TINJAUAN PUSTAKA Wilayah

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "TINJAUAN PUSTAKA Wilayah"

Transkripsi

1 TINJAUAN PUSTAKA Wilayah Dalam Undang-Undang Nomor 24 tahun 1992 tentang Penataan Ruang, wilayah adalah ruang yang merupakan merupakan kesatuan geografis beserta segenap unsur yang terkait kepadanya yang batas dan sistemnya ditentukan berdasarkan aspek administratif dan atau aspek fungsional. Menurut Rustiadi et al. (2005a) wilayah didefinisikan sebagai unit geografis dengan batas-batas spesifik tertentu dimana komponen-komponen wilayah tersebut satu sama lain saling berinteraksi secara fungsional. Sehingga batasan wilayah tidaklah selalu bersifat fisik dan pasti tetapi seringkali bersifat dinamis. Komponen-komponen wilayah mencakup komponen biofisik alam, sumberdaya buatan (infrastruktur), manusia serta bentu-bentuk kelembagaan. Dengan demikian istilah wilayah menekankan interaksi antar manusia dengan sumberdaya-sumberdaya lainnya yang ada di dalam suatu batasan unit geografis tertentu. Konsep wilayah yang paling klasik (Hagget et al dalam Rustiadi et al. 2005a) mengenai tipologi wilayah, mengklasifikasikan konsep wilayah ke dalam tiga kategori, sebagaimana dapat dilihat pada Gambar 1, yaitu: 1. Wilayah homogen (uniform/ homogenous region); 2. Wilayah nodal (nodal region); 3. Wilayah perencanaan (planning region atau programming region). Sejalan dengan klasifikasi tersebut, berdasarkan fase kemajuan perekonomian, Glasson (1977) mengklasifikasikan region/wilayah menjadi : 1. Fase pertama yaitu wilayah formal yang berkenaan dengan keseragaman/ homogenitas. Wilayah formal adalah suatu wilayah geografik yang seragam menurut kriteria tertentu, seperti keadaan fisik geografi, ekonomi, sosial dan politik. 2. Fase kedua yaitu wilayah fungsional yang berkenaan dengan koherensi dan interdependensi fungsional, saling hubungan antar bagian-bagian dalam wilayah tersebut. Kadang juga disebut wilayah nodal atau polarized region dan terdiri dari satuan-satuan yang heterogen, seperti desa-kota yang secara fungsional saling berkaitan.

2 3. Fase ketiga yaitu wilayah perencanaan yang memperlihatkan koherensi atau kesatuan keputusan-keputusan ekonomi. Homogen Nodal (pusat-hinterland ) Sistem Sederhana Desa - Kota Budidaya - Lindung Wilayah Sistem/ Fungsional Sistem ekonomi: Agropolitan, kawasan produksi, kawasan industri Sistem Komplek Sistem ekologi: DAS, hutan, pesisir Sistem Sosial - Politik: cagar budaya, wilayah etnik Perencanaan/ Pengelolaan Umumnya disusun/ dikembangkan berdasarkan: Konsep homogen/fungsional: KSP, KATING, dan sebagainya Administrasi-politik: propinsi, Kabupaten, Kota Gambar 1 Kerangka klasifikasi konsep wilayah (Sumber : Rustiadi et al. 2005a) Menurut Rustiadi et al. (2005a) wilayah homogen adalah wilayah yang dibatasi berdasarkan pada kenyataan bahwa faktor-faktor dominan pada wilayah tersebut homogen, sedangkan faktor-faktor yang tidak dominan bisa saja beragam (heterogen). Pada dasarnya terdapat beberapa faktor penyebab homogenitas wilayah. Secara umum terdiri atas penyebab alamiah dan penyebab artifisial. Faktor alamiah yang dapat menyebabkan homogenitas wilayah adalah kelas kemampuan lahan, iklim dan berbagai faktor lainnya. Sedangkan homogenitas yang bersifat artificial adalah homogenitas yang didasarkan pada pengklasifikasian berdasarkan aspek tertentu yang dibuat oleh manusia. Contoh

3 wilayah homogen artificial adalah wilayah homogen atas dasar kemiskinan (peta kemiskinan). Sedangkan wilayah fungsional menekankan perbedaan dua komponen-komponen wilayah yang terpisah berdasarkan fungsinya, yang memiliki keterkaitan, ketergantungan dan saling berinteraksi satu sama lain dan tidak terpisahkan dalam kesatuan. Berdasarkan struktur komponen-komponen yang membentuknya, wilayah fungsional dapat dibagi menjadi : 1. Wilayah sistem sederhana (dikotomis) yang bertumpu pada konsep ketergantungan atau keterkaitan antara dua bagian atau komponen wilayah. 2. Wilayah sistem kompleks (non dikotomis) yang mendeskripsikan wilayah sebagai suatu sistem yang bagian-bagian di dalamnya bersifat kompleks. Konsep wilayah nodal, kawasan perkotaan- perdesaan dan kawasan budidaya - non budidaya adalah contoh wilayah sederhana. Konsep wilayah nodal didasarkan atas asumsi bahwa suatu wilayah diumpamakan sebagai suatu sel hidup yang mempunyai plasma dan inti. Inti (pusat simpul) adalah pusat-pusat pelayanan/permukinan, sedangkan plasma adalah daerah belakang (peripheri/ hinterland), yang mempunyai sifat-sifat tertentu dan mempunyai hubungan fungsional. Pusat wilayah berfungsi sebagai : 1) tempat terkonsentrasinya penduduk, 2) pasar bagi komoditi-komoditi pertanian maupun industri, 3) pusat pelayanan terhadap daerah hinterland, 4) lokasi pemusatan industri manufaktur yang diartikan sebagai kegiatan mengorganisasikan faktor-faktor produksi untuk menghasilkan suatu output tertentu. Sedangkan wilayah hinterland berfungsi sebagai : 1) pemasok/ produsen bahan-bahan mentah dan atau bahan baku, 2) pemasok tenaga kerja melalui proses urbanisasi, 3) daerah pemasaran barang dan jasa industri manufaktur, 4) penjaga fungsi-fungsi keseimbangan ekologis. Sedangkan konsep wilayah perencanaan adalah wilayah yang dibatasi berdasarkan kenyataan sifat-sifat tertentu pada wilayah tersebut yang bisa bersifat alamiah maupun non alamiah yang sedemikian rupa sehingga perlu direncanakan dalam kesatuan wilayah perencanaan. Pengembangan Wilayah Pembangunan merupakan upaya yang sistematik dan berkesinambungan untuk menciptakan keadaan yang dapat menyediakan berbagai alternatif yang sah

4 bagi pencapaian aspirasi setiap warga yang paling humanistik. Sedangkan menurut Anwar (2005), pembangunan wilayah dilakukan untuk mencapai tujuan pembangunan wilayah yang mencakup aspek-aspek pertumbuhan, pemerataan dan keberlanjutan yang berdimensi lokasi dalam ruang dan berkaitan dengan aspek sosial ekonomi wilayah. Pengertian pembangunan dalam sejarah dan strateginya telah mengalami evolusi perubahan, mulai dari strategi pembangunan yang menekankan kepada pertumbuhan ekonomi, kemudian pertumbuhan dan kesempatan kerja, pertumbuhan dan pemerataan, penekanan kepada kebutuhan dasar (basic need approach), pertumbuhan dan lingkungan hidup, dan pembangunan yang berkelanjutan (suistainable development). Menurut Mercado (2002) konsep pusat pertumbuhan diperkenalkan pada tahun 1949 oleh Fancois Perroux yang mendefinisikan pusat pertumbuhan sebagai pusat dari pancaran gaya sentrifugal dan tarikan gaya sentripetal. Menurut Rondinelli (1985) dan Unwin (1989) dalam Adell (1999) bahwa teori pusat pertumbuhan didasarkan pada keniscayaan bahwa pemerintah di negara berkembang dapat mempengaruhi pertumbuhan ekonomi dan kesejahteraan dengan melakukan investasi yang besar pada industri padat modal di pusat kota. Teori pusat pertumbuhan juga ditopang oleh kepercayaan bahwa kekuatan pasar bebas melengkapi kondisi terjadinya trickle down effect (dampak penetesan ke bawah) dan menciptakan spread effect (dampak penyebaran) pertumbuhan ekonomi dari perkotaan ke pedesaan. Menurut Stohr (1981) dalam Mercado (2002) konsep pusat pertumbuhan mengacu pada pandangan ekonomi neo-klasik. Pembangunan dapat dimulai hanya dalam beberapa sektor yang dinamis, mampu memberikan output rasio yang tinggi dan pada wilayah tertentu, yang dapat memberikan dampak yang luas (spread effect) dan dampak ganda (multiple effect) pada sektor lain dan wilayah yang lebih luas. Sehingga pembangunan sinonim dengan urbanisasi (pembangunan di wilayah perkotaan) dan industrialisasi (hanya pada sektor industri). Pandangan ekonomi neo-klasik berprinsip bahwa kekuatan pasar akan menjamin ekuilibrium (kesetimbangan) dalam distribusi spasial ekonomi dan proses trickle down effect atau centre down dengan sendirinya akan terjadi ketika kesejahteraan di perkotaan tercapai dan dimulai dari level yang tinggi seperti kawasan perkotaan ke kawasan yang lebih rendah seperti kawasan

5 hinterland dan perdesaan melalui beberapa mekanisme yaitu hirarki perkotaan dan perusahaan-perusahaan besar. Namun demikian kegagalan teori pusat pertumbuhan karena trickle down effect (dampak penetesan ke bawah) dan spread effect (dampak penyebaran) tidak terjadi yang diakibatkan karena aktivitas industri tidak mempunyai hubungan dengan basis sumberdaya di wilayah hinterland. Selain itu respon pertumbuhan di pusat tidak cukup menjangkau wilayah hinterland karena hanya untuk melengkapi kepentingan hirarki kota (Mercado, 2002). Kesenjangan Wilayah dan Interregional Linkage Kawasan perdesaan dan perkotaan dibedakan berdasarkan kepadatan penduduk dan aktivitas ekonominya. Kawasan perdesaan mempunyai kepadatan penduduk yang rendah dengan aktivitas ekonomi yang dominan adalah pertanian. Sedangkan kawasan perkotaan mempunyai kepadatan penduduk yang tinggi dengan aktivitas ekonomi pada sektor jasa. Selain itu fungsi administratif dan pembangunan infrastruktur juga menjadi pembeda antara kawasan perdesaan dan perkotaan (UNDP, 2000). Dalam konteks spasial, proses pembangunan yang telah dilaksanakan selama ini ternyata telah menimbulkan berbagai permasalahan yang berkaitan dengan tingkat kesejahteraan antar wilayah yang tidak berimbang. Pendekatan yang sangat menekankan pada pertumbuhan ekonomi dengan membangun pusatpusat pertumbuhan telah mengakibatkan investasi dan sumberdaya terserap dan terkonsentrasi di perkotaan sebagai pusat-pusat pertumbuhan, sementara wilayahwilayah hinterland mengalami pengurasan sumberdaya yang berlebihan /massive backwash effect (Anwar 2001 dalam Pribadi 2005). Isard dan Schooler (1959) dalam Mercado (2002) mendemonstrasikan analisis industrial yang komplek mengenai hubungan antara pusat pertumbuhan dengan lokasi industri, menunjukkan bahwa investasi di pusat pertumbuhan memberikan optimum skala ekonomi dan minimal biaya transportasi input serta outputnya, sehingga menimbulkan aglomerasi lokasi industri di pusat pertumbuhan. Sejalan dengan hal tersebut Friedman (1976) menyebutkan bahwa antara pusat dengan hinterlandnya mempunyai hubungan yang yang minimal sehingga apabila

6 pembangunan berjalan maka biasanya hanya terjadi pada satu sisi dimana hinterland selalu terbelakang, terekspolitasi dan tidak dapat berkembang karena hinterland hanya penunjang perkembangan pusat. Selain itu salah satu implikasi dari penerapan pembangunan dengan pusat pertumbuhan akan menimbulkan dikotomi pembangunan perkotaan dan perdesaan. Menurut Douglas (1998) dalam Adel (1999), menyatakan bahwa salah satu konsekensi dari konsep dikotomi pembangunan kawasan perdesaanperkotaan adalah terdapatnya pembagian dalam perencanaan, di satu sisi terdapat kebijakan yang urban bias dimana perencana di perkotaan berpegang pada pertimbangan bahwa pembangunan di perkotaan merupakan kunci untuk tercapainya intergrasi wilayah. Sedangkan pada sisi lain terdapat kebijakan rural bias dimana perencana pembangunan perdesaan cenderung memandang perkotaan sebagai parasit terhadap kepentingan perdesaan. Hal tersebut menimbulkan kesenjangan wilayah, dalam konteks Indonesia, dapat dilihat antara lain kesenjangan antara Jawa dengan luar Jawa dan antara Kawasan Indonesia bagian Barat dengan Kawasan Indonesia bagian Timur dan antara kawasan perkotaan dengan perdesaan.. Disparitas wilayah dan sektoral karena terjadinya pengurasan sumberdaya wilayah perdesaan ke wilayah perkotaan serta sektor industri di perkotaan yang tidak berbasis pada sektor primer, yaitu pertanian, sementara sektor pertanian di perdesaan bersifat enclave terhadap sektor industri. Disparitas ini dapat dilihat terutama terjadinya perbedaan tingkat kesejahteraan yang cukup besar antara kota dengan desa. Proses migrasi penduduk dari desa ke kota, ternyata lebih banyak diakibatkan oleh daya dorong (push force) perdesaan dibandingkan dengan daya tarik (pull force) perkotaan. Hal ini terjadi karena menyempitnya kepemilikan lahan pertanian, terkonversi maupun yang berpindah hak kepemilikannya karena maraknya aktivitas investasi dan spekulasi atas lahan di perdesaan. Menurut Anwar (2001) dalam Pribadi (2005) selama ini pertumbuhan angkatan kerja perdesaan yang terus meningkat ternyata tidak diikuti oleh meningkatnya ketersediaan lahan. Berdasarkan hasil Sensus Pertanian 2003, terdapat peningkatan petani gurem di Pulau Jawa dari 52,7% pada tahun 1993 menjadi 56,5% pada tahun Kondisi ini mengakibatkan terjadinya peningkatan jumlah tenaga kerja yang tidak berlahan

7 (landless laborer) sehingga pada akhirnya terjadi migrasi besar-besaran dari wilayah perdesaan ke wilayah perkotaan. Namun demikian angkatan kerja sektor pertanian tidak diimbangi oleh kualitas sumber daya sehingga tenaga kerja migran perdesaan ini hanya sedikit saja yang dapat memperoleh kesempatan kerja di sektor industri modern. Pembangunan sektor modern di perkotaan maupun di dalam rural enclave tidak memberikan dampak multiplier tenaga kerja dan pendapatan kepada sektor urban informal dan mayoritas penduduk di wilayah perdesaan. Menurut Rustiadi dan Hadi (2006) bahwa akibat kemiskinan dan ketertinggalan maka penduduk perdesaan secara rasional mulai melakukan migrasi ke wilayah perkotaan meskipun tidak ada jaminan akan mendapatkan pekerjaan. Kondisi ini pada akhirnya memperlemah kondisi wilayah perkotaan yang sudah terlalu padat sehingga menimbulkan kongesti, pencemaran hebat, pemukiman kumuh, sanitasi buruk, menurunnya kesehatan dan pada gilirannya akan menurunkan produktifitas masyarakat kawasan perkotaan. Menyadari terjadinya kesenjangan wilayah tersebut maka diperlukan reorientasi strategi pembangunan, menjadi strategi keberimbangan. Rustiadi dan Hadi (2006) menyatakan bahwa wilayah bukan merupakan wilayah tunggal dan tertutup, tetapi merupakan suatu kesatuan wilayah yang berinteraksi antara satu wilayah dengan wilayah lain. Pembangunan wilayah yang ideal adalah terjadinya interaksi antar wilayah yang sinergis dan saling memperkuat, sehingga nilai tambah yang diperoleh dengan adanya interaksi tersebut dapat terbagi secara adil dan proporsional sesuai dengan peran dan potensi sumberdaya yang dimiliki masing-masing wilayah. Sedangkan menurut Murty (2000) dalam Pribadi (2006) pembangunan regional yang berimbang merupakan sebuah pertumbuhan yang merata dari wilayah yang berbeda untuk meningkatkan pengembangan kapasitas dan kebutuhannya. Sehingga yang terpenting adalah pertumbuhan yang seoptimal mungkin dari potensi yang dimiliki oleh suatu wilayah sesuai kapasitasnya. Menurut Tacoli (1998) bahwa konsep pembangunan dalam beberapa dekade terakhir ditujukan pada peubahan hubungan antara sektor pertanian dengan industri. Kebijakan pertumbuhan ekonomi mengikuti satu atau dua pendekatan, yaitu pertama investasi di sektor pertanian berpengaruh pada penyediaan kebutuhan sektor industri dan perkotaan, sedangkan pendekatan kedua

8 berpendapat bahwa pertumbuhan industri dan perkotaan memerlukan sektor pertanian yang lebih modern. Konsep integrasi fungsional-spasial menurut Rondinelli (1985) dalam Rustiadi dan Hadi (2006) adalah adalah pendekatan dengan mengembangkan sistem pusat-pusat pertumbuhan dengan berbagai ukuran dan karakteristik fungsional secara terpadu. Stimulan dari pengembangan regional dimulai dari pendekatan pertanian dibandingkan dengan pengembangan industri. Kawasan perdesaan harus didorong menjadi kawasan yang tidak hanya menghasilkan bahan primer melainkan juga mampu menghasilkan bahan olahan atau industri hasil pertanian. Proses interaksi antara kawasan perdesaan dan perkotaan harus dalam konteks pembangunan interregional berimbang, dimana terjadi proses pembagian nilai tambah yang seimbang dan proporsional. Pembangunan yang berimbang secara spasial menjadi penting karena dalam skala makro hal ini menjadi prasyarat bagi tumbuhnya perekonomian nasional yang lebih efisien, berkeadilan dan berkelanjutan. Pengembangan Kawasan Agropolitan Menurut Rustiadi dan Hadi (2006) beberapa strategi pembangunan perdesaan yang perlu dikembangkan adalah : 1) mendorong kearah terjadinya desentralisasi pembangun-an dan kewenangan, 2) menanggulangi hubungan saling memperlemah antara perdesaan dan perkotaan, 3) menekankan pada pengembangan ekonomi yang berbasis sumberdaya lokal dan diusahakan dengan melibatkan sebesar mungkin masyarakat perdesaan. Salah satu strateginya adalah pembangunan kawasan agropolitan. Friedman dan Douglass (1975) dalam Rustiadi dan Hadi (2006) menyarankan suatu bentuk pendekatan agropolitan sebagai aktivitas pembangunan yang terkonsentrasi di wilayah perdesaan dengan jumlah penduduk antara sampai orang. Agropolitan adalah pendekatan pembangunan kawasan perdesaan yang menekankan pembangunan perkotaan pada tingkat lokal di perdesaan. Menurut Rustiadi dan Hadi (2006) pembangunan agropolitan adalah suatu model pembangunan yang yang mengandalkan desentralisasi, pembangunan infrastruktur setara kota di wilayah perdesaan sehingga mendorong urbanisasi (pengkotaan dalam arti positif) serta bisa menaggulangi dampak negatif

9 pembangunan (migrasi desa-kota yang tidak terkendali, polusi, kemacetan lalu lintas, pengkumuhan kota, kehancuran masif sumberdaya, pemiskinan desa dan lain-lain). Pengembangan agropolitan adalah suatu pendekatan kawasan pembangunan kawasan perdesaan melalui upaya-upaya penataan ruang perdesaan dan menumbuhkan pusat-pusat pelayanan fasilitas perkotaan (urban function centre) yang dapat berupa atau mengarah pada terbentuknya kota-kota kecil berbasis pertanian (agropolis) sebagai bagian dari sistem perkotaan dengan maksud meningkatkan pendapatan kawasan perdesaan (regional income), menghindari kebocoran pendapatan kawasan perdesaan (regional leakages), menciptakan pembangunan yang berimbang (regional balanced) dan keterkaitan desa-kota (rural urban linkages) yang sinergis dan pembangunan daerah. Agropolitan menjadi relevan dengan wilayah perdesaan karena pada umumnya sektor pertanian dan pengelolaan sumberdaya alam merupakan mata pencaharian utama dari sebagian besar masyarakat perdesaan. Pengembangan kawasan agropolitan menekankan pada hubungan antara kawasan perdesaan dengan kawasan perkotaan secara berjenjang. Menurut Elestianto (2005) konsep agropolitan ditujukan untuk memperbaiki kesalahan paradigma pembangunan dengan pusat pertumbuhan dalam meningkatkan pembangunan perdesaan, dimana kritik diarahkan bahwa kesalahan dalam pembangunan perkotaan mengakibatkan terjadinya dampak pengurasan sumberdaya di wilayah perdesaan, termasuk sumberdaya manusia dan sumberdaya alam, yang diekspolitasi dan diabsorbsi ke kawasan perkotaan tanpa memberi nilai tambah yang cukup bagi kawasan perdesaan. Agropolitan merupakan pelaksanaan dari pembangunan pusat pertumbuhan, tetapi dalam pespektif yang berbeda. Apabila dalam paradigma pusat pertumbuhan, pembangunan infrastruktur dikonsentrasikan di kawasan perkotaan untuk mempercepat pertumbuhan ekonomi yang selanjutnya akan terjadi dampak penetesan ke kawasan perdesaan sebagai akibat dari pembangunan di pusat pertumbuhan, maka dalam konsep agropolitan diarahkan pada pembangunan infrastuktur di kawasan perdesaan dengan tujuan pembangunan fasilitas sekunder industri di kawasan perdesaan. Dengan demikian pusat kawasan agropolitan

10 diharapkan mampu lebih memberikan dampak positif dan dampak ganda terhadap hinterlandnya. Dalam konsep agropolitan diperkenal kawasan agropolitan, yaitu suatu daerah perdesaan dengan radius pelayanan 5-10 km dengan jumlah penduduk ribu jiwa serta kepadatan minimal 200 jiwa/km 2. Jasa dan pelayanan yang disediakan disesuaikan dengan tingkat perkembangan ekonomi dan sosial budaya setempat. Peran pusat agropolitan adalah untuk melayani kawasan produksi pertanian disekitarnya dimana berlangsung kegiatan agribisnis oleh para petani setempat. Fasilitas pelayanan yang diperlukan untuk memberi kemudahan produksi dan pemasaran antara lain berupa input sarana produksi (pupuk, bibit, obat-obatan, peralatan dan lainnya), sarana penunjang produksi (lembaga perbankan, koperasi) serta sarana pemasaran (pasar, terminal, sarana transportasi dan lainnya). Dengan demikian biaya produksi dan biaya pemasaran dapat diperkecil dengan meningkatnya faktor-faktor kemudahan pada kegiatan produksi dan pemasaran. Faktor-faktor tersebut menjadi optimal dengan adanya kegiatan di pusat agropolitan (Harun 2006). Dalam perkembangannya, Friedmann (1996) melakukan modifikasi konsep agropolitan, terutama untuk kawasan perdesaan berkepadatannya tinggi untuk menghasilkan lanskap pengembangan agropolitan yang bermacam-macam, yaitu : 1. Kawasan perdesaan atau pinggiran kota dengan populasi penduduk jiwa yang tersebar dalam area km 2 ; 2. Masing-masing kawasan mempunyai pusat pelayanan yang mudah dijangkau dengan jalan kaki atau bersepeda dari bagian kawasan dalam jangka waktu kurang dari 20 menit; 3. Masing-masing pusat kawasan mempunyai fasilitas dan pelayanan publik, termasuk pasar, sekolah, kesehatan, olahraga, pelayanan pemerintahan, kantor pos dan telekomunikasi, pos polisi, terminal transportasi dll; 4. Masing-masing pusat kawasan terhubung dengan pusat kawasan lain dalam jaringan jalan baik untuk pejalan kaki, sepeda, sepeda motor, bis dan truk; 5. Industri manufaktur kecil yang didistribusikan pada kawasan dan sepanjang jaringan jalan;

11 6. Tujuan pengembangan agropolitan diciptakan dengan menyesuaikan pada paradigma regional, keseimbangan ekonomi kawasan yang diperoleh sepertiga dari pendapatan pertanian dan aktivitas yang berhubungan dengan pertanian, seperempat dari industri, setengah dari perdagangan dan jasa serta sepertujuh dari pemerintah. Menurut Harun (2004) mengintegrasikan kawasan perdesaan dan kawasan perkotaan ke dalam distrik agropolitan bertujuan untuk menghindari tumbuhnya kota-kota diluar kendali sistem pengembangan wilayah agropolitan. Upaya ini selain menghindari adanya kesenjangan antara pemukiman yang ada dengan pengembangan kota-kota tani, mengintegrasikan penduduk lokal dalam pengembangan wilayah agropolitan sekaligus meningkatkan upaya meningkatkan fungsi desa dan kota yang ada menjadi kota-kota tani. Menurut Rondinelli (1985) dalam Rustiadi dan Hadi (2006), pengembangan agropolitan di wilayah perdesaan pada dasarnya lebih ditujukan untuk meningkatkan produksi pertanian dan penjualan hasil-hasil pertanian, mendukung tumbuhnya industri agro-processing skala kecil-menengah dan mendorong keberagaman aktivitas ekonomi dari pusat pasar. Segala aktivitas harus diorganisasikan terutama untuk membangun keterkaitan antara perusahaan di kota dengan wilayah suplai di perdesaan dan untuk menyediakan fasilitas, pelayanan, input produksi pertanian dan aksesibilitas yang mampu memfasilitasi lokasi-lokasi permukiman di perdesaan yang umumnya mempunyai tingkat kepadatan yang rendah dan lokasinya lebih menyebar. Investasi dalam bentuk jalan yang menghubungkan lokasi-lokasi pertanian dengan pasar merupakan suatu hal penting yang diperlukan untuk menghubungkan antara wilayah perdesaan dengan pusat kota. Perhatian perlu diberikan terhadap penyediaan air, perumahan, kesehatan dan jasa-jasa sosial di kota-kota kecil menengah untuk meningkatkan produktivitas dari tenaga kerja. Perhatian juga perlu diberikan untuk memberikan kesempatan kerja di luar sektor produksi pertanian (off-farm) dan berbagai kenyamanan fasilitas perkotaan di kota-kota kecil-menengah di wilayah perdesaan yang bertujuan untuk mencegah orang melakukan migrasi keluar wilayah.

12 Persepsi dan Partisipasi Masyarakat Menurut Thoha (1986) dalam Endaryanto (1999) persepsi adalah proses kognitif yang dialami oleh seseorang di dalam memahami informasi mengenai lingkungannya, baik lewat penglihatan, pendengaran, penghayatan, perasaan dan penciuman. Persepsi merupakan proses internal dimana seseorang menyeleksi, mengevaluasi dan mengorganisasikan stimuli dari lingkungan. Kunci untuk memahami persepsi terletak pada pengenalan bahwa persepsi itu merupakan suatu penafsiran unik terhadap situasi dan bukannya suatu pencatatan yang benar tentang situasi. Menurut Littlejohn (1987) dalam Endaryanto (1999) persepsi seseorang terhadap suatu obyek bisa tepat dan bisa keliru. Faktor yang terpenting untuk mengatasi kekeliruan persepsi adalah kemampuan untuk mendapatkan pengertian yang tepat mengenai obyek persepsi tersebut. Pembentukan persepsi pada diri seseorang berlangsung melalui tiga mekanisme, yaitu selektifitas, pemaknaan dan interpretasi. Pada mulanya seseorang akan menanggapi secara selektif terhadap setiap rangsangan yang ada. Setelah rangsangan itu diseleksi dan disusun sedemikian rupa, kemudian proses pemberian makna berlangsung dan akhirnya terbentuklah interpretasi secara menyeluruh terhadap rangsangan tersebut (Asngari 1984 dalam Endaryanto 1999). Menurut Gibson dan Ivancevich (1997) dalam Yulida (2002) persepsi sebagai suatu bagian dari sikap, terdapat tiga komponen yang mempengaruhi pandangan seseorang terhadap suatu obyek yaitu, komponen kognitif, afektif dan konatif. Komponen kognitif berisis ide, anggapan, pengetahuan dan pengetahuan seseorang terhadap obyek berdasarkan pengalaman langsung yang dihubungkan dengan sumber informasi. Berdasarkan nilai dan norma yang dimiliki seseorang akan menghasilkan keyakinan (belief) evaluatif terhadap obyek tertentu. Komponen afektif menekankan pada perasaan atau emosi, dengan demikian merupakan evaluasi emosional dalam menilai obyek tertentu. Sedangkan komponen konatif menekankan pada kecenderungan (tendency) dan perilaku aktual seseorang untuk melakukan tindakan sesuai dengan yang dipersepsikan. Partisipasi menurut Davis (1987) dalam Harahap (2001) adalah keterlibatan mental, pikiran dan perasaan seseorang di dalam situasi kelompok yang mendorongnya untuk memberikan sumbangan atas bantuan terhadap

13 kelompok tersebut dalam mencapai tujuan bersama dan turut bertanggungjawab terhadap usaha tersebut. Sedangkan menurut Cohen dan Uphoff (1977) dalam Harahap (2001) partisipasi adalah keterlibatan masyarakat dalam proses perencanaan dan pembuatan keputusan tentang apa yang dilakukan, dalam pelaksanaan program dan pengambilan keputusan untuk berkontribusi sumberdaya atau berkerjasama dalam organisasi atau kegiatan khusus, berbagi manfaat dari program pembangunan dan evaluasi program pembangunan. Tingkat partisipasi masyarakat menurut Darmawan (2003) dalam Pribadi (2005), didasarkan pada beberapa indikator, yaitu sebagai berikut: 1. Derajat kedalaman keterlibatan individu dalam pengelolaan suatu program pembangunan. Hal ini diindikasikan oleh seberapa besar sumbangan fisik, sumbangan psikologis-mental, ataukah sumbangan energi-keuangan yang diberikan oleh individu-individu dalam pengelolaan suatu program pembangunan. 2. Derajat keberagaman pihak yang terlibat dalam pengelolaan program. Hal ini diindikasikan oleh keberagaman gender, kelas sosial, ras/etnis, agama, ideologi di kalangan individu-individu yang terlibat dalam proses pengelolaan program pembangunan. 3. Proses dialog atau proses komunikasi dalam pengelolaan program. Hal ini ditandai oleh proses pertukaran dan akomodasi gagasan. 4. Kerjasama institusional, yaitu kolaborasi antar pihak di ruang-ruang kekuasaan yang berbeda dalam pengelolaan suatu program. Menurut Koentjaraningrat (1980) dalam Pujo (2003), terdapat dua hal yang dapat mempengaruhi tingkat partisipasi, yaitu faktor internal dan faktor eksternal. Kedua faktor tersebut mempunyai kekuatan sendiri yang saling mengisi. Faktor internal merupakan partisipasi yang muncul dari dalam diri manusia sendiri, yang dapat berupa antara lain kepribadian, sikap, umur, tingkat pendidikan, luas lahan garapan, tingkat pendapatan, kesesuaian program dengan kebutuhannya. Sedangkan faktor eksternal merupakan partisipasi karena dorongan, pengaruh, rangsangan bahkan tekanan dari luar, yang dapat berupa antara lain hubungan, pelayanan dan komunikasi dengan pengelola program, kegiatan sosialisasi dan penyuluhan, kondisi lingkungan dan sosial budaya.

ANALISIS PEWILAYAHAN, HIRARKI, KOMODITAS UNGGULAN DAN PARTISIPASI MASYARAKAT PADA KAWASAN AGROPOLITAN

ANALISIS PEWILAYAHAN, HIRARKI, KOMODITAS UNGGULAN DAN PARTISIPASI MASYARAKAT PADA KAWASAN AGROPOLITAN ANALISIS PEWILAYAHAN, HIRARKI, KOMODITAS UNGGULAN DAN PARTISIPASI MASYARAKAT PADA KAWASAN AGROPOLITAN (Studi Kasus di Bungakondang Kabupaten Purbalingga) BUDI BASKORO SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN

Lebih terperinci

Pengembangan Wilayah dan Penataan Ruang

Pengembangan Wilayah dan Penataan Ruang Pengembangan Wilayah dan Penataan Ruang Konsep Wilayah dan Pengembangan Wilayah Dalam Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang, wilayah adalah ruang yang merupakan kesatuan geogra is beserta

Lebih terperinci

Teori Pertumbuhan dan Pembangunan Daerah. Saat ini tidak ada satu teori pun yang mampu menjelaskan pembangunan ekonomi daerah secara komprehensif.

Teori Pertumbuhan dan Pembangunan Daerah. Saat ini tidak ada satu teori pun yang mampu menjelaskan pembangunan ekonomi daerah secara komprehensif. A Teori Pertumbuhan dan Pembangunan Daerah. Saat ini tidak ada satu teori pun yang mampu menjelaskan pembangunan ekonomi daerah secara komprehensif. Namun demikian, ada beberapa teori yang secara parsial

Lebih terperinci

2 TINJAUAN PUSTAKA Konsep Pengembangan Wilayah

2 TINJAUAN PUSTAKA Konsep Pengembangan Wilayah 7 2 TINJAUAN PUSTAKA Konsep Pengembangan Wilayah Dalam Undang-Undang Nomor 26 tahun 2007 tentang Penataan Ruang, wilayah adalah ruang yang merupakan kesatuan geografis beserta segenap unsur yang terkait

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Konsep Wilayah

TINJAUAN PUSTAKA. Konsep Wilayah 7 TINJAUAN PUSTAKA Konsep Wilayah Wilayah menurut UU No. 26 tahun 2007 adalah ruang yang merupakan kesatuan geografis beserta segenap unsur yang terkait yang batas dan sistemnya ditentukan berdasarkan

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA Konsep Pembangunan dan Pergeseran Paradigma Pembangunan

TINJAUAN PUSTAKA Konsep Pembangunan dan Pergeseran Paradigma Pembangunan TINJAUAN PUSTAKA Konsep Pembangunan dan Pergeseran Paradigma Pembangunan Istilah pembangunan atau development menurut Siagian (1983) adalah suatu usaha atau rangkaian usaha pertumbuhan dan perubahan yang

Lebih terperinci

VII KETERKAITAN EKONOMI SEKTORAL DAN SPASIAL DI DKI JAKARTA DAN BODETABEK

VII KETERKAITAN EKONOMI SEKTORAL DAN SPASIAL DI DKI JAKARTA DAN BODETABEK VII KETERKAITAN EKONOMI SEKTORAL DAN SPASIAL DI DKI JAKARTA DAN BODETABEK Ketidakmerataan pembangunan yang ada di Indonesia merupakan masalah pembangunan regional dan perlu mendapat perhatian lebih. Dalam

Lebih terperinci

BAB V PENUTUP 5.1 Kesimpulan

BAB V PENUTUP 5.1 Kesimpulan BAB V PENUTUP 5.1 Kesimpulan Dengan melihat karakteristik Kabupaten Garut bagian selatan dapat dilihat bagaimana sifat ketertinggalan memang melekat pada wilayah ini. Wilayah Garut bagian selatan sesuai

Lebih terperinci

SUMMARY STRATEGI DAN MODEL PERENCANAAN POPULIS DALAM PENGEMBANGAN WILAYAH

SUMMARY STRATEGI DAN MODEL PERENCANAAN POPULIS DALAM PENGEMBANGAN WILAYAH SUMMARY STRATEGI DAN MODEL PERENCANAAN POPULIS DALAM PENGEMBANGAN WILAYAH Strategi populis dalam pengembangan wilayah merupakan strategi yang berbasis pedesaan. Strategi ini muncul sebagai respon atas

Lebih terperinci

PEMBAHASAN UMUM DAN IMPLIKASI KEBIJAKAN PENGEMBANGAN WILAYAH DENGAN PENDEKATAN AGROPOLITAN

PEMBAHASAN UMUM DAN IMPLIKASI KEBIJAKAN PENGEMBANGAN WILAYAH DENGAN PENDEKATAN AGROPOLITAN 147 PEMBAHASAN UMUM DAN IMPLIKASI KEBIJAKAN PENGEMBANGAN WILAYAH DENGAN PENDEKATAN AGROPOLITAN Pemerintah Kabupaten Banyumas pada tahun 2008 akan mencanangkan pengembangan wilayah dengan pendekatan agropolitan

Lebih terperinci

I PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang

I PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang I PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang Sebagai negara agraris dengan berbagai produk unggulan di setiap daerah, maka pembangunan ekonomi berbasis pertanian dan perikanan di Indonesia harus berorientasi pada

Lebih terperinci

PENDAHULUAN Latar Belakang

PENDAHULUAN Latar Belakang 1 PENDAHULUAN Latar Belakang Penekanan pembangunan pada sektor modern perkotaan telah terbukti meningkatkan pertumbuhan di sektor dan lokasi yang hanya memiliki tingkat produktifitas tinggi. Laju pertumbuhan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang Desentralisasi sebagai suatu fenomena yang bertujuan untuk membawa kepada penguatan komunitas pada satuan-satuan pembangunan terkecil kini sudah dicanangkan sebagai

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Berbagai pengalaman pembangunan daerah beberapa negara berkembang menunjukkan baik kegagalan maupun keberhasilan pengembangan wilayah yang dapat menjadi pelajaran kita

Lebih terperinci

PENDAHULUAN Latar Belakang

PENDAHULUAN Latar Belakang PENDAHULUAN Latar Belakang Otonomi Daerah sebagai wujud dari sistem demokrasi dan desentralisasi merupakan landasan dalam pelaksanaan strategi pembangunan yang berkeadilan, merata, dan inklusif. Kebijakan

Lebih terperinci

2 TINJAUAN PUSTAKA Konsep Pengembangan Wilayah

2 TINJAUAN PUSTAKA Konsep Pengembangan Wilayah 7 2 TINJAUAN PUSTAKA Konsep Pengembangan Wilayah Pengembangan atau pembangunan didefinisikan sebagai upaya yang terkoordinasi dan sistematik untuk menciptakan suatu keadaan dimana terdapat lebih banyak

Lebih terperinci

PENGARUH PERGERAKAN PENDUDUK TERHADAP KETERKAITAN DESA-KOTA DI KECAMATAN KARANGAWEN DAN KECAMATAN GROBOGAN TUGAS AKHIR

PENGARUH PERGERAKAN PENDUDUK TERHADAP KETERKAITAN DESA-KOTA DI KECAMATAN KARANGAWEN DAN KECAMATAN GROBOGAN TUGAS AKHIR PENGARUH PERGERAKAN PENDUDUK TERHADAP KETERKAITAN DESA-KOTA DI KECAMATAN KARANGAWEN DAN KECAMATAN GROBOGAN TUGAS AKHIR Oleh : KURNIAWAN DJ L2D 004 330 NOVAR ANANG PANDRIA L2D 004 340 JURUSAN PERENCANAAN

Lebih terperinci

1. Berdasarkan analisis tipologi gabungan kinerja sistim agropolitan dan kinerja

1. Berdasarkan analisis tipologi gabungan kinerja sistim agropolitan dan kinerja 156 KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan 1. Berdasarkan analisis tipologi gabungan kinerja sistim agropolitan dan kinerja pembangunan ekonomi daerah di wilayah Kabupaten Banyumas dapat dikelompokkan berdasarkan

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA Konsep Wilayah dan Pusat Pertumbuhan Konsep Wilayah dan Pengembangan Wilayah

TINJAUAN PUSTAKA Konsep Wilayah dan Pusat Pertumbuhan Konsep Wilayah dan Pengembangan Wilayah 14 TINJAUAN PUSTAKA Konsep Wilayah dan Pusat Pertumbuhan Konsep Wilayah dan Pengembangan Wilayah Dalam Undang-Undang Nomor 26 tahun 2007 tentang Penataan Ruang, wilayah adalah ruang yang merupakan kesatuan

Lebih terperinci

PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Kemajuan yang diperoleh Bangsa Indonesia selama tiga dasawarsa pembangunan ternyata masih menyisakan berbagai ketimpangan, antara lain berupa kesenjangan pendapatan dan

Lebih terperinci

2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Konsep Pengembangan Wilayah

2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Konsep Pengembangan Wilayah penghematan ongkos produksi dan distribusi yang disebabkan oleh kegiatankegiatan produksi yang dilakukan di satu tempat atau terkonsentrasi di suatu lokasi (Sitorus 2012), didekati dengan menganalisis

Lebih terperinci

BAB VI PENUTUP. Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji perkembangan kota kecil di Joglosemar

BAB VI PENUTUP. Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji perkembangan kota kecil di Joglosemar BAB VI PENUTUP 6.1 Kesimpulan Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji perkembangan kota kecil di Joglosemar dalam konteks sistem perkotaan wilayah Jawa Tengah dan DIY. Ada empat pertanyaan yang ingin dijawab

Lebih terperinci

MENINGKATKAN PERAN SEKTOR PERTANIAN DALAM PENANGGULANGAN KEMISKINAN 1

MENINGKATKAN PERAN SEKTOR PERTANIAN DALAM PENANGGULANGAN KEMISKINAN 1 MENINGKATKAN PERAN SEKTOR PERTANIAN DALAM PENANGGULANGAN KEMISKINAN 1 A. KONDISI KEMISKINAN 1. Asia telah mencapai kemajuan pesat dalam pengurangan kemiskinan dan kelaparan pada dua dekade yang lalu, namun

Lebih terperinci

VIII. REKOMENDASI KEBIJAKAN

VIII. REKOMENDASI KEBIJAKAN VIII. REKOMENDASI KEBIJAKAN 8.1. Rekomendasi Kebijakan Umum Rekomendasi kebijakan dalam rangka memperkuat pembangunan perdesaan di Kabupaten Bogor adalah: 1. Pengembangan Usaha Ekonomi Masyarakat, adalah

Lebih terperinci

3. Pola hubungan spasial intra-interregional di Kapet Bima dapat diamati dari pergerakan arus barang dan penduduk antar wilayah, yakni dengan

3. Pola hubungan spasial intra-interregional di Kapet Bima dapat diamati dari pergerakan arus barang dan penduduk antar wilayah, yakni dengan VI. PENUTUP 6.1. Kesimpulan Dari hasil analisis dan pembahasan tentang studi pengembangan wilayah di Kapet Bima dapat dikemukakan beberapa kesimpulan sebagai berikut : 1. Kapet Bima memiliki beragam potensi

Lebih terperinci

KETERKAITAN EKONOMI ANTARA KOTA GEMOLONG DENGAN WILAYAH BELAKANGNYA TUGAS AKHIR. Oleh:

KETERKAITAN EKONOMI ANTARA KOTA GEMOLONG DENGAN WILAYAH BELAKANGNYA TUGAS AKHIR. Oleh: KETERKAITAN EKONOMI ANTARA KOTA GEMOLONG DENGAN WILAYAH BELAKANGNYA TUGAS AKHIR Oleh: NANIK SETYOWATI L2D 000 441 JURUSAN PERENCANAAN WILAYAH DAN KOTA FAKULTAS TEKNIK UNIVERSITAS DIPONEGORO SEMARANG 2007

Lebih terperinci

BAB VI KESIMPULAN DAN REKOMENDASI. A. Kesimpulan

BAB VI KESIMPULAN DAN REKOMENDASI. A. Kesimpulan BAB VI KESIMPULAN DAN REKOMENDASI A. Kesimpulan Dari berbagai uraian dan hasil analisis serta pembahasan yang terkait dengan imlementasi kebijakan sistem kotakota dalam pengembangan wilayah di Kabupaten

Lebih terperinci

BAB III ANALISIS ISU STRATEGIS

BAB III ANALISIS ISU STRATEGIS BAB III ANALISIS ISU STRATEGIS 3.1 Identifikasi Faktor Lingkungan Berdasarkan Kondisi Saat Ini sebagaimana tercantum dalam BAB II maka dapat diidentifikasi faktor-faktor lingkungan yang berpengaruh terhadap

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 69 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Hasil Hutan Bukan Kayu (HHBK) Secara ekologis HHBK tidak memiliki perbedaan fungsi dengan hasil hutan kayu, karena sebagian besar HHBK merupakan bagian dari pohon. Istilah

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Negara Kesatuan Republik Indonesia merupakan negara kepulauan. terbesar di dunia yang mempunyai lebih kurang pulau.

I. PENDAHULUAN. Negara Kesatuan Republik Indonesia merupakan negara kepulauan. terbesar di dunia yang mempunyai lebih kurang pulau. I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Negara Kesatuan Republik Indonesia merupakan negara kepulauan terbesar di dunia yang mempunyai lebih kurang 18.110 pulau. Sebaran sumberdaya manusia yang tidak merata

Lebih terperinci

PENDAHULUAN Latar Belakang

PENDAHULUAN Latar Belakang PENDAHULUAN Latar Belakang Pendekatan pembangunan yang sangat menekankan pada pertumbuhan ekonomi selama ini, telah banyak menimbulkan masalah pembangunan yang semakin besar dan kompleks, semakin melebarnya

Lebih terperinci

PENATAAN WILAYAH PERTANIAN INDUSTRIAL Kawasan Pertanian Industrial unggul berkelanjutan

PENATAAN WILAYAH PERTANIAN INDUSTRIAL Kawasan Pertanian Industrial unggul berkelanjutan PENATAAN WILAYAH PERTANIAN INDUSTRIAL Kawasan Pertanian Industrial unggul berkelanjutan Julian Adam Ridjal PS Agribisnis Universitas Jember www.adamjulian.net Pengembangan Kawasan Pertanian Industrial

Lebih terperinci

1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Undang-undang desentralisasi membuka peluang bagi daerah untuk dapat secara lebih baik dan bijaksana memanfaatkan potensi yang ada bagi peningkatan kesejahteraan dan kualitas

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Ruang sebagai wadah dimana manusia, hewan dan tumbuhan bertahan

BAB I PENDAHULUAN. Ruang sebagai wadah dimana manusia, hewan dan tumbuhan bertahan 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Ruang sebagai wadah dimana manusia, hewan dan tumbuhan bertahan hidup, memenuhi segala kebutuhannya serta berinteraksi dengan sesama menjadikan ruang sebagai suatu

Lebih terperinci

BAB 4 ANALISIS ISU STRATEGIS DAERAH

BAB 4 ANALISIS ISU STRATEGIS DAERAH BAB 4 ANALISIS ISU STRATEGIS DAERAH Perencanaan dan implementasi pelaksanaan rencana pembangunan kota tahun 2011-2015 akan dipengaruhi oleh lingkungan strategis yang diperkirakan akan terjadi dalam 5 (lima)

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. 2.1.Uraian Teoritis Pengembangan Wilayah Pengembangan diartikan sebagai suatu kegiatan menambah,

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. 2.1.Uraian Teoritis Pengembangan Wilayah Pengembangan diartikan sebagai suatu kegiatan menambah, BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1.Uraian Teoritis 2.1.1.Pengembangan Wilayah Pengembangan diartikan sebagai suatu kegiatan menambah, meningkatkan, memperbaiki atau memperluas. Konsep pengembangan wilayah di

Lebih terperinci

TPL 106 GEOLOGI PEMUKIMAN

TPL 106 GEOLOGI PEMUKIMAN TPL 106 GEOLOGI PEMUKIMAN PERTEMUAN 08 Teknik Analisis Aspek Fisik & Lingkungan, Ekonomi serta Sosial Budaya dalam Penyusunan Tata Ruang Tujuan Sosialisasi Pedoman Teknik Analisis Aspek Fisik ik & Lingkungan,

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN PUSTAKA

BAB II KAJIAN PUSTAKA 22 BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1. Pengertian dan Ciri Kawasan Agropolitan 2.1.1 Pengertian Umum Kawasan Agropolitan Agropolitan terdiri dari dua kata, agro dan politan (polis). Agro berarti pertanian dan politan

Lebih terperinci

PENDAHULUAN Latar Belakang

PENDAHULUAN Latar Belakang PENDAHULUAN Latar Belakang Pembangunan Transmigrasi pada hakekatnya merupakan bagian integral dari pembangunan nasional dan daerah sebagai upaya untuk mempercepat pembangunan, terutama di kawasan yang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. memuat arah kebijakan pembangunan daerah (regional development policies)

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. memuat arah kebijakan pembangunan daerah (regional development policies) BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Kebijakan pembangunan nasional merupakan gambaran umum yang memuat arah kebijakan pembangunan daerah (regional development policies) dalam rangka menyeimbangkan pembangunan

Lebih terperinci

I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pembangunan merupakan suatu proses multidimensional yang mencakup berbagai perubahan mendasar atau struktur sosial, sikap-sikap masyarakat, dan institusi-institusi nasional

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. Latar Belakang

PENDAHULUAN. Latar Belakang 1 PENDAHULUAN Latar Belakang Salah satu isu yang muncul menjelang berakhirnya abad ke-20 adalah persoalan gender. Isu tentang gender ini telah menjadi bahasan yang memasuki setiap analisis sosial. Gender

Lebih terperinci

ANDRI HELMI M, SE., MM. SISTEM EKONOMI INDONESIA

ANDRI HELMI M, SE., MM. SISTEM EKONOMI INDONESIA ANDRI HELMI M, SE., MM. SISTEM EKONOMI INDONESIA Industri adalah kegiatan ekonomi yang mengolah bahan mentah, bahan baku, barang setengah jadi atau barang jadi menjadi barang yang bermutu tinggi dalam

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA Studi Sosiaf'Elipiiomi Masyara^l Lingfiungan %iimufi di%pta (Peli^nbaru - BAB II TINJAUAN PUSTAKA Sasaran pokok dalam kebijaksanaan pembangunan adalah mewujudkan perubahan struktural dibidang ekonomis-sosiologis

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA

II. TINJAUAN PUSTAKA II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Konsep Pembangunan dan Pergeseran Paradigma Pembangunan Menurut Rustiadi et al. (2009) proses pembangunan dapat diartikan sebagai upaya yang sistematis dan berkesinambungan untuk

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penduduk Indonesia sebagian besar menggantungkan hidup dari sektor pertanian, karenanya revitalisasi pertanian sangat strategis untuk dilaksanakan, guna memacu pembangunan

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA Agropolitan

TINJAUAN PUSTAKA Agropolitan TINJAUAN PUSTAKA Agropolitan Agropolitan adalah kota pertanian yang tumbuh dan berkembang yang mampu memacu berkembangnya sistem dan usaha agribisnis, sehingga dapat melayani, mendorong, menarik, menghela

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pertanian merupakan sektor yang sangat penting dalam perekonomian dan sektor basis baik tingkat Provinsi Sulawsi Selatan maupun Kabupaten Bulukumba. Kontribusi sektor

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 29 TAHUN 2009 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 15 TAHUN 1997 TENTANG KETRANSMIGRASIAN

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 29 TAHUN 2009 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 15 TAHUN 1997 TENTANG KETRANSMIGRASIAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 29 TAHUN 2009 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 15 TAHUN 1997 TENTANG KETRANSMIGRASIAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. membangun infrastruktur dan fasilitas pelayanan umum. pasar yang tidak sempurna, serta eksternalitas dari kegiatan ekonomi.

I. PENDAHULUAN. membangun infrastruktur dan fasilitas pelayanan umum. pasar yang tidak sempurna, serta eksternalitas dari kegiatan ekonomi. I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pembangunan yang dilakukan oleh setiap pemerintahan terutama ditujukan untuk mendorong pertumbuhan ekonomi, pemerataan distribusi pendapatan, membuka kesempatan kerja,

Lebih terperinci

PENDAHULUAN Latar Belakang

PENDAHULUAN Latar Belakang PENDAHULUAN Latar Belakang Penerapan desentralisasi di Indonesia sejak tahun 1998 menuntut daerah untuk mampu mengoptimalkan potensi yang dimiliki secara arif dan bijaksana agar peningkatan kesejahteraan

Lebih terperinci

III. METODOLOGI 3.1. Kerangka Pikir Penelitian

III. METODOLOGI 3.1. Kerangka Pikir Penelitian III. METODOLOGI 3.1. Kerangka Pikir Penelitian Pembangunan yang telah dilaksanakan selama ini sebagian telah menimbulkan permasalahan yang berkaitan dengan tingkat kesejahteraan antar wilayah yang tidak

Lebih terperinci

[Laporan Akhir] 1.1 Latar Belakang

[Laporan Akhir] 1.1 Latar Belakang 1.1 Latar Belakang Wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia, secara historis sebagian besar wilayah daratannya memiliki karakteristik sebagai daerah pertanian. Daerah pertanian yang sering diidentikkan

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA Pengertian Pembangunan

TINJAUAN PUSTAKA Pengertian Pembangunan 8 TINJAUAN PUSTAKA Pengertian Pembangunan Istilah pembangunan dan pengembangan banyak digunakan dalam hal yang sama, yang dalam Bahasa Inggrisnya development. Namun berbagai kalangan cenderung untuk menggunakan

Lebih terperinci

VI. EVALUASI DAMPAK KEBIJAKAN ALOKASI PENGELUARAN PEMERINTAH DAERAH TERHADAP DEFORESTASI KAWASAN DAN DEGRADASI TNKS TAHUN

VI. EVALUASI DAMPAK KEBIJAKAN ALOKASI PENGELUARAN PEMERINTAH DAERAH TERHADAP DEFORESTASI KAWASAN DAN DEGRADASI TNKS TAHUN VI. EVALUASI DAMPAK KEBIJAKAN ALOKASI PENGELUARAN PEMERINTAH DAERAH TERHADAP DEFORESTASI KAWASAN DAN DEGRADASI TNKS TAHUN 1994-2003 6.1. Hasil Validasi Kebijakan Hasil evaluasi masing-masing indikator

Lebih terperinci

ANALISIS STRUKTUR PUSAT-PUSAT PELAYANAN DAN ALIRAN TATANIAGA KOMODITAS-KOMODITAS UNGGULAN DI KAWASAN AGROPOLITAN CIWIDEY. Oleh: RAHMI FAJARINI

ANALISIS STRUKTUR PUSAT-PUSAT PELAYANAN DAN ALIRAN TATANIAGA KOMODITAS-KOMODITAS UNGGULAN DI KAWASAN AGROPOLITAN CIWIDEY. Oleh: RAHMI FAJARINI ANALISIS STRUKTUR PUSAT-PUSAT PELAYANAN DAN ALIRAN TATANIAGA KOMODITAS-KOMODITAS UNGGULAN DI KAWASAN AGROPOLITAN CIWIDEY Oleh: RAHMI FAJARINI A24104068 DEPARTEMEN ILMU TANAH DAN SUMBERDAYA LAHAN FAKULTAS

Lebih terperinci

PERMUKIMAN UNTUK PENGEMBANGAN KUALITAS HIDUP SECARA BERKELANJUTAN. BAHAN SIDANG KABINET 13 Desember 2001

PERMUKIMAN UNTUK PENGEMBANGAN KUALITAS HIDUP SECARA BERKELANJUTAN. BAHAN SIDANG KABINET 13 Desember 2001 PERMUKIMAN UNTUK PENGEMBANGAN KUALITAS HIDUP SECARA BERKELANJUTAN BAHAN SIDANG KABINET 13 Desember 2001 PERMUKIMAN DAN PEMBANGUNAN BERKELANJUTAN Agenda 21 yang dicanangkan di Rio de Janeiro tahun 1992

Lebih terperinci

BAB V PEMBAHASAN 5.1 Kesiapan Kebijakan dalam Mendukung Terwujudnya Konsep Kawasan Strategis Cepat Tumbuh (KSCT)

BAB V PEMBAHASAN 5.1 Kesiapan Kebijakan dalam Mendukung Terwujudnya Konsep Kawasan Strategis Cepat Tumbuh (KSCT) BAB V PEMBAHASAN Pembahasan ini berisi penjelasan mengenai hasil analisis yang dilihat posisinya berdasarkan teori dan perencanaan yang ada. Penelitian ini dibahas berdasarkan perkembangan wilayah Kecamatan

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 29 TAHUN 2009 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 15 TAHUN 1997 TENTANG KETRANSMIGRASIAN

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 29 TAHUN 2009 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 15 TAHUN 1997 TENTANG KETRANSMIGRASIAN www.bpkp.go.id UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 29 TAHUN 2009 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 15 TAHUN 1997 TENTANG KETRANSMIGRASIAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA PEMIKIRAN PENELITIAN

II. TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA PEMIKIRAN PENELITIAN II. TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA PEMIKIRAN PENELITIAN 2.1. Konsep Wilayah dan Kawasan Wilayah adalah ruang yang merupakan kesatuan geografis beserta segenap unsur yang terkait kepadanya yang batas dan

Lebih terperinci

Tabel 6.1 Strategi dan Arah Kebijakan Kabupaten Sumenep

Tabel 6.1 Strategi dan Arah Kebijakan Kabupaten Sumenep Tabel 6.1 Strategi dan Kabupaten Sumenep 2016-2021 Visi : Sumenep Makin Sejahtera dengan Pemerintahan yang Mandiri, Agamis, Nasionalis, Transparan, Adil dan Profesional Tujuan Sasaran Strategi Misi I :

Lebih terperinci

2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pengertian Dasar Wilayah dan Kawasan Perdesaan

2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pengertian Dasar Wilayah dan Kawasan Perdesaan 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pengertian Dasar Wilayah dan Kawasan Perdesaan Menurut Undang-Undang Nomor 26 tahun 2007 tentang Penataan Ruang, pengertian wilayah adalah ruang yang merupakan kesatuan geografis

Lebih terperinci

agribisnis untuk mencapai kesejahteraan wilayah pedesaan (prospherity oriented) (Bappeda Kabupaten Lampung Barat, 2002). Lebih lanjut Bappeda

agribisnis untuk mencapai kesejahteraan wilayah pedesaan (prospherity oriented) (Bappeda Kabupaten Lampung Barat, 2002). Lebih lanjut Bappeda 16 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pada era otonomi daerah, pembangunan ekonomi menghadapi berbagai tantangan, baik dari dalam daerah maupun faktor eksternal, seperti masalah kesenjangan dan isu

Lebih terperinci

STRATEGI PENGEMBANGAN AGRIBISNIS CABAI MERAH DI KAWASAN AGROPOLITAN KABUPATEN MAGELANG

STRATEGI PENGEMBANGAN AGRIBISNIS CABAI MERAH DI KAWASAN AGROPOLITAN KABUPATEN MAGELANG STRATEGI PENGEMBANGAN AGRIBISNIS CABAI MERAH DI KAWASAN AGROPOLITAN KABUPATEN MAGELANG Tesis Untuk memenuhi sebagian persyaratan Mencapai derajat Sarjana S-2 pada Program Studi Agribisnis Budi Pamilih

Lebih terperinci

BAB III KONSEP WILAYAH

BAB III KONSEP WILAYAH BAB III KONSEP WILAYAH Dalam studi pengembangan wilayah, batasan wilayah menjadi sangat penting karena akan menjadi batas atau ruang lingkup bahasan dari studi tersebut. Pengembangan Wilayah atau regional

Lebih terperinci

Makalah Kunci. Peningkatan Kesetaraan Pembangunan Antara Kawasan Perdesaan dan Perkotaan Melalui Pembangunan Kota-Kota Sekunder.

Makalah Kunci. Peningkatan Kesetaraan Pembangunan Antara Kawasan Perdesaan dan Perkotaan Melalui Pembangunan Kota-Kota Sekunder. Makalah Kunci Peningkatan Kesetaraan Pembangunan Antara Kawasan Perdesaan dan Perkotaan Melalui Pembangunan Kota-Kota Sekunder Disampaikan oleh: Soenarno Menteri Permukiman dan Prasarana Wilayah Acara

Lebih terperinci

BAB IV LANDASAN PEMBERDAYAAN KOPERASI DAN UMKM

BAB IV LANDASAN PEMBERDAYAAN KOPERASI DAN UMKM BAB IV LANDASAN PEMBERDAYAAN KOPERASI DAN UMKM Pancasila dan Undang-undang Dasar Tahun 1945 merupakan landasan ideologi dan konstitusional pembangunan nasional termasuk pemberdayaan koperasi dan usaha

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. dunia menghadapi fenomena sebaran penduduk yang tidak merata. Hal ini

I. PENDAHULUAN. dunia menghadapi fenomena sebaran penduduk yang tidak merata. Hal ini 1 I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang 1.1.1. Fenomena Kesenjangan Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagai negara kepulauan terbesar di dunia menghadapi fenomena sebaran penduduk yang tidak merata. Hal

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 15 TAHUN 2010 TENTANG PENYELENGGARAAN PENATAAN RUANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 15 TAHUN 2010 TENTANG PENYELENGGARAAN PENATAAN RUANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 15 TAHUN 2010 TENTANG PENYELENGGARAAN PENATAAN RUANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : bahwa untuk melaksanakan ketentuan

Lebih terperinci

IDENTIFIKASI PUSAT PERTUMBUHAN DAN AKTIVITAS PELAYANAN

IDENTIFIKASI PUSAT PERTUMBUHAN DAN AKTIVITAS PELAYANAN IDENTIFIKASI PUSAT PERTUMBUHAN DAN AKTIVITAS PELAYANAN Analisis Hierarki Pusat Wilayah Pusat pelayanan mempunyai peranan penting dalam pengembangan wilayah, yaitu sebagai kerangka untuk memahami struktur

Lebih terperinci

RPJMD Kota Pekanbaru Tahun

RPJMD Kota Pekanbaru Tahun RPJMD Kota Pekanbaru Tahun 2012-2017 BAB V VISI, MISI, DAN V - 1 Revisi RPJMD Kota Pekanbaru Tahun 2012-2017 5.1. VISI Dalam rangka mewujudkan pembangunan jangka panjang sebagaimana tercantum di dalam

Lebih terperinci

Pengembangan Kawasan Transmigrasi dalam Rangka Meningkatkan Stadia Perkembangan Wilayah dan Interaksi dengan Wilayah Sekitarnya

Pengembangan Kawasan Transmigrasi dalam Rangka Meningkatkan Stadia Perkembangan Wilayah dan Interaksi dengan Wilayah Sekitarnya Pengembangan Kawasan Transmigrasi dalam Rangka Meningkatkan Stadia Perkembangan Wilayah dan Interaksi dengan Wilayah Sekitarnya Junaidi Bahan Diskusi Koordinasi Penilaian dan Penetapan Kawasan Transmigrasi

Lebih terperinci

II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pariwisata dan Potensi Obyek Wisata

II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pariwisata dan Potensi Obyek Wisata 9 II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pariwisata dan Potensi Obyek Wisata Menurut Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1990 tentang kepariwisataan, pariwisata adalah segala sesuatu yang berhubungan dengan wisata, termasuk

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Era reformasi saat ini telah banyak perubahan dalam berbagai bidang

BAB I PENDAHULUAN. Era reformasi saat ini telah banyak perubahan dalam berbagai bidang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Era reformasi saat ini telah banyak perubahan dalam berbagai bidang pembangunan dan pemerintahan. Perubahan dalam pemerintahan adalah mulai diberlakukannya

Lebih terperinci

10 REKOMENDASI KEBIJAKAN PENGEMBANGAN KAWASAN MINAPOLITAN DI KABUPATEN KUPANG

10 REKOMENDASI KEBIJAKAN PENGEMBANGAN KAWASAN MINAPOLITAN DI KABUPATEN KUPANG 10 REKOMENDASI KEBIJAKAN PENGEMBANGAN KAWASAN MINAPOLITAN DI KABUPATEN KUPANG 10.1 Kebijakan Umum Potensi perikanan dan kelautan di Kabupaten Kupang yang cukup besar dan belum tergali secara optimal, karenanya

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 15 TAHUN 2010 TENTANG PENYELENGGARAAN PENATAAN RUANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 15 TAHUN 2010 TENTANG PENYELENGGARAAN PENATAAN RUANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 15 TAHUN 2010 TENTANG PENYELENGGARAAN PENATAAN RUANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, www.bpkp.go.id Menimbang : bahwa untuk

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 29 TAHUN 2009 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 15 TAHUN 1997 TENTANG KETRANSMIGRASIAN

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 29 TAHUN 2009 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 15 TAHUN 1997 TENTANG KETRANSMIGRASIAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 29 TAHUN 2009 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 15 TAHUN 1997 TENTANG KETRANSMIGRASIAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang

Lebih terperinci

PEMERINTAH DAERAH PROVINSI JAWA TIMUR PERATURAN DAERAH PROVINSI JAWA TIMUR NOMOR 15 TAHUN 2012 TENTANG PENYELENGGARAAN KOORDINASI PENYULUHAN

PEMERINTAH DAERAH PROVINSI JAWA TIMUR PERATURAN DAERAH PROVINSI JAWA TIMUR NOMOR 15 TAHUN 2012 TENTANG PENYELENGGARAAN KOORDINASI PENYULUHAN - 1 - PEMERINTAH DAERAH PROVINSI JAWA TIMUR PERATURAN DAERAH PROVINSI JAWA TIMUR NOMOR 15 TAHUN 2012 TENTANG PENYELENGGARAAN KOORDINASI PENYULUHAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR JAWA TIMUR,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. arah perubahan struktural desa-kota diharapkan dapat berlangsung secara seimbang

BAB I PENDAHULUAN. arah perubahan struktural desa-kota diharapkan dapat berlangsung secara seimbang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Perkembangan dan pertumbuhan suatu daerah terkait dengan interaksi yang terjadi dengan daerah-daerah sekitarnya. Interaksi tersebut membentuk tatanan yang utuh dan

Lebih terperinci

AKTIVITAS EKONOMI HULU-HILIR DI PERBATASAN. ARIS SUBAGIYO Halama n

AKTIVITAS EKONOMI HULU-HILIR DI PERBATASAN. ARIS SUBAGIYO Halama n AKTIVITAS EKONOMI HULU-HILIR DI PERBATASAN ARIS SUBAGIYO Halama n 1 & PUSAT PERTUMBUHAN PELAYANAN Halama n Penentuan Pusat Pertumbuhan & Pusat Pelayanan 4 ciri pusat pertumbuhan : Adanya hubungan internal

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 29 TAHUN 2009 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 15 TAHUN 1997 TENTANG KETRANSMIGRASIAN

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 29 TAHUN 2009 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 15 TAHUN 1997 TENTANG KETRANSMIGRASIAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 29 TAHUN 2009 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 15 TAHUN 1997 TENTANG KETRANSMIGRASIAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Industrialisasi telah menjadi kekuatan utama (driving force) di balik

BAB I PENDAHULUAN. Industrialisasi telah menjadi kekuatan utama (driving force) di balik A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN Industrialisasi telah menjadi kekuatan utama (driving force) di balik urbanisasi yang cepat di kawasan Asia sejak dasawarsa 1980an. Berbeda dalam kasus industri berbasis

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 15 TAHUN 2010 TENTANG PENYELENGGARAAN PENATAAN RUANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 15 TAHUN 2010 TENTANG PENYELENGGARAAN PENATAAN RUANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 15 TAHUN 2010 TENTANG PENYELENGGARAAN PENATAAN RUANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : bahwa untuk melaksanakan ketentuan

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA Wilayah dan Hirarki Wilayah

II. TINJAUAN PUSTAKA Wilayah dan Hirarki Wilayah II. TINJAUAN PUSTAKA 2. 1 Wilayah dan Hirarki Wilayah Secara yuridis, dalam Undang-Undang No. 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang, pengertian wilayah adalah ruang yang merupakan kesatuan geografis beserta

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. jumlah penduduk yang hidup dan tinggal di daerah kota tersebut. Penduduk yang

BAB I PENDAHULUAN. jumlah penduduk yang hidup dan tinggal di daerah kota tersebut. Penduduk yang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pertumbuhan dan perkembangan sebuah kota sangat erat kaitannya dengan jumlah penduduk yang hidup dan tinggal di daerah kota tersebut. Penduduk yang banyak dan berkualitas

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Konsep Wilayah dan Wilayah Perdesaan

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Konsep Wilayah dan Wilayah Perdesaan II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Konsep Wilayah dan Wilayah Perdesaan Wilayah menurut UU No. 24 tahun 1992 yang diperbaharui menjadi UU No 26 tahun 2007 adalah ruang yang merupakan kesatuan geografis beserta

Lebih terperinci

Perubahan Regional (Urbanisasi dalam Perencanaan Wilayah)

Perubahan Regional (Urbanisasi dalam Perencanaan Wilayah) Perubahan Regional (Urbanisasi dalam Perencanaan Wilayah) Permalahan : Persebaran (distribusi) dan kesenjangan (disparitas) penduduk yang terlalu besar antara desa dengan kota dapat menimbulkan berbagai

Lebih terperinci

BAB IV STRATEGI PEMBANGUNAN DAERAH

BAB IV STRATEGI PEMBANGUNAN DAERAH BAB IV STRATEGI PEMBANGUNAN DAERAH Strategi pembangun daerah adalah kebijakan dalam mengimplementasikan program kepala daerah, sebagai payung pada perumusan program dan kegiatan pembangunan di dalam mewujdkan

Lebih terperinci

SEMINAR NASIONAL Dinamika Pembangunan Pertanian dan Pedesaan: Mencari Alternatif Arah Pengembangan Ekonomi Rakyat.

SEMINAR NASIONAL Dinamika Pembangunan Pertanian dan Pedesaan: Mencari Alternatif Arah Pengembangan Ekonomi Rakyat. SEMINAR NASIONAL Dinamika Pembangunan Pertanian dan Pedesaan: Mencari Alternatif Arah Pengembangan Ekonomi Rakyat Rumusan Sementara A. Pendahuluan 1. Dinamika impelementasi konsep pembangunan, belakangan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. daerah, masalah pertumbuhan ekonomi masih menjadi perhatian yang penting. Hal ini

I. PENDAHULUAN. daerah, masalah pertumbuhan ekonomi masih menjadi perhatian yang penting. Hal ini I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Dalam menilai keberhasilan pembangunan dan upaya memperkuat daya saing ekonomi daerah, masalah pertumbuhan ekonomi masih menjadi perhatian yang penting. Hal ini dikarenakan

Lebih terperinci

BAB IV VISI DAN MISI DAERAH

BAB IV VISI DAN MISI DAERAH BAB IV VISI DAN MISI DAERAH Rencana Pembangunan Jangka Panjang Daerah (RPJPD) Kabupaten Lebak 2005-2025 disusun dalam rangka mewujudkan visi dan misi pembangunan daerah yang diharapkan dapat dicapai pada

Lebih terperinci

BAB V VISI, MISI, TUJUAN DAN SASARAN

BAB V VISI, MISI, TUJUAN DAN SASARAN BAB V VISI, MISI, TUJUAN DAN SASARAN V.1. Visi Menuju Surabaya Lebih Baik merupakan kata yang memiliki makna strategis dan cerminan aspirasi masyarakat yang ingin perubahan sesuai dengan kebutuhan, keinginan,

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 63 TAHUN 2013 TENTANG PELAKSANAAN UPAYA PENANGANAN FAKIR MISKIN MELALUI PENDEKATAN WILAYAH

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 63 TAHUN 2013 TENTANG PELAKSANAAN UPAYA PENANGANAN FAKIR MISKIN MELALUI PENDEKATAN WILAYAH PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 63 TAHUN 2013 TENTANG PELAKSANAAN UPAYA PENANGANAN FAKIR MISKIN MELALUI PENDEKATAN WILAYAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang:

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA PEMIKIRAN

BAB II TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA PEMIKIRAN 8 BAB II TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA PEMIKIRAN 2.1 Tinjauan Pustaka 2.1.1 Wilayah dan Pembangunan wilayah Budiharsono (2001) menyebutkan bahwa ruang atau kawasan sangat penting dalam pembangunan wilayah.

Lebih terperinci

BAB II KEBIJAKAN DAN STRATEGI

BAB II KEBIJAKAN DAN STRATEGI BAB II KEBIJAKAN DAN STRATEGI Jawa Barat Bagian Utara memiliki banyak potensi baik dari aspek spasial maupun non-spasialnya. Beberapa potensi wilayah Jawa Barat bagian utara yang berhasil diidentifikasi

Lebih terperinci

BAB V VISI, MISI, TUJUAN DAN SASARAN

BAB V VISI, MISI, TUJUAN DAN SASARAN BAB V VISI, MISI, TUJUAN DAN SASARAN 5.1 Visi Visi didefinisikan sebagai suatu kondisi ideal masa depan yang ingin dicapai dalam suatu periode perencanaan berdasarkan pada situasi dan kondisi saat ini.

Lebih terperinci

REFORMA AGRARIA SEBAGAI BAGIAN INTEGRAL DARI REVITALISASI PERTANIAN DAN PEMBANGUNAN EKONOMI PEDESAAN

REFORMA AGRARIA SEBAGAI BAGIAN INTEGRAL DARI REVITALISASI PERTANIAN DAN PEMBANGUNAN EKONOMI PEDESAAN REFORMA AGRARIA SEBAGAI BAGIAN INTEGRAL DARI REVITALISASI PERTANIAN DAN PEMBANGUNAN EKONOMI PEDESAAN Krisis ekonomi yang sampai saat ini dampaknya masih terasa sebenarnya mengandung hikmah yang harus sangat

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) Tahun

I. PENDAHULUAN. Dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) Tahun I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) Tahun 2004-2009 di Sektor Industri Manufaktur, Pemerintah Pusat memprioritaskan pengembangan agroindustri. Prioritas

Lebih terperinci

PENDAHULUAN Latar Belakang Perumusan Masalah

PENDAHULUAN Latar Belakang Perumusan Masalah PENDAHULUAN Latar Belakang Pembangunan wilayah, secara spasial tidak selalu merata. Kesenjangan pembangunan antar wilayah seringkali menjadi permasalahan serius. Beberapa daerah mengalami pertumbuhan cepat,

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 63 TAHUN 2013 TENTANG PELAKSANAAN UPAYA PENANGANAN FAKIR MISKIN MELALUI PENDEKATAN WILAYAH

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 63 TAHUN 2013 TENTANG PELAKSANAAN UPAYA PENANGANAN FAKIR MISKIN MELALUI PENDEKATAN WILAYAH PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 63 TAHUN 2013 TENTANG PELAKSANAAN UPAYA PENANGANAN FAKIR MISKIN MELALUI PENDEKATAN WILAYAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang

Lebih terperinci