BAB VI PENUTUP. Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji perkembangan kota kecil di Joglosemar

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "BAB VI PENUTUP. Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji perkembangan kota kecil di Joglosemar"

Transkripsi

1 BAB VI PENUTUP 6.1 Kesimpulan Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji perkembangan kota kecil di Joglosemar dalam konteks sistem perkotaan wilayah Jawa Tengah dan DIY. Ada empat pertanyaan yang ingin dijawab melalui penelitian ini. Dari analisis dan pendalaman yang dilakukan, dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut. Pertanyaan pertama penelitian ini adalah bagaimana perkembangan kota-kota kecil di koridor Joglosemar dalam konstelasi perkembangan perkotaan wilayah Jawa Tengah dan DIY. Terhadap pertanyaan tersebut ada beberapa kesimpulan, yaitu: 1. Perkembangan kota-kota kecil di Joglosemar terjadi dalam kondisi perekonomian wilayah yang cenderung moderat, dengan rata-rata pertumbuhan 4,8% per tahun dan pendapatan per kapita Rp 13,4 juta per tahun. Kota-kota kecil berkembang dalam konstelasi perkembangan perekonomian wilayah yang maju di ketiga pusat pertumbuhannya sedangkan perkembangan perekonomian wilayah di sepanjang koridornya merupakan percampuran antara wilayah berkembang, mundur dan tertinggal. 2. Perkembangan kota-kota kecil di Joglosemar terjadi dalam proses integrasi perkotaan di sepanjang koridor wilayah. Kota-kota kecil berkembang dalam konteks perubahan karakteristik populasi wilayah yang semakin mengkota yang ditandai dengan meningkatknya proporsi penduduk perkotaan di wilayah koridor. 159

2 Perkembangan kota kecil di Joglosemar berada dalam sistem perkotaan wilayah yang cenderung seimbang. Perkembangan kota kecil di Joglosemar memberikan kontribusi bagi meningkatnya kondisi distribusi perkotaan yang seimbang tersebut. Pertanyaan kedua penelitian ini adalah bagaimana faktor perkembangan awal yang menyangkut faktor lokasi dan faktor keterkaitan berperan dalam perkembangan kota-kota kecil yang menjadi kasus. Ada beberapa kesimpulan berkaitan dengan pertanyaan penelitian ini, yaitu: 1. Faktor kedekatan dengan kota besar yang berkedudukan lebih tinggi dalam struktur perkotaan wilayah menjadi faktor awal perkembangan kota kecil di koridor Joglosemar. Keempat kota berada pada jarak 10 km dari kota besar terdekatnya. 2. Faktor awal kedua yang menentukan perkembangan awal kota kecil adalah perkembangan jaringan transportasi, khususnya jaringan kereta api. Faktor awal ini memberikan pengaruh terhadap perkembangan kota kecil pada tahap perkembangan berikutnya. Pertanyaan ketiga penelitian adalah bagaimana faktor perkembangan saat ini yang menyangkut aspek perubahan populasi, struktur perekonomian dan kawasan terbangun berperan dalam perkembangan kota-kota kecil yang menjadi kasus. Terhadap pertanyaan penelitian, hasil kajian mengarah kepada beberapa kesimpulan sebagai berikut ini: 1. Perkembangan penduduk perkotaan mengalami pertumbuhan mulai 1980 sampai dengan Pada periode terdapat kecenderungan perkembangan yang melambat. Ini memberikan konfirmasi terhadap diskusi dalam berbagai literatur bahwa perkembangan kota kecil cenderung mengalami stagnasi. Dari keempat kota hanya Ampel yang tumbuh tinggi, dengan pertumbuhan lebih dari 2% per tahun.

3 Struktur perekonomian kota kecil ditandai dengan dominasi sektor tersier. Hal ini mengindikasikan bahwa kota-kota kecil cenderung berkembang sebagai pusat pelayanan (service center). Agak berbeda dengan ketiga kota lain, Ampel cenderung berkembang sebagai pusat industri pengolahan. Ampel menyumbang 9% dari keseluruhan industri di Boyolali. 3. Perkembangan kawasan terbangun pada kota kecil meningkat dengan pertumbuhan yang rendah. Perluasan kota berjalan secara lambat. Pada kasus Ampel, perkembangan yang cenderung lebih tinggi dibandingkan dengan tiga kota lainnya karena perkembangan industri di bagian wilayah kotanya. Pertanyaan keempat penelitian ini adalah bagaimana fungsi kota-kota kecil yang menjadi kasus dalam proses perkembangannya memberikan kontribusi bagi perkembangan kota dan wilayah. Beberapa kesimpulan bisa ditarik dari hasil penelitian ini, yaitu: 1. Pada fungsi pembangunan (development function), kota-kota kecil berkembang dengan beberapa fungsi yang berbeda. Secara umum kota-kota kecil berkembang dengan fungsi sebagai pusat pelayanan sosial, pusat perdagangan dan pusat pemerintahan dan pelayanan umum. Ampel mulai berkembang sebagai pusat industri pengolahan. 2. Perkembangan fungsi-fungsi pembangunan tersebut didorong oleh diversifikasi kegiatan perekonomian. Kota kecil mempunyai sektor basis yang beragam di mana keberagaman ini menjadi potensi bagi keberlangsungan perkembangan kota kecil di masa yang akan datang.

4 Fungsi keterkaitan kota-kota kecil berkembang karena adanya fasilitas transportasi yang berkembang telah lama. Faktor perkembangan awal masih menjadi penciri fungsi keterkaitan pada kota kecil. 4. Terdapat kecenderungan menurunnya peran fasilitas dan moda transportasi umum dalam perkembangan kota kecil yang ditandai dengan berkurangnya volume penggunaan fasilitas transportasi ini. 5. Fungsi-fungsi yang melekat pada kota kecil belum terakomodasi secara baik dalam dokumen perencanaan wilayah, khususnya dalam rencana tata ruang wilayah. Arahan pengembangan fungsi kota kecil masih bersifat umum. 6.2 Rekomendasi Rekomendasi untuk Pengembangan Keilmuan Perkembangan kota kecil bisa terjadi karena beberapa faktor. Sebagaimana dinyatakan oleh Rondinelli (1983a) faktor penentu awal yang membuat sebuah kota kecil berkembang atau tidak. Faktor penentu awal ini bisa merupakan kombinasi dari berbagai macam hal, seperti kedudukan dalam sistem ruang lebih luas, basis ekonomi awal wilayah sekitar kota tersebut, dan pengaruh sistem keterkaitan. Kombinasi di antara berbagai faktor ini bisa bersifat kuat atau lemah tergantung dari jenis keterkaitan yang terjadi di antara berbagai faktor tersebut. Ada kasus di mana faktor awal tersebut kuat karena kota tertentu menjadi basis ekonomi ekstraktif seperti pertambangan, namun dalam perkembangannya ketika terjadi penurunan nilai ekonomis dari kegiatan tersebut perkembangan kotanya juga mengalami penurunan, bahkan pada akhirnya menyebabkan hilangnya kota-kota tersebut dalam sistem keruangan wilayah. Dengan demikian, kedudukan dan potensi ekonomi pada awal perkembangan bukan menjadi satu-satunya penentu perkembangan kota-kota kecil.

5 163 Hinderink dan Titus (2002) memberikan argumentasi bahwa faktor-faktor yang bersifat lokal sangat berpengaruh terhadap perkembangan kota kecil. Untuk kota-kota di Asia Tenggara umumnya dan Indonesia khususnya, keberadaan lahan pertanian subur yang berada di wilayah belakang kota kecil menjadi faktor penting. Kekayaan sumberdaya alam di wilayah perdesaan menyebabkan terjadinya surplus produksi pertanian. Surplus ini sejalan dengan meningkatnya permintaan terhadap produk pertanian pada kawasan perkotaan besar. Surplus produksi dan permintaan yang meningkat ini mendorong terjadinya transaksi ekonomi, dan transaksi ekonomi ini memberikan keuntungan bagi kota-kota kecil yang berada di antaranya untuk berkembang. Dengan demikian, hubungan desa-kota dalam kontinum produksi-konsumsi ini menyediakan sebuah konteks yang tepat bagi kota kecil untuk berkembang (lihat juga Douglass, 1998). Sejalan dengan pandangan-pandangan tersebut, perkembangan kota-kota kecil akan berbeda antara satu tempat dengan tempat lainnya tergantung bagaimana pola hubungan antara kota kecil tersebut dengan kota yang lebih besar dan wilayah belakangnya yang bercirikan pedesaan. Menurut argumentasi Rondinelli (1983a) pola hubungan dalam perjalanan waktu akan menciptakan keunggulan berbanding (comparative advantage), efek pengganda (mutiplier effect), dan ekonomi skala (economic of scale). Kombinasi ketiga hal ini menjadi faktor perkembangan baru yang mengkonsolidasikan perkembangan kota kecil ke tahap berikutnya, yang ditandai dengan perubahan ukuran kota. Dengan kata lain, perkembangan ini akan secara evolutif mengubah kedudukan kota-kota kecil menjadi kota dengan orde yang lebih tinggi dalam sistem kewilayahan.

6 164 Dalam penelitiannya yang dilakukan di berbagai tempat di negara-negara sedang berkembang, Hinderink dan Titus (2002) sampai pada temuan penting bahwa kota-kota kecil di negara berkembang berperan secara biasa saja (modest role) dalam pengembangan pertanian wilayah belakang. Seringkali pengembangan pertanian di wilayah belakang dilakukan melalui program-program sektoral yang bersifat mikro yang langsung berhubungan dengan petani. Kondisi ini sedikit banyak memotong peran kota kecil sebagai awal dari kemajuan bagi perkembangan wilayah belakangnya. Pada akhirnya, kota-kota kecil ini tetap pada fungsi awalnya yakni sebagai tempat penyedia jasa layanan dan pusat perdagangan bagi wilayah belakang. Dengan kecenderungan yang seperti ini, menurut Hinderink dan Titus (2002), kota kecil mempunyai peran yang tidak penting dalam pengembangan wilayah. Argumentasi ini sejalan dengan pendapat Douglass (1998) bahwa hubungan kota-desa pada proses perkembangan wilayah di negara berkembang sering mengalami kondisi yang terputus (truncated linkage). Terganggunya pola keterkaitan ini bisa membawa implikasi pada dua hal. Pertama, kesenjangan makin besar antara wilayah pedesaan dengan kawasan perkotaan besar. Kedua, pola keterkaitan ini bisa menyebabkan terjadinya stagnasi perkembangan kota kecil. Kondisi stagnasi perkembangan ini pernah dibahas oleh Hinderink dan Titus (2002) serta Firman (2016b). Stagnasi ini bisa terjadi karena beberapa hal. Hinderink dan Titus (2002) menyatakan bahwa kota-kota kecil mempunyai karakter bergantung (dependent). Ketergantungan ini terutama berhubungan dengan keberadaan surplus produksi pada wilayah perdesaan di belakangnya. Jika terjadi surplus pada sistem pertanian perdesaan, maka fungsi kota kecil sebagai perantara dan pusat layanan akan berkembang, demikian sebaliknya. Selain itu, kondisi struktur perekonomian lokal pada

7 165 wilayah yang melingkupi kota kecil ini memberikan pengaruh terhadap kondisi stagnasi tersebut atau tidak. Hasil penelitian sebagaimana dibahas dalam bagian sebelumnya telah mengemukakan mengenai perkembangan kota-kota kecil di koridor Joglosemar. Dari pembahasan tersebut dapat diketahui ada tiga tipe perkembangan kota kecil yang terjadi, yaitu: 1. Kota kecil yang mengalami perkembangan secara menyeluruh. Semua indikator perkembangan kota mengalami perubahan secara positif. Perkembangan jenis ini bisa disebut sebagai promosi. Ampel termasuk dalam kategori ini. 2. Kota kecil yang mengalami perkembangan secara parsial. Pada kasus seperti ini, perkembangan hanya terjadi pada sebagian indikator perkembangan kota. Muntilan termasuk dalam kelompok ini. 3. Kota kecil yang cenderung mengalami stagnasi. Kondisi ini menggambarkan ada perkembangan yang tidak signifikan karena berada di bawah nilai rata-rata wilayah. Dua kota, yaitu Ambarawa dan Delanggu tergolong dalam kelompok ini. Pemahaman terhadap aspek teoritis serta mengkaitkannya dengan hasil penelitian dapat membawa implikasi adanya pengetahuan yang menjadi kebaruan (novelty) dari penelitian ini. Dari refleksi teoritik terhadap hasil penelitian dan mendiskusikannya dengan telaah pustaka yang berasal dari hasil penelitian lain, maka penelitian ini mengusulkan sebuah model yang dinamai Model Perkembangan Kota Kecil. Model ini adalah model deskriptif tentang proses perkembangan kota kecil. Model ini dapat berlaku umum, tetapi karena model berasal dari refleksi hasil penelitian yang dilakukan pada kasus Indonesia yang sedang berkembang, model ini seharusnya dipahami dalam konteks Indonesia dan negara sedang berkembang.

8 166 Di dalam Model Perkembangan Kota Kecil ini terdapat beberapa komponen penting yang menjadi faktor perkembangan kota. Komponen tersebut adalah: 1. Sistem keruangan wilayah makro. Yang dimaksud dengan sistem keruangan wilayah makro ini adalah konfigurasi ruang wilayah di mana di dalamnya terdapat dua komponen utama yakni kawasan perdesaan dan kawasan perkotaan atau kota. Perdesaan adalah wilayah produksi pertanian, sementara kota adalah pusat permukiman dan pusat kegiatan ekonomi. Kota-kota dalam sistem keruangan wilayah makro ini membentuk tata jenjang (orde) di mana kota-kota berbeda dalam ukuran (urban size) terorganisasi dalam sebuah kontinum. Ukuran bisa berhubungan dengan jumlah penduduk, luas wilayah, perekonomian ataupun kombinasi dari beberapa faktor. Selain ukuran di dalam konfigurasi sistem keruangan wilayah makro terdapat elemen jarak. Jarak yang dimaksudkan dalam hal ini adalah jarak dari kawasan perdesaan yang berada di wilayah belakang (hinterland) kota kecil tertentu ke kotakota yang berada pada hirarki di atasnya. Jarak dalam hal ini bisa dalam bentuk jarak fisik maupun jarak nonfisik, yang pada era sekarang bisa ditandai dengan kecepatan akses terhadap informasi dan sumber pengetahuan. Pertimbangan jarak dalam pengertian akses ini penting pada era di mana dengan perkembangan teknologi komunikasi dan informasi, jarak fisik mulai berkurang signifikansinya dalam banyak urusan mobilitas sumberdaya. 2. Komponen ruang wilayah. Di dalam sistem keruangan wilayah makro tersebut terdapat tiga elemen penting. Pertama adalah kota besar, yaitu kota-kota yang di dalam tata jenjang sistem perkotaan wilayah berada pada urutan lebih tinggi dibandingkan dengan kota-kota kecil. Kedua adalah kota kecil yakni pusat permukiman yang kedudukannya dalam sistem perkotaan berada pada orde yang

9 167 rendah (lower order center). Ketiga adalah kawasan perdesaan yang beberapa di antara mempunyai pusat perdesaan yang menjadi titik akhir dalam kontinum perkotaan. Kota-kota kecil dalam sistem keruangan ini mempunyai fungsi perantara (intermediary function) yang menjembatani kota besar dan kawasan perdesaan. Gambar 6.1 berikut ini menjelaskan gambaran sistem keruangan wilayah makro dalam Model Perkembangan Kota Kecil ini. Gambar 6.1 Kerangka Dasar Sistem Keruangan Wilayah Makro Berdasarkan kerangka dasar sistem keruangan makro tersebut, kota-kota kecil dapat berkembang ataupun tidak berkembang. Berkembang dan tidaknya kota kecil sangat tergantung pada beberapa kondisi yang terjadi pada wilayah makro yang menjadi konteks perkembangan kota kecil itu. Ada tiga kemungkinan perkembangan yang bisa terjadi, yaitu: 1. Stagnasi, yakni kondisi di mana dengan berjalannya waktu kota kecil mengalami perkembangan yang tetap atau tidak mengalami perkembangan tetapi tidak

10 168 mengalami kemunduran. Dengan kata lain, perkembangan kota kecil tersebut tidak signifikan. 2. Promosi, yakni kondisi di mana dengan berjalannya waktu kota kecil mengalami perubahan ukuran sehingga kedudukan dalam sistem keruangan wilayah bergeser. 3. Degradasi, yakni kondisi di mana kota kecil mengalami kemunduran sehingga tidak lagi bisa mengemban fungsi sebagai pusat pelayanan wilayah belakang. Ketiga kemungkinan tersebut dapat tergambarkan dalam Model Perkembangan Kota Kecil (Gambar 6.2). Pertama, kemungkinan di mana kota kecil mengalami stagnasi perkembangan. Stagnasi perkembangan ini terjadi jika surplus yang terjadi pada wilayah belakang seimbang dengan perkembangan permintaan pada kawasan perkotaan dengan orde yang lebih tinggi. Dalam kondisi yang demikian, kota kecil tidak mengalami perubahan peran dalam perkembangan wilayah. Peran kota kecil dalam Gambar 6.2 diagram (a) tersebut cenderung tetap, meskipun secara nyata ada perkembangan baik pada kotanya itu sendiri, kawasan perdesaan di wilayah belakangnya, maupun kota pada orde yang lebih tinggi. Kedua, kota kecil bisa juga mengalami promosi dalam peran dan fungsi bagi perkembangan wilayah. Kondisi ini bisa terjadi karena alasan alamiah maupun karena adanya intervensi kebijakan pengembangan wilayah. Perkembangan secara alamiah bisa terjadi karena surplus pada wilayah belakang mendorong munculnya peluang ekonomi baru pada kota kecil. Peluang ekonomi baru akan menciptakan keuntungan aglomerasi sehingga kota kecil akan berubah secara ukuran dan fungsi. Selain perkembangan secara alamiah, perubahan peran kota kecil ini dalam makro wilayah ini bisa terjadi karena intervensi pembangunan, baik yang dilakukan oleh pemerintah maupun swasta. Intervensi ini bisa dalam bentuk upaya pembangunan infrastruktur skala besar,

11 169 pengembangan ekonomi wilayah maupun dalam bentuk investasi swasta melalui relokasi industri, pengembangan obyek wisata, serta pengembangan kawasan permukiman skala besar. Model seperti ini tertera dalam diagram (b) pada Gambar 6.2. Pada saat kota kecil mengalami promosi, satu atau beberapa kawasan perdesaan bisa mengalami kenaikan peran dalam sistem perwilayahan. Ketiga, sama dengan kondisi kedua, pada kondisi perkembangan ini kota kecil mengalami perkembangan karena faktor tarikan dan kedekatan dengan kota dengan orde lebih tinggi. Sebagaimana tercantum dalam Gambar 6.2 diagram (c), perkembangan kota kecil yang berpola seperti ini akan cenderung menciptakan kesenjangan yang semakin besar dengan kawasan perdesaan di wilayah belakangnya. Keempat, ada kemungkinan kota kecil mengalami penurunan peran (lihat diagram (d) pada Gambar 6.2). Bila stagnasi yang terjadi pada perkembangan kota kecil tidak memperoleh respon kebijakan yang tepat melalui strategi pembangunan wilayah, maka akan terjadi pergeseran peran. Pergeseran peran ini bisa diikuti dengan perubahan ukuran bisa juga tidak. Meskipun belum terdapat bukti empirik yang meyakinkan dalam sejarah perkembangan kota di Indonesia ada sebuah kota yang ditinggalkan (abandoned), kemungkinan munculnya kejadian tersebut tetap terbuka, meskipun sangat kecil. Dalam hal ini, keterikatan penduduk dengan kotanya dalam sejarah perkembangan kota di Indonesia mendorong munculnya sense of place dan kultur primordial yang kuat. Keterikatan ini pada akhirnya memberikan keuntungan bagi perkembangan kota, karena migrasi penduduk keluar kota diimbangi dengan migrasi masuk sumberdaya modal melalui remitansi, baik yang menerus dan periodik maupun yang musiman. Berdasarkan pembahasan pada bagian sebelumnya, maka sesuai dengan model tersebut, kota-kota kecil di koridor Joglosemar memenuhi 3 kondisi, yakni:

12 Delanggu dan Ambarawa mengalami kondisi yang sesuai dengan Model A; 2. Ampel mengalami kondisi yang sesuai dengan Model B; dan 3. Muntilan mengalami kondisi yang sesuai dengan Model C. Gambar 6.2 Model Perkembangan Kota Kecil

13 Rekomendasi untuk Kebijakan Pengelolaan Kota Penelitian perkembangan kota kecil ini dapat memberikan implikasi kebijakan pengelolaan kota. Terdapat dua aspek mendasar yang berhubungan dengan perkembangan kota kecil dan cara-cara pengelolaannya. Pertama, perkembangan kota kecil belum terakomodasi secara baik dalam perencanaan. Hal ini terjadi karena terjadi ketidaksinkronan secara substantif antara perencanaan pada skala wilayah dengan perencanaan pada skala kota. Kedua, pengelolaan kota dilakukan dalam kendali pemerintahan yang jauh, karena pemerintah kecamatan hampir tidak mempunyai peran yang berarti dalam proses pengambilan keputusan. Untuk memperbaiki kondisi ini, ada beberapa hal yang bisa dilakukan dalam proses perumusan kebijakan pembangunan kota kecil di masa yang akan datang sebagaimana tertuang dalam Tabel 6.1. Tabel 6.1 Rekomendasi untuk Kebijakan Pengelolaan Kota Kecil No Aspek Kondisi Saat Ini Rekomendasi 1 Proses perencanaan 2 Substansi perencanaan Perencanaan dilakukan dengan pendekatan sinoptik yang teknokratik Fokus pada aspek perencanaan fisik/tata ruang Perlu peningkatan partisipasi masyarakat dalam proses perencanaan. Forum musrenbang bisa diperkuat dengan bahasan rencana tta ruang Perlu rencana pengembangan ekonomi lokal (kecamatan/ perkotaan) 3 Peran pemerintah kecamatan Terbatas pada aspek administatif pemerintahan/kependudukan UU 23/2014 membuka peluang kecamatan diberikan kewenangan tambahan sesuai kebutuhan. 4 Peran pemerintah desa Mempunyai otonomi dan sumberdaya pembiayaan sebagai implikasi UU Desa Perlu integrasi potensi keuangan desa dalam sistem pembiayaan pembangunan kota kecil. 5 Peran masyarakat dan dunia usaha Sangat terbatas, bahkan nyaris tidak ada dalam proses perencanaan Perlu diberikan wadah dan mekanisme keterlibatan untuk mengakomodasi nilai-nilai lokal dalam perencanaan dan pengelolaan kota.

14 Implikasi Penelitian Sebagaimana telah didiskusikan pada bagian kajian pustaka, kecenderungan bias kota besar dalam studi perkotaan dan perencanaan wilayah dan kota masih mewarnai dan dominan dalam pada tataran teoritik. Pada konteks Indonesia, pengembangan pengetahuan teoritik yang menyangkut perkembangan kota dan cara-cara penanganannya juga belum menunjukkan kemajuan yang berarti. Studi mengenai pola dan kecenderungan urbanisasi memang telah banyak dilakukan dalam perspektif disiplin ilmu yang beragam juga. Studi yang secara spesifik membahas mengenai kota-kota Indonesia baik dari sudut pandang mikro, meso maupun makro belum banyak dilakukan. Konsepsi teoritik McGee (1991) mengenai desakota telah memberikan kontribusi penting bagi pengembangan pengetahuan yang berhubungan dengan urbanisasi di negara berkembang. Tesis Ford (1993) tentang struktur kota di Indonesia belum banyak menarik kajian lanjutan mengingat begitu beragamnya variasi kota-kota di Indonesia. Hasil karya klasik Rutz (1987) yang memotret perkembangan kota-kota di Indonesia pada periode 1980an belum diikuti dengan kajian yang sama dalam konteks yang lebih terkini, meskipun komposisi dan struktur sistem perkotaan Indonesia mengalami perubahan yang cukup signifikan pada dasawarsa 1990 hingga Lebih daripada itu, hal yang paling kurang mendapatkan perhatian adalah mengkaitkan tesis, konsep, model atau teori tentang perkotaan tersebut dalam konteks kota kecil. Sebagaimana kurangnya perhatian terhadap kota kecil dalam studi perkotaan secara umum, hal yang sama juga berlangsung di Indonesia. Dengan latar belakang yang demikian itu, penelitian ini dan penelitian-penelitian yang sejenis yang berhubungan dengan kota-kota kecil akan memberikan kontribusi yang cukup berarti dalam pengembangan pengetahuan teoritik mengenai perkembangan kota

15 173 kecil, baik secara internal maupun dalam perspektif kewilayahan. Selain memberikan sumbangan secara substantif untuk mengisi celah pengetahuan yang ada, penelitian dengan tema kota-kota kecil juga akan membuka cakrawala baru tentang minimnya sumber informasi penting yang berkaitan dengan perkembangan kota di Indonesia. Penelitian-penelitian tentang kota kecil tersebut selain dapat memberikan sumbangan penting pada tataran ontologis, juga membuka peluang munculnya metode pendekatan baru dalam penelitian perkotaan, baik jika dilakukan dalam ranah disiplin geografi perkotaan maupun perencanaan kota. Jadi, selain ada manfaat secara ontologis, penelitian mengenai kota kecil juga mendorong pengayaan pengetahuan secara epistemologis. Penguatan pada kedua hal tersebut tentunya akan membawa manfaat yang besar bagi pengembangan kebijakan pengelolaan kota, tidak saja di Indonesia, tetapi bisa juga untuk negara lain khususnya negara berkembang. Untuk itu, ada beberapa penelitian lanjutan yang direkomendasikan, di antaranya: 1. Penelitian tentang dinamika perubahan struktur dan bentuk ruang kota kecil; yang bisa dilihat dari bermacam variasi geografis yang ada di Indonesia (Jawa-Luar Jawa, pesisir-pedalaman, dan sebagainya). 2. Penelitian tentang nilai-nilai lokal yang menjadi penentu perkembangan kota kecil; dengan berbagai macam variasinya sesuai konteks sosio-kultural yang berlaku. 3. Penelitian tentang model/pendekatan pengelolaan kota kecil, untuk berbagai ukuran kota. Penelitian-penelitian yang diusulkan tersebut bisa dilakukan dalam kerangka disiplin geografi perkotaan maupun multidisiplin bahkan transdisiplin. Dalam konteks keindonesiaan, penelitian dengan pendekatan tersebut dan dengan fokus pada kota-kota kecil akan sangat memperkaya kazanah keilmuan dalam beragam disiplin itu.

BAB V PENUTUP 5.1 Kesimpulan

BAB V PENUTUP 5.1 Kesimpulan BAB V PENUTUP 5.1 Kesimpulan Dengan melihat karakteristik Kabupaten Garut bagian selatan dapat dilihat bagaimana sifat ketertinggalan memang melekat pada wilayah ini. Wilayah Garut bagian selatan sesuai

Lebih terperinci

BAB VI KESIMPULAN DAN REKOMENDASI. A. Kesimpulan

BAB VI KESIMPULAN DAN REKOMENDASI. A. Kesimpulan BAB VI KESIMPULAN DAN REKOMENDASI A. Kesimpulan Dari berbagai uraian dan hasil analisis serta pembahasan yang terkait dengan imlementasi kebijakan sistem kotakota dalam pengembangan wilayah di Kabupaten

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Negara Kesatuan Republik Indonesia merupakan negara kepulauan. terbesar di dunia yang mempunyai lebih kurang pulau.

I. PENDAHULUAN. Negara Kesatuan Republik Indonesia merupakan negara kepulauan. terbesar di dunia yang mempunyai lebih kurang pulau. I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Negara Kesatuan Republik Indonesia merupakan negara kepulauan terbesar di dunia yang mempunyai lebih kurang 18.110 pulau. Sebaran sumberdaya manusia yang tidak merata

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Sebagai bagian dari disiplin ilmu geografi, geografi perkotaan berhubungan

BAB I PENDAHULUAN. Sebagai bagian dari disiplin ilmu geografi, geografi perkotaan berhubungan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sebagai bagian dari disiplin ilmu geografi, geografi perkotaan berhubungan penjelasan distrbusi perkotaan serta kesamaan dan perbedaan aspek sosial-spasial (sociospatial)

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. arah perubahan struktural desa-kota diharapkan dapat berlangsung secara seimbang

BAB I PENDAHULUAN. arah perubahan struktural desa-kota diharapkan dapat berlangsung secara seimbang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Perkembangan dan pertumbuhan suatu daerah terkait dengan interaksi yang terjadi dengan daerah-daerah sekitarnya. Interaksi tersebut membentuk tatanan yang utuh dan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pembangunan daerah merupakan bagian integral dari pembangunan nasional, yang diarahkan untuk mengembangkan daerah dan menyerasikan laju pertumbuhan antar kota dan desa

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. perkapita sebuah negara meningkat untuk periode jangka panjang dengan syarat, jumlah

BAB I PENDAHULUAN. perkapita sebuah negara meningkat untuk periode jangka panjang dengan syarat, jumlah BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pembangunan pada dasarnya bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Pembangunan ekonomi adalah proses yang dapat menyebabkan pendapatan perkapita sebuah

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Jawa Barat merupakan salah satu provinsi di Indonesia yang memiliki

I. PENDAHULUAN. Jawa Barat merupakan salah satu provinsi di Indonesia yang memiliki I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Jawa Barat merupakan salah satu provinsi di Indonesia yang memiliki peran penting bagi perekonomian nasional. Berdasarkan sisi perekonomian secara makro, Jawa Barat memiliki

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. menciptakan suatu lapangan kerja baru dan merangsang perkembangan kegiatan

BAB I PENDAHULUAN. menciptakan suatu lapangan kerja baru dan merangsang perkembangan kegiatan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pembangunan ekonomi daerah adalah suatu proses saat pemerintah daerah dan masyarakat mengelola sumber daya yang ada dan selanjutnya membentuk suatu pola kemitraan antara

Lebih terperinci

POVERTY ALLEVIATION THROUGH RURAL-URBAN LINKAGES: POLICY IMPLICATIONS

POVERTY ALLEVIATION THROUGH RURAL-URBAN LINKAGES: POLICY IMPLICATIONS POVERTY ALLEVIATION THROUGH RURAL-URBAN PL6121 - Pembangunan Perdesaan Institut Teknologi Bandung LINKAGES: POLICY IMPLICATIONS (YAP KIOE SHENG) CRITICAL REVIEW LA ODE ATRI SARJANI MUNANTA 254 14 008 PERENCANAAN

Lebih terperinci

BAB VI KESIMPULAN DAN SARAN Perbandingan Temuan dengan Proposisi

BAB VI KESIMPULAN DAN SARAN Perbandingan Temuan dengan Proposisi BAB VI KESIMPULAN DAN SARAN 6.1. Perbandingan Temuan dengan Proposisi Hasil Penelitian menunjukkan bahwa proposisi pertama Perkembangan pola tata ruang kawasan destinasi pariwisata kepulauan di pengeruhi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN I.1.

BAB I PENDAHULUAN I.1. BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Proses pembangunan di Indonesia terus bergulir dan ekspansi pemanfaatan ruang terus berlanjut. Sejalan dengan ini maka pengembangan lahan terus terjadi dan akan berhadapan

Lebih terperinci

ABSTRAK. Kata kunci : Produk unggulan, strategi pengembangan

ABSTRAK. Kata kunci : Produk unggulan, strategi pengembangan ABSTRAK Tujuan studi ini adalah untuk membuat dokumen tentang identifikasi potensi dan masalah serta konsep dan strategi pengembangan sektor unggulan perekonomian yang dapat digunakan sebagai referensi

Lebih terperinci

PENDAHULUAN Latar Belakang

PENDAHULUAN Latar Belakang PENDAHULUAN Latar Belakang Otonomi Daerah sebagai wujud dari sistem demokrasi dan desentralisasi merupakan landasan dalam pelaksanaan strategi pembangunan yang berkeadilan, merata, dan inklusif. Kebijakan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN Latar Belakang

I. PENDAHULUAN Latar Belakang 1 I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Kabupaten Sintang merupakan salah satu kabupaten di Indonesia yang berbatasan langsung dengan negara lain, yaitu Malaysia khususnya Negara Bagian Sarawak. Kondisi ini

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. untuk mengelola keuangannya sendiri. Adanya otonomi daerah menjadi jalan bagi

BAB 1 PENDAHULUAN. untuk mengelola keuangannya sendiri. Adanya otonomi daerah menjadi jalan bagi BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah dan Undang-undang Nomor 33 Tahun 2004 Perimbangan Keuangan Pusat dan Pemerintah daerah menjadi

Lebih terperinci

PENENTUAN TIPOLOGI PERKEMBANGAN KECAMATAN DI KABUPATEN PEKALONGAN TUGAS AKHIR

PENENTUAN TIPOLOGI PERKEMBANGAN KECAMATAN DI KABUPATEN PEKALONGAN TUGAS AKHIR PENENTUAN TIPOLOGI PERKEMBANGAN KECAMATAN DI KABUPATEN PEKALONGAN TUGAS AKHIR Oleh: MUHAMMAD SYAHRIR L2D 300 369 JURUSAN PERENCANAAN WILAYAH DAN KOTA FAKULTAS TEKNIK UNIVERSITAS DIPONEGORO S E M A R A

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Desa Laut Dendang merupakan salah satu daerah pinggiran Kota Medan. Hal

BAB I PENDAHULUAN. Desa Laut Dendang merupakan salah satu daerah pinggiran Kota Medan. Hal BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pembangunan di Indonesia mengalami dinamika perkembangan pada setiap wilayahnya, diantaranya adalah perkembangan wilayah desa-kota. Perkembangan kota di Indonesia

Lebih terperinci

VI. EVALUASI DAMPAK KEBIJAKAN ALOKASI PENGELUARAN PEMERINTAH DAERAH TERHADAP DEFORESTASI KAWASAN DAN DEGRADASI TNKS TAHUN

VI. EVALUASI DAMPAK KEBIJAKAN ALOKASI PENGELUARAN PEMERINTAH DAERAH TERHADAP DEFORESTASI KAWASAN DAN DEGRADASI TNKS TAHUN VI. EVALUASI DAMPAK KEBIJAKAN ALOKASI PENGELUARAN PEMERINTAH DAERAH TERHADAP DEFORESTASI KAWASAN DAN DEGRADASI TNKS TAHUN 1994-2003 6.1. Hasil Validasi Kebijakan Hasil evaluasi masing-masing indikator

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. berkembang adalah adanya kegiatan ekonomi subsistence, yakni sebagian besar

BAB I PENDAHULUAN. berkembang adalah adanya kegiatan ekonomi subsistence, yakni sebagian besar 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Salah satu ciri perekonomian Indonesia sebagai negara yang sedang berkembang adalah adanya kegiatan ekonomi subsistence, yakni sebagian besar penduduk yang berpenghasilan

Lebih terperinci

BAB I PENGANTAR. 1.1 Latar Belakang yaitu bahwa bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya

BAB I PENGANTAR. 1.1 Latar Belakang yaitu bahwa bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya 1 BAB I PENGANTAR 1.1 Latar Belakang Pembangunan merupakan usaha untuk meningkatkan kemakmuran dan kesejahteraan rakyat. Sebagaimana diamanatkan dalam pasal 33 ayat (3) UUD 1945 yaitu bahwa bumi dan air

Lebih terperinci

PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Kemajuan yang diperoleh Bangsa Indonesia selama tiga dasawarsa pembangunan ternyata masih menyisakan berbagai ketimpangan, antara lain berupa kesenjangan pendapatan dan

Lebih terperinci

Makalah Kunci. Peningkatan Kesetaraan Pembangunan Antara Kawasan Perdesaan dan Perkotaan Melalui Pembangunan Kota-Kota Sekunder.

Makalah Kunci. Peningkatan Kesetaraan Pembangunan Antara Kawasan Perdesaan dan Perkotaan Melalui Pembangunan Kota-Kota Sekunder. Makalah Kunci Peningkatan Kesetaraan Pembangunan Antara Kawasan Perdesaan dan Perkotaan Melalui Pembangunan Kota-Kota Sekunder Disampaikan oleh: Soenarno Menteri Permukiman dan Prasarana Wilayah Acara

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Tinjauan Pustaka 2.1.1. Perkembangan Kota Branch (1996), mengatakan bahwa perkembangan suatu kota dipengaruhi oleh dua faktor yaitu faktor eksternal dan faktor internal. Faktor

Lebih terperinci

STUDI EVALUASI PERANAN KOTA KECIL PADA SISTEM PERKOTAAN SEPANJANG KORIDOR JALAN REGIONAL KABUPATEN SEMARANG TUGAS AKHIR L2D

STUDI EVALUASI PERANAN KOTA KECIL PADA SISTEM PERKOTAAN SEPANJANG KORIDOR JALAN REGIONAL KABUPATEN SEMARANG TUGAS AKHIR L2D STUDI EVALUASI PERANAN KOTA KECIL PADA SISTEM PERKOTAAN SEPANJANG KORIDOR JALAN REGIONAL KABUPATEN SEMARANG TUGAS AKHIR Oleh: RICI SUSANTO L2D 099 447 JURUSAN PERENCANAAN WILAYAH DAN KOTA FAKULTAS TEKNIK

Lebih terperinci

VIII. KESIMPULAN, IMPLIKASI KEBIJAKAN DAN PENELITIAN LANJUTAN

VIII. KESIMPULAN, IMPLIKASI KEBIJAKAN DAN PENELITIAN LANJUTAN VIII. KESIMPULAN, IMPLIKASI KEBIJAKAN DAN PENELITIAN LANJUTAN 8.1. Kesimpulan Hasil studi menunjukkan bahwa prioritas alokasi investasi ke sektor pertanian dan industri berbasis pertanian yang didukung

Lebih terperinci

PERAN PERENCANAAN TATA RUANG

PERAN PERENCANAAN TATA RUANG PERAN PERENCANAAN TATA RUANG DALAM PENGELOLAAN SUMBER DAYA ALAM INDRA BUDIMAN SYAMWIL 1 Spatial Planning Specialist November, 2003 Tata Ruang di Indonesia merupakan produk Sistem Tata Ruang Nasional yang

Lebih terperinci

PENGARUH PERGERAKAN PENDUDUK TERHADAP KETERKAITAN DESA-KOTA DI KECAMATAN KARANGAWEN DAN KECAMATAN GROBOGAN TUGAS AKHIR

PENGARUH PERGERAKAN PENDUDUK TERHADAP KETERKAITAN DESA-KOTA DI KECAMATAN KARANGAWEN DAN KECAMATAN GROBOGAN TUGAS AKHIR PENGARUH PERGERAKAN PENDUDUK TERHADAP KETERKAITAN DESA-KOTA DI KECAMATAN KARANGAWEN DAN KECAMATAN GROBOGAN TUGAS AKHIR Oleh : KURNIAWAN DJ L2D 004 330 NOVAR ANANG PANDRIA L2D 004 340 JURUSAN PERENCANAAN

Lebih terperinci

VII KETERKAITAN EKONOMI SEKTORAL DAN SPASIAL DI DKI JAKARTA DAN BODETABEK

VII KETERKAITAN EKONOMI SEKTORAL DAN SPASIAL DI DKI JAKARTA DAN BODETABEK VII KETERKAITAN EKONOMI SEKTORAL DAN SPASIAL DI DKI JAKARTA DAN BODETABEK Ketidakmerataan pembangunan yang ada di Indonesia merupakan masalah pembangunan regional dan perlu mendapat perhatian lebih. Dalam

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. untuk mengembangkan kegiatan ekonominya sehingga infrastruktur lebih banyak

BAB I PENDAHULUAN. untuk mengembangkan kegiatan ekonominya sehingga infrastruktur lebih banyak BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Pembangunan merupakan serangkaian usaha dalam suatu perekonomian untuk mengembangkan kegiatan ekonominya sehingga infrastruktur lebih banyak tersedia, perusahaan

Lebih terperinci

BAB 1. Pendahuluan 1.1. LATAR BELAKANG

BAB 1. Pendahuluan 1.1. LATAR BELAKANG BAB 1 Pendahuluan Bab ini berisi uraian mengenai hal-hal yang melatarbelakangi pelaksanaan kegiatan meliputi latar belakang, maksud dan tujuan, sasaran, ruang lingkup, dan sistematika pembahasan 1.1. LATAR

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. pemicu munculnya permasalahan lingkungan baik biotik, sosial, kultural,

BAB I PENDAHULUAN. pemicu munculnya permasalahan lingkungan baik biotik, sosial, kultural, 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Perkembangan spasial kota yang tidak terkendali diyakini akan menjadi pemicu munculnya permasalahan lingkungan baik biotik, sosial, kultural, ekonomi pada masa yang

Lebih terperinci

PENDAHULUAN Latar Belakang

PENDAHULUAN Latar Belakang PENDAHULUAN Latar Belakang Perubahan paradigma pengembangan wilayah dari era comparative advantage ke competitive advantage, menjadi suatu fenomena baru dalam perencanaan wilayah saat ini. Di era kompetitif,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Provinsi Jawa Tengah merupakan salah satu daerah di Indonesia yang memiliki kekayaan sumberdaya ekonomi melimpah. Kekayaan sumberdaya ekonomi ini telah dimanfaatkan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Desa merupakan unit terkecil dalam sistem pemerintahan di Indonesia namun demikian peran, fungsi dan kontribusinya menempati posisi paling vital dari segi sosial dan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. memuat arah kebijakan pembangunan daerah (regional development policies)

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. memuat arah kebijakan pembangunan daerah (regional development policies) BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Kebijakan pembangunan nasional merupakan gambaran umum yang memuat arah kebijakan pembangunan daerah (regional development policies) dalam rangka menyeimbangkan pembangunan

Lebih terperinci

DAFTAR ISI DAFTAR TABEL DAFTAR GAMBAR DAFTAR LAMPIRAN

DAFTAR ISI DAFTAR TABEL DAFTAR GAMBAR DAFTAR LAMPIRAN DAFTAR ISI Halaman DAFTAR TABEL DAFTAR GAMBAR DAFTAR LAMPIRAN ii iii iv PENDAHULUAN Latar Belakang... 1 Perumusan Masalah... 4 Tujuan Penelitian... 9 Pengertian dan Ruang Lingkup Penelitian... 9 Manfaat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang Desentralisasi sebagai suatu fenomena yang bertujuan untuk membawa kepada penguatan komunitas pada satuan-satuan pembangunan terkecil kini sudah dicanangkan sebagai

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA Wilayah dan Hirarki Wilayah

II. TINJAUAN PUSTAKA Wilayah dan Hirarki Wilayah II. TINJAUAN PUSTAKA 2. 1 Wilayah dan Hirarki Wilayah Secara yuridis, dalam Undang-Undang No. 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang, pengertian wilayah adalah ruang yang merupakan kesatuan geografis beserta

Lebih terperinci

[Laporan Akhir] 1.1 Latar Belakang

[Laporan Akhir] 1.1 Latar Belakang 1.1 Latar Belakang Wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia, secara historis sebagian besar wilayah daratannya memiliki karakteristik sebagai daerah pertanian. Daerah pertanian yang sering diidentikkan

Lebih terperinci

BAB 4 ANALISIS ISU STRATEGIS DAERAH

BAB 4 ANALISIS ISU STRATEGIS DAERAH BAB 4 ANALISIS ISU STRATEGIS DAERAH Perencanaan dan implementasi pelaksanaan rencana pembangunan kota tahun 2011-2015 akan dipengaruhi oleh lingkungan strategis yang diperkirakan akan terjadi dalam 5 (lima)

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. jumlah penduduk yang hidup dan tinggal di daerah kota tersebut. Penduduk yang

BAB I PENDAHULUAN. jumlah penduduk yang hidup dan tinggal di daerah kota tersebut. Penduduk yang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pertumbuhan dan perkembangan sebuah kota sangat erat kaitannya dengan jumlah penduduk yang hidup dan tinggal di daerah kota tersebut. Penduduk yang banyak dan berkualitas

Lebih terperinci

1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang 2 1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pemekaran daerah adalah pembentukan wilayah administratif baru di tingkat provinsi maupun kota dan kabupaten dari induknya. Alasan paling mengemuka dalam wacana pemekaran

Lebih terperinci

mencerminkan tantangan sekaligus kesempatan. Meningkatnya persaingan antar negara tidak hanya berdampak pada perekonomian negara secara keseluruhan,

mencerminkan tantangan sekaligus kesempatan. Meningkatnya persaingan antar negara tidak hanya berdampak pada perekonomian negara secara keseluruhan, BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Tingkat persaingan antarnegara dari waktu ke waktu semakin tinggi sebagai dampak dari munculnya fenomena globalisasi ekonomi. Globalisasi mencerminkan tantangan sekaligus

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. yang bertujuan untuk membangun daerah secara optimal guna meningkatkan

BAB 1 PENDAHULUAN. yang bertujuan untuk membangun daerah secara optimal guna meningkatkan BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pembangunan daerah merupakan bagian integral dari pembangunan nasional yang bertujuan untuk membangun daerah secara optimal guna meningkatkan kesejahteraan masyarakatnya,

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. sarana pembangunan, transportasi dan komunikasi, komposisi industri, teknologi,

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. sarana pembangunan, transportasi dan komunikasi, komposisi industri, teknologi, BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Teori Pembangunan Ekonomi Daerah Pembangunan ekonomi daerah merupakan fungsi dari potensi sumberdaya alam, tenaga kerja dan sumberdaya manusia, investasi modal, prasarana dan

Lebih terperinci

SUMMARY STRATEGI DAN MODEL PERENCANAAN POPULIS DALAM PENGEMBANGAN WILAYAH

SUMMARY STRATEGI DAN MODEL PERENCANAAN POPULIS DALAM PENGEMBANGAN WILAYAH SUMMARY STRATEGI DAN MODEL PERENCANAAN POPULIS DALAM PENGEMBANGAN WILAYAH Strategi populis dalam pengembangan wilayah merupakan strategi yang berbasis pedesaan. Strategi ini muncul sebagai respon atas

Lebih terperinci

1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Undang-undang desentralisasi membuka peluang bagi daerah untuk dapat secara lebih baik dan bijaksana memanfaatkan potensi yang ada bagi peningkatan kesejahteraan dan kualitas

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. sektor utama ke ekonomi modern yang didominasi oleh sektor-sektor

BAB 1 PENDAHULUAN. sektor utama ke ekonomi modern yang didominasi oleh sektor-sektor BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pembangunan ekonomi dalam periode jangka panjang, mengikuti pertumbuhan pendapatan nasional, akan membawa suatu perubahan mendasar dalam struktur ekonomi, dari ekonomi

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA PEMIKIRAN. pertumbuhan ekonomi di suatu wilayah. Ketimpangan ekonomi antar wilayah

BAB II TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA PEMIKIRAN. pertumbuhan ekonomi di suatu wilayah. Ketimpangan ekonomi antar wilayah BAB II TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA PEMIKIRAN 2.1 Ketimpangan Ekonomi Antar Wilayah Ketimpangan ekonomi antar wilayah merupaka ketidakseimbangan pertumbuhan ekonomi di suatu wilayah. Ketimpangan ekonomi

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. proses di mana terjadi kenaikan produk nasional bruto riil atau pendapatan

II. TINJAUAN PUSTAKA. proses di mana terjadi kenaikan produk nasional bruto riil atau pendapatan II. TINJAUAN PUSTAKA A. Pembangunan Ekonomi Regional Pertumbuhan ekonomi merupakan unsur penting dalam proses pembangunan wilayah yang masih merupakan target utama dalam rencana pembangunan di samping

Lebih terperinci

LAPORAN AKHIR PANEL PETANI NASIONAL (PATANAS)

LAPORAN AKHIR PANEL PETANI NASIONAL (PATANAS) LAPORAN AKHIR PANEL PETANI NASIONAL (PATANAS) Oleh: A. Rozany Nurmanaf Adimesra Djulin Herman Supriadi Sugiarto Supadi Nur Khoiriyah Agustin Julia Forcina Sinuraya Gelar Satya Budhi PUSAT PENELITIAN DAN

Lebih terperinci

Pengaruh Modal Sosial Terhadap Pertalian Usaha Klaster Pariwisata Borobudur

Pengaruh Modal Sosial Terhadap Pertalian Usaha Klaster Pariwisata Borobudur Pengaruh Modal Sosial Terhadap Pertalian Usaha Klaster Pariwisata Borobudur TUGAS AKHIR Oleh: Rudiansyah L2D 004 348 JURUSAN PERENCANAAN WILAYAH DAN KOTA FAKULTAS TEKNIK UNIVERSITAS DIPONEGORO SEMARANG

Lebih terperinci

ARAH KEBIJAKAN PENGEMBANGAN KONSEP MINAPOLITAN DI INDONESIA. Oleh: Dr. Sunoto, MES

ARAH KEBIJAKAN PENGEMBANGAN KONSEP MINAPOLITAN DI INDONESIA. Oleh: Dr. Sunoto, MES ARAH KEBIJAKAN PENGEMBANGAN KONSEP MINAPOLITAN Potensi dan Tantangan DI INDONESIA Oleh: Dr. Sunoto, MES Potensi kelautan dan perikanan Indonesia begitu besar, apalagi saat ini potensi tersebut telah ditopang

Lebih terperinci

ALTERNATIF POLA HUBUNGAN KOTA TEGAL DALAM KONTEKS KAWASAN BREGAS TUGAS AKHIR

ALTERNATIF POLA HUBUNGAN KOTA TEGAL DALAM KONTEKS KAWASAN BREGAS TUGAS AKHIR ALTERNATIF POLA HUBUNGAN KOTA TEGAL DALAM KONTEKS KAWASAN BREGAS TUGAS AKHIR Oleh: DONY WARDONO L2D 098 426 JURUSAN PERENCANAAN WILAYAH DAN KOTA FAKULTAS TEKNIK UNIVERSITAS DIPONEGORO SEMARANG 2003 iv

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Kemajuan dan perkembangan ekonomi Kota Bandar Lampung menunjukkan

I. PENDAHULUAN. Kemajuan dan perkembangan ekonomi Kota Bandar Lampung menunjukkan I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang dan Masalah Kemajuan dan perkembangan ekonomi Kota Bandar Lampung menunjukkan trend ke arah zona ekonomi sebagai kota metropolitan, kondisi ini adalah sebagai wujud dari

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. dunia menghadapi fenomena sebaran penduduk yang tidak merata. Hal ini

I. PENDAHULUAN. dunia menghadapi fenomena sebaran penduduk yang tidak merata. Hal ini 1 I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang 1.1.1. Fenomena Kesenjangan Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagai negara kepulauan terbesar di dunia menghadapi fenomena sebaran penduduk yang tidak merata. Hal

Lebih terperinci

Kota Nabire, JUNI 2012 TIM PENYUSUN 1 P E N Y U S U N A N S P P I P K A B. N A B I R E L A P O R A N B U L A N J U N I

Kota Nabire, JUNI 2012 TIM PENYUSUN 1 P E N Y U S U N A N S P P I P K A B. N A B I R E L A P O R A N B U L A N J U N I PUJI SYUKUR kehadirat TUHAN YME atas tersusunnya laporan bulanan keempat kegiatan Strategi Pembangunan Permukiman dan Infrastruktur Perkotaan (SPPIP) Kabupaten Nabire. Sesuai dengan yang diwajibkan dalam

Lebih terperinci

PENDAHULUAN Latar Belakang

PENDAHULUAN Latar Belakang PENDAHULUAN Latar Belakang Pendekatan pembangunan yang sangat menekankan pada pertumbuhan ekonomi selama ini, telah banyak menimbulkan masalah pembangunan yang semakin besar dan kompleks, semakin melebarnya

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia memiliki wilayah perairan yang luas, yaitu sekitar 3,1 juta km 2 wilayah perairan territorial dan 2,7 juta km 2 wilayah perairan zona ekonomi eksklusif (ZEE)

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang , 2014

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang , 2014 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia adalah negara di Asia Tenggara, terletak di daerah khatulistiwa dan berada di antara benua Asia dan Australia serta antara Samudra Pasifik dan Samudra Hindia.

Lebih terperinci

PENDAHULUAN Latar Belakang

PENDAHULUAN Latar Belakang PENDAHULUAN Latar Belakang Sektor pertanian sudah seharusnya mendapat prioritas dalam kebijaksanaan strategis pembangunan di Indonesia. Selama lebih dari 30 tahun terakhir, sektor pertanian di Indonesia,

Lebih terperinci

10 REKOMENDASI KEBIJAKAN PENGEMBANGAN KAWASAN MINAPOLITAN DI KABUPATEN KUPANG

10 REKOMENDASI KEBIJAKAN PENGEMBANGAN KAWASAN MINAPOLITAN DI KABUPATEN KUPANG 10 REKOMENDASI KEBIJAKAN PENGEMBANGAN KAWASAN MINAPOLITAN DI KABUPATEN KUPANG 10.1 Kebijakan Umum Potensi perikanan dan kelautan di Kabupaten Kupang yang cukup besar dan belum tergali secara optimal, karenanya

Lebih terperinci

IDENTIFIKASI SEKTOR UNGGULAN KABUPATEN WAROPEN

IDENTIFIKASI SEKTOR UNGGULAN KABUPATEN WAROPEN IDENTIFIKASI SEKTOR UNGGULAN KABUPATEN WAROPEN Muhammad Fajar Kasie Statistik Sosial BPS Kab. Waropen Abstraksi Tujuan dari studi ini adalah untuk mengetahui deskripsi ekonomi Kabupaten Waropen secara

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA Studi Sosiaf'Elipiiomi Masyara^l Lingfiungan %iimufi di%pta (Peli^nbaru - BAB II TINJAUAN PUSTAKA Sasaran pokok dalam kebijaksanaan pembangunan adalah mewujudkan perubahan struktural dibidang ekonomis-sosiologis

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. daerah, masalah pertumbuhan ekonomi masih menjadi perhatian yang penting. Hal ini

I. PENDAHULUAN. daerah, masalah pertumbuhan ekonomi masih menjadi perhatian yang penting. Hal ini I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Dalam menilai keberhasilan pembangunan dan upaya memperkuat daya saing ekonomi daerah, masalah pertumbuhan ekonomi masih menjadi perhatian yang penting. Hal ini dikarenakan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. yang berhubungan dengan warga negaranya. Terlebih pada negara-negara yang

BAB I PENDAHULUAN. yang berhubungan dengan warga negaranya. Terlebih pada negara-negara yang 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Sebuah negara tidak akan pernah bisa lepas dari berbagai permasalahan yang berhubungan dengan warga negaranya. Terlebih pada negara-negara yang memiliki

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. pencapaian tersebut adalah melalui pembangunan. Menurut Tjokroamidjojo

BAB I PENDAHULUAN. pencapaian tersebut adalah melalui pembangunan. Menurut Tjokroamidjojo BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pemerataan pembangunan telah digariskan dalam Undang-Undang Dasar 1945 alinea keempat, yang menyatakan bahwa fungsi sekaligus tujuan Negara Indonesia yakni memajukan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Dalam melaksanakan pembangunan perekonomian di daerah baik pada tingkat

I. PENDAHULUAN. Dalam melaksanakan pembangunan perekonomian di daerah baik pada tingkat I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Dalam melaksanakan pembangunan perekonomian di daerah baik pada tingkat Provinsi/Kabupaten/Kota setiap daerah dituntut untuk mampu melakukan rentang kendali dalam satu

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. tidak terpisahkan serta memberikan kontribusi terhadap pembangunan daerah dan

BAB I PENDAHULUAN. tidak terpisahkan serta memberikan kontribusi terhadap pembangunan daerah dan BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pembangunan desa merupakan bagian integral dari pembangunan nasional, dengan demikian pembangunan desa mempunyai peranan yang penting dan bagian yang tidak terpisahkan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Bangsa Indonesia memasuki era baru tata pemerintahan sejak tahun 2001 yang ditandai dengan pelaksanaan otonomi daerah. Pelaksanaan otonomi daerah ini didasarkan pada UU

Lebih terperinci

KAPASITAS KELEMBAGAAN PERENCANAAN TATA RUANG DI KOTA AMBARAWA TUGAS AKHIR. Oleh: IMANDA JUNIFAR L2D005369

KAPASITAS KELEMBAGAAN PERENCANAAN TATA RUANG DI KOTA AMBARAWA TUGAS AKHIR. Oleh: IMANDA JUNIFAR L2D005369 KAPASITAS KELEMBAGAAN PERENCANAAN TATA RUANG DI KOTA AMBARAWA TUGAS AKHIR Oleh: IMANDA JUNIFAR L2D005369 JURUSAN PERENCANAAN WILAYAH DAN KOTA FAKULTAS TEKNIK UNIVERSITAS DIPONEGORO SEMARANG 2009 ABSTRAK

Lebih terperinci

cukup besar bagi struktur perekonomian di Kabupaten Magelang. Data pada tahun

cukup besar bagi struktur perekonomian di Kabupaten Magelang. Data pada tahun 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Industri pengolahan merupakan sektor yang mempunyai konstribusi cukup besar bagi struktur perekonomian di Kabupaten Magelang. Data pada tahun 2012 menunjukkan bahwa

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Laporan Hasil Kajian Penyusunan Model Perencanaan Lintas Wilayah dan Lintas Sektor

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Laporan Hasil Kajian Penyusunan Model Perencanaan Lintas Wilayah dan Lintas Sektor B A B BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Saat ini bangsa Indonesia menghadapi situasi yang selalu berubah dengan cepat, tidak terduga dan saling terkait satu sama lainnya. Perubahan yang terjadi di dalam

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Dalam sistem negara kesatuan, pemerintah daerah merupakan bagian yang

BAB I PENDAHULUAN. Dalam sistem negara kesatuan, pemerintah daerah merupakan bagian yang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Dalam sistem negara kesatuan, pemerintah daerah merupakan bagian yang tak terpisahkan dari pemerintah pusat sehingga dengan demikian pembangunan daerah diupayakan sejalan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pembangunan daerah memiliki peranan penting dalam menunjang pembangunan nasional. Pada masa Orde baru pembangunan nasional dikendalikan oleh pemerintah pusat, sedangkan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang Dilihat dari sejarah atau proses perkembangannya pada masa yang lalu dapat diketahui bahwa kota-kota pada

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang Dilihat dari sejarah atau proses perkembangannya pada masa yang lalu dapat diketahui bahwa kota-kota pada BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang Dilihat dari sejarah atau proses perkembangannya pada masa yang lalu dapat diketahui bahwa kota-kota pada umumnya mempunyai corak atau cirinya sendiri yang berbeda

Lebih terperinci

EVALUASI SISTEM PERWILAYAHAN DI WILAYAH JOGLOSEMAR BERDASARKAN ASPEK SOSIO EKONOMI

EVALUASI SISTEM PERWILAYAHAN DI WILAYAH JOGLOSEMAR BERDASARKAN ASPEK SOSIO EKONOMI EVALUASI SISTEM PERWILAYAHAN DI WILAYAH JOGLOSEMAR BERDASARKAN ASPEK SOSIO EKONOMI Achmad Wismoro, Solikhah Retno Hidayati Sekolah Tinggi Teknologi Nasional Yogyakarta wironowosttnas@yahoo.com, retno_srh@sttnas.ac.id

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG Transportasi sebagai urat nadi kehidupan berbangsa dan bernegara, mempunyai fungsi sebagai penggerak, pendorong dan penunjang pembangunan. Transportasi merupakan suatu

Lebih terperinci

ABSTRAK. Pendapatan Asli Daerah, Dana Alokasi Umum, Dana Bagi Hasil, Flypaper Effect.

ABSTRAK. Pendapatan Asli Daerah, Dana Alokasi Umum, Dana Bagi Hasil, Flypaper Effect. Judul : Pengaruh Pendapatan Asli Daerah, Dana Alokasi Umum, dan Dana Bagi Hasil Pada Belanja Modal Kabupaten/Kota di Provinsi Bali Nama : Ni Nyoman Widiasih Nim : 1315351081 ABSTRAK Belanja modal merupakan

Lebih terperinci

Rencana Kerja Pemerintah Daerah (RKPD) Provinsi Jawa Barat Tahun 2018 BAB I PENDAHULUAN

Rencana Kerja Pemerintah Daerah (RKPD) Provinsi Jawa Barat Tahun 2018 BAB I PENDAHULUAN BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kesejahteraan bagi seluruh masyarakat Jawa Barat adalah suatu muara keberhasilan pelaksanaan pembangunan Jawa Barat. Pemerintah Daerah Provinsi Jawa Barat mengemban

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Dalam rangka pembangunan nasional di Indonesia, pembangunan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Dalam rangka pembangunan nasional di Indonesia, pembangunan 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Dalam rangka pembangunan nasional di Indonesia, pembangunan daerah yang merupakan bagian integral dari pembangunan nasional yang di arahkan untuk mengembangkan

Lebih terperinci

PENDAHULUAN Latar Belakang

PENDAHULUAN Latar Belakang PENDAHULUAN Latar Belakang Pembangunan dan pengembangan wilayah merupakan dinamika daerah menuju kemajuan yang diinginkan masyarakat. Hal tersebut merupakan konsekuensi logis dalam memajukan kondisi sosial,

Lebih terperinci

PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang 1 I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pola pemanfaatan ruang pada kawasan perkotaan dicirikan dengan campuran yang rumit antara aktivitas jasa komersial dan permukiman (Rustiadi et al., 2009). Hal ini sejalan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. penyerahan wewenang pemerintahan oleh pemerintah pusat kepada daerah otonom untuk

BAB I PENDAHULUAN. penyerahan wewenang pemerintahan oleh pemerintah pusat kepada daerah otonom untuk BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Dalam sistem otonomi daerah, terdapat 3 (tiga) prinsip yang dijelaskan UU No.23 Tahun 2014 yaitu desentralisasi, dekonsentrasi, dan tugas pembantuan. Desentralisasi

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN Latar Belakang

I. PENDAHULUAN Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Indonesia sebagai suatu bangsa dan negara besar dengan pemilikan sumber daya alam yang melimpah, dalam pembangunan ekonomi yang merupakan bagian dari pembangunan nasional

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Di banyak negara, fenomena kesenjangan perkembangan antara wilayah selalu ada sehingga ada wilayah-wilayah yang sudah maju dan berkembang dan ada wilayah-wilayah yang

Lebih terperinci

PERAN FORUM LINTAS PELAKU KLASTER PARIWISATA CEPOGO SELO SAWANGAN DALAM PENGEMBANGAN KLASTER PARIWISATA SELO-SAWANGAN TUGAS AKHIR

PERAN FORUM LINTAS PELAKU KLASTER PARIWISATA CEPOGO SELO SAWANGAN DALAM PENGEMBANGAN KLASTER PARIWISATA SELO-SAWANGAN TUGAS AKHIR PERAN FORUM LINTAS PELAKU KLASTER PARIWISATA CEPOGO SELO SAWANGAN DALAM PENGEMBANGAN KLASTER PARIWISATA SELO-SAWANGAN TUGAS AKHIR Oleh : DANA ERVANO L2D 005 354 JURUSAN PERENCANAAN WILAYAH DAN KOTA FAKULTAS

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kematian dan perpindahan penduduk (mobilitas) terhadap perubahan-perubahan. penduduk melakukan mobilitas ke daerah yang lebih baik.

BAB I PENDAHULUAN. kematian dan perpindahan penduduk (mobilitas) terhadap perubahan-perubahan. penduduk melakukan mobilitas ke daerah yang lebih baik. BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Dinamika kependudukan terjadi karena adanya dinamika kelahiran, kematian dan perpindahan penduduk (mobilitas) terhadap perubahan-perubahan dalam jumlah, komposisi dan

Lebih terperinci

Bab VI KESIMPULAN DAN REKOMENDASI. kawasan stasiun Pasar Nguter, diperoleh beberapa kesimpulan sebagai berikut:

Bab VI KESIMPULAN DAN REKOMENDASI. kawasan stasiun Pasar Nguter, diperoleh beberapa kesimpulan sebagai berikut: Bab VI KESIMPULAN DAN REKOMENDASI 6.1 Kesimpulan Berdasarkan hasil analisis dan temuan penelitian mengenai elemen ROD pada kawasan stasiun Pasar Nguter, diperoleh beberapa kesimpulan sebagai berikut: -

Lebih terperinci

KARAKTERISTIK STRUKTUR RUANG INTERNAL KOTA DELANGGU SEBAGAI KOTA KECIL DI KORIDOR SURAKARTA - YOGYAKARTA TUGAS AKHIR

KARAKTERISTIK STRUKTUR RUANG INTERNAL KOTA DELANGGU SEBAGAI KOTA KECIL DI KORIDOR SURAKARTA - YOGYAKARTA TUGAS AKHIR KARAKTERISTIK STRUKTUR RUANG INTERNAL KOTA DELANGGU SEBAGAI KOTA KECIL DI KORIDOR SURAKARTA - YOGYAKARTA TUGAS AKHIR Oleh : AHMAD NURCHOLIS L2D 003 325 JURUSAN PERENCANAAN WILAYAH DAN KOTA FAKULTAS TEKNIK

Lebih terperinci

HOTEL WISATA DI KAWASAN MARITIM KOTA BAU-BAU (DI SEKITAR PANTAI LAKEBA)

HOTEL WISATA DI KAWASAN MARITIM KOTA BAU-BAU (DI SEKITAR PANTAI LAKEBA) Tugas Akhir PERIODE 108 LANDASAN PROGRAM PERENCANAAN DAN PERANCANGAN ARSITEKTUR HOTEL WISATA DI KAWASAN MARITIM KOTA BAU-BAU (DI SEKITAR PANTAI LAKEBA) Diajukan untuk memenuhi sebagian persyaratan memperoleh

Lebih terperinci

BAB VI KESIMPULAN DAN SARAN

BAB VI KESIMPULAN DAN SARAN BAB VI KESIMPULAN DAN SARAN 6.1 Kesimpulan Berdasarkan hasil dan pembahasan maka dapat disimpulkan bahwa: 1. Otonomi daerah yang berarti bahwa daerah memiliki hak penuh dalam mengurus rumah tangganya sendiri

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 2005, hlm Tulus Tambunan, Pembangunan Ekonomi dan Utang Luar Negeri, Rajawali Pres,

BAB I PENDAHULUAN. 2005, hlm Tulus Tambunan, Pembangunan Ekonomi dan Utang Luar Negeri, Rajawali Pres, BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Peranan pemerintah dalam proses perkembangan ekonomi untuk masing-masing Negara mempunyai tingkatan yang berbeda-beda. 1 Dalam pembangunan negara Indonesia, perekonomian

Lebih terperinci

POTENSI USAHA KERAJINAN TUMANG BOYOLALI SEBAGAI PENDEKATAN PEMBANGUNAN PEDESAAN YANG BERTUMPU PADA KEGIATAN USAHA KECIL

POTENSI USAHA KERAJINAN TUMANG BOYOLALI SEBAGAI PENDEKATAN PEMBANGUNAN PEDESAAN YANG BERTUMPU PADA KEGIATAN USAHA KECIL POTENSI USAHA KERAJINAN TUMANG BOYOLALI SEBAGAI PENDEKATAN PEMBANGUNAN PEDESAAN YANG BERTUMPU PADA KEGIATAN USAHA KECIL TUGAS AKHIR O l e h : E k o P r a s e t y o L2D 000 415 JURUSAN PERENCANAAN WILAYAH

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. membangun infrastruktur dan fasilitas pelayanan umum. pasar yang tidak sempurna, serta eksternalitas dari kegiatan ekonomi.

I. PENDAHULUAN. membangun infrastruktur dan fasilitas pelayanan umum. pasar yang tidak sempurna, serta eksternalitas dari kegiatan ekonomi. I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pembangunan yang dilakukan oleh setiap pemerintahan terutama ditujukan untuk mendorong pertumbuhan ekonomi, pemerataan distribusi pendapatan, membuka kesempatan kerja,

Lebih terperinci

BAB VI PENUTUP. 6.1 Kesimpulan

BAB VI PENUTUP. 6.1 Kesimpulan BAB VI PENUTUP 6.1 Kesimpulan Sebagaimana telah dijelaskan di depan, penelitian disertasi ini dilatarbelakangi oleh adanya ragam penerapan bentuk-bentuk kolaborasi antar daerah di perbatasan kota-kota

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. suatu proses dimana pemerintah daerah dan masyarakatnya mengelola

BAB I PENDAHULUAN. suatu proses dimana pemerintah daerah dan masyarakatnya mengelola BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Indonesia dikenal sebagai negara agraris dengan kekayaan hayati yang melimpah, hal ini memberikan keuntungan bagi Indonesia terhadap pembangunan perekonomian melalui

Lebih terperinci

BAB III ANALISIS ISU STRATEGIS

BAB III ANALISIS ISU STRATEGIS BAB III ANALISIS ISU STRATEGIS 3.1 Identifikasi Faktor Lingkungan Berdasarkan Kondisi Saat Ini sebagaimana tercantum dalam BAB II maka dapat diidentifikasi faktor-faktor lingkungan yang berpengaruh terhadap

Lebih terperinci

Studi Kelayakan Pengembangan Wisata Kolong Eks Tambang Kabupaten Belitung TA LATAR BELAKANG

Studi Kelayakan Pengembangan Wisata Kolong Eks Tambang Kabupaten Belitung TA LATAR BELAKANG 1.1 LATAR BELAKANG Provinsi Kepulauan Bangka Belitung (Babel) merupakan salah satu daerah penghasil sumber daya alam khususnya tambang. Kegiatan penambangan hampir seluruhnya meninggalkan lahan-lahan terbuka

Lebih terperinci