan untuk merapatkan sambungan bahan) Trietilamin

16 PENDAHULUAN Latar Belakang Poliol adalah salah satu bahan yang digunakan dalam industri pelapis/cat jenis poliuretan. Poliuretan merupakan salah satu produk polimer yang dibuat dengan cara mereaksikan alkohol dengan isosianat. Dewasa ini ada beberapa jenis poliuretan yang telah dibuat antara lain: elastomer, perekat, busa, cat, sealant dan lain-lain. Dalam industri cat, poliuretan merupakan salah satu jenis cat yang memiliki banyak kelebihan dibandingkan jenis cat lainnya antara lain: daya tahan terhadap cuaca, daya kilap tinggi, tingkat kekerasan yang cukup baik, dan daya rekat yang baik pada berbagai jenis bahan (logam, plastik, dan kayu) (Cowd & Stark 1991). Konsumsi poliuretan dunia mengalami peningkatan dari tahun ke tahun dengan kenaikan rata-rata 5,1% sampai dengan tahun Pasar poliuretan dunia untuk aplikasi coating, adhesive, sealant, dan elastomer diperkirakan mencapai 3,1 juta ton pada tahun 2000 dengan total isosianat sekitar 900 ribu ton dan poliol 1,5 juta ton. Permintaan tertinggi dari empat jenis aplikasi tersebut adalah untuk aplikasi coating (cat) sebesar 44% (IAL Consultant 2001). Konsumsi poliuretan di Indonesia dari tahun 1989 sampai dengan tahun 1995 mengalami kenaikan kurang lebih 37% dari ton menjadi ton (BPS 1998). Kebutuhan poliuretan Indonesia pada tahun 2004 telah mencapai ton/tahun dan diprediksi mencapai 35 ribu ton pertahun pada tahun 2014 (Wijanarko et al. 2004). Seluruh kebutuhan poliuretan di Indonesia tersebut masih dipenuhi melalui impor dari luar negeri. Sebagian besar poliuretan dibuat dari poliol yang bersumber dari turunan minyak bumi (Szycher 1999; Narine et al. 2007). Pergerakan harga minyak bumi yang meningkat akhir-akhir ini disertai munculnya isu lingkungan hidup mendorong semua pihak untuk mencari bahan baku produksi poliol alternatif (Chasar et al. 2003; Guner et al. 2006; Lye et al. 2007). Minyak nabati merupakan salah satu alternatif bahan baku yang dapat digunakan untuk memproduksi poliol. Minyak nabati yang dapat digunakan sebagai bahan baku poliol antara lain:

17 minyak kedelai, minyak castor, minyak palm, minyak bunga matahari dan minyak linseed. Dibandingkan dengan poliol berbahan baku minyak bumi (petrokimia), poliol berbahan baku minyak nabati memiliki keunggulan karena melimpah dan terbarukan. Di Eropa dan Amerika, poliol berbasis minyak kedelai telah digunakan oleh industri dalam skala besar menggantikan poliol petrokimia dalam produksi poliuretan (Rupilius & Ahmad 2007). Di Malaysia, penggunaan minyak nabati khususnya minyak palm telah lebih dari 10 tahun diteliti secara intensif oleh Malaysian Palm Oil Board (MPOB) bekerjasama dengan Wilhelm-Klauditz- Institut (WKI), Germany. Hasil kerjasama tersebut menghasilkan jenis poliol baru berbasis minyak palm yang dapat diaplikasikan sebagai resin cat poliuretan sistem 2 komponen yang cocok untuk aplikasi interior maupun eksterior (Hoong et al. 2005). Minyak nabati dapat ditransformasi menjadi poliol melalui berbagai cara diantaranya: hidroksilasi, epoksidasi dilanjutkan dengan pembukaan cincin epoksida, ozonolisis dilanjutkan dengan hidrogenasi dan hidroformilasi dilanjutkan dengan reduksi. Pembuatan poliol dari minyak nabati melibatkan pengubahan ikatan rangkap pada rantai samping trigliserida menjadi gugus hidroksil. Sintesis poliol secara langsung dari minyak sawit telah dilakukan dengan cara hidroksilasi menggunakan reagen H 2 O 2 dan HCOOH (Budi 2001). Berdasarkan hasil penelitian lainnya, poliol dapat disintesis dari minyak nabati melalui epoksidasi dilanjutkan dengan pembukaan cincin epoksida (Rios 2003; Petrovic et al. 2005; Rupilius & Ahmad 2007). Reaksi epoksidasi minyak nabati telah dilakukan oleh banyak peneliti dengan hasil cukup baik. Petrovic (2001), melakukan epoksidasi minyak kedelai dalam pelarut toluena, menggunakan asam peroksiasetat dan asam peroksiformat dengan katalis Amberlite IR-120. Rios (2003), melaporkan epoksidasi selektif minyak nabati menggunakan perasam dari asam asetat dan H 2 O 2 berkatalis resin asam. Goud et al. (2005) telah mempelajari epoksidasi minyak mahua (mahua oil) dengan asam peroksiasetat yang dibuat secara in situ, dengan resin penukar ion positif sebagai katalis. Sugita et al. (2007a) melaporkan telah berhasil melakukan

18 epoksidasi metil ester jarak pagar dengan katalis Amberlite IR-120 dengan hasil optimum pada kondisi 70 o C, waktu reaksi 12 jam dan konsentrasi katalis 3%. Sintesis poliol dari epoksida minyak nabati dilakukan dengan mereaksikan epoksida minyak nabati dan alkohol atau asam yang memiliki bobot molekul (BM) rendah. Kondisi reaksi yang digunakan akan menentukan produk yang terbentuk yaitu pada reaksi sempurna akan dihasilkan poliol dengan kandungan OH yang tinggi sedangkan pada reaksi parsial akan dihasilkan epoksi poliol ester dengan sisa gugus epoksida (Hill 2000). Konversi epoksida minyak nabati menjadi poliol telah berhasil dilakukan dengan menggunakan alkohol, gliserol, etilen glikol (Hill 2000; Prociak & Bagdal 2006; Wool & Koht 2007; Lye et al. 2007), karbon dioksida (Wilkes et al. 2006) dan asam akrilat (Fies et al. 2007; Wool & Koht 2007). Reaksi pembukaan cincin epoksida minyak nabati dengan asam akrilat menghasilkan poliol terakrilasi yang dapat diaplikasikan untuk cat poliuretan setelah direaksikan dengan isosianat. Reaksi ini secara parsial terkatalisis dengan asam akrilat, tetapi penggunaan katalis tambahan umumnya diperlukan untuk meningkatkan selektifitas dan mencegah terjadinya homopolimerisasi epoksi (Wool & Koht 2007). Saat ini, telah dikembangkan poliol terakrilasi berbahan dasar epoksida minyak kedelai untuk aplikasi cat UV curing (Fies et al. 2007). Indonesia memiliki banyak sumber daya nabati, diantaranya kelapa sawit, kemiri, saga, kapuk, karet dan jarak pagar. Penggunaan minyak nabati di Indonesia sekarang ini sudah mulai berkembang, tidak hanya sebatas sebagai minyak untuk industri kosmetik ataupun pangan, tetapi juga sudah dijadikan bahan bakar (biodiesel), untuk mengurangi penggunaan solar. Akhir-akhir ini jarak pagar (Jatropha curcas) menjadi komoditas primadona karena berpotensi sebagai penghasil bahan bakar nabati (Mulyani et al. 2006). Jarak pagar merupakan tanaman yang sekarang ini banyak diteliti. Shah et al. (2003) melaporkan bahwa kandungan minyak biji jarak pagar tinggi, sekitar 40-60% (b/b). Minyak jarak pagar memiliki kandungan asam lemak yang mirip dengan minyak kedelai. Penggunaan minyak nabati sebagai bahan bakar sudah cukup berkembang di Indonesia, tetapi penggunaan minyak nabati sebagai bahan

19 baku poliol belum berkembang, padahal di Amerika dan Eropa sudah memasuki skala industri. Poliol dari minyak kedelai dapat disintesis melalui dua cara yaitu: epoksidasi dan hidroformilasi (Petrovic et al. 2002). Sintesis melalui cara epoksidasi dilanjutkan dengan pembukaan cincin lebih cocok untuk aplikasi cat poliuretan karena akan menghasilkan gugus hidroksil pada posisi sekunder sehingga gel time-nya lebih lama dibandingkan jika menggunakan cara hidroformilasi yang menghasilkan poliol dengan gugus hidroksil pada posisi primer. Pengembangan minyak jarak pagar sebagai bahan baku poliol alternatif merupakan salah satu cara mendapatkan bahan baku pelapis poliuretan yang selama ini masih diimpor dan berasal dari bahan baku tidak terbarukan. Oleh karena itu, diperlukan penelitian untuk menghasilkan poliol dari minyak jarak pagar yang dapat dimanfaatkan untuk bahan pelapis poliuretan. Dalam penelitian ini minyak jarak pagar ditansformasi menjadi poliol melalui reaksi epoksidasi dilanjutkan dengan reaksi pembukaan cincin epoksida. Poliol yang dihasilkan direaksikan dengan isosianat untuk menghasilkan poliuretan. Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan poliuretan dari minyak jarak pagar yang dapat diaplikasikan sebagai bahan pelapis Manfaat Penelitian Hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat dalam pengembangan material alternatif berbasis minyak jarak pagar sebagai bahan baku poliuretan untuk aplikasi bahan pelapis di Indonesia.

20 TINJAUAN PUSTAKA Minyak Jarak Pagar Jarak pagar (Jatropha curcas, Euphorbiaceae) merupakan tumbuhan semak berkayu yang banyak ditemukan di daerah tropik. Tumbuhan ini dikenal sangat tahan kekeringan dan mudah diperbanyak dengan stek. Walaupun telah lama dikenal sebagai bahan pengobatan dan racun, saat ini ia makin mendapat perhatian sebagai sumber bahan bakar hayati untuk mesin diesel karena kandungan minyak bijinya. Melihat potensi minyak jarak pagar, pemerintah Indonesia telah mencanangkan pengembangan minyak jarak pagar sebagai sumber energi terbarukan sampai tahun 2010 dengan melakukan pembudidayaan tanaman jarak pagar secara besar-besaran. Hal ini terkait dengan potensi tanaman jarak pagar sebagai bahan bakar alternatif untuk menghemat cadangan minyak bumi yang semakin menipis (Hambali et al. 2006). Biji (dengan cangkang) jarak pagar mengandung 20-40% minyak nabati, namun bagian inti biji dapat mengandung 45-60% minyak kasar. Berdasarkan analisis terhadap komposisi asam lemak dari 11 sampel jarak pagar, diketahui bahwa asam lemak yang dominan adalah asam oleat, asam linoleat, asam stearat, dan asam palmitat. Komposisi asam oleat dan asam linoleat bervariasi, sementara dua asam lemak yang tersisa, yang kebetulan merupakan asam lemak jenuh, berada pada komposisi yang relatif tetap (Heller 1996). Struktur kimia minyak jarak pagar menurut Gubitz et al. (1999) dapat dilihat pada Gambar 1. Gambar 1 Stuktur kimia minyak jarak pagar

21 Komposisi asam lemak dalam minyak jarak pagar (Jatropha curcas) dibandingkan dengan asam lemak dari minyak sawit dan minyak kedelai, memiliki beberapa kemiripan. Minyak jarak pagar didominasi oleh asam jenis oleat dan asam linoleat, minyak sawit didominasi oleh asam palmitat dan asam oleat sedangkan minyak kedelai didominasi oleh asam linoleat dan asam oleat (Tabel 1). Tabel 1 Komposisi asam lemak dalam minyak biji jarak pagar, minyak sawit, dan minyak kedelai Asam lemak Minyak jarak pagar Minyak sawit Minyak kedelai Miristat Palmitat Stearat Arakidat Palmitoleat Oleat Linoleat Linolenat 14:0 16:0 18:0 20:0 16:1 18:1 18:2 18: Sumber: Gubitz et al. (1999); Rios (2003) Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Adebowale dan Adedire (2006), kandungan trigliserida dalam minyak jarak pagar (Jatropha curcas) menggunakan sampel biji jarak dari Nigeria adalah sebesar 88,2%, digliserida sebesar 2,5%, monogliserida 1,7%, asam lemak bebas 3,4%, lipid polar 2,0%, dan sterol 2,2%. Komposisi asam lemak dan parameter fisiko-kimia berdasarkan penelitian tersebut berturut-turut dapat dilihat pada Tabel 2 dan Tabel 3. Tabel 2 Komposisi asam lemak minyak Jatropha curcas Komposisi Asam palmitat (C16:0) Asam stearat (C18:0) Asam oleat (C18:1) Asam linoleat (C18:2) Asam arakidat (C20:0) Asam arakidoleat (C20:1) Asam behenat (C22:0) Sumber: Adebowale & Adedire (2006). Persentase

22 Tabel 3 Parameter fisiko-kimia minyak Jatropha curcas Parameter Warna Massa jenis Indeks bias Asam lemak bebas (%) Bilangan asam (mg KOH/g) Bilangan saponifikasi (mg KOH/g) Angka Iod (mg.i 2.g -1 ) Angka peroksida (mg reac.o 2 /g) Sumber: Adebowale & Adedire (2006). Nilai parameter Merah keemasan Menurut Shah (2003), biji jarak pagar mengandung 40-60% minyak. Sifat fisik dan kimia dari minyak yang dihasilkan mirip dengan minyak kedelai. Sugita et al. (2007b), melaporkan kromatogram GC-MS dari minyak jarak pagar menunjukkan adanya kandungan asam lemak tak jenuh sebesar 55.14% yang teridentifikasi dalam bentuk metil ester. Berdasarkan kromatogram, ester takjenuh didominasi oleh metil palmitoleat, yaitu sebanyak 54.24%. Keberadaan ester tak jenuh tersebut didukung oleh bilangan iodin metil ester jarak pagar sebesar g I 2 /100 g. Epoksidasi dan Pembukaan Cincin Epoksida Epoksida atau oksirana merupakan eter siklik yang beranggotakan tiga buah atom. Keregangan cincin dalam molekul membuatnya lebih reaktif dibandingkan dengan eter lainnya. Reaksi epoksida penting dalam sintesis organik, karena epoksida yang terbentuk merupakan zat antara yang dapat diubah menjadi beraneka ragam produk (Solomon 1980). Epoksidasi dengan menggunakan hidrogen peroksida dan sejumlah katalis bersifat tidak toksik, sehingga berpotensi untuk dikembangkan ke skala industri (Lane & Burges 2002). Pereaksi nukleofilik sangat tidak reaktif terhadap alkena. Alkena dapat bereaksi dengan nukleofil jika atom karbon yang memiliki ikatan rangkap mengikat gugus penarik elektron yang kuat. Senyawa epoksida sering dibuat dengan mereaksikan alkena dengan perasam (asam perbenzoat, asam perasetat, asam mono perftalat dan lain-lain).

23 Mekanisme reaksi alkena dengan perasam telah dikemukakan oleh Bartlett dalam Dryuk (1976), dimana perasam akan mentransfer atom oksigennya ke alkena. Reaksi epoksidasi alkena dengan perasam merupakan reaksi ordo dua dengan ordo satu untuk masing-masing reaktan (March 1992; Edenborough 1999). Lynch & Pausacker dalam Isaacs (1974) mendapatkan fakta bahwa reaksi epoksidasi dipermudah oleh adanya gugus pendorong elektron pada alkena dan oleh gugus penaruk elektron pada perasam. Hal ini merupakan bukti bahwa alkena berfungsi sebagai nukleofil dan perasam sebagai elektrofil. Pada dasarnya ada empat cara untuk menghasilkan epoksida dari alkena, yaitu (1) epoksidasi dengan asam perkarboksilat, 2) epoksidasi dengan peroksida organik dan anorganik, 3) epoksidasi dengan halohidrin, dan 4) epoksidasi dengan molekul oksigen (Rios 2003). Metode pertama dan kedua lebih bersih dan efisien. Sementara metode ketiga, penggunaan halohidrin sangat berbahaya terhadap lingkungan dan membutuhkan perlakuan khusus. Pada cara keempat, molekul oksigen memiliki selektivitas dan aktivitas yang bergantung pada katalis yang mengandung unsur dari golongan IV-VIB menghasilkan selektivitas yang tinggi, tetapi prosesnya lama, sedangkan untuk katalis yang mengandung unsur dari golongan I, VII, dan VIIIB, proses epoksidasi berlangsung dengan cepat tetapi dengan selektivitas yang rendah (Rios 2003). Asam peroksida dibentuk melalui interaksi antara asam karboksilat dan hidrogen peroksida. Reaksi ini dapat dipersingkat dengan menggunakan hidrogen peroksida yang berlebih (Gall & Greenspan 1955). Pembentukan asam peroksi dengan menggunakan hidrogen peroksida dapat dilakukan dengan empat cara seperti yang dikemukakan oleh Kirk & Othmer (1965), yaitu asam peroksi asetat atau format yang dibentuk terlebih dahulu dan asam asetat atau asam format yang dibentuk secara in situ. Reaksi epoksidasi menggunakan teknik in situ memiliki beberapa keuntungan, antara lain mengurangi pemakaian hidrogen peroksida dan hemat biaya. Broshears et al. (2004), melaporkan senyawa okson dapat digunakan untuk menghasilkan dimetil dioksirana secara in situ dari aseton. Dioksirana kemudian mengoksidasi alkena menjadi epoksida.

24 Wood & Termini (1958) mengatakan bahwa proses epoksidasi biasanya dilakukan pada suhu o C. Bila digunakan suhu yang lebih rendah akan memperpanjang waktu epoksidasi dan menurunkan efisiensi epoksidasi. Hasil penelitian Haya (1991) menunjukkan bahwa epoksidasi yang dilakukan pada suhu o C menghasilkan senyawa epoksida dengan kandungan oksigen oksirana yang relatif lebih tinggi bila dibandingkan dengan suhu o C. Proses epoksidasi dapat dipersingkat dengan penggunaan katalis seperti: Amberlite IR- 120 dan zeolit. Campanella & Baltanas (2005), melaporkan reaksi epoksidasi minyak kedelai yang memiliki komposisi mirip dengan minyak jarak pagar secara teoretis dapat menghasilkan epoksida minyak kedelai dengan bilangan oksirana sebesar 5.5% yang setara dengan 0.34 mol oksigen tiap 100 g epoksida minyak kedelai yang dimaksud. Mannari & Goel (2007) juga melaporkan bahwa epoksida minyak kedelai dapat mencapai bilangan oksirana sebesar 4.2%. Berdasarkan hasil-hasil penelitian di atas, diprediksi minyak jarak pagar bila diepoksidasi memiliki kandungan bilangan oksirana sedikit lebih rendah dari epoksida yang dihasilkan dari minyak kedelai. Nilai bilangan oksirana yang lebih rendah memungkinkan diperolehnya bilangan hidroksil yang lebih rendah pula jika dilakukan reaksi pembukaan cincin epoksida menjadi poliol. Poliol dengan bilangan hidroksil yang lebih rendah memberikan keuntungan untuk aplikasinya sebagai bahan baku pelapis. Epoksida atau oksirana memiliki sifat kimia yang berbeda dengan eter. Pada umumnya eter tidak reaktif tetapi epoksida sangat reaktif terhadap beberapa pereaksi kimia. Cincin epoksida tidak memiliki sudut ikatan sp 3 sebesar 109 o, tetapi sudut ikatannya hanya 60 o, sehingga orbital yang membentuk ikatan tidak dapat mencapai tumpang tindih secara maksimal. Hal ini menyebabkan cincin epoksida menderita terikan cincin. Adanya polaritas ikatan C-O dan adanya terikan cincin, mengakibatkan epoksida lebih reaktif dibandingkan eter lainnya (Fessenden & Fessenden 1986). Reaksi khas epoksida adalah reaksi pembukaan cincin. Pembukaan cincin epoksida terjadi karena terputusnya satu ikatan antara karbon dan oksigen, yang

25 dapat berlangsung baik dalam suasana asam maupun basa (Gambar 2). Campanella & Baltanas (2005), telah melakukan penelitian untuk membuka cincin epoksida pada epoksida minyak bunga matahari dan epoksida minyak kedelai menggunakan hidrogen peroksida dan H 2 SO 4 98% sistem cair-cair (polarorganik). Pembukaan cincin epoksida pada minyak nabati juga dapat dilakukan dengan menggunakan asam akrilat (Fies et al. 2007). O +H + H O Nu Nu OH Gambar 2 Mekanisme reaksi pembukaan cincin epoksida berkatalis asam Pembukaan cincin epoksida juga dapat terjadi dalam suasana basa. Walaupun atom oksigen merupakan gugus pergi yang kurang baik pada reaksi SN 2 namun akibat terikan cincin beranggota tiga dari epoksida reaksi pembukaan cincin dapat terjadi. Nukleofil akan menyerang pada atom karbon kurang terintangi untuk menghindari pengaruh sterik pada keadaan transisi. Penyerangan nukelofil pada karbon memenuhi urutan karbon primer>sekunder>tersier (Royall & Harel 1955). Reaksi pembukaan cincin epoksida metil oleat telah dilakukan oleh Rios (2003) dengan menggunakan metanol dan neopentanol pada suhu 60 o C dengan ragam nisbah metanol/epoksida 1/1 g/g dan 0.5/1 g/g untuk tiap-tiap penggunaan katalis yang berbeda. Katalis yang digunakan adalah Amberlyst 15 dan SAC 13. Hasil reaksi menunjukkan konversi total epoksida diperoleh setelah 60 menit (rasio metanol/epoksida 0.5/1 g/g) dan 90 menit (rasio metanol/epoksida 1/1 g/g) pada penggunaan katalis SAC 13 sedangkan pada penggunaan katalis Amberlyst 15 konversi epoksida total diperoleh setelah 180 menit (rasio metanol/epoksida 0.5/1 g/g) dan 440 menit (rasio metanol/epoksida 1/1 g/g). Peningkatan rasio metanol/epoksida menghasilkan waktu reaksi yang lebih cepat.

26 Senyawa hidroksi eter merupakan senyawa utama yang diharapkan dari reaksi pembukaan cincin epoksida metil oleat yang dilakukan oleh Rios (2003), tetapi selektivitas pembentukan senyawa hidroksi eter bukan merupakan fungsi yang linear dari konsentrasi reaktan, kekuatan asam dari katalis dan waktu reaksi. Selain menghasilkan senyawa hidroksi eter reaksi pembukaan cincin epoksida metil oleat juga menghasilkan senyawa keton, senyawa transesterifikasi hidroksieter, dan senyawa transesterifikasi keton. Menurut Mannari & Goel (2007), reaksi pembukaan cincin epoksida dengan asam berbasa dua dapat menghasilkan senyawa hidroksi poliester, sedangkan reaksi pembukaan cincin epoksida dengan asam karboksilat menghasilkan senyawa beta-hidroksi ester (Gambar 3) O ~~~OOC-R-COO OH + HOOC-R-COOH O OOC-R-COO~~~ HO Hidroksi poliester O + R-COOH HO O O R Beta-hidroksi ester Gambar 3 Skema reaksi pembentukan hidroksi poliester dari epoksida

27 Poliol Poliol merupakan bagian dari teknologi poliuretan yang penting setelah isosianat. Poliol polieter (polipropilen glikol dan triol) yang memiliki bobot molekul mendominasi aplikasi busa poliuretan. Poliester poliol adalah kelompok penting dari bahan baku uretan untuk aplikasi dalam bidang elastomer, perekat dan lain-lain. Poliester poliol dibuat dari asam adipat dan etilena glikol menjadi polietilen adipat atau butana diol dan asam adipat menjadi polibutilen adipat. Beberapa struktur kimia poliol komersial ditunjukkan pada Gambar 4 (Kricheldorf et al. 2005). Polypropylene oxide (PPO) poliol Poliester polycaprolactone diol Gambar 4 Struktur kimia poliol komersial Poliol untuk aplikasi pelapis (coating), rigid foams, dan perekat mengandung cincin aromatik pada strukturnya untuk meningkatkan rigiditas. Poliol ini dapat mengkristal, dan hal ini merupakan aspek penting pada beberapa aplikasi seperti perekat. Minyak castor adalah triol alami dengan bilangan hidroksil 160 mg KOH/g (fungsionalitas = 2,7) (Kricheldorf et al. 2005). Poliol yang dikembangkan khusus dari minyak nabati untuk aplikasi pelapis dilaporkan oleh Mannari & Goel (2007). Penggunaan minyak nabati sebagai bahan baku poliol memiliki beberapa keunggulan antara lain: cocok untuk berbagai jenis permukaan, memiliki gugus fungsi reaktif untuk pengeringan dengan crosslinker, memungkinkan untuk dimodifikasi, lebih murah, dapat diperbaharui, dan tersedia secara komersial. Poliol yang berasal dari minyak

28 nabati dapat diaplikasikan untuk pelapis berbasis air (waterborne coating) dan pelapis dengan konsentrasi padatan tinggi (high solid coating). Poliol sebagai turunan senyawa yang mengandung gugus fungsi hidroksil dapat berbentuk polimer dan oligomer yang merupakan senyawa antara yang sangat bernilai untuk bahan pelapis sistem poliuretan, sistem pengering melamin dan sistem termoset. Konversi minyak nabati menjadi poliol dapat dilakukan dengan beberapa cara antara lain: epoksidasi dilanjutkan dengan hidrolisis, alkoholisis, hidroformilasi dilanjutkan dengan reduksi, konversi mikrobial dan fungsionalisasi poliol (Mannari & Goel 2007). Reaksi alkoholisis dengan metanol (berlebih) terhadap epoksida minyak nabati dengan adanya asam sebagai katalis dapat menghasilkan poliol. Gambar 5 menunjukkan reaksi epoksida minyak kedelai dengan metanol pada suhu refluks metanol, katalis yang digunakan dapat berupa H 2 SO 4, HBF 4, atau zeolit asam menghasilkan poliol dengan bilangan hidroksil mg KOH/g (Ionescu 2005). Poliol nabati Gambar 5 Reaksi alkoholisis epoksida nabati menjadi poliol Budi (2001) telah berhasil melakukan sintesis poliol dari minyak sawit menjadi poliol dengan reagen H 2 O 2 dan HCOOH dengan kondisi optimum reaksi pada suhu 50 o C, komposisi reaktan 40% minyak sawit netral dan waktu reaksi 2

29 jam. Poliol yang dihasilkan mempunyai bilangan hidroksil 148 mg KOH dan telah dicoba untuk aplikasi dalam formulasi busa poliuretan. Karakteristik hasil aplikasinya diperoleh busa berwarna kuning dengan sifat keras dan kaku dan busa berwarna putih dengan sifat lembut dan fleksibel. Analisis serapan IR telah digunakan untuk menjelaskan perbedaan karakteristik fisik tersebut. Gugus hidroksil dalam resin poliol memiliki beberapa fungsi penting dalam bahan pelapis sistem poliuretan (Massingill 2006). Fungsi dan kegunaannya antara lain: gugus hidroksil berperan dalam crosslinking dengan gugus lain, berpengaruh pada daya rekat terhadap substrat logam dan meningkatkan kompatibilitas dengan berbagai jenis resin dan pelarut. Poliuretan Reaksi poliadisi antara isosianat (poliisosianat) dengan poliol akan menghasilkan polimer yang lebih dikenal dengan poliuretan. Poliuretan yang dihasilkan dari reaksi poliadisi ini sangat bervariasi dan kompleks. Kompleksitas polimer disebabkan oleh banyaknya variabel yang mempengaruhi sifat-sifat fisik akhir polimer. Sebagian variabel-variabel tersebut adalah: 1. Bobot molekul dan fungsionalitas poliol dan poliisosianat 2. Sifat-sifat kelarutan komponen dan hasil reaksi 3. Variasi pada kinetika reaksi poliadisi menyebabkan macam-macam efek dan pengendaliannya 4. Penggunaan bermacam-macam katalis, surfaktan, aditif dan filler untuk memodifikasi sifat-sifat fisik dan performa polimer. Isosianat adalah komponen penting dalam teknologi poliuretan. Isosianat yang biasa digunakan dalam pembuatan poliuretan ada dua jenis, yaitu isosianat aromatis dan alifatis. Poliuretan yang dibuat dari isosianat alifatis mempunyai warna yang stabil, tetapi isosianat alifatis kurang reaktif dibandingkan dengan isosianat aromatis dan harga isosianat alifatis lebih mahal. Oleh karena itu, hampir 95% produk poliuretan dihasilkan dari isosianat aromatis, yaitu TDI, MDI dan turunannya. TDI yang digunakan umumnya merupakan campuran dua bentuk molekul yaitu isomer 2,4 dan 2,6 TDI dengan perbandingan 80:20 (Gambar 6).

30 Beberapa jenis triisosianat juga digunakan dalam aplikasi pelapis dan perekat seperti trifenilmetanaa triisosianat (Thomson 2005). Gambar 6 Strukur molekul isomer TDI Isosianat aromatis kurang cocok untuk aplikasi pelapis dan aplikasi lainnya yang dimungkinkan terkena radiasi sinar matahari dan pengaruh cuaca yang berlebih karenaa dapat berubah menjadi kuning (yellowing). Untuk aplikasi pelapis pada kondisi tersebut dibutuhkan isosianat jenis alifatis dan sikloalifatis. Salah satu sikloalifatis isosianat yang populer adalah IPDI. Meskipun isosianat aromatis dapat mengakibatkan yellowing, penggunaannya dalam teknologi pelapis relatif tinggi karenaa menghasilkan tekstur lapisan film yang lebih keras dibandingkan isosianat alifatis. Reaktivitas yang tinggi dari senyawa isosianat disebabkan oleh struktur elektroniknya yang dapat beresonansi seperti ditunjukkan pada Gambar 7. Reaktivitas suatu isosianat bergantung pada letak gugus isosianat dan jenis molekul yang melekat. Prinsipnya umumnya isosianat aromatis lebih reaktif daripada isosianat alifatis. Reaktivitasnya juga bergantung pada suhu dan perbedaan reaktivitass dua grup gugus isosianat akibat kenaikan suhu. Gambar 7 Struktur resonansi gugus isosianat Reaksi antaraa isosianat dengan alkohol atau gugus hidroksil merupakan reaksi yang paling penting dalam sintesis poliuretan. Menurut Ionescu (2005),

31 reaksi isosianat dengan alkohol menghasilkan uretan termasuk reaksi eksotermis (Gambar 8). Isosianat alkohol uretan H (24 Kcal/mol) Gambar 8 Reaksi isosianat dengan alkohol Selain bereaksi dengan gugus hidroksil, isosianat juga dapat bereaksi dengan gugus-gugus lainnya. Isosianat dapat bereaksi dengan asam-asam organik membentuk senyawa antara yang tidak stabil yang terdekomposisi menjadi amida dan CO 2. (Gambar 9a). Isosianat bereaksi dengan HCl membentuk adduct yang terdekomposisi kembali pada suhu tinggi (Gambar 9b). Reaksi isosianat dengan anhidrida menghasilkan imida (Gambar 9c). Isosianat juga bereaksi dengan epoksida menghasilkan senyawa siklis oxazolidon (Gambar 9d). (a) (b) (c) (d) (e) Isosianat uretan allophanat Gambar 9 Reaksi-reaksi isosianat dengan gugus bukan hidroksil

32 Katalis dalam teknologi poliuretan memegang peran penting dalam mengontrol reaksi poliol dan isosianat. Senyawa yang mengkatalisis reaksi poliol dan isosianat dapat berjenis nukleofilik (misal: basa amina tersier, garam-garaman dan asam-asam lemah) atau berjenis elektrofilik (misal: senyawa organometalik). (Kricheldorf et al. 2005). R 3 N + R'NCO R' N C O R' N C O N R 3 R 3 Pembentukan kompleks teraktivasi N R 3 R 3 H O R" OR" R'N C O + R"OH R' N C O + H R' N C O + NR 3 N R 3 R 3 N R 3 R 3 Gambar 10 Reaksi pembentukan uretan berkatalis amina Senyawa amina adalah salah satu jenis katalis yang sering digunakan sebagai katalis reaksi poliol dengan isosianat. Mekanisme reaksi poliol-isosianat dengan katalis amine diasumsikan terjadi melalui pembentukan kompleks teraktivasi antara amina dan isosianat. Kompleks isosianat teraktivasi kemudian bereaksi dengan alkohol membentuk produk antara. Produk antara selanjutnya terdekomposisi menghasilkan uretan dan katalis terbentuk kembali (gambar 10). Pada senyawa-senyawa yang mengandung gugus hidroksil dengan tingkat keasaman yang tinggi, memungkinkan terjadinya transfer proton dari alkohol ke amina. Film Poliuretan Suatu bahan pelapis (coating) terdiri dari binder (resin polimer), pelarut, pigmen dan bahan pengisi (filler). Bahan pelapis poliuretan memiliki posisi khusus di antara binder alami dan sintetik dalam industri bahan pelapis karena

33 memiliki daya rekat yang sangat baik terhadap berbagai bahan. Bahan pelapis poliuretan dan varnisnya dapat dikelompokkan menjadi beberapa grup sebagai berikut: 1. Sistem dua komponen, dimana satu komponen adalah poliisosianat dan komponen kedua adalah poliol dengan aditif. Sistem ini dibuat dengan atau tanpa pelarut. 2. Sistem satu komponen yang dapat kering dengan uap air disekitarnya. Sistem ini dibuat dengan atau tanpa pelarut. 3. Sistem satu komponen yang mengandung campuran poliol dan blocked isosianat. Pada temperatur yang lebih tinggi, isosianat teraktivasi dan bereaksi dengan poliol. Powder coating termasuk dalam kategori ini. 4. Sistem urethan non reaktif yang mengandung poliuretan yang dilarutkan di dalam pelarut. Sistem menjadi kering setelah pelarutnya diuapkan. 5. Uretan alkyds atau uretan oils. 6. Sistem Poliuretan yang terdispersi di air. (Petrovic dalam Kricheldorf et al. 2005). Sistem dua komponen merupakan salah satu kelompok yang cukup berkembang. Dua komponen dalam sistem yaitu isosianat dan poliol serta aditif dicampur kemudian dapat diaplikasikan dengan teknik aplikasi seperti kuas, semprot, roller, dipping dan teknik lainnya. Persyaratan isosianat yang digunakan dalam formulasi harus memiliki tekanan uap yang rendah, sebagai ganti dari penggunaan isosianat murni, isosianat terpolimerisasi, isosianurat atau prepolimer lebih disukai. Metilena diisosianat (MDI), juga digunakan dalam bentuk monomernya karena memiliki tekanan uap yang rendah. Sebagai contoh isosianat yang digunakan dalam industri coating adalah Desmodur L dari Bayer, yang berbasis trimetilol propana dan toluena diisosianat (Kricheldorf et al. 2005). Hasil aplikasi campuran poliol-isosianat atau lebih dikenal sebagai poliuretan akan menghasilkan bahan pelapis dengan kualitas yang beragam. Kualitas lapisan film yang dihasilkan bergantung pada beberapa hal antara lain: jenis resin poliol, jenis isosianat, aditif yang digunakan, metode aplikasi yang dipakai, dan bahan yang dilapis. Pengujian kinerja bahan pelapis dapat dilakukan

34 dengan menggunakan parameter standar yang menjadi acuan industri seperti ASTM dan JIS (Japanese Industrial Standard). Jenis pengujian lapisan film bahan pelapis yang sering dilakukan antara lain: daya kilap, tingkat kekerasan dan daya rekat. Daya kilap lapisan film pada teknologi bahan pelapis didefinisikan sebagai banyaknya cahaya yang dipantulkan ke mata pengamat oleh permukaan lapisan film (Talbert 2008). Semakin banyak cahaya yang dipantulkan oleh permukaan lapisan film, maka daya kilapnya semakin tinggi. Tingkat kehalusan permukaan lapisan film menentukan banyaknya cahaya yang dipantulkannya, sehingga semakin halus permukaan lapisan film, maka daya kilapnya semakin tinggi. Daya kilap diukur dengan alat fotoelektrik (glossmeter). Sudut refleksi dari glossmeter dapat bermacam-macam yaitu: 20 o, 45 o, 60 o, 90 o, atau beberapa nilai lainnya. Dalam penelitian ini digunakan glossmeter bersudut refleksi 60 o. Tingkat kekerasan lapisan film adalah parameter yang penting dari bahan pelapis. Tingkat kekerasan lapisan film bahan pelapis berhubungan dengan kerapuhan dan permeabilitas terhadap air (Talbert 2008). Tingkat kekerasan lapisan film bahan pelapis yang telah dikeringkan atau dalam proses pengeringan dapat diukur dengan menggunakan pensil hardness (metode yang umum digunakan). Tingat kekerasan lapisan film bahan pelapis berpengaruh terhadap ketahanan mekanik dan fleksibilitas. Selain daya kilap dan tingkat kekerasan lapisan film, daya rekat merupakan parameter kualitas bahan pelapis yang penting. Tanpa daya rekat yang cukup, lapisan film bahan pelapis yang memiliki daya kilap, tingkat kekerasan, ketahanan terhadap bahan kimia yang baik menjadi tidak berguna, sehingga dalam formulasi bahan pelapis, daya rekat perlu diperhatikan (Arthur 2007). Pengukuran daya rekat umumnya dilakukan dengan menggunakan metode crosscut test. Metode pengukuran daya rekat lainnya adalah dengan menggunakan tanda X yang digoreskan pada lapisan film kemudian dihentakkan dengan selotif berperekat khusus (Talbert 2008).

35 METODE PENELITIAN Bahan dan Alat Penelitian Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah : minyak jarak pagar, asam Akrilat (Sigma), natrium hidrogen karbonat (E.Merck), natrium sulfat anhydrous (E.Merck), toluena (E. Merck), aseton (E.Merck), KOH, trietilamin (TEA), NaOH, H 3 PO 4, asam asetat, anhidrida asetat, H 2 O 2, dan toluen diisosianat (TDI) grade industri. Peralatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah: satu set alat refluk, rotary evaporator, set alat titrasi, erlenmeyer, bekerglass, mantel heater, pengaduk magnetik, hot plate, piknometer, panel test untuk cat, dan tes kit resin dan cat, spektrofotometer FTIR Thermo Nicolet AVATAR 360, Glossmeter BYK Chemie, 3M Crosscut tape, dan Mistubishi Pencil Hardness. Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian ini dilaksanakan dari bulan Maret 2008 sampai bulan November 2008, di Laboratorium Penelitian Jurusan Kimia FMIPA Universitas Negeri Semarang, Laboratorium Riset dan Pengembangan PT Murni Cahaya Pratama Bogor, dan Laboratorium Terpadu UII Yogyakarta. Prosedur Penelitian Penelitian ini secara garis besar terdiri dari tiga tahap, yaitu (1) epoksidasi minyak jarak pagar, (2) pembuatan poliol, dan (3) pembuatan formula yang menghasilkan film poliuretan. Diagram alir pelaksanaan penelitian dapat dilihat pada Lampiran Epoksidasi Minyak Jarak Pagar Bahan baku penelitian adalah minyak jarak pagar hasil pengepresan biji jarak pagar yang telah melalui proses deguming dan telah dikarakterisasi bilangan Iod dan bilangan oksirananya. Tahap epoksidasi bertujuan untuk mengkonversi gugus ikatan rangkap pada asam lemak tak jenuh minyak jarak pagar menjadi

36 epoksida minyak jarak pagar (EJP) menggunakan prosedur yang telah dikembangkan oleh Sugita et al. (2007a). Menurut Sugita et al. (2007a), prosedur epoksidasi minyak jarak pagar adalah sebagai berikut: sebanyak 100 g minyak jarak pagar, 8 ml asam asetat glasial, 29 ml toluena, dan katalis Amberlite IR-120 sebanyak 3% dimasukkan kedalam labu leher tiga yang dilengkapi pengaduk magnet, kemudian larutan kedua yaitu 57,8 g H 2 O 2 35% dalam corong pisah dimasukkan tetes demi tetes kedalam campuran reaksi. Campuran dalam labu leher tiga dipanaskan dalam penangas air dengan suhu 70 o C selama 12 jam. Hasil reaksi dinetralkan dengan larutan NaHCO 3, kemudian dimasukkan dalam corong pisah, didiamkan hingga memisah. Selanjutnya lapisan air dibuang, epoksida minyak jarak pagar yang terbentuk dicuci dengan aquades dan dikeringkan dengan Na 2 SO 4 anhidrat. Diagram alir pembuatan EJP disajikan pada Lampiran 2. Epoksida yang dihasilkan dianalisis bilangan Iod, bilangan oksirana dan spektrofotometer Inframerah. Prosedur analisis disajikan pada Lampiran Pembuatan Poliol Pembuatan poliol pada penelitian ini merupakan modifikasi prosedur pembuatan poliol berbasis minyak nabati yang dipatenkan oleh Chasar et al., (2003). Diagram alir pembuatan poliol disajikan pada Lampiran 3. Prosedur pembuatan poliol adalah sebagai berikut: sebanyak 100 g EJP dimasukkan kedalam labu leher tiga, kemudian ditambahkan sejumlah tertentu toluena dan TEA sebagai katalis. Campuran dalam labu leher tiga yang telah dipasang pendingin refluk dipanaskan sambil diaduk menggunakan pengaduk magnet dalam penangas air pada suhu 50 o C. Setelah campuran homogen, dan suhu konstan pada 50 o C selanjutnya ditambahkan sejumlah asam akrilat (AA). Komposisi reaktan pada pembuatan poliol secara lengkap disajikan pada Tabel 4. Reaksi dilaksanakan variasi waktu yaitu: 60, 120, 180, dan 240 menit. Campuran poliol yang diperoleh selanjutnya dinetralkan dengan NaHCO 3 dan dipisahkan fase organiknya dengan corong pisah. Fase organik yang diperoleh

37 dicuci beberapa kali dengan menambahkan aquades panas kedalam campuran hasil reaksi dalam corong pisah. Campuran dikocok selama 3 menit, kemudian didiamkan selama 30 menit agar poliol terpisah dari air dan sisa reaktan. Lapisan yang berwarna kuning keruh di bagian atas merupakan poliol dan lapisan putih agak bening pada bagian bawah merupakan campuran air dan sisa reaktan. Poliol yang diperoleh selanjutnya ditambah dengan Na 2 SO 4 anhidrat untuk menurunkan kandungan air yang tersisa akibat proses pencucian. Tabel 4 Komposisi reaktan pembuatan poliol Rasio* EJP(g) AA (g) TEA (g) Toluena Total (g) (g) %EJP %AA %TEA : : : *) rasio EJP:AA (mol:mol) Poliol bebas air yang diperoleh dianalisis bilangan hidroksil, bilangan oksirana, rendemen, dan dianalisis dengan spektrofotometer inframerah. Prosedur analisis disajikan pada Lampiran 5. Berdasarkan nilai bilangan hidroksil, poliol hasil sintesis dikelompokkan menjadi dua yaitu: poliol L.OHV dan poliol H.OHV. Poliol L.OHV adalah poliol dengan nilai bilangan hidroksil lebih kecil dari nilai bilangan hidroksil rata-rata semua perlakuan. Poliol H.OHV adalah poliol dengan nilai bilangan hidroksil lebih besar dari rata-rata.

38 3. Pembuatan Film Poliuretan Pembuatan film poliuretan pada penelitian ini merupakan modifikasi prosedur pembuatan poliuretan yang dilakukan oleh Kaushiva et al. (2006) dan Kong & Narine (2007). Poliol yang digunakan dalam pembuatan film poliuretan terdiri dari tiga jenis yaitu: poliol L.OHV, poliol H.OHV dan poliol komersial. Diagram alir pembuatan bahan pelapis poliuretan disajikan pada Lampiran 4. Sejumlah poliol tertentu dicampurkan dengan pelarut, dan aditif dalam wadah pencampur. Campuran diaduk hingga merata pada suhu kamar selama 10 menit untuk mendapatkan campuran yang homogen. Dari campuran poliol yang diperoleh, diambil masing-masing 4 ml kemudian dimasukkan dalam dua buah wadah terpisah. Kedalam wadah A ditambahkan 1 ml Isosianat A dan kedalam wadah B ditambahkan 1 ml isosianat B. Campuran diaduk dalam suhu ruang selama 3 menit, kemudian diaplikasikan pada panel ABS yang telah disiapkan. Prosedur ini berlaku untuk poliol L.OHV, poliol H.OHV dan poliol komersial. Hasil aplikasi dibiarkan dalam suhu ruang selama 15 menit untuk menguapkan pelarut yang berada dibawah lapisan film. Selanjutnya, hasil aplikasi dikeringkan dengan oven selama 30 menit pada temperatur 70 o C. Setelah dikeluarkan dari oven, panel aplikasi dibiarkan dingin pada suhu kamar selama 24 jam sebelum dilakukan pengujian film poliuretan. Lapisan film poliuretan yang dihasilkan diuji daya kilap, tingkat kekerasan, daya rekat, dan analisis spektrofotometer inframerah. Prosedur pengujian daya kilap, tingkat kekerasan, dan daya rekat lapisan film poliuretan disajikan pada lampiran 5. Rancangan Percobaan Dalam pembuatan poliol, untuk mengetahui pengaruh faktor dan atau antar faktor terhadap respon penelitian digunakan alat bantu rancangan percobaan faktorial 3x4x4 dengan tiga faktor yaitu persen asam akrilat (%AA) terhadap EJP, persen katalis TEA (%TEA) dan waktu reaksi dengan setiap perlakuan dilakukan tiga kali ulangan. Faktor %AA dilakukan dengan tiga taraf, yaitu 1,4, 2,9, dan

39 4,3%, faktor %TEA dengan empat taraf yaitu, 0, 1, 2, dan 3%, sedangkan faktor waktu reaksi dengan empat taraf yaitu, 60, 120, 180, dan 240 menit. 1994): Keterangan: Model umum untuk rancangan tersebut adalah sebagai berikut (Sudjana, = nilai pengamatan pengaruh %AA ke-i, %TEA ke-j, dan waktu reaksi ke-k pada ulangan ke-l. µ = rata-rata sebenarnya = pengaruh %AA taraf ke-i. = pengaruh %TEA pada taraf ke-j = pengaruh waktu reaksi pada taraf ke-k = pengaruh interaksi perlakuan %AA pada taraf ke-i, dan %TEA pada taraf ke-j = pengaruh interaksi perlakuan %TEA pada taraf ke-j, dan waktu reaksi pada taraf ke-k. = pengaruh interaksi perlakuan %AA pada taraf ke-i, dan waktu reaksi pada taraf ke-k = pengaruh interaksi perlakuan %AA pada taraf ke-i, %TEA pada taraf ke-j, dan waktu reaksi pada taraf ke-k = galat, berupa pengaruh acak dari unit eksperimen ke-l dalam kombinasi perlakuan (ijk) Di sisi lain untuk mempelajari proses pembuatan film poliuretan, rancangan percobaan yang digunakan adalah Rancangan Acak Lengkap Faktorial dengan ulangan sebanyak tiga kali. Sebagai perlakuan yaitu: (A) jenis poliol (L.OHV, H-OHV, Komersial), dan (B) jenis isosianat (Isosianat A dan Isosianat B). Model umum untuk rancangan percobaan tersebut adalah sebagai berikut (Sudjana, 1994): Keterangan: = nilai pengamatan pengaruh jenis poliol ke-i, dan jenis isosianat ke-j pada ulangan ke-k. µ = rata-rata sebenarnya = pengaruh jenis poliol dan jenis isosianat pada taraf ke-i. = pengaruh jenis isosianat pada taraf ke-j

40 = pengaruh interaksi perlakuan jenis poliol pada taraf ke-i, dan jenis isosianat pada taraf ke-j = galat, berupa pengaruh acak dari unit eksperimen ke-k dalam kombinasi perlakuan (ij) Parameter yang diamati meliputi tingkat kekerasan, daya kilap, dan daya rekat lapisan film poliuretan. Analisis data Tabulasi data penelitian dianalisis dengan bantuan perangkat lunak Minitab Ver.14 untuk analisis faktorial. Response surface methodology (RSM) digunakan untuk mencari fungsi yang tepat dalam memprediksi respons penelitian (bilangan hidroksil). RSM adalah sekumpulan metode matematika dan teknik statistik yang bertujuan untuk membuat model dan melakukan analisis mengenai respons yang dipengaruhi oleh beberapa variabel (Iriawan & Astuti 2006). Dalam penelitian ini, output RSM berupa grafik respon dan grafik kontur digunakan untuk menganalisis pengaruh variabel-variabel terhadap respon data penelitian secara visual. Fasilitas output RSM berupa grafik respon dan grafik kontur telah disediakan oleh Mnitab Ver.14 sebagai kelengkapan dari output analisis keragaman desain faktorial yang dipilih dalam rancangan penelitian.

41 HASIL DAN PEMBAHASAN Epoksidasi Minyak Jarak Pagar Epoksida minyak jarak pagar (EJP) yang dihasilkan dalam penelitian ini memiliki warna yang relatif sama dengan minyak jarak pagar yang digunakan sebagai bahan baku. Minyak jarak pagar sebagai bahan baku utama penelitian diperoleh dari BPPT Serpong Jawa Barat. Minyak diambil dari hasil pengepresan biji jarak pagar menggunakan unit pengepres yang dimiliki oleh BPPT, kemudian dilanjutkan dengan proses degumming sehingga diperoleh minyak jarak pagar yang terbebas dari kandungan getah/lendir yang terdiri dari fosfatida, protein, residu, karbohidrat, dan poliol tanpa mengurangi jumlah asam lemak bebas dalam minyak. Analisis bilangan iodin dan bilangan oksirana yang dilakukan terhadap EJP yang dipisahkan dari campuran reaksi dan telah dikeringkan dengan Na 2 SO 4 anhidrat memberikan hasil sebagaimana disajikan pada Tabel 5. Tabel 5 Kualitas Minyak Jarak Pagar dan EJP Parameter Minyak Jarak Pagar EJP Bilangan iodin (g I 2 /100g) Bilangan Oxirana (%) Tabel 5 memperlihatkan nilai bilangan iodin minyak jarak pagar sebesar 108,9 g I 2 /100g menurun pada EJP menjadi 10,8 g I 2 /100g, sebaliknya bilangan oksirana pada EJP meningkat dibandingkan bilangan oksirana minyak menjadi sebesar 3,15%. Penurunan bilangan iod yang terjadi mengindikasikan terjadinya proses oksidasi ikatan rangkap akibat perlakuan penelitian, sedangkan peningkatan bilangan oksirana mengindikasikan telah terbentuk cincin epoksida sebagai salah satu produk oksidasi ikatan rangkap yang terdapat pada minyak jarak. Reaksi pembentukan epoksida dari minyak nabati telah dilaporkan oleh Hill (2000); Guner et al. (2006); Sugita et al. (2007a); dan Meyer et al. (2008).

42 C C O O H C O R C C O + H O C O R Gambar 11 Mekanisme reaksi epoksidasi menggunakan asam perkarboksilat Gambar 11 menggambarkan mekanisme reaksi epoksidasi ikatan rangkap menggunakan asam perkarboksilat dalam suasana asam yang termasuk reaksi adisi elektrofilik (Edenborough 1999). Epoksida yang terbentuk merupakan senyawa antara yang dapat bereaksi lebih lanjut membentuk senyawa diol dengan adanya nukleofil. Gugus pergi berupa anion karboksilat dapat bereaksi lebih lanjut dengan epoksida terprotonasi membentuk asam konjungat yaitu asam karboksilat dan epoksida netral. Nilai bilangan oksirana EJP sebesar 3,15% yang diperoleh pada penelitian ini lebih rendah dibandingkan dengan hasil yang diperoleh oleh Meyer et al. (2008) sebesar 4,75% menggunakan pereaksi HCOOH dan H 2 O 2 50%, suhu 50 o C dan waktu reaksi 5 jam. Rendahnya bilangan oksirana diduga disebabkan oleh penggunaan H 2 O 2 yang berlebih yang dapat menyebabkan reaksi pembukaan cincin epoksida dari EJP. Selain itu, pembukaan cincin juga diduga karena katalis Amberlite IR-120 yang digunakan merupakan resin asam penukar kation. Persentase EJP hasil epoksidasi yang diperoleh dapat berkurang akibat adanya serangan nukleofil terhadap cincin epoksida menghasilkan senyawa diol. Serangan nukleofil terhadap cincin epoksida dapat terjadi dalam suasana asam maupun basa. Secara umum, mekanisme reaksi pembentukan diol dalam suasana asam dapat dilihat pada Gambar 12.

43 Suasana asam O +H + H O Nu Nu OH Suasana basa O SN 2 O H OH HO + OH OH OH OH Gambar 12 Mekanisme reaksi pembentukan diol Hasil analisis menunjukkan dalam penelitian ini telah terbentuk gugus hidroksil pada produk EJP akibat reaksi samping epoksida dengan sisa peroksida, H 2 O, dan asam asetat. Reaksi pembukaan cincin epoksida oleh sisa peroksida dalam campuran reaksi yang dikatalis asam didukung oleh penelitian yang dilaporkan oleh Campanella & Baltanas (2005), dimana pada kondisi tersebut reaksi pembukaan cincin secara kinetik memiliki Ea = 16,3 ±0,72 kkal/mol. Lama waktu reaksi sebesar 12 jam yang digunakan dalam proses epoksidasi pada penelitian ini juga diduga menjadi penyebab terjadinya reaksi pembukaan cincin epoksida. Hasil penelitian yang dilaporkan Chou & Chang (1986); Gan et al. (1992); dan Rangarajan et al. (1995), waktu reaksi proses epoksidasi yang dapat meminimalkan reaksi pembukaan cincin adalah 4 jam. Reaksi epoksidasi minyak jarak pagar menjadi EJP memiliki energi aktivasi sebesar 45,43 kj/mol (Sugita et al. 2007b) yang setara dengan 10,86 kkal/mol relatif lebih rendah dibandingkan energi aktivasi reaksi pembukaan cincin sebesar 16,3 kkal/mol (Campanella & Baltanas 2005). Secara teoretis reaksi epoksidasi minyak jarak pagar menghasilkan EJP lebih dominan dibandingkan reaksi pembukaan cincinnya. Namun demikian, perbedaan energi

44 aktivasi yang juga relatif kecil tersebut tetap memungkinkan terjadinya reaksi pembukaan cincin epoksida sehingga sebagian produk EJP telah mengalami reaksi pembukaan cincin. Gambar 13 menunjukkan reaksi pembukaan cincin epoksida minyak nabati oleh adanya air, peroksida, asam karboksilat dan asam peroksikarboksilat dalam suasana asam (Campanella & Baltanas 2005). Bilangan oksirana EJP yang relatif rendah dalam penelitian diprediksi disebabkan oleh reaksi ini. Gambar 13 Reaksi Pembukaan cincin epoksida minyak nabati Berdasarkan hasil analisis FTIR produk epoksidasi (Lampiran 7), spektrum EJP menunjukkan adanya serapan untuk gugus -OH, C-O, C=O, dan oksirana berturut-turut diperoleh pada bilangan gelombang 3472 cm -1, 1241 cm -1 ; 1743 cm -1 ; 1169 cm -1 dan 723 cm -1. Munculnya pita serapan yang melebar pada 3472 cm -1 menunjukkan adanya gugus hidroksil yang terbentuk akibat reaksi pembukaan cincin epoksida. Serapan pada bilangan gelombang 1377 cm -1

45 memberikan indikasi adanya gugus hidroksil sekunder, sehingga dapat disimpulkan gugus hidroksil yang terbentuk adalah gugus hidroksil yang terikat pada atom C sekunder. Pembuatan Poliol Poliol yang dihasilkan pada penelitian ini berwujud cair agak kental berwarna kekuningan. Gambar 14 memperlihatkan perbedaan warna poliol hasil sintesis dibandingkann poliol komersial, minyak jarak pagar dan isosianat. Warna kekuningan yang tampak pada minyak jarak pagar, EJP, dan poliol hasil sintesis diprediksi berasal dari senyawa pengotor berwarna yang belum mampu dipisahkan dari bahan baku minyak jarak pagar pada proses pemurnian minyak. Senyawa beta karoten yang berwarna kuning merupakan salah satu senyawa yang lazim terdapat pada bahan nabati termasuk minyak jarak pagar. Proses preparasi minyak yang lebih optimal diprediksi dapat mengurangi hingga menghilangkan warna kuning pada produk akhir poliol berbasis minyak jarak pagar ini. Keterangan: MINYAK EJP K L.OHV H.OHV ISO : Minyak jarak pagar; : Epoksida jarak pagar; : Poliol komersial; : Poliol sintesis dengan bilangan hidroksil rendah; : Poliol sintesis dengan bilangan hidroksil tinggi; : Isosianat Gambar 14 Hasil sintesis poliol dari minyak jarak pagar Bahan baku pembuatan poliol minyak jarak pagar adalah EJP hasil epoksidasi minyak jarak pagar pada tahap sebelumnya. Dalam penelitian ini,

46 reaksi pembukaan cincin epoksida pada EJP menjadi poliol dilakukan dengan menggunakan pereaksi utama asam akrilat mengacu pada prosedur yang dilaporkan oleh Chasar et al. (2003) yang telah dimodifikasi. Penggunakan TEA selain sebagai katalis reaksi juga dimaksudkan untuk mengurangi terjadinya reaksi oligomerisasi (Wool & Koht 2007). Transformasi EJP menjadi poliol pada berbagai ragam %AA, %TEA dan waktu reaksi telah berhasil dilakukan pada penelitian ini. Variasi %AA, %TEA dan waktu reaksi sebanyak 48 jenis perlakukan dengan tiga kali ulangan menghasilkan respon bilangan hidroksil, bilangan oksirana dan rendemen reaksi yang berbeda-beda. Data pengujian poliol hasil sintesis meliputi: bilangan hidroksil, bilangan oksirana, dan rendemen hasil reaksi dapat dilihat pada Lampiran 6. Data hasil analisis menunjukkan bilangan hidroksil, bilangan oksirana dan rendemen poliol berturut-turut berkisar ,96 mg KOH/g, 0,03 0,14 % dan 58,93 91,53%. Data bilangan hidroksil yang lengkap digunakan untuk mempelajari pengaruh asam akrilat, katalis TEA, dan waktu reaksi terhadap pencapaian bilangan hidroksil poliol. Bilangan hidroksil merupakan parameter utama kualitas poliol yang digunakan untuk perhitungan dalam reaksinya dengan isosianat menghasilkan poliuretan. Data bilangan oksirana poliol pada semua ragam perlakuan menunjukkan penurunan dibandingkan dengan data bilangan oksirana sebesar 3,15% pada EJP, hal ini mengindikasikan bahwa reaksi pembukaan cincin epoksida pada penelitian ini berhasil. Salah satu bukti hasil reaksi pembukaan cincin oksirana adalah terbentuknya gugus hidroksil yang ditunjukkan oleh hasil analisis bilangan hidroksil. Penurunan bilangan oksirana tidak secara linier berimbas terhadap kenaikan bilangan hidroksil sebab reaksi pembukaan cincin epoksida diduga menghasilkan produk yang beragam selain poliol. Dugaan produk dari hasil reaksi pembukaan epoksida dapat dilihat pada Gambar 13. Rendemen poliol yang dihasilkan dalam penelitian ini berkisar antara 58,93% dan 91,53% dengan rata-rata 80,24%. Rendemen terendah terjadi pada kondisi reaksi 1,4% AA, 2% TEA dan waktu reaksi 120 menit, sedangkan

47 rendemen tertinggi dicapai pada penggunaan 2,9% AA, 3% TEA dan waktu reaksi 180 menit. Data rendemen poliol sintesis secara lengkap dapat dilihat pada Lampiran 6. Hasil analisis keragaman terhadap rendemen poliol menunjukkan bahwa %AA, %TEA, dan waktu reaksi berpengaruh secara nyata terhadap rendemen poliol yang dihasilkan. Variasi level %AA. %TEA dan waktu reaksi secara parsial dapat digunakan untuk memprediksi penurunan atau peningkatan rendemen dari poliol yang dihasilkan. Analisis keragaman rendemen poliol ditunjukkan pada Lampiran 8. Reaksi pembukaan cincin epoksida minyak nabati dengan asam akrilat dapat menghasilkan senyawa beta hidroksi ester (Guner et al. 2005; Mannari & Goel 2007). Berdasarkan hasil analisis, bilangan hidroksil poliol minyak jarak pagar yang dihasilkan meningkat secara signifikan dengan meningkatnya %AA. Grafik peningkatan bilangan hidroksil akibat peningkatan %AA disajikan pada Gambar Bilangan Hidroksil (mg KOH/g) %AA Gambar 15 Pengaruh parsial %AA terhadap bilangan hidroksil Gambar 15 menunjukkan peningkatan bilangan hidroksil akibat peningkatan %AA yang cukup signifikan. Peningkatan bilangan hidroksil disebabkan oleh asam akrilat merupakan donor proton yang baik yang dapat

48 mengkatalisis reaksi pembukaan cincin epoksida. Kelimpahan proton dalam campuran reaksi yang berasal dari asam akrilat menyebabkan terbentuknya cincin epoksida yang terprotonasi dalam suasana asam. Serangan nukleofil akrilat terhadap cincin epoksida terprotonasi menghasilkan senyawa beta hidroksi ester akrilat. Fungsi utama penggunaan TEA dalam penelitian ini adalah sebagai katalis dan penghambat terjadinya reaksi oligomerisasi (Mannari & Goel 2007). Reaksi oligomerisasi dapat terjadi akibat peningkatan konsentrasi H + yang berasal dari asam akrilat. Pengaruh penggunaan TEA terhadap bilangan hidroksil secara parsial dapat dilihat pada Gambar Bilangan Hidroksil (mg KOH/g) %TEA Gambar 16 Pengaruh parsial %TEA terhadap bilangan hidroksil Pada konsentrasi TEA yang rendah, poliol yang dihasilkan cenderung memiliki bilangan hidroksil yang rendah karena sebagian gugus epoksida terkonversi menjadi dimer, trimer, dan atau oligomer. Penggunaan TEA pada konsentrasi yang tinggi dapat menekan terjadinya reaksi oligomerisasi, tetapi penggunaan TEA dengan konsentrasi berlebihan justru diprediksi dapat memperlambat reaksi pembukaan cincin epoksida karena terjadi netralisasi proton dari asam akrilat oleh sifat basa dari TEA.

49 120 Bilangan Hidroksil (mg KOH/g) Waktu Reaksi (Menit) Gambar 17 Pengaruh parsial waktu reaksi terhadap bilangan hidroksil Pengaruh parsial waktu reaksi terhadap bilangan hidroksil poliol pada Gambar 17 menunjukkan pola peningkatan bilangan hidroksil dengan nilai yang relatif kecil. Peningkatan bilangan hidroksil hanya berkisar antara 0,02 3,61 mg KOH/g untuk tiap kenaikan waktu 60 menit. Waktu reaksi 180 menit terlihat cukup efisien untuk menghasilkan poliol dengan bilangan hidroksil 99,90 mg KOH/g. Reaksi pembukaan cincin epoksida tidak memerlukan waktu yang lama karena protonasi epoksida oleh H + dari asam akrilat cukup efektif untuk terjadinya reaksi ini. Hasil analisis keragaman terhadap bilangan hidroksil poliol menunjukkan bahwa %AA, %TEA dan waktu reaksi berpengaruh nyata terhadap bilangan hidroksil. Hasil analisis secara lengkap dapat dilihat pada lampiran 7. Gambar 18 memperlihatkan respon bilangan hidroksil pada variasi %AA dan waktu reaksi. Pengaruh variasi %TEA belum bisa terlihat pada grafik tersebut, pengaruh variasi %TEA dapat dilihat secara jelas pada grafik kontur yang ditunjukkan pada Gambar 18. Pembahasan selanjutnya, karena grafik respon hanya memperlihatkan dua buah variabel dari tiga variabel yang ada, maka pengaruh ketiga variabel secara bersama-sama terhadap respon ditunjukkan melalui grafik kontur.

50 Gambar 18 Respons bilangan hidroksil pada variasi %AA dan waktu reaksi Pada Gambar 18, memperlihatkan terjadinya kenaikan bilangan hidroksil poliol apabila %AAA bertambah besar, sedangkan kenaikann waktu reaksi memberikan pengaruh relatif kecil terhadap kenaikan bilangan hidroksil. Kenaikan bilangan hidroksil akibat peningkatan %AA secara jelas terlihat lebih tinggi dibandingkan kenaikan bilangan hidroksil yang disebabkan oleh kenaikan waktu reaksi. Gambar 19 memberikan informasi yang lebih lengkap mengenai pengaruh waktu reaksi dan %AA pada variasi penggunaan katalis TEA. Kenaikan %TEA secara konsisten menyebabkan kenaikan bilangan hidroksil. Pada kondisi AA 4.0% dan waktu reaksi 60 menit, penggunaan TEA 0% menyebabkan kisaran bilangan hidroksil mg KOH/g (Gambar 19a), sedangkan pada penggunaan TEA 1% ternyata bilangan hidroksil berada pada kisaran mg KOH/g (Gambar 19b). Pola yang sama terjadi pada penggunaan TEA 2% dan 3% yang berturut-turut menghasilkan bilangan hidroksil pada kisaran mg KOH/g dan mg KOH/g (Gambar 19c dan 19d).

51 (a) (b) (c) (d) Gambar 19 Pengaruh waktu reaksi dan %AA pada %TEA 0% (a), 1% (b), 2% (c) dan 3% (d) terhadap bilangan hidroksil Gambar 20 Respons bilangan hidroksil pada variasi %AAA dan %TEA

52 Pengaruh variasi %AA dan %TEA terhadap respon bilangan hidroksil dapat dilihat pada Gambar 20. Kenaikan %AA secara siginifikan meningkatkan respon bilangan hidroksil poliol. Kenaikan %TEA juga berpengaruh signifikan terhadap kenaikan bilangan hidroksil, namun pada konsentrasi TEA yang lebih tinggi dari 2,5% memberikan respon yang relatif stabil. Hasil ini mengindikasikan pada konsentrasi TEA lebih besar dari 2,5%, kenaikan %TEA tidak memberikan dampak yang berarti terhadap bilangan hidroksil. Penggunaan katalis diprediksi optimal pada %TEA sebesar 3% pada berbagai variasi %AA dan waktu reaksi. (a) (b) (c) (d) Gambar 21 Pengaruh %AA dan %TEA pada waktu reaksi 60 menit (a), 120 menit (b), 180 menit (c) dan 240 menit (d) terhadap bilangan hidroksil Gambar 21 memberikan informasi lebih lanjut mengenai pengaruh %TEA dan %AA pada variasi waktu reaksi. Kenaikan waktu reaksi pada %AA dan %TEA berpengaruh kecil terhadap peningkatan bilangan hidroksil poliol. Sebagai gambaran, pada waktu reaksi 60 menit, AA 1,5% dan TEA 0%, poliol memiliki

53 bilangan hidroksil kurang dari 70 mg KOH/g, sedangkan pada waktu reaksi 240 menit dengan kondisi AA dan TEA yang sama diperoleh bilangan hidroksil kurang dari 80 mg KOH/g. Pola yang sama terjadi pada hampir seluruh kombinasi variabel AA dan TEA. Gambar 22 Respons bilangan hidroksil pada variasi %TEA dan waktu reaksi Respon bilangan hidroksil pada variasi %TEA dan waktu reaksi pada Gambar 22 menunjukkan kenaikan waktu reaksi tidak berpengaruh signifikan terhadap peningkatann bilangan hidroksil, hal yang sama telah diperlihatkan pada interaksi antara waktu reaksi dan %AA terhadap respon bilangan hidroksil (Gambar 18). Disisi lain, kenaikan %TEA berpengaruh terhadap kenaikan bilangan hidroksil poliol. Pola respon bilangan hidroksil akibat pengaruh variasi %TEA juga sejenis dengan pola sebelumya pada Gambar 20. Berdasarkan respon bilangan hidroksil akibat variasi %AA, %TEA dan waktu reaksi yang ditunjukkan oleh Gambar 18, 20 dan 22, peningkatan bilangan hidroksil dipengaruhii secara dominan oleh variabel %AA dan %TEA, sedangkan waktu reaksi merupakan variabel yang tidak dominan. Meskipun terjadi kenaikan bilangan hidroksil akibat kenaikan waktu reaksi namun kenaikan tersebut tidak cukup tinggi.

54 Gambar 22 memperlihatkan pengaruh %TEA dan waktu reaksi pada penggunaan AA 1,4% %, 2,9% dan 4,3% terhadap respon bilangann hidroksil. Pola grafik secara umum menunjukkan variasi waktu reaksi tidak berpengaruh nyata terhadap bilangan hidroksil poliol seperti pada grafik respon. Grafik kontur menunjukkan kenaikan %TEA mampu meningkatkan bilangan hidroksil secara konsisten pada berbagai level %AA yang digunakan. Pengaruh %TEA lebih dominan dibandingkan pengaruh waktu reaksi terhadap bilangan hidroksil poliol. (a) (b) (c) Gambar 23 Pengaruh %TEA dan waktu reaksi pada %AA 1,4% (a), 2,9% (b), dan (c) 4,3% terhadap bilangan hidroksil Penggunaan TEA 1% dan waktu reaksi 60 menit, poliol yang dihasilkan berdasarkan Gambar 23a memiliki bilangan hidroksil pada kisaran mg KOH/g. Pada Gambar 23b, penggunaan TEA 1% dan waktu reaksi 60 menit, poliol yang dihasilkan memiliki bilangan hidroksil pada kisaran mg KOH/g. Sedangkan, pada Gambar 23c, penggunaan TEA 1% dan waktu reaksi 60 menit, poliol yang dihasilkan memiliki bilangan hidroksil pada kisaran

55 mg KOH/g. Hasil ini menunjukkan %AA berpengaruh kuat terhadap bilangan hidroksil poliol yang dihasilkan dalam penelitian ini. Bilangan hidroksil poliol hasil sintesis yang dihasilkan dari penelitian ini berada pada kisaran ,92 mg KOH/g, lebih rendah dari prediksi teoretis mg KOH/g dengan asumsi fungsionalitas EJP memiliki 3 gugus epoksida/mol. Bilangan hidroksil poliol yang lebih rendah diduga disebabkan oleh terjadinya reaksi-reaksi antara gugus hidroksil yang terbentuk dan gugus epoksida membentuk dimer, trimer atau oligomer. Reaksi oligomerisasi dapat terjadi lebih cepat dengan adanya H + dari asam akrilat. Secara fisik, reaksi oligomerisasi ditandai dengan kenaikan viskositas poliol akibat kenaikan bobot molekul poliol (Ionescu 2005). Dalam penelitian ini, upaya untuk mencegah terjadinya reaksi oligomerisasi telah dilakukan dengan menambahkan katalis TEA yang bersifat basa sehingga diharapkan dapat menurunkan konsentrasi H + dalam campuran reaksi. Mannari & Goel (2007), melaporkan poliol yang dihasilkan dari epoksida minyak kedelai yang secara teoretis memiliki bilangan hidroksil mg KOH/g, tetapi akibat dari terjadinya reaksi oligomerisasi poliol yang dihasilkan hanya memiliki bilangan hidroksil pada kisaran mg KOH/g. Hasil tersebut sebanding dengan capaian bilangan hidroksil poliol yang dihasilkan dalam penelitian ini. Penggunaan TEA selain berfungsi sebagai katalis dan mencegah terjadinya reaksi oligomerisasi, juga berfungsi lebih lanjut dalam mengkatalis reaksi poliol dengan isosianat dalam reaksi pembentukan poliuretan. Reaksi pembukaan cincin epoksida selain dengan menggunakan asam akrilat seperti yang telah dilaporkan, juga dapat dilakukan dengan cara hidrolisis, alkoholisis dan hidrogenolisis (Ionescu 2005). Reaksi pembukaan cincin epoksida dengan menggunakan alkohol dapat menghasilkan senyawa beta hidroksi eter dan keton (Rios 2003). Hasil transformasi gugus epoksida menjadi gugus hidroksil pada epoksida minyak nabati lebih dikenal sebagai poliol oleokimia. Penggunaan asam akrilat dalam penelitian ini didasarkan pada pertimbangan target aplikasi produk yang diinginkan yaitu sebagai bahan pelapis poliuretan.

56 Senyawa beta hidroksi ester yang terbentuk sebagai hasil reaksi antara EJP dan asam akrilat secara teoretis menyediakan gugus hidroksil sekunder yang dapat direaksikan dengan isosianat menghasilkan poliuretan. Adanya ikatan rangkap pada rantai ujung ester akrilat memungkinkan terjadinya reaksi lanjutan menghasilkan polimer dengan bobot molekul yang lebih besar. Gugus akrilat dalam matrik polimer yang akan terbentuk setelah direaksikan dengan isosianat diharapkan dapat memberikan karakter keras yang dibutuhkan dalam aplikasi pelapis. Pembuatan Bahan Pelapis Poliuretan Pembuatan bahan pelapis poliuretan berbasis minyak jarak pagar dilakukan dengan tahap-tahap, yaitu 1) pencampuran poliol dengan pelarut dan aditif; 2) penambahan isosianat dengan rasio molar ekuivalen dengan poliol; 3) pelapisan pada panel plastik ABS; 4) penguapan pelarut; 5) pengeringan oven bersuhu 70 o C selama 30 menit; dan 6) pendinginan. Pembuatan film poliuretan dilakukan dengan tiga jenis poliol, yaitu poliol L.OHV, poliol H.OHV, dan poliol komersial. Jenis isosianat yang digunakan terdiri dari dua jenis, yaitu isosianat A dan isosianat B. Bahan pelapis poliuretan dalam penelitian ini dibuat dari poliol dari minyak jarak pagar. Poliol yang digunakan pada tahap ini merupakan hasil sintesis yang dipisahkan menjadi dua kelompok dan dilakukan analisis ulang bilangan hidroksil. Poliol dengan bilangan hidroksil 81,28 mg KOH/g disebut dengan poliol L.OHV, sedangkan poliol dengan bilangan hidroksil 117,43 mg KOH/g disebut dengan poliol H.OHV. Lapisan film poliuretan dari poliol hasil sintesis menampakkan warna film agak kekuningan dibandingkan film poliuretan dari poliol komersial. Warna kuning pada poliol sintesis diduga disebabkan adanya pengotor dalam bahan baku poliol. Penyempurnaan proses preparasi bahan baku minyak jarak pagar diprediksi dapat mengurangi timbulnya warna kuning pada film poliuretan. Hasil analisis lapisan film poliuretan yang dihasilkan disajikan pada Tabel 6.

57 Tabel 6 Hasil Uji Film Poliuretan Jenis Poliol Jenis Daya Kilap a) Tingkat Daya rekat Isosianat kekerasan b) (Adhesi) c) L.OHV Iso A Iso B H.OHV Iso A Iso B Komersial Iso A Iso B Keterangan : 1 ulangan ke-1; 2 ulangan ke-2; 3 ulangan ke-3 a) diukur dengan glossmeter bersudut 60 o b) (data hasil konversi) diukur dengan Mitsubishi pencil hardness c) diukur dengan metode crosscut test Dalam teknologi poliuretan, bilangan hidroksil didefinisikan sebagai banyaknya gugus hidroksil yang dapat bereaksi dengan isosianat (Ionescu 2005). Persen hidroksil (%OH) juga dapat digunakan untuk menunjukkan banyaknya gugus hidroksil dalam poliol. Konversi bilangan hidroksil menjadi %OH dapat dilakukan dengan membagi bilangan hidroksil dengan 33. Jika bilangan hidroksil poliol dan kandungan NCO dalam isosianat diketahui, maka dapat dihitung jumlah stoikiometrik poliol dan isosianat yang ekuivalen menggunakan persamaan berikut:! dengan, a = bobot isosianat b = bobot poliol x = % NCO dalam isosianat y = %OH dalam poliol Berdasarkan perhitungan di atas, bobot poliol dan isosianat yang digunakan dalam formulasi dapat ditentukan secara tepat. Perhitungan ini perlu dilakukan untuk mencegah kelebihan salah satu komponen terhadap komponen lainnya yang dapat berpengaruh terhadap kualitas film poliuretan. Pembuatan film

58 poliuretan diawali dengan pencampuran poliol dengan pelarut, aditif, dan dilanjutkan dengan pencampuran dengan isosianat. Kelebihan jumlah komponen poliol dalam formulasi poliuretan menyebabkan adanya sisa gugus hidroksil yang tidak bereaksi dengan isosianat. Lapisan film poliuretan yang mengandung sisa gugus hidroksil mengakibatkan terbentuknya rantai polimer yang tidak sempurna. Dalam tahap awal polimerisasi, sisa gugus hidroksil menyebabkan lapisan film lambat kering, sedangkan lapisan film dengan gugus hidroksil bebas cenderung bersifat hidrofil sehingga mudah rusak oleh pengaruh uap air. Kelebihan jumlah komponen isosianat dalam formulasi poliuretan menyebabkan lapisan film poliuretan rapuh karena sisa isosianat dalam lapisan film bereaksi dengan uap air dari udara. Bobot molekul rata-rata OH terminated polyurethane -NCO terminated polyurethane Rasio molar [NCO]/[OH] Gambar 24 Pengaruh Rasio Molar [NCO]/[OH] terhadap bobot molekul rata-rata poliuretan Menurut Ionescu (2005), reaksi pembentukan poliuretan termasuk reaksi poliadisi sehingga rasio antara gugus reaktif dalam hal ini adalah rasio NCO terhadap gugus hidroksil memiliki pengaruh yang kuat terhadap bobot molekul poliuretan yang dihasilkan. Bobot molekul optimal dapat diperoleh pada rasio molar [NCO]/[OH] = 1. Kelebihan sedikit salah satu komponen (poliol atau

59 isosianat), secara drastis menurunkan bobot molekul poliuretan yang dihasilkan seperti ditunjukkan pada Gambar 24. Lapisan film poliuretan yang terbentuk merupakan hasil reaksi gugus hidroksil pada poliol dengan gugus NCO pada isosianat membentuk ikatan uretan. Reaksi poliol dengan isosianat membentuk ikatan uretan dapat dilihat pada Gambar 8. Sisa katalis TEA yang masih ada pada poliol sintesis dapat berfungsi sebagai katalis dalam reaksi ini. Lapisan film poliuretan yang terbentuk selanjutnya dianalisis daya kilap, tingkat kekerasan dan daya rekatnya. Berdasarkan hasil analisis keragaman pada lampiran 9, 10 dan 11 diketahui bahwa jenis poliol dan jenis isosianat yang digunakan hanya berpengaruh terhadap daya kilap dan tingkat kekerasan. Daya kilap lapisan film yang berasal dari poliol komersial secara statistik tampak lebih baik dibandingkan dengan poliol hasil sintesis, tetapi secara visual relatif seimbang (Gambar 25). 100 Daya Kilap (%) Iso A Iso B 50 L.OHV H.OHV Komersial Jenis Poliol Gambar 25 Pengaruh jenis poliol pada penggunaan isosianat yang berbeda terhadap daya kilap lapisan film Selanjutnya berdasarkan analisis keragaman pada Lampiran 9, jenis isosianat tidak berpengaruh terhadap daya kilap film poliuretan yang dihasilkan secara signifikan, tetapi nampak dari Gambar 25, penggunaan isosianat A pada poliol L.OHV menghasilkan film dengan daya kilap lebih baik dibandingkan pada poliol H.OHV, tetapi penggunaan isosianat B berpengaruh sebaliknya.

60 Daya kilap lapisan film tergantung pada tingkat kehalusan lapisan film kering yang terbentuk (Talbert 2008). Permukaan lapisan film yang halus dapat menghasilkan daya kilap yang tinggi, sebaliknya permukaan lapisan film yang kasar menghasilkan daya kilap rendah. Daya kilap juga didefinisikan kemampuan permukaan lapisan film untuk memantulkan kembali sejumlah cahaya. Kekerasan merupakan ukuran ketahanan film terhadap lekukan permukaan, gesekan, dan goresan. Sifat mekanis ini sangat penting bagi lapisan film untuk bertahan dari keausan akibat gesekan dan goresan. Menurut Marino (2003), kekerasan sangat diperlukan baik pada lapisan film yang digunakan untuk pemakaian di dalam (interior) maupun untuk pemakaian di luar (eksterior). 4 Tingkat Kekerasan Iso A Iso B 0 L.OHV H.OHV Komersial Jenis Poliol Gambar 26 Pengaruh jenis poliol pada penggunaan Isosianat yang berbeda terhadap tingkat kekerasan lapisan film Gambar 26 menunjukkan tingkat kekerasan lapisan film bahan pelapis poliuretan yang berasal dari poliol dengan nilai bilangan hidroksil yang tinggi cenderung memiliki tingkat kekerasan yang lebih tinggi, hal ini mengindikasikan bahwa peningkatan bilangan hidroksil meningkatkan kemampuan pembentukan ikatan dengan isosianat. Semakin banyak ikatan (jaringan) yang terbentuk dalam matrik polimer, maka semakin keras lapisan film yang dihasilkan. Analisis keragaman pada Lampiran 10 menunjukkan, jenis poliol dan jenis isosianat tidak berpengaruh terhadap tingkat kekerasan film poliuretan yang dihasilkan.

61 Tingkat kekerasan film poliuretan dari poliol komersial menunjukkan nilai yang lebih tinggi dibandingkan film poliuretan dari poliol sintesis dengan bilangan hidroksil yang bersesuaian meskipun secara statistik tidak berbeda nyata. Karakteristik struktur kimia poliol diduga menjadi penyebab munculnya fakta ini. Film poliuretan dari poliol sintesis memiliki struktur yang cenderung meruah karena berasal dari turunan trigliserida, sehingga gaya antar molekul menjadi lebih lemah dibandingkan dengan poliol komersial yang memiliki struktur relatif linier. Gaya antar molekul pada poliol komersial yang lebih kuat menyebabkan penataannya didalam matriks polimer lebih rapat sehingga secara fisik menjadi lebih keras. Menurut Mannari & Massingill (2006), pada poliuretan berbasis minyak nabati, tingkat kekerasan film poliuretan cenderung meningkat dengan peningkatan bilangan hidroksil. Tingkat kekerasan yang lebih tinggi disebabkan oleh meningkatnya kerapatan ikatan silang yang terbentuk dalam matrik polimer. Dalam penelitian ini, poliuretan dari poliol H.OHV terbukti memiliki tingkat kekerasan yang lebih tinggi dibandingkan poliuretan yang berasal dari poliol L.OHV. Perbedaan jenis isosianat yang digunakan juga turut berpengaruh terhadap tingkat kekerasan lapisan film poliuretan terutama pada poliuretan yang berasal dari poliol dengan bilangan hidroksil yang lebih rendah. 100 Daya rekat (%) Iso A Iso B 50 L.OHV H.OHV Komersial Jenis Poliol Gambar 27 Pengaruh jenis poliol pada penggunaan isosianat yang berbeda terhadap daya rekat lapisan film

METODE PENELITIAN Bahan dan Alat Penelitian Waktu dan Tempat Penelitian Prosedur Penelitian 1. Epoksidasi Minyak Jarak Pagar

METODE PENELITIAN Bahan dan Alat Penelitian Waktu dan Tempat Penelitian Prosedur Penelitian 1. Epoksidasi Minyak Jarak Pagar METODE PENELITIAN Bahan dan Alat Penelitian Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah : minyak jarak pagar, asam Akrilat (Sigma), natrium hidrogen karbonat (E.Merck), natrium sulfat anhydrous (E.Merck),

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN HASIL DAN PEMBAHASAN Epoksidasi Minyak Jarak Pagar Epoksida minyak jarak pagar (EJP) yang dihasilkan dalam penelitian ini memiliki warna yang relatif sama dengan minyak jarak pagar yang digunakan sebagai

Lebih terperinci

BAB I P E N D A H U L U A N

BAB I P E N D A H U L U A N BAB I P E N D A H U L U A N 1.1. Latar Belakang Penggunaan senyawa polihidroksi alkohol (poliol) untuk berbagai jenis keperluan banyak dibutuhkan seperti halnya ester poliol dari turunan sakarida dengan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Indonesia merupakan negara penghasil minyak sawit terbesar di dunia dan banyak sekali produk turunan dari minyak sawit yang dapat menggantikan keberadaan minyak

Lebih terperinci

Bab IV Hasil dan Pembahasan

Bab IV Hasil dan Pembahasan Bab IV Hasil dan Pembahasan 4.1 Tahap Sintesis Biodiesel Pada tahap sintesis biodiesel, telah dibuat biodiesel dari minyak sawit, melalui reaksi transesterifikasi. Jenis alkohol yang digunakan adalah metanol,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Indonesia merupakan salah satu negara penghasil karet alam terbesar di dunia. Indonesia mempunyai total areal perkebunan karet sebesar 3.338.162 ha (2003)

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang Ketertarikan dunia industri terhadap bahan baku proses yang bersifat biobased mengalami perkembangan pesat. Perkembangan pesat ini merujuk kepada karakteristik bahan

Lebih terperinci

Bab IV Hasil dan Pembahasan

Bab IV Hasil dan Pembahasan 19 Bab IV Hasil dan Pembahasan 4.1 Sintesis Biodiesel Minyak jelantah semula bewarna coklat pekat, berbau amis dan bercampur dengan partikel sisa penggorengan. Sebanyak empat liter minyak jelantah mula-mula

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Hasil Pada penelitian yang telah dilakukan, katalis yang digunakan dalam proses metanolisis minyak jarak pagar adalah abu tandan kosong sawit yang telah dipijarkan pada

Lebih terperinci

PROSES PEMBUATAN BIODIESEL MINYAK JARAK PAGAR (Jatropha curcas L.) DENGAN TRANSESTERIFIKASI SATU DAN DUA TAHAP. Oleh ARIZA BUDI TUNJUNG SARI F

PROSES PEMBUATAN BIODIESEL MINYAK JARAK PAGAR (Jatropha curcas L.) DENGAN TRANSESTERIFIKASI SATU DAN DUA TAHAP. Oleh ARIZA BUDI TUNJUNG SARI F PROSES PEMBUATAN BIODIESEL MINYAK JARAK PAGAR (Jatropha curcas L.) DENGAN TRANSESTERIFIKASI SATU DAN DUA TAHAP Oleh ARIZA BUDI TUNJUNG SARI F34103041 2007 DEPARTEMEN TEKNOLOGI INDUSTRI PERTANIAN FAKULTAS

Lebih terperinci

BAHAN DAN METODE Tempat dan Waktu Penelitian Alat dan Bahan Desain dan Sintesis Amina Sekunder

BAHAN DAN METODE Tempat dan Waktu Penelitian Alat dan Bahan Desain dan Sintesis Amina Sekunder BAHAN DAN METODE Tempat dan Waktu Penelitian Sintesis amina sekunder rantai karbon genap dan intermediat-intermediat sebelumnya dilaksanakan di Laboratorium Terpadu Institut Pertanian Bogor. Sedangkan

Lebih terperinci

DESAIN DAN SINTESIS AMINA SEKUNDER RANTAI KARBON GENAP DARI ASAM KARBOKSILAT RANTAI PANJANG RAHMAD FAJAR SIDIK

DESAIN DAN SINTESIS AMINA SEKUNDER RANTAI KARBON GENAP DARI ASAM KARBOKSILAT RANTAI PANJANG RAHMAD FAJAR SIDIK DESAIN DAN SINTESIS AMINA SEKUNDER RANTAI KARBON GENAP DARI ASAM KARBOKSILAT RANTAI PANJANG RAHMAD FAJAR SIDIK SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2007 PERNYATAAN TENTANG TESIS DAN SUMBER

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN IV. HASIL DAN PEMBAHASAN A. PERSIAPAN BAHAN 1. Ekstraksi Biji kesambi dikeringkan terlebih dahulu kemudian digiling dengan penggiling mekanis. Tujuan pengeringan untuk mengurangi kandungan air dalam biji,

Lebih terperinci

III. METODOLOGI PENELITIAN

III. METODOLOGI PENELITIAN III. METODOLOGI PENELITIAN A. BAHAN DAN ALAT Bahan-bahan dasar yang digunakan dalam penelitian ini adalah biji karet, dan bahan pembantu berupa metanol, HCl dan NaOH teknis. Selain bahan-bahan di atas,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang dan Permasalahan Penelitian

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang dan Permasalahan Penelitian 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang dan Permasalahan Penelitian Kualitas minyak mentah dunia semakin mengalami penurunan. Penurunan kualitas minyak mentah ditandai dengan peningkatan densitas, kadar

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Biji karet berpotensi menjadi produk samping dari perkebunan karet yang tersebar luas di Indonesia. Indonesia merupakan salah satu negara penghasil karet

Lebih terperinci

4 Pembahasan Degumming

4 Pembahasan Degumming 4 Pembahasan Proses pengolahan biodiesel dari biji nyamplung hampir sama dengan pengolahan biodiesel dari minyak sawit, jarak pagar, dan jarak kepyar. Tetapi karena biji nyamplung mengandung zat ekstraktif

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. sawit kasar (CPO), sedangkan minyak yang diperoleh dari biji buah disebut

II. TINJAUAN PUSTAKA. sawit kasar (CPO), sedangkan minyak yang diperoleh dari biji buah disebut 7 II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Minyak Kelapa Sawit Sumber minyak dari kelapa sawit ada dua, yaitu daging buah dan inti buah kelapa sawit. Minyak yang diperoleh dari daging buah disebut dengan minyak kelapa

Lebih terperinci

Potensi Produk Transesterifikasi Minyak Dedak Padi (Rice Bran Oil) sebagai Bahan Baku Pembuatan Base Oil Epoksi Metil Ester

Potensi Produk Transesterifikasi Minyak Dedak Padi (Rice Bran Oil) sebagai Bahan Baku Pembuatan Base Oil Epoksi Metil Ester Potensi Produk Transesterifikasi Minyak Dedak Padi (Rice Bran Oil) sebagai Bahan Baku Pembuatan Base Oil Epoksi Metil Ester Yuti Mentari, Miftahul Hasanah, Ratri Ariatmi Nugrahani Jurusan Teknik Kimia,

Lebih terperinci

MINYAK BIJIH KARET SEBAGAI SUMBER POLIOL

MINYAK BIJIH KARET SEBAGAI SUMBER POLIOL SEMINAR NASIONAL KIMIA DAN PENDIDIKAN KIMIA V Kontribusi Kimia dan Pendidikan Kimia dalam Pembangunan Bangsa yang Berkarakter Program Studi Pendidikan Kimia Jurusan PMIPA FKIP UNS Surakarta, 6 April 2013

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dalam kehidupan manusia. Pemakaian polimer semakin meningkat seiring dengan

BAB I PENDAHULUAN. dalam kehidupan manusia. Pemakaian polimer semakin meningkat seiring dengan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Polimer merupakan salah satu bahan yang mempunyai peranan penting dalam kehidupan manusia. Pemakaian polimer semakin meningkat seiring dengan perkembangan ilmu pengetahuan

Lebih terperinci

Bab III Metodologi Penelitian

Bab III Metodologi Penelitian Bab III Metodologi Penelitian 3.1 Alat dan Bahan Peralatan yang diperlukan pada penelitian ini meliputi seperangkat alat gelas laboratorium kimia (botol semprot, gelas kimia, labu takar, erlenmeyer, corong

Lebih terperinci

Bab IV Hasil dan Pembahasan. IV.2.1 Proses transesterifikasi minyak jarak (minyak kastor)

Bab IV Hasil dan Pembahasan. IV.2.1 Proses transesterifikasi minyak jarak (minyak kastor) 23 Bab IV Hasil dan Pembahasan IV.1 Penyiapan Sampel Kualitas minyak kastor yang digunakan sangat mempengaruhi pelaksanaan reaksi transesterifikasi. Parameter kualitas minyak kastor yang dapat menjadi

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. Penelitian ini akan dilakukan pada bulan Januari Februari 2014.

BAB III METODE PENELITIAN. Penelitian ini akan dilakukan pada bulan Januari Februari 2014. BAB III METODE PENELITIAN A. Waktu dan Tempat Penelitian 1. Waktu Penelitian ini akan dilakukan pada bulan Januari Februari 2014. 2. Tempat Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Kimia Teknik Pengolahan

Lebih terperinci

Molekul, Vol. 2. No. 1. Mei, 2007 : REAKSI TRANSESTERIFIKASI MINYAK KACANG TANAH (Arahis hypogea. L) DAN METANOL DENGAN KATALIS KOH

Molekul, Vol. 2. No. 1. Mei, 2007 : REAKSI TRANSESTERIFIKASI MINYAK KACANG TANAH (Arahis hypogea. L) DAN METANOL DENGAN KATALIS KOH REAKSI TRANSESTERIFIKASI MINYAK KACANG TANAH (Arahis hypogea. L) DAN METANOL DENGAN KATALIS KOH Purwati, Hartiwi Diastuti Program Studi Kimia, Jurusan MIPA Unsoed Purwokerto ABSTRACT Oil and fat as part

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Potensi PKO di Indonesia sangat menunjang bagi perkembangan industri kelapa

I. PENDAHULUAN. Potensi PKO di Indonesia sangat menunjang bagi perkembangan industri kelapa 1 I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Potensi PKO di Indonesia sangat menunjang bagi perkembangan industri kelapa sawit yang ada. Tahun 2012 luas areal kelapa sawit Indonesia mencapai 9.074.621 hektar (Direktorat

Lebih terperinci

III. BAHAN DAN METODE. Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Analisis Hasil Pertanian, Jurusan

III. BAHAN DAN METODE. Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Analisis Hasil Pertanian, Jurusan 16 III. BAHAN DAN METODE 3.1. Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Analisis Hasil Pertanian, Jurusan Teknologi Hasil Pertanian, Fakultas Pertanian, Universitas Lampung

Lebih terperinci

LAMPIRAN A DATA PENGAMATAN. 1. Data Pengamatan Ekstraksi dengan Metode Maserasi. Rendemen (%) 1. Volume Pelarut n-heksana (ml)

LAMPIRAN A DATA PENGAMATAN. 1. Data Pengamatan Ekstraksi dengan Metode Maserasi. Rendemen (%) 1. Volume Pelarut n-heksana (ml) LAMPIRAN A DATA PENGAMATAN 1. Data Pengamatan Ekstraksi dengan Metode Maserasi Berat Mikroalga Kering (gr) Volume Pelarut n-heksana Berat minyak (gr) Rendemen (%) 1. 7821 3912 2. 8029 4023 20 120 3. 8431

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Energi merupakan aspek penting dalam kehidupan manusia dan merupakan kunci utama diberbagai sektor. Semakin hari kebutuhan akan energi mengalami kenaikan seiring dengan

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Poliuretan memiliki banyak manfaat, yaitu sebagai busa tempat tidur, sofa, asesoris mobil, serat, elastomer, dan pelapis (coating). Produk Poliuretan mempunyai bentuk

Lebih terperinci

The Poliol Sithesis from Sawit Oil with Epoksidasion and Hidroksilasion Reaction

The Poliol Sithesis from Sawit Oil with Epoksidasion and Hidroksilasion Reaction 36 Sintesa Poliol dari Minyak Sawit dengan Reaksi Epoksidasi dan Hidroksilasi The Poliol Sithesis from Sawit Oil with Epoksidasion and Hidroksilasion Reaction Selfina Gala Jurusan Teknik KimiaUniversitas

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Minyak Nabati Minyak nabati adalah cairan kental yang diambil atau diekstrak dari tumbuhtumbuhan. Komponen utama penyusun minyak nabati adalah trigliserida asam lemak, yang

Lebih terperinci

METODE PENELITIAN Kerangka Pemikiran

METODE PENELITIAN Kerangka Pemikiran METDE PENELITIAN Kerangka Pemikiran Sebagian besar sumber bahan bakar yang digunakan saat ini adalah bahan bakar fosil. Persediaan sumber bahan bakar fosil semakin menurun dari waktu ke waktu. Hal ini

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN IV. HASIL DAN PEMBAHASAN A. PENENTUAN PERBANDINGAN MASSA ALUMINIUM SILIKAT DAN MAGNESIUM SILIKAT Tahapan ini merupakan tahap pendahuluan dari penelitian ini, diawali dengan menentukan perbandingan massa

Lebih terperinci

BAB III ALAT, BAHAN, DAN CARA KERJA. Penelitian ini dilakukan di Laboratorium Kimia Farmasi Kuantitatif

BAB III ALAT, BAHAN, DAN CARA KERJA. Penelitian ini dilakukan di Laboratorium Kimia Farmasi Kuantitatif BAB III ALAT, BAHAN, DAN CARA KERJA Penelitian ini dilakukan di Laboratorium Kimia Farmasi Kuantitatif Departemen Farmasi FMIPA UI, dalam kurun waktu Februari 2008 hingga Mei 2008. A. ALAT 1. Kromatografi

Lebih terperinci

DISAIN PROSES DUA TAHAP ESTERIFIKASI-TRANSESTERIFIKASI (ESTRANS) PADA PEMBUATAN METIL ESTER (BIODIESEL) DARI MINYAK JARAK PAGAR (Jatropha curcas.

DISAIN PROSES DUA TAHAP ESTERIFIKASI-TRANSESTERIFIKASI (ESTRANS) PADA PEMBUATAN METIL ESTER (BIODIESEL) DARI MINYAK JARAK PAGAR (Jatropha curcas. DISAIN PROSES DUA TAHAP ESTERIFIKASI-TRANSESTERIFIKASI (ESTRANS) PADA PEMBUATAN METIL ESTER (BIODIESEL) DARI MINYAK JARAK PAGAR (Jatropha curcas.l) Yeti Widyawati SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA DAN PERUMUSAN HIPOTESIS

BAB II TINJAUAN PUSTAKA DAN PERUMUSAN HIPOTESIS BAB II TINJAUAN PUSTAKA DAN PERUMUSAN HIPOTESIS II. 1 Tinjauan Pustaka II.1.1 Biodiesel dan green diesel Biodiesel dan green diesel merupakan bahan bakar untuk mesin diesel yang diperoleh dari minyak nabati

Lebih terperinci

Chapter 20 ASAM KARBOKSILAT

Chapter 20 ASAM KARBOKSILAT Chapter 20 ASAM KARBOKSILAT Pengantar Gugus fungsi dari asam karboksilat terdiri atas ikatan C=O dengan OH pada karbon yang sama. Gugus karboksil biasanya ditulis -COOH. Asam alifatik memiliki gugus alkil

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. I.1. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. I.1. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Masalah Jumlah cadangan minyak bumi dunia semakin menipis. Sampai akhir tahun 2013, cadangan minyak bumi dunia tercatat pada nilai 1687,9 miliar barel. Jika tidak

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. 4:1, MEJ 5:1, MEJ 9:1, MEJ 10:1, MEJ 12:1, dan MEJ 20:1 berturut-turut

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. 4:1, MEJ 5:1, MEJ 9:1, MEJ 10:1, MEJ 12:1, dan MEJ 20:1 berturut-turut BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN A. HASIL 5. Reaksi Transesterifikasi Minyak Jelantah Persentase konversi metil ester dari minyak jelantah pada sampel MEJ 4:1, MEJ 5:1, MEJ 9:1, MEJ 10:1, MEJ 12:1, dan MEJ

Lebih terperinci

DISAIN PROSES DUA TAHAP ESTERIFIKASI-TRANSESTERIFIKASI (ESTRANS) PADA PEMBUATAN METIL ESTER (BIODIESEL) DARI MINYAK JARAK PAGAR (Jatropha curcas.

DISAIN PROSES DUA TAHAP ESTERIFIKASI-TRANSESTERIFIKASI (ESTRANS) PADA PEMBUATAN METIL ESTER (BIODIESEL) DARI MINYAK JARAK PAGAR (Jatropha curcas. DISAIN PROSES DUA TAHAP ESTERIFIKASI-TRANSESTERIFIKASI (ESTRANS) PADA PEMBUATAN METIL ESTER (BIODIESEL) DARI MINYAK JARAK PAGAR (Jatropha curcas.l) Yeti Widyawati SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN

Lebih terperinci

BAB 4 HASIL PERCOBAAN DAN PEMBAHASAN

BAB 4 HASIL PERCOBAAN DAN PEMBAHASAN BAB 4 ASIL PECBAAN DAN PEMBAASAN Transesterifikasi, suatu reaksi kesetimbangan, sehingga hasil reaksi dapat ditingkatkan dengan menghilangkan salah satu produk yang terbentuk. Penggunaan metil laurat dalam

Lebih terperinci

Bab IV Hasil dan Pembahasan

Bab IV Hasil dan Pembahasan Bab IV Hasil dan Pembahasan Secara garis besar, penelitian ini dibagi dalam dua tahap, yaitu penyiapan aditif dan analisa sifat-sifat fisik biodiesel tanpa dan dengan penambahan aditif. IV.1 Penyiapan

Lebih terperinci

A. PENETAPAN ANGKA ASAM, ANGKA PENYABUNAN DAN ANGKA IOD B. PENETAPAN KADAR TRIGLISERIDA METODE ENZIMATIK (GPO PAP)

A. PENETAPAN ANGKA ASAM, ANGKA PENYABUNAN DAN ANGKA IOD B. PENETAPAN KADAR TRIGLISERIDA METODE ENZIMATIK (GPO PAP) A. PENETAPAN ANGKA ASAM, ANGKA PENYABUNAN DAN ANGKA IOD B. PENETAPAN KADAR TRIGLISERIDA METODE ENZIMATIK (GPO PAP) DASAR TEORI Penggolongan lipida, dibagi golongan besar : 1. Lipid sederhana : lemak/ gliserida,

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Gliserol Biodiesel dari proses transesterifikasi menghasilkan dua tahap. Fase atas berisi biodiesel dan fase bawah mengandung gliserin mentah dari 55-90% berat kemurnian [13].

Lebih terperinci

PENDAHULUAN Latar Belakang

PENDAHULUAN Latar Belakang 1 PENDAHULUAN Latar Belakang Konsumsi bahan bakar minyak (BBM) secara nasional mengalami peningkatan dari tahun ke tahun. Di sisi lain ketersediaan bahan bakar minyak bumi dalam negeri semakin hari semakin

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN

III. METODE PENELITIAN III. METODE PENELITIAN A. BAHAN DAN ALAT Bahan yang digunakan dalam penelitian kali ini terdiri dari bahan utama yaitu biji kesambi yang diperoleh dari bantuan Pusat Penelitian dan Pengembangan Hasil Hutan

Lebih terperinci

BAB III METODA PENELITIAN. yang umum digunakan di laboratorium kimia, set alat refluks (labu leher tiga,

BAB III METODA PENELITIAN. yang umum digunakan di laboratorium kimia, set alat refluks (labu leher tiga, 24 BAB III METODA PENELITIAN A. Alat dan Bahan 1. Alat Alat yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah semua alat gelas yang umum digunakan di laboratorium kimia, set alat refluks (labu leher tiga,

Lebih terperinci

OLIMPIADE SAINS NASIONAL CALON PESERTA INTERNATIONAL CHEMISTRY OLYMPIAD (IChO) Yogyakarta Mei Lembar Jawab.

OLIMPIADE SAINS NASIONAL CALON PESERTA INTERNATIONAL CHEMISTRY OLYMPIAD (IChO) Yogyakarta Mei Lembar Jawab. Hak Cipta Dilindungi Undang-undang OLIMPIADE SAINS NASIONAL 2015 CALON PESERTA INTERNATIONAL CHEMISTRY OLYMPIAD (IChO) 2016 Yogyakarta 18-24 Mei 2015 Lembar Jawab Kimia TEORI Waktu: 240 menit KEMENTERIAN

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN Latar Belakang BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Kebutuhan akan sumber bahan bakar semakin meningkat dari waktu ke waktu seiring dengan meningkatnya pertumbuhan penduduk. Akan tetapi cadangan sumber bahan bakar justru

Lebih terperinci

BAB 3 METODE PENELITIAN

BAB 3 METODE PENELITIAN BAB 3 METODE PENELITIAN 3.1. Alat-Alat Alat alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah : Alat Vakum Fisons Neraca Analitis Melter PM 480 Gelas Erlenmeyer 250 ml Pyrex Gelas Ukur 100 ml Pyrex Gelas

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. Latar Belakang

PENDAHULUAN. Latar Belakang 1 PENDAHULUAN Latar Belakang Fungsi utama pelumas (oli) adalah mencegah terjadinya friksi dan keausan (wear) antara dua bidang atau permukaan yang bersinggungan, memperpanjang usia pakai mesin, dan fungsi

Lebih terperinci

Transesterifikasi parsial minyak kelapa sawit dengan EtOH pada pembuatan digliserida sebagai agen pengemulsi

Transesterifikasi parsial minyak kelapa sawit dengan EtOH pada pembuatan digliserida sebagai agen pengemulsi Transesterifikasi parsial minyak kelapa sawit dengan EtOH pada pembuatan digliserida sebagai agen pengemulsi Rita Arbianti *), Tania S. Utami, Heri Hermansyah, Ira S., dan Eki LR. Departemen Teknik Kimia,

Lebih terperinci

PRODUKSI BIODIESEL DARI CRUDE PALM OIL MELALUI REAKSI DUA TAHAP

PRODUKSI BIODIESEL DARI CRUDE PALM OIL MELALUI REAKSI DUA TAHAP PRODUKSI BIODIESEL DARI CRUDE PALM OIL MELALUI REAKSI DUA TAHAP Eka Kurniasih Jurusan Teknik Kimia Politeknik Negeri Lhokseumawe Jl. Banda Aceh-Medan km. 280 Buketrata Lhokseumawe Email: echakurniasih@yahoo.com

Lebih terperinci

4 HASIL DAN PEMBAHASAN

4 HASIL DAN PEMBAHASAN 14 4 HASIL DAN PEMBAHASAN Pembuatan glukosamin hidroklorida (GlcN HCl) pada penelitian ini dilakukan melalui proses hidrolisis pada autoklaf bertekanan 1 atm. Berbeda dengan proses hidrolisis glukosamin

Lebih terperinci

Jurnal Flywheel, Volume 3, Nomor 1, Juni 2010 ISSN :

Jurnal Flywheel, Volume 3, Nomor 1, Juni 2010 ISSN : PENGARUH PENAMBAHAN KATALIS KALIUM HIDROKSIDA DAN WAKTU PADA PROSES TRANSESTERIFIKASI BIODIESEL MINYAK BIJI KAPUK Harimbi Setyawati, Sanny Andjar Sari, Hetty Nur Handayani Jurusan Teknik Kimia, Institut

Lebih terperinci

LAMPIRAN A DATA PENGAMATAN

LAMPIRAN A DATA PENGAMATAN LAMPIRAN A DATA PENGAMATAN TABEL DATA HASIL PENELITIAN Tabel 1. Perbandingan Persentase Perolehan Rendemen Lipid dari Proses Ekstraksi Metode Soxhlet dan Maserasi Metode Ekstraksi Rendemen Minyak (%) Soxhletasi

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN IV. HASIL DAN PEMBAHASAN A. SIFAT FISIKO-KIMIA BIJI DAN MINYAK JARAK PAGAR Biji jarak pagar (Jatropha curcas L.) yang digunakan dalam penelitian ini didapat dari PT. Rajawali Nusantara Indonesia di daerah

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. Usaha menciptakan polimer poliuretan pertama kali dirintis oleh Otto Bayer dan rekanrekannya

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. Usaha menciptakan polimer poliuretan pertama kali dirintis oleh Otto Bayer dan rekanrekannya BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Sejarah Poliuretan Usaha menciptakan polimer poliuretan pertama kali dirintis oleh tto Bayer dan rekanrekannya pada tahun 1973 di labolatorium I.G. Farben di Leverkusen, Jerman.

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. Agustus 2011 di laboratorium Riset Jurusan Pendidikan Kimia Fakultas Pendidikan

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. Agustus 2011 di laboratorium Riset Jurusan Pendidikan Kimia Fakultas Pendidikan 25 BAB III METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian dilaksanakan selama 6 bulan dari bulan Februari sampai dengan Agustus 2011 di laboratorium Riset Jurusan Pendidikan Kimia Fakultas

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Asam Palmitat Asam palmitat adalah asam lemak jenuh rantai panjang yang terdapat dalam bentuk trigliserida pada minyak nabati maupun minyak hewani disamping juga asam lemak

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Crude Palm Oil (CPO) CPO merupakan produk sampingan dari proses penggilingan kelapa sawit dan dianggap sebagai minyak kelas rendah dengan asam lemak bebas (FFA) yang tinggi

Lebih terperinci

Lampiran 1. Determinasi Tanaman Jarak Pagar

Lampiran 1. Determinasi Tanaman Jarak Pagar Lampiran 1. Determinasi Tanaman Jarak Pagar Lampiran 2. Penentuan Faktor Koreksi pada Pengukuran Tegangan Permukaan (γ) dengan Alat Tensiometer Du Nuoy Faktor koreksi = ( γ ) air menurut literatur ( γ

Lebih terperinci

PERBANDINGAN PEMBUATAN BIODIESEL DENGAN VARIASI BAHAN BAKU, KATALIS DAN TEKNOLOGI PROSES

PERBANDINGAN PEMBUATAN BIODIESEL DENGAN VARIASI BAHAN BAKU, KATALIS DAN TEKNOLOGI PROSES PERBANDINGAN PEMBUATAN BIODIESEL DENGAN VARIASI BAHAN BAKU, KATALIS DAN TEKNOLOGI PROSES KARYA TULIS ILMIAH Disusun Oleh: Achmad Hambali NIM: 12 644 024 JURUSAN TEKNIK KIMIA POLITEKNIK NEGERI SAMARINDA

Lebih terperinci

PEMBUATAN BIODIESEL DARI ASAM LEMAK JENUH MINYAK BIJI KARET

PEMBUATAN BIODIESEL DARI ASAM LEMAK JENUH MINYAK BIJI KARET PEMBUATAN BIODIESEL DARI ASAM LEMAK JENUH MINYAK BIJI KARET Dwi Ardiana Setyawardhani*), Sperisa Distantina, Hayyu Henfiana, Anita Saktika Dewi Jurusan Teknik Kimia Universitas Sebelas Maret Surakarta

Lebih terperinci

Pengaruh Katalis H 2 SO 4 pada Reaksi Epoksidasi Metil Ester PFAD (Palm Fatty Acid Distillate)

Pengaruh Katalis H 2 SO 4 pada Reaksi Epoksidasi Metil Ester PFAD (Palm Fatty Acid Distillate) Jurnal Teknologi Proses Media Publikasi Karya Ilmiah Teknik Kimia 6(1) Januari 7: 7 74 ISSN 141-7814 Pengaruh Katalis H S 4 pada Reaksi Epoksidasi Metil Ester PFAD (Palm Fatty Acid Distillate) Mersi Suriani

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Saat ini pemakaian bahan bakar yang tinggi tidak sebanding dengan ketersediaan sumber bahan bakar fosil yang semakin menipis. Cepat atau lambat cadangan minyak bumi

Lebih terperinci

LAPORAN PRAKTIKUM KIMIA ORGANIK. Disusun Oleh :

LAPORAN PRAKTIKUM KIMIA ORGANIK. Disusun Oleh : LAPORAN PRAKTIKUM KIMIA ORGANIK Disusun Oleh : Nama : Veryna Septiany NPM : E1G014054 Kelompok : 3 Hari, Jam : Kamis, 14.00 15.40 WIB Ko-Ass : Jhon Fernanta Sipayung Lestari Nike Situngkir Tanggal Praktikum

Lebih terperinci

1.3 Tujuan Percobaan Tujuan pada percobaan ini adalah mengetahui proses pembuatan amil asetat dari reaksi antara alkohol primer dan asam karboksilat

1.3 Tujuan Percobaan Tujuan pada percobaan ini adalah mengetahui proses pembuatan amil asetat dari reaksi antara alkohol primer dan asam karboksilat 1.1 Latar Belakang Senyawa ester hasil kondensasi dari asam asetat dengan 1-pentanol akan menghasilkan senyawa amil asetat.padahal ester dibentuk dari isomer pentanol yang lain (amil alkohol) atau campuran

Lebih terperinci

Memiliki bau amis (fish flavor) akibat terbentuknya trimetil amin dari lesitin.

Memiliki bau amis (fish flavor) akibat terbentuknya trimetil amin dari lesitin. Lemak dan minyak merupakan senyawa trigliserida atau trigliserol, dimana berarti lemak dan minyak merupakan triester dari gliserol. Dari pernyataan tersebut, jelas menunjukkan bahwa lemak dan minyak merupakan

Lebih terperinci

LAMPIRAN 1 DATA PENELITIAN

LAMPIRAN 1 DATA PENELITIAN LAMPIRAN 1 DATA PENELITIAN 1.1 BILANGAN IODIN ADSORBEN BIJI ASAM JAWA Dari modifikasi adsorben biji asam jawa yang dilakukan dengan memvariasikan rasio adsorben : asam nitrat (b/v) sebesar 1:1, 1:2, dan

Lebih terperinci

Bab IV Hasil Penelitian dan Pembahasan

Bab IV Hasil Penelitian dan Pembahasan Bab IV Hasil Penelitian dan Pembahasan Pada penelitian ini, proses pembuatan monogliserida melibatkan reaksi gliserolisis trigliserida. Sumber dari trigliserida yang digunakan adalah minyak goreng sawit.

Lebih terperinci

ESTERIFIKASI MINYAK LEMAK [EST]

ESTERIFIKASI MINYAK LEMAK [EST] MODUL PRAKTIKUM LABORATORIUM INSTRUKSIONAL TEKNIK KIMIA ESTERIFIKASI MINYAK LEMAK [EST] Disusun oleh: Lia Priscilla Dr. Tirto Prakoso Dr. Ardiyan Harimawan PROGRAM STUDI TEKNIK KIMIA FAKULTAS TEKNOLOGI

Lebih terperinci

ETER dan EPOKSIDA. Oleh : Dr. Yahdiana Harahap, MS

ETER dan EPOKSIDA. Oleh : Dr. Yahdiana Harahap, MS ETER dan EPOKSIDA Oleh : Dr. Yahdiana Harahap, MS ETER Senyawa yang mempunyai 2 gugus organik melekat pada atom O tunggal R1 O R 2 atau Ar O R Atau Ar O Ar Ket : R : alkil Ar : fenil atau gugus aromatis

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1.2 Perumusan Masalah

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1.2 Perumusan Masalah BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Lemak dan minyak adalah trigliserida yang berarti triester (dari) gliserol. Perbedaan antara suatu lemak adalah pada temperatur kamar, lemak akan berbentuk padat dan

Lebih terperinci

LAPORAN PENDAHULUAN PRAKTIKUM KIMIA ORGANIK II

LAPORAN PENDAHULUAN PRAKTIKUM KIMIA ORGANIK II LAPORAN PENDAHULUAN PRAKTIKUM KIMIA ORGANIK II I. Nomor Percobaan : VI II. Nama Percobaan : Reaksi Asetilasi Anilin III. Tujuan Percobaan : Agar mahasiswa dapat mengetahui salah satu cara mensintesa senyawa

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN Latar Belakang BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Asam palmitat merupakan asam lemak jenuh yang paling besar jumlahnya di dalam minyak kelapa sawit, yaitu sebesar 40-46%. Asam palmitat juga terdapat pada berbagai

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 17 BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 LEMAK DAN MINYAK Lemak dan minyak adalah trigliserida atau triasilgliserol yang berarti triester dari gliserol (Fessenden,R.J dan Fessenden,J.,1984). Lemak meliputi mentega,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Selama ini Indonesia masih mengimpor monogliserida dan digliserida yang dibutuhkan oleh industri (Anggoro dan Budi, 2008). Monogliserida dan digliserida dapat dibuat

Lebih terperinci

PENUNTUN PRAKTIKUM KIMIA DASAR II KI1201

PENUNTUN PRAKTIKUM KIMIA DASAR II KI1201 PENUNTUN PRAKTIKUM KIMIA DASAR II KI1201 Disusun Ulang Oleh: Dr. Deana Wahyuningrum Dr. Ihsanawati Dr. Irma Mulyani Dr. Mia Ledyastuti Dr. Rusnadi LABORATORIUM KIMIA DASAR PROGRAM TAHAP PERSIAPAN BERSAMA

Lebih terperinci

Perbandingan aktivitas katalis Ni dan katalis Cu pada reaksi hidrogenasi metil ester untuk pembuatan surfaktan

Perbandingan aktivitas katalis Ni dan katalis Cu pada reaksi hidrogenasi metil ester untuk pembuatan surfaktan Perbandingan aktivitas katalis Ni dan katalis Cu pada reaksi hidrogenasi metil ester untuk pembuatan surfaktan Tania S. Utami *), Rita Arbianti, Heri Hermansyah, Wiwik H., dan Desti A. Departemen Teknik

Lebih terperinci

4. Hasil dan Pembahasan

4. Hasil dan Pembahasan 4. Hasil dan Pembahasan 4.1. Sintesis Polistiren (PS) Pada proses sintesis ini, benzoil peroksida berperan sebagai suatu inisiator pada proses polimerisasi, sedangkan stiren berperan sebagai monomer yang

Lebih terperinci

METANOLISIS MINYAK KOPRA (COPRA OIL) PADA PEMBUATAN BIODIESEL SECARA KONTINYU MENGGUNAKAN TRICKLE BED REACTOR

METANOLISIS MINYAK KOPRA (COPRA OIL) PADA PEMBUATAN BIODIESEL SECARA KONTINYU MENGGUNAKAN TRICKLE BED REACTOR Jurnal Rekayasa Produk dan Proses Kimia JRPPK 2015,1/ISSN (dalam pengurusan) - Astriana, p.6-10. Berkas: 07-05-2015 Ditelaah: 19-05-2015 DITERIMA: 27-05-2015 Yulia Astriana 1 dan Rizka Afrilia 2 1 Jurusan

Lebih terperinci

Sintesis Organik Multitahap: Sintesis Pain-Killer Benzokain

Sintesis Organik Multitahap: Sintesis Pain-Killer Benzokain Sintesis Organik Multitahap: Sintesis Pain-Killer Benzokain Safira Medina 10512057; K-01; Kelompok IV shasamedina@gmail.com Abstrak Sintesis ester etil p-aminobenzoat atau benzokain telah dilakukan melalui

Lebih terperinci

BAB 3 BAHAN DAN METODE PENELITIAN. Alat-alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah : - Labu leher tiga Pyrex - Termometer C

BAB 3 BAHAN DAN METODE PENELITIAN. Alat-alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah : - Labu leher tiga Pyrex - Termometer C BAB 3 BAHAN DAN METDE PENELITIAN 3.1 Alat-alat Alat-alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah : - Labu leher tiga Pyrex - Termometer 210 0 C Fisons - Kondensor bola Pyrex - Buret (10 ml ± 0,05 ml)

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Biodiesel Biodiesel merupakan bahan bakar rendah emisi pengganti diesel yang terbuat dari sumber daya terbarukan dan limbah minyak. Biodiesel terdiri dari ester monoalkil dari

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN A. ANALISIS GLISEROL HASIL SAMPING BIODIESEL JARAK PAGAR

HASIL DAN PEMBAHASAN A. ANALISIS GLISEROL HASIL SAMPING BIODIESEL JARAK PAGAR IV. HASIL DAN PEMBAHASAN A. ANALISIS GLISEROL HASIL SAMPING BIODIESEL JARAK PAGAR Gliserol hasil samping produksi biodiesel jarak pagar dengan katalis KOH merupakan satu fase yang mengandung banyak pengotor.

Lebih terperinci

Jurnal Kimia Sains dan Aplikasi Journal of Scientific and Applied Chemistry

Jurnal Kimia Sains dan Aplikasi Journal of Scientific and Applied Chemistry Jurnal Kimia Sains dan Aplikasi 12 (3) (2009) : 88 92 88 ISSN: 1410-8917 Jurnal Kimia Sains dan Aplikasi 12 (3) (2009): 1 5 Jurnal Kimia Sains dan Aplikasi Journal of Scientific and Applied hemistry Journal

Lebih terperinci

METODOLOGI A. BAHAN DAN ALAT 1. Bahan a. Bahan Baku b. Bahan kimia 2. Alat B. METODE PENELITIAN 1. Pembuatan Biodiesel

METODOLOGI A. BAHAN DAN ALAT 1. Bahan a. Bahan Baku b. Bahan kimia 2. Alat B. METODE PENELITIAN 1. Pembuatan Biodiesel METODOLOGI A. BAHAN DAN ALAT 1. Bahan a. Bahan Baku Bahan baku yang digunakan untuk penelitian ini adalah gliserol kasar (crude glycerol) yang merupakan hasil samping dari pembuatan biodiesel. Adsorben

Lebih terperinci

A. Sifat Fisik Kimia Produk

A. Sifat Fisik Kimia Produk Minyak sawit terdiri dari gliserida campuran yang merupakan ester dari gliserol dan asam lemak rantai panjang. Dua jenis asam lemak yang paling dominan dalam minyak sawit yaitu asam palmitat, C16:0 (jenuh),

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Universitas Sumatera Utara

BAB I PENDAHULUAN. Universitas Sumatera Utara BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG Permintaan energi global sedang meningkat sebagai hasil dari prtumbuhan dari populasi, industri serta peningkatan penggunaan alat transportasi [1], Bahan bakar minyak

Lebih terperinci

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN Bentonit diperoleh dari bentonit alam komersiil. Aktivasi bentonit kimia. Aktivasi secara kimia dilakukan dengan merendam bentonit dengan menggunakan larutan HCl 0,5 M yang bertujuan

Lebih terperinci

LAPORAN PRAKTIKUM SINTESIS KIMIA ORGANIK

LAPORAN PRAKTIKUM SINTESIS KIMIA ORGANIK LAPORAN PRAKTIKUM SINTESIS KIMIA ORGANIK PEMBUATAN t - BUTIL KLORIDA NAMA PRAKTIKAN : KARINA PERMATA SARI NPM : 1106066460 PARTNER PRAKTIKAN : FANTY EKA PRATIWI ASISTEN LAB : KAK JOHANNES BION TANGGAL

Lebih terperinci

Senyawa Alkohol dan Senyawa Eter. Sulistyani, M.Si

Senyawa Alkohol dan Senyawa Eter. Sulistyani, M.Si Senyawa Alkohol dan Senyawa Eter Sulistyani, M.Si sulistyani@uny.ac.id Konsep Dasar Senyawa Organik Senyawa organik adalah senyawa yang sumber utamanya berasal dari tumbuhan, hewan, atau sisa-sisa organisme

Lebih terperinci

PENGGUNAAN CANGKANG BEKICOT SEBAGAI KATALIS UNTUK REAKSI TRANSESTERIFIKASI REFINED PALM OIL

PENGGUNAAN CANGKANG BEKICOT SEBAGAI KATALIS UNTUK REAKSI TRANSESTERIFIKASI REFINED PALM OIL PENGGUNAAN CANGKANG BEKICOT SEBAGAI KATALIS UNTUK REAKSI TRANSESTERIFIKASI REFINED PALM OIL Imroatul Qoniah (1407100026) Pembimbing: Dr. Didik Prasetyoko, M.Sc. Kamis, 14 Juli 2011 @ R. J111 LATAR BELAKANG

Lebih terperinci

: Muhibbuddin Abbas Pembimbing I: Ir. Endang Purwanti S., MT

: Muhibbuddin Abbas Pembimbing I: Ir. Endang Purwanti S., MT KALOR BIODIESEL DARI HASIL ESTERIFIKASI DENGAN KATALIS PdCl 2 DAN TRANSESTERIFIKASI DENGAN KATALIS KOH MINYAK BIJI NYAMPLUNG (Calophyllum Inophyllum) Oleh : Muhibbuddin Abbas 1407100046 Pembimbing I: Ir.

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN A. Penelitian Pendahuluan (Pembuatan Biodiesel)

HASIL DAN PEMBAHASAN A. Penelitian Pendahuluan (Pembuatan Biodiesel) HASIL DAN PEMBAHASAN A. Penelitian Pendahuluan (Pembuatan Biodiesel) Minyak nabati (CPO) yang digunakan pada penelitian ini adalah minyak nabati dengan kandungan FFA rendah yaitu sekitar 1 %. Hal ini diketahui

Lebih terperinci

Pembuatan Biodiesel dari Minyak Kelapa dengan Katalis H 3 PO 4 secara Batch dengan Menggunakan Gelombang Mikro (Microwave)

Pembuatan Biodiesel dari Minyak Kelapa dengan Katalis H 3 PO 4 secara Batch dengan Menggunakan Gelombang Mikro (Microwave) Pembuatan Biodiesel dari Minyak Kelapa dengan Katalis H 3 PO 4 secara Batch dengan Menggunakan Gelombang Mikro (Microwave) Dipresentasikan oleh : 1. Jaharani (2310100061) 2. Nasichah (2310100120) Laboratorium

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang Energi berperan penting dalam kehidupan manusia yang mana merupakan kunci utama dalam berbagai sektor ekonomi yang dapat mempengaruhi kualitas kehidupan manusia. Kebutuhan

Lebih terperinci

Dibimbing Oleh: Prof. Dr. Ir. Mahfud, DEA Ir. Rr. Pantjawarni Prihatini

Dibimbing Oleh: Prof. Dr. Ir. Mahfud, DEA Ir. Rr. Pantjawarni Prihatini PEMBUATAN TRANSFORMER OIL DARI MINYAK NABATI MELALUI PROSES TRANSESTERIFIKASI DAN PENAMBAHAN ADITIF Akh. Mokh. Hendra C. M. (2306100011) Much. Arif Amrullah (2306100081) Dibimbing Oleh: Prof. Dr. Ir. Mahfud,

Lebih terperinci